Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 202

Buku 202

Untuk beberapa saat orang itu menunggu. Namun tidak terjadi sesuatu atasnya selain desing suara cambuk yang semakin lama semakin keras.

Untuk sesaat orang itu sempat berpikir, “Agaknya benar kata orang tua itu. Agung Sedayu tentu hanya menakut-nakuti saja.” Apalagi karena ujung cambuk itu memang tidak menyentuhnya sam sekali.

Tetapi yang terjadi kemudian justru berbeda dari yang diperhitungkannya. Ujung cambuk itu memang menyentuh pun tidak. Namun suara desing yang semakin keras itulah yang kemudian bagaikan menggigit jantungnya. Semakin lama semakin sakit menghimpit di dalam rongga dadanya. Bahkan rongga dada itulah yang seakan-akan menjadi semakin sempit pula.

Namun hal itu tidak terjadi terlalu lama. Sejenak kemudian maka suara berdesing itupun telah menurun, sehingga akhirnya berhenti sama sekali.

“Nah,“ berkata Kiai Jayaraga, “bukankah seperti yang aku katakan, bahwa Agung Sedayu tidak akan mencambukmu?“

Orang itu memandang Kiai Jayaraga dengan tatapan mata yang suram. Hampir tidak terdengar ia berkata, “Kekejian yang dilakukannya tidak ada bedanya dengan mencambukku serta mengoyakkan kulitku, karena suara cambuk itu telah menyakiti jantungku.“

Wajah Agung Sedayu-lah yang tiba-tiba menegang. Ternyata bahwa ia tidak berpikir sejauh itu. Namun sebenarnyalah bahwa meskipun ia tidak menyakiti tubuh orang itu pada bagian luarnya, tetapi ia justru telah mengenai langsung di bagian dalamnya.

Meskipun demikian ia telah mencoba menjawab, “Ada bedanya Ki Sanak. Jika aku menyobek kulitmu, maka kau akan terluka dan memerlukan waktu yang mungkin panjang untuk mengobatinya Tetapi jika aku menggelitik isi dadamu, maka demikian aku menghentikannya, maka perasaan sakit itu tidak akan membekas lagi.“

“Mungkin bagimu Ki Sanak,“ berkata orang itu, “tetapi tidak bagiku. Aku masih merasa jantungku bagaikan membengkak dan terhimpit rongga dadaku yang menyempit.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata di luar dugaan, meskipun dengan demikian Agung Sedayu sendiri menjadi berdebar-debar, “Ki Sanak. Sebenarnya aku tidak ingin menyakitimu. Tubuhmu yang kasat mata, atau di bagian dalam. Tetapi aku memerlukan keteranganmu Jika keteranganmu itu dapat kau ucapkan tanpa aku menyakitimu, maka aku akan sangat berterima kasih kepadamu.“

Orang itu menjadi semakin berdebar-debar. Namun ternyata kekerasan hatinya menjadi tergetar ketika ia mendengar Sekar Mirah berkata, “Ki Sanak. Marilah kita berbicara sebagai sahabat. Aku adalah seorang yang lebih kasar dari Kakang Agung Sedayu. Aku sudah mulai jemu melihat permainan yang tidak menyenangkan ini. Kau tentu tidak akan merasa senang jika aku, seorang perempuan, harus memaksamu berbicara, atau bahkan karena kejengkelan harus merenggut nyawamu. Karena itu, marilah kita saling berbaik hati. Kami tidak usah menyakitimu, dan kau membantu kami agar kami tidak harus melakukannya.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Jayaraga pun menyambung, “Di sebelah padukuhan ini ada sebuah gerojogan kecil. Tempat itu merupakan tempat yang sangat baik bagi sahabat kita ini untuk rnandi dan menyegarkan ingatannya. Jika kita meletakkan kepala sahabat kita ini tepat di bawah gerojogan kecil itu, maka dalam waktu kurang dari tiga hari, maka iapun tentu akan teringat, apa yang dilupakannya dan yang tidak dapat disebutnya lagi sekarang ini.“

Jantung orang itu benar-benar telah terguncang-guncang. Nyerinya gaung ujung cambuk Agung Sedayu masih terasa. Apalagi kata-kata yang kemudian didengarnya bagaikan meremas seluruh isi dadanya.

Karena itu, maka iapun telah menjadi gemetar. Kekuatan jiwanya sebagai seorang laki-laki sejati ternyata telah runtuh tidak dengan sentuhan-sentuhan pada tubuhnya, tetapi justru pada perasaannya.

Ketika Agung Sedayu melihat keadaan orang itu, maka iapun kemudian telah bertanya dengan suara lembut, “Ki Sanak. Sebaiknya kau menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.“

Orang itu mengangkat wajahnya. Sambil berdesah ia menarik nafas dalam-dalam.

“Katakan apa yang pantas kau katakan tentang dirimu dan gerombolanmu. Agaknya itu lebih baik daripada kau tidak sempat untuk berbicara apapun juga,“ berkata Agung Sedayu.

Orang itu memandang Agung Sedayu dengan sorot mata yang aneh. Namun kemudian katanya, “Kebiadaban kalian telah memaksa aku untuk berkhianat.“

“Jangan menyebut istilah yang aneh-aneh,“ berkata Agung Sedayu, “kami juga mempunyai perasaan. Kami juga dapat kecewa, marah dan bahkan kami sekali-sekali pernah juga kehilangan kendali atas perbuatan kami, sehingga kami akan benar-benar menjadi biadab seperti yang kau katakan.“

Orang itu tertunduk.

“Katakan, sebelum terlambat,” desak Agung Sedayu.

Orang itu termangu-mangu. Namun ia terkejut ketika ujung cambuk Agung Sedayu tiba-tiba saja menyentuh pundaknya. Hanya menyentuh saja. Namun rasa-rasanya pundaknya itu telah tersentuh api.

“Kau terkejut?“ bertanya Agung Sedayu.

“Aku terpaksa mengatakannya,“ desis orang itu, “aku adalah salah satu dari empat orang dalam gerombolanku, Kami adalah perampok sebagaimana pernah aku katakan.”

“Ya. Hanya itu? Itu sudah kau katakan,“ sahut Agung Sedayu. “Kamipun sudah menanggapinya, bahwa kami mempunyai tuduhan, di samping itu ada tugas lain yang sedang kalian lakukan. justru sikapmu sendirilah yang memberikan arah tuduhan itu.“

Akhirnya orang itu tidak tahan lagi menghadapi tekanan perasaannya, karena kemungkinan-kemungkinan yang dihadapinya agaknya benar-benar akan dapat menghimpitnya dan memeras tubuhnya sehingga darahnya menjadi kering. Karena itu, akhirnya ia menyadari, bahwa yang membuang waktu adalah dirinya sendiri. Bukan orang-orang yang sedang memeriksanya. Jika ia berkata berterus terang, maka apapun yang akan terjadi biarlah segera terjadi.

“Baiklah,“ berkata orang itu dengan sada datar, “kalian telah berhasil memaksa aku menyerah.“

Agung Sedayu tidak menjawab, tetapi dengan demikian maka orang-orang yang ada di dalam sanggar itu telah memperbaiki duduknya di sekitar orang itu, termasuk Ki Gede sendiri.

“Katakan,“ desis Agung Sedayu.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia memandang wajah Agung Sedayu. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Ternyata kalian tidak ada bedanya dengan orang yang telah mengupah kami berempat. Jika aku tidak mengatakan sesuatu tentang mereka, adalah karena aku mengalami akibatnya kelak jika mereka tahu bahwa aku telah mengkhianati mereka. Tetapi ternyata tanpa jatuh ke tangan mereka, maka kalian pun dapat memperlakukan aku sebagaimana mungkin mereka lakukan.“

“Sudahlah,“ sahut Agung Sedayu, “pengantarmu sudah terlalu panjang. Sekarang kami ingin segera mendengar isi dari keterangan yang akan kau katakan itu.“

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun tengkuknya serasa menjadi berkerut ketika Sekar Mirah beringsut mendekat setapak.

“Sebenarnyalah bahwa kami telah mendapat upah untuk melakukan satu kerja,“ berkata orang itu kemudian.

“Upah?” ulang Agung Sedayu, “Siapa yang mengupahmu?”

“Aku belum mengenal sebelumnya. Tetapi Ki Lurah, yang terbunuh itu, telah mengenalnya dengan baik,“ jawab orang itu.

“Kalian diupah untuk apa?“ bertanya Agung Sedayu pula.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun agaknya Sekar Mirah benar-benar tidak sabar lagi. Karena itulah, maka dengan dua jarinya ia menyentuh lambung orang itu. Tidak terlalu keras, tetapi terasa seakan-akan kedua ujung jari itu telah menghunjam ke dalam lambungnya. Karena itulah, maka orang itu telah menyeringai menahan sakit. Namun ketika ia maraba lambungnya, ternyata lambungnya masih utuh. Tidak terkoyak sebagaimana diduganya.

Dengan jantung yang berdebaran orang itu pun kemudian berkata, “Kami diupah untuk melihat-lihat keadaan Istana Mataram. Kami diupah untuk mengetahui, jalan yang paling baik untuk memasuki istana tanpa diketahui oleh para penjaga.“

“Memasuki Istana Mataram?“ bertanya Agung Sedayu dengan tegang.

“Ya. Kami harus mengenali segala sudut halaman istana dan semua pintu dan regol. Kami pada saatnya harus dapat menuntun seseorang memasuki istana tanpa diketahui oleh para pengawal.”

“Kenapa kalian yang mendapat upah untuk melakukannya?“ bertanya Ki Gede, “Apakah orang yang mengupahmu tidak tahu, bahwa ternyata kalian tidak memiliki kemampuan apapun juga. Ilmumu tidak lebih dari kemampuan ilmu kanak-kanak yang sedang belajar olah kanuragan. Kalian bertiga telah dikalahkan oleh Glagah Putih, bahkan seandainya berempat dengan kau sekaligus.“

“Yang penting bagi mereka, kami adalah perampok dan pencuri yang dianggap mampu melakukan pekerjaan kami dengan baik. Sebagai seorang pencuri yang berpengalaman, maka orang itu ingin mengupah kami. Mereka yakin bahwa berdasarkan pengalaman kami, maka kami akan dapat menuntun mereka, atau salah seorang dari mereka, memasuki istana sampai ke bilik tidur Panembahan Senapati,“ berkata orang yang sudah menjadi putus asa itu.

“Apakah kau sudah berhasil membawa salah seorang dari mereka memasuki istana?“ bertanya Agung Sedayu.

“Kami sedang dalam usaha mengenali istana,“ jawab orang itu, “tetapi kami harus sangat berhati-hati dan tidak tergesa-gesa. Namun pada saat kami siap untuk dengan sungguh-sungguh melakukannya, Ki Lurah, orang tertua di dalam gerombolan kami, tertarik kepada seekor kuda yang besar dan tegar. Bahkan kemudian dengan uang tebusan yang harus aku ambil itu.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia bertanya, “Siapakah sebenarnya yang memberi kalian upah untuk melakukan pekerjaan itu?“

“Aku belum mengenalnya,“ jawab orang itu, “aku tidak berbohong. Aku sudah sampai pada satu keadaan seperti ini, dalam keputus-asaan, meskipun aku sadari. Seandainya aku mengerti, maka aku tidak akan merahasiakannya lagi.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sebenarnyalah ia percaya bahwa orang itu tidak mengetahui siapakah orang yang telah mengupahnya.

Namun demikian Agung Sedayu pun bertanya lagi, “Untuk apa sebenarnya orang itu ingin memasuki bilik Panembahan Senapati?“

Orang itu termangu-mangu. Namun sebelum ia menjawab, Agung Sedayu telah mendahuluinya, “Tentu untuk maksud buruk. Jika ia bermaksud baik, ia akan menghadap dengan cara yang wajar.“

Orang itu menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut sama sekali.

Agung Sedayu-lah yang kemudian berkata, “Baiklah. Sebagian dari keterianganmu dapat kami percaya. Sekarang, biarlah kau kembali ke dalam bilikmu.“

Agung Sedayu pun kemudian memerintahkan Glagah Putih untuk membawa orang itu kembali ke dalam kurungan. Sementara itu ia berpesan agar Glagah Putih segera kembali ke sanggar jika orang itu sudah diserahkan kepada para pengawal.

Dengan demikian maka di dalam sanggar itu telah terjadi pembicaraan khusus menyangkut pengakuan orang itu. Setelah Glagah Putih datang lagi, maka Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Tentu ada maksud jahat dari seseorang.“

“Ya. Orang itu agaknya akan mengambil jalan pintas.”

“Ia akan langsung menghadapi Panembahan Senapati sendiri. Bahkan mungkin orang itu akan membunuhnya,“ berkata Ki Gede.

“Apakah kita harus melaporkannya ke Mataram?“ bertanya Glagah Putih.

“Tetapi bukankah niat orang itu telah gagal, karena mereka yang diupah tidak melakukan tugasnya dengan baik?“ bertanya Sekar Mirah.

“Tetapi ia akan dapat mengupah orang lain,“ sahut Kiai Jayaraga.

“Tetapi orang yang akan mengupahnya tentu menjadi ragu-ragu. Mereka tentu mengira bahwa usaha itu telah didengar, justru karena ada di antara orang upahannya yang tertangkap,“ desis Sekar Mirah.

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi Agung Sedayu-lah yang kemudian berkata, “Kita akan mencoba untuk memberikan kesan yang lain.“

“Kesan apa?“ bertanya Sekar Mirah.

“Kita harus berusaha untuk mengetahui, untuk apa orang itu berusaha dapat langsung bertemu dengan Panembahan Senapati atau berusaha untuk membunuhnya,“ berkata Agung Sedayu.

“Jika mungkin dapat dilakukan, tentu akan memberikan banyak arti,“ sahut Ki Gede, “tetapi yang mungkin sulit adalah caranya. Sebagaimana dikatakan oleh Sekar Mirah, mungkin orang yang ingin melakukannya menjadi ragu-ragu, karena ia tidak tahu pasti apa yang terjadi dengan orang-orang yang diupahnya.“

“Itu adalah kewajiban kita,“ berkata Agung Sedayu, “kita-lah yang harus mengabarkan kepada mereka.“

“Bagaimana mungkin?“ bertanya Ki Gede dan Sekar Mirah hampir berbareng.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia merenung. Namun kemudian katanya, “Kita harus dapat menimbulkan kesan, bahwa rahasia mereka belum kita ketahui.“

“Ya. Itulah yang aku tanyakan,“ sahut Ki Gede.

Agung Sedayu berkisar setapak. Lalu katanya, “Kita harus dapat memberikan kesan bahwa kita tidak berhasil memeras keterangan orang yang kita tangkap itu, sehingga orang itu telah terbunuh dalam pemeriksaan. Kemudian kita sebarkan kabar, bahwa seorang yang lain telah terbunuh pula sementara dua orang melarikan diri. Dengan demikian akan timbul kesan bahwa kita belum berhasil mendengar apa yang akan terjadi itu. Mudah-mudahan dengan demikian orang-orang itu tidak mengurungkan niatnya, sementara kita telah melaporkannya langsung kepada Panembahan Senapati.“

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang yang mendengar keterangan itu sudah dapat menduga apa yang akan dilakukan menurut Agung Sedayu.

Namun Sekar Mirah masih bertanya, “Lalu orang itu kita tempatkan dimana, dan bagaimana kesan yang dapat meyakinkan bahwa orang itu telah mati?“

“Kita akan menguburkannya di kuburan pada malam hari tanpa memberi-tahukan kepada banyak orang, seolah-olah kita memang melakukannya dengan rahasia. Sementara itu, orang itu akan kita bawa ke Mataram,“ jawab Agung Sedayu.

Orang-orang yang ada di dalam ruangan itupun mengangguk-angguk. Tidak seorangpun yang tidak sependapat. Karena itu, maka Ki Gede pun kemudian berkata, “Baiklah Agung Sedayu. Kita akan dapat mencobanya. Tetapi sebaiknya, kau harus menghadap Panembahan Senapati lebih dahulu, apakah Panembahan berkenan jika kita berbuat sebagaimana kau rencanakan itu.“

“Baiklah,“ berkata Agung Sedayu, “malam ini aku akan pergi ke Mataram. Orang itu akan aku bawa serta.“

“Apakah kau akan pergi sendiri?“ bertanya Sekar Mirah.

Sebelum Agung Sedayu menjawab, maka Kiai Jayaraga telah mendahuluinya, “Biarlah aku yang menyertainya. Mungkin ia memerlukan kawan berbincang di sepanjang jalan, selain orang yang akan dibawanya itu.“

Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Biarlah Sekar Mirah dan Glagah Putih tinggal. Jika terjadi sesuatu di Tanah Perdikan ini, ada orang yang dapat membantuku memecahkannya.“

“Aku harus kembali sebelum fajar,“ berkata Agung Sedayu, “kemudian kita akan melakukan upacara penguburan orang yang mati itu, jika Panembahan Senapati mnyetujuinya.“

“Tetapi apakah kau pasti, bahwa kau dapat menghadap malam nanti? Jika kau gagal menghadap malam nanti maka kau tidak akan dapat kembali sebelum fajar,” berkata Ki Gede kemudian.

“Ya Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu, “jika aku gagal menemuinya malam nanti, maka sudah barang tentu aku akan bermalam barang semalam. Tetapi segala sesuatu harus dijaga kerahasiaannya, agar usaha ini berhasil.“

“Baiklah,“ berkata Ki Gede, “kita semua akan berusaha. Mudah-mudahan kita berhasil. Maksudku, Panembahan Senapati berhasil menangkap orang yang berniat buruk itu hidup-hidup, dan dapat mendengar dari mulutnya, apakah sebabnya hal itu dilakukannya.“

Dengan demikian maka pembicaraan mereka pun telah dapat menentukan satu rancangan yang akan dilaksanakan oleh Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga, namun yang kerahasiaannya harus dijaga oleh semua orang yang telah mendengar rencana itu.

Menjelang malam, maka Agung Sedayu pun telah bersiap-siap. Dengan diam-diam iapun telah pergi ke rumah Ki Gede bersama Kiai Jayaraga. Sementara itu, iapun telah minta diri kepada Sekar Mirah untuk langsung menuju ke Mataram bersama Kiai Jayaraga.

“Hati-hatilah,“ pesan Agung Sedayu, “mungkin kawan-kawan mereka tidak akan tinggal diam. Mereka sudah mengetahui rumah kita, sehingga mereka akan dapat langsung menuju kemari jika mereka kehendaki.“

Kemudian pesannya kepada Glagah Putih, “Kau tidak perlu pergi ke sungai malam nanti untuk menutup pliridan. Sebaiknya kau justru berada di gardu di ujung lorong. Kau ikut mengawasi keadaan Tanah Perdikan dalam keseluruhan, tetapi kaupun harus siap membantu Mbokayumu seandainya bahaya itu benar-benar datang.“

“Baik Kakang,“ jawab Glagah Putih, “aku akan berada di gardu disebelah. Sementara itu, di gardu-gardu lain, anak-anak akan aku pesankan agar berhati-hati, karena peristiwa yang baru saja terjadi atas diriku itu mungkin akan berkepanjangan.“

“Tetapi kau tidak boleh menyentuh sampai ke rencana yang akan kita lakukan,“ pesan Agung Sedayu.

“Aku akan selalu mengingatnya Kakang,“ jawab Glagah Putih.

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah mulai melakukan rencananya. Tidak seorangpun yang tahu. Sementara itu Agung Sedayu pun harus memperhitungkan perjalanannya itu.

Untuk tidak menimbulkan perhatian dan memancing pertanyaan, maka Agung Sedayu telah berusaha untuk menghindari jalan-jalan yang melintasi padukuhan. Karena itu, maka kepada Kiai Jayaraga ia berkata, “Kita akan menyusuri jalan-jalan di pinggir hutan.“

Kiai Jayaraga yang tanggap akan maksud Agung Sedayu pun mengangguk sambil berkata, “Baiklah. Mudah-mudahan kita tidak harus berhenti menyalami penghuni-penghuni hutan.“

“Hanya satu dari seratus kemungkinan bahwa seseorang yang lewat bertemu dengan binatang buas,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi yang satu dari seratus kemungkinan itulah yang dibicarakan orang, sementara yang lain dianggap sebagai peristiwa wajar, sehingga dengan demikian maka seakan-akan yang satu itulah yang lebih sering terjadi, dibandingkan dengan yang sembilan puluh sembilan.“

Kiai Jayaraga tersenyum. Katanya, “Jika kita akan menjadi yang satu dari yang lain, maka kita akan menjadi bahan pembicaraan orang.“

Agung Sedayu pun tertawa. Katanya, “Tentu tidak. Mereka tahu bahwa kita tidak mempunyai waktu banyak untuk bercanda dengan mereka.“

Demikianlah, maka mereka bertiga telah menyusuri hutan-hutan, bukan saja hutan perburuan tetapi juga hutan yang lebat dan jarang dilalui orang. Tetapi jalan setapak yang terbentang di hadapan mereka telah cukup lebar untuk dilalui kaki-kaki kuda ketiga orang itu.

Dengan demikian, maka perjalanan mereka pun justru menjadi semakin singkat, meskipun tidak terpaut banyak. Tanpa dijumpai seorangpun mereka telah mendekati daerah penyeberangan Kali Praga.

“Jarang ada tukang satang di malam hari,“ desis Kiai Jayaraga.

“Tetapi kadang-kadang ada juga, meskipun mereka sering minta upah tambahan,“ jawab Agung Sedayu.

Sebenarnyalah, ternyata ada juga tukang satang yang tidur di tepian, yang memang menunggu orang yang akan menyeberang di malam hari. Namun seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka mereka telah minta upah tambahan untuk menyeberang di malam-malam yang dingin.

Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga tidak dapat menolak. Merekapun harus menyediakan upah tambahan sebagaimana di minta oleh tukang satang itu.

Setelah mereka melewati Kali Praga, maka merekapun telah berpacu menuju ke Mataram. Mereka sadar, bahwa perjalanan mereka akan menemui hambatan. Para petugas tentu akan mempertanyakan keperluan mereka.

“Mudah-mudahan ada orang yang dapat mengenali aku,“ berkata Agung Sedayu kepada dirinya sendiri.

Ketika mereka memasuki regol kota, para penjaga tidak begitu ketat mempersoalkan siapakah mereka, karena hilir mudik keluar masuk kota memang telah menjadi lancar, sejalan dengan keadaan yang menjadi semakin tertib.

“Namun tentu akan berbeda jika kita memasuki istana,“ berkata Agung Sedayu.

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan kita tidak menemui kesulitan.“

Sementara itu, orang yang mereka bawa itu pun tidak menunjukkan sikap apapun juga. Orang itu tidak mengerti, apa yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga. Namun orang itupun menjadi semakin berdebar-debar, semakin mereka bertiga mendekati Istana Mataram.

“Mungkin orang-orang Mataram bersikap lain dari orang-orang Tanah Perdikan Menoreh,“ berkata orang itu di dalam hati. “Mungkin di Mataram aku akan benar-benar dicincang.“

Iapun kemudian menyesali tingkah laku orang yang disebutnya Ki Lurah yang telah tertarik untuk memiliki kuda Glagah Putih yang besar dan tegar, sehingga karena itu, maka mereka sekelompok telah terjerat oleh keadaan yang sangat sulit.

“Ki Lurah telah selesai dengan hukumannya,“ berkata orang itu di dalam hatinya, “tetapi aku belum. Aku justru baru akan mulai dan tidak tahu kapan selesai.”

Tetapi orang itu telah benar-benar menjadi putus asa. Ia tidak lagi berusaha untuk menghentakkan kejantanannya dan bertahan untuk tetap diam seandainya ia dipaksa untuk berbicara.

“Jika para pemimpin Tanah Perdikan mempunyai kemampuan yang demikian tinggi, maka para pemimpin Mataram pun tentu akan lebih menggetarkan jantung. Karena itu, tidak akan ada gunanya untuk menolak keinginan mereka,“ berkata orang itu di dalam hatinya.

Dalam pada itu, perjalanan Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga yang membawa seorang di antara orang-orang yang telah diupah untuk mengenali keadaan di halaman istana, telah mendekati regol halaman istana. Untuk tidak menimbulkan salah paham, maka Agung Sedayu pun berkata kepada Kiai Jayaraga. “Kita berhenti di sini. Biarlah aku lebih dahulu mendekat. Mudah-mudahan aku mendapat cara untuk menghadap.“

“Hati-hatilah,“ berkata Kiai Jayaraga.

Agung Sedayu pun kemudian dengan hati-hati telah mendekati regol halaman. Iapun langsung mendekati petugas yang berdiri dan kadang-kadang berjalan hilir mudik di depan regol.

“Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu, “aku ingin mohon ijin untuk secara khusus menghadap Panembahan Senapati. Ada sesuatu yang sangat penting yang akan aku sampaikan.“

Prajurit itu memandang Agung Sedayu dengan heran. Dengan nada tinggi ia berkata, “Apakah kau sedang bermimpi atau bahkan mengigau?“

“Kenapa?“ bertanya Agung Sedayu.

“Kenapa kau tiba-tiba saja menyebut Panembahan Senapati? Siapakah kau, dan kau datang dari mana? Apakah hakmu untuk menghadap Panembahan Senapati?“ bertanya penjaga itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan itu wajar sekali. Dan iapun dapat mengerti sepenuhnya. Namun ia harus berusaha meyakinkan petugas itu, bahwa ia mempunyai kepentingan yang mendesak.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian berkata, ”Baiklah Ki Sanak. Aku mohon Ki Sanak dapat mempertimbangkan permohonanku kali ini, karena persoalannya memang sangat penting. Karena agaknya memang sulit untuk dapat dimengerti, bahwa aku akan menghadap Panembahan Senapati pada waktu yang tidak sepantasnya, maka aku mohon Ki Sanak dapat menyampaikan permohonanku ini kepada perwira yang bertugas malam ini. Mudah-mudahan aku dapat berbicara dan meyakinkannya, bahwa aku memang memerlukan untuk menyampaikan satu laporan yang sangat penting.“

“Pergilah, dan lakukanlah satu kerja yang wajar,“ berkata prajurit yang bertugas itu.

“Aku mengerti sikapmu Ki Sanak,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi aku mohon kau sampaikan aku kepada perwiramu yang memimpin tugas malam ini. Aku akan berbicara dengan orang itu.”

Prajurit itu termangu-mangu. Namun sebelum ia berkata sesuatu terdengar suara dari kegelapan, “Siapa orang itu?“

Prajurit itu berpaling. Dilihatnya seorang perwira yang justru sedang bertugas memimpin para prajurit malam itu, berdiri tegak dalam keremangan malam.

“Orang ini akan menghadap Panembahan Senapati,“ jawab prajurit itu.

Perwira itu melangkah maju. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya. Bahkan kemudian iapun berkata, ”Kau jangan mencoba untuk mengganggu tugas-tugas kami.“

Agung Sedayu yang melihat kehadiran perwira itupun kemudian berkata, “Ki Sanak. Aku memerlukan bantuanmu. Sesuatu mungkin terjadi. Karena itu, beri kesempatan aku menyampaikan permohonanku. Kecuali jika Panembahan Senapati memberikan waktu lain.“

“Kau ini siapa?“ bertanya perwira itu.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian teringat olehnya nama seorang Tumenggung yang dikenalnya. Perkenalan itu menjadi semakin akrab ketika Agung Sedayu berada di medan perang pada saat Mataram berperang melawan Pajang.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Baiklah, aku mohon dapat dimengerti bahwa ada sesuatu yang penting yang harus aku sampaikan kepada Panembahan Senapati. Tetapi jika kalian ragu-ragu, maka aku minta tolong untuk mempertemukan aku dengan Ki Tumenggung Surayuda. Mungkin Ki Tumenggung Surayuda akan dapat mempertemukan aku dengan Ki Juru Martani yang bergelar Ki Patih Mandaraka, yang dapat membawa aku menghadap Panembahan Senapati.“

“Apakah kau kenal Ki Tumenggung Surayuda?“ bertanya perwira itu.

“Aku mengenalnya,“ jawab Agung Sedayu.

“Tetapi kau belum menjawab, siapakah kau?“ bertanya pewira itu pula.

Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian iapun memutuskan untuk menyebut namanya, agar Ki Tumenggung Surayuda dapat mengenalinya.

“Mudah-mudahan ia mau menolongku, sehingga dengan demikian malam ini aku akan dapat menghadap Panembahan Senapati. Mungkin sesuatu yang dikhawatirkan itu tidak akan terjadi malam ini, tetapi jika hal itu terjadi, maka aku akan merasa sangat bersalah. Selain itu, sebaiknya aku kembali ke Tanah Perdikan sebelum fajar, sehingga tidak seorangpun yang tahu, bahwa aku telah meninggalkan Tanah Perdikan malam ini, apalagi membawa orang yang tertawan itu,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Namun sebelum Agung Sedayu menjawab, tiba-tiba terdengar suara seseorang tertawa sambil berkata, “Orang itu namanya Agung Sedayu.“

Semua orang berpaling. Mereka melihat seseorang berjalan ke arah mereka.

“Raden Rangga,“ desis Agung Sedayu.

Perwira yang memimpin para prajurit yang sedang bertugas itu pun bergumam pula, “Raden Rangga.”

“Apakah kalian belum mengenal Agung Sedayu? Benteng dari Tanah Perdikan Menoreh. Tanpa Agung Sedayu dan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, Ayahanda belum dapat menyelesaikan persoalannya dengan Pamanda Adipati Pajang pada waktu itu,“ berkata Raden Rangga.

Prajurit yang bertugas itu memang belum pernah mendengar nama Agung Sedayu. Tetapi perwira yang memimpin prajurit yang bertugas itu pernah mendengarnya, meskipun secara pribadi ia belum mengenalnya.

Dalam pada itu, maka Raden Rangga pun berkata kepada Agung Sedayu, “Mudah-mudahan Ayahanda dapat mengerti jika persoalanmu memang penting. Kau tidak perlu bertemu dengan Paman Surayuda, kemudian Eyang Mandaraka, dan baru permohonanmu di sampaikan kepada Ayahanda. Jika demikian, maka baru besok saat matahari sepenggalah permohonanmu akan didengar oleh Ayahanda. Setengah hari Ayahanda mempertimbangkan. Pada saat keputusan jatuh, hari telah malam lagi dan waktumu menghadap ditunda di keesokan harinya. Sementara itu persoalan yang akan kau laporkan telah lampau, dan yang terjadi hanyalah penyesalan saja.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengucapkan terima kasih.“

“Marilah. Ikut aku,“ ajak Raden Rangga.

Namun Agung Sedayu menjawab, “Aku tidak sendiri.“

“Aku sudah tahu. Kau datang dengan Kiai Jayaraga dan seorang yang belum aku kenal. Nah, panggil mereka. Kita akan memasuki halaman istana,“ berkata Raden Rangga.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian melangkah meninggalkan regol itu untuk memanggil Kiai Jayaraga dan seorang yang menjadi tawanannya.

Para prajurit dan bahkan perwira yang bertugas itupun termangu-mangu. Namun perwira itupun kemudian bertanya kepada Raden Rangga selama Agung Sedayu meninggalkan mereka, “Raden. Apakah Raden bertanggung jawab jika aku dianggap bersalah karena aku membiarkan orang itu masuk pada waktu yang tidak sepantasnya seperti ini?“

“Kenapa? Kau tidak percaya kepadaku?“ bertanya Raden Rangga.

“Bukan tidak percaya, Raden,“ jawab perwira itu, “tetapi adalah tugasku untuk menjaga agar tidak terjadi sesuatu yang tidak pada tempatnya.“

“Agung Sedayu adalah sahabat Ayahanda sejak Ayahanda belum menyebut dirinya Panembahan Senapati,“ berkata Raden Rangga, “semua orang tahu itu. Dan aku pun mendengar cerita tentang hubungan mereka. Karena itu, Ayahanda tentu akan menerimanya. Agung Sedayu tentu tidak akan berbuat demikian jika persoalannya tidak benar-benar penting dan menyangkut keselamatan Ayahanda. Tetapi jika kau memaksa aku untuk melarangnya, aku akan melakukannya. Namun jika terjadi sesuatu atas Ayahanda karena kelambatan Agung Sedayu, maka kaulah yang bertanggung jawab.“

Perwira itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian iapun menarik nafas sambil berkata, “Semuanya terserah kepada Raden. Tetapi sekali lagi, tanggung jawab ada pada Raden.“

Raden Rangga tersenyum. Tetapi ia tidak berkata sesuatu lagi kepada perwira itu, sementara Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan seorang tawanan yang dibawanya telah datang kembali.

Raden Rangga pun kemudian telah membawa mereka masuk ke halaman istana. Ketika mereka mendekati gerbang istana, maka para prajurit yang bertugas pun telah melihat mereka.

Dua orang prajurit yang berjaga-jaga di regol itupun telah menyilangkan tombaknya. Namun ketika mereka melihat Raden Rangga, maka merekapun menjadi ragu-ragu. “Raden Rangga,“ desis salah seorang dari kedua prajurit itu.

“Ya. Raden Rangga,“ sahut yang lain, “tentu akan terjadi sesuatu yang aneh dan tidak wajar.“

“Belum tentu. Ia sudah baik sekarang,“ jawab yang pertama.

Merekapun terdiam ketika Raden Rangga sudah menjadi semakin dekat. Bahkan sebelum ia mencapai tiga langkah di hadapan prajurit itu telah terdengar suaranya, “Jaga kuda-kuda ini. Aku akan membawanya menghadap Ayahanda.“

Kedua prajurit itu saling berpandangan. Namun kemudian seorang di antara mereka bertanya, “Apakah yang Raden maksud?“

“Ketiga orang ini akan menghadap Ayahanda. Jaga kuda mereka, dan tambatkan pada patok-patok di sudut itu,“ berkata Raden Rangga.

“Kami sedang bertugas Raden,“ jawab prajurit itu, “karena itu kami tidak dapat meninggalkan tempat kami bertugas ini.“

“Kau memang tidak dapat pergi jauh,“ jawab Raden Rangga, “tetapi apa salahnya jika kau pergi ke sudut itu. Hanya beberapa langkah saja. Dan kau dapat mengawasi regol itu dari tempatmu berdiri.“

Kedua prajurit itu menjadi bingung. Namun dalam pada itu, perwira yang memimpin para prajurit itu pun telah mendekat pula sambil berkata, “Raden, biarlah mereka melakukan tugas mereka dengan baik sebagaimana seharusnya.“

Raden Rangga termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “Kalau begitu kau sajalah yang mengikat kuda-kuda itu di sudut.“

Wajah perwira itu menjadi merah. Namun sebelum ia menjawab, Agung Sedayu telah berkata, “Biarlah kami mengikat kuda kami sendiri. Kenapa mesti harus orang lain?”

Raden Rangga mengerukan keningnya Lalu katanya, “Untunglah tamu kita berbaik hati kali ini. Tetapi lain kali, aku tidak mau mendengar penolakan seperti itu.“

Perwira itu dadanya benar-benar bagaikan hendak meledak. Namun ia tahu pasti, siapakah Raden Rangga dan apa yang dapat diperbuatnya. Meskipun anak muda itu beberapa kali menerima hukuman dari Ayahandanya, tetapi seakan-akan ia tidak pernah merasa jera, sehingga ia masih saja melakukan hal-hal yang kurang wajar. Meskipun pada saat-saat terakhir, ia sudah menjadi semakin mengendap, namun yang mengendap itu pada suatu saat akan dapat teraduk kembali.

Ketika Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan orang yang dibawanya sudah selesai menambatkan kuda mereka, maka mereka pun telah kembali mendekati Raden Rangga yang bersedia membantunya menghadap Panembahan Senapati.

Namun dalam pada itu, ketika perwira yang memimpin para petugas itu melihat Agung Sedayu, maka iapun telah mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia berdesis, “Agung Sedayu.“

Agung Sedayu memandang perwira itu sejenak. Namun iapun kemudian telah mengangguk hormat sambil berkata, ”Selamat malam.“

“Kalian telah saling mengenal?“ bertanya Raden Rangga.

“Ya Raden,“ jawab perwira itu, “Agung Sedayu berada di segala medan. Sejak Mataram mulai tegak, Agung Sedayu sudah sering berada di antara para prajurit Mataram.“

“Nah, jika demikian, persoalannya akan menjadi lebih mudah. Kau tentu tahu, bahwa Agung Sedayu adalah sahabat Ayahanda sejak Ayahanda mulai membuka hutan yang kemudian menjadi Mataram ini,“ berkata Raden Rangga.

“Maksud Raden?“ bertanya perwira itu. “Agung Sedayu ingin menghadap Ayahanda malam ini untuk satu kepentingan yang tidak dapat ditunda,“ jawab Raden Rangga.

Perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun ternyata iapun berkata sebagaimana dikatakan oleh perwira di regol halaman, “Tetapi Raden-lah yang akan bertanggung jawab.”

“Aku akan bertanggung jawab,“ sahut Raden Rangga.

Dengan demikian maka Raden Rangga pun telah membawa ketiga orang itu memasuki gerbang istana.

Di dalam istana, keempat orang itu benar-benar telah mengejutkan para petugas. Beberapa prajurit pengawal khusus yang bertugas di istana itu telah menyongsong mereka. Namun seperti yang lain-lain, mereka selalu menjadi ragu-ragu karena di antara mereka terdapat Raden Rangga.

Raden Rangga pun ternyata akhirnya mengerti juga, bahwa para prajurit itu selalu menjadi gelisah karena sikapnya itu. Karena itu maka ia pun kemudian berkata kepada perwira dari pasukan khusus yang bertugas, “Jika kalian berkeberatan, maka biarlah mereka tinggal di sini. Aku akan menghadap Ayahanda Panembahan Senapati dan menyampaikan permohonan mereka untuk menghadap.“

Perwira yang memimpin pasukan pengawal khusus itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Marilah Raden menemui Pelayan Dalam yang bertugas, yang barangkali dapat membawa Raden menghadap Ayahanda. Tetapi bagaimana jika Ayahanda Raden sudah tidur?”

“Dengan ketukan lembut Ayahanda tentu akan bangun. Soalnya mungkin akan menyangkut keselamatan Ayahanda sendiri,“ berkata Raden Rangga. “Jika tidak, orang-orang Tanah Perdikan itu tidak akan dengan tergesa-gesa menemui Ayahanda.“

Perwira pengawal khusus itupun kemudian membawa Raden Rangga memasuki bagian dalam istana dan menyerahkannya kepada Pelayan Dalam.

Tetapi Pelayan Dalam itu berkata, “Panembahan sudah berada di dalam bilik peraduan.“

“Sampaikan permohonanku menghadap,“ desak Raden Rangga, “atau aku sendiri yang akan mengetuk pintu.“

“Raden,“ berkata Pelayan Dalam, “beberapa kali ayahanda Raden marah karena sikap Raden. Bagaimana jika ayahanda kali ini justru marah kepada Raden?“

“Aku bermaksud baik. Justru untuk kepentingan Ayahanda,“ jawab Raden Rangga.

“Beberapa kali Raden melakukannya. Meskipun dengan maksud baik, tetapi jika Raden melakukannya dengan cara yang kurang tepat, maka Raden justru akan mendapat marah ayahanda Raden,“ berkata Pelayan Dalam itu.

“Bagiku, lebih baik mendapat marah daripada melihat Ayahanda mengalami kesulitan,“ jawab Raden Rangga. Lalu, “Nah, kau atau aku yang mengetuk pintu bilik peraduan?“

Pelayan Dalam itu berada di dalam kesulitan sikap. Namun akhirnya ia berkata, “Baiklah. Aku tahu bahwa Raden dalam keadaan seperti ini tidak akan dapat dicegah lagi. Karena itu, maka biarlah aku mengetuk pintu. Tetapi Raden mendekat bersamaku.“

Pelayan Dalam itu pun kemudian mendekati pintu bilik Panembahan Senapati bersama Raden Rangga. Betapapun hatinya ragu, namun sambil duduk tepekur di lantai, tangannya perlahan-lahan menyentuh pintu bilik itu.

Ternyata Panembahan Senapati yang meskipun sudah berada di dalam biliknya, tetapi masih belum tidur. Karena itu, ketika pintu biliknya disentuh sesuai dengan pesan sandi, maka Panembahan Senapati agaknya telah mendengarkannya.

“Apa yang terjadi?“ bertanya Panembahan Senapati di dalam hatinya. Karena jika tidak ada hal yang sangat penting, maka Pelayan Dalam itu tentu tidak akan mengetuk pintunya, apalagi pintu itu telah diselaraknya dari dalam.

Karena itu, maka Panembahan Senapati itu pun telah bangkit dan melangkah menuju ke pintu. Perlahan-lahan Panembahan Senapati telah membuka pintu. Bagaimanapun juga ia memang harus berhati-hati.

Panembahan Senapati itu tertegun ketika ia melihat Pelayan Dalam yang telah mendapat kepercayaannya itu duduk dengan kepala tertunduk dalam-dalam, di samping Raden Rangga yang juga menundukkan kepalanya.

“Apa yang penting yang telah terjadi?“ bertanya Panembahan Senapati.

“Ampun Panembahan. Putra Panembahan telah minta kepada hamba untuk mohon kepada Panembahan menghadap,“ jawab Pelayan Dalam itu.

Panembahan Senapati pun kemudian memandang Raden Rangga yang masih menundukkan kepalanya.

“Ada apa Rangga?“ bertanya Panembahan Senapati dengan nada dalam.

Raden Rangga mengangkat wajahnya. Kemudian katanya, “Ampun Ayahanda. Hamba telah mengantarkan Agung Sedayu yang agaknya mempunyai kepentingan yang mendesak, sehingga ia memohon untuk dapat menghadap Ayahanda sekarang.“

“Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh?“ bertanya Panembahan Senapati.

“Hamba, Ayahanda,“ jawab Raden Rangga.

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Ia telah menyimpan kejengkelannya kepada Raden Rangga, karena jika tidak penting sekali, maka Agung Sedayu tentu tidak akan mendesak untuk menghadap bukan pada waktunya.

Karena itu, maka Panembahan Senapati itu pun kemudian bertanya, “Dimana Agung Sedayu sekarang?“

“Ia menunggu di antara para petugas dari pasukan pengawal khusus, Ayahanda,“ jawab Raden Rangga.

“Baiklah. Aku akan menemuinya,“ berkata Panembahan Senapati, “biarlah ia menunggu sejenak.“

Raden Rangga dan Pelayan Dalam itu pun kemudian bergeser surut dan kemudian meninggalkan pintu bilik itu. Ketika pintu itu kemudian tertutup lagi, maka Raden Rangga pun mencibirkan bibirnya sambil berdesis, “Nah, kau lihat. Ayahanda tidak marah.“

Pelayan Dalam itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil menjawab, “Kali ini Raden benar.“

“Hanya kali ini?“ bertanya Raden Rangga.

Pelayan Dalam itu tertawa. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Sambil kembali ke tempat tugasnya ia justru berkata, “Raden sajalah yang menyampaikan pesan Ayahanda Raden kepada para tamu itu.“

“Ya. Aku akan menemuinya. Kau akan mendapat kesempatan untuk tidur selama Ayahanda menemui tamunya,“ jawab Raden Rangga.

Malam itu, Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan tawanan mereka telah mendapat kesempatan untuk menghadap Panembahan Senapati. Namun kecewa sekali, bahwa Raden Rangga tidak diperkenankan untuk ikut menemuinya.

“Rangga, kembalilah ke tempat eyangmu. Jangan keluar sampai jauh malam. Eyangmu sering mencarimu,“ berkata Panembahan Senapati.

Raden Rangga sama sekali tidak berani membantah. Ia pun kemudian meninggalkan istana itu dan kembali ke Mandarakan. Namun di sepanjang jalan ia bergeremang, “Jika aku tidak keluar malam, maka mungkin Agung Sedayu tidak akan dapat bertemu dengan Ayahanda. Ia harus berterima kasih kepadaku. Dan sekarang aku telah diusir tanpa dapat mengetahui persoalannya.”

Tetapi tiba-tiba saja Raden Rangga itu tersenyum. Namun ia tidak mengucapkan apa-apa lagi.

Dalam pada itu, maka Panembahan Senapati pun telah berbicara dengan Agung Sedayu. Pembicaraan mereka menjadi bersungguh-sungguh ketika Agung Sedayu mulai menceritakan kepentingannya datang di malam hari.

“Meskipun keempat orang itu sudah tidak utuh lagi, tetapi segala sesuatunya masih mungkin terjadi. Selain hamba ingin mengelabui agar kedua orang yang sempat melarikan diri itu, serta orang yang telah mengupahnya, mendapat kesan yang salah tentang usaha hamba untuk mengetahui latar belakang dari langkah-langkah keempat orang itu, maka hamba pun mencemaskan Panembahan. Mungkin orang yang mengupahnya itupun telah mengambil langkah-langkah lain yang akan dapat menimbulkan kesulitan. Karena itulah, maka hamba tergesa-gesa untuk memohon waktu menghadap,“ berkata Agung Sedayu.

Panembahan Senapati itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih atas perhatianmu yang sangat besar atas keselamatanku, Agung Sedayu. Dalam keadaan yang demikian memang diperlukan langkah-langkah yang cepat sebagaimana kau lakukan.“ Panembahan Senapati berhenti sejenak, lalu, “Bagaimana dengan orang itu?“

“Untuk mempertegas berita yang hamba bawa, maka hamba telah membawa seorang di antara mereka, yang telah tertangkap. Orang inilah yang telah memberikan keterangan tentang usaha seseorang atau sekelompok orang untuk mengetahui keadaan di dalam istana ini. Menurut pendapat hamba, maka usaha itu tentu usaha untuk satu tujuan yang kurang baik, meskipun orang ini tidak dapat menyebutnya.“

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Dipandanginya orang itu dengan tajamnya. Ternyata betapa besar wibawa yang terpancar dari sorot mata Panembahan Senapati, sehingga orang itu telah menjadi gemetar karenanya.

Karena itulah, ketika Panembahan Senapati bertanya kepadanya, maka orang itu sama sekali tidak dapat berahasia lagi. Apa yang pernah dikatakan di Tanah Perdikan Menoreh, telah dikatakannya pula. Sehingga dengan demikian maka Panembahan Senapatipun telah mendapatkan gambaran yang lebih jelas dari usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan satu niat yang tidak baik, meskipun sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu, bahwa orang itu tidak bisa mengatakan, apakah maksud orang yang mengupahnya untuk mengetahui keadaan di dalam lingkungan Istana Mataram.

Dalam pada itu, maka Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Panembahan. Untuk kepentingan usaha hamba mengetahui orang yang mengupah orang-orang itu, agar mereka tetap menyangka bahwa hamba dan juga Panembahan belum mengetahui tentang rencana mereka, maka hamba akan meninggalkan orang ini di sini dengan rahasia. Hamba akan membuat kesan, bahwa orang ini telah terbunuh dalam pemeriksaan karena ia tidak mau berbicara. Seorang yang lain mati, dan dua orang lainnya telah berhasil melarikan diri.“

Panembahan Senapati segera mengetahui rencana itu. Karena itu, maka ia pun menjawab, “Baiklah Agung Sedayu. Aku setuju. Selanjutnya aku berharap bahwa kau akan selalu menghubungi aku jika ada perkembangan persoalan dari kelompok yang masih belum kita kenali itu.“

“Hamba Panembahan. Hamba akan berbuat apa saja untuk kebaikan Mataram, dan dengan demikian juga bagi Tanah Perdikan Menoreh,“ jawab Agung Sedayu.

Panembahan Senapati pun telah mengucapkan sekali lagi terima kasih ketika Agung Sedayu pun kemudian mohon diri untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Kau begitu tergesa-gesa,“ desis Panembahan Senapati.

“Hamba ingin melakukan rencana hamba,“ jawab Agung Sedayu.

“Baiklah. Aku akan berhati-hati. Meskipun terbatas, maka aku pun akan memerintahkan beberapa orang kepercayaanku untuk meningkatkan pengawasan mereka atas halaman istana ini,“ berkata Panembahan Senapati. “Aku akan menyesuaikan diri dengan recncanamu, sehingga menimbulkan kesan, bahwa aku belum tahu apa yang dilakukan oleh orang yang mengupah kelompok kecil ini. Bukankah dengan demikian, kau bermaksud menjebaknya, atau mungkin orang lain yang diupahnya untuk melanjutkan upahnya yang gagal itu?“

“Hamba Panembahan,“ jawab Agung Sedayu.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Agaknya keduanya dapat menyesuaikan rencana-rencana yang akan mereka lakukan masing-masing.

Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga telah meninggalkan Istana Mataram. Dalam gelapnya malam mereka berpacu, agar mereka segera mencapai Tanah Perdikan. Mereka harus sampai di rumah sebelum fajar, agar rencana mereka selanjutnya dapat dilakukan sebaik-baiknya.

Sependapat dengan Kiai Jayaraga, maka Agung Sedayu telah mencari tempat penyeberangan yang lain. Tempat penyeberangan yang lebih kecil untuk tidak menarik perhatian tukang-tukang satang.

Seperti ketika berangkat, maka tukang satang yang dibangunkannya telah menuntut upah yang lebih banyak dari upah yang biasa, karena mereka harus menyeberang di malam hari.

“Dingin sekali,“ desis tukang-tukang satang itu.

Agung Sedayu sama sekali tidak berkeberatan. Karena itu, maka sejenak kemudian mereka pun telah mencapai seberang.

Seperti pada saat mereka berangkat, maka mereka pun telah menempuh jalan yang tidak banyak dilalui orang. Mereka menyusuri jalan di pinggir hutan, dan jalan-jalan sempit yang lain. Karena itu, maka sampai di padukuhan induk, mereka sama sekali tidak bertemu dengan seorangpun.

Kehadiran mereka di rumah Ki Gede memang mengejutkan para peronda. Tetapi Agung Sedayu sudah singgah lebih dahulu ke rumahnya untuk menyimpan kudanya, dan mengajak Sekar Mirah yang sedang berjaga-jaga di rumah untuk ikut serta. Sementara itu Glagah Putih masih saja. dibiarkannya berada di gardu.

Para peronda yang belum berada di gardu saat Agung Sedayu berangkat dengan diam-diam, mempersilahkan mereka memasuki halaman rumah Ki Gede tanpa curiga, karena mereka mengetahui kedudukan Agung Sedayu.

“Nampaknya ada perlu yang sangat penting,“ bertanya salah seorang peronda itu.

Agung Sedayu nampak agak gugup menjawab “Ya. Penting sekali.“

Para peronda itu membiarkan saja Agung Sedayu. Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah naik ke pendapa dan mengetuk pintu pringgitan untuk membangunkan Ki Gede.

Sebenarnyalah bahwa Ki Gede belum lama tertidur. Iapun merasa gelisah memikirkan kepergian Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga ke Mataram. Sehingga karena itu, maka ketika ia mendengar pintu diketuk dengan tergesa-gesa pula ia bangkit. Ki Gede sudah mengira bahwa yang datang itu tentu Agung Sedayu.

Ketika ia membuka pintu dan melihat Agung Sedayu mengangguk hormat sambil tersenyum, maka Ki Gede pun menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun bertanya, “Apakah kau bawa juga Sekar Mirah ke Mataram?“

“Tidak Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi aku sudah singgah lebih dahulu ke rumah.“

“Marilah, masuk sajalah. Kita berbicara di dalam,“ Ki Gede mempersilahkan.

Mereka pun kemudian telah masuk ke ruang dalam. Agung Sedayu pun kemudian telah menutup pintu pringgitan dan kemudian duduk di sebuah amben yang besar.

Dengan singkat Agung Sedayu telah menceritakan perjalanannya. Sekar Mirah yang belum sempat mendengar cerita itu di rumah, karena Agung Sedayu tergesa-gesa, telah ikut mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

Ki Gede pun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, “Syukurlah. Dengan demikian, kau telah memberikan peringatan kepada Panembahan Senapati, sehingga Panembahan Senapati akan dapat lebih berhati-hati. Tetapi, lalu apakah yang akan kita lakukan?“

“Kita harus membuat kesan bahwa kita telah membunuh tawanan itu,“ berkata Agung Sedayu.

“Itulah yang sulit,“ berkata Ki Gede.

“Kita harus membuatnya sebagai satu rahasia, tetapi rahasia itu telah bocor, sehingga tentu akan tersebar luas,“ berkata Agung Sedayu. “Mudah-mudahan benar-benar tidak ada orang yang melihat tawanan itu kami bawa ke Mataram.“

Ki Gede mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Aku belum mempunyai gambaran, bagaimana kita dapat menimbulkan kesan itu.“

“Ki Gede,“ berkata Agung Sedayu, “sepeninggal kami, Ki Gede dapat memanggil para peronda. Ki Gede dapat menjelaskan kejadian yang nampaknya harus dirahasiakan itu. Namun aku yakin, bahwa satu dua di antara mereka ada yang tidak mampu menahan rahasia itu sepenuhnya. Sementara itu Ki Gede dapat memberitahukan, bahwa mayatnya telah kami kuburkan tanpa pengetahuan orang lain.“

Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Aku akan mengusahakan. Mudah-mudahan kita berhasil.“

“Jika kita berhasil Ki Gede, kemungkinan untuk menjebak orang yang mengupah keempat orang itu akan berhasil. Orang itu akan meneruskan niatnya, melakukan satu tindakan tidak baik atas Panembahan Senapati. Sementara Panembahan Senapati telah mempersiapkan diri untuk menghadapinya,“ berkata Agung Sedayu.

“Baiklah, kita akan berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan yang luas,“ berkata Ki Gede.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun telah mohon diri. Segala sesuatunya telah diserahkannya kepada Ki Gede. Sementara itu, ia pun harus menimbulkan kesan yang tersebar, bahwa dua orang di antara keempat orang itu melarikan diri, dan sedang yang lain telah terbunuh di tempat kejadian.

Sepeninggal Agung Sedayu, maka Ki Gede pun justru telah keluar ke pendapa. Kemudian turun ke halaman, dan bahkan pergi ke gardu peronda. Para peronda pun telah berkisar. Mereka merasa heran, bahwa sepeninggal Agung Sedayu, Ki Gede telah datang ke gardu.

Yang ditanyakan Ki Gede mula-mula adalah tugas-tugas para peronda itu. Namun kemudian Ki Gedepun telah bertanya, “Apa yang dikatakan Agung Sedayu kepada kalian?“

“Agung Sedayu tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya lewat saja. Kelakuannya memang agak aneh. Ketika kami bertanya apakah ada yang sangat penting, maka iapun menjawab dengan gugup,“ jawab peronda itu.

Ki Gede mengangguk-angguk Katanya, “Memang telah terjadi satu kecelakaan.“

“Kecelakaan?“ bertanya para peronda itu.

“Ya. Kecelakaan ketika Agung Sedayu memeriksa tawanan kita yang khusus itu,“ jawab Ki Gede.

“Kecelakaan bagaimana?“ desak salah seorang di antara para peronda itu.

Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Memang satu kecelakaan. Tetapi hal ini tidak perlu disebar-luaskan.“

Para peronda itu menunggu dengan tegang. Sementara Ki Gede menarik nafas dalam-dalam.

Untuk beberapa saat para peronda itu menunggu. Baru ketika mereka hampir kehilangan kesabaran, Ki Gede berkata, “Agung Sedayu ternyata memiliki kekuatan di luar jangkauan nalar. Ketika tawanan itu tidak mau juga berbicara, betapapun sabarnya Agung Sedayu, pada satu batas ia pun dapat menjadi jengke. Hampir di luar sadarnya Agung Sedayu mencengkam leher orang itu. Namun ternyata orang itu terlalu lemah. Di luar kehendak Agung Sedayu, orang itu tercekik mati.“

“Mati?“ beberapa orang bertanya hampir berbareng.

“Bukan salah Agung Sedayu,“ berkata Ki Gede, “Agung Sedayu terlalu perkasa, sementara orang itu terlalu lemah.“ “Lalu, dimana mayat itu sekarang?“ bertanya salah seorang dari para peronda.

“Agar tidak menimbulkan persoalan, mayat itu sudah dikuburkan. Agung Sedayu tidak ingin persoalannya berkepanjangan. Jika hal itu didengar oleh kawan-kawan orang yang terbunuh itu, atau bahkan oleh perguruannya, mungkin persoalannya tidak akan berhenti sampai sekian. Karena itu, mayat itupun dengan segera dikuburkannya,“ jawab Ki Gede.

Para peronda itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Gede pun berkata, “Tetapi sudahlah. Jangan dikatakan kepada orang lain. Meskipun Agung Sedayu sendiri tidak akan gentar menghadapi siapapun, tetapi baginya lebih baik tidak ada lawan daripada harus membunuh lagi.“

Para peronda itu saling berpandangan sejenak. Sedangkan Ki Gede berkata lebih lanjut, “Aku hanya ingin mengurangi beban kegelisahan karena berita yang tiba-tiba itu. Hanya kitalah yang mengetahuinya.“

Tidak ada orang yang menjawab. Sementara itu Ki Gede pun telah minta diri sambil bergumam, “Ingat. Hanya kita yang tahu. Aku akan tidur di sisa malam ini.“

Ki Gede pun kemudian telah meninggalkan gardu itu. Dengan langkah yang lambat Ki Gede melintasi halaman dan naik ke pendapa. Sejenak kemudian maka pintu pringgitan pun terbuka, dan Ki Gede pun kemudian telah hilang di balik pintu.

Demikian Ki Gede hilang, maka di gardu itupun telah terjadi satu pembicaraan yang ramai. Beberapa macam tanggapan telah terdengar. Namun sebagian besar di antara mereka justru semakin mengagumi Agung Sedayu.

“Keras tangannya melampaui palu besi,“ desis seseorang.

“Orang yang mencoba keras kepala terhadapnya, maka ia akan mengalami kesulitan. Mungkin Agung Sedayu tidak sengaja membunuhnya. Tetapi sentuhan tangannya memang dapat memecahkan tulang kepala.“

“Tetapi seperti pesan Ki Gede, hanya kita-lah yang mengetahui akan hal ini,“ berkata yang lain.

“Ya. Hanya kita-lah yang mengetahui,“ jawab yang lain.

Namun ternyata bahwa yang terjadi adalah sebagaimana diharapkan oleh Ki Gede dan Agung Sedayu. Orang-orang yang ada di gardu itu telah mengembangkan berita yang didengarnya, betapapun mereka berusaha untuk menahan diri. Anak-anak muda yang meronda dan mendengar kisah Ki Gede, menganggap bahwa rahasia itu bukannya rahasia yang sangat berat, sehingga harus benar-benar dipertahankan. Apalagi Ki Gede sendiri telah menceritakannya.

Meskipun demikian, setiap anak muda yang menceritakan kepada kawannya, ia selalu berpesan, “Jangan kau katakan kepada orang lain.“

Dengan demikian maka berita tentang kecelakaan yang terjadi pada saat Agung Sedayu memeriksa seorang tawanan itu pun telah tersebar. Di samping itu tersebar pula berita tentang dua orang yang melarikan diri, dan seorang lagi yang terbunuh di tempat kejadian oleh Glagah Putih.

Agung Sedayu yang pada satu malam berada di gardu bersama Glagah Putih dan beberapa anak-anak muda menanggapi beberapa pertanyaan, berkata, “Sayang sekali bahwa berita itu telah tersebar. Tetapi hal itu sudah terlanjur, sehingga tidak mungkin dicabut kembali. Semua orang sudah mendengar. Dan kalian harus memperhitungkan bahwa kawan-kawan mereka pun tentu telah mendengar pula. Karena itu, maka kita harus bersiaga sepenuhnya. Kemungkinan itu bukan hanya sekedar bayangan. Tetapi mungkin dapat terjadi. Namun dapat juga tidak terjadi, karena kawan-kawannya memperhitungkan kesiagaan kita. Bagi kita, lebih baik tidak terjadi sesuatu daripada harus terjadi keributan yang akan dapat memberikan kesan ketidak-tenangan di Tanah Perdikan ini. Karena itulah, maka lebih baik kita menunjukkan kesiapan kita untuk menyambut setiap usaha untuk membuat kegaduhan di Tanah Perdikan ini, dengan harapan bahwa orang-orang yang berniat jahat itu akan mengurungkan niatnya.“

Anak-anak muda di Tanah Perdikan itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Baiklah. Kita akan selalu bersiaga.“

“Tetapi jangan cemas.“ berkata Agung Sedayu, “mereka bukan orang-orang pada tingkat yang terlalu tinggi. Jika kalian bersungguh-sungguh menghadapi mereka, maka kalian tentu akan berhasil.“

Sebenarnyalah bahwa cerita itu benar-benar telah tersebar. Dan sebagaimana diharapkan, maka berita itu telah sampai ke telinga seorang yang sangat diharapkan.

“Empat orang yang seharusnya pergi ke Mataram telah terjerat oleh seekor kuda yang tegap dan tegar. Namun malang bagi mereka. Seorang telah terbunuh di tempat, seorang mati dalam pemeriksaan, dan dua orang yang lain telah melarikan diri,“ desis seorang yang berjambang lebat.

“Gila,“ geram kawannya, “tentu orang-orang tamak itu. Mereka ternyata tidak mampu menyelesaikan tugas mereka dengan baik.“

Orang berjambang lebat itu mengangguk-angguk. Namun wajahnya menjadi geram dan dengan nada berat ia berkata, “Dua orang yang melarikan diri itu tidak kembali kepada kita.“

“Gila mereka,“ sahut kawannya, “sebagian upah yang disepakati telah mereka terima. Sementara itu kerja bukannya tidak selesai, tetapi sama sekali belum mulai dijamah.“

Orang berjambang itu menggeram. Katanya, “Bagaimana jika kita menuntut kedua orang itu untuk melakukan kewajiban yang sudah disepakatinya, atau mengembalikan upah yang sudah mereka terima?“

“Kita hanya akan membuang-buang waktu saja. Kita dapat bekerja lebih cepat. Untung bahwa rahasia kita belum terbongkar. Agaknya orang yang tertangkap itu adalah orang yang sangat tabah, sehingga sampai mati pun ia tidak mengatakan sesuatu,“ jawab kawannya.

“Bukan karena ketabahannya,“ berkata orang berjambang lebat itu, “ternyata ia sangat lemah melampaui kelinci. Di tangan para pemimpin Tanah Perdikan, tulang-tulang orang itu terlalu lunak, sehingga sekali kepalanya disentuh, maka kepalanya telah pecah, sebelum ia sempat membuka rahasia.“

“Apapun yang terjadi, tetapi kita masih mempunyai kesempatan. Kita harus bekerja cepat. Kita harus tahu tentang istana itu serta liku-likunya. Baru kita akan memasukinya,“ desis kawannya. “Kita harus mendapatkan orang yang dapat melakukannya, karena kita harus mempunyai gambaran tentang sudut-sudut istana itu sebelum kita sendiri memasukinya.“

Orang berjambang lebat itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan mulai lagi dari permulaan. Tetapi aku sependapat, bahwa kita harus melakukannya dengan cepat. Kita harus segera mendapat petunjuk tentang garis-garis bangunan yang ada di dalam istana. Selanjutnya kita akan menyelesaikannya sendiri. Guru tentu akan dapat mengakhiri kesombongan Panembahan Senapati itu.“

“Semua harus kita lakukan secepatnya,“ jawab kawannya, “aku mempunyai hubungan dengan kelompok yang lain, yang mempunyai pengalaman yang memadai. Mereka adalah sekelompok orang yang memiliki kemampuan sebagaimana keiompok yang telah gagal itu. Mereka terdiri dari beberapa orang pencuri kenamaan, yang bahkan ada di antara mereka yang dianggap, sekali lagi hanya dianggap, mampu melenyapkan diri karena mempunyai Aji Panglimunan.“

“Tetapi bagaimana sebenarnya?“ bertanya orang berjambang lebat itu.

“Aku tidak tahu. Namun seandainya itu hanya sekedar anggapan, tentu bukannya tidak beralasan. Karena itu, maka mereka tentu mempunyai kelebihan,“ jawab kawannya.

“Baiklah. Aku percaya kepadamu. Tetapi sekali lagi aku menekankan pendapatmu sendiri. Kita sebaiknya bekerja lebih cepat. Bukankah begitu?“ bertanya orang berjambang lebat itu.

“Ya. Selagi keadaan masih memungkinkan,“ jawab kawannya. Lalu katanya pula, “Jika kedua orang yang melarikan diri itu pada suatu saat dapat ditangkap oleh orang-orang Tanah Perdikan atau oleh orang-orang Mataram, sengaja atau tidak sengaja karena mungkin ditangkap justru karena persoalan lain, namun merambat sampai pada suatu pengakuan tentang tugas-tugas mereka, maka kita akan kehilangan kesempatan.“

Dengan demikian maka kedua orang itu telah memutuskan untuk mengupah orang lain, agar melakukan pekerjaan sebagaimana harus dilakukan oleh keempat orang yang justru telah terperosok ke dalam kesulitan sehingga telah jatuh korban di antara mereka, serta kegagalan mutlak dari pekerjaan mereka itu. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa baik para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh maupun para pemimpin Mataram itu sendiri telah mengetahui bahkan menunggu kelanjutan rencana mereka.

Dalam pada itu, selagi orang-orang itu berusaha untuk meneruskan usaha mereka, maka di Tanah Perdikan Menoreh, anak-anak muda itu bersiaga bukan saja di malam hari, tetapi juga di siang hari. Para pengawal Tanah Perdikan berpegangan kepada pesan Agung Sedayu, bahwa mereka memang harus nampak bersiaga, sehingga dengan demikian maka tidak akan terjadi usaha untuk membalas dendam dan kesengajaan seseorang untuk menimbulkan keributan.

Namun sementara itu, Glagah Putih yang selalu berada di tengah-tengah anak muda di Tanah Perdikan Menoreh, pada malam hari masih menyisihkan waktunya untuk menempa diri. Ia masih sering berada di pinggir sungai dan di tempat-tempat yang sepi. Glagah Putih tidak ingin terhenti pada tingkatnya itu. Jika pada kesempatan-kesempatan tertentu Kiai Jayaraga masih selalu membimbingnya, namun di malam hari Kiai Jayaraga lebih banyak melepaskan Glagah Putih untuk menentukan sendiri tempat dan waktu-waktu latihannya. 

Saat-saat yang demikian itulah yang ditunggu oleh Raden Rangga. Ia yakin bahwa pada satu malam ia akan dapat bertemu dengan Glagah Putih.

Sebenarnyalah, ketika Glagah Putih sudah siap untuk berlatih di tepian sungai sebagaimana sering dilakukannya, maka tiba-tiba saja terdengar suara di kegelapan, “Kau terlalu rajin Glagah Putih. Sekali-sekali beristirahatlah, agar kau tidak menjadi terlalu cepat tua.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun segera menyadari bahwa Raden Rangga telah hadir pula di tempat itu.

Karena itu, maka ia pun telah menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, “Marilah Raden. Mungkin sudah agak lama kita tidak berlatih bersama.“

Tetapi Raden Rangga tertawa. Katanya, “Aku tidak ingin berlatih hari ini.“

“O, jika demikian, marilah. Mungkin Raden ingin bercerita tentang kuda-kuda Raden?“ bertanya Glagah Putih.

“Aku tidak akan bercerita. Aku akan minta kau bercerita,“ jawab Raden Rangga. “Beberapa malam aku tidak dapat tidur karena satu keinginan untuk mengetahui ceritamu.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ia tidak segera mengerti maksud Raden Rangga. Namun mereka berduapun kemudian telah duduk di atas batu di tepian.

“Cerita apa yang Raden maksudkan?“ bertanya Glagah Putih.

“Cerita tentang kedatangan Agung Sedayu ke Mataram bersama Kiai Jayaraga, dan seorang yang tidak aku kenal,“ jawab Raden Rangga.

“O,“ Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, “apakah Kakang Agung Sedayu tidak bercerita kepada Raden?“

“Aku tidak sempat menemuinya setelah Agung Sedayu menghadap Ayahanda,“ jawab Raden Rangga.

Glagah Putih termangu-mangu. Ia memang agak ragu-ragu, apakah ia dapat bercerita kepada Raden Rangga. Namur Raden Rangga kemudian mendesaknya, “Glagah Putih, aku menyadari bahwa yang disampaikan kepada Ayahanda tentu sesuatu yang rahasia, yang menyangkut keselamatan Ayahanda. Namun justru aku ingin tahu, batas-batas yang manakah yang tidak boleh diketahui oleh orang banyak. Atau langkah-langkah yang manakah yang boleh aku lakukan atau tidak boleh aku lakukan. Beberapa kali aku sudah dianggap melakukan kesalahan karena ketidak-tahuanku, atau justru aku mempunyai niat yang baik.“

Sejenak Glagah Putih merenung. Namun kemudian katanya, “Raden. Aku sendiri tidak terlalu banyak mengetahui. Tetapi menurut Kakang Agung Sedayu, diharapkan apakah Mataram atau Tanah Perdikan ini akan mendapat sedikit keterangan tentang usaha seseorang atau sekelompok orang untuk berbuat tidak wajar terhadap ayahanda Raden. Seorang yang telah kami tangkap telah mengungkapkan hal itu.“

“Orang itu telah dibawa Agung Sedayu ke Mataram. Begitu?“ bertanya Raden Rangga pula.

“Ya Raden,“ jawab Glagah Putih.

“Apa yang dapat aku ketahui tentang hal itu?“ bertanya Raden Rangga.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian menganggap bahwa Raden Rangga adalah putra Panembahan Senapati yang perlu mengetahui serba sedikit. Tetapi ia masih juga bertanya, “Apakah Raden sama sekali tidak mengetahui tentang orang yang dibawa oleh Kakang Agung Sedayu ke Mataram?“

“Serba sedikit,“ jawab Raden Rangga, “sepeninggal Agung Sedayu, aku mendapat pesan dari Ayahanda, bahwa aku harus merahasiakan kehadiran orang itu. Dan kami orang-orang Mataram harus berbuat seolah-olah tidak mengetahui apa-apa, dan membiarkan segala sesuatunya terjadi.“

“Membiarkan sesuatunya terjadi bagaimana maksud Raden?“ justru Glagah Putih yang bertanya.

“Jangan terlalu bodoh,“ sahut Raden Rangga, “bukankah kita ingin menjebak orang itu?”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun iapun tidak ragu-ragu lagi untuk menceritakan tentang orang yang ditangkap itu, serta usaha Agung Sedayu untuk mengelabui orang yang mengupah mereka.

Raden Rangga mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Sambil mengangguk-angguk ia pun berkata, “Kau telah melengkapi keterangan Ayahanda tentang orang itu. Aku mendapat gambaran yang jelas sekarang, bahwa seseorang atau sekelompok orang berniat buruk. Sementara itu kita berniat untuk menjebak mereka dan mengetahui latar belakang dari rencana mereka. Apakah mereka mendendam, atau ada hubungannya dengan perkembangan wilayah Mataram, atau kepentingan-kepentingan yang lain.“

“Ya, begitulah kira-kira,“ jawab Glagah Putih.

“Baiklah,“ berkata Raden Rangga, “aku harus menyesuaikan diri. Seandainya orang yang berniat buruk itu meneruskan niatnya dan mengupah orang lain untuk mengetahui keadaan istana Ayahanda, maka kita harus membiarkannya. Baru kemudian jika orang yang benar-benar berniat buruk itu datang, Ayahanda akan menemuinya.“

Glagah Putih mengangguk-angguk, sementara Raden Rangga berkata, “Agaknya Agung Sedayu sudah berhasil menciptakan suasana yang dikehendaki. Seolah-olah baik Tanah Perdikan Menoreh maupun Mataram belum mengetahuinya.“

“Begitulah,“ sahut Glagah Putih.

Raden Rangga tersenyum. Kemudian katanya, “Baiklah. Aku kira cerita yang ingin aku dengar sudah cukup. Aku akan dapat tidur nyenyak malam nanti.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Raden Rangga yang memandangi wajahnya tersenyum. Katanya, “Kau tidak mau lagi tidur di bilikku atau di sanggarku?“

“Kenapa tidak?“ bertanya Glagah Putih, “Lain kali aku akan tidur di sanggar Raden. Aku bahkan ingin dapat melakukan latihan sebagaimana Raden lakukan.“

Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menggeleng, “Sudah aku katakan beberapa kali. Jangan. Kau harus merebut ilmu dengan usaha dan kerja keras. Dengan demikian maka ilmu itu benar-benar akan menjadi milikmu. Bukan sekedar mendapat pinjaman yang sewaktu-waktu akan dapat ditarik kembali.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berusaha untuk meyakini keterangan Raden Rangga itu. Karena itu maka katanya kemudian, “Aku mengerti Raden. Dan aku memang melakukannya.“

“Bagus,“ berkata Raden Rangga. Lalu, “Nah, sekarang kau tentu akan melakukannya pula. Aku kira kepentinganku sudah cukup. Kau akan mulai berlatih lagi. Tetapi ingat, meskipun kau harus merebut ilmu dengan bekerja keras, bukan hanya sekedar bermimpi, namun jangan terlalu memaksa diri agar kau tidak terlalu cepat tua.“

“Ah,” desah Glagah Putih.

Raden Rangga tertawa. Ia pun kemudian bangkit. Sambil menepuk bahu Glagah Putih ia pun berkata, “ Kau harus dapat menyamai, bahkan melampaui, kemampuan kakak sepupumu, Agung Sedayu. Pada umurmu sebagaimana Agung Sedayu sekarang, kau harus sudah mampu melakukan sesuatu yang lebih berarti bagi kampung halamanmu, bagi Tanah Perdikanmu dan bagi negerimu, Mataram.”

Glagah Putih mengangguk kecil. Dengan nada datar ia berkata, “Aku akan berusaha. Mudah-mudahan aku dapat berbuat sesuatu.“

“Tentu,“ jawab Raden Rangga, “kau mempunyai banyak kesempatan. Tanah Perdikan Menoreh sudah nampak semakin maju sejak Agung Sedayu berada di sini. Tetapi agaknya kademangan besar Sangkal Putung masih lebih baik, dilihat dari segi penghasilannya. Sawahnya dan pategalannya yang subur menghasilkan kesejahteraan yang tinggi bagi penghuni kademangan itu. Swandaru bekerja keras untuk menjadikan kademangannya semakin baik.”

“Letak Sangkal Putung memang lebih baik dari Tanah Perdikan ini Raden. Di samping tanah datar, daerah ini mempunyai tanah miring di lereng-lereng pegunungan, serta dataran yang berbatu padas,” jawab Glagah Putih.

“Itu adalah tantangan,” jawab Raden Rangga, “bagaimana kalian dapat memanfaatkan tanah miring itu. Bukankah di beberapa bagian dari Tanah Perdikan ini telah berhasil dibuat ladang bersusun? Bahkan Agung Sedayu sudah berusaha untuk menguasai air di perbukitan, untuk dialirkan ke sawah bersusun yang baru digarap?”

“Ya. Kami memang sedang mempersiapkannya,” jawab Glagah Putih.

“Kau mendapat kesempatan lebih banyak. Lakukan, agar kau benar-benar memberikan arti bagi hidupmu,” berkata Raden Rangga, “jangan menyia-nyiakan waktumu seperti yang aku lakukan. Aku memiliki kelebihan, tetapi tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi Mataram. Setiap aku melakukan sesuatu dengan niat yang baik, aku justru melakukan kesalahan.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia melihat Raden Rangga menunduk sambil berdesis, “Kau mempunyai kesempatan lebih baik dari aku Glagah Putih. Dan kau mempunyai waktu lebih banyak dari aku.”

“Tidak Raden,” sahut Glagah Putih bersungguh-sungguh, “Raden masih muda. Masih sangat muda. Lebih muda dari aku, meskipun kadang-kadang Raden bersikap seperti seorang dewasa penuh. Waktu masih panjang. Apalagi Raden melihat diri Raden sendiri dengan tepat, sehingga untuk masa mendatang, Raden dapat mengambil langkah-langkah sebagaimana Raden kehendaki. Selama ini Raden memang banyak kehilangan waktu jika Raden menuruti keinginan Raden yang kekanak-kanakan.”

“Itulah wajahku,” jawab Raden Rangga, “dan kau sudah melihatnya dari sisi-sisinya. Pada saat aku menyadari sepenuhnya, maka aku telah terlambat.”

“Apa yang terlambat?” bertanya Glagah Putih.

Namun tiba-tiba saja Raden Rangga mengangkat wajahnya. Ia pun kemudian tertawa sambil berkata, “Ah, aku telah bermimpi lagi. Sudahlah, aku akan kembali. Aku akan tidur nyenyak. Besok aku akan melatih seekor kudaku yang baru, yang nampaknya terlalu dungu meskipun tubuhnya tegap tegar dan warnanya yang putih sangat menarik.”

“Kuda yang Raden berikan kepadaku, agaknya menjadi kerasan di kandangku yang sebenarnya terlalu rendah bagi kuda itu. Tetapi kuda itu sama sekali tidak nampak gelisah.”

“Bukankah kuda itu kadang-kadang kau bawa keluar juga?” bertanya Raden Rangga.

“Ya. Sekali-sekali aku bawa keliling Tanah Perdikan, sekaligus untuk membanggakannya kepada kawan-kawan,” sahut Glagah Putih, “bahkan aku telah diambil oleh orang-orang itu selagi aku menunggang kuda itu pula.”

“Bagus,” berkata Raden Rangga, “jangan kau simpan saja kuda itu di kandang. Ia akan menjadi murung dan gelisah.”

“Kuda itu telah membuat anak-anak muda Tanah Perdikan ini menjadi iri,” jawab Glagah Putih.

Raden Rangga pun tertawa. Kemudian katanya, “Ah sudahlah. Aku terlibat lagi dalam pembicaraan yang panjang. Sudah berapa kali aku minta diri?”

Glagah Putih pun tertawa pula. Jawabnya, “Belum tiga kali.”

“Jangan mulai lagi dengan pembicaraan. Aku benar-benar akan kembali,” berkata Raden Rangga.

Raden Rangga tidak menunggu jawaban. Ia pun segera meloncat meninggalkan Glagah Putih yang termangu-mangu. Namun ketika Raden Rangga itu akan meloncat naik tebing, ia sempat berhenti dan bertanya, “Dimana ikat pinggangmu?”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia hanya menyingkapkan baju dan menunjuk ikat pinggang yang dipakainya.

Raden Rangga mengacungkan ibu jarinya. Namun kemudian iapun telah meloncat naik ke atas tebing dan hilang di balik tanggul di keremangan malam.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat sesuatu yang bergejolak di dalam dada anak muda yang memiliki banyak kelebihan itu, serta yang memiliki sikap rangkap dan sulit untuk dimengerti.

Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian ia pun berkata di dalam hatinya, “Mudah-mudahan ia menemukan jalan yang paling baik yang dapat ditempuhnya.”

Glagah Putih pun kemudian menengadahkan wajahnya melihat bintang-bintang yang bergayutan di langit. Agaknya masih ada waktu baginya untuk berlatih barang sebentar. Namun yang sebentar itu akan dapat melemaskan urat-urat nadinya.

Karena itu, maka Glagah Putih pun telah membuka bajunya, menyingsingkan kain panjangnya dan sejenak kemudian mulailah ia berlatih di atas pasir. Dari gerak-gerak yang lambat, semakin lama menjadi semakin cepat, sehingga keringat pun telah mengalir di permukaan kulitnya.

Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih pun telah melepas ikat pinggang yang diterimanya dari Ki Mandaraka. Dengan kemampuannya yang tinggi, ia telah memutar ikat pinggang itu dan kemudian mengayunkan mendatar, tegak dan sekali-sekali dengan kekuatan khusus mematuk lurus ke depan.

Pada puncaknya, maka Glagah Putih pun telah mengerahkan segenap kekuatan ilmunya yang disalurkannya lewat ikat pinggangnya itu. Dengan loncatan panjang ia mendekati sebongkah batu padas. Diayunkannya ikat pinggang itu. Dan sejenak kemudian maka batu padas itu pun pecah berserakan. Glagah Putih pun kemudian meloncat surut. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia pun mengangkat kedua tangannya perlahan-lahan. Beberapa kali untuk mengendapkan pernafasannya.

Sesaat Glagah Putih pun kemudian berdiri termangu-mangu. Diamatinya batu padas yang telah pecah berserakan. Pada saat-saat ia merenungi pecahan-pecahan batu padas itu, terngiang kembali kata-kata Raden Rangga, “Kau mendapat kesempatan lebih banyak. Lakukan, agar kau benar-benar memberikan arti bagi hidupmu.”

Glagah Putih itu merenung sesaat. Merenungi dirinya sendiri. Bahkan sebuah pertanyaan telah menggelitiknya “Apa yang telah aku lakukan bagi Tanah Perdikan Menoreh dan bagi Mataram?”

Sekilas dikenangnya tempat kelahirannya, Banyu Asri. Bahkan sebuah pertanyaan telah timbul pula di dalam dirinya, “Kenapa aku tidak melakukannya bagi Banyu Asri?”

Tetapi pertanyaan itu dijawabnya sendiri, “Aku telah melakukannya bagi Mataram, dimanapun aku tinggal. Banyu Asri atau Tanah Perdikan Menoreh adalah keluarga besar dari induk yang sama, Mataram. Bukankah tidak ada bedanya?”

Hampir di luar sadarnya Glagah Putih menengadahkan wajahnya. Dilihatnya bintang-bintang yang sudah bergeser agak jauh ke barat. Ternyata Glagah Putih telah cukup lama berada di tepian yang sepi itu. Selain berlatih, Glagah Putih juga berbincang dengan Raden Rangga, sehingga agak melupakan waktu.

Sejenak Glagah Putih berbenah diri. Setelah mencuci mukanya serta kaki dan tangannya, maka Glagah Putih pun kemudian meloncat ke tebing, dan naik ke atas tanggul.

Udara terasa segar di malam hari setelah keringatnya membasahi seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan Glagah Putih menyusuri pematang menuju ke padukuhan induk. Namun ketika ia melihat sebuah padukuhan yang berada beberapa puluh tonggak dari jalan yang kemudian dilaluinya, ia tertegun. Dilihatnya obor yang menyala di gardu di sudut padukuhan itu, sehingga iapun tertarik untuk singgah barang sejenak.

Beberapa orang anak muda berada di gardu itu. Ketika mereka melihat Glagah Putih, maka dua orang hampir berbareng menyapanya, “ Glagah Putih.”

Glagah Putih tersenyum.

“Marilah,” berkata salah seorang di antara para peronda itu, “baru saja kami mengangkat ketela pohon yang kami rebus dengan santan. Masih hangat.”

“Kebetulan sekali,” sahut Glagah Putih, “tetapi apakah kalian mempunyai minuman hangat pula?”

“Tentu,” jawab salah seorang di antara mereka, “wedang jahe gula kelapa. Atau kau ingin minum beras kencur? Pakai telur?”

Glagah Putih tertawa. Jawabnya, “Tidak. Jika aku mau, besok kau datang sambil menghitung harganya.”

Anak-anak muda di gardu itu tertawa.

Namun Glagah Putih ternyata tidak terlalu lama berada di gardu itu. Ia memang meneguk wedang jahe hangat segar, serta mengambil sepotong ketela rebus. Tetapi sejenak kemudian ia pun minta diri.

“Kenapa tergesa-gesa?” bertanya anak-anak muda di gardu itu.

“Aku akan nganglang. Aku akan singgah di gardu yang lain. Di sini aku mendapat ketela rebus dan wedang jahe. Mungkin di gardu lain aku akan mendapatkan jagung bakar dan wedang sere. Jika aku singgah di empat atau lima gardu, maka besok aku tidak perlu makan pagi.”

Anak-anak muda itu pun tertawa pula, sementara itu Glagah Putih pun telah meninggalkan mereka dan kembali memasuki kegelapan.

Tetapi Glagah Putih tidak singgah lagi di gardu-gardu sebagaimana dikatakan. Ia langsung pulang ke rumah dan tidur nyenyak. Ketika pembantu rumah itu membangunkannya dan mengajaknya membuka pliridan Glagah Putih berdesis, “Kepalaku pening. Pergilah sendiri.”

“Kau memang malas. Sejak sore kau sudah tidur,” anak itu bergeremang.

Glagah Putih tidak menghiraukannya. Anak itu memang tidak melihat bahwa Glagah Putih pergi setelah gelap dan belum lama kembali ke dalam biliknya, karena Agung Sedayu-lah yang, membuka pintu untuknya.

Namun anak itu keluar juga lewat pintu butulan untuk mengambil wuwu dan kepis di sudut rumah. Kemudian memasuki kegelapan menuju ke sungai.

Dalam pada itu, di Mataram, Panembahan Senapati telah memerintahkan kepada Panglima Pasukan Pengawal Khusus serta para Pelayan Dalam perintah rahasia, bahwa mereka harus menyesuaikan diri dengan rencananya yang sudah disetujui bersama dengan Agung Sedayu. Para Pengawal Khusus dan Pelayan Dalam, harus berbuat seolah-olah tidak mengetahui apabila seseorang melihat-lihat keadaan istana itu. Mereka harus mengamatinya dari jauh dan tidak berusaha untuk menangkap mereka.

“Bagaimana jika mereka menuju ke bilik peraduan Panembahan?” bertanya seorang Pelayan Dalam, “mungkin mereka bermaksud buruk.”

“Agaknya memang demikian. Tetapi aku akan berusaha untuk menjaga diriku sendiri. Agaknya seseorang akan sulit untuk memasuki bilikku,” jawab Panembahan Senapati. “Meskipun demikian, tetapi jika kau anggap keadaan sangat berbahaya, maka kau akan dapat mengambil langkah-langkah yang perlu.”

“Kenapa kita tidak menangkapnya saja Panembahan?” bertanya Panglima Pasukan Khusus, “bukankah mereka akan dapat memberikan keterangan tentang orang yang mengupah mereka?”

“Jika mereka bersedia mati untuk itu, maka kita tidak akan sampai ke sasaran,” jawab Panembahan Senapati.

Panglima Pasukan Khusus itu termangu-mangu. Sementara itu, Panembahan Senapati menjelaskan, “Mungkin kita akan lebih mudah menangkap orang yang mendapat perintah untuk melihat-lihat keadaan yang akan menjadi semacam petunjuk jalan bagi orang-orang yang sebenarnya. Tetapi mereka tidak mengetahui pasti, apakah maksud orang-orang yang mengupahnya. Apalagi jika orang-orang itu bertekad untuk tidak memberikan keterangan sampai mati, karena orang-orang yang mengupah itu mungkin mengancamnya. Mungkin keluarganya yang dipergunakan sebagai tanggungan, mungkin anak istrinya yang ditinggalkan, sehingga orang-orang upahan itu benar-benar akan diam.”

Panglima Pasukan Khusus itu mengangguk-angguk. Namun demikian ia pun masih berkata, “Tetapi Panembahan, jika orang yang mengupah itulah yang kemudian datang, tentu mereka adalah orang-orang yang benar-benar tangguh tanggon. Orang itu tentu sudah mendengar serba sedikit tentang Panembahan Senapati. Karena itu, tanpa merasa dirinya mempunyai bekal yang memadai, maka mereka tidak akan berani memasuki istana ini. Apalagi orang itu tentu mengetahui bahwa di sekitar Panembahan itu terdapat para pengawal.”

“Itulah yang menarik,” berkata Panembahan Senapati sambil tersenyum, “aku justru digelitik oleh perasaan ingin tahu, siapakah orang itu, sehingga aku ingin menerimanya langsung sebagimana dikehendaki oleh orang itu.”

Panglima Pasukan Khusus itu mengangguk-angguk. Tetapi iapun berkata dengan ragu-ragu, “Kami siap melakukan segala perintah. Langkah yang Panembahan ambil itu adalah langkah yang sangat berbahaya. Meskipun hamba tahu bahwa Panembahan telah memperhitungkan segala sesuatunya, serta Panembahan sendiri mempunyai perisai yang kokoh kuat.”

Panembahan Senapati tersenyum. Katanya, “Terima kasih atas kesetiaan kalian. Memang mungkin dalam keadaan yang sulit aku memerlukan kalian. Aku sadar, bahwa orang yang ingin memasuki istana ini tentu orang yang memiliki ilmu linuwih. Justru karena itu, aku ingin tahu latar belakang dari langkah-langkah yang diambilnya itu.”

Panglima Pasukan Khusus itu pun kemudian berkata, “Hamba dan seluruh prajurit dalam Pasukan Khusus akan melakukan perintah Panembahan sebaik-baiknya.”

“Terima kasih. Mudah-mudahan kita berhasil,” sahut Panembahan Senapati.

Dengan demikian, maka pasukan yang bertugas di lingkungan dalam istana telah menerima perintah Panembahan Senapati. Sebagai prajurit pilihan, maka perintah itu tetap merupakan rahasia. Tidak ada orang lain, bahkan prajurit Mataram dari kesatuan lain yang tidak bertanggung jawab pada bagian dalam istana itu pun tidak mengetahui isi perintah itu.

Karena itulah, maka sama sekali tidak nampak perubahan-perubahan dalam tata kesiagaan para prajurit dari Pasukan Khusus dan Pelayan Dalam. Mereka melakukan tugas mereka sebagaimana biasa mereka lakukan. Tidak ada perubahan-perubahan yang menarik perhatian, meskipun sebenarnya Pasukan Khusus telah menyiapkan jaring-jaring pengawasan yang ketat. Demikian pula para Pelayan Dalam di lingkungan dalam istana.

Dalam pada itu, baik di Tanah Perdikan Menoreh maupun di Mataram, rahasia tentang orang-orang yang berniat buruk itu masih tetap tertutup rapat. Orang-orang yang memang berniat buruk itu masih tetap belum mengetahui bahwa Mataram telah menunggu kedatangan mereka.

Karena itulah, maka orang-orang yang ingin memasuki istana Mataram itu telah berhubungan lagi dengan kelompok baru, yang dianggapnya memiliki kemampuan yang sama, bahkan lebih baik dari kelompok yang gagal melakukan tugas mereka.

“Kami tidak ingin kalian berbuat sesuatu,” berkata orang yang ingin mengupah itu. “Kalian hanya melihat-lihat keadaan di halaman istana. Kalian nantinya tidak lebih dari penunjuk jalan. Di sebelah mana kami harus meloncat masuk, dan ke sebelan mana kami harus berjalan menuju ke bilik khusus Panembahan Senapati. Apa yang akan terjadi kelak adalah tanggung jawab kami.”

“Bukan satu pekerjaan yang sulit bagi kami,” berkata pemimpin dari lima orang yang berada dalam satu kelompok, “kami akan segera dapat memberikan keterangan itu. Kami sudah terbiasa memasuki rumah yang berpagar rapat.”

“Tetapi tidak berpengawal lengkap seperti Istana Mataram,” berkata orang yang mengupah.

“Kami tahu, kemana kami harus menyusup. Kami akan dapat mengetahui tempat-tempat yang tidak ditunggui oleh prajurit-prajurit Mataram, yang kami sadari memiliki ilmu yang tinggi. Itulah sebabnya kami tidak akan mempergunakan ilmu sirep,” berkata pemimpin kelompok orang-orang yang diupah.

“Kenapa dengan ilmu sirep?” bertanya orang yang mengupah.

“Ilmu sirep sama sekali tidak menguntungkan bagi kami di lingkungan para prajurit Mataram. Ilmu itu justru akan menarik perhatian. Sebagian dari para prajurit Mataram yang bertugas di setiap malam tentu mampu menghindarkan diri dari kekuatan sirep, sehingga mereka justru akan mencari sumber dari ilmu sirep itu, dan selebihnya mereka akan bersiaga sepenuhnya untuk menangkap kami.”

Orang yang mengupah itu tersenyum. Katanya, “Otakmu cukup cermat mengurai keadaan. Terserah kepadamu. Kami hanya memerlukan pengenalan tempat itu sebaik-baiknya, sehingga pada saatnya kami tidak akan tersesat atau harus mencari-cari lagi, dimanakah letak bilik Panembahan Senapati.”

“Tetapi bilik itu tentu dijaga,” desis orang yang diupah.

“Aku tahu,” jawab yang mengupah, “tetapi itu persoalan kami. Bukan persoalanmu. Yang menjadi tugasmu adalah mengenali bentuk dan gambaran dari bilik itu serta letak para penjaganya. Nah, bukankah tugasmu tidak terlalu berat? Upah kalian sebenarnya terlalu banyak. Tetapi karena kami ingin cepat selesai, maka kami tidak berkeberatan.”

Orang-orang yang diupah itu pun mengangguk-angguk. Mereka pun kemudian tidak banyak mempedulikan niat apapun dari orang-orang yang mengupah mereka, Mereka akan melakukan tugas mereka sebaik-baiknya, tanpa ada hubungannya dengan maksud yang sebenarnya dari orang-orang yang mengupahnya.

“Aku tidak peduli apa saja yang akan mereka lakukan,” berkata pemimpin kelompok itu kepada kawan-kawannya, “yang penting bagi kita, menerima uang upahnya yang cukup banyak.”

“Tetapi sudah tentu bukan tugas yang ringan,” jawab kawannya, “bahkan mereka menganggap upahnya terlalu banyak. Padahal kita akan mempertaruhkan nyawa kita.”

“Kenapa kau hiraukan kata-katanya,” jawab pemimpinnya, “aku tidak peduli anggapannya. Pokoknya upah itu dipenuhi.”

Kawannya mengangguk-angguk kecil. Gumamnya, “Ya. Upah itu dipenuhi.”

Seperti yang terdahulu, maka sebagian dari upah itu pun telah diberikan kepada kelompok yang akan melakukan pengintaian itu, sedangkan sisanya akan diberikan jika tugas mereka telah selesai.

Demikianlah, hari-hari yang telah dipilih oleh sekelompok orang itu pun telah datang. Mereka tidak lagi menyia-nyiakan waktu. Jika tugas mereka cepat selesai, maka mereka pun akan segera menerima sisa upah mereka.

Tidak seperti kelompok yang terdahulu, yang terjerat oleh tegarnya kuda Glagah Putih, maka kelompok itu telah menuju ke Mataram tanpa hambatan. Namun seperti yang terdahulu, mereka memasuki lingkungan Mataram dari arah barat, menyeberangi Kali Praga. Kemudian melalui jalan-jalan yang semakin ramai menuju ke pusat pemerintahan tanpa menarik perhatian. Apalagi orang-orang dalam kelompok itu tidak berjalan bersama-sama. Tetapi mereka telah membagi diri menjadi dua kelompok yang lebih kecil. Sekelompok terdiri dari dua orang, sementara kelompok yang lain terdiri dari tiga orang. Namun mereka telah menentukan tempat-tempat dimana mereka akan bertemu.

“Aku sudah memberitahukan kepada Kakang Pasak, bahwa selama kita berada di Mataram, kita akan bermalam di rumahnya,” berkata pemimpin kelompok itu.

Karena itu, meskipun mereka tidak bersama-sama menuju ke Mataram, namun mereka tahu dimana mereka dapat bertemu dan berkumpul. Bahkan mereka telah mempunyai landasan untuk menjalankan tugas mereka selama mereka berada di Mataram.

Orang yang disebut Pasak itu pun memang seorang yang bersedia bekerja untuk kepentingan apa saja, asal upahnya memadai. Demikian juga dengan kelompok orang-orang yang akan melihat-lihat keadaan istana itu pun, Pasak telah bersedia bekerja sama.

“Pekerjaan kalian adalah pekerjaan yang sangat mudah,” berkata Pasak.

“Ternyata kau beranggapan sebagaimana anggapan orang-orang yang mengupah kami. Memasuki halaman istana, melihat-lihat, lalu selesai. Mereka dan juga kau tidak memperhitungkan taruhannya, jika seorang atau lebih penjaga yang cukup banyak itu melihat kami.” 

“Jangan dungu,” berkata Pasak “suruh mereka tidur.”

“Nah, bukankah jalan pikiranmu tepat seperti jalan pikiran orang-orang yang mengupah kami,” jawab pemimpin kelompok itu, “kau pun dungu seperti mereka. Sirep akan cepat menarik perhatian, karena kemampuan ilmu sirep yang betapapun tajamnya tidak akan mampu menguasai para perwira di Mataram Yang tidur akan tidur. Tetapi yang tidak tidur akan segera tahu. bahwa istana itu telah disentuh oleh ilmu sirep. Dengan demikian mereka akan menjadi lebih berhati-hati dan pengawasan pun akan diperketat.”

Pasak tertawa. Katanya, “Ya. Aku mengerti. Kalian ternyata cukup cerdas. Jadi dengan demikian maka kalian akan memasuki lingkungan istana dengan wantah.”

“Ya. Justru itulah maka tugas kami bukan tugas yang mudah seperti yang kau katakan,” jawab pemimpin kelompok itu.

“Kapan kau akan melakukannya?” bertanya Pasak.

“Dua hari lagi. Malam ini dan besok siang kami akan melihat-lihat keadaan di sekeliling istana. Sudah beberapa kali kami melihat istana itu. Tetapi kami belum pernah memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Di sore hari kami akan mencoba untuk masuk ke dalam istana itu.”

“Besok sore?” bertanya Pasak, “Maksudmu malam hari?”

Pemimpin kelompok itu tertawa. Katanya, “Seorang kawanku bekerja di dalam istana itu. Ia adalah seorang undagi. Aku akan menemuinya tanpa menyeretnya ke dalam tugas ini.”

“Ia bekerja di dalam lingkungan istana?” bertanya Pasak.

“Ya. Ia memang undagi yang bekerja di istana. Ia memiliki kepandaian dan ketrampilan yang tinggi untuk mengolah kayu. Ia mendapat kepercayaan bersama dua orang kawannya untuk memelihara bagian belakang istana. Aku hampir melupakannya sebelumnya. Tetapi tugas ini telah mengingatkan aku kembali kepadanya,” berkata pemimpin kelompok itu.

Pasak mengangguk-angguk. Katanya “Baiklah. Mudah-mudahan kau berhasil. Tetapi jika kau berada di rumahku lebih dari lima malam, maka kau tentu mengerti bahwa uang yang kau janjikan harus ditambah.”

“Persetan kau,” geram pemimpin kelompok itu.

Pasak tertawa. Katanya, “Kau kira kehadiran kalian bukan merupakan bencana bagi ketenangan hidup keluargaku?”

“Aku mengerti,” jawab pemimpin kelompok itu, “karena itu, kami sudah memberikan bagian dari upah yang kami terima kepadamu. Tetapi tentu dengan pertimbangan bahwa bahaya yang mungkin kau hadapi bukan apa-apa dibandingkan dengan bahaya yang mungkin akan kami tempuh. Kami harus mempertaruhkan nyawa kami. Tetapi tidak dengan kau.”

Pasak masih tertawa. Katanya, “Tetapi jika diketahui bahwa aku membantu kalian, maka bahaya itu tidak akan berbeda.”

Tetapi pemimpin kelompok itu tertawa. Katanya, “Jangan mencoba mengelabuhi kami. Kau tentu akan dapat ingkar, karena kau tidak ikut berbuat sesuatu. Tetapi tentu tidak mungkin kami lakukan, seandainya kami diketahui langsung pada saat kami sedang melakukan tugas kami dan berada di dalam halaman istana.”

Pasak menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Apa saja yang kau katakan. Tetapi jangan lebih dari lima malam. Semakin lama kau berada di rumahku, maka ketenangan keluargaku semakin terancam.”

“Baik Aku setuju. Jika aku berada di rumahmu lebih dari lima malam, aku akan menambah uang sebagaimana kita bicarakan. Tetapi jika kurang dari empat malam, maka jumlah itu pun akan dikurangi.”

“Ah,” desak Pasak, “jangan begitu. Yang kita bicarakan hanya jika lebih dari waktu yang sudah ditentukan. Jika kurang, maka kau akan dapat menggenapinya.”

Pemimpin kelompok itulah yang kemudian tertawa sambil berkata, “Jangan memeras Pasak. Kita sudah sering bekerja bersama.”

Pasak termangu-mangu. Namun iapun kemudian tertawa juga.

Demikianlah, maka rumah Pasak itu pun telah menjadi alas kelima orang yang mendapat upah untuk mengamati keadaan di lingkungan istana Mataram. Dari rumah itulah kelima orang itu akan melakukan tugas mereka.

Seperti yang direncanakan, maka kelompok itu pun telah melakukan pekerjaan mereka dalam tahap-tahap sebagaimana mereka rencanakan.

Ketika malam turun, maka kelima orang itu pun telah bersiap-siap untuk melihat-lihat di bagian luar dinding istana. Mereka akan memperhatikan setiap tempat dan gardu penjagaan.

Justru karena keadaan Mataram yang tenang itulah, maka kelima orang itu dapat melakukan tugasnya dengan baik. Ketika mereka seorang-seorang berjalan di sekitar dinding istana, tidak seorang pun yang mencurigainya.

Demikian juga di hari berikutnya. Apalagi di siang hari.

Dengan demikian, maka orang-orang itu telah melihat tempat-tempat serta gardu-gardu para prajurit yang bertugas di bagian luar.

Di sore harinya, dua orang di antara mereka telah berusaha memasuki istana. Mereka masuk lewat pintu butulan, dan minta ijin kepada para prajurit yang bertugas untuk menemui saudara mereka yang menjadi undagi dan tinggal di bagian belakang istana itu.

“Cobalah kau tanyakan kepada para pekerja yang memang mendapat tempat di bagian belakang istana,” jawab prajurit di regol butulan, “ada beberapa orang mendapat tempat di sana. Menurut pengertianku, di sana tinggal beberapa orang pekatik, undagi, gamel, juru madaran dan juru taman. Mungkin masih ada yang lain.”

“Terima kasih,” jawab pemimpin kelompok yang mendapat upah untuk melihat-lihat keadaan istana itu. “Kami akan mencarinya.”

Kesempatan itu memang diharapkan. Dengan demikian maka pemimpin kelompok yang diupah untuk melihat-lihat keadaan istana itu mendapat kesempatan untuk berjalan berkeliling halaman. Ia akan dapat berjalan dan melihat-lihat kemana saja di halaman istana. Jika prajurit penjaga istana itu melihat dan menegurnya, maka ia akan dapat mempergunakan kesempatan yang diberikan oleh prajurit penjaga regol butulan itu sebagai alasan. Karena ia belum tahu tempat orang yang dicarinya, maka ia telah memasuki lingkungan yang mungkin terlarang.

Dengan demikian, maka beberapa bagian dari halaman istana itu sudah dilihatnya. Beberapa sudut yang dirasa aman telah diingatnya. Sementara itu, maka bagian dalam halaman itu pun diamatinya dengan saksama.

Sebenarnyalah sebagaimana diperkirakan, bahwa dua orang prajurit yang nganglang telah melihat mereka berdua. Dengan serta merta prajurit itu menghentikan keduanya dan bertanya, “Apa yang kalian cari disini?”

Pemimpin kelompok itu pun menjawab sambil membungkuk hormat, “Ampun Tuan. Kami sedang mencari saudara kami yang menjadi undagi di istana ini.”

“O,” prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kau salah jalan. Kau harus mengikuti dinding dalam istana itu menuju ke belakang. Di bagian belakang ada sebuah seketheng. Nah, kau masuk ke seketheng, dan di bagian samping terdapat sebuah bangunan. Di situ memang ada beberapa orang pekerja yang tinggal. Mungkin saudaramu ada di sana. Tetapi tempat itu bukan merupakan tempat tinggal tetap.”

“Terima kasih,” sahut pemimpin kelompok itu sambil membungkuk pula.

Untuk tidak menarik perhatian, maka kedua orang itu pun telah pergi ke tempat yang ditunjukkan.

Sebenarnyalah kedua orang itu telah menemukan orang yang mereka cari.

Undagi itu terkejut. Ia sama sekali tidak menduga bahwa seorang kawannya telah mencarinya di tempat pekerjaannya.

“Marilah,” undagi itu mempersilahkan, “tetapi tidak ada tempat yang baik untuk menerimamu. Aku tinggal untuk sementara di sini. Setiap sepekan sekali aku pulang menengok anak istriku.”

“Ah, cukup di sini,” sahut pemimpin kelompok itu, “hanya satu kebetulan yang telah membawa aku kemari. Aku sedang menengok saudara tuaku. Tiba-tiba saja aku ingat kepadamu. Selebihnya, aku memang ingin melihat istana Mataram. Aku belum pernah memasukinya sebelumnya.”

“O,” undagi itu tertawa, “aku sudah memanjat sampai ke bumbungan.”

“Tentu saja, karena itu pekerjaanmu,” jawab pemimpin kelompok itu.

Keduanyapun kemudian tertawa.

Beberapa saat lamanya mereka saling berbincang. Namun kemudian orang yang ingin mengamati keadaan istana itu tidak tinggal terlalu lama, Mereka pun segera minta diri untuk keluar dari istana itu.

Kawannya, yang bekerja di bagian belakang istana itu menahannya. Tetapi pemimpin kelompok yang tidak menyebutkan tugasnya itu berkata, “Terima kasih. Mungkin besok atau lusa jika aku masih berada di Mataram, aku akan singgah lagi.”

Kawannya itu mengangguk. Katanya, “Baiklah. Datanglah kemari. Tetapi jangan terlalu sore, sehingga kau mempunyai waktu banyak untuk berbincang-bincang.”

“Bukankah kau bekerja di pagi dan siang hari?” bertanya pemimpin kelompok itu.

“Ya. Tetapi jika perlu, aku dapat berhenti barang sejenak,” jawab undagi itu. “Apalagi pekerjaanku sekarang adalah membuat perabot rumah tangga, sehingga aku akan dapat meninggalkannya barang sesaat. Jika aku sedang memperbaiki atap rumah, mungkin memang sulit untuk berhenti, karena aku bekerja bersama beberapa orang.”

“Baiklah. Aku akan memerlukannya besok atau lusa,” jawab tamunya, “tetapi aku minta maaf, apakah kau bersedia untuk membawaku keluar? Aku tentu akan bingung untuk mencapai pintu butulan itu lagi.”

Undagi itu tersenyum. Katanya, “Marilah, Aku antar kau keluar.”

Dengan demikian maka pemimpin kelompok itu telah diantar oleh kawannya yang kebetulan bekerja di istana itu. Bahkan ketika mereka berjalan menuju ke pintu butulan, pemimpin kelompok itu sempat bertanya tentang beberapa hal keadaan halaman istana itu.

“Dimana-mana dijaga prajurit,” desis pemimpin kelompok itu.

“Tidak,” jawab kawannya, “hanya di tempat-tempat penting saja. Di regol dan di serambi itu memang terdapat gardu penjagaan. Tetapi di bagian belakang hanya kadang-kadang saja diamati oleh para prajurit yang nganglang.” Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Namun tanpa diduganya kawannya itu bertanya, “Kau kerja dimana sekarang?”

Sejenak pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Aku mendapat warisan sekeping sawah.”

“Dalam waktu-waktu senggang apa yang kau lakukan?” bertanya kawannya.

Pemimpin kelompok itu masih termangu-mangu. Namun iapun menjawab, “Aku membantu pamanku yang bekerja sebagai belandong. Sebenarnya aku ingin belajar menguasai kayu seperti yang kau lakukan, bukan sekedar sebagai pembelah kayu.”

Kawannya itu tertawa. Katanya “Kerja apapun tidak ada bedanya, asal tidak merugikan orang lain.”

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Demikian pula orang yang ikut bersama pemimpin kelompok itu. Namun terasa jantungnya bagaikan tertusuk duri, karena kedua orang itu sedang dalam tugas yang memang akan merugikan orang lain.

Namun perasaan mereka tidak terbayang di wajah keduanya Bahkan pemimpin kelompok itu masih saja nampak tersenyum. Apalagi ketika mereka sudah berada di pintu butulan.

Prajurit yang berjaga-jaga di butulan itu, yang melihat kedatangan kedua orang yang mengaku mencari saudaranya itu pun tersenyum melihat mereka keluar dari pintu butulan.

“Nah, sudah kau ketemukan saudaramu?” bertanya prajurit itu.

“Ya Ki Sanak,” jawab pemimpin kelompok itu, “terima kasih atas kesempatan yang Ki Sanak berikan.”

Kedua orang itu pun kemudian telah minta diri kepada undagi itu dan kepada para prajurit yang bertugas. Ketika mereka melangkah pergi, sekali-sekali mereka masih juga berpaling ke arah pintu butulan itu. Sementara langit pun telah menjadi semakin buram.

“Apakah keduanya itu saudaramu?” bertanya prajurit itu kepada undagi yang masih berdiri termangu-mangu.

“Bukan,” jawab undagi itu, “seorang di antara mereka adalah kawanku sepadukuhan.”

“Kawan baik barangkali, sehingga kalian sudah seperti saudara saja?” bertanya prajuti itu pula.

“Juga bukan. Kami adalah kawan biasa saja. Aku pun heran jika tiba-tiba saja orang itu tertarik untuk mengunjungi aku,” jawab undagi itu. Namun katanya kemudian “Mungkin keinginannya untuk melihat-lihat istana telah mendorongnya untuk mendapatkan keberanian mencari aku di sini.”

“O,” prajurit itu mengangguk-angguk, “apakah orang itu tidak pernah pergi ke kota?”

“Menurut pengetahuanku, ia adalah seorang petani utuh yang tidak pernah pergi kemana-mana. Di samping itu kerjanya adalah membantu pamannya menjadi tukang blandong.”

“Pembelah kayu?” bertanya prajurit itu.

“Ya. Agaknya mereka sering mencari kayu di hutan untuk dijadikan kayu bakar,” jawab undagi itu.

Prajurit itu mengangguk-angguk. Sementara itu, undagi itupun telah minta diri dan kembali ke baraknya, sementara beberapa orang telah mulai menyalakan lampu-lampu minyak di halaman dan di dalam istana.

Dalam pada itu di perjalanan kembali ke rumah Pasak, pemimpin kelompok itu tersenyum sambil berkata, “Sebagian dari kerja kita telah kita selesaikan. Kita sudah mendapat titik yang paling baik untuk memasuki halaman istana. Kemudian, tidak akan ada orang yang dapat menghalangi untuk melihat-lihat isi halaman itu di malam hari. Kita akan dengan mudah menemukan tempat-tempat penting dari istana itu. Lorong-lorong dan pintu-pintu regol serta seketheng. Gardu-gardu dan tempat-tempat yang terlindung serta aman dari pengawasan.”

Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan kita dapat menyelesaikan dengan sekali memasuki istana itu, tanpa mengulanginya. Sementara itu, upahnya pun akan segera kita terima.”

Pemimpin kelompok itu tertawa. Katanya, “Yang kau pikir hanya upahnya saja.”

“Bukankah itu yang penting bagiku?” sahutnya.

Ketika kedua orang yang baru saja kembali dari istana itu sampai ke rumah Pasak, maka mereka pun telah membicarakan satu rencana yang lebih terperinci untuk melihat-lihat keadaan istana. Mereka berlima akan mendekati istana itu. Tiga orang di antara mereka akan meloncat masuk, sementara dua orang akan mengamati keadaan di luar istana. Kedua orang itu akan menyediakan panah sendaren yang akan dilontarkan ke udara jika keadaan memaksa. Sementara itu tiga orang yang berada di dalam akan mengamati isi seluruh lingkungan istana. Seorang di antara mereka akan mengamati keadaan. Dua orang yang lain akan berkeliling. Yang paling penting dari tugas mereka adalah menemukan bilik tidur Panembahan Senapati. Namun mereka pun harus mengetahui lorong-lorong yang ada di lingkungan istana itu. Pintu-pintu gerbang, regol dan seketheng serta gardu-gardu penjagaan.

“Tetapi keadaan di dalam istana memungkinkan, dan bahkan membantu sekali,” berkata pemimpin kelompok yang telah melihat-lihat serba sedikit keadaan di dalam lingkungan istana, “banyak pepohonan perdu di taman-taman yang tersebar, di samping pohon buah-buahan yang rimbun dan akan membantu melindungi kita oleh bayangannya yang gelap.”

Namun mereka tidak akan memasuki lingkungan istana pada malam itu. Mereka masih mempunyai waktu.

“Malam ini kita masih sempat tidur nyenyak. Kita baru mempergunakan rumah ini semalam. Dua malam dengan yang sedang kita jalani ini. Bukankah kita mendapat kesempatan tinggal sepekan di sini?”

Pasak mengumpat. Katanya kemudian, “Semakin cepat kalian pergi akan semakin baik. Tetangga sebelah sudah bertanya-tanya tentang kalian.”

“Apa yang mereka tanyakan?” bertanya pemimpin kelompok itu.

“Tamuku kali ini terlalu banyak menurut pendapat mereka,” jawab Pasak.

“Tetangga itulah yang terlalu banyak mencampuri urusanmu,” berkata pemimpin kelompok itu. “Lalu apa jawabmu?”

“Aku mengatakan kepada mereka, bahwa kalian adalah saudara-saudaraku dari tempat yang jauh yang sudah lama tidak bertemu,” berkata Pasak kemudian. Namun katanya pula, “Tetapi jika tingkah lakumu mencurigakan, maka pada suatu saat aku tidak akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.”

“Sudahlah,” berkata pemimpin kelompok itu, “kau akan mendapat uang. Bukan hanya karena kau memberi kami makan. Tetapi juga imbalan yang cukup karena kau telah memberikan tempat kepada kami.”

Pasak termangu-mangu. Namun iapun menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Malam ini adalah malam kedua. Masih ada tiga malam lagi. Aku sudah tidak mempunyai uang untuk membeli beras dan lauk-pauk buat kalian besok.”

“Itulah yang akan kau katakan sebenarnya,” berkata pemimpin kelompok itu sambil tertawa. “Baiklah. Ini uang yang kau perlukan itu.”

Pasak mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum sambil menerima uang itu. Hampir di luar sadarnya ia bergumam, “Malam nanti aku akan dapat ikut memasuki kalangan.”

Tiba-tiba saja pemimpin kelompok itu meremas bajunya sambil menggeram, “Kau akan berjudi? Aku tidak peduli jika kau kalah dan uang itu habis. Aku tidak akan memberimu uang lagi sampai kami pergi dari rumah ini. Jika selama itu kau tidak dapat membeli beras lagi untuk makan kami, maka kepalamu-lah yang akan aku rebus untuk makan kami.”

Tetapi Pasak tertawa saja meskipun bajunya masih dalam genggaman pemimpin kelompok itu. Katanya, “Jangan takut. Aku tidak pernah kalah berjudi. Jika aku kalah juga, aku rampas uang mereka yang menang.”

“Gila,” geram pemimpin kelompok itu sambil melepaskan baju Pasak, “jangan main-main. Tugasku adalah tugas yang sangat penting. Kami tidak akan segan-segan membunuh orang yang dapat menghambat tugas-tugas kami.”

“Aku tahu,” Pasak masih tertawa, “karena itu aku bersedia membantumu.”

Namun Pasak tidak lagi menunggu kelima tamunya. Seperti malam sebelumnya, kelima tamunya itu dipersilahkan tidur di sebuah amben bambu yang besar. Sementara itu ia pun telah keluar rumah untuk memasuki sebuah kalangan perjudian.

“Setan alas,” geram pemimpin kelompok itu. Tetapi mereka pun tidak mempedulikan lagi. Mereka berlima tidak pula segera berbaring. Mereka duduk di amben yang besar itu sambil melanjutkan pembicaraan mereka tentang rencana yang akan mereka lakukan. Sementara itu, seorang anak laki-laki Pasak telah menghidangkan minuman panas bagi mereka.

“Terima kasih,” berkata salah seorang dari kelima orang yang sedang berbincang itu. “Kemana ayahmu biasanya jika berjudi?”

“Di padukuhan sebelah, Paman,” jawab anak laki-laki itu, “di padukuhan sebelah ada tempat untuk berjudi, sabung ayam dan adu jangkrik.”

“Adu jangkrik?” bertanya orang itu.

“Ya Paman,” jawab anak laki-laki itu, “tetapi Ayah biasanya menang, meskipun sekali-sekali pernah kalah juga.”

“Kau tahu kapan Ayahmu menang dan kapan kalah?” bertanya pemimpin kelompok itu.

“Jika Ayah pulang dan marah-marah saja, maka Ayah tentu kalah,” jawab anak itu.

Kelima orang yang duduk di amben itu tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Kau pintar juga, membuat minuman panas untuk kami.”

“Ayah memang berpesan, agar aku membuat minuman panas ini,” jawab anak itu.

Pemimpin kelompok itu tiba-tiba telah mengambil sekeping uang dari kantong ikat pinggangnya dan memberikan kepada anak itu. “Nah, ini buatmu.”

Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil menerima sekeping uang itu. Katanya, “Terima kasih Paman. Besok aku dapat ikut bermain bengkat dengan taruhan.”

“He? Kau juga akan ikut taruhan?” bertanya pemimpin kelompok itu.

“Tetapi tidak semata-mata judi, Paman. Kami harus mengadu keprigelan dan ketrampilan. Bengkat memerlukan kecakapan tersendiri,” jawab anak itu bangga.

“Tetapi kenapa harus dengan taruhan?” bertanya salah seorang di antara kelima orang yang menginap itu.

“Lebih menarik, Jika aku menang, maka aku akan dapat ikut bertaruh dalam sabung ayam,” jawab anak itu. “Ayah tidak melarang.”

Kelima orang itu saling memandang. Agaknya anak penjudi ini pun akan dapat menjadi penjudi yang ulung kelak. Ketika anak itu pergi, maka seorang di antara mereka berkata, “Aku tidak mengijinkan anakku berjudi.”

Tetapi kawannya sambil tertawa berkata, “Karena kau bukan penjudi. Tetapi tentu kau ajari anakmu mencuri, seperti yang sering kau lakukan.”

Yang lain tertawa pula. Tetapi orang itu dengan sungguh-sungguh berkata, “Tidak. Aku ajari anakku berkelakuan baik. Ia tidak tahu bahwa ayahnya seorang pencuri. Biarlah semua dosa aku tanggungkan. Yang aku lakukan semata-mata untuk memberi makan, pakaian dan tempat tinggal bagi anak istriku. Tetapi aku ingin anakku kelak dapat hidup wajar.”

Kawan-kawannya pun berhenti tertawa. Pemimpin kelompok itu kemudian bertanya, “Lalu apa katamu jika kau lama tidak pulang, seperti sekarang?”

“Anakku menganggap bahwa ayahnya adalah seorang pedagang keliling yang kadang-kadang memang harus bermalam. Bukan hanya satu dua malam. Kadang-kadang memang sepekan,” jawab orang itu.

“Apakah istrimu juga tidak tahu?” bertanya yang lain.

“Istriku tahu. Tetapi istriku pun sepakat, agar anak kami tidak mengetahui pekerjaanku dan mengajarnya untuk menjadi seorang yang baik kelak, meskipun pada suatu saat jika ia mengetahui pekerjaanku, mungkin ia-lah yang akan menangkap aku,” jawab orang itu.

Kawan-kawannya menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu pemimpin kelompok itupun berkata, “Ada juga baiknya. Jika setiap orang yang melakukan perbuatan tercela seperti kita ini juga menyeret anak-anaknya ke dalam dunianya, maka jumlah orang-orang yang dianggap jahat ini pun akan berlipat-lipat. Dan sawah kita akan menjadi sempit.”

“Apakah kita ini jahat?” bertanya salah seorang di antara mereka.

“Jangan membohongi diri sendiri,” jawab pemimpin kelompok itu, “kita tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik. Tetapi kita memang sudah bertekad melakukannya.”

“Ya,” sahut kawannya yang ingin anaknya menjadi orang yang baik, “justru pengetahuan dan kesadaran itulah yang telah mendorong aku untuk mengarahkan jalan hidup anakku. Ia tidak boleh menjadi orang seperti ayahnya.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak mentertawakannya lagi.

Dalam pada itu, maka malam pun telah menjadi semakin malam Ketika tetes terakhir dari minuman mereka telah melalui kerongkongan, maka pemimpin kelompok itu pun berkata, “Kita akan tidur nyenyak malam ini. Besok kita masih dapat berjalan-jalan melihat-lihat keramaian pasar di Mataram. Baru pada malam harinya kita akan melakukan tugas kita.”

Kelima orang itu pun kemudian tidur dengan nyenyak tanpa terganggu. Di pagi hari, mereka melihat Pasak pulang sambil tersenyum-senyum. Katanya dengan bangga, “Apa kataku. Aku memenangkan permainan semalam. Uangku menjadi tiga kali lipat. Nanti siang kita dapat menyembelih tiga ekor ayam. Besok kita akan menyembelih kambing, di hari terakhir kau makan di rumahku.”

“Berapa kau menang, sehingga kau akan menyembelih kambing, he?” bertanya pemimpin kelompok itu.

“Sudah aku katakan. Uangku menjadi tiga kali lipat. Sementara itu, aku sempat mencuri uang kawanku bermain tanpa diketahuinya, karena di kalangan yang lain ia pun menang tanpa hitungan. Bahkan ia dapat menggadai perhiasan-perhiasan lawannya bermain,” jawab Pasak

“Gila kau,” geram pemimpin kelompok itu.

“Kenapa? Bukankah yang kita lakukan tidak ada bedanya?” bertanya Pasak.

“Agaknya kami pun harus berhati-hati. Mungkin malam-malam yang tersisa masih dapat kau pergunakan untuk mencuri uang kami,” berkata pemimpin kelompok itu.

“Aku tidak akan melakukannya atas kalian,” jawab Pasak, “selain kalian adalah sahabat-sahabatku, akupun takut bahwa kalian akan mendendam kepadaku dan melakukan pembalasan. Karena itu, aku bahkan akan menyuguhkan seekor kambing bagi kalian berlima.”

“Terima kasih,” jawab pemimpin kelompok, “kami tidak menolak. Tetapi itu adalah berlebih-lebihan.”

Pasak tertawa Tetapi ia pun kemudian pergi meninggalkan tamu-tamunya.

Kelima orang yang mendapat upah untuk mengamati keadaan istana Mataram Itu masih dapat mempergunakan satu hari terluang untuk melihat-lihat keadaan Mataram yang semakin ramai. Namun ketika matahari turun, mereka pun telah bersiap-siap. Bukan saja secara kewadagan, tetapi mereka pun telah mempersiapkan nalar dan perasaan mereka untuk menghadapi tugas-tugas yang berat. Namun mereka menyadari, bahwa mereka harus mempertaruhkan diri dan nyawa mereka untuk melakukan pekerjaan yang sudah mereka sanggupi itu.

Namun pemimpin kelompok itu berkata sambil tersenyum, “Separuh dari pekerjaan kita sudah aku lakukan.”

“Kita akan menyelesaikan dengan baik,” jawab seorang kawannya.

Demikianlah, maka mereka berlima-pun telah bersiap. Pasak yang menunggui mereka berkata, “Hati-hatilah. Bukankah kalian menyadari bahwa di dalam istana itu ada berpuluh-puluh orang yang memiliki ilmu yang tinggi?”

“Kami menyadari,” berkata pemimpin kelompok itu, “kami melandasi tugas kami bukan karena ilmu kami yang tinggi. Tetapi, pengalaman kami sebagai pencuri yang tidak pernah tertangkap, setelah melakukan pekerjaan ini berpuluh tahun.”

“Aku tahu. Sejak muda kau sudah mencuri. Tetapi kau mencuri di rumah petani-petani kaya, saudagar-saudagar ternak dan barangkali bebahu kademangan. Tetapi kau belum pernah melakukannya sebagaimana kau lakukan sekarang.”

“Aku pernah mencuri di rumah seorang prajurit yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi dalam tidurnya ia tidak lebih dari seorang petani dungu. Mendengkur dan tidak tahu apa-apa,” jawab salah seorang di antara kelima orang itu.

“Tetapi para petugas itu tidak tidur,” jawab Pasak, “mereka berjaga-jaga mengawasi keadaan.”

“Para peronda di padukuhan-padukuhan juga tidak tidur,” jawab pemimpin kelompok, “tetapi kami mampu menempatkan diri kami. Apalagi halaman istana itu banyak terdapat taman yang cukup rimbun dengan pohon-pohon bunga perdu. Ceplok piring, soka dan bahkan ada serumpun bambu cendani. Dengan demikian menurut penglihatan kami, banyak perlindungan yang terdapat di halaman istana, tidak ubahnya di kebun-kebun para petani dan saudagar kaya yang pernah kami datangi, meskipun kebun-kebun itu bukan ditanam bunga, tetapi ditanami rumpun-rumpun garut dan ganyong serta empon-empon.”

Pasak mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Aku sebenarnya merasa sangat gelisah. Jika kalian lengah, maka kalian akan tertangkap dan mengalami banyak kesulitan. Mereka tentu ingin tahu siapakah yang mengupah kalian, sehingga kalian berani memasuki istana Mataram.”

Pemimpin kelompok itu terseyum. Katanya, “Kau takut terseret ke dalam kesulitan jika kami tertangkap?”

“Tidak. Bukan hanya itu. Tetapi aku lebih banyak berpikir tentang kalian. Bukan tentang aku,” jawab Pasak. “Aku berkata sesungguhnya, karena kita sudah lama bersahabat. Karena sebagaimana kau katakan, aku akan dapat ingkar, atau kalian dapat mengatakan bahwa kalian tidak berada di rumahku.”

“Terima kasih atas perhatianmu,” jawab pemimpin kelompok itu, “tetapi seandainya kami tertangkap, kami akan dapat ingkar pula bahwa kami adalah orang-orang upahan. Kami memasuki istana untuk mencuri. Itu saja. Dengan demikian kami tidak akan mengalami tekanan untuk menyebut orang-orang yang mengupah kami.”

Pasak mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan kalian selamat.”

Demikianlah, ketika matahari menjadi semakin redup dan hilang di balik bukit, maka kelima orang itu telah bersiap-siap untuk mulai dengan tugas mereka yang sangat berbahaya.

Namun mereka masih sempat minum minuman hangat dan makan beberapa potong makanan. Pasak telah menyuruh keluarganya menyediakan makanan yang khusus.

“He, kau nampak gelisah sekali,” berkata pemimpin kelompok itu kepada Pasak, “dan agaknya kau sudah menghidangkan makanan yang paling enak yang dapat kau buat. Nampaknya kau benar-benar mencemaskan nasib kami, seakan-akan kami tidak akan pernah mendapat kesempatan lagi untuk makan makanan yang enak seperti ini.”

“Bukan maksudku,” jawab Pasak, “mudah-mudahan dapat memberimu ketenangan. Aku akan berdoa bagi kalian, meskipun aku tidak yakin bahwa doa seorang penjudi masih akan berarti.”

Pemimpin kelompok itu menepuk bahu Pasak sambil berkata, “Percayalah kepada kami. Kau mengenal kami bukan baru kemarin siang.”

Pasak mengangguk. Desisnya, “Aku tahu bahwa ada orang yang menganggap bahwa kau mempunyai Aji Panglimunan sehingga kau dapat menghilang dari tangkapan mata wadag. Tetapi orang-orang Mataram tentu ada yang memiliki kekuatan untuk melihat yang tidak kasat mata kewadagan itu, dengan mata hati atau ilmunya.”

Pemimpin kelompok itu tertawa. Katanya, “Sudahlah. Jika kau masih saja gelisah, maka sikapmu itu akan mempengaruhi kami.”

Pasak termangu-mangu. Namun iapun kemudian mengangguk.

Demikianlah, maka ketika malam turun, kelima orang itu pun telah meninggalkan rumah Pasak. Namun mereka tidak segera menuju ke istana. Tetapi mereka sempat melihat-lihat keadaan kota untuk melakukan pemanasan.

Mereka tidak berjalan bersama-sama, tetapi mereka telah berpisah dan terbagi dua. Tetapi mereka telah menentukan dimana mereka akan bertemu.

Semakin lama kota pun menjadi semakin sepi. Anak-anak sudah tidak lagi berada di halaman. Namun satu dua orang masih ada yang duduk-duduk di luar regol padukuhan atau di halaman banjar. Namun sebentar kemudian, gardu-lah yang mulai menjadi ramai oleh para peronda. Sementara rumah-rumah pun telah menutup pintunya rapat-rapat.

Seperti yang disepakati, maka ketika ujung malam telah lewat, maka kelima orang itu sudah berkumpul lagi. Mereka telah berada di belakang istana. Menjelang tengah malam, maka tiga orang di antara mereka akan memasuki istana, sementara dua orang yang lain akan berada di luar. Mereka yang menunggu di luar itu pun kemudian telah memasang sayap-sayap busur mereka yang dapat dilepas, untuk memudahkan mereka membawanya tanpa dilihat orang lain.

Sementara itu, tiga orang di antara mereka dengan selamat telah berhasil meloncati dinding di tempat yang sudah diperhitungkan, sehingga dengan demikian, maka tidak seorang penjaga pun yang melihat kehadiran mereka di halaman istana.

“Kita akan berusaha untuk memasuki lingkungan dalam istana,” bisik pemimpin kelompok itu. “Kau mengamati keadaan,” perintahnya kemudian kepada seorang di antara mereka, seperti rencana yang sudah mereka susun sebelumnya.

Dalam pada itu, para prajurit dari Pasukan Pengawal dan para Pelayan Dalam yang mendapat tugas rahasia dari Panembahan Senapati hampir saja menjadi jemu menunggu.

Waktunya memang agak terlalu lama. Namun untunglah bahwa mereka masih tetap berjaga-jaga menghadapi kemungkinan datangnya orang-orang yang memang mereka tunggu, meskipun ada juga di antara mereka yang menganggap bahwa jebakan mereka tidak akan berhasil. Ada yang beranggapan bahwa orang-orang yang mengupah itu telah mengurungkan niatnya, setelah orang-orang yang mereka tugaskan mengamati istana itu gagal.

Namun para petugas itu masih tetap berada pada jaring-jaring yang telah mereka pasang dengan perhitungan yang saksama dalam tugas rahasia mereka, sehingga tidak ada seorang pun yang mengetahuinya selain kedua pasukan yang memang mendapat tugas langsung dari Panembahan Senapati itu.

Dalam pada itu, maka kedua orang yang bergerak di lingkungan istana itu pun mulai memasuki bagian yang semakin dekat dengan lingkungan dalam istana, sementara seseorang yang lain berusaha untuk dapat mengamati keadaan bagi pengamanan gerak kedua kawannya itu.

“Ternyata kita tidak banyak mendapat kesulitan,” berkata pemimpin kelompok itu sambil berbisik, “sekat-sekat di halaman istana ini pun tidak banyak menahan gerakan kita. Sementara itu, para prajurit yang bertugas terlalu yakin, bahwa Mataram adalah kota yang aman dan tenteram,”

Kawannya mengangguk-angguk. Desisnya, “Jalan yang lapang buat kita.”

Keduanya terdiam ketika mereka mendengar langkah mendekat. Mereka pun kemudian telah bergeser ke balik sebuah gerumbul di taman yang terpelihara rapi.

Dua orang prajurit sedang meronda, mengamati keadaan halaman itu. Namun mereka hanya berjalan saja seakan-akan tanpa berpaling. Tanpa memperhatikan keadaan di sekeliling mereka.

Demikian kedua prajurit itu menjauh, pemimpin kelompok itu tersenyum. Katanya, “Mereka tidak lebih dari patung-patung yang berjalan tanpa mengerti apa yang harus mereka lakukan. Itulah gambaran sebenarnya dari para prajurit Mataram, yang namanya kawentar sampai ke seberang lautan.”

Kawannya mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak menjawab.

Demikianlah keduanya bergeser semakin mendekati istana. Pemimpin kelompok itu telah melihat taman itu di siang hari ketika ia mengunjungi kawannya yang bekerja dan tinggal untuk sementara di bagian belakang dari halaman istana itu.

Di dekat sebuah regol keduanya berhenti. Regol itu sedikit terbuka. Namun keduanya tidak melihat prajurit yang berjaga-jaga di sekitarnya.

“Jika kita memasuki regol ini, maka kita akan berada di bagian samping dari halaman istana,” berkata pemimpin kelompok itu. “Dari tempat itu, kita akan lebih mudah memasuki bagian dalam yang tentu mendapat pengawasan yang lebih ketat.”

Kawannya mengangguk. Tetapi ia pun telah siap untuk melakukan tugas yang berbahaya itu.

Sejenak keduanya menunggu. Pemimpin kelompok itulah yang kemudian mengamati regol itu lebih dekat lagi.

“Kita tidak akan melalui regol itu,” berkata pemimpin kelompok itu kemudian. “Meskipun tidak ada seorang pun yang menjaganya, namun cahaya obor di regol itu berbahaya bagi kita.”

“Kita akan meloncati dinding?” bertanya kawannya.

“Ya,” jawab pemimpin kelompok itu. Demikianlah, maka keduanya pun kemudian meloncati dinding di bawah sebatang pohon buah jambu air yang rimbun. Namun mereka tertegun ketika mereka melihat di regol di seberang, nampak dua orang penjaga yang bertugas.

“Seperti prajurit yang lewat di taman,” berkata pemimpin kelompok itu perlahan-lahan, “mereka seperti patung saja. Bahkan mungkin mereka telah tertidur tanpa kita hembuskan ilmu sirep.”

Kawannya tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.

Dengan hati-hati mereka pun bergerak lagi. Sebagaimana mereka memasuki halaman samping, maka mereka pun kemudian telah memasuki bagian dalam istana serta mendekati bangunan-bangunan pokok di lingkungan istana itu.

Dengan sangat berhati-hati mereka memperhatikan para petugas yang ternyata tidak begitu banyak. Para prajurit yang bertugas itu menurut penilaian kedua orang itu, sama sekali tidak siap menghadapi bahaya yang tersembunyi yang mungkin memasuki istana itu.

“Jika aku memiliki ilmu yang tinggi, maka aku akan menyelesaikan tugas ini sampai tuntas,” berkata pemimpin kelompok itu di dalam hatinya, “mengakhiri kesombongan Panembahan Senapati.”

Tetapi pemimpin kelompok itu tidak dapat melakukannya karena ia menyadari kemampuan ilmunya. Namun ternyata ia memiliki ketrampilan khusus yang sangat diperlukan.

Tanpa banyak kesulitan, maka kedua orang itu telah berada di sebuah longkangan. Namun keduanya harus sangat berhati-hati. Ternyata mereka telah memasuki daerah yang mendapat penjagaan yang kuat.

“Tetapi aku tidak harus memasuki lingkungan itu,” berkata pemimpin kelompok itu di dalam hatinya, “aku hanya harus melihat dan mengamatinya.”

Demikianlah, keduanya telah berhasil mendekati setiap bangunan pokok. Namun mereka memang agak sulit untuk menentukan, yang manakah pintu yang harus mereka pilih untuk sampai ke bilik Panembahan Senapati, yang tentu ada di dalam bangunan induk istana Mataram.

Tetapi keduanya tidak dituntut untuk sampai ke bilik itu. Mereka hanya dituntut untuk memberikan gambaran tentang keadaan lingkungan istana serta kemungkinan-kemungkinannya.

Namun keduanya dapat memperhitungkan bilik Panembahan Senapati melihat bentuk atap istana itu. Meskipun tidak terlalu jelas di keremangan malam, namun mereka dapat memberikan keterangan dan perincian tentang sasaran yang harus mereka lihat.

Dengan demikian, meskipun kedua orang itu masih belum memasuki bagian dalam istana dan menemukan pintu langsung bilik Panembahan Senapati, namun yang mereka lihat agaknya sudah cukup sebagai bahan keterangan bagi orang-orang yang mengupahnya. Mereka akan dapat mengurai bangunan yang nampak, dilihat dari bentuk atapnya. Meskipun mungkin tidak tepat benar, namun yang diperlukan sebagai petunjuk telah mencukupi.

Namun demikian pemimpin kelompok itu berkata lirih, “Jika kita dapat naik ke atap dan melintasi satu bumbungan, maka kita tentu akan sampai ke longkangan dalam.”

“Kau yakin?” bertanya kawannya.

“Aku yakin,” jawab pemimpin kelompok itu.

“Jika demikian, kenapa kita tidak mencobanya” bertanya kawannya.

“Yang aku cemaskan adalah, jika kita ternyata berada di atas atap Gedung Pusaka,” berkata pemimpin kelompok “ kita akan dapat membeku karenanya.”

Kawannya mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Apakah kita tidak dapat menduga, dimanakah letak Gedung Pusaka itu?”

Pemimpin kelompok itu menggeleng. Katanya “Tidak. Dan ilmuku ternyata terlalu kerdil untuk menangkap cahaya yang mungkin terpancar dari pusaka-pusaka yang ada di dalamnya.”

“Jadi bagaimana?” bertanya kawannya yang hampir tidak terdengar.

“Kita harus menemukan seketheng,” jawab pemimpin kelompok itu, “tetapi kita harus benar-benar menjaga diri agar kita tidak tertangkap.”

Kawannya mengangguk-angguk. Dengan sangat berhati-hati mereka merayap di sepanjang dinding bangunan induk istana di bagian belakang. Namun mereka harus menahan nafas ketika dua orang prajurit nampak meronda melewati taman di belakang bangunan induk itu. Kedua orang yang menahan nafas itu harus mengerutkan tubuhnya di belakang serumpun pohon bunga ceplok piring yang rimbun.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar