Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 216

Buku 216

Kiai Damarmurti mengangguk-angguk. Ia memang melihat bekas-bekas luka itu yang sudah menjadi hampir sembuh dan pulih kembali. Tetapi ketiga muridnya itu sama sekali tidak bersikap bermusuhan dengan ketiga orang yang dikatakannya itu.

Karena itu, maka gurunya itu pun berkata, “Baiklah. Aku tidak akan mengambil sikap sekarang. Aku ingin menemui mereka, baru kemudian aku akan menentukan, apa yang akan aku lakukan. Tetapi aku masih menunggu sampai hari ini pamanmu Putut Wiyantu. Akan lebih baik jika pamanmu Putut Pideksa juga hadir.“

Ketiga muridnya itu termangu-mangu. Gurunya ingin menemui ketiga orang itu dengan jumlah orang yang sama.

Dalam pada itu, maka Kiai Damarmurti menganggap bahwa sudah tidak ada lagi yang akan mereka bicarakan. Karena itu, maka katanya kemudian. “Beristirahatlah. Rawat luka-luka kalian dengan baik agar tidak menjadi kambuh kembali.“

Ketiga orang itu pun kemudian telah keluar dari sanggar. Ketika mereka menutup pintu sanggar itu kembali, maka rasa-rasanya dada mereka menjadi lapang. Seakan-akan mereka telah meletakkan beban yang sangat berat yang harus mereka pikul selama ini.

“Mudah-mudahan Guru benar-benar bersikap sebagaimana dikatakan,“ desis yang tertua.

Yang kedua di antara ketiga orang bersaudara itu pun mengangguk kecil sambil berkata, “Agaknya Guru memang mencoba untuk mengerti.“

Yang termuda di antara merekapun menyahut, “Aku melihat kelainan pada sikap Guru.“

Yang tertua diantara mereka mengangguk angguk, namun tidak mengatakan sesuatu. Mereka bertiga pun kemudian telah meninggalkan sanggar itu. Mereka sadar bahwa guru mereka masih tetap berada di dalam sanggar itu sendiri.

Namun mereka terkejut ketika mereka kemudian mendengar suara gemerasak dari dalam sanggar itu, sehingga mereka bertiga pun telah terhenti. Sesaat mereka menghadap kembali ke sanggar itu dan menyaksikan sesuatu yang mengguncang jantungnya.

Mereka bertiga melihat bangunan sanggar itu bergerak-gerak, sementara suara gemerasak di dalamnya masih terdengar. Bahkan semakin lama menjadi semakin keras. Sehingga yang terdengar kemudian adalah putaran angin prahara sebagaimana sering mereka saksikan di hutan yang disebui Alas Prahara itu.

Semakin lama sanggar itu pun telah terguncang makin keras sebagaimana jantung ketiga orang murid Sapu Angin itu. Apalagi kemudian bangunan itu seakan-akan telah berderak-derak. Tubuh bangunan itu bagaikan terputar dan batang-batang kayu terdengar berpatahan.

“Apa yang telah terjadi?“ desis yang termuda.

Kedua kakak seperguruannya tidak sempat menjawab. Sanggar yang hampir roboh itu ternyata tidak menjadi roboh. Tetapi justru terangkat bagaikan terbang. Namun kemudian jatuh terhempas di halaman padepokan itu. Remuk berserakan. Ketiga orang murid Sapu Angin itu bagaikan membeku. Mereka kemudian melihat guru mereka bangkit dari tempat duduknya. Mengibaskan pakaiannya dan kemudian terbatuk-batuk kecil.

Ketiga orang muridnya itu pun segera berlari-lari mendapatkannya. Wajah mereka bertiga menjadi cemas. Tetapi guru mereka itu justru tersenyum sambil bertanya, “Kenapa kalian menjadi cemas? Ternyata kalian masih tetap tidak yakin akan kemampuanku.“

“Tetapi kami tidak tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi, Guru?“ bertanya murid yang tertua.

“Kenapa kau menjadi sangat bodoh setelah kau bertemu orang bercambuk itu?“ gurunya ganti bertanya.

Ketiga orang murid itu masih saja termangu-mangu. Namun akhirnya mereka pun dapat mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Gurunya sengaja telah mengorbankan sanggarnya untuk menguji kemampuannya dengan ilmu Sapu Angin.

Ternyata Kiai Damarmurti mampu mengguncang, memutar dan menerbangkan bangunan yang cukup besar dan kokoh itu dengan ilmunya yang telah dapat disempurnakannya kembali. Ilmu yang seakan-akan telah terlepas dari perguruan Sapu Angin. Namun yang ternyata telah dapat digapainya kembali.

“Marilah,“ berkata Kiai Damarmurti kemudian, “biarlah besok kita membuat sanggar yang baru yang lebih baik dan lebih kokoh dari yang telah roboh itu.“

Ketiga orang muridnya itu pun kemudian mengikutinya tanpa mengucapkan kata-kata apapun juga. Namun perasaan kagum masih saja mencengkam jantungnya sehingga terasa degupnya seakan-akan menjadi semakin cepat.

Pada saat mereka berdiri di tangga pendapa, mereka melihat para cantrik yang kebingungan berdiri termangu-mangu. Mereka benar-benar tidak tahu apakah yang sebenarnya terjadi. Tidak ada angin dan hujan, apalagi prahara yang kadang-kadang memang berhembus, sanggar itu telah terguncang dan terlempar jatuh beberapa puluh langkah dari tempatnya. Sedangkan pada saat-saat angin berhembus kencang dan pada saat padepokan itu dilintasi angin pusaran, bangunan yang kuat di padepokan itu tidak pernah dirusakkannya. Tetapi justru pada saat tidak ada apa-apa, bangunan itu bagaikan diputar oleh cleret tahun raksasa.

Dalam pada itu, Kiai Damarmurti yang kemudian berdiri menghadap ke arah cantrik itu pun berkata, “Jangan gelisah. Tidak ada apa-apa. Sanggar itu memang sudah waktunya dicabut dari tempatnya dan kita akan menggantinya yang baru. Yang lebih baik, lebih luas dan lebih kuat.“

“Tetapi kenapa dengan sanggar itu Kiai?“ bertanya seorang cantrik.

Kiai Damarmurti justru tertawa. Katanya, “Sudahlah. Kumpulkan kayu-kayu yang berserakan itu. Kayu-kayu itu dapat kalian pakai untuk memanasi air dan menanak nasi. Besok kita akan mencari kayu yang lebih pantas ke hutan. Hutan yang di sebelah daerah yang sering dilanda prahara. Bukan karena kita takut dihempas angin pusaran di Alas Prahara, Tetapi kayu di daerah hutan yang lebih tenang itu seratnya tentu lebih baik. Tidak melingkar-lingkar dan mudah patah jika dibuat menjadi kerangka bangunan.“

Para cantrik itu masih saja berdiri bagaikan membeku. Mata mereka yang memandang Kiai Damarmurti menyorotkan kegelisahan yang bergejolak di dalam hati mereka.

Namun sekali iagi Kiai Damarmurti berkata, “Sudahlah. Bersihkan halaman itu.”

Para cantrik yang masih belum jelas persoalannya itu tidak bertanya lebih lanjut. Namun mereka pun segera melakukan perintah Kiai Damarmurti, membersihkan halaman yang penuh dengan pecahan kerangka sanggar yang berserakan.

Pada saat yang demikian, dua orang telah memasuki halaman padepokan. Keduanya terkejut melihat kekayuan yang terserak-serak di halaman padepokan itu. Karena itu maka mereka pun segera mendapatkan cantrik yang sedang sibuk membersihkan halaman itu.

”Apa yang telah terjadi?“ bertanya seorang di antara mereka.

Seorang di antara para cantrik itu menggeleng sambil menjawab, “Kami tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang kami ketahui, tiba-tiba saja sanggar ini bergerak semakin lama menjadi semakin cepat. Kemudian berguncang keras sekali dan bagaikan diputar oleh angin pusaran. Bahkan kemudian sanggar ini terangkat, dan terhempas di sini.”

Kedua orang itu menjadi tegang. Ketika kemudian mereka memandang ke pendapa rumah induk padepokan itu dan melihat beberapa orang duduk di sana, maka keduanya pun dengan tergesa-gesa telah menuju ke pendapa.

Tetapi keduanya merasa heran, bahwa mereka melihat wajah Kiai Damarmurti yang cerah. Bahkan dengan suara yang ringan Kiai Damarmurti mempersilahkan, “Marilah Adi Putut Wiyantu dan Putut Pideksa. Aku memang sedang menunggu kalian.“

Putut Wiyantu dan Putut Pideksa yang merasa heran atas sikap Kiai Damarmurti itu pun telah naik pula ke pendapa dan duduk bersama Kiai Damarmurti bersama tiga orang muridnya.

“Apa yang telah terjadi Kakang?“ bertanya Putut Wiyantu.

Kiai Damarmurti tertawa pendek. Katanya, “Tidak apa-apa. Marilah. Duduklah yang baik. Jangan gelisah seperti itu.“

Kedua orang Putut itu pun kemudian beringsut sejengkaL

Kiai Damarmurti telah memanggil salah seorang cantrik yang ada di halaman dan berkata, “He, kau lihat kedua adikku datang? Kenapa kau tidak bergegas merebus air?”

“O,“ cantrik itu mengangguk hormat. Iapun segera pergi ke dapur untuk merebus air. Sementara kawan-kawannya masih sibuk membersihkan halaman dari reruntuhan yang berserakan itu.

Namun daiam pada itu, kedua orang Putut itu masih saja termangu-mangu memandang reruntuhan yang ada di halaman. Memang keduanya belum dapat mengerti, apa yang agaknya telah terjadi.

“Kakang,“ berkata Putut Wiyantu, “apakah sebenarnya yang telah Kakang lakukan? Menurut ingatanku, tidak ada bangunan di halaman itu. Namun tiba-tiba sekarang aku melihat sebuah rumah atau barak atau bangunan apapun yang roboh di halaman.“

“Bangunan itu adalah sanggar kita,“ jawab Kiai Damarmurti.

“Sanggar?“ kedua Putut itu menjadi heran. Sementara itu Putut Wiyantu bertanya pula, “Apakah ada sanggar di situ?“

Kiai Damarmurti tidak menjawab. Tetapi ia menunjuk ke arah bekas sanggar yang telah diangkat dan dilontarkan oleh kekuatan ilmunya itu.

Keduanya menjadi semakin bingung. Namun kemudian Kiai Damarmurti pun berkata kepada muridnya yang tertua, “Katakan kepada kedua pamanmu.“

Murid Sapu Angin yang tertua itu pun kemudian telah menceritakan apa yang terjadi. Bahwa sanggar itu telah dilemparkan dari tempatnya oleh ilmu yang telah berhasil dikembangkan kembali oleh gurunya.

Kedua orang Putut itu mengangguk-angguk. Namun kemudian Putut Pideksapun berkata, “Bukan main. Tetapi kami ikut menjadi sangat bergembira. Bukankah dengan demikian, pada satu saat kami akan dapat mempelajarinya pula?“

“Tentu,“ jawab Kiai Damarmurti, “tetapi kalian harus bersedia menjalani laku yang sangat berat.“

“Aku sudah terlalu biasa menjalani laku yang bagaimanapun beratnya,“ jawab Putut Wiyantu, “semakin berat laku yang kami jalani, rasa-rasanya semakin sah ilmu itu kami miliki.“

Kiai Damarmurti tertawa. Lalu katanya, “Sudahlah. Kita mempunyai bahan pembicaraan yang lain, yang barangkali lebih menarik untuk dibicarakan.“

“Tentang apa Kakang?“ bertanya Putut Wiyantu.

“Nanti saja kita bicarakan,“ jawab Kiai Damarmurti, “kita masih mempunyai banyak waktu. Biarlah anak-anakmu nanti bercerita setelah cantrik itu membawa minuman panas.“

Kedua Putut itu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya bahwa mereka ingin segera mendengar cerita dari murid-murid Kiai Damarmurti. Tetapi keduanya terpaksa menunggu hidangan yang kemudian dihidangkan. Sementara itu Kiai Damarmurti-lah yang bertanya tentang perjalanan Putut Wiyantu dan Putut Pideksa.

“Tidak ada apa-apa,“ jawab Putut Wiyantu, “kami menjelajahi daerah yang Kakang maksudkan. Kami tidak menemukan apa-apa. Tetapi bahwa nampak beberapa persiapan memang telah dilakukan.“

Kiai Damarmurti mengangguk-angguk. Sementara itu maka hidangan pun telah mulai dicicipi.

Sambil minum-minuman hangat dan mengunyah beberapa potong makanan, maka Kiai Damarmurti pun berkata kepada muridnya yang tertua, “Nah, bicaralah tentang perjalananmu.“

Murid yang tertua dari Sapu Angin itupun kemudian menceritakan perjalanan mereka. Usaha mereka menemui beberapa kelompok yang bersedia untuk bekerja bersama. Namun mereka pun kemudian menceritakan bahwa mereka telah terjebak oleh tiga orang yang tidak dikenalnya. Seorang di antaranya adalah orang bercambuk.

“Orang bercambuk?“ desis Putut Pideksa, “Aku pernah mendengarnya.“

“Tentu kau pernah mendengarnya,“ berkata Kiai Damarmurti. “Tetapi sekarang orang-orang itu telah bertemu dengan anak-anakmu.“

Putut Pideksa mengangguk-angguk, Sementara itu murid Sapu Angin tertua itu menceritakan saat-saat yang tegang sehingga seorang di antara mereka terbunuh. Tetapi akhir dari cerita itu telah membuat Putut Pideksa dan Putut Wiyantu kecewa.

Dengan nada tinggi Putut Pideksa berkata, “Jadi kau tinggalkan saudaramu yang terbunuh itu tanpa pembalasan dendam?“

Sebelum murid tertua itu menjawab, Kiai Damarmurti-lah yang menjawab, “Aku tidak menyalahkannya. Jika mereka berusaha membalas dendam atas kematian saudaranya itu, maka mereka semuanya-lah yang akan mati. Orang bercambuk dan kawan-kawannya itu sebagaimana digambarkannya, memang bukan lawan kanak-kanak itu. Itulah sebabnya maka aku menunggu kalian berdua. Kita bertiga akan dapat berangkat menuju ke Barat untuk mencari ketiga orang itu. Mungkin kita tidak menemukannya. Tetapi biarlah kita akan mencoba, karena mereka tidak akan lebih ke timur dari batas Bengawan kita itu. Bahkan Alas Prahara inipun telah disebutnya sebagai tempat yang terlalu jauh untuk didatangi.“

Kedua orang Putut itu mengangguk-angguk. Bahkan Putut Pideksa itupun menggeram, “Semakin cepat semakin baik Kakang. Kita haras menemukan mereka.“

“Tetapi ingat, anak-anakmu itu tidak sekedar membual. Aku percaya apa yang mereka katakan, bahwa ketiga orang itu memang memiliki ilmu yang tinggi,“ berkata Kiai Damarmurti.

“Kita akan membuktikan,“ berkata Putut Pideksa, “memang wajar jika mereka dapat membantai anak-anak. Tetapi jika kita sempat menemui mereka, maka kita-lah yang akan membantai mereka. Apalagi Kakang telah mencapai tataran tertinggi dari perguruan Sapu Angin ini. Maka ketiga orang itu agaknya memang bukan apa-apa.“

Kiai Damarmurti menggeleng. Katanya, “Jangan lupakan sorot mata yang mampu menghancurkan bagian dalam dada anakmu yang terbunuh itu.“

“Kemampuan dan kecepatan anak-anak bermain pisau memang berbeda dengan kemampuan dan kecepatan kami,“ jawab Putut Pideksa, “pisau-pisau kami akan berjajar menancap di dada orang yang matanya bersinar itu.“

Kiai Damarmurti tersenyum. Tetapi yang diucapkan kemudian ternyata mengejutkan kedua orang Putut dan murid-muridnya. Katanya. “Pisau-pisau itu mungkin akan menancap di dadanya. Itu jika kita harus berkelahi melawan mereka.“

Putut Wiyantu dengan serta merta bertanya, “Apakah ada kemungkinan lain, Kakang?“

Kiai Damarmurti mengangguk. Katanya, “Ya. Ada kemungkinan lain. Mungkin kita memang tidak akan berkelahi dengan mereka.“

“Seorang muridmu telah terbunuh,“ geram Putut Wiyantu.

Kiai Damarmurti mengangguk. Katanya, “Seorang muridku memang sudah terbunuh. Tetapi kau dengar kenapa ia terbunuh?“

“Ah, sejak kapan Kakang mulai menilai sebab dari perkelahian yang terjadi antara anak-anak Sapu Angin dengan orang lain?“ bertanya Putut Pideksa.

“Sejak aku menghadapi satu kenyataan, bahwa ternyata ketiga muridku itu tidak dibunuh. Ketiga muridku itu sudah pasrah tanpa mampu melawan. Dua orang terluka, seorang kehilangan tenaganya mutlak. Sedangkan yang seorang sudah jelas terbunuh,“ berkata Kiai Damarmurti. “Tetapi akhirnya mereka bertiga itu sempat kembali ke padepokan. Sementara itu, setiap orang akan dapat menyebut, siapakah yang sebenarnya bersalah di antara ketiga orang itu dan murid-muridku.“

“Aku menangkap kelainan sikap padamu Kakang,“ berkata Putut Wiyantu.

“Ketiga muridku telah menggurui aku. Tanpa disengaja. Di antara cerita yang dikatakan kepadaku, murid-muridku mengatakan, bahwa perubahan sikap itu mungkin saja bagi mereka yang nalarnya masih belum membeku, Jika sebelumnya aku tidak pernah mengusut apakah langkah-langkah kita salah atau tidak, asal saja kita menumpahkan dendam kepada orang lain, maka sekarang ternyata aku berubah. Dan ini merupakan pertanda bahwa nalarku belum membeku,“ jawab Kiai Damarmurti.

Putut Pideksa tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Lucu sekali. Kakang masih sempat bergurau dalam keadaan seperti ini.“

Putut Wiyantu memandang Putut Pideksa yang tiba-tiba tertawa. Namun iapun kemudian bertanya kepada Kiai Damarmurti sambil tertawa pula, “Apakah memang benar Kakang bergurau?“

Tetapi Kiai Damarmurti menggeleng. Katanya, “Aku tidak sedang bergurau. Aku berkata sebenarnya.“

“Jadi, jika demikian kita akan membiarkan saja apa yang telah terjadi? Atau barangkali karena cerita ketiga murid Kakang yang agak berlebihan itu Kakang menjadi ketakutan?“ bertanya Putut Wiyantu.

“Jangan menyinggung perasaanku,“ berkata Kiai Damarmurti.

“Aku minta maaf Kakang,“ berkata Putut Wiyantu kemudian, “tetapi maksudku, aku tidak percaya bahwa Kakang memang berniat untuk melupakan peristiwa itu begitu saja. Martabat perguruan Sapu Angin akan jatuh sampai ke dasar. Apa kata perguruan Nagaraga, Watu Gulung, Sapta Sabda dan perguruan-perguruan yang baru lahir kemudian? Sapu Angin adalah sebuah perguruan yang sudah tua, yang seharusnya mampu mempertahankan martabatnya. Kita tidak tahu, tiga orang itu dari perguruan yang mana, yang sekarang hadir di dalam percaturan dunia olah kanuragan. Orang bercambuk itu mungkin merupakan sisa-sisa dari perguruan yang sudah tua pula. Sorot mata yang memancar itu sudah lama tidak ditemui dalam perguruan-perguruan yang manapun juga, sehingga kekuatannya pun agaknya tidak perlu dicemaskan, yang hanya dapat membunuh anak-anak. Permainan api itu pun tidak menarik sama sekali. Dalam pertempuran yang terjadi kemudian, orang itu sama sekali tidak mampu mempergunakan apinya. Justru ia mempergunakan ikat kepalanya yang menjadi saluran tenaga cadangannya. Bukankah begitu menurut cerita yang aku tangkap?“

“Ya,“ desis murid Sapu Angin yang tertua hampir diluar sadarnya.

“Memang demikian,“ desis Kiai Damarmurti, “tetapi kita tidak boleh menutup mata penglihatan batin kita atas apa yang terjadi. Dan aku menangkapnya sebagai satu peristiwa yang memang mungkin dapat direnungkan dan dapat menjadi sebab perubahan penalaran kita menghadapi satu peristiwa.“

Kedua Putut itu nampak menjadi kecewa. Dan kekecewaan itu tertangkap oleh penglihatan Kiai Damarmurti. Karena itu maka iapun kemudian berkata, “Tetapi sikapku belum merupakan keputusan terakhir. Aku memang ingin bertemu dengan mereka jika kita kelak dapat mencarinya. Baru kemudian aku akan menentukan sikap.“

Putut Wiyantu dan Putut Pideksa saling berpandangan sejenak. Namun keduanya pun kemudian mengangguk-angguk. Masih banyak kemungkinan dapat terjadi. Bahkan kemungkinan yang paling tidak diharapkan. Yaitu jika mereka pun menjadi berubah sikap pula seperti Kiai Damarmurti.

“Aku bukan orang yang berhati lemah seperti Kakang Damarmurti,“ berkata Putut Wiyantu di dalam hatinya.

Sementara itu Putut Pideksa berbicara kepada dirinya sendiri, “Kakang Damarmurti harus menyadari kekeliruannya. Perguruan Sapu Angin yang selama ini berdiri sejajar dengan perguruan-perguruan lain, akan dapat hancur namanya karena orang-orang tidak bernama itu.“

Namun mereka tidak segera mengatakannya. Mereka memang masih harus menunggu apa yang akan dilakukan oleh Kiai Damarmurti kelak jika ketiga orang itu benar-benar dapat dijumpai dimanapun juga.

Dalam pada itu, para cantrik masih saja sibuk dengan sanggar yang rusak itu. Sementara Kiai Damarmurti berkata kepada kedua Putut itu, “Hari ini dan besok aku masih harus menemukan pohon kayu yang paling baik untuk mengganti sanggarku yang rusak.“

Kedua orang Putut itu termangu-mangu. Namun Putut Pideksa itu pun kemudian berkata, “Jika demikian, kapan kita akan pergi? Apakah kita memang menunggu orang-orang itu pergi, sehingga kita tidak akan dapat bertemu dengan mereka?“

Kiai Damarmurti mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kalian telah berubah menjadi garang.“

“Tidak,“ jawab Putut Wiyantu, “Kakang-lah yang sudah berubah menjadi terlalu lembut.“

Kiai Damarmurti tertawa. Lalu katanya, “Sudahlah. Beristirahatlah Nanti kita pergi ke hutan bersama beberapa orang cantrik.“

Betapapun kecewanya, kedua Putut itu tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka pun kemudian meninggalkan pendapa itu bersama ketiga orang murid Kiai Damarmurti itu. Sedangkan Kiai Damarmurti sendiri telah turun ke halaman dan memanggil beberapa orang cantrik agar bersiap-siap untuk pergi ke hutan mencari kayu yang paling baik untuk membangun sanggar.

Kedua Putut yang beristirahat di belakang itu sempat berbicara kepada murid-murid Sapu Angin. Dengan nada rendah Putut Wiyantu bertanya, “Kenapa dengan gurumu? Pada saat ia menemukan, kekuatannya yang utuh, ia justru menjadi lemah.“

Murid tertua di antara ketiga orang saudara seperguruannya itu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa gurunya telah mendengarkan laporan dan bahkan pendapatnya. Karena itu, murid Sapu Angin itu sulit untuk memberikan keterangan.

Karena murid Kiai Damarmurti itu tidak segera menjawab, maka Putut Wiyantu itu berkata, “Baiklah. Kalian memang sudah berubah. Tetapi jika kita berhasil menemukan ketiga orang itu, mungkin Kakang Damarmurti akan menemukan dirinya kembali.“

Ketiga murid Sapu Angin itu masih tetap berdiam diri.

“Dengan demikian, maka kewajiban kita sekarang adalah menunggu Kakang Damarmurti setelah ia menemukan kekayuan yang dikehendaki itu,“ berkata Putut Pideksa.

Putut Wiyantu mengangguk-angguk. Sementara itu mereka pun segera pergi ke bilik yang sudah disediakan bagi mereka untuk menyimpan dan berganti pakaian. Meletakkan tudung kepala yang lebar dan menggantungkan senjata di dinding. Baru sejenak kemudian mereka pun telah berada pula di halaman bersama para cantrik dan murid-murid dari perguruan itu.

Dalam pada itu, di tempat lain yang jauh, dua orang anak muda sedang duduk di atas sebongkah batu karang. Mereka memperhatikan lingkungan di sekitarnya dengan kening yang berkerut. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Ternyata kita tidak menemukan apa-apa di sini, Glagah Putih.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sekali-sekali ia memperhatikan lereng gunung yang dipenuhi oleh pepohonan yang pepat. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Apakah kita harus memutari lambung pegunungan ini setingkat demi setingkat?“

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Menyenangkan sekali. Tetapi kita baru akan selesai sesudah rambutmu ubanan.“

Glagah Putih pun tersenyum pula. Namun kemudian katanya, “Marilah kita berjalan kemana saja. Aku sudah jemu tinggal di sekitar tempat ini tanpa menemukan apa-apa.“

Keduanya pun kemudian mulai bergerak. Mereka melangkah menyusup hutan yang tidak rata. Sebagian lebat pepat, namun ada bagian-bagian yang sedikit terbuka. Meskipun juga ditumbuhi oleh pepohonan perdu. Namun ada juga yang terbuka sama sekali. Yang ada hanyalah batu-batu padas yang gundul. Namun daerah yang terbuka sama sekaii itu tidak begitu luas dibandingkan dengan hutan-hutan yang lebat.

Kedua anak muda itu telah melanjutkan perjalanannya. Mereka menyusuri setiap jalur yang disangkanya setapak. Namun mereka tidak pernah menemukan sesuatu.

Beberapa ratus tonggak di bawah mereka, nampak padukuhan-padukuhan dikelilingi oleh persawahan yang hijau. Daerah yang pernah dijelajahinya sebelumnya. Namun mereka tidak menjumpai sebuah padepokan pun. Sementara itu, agaknya orang-orang padukuhan itu tidak ada pula yang tahu, atau merasa takut, untuk memberikan keterangan tentang padepokan Nagaraga.

Ketika kedua anak muda itu sudah menjadi jemu dan hampir saja mereka meninggalkan tempat itu untuk mencarinya di tempat lain, maka tiba-tiba keduanya melihat sesuatu yang menarik perhatian.

“Glagah Putih,“ berkata Raden Rangga, “kau lihat itu?“

Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Seakan-akan sesuatu telah melanda tempat itu.“ “Tetapi tentu sudah terjadi dalam waktu yang lama,“ berkata Raden Rangga.

“Marilah, kita lihat,“ berkata Glagah Putih.

Raden Rangga mengangguk. Katanya, “Kita ikuti jalur itu. Agaknya memang sangat menarik.“

Kedua anak muda itu pun kemudian mengikuti sebuah jalur yang bagi mereka sangat menarik. Seakan-akan sebuah jalur yang menyibakkan pepohonan hutan, tetapi bekas itu masih nampak jelas.

Melalui jalan yang sangat sulit, keduanya bergerak menuruni lereng. Keduanya merayap dengan lambat sekali. Kadang-kadang mereka harus merangkak. Namun kadang-kadang mereka harus memanjat dan meniti batang-batang kayu yang roboh. Bahkan kadang-kadang Raden Rangga terpaksa mempergunakan ilmunya, menyapu kekayuan dan pepohonan yang pepat. Sebuah lontaran ilmu yang dahsyat sekali-sekali telah melanda hutan, sehingga jalan terbuka untuk beberapa puluh langkah.

Demikian mereka berdua melakukannya berganti-ganti. Namun bagaimanapun juga, mereka lambat sekali menembus hutan itu. Tetapi keduanya tidak begitu menghiraukan. Mereka justru merasa mendapat kesempatan untuk berlatih tanpa mengganggu orang lain. Apalagi Glagah Putih. Beberapa kali Raden Rangga memberi kesempatan kepada Glagah Putih untuk melepaskan ilmunya. Beberapa kali ia memberikan petunjuk dan mengemukakan pendapatnya atas ilmu yang dilepaskan oleh Glagah Putih. Ternyata bahwa pendapat Raden Rangga itu sangat berarti bagi Glagah Putih.

Namun kedua anak muda itu tidak mempergunakan kekuatan api untuk membuka jalan. Mereka menyadari, bahwa api akan dapat sangat berbahaya bagi hutan di lereng gunung. Kebakaran yang terjadi pada hutan di lereng gunung akan dengan cepat menjalar dan merambat naik.

Demikianlah, mereka menelusuri semacam jalur yang agaknya sudah terdapat cukup lama, namun masih tetap membekas. Pepohonan yang menyibak, meskipun telah ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan yang baru. Batu-batu yang menyibak dan pertanda-pertanda yang lain.

Tetapi akhirnya Glagah Putih bertanya, “Untuk apa kita ikuti jalur itu?“

Raden Rangga menggeleng. Katanya, “Entahlah. Tetapi mungkin ada gunanya.“

Glagah Putih tidak menjawab. Diikutinya jalur yang memanjang itu. Sekali-sekali menuruni lembah yang agak dalam, kemudian memanjat tebing yang curam. Namun jalur itu memang menuruni lereng gunung.

Ketika kedua anak muda itu menjadi semakin rendah, maka mereka pun telah memasuki sebuah hutan perdu. Ternyata bahwa mereka masih tetap dapat melihat jejak yang memanjang itu, sehingga akhirnya masuk ke sebuah sungai.

Raden Rangga dan Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun mereka pun kemudian telah turun pula ke dalam sungai. Ternyata meskipun tidak begitu jelas, mereka masih juga dapat melihat jejak yang tidak mereka ketahui itu.

Ketika kedua anak muda itu bertemu dengan seorang tua yang sedang sibuk menebarkan jala di sebuah kedung kecil di sungai itu, maka keduanya pun telah mendekatinya.

“Kakek?“ bertanya Raden Rangga, “Apakah Kakek dapat menceritakan kepada kami, jejak yang menuruni lereng gunung itu dan yang kemudian menuruni sungai itu, apakah jejak arus air atau jejak batu raksasa yang berguling, atau jejak apa?“

Orang tua itu mengerutkan keningnya. Dengan heran ia bertanya, “Dari mana Anak-Anak muda mengetahui tentang jejak itu?”

“Kami mengikutinya dari lereng gunung Kek,“ jawab Raden Rangga.

”Ah, jangan bergurau,“ berkata orang tua, “mana mungkin seseorang pernah memanjat lereng gunung itu.“

Raden Rangga dan Glagah Putih saling berpandangan. Tetapi pendapat orang itu memang tidak aneh. Jalan yang pernah mereka lalui memang sangat rumpil dan sulit. Hanya orang-orang yang agaknya tidak mempunyai pekerjaan sajalah yang sempat dan mencoba untuk naik.

Namun dalam pada itu, Raden Rangga pun kemudian tesenyum kepada orang tua itu sambil bertanya, “Kakek, apakah lereng itu memang tidak pernah disentuh oleh kaki seseorang?”

“Seingatku tidak Ngger,“ jawab orang tua itu.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Setelah ia bersama Glagah Putih menjelajahi daerah yang sangat luas, namun mereka masih belum menemukan apa yang mereka cari.

Glagah Putih pun agaknya berpikir seperti itu pula. Bahkan iapun kemudian berdesis, “Raden, satu perjalanan yang sia-sia. Gunung itu tidak pernah didaki oleh seorangpun.“

Namun Raden Rangga masih juga bertanya, “Jadi, bekas apakah yang mirip dengan sebuah saluran yang menyibak pepohonan dab bebatuan itu Kek? Bahkan sampai sekarang, di tebing sungai inipun masih nampak di beberapa bagian bekas-bekasnya, yang dapat memberikan petunjuk arah dari jalur jejak itu.“

“Ini sudah terjadi lama sekali Ngger,“ berkata orang tua itu, “dahulu di gunung itu tinggal seekor ular raksasa. Namun pada suatu hari, tanpa diketahui sebabnya, ular itu telah menuruni lereng gunung dan menelusuri jurang ke dalam sungai itu.“

“Ular raksasa?“ bertanya Raden Rangga.

“Ya. Ular yang sangat besar. Menurut cerita, karena aku sendiri tidak melihatnya. ular itu lebih besar dari paha seorang laki-laki yang gemuk,“ berkata orang itu.

“Hanya sebesar paha seorang laki-laki?“ bertanya Raden Rangga, “Menilik jejaknya, maka ular itu tentu lebih besar.“

“Anak Muda,“ berkata orang tua itu, “ular itu memang tidak sebesar batang pohon kelapa. Tetapi ular itu mempunyai satu kelebihan. Ular itu bukan ular kebanyakan, betapapun besarnya. Tetapi ular itu adalah raja ular. Ular itu memakai mahkota di kepala. Memakai jamang dan sumping. Sehingga meskipun besarnya belum sebesar batang pohon kelapa, namun perbawanya-lah yang telah membuat bekas seperti itu. Pepohonan yang berada di sebelah-menyebelah jalan yang ditempuhnya, roboh tanpa disentuhnya. Batu-batu pun menyibak dan bukit pun terbelah.”

Raden Rangga mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada Glagah Putih, “Menarik sekali. Apakah kita akan mengikuti jejak itu?”

“Tetapi jejak itu sampai kemana Kek?” bertanya Glagah Putih.

“Aku tidak tahu Ngger. Dahulu sekelompok orang pernah mengikuti pula jejaknya. Namun pada saat jejak itu masih baru,“ jawab orang tua itu.

“Sekelompok orang dari mana Kek?“ bertanya Glagah Putih.

Orang tua yang sedang mencari ikan itu termangu-mangu. Namun ia tidak segera melemparkan jalanya. Bahkan iapun kemudian duduk di atas sebuah batu yang besar. Katanya, “Aku memang ingin beristirahat. Aku sudah mendapat ikan cukup banyak. Kepisku hampir penuh.”

Glagah Putih sempat memandang kepis yang tergantung di lambung orang itu. Ternyata kepis yang cukup besar itu memang sudah berisi lebih dari tiga perempat.

“Duduklah di sini Anak-Anak Muda,“ berkata orang tua itu. “Siapakah sebenarnya kalian, dan dari manakah kalian datang?“

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Kami sekedar orang lewat saja.“

“Tetapi Kek,“ desak Glagah Putih, “Kakek belum menjawab pertanyaanku. Sekelompok orang dari manakah yang telah mengikuti jejak ular itu?“

“Duduklah,“ berkata orang tua itu, “nanti aku akan bercerita.“

Raden Rangga dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun kemudian duduk bersama orang tua itu di atas sebuah batu yang besar.

“Dengarlah Anak-Anak Muda,“ berkata orang tua itu, “di lengkeh gunung itu dahulu terdapat sebuah padepokan.”

“Lengkeh yang mana?“ bertanya Raden Rangga.

“Lengkeh gunung, itu, bagian yang lekuk di antara dua bukit di lambung gunung,“ sahut kakek itu, “bukankah tidak terlalu jauh dari sini? Tempat itu memang tidak terlalu suiit untuk dicapai.“

“Tetapi bukankah Kakek tadi mengatakan, bahwa tidak seorangpun yang pernah memanjat lereng bukit itu?“ bertanya Glagah Putih.

“Sekarang, Anak Muda,“ jawab orang tua itu, “sebelumnya di lengkeh gunung itu memang terdapat sebuah padepokan. Tetapi sekali lagi aku beritahukan, bahwa akupun belum pernah melihat padepokan itu, karena aku bukan orang yang tinggal di dekat tempat ini. Aku adalah seorang pencari ikan yang terbiasa menyusun sungai ini sampai ke tempat yang jauh.“

Raden Rangga dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu orang itu pun meneruskan, “Tetapi ketika ular di lambung gunung itu pergi, maka padepokan itu pun menjadi kosong. Para penghuni padepokan itu telah berusaha untuk mengikuti jejak ular yang besar yang dianggap sebagai raja ular itu.“

“Padepokan itu namanya apa Kek, dan kapan hal itu terjadi?“ cerita itu ternyata sangat menarik bagi kedua anak muda itu.

Sambil tersenyum kakek tua itu menjawab, “Aku tidak tahu. Sudah aku katakan, bahwa aku hanya mendengar kata orang.“

Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun kemudian ia masih juga bertanya, “Lengkeh yang ada di depan hidung kita itu?“

“Ya,“ jawab kakek itu, “tetapi kata orang. Sekali lagi aku katakan, aku tidak melihatnya sendiri.“

Tiba-tiba saja Raden Rangga meloncat sambil berkata, “Aku akan melihat tempat itu.“

“He?“ orang tua itu terbelalak, “Kau akan naik?“

“Ya. Bukankah hanya beberapa puluh patok?“

“Tetapi tentu sudah menjadi hutan dan sulit untuk dicapai,“ berkata orang tua itu.

“Jika kata orang itu benar, maka bekas-bekasnya tentu masih ada. Mungkin jalan setapak, mungkin yang lain,“ jawab Raden Rangga.

Glagah Putih pun kemudian bangkit pula sambil berkata, “Terima kasih Kek. Kami akan melihat tempat itu. Jika kami mengalami kesulitan, maka kami akan mengurungkannya.“

Kakek tua itu hanya dapat menggelengkan kepalanya ketika ia melihat kedua orang anak muda itu berjalan dengan cepat, bahkan hampir berlari-lari.

Raden Rangga dan Glagah Putih telah memanjat lereng gunung itu kembali. Lengkeh itu letaknya memang tidak begitu tinggi. Sehingga karena itu keduanya akan dapat mencapainya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Apalagi keduanya memang masih berada di dataran yang tinggi di lereng gunung.

Setelah meneliti sejenak, maka keduanya memang menemukan jalan setapak untuk memanjat lereng gunung itu. Meskipun jalan itu sudah lama sekali tidak disentuh kaki dan ditumbuhi berbagai macam tumbuh-tumbuhan dan berlumut, namun masih jelas bahwa jalan itu pernah menjadi jalur untuk memanjat.

Dengan hati-hati keduanya memanjat lereng itu. Tetapi mereka kini melalui jalan setapak. Tidak lagi menelusuri jejak yang dikatakan oleh orang tua itu, jejak seekor ular yang besar, sehingga dengan demikian mereka akan dapat maju jauh lebih cepat meskipun mereka memanjat naik.

Namun meskipun jalan yang mereka lalui adalah jalan setapak, tetapi karena sudah terlalu kama tidak pernah dipergunakan, maka jalan itu pun menjadi rumpil. Hanya karena keduanya memiliki kemampuan yang tinggi, maka keduanya mampu berjalan dengan cepat.

Beberapa lama kemudian, maka mereka telah mendekati satu tempat yang memang nampak menarik perhatian. Jelas dapat dilihat oleh kedua orang anak muda itu, bahwa mereka menemukan satu jenis bangunan yang sudah lama sekali tidak ditentuh tangan.

“Inilah agaknya yang dikatakan oleh kakek tua itu,“ berkata Raden Rangga.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Mereka melihat dinding yang cukup tinggi mengitari satu lingkaran. Dari bekas pintu regol yang sudah rusak, mereka dapat melihat ke dalamnya. Bangunan-bangunan yang sudah rusak dan sama sekali tidak terawat. Hanya dinding yang terbuat dari batu itu sajalah yang masih kelihatan ujudnya.

Kedua orang anak muda itu termangu-mangu. Namun akhirnya keduanya pun telah memasuki pintu gerbang yang sudah rusak itu untuk melihat-lihat keadaan di dalamnya. Keduanya tertegun ketika keduanya melihat seekor ular sebesar lengan menelusur dan menghilang ke dalam semak-semak.

“Di sini banyak sekali ular agaknya,“ berkata Kaden Rangga.

Namun keduanya tidak lagi merasa begitu takut kepada ular, karena mereka masing-masing mempunyai penawar bisa yang akan dapat melindungi mereka dari gigitan binatang itu. Dengan hati-hati keduanya berjalan di halaman yang cukup luas dan licin. Beberapa jenis pohon buah-buahan masih terdapat di halaman. Namun agaknya pepohonan itu sudah cukup tua.

Raden Rangga yang kemudian berdiri di halaman sambil bertolak pinggang itu pun mengangguk-angguk kecil. Dengan suara rendah ia berkata, “Tentu bekas sebuah padepokan. Satu-satunya tempat yang kita temukan di daerah yang luas yang sudah kita jelajahi.“

“Ya. Tetapi kita tidak dapat menyebutnya lagi, bekas padepokan apa yang kita ketemukan ini,“ jawab Glagah Putih.

Kedua orang itu termangu-mangu. Namun kemudian Raden Rangga pun berkata, “Marilah. Kita masuki tempat itu. Tetapi tempat itu adalah tempat yang berbahaya. Mungkin bukan karena penghuninya, tetapi bangunan itu setiap saat akan dapat roboh menimpa kita.“

Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Marilah Raden. Mungkin ada sesuatu yang menarik.“

Kedua orang anak muda itu pun kemudian dengan sangat berhati-hati memasuki barak utama dari padepokan itu. Masih berdiri tegak pendapa dan pringgitan serta bagian tengah rumah yang besar itu. Namun atapnya sebagian sudah rusak.

Sekali lagi mereka terkejut melihat seekor ular yang besar menggeliat dan menelusur pergi menghilang di antara tiang-tiang rumah yang masih tegak itu.

Kedua orang anak muda itu pun kemudian mendekati saka guru yang masih nampak kokoh. Agaknya tiang induk itu terbuat dari kayu pilihan yang sudah cukup tua.

Beberapa saat mereka memperhatikan kayu yang sudah menjadi hijau oleh lumut yang tumbuh dan melekat pada tiang-tiang itu.

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih berdesis, “Raden. Kemarilah.“

Raden Rangga pun kemudian mendekat. Mereka memperhatikan lekuk-lekuk yang terdapat. pada tiang itu di bawah lumut yang tebal.

“Cari sepotong kayu,“ berkata Kaden Rangga.

Glagah Putih pun kemudian menemukan sepotong kayu patah yang berujung runcing. Dengan kayu itu mereka membersihkan lumut yang melekat pada tiang kayu itu.

“Ukiran,“ desis Radon Rangga.

Lukisan yang terpahat dengan ukiran pada tiang itu telah membentuk ujud seekor ular yang melingkar. Namun pada kepalanya nampak mahkota serta mengenakan jamang dan sumping.

Kedua anak muda itu menjadi semakin tertarik kepada ukiran itu. Semakin bersih mereka menghilangkan lumut yang melekat pada kayu itu, semakin jelaslah ujud seekor ular naga.

“Nagaraga,“ tiba-tiba saja Raden Rangga berdesis.

“Ya Raden. Ini adalah padepokan yang kita cari,” sahut Glagah Putih.

Keduanya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian Raden Rangga berkata dengan nada rendah, “ Kita datang terlambat. “

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi menurut kakek yang sedang mencari ikan itu, sekelompok orang pernah mengikuti arah seekor ular raksasa yang bermahkota dan mengenakan jamang dan sumping. “

Raden Rangga mengangguk-angguk pula. Katanya, “Mungkin sekali padepokan Nagaraga telah pindah. Tetapi aku kira perguruan itu masih ada. Ternyata belum lama kita menemukan orang-orang Nagaraga di Mataram. Meskipun aku yakin, bahwa tidak semua orang yang berada di Mataram bersama kekuatan yang berusaha langsung membunuh Ayahanda adalah seluruhnya orang Nagaraga.”

“Bagaimana pendapat Raden Rangga?“ bertanya Glagah Putih.

Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kita coba mengikuti jejak ular itu. Mungkin akan membawa kita mendekati perguruan Nagaraga yang sekarang. Mungkin sebagaimana dikatakan oleh kakek yang mencari ikan itu, bahwa orang-orang Nagaraga telah memindahkan padepokannya mengikuti ular yang berpindah tempat itu.“

“Aku sependapat Raden. Kita akan pergi menyusuri jejak ular itu,“ sahut Glagah Putih.

Demikianlah, keduanya pun kemudian telah mengikuti jalan setapak menuruni lengkeh gunung itu, sebagaimana jalan yang mereka panjat saat mereka naik.

Ketika mereka menuruni sungai dan mengikuti alirannya sampai ke kedung kecil, maka kakek yang sedang mencari ikan dengan jala itu sudah tidak ada lagi.

“Kenapa kakek itu?“ bertanya Raden Rangga.

“Agaknya kepisnya telah penuh dengan ikan,“ jawab Glagah Putih.

Namun ketika mereka berdua menengadahkan kepalanya, maka mereka melihat bahwa matahari memang sudah menjadi sangat rendah. Ternyata mereka telah melampaui waktu yang cukup panjang.

“Kita harus mencari tempat untuk bermalam,“ berkata Raden Rangga.

“Ya,“ jawab Glagah Putih, “di malam hari kita mungkin akan mengalami kesulitan untuk mengikuti jejak yang sudah tidak begitu jelas lagi itu.”

Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu pun telah mencari tempat yang baik untuk bermalam, tidak terlalu jauh dari sungai yang mereka telusuri. Mereka telah memilih untuk bermalam di pinggir hutan kecil yang agaknya tidak banyak didatangi orang karena letaknya yang sulit untuk dicapai. Di sekitar hutan kecil itu terdapat batu-batu padas yang runcing, lekuk-lekuk tanah yang dalam, serta lereng yang licin. Sedangkan di hutan itu agaknya tidak terdapat apapun juga yang berarti.

Raden Rangga dan Glagah Putih telah memilih tempat itu karena mereka ingin benar-benar beristirahat dan tidak diganggu oleh siapapun juga. Ternyata perhitungan keduanya memang benar. Keduanya dapat tidur di atas dahan sebatang pohon yang besar. Bagaimanapun juga mereka tidak mau diganggu oleh seekor harimau.

Namun ternyata di hutan kecil itu tidak terdapat seekor harimau pun. Bahkan jenis-jenis binatang yang terdapat di hutan kecil itu terlalu sedikit, sehingga tidak seorangpun yang tertarik untuk berburu di dalamnya.

Ketika langit mulai membayangkan cahaya kemerahan, maka keduanya telah turun dari pohon yang mereka panjat. Dengan hati-hati mereka telah melintasi daerah yang terjal di luar hutan kecil itu, menuju ke sungai.

Sebelum matahari terbit, keduanya sempat mandi. Betapa sejuknya air di sungai itu menjelang fajar. Kedua anak muda itu berendam beberapa lama, seolah-olah mereka tidak mempunyai kepentingan apapun selain bermain-main di sungai.

Baru ketika langit di sebelah timur menjadi semakin terang, maka keduanya pun telah berbenah diri. Setelah rambut mereka menjadi agak kering, maka mereka pun mulai berjalan menelusuri sungai itu bersamaan dengan terbitnya matahari. Mereka hanya menyangkutkan ikat kepala mereka di leher mereka. Mereka baru akan mengenakan ikat kepala mereka jika rambut mereka telah benar-benar kering.

Ternyata mereka harus memperhatikan tebing sungai itu dengan saksama untuk dapat mengenali jejak ular naga itu. Bahkan kadang-kadang mereka hanya melihat samar-samar batu yang menyibak. Namun setiap kali mereka masih sempat melihat jejak yang meyakinkan.

Dengan tekun keduanya menelusuri jejak itu. Namun mereka memang tidak merasa tergesa-gesa. Itulah sebabnya, maka mereka masih juga sempat naik tebing sungai dan berjalan menuju ke padukuhan. Mereka memasuki padukuhan setelah mereka mengenakan ikat kepalanya. Mereka singgah di sebuah kedai untuk makan dan minum.

Ternyata mereka memang membawa bekal yang cukup, sehingga mereka tidak akan kehabisan bekal di perjalanan meskipun mereka memerlukan waktu yang lama. Selain Glagah Putih memang juga membawa uang, Raden Rangga juga membawa uang cukup secukupnya.

Kedua anak muda itu sempat makan dan minum secukupnya. Bahkan ketika mereka membayar harga makanan dan minuman, sempat menarik perhatian penjual makanan dan minuman di kedai itu.

“Anak-anak muda itu ternyata membawa uang terlalu banyak,“ berkata pemilik kedai itu di hatinya.

Tetapi di luar sadarnya, ia telah menyebutnya di hadapan beberapa orang pembelinya, bahwa dua orang anak muda yang baru saja keluar dari kedainya itu mempunyai uang terlalu banyak.

Dua orang pembeli yang baru masuk ke dalam kedai itu telah mendengarnya pula. Agaknya keduanya tertarik pada keterangan itu. Karena itu, maka seorang di antara mereka telah bertanya, “Siapa yang kau maksud?“

Pemilik kedai itu sempat memandangi kedua orang itu. Ternyata sorot matanya menunjukkan kesuraman watak mereka. Karena itu, maka ia mencoba mengelak, “Kedua anak muda yang tadi pagi-pagi datang kemari.“

“Apakah kau kira aku tuli, he? Anak itu baru saja keluar dari kedai ini!“ bentak salah seorang dari keduanya.

Pemilik kedai itu masih ingin mencoba untuk menghindarkan anak-anak muda itu dari kemungkinan buruk. Katanya, “Aku hanya begitu saja mengucapkannya. Tetapi sebenarnya kedua anak itu sudah lama meninggalkan kedai ini.“

Namun pemilik kedai itu tiba-tiba saja terkejut ketika salah seorang di antara kedua orang itu menyambar bajunya dan mengguncangnya. Katanya, “Sebut kemana anak itu pergi?“ Pemilik kedai itu menjadi gemetar. Iapun merasa hidupnya telah terancam. Karena itu, maka iapun berkata sebagaimana diketahuinya, “Anak itu keluar dari kedai ini dan berjalan ke kanan. Aku tidak tahu, kemana mereka akan pergi.“

Kedua orang itu agaknya cukup puas dengan jawaban itu. Karena itu, maka pemilik kedai itu pun telah didorongnya sehingga jatuh menimpa gledeg bambu. Untung ia tidak terjatuh ke dalam wajan yang berisi minyak yang mendidih, karena pemilik kedai itu memang sedang menggoreng sukun.

Dengan tergesa-gesa kedua orang itu telah menyusul Glagah Putih dan Raden Rangga. Ternyata tidak memerlukan waktu yang lama. Ketika mereka melihat Raden Rangga dan Glagah Putih berjalan meninggalkan jalan padukuhan menuju ke sungai, maka seorang di antara kedua orang itu berkata, “Tentu anak-anak itu. Mereka berusaha mencari jalan yang sepi.“

“Tetapi justru karena itu, mereka akan terjebak,“ desis yang lain.

Dalam pada itu, di tempat lain, Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari telah mendekati sasaran sebagaimana disebut-sebut oleh orang Watu Gulung. Mereka mulai melihat beberapa pertanda yang membawa mereka semakin dekat dengan sasaran. Namun yang mereka inginkan adalah menemukan Raden Rangga dan Glagah Putih lebih dahulu.

Karena itu, maka perhatian pertama mereka justru tidak pada sasaran, apalagi mereka masih mempunyai waktu yang cukup, sebagaimana disepakati oleh para petugas dari Mataram yang dipimpin oleh Pangeran Singasari.

“Tetapi kemana kita akan mencari mereka?“ desis Sabungsari.

“Mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk untuk menemukan padepokan orang-orang Nagaraga yang baru,“ berkata Ki Jayaraga.

“Jika mereka menemukan pudepokannya yang lama, meskipun seandainya tinggal reruntuhan, maka kemungkinan untuk menemukan padepokan yang baru ini tentu ada,“ berkata Kiai Gringsing. “Bukankah keterangan yang pernah kita terima bahwa orang-orang Nagaraga telah bergeser karena seekor ular raksasa yang bergeser pula?“

“Maksud Kiai, keduanya akan tertarik pada jejak itu dan kemudian mengikutinya?“ bertanya Ki Jayaraga.

“Ya. Tetapi ini hanya satu kemungkinan,“ jawab Kiai Gringsing.

“Tetapi perpindahan itu sudah terjadi di waktu yang lama berselang,“ berkata Sabungsari, “apakah jejaknya masih ada?“

Kiai Gringsing menganguk-angguk. Jawabnya, ”Jejak itu mungkin telah terhapus. Jika masih ada, tentu sudah sulit dapat ditelusuri.“

Ki Jayaraga mengangguk-angguk pula. Namun iapun berkata, “Seandainya jejak itu masih ada, dimana kira-kira kita dapat menemukannya?“

“Ular naga itu telah menelusuri Kali Lanang. Apakah kita ingin melihatnya? Waktu kita masih panjang,“ berkata Sabungsari.

“Kita akan mencobanya,“ berkata Kiai Gringsing, “syukurlah jika masih kita temui betapapun tipisnya jejak ular naga itu. Kita akan dapat berharap bahwa kedua anak muda itu akan dapat melihatnya pula. Jika tidak, apa boleh buat. Mungkin kita dapat menelusuri Kali Lanang, karena menurut keterangan yang kita dengar ular itu telah menelusuri Kali Lanang.“

“Hanya tidak jelas bagi kita, dimana ular naga itu mulai turun ke sungai dan dimana ular itu naik,“ berkata Sabungsari.

“Kita akan melihat. Satu-satunya jalan untuk mendekatkan pada kemungkinan bertemu dengan kedua orang anak muda itu,“ berkata Kiai Gringsing.

Demikianlah, maka mereka bertiga telah menuju ke Kali Lanang. Mereka menuruni tebing yang rendah dan kemudian berjalan menelusuri sungai itu. Mereka memang tidak segera menemukan jejak seekor ular naga. Memang berbeda dengan Raden Rangga dan Glagah Putih yang mengikuti jejak itu justru dari lereng, sehingga mereka segera mengenal satu ujud yang meskipun samar namun jelas bagi mereka, bahwa yang mereka ikuti itu adalah jejak seekor ular naga.

Untuk beberapa saat lamanya ketiga orang itu telah berjalan di sepanjang sungai. Dengan ketajaman penglihatan seorang pengembara, mereka berusaha menemukan sesuatu yang mungkin dapat mereka tarik kepada satu kesimpulan, bahwa ular naga itu memang telah menelusuri sungai itu.

Dalam pada itu, ternyata bahwa perhitungan Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari benar, bahwa jika mereka berjalan terus sepanjang sungai itu, maka pada satu saat mereka akan bertemu dengan Raden Rangga dan Glagah putih yang ternyata juga menelusuri Kali Lanang ke arah yang berlawanan.

Namun pada saat yang demikian, ketika Raden Rangga dan Glagah Putih menuruni tebing sungai, maka dua orang yang telah mengikutinya dan berniat buruk menjadi semakin dekat. Seorang di antara mereka berkata, “Kebetulan, keduanya telah memilih tempat yang paling baik untuk menyerahkan uangnya atau nyawanya sekaligus.“

Kawannya tersenyum. Katanya, “Ini adalah hadiah yang tidak pernah kita duga.“

Keduanya pun kemudian melangkah semakin cepat, sehingga jarak antara mereka dengan kedua orang anak muda itu pun menjadi semakin dekat.

Tiba-tiba saja seorang di antara kedua orang yang mengikuti Raden Rangga dan Glagah Putih itu memanggil, “He, Anak-Anak Muda. Tunggulah sebentar. Aku ingin bertanya.“

Kedua anak muda itu berpaling. Dengan geram Raden Rangga berkata, “Orang-orang dungu. Kenapa mereka membunuh diri di sini.“

“Tidak Raden,“ jawab Glagah Putih, “persoalannya tidak akan sejauh itu.“

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum. Katanya, “Untunglah aku berjalan bersamamu.“

“Berhentilah,“ panggil salah seorang di antara mereka.

“Kita berhenti,“ desis Raden Rangga.

Glagah Putih pun telah berhenti pula. Sementara Raden Rangga telah melangkah ke sebuah batu dan duduk di atasnya. Namun Glagah Putih menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Raden Rangga menarik tongkat pring gadingnya yang terselip di punggung.

“Untuk apa Raden?“ Bertanya Glagah Putih.

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Kenapa kau terlalu cemas?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu, kedua orang itu sudah menjadi semakin dekat. Tetapi ia menjadi heran melihat sikap kedua anak muda itu. Keduanya sama sekali tidak menunjukkan kecemasan sama sekali.

“Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi,“ berkata salah seorang di antara mereka.

Yang lain mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja mereka tertegun ketika mereka melihat seorang di antara kedua anak muda itu bermain-main dengan pasir. Dengan tongkatnya Raden Rangga memang bermain dengan pasir. Ditusuk-tusukkannya tongkatnya itu ke dalam pasir.

Tongkat yang menurut ujudnya tidak lebih dari pring gading itu memang tidak banyak menarik perhatian. Tetapi dari pasir yang tertusuk-tusuk dengan tongkat itu telah mengepul asap, seperti asap air yang sedang mendidih.

“Kau lihat?“ desis yang seorang di antara kedua orang itu.

Kawannya termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Mungkin pengaruh air di sungai itu sendiri.“

“Tetapi nampaknya panas sekali,“ berkata orang yang pertama.

“Kita akan membuktikannya,“ sahut yang lain. Keduanya pun kemudian melangkah semakin dekat.

Glagah Putih pun telah duduk pula di sebuah batu di sebelah Raden Rangga. Iapun memperhatikan permainan Raden Rangga yang nampaknya mengasyikkan itu.

Ketika kedua orang itu sudah berdiri beberapa langkah dari padanya, maka tiba-tiba saja seorang di antaranya bertanya, “Apa yang kalian lakukan di sini Anak-Anak Muda?”

“Bermain-main,“ jawab Raden Rangga tanpal berpaling.

“Bermain-main apa?“ bentak seorang yang lain.

Raden Rangga tiba-tiba saja meloncat turun dari atas batu sambil berkata, “Lihat, di sini ada sumber panas.“

Sebelum kedua orang itu menyahut, Raden Rangga telah mengibaskan ujung tongkatnya. Tidak ke dalam air, tetapi ke atas pasir tepian, sehingga sejemput pasir telah menghambur ke arah kedua orang itu.

Ketika pasir itu kemudian menyentuh tubuh kedua orang itu, maka mereka pun di luar sadarnya telah meloncat surut. Ternyata pasir lembut itu bagaikan pecahan bara yang mengenai tubuh mereka. Panas sekali.

“Gila,“ geram seorang di antara mereka, “kau mencoba mempermainkan kami he?“

“Tidak,“ jawab Raden Rangga, “aku hanya ingin menunjukkan kepadamu, bahwa di sini ada sumber panas. Pasir itu telah dipanasinya.“

“Tetapi kenapa kau hamburkan ke arah kami?“ yang lain hampir berteriak.

“Tidak apa-apa. Kami hanya ingin membuktikan bahwa pasir itu panas. Kami tidak berbohong,“ jawab Raden Rangga.

Kedua orang itu menjadi semakin marah. Karena itu, seorang di antara mereka tiba-tiba saja berkata, “Anak-Anak Muda. Jangan bermain-main seperti itu. Perbuatanmu dapat mengganggu bahkan menyakiti orang lain.“

Raden Rangga mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah Ki Sanak. Kami tidak akan bermain-main lagi dengan pasir.“

“Nah, jika demikian, singkirkan tongkatmu itu,“ berkata seorang di antara kedua orang itu pula.

“Kenapa? Bukankah tongkatku tidak mengganggumu?“ jawab Raden Rangga.

Namun agaknya yang seorang tidak sabar lagi. Karena itu maka katanya kasar, “Cukup dengan tingkah lakumu yang gila itu. Kami datang untuk minta uangmu. Itu saja.“

Raden Rangga berdiri tegak sambil memandang orang itu dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Aku memang mempunyai uang banyak. Jika kau memerlukan, aku akan memberimu beberapa keping. Tetapi tidak pantas orang yang tubuhnya besar dan kekar seperti kau itu menjadi pengemis.“

“Aku bukan pengemis!“ orang itu berteriak.

“Jadi apa?“ bertanya Raden Rangga.

“Aku tidak memerlukan uang yang beberapa keping itu. Tetapi aku minta uangmu seluruhnya,“ seorang di antara mereka hampir berteriak, “karena kami bukan pengemis. Tetapi kami adalah perampok. Kami akan membunuh orang yang tidak mau menyerahkan uangnya dengan suka rela.“

Raden Rangga justru tersenyum. Katanya, “Kau memang nampak garang dengan caramu berbicara. Tetapi ketahuilah, bahwa aku tidak akan menyerahkan apa-apa. Kecuali jika kau mengaku menjadi pengemis dan aku akan menyerahkan uang menurut kehendakku sendiri.“

“Gila,“ geram orang yang lain sambil menarik senjatanya. Sebuah parang pendek. Namun tajamnya bukan main, sehingga daun parang itu nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari.

“Sekali sentuh, lehermu akan putus,“ geram orang itu.

Sementara itu yang lain pun telah menarik senjata yang serupa pula. Katanya, “Jangan memaksa kami memenggal leher kalian.“

Tetapi Raden Rangga justru tertawa. Katanya, “Kalian ini aneh-aneh saja. Pagi-pagi kalian sudah sempat bergurau.“

“Aku tidak bergurau!“ bentak orang itu, “Berikan semua uangmu!“

“Ah. Jangan begitu,“ Raden Rangga masih tertawa.

Kedua orang itu menjadi marah. Tetapi ketika keduanya akan melangkah maju, Raden Rangga telah meletakkan ujung tongkatnya di atas pasir tepian. Katanya, “Kami dapat membakar kalian dengan pasir ini.“

Keduanya memang tertegun. Sejenak mereka berpandangan. Namun keduanya pun tiba-tiba telah berpencar. Seorang di antara mereka berkata, “Kami akan mendekati kalian dari dua arah.“

Raden Rangga tertawa semakin keras. Katanya, “Semakin bernafsu kalian atas uang kami, maka pasir ini akan menjadi semakin panas, sehingga akhirnya kalian benar-benar akan menjadi arang. Apalagi jika kami berdua sudah menjadi marah. Kami akan menangkap kalian dan membenamkan kalian di dalam pasir panas ini.“

Kedua orang itu memang terkejut mendengar kata-kata Raden Rangga. Namun selagi mereka ragu-ragu, Glagah Putih berkata, “Sudahlah. Pergilah. Jangan lakukan cara seperti ini untuk mencari uang. Bukankah banyak cara dapat ditempuh? Cara yang baik dan wajar.“ 

Kedua orang itu termangu-mangu. Namun yang seorang tiba-tiba telah membentak, “ Berikan uangmu!“

Belum lagi mulut orang itu terkatup, Raden Rangga telah melakukan sesuatu yang membuat bulu tengkuk kedua orang itu berdiri. Raden Rangga yang berdiri dengan tongkat di tangannya itu, tiba-tiba telah meloncat dan mengayunkan tongkat ke sebuah batu yang cukup besar. Dengan kekuatan ilmunya maka Raden Rangga telah memecahkan batu itu menjadi berkeping-keping.

Kedua orang itu benar-benar terkejut melihat bagaimana tongkat anak muda itu mampu memecahkan batu. Apalagi sambil tertawa seakan-akan tanpa pemusatan nalar budi untuk mengerahkan ilmu yang ada padanya, anak muda itu berkata, “Nah, kepala siapa yang akan aku pecahkan lebih dahulu. Kalian tentu tahu, bahwa batu itu tentu lebih keras dari kepalamu.“

Kedua orang itu memang menjadi gemetar, sementara anak muda yang membawa tongkat pring gading itu berkata, “Nah. Kita akan mendapat bagian seorang satu. Aku memecahkan kepala orang yang agak pendek, kau boleh memilih yang lebih tinggi.“

“Jangan,“ tiba-tiba orang yang lebih pendek dan menggenggam parang di tangannya itu menjadi gemetar, “jangan bunuh kami.“

“Aku tidak akan membunuhmu. Aku hanya akan memecahkan kepalamu. Jika karena itu kau akan mati, itu bukan salahku.“

“Ampun, kami mohon ampun,“ orang yang berwajah garang itu tiba-tiba hampir menangis.

Raden Rangga masih tertawa. Lalu katanya sambil mengangkat tongkatnya, “Kau belum yakin bahwa aku dapat memecahkan kepalamu?“

“Ya, ya. Aku yakin,“ jawab orang itu.

Raden Rangga menurunkan tongkatnya sambil berkata, “Pergilah. Tetapi ingat. Sekali lagi kami bertemu dengan kalian dan kalian masih melakukan langkah serupa, maka kami tidak akan mengampuni kalian. Kami benar-benar akan memecahkan kepala kalian.“

Kedua orang itu saling berpandangan. Mereka sudah terlanjur berdiri di tempat yang terpisah karena mereka akan menyerang anak-anak muda itu dari arah yang berbeda. Namun kemudian keduanya telah beringsut menjauh.

“Kami mohon maaf,“ berkata yang seorang.

“Jangan hanya di bibir. Aku akan tetap berkeliaran di daerah ini,“ berkata Raden Rangga.

“Tidak. Tidak hanya di bibir. Kami benar-benar tidak melakukan lagi,“ berkata kedua orang itu hampir bersamaan.

“Pergilah,“ desis Raden Rangga.

Kedua orang itu pun telah menyarungkan parang mereka. Dengan kaki yang agak gemetar keduanya melangkah meninggalkan anak-anak muda itu. Rasa-rasanya pasir tepian itu telah memberati kaki mereka, sehingga langkah mereka pun menjadi terasa sangat berat.

Beberapa langkah dari kedua anak muda itu, orang yang lebih tinggi itu berkata, “Ternyata kita telah bertemu dengan penunggu sungai ini.“

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Marilah, kita melupakan mimpi buruk ini.“

“Melupakan?“ bertanya yang seorang, “Apakah kita akan menganggap bahwa yang terjadi ini hanya sebagai mimpi yang dapat kita lupakan begitu saja? Sementara itu kita terikat pada janji, bahwa kita akan menghentikan perbuatan kita ini?“

Kawannya termangu-mangu. Namun iapun berdesis sambil berpaling, “Apakah kita akan menepati janji?“

Yang seorang pun berpaling. Mereka masih melihat kedua anak muda itu. Sambil menarik nafas dalam-dalam iapun berkata, “Apakah kita masih mempunyai kesempatan untuk melanggar janji kita?“

Kawannya hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Namun keduanya berjalan semakin lama semakin jauh menelusuri sungai itu, ke arah yang berlawanan dengan yang kemudian ditempuh oleh Raden Rangga dan Glagah Putih.

Untuk beberapa saat Raden Rangga dan Glagah Putih masih berada di tempat itu. Namun ketika kedua orang yang ingin merampas uangnya itu sudah berjalan semakin jauh, maka Raden Rangga pun berkata, “Orang-orang yang demikianlah yang mudah dihasut untuk tujuan yang tidak jelas.“

“Ya,“ jawab Glagah Putih, “namun setidak-tidaknya Raden telah berhasil menakut-nakuti orang itu.“

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Kau sangka bahwa mereka akan benar-benar takut? Ketika mereka tidak melihat kita lagi, maka mereka akan segera mengulangi perbuatannya.“

“Mudah-mudahan tidak,“ jawab Glagah Putih.

Raden Rangga tersenyum. Namun kemudian katanya, “Marilah. Kita akan meneruskan perjalanan. Kita akan menelusuri sungai ini. Kita tahu, bahwa kita memerlukan waktu yang panjang, karena sungai ini pun agaknya cukup panjang dan akan turun ke Bengawan.“

Glagah Putih hanya mengangguk saja. Namun keduanya pun kemudian telah berjalan menelusuri sungai itu seperti yang telah dilakukannya.

Sementara itu dari arah yang lain, Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari juga menelusuri sungai yang itu juga, ke arah yang berlawanan. Namun jarak itu masih terlalu jauh, sehingga mereka masih memerlukan waktu yang panjang untuk bertemu, seandainya mereka tetap dengan rencana mereka menelusuri sungai itu.

Namun lambat laun. Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari melihat sesuatu yang menarik di sungai itu. Mereka melihat bebatuan yang nampaknya di atur dalam baris yang menjelujur di pinggir sungai itu.

“Satu kemungkinan,“ berkata Kiai Gringsing yang melihat Ki Jayaraga dan Sabungsari juga sedang memperhatikan bebatuan itu.

Ki Jayaraga dan Sabungsari mengangguk-angguk. Namun mereka tidak segera dapat memastikan bahwa yang mereka lihat itu adalah jejak seekor ular. Tetapai seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, maka mereka akan menelusuri sungai itu sampai ke tempat yang agak jauh.

Mereka tinggal memperhitungkan waktu. Namun mereka masih mempunyai waktu lebih dari sepekan. Karena itu, maka ketiganya masih berjalan terus menelusuri sungai itu. Jika malam turun, maka ketiganya telah naik tebing yang rendah dan mencari tempat yang paling baik untuk bermalam.

Di saat matahari terbit, mereka melanjutkan perjalanan mereka mengikuti jalur sungai itu menentang arus. Mereka berjalan perlahan-lahan sambil memperhatikan keadaan di sekitar mereka. Selain tanda-tanda yang mereka ikuti, maka mereka pun berusaha untuk menemukan, jika mungkin ada pertanda-pertanda lain.

Dari arah yang berlawanan, Raden Rangga dan Glagah Putih juga berjalan tidak terlalu cepat. Mereka memang merasa tidak tergesa-gesa, karena mereka tidak terikat oleh waktu. Karena itu mereka sempat memperhatikan keadaan dengan teliti.

Tetapi kecuali itu, kadang-kadang keduanya pun sempat mempergunakan keadaan alam serta benda-benda yang mereka jumpai untuk mematangkan ilmu mereka. Lebih-lebih Glagah Putih.

Namun ternyata keduanya tidak dapat melakukannya tanpa gangguan. Jika sebelumnya mereka diikuti oleh dua orang yang ternyata dapat dihalau tanpa melakukan kekerasan apapun, maka ternyata mereka telah bertemu dengan orang-orang yang mempunyai sikap yang berbeda.

Raden Rangga dan Glagah Putih juga menyadari, bahwa orang-orang itu telah mengikutinya sejak kedua anak muda itu keluar dari lingkungan gerumbul-gerumbul perdu tempat mereka bermalam. Semula mereka memang mengira, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang tidak lebih dari orang-orang yang pernah mereka halau. Karena itu, maka keduanya tidak begitu menghiraukannya. Keduanya dengan tenangnya telah mandi di sungai yang mereka telusuri. Ternyata orang-orang yang mengikutinya itu menunggu mereka di atas tebing, meskipun agak jauh. Tetapi kedua anak muda itu sadar, bahwa orang-orang itu telah menunggu mereka.

“Glagah Putih,“ berkata Raden Rangga, “nampaknya orang-orang ini agak lain dengan kedua orang yang telah mencegat kita itu.“

“Ya,“ jawab Glagah Putih, “mereka bukan orang-orang yang berlaku semena-mena dengan kasarnya. Tetapi itu bukan berarti bahwa kedua orang itu bukannya orang yang tidak berbahaya bagi kita.“

Raden Rangga mengangguk-angguk. Desisnya, “Marilah. Kita harus bersiap.“

Keduanya pun kemudian telah mengenakan pakaian mereka. Merekapun telah mengenakan ikat kepala mereka pula. Sehingga kedua anak muda itu pun telah benar-benar selesai dengan membenahi pakaian mereka.

Setelah keduanya benar-benar siap, maka keduanya telah melangkah meneruskan perjalanan mereka menyusuri sungai itu. Demikian keduanya berada dekat di bawah orang-orang yang berada di tebing itu, maka Raden Rangga dan Glagah Putih melihat orang-orang itu mulai bergerak menuruni tebing.

“Tiga orang,“ desis Raden Rangga.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya ketiganya memang agak lain dengan orang-orang yang kasar itu.“

“Jauh berlainan,“ berkata Raden Rangga.

Ternyata dugaan kedua anak muda itu benar. Salah seorang dari ketiga orang itu berkata, “Berhentilah Anak Muda.“

Raden Rangga dan Glagah Putih pun berhenti. Sementara itu ketiga orang itu pun telah berdiri di tepian.

“Apakah yang kalian cari di sini Anak Muda?“ bertanya yang tertua di antara mereka.

Raden Rangga-lah yang kemudian berdiri di depan sambil menjawab, “Tidak ada yang kami cari di sini, Ki Sanak. Kami hanya berjalan saja menelusuri sungai ini. Hanya satu kebiasaan.“

Orang itu tersenyum. Katanya, “Satu kebiasaan yang menarik. Sejak kapan kalian mengikuti kebiasaan ini?“

“Sejak kecil,“ jawab Raden Rangga, “kami mempunyai kebiasaan menjalani laku. Menelusuri sungai sejauh dapat kami jangkau. Siang dan jika mungkin malam. Jika kami merasa letih, maka kami pun mencari tempat untuk sekedar tidur.“ “Apakah yang ingin kau capai dengan laku itu?“ bertanya yang tertua di antara ketiga orang itu.

“Kami ingin mendapatkan ketenangan dalam hidup kami,“ jawab Raden Rangga.

“Benar begitu?“ bertanya orang itu.

“Ki Sanak ragu-ragu?“ bertanya Raden Rangga.

“Ya. Kami menjadi ragu-ragu. Agaknya kalian bukan anak-anak muda yang senang menikmati ketenangan dan kedamaian. Gejolak hati kalian menunjukkan bahwa kalian adalah anak-anak muda yang memandang hidup dengan gelora yang gemuruh,“ sahut orang itu.

“Apakah nampaknya seperti itu?“ bertanya Raden Rangga.

“Ya. Dan kalian tentu anak-anak muda yang menjalani laku untuk mematangkan ilmu. Bukan untuk mendapatkan ketenangan dan kedamaian,“ berkata orang itu pula.

“Ilmu yang ada pada kami adalah ilmu yang berkadar sangat rendah. Mungkin kami ingin mematangkannya. Tetapi bagaimanapun juga, nilainya tidak akan memberikan banyak arti,“ jawab Raden Rangga pula.

Ketiga orang itu nampaknya sangat tertarik kepada kedua orang anak muda itu. Bahkan seorang di antara mereka bertanya, “Siapakah nama kalian Anak-Anak Muda?“

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Tetapi seperti biasanya ia menyebut sebuah nama asal saja diucapkan. “Namaku Wida dan itu kakak sepupuku, namanya Pinta.”

Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun kemudian tersenyum. Seorang di antara mereka bertanya, “Apakah nama itu benar-benar nama kalian?”

Raden Rangga memandang ketiga orang itu dengan heran. Bahkan iapun bertanya, “Apakah kami sudah berbohong? Aku tidak tahu, apakah gunanya untuk tidak menyebut nama yang sebenarnya.”

“Baiklah,” berkata yang tertua di antara mereka, “biarlah kami memanggil kalian dengan nama Wida dan Pinta. Nama yang baik menurut pendapatku.”

“Tentu,” jawab Raden Rangga, “ayahku memberiku nama yang baik.” Namun tiba-tiba Raden Rangga itu pun bertanya, “Ki sanak, kami sudah menyebut nama kami. Perkenankanlah kami bertanya, siapa nama kalian bertiga?”

“Baiklah anak-anak muda. Kami tidak akan merahasiakan nama kami. Mungkin kalian sudah mendengarnya, tetapi mungkin juga belum. Namaku adalah Kiai Damarmurti dari perguruan Sapu Angin. Sedang kedua kawanku ini adalah Putut Wiyantu dan Putut Pideksa. Keduanya adalah adik seperguruanku. Nah, kau percaya atau tidak Anak-Anak Muda?”

“Aku percaya,” jawab Raden Rangga, “menurut dugaan kami, Ki Sanak bertiga memang orang-orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Ternyata Ki Sanak bertiga adalah orang-orang dari sebuah perguruan yang namanya sangat terkenal.”

“Nah, Anak-Anak,” berkata Kiai Damarmurti kemudian, “kami sama sekali tidak akan mengganggu kalian. Lakukanlah, apa yang ingin kalian lakukan.”

“Terima kasih Ki Sanak. Kami tidak akan berbuat apa-apa selain menelusuri sungai ini,” jawab Raden Rangga.

“Teruskanlah,” berkata Kiai Damarmurti, “namun aku hanya ingin bertanya serba sedikit.”

“Bertanya tentang apa?” desis Raden Rangga.

“Apakah kalian melihat atau bertemu, atau kebetulan berpapasan dengan tiga orang yang datang dari arah barat? Seorang masih muda dan dua orang yang lain sudah terlalu tua untuk sebuah pengembaraan,” bertanya Kiai Damarmurti.

“Tiga orang? Seperti kalian, Kiai?” bertanya Raden Rangga pula.

“Ya, bertiga. Tetapi sudah aku katakan. Yang seorang masih muda, tetapi yang dua orang sudah terlalu tua,” jawab Kiai Damarmurti. “Atau barangkali kalian pernah mendengar seorang anak muda yang mampu membunuh dengan sorot matanya?”

“Agung Sedayu,” desis Raden Rangga dan Glagah Putih di dalam hatinya.

Dengan demikian, maka kedua anak muda itu menyangka, bahwa Agung Sedayu telah menyusulnya. Kedua orang tua itu tentu Ki Jayaraga dun Kiai Gringsing.

Tetapi kedua orang anak itu tidak mengatakannya. Bahkan Raden Rangga masih juga bertanya, “Apakah aku tidak salah mendengar, bahwa seseorang dapat membunuh dengan sorot matanya?”

“Tidak Anak Muda,” jawab Kiai Damarmurti, “menurut pendengaran kami, maka sebenarnya telah terjadi, bahwa seorang di antara mereka telah membunuh dengan sorot matanya.”

“Bukan main,” desis jawab Glagah Putih, “dari perguruan manakah ketiga orang itu datang?”

“Tidak diketahui,” jawab Kiai Damarmurti. “Namun agaknya mereka datang dari Mataram, atau barangkali prajurit petugas sandi dari Mataram.”

“Apakah prajurit dari Mataram atau barangkali petugas sandinya terdiri dari orang-orang tua?” bertanya Glagah Putih.

“Tentu tidak semuanya,” jawab Kiai Damarmurti, “tentu ada yang muda. Di antara tiga orang itu, seorang adalah masih cukup muda.”

“Sayang Kiai,” berkata Raden Rangga, “kami tidak menjumpainya. Tetapi dimanakah kira-kira mereka berada menurut pendengaran Kiai?”

“Apakah kau tertarik juga?” bertanya Kiai Damarmurti.

“Bahwa dengan sorot matanya seseorang mampu membunuh lawannya adalah sangat menarik,” jawab Raden Rangga.

“Baiklah Anak-Anak Muda,” berkata Kiai Damarmurti, “jika kau juga ingin mencarinya, cobalah kau cari orang-orang itu. Jika kau berhasil menemukannya sebelum kami, tolong, beritahukan kepada kami.”

“Tetapi dimana kami harus memberitahukan kepada kalian?” bertanya Raden Rangga.

“Kami berada di sekitar tempat ini. Aku tidak tahu apakah perhitunganku tepat, bahwa ketiganya akan lewat di sekitar tempat ini,” berkata Kiai Damarmurti.

“Sebelumnya, dimanakah kalian ketahui ketiga orang itu?” bertanya Glagah Putih.

“Mereka berada di padukuhan di sebelah barat. Tetapi mereka akan menempuh perjalanan ke Timur. Aku tidak tahu, perjalanan ke Timur itu ke arah di sebelah mana,” jawab Kiai Damarmurti.

“Baiklah Kiai,” jawab Raden Rangga, “aku akan mencarinya. Tetapi jika aku menemukan mereka, aku tidak akan mencari Kiai. Apalagi jika Kiai pergi dari tempat ini.”

“Aku akan berada di sekitar tempat ini,” berkata Kiai Damarmurti, “kau dapat mencariku di hutan perdu di sebelah pategalan itu. Atau di sekitarnya.”

Tetapi Raden Rangga tetap menggeleng. Katanya, “Aku tidak akan mencarimu Kiai. Silahkan Kiai mencari aku dan menanyakan kepadaku, apakah aku sudah bertemu dengan ketiga orang itu.”

Kiai Damarmurti tertawa. Katanya, ” Kau memang menarik Anak Muda. Sikapmu agak kurang sopan, tetapi menyenangkan. Namun demikian, jangan membantah. Cari aku, agar aku tidak mencarimu. Jika aku mencarimu, persoalannya akan menjadi lain.”

“Itulah yang aku ingini,” jawab Raden Rangga, “persoalan yang menjadi lain itu akan sangat menarik.”

“Ah, jangan begitu Anak-Anak muda. Kau tentu tahu artinya. Sementara itu kau mengaku, bahwa ilmumu baru pada tataran pertama dan tidak seberapa,” berkata Kiai Damarmurti. “Bahkan seandainya kau mengaku mempunyai ilmu yang tinggi sekalipun, maka kau tidak akan dapat berbuat apa-apa.”

“Terserahlah,” berkata Raden Rangga, “atau jika kau ingin, kita cari bersama-sama.”

“Tidak Anak Muda. Aku minta kau mencarinya dan mengatakan kepadaku dimana mereka berada. Atau ajak mereka menemui aku. Sebut perguruan Sapu Angin. Maka mereka tentu akan datang,” berkata Kiai Damarmurti.

Tetapi Raden Rangga tetap pada pendiriannya. Katanya, “Maaf Kiai. Aku tetap berkeberatan.”

Kiai Damarmurti tertawa pula. Katanya, “Bagus. Kau akan menyesal kelak, jika aku yang mencarimu.”

Raden Rangga pun tertawa. Sementara Glagah Putih berkata, “Kiai, jangan menakuti anak-anak seperti itu.”

“Kau memang lucu Anak-Anak Manis,” desis Kiai Damarmurti. “Biklah. Aku akan pergi saja. Aku menunggumu.”

Raden Rangga dan Glagah Putih tertawa kecil. Sementara Kiai Damarmurti juga tertawa. Tetapi Putut Wiyantu dan Putut Pideksa hampir saja tidak dapat menahan dirinya. Hampir saja mereka meloncat menerkam seandainya mereka tidak melihat sikap Kiai Damarmurti.

Demikianlah, maka Kiai Damarmurti dan kedua orang adik seperguruannya itu pun kemudian telah meninggalkan kedua orang anak muda itu. Sekali-sekali Kiai Damarmurti masih berpaling dan melambaikan tangannya kepada kedua orang anak muda itu.

“Gila,” geram Raden Rangga kemudian, “kedua orang Putut itu hampir saja kehilangan kesabaran.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Tetapi Kiai Damarmurti itu nampaknya menyenangkan juga untuk diajak bermain-main.”

“Tetapi darimana mereka mengetahui bahwa ketiga orang itu ada di sini?” desis Raden Rangga.

“Entahlah. Barangkali ada juga baiknya kita mencarinya,” berkata Glagah Putih, “tetapi kita tidak akan meninggalkan jejak ular naga itu, karena tugas kita adalah menemukan padepokan dari perguruan Nagaraga.”

Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Marilah. Kita akan berjalan terus. Kita tidak akan menghiraukan ketiga orang dari Sapu Angin itu. Mungkin pada suatu saat mereka memang akan mencari kita. Tetapi agaknya itu akan lebih baik daripada kita yang mencari mereka.”

Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu telah meneruskan perjalanan mereka menelusuri sungai yang mereka duga merupakan jejak ular naga yang berpindah dari lereng gunung menuju ke tempat yang masih harus dicari.

Tetapi seperti yang seharusnya terjadi, karena dua kelompok yang menelusuri sungai itu dari dua arah yang berbeda, maka pada satu saat mereka memang akan bertemu.

Kedua belah pihak memang sama-sama melihat dari kejauhan orang-orang yang berjalan berlawanan. Dengan ketajaman penglihatan mereka, maka mereka pun segera mengetahui, dengan siapa mereka berpapasan.

Namun hampir berbareng Raden Rangga dan Glagah Putih berdesis, “Ternyata yang datang Sabungsari. Bukan Kakang Agung Sedayu.”

Glagah Putih memang merasa agak kecewa. Dengan nada rendah ia berkata, “Kenapa bukan Kakang Agung Sedayu saja yang menyusul kita kemari?”

“Sama saja,” berkata Raden Rangga, “ternyata yang dikatakan telah membunuh dengan sorot matanya adalah Sabungsari.”

Demikianlah, akhirnya keduanya pun menjadi saling mendekati. Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari pun merasa gembira, bahwa akhirnya mereka dapat bertemu juga dengan Raden Rangga dan Glagah Putih.

Ketika mereka menjadi dekat, maka kegembiraan itu pun tertuang pada sikap masing-masing. Dengan serta merta Raden Rangga berkata, “Kalian membawa pesan Ayahanda bahwa kami sudah terlalu lama meninggalkan Mataram?”

“Tidak,” jawab Kiai Gringsing, “nanti sajalah kita berbicara. Marilah, duduk dahulu Raden.”

Mereka pun kemudian duduk di tepian. Dengan ragu-ragu Kiai Gringsing bertanya, “Apakah yang Raden dapatkan di sungai ini?”

“Seperti yang Kiai dapatkan,” jawab Raden Rangga, “bukankah Kiai menelusuri jejak seekor ular? Namun ke arah yang berlawanan dengan jalur yang aku ambil bersama Glagah Putih. Adalah satu kebetulan, bahwa dengan demikian kita dapat bertemu. Jika kita menuju ke arah yang sama, mungkin kita tidak akan dapat bertemu.”

“Raden,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “dari mana Raden mulai menelusuri jejak itu?”

“Dari lereng gunung, Kiai” jawab Raden Rangga, “seorang tua mengatakan, bahwa seekor ular naga pernah berpindah tempat.”

Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari mengangguk-angguk. Yang dikatakan oleh Raden Rangga itu memang mirip dengan keterangan yang pernah didengar dari orang-orang yang telah ditemuinya terdahulu.

Apalagi ketika Raden Rangga dan Glagah Putih kemudian menceritakan tentang bekas sebuah padepokan yang besar yang telah kosong dan tidak dihuni lagi.

“Padepokan dari perguruan Nagaraga,” berkata Kiai Gringsing.

“Ya,” sahut Raden Rangga, “kami menemukan ciri-ciri perguruan Nagaraga pada tiang-tiangnya yang masih kokoh.”

Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Kiai Gringsing berkata, “Jika demikian, kita akan menelusuri sungai ini ke arah sebagaimana kalian lakukan. Kita akan segera bertemu dengan sekelompok prajurit Mataram di bawah pimpinan Pangeran Singasari.”

“Pamanda Singasari,” desis Raden Rangga, “kenapa Ayahanda memerintahkan Pamanda Singasari?”

“Aku tidak tahu Ngger,” jawab Kiai Gringsing, “mungkin menurut ayahanda, Pangeran Singasari adalah orang yang paling tepat untuk tugas ini.”

“Tidak,” jawab Raden Rangga, “bukan Paman Singasari.”

“Namun bagaimanapun juga, ayahanda Raden sudah memerintahkan pamanda Singasari. Raden tidak dapat menentang perintah itu,” berkata Kiai Gringsing.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang ke kejauhan ia berdesis, “Ya. Ayahanda sudah memerintahkannya.”

“Karena itu Raden,” berkata Kiai Gringsing, “kita tinggal menjalaninya. Menurut ayahanda Raden, perguruan Nagaraga memang wajib dihukum, karena telah berani berusaha untuk menyingkirkan ayahanda Raden.”

“Dan Paman Singasari akan melakukannya dengan mantap,” berkata Raden Rangga.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Anak ini memang aneh. Raden Rangga sendiri sering terlibat dalam pembunuhan meskipun sebagian besar ia bermaksud baik. Tetapi ia menilai pamandanya Pangeran Singasari agak kurang baik karena kekerasannya.

Namun sekali lagi Ki Jayaraga mengulangi keterangan Kiai Gringsing, “Kita tinggal menjalani perintah ayahanda Raden.”

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, “Kiai, selain tugas yang Kiai emban bersama di bawah pimpinan Pangeran Singasari, apakah ada hubungannya dengan kami berdua?”

“Kami mencari kalian berdua agar tugas kita dapat bergabung. Bukankah tugas kalian sekedar mencari keterangan, sementara kami yang menyusul kemudian mendapat perintah bertindak lebih jauh dari itu?” jawab Kiai Gringsing.

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Namun, tiba-tiba saja Raden Rangga teringat pesan orang-orang Sapu Angin. Karena itu hampir di luar sadarnya ia berkata, “Kiai, apakah Kiai mengenal orang-orang Sapu Angin?”

“Kenapa dengan orang-orang Sapu Angin?” bertanya Kiai Gringsing.

“Kami bertemu dengan orang-orang Sapu Angin,” jawab Raden Rangga, “mereka mencari tiga orang yang datang dari arah Barat dan menuju ke Timur. Seorang di antaranya dapat membunuh dengan sorot matanya.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Jayaraga bertanya, “Apakah orang itu menyebut namanya?”

“Ya,” jawab Raden Rangga, “menurut pengakuannya, seorang yang tertua di antara mereka bernama Kiai Damarmurti. Dua orang lainnya adik seperguruannya, Putut Wiyantu dan Putut Pideksa.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata mereka masih menganggap persoalannya belum selesai. Jika mereka guru dari orang-orang Sapu Angin yang pernah aku temui, maka mereka harus belajar dari murid-murid mereka itu, bagaimana menanggapi keadaan.”

“Mereka berpesan kepada kami, agar jika kami bertemu dengan tiga orang yang dimaksud, kami supaya memberitahukan kepada mereka,” berkata Raden Rangga.

“Jadi Raden akan mencari mereka lagi?” bertanya Sabungsari.

“Tidak,” jawab Raden Rangga, “sejak semula aku sudah menyatakan berkeberatan. Meskipun mereka agak mengancam.”

“Mengancam bagaimana?” bertanya Sabungsari.

“Kami harus mencari mereka. Jika tidak, maka mereka akan mencari kami. Jika terjadi demikian, maka persoalannya akan berbeda. Katanya, kami akan mengalami kesulitan-kesulitan,” berkata Raden Rangga.

“Bagaimana sikap Raden?” bertanya Sabungsari.

“Aku tidak menghiraukannya,” jawab Raden Rangga, “jika mereka akan mencari aku, biarlah mereka mencari. Apapun yang akan mereka lakukan, aku sama sekali tidak berkeberatan.”

“Bagus,” jawab Sabungsari, “kita justru akan menunggu. Mudah-mudahan mereka benar-benar akan mencari kita.”

“Tetapi sampai kapan kita akan menunggu?” berkata Kiai Gringsing, “Kita akan kembali menyusuri sungai ini menuju ke tempat yang sudah ditentukan. Terserahlah orang-orang Sapu Angin itu akan berbuat apa saja.”

“Sebenarnya aku memang ingin menunggu,” berkata Raden Rangga, “tetapi jika persoalannya adalah pada waktu, maka aku akan mengikuti saja mana yang baik kita lakukan.”

“Kita akan kembali,” berkata Ki Jayaraga, “jika ketiga orang itu memang akan menyusul kita, biar sajalah mereka lakukan. Kita tidak akan berkeberatan.”

Yang lain pun mengangguk-angguk. Mereka sepakat untuk menempuh perjalanan kembali.

Demikianlah, maka mereka berlima pun telah meneruskan perjalanan, yang bagi Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari adalah jalan kembali. Mereka masih menyusuri sungai itu sampai pada satu saat nanti, mereka akan naik dan menuju ke tempat yang sudah disepakati oieh para prajurit Mataram di bawah pimpinan Pangeran Singasari. Untuk itu mereka harus mengenali isyarat yang sudah mereka bicarakan di Mataram.

Namun bagi Raden Rangga dan Glagah Putih, maka mereka akan naik sejalan dengan jejak ular naga yang mereka ikuti. Jika benar perhitungan mereka, sebagaimana dikatakan oleh orang tua yang mencari ikan itu, bahwa sekelompok orang yang mengikuti jejak ular naga itu adalah orang-orang perguruan Nagaraga, mereka tentu akan membuat padepokan baru di sekitar tempat ular naga itu bersarang.

“Mereka memang menganggap ular naga itu mempunyai pengaruh atas perguruan mereka,” berkata Kiai Gringsing.

“Karena itu, kita ikuti saja jejaknya,” berkata Raden Rangga.

Kiai Gringsing tidak membantah. Baru jika kemudian ternyata arah jejak itu berlawanan atau berbeda dengan isyarat yang pernah mereka terima sebelumnya di Mataram, maka barulah mereka akan mempersoalkannya.

Namun ternyata bahwa langkah mereka terganggu oleh kehadiran orang-orang yang tidak mereka kehendaki. Ketajaman panggraita kelima orang itu, telah memaksa mereka memperhatikan keadaan di sekitar tempat mereka menelusuri sungai itu.

Ternyata bahwa mereka telah melihat meskipun masih samar, beberapa orang yang mengikuti mereka dari atas tebing sungai yang rendah.

Tetapi Raden Rangga dan Glagah Putih segera meyakini, bahwa mereka tentu orang-orang Sapu Angin. Karena itu, maka Raden Rangga pun berdesis, “Agaknya mereka adalah orang-orang yang aku katakan. Jika benar mereka orang Sapu Angin, sebut namaku Wida dan Glagah Putih dengan nama Pinta.”

Sabungsari tertawa. Katanya, “Kenapa kalian tidak menyebut nama kalian yang sebenarnya saja?”

“Sedikit bermain-main,” jawab Raden Rangga.

“Tetapi apakah mereka juga telah menyebut diri mereka yang sebenarnya?” bertanya Sabungsari.

“Agaknya begitu,” Glagah Putih-lah yang menjawab, “ternyata mereka berpesan, untuk menyebut perguruan Sapu Angin. Karena itu setidak-tidaknya perguruan mereka adalah benar-benar perguruan Sapu Angin, seandainya nama mereka bukan yang sebenarnya.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin benar. Karena ada juga satu kebiasaan untuk dengan bangga menyebut dirinya sendiri selengkapnya. Bukan hanya namanya, tetapi juga nama ayahnya, kakeknya dan para leluhurnya.”

“Begitu?” Raden Rangga menjadi heran.

“Memang ada kebiasaan yang begitu,” berkata Kiai Gringsing, “seseorang kadang-kadang kurang yakin akan kebesaran dirinya sendiri, sehingga ia memerlukan tumpuan kebesaran masa lampau dari keluarganya. Misalnya Raden dapat saja mengatakan, ‘Aku adalah Raden Rangga, putra Panembahan Senapati, cucu dari Ki Ageng Pemanahan, keturunan Kiai Ageng Sela yang mampu menangkap petir.'”

“Sst,” desis Raden Rangga, “nanti orang itu mendengar. Sudah aku katakan, bahwa aku bernama Wida, keturunan petani penggarap sawah milik orang lain karena tidak mempunyai sawah sendiri, cucu seorang pengembala kambing yang pandai bermain seruling dan tongkat pring gading.”

Kelima orang itu tiba-tiba saja tertawa.

Ternyata bahwa suara tertawa Glagah Putih dan Sabungsari agak terlalu keras, sehingga telah menarik perhatian. Hampir bersamaan orang-orang yang berada di atas tebing itu telah menjengukkan kepala mereka. Namun pada saat yang bersamaan, Kiai Gringsing telah memandang ke arah mereka, sehingga mereka tidak dapat lagi bersembunyi.

“Marilah Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing, “kami telah menemukan dua orang anak muda yang agaknya mempunyai bakat bercerita tentang lelucon.”

Ketiga orang itu tidak dapat mengendap lagi. Karena itu, maka mereka pun kemudian justru telah berdiri di atas tebing

Seperti yang diduga oleh Raden Rangga dan Glagah Putih, maka mereka bertiga adalah memang orang-orang Sapu Angin. Karena itu maka Raden Rangga pun berkata, “Nah, itulah kalian. Jika demikian, maka bukankah aku tidak usah mencari kalian?”

“Kau memang tidak sedang mencariku Anak-Anak Muda. Kau telah berjalan bersama-sama dengan tiga orang yang agaknya tengah aku cari,” jawab Kiai Damarmurti.

“O, begitu? Jadi benar yang aku katakan, bahwa aku memang tidak akan mencarimu dan memberitahukan kepadamu tentang ketiga orang yang kau maksudkan. Tetapi akupun belum yakin, bahwa ketiga orang yang kau cari itu adalah ketiga orang ini,” jawab Raden Rangga.

“Tetapi Anak-Anak Muda. Kau jangan menyesal. Aku-lah yang sudah menemukanmu, bukan kau yang telah mencari aku. Karena itu, maka kalian telah terlibat dalam satu persoalan dengan kami,” berkata Kiai Damarmurti.

Tetapi jawaban Raden Rangga ternyata tidak diduga oleh orang itu, “Bukankah sudah aku katakan, itulah yang aku ingini. Nah, kalian mau apa?”

“Setan,” geram Putut Pideksa, “sejak semula aku sudah ingin meremas mulutnya.”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang itu dengan tajamnya. Namun sebelum ia menjawab, Kiai Gringsing-lah yang bertanya, “Ki Sanak. Apakah kalian memang sedang mencari kami?”

“Ya Ki Sanak. Kami memang sedang mencari tiga orang pengembara yang datang dari Barat. Mungkin dari Mataram atau daerah di sekitarnya,” jawab Kiai Damarmurti. “Nah, apakah kalian orang-orang yang memang sedang kami cari atau bukan?”

“Mungkin Ki Sanak mempunyai tanda-tanda yang memberikan ciri yang lebih jelas daripada yang hanya sekedar tiga orang?” bertanya Kiai Gringsing.

“Ya Ki Sanak. Dari ketiga orang itu, disebut bahwa dua orang di antaranya sudah terlalu tua untuk satu pengembaraan, sedang yang seorang memang masih cukup muda,” jawab Kiai Damarmurti. “Namun yang lebih penting Ki Sanak, apakah kalian memang pernah bertemu dengan orang-orang dari perguruan Sapu Angin?”

“Ya,” jawab Sabungsari dengan serta merta, “kami telah bertemu dengan murid-murid dari perguruan Sapu Angin.”

“Nah, jika demikian maka dugaan kami tentang kalian bertiga benar,” jawab Kiai Damarmurti, “kami memang ingin berbicara serba sedikit dengan kalian dalam hubungannya dengan murid-murid dari perguruan Sapu Angin. Tetapi sebelumnya kami mempunyai sedikit persoalan dengan kedua anak muda itu. Kami akan menyelesaikannya lebih dahulu.”

“Urusan apa?” bertanya Kiai Gringsing.

“Mereka telah menolak perintah kami,” jawab Kiai Damarmurti.

“Tetapi siapakah kedua anak muda itu?” tiba-tiba Ki Jayaraga bertanya, “Apakah keduanya juga murid-murid dari perguruan Sapu Angin?”

“Bukan,” jawab Kiai Damarmurti, “kami bertemu mereka di alur sungai ini.”

“Lalu, kenapa tiba-tiba saja timbul persoalan di antara kalian?” bertanya Ki Jayaraga pula.

“Anak-anak itu sudah menghina kuasa perguruan Sapu Angin. Mereka telah dengan sengaja menolak perintah kami,” jawab Kiai Damarmurti.

“Aneh sekali,” jawab Ki Jayaraga, “mereka bukan anak-anak Sapu Angin. Kenapa mereka harus tunduk pada perintahmu, orang-orang Sapu Angin? Apakah hakmu menuntut kepada anak-anak itu agar mereka patuh kepadamu?”

Wajah Kiai Damarmurti menjadi merah. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Apakah anak-anak itu anak-anak kalian?” “Bukan,” jawab Ki Jayaraga, “itulah sebabnya kami tidak merasa berhak memerintah mereka.”

“Kalian memang bukan orang-orang Sapu Angin,” geram Kiai Damarmurti, “bagi orang-orang Sapu Angin, pantang untuk ditolak perintahnya yang diberikan kepada siapapun juga.”

“Juga kepada kami?” bertanya Ki Jayaraga.

“Jika kami sudah mengucapkan perintah, maka kalian pun harus melakukannya. Tetapi kami mempunyai perhitungan untuk mengucapkan perintah itu. Termasuk kepada kedua orang anak-anak muda yang tidak sopan itu,” jawab Kiai Damarmurti. Lalu, “Semula aku memang tertarik kepada sikapnya yang agak kurang sopan namun berterus-terang. Tetapi lama-lama aku pun menjadi muak. Mungkin aku bersikap terlalu baik, sehingga disangkanya bahwa aku hanya dapat bermain-main.”

“Sudahlah,” berkata Kiai Gringsing, “jika kalian berkepentingan dengan kami, kita dapat berbicara dengan baik. Kita dapat mencari tempat yang teduh. Kita dapat berbicara dengan baik sebagaimana orang-orang tua berbicara.”

“Baiklah,” berkata Kiai Damarmurti, “aku akan berbicara dengan Ki Sanak. Tetapi biarlah kedua adikku ini sedikit memberi pelajaran kepada kedua anak muda itu, sampai mereka merasa jera dan minta ampun. Kecuali jika sejak sekarang mereka minta ampun.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Mungkin ia akan dapat memaksa Glagah Putih untuk minta maaf, salah atau tidak salah, namun tentu tidak kepada Raden Rangga.

Dalam pada itu. Kiai Damarmurti itu pun telah membentak pula, “Cepat, minta maaf! Sebelum adik-adikku itu bertindak.”

“Senang sekali,” tiba-tiba Raden Rangga meloncat ke tepian berpasir yang luas, “di sini tempatnya cukup luas untuk bermain-main.”

“Anak itu,” desis Kiai Gringsing. Ketika ia memandang Ki Jayaraga maka dilihatnya orang tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kakang Pinta,” panggil Raden Rangga yang ternyata tidak melupakan nama yang diberikan kepada Glagah Putih, “kita dapat dua orang kawan bermain-main. Marilah, ambil seorang. Aku seorang. Mereka akan mengajari kita untuk sedikit bersopan santun.”

“Itu tidak mungkin,” Kiai Gringsing hampir berteriak, “kalian baru bertemu sekarang ini. Tidak ada persoalan yang penting terjadi di antara kalian. Kenapa kalian akan berkelahi? Bukankah itu satu perbuatan yang gila-gilaan?”

“Jangan kebingungan begitu Ki Sanak,” sahut Kiai Damarmurti, “sudah aku katakan. Aku tidak mau dihina oleh anak-anak itu. Aku hanya akan memberikan sedikit pelajaran kepada mereka agar mereka tidak menjadi semakin besar kepala.”

“Kau tidak berhak memerintah mereka,” geram Kiai Gringsing.

“Jangan ikut campur,” desis Kiai Damarmurti, “sementara adik-adikku memberikan pelajaran kepada kedua anak itu, kita dapat berbicara tentang kepentingan kita sendiri.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya orang yang ingin menghukum kedua anak muda itu sulit dicegahnya. Sementara itu Raden Rangga dan Glagah Putih sendiri agaknya seperti memancing persoalan pula.

Karena itu, maka tiba-tiba saja Kiai Gringsing berkata, “Jadi kalian sudah tidak dapat dicegah lagi? Yang tua itu maupun yang muda-muda?”

“Bukan salahku Kiai,” berkata Raden Rangga, “aku bukan budaknya. Kenapa aku harus melakukan perintahnya? Lalu karena aku menolak, maka ia akan menghukum aku. Nah, bukankah bukan salahku jika aku mempertahankan diri?”

“Aku sudah berusaha untuk mencegah perkelahian yang tidak berarti itu. Tetapi jika masih harus terjadi, maka apa boleh buat,” berkata Kiai Gringsing.

“Sudahlah,” berkata Kiai Damarmurti, “aku ingin berbicara dengan kalian Ki Sanak. Biarlah anak-anak itu diselesaikan oleh kedua adikku. Mungkin pembicaraan kita akan cukup menarik. Baru kemudian biarlah kedua adikku ikut dalam pembicaraan.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum ia mengucapkan kata-kata, Kiai Damarmurti telah melayang turun dari atas tebing, diikuti oleh kedua adik seperguruannya. Namun Putut Wiyantu dan Putut Pideksa langsung menuju ke tepian yang berpasir agak luas. Raden Rangga memang telah menunggu mereka di tepian itu.

Kiai Damarmurti untuk sesaat masih memandangi adik seperguruannya itu. Kemudian iapun mengangguk kecil. Satu isyarat bagi kedua adik seperguruannya itu untuk menghukum Raden Rangga dan Glagah Putih, yang telah mengaku bernama Wida dan Pinta.

Ketika Putut Wiyantu dan Putut Pideksa berjalan ke tepian pasir yang lebih luas, maka Kiai Damarmurti justru berjalan ke arah Kiai Gringsing. Namun Kiai Gringsing-lah yang kemudian telah melangkah sambil berkata, “Aku tidak dapat membiarkan perkelahian itu terjadi tanpa memperhatikannya. Karena itu, jika kau ingin berbicara dengan kami, maka kau harus menunggu sampai perkelahian itu berakhir.”

“Kenapa kau menjadi risau Kiai?” bertanya Kiai Damarmurti, “Biarlah itu diselesaikan oleh kedua adikku. Atau barangkali kedua anak-anak muda itu mempunyai sangkut paut dengan Kiai?”

“Setiap orang mempunyai sangkut paut. Apalagi jika terjadi keganjilan seperti ini, seolah-olah kau berhak melakukan kekerasan sesuka hatimu kepada orang yang bukan budak-budakmu,” jawab Kiai Gringsing. “Untunglah bahwa anak-anak itu mempunyai tanggapan khusus terhadap sikap kalian. Apapun yang terjadi, namun keduanya tidak menjadi ketakutan dan kehilangan akal karena sikap kalian.”

“Sudah aku katakan Kiai. Jangan dipersoalkan,” berkata Kiai Damarmurti, “marilah kita berbicara.”

Tetapi Kiai Gringsing masih berbicara terus, “Sedangkan kepada hamba-hambanya pun seseorang harus tepa selira. Jika kau tidak mau diperlakukan seperti itu, jangan memperlakukannya atas orang lain.”

“Cukup!” bentak Kiai Damarmurti.

“Tidak,! Kiai Gringsing menggeleng, “aku akan menyaksikan apa yang akan terjadi. Aku mempunyai alasan, dan jika perlu aku mempunyai bekal untuk mengambil langkah-langkah. Aku tahu, kau tentu guru dari ketiga orang murid Sapu Angin yang kembali ke padepokannya di antara empat orang yang berangkat. Tetapi aku kira ketiga orang muridmu akan berbicara lain daripada mengadu sebagaimana murid-murid dari perguruan lain. Sebenarnya aku melihat kelebihan dari ketiga orang muridmu dibanding dari beberapa perguruan yang aku temui. Namun ternyata gurunya telah mengecewakan aku. Tetapi seandainya demikian, apa boleh buat.”

Ki Jayaraga termangu-mangu. Jarang sekali ia mendengar Kiai Gringsing yang tua itu berbicara cukup tajam seperti yang diucapkannya itu. Agaknya Kiai Gringsing benar-benar gelisah menghadapi perkembangan keadaan. Bukan hanya karena sikap adik-adik seperguruan dari Sapu Angin itu. Tetapi Raden Rangga akan dapat berbuat terlalu jauh sebagaimana sering dilakukannya.”

Kiai Damarmurti juga menjadi termangu-mangu. Baginya kata-kata Kiai Gringsing itu cukup tajam. Bahkan sudah merupakan satu tantangan. Sikap orang tua itu agak berbeda dengan keterangan tiga orang muridnya.

Karena itu, maka kedua orang anak muda itu memang menjadi sangat menarik bagi Kiai Damarmurti. Agaknya kedua anak muda itu memang mempunyai hubungan tertentu dengan ketiga orang yang telah dikatakan oleh murid-muridnya itu.

Dengan demikian maka Kiai Damarmurti tidak berbicara lebih banyak. Dibiarkannya Kiai Gringsing yang diikuti oleh Ki Jayaraga dan beberapa langkah kemudian baru Sabungsari, mendekati arena. Sementara itu Kiai Damarmurti pun telah melangkah mendekatinya pula.

Dalam pada itu, Raden Rangga sudah berdiri berhadapan dengan Putut Wiyantu, sementara Glagah Putih sudah siap menghadapi Putut Pideksa yang sudah lama menahan diri.

“Marilah Kiai,” berkata Raden Rangga, “silahkan menjadi saksi. Aku tidak mau diperlakukan lebih rendah daripada seorang budak, meskipun aku hanya seorang petani kecil. Aku akan menunjukkan kepada orang-orang Sapu Angin, bahwa seorang petani kecil pun masih tetap mempunyai harga diri.”

“Cukup,” geram Putut Wiyantu, “aku akan memberi tanda pada bibirmu, bahwa kau adalah orang yang terlalu banyak bicara.”

Raden Rangga mengerutkan dahinya. Dengan heran ia bertanya, “Tanda apa yang dapat kau berikan pada bibirku?”

“Aku akan membelah bibirmu, agar untuk selanjutnya kau selalu ingat, bahwa bibirmu akan dapat mencelakakanmu,” berkata Putut Wiyantu, “atau barangkali akan lebih baik jika aku memotong lidahmu.”

Tetapi Raden Rangga tertawa. Katanya, “Kau seperti orang-orang yang pernah aku temui. Jangan banyak bicara. Orang-orang perguruan biasanya memang merasa dirinya terlalu lebih baik dari orang lain, lebih pandai, lebih kuasa dan lebih berhak menentukan.”

Putut Wiyantu benar-benar menjadi marah. Tangannya-lah yang dengan cepat sekali menyambar pipi Raden Rangga.

Namun Raden Rangga sudah memperhitungkannya. Karena itu dengan gerak yang sederhana ia dapat menghindari tangan Putut yang marah itu.

“Kau dapat merontokkan gigiku,” desis Raden Rangga.

“Bukan hanya gigimu,” geram Putut Wiyantu, “aku akan merontokkan lidahmu.”

Tetapi Raden Rangga tertawa semakin keras. Katanya, “Kau memang lucu. Ternyata kalian semuanya memang senang bergurau.”

Raden Rangga tidak sempat berbicara lebih banyak. Putut yang benar-benar marah itu telah menyerangnya dengan garangnya. Meskipun demikian suara tertawa Raden Rangga masih menggema di tebing sungai yang rendah, itu,

Yang masih belum mulai adalah Putut Pideksa Ia sempat memperhatikan Raden Rangga dan Putut Wiyantu bertempur. Pada langkah-langkah pertama, Putut Pideksa dan bahkan Kiai Damarmurti memang melihat, bahwa anak yang menyebut dirinya bernama Wida itu memiliki kemampuan untuk mempertahankan dirinya.

“Setan,” geram Putut Pideksa, “jadi dengan bekal kemampuan seperti itu kalian mencoba melawan orang-orang Sapu Angin?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berdesis, “Soalnya bukan berapa besarnya bekal kami. Tetapi bahwa kami harus mempertahankan harga diri kami.”

“Persetan,” geram Pideksa, “kalian memang terlalu sombong. Jika kalian tidak menolak perintah kami, maka tidak ada persoalan yang terjadi di antara kami.”

“Seandainya tidak ada perintah itu,” desis Glagah Putih.

“Persetan,” geram Putut Pideksa, “bersiaplah.”

Glagah Putih pun telah bergeser pula. Namun iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.

Demikianlah, kedua anak muda itu telah bertempur melawan dua orang putut dari Sapu Angin. Pertempuran yang semakin lama menjadi semakin garang.

Jika semula kedua putut itu menganggap bahwa mereka akan dengan cepat menyelesaikan tugas mereka, namun ternyata bahwa mereka telah membentur kekuatan ilmu yang tidak dibayangkannya sebelumnya.

Hal itu ternyata telah menarik perhatian Kiai Damarmurti pula, sehingga iapun tiba-tiba saja telah terikat kepada pertempuran di tepian itu.

Sementara itu, Kiai Gringsing sempat memperhatikan Kiai Damarmurti itu sendiri. Sekilas-sekilas ia memang sempat melihat, bahwa penglihatan Kiai Damarmurti yang sebelah agak cacat, meskipun tidak semata-mata.

“Bagus Parapat,” desis Kiai Gringsing.

Ia memang tidak mengenal dengan akrab orang yang bernama Bagus Parapat, sebagaimana orang itu pun tidak begitu mengenalnya. Dan bahkan karena kebiasaan Kiai Gringsing, maka orang itu memang tidak dapat mengenalnya. Sementara Kiai Gringsing sendiri, pengenalannya memang lebih condong pada mengenal namanya saja, serta beberapa hal yang sempat menarik perhatian.

Namun bahwa orang itu yang kemudian mewarisi perguruan Sapu Angin adalah satu hal yang tidak diketahuinya sama sekali. Persoalan itu adalah persoalan perguruan Sapu Angin. Sementara Kiai Gringsing tidak banyak memperhatikan perguruan itu kemudian.

Dengan sengaja Kiai Gringsing tidak ingin mengungkit persoalan perguruan Sapu Angin. Kecuali jika orang itu memulainya.

Namun perhatian Kiai Damarmurti benar-benar telah terikat pada pertempuran yang telah terjadi. Seperti kedua putut itu, maka Kiai Damarmurti benar-benar tidak mengira, bahwa kedua anak muda itu sampai sekian jauh masih mampu mengimbangi kemampuan kedua putut dari Sapu Angin itu.

“Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi?” bertanya Kiai Damarmurti kepada diri sendiri.

Sebenarnyalah bahwa Putut Wiyantu yang bertempur melawan Raden Rangga telah semakin mengerahkan tenaga cadangan di dalam dirinya. Serangannya semakin lama menjadi semakin cepat dan keras. Ia ingin segera menjatuhkan lawannya dan memberikan tekanan agar anak muda itu minta ampun kepadanya. Bahkan Putut Wiyantu yang marah itu benar-benar ingin memberikan ciri pada tubuh Raden Rangga agar menjadi peringatan baginya seumur hidupnya, bahwa tidak ada orang yang dapat menentang perintah orang-orang Sapu Angin.

Tetapi adalah kebetulan, bahwa lawannya adalah Raden Rangga.

Ki Jayaraga dan Sabungsari pun memperhatikan pertempuran itu dengan seksama. Ia sudah tahu sebelumnya serba sedikit tentang Raden Rangga dan juga tentang Glagah Putih. Karena itu, maka iapun berharap bahwa kedua orang putut itu akan kecewa dengan sikapnya.

Sebenarnyalah sebagaimana dibayangkan oleh Sabungsari, kedua putut itu tidak hanya kecewa, tetapi semakin lama menjadi semakin bingung menanggapi kedua anak muda itu. Apakah hanya untuk menghadapi anak-anak muda itu mereka harus melepaskan ilmu mereka, ilmu perguruan Sapu Angin, yang pada saat terakhir telah diketemukan kembali ujudnya yang lengkap oleh Kiai Damarmurti.

Meskipun kedua putut itu memiliki pula ilmu yang mengalir dari sumber perguruan Sapu Angin, namun kemampuan kedua putut itu ternyata masih belum tuntas.

Meskipun demikian, jika keduanya mulai dengan melepaskan kemampuan ilmunya yang meskipun belum tuntas tetapi cukup menggetarkan itu, maka kedua lawannya tentu akan melakukan hal yang sama.

Namun ternyata hal itu masih belum dilakukan. Kedua putut itu masih bertumpu pada kekuatan cadangannya. Namun meskipun baru dengan kekuatan cadangnya, pertempuran itu telah menjadi semakin lama semakin sengit. Mereka bergerak semakin cepat dan keras. Benturan-benturan mulai terjadi dan serangan pun datang silih berganti.

Tetapi yang ternyata masih berusaha menyesuaikan diri adalah justru Raden Rangga dan Glagah Putih. Kedua putut itu terlalu yakin akan kemampuan mereka, sehingga mereka menganggap kedua anak muda itu terlalu lemah.

Namun setelah mereka bertempur beberapa lama, serta keringat pun mulai mengalir di tubuh mereka, maka mulailah kedua orang putut itu dengan sungguh-sungguh menilai lawan masing-masing.

Putut Wiyantu yang dengan kecepatan yang sangat tinggi berusaha untuk menembus pertahanan Raden Rangga, beberapa kali justru harus membenturkan kekuatannya. Pada saat-saat tertentu Raden Rangga memang tidak menghindari serangannya, tetapi justru berusaha menangkisnya. Ketika dengan kekuatan cadangannya, Putut Wiyantu meloncat sambil menjulurkan kedua tangannya ke dada Raden Rangga, Raden Rangga memang tidak mengelak. Tetapi ia telah menyilangkan kedua tangannya untuk melindungi dadanya.

Sebuah benturan memang telah terjadi. Namun jauh dari dugaan Putut Wiyantu, Raden Rangga tidak terlempar dan jatuh berguling di atas pasir tepian, atau terlempar membentur sebongkah batu. Tetapi ketika benturan itu terjadi, anak muda itu tetap berdiri tegak di tempatnya. Setapak pun ia tidak tergeser surut. Bahkan hanya dengan mengerahkan tenaga cadangannya saja, Putut Wiyantu sendiri telah terguncang karenanya.

“Anak setan,” geram Putut Wiyantu. Tiba-tiba saja ia menggeram, “Ternyata kau dengan sengaja telah memancing persoalan. Kau memang ingin menunjukkan bahwa kau termasuk anak muda yang berilmu. Tetapi justru dengan demikian maka kau akan menyesal seumur hidupmu.”

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Aku tetap tidak mengerti jalan pikiranmu. Kenapa kau menuduh kami memancing persoalan. Bukankah kalian yang telah melakukannya?”

“Tutup mulutmu,” geram Putut Wiyantu.

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun berdesis, “Kau semakin memuakkan Putut Wiyantu. Kau tahu, bahwa dadaku justru hampir menjadi pecah karena aku menahan diri. Berpura-pura tertawa dan bermain-main dengan sabar. Jika kau masih tetap seperti itu, maka akulah yang akan mengakhiri pertempuran ini.”

Wajah Putut Wiyantu menjadi merah. Sementara itu Kiai Gringsing yang mendengarnya menjadi berdebar-debar. Bahkan iapun telah bergeser maju sambil berdesis, “Tidak adakah jalan lain yang dapat ditempuh?”

Kiai Damarmurti heran mendengar kata-kata mengancam Raden Rangga. Nampaknya anak muda itu tidak bermain-main.

Tetapi Putut Wiyantu yang merasa dirinya memiliki bekal ilmu dari perguruan Sapu Angin tiba-tiba saja telah menyerang dengan cepatnya, menyapu dengan ayunan kakinya, namun kemudian meloncat berputaran seperti badai yang mengamuk.

Raden Rangga merasakan desakan serangan lawannya. lapun merasakan, bahwa lawannya tidak sekedar mempergunakan tenaga cadangannya. Namun Putut Wiyantu telah mulai membuka kemampuan ilmunya.

Sementara itu Putut Pideksa pun telah menjadi semakin marah. Meskipun Glagah Putih tidak banyak berbicara, tetapi seranganya-lah yang datang dengan cepatnya. Susul menyusul seperti seekor burung sikatan, Glagah Putih menyambar lawannya dengan tangannya. Namun demikian Putut Pideksa meloncat menghindar, maka Glagah Putih itu pun menggeliat. Tangannya-lah yang terayun membuka. Satu sambaran pada pundak lawannya. Tetapi Putut Pideksa sempat membungkukkan badannya, tepat seperti yang diperhitungkan oleh Glagah Putih. Pada saat yang demikian, Glagah Putih meloncat dengan cepatnya. Tangannya sempat menyambar tengkuk Putut Pideksa yang sedang membungkukkan badannya itu.

Pukulan itu memang tidak terduga. Hanya karena daya tahan yang sangat tinggi sajalah maka Putut Pideksa tidak kehilangan keseimbangan seluruhnya. Meskipun demikian Putut Pideksa itu harus menjatuhkan diri dan berguling beberapa kali di atas pasir sebelum ia melenting berdiri. Hampir saja ia justru membentur sebuah batu yang besar yang memang berserakan di sungai itu.

Dengan demikian maka Putut Pideksa pun yakin, bahwa ia tidak akan dapat menguasai lawannya tanpa mempergunakan ilmunya. Karena itu, maka siapapun lawannya, Putut Pideksa tidak mau lebih banyak pertimbangan lagi. Ia harus menghancurkan anak muda yang sombong itu.

Kiai Gringsing ternyata juga melihat, bahwa pertempuran itu telah meningkat ke tataran yang lebih gawat. Karena itu, maka iapun berteriak sekali lagi, “Cukup! Aku kira permainan ini sudah cukup. Kalian telah terseret oleh arus perasaan kalian masing-masing. Sedangkan persoalan yang sebenarnya sama sekali tidak berarti apa-apa. Apakah pantas bahwa persoalan yang tidak ada artinya itu harus dipertengkarkan sampai pada tataran ilmu dari sebuah perguruan yang besar?”

“Kiai,” jawab Raden Rangga, “sekali lagi, bukan salah kami.”

Kiai Gringsing-lah yang kemudian mendekati Kiai Damarmurti sambil berkata, “Kiai, hentikanlah adik-adik seperguruanmu.”

“Mereka justru harus menghukum anak-anak muda itu,” sahut Kiai Damarmurti.

“Tetapi sudah kau lihat, bahwa hal itu tidak akan mudah dilakukan oleh kedua adik seperguruanmu itu. Mereka harus merambah sampai ke ilmu dari perguruan Sapu Angin,” berkata Kiai Gringsing.

“Apa boleh buat,” berkata Kiai Damamurti, “tetapi keduanya harus menjadi jera.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Apa boleh buat. Aku sudah berusaha untuk mencegah.”

Kiai Damarmurti mengerutkan keningnya. Katanya, “Nampaknya Kiai sudah mengenal kedua orang anak muda itu, dan bahkan ilmunya?”

Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Bukankah kau juga melihat bahwa ilmunya akan dapat mengimbangi ilmu adik-adik seperguruanmu?”

“Memang, pada tataran itu,” jawab Kiai Damarmurti.

Kiai Gringsing tidak menjawab lagi.

Demikianlah, kedua orang putut dari Sapu Angin itu tengah bertempur dengan sengitnya melawan dua orang anak muda yang mengaku bernama Wida dan Pinta. Ilmu mereka pun semakin lama menjadi meningkat semakin tinggi.

Bahkan kedua putut dari Sapu Angin itu telah sampai pada tingkat ilmu yang dapat mereka capai pada perguruan Sapu Angin. Masih belum pada ujud yang lengkap sebagaimana dikuasai pada saat-saat terakhir oleh Kiai Damarmurti. Tetapi mereka sudah memiliki kemampuan ilmu lebih baik dari murid-murid perguruan Sapu Angin.

Putut Wiyantu yang kemudian justru mulai terdesak oleh Raden Rangga, telah mengetrapkan ilmunya pula. Sambaran tangannya bukan saja memiliki jangkauan yang lebih dari ujud kewadagannya, tetapi sambaran anginnya ternyata memiliki kekuatan yang menggetarkan. Ketika Raden Rangga masih belum siap benar menghadapi ilmu itu, maka serangan Putut Wiyantu yang meluncurkan prahara itu hampir saja sempat melemparkannya.

Tubuh Raden Rangga memang sudah tergetar. Tetapi kakinya masih belum terangkat. Raden Rangga masih tetap berjejak di atas tanah, sehingga meskipun angin yang keras itu menghantamnya, tetapi Raden Rangga tidak terlepas dari bumi.

Dalam waktu yang cepat, Raden Rangga dapat mengatasi kesulitannya. Bahkan iapun dengan cepat telah melenting, menyerang dengan garangnya.

Putut Wiyantu mengumpat kasar. Bahkan katanya kepada diri sendiri, “Sebaiknya aku tidak mengekang diri lagi.”

Sebenarnyalah bahwa Putut Wiyantu memang sudah bertekad untuk mengerahkan segenap kemampuannya. Ia sudah siap menyapu tepian itu dengan kekuatan angin yang dapat dilontarkan dari hentakan tangannya. Meskipun angin itu tidak sekuat dan berkemampuan mengguncang dan menerbangkan sanggar padepokan Sapu Angin.

Di lingkaran pertempuran yang lain, Putut Pideksa pun telah sampai pula pada satu tekad untuk menghancurkan Glagah Putih. Itulah sebabnya, maka serangan-serangannya pun kemudian datang membadai. Ketika Putut Pideksa itu mengayunkan tangannya dari jarak beberapa langkah dari Glagah Putih, maka hentakan angin yang dahsyat telah meluncur dan menghantum ke arah sasaran.

Untunglah bahwa Glagah Putih sempat melihat serangan itu Dengan serta merta iapun telah meloncat dan menjatuhkan dirinya di atas pasir tepian, sehingga serangan yang dahsyat itu telah menghantam tebing yang tidak terlalu tinggi. Ternyata beberapa bongkah batu padas yang melekat pada dinding tebing itu telah berguguran.

“Bukan main,” geram Glagah Putih. Dengan nada tinggi iapun berkata, “Jadi kita akan bersungguh-sungguh, Putut yang perkasa.”

“Menyerahlah. Berjongkoklah dan minta ampun,” geram Putut Pideksa, “nyawamu akan selamat, meskipun kau akan mendapat hukuman yang pantas untuk kesalahan dan kesombonganmu itu.”

Tetapi justru itu Glagah Putih telah mendapat kesempatan untuk mempersiapkan diri. Ternyata Putut Pideksa sama sekali tidak menduga, bahwa anak muda yang berdiri di hadapannya itu adalah Glagah Putih, murid Agung Sedayu dan Ki Jayaraga, yang memiliki kemampuan menyadap kekuatan api, air, udara dan berlandaskan kepada kekuatan bumi yang kokoh.

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “jika aku bertanya, bukannya karena aku akan menyerah. Tetapi kita akan menakar ilmu. Aku tidak akan ragu-ragu lagi menjawab serangan ilmumu yang nggegirisi itu dengan kekuatan ilmu yang sama.”

Putut Pideksa tidak menjawab. Tetapi sekali lagi tangannya terayun. Kekuatan yang dahsyat telah meluncur mengarah ke tubuh Glagah Putih yang berdiri di tepian.

Namun Glagah Putih telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, ketika serangan itu datang, iapun telah melenting dengan tangkasnya menyamping. Namun bersamaan dengan itu, iapun telah bersiap untuk menyerang pula.

Sekali lagi gumpalan-gumpalan batu padas berguguran di tepian. Serangan Putut Pideksa telah menghantam tebing yang tidak terlalu tinggi itu.

Namun pada saat yang demikian, tiba-tiba saja Putut Pideksa itu terkejut. Ia melihat sikap Glagah Putih yang berdiri tegak dengan kaki renggang. Ketika kedua tangan Glagah Putih terangkat, maka Putut Pideksa itu dengan naluri seorang yang memiliki ilmu yang tinggi melihat sebuah serangan telah datang menyergapnya. Namun karena ia tidak menduga bahwa anak muda itu juga memiliki kemampuan yang demikian, maka Putut Pideksa terkejut.

Dengan tangkasnya maka Putut Pideksa-lah yang harus meloncat menghindari serangan Giagah Putih.

Berbeda dengan serangan Putut Pideksa yang kemudian dengan garang menghantam tebing, maka serangan Glagah Putih seakan-akan tidak memberikan pertanda apapun juga. Namun sebenarnyalah karena Putut Pideksa sedikit terlambat, maka ia telah merasakan sentuhan serangan Glagah Putih.

Ternyata Glagah Putih telah mempergunakan panasnya api untuk menyerang lawannya. Meskipun pada serangan pertamanya Glagah Putih belum mengerahkan segenap kemampuannya, tetapi udara yang panas itu rasa-rasanya telah membakar tubuh Putut Pideksa.

Ketika kemudian Putut Pideksa berdiri tegak beberapa langkah dari tempatnya semula, terdengar ia mengumpat. Betapa panasnya udara yang telah membuatnya bergetar. Untunglah bahwa panas itu tidak cukup kuat membakar pakaiannya.

“Anak iblis,” geram Putut Pideksa, “itulah sebabnya kau berani menolak perintah kami.”

Glagah Putih yang berdiri tegak dengan kaki renggang memandang Putut Pideksa dengan tajamnya. Dengan suara datar ia berkata, “Jika kau memang ingin bersungguh-sungguh, maka aku pun akan bersungguh-sungguh. Kau tidak dapat bertumpu kepada kakak seperguruanmu itu untuk berbuat tidak adil. Nah, karena itu kita akan berlandaskan kepada kemampuan kita masing-masing. Kau dan aku, sementara saudara seperguruanmu yang satu itu akan berperang tanding melawan saudaraku.”

“Persetan,” geram Putut Pideksa, “aku tetap akan menghancurkanmu.”

Tetapi Glagah Putih telah benar-benar bersiap. Ia akan melayani lawannya dengan ilmu yang ada pada dirinya. Ia telah mewarisi ilmu Ki Sadewa sepenuhnya lewat sepupunya Agung Sedayu, juga beberapa jenis ilmu Agung Sedayu sendiri, kemudian ilmu yang diturunkan oleh Ki Jayaraga dan dimatangkan dalam pergaulannya dengan Raden Rangga.

Karena itu, maka ia tidak merasa gentar menghadapi kekuatan ilmu dari perguruan Sapu Angin itu, betapapun dahsyatnya.

Apalagi Raden Rangga yang bertempur di bagian lain dari tepian berpasir itu. Beberapa saat kemudian, Putut Wiyantu yang juga telah mengerahkan ilmunya, justru mulai menghadapi kesulitan yang sungguh-sungguh. Raden Rangga yang menjadi semakin muak melihat sikapnya, jauh menekannya tanpa menghiraukan ilmu yang mampu di lepaskannya. Dengan loncatan-loncatan yang ringan dan cepat, Putut Wiyantu tidak pernah dapat mengenai sasarannya. Namun Raden Rangga pun telah mulai membalasnya dengan garangnya. Meskipun Raden Rangga tidak dengan serta mengakhiri perlawanan Putut Wiyantu, namun setiap kali Putut Wiyantu itu telah terlempar surut. Seperti kebiasaan Raden Rangga yang meskipun mulai dibakar oleh kemarahannya, namun ia masih juga sering menunjukkan sikap yang aneh. Raden Rangga tidak menyerang lawannya dengan Ilmunya sendiri. Tetapi ia telah membentur serangan-serangan Putut Wiyantu yang dilontarkannya. Raden Rangga tidak selalu menghindari serangan itu, tetapi tiba-tiba timbul niatnya untuk menghalau serangan itu dengan benturan.

Ketika Putut Wiyantu melepaskan ilmunya yang garang, maka Raden Rangga pun telah menahan serangan itu, dan mendorongnya kembali.

Putut Wiyantu terkejut bukan buatan. Tetapi tiba-tiba saja serangannya itu telah berbalik, menghantamnya dan melemparkan tanpa ampun.

Untunglah bahwa Putut Wiyantu itu jatuh ke atas pasir. Beberapa kali ia berguling. Kemudian dengan cepat ia berusaha untuk bangkit.

Namun ternyata punggungnya menjadi bagaikan retak. Beberapa saat lamanya ia berdiri termangu-mangu. Sementara lawannya berdiri tegak tanpa berbuat apa-apa.

Sebenarnyalah Raden Rangga pun menjadi berdebar-debar. Ia pernah membentur dan memutar serangan orang-orang Nagaraga di Mataram. Akibatnya sangat mengerikan. Kematian orang itu telah melemparkannya ke perjalanan panjang yang masih belum kunjung berakhir.

Namun ketika orang itu dapat bangkit lagi, maka Raden Rangga itupun menarik nafas dalam-dalam. Seperti yang setiap kali dikatakan oleh Glagah Putih, bahwa ia sudah terlalu banyak membunuh. Bahkan kadang-kadang seperti orang yang bermain-main saja dengan nyawa orang lain.

Putut Wiyantu yang kesakitan itu berusaha untuk berdiri tegak. Dipandanginya Raden Rangga dengan tajamnya. Sementara itu ia sempat melihat Putut Pideksa berguling-guling menghindari serangan Glagah Putih. Namun dilihatnya Putut itu menggeliat sambil menahan sakit oleh panas yang serasa memanggangnya.

Tetapi seperti Raden Rangga, maka Glagah Putih tidak ingin membunuh lawannya. Sehingga karena itu, ketika Putut Pideksa itu berguling ke dalam air untuk mengurangi perasaan panasnya, Glagah Putih tidak mengejarnya dengan serangan.

Yang wajahnya menjadi panas oleh gejolak di dalam dirinya adalah Kiai. Damarmurti. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan yang terjadi itu. Kedua orang adik seperguruannya memang tidak mempunyai kemampuan untuk menghukum kedua orang anak muda itu. Bahkan dengan ketajaman penglihatannya, maka ia harus mengakui bahwa kedua anak muda itu memang memiliki kelebihan dari kedua adik seperguruannya.

Anak muda yang melawan Putut Wiyantu itu tidak mungkin dapat dikalahkan. Anak itu mampu membentengi dirinya dengan ilmu yang luar biasa, yang bahkan mampu memantulkan kekuatan ilmu lawannya. Semakin banyak Putut Wiyantu menyerang, maka ia akan mengalami kesulitan semakin parah. Sekali lagi saja ia menyerang dengan kekuatan ilmunya, maka kekuatan ilmu itu akan terpantul dan melemparkannya kembali sehingga punggungnya akan benar-benar menjadi patah. Apalagi jika anak muda yang menyebut dirinya Wida itu mulai menyerang.

Demikian pula lawan adik seperguruannya yang bernama Putut Pideksa. Nampaknya ia memiliki ilmu yang mampu memanggang udara dan membuat Putut Pideksa seperti orang kesurupan, membenamkan dirinya ke dalam air.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar