Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 207

Buku 207

Ketika matahari mulai naik, tempat itu sudah banyak dikunjungi orang. Anak-anak kecil berlari-larian dengan gembira. Mereka berteriak-teriak sambil berkejaran. Semakin tinggi matahari, maka tempat itu pun menjadi semakin ramai. Pasar pun menjadi bertambah ramai pula. Para penjual di pasar itu telah membawa barang dagangan berlipat dari biasanya. Apalagi mereka yang berjualan makanan dan minuman.

Menjelang matahari sepenggalah, maka terdengar bende berbunyi. Satu pertanda bahwa keramaian di ara-ara serta di blumbang itu sudah akan dimulai. Orang-orang tua dan para bebahu yang mendapat kewajiban untuk menyelenggarakan keramaian itu sudah bersiap untuk mulai dengan pertarungan antara anak-anak muda yang akan mewakili padukuhan masing-masing.

Ketika bende itu berbunyi, maka kelompok-kelompok anak muda yang semula masih tersebar itupun segera berkumpul. Ara-ara itu menjadi sangat ramai karenanya. Meskipun anak-anak muda itu sudah saling mengenal, namun pada saatnya mereka akan menjadi pendukung jago mereka masing-masing.

Raden Rangga dan Glagah Putin masih tetap berada di antara kelompok anak-anak muda yang berangkat bersama mereka. Keduanya pun ternyata telah hanyut pula dalam kegembiraan di lingkungan keramaian Merti Desa itu. Bahkan Raden Rangga sama sekali tidak merasa bahwa ia adalah tamu di antara anak-anak muda itu.

Di antara mereka yang umurnya sebaya, bahkan banyak di antara mereka yang lebih tua, maka Raden Rangga dan Glagah Putih nampak akrab bersama mereka. Tidak segera diketahui bahwa di antara anak-anak muda padukuhan yang bersama keduanya membawa tamu dari padukuhan lain, bahkan dari Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika adu ketangkasan dan ketrampilan sudah dimulai, maka ara-ara itu bagaikan meledak oleh sorak dan teriakan-terlakan anak-anak muda yang berusaha untuk mendukung kawan-kawan mereka yang turun kearena. Mereka bahkan melonjak-lonjak dan menyebut nama kawan mereka itu dengan teriakan nyaring.

Dengan demikian maka ara-ara itu telah tenggelam dalam kegembiraan anak-anak muda. Bahkan orang-orang yang berjualan di pasar pun banyak yang menitipkan dagangannya kepada penjual di sebelah menyebelahnya dan berlari-lari melihat pertandingan yang berlangsung dengan meriahnya. Jika penjual di sebelahnya juga pergi ke ara-ara, maka dagangan itu justru ditinggalkannya begitu saja.

Dalam kegembiraan itu, tiba-tiba saja seorang anak muda telah menggamit Raden Rangga dan Glagah Putih sambil memperhatikan sekelompok anak-anak muda yang lain, “Itulah anak-anak muda dari Dukuh Gede.“

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Ia melihat sekelompok anak-anak muda itu. Anak-anak muda yang memang nampak agak lain dari kelompok-kelompok yang sedang asyik menyaksikan pertandingan. Nampaknya anak-anak muda dari Dukuh Gede itu, memang merasa diri mereka melebihi anak-anak muda yang lain.

Namun Raden Rangga itu terkejut. Digamitnya Glagah Putih sambil berbisik, “Kau lihat orang-orang yang berada di belakang anak-anak muda Dukuh Gede?“

Glagah Putih mengangguk. Jawabnya, “Ya. Agaknya orang-orang itulah yang lebih menarik.“

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berbisik pula, “Kehadiran mereka memang perlu dicemaskan. Tentang anak-anak muda Dukuh Gede tidak akan terlalu banyak menimbulkan persoalan. Mungkin mereka akan berkelahi. Tetapi setelah itu tidak akan ada persoalan lain, karena anak-anak muda kademangan ini jumlahnya tentu lebih banyak. Dan tingkah laku anak-anak Dukuh Gede itu sekedar kesombongan anak-anak muda saja. Tetapi orang-orang itu mempunyai kepentingan yang lain.“

Glagah Putih masih mengangguk-angguk. Desisnya, “Kenapa mereka sampai juga di tempat ini?“

“Meraka telah kehilangan induknya. Mereka agaknya telah berkeliaran dan kehilangan pegangan. Mereka justru menjadi berbahaya karena mereka dapat berbuat apa saja untuk melepaskan dendam mereka,“ sahut Raden Rangga.

Sementara itu anak muda yang menggamitnya berbisik, “Bagaimana menurut penilaianmu tentang anak-anak Dukuh Gede itu?“

Raden Rangga terkejut oleh pertanyaan itu. Dengan serta merta ia menjawab, “Tidak ada kelebihan di antara mereka.”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Anak-anak kademangan itu sudah siap menghadapi mereka jika mereka berbuat tidak sepantasnya. Ki Jagabaya telah berusaha untuk mencegahnya. Sekelompok pengawal khusus telah dibentuk untuk mengamankan pertemuan yang meriah ini. Bahkan menurut pendengaranku, Ki Jagabaya sudah berhubungan dengan bebahu Kademangan Dukuh Gede. Hasilnya aku tidak tahu.“

“Mudah-mudahan mereka tidak mengganggu,“ desis Glagah Putih.

Namun sebenarnyalah bahwa yang dicemaskannya adalah justru orang-orang yang sekilas nampak berada di belakang anak-anak muda Dukuh Gede.

Menurut pengamatan Raden Rangga dan Glagah Putih, orang-orang itu tentu bukan orang-orang Kademangan Ngentak Amba atau kademangan di sekitarnya. Dalam pengamatan sepintas, mereka melihat beberapa orang yang memiliki persamaan ujud dan sikap dengan orang-orang yang pernah mereka temui di Tanah Perdikan Menoreh dan di Kali Opak.

Bahkan hampir di luar sadarnya Raden Rangga berkata, “Aku ingin mendapat satu di antara mereka.“

Glagah Putih berdesah. Namun katanya, “Kita tidak sebaiknya mengganggu keramaian ini. Kita harus mencari kesempatan lain.“

“Kita dapat mengikuti mereka,“ berkata Raden Rangga.

“Namun seperti yang sudah kita perhitungkan, mereka agaknya tidak akan dapat memberikan penjelasan tentang persoalan yang lebih rumit daripada perintah membakar hutan. Ada sekat antara mereka dan pimpinan mereka,“ berkata Glagah Putih.

“Tetapi kita akan mencobanya,“ sahut Raden Rangga.

Glagah Putih tidak membantah. Memang tidak ada salahnya untuk mencoba mendengarkan keterangan orang-orang itu tentang perguruan Nagaraga. Tetapi keduanya tidak segera berbuat sesuatu. Mereka tidak ingin merusak suasana yang gembira. Beberapa jenis pertandingan telah diselenggarakan.

Dalam pada itu, Raden Rangga dan Glagah Putih telah kembali tenggelam dalam kegembiraan pula. Kemudian mereka telah menyekap perhatian mereka pada pertandingan binten dan garesan. Bahkan Raden Rangga telah ikut bertepuk tangan, berteriak dan melonjak-lonjak. Agaknya ia telah terlempar sepenuhnya ke dalam dunia remajanya.

Bersama-sama dengan anak-anak muda dari pedukuhan yang pernah dikunjunginya, Raden Rangga dan Glagah Putih dengan gairah telah ikut mendorong seorang yang turun untuk mewakili padukuhannya. Raden Rangga ikut pula menyebut namanya sambil bertepuk tangan. Kegembiraan pada kelompok itu melonjak dan teriakan kegembiraan bagaikan menyentuh langit, ketika ternyata kawan mereka itu telah menunjukkan kemampuannya dan memenangkan pertandingan.

Ternyata anak-anak muda itu bermain dengan jujur. Mereka telah berbuat sebaik-baiknya. Bahkan anak-anak muda dari padukuhan lain pun ikut menyambut kemenangan itu dengan sorak yang gemuruh pula. Sementara yang telah kalah tanpa membantah dan membuat persoalan apapun telah mengakui kekalahan sebagaimana diputuskan oleh orang-orang tua dan bebahu yang menentukan.

Demikian pula dalam pertandingan-pertandingan yang lain. Pertandingan menyelam ternyata telah mendapat perhatian yang sangat besar. Berjejal-jejal anak-anak muda bahkan orang-orang tua berdiri mengitari blumbang yang cukup luas itu. Bahkan anak-anak telah mulai memanjat naik pepohonan di sekitar belumbang itu.

Anak-anak muda yang akan mewakili pedukuhan masing-masing pun telah bersiap dan turun ke dalam air.

Para pengamat pun telah siap pula, sementara seorang petugas telah siap untuk memukul bende, pertanda pertandingan dimulai.

Beberapa saat anak-anak muda yang sudah berendam di air itu menunggu dengan tegang. Mereka memandang tangan petugas yang siap memukul bende itu dengan tanpa berkedip.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka tangan petugas itu pun bergerak, dan mengumandanglah suara bende bergulung-gulung di atas belumbang itu.

Dengan sigapnya anak muda yang berendam itu pun telah menyelam. Mereka tidak ingin dianggap batal karena dengan sengaja lambat membenamkan kepalanya ke dalam air.

Sorak yang gemuruh telah menggetarkan bukan saja di sekitar blumbang itu. Tetapi serasa seluruh ara-ara itu telah bergetar.

Sejenak orang-orang yang menyaksikan itu menunggu dengan tegang. Namun sorak pun telah menggemuruh lagi, ketika kepala-kepala itu mulai bermunculan. Sehingga akhirnya, meledaklah udara di sekitar belumbang itu ketika orang terakhir telah mengangkat kepalanya muncul ke permukaan air dengan nafas terengah-engah.

Raden Rangga ikut bersorak-sorak pula. Bahkan melonjak-lonjak dengan gembiranya, meskipun yang menang bukan anak dari padukuhan yang pernah dikunjunginya.

Perlombaan yang terakhir diselenggarakan adalah perlombaan yang meriah. Mereka beradu kekuatan dengan saling bertarik tambang. Tujuh orang anak muda akan mewakili setiap padukuhan. Mereka akan diadu bertingkat, sehingga yang terakhir akan berhadapan dua kelompok dari dua padukuhan.

Ternyata permainan itu benar-benar telah menggembirakan anak-anak muda Kademangan Ngentak Amba. Bahkan anak-anak muda dari kademangan disekitarnya. Bahkan anak-anak muda Dukuh Gede nampaknya sudah mendapat pesan dari bebahu padukuhan, sehingga mereka tidak melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan persoalan.

Kegembiraan itu memuncak, ketika pada saat terakhir berhadapan dua kelompok terkuat. Salah satu kelompok adalah kelompok dari padukuhan yang pernah dikunjungi Raden Rangga dan Glagah Putih.

Ara-ara itu rasa-rasanya bagaikan meledak. Apalagi ketika salah satu kelompok mulai berhasil menggeser lawannya, maju setapak demi setapak.

Ketegangan tiba-tiba telah mencengkam ketika kaki kelompok yang tergeser maju itu mulai menginjak batas. Namun akhirnya, langit serasa runtuh oleh sorak yang gemuruh ketika kelompok yang tergeser itu benar-benar tidak mampu bertahan lagi. Kaki mereka telah bukan saja menginjak, namun demikian kaki orang yang berdiri di paling depan itu melampaui garis itu meskipun baru setebal jari, maka bende pun telah berbunyi. Pertandingan itu dianggap selesai. Padukuhan yang pernah dikunjungi oleh Raden Rangga dan Glagah Putih-lah yang memenangkan pertandingan yang menjadi puncak segala permainan di ara-ara itu. Kegembiraan memang telah membakar anak-anak muda di ara-ara itu.

Namun tiba-tiba keadaan segera berubah. Dalam kegembiraan itu tiba-tiba tiga orang telah maju ke arena. Tiga orang yang justru dianggap oleh Raden Rangga dan Glagah Putih sebagai orang-orang yang memiliki persamaan dengan orang-orang yang pernah ditemuinya di Tanah Perdikan Menoreh dan di Kali Opak.

Anak-anak muda yang menyaksikan ketiga orang itu menjadi tegang. Merekapun telah terdiam dan bagaikan membeku memperhatikan seorang di antara ketiga orang itu berjalan mengelilingi arena sambil menatap wajah-wajah yang tegang di sekitarnya.

Tiba-tiba orang itu berkata, “Marilah. Kami bertiga akan memasuki pertandingan ini. Kami siap melawan tujuh orang terkuat yang memenangkan pertandingan ini. Tetapi dengan taruhan. Seluruh hadiah yang disediakan selama permainan ini akan menjadi milik kami jika kami menang. Kambing, ayam, dan bahkan beberapa jenis barang yang ada di panggungan itu, semuanya akan menjadi milik kami.“

Tidak seorangpun yang menjawab. Beberapa orang saling berpandangan. Tidak seorangpun di antara mereka yang merasa berhak mempertaruhkan hadiah yang disediakan di panggungan kecil di pinggir ara-ara itu, yang diperuntukkan bagi para pemenang pertandingan-pertandingan yang telah diselenggarakan.

Namun tawaran itu agaknya memang sangat menarik perhatian. Rasa-rasanya tiga orang itu telah menantang tanpa perhitungan. Bagaimana mungkin mereka bertiga akan dapat mengalahkan tujuh orang terkuat yang terdiri dari anak-anak muda. Meskipun demikian, jika hal itu terjadi, maka hadiah-hadiah itu akan jatuh ke tangan mereka.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba seorang telah menyibak maju. Seorang yang sudah separuh baya.

“Ki Demang,“ desis beberapa orang anak-anak muda.

“Tantanganmu menarik, Ki Sanak,“ berkata Ki Demang.

“Siapa kau?“ bertanya salah seorang dari ketiga orang itu.

“Aku Demang Ngentak Amba,“ jawab orang itu.

Orang itu mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata, “Nah, agaknya orang inilah yang paling berhak menentukan, apakah hadiah-hadiah yang sudah disediakan itu dapat dipergunakan untuk bertaruh.“

Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Ki Sanak. Kenapa kalian bertiga menantang tujuh orang anak muda yang telah memenangkan pertandingan ini?“

“Tidak apa-apa,“ jawab orang itu, “kami hanya ingin menunjukkan bahwa yang menang dari pertandingan ini bagi kami tidak berarti apa-apa. Karena itu mereka jangan menjadi sombong karenanya.“

“Mereka memang tidak menjadi sombong Ki Sanak,“ jawab Ki Demang, “mereka hanya sekedar bergembira karena kemenangannya itu.“

“Nah, sekarang aku akan membatasi kegembiraan yang berlebihan itu. Aku menjadi muak melihat mereka bergembira dengan cara yang berlebihan. Karena itu, aku ingin menunjukkan kepada mereka, bahwa mereka bukan apa-apa. Kami bertiga akan dapat mengalahkan mereka bertujuh meskipun mereka adalah yang terbaik di kademangan ini, sehingga yang kalah pun akan dapat menilai diri mereka masing-masing. Jika yang menang adalah kelinci, maka yang kalah tidak lebih dari tikus-tikus,“ berkata orang itu. Lalu, “Selebihnya, aku memerlukan hadiah-hadiah itu semuanya. Daripada aku sekedar mengambilnya saja, maka biarlah aku mempergunakan cara yang lebih baik.“

Ki Demang mengerutkan keningnya. Ki Jagabaya yang melihat dan mendengar pembicaraan itu telah berdiri di samping Ki Demang. Katanya, “Permainan ini berlangsung dengan baik, jujur dan rancak. Kau jangan membuat persoalan di sini Ki Sanak.“

Orang itu justru tersenyum. Dengan wajah yang terangkat ia bertanya, “Siapa kau?“

“Aku Jagabaya di kademangan ini,“ jawab Ki Jagabaya.

Orang yang menantang taruhan itu tertawa kecil. Katanya, “Pantas sikapmu cukup garang. Tetapi baiklah. Aku akan merampas hadiah-hadiah itu dengan cara yang jujur. Aku tantang pemenang permainan terakhir inj untuk bertanding. Tujuh orang, sementara kami hanya bertiga.“

Ki Demang pun kemudian berpaling kepada anak-anak muda yang telah memenangkan pertandingan itu. “Apakah kalian siap untuk bertanding melawan ketiga orang ini?“

Orang yang terkuat di antara ketujuh orang itu pun dengan serta merta menyahut, “Kami akan menerima tantangan itu.“

Ketika ia berpaling kepada kawan-kawannya, maka kawan-kawannya pun menyahut hampir berbareng, “Kami terima tantangan itu.“

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa jika tidak ada kelebihan apapun juga, ketiga orang itu tidak akan mungkin berani menantang tujuh orang anak-anak muda yang terkuat. Apalagi dengan sikap yang sangat yakin itu.

Namun karena ketujuh orang anak itu telah menerima tantangan mereka, maka Ki Demang pun berkata, “Baiklah. Aku tidak berkeberatan dengan taruhan ini.“

Ketiga orang itu tertawa. Seorang di antaranya berkata, “Marilah. Kita akan segera mulai.“

Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita akan segera mulai.“

Namun dalam pada itu, Raden Rangga dan Glagah Putih pun menjadi berdebar-debar. Mereka melihat bahwa ketiga orang itu memiliki banyak kelebihan dari orang kebanyakan. Karena itu maka mereka yakin, bahwa ketujuh orang itu tidak akan memenangkan pertandingan. Tiga orang itu tentu akan mengalahkan ketujuh orang yang semula dianggap orang-orang terbaik itu. Dengan demikian maka mereka tentu akan merampas dengan sah hadiah-hadiah yang sudah disediakan.

Karena itu, maka Raden Rangga pun telah menggamit Glagah Putih, yang segera tanggap maksud Raden Rangga itu. Dengan demikian maka keduanya pun telah bergeser maju mendekati ketujuh orang anak muda yang akan bertanding. Sebelum ketujuh orang itu memasuki arena, Raden Rangga sempat menemui anak muda yang memimpin kawan-kawannya dalam permainan itu, “Beri kesempatan kami ikut.“

“Hanya tujuh. Tidak lebih,“ desis anak muda itu.

“Kami akan menggantikan dua di antara kalian,“ berkata Raden Rangga hampir berbisik.

Anak muda yang memimpin kawan-kawannya dalam permainan itu pun termangu-mangu sejenak. Iapun menyadari, bahwa tiga orang itu tentu mempunyai kekuatan yang meyakinkan sehingga ia berani menghadapi tujuh orang lawan. Sementara itu, anak muda itu pun tahu bahwa anak muda yang menyatakan untuk ikut itu mempunyai kekuatan yang sangat besar, karena anak itu pernah memindahkan sebuah tugu batas yang terletak di pinggir jalan ke tengah jalah.

Karena itu, maka tiba-tiba iapun tersenyum. Katanya, “Baiklah. Dua di antara kita akan diganti.“

Dua orang yang kemudian diminta untuk diganti itu pun tidak merasa sakit hati, karena keduanya juga telah melihat apa yang pernah dilakukan oleh anak yang dikenalnya sebagai anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh itu.

Karena itu, ketika Ki Demang kemudian memanggil mereka untuk maju ke arena, maka yang tampil adalah tujuh orang. Namun dua di antaranya bukannya dua orang yang ikut sebelumnya.

Beberapa orang yang berada di sekitar arena itu mengetahuinya. Mereka justru menjadi heran, bahwa dua orang di antara mereka justru diganti dengan anak-anak yang lebih muda, dan melihat bentuk tubuhnya justru kurang meyakinkan.

Tetapi mereka tidak sempat mempersoalkannya. Ketujuh anak muda itu pun segera memegang tambang di satu ujung, sedang di ujung lain tiga orang yang menantang mereka. Sambil tertawa seorang di antara ketiga orang itu berkata, “Kalian akan melihat kekuatan yang sebenarnya dari seseorang.“ Sementara itu ketiga orang itu pun tidak menghiraukan, siapa saja dari ketujuh orang anak muda yang berada di ujung tambang yang lain. Bahkan seandainya jurnlah mereka menjadi sepuluh, ketiga orang itu sama sekali tidak berkeberatan. Karena itu, pergantian dua orang anak muda sama sekali tidak mereka persoalkan.

Sejenak kemudian, maka Ki Demang dan dua orang bebahu bersama Ki Jagabaya telah bersiap untuk memimpin sendiri pertandingan itu. Namun sebelum pertandingan dimulai, atas usul Raden Rangga, pemimpin dari ketujuh anak muda itupun bertanya, “Ki Demang. Jika kami kalah, maka kami telah memberikan taruhan yang tidak sedikit. Tetapi bagaimana jika kami menang? Apakah taruhan yang dapat diberikan oleh ketiga orang itu? Dengan demikian maka pertandingan ini menjadi adil. Apalagi apabila ketiga orang itu yakin akan menang.“

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun bergumam, “Kau benar. Agar pertandingan ini adil, nah, sebaiknya ketiga orang itu juga menyebut apa yang mereka pertaruhkan.“

Ketika Ki Demang berpaling kepada ketiga orang itu, sebelum ia bertanya salah seorang di antara ketiga orang itu berkata, “Kami akan mempertaruhkan semua yang kami punya. Uang, pakaian dan bahkan diri kami. Nyawa kami.“

“Bagus,“ berkata Ki Demang, “dengan demikian maka pertaruhan ini baru adil. Bukan hanya satu pihak saja yang harus memberikan taruhan jika kalah. Tetapi kedua belah pihak.“

Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Jagabaya pun telah memberikan aba-aba agar kedua belah pihak bersiap. Ketika ia memberikan isyarat dengan tangannya, maka pemukul bende pun telah bersiap pula. Perlahan-lahan Ki Jagabaya mengangkat tangannya, sementara pemukul bende pun telah mengangkat pemukulnya pula. Ketika kemudian tangan Ki Jagabaya mengayun turun, bende itu pun telah menggelepar pula sambil melontarkan gaung suaranya yang tinggi.

Sorak pun telah meledak pula. Ketiga orang asing itu telah menghentakkan tambang di tangan mereka. Dengan serta merta, maka ketujuh orang anak muda itu telah terseret beberapa langkah. Hampir saja kaki anak muda yang berdiri di paling depan menginjak garis batas. Untunglah bahwa merekapun kemudian telah terhenti. Untuk beberapa saat keadaan menjadi seimbang. Ketiga orang itu tidak dapat lagi menarik ketujuh orang lawannya untuk bergeser terus dan yang di paling depan melewati garis batas yang ditentukan.

Para penonton pun menjadi tegang. Sorak yang gemuruh itu perlahan-lahan telah terhenti dengan sendirinya. Wajah-wajah nampak berkerut dan dahi pun menjadi terlipat karenanya.

Ketiga orang itu telah menghentakkan kekuatan mereka. Mereka yakin akan dapat menarik dan bahkan melemparkan ketujuh orang anak muda itu sampai ke blumbang. Namun rasa-rasanya tambang itu telah tersangkut pada batu karang yang berdiri kokoh kuat.

Untuk beberapa saat kedua belah pihak nampak sama kuat, meskipun anak-anak muda yang berjumlah tujuh orang itu berada di tempat yang gawat. Kaki yang berada di depan telah hampir menyentuh garis batas. Sejengkal lagi mereka terseret kekuatan lawan, maka mereka tentu dinyatakan kalah.

Namun keadaan ternyata tidak demikian. Perlahan-lahan ketujuh orang itu mampu menarik ketiga orang lawannya bergeser ke depan. Perlahan-lahan sekali. Setapak demi setapak, sehingga akhirnya garis itu telah berada di tengah jarak antara kedua belah pihak.

“Setan manakah yang telah menganggu?“ geram salah seorang dari ketiga orang itu.

“Kenapa begini berat?“ bertanya yang lain.

“Tentu ada yang tidak jujur dalam permainan ini,“ berkata yang lain.

Namun ketiga orang itu masih mencoba dengan kekuatan mereka. Dengan sepenuh tenaga ketiga orang itu berusaha menarik lawan-lawan mereka sehingga melampaui garis batas. Dengan demikian maka mereka bertiga akan berhak mengambil semua hadiah yang telah disediakan.

Untuk sesaat ketiga orang itu berhasil menarik ketujuh orang lawannya. Namun tidak lebih dari senjari. Kemudian perlahan-lahan lagi ketiga orang itu telah terseret oleh kekuatan tujuh orang anak muda Ngentak Amba itu, meskipun mereka tidak di padukuhan induk. Namun keseimbangan segera pulih kembali. Kedua belah pihak tidak lagi maju dan tidak mundur.

Ketiga orang itu agaknya menjadi marah. Seorang di antara mereka berkata, “Kita hentakkan saja agar mereka terlempar dari tambang.“

“Bagus. Kita kendorkan sekejap, lalu kita tarik dengan hentakan yang sangat kuat. Mereka tentu akan terlempar, bahkan mungkin ada yang sampai blumbang.“

Ketiga orang itu pun segera mempersiapkan diri. Dengan isyarat, maka ketiga orang itu bersama-sama telah mengendorkan tambang itu. Namun kemudian dihentakkannya keras sekali.

Ketujuh orang lawannya sama sekali tidak menduga bahwa hal yang demikian itu terjadi. Karena itu, mereka tidak dalam kesiagaan untuk menghadapi satu permainan yang kasar di ara-ara di hadapan sekian banyak orang. Permainan maut yang sangat berbahaya.

Tambang itu pun kemudian bagaikan disentakkan, sehingga ketujuh orang anak muda itu tiba-tiba saja telah terlempar dari tambang yang mereka genggam erat-erat. Satu kekuatan yang tidak mereka mengerti telah menghentak dan merenggut mereka dari pegangan mereka, sehingga kelima orang anak muda itu telah terlempar jatuh. Tiga orang di antara mereka ternyata tidak segera dapat bangkit. Seorang masih mampu berdiri tegak, sementara seorang lagi telah menjadi pingsan. Dan seorang lagi tidak segera mampu untuk bergerak meskipun ia tidak menjadi pingsan. Yang masih berdiri tegak berpegangan tambang adalah Glagah Putih dan Raden Rangga yang menyelipkan tongkatnya di punggungnya.

Orang-orang yang menyaksikan keadaan itu pun terkejut bukan buatan. Bahkan beberapa orang perempuan telah menjerit. Sementara beberapa orang berusaha menolong anak-anak muda yang terlempar itu.

Ketiga orang itu tertawa. Tetapi ketika mereka sadar masih ada dua orang yang tertinggal pada tambang, mereka menggeram. Seorang di antara ketiga orang itu berkata, “Inilah agaknya kelinci yang menahan sehingga kita tidak segera berhasil menyeret anak-anak itu melampaui garis batas.“

“Kita selesaikan sama sekali,“ berkata yang lain.

Namun dalam pada itu, baik Glagah Putih maupun Raden Rangga justru menyadari, bahwa ketiga lawannya itu memang memiliki kekuatan yang sangat besar. Karena itu, maka mereka pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kedua anak muda itu sama sekali tidak melepaskan tambang di tangannya. Bahkan Raden Rangga pun kemudian berkata, “Marilah. Kita seret mereka. Jika mereka marah, justru ada alasan bagi kita untuk berkelahi.“

Glagah Putih yang melihat cara orang-orang itu melemparkan kelima anak muda yang lain ternyata telah tersinggung juga. Karena itu, maka iapun sependapat dengan Raden Rangga. Sehingga dengan demikian maka iapun telah bersiap untuk menarik ketiga orang itu melampaui garis batas.

Sejenak kemudian telah terjadi pertarungan kekuatan yang keras. Ketiga orang itu memang berusaha untuk melemparkan Raden Rangga dan Glagah Putih. Tetapi keduanya tidak berhasil. Bahkan keduanya merasa perlahan-lahan mereka justru telah terseret oleh kekuatan kedua orang anak-anak muda itu.

Ketegangan pun kemudian telah memuncak. Sementara itu kelima orang yang terlempar itu telah dibawa menyingkir, sehingga dengan demikian perhatian para penonton pun seluruhnya telah tertumpah kepada pertandingan itu. Pertandingan yang justru melibatkan orang-orang dari luar Kademangan Ngentak Amba.

Ki Demang yang belum pernah melihat kedua anak muda yang mewakili anak-anak muda Ngentak Amba itu berusaha untuk mendapat keterangan. Sementara itu anak muda yang terlempar dari tambang, namun yang masih sempat bangkit dan berdiri tegak telah memberikan keterangan singkat kepada Ki Demang.

“Kedua anak itu datang dari Tanah Perdikan Menoreh,“ berkata anak muda itu.

“Tanah Perdikan Menoreh? Kenapa mereka berada di sini?“ bertanya Ki Demang.

“Kami mengenal mereka. Kami telah mengetahui kelebihan mereka, karena mereka pernah berkunjung ke padukuhan kami,“ jawab anak muda itu.

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Nama Tanah Perdikan Menoreh memang memberikan arti tersendiri.

Ketika Raden Rangga dan Glagah Putih berhasil menarik ketiga orang itu ke garis batas, maka meledaklah sorak para penonton. Mereka sudah melupakan peristiwa yang baru saja terjadi, Namun mereka justru menjadi heran dan bangga. Jika ketiga orang itu menantang tujuh orang anak muda, maka melawan dua orang saja di antara yang tujuh itu, mereka tidak dapat bertahan.

Sementara itu, dua kekuatan raksasa memang sedang beradu. Selangkah demi selangkah ketiga orang itu telah terseret mendekati garis batas. Raden Rangga dan Glagah Putih benar-benar akan menyeret mereka melampaui garis batas dan memaksa mereka mengakui kekalahan, sehingga dengan demikian maka mereka tidak akan dapat menuntut hadiah yang menjadi taruhan, Bahkan merekalah yang harus membayar taruhan yang nilainya sangat tinggi bagi mereka.

Ketiga orang yang semula merasa yakin akan memenangkan pertandingan itu menjadi sangat marah. Karena itu, maka mereka pun telah mengerahkan kemampuan mereka untuk tetap bertahan.

Ketika dua kekuatan itu bernar-benar telah beradu lewat tarikan tambang, ternyata bahwa tambang itu tidak mampu menahannya. Selembar-selembar serat pada tambang itu mulai putus.

Ketiga orang yang menyadari bahwa tambang itu akan putus, menjadi sedikit berpengharapan. Mereka tidak akan menjadi sangat malu jika mereka sampai terseret melewati garis batas. Karena itulah maka mereka menjadi semakin berusaha untuk menahan, agar tambang itu segera menjadi putus.

Tetapi Glagah Putih pun melihat bahwa tambang itu akan putus. Karena itu, maka iapun telah berbisik, “Raden, tambang akan putus.”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian telah menekan tambang itu menjadi semakin keras.

Sebuah kekuatan terasa menjalari tambang itu. Tiba-tiba saja tambang itu mengeras seperti sebatang besi yang panjang.

Ketiga orang itu terkejut bukan buatan ketika terasa tambang itu berubah. Mereka tidak lagi merasa menggenggam tambang. Tetapi rasa-rasanya mereka telah menggenggam sebatang besi yang panjang.

“Gila,“ geram salah seorang dari ketiga orang itu. Namun dengan demikian mereka menyadari, bahwa lawan mereka bertanding memang bukan orang kebanyakan.

Ketika dengan demikian mereka menyadari bahwa tambang itu tidak jadi putus karena kekuatan ilmu lawan, maka ketiga orang itu menjadi semakin berdebar-debar. Sementara itu, setapak demi setapak ketiga orang itu terseret mendekati garis batas. Meskipun ketiga orang itu mencoba untuk menekankan tumit mereka menghunjam bumi, namun mereka benar-benar tidak mampu untuk bertahan.

“Kita lepaskan saja mereka,“ bisik seorang di antara ketiga orang itu.

“Mereka akan terbanting jatuh,“ desis yang lain.

“Tidak peduli. Jika mereka marah, kita akan menyelesaikan mereka. Meskipun kita sadari, bahwa mereka tentu memiliki ilmu kanuragan pula.“

Kawan-kawannya akhirnya sependapat. Orang yang berdiri di paling depan mulai menghitung, “Satu, dua, tiga.”

Ketiga orang itu serentak telah melepaskan genggamannya atas tambang yang seakan-akan telah berubah menjadi sepotong besi itu. Mereka memperhitungkan bahwa kedua anak muda itu tentu akan terdorong ke belakang oleh kekuatannya sendiri dan jatuh terlentang. 

Namun perhitungan ketiga orang itu ternyata salah. Kedua anak muda itu sama sekali tidak terjatuh. Meskipun mereka memang sedikit terseret oleh kekuatan mereka surut, namun mereka tetap berdiri tegak, karena sesaat sebelum ketiga orang itu melepaskan genggamannya, Raden Rangga sempat melihat gejalanya. Ia sempat memperingatkan Glagah Putih, “Awas. Nampaknya mereka akan curang.“

“Nampaknya mereka akan melepaskan tambang ini,“ desis Glagah Putih.

Belum lagi Glagah Putih sempat berbicara lebih lanjut, ternyata ketiga orang itu benar-benar telah melepaskan pegangannya. Namun Raden Rangga dan Glagah Putih sudah bersiap-siap, sehingga mereka hanya terseret oleh kekuatannya sendiri beberapa langkah. Tetapi mereka masih tetap berdiri. Sementara tambang yang terlepas itupun telah terkulai di tanah sebagaimana seutas tambang.

Ketiga orang yang gagal melemparkan kedua orang anak muda itu mengumpat. Sementara itu, ketegangan pun telah mencengkam ara-ara yang semula riuh dengan kegembiraan itu. Ternyata ketiga orang itu tidak puas dengan kegagalannya. Seorang di antara mereka maju selangkah sambil berteriak, “Kalian curang!“

Raden Rangga dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Raden Rangga berkata dengan ragu, “Siapa yang curang?“

“Kalian,“ jawab orang itu.

Raden Rangga tiba-tiba saja berpaling dan memandang berkeliling. Terakhir ia memandang Ki Demang sambil bertanya, “Apakah benar kami curang Ki. Demang?“ Lalu kepada orang-orang yang menonton pertandingan itu, “He, apakah kami yang curang?“

Jawabnya bagaikan akan membelah langit. Gemuruh terdengar orang-orang yang menonton itu berteriak, “Tidak! Tidak!”

“Nah, ada beratus saksi,“ desis Raden Rangga, “kalianlah yang curang.”

“Persetan,“ geram orang itu, “kau telah berani mencoba menyombongkan dirimu di hadapanku. Kau kira bahwa permainanmu yang kotor itu dapat menggetarkan hatiku?“

“Permainanku yang mana?“ bertanya Raden Rangga. “Aku bermain wajar. Kalian-lah yang bermain curang. Agaknya kau lebih baik menuduh lebih dahuiu daripada kau harus nempertanggung-jawabkan kekalahanmu? He, bukankah kita bertaruh. Kau ingat, jika kau menang, kau ambil hadiah-hadiah yang ada di panggung kecil itu. Tetapi jika kau kalah, kau pertaruhkan segala-galanya. Termasuk nyawamu.“

“Tutup mulutmu,“ geram orang itu, “tidak ada yang dapat mengikat kami dengan paugeran apapun juga.“

“Bukan paugeran. Tetapi sebuah perjanjian di antara kita. Kalian dan kami,“ jawab Raden Rangga.

“Tidak ada yang dapat memaksa kami untuk memenuhi janji kami,“ geram orang itu. Lalu katanya, “Kami justru akan menuntut kalian yang telah bermain curang. Kalian telah mempergunakan kekuatan iblis untuk menahan tarikan kami yang tentu tidak akan dapat diimbangi oleh kekuatan apapun juga, apalagi kekuatan anak-anak seperti kalian.“

“Tetapi apakah yang terjadi?“ bertanya Raden Rangga.

“Karena kalian mempergunakan kekuatan iblis!“ orang itu mulai membentak, “Karena itu, siapa yang bersekutu dengan iblis harus dihancurkan.“

“Bagus! Aku sependapat!“ teriak Raden Rangga, “Jangan ingkar. Kalian-lah yang telah bersekutu dengan iblis. Kalian-lah yang telah menyadap kekuatan hitam, sehingga kalian merasa mampu mengimbangi tujuh orang anak muda dari kademangan ini. Kalian-lah yang telah digerakkan oleh bayangan dunia kelam, karena kalian berusaha untuk merampas barang-barang bukan milikmu. Untuk mensahkan usahamu merampas barang-barang di panggung kecil itu, kalian telah menantang pertaruhan ini. Tetapi ternyata telah kalah.“

“Diam!“ bentak orang itu, “Aku akan meremas mulutmu.“ Lalu sambil memandang berkeliling orang itu berkata lantang, “Ayo, siapa yang ingin lebih dahulu aku lumatkan. Majulah bersama-sama dengan kedua orang anak muda itu.“

Namun Raden Rangga-lah yang menyahut, “Aku tantang kalian berkelahi. Kami berdua, kalian bertiga. Aku masih tetap berpihak pada taruhan yang pernah kita setujui.”

“Persetan dengan taruhan itu,“ geram orang itu, “aku akan membunuhmu. Aku tidak terikat lagi oleh janji apapun juga. Aku akan membunuh kalian berdua dan membawa semua yang ada di panggung kecil itu seluruhnya. Siapa yang mencoba menentang kehendakku, aku akan membunuhnya.“

“Bagus,“ sahut Raden Rangga, “kita akan berkelahi. Tidak ada yang akan campur tangan. Kita akan saling membunuh.“

“Raden,“ desis Glagah Putih.

Tetapi Raden Rangga tidak mendengar. Ia melangkah maju dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Glagah Putih tidak dapat berbuat lain. Namun ia masih mengharap Raden Rangga tidak mempergunakan tongkatnya yang diselipkan pada ikat pinggangnya, mencuat di punggungnya.

Ternyata ketiga orang itupun telah bersiap-siap pula. Dengan garang salah seorang dari ketiga orang itu berkata, “Aku akan mencincangmu.“

“Gila,“ desis Glagah Putih. Ia menjadi gelisah karena lawannya menarik pedangnya. Bukan karena gentar, tetapi itu dapat memancing Raden Rangga mempergunakan tongkat bambunya.

Glagah Putih menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat Raden Rangga tertawa. Katanya, “Kau mengajak bermain-main dengan senjata. Menyenangkan sekali. He, apakah kau yakin bahwa senjatamu akan dapat menyelesaikan persoalan?“

Ketiga orang itu mengumpat dengan kasar. Ketiganya sudah menggenggam senjatanya. Sementara itu, Raden Rangga dan Glagah Putih tidak nampak membawa senjata apapun.

Dalam pada itu Ki Jagabaya yang merasa bertanggung jawab atas keamanan permainan itu pun telah melangkah maju ke depan sambil berkata, “Hentikan permainan gila ini. Kami ingin bergembira pada hari Merti Desa ini. Tetapi kalian bukan orang-orang Ngentak Amba telah membuat kademangan kami menjadi kacau. Aku minta kalian semuanya meninggalkan kademangan ini. Jika kalian akan berkelahi dan saling membunuh, lakukanlah di luar Kademangan Ngentak Amba.“

Kelima orang yang sudah siap bertempur itu termangu-mangu. Namun ketiga orang yang bersenjata pedang itu justru menggeram. Seorang di antara mereka berkata, “Jangan ganggu permainan ini Ki Jagabaya. Jika kau ikut bermain-main, kau akan dapat mati.“

“Aku Jagabaya di sini!“ bentak Ki Jagabaya, “Aku dapat mengerahkan anak-anak muda Ngentak Amba untuk menangkap kalian.“

“Aku dapat membunuh seisi Kademangan ini,“ geram salah seorang dari ketiga orang itu.

Ki Jagabaya memang menjadi ragu-ragu. Namun Ki Demang-lah yang kemudian melangkah maju sambil berdesis, “Apapun yang terjadi, itu menjadi kewajiban kami.“

“Persetan,“ geram ketiga orang itu hampir bersamaan.

Namun dalam pada itu, Raden Rangga pun berkata, “Maaf Ki Demang, Ki Jagabaya dan para bebahu Kademangan Ngentak Amba, termasuk anak-anak mudanya. Aku minta ijin untuk melakukan permainan ini. Kami berlima akan meminjam tempat ini untuk berkelahi tanpa melibatkan kademangan ini, karena kami semua memang bukan orang kademangan ini.“

“Kau orang mana?“ bertanya salah seorang dari ketiga orang itu.

“Kami dari Tanah Perdikan Menoreh,“ jawab Raden Rangga.

Wajah orang itu menegang. Tanah Perdikan Menoreh adalah satu daerah yang mendebarkan jantung. Beberapa kali orang-orang itu mendengar nama Tanah Perdikan Menoreh disertai dengan cerita yang dapat mengguncangkan dada.

Namun kini mereka telah berhadapan. Tidak ada jalan untuk melangkah surut. Karena itu, maka salah seorang dari ketiga orang itu justru berkata, “Kebetulan sekali bahwa kami dapat bertemu dengan orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh. Ternyata yang kami dengar tentang Tanah Perdikan Menoreh bukannya sekedar cerita ngaya-wara. Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh memang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tetapi sayang, bahwa kalian telah bertemu dengan kami. Kami akan mengakhiri kesombongan kalian dengan cara yang tidak tanggung-tanggung, karena kami akan membunuh kalian berdua, dan bahkan orang-orang Ngentak Amba yang tersangkut dalam persoalan kami dengan anak-anak Tanah Perdikan ini.“

Ki Demang memang menjadi ragu-ragu. Namun dalam pada itu Raden Rangga pun berkata, “Ki Demang. Sudahlah, jangan hiraukan kami dan orang-orang gila ini. Kami akan meminjam ara-ara ini seperti yang sudah aku katakan. Kami akan bertempur. Jika orang-orang ini menghendaki bertempur sampai mati, maka akupun akan melakukannya.“

“Bukan harus sampai mati,“ sahut Glagah Putih.

“Terserah kepada mereka,“ jawab Raden Rangga. Namun dalam pada itu, seorang di antara ketiga orang itu berkata, “Nah, kawanmu sudah menjadi ketakutan.“

“Ia memang menjadi ketakutan. Bukan karena gentar menghadapi kalian. Tetapi ia sudah terlalu banyak membunuh dan bahkan pernah berjanji bahwa ia tidak ingin membunuh lagi. Karena itu, ia menjadi ketakutan bahwa ia akan melanggar janjinya. Tetapi jika terpaksa, apaboleh buat.“

“Gila,“ geram ketiga orang itu hampir bersamaan. Seorang di antara mereka meloncat maju sambil mengacukan senjatanya.

Sementara itu Raden Rangga berkata, “Jangan ada yang ikut campur dalam perkelahian ini. Kami akan membuktikan bahwa kami berdua akan dapat membunuh mereka bertiga, dan dengan demikian kami memenangkan taruhan ini.“

“Anak setan,“ geram orang yang sudah meloncat maju itu. Pedangnya telah terjulur mengarah ke dada Raden Rangga.

Namun Raden Rangga dengan tangkasnya mengelak. Pedang itu sama sekali tidak menyentuhnya. Bahkan sambil tertawa ia berkata, “Marilah kita berkelahi dalam satu kelompok. Kami berdua melawan kalian bertiga. Kami akan berkelahi berpasangan dan kalian akan bertempur bertiga bersama-sama.“

Orang-orang itu tidak menjawab. Namun mereka telah berpencar, sementara Glagah Putih dan Raden Rangga berdiri saling membelakangi.

“Marilah kita juga mempergunakan senjata,“ berkata Raden Rangga, “agar kita tidak dianggapnya terlalu sombong. Biarlah jika mereka terbunuh oleh senjata, namanya tidak terlalu cemar karena mereka telah dibunuh oleh anak-anak tanpa senjata, meskipun kita mampu melakukannya.“

Telinga ketiga orang itu bagaikan tersentuh api. Panas sekali. Karena itu, maka mereka pun telah berloncatan menyerang.

Sebenarnyalah Raden Rangga telah mempergunakan senjatanya, tongkat yang semula diselipkan pada ikat pinggangnya, mencuat di punggungnya, sementara Glagah Putih mau tidak mau telah melepas ikat pinggangnya dan mengikatkan kain panjangnya.

Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin tegang. Kedua anak yang masih sangat muda itu telah melawan tiga orang yang garang hanya dengan tongkat dan ikat pinggang. Demikianlah, maka telah terjadi pertempuran yang semakin lama menjadi semakin seru. Kedua belah pihak bergerak semakin cepat. Namun seperti dikatakan oleh Raden Rangga, bahwa Raden Rangga bertempur berpasangan dengan Glagah Putih dengan beradu punggung. Sementara itu ketiga lawannya bertempur sambil berputaran mengelilingi kedua anak muda itu.

Ara-ara itu memang menjadi gempar. Bukan lagi oleh pertandingan yang membuat anak-anak muda menjadi gembira. Tetapi yang kemudian terjadi di ara-ara itu adalah satu perkelahian yang menegangkan, karena senjata-senjata ketiga orang yang datang untuk merampas hadiah-hadiah itu benar-benar akan dapat menebas dan memutuskan leher anak-anak muda itu, sementara anak-anak muda itu hanya bersenjata sebatang tongkat bambu berwarna gading dan yang lain sehelai ikat pinggang kulit.

Namun dalam pada itu, Raden Rangga sendiri justru merasa benar-benar bermain-main. Ia merasa mendapat kesempatan pula, karena sebelumnya ia hanya dapat menonton saja.

Untuk beberapa saat Raden Rangga dan Glagah Putih memang tidak melepaskan ilmu-ilmunya. Mereka mempergunakan tenaga cadangannya untuk mendorong langkah-langkah mereka sehingga menjadi cepat dan kuat, sebagaimana ketiga orang lawan mereka.

Pada tataran itu Raden Rangga dan Glagah Putih sama sekali tidak merasa mengalami kesulitan. Karena itu, maka Raden Rangga justru menganggap yang terjadi itu adalah kesempatan baginya setelah anak-anak muda Kademangan Ngentak Amba selesai.

Namun ternyata bahwa pertempuran itu sama sekali tidak menimbulkan kegembiraan pada mereka yang menyaksikannya, sebagaimana mereka menyaksikan pertandingan. Tetapi pertempuran itu telah mencengkam jantung mereka yang mengitari arena itu. Senjata ketiga orang yang mengelilingi Raden Rangga dan Glagah Putih itu berputaran. Sekali-sekali mematuk dan yang lain menebas.

Namun Raden Rangga dan Glagah Putih memang sudah membuat permainan yang sulit dimengerti oleh orang-orang Ngentak Amba. Pring gading di tangan Raden Rangga dan ikat pinggang kulit di tangan Glagah Putih ternyata mampu mengimbangi ketiga ujung senjata dari ketiga orang yang mengitarinya.

Untuk beberapa saat Raden Rangga dan Glagah Putih memang tidak berniat untuk menyelesaikan pertempuran itu. Setiap serangan mampu mereka elakkan. Jika keduanya harus menangkis serangan-serangan itu dengan senjatanya yang aneh, maka rasa-rasanya senjata lawan mereka itu bagaikan membentur senjata yang terbuat dari baja.

Ketika seorang di antara ketiga orang itu sempat meloncat mendekat, dengan segenap kekuatannya ia telah mengayunkan pedangnya mengarah ke leher Raden Rangga. Namun ternyata bahwa anak muda itu sempat menangkisnya dengan tongkat pring gadingnya, Adalah di luar penalaran anak-anak muda Ngentak Amba yang menyaksikan pertempuran itu, bahwa benturan yang terjadi antara pedang yang terbuat dari besi baja itu telah berakibat di luar dugaan. Pedang itulah yang justru terpental dan bahkan terlepas dari tangan. Sementara itu, Raden Rangga tertawa berkepanjangan sambil berkata, “Hati-hati menggenggam pedang. He, kenapa pedangmu kau lemparkan? Apakah kau menyerah?“

“Persetan,“ geram orang yang kehilangan pedangnya. Namun sementara itu, kawannya telah berusaha menyerang Raden Rangga untuk mengalihkan perhatiannya, sementara orang yang kehilangan pedangnya itu dengan cepat meraihnya.

Raden Rangga masih tertawa. Katanya, “Jangan tergesa-gesa. Aku tidak berkeberatan kau mengambil senjatamu.“

“Anak setan,“ geram orang itu.

Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin tegang, Kedua anak yang masih sangat muda itu telah melawan tiga orang yang garang hanya dengan tongkat dan ikat pinggang

Namun suara tertawa Raden Rangga masih terdengar berkepanjangan meskipun tongkatnya sudah mulai berputar lagi.

Ketika senjata yang lepas itu sudah di tangan lagi, maka pertempuran pun telah mulai lagi sebagaimana sebelumnya. Berputaran, menusuk, menebas, mematuk dan ayunan-ayunan yang melibat dari arah yang berbeda-beda.

Namun dua orang anak muda itu sama sekali tidak merasa gentar. Semakin cepat lawannya bergerak, maka Raden Rangga pun justru menjadi semakin gembira. Ia berloncatan semakin lincah dan sekali-sekali justru berteriak memberi aba-aba. Tidak kepada Glagah Putih, tetapi kepada lawan-lawannya.

Lawannya benar-benar menjadi semakin panas. Darah mereka bagaikan mendidih oleh tingkah anak-anak muda itu. Karena itu, maka salah seorang di antara ketiga orang itu pun berkata, “Kita selesaikan dengan cara kita. Kita adalah orang-orang dari perguruan yang dihormati.“

Raden Rangga tertarik kepada kata-kata itu. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah kalian dari perguruan Nagaraga?“

Orang-orang itu mengerutkan keningnya. Seorang di antara mereka menyahut sambil menjulurkan pedangnya, “Aku tidak tahu apa yang kalian katakan.“

“Nagaraga,“ ulang Raden Rangga sambil menangkis serangan itu, “apakah kau dari perguruan itu?“

“Aku tidak kenal dengan perguruan Nagaraga?“ jawab orang itu.

“Jadi kalian dari perguruan apa? Kenapa kalian bekerja sama dengan orang-orang Nagaraga mengacaukan Mataram yang sudah tenang?“ bentak Raden Rangga.

“Persetan!“ orang itu pun berteriak, “Aku tidak tahu Nagaraga. Aku tidak tahu arah pembicaraanmu.“

“Aku bertanya, jika bukan dari Nagaraga, kalian dari perguruan mana?“ Raden Rangga pun berteriak.

Glagah Putih menjadi semakin berdebar-debar. Jika Raden Rangga mulai jengkel maka akibatnya dapat menjadi gawat. Anak muda itu dapat berbuat sesuatu yang tidak terkendali. Dan akibatnya memang dapat dibayangkan. Namun Glagah Putih tidak sempat berpikir terlalu panjang. Justru orang-orang itulah yang telah kehilangan kesabaran.

Dengan isyarat, maka ketiga orang itu mulai melakukan gerak yang aneh. Mereka berlarian berputaran. sekali-sekali seorang di antara mereka meloncat menyerang. Pada saat sasarannya sedang menangkis serangan itu, maka orang yang dibelakangnya telah menyerang pula.

Namun ternyata cara itu tidak membuat Raden Rangga dan Glagah Putih menjadi bingung. Mereka mampu menangkis setiap serangan dan sekali-sekali meloncat menghindarinya tanpa keluar dari putaran. Bahkan sambil tertawa Raden Rangga berkata, “He, apakah di masa kecilmu kau tidak sempat bermain jamuran?“

“Aku koyak mulutmu,“ geram seorang di antara mereka.

Tetapi Raden Rangga masih tertawa, “Kau tidak akan dapat melakukannya. Seandainya dapat, tentu sudah kau lakukan sejak tadi.“

“Persetan,“ orang itu menggeram.

Tetapi Raden Rangga sama sekali tidak terpengaruh. Ia masih tetap bertempur dengan gembira, segembira anak-anak muda Ngentak Amba yang ikut dalam perlombaan-perlombaan, meskipun yang menonton justru menjadi sangat tegang.

Namun dalam pada itu, putaran ketiga orang itu semakin lama menjadi semakin cepat. Bahkan kemudian mereka seakan-akan telah hilang dan berubah menjadi kabut yang berputar mengelilingi kedua orang anak muda yang mengaku dari Tanah Perdikan Menoreh itu.

“He!“ bentak Raden Rangga, “Jangan terlalu kasar. Kalian membuat aku pening.“

Namun yang terdengar adalah jawaban yang kasar, “Itu pertanda bahwa kau sudah mendekati hari akhirmu.“

Raden Rangga masih merasa terganggu. Karena itu katanya, “Jangan membuat aku marah. Kita sedang bermain-main dengan baik. Sekarang kau pergunakan cara yang tidak aku senangi.“

“Gila,“ salah seorang dari orang yang berputar di sekitarnya itu berteriak, “kau kira kami sedang menyenangkan kau?“

“Apapun yang kau lakukan, jika kau membuat aku tidak senang, aku juga akan berbuat kasar,“ geram Raden Rangga.

Ketiga orang itu tidak menjawab. Tetapi putaran kabut itu seakan-akan menjadi semakin cepat dan rasa-rasanya mendorong kedua orang anak muda itu ikut berputar bersama putaran itu.

Raden Rangga dan Glagah Putih mencoba untuk bertahan. Perlahan-lahan Raden Rangga berkata, “Mereka mulai dengan landasan ilmu mereka. Mereka tentu orang-orang dari salah satu perguruan.“

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia sependapat dengan Raden Rangga, sehingga iapun menjadi semakin berhati-hati menghadapi ketiga orang lawannya itu.

Namun putaran itu memang membuat Raden Rangga dan Glagah Putih menjadi pening, apalagi sekali-sekali pedang terjulur ke arah mereka dalam putaran yang cepat itu. Jika kedua anak muda itu tidak sempat menghindar atau menangkisnya, maka sentuhannya akan dapat mengoyak lambung.

Namun tenaga ketiga orang itupun telah berubah pula. Benturan yang terjadi tidak mudah lagi untuk melemparkan pedang dari genggaman mereka, karena mereka memang sudah mulai mengetrapkan ilmu mereka yang agaknya cukup tinggi.

Raden Rangga pun tidak lagi ingin melemparkan pedang salah seorang dari mereka. Namun iapun kemudian berbisik kepada Glagah Putih, “Jangan biarkan kepala kita menjadi pusing dan kehilangan penalaran karenanya.“

“Apakah kita akan memecahkan putaran ini?“ bertanya Glagah Putih.

“Ya,“ jawab Raden Rangga, “kita pergunakan senjata kita, karena senjata kita bukan sekedar sebagaimana yang nampak pada ujudnya.“

Glagah Putih mengerti. Karena itu maka iapun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Disalurkannya ilmunya pada ikat pinggangnya, sehingga jika dikehendakinya, maka ikat pinggangnya itu akan dapat menjadi sekeping senjata yang kekuatannya melampaui kepingan baja pilihan. Sedangkan tongkat pring gading Raden Rangga pun memiliki kemampuan melampaui wesi gligen.

Demikianlah, maka tiba-tiba saja Raden Rangga berkata, “Aku peringatkan sekali lagi. Jangan membuat aku pening. Kita bermain dengan baik. Jangan dengan cara kasar seperti ini.“

“Jika kalian ingin menyerah, menyerahlah,“ geram salah seorang dari ketiga orang itu, “kemudian berlututlah. Kau tidak akan mengalami pusing lagi yang akan dapat membuat gila sama sekali. Tetapi biarkan kami memenggal kepalamu yang sombong itu.“

Raden Rangga memang merasa tersinggung. Karena itu, maka iapun telah memberi isyarat kepada Glagah Putih. Katanya, “Sekarang.“

Glagah Putih pun tanggap akan isyarat itu. Dengan serta merta keduanya telah menghentakkan senjata mereka. Bahkan dengan kekuatan yang sangat besar.

Ternyata telah terjadi benturan yang dahsyat. Raden Rangga dan Glagah Putih dengan perhitungan yang mapan justru telah menyerang dua di antara ketiga orang yang sedang berputar itu, namun dengan memperhitungkan yang seorang lagi. Demikian keras dan besarnya kekuatan ilmu kedua anak muda itu yang mengalir pada senjata-senjatanya, maka dua orang di antara ketiga orang itu bagaikan terpelanting oleh benturan yang terjadi. Kekuatannya sendiri yang besar, membentur kekuatan yang tidak terlampaui oleh kekuatan mereka, membuat mereka kehilangan keseimbangan.

Ketika kedua orang itu terlempar melenting keluar dari putaran, maka yang seorang telah berusaha untuk menyerang Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih telah benar-benar bersiap. Ia sempat meloncat memperbaiki kedudukannya setelah melemparkan seorang lawannya, kemudian dengan kekuatan yang sangat besar telah membentur serangan lawannya yang seorang.

Ketika pedang lawannya yang seorang itu membentur ikat pinggang Glagah Putih, maka rasa-rasanya pedang itu bagaikan membentur dinding baja. Ternyata ikat pinggang yang terbuat dari kulit itu seolah-olah telah berubah menjadi sekeping baja yang kerasnya melampaui pedangnya yang dibuat dari baja pilihan.

Tangan orang yang menyerang Glagah Putih itu tergetar. Perasaan pedih menggigit telapak tangannya. Namun dalam kekuatan ilmunya, maka pedang itu tidak terlempar sebagaimana pernah terjadi pada seorang kawannya yang telah terpelanting dari putarannya dan jatuh terguling di tanah.

Pada saat yang gawat bagi orang yang telah menyerang Glagah Putih itu, kedua orang kawannya telah bangkit dan berdiri tegak sambil mengumpat kasar. Terasa punggung mereka menjadi sakit dan kulitnya menjadi pedih oleh luka-luka yang tergores pada saat mereka jatuh di tanah. Namun hal itu justru membuat mereka menjadi semakin marah, sehingga dengan demikian maka mereka telah menghentakkan segala macam ilmu yang ada pada mereka.

Dengan demikian, maka sejenak kemudian ketiga orang itu telah bersiap kembali untuk bertempur menghadapi dua orang anak muda yang mengaku berasal dari Tanah Perdikan Menoreh itu.

“Jangan berbelas kasihan lagi,“ geram orang yang tertua di antara mereka, “kita bakar mereka dengan ilmu tertinggi perguruan kita.“

Raden Rangga dan Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Ilmu apa lagi yang akan ditrapkan oleh orang-orang itu. Apakah mereka mampu juga menyerap tenaga api dan melontarkannya kepada lawan-lawannya, sebagaimana dapat dilakukan oleh Glagah Putih.

Namun ternyata ketiga orang itu telah menyerang kembali dengan senjata mereka. Lebih cepat dan garang.

Dalam pada itu, mereka yang menyaksikan pertempuran itu pun menjadi semakin tegang. Mereka telah menyibak semakin jauh, sehingga arena pertempuran itu pun menjadi semakin luas.

Ki Demang dan Ki Jagabaya menyaksikan pertempuran itu dengan tatapan mata yang hampir tidak berkedip. Mereka menyaksikan benturan-benturan ilmu yang luar biasa, yang belum pernah disaksikannya sebelumnya. Apalagi kemudian, pada saat ketiga orang itu benar-benar telah sampai ke puncak kemampuannya. Setiap benturan telah memercikkan bunga api di udara.

Raden Rangga dan Glagah Putih pun segera mengetahui apa yang telah dimaksud lawannya. Api yang mereka sebut adalah benar-benar satu kekuatan ilmu yang dahsyat. Pada setiap benturan yang melontarkan bunga-bunga api, rasa-rasanya membuat senjata kedua anak muda itu menjadi semakin panas. Seakan-akan memang ada panas yang mengalir dari kekuatan ilmu ketiga orang itu, menjalar lewat senjata mereka dan meloncat pada setiap benturan yang terjadi dan memanasi senjata lawan mereka.

Namun ternyata Raden Rangga justru tertawa. Katanya, “Ilmu kalian memang dahsyat Ki Sanak. Tetapi tidak banyak berarti bagi kami. Senjata-senjata kami tidak terbuat dari logam. Karena itu, maka panas yang kau alirkan lewat benturan senjata, tidak banyak mempengaruhi tangan kami, meskipun terasa juga karena besarnya arus yang kau salurkan dengan dorongan kekuatan ilmumu. Tetapi ternyata hal itu tidak mempengaruhi kami sama sekali. Tongkatku adalah tongkat yang terbuat dari pring gading. Sementara ikat pinggang saudaraku itu terbuat dari kulit kerbau, eh, mungkin kulit buaya atau kulit ular. Bahkan mungkin kulit gajah.“

Kelakar Raden Rangga justru pada saat ketiga orang lawannya itu mengerahkan ilmunya telah membuat mereka menjadi semakin marah. Namun mereka tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa kedua orang anak muda itu memang memiliki kemampuan yang sangat tinggi.

Dalam pada itu, meskipun seperti yang dikatakan oleh Raden Rangga bahwa senjatanya dan senjata Glagah Putih tidak terbuat dari logam, namun dalam keadaan tertentu memiliki sifat seperti logam. Kerasnya yang bagaikan baja dan dalam benturan yang terjadi, memercikkan bunga api, sehingga dengan demikian maka panas yang mengalir dan meloncat pada benturan-benturan yang terjadi memang berpengaruh juga betapapun kecilnya. Namun lambat laun tongkat Raden Rangga dan ikat pinggang Glagah Putihpun terasa mulai menjadi hangat.

“Serangan yang perlahan-lahan itu harus segera diakhiri,” berkata Raden Rangga di dalam hatinya. Sehingga karena itu, maka iapun kemudian telah berkata kepada Glagah Putih, “Lawan kita telah sampai ke puncak ilmunya. Karena itu, marilah permainan ini kita akhiri. Aku sudah mulai menjadi jemu. Ternyata mereka bukan lawan yang pantas untuk beradu dalam arena pertandingan serupa ini.“

“Gila!“ teriak ketiga orang itu hampir berbareng. Yang tertua di antara merekapun kemudian berteriak, “Bunuh sekarang juga!“

Ketiga orang itu pun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka sampai ke puncak batas. Serangan mereka menjadi semakin cepat, sehingga benturan-benturan pun menjadi semakin sering terjadi. Karena itu, maka panas ilmu mereka pun telah merambat semakin banyak pula ke senjata Raden Rangga dan Glagah Putih.

Kedua anak muda itu memang sudah pernah mendengar tentang ilmu yang demikian. Ilmu yang tersebar pada beberapa perguruan dan bukan menjadi ukuran bahwa pemilik ilmu itu adalah mereka yang menyadap ilmu dari lingkungan hitam. Namun akhirnya ternyata pula bahwa yang terpenting adalah orang yang memiliki ilmu itu. Mereka dapat mempergunakan ilmunya untuk tujuan yang putih atau yang hitam, meskipun mereka menggenggam ilmu yang sewarna kapas sekalipun.

Demikianlah, maka Raden Rangga benar-benar telah menjadi jemu. Karena itu, maka iapun telah berusaha untuk mengimbangi ilmu lawannya yang melontarkan kekuatan panas lewat benturan-benturan yang terjadi.

Glagah Putih-lah yang menjadi cemas melihat sikap Raden Rangga. Namun sebelum ia berkata sesuatu, Raden Rangga telah mendahului, “Jangan halangi aku. Segala sesuatunya tergantung kepada mereka.”

Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Namun ia tidak dapat berbuat banyak ketika Raden Rangga kemudian mempercepat tata geraknya menyerang lawannya yang terdekat. Sehingga dengan demikian maka pasangan Raden Rangga dan Glagah Putih itu pun tidak lagi dapat dipertahankan. Raden Rangga telah terlepas dari kendali, sehingga yang dilakukannya benar-benar mendebarkan jantung Glagah Putih.

Melihat sikap yang sangat garang dari anak Tanah Perdikan Menoreh justru yang muda itu, maka dua orang di antara ketiga orang lawan mereka itu pun telah melawan Raden Rangga, sementara yang lain bertempur melawan Glagah Putin yang nampaknya masih berusaha mengendalikan dirinya.

Ternyata tongkat Raden Rangga adalah senjata yang luar biasa. Semakin sering senjata itu membentur senjata lawannya, maka panas memang semakin banyak meloncat ke tongkat itu. Tetapi ternyata di tangan Raden Rangga, panas itu justru dapat ditampung dan memancar kembali dari tongkat itu. Semakin banyak panas meloncat ke dalam tongkat itu lewat benturan-benturan, maka tongkat itu menjadi semakin membara. Bahkan kemudian tongkat itu menjadi bagaikan tongkat bara yang bukan saja berwarna merah, tetapi justru telah memancarkan panas ke sekitarnya.

“Terima kasih,“ berkata Raden Rangga, “aku tampung apimu. Tetapi aku menjadi muak karenanya, dan karena itu aku ingin mengembalikannya kepadamu.“

Glagah Putih semakin berdebar-debar. Ia teringat bagaimana tongkat itu dapat menggoreskan cahaya pada tanah di sepanjang jalan yang mereka lewati.

Sebenarnyalah bahwa Raden Rangga tidak ingin bertempur lebih lama lagi. Sejenak kemudian maka tongkatnya yang bagaikan menyala itu semakin cepat berputar. Tangannya sama sekali tidak terpengaruh oleh panas yang memancar dari tongkat itu.

“Ilmu iblis manakah yang disadap oleh anak ini?“ geram salah seorang lawannya. Jantungnya benar-benar telah tergetar. Jika ia membanggakan ilmunya, ternyata bahwa lawannya mampu memanfaatkannya untuk membalas menyerangnya.

Tetapi kedua orang itu memang tidak lagi mendapat kesempatan. Tongkat Raden Rangga yang berputaran dan menyebarkan udara panas itu benar-benar telah menyulitkan kedua lawannya. Dalam keadaan yang sangat terdesak, seorang di antara kedua orang itu berusaha untuk mengayunkan pedangnya ke arah lambung Raden Rangga. Namun yang terjadi adalah benturan yang keras. Pedang itu telah terdorong ke samping, sehingga lambungnya telah terbuka bagi serangan tongkat yang menyala itu. Namun kawannya telah meloncat dan berusaha membantunya. Pedangnya-lah yang terjulur lurus ke arah dada Raden Rangga.

Raden Rangga yang sudah tidak terkekang itu kemudian telah memutar tongkatnya menyambut pedang yang terjulur itu. Putaran tongkat Raden Rangga bagaikan arus angin pusaran yang dengan derasnya menghisap pedang lawannya, sehingga lawannya tidak mampu lagi menahannya.

Ilmunya ternyata tidak lagi mampu menyalurkan arus panas ke senjata lawannya, karena justru senjata lawannya telah jauh lebih panas dari arus ilmunya itu. Karena itu, rasa-rasanya panas itu telah membentur kekuatan yang lebih besar dan tersalur kembali ke tangannya.

Karena itu, oleh panasnya kekuatan ilmunya dan kekuatan hisap putaran tongkat yang membara itu, serta panas yang seakan-akan memancar dari tongkat itu pula, lawannya sama sekali tidak memiliki ketahanan untuk melawannya. Pedangnya telah terlepas, dan orang itu berusaha untuk meloncat mundur menjauhi lawannya yang masih sangat muda, namun memiliki ilmu yang luar biasa dan tidak dapat dijangkau oleh nalar budinya, yang sebenarnya cukup banyak menyimpan pengalaman di dalam hidupnya.

Namun Raden Rangga tidak melepaskannya. Ia siap untuk meloncat memburunya. Tetapi lawannya yang seorang lagi tidak membiarkan kawannya dalam kesulitan. Dengan loncatan panjang ia menebas ke arah lambung.

Raden Rangga bergeser setapak. Tongkatnya terayun bukan saja mengesampingkan serangan itu. Demikian kerasnya sehingga pedang itu telah terlempar dari tangan orang itu. Namun malang baginya, ialah yang justru pertama-tama mengalami bencana. Tongkat Raden Rangga itu telah menyambarnya. Hanya segores kecil. Luka yang kemudian tergores di dada orang itu pun tidak terlalu dalam. Namun serasa arus panas yang tidak tertahankan telah membakar seisi tubuhnya. Orang itu tidak banyak merasakan apa yang terjadi atas dirinya. Dengan luka yang dangkal di dadanya, ternyata ia tidak lagi dapat bertahan untuk tetap hidup.

Sementara itu, kawannya tidak sempat menyingkir dari arena. Ketika ia bergeser menjauh, Raden Rangga telah meloncat dengan ujung tongkat yang terjulur lurus. Orang itu mencoba mengelak dengan bergeser ke samping. Namun ujung tongkat itu bagaikan melihat arah geraknya, karena ternyata ujung tongkat itu pun telah berubah arah.

Sejenak kemudian ujung tongkat itu telah mematuk pundaknya. Ujungnya memang telah melukai pundak itu. Tetapi tidak lebih dari ujung tombak yang tidak sempat menghunjam sampai ke daging. Namun luka yang dangkal itu mempunyai akibat yang sama dengan luka pada kawannya yang telah terbunuh. Orang itupun terpental jatuh dan meninggal tanpa sempat mengaduh.

Keduanya mati bukan karena racun. Tetapi di dalam tubuh mereka telah menyala api yang membakar isi dada mereka, sehingga mereka tidak mampu lagi bertahan.

Glagah Putih melihat kenyataan itu. Tetapi ia tidak sempat mencegahnya. Namun ia masih sempat mengekang diri, sehingga ia tidak membunuh lawannya. Namun untuk dapat menundukkan lawannya tanpa membunuhnya, Glagah Putih memang harus bekerja keras. Sementara itu lawannya yang sudah berputus asa sama sekali tidak lagi membuat perhitungan-perhitungan apapun juga. Lawan Glagah Putih itu menyerang dengan garangnya. Jika serangannya gagal, maka iapun dengan serta merta telah memburu lawannya. Tanpa menghiraukan, apakah senjata lawannya akan mengenainya.

Justru dalam keadaan putus asa lawannya menjadi berbahaya sekali. Ia benar-benar telah kehilangan nalarnya. Apalagi ketika ternyata kedua orang kawannya tidak lagi dapat mempertahankan hidupnya.

Glagah Putih dengan ikat pinggang kulitnya berusaha untuk menangkis dan menghindari serangan-serangan lawannya. Ia memang menunggu saat lawannya kehilangan tenaganya karena kelelahan. Namun ternyata daya tahan lawannya itu cukup tinggi, sehingga sampai saatnya Raden Rangga menyelesaikan kedua lawannya, orang itu masih tetap bertahan.

Karena itulah maka Glagah Putih harus mengambil sikap. Ia tidak dapat membiarkan Raden Rangga untuk ikut campur. Jika demikian maka orang itupun tentu akan mati juga, sehingga mereka tidak akan mungkin mendapat keterangan betapapun kecilnya. Karena itu, justru setelah Raden Rangga menyelesaikan lawannya yang terakhir, Glagah Putih telah melibat lawannya seperti badai. Ikat pinggangnya berputaran dan kemudian mematuk seperti sekeping besi baja.

Betapa tinggi kemampuan lawannya, namun ia tidak mampu mengimbangi kecepatan gerak Glagah Putih. Karena itu, maka ketika lambungnya terbuka tanpa lindungan pedangnya karena justru pedang itu sedang terayun menyamping, ujung ikat pinggang kulit Glagah Putih telah mengenainya. Dengan perhitungan yang cermat Glagah Putih berhasil melumpuhkannya, tetapi tidak membunuhnya.

Luka di lambung itu telah membuat orang itu tidak berdaya. Iapun kemudian terpelanting jatuh di tanah. Namun ia masih tetap hidup.

Raden Rangga yang melihat lawan Glagah Putih terbanting itu pun melangkah mendekatinya. Kemudian dengan nada geram ia bertanya, “Kau biarkan orang ini hidup.“

“Kita ingin berbicara dengan orang ini,“ jawab Glagah Putih.

Raden Rangga mengangguk-angguk. Iapun kemudian berjongkok di sampingnya. Sambil memegang bajunya Raden Rangga bertanya, “Kau datang dari perguruan mana he?“

Orang itu tidak menjawab. Ketika Raden Rangga mengguncang baju itu, orang itu tidak juga menjawab.

“Anak setan,“ geram Raden Rangga. “Jawab! Apakah kau orang dari perguruan Nagaraga?“

Orang itu masih tetap diam. Sementara Raden Rangga menjadi semakin marah. Ia mengguncang baju orang itu semakin keras sambil berkata, “Kau sudah terluka. Jika kau tidak mau menjawab, maka kau akan dibiarkan mati tanpa perawatan. Tetapi jika kau mau menjawab, maka aku akan minta orang-orang padukuhan ini merawatmu dengan baik.“

“Persetan,“ geram orang itu.

“O, manusia celaka!“ bentak Raden Rangga sambil mengguncang lebih keras.

Glagah Putih memang menjadi cemas. Di telinga Raden Rangga ia berbisik, “Jangan bunuh orang itu. Kita memerlukannya.“

“Tetapi ia tidak mau menjawab pertanyaanku,“ justru Raden Rangga tidak menjawab perlahan-lahan sebagaimana Glagah Putih. Tetapi ia justru hampir berteriak.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Raden Rangga masih bertanya lagi, “He, kau dari mana? Siapakah gurumu dan dimana letak padepokanmu?“

Orang itu ternyata benar-benar orang yang telah berputus asa. Ia tidak lagi memikirkan akibat yang dapat terjadi atas dirinya. Betapa sakit luka di lambungnya, seakan-akan justru tidak terasa lagi. Karena itu ketika Raden Rangga mengguncangkan sekali lagi, orang itu justru meludahinya.

Namun akibatnya ternyata pahit sekali bagi orang itu. Kemarahan Raden Rangga tidak tertahankan lagi. Justru tangannya yang memegangi baju orang itu telah dihentakkannya.

Glagah Putih hampir saja menyebut nama Raden Rangga. Untunglah ia sadar dan mengurungkannya. Namun seperti yang diduganya, kepala orang yang terluka itu telah membentur tanah.

Orang itu memang tidak mengaduh. Tidak mengucapkan sepatah katapun. Bahkan menggeliat pun tidak. Tetapi orang itu telah mati.

Glagah Putih bergeser maju. Dengan nada dalam ia berdesis, “Orang itu telah mati.”

“He?” wajah Raden Rangga tiba-tiba menjadi pucat. Di luar sadarnya ia telah memandang dua sosok mayat yang terbaring beberapa langkah dari mereka.

Terdengar suara Glagah Putih lirih, “Raden telah membunuh tiga orang hari ini.”

Kepala Raden Rangga tertunduk. Darahnya yang menggelegak perlahan-lahan telah turun kembali ke dasar jantung, sejalan dengan bangkitnya kesadarannya atas apa yang baru saja terjadi.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Ya. Aku hari ini telah membunuh tiga orang.”

Wajah anak muda itu benar-benar berubah menjadi muram. Tiba-tiba saja ia berdesis, “Bagaimana hal ini dapat terjadi?”

Glagah Putih tidak menyahut. Ia mengerti keadaan Raden Rangga itu. Karena itu, maka iapun tidak berkata apa-apa.

Namun yang gempar kemudian adalah orang-orang Ngentak Amba. Anak-anak muda dari Kademangan Dukuh Gede yang biasanya membuat kisruh tiba-tiba merasa diri mereka terlalu kecil.

Anak-anak muda Dukuh Gede yang ikut menyaksikan semua peristiwa yang terjadi itu justru menjadi gemetar. Biasanya, dalam kesempatan-kesempatan itu, mereka-lah yang membuat onar. Mereka sering mengganggu pertandingan-pertandingan yang sedang berlangsung, atau pada saat-saat hadiah dibagikan.

Namun hari itu mereka telah mendapat pesan dari bebahu Dukuh Gede untuk tidak berbuat seperti itu. Tetapi justru pada saat itu satu peristiwa yang menggetarkan jantung telah terjadi.

Anak-anak Dukuh Gede dan Ngentak Amba benar-benar dicengkam oleh kengerian yang mencengkam jantung. Mereka telah menyaksikan pertempuran yang tidak dapat mereka bayangkan, bagaimana hal itu telah terjadi.

Bahkan Ki Demang dan Ki Jagabaya, yang bagi orang-orang Ngentak Amba merupakan orang yang paling luas pengalamannya, namun ternyata bahwa mereka pun tidak mengerti, apa yang sebenarnya telah terjadi.

Sementara itu, Raden Rangga masih merenungi mayat-mayat yang terbaring diam itu. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia bergumam, “Agaknya kau benar Glagah Putih. Sebaiknya kita tidak singgah di sini.”

Namun Glagah Putih yang ingin meringankan perasaan bersalah di hati Raden Rangga itu berkata, “Tidak seluruhnya benar Raden. Ada juga gunanya kita singgah. Dengan demikian kita telah menolong anak-anak muda Ngentak Amba. Tanpa kehadiran kita, mereka akan kehilangan segala macam hadiah yang telah mereka sediakan.”

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya mayat yang terbaring itu satu demi satu. Dengan suara yang berat ia berkata lambat, “Aku telah membunuh lagi tiga orang.”

Sementara itu Glagah Putih berdesis, “Ki Demang datang kemari Raden.”

Raden Rangga memandang ke arah Ki Demang dan Ki Jagabaya yang mendekat. Namun iapun kemudian telah menunduk lagi.

“Luar biasa Anak-Anak Muda,” berkata Ki Demang, “kami tidak dapat mengatakan apa-apa. Yang terjadi adalah di luar kemampuan tangkapan nalar kami.”

Glagah Putih yang menjawab, “Kami mohon maaf Ki Demang. Ternyata kehadiran kami telah merusak kegembiraan seisi kademangan ini.”

“Tidak, Anak Muda. Kalian telah menyelamatkan barang-barang kami yang akan dirampas oleh orang-orang itu. Sedangkan yang akan dirampas itu justru puncak dari kegembiraan dalam pertemuan ini, yaitu hadiah-hadiah bagi para pemenang pertandingan yang telah diselenggarakan sampai saat ini,” berkata Ki Demang kemudian. “Tanpa kehadiran kalian, maka semua hadiah di panggung kecil itu, serta beberapa ekor ternak yang diikat di sebelahnya itu tentu sudah mereka bawa.”

“Kami hanya sekedar melakukannya,” berkata Glagah Putih, “mudah-mudahan tidak justru berakibat buruk.”

“Kami mengerti Ki Sanak. Tetapi kami mendapat kesempatan untuk bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Tetapi mudah-mudahan tidak akan terjadi sesuatu,” jawab Ki Demang.

“Semua orang tahu, bahwa yang melakukannya bukan anak-anak muda Ngentak Amba. Yang melakukannya adalah anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh. Jika keluarganya, saudara-saudaranya atau saudara-saudara seperguruan mereka menuntut, biarlah mereka menuntut Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Glagah Putih.

Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Bukan maksud kami untuk membebani Tanah Perdikan Menoreh dengan persoalan-persoalan yang terjadi di luar Tanah Perdikan itu, dan justru tidak bersangkut paut dengan kepentingan Tanah Perdikan itu.”

“Tidak Ki Demang,” jawab Glagah Putih, “bagi kami, saling menolong merupakan kewajiban.”

“Nah, masih ada pekerjaan yang tersisa. Kami belum membagikan hadiah bagi para pemenang,” berkata Ki Demang, “meskipun pertemuan ini tidak lagi diliputi suasana yang baik karena peristiwa ini, tetapi hadiah itu harus dibagikan. Biarlah Ki Jagabaya membawa beberapa orang untuk menyingkirkan dahulu mayat-mayat itu, sementara hadiah akan dibagikan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk sambil berkata, “Silahkan Ki Demang. Sementara itu, kami rasa bahwa kami tidak lagi mempunyai kepentingan di sini.”

“Jangan Ki Sanak,” cegah Ki Demang, “Ki Sanak berdua malam ini harus berada di Kademangan. Ada banyak persoalan yang dapat kami jadikan alasan. Selain kami ingin bergembira bersama Ki Sanak, kehadiran Ki Sanak berdua di sini malam ini dapat memberikan ketenangan di hati kami. Meskipun mungkin tidak akan terjadi sesuatu, namun kami mohon Ki Sanak masih bersedia memberikan waktu Ki Sanak berdua malam ini. Jika Ki Sanak meninggalkan kami, maka semua keramaian yang sudah dipersiapkan akan menjadi hambar, karena kami akan selalu berada dalam kecemasan.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling ke arah Raden Rangga, maka anak muda itu pun sedang memandanginya.

“Bagaimana?” bertanya Glagah Putih.

“Terserah kepadamu,” jawab Raden Rangga.

Ternyata Glagah Putih tidak sampai hati meninggalkan kademangan yang berada dalam ketakutan itu. Karena itu maka katanya, “Baiklah Ki Demang. Kami akan tinggal. Tetapi hanya untuk malam ini.”

Demikianlah, maka acara terakhir dari keramaian di ara-ara itu pun dilaksanakan dalam suasana yang tidak lagi meriah. Namun berjalan juga dengan baik, sampai hadiah yang terakhir diserahkan kepada yang berhak. Namun sebagian dari orang-orang yang berada di ara-ara itu telah meninggalkan tempat itu. Apalagi mereka yang mempunyai barang di pasar. Sehingga dengan demikian maka ara-ara itupun rasa-rasanya sudah tidak ramai lagi.

Sejenak kemudian maka semuanya sudah diselesaikan. Hadiah sudah terbagi dan anak-anak muda pun telah mulai mengalir meninggalkan ara-ara itu, kembali ke padukuhan masing-masing. Anak-anak Dukuh Gede yang terheran-heran melihat peristiwa di ara-ara itu tidak berani lagi berbuat sesuatu, apalagi para bebahu kademangan mereka pun telah berpesan dengan sungguh-sungguh.

Namun ternyata beberapa orang yang kagum melihat Raden Rangga dan Glagah Putih yang menurut pendengaran mereka adalah anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, telah memberanikan diri untuk menemuinya.

“Maaf Ki Sanak,” berkata anak muda yang tertua di antara anak-anak muda dari Dukuh Gede itu, “kami sekedar ingin memperkenalkan diri, apabila Ki Sanak tidak merasa terganggu.”

Raden Rangga yang dibayangi oleh perasaan bersalah itu mencoba untuk tersenyum dan menyahut, “Terima kasih atas perhatian Ki Sanak. Tentu kami tidak akan merasa terganggu. Semakin banyak saudara kami, maka kami akan merasa semakin tenang menyusuri jalan-jalan dalam perantauan.”

“Kami persilahkan Ki Sanak berdua singgah di Dukuh Gede,” anak muda itu mempersilahkan.

“Terima kasih. Mungkin tidak saat-saat sekarang. Mungkin di hari-hari mendatang,” berkata Raden Rangga. Namun tiba-tiba ia melanjutkan, “Apabila aku masih berkesempatan.”

Anak-anak muda Dukuh Gede itu mengerutkan keningnya. Namun Glagah Putih-lah yang kemudian menjadi sangat berdebar-debar. Mungkin Raden Rangga tidak sengaja mengucapkan kata-kata itu. Namun baginya isyarat seperti itu telah didengarnya beberapa kali.

Anak-anak Dukuh Gede itu memang menjadi kecewa. Mereka ingin berkenalan lebih akrab dengan anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh yang memiliki kemampuan di luar jangkauan nalarnya. Namun agaknya anak-anak Tanah Perdikan Menoreh itu tidak sempat singgah ke kademangan mereka.

Namun dalam pada itu Raden Rangga berkata, “Kami nanti malam masih berada di kademangan ini. Jika kalian ingin menemui kami, kami akan berterima kasih.”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka berkata, “Terima kasih. Kami akan berusaha. Tetapi jika nanti malam kami tidak dapat datang, kami mohon pada kesempatan lain Ki Sanak berdua benar-benar singgah ke kademangan kami.”

Raden Rangga mencoba tersenyum. Sambil mengangguk ia berkata, “Kami pun akan berusaha.”

Demikianlah, anak-anak Dukuh Gede itu pun segera minta diri. Sementara itu Ki Jagabaya bersama beberapa orang telah menyingkirkan dan mengubur mayat dari tiga orang yang telah terbunuh oleh Raden Rangga.

Sejenak kemudian maka Ki Demang pun telah mengajak Raden Rangga dan Glagah Putih untuk pergi ke kademangan. Namun ternyata anak-anak dari padukuhan yang pernah dikunjungi oleh Raden Rangga dan Glagah Putih masih menunggu. Ketika mereka melihat Ki Demang mengajak kedua anak muda itu, maka anak-anak muda itu pun dengan serta merta telah mendekati mereka. Yang tertua di antara mereka berkata, “Ki Demang. Kami-lah yang telah membawa anak-anak muda itu kemari. Karena itu, maka biarlah mereka bersama kami kembali ke padukuhan.”

Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun Raden Rangga tersenyum sambil berkata, “Ya, Ki Demang. Kami datang pertama kali ke padukuhan mereka. Biarlah malam ini kami berada di padukuhan itu. Jika Ki Demang memerlukan kami, maka kami akan dengan segera datang ke Kademangan.”

Beberapa saat Ki Demang terdiam. Namun kemudian katanya, “Baiklah anak-anak. Tetapi besok jika keduanya akan meninggalkan kademangan ini, keduanya harus menemui aku di Kademangan.”

“Terima kasih,” sahut anak muda yang tertua itu, “besok kami akan mengantar mereka ke Kademangan. Beramai-ramai.”

“Seperti menggiring seorang pencuri ayam,” sahut Raden Rangga.

“Ah, tentu tidak,” jawab anak muda itu, “kami akan mengiringkan kalian dengan penuh penghormatan.”

Raden Rangga justru tertawa.

Demikianlah, maka anak-anak muda itu pun telah mengajak Raden Rangga dan Glagah Putih untuk kembali ke padukuhan mereka. Namun Raden Rangga dan Glagah Putih sempat bersetuju untuk menyebut Raden Rangga dengan nama yang lain. Tetapi Glagah Putih tidak keberatan namanya sendiri disebut, karena ia memang berasal dari Tanah Perdikan Menoreh.

Meskipun di siang harinya kademangan itu telah digemparkan oleh pembunuhan yang mendebarkan, namun setelah ketiga mayat itu dikuburkan, menjelang malam, di padukuhan-padukuhan pun ternyata telah mulai menjadi ramai lagi. Di setiap banjar padukuhan nampak cahaya yang benderang. Orang-orang kademangan itu telah mulai melupakan peristiwa yang mendebarkan di ara-ara itu.

Mereka mulai menikmati keramaian yang diselenggarakan di setiap padukuhan dengan cara dan gaya mereka masing-masing.

Namun dalam pada itu, Ki Demang telah memperingatkan agar anak-anak muda tidak menjadi lengah, hanyut oleh keramaian yang diselenggarakan di banjar padukuhan masing-masing.

Karena itu, bagaimana pun juga, beberapa orang anak muda mendapat tugas untuk mengadakan pengawasan di padukuhan masing-masing. Bergiliran, sehingga setiap orang mendapat kesempatan untuk ikut serta dalam keramaian di banjar, sementara pengawasan dan pengamatan di gerbang-gerbang padukuhan tetap dilakukan dengan cermat.

Namun agaknya malam itu tidak ada gangguan apapun di Kademangan Ngentak Amba. Bahkan anak Dukuh Gede yang akan datang menemui anak-anak Tanah Perdikan Menoreh itu pun tidak jadi datang, karena perhitungan yang bermacam-macam.

Sementara itu, Raden Rangga dan Glagah Putih mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk menyaksikan apa saja yang terdapat di Ngentak Amba. Bersama beberapa orang anak muda Raden Rangga dan Glagah Putih memang melihat-lihat ke padukuhan-padukuhan sebelah menyebelah. Namun akhirnya lewat tengah malam Raden Rangga dan Glagah Putih berada di banjar, dikerumuni oleh anak-anak muda padukuhan itu.

Berbagai pertanyaan telah dilontarkan. Kadang-kadang belum sempat menjawab satu pertanyaan, yang lain telah mengajukan pertanyaan pula.

Raden Rangga dan Glagah Putih berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sebaik-baiknya. Namun mereka tetap tidak dapat memberikan kepuasan jawaban apabila anak-anak muda itu bertanya, bagaimana mungkin keduanya memiliki ilmu yang tinggi.

“Dimana kau berguru?” bertanya seorang anak muda kepada Glagah Putih.

Glagah Putih dengan canggung menjawab, “Di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Apakah di Tanah Perdikan itu terdapat seorang guru yang sakti?” bertanya anak muda yang lain.

Glagah Putih menjadi agak bingung. Namun kemudian katanya, “Bukan seorang guru yang sakti. Tetapi seseorang yang dapat memberikan petunjuk bagaimana kami harus menempa diri untuk mendapatkan kemampuan yang semakin meningkat. Kemudian sebagian besar terserah kepada kami sendiri. Semakin tinggi niat kami untuk berlatih, maka kemampuan kami pun menjadi semakin baik.”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka telah bertanya pula, “Apakah semua anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu memiliki kemampuan seperti kalian?”

Glagah Putih tersenyum. Jawabnya, “Kemampuan kami bertingkat-tingkat. Ada yang kurang, tetapi ada juga yang lebih.”

“Kalian termasuk pada tataran yang mana?” bertanya anak muda yang lain, “Tataran teratas, terbawah, atau yang mana?”

“Aku berada di tengah,” jawab Glagah Putih. Anak-anak muda Kademangan Ngentak Amba itu menggeleng-geleng. Menurut gambaran mereka, rata-rata anak Tanah Perdikan Menoreh memiliki kemampuan setataran.

Namun tiba-tiba seorang anak muda yang duduk di belakang bertanya keras, “He, apakah kalian berdua mau mengajari kami serba sedikit?”

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Bukan kami tidak bersedia. Tetapi untuk itu diperlukan laku, kesungguhan dan waktu.”

“Kami sanggup menjalaninya,” sahut anak muda itu.

“Tetapi kami-lah yang tidak mempunyai waktu,” jawab Raden Rangga, “kami harus segera meninggalkan kademangan ini. Besok pagi kami telah melanjutkan perjalanan.”

“Tinggallah di sini barang sepekan,” minta anak muda yang lain.

“Untuk mempelajari olah kanuragan pada tataran pertama, kalian memerlukan waktu setahun. Bukan sepekan.”

“He?” anak-anak muda itu terkejut. Seorang di antara mereka bertanya, “Tataran pertama setahun. Lalu tataran kedua berapa tahun?”

“Dua tahun,” jawab Raden Rangga, “dan tataran-tataran berikutnya diperlukan waktu masing-masing tiga tahun.”

“Lalu ada berapa tataran yang harus kami capai agar kami dapat mencapai kemampuan seperti kalian?” bertanya seorang anak muda.

Raden Rangga tertawa. Sambil berpaling kepada Glagah Putih ia bertanya, “Berapa tahun kau pelajari olah kanuragan, atau sampai tataran berapakah kau sekarang?”

Glagah Putih menjadi bingung. Namun sambil tertawa Raden Rangga-lah yang menjawab, “Ia tidak lagi dapat mengingat berapa tahun ia mempelajari olah kanuragan. Dan iapun tidak ingat lagi, ia sudah berada di tataran yang mana.”

“Apakah itu rahasia?” seorang yang lain bertanya.

Raden Rangga masih tertawa. Sementara beberapa orang anak muda hampir berbareng berdesis, “Tentu rahasia, ya?”

Sambil masih saja tertawa Raden Rangga menyahut, “Jika kami tidak merahasiakannya dan kalian akhirnya mampu pula berbuat seperti kami, maka kalian tidak akan merasa heran lagi melihat kami. Tetapi sekarang, kami berdua tentu masih merupakan orang aneh bagi kalian. Nah, kami berusaha untuk mempertahankan keanehan itu. Setidak-tidaknya kami mendapat kesempatan untuk ikut serta dalam keramaian seperti ini. Jika kami bukan orang-orang aneh bagi kalian, maka kami tidak akan mendapat kesempatan seperti ini.”

Anak-anak muda itu pun tertawa. Namun beberapa di antara mereka masih saja berdesis, “Tentu dirahasiakannya.”

Raden Rangga dan Glagah Putih tidak menyahut lagi. Mereka hanya ikut tertawa saja bersama anak-anak muda itu.

“Sudahlah,” berkata Glagah Putih kemudian, “bukankah kita dapat berbuat lain di sisa malam ini? Bermain bas-basan atau macanan, atau mul-mulan.”

“Ayo,” jawab seorang anak muda, “mungkin aku akan dapat mengalahkanmu. Setidak-tidaknya dalam permainan bas-basan.”

Glagah Putih dan Raden Rangga pun kemudian telah terlibat dalam permainan. Mereka menjadi diam dan perhatian mereka seluruhnya tertuju kepada permainan itu.

Semakin malam, suasana keramaian pun menjadi semakin surut. Tetapi orang-orang tua di serambi samping berniat untuk berjaga-jaga semalam suntuk sebagai rasa sukur, bahwa panenan mereka berhasil baik. Sementara anak-anak muda masih juga bergerombol-gerombol dengan permainan mereka masing-masing.

Sementara itu, anak-anak muda yang mendapat tugas di akhir malam itu, menarik nafas lega, ketika mereka mendengar ayam berkokok menjelang fajar.

Jika fajar kemudian menyingsing, maka tugas mereka akan berakhir. Mereka akan mendapat kesempatan untuk beristirahat, sementara itu seisi kademangan pun akan terbangun pula, sehingga tugas pengawasan di gardu-gardu tidak lagi merasa sepi.

Meskipun sebagian para pengawal dan anak-anak muda telah berjaga-jaga dan bermain dengan berbagai permainan semalam suntuk di banjar, namun kehidupan di kademangan itu akan segera berlangsung.

Raden Rangga dan Glagan Putih pun kemudian menyadari pula bahwa hari menjadi pagi. Meskipun mereka semalam suntuk tidak tidur sama sekali, namun mereka tetap pada rencana mereka bahwa pada pagi itu mereka akan meneruskan perjalanan.

“Kalian tentu letih,” berkata seorang anak muda, “tidur sajalah dahulu di bagian belakang banjar ini. Nanti, atau besok pagi-pagi sajalah berangkat.”

Tetapi Raden Rangga tersenyum sambil menjawab, “Maaf, aku sudah siap untuk berangkat. Aku harus segera sampai ke tujuan.”

“Kalian akan pergi ke mana?” bertanya anak muda Ngentak Amba.

Pertanyaan itu agak sulit untuk dijawab. Namun Raden Rangga pun kemudian berkata, “Kami mendapat tugas untuk pergi jauh sekali.”

“Kemana?” bertanya yang lain.

“Kami harus menemukan sebuah patok kayu cendana bersalut emas yang menunjukkan tepat dimana matahari terbit di pagi hari,” jawab Raden Rangga.

“Ah kau,” desis anak muda itu. Namun beberapa orang kawannya justru tertawa.

Raden Rangga dan Glagah Putih pun tertawa pula. Sementara itu seorang anak muda yang lain berkata, “Kau seberangi lautan dan padang serta menembus hutan-hutan yang lebat untuk menemukan tempat matahari terbit itu. Tolong, jika kau temukan tempat itu, lihat dengan baik, apakah bulan juga muncul dari bawah patok kayu cendana itu?”

Suara tertawa pun meledak. Namun dalam pada itu akhirnya Raden Rangga berkata, “Kami berdua akan membenahi diri dan kemudian pergi ke Kademangan untuk mohon diri kepada Ki Demang.”

“O, kami berjanji untuk mengantarkan kalian,” berkata seorang di antara anak-anak muda itu.

“Ah, sebenarnya tidak perlu. Kami berdua akan datang menghadap dan kemudian mohon diri, karena kami memang harus meneruskan perjalanan,” sahut Raden Rangga.

Sebenarnyalah bahwa Raden Rangga dan Glagah Putih tidak merasa perlu diantar oleh anak-anak muda padukuhan itu untuk menghadap Ki Demang. Iring-iringan itu akan dapat menarik perhatian, bukan saja bagi orang-orang kademangan itu sendiri, tetapi juga orang-orang lain yang kebetulan lewat di jalan-jalan di Kademangan Ngentak Amba itu.

Namun demikian, anak-anak muda padukuhan itu tidak melepaskan keduanya berjalan tanpa mereka. Meskipun tidak semua anak-anak muda yang berada di banjar itu akan mengantar, tetapi dua orang di antara mereka akan mewakili anak-anak muda itu mengantar Raden Rangga dan Glagah Putih sampai ke Kademangan.

“Baiklah,” berkata Raden Rangga, “kami mengucapkan terima kasih atas perhatian kalian terhadap kami berdua.”

Demikianlah, ketika matahari terbit Raden Rangga minta diri kepada anak-anak muda padukuhan itu, bahkan beberapa orang tua yang masih berada di banjar. Keduanya akan meninggalkan Kademangan Ngentak Amba menuju ke arah timur.

Ketika mereka sampai di Kademangan, ternyata Ki Demang yang sempat tertidur sejenak, baru saja terbangun. Anak-anak muda itu pun kemudian dipersiiahkan duduk di pendapa, sementara Ki Demang sempat mencuci mukanya. Namun ia singgah pula di dapur dan minta anak-anak muda di pendapa itu diberi hidangan yang baik.

“Mereka adalah tamu yang terhormat bagi kita,” berkata Ki Demang kepada istrinya.

“Apakah mereka bukan anak-anak kademangan ini sendiri?” bertanya Nyi Demang.

“Dua di antaranya. Tetapi dua yang lain adalah anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Ki Demang.

“O, jadi anak-anak muda itulah yang Ki Demang ceritakan semalam?” sahut Nyi Demang.

“Ya. Itulah anak yang aku ceritakan. Mereka masih terlalu muda. Namun mereka memiliki ilmu yang nggegirisi. Tanpa anak-anak muda Tanah Perdikan itu, maka permainan kita kemarin di ara-ara akan berakhir dengan kekecewaan. Meskipun keramaian di ara-ara itu kemarin juga terganggu, namun hadiah-hadiah yang disediakan akhirnya dapat dibagikan juga.” “Baik Ki Demang,” berkata Nyai Demang, “nasi pun sudah masak. Sebentar lagi, kami akan menghidangkannya. Lauk masih cukup banyak, meskipun sisa keramaian semalam.”

“Jaga agar tidak mengecewakan,” berkata Ki Demang.

Ki Demang pun kemudian keluar pula ke pendapa setelah membenahi pakaiannya. Wajahnya nampak cerah sebagaimana anak-anak muda di Kademangan itu.

Dalam pada itu, Raden Rangga dan Glagah Putih hanya sekedar singgah untuk mohon diri. Ki Demang memang berusaha untuk menahan mereka barang sepekan. Tetapi Raden Rangga dan Glagah Putih dengan menyesal tidak dapat memenuhinya.

Meskipun demikian keduanya sempat makan dan minum secukupnya di rumah Ki Demang. Baru kemudian kedua anak muda yang mengaku dari Tanah Perdikan Menoreh itu mohon diri untuk melanjutkan perjalanan mereka, yang tidak dapat mereka katakan kepada anak-anak muda kademangan itu.

“Baiklah anak-anak muda,” berkata Ki Demang kemudian, “selamat jalan. Berhati-hatilah di perjalanan. yang jauh itu.”

Raden Rangga dan Glagah Putih mengangguk kecil. Namun Raden Rangga kemudian menjawab, “Perjalanan kami memang jauh Ki Demang. Tetapi perjalanan kami lebih condong dapat disebut perjalanan yang aman dan tidak berbahaya. Kami hanya ingin mendapat sebuah pengalaman perjalanan saja.”

“Meskipun demikian, kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya dapat terjadi. Apa yang terjadi di kademangan ini adalah satu contoh kecil. Mungkin kalian tidak menghendaki terjadi perkelahian dengan orang-orang yang tidak dikenal itu. Tetapi hal itu akhirnya telah terjadi. Dan yang terjadi di ara-ara kemarin juga dalam rangka perjalanan yang kau katakan aman dan tidak berbahaya ini,” berkata Ki Demang.

Raden Rangga dan Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Dengan nada rendah Glagah Putih kemudian berkata, “Kami mohon doa restu Ki Demang.”

“Mudah-mudahan kalian selamat dan tercapai apa yang kalian inginkan,” jawab Ki Demang.

Demikianlah, akhirnya kedua anak muda itu telah meninggalkan Kademangan. Mereka mulai menempuh perjalanan ke arah timur. Perjalanan yang memang panjang.

Di sepanjang jalan yang menghubungkan padukuhan dengan padukuhan, Raden Rangga sempat mempermainkan tongkatnya. Tongkat itu nampaknya memang tidak lebih dari sepotong pring gading. Karena itu, maka tongkat itu sama sekali tidak menarik perhatian.

Jika Raden Rangga jemu bermain-main dengan tongkatnya, maka tongkat itupun diselipkannya pada pinggangnya di arah punggung.

Namun tiba-tiba Raden Rangga berkata, “Aku mengantuk. Bukankah semalam suntuk kita tidak tidur?”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Bagi dirinya, meskipun semalam suntuk tidak tertidur sama sekali, namun hal itu memang sudah dikehendaki. Ia sama sekali tidak merasa mengantuk. Latihan-latihan yang berat dalam olah kanuragan mampu mengatasi perasaan kantuk yang hanya karena semalam suntuk tidak tidur. Meskipun ada juga keterbatasan kemampuan wadagnya, namun Glagah Putih dapat mengatasi perasaan itu. Bagi Glagah Putih, Raden Rangga tentu mampu juga mengatasinya. Jika ia berkata mengantuk, tentu ia memang tidak berusaha untuk mengatasi perasaan kantuknya.

Tetapi Glagah Putih tidak segera menjawab. Ia ingin menunggu, apa lagi yang akan dilakukan oleh Raden Rangga itu.

“He, kau belum menjawab,” berkata Raden Rangga, “bukankah semalam suntuk kita tidak tidur?”

“Ya, semalam suntuk kita tidak tidur,” jawab Glagah Putih.

“Dan aku mengantuk karenanya. Apakah kau tidak mengantuk seperti aku?” bertanya Raden Rangga.

“Maksud Raden, apakah kita akan berhenti untuk beristirahat?” bertanya Glagah Putih. “Menurut hematku, Raden tentu dapat mengatasi perasaan itu jika Raden memang ingin melakukannya.”

Raden Rangga tertawa. Kemudian katanya, “Buat apa kita memaksa diri untuk menahan perasaan kantuk, sementara kita masih belum tergesa-gesa.”

“Jika demikian kenapa kita tidak tidur saja di banjar? Tempatnya baik dan tidak akan diganggu oleh apapun juga,” jawab Glagah Putih.

Raden Rangga masih tertawa. Katanya, “Nampaknya kau sangat tergesa-gesa. He, bukankah kita tidak dibatasi waktu?”

“Kita tidak dibatasi waktu. Tetapi mungkin keadaan akan berkembang lebih cepat dari perjalanan kita, sehingga kita tidak akan menemukan sesuatu lagi di perjalanan ini dan kembali dengan tangan hampa. Peristiwa di Mataram itu mungkin akan dapat memaksa orang-orang Nagaraga mengambil sikap lain,” berkata Glagah Putih.

“Baiklah,” sahut Raden Rangga yang masih tertawa, “kita akan berjalan terus.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab lagi.

Namun dalam pada itu, Raden Ranggalah yang berkata, “Jika kita menempuh jalan ini, maka kita akan lewat dekat Kademangan Jati Anom.”

“Ya. Tetapi kita dapat mengambil jalan lain. Kita akan dapat mengambil arah selatan, dan kita melalui jalan yang lewat dekat Kademangan Sangkal Putung,” jawab Glagah Putih.

“Apakah kita akan melalui Sangkal Putung atau Jati Anom?” bertanya Raden Rangga.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Terserahlah, Raden memilih yang mana?”

“Kita lewat Jati Anom. Agaknya lebih menarik daripada kita lewat Sangkal Putung. Jika kita lewat Sangkal Putung, maka agaknya kau merasa kurang enak pula jika tidak singgah barang sekejap di rumah Swandaru Geni,” berkata Raden Rangga. “Bukankah Swandaru itu saudara seperguruan Agung Sedayu?”

“Ya Raden. Aku pun sependapat,” jawab Glagah Putih.

“Kau aneh. Kau sudah menyerahkan pilihan kepadaku. Sependapat atau tidak, kau harus menerima pilihanku,” berkata Raden Rangga.

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi justru berkata, “Jika pada suatu saat Raden merasa tiba-tiba menjadi kantuk, kita lebih baik singgah di padepokan Kiai Gringsing daripada singgah di Sangkal Putung.”

Raden Rangga tertawa lagi. Tetapi ia tidak menjawab.

Dengan demikian kedua orang anak muda itu telah menempuh perjalanan sebagaimana pernah mereka lakukan. Mereka tidak mengambil jalan arah ke selatan, karena mereka memilih melewati Jati Anom daripada Sangkal Putung.

Kedua anak muda itu berjalan seenaknya saja. Mereka tidak nampak tergesa-gesa sama sekali. Bahkan jika mereka melewati pasar di pinggir jalan, Raden Rangga sempat mengajak Glagah Putih untuk berjalan melalui bagian dalam pasar itu.

Bahkan Raden Rangga sering membeli makanan yang dapat mereka makan sambil berjalan. Kacang yang direbus, dan di warung yang lain membeli rempeyek kedele. Bahkan ditemuinya makanan yang disenanginya, rempeyek wader.

Kedua anak muda itu sama sekali tidak merasa cemas akan kehabisan uang. Keduanya membawa bekal uang yang cukup. Bahkan Raden Rangga mendapat bekal terlalu banyak.

Dengan demikian maka perjalanan mereka pun menjadi sangat lambat. Jika Raden Rangga haus, maka ia duduk di muka penjual dawet, bukan saja sekedar untuk minum. Namun kadang-kadang ia berbicara panjang lebar tentang diri penjual dawet itu.

Glagah Putih yang merasa kurang telaten berjalan demikian lambannya kadang-kadang harus mendorong, agar Raden Rangga berjalan terus. Namun setiap kali sambil tersenyum Raden Rangga berkata, “Beri aku kesempatan untuk melihat lebih banyak. Perjalanan ini sangat menarik bagiku. Mungkin aku tidak akan sempat menempuh perjalanan seperti ini lagi.”

“Ah, apa lagi yang Raden katakan?” potong Glagah Putih.

Raden Rangga justru tertawa. Katanya, “Karena itu, biarlah kita berjalan lambat. Aku masih belum bertemu dengan penjual badek legen. Aku senang sekali minum badek legen kelapa. Tetapi aku kurang senang badek legen aren.”

Glagah Putih tidak dapat memaksa. Ia mengikuti saja cara Raden Rangga menempuh perjalanan.

Demikian lambannya mereka berjalan, maka menjelang matahari turun ke punggung bukit mereka baru mendekati Kali Opak.

“Aku letih sekali,” berkata Raden Rangga. Dan sebelum Glagah Putih berkata sesuatu Raden Rangga sudah mendahului, “Aku memang mampu mengatasi perasaan letih dan kantuk. Itu jika aku mau. Sekarang ternyata aku malas melakukannya. Aku ingin tidur. Jika kau juga mau, kita dapat tidur bersama-sama.”

Wajah Glagah Putih menegang. Namun Raden Rangga berkata, “Tidak akan ada orang yang mengganggu kita. Kita akan mencari tempat yang tersembunyi. Bahkan binatang buas pun segan menerkam kita, karena daging kita tentu akan terasa pahit.”

Glagah Putih tidak segera menyahut. Namun sambil tertawa Raden Rangga berkata, “Kita mencari tempat yang baik.”

Keduanya pun kemudian menyusuri Kali Opak beberapa puluh langkah. Akhirnya mereka menemukan batu-batu besar yang berserakan.

“Tempat yang baik,” berkata Raden Rangga, “aku akan tidur di atas batu.”

Glagah Putih tidak menyahut. Ia hanya memandang saja ketika Raden Rangga meloncat ke atas sebuah batu dan berbaring di atasnya. Batu itu masih terasa hangat, sehingga karena itu Raden Rangga berkata, “Nyaman sekali. Batunya terasa hangat, sementara badanku merasa letih sekali.”

Glagah Putih pun kemudian duduk di atas sebuah batu. Dengan nada datar ia berkata, “Silahkan Raden tidur. Tetapi kita akan bergantian.”

Raden Rangga tidak menyahut. Namun iapun segera memejamkan matanya, sementara matahari menjadi semakin rendah.

Ternyata sejenak kemudian Raden Rangga itu sudah tertidur. Glagah Putih yang duduk di atas sebongkah batu yang besar pula di sebelah Raden Rangga, sama sekali tidak berbaring. Ia duduk saja sambil mengawasi langit menjadi kuning, kemudian kemerah-merahan menjelang senja.

Di langit burung berterbangan dalam kelompok-kelompok, pulang ke sarangnya. Saling berpapasan atau terbang searah.

Udara memang terasa segar sekali. Glagah Putih pun mulai disentuh oleh perasaan kantuk pula. Tetapi ia memang tidak ingin tidur. Bahkan Glagah Putih pun kemudian duduk bersila di atas batu yang besar itu, justru membelakangi arah matahari terbenam.

Langit memang menjadi semakin suram, sehingga akhirnya malam pun perlahan-lahan turun menyelubungi tepian kali Opak itu.

Dalam keheningan malam, Glagah Putih mencoba mengheningkan budinya pula. Ia mencoba menerawang jalan yang akan dilaluinya. Rasa-rasanya memang panjang sekali, dan ia sama sekali tidak melihat ujung dari perjalanannya.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih terkejut. Langit yang menghitam itu penuh digayuti oleh bintang yang gemerlapan. Bukan saja di atas ia duduk, tetapi seluruh langit nampak cerah dalam kegelapan.

Namun terasa sesuatu berubah pada Kali Opak itu. Perlahan-lahan ia melihat air mulai naik. Bahkan semakin lama menjadi semakin tinggi, dan warnanya pun berubah pula. Air itu tidak lagi berkilat-kilat disentuh sinar bintang. Tetapi air itu mulai menjadi keruh.

Hampir tidak percaya kepada penglihatannya Glagah Putih berdesis, “Banjir.”

Namun ia masih menunggu beberapa saat. Tetapi ketika air menjadi semakin tinggi, maka iapun berniat untuk membangunkan Raden Rangga yang tertidur nyenyak. Betapapun tinggi ilmu anak muda itu, tetapi jika banjir itu menyeretnya di saat ia tidur, mungkin keadaannya akan berbeda.

Tetapi selagi Glagah Putih siap untuk meloncat, ia melihat Raden Rangga telah terbangun.

“Raden,” desis Glagah Putih, “untung Raden segera terbangun. Air Kali Opak ternyata naik.”

Tetapi Raden Rangga seakan-akan tidak mendengarnya. Diamatinya air yang semakin lama menjadi semakin besar itu.

“Raden!” panggil Glagah Putih, “Cepat, kita menepi. Air itu sudah naik ke tepian.”

Raden Rangga masih tetap terdiam. Bahkan berpalingpun tidak.

Glagah Putih menjadi heran dan bahkan bingung. Ia melihat Raden Rangga itu justru mengamati banjir itu sejenak, kemudian mengangkat wajahnya dan memandang ke satu arah.

Glagah Putih menjadi heran melihat sikap Raden Rangga. Karena itu, maka Glagah Putih pun telah memanggil lagi hampir berteriak, meskipun jarak di antara mereka tidak terlalu jauh, “Raden! Banjir itu semakin besar!”

Glagah Putih melihat Raden Rangga itu berpaling. Kemudian bersiap untuk meloncat.

Glagah Putih sendiri tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika ia melihat Raden Rangga mulai bergerak mengambil ancang-ancang, maka Glagah Putih pun telah meloncat pula ke batu di sebelahnya. Demikian berturut-turut beberapa kali, sehingga akhirnya Glagah Putih itu pun telah meloncat ke tanggul. Dengan tangkas Glagah Pulih memanjat ketika ia merasa air telah memanjat tanggul pula. Bahkan terasa arusnya menjadi sangat deras. Meskipun Glagah Putih telah mengerahkan tenaga cadangannya, namun ternyata air itu tetap mengejarnya, sampai akhirnya Glagah Putih telah berada di atas tanggul.

Demikian Glagah Putih berdiri tegak di atas tanggul, iapun segera berpaling ke sebelahnya. Ia yakin bahwa Raden Rangga pun tentu telah berhasil berdiri di atas tebing pula.

Namun betapa terkejutnya Glagah Putih, ketika ia tidak melihat Raden Rangga berdiri di atas tebing. Apalagi ketika ia memandang ke arah tempat Raden Rangga semula berdiri.

Glagah Putih masih melihat Raden Rangga berdiri di atas batu itu, meskipun air telah melibatnya hampir sampai ke dadanya.

“Raden!” teriak Glagah Putih.

Raden Rangga seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan Glagah Putih menjadi heran ketika ia melihat Raden Rangga seakan-akan sedang berbicara kepada seseorang. Meskipun Raden Rangga tidak berteriak-teriak, namun Glagah Putih seakan-akan mendengar suara Raden Rangga, “Aku tidak berkeberatan. Tetapi bukankah kalian mengetahuinya, bahwa aku sedang mengemban tugas Ayahanda?”

Glagah Putih tidak mendengar jawaban apapun juga. Tetapi sejenak kemudian Raden Rangga berkata, “Jika Ayahanda memerintahkan, aku akan pergi bersama kalian. Tetapi kalianlah yang bertanggung jawab kepada Ayahanda.”

Raden Rangga menunggu sejenak. Lalu, “Terima kasih atas kerinduan itu. Akupun menyadari jika waktuku telah tiba. Tetapi tunggu sampai aku selesai. Baru aku akan pulang. Bagiku sama saja. Bersama Ayahanda atau bersama Ibunda. Tetapi siapakah Ibundaku? Yang nampak di mata, atau yang terbersit di dalam hati?”

Suara Raden Rangga terputus sejenak. Lalu, “Jadi yang nampak dan yang tersimpan itu tidak ada bedanya? Tentu ada. Aku tidak tahu apa yang dimaksud itu.”

Setelah terputus sejenak, Raden Rangga pun berkata, “Aku akan pulang jika tugas ini selesai. Pulang kemana saja. Kepada Ayahanda atau kepada Ibunda. Sekarang tinggalkan aku dalam tugas ini. Lautan tidak dapat menjemputku sekarang. Kecuali Ayahanda hadir sekarang dan memberikan perintah itu kepadaku. Karena Ayahandalah penguasa tunggal di bumi Mataram ini.”

Glagah Putih bagaikan membeku di tempatnya. Yang kemudian dilihat adalah bahwa air itu pun perlahan-lahan menjadi surut, sehingga akhirnya air pun telah pulih kembali seperti sediakala.

Glagah Putih benar-benar menjadi heran atas penglihatannya. Namun beberapa saat ia menunggu. Ia tidak dengan serta merta turun ke sungai dan kembali ke tempatnya.

Tetapi yang membuat jantungnya berdebaran adalah bahwa Raden Rangga itu telah berbaring lagi di atas batu, sebagaimana ia tidur.

Setelah beberapa saat ia menunggu, akhirnya Glagah Putih itu dengan hati-hati menuruni tebing. Ia sadar, bahwa ia telah melihat sesuatu tidak dengan mata wadagnya, karena yang dilihatnya itu ternyata bukan sebagaimana dikenal oleh penglihatan wadagnya.

Perlahan-lahan Glagah Putih mendekati Raden Rangga. Suatu hal yang menarik adalah, bahwa ternyata bebatuan itu sama sekali tidak menjadi basah. Ketika ia tiba-tiba saja berjongkok dan meraba pasir tepian di luar arus air, ternyata pasir itu kering.

“Hm,” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, “sesuatu telah terjadi dengan Raden Rangga.”

Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian telah membangunkan Raden Rangga yang ternyata telah tertidur lagi.

“Raden,” desis Glagah Putih.

Perlahan-lahan Raden Rangga mulai menggeliat. Kemudian iapun terbangun sambil menguap.

“Nyenyak sekali aku tidur,” desis Raden Rangga sambil bangkit dan duduk di atas batu besar itu.

“Raden tidur cukup lama,” berkata Glagah Putih.

“Apakah kau akan ganti tidur dan menghendaki aku duduk berjaga-jaga?” bertanya Raden Rangga.

“Tidak Raden,” jawab Glagah Putih, “aku tidak mengantuk.”

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia berdesis, “Rasa-rasanya lama sekali aku tertidur. Ternyata aku telah bermimpi dahsyat sekali.”

“Bermimpi?” bertanya Glagah Putih.

“Ya, bermimpi,” jawab Raden Rangga.

“Raden bermimpi apa?” bertanya Glagah Putih.

“Sungai ini tiba-tiba saja menjadi banjir,” jawab Raden Rangga.

Jantung Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Dengan nada dalam ia bertanya, “Dan Raden hanyut?”

“Tidak. Aku tetap berdiri di atas batu ini,” jawab Raden Rangga.

“Ada apa di mimpi Raden itu selain banjir?” bertanya Glagah Putih.

“Aku dijemput oleh utusan Ibunda ,” jawab Raden Rangga, “Ibunda menjadi sangat rindu kepadaku. Aku dipanggilnya pulang. Tetapi di dalam mimpi aku teringat perintah Ayahanda, sehingga aku mohon waktu kepada Ibunda itu.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia mampu melihat sebagian dari mimpi Raden Rangga. Tetapi ia tidak dapat melihat yang disebut utusan ibunda Raden Rangga itu.

Dengan demikian maka Raden Rangga merupakan orang yang semakin aneh baginya. Bagaimana mungkin ia dapat melihat mimpi seseorang sebagaimana hal itu benar-benar terjadi. Tetapi menilik pasir dan bebatuan yang tetap kering, maka yang dilihatnya itu bukan yang sebenarnya terjadi.

Glagah Putih menjadi semakin sulit mengerti tentang hubungannya dengan Raden Rangga. Ia banyak terlibat pada diri Raden Rangga. Bukan hanya dalam hubungan kewadagan. Namun bahkan ia terlibat di dalam mimpinya.

“Aku tidak mengerti,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih itu pun bertanya, “Raden. Menurut Raden, sungai ini menjadi banjir di dalam mimpi. Sementara itu, utusan Ibunda telah datang. Bagaimana hubungan antara banjir dan utusan Ibunda itu? Apakah utusan ibunda justru tidak hanyut di dalam banjir?”

“Utusan Ibunda naik seekor kuda yang tegar, justru di ujung banjir. Namun kemudian kuda itu berhenti di atas air yang semakin deras di bawah kaki-kakinya yang kokoh dan kuat,” jawab Raden Rangga.

“O,” Glagah Putih menjadi semakin bingung, sehingga Raden Rangga justru bertanya, “Kau kenapa? Nampaknya kau justru seperti orang kebingungan. Kenapa kau terlalu terpengaruh oleh mimpiku?”

“Raden,” berkata Glagah Putih, “Raden bagiku adalah orang yang aneh. Bagaimana mungkin aku dapat terlibat di dalam mimpi Raden, seakan-akan aku telah ikut mengalaminya. Jika Raden hanya melihat dan mengalaminya di dalam mimpi, maka rasa-rasanya aku justru mengalaminya sesungguhnya. Aku telah berlari-lari menepi dan naik ke atas tanggul pada saat aku melihat Raden siap untuk meloncat dari batu ke batu. Namun ternyata Raden tidak menepi.”

Raden Rangga mengangguk-angguk. Sebenarnya iapun merasa heran, bahwa seseorang dapat terlibat di dalam peristiwa mimpi orang lain.

“Satu peristiwa yang menarik,” berkata Raden Rangga, “meskipun sulit dimengerti, namun hal itu telah terjadi. Sayang, kau tidak melihat utusan Ibunda yang gagah dalam pakaian yang asing di atas seekor kuda yang tinggi tegar.”

“Sayang sekali,” desis Glagah Putih.

“Namun yang kau alami cukup aneh. Banjir itu tentu tidak sesungguhnya terjadi,” berkata Raden Rangga. “Jika benar, aku tentu sudah hanyut.”

“Pasir dan bebatuannya tidak basah selain yang tersentuh air seperti sekarang ini,” sahut Glagah Putih, “tetapi yang aku lihat adalah mimpi sebagaimana Raden ceritakan.”

“Baiklah,” berkata Raden Rangga, “biarlah hal ini merupakan teka-teki. Kita akan mencari jawabnya jika mungkin.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian duduk pula tepekur di atas sebuah batu. Direnunginya air Kali Opak yang gemericik di bawah kakinya.

“Aku merasa bahwa aku justru tidak tertidur sama sekali,” berkata Glagah Putih.

Ketika ia kemudian menengadahkan wajahnya ke langit, dilihatnya langit bersih. Tidak selembar mendung pun yang nampak mengalir didorong angin malam. Juga di lereng Gunung Merapi nampak langit tak berawan sama sekali.

“Tidurlah,” berkata Raden Rangga, “biarlah aku yang berjaga-jaga, meskipun banjir yang sesungguhnya tidak akan datang.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Apakah Raden tidak akan tidur lagi?”

“Jika aku merasa mengantuk maka biarlah aku membangunkanmu,” berkata Raden Rangga kemudian.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berbaring pula di atas sebuah batu yang besar. Batu itu mulai terasa dingin karena embun yang mulai turun.

Tetapi Glagah Putih tidak segera dapat tertidur. Ia masih memikirkan peristiwa yang dialaminya, justru di dalam mimpi Raden Rangga.

Namun akhirnya Glagah Putih berusaha melepaskan semua gerak di dalam hati dan pikirannya. Ia ingin beristirahat barang sejenak di atas batu di Kali Opak itu.

Glagah Putih memang tertidur. Tetapi tidak terlalu lama. Kemudian ia terbangun, maka dilihatnya Raden Rangga masih duduk di tempatnya dengan sikap sebagaimana saat ia tertidur.

“Kau hanya tidur sebentar sekali,” desis Raden Rangga ketika ia melihat Glagah Putih terbangun.

“Sudah cukup,” sahut Glagah Putih, “agaknya aku tidak dapat tidur terlalu lama.”

Raden Rangga hanya mengangguk saja. Namun keduanya pun kemudian terdiam ketika mereka melihat seseorang yang menyusuri sungai itu sambil sekali-sekali menebarkan jalanya.

“Ia mencari ikan semalam suntuk dengan cara itu,” berkata Raden Rangga.

“Tetapi orang-orang yang mencari ikan dengan cara itu, kadang-kadang dapat menangkap ikan sekepis penuh,” jawab Glagah Putih.

“Tentu,” jawab Glagah Putih, “pliridan hanya sekedar untuk membuat kesibukan. Tetapi orang-orang yang menjala ikan semalam suntuk di sepanjang sungai, adalah bagian dari usaha untuk menambah penghasilannya. Biasanya mereka adalah petani,” berkata Glagah Putih.

Raden Rangga mengangguk-angguk. Orang yang menjala ikan itu akhirnya mendekat juga, dan melemparkan jalanya beberapa langkah saja dari kedua anak muda itu.

Sejenak kemudian, maka jala itu telah ditariknya. Ketika jala itu kemudian dibawa menepi dan dikibaskannya sejengkal demi sejengkal, maka beberapa ekor ikan wader pari telah tertangkap di dalamnya.

Demikianlah dilakukan oleh orang itu beberapa kali. Di tempat yang agak dalam dan tidak terdapat banyak bebatuan, maka orang itu telah mendapatkan ikan cukup banyak.

Namun kemudian orang itupun meneruskan kerjanya, menyusuri Kali Opak.

Demikian orang itu hilang di balik bebatuan yang besar, maka Raden Rangga itu pun berkata, “Ia bekerja keras untuk keluarganya. Jika ia seorang yang berusaha untuk memperdalam olah kanuragan, maka laku yang dijalaninya cukup tinggi. Tetapi ia terpancang pada usahanya untuk mendapatkan sesuap nasi besok pagi.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Orang-orang seperti itu biasanya menyusuri sungai semalam suntuk antara tiga empat hari sekali. Dari matahari terbenam sampai matahari terbit.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Raden Rangga berkata, “Marilah. Kita meneruskan perjalanan.”

“Sekarang?” bertanya Glagah Putih.

“Ya. Justru kita tidak akan kepanasan,” jawab Raden Rangga.

Glagah Putih pun mengangguk-angguk. Iapun segera membenahi dirinya. Mencuci wajahnya dengan air Kali Opak yang bening dan dingin. Kemudian bersama Raden Rangga meneruskan perjalanan di sisa malam itu.

Seperti sebelumnya, keduanya sama sekali tidak nampak tergesa-gesa. Raden Rangga berjalan sambil mempermainkan tongkatnya, sementara Glagah Putih melangkah satu-satu sambil memperhatikan keadaan di sekitarnya.

Keduanya justru berjalan memanjat kaki lereng Merapi. Semakin lama semakin tinggi. Baru kemudian mereka berbelok di lambung menuju ke arah timur.

Ketika matahari terbit, keduanya sampai ke sebuah padukuhan yang banyak dikenal oleh orang-orang di sekitarnya, karena sebatang pohon yang besar dan disebut pohon Mancawarna. Orang-orang di padukuhan itu dan di sekitarnya percaya bahwa pohon yang besar, sebesar pohon beringin itu, mempunyai beberapa jenis bunga. Barang siapa yang dapat melihat kuntum bunga melati pada pohon yang besar itu, maka orang itu akan mendapatkan sesuatu yang berharga, atau satu di antara keinginan-keinginannya yang besar akan terpenuhi.

Sementara itu, pasar yang cukup besar terdapat di sebelah pohon yang besar itu. Beberapa buah kedai terdapat di dalamnya, sehingga Raden Rangga pun kemudian berkata, “Kau lihat nasi yang masih mengepul itu?”

“Ya Raden,” jawab Glagah Putih.

“Apakah kau tidak lapar?” bertanya Raden Rangga pula.

Glagah Putih tersenyum. Namun kemudian iapun mengangguk. Katanya, “Aku memang sudah lapar Raden.”

Keduanya pun kemudian memasuki sebuah kedai di antara beberapa buah kedai yang berjajar di pinggir pasar itu. Di sebelah lain berjajar pula beberapa pandai besi yang mengerjakan beberapa jenis alat-alat pertanian.

Agaknya dimana-mana memang ada orang-orang yang merasa dirinya lebih besar dari orang lain. Ternyata juga di pasar itu pun terdapat orang-orang yang demikian. Seorang yang agak gemuk merupakan orang yang paling ditakuti di pasar itu. Ia dapat berbuat apa saja sekehendaknya. Bahkan ia sering makan di kedai-kedai itu tanpa mau membayar. Untungnya orang itu mau berpikir juga, sehingga hal itu dilakukannya bergantian. Tidak hanya pada sebuah saja di antara kedai-kedai yang ada. Sekali ia berada di ujung kanan, kemudian lain kali di ujung kiri, atau di sebelahnya, atau di tengah. Dengan demikian maka para penjual di kedai itu tidak merasa terlalu banyak dirugikan.

Ketika Raden Rangga dan Glagah Putih sedang makan nasi hangat, mereka terkejut dengan kehadiran orang yang agak gemuk, berjambang dan berkumis lebat, menyelipkan golok besar di pinggangnya.

Demikian orang itu masuk, maka pemilik kedai itu sudah nampak gugup dan ketakutan. Apalagi ketika orang itu dengan nada keras memesan beberapa jenis makanan dan semangkuk wedang sere dengan gula kelapa.

Dengan tergesa-gesa maka pemilik kedai itu segera menyajikan apa yang telah dimintanya.

“Kau punya tuak legen aren?” bertanya orang yang agak gemuk itu.

“O, maaf Ki Dumi, kami tidak mempunyainya,” jawab pemilik kedai itu dengan nada ketakutan.

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Biarlah aku beli di kedai lain. He, karena ini salahmu, maka beri aku uang.”

Pemilik kedai itu sama sekali tidak membantah. Justru setelah orang itu selesai makan dan minum, maka ia telah menerima beberapa keping uang dari pemilik kedai itu.

Demikian orang itu pergi, maka Raden Rangga pun telah bertanya, “Ki Sanak. Apakah kau tidak menderita rugi mengalami perlakuan yang demikian?”

“Tidak Ki Sanak. Dan ini tidak terjadi setiap hari. Mungkin lima enam hari sekali. Bahkan kadang-kadang lebih,” jawab pemilik kedai itu.

Raden Rangga hanya mengangguk-angguk saja. Bahkan Glagah Putih menjadi cemas bukan karena orang itu. Tetapi sulit untuk mencegah jika tiba-tiba saja Raden Rangga berniat sesuatu.

Tetapi agaknya Raden Rangga pun bergumam, “Jika kau tidak merasa dirugikan, biarlah hal ini terjadi dalam keadaan tenang dan damai.”

Pemilik warung itu mengangguk-angguk. Namun ia merasa heran bahwa ada seseorang yang berani menanyakan tentang orang yang gemuk dan membawa golok di pinggangnya itu.

Tetapi Raden Rangga dan Glagah Putih memang tidak berbuat apa-apa. Mereka masih tetap duduk di tempat mereka sambil makan, dan sekali-sekali meneguk minuman panas yang menyegarkan.

Setelah selesai makan dan minum, maka keduanya pun minta diri sambil membayar harga makanan dan minuman mereka.

Tetapi ketika keduanya keluar dari kedai itu, keduanya terkejut. Beberapa orang telah berlari-lari, sementara ada yang memperhatikan ke satu arah dari kejauhan.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Glagah Putih kepada pemilik warung.

Pemilik warung itu pun kemudian keluar dari warungnya. Namun kemudian iapun menarik nafas sambil berdesis, “Satu kebetulan yang dapat membuat pasar ini menjadi kisruh.”

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih pula.

“Ki Dumi telah bertemu dengan Ki Santop. Dua orang musuh bebuyutan. Biasanya keduanya saling menghindar. Namun agaknya keduanya telah memasuki warung yang sama untuk mencari legen aren,” jawab pemilik warung itu.

“Biasanya mereka selalu berselisih?” bertanya Glagah Putih pula.

“Ya. Bahkan kadang-kadang berkelahi,” jawab pemilik kedai itu. “Namun daerah ini sebenarnya adalah daerah Ki Dumi. Orang gemuk yang tadi masuk ke warung ini. Ki Santop biasanya berada di pasar Prambanan. Mungkin ada sesuatu hal yang membawanya kemari, sehingga keduanya bertemu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, beberapa orang memang sudah menyingkir. Menjauhi kedua orang yang nampaknya memang sedang bertengkar itu. Semakin lama semakin keras.

“Marilah, kita lihat apa yang dipertengkarkan,” ajak Raden Rangga.

“Jangan, Anak Muda,” cegah pemilik warung itu, “jika mereka marah, kadang-kadang mereka kehilangan kendali diri. Daripada kalian mengalami kesulitan, jangan mendekat. Lihat, orang-orang tua pun telah bergeser menjauh.”

Tetapi Raden Rangga justru tertawa. Katanya, “Aku ingin tahu apa yang mereka persoalkan.”

Pemilik kedai itu tidak dapat mencegahnya lagi. Raden Rangga telah mengajak Glagah Putih justru mendekati dua orang yang sedang bertengkar itu, sehingga mereka mendengar apa yang dipertengkarkan.

“Aku tidak peduli ini daerahmu,” berkata Ki Santop, “kau sudah menghina kemenakanku kemarin. Bahkan kau sebut-sebut namaku. Aku tidak mau menerima penghinaan seperti itu.”

“Keponakanmu memang gila,” geram Ki Dumi, “ia kira bahwa ia dapat berbuat apa saja karena ia kemanakan Santop, termasuk berbuat gila di lingkungan kuasaku.”

“Omong kosong,” jawab Santop, “ia tidak berbuat apa-apa. Kaulah yang terlalu besar kepala. Kau anggap dunia ini sudah menjadi milikmu.”

“Persetan,” geram Dumi, “sekarang kau mau apa? Aku memang telah memukuli kemenakanmu yang mencoba mencuri di pasar ini beberapa hari yang lalu.”

“Ia tidak mencuri, dungu!” bentak Santop. “Ia mengambil benda yang dibutuhkan sebagaimana kau mengambilnya.”

“Itu tidak mungkin!” Dumi hampir berteriak. “Jika aku dapat mengambil apa saja yang aku butuhkan, justru aku melindungi mereka, seisi pasar ini, dari tangan-tangan panjang seperti kemenakanmu itu.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar