Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 213

Buku 213

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Kau memang aneh-aneh saja. Tetapi baiklah. Apapun katamu. Aku terima tantanganmu, dan biarlah murid-muridmu mengenali siapakah istriku, siapakah Pandan Wangi, dan siapakah kedua orang tua itu.“

“Majulah. Aku sudah jemu dengan segala macam bualanmu itu,“ Ki Ajar hampir berteriak.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. la masih memegang cambuknya, sementara itu lawannya pun masih menggenggam senjatanya yang aneh itu.

Namun Agung Sedayu sempat berpesan, “Mungkin kalian pun harus bertempur, jika murid-murid Ki Ajar itu benar-benar berani bertindak alas kalian.“

“Persetan,“ seorang murid Ki Ajar menggeram, “jika aku diijinkan, aku ingin membunuhmu dengan tanganku Agung Sedayu.“

“O, begitu. Kenapa gurumu tidak mengijirkan? Mungkin gurumu menyadari, bahwa kau masih terlalu kanak-kanak dalam dunia kanuragan seperti ini,“ jawab Agung Sedayu.

“Setan alas,“ orang itu mengumpat. Tetapi Agung Sedayu justru tertawa saja.

Ki Ajar-lah yang kemudian berkata dengan nada keras, “Jangan dengarkan kata-kata orang yang sudah mendekati masa sekaratnya itu. Aku akan membunuhnya. Tugas kalian adalah membunuh kedua orang perempuan dan kedua orang tua itu. Jika kalian belum berhasil setelah aku menyelesaikan Agung Sedayu, aku akan menyelesaikan mereka pula. Sudah menjadi nasibnya, bahwa mereka bersedia diajak oleh Agung Sedayu datang ke tempat ini.“

Tidak seorang pun yang menjawab di antara keempat orang yang datang bersama Agung Sedayu. Mereka menunggu apa yang akan dilakukan oleh murid-murid Ki Ajar itu.

Sementara itu Agung Sedayu pun telah memisahkan dirinya. la telah bersiap memasuki perang tanding, karena hal itulah yang dikehendaki oleh Ki Ajar yang kehilangan muridnya karena terbunuh oleh Glagah Putih itu.

Sejenak kemudian keduanya telah bersiap. Ki Ajar itu masih juga menggeram, “Ternyata orang yang bernama Agung Sedayu itu adalah seorang yang kesombongannya sampai menyentuh langit. Tetapi semuanya itu akan berakhir hari ini.“

Agung Sedayu lersenyum. Katanya, “Maaf Ki Sanak. Aku bukan bermaksud menyombongkan diri. Tetapi jika kami berhadapan sebagai lawan, bukankah biasanya kami memang harus membesarkan hati kami sendiri dan berusaha merendahkan iawan? Jika tidak demikian, mungkin aku benar-benar mengalami kecemasan menghadapi Ki Ajar sekarang ini.“

“Persetan!“ bentak Ki Ajar, “Ini adalah puncak dari kesombonganmu itu.“

Agung Sedayu tidak menjawab lagi, karena ia melihat Ki Ajar itu sudah memutar tongkat baja pendeknya yang terkait pada ujung rantai Itu.

Orang-orang lain yang ada di tempat terbuka itu sejenak memandangi keduanya dengan jantung berdebar-debar. Terlebih lagi Sekar Mirah. Meskipun ia tahu, bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu yang tinggi, namun mereka semuanya masih belum mengerti, sampai tingkat yang manakah lawannya yang menyebut dirinya Ki Ajar itu.

Sejenak kemudian, keduanya telah bersiap. Agung Sedayu pun telah menggerakkan ujung cambuknya pula.

Ki Ajar yang marah itu benar-benar tidak membuang waktu lagi. Iapun kemudian mulai menyerang Agung Sedayu dengan tongkat-tongkatnya di kedua ujung rantai itu. Demikian cepatnya ia mampu mempergunakan senjatanya itu, sehingga tiba-tiba saja ia mulai mendesak Agung Sedayu. Kedua tongkat itu bergantian berputar dan menyambar. Sekali senjata itu berada di tangan kanan. Kemudian beralih ke tangan kiri. Ujung-ujungnya bergantian berputar dan menyambar dengan garangnya. Sekali-sekali tongkat pendek itu mematuk dengan cepatnya. Namun dengan serta merta, tongkat itu telah berputar dan menyambar mendatar.

Agung Sedayu memang menghindari serangan itu sambil berloncatan surut. Namun Ki Ajar itu telah memburunya. Ia tidak mau memberi kesempatan sama sekali kepada Agung Sedayu.

Sekar Mirah yang gelisah menjadi semakin gelisah. Pandan Wangi pun menjadi berdebar-debar juga melihat kemampuan Ki Ajar mempermainkan senjatanya.

Namun Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing masih belum melihat sesuatu yang menggelisahkan. Mereka baru melihat Ki Ajar itu menunjukkan kemampuannya bermain-main dengan senjatanya. Tetapi sama sekali tidak membahayakan bagi Agung Sedayu. Meskipun Agung Sedayu nampaknya terdesak, tetapi bagi kedua orang tua itu, mereka melihat sekedar keseganan Agung Sedayu melayani permainan lawannya pada tataran awal itu.

Sebenarnyalah, permainan Ki Ajar semakin lama menjadi semakin sulit untuk dimengerti. Tongkat baja itu menjadi lebih sering meluncur mematuk dengan kekuatan yang tinggi, sehingga dengan demikian, maka Agung Sedayu pun menjadi lebih sering, berloncatan menghindar.

Namun akhirnya Agung Sedayu pun menjadi jemu untuk selalu bergeser menghindar. Ujung cambuknya yang mulai bergetar itu tiba-tiba saja meledak keras sekali, sehingga rasa-rasanya benar-benar memecahkan selaput telinga.

Ki Ajar memang terkejut, sehingga ia justru bergeser setapak surut.

Namun Agang Sedayu-lah yang kemudian mempermainkan cambuknya. Bahkan sambil berkata, “Nah, sekarang lihat, akulah yang akan ganti bermain-main.“ “Persetan,“ geram lawannya.

Agung Sedayu tidak menghiraukannya lagi. Cambuknya-lah yang kemudian berputaran di atas kepalanya. Namun tiba-tiba telah meledak lagi, melengking keras sekali. Namun ujung cambuk itu seoiah-olah dapat bergerak seperti kepala seekor ular, mematuk dan kemudian menyambar cepat sekali.

Ki Ajar-lah yang bergeser setapak surut. Tetapi tiba-tiba iapun telah meloncat maju dengan menghentakkan tongkat pendeknya. Demikian cepatnya mematuk ke arah dada Agung Sedayu.

Tetapi Agung Sedayu cepat menghindar. Sambil berputar, ia telah mengayunkan cambuknya pula menyambar kaki lawannya. Tetapi lawannya sempat melenting tinggi. Sementara tongkat pendeknya terayun menyambar ke arah kepala Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu sempat merendah. Ketika tongkat pendek itu berdesingan di atas kepalanya, maka cambuknya sekali lagi meledak.

Dihentakkannya cambuknya sendal pancing. Hampir saja ujung cambuk itu mengenai lambung Ki Ajar, tetapi dengan tangkasnya Ki Ajar sernpat mengelak.

Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi semakin sengit dan cepat. Namun Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga musih belum banyak menaruh perhatian. Keduanya masih bermain-main saja beradu ketrampilan. Namun belum beradu ilmu.

Namun dalam pada itu, maka keempat mund Ki Ajar pun mulai bergerak. Seperti yang dikatakan oleh Ki Ajar, mereka harus membinasakan keempat orang yang datang bersama Agung Sedayu itu. Karena itu, maka mereka pun segera menempatkan diri masing-masing menghadapi seorang lawan.

Yang tertua di antara merekalah yang kemudian mengatur orang-orangnya. Ia sendiri siap menghadapi Kiai Gringsing yang dikatakan guru Agung Sedayu. Namun orang ini nampaknya seperti orang yang sudah hampir pikun. Kemudian yang lebih muda daripadanya harus menghadapi Ki Jayaraga, sedang dua orang yang lebih muda lagi akan menghadapi Sekar Mirah dan Pandan Wangi.

Sekar Mirah dan Pandan Wangi pun telah bergeser pula untuk mendapatkan tempat yang lebih lapang tanpa mengganggu Agung Sedayu yang sedang bertempur melawan Ki Ajar. Sementara itu, Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing seakan-akan tidak menghiraukan lagi kedua orang yang siap menerkamnya dengan senjatanya itu. Mereka masih saja memperhatikan pertempuran antara Agung Sedayu dan Ki Ajar.

“Kakek tua,“ geram murid tertua Ki Ajar, “marilah, aku ingin mempercepat masa kematianmu.“

“Tunggu Ki Sanak,“ jawab Kiai Gringsing, “bagaimana jika kita melihat saja dahulu pertempuran antara Agung Sedayu dan gurumu itu?“

“Persetan,“ geram murid Ki Ajar yang tertua, “melawan atau tidak melawan, maka kau akan aku bunuh.“

“Silahkan,“ jawab Kiai Gringsing, “aku tidak akan mempersoalkannya. Tetapi aku hanya ingin memberikan kesempatan kepadamu untuk melihat, kapan gurumu itu mati.“

“Setan,“ geram orang itu, “bersiaplah. Aku akan mulai.“

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi orang itu agaknya benar-benar akan mulai. Karena itu, maka iapun harus bergeser menepi.

Sementara itu, orang yang berhadapan dengan Ki Jayaraga pun tidak kalah kerasnya dari murid tertua Ki Ajar itu. Ia tidak memberi kesempatan kepada Ki Jayaraga untuk berbicara serba sedikit. Tiba-tiba saja senjatanya telah berputar dan langsung menyerang. Karena itu, mau tidak mau Ki Jayaraga harus melayaninya.

Selain orang-orang tua itu, maka Sekar Mirah dan Pandan Wangi pun telah mulai bertempur pula. Lawan-lawan mereka juga tidak mau menunda waktu lebih lama lagi. Mereka sama sekali tidak tertarik untuk melihat gurunya bertempur, karena mereka sendiri telah mendapat tugas daripadanya untuk membunuh orang-orang lain yang ada di arena itu.

Murid-murid Ki Ajar itu memang merasa dirinya memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Tetapi ketika mereka berputar mengitari kelima orang lawan mereka itu, mereka telah melihat, betapa kedua orang perempuan itu mampu bergerak cepat, sehingga hampir saja putaran itu terganggu. Karena itu, maka kedua orang murid Ki Ajar itu memang bersikap berhati-hati menghadapi kedua perempuan yang garang itu.

Sekar Mirah yang memang sudah tidak sabar lagi, telah memutar tongkat baja putihnya. Ketika tongkat pendek lawannya mulai mematuk, maka dengan tangkasnya Sekar Mirah telah memukul tongkat itu dengan kerasnya. Namun Sekar Mirah harus tetap mengingat, bahwa jika rantai senjata lawannya itu membelit tongkatnya, maka belitan itu akan dapat membahayakan tongkatnya itu.

Sementara itu Pandan Wangi yang bersenjata rangkap telah memutar senjatanya pula. Sekali-sekali kedua pedangnya itu bersilang di dadanya. Namun kemudian sebuah terjulur lurus, sementara yang lain terangkat tinggi-tinggi. Namun kemudian pedang yang terangkat itulah yang justru menyambar lawannya bersamaan dengan saat-saat Pandan Wangi bergeser maju selangkah.

Tetapi iapun menyadari, seperti yang telah terjadi atas Sekar Mirah. Pedangnya, apalagi pergelangan tangannya jangan sampai terjerat oleh belitan senjata lawannya.

Meskipun murid-murid Ki Ajar itu tentu belum memiliki ketrampilan dan kekuatan sebagaimana gurunya, namun mereka tetap merupakan orang-orang yang berbahaya.

Namun setelah pertempuran itu terjadi beberapa saat, ternyata murid-murid Ki Ajar itu bukannya orang-orang yang harus ditakuti. Sekar Mirah dan Pandan Wangi mulai dapat menyusun perlawanan untuk mengimbangi kemampuan kedua orang lawannya yang pada mulanya menghentak-hentak itu.

Dalam pada itu, dengan malas Kiai Gringsing melayani lawannya. Meskipun demikian Kiai Gringsing tetap berhati-hati. Bagaimanapun juga, ia pantang untuk meremehkan lawan yang diketahui bagaimanapun lemahnya, karena setiap orang agaknya memang mempunyai kelemahannya sendiri.

Demikian pula Ki Jayaraga. Lawan Ki Jayaraga ternyata adalah seorang yang sangat garang. Sejak semula ia telah bertempur dengan keras dan kasar. Namun demikian, sulit baginya untuk dapat menguasai Ki Jayaraga.

Sementara itu, Ki Ajar yang bertempur melawan Agung Sedayu telah mempercepat geraknya. Ia telah menunjukkan satu permainan dengan senjata dengan sangat mengagumkan sekali. Namun demikian, ternyata Agung Sedayu pun telah mengimbanginya. Ia menggerakkan juntai cambuknya dengan tangkasnya. Sekali-sekali terdengar ujung cambuk itu meledak keras sekali, sehingga seakan-akan daun-daun pandan di seluruh hutan bahkan sampai ke rawa-rawa pantai itu tergetar.

Namun akhirnya Ki Ajar menyadari, bahwa ketrampilannya bermain senjata tidak mampu mendesak Agung Sedayu, Karena itu, maka iapun harus mulai dengan satu sikap yang lain. Ki Ajar harus mulai menunjukkan, bahwa ia memang seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ia yang berada di sebuah perguruan yang disegani, bahkan menjadi orang yang paling besar di perguruan itu.

Karena itu, maka ia harus mampu menguasai lawannya, apalagi disaksikan oleh murid-muridnya. Jika ia gagal mengalahkan Agung Sedayu, maka ia tidak akan dapat berkata banyak kepada murid-muridnya lagi, bahwa ia adalah orang terbesar dari semua perguruan. Bahkan perguruan Nagaraga sekalipun. Sehingga dengan kebesarannya itu, maka ia adalah orang pertama yang diperlukan oleh para adipati yang tidak dapat menerima kehadiran Mataram untuk menggantikan Pajang dengan alasan apapun juga.

Dengan demikian, maka Ki Ajar itupun mulai dengan pengetrapan ilmunya. Ki Ajar merasa bahwa ia tidak perlu melepaskan ilmu puncaknya untuk mengalahkan orang yang masih terhitung muda yang bernama Agung Sedayu itu. Karena itu, maka Ki Ajar pun kemudian berusaha memaksa Agung Sedayu untuk tunduk pada kehendaknya.

Ternyata bahwa Ki Ajar adalah orang yang dekat dengan tenaga angin sebagaimana pernah dilakukan bersama keempat muridnya. Untuk menghancurkan Agung Sedayu, maka iapun telah menyadap kekuatan udara dan mempergunakannya menurut kehendaknya.

Ketika senjatanya itu berputar, maka rasa-rasanya angin pun telah berputar pula. Ayunan senjata itu seolah-olah telah menghembuskan kekuatan angin menampar tubuh AgungSedayu. Bukan sekedar tamparan angin, tetapi rasa-rasanya angin itu mengandung kekuatan yang dapat mencengkamnya, membuat tusukan-tusukan kecil seolah-olah ujung-ujung duri yang menyengat kulitnya. Meskipun tidak membuat tubuhnya terganggu apalagi terluka, tetapi tusukan-tusukan itu benar-benar mengganggunya.

“Permainan macam apa ini?“ bertanya Agung Sedayu di dalam hatinya, “Satu jenis ilmu yang jika dikembangkan akan menjadi sangat berbahaya.“

Namun Agung Sedayu telah mempersiapkan diri menghadapi pengembangan dari ilmu itu. Jika tusukan-tusukan pada kulitnya itu menjadi semakin tajam, maka angin itu tentu akan menjadi alat yang sangat dahsyat untuk dapat membunuh lawannya, karena tubuhnya akan hancur dilubangi oleh tusukan-tusukan yang menghunjam semakin dalam. Meskipun tusukan itu tidak memberikan pertanda dalam ujud kewadagan, tetapi seseorang benar-benar akan merasa dirinya terluka arang keranjang.

Demikianlah, serangan Ki Ajar itu telah benar-benar melibat seluruh tubuh Agung Sedayu. Bahkan tongkat pendek di ujung rantai itu selain melontarkan hembusan angin yang mengerikan itu, masih juga mematuk dan menyambar langsung ke arah tubuh lawannya.

Namun kecepatan gerak Agung Sedayu masih selalu mampu menghindari serangan-serangan langsung dari lawannya dengan senjatanya itu.

Dalam pada itu, Sekar Mirah yang bertempur dengan salah seorang murid Ki Ajar itu telah meningkat semakin cepat. Tongat baja putih di tangan Sekar Mirah ternyata merupakan senjata yang telah mampu menggetarkan jantung lawannya. Sekar Mirah hampir tidak pernah berusaha untuk menangkisnya. Namun Sekar Mirah tidak mau senjatanya terbelit sekali lagi oleh rantai lawannya, meskipun Sekar Mirah yakin bahwa terhadap murid Ki Ajar itu ia masih akan mampu mempertahankan tongkatnya.

Getaran-getaran pada setiap benturan memang terasa mengganggu bagi lawannya. Semakin lama semakin terasa, bahwa tongkat baja putih Sekar Mirah merupakan senjata yang luar biasa. Ayunan yang keras dari tongkat pendek murid Ki Ajar itu, sama sekali tidak mampu menggoncang genggaman tangan Sekar Mirah.

Sekar Mirah yang memiliki kecepatan gerak yang tinggi, ternyata sekali-sekali berhasil membingungkan lawannya. Namun karena senjata lawannya yang cukup panjang itu setiap kali diputar mengitari tubuhnya, maka lawannya itu mempunyai kesempatan untuk memperbaiki kedudukannya.

Sementara itu, Pandan Wangi pun setiap kali berhasil mengacaukan pertahanan lawannya. Sepasang pedangnya bergetar dengan cepat. Setiap kali Pandan Wangi mampu menyusup di antara putaran senjata lawannya dengan ujung pedangnya yang terjulur lurus ke depan. 

Dengan demikian, maka lawan Pandan Wangi yang semula tidak menyangka bahwa perempuan itu benar-benar memiliki ilmu yang tinggi, menjadi semakin berdebar-debar. Semula lawan Pandan Wangi itu mengira, bahwa Pandan Wangi disegani karena ia adalah istri Swandaru Geni, anak Demang Sangkal Putung, sebagaimana dikatakan oleh seorang saudagar di pinggir Kali Praga itu.

Bahkan semakin lama pedang rangkap Pandan Wangi itu rasa-rasanya bergerak semakin cepat melingkar-lingkar, namun setiap kali menyusup di sela-sela putaran tongkat pendek yang terkait di ujung rantai itu.

Murid Ki Ajar yang lain ternyata tidak terlalu banyak dapat berbuat. Namun agaknya Kiai Gringsing dan kemudian juga Ki Jayaraga, tidak tergesa-gesa mengakhiri pertempuran. Bahkan Kiai Gringsing masih juga memberi kesempatan kepada lawannya untuk merasa mampu memberikan perlawanan. Namun kedua orang murid Ki Ajar itu setiap kali menjadi bingung, apa yang harus dilakukannya untuk menguasai orang-orang yang dianggapnya sudah mulai menjadi pikun itu.

Ternyata bahwa cambuk di tangan Kiai Gringsing itu benar-benar senjata yang sangat sulit untuk ditembus, meskipun lawannya juga mempergunakan senjata lentur. Bahkan ujung cambuk Kiai Gringsing itu terasa mulai menyentuh kulit lawannya, meskipun Kiai Gringsing masih belum melukainya.

Murid Ki Ajar yang tertua adalah murid Ki Ajar yang telah memiliki sebagian besar kemampuan Ki Ajar. Itulah sebabnya maka ia merasa bahwa ia akan mampu menyelesaikan lawannya yang telah menjadi rapuh. Sejenak kemudian, maka orang itu pun telah mengetrapkan ilmunya pula, sama seperti yang ditrapkan oleh Ki Ajar untuk melawan Agung Sedayu.

Kiai Gringsing mulai merasa sentuhan-sentuhan sejenis ilmu yang gawat itu. Ilmu itu sebagaimana terjadi pada Agung Sedayu, memang tidak membuat tubuhnya terganggu dan terluka. Tetapi perasaannya-lah yang terganggu.

Ketika lawannya semakin meningkatkan ilmunya itu, maka Kiai Gringsing mulai tersinggung. Tusukan-tusukan itu rasa-rasanya menjadi semakin tajam. Karena itulah, maka Kiai Gringsing mulai menghentikan permainan lawannya itu dengan tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk memusatkan nalar budinya pada ilmunya. Kiai Gringsing telah meningkatkan kecepatan gerak cambuknya, sehingga lawannya tidak mampu lagi mengelak atau menangkisnya. Meskipun ujung-ujung ilmu yang dilontarkan lewat angin pusaran itu, masih saja terasa menusuknya.

Murid tertua Ki Ajar itu tidak sempat mengembangkan ilmunya. Ujung cambuk Kiai Gringsing benar-benar mulai menyentuhnya. Bukan saja sekedar meraba kulitnya seperti sebelumnya, tetapi ujung cambuk itu tiba-tiba telah melukainya.

Ketika murid tertua Ki Ajar itu terkejut, maka yang terjadi kemudian benar-benar di luar nalarnya, bahwa orang tua itu masih mampu bergerak cepat sekali. Ketika murid tertua Ki Ajar itu masih dikejutkan oleh darah yang benar-benar mengalir dari lukanya, maka tiba-tiba saja ujung cambuk Kiai Gringsing telah bergetar dan memungut senjata lawannya. Demikian senjata itu terlepas dari tangannya, maka lawannya itupun terkejut bukan buatan. Untuk sesaat itu menjadi kebingungan. Namun dengan cepat ia berusaha menguasai dirinya. Yang mula-mula dilakukannya adalah meloncat mengambil jarak dari lawannya.

Kiai Gringsing yang berhasil rnerampas senjata lawannya itu pun bergeser mendekat pula. Namun kemudian ia terpaksa memperhatikan lawannya yang menilik sikapnya tengah mempersiapkan serangan yang lebih keras.

Sebenarnyalah, murid Ki Ajar yang kehilangan senjatanya itu telah bersiap sepenuhnya sampai pada puncak ilmunya. Kesempatan yang sedikit itu telah dipergunakan untuk mempertajam ilmunya yang sudah ditrapkan, sehingga terasa tusukan-tusukan pada kulit Kiai Gringsing menjadi semakin tajam dan dalam. Sementara itu, maka iapun telah mempergunakan senjatanya yang lain untuk mengacaukan ketahanan tubuh orang tua itu.

Dalam pada itu, selagi Kiai Gringsing meningkatkan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi perasaannya karena pengaruh ilmu lawannya yang menyerangnya itu, maka beberapa pisau kecil telah menyambarnya. Tetapi Kiai Gringsing tidak banyak mengalami kesulitan. Dengan ujung cambuknya ia telah menghalau serangan-serangan itu.

Bahkan kemudian katanya, “Ki Sanak. Sebaiknya kita beristarahat dahulu. Aku ingin melihat apa yang terjadi dengan Agung Sedayu yang bertempur melawan gurumu itu.“

“Persetan,“ geram lawannya.

Bagaimanapun juga, ia merasa sebagai seorang yang berilmu tinggi. Dengan tangkasnya ia telah mencabut pisau kecil berikutnya dan melemparkannya ke arah Kiai Gringsing, beruntun seperti yang telah dilakukannya. Kedua tangannya, kiri dan kanan ternyata memiliki ketangkasan yang sama untuk melontarkan pisau-pisaunya.

Namun seperti yang terdahulu, maka pisau-pisau itu telah disapu oleh ujung cambuk Kiai Gringsing.

Tetapi orang itu tidak mau menyerah. Iapun justru sampai kepada puncak ilmunya, Diacukannya kedua belah tangannya untuk melontarkan angin prahara yang lebih besar lagi dengan ketajaman ilmu yang lebih tinggi, sehingga kulit lawannya akan terasa bagaikan luka tusukan di setiap lembar rambutnya.

Namun Kiai Gringsing yang melihat sikap lawannya itu, tiba-tiba telah menghentakkan cambuknya sendal pancing. Cambuk itu tidak meledak terlalu keras. Namun ternyata akibatnya sangat menentukan.

Getaran ilmu Kiai Gringsing yang menggelepar dari ujung cambuk itu telah membentur kekuatan ilmu lawannya. Benturan yang dahsyat, namun yang tidak seimbang. Meskipun Kiai Gringsing tidak mengerahkan segenap kemampuannya, namun ternyata bahwa kekuatan ilmunya itu telah melanda murid tertua Ki Ajar. Demikian dahsyatnya, mendorong kembali ilmu yang dilepaskannya, sehingga rasa-rasanya sebuah kekuatan raksasa telah menghentakkan seluruh isi dadanya.

Murid tertua Ki Ajar itu terkejut. Namun ia tidak sempat berbuat banyak. Tiba-tiba saja dadanya serasa menjadi sesak. Beberapa langkah ia terdorong surut. Namun kemudian keseimbangannya pun segera terganggu. Dengan susah payah ia berusaha untuk tetap berdiri. Meskipun ia berhasil, tetapi nafasnya telah menjadi terengah-engah. Rasa-rasanya seluruh kekuatannya bagaikan terlepas dari dalam dirinya. “Nah, bagaimana Ki Sanak?“ bertanya Kiai Gringsing, “Apakah kau setuju untuk beristirahat sebentar?“

Orang itu tidak dapat menjawab. Tetapi tubuhnya benar-benar telah menjadi lemah.

Untuk beberapa saat ia masih bertahan berdiri tegak. Namun tubuhnya yang lemah itu menjadi gemetar. Akhirnya betapapun juga ia memaksa diri untuk bertahan, akhirnya orang itu pun telah jatuh terkulai di tanah.

Murid tertua Ki Ajar adalah orang pertama yang kehilangan kesempatan untuk melakukan perlawanan lebih lanjut. Namun ternyata Kiai Gringsing tidak datang mendekat, kemudian melecutkan cambuknya mematahkan tulang belakangnya. Tetapi setelah melihat lawannya itu terjatuh, Kiai Gringsing justru berkata, “Nah, beristirahatlah. Kau akan sempat berusaha untuk memperbaiki keadaanmu. Jika kau sudah sempat lagi bangkit, maka kita akan meneruskan pertempuran ini.“

Lawannya tidak menjawab. Ia memang tidak dapat berbuat apapun juga dalam keadaannya. Tubuhnya benar-benar menjadi sangat lemah. Dadanya serasa tersumbat, sehingga pernafasannya menjadi tersendat-sendat. Sendi-sendinya seolah-olah telah terlepas yang satu dengan yang lain. Meskipun demikian ternyata orang itu masih juga menggeram, “Kenapa tidak kau bunuh aku sekarang he?“

“Kau sedang tidak berdaya. Aku tidak akan membunuh seseorang dalam keadaan seperti itu.“

“Kau sombong sekali. Jika kau tidak membunuhku sekarang, maka akulah yang akan membunuhmu,“ suara orang itu pun telah bergetar. Bukan saja karena tubuhnya yang bergetar, tetapi juga karena kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya.

Kiai Gringsing tidak menghiraukannya. Iapun kemudian meninggalkan lawannya yang terbaring diam di tanah, di dekat akar-akar pohon pandan yang mencekam, sementara itu sebatang pohon pandan tumbuh menjulang lebih tinggi dari batang-batang yang lain.

Dalam pada itu, ternyata Ki Jayaraga pun telah menjadi jemu pula. Iapun ingin melihat apa yang terjadi atas Agung Sedayu dengan jelas. Karena itu, maka iapun telah membuat lawannya tidak berdaya. Namun tidak seperti Kiai Gringsing, Ki Jayaraga menjadi agak marah ketika lawannya mengetrapkan ilmunya yang masih sangat dasar itu. Karena itu, Ki Jayaraga berkata, “Jangan aneh-aneh Ki Sanak. Beristirahatlah saja lebih dahulu.“

Saudara muda seperguruan lawan Kiai Gringsing itu sama sekali tidak mampu melawan ketika ikat kepala Ki Jayaraga itu menyentuh tubuhnya. Tiba-tiba saja tubuhnya serasa menjadi lumpuh, meskipun ia tidak mengalami luka sama sekali. Tetapi tubuhnya serasa telah kehabisan darah dan menjadi kehilangan tenaganya dan kemampuannya.

Ki Jayaraga kemudian melangkah pula mendekati Kiai Gringsing. Namun keduanya justru lebih tertarik kepada pertempuran yang seru antara Sekar Mirah dan lawannya, serta Pandan Wangi melawan murid Ki Ajar yang lain itu.

Namun bagaimanapun juga, Sekar Mirah mampu menunjukkan kekuatannya. Ia mampu menggetarkan tangan lawannya setiap kali terjadi benturan. Sementara itu ketrampilan dan kecepatan geraknya benar-benar mempengaruhi pertempuran yang terjadi itu, sehingga lawannya yang merupakan murid yang belum cukup kuat landasan ilmunya itu menjadi bingung. la masih belum mampu melepaskan kekuatan angin yang menusuk ke dalam lubang-lubang kulit sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, meskipun ia sudah memiliki ilmu dasar.

Namun agaknya murid-murid Ki Ajar yang muda-muda ini, meskipun bukan muda umurnya, lebih menekuni kekuatan ilmu yang lain.

Dalam keadaan yang terdesak, maka lawan Sekar Mirah, dan juga lawan Pandan Wangi, lebih merasa akrab untuk menyadap tenaga panasnya api. Karena itu, maka dari dalam tubuhnya, rasa-rasanya telah memancar panas ke udara di sekelilingnya.

Sekar Mirah yang menyadari kekuatan ilmu lawannya itu, telah mempertajam tekanannya. Ia menyerang seperti sikatan menyambar belalang di rerumputan. Cepat dan menentukan.

Di sela-sela putaran senjata lawannya, Sekar Mirah berhasil menyusupkan ujung tongkat baja putihnya, sehingga sebelum lawannya sempat mengembangkan ilmunya, maka terasa ujung tongkat baja putih itu menyentuh tubuhnya.

Lawan Sekar Mirah itu menggeram. Karena itu, maka iapun menghentakkan ilmunya sampai ke puncak. Terasa udara yang panas telah membakar dirinya. Sekar Mirah memang berusaha untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya. Sementara itu, dengan tangkasnya kakinya berloncatan.

Untuk waktu yang cukup lama ia meningkatkan kemampuannya selama ia berada di Tanah Perdikan. Bahkan ia termasuk salah seorang yang mendapat tugas untuk menempa Pasukan Khusus yang dibentuk di Tanah Perdikan Menoreh oleh Mataram.

Karena itu Sekar Mirah telah mempergunakan kemampuannya itu untuk menekan lawannya. Kecepatan geraknya memang kadang-kadang membingungkan. Dengan demikian maka pemusatan nalar budi lawannya kadang-kadang terganggu, sehingga ilmu yang dilontarkannya tidak sepenuhnya memancar dari dalam dirinya. Bahkan kadang-kadang dalam keadaan yang sangat sulit karena Sekar Mirah menekannya tanpa memberinya kesempatan, udara yang panas itu telah menurun lagi.

Namun kadang-kadang terasa panas itu menerpa wajah Sekar Mirah. Keringatnya mengalir membasahi seluruh tubuhnya. Namun dalam tingkat ilmunya yang tinggi, meskipun pada batas kemampuan kewadagannya, ia mampu bertahan terhadap lawannya.

Sementara itu, Pandan Wangi pun mengalami keadaan yang serupa. Pedang rangkapnya berputaran dengan cepatnya. Ketika tubuhnya mulai disentuh panasnya udara, maka iapun dengan cepat berusaha untuk menguasai arena pertempuran itu, agar lawannya tidak mampu memusatkan nalar budinya, sebagaimana dilakukan Sekar Mirah.

Dengan demikian pertempuran antara kedua perempuan itu melawan kedua murid Ki Ajar menjadi semakin sengit. Sekar Mirah dan Pandan Wangi berusaha menguasai ilmu lawannya dengan ketangkasan mereka bermain senjata mereka masing-masing.

Dalam pada itu, ternyata ada sesuatu yang dimiliki oleh Pandan Wangi untuk mendesak lawannya. Memang arah peningkatan ilmunya agak berbeda dengan jalur yang ditempuh oleh Swandaru. Pandan Wangi hampir di luar sadarnya, telah memasuki satu tataran ilmu yang sudah jarang ada. Dengan petunjuk-petunjuk Kiai Gringsing, maka Pandan Wangi sudah berhasil mengembangkannya meskipun baru pada tataran pertama. Dalam pemusatan kemampuannya, maka Pandan Wangi mempunyai kelebihan dalam bermain senjata. Ketajaman senjatanya yang rangkap itu rasa-rasanya dapat mencapai sasaran mendahului ujud wadagnya.

Dengan demikian, dalam keadaan yang sulit itu, maka Pandan Wangi telah mengungkapkan kemampuannya. Untuk menahan lontaran kekuatan ilmu lawannya, maka Pandan Wangi telah menyerang lawannya dengan kemampuan ilmunya.

Murid Ki Ajar itu ternyata menjadi bingung menghadapi serangan-serangan Pandan Wangi. Ketika tiba-tiba saja kulitnya tergores ujung pedang, maka iapun segera meloncat surut. Menurut pengamatannya, pedang itu baru saja terjulur di tangan Pandan Wangi, Dengan cepat ia sudah berusaha menangkis. Tetapi adalah di luar pengertiannya, bahwa ia telah terlambat.

Namun Pandan Wangi tidak melepaskannya. Ia tidak mau lawannya mendapat kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya melontarkan udara panas itu dari dalam dirinya berlandaskan ilmunya.

Namun ternyata bahwa lawannya memang memiliki ilmu yang tinggi pula. Dengan tangkasnya lawannya mernpermainkan senjatanya, Bukan saja senjatanya itu berputaran dengan desing yang mengganggu telinga, tetapi udara panas itu benar-benar telah menghambat gerak Pandan Wangi.

Tetapi lawannya yang belum mengenal ilmu Pandan Wangi itu, memang merasa sangat terganggu pula dengan sengatan ujung pedang Pandan Wangi yang berkali-kali mulai menyentuh kulit. Kadang-kadang melukainya, namun kadang kadang hanya tergores pada kulitnya. Dengan demikian, maka sebelum ia berhasil melumpuhkan lawannya dengan udara panas yang memancar dari dalam dirinya itu, maka tubuhnya telah terluka di beberapa tempat, meskipun tidak melumpuhkannya.

Sementara itu Sekar Mirah pun telah mengungkapkan segenap kekuatan tenaga cadangannya. Berkali-kali lawannya harus bergeser menjauh karena tongkat baja putih Sekar Mirah memburunya, sementara tangannya sendiri merasa pedih karena benturan senjata yang terjadi.

Namun menurut penglihatan Kiai Gringsing dan Jayaraga, kedua perempuan itu pada saatnya akan mengalami kesulitan menghadapi lawannya itu. Meskipun Pandan Wangi sudah dapat melukai lawannya dan bahkan mendesaknya dengan kemampuan ilmunya, bahkan tidak hanya satu dua, tetapi beberapa gores karena kelambatan lawannya, sementara itu Sekar Mirah beberapa kali hampir saja melontarkan senjata lawannya dari tangannya, namun panas yang mencengkam mereka, pada satu ketika tidak akan dapat mereka atasi lagi. Tubuh mereka akan menjadi lemah dan kehilangan tenaga. Dengan demikian maka kecepatan gerak merekapun akan segera terhambat.

Karena itu, maka kedua orang tua itu tidak dapat tinggal diam. Betapapun juga, kedua murid Ki Ajar itu adalah orang-orang yang sangat berbahaya. Karena itu pula agaknya Glagah Putih dan Raden Rangga telah terlanjur membunuh seorang di antara mereka. Apalagi tugas yang berat dari Panembahan Senapati.

Untuk beberapa saat kedua orang itu memperhatikan pertempuran antara keduanya. Lalu tiba-tiba Ki Jayaraga berbisik, “Apakah kita akan berbuat sesuatu?“

“Jika tidak, maka aku tidak yakin bahwa kedua perempuan itu akan mampu mengatasinya sebagaimana Raden Rangga dan Glagah Putih.“

“Jadi bagaimana?“ bertanya Ki Jayaraga.

“Kita hambat gerak mereka,“ berkata Kiai Gringsing, “mereka akan berhenti bertempur.“

“Jika keduanya tahu, maka kita akan dimakinya,“ berkata Ki Jayaraga, “aku tahu serba sedikit watak Sekar Mirah.“

“Tetapi jika kita berdiam diri, maka akibatnya mungkin akan parah baginya,“ berkata Kiai Gringsing.

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, “Apa yang harus kita lakukan?“

“Sedikit curang bagi perang tanding,“ berkata Kiai Gringsing, “tetapi kita tujukan kepada kedua belah pihak. Aku tidak tahu apakah mereka mempunyai daya tahan untuk mengatasinya.“

Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah yang akan kita lakukan? Tetapi bukanlah mereka tidak sedang berperang tanding?“

Kiai Gringsing itu pun kemudian mengambil sebuah bumbung kecil. Katanya, “Aku adalah seorang yang sedikit memahami tentang obat-obatan dan sebangsanya. Karena itu, aku mempunyai serbuk ini. Serbuk yang terbuat sebagian dari biji kecubung yang aku lunakkan dengan berbagai reramuan.“

Ki Jagaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Kiai, dengan demikian kita akan dengan leluasa melihat Agung Sedayu yang bertempur. Nampaknya keduanya telah meningkat sampai pada tataran yang lebih tinggi dari ilmu mereka. Ki Ajar memang bukan orang yang dapat dianggap tidak berarti.“

“Baiklah, aku akan menghembuskan kabut tipis ke arah kedua lingkaran orang yang bertempur itu,“ berkata Kiai Gringsing.

Ki Jayaraga mengerutkan keningnya. Namun iapun mengangguk-angguk sambil berdesis, “Jadi empat orang akan menjadi pingsan?“

“Ya, tetapi tidak berbahaya. Serbuk kecubung di dalam reramuan ini hanya sedikit sekali. Mereka mungkin akan pingsan. Berbeda dengan mabuk,“ jawab Kiai Gringsing. “Tetapi kau ikut mengawasi. Siapakah yang mempunyai daya tahan yang lebih besar di antara mereka atas serbukku ini, atau bahkan berhasil mengatasinya. Jika yang berhasil mengatasi itu adalah lawan-lawan Sekar Mirah dan Pandan Wangi, maka biarlah kau menyingkirkan mereka surut dari arena dengan caramu.“

Ki Jayaraga mengangguk. Namun ia bertanya, “Jika Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang memiliki daya tahan lebih tinggi, apakah mereka dibiarkan mencelakai lawan-lawan mereka?“

Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya, “Jangan. Kita akan menangkap mereka hidup-hidup.“

Kiai Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah bergeser lebih dekat.

Sementara itu, tiba-tiba saja telah berhembus kabut, justru dari arah rawa-rawa. Tipis sekali. Kabut itu kemudian seolah-olah menyelimuti hutan pandan itu. Namun kemudian kabut itu bagaikan terhembus angin dan lenyap. Yang sedikit tersisa adalah justru di medan pertempuran antara Sekar Mirah dan Pandan Wangi menghadapi lawan masing-masing.

Tiba-tiba saja keempat orang itu menjadi pening. Pandangan mata mereka memang menjadi kabur. Rasa-rasanya kemampuan nalar dan perasaan mereka menjadi kurang wajar.

Lawan Sekar Mirah, maupun lawan Pandan Wangi yang menyadari kecepatan gerak lawannya, telah berusaha mengambil jarak. Sebenarnya mereka berharap, bahwa pada saat-saat mendatang dalam pertempuran itu, kemampuan ilmunya yang memancarkan panas dapat segera mempengaruhi lawannya. Namun keadaan mereka telah mendorong mereka untuk mengambil jarak.

Sekar Mirah dan Pandan Wangi melihat lawan-lawan mereka telah bergeser surut. Namun keduanya tidak segera mengejar lawan mereka. Bahkan mereka sempat menghubungkan keadaannya dengan kabut tipis yang mula-mula datang dari rawa-rawa.

“Apakah kabut itu mengandung racun yang menguap dari rawa-rawa itu?“ pertanyaan itu timbul bersamaan dari keempat orang yang telah terhenti bertempur itu.

Meskipun kabut itu kemudian hilang, tetapi perasaan pening dan mual tidak hilang bersama dengan kabut itu. Bahkan rasa-rasanya kesadaran mereka-lah yang menjadi semakin kabur.

“Ternyata daya tahan mereka setingkat,“ desis Kiai Gringsing di dalam hatinya.

Sebenarnyalah, keempat orang itu tidak menjadi mutlak pingsan. Tetapi mereka benar-benar tidak lagi memiliki kesadaran yang utuh, sehingga mereka perlahan-lahan telah terduduk, dan bahkan kemudian terbaring. Mereka berempat mulai melayang dalam dunia ketidak-sadaran. Yang terjadi kemudian bagaikan mimpi, namun kadang-kadang terdengar juga di telinga mereka cambuk Agung Sedayu yang meledak.

“Nah, sudahlah,“ berkata Kiai Gringsing kemudian kepada Ki Jayaraga, “kita akan melihat apa yang terjadi atas Agung Sedayu.“

Kedua orang tua itu pun kemudian telah beringsut mendekati arena pertempuran antara Agung Sedayu dan Ki Ajar Laksana. Keduanya memang telah merambah ke tataran ilmu yang lebih tinggi.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu pun masih sempat juga bertanya, “Kenapa dengan Sekar Mirah, Guru?“

“Tidak apa-apa,“ jawab Kiai Gringsing, “biarlah mereka tertidur dan bermimpi sejenak. Kabut yang timbul dari rawa-rawa di bawah hutan pandan itu agaknya telah membius mereka. Kabut yang mungkin dibauri oleh sejenis racun yang lemah.“

Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ia harus menghadapi lawannya yang semakin garang.

Ketika lawannya meningkatkan tekanannya kepada Agung Sedayu, maka terasa hembusan angin yang melibat Agung Sedayu menjadi semakin dingin. Sementara itu, tusukan yang tajam pada setiap lubang kulitnya pun menjadi semakin menghunjam dan pedih, Rasa-rasanya ujung-ujung duri itu semakin dalam menukik ke dalam kulit dagingnya, sedangkan tongkat pendek yang sepasang dan dihubungkan dengan rantai di tangan Ki Ajar itu masih saja berdesing menyambar-nyambar. Sekali di tangan kanan, sekali di tangan kiri. Bergantian kedua tongkat pendek itu menyilang dan mematuk, berayun dan menebas dengan kuatnya.

Namun sementara itu cambuk Agung Sedayu pun masih juga menyambar-nyambar. Jika mula-mula cambuk itu meledak dengan kerasnya seolah-olah mengoyak selaput telinga, kemudian suaranya menjadi semakin susut menurut pendengaran telinga wadag.

Mula-mula lawan Agung Sedayu menganggap bahwa susutnya suara ledakan itu karena Agung Sedayu menjadi semakin terhimpit oleh ilmu Ki Ajar. Perasaan pedih dan sakit yang menyengat kulit dagingnya. Tetapi kemudian Ki Ajar yang juga berilmu tinggi itu mulai menyadari, bahwa semakin susut suara ledakan cambuk Agung Sedayu, maka kemampuan ilmu yang tergetar dari ujung cambuk itu justru menjadi semakin kuat.

“Itulah sebabnya, maka agaknya Glagah Putih sudah dengan sengaja menyebut nama sepupunya,“ berkata Ki Ajar itu di dalam hatinya.

Sementara itu, Agung Sedayu yang merasakan tusukan kekuatan ilmu lawannya menjadi semakin pedih di kulit dagingnya, maka untuk mencegah kemungkinan yang palling buruk terjadi atas dirinya, maka iapun telah mulai melindungi tubuhnya dengan ilmu kebalnya.

Ternyata bahwa pengetrapan ilmu kebal itu tidak diduga sebelumnya oleh lawannya. Ia sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu yang jarang itu. Karena itu, maka untuk beberapa saat pertempuran masih saja berlangsung tanpa ada perkembangan lebih jauh.

Namun lambat laun lawannya mulai melihat kelainan pada Agung Sedayu. Ia nampaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh ilmunya yang jarang ada duanya itu. Tusukan-tusukan pada lubang-lubang kulitnya serta udara yang dingin membeku itu nampaknya tidak mampu melemahkan perlawanan Agung Sedayu. Ternyata bahwa ujung cambuknya masih tetap bergetar dengan lontaran ilmu yang menghentak-hentak dadanya, meskipun suaranya tidak lagi memekakkan telinga.

Kesadaran itulah yang memaksa Ki Ajar untuk meningkatkan ilmunya. Tusukan-tusukan itu menjadi semakin tajam dan dalam, Namun tidak berpengaruh lagi pada Agung Sedayu. Ia tidak merasakan sakit dan pedih oleh tusukan-tusukan itu karena ilmu kebalnya. Namun demikian, Agung Sedayu masih juga selalu menghindari serangan tongkat pendek Ki Ajar. Serangan itu demikian kerasnya, sehingga Agung Sedayu masih harus meyakinkan, apakah tongkat-tongkat pendek itu tidak menembus ilmu kebalnya.

Namun ketika ia berhasil membentur serangan itu dengan ujung cambuknya, maka Agung Sedayu pun yakin, bahwa kekuatan yang terlontar pada senjata Ki Ajar itu pun tidak akan menembus ilmu kebalnya, sehingga seandainya tongkat itu mengenai kulitnya, maka kulitnya tidak akan terluka karenanya.

Demikianlah pertempuran itu berlangsung, beberapa saat. Agung Sedayu memang tidak akan dapat dilukai lawannya, tetapi serangan-serangan Agung Sedayu pun sulit untuk dapat mengenai sasaran. Lawannya dengan tangkas selalu menghindari setiap serangan ujung cambuk itu, meskipun kadang-kadang dadanya-lah yang tertekan.

Ki Ajar memang menjadi semakin curiga terhadap lawannya. Nampaknya serangan-serangannya sama sekali tidak menggetarkan seujung rambut pun bagi Agung Sedayu.

“Luar biasa,“ geram Ki Ajar itu, “setan ini memang berilmu tinggi.“

Ki Ajar pun kemudian telah meningkatkan ilmunya pula. Ia tidak lagi menghiraukan murid-muridnya yang tidak berdaya.

Namun agaknya Agung Sedayu-lah yang memperingatkannya, “Ki Ajar. Kau lihat nasib murid-muridmu? Kau datang untuk menuntut balas atas kematian seorang muridmu. Tetapi di sini kau akan dapat kehilangan keempat muridmu itu sekaligus. Meskipun kini mereka belum mati, tetapi jika kami menghendaki, mereka akan mati di sini.“

“Persetan,“ geram Ki Ajar, “aku akan membunuh kalian satu persatu. Atau barangkali kalian akan bertempur bersama-sama melawanku? Jika demikian akan menjadi lebih baik, karena tugasku akan cepat selesai.“

“Jangan bermimpi,“ berkata Agung Sedayu, “kau harus melihat kenyataan tentang murid-muridmu itu.“

“Aku tidak peduli,“ geram Ki Ajar, “tetapi aku datang untuk membuat perhitungan dengan Agung Sedayu. Kecuali jika Agung Sedayu menjadi ketakutan.“

“Bagaimana kau dapat berkata seperti itu? Kita sudah bertempur,“ sahut Agung Sedayu sambil menghindari serangan Ki Ajar.

“Bagus,“ berkata Ki Ajar dengan nada berat, “kita selesaikan persoalan di antara kita. Baru aku akan melayani persoalan orang-orang lain di sini.“

Agung Sedayu termangu-mangu. Satu tantangan berperang tanding. Jika semula Ki Ajar bertempur dalam kelompoknya bersama murid-muridnya, maka kini sikapnya semakin tegas. Ia ingin menyelesaikan persoalan murid-muridnya. Kemarahan di dalam dadanya tentu bukan hanya karena seorang muridnya yang terbunuh. Tetapi keadaan murid-muridnya yang lain itu pun telah membakar jantungnya pula.

Namun dengan demikian maka Agung Sedayu pun harus mempersiapkan dirinya sepenuhnya. Tentu bukan hanya sekedar udara dingin dan ujung-ujung yang tajam menusuk lubang-lubang kulitnya. Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Ki Ajar itu pun meloncat menyerang sambil berteriak, “Kau menjadi ketakutan. Baiklah, jika kau tidak berani menghadapi aku dalam perang tanding, majulah bersama-sama.“

“Ki Ajar,“ akhirnya Agung Sedayu yang menghindar itu menjawab, ”sekali lagi aku masih ingin menawarkan, apakah kita bisa menyelesaikan persoalan kita dengan cara lain setelah kau melihat kenyataan tentang murid-muridmu?“

“Persetan,“ bentak Ki Ajar sambil memutar senjatanya. Sekali senjata itu menyambar dahi. Agung Sedayu terpaksa meloncat surut. Meskipun ia telah mengetrapkan ilmu kebalnya, namun ia masih belum dengan semata-mata menunjukkan kepada lawannya.

“Baiklah,“ berkata Agung Sedayu, “jika kau memang tidak melihat jalan lain. Aku terima tantanganmu.”

“Bagus!“ teriak Ki Ajar, “Kita akan menyelesaikannya dengan tuntas.“

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah artinya tantangan itu. Mereka sudah bertempur sejak semula.“

“Hanya untuk menegaskan, agar kita tidak ikut menangkapnya,“ berkata Kiai Gringsing. “Pengertian tantangannya itu lebih banyak ditujukan kepada kita. Tidak kepada Agung Sedayu.“

Ki Jayaraga mengangguk kecil. Namun iapun kemudian berkata, “Meskipun demikian, agaknya kita akan menyaksikan pertempuran yang luar biasa sengitnya. Bagaimana dengan Sekar Mirah dan Pandan Wangi?“

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Ki Jayaraga dengan pertanyaan yang memancar di sorot matanya.

“Kiai,“ berkata Ki Jayaraga, “aku kira kita dapat memberi kesempatan kepada Pandan Wangi dan Sekar Mirah untuk mtenyaksikan pertempuran itu.“

“Maksudmu?” bertanya Kiai Gringsing.

“Bukankah Kiai memiliki jenis obat pemunah racun yang lemah itu, sehingga keduanya menjadi sadar sepenuhnya?“ bertanya Ki Jayaraga.

“Maksud Ki Jayaraga agar keduanya dapat menyaksikan bagaimana Agung Sedayu bertempur?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Ya,“ jawab Ki Jayaraga.

“Ada dua kemungkinan. Jika Agung Sedayu mampu mengatasi lawannya, mereka akan menjadi berbangga. Tetapi jika Agung Sedayu kemudian terdesak, maka mereka akan mengalami ketegangan-ketegangan yang sangat,“ desis Kiai Gringsing.

“Biarlah mereka melihat kenyataan yang terjadi. Apapun ujud kenyataan itu,“ berkata Ki Jayaraga.

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba ia teringat sikap Swandaru terhadap Agung Sedayu. Agaknya Swandaru mempunyai penilaian yang keliru terhadap tataran ilmu Agung Sedayu, sehingga Swandaru menganggap bahwa Agung Sedayu itu telah ketinggalan dari padanya. Bahkan Swandaru menyesalkan sikap Agung Sedayu yang dianggapnya terlalu malas untuk berusaha meningkatkan ilmunya.

Karena itu, maka Kiai Gringsing pun mengangguk-angguk. Ia sependapat untuk menyadarkan Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Jika Pandan Wangi sempat melihat kelebihan Agung Sedayu, maka ia akan dapat bercerita kepada Swandaru. Meskipun Swandaru tidak mudah untuk mempercayainya, tetapi setidak-tidaknya ada penilaian lain terhadap kakak seperguruannya itu, selain daripada kemalasan dan kelemahannya saja.

Sementara Agung Sedayu dan Ki Ajar bertempur semakin sengit, maka Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga telah mendekati Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang terbaring. Dengan kemampuannya sebagai seorang yang memahami tentang obat-obatan, maka Kiai Gringsing telah berusaha untuk membuat kedua orang itu sadar. Kiai Gringsing telah memunahkan racun yang lemah yang menyusup ke dalam diri kedua orang itu. Namun Kiai Gringsing membiarkan kedua murid Ki Ajar itu tetap terbaring di tempatnya.

Ketika Sekar Mirah dan Pandan Wangi menjadi sadar sepenuhnya, maka mereka mulai bertanya tentang diri mereka.

“Apa yang terjadi?“ desis Pandan Wangi.

“Kita masih dalam keadaan yang gawat,“ jawab Kiai Gringsing. “Marilah. Nanti kita akan berbicara panjang tentang diri kita masing-masing.“

Pandan Wangi dan Sekar Mirah pun kemudian telah bangkit. Tubuh mereka memang terasa lemah.

“Marilah,“ berkata Kiai Gringsing, “Agung Sedayu masih terlibat dalam perang tanding.”

Sekar Mirah menjadi tegang. Namun iapun segera melihat, Agung Sedayu yang bertempur melawan Ki Ajar.

“Tunggu,“ desis Kiai Gringsing ketika Sekar Mirah hampir saja meloncat, “kita pergi bersama-sama.“

Sekar Mirah tertegun. Ia tidak sabar lagi menunggu. Ia ingin segera melihat, apa yang telah terjadi dengan suaminya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka berempat telah melangkah mendekati arena. Agung Sedayu dan Ki Ajar masih bertempur dengan sengitnya. Sementara itu Ki Ajar telah meningkatkan ilmunya pula ketika ia menyadari, bahwa agaknya Agung Sedayu memiliki perisai yang kuat untuk melindungi dirinya.

Agung Sedayu sendiri menjadi berdebar-debar. Lawannya telah mempergunakan ilmunya yang lain. Ki Ajar tidak lagi menusuk-nusuk lubang kulitnya dengan tajamnya udara yang dingin. Tetapi justru sebaliknya. Ki Ajar telah berusaha untuk membakar Agung Sedayu dengan panasnya api yang memancar dari ilmunya.

Tongkat pendek yang sepasang di tangan Ki Ajar yang dihubungkan dengan rantai itu telah berubah warnanya menjadi merah membara. Namun di tangan Ki Ajar bara itu sama sekali tidak terasa panas dan apalagi melukai kulitnya.

Agung Sedayu terkejut ketika ujung cambuknya telah menyentuh tongkat pendek yang membara itu. Tercium oleh penciumannya yang tajam bau kulit yang tersentuh api. Sebenarnyalah ujung cambuk Agung Sedayu telah digigit oleh panasnya bara api tongkat lawannya. Meskipun juntai cambuk itu tidak terbakar, tetapi yang sedikit hangus itu telah membaurkan bau yang tajam.

Kiai Gringsing yang disebut Orang Bercambuk itu pun terkejut. Jarang sekali terjadi, panas api mampu menghanguskan juntai cambuknya dan murid-muridnya, meskipun hanya seujung rambut.

Untuk sesaat Agung Sedayu telah meloncat surut untuk mengambil jarak. Ia sempat mengamati juntai cambuknya yang ternyata memang menjadi agak kehitaman sedikit pada ujungnya. Meskipun hanya setebal ijuk, tetapi dengan demikian Agung Sedayu menyadari, bahwa kekuatan ilmu lawannya itu memang luar biasa. Janget yang telah diolah dan diberi reramuan sebelum dibuat juntai cambuknya itu, ternyata masih juga dapat dilukai, meskipun hanya segores tipis. “Kenapa kau Agung Sedayu?“ bertanya Ki Ajar, “Menyesal, atau ketakutan?“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Luar biasa. Aku harus mengakui betapa tajamnya ilmu apimu itu, sehingga ujung cambukku menjadi bergaris hitam.“

Ki Ajar itu memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Selangkah ia maju sambil memutar senjatanya yang merah membara. Dengan suara lantang ia berkata, “Sekarang ujung cambukmu terluka hanya setebal rambut. Tetapi dalam puncak ilmuku, maka ujung cambukmu itu akan terbakar dan terputus lebih dari separuh.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Namun jawabnya, “Mungkin, jika aku tidak menggerakkannya sama sekali. Tetapi ketahuilah Ki Ajar. Aku sudah belajar cukup lama untuk mempermainkan juntai cambukku itu, sehingga aku akan dapat menghindarkan ujung cambukku dari panas apimu.“

“Persetan.“ Orang itu pun telah meloncat menyerang. Senjatanya berputar cepat. Namun kemudian tongkat pendek di ujung rantai itu pun telah mematuk cepat sekali.

Agung Sedayu meloncat menghindar. Ternyata bahwa iapun mampu bergerak secepat Ki Ajar, sehingga ujung tongkat pendeknya yang merah membara itu tidak menyentuhnya.

Meskipun Agung Sedayu telah mengenakan ilmu kebalnya, namun ia merasa masih lebih baik menghindari sentuhan dengan panasnya bara api pada tongkat pendek lawannya.

Demikianlah, maka pertempuran itu pun telah dilanjutkan. Agung Sedayu semakin berhati-hati. Ia tidak lagi membiarkan ujung cambuknya menyentuh senjata Ki Ajar.

Namun ternyata bahwa Agung Sedyu memang menguasai senjata. Betapa sulitnya gerak dari ujung cambuk itu. Ki Ajar sama sekali tidak berhasil untuk melibatnya dan dengan demikian membakar ujung cambuk itu dengan panas apinya.

Bahkan dengan putaran yang cepat, kemudian hentakan sendal pancing serta ayunan mendatar, membuat lawannya menjadi semakin sibuk.

Dengan demikian maka kedua orang itu telah bekerja keras untuk mengatasi kecepatan gerak masing-masing. Namun ternyata bahwa keduanya memang memiliki kemampuan yang mengagumkan.

Agung Sedayu yang mempunyai senjata yang berjuntai panjang itu ternyata memiliki kesempatan lebih banyak dari lawannya. Dalam pertarungan kecepatan gerak dan kemampuan mempermainkan senjatanya, ternyata Agung Sedayu mempunyai keuntungan dengan juntai cambuknya itu.

Itulah agaknya dalam loncatan-loncatan panjang yang mendebarkan, Agung Sedayu telah berhasil menyentuh lawannya dengan ujung cambuknya. Ujung cambuk yang tidak meledak sekeras ledakan-ledakan sebelumnya itu justru telah melontarkan kekuatan yang luar biasa besarnya.

Itulah sebabnya, sentuhan kecil dari ujung cambuk Agung Sedayu itu telah mengoyak lengan Ki Ajar yang garang itu. Tidak terlalu dalam. Namun luka pun telah menganga, dan darah pun mulai menitik dari luka itu.

Wajah Ki Ajar menjadi merah padam. Semerah bara di tangannya. Dengan serta merta ia meloncat mengambil jarak sambil mengumpat kasar.

“Kau lukai lenganku he?“ geram Ki Ajar.

Agung Sedayu tidak memburunya. Ia berdiri beberapa langkah di hadapan Ki Ajar.

Namun yang terjadi sangat mendebarkan jantung Agung Sedayu, bahkan juga Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, apalagi Pandan Wangi dan Sekar Mirah.

Ki Ajar itu telah menjilat ibu jari tangannya. Kemudian dengan ibu jarinya itu ia telah mengusap luka yang tidak begitu dalam di lengannya. Dengan serta merta luka itu telah menjadi pampat kembali. Darah pun tidak keluar dari lukanya itu.

“Bukan main,“ desis Agung Sedayu, “benar-benar seorang yang berilmu tinggi.“

Ki Ajar agaknya melihat keheranan yang memancar di wajah Agung Sedayu. Tiba-tiba saja iapun telah tertawa berkepanjangan. Di sela-sela derai tertawanya ia berkata, “Kenapa kau menjadi heran Agung Sedayu? Kau baru melihat sebagian kecil dari ilmuku. Marilah, kita akan mempermainkan ilmu kita masing-masing. Apa yang sebenarnya kau miliki bagiku tidak lebih dari permainan yang menggelikan. Tetapi biarlah kau mendapat kesempatan untuk mengagumi jenis-jenis ilmuku sebelum kau benar-benar mati. Kau tidak akan dapat melukai aku, karena setiap luka akan dapat aku sembuhkan.“

Agung Sedayu mulai benar-benar tersinggung. Karena itu, maka iapun bertekad untuk menunjukkan kemampuan pula, agar lawannya menyadari dengan tataran ilmu yang mana ia berhadapan.

Dengan demikian maka Agung Sedayu pun telah meningkatkan ilmu kebalnya. Ia benar-benar ingin menunjukkan kepada lawannya, sebagaimana lawannya mampu menunjukkan satu cara yang luar biasa untuk menyembuhkan lukanya.

Namun seperti biasanya, jika Agung Sedayu mencapai puncak ilmu kebalnya, maka bukan saja kemampuan ilmu kebalnya menjadi bagaikan berlapis-lapis. Tetapi dari tubuhnya yang dilindungi ilmu kebal itu pun telah memancar panas pula, sebagaimana dilakukan oleh lawannya. Dengan demikian, maka agaknya telah berbenturan pancaran panas dari kedua belah pihak, sehingga keduanya merasakan sentuhan dari lontaran ilmu itu.

Namun semakin tinggi tingkat ilmu kebal Agung Sedayu yang ditrapkan, maka panasnya udara yang dilontarkan lawannya itu menjadi tidak terasa lagi olehnya. Sebaliknya, maka dari dalam dirinya telah memancar udara panas yang semakin meningkat. Tetapi panas yang memancar itu memang tidak setajam ilmu yang dilontarkan oleh lawannya.

Pertempuran pun telah berkembang semakin sengit. Senjata Ki Ajar semakin cepat menyambar-nyambar. Namun Agung Sedayu memang sudah bertekad untuk menunjukkan kepada lawannya, bahwa ia mampu mengimbangi kelebihan lawannya meskipun dengan cara yang berbeda.

Ketika lawannya kemudian menyerang Agung Sedayu dengan tongkat pendeknya yang membara itu, Agung Sedayu memang dengan sengaja tidak mengelak. Tetapi ia justru menangkis serangan itu. Tidak dengan cambuknya, tetapi dengan tangannya.

Ternyata bahwa ilmu kebal Agung Sedayu yang ditrapkan dalam tataran tertinggi itu mampu menjadi perisai terhadap kedahsyatan ilmu lawannya. Tangan Agung Sedayu yang menangkis serangan itu sama sekali tidak terluka. Baik oleh kekuatan ayunan tongkat pendek itu, maupun oleh panasnya bara apinya.

Ki Ajar terkejut melihat kemampuan Agung Sedayu itu. Meskipun Agung Sedayu tidak menunjukkan kemampuannya memampatkan luka dengan seketika seperti yang dilakukan oleh Ki Ajar, namun ternyata Agung Sedayu benar-benar memiliki ilmu kebal seperti yang diduganya.

“Anak iblis,“ geram Ki Ajar, “dari mana kau pelajari ilmu kebal itu he?“

“Kau tidak usah heran Ki Ajar, sebagaimana aku tidak perlu heran melihat kau mampu menempatkan luka dengan jari-jari yang kau basahi dengan ludahmu,“ jawab Agung Sedayu.

“Persetan,“ geram Ki Ajar, “jangan sangka, bahwa aku tidak akan mampu menembus ilmu kebalmu itu dengan ilmuku,“ berkata Ki Ajar.

Agung Sedayu tidak menjawab. Namun serangan Ki Ajar pun menjadi semakin kuat dan keras. Ia berusaha untuk dapat memecahkan perisai ilmu kebal Agung Sedayu. Namun ketika kemudian serangannya itu mengenai pundak Agung Sedayu, maka Agung Sedayu sama sekali tidak terluka karenanya.

Betapa geramnya Ki Ajar. Namun ia tidak menyerah. Menurut pengertiannya, maka ilmu kebal bukan ilmu yang tidak dapat ditembus. Itulah sebabnya, maka Ki Ajar itu pun telah berusaha untuk dapat menembusnya.

Ternyata Ki Ajar masih mampu meningkatkan ilmu apinya. Tongkat pendeknya itu tidak saja sekedar membara. Tetapi kemudian dengan lontaran ilmu yang menghentak, sekali-sekali dari ujung tongkat itu seakan-akan telah meluncur bulatan api yang dahsyat sekali. 

Agung Sedayu yang masih belum pasti dengan tingkat kedahsyatan lontaran ilmu itu, tidak mau menjadi korban karena kelengahannya. Itulah sebabnya maka Agung Sedayu tidak membiarkan bulatan-bulatan api itu menyentuh tubuhnya.

Namun ketika Agung Sedayu meloncat menghindar, maka terdengar Ki Ajar itu tertawa. Katanya, “Kenapa kau harus menghindari seranganku Agung Sedayu? Apakah kau sudah tidak yakin akan kemampuan ilmu kebalmu he?”

Tetapi Agung Sedayu tidak menjawab. Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba saja Agung Sedayu telah meloncat maju sambil menghentakkan cambuknya sedal pancing.

Ki Ajar yang sedang tertawa itu terkejut. Dengan serta merta ia meloncat menghindar. Namun Agung Sedayu tidak melepaskannya. Iapun meloncat memburunya. Sekali lagi cambuknya terayun mendatar.

Ki Ajar mencoba menangkis serangan itu dengan senjatanya. Ia justru ingin membelit ujung juntai cambuk itu dan membakarnya. Tetapi Agung Sedayu bergerak lebih cepat. Dengan tangkas ditariknya ujung juntai cambuknya. Namun kemudian cambuk itu justru berputar mendahului senjata Ki Ajar menebas mendatar.

Ki Ajar memang meloncat surut. Tetapi ujung juntai cambuk Agung Sedayu ternyata masih menggapainya. Meskipun hanya sentuhan kecil, namun kegarangan ujung cambuk Agung Sedayu itu sempat melukai pundak Ki Ajar.

Sekali lagi Ki Ajar meloncat surut. Namun Agung Sedayu tidak membiarkannya. Iapun meloncat memburunya sehingga Ki Ajar harus meloncat lagi selangkah surut.

Tetapi Agung Sedayu tidak dapat menyerangnya, karena tongkat pendek yang membara itu tiba-tiba telah berputar dengan cepatnya, melindungi tubuh Ki Ajar, sehingga seakan-akan sebuah lingkaran bara yang besar telah menyelubunginya.

Agung Sedayu harus membuat perhitungan untuk membenturkan ujung cambuknya, karena Agung Sedayu tidak mau ujung cambuknya itu tergores lagi oleh panasnya api ilmu Ki Ajar itu.

Sambil melindungi dirinya dengan lingkaran bara itu, maka Ki Ajar berusaha untuk memampatkan lukanya yang menganga di pundaknya. Seperti yang telah dilakukan, maka luka itu pun dengan segera telah menjadi pampat kembali.

“Jangan heran Agung Sedayu,“ berkata Ki Ajar, “satu kenyataan yang belum pernah kau perhitungkan.“

Agung Sedayu tidak menjawab. Namun ia harus berbuat sesuatu untuk melawan ilmu Ki Ajar itu.

Demikianlah, sejenak kemudian maka Ki Ajar itulah yang telah menyerang Agung Sedayu. Dari tongkatnya itu meluncur bulatan-bulatan api yang memburu Agung Sedayu yang berusaha menghindar. Namun demikian cepatnya, sehingga sebuah di antara bulatan api itu telah mengenainya.

Agung Sedayu memang harus mengatasi perasaan sakit yang menyengat. Tetapi ternyata ilmu kebalnya cukup kuat untuk melindungi kulitnya sehingga tidak terbakar.

Tetapi Agung Sedayu harus menahan perasaan sakit itu. Karena itu maka pada lawannya telah timbul kesan, bahwa serangan itu sama sekali tidak mampu menembus perisai ilmu kebal Agung Sedayu.

“Jangan menyesali kemampuanmu yang tidak berarti ini Ki Ajar,“ berkata Agung Sedayu.

Lawannya menggeram. Terbersit kecemasan di sorot matanya, karena ternyata bahwa ilmunya sama sekali tidak mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu.

Namun sebaliknya Agung Sedayu pun harus menjadi semakin berhati-hati. Ternyata bahwa kemampuan ilmu Ki Ajar itu benar-benar luar biasa. Meskipun tidak dapat melukainya, namun ia mulai merasa sakit. Jika serangan itu datang bergulung-gulung tanpa henti, dan mengenainya semakin deras, maka ia akan merasakan kesakitan itu sehingga pada satu saat, akan sampai pada satu batas Agung Sedayu tidak mampu lagi menyembunyikan perasaan sakit yang tidak teratasi lagi.

Dalam pada itu, Ki Ajar itu pun kemudian menggeram, “Kau jangan terlalu sombong Agung Sedayu. Ilmuku masih belum sampai ke puncak. Aku masih mampu meningkatkannya lagi sehingga akhirnya akan memecahkan ilmu kebalmu.“

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Aku memang merasa sekali-sekali kita perlu menyombongkan diri untuk mengguncangkan ketahanan batin lawan kita. Tetapi hal seperti itu hanya terjadi pada anak-anak yang sedang mempelajari serba sedikit olah kanuragan. Tetapi yang sudah memasuki dunia kekerasan seperti kita, maka hal itu tidak penting Ki Ajar. Yang penting adalah, apa yang dapat kita lakukan.“

Ki Ajar menggeretakkan giginya. Namun kemudian tongkatnya telah berputar lagi. Dua bulatan api meluncur ke arah Agung Sedayu, menyambar kening. Namun Agung Sedayu sempat menghindarinya.

“Lebih baik aku tidak disentuh sama sekali oleh apimu, meskipun apimu itu tidak mampu menembus ilmu kebalku,“ berkata Agung Sedayu.

Ki Ajar menjadi semakin marah. Dengan garangnya ia meloncat mendekati Agung Sedayu. Dalam putaran tongkatnya itu, terdengar desing yang telah mengguncang jantung, seperti suara sendaren di punggung burung merpati yang terbang rendah.

Setiap orang yang mendengar desing itu merasakan betapa besar tenaga Ki Ajar itu. Tentu bukan tenaga wajarnya, sehingga mereka pun membayangkan bahwa benturan yang terjadi dengan kekuatan ilmu kebal Agung Sedayu tentu akan menimbulkan getaran yang dahsyat. Bahkan mereka mulai menjadi cemas, apakah kekuatan itu tidak mengguncangkan kekuatan ketahanan ilmu kebal Agung Sedayu.

Namun Agung Sedayu masih mampu menghindari serangan-serangan dengan kecepatan geraknya. Iapun harus memperhitungkan kemungkinan bahwa kekuatan yang besar sekali dari kemampuan ilmu Ki Ajar itu akan mampu menembus ilmu kebalnya, sebagaimana bulatan bulatan apinya.

Tetapi ternyata bahwa serangan Ki Ajar bukan saja terjadi dari putaran tongkatnya. Bulatan-bulatan api itu pun tiba-tiba saja telah menghambur deras sekali. Seperti yang diperhitungkan oleh Agung Sedayu, maka bulatan-bulatan api itu menyerangnya beruntun semakin lama semakin deras, sehingga Agung Sedayu harus berloncatan menghindarinya.

Ki Ajar yang berilmu tinggi itu memang memperhitungkan bahwa ilmu kebal Agung Sedayu tidak sepenuhnya mampu menahan serangannya, sehingga Agung Sedayu masih harus berloncatan menghindar. Jika ilmu kebalnya itu sepenuhnya mampu menahan serangannya, maka Agung Sedayu tidak akan bersusah payah menghindarinya.

Namun Ki Ajar itu masih juga berkata di dalam hati, “Jika bukan orang ini, maka ia tentu sudah menjadi lumat oleh kekuatan ilmuku.“

Sebenarnyalah jika sekali-sekali bulatan-bulatan api itu mengenai tubuh Agung Sedayu, memang terasa panasnya menyengat meskipun tidak menghanguskan kulitnya. Tetapi perasaan sakit yang menyentuhnya beruntun itu memang terasa mulai mengganggunya.

Agung Sedayu yang masih menahan diri itu pun mulai dirayapi oleh kemarahan di dalam hatinya. Sekali-sekali terasa kulitnya bagaikan disentuh ujung jari yang membara. Dengan demikian maka Agung Sedayu itu pun mulai mempertimbangkan untuk membalas serangan-serangan itu dengan serangan dari jarak jauh pula.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu masih berusaha untuk menghindar. Tetapi bulatan-bulatan api itu selalu mengejar kemana ia meloncat. Sentuhan-sentuhan yang terasa panas meskipun tidak membakar kulitnya itu pun menjadi sering mengenainya.

Karena itu, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu itu pun telah berdiri tegak menghadap ke arah Ki Ajar. Ia tidak menghindar lagi ketika bulatan-bulatan api menyergapnya.

Agung Sedayu menggeretakkan giginya. Ia berusaha mengatasi perasaan sakit yang menembus ilmu kebalnya itu. Namun sejenak kemudian, maka meluncurlah ilmunya yang dahsyat. Tiba-tiba saja dari kedua matanya bagaikan memancar sinar yang menyambar lawannya.

Ki Ajar terkejut bukan buatan. Ketajaman pengamatan ilmunya yang tinggi menangkap serangan yang meluncur dari mata Agung Sedayu itu, sehingga tiba-tiba saja iapun telah meloncat terguling di tanah. Namun dengan serta merta iapun telah melenting berdiri sambil memandangi wajah Agung Sedayu, agar ia tidak ditusuk serangan lawannya tanpa sesadarnya.

Beberapa kali Ki Ajar berloncatan. Sementara itu, iapun telah menyerang Agung Sedayu tanpa henti-hentinya sambil berusaha menghindari serangan sorot mata Agung Sedayu itu.

Agung Sedayu ternyata tidak dapat bertahan terlalu lama. Ia pun merasa perlu sesekali menghindari serangan itu.

Demikianlah pertempuran itu telah merambah ke ilmu yang lebih tinggi, sehingga dengan demikian maka di arena itu seakan-akan telah berterbangan loncatan-loncatan ilmu yang melontarkan nafas kematian.

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga menjadi tegang. Apalagi Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Melihat kemampuan Ki Ajar yang sangat tinggi, maka bagaimanapun juga Sekar Mirah memang menjadi cemas. Meskipun ia yakin akan kemampuan Agung Sedayu, tetapi kegelisahan telah mencengkam jantungnya. Lontaran-lontaran ilmu dari kedua belah pihak benar-benar membuatnya menjadi sangat tegang.

Pandang Wangi telah memperhatikan pertempuran itu dengan hampir tidak berkedip. Ia bukannya kanak-kanak dalam ilmu kanuragan. Bahkan ia telah memiliki kemampuan yang mendebarkan. Pandan Wangi mampu menyentuh sasaran dengan senjata atau tangannya mendahului ujud wadagnya. Namun melihat pertempuran antara Agung Sedayu dan Ki Ajar itu, jantungnya terasa berdenyut semakin cepat.

Setiap kali ia mendengar dari suaminya bahwa Agung Sedayu terlalu malas untuk meningkatkan ilmunya. Meskipun ia pernah menyaksikan sendiri sebelumnya kemampuan Agung Sedayu, namun kini ia menjadi semakin yakin bahwa penilaian suaminya itu jauh dari keadaan yang sebenarnya.

Memang berbeda dengan Swandaru yang lebih percaya kepada pengembangan kekuatan wadagnya daripada getaran di dalam dirinya dalam hubungannya dengan alam di sekitarnya serta pemanfaatan kekuatan itu, maka Agung Sedayu telah bertempur bersamaan dengan seluruh kekuatan di dalam dan di sekitar dirinya. Kemampuannya menyerap kekuatan dan mengungkapkannya berlandaskan pada ilmunya telah membuatnya benar-benar seorang yang luar biasa.

“Kakang Swandaru harus melihat kemampuan Kakang Agung Sedayu,“ berkata Pandan Wangi di dalam hatinya, “ternyata ia bukan pemalas seperti yang dikatakan oleh Kakang Swandaru.”

Dengan tegang Pandan Wangi mengikuti setiap gerak Agung Sedayu. Jauh lebih banyak yang dapat dilakukannya daripada yang dilakukan oleh Swandaru.

Sementara itu pertempuran antara kedua orang itu menjadi semakin sengit. Serangan-serangan yang dilontarkan lewat sorot mata Agung Sedayu memang membuat lawannya menjadi sulit. Meskipun setiap kali ia masih mampu menghamburkan bulatan-bulatan api yang panasnya mampu menembus perisai ilmu kebal Agung Sedayu meskipun tidak sampai melukai kulitnya, namun serangan Agung Sedayu meluncur lebih sering dan lebih dahsyat. Apalagi Ki Ajar sama sekali tidak mampu melindungi dirinya dengan ilmu kebal, atau Tameng Waja, atau Lembu Sekilan atau ilmu yang serupa.

Karena itu, maka Ki Ajar harus mengatasinya dengan ilmunya yang lain. Ia tidak dapat selalu berloncatan, berguling, melenting dan gerak-gerak keras yang lain untuk menghindari serangan yang dilontarkan lewat sorot mata Agung Sedayu.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu pun menjadi terkejut karenanya. Pada saat serangan Agung Sedyu memburunya kemana Ki Ajar menghindar, maka tiba-tiba saja Ki Ajar itu telah lenyap dari pandangan mata mereka.

Sejenak Agung Sedayu tertegun. Sekejap ia memang menjadi kebingungan. Namun kematangannya telah mengekangnya dan membuatnya lebih tenang menghadapi keadaan.

“Apakah Ki Ajar memiliki Aji Panglimunan?” desis Agung Sedayu, “Jika demikian, maka aku harus lebih berhati-hati.”

Namun sesaat kemudian, ternyata mereka melihat Ki Ajar itu tiba-tiba telah berdiri tegak di tempat yang lain. Demikian ia hadir, maka serangannya pun telah meluncur susul-menyusul menyergap Agung Sedayu. Bulatan-bulatan api yang panasnya melampaui panasnya bara di tangan Ki Ajar itu sendiri.

Agung Sedayu-lah yang kemudian harus berloncatan surut. Ia harus berusaha untuk menghindari bulatan-bulatan itu sebanyak dapat ia lakukan, Ketika satu dua dari bulatan-bulatan api itu menyentuhnya, maka terasa panas itu menggigit kulitnya.

Namun dengan cepat Agung Sedyu menguasai dirinya. Sejenak kemudian maka serangan-serangannya pun telah meluncur membalas serangan-serangan Ki Ajar. Ternyata bahwa serangan-serangan Agung Sedayu lebih cepat dari serangan serangan lawannya, sehingga beberapa saat kemudian, sekali lagi Ki Ajar itu mulai terdesak.

Tetapi yang mengejutkan itu terjadi lagi. Sekali lagi Ki Ajar itu telah hilang dari tatapan mata wadag, sehingga Agung Sedayu kehilangan sasarannya.

Yang telah terjadi itu pun terulang kembali. Demikian Ki Ajar itu muncul, maka serangannya pun datang beruntun sehingga Agung Sedayu harus berloncatan menghindarinya, sampai saatnya ia mendapat kesempatan untuk membalas.

Demikianlah terjadi berulang kali, Setiap kali Ki Ajar itu hilang. Namun kemudian muncul lagi dengan tiba-tiba sambil menyerang tanpa henti-hentinya.

Ketika hal itu terjadi berulang kali, maka Agung Sedayu akhirnya dapat mengambil kesimpulan, bahwa Ki Ajar bukan mempergunakan ilmu Panglimunan. Ia tidak mampu melenyapkan diri untuk waktu yang lama. Tetapi ia hanya dapat melenyapkan diri untuk waktu yang pendek, setelah Ki Ajar itu meloncat berpindah tempat.

Meskipun demikian, Agung Sedayu itu telah mengalami banyak kesulitan. Ki Ajar muncul di tempat yang justru tidak diduganya. Semakin lama menjadi semakin dekat. Sementara itu tongkatnya kadang-kadang terdengar berdesing keras, sebelum bulatan-bulatan api itu menyerangnya susul-menyusul.

Agung Sedayu meningkatkan pula perlawanannya. Tapi setiap kali ia kehilangan lawannya dan muncul di tempat yang lebih dekat.

Dengan gerak naluriah, Agung Sedayu meloncat menjauhi arah gerak lawannya. Tetapi ia tidak berhasil, karena lawannya telah memotong arahnya tanpa dapat diperhitungkannya.

Karena itu, maka lawannya itu pun menjadi semakin dekat. Desing senjatanya semakin tajam menusuk telinga.

Agung Sedayu menjadi semakin kesulitan untuk menghindari serangan-serangan lawannya. Setiap kali maka bulatan-bulatan api itu telah menyentuh tubuhnya. Semakin lama semakin sering. Betapa ia berusaha menghindari, namun bulatan-bulatan api itu terus saja memburunya.

Karena itu, maka perasaan sakit yang mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu itu semakin sering menggigit kulitnya. Karena itu maka Agung Sedayu telah meningkatkan ilmu kebalnya sampai ke puncak.

Meskipun demikian ternyata kemampuan Ki Ajar itu masih saja dapat menembusnya. Bulatan-bulatan api yang tidak sempat dihindari itu masih saja menyengat kulitnya.

Tetapi ternyata bahwa Ki Ajar tidak dapat menggapainya terlalu dekat. Bukan saja karena Agung Sedayu telah memutar cambuknya di sekeliling tubuhnya, namun udara di sekitarnya menjadi semakin panas karena peningkatan ilmu kebalnya justru telah mencapai puncak.

Meskipun demikian, kemampuan Ki Ajar itu setiap kali sempat membuat Agung Sedayu bingung mencari arah. Ia sama sekali tidak dapat memperhitungkan, kemana Ki Ajar itu akan meloncat kemudian menyerangnya. Bahkan sekali-sekali Agung Sedayu benar-benar tidak tahu, dimana lawannya berada, namun tiba-tiba saja serangannya telah mengenainya.

Ketika beberapa kali serangan yang demikian terjadi, maka Agung Sedayu telah mengambil keputusan untuk mengimbanginya dengan ilmu yang lain. Ia tidak saja menyerang lawannya dengan sorot matanya, justru karena lawannya mampu menyembunyikan arah geraknya, tetapi Agung Sedayu harus dapat mengimbangi tata gerak lawannya.

Karena itu, untuk beberapa saat Agung Sedayu itu justru berdiri tegak sambil memeluk cambuknya. Ia tidak menghiraukan perasaan sakit yang menyerangnya susul menyusul.

Namun tiba-tiba lawannyalah yang menjadi heran melihat Agung Sedayu yang agak mengabur. Namun tiba-tiba dari dalam dirinya telah muncul ujud yang sama sebagaimana Agung Sedayu sendiri. Dan ujud itu telah bergeser, satu ke sebelah kiri, dan satu ke sebelah kanan.

“Setan,” geram Ki Ajar, “entah ilmu apa yang dimiliki oleh Agung Sedayu. Tetapi ilmu ini mirip dengan ilmu yang sudah jarang ada. Kakang Kawah Adi Ari-Ari.”

Namun Ki Ajar itu berusaha untuk tetap mengenali Agung Sedayu yang sebenarnya. Ke sasaran itulah serangan-serangannya ditujukan.

Tetapi ketiga ujud itu tidak tinggal diam. Ketiganya kemudian telah bertempur bersama-sama. Ketiganya bergeser dan bergerak saling membaur, sehingga akhirnya Ki Ajar itu tidak dapat lagi membedakan, yang manakah Agung Sedayu yang mula-mula dihadapi, dan yang manakah yang muncul sebagai rangkapnya sebagaimana dihadirkan oleh ilmunya.

Ki Ajar yang berilmu tinggi itu berpendapat, bahwa jika ia mampu mengenali Agung Sedayu yang sebenarnya, maka ia akan dapat memusatkan serangannya kepada orang itu, sehingga ia tidak akan dipengaruhi oleh ujud -ujud rangkapannya.

Tetapi ketiga ujud itu tiba-tiba saja telah berlarian dan berloncatan, sehingga akhirnya Ki Ajar menjadi bingung.

Itulah sebabnya, maka seolah-olah ia harus melawan tiga orang bersama-sama, tanpa sempat mengenali lagi, yang manakah ujud Agung Sedayu yang sebenarnya.

Ketiga ujud itu telah menyerangnya bergantian. Ki Ajar memang sempat menghilang. Tetapi demikian ia muncul, maka di dekatnya telah berdiri seorang di antara ketiga orang ujud itu. Demikian ia muncul, maka serangan pun telah datang bertubi-tubi. Seorang yang terdekat telah menyerangnya dengan cambuknya. Namun yang lain telah menyerangnya dengan sorot matanya.

“Benar-benar iblis,” berkata Ki Ajar di dalam hatinya, “dari mana orang ini menyadap ilmu yang gila ini. Tanda-tandanya mirip sekali dengan ilmu Kakang Kawah Adi Ari-Ari. Ketiga ujud itu seakan-akan mampu berdiri sendiri-sendiri dan bergerak menurut kehendak masing-masing.”

Tetapi Ki Ajar tidak dapat merenungi keadaan lawannya itu lebih lama lagi. Ia harus bekerja lebih berat untuk mengimbangi gerak ketiga ujud yang membingungkan itu. Demikianlah, pertempuran itu menjadi semakin rumit bagi mereka yang tidak memahami apa yang terjadi. Pandan Wangi benar-benar terpukau oleh peristiwa itu. Bahkan Sekar Mirah pun telah dicengkam pula oleh ketegangan yang semakin menekan.

Sementara itu Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga mengamati pertempuran itu dengan saksama. Ilmu yang dikuasai Agung Sedayu itu memang termasuk ilmu yang sudah jarang sekali ditemukan. Namun Agung Sedayu ternyata masih mampu menguasainya dengan baik.

Meskipun demikian, kecermatan Ki Ajar menyerang ketiga ujud itu masih juga mampu sekali-sekali mengenai tubuh Agung Sedayu yang sebenarnya. Meskipun sangat jarang. Tetapi hentakan-hentakan ilmu itu memang telah menyakitinya.

Pada saat-saat terakhir, Agung Sedayu tidak lagi membiarkan dirinya semakin kesakitan. Karena itulah, maka iapun kemudian benar-benar sampai ke puncak ilmunya. Dengan cambuknya yang menghentak-hentak meskipun tidak meledak mengoyak selaput telinga, namun sentuhannya mampu melukai tubuh lawannya. Meskipun sekali dua kali luka itu segera dapat dipampatkan, tetapi serangan yang diluncurkan lewat sorot matanya dan sekali-sekali menyentuhnya, betapapun tinggi daya tahan dan ilmunya, namun Ki Ajar sulit untuk dapat bertahan.

Dengan demikian, maka perlawanan Ki Ajar itu pun semakin lama menjadi semakin terdesak. Setiap kali ia telah meloncat justru berusaha mengambil jarak. Tetapi setiap kali ketiga ujud Agung Sedayu itu selalu memburunya dari arah yang berbeda. Meskipun sekali dua kali ia sempat membuat ketiga ujud itu mencari-cari arah, namun kemampuan Agung Sedayu itu benar-benar sangat membingungkannya.

Tetapi Ki Ajar itu masih belum menyerah. Tiba-tiba saja Ki Ajar itu telah meloncat-loncat, sekali nampak, kemudian menghilang, menuju ke tempat yang sejauh-jauhnya dapat dicapainya. Ketika ia kemudian berdiri di antara dua batang pohon pandan raksasa di pinggir rawa-rawa, maka iapun telah berdiri tegak menghadap ke arah lawan-lawannya.

Ki Ajar itu pun kemudian telah menggenggam kedua tongkat pendeknya yang terkait pada ujung rantainya dan mengarahkan kedua ujung tongkat itu kepada lawan-lawannya.

Bulatan-bulatan api itu meluncur dengan cepatnya susul menyusul, seakan-akan tanpa jarak. Dengan cermat Ki Ajar mengarahkan bulatan-bulatan api dari kedua ujung tongkatnya itu ke sasaran yang yang terdiri dari ketiga ujud Agung Sedayu itu.

Ternyata cara yang ditempuh oleh Ki Ajar itu berhasil. Ketiga ujud itu harus berloncatan melenting, berguling dan berloncatan menghindari serangan itu.

Sebenarnya Agung Sedayu juga merasakan, betapa bulatan-bulatan api itu benar-benar menyentuh dan menggigit kulitnya. Semakin lama terasa menjadi semakin sakit. Susul menyusul.

Itulah sebabnya, maka tiba-tiba saja satu di antara ketiga ujud itu telah berdiri tegak dengan tangan bersilang di dada sambil memeluk cambuknya, seperti saat-saat tubuh itu akan tumbuh menjadi tiga.

Namun Agung Sedayu kini benar-benar telah berusaha mempergunakan ilmu puncaknya. Ia tidak lagi ingin bertempur terlalu lama.

Karena itu, maka iapun telah memusatkan ilmunya tanpa menghiraukan serangan lawannya. Ia masih membiarkan kedua ujudnya yang bergerak dengan sendirinya untuk mengurangi arah serangan Ki Ajar terhadap dirinya dan wadagnya yang sebenarnya.

Dengan demikian, maka pancaran sorot matanya itu seakan-akan menusuk tubuh Ki Ajar yang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu.

Namun Ki Ajar pun kemudian menyadari, karena ketajaman penglihatannya atas lawannya, bahwa orang yang berdiri tegak dengan tangan bersilang itulah lawannya yang sangat berbahaya.

Karena itu, maka Ki Ajar telah memusatkan serangannya lewat kedua ujung tongkatnya ke arah ujud yang satu itu.

Demikianlah, dua lontaran ilmu yang sudah benar-benar sampai ke puncak saling menyerang. Sorot mata Agung Sedayu telah menusuk langsung ke dada Ki Ajar, sementara itu bulatan-bulatan api yang tidak kalah garangnya telah membakar tubuh Agung Sedayu. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu memiliki kelebihan dari lawan-lawannya. Betapapun kulitnya merasa sakit, namun kulitnya itu sama sekali tidak terluka karenanya. Bahkan ilmu kebalnya telah mampu menahan dan melemahkan rasa sakit itu, sehingga untuk beberapa saat masih mampu diatasi oleh Agung Sedayu,

Namun demikian, kemarahan yang semakin mencengkam jantungnya oleh serangan-serangan Ki Ajar itu telah membuat Agung Sedayu benar-benar menghentakkan ilmunya sampai ke puncak.

Ki Ajar yang tidak menghindari serangan Agung Sedayu itu merasakan, betapa kedahsyatan ilmu lawannya itu menusuk ke dalam dadanya. Isi dadanya itu pun rasa-rasanya bagaikan diremas. Jantungnya tidak lagi mampu berdenyut sebagaimana seharusnya, sementara paru-parunya tidak lagi dapat menampung nafasnya yang memburu.

Ki Ajar masih berusaha untuk mengerahkan ilmunya pula. Bulatan-bulatan api itu memang memancar semakin deras. Tetapi hanya untuk sesaat. Sesaat kemudian, maka tatapan matanya pun menjadi semakin meremang. Pandangannya mulai kabur, sehingga ia tidak lagi dapat melihat ujud Agung Sedayu dengan jelas, apalagi kedua ujudnya yang lain, yang memang semakin lama menjadi semakin kabur. Perlahan-lahan kedua ujud itu semakin mendekat ke arah Agung Sedayu dan akhirnya telah lenyap menyatu.

Pada saat yang bersamaan, serangan Ki Ajar pada gelombang yang terakhir itu telah melanda tubuh Agung Sedayu yang masih berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya yang memeluk cambuknya. Demikian dahsyatnya hentakan terakhir yang susul menyusul itu, sehingga Agung Sedayu yang memiliki ilmu kebal itu harus menyeringai menahan kesakitan yang sangat. Bahkan akhirnya perasaan sakit itu telah benar-benar mempengaruhi ketahanan tubuh Agung Sedayu sehingga telah mampu mengganggu keseimbangannya.

Agung Sedayu memang menjadi goyah. Perasaan sakit itu hampir tidak dapat diatasinya, sehingga karena itu maka tubuhnya mulai terbongkok, sementara lututnya mulai merendah.

Namun pada saat-saat Agung Sedayu mengalami kesulitan, Ki Ajar tidak lagi mampu bertahan. Isi dadanya bagaikan telah dilumatkan oleh sorot mata Agung Sedayu yang memancarkan ilmunya yang luar biasa itu.

Karena itu, maka Ki Ajar pun telah terguncang pula. Tubuhnya terdorong selangkah surut. Namun kemudian iapun telah kehilangan keseimbangannya, sehingga tubuh itu pun terjatuh di antara pohon pandan raksasa di pinggir rawa-rawa itu.

Sejenak arena itu menjadi hening. Dalam keadaan yang sulit, Agung Sedayu masih dapat bertahan untuk tetap berdiri.

Namun dalam pada itu, Sekar Mirah agaknya tidak lagi dapat menahan diri. Iapun telah berlari ke arah Agung Sedayu berdiri. Dengan serta merta Sekar Mirah itu memeluknya sambil bertanya sendat, “Bagaimana keadaanmu Kakang?”

Agung Sedayu yang dalam keadaan lemah itu menjawab, “Aku tidak apa-apa Mirah.”

Sekar Mirah pun kemudian membantu Agung Sedayu berjalan tertatih-tatih ke tepi. Dengan hati-hati Sekar Mirah membantu Agung Sedayu duduk di bawah sebatang pohon pandan yang besar, sehingga akar-akarnya merupakan tempat bersandar yang kuat.

Pandan Wangi menarik nafas sambil memalingkan wajahnya. Iapun telah dicengkam oleh kecemasan yang sangat. Namun rasa-rasanya semuanya telah lewat.

Ketika Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga mendekati tubuh Ki Ajar yang terbaring, maka Pandan Wangi pun telah mengikutinya pula. Ketika mereka semakin dekat, maka Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga pun telah melangkah semakin cepat. Bahkan berlari-lari. Ternyata sebagian tubuh Ki Ajar telah terendam di air rawa-rawa.

Dengan tergesa-gesa keduanya telah mengangkat tubuh itu dan membaringkannya di tempat yang kering.

Namun Kiai Gringsing itu menarik nafas dalam-dalam. Kemarahan Agung Sedayu ternyata telah menimbulkan akibat yang gawat. Ki Ajar benar-benar dalam keadaan yang sangat parah. Bahkan menurut penglihatan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, maka agaknya tidak ada harapan lagi bagi Ki Ajar untuk disembuhkan.

Pada saat Kiai Gringsing mengambil obat di dalam sebuah bumbung kecil di kantong ikat pinggangnya, maka segalanya telah terlambat. Ki Ajar yang pingsan itu telah menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi, selain menyilangkan tangannya di dadanya.

Untuk sementara, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga hanya dapat menyisihkan tubuh itu menepi, di bawah sebatang pohon pandan yang besar. Mereka pun kemudian meninggalkan tubuh itu, dan mendekati tubuh-tubuh lain yang terbaring.

Dengan kemampuan pengobatan Kiai Gringsing, maka orang-orang itu pun segera menyadari keadaan mereka. Namun rasa-rasanya tubuh mereka menjadi sangat lemah, sehingga mereka tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan orang-orang yang berilmu tinggi itu.

Kepada mereka Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Lihatlah. Siapakah yang terbaring itu.”

Keempat orang yang lemah itu telah memaksa diri untuk melangkah mendekati tubuh yang diam itu. Ketika mereka bersama-sama berjongkok di sampingnya, maka darah mereka serasa berhenti berdenyut.

Murid yang tertua dari Ki Ajar itu telah meraba tubuh yang membeku itu. Dengan nada berat ia berdesis, “Guru telah meninggal.”

Saudara-saudaranya merasa darahnya melonjak. Tetapi mereka harus mengakui kenyataan yang terjadi atas diri mereka masing-masing. Tubuh mereka yang lemah dan lawan yang yang terlalu kuat.

“Apa yang dapat kita lakukan?” tiba-tiba seorang di antara keempat murid Ki Ajar itu berdesis.

Yang tertua di antara keempat orang murid Ki Ajar itu berdesis, “Kita tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Aku tidak mengira bahwa Guru pada akhirnya akan mengalami nasib yang demikian pahitnya. Padahal Guru adalah orang yang tidak mungkin terkalahkan.”

“Agaknya Agung Sedayu memang orang yang memiliki ilmu yang tidak ada duanya,” desis salah seorang diantara murid Ki Ajar itu.

Di luar sadar maka mereka serentak berpaling ke arah Agung Sedayu yang berada di ujung lain dari tempat yang lapang di antara hutan pandan itu.

Murid tertua itu berdesis, “Agaknya Agung Sedayu juga mengalami kesulitan.”

“Tetapi ia masih mampu bertahan,” desis salah seorang saudara seperguruannya.

Yang lain mengangguk-angguk. Sementara itu, seorang di antara mereka berkata, “Apakah kita dapat mengambil sikap?”

Yang tertua di antara murid Ki Ajar itu termangu-mangu. Di luar sadarnya ia memandang berkeliling. Memandang ke arah rawa-rawa yang ditumbuhi oleh pohon-pohon pandan.

“Kita tidak tahu, apakah rawa-rawa itu dalam atau tidak,” desis yang tertua, “kita juga tidak tahu, apakah di antara akar-akar pandan itu bersembunyi ular air atau tidak.”

Keempat orang murid Ki Ajar itu menjadi tegang. Namun mereka tidak dapat membicarakan lebih jauh. Beberapa saat kemudian Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga telah mendekati mereka.

“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing, “marilah. Bawa tubuh Ki Ajar itu ke tempat yang lebih baik. Kita harus membawanya ke banjar dan menyelenggarakannya sebaik-baiknya.”

Keempat orang murid Ki Ajar itu menjadi tegang. Mereka benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk mencari jalan keluar dari tangan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang ternyata menyimpan orang-orang berilmu tinggi.

Dengan demikian maka yang dapat mereka lakukan hanyalah melakukan perintah Kiai Gringsing, membawa tubuh gurunya ke dekat Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Beberapa langkah di sebelahnya, Pandan Wangi berdiri tegak memandangi keempat orang yang membawa tubuh gurunya itu dengan saksama. Namun Pandan Wangi telah menyarungkan sepasang pedangnya.

Keempat orang itupun kemudian melihat keadaan Agung Sedayu yang mendebarkan. Ketika Agung Sedayu kemudian berdiri dengan berat, maka nampaklah bahwa pakaiannya telah terkoyak-koyak oleh api Ki Ajar. Namun tubuhnya masih tetap utuh karena ia masih mampu melindungi dirinya dengan ilmu kebalnya, meskipun ia tidak dapat menahan rasa sakit yang sempat menyusup menembusnya.

Kiai Gringsing pun kemudian mendekati Agung Sedayu yang sudah berdiri. Namun kemudian iapun menyadari akan keadaan Agung Sedayu. Pakaiannya sudah tidak berujud lagi, sehingga dengan demikian, maka sulit bagi Agung Sedayu untuk kembali dalam keadaan seperti itu.

Karena itu, maka Kiai Gringsing itu pun kemudian bertanya kepada Agung Sedayu, “Bagaimana dengan kau dan keadaanmu itu?”

“Badanku sudah terasa membaik Guru. Tetapi pakaianku ini,” desisnya.

Sebelum Kiai Gringsing berkata lebih lanjut, maka Ki Jayaraga-lah yang menyahut, “Biarlah aku pergi ke padukuhan terdekat. Mungkin aku akan mendapatkan pakaian untuk Agung Sedayu.”

“Jika orang-orang padukuhan itu bertanya?” desis Kiai Gringsing.

“Biarlah aku mengatakan bahwa Agung Sedayu telah tercebur di rawa-rawa. Kudanya tergelincir masuk ke dalam air lumpur, sehingga ia memerlukan berganti pakaian,” jawab Ki Jayaraga.

Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian dipandanginya Agung Sedayu yang masih dibantu oleh Sekar Mirah, “Baiklah. Silahkan.”

Ki Jayaraga pun segera mengambil kudanya. Sejenak kemudian terdengar kaki kuda itu berderap.

Sementara itu, Kiai Gringsing merasa perlu untuk berbicara dengan keempat orang murid Ki Ajar itu. Agaknya mereka dicengkam oleh kebingungan dan ketidak-pastian.

Karena itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Ki Sanak, kami akan membawa Ki Sanak untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Ki Sanak harus menghadap Ki Gede dan mempertanggung-jawabkan langkah laku Ki Sanak selama Ki Sanak berada di Tanah Perdikan ini. Sementara itu, kami beri kalian kesempatan untuk menguburkan gurumu. Teserah kepada pilihan kalian, apakah kalian akan menguburnya di sini. Sudah tentu agak jauh dari rawa-rawa itu, agar tubuhnya tidak terendam air. Atau kita akan membawanya ke padukuhah induk Tanah Perdikan dan menguburkannya di sana.”

Keempat orang itu saling bepandangan sejenak. Yang tertua di antara merekapun bertanya, “Jika kami membawa ke padukuhan induk, apakah tidak akan ada persoalan yang timbul dengan kehadiran kami di antara orang-orang Tanah Perdikan.”

“Kami-lah yang membawa kalian ke padukuhan induk. Dengan demikian maka kami-lah yang akan mempertanggung-jawabkannya,” jawab Kiai Gringsing.

Keempat orang itu masih nampak ragu-ragu. Namun kemudian yang tertua di antara mereka bertanya, “Jika kami bawa tubuh Guru ke padukuhan induk, dimana kami harus menguburkannya?”

“Tentu di kuburan,” jawab Kiai Gringsing, “mungkin di tempat itu, kuburan akan mudah dikenali. Agak berbeda jika kalian menguburkannya di sini.”

Keempat murid Ki Ajar itu mengangguk-angguk. Agaknya mereka memang tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, maka yang tertua itu pun kemudian berkata, “Baiklah Kiai, kami akan membawanya ke padukuhan induk.”

Namun keempat orang itu pun menyadari, bahwa mereka tentu akan menjadi tawanan orang-orang Tanah Perdikan. Bahkan mungkin mereka masih harus menjawab berbagai macam pertanyaan yang kemudian diajukan oleh para pemimpin Tanah Perdikan itu kepada mereka. Bahkan mungkin dapat terjadi salah paham, sehingga mereka akan diperas untuk menjawab pertanyaan yang tidak mereka ketahui.

Tetapi akibat itu memang harus ditanggungkannya.

Demikian, maka ketika Kiai Gringsing memerintahkan orang-orang itu mempersiapkan tubuh guru mereka, Agung Sedayu masih sempat membuat sebuah belik kecil dengan menggali pasir tidak jauh dari rawa-rawa. Meskipun airnya yang timbul dari celah-celah pasir itu tidak terlalu jernih, tetapi agaknya lebih bersih dari air rawa-rawa itu.

Dengan air itu Agung Sedayu telah mencuci wajahnya. Terasa segarnya air itu merambat sampai ke tulang sungsumnya.

Namun sejenak kemudian telah terdengar derap kaki kuda. Ketika mereka berpaling, mereka melihat Ki Jayaraga menyusup di antara batang-batang pandan, memasuki daerah yang lapang itu.

“Ini,” berkata Ki Jayaraga yang sudah turun dari kudanya. Diberikannya selembar kain panjang dan sebuah baju lurik ketan ireng.

“Aku tidak tahu, apakah baju itu cukup kau pakai atau tidak,” desis Ki Jayaraga.

“Terima kasih,” Sekar Mirah-lah yang menyahut sambil menerima pakaian itu.

Agung Sedayu pun kemudian mengenakan kain panjang itu untuk merangkapi kainnya. Sementara itu, iapun telah melepaskan bajunya yang koyak dan mengenakan baju yang dipinjam oleh Ki Jayaraga itu.

“Agak terlalu longgar,” desis Sekar Mirah. Lalu iapun bertanya kepada Ki Jayaraga, “Baju siapa?”

“Derma, penjual nasi di padukuhan sebelah,” jawab Ki Jayaraga.

“Pantas,” sahut Sekar Mirah, “Derma yang gemuk itu.”

Demikianlah, maka segalanya telah siap. Para murid Ki Ajar itu telah menyiapkan tubuh gurunya yang terbunuh di peperangan itu melawan Agung Sedayu. Sementara yang lain pun, termasuk Agung Sedayu telah bersiap pula.

“Biarlah Pandan Wangi dan Sekar Mirah beserta Agung Sedayu berangkat mendahului,” berkata Kiai Gringsing.

“Kami juga akan bersama Kiai,” jawab Agung Sedayu.

“Kau perlu segera beristirahat,” sahut Kiai Gringsing.

Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian iapun bertanya, “Lalu apa kata Guru jika orang-orang padukuhan yang Guru lewati itu bertanya?”

Kiai Gringsing memandang Ki Jayaraga sejenak. Namun Ki Jayaraga-lah yang menjawab, “Biarlah aku yang memberikan keterangan. Aku akan mengatakan bahwa telah terjadi kecelakaan. Kami akan melaporkannya kepada Ki Gede.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah menduga bahwa Ki Jayaraga tentu akan berkata sebagaimana adanya. Tetapi karena Ki Jayaraga sudah banyak dikenal oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, maka agaknya tidak akan ada kesulitan baginya meskipun ia berkata sebenarnya.

Demikianlah, maka atas desakan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, maka Agung Sedayu pun telah mendahului di punggung kudanya bersama Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Tetapi karena keadaan tubuh Agung Sedayu yang masih lemah dan nyeri di beberapa bagian, maka mereka bertiga tidak berpacu terlalu cepat. Kuda mereka berlari kecil menyusuri jalan bulak dan padukuhan. Sementara itu Agung Sedayu mengenakan kain rangkap dan baju agak kebesaran.

Tetapi perjalanannya tidak banyak menarik perhatian. Apalagi bersamanya adalah Sekar Mirah, istri Agung Sedayu, dan Pandan Wangi, satu-satunya anak perempuan Ki Gede Menoreh.

Sekali-sekali mereka memang harus berhenti menjawab beberapa pertanyaan. Namun Agung Sedayu selalu berusaha menyembunyikan perasaan sakit dan pedihnya. Apalagi ketika angin yang sejuk telah mengusap tubuhnya, maka rasa-rasanya perlahan-lahan perasaan pedih itu pun semakin susut.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga berjalan di belakang keempat orang yang membawa tubuh gurunya. Sebenarnyalah bahwa banyak orang yang bertanya tentang tubuh itu. Namun seperti yang diduga oleh Agung Sedayu, maka Ki Jayaraga tidak berusaha untuk berbohong.

“Satu pertarungan maut,” jawab Ki Jayaraga, “orang ini menantang Agung Sedayu berperang tanding. Adalah nasibnya yang buruk. Akhirnya orang itu terbunuh.”

“Bagaimana dengan Agung Sedayu?” bertanya seseorang.

“Ia sudah kembali lebih dahulu bersama istrinya dan Pandan Wangi,” jawab Ki Jayaraga.

“Ya. Aku tadi melihat Agung Sedayu lewat,” sahut seseorang.

Demikianlah, setiap pertanyaan selalu mendapat jawaban yang sama. Ki Jayaraga tidak mau mempersulit diri dengan menyusun jawaban-jawaban yang harus dikarangnya.

Dengan demikian maka berita tentang perang tanding itu cepat menjalar di, Tanah Perdikan Menoreh. Setiap orang dan apalagi setiap anak muda pun telah membicarakannya. Bahkan para pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan telah datang kerumah Agung Sedayu untuk mendapat keterangan yang jelas tentang tubuh itu.

Namun ketika anak-anak muda itu datang ke rumah Agung Sedayu. maka Agung Sedayu itu pun memberitahukan kepada mereka, bahwa tubuh itu telah dibawa ke rumah Ki Gede.

“Tubuhku terasa sangat letih oleh perang tanding itu,” berkata Agung Sedayu, “Ki Ajar memiliki ilmu yang sangat tinggi, yang hampir saja melumatkan tubuhku. Itulah sebabnya, karena kecemasanku tentang diriku sendiri, aku telah membunuhnya di luar kesadaranku.”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti bahwa Agung Sedayu memerlukan beristirahat. Karena itulah, maka mereka pun tidak terlalu lama berada di rumahnya. Anak-anak muda itu langsung menuju ke rumah Ki Gede untuk mendapat sekedar keterangan tentang orang yang terbunuh itu.

Ki Jayaraga-lah yang kemudian menjelaskan kepada mereka, apa yang terjadi dengan Agung Sedayu, dan apa yang terjadi dengan orang itu.

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi seorang di antara mereka berdesis, “Kenapa Agung Sedayu tidak memberi isyarat kepada kami?”

Kawannya tiba-tiba saja membentaknya, “Buat apa menberi isyarat kepada kita? Jika demikian maka tentu akan jatuh korban di antara kita. Tetapi jika orang itu diselesaikannya sendiri, maka tidak akan ada korban yang jatuh.”

“Tetapi Agung Sedayu sendiri terluka,” desis yang pertama.

“Bukankah lukanya tidak berbahaya? Ia mempunyai ilmu kebal yang dapat melindungi kulitnya dari luka. Mungkin perasaan sakit dapat menyusup ilmu kebalnya. Tetapi kulitnya tetap tidak terluka sama sekali,” jawab kawannya.

Anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengatakan apapun lagi.

Dengan peristiwa itu, maka kekaguman anak-anak Menoreh kepada Agung Sedayu menjadi semakin bertambah-tambah. Mereka menganggap bahwa Agung Sedayu termasuk salah seorang di antara mereka yang sulit untuk dikalahkan, meskipun Agung Sedayu termasuk seorang yang masih muda.

Dalam pada itu, di rumahnya Agung Sedayu memang berusaha untuk beristirahat sebaik-baiknya. Dengan cairan obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing, tubuh Agung Sedayu yang dibasahi oleh Sekar Mirah terasa menjadi baik. Sementara itu Pandan Wangi yang ikut berada di rumah itu, telah membantu Sekar Mirah dengan merebus air.

“Aku akan membuat minuman panas,” berkata Pandan Wangi, “mudah-mudahan tubuh Agung Sedayu menjadi semakin baik.”

Sebenarnyalah ketika ia kemudian meneguk minuman hangat, memang terasa tubuhnya menjadi semakin tegar. Ketika keringat kemudian mengalir, maka perasaan pedih dan nyeri itu bagaikan telah hanyut karenanya.

Sementara itu, atas perintah Ki Gede, maka beberapa orang pengawal Tanah Perdikan telah membantu keempat murid Ki Ajar itu untuk menguburkan gurunya. Ternyata Ki Gede telah mengijinkan mayat itu dikubur agak terpisah agar mudah dikenali, meskipun masih tetap berada di dalam batas pekuburan.

Sebuah batu yang agak besar telah dijadikan pertanda pada kuburan itu. Kemudian ditanaminya sebatang pohon semboja di bawah kuburan itu.

Hari itu, Agung Sedayu benar-benar beristirahat untuk memulihkan keadaannya. Sementara itu keempat orang murid Ki Ajar telah disimpan di sebuah ruangan khusus di rumah Ki Gede. Namun dengan demikian, maka harus ada orang-orang khusus yang mengawasi mereka, karena mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Namun orang-orang yang berilmu tinggi itu tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Mereka menyadari bahwa Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga adalah orang-orang yang memiliki kemampuan hampir tanpa tanding. Mereka sama sekali tidak tahu apa yang terjadi atas diri mereka pada saat mereka harus bertempur melawan orang tua itu. Dua orang murid Ki Ajar sama sekali tidak mengerti, bagaimana caranya kedua orang tua itu melumpuhkan mereka.

Selagi orang-orang itu menjadi tawanan di Tanah Perdikan, maka Ki Jayaraga terpaksa berada di rumah Ki Gede. Bersama Pandan Wangi, orang tua itu mendapat tugas untuk mengamati para tawanan, di samping sekelompok pengawal terpilih.

Tetapi agaknya keempat orang itu sama sekali tidak berniat untuk berbuat sesuatu.

Namun demikian Ki Gede selalu memperingatkan kepada para pengawal yang bertugas, “Jangan lengah. Mungkin mereka sengaja memberikan kesan bahwa mereka sudah tidak berniat untuk berbuat apa-apa. Baru jika kalian lengah, maka mereka berusaha untuk lepas dari tangan kalian.”

Karena itulah, maka para pengawal pun selalu mengamati keempat tawanan mereka dengan hati-hati. Apalagi mereka menyadari, bahwa keempat orang itu akan dengan mudah dapat menghancurkan dinding. Bahkan dinding yang sekuat apapun.

Setiap kelompok pengawal, selalu menempatkan orang-orangnya di beberapa sisi dari bilik tahanan yang khusus itu.

Tetapi nampaknya keempat orang itu memang tidak akan melarikan diri.

Untuk menekan setiap rencana yang dapat mengacaukan para pengawal, maka setiap kali Ki Jayaraga atau Kiai Gringsing, atau Agung Sedayu sendiri yang telah menjadi pulih kembali, menjenguk mereka berganti-ganti.

Dengan demikian maka keempat orang itu merasa bahwa mereka selalu diawasi oleh orang-orang berilmu tinggi itu.

Dalam pada itu, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Ki Gede telah membicarakan, apakah yang akan mereka lakukan terhadap keempat orang itu.

“Kita akan mengalami kesulitan jika mereka tetap kita simpan di sini. Kita tidak mempunyai tempat yang memadai yang dinding-dindingnya diperkuat dengan batang-batang besi apalagi baja. Atau setidaknya batu,” berkata Ki Gede.

“Baiklah,” berkata Kiai Gringsing, “jika demikian, maka sebaiknya orang-orang itu kita bawa ke Mataram. Kita akan menyerahkan keempat orang itu, sekaligus memberikan laporan tentang perjalanan Raden Rangga dan Glagah Putih.”

Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian aku sependapat Kiai. Mungkin Mataram memiliki tempat yang lebih baik dan memiliki senapati yang berilmu tinggi, sehingga keempat orang itu bagi Mataram tidak menjadi masalah lagi. Tetapi untuk membawanya ke Mataram diperlukan orang yang dapat dipercaya sepenuhnya. Karena akan dapat terjadi kemungkinan yang tidak dikehendaki di perjalanan.”

“Biarlah aku bawa bersama saat aku kembali ke Jati Anom, Ki Gede. Pandan Wangi pun telah terlalu lama meninggalkan suaminya. Melampaui waktu yang sudah dijanjikan,” berkata Kiai Gringsing. “Tetapi Swandaru tidak akan berkeberatan, karena Pandan Wangi berada di rumahnya sendiri,” jawab Ki Gede.

“Tetapi Swandaru dapat saja menjadi gelisah, karena ia dapat menduga bahwa ada kemungkinan terjadi sesuatu di perjalanan, sehingga Ki Gede menganggap bahwa Pandan Wangi telah berada di Sangkal Putung, sementara itu ternyata ia masih belum sampai,” berkata Kiai Gringsing.

Ki Gede mengangguk-angguk, la memang tidak akan dapat menahan Pandan Wangi lebih lama lagi. Tetapi ia masih juga bertanya tentang keempat orang itu, “Kiai, apakah Kiai akan membawa keempat orang itu hanya berdua dengan Pandan Wangi?”

Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Aku akan minta Ki Jayaraga dan Agung Sedayu bersama kami ke Mataram, menghadap Panembahan Senapati. Atau jika Panembahan kebetulan tidak ada di istana, atau sedang sibuk, kami dapat menemui Ki Juru Martani yang bergelar Ki Patih Mandaraka.”

Agung Sedayu dan Ki Jayaraga sama sekali tidak berkeberatan. Mereka memang juga merasa berkewajiban untuk datang menghadap. Apalagi Agung Sedayu.

Karena itu, maka mereka memutuskan bahwa dalam waktu dekat, keempat orang itu akan dibawa ke Mataram.

“Namun sebelumnya mungkin kita akan dapat berbincang dengan mereka,” berkata Kiai Gringsing. Lalu, “Mungkin orang-orang yang menyebut dirinya berasal dari Watu Gulung itu mengenali padepokan yang disebut Nagaraga.”

Ki Gede sependapat. Memang mungkin mereka akan dapat diajak berbicara serba sedikit tentang perguruan Nagaraga, karena mereka juga berasal dari Timur, sebagaimana orang-orang Nagaraga yang pernah berusaha untuk mencari penyelesaian dengan jalan pintas. Membunuh Panembahan Senapati.

Karena itu, maka mereka pun telah menentukan waktu yang paling baik untuk berbicara dengan keempat orang itu, sementara Pandan Wangi dan Kiai Gringsing telah mempersiapkan pula perjalanan kembali ke Sangkal Putung.

Akhirnya, waktu itu tiba. Kiai Gringsing dan Pandan Wangi telah menentukan, bahwa mereka akan kembali ke Sangkal Putung di keesokan harinya, di saat matahari terbit. Akan bersama mereka Agung Sedayu dan Ki Jayaraga. Namun mereka hanya akan sampai ke Mataram untuk menyerahkan keempat orang yang mereka tangkap itu. Tetapi karena mereka akan berjalan bersama Pandan Wangi, serta agar tidak seorang diri di rumah, maka Sekar Mirah dalam perjalanan itu akan ikut pula.

Namun sebelum di keesokan harinya keempat orang itu akan dibawa ke Mataram, maka malam itu keempat orang itu akan diajak berbicara oleh Ki Gede dengan beberapa orang lainnya yang ikut memimpin Tanah Perdikan Menoreh itu.

Ketika keempat orang itu dipanggil menghadap, maka keempat orang itu memang menjadi berdebar-debar. Mereka tidak tahu apakah maksud Ki Gede memanggil mereka. Meskipun mereka sudah mengira bahwa agaknya Ki Gede akan berusaha untuk mengetahui sejauh-jauhnya tentang diri mereka berempat.

Sejenak kemudian maka mereka berempat sudah berada di pringgitan. Dengan jantung yang berdebaran mereka melihat di sebelah Ki Gede itu duduk beberapa orang yang memang mereka segani. Di antara mereka nampak Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Agung Sedayu yang telah membunuh guru mereka, kemudian Pandan Wangi dan Sekar Mirah.

“Marilah Ki Sanak,” dengan ramah Ki Gede mempersilahkan. Satu sikap yang membuat keempat orang itu semakin berdebar-debar, karena mereka mengenali orang yang menilik sikapnya terlalu ramah, namun tiba-tiba segera berubah menjadi seekor singa, apabila orang itu sudah mengajukan pertanyaan dan tidak terjawab sebagaimana keinginannya.

“Ki Sanak,” berkata Ki Gede seterusnya, “ketahuilah, bahwa kami telah memutuskan, bahwa besok kalian akan kami antarkan ke Mataram. Kalian akan kami titipkan, dan bahkan kami serahkan kepada Panembahan Senapati, karena kami tidak mempunyai tempat yang memadai bagi Ki Sanak berempat.”

Keempat orang itu terkejut. Yang tertua dengan serta merta telah bertanya, “Pertimbangkan apakah yang telah mendorong Ki Gede untuk melakukan hal itu?”

Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, “Ada berbagai pertimbangan. Persoalan yang terjadi itu mula-mula bersumber pada perselisihan antara kalian dengan dua orang anak muda. Seorang diantaranya adalah Glagah Putih, sepupu dan memang anak itu berada di bawah tanggung jawab Agung Sedayu. Sedang anak muda yang lain adalah Raden Rangga, putra Panembahan Senapati. Sedangkan pertimbangan yang lain adalah, seperti yang sudah aku katakan, di sini kami tidak mempunyai tempat yang memadai.”

“Ki Gede, tempat yang Ki Gede berikan kepada kami sudah cukup memadai. Tetapi kami mengerti, mungkin Ki Gede mencemaskan bahwa kami akan melarikan diri,” berkata yang tertua di antara mereka. Lalu, “Ki Gede, kami berjanji bahwa kami tidak akan berbuat apa-apa sampai Ki Gede mengambil keputusan, hukuman apakah yang akan Ki Gede jatuhkan kepada kami. Kami sudah berjanji untuk melakukan semua hukuman dengan ikhlas, bahkan hukuman mati sekalipun, karena kami memang merasa bersalah. Kamipun merasa heran, bahwa kami tidak dibunuh pada saat-saat pertempuran itu terjadi di hutan pandan. Dengan demikian kami merasa, bahwa kami memang jatuh ke tangan orang-orang yang memiliki kematangan jiwa. Karena itu, maka kami mohon agar kami tetap berada di sini sambil menunggu hukuman yang akan dijatuhkan kepada kami.”

“Tidak Ki Sanak,” berkata Ki Gede, “kami tidak akan menjatuhkan hukuman apapun. Semuanya terserah kepada Mataram. Tetapi agaknya Mataram pun tidak akan menjatuhkan hukuman yang semena-mena.”

Keempat orang itu memang menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi Ki Gede berkata selanjutnya, “Tetapi yakinkanlah diri kalian, bahwa Panembahan Senapati akan bertindak adil. Apalagi kalian tidak mencederai putranya yang bernama Raden Rangga itu.”

Murid-murid Ki Ajar itu hanya dapat menundukkan kepalanya. Mereka agaknya memang tidak akan dapat mengusulkan sikap apapun yang pantas diperlakukan atas mereka sendiri.

Namun dalam pada itu, Ki Gede pun kemudian berkata, “Tetapi Ki Sanak, sebelum kami besok mengantar kalian ke Mataram, kami ingin sedikit mendapat beberapa penjelasan tentang sesuatu yang mungkin Ki Sanak ketahui.”

Murid-murid Ki Ajar itu menarik nafas dalam-dalam. Itulah yang mereka cemaskan. Pertanyaan-pertanyaan tentu mengandung kemungkinan-kemungkinan yang dapat menyulitkan kedudukan mereka di antara orang-orang yang berilmu tinggi itu.

“Ki Sanak,” berkata Ki Gede pula, “aku mohon kalian dapat memberikan penjelasan kepada kami. Sebenarnyalah ada yang ingin kami ketahui tentang daerah sebelah Timur yang agak buram itu untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas.”

Keempat orang itu justru menarik nafas dalam-dalam. Namun mereka memang merasa bahwa mereka tidak akan dapat ingkar dari persoalan itu. Memang terbersit juga perasaan kecewa dan menyesal, bahwa mereka telah menelusuri kematian seorang saudara seperguruannya, sehingga akhirnya mereka justru terjebak dalam persoalan yang rumit itu.

Tetapi semuanya sudah terlanjur. Dan mereka berempat sudah berada di dalam tahanan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Segala macam ilmu mereka yang dianggap sudah cukup memadai itu, ternyata tidak banyak berarti di Tanah Perdikan Menoreh, yang dianggapnya semula tidak lebih dari padukuhan-padukuhan dan padesan pada umumnya, meskipun dalam kedudukan Tanah Perdikan. Namun ternyata di Tanah Perdikan itu terdapat orang-orang aneh yang tidak pernah dibayangkannya sebelumnya.

“Ki Sanak,” suara Ki Gede tetap lunak, namun terasa menggetarkan jantung keempat orang itu. Ki Gede yang tidak turun ke medan itu tentu juga orang yang pilih tanding. Pandan Wangi adalah muridnya, sekaligus satu-satunya anaknya. “Yang ingin kami tanyakan, kegiatan apakah yang sedang kalian lakukan selama ini? Apa pula yang telah terjadi sehingga Glagah Putih dan Raden Rangga telah membunuh seorang di antara kalian?”

Murid Ki Ajar yang terlibat langsung dalam pertentangan dengan Raden Rangga dan Glagah Putih itu menjadi semakin berdebar-debar. Namun agaknya saudaranya yang tertua-lah yang menjawab, “Ki Gede, persoalan itu timbul di sebuah padukuhan. Agaknya memang bukan tanpa sebab. Raden Rangga dan Glagah Putih adalah anak-anak muda, sementara saudara seperguruan kami adalah mereka yang masih pada tataran tengahan, yang nampaknya masih selalu ingin menunjukkan kelebihannya. Itulah agaknya yang telah mendorong mereka berbenturan. Sehingga akhirnya seorang di antara saudara kami itu terbunuh.”

Ki Gede termangu-mangu. Sementara itu, salah seorang murid Ki Ajar yang terlibat langsung itu masih saja berdebar-debar. Tetapi tentu saja tidak akan dapat mengatakan, bahwa kedatangan kedua orang murid di padukuhan itu, dan kemudian seharusnya di beberapa padukuhan lain, adalah dalam rangka mempersiapkan jalur jalan dan persediaan yang harus dikumpulkan menjelang perjalanan pasukan dari Timur. Termasuk daerah subur yang mempunyai persediaan makanan, karena diperhitungkan bahwa untuk menjatuhkan Mataram sudah tentu tidak akan dapat dilakukan dalam satu dua hari atau satu dua pekan. Sehingga diperlukan bahan makan yang cukup banyak bagi prajurit yang tidak terhitung jumlahnya.

“Itukah yang terjadi?” suara Ki Gede terasa semakin berat menekan perasaan mereka.

Keempat orang itu memang menjadi semakin gelisah. Memang Ki Gede nampaknya tidak berbuat kasar. Tetapi rasa-rasanya sesuatu memang dapat terjadi atas mereka.

Namun akhirnya Ki Gede itulah yang bertanya lagi, “Ki Sanak. Menurut pengamatanku, kalian sudah bukan anak-anak lagi sebagaimana Raden Rangga dan Glagah Putih. Namun dalam pada itu, aku pun yakin bahwa bukan Glagah Putih dan Raden Rangga yang mendahului membuat persoalan, karena aku kenal betul dengan mereka. Nah, coba sebutkan apa yang sebenarnya terjadi, dan kenapa Ki Ajar, guru kalian, telah memaksa diri untuk membela muridnya itu.”

Yang tertua di antara keempat murid Ki Ajar itu mencoba untuk menjawab, “Ki Gede. Jika kami ikut campur dalam pertikaian ini, adalah semata-mata karena harga diri dari perguruan kami, yang kemudian kami sadari agak berlebihan. Namun bagaimanapun juga kami menyesal, namun semuanya itu memang tidak akan ada artinya lagi.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Tetapi keempat orang itu menyadari bahwa jawaban itu sama sekali tidak memberikan kepuasan kepada pemimpin Tanah Perdikan Menoreh Itu.

Sementara itu Kiai Gringsing pun telah bertanya, “Ki Sanak. Bagaimana hubungan antara peristiwa yang terjadi itu dengan rencana kalian? Apakah benar kalian hanya ingin bertemu dengan Glagah Putih dan menyelesaikan persoalan yang terjadi itu dengan Glagah Putih saja?”

“Jika kami dapat bertemu dengan Glagah Putih, maka persoalan kami memang akan terbatas,”jawab murid tertua Ki Ajar.

“Tetapi kalian tahu, bawa Ki Ajar, guru kalian, telah ikut campur. Mungkin karena harga diri atau dengan alasan apapun. Apakah dengan demikian kalian tidak memperhitungkan, meskipun seandainya kalian dapat bertemu dengan Glagah Putih, bahwa gurunya pun akan ikut campur?” bertanya Kiai Gringsing

“Itu sudah kami perhitungkan,” jawab murid Ki Ajar itu, “tetapi kami memang salah hitung. Kami mengira bahwa kami cukup kuat untuk menghadapi siapapun juga. Termasuk guru Glagah Putih. Kami tidak mengira sama sekali, bahwa orang yang disebut Agung Sedayu itu mampu mengalahkan Guru.”

“Baiklah Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu kemudian, “kami tidak akan terlalu banyak mendesak tentang diri kalian, perguruan kalian atau persoalan kalian. Tetapi kami minta kalian bersedia sedikit berbicara tentang sebuah perguruan lain. Bukan Watu Gulung.” 

Keempat orang itu menjadi berdebar-debar. Apalagi mereka menyadari bahwa mereka akan dibawa ke Mataram. Persoalan yang sama tentu akan dipersoalkan lagi.

Dalam pada itu, Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Ki Sanak. Sebenarnya yang ingin kami ketahui adalah perguruan Nagaraga. Kami dapat menghubungkan langkah yang kalian ambil dengan langkah yang diambil oleh orang-orang dari perguruan Nagaraga. Karena itu, kami ingin penjelasan kalian, apakah kalian memang mempunyai hubungan dengan perguruan itu atau tidak. Atau malahan kalian merupakan bagian dari perguruan itu? Watu Gulung sekedar kau sebut tanpa arti sama sekali?”

Keempat orang itu terkejut. Sejenak mereka saling berpandangan. Ketika murid tertua Ki Ajar itu memandang wajah Agung Sedayu, nampaknya wajah itu bersungguh-sungguh. Ketika mereka memandang wajah-wajah yang lain, maka wajah-wajah itu pun nampak bersungguh-sungguh pula.

Dengan nada berat murid tertua Ki Ajar itu bertanya, “Apa persoalan antara Tanah Perdikan ini dengan perguruan Nagaraga?”

“Apapun,” jawab Agung Sedayu, “tetapi apakah benar kalian memang orang-orang Nagaraga?”

Murid tertua itu menggeleng sambil menjawab, “Bukan. Kami bukan orang Nagaraga.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang itu memang tidak mengenakan ciri orang-orang Nagaraga. Mereka tidak memakai ikat pinggang sebagaimana dipakai oleh orang-orang Nagaraga yang terbunuh oleh Raden Rangga dan Glagah Putih pada saat mereka berusaha mengakhiri nyawa Panembahan Senapati.

Meskipun demikian, Agung Sedayu tidak dapat memastikan bahwa mereka bukan orang-orang Nagaraga, Setiap orang dapat saja melepaskan ciri-ciri pada dirinya, jika mereka sampai pada satu saat untuk keselamatan dirinya atau sengaja mengadakan penyamaran.

“Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu, “jika kalian bukan orang Nagaraga, maka tolong, katakan kepada kami sesuatu mengenai perguruan itu. Jika kalian berkata dengan jujur, maka kami tidak akan menelusuri perguruan kalian sendiri.”

Keempat murid Watu Gulung itu nampak menjadi bimbang. Namun kemudian yang tertua, yang mewakili gurunya itu berkata, “Kami justru sedang bersaing dengan perguruan Nagaraga.”

“Bersaing tentang apa?” desak Agung Sedayu.

Murid Ki Ajar itu terdiam. Baru disadarinya bahwa ia akan dapat terperosok ke dalam kesulitan jika ia menyebut persaingannya dengan perguruan Nagaraga. Persaingan dalam pengertian yang kurang baik bagi Mataram. Karena kedua perguruan itu sedang berebut pengaruh di daerah Timur yang kemelut.

Karena itu, maka dengan serta merta murid tertua Ki Ajar itu menjawab, “Kami memang bersaing dalam pengembangan ilmu. Hubungan kami dengan perguruan Nagaraga agak kurang baik. Sewaktu-waktu persoalan di antara kami akan dapat meledak. Itulah sebabnya kami harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya.” Suaranya tiba-tiba merendah, “Tetapi semuanya sudah berlalu. Kini kami tidak akan dapat berbuat sesuatu lagi terhadap perguruan Nagaraga. Kini Guru sudah tidak ada lagi.”

“Apakah ada semacam dendam di antara kalian?” tiba-tiba saja Ki Jayaraga bertanya.

“Semacam itu. Tetapi sebenarnyalah kami hanya ingin disebut yang terbaik mula-mula. Tetapi kemudian perkembangannya menjadi semakin keras, sehingga mengarah kepada permusuhan,” jawab murid tertua Ki Ajar itu.

“Bagus,” tiba-tiba saja Agung Sedayu beringsut, “apakah dalam hubungan yang serasi atau justru kalian bermusuhan, namun satu hal yang kami perlukan, bahwa kalian mengetahui letak perguruan itu.”

Murid tertua Ki Ajar itu termangu-mangu. Ia sadar bahwa pertanyaan kemudian adalah dimana letak perguruan Nagaraga itu.

Untuk beberapa saat murid Ki Ajar itu berpikir. Apakah ia akan mengatakannya atau tidak. Meskipun ia tidak tahu persoalan apa yang telah timbul antara perguruan Nagaraga dengan Tanah Perdikan Menoreh, namun kesannya bahwa antara perguruan Nagaraga dan Tanah Perdikan Menoreh telah terjadi sesuatu yang merentangkan jarak antara keduanya.

Tiba-tiba saja murid Ki Ajar itu berkata di dalam hatinya, “Apakah justru Glagah Putih dan Raden Rangga itu sedang dalam perjalanan menuju ke perguruan Nagaraga?”

Sejenak murid Ki Ajar itu termangu-mangu, Namun kemudian ia merasakan menurut firasatnya, bahwa Tanah Perdikan Menoreh menaruh dendam terhadap perguruan Nagaraga.

“Watu Gulung sudah tidak mempunyai kekuatan dengan terbunuhnya Guru,” berkata murid tertua itu di dalam hatinya, “jika ada orang lain yang membantu memperkecil arti perguruan Nagaraga, maka bersama-sama tidak berarti bagi Bang Wetan.”

“Kenapa kau diam saja?” desak Agung Sedayu.

“Baiklah,” berkata murid tertua itu, “bagaimanapun juga, kami memang tidak akan dapat ingkar, bahwa kami mengetahui letak dan perkembangan perguruan Nagaraga itu.”

“Apa yang dapat kalian katakan tentang perguruan itu?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Perguruan itu tidak banyak berarti di luar padepokannya. Tetapi di dalam padepokannya, Nagaraga merupakan satu perguruan yang pilih tanding,” jawab murid tertua itu.

“Kenapa begitu?” bertanya Agung Sedayu.

“Ada semacam sumber kekuatan yang memancar dari pusat perguruan itu,” jawab murid Ki Ajar, “kekuatan itu memang dapat memberi bekal setiap murid dari perguruan Nagaraga. Tetapi semakin lama bekal itu semakin pudar, sehingga karena itu maka setiap kali setiap murid dari perguruan Nagaraga harus memperbaharui kekuatannya itu.”

“Apakah sumber kekuatan itu?” bertanya Agung Sedayu.

“Seekor ular naga,” jawab murid tertua Ki Ajar itu.

“Ular naga? Patung, atau ujud yang lain?” bertanya Agung Sedayu pula.

Murid Ki Ajar itu termangu-mangu. Namun katanya, “Aku tidak tahu pasti, apakah benar ular naga itu menjadi sumber kekuatan atau sekedar menurut perasaan orang-orang Nagaraga saja.”

Para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itu termangu-mangu. Namun kemudian Agung Sedayu pun bertanya sekali lagi, “Tetapi kau belum mengatakan tentang naga itu. Seekor naga sebenarnya ular yang besar, atau patung, atau ujud yang lain yang disebutnya naga.”

Murid tertua Ki Ajar itu menjawab, “Ular. Sebenarnya ular yang besar. Yang menurut kata orang, ular itu memakai sumping di atas telinganya dan semacam mahkota di kepalanya. Lidahnya yang panjang bercabang itu seperti api yang memancar jika lidah itu terjulur. Dari matanya bagaikan memancar sinar maut yang membunuh lawan-lawan para penghuni padepokan yang dibuat oleh perguruan Nagaraga itu, tetapi memancarkan sinar kehidupan bagi murid-murid perguruan Nagaraga. Seorang murid dari perguruan itu akan bertapa di depan goa yang menjadi sarang dari ular itu untuk mendapatkan bekal kekuatan, apabila hendak bertugas keluar. Kekuatan yang akan dapat melipatkan kekuatan dan kemampuan mereka yang sebenarnya. Namun hanya berlaku untuk waktu tertentu.”

Keterangan itu telah membuat Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan orang-orang lain yang mendengar keterangan itu menjadi tegang. Dengan nada tinggi Agung Sedayu bertanya, “Jadi, di padepokan orang-orang Nagaraga itu terdapat seekor ular yang besar?”

“Ya. Ular yang dianggap sebagai dewa oleh orang-orang dari perguruan Nagaraga,” jawab murid Ki Ajar itu.

“Dewa? Jadi masih saja ada orang yang menyembah ular sebagai dewa?” desis Ki Gede.

“Itulah yang dilakukan oleh orang-orang Nagaraga sejauh kami ketahui,” jawab orang itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Baiklah Ki Sanak. Tetapi kami ingin mengetahui di manakah letak padepokan dari perguruan Nagaraga itu? Apakah di lereng Gunung Lawu atau dimana?”

“Dahulu,” jawab murid Ki Ajar, “tetapi pada dasarnya mereka mengikuti ular yang didewakan itu, kemana ular itu pergi. Pada satu ketika ular itu turun dari lereng Gunung Lawu. Menyusuri Kali Lanang, sehingga membuat penghuni padukuhan di sebelah-menyebelah Kali Lanang menjadi gempar. Namun kemudian ular yang besar itu telah naik tebing dan memisahkan diri dengan arus Kali Lanang, menuju ke sebuah padang perdu. Kemudian seperti memang sudah diketahui dengan pasti sebelumnya, ular itu masuk ke dalam goa yang cukup luas, meskipun tidak begitu dalam. Goa itu terletak di arah utara padukuhan Ngrambe. Namun masih disekat oleh sebuah hutan yang tidak begitu luas, tetapi cukup lebat dan pepat. Karena itu, maka untuk menuju ke goa itu dari Ngrambe harus ditempuh jalan melingkar. lewat tanggul Kali Lanang.”

Yang mendengarkan cerita itu mengangguk-angguk. Dengan nada datar Ki Gede bertanya, “Apakah kau sudah pernah melihat tempat itu?”

“Belum pernah terlalu dekat. Tetapi aku telah mengetahui arah padepokan itu. Bagi orang-orang di sekitarnya, padepokan itu bukan merupakan tempat yang dirahasiakan. Tetapi goa itu kemudian berada di dalam padepokan, dilingkari oleh barak-barak yang memang tidak terlalu banyak dan berjarak agak jauh, sehingga padepokan itu merupakan padepokan yang luas. Di sekitar goa itu terdapat kebun dan pategalan. Kemudian di dalam padepokan itu juga terdapat peternakan. Pada saat-saat tertentu, seekor kambing telah dikorbankan untuk memberi makan ular yang besar yang berada di goa itu.”

“Jadi padepokan itu dibuat setelah ular itu berada di dalam goa?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya,” jawab murid Ki Ajar itu, “jika pada satu saat ular itu berpindah lagi, maka perguruan Nagaraga pun akan berpindah, bahkan seandainya menyeberangi bengawan sekalipun.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada Ki Gede, “Ki Gede. Aku kira beberapa hal yang kita perlukan sudah kita tanyakan. Kita tidak tahu apakah ia memberikan keterangan dengan jujur. Namun kita akan dapat membuktikan apakah keterangannya benar atau tidak,” berkata Agung Sedayu.

Ki Gede mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Aku kira bagi kita di sini sudah cukup. Mungkin masih ada beberapa pertanyaan yang akan diajukan oleh Panembahan Senapati di Mataram besok.”

Ketika Agung Sedayu memandang sekilas wajah-wajah para murid Ki Ajar itu, nampak kecemasan membayang. Namun mereka berusaha untuk menyembunyikan perasaannya, meskipun Agung Sedayu kemudian berkata, “Panembahan Senapati tidak akan berbuat apa-apa, asal kalian menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan jujur.”

Murid tertua Ki Ajar itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Gede pun berkata,” Baiklah. Kalian dapat beristirahat. Besok kalian akan berangkat.”

Demikianlah, maka setelah keempat murid Itu dikembalikan ke tempat tahanannya, maka Ki Gede pun masih juga bericara beberapa saat. Agaknya keterangan murid Ki Ajar itu memang membuat orang orang di Tanah Perdikan itu gelisah. Karena membayangkan bahwa Glagah Putih dan Raden Rangga telah melingkar-lingkar di daerah yang luas dan belum pernah dikenalnya. Jika mereka pada satu saat menemukan perguruan Nagaraga, maka mereka akan terjebak ke dalam satu perguruan yang kuat.

“Pesan Panembahan Senapati, mereka hanya diperintahkan untuk mengenali dan mengetahui serba sedikit tentang perguruan itu. Mereka tidak mendapat perintah untuk bertindak atas padepokan itu,” berkata Agung Sedayu. “Tetapi mengingat sifat dan watak Raden Rangga, maka persoalannya mungkin akan berkembang. Atau bahkan menentukan.”

“Jadi bagaimana pendapatmu?” bertanya Kiai Gringsing. “Guru, apakah kita membiarkan saja semuanya itu akan terjadi?” bertanya Agung Sedayu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar