Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 206

Buku 206

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia percaya kepada kata-kata Raden Rangga itu. Namun iapun mengerti, bahwa Raden Rangga sebenarnya dapat mengurangi tenaga yang dipergunakan untuk melontarkan batu itu. Tetapi seperti biasanya, anak itu tidak sempat memperhitungkannya.

Sementara itu, kuda Raden Rangga menjadi semakin lambat. Dengan dahi yang berkerut Raden Rangga berkata, “Ternyata dugaanmu benar. Orang itu tentu termasuk kelompok orang-orang yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu.“

“Agaknya memang demikian,“ desis Glagah Putih.

“Mereka tentu termasuk orang-orang yang terlibat di dalam usaha menyingkirkan Ayahanda Panembahan Senapati,“ berkata Raden Rangga. “Jika kita dapat berbicara dengan mereka, maka mungkin mereka akan dapat menunjukkan tempat yang sedang kita cari.“

“Mungkin Raden,“ jawab Glagah Putih, “tetapi mungkin juga tidak. Jalur di antara orang-orang terpenting dan orang-orang yang hanya melakukan perintah itu biasanya terputus di tengah oleh orang-orang khusus, sehingga orang-orang yang tinggal melakukan perintah itu sama sekali tidak mengenal siapakah pemimpin mereka yang sebenarnya.“

“Tetapi kita dapat mencoba. Jika mereka juga berasal dan perguruan Nagaraga, maka setidak-tidaknya kita akan mendapatkan sedikit keterangan tentang perguruan itu,“ berkata Raden Rangga.

Glagah Putih menjadi ragu-ragu.

Sementara itu, Raden Rangga pun telah menarik kekang kudanya, sehingga kudanya pun telah berputar.

“Marilah,“ ajak Raden Rangga.

Glagah Putih pun telah memutar kudanya pula dan keduanya pun berpacu kembali ke Kali Opak.

Namun mereka sudah tidak menjumpai orang-orang itu berada di tempatnya. Yang ada tinggallah bekas-bekas jejak kaki mereka. Orang yang telah dikenai batu itupun telah dibawa pula oleh kawan-kawannya Sementara itu, orang yang mengail itu pun telah tidak ada di tempatnya pula. Tetapi kail dan ikan yang pernah didapatkannya ternyata tertinggal di tempat ia mengail.

“Kita terlambat menyadarinya,“ Raden Rangga mengangkat bahu.

Glagah Putih mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya. Agaknya kita memang harus mencarinya.“

Raden Rangga mengangguk-angguk. Keduanya pun kemudian memutar kuda mereka sekali lagi dan meneruskan perjalanan mereka ke Jati Anom.

Ternyata kuda-kuda itu memang kuda-kuda yang sangat baik. Namun keduanya tidak berpacu sepenuhnya agar perjalanan mereka tidak menarik perhatian orang-orang yang berpapasan. Meskipun ada juga orang-orang berkuda yang berjalan searah dan didahului merasa tersinggung juga, karena kuda kedua anak muda itu sangat baik dan tegar.

“Kita akan langsung menuju ke padepokan Kiai Gringsing saja,“ berkata Glagah Putih, “baru kemudian kita dapat singgah di rumah Ayah dan Kakang Untara. Jika perlu kita dapat singgah pula di Sangkal Putung menengok Kakang Swandaru.”

Raden Rangga mengangguk-angguk, Katanya, “Kita singgah di Sangkal Putung jika ada waktu. Aku tidak begitu akrab mengenal Swandaru. Agaknya ia lain dari Agung Sedayu, meskipun gurunya seorang.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Iapun tidak begitu dekat dengan saudara seperguruan kakak sepupunya itu.

Ketika mereka memasuki Jati Anom, maka Glagah Putih telah memilih jalan yang langsung menuju ke sebuah padepokan kecil. Padepokan yang dihuni oleh Kiai Gringsing.

“Mudah-mudahan Kiai Gringsing ada di padepokan,“ berkata Glagah Putih.

“Jika ia berada di Sangkal Putung, kita terpaksa pergi ke sana,“ desis Raden Rangga.

Kedua anak muda itu pun kemudian menyusuri jalan di muka sebuah padepokan kecil. Ketika mereka berhenti di depan regol yang terbuka, maka mereka pun telah melihat seorang penghuni padepokan itu. Seorang cantrik yang sedang menyiangi tanaman di halaman samping.

Keduanya pun kemudian meloncat turun dari kudanya dan menuntun memasuki halaman.

Kedatangan mereka telah mengejutkan cantrik yang sedang sibuk di halaman samping. Iapun segera berlari-lari menyongsong keduanya sambil berdesis, “Selamat datang di padepokan kecil ini.“

Glagah Putih tersenyum. Ketika cantrik itu minta kendali kuda mereka, maka keduanya pun telah menyerahkannya. Cantrik itu menuntun kudanya ke bawah sebatang pohon yang rindang dan menambatkannya. Namun untuk sesaat ia sempat menepuk leher kuda itu sambil berkata, “Kuda-kuda yang luar biasa.“

“Kenapa?“ bertanya Glagah Putih.

“Jarang kita menemui kuda setegar kuda-kuda ini,“ jawab cantrik itu.

Glagah Putih tersenyum. Namun kemudian iapun bertanya, “Apakah Kiai Gringsing ada di padepokan?“

“Ada,“ jawab cantrik itu, “silahkan duduk. Kiai ada di pategalan di belakang padepokan ini. Aku akan menyampaikan kehadiran kalian kepada Kiai Gringsing.“

Kedua anak muda itu pun kemudian naik ke pendapa padepokan dan duduk di atas tikar pandan yang putih. Ketika mereka sempat mengedarkan pandangan mereka, maka nampak plataran depan dan halaman samping yang bersih dan terawat rapi.

“Agaknya Kiai Gringsing benar-benar berusaha untuk membatasi dirinya di dalam padepokan ini,“ berkata Raden Rangga.

“Mungkin. Tetapi cantrik cantriknya cukup trampil untuk memelihara padepokan ini jika Kiai Gringsing keluar,“ jawab Glagah Putih.

Raden Rangga mengangguk angguk. Agaknya Kiai Gringsing berhasil menuntun para cantriknya untuk menjaga agar padepokan kecil itu tetap nampak besih dan segar.

Namun tiba-tiba Raden Rangga itu bertanya, “Tetapi apakah para cantrik juga mendapat tuntunan olah kanuragan dan ilmu kawijayan?“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Kemudian perlahan-lahan ia menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu Raden.”

Raden Rangga mengangguk angguk Karena Giagah Putih tidak dapat menjawab pertanyaannya, maka iapun kemudian telah menjawabnya sendiri, “Barangkali sedikit sedikit saja. Tentu tidak akan seperti Agung Sedayu dan Swandaru.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya, Namun iapun hanya mengangguk kecil saja.

Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing pun telah muncul dari samping pendapa. Dengan wajah yang lembut cerah ia menyambut kedatangan Raden Rangga dan Glagah Putih.

“Itulah sebabnya maka sehari-harian burung prenjak selalu berkicau di halaman sebelah kanan,“ berkata Kiai Gringsing sambil tersenyum.

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk hormat. Dengan nada rendah Raden Rangga berkata, “Maaf Kiai. Kami datang tanpa memberitahukan lebih dahulu.”

“Ah, seperti apa saja,“ sahut Kiai Gringsing, “seolah-olah aku adalah orang yang sangat penting yang harus membagi waktu sebaik-baiknya. Aku merasa gembira sekali Raden dan Glagah Putih tiba-tiba saja muncul di padepokan yang sepi ini. Tetapi untunglah bahwa kalian datang hari ini. Jika kalian datang kemarin, aku tidak berada di padepokan.”

“Kemarin Kiai pergi ke mana?“ bertanya Raden Rangga.

“Tiga hari aku berada dl Sangkal Putung. Baru semalam aku kembali,“ jawab Kiai Gringsing yang kemudian duduk bersama mereka. Orang tua itu pun kemudian menanyakan keselamatan perjalanan kedua anak muda itu, serta orang-orang yang ditinggalkannya di Tanah Perdikan Menoreh.

”Kami memang baru saja datang dari Menoreh langsung kemari,“ Glagah Putih kemudian menjelaskan, “kami tidak singgah di Mataram. Baru dari Jati Anom kami akan ke Mataram.“

“Apakah Raden Rangga juga dari Tanah Perdikan Menoreh?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Ya Kiai,“ jawab Raden Rangga, “aku berada dl Tanah Perdikan selama tiga hari.“

“O,“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Sudah agak lama kalian tidak datang ke padepokan ini. Glagah Putih pun juga sudah beberapa lama tidak mengunjungi ayahnya dan kakaknya Untara.“

“Ya Kiai,“ sahut Glagah Putih, “itulah sebabnya sekarang aku memerlukan datang kemari.“

“Jadi kalian hanya sekedar berkunjung saja?“ bertanya Kiai Gringsing.

Glagah Putih dan Raden Rangga saling berpandangan sejenak. Namun yang sejenak itu telah memberikan kesan bagi Kiai Gringsing. Meskipun kedua anak muda itu belum mengatakan sesuatu, namun Kiai Gringsing telah mendahuluinya. “Baiklah. Aku tahu, ada sesuatu yang akan kalian katakan. Tetapi sebaiknya kalian tidak tergesa-gesa. Kita mempunyai waktu yang panjang. Bukankah kalian tidak tergesa-gesa?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Kiai, kami memang mempunyai keperluan. Namun kami memang tidak tergesa-gesa, karena aku masih akan mengunjungi Ayah dan Kakang Untara.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Jika demikian kita tidak perlu membicarakan sekarang. Kalian tentu masih lelah dan ingin beristirahat.“

Glagah Putih dan Raden Rangga tersenyum. Sementara itu Raden Rangga berkata, “Nampaknya memang segar sekali beristirahat di padepokan kecil ini Kiai. Rasa-rasanya kami ingin melihat-lihat barang sejenak.“

“Sebentar Raden,“ jawab Kiai Gringsing, “para cantrik baru mempersiapkan sekedar penawar haus bagi Raden.”

Sebenarnyalah, sejenak kemudian para cantrik pun telah menghidangkan minuman panas serta beberapa potong makanan. Ketela yang direbus dengan santan dan garam, serta jagung muda yang direbus pula.

Setelah mereka menikmati hidangan itu, maka kedua anak muda itu sempat melihat-lihat halaman dan kebun padepokan kecil itu, serta berbicara dengan beberapa orang cantrik yang pada umumnya sudah mengenal Glagah Putih. Baru kemudian kedua anak muda itu minta diri untuk pergi ke Banyu Asri dan berkunjung ke rumah Untara.

Kiai Gringsing yang mengantar keduanya sampai ke regol sempat juga mengagumi kedua ekor kuda itu. Katanya, “Rasa-rasanya ingin aku kembali menjadi anak muda, jika aku berkesempatan memiliki kuda yang tegar seperti itu.“

Glagah Putih dan Raden Rangga hanya tertawa saja. Sementara itu mereka pun telah meninggalkan padepokan itu menuju ke Banyu Asri, ke rumah keluarga Widura yang sudah tidak lagi menjadi seorang prajurit karena iapun menjadi semakin tua, dan agaknya ia telah memutuskan untuk mendekatkan hidupnya ke kedamaian.

Kedatangan Glagah Putih dan Raden Rangga diterima dengan penuh kegembiraan. Bagaimanapun juga Glagah Putih pernah menjadi anak yang sedikit manja di lingkungan keluarganya. Karena itu kedatangannya benar-benar membuat suasana rumahnya menjadi cerah. Ayahnya sempat mempertanyakan keadaan Tanah Perdikan Menoreh yang sudah lama tidak dikunjunginya.

Glagah Putih pun kemudian telah menceritakan bukan hanya serba sedikit, tetapi cukup panjang dan luas tentang Tanah Perdikan Menoreh. Terutama tentang Agung Sedayu dan istrinya Sekar Mirah, serta orang yang juga menjadi gurunya, Kiai Jayaraga, serta tentang Ki Gede Menoreh sendiri. Bahkan Glagah Putih telah menceritakan pula keadaan terakhir yang berkembang di Tanah Perdikan sehingga akhirnya ia dan Raden Rangga telah terseret ke dalam peristiwa yang terjadi di Mataram.

“Untuk itu maka kami telah mendapat semacam hukuman. Kami berdua harus menelusuri jalur yang terputus dari orang yang cirinya dikenal sebagai orang-orang perguruan Nagaraga. Namun sama sekali belum ada petunjuk tentang perguruan itu. Baru pada saat kami siap akan berangkat, maka kami harus singgah pula di Mataram. Ki Patih Mandaraka akan memberikan sedikit petunjuk, karena yang diketahuinya pun hanya sedikit pula,“ berkata Glagah Putih.

Widura menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia mencela tingkah laku anaknya sehingga menimbulkan kemarahan Panembahan Senapati. Tetapi ketika ia menyadari kehadiran Raden Rangga, maka niatnya itu pun telah diurungkannya.

Meskipun demikian Widura itu pun berkata, “Satu pengalaman bagimu Glagah Putih. Ambillah arti dari peristiwa itu bagi perkembangan kepribadianmu kemudian.“

Glagah Putih menundukkan kepalanya. Sementara itu Raden Rangga pun mengangguk-angguk tanpa menjawab sama sekali. Namun sekali-sekali ia sempat memandang Glagah Putih dengan sudut matanya.

Sebenarnyalah Ki Widura merasa cemas akan tugas yang dibebankan oleh Panembahan Senapati kepada kedua anak-anak yang masih terlalu muda itu. Agaknya kemarahan Panembahan Senapati kepada putranya sudah mencapai puncaknya. Berkali-kali Raden Rangga dianggap telah mencampuri persoalan ayahandanya. Berkali-kali pula ia telah mendapat peringatan dan bahkan hukuman. Namun agaknya anak itu tidak pernah merasa jera.

Dalam beberapa kesempatan Ki Widura mengunjungi Kiai Gringsing di padepokannya, Kiai Gringsing pernah berbicara tentang anak muda itu serta hubungannya yang akrab dengan Glagah Putih. Dan kini ternyata bahwa keduanya telah mendapat hukuman bersama-sama. Tidak tanggung-tanggung, namun benar-benar satu hukuman yang berat.

Ki Widura memang tidak dapat memberikan petunjuk apapun tentang perguruan Nagaraga. Meskipun ia memang pernah juga mendengar, tetapi sama sekali tidak memberikan arah apapun juga karena Ki Widura hanya terbatas pada sekedar mendengar namanya.

“Kiai Gringsing mungkin mengetahui serba sedikit tentang perguruan itu,“ berkata Ki Widura, “apakah kau telah membicarakannya dengan orang tua itu?“

Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Kami belum menyampaikannya kepada Ki Gringsing. Kiai Gringsing menghendaki agar nanti malam saja kita berbicara.“

Ki Widura mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Malam nanti kau akan berada dimana?“

“Kami akan tidur di padepokan, Ayah,“ jawab Glagah Putih.

“Kau tidak tidur di sini?“ bertanya ayahnya pula.

“Kami akan berbicara tentang perguruan Nagaraga malam nanti,“ jawab Glagah Putih.

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah ia ingin anaknya berada di rumah agak lama. Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih akan bermalam di padepokan.

Namun justru karena itu maka Ki Widura berkata, “Baiklah. Biarlah aku yang pergi ke padepokan. Mungkin aku akan dapat ikut mendengarkan pembicaraan kalian dengan Kiai Gringsing tentang perguruan Nagaraga itu.”

Namun kedua anak muda itu tidak diijinkannya meninggalkan Banyu Asri sebelum mereka lebih dahulu makan bersama di rumah itu. Baru setelah keduanya mendapat hidangan makan, maka keduanya telah minta diri untuk pergi ke Jati Anom, mengunjungi kakak sepupu Glagah Putih yang menjadi senapati prajurit Mataram yang berkedudukan di Jati Anom.

Kedatangan keduanya di Jati Anom memang mengejutkan Untara. Apalagi ketika Glagah Putih telah menceritakan apa yang akan mereka lakukan.

“Jadi kalian harus melacak satu perguruan yang sudah tidak jelas lagi sekarang?“ bertanya Untara.

“Ya,“ jawab Glagah Putih. “mudah-mudahan Kiai Gringsing dan Ki Patih Mandaraka dapat memberikan petunjuk serba sedikit.“

Untara mengangguk-angguk. Namun kesan yang timbul di dalam hatinya sebagaimana terjadi pada Ki Widura. Panembahan Senapati agaknya memang benar-benar marah kepada Raden Rangga sehingga hukuman yang berat itu telah dijatuhkannya. Glagah Putih yang terlibat dalam kesalahan itu pun harus memikul hukuman pula bersamanya.

Tetapi Untara tidak mengatakannya. Ia hanya memberikan pesan-pesan atas dasar pengalamannya sebagai prajurit. Menelusuri perguruan yang sudah tidak banyak terdengar lagi akan dapat menjadi sangat berbahaya. Apalagi telah terbukti ada usaha dari perguruan itu untuk langsung menyingkirkan Panembahan Senapati.

“Jika kalian menemukan padepokan itu, maka masih menjadi pertanyaan, apa yang dapat kalian lakukan terhadap isi dari perguruan itu,“ berkata Untara.

“Kami tidak harus berbuat apa-apa,“ jawab Glagah Putih, “semuanya harus kami laporkan. Panembahan Senapati sendiri akan mengambil langkah-langkah yang perlu.“

“Tetapi mungkin kita akan terbentur pada satu keadaan tanpa pilihan,“ sahut Raden Rangga. “Jika orang-orang perguruan itu berani memasuki istana dan langsung bertemu dengan Panembahan Senapati, kenapa kita tidak melakukannya di perguruan itu?“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ditatapnya Raden Rangga untuk beberapa saat. Namun sebelum Glagah Putih mengatakan sesuatu Raden Rangga telah mendahuluinya, “Sudahlah. Segala sesuatunya akan kita sesuaikan dengan keadaan. Mungkin kita memang tidak akan berbuat sesuatu, karena pesan Ayahanda.“

“Agaknya Raden mempunyai pikiran lain.“ desis Glagah Putih. “Apakah Raden berniat melakukannya sebagaimana dilakukan oleh ketiga orang di Mataram itu? Ternyata mereka pun kurang memahami keadaan. Orang yang dengan berani berusaha bertemu langsung dengan Panembahan Senapati itu pun akhirnya tidak mampu berbuat sesuatu.”

“Jadi kau juga mempunyai perhitungan serupa atas kita, seandainya kita memasuki perguruan itu?“ bertanya Raden Rangga.

“Bukan akhir dari peristiwanya, tetapi kita memang belum mempunyai gambaran sama sekali tentang isi padepokan itu, sebagaimana ketiga orang Nagaraga yang memasuki istana Mataram,“ jawab Glagah Putih.

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Baiklah. Kita tidak usah membicarakannya.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Untara pun berkata, “Kalian memang harus berhati-hati. Sangat berhati-hati. Seandainya yang harus kalian lakukan bukan satu hukuman, maka kalian berdua dapat mengajak orang lain yang akan dapat membantu kalian. Misalnya Agung Sedayu dan Swandaru. Tetapi aku tidak tahu, apakah hal itu akan dibenarkan oleh Panembahan Senapati.“

Raden Rangga-lah yang menjawab, “Aku tidak berani melakukannya. Mungkin Ayahanda tidak membenarkan. Bahkan mungkin akan dapat menambah kemarahan Ayahanda, sehingga Agung Sedayu dan Swandaru akan terpercik oleh kesalahanku. Karena itu, biarlah aku dan Glagah Putih sajalah yang berangkat menelusuri jejak orang-orang Nagaraga itu.“

Untara menarik nafas dalam-daiam. Ia menyadari, bahwa yang dikatakan oleh Raden Rangga itu benar. Karena itu, maka Untara tidak membicarakannya lagi. Namun yang kemudian dipesankan adalah, bahwa keduanya harus mampu menilai keadaan sebaik-baiknya sehingga mereka tidak akan terjerumus sekedar karena dorongan perasaan.

“Kalian harus tetap mempergunakan nalar sebaik-baiknya menghadapi keadaan yang paling gawat,” berkata Untara. “Jika kalian kehilangan penalaran dan sekedar terdorong oleh perasaan, maka kalian akan dengan mudah terjerumus ke dalam kesulitan, dan bahkan mungkin kalian tidak akan mampu mengurai kesulitan itu.“

Kedua anak itu mengangguk-angguk. Mereka menyadari, bahwa Untara adalah seorang senapati yang memiliki pengalaman yang sangat luas, sehingga yang dikatakan itu tentu bukan sekedar omong kosong. Karena itu, maka kedua anak muda itu telah memperhatikannya dengan bersungguh-sungguh, sehingga semua pesan itu akan menjadi bekal perjalanan mereka yang berbahaya itu.

Ternyata Glagah Putih dan Raden Rangga tidak terlalu lama berada di rumah Untara. Mereka harus segera kembali ke padepokan untuk berbicara dengan Kiai Gringsing tentang persoalan yang sama sebagaimana mereka persoalkan dengan Untara dan Ki Widura.

“Kalian akan bermalam di padepokan Kiai Gringsing?“ bertanya Untara.

“Ya Kakang,“ jawab Glagah Putih, “Kiai Gringsing akan memberikan beberapa petunjuk. Mudah-mudahan petunjuknya akan dapat memberikan jalan agar usaha kami dapat berhasil.“

Untara mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya pula, “Kapan kalian berangkat?”

“Besok kami akan kembali ke Mataram, mohon diri kepada Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka, yang juga akan memberikan bekal kepada kami,“ jawab Glagah Putih.

“Baiklah,“ berkata Untara sambil mengangguk-angguk kecil, “jika besok kalian tidak sempat singgah, ingat-ingat sajalah pesanku. Aku akan ikut berdoa semoga perjalanan kalian berhasil dengan selamat. Namun sadari sepenuhnya bahwa perjalanan kalian bukan sekedar perjalanan pengembara yang seakan-akan asal saja berjaian, menyusuri bulak dan padukuhan. Tetapi perjalanan kalian adalah perjalanan yang sangat berbahaya. Benar-benar berbahaya.“ “Terima kasih,“ sahut Raden Rangga, “kami akan selaiu mengingat pesan itu. Kami sadari bahwa yang kami lakukan adalah laku dari satu hukuman yang dibebankan kepada kami dari Ayahanda Panembahan Senapati, yang tidak dapat kami ingkari.“

“Semoga perjalanan kalian dilindungi oleh Yang Maha Kasih,“ berkata Untara bersungguh-sungguh.

Dermkianlah, maka kedua anak muda itu pun meninggalkan rumah Untara, kembali ke padepokan kecil yang dihuni oleh Kiai Gringsing. Mereka ingin segera mendapat petunjuk-petunjuk tentang perguruan yang disebut perguruan Nagaraga itu.

Dengan kuda-kuda mereka yang tegar mereka menuju ke padepokan, menyusuri jalan-jalan kademangan yang termasuk ramai, justru karena di kademangan itu terdapat sepasukan prajurit Mataram.

Sementara itu, jalan-jalan pun telah menjadi suram karena matahari telah terbenam. Lampu-lampu minyak telah mulai diyalakan di dalam rumah-rumah dan bahkan di beberapa pintu regol pun telah menyala pula oncor jarak atau dlupak kecil, yang nyalanya terayun-ayun ditiup angin. Bahkan kadang-kadang nyala itu telah mati sendiri apabila angin bertiup lebih keras lagi.

Ketika kedua orang anak muda itu sumpai di padepokan kecil, mereka melihat seekor kuda berada di halaman. Baru ketika mereka turun ke halaman, mereka melihat di pendapa Ki Widura justru sudah berada di padepokan itu.

“Ayah telah datang lebih dahulu,“ desis Glagah Putih.

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Kau memang anak manja. Dimana-mana kau telah dimanjakan.“

“Kenapa aku manja?“ bertanya Glagah Putih.

Raden Rangga tidak segera menjawab. Tetapi ia justru tertawa. Baru kemudian katanya, “Jika kau pergi bersama ayahmu dari Banyu Asri, kau tentu digandengnya agar tidak terperosok di jalan licin.“

“Ah, Raden mengada-ada saja,“ desis Glagah Putih.

Tetapi Raden Rangga tertawa lebih keras, sehingga justru terdengar dari pendapa, sehingga Ki Widura telah berpaling.

Ki Widura pun kemudian melihat Glagah Putih dan Raden Rangga memasuki halaman. Seorang cantrik telah menerima kuda mereka dan membawanya ke samping. Sementara itu, Glagah Putih dan Raden Rangga pun telah pergi ke pendapa pula.

“Ayah sudah lama?“ bertanya Glagah Putih.

“Belum terlalu lama,“ jawab Ki Widura.

“Ayah belum bertemu dengan Kiai Gringsing?“ bertanya Glagah Putih pula.

“Sudah,“ jawab Widura, “sudah agak lama aku berbincang dengan Kiai Gringsing. Lihat, di sini sudah ada dua buah mangkuk minuman dan beberapa potong makanan.“

Glagah Putih pun mengangguk-angguk. Berdua dengan Raden Rangga keduanya telah duduk pula bersama Ki Widura, sambil menunggu kehadiran Kiai Gringsing yang baru pergi ke dalam.

Tetapi yang muncul lebih dahulu adalah hidangan buat Raden Rangga dan Glagah Putih. Baru kemudian Kiai Gringsing keluar dari ruang dalam sambil tersenyum.

“Ayahmu datang lebih dahulu Glagah Putih,“ berkata Kiai Gringsing.

“Kami singgah di rumah Kakang Untara,“ jawab Glagah Putih.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia sudah tahu bahwa keduanya singgah di rumah Untara sebagaimana dikatakan oleh Ki Widura.

Beberapa saat kemudian mereka telah berbicara tentang banyak hal. Tentang perkembangan padepokan kecil itu. Tentang Kademangan Jati Anom yang semakin besar karena kademangan itu telah terpilih menjadi tempat kedudukan pasukan Mataram yang dipimpin oleh Untara. Sementara itu Untara telah menyediakan rumahnya sendiri bagi kepentingan pasukannya, tanpa terpikir olehnya bahwa rumah itu termasuk warisan yang harus dibaginya dengan Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu sendiri telah melupakannya pula, sebagaimana Untara tidak pernah menghiraukannya.

Mereka juga sempat berbicara tentang Tanah Perdikan Menoreh, bahkan tentang Mataram yang baru dibayangi oleh hadirnya satu kekuatan dari perguruan yang disebut perguruan Nagaraga.

Dengan pijakan pembicaraan itu, mulailah Glagah Putih dan Raden Rangga membicarakan tugas mereka untuk menelusuri perguruan yang tidak lagi banyak dikenal.

“Mungkin Kiai dapat memberikan beberapa petunjuk tentang perguruan itu,“ berkata Glagah Putih kemudian, setelah ia menceritakan apa yang pernah dialami, dan tugas yang diberikan kepada Raden Rangga dan kepadanya.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Nagaraga adalah nama sebuah perguruan yang sudah lama tidak banyak menunjukkan kegiatannya. Karena itu, agak mengherankan jika tiba-tiba satu kegiatan yang besar dan menentukan telah dilakukan, bahkan menyangkut orang dalam jumlah yang besar.“

“Ya Kiai,“ sahut Raden Rangga, “perguruan itu tentu membawa orang yang cukup banyak. Sepuluh orang telah mengacaukan Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu, yang terakhir masih kami jumpai beberapa orang lagi di pinggir Kali Opak. Sedangkan mereka yang berusaha untuk menyingkirkan Ayahanda Panembahan Senapati adalah tiga orang yang tentu memilik ilmu yang tinggi. Tanpa ilmu itu, mereka tidak akan berani mengambil langkah yang sangat berbahaya itu secara langsung.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ternyata Kiai Gringsing pun mempunyai pendapat sebagaimana pendapat sebelumnya, bahwa perguruan yang demikian itu memang dapat menjadi perguruan yang berbahaya. Selama perguruan itu seakan-akan tenggelam, ternyata bahwa perguruan itu justru telah. menempa diri dalam lingkungan tertutup, untuk pada suatu saat melenting dengan kemampuan yang sangat tinggi.

“Tetapi tiga orang di antara mereka telah terbunuh,“ berkata Raden Rangga. “Menurut pendapatku, tentu orang yang terpenting dari perguruan itulah yang telah datang ke Mataram dan berusaha untuk dengan langsung menyingkirkan Ayahanda Panembahan Senapati.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat dengan Raden. Tetapi masih harus dipertanyakan, apakah orang yang datang kepada Panembahan Senapati itu adalah orang tertinggi dari padepokan itu. Orang itu tentu merasa dirinya mumpuni, Namun mungkin masih ada orang lain yang memiliki ilmu pada tataran yang sama, atau bahkan di atasnya.“

Raden Rangga mengangguk-angguk. Sambil mengerutkan keningnya ia berdesis, “Mungkin Kiai. Itulah sebabnya kami ingin mendapat petunjuk, apakah yang sebaiknya kami lakukan. Dan kemana kami harus mengambil langkah pertama dalam tugas kami.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dipandanginya Widura sejenak, namun kemudian katanya, “Raden, menurut pengenalanku, perguruan Nagaraga adalah sebuah perguruan yang besar pada masanya. Pada dasarnya perguruan Nagaraga adalah perguruan yang mengutamakan kemampuan olah kanuragan. Mereka tidak banyak mempelajari ilmu kajiwan dan kesusastraan.“

Raden Rangga dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Pengenalan mereka yang pertama atas perguruan itu telah membuat jantung mereka berdebar-debar. Jika yang dikatakan Kiai Gringsing itu benar, maka mereka tentu akan berhadapan dengan orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi, namun tidak beralaskan dengan penalaran yang mapan, sehingga tingkat ilmu mereka justru akan dapat menjadi sangat berbahaya.

Sifat yang demikian itulah agaknya yang telah berani membawa mereka langsung untuk bertemu dengan Panembahan Senapati.

Sementara itu KiaiGringsing pun kemudian berkata, “Menurut pengenalanku, perguruan Nagaraga mengenal ciri yang ada pada setiap murid dari perguruan itu, yaitu lukisan seekor ular yang terdapat di bagian manapun dari tubuhnya atau pada pakaiannya.“

“Jadi tidak semuanya sama?“ bertanya Raden Rangga.

“Lukisan itu sama atau mirip. Seekor naga yang sedang marah dengan taring yang panjang, mata yang bagaikan memancarkan api dengan tanda kebesaran di kepalanya. Tanda kebesaran itulah yang agaknya berbeda. Ada yang berupa mahkota, songkok, atau sekedar jamang di atas telinganya, yang tumbuh sebagaimana daun telinga kita,“ jawab Kiai Gringsing.

Raden Rangga dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Raden Rangga berkata, “Ya Kiai. Orang-orang yang terbunuh di Mataram itu mempergunakan ciri-ciri naga, sehingga baik Eyang Mandaraka maupun Ayahanda Panembahan Senapati menduga bahwa mereka adalah orang-orang dari perguruan Nagaraga. Seandainya pada ketiga orang itu tidak terdapat ciri-ciri itu, maka tugasku akan menjadi semakin berat karena tidak ada petunjuk tentang mereka sama sekali. Ciri pada orang-orang yang terbunuh itu terdapat pada timang di ikat pinggang mereka. Pada kamus yang mereka pakai terdapat timang yang bertatahkan seekor naga yang nampaknya sangat garang.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Ciri itu memang dekat sekali dengan ciri perguruan Nagaraga. Karena itu, maka untuk langkah pertama, sebaiknya kalian memang melihat perguruan Nagaraga itu. Jika Ki Patih Mandaraka telah menyebutnya, maka aku kira orang-orang itu memang datang dari perguruan Nagaraga.“

“Tetapi arah manakah yang harus aku ambil untuk mendekati sasaran itu Kiai?“ bertanya Raden Rangga.

“Kalian harus pergi ke Timur. Memang mungkin padepokan Nagaraga sudah pindah ke tempat yang tidak aku ketahui. Tetapi menurut pengenalanku, padepokan Nagaraga ada di lereng Gunung Lawu di sisi utara. Di antara ujung Kali Sawur dan Kali Lanang. Daerah itu sebenarnya masih merupakan daerah yang berhutan lebat. Tetapi agak ke bawah sudah terdapat padukuhan-padukuhan kecil satu dua. Di atas padukuhan-padukuhan yang jarang itu terletak sebuah padepokan yang disebut padepokan Nagaraga,” jawab Kiai Gringsing.

“Jadi kami harus mendaki lereng Gunung Lawu di antara kedua sungai itu?“ bertanya Raden Rangga.

“Letak padepokan itu tidak terlalu tinggi di sisi utara,“ jawab Kiai Gringsing, “aku sendiri belum pernah memasuki padepokan itu pada waktu itu. Tetapi aku pernah lewat tidak terlalu jauh dari padepokan itu. Namun itu sudah terjadi lama sekali dalam masa mudaku. Dan sekarang aku tidak tahu, apakah padepokan itu masih tetap berada di situ.”

“Apakah Kiai mengetahui, satu atau dua buah nama dari para penghuni padepokan itu pada waktu itu?“ bertanya Glagah Putih.

“Aku mengenal nama pemimpin dari perguruan itu. Namanya memang Nagaraga. Pada waktu aku masih muda, pemimpin padepokan itu sudah setua aku sekarang agaknya,“ jawab Kiai Gringsing, “namun orang lain dari penghuni padepokan itu aku tidak mengenal langsung. Tetapi aku mengenal beberapa sebutan yang dipergunakan oleh mereka, Seorang di antara mereka dipanggil sebagai Weling Putih. Seorang lagi yang terkenal pada waktu itu adalah Serat Gadung. Sedangkan seorang yang terkenal kekasarannya disebut Bandotan Abang.“

“Kiai mengenal orang-orang itu satu demi satu?“ bertanya Glagah Putih pula.

“Aku hanya pernah melihat mereka, tetapi aku belum pernah berhubungan secara langsung. Juga perguruanku tidak pernah secara langsung berhubungan dengan perguruan Nagaraga, baik dalam arti persahabatan maupun sebaliknya,“ jawab Kiai Gringsing.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Memang dapat dimengerti bahwa pengenalan Kiai Gringsing pun sangat terbatas. Agaknya Ki Patih Mandaraka pun hanya dapat memberikan keterangan tidak lebih jelas dari Kiai Gringsing.

Namun dalam pada itu Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Yang harus diperhatikan Raden, bahwa padepokan itu menurut pengenalanku adalah sebuah padepokan yang sangat menghormati ular sebagai binatang penolong dan mungkin penyelamat mereka. Karena itu mereka telah mempergunakan ciri ular pada tubuh atau pakaian mereka. Yang pernah aku lihat, seorang murid padepokan itu telah menggambari punggungnya dengan gambar seekor naga yang berwajah mengerikan. Marah, dendam dan memancarkan kebencian. Aku tidak tahu kenapa ungkapan kemarahan itulah yang nampak pada ciri yang mereka pergunakan. Padahal menurut pengenalanku, perguruan itu tidak banyak melakukan perbuatan yang tercela. Sekali lagi, pada waktu itu.“

Raden Rangga mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Gringsing melanjutkan, “Tetapi Raden, dis amping semuanya itu, ada satu cerita yang pernah aku dengar sentang perguruan itu. Di belakang padepokan Nagaraga terdapat sebuah goa. Di dalam goa itu terdapat seekor ular naga yang besar yang dianggap sebagai binatang yang sangat dihormati oleh seisi padepokan itu. Tetapi sekali lagi aku peringatkan, bahwa pengenalanku itu kira-kira sudah berlalu empat puluh tahun, bahkan lebih. Tidak mustahil bahwa perubahan pun sudah banyak terjadi. Apakah ular itu benar-benar ada atau tidak, aku juga tidak tahu, karena aku memang belum pernah melihatnya. Tetapi goa yang dimaksud itu memang benar-benar ada, di belakang padepokan Nagaraga.”

Tiba-tiba saja jantung Raden Rangga berdebar semakin cepat. Ia tidak mengerti apa yang telah bergejolak di dalam hatinya. Namun ketika Kiai Gringsing menyebut seekor naga yang besar ada di goa di belakang padepokan itu, Raden Rangga merasa seolah-olah denyut jantungnya menjadi semakin cepat.

Namun Raden Rangga berusaha untuk menguasai perasaannya. Dengan demikian maka tidak seorang pun diantara mereka yang duduk melingkar itu melihat perubahan yang hanya sekejap itu.

Sementara itu Glagah Putih-lah yang telah bertanya, “Apakah selama ini Kiai tidak pernah mendengar atau bahkan berhubungan. meskipun tidak langsung, dengan perguruan Nagaraga itu?“

“Seperti yang aku katakan,“ berkata Kiai Gringsing, “nama perguruan itu hampir hilang. Akupun tidak pernah mendengar dan berhubungan lagi. Banyak kemungkinan telah terjadi. Antara lain, perguruan itu sengaja mengurung diri, untuk pada suatu saat muncul dalam tataran yang jauh lebih tinggi.“

Glagah Putih dan Raden Rangga mengangguk-angguk. Mereka sudah mendapat gambaran serba sedikit tentang perguruan itu, meskipun gambaran yang diberikan oleh Kiai Gringsing itu terjadi sekitar empat puluh tahun yang lalu. Memang banyak perubahan dapat terjadi. Namun Kiai Gringsing telah dapat memberikan ancar-ancar kemana arah mereka harus pergi.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing telah berkata selanjutnya, “Karena itu anak-anak muda, ada satu hal yang perlu kalian perhatikan. Daerah itu adalah daerah sekelompok orang yang berhubungan sangat erat dengan ular. Dengan demikian, maka dapat diperhitungkan bahwa kalian akan segera berhubungan dengan bisa dan racun. Karena itu, maaf Raden, aku ingin bertanya, apakah Raden memiliki penawar racun?“

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian menyahut, “Aku memilikinya Kiai Gringsing. Meskipun mungkin tidak terlalu baik. Tetapi seperti ilmuku yang lain, tiba-tiba saja aku menjadi tawar racun dan bisa, setelah di malam hari aku bermimpi menyadap dan kemudian minum getah dari pohon yang tidak aku kenal di dalam kehidupan sehari-hari.“

“Bagaimana Raden tahu, bahwa Raden menjadi tawar racun?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Aku mendapat pemberitahuan. Dan aku memang sudah mencobanya. Aku telah pernah mencoba dengan goresan-goresan kecil dari jenis-jenis besi dan senjata yang beracun. Mula-mula yang racunnya lemah. Namun semakin lama semakin kuat. Akupun pernah digigit ular berbisa, namun ternyata bisanya tidak berpengaruh apa-apa atasku,“ jawab Raden Rangga.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Raden telah mempunyai penawar bisa pada tubuh dan darah Raden. Karena itu, maka Raden tidak lagi cemas menghadapi jenis-jenis ular yang mungkin banyak terdapat di padepokan Nagaraga. Yang kemudian harus dipikirkan adalah Glagah Putih. Bagaimanakah kiranya jika Glagah Putih harus menghadapi jenis-jenis ular yang mungkin terdapat di padepokan itu. Apalagi seekor ular naga yang berada di dalam goa di belakang padepokan itu.”

Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Ia memerlukan perlindungan bagi tubuhnya.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ia memang memerlukannya.“

Tetapi Glagah Putih sendiri kemudian berkata, “Tetapi bukankah Kiai mempunyai sejenis obat penawar bisa yang dapat dibawa untuk mengobati atau menawarkan bisa apa bila diperlukan?“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku memang memiliki sejenis obat yang dapat untuk mengobati orang yang kena racun atau bisa. Tetapi dalam keadaan yang gawat, maka kau akan banyak kehilangan waktu untuk melakukannya.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Ya. Mungkin aku tidak akan sempat melakukan jika aku berada di antara orang-orang padepokan itu. Apalagi jika terjadi kekerasan, sementara mereka mempergunakan senjata sejenis racun atau bisa. Tetapi itu bukan merupakan hambatan apalagi harus mengurungkan perjalanan ini. Apapun yang akan terjadi, aku tidak akan berniat untuk menarik diri. Apalagi perjalanan ini adalah perjalanan yang harus aku lakukan.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Kau memang harus berangkat. Kau tidak akan dapat ingkar dari tugas ini, yang harus kau lakukan bersama Raden Rangga. Namun tidak ada salahnya jika kau memiliki bekal yang cukup untuk melakukannya.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi baginya obat penawar racun dan bisa itu sudah cukup. Memang mungkin ia tidak akan mempunyai waktu banyak. Jika demikian yang harus terjadi apa boleh buat. Tetapi tentu ada usaha untuk menghindarkan diri dari sengatan bisa atau racun itu.

Kiai Gringsing pun agaknya mengerti juga gejolak jiwa Glagah Putih, ia tidak akan mundur karena itu. Anak itu tentu akan melanjutkan perjalanannya menuju ke lereng Gunung Lawu untuk mencari jejak orang-orang dari perguruan Nagaraga.

Ki Widura-lah yang menjadi sangat cemas. Ia menyadari betapa berbahayanya perjalanan anak laki-lakinya yang mendapat tugas untuk melacak orang-orang yang mempergunakan ciri perguruan Nagaraga itu.

Tetapi Ki Widura tidak dapat berbuat apa-apa. Iapun tidak dapat menganjurkan agar anaknya mengurungkan niatnya. Jika demikian, maka mungkin anaknya akan mendapat hukuman yang justru lebih berat lagi bersama Raden Rangga.

Dalam keadaan yang demikian, maka tiba-tiba Kiai Gringsing pun berkata, “Baiklah Glagah Putih. Aku mengerti bahaya yang dapat mencengkammu di perjalanan. Karena itu, biarlah aku meminjamkan kepadamu benda yang dapat menawarkan racun. Berbeda dengan Raden Rangga dan kakakmu Agung Sedayu yang memang memiliki kemampuan di dalam dirinya untuk menawarkan racun meskipun berasal dari sumber yang berbeda, maka aku mempunyai sebuah cincin yang dapat kau pakai, dan mempunyai pengaruh yang dapat menawarkan dari gigitan racun dan bisa.“

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara itu Kiai Gringsing pun tersenyum sambil berkata, “Kau dapat meminjamnya selama perjalananmu itu.“ Sejenak Glagah Putih terdiam la merasa gembira namun juga ragu-ragu. la belum tahu seberapa jauh pengaruh cincin itu atas kemungkinan sengatan racun dan bisa.

Namun dalam pada itu Raden Rangga pun tiba-tiba berkata, “Kiai mempunyai cincin yang dapat menawarkan racun dan bisa? Paman Adipati di Pati juga memilikinya. Sedangkan Eyang Patih Mandaraka mempunyai sebuah benda semacam gelang yang dibuat dari akar yang mempunyai khasiat yang sama.”

Kiai Gringsing mengangguk-anguk. Katanya, “Memang ada beberapa jenis benda yang mempunyai pengaruh demikian. Cincin yang aku katakan itu mengandung sebuah batu akik yang berwarna kebiru-biruan dan garis-garis putih di dalamnya. Ketika aku menerima batu akik itu dari seorang yang ikut mengasuhku di masa mudaku, aku melihat bahwa cincin itu bukan hanya sebuah, tetapi sepasang. Yang satu juga berwarna kebiru-biruan, tetapi garis-garis yang terdapat didalamnya berwana hitam. Kasiatnya justru kebalikan dari akik pada batu cincin yang akan aku pinjamkan kepada Glagah Putih. Sentuhan akik yang berwarna kebiru-biruan dan bergaris-garis, hitam itu justru mempunyai kekuatan seperti racun dan bisa. Jika seseorang dilukai dengan cincin yang berbatu kebiru-biruan dan bergaris-garis hitam itu, maka ia akan mengalami sebagaimana seseorang yang dikenai racun atau bisa. Luka yang timbul itu dapat juga berakibat seperti gigitan seekor ular yang sangat berbisa.“

“O,“ Raden Rangga mengangguk-angguk, “apakah cincin itu juga ada pada Kiai Gringsing?“

Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak Raden. Oleh pemiliknya cincin itu telah dilabuh. Ia tidak yakin bahwa cincin itu akan jatuh ke tangan orang yang tidak akan menyalahgunakan. Karena itu, maka cincin itu pun telah dilabuh di laut.“

Kiai Gringsing berhenti sejenak, namun kemudian suaranya merendah. “Tetapi orang itu telah mengalami satu goncangan perasaan. Mungkin ia dicengkam oleh keragu-raguan yang sangat pada saat ia melepaskan cincinnya, sehingga hal itu dilakukannya dengan hati yang kurang ikhlas. Setelah ia melepaskan cincinnya ke laut, maka iapun telah mengasingkan dirinya dan tidak lagi banyak bergaul. Bahkan akupun kemudian jarang dapat menemuinya, sampai saatnya Tuhan memanggilnya.“

Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus Kiai. Dengan demikian satu lagi perisai ada pada Glagah Putih. Namun bukankah Kiai mempunyai murid langsung? Kenapa cincin itu tidak Kiai berikan kepada murid-murid Kiai, atau salah seorang dari padanya?“

“Bukankah aku tidak memberikannya kepada Glagah Putih?“ bertanya Kiai Gringsing, “Dahulu aku merasa bimbang untuk menyerahkan cincin ini kepada salah seorang muridku. Tetapi ketika Agung Sedayu kemudian telah mampu melindungi dirinya dari racun, maka aku tidak akan mengalami kesulitan lagi, meskipun sampai saat ini aku masih belum menyerahkannya. Justru karena itu, maka aku dapat meminjamkannya kepada Glagah Putih.“

Raden Rangga berpaling kepada Glagah Putih sambil berkata, “Kau memang beruntung. Namun cincin itu bukan berarti kau menjadi tawar segala-galanya. Kau memang tawar akan racun dan bisa. Tetapi tidak karena sebab lain. Karena itu, kau harus tetap berhati-hati.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Menilik ujudnya Raden Rangga masih terlalu muda. Tetapi kadang-kadang ia dapat bersikap sebagai seorang yang dewasa sepenuhnya. Memberikan petunjuk dan nasehat, meskipun jika kenakalannya kambuh, maka ia memang tidak lebih dari seorang anak-anak.

Namun sebenarnyalah Kiai Gringsing telah memberi Glagah Putih bekal yang berharga sekali, meskipun hanya dapat dipinjamnya selama perjalanan. Sebuah cincin bermata batu akik yang memiliki pengaruh yang dapat membebaskannya dari gigitan racun dan bisa.

Dalam kesempatan itu, bukan saja Glagah Putih yang mengucapkan terima kasih, tetapi Ki Widura pun berkata, “Kami mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga Kiai. Cincin itu tentu akan sangat berarti bagi Glagah Putih.“

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Aku sendiri jarang sekali memakainya. Tetapi aku membawanya kemana-mana.”

Kiai Gringsing pun kemudian telah mengambil cincin itu dari kantong ikat pinggangnya. Sambil menyerahkannya kepada Glagah Putih ia berkata, “Cincin seperti ini dapat juga kau pakai untuk mengobati orang lain. Cincin ini dapat kau lekatkan pada luka bekas gigitan ular atau goresan benda-benda beracun. Tetapi jika kau memakainya, hal itu tidak perlu, karena seluruh tubuhmu akan terlindung dari racun dan bisa.“

Glagah Putih menerima cincin itu dan kemudian memakainya. Namun dalam pada itu Raden Rangga bertanya, “Tetapi selama ini Kiai lebih banyak mempergunakan obat-obatan untuk menolong seseorang dari pada mempergunakan cincin ini.“

“Itulah yang akan aku pesankan kepada Glagah Putih,“ jawab Kiai Gringsing, “sebaiknya kalian membawa obat penawar bisa dan racun, meskipun tidak terlalu banyak. Hanya jika keadaan memaksa kau dapat mempergunakan cincin itu untuk menolong orang lain. Karena semakin banyak orang yang tahu bahwa cincin itu berharga, maka semakin banyak orang yang menginginkannya. Itu pula sebabnya, aku lebih senang menolong orang lain dengan obat penawar racun dan bisa daripada mempergunakan cincin itu.“

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itulah agaknya maka cincin itu tidak pernah nampak di jari Kiai.“

“Ya,“ jawab Kiai Gringsing, “selain aku ingin menyimpannya, agaknya tidak pantas pula aku memakai cincin di jariku.“

Ki Widura tersenyum. Sementara itu Raden Rangga-lah yang menyahut, “Memang Kiai, dan yang pantas memakai adalah Glagah Putih.“

Kiai Gringsing pun tersenyum pula. Katanya kemudian, “Memang agaknya cincin itu pantas dipakainya untuk sementara.”

“Untuk sementara itu sudah cukup,“ jawab Ki Widura, “justru pada saat ia sangat membutuhkannya.“

Kiai Gringsing pun mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Namun masih banyak hal yang harus kau perhatikan Glagah Putih.“

Glagah Putih memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Semua pesan tentu akan berguna baginya dan Raden Rangga, karena mereka akan memasuki daerah yang sama sekali tidak mereka kenal.

“Glagah Putih,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “meskipun kau telah membawa penawar racun dan bisa, tetapi sejauh mungkin kau harus menghindarinya. Karena jika kau tertusuk bisa atau racun, akan terjadi semacam pertarungan di dalam dirimu antara racun itu dengan penawarnya. Jika hal itu terlalu sering terjadi, agaknya akibatnya akan kurang baik pada tubuhmu. Akibat-akibat lain akan dapat terjadi sehingga akan dapat menyulitkan tubuhmu sendiri.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Aku akan berusaha Kiai.“

“Bagus,“ desis Kiai Gringsing. Lalu katanya kepada Raden Rangga, “Raden. Karena kita masih belum mengenal perguruan itu sebagaimana adanya sekarang, maka sebaiknya Raden tidak tergesa-gesa. Sebaiknya Raden tidak menentukan lebih dahulu bahwa orang-orang perguruan Nagaraga-lah yang bersalah. Mungkin kita keliru. Mungkin orang-orang yang mempergunakan ciri seekor ular itu bukan orang Nagaraga, karena ada perguruan lain yang memiliki kepercayaan yang sama tentang ular. Atau mungkin memang salah seorang dari perguruan Nagaraga yang telah membangun sebuah perguruan sendiri, dan perguruan itulah yang telah memusuhi Mataram dengan cara yang kasar itu. Dengan demikian Raden tidak akan terdorong untuk melakukan kesalahan lagi.“

Raden Rangga mengangguk-angguk pula. Jawabnya, “Baiklah Kiai. Aku akan lebih berhati-hati. Sudah berapa kali aku melakukan kesalahan, meskipun kadang-kadang yang aku lakukan itu terdorong oleh satu keinginan berbuat sesuatu yang baik.“

“Nah. Jadikanlah hal itu pengalaman,“ berkata Kiai Gringsing, “tidak semua yang Raden lakukan dengan maksud baik itu berakibat baik, jika tidak diperhitungkan benar-benar. Langkah-langkah yang sekedar didorong oleh perasaan tanpa penalaran, atau keinginan yang tiba-tiba saja melonjak sebelum diperhitungkan masak-masak, akibatnya mungkin sebaliknya dari yang dimaksudkan.“

“Ya Kiai,“ jawab Raden Rangga, “aku sudah sering mengalami. Dalam keadaan seperti ini, rasa-rasanya aku memang akan memperhatikan semua pengalaman yang pernah terjadi atas diriku karena tingkah lakuku. Tetapi jika sudah terlanjur melangkah dan menghadapi persoalan-persoalan, maka kadang-kadang semuanya itu hilang dari ingatan.“

“Raden harus melatih diri menguasai keinginan dan kehendak,“ Kiai Gringsing.

Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan mencoba.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, Namun kemudian ia masih memberikan beberapa pesan bagi kedua anak muda yang akan menempuh perjalanan itu. Pembicaraan itu berlangsung sampai lewat tengah malam. Baru kemudian Ki Widura minta diri. Iapun telah memberikan pesan pula sebagai seorang ayah kepada anaknya.

“Nah, jika kalian berdua besok pergi, baik-baiklah di jalan,“ berkata Ki Widura, “kalian harus menunjukkan sikap yang baik lahir dan batin.“

“Ya Ayah,“ jawab Glagah Putih, “kami mohon diri. Besok kami akan langsung menuju ke Mataram, minta diri kepada Panembahan Senopati dan Ki Patih Mandaraka.”

Ki Widura mengangguk kecil. Katanya dengan suara yang dalam, “Aku tidak dapat memberi kalian bekal apapun juga kecuali pesan dan doa. Semoga Tuhan selalu bersama kalian.”

Demikianlah, malam itu sepeninggal Ki Widura, Glagah Putih dan Raden Rangga masih sempat beristirahat. Keduanya tidur di sebuah bilik di atas sebuah pembaringan bambu yang setiap kali berderit. Namun dengan demikian. Glagah Putih mengetahui betapa Raden Rangga menjadi gelisah. Setiap kali Raden Rangga itu beringsut, kemudian berbalik dan bahkan menelungkup.

Dengan hati-hati Glagah Putih kemudian bertanya, “Raden nampaknya gelisah sekali.“

“Aku tidak dapat tidur,“ jawab Raden Rangga.

“Kenapa?“ bertanya Glagah Putih pula.

“Tidak apa-apa,“ jawab Raden Rangga.

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Biasanya Raden Rangga mengatakan kepadanya kegelisahan di dalam hatinya. Namun Glagah Putih tidak mendesaknya. Ia tahu, bahwa pada saatnya Raden Rangga tentu akan mengatakan pula.

Namun akhirnya Raden Rangga itu pun tertidur pula. Demikian juga Glagah Putih. Pada saat fajar menyingsing maka keduanya pun telah bersiap-siap. Setelah minum-minuman panas dan makan beberapa potong ketela rebus, maka keduanya pun telah minta diri untuk pergi ke Mataram.

“Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya Kiai,“ berkata Glagah Putih, “Kiai telah memberikan banyak petunjuk, bahkan aku telah mendapatkan perlindungan yang sangat aku perlukan di perjalanan.“

“Berhati-hatilah,“ Kiai Gringsing masih berpesan, “perjalanan yang akan kalian tempuh adalah perjalanan yang panjang dan berbahaya. Kalian akan pergi ke tempat yang belum pernah kalian datangi.”

“Kami akan berhati-hati Kiai,“ Raden Rangga mengangguk-angguk. Suaranya dalam nada rendah membayangkan kesungguhan hatinya.

“Hormatku kepada Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “sudah lama sekali aku tidak datang menghadap.”

“Kami akan menyampaikannya Kiai,“ jawab Raden Rangga.

“Apakah kalian akan singgah di Sangkal Putung?“ bertanya Kiai Gringsing.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Raden Rangga-lah yang menjawab, “Lain kali saja Kiai. Kami ingin segera memulai dengan tugas kami ini.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Agaknya keduanya memang tidak terlalu penting untuk singgah, apalagi keduanya memang ingin segera melakukan sesuatu untuk mulai dengan tugas mereka yang mendebarkan itu.

“Baiklah,“ berkata Kiai Gringsing, “lain kali kalian mempunyai waktu cukup banyak untuk pergi ke Sangkal Putung.“

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia tersenyum sambil berkata, “Mudah-mudahan kesempatan itu masih ada juga padaku Kiai.“

“Ah,“ sahut Kiai Gringsing, “kenapa Raden berkata seperti itu?“

Raden Rangga tertawa. Tetapi Glagah Putih menangkap kegelisahan yang tersirat di wajah Raden Rangga. Namun Glagah Putih tidak berkata sesuatu.

Sejenak kemudian, maka keduanya pun telah minta diri sekali lagi. Kiai Gringsing masih sempat menepuk bahu kedua anak muda itu sebelum mereka meloncat ke punggung kuda mereka, sambil berkata, “Semoga Tuhan selalu menyertai kalian.“

Sejenak kemudian maka kedua ekor kuda yang tinggi tegar itu telah berderap meninggalkan padepokan kecil itu, langsung menuju ke Mataram.

“Kita singgah di padukuhan yang sedang mengadakan adu binten dan garesan itu?“ bertanya Raden Rangga.

“Untuk apa?“ bertanya Glagah Putih, “Bukankah baru empat hari lagi binten itu diselenggarakan?“

Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Baru empat hari lagi diselenggarakan Merti desa. Baiklah, besok saja jika kita berangkat ke arah timur dari Mataram, kita singgah lagi. Kita akan meninggalkan Mataram kira-kira empat hari lagi.“

“Apakah kita perlu singgah Raden?“ bertanya Glagah Putih.

“Untuk melihat Merti Desa. Terutama lomba binten itu,“ jawab Raden Rangga.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun bertanya, “Raden, apakah hal itu tidak sekedar menghambat perjalanan? Sementara itu kita menghadapi tugas yang berat.“

“Tetapi bukankah Ayahanda tidak membatasi sejak kapan dan sampai kapan kita harus menyelesaikan tugas itu?“ jawab Raden Rangga.

Glagah Putih tidak menjawab lagi. Namun ia berharap bahwa pada saatnya berangkat nanti Raden Rangga sudah lupa akan keinginannya itu.

Sementara itu kuda mereka pun berpacu di antara tanah pategalan, padang perdu dan hutan yang tidak terlalu lebat. Namun keduanya titdak mengalami hambatan apapun di perjalanan. Demikian pula ketika mereka berhenti dan beristirahat sejenak di pinggir Kali Opak untuk mernberi kesempatan kuda mereka minum dan sejenak beristirahat pula.

“Orang-orang itu tidak datang lagi,“ berkata Raden Rangga, “sebenarnya kita memerlukan mereka.“

Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi di luar sadarnya, Glagah Putih telah memandang berkeliling. Ia pun sebenarnya juga mengharap agar orang-orang yang diduganya berasal dari sebuah kelompok yang sama dengan mereka yang akan membakar hutan di Tanah Perdikan Menoreh itu dapat ditemui di perjalanan.

Namun ternyata tidak seorang pun di antara orang-orang itu yang mereka jumpai. Dengan demikian maka perjalanan kedua orang anak muda itu pun tidak terhambat sama sekali. Pada saatnya mereka memasuki kota Mataram lewat pintu gerbang sebelah timur.

Para prajurit yang melihat Raden Rangga dan Glagah Putih memasuki pintu gerbang, mengangguk hormat. Namun demikian keduanya lewat, seorang di antara para prajurit itu berdesis, “Apalagi yang dilakukan anak muda itu?”

Kawannya menggeleng. Jawabnya, “Entahlah. Tetapi pada saat-saat terakhir Raden Rangga sudah tidak terlalu banyak membuat ayahandanya pening.“

“Siapa bilang?“ sahut kawannya, “Baru-baru saja Raden Rangga membunuh orang yang sebenarnya sangat diperlukan keterangannya oleh ayahandanya.“

Kawannya mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab.

Sementara itu Raden Rangga dan Glagah Putih telah meyusuri jalan kota. Tetapi mereka tidak langsung menuju ke istana ayahandanya, tetapi mereka berdua telah menuju ke istana Kepatihan.

Ternyata Ki Patih Mandaraka tidak sedang berada di istana Kepatihan. Tetapi Ki Patih sedang menghadap Panembahan Senapati.

“Kebetulan,“ berkata Raden Rangga, “kita dapat tidur dahulu.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Katanya, “Aku tidak terbiasa tidur di saat seperti ini.“

“Jika kau tidak ingin tidur, tidak apa-apa. Akulah yang merasa mengantuk dan ingin tidur sampai Eyang Patih Mandaraka datang,“ jawab Raden Rangga. “Kita akan menghadap dan memberitahukan hasil perjalanan kita. Eyang tentu tidak tahu bahwa kita telah singgah pula di Jati Anom dan bertemu dengan Kiai Gringsing, karena kita hanya minta ijin untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh pada waktu itu.”

“Apakah tidak lebih baik jika kita menghadap ke istana saja?“ bertanya Glagah Putih, “Maksudku istana Panembahan Senapati.“

“Aku mengantuk. Aku akan tidur saja,“ jawab Raden Rangga.

Glagah Putih tidak dapat memaksa. Namun ia tidak ingin tidur. Meskipun demikian ia ikut dengan Raden Rangga pergi ke biliknya.

Namun Glagah Putih sama sekali tidak membaringkan dirinya sebagaimana dilakukan Raden Rangga. Bahkan Glagah Putih sempat memperhatikan keadaan bilik itu. Namun ternyata ia tidak menjumpai sesuatu yang ganjil yang dapat membuatnya berdebar-debar.

Ternyata tidak seperti semalam di Jati Anom, demikian memejamkan matanya Raden Rangga dapat langsung tidur, sementara Glagah Putih duduk di amben yang lain, bersandar dinding.

Untuk beberapa lama Glagah Putih sempat merenung sambil menunggui Raden Rangga yang sedang tidur.

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih itu menjadi berdebar-debar. Beberapa kali ia menggosok matanya yang seakan-akan menjadi kabur. Tetapi yang dilihatnya tetap saja tidak berubah.

Glagah Putih menjadi tegang. Dengan bimbang ia melihat dengan mata wadagnya Raden Rangga itu telah berubah. Ia masih tetap mengenali orang yang tertidur itu Raden Rangga. Tetapi ia melihat kelainan pada wajah Raden Rangga itu. Wajah itu bukan lagi menunjukkan wajah seorang anak yang masih sangat muda. Tetapi dalam tidurnya Glagah Putih melihat seorang yang telah melampaui usia dewasanya. Seorang yang justru nampak mulai turun ke ambang usia senjanya.

“Apa yang terjadi pada mataku?“ desis Glagah Putih di dalam hatinya.

Namun Glagah Putih pun kemudian telah memusatkan nalar budinya. la berusaha untuk tidak lagi melihat wajah itu dengan mata wadagnya saja. Tetapi pandangannya telah menyeruak menembus langsung menusuk ke balik ujud orang yang sedang tidur itu.

Glagah Putih pun telah duduk sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Dengan dahi yang berkerut ia memusatkan segenap tanggapan indranya, nalar budinya dalam keheningan yang tajam menukik ke dalam kesejatian Raden Rangga itu.

Pandangannya yang kabur itu semakin lama menjadi semakin jelas. Ia telah melihat garis-garis wajah itu dengan jelas. Bahkan seakan-akan ia dapat melihat setiap akar rambut yang tumbuh di wajah dan di kepala orang yang sedang tidur nyenyak itu.

Namun meskipun tangkapan penglihatan batinnya atas wajah itu menjadi semakin jelas, tetapi wajah itu tidak berubah. Raden Rangga yang tidur itu tidak nampak sebagaimana Raden Rangga sehari-hari, meskipun ia tetap mengenalinya bahwa orang itu adalah Raden Rangga. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.

Namun Glagah Putih justru terkejut ketika ia melihat Raden Rangga itu bergerak menggeliat dan bahkan kemudian bangkit. Dengan heran Raden Rangga itu melihat sikap Glagah Putih, sehingga iapun telah bertanya, “Apa yang kau lakukan Glagah Putih?“

Glagah Putih telah mengurai sikapnya. Sekali lagi ia mengusap matanya. Yang berbicara itu adalah Raden Rangga yang dikenalnya sehari-hari. Wajahnya masih kekanak-kanakan. Matanya menyorotkan gejolak perasaannya dengan lugu lugas.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak ingin menyembunyikan penglihatannya itu atas Raden Rangga. Bahkan iapun kemudian telah berkata, “Untuk kesekian kalinya Raden Rangga telah memaksa aku melakukan suatu yang belum pernah aku lakukan.”

“Apa?“ bertanya Raden Rangga, “Bukankah aku tidak berbuat apa-apa. Aku hanya tidur nyenyak karena aku merasa letih.“

“Raden,“ berkata Glagah Putih, “sebagaimana aku berhasil mengalirkan udara panas dari dalam diriku ke dalam tubub Raden di Tanah Perdikan, kemudian atas dorongan Raden aku telah memaksa diriku pula menghayati ilmu yang ternyata amat berarti bagiku, karena dengan demikian aku telah mampu melontarkan serangan dari jarak tertentu, dan kini Raden telah memancing aku untuk melihat tidak dengan mata wadagku. Loncatan-loncatan ilmu ini telah memberikan arti tersendiri bagiku dan usahaku untuk meningkatkan ilmuku.“

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Jadi kau telah terpancing untuk melakukan satu sikap yang sebelumnya tidak kau kuasai dengan sadar, karena aku yakin kau telah mempunyai bekal yang cukup untuk melangkahi tirai yang membatasi kemampuanmu dan ketiadaan kemampuan. Ternyata kau berhasil mengoyak tirai itu sehingga kau berhasil memilikinya.“

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Iapun kemudian telah menjelaskan keterangannya dari awal sampai akhir. Ia mengatakan apa yang telah dilihatnya dan apa yang telah dilakukannya dengan serta merta.

Raden Rangga mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Aku merasa ikut berhasil dengan langkah-langkah majumu. Akupun tidak sengaja berbuat sesuatu untukmu. Tetapi jika itu terjadi atasmu, maka kau wajib bersukur dan berterima kasih.”

“Ya Raden,“ jawab Glagah Putih, “aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesempatan yang telah terjadi itu.“

“Jangan kepadaku,“ jawab Raden Rangga, “tetapi kau telah mendapat petunjuk dari Yang Maha Agung, sehingga kau dapat memilikinya. Namun justru karena itu, maka kau harus mempergunakannya sebaik-baiknya apa yang telah kau punyai itu.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Kini ia hampir tidak percaya bukan kepada matanya, tetapi kepada telinganya. Raden Rangga itu menasehatkan kepadanya, agar ia mempergunakan ilmu sebaik-baiknya, sementara dalam dunia kekanak-kanakannya Raden Rangga sering melakukan sesuatu yang aneh-aneh.

Tetapi Glagah Putih tidak menjawab. Ia sadar sepenuhnya siapakah yang sedang dihadapinya itu. Namun keduanya tidak sempat berbicara terlalu panjang. Tiba-tiba seseorang telah mengetuk pintu biliknya.

“Siapa?“ bertanya Raden Rangga.

“Aku Raden,“ jawab orang yang mengetuk pintu itu, “Ki Patih telah kembali. Ki Patih memerintahkan Raden untuk menghadap.”

“Apakah Eyang tahu bahwa aku sudah pulang?“ bertanya Raden Rangga.

“Para pengawal telah memberitahukan kehadiran Raden berdua,“ jawab suara itu.

“Baiklah,“ berkata Raden Rangga, “sebentar lagi kami akan menghadap. Kami akan membenahi pakaian kami lebih dahulu.“

“Baiklah Raden,“ jawab orang itu, “tetapi jangan terlalu lama.“

Raden Rangga pun kemudian bangkit dan membenahi pakaiannya yang kusut. Demikian juga Glagah Putih. Sementara orang yang memanggilnya telah pergi lebih dahulu untuk memberitahukan kepada Ki Patih Mandaraka bahwa keduanya segera akan menghadap.

Ketika keduanya sudah siap, maka Raden Rangga pun berkata, “Marilah. Eyang Mandaraka tentu sudah menunggu.“

“Marilah,“ sahut Glagah Putih.

Keduanya segera meninggalkan bilik itu. Sambil berjalan Raden Rangga sempat berkata, “Glagah Putih. Dengan pengalaman itu, kau tentu sudah mampu membedakan antara ujud yang sebenarnya dan ujud semu yang dapat dibangunkan oleh satu jenis ilmu tertentu.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun teringat beberapa keterangan tentang ujud semu dari kemampuan satu jenis ilmu. Namun mereka tidak sempat memperbincangkannya lagi. Keduanya pun telah menuju ke ruang dalam untuk menghadap Ki Mandaraka.

Ketika keduanya memasuki ruang dalam, maka mereka melihat Ki Patih telah duduk di atas sebuah batu hitam beralaskan sehelai kulit harimau yang berwarna kuning kecoklatan.

“Kemarilah,“ Ki Patih Mandaraka itu mempersilahkan.

Raden Rangga dan Glagah Putih pun kemudian mendekat. Mereka duduk di atas sehelai tikar pandan yang putih di hadapan Ki Patih Mandaraka.

“Kami sudah menunggu,“ berkata Ki Patih.

“Ampun Eyang,“ jawab Raden Rangga, “kami menunggu kesiapan Glagah Putih lahir dan batin. Kakak sepupunya minta aku menunggu barang dua tiga hari di Tanah Perdikan Menoreh, kemudian kami berdua telah pergi ke Jati Anom untuk bertemu dengan Kiai Gringsing.“ 

“Jadi kalian sudah bertemu dengan Kiai Gringsing?“ bertanya Ki Mandaraka.

“Ya Eyang. Kami telah menemui Kiai Gringsing untuk mendapatkan beberapa petunjuk tentang padepokan dan perguruan Nagaraga,“ jawab Raden Rangga, “namun apa yang diketahui oleh Kiai Gringsing adalah keadaan padepokan itu kira-kira empat puluh tahun yang lalu. Sesudah itu Kiai Gringsing tidak lagi mendengar nama dan kegiatan dari perguruan itu. Namun Kiai Gringsing telah memberikan beberapa ciri yang sesuai dengan pengenalan kita di sini atas orang-orang yang terbunuh itu.“

Ki Patih Mandaraka pun mengangguk-angguk, sementara Raden Rangga telah memberikan keterangan sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gringsing.

Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, “Kiai Gringsing telah mengatakan semuanya yang aku ketahui tentang padepokan itu. Keteranganku tidak lebih banyak dari keterangannya. Bahkan Kiai Gringsing telah meminjamkan cincinnya kepada Glagah Putih, sehingga dengan demikian maka Glagah Putih telah membawa bekal perlindungan atas dirinya dari racun dan bisa. Karena itu maka kalian benar-benar telah siap untuk pergi.“ “Ya Eyang,“ jawab Raden Rangga, “kami telah siap untuk pergi.”

Ki Patih mengangguk-angguk. Namun dengan nada rendah ia berkata, “Tetapi kalian harus menyadari bahwa perjalanan kalian adalah perjalanan yang sangat berat. Sebenanya aku tidak ingin mengatakan kepada kalian, tetapi jika hal ini terpaksa juga aku katakan, agar kalian tidak mendapat gambaran yang salah dari tugas yang kalian pikul.“ Ki Patih itu berhenti sejenak, lalu, “Tugas ini sebenarnya terlalu berat bagi kalian.“

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia berpaling ke arah Glagah Putih yang kemudian menunduk.

“Kami menyadari Eyang,“ berkata Raden Rangga kemudian, “tetapi agaknya tugas ini sepadan dengan langkah yang telah kami lakukan dan dianggap salah oleh Ayahanda. Namun restu Eyang kami harapkan, agar kami dapat melakukan tugas ini dengan baik.“

“Aku akan berdoa untuk kalian,“ jawab Ki Patih Mandaraka, “namun aku tidak menganjurkan agar kalian segera berangkat. Jika aku tergesa-gesa memanggilmu, sebenarnya karena aku ingin sekedar mendapat kesan, bagaimana sikap dan tanggapanmu. Tetapi ternyata bahwa kalian menghadapi tugas kalian dengan hati yang tegar. Karena itu, maka hatiku pun menjadi tenang pula karenanya. Namun jika kalian berangkat dengan hati yang kecut dan ragu-ragu, maka agaknya sulit untuk melepaskan kalian dalam keadaan yang demikian. Padahal sesuai dengan perintah Panembahan Senapati, maka kalian memang harus berangkat.“

“Kami akan mengemban tugas ini dengan tanggung jawab,“ berkata Raden Rangga.

“Syukurlah,“ desis Ki Patih Mandaraka. Lalu katanya, “Namun demikian, barangkali aku dapat menambahkan sedikit pesan atas pengenalanku terhadap perguruan itu. Agaknya ular di dalam goa yang disebut oleh Kiai Gringsing itu memang merupakan tumpuan kekuatan mereka. Jika tumpuan kekuatan mereka itu dapat dilumpuhkan, maka orang-orang perguruan itu akan merasa kehilangan sandaran. Tetapi aku ingin memperingatkan kalian, bahwa melumpuhkan ular di dalam goa itu bukan pekerjaan yang mudah. Seperti dikatakan oleh Kiai Gringsing, jika empat puluh tahun yang lalu ular itu dihormati karena ular itu merupakan ular yang jarang diketemukan, termasuk ujudnya yang besar, maka kalian dapat membayangkan seberapa besarnya ular itu sekarang.“

Raden Rangga dan Glagah Putih saling berpandangan. Namun Raden Rangga-lah yang kemudian menjawab, “Kami akan melakukan tugas kami sebaik-baiknya Eyang.“

Namun Ki Mandaraka kemudian berkata, “Tetapi aku ingin memperingatkan, bahwa kalian tidak bertugas untuk menyelesaikan. Kalian hanya diperintah untuk mendapatkan keterangan tentang perguruan itu. Karena itu, kalian tidak usah memaksa diri untuk mengambil langkah-lahgkah yang lebih berbahaya lagi, karena untuk mencari keterangan itupun telah merupakan tugas yang sangat berat.“

Raden Rangga mengangguk hormat. Namun nampak di wajahnya gejolak perasaan di dalam hatinya. Ki Patih Mandaraka yang tanggap akan sikap Raden Rangga itupun kemudian berkata, “Rangga, jangan membuat kesalahan lagi dengan melakukan kerja yang tidak dibebankan kepadamu. Meskipun mungkin kau berhasil, namun ayahandamu tidak menghendakinya.”

“Ya Eyang,” jawab Raden Rangga sambil membungkuk hormat sekali lagi.

Namun dalam pada itu Ki Patih Mandaraka itu pun berkata pula dengan nada rendah, “Satu hal yang wajib kalian ketahui di samping semuanya yang sudah diuraikan oleh Kiai Gringsing, bahwa keris pusaka yang dibawa orang yang berusaha membunuh Panembahan Senapati itu telah hilang.”

“Hilang?” bertanya Raden Rangga, “Maksud Eyang, diambil orang?”

“Aku kira bukan itu,” jawab Ki Patih Mandaraka, “keris itu telah aku simpan di rumah ini. Namun tiba-tiba saja keris itu sudah tidak ada lagi di wrangkanya.”

Raden Rangga mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Mereka memang pernah mendengar tentang pusaka yang mampu bergeser dari tempatnya, bahkan menempuh jarak yang sangat jauh.

Dalam pada itu Ki Patih Mandaraka pun berkata selanjutnya, “Nah, anak-anak, kalian sudah mendapat gambaran serba sedikit tentang tugas yang akan kalian jalani. Tetapi kalian tidak perlu tergesa-gesa. Kalian dapat menyiapkan diri sebaik-baiknya. Sementara itu kalian masih harus menghadap Panembahan Senapati untuk minta diri.”

“Kami memang tidak akan segera berangkat Eyang,” sahut Raden Rangga, “kami akan berangkat empat hari lagi setelah hari ini.”

“Empat hari lagi?” bertanya Ki Mandaraka, “Apakah kalian mempunyai alasan untuk mengambil hari itu sebagai saat yang paling baik untuk menempuh perjalanan berat kalian?”

“Ya Eyang,” jawab Raden Rangga, “empat hari lagi akan berlangsung Merti Desa di sebuah kademangan di luar kota Mataram. Di tempat itu akan ada permainan adu binten dan garesan.”

Ki Patih Mandaraka mengerutkan keningnya, sementara Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu Ki Patih bertanya, “Apa hubungannya dengan Merti Desa itu?”

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Tidak ada, Eyang. Tetapi aku ingin melihat binten dan garesan itu di kademangan yang pernah kami lewati ketika kami menempuh perjalanan dari Tanah Perdikan langsung ke Jati Anom.”

“Apa itu perlu sekali Raden?” bertanya Glagah Putih, “Sebaiknya kita melupakannya saja.”

“He, jarang sekali sekarang kita jumpai permainan itu,” jawab Raden Rangga.

Ki Mandaraka pun kemudian menyahut, “Tetapi jagalah dirimu baik-baik. Sadari apakah yang terjadi dan apa yang akan kau lakukan. Jika kau ada di antara anak-anak muda yang bermain binten, maka kau bukan bagian dari mereka. Kau mengemban tugas yang jauh berlipat ganda dan bahkan tidak dapat diperbandingkan dengan apa yang mereka lakukan. Karena itu, kau harus mampu menempatkan diri. Kapan kau berlaku sebagai kanak-kanak dan kapan kau menyandang beban sebagai seorang yang telah mendapat kepercayaan dari Panembahan Senapati, apapun alasannya.”

Raden Rangga mengangguk kecil sambil berdesis, “Aku mengerti Eyang.”

“Nah jika demikian, kalian dapat beristirahat. Kita tidak akan menghadap Panembahan Senapati sekarang. Aku baru saja menghadap. Agaknya Panembahan Senapati sedang beristirahat. Besok pagi-pagi saja kita bersama-sama ke istana,” berkata Ki Patih Mandaraka. 

Demikianlah, mereka berdua pun telah mohon diri dari hadapan Ki Mandaraka. Keduanya telah kembali ke dalam bilik Raden Rangga. Namun keduanya tidak terlalu lama duduk sambil berbincang, karena keduanya pun kemudian telah turun ke halaman untuk melihat-lihat kebun Kepatihan, dan keduanya pun akhirnya telah berada di kandang kuda.

Raden Rangga yang telah meninggalkan kuda-kudanya untuk beberapa hari telah melihat kuda-kuda itu satu demi satu. Sambil menepuk lehernya, maka Raden Rangga pun menyebut nama kudanya itu.

Kuda-kuda itupun seakan-akan menyadari apa yang dilakukan oleh Raden Rangga. Nampaknya mereka merasa bangga bahwa mereka ternyata mendapat perhatian yang besar setelah beberapa hari mereka tidak melihat Raden Rangga datang kepada mereka.

“Kita akan meninggalkan kuda-kuda ini beberapa lama lagi,” berkata Raden Rangga, “termasuk pula kudamu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Jawabnya, “Jika kudaku mendapat perawatan berlebihan, maka ia akan menjadi manja lagi sebagaimana ia datang di Tanah Perdikan. Namun kuda itu akhirnya mampu juga menyesuaikan diri dengan kehidupan di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Tetapi kau harus memelihara kuda itu dengan baik,” berkata Raden Rangga.

“Aku telah berusaha,” jawab Glagah Putih.

Raden Rangga mengangguk-angguk. Mereka pun kemudian telah meninggalkan kandang kuda itu dengan menelusuri kebun sambil ke dinding belakang.

Hari itu keduanya benar-benar sempat beristirahat. Di keesokan harinya mereka akan dibawa menghadap oleh Ki Patih Mandaraka untuk minta diri dan mohon restu kepada Panembahan Senapati, untuk melakukan tugas mereka yang .sangat berat itu.

Demikianlah, ketika matahari mulai memanjat langit di hari berikutnya, maka keduanya pun telah bersiap untuk mengikuti Ki Patih Mandaraka. Mereka akan menghadap untuk menerima pesan-pesan. Namun ternyata baik Raden Rangga maupun Glagah Putih menjadi berdebar-debar juga.

Dalam pada itu, ketika Panembahan Senapati menerima permohonan menghadap Ki Patih Mandaraka dan kedua anak muda yang telah diperintahkannya untuk menelusuri jejak orang-orang yang akan membunuhnya, yang diduga ada hubungannya dengan perguruan yang disebut Nagaraga, maka Panembahan Senapati itu pun dengan serta merta telah mempersilahkan mereka ke ruang dalam.

Wajahnya nampak bersungguh-sungguh ketika ia kemudian melihat Ki Patih Mandaraka dan kedua anak muda itu telah menghadap.

Sebenarnyalah Ki Patih Mandaraka dapat menebak apa yang sebenarnya bergejolak di dalam hati Panembahan Senapati. Apalagi dalam pembicaraan-pembicaraan sebelumnya terbayang dalam ucapan-ucapannya meskipun samar, bahwa Panembahan Senapati sebenarnya agak menyesal karena telah menjatuhkan perintah yang sangat berat kepada Raden Rangga. Pada saat itu Panembahan Senapati memang terdorong oleh kemarahan yang sedang bergejolak di dalam hatinya. Namun sebagai seorang pemimpin tertinggi, maka ia tidak akan mungkin menarik kembali kata-kata yang sudah terucapkan. Sabdanya yang telah terucap merupakan keputusan yang pasti dan tidak berubah.

Karena itu, betapa berat hatinya untuk melepaskan kedua anak muda itu untuk berangkat ke tujuan yang belum dikenalnya, meskipun Ki Patih Mandaraka dapat menunjukkan arahnya.

Karena itulah, ketika kemudian Ki Mandaraka menyampaikan permohonan diri bagi kedua anak muda itu, Panembahan Senapati berkata kepada keduanya, “Kalian harus berhati-hati. Kalian harus mendengarkan semua pesan Ki Patih Mandaraka. Tugas kalian adalah sekedar mencari keterangan. Jangan mengambil tindakan apa-apa jika tidak terpaksa untuk melindungi diri kalian.”

Kedua anak muda itu menyembah hampir bersamaan, “Hamba, Panembahan.”

“Tidak ada bekal yang dapat aku berikan kecuali doa dan restu,” berkata Panembahan Senapati itu pula, “setelah kalian meninggalkan istana ini dan keluar dari gerbang kota, maka segala sesuatu akan tergantung dari kalian berdua sendiri. Banyak pengalaman yang pernah kalian dapat dalam umur kalian yang masih muda. Pergunakanlah pengalaman itu untuk menimbang langkah-langkah yang akan kalian ambil.”

“Hamba, Ayahanda,” sembah Raden Rangga. Sebenarnyalah bahwa iapun merasakan ketulusan hati ayahandanya itu. Ketika kemarahan telah mengendap, Panembahan Senapati tidak dapat melihat lain, bahwa Raden Rangga adalah salah satu di antara anak-anaknya yang menjadi tanggung jawabnya.

Demikianlah, maka Panembahan Senapati masih memberikan beberapa pesan tentang sikap dari langkah-langkah yang harus mereka ambil. Berkali-kali Panembahan Senapati memperingatkan, bahwa mereka tidak harus menyelesaikan persoalan. Tetapi mereka sekedar menelusuri jejak yang terputus itu.

Sementara itu, sebelum kedua anak muda itu mohon diri, mereka masih sempat menyampaikan pesan Ki Gede Menoreh, bahwa sebaiknya pasukan Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh itu ditarik saja,

“Kami akan segera memenuhinya,” jawab Panembahan Senapati, “pasukan itu ditempatkan di Tanah Perdikan Menoreh dalam hubungannya dengan kehadiran orang-orang yang ingin masuk ke istana itu. Pelaksanaannya akan diatur oleh Paman Mandaraka.”

“Hamba Panembahan. Hamba akan segera menjalankannya,” sahut Ki Patih Mandaraka.

Ketika kemudian Raden Rangga dan Glagah Putih mohon diri, maka ternyata Panembahan Senapati telah memberikan bekal perjalanan secukupnya. Kedua anak muda itu tidak akan kekurangan bekal meskipun perjalanan mereka cukup panjang. Tetapi bekal itu adalah sekedar bekal perjalanan kewadagan.

“Aku tidak dapat memberikan bekal ilmu yang akan dapat bermanfaat bagi anak itu,” berkata Panembahan Senapati di dalam hatinya, “dalam waktu yang singkat, upaya apapun juga tentang peningkatan ilmu tidak akan dapat melampaui ilmu yang secara khusus telah dimilikinya.”

Namun ternyata Panembahan Senapati bertanya juga tentang Glagah Putih, “Apakah kau telah memiliki perlindungan diri terhadap bisa dan racun? Karena menurut pendengaranku, padepokan itu akrab sekali hubungannya dengan berbagai jenis ular.”

Glagah Putih pun telah menceritakan pertemuannya dengan Kiai Gringsing sebelum ia menghadap Panembahan Senapati.

“Jadi kalian telah bertemu dengan Kiai Gringsing?” bertanya Panembahan Senapati.

“Hamba, Panembahan,” jawab Glagah Putih.

“Syukurlah. Ternyata Kiai Gringsing juga ikut berusaha untuk menjaga kesejahteraanmu. Mudah-mudahan dengan pesan-pesan yang kau dapat dari segala pihak, kau dapat melakukan tugas itu dengan sebaik-baiknya,” desis Panembahan Senapati dengan nada dalam. Namun kemudian katanya, “Nah, sandarkan tugas yang akan kau lakukan itu kepada perlindungan Yang Maha Esa. Mudah-mudahan kalian berhasil. Aku tidak menentukan kapan kalian harus kembali membawa hasil usahamu. Dan karena itu, maka kalian dapat menentukan sendiri kapan kalian akan berangkat dan kapan kalian merasa bahwa tugas kalian sudah selesai.”

Kedua anak muda itu mengangguk hormat sambil menyembah.

Sejenak kemudian, maka Ki Patih Mandaraka-lah yang mohon diri bersama kedua anak muda itu untuk meninggalkan paseban dalam.

Pesan Panembahan Senapati memberikan kesan yang sangat dalam di hati Raden Rangga. Ia merasakan betapa ayahandanya melepaskannya dengan berat hati, meskipun perintah itu keluar juga dari ayahandanya. Dengan demikian maka terasa pada Raden Rangga bahwa ayahandanya sama sekali tidak mengabaikannya. Tidak mengusirnya dengan semena-mena, meskipun hukuman itu jatuh atasnya.

Terasa kehangatan memeluk hati anak muda itu. Namun dengan demikian ia justru menjadi semakin mantap untuk melakukan tugas yang dibebankannya kepadanya itu.

Demikianlah maka ketiga orang itupun telah meninggalkan istana Panembahan Senapati menuju ke istana Kepatihan. Di sepanjang jalan, Ki Patih Mandaraka sempat menyebut, betapa Panembahan Senapati merasa menyesal atas perintah yang sudah diucapkan. Namun sebagaimana keputusan telah jatuh, maka Panembahan Senapati tidak dapat mencabutnya kembali.

Tiba-tiba saja Raden Rangga berkata, “Kami akan berusaha memancing orang-orang yang pernah kami jumpai di Kali Opak, atau dimanapun juga dapat kami temui. Menurut pengamatan kami, orang-orang itu adalah kawan-kawan dari orang-orang yang pernah berusaha membakar hutan di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Tidak ada gunanya,” berkata Ki Patih Mandaraka, “seandainya kau dapat menangkap mereka, maka kau tidak akan mendapat banyak petunjuk. Kami masih menahan orang yang kami duga terlibat. Namun di antara mereka yang melakukan tugas-tugas tertentu tidak akan dapat mengatakan apapun tentang orang-orang terpenting. Bahkan orang-orang Nagaraga itu telah mengupah kelompok-kelompok kecil untuk menjadi ujung langkah-langkah mereka. Jika kita menangkap mereka, maka mereka hanya tahu apa yang harus mereka lakukan. Tetapi sia-sialah untuk menelusur lewat orang-orang seperti itu. Namun seandainya kita berhasil menangkap orang-orang terpenting di antara mereka, sebagaimana yang memasuki istana, mungkin kita akan mendapat sedikit petunjuk tentang perguruan mereka, meskipun kita tahu bahwa mereka akan berusaha untuk mempertahankan rahasia mereka sejauh-jauhnya. Karena itu, ayahandamu sangat kecewa ketika ia mendengar bahwa tiga orang itu telah terbunuh semuanya.”

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun di luar sadarnya ia bergumam, “Kami hanya membunuh dua orang.”

“Ya,” sahut Ki Mandaraka, “aku tahu maksudmu. Kalian berdua tidak sengaja membunuh mereka, sebagaimana Panembahan Senapati agaknya juga tidak sengaja membunuh.”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Dengan gagap ia berkata, “Bukan, Eyang. Bukan maksudku mengatakan demikian.”

Ki Mandaraka tersenyum sambil menjawab, “Sudahlah. Apapun yang terjadi, Panembahan Senapati sudah mengambil keputusan.”

Raden Rangga mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Demikianlah, ketiga orang itu pun kemudian telah berada kembali di Kepatihan. Ternyata Raden Rangga benar-benar ingin menunggu hari yang diketahuinya akan dilangsungkan Merti Desa di sebuah padukuhan yang sebelumnya tidak dikenalnya. Sekedar untuk melihat anak-anak muda itu bermain.

Dalam kesempatan tersendiri, ketika Raden Rangga sedang tidak ada di biliknya. Ki Mandaraka yang menengok bilik itu telah berkata kepada Glagah Putih, “Biar sajalah. Ia tidak pernah berkesempatan untuk bermain seperti itu.”

Glagah Putih mengangguk hormat sambil menjawab, “Semuanya memang terserah kepada Raden Rangga, Ki Patih.”

“Namun ada baiknya sekali-sekali kau memperingatkan jika ia terdorong melakukan sesuatu yang dapat membahayakan orang lain.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Pada saat-saat tertentu Raden Rangga memang melakukan sesuatu yang seakan-akan tidak dipikirkannya masak-masak. Namun itu adalah bagian dari padanya, sebagaimana ia kadang-kadang memberinya beberapa petunjuk dan nasehat.

Dalam pada itu, sambil menunggu hari yang dikehendaki oleh Raden Rangga untuk berangkat, kedua anak muda itu masih juga sempat mengadakan latihan-latihan khusus. Sekali-sekali mereka sempat mengadakan pemusatan nalar budi. Dalam semadi mereka berusaha untuk menyiapkan diri agar pada saat mereka berangkat, mereka benar-benar sudah siap lahir dan batinnya.

Demikianlah ketika hari itu tiba, Raden Rangga dan Glagah Putih telah mohon diri kepada Ki Patih Mandaraka. Mereka memilih waktu menjelang tengah malam untuk meninggalkan Kepatihan. Dengan berjalan kaki mereka berharap bahwa pagi-pagi mereka telah berada di sebuah padukuhan yang sedang mengadakan Merti Desa, dengan permainan yang telah menarik perhatian Raden Rangga.

Pada kesempatan terakhir Ki Patih masih juga mengingatkan, bahwa mereka hanya berkewajiban untuk menelusuri jejak orang-orang itu. Mereka tidak perlu bertindak lebih jauh, karena itu akan sangat berbahaya.

Demikianlah, maka kedua anak muda itu meninggalkan Kepatihan dengan membawa bekal dan pesan-pesan serta doa dari orang-orang tua yang mereka tinggalkan. Baik di Mataram, di Tanah Perdikan Menoreh, maupun yang berada di Jati Anom. Dengan demikian maka mereka telah mendapat alas berpijak selama mereka berada dalam perjalanan.

Prajurit yang bertugas di regol mengangguk hormat ketika mereka melihat kedua anak muda itu keluar. Mereka tidak melihat keduanya membawa bekal yang terbungkus rapi. Namun mereka melihat kedua anak muda itu membawa masing-masing kampil yang tidak terlalu besar terikat di lambung. Sementara itu, ternyata Raden Rangga telah membawa sebuah tongkat yang terbuat dari sebatang pring gading yang berwarna kuning seperti gading.

Ketika Glagah Putih bertanya tentang tongkat itu tanpa maksud apa-apa selain sekedar pertanyaan saja, maka jawab Raden Rangga sangat menarik, meskipun Glagah Putih tidak menyahut lagi. Katanya, “Tongkat ini tiba-tiba saja sudah berada di sanggarku. Aku tidak tahu, kapan dan siapa yang menaruhnya. Atau mungkin aku sendiri yang lupa membawanya dan meletakkan di sanggar.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Raden Rangga itu menarik ujung tongkatnya menggores tanah. Bekas ujung tongkatnya itu nampak bagaikan bercahaya kebiru-biruan, seperti ribuan kunang-kunang yang melekat memanjang. “Apa artinya itu Raden?” bertanya Glagah Putih.

Raden Rangga tidak menjawab. Ia hanya tersenyum saja. Namun goresan berikutnya tidak lagi menunjukkan kelainan apapun juga. Tidak ada lagi cahaya kebiruan yang membekas dan bahkan Raden Rangga pun telah mengangkat tongkat pring gadingnya dan memanggulnya. 

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari bahwa yang menimbulkan cahaya itu tentu bukan karena tongkatnya itu saja, tetapi juga karena kemampuan Raden Rangga yang tersalur pada tongkatnya itu.

Demikianlah, keduanya pun kemudian telah sampai ke pintu gerbang kota. Para petugas di pintu gerbang itu pun tidak banyak bertanya kepada Raden Rangga dan kawannya, karena kebanyakan mereka sudah tahu bahwa anak muda itu datang dan pergi kapan saja ia kehendaki tanpa mengenal waktu. Karena itu meskipun saat itu Mataram sedang diliputi oleh sepinya tengah malam, namun para prajurit di pintu gerbang tidak mempersoalkannya.

Demikianlah, Raden Rangga dan Glagah Putih telah menempuh awal dari perjalanannya yang panjang. Mereka menyusup ke dalam gelapnya malam. Angin yang basah telah membuat keduanya merasa segar.

Ketika Raden Rangga menengadahkan kepalanya, maka dilihatnya bintang yang bergayutan di langit. Namun di ujung utara nampak awan yang kelabu menyelimuti puncak Gunung Merapi.

“Kita tidak tergesa-gesa,” berkata Raden Rangga.

“Ya. Kita tidak tergesa-gesa,” jawab Glagah Putih. Karena itu, maka keduanya pun berjalan dengan langkah-langkah ringan tanpa dibebani ketergesa-gesaan. Bahkan sekali-sekali mereka berhenti memperhatikan tanaman yang subur di sebelah menyebelah jalan.

Semakin lama keduanya menjadi semakin jauh dari pintu gerbang Mataram . Mereka memasuki daerah padukuhan yang dilindungi oleh tanah persawahan yang luas dan subur.

Beberapa kali keduanya telah melintasi padukuhan yang sepi. Namun jika mereka sampai ke gardu yang berisi beberapa orang peronda, maka lebih baik keduanya mencari jalan lain agar tidak terlalu banyak pertanyaan yang harus mereka jawab. Dengan kemampuan mereka, maka keduanya dapat saja melintasi halaman-halaman yang gelap tanpa diketahui oleh para peronda.

Semakin jauh mereka berjalan, maka malam pun menjadi semakin dalam. Bintang-bintang telah bergeser ke arah barat. Sedangkan awan yang kelabu di sisi utara seakan-akan telah berkembang.

Raden Rangga yang mengamati awan itu pun berkata, “Angin bertiup ke utara. Agaknya masih belum akan hujan.”

Glagah Putih pun mengangkat wajahnya. Namun ia sependapat dengan Raden Rangga bahwa awan itu akan semakin terdesak. Tetapi jika awan itu menjadi semakin padat dan memanjat semakin tinggi, maka hujan justru akan jatuh. Tetapi di lereng Gunung Merapi.

Namun tiba-tiba saja kedua orang anak muda itu telah dikejutkan oleh derap seseorang yang berlari. Ketika dari antara pohon perdu di tikungan muncul seseorang, maka Raden Rangga dan Glagah Putih pun telah berhenti.

Tetapi orang itu terkejut pula melihat Raden Rangga! dan Glagah Putih yang tiba-tiba sudah ada di hadapannya.

Sejenak orang itu kebingungan. Namun ia tidak dapat lari kembali ke arah ia datang. Apalagi sejenak kemudian telah terdengar teriakan-teriakan yang mendebarkan.

“Pencuri, pencuri!” terdengar suara teriak yang susul menyusul. Bahkan ada yang berteriak, “Perampok, perampok!”

“Apakah betul ia pencuri?” desis Raden Rangga. Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia harus bertindak cepat. Demikian orang itu berusaha meloncati parit, maka Glagah Putih justru telah mendahuluinya.

Tenaga Glagah Putih bukan imbangan tenaga orang itu. Karena itu, ketika Glagah Putih menangkap lengannya, maka orang itu sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa lagi.

Namun orang itu tiba-tiba saja telah merengek, “Lepaskan aku Aku bukan pencuri.”

“Kenapa kau dikejar-kejar seperti itu jika kau bukan pencuri?” bertanya Glagah Putih.

“Agaknya terjadi salah paham. Tetapi aku tidak sempat menjelaskan,” berkata orang itu, “aku sama sekali tidak mencuri dan apalagi merampok Tetapi aku memang ingin melarikan diri dari rumah Paman.”

“Kenapa?” bertanya Raden Rangga yang sudah berdiri di sebelahnya.

Tetapi Raden Rangga dan Glagah Putih tidak sempat mendengar jawaban orang itu, karena tempat itu tiba-tiba saja sudah dikepung. Teriakan-teriakan terdengar semakin keras dan kasar.

“Nah, itu orangnya,” terdengar suara lantang. Seorang bertubuh tinggi berdiri bertolak pinggang.

Sementara itu beberapa orang lain pun telah berkerumun pula di sekitar Raden Ranga, Glagah Putih dan orang yang telah mereka kejar itu.

“Ternyata mereka bertiga!” terdengar yang lain berteriak.

Raden Rangga dan Glagah Putih terkejut mendengar tuduhan itu. Namun mereka masih belum mengatakan apa-apa.

“Mereka tidak akan lari lagi,” geram orang bertubuh tinggi itu, “sekarang terserah kepada kita, apa yang akan kita lakukan atas mereka.”

“Kita selesaikan saja!” teriak orang yang berdiri di antara kerumunan itu.

“Ya Kita selesaikan mereka,” sahut yang lain.

Karena agaknya orang-orang itu benar-benar akan bertindak kasar, maka Glagah Putih pun telah berkata, “Ki Sanak. Apakah yang sebenarnya telah terjadi?”

“Jangan berpura-pura,” geram orang bertubuh tinggi itu, “kalian harus bertanggung jawab atas perbuatan kalian.”

“Tetapi berilah kesempatan kami menjelaskan,” berkata Glagah Putih, “kami berdua saja dalam perjalanan mendekati padukuhan itu.”

Orang-orang yang mengepung mereka itu saling berpandangan. Namun orang bertubuh tinggi itu tiba-tiba menggeram, “Omong kosong. Kalian bertiga tentu sekelompok perampok.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata kepada orang yang telah dikejar oleh orang-orang itu, “Kau dapat mengatakan yang sebenarnya.”

Tetapi sebelum orang itu menjawab, orang bertubuh tinggi itu telah memotong, “Kalian dapat berbicara apa saja untuk membersihkan diri kalian. Tetapi kalian tidak dapat mengelabuhi kami.”

Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Sementara itu hampir di luar sadarnya ia telah memandang berkeliling. Lebih dari sepuluh orang telah mengepungnya. Bahkan beberapa orang telah berdiri di antara tanaman di sawah.

Dalam, pada itu Glagah Putih-lah yang kemudian mengguncangkan tubuh orang yang masih saja dipegangi lengannya itu sambil bertanya, “Berbicaralah. Apakah kau memang pencuri?”

“Tidak. Aku bukan pencuri,” jawab orang itu.

“Tunggu apa lagi?” tiba-tiba seorang bertubuh gemuk menyeruak di antara kawan-kawannya, “Kita selesaikan saja mereka”

“Cepat!” teriak yang lain, “Waktu kita tinggal sedikit. Sebentar lagi fajar akan menyingsing.”

“Ayo,” sahut yang lain lagi, “jika Ki Jagabaya mengetahui, maka kita kehilangan kesempatan karena orang-orang ini tentu akan dibawa oleh Ki Jagabaya. Kita tentu tidak lagi diperbolehkan untuk menyentuhnya.”

Tetapi Glagah Putih masih berusaha mencegah, “Jangan begitu Ki Sanak. Marilah kita pelajari dengan sungguh-sungguh, apakah benar orang ini bersalah. Jika perlu kita bawa orang ini menghadap Ki Jagabaya. Untuk menghilangkan kecurigaan kalian, kami berdua bersedia untuk ikut besama kalian.”

“Jangan banyak bicara,” geram orang bertubuh tinggi yang kemudian berpaling kepada kawan-kawannya, “kita harus bertindak cepat. Mereka sadar, bahwa Ki Jagabaya akan dapat menyelamatkan mereka.”

“Kita selesaikan saja agar kawan-kawan mereka menjadi jera!” teriak yang berada di tengah sawah.

Glagah Putih melihat kemarahan yang tidak terkendali pada orang-orang yang mengepung itu. Sikap yang sangat berbahaya. Sementara itu belum pasti bahwa orang yang mereka kejar itu bersalah dan pantas untuk mendapat hukuman. Karena itu, sekali lagi Glagah Putih mengguncang orang itu, “Berbicaralah bahwa kau bukan pencuri. Atau barangkali kau memang mencuri?”

“Aku tidak mencuri,” sahut orang itu dengan suara gemetar ketakutan.

“Kita selesaikan mereka bertiga,” geram orang yang bertubuh gemuk, “kita tidak akan membiarkan mereka lepas dari tangan kita.”

Glagah Putih menjadi tegang. Sementara itu orang yang telah dikejar-kejar itu pun berusaha untuk menjelaskan, “Aku tidak mencuri. Aku adalah kemenakan Ki Dungkruk.”

“Omong kosong!” teriak yang bertubuh gemuk, “Jika kau tamu di rumah Ki Dungkruk, kau tidak akan keluar dari regol halaman sambil mengendap-endap dan lari ketika disapa orang.”

“Aku… aku tidak mau dibawa kembali ke rumah itu,” jawab orang itu. Lalu, “Tetapi persoalannya adalah persoalan keluarga.”

“Bohong!” teriak beberapa orang hampir berbareng. Beberapa orang lainnya agaknya tidak sabar lagi. Seorang yang membawa sepotong-kayu membentak, !Tundukkan kepalamu agar aku mudah memukulmu! Mungkin dengan demikian aku tidak memukulmu dengan sepenuh kekuatanku.”

“Kita bicara dengan Ki Jagabaya,” Glagah Putih masih berusaha.

Tetapi usahanya sia-sia. Orang-orang itu ternyata ingin menyelesaikan persoalan itu sendiri. Mereka ingin mendapat kepuasan dengan berlaku kasar terhadap orang-orang yang mereka tuduh bersalah, meskipun belum dapat dibuktikan.

Namun dalam pada itu, Raden Rangga yang sejak semula nampaknya hanya memperhatikan saja apa yang terjadi itu, tiba-tiba saja telah tertawa.

Orang-orang yang marah itu telah berpaling semuanya kepada anak muda itu. Bahkan kemudian di sela-sela suara tertawanya ia berkata, “Kalian memang aneh. Kalian seakan-akan telah kerasukan iblis dan begitu bernafsu untuk memukuli orang. Bahkan mungkin jika kalian terdorong oleh arus perasaan kalian tanpa kendali, maka korban tidak akan dapat dielakkan. Orang yang kalian pukuli akan mati. Dan ternyata orang itu tidak bersalah.”

Orang-orang yang mengepungnya itu termangu-mangu sejenak. Namun yang bertubuh gemuk berkata, “Jangan hiraukan. Kita selesaikan saja mereka daripada harus menyeretnya kepada Ki Jagabaya.”

Glagah Putih merasa bahwa kesempatannya untuk berbicara telah benar-benar tertutup. Raden Rangga pun mulai mengerutkan keningnya. Jantungnya mulai berdegup semakin cepat. Namun ia masih berkata, “He bukankah besok kalian akan Merti Desa? Kenapa malam ini kalian begitu bernafsu untuk membunuh?”

“Persetan!” teriak yang gemuk, “Jangan mengada-ada.”

“Cepat kita selesaikan!” teriak yang lain. Orang-orang itu mulai bergerak mempersempit kepungan mereka. Bahkan ada di antara mereka yang telah mengacu-acukan senjata yang mereka bawa.

Orang yang masih dipegangi lengannya oleh Glagah Putih itu menjadi ketakutan. Dengan suara bergetar ia minta, “Jangan. Aku tidak bersalah apa-apa. Aku bukan pencuri.”

Tetapi orang-orang itu tidak mendengarkannya lagi. Glagah Putih pun menjadi agak bingung. Langkah apa yang harus diambilnya menghadapi orang-orang yang marah itu.

Dalam kebingungan itu, tiba-tiba saja Raden Rangga telah mengambil langkah. Tanpa berbicara lagi, maka iapun telah meloncat berlari meninggalkan Glagah Putih dan orang yang disebut pencuri itu.

Ternyata Raden Rangga telah menarik perhatian. Apalagi Raden Rangga telah membentur seorang di antara orang-orang yang mengepungnya sehingga orang itu jatuh terguling. Namun dengan cepat orang itu berusaha untuk bangkit,

Dengan marah orang itu pun kemudian berteriak, !Tangkap orang itu!”

Sikap Raden Rangga telah menimbulkan kekisruhan sejenak. Namun orang-orang itu pun cepat menguasai diri. Mereka pun dengan serta merta telah berlari mengejar Raden Rangga. Meskipun demikian orang yang bertubuh tinggi itu sempat berteriak, “Jangan tinggalkan kedua orang itu tanpa dijaga!”

Ketika orang-orang itu berlari mengejar Raden Rangga, maka tiga orang telah tinggal menjaga Glagah Putih dengan orang yang disebut pencuri itu. Mereka sama sekali tidak menyadari, dengan siapa sebenarnya mereka berhadapan.

Dalam pada itu, Raden Rangga pun telah berlari menyusuri jalan bulak, ia menyadari bahwa beberapa orang telah mengejarnya. Namun Raden Rangga justru merasa bahwa rencananya berhasil.

Beberapa saat Raden Rangga masih berlari-lari. Orang-orang yang mengejarnya itu merasa semakin lama menjadi semakin dekat. Mereka berharap bahwa mereka akan dapat segera menangkap anak muda yang mereka kejar itu.

Tetapi Raden Rangga telah memperhitungkan dengan baik. Demikian mereka menjadi semakin jauh, maka Raden Rangga pun mulai mempercepat larinya. Semakin lama semakin cepat, sehingga jarak di antara merekapun menjadi semakin jauh lagi.

Namun Raden Rangga tidak ingin meninggalkan orang-orang yang mengejarnya itu terlalu jauh sehingga orang-orang yang mengejarnya melepaskannya karena mereka menjadi putus asa. Karena itu maka jika jaraknya sudah terlalu jauh, Raden Rangga telah memperlambat lagi larinya, sehingga orang-orang yang mengejarnya itu berpengharapan lagi untuk dapat menangkapnya, karena mereka menganggap orang yang dikejarnya itu menjadi lelah.

Sementara orang-orang yang mengejar Raden Rangga itu menjadi semakin jauh, maka Glagah Putihpun mulai mencoba berbuat sesuatu.

Dengan hati-hati ia mulai membuka pembicaraan, “Ki Sanak. Kenapa kalian mengejar orang ini? Bukankah menurut pengakuannya ia bukan pencuri.”

“Omong kosong,” jawab salah seorang dari mereka yang menunggu keduanya itu. “Sudahlah. Jangan banyak bicara. Kita menunggu kawan-kawan kembali.”

“Kenapa menunggu?” bertanya Glagah Putih. “Aku kira tidak ada gunanya kita menunggu. Sebaiknya bawa saja kami menghadap Ki Jagabaya.”

Tetapi orang itu menggeram. Katanya, “Buat apa kita menghadap Ki Jagabaya? Kita dapat menyelesaikannya sendiri.”

“Kalian tidak berhak menyelesaikannya sendiri. Bahkan seandainya orang ini benar-benar mencuri, maka seharusnya kalian serahkan kepada Ki Jagabaya. Apalagi jika tidak,” jawab Glagah Putih.

“Persetan,” geram salah seorang dari mereka, “jika kau masih saja banyak bicara, maka aku akan membungkam mulutmu.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih berbicara lagi, “Jangan begitu Ki Sanak. Semuanya ada paugerannya. Paugeran itulah yang harus kita anut agar kehidupan dapat berjalan dengan tertib. Jika kita masing-masing menentukan langkah sendiri-sendiri, maka kehidupan akan semakin kacau.”

Tetapi ketiga orang yang menunggui kedua orang itu justru menjadi marah. Mereka bergerak hampir berbareng mendekati Glagah Putih dan orang yang dituduh mencuri itu.

Namun sejenak mereka tertegun. Bahkan mereka menjadi gelisah. Seorang di antara mereka pun menggeram, “Setan. Tentu Ki Jagabaya yang datang itu.”

Glagah Putih pun mendengar beberapa orang datang. Sebenarnyalah sejenak kemudian beberapa orang muncul dari balik gerumbul di tikungan jalan bulak itu.

“Hmm,” salah seorang di antara ketiga orang itu mengumpat, “kau berhasil menyelamatkan dirimu dengan kehadiran Ki Jagabaya. Tetapi seorang kawanmu itu tentu akan mati.”

“Kalian tidak berhak membunuh,” sahut Glagah Putih, “jika kawanku itu mati, maka kalian akan dihukum oleh Ki Jagabaya.”

Pembicaraan itu terputus ketika seorang yang bertubuh tinggi tegap dan berdada bidang maju mendekat. Dalam kegelapan nampak wajahnya yang garang berwibawa.

“Apa yang terjadi?” bertanya orang itu.

“Maaf Ki Jagabaya. Kami mendahului Ki Jagabaya. Kami telah menangkap pencuri,” jawab salah seorang dari ketiga orang itu.

“Pencuri?” bertanya Ki Jagabaya. “Dimana orang itu, dan kemana kawan-kawanmu?”

Salah seorang dari ketiga orang itu menjawab, “Dua orang ini. Yang seorang telah melarikan diri. Kawan-kawan kami sedang mengejar yang seorang itu.”

“Kenapa kalian tidak melaporkan kepadaku? Seandainya Ki Dungkruk tidak memberitahukan kepadaku, maka aku tidak tahu apa yang terjadi. Kalian juga tidak membunyikan isyarat apapun. Kenapa kalian tidak memukul kentongan?”

Ketiga orang itu tidak menjawab. Namun Glagah Putih-lah yang menjawab, “Mereka sengaja ingin meninggalkan Ki Jagabaya.”

“Omong kosong,” geram salah seorang dari mereka.

“Ya,” sambung Glagah Putih, “mereka mengharap agar Ki Jagabaya tidak mengetahui. Karena jika demikian maka mereka tidak sampai menjatuhkan hukuman menurut kehendak mereka sendiri.”

Ketiga orang itu menggeretakkan giginya. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Rasa-rasanya mereka ingin menerkam dan meremas mulut Glagah Putih. Tetapi di hadapan Ki Jagabaya dan beberapa bebahu, mereka tidak berani melakukannya.

Dalam pada itu, Ki Dungkruk yang mengikuti Ki Jagabaya itu berkata, “Inilah kemanakanku itu Ki Jagabaya. la bukan pencuri. Aku tidak tahu kenapa malam-malam ia berkeliaran di luar halaman, sehingga menimbulkan salah paham. Ketika aku mendengar teriakan-teriakan anak muda di luar, maka aku tidak melihat kemenakanku di rumah, dan pintu pun tidak diselarak, sehingga aku sudah mengira bahwa tentu kemanakanku Itulah yang telah disangka pencuri itu.”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Dipandanginya ketiga orang yang semua menjaga Glagah Putih dan orang yang disangka pencuri itu. Lalu katanya, “Kita semuanya pergi ke rumahku.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat menolak jika Ki Jagabaya berkeras untuk membawanya. Meskipun demikian ia berkata, “Ki Jagabaya. Aku adalah seorang pengembara yang tidak tahu menahu persoalan ini. Aku berdua dengan saudaraku berjalan di bulak ini ketika kami berdua bertemu dengan orang yang disebut pencuri ini. Seorang saudaraku itu demikian ketakutan sehingga ia melarikan diri dan dikejar beberapa orang. Aku justru menjadi cemas, bahwa saudaraku itu akan. mengalami nasib buruk.”

“Sudah beberapa kali aku peringatkan,” berkata Ki Jagabaya, “tidak seorangpun boleh menentukan hukum langsung seperti ini.”

“Ya,” jawab Glagah Putih, “hampir saja kami dipukuli. Mereka memang sengaja meninggalkan Ki Jagabaya. Seandainya kami sudah mati di sini, maka apakah akibatnya, sementara kami tidak bersalah.”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Sementara ketiga orang yang tidak ikut mengejar Raden Rangga itu mengumpat di dalam hati.

Namun sejenak kemudian Ki Jagabaya pun telah memerintahkan beberapa orang yang dipimpin oleh seorang bebahu untuk mencari orang-orang yang mengejar seorang yang diaku oleh Glagah Putih sebagai saudaranya.

“Ketemukan mereka dan cegah jika terjadi sesuatu atas anak muda itu,” berkata Ki Jagabaya, “aku akan membawa orang-orang ini ke rumah.”

“Apakah aku diperkenankan ikut mencari saudaraku?” bertanya Glagah Putih.

Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Pergilah.”

Glagah Putih pun mengangguk sambil berkata, “Terima kasih Ki Jagabaya.”

Namun Ki Jagabaya masih ingin meyakinkan kebenaran pengakuan Glagah Putih. Karena itu, maka iapun bertanya kepada kemenakan Ki Dungkruk, “Apakah benar orang ini kau jumpai di sini?”

“Ya Ki Jagabaya. Ia justru yang telah menangkap aku,” jawab kemanakan Ki Dungkruk itu.

“Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ketika aku berpapasan dengan seseorang yang berlari-lari dan dikejar oleh orang banyak sambil meneriakkan pencuri, maka aku telah menangkapnya, namun kemudian aku justru dituduh oleh orang banyak itu sebagai kawannya yang bersama-sama ingin melakukan kejahatan,” jawab Glagah Putih.

“Kita sudah tidak menghormati lagi paugeran,” berkata Ki Jagabaya, “jika terjadi malapetaka, maka semuanya akan menyesal.” Lalu tiba-tiba saja Ki Jagabaya membentak kemanakan Ki Dungkruk, “Kenapa kau berkeliaran malam-malam?”

“Aku memang akan pergi dari rumah Paman. Aku tidak mau dipaksa menyetujui persoalan warisan sepeninggal ibuku. Kakak perempuan Paman itu. Aku akan mengadu kepada ayahku,” jawab orang itu.

“Tetapi malam-malam begini, dan kau tidak dikenal di padukuhan ini,” bentak Ki Jagabaya pula.

Orang itu terdiam. Namun sementara itu Glagah Putih berkata, “Aku minta diri. Aku akan mencari saudaraku.”

“Pergilah bersama beberapa orang-orangku,” jawab Ki Jagabaya.

Glagah Putih pun kemudian bersama dengan beberapa orang telah meninggalkan tempat itu untuk mencari Raden Rangga yang lari dikejar oleh beberapa orang.

Sebenarnya lah Glagah Putih tidak perlu mencemaskan Raden Rangga sebagaimana Raden Rangga juga tidak merasa perlu untuk mencemaskan Glagah Putih. Tetapi mereka tidak dapat dengan semena-mena menunjukkan kelebihan mereka.

Karena itu, Raden Rangga telah memilih cara yang aneh. Ia berlari tanpa berhenti. Kadang-kadang jaraknya menjadi jauh. Namun kadang-kadang menjadi dekat. Ternyata Raden Rangga tidak berlari terlalu jauh. Ia hanya berputar-putar saja di jalan bulak. Ia berbelok di simpang tiga atau simpang empat. Kemudian di persimpangan berikutnya ia justru mengambil jalan ke arah jalan semula.

Setelah beberapa lamanya mereka berkejaran, maka satu demi satu orang-orang yang mengejarnya itupun telah kehabisan nafas. Bahkan seorang di antara mereka telah dengan serta merta menjatuhkan dirinya dan berbaring di pinggir jalan dengan nafas yang hampir terputus. Yang lain berdiri sambil bertolak pinggang menekan lambungnya yang rasa-rasanya menegang. Sedangkan yang lain merintih karena kakinya tiba-tiba menjadi kejang. Namun sebagian besar di antara mereka merasa bahwa nafas mereka menjadi hampir putus karenanya.

Mereka telah mengerahkan segenap kekuatan yang ada untuk mengejar Raden Rangga, yang kadang-kadang hampir teraih tangan dari pengejarnya yang paling depan. Namun jarak itu kemudian menjadi panjang. Lalu mendekat lagi. Sehingga setiap orang telah memaksa diri untuk berlari sekencang-kencangnya. Tetapi dengan demikian maka nafas mereka pun rasa-rasanya telah terputus di kerongkongan.

Akhirnya, tidak seorangpun lagi yang dapat mengejar Raden Rangga. Dua orang terkuat di antara mereka pun tidak lagi dapat berlari kencang. Mereka tertatih-tatih di belakang Raden Rangga yang maju perlahan-lahan sambil sekali-sekali berpaling ke arah kedua orang itu. Namun akhirnya keduanya pun tidak dapat melanjutkannya. Sambil mengumpat keduanya menjatuhkan diri duduk di atas tanggul parit di pinggir jalan.

Raden Rangga berdiri beberapa langkah dari keduanya. Beberapa saat ia memandangi kedua orang itu. Namun kemudian iapun bertanya, “Apakah permainan kita sudah selesai?”

“Persetan,” geram salah seorang dari kedua orang yang kelelahan itu.

“Kalian belum berhasil menangkap aku,” berkata Raden Rangga.

“Anak demit!” teriak orang yang betubuh agak gemuk yang sudah kehabisan nafas itu. Sambil terengah-engah ia berkata, “Aku pilin lehermu sampai putus.”

Raden Rangga justru mendekat. Sambil tertawa ia berkata, “Tangkap aku, dan pilin leherku.”

Orang bertubuh gemuk itu menjadi marah sekali. Tiba-tiba saja ia bangkit meloncat meraih Raden Rangga. Namun iapun justru jatuh terjerembab.

Dengan susah payah orang itu berusaha bangkit. Kawannya yang juga kelelahan memang berusaha untuk menolongnya. Namun rasa-rasanya tubuhnya sendiri sudah tidak mampu bergerak lagi.

Raden Rangga pun kemudian berjongkok beberapa langkah dari keduanya. Dengan nada rendah iapun berkata, “Sudahlah. Beristirahat sajalah sebelum nafas kalian terputus. Nanti jika keadaan kalian sudah baik, kita bermain-main lagi. Sementara fajar menyingsing.”

“Anak setan,” geram orang bertubuh agak gemuk itu.

“Jangan marah. Bukankah besok kalian akan Merti Desa?” bertanya Raden Rangga.

“Tidak!” teriak orang bertubuh gemuk itu, “Sapa bilang besok Merti Desa?”

Raden Rangga mengangguk-angguk. Agaknya padukuhan-padukuhan yang menyelenggarakan pertandingan binten dan garesan itu tidak termasuk kademangan yang sama dengan padukuhan tempat orang-orang ini tinggal, karena jaraknya memang masih agak jauh.

Namun dalam pada itu, Raden Rangga pun berkata, “Baiklah. Meskipun besok kalian tidak akan Merti Desa, tetapi bukankah sebaiknya kalian malam ini tidak memburu orang yang tidak bersalah.”

“Tutup mulutmu. Aku ingin menyumbatnya dengan lumpur jika kau masih berbicara terus,” geram orang yang lain, yang bertubuh kecil.

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Jangan terlalu garang. Tidak baik bagi kalian jika kalian cepat marah. Kalian akan menjadi cepat tua.”

Kedua orang itu tidak dapat menahan kemarahan yang bergejolak di dalam dada mereka. Tetapi keduanya pun tidak dapat berbuat apa-apa. Jika mereka berusaha untuk bangkit, maka keduanya akan terjatuh.

“Ki Sanak,” berkata Raden Rangga, “jika aku seorang pencuri atau perampok, aku sekarang mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat sesuatu atas kalian. Apalagi kalian telah mengejar aku dan bahkan akan menyakiti aku. Dalam keadaan seperti sekarang ini, aku akan dapat membalas kalian, meskipun rencana kalian itu belum sempat kalian lakukan.”

“Persetan!” teriak orang yang bertubuh kecil, “Tutup mulutmu, atau aku akan benar-benar membunuhmu.”

“Aku tahu, kau berteriak-teriak agar ada orang lain yang mendengarnya dan datang kemari. Namun berapapun banyaknya orang datang kemari, mereka tidak akan dapat menangkap aku,” jawab Raden Rangga. “Di padukuhan aku telah dilatih untuk berlari cepat. Dalam pertandingan lari di antara padukuhan-padukuhan dalam Merti Desa di padukuhanku, aku selalu mewakili anak-anak muda sepadukuhanku.”

Orang bertubuh kecil itu benar-benar marah. Digenggamnya tanah dan dilemparkannya kepada Raden Rangga.

Tetapi seakan-akan angin justru bertiup dengan tiba-tiba dari arah anak muda yang berjongkok itu. Karena itu, maka debupun telah menghambur justru ke arah wajah orang itu sendiri.

Orang itu mengumpat ketika matanya merasa pedih karena debu yang masuk ke dalamnya.

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Kenapa kau kotori wajahmu dengan debu?”

Orang itu mengumpat-umpat kasar. Digosok-gosoknya matanya yang pedih, sementara kawannya yang bertubuh gemuk hanya dapat menyaksikan dengan tubuh yang sangat lemah.

Raden Rangga-lah yang kemudian bangkit dan tiba-tiba saja ia memegangi tangan orang itu sambil berkata, “Marilah, aku tolong kau mencuci mukamu di parit di pinggir jalan ini.”

Orang itu tidak menolak. Ia dengan dipapah oleh Raden Rangga telah bergeser dan turun ke parit.

“Cucilah wajahmu,” berkata Raden Rangga sambil mempermainkan ujung tongkatnya di dalam air parit.

Orang bertubuh kecil itupun kemudian duduk di tanggul parit. Kakinya berada di dalam air, sementara itu, tangannya pun sibuk mencuci wajahnya yang penuh dengan debu.

Baru beberapa saat kemudian matanya menjadi bersih dan perasaan pedih pun telah berkurang.

Namun dalam pada itu, Raden Rangga pun telah mendengar beberapa orang datang mendekat dari arah padukuhan. Karena itu, maka iapun telah naik ke tanggul sambil memperhatikan suasana.

Sejenak kemudian iapun melihat dalam keremangan malam, beberapa orang yang berjalan tergesa-gesa menyusuri jalan bulak itu. Sementara ketajaman penglihatannya mampu melihat bahwa di antara mereka terdapat Glagah Putih.

Karena itu, Raden Rangga tidak berusaha untuk melarikan diri lagi. Ia justru menunggu apa yang akan terjadi kemudian.

Glagah Putih pun telah melihat Raden Rangga pula. Karena itu, maka iapun berkata kepada orang-orang yang bersamanya, “Itulah saudaraku.”

Merekapun kemudian menuju ke tempat Raden Rangga berdiri. Seorang bebahu yang datang bersama Glagah Putih itu bertanya, “Bagaimana dengan kau?”

“Baik, Ki Sanak,” jawab Raden Rangga, “tidak ada kesulitan yang aku alami. Aku mempunyai kelebihan dari orang-orang yang mengejarku, karena aku adalah pelari yang baik.”

Bebahu itu-mengangguk-angguk. Di sepanjang jalan yang dilaluinya ia sudah melihat beberapa orang yang kehabisan nafas. Ada yang duduk terengah-engah, ada yang berbaring di rerumputan, dan ada yang duduk berselunjur kaki sambil bersandar pepohonan.

Sementara itu Raden Rangga pun bertanya, “Apakah Ki Sanak juga akan menangkapku?”

“Tidak,” jawab bebahu itu, “kami sudah mendapat keterangan bahwa kau tidak bersalah sebagaimana saudaramu ini. Tetapi aku minta kau bersedia pergi ke rumah Ki Jagabaya, justru untuk menjadi saksi, bahwa beberapa orang di padukuhan ini telah melakukan pelanggaran atas paugeran yang telah dibuat. Ki Jagabaya tidak senang melihat orang-orang padukuhan ini menjatuhkan hukuman sendiri dengan kasar. Ki Jagabaya memang memerintahkan orang-orang padukuhan ini bertindak. Tetapi tidak menghukum.”

Raden Rangga memandang Glagah Putih sejenak. Namun keduanya pun kemudian menyatakan kesediaan mereka untuk pergi ke rumah Ki Jagabaya,

Dengan demikian maka mereka pun segera meninggalkan tempat itu. Orang-orang yang masih kelelahan di pinggir jalan, diperintahkan untuk secepatnya pergi ke rumah Ki Jagabaya.

“Jika kalian tidak datang, maka para pengawal padukuhan akan menjemput kalian,” berkata bebahu itu.

Sebenarnyalah mereka telah berkumpul di rumah Ki Jagabaya menjelang matahari terbit. Raden Rangga dan Glagah Putih tidak terlalu lama di padukuhan itu. Setelah memberikan kesaksian mereka, maka keduanya pun telah meninggalkan padukuhan itu. Sementara kemenakan Ki Dungkruk sempat mengucapkan terima kasih kepada keduanya.

“Tanpa kalian, mungkin keadaan akan berbeda,” berkata kemenakan Ki Dungkruk itu, “aku tidak tahu, apa yang terjadi atas diriku. Padahal aku benar-benar tidak bersalah.”

“Lain kali berhati-hatilah,” pesan Glagah Putih.

Demikianlah, atas ijin Ki Jagabaya keduanya meneruskan perjalanan menuju ke padukuhan yang sedang menyelenggarakan Merti Desa. Meskipun sebenarnya mereka dapat memilih jalan yang lebih dekat untuk menuju ke arah Timur, namun mereka memang ingin singgah di padukuhan itu untuk melihat Merti Desa.

Dalam pada itu, ketika keduanya lewat di depan sebuah pasar yang ramai, maka mereka pun telah singgah di sebuah kedai untuk membeli minuman panas dan makan pagi, setelah mereka,berkejaran denga orang-orang padukuhan yang telah mereka lewati.

Selagi mereka berada di warung itu, Glagah Putih sempat pula berkata, “Apakah tidak sebaiknya kita tidak usah singgah untuk melihat Merti Desa itu Raden?”

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Aku hanya ingin melihat. Bukankah dalam Merti Desa itu biasanya terdapat berbagai macam keramaian? Yang menarik adalah binten dan garesan yang akan diikuti oleh anak-anak muda dari beberapa padukuhan. Di samping itu tentu ada berbagai macam pertunjukan yang segar.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat mencegah keinginan Raden Rangga untuk menikmati satu suasana yang lain dari yang dilihatnya dan dialaminya sehari-hari di istana Kepatihan.

Karena itu, maka Glagah Putih pun tidak berusaha untuk mencegahnya lagi.

Namun justru Raden Rangga-lah yang kemudian bertanya, “Apakah kau mencemaskan aku bahwa aku akan berbuat sesuatu yang tidak menguntungkan bagi perjalanan kita?”

“Tidak Raden,” jawab Glagah Putih perlahan-lahan, “tetapi kadang-kadang satu keadaan telah terjadi di luar kehendak kita, seperti yang terjadi semalam. Kita tiba-tiba saja dihadapkan kepada satu keadaan yang memaksa kita terlibat dalam satu peristiwa yang tidak kita harapkan.”

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan hal itu tidak terjadi. Kita hanya akan menonton saja. Kita akan berada di antara anak-anak muda yang sudah kita kenal sebelumnya, dan yang sudah mengenal kita.”

“Bagaimana jika sikap mereka tidak seperti yang kita harapkan pula?” bertanya Glagah Putih.

“Ada satu modal pada kita yang tidak mereka miliki,” jawab Raden Rangga, “lari cepat dan lama.”

Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja. Sementara iu Raden Rangga pun berkata, “Jangan cemas. Bukankah dalam Merti Desa akan banyak orang berkumpul? Beramai-ramai dengan bermacam-macam permainan dan tontonan? Kita hanya dua orang saja di antara mereka. Bukankah tidak akan menimbulkan persoalan jika kita sendiri mampu menempatkan diri?”

Glagah Putih masih mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab lagi.

Dalam pada itu, keduanya pun telah menghabiskan dua mangkuk minuman panas dan dua mangkuk nasi. Beberapa potong makanan dari ketan dan ketela.

Setelah membayar harga makanan dan minuman itu, maka keduanya pun telah meneruskan perjalanan. Keduanya masih sempat turun pula ke sebuah sungai untuk mencuci muka dan membenahi diri sebelum mereka memasuki padukuhan yang sedang mengadakan keramaian.

Beberapa saat mereka berjalan. Mereka telah mendekati padukuhan yang pernah mereka kunjungi pada saat-saat anak-anak muda mengadakan binten. Tetapi menurut anak-anak muda itu, binten yang akan diselenggarakan berada di padukuhan yang lain di sebelah bulak panjang.

“Kita akan melewati bulak panjang itu ke utara,” berkata Raden Rangga, “binten dan garesan itu diselenggarakan di padukuhan di sebelah utara bulak panjang itu.”

Glagah Putih tidak menyahut. Namun ia menjadi berdebar-debar ketika dilihatnya dua orang anak muda keluar dari gerbang padukuhan itu. Dua orang anak muda dengan pakaian yang lebih baik dari yang mereka pakai sehari-hari.

Apalagi ketika kedua anak muda itu tertegun setelah melihat mereka.

Namun tiba-tiba saja seorang di antara mereka justru menjadi gembira melihat kehadiran Raden Rangga dan Glagah Putih. Iapun kemudian menggamit kawannya sambil menunjuk ke arah Raden Rangga dan Glagah Putih yang termangu-mangu.

Kedua anak muda itu pun telah berjalan tergesa-gesa mendekati mereka. Seorang yang agaknya telah mengenalnya itu pun kemudian menyapa, “He, bukankah kalian yang pernah datang ke padukuhan ini sepekan yang lalu?”

“Ya,” jawab Raden Rangga yang juga mengenali anak muda itu, “kami benar-benar datang untuk menonton binten dan garesan.”

“Tetapi tidak di sini,” jawab anak muda itu, “tetapi di padukuhan sebelah bulak panjang.”

“Ya. Kalian memang pernah mengatakan. Dan kami memang akan menuju ke sana,” jawab Raden Rangga.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ternyata anak muda itu tidak lagi mendendam mereka berdua. Bahkan nampaknya ia menjadi ramah.

“Kalian tidak berkuda?” bertanya anak muda itu.

“Tidak,” jawab Raden Rangga, “kami ingin menikmati keramaian di padukuhan ini tanpa diganggu oleh kuda-kuda kami yang rakus dan selalu lapar.”

“Bagus,” jawab anak muda itu, “kawan-kawan kami pun belum berangkat pula. Marilah, kita akan berkumpul di banjar. Kita akan berangkat bersama-sama.”

“Tetapi kenapa kalian justru keluar dari padukuhan?” bertanya Raden Rangga.

“Aku akan menjemput seorang kawan yang juga akan pergi bersama kami. Agaknya ia terlambat bangun karena semalam ia bertugas di gardu. Kawan-kawan yang lain sudah akan berangkat, tetapi anak itu belum nampak batang hidungnya,” jawab anak muda itu.

Raden Rangga memandang Glagah Putih sejenak. Lalu katanya, “Marilah. Kita pergi bersama-sama anak-anak muda dari padukuhan ini. Kita pun mengaku anak-anak dari padukuhan ini.”

Tetapi anak muda dari padukuhan itu tertawa. Katanya, “Anak-anak muda padukuhan-padukuhan se-kademangan ini telah saling mengenal. Dari padukuhan yang paling ujung sampai ujung yang lain dari Kademangan Ngentak Amba ini, semua penghuninya telah saling mengenal pula, bukan hanya anak mudanya.”

“O,” Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun ia masih menjawab, “Bagaimana jika aku mengaku tamu dari kademangan lain, tetapi mempunyai keluarga di kademangan ini?”

“Memang mungkin. Tetapi kalian berdua tetap dianggap orang asing,” jawab anak muda itu.

Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi bukankah keramaian ini tidak tertutup bagi orang-orang dari padukuhan atau kademangan lain?”

“Tidak. Tentu tidak. Anak-anak dari kademangan lain banyak juga yang akan datang melihat keramaian,” jawab anak itu. Namun nada suaranya tiba-tiba menurun, “Juga anak-anak dari Kademangan Dukuh Gede.”

Raden Rangga melihat sesuatu yang bergetar di dada anak muda itu.

“Kenapa dengan anak-anak muda dari Dukuh Gede?” bertanya Raden Rangga.

“Mereka suka berkelahi,” jawab anak muda itu, “mereka merasa terlalu kuat. Dalam banyak kesempatan mereka sering membuat persoalan dengan sengaja.”

“Dan anak-anak muda Ngentak Amba ini menjadi sasaran kenakalan mereka?” bertanya Raden Rangga.

“Kami memang sering berkelahi dengan anak-anak muda dari Dukuh Gede,” jawab anak muda itu, “kami tidak pernah merasa di bawah tekanan mereka. Tetapi orang-orang tua kami, terutama para bebahu kademangan kami, mempunyai tabiat yang berbeda dengan bebahu Kademangan Dukuh Gede. Mereka senang melihat anak-anak mudanya berkelahi. Tetapi bebahu kademangan ini sering menahan kami.”

“Tetapi kalian juga suka berkelahi,” berkata Raden Rangga.

“Kenapa?” bertanya anak muda itu.

“Ketika kami datang, kami pun telah kalian tantang berkelahi,” jawab Raden Rangga pula.

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa. Katanya, “Kalian orang asing sama sekali bagi kami. Apalagi mendengar nama Tanah Perdikan Menoreh agaknya telah menggelitik kami untuk mengetahui tataran kemampuannya. Ternyata bahwa nama Tanah Perdikan Menoreh bukan hanya sekedar nama. Tanah Perdikan Menoreh memiliki anak-anak muda .seperti kalian.”

“Kenapa dengan kami? Tidak ada yang lebih dari kalian di sini.” jawab Raden Rangga.

Anak muda itu tertawa. Namun kemudian katanya, “Marilah. Kita jemput pemalas itu. Kawan-kawan kita yang lain sudah tidak sabar lagi menunggu, sementara anak malas itu masih saja melingkar di pembaringan.”

Namun ketika mereka sudah siap untuk melangkah, tiba-tiba mereka melihat seorang anak muda berlari-lari menyusuri jalan di pinggir padukuhan itu.

“O,” desis anak muda yang akan menjemput kawannya itu, “itulah anak malas itu.”

Belum lagi anak muda yang berlari-lari itu mendekat, ia sudah berteriak, “Aku terlambat bangun. Semalam aku ronda di gardu.”

“Marilah,” sahut yang menjemput, “kawan-kawan sudah berada di banjar. Kita akan berangkat bersama-sama.”

Anak muda yang berlari-lari itu justru tertegun. Sejenak ia memandangi Raden Rangga dan Glagah Putih. Namun iapun kemudian tertawa sambil menyapa, “He, kalian anak-anak Tanah Perdikan Menoreh itu bukan?”

Raden Rangga dan Glagah Putih hampir berbareng menjawab, “Ya.”

“Bagus,” berkata anak muda itu pula, “kau akan melihat binten di padukuhan sebelah?”

Yang menjawab adalah Glagah Putih, “Kami ingin melihat keramaian di kademangan ini. Kademangan Ngentak Amba.”

Namun Raden Rangga menambah, “Terutama binten, dan barangkali garesan.”

“Ya,” sahut anak muda yang berlari-lari itu, “bukan hanya binten dan garesan. Kami juga akan mengadu ketangkasan meloncati parit, dan orang-orang tua akan mengadakan adu ketepatan membidik.”

“Panahan?” bertanya Glagah Putih.

“Ya. Panahan dan bandil,” jawab anak muda itu. Namun katanya kemudian, “Tetapi yang paling menarik bagi kalian tentu adu ketahanan menyelam dalam air. Kau pernah melihat?”

“Belum,” Raden Rangga memang menjadi gembira sekali. Katanya kepada Glagah Putih, “Tidak sia-sia kita singgah di padukuhan ini.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak dapat mencegah keinginan Raden Rangga. Bahkan tiba-tiba saja iapun telah tertarik untuk melihat permainan itu. Tetapi bukan binten dan garesan. Ia ingin melihat adu ketahanan menyelam.

Demikianlah, maka mereka pun telah berjalan dengan cepat menuju ke banjar.

Kedatangan Raden Rangga dan Glagah Putih pada umumnya disambut dengan gembira oleh anak-anak muda. Tetapi orang-orang muda yang selapis di atas anak-anak muda itu tidak mengacuhkannya. Mereka tidak melihat apa yang telah dilakukan oleh Raden Rangga dan Glagah Putih. Namun mereka pun tidak berbuat apa-apa.

Sejenak kemudian, maka anak-anak muda itu pun telah berangkat bersama-sama dari banjar. Orang-orang muda yang telah berkeluarga pun tidak ketinggalan. Bahkan ada juga orang-orang tua yang ingin menyaksikan panahan di pedukuhan di ujung bulak itu.

Ternyata kelompok anak-anak muda memang selalu nampak ribut. Mereka berkelakar, bergurau dan bahkan ada juga yang berteriak-teriak di sepanjang jalan bulak. Beberapa orang yang sudah lebih tua beberapa kali telah memperingatkan. Namun anak-anak muda itu memang sulit untuk dikendalikan. Apalagi jika mereka sudah berkumpul dalam jumlah yang cukup banyak.

Ternyata dari padukuhan-padukuhan lain pun, kelompok-kelompok anak muda tengah menuju ke padukuhan di sebelah utara bulak panjang. Meskipun padukuhan itu bukan padukuhan induk Kademangan Ngentak Amba, tetapi padukuhan itu mempunyai persyaratan yang diperlukan untuk mengadakan beberapa jenis perlombaan. Di padukuhan itu pula terdapat sebuah blumbang yang cukup luas dengan air yang sangat jernih, mencuat dari dalam tanah di bawah sekelompok pohon-pohon raksasa yang tua. Bahkan air yang melimpah dari blumbang itu dapat mengairi sebulak sawah di sebelah padukuhan itu. Di sebelah belumbang itu memang terdapat ara-ara yang cukup luas pula. Sedangkan di sebelah ara-ara itu terdapat pasar yang cukup besar.

Lingkungan itulah yang akan dipergunakan untuk menyelenggarakan beberapa jenis permainan. Sementara itu mereka yang merasa haus dan lapar dapat singgah di pasar yang banyak mempunyai kedai, warung besar dan kecil. Penjual dawet, semelak dan wedang sere serta wedang jahe hangat pun banyak terdapat di sekitar ara-ara itu.

Sejak sore hari, di ara-ara itu sudah terpasang rontek dan umbul-umbul. Hiasan janur memenuhi sudut-sudut padukuhan. Dan blumbang yang akan dipergunakan untuk adu ketahanan menyelam itu pun telah dihiasi pula dengan berbagai macam janur dan dedaunan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar