Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 218

Buku 218

Demikianlah, maka yang dapat dilakukan oleh setiap orang hanyalah sekedar menunggu. Ketika hari bergeser menjelang malam, maka para pemimpin kelompok benar-benar telah mengadakan pertemuan untuk menerima perintah-perintah, petunjuk-petunjuk dan jalur yang akan mereka lalui menuju ke sasaran. Beberapa pesan telah diberikan oleh Pangeran Singasari. Bahkan dengan tekanan, “Tidak seorang pun boleh melakukan kesalahan. Kita akan memasuki padepokan itu dalam kelompok-kelompok. Jika satu kelompok melakukan kesalahan, maka yang lain akan sulit untuk membantu, karena setiap kelompok akan mempunyai tugas yang hampir sama beratnya. Karena itu, maka kalian harus berbuat dengan penuh tanggung jawab.”

Para pemimpin kelompok itu pun mengangguk angguk. Rasa-rasanya semuanya memang sudah menjadi jelas. Apa yang akan mereka lakukan. Bahkan seakan-akan mereka telah melihat peristiwa yang bakal terjadi besok pagi-pagi.

Ketika para pemimpin kelompok itu kembali ke tempat mereka masing-masing, maka merekapun segera memanggil orang-orang yang termasuk dalam kelompok mereka. Para senapati itu telah menyampaikan segala perintah, pesan dan petunjuk dari Pangeran Singasari.

Pangeran Singasaripun telah memanggil para perwira dan prajurit yang termasuk kedalam kelompoknya. Namun ternyata bahwa Pangeran Singasari tidak memanggil Kiai Gringsing dan keempat orang yang bersamanya, termasuk Raden Rangga.

Seorang perwira memang bertanya, “Bagaimana dengan orang tua itu Pangeran?“

“Biar saja. Orang itu memiliki kelebihan. Karena itu biar saja mereka tidak usah ikut berbicara. Mereka tidak memerlukan petunjuk dan pesan. Mereka justru akan mampu mengatasi masalah yang timbul,“ jawab Pangeran Singasari.

“Tetapi mereka sebaiknya mengetahui batas-batas tugas mereka,“ berkata perwira itu.

“Aku sudah mengatakan, bahwa mereka harus menunggu perintah yang akan aku berikan kemudian,“ berkata Pangeran Singasari.

Perwira itu hanya mengangguk-angguk saja. Semua kebijaksanaan memang berada di tangan Pangeran Singasari.

Ketika malam mulai gelap, maka Pangeran Singasari memerintahkan semua prajurit yang akan berangkat besok untuk berisirahat. Mereka harus menghemat tenaga yang akan dipergunakannya besok untuk bertempur melawan orang-orang Nagaraga. Mereka masih belum dapat meramalkan, apakah mereka harus bertempur sampai tengah hari, atau sehari penuh, atau justru lebih dari itu.

Karena itu, maka di ujung malam itu, perkemahan orang-orang Mataran itu menjadi sepi. Para prajurit pun telah berbaring dan berusaha untuk dapat tidur, selain mereka yang bertugas.

Raden Rangga yang gelisah itu pun ternyata tidak banyak melontarkan pembicaraan. lapun telah berbaring pula dan dalam waktu yang terhitung singkat, ternyata Raden Rangga itu pun telah tertidur pula.

Glagah Putih dan Sabungsari masih sempat tersenyum mendengar nafas Raden Rangga yang mengalir teratur. Namun mereka sendiri pun rasa-rasanya telah menjadi mengantuk pula, sehingga mereka pun segera telah jatuh tertidur pula.

Tetapi Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga masih duduk sambil berbincang tentang berbagai macam hal. Terutama tentang sikap Pangeran Singasari. Ketika Kiai Gringsing di luar sadarnya memandang tubuh Raden Rangga yang terbujur diam, ia menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya pula ia berkata, “Apa yang dilihatnya di dalam mimpi benar-benar ada di padepokan itu.“

“Anak yang aneh,“ sahut Ki Jayaraga, “dalam tidur ia tidak lebih dari anak-anak yang lain.“

“Ujud wadagnya,“ berkata Kiai Gringsing, “tetapi justru di dalam tidur ia sering mengalami satu kehidupan yang lain.“

“Ya, Kiai benar,“ berkata Ki Jayaraga, “anak itu memang diliputi oleh satu rahasia yang sangat sulit untuk dipecahkan.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak lagi berbicara tentang Raden Rangga, namun mereka pun telah berbicara lagi tentang serangan yang bakal dilakukan oleh pasukan Mataram terhadap padepokan itu.

Pangeran Singasari memang tidak memberikan pesan apapun kepada mereka, sehingga Ki Jayaraga itu pun kemudian berkata, “Agaknya kita akan benar-benar menjadi orang-orang yang tidak berarti di sini. Pangeran Singasari sama sekali tidak ingin berbicara dengan kita.“

“Mungkin Pangeran Singasari ingin menunjukkan bahwa ia mampu menyelesaikan tugas ini sendiri. Tanpa kita sekalipun,“ berkata Kiai Gringsing. “Menurut perhitunganku. Pangeran Singasari pernah mengenal aku. Bukan maksudku untuk menyombongkan diri, tetapi setidak-tidaknya ia harus menganggapaku berguna baginya.“

“Kiai benar,“ berkata Ki Jayaraga, “Pangeran Singasari ingin memberikan kesan kepada para perwira Mataram, bahwa ia dapat melakukannya sendiri tanpa keterlibatan kita.“

“Bukankah dengan demikian ia akan mendapat pujian dari Panembahan Senapati?“ desis Kiai Gringsing.

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi sebagai orang tua maka mereka lebih baik mengikuti garis kebijaksanaan Pangeran Singasari, meskipun dalam keadaan yang paling gawat mereka harus berbuat sesuatu tanpa menunggu perintahnya.

Ketika malam menjadi semakin larut, maka kedua orang tua itu pun mulai membenahi tempat yang akan dipergunakannya untuk berbaring. Mereka pun ingin beristirahat serba sedikit sebelum besok menjelang pagi mereka harus sudah ikut dalam pasukan Mataram yang akan memasuki padepokan Nagaraga.

Tetapi kedua orang itu terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar Glagah Putih mengigau dalam tidurnya. Bahkan kemudian seperti memanggil-manggil, “Raden, Raden. Tunggu.“

Kedua orang tua itu pun segera bangkit. Mereka memang akan membangunkan Glagah Putih, tetapi tidak dengan serta merta, karena memang seharusnya mereka tidak boleh mengejutkan orang yang sedang mengigau dalam tidur.

Tetapi sebelum keduanya menyentuh tubuh Glagah Putih, ternyata Glagah Putih sudah terbangun. Bahkan bukan saja Glagah Putih, tetapi kemudian Raden Rangga pun telah bangkit pula dan duduk sambil mengusap matanya.

“Kau mengigau di dalam tidurmu Glagah Putih,“ berkata Kiai Gringsing.

Glagah Putih menarik nafas dalam dalam. Ketika ia melihat Raden Rangga duduk, maka Glagah Putih itu pun melangkah mendekatinya.

“Kau tidak apa-apa Raden?“ bertanya Glagah Putih.

Raden Rangga tidak segera menjawab. Tetapi dalam pada itu, Sabungsari pun telah bangun pula. Ketika ia kemudian duduk, maka ia menjadi heran, bahwa semua orang telah terbangun pula.

“Ada apa Kiai?“ desis Sabungsari, “Ternyata aku terbangun paling akhir.“

“Glagah Putih telah mengigau dalam tidurnya,“ jawab Kiai Gringsing, “meskipun tidak begitu keras.“

Sabungsari tersenyum. Katanya, “O, jadi Glagah Putih sering mengigau dalam tidur?“

“Jarang-jarang sekali,“ sahut Kiai Gringsing, “tetapi sekali ini kelihatannya Glagah Putih seperti orang yang ketakutan. Bahkan kemudian telah memanggil-manggil nama Raden Rangga.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mimpiku memang mendebarkan.“

“Kau bermimpi apa?“ bertanya Raden Rangga.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku melihat air yang mendebarkan jantungku.“

“Air bagaimana?“ bertanya Sabungsari.

“Sebuah sungai yang banjir. Kemudian aku melihat sebuah kereta yang bagus sekali ditarik oleh delapan ekor kuda, berderap di atas air yang bergulung-gulung mengerikan itu. Seorang ratu yang berada di kereta itu melambaikan tangannya ke tepi di seberang,“ berkata Glagah Putih.

Namun tiba-tiba Raden Rangga menyahut, “Yang ada di seberang itu adalah aku. Delapan ekor kuda putih dengan pakaian kuda yang sangat bagus. Sedangkan yang naik di atas kereta di kawal oleh empat orang dayang-dayang dengan kereta masing-masing, adalah seorang putri yang mengenakan mahkota yang cemerlang seperti bulan. Di depannya duduk seorang sais, yang juga seorang perempuan yang mengenakan pakaian kelam.“

“Darimana Raden tahu?“ bertanya Glagah Putih, “Bukankah yang mimpi itu aku?“

“Bukankah kita kadang-kadang saling terlibat di dalam mimpi-mimpi kita?“ bertanya Raden Rangga.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Gringsing yang juga heran mendengar Raden Rangga yang dapat menyambung keterangan Glagah Putih tentang mimpinya berdesis, “Memang kadang-kadang di luar nalar.“

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam, sementara Glagah Putih menjadi tegang. Dengan nada berat ia berkata, “Ternyata Raden tertarik dan memperhatikan kereta itu.“

“Kau lihat putri yang memakai mahkota yang bercahaya kekuningan?“ bertanya Raden Rangga.

“Ya. Dengan sais berpakaian warna gelap,“ jawab Glagah Putih.

“Ujud dari putri itu adalah ujud ibuku. Wajahnya adalah wajah ibuku. Kecantikannya adalah kecantikan ibuku. Tubuh yang ramping dengan pakaian yang gemerlapan itu adalah tubuh ibuku. Tetapi ibuku adalah perempuan yang sederhana, meskipun ia istri Panembahan Senapati. Apalagi ibu diambil oleh Ayahanda dari sengkerannya sebelum Ayahanda menjadi Panembahan Senapati seperti sekarang ini. Meskipun dalam ujudnya aku melihat Ibunda, tetapi aku merasa bahwa Ibunda tidak akan mendapatkan kebebasan seperti putri itu,“ berkata Raden Rangga dengan nada berat. Bahkan nada suaranya masih menurun lagi. “Meskipun demikian, rasanya memang ada ikatan antara aku dan putri itu. Aku tidak kuasa lagi menolak lambaian tangannya. Meskipun demikian aku memang mencoba untuk bertahan. Seperti waktu-waktu yang lewat aku mohon kesempatan untuk tidak menyertainya.“

“Ya,“ Glagah Putih tiba-tiba memotong, “Raden memang menolak. Raden tidak mendekat. Ya, aku ingat sekarang.“

“Tetapi putri itu sudah tidak sabar lagi,“ desis Raden Rangga, “kereta yang beriringan itu berhenti. Dan aku dengar suaranya yang lembut, tepat seperti suara ibuku. Betapa putri itu memanggilku, dan bahkan aku merasa seakan-akan ibundaku sendirilah yang telah memanggilku. Namun aku mencoba untuk bertahan dan tetap berdiri di luar banjir bandang itu.“ Raden Rangga berhenti sejenak, lalu, “Tetapi tiba-tiba putri itu mengurai selendangnya yang berwarna aneh. Seperti warna kulit seekor ular sanca yang berbunga-bunga. Tiba-tiba saja selendang itu dikibarkannya. Aku sama sekali tidak mengira bahwa selendang itu dapat mekar dan memanjang. Ternyata dari tengah-tengah banjir bandang itu, selendang yang berwarna kulit ular itu mampu menggapai aku yang berdiri di tepi sungai yang sedang banjir itu, di atas tanggul.“

“Karena itulah maka aku telah berteriak memanggil. Aku melihat selendang yang berwarna kulit ular itu membelitnya dan menariknya ke dalam kereta,“ sambung Glagah Putih. “Aku berusaha memanggilnya. Ketika kereta itu kemudian bergerak lagi, dan delapan ekor kuda itu mulai berderap, aku telah berteriak-teriak memanggil nama Raden Rangga. Agaknya karena itulah aku telah mengigau.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Jayaraga berkata, “Hampir tidak mungkin, bahwa dua orang telah bermimpi sebagaimana terjadi dalam kenyataan hidup ini. Keduanya mengalami satu peristiwa yang tepat sama.“

Sementara itu Raden Rangga telah berkata dengan nada yang sangat dalam, “Dan aku pun pergi bersama putri yang ujudnya adalah ujud ibundaku.“

“Raden,“ berkata Glagah Putih kemudian, “bagaimanakah kiranya jika Raden berusaha untuk menemui ibunda Raden? Apakah Ibunda mempunyai sentuhan jiwani dengan peristiwa mimpi itu?“

“Tidak,“ jawab Raden Rangga, “pada mimpi-mimpiku yang terdahulu, Ibunda tidak pernah mendapat sentuhan perasaan sama sekali. Ibunda tidak pernah mengetahui apa yang terjadi atas diriku, dan tidak pernah mendapatkan isyarat apapun sebagaimana nampak di dalam mimpiku. Namun Ibunda adalah seorang yang terlalu pasrah pada keadaan, sehingga seakan-akan dirinya justru tidak bersikap sama sekali. Kosong.“

Orang-orang yang mendengar keterangan Raden Rangga itu termangu-mangu. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tiba-tiba saja teringat kepada seekor ular naga yang di dalam goa. Namun keduanya sama sekali tidak menyebutnya.

Bahkan Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Sudahlah Raden. Setiap orang mengalami mimpi. Kadang-kadang ada mimpi yang memberikan kesan yang baik, tetapi memang ada juga mimpi yang memberikan kesan kurang baik. Tetapi mimpi adalah mimpi. Sekarang, silahkan melanjutkan beristirahat. Kita masih mempunyai waktu sebelum kita harus berangkat menuju ke sasaran.“ Tetapi Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Memang kadang-kadang kita dapat mengabaikan mimpi-mimpi itu. Tetapi mimpiku yang tepat sama, sebagaimana kita hadir dalam satu peristiwa dalam dunia yang sama pula dengan Glagah Putih, bukan mimpi yang dapat dilupakan begitu saja.“

“Raden,“ berkata Kiai Gringsing, “memang yang terjadi adalah satu keanehan. Tetapi bukan untuk membuat kita gelisah tanpa berkesudahan. Marilah kita merenungkannya. Mungkin sesuatu akan nampak kepada kita. Lebih dari itu, marilah kita memohon petunjuk dari Yang Maha Agung. Apakah sebenarnya yang tersirat dari mimpi Raden yang juga dapat dilihat dalam mimpi Glagah Putih itu.“

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Barulah ia kemudian menjawab, “Baiklah Kiai. Hanya kepada Yang Maha Agung kita dapat bertanya. Karena sebenarnyalah kekerdilan penggraita kita, tidak akan banyak berarti untuk menghadapi rahasia terbentang di hadapan kehidupan kita.“

“Nah, Silahkan Raden. Mungkin dengan memusatkan nalar budi kita akan dapat menyentuh keberadaan-Nya, betapapun rendahnya martabat kita di hadapan-Nya,“ berkata Kiai Gringsing. Lalu, “Semoga Raden mendapat petunjuknya.“

Raden Rangga mengangguk. Iapun kemudian bergeser sambil berdesis, “Aku akan mempergunakan waktuku yang tersisa. Silahkan kalian tidur.”

Kiai Gringsing hanya dapat menarik nafas. Namun iapun kemudian telah bergeser. Demikian pula Ki Jayaraga, Sabungsari dan Glagah Putih. Ketika ketiganya kemudian berbaring, maka Raden Rangga pun telah memusatkan nalar budinya. Dengan sepenuh hati ia mencoba untuk menerawang kembali ke dalam mimpinya. Raden Rangga, sadar, bahwa ia belum lama tertidur ketika mimpi itu nampak di dalam tidurnya. Waktu yang pendek itu, rasa-rasanya bagaikan berlipat ganda panjangnya dalam peristiwa mimpinya.

Tetapi tidak banyak yang dapat ditemukan oleb Raden Rangga itu di dalam mimpinya kecuali kesan bahwa ia memang sudah harus mengikutinya, tanpa mengetahui siapakah penunggang kereta itu. Mungkin sekedar ujud sebagai lantaran kepergiannya. Karena lantaran kehadirannya adalah ibunya, maka lantaran kepergiannya pun ternyata adalah ujud yang sama. Atau sekedar isyarat akan kepergiannya itu dengan lantaran yang lain di dalam kehidupan wadagnya.

Namun yang dilakukan oleh Raden Rangga, seorang yang kadang-kadang hanya menuruti kesenangannya sendiri, tetapi kadang-kadang langkahnya yang dilandasi maksud baik telah membuatnya melakukan kesalahan, serta seorang yang hidup dalam masa remajanya sekaligus dalam tataran kematangan ilmu yang jarang ada bandingnya, membuatnya seseorang yang agak lain dengan orang-orang kebanyakan, apalagi seusianya yang muda itu, telah pasrah diri kepada kuasa dan keadilan Yang Maha Agung. Justru dalam penyerahan yang utuh itulah, maka Raden Rangga telah menemukan ketenangan. Dengan demikian maka Raden Rangga itu pun justru telah berbaring pula pada sisa malam itu.

Sabungsari, Glagah Putih dan kedua orang tua yang memperhatikan keadaan Raden Rangga itu, masih juga beium dapat tidur sama sekali. Mereka melihat, bagaimana Raden Rangga duduk tepekur, Namun kemudian mereka pun melihat Raden Rangga itu berbaring. Tetapi mereka masih belum tahu, apa yang telah terjadi di dalam diri anak muda itu.

Tetapi ternyata bahwa Raden Rangga telah tertidur lebih dahulu dari keempat orang yang lain itu. Kiai Gringsing hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengucap sukur bahwa Raden Rangga telah menemukan ketenangannya. Ternyata dengan nafasnya yang teratur serta sikapnya yang nampak pasrah itu, Raden Rangga benar-benar telah tertidur.

Di sisa waktu yang pendek itu, ternyata Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabungsari dan Glagah Putih pun sempat tidur barang sejenak. Namun mereka pun segera terbangun ketika mereka mendengar isyarat bagi para prajurit Mataram untuk bersiap-siap.

Ketika keempat orang itu terbangun, mereka melihat Raden Rangga telah duduk pula sambil menyilangkan tangan di dadanya.

“Raden telah bangun?“ bertanya Glagah Putih sambil mendekat.

Raden Rangga tersenyum sambil menyahut, “Sebagaimana kau lihat.“

“Apakah Raden bermimpi lagi?“ bertanya Glagah Putih pula.

“Tidak. Aku tidak bermimpi lagi,“ jawab Raden Rangga. Namun kemudian katanya, “Duduklah.“

Glagah Putih pun kemudian duduk di dekat Raden Rangga. Sementara itu, para prajurit Mataram telah mulai bersiap-siap untuk berangkat menuju ke sasaran, padepokan Nagaraga.

“Kita akan memasuki padepokan Nagaraga,“ berkata Raden Rangga, “satu tugas yang memang berat bagi Pamanda Pangeran Singasari.“

“Ya,“ jawab Glagah Putih, “kita akan benar-benar berhadapan dengan kekuatan yang besar. Ternyata Nagaraga memang sebuah padepokan yang kuat. Sebagaimana Raden melihatnya dalam mimpi, maka Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga telah melihatnya pula. Dinding-dinding yang membagi padepokan itu menjadi beberapa bagian. Sanggar yang jumlahnya sebanyak bagian yang ada, serta sanggar yang besar dan terbuka di bagian belakang.“

“Berhati-hatilah Glagah Putih,“ pesan Raden Rangga, “kau tidak boleh hilang dalam pertempuran itu.“

“Maksud Raden?“ bertanya Glagah Putih.

“Sudahlah, kau sebaiknya berbenah diri,” berkata Raden Rangga, “nanti kau ketinggalan. Pamanda Singasari tidak akan mau mendengar alasan apapun bagi mereka yang dianggapnya terlambat.“

Glagah Putih mengangguk kecil. Iapun kemudian meninggalkan Raden Rangga. Ketika ia masih melihat beberapa perwira yang pergi ke sebuah sungai kecil, maka iapun pergi juga untuk menyiram wajahnya agar menjadi semakin segar.

Pada saat yang ditentukan, semuanya ternyata sudah bersiap. Raden Rangga pun telah bersiap pula. Namun ketika Glagah Putih melihatnya, ia terkejut. Raden Rangga ternyata membelitkan sehelai kain putih di lehernya.

“Apa artinya itu Raden?“ bertanya Glagah Putih, “Raden Rangga tidak pernah mengenakan sehelai kain putih di leher seperti itu.“

“Aku telah mandi keramas di sebuah belik kecil di bawah pohon preh itu,“ berkata Raden Rangga.

“Pohon preh yang mana?“ Glagah Putih menjadi heran.

Raden Rangga menunjuk ke kejauhan. Tetapi Glagah Putih tidak melihat pohon itu, karena kegelapan masih meliputi padang perdu itu. Bahkan dengan mengingat-ingat, apakah kemarin atau hari-hari sebelumnya ia melihat pohon preh itu. Namun ia sama sekali tidak teringat, bahwa di sekitar tempat itu ada sebatang pohon preh.

Namun Glagah Putih tidak bertanya tentang pohon preh itu. Tetapi dengan cemas ia memperhatikan kain putih di leher Raden Rangga itu.

Raden Ranggapun agaknya menyadari, bahwa Glagah Putih selalu memperhatikan kain putih itu. Karena itu, maka katanya, “Jangan memandang aku seperti itu Glagah Putih. Pandanglah masa depanmu yang panjang. Banyak hal yang telah kita lakukan bersama. Namun selama ini agaknya ada hal yang tidak sempat kita nilai di antara yang pernah kita lakukan itu. Karena itu, maka usahakanlah waktu untuk menilainya. Yang baik, lakukanlah untuk seterusnya. Sementara yang kau anggap kurang baik, kau dapat meninggalkannya. Namun satu hal yang barangkali berarti bagimu adalah cara-cara menempa diri, sebagaimana pernah kita lakukan bersama.“

“Pesan Raden membuat aku menjadi semakin berdebar-debar,“ berkata Glagah Putih.

Tetapi Raden Rangga tertawa. Katanya, “Tidak ada yang perlu dicemaskan. Yang harus terjadi biarlah terjadi. Tidak seorangpun akan mampu melawannya.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sentuhan di hatinya terasa semakin kuat, bahwa isyarat di dalam mimpi itu merupakan isyarat yang pahit bagi Raden Rangga. Namun agaknya Raden Rangga memang sudah siap menghadapinya. Tanpa keluhan dan tanpa kecemasan sama sekali. Semuanya dijalaninya dengan tabah, dan lebih dari itu adalah pasrah.

Agaknya kedua anak muda itu tidak dapat berbincang lebih lama lagi. Mereka harus segera mempersiapkan diri ke dalam kelompoknya masing-masing. Sebentar lagi, pasukan itu akan berangkat.

Seperti yang sudah ditentukan, maka Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Glagah Putih, Sabungsari dan Raden Rangga berada di dalam kelompok yang dipimpin langsung oleh Pangeran Singasari. Karena itu maka mereka pun segera menempatkan dirinya di dalam kelompok itu.

Agaknya baru saat itu Pangeran Singasari bertemu langsung dengan Raden Rangga. Karena itu, maka iapun telah menyapanya, “Kau, Rangga.“

“Ya Pamanda. Aku sudah berada di tempat ini bersama Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga,“ jawab Raden Rangga.

“Aku sudah tahu. Dan sekarang kau berada di dalam kelompok yang aku pimpin langsung. Tetapi Kiai Gringsing tentu sudah memberitahukan kepadamu, bahwa setiap orang di dalam kelompokku harus menurut segala perintahku,“ berkata Pangeran Singasari.

“Aku mengerti Paman,“ jawab Raden Rangga.

“Bagus,“ berkata Pangeran Singasari. Lalu katanya, “Mudah-mudahan kau pun mengalami perkembangan. Kau menjadi semakin besar, bahkan menjadi dewasa. Jika kau masih saja menuruti keinginan dan kesenanganmu sendiri, kau akan menjadi anak muda yang tidak berarti, betapapun kau memiliki ilmu yang tinggi.“

Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar Raden Rangga menjawab, “Aku mengerti Paman.“

“Jika demikian, maka kau akan ikut bersamaku. Tetapi berhati-hatilah. Kita memasuki sebuah padepokan yang gawat. Kau jangan mengira bahwa kau memiliki ilmu yang tidak terkalahkan. Bagaimanapun juga kau masih terhitung kanak-kanak di dalam dunia kanuragan,“ berkata Pangeran Singasari.

Raden Rangga pun mengangguk hormat sambil menjawab, “Ya Paman.“

“Bagus. Kau beritahu juga kawanmu itu. Karena ia sudah lama bersamamu, mungkin sifat-sifatmu telah menjalar kepadanya juga.“

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun sambil berpaling kepada Glagah Putih iapun menjawab, “Ya Paman.“

Pangeran Singasari tidak berbicara lagi dengan Raden Rangga. Iapun kemudian memanggil beberapa orang senapatinya dan memerintahkan seluruh pasukan bersiap.

Seperti yang telah ditentukan, maka pasukan itu dibagi menjadi enam kelompok. Ditambah dengan satu kelompok khusus yang dipimpin oleh Pangeran Singasari sendiri. Semua perwira dan prajurit yang telah diperintahkan untuk ikut serta memasuki padepokan itu. Yang diperhitungkan sebagai pasukan cadangan adalah kelompok khusus itu sendiri, meskipun Pangeran Singasari berhasrat untuk dapat bertemu langsung dengan pemimpin padepokan Nagaraga.

Ketika pasukan itu sudah siap seluruhnya, maka Pangeran Singasari memerintahkan pasukan itu untuk bergerak. Empat petugas sandi yang pernah melihat padepokan Nagaraga sebelumnya harus berjalan di paling depan. Tiga kelompok mengikuti dua di antara petugas sandi itu, sementara yang tiga kelompok mengikuti dua orang yang lain. Mereka akan memasuki padepokan itu dari arah yang berbeda-beda. Karena seperti yang diperintahkan oleh Pangeran Singasari, setiap kelompok akan memasuki tiap bagian dari padepokan itu. Menurut perhitungan, maka di setiap bagian itu tentu terdapat seorang yang sudah diberi wewenang oleh pemimpin tertinggi padepokan Nagaraga untuk menempa murid-murid mereka sendiri.

Sementara itu, Pangeran Singasari dan kelompoknya akan memasuki padepokan itu lewat pintu gerbang. Ia berharap bahwa pemimpin tertinggi padepokan itu ada di bangunan induk yang ada di bagian depan padepokan itu, sehingga jika mereka memasuki padukuhan induk lewat pintu gerbang, maka mereka akan mencapai bangunan induk itu.

Dengan hati-hati pasukan itu mulai bergerak. Ketika Kiai Gringsing mengangkat wajahnya, maka dilihatnya warna semburat merah mulai membayang di langit.

“Sebenarnyalah Pangeran Singasari tepat berpegangan pada rencana yang sudah disusun,“ berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.

Jarak antara perkemahan itu sampai ke sasaran memang tidak terlalu jauh. Tetapi kedua tempat itu rasa-rasanya memang terpisah.

Dengan penuh kewaspadaan Pangeran Singasari memimpin pasukannya mendekati padepokan Nagaraga yang besar namun yang bagaikan masih tertidur lelap.

Sebenarnyalah bahwa padepokan Nagaraga masih tertidur. Tetapi bukan berarti tidak ada yang terbangun di antara mereka. Para petugas tetap pada tempatnya masing-masing, mengamati keadaan dengan saksama.

Ketika pasukan Mataram mendekati padepokan itu, maka Pangeran Singasari pun telah memberikan isyarat agar pasukan segera berbagi.

Semakin dekat mereka dengan padepokan itu, maka Pangeran Singasari pun menjadi semakin yakin akan kebenaran laporan para petugas sandinya. Segala macam ciri-ciri dan pertanda sebagaimana dikatakannya, telah dijumpai pula oleh pasukan itu.

Tiga kelompok dari pasukan Mataram itu telah melingkari padepokan itu, sementara tiga yang lain mengambil arah yang berbeda. Sedangkan Pangeran Singasari langsung menuju ke pintu gerbang.

Namun pasukan Mataram itu terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar suara yang bergaung di dalam goa tidak jauh dari padepokan yang mulai dikepung itu. Semakin lama menjadi semakin keras. Terputus-putus tetapi memberikan kesan yang menyeramkan.

“Ular itu,“ desis Kiai Gringsing.

“Apakah ular itu lapar lagi?“ berbisik Ki Jayaraga.

“Tidak mungkin. Biasanya ular itu makan dalam jarak waktu yang cukup lama,“ sahut Kiai Gringsing. “Agaknya ada maksud lain dari ular itu. Apakah benar ular itu dapat memberikan isyarat?“

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak sempat mengatakan sesuatu, ketika Pangeran Singasari segera memberikan isyarat untuk bergerak. Seseorang telah melepaskan panah sendaren yang segera bergaung di udara.

“Ternyata Pangeran Singasari cepat mengambil keputusan,“ bisik Kiai Gringsing, “satu sikap yang terpuji dari seorang panglima dalam keadaan seperti ini.“

“Ya,“ sahut Ki Jayaraga, “jika Pangeran Singasari terlambat, maka akibatnya akan berbeda.“

Raden Rangga yang berdiri dekat di belakang Kiai Gringsing telah berdesis pula, “Aku tidak mengira bahwa Pamanda memiliki ketajaman panggraita seperti ini. Mudah-mudahan kecepatannya mengambil sikap ini akan menolong seluruh pasukan.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk sambil berkata, “Ya Raden. Agaknya kita telah berpacu dengan waktu.“

Sebenarnyalah bahwa pada saat itu seisi padepokan memang telah terbangun. Suara ular naga di dalam goa itu telah membangunkan semua penghuni padepokan itu. Bukan saja sekedar terbangun, tetapi mereka seakan-akan telah menangkap satu isyarat, bahwa padepokan itu akan diterkam bahaya.

Pada saat yang demikian, maka para pemimpin yang ada di dalam padepokan itu telah melontarkan perintah-perintah. Suara ular itu mendera mereka untuk bertindak dengan cepat.

Namun ternyata mereka telah dikejutkan pula oleh suara panah sendaren yang terbang di atas padepokan itu. Panah sendaren yang memberikan perintah kepada para prajurit Mataram untuk segera menyerang.

Kedua belah pihak memang bertindak cepat. Namun ternyata pasukan Mataram yang memang terlatih, apalagi yang terdiri sebagian besar dari para perwira, telah berloncatan masuk. Mereka terbagi menjadi kelompok-kelompok yang langsung menuju sasaran sebagaimana telah diberikan pengarahan oleh Pangeran Singasari.

Para senapati yang memimpin kelompok-kelompok itu pun telah berada di lingkungan sebagaimana ditentukan. Ternyata tidak banyak perbedaan antara petunjuk yang mereka dengar dari Pangeran Singasari sebagai hasil laporan para petugas sandi yang datang sebelumnya, dengan kenyataan yang mereka hadapi.

“Laporan yang cermat,“ berkata para senapati itu di dalam hatinya setelah mereka berada di dalam padepokan itu.

Dengan kelompok yang kecil, maka pasukan Mataram itu pun segera mengambil langkah-langkah sebagaimana direncanakan. Setiap pemimpin kelompok berusaha untuk mendapatkan inti kekuatan dari penghuni padepokan itu di setiap bagian.

Dengan bekal yang diberikan oleh Pangeran Singasari, maka para senapati itu pun segera menempatkan dirinya untuk menghadapi kekuatan di padepokan itu.

Kehadiran pasukan Mataram yang tiba-tiba itu memang mengejutkan. Isyarat yang dilontarkan oleh ular naga di dalam goa itu memang banyak menolong. Tetapi kecepatan gerak pasukan Mataram telah mendahului merebut waktu yang sangat berharga itu. Apalagi orang-orang padepokan Nagaraga itu tidak mengira bahwa pasukan Mataram akan bergerak secepat itu.

Dalam waktu yang singkat, di enam bagian dari padepokan itu telah terjadi pertempuran yang sengit. Seperti yang diperhitungkan, ba hwa disetiap bagian itu merupakan perguruan-perguruan kecil yang terpisah, meskipun masih tetap di bawah kuasa pemimpin tertinggi dari perguruan Nagaraga.

Kecepatan bergerak para prajurit Mataram memang banyak memberikan keuntungan. Apalagi para prajurit Mataram di bawah pimpinan Pangeran Singasari itu tidak merasa ragu untuk bertindak. Bagi Mataram, Nagaraga adalah sebuah perguruan yang tidak pantas untuk diampuni. Mereka sudah mencoba untuk langsung membunuh Panembahan Senapati. Bagi Pangeran Singasari, Nagaraga memang sudah memberontak dan pantas dihukum. Meskipun demikian, para senapati yang memasuki lingkungan yang terpisah-pisah itu masih juga mempergunakan kesempatan untuk meneriakkan perintah agar orang-orang Nagaraga menyerah.

“Lepaskan senjata kalian!“ teriak para senapati itu, “Siapa yang menyerah akan mendapat kesempatan untuk hidup. Tetapi yang mengeraskan hatinya, akan dihukum mati dalam pertempuran ini.“

Tetapi orang-orang Nagaraga tidak menghiraukannya. Mereka telah siap melawan pasukan Mataram dengan sekuat-kuat kemampuan yang ada di Nagaraga. Apalagi menurut penglihatan mereka, jumlah pasukan Mataran memang tidak terlalu banyak. Dengan demikian maka pertempuran pun telah membakar seisi padepokan itu.

Dengan kemenangan waktu yang sedikit, maka pasukan Mataram telah berhasil menggertak lawan pada gerakan pertama. Para perwira Mataram itu telah berhasil dengan cepat melukai beberapa orang lawan. Tetapi ternyata bahwa jumlah lawan memang lebih banyak dari jumlah prajurit Mataram yang memasuki padepokan itu.

Sementara itu Pangeran Singasari masih berada di luar regol. Ketika pertempuran berkobar di seluruh sudut padepokan itu, maka matahari pun mulai naik dan menerangi langit dan bumi.

Pangeran Singasari masih menunggu sesaat. Jika salah satu kelompok pasukannya mengalami kesulitan, kelompok itu harus segera memberikan isyarat, meskipun Pangeran Singasari sudah memerintahkan bahwa setiap kelompok harus berusaha mengatasi kesulitan mereka masing-masing. Namun jika mereka memang menghadapi satu kenyataan, maka mereka memang harus memberikan laporan lewat isyarat.

Tetapi agaknya pasukan Mataram tidak ada yang segera menghadapi kesulitan, sehingga karena itu, maka Pangeran Singasari pun telah mengambil keputusan untuk melakukan rencananya. Ia akan memasuki padepokan itu lewat pintu gerbang dan berusaha menemui pemimpin tertinggi padepokan Nagaraga. Jika pemimpin tertinggi itu bersedia menyerah, maka ia akan dibawa ke Mataram. Tetapi jika tidak, maka Pangeran Singasari mendapat wewenang untuk menyelesaikannya.

Namun dalam pada itu, para prajurit Mataram memang merasa terganggu oleh suara yang bergaung namun terputus-putus itu. Suara itu kadang-kadang terdengar lambat, namun kadang-kadang memekik serasa menusuk jantung. Gaung yang patah-patah itu bergulung-gulung memenuhi udara padepokan Nagaraga dan menggetarkan setiap dada para prajurit Mataram.

Sabungsari juga merasa terganggu oleh suara itu. Karena itu iapun berdesis, “Bagaimana mungkin seekor ular dapat meneriakkan suara seperti itu?“

“Ular itu berada dalam goa,“ desis Kiai Gringsing, “tentu ruang di dalam goa itu cukup luas. Atau goa itu telah terbentuk oleh kekuatan alam menjadi sebuah goa yang memungkinkan suara yang keras di dalamnya dapat bergaung seperti itu. Karena di tempat lain ada goa yang dapat menggetarkan angin yang bertiup sehingga suaranya sampai ke tempat yang jauh.“

“Ya,“ sahut Ki Jayaraga, “goa yang disebut Susuhing Angin, adalah goa yang mempunyai mulut menghadap ke atas di sebuah bukit kecil, sementara perut goa itu terdiri dari ruang yang luas. Jika angin bertiup, maka goa itu akan menjadi sebuah seruling raksasa, meskipun hanya mengeluarkan satu jenis nada.“

Sabungsari mengangguk-angguk. Namun suara ular naga itu bukan sekedar mengganggu pendengaran. Tetapi seakan akan digetarkan oleh kekuatan ilmu yang mampu mengguncang isi dada.

Namun mereka tidak sempat berbicara terlalu lama. Pangeran Singasari segera memberi isyarat kepada orang-orang di dalam kelompoknya untuk mendekat.

“Tidak ada penjaga di atas pintu gerbang,“ berkata Pangeran Singasari kepada senapati kepercayaannya, “orang-orang perguruan ini menyangka bahwa semua orang Mataram telah memasuki padepokan.”

“Kita akan memasuki pintu gerbang itu,“ sahut senapati itu.

“Ya. Tetapi berhati-hatilah. Mungkin di belakang pintu gerbang itu menunggu kekuatan yang besar yang memang sengaja menjebak kita,“ berkata Pangeran Singasari.

Namun dalam pada itu Raden Rangga pun berkata, “Apakah tidak sebaiknya kita melihat dahulu?“

Pangeran Singasari memandangnya dengan kerut di dahi. Namun iapun bertanya, “Melihat bagaimana maksudmu?“

“Jika Pamanda memerintahkan kepadaku, maka aku akan memanjat dinding dan melihat, apakah ada kekuatan itu di belakang gerbang,“ jawab Raden Rangga.

“Apakah kau akan mencoba? Tetapi atas tangung jawabmu sendiri jika kepalamu disambar senjata atau lontaran ilmu dari dalam,“ geram Pangeran Singasari.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai mengagumi Pangeran Singasari atas ketepatannya memperhitungkan waktu, sehingga perintahnya untuk menyerang diberikan tepat pada waktunya. Namun sikap kepada Raden Rangga membuatnya kecewa. Seharusnya ia bersikap sebagai seorang panglima. Boleh atau tidak boleh.

Namun seperti yang diduga oleh Kiai Gringsing, maka Raden Rangga pun menjawab, “Jika Pamanda tidak melarang, baiklah, aku akan melihatnya.“

Pangeran Singasari memang nampak ragu-ragu. Namun akhirnya iapun berkata, “Sudah aku katakan, terserah kepadamu.“

Raden Rangga tersenyum. Iapun kemudian melangkah mendekati pintu gerbang. Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing telah maju mendekati Pangeran Singasari sambil berkata, “Pangeran. Yang dilakukan oleh Raden Rangga itu sangat berbahaya.”

“Itu tanggung jawabnya sendiri,“ jawab Pangerah Singasari.

“Aku mohon Pangeran melarangnya,“ berkata Kiai Gringsing.

Pangeran Singasari memang merenungkan pendapat itu. Tetapi ternyata bahwa sudah terlambat untuk mencegah. Raden Rangga sudah berada dekat di muka pintu gerbang. Dengan hati-hati Raden Rangga mendekati dinding padepokan itu di sebelah pintu gerbang. Kemudian ia mulai menengadahkan kepalanya untuk melihat bibir dinding padepokan itu. Ketika ia memandang ke arah Kiai Gringsing, ia melihat Kiai Gringsing itu melambaikan tangannya. Namun Raden Rangga justru hanya tersenyum saja.

“Pangeran,“ berkata Kiai Gringsing, “apakah aku boleh mendekat?“

“Kau tetap di sini,“ jawab Pangeran Singasari, “kehadiran beberapa orang di pintu gerbang, mungkin akan mempunyai akibat yang merugikan.“

“Aku akan berusaha untuk tidak menimbulkun akibat apapun,“ berkata Kiai Gringsing, “juga atas tanggung jawabku sendiri, sebagaimana Raden Rangga.“

Pangeran Singasari mengerutkan keningnya. Namun Pangeran Singasari itu pun kemudian ternyata menganggukkan kepalanya.

Kiai Gringsing memang menjadi semakin tidak mengerti sifat kepemimpinan Pangeran Singasari. Tetapi ia memang merasa perlu untuk mendekati Raden Rangga. Dengan tergesa-gesa Kiai Gringsing melangkah menuju ke pintu gerbang pula. Tetapi ternyata bahwa Raden Rangga telah berusaha untuk meloncat. Tangannya menggapai bibir dinding padepokan itu di sebelah pintu gerbang. Perlahan-lahan Raden Rangga menarik tubuhnya ke atas.

Memang satu sikap yang sulit sekali dilakukan oleh orang lain. Tetapi Raden Rangga dapat melakukannya. Perlahan-lahan tubuhnya memang terangkat, sementara kakinya tidak berjejak pada dinding padepokan itu. Tetapi Raden Rangga memang harus berhati-hati. Perlahan-lahan kepalanya terjulur di atas dinding padepokan.

Jantung Raden Rangga memang berdesir, Ia melihat beberapa orang yang bersiap berdiri di halaman padepokan itu menghadap ke arah pintu gerbang. Agaknya mereka sudah mengerti, bahwa sekelompok prajurit Mataram akan memasuki padepokan itu lewat pintu gerbang itu.

Raden Rangga memperhatikan orang-orang itu sejenak. Di antara mereka terdapat seorang yang sudah mendekati masa senjanya, sebagaimana KiaiGringsing. Tetapi seperti juga Kiai Gringsing, orang itu masih nampak kokoh dan matanya memancarkan ketajaman ilmunya.

Raden Rangga memang terkejut ketika tiba-tiba saja orang itu berpaling kepadanya. Dengan tatapan matanya yang tajam itu, ia memandang kepadanya.

“Nah,“ berkata orang itu, “aku memang menunggumu Anak Muda. Ternyata kau adalah anak muda yang berani, tetapi tidak mempunyai penalaran yang jernih. Aku sudah mengira bahwa kau akan mengintip dengan caramu itu. Namun dengan demikian aku tahu, bahwa kau memang mempunyai kelebihan dari orang lain. Tidak banyak orang dapat melakukan sebagaimana kau lakukan. Tetapi karena kau sudah melanggar hakku, maka kau harus mati. Terimalah nasibmu yang malang itu Anak Muda.“

Raden Rangga menyadari, bahwa ia akan mendapat serangan yang dahsyat dari orang itu. Karena itu, maka iapun telah berada dalam puncak kemampuannya pula. Tetapi demikian cepatnya orang itu mengangkat tangannya, telapak tangannya yang terbuka mengarah kepadanya. Raden Rangga hampir tidak mempunyai waktu. Ia memang dengan serta merta menelusur turun. Tetapi sambaran ilmu orang itu benar-benar dahsyat sekali.

Kecepatan gerak Raden Rangga pun telah mengherankan pula bagi orang tua itu. Demikian cepatnya anak itu tanggap akan keadaan. Namun sambaran yang meluncur selapis daun di atas dinding itu benar-benar telah menggetarkan setiap hati. Udara yang bergetar karena serangan itu, telah melemparkan Raden Rangga, sehingga Raden Rangga itu pun telah diterbangkan beberapa langkah. Namun untunglah, bahwa yang mengalami serangan itu adalah Raden Rangga. Demikian ia terlontar, maka ia masih sempat berputar di udara dan jatuh di atas kedua kakinya. Namun untuk sesaat Raden Rangga harus berjuang untuk memantapkan keseimbangan tubuhnya sehingga Raden Rangga itu tidak terjatuh karenanya.

Pangeran Singasari dan para prajurit Mataram terkejut. Bahkan Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabungsari dan Glagah Putih pun terkejut pula. Namun mereka pun kemudian menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat Raden Rangga masih berdirj tegak.

“Gila,“ geram Raden Rangga, “ikat kepalaku.“

Ikat kepala Raden Rangga jatuh beberapa langkah dari padanya.

Sementara itu Pangeran Singasari pun menjadi berdebar-debar. Jika bukan Raden Rangga, maka mungkin sekali kepala anak itu sudah terlepas, terbawa oleh sambaran ilmu yang meluncur dengan dahsyatnya itu.

“Satu contoh ilmu yang luar biasa,“ desis Kiai Gringsing yang sudah berdiri selangkah di sebelah Raden Rangga.

Raden Rangga pun menarik nafas dalam-dalam. Terasa jantungnya masih berdebaran oleh serangan maut yang hampir saja membakar rambutnya.

Sambil melangkah memungut ikat kepalanya Raden Rangga berkata, “Ada beberapa orang di halaman.“

“Kita melaporkannya kepada Pangeran Singasari,“ berkata Kiai Gringsing.

Sambil mengenakan ikat kepalanya, maka Raden Rangga dan Kiai Gringsing pun melangkah mendekati Pangeran Singasari.

“Hampir saja kepalamu diremukkannya,“ desis Pangeran Singasari. “Karena itu, kau jangan terlalu sombong. Meskipun yang kau lakukan itu adalah tanggung jawabmu sendiri, tetapi jika kepalamu benar-benar hancur, maka kau akan menjadi korban yang pertama dari pasukan ini. Bukan karena perintahku. Tetapi karena keinginanmu yang tidak terkendali,“ berkata Pangeran Singasari kemudian.

Raden Rangga itu mengerutkan dahinya. Tetapi sebelum ia menjawab Kiai Gringsing berkata mendahuluinya, “Raden memang agak tergesa-gesa. Tetapi bersyukurlah, bahwa Raden selamat.“

Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Bersyukurlah bahwa aku selamat. Untung pula kiranya karena agaknya pemilik padepokan itu tidak mau merusakkan dinding padepokannya. Jika ia merendahkan serangannya sedikit saja dan membiarkan bibir dinding padepokannya ikut pecah, maka aku kira tubuhku memang telah diremukkannya.“

“Cukup,“ geram Pangeran Singasari, “seharusnya kau menyesalinya. Bukan justru menjadi suatu kebanggaan.”

Raden Rangga memandang wajah pamandanya dengan tatapan mata yang aneh. Namun kemudian ia hanya dapat menarik nafas.

Kiai Gringsing yang berdiri di sebelahnya masih menunggu. Ia memang mengharap Raden Rangga melaporkan hasil penglihatannya. Tetapi ternyata Raden Rangga hanya diam saja sambil menundukkan kepalanya.

Yang kemudian justru bertanya adalah Pangeran Singasari, “Nah, apakah yang kau lihat di belakang pintu gerbang?“

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia berpaling kepada Kiai Gringsing. Namun agaknya Kiai Gringsing tanggap akan maksud anak nakal itu. Ternyata Raden Rangga memang tidak mau melaporkannya. Ia menunggu Pangeran Singasari bertanya kepadanya.

“Pamanda,“ berkata Raden Rangga, “aku memang ingin memberikan laporan itu. Mudah-mudahan berarti bagi pasukan Mataram, bukan sekedar memenuhi kesenanganku sendiri.“

“Cukup,“ geram Pangeran Singasari, “katakan.“

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian memang mengatakan apa yang dilihatnya di belakang pintu gerbang yang tertutup itu.

Pangeran Singasari termangu-mangu sejenak. Tetapi tidak ada pilihan lain baginya, kecuali harus memasuki pintu gerbang itu.

Sebagai adik Panembahan Senapati, maka Pangeran Singasari memang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi kematangan ilmunya masih berada di bawah tataran Panembahan. Bahkan kelengkapan ilmunyapun masih harus ditingkatkannya. Meskipun demikian Pangeran Singasari adalah seorang pangeran yang disegani.

“Kita akan memecahkan pintu gerbang ini,“ berkata Pangeran Singasari.

“Tetapi harus dengan sangat berhati-hati,“ desis Kiai Gringsing.

Pangeran Singasari mengerutkan keningnya. Ia memang tidak begitu senang terhadap orang yang dianggapnya mengguruinya. Namun ia harus menahan diri terhadap Kiai Gringsing, karena ia sadar, bahwa Kiai Gringsing adalah orang yang berilmu sangat tinggi.

Bagaimanapun juga Pangeran Singasari adalah seorang yang menghargai penalarannya. Ia harus mengakui kenyataan, bahwa di dalam pintu gerbang itu terdapat setidak-tidaknya seorang yang berilmu sangat tinggi. Orang yang telah menyerang Raden Rangga. Mungkin ia dapat menempatkan diri menghadapi orang itu tanpa menentukan apakah ia akan menang atau kalah. Tetapi jika ada orang lain yang memiliki kemampuan yang tinggi pula, maka ia memang memerlukan Kiai Gringsing.

“Aku tidak akan mampu melawan dua orang berilmu tinggi sekaligus,“ berkata Pangeran Singasari di dalam hatinya.

Sesaat Pangeran Singasari masih memandang pintu gerbang padepokan yang kokoh itu, Namun ia memang tidak ingin tergesa-gesa mengambil langkah, tetapi salah.

Namun dalam pada itu, suara ular naga yang berada di dalam goa itu yang untuk beberapa saat agak menurun, tiba-tiba terdengar lagi, bergaung semakin keras, terputus-putus. Seakan-akan dengan sengaja menghentak-hentak jantung, sehingga rasa-rasanya akan terlepas dari tangkainya.

Para perwira dan prajurit serta orang-orang yang berada di dalam kelompok khusus yang dipimpin langsung oleh Pangeran Singasari itu masih menunggu. Sementara itu, di bagian-bagian yang terpisah-pisah di dalam padepokan itu, pertempuran berlangsung semakin lama semakin sengit. Para prajurit Mataram telah berjuang atas nama kebesaran nama Panembahan Senapati yang telah diancam hidupnya oleh perguruan Nagaraga itu. Dengan demikian maka para prajurit Mataram itu benar-benar bertempur dengan garangnya. Namun senapati yang memimpin kelompok-kelompok kecil itu masih meneriakkan peringatan, “Menyerah atau kita hancurkan sampai lumat.”

Namun orang-orang perguruan Nagaraga itu memang tidak ingin menyerah. Dengan demikian maka para prajurit Mataram benar-benar berusaha untuk menghancurkan padepokan itu.

Tetapi kegarangan prajurit Mataram itupun tertahan oleh kekuatan yang ternyata cukup besar di padepokan itu. Di setiap bagian dari padepokan itu, seperti yang diperhitungkan, memang dipimpin oleh seorang murid yang sudah memiliki ilmu yang cukup, sehingga mereka berhak untuk membangun perguruan sendiri. Namun karena mereka masih harus berada di bawah pengawasan, maka perguruan-perguruan itu dihimpun menjadi satu di dalam lingkungan padepokan Nagaraga. Karena itulah, maka di setiap bagian dari padepokan itu, terdapat paling sedikit seorang yang berilmu tinggi.

Menghadapi kekuatan tertinggi di setiap bagian dari padepokan itu, maka senapati yang memimpin kelompok-kelompok itu tidak dapat bertempur seorang diri. Hal itu memang sudah diperingatkan oleh Pangeran Singasari. Pada umumnya murid terdekat dan apalagi yang dianggap sudah mampu berdiri sendiri, tentu memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, maka setiap senapati telah menugaskan sedikitnya seorang perwira untuk bertempur bersamanya menghadapi pemimpin dari bagian padepokan itu.

Salah satu di antara bagian-bagian yang terpisah di dalam padepokan Nagaraga itu dipimpin oleh seorang yang masih terhitung muda. Seorang yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan. Ketika pasukan Mataram mulai menyerang lingkungan yang dipimpinnya, maka iapun dengan tergesa-gesa keluar dari pondoknya. Seorang yang berambut putih berkata kepadanya, “Putut Paksi. Berhati-hatilah. Mataram nampaknya tidak dapat mengekang dirinya lagi.”

Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu pun berkata, “Jangan cemas Paman. Biarlah aku membantai mereka.“

Dengan tidak menunjukkan kecemasan sama sekali, orang itu pun kemudian turun ke medan. Ketika senapati yang memimpin kelompok pasukan Mataram di bagian padepokan yang dipimpin oleh Putut Paksi itu melihatnya, maka iapun langsung menempatkan diri untuk menghadapinya.

Demikian keduanya terlibat dalam pertempuran, maka segera terasa bahwa senapati yang memimpin kelompok itu tidak akan mampu menghadapinya seorang diri. Karena itu, maka iapun segera memberikan isyarat kepada perwira kepercayaannya yang memang sudah dipersiapkannya.

Bersama perwira itu, maka keduanya telah berusaha untuk mematahkan perlawanan Putut Paksi yang berilmu tinggi itu. Namun hal itu tidak mudah dilakukannya. Ternyata melawan dua orang perwira terpilih yang dikirim oleh Mataram, Putut Paksi itu tidak merasa kesulitan. Namun murid-murid Nagaraga yang diserahkan di bawah bimbingannya serta para cantrik agaknya memang harus bekerja keras untuk melawan para perwira dari Mataram. Bahkan karena para prajurit Mataram dibekali pengertian, bahwa Nagaraga telah melakukan kesalahan yang terlalu besar, maka para prajurit Mataram itupun telah bertindak dengan keras pula. Namun orang-orang Nagaraga pun telah mengimbanginya pula. Para pemimpin yang diserahi memimpin bagian-bagian dari padepokan itu pun kemudian telah berjuang untuk mempertahankan padepokannya.

Karena mereka adalah murid-murid terpilih dari perguruan Nagaraga, maka pada umumnya mereka memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi para perwira Mataram yang juga terpilih telah melawannya dalam kelompok-kelompok. Sementara yang lain telah berusaha untuk menahan perlawanan para cantrik dan murid-murid Nagaraga yang diserahkan bimbingannya kepada para Putut itu.

Dengan demikian, maka pergolakan di seluruh padepokan itu semakin lama menjadi semakin keras. Dua kekuatan yang mempunyai latar belakang kemampuan ilmu yang berbeda. Para prajurit Mataram lebih banyak berlatih dalam kesatuan-kesatuan masing-masing, sehingga mereka memiliki kemampuan yang tinggi dalam perang gelar dan perang dalam kelompok-kelompok tertentu. Namun orang-orang padepokan lebih banyak mempercayakan kemampuan mereka pada kemampuan perseorangan.

Ketika pertempuran itu berkobar besar di dalam padepokan, maka Pangeran Singasari telah siap untuk memasuki padepokan itu lewat pintu gerbang. Dengan kesadaran sepenuhnya bahwa di belakang pintu gerbang itu terdapat orang-orang yang berilmu tinggi, maka Pangeran Singasari telah siap untuk menghancurkan pintu gerbang itu. Tidak dengan kekuatan wajar, tetapi dengan ilmunya yang tinggi.

“Kita akan mendekat,“ berkata Pangeran Singasari, “kita akan bersama-sama menghantam pintu gerbang itu. Namun kemudian dengan cepat kita harus menghindar ke samping. Orang-orang yang ada di dalam padepokan itu tentu akan dengan cepat menyerang dari dalam.“

Tidak ada seorang pun yang bertanya. Mereka sudah tahu apa yang kira-kira akan terjadi. Beberapa orang itu akan menghantam pintu gerbang dengan lambaran ilmu mereka. Demikian pintu itu pecah, maka orang-orang yang ada di dalam dinding itu akan segera menyerang mereka dari jarak tertentu.

Dengan demikian maka orang-orang yang akan memecahkan pintu gerbang itu pun harus menyiapkan dirinya baik-baik. Mereka harus mampu bergerak cepat. Meloncat, menghantam dinding itu dengan kekuatan ilmu mereka, dan kemudian meninggalkan dengan cepat pula, sehingga mereka akan terlepas dari serangan yang dahsyat sebagaimana telah dilakukan atas Raden Rangga.

Namun ketika mereka mulai bergerak, maka tiba-tiba Raden Rangga berdesis, “Pamanda, eh, apakah aku boleh menyampaikan pendapat?“

Pangeran Singasari ragu-ragu. Namun akhirnya ia berkata, “Katakan, cepat. Aku tidak mempunyai banyak waktu.“

Raden Rangga memang agak ragu-ragu. Namun iapun kemudian memaksa diri untuk berkata, “Pamanda. Apakah Pamanda tidak mencoba untuk memecahkan pintu gerbang itu tanpa harus mendekat? Bukankah dari jarak lima enam langkah agak ke samping, Pamanda akan dapat memecahkan pintu gerbang itu dengan kemampuan ilmu yang ada? Sebagaimana Pamanda lihat, serangan yang dilontarkan oleh orang yang ada di dalam dinding padepokan itu sangat berbahaya. Jika Pamanda mencoba memecahkan pintu gerbang itu dengan sentuhan wadag, dan bersamaan dengan itu orang-orang yang ada di dalam dinding padepokan itu melepaskan serangan, maka mungkin sekali akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.“

Pangeran Singasari mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian menjawab, “Kau sangka aku tidak memperhitungkan hal itu? Karena itu, minggirlah. Kami akan memecahkan pintu gerbang itu dan dengan cepat menghindar. Kau tidak usah ikut, agar kau tidak justru mengganggu. Aku dan para senapati-lah yang akan melakukannya.“

“Tetapi Pamanda, orang-orang di belakang pintu gerbang itu seakan-akan melihat, apa yang kita lakukan di sini. Mereka akan dapat menghitung waktu dengan tepat, justru pada saat Pamanda dan para senapati menghantam pintu gerbang,“ berkata Raden Rangga.

“Omong kosong,“ jawab Pangeran Singasari, “mereka tidak melihat kita. Mereka tentu memerlukan waktu barang sekejap untuk menyiapkan serangannya. Sementara itu, kita sudah berguling menyingsing.“

“Tetapi bukankah ternyata bahwa orang itu seakan-akan melihat aku menjenguk dinding padepokan itu?“ berkata Raden Rangga kemudian.

“Ia dapat menyebut setelah ia melihat kau. Ia dapat memperhitungkan apa yang sudah kau lakukan. Bukan karena ia melihatmu dengan menembus dinding!“ bentak Pangeran Singasari.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tetapi keterangan pamannya itu memang masuk akal. Karena itu, maka Raden Rangga itu tidak berbicara lagi.

Pangeran Singasari yang tertahan sejenak itu berdesis, “Rangga. Aku peringatkan sekali lagi, bahwa kau hanya boleh berbuat sesuatu atas perintahku.“

Raden Rangga mengangguk hormat sambil menjawab, “Baik Pamanda.“

Pangeran Singasari tidak menghiraukannya lagi. Bersama dengan dua orang senapati terpilihnya maka iapun mendekat pintu gerbang itu selangkah demi selangkah.

“Kenapa Paman tidak mempergunakan ilmunya untuk memecahkan pintu gerbang itu dari jarak tertentu? Menurut sepengetahuanku Pamanda memiliki kemampuan untuk melakukannya,“ desis Raden Rangga kepada Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian berbisik, “Mungkin Pangeran Singasari ragu-ragu, apakah kekuatan ilmunya mampu memecahkan pintu gerbang itu. Sementara itu Pangeran Singasari tidak mau merendahkan dirinya, minta bantuan kita.“

Namun Raden Rangga itu pun berkata, “Tetapi aku tetap mencemaskan keselamatan Pamanda Singasari.“

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun berkata, “Kita harus berbuat sesuatu.“

“Apa?“ bertanya Raden Rangga.

Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia berpaling ke arah para senapati dan prajurit Mataram yang menunggu dengan tegang. Sementara Pangeran Singasari dan dua orang senapati terpilih yang memiliki ilmu yang tinggi melangkah semakin dekat dengan pintu gerbang.

Sementara itu, Raden Rangga menjadi semakin gelisah.. Pintu gerbang itu terbuat dari papan yang tebal. Namun pada sambungannya terdapat celah-celah yang dapat dipergunakan untuk mengintip keluar. Seandainya orang-orang yang ada di dalam pintu gerbang itu tidak dapat mengetahui yang terjadi di luar, maka lewat celah-celah pintu itu, seseorang akan dapat mengintip dan memberikan isyarat, kapan orang-orang di belakang pintu gerbang itu harus melepaskan ilmunya.

“Kiai, Pamanda hampir meloncat,“ desis Raden Rangga.

Kiai Gringsing pun kemudian berpaling ke arah Ki Jayaraga. Katanya, “Ki Jayaraga. Mungkin kau memiliki kemampuan lebih baik untuk melontarkan ilmu pada jarak yang agak jauh. Lakukan bersama dengan Raden Rangga, Sabungsari dan Glagah Putih.“

“Pintu gerbang?“ bertanya Ki Jayaraga.

“Bukan. Tetapi dinding padepokan di sebelah pintu gerbang,“ jawab Kiai Gringsing, “tetapi jangan terlalu dekat.“

Ki Jayaraga mengerti maksud Kiai Gringsing. Dengan demikian maka benturan ilmu pada dinding padepokan itu akan menarik perhatian para pemimpin di dalam. Mereka pun kemudian menemukan sasaran. Keempat orang itu pun segera bersiap.

Dalam pada itu Pangeran Singasari memang sudah bersiap. Ketika ia memberikan isyarat untuk meloncat, maka Kiai Gringsing pun memberi isyarat kepada keempat orang di sebelahnya. Serentak mereka melepaskan serangannya. Sabungsari melepaskan serangan lewat sorot matanya, sementara Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Raden Rangga telah menghentakkan kekuatannya pula.

Dinding itu memang mengalami hentakan yang dahsyat sekali. Berlipat dari serangan yang ditujukan kepada Raden Rangga, karena benturan itu memang dilontarkan oleh empat orang yang berilmu tinggi. Namun benturan itu pun segera disusul oleh ledakan yang dahsyat pula. Ternyata bahwa dengan cepat orang-orang di dalam dinding padepokan itu telah bertindak.

Demikian dinding itu tergetar oleh hentakan kekuatan yang dilontarkan dari luar dan merobohkannya, maka ledakan itupun telah terjadi. Demikian cepat, sehingga hampir bersamaan waktunya.

Bersamaan dengan itu pula, maka Pangeran Singasari dengan ilmunya bersama dua orang senapati terpilih telah menghantam pintu gerbang. Mereka memang mendengar ledakan dua kali yang hampir tanpa jarak. Namun mereka telah memusatkan nalar budi dan isyarat telah diberikan, sehingga mereka telah berada di dalam ujung gerak dan sikap. Dengan demikian maka mereka tidak menghentikan gerak mereka, sehingga sesaat kemudian, maka pintu gerbang itu pun telah dihantam oleh kekuatan raksasa dari tiga orang yang berilmu tinggi.

Pintu itu pun berderak pecah. Papan-papannya hancur dan terlempar berserakan. Namun pada waktu sekejap, demikian ketiga orang itu meloncat ke samping, maka sekali lagi terdengar ledakan. Pintu itu telah didorong oleh kekuatan ilmu raksasa dari dalam, sehingga pecahan papan pun terhambur keluar. Namun Pangeran Singasari dan kedua senapatinya telah berhasil melenting dan berguling menyamping, sehingga mereka tidak dihantam oleh pecahan pintu yang dilemparkan oleh kekuatan ilmu yang dahsyat, apalagi oleh kekuatan ilmu itu sendiri.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa usahanya setidak-tidaknya mempengaruhi peristiwa yang menggetarkan jantung itu.

Pangeran Singasari setelah berhasil memecahkan pintu gerbang itu, dengan serta merta telah berlari ke arah Kiai Gringsing. Dengan wajah yang tegang ia bertanya, “Apa yang telah terjadi?“

Kiai Gringsing pun telah mengatakan apa yang dilakukannya bersama Ki Jayaraga, Sabungsari, Glagah Putih dan Raden Rangga. Dengan caranya ia telah menarik perhatian orang-orang yang ada di dalam dinding padepokan. Kiai Gringsing berharap dengan hitungan yang tepat, maka setidak-tidaknya serangan mereka atas pintu gerbang itu tertunda sekejap. Yang sekejap itu dapat dipergunakan oleh Pangeran Singasari dan kedua senapatinya untuk menghindar.

“Itu tidak perlu,“ geram Pangeran Singasari, “waktu itu tidak perlu kau hambat dengan caramu.“

“Pangeran mendengar suara dua ledakan yang hampir tidak berjarak tepat pada saat Pangeran meloncat menghantam pintu gerbang?“ bertanya Kiai Gringsing. Lalu, “Pangeran, sebenarnyalah bahwa mereka telah bersiap di belakang pintu gerbang itu. Setiap saat mereka mampu menyerang. Mungkin tidak hanya satu orang. Ketika mereka dikejutkan oleh benturan tidak di pintu gerbang, maka mereka harus berpaling. Itulah sebabnya ada jarak waktu meskipun hanya sekejap. Tetapi jika serangan itu terjadi di pintu gerbang, maka yang terjadi akan berbeda.“

Pangeran Singasari mengerutkan keningnya. Ia memang dapat membayangkan bahwa ternyata orang-orang di dalam padepokan itu mampu membalas serangan yang tidak diduganya itu dengan cepat sekali. Karena itu, maka seandainya perhatian mereka tidak terpecah, maka mereka tentu akan dapat menghantam pintu gerbang itu dalam waktu yang bersamaan dengan hentakan Pangeran Singasari atas pintu gerbang itu.

Sejenak Pangeran Singasari membayangkan, bahwa malapetaka memang dapat terjadi. Namun demikian ia masih berkata, “Yang Kiai katakan itu mungkin benar, tetapi mungkin juga tidak. Tetapi yang penting sekarang kita akan memasuki padepokan itu.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian mengangguk sambil menjawab, “Kami akan melakukan perintah Pangeran.“

Sabungsari mengerutkan keningnya. Ia adalah seorang perwira prajurit Mataram meskipun ia berada di Jati Anom. Tetapi ia sama sekali tidak diperlakukan sebagai seorang prajurit. Meskipun demikian, dalam kelompok Kiai Gringsing, rasa-rasanya ia menemukan persesuaian sikap daripada jika ia berada di dalam pasukan.

Demikianlah, maka Pangeran Singasari itu pun segera bergerak ke arah pintu gerbang yang telah terbuka. Namun dengan sangat berhati-hati. Mereka tidak mendekat dari samping, tetapi mereka justru berdiri di arah pintu gerbang pada jarak yang masih cukup panjang.

Namun dalam pada itu Raden Rangga pun bertanya, “Kiai, kenapa kami harus berempat membentur dinding itu? Apakah kami seorang-seorang tidak dapat melakukannya?“

“Kita ingin mengejutkan mereka Raden, seolah-olah ilmu yang kita lontarkan adalah ilmu yang maha dahsyat,“ Kiai gringsing tersenyum. Raden Rangga pun tersenyum pula.

“Kadang-kadang hal seperti itu memang perlu,“ berkata Ki Jayaraga, “kecemasan, keragu-raguan, keterkejutan, memang dapat mempengaruhi perasaan mereka. Karena itu, maka dalam peperangan terbuka kadang-kadang perang urat syaraf tidak kalah pentingnya dengan tajamnya ujung senjata.“

Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Menurut pendapatku kita sudah melakukan sesuatu yang penting artinya dalam tugas ini. Jika pada saat Pamanda menghantam pintu gerbang itu orang-orang di dalam melontarkan ilmunya, maka keadaan memang akan menjadi gawat.”

Namun mereka tidak dapat berbicara lebih panjang lagi. Mereka telah berada di muka pintu gerbang meskipun pada jarak beberapa langkah. Setapak demi setapak mereka melangkah maju.

Di seberang pintu gerbang, beberapa orang memang telah menunggu. Mereka adalah orang-orang terpenting di padepokan itu. Namun juga beberapa orang murid yang siap untuk bertempur bersama dengan pemimpin tertinggi mereka.

Pangeran Singasari menjadi sangat berhati-hati. Ia menyadari bahwa lawannya memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi kini mereka dapat saling memandang, sehingga Pangeran Singasari akan dapat mengetahui jika lawannya itu akan melontarkan ilmunya, dengan ketajaman penglihatan ilmunya pula.

Dengan isyarat, maka Pangeran Singasari memberitahukan kepada para perwira yang ada di dalam kelompoknya, agar mereka tidak berdiri terlalu rapat. Dengan isyarat itu maka para perwira dan prajurit Mataram itu mengerti, bahwa pada saat-saat tertentu mereka harus mampu dengan cepat meloncat menghindar.

“Kita harus mencapai pintu gerbang itu,“ desis Pangeran Singasari tanpa berpaling, “jika kita sudah masuk, maka kita akan dengan cepat berpencar dan bertempur melawan orang-orang yang telah menunggu kita itu.“

Tidak ada yang menjawab. Tetapi perintah itu siap dilaksanakan oleh para prajurit Mataram.

Namun Raden Rangga bertanya perlahan-lahan. “Pamanda, apakah aku diperkenankan masuk lewat dinding yang pecah dan roboh itu?“

Jawab Pangeran Singasari terdengar bergetar meskipun tetap perlahan-lahan, “Kau dengar perintahku, Anak Bengal.“

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia tidak berani menjawab lagi.

Demikianlah, mereka berjalan semakin mendekati pintu gerbang. Pangeran Singasari yang juga memiliki ilmu yang tinggi dan mampu pula melontarkan ilmu dari jarak jauh telah bersiap pula. Ia harus membalas serangan yang demikian, jika lawannya melakukannya. Namun ia menyadari, betapa dahsyatnya kekuatan lawannya itu.

Tetapi orang-orang di dalam padepokan itu pun telah digetarkan pula oleh serangan yang menghantam dan menghancurkan dinding padepokannya. Kekuatan yang menghancurkan dinding padepokannya itu adalah kekuatan yang luar biasa. Kekuatan yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Meskipun pemimpin tertinggi perguruan Nagaraga itu juga menyangka, bahwa serangan itu tidak dilakukan oleh hanya satu orang.

Dengan demikian maka orang-orang Nagaraga itu tidak dengan serta merta menyerang orang-orang Mataram itu dengan ilmunya dari jarak yang jauh. Pemimpin perguruan Nagaraga itu memang menunggu orang-orang Mataram mendekat dan bertempur pada jarak yang pendek. Mereka akan dapat mempergunakan ilmunya yang lain, yang mungkin akan menjadi cara yang lebih baik untuk menghancurkan lawannya itu.

Pangeran Singasari menjadi semakin berhati-hati ketika ia mendekati pintu gerbang. Para prajurit pun bersiaga sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan. Mereka telah berada hampir tepat di pintu gerbang ketika Pangeran Singasari itu berhenti.

“Silahkan masuk Ki Sanak,“ terdengar suara pemimpin perguruan Nagaraga itu menggelegar. Suaranya mempunyai warna yang mirip dengan gaung yang terputus-putus yang dilontarkan oleh ular naga di goa sebelah padepokan, yang saat itu menjadi agak menurun.

Pangeran Singasari masih berdiri tegak dengan kesiagaan tertinggi. Para perwira yang termasuk kelompoknya berdiri berlapis dengan jarak yang renggang. Sementara itu Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabungsari, Glagah Putih dan Raden Rangga berdiri agak menyamping, sehingga mereka dapat langsung memandang ke arah para pemimpin padepokan itu. Bagaimanapun juga mereka merasa wajib untuk ikut bertanggung jawab.

Namun sebenarnyalah bahwa baik Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, maupun Raden Rangga, merasa kurang yakin akan kemampuan Pangeran Singasari. Meskipun mereka mengerti bahwa Pangeran Singasari memang mempunyai kemampuan yang tinggi, namun apakah ia mampu mengimbangi pemimpin tertinggi perguruan Nagaraga yang telah berani memerintahkan murid-muridnya untuk membunuh Panembahan Senapati? Meskipun murid-muridnya itu pun telah diberinya hak untuk mendirikan perguruan tersendiri sebagai bagian dari perguruan Nagaraga, namun masih tetap di bawah pengawasannya.

Sedangkan Sabungsari dan Glagah Putih yang tidak dapat menilai kemampuan Pangeran Singasari itu, agaknya sekedar berbuat sebagaimana dilakukan oleh Kiai Gringsing. Namun demikian keduanya pun telah bersiap pula sepenuhnya untuk menghadapi segala kemungkinan.

Memang yang dilakukan oleh Pangeran Singasari saat memecahkan pintu gerbang menimbulkan pertanyaan pada keduanya. Kenapa Pangeran Singasari tidak melakukan sebagaimana mereka lakukan. Tetapi keduanya pun telah mendengar bahwa Pangeran Singasari sendiri sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menggempur dari jarak jauh. Hanya saja, apakah Pangeran Singasari sendiri yakin bahwa ia akan berhasil melakukannya.

Karena Pangeran Singasari tidak segera menjawab, maka sekali lagi pemimpin padepokan itu mempersilahkannya, “Silahkan Ki Sanak masuk. Aku mengerti maksud kedatangan Ki Sanak. Dan kami di sini pun sudah siap untuk menerima kedatangan Ki Sanak.“

Pangeran Singasari melangkah dengan hati-hati. Ia masih juga memperhitungkan bahwa lawannya mungkin sengaja menjebaknya.

“Siapakah kau yang memimpin pasukan Mataram, Ki Sanak?“ bertanya pemimpin padepokan Nagaraga yang berdiri dengan tangan bersilang di dada.

“Aku, Pangeran Singasari, saudara muda Panembahan Senapati di Mataram,” jawab Pangeran Singasari.

Pemimpin perguruan Nagaraga itu mengerutkan keningnya, mengangguk hormat sambil berkata, “Maaf Pangeran, aku tidak tahu bahwa Pangeran Singasari yang besar itu berkenan datang sendiri ke perguruan yang terpencil dan sepi ini.”

“Siapa kau?” bertanya Pangeran Singasari.

“Akulah yang kemudian mengenakan gelar Kiai Nagaraga,” jawab orang itu, “aku adalah pemimpin tertinggi dari perguruan ini.”

“Jadi Ki Sanak adalah Maha Guru di padepokan ini?” bertanya Pangeran Singasari pula.

Orang itu tersenyum. Katanya, “Aku hanya memberikan sedikit petunjuk kepada mereka yang datang ke padepokan ini.”

Pangeran Singasari mengangguk-angguk. Diamatinya orang itu dengan saksama. Seorang yang sudah berangkat memasuki hari-hari tuanya. Berjanggut putih meskipun tidak terlalu panjang. Rambutnya yang terjuntai di bawah ikat kepalanya pun sudah nampak memutih pula. Tetapi giginya masih nampak utuh, serta tatapan matanya masih berkilat-kilat.

Ki Jayaraga yang mendengar jawaban itu bergeser mendekati Kiai Gringsing sambil berbisik, “Namanya seperti nama ular itu.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Ia menempatkan dirinya dalam bayangan kekuatan ular itu. Karena itu, maka ia merasa perlu untuk menyebut dirinya seperti sebutan yang diberikan kepada ular raksasa itu.”

“Apakah ular itu memang besar sekali?” tiba-tiba Ki Jayaraga bertanya.

“Menilik bekas-bekasnya, agaknya memang cukup besar. Apalagi sesuai dengan penglihatan Raden Rangga dan Glagah Putih di sekitar padepokannya yang lama. Jejak ular itu menunjukkan bahwa ular itu cukup besar. Makanannya pun seekor kambing,” jawab Kiai Gringsing.

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Sementara itu ia mendengar Kiai Nagaraga bertanya, “Pangeran, apakah keperluan Pangeran datang ke padepokan kami yang sepi dan terpencil ini? Apalagi pasukan yang Pangeran bawa dengan serta merta telah menyerang murid-murid perguruan Nagaraga yang tidak bersiap-siap menghadapinya.”

“Kau tidak usah berpura-pura Kiai,” jawab Pangeran Singasari, “kesalahanmu kau sandang siang dan malam. Atau barangkali kau tidak berani mengakuinya? Memang ada dua alasan untuk ingkar. Kiai memang tidak jantan untuk mengakui dan bertanggung jawab atas apa yang pernah kau lakukan, atau Kiai menyesal dan kemudian menjadi ketakutan, sehingga Kiai tidak lagi mengakui perbuatan itu.”

Kiai Nagaraga menjadi tegang. Namun iapun masih juga memaksa diri untuk tersenyum. Katanya, “Pangeran Singasari. Pangeran masih terlalu muda untuk memimpin sebuah pasukan yang akan memasuki padepokan Nagaraga. Kemudaan Pangeran agaknya yang membuat darah Pangeran cepat mendidih. Sedangkan seorang pemimpin, apalagi seorang panglima, tidak sebaiknya cepat menjadi marah, agar wawasannya tidak menjadi sempit dan kehilangan akal.”

“Terima kasih,” sahut Pangeran Singasari, “tetapi aku dapat marah tanpa kehilangan akal dan penyempitan wawasan.”

“Sungguh satu keajaiban,” desis Kiai Nagaraga, “tetapi agaknya Pangeran telah dibekali oleh Panembahan Senapati orang-orang tua di dalam pasukan Pangeran, yang menilik ujud lahiriahnya bukan prajurit Mataram. Mungkin orang-orang tua itulah yang oleh Panembahan Senapati ditugaskan untuk berbicara dengan aku.”

“Tidak,” Pangeran Singasari hampir berteriak, “akulah yang mendapat tugas sebagai Panglima dalam pasukan ini. Seandainya orang tua itu yang akan berhadapan dengan Kiai Nagaraga, namun orang itu harus menunggu perintahku.”

Kiai Nagaraga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian Pangeran Singasari itu pun berkata, “Nah, Kiai. Kita jangan membuang waktu terlalu banyak. Kalau kau masih juga ingkar Kiai, biarlah aku menyebutnya. Bukankah kau telah mengirimkan beberapa orang ke Mataram untuk membunuh Kakanda Panembahan Senapati di Mataram? Bukan itu saja. Kau telah bekerja sama dengan gerombolan yang garang dan buas untuk menakut-nakuti rakyat Mataram. Tetapi usahamu itu gagal sama sekali. Orang-orangmu terbunuh di Mataram.”

“Apakah Pangeran yang telah membunuhnya?” bertanya Kiai Nagaraga.

Pertanyaan itu telah menghentak jantung Pangeran Singasari. Memang bukan Pangeran Singasari yang telah membunuhnya. Tetapi di antaranya justru telah terbunuh oleh Raden Rangga yang nakal itu.

Raden Rangga sendiri menjadi berdebar-debar. Jika pamannya Singasari menyebut namanya, maka ia akan mendapat beban yang berat di padepokan itu, karena ia akan menjadi pusat pembalasan dendam.

Tetapi Raden Rangga bukannya menjadi takut. Seandainya demikian, maka ia harus minta ijin kepada pamannya, atau bahkan perintah untuk menyelesaikannya dengan perguruan Nagaraga.

Namun ternyata Pangeran Singasari tidak menyebut namanya. Tetapi jawabnya, “Di Mataram banyak orang yang memiliki kemampuan membunuh murid-muridmu. Bahkan seandainya kau sendiri memasuki bilik Kakanda Panembahan Senapati.”

Kiai Nagaraga itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang harus mengakui kenyataan, bahwa Panembahan Senapati adalah orang yang memiliki ilmu rangkap dan berlapis-lapis, sehingga jarang sekali orang yang mampu mengimbangi ilmunya itu. Tetapi agaknya tidak demikian dengan saudara-saudaranya. Hanya saudara angkatnya sajalah yang agaknya dapat mendekati ilmunya itu, Pangeran Benawa.”

Wajah Pangeran Singasari menjadi merah. Satu sindiran yang sangat tajam. Karena itu maka katanya, “Kiai Nagaraga. Yang datang bukan Pangeran Benawa. Tetapi Pangeran Singasari. Jika kau menganggap saudara-saudara Panembahan Senapati tidak ada yang mampu mengimbangi ilmunya selain Pangeran Benawa, maka aku datang untuk membuktikan bahwa kau salah.”

“O,” Kiai Nagaraga mengangguk-angguk, “jadi Pangeran Singasari juga merasa memiliki kemampuan setinggi Pangeran Benawa? Bagus. Jika demikian, silahkan masuk. Kita akan membuktikan, apakah yang Pangeran katakan itu benar. Di sini kami sudah siap menunggu beberapa orang muridku dan beberapa orang cantrik terpilih. Kami akan menyambut pasukan yang agaknya pasukan pilihan yang dipimpin langsung oleh Panglimanya.”

Pangeran Singasari mengerutkan keningnya. Tetapi ia sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Namun sekali lagi Kiai Nagaraga berkata, “Silahkah masuk Pangeran. Kita akan membuktikan kemampuan kita masing-masing di dalam padepokan. Kau sudah berhasil memecahkan pintu gerbang, karena itu, kau berhak memasukinya.”

Pangeran Singasari masih termangu-mangu. Namun iapun kemudian melangkah masuk sambil memberikan isyarat kepada para prajurit Mataram untuk mengikutinya.

Dengan sangat berhati-hati mereka melangkah masuk. Namun seperti perintah yang sudah diberikan oleh Pangeran Singasari, maka demikian mereka berada di dalam padepokan, maka merekapun segera berpencar.

“Satu langkah yang rapi dari sekelompok prajurit,” berkata Kiai Nagaraga.

“Bersiaplah,” geram Pangeran Singasari, “kami sudah siap. Kau akan dapat menilai, siapakah yang lebih baik. Saudara Panembahan Senapati atau saudara angkatnya.” Kiai Nagaraga tertawa. Katanya, “Sebenarnya akupun kurang tahu pasti, seberapa tinggi ilmu Pangeran Benawa. Tetapi jika kau memang memiliki ilmu yang lebih tinggi, syukurlah. Kita akan mempunyai banyak waktu untuk bermain-main. Pangeran dan juga aku tidak akan mencemaskan orang-orang kita masing-masing di bagian-bagian dari padepokan. Mereka adalah orang-orang yang bertanggung jawab. Jika mereka kalah, biarlah kekalahan itu dipertanggung-jawabkan. Sedangkan jika mereka menang, maka biarlah mereka berbangga dengan kemenangan mereka di setiap bagian dari padepokan ini.”

“Bagus,” berkata Pangeran Singasari, “tetapi dengarlah dahulu pesan yang aku bawa. Panembahan Senapati memerintahkan kalian untuk menyerah. Tetapi jika kalian tidak mau menyerah, maka segala kebijaksanaan ada di tanganku.”

“Bagus sekali,” berkata Kiai Nagaraga, “sekarang Pangeran sudah berhadapan dengan kami, orang-orang dari perguruan Nagaraga. Kami tidak menyerah. Kami sudah berani melakukan satu langkah yang kami sadari akan berakibat seperti ini. Tetapi ketahuilah Pangeran, bahwa kami Nagaraga, tidak sendiri.”

“Aku tahu,” jawab Pangeran Singasari, “tetapi kau pun harus menyadari, bahwa kau tidak akan mendapatkan apa yang dijanjikan kepadamu, seandainya kau mampu membunuh Panembahan Senapati. Kau tidak akan dapat mendapat kedudukan apapun juga dari Panembahan Madiun. Bahkan mungkin kau akan dilemparkan ke tempat sampah sebagai seorang pengkhianat.”

Kiai Nagaraga tertawa. Katanya, “Luar biasa. Agaknya bukan rahasia lagi bahwa sikap Panembahan Madiun terhadap Mataram sudah diketahui. Tetapi jika kau anggap bahwa aku tidak akan berarti kelak, kau salah Pangeran. Atau barangkali kau sekedar ingin membuat kesan, bahwa kerjaku akan sia-sia sehingga aku akan menarik diri?”

Jantung Pangeran Singasari menjadi semakin bergetar. Kemarahannya seakan-akan sudah tidak tertahankan lagi. Tetapi tiba-tiba saja ia teringat justru kata-kata Kiai Nagaraga, bahwa seorang senapati tidak boleh kehilangan nalar karena kemarahan. Sebelumnya Pangeran Singasari pun tahu akan hal itu. Namun kadang-kadang ia lupa diri dan kemarahan itu melonjak begitu saja.

Namun berhadapan dengan orang yang menyebut dirinya Kiai Nagaraga itu Pangeran Singasari benar-benar harus berhati-hati. Menilik sikap dan tatapan matanya, maka kiai Nagaraga adalah orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Hampir di luar sadarnya Pangeran Singasari berpaling ke arah Kiai Gringsing. Kiai Gringsing memang nampak lebih tua dari orang itu. Garis-garis di wajah Kiai Gringsing pun nampak lebih dalam. Tubuhnya pun tidak lagi nampak sekuat orang yang menyebut dirinya Kiai Nagaraga itu. Namun Pangeran Singasari mengerti, bahwa Kiai Gringsing itu pun memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya. Namun bagaimanapun juga, ternyata seseorang tidak akan dapat menghindarkan diri dari ketuaan.

Di samping Kiai Gringsing berdiri Ki Jayaraga, yang nampak lebih muda sedikit dari Kiai Gringsing. Hanya sedikit. Sedangkan kemudian berdiri Sabungsari, Glagah Putih dan Raden Rangga, di antara prajurit-prajurit Mataram yang bersiaga sepenuhnya.

Dalam pada itu Pangeran Singasari pun berkata dengan nada rendah, “Kiai Nagaraga. Sekali lagi aku perintahkan kau menyerah, atas nama Panembahan Senapati yang berkuasa di Mataram.”  

“Maaf Pangeran. Aku sudah bertekad untuk menyatukan diri dengan Madiun, meskipun padepokanku ini terletak di sebelah barat Bengawan. Jika Madiun sekarang belum bergerak, tentu hanya soal waktu. Bahkan mungkin sekarang pasukan Madiun sudah siap untuk menggempur Mataram,” jawab Kiai Nagaraga.

Tetapi Pangeran Singasari menggeleng. Katanya, “Kau salah Kiai. Mungkin sekarang Pamanda Panembahan Madiun sedang menyesali rencana yang meskipun baru di dengar oleh beberapa orang. Sementara itu kau telah dengan tergesa-gesa menjual jasa untuk mendapat pujian, dan barangkali kedudukan kelak. Tetapi kau akan menyesal sepanjang hidupmu seandainya hari ini kau terlepas dari maut, bahwa ternyata Panembahan Madiun tidak berbuat apa-apa.”

“Kau memang pandai bergurau Pangeran Singasari,” Kiai Nagaraga tersenyum, “memang mungkin permainan kanak-kanak akan terjadi seperti yang kau katakan.”

“Jarak yang memang ada di antara Pamanda Panembahan Madiun dan Kakangmas Panembahan Senapati bukan menjadi semakin jauh, tetapi keduanya sudah saling mengadakan pendekatan,” berkata Pangeran Singasari pula.

Kiai Nagaraga tertawa. Katanya, “Sudahlah Pangeran. Jangan merajuk seperti itu. Sekarang kita berhadapan di medan, sementara orang-orang kita masing-masing telah bertempur. Mungkin satu dua orang telah terbunuh, baik prajurit Mataram maupun orang-orang Nagaraga. Tetapi itu wajar sekali.” Kiai Nagaraga berhenti sejenak, lalu, “Nah, sekarang kita yang akan bertempur. Mungkin aku, tetapi mungkin Pangeran akan mati. Mungkin orang-orang padepokan ini akan tumpas, tetapi mungkin pula semua prajurit Mataram yang datang ke padepokan ini tidak akan kembali.”

Pangeran Singasari mengangguk-angguk. Katanya, “Baik. Baik.”

Sejenak ia terdiam. Namun kemudian Pangeran Singasari segera memberikan aba-aba dengan isyarat tangannya. Ketika ia merentangkah tangannya, maka para prajurit yang berada dalam kelompok itu pun mulai bergerak. Mereka berpencar semakin jauh, sehingga jarak yang satu dengan yang lain menjadi semakin panjang. Sabungsari mengenali juga isyarat itu, tetapi ia tidak dapat ikut melakukannya, karena Pangeran Singasari tidak memasangnya dalam pasukannya.

Dalam pada itu, sekali lagi Kiai Nagaraga memuji, “Satu gerakan prajurit yang rapi.” Tetapi katanya selanjutnya, “Namun hanya menarik dalam pertunjukan ketangkasan di alun-alun dalam upacara kebesaran. Tidak untuk dipamerkan di medan perang.”

Darah Pangeran Singasari memang terasa hampir mendidih. Bahkan Raden Rangga pun rasa-rasanya tidak sabar lagi. Kata-kata Kiai Nagaraga itu benar-benar membuat hatinya menjadi panas, sehingga iapun telah bergeser setapak. Namun Glagah Putih telah menggamitnya sambil berdesis, “Kita hanya boleh bergerak jika kita mendapat perintah.”

Glagah Putih menyadari, betapa perasaan Raden Rangga telah bergejolak ketika ia mendengar gigi anak muda itu gemeretak. Tetapi Raden Rangga memang harus menahan dirinya, jika ia tidak ingin justru dibentak oleh Pangeran Singasari sendiri.

Ketika tangan Pangeran Singasari keduanya terangkat ke atas, maka para prajurit Mataram itu pun mulai melangkah mendekati lawan. Namun mereka masih tetap berhati-hati. Mereka menyadari bahwa orang-orang padepokan itu mampu melontarkan serangan yang dahsyat dari jarak jauh, sebagaimana mereka menyerang Raden Rangga ketika anak muda itu menengok dari atas dinding.

Namun dalam pada itu, ketika Kiai Nagaraga melihat pasukan Mataram dalam kelompok yang dipimpin langsung itu bergerak, justru tertawa. Katanya, “Ternyata Mataram memang memiliki prajurit-prajurit yang mapan dalam gelar. Meskipun kelompok ini hanya kecil, namun yang nampak adalah bayangan gelar Wulan Tumanggal.”

“Persetan,” geram Pangeran Singasari, “kita akan segera bertempur. Kenapa kau tidak melontarkan lagi seranganmu yang dahsyat dari tempatmu?”

Kiai Nagaraga itu tiba-tiba mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Ternyata orang yang dapat menghindari seranganku adalah seorang laki-laki remaja. Bukan main. Bukankah anak itu yang tadi memanjat dinding?”

Pangeran Singasari memang ragu-ragu untuk menjawab. Bagaimanapun juga Raden Rangga adalah kemenakannya. Ia tidak ingin perhatian lawannya, apalagi Kiai Nagaraga sendiri, tertuju kepada Raden Rangga.

Namun ternyata Raden Rangga sendiri-lah yang menjawab, “Ya. Kiai heran?”

Kiai Nagaraga mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Kau lucu anak muda. Tetapi sayang bahwa hari ini adalah hari terakhirmu. Apalagi bahwa kau adalah orang yang pertama-tama berani melanggar hakku.”

“Bukan anak itu,” sahut Pangeran Singasari, “prajurit Mataram telah lebih dahulu memasuki padepokan ini.”

“Tetapi tidak di padepokan induk ini,” wajah Kiai Nagaraga nampak berkerut.

“Semua adalah tanggung jawabku,” berkata Pangeran Singasari.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang Ki Jayaraga, orang tua itu pun mengangguk kecil. Keduanya memang agak bingung menanggapi sifat Pangeran Singasari yang kadang-kadang seakan-akan sama sekali tidak menghiraukan dan apalagi bertanggung jawab terhadap orang-orangnya. Tetapi tiba-tiba saja ia menunjukkan sifat kepemimpinannya yang besar.

“Keluarga Panembahan Senapati terdiri dari orang-orang yang sulit untuk dijajagi,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.

“Apakah Pangeran Mangkubumi, adik Pangeran Singasari, juga mempunyai sifat seperti ini? Menurut pendengaranku, Pangeran Mangkubumi meskipun lebih muda, tetapi agak lebih tenang dari Pangeran Singasari. Terlebih-lebih lagi adalah kakak Pangeran Singasari, adik Panembahan Senapati yang bergelar Pangeran Gagak Baning.”

Sementara itu Kiai Nagaraga pun agaknya telah bersiap pula. Karena Pangeran Singasari yang telah berdiri di hadapannya, maka iapun telah bersiap untuk bertempur melawan Pangeran Singasari. Sementara itu pasukan Mataram pun telah bergeser semakin dekat. Para perwira di dalam pasukan itu sadar, bahwa mereka akan lebih banyak tergantung kepada kemampuan mereka secara pribadi. Mereka tidak akan banyak tergantung kepada bayangan gelar Wulan Tumanggal yang kecil itu.

Demikianlah, maka ketika Pangeran Singasari kemudian memberi isyarat, maka pasukan Mataram itu langsung telah menyerang para penghuni padepokan yang lebih banyak menunggu. Namun pada saat terakhir mereka pun telah bergeser memencar pula untuk menghadapi lawan masing-masing.

Jumlah para murid terpilih dan para cantrik yang ada di padepokan induk itu pun ternyata lebih banyak dari para perwira dan prajurit dari Mataram. Namun para prajurit dari Mataram memang telah bersiap menghadapi mereka.

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga sempat memperhatikan medan itu secara keseluruhan. Menurut perhitungan mereka, para cantrik bukannya orang-orang yang sudah matang. Mereka adalah orang-orang yang baru memiliki ilmu dasar dari padepokan Nagaraga. Namun yang lain agaknya mempunyai ilmu dalam tataran yang berbeda-beda. Bahkan menilik ujudnya, ada satu dua orang yang agaknya merupakan murid yang sudah menyerap seluruh ilmu dari Nagaraga, meskipun belum sempat dikembangkan sebagaimana para murid yang sudah diberi wewenang untuk mengendalikan bagian dari perguruan Nagaraga itu.

Ketika para prajurit dari Mataram telah bertempur, maka Pangeran Singasari pun telah bersiap menghadapi pemimpin tertinggi dari Nagaraga yang juga disebut Kiai Nagaraga itu.

Sementara itu Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabungsari, Glagah Putih dan Raden Rangga masih juga ragu-ragu. Apakah perintah Pangeran Singasari itu berlaku juga bagi mereka.

Ketika para prajurit Mataram telah bertempur melawan para penghuni padepokan itu dalam jumlah yang lebih banyak, sementara lima orang di antara mereka dari kelompok itu masih berdiri termangu-mangu, maka Pangeran Singasari pun berkata, “He, kenapa kalian belum berbuat sesuatu? Betapapun tinggi ilmu kalian, tetapi jika tidak kalian pergunakan, maka ilmu itu tidak akan ada artinya.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sikap Pangeran Singasari kadang-kadang memang menyinggung perasaan. Tetapi dalam keadaan itu, mereka harus melupakannya. Mereka sudah berada di hadapan hidung lawan.

Karena itu, maka kelima orang itu pun tidak menghiraukan lagi sikap Pangeran Singasari. Merekapun segera bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Namun dalam pada itu, rasa-rasanya Kiai Gringsing selalu dibayangi oleh kecemasan melihat sikap dan sorot mata Kiai Nagaraga yang harus melawan Pangeran Singasari. Rasa-rasanya Pangeran Singasari masih belum cukup matang untuk menghadapinya. Meskipun demikian Kiai Gringsing yang tua itu tidak mengatakan sesuatu. Tetapi Kiai Gringsing berusaha untuk dapat selalu berada di dekat Pangeran Singasari. Meskipun Pangeran Singasari seakan-akan telah menempatkan dua orang perwira terpilihnya yang bersama-sama telah memecahkan pintu gerbang untuk menjadi senapati pengapitnya, namun ilmu kedua senapati itu bagi Kiai Gringsing memang masih terlalu muda.

Dengan segala macam cara, Kiai Gringsing telah mendapatkan seorang lawan yang meskipun belum mencapai pertengahan abad, namun apaknya ia adalah murid yang sudah terhitung mapan dari Kiai Nagaraga. Dengan demikian, maka Kiai Gringsing mendapat kesempatan untuk bertempur di dekat Pangeran Singasari, di sebelah salah seorang dari kedua senapati pengapit itu.

Ketika Kiai Gringsing bergeser mendekati Pangeran Singasari, maka ia telah berbisik di telinga Ki Jayaraga, “Tolong, awasi anak-anak itu. Aku akan berusaha berada di dekat Pangeran Singasari.”

Ki Jayaraga mengangguk. Tetapi iapun berdesis, “Bagaimana jika aku sendiri digulung oleh ilmu orang-orang Nagaraga?”

“Kau akan menjadi nasi golong,” jawab Kiai Gringsing sambil tersenyum.

Ki Jayaraga pun tersenyum. Namun iapun kemudian telah bergeser untuk selalu berada di dekat anak-anak muda yang datang bersamanya.

Dengan demikian maka pertempuran pun telah menjalar ke setiap orang. Kiai Gringsing yang tua itu harus berusaha mengimbangi tata gerak lawannya yang keras.

Namun karena kemampuan ilmu yang ada di dalam dirinya, maka Kiai Gringsing ternyata mampu bergerak dengan cepat. Meskipun menilik ujud wadagnya Kiai Gringsing seharusnya sudah menjadi semakin lemah, namun Kiai Gringsing masih merupakan seorang yang selalu mampu mengimbangi kemampuan ilmu lawannya. Betapapun lawannya meningkatkan kemampuannya, namun kemampuan itu sama sekali tidak berhasil melampaui kemampuan orang tua itu. Bahkan kadang-kadang lawan Kiai Gringsing itu terkejut dan terpaksa meloncat menghindar jika tiba-tiba saja Kiai Gringsing mendesaknya.

Namun Kiai Gringsing masih selalu menahan dirinya. Yang penting baginya bukannya lawannya itu. Tetapi ia selalu mengamati pertempuran antara Pangeran Singasari dan Kiai Nagaraga yang telah berkobar pula. Namun agaknya keduanya juga masih berusaha untuk saling menjajagi kemampuan lawan.

Di bagian lain, Sabungsari, Glagah Putih dan Raden Rangga telah bertempur pula. Tetapi mereka sama sekali tidak memilih lawan. Mereka bertempur dengan siapa saja yang datang kepada mereka.

Ki Jayaraga masih sempat memperhatikan pertempuran itu beberapa saat, sebelum seorang yang bertubuh kecil melenting menyerangnya. Seorang yang perbandingan kaki dan tubuhnya tidak seimbang.

Tetapi meskipun kakinya terhitung terlalu pendek dibanding dengan tubuhnya, namun ternyata ia adalah murid Kiai Nagaraga yang telah mewarisi hampir semua ilmunya.

Dengan demikian maka Ki Jayaraga pun harus segera berusaha mencari keseimbangan dengan kemampuan lawannya. Karena lawannya langsung mengerahkan kemampuannya sampai ke tataran kemampuan lawannya.

Meskipun kemudian pertempuran antara Ki Jayaraga dan murid Kiai Nagaraga yang berkaki pendek itu berlangsung dengan cepat, tetapi Ki Jayaraga masih sempat mengamati anak-anak muda yang datang bersamanya, yang bertempur tidak jauh daripadanya, di antara murid-murid dari padepokan Nagaraga yang bertempur dengan prajurit Mataram.

Sementara itu Pangeran Singasari sendiri yang bertempur melawan Kiai Nagaraga menjadi semakin lama semakin cepat dan keras. Bagaimanapun juga adik Panembahan Senapati itu memiliki bekal yang lengkap untuk memasuki padepokan Nagaraga yang besar.

Namun Pemimpin Agung dari padepokan itu benar-benar seorang yang mumpuni. Kemampuan Pangeran Singasari yang tinggi, ternyata belum mampu menggoyahkan pertahanannya.

Semakin lama benturan-benturan ilmu yang terjadi pun menjadi semakin keras. Baik Pangeran Singasari maupun Kiai Nagaraga selalu meningkatkan kemampuannya selapis demi selapis.

Namun keduanya ternyata masih belum menganggap perlu untuk mempergunakan senjata. Bahkan mereka memang lebih percaya pada kemampuan ilmu mereka daripada ujung senjata.

Namun para prajurit dan perwira Mataram sebagian besar telah mempergunakan senjata mereka sebagaimana orang-orang padepokan itu.

Seorang perwira Mataram telah bertempur melawan seorang murid Kiai Nagaraga yang baru mencapai tataran pertengahan. Tetapi murid Nagaraga itu pada dasarnya memang memiliki tubuh yang tinggi besar dan kekuatan melampaui orang kebanyakan. Dengan ilmu yang telah diwarisinya itu, maka ia benar-benar merupakan orang yang sangat berbahaya. Senjatanya adalah sebuah bindi yang bergerigi tajam. Putaran bindinya itu telah menimbulkan desau yang mendebarkan, sementara angin pun bagaikan diputarnya di sekitar tubuhnya karena putaran bindinya itu.

Perwira Mataram yang mempergunakan pedang sama sekali tidak mau membenturkan pedangnya. Perwira itu sadar akan kekuatan lawannya, sehingga karena itu, maka iapun telah melawan kekuatan itu dengan kecepatan dan ketrampilan ilmu pedangnya.

Di bagian lain dari pertempuran itu, seorang murid Kiai. Nagaraga yang telah memiliki landasan ilmu yang kuat, telah berhasil mendesak lawannya. Seorang perwira Mataram hampir saja disambar tombak bertangkai pendek. Namun perwira itu masih sempat melenting menjauh.

Tetapi lawannya tidak membiarkannya lepas. Dengan serta merta ia telah memburunya dengan ujung tombak yang teracu.

Namun para prajurit Mataram memiliki ketrampilan bertempur dalam kelompok-kelompok. Karena itu, selagi orang bertombak itu berusaha untuk menghabisi lawannya, seorang perwira yang semakin terdesak, maka tiba-tiba serangan yang lain telah datang menyambarnya.

Untunglah bahwa ia masih sempat menghindar, sehingga ujung pedang seorang perwira yang lain tidak mengoyak dadanya.

Namun demikian iapun berkata, “Kau curang. Kau tidak bertempur secara jantan.”

“Kami adalah sekelompok prajurit yang berada di-medan perang. Kami bukan sedang berperang tanding,” sahut perwira yang menyerangnya. Lalu, “Lihat, apakah para cantrik dari padepokan ini juga bersikap jantan? Mereka telah mengeroyok para prajurit Mataram. Bahkan ada yang berkelompok sampai tiga orang melawan seorang prajurit.”

“Jumlah kami memang lebih banyak,” jawab murid Nagaraga itu.

“Bagi seorang prajurit, yang penting bukan jumlahnya, tetapi kemampuan bertempur dalam kelompok itu,” jawab perwira itu.

Murid Nagaraga itu tidak menjawab lagi. Tetapi iapun telah meloncat menyerang prajurit yang telah menggagalkan usahanya membunuh lawannya itu.

Dengan demikian maka pertempuran pun menjadi semakin lama semakin sengit. Orang-orang padepokan Nagaraga ternyata sebagaimana perguruan-perguruan yang lain, kemampuan dan ilmunya bertataran panjang. Ada yang baru mulai, ada yang sudah menginjak jenjang pertengahan, ada yang sudah mulai mendalami ilmunya, dan bahkan ada yang telah mewarisi semua ilmu gurunya. Tetapi orang-orang terpenting dari perguruan itu telah berada di bagian-bagian yang dipisahkan oleh dinding-dinding, meskipun masih berada di lingkungan padepokan Nagaraga itu.

Namun demikian, beberapa orang memang telah membuat para perwira Mataram menjadi gelisah. Murid-murid terbaik di bawah mereka yang berhak berdiri sendiri dalam lingkungan padepokan itu telah membuat para perwira harus menempuh berbagai cara untuk mengimbangi mereka. Secara pribadi mereka memang memiliki kemampuan lebih baik dari para perwira. Sementara jumlah para cantrik pun melampaui jumlah prajurit Mataram yang lain.

Tetapi di antara prajurit Mataram itu terdapat beberapa orang yang berilmu tinggi, namun masih belum mempergunakan kemampuan mereka sepenuhnya.

Mereka justru baru menahan serangan orang-orang yang datang kepada mereka. Tetapi mereka masih belum memilih lawan selain Kiai Gringsing. Tetapi yang penting bagi Kiai Gringsing adalah, bahwa ia bertempur dekat dengan Pangeran Singasari.

Beberapa saat kemudian, maka ternyata bahwa orang-orang padepokan yang jumlahnya lebih banyak, serta beberapa orang murid yang memiliki kemampuan secara pribadi lebih tinggi itu, berhasil mendesak para prajurit Mataram. Perlahan-lahan prajurit Mataram harus bergeser surut. Para perwira yang bertempur melawan satu atau dua orang cantrik memang mampu bertahan dan bahkan mampu mengatasi para cantrik itu. Tetapi jika masih datang lagi para cantrik yang meskipun tidak berilmu tinggi, maka mereka benar-benar membingungkan.

Sedangkan beberapa orang murid Kiai Nagaraga benar-benar memiliki ilmu yang lebih tinggi dari para perwira, sehingga para perwira harus mempergunakan kemampuan mereka bertempur dalam kelompok-kelompok tertentu yang saling bersilang lawan. Dengan demikian kadang-kadang mereka memang dapat membuat lawan mereka menjadi agak bingung karena lawannya harus setiap kali berganti.

Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga pun mulai mencoba untuk ikut menahan desakan orang-orang padepokan itu. Ketika orang berkaki pendek yang menyerangnya itu menjadi semakin garang, maka Ki Jayaraga pun berusaha untuk melemparkannya kembali ke belakang garis pertempuran. Ia ingin mempengaruhi seluruh medan agar orang-orang Mataram tidak selalu terdesak. Namun ia harus bekerja sama dengan Sabungsari, Glagah Putih, dan meskipun sambil berdebar-debar, juga Raden Rangga.

Karena itu, maka ketika ia sempat mendekati Sabungsari, maka iapun berkata tanpa menghiraukan lawannya yang berkaki pendek itu, apakah ia akan mendengarnya, “Kita sudah mendapat perintah. Beritahukan kepada Glagah Putih agar kalian dapat ikut menahan gerak maju pasukan Nagaraga. Minta Raden Rangga ikut, tetapi jangan biarkan anak muda itu berbuat semaunya.”

“Baik Kiai,” jawab Sabungsari, “aku akan minta Glagah Putih untuk berbicara dengan Raden Rangga.”

“Bagus,” jawab Ki Jayaraga, “Glagah Putih lebih akrab dengan anak muda yang aneh itu.”

Sabungsari pun kemudian berusaha untuk menembus medan, mendekati Glagah Putih yang sedang bertempur melawan seorang cantrik yang berusaha mendesak Glagah Putih itu. Sementara itu Glagah Putih sendiri yang masih ragu-ragu apakah yang sebaiknya dilakukan justru karena sikap Pangeran Singasari, tidak segera mengambil langkah-langkah penting. Ia berada pada garis pertempuran, hingga karena pasukan Mataram tergeser surut, maka iapun ikut pula terdesak mundur.

Sabungsari pun kemudian memberitahukan kepada Glagah Putih pesan Ki Jayaraga, yang agaknya telah memutuskan untuk mengambil langkah-langkah tanpa menunggu isyarat apapun juga.

“Beritahu Raden Rangga,” pesan Sabungsari, “tetapi jangan biarkan anak muda itu bertindak berlebihan. Hal itu akan dapat memancing kemarahan Pangeran Singasari.”

“Baik,” sahut Glagah Putih sambil menghadapi cantrik yang sibuk menyerangnya.

Sabungsari pun kemudian telah bergeser pula. Iapun telah mendapat lawan seorang cantrik. Sementara itu seorang prajurit Mataram mengalami kesulitan ketika dua orang cantrik bersama-sama menyerangnya.

Ketika Glagah Putih kemudian berusaha mendekati Raden Rangga, maka seorang perwira tiba-tiba saja membentaknya, “Kau mau kemana he? Lari?”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Perwira itu sendiri sibuk bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Ia harus melawan tiga orang murid yang nampaknya telah menyelesaikan beberapa tataran permulaan olah kanuragan. Sehingga dengan demikian, maka para murid itu sudah memiliki kemampuan bermain senjata.

“Aku akan menghubungi Raden Rangga,” jawab Glagah Putih.

“Kau berada di medan pertempuran,” geram perwira yang terdesak itu.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia merasa jengkel kepada perwira yang membentaknya itu. Karena itu maka ia ingin menunjukkan sesuatu kepada perwira itu.

Dengan serta merta Glagah Putih melompat memasuki arena pertempuran perwira itu. Dengan serta merta, maka Glagah Putih telah mengerahkan kemampuannya. Dengan landasan ilmunya iapun telah berloncatan di sekitar perwira itu. Tangannya bagaikan menjadi seribu. Meskipun ia belum mengurai senjatanya, namun perwira itulah yang memberikan senjata kepadanya. Tanpa diketahuinya, pedangnya sudah berpindah di tangan Glagah Putih. Sehingga dengan pedang itu Glagah Putih telah bertempur melawan tiga orang murid Kiai Nagaraga.

Perwira yang kehilangan pedangnya itu menjadi bingung. Tetapi iapun kemudian melihat, ketiga orang murid itu telah terdesak mundur. Dua orang di antara mereka terluka, sementara seorang diantaranya berusaha untuk melindungi kedua kawannya yang terluka itu menarik diri.

Glagah Putih tidak mengejar mereka. Namun iapun kemudian telah menyerahkan pedang itu kembali kepada perwira yang sedang kebingungan. Nampaknya ia bukan perwira yang memiliki kemampuan bertempur secara pribadi dengan baik, meskipun barangkali ia memiliki kemampuan dalam perang gelar dan mengatur gerak pasukan.

Glagah Putih tidak berbicara sepatah katapun. Iapun kemudian meninggalkan perwira itu untuk menemui Raden Rangga.

Untuk beberapa saat perwira itu termangu-mangu. Ia sama sekali tidak mengira bahwa anak muda itu memiliki kemampuan yang demikian tingginya, sehingga membuatnya agak bingung untuk menilainya.

Namun iapun segera sadar, bahwa pertempuran masih berlangsung. Karena itu, maka iapun segera mengangkat pedangnya dan memasuki arena, menyusup di antara para prajurit Mataram yang dengan susah payah bertahan agar tidak terdesak terus.

Ketika Glagah Putih mendekati Raden Rangga, maka Raden Rangga nampaknya masih saja bermain-main dengan para cantrik.

“Raden,” berkata Glagah Putih, “sebagaimana Raden lihat, pasukan Mataram telah terdesak.”

Tetapi dengan acuh tak acuh Raden Rangga menjawab, “Biar saja. Bukankah semuanya tanggung jawab Pamanda Pangeran Singasari?”

“Memang benar Raden. Tetapi bagaimana dengan para prajurit Mataram? Kita masih belum sempat mengamati pertempuran di bagian-bagian lain dari padepokan ini. Jika mereka juga terdesak, maka prajurit Mataram yang ada di sini akan tertumpas habis. Mungkin kita dapat meloloskan diri. Tetapi apakah kita akan membiarkan korban yang demikian banyaknya?”

“Jadi maksudmu, aku harus membunuh sebanyak-banyaknya?” bertanya Raden Rangga.

“Bukan. Bukan maksudku. Tetapi setidak-tidaknya kita berusaha agar pasukan Mataram tidak terdesak, dan berhasil menguasai padepokan ini,” jawab Glagah Putih.

“Bukankah kita boleh berbuat sesuatu setelah ada perintah Pamanda Pangeran?” bertanya Raden Rangga sambil meloncat kian kemari. Bahkan ketika Glagah Putih pun diserang pula, iapun harus menghindar juga. Tetapi Glagah Putih itu berkata, “Bukankah perintah untuk bertempur itu sudah dijatuhkan?”

“Dan bukankah aku juga sudah bertempur mati-matian?” jawab Raden Rangga.

Para cantrik yang bertempur melawan Raden Rangga itu menjadi muak mendengar percakapan itu. Seorang cantrik tiba-tiba membentak, “Jangan banyak bicara. Sebentar lagi kau akan mati di sini.”

Tetapi cantrik itu terkejut. Demikian mulutnya terkatup, tiba-tiba saja terasa mulutnya menjadi panas. Tiga giginya terlepas dan darah pun mengalir dari sela-sela bibirnya.

“Gila,” geram cantrik itu.

“Jangan mengumpat lagi agar tidak semua gigimu terlepas,” berkata Raden Rangga.

“Raden,” berkata Glagah Putih kemudian, “kita wajib untuk berusaha menahan agar pasukan Mataram tidak terdesak terus. Korban telah berjatuhan, sementara sebenarnya kita mampu untuk menghindarkannya. Tetapi bukan berarti bahwa Raden harus membunuh lawan-lawan Raden.”

Raden Rangga termangu-mangu. Namun ketika Raden Rangga akan menjangkau tongkat pring gadingnya yang terselip di punggung, Glagah Putih bertanya, “Apa yang akan Raden lakukan?”

“Tidak untuk membunuh,” jawab Raden Rangga. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu ia mendengar cantrik yang lain mengumpat, “Kau kira aku apa he? Ketika aku melihat kau bertempur tanpa senjata, kau bagiku adalah orang yang sangat sombong, sehingga aku benar-benar ingin membunuhmu. Dan sekarang kau akan mempergunakan tongkat pring gading itu.”

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Tongkat ini bukan kebanyakan tongkat. Jika mendung tebal, dan tongkat ini diacungkan ke langit, mungkin hujan akan turun.”

“Anak gila,” geram cantrik itu sambil mengayunkan senjatanya, sebuah bindi yang berat.

Namun cantrik itu benar-benar dicengkam keheranan. Raden Rangga telah menangkis bindi yang berat dan terayun deras itu benar-benar dengan tongkat bambunya. Ternyata benturan yang terjadi, seakan-akan telah mematahkan tangan cantrik itu. Jari-jarinya tidak sempat berpegangan kuat-kuat pada bindinya, sehingga senjatanya yang mengerikan itu telah terjatuh. Raden Rangga tertawa-tawa, sementara Glagah Putih masih harus menghindari serangan-serangan seorang cantrik yang bersenjata parang.

“Ambillah” berkata Raden Rangga.

Cantrik itu termangu-mangu. Sementara tangannya henar-benar terasa akan terlepas.

“Ambil. Jika kau tidak mau mengambil bindimu, aku bunuh kau,” ancam Raden Rangga.

Cantrik yang kebingungan itu memang mengambil bindinya. Tetapi tangannya tidak mampu lagi mengayunkannya. Karena itu, maka ia mencoba memegang dan mempergunakannya dengan tangan kirinya.

“Bagus,” berkata Raden Rangga, “jika gurumu cermat, maka tangan kanan dan kiri tidak akan banyak berbeda kemampuannya mempermainkan senjata. Karena itu, sekarang pergunakan tangan kirimu jika tangan kananmu sakit.”

Tetapi cantrik itu tetap termangu-mangu. Dengan tangan kanannya tidak mampu melawan tongkat pring gading yang aneh itu. Apalagi dengan tangan kirinya.

Karena ia masih saja ragu-ragu, maka tiba-tiba saja Raden Rangga membentaknya, “Jika kau tidak berani lagi, pergi!”

Cantrik itu terkejut. Ketika Raden Rangga mengangkat pring gadingnya, maka tiba-tiba cantrik itu telah berlari.

“Jangan menakut-nakuti seperti itu, Raden,” berkata Glagah Putih yang mendekatinya.

Raden Rangga tersenyum. Namun iapun kemudian bersiap menghadapi lawan berikutnya.

Glagah Putih yang melihat Raden Rangga sudah siap untuk bertempur lebih keras, kemudian berkata, “Aku akan bergeser lagi Raden. Kita memang membuat jarak agar kita dapat membantu para prajurit untuk menahan orang-orang Nagaraga.”

“Baik,” jawab Raden Rangga, “aku akan mengingat pesanmu. Bertempur, bertahan, tanpa membunuh. Begitu?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab lagi.

Sejenak kemudian Glagah Putih telah bergeser lagi, Di bagian lain dari pertempuran itu, terasa orang-orang Nagaraga masih mendesaknya. Tetapi beberapa langkah dari tempat itu, keadaannya sudah agak berbeda. Ki Jayaraga yang bertempur di antara para prajurit Mataram, telah membuat beberapa orang perwira menjadi heran. Setiap kali lawan Ki Jayaraga selalu terlempar menjauh. Bahkan murid Nagaraga yang berkaki pendek telah membawa seorang kawannya. Meskipun demikian, mereka tidak banyak berarti buat Ki Jayaraga.

Di sebelah lain, Sabungsari pun berusaha untuk menyerap beberapa orang cantrik untuk menghadapinya, agar mereka tidak terlalu banyak mengerumuni para perwira yang harus bertempur dengan mengerahkan segenap kekuatan. Sabungsari tidak ingin membuat pangeram-eram dengan sorot matanya. Tetapi ia telah mempergunakan senjata sebagaimana dipergunakan oleh para prajurit. Dengan pedang di tangan, Sabungsari menahan desakan orang-orang Nagaraga.

Ternyata di sayap yang sebelah, yang diperkuat dengan Sabungsari, Glagah Putih dan Raden Rangga, apalagi Ki Jayaraga, telah banyak terjadi perubahan. Jika di sayap yang lain orang-orang Nagaraga masih sempat mendesak orang-orang Mataram, namun di sayap sebelah, justru para prajurit Mataram-lah yang mendesak orang-orang Nagaraga.

Beberapa orang murid Nagaraga yang memiliki kemampuan yang tinggi, sempat menilai keadaan. Karena itu, maka mereka pun harus mengambil langkah-langkah.

Seorang penghubung telah diperintahkan untuk menarik beberapa orang dari sayap yang terlalu kuat bagi para prajurit Mataram untuk bergeser ke sayap yang lain.

Kiai Gringsing yang bertempur di sebelah senapati pengapit, melihat pergeseran itu. Namun ia memang tidak merasa perlu untuk menjadi cemas, karena di sisi itu terdapat Ki Jayaraga.

Kiai Nagaraga sendiri masih bertempur dengan keras melawan Pangeran Singasari. Namun keduanya masih tetap saling menyerang, saling mendesak dan meningkatkan tataran ilmu mereka semakin tinggi. Sementara itu, Kiai Gringsing sendiri masih juga menghadapi salah seorang murid Kiai Nagaraga. Kiai Gringsing tidak dengan cepat berusaha mengakhiri pertempuran itu, karena dengan demikian ia sempat berada di dekat Pangeran Singasari.

Namun lawan Kiai Gringsing yang garang itu menganggap bahwa meskipun Kiai Gringsing pada dasarnya mempunyai ilmu yang tinggi, tetapi ia sudah terlalu tua untuk bertempur di medan yang keras. Sehingga dengan demikian, maka lawan Kiai Gringsing itu memperhitungkan bahwa Kiai Gringsing pada suatu saat akan kehabisan tenaga. Dengan demikian, maka lawan Kiai Gringsing itu memang memancing agar orang tua itu bertempur dengan keras dan kasar, agar dengan demikian akan segera kehabisan tenaga.

Tetapi ternyata bahwa Kiai Gringsing masih mampu mengimbanginya. Bahkan dengan tanpa menunjukkan tingkat ilmunya yang lebih tinggi.

Beberapa orang murid Kiai Nagaraga memang telah bergeser dari sayap yang terlalu kuat, ke sayap yang lain. Seorang yang berwajah keras dengan bekas luka di keningnya berjalan dengan tenang mengamati pertempuran di sayap yang dianggap lemah itu. Ia tertegun ketika dilihatnya saudara seperguruannya yang berkaki pendek itu tidak segera mampu mengatasi seorang yang nampaknya telah menjadi tua.

“Orang ini agaknya berilmu tinggi,” desisnya.

Namun sebelum ia bertindak, seseorang telah menggamitnya sambil berkata, “Kau selesaikan para prajurit Mataram. Agaknya mereka tidak akan banyak memerlukan waktu bagimu. Biarlah orang ini aku hadapi.”

Orang berwajah keras itu mengangguk. Katanya, “Silahkan Kakang. Tetapi bagaimana dengan orang-orang di sisi sebelah?”

“Mereka akan dapat segera dihancurkan,” jawab orang itu.

Sebenarnyalah bahwa beberapa orang murid yang sudah sampai pada tataran tertinggi, memiliki kemampuan secara pribadi melampaui para perwira dari Mataram. Bahkan dua orang perwira yang memiliki kekuatan raksasa, yang bersama-sama dengan Pangeran Singasari memecahkan pintu gerbang itu pun telah menghadapi lawan yang sangat berat.

Ketika orang-orang yang, datang kemudian itu, kemudian melangkah mendekati Ki Jayaraga, maka orang berwajah kasar itu pun telah bergeser pula di sepanjang arena pertempuran.

Orang yang mendekati Ki Jayaraga itu bertubuh kecil. Tetapi agaknya ia mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang mengamati seluruh medan meskipun tidak dengan jelas, dapat menduga, bahwa murid-murid Nagaraga itu rasa-rasanya memang terlalu banyak. Karena itu, maka iapun berkata kepada diri sendiri, “Apakah benar disini hanya ada seorang guru besar seperti Kiai Nagaraga itu?”

Namun Kiai Gringsing tidak bertanya kepada siapapun. Ia justru menduga, bahwa tentu ada orang lain yang memiliki tataran yang hampir setingkat dengan Kiai Nagaraga itu sendiri. Tetapi agaknya tidak mudah untuk menemukannya.

Ketika pertempuran kemudian menjadi semakin sengit, maka mulailah korban berjatuhan. Para murid dari padepokan Nagaraga itu benar-benar telah membunuh. Para perwira yang terdesak, harus dengan sungguh-sungguh mengetrapkan kemampuan mereka bertempur dalam kelompok yang sangat terbatas.

Dalam pertempuran yang semakin keras, maka semua orang telah mengerahkan kemampuan mereka semakin tinggi, sehingga dengan demikian para prajurit Mataram yang jumlahnya lebih sedikit itu semakin mengalami kesulitan.

Namun karena beberapa orang telah bergeser dari sayap yang satu ke sayap yang lain, maka tekanan pun menjadi berkurang. Para perwira Mataram berusaha dengan segenap kemampuan mereka mengimbangi kekerasan dan kegarangan orang-orang Nagaraga.

Pangeran Singasari sendiri memang harus bergeser surut setiap kali. Sebenarnyalah Pangeran Singasari juga menjadi gelisah melihat keadaan pasukannya. Ia memang kurang memperhitungkan kemungkinan jumlah yang lebih banyak dari lawannya. Bahkan sekali-sekali Pangeran Singasari juga memikirkan kelompok-kelompok pasukan yang terbagi di seluruh padepokan itu.

Dalam pada itu, Sabungsari yang menyadari keadaan merasa ikut dibebani tanggung jawab. Bagaimanapun juga ia adalah prajurit Mataram. Meskipun seakan-akan oleh Pangeran Singasari ia tidak dihitung, karena ia berasal dari kesatuan yang berbeda dari kesatuan yang telah ditunjuk untuk mengikuti Pangeran Singasari, tetapi ia tetap seorang prajurit yang mengemban tugas pengabdian bagi Mataram.

Karena itu, maka ketika pertempuran menjadi semakin sengit, iapun bergerak lebih cepat. Pedangnya terayun-ayun mengerikan, sehingga beberapa orang cantrik telah terluka karenanya.

Ternyata Glagah Putih pun berbuat sebagaimana dilakukan oleh Sabungsari. Meskipun beberapa orang cantrik datang silih berganti, tetapi Glagah Putih tidak banyak mengalami kesulitan. Apalagi Raden Rangga. Ia masih tetap bermain-main dengan tongkatnya. Beberapa kali ia telah melemparkan senjata lawan-lawannya.

Yang bertempur semakin sengit adalah Ki Jayaraga. Lawannya yang bertubuh kecil itu menjadi heran, bahwa orang tua itu masih saja mampu mengimbangi ilmunya yang ditingkatkannya semakin tinggi. Namun sebaliknya Ki Jayaraga pun menyadari bahwa orang yang bertubuh kecil itu tentu orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Menilik tata gerak dan sikapnya.

Di luar dugaan Ki Jayaraga, orang itu tiba-tiba saja bertanya sambil meloncat menyerang, “Siapa kau he? Dari mana kau berguru sehingga kau mampu bertahan untuk beberapa lama?”

Ki Jayaraga mengerutkan keningnya. Sambil mengelak ia menjawab tanpa merahasiakan diri, “Namaku Ki Jayaraga. Aku pernah berada di dalam lingkungan perguruan yang memang tidak banyak dikenal, dan bahkan telah salah kedaden. Aku memimpikan keluarga yang manis dari perguruanku. Namun di antara kami ternyata telah melakukan hal-hal yang tercela. Bajak laut, perampok dan orang-orang tamak.”

“Persetan,” geram orang bertubuh kecil itu, “Namamu baik, mirip dengan nama perguruan ini. Tetapi kami tidak akan membiarkan padepokan ini dijamah oleh bajak laut seperti kau, yang seharusnya berada di lautan.”

Ki Jayaraga harus meloncat ke samping ketika ia melihat tangan lawannya itu mematuk dengan cara yang tidak terbiasa dilakukan oleh orang lain. Namun tangan itu memang mirip dengan gerak kepala ular yang mematuk mangsanya dengan mulutnya.

“Perguruan ular ini memang sangat berbahaya.” geram Ki Jayaraga. “He, Ki Sanak. Kau hanya dapat melakukan gerak-gerak seekor ular, atau kaupun memiliki racun yang tajam seperti tajamnya racun ular?”

“Persetan,” geram orang itu, “kau akan mati dengan cara apapun.”

“Apapun yang akan terjadi, aku ingin tahu, siapakah kau sebenarnya? Dan apa kedudukanmu di padepokan ini?” bertanya Ki Jayaraga.

“Aku adalah adik Kiai Nagaraga,” jawab orang itu.

“Adik seperguruan?” bertanya Ki Jayaraga pula.

Orang itu menggeleng. Katanya, “Bukan saja adik seperguruan. Tetapi aku memang adik kandungnya. Nah, ternyata kau memang mengalami nasib buruk. Ketika aku melihat kau di arena dan dengan sombong mempermainkan murid-muridku, maka timbullah niatku untuk sedikit mengajarimu melihat kenyataan.”

“Kau juga mempunyai murid disini?” bertanya Ki Jayaraga.

“Aku bersama-sama dengan kakakku, Kiai Nagaraga, telah menempa para cantrik, putut dan jejanggan yang ada di sini. Kami telah melahirkan beberapa orang yang sudah sanggup menjadi guru yang baik, meskipun untuk sementara mereka tetap di dalam lingkungan padepokan yang besar ini,” jawab orang bertubuh kecil itu.

Ki Jayaraga belum menyahut ketika tiba-tiba orang itu menyambarnya dengan ayunan tangan yang cepat dan keras sekali. Jika ujung-ujung jarinya yang kuncup itu menyentuh tubuhnya, maka dagingnya tentu akan koyak.

Sambil meloncat, menghindar Ki Jayaraga berkata, “Ternyata kau adalah orang kedua di padepokan ini.”

“Ya,” jawab orang itu, “aku adalah orang kedua. Tetapi dalam tataran ilmu, sulit dibedakan antara aku dan Kakang Nagaraga.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia telah bertemu dengan orang kedua dari padepokan itu, meskipun ia yakin bahwa orang itu sekedar membual jika ia memiliki ilmu setingkat Kiai Nagaraga sendiri.

Meskipun demikian, Ki Jayaraga tidak boleh lengah. Mula-mula ia harus berusaha untuk mempercayai kata-kata orang itu, bahwa ia memiliki ilmu yang sangat tinggi. Dengan demikian maka ia benar-benar akan menghadapi lawannya dengan sangat berhati-hati.

Namun dalam pada itu, orang yang berwajah keras yang semula akan menghadapi Ki Jayaraga telah mendekati tempat yang rawan. Ia melihat beberapa orang cantrik telah terlempar dengan luka-luka di tubuhnya. Karena itu, maka iapun telah mendekatinya.

Dengan kerut di dahinya ia melihat pada jarak tidak terlalu jauh, tiga orang di antara para prajurit Mataram yang memiliki ilmu yang tinggi. Mereka-lah yang telah melemparkan para cantrik yang terluka. Seorang di antara mereka bersenjatakan tongkat dari bambu yang berwarna kuning.

“Anak itu gila agaknya,” desisnya.

Ketika ia mendekat maka dilihatnya anak yang bersenjata pring gading itu adalah anak yang masih sangat muda. Tetapi menilik tata geraknya dan akibat setiap benturan dengan pring gadingnya, maka anak yang masih sangat muda itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Karena itu, maka orang yang berwajah keras itu pun telah mendekatinya, menyibak para cantrik yang seakan-akan mengerumuninya. Beberapa orang di antara para cantrik itu sudah terluka.

“Minggir,” geram orang itu, “anak ini memang perlu untuk mendapat sedikit peringatan.”

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Ia memang menjadi gembira mendapat lawan yang mungkin akan dapat bermain lebih baik daripada para cantrik yang mulai menjemukan itu.

“Marilah Ki Sanak,” berkata Raden Rangga, “siapa kau?”

“Aku adik Kiai Nagaraga,” berkata orang berwajah keras.

“O,” Raden Rangga mengangguk-angguk, “jadi kau adik seperguruan Kiai Nagaraga?”

“Tidak. Aku adiknya. Adik kandungnya,” geram orang itu, “bukan adik seperguruannya.”

“Maksudku, kau adik kandungnya tetapi juga adik seperguruannya, begitu?” desis Raden Rangga.

“Apa kau tuli he? Aku adiknya. Bukan adik seperguruannya!” orang itu membentak.

“Jadi tidak ada hubungan ilmu antara kau dan Kiai Nagaraga?” bertanya Raden Rangga pula.

“Aku muridnya,” jawab orang itu, “murid yang paling baik di padepokan ini. Aku memang tidak diberi wewenang untuk berdiri sendiri, karena aku diperlukan oleh Kakang Nagaraga untuk membantunya menempa murid-muridnya yang lain, yang lebih muda dari aku. Bukan muda umurnya, tetapi muda ilmunya.”

“Jadi ilmumu termasuk sudah cukup tua ya?” bertanya Raden Rangga pula.

“Ya,” jawab orang itu.

“Apakah dengan demikian kau telah menjadi orang kedua di padepokan ini?” bertanya Raden Rangga.

“Seharusnya memang begitu,” jawab orang itu.

“Kenapa seharusnya?” bertanya Raden Rangga.

“Seandainya tidak ada orang lain yang lebih baik dari aku,” jawab orang berwajah kasar itu.

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Kau benar. Kau akan menjadi orang yang paling baik tanpa orang lain yang lebih baik darimu. Begitu?”

“Ya,” jawab orang itu mantap.

Raden Rangga tertawa semakin keras. Katanya, “Kau memang seorang yang jujur. Sayang kau terlalu bodoh untuk mengatakan keadaanmu yang sebenarnya.”

“Gila,” geram orang itu, “kau kira kau tidak membuat aku marah dengan kata-katamu itu?”

“Marahlah. Aku berharap kau marah,” jawab Raden Rangga.

Sebenarnyalah orang berwajah keras itu menjadi marah sekali. Tanpa berkata sesuatu lagi ia telah meloncat menyerang Raden Rangga dengan garangnya.

Raden Rangga yang sudah siap, telah bergeser ke samping, sehingga tangan orang itu tidak menyentuhnya. Bahkan Raden Rangga sempat membalas menyerang orang itu dengan tongkat bambunya, mengarah ke tangan orang itu.

Namun ternyata bahwa Raden Rangga tidak dapat menyentuhnya. Dengan cepat orang itu berhasil menarik tangannya sehingga tongkat Raden Rangga tidak mengenainya.

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Dengan demikian ia menyadari bahwa lawannya yang agak kedunguan itu ternyata memang memiliki ilmu yang tinggi. Agaknya ia memang adik Kiai Nagaraga yang juga menjadi muridnya.

Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Raden Rangga telah mengalami pertempuran melawan orang Nagaraga sebelumnya. Karena itu, maka iapun sedikit banyak dapat mengenali tata gerak dari perguruan itu. Namun Raden Rangga tidak melupakannya, bahwa ia telah membunuh orang Nagaraga yang datang ke Mataram dengan membenturkan ilmunya dengan keras, justru pada saat orang Nagaraga itu menyerangnya dengan kekuatan ilmunya yang tinggi.

“Tetapi agaknya ilmu orang ini lebih baik,” berkata Raden Rangga di dalam hatinya.

Sekilas Raden Rangga memang teringat pada mimpinya. Tetapi iapun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Biarlah terjadi apa yang akan terjadi.

Ternyata bahwa orang berwajah keras itu memang memiliki ilmu yang tinggi. Dengan kecepatan gerak dan kekuatannya ia telah melawan Raden Rangga dengan tanpa mempergunakan senjata.

Mula-mula Raden Rangga tidak menghiraukannya. Ia masih saja mempergunakan tongkat bambunya. Namun akhirnya ia mulai memperhatikan bahwa lawannya telah melawannya dengan tidak bersenjata.

“He,” tiba-tiba saja Raden Rangga itu menegurnya, “kau jangan terlalu sembrono ya.”

“Kenapa?” bertanya orang itu.

“Kenapa kau tidak bersenjata?” bertanya Raden Rangga.

“Buat apa? Bertempur dengan cara apapun tidak penting, asal dapat mengalahkan lawannya. Jika tanpa senjata aku dapat mematahkan lehermu, buat apa aku bersenjata?” jawab orang itu.

Raden Rangga benar-benar tersinggung. Karena itu, maka tiba-tiba saja serangannya datang membadai. Tanpa menunggu lawannya sempat mengatur diri menghadapinya, maka tongkatnya telah tiga kali mengenai tubuh lawannya itu.

Meskipun Raden Rangga belum mengerahkan kemampuannya sepenuhnya dan membuat tongkatnya menjadi senjata yang aneh, namun pukulan tongkat bambu itu memang terasa sakit di tubuh orang itu. Lengannya telah menjadi nyeri. Sebuah goresan biru menyilang pula di pahanya, serta satu lagi di lambung, meskipun hanya menyentuhnya.

“Gila,” geram orang itu.

Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, maka orang itu telah bertempur semakin cepat. Ia mencoba menghindari serangan-serangan tongkat Raden Rangga. Tetapi ia tidak dapat bertahan untuk tetap berdiri pada sikap sombongnya. Jika ia tetap tidak bersenjata, maka tubuhnya akan diremukkan oleh tongkat bambu lawannya yang masih sangat muda itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar