Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 200

Buku 200

Glagah Putih tidak dapat berbuat sesuatu jika Raden Rangga memang ingin melakukannya.

Tetapi ia masih mencoba memperingatkannya, “Apakah Raden lupa kepada pesan ayahanda?”

Kedua anak muda itu tidak sempat berbicara lebih lama lagi. Keempat orang itu telah melangkah mendekati seperti seseorang yang sedang merunduk kelinci.

Suara tertawa Raden Rangga-lah yang meledak. Katanya, “Kenapa kalian merangkak setapak demi setapak? Meloncat sajalah dan menusukkan golok kalian ke arah dada kami.“

“Persetan,“ geram orang yang sedang marah itu.

Beberapa saat kemudian keempat orang itu menebar dan mengepung Glagah Putih dan Raden Rangga. Sementara itu Raden Rangga masih sempat bertanya, “Bagaimana dengan tubuhmu? Apakah kau sudah mendapatkan kesegarannya kembali?“

“Meskipun belum sepenuhnya, namun rasa-rasanya aku sudah siap,“ jawab Glagah Putih.

“Bukankah kau sempat menyuapi mulutmu?“ bertanya Raden Rangga pula.

“Ya. Nasiku hampir habis,“ jawab Glagah Putih.

Raden Rangga tidak bertanya lagi. Dua buah pisang sebelumnya telah dimakan oleh Glagah Putih. Karena itu, maka agaknya tubuhnya tidak akan banyak mengganggunya lagi, setelah ia beristirahat dan makan barang sedikit, serta minum minuman hangat.

Demikianlah, maka keempat orang yang mengepung kedua anak muda itupun raenjadi semakin rapat. Golok mereka pun telah teracu sementara orang yang merasa terhina itu menggeram, “Sebutlah nama ayah ibumu untuk yang terakhir. Sebentar lagi kalian akan dicincang dan bangkaimu akan menjadi makanan anjing liar di pasar ini.”

Glagah Putih memandang wajah Raden Rangga sekilas. Ia melihat wajah anak muda itu cerah. Karena itu, Glagah Putih berharap bahwa Raden Rangga tidak menjadi marah dan kehilangan pengendalian diri. Dengan demikian maka Raden Rangga itu tidak akan membunuh lawannya.

Sementara itu Raden Rangga ternyata masih sempat bertanya, “Ki Sanak. Siapakah sebenarnya kalian dan kenapa kalian mencoba mengganggu kami yang sedang makan?“

“Anak demit,“ geram orang yang marah karena wajahnya menjadi kotor, “kau tidak usah bertanya tentang kami. Menyerahlah agar kami tidak memperlakukan kalian seperti anjing kurapan.“

Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Jika mereka sempat berbicara panjang, maka Raden Rangga akan dapat menjadi marah dan membunuh mereka. Karena itu, maka Glagah Putih telah bergeser maju untuk memancing perkelahian.

Sebenarnyalah, Glagah Putih berhasil menggelitik salah seorang di antara mereka. Dengan serta merta orang itu meloncat menyerang Glagah Putih dengan goloknya. Namun Glagah Putih sempat mengelak dengan suatu loncatan kecil. Tetapi pada saat itu orang yang lain telah menyerangnya pula dengan garangnya.

Sekali lagi Glagah Putih terpaksa meloncat. Serangan kedua orang itu sama sekali tidak mengenainya. Sementara itu, dua orang yang lain lagi telah menyerang Raden Rangga itu. Tetapi Raden Rangga ternyata mempunyai sikap yang lain dari sikap Glagah Putih. Jika Glagah Putih masih juga menghindari serangan-serangan kedua lawannya, maka Raden Rangga tiba-tiba saja telah menghindar sekaligus menyerang. Hanya masing-masing sekali ia menyentuh kedua lawannya. Namun kedua lawannya itu telah terbanting jatuh dan mengerang kesakitan. Punggung mereka terasa telah patah, sehingga tidak segera dapat bangkit kembali.

Demikian cepatnya Raden Rangga menyelesaikan perkelahian itu. Sementara Glagah Putih masih saja melingkar-lingkar menghindari serangan yang datang susul menyusul.

“Cepat,“ geram Raden Rangga, “kau belum mempergunakan segenap kemampuanmu. Satu kesempatan untuk mencoba, apakah yang kau lakukan itu berpengaruh atau tidak.“

Glagah Putih termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja memang timbul satu keinginan untuk berbuat sesuatu, yang mungkin dapat dipergunakannya untuk mengetahui, apakah memang terjadi perubahan pada dirinya.

Karena itulah, maka Glagah Putih telah mengerahkan tenaga yang ada di dalam dirinya. Tetapi ia tidak ingin kehilangan kekang dan dengan tidak sengaja membunuh lawannya. Karena itu, maka lambaran kekuatannya tidak dipergunakannya untuk memukul lawannya, tetapi sekedar dipergunakannya untuk mendorong kecepatannya bergerak. Sebenarnyalah Glagah Putih terkejut. Ternyata ia mampu melepaskan kekuatan yang sangat besar. Kecepatannya bergerak pun telah meningkat berlipat.

Karena itulah, maka kedua lawannya telah menjadi bingung. Tanpa dapat melawan, maka serangan Glagah Putih pun telah mengenai mereka di punggung, sehingga keduanya telah terdorong dan terbanting jatuh pula tertelungkup. Adalah tidak sengaja bahwa kedua orang itu wajahnya telah penuh dengan debu yang melekat, bahkan segumpal tanah telah masuk ke dalam mulut mereka.

Keduanya berusaha untuk dengan cepat melenting bangun. Tetapi keduanya telah menyeringai kesakitan. Punggung merekapun merasa sakit seperti kedua orang kawannya yang melawan Raden Rangga.

Ternyata keempat orang itu tidak mampu untuk segera bangkit. Golok mereka telah melenting terlepas dari tangan.

“Nah,“ berkata Raden Rangga, “apakah kau merasakan perbedaan itu?“

“Ya. Memang ada perubahan,“ jawab Glagah Putih.

“Nah, sekarang kita tinggal mencekik mereka seorang demi seorang,“ berkata Raden Rangga.

“Jangan,“ tiba-tiba salah seorang di antara mereka memohon, “kami mohon ampun.“

“Siapa yang memohon?“ bertanya Raden Rangga.

“Kami, semuanya,“ jawab orang itu.

Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Glagah Putih yang juga menjadi gelisah. Katanya, “Bagaimana pendapatmu? Berapa orang di antara mereka yang akan dibunuh dan berapa yang akan diampuni?“

“Kamii semuanya memohon ampun,“ hampir berbareng mereka berempat telah memohon.

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Menarik sekali melihat empat orang laki-laki garang mohon ampun dengan hampir menangis.“

Keempat orang itu terdiam. Tetapi mereka menjadi semakin berdebar-debar melihat tingkah laku anak-anak muda yang nampaknya meledak-ledak menurut keinginannya sesaat. Karena itu, maka kemungkinan yang paling buruk itupun dapat terjadi dengan tiba-tiba, jika terjadi perubahan-perubahan sikap dari mereka.

Namun tiba-tiba saja Raden Rangga itu membentak, “Siapa kalian he?“

Tidak seorangpun yang menjawab. Namun sekali lagi Raden Rangga membentak, “Siapakah kalian? Jika tidak ada yang menjawab, maka kami menentukan bahwa kalian adalah penjahat-penjahat yang pantas dicincang di pasar ini. Biar bangkai kalian dimakan anjing liar, seperti yang ingin kalian lakukan atas kami.“

“Kami mohon ampun,“ desis yang tertua di antara mereka, “Kami benar-benar mohon ampun.“

“Jika demikian, sebut, siapakah kalian!“ bentak Raden Rangga. “Jika kalian tidak mau mengatakannya, maka kalian benar-benar akan mati di sini.“

Yang terdengar adalah desah nafas. Tetapi mereka tidak akan dapat mengelakkan diri untuk menjawab pertahyaan Raden Rangga itu.

Karena itu, maka ketika Raden Rangga sekali lagi membentak mereka, maka seorang di antara mereka menjawab, “Anak-Anak Muda yang baik. Aku kira, tidak ada gunanya kami berbohong. Kami memang orang-orang yang dianggap hidup dalam lingkungan yang hitam. Kami adalah orang-orang yang disebut gegedug dari Tempuran.“

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian berdesis “Jadi kalian-lah yang disebut empat orang gegedug dari Tempuran itu? Memang sangat menarik. Tetapi aku tidak mengira bahwa gegedug dari Tempuran itu tidak lebih dari laki-laki cengeng seperti ini.“

Keempat orang itu tidak menjawab sama sekali. Mereka benar-benar merasa tidak akan mampu berbuat apa-apa atas kedua orang anak muda yang perkasa itu.

“Baiklah,“ berkata Raden Rangga, “setelah aku mengetahui siapakah kalian, maka aku akan dapat mengikuti perkembangan cara hidup kalian. Apakah kalian masih akan tetap berkeliaran seperti sekarang atau tidak.“

“Kami berjanji untuk tidak melakukannya lagi,“ jawab salah seorang di antara mereka.

“Meskipun aku tidak yakin bahwa janji yang diucapkan oleh orang seperti kau ini dapat dipercaya sepenuhnya, tetapi kali ini aku memang akan membiarkan kalian untuk hidup,” berkata Raden Rangga, “karena bagiku tidak akan menemui kesulitan untuk menelusuri tingkah laku kalian. Kecuali aku selalu berkeliaran, aku pun mempunyai seribu pasang mata untuk mengawasi kalian, kemanapun kalian melakukan kejahatan.“ Raden Rangga berhenti sejenak, lalu, “Nah, aku akan menghidupi kalian. Tetapi aku minta imbalan.“

“Imbalan apa yang kalian maksud?“ bertanya salah seorang di antara keempat orang itu.

“Kalian harus menjaga lingkungan di sekitar gumuk kecil yang ditumbuhi pohon raksasa itu,“ berkata Raden Rangga.

Wajah orang-orang itu menjadi pucat. Seorang di antara mereka bertanya, “Apakah maksud Ki Sanak?“

“Kalian harus menjaga, agar lingkungan itu tidak berubah. Tidak boleh seorang pun yang berburu disana, atau sekelompok orang yang akan merubah lingkungan itu,“ berkata Raden Rangga.

Orang tertua di antara keempat orang gegedug itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Anak Muda. Tidak akan ada orang yang berani merubah lingkungan itu. Juga tidak akan ada orang yang berani berburu di dalamnya.”

“Kenapa?“ bertanya Raden Rangga.

“Di tempat itu terdapat seekor ular raksasa yang menungguinya. Seorang petani yang pernah melihat dan mengejar seekor rusa telah hilang dan tidak pernah kembali. Seorang gembala juga pernah hilang bersama beberapa ekor kambingnya. Setelah itu, tidak ada yang berani memasuki lingkungan itu. Baru kemudian diketahui bahwa di lingkungan itu terdapat penunggunya, seekor ular raksasa,“ jawab gegedug itu.

Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus jika kalian dan banyak orang sudah mengetahui tentang seekor ular raksasa yang ada di lingkungan gumuk kecil, yang menurut pendengaranku bernama Gumuk Payung. Karena dengan demikian, maka lingkungan itu untuk sementara tentu tidak akan berubah.“

“Ya. Gumuk itu memang bernama Gumuk Payung,“ jawab salah seorang dari keempat orang itu, “selain seekor ular raksasa, di gumuk itupun terdapat banyak lelembut yang menungguinya.“

Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi ular itulah yang dapat dilihat dengan mata wadag. Nah, jika demikian agaknya akan lebih baik. Tetapi menjadi tugas kalian untuk memelihara lingkungan itu. Ular itu tidak boleh pergi dan rusa itu tidak boleh berkurang satupun.“

“Tetapi rumah kami tidak terlalu dekat dengan gumuk itu. Kami tinggal di Tempuran,“ jawab seorang di antara mereka.

“Aku tahu dimana letak Tempuran!“ bentak Raden Rangga. “Tempuran tidak begitu jauh dari tempat ini. Apalagi kalian nampaknya memang sering berkeliaran di sini, seperti sekarang ini.“

Orang itu masih akan menjawab. Tetapi kawannya menggamitnya sambil berkata, “Kami akan melakukan sejauh jangkauan kemampuan kami.“

“Kalian harus melakukannya sebaik-baiknya,“ berkata Raden Rangga, “atau kami akan datang untuk memenggal kepalamu atau mengikatmu di lingkungan Gumuk Payung, sehingga kalian akan menjadi mangsa ular raksasa itu.“

“Kami akan berusaha, Anak Muda,“ jawab orang tertua di antara keempat orang itu. Namun kemudian iapun bertanya, “Tetapi siapakah sebenarnya Anak Muda ini?“

“Tidak ada orang yang mengetahui tentang kami berdua,“ jawab Raden Rangga, “siapa yang mengetahui tentang kami dan mengenali kami, adalah pertanda bahwa hidupnya sudah sampai ke ujungnya. Nah, siapakah di antara kalian yang begitu mendesak ingin tahu siapakah kami berdua?“

Keempat orang itu terdiam.

“Nah, sekarang bangkitlah dan berdirilah. Ambil golok kalian yang jatuh dan berjalanlah dengan kepala tengadah. Tetapi jika kalian masih mengulangi tingkah laku kalian, maka kalian tentu akan sangat menyesal. Juga jika kalian tidak mau memenuhi permintaan kami, mengawasi lingkungan Gumuk Payung itu,“ berkata Raden Rangga kemudian.

Keempat orang itu memang berusaha untuk bangkit. Namun mereka memandang berkeliling, apakah banyak orang menyaksikan keadaan mereka atau tidak.

“Kalian tidak usah malu seandainya ada orang yang melihat keadaan kalian,“ berkata Raden Rangga, “kalian harus mengakui apa yang memang pernah terjadi atas kalian dan apa yang harus kalian lakukan.”

Keempat orang itu tidak menjawab. Tetapi sebenarnyalah mereka merasa malu jika orang-orang di pasar itu melihat keadaan mereka. Tetapi keempat orang itu tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan kedua anak muda yang menurut mereka adalah anak-anak muda yang aneh. Terutama yang lebih muda di antara keduanya.

“Nah, sekarang kami akan pergi,“ berkata Raden Rangga. “Sekali lagi aku pesankan. Jaga agar ular itu tidak pergi.“

“Bagaimana mungkin dapat kami lakukan?“ jawab salah seorang di antara keempat orang itu, “Tetapi kami akan berusaha.“

“Jika tidak ada gangguan yang memasuki lingkungan itu, maka ular itu tentu tidak akan pergi,“ jawab Raden Rangga.

Keempat orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka tidak dapat ingkar dan mengelak.

“Sudahlah,“ berkata Raden Rangga, “kami akan meninggalkan tempat ini. Pada saat lain kami akan berada di sini lagi. Atau dimana saja yang kami kehendaki. Jangan merasa lepas dari pengawasan kami.“

Raden Rangga tidak menunggu jawaban. Iapun kemudian memberikan isyarat kepada Gluguh Putih untuk meninggalkan tempat itu.

Namun keduanya masih sempat untuk singgah di warung tempat mereka singgah dan membeli minuman dan makanan.

Raden Rangga dan Glagah Putih dengan tenang telah menghitung harga minuman dan makanan yang telah mereka pesan. Bahkan yang aneh bagi pemilik kedai itu, yang juga membuat keempat orang gegedug dari Tempuran itu tidak mengerti, bahwa makanan dan minuman yang telah mereka pesan pun telah dibayar pula oleh anak muda yang aneh itu.

“Mereka mempunyai banyak uang,“ berkata salah seorang gegedug itu.

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan nada datar seorang di antara mereka berkata, “Apakah kita akan merampoknya?”

Ketiga orang kawannya sempat tersenyum, betapapun pedihnya. Yang tertua di antara mereka berkata, “Kita telah membentur batu karang. Dan sejak saat itu, nama Gegedug dari Tempuran sudah harus dihapuskan, jika kita masih ingin mempunyai umur yang lebih panjang.“

Orang yang pertama itupun mengangguk-angguk. Katanya, “Kebesaran nama itu sudah tamat. Anak-anak kecil itu agaknya memang anak-anak demit penunggu Gumuk Payung. Mereka tentu bukan anak-anak sewajarnya. Atau bahkan mereka adalah anak-anak ular yang menunggui ara-ara perdu itu.“

“Siapapun mereka, kita tidak dapat berbuat apa-apa,“ desis yang tertua di antara keempat orang itu.

Keempat orang itupun kemudian hanya dapat menyaksikan langkah-langkah kedua orang anak muda yang meninggalkan penjual nasi di kedai itu. Kedua anak muda itu sama sekali tidak berpaling ke arah mereka.

Dalam pada itu, Raden Rangga dan Glagah Putih setelah membayar harga makanan dan minuman yang telah mereka pesan, dan bahkan juga yang telah dipesan oleh Gegedug dari Tempuran itu, telah meninggalkan pasar menjadi lengang, karena orang-orang yang ada di pasar itu telah berlari-lari pergi.

Keempat orang yang telah dikalahkan oleh Raden Rangga dan Glagah Putih itu pun kemudian telah meninggalkan pasar itu pula. Tetapi mereka tidak lagi berjalan dengan kepala tengadah. Meskipun mereka masih membawa golok di lambung, namun mereka merasa bahwa mereka tidak akan dapat lagi melakukan sebagaimana sering mereka lakukan sebelumnya.

Glagah Putih berjalan bersama Raden Rangga dengan langkah yang tidak terlalu cepat, menyusuri jalan yang lengang menjauhi pasar yang sudah sepi pula.

Namun keduanya mengerti bahwa beberapa orang laki-laki telah menuju ke pasar itu pula. Agaknya mereka mendengar tentang apa yang telah terjadi. Tetapi mereka tidak ingin terlibat langsung, karena persoalannya menyangkut empat orang yang dikenal oleh beberapa orang bahwa mereka adalah Empat orang Gegedug dari Tempuran.

Tetapi ketika mereka telah sampai ke pasar ternyata pasar itu benar-benar telah menjadi sepi. Gegedug itu pun telah meninggalkan pasar itu pula. Yang dilakukan oleh orang-orang padukuhan itu adalah mengamankan barang-barang dan dagangan yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Namun satu-satu pemilik itupun telah kembali lagi untuk mengurus barang-barang.

Sementara itu, Raden Rangga dan Glagah Putih telah berjalan semakin jauh. Matahari yang semakin panas rasa-rasanya telah meluncur terlalu cepat.

“Apakah kau merasa letih?“ bertanya Raden Rangga.

“Tidak Raden,“ jawab Glagah Putih, “aku merasa cukup segar.“

“Syukurlah,“ berkata Raden Rangga kemudian, “kau baru saja menyelesaikan laku yang berat. Kemudian menyelesaikan persoalan orang-orang Tempurun Itu.“

“Tetapi tubuhku sama sekali tidak merasa terganggu setelah aku beristirahat sejenak dan makan secukupnya pagi ini,“ jawab Glagah Putih. Namun kemudian katanya, “Tetapi yang terpikir olehku, mungkin Kakang Agung Sedayu menjadi cemas.“

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Kau bukan anak-anak yang masih harus disusui. Kau harus mencoba untuk dapat menentukan sikapmu sendiri.“

“Aku mengerti Raden,“ jawab Glagah Putih, “tetapi bukankah wajar jika Kakang Agung Sedayu menjadi gelisah, karena seharusnya aku sudah kembali tetapi ternyata belum.“

“Kau menyesal?“ bertanya Raden Rangga.

“Bukan maksudku mengatakan demikian,“ jawab Glagah Putih, “aku hanya mengatakan kalau Kakang Agung Sedayu mungkin gelisah menunggu.“

Raden Rangga mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berdesis, “Ya. Mungkin orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh memang gelisah menunggu. Tetapi bukankah kau akan segera kembali, sehingga kegelisahan itupun akan segera berakhir?“

Glagah Putih mengangguk sambil menyahut, “Ya Raden. Mudah-mudahan aku justru dapat memberikan kebanggaan kepada Kakang Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga. Merekapun tentu akan berterima kasih kepada Raden.”

“Kau akan menunjukkan sesuatu kepada mereka. Dengan demikian kepergianmu tidak dianggap tidak berarti,“ berkata Raden Rangga.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia akan mencoba untuk menjelaskan apa yang telah terjadi atasnya kepada Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga kelak.

Dalam pada itu, sebenarnyalah Agung Sedayu, Kiai Jayaraga, Sekar Mirah dan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh menjadi gelisah. Glagah Putih telah meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh melampaui waktu yang disebutkannya sebelumnya. Bahkan sudah jauh lewat.

“Kiai.“ berkata Agung Sedayu, “bagaimana kalau aku pergi ke Mataram untuk mencarinya?“

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata, “Kita pergi bersama-sama. Yang mencemaskan aku, bukannya bahaya yang mungkin menimpa anak itu, karena anak itu sudah mempunyai bekal, yang dalam keadaan wajar sudah dapat melindungi dirinya. Tetapi yang mencemaskan aku, jika ia dibawa oleh Raden Rangga untuk melakukan permainan yang mungkin dapat membawanya ke dalam kesulitan. Raden Rangga adalah putra Panembahan Senapati, sehingga bagaimanapun juga, orang akan mempertimbangkan kedudukan ayahandanya. Berbeda dengan Glagah Putih.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Karena itu, maka sebaiknya kita pergi ke Mataram. Menurut pendengaranku, Raden Rangga berada di istana Ki Patih Mandaraka. Tidak di istana ayahandanya.“

Dengan demikian maka Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga pun telah bersepakat untuk berangkat esok pagi-pagi. Hari itu mereka menyempatkan diri untuk minta diri kepada Ki Gede Menoreh.

“Jangan terlalu lama,“ berkata Ki Gede, “aku sudah menjadi semakin tua. Tidak ada yang dapat melakukan tugas-tugasku selain kau dan istrimu, Agung Sedayu. Kalian berdua adalah pengganti anakku Pandan Wangi dan suaminya Swandaru, yang mempunyai kewajibannya sendiri di Kademangan Sangkal Putung.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil menjawab, “Kami akan cepat kembali Ki Gede. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu dengan Glagah Putih.”

Ki Gede tidak mencegah mereka, karena sebenarnya ia pun menjadi cemas bahwa Glagah Putih tidak segera pulang.

Demikianlah, maka malam itu Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga telah berkemas. Agung Sedayu telah memberikan beberapa pesan kepada Sekar Mirah untuk selalu mendampingi Ki Gede Menoreh yang nampaknya memang menjadi semakin tua. Apalagi cacat di kakinya menjadi semakin terasa. Jika udara malam terasa dingin menggigit, atau jika gerimis semalaman menyiram bumi Tanah Perdikan Menoreh, kakinya terasa semakin sakit.

“Kapan Kakang kembali?“ bertanya Sekar Mirah.

“Aku harus bertemu dengan Glagah Putih,“ berkata Agung Sedayu, “jika ia tidak berada di Mataram, maka kami akan berusaha untuk menelusuri perjalanannya. Jika ia pergi bersama Raden Rangga, mungkin keduanya akan dapat melakukan permainan yang dapat menyulitkan banyak orang.“

“Bagaimana jika tidak seorang pun yang dapat menunjukkan, paling tidak arah kepergian mereka?“ bertanya Sekar Mirah.

“Kami mungkin memang akan mengalami kesulitan,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi kami akan berusaha. Justru kita mengenal sifat dan watak Raden Rangga. Jika sifat itu menjalar kepada Glagah Putih, maka akibatnya akan menyulitkan juga.“

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mencegah kemungkinan bahwa Agung Sedayu akan pergi untuk waktu yang tidak terbatas.

Tetapi malam itu, Glagah Putih telah berada di istana Ki Mandaraka. Seperti biasanya Glagah Putih tidur di sanggar bersama Raden Rangga. Sanggar yang agak lain dengan kebanyakan sanggar yang pernah dilihat oleh Glagah Putih.

“Tidurlah,“ berkata Raden Rangga, “jika besok kau ingin kembali keTanah Perdikan, kembalilah. Mungkin kau benar, bahwa Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga menjadi gelisah.“

Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Raden. Tetapi tolong, usahakan agar aku tidak selalu terbangun oleh mimpi.“

“Tidak, tentu tidak. Bukankah sebelum kita berangkat, kau tidak lagi diganggu oleh mimpi?“ bertanya Raden Rangga.

Glagah Putih mengangguk sambil tersenyum.

Namun pada saat yang demikian, justru ketika keduanya telah berbaring, datang seorang utusan dari Ki Patih Mandaraka untuk memanggil Raden Rangga.

“Tidur sajalah dahulu,“ berkata Raden Rangga, “aku akan menghadap Eyang Mandaraka.“

“Kenapa Ki Mandaraka memanggil Raden?“ bertanya Glagah Putih.

“Biasa saja,“ jawab Raden Rangga, “aku harus bercerita apa yang aku lakukan selama aku pergi. Tidak ada apa-apa. Jika Eyang marah kepadaku, biasanya Eyang tidak memanggilku, tetapi Eyang-lah yang datang ke bilik ini. Marah dan memberikan hukuman.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi Raden Rangga justru tertawa saja.

Ketika Raden Rangga keluar ia pun masih berpesan, “Tidur sajalah. Aku tidak lama.”

Glagah Putih termangu-mangu. Namun iapun kemudian mengangguk sambil berdesis, “Cepatlah kembali Raden. Tetapi apakah aku tidak akan mimpi?“

Raden Rangga tersenyum, sementara Glagah Putih pun tersenyum pula.

Sejenak kemudian maka Raden Rangga pun telah meninggalkan Glagah Putih sendiri di dalam sanggarnya yang aneh. Beberapa saat Glagah Putih memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Tetapi rasa-rasanya kulitnya telah meremang.

“Aneh,“ berkata Glagah Putih, “aku terbiasa berada dimana saja pada malam hari. Bahkan turun ke sungai dan ke tempat yang jarang dilalui orang. Tetapi aku tidak pernah merasa gelisah seperti di dalam bilik yang bersih dan terang yang menjadi sanggar Raden Rangga ini.“

Glagah Putih mencoba menenangkan dirinya. Ia pun kemudian berbaring sambil menatap langit-langit. Tetapi ia tidak mampu untuk mengatasi ketegangan yang serasa semakin mencengkam, sehingga karena itu, maka ia pun tidak dapat memejamkan matanya dan apalagi tidur nyenyak.

Dalam ketegangan itu, maka jantungnya serasa berdenyut semakin cepat ketika ia mendengar suara seperti berdesing lewat di langit-langit bilik itu. Tidak hanya sekali. Tetapi beberapa kali.

Dalam kegelisahan itu, akhirnya Glagah Putih justru telah bangkit dan duduk di sudut bilik sambil memperhatikan keadaan disekitarnya.

Namun ia sadar sepenuhnya bahwa ia adalah tamu Raden Rangga. Karena itu, ia tidak akan mengalami sesuatu.

Meskipun demikian, rasa-rasanya ia telah berada di dalam satu bilik yang sangat asing. Ketika tiba-tiba saja Glagah Putih melihat cahaya yang berwarna kebiru-biruan di sudut, seluruh tubuhnya bagaikan di jalari kaki-kaki binatang-binatang kecil. Namun cahaya itupun segera hilang dan tidak meninggalkan bekas apapun juga.

“Kenapa sebelumnya aku tidak pernah melihat dan mendengar seperti ini?“ bertanya Glagah Putih kepada diri sendiri. Namun yang dijawabnya sendiri pula, “Mungkin karena Raden Rangga sendiri hadir di dalam bilik ini.“

Untuk beberapa saat Glagah Putih harus bertahan dalam ketegangan. Namun akhirnya ia justru menemukan ketenangannya. Segala sesuatunya menjadi tanggung jawab Raden Rangga, sehingga karena itu, ia tidak perlu mempersoalkan apa saja yang ada di dalam bilik itu.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia masih melihat sepeletik cahaya yang memancar dari langit-langit di atas pembaringan Raden Rangga. Namun cahaya itu pun segera lenyap. Suara berdesing pun masih juga kadang-kadang terdengar. Namun Glagah Putih seakan-akan sudah tidak menghiraukannya lagi. Ia memang melihat dan mendengar, namun ia tidak lagi digelisahkan karenanya.

Dengan tenang Glagah Putih duduk bersandar dinding. Kedua tangannya bersilang di dadanya. Matanya tidak terpejam. Bahkan diperhatikannya segala sesuatu yang ada di dalam bilik itu. Demikian pula dengan telinganya.

Beberapa saat kemudian, maka terdengar langkah memasuki bilik di sebelah. Glagah Putih pun mendengar Raden Rangga mendeham. Sejenak kemudian langkah kakinya berdesir mendekati pintu sanggar.

Glagah Putih cepat membaringkan dirinya. Tetapi ketika pintu terbuka, maka ia pun menggeliat sambil berdesis, “Raden lama sekali meninggalkan aku dalam ketegangan.“

“Kenapa?“ bertanya Raden Rangga.

“Besok akan aku ceritakan. Bukankah Raden sudah mengantuk sekarang ini?“ bertanya Glagah Putih.

“Kau lihat mataku. Bukankah masih bening?“ bertanya Raden Rangga. Lalu, “Tetapi baiklah. Kita akan tidur sekarang. Kau tentu masih letih, dan besok apakah kau jadi akan kembali ke Tanah Perdikan?“

“Ya. Aku sudah terlalu lama pergi,“ jawab Glagah Putih.

“Baiklah. Kita akan segera tidur,“ berkata Raden Rangga yang kemudian berbaring pula di pembaringanya.

Namun sejenak kemudian Glagah Putih masih bertanya, “Apa kata Ki Patih Mandaraka?“

“Seperti yang aku duga. Tidak apa-apa, kecuali bertanya tentang apa yang sudah aku kerjakan beberapa hari ini. Aku telah melaporkan semuanya. Juga tentang kemungkinan yang terjadi atas dirimu,“ jawab Raden Rangga.

Glagah Putih tidak menyahut lagi. Ia ingin mencoba untuk dapat beristirahat. Namun yang menggelitik hatinya kemudian adalah bahwa sampai saat itu Raden Rangga sama sekali tidak menyebut seekor kuda yang tegar yang akan diberikannya kepadanya. Tetapi Glagah Putih tidak sampai hati untuk menanyakannya.

Untuk beberapa saat Glagah Putih masih mengamati keadaan bilik itu. Tetapi ia tidak lagi mendengar dan melihat sesuatu. Demikian Raden Rangga masuk, maka sanggar itu telah menjadi tenang.

Malam pun menjadi semakin larut. Yang terdengar kemudian adalah bunyi jangkrik dan belalang di halaman. Sekali-kali suara angkup yang ngelangut memetik di kejauhan. Lalu hilang lagi ditelan oleh suara-suara malam.

Glagah Putih pun kemudian telah tertidur. Raden Rangga sempat memperhatikannya. Namun ia pun kemudian memejamkan matanya, sehingga beberapa saat ia pun telah tertidur pula.

Menjelang pagi hari, keduanya telah terbangun. Setelah membenahi diri, maka Glagah Putih pun mengulangi pernyataannya, bahwa hari itu ia akan mohon diri untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, setelah beberapa lama ia berada di Mataram termasuk, di Gumuk Payung.

“Baiklah. Tetapi kau harus minta diri kepada Eyang Mandaraka,“ berkata Raden Rangga.

“Tetapi ketika aku datang, begitu saja aku memasuki istana ini,“ sahut Glagah Putih.

Raden Rangga termenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Tetapi Eyang mengetahui bahwa kau ada di sini.”

Glagah Putih tidak dapat mengelak. Iapun kemudian berbenah diri untuk menghadap Ki Mandaraka. Mandi dan berpakaian rapi, sebagaimana seseorang akan menghadap Pepatih di Mataram.

Sambil berjalan menuju ke serambi samping di sebelah longkangan, maka Glagah Putih pun sempat menceritakan apa yang dilihat dan didengarnya di dalam sanggar Raden Rangga semalam, ketika Raden Rangga sedang dipanggi oleh Ki Patih Mandaraka.

Raden Rangga hanya tersenyum saja. Bahkan tiba-tiba saja ia bertanya, “He, apakah sebenarnya keperluanmu datang kemari?“

Glagah Putih terkejut mendengar pertanyaan itu. Justru untuk sesaat ia terdiam. Namun kemudian ia pun menjawab, “Hanya sekedar memenuhi permintaan Raden agar aku datang kemari.“

Raden Rangga mengangguk-angguk. Tetapi ternyata ia tidak mengatakan apapun tentang seekor kuda. Namun Glagah Putih tidak juga dapat menanyakannya.

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah memasuki longkangan. Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun Raden Rangga pun kemudian berkata, “Tunggulah. Duduklah di amben kayu itu. Aku akan menyampaikan kepada Eyang Mandaraka, bahwa kau akan mohon diri.“

Glagah Putih pun kemudian duduk di sebuah amben yang tidak terlalu besar. Di atasnya dibentangkan tikar pandan yang putih bersih. Sementara Raden Rangga pun telah memasuki ruang dalam lewat pintu samping.

Beberapa saat Glagah Putih menunggu. Agaknya hari masih terlalu pagi. Tetapi ternyata bahwa Ki Patih Mandaraka sudah bangun dan duduk di ruang dalam, menghadapi semangkuk minuman panas. Peluhnya telah membasahi seluruh tubuhnya. Bukan oleh minuman panas itu. Tetapi sejak dini hari, Ki Patih Mandaraka sudah berada di dalam sanggarnya. Baru saja Ki Patih selesai dan kemudian minum minuman hangat.

Ketika Raden Rangga menemui Ki Patih, maka Ki Patih pun bertanya, “He, kau sudah nampak rapi, apakah kau akan pergi?“

“Tidak, Eyang,“ jawab Raden Rangga, “Glagah Putih yang aku katakan itu akan mohon diri. Ia berada di serambi sekarang.“

“O,“ Ki Patih mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baik. Aku akan menemuinya di serambi.“

“Silahkan Eyang,“ sahut Raden Rangga. Keduanya pun kemudian keluar ke serambi. Ketika Ki Patih Mandaraka akan duduk, maka Raden Rangga justru berkata, “Aku akan berada di dalam bilikku, Glagah Putih. Jika kau selesai, aku menunggumu.“

Glagah Putih termangu-mangu. Ia justru menjadi gelisah untuk menghadap Ki Patih Mandaraka sendiri.

Namun Ki Patih-lah yang menjawab, “Baiklah. Tinggalkan anak ini bersamaku.“

Raden Rangga pun kemudian meninggalkan Glagah Putih sendiri, sementara Ki Patih pun telah duduk di amben itu pula.

Glagah Putih perlahan-lahan telah beringsut dan berusaha untuk turun dan duduk di lantai. Tetapi adalah di luar dugaannya bahwa Ki patih telah mencegahnya, “Jangan beringsut, Duduk sajalah di situ.“

Glagah Putih masih juga beringsut. Namun sekali lagi ia mendengar Ki Patih itu berkata, “Aku menghendaki kau duduk di tempatmu.“

Glagah Putih tidak berani bergeser lagi. Tetapi keringatnya-lah yang kemudian membasahi seluruh tubuh dan pakaiannya.

“Jangan merasa segan,“ berkata Ki Patih, “aku yang menghendaki kau duduk di situ. Tidak apa-apa. Kita akan berbicara tanpa ketegangan karena jarak di antara kita.“

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia sudah lebih dahulu dicengkam ketegangan.

“Glagah Putih,“ berkata Ki Mandaraka kemudian, “biarlah aku yang mulai.“ Ki Patih itu berhenti sejenak, lalu katanya. “Apakah hari ini kau akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh?“

“Hamba, Ki Patih. Hamba akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh,“ jawab Glagah Putih sambil menunduk.

“Sudah berapa hari kau berada di sini?“ bertanya Ki Patih pula.

Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Hampir sepekan yang lalu hamba datang kemari Ki Patih. Hamba mohon ampun, bahwa saat itu hamba tidak menghadap Ki Patih dan mohon dengan resmi perkenankan untuk berada di istana ini.“

Ki Patih Mandaraka tertawa. Katanya, “Aku tidak mempersoalkannya Glagah Putih. Bukankah kau menjadi tamu cucuku Raden Rangga? Jika kehadiranmu diketahui, apalagi bersama Raden Rangga, maka artinya sama saja bahwa aku telah mengetahuinya pula.“

Glagah Putih hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara Ki Patih berkata selanjutnya, “Nampaknya Rangga merasa dapat menyesuaikan diri dengan kau. Ia hampir tidak mempunyai seorang kawanpun. Ia sendiri sebenarnya telah terpisah dari tataran umurnya, sehingga karena itu nampak ada jarak di antara ujud dan sifat serta wataknya, yang didukung oleh kemampuannya yang luar biasa.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Mandaraka berkata selanjutnya, “Kebetulan sekali Rangga meninggalkan kau seorang diri. Sebenarnyalah aku ingin berpesan kepadamu. Cobalah membujuknya agar Rangga tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Permainan yang dapat mengganggu orang lain dan tingkah laku yang meledak-ledak. Meskipun pada saat terakhir aku melihat ia sudah sedikit mulai berubah, tetapi mungkin sifat-sifatnya itu akan kambuh dengan tiba-tiba.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sedangkan Ki Mandaraka berkata pula, “Aku minta tolong kepadamu. Sementara itu, aku pun berusaha dengan cara lain. Ia kini senang sekali memelihara kuda, sebagaimana ayahandanya. Mudah-mudahan kegemarannya itu dapat mengurangi tingkah lakunya yang menghentak-hentak itu.“

Glagah Putihpun kemudian mengangguk dalam-dalam sambil menyahut, “Hamba akan mencobanya Ki Patih.“

Ki Patih Mandaraka menarik nafas panjang sambil berdesis, “Terima kasih. Mudah-mudahan kau dapat mempengaruhinya. Namun aku jutru berpesan kepadamu, jangan kau yang terpengaruh olehnya.“

Glagah Putih sekali lagi mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, “Hamba, Ki Patih. Hamba akan berusaha.“

Namun dalam pada itu, Glagah Putih mulai bertanya kepada diri sendiri, apakah ia memang tidak terpengaruh oleh sifat dan watak Raden Rangga, yang kadang-kadang sangat nakal sehingga dapat menimbulkan persoalan pada orang lain.

Tetapi Glagah Putih merasa dirinya sudah lebih besar dan lebih tua menurut ujud dan umur kewadagannya. Tetapi Raden Rangga sering mengatakan, bahwa ia mempunyai dunia, umur dan masa hidup yang rangkap. Di dunia mimpinya waktu sudah berjalan lebih lama dari dunia wadagnya, sehingga karena itu, maka kadang-kadang Raden Rangga pun bersifat sebagai seorang yang dewasa penuh, yang dapat memberikan beberapa petunjuk kepadanya. Namun kadang-kadang Raden Rangga masih bersifat kekanak-kanakan. Nakal, dan sulitnya, didukung oleh kemampuan yang sangat tinggi.

Glagah Putih mengangkat wajahnya ketika Ki Patih kemudian berkata, “Baiklah Glagah Putih, jika kau akan kembali ke Tanah Perdikan, salamku buat Ki Gede, buat Agung Sedayu dan buat semua orang di Tanah Perdikan. Mudah-mudahan Ki Gede selalu dalam keadaan sehat sehingga dapat melakukan tugasnya dengan baik. Sementara itu Agung Sedayu akan dapat membantunya sebagaimana diharapkan. Jika kau pada suatu saat bertemu dengan Kiai Gringsing, salamku buat orang yang menjadi semakin tua itu.“

“Hamba, Ki Patih. Hamba akan sampaikan semua pesan Ki patih,“ jawab Glagah Putih.

“Nah, pergilah ke bilik Rangga. Jika ia tidur lagi, bangunkan saja. Biar ia kehilangan mimpinya yang kadang-kadang merenggutnya dari dunia wantahnya,“ berkata Ki Patih Mandaraka.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Meskipun ia tidak pasti, tetapi ia menangkap sesuatu yang terbersit dari kata-kata Ki Patih, bahwa Ki Patih agak kurang senang terhadap dunia mimpi Raden Rangga.

Bahkan Ki Patih itu pun kemudian berkata, “Kau tentu pernah mendengarnya tentang mimpi-mimpi Rangga itu.”

“Hamba, Ki Patih.“ Glagah Putih tidak dapat menjawab lain.

Demikianlah, maka Glagah Putih sekali lagi mohon diri untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, sementara Ki Patih telah memberikan beberapa pesan yang dapat dibawanya kembali kepada Ki Gede dan Agung Sedayu.

Namun ketika Glagah Putih beringsut, Ki Patih itu pun berkata, “Tunggulah. Aku mempunyai sesuatu bagimu.“

Glagah Putih termangu-mangu. Untuk beberapa saat ia justru terdiam. Sementara itu Ki Patih pun telah masuk ke ruang dalam. Ketika Ki Patih keluar dari ruang dalam, maka ia telah membawa sebuah ikat pinggang kulit yang sangat bagus.

“Ikat pinggang ini tidak ada yang memakainya di sini,“ berkata Ki Patih, “pakailah. Kau tentu pantas memakainya.“ Glagah Putih mengangguk hormat sambil menerima ikat pinggang itu. Katanya, “Hamba mengucapkan beribu terima kasih. Ikat pinggang ini terlalu baik untuk hamba.“

“Tidak. Kau patas memakai ikat pinggang itu. Ikat pinggang itu termasuk ikat pinggang yang murah. Kau lihat, timangnya hanya terbuat dari besi baja. Kulitnya memang kulit buaya. Tidak ada batu-batu berharga.“

Glagah Putih memperhatikan ikat pinggang itu dengan seksama. Ia melihat sesuatu yang agak berbeda dengan kebanyakan ikat pinggang. Juga ikat pinggang yang dipakainya. Ikat pingang itu agak lebih panjang.

Namun ujungnya tidak selebar tubuh ikat pinggang itu sendiri. Bahkan terdapat hiasan-hiasan tertentu meskipun terbuat dari besi baja putih. Sementara pada tubuh ikat pinggang itu pun terdapat hiasan-hiasan yang terbuat dari besi baja pula. Gambar-gambar, dan bahkan akhirnya Glagah Putih melihat tulisan-tulisan dan huruf-huruf.

“Pergunakan ikat pinggang itu jika kau senang,“ berkata Ki Patih, “kau termasuk salah seorang harapan bagi masa datang. Terutama bagi Tanah Perdikan Menoreh, meskipun kau bukan dilahirkan di Tanah Perdikan itu. Tetapi bahwa kau berada dimanapun di bumi Mataram, nampaknya memang tidak ada perbedaan. Bahkan seandainya kau berada di pesisir utara sekalipun.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi sesuatu terasa bergejolak di dalam dadanya.

“Kakang Agung Sedayu atau Kiai Jayaraga akan dapat menjelaskan kepadaku, apakah arti dari keseluruhan ikat pinggang ini,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Sejenak kemudian, setelah mengucapkan berulang kali terima kasih yang tidak terhingga, maka Glagah Putih pun meninggalkan serambi itu menuju ke bilik Raden Rangga yang berada di bagian belakang istana Ki Patih itu.

Namun Glagah Putih menjadi berdebar-debar ketika ia melihat di halaman, di depan bilik Raden Rangga, terdapat seekor kuda yang tegap tegar. Berkulit warna sawo agak keabu-abuan. Raden Rangga tersenyum ketika ia melihat Glagah Putih berjalan dengan terheran-heran melihat kuda itu. Dengan suara lantang Raden Rangga berkata, “Bukankah aku berjanji untuk memberimu seekor kuda?“

Kegembiraan melonjak di hati Glagah Putih. Namun ia berusaha untuk mengekangnya. Sambil mengangguk hormat ia berkata, “Aku mengucapkan terima kasih Raden. Terima kasih yang sebesar-besarnya.“

“Seberapa besar?“ bertanya Raden Rangga.

“Tidak terhingga,“ jawab Glagah Putih.

Raden Rangga pun tertawa. Katanya, “Kau pulang dengan kuda ini. Mudah-mudahan kau ketemu lagi dengan tukang satang yang membawamu menyeberang pada saat kau berangkat.“

Glagah Putih mengamati kuda itu dari segala arah. Kuda itu memang seekor kuda yang sangat bagus.

“Apakah kau senang dengan kuda itu?“ bertanya Raden Rangga, “Kuda itu adalah salah satu di antara beberapa ekor kudaku yang terbaik. Tetapi kau harus banyak memperhatikan kuda itu. Kau harus memperhatikan makannya agar tidak terlambat dan tidak kurang dari apa yang di makannya disini. Minumnya dan pemeliharaannya, agar kuda itu tetap menjadi kuda yang baik.“

“Aku akan berusaha Raden,“ jawab Glagah Putih sambil menepuk lambung kuda yang tegar itu.

“Apakah kau sudah mohon diri kepada Eyang Mandaraka?“ bertanya Raden Rangga.

“Sudah Raden. Malahan aku mendapat bekal dari Ki Patih Mandaraka berupa ikat pinggang ini,“ jawab Glagah Putih sambil menunjukkan ikat pinggang pemberian Ki Mandaraka.

Raden Rangga mengamati ikat pinggang itu sejenak. Lalu katanya, “Ikat pinggang yang bagus. Kau dapat mempergunakannya sebagai senjata dalam keadaan yang terpaksa.“

Raden Rangga pun tiba-tiba telah meloncat sambil memutar ikat pinggang itu dengan memeganginya di bagian ujungnya yang lebih sempit dari tubuh ikat pinggang itu. Beberapa saat Raden Rangga mempermainkan ikat pinggang itu. Lalu ketika ia berhenti, maka katanya, “Kau perlukan waktu dua tiga hari untuk menyesuaikan diri dengan senjata itu. Meskipun ikat pinggang ini dari kulit, tetapi hiasan-hiasan baja itu akan melindungi tubuh ikat pinggang itu dari jenis senjata apapun, sehingga kau dapat mempergunakan melawan pedang yang paling tajam sekalipun. Apalagi dengan kemampuan bermain, maka senjata lentur semacam ikat pinggang itu tidak akan langsung membentur senjata lawan. Kecuali jika kau mempergunakan ilmumu untuk menegakkan ikat pinggang itu dan mempergunakannya sebagai lembaran baja yang utuh.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Hari ini aku benar-benar mendapatkan kurnia yang besar sekali. Sehelai ikat pinggang dan seekor kuda yang tegar.“

“Selebihnya, kau telah meningkatkan kemampuanmu dengan berendam di belumbang selama tiga hari tiga malam itu,“ berkata Raden Rangga.

“Ya. Dengan demikian maka aku telah mendapatkan banyak sekali selama aku berada di Mataram kali ini,“ berkata Glagah Putih.

Raden Rangga tersenyum. Lalu katanya, “Apakah kau juga ingin mendapat bekal uang?“

Glagah Putih tertawa. Katanya. “Terima kasih Raden. Bukankah aku anak seorang saudagar yang kaya raya, yang membayar tukang satang dua kali lipat?“

Raden Rangga pun tertawa berkepanjangan. Katanya, “Apakah aku harus mengganti uang yang sudah kau berikan kepada tukang satang itu? “

“Raden sudah menggantinya dengan seekor kuda,“ jawab Glagah Putih.

Raden Rangga masih tertawa. Namun kemudian katanya, “Nah, jika kau akan kembali ke Tanah Perdikan, mumpung hari masih pagi.“

Glagah Putih pun kemudian mohon diri. Ikat pinggangnya itu pun telah disimpannya pula di sebuah bungkusan kecil bersama selembar ganti pakaiannya, dan digantungkannya pada pelana kudanya.

“Aku mohon diri Raden,“ berkata Glagah Putih kemudian.

“Hati-hatilah di jalan,“ pesan Raden Rangga yang tiba-tiba saja menjadi bersungguh-sungguh, “aku akan datang ke Tanah Perdikan pada saat-saat tertentu di sisa kesempatanku yang sempit.“

“Ah,“ desah Glagah Putih, “kenapa Raden berkata begitu?“

Raden Rangga itu tiba-tiba telah tertawa lagi. Katanya, “Jangan kau coba untuk berpacu sebelum kau terbiasa dengan kuda itu. Kau akan dapat dilemparkannya jika kau tidak berhati-hati.”

“Aku akan berhati-hati,“ sahut Glagah Putih kemudian.

Demikianlah, maka Glagah Putih pun telah menuntun kuda itu keluar halaman istana Ki Patih Mandaraka lewat pintu gerbang samping, diantar oleh Raden Rangga sampai ke jalan di sisi istana itu.

Para pengawal yang melihat Glagah Putih menuntun seekor kuda yang tegar, saling berbisik, “Hadiah yang sangat berharga bagi seorang pengembara.“

“Anak itu bukan pengembara,“ sahut kawannya, “ia datang dari Tanah Perdikan Menoreh.”

“Tetapi tentu seorang petualang juga seperti Raden Rangga,“ jawab yang pertama.

Kawannya tidak menyahut lagi. Mereka pun kemudian menyaksikan Glagah Putih dengan tangkasnya meloncat ke punggung kuda itu.

“Kau nampak gagah sekali, seperti seorang senapati perang yang menyandang kemenangan,“ berkata Raden Rangga.

“Seperti,“ sahut Glagah Putih.

Raden Rangga pun tertawa pula.

Demikianlah, maka Glagah Putih pun telah meninggalkan istana Ki Patih Mandaraka dengan seekor kuda yang tegar. Keinginannya untuk memiliki seekor kuda yang baik ternyata telah terpenuhi. Namun seperti pesan Raden Rangga, ia tidak berpacu terlalu cepat sebelum terbiasa dengan kuda yang besar itu, agar ia tidak dilemparkan dari punggungnya.

Glagah Putih yang berada di punggung kuda yang besar itu memang merasa seperti seorang prajurit yang memenangkan perang. Orang-orang yang berpapasan di jalan nampak terlalu kecil. Bahkan kuda-kuda yang lainpun nampak jauh lebih buruk dari kuda yang dinaikinya itu. Sehingga diluar sadarnya, Glagah Putih itupun tersenyum sendiri.

Ketika Glagah Putih sudah keluar dari pintu gerbang kota, maka kudanya berlari agak cepat. Namun Glagah Putih masih tetap menjaga agar kuda itu tidak berpacu. Sekali-sekali Glagah Putih memang memperhatikan orang yang sedang berpapasan. Menurut perasaannya semua orang telah memperhatikan kudanya sangat bagus itu.

Namun Glagah Putih juga sempat berkata kepada diri sendiri, “Tetapi jika orang-orang itu mengetahui bahwa kuda ini adalah kuda pemberian, maka mereka tidak akan kagum lagi.“

Demikianlah, maka Glagah Putih pun telah menempuh jalan yang paling banyak dilalui orang yang pergi ke arah yang sama. Karena itu maka jalan itu pun termasuk jalan yang cukup ramai, yang menghubungkan ke jalan penyeberangan Kali Praga yang paling banyak dilewati untuk menghubungkan daerah yang berseberangan yang dipisahkan oleh Kali Praga itu. Beberapa buah rakit selalu hilir mudik membawa penumpang dari seberang ke seberang.

Beberapa orang yang berpapasan dengan Glagah Putih memang mengagumi kuda yang dipergunakannya. Apalagi orang-orang yang memang gemar akan kuda. Namun di antara mereka ada yang justru menjadi curiga. Kepada kawannya orang itu berkata, “Dari mana anak itu mendapat seekor kuda yang begitu besar dan tegar?“

Kawannya mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia menjawab, “Jarang sekali terdapat seekor kuda yang begitu bagus. Kalau saja anak itu mau menjualnya, aku mau membelinya.“

“Ah kau,“ desis orang yang pertama, “cobalah bertanya, apakah kuda itu dijual atau tidak.“

Kawannya tertawa. Jawabnya, “Anak itu akan dapat menjadi marah.“

Keduanya memang tertawa. Seorang lagi kawannya juga tertawa. Katanya, “Kuda itu memang bagus sekali.”

Glagah Putih tidak mendengar pembicaraan itu. Tetapi ia merasa perhatian orang-orang itu banyak tertuju kepadanya, sebagaimana orang-orang lain. Dengan derap yang mantap kuda Glagah Putih itu berlari menyusuri jalan-jalan bulak yang panjang namun cukup ramai, menuju ke penyeberangan di Kali Praga.

Namun agaknya kuda itu belum terbiasa dengan sebatang sungai yang besar berarus cukup deras dengan air berwarna lumpur. Namun dengan lunak dan hati-hati Glagah Putih pun menuntun kudanya, membelainya di lehernya sambil membisikkan kata-kata lembut, membujuk agar kuda itu tidak meronta.

Nampaknya kuda itu mengerti sikap Glagah Putih. Bahkan seolah-olah kuda itu mengerti kata-kata yang diucapkannya. Karena itu, maka kuda itu sama sekali tidak melawan ketika Glagah Putih menuntunnya naik ke atas sebuah rakit.

Tukang satang yang membawa Glagah Putih itu menyeberang dengan kudanya bersama-sama dengan beberapa orang agaknya dapat mengenalinya lagi. Adalah kebetulan bahwa ia telah menumpang rakit yang sama dengan rakit yang dipergunakannya menyeberang ketika ia berangkat ke Mataram.

“Kau itu Tuan,“ berkata salah seorang tukang rakit yang semakin yakin bahwa Glagah Putih adalah anak seorang saudagar kaya, “Tuan telah membeli seekor kuda yang sangat bagus dan tentu sangat mahal harganya.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Apalagi bersamanya terdapat banyak orang yang bersama-sama menyeberang.

Tetapi tukang satang itu tidak menghiraukannya. Bahkan ia pun masih bertanya, “Berapa Tuan membeli kuda yang tidak ada duanya itu?“

Glagah Putih terpaksa menjawab, “Aku tidak membelinya. Aku tinggal mengambil di rumah Paman.“

“O,“ tukang satang itu mengangguk-angguk, “Paman tuan tentu juga seorang yang kaya raya seperti ayah Tuan.”

Glagah Putih tidak menjawab. Ia pun kemudian justru beringsut.

Beberapa orang yang bersamanya memang memperhatikannya. Menilik pakaian yang dikenakannya, anak muda itu termasuk seorang kebanyakan. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa anak muda itu adalah seorang yang kaya raya. Tetapi menilik kuda yang dibawanya, maka kuda itu tentu seekor kuda yang sangat mahal. Apalagi sikap tukang satang yang seakan-akan telah mengenalinya dengan baik.

Seorang yang berusia pertengahan abad yang duduk di sebelah Glagah Putih itu tiba-tiba telah bertanya, pula, “Darimana Anakmas mengambil kuda itu? Apakah Paman Anakmas tinggal di Mataram?“

Glagah Putih menjadi ragu-ragu. Jika ia menjawab, mungkin pertanyaannya justru akan berkepanjangaan. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk memutuskan pembicaraan dengan jawaban pendek, “Ya.“

Orang di pertengahan abad itu mengangguk-angguk. Tetapi ia menganggap bahwa Glagah Putih bukan seorang anak muda yang ramah. Karena itu, maka iapun memang tidak bertanya lebih lanjut.

Untuk beberapa saat orang-orang yang ada di rakit itu justru terdiam. Glagah Putih pun kemudian berdiri sambil memandangi air yang mengalir di bawah rakit yang meluncur ke seberang. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan tepian di seberang.

Glagah Putih memang tidak memperhatikan tepian di seberang. Ia lebih banyak merenungi air yang mengalir. Jika ia mengangkat wajahnya dan bertemu pandang dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, mungkin akan datang lagi pertanyaan-pertanyaan yang pada satu saat akan sulit untuk dijawab.

“Ada baiknya untuk menjadi seorang yang tinggi hati barang sejenak,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Tetapi ketegangan di hati Glagah Putih itu tidak berlangsung lama. Sebentar kemudian rakit itu pun telah mendekati tepian.

Ketika Glagah Putih menuntun kudanya turun, maka iapun telah membayar upah penyeberangannya bersama kudanya. Tetapi seperti saat ia lewat beberapa hari yang lalu, justru di dini hari, maka iapun telah membayar lipat.

“Terima kasih Tuan Muda,“ berkata tukang satang itu dengan gembira. Bahkan ia sempat berkata kepada orang-orang lain, “Tuan muda ini selalu membayar lipat. Beberapa puluh kali ia menyeberang dengan rakitku, ia selalu membayar lebih.”

Wajah Glagah Putih menjadi tegang. Bahkan kemudian mulai terasa panas ketika orang-orang yang mendengar keterangan tukang satang itu memandanginya. Namun iapun kemudian telah melangkah pergi sambil menuntun kudanya yang tegar dan besar itu.

Tetapi adalah di luar dugaannya, ketika tiba-tiba saja seseorang telah mengikutinya. Ketika Glagah Putih berpaling, orang itupun mengangguk hormat sambil berkata, “Angger. Tunggulah sebentar.“

Glagah Putih pun berhenti sejenak. Ketika orang yang mengikutinya itu sudah berada di sebelahnya, maka katanya, “Marilah. Aku hanya ingin berjalan bersama-sama sambil mengamati kuda Angger yang sangat bagus itu.“

“O,“ Glagah Putih pun mengangguk-angguk. “Marilah. Ki Sanak akan pergi ke mana?“

“Aku akan pergi ke Banyu Asin,“ jawab orang itu.

“O,“ Glagah Putih mengangguk-angguk, “di sebelah Tanah Perdikan?“

“Ya Ngger. Perjalananku masih jauh,“ jawab orang itu.

Glagah Putih masih saja mengangguk-angguk. Sementara itu mereka telah berjalan menjauhi Kali Praga.

“Kudamu bagus sekali Ngger,“ berkata orang yang mengaku akan pergi ke Banyu Asin. “Sebenarnya kau akan pergi ke mana?“

“Aku akan pergi ke Tanah Perdikan, Ki Sanak. Aku memang tinggal di Tanah Perdikan Menoreh,“ jawab Glagah Putih.

Orang itu menebarkan pandangannya ke sekelilingnya. Dengan nada datar ia berkata, “Kalau begitu kau sudah hampir sampai Ngger.“

“Ya Ki Sanak. Sebentar lagi kita akan memasuki daerah Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi jarak ke tempat tinggalku masih beberapa ribu patok lagi,“ jawab Glagah Putih.

Sejenak orang itu terdiam. Ia berjalan saja di sebelah Glagah Putih. Sekali-sekali orang itu meraba kuda yang masih dituntun oleh Glagah Putih sambil mengangguk-angguk.

Namun dalam pada itu, setelah mereka berjalan cukup jauh, Glagah Putih pun berkata, “Maaf Ki Sanak. Aku harus mendahului Ki Sanak, karena aku sedikit tergesa-gesa.“

“O,“ orang itu mengangguk-angguk, “kau akan naik kuda itu?“

“Ya, Ki Sanak,“ jawab Glagah Putih, “saudaraku tentu telah menunggu.“

“Dimanakah kau tinggal?“ bertanya orang yang mengaku akan pergi ke Banyu Asin itu.

Tanpa berprasangka Glagah Putih menjawab. “Di padukuhan induk.“

Orang itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Silahkan Ngger. Beruntunglah kau mendapatkan seekor kuda yang sangat bagus.“

Glagah Putih tersenyum. Ia pun kemudian melompat ke punggung kudanya, dan sekali lagi ia mengangguk kepada orang yang mengagumi kudanya itu.

Tetapi demikian Glagah Putih menjauh, orang itu tersenyum sambil berkata, “Aku harus memiliki kuda itu. Tidak sulit untuk mencari seekor kuda yang sangat bagus di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.“

Untuk beberapa saat orang itu masih memperhatikan Glagah Putih di atas punggung kudanya yang tegar itu. Namun kemudian orang itu pun telah mengangguk-angguk. Ia sama sekali tidak ingin ke Banyu Asin di senelah Tanah Perdikan, tetapi ia memang seorang petualang yang selalu berkeliaran dimanapun yang mungkin terdapat sasaran perampasan, maupun jika perlu, perampokan.

Sebenarnyalah bahwa orang itu tidak sendiri. Tetapi kawan-kawannya masih menunggunya di tepian. Dengan demikian maka orang yang diikutinya tidak akan mencurigainya.

Karena itu, ketika Glagah Putih menjadi semakin jauh, orang itu pun telah melangkah kembali ke tepian untuk menemui kawan-kawannya. Tiga orang kawannya masih berada di tepian. Mereka duduk di atas pasir sambil memandangi orang-orang yang naik turun rakit yang hilir mudik.

Orang yang telah mengikuti Glagah Putih itu pun kemudian duduk pula bersama mereka. Dengan wajah cerah orang itu berkata, “Anak itu tinggal di padukuhan induk. Kita kapan saja akan dapat mengambil kudanya. Tidak akan sulit untuk mencarinya. Berapa besarnya padukuhan induk itu?“

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka bertanya, “Kenapa tidak kita ambil saja langsung dari tangannya tadi?“

“Suasananya tidak menguntungkan. Jalan ini terlalu ramai untuk melakukan kekerasan terhadap seseorang,“ jawab kawannya.

“Bukankah mudah sekali melakukannya?“ bertanya orang yang pertama.

“Tetapi jika terjadi perlawanan, maka mungkin sekali akan dapat melibatkan beberapa orang. Tukang-tukang satang yang merasa berhutang budi itu akan dapat membantunya. Mungkin kawan-kawannya akan ikut pula beramai-ramai,“ jawab orang yang mengikuti Glagah Putih itu.

Kawannya terdiam. Ia pun dapat membayangkan apa yang mungkin terjadi. Meskipun mungkin mereka berempat dapat mengatasinya dan kemudian menyingkir, tetapi akibatnya akan dapat menjadi terlalu panjang, karena korban tentu akan jatuh terlalu banyak untuk seekor kuda saja.

“Baiklah,“ berkata kawannya, “kita akan mencari dimanakah letaknya padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kita harus berhati-hati, karena di Tanah Perdikan Menoreh terdapat para pengawal yang pilihan, menurut pendengaranku.“

“Ya. Kita memang harus berhati-hati. Tetapi kita akan dapat mencari jalan untuk mengambil kuda itu. Mungkin di kandangnya, mungkin kita menunggu di jalan-jalan padukuhan jika kuda itu sedang dipergunakan,“ sahut orang yang telah berbicara dengan Glagah Putih itu.

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba saja salah seorang di antara mereka berkata, “Kuda itu hanya seekor. Jika ada di antara kita memiliki kuda itu, maka kita justru akan merasa tidak serasi lagi. Yang seekor itu tentu akan melebihi yang lain.“

“Jangan bodoh,“ sahut orang yang mengikuti Glagah Putih, “tidak seorangpun yang akan mempergunakan kuda itu. Tetapi kuda itu akan dapat kita tukarkan dengan dua ekor kuda biasa yang sudah termasuk baik.“

Kawannya tidak menjawab lagi. Namun mereka pun kemudian bersepakat untuk meneruskan perjalanan. Tidak dengan tujuan yang pasti. Tetapi pada satu saat, mereka akan pergi ke Tanah Perdikan dan mencari kuda yang tegar itu di padukuhan induk.

Sementara itu Glagah Putih yang sudah mulai terbiasa dengan kudanya, berusaha untuk berjalan lebih cepat. Meskipun demikian, Glagah Putih masih tetap mengendalikan kudanya untuk tidak berpacu terlalu cepat.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih yung menyusuri bulak panjang menuju ke pedukuhan induk Tanah Perdikan itu mengerutkan keningnya ketika dari kejauhan ia melihat dua orang berkuda menuju ke arah yang berlawanan. Semakin lama menjadi semakin jelas bahwa dua orang berkuda itu adalah Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga.

Sementara itu Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu pun telah melihat seorang penunggang kuda yang menempuh perjalanan yang berlawanan. Mereka pun segera dapat mengenalinya, bahwa penunggang kuda itu adalah Glagah Putih.

Masih dalam jarak yang agak jauh, Agung Sedayu sudah tersenyum sambil berkata kepada Kiai Jayaraga, “Ternyata Raden Rangga memenuhi janjinya.“

“Ya,“ jawab Kiai Jayaraga, “kuda yang sangat bagus. Padahal selama ini kita yang berada di Tanah Perdikan telah menjadi sangat gelisah.“

Agung Sedayu tersenyum. Memang terbersit kebanggaan di dalam hatinya melihat adik sepupunya duduk di atas punggung kuda yang besar dan tegar itu.

Beberapa saat kemudian, ketika jarak antara mereka tinggal beberapa langkah saja, maka mereka telah menarik kekang kudanya. Demikian kuda-kuda itu berhenti, maka Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga telah meloncat turun. Dengan demikian maka Glagah Putih pun telah turun pula.

Agung Sedayu tidak menanyakan keselamatan Glagah Putih lebih dahulu. Tetapi yang mula-mula dilihatnya adalah kuda yang tegar itu.

“Kuda yang sangat bagus,“ desis Agung Sedayu.

“Itulah yang dijanjikan Raden Rangga,“ jawab Glagah Putih. Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil mengamati kuda itu. Sementara Kiai Jayaraga memandang dengan kagum. Kuda seperti itu memang jarang nampak di Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan agaknya tidak seorang pun di Tanah Perdikan yang memilikinya.

Baru kemudian Agung Sedayu sambil menarik nafas dalam-dalam bertanya, “Bagaimana dengan kau sendiri?“

“Baik, Kakang,“ jawab Glagah Putih. “Bagaimana dengan Kakang, Kiai dan keluarga di Tanah Perdikan?“

“Kami merasa gelisah karena kau tidak datang sebagaimana direncanakan,“ desis Kiai Jayaraga.

“Maaf Kiai,“ jawab Glagah Putih, “Raden Rangga mempunyai rencananya sendiri.“

“Aku sudah mengira,“ desis Agung Sedayu, “karena itu, kami telah pergi untuk menyusulmu. Bahkan jika perlu kami akan mencarimu yang tentu telah diajak bertualang oleh Raden Rangga.“

“Tetapi kami tidak berbuat sesuatu yang dapat merugikan orang lain Kakang. Kami memang bertualang. Tetapi justru di tempat yang tidak dihuni orang,“ sahut Glagah Putih.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi serba sedikit ia dapat menangkap maksud Glagah Putih. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Marilah kita kembali. Mungkin kau mempunyai cerita yang cukup panjang.“

“Ya Kakang. Aku akan dapat bercerita panjang tentang petualanganku mengikuti Raden Rangga,“ jawab Glagah Putih.

Merekapun kemudian telah meloncat kembali ke punggung kuda masing-masing. Sementara itu Kiai Juyaraga berkata, “Kau nampak lain di atas punggung kuda itu.“

“Justru kudanya yang lebih menarik perhatian,“ jawab Glagah Putih.

Kiai Jayaraga tersenyum. Agung Sedayu pun tersenyum pula. Katanya, “Kau di depan, Glagah Putih. Tetapi jangan dipacu, agar kami tidak ketinggalan.“

Glagah Putih-lah yang kemudian tersenyum sambil menjawab, “Aku masih belum berani memacu kuda ini Kakang. Aku belum memahami benar tabiatnya, sehingga karena itu, aku masih harus berhati-hati sekali.“

Demikianlah, mereka telah meneruskan perjalanan, sementara Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga telah mengurungkan niatnya untuk pergi ke Mataram.

Ketika seorang anak muda melihat Glagah Putih lewat di atas punggung kuda yang tegar itu, dengan serta merta berteriak, “He, kudamu?“

Glagah Putih mengangguk. Anak muda yang sering berada di bendungan bersamanya itu telah mengagumi kudanya pula, meskipun ia bukan seorang yang sering berhubungan dengan kuda.

Anak muda itu berdiri termangu-mangu ketika ketiga orang berkuda itu lewat di hadapannya.

“He,“ desis Glagah Putih, “jangan tidur di situ.“

Anak muda itu tergagap. Katanya, “Glagah Putih. Darimana kau dapat kuda itu?“

Glagah Putih tertawa sambil melambaikan tangannya. Sementara itu kudanya telah berlari menjauhi anak muda yang berdiri bagaikan membeku itu.

Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga yang berkuda di belakang Glagah Putih memandang anak muda itu sambil tersenyum. Tetapi anak muda itu sama sekali tidak menghiraukan mereka.

Baru ketika Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga mulai menjauh, anak muda itu sadar bahwa dua orang yang lain telah lewat pula di hadapannya, sementara itu ia sama sekali tidak menyapanya.

Semakin dekat dengan padukuhan induk, maka semakin sering mereka berpapasan dengan orang-orang yang pergi ke sawah. Dengan demikian maka Glagah Putih pun menjadi semakin sering pula harus menjawab pertanyaan-pertanyaan kawan-kawannya.

Namun beberapa saat kemudian, mereka bertiga pun telah mendekati regol halaman rumah Agung Sedayu. Tiba-tiba Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Sekar Mirah pun tentu kagum melihat kudanya yang tegar.

Sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah terkejut mendengar kehadiran ketiga orang itu. Ketika mendengar suara orang di halaman maka ia pun bertanya kepada pembantunya, “Siapa yang datang?“

“Glagah Putih,“ jawab pembantunya itu.

“O,“ Sekar Mirah pun segera bangkit dan keluar ke halaman lewat pintu samping. Glagah Putih tentu sudah bertemu dengan Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga di jalan, karena keduanya belum terlalu lama berangkat menuju ke Mataram.

Ketika Sekar Mirah kemudian melihat Glagah Putih yang menuntun kudanya, maka seperti yang disangka oleh Glagah Putih, maka Sekar Mirah pun berdesis, “Bukan main. Itukah kuda yang kau dapat dari Mataram?“

“Ya,“ sahut Glagah Putih berbangga, ”Raden Rangga benar-benar telah memberi aku seekor kuda sebagaimana dijanjikannya.“

Sekar Mirah pun ternyata lebih tertarik kepada kuda itu dari pada mempertanyakan keselamatan Glagah Putih. Menurut Sekar Mirah, agaknya kedatangan Glagah Putih itu sudah merupakan pernyataan dari keselamatannya.

Namun setelah mengamati kudu itu sejenak, maka Sekar Mirah pun bertanya kepada Agung Sedayu. “Kakang bertemu dengan anak ini di jalan?“

“Ya. Dengan demikian, aku telah mengurungkan perjalananku,“ jawab Agung Sedayu.

“Jika kita tidak mengurungkannya, siapakah yang akan kita cari kemudian?“ tiba-tiba saja Kiai Jayaraga menyela.

Agung Sedayu tersenyum, sementara sambil tertawa Sekar Mirah menyahut, “Mungkin Raden Rungga?“

Kiai Jayaraga tertawa pula.

“Marilahm“ berkata Sekar Mirah kemudian kepada Glagah Putih, “kau tentu berangkat pagi-pagi dari Mataram. Untunglah bahwa Kakangmu tidak berangkat terlalu pagi, karena ia masih harus melihat air yang tiba-tiba tidak naik di bendungan.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia pun menjawab, “Seandainya Kakang Agung Sedayu berangkat pagi-pagi, kami pun tentu akan bertemu. Jika tidak di sebelah barat Kali Praga, mungkin di penyebrangan, atau di sebelah timur Kali Praga. Kecuali jika rakit yang aku tumpangi berselisih dengan rakit yang ditumpangi Kakang Agung Sedayu pada jarak yang terlalu jauh.“

Sekar Mirah pun mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Marilah. Kau agaknya belum makan pagi.“

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ditambatkannya kudanya pada sebatang pohon di halaman samping, di sebelah kuda yang dipergunakan oleh Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga.

Glagah Putih yang singgah sebentar di pakiwan itu pun kemudian duduk di ruang dalam bersama Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah. Sementara ketika pembantu rumah itu menghidangkan minuman, Glagah Putih sempat bertanya, “Bagaimana dengan pliridan kita?“

“Rusak berat,“ jawab pembantu itu.

“Kenapa?“ bertanya Glagah Putih.

“Entahlah. Mungkin anak-anak nakal itu mendendam atau mungkin ada persoalan lain yang aku tidak tahu,“ jawab pembantunya itu.

“Mungkin air naik dan merusak tanggul?“ bertanya Glagah Putih pula.

“Tidak. Bekasnya pasti dirusak oleh seseorang,“ jawab anak itu.

“Jadi kita tidak dapat lagi memungut ikan di malam hari?“ desak Glagah Putih.

“Aku sudah memperbaikinya.“ Anak itu berhenti sejenak. “He, kau pergi kemana saja selama ini? Jika aku menunggumu, maka untuk beberapa hari kita tidak mendapat ikan.“

Glagah Putih hanya tersenyum saja. Sementara itu anak itu berkata, “Marilah, kita lihat pliridan itu. Masih memerlukan beberapa perbaikan.“

“Aku masih letih,“ jawab Glagah Putih sambil tersenyum.

“Kau pergi keluar beberapa hari, tahu-tahu kau pulang sambil mengeluh keletihan,“ desis anak itu, “bukankah itu salahmu sendiri?“

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Baik. Baiklah. Nanti sebentar kita pergi ke sungai.“

Pembantu Agung Sedayu itupun kemudian meninggalkan Glagah Putih, sementara yang lain hanya tersenyum saja melihat tingkah laku anak yang lugu itu. Sementara Glagah Putih pun tidak ingin membuatnya kecewa.

Setelah Glagah Putih sempat meneguk minuman hangat dan menelan beberapa potong makanan, maka mulailah Agung Sedayu bertanya tentang kepergiannya.

“Kau hanya minta ijin untuk satu dua hari,“ berkata Agung Sedayu, “karena itulah kami menjadi gelisah di sini.”

“Aku sudah mengira,“ jawab Glagah Putih, “tetapi aku tidak dapat menolak ajakan Raden Rangga.”

Agung Sedayu pun mengangguk-angguk. Sementara itu Sekar Mirah-lah yang menyahut, “Kami di sini pun sudah mengira, bahwa kau telah mengikuti petualangan Raden Rangga.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.

Katanya, “Kakang Agung Sedayu juga mengatakan demikian. Tetapi kepergian kami kali ini sama sekali tidak mengganggu orang lain.”

Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Tidak mengganggu orang lain menurut penilaian kalian. Tetapi apakah benar begitu menurut penilaian orang lain.”

“Benar,” jawab Glagah Putih, “kami memang pergi ke tempat yang tidak berpenghuni, kecuali beberapa ekor binatang liar yang tidak buas, dan seekor ular raksasa.”

“He?” nampaknya Sekar Mirah tertarik sekali mendengar keterangan Glagah Putih itu. Katanya kemudian, “Kau tentu membawa cerita yang menarik tentang tempat itu. Apa kerja kalian di tempat yang dihuni binatang liar yang tidak buas dan seekor ular raksasa itu?”

“Itulah yang ingin aku tanyakan,” sela Kiai Jayaraga, “mungkin ceritanya akan menjadi sangat menarik.”

“Kau tidak sangat letih?” bertanya Sekar Mirah.

“Tidak,” jawab Glagah Putih, “bukankah selama perjalanan aku naik seekor kuda yang tegar dan kuat?”

“Ah kau,” Sekar Mirah tersenyum. Lalu katanya, “Baiklah. Jika kau tidak terlalu letih, kami ingin mendengar ceritamu.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ketika lewat celah-celah pintu ia memandang keluar, maka katanya, “Jika aku bercerita, nanti hari akan cepat menjadi sore.”

“Apa salahnya?” sahut Agung Sedayu.

Glagah Putih pun tertawa. Namun kemudian ia pun mulai dengan ceritanya, sejak ia memasuki perjalanan menuju ke Mataram, sampai saatnya ia kembali ke rumah itu. Tidak ada yang terlampaui, bahkan diceritakannya juga, bagaimana cara Raden Rangga bermain-main dengan tukang-tukang satang, namun yang justru telah memancing hambatan bagi perjalanannya. Diceritakannya pula apa yang telah terjadi di Gumuk Payung dan lingkungan di sekitarnya, serta apa yang telah dicapainya selama ia berada di gumuk itu.

Cerita Glagah Putih memang menarik. Bukan saja apa yang terjadi di tempat penyeberangan sehingga mengundang benturan kekuatan, tetapi juga tentang sanggar Raden Rangga yang aneh, dan perkembangan ilmu Glagah Putih, di samping seekor ular yang berwarna garang dan yang nampaknya sangat berbisa.

Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah bagaikan membeku mendengarkan cerita perjalanan Glagah Putih, yang sebenarnya terhitung pendek dari sebuah petualangan yang sering dilakukan orang.

Ketika Glagah Putih menyelesaikan ceritanya dengan pemberian kuda yang tegar oleh Raden Rangga, serta perjalanannya kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, maka ketiga orang yang mendengarkannya itu menarik nafas dalam-dalam.

“Ceritamu memang sangat menarik Glagah Putih,” berkata Kiai Jayaraga, “apalagi menyangkut peningkatan ilmumu.”

“Ya,” sahut Agung Sedayu, “aku telah digelitik untuk ingin melihat, apa yang telah terjadi atas dirimu. Aku sama sekali tidak berkeberatan melihat ilmumu meningkat dengan laku yang asing bagiku dan barangkali juga Kiai Jayaraga. Tetapi yang ingin kami ketahui, apakah di dalam perkembangan itu tidak terjadi penyimpangan, apalagi jika hal itu akan dapat pengaruhi sifat dan watak dari ilmu yang telah kau miliki.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia pun kemudian menjawab, “Maaf Kakang. Aku memang telah melakukan sesuatu sebelum aku mendapat ijin Kakang dan Kiai Jayaraga. Tetapi menurut Raden Rangga, yang terjadi adalah sekedar peningkatan. Tidak akan terjadi sesuatu yang lain.”

“Syukurlah jika demikian,” desis Kiai Jayaraga, “tetapi mungkin ada hal yang belum diketahui oleh Raden Rangga. Sebenarnyalah aku merasa cemas, bahwa apa yang pernah terjadi atas diriku akan terulang. Mungkin akulah orang yang tidak pantas untuk mengangkat seorang murid, karena setiap orang yang menjadi muridku, atau dengan kata lain semua murid-muridku, telah menempuh jalan yang keliru, sengaja atau tidak sengaja.”

“Jangan pikirkan itu lagi,” potong Agung Sedayu, lalu, “sebaiknya kita lihat, apa yang terjadi pada diri Glagah Putih. Pada ilmunya dan hubungan antara ilmu dan tingkah lakunya, yang tentu tidak akan dapat kita lihat dengan serta merta.”

Glagah Putih melihat kecemasan yang memancar di sorot mata kedua orang gurunya yang memandanginya dengan tajam. Ia semakin merasa bersalah. Namun Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Tetapi tidak ada yang perlu disesalkan berkepanjangan Segala sesuatunya masih dapat dilakukan. Jika ada yang kurang serasi, masih mungkin diusahakan untuk menjadi imbang kembali. Tetapi mudah-mudahan terjadi seperti apa yang dimaksud oleh Raden Rangga, karena Raden Rangga memang memiliki kelebihan.”

“Apa yang baik aku lakukan, akan aku lakukan,” desis Glagah Putih yang menjadi gelisah, “sekarang pun aku siap untuk mengalami pendadaran jika itu dikehendaki oleh Kakang Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga.”

Tetapi Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Tidak terlalu tergesa-gesa. Kau dapat beristirahat hari ini. Mungkin malam nanti, mungkin besok atau kapan saja. Bahkan kami ingin melihat apa yang kau lakukan untuk selanjutnya pada waktu yang panjang sekali.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku mengerti Kakang. Tetapi aku pun berharap, bahwa tidak ada perubahan yang mendasar di dalam diriku Tetapi aku mohon Kakang dan Kiai Jayaraga mengamatinya, karena apa yang Kakang dan Kiai amati tentu lebih jelas nampak daripada aku melihat ke diriku sendiri.”

Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Sambil masih tersenyum Agung Sedayu berkata, “Semuanya untuk kebaikanmu. Jangan gelisah dan jangan ragu-ragu tentang dirimu sendiri.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Aku serahkan semuanya kepada Kakang dan Kiai Jayaraga.”

Agung Sedayu memandang Kiai Jayaraga sejenak. Namun seakan-akan tertangkap dalam pandangan Agung Sedayu, bahwa Kiai Jayaraga tidak terlalu cemas atas keadaan Glagah Putih. Bahkan agaknya dalam penglihatan yang sekilas, memang tidak ada perubahan yang mendasar pada Glagah Putih. Namun segala sesuatunya masih harus dinilai dalam kenyataan tingkah laku dan perbuatan Glagah Putih kemudian. Apalagi pada saat-saat anak muda itu harus menentukan sikap menghadapi satu persoalan.

“Glagah Putih,” berkata Agung Sedayu kemudian, “kau dapat beristirahat sekarang. Mungkin kau letih. Aku akan pergi ke sawah sebentar.”

“Aku juga akan pergi ke sungai sebentar Kakang” berkata Glagah Putih kemudian, “aku akan melihat pliridan.”

“Ah, kau masih juga tertarik kepada pliridan dan rumpon?” bertanya Agung Sedayu.

“Kenapa tidak? Bukankah ada juga orang tua yang membuat rumpon dan pliridan, justru di bawah bendungan di ujung pategalan Setambi?” sahut Glagah Putih.

“Baiklah,” jawab Agung Sedayu, “tetapi jaga badanmu baik-baik. Jika kau memerlukan istirahat, beristirahatlah.”

“Ya Kakang,” sahut Glagah Putih. Lalu katanya, “Aku akan memasukkan kuda itu di kandang lebih dahulu.”

Glagah Putih pun kemudian minta diri. Mula-mula dimasukannya kudanya ke kandang. Sementara pembantu rumah itu dengan heran melihat kuda itu dari ujung kepalanya sampai ke ujung ekornya.

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

“Kuda itu lebih besar dari kuda-kuda yang pernah aku lihat,” jawab anak itu.

“Besarnya tidak banyak berselisih. Tetapi kau lihat perbedaan lainnya?” bertanya Glagah Putih.

“Kau bangga mempunyai kuda itu?” tiba-tiba saja anak itu bertanya.

“Tentu. Tetapi kau belum menjawab pertanyaanku. Apa bedanya yang penting, selain ujud yang lebih besar?” bertanya Glagah Putih pula.

“Kuda ini tegar, dan nampaknya sangat kuat,” jawab anak itu.

“Bagus,” gumam Glagah Putih, “ternyata kau dapat mengenali pula.”

“Marilah,” tiba-tiba saja anak itu mengajak, “kita lihat pliridan kita. Mungkin aku belum sepenuhnya membuat pliridan itu pulih seperti semula.”

“Kau bawa cangkul,” berkata Glagah Putih kemudian.

“Kau mau enak-enak melenggang dan aku yang harus membawa cangkul?” bertanya anak itu.

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Jangan berkicau saja. Marilah.”

Glagah Putih tidak menunggu. Ia pun kemudian melangkah meninggalkan halaman rumahnya menuju ke sungai, sementara itu pembantu rumah itu pun berlari-lari mengambil cangkul dan sabit, kemudian menyusul Glagah Putih pergi ke sungai.

Ketika mereka menyusuri pematang sawah di sebelah padukuhan induk, maka anak itu pun berkata, “Aku yakin bahwa yang merusak pliridan itu tentu bukan hanya satu orang. Tetapi beberapa orang.”

“Tetapi tentu bukan anak-anak Tanah Perdikan ini,” berkata Glagah Putih

“Tentu bukan,” jawab anak itu, “tetapi mereka tentu segerombolan anak-anak muda dungu yang tidak mengetahui, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh terdapat sepasukan pengawal yang kuat yang dapat menghancurkan mereka.”

“Ah kau,” Glagah Putih tertawa berkepanjangan, “apa urusannya antara pliridan itu dengan pasukan pengawal?”

“Bukankah jika yang merusak itu segerombolan anak-anak dari kademangan sebelah, maka pasukan Tanah Perdikan ini dapat mengerahkan pasukan segelar sepapan untuk menyerang?”

Glagah Putih tertawa semakin keras. Bahkan kemudian ia pun berhenti sambil berkata, “Sudahlah. Diamlah. Perutku menjadi sakit.”

Anak itu terheran-heran mendengar kata-kata Glagah Putih. Glagah Putih itu tidak mengiakannya. Justru mentertawakannya.

Namun anak itu tidak sempat bertanya lagi. Dua orang anak muda datang bergegas mendekati Glagah Putih, menyusuri pematang yang menyilang.

Sebelum mereka dekat, salah seorang sudah bertanya lantang, “He, kemana saja kau selama ini? Agaknya kau keluar Tanah Perdikan untuk beberapa hari?”

Glagah Putih berhenti. Sambil tersenyum ia menjawab, “Pergi melihat-lihat keadaan di luar Tanah Perdikan ini.”

“Kau pergi kemana?” bertanya yang lain ketika ia sudah berdiri berhadapan.

“Melihat-lihat Mataram. Aku sudah lama sekali tidak pergi ke Mataram,” jawab Glagah Putih.

“Ada apa di Mataram?” bertanya anak muda itu.

“Tidak apa-apa. Hanya sekedar melihat-lihat,” jawab Glagah Putih.

“Ia membeli seekor kuda yang besar,” tiba-tiba saja pembantu rumahnya itu menyela.

“Ah kau,” desis Glagah Putih.

“Jangan berbohong,” berkata anak itu.

Glagah Putih tertawa. Sementara itu kawannya yang seorang bertanya, “Kau memang membeli kuda?”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia hanya tersenyum saja. Bahkan ia pun berkata, “Marilah. Kita pergi ke sungai.”

“Untuk apa?” bertanya kawannya.

“Pliridanku rusak,” jawab Glagah Putih, “aku akan memperbaikinya.”

“Dirusak orang,” anak itu menyela lagi.

Kedua kawan Glagah Putih itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya pembantu rumah Agung Sedayu itu sambil termangu-mangu. Salah seorang di antara mereka pun kemudian bertanya, “Dirusak orang katamu?”

“Ya,” jawab anak itu mantap, “mereka sudah menghina kita. Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Disangkanya kita tidak berani melawan mereka. Sedangkan melawan Pajang kita tidak takut.”

“Ah kau,” potong Glagah Putih, “tubuhmu dan kepalamu kecil, tetapi mulutmu sangat besar.”

Sekali lagi anak itu menjadi heran, bahwa Glagah Putih tidak mengiakannya. Bahkan mentertawakannya.

Ternyata kedua anak muda itu tertarik kepada keterangan anak itu. Salah seorang di antara mereka telah bertanya, “Benar pliridanmu dirusak oleh anak-anak luar Tanah Perdikan?”

“Jangan hiraukan keterangan anak ini,” jawab Glagah Putih, “pliridan itu memang sudah perlu diperbaiki. Tanggulnya sudah aus sejak lama. Mungkin air sedikit besar pada malam itu, sehingga tanggulnya telah pecah.”

“Tidak,” potong anak itu, “itu tidak benar. Aku tahu pasti melihat bekas-bekasnya. Tunggul pliridan itu dirusak orang.”

“Sudahlah,” berkata Glagah Putih, “marilah. Kita pergi ke sungai.”

Anak itu tidak menjawab. Sementara Glagah Putih berkata kepada kedua orang kawannya, “Marilah. Apakah kalian juga akan pergi ke sungai?”

Tiba-tiba saja keduanya tertarik pula untuk pergi ke sungai dan melihat pliridan yang rusak itu. Karena itu, maka salah seorang dari keduanya berkata kepada kawannya, “Kita pergi ke sungai?”

“Marilah. Aku sudah selesai mengairi sawah,” jawab yang lain.

Demikianlah, keduanya telah pergi mengikuti Glagah Putih dan pembantunya untuk pergi ke sungai. Di sepanjang jalan ternyata anak itu tidak habis-habisnya berbicara tentang pliridannya yang rusak, sehingga Glagah Putih menjadi jengkel dan berkata, “Diamlah. Aku akan menyuapimu dengan keong sawah jika kau masih berbicara terus.”

Anak itu terdiam. Tetapi wajahnya justru menjadi sedih. Ia tidak dapat mengerti, kenapa Glagah Putih justru berbuat sebaliknya dari yang diharapkannya. Marah dan mencari anak-anak nakal yang merusak pliridannya.

Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah sampai ke tepian. Dari tepian sudah nampak, bahwa pliridan itu baru saja diperbaiki. Justru karena itu, tanggulnya nampak baru dan bahkan lebih kokoh dari pliridannya yang dahulu. Glagah Putih yang kemudian berdiri di atas tanggul pliridannya berkata, “Ternyata pliridan ini tidak rusak.”

“Aku sudah memperbaikinya,” bantah pembantunya, “dua hari aku bekerja keras sendiri.”

“O,” Glagah Putih mengangguk-angguk, “hampir aku lupa bahwa kau sudah memperbaikinya.”

Tetapi di luar dugaan, kedua orang kawan Glagah Putih itu nampaknya menaruh perhatian atas pliridan itu. Seorang di antara mereka bertanya, “Jika benar pliridanmu rusak, apakah kau akan membiarkannya saja?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Belum tentu yang terjadi demikian. Seandainya dirusak sekalipun, jika kita tidak melihat sendiri apa yang terjadi, kepada siapa kita akan marah? Kepada anak-anak muda kademangan sebelah? Belum tentu juga mereka yang melakukan. Mungkin justru tidak sengaja gembala kerbau telah membawa kerbaunya lewat tempat ini dan merusakkan tanggul pliridanku.”

“Kau tidak marah?” bertanya pembantu di rumah Agung Sedayu itu.

“Kepada siapa aku harus marah? Kepadamu?” bertanya Glagah Putih.

“Kita dapat menelusurinya,” salah seorang kawannyalah yang menjawab.

Tetapi Glagah Putih berkata, “Itu tidak perlu. Karena hal itu akan dapat menimbulkan perselisihan antara kelompok-kelompok anak muda yang seharusnya mampu saling mengadakan pendekatan dan bekerja bersama dalam banyak bidang. He, bukankah pimpinan anak muda di kademangan itu sudah kita kenal? Sementara itu, hampir semua anak muda di padukuhan terdekat dari kademangan itu juga sudah kita kenal?”

“Justru karena itu, maka kita akan dapat menelusurinya,” jawab salah seorang dari kedua kawan Glagah Putih itu.

“Kita akan dapat salah langkah,” jawab Glagah Putih, “biar sajalah. Asal sekarang pliridan itu sudah baik, maka kita tidak perlu mempersoalkannya. Beberapa waktu yang lalu, telah pernah terjadi perselisihan pula karena pliridan. Agaknya tidak menarik jika hal seperti itu sering terjadi.” “Justru karena itu,” berkata anak itu, “mungkin ada dendam di dalam hal ini, meskipun mungkin mereka tidak berterus terang, dan karena itu dilakukannya dengan bersembunyi.”

“Sudahlah,” desis Glagah Putih, “sudah aku katakan. Jangan berbicara lagi tentang hal-hal yang tidak menarik itu. Marilah sekarang kita menaikkan tanggul ini beberapa lapis, agar air yang tertampung menjadi lebih banyak, dan dengan demikian maka isi pliridan ini menjadi lebih dalam, sehingga ikan akan menjadi tertarik untuk tinggal di dalamnya.”

Pembantu rumah Agung Sedayu itu mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain ketika Glagah Putih kemudian mengambil cangkulnya dan mulai mengerjakan tanggul pliridan itu.

“Apa yang harus aku bantu?” bertanya salah seorang dari kedua kawannya.

“Tidak ada, kecuali jika kalian mau mengawasi kami di sini,” jawab Glagah Putih.

Keduanya ternyata dengan senang hati melakukannya dan bahkan mereka pun berusaha untuk dapat membantu Glagah Putih.

Tidak banyak yang harus mereka lakukan untuk memperbaiki pliridan itu, karena sebelumnya pembantu Agung Sedayu itu sudah memperbaikinya lebih dahulu. Namun setelah pliridan itu siap dan justru menjadi semakin baik, maka mereka pun telah menyusuri sungai itu beberapa puluh patok dan membuat beberapa buah rumpon.

“Yang satu ini sudah dapat dibuka,” berkata pembantu Agung Sedayu.

“Besok sajalah,” jawab Glagah Putih sambil mengamati sebuah di antara rumpon-rumponnya yang dibuat di sepanjang sungai itu selapan hari berselang, “semakin lama semakin baik.”

“Sebelum dibuka oleh orang lain,” desis anak itu.

“Mudah-mudahan tidak,” jawab Glagah Putih pula. Namun dalam pada itu, anak itu tiba-tiba bergumam, “Kita akan segera menemukannya.”

“Apa?” bertanya Glagah Putih.

“Orang yang telah merusak pliridan kita, dan mungkin akan membuka rumpon kita pula.”

“Siapa?” desak Glagah Putih.

Anak itu memandang ke arah hulu sungai. Mereka yang kemudian juga memandang ke arah itu melihat seorang sudah menginjak usia tuanya menebarkan jalanya yang sudah tua pula.

“Apakah yang kau maksudkan orang yang sedang menebarkan jala itu?” bertanya Glagah Putih.

“Mungkin sekali,” jawab anak itu.

“Orang itu sudah cukup tua,” berkata Glagah Putih, “jangan mencari perkara.”

Anak itu terdiam. Sementara itu, orang tua yang menebarkan jala itu pun bergeser sepanjang sungai. Di tempat-tempat yang terbuka, orang itu menebarkan jalanya. Beberapa ekor ikan wader pari telah dapat ditangkapnya. Tetapi jala itu sudah terlalu tua pula, sehingga benang-benangnya telah banyak yang putus. Karena itu, maka sebagian dari ikan yang dapat ditangkap oleh jalanya, telah terlepas pula.

Ketika orang tua itu lewat di hadapan Glagah Putih dan kawan-kawannya, ia mengeluh, “Sungai ini penuh dengan rumpon, sehingga aku tidak mendapat tempat cukup untuk menebarkan jala.”

“Tentu tidak,” pembantu Agung Sedayu-lah yang menjawab, “batang sungai ini cukup panjang. Jarak antara rumpon yang satu dengan rumpon yang lain pun cukup jauh.”

Orang tua itu memandang anak yang membantahnya itu dengan saksama. Namun orang tua itu pun kemudian tanpa berkata sepatah kata pun lagi telah melanjutkan perjalanannya. Sekali ia menebarkan jala, memungut beberapa ekor ikan kecil yang tertangkap. Kemudian berjalan lagi di antara batu-batu.

“Kasihan orang itu,” desis salah seorang kawan Glagah Putih.

“Apakah dalam sehari kepisnya dapat penuh?”

“Mungkin juga,” berkata Glagah Putih, “ia bekerja dengan tekun dan bersungguh-sungguh,” jawab Glagah Putih.

Namun Glagah Putih itu pun kemudian mengangkat wajahnya memandang ke arah langit yang bersih. Matahari yang melewati puncak, panasnya menjadi semakin terasa membakar kulit.

“Marilah,” berkata Glagah Putih kemudian, “bukankah kerja kita sudah cukup hari ini?”

“Marilah,” sahut salah seorang kawannya, “perutku mulai terasa lapar.”

Sejenak kemudian mereka pun telah menyusuri sungai kembali ke arah padukuhan induk. Tetapi ketika mereka melewati pategalan salah seorang di antara kedua kawan Glagah Putih, yang terletak tidak jauh dari jalur sungai itu, maka ia pun berkata, “Marilah singgah sebentar. Kita mencari minum.”

Mereka berempat pun kemudian telah naik dan pergi ke pategalan yang ditanami banyak pohon kelapa. Kawan Glagah Putih itu pun dengan tangkasnya telah memanjat pohon kelapa dan mengambil beberapa butir kelapa muda.

Namun dalam pada itu, ketika mereka sedang meneguk segarnya air kelapa muda, angan-angan Glagah Putih telah menyusuri kembali sungai kecil yang baru saja ditempuhnya. Di beberapa tempat terdapat arena yang sangat baik untuk melakukan latihan-latihan sebagaimana yang selalu dilakukan sebelumnya. Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang agak lain pada perasaannya. Batu-batu yang besar dan berserakan itu akan dapat menjadi kawan yang sangat baik bagi latihan-latihan yang akan dilakukan.

Laku yang telah dijalaninya memang terasa meningkatkan segala sesuatu yang ada di dalam dirinya. Kekuatan, kemampuan, kecepatan bergerak, tenaga cadangan dan bahkan kekuatan ilmu yang ada di dalam dirinya, baik yang diterimanya dari Agung Sedayu maupun yang diterimanya dari Kiai Jayaraga. Hubungan antara kehendak dan bangkitnya kekuatan ilmunya serasa menjadi jauh lebih cepat, sehingga dirasanya hampir tidak ada jarak waktu lagi yang diperlukan. Tanpa laku yang khusus, maka untuk mencapai tingkatan itu diperlukan waktu yang agak panjang, sehingga di luar kemampuan penalarannya ia hanya dapat bertanya kepada diri sendiri, “Apakah air belumbang itu berisi banyu gege?”

Perubahan yang terjadi pada dirinya itulah yang menjadi perhatian Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga. Namun ia akan membuktikan bahwa perubahan itu semata-mata hanyalah perubahan di dalam tata kemampuannya. Tetapi tidak di dalam tata jiwaninya.

“Aku harus tetap sebagaimana aku sebelumnya,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya, “baik atau tidak baik. Tetapi aku harus berkembang dengan wajar sebagaimana dikehendaki oleh Kakang Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan yang aku kehendaki sendiri.”

Glagah Putih terkejut ketika tiba-tiba saja pembantu rumahnya itu bertanya, “Apakah kelapa mudamu tidak kau pecah?”

“Ya, tentu,” jawab Glagah Putih.

Dengan parang yang mereka ambil dari gubug di pategalan itu, maka mereka pun telah memecah kelapa muda dan makan dengan segarnya.

Demikianlah maka sejenak kemudian, setelah mereka puas dengan minum dan makan kelapa muda, maka mereka pun telah kembali ke padukuhan induk.

Namun dalam pada itu, bagi Glagah Putih, daerah yang berbatu-batu itu telah menarik perhatiannya. Meskipun ia sudah lama mengenali sungai itu, tetapi pada saat itu, rasa-rasanya ada sesuatu yang baru baginya untuk dilakukan di sungai yang berbatu-batu itu.

Di rumah, Glagah Putih tidak banyak berbuat sesuatu. Namun ketika langit menjadi gelap, maka ia pun telah bersiap-siap untuk pergi.

“Kau akan pergi kemana?” bertanya Agung Sedayu.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Ada sesuatu yang baru yang mungkin akan berarti bagiku.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi berhati-hatilah. Mungkin kau dapat mengatasi beberapa persoalan yang mungkin timbul. Tetapi kau harus berhati-hati terhadap binatang-binatang melata.”

“Ya Kakang. Aku selalu membawa obat yang dapat menawarkan racun. Sungai itu memang sudah banyak aku kenal sebelumnya. Tetapi bebatuan yang aku lihat siang tadi sangat menarik perhatian,” jawab Glagah Putih.

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “mudah-mudahan kau mendapatkan apa yang kau cari di antara bebatuan itu. Tetapi aku kira yang kau cari itu tentu bukan sekedar sekepis ikan wader.”

Glagah Putih tertawa. Ia pun kemudian minta diri kepada Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga.

Ketika malam menjadi semakin dalam, maka Glagah Putih telah berada di tepian yang agak jauh dari padukuhan. Tepian yang jarang sekali didatangi seorang pun. Bahkan orang-orang yang mencari ikan dengan jala maupun dengan pancing hampir tidak pernah sampai ke tempat itu di malam hari.

Biasanya Glagah Putih juga mencari tempat yang sepi. Tetapi ia kadang-kadang memilih tepian berpasir yang agak lapang. Namun saat itu Glagah Putih justru berada di tempat yang ditebari oleh bebatuan.

Sejenak Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Namun setelah ia yakin bahwa tidak ada seorang pun yang berada di tempat itu, maka ia pun telah bersiap untuk mulai dengan latihan-latihannya.

Sambil menarik nafas dalam-dalam Glagah Putih meraba lambungnya. Kemudian dilepaskannya ikat pinggang kulit yang dipakainya, yang diterimanya dari Ki Mandaraka. Ikat pinggang yang tentu mempunyai nilai yang berbeda dari ikat pinggang kebanyakan.

Untuk beberapa saat Glagah Putih mengamati ikat pinggang itu di dalam keremangan malam. Ia pernah melihat Raden Rangga mempermainkan ikat pinggang itu meskipun hanya sejenak.

Namun apa yang dilakukan oleh Raden Rangga itu telah memberikan sedikit petunjuk bagaimana ia dapat berbuat sesuatu dengan ikat pinggangnya itu.

Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih pun telah bersiap. Ia pun telah meloncat ke atas sebuah batu yang cukup besar. Kemudian, setelah memusatkan perhatiannya kepada ikat pinggang kulitnya, maka Glagah Putih pun mulai menggerakkan tangannya.

Perlahan-lahan ikat pinggang di tangan Glagah Putih itu mulai berputar. Semakin lama semakin cepat. Sekali-sekali berputar mendatar, namun kadang-kadang dengan putaran tegak. Tiba-tiba saja ikat pinggang itu pun telah menyambar menyamping dan dengan cepat mematuk ke depan.

Untuk beberapa lamanya Glagah Putih bermain-main dengan ikat pinggangnya itu. Bahkan kemudian kakinya pun mulai bergerak. Meloncat dari satu batu ke batu yang lain. Semakin lama semakin cepat, sehingga gerak tangan dan kakinya itu pun rasa-rasanya tidak lagi dapat diamati dengan tatapan mata wajar.

Namun dalam pada itu, sebenarnyalah dua pasang mata sedang mengamati tingkah laku Glagah Putih dengan saksama. Dengan heran keduanya melihat, apa yang dilakukan Glagah Putih dengan selembar ikat pinggang.

“Ikat pinggang itu agak berbeda dengan kebanyakan ikat pinggang,” berkata Agung Sedayu, “dari mana ia mendapatkannya?”

Kiai Jayaraga yang menyertainya mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Memang agak lain. Aku kurang mengerti, apa yang sedang dilakukan oleh anak itu. Tetapi agaknya ia mempunyai satu kesempatan baru dengan mempergunakan ikat pinggang itu sebagai senjata.”

“Aku tidak tahu, kenapa baru sekarang dilakukannya,” berkata Agung Sedayu. “Menurut pengetahuanku, Ki Waskita sudah melakukan sejak lama. Tetapi aku tidak tahu, apakah ada hubungannya antara Ki Waskita dengan yang dilakukan oleh Glagah Putih itu.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk pula. tetapi ia tidak memberikan tanggapannya. Bahkan ia semakin memperhatikan setiap gerak Glagah Putih yang mempermainkan ikat pinggangnya itu.

“Luar biasa,” desis Agung Sedayu kemudian. Ternyata semakin cepat Glagah Putih menggerakkan ikat pinggangnya, maka baja putih yang menjadi hiasan ikat pinggang itu seolah-olah telah memberikan warna tertentu pada putaran yang menjadi semakin cepat itu.

Kecepatan putaran ikat pinggang itu seirama dengan semakin cepatnya langkah-langkah kaki Glagah Putih di atas batu-batu besar. Dengan tangkasnya kakinya berloncatan dari satu batu ke batu yang lain. Bahkan kemudian kakinya seakan-akan tidak lagi menyentuh batu-batu itu lagi.

“Memang satu kemajuan yang sangat pesat,” berkata Kiai Jayaraga.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia benar-benar tercengkam melihat tata gerak Glagah Putih. Segalanya terasa meningkat dengan loncatan yang jauh.

“Inilah yang dikatakannya,” berkata Agung Sedayu kemudian, “kita sudah menyaksikan peningkatan ilmunya. Namun dalam tata kehidupan sehari-hari kita harus melihat, apakah ada perubahan atau tidak pada pribadinya.”

“Itulah yang memerlukan waktu,” berkata Kiai Jayaraga, “tetapi mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atas dirinya.”

Keduanya pun kemudian terdiam. Sementara itu Glagah Putih masih melanjutkan permainannya. Bahkan kemudian telah timbul niatnya untuk mempergunakan ikat pinggangnya itu benar- benar sebagai senjata.

Itulah sebabnya maka Glagah Putih tertarik kepada bebatuan yang berserakan di sungai itu. Ada yang besar, ada yang kecil dan ada yang tanggung.

Sejenak kemudian, Agung Sedayu telah menyaksikan Glagah Putih itu meloncat turun dari bebatuan. Ia mulai dengan latihan di atas dasar sungai yang juga banyak terdapat batu-batu yang lebih kecil. Namun yang seakan-akan tidak berpengaruh atas tata geraknya yang menjadi sangat ringan itu.

Agung Sedayu masih saja tercengkam melihat tata gerak Glagah Putih. Bahkan kemudian ia pun menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Glagah Putih itu telah meningkatkan ilmunya sampai ke puncak.

Untuk beberapa saat, Glagah Putih justru mengendorkan geraknya. Namun tiba-tiba ia telah meloncat ke sebuah batu yang tidak begitu besar. Dengan sepenuh kekuatan ia mengayunkan ikat pinggangnya mengarah ke batu itu.

Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga di luar sadarnya telah menahan nafasnya. Mereka menyaksikan ikat pinggang Glagah Putih yang diayunkan dengan sekuat tenaganya, dilambari dengan ilmunya yang semakin meningkat itu, menghantam batu hitam di hadapannya. Batu itu memang tidak begitu besar. Tetapi benturan ilmu Glagah Putih yang diayunkan lewat ikat pinggangnya itu benar-benar telah memecahkan dan menghancurkan batu itu.

Demikian batu itu berserakan, maka Glagah Putih pun menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian berdiri tegak dengan kaki renggang. Setelah melingkarkan ikat pinggang itu di lehernya, maka Glagah Putih-pun kemudian berdiri bertolak pinggang.

Terasa sesuatu mengembang di dalam dadanya. Memang ada semacam kebanggaan di dalam dirinya, bahwa kemampuannya benar-benar telah meningkat.

Namun ketika ia mengangkat wajahnya dan memandang langit yang biru serta melihat bintang gemintang yang berhamburan di langit, maka gejolak di dalam dadanya itu pun telah mereda. Glagah Putih kembali kepada dirinya sendiri. Ia pun kembali merasa betapa kecilnya ia di hadapkan kepada alam. Dan apalagi di hadapan Penciptanya.

Karena itu, maka wajahnya pun telah menunduk. Tangannya yang bertolak pinggang itu pun telah terjulur lemah di sisi tubuhnya.

Glagah Putih pun kemudian melangkah menepi dan duduk di atas sebuah batu di tepian.

Agung Sedayu menggamit Kiai Jayaraga sambil berdesis, “Sesuatu nampaknya bergejolak di dalam hati anak itu. Marilah, kita mendekatinya.”

Kiai Jayaraga mengangguk. Keduanya pun kemudian turun ke sungai dan melangkah satu-satu mendekati Glagah Putih yang duduk merenung.

Glagah Putih yang melihat kedatangan mereka sama sekali tidak terkejut. Sejak semula ia sudah menduga, bahwa Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga tentu akan mengikutinya dan menyaksikan apa yang dilakukannya. Namun ketika keduanya menjadi semakin dekat, maka Glagah Putih itu pun telah bangkit berdiri sambil mengangguk hormat.

“Kami melihat kemajuanmu yang sangat pesat,” berkata Kiai Jayaraga, “dan kami pun telah melihat ikat pinggangmu yang agak lain dari ikat pinggang kebanyakan. Agak lebih panjang dan ujungnya yang lebih sempit dari tubuh ikat pinggang itu dalam keseluruhan.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara Agung Sedayu bertanya, “Darimana kau dapat ikat pinggang itu, dan darimana kau belajar mempergunakannya?”

Jawaban Glagah Putih memang agak mengejutkan. Katanya, “Aku menerimanya dari Ki Patih Mandaraka. Tidak ada yang mengajari aku mempergunakan ikat pinggang itu. Tetapi ketika Raden Rangga melihatnya, maka ia pun telah memutar-mutar ikat pinggang itu beberapa saat dan memberikan sedikit petunjuk cara mempergunakannya. Selebihnya aku harus mengembangkan sendiri.”

“Kami melihatnya,” jawab Agung Sedayu, “namun di samping itu, kami melihat sesuatu yang bergerak di dalam dadamu.”

Glagah Putih menunduk. Dengan nada datar ia mengatakan gejolak jiwanya ketika ia melihat langit yang luas tanpa tepi, bintang yang terhambur di langit, dan dengan demikian ia menyadari tentang dirinya di hadapan Maha Penciptanya.

Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Satu segi telah dilihatnya. Glagah Putih masih tetap merasa dirinya makhluk kecil bagi Penciptanya. Tidak lebih dari debu, betapapun tinggi ilmu yang dimilikinya.

“Bagus Glagah Putih,” berkata Kiai Jayaraga, “karena itu kau pun harus tetap menyadari, buat apa ilmu itu bagi dirimu.”

Glagah Putih mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “jika kau masih ingin melihat perkembanganmu selanjutnya. Selain ikat pinggang yang telah melengkapi perbendaharaan senjatamu itu.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Jika Kakang dan Kiai ingin menilai, maka biarlah aku melakukannya.”

“Kita lakukan bersama,” berkata Agung Sedayu, “biarlah Kiai Jayaraga yang menilainya.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian mengangguk kecil.

Sejenak kemudian maka keduanya pun telah bersiap-siap. Glagah Putih yang telah mengenakan ikat pinggangnya kembali, berdiri tegak sementara kakinya terendam di dalam air sungai. Namun Agung Sedayu telah meloncat ke atas sebuah batu yang tidak terlalu besar.

Kiai Jayaraga yang harus mengamati tingkat kemampuan Glagah Putih itu pun telah bersiap pula. Di luar mereka yang terlibat langsung, maka ia berharap untuk dapat menilai lebih tajam, apa yang telah terjadi dengan Glagah Putih.

Ketika semuanya sudah siap, maka Agung Sedayu-lah yang mula-mula telah menyerang Glagah Putih. Tanpa meloncat turun dari atas batu, maka kakinya bergerak mendatar, menggapai Glagah Putih yang berdiri tegak. Namun Glagah Putih pun dengan sigapnya bergeser. Bahkan ia pun telah menyerangnya pula dengan tangkasnya.

Tetapi Agung Sedayu telah meloncat ke batu yang lain, sehingga serangan Glagah Putih tidak mengenainya. Namun begitu kakinya menyentuh batu itu, maka tubuh Agung Sedayu pun telah terlontar dengan cepatnya meluncur ke arah Glagah Putih, dengan tangan terjulur mengarah ke dada.

Glagah Putih masih sempat menarik diri menyamping. Bahkan tiba-tiba saja kakinya bagaikan memburu gerak Agung Sedayu. Tetapi di luar dugaan Glagah Putih, tubuh Agung Sedayu itu seakan-akan justru bergerak semakin cepat, sehingga kakinya tidak mengenainya. 

Dengan demikian maka latihan itu pun berjalan semakin lama semakin cepat. Ternyata Agung Sedayu berhasil memancing Glagah Putih untuk mengerahkan segenap kemampuannya, sehingga Kiai Jayaraga dapat menilai, betapa Glagah Putih mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Namun karena Agung Sedayu memiliki kemampuan yang jarang ada duanya dalam kecepatan gerak, dan kemampuannya seakan-akan membuat tubuhnya tidak berbobot, maka betapapun Glagah Putih mengerahkan segenap kemungkinan yang dapat dilakukan untuk mempertinggi kecepatan geraknya, namun sulit baginya untuk dapat menyusul kecepatan gerak Agung Sedayu.

Meskipun demikian, menurut penilaian Kiai Jayaraga, kemampuan Glagah Putih benar-benar telah jauh meningkat. Kemampuannya menanggapi keadaan, dan perhitungannya untuk mengambil sikap dan perkembangan unsur-unsur gerak yang dimilikinya

Untuk beberapa lama keduanya terlibat dalam latihan yang berat. Sementara itu Agung Sedayu dengan sengaja telah memaksa Glagah Putih untuk mengerahkan kemampuannya. Keduanya berloncatan dari batu ke batu. Kemudian turun ke air yang tidak begitu dalam dan deras. Bahkan kadang-kadang kaki mereka terlontar menghantam tebing dan melemparkan kembali ke tepian berbatu-batu.

Sementara itu, untuk mengetahui kemampuan Glagah Putih lebih jauh lagi, maka Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Lepaskan kemampuan ilmumu. Kami ingin melihat, apakah ilmu yang kau miliki juga berkembang karenanya.”

Glagah Putih menjadi ragu. Tetapi Agung Sedayu telah menyerangnya semakin cepat. Bahkan ketika Glagah Putih merasa udara menjadi hangat, maka ia sadar, bahwa Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmu kebalnya.

Karena itu, maka Glagah Putih pun menjadi lebih mantap bergerak. Dalam selimut ilmu kebalnya, maka Agung Sedayu tidak akan mudah ditembus oleh serangan yang betapapun dahsyatnya, apalagi menurut perhitungan Glagah Putih, hanya sekedar tataran ilmunya.

Karena itu, maka Glagah Putih pun telah mengerahkan ilmunya pula. Dengan cepat, kemampuan ilmunya itu telah menjalari tubuhnya dan bagian-bagian badannya. Bahkan ketika ia mengetrapkan ilmu yang diwarisinya dari Kiai Jayaraga, maka ia pun telah menjadi seorang yang luar biasa. Kiai Jayaraga-lah yang kemudian bergeser surut. Udara benar-benar menjadi panas. Sementara itu, kaki Glagah Putih jika menyentuh tanah bagaikan menancap sampai ke dasar bumi. Namun jika ia meloncat, maka bumi itu bagaikan melemparkannya. Gerak tangan dan kakinya pun kemudian bagaikan amuk badai yang dahsyat melanda setiap benda yang menghalangi jalannya, sedangkan serangan-serangannya pun datang seperti banjir bandang.

Kiai Jayaraga memperhatikan kemampuan Glagah Putih itu dengan jantung yang berdebar-debar. Ia sadar, bahwa sebagian dari yang dipergunakan oleh Glagah Putih itu adalah warisan ilmu darinya. Namun seperti kemampuan Glagah Putih yang lain, maka anak itu benar-benar telah meningkat jauh. Ilmu itu rasa-rasanya telah berkembang dan mekar di dalam diri Glagah Putih.

Untunglah bahwa lawan berlatih Glagah Putih saat itu adalah Agung Sedayu. Karena itulah, maka Glagah Putih dengan leluasa dapat melepaskan ilmunya, karena ia tidak mencemaskan kesulitan yang bakal terjadi atas Agung Sedayu.

Sementara itu Agung Sedayu pun merasakan sesuatu yang bergelora di dalam diri Glagah Putih. Darahnya seakan-akan mendidih memancarkan gejolak yang membakar jantungnya. Ilmu anak muda itu benar-benar telah berkembang dengan pesat menurut penilaian Agung Sedayu, yang dihadapkan langsung dengan benturan-benturan yang dahsyat.

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun telah meningkatkan ilmunya pula selapis demi selapis untuk memancing agar Glagah Putih pun melakukannya pula, sehingga kemudian sampai atau setidak-tidaknya mendekati puncak kemampuannya.

Ternyata bahwa kebanggaan tidak saja mewarnai perasan Glagah Putih sendiri. Tetapi Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga pun ikut berbangga dengan perkembangan ilmu itu. Namun mereka justru mempunyai kewajiban yang lebih berat untuk mengawasinya dari sisi yang lain.

Demikianlah, maka akhirnya Agung Sedayu dapat mengetahui betapa Glagah Putih benar-benar telah maju dengan pesatnya. Kiai Jayaraga pun menjadi heran, bahwa telah terjadi satu dorongan kemajuan yang luar biasa.

Tetapi Kiai Jayaraga pun menyadari, bahwa laku yang ditempuh oleh Glagah Putih bukannya tidak berarti. Anak muda itu tidak sekedar bermimpi sebagaimana terjadi atas Raden Rangga. Tetapi Glagah Putih telah bekerja keras dan berbuat untuk dapat meningkatkan ilmunya itu.

Beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayu pun mulai membuat jarak dari Glagah Putih, sambil memberikan isyarat bahwa saat latihan telah berakhir.

Perlahan-lahan Glagah Putih telah menyerap ilmunya dan membekukannya. Sejalan dengan itu maka ia pun telah mengekang tata geraknya sehingga akhirnya latihan itu pun berhenti.

“Kau mendapatkan kemajuan yang menggembirakan dari segi kanuragan,” berkata Agung Sedayu, “dorongan ilmumu menjadi semakin jelas, sehingga yang terpancar dari dirimu pun menjadi semakin tajam.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, sementara Kiai Jayaraga berkata, “Kau memang telah mendapatkan sesuatu.”

“Segala sesuatunya terserah kepada Kakang Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga,” berkata Glagah Putih kemudian.

“Air di belumbang yang kau katakan itu tentu mempunyai pengaruh yang baik pada tubuhmu, pada jalur-jalur syarafmu sehingga membuka kemungkinan-kemungkinan yang luas bagimu untuk mengembangkan ilmumu,” berkata Agung Sedayu kemudian. “Kita sudah pernah mengenali beberapa orang yang mempergunakan cara yang sama dengan cara yang kau tempuh. Penembahan Senopati pernah melakukan tiga laku sekaligus. Bergantung, berendam dan pati geni selama tiga hari tiga malam. Dengan demikian maka segalanya menjadi terbuka baginya. Ilmunya mengembang seakan-akan tanpa batas, meskipun tentu laku yang lain pernah ditempuhnya pula, disamping latihan-latihan yang tidak henti-hentinya. Mencoba dan mengetrapkan yang baru di antara yang dimilikinya tanpa beranjak dari akar ilmunya.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara Agung Sedayu pun berkata, “Agaknya kau pun harus berbuat demikian. Ilmumu memang meningkat. Tetapi terbatas pada apa yang telah kau miliki sebelumnya. Sedangkan yang harus kau lakukan berikutnya adalah menemukan kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih baik dan mengembangkannya. Kau akan menjadi seorang yang memiliki kelebihan dari orang lain. Namun yang penting selanjutnya, kau harus memberikan arti pada kelebihan yang kau miliki itu, dalam pengertian yang baik.”

Glagah Putih mengangguk kecil. Sementara Agung Sedayu kemudian berkata, “Jika kau sudah mengendorkan urat-uratmu, marilah, duduklah.”

Ketiganya pun kemudian duduk di atas batu. Keringat Glagah Putih masih membasahi tubuhnya. Namun angin malam telah menyegarkannya.

Dalam pada itu, maka Kiai Jayaragalah yang kemudian berkata, “Glagah Putih, semakin tinggi ilmumu, maka tanggung jawabmu pun menjadi semakin besar. Itulah sebabnya maka kau tidak boleh kehilangan keseimbangan, justru karena kau memiliki ilmu yang sangat tinggi.”

Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi kepalanya tertunduk memandang bebatuan yang berserakan di tepian.

“Memang ada kecemasan di hati kami,” berkata Agung Sedayu pula, “bahwa kau mengalami perkembangan di jalur yang berbeda dari yang pernah kami siapkan, sesuai dengan nuranimu sendiri.”

Glagah Putih mengangkat wajahnya. Katanya, “Mudah-mudahan tidak Kakang. Seperti yang sudah aku katakan, yang terjadi adalah sekedar peningkatan ilmu. Dan Kakang juga melihat, bahwa hanya yang telah ada di dalam diriku sajalah yang meningkat. Tidak ada yang baru dan tidak ada yang lain.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Aku kira waktu yang kau pergunakan sudah cukup hari ini. Aku mengira bahwa Raden Rangga akan datang juga. Tetapi ternyata tidak. Mungkin anak itu tidak tahu bahwa kau melakukan latihan di tempat yang lain dari yang kau pergunakan biasanya. Tetapi jika hanya karena itu, maka ia tentu akan dapat menemukannya.”

“Mungkin Raden Rangga memang tidak keluar malam ini,” berkata Glagah Putih, “ia sekarang lebih banyak berada di dalam biliknya. Ia merasa bahwa perjalanannya sudah hampir sampai ke batas.”

“Bagaimana ia dapat merasa demikian?” bertanya Kiai Jayaraga.

“Hidupnya yang lain nampaknya telah memberikan isyarat seperti itu,” jawab Glagah Putih.

“Hidupnya yang bagaimana?” bertanya Agung Sedayu.

“Di dunia mimpinya,” jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Mereka memang sudah mendengar tentang dunia Raden Rangga yang ganda dengan beberapa persamaan dan perbedaannya.

Demikianlah, maka latihan-latihan yang dilakukan oleh Glagah Putih itu pun telah dianggap cukup. Mereka pun kemudian telah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu.

Dalam pada itu, maka Agung Sedayu pun telah berkata kepada Glagah Putih, “Betapapun tinggi ilmu yang mungkin akan dapat kau gapai Glagah Putih, tetapi kita tidak boleh kehilangan kesadaran diri. Karena itu, kecuali arti yang dapat kau berikan kepada ilmu yang mungkin kau miliki, maka untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi dari pencapaian ilmu itu pun harus dilakukan dengan cara yang paling baik, sesuai dengan arti yang ingin kau berikan kepada ilmu itu sendiri.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Agung Sedayu. Karena itu, maka ia pun telah melihat kedalam dirinya sendiri. Laku apapun yang telah dijalaninya, maka ia tidak pernah beranjak dari kiblatnya. Yang Maha Pencipta, kepada-Nya-lah ia memohon dengan sungguh-sungguh dalam laku yang manapun.

Sejenak kemudian, maka mereka bertiga pun telah meninggalkan tepian berbatu-batu. Agaknya Raden Rangga memang tidak datang, karena biasanya jika anak muda itu datang, ia tidak menunggu sampai Glagah Putih beranjak pergi meskipun seandainya ia sendiri sedang segan melakukan latihan-latihan.

Dengan demikian maka mereka bertiga pun langsung kembali pulang. Ketika sekali-sekali mereka melalui gardu di padukuhan-padukuhan yang mereka lewati, maka anak-anak muda yang berada di gardu-gardu itu pun menyapa mereka.

Tetapi anak-anak muda itu mengetahui bahwa Glagah Putih bersama Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga sering keluar di malam hari untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan.

Bahkan ketika mereka sampai di gardu di mulut lorong padukuhan induk, Glagah Putih pun berkata kepada Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga, ”Aku akan tinggal di sini. Silahkan Kiai dan Kakang pulang dahulu.”

“Baiklah,“ jawab Agung Sedayu, “kami akan mendahului kembali. Rasa-rasanya mata ini tidak lagi mau terbuka.”

Glagah Putih pun kemudian berada di gardu itu bersama anak-anak muda yang sebagian tidak sedang bertugas. Tetapi mereka lebih senang duduk-duduk di gardu sambil bergurau. Bahkan mereka terbiasa untuk tidak pulang dan tidur di gardu itu sampai dini hari, menemani kawan-kawan mereka yang sedang bertugas.

Malam itu Glagah Putih juga berada di gardu sampai menjelang pagi. Ketika ia pulang, pembantu rumah Agung Sedayu mulai bergeremang karena Glagah Putih tidak ikut pergi ke sungai untuk membuka pliridan.

Malam itu Glagah Putih hampir tidak tidur sama sekali. Ia hanya sempat beristirahat sejenak, menjelang matahari terbit. Namun ia pun segera bangun pula dan pergi ke sumur untuk mengisi jambangan di pakiwan.

Hari itu, Glagah Putih sibuk dengan kudanya. Ia mencoba untuk mengenal kuda itu lebih banyak lagi. Dengan cermat Glagah Putih memelihara agar kuda itu tidak mengalami perlakuan yang jauh berbeda dari saat kuda itu berada di Mataram. Kepada seorang yang terbiasa mencari rumput untuk kuda-kuda di rumah Agung Sedayu itu Glagah Putih berpesan, agar bagi kudanya dicarikan rumput yang paling baik yang dapat diambilnya.

Namun dalam pada itu, cerita tentang kuda Glagah Putih itu pun segera tersebar di antara kawan-kawannya di Tanah Perdikan. Lebih-lebih anak-anak yang tumbuh dan meningkat dewasa sebaya dengan Glagah Putih sendiri.

Apalagi Glagah Putih yang ingin membiasakan dirinya dengan kuda itu telah mengelilingi Tanah Perdikan Menoreh dengan kudanya itu. Meskipun ia sama sekali tidak bermaksud untuk memamerkan kudanya, namun ternyata bahwa seluruh Tanah Perdikan, terutama anak-anak mudanya, telah membicarakannya.

Namun dalam pada itu, ternyata ada juga orang yang berusaha untuk mengetahui siapakah yang memiliki seekor kuda yang tegar di Tanah Perdikan Menoreh. Seperti yang sudah diduga, maka tidak sulit bagi orang itu untuk mengetahui, bahwa pemilik kuda itu adalah Glagah Putih yang tinggal di padukuhan induk.

Namun orang itu telah melakukan satu kesalahan yang besar, bahwa ia tidak bertanya siapakah Glagah Putih itu, dan apalagi bahwa ia telah tinggal bersama Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga.

Karena itu, maka orang itu pun telah dengan tanpa ragu-ragu berusaha untuk menemukan kandang kuda yang sangat tegar itu.

“Anak-anak muda di Tanah Perdikan ini nampaknya tidak mempunyai kerja lain selain berada di gardu,” geram salah seorang dari empat orang yang ingin mengambil kuda yang tegar itu.

“Jangan lengah di Tanah Perdikan ini,” desis yang lain, “setiap orang tahu, bahwa para pengawal di Tanah Perdikan ini memiliki kemampuan seorang prajurit.”

“Ah, kau,” sahut kawannya, “bukankah kau masih mampu menilai dirimu sendiri dan diri kita masing-masing? Apakah kita pernah merasa gentar menghadapi sekelompok prajurit Mataram sekalipun, sehingga kita harus mengurungkan niat kita mengambil kuda yang bagus itu?”

“Aku tahu, bahwa kuda itu memang sangat bagus,” jawab yang lain, “tetapi aku tetap menganggap bahwa usaha kita mengambil kuda itu di Tanah Perdikan harus dilakukan dengan sangat berhati-hati. Betapapun bagusnya kuda itu, tetapi nilainya tidak akan sama dengan kita berempat. Meskipun kita tidak gentar menghadapi sekelompok prajurit, tetapi kita tidak akan mampu melawan seluruh isi Tanah Perdikan ini. Para pengawal yang memiliki kemampuan prajurit di Tanah Perdikan ini, akan dapat digerakkan dalam waktu dekat mengepung kita, dan jika terjadi demikian, apakah kita akan dapat lolos? Mungkin kita dapat memecahkan kepungan pertama dan kedua. Tetapi bagaimana ketiga, keempat dan barangkali ke lima belas?”

“Jangan terlalu dibayangi oleh cerita tentang anak-anak muda Tanah Perdikan ini. Meskipun sebagian dari mereka telah ikut dalam perang antara Pajang dan Mataram, bahkan tidak hanya sekali, tetapi apakah yang mereka lakukan di pertempuran, kita tidak melihatnya.”

“Aku mengusulkan jalan tengah,” berkata salah seorang di antara mereka.

“Bagaimana?” bertanya kawan-kawannya.

“Kita lihat, kemana saja anak muda pemilik kuda itu membiasakan diri dengan kudanya. Bukankah kita akan dapat melihat-lihat, kapan anak itu keluar dari padukuhan induk dan kemana saja? Aku kira ia akan sering keluar dengan kudanya yang baru itu. Mungkin karena baru, tetapi mungkin juga untuk menyesuaikan diri,” jawab yang mengusulkan jalan tengah itu.

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Sebelumnya mereka pun pernah memikirkan cara itu sebagai salah satu pilihan. Mengambil kuda itu dari tangan pemiliknya di jalan, atau mengambilnya di kandang.

Salah seorang di antara mereka berkata, “Aku menganggap lebih mudah untuk memaksa anak itu memberikan kudanya di jalan.”

“Ya. Kita akan memaksanya untuk ikut bersama kita sampai ke batas Tanah Perdikan. Baru kemudian anak itu kita lepaskan. Jika ia kemudian membunyikan isyarat, kita tentu sudah jauh.”

“Jalan yang baik,” berkata yang lain, “tetapi kita akan memerlukan waktu yang lama. Apakah seimbang bagi kita, untuk mendapatkan seekor kuda, kita harus berada di sini sepekan misalnya?”

“Kuda itu sangat baik,” jawab yang pertama, “di samping itu, apa salahnya kita melihat-lihat Tanah Perdikan ini? Mungkin kita melihat sesuatu.”

“Kita tidak dapat berbuat banyak di sini,” sahut kawannya, “sedangkan tentang kuda itu pun kita harus sangat berhati-hati.”

“Baiklah,” berkata orang yang tertua di antara mereka, “yang penting bagi kita, kuda itu akan jatuh ke tangan kita. Kuda itu adalah kuda yang mahal. Memang mungkin jika diperhitungkan dengan tenaga yang kita sediakan untuk mendapatkan kuda itu seakan-akan kurang sesuai. Tetapi kesempatan bagi kita untuk mendapatkan kuda yang demikian itu sangat langka.”

“Jika kuda itu akan kita tukarkan dengan dua ekor kuda biasa, maka agaknya lebih mudah bagi kita untuk mengambil dua ekor kuda biasa saja dimanapun juga. Tidak harus di Tanah Perdikan ini.”

Orang tertua di antara mereka menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Agaknya memang demikian. Tetapi kuda itu sangat menarik.”

Kawan-kawannya menarik nafas panjang. Mereka tahu sifat orang tertua di antara mereka itu. Kuda itu tentu tidak akan ditukarkan dan diperuntukkan bagi mereka. Tetapi orang tertua itu sendiri menginginkan kuda itu. Kuda bagi mereka berempat sebenarnya sudah tersedia. Tetapi kuda mereka adalah kuda-kuda kebanyakan. Tidak sebesar dan setegar kuda yang telah menarik perhatian orang tertua di antara mereka itu.

Karena itu, maka mereka pun tidak mempersoalkannya lagi. Orang tertua di antara mereka itu pada akhirnya tentu akan memaksakan kehendaknya, meskipun sebelumnya mereka telah berbicara melingkar-lingkar.

Dengan demikian, maka keempat orang itu pun telah membagi tugas. Setiap kali mereka harus berusaha mengawasi jalan yang ditempuh oleh Glagah Putih dengan kudanya. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar