Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 196

Buku 196

Panembahan Senapati masih juga mengangguk-angguk. Tetapi ternyata ia tidak menjawab kesan Swandaru itu. Bahkan ia pun kemudian berkata sehingga semua yang mendengarnya terkejut karenanya,, “Baiklah. Jika Adimas Adipati hanya mau menerima aku saja, maka biarlah aku menemuinya.”

“Panembahan,” hampir di luar sadarnya Ki Lurah memotong, “jika Panembahan ingin berbicara, sebaiknya Panembahan memanggil Adipati Pajang. Panembahan memiliki kedudukan lebih tinggi. Sebagai kadang, Panembahan lebih tua dari Adipati Pajang, meskipun sekedar kakak ipar.”

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti jalan pikiran Ki Lurah Branjangan yang ingin menjaga kewibawaannya. Namun mengingat peristiwa yang akan terjadi esok pagi, maka Panembahan Senapati itu berkata,, “Ki Lurah. Mungkin aku harus berpegang kepada harga diri. Tetapi apa arti harga diriku dibandingkan dengan nyawa yang tidak terhitung jumlahnya, yang mungkin akan dapat diselamatkan?”

“Tanggung jawab tidak terletak di bahu Panembahan Senapati, tetapi di bahu Kanjeng Adipati Pajang,” jawab Ki Lurah. “Jika benar besok jumlah kematian itu tidak terkekang, maka Kanjeng Adipati akan dikutuk sampai tujuh keturunan. Ia tidak mau menyerahkan hanya satu orang, sementara itu kematian tidak terhitung.”

“Tidak hanya seorang Ki Lurah. Tetapi pusaka-pusaka itu pun harus diperhitungkan. Sementara itu, selain pemimpin yang bertanggung jawab, tetapi bukankah setiap orang wajib berusaha untuk mencegah, atau setidak tidaknya membatasi, kematian, bertanggung jawab atau tidak bertanggung jawab atas kematian itu, apabila memungkinkan?” berkata Panembahan Senapati.

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Jika hal itu yang dikehendaki, maka apa boleh buat.

Ternyata Panembahan Senapati kemudian berkata,, “Aku ingin pergi menemui Adimas Adipati. Aku ingin pergi bersama Agung Sedayu.”

Hampir semua orang berpaling kepada Agung Sedayu. Mereka menghubungkan perintah itu dengan sikap Agung Sedayu sendiri, sehingga beberapa orang menganggap bahwa Panembahan Senapati bukannya tidak tahu, pembicaraan apakah yang telah berkembang di ruang itu sebelumnya.

Demikianlah, maka Panembahan Senapati, tanpa dikawal oleh seorang pengawal pun kecuali Agung Sedayu, telah berusaha untuk menemui Adipati Pajang. Ketika Panembahan Senapati itu memasuki daerah pertahanan orang-orang Pajang dan Demak, maka mereka pun menjadi heran. Yang ada di hadapan mereka benar-benar Panembahan Senapati dari Mataram.

Ketika hal itu kemudian disampaikan kepada Adipati Pajang, maka Kanjeng Adipati memang menjadi gugup. Namun hanya sejenak. Karena ia pun dengan cepat telah menguasai dirinya.

Adipati Pajang itu tidak dapat menolak kehadiran Panembahan Senapati karena ia sendirilah yang telah mengatakan, bahwa jika Panembahan Senapati sendiri yang datang, maka ia akan dapat menerima.

Karena itu, betapapun beratnya, maka Panembahan Senapati pun kemudian dipersilahkannya memasuki ruangan itu bersama dengan Agung Sedayu.

“Aku berkeberatan jika ada orang lain ikut bersama Kakangmas Panembahan,” berkata Adipati itu.

“Kenapa?” jawab Panembahan Senapati, “Aku juga tidak berkeberatan atas kehadiran pengawal-pengawalmu di ruangan ini. Selebihnya mereka akan dapat menjadi saksi pembicaraan kita.”

Kanjeng Adipati Pajang ternyata tidak dapat menolak. Karena itu, maka dibiarkannya Agung Sedayu berada di dalam ruangan itu pada saat Panembahan Senapati dan Adipati Pajang mengadakan pembicaraan.

“Adimas,” berkata Panembahan Senapati, “apakah Adimas sudah mendapatkan gambaran, apakah yang akan terjadi besok?”

“Sudah Kakangmas,” jawab Adipati Pajang, “kematian. Istana ini akan tenggelam ke dalam genangan darah prajurit Mataram dan Pajang.”

“Apakah hal itu tidak dapat dicegah?” bertanya Panembahan Senapati.

“Tentu dapat Kakangmas,” jawab Adipati Pajang.

“Apakah Adimas mempunyai gambaran, cara untuk mencegah kematian itu?” bertanya Panembahan Senapati.

“Tentu. Jika Kakangmas menarik pasukan Mataram dari Pajang dan tidak mengganggu kami lagi, maka tidak akan terjadi pertumpahan darah di Pajang ini,” jawab Kanjeng Adipati.

“Adimas,” berkata Panembahan Senapati, “bukankah permintaanku kepada Pajang wajar sekali? Pertama, pusaka-pusaka yang menjadi hak Keraton Pajang, yang kemudian berpindah ke Mataram. Yang menjadi pimpinan tertinggi sekarang berkedudukan di Mataram. Karena itu, maka semua pertanda kebesaran sudah sewajarnya dipindahkan ke Mataram. Bukankah hal itu tidak berlebih-lebihan? Aku tidak minta harta benda di Gedung Perbendaharaan. Aku hanya minta isi Gedung Pusaka. Itupun tidak seluruhnya. Aku tidak menginginkan keris, tombak atau pedang yang mempunyai wrangka dari emas dengan tretes berlian. Akupun tidak ingin nilai kewadagan pusaka-pusaka itu. Tetapi yang aku butuhkan adalah sipat kandel dari Keraton, yang harus berpindah ke Mataram.” Panembahan Senapati berhenti sejenak, lalu, “Sedangkan yang kedua adalah Ki Tumenggung Wiladipa. Orang itu sudah berusaha membunuh salah seorang utusanku. Itu adalah satu pelanggaran paugeran dalam hubungan antara para pemimpin di dalam lingkungan Mataram, atas seorang utusan. Ia adalah seorang utusan. Namun Ki Tumenggung Wiladipa sudah berusaha membunuh utusanku, yang kebetulan dilakukan oleh Untara.”

Kanjeng Adipati termangu-mangu. Keringat dingin telah mengalir di seluruh tubuhnya. Namun ia masih dapat menunggu sampai kata-kata terakhir Panembahan Senapati.

Baru kemudian ia menjawab, “Kakangmas, sudah beberapa kali aku katakan, bahwa aku berkeberatan untuk melepaskan satu saja dari pusaka-pusaka di Gedung Pusaka. Pusaka itu adalah milik Pajang. Bukan milik siapa yang memegang pemerintahan. Karena itu, maka Mataram sama sekali tidak berhak atas pusaka-pusaka itu. Sedangkan yang kedua, tentang Tumenggung Wiladipa, itu bukan tanggung jawabku. Jika Kakangmas Panembahan dapat menangkapnya, silahkan.”

“Jangan berkeras seperti itu Adimas,” jawab Panembahan Senapati, “bukankah kita dapat mencari jalan keluar?”

Sorot mata Kanjeng Adipati Pajsng menjadi semakin tajam menusuk perasaan Panembahan Senapati. Namun Panembahan Senapati masih menunggu jawabnya.

“Kakangmas,” Adipati Pajang itu pun kemudian menjawab, “hanya ada satu jalan keluar. Kakangmas harus menarik pasukan Mataram dari Pajang. Kemudian tidak mengusik lagi ketenangan Pajang. Tidak ada yang lain”

“Kecuali perang,” tiba-tiba Panembahan Senapati memotong.

Terasa jantung Adipati Pajang tersentuh. Kata-kata yang tegas dan keras itu ternyata mempengaruhi perasaannya pula.

Sementara itu, Panembahan Senapati meneruskan, “Adimas. Memang Mataram dapat memilih jalan perang. Aku yakin, bahwa Mataram akan dapat menghancurkan Pajang. Kedatanganku menemui Adimas jangan diartikan bahwa Mataram dalam kedudukan yang lemah sekarang ini. Tetapi kami berpendapat, bahwa lebih baik persoalan kita dapat kita selesaikan tanpa korban yang tidak terhitung jumlahnya.”

“Semuanya sudah aku perhitungkan,” jawab Adipati Pajang, “kami, para kesatria Pajang, telah memutuskan untuk mempertahankan hak kami sampai orang yang terakhir.”

“Tetapi jangan berpijak pada penalaran yang dangkal,” berkata Panembahan Senapati, “jika Adimas berbicara tentang hak, maka sebenarnyalah bahwa Pajang sekarang tidak berhak lagi atas beberapa pusaka yang menjadi pertanda kekuasaan tertinggi di Tanah ini.” 

“Kakangmas mengulangi persoalan yang sudah aku jawab,” berkata Adipati Pajang, ”sebaiknya kita tidak usah berbicara lagi. Aku berkeberatan untuk berbicara terlalu panjang tentang persoalan yang sudah aku tetapkan.”

Perasaan Panembahan Senapati benar-benar teringgung. Tetapi Panembahan Senapati mampu menunjukkan kedewasaan sikap, sehingga ia masih tetap duduk di tempatnya sambil mengangguk-angguk.

“Jadi, menurut Adimas tidak ada jalan lain untuk memecahkan persoalan ini kecuali dua pilihan, menarik pasukan Mataram atau perang?” bertanya Panembahan Senapati.

“Ya, hanya ada dua pilihan.”

“Bagaimana jika aku mengusulkan pilihan ketiga?” bertanya Panembahan Senapati.

“Apa maksud kakangmas?” bertanya Adipati Pajang.

“Agar korban tidak terlalu banyak, maka kita berusaha untuk mengatasinya sekecil mungkin.” Panembahan Senapati itu berhenti sejenak, lalu, “Maksudku, bagaimana jika kematian yang tidak terhitung itu kita wakili?”

Wajah Adipati Pajang menjadi tegang. Dengan gemetar ia bertanya, “Perang tanding?” “Ya. Jika aku kalah, maka pasukan Mataram akan ditarik. Tetapi jika Adimas Adipati kalah, maka Pajang akan tunduk kepada Mataram dengan segala macam akibatnya,” berkata Panembahan Senapati. Namun kemudian ditambahkannya, “Tetapi ini tidak lebih dari satu tawaran. Jika Adimas berkeberatan, maka aku pun akan mengurungkannya.”

Jantung Adipati Pajang berdegup semakin keras. Ia-lah yang kemudian tersinggung. Namun dengan darah seorang prajurit, maka ia pun berkata, “Kakangmas, aku adalah prajurit sejak kanak-kanak. Jika yang dimaksud oleh Kakangmas adalah satu tantangan, maka aku tidak akan ingkar.”

“Bagus,” jawab Panembahan Senapati, ”kau benar-benar menantu Sultan Hadiwijaya. Jika demikian, maka kita-lah yang akan menebus kematian yang tidak akan terhitung jumlahnya itu dengan nyawa kita. Besok kita berdua sajalah yang akan turun ke medan. Biarlah pasukan Mataram dan Pajang tetap berada di tempat mereka masing-masing dengan ketentuan seperti yang sudah aku katakan.”

“Kakangmas memang seorang laki-laki. Aku senang mendapat kehormatan melayani Kakangmas di medan perang,” berkata Adipati Pajang.

“Baiklah kita menentukan syarat perang tanding itu Adimas,” berkata Panembahan Senapati.

“Syarat apa?” bertanya Adipati Pajang, “Kita bertempur. Siapa yang mati, ialah yang kalah.”

“Jangan terlalu garang,” jawab Panembahan Senapati, “kita masih harus memperhitungkan beberapa kemungkinan. Karena itu maka aku berpendapat, bahwa kita akan turun ke medan tanpa senjata. Kita akan bertumpu kepada ilmu kita masing-masing.”

“Kakangmas takut melihat tajamnya ujung tombak?” bertanya Adipati Pajang.

“Tidak, tentu tidak,” jawab Panembahan Senapati, “tetapi mati di ujung senjata adalah kematian yang biasa, sebagaimana terjadi atas prajurit-prajurit yang bertempur dalam gelar. Tetapi kita lain Adimas. Kita memiliki kelebihan dari mereka.”

“Kelebihan itu kita uji dengan senjata,” jawab Adipati Pajang.

“Ah, jika kita membawa senjata, maka segalanya akan dengan cepat selesai. Tentu aku dan juga Adimas akan membawa senjata yang paling baik yng kita miliki. Dan aku tentu akan membawa pusaka Kanjeng Kiai Pleret. Dan itu tentu tidak akan memberikan ketegangan. Jarang sekali orang yang akan dapat melawan Kiai Pleret dalam perang tanding yang demikian, apalagi Kiai Pleret itu berada di tangan seseorang yang menerima pusaka itu langsung dari Ayahanda Sultan Hadiwijaya,” berkata Panembahan Senapati.

Adipati Pajang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Bagus. Kita akan beradu ilmu. Kakangmas ingin menunjukkan bahwa Kakangmas merupakan lumbung ilmu yang tidak ada duanya. Tetapi apapun yang akan terjadi, aku pun bukannya tidak pernah berguru.”

“Aku mengerti Adimas,” jawab Panembahan Senapati, “kau pernah berguru kepada seorang pertapa di kaki Gunung Merbabu. Kau pernah pula berada di Alas Lodaya sampai berbulan-bulan. Dan kau pun pernah hilang ditelan ombak Lautan Kidul di pantai Pandan Segegek, dan kembali tanpa diketahui oleh siapa pun. Masih banyak lagi yang kau lakukan dalam olah kanuragan, dan itu akan menjadi sangat menarik.”

Kanjeng Adipati Pajang memandang Panembahan Senapati dengan tajamnya. Yang dikatakan oleh Panembahan Senapati itu hanya sebagian dari laku yang pernah ditempuhnya. Tetapi Adipati Pajang pun mengetahui, bahwa Panembahan Senapati telah menjalani laku yang tidak terhitung jumlahnya, sebagaimana pernah ditempuh oleh Pangeran Benawa.

Namun Kanjeng Adipati memang seorang prajurit. Ia tidak gentar menghadapi apapun juga. Karena itu, maka kesempatan yang diberikan oleh Panembahan Senapati itu merupakan satu kesempatan yang akan memberikan arti bagi hidupnya. Memang ada dua kemungkinan yang dapat terjadi, mukti atau mati.

Demikianlah, akhirnya kedua pemimpin itu memutuskan untuk melakukan perang tanding. Dengan demikian, maka jumlah kematian akan dapat dikurangi dan disusut menjadi kecil sekali. Seorang akan mati di arena. Kemudian segala sesuatunya akan selesai.

“Baiklah Adimas,” berkata Panembahan Senapati kemudian, “Agung Sedayu akan menjadi saksi dari pembicaraan ini. Panglima pasukan Mataram akan menyebarkan keputusan ini, sehingga pasukan Mataram tidak akan bergerak besok pagi.”

“Pasukan Pajang pun tidak akan bergerak besok Kakangmas,” jawab Kangjeng Adipati, “para pemimpin Pajang akan menyaksikan perang tanding yang akan kita lakukan dengan jujur, tanpa senjata apapun.”

Panembahan Senapati tersenyum. Katanya, “Kita adalah murid-murid Sultan Hadiwijaya. Mungkin Adimas belum pernah menerima titik-titik tetesan ilmunya. Tetapi sebagai seorang menantu, Adimas tentu pernah mendengar petuah dan petunjuknya. Akupun pernah mendengar nasehat-nasehatnya sebagai putra angkatnya. Sehingga dengan demikian, betapapun tipisnya, kita tentu mempunyai pegangan dalam kehidupan ini berdasarkan petunjuk-petunjuknya. Nah, besok akan kita tunjukkan, bahwa kita masing-masing, siapapun yang menang, akan menjunjung tinggi nama Sultan Hadiwijaya.”

Adipati Pajang itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat Kakangmas. Kita akan menjunjung tinggi nama Sultan Pajang.”

Sultan Hadiwijaya memang Sultan Pajang pada waktu itu.

Sejenak kemudian, maka Panembahan Senapati itu pun minta diri untuk kembali ke pasukannya. Dikuti oleh Agung Sedayu, maka Panembahan Senapati telah menyeberangi jarak antara pasukan Pajang dan pasukan Mataram yang tidak teralu panjang itu.

Keputusan Panembahan Senapati untuk mengadakan perang tanding telah menimbulkan tanggapan yang bermacam-macam. Namun sebagian besar dari para senapati, termasuk Swandaru, merasa kecewa bahwa mereka tidak mendapat kesempatan untuk menghancurkan Pajang yang tinggal selangkah lagi.

“Segala sesuatunya akan tergantung kepada satu orang,” berkata Swandaru di dalam hatinya.

Bahkan para senapati Mataram, termasuk Ki Lurah Branjangan sendiri, merasa cemas akan hasil dari perang tanding yang akan dilakukan besok antara Panembahan Senapati dengan Adipati Pajang. Meskipun mereka yakin akan ketinggian ilmu dari Panembahan Senapati itu, namun mereka pun mengerti bahwa Adipati Pajang juga memiliki ilmu yang sangat tinggi. Bagaimanapun juga, perang tanding akan dipengaruhi oleh beberapa hal yang kadang-kadang di luar dugaan.

Panembahan Senapati yang melihat kecemasan itu pun kemudian berkata, “Marilah kita serahkan segala sesuatunya kepada Yang Maha Agung. Kita akan memohon agar Yang Maha Agung itu berkenan untuk menentukan, apa yang sebaiknya terjadi atas Mataram dan Pajang.”

Ki Lurah Branjangan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Ya. Kita serahkan segala sesuatunya kepada Yang Maha Agung.”

Dengan demikian, maka para pemimpin Mataram itu sebagian terbesar justru menjadi pasrah, sehingga mereka tidak terlalu gelisah menghadapi penyelesaian yang sudah dipilih oleh Panembahan Senapati dan Kanjeng Adipati Pajang. Karena dengan demikian, maka korban akan jauh berkurang.

Malam itu, kegelisahan telah mencengkam kedua belah pihak. Bahkan ketegangan telah membuat para prajurit dari kedua belah pihak yang kemudian mendengar berita tentang keputusan Panembahan Senapati dan Adipati Pajang itu sulit untuk dapat beristirahat dan memejamkan mata. Mereka dibayangi oleh angan-angan tentang apa yang akan terjadi esok. Dua orang raksasa dalam olah kanuragan, akan bertemu dalam arena perang tanding, yang akan menentukan akhir dari perang antara Mataram dan Pajang. Dua orang yang memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya, yang akan menjadi pengganti perang yang akan dapat menelan korban yang tidak terhitung jumlahnya.

Namun demikian, ada juga di antara mereka yang sempat beristirahat barang sejenak. Namun rasa-rasanya malam terlalu cepat berakhir.

Menjelang pagi, meskipun yang akan bertempur hanyalah Panembahan Senapati sendiri, namun semua prajurit pun telah bersiap-siap. Mereka telah makan dan minum sebagaimana mereka akan maju ke medan. Karena bagaimanapun juga, kemungkinan-kemungkinan buruk akan dapat terjadi.

Ketika langit mulai dibayangi oleh cahaya matahari, maka semua prajurit dari kedua belah pihak pun telah siap. Tetapi beberapa orang pemimpin dari kedua belah pihak telah menyiapkan arena yang akan dijadikan arena perang tanding dari dua kekuatan raksasa dari Mataram dan Pajang, yang akan menentukan akhir dari pertempuran yang telah terjadi.

Panembahan Senapati sendiri dan Adipati Pajang telah bersiap-siap pula di tempat masing-masing. Mereka telah mempersiapkan diri bukan saja kesiagaan lahiriah, tetapi juga kesiagaan batin, karena mereka masing-masing menyadari, siapakah yang akan mereka hadapi dalam perang tanding itu. Banyak kemungkinan dapat terjadi, sehingga mereka harus benar-benar siap dalam segala hal.

Sejenak kemudian, ketika matahari mulai merayap di langit, maka terdengar suara pertanda hadirnya dua orang pemimpin dari Mataram dan Pajang yang akan turun ke dalam arena perang tanding.

Suara bende yang berdengung menggetarkan setiap jantung prajurit Mataram dan Pajang. Ternyata bahwa akhir dari perang antara Mataram dan Pajang akan sangat tergantung kepada perang tanding itu.

Dalam kegelisahan itu, ternyata bahwa Panembahan Senapati dengan wajah cerah berjalan menuju ke arena yang telah dipersiapkan. Ketika ia berdiri di antara para pemimpin Mataram dan siap melangkah ke arena, maka Ki Lurah Branjangan telah mencegahnya sambil berkata, “Jangan memasuki arena lebih dahulu, Panembahan. Biarlah Adipati Pajang akan memasuki bersama-sama”

Panembahan Senapati tersenyum Katanya, “Kita tidak perlu menjunjung harga diri terlalu tinggi.”

“Hamba sependapat Panembahan,” jawab Ki Lurah, “tetapi kali ini hamba mohon.”

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kali ini aku tidak datang ke Pajang mengikuti Paman Juru Martani, agar aku tidak terlalu banyak harus mengikuti pantangan. Tetapi ternyata ada juga orang yang membatasi gerak-gerikku dengan pantangan-pantangan.”

“Ampun Panembahan,” jawab Ki Lurah, “bukan maksud hamba. Tetapi hamba mohon.”

Panembahan Senapati mengangguk. Jawabnya, “Baiklah. Aku akan berusaha untuk memasuki arena bersama-sama dengan Adipati. Menurut dugaanku, Adimas Adipati pun tidak akan memasuki arena itu lebih dahulu.”

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, para pemimpin dari Pajang dan Demak pun telah menyibak pula. Ternyata Kanjeng Adipati Pajang pun telah menuju ke arena pula.

Tetapi seperti yang diperhitungkan oleh Panembahan Senapati dan orang-orang Mataram, maka Kanjeng Adipati Pajang pun tidak mau memasuki arena lebih dahulu dari Panembahan Senapati.

Dengan demikian, maka kedua orang yang telah siap untuk berperang tanding itu telah memasuki arena bersama-sama. Arena yang dibatasi dengan gawar lawe berwarna putih.

Sebagaimana telah mereka setujui, bahwa keduanya telah memasuki arena tanpa senjata.

Sementara itu, sebagai saksi maka dua orang telah mendekati arena. Seorang dari pihak Mataram yang diwakili oleh Agung Sedayu atas kehendak Panembahan Senapati sendiri, sedangkan di pihak Pajang telah diwakili oleh seorang senapati kepercayaan Adipati Pajang. Sebenarnya Kanjeng Adipati menghendaki Ki Tumenggung Wiladipa, tetapi Ki Tumenggung itu ternyata tidak dapat diketemukan.

Beberapa saat keduanya berdiri di arena. Kemudian dengan isyarat, keduanya menyatakan bahwa masing-masing telah bersiap menghadapi perang tanding itu.

Dengan demikian, maka seorang yang bertugas telah membunyikan bende sebagai pertanda bahwa perang sudah dapat dimulai.

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Setapak ia bergeser, sementara itu Kanjeng Adipati Pajang pun ternyata benar-benar seorang yang telah dewasa dalam ilmu kanuragan. Dengan demikian maka yang nampak di arena justru dua orang yang seolah-olah tidak terlalu menggetarkan dalam ilmu kanuragan.

Tidak seperti dua orang yang baru sampai tataran pertama dalam pencapaian ilmu, yang dalam setiap kesempatan justru berusaha menunjukkan kemampuannya, maka kedua orang raksasa yang berada di arena itu lebih banyak menunjukkan kedalaman dalam sikap, daripada berloncat-loncatan dan saling menyerang.

Namun demikian, beberapa saat kemudian, maka keduanya telah mulai dengan penjajagan ilmu masing-masing. Adipati Pajang telah menggerakkan tangannya menyamping sambil memiringkan tubuhnya. Ketika telapak tangannya yang menghadap langsung ke depan bergerak dan tepat menghadap tubuh Panembahan Senapati, maka tangan itu pun bergetar. Tetapi hanya sesaat, karena Panembahan Senapati pun kemudian bergeser ke kiri.

Kanjeng Adipati tidak mengikuti gerak tubuh Panembahan Senapati dengan telapak tangannya, karena Adipati Pajang sadar, bahwa gerak dan langkah itu tidak akan berarti. Dengan cara yang khusus Adipati Pajang berusaha untuk menghisap tenaga yang ada pada diri Panembahan Senapati. Meskipun sejak semula Adipati Pajang sudah ragu, apakah ia akan berhasil, namun ia telah mencobanya.

Namun ternyata dugaannya benar. Ilmunya tidak berhasil menghisap tenaga lawannya. Ilmunya bagaikan menghadapi bongkah-bongkah besi baja yang tidak bergeser seujung jarum pun oleh hisapan ilmunya. Tubuh Panembahan Senapati justru bagaikan tertutup dan kekuatannya sama sekali tidak terpengaruh oleh ilmunya yang jarang dimiliki oleh orang lain.

Meskipun demikian Panembahan Senapati telah bergeser dan menghindar. Bukan karena ia mencemaskan kemungkinan daya tahannya akan tertembus oleh ilmu Adipati Pajang. Tetapi ia tidak ingin dengan sombong membiarkan dirinya mendapat serangan tanpa terpengaruh sama sekali.

Namun sementara itu, Panembahan Senapati telah berdiri tegak menghadap ke arah Adipati Pajang. Kedua tangannya pun mulai bergerak lurus ke depan dengan telapak tangan menengadah. Sejenak nampak tangan itu bergetar. Namun Panembahan Senapati itu menarik nafas dalam-dalam ketika Adipati Pajang pun kemudian melangkah ke samping sambil memiringkan tubuhnya.

Ternyata kekuatan Panembahan Senapati tidak berhasil mengangkat tubuh Adipati Pajang dan memisahkannya dengan tanah tempatnya berpijak.

Namun agaknya Adipati Pajang tidak menghendaki pertempuran itu menjadi sangat lamban. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk mempercepat langkah-langkah yang mungkin diambilnya.

Ketika tangan Adipati Pajang terjulur lagi, Panembahan Senapati telah meloncat menghindar. Adipadi Pajang tidak bergerak dengan gerak lamban untuk menghisap kekuatan lawannya, tetapi yang kemudian dilakukan adalah justru menyerangnya.

Satu gelombang kekuatan telah meluncur dari telapak tangan Adipati Pajang. Tetapi Adipati Pajang masih memperhitungkan orang-orang yang ada di sekitar arena, sehingga serangannya tidak mendatar, tetapi menukik ke bawah. Karena itu, ketika serangan itu tidak mengenai sasaran karena Panembahan Senapati mengelak, maka serangan itu telah membentur tanah, beberapa langkah di luar arena.

Tidak terjadi ledakan. Tetapi hembusan asap bagaikan memancar dari dalam tanah. Hanya hembusan lembut. Tetapi setiap orang menyadari, apa yang terjadi jika serangan itu menyentuh seseorang. Tubuhnya tentu akan menjadi hangus atau bahkan menjadi arang.

Namun dalam pada itu, serangan itu telah memperingatkan para perwira dan prajurit dari kedua belah pihak yang menyaksikan perang tanding itu untuk mengambil jarak. Jika keduanya bertempur semakin cepat dan tidak lagi sempat memperhitungkan jarak serangan mereka, maka mungkin sekali terjadi, bahwa serangan itu akan menyentuh orang-orang di luar arena.

Karena itu, maka orang-orang di seputar arena itu telah menyibak. Yang tinggal di dekat gawar lawe batas arena tinggallah Agung Sedayu dan senapati yang menjadi saksi bagi Adipati Pajang.

Ternyata bahwa kesempatan itu telah memberikan keleluasaan bagi kedua orang yang sedang berperang tanding itu. Keduanya sama sekali tidak berusaha untuk bertempur pada jarak jangkau serangan kewadagan. Tetapi keduanya memiliki kekuatan untuk menyerang pada jarak tertentu.

Semakin lama pertempuran itu menjadi semakin sengit. Keduanya ternyata benar-benar raksasa dalam olah kanuragan. Bukan saja serangan-serangan dengan lontaran gelombang-gelombang kekuatan yang menyambar-nyambar. Namun semakin lama keduanya pun telah berusaha untuk mempengaruhi lawan masing-masing dengan kekuatan-kekuatan khusus yang ada pada ilmu mereka. Unsur dari kekuatan yang memancarkan panasnya api, serta kekuatan yang dapat mereka serap dari kekuatan yang ada di sekeliling mereka, telah menjadi senjata dalam pertempuran itu.

Ketika Adipati Pajang sempat melepaskan diri dari kejaran ilmu Panembahan Senapati, maka tiba-tiba dari dalam dirinya seakan-akan telah meluncur angin pusaran. Tidak kasat mata dan hanya orang-orang yang berilmu tinggi sajalah yang mengetahui. Namun Panembahan Senapati menjadi tegang. Dengan cepat ia bergeser sambil melepaskan ilmunya untuk melawan serangan Adipati Pajang. Angin pusaran yang bagaikan terlepas dari tubuh Adipati Pajang itu, ternyata telah membentur satu kekuatan yang menahannya. Selapis udara yang dingin beku telah dengan serta merta menurunkan panas yang datang bergulung-gulung dalam pusaran itu.

Dengan demikian ketika angin pusaran itu kemudian menyentuh tubuh Panembahan Senapati, maka Panembahan Senapati tidak lagi terbakar karenanya.

Sementara itu, maka Panembahan Senapati telah melepaskan serangan-serangan berikutnya. Ketika Panembahan Senapati menggerakkan tangannya dalam ayunan mendatar, maka Adipati Pajang dengan serta merta telah meloncat tinggi-tinggi, bahkan sekali berputar diu dara. Ketika kakinya menyentuh tanah, maka sekali lagi ia meloncat justru ke arah Panembahan Senapati.

Panembahan Senapati bergeser surut. Adipati Pajang ternyata mampu menghindari serangannya. Getaran yang menebas sejalan dengan gerak tangan Panembahan Senapati akan mampu mengoyak kulitnya jika tubuhnya tersentuh.

Agung Sedayu menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebar-debar. Ia adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, maka ia mampu mengikuti setiap benturan kekuatan yang telah terjadi.

Namun satu hal yang kurang dimengerti oleh Agung Sedayu, kenapa Panembahan Senapati maupun Adipati Pajang tidak melindungi dirinya dengan ilmu kebal.

“Aku yakin bahwa Panembahan Senapati memiliki ilmu kebal atau sejenisnya,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “atau ilmu Tameng Waja sebagaimana dimiliki oleh Sultan Hadiwijaya dan sebelumnya oleh Sultan Trenggana.”

Untuk beberapa lamanya. Panembahan Senapati masih selalu berusaha menghindarkan diri dari serangan-serangan Adipati Pajang. Namun ketika serangan-serangan itu datang semakin cepat, maka Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat dengan pengamatannya yang sangat tajam dengan mata hatinya, bahwa Panembahan Senapati mulai mengetrapkan ilmu kebalnya. Namun yang kemudian ditrapkan oleh Adipati Pajang bukan ilmu kebal atau Tameng Waja, tetapi ternyata bahwa Adipati Pajang telah mengetrapkan ilmu Lembu Sekilan.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun harus mengetrapkan ilmu kebalnya ketika pertempuran yang aneh itu berlangsung semakin sengit. Tanpa mengetrapkan ilmu kebalnya, maka ada kemungkinan, bahwa tanpa disengaja serangan lawan Panembahan Senapati itu akan dapat mengenai dan menyakitinya.

Namun ternyata bahwa perang tanding yang terjadi itu telah membuka pikiran Agung Sedayu untuk berbuat lebih banyak lagi dengan ilmu kanuragan. Meskipun Agung Sedayu sudah memiliki ilmu puncak ilmu yang nggegirisi, yang mampu menempatkannya pada tataran teratas dari antara orang-orang berilmu tinggi, namun berdasarkan atas isi kitab yang pernah dipelajarinya dari kitab Ki Waskita serta kitab gurunya sendiri, masih banyak kemampuan yang dapat dipelajarinya. Jika semula ia menganggap bahwa bermacam-macam ilmu itu tidak terlalu penting baginya, namun yang perlu adalah kedalamannya meskipun hanya satu di antaranya, namun ternyata akan ada gunanya juga jika dipelajarinya.

Dalam pada itu, senapati yang menjadi saksi dari antara para prajurit Pajang dan Demak itu pun telah melindungi dirinya dengan semacam ilmu yang mampu menangkis serangan-serangan yang tidak sengaja menyambarnya. Tetapi yang menarik Agung Sedayu, senapati itu telah mengetrapkan ilmu yang sama dengan Adipati Pajang, meskipun mungkin dengan tataran yang berbeda. Lembu Sekilan.

“Apakah senapati itu berguru pada orang atau jalur yang sama dengan Kanjeng Adipati?” bertanya Agung Sedayu di dalam hatinya.

Sementara itu, maka pertempuran di antara kedua raksasa itu menjadi semakin sengit. Keduanya telah meningkatkan segenap ilmu yang ada sampai ke puncak. Serangan-serangan menjadi semakin cepat meskipun tidak dapat dilihat dengan mata wadag, sehingga banyak benturan-benturan ilmu yang terjadi, yang tidak diketahui oleh para prajurit yang menyaksikannya dari kedua belah pihak.

Namun Agung Sedayu mampu melihatnya, sehingga karena itu maka jantungnya pun menjadi berdebaran.

Dalam pada itu, para prajurit yang menyaksikan perang tanding itu semakin lama semakin tercengkam oleh ketegangan. Kadang-kadang mereka tidak mengerti apa yang terjadi. Namun agaknya ilmu masing-masing telah mulai menyentuh lawan, sehingga kadang-kadang para prajurit yang menyaksikan pertempuran itu sempat menangkap kesan pada wajah-wajah mereka yang bertempur. Meskipun keduanya telah memasang ilmu kebal dan Lembu Sekilan yang memiliki kekuatan sama dengan ilmu kebal, namun ternyata kekuatan ilmu keduanya mampu menembus perisai ilmu mereka masing-masing, sehingga keduanya masih juga disengat oleh rasa sakit.

Namun semakin lama, keseimbangan itu pun mulai berubah. Agung Sedayu mulai melihat di atas kepala Kanjeng Adipati Pajang nampak semacam uap tipis yang berwarna kemerah-merahan.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada Kanjeng Adipati. Agaknya Kanjeng Adipati telah berusaha untuk memeras segenap kemampuannya sampai tapis. Bahkan ketika Kanjeng Adipati memaksakan diri untuk meningkatkan ilmunya, terjadi sesuatu di dalam dirinya. Pengerahan kekuatan yang dipancarkan dari ilmunya, ternyata melampaui takaran kemampuan yang sebenarnya.

“Itu sangat berbahaya baginya,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Ketika Agung Sedayu berada di dalam kegelisahan, maka tiba-tiba para prajurit telah menyibak. Seseorang telah menerobos lingkaran yang luas, yang berjarak beberapa langkah dari gawar. Ketika ia sudah berdiri di paling depan, maka ia pun terhenti sejenak.

“Pangeran,” desis seorang perwira dari Mataram.

“Dimana Kakangmbok?” bertanya orang itu.

“Entahlah,” jawab perwira itu.

Orang itu tidak membuang waktu. Ia pun dengan tergesa-gesa membenamkan diri kembali di antara para prajurit. Namun kemudian ia pun telah hilang menelusuri celah-celah kesibukan mereka yang sedang menyaksikan perang tanding itu.

Tetapi tidak seorangpun yang mencegahnya. Baik para prajurit Mataram, Pajang maupun Demak. Seakan-akan semua orang sudah mengenalnya dan tidak berwenang untuk berbuat sesuatu atasnya.

Sejenak kemudian orang itu pun telah mendekati pintu istana. Seorang prajurit yang terkejut, tiba-tiba saja telah bergeser dan merundukkan tombaknya. Namun kemudian ia pun mengangguk hormat.

“Dimana Kakangmbok?” bertanya orang itu.

“Ada di dalam, Pangeran,” jawab prajurit itu.

“Aku akan menemuinya,” berkata orang itu.

Prajurit itu termangu-mangu. Kemudian katanya, “Pintu hanya dapat dibuka dari dalam.”

“Suruh buka pintu itu,” orang itu hampir berteriak.

Prajurit itu menjadi bingung. Namun orang itu pun agaknya tidak sabar menunggu. Dengan satu hentakan maka pintu itu pun telah pecah. Dua orang prajurit yang ada di dalam pintu bersama-sama telah mengacungkan tombaknya. Namun mereka pun bergeser surut.

“Dimana Kakangmbok?” bertanya orang itu dengan tidak sabar.

Kedua orang prajurit itu termangu-mangu. Namun orang yang memecahkan pintu itu membentaknya, “Dimana!”

“Ada di dalam bilik, Pangeran,” jawab salah seorang prajurit itu.

Orang itu pun langsung berlari ke bilik yang ditunjuk. Sambil mengetuk pintu itu berkata, “Bukakan pintu! Cepat!”

“Pergi! Pergi!” terdengar suara seorang perempuan.

“Cepat! Sebelum pintu aku pecahkan,” berkata orang itu.

“Jika kau pecahkan pintu, putri akan membunuh diri,” jawab suara itu.

“Cepat! Dan beritahu, aku yang akan menghadap,” orang di luar pintu itu hampir berteriak.

Sejenak tidak terdengar jawaban. Ketegangan telah mencengkam suasana. Dan orang itu berkata sekali lagi, “Aku tidak mau terlambat.”

Dalam pada itu, pertempuran di arena perang tanding masih berlangsung dengan sengitnya. Kedua belah pihak benar-benar sudah sampai ke puncaknya. Bahkan Kanjeng Adipati Pajang telah memaksa untuk mengerahkan kekuatan ilmunya melampaui takaran yang seharusnya.

Agung Sedayu pun menjadi cemas ketika ia melihat semacam uap yang mengepul di atas kepala Adipati Pajang itu menjadi semakin tebal.

Agung Sedayu tidak dapat berbuat apa-apa. Ia adalah saksi yang harus menyaksikan pertempuran itu terjadi sejak awal sampai akhir.

Untuk beberapa saat, Adipati Pajang masih mampu menunjukkan tingkat ilmunya yang sangat tinggi. Takaran yang berlebihan itu masih belum terasa mempengaruhi dirinya meskipun telah mulai menunjukkan akibatnya. Kanjeng Adipati mengharap bahwa dengan sedikit memaksakan kemampuannya, ia akan cepat menyelesaikan pertempuran itu.

Tetapi ternyata perhitungannya itu keliru, Ia tidak dapat menundukkan Panembahan Senapati dengan memaksakan kekuatan di luar takaran kemampuannya yang sebenarnya.

Karena itu, maka yang terjadi kemudian adalah justru berbahaya baginya. Semakin lama ia memaksakan diri, maka semacam uap di atas kepalanya itu nampak menjadi semakin merah.

Agung Sedayu benar-benar menjadi cemas. Sementara itu Panembahan Senapati ternyata masih belum sampai ke batas puncak kemampuannya. Beberapa lapis ia masih dapat meningkatkan ilmunya, mengimbangi kekuatan Adipati Pajang yang sudah melampaui batas kewajaran dalam arti kekuatan ilmunya.

Rasa-rasanya Agung Sedayu ingin meloncat memasuki arena dan menghentikan perang tanding itu. Namun ia tidak berani melakukannya. Jika terjadi salah paham, maka ia akan dapat dimusuhi justru oleh kedua belah pihak, sementara itu ia tidak lebih dari seorang saksi.

Dalam pada itu, ternyata akibat yang semakin mencengkam itu pun mulai terasa oleh Kanjeng Adipati Pajang, Tubuhnya mulai terasa panas. Sama sekali bukan memancarkan panas dalam pengertian kekuatan ilmunya. Tetapi justru di dalam tubuhnya sendiri telah terjadi sesuatu yang menjadikan tubuhnya panas. Darahnya terasa mengalir semakin cepat, dan jantungnya pun ikut pula berdentangan.

Wajah Kanjeng Adipati pun menjadi semakin pucat. Namun kemudian ia pun sadar sepenuhnya, bahwa tubuhnya telah dipanasi oleh usahanya memaksakan kekuatan di luar daya kemampuannya.

Panembahan Senapati pun melihat keadaan Adipati Pajang. Karena itu, maka Panembahan Senapati berusaha untuk mengendorkan kekuatan ilmunya, agar Adipati Pajang sempat pula mengurangi gelombang getaran ilmunya di dalam dirinya.

Tetapi ternyata Adipati Pajang itu tidak melakukannya. Ia justru mempergunakan kesempatan itu untuk memberikan hentakan yang sangat kuat terhadap Panembahan Senapati.

Dada Panembahan Senapati terguncang. Pada saat ia melepaskan selapis pertahanannya, tiba-tiba saja lawannya telah menderanya. Hampir saja Panembahan Senapati itu terguncang sehingga dadanya terbelah. Namun dilapisi dengan ilmu kebalnya, maka ia masih mampu bertahan.

Namun langkah yang diambil oleh Adipati Pajang itu membuatnya marah. Dengan suara lantang ia berkata, “Menyerahlah dan berlututlah!”

Tetapi jawaban Adipati Pajang pun tegas. Katanya, “Seorang laki-laki tidak akan berlutut di arena perang tanding!”

“Kau telah melampaui batas kekuatan ilmumu,” berkata Panembahan Senapati, “dengan demikian maka kau akan membunuh dirimu sendiri.”

“Kematian dapat datang dengan cara apapun juga,” jawab Adipati Pajang.

Panembahan Senapati menggeretakkan giginya. Katanya. “Baik. Kita akan menyelesaikan perang tanding ini.”

Adipati Pajang tidak menjawab. Tetapi ia sama sekali tidak mengurangi hentakan kekuatan dari dalam dirinya, meskipun ia sendiri sudah mulai merasakan kelainan di dalam dirinya itu.

Sementara itu, pada saat Adipati Pajang semakin terdesak ke dalam keadaan yang sangat berbahaya namun yang sama sekali tidak dihindarinya, sebagaimana sikapnya sebagai seorang kesatria sejati, maka pintu bilik permaisuri Kanjeng Adipati itu telah diketuk semakin keras.

“Cepat! Jangan menunggu terlambat!” berkata orang yang mengetuk pintu itu.

Dalam pada itu, permaisuri Adipati Pajang yang mendengar suara itu pun tiba-tiba telah berlari ke pintu sambil berteriak, “Buka pintu itu!”

Embannya termangu-mangu sejenak, sehingga yang lebih dahulu meraih selarak pintu adalah justru permaisuri itu sendiri.

Ketika pintu itu terbuka, maka orang yang mengetuk pintu itu pun meloncat masuk. Sementara permaisuri pun telah menyongsong sambil memeluknya.

“Adimas Pangeran Benawa,” desisnya, “mengapa keadaan ini harus terjadi?”

“Aku sudah menduga, Kakangmbok. Mari ikut aku. Kita harus pergi ke arena perang tanding,” jawab Pangeran Benawa.

“Untuk apa? Apakah Kakangmasmu sudah terbunuh, dan aku harus membunuh diri pula di arena itu?” bertanya permaisuri itu.

“Tidak ada waktu untuk berbantah,” jawab Pangeran Benawa.

Permaisuri itu termangu-mangu. Di luar sadarnya tangannya telah meraba hulu patrem yang diselipkan pada pinggangnya.

Namun Pangeran Benawa agaknya tidak sabar lagi. Ia pun segera menarik tangan kakak perempuannya sambil berkata, “Jangan terlambat.”

Permaisuri itu tidak dapat menolak. Ia pun kemudian mengikuti saja kemana Pangeran Benawa menariknya.

Dalam pada itu, para Pengawal Dalam yang melihat tingkah laku Pangeran Benawa itu pun tidak dapat menahan diri untuk bertanya,, “Pangeran, apa yang terjadi dengan permaisuri?”

Pangeran Benawa tidak sempat menjawab. Ia masih saja menarik tangan permaisuri itu melintasi ruang-ruang di dalam istana.

Bagaimanapun juga, yang dilakukan oleh Pangeran Benawa memang menimbulkan persoalan bagi para Pengawal Dalam. Seorang perwira dari Pengawal Dalam itu telah memberanikan diri untuk bertanya pula,, “Apa yang Pangeran lakukan atas Permaisuri?”

Pangeran Benawa tidak menjawab pula. Namun perwira itu menyusulnya sambil bertanya, “Putri, apakah Putri tidak berkeberatan diperlakukan demikian?”

“Tidak,” jawab permaisuri, “aku tahu, ia akan berusaha untuk berbuat sesuatu.”

Dengan demikian maka perwira itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, karena yang terjadi itu sudah dikehendaki pula oleh Permaisuri.

Beberapa saat kemudian, maka Pangeran Benawa yang menggandeng kakak perempuannya telah melintasi Paseban dan turun ke lingkungan ajang pertempuran.

“Tidak ada pertempuran hari ini Kakangmbok,” berkata Pangeran Benawa.

“Aku tahu. Kakangmasmu memilih perang tanding,” jawab permaisuri.

Sebenarnyalah pada saat itu perang tanding antara Panembahan Senapati dan Kanjeng Adipati Pajang menjadi semakin sengit. Tetapi dalam saat-saat yang gawat itu, maka keadaan Kanjeng Adipati nampak menjadi semakin sulit. Meskipun tidak banyak yang melihatnya, namun bagi beberapa orang yang mempunyai ketajaman penglihatan batin, nampak uap yang kemerahan-merahan itu pun menjadi semakin merah dan tebal.

Namun dalam pada itu, yang dapat dilihat oleh mereka yang menyaksikan pertempuran itu dari jarak yang agak jauh, tubuh Kanjeng Adipati telah basah oleh keringat yang mengalir bagai terperas dari dalam tubuhnya.

Betapapun gejolak hati Panembahan Senapati, namun dalam keadaan yang demikian ia masih juga berkata, “Apakah kau tidak sempat melihat ke dirimu sendiri Adimas?”

“Ya. Aku adalah seorang kesatria Pajang yang harus menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya,” jawab Kanjeng Adipati yang keadaannya menjadi semakin lemah. Namun katanya selanjutnya dengan suara yang masih lantang, “Tidak ada kekuatan yang dapat menghentikan perlawananku.”

“Bagus,” geram Panembahan Senapati, “beberapa kali aku mencoba untuk menghindari kematian meskipun hanya seorang, setelah aku mencoba menghindarkan kematian beratus-ratus orang di sekitar istanamu ini. Mungkin pengertian kita tentang sifat seorang kesatria agak berbeda. Seorang laki-laki yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejantanan tidak akan gentar melihat kenyataan.”

“Jangan mencoba melemahkan perlawananku melalui omong kosong itu,” sahut Kanjeng Adipati.

Panembahan Senapati yang merasa sudah cukup memberi peringatan kepada Kanjeng Adipati Pajang itu pun menganggap dirinya tidak bertanggung jawab lagi atas akibat yang dapat terjadi kemudian. Karena itu, maka justru pada saat keadaan Kanjeng Adipati Pajang menjadi semakin lemah, maka Panembahan Senapati telah mengambil keputusan untuk mengakhiri pertempuran itu.

Karena itulah, maka ketika seluruh tubuh Kanjeng Adipati Pajang telah menjadi basah oleh keringat, serta api yang rasa-rasanya telah membuat darahnya mendidih, Panembahan Senapati telah melekatkan kedua telapak tangannya di depan dadanya.

Agung Sedayu benar-benar menjadi gelisah. Rasa-rasanya ia telah berdiri di atas api. Bukan saja Kanjeng Adipati yang seluruh tubuhnya menjadi basah, tetapi Agung Sedayu pun bagaikan telah mandi keringat, meskipun betapa dinginnya kulitnya. Ia melihat keadaan yang sangat berlawanan. Kanjeng Adipati telah kehilangan daya tahannya karena kelainan di dalam dirinya sendiri, sementara itu Panembahan Senapati yang telah kehabisan kesabarannya itu sedang berusaha untuk memusatkan nalar dan budi serta bersiap-siap dengan ilmunya yang paling dahsyat untuk menyelesaikan pertempuran itu.

Namun Agung Sedayu tidak mempunyai wewenang apapun juga. Ia tidak dapat mencegah keputusan Panembahan Senapati. Dan ia pun tidak berhak menyelamatkan Kanjeng Adipati Pajang.

“Jika ilmu itu benar-benar dibenturkan kepada Kanjeng Adipati, maka Kanjeng Adipati tentu akan lumat menjadi debu,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Tetapi ia tidak mempunyai jalan apapun juga untuk mencegahnya. Bahkan jika ia berbuat sesuatu dan membuat Panembahan Senapati itu marah, maka ilmu puncak yang sudah siap itu akan menghantam dirinya.

Karena itu, maka yang dapat dilakukannya hanya menyerahkan segala sesuatunya kepada Yang Maha Agung. Apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh Yang Maha Agung, maka itulah yang akan terjadi.

Pada saat demikian itulah, maka Pangeran Benawa telah menyibak para prajurit yang melingkari arena itu dari jarak yang agak jauh. Ketika ia sudah berdiri di paling depan bersama permaisuri, maka ia pun memperhatikan arena dengan saksama.

Hatinya segera terguncang ketika ia melihat apa yang terjadi di arena. Karena itu, maka sekali lagi ia menarik tangan kakak perempuannya berlari-lari kecil menuju ke arena.

Tanpa menghiraukan apapun juga, maka Pangeran Benawa pun telah mendorong permaisuri Pajang itu ke arena sambil berdesis, “ Cegahlah Kakangmas Panembahan Senapati mempergunakan ilmu pamungkasnya.”

Permaisuri Pajang itu pun segera dapat mengerti. Karena itu, maka ia pun segera berlari dan berlutut di hadapan Panembahan Senapati. Sambil memegang kaki Panembahan Senapati, maka permaisuri itu berkata di sela-sela isaknya, “Kakangmas. Hambalah yang memohonkan maaf Kakangmas Adipati. Hamba mohon ampun serta mohon agar Kakangmas Adipati diberi kesempatan untuk tetap hidup.”

“Diajeng!” geram Adipati Pajang, “Apa yang kau lakukan di sini, he? Minggirlah! Ini urusanku dengan Kakangmas Panembahan Senapati.”

“Tidak Kakangmas,” jawab Permaisuri itu, “hamba adalah Permaisuri Kakangmas Adipati. Tetapi hamba juga adik Kakangmas Panembahan Senapati. Hamba tidak dapat membiarkan benturan kekuatan ini terjadi sampai memungut korban.”

“Kau tahu bahwa aku hari ini melakukan perang tanding. Kau tidak pernah mencegah sebelumnya,” berkata Adipati Pajang.

“Aku semula kurang menyadari apa yang akan dapat terjadi di arena,” jawab permaisuri itu sambil menangis.

“Diajeng,” geram Panembahan Senapati, “suamimu tidak menghendaki kau ada di sini.”

Permaisuri Kanjeng Adipati Pajang itu mengangkat wajahnya. Dipandanginya Panembahan Senapati dengan mata yang basah. Sementara air matanya menitik tanpa henti-hentinya.

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil berjongkok Panembahan Senapati itu berkata, “Sudahlah Diajeng. Jangan menangis.”

Tetapi Adipati Pajang memotong, “Aku tidak memerlukan belas kasihan dari siapapun juga! Marilah, kita selesaikan perang tanding ini!”

Panembahan Senapati berpaling ke arah Adipati Pajang. Lalu katanya, “Kau berkeras untuk membunuh diri di arena ini?”

“Aku sama sekali tidak membunuh diri. Aku sedang berperang tanding sebagai seorang kesatria Pajang,” jawab Kanjeng Adipati.

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Namun giginya terkatup rapat-rapat. Dengan susah payah Panembahan Senapati menahan hatinya yang bergejolak.

Namun dalam pada itu, permaisuri Adipadi Pajang itulah yang kemudian bangkit berdiri, diikuti oleh Panembahan Senapati. Namun Panembahan Senapati sama sekali tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh adik perempuannya itu.

Selangkah permaisuri itu surut. Kemudian tangannya telah meraba hulu patremnya. Dengan lantang ia berkata, “Kakangmas Adipati dan Kakangmas Panembahan Senapati. Baiklah. Silahkan meneruskan pertempuran ini. Kalian adalah laki-laki jantan yang tidak gentar menghadapi maut di medan. Bahkan bagi laki-laki jantan, mati dalam perang tanding agaknya merupakan satu kebanggaan. Tetapi akupun mempunyai kebanggaan bagi seorang perempuan. Jika suamiku mati di medan perang, maka sudah sepantasnya aku membunuh diri. Aku tidak mau menjadi perempuan boyongan.”

“Diajeng,” hampir berbareng Panembahan Senapati dan Adipati Pajang berdesis.

“Aku adalah seorang perempuan yang setia. Istri seorang kesatria yang memilih mati di medan daripada bersikap sebagai laki-laki sejati, melihat dan mengakui keadaan yang dihadapinya,” berkata permaisuri itu. “Seorang perempuan yang setia, akan mati bersama suaminya dalam keadaan apapun juga.”

“Jangan lakukan itu,” cegah Adipati Pajang, “kau tidak wajib membunuh diri.”

“Tidak,” sahut Permaisuri, “itu adalah kewajiban seorang istri yang setia. Namun bagiku, daripada aku melihat suamiku terbunuh di medan oleh kekuatan ilmu pamungkas saudara laki-lakiku sendiri, maka biarlah aku mati lebih dahulu.”

“Diajeng, jangan!” teriak Adipati Pajang sambil meloncat menangkap pergelangan tangan permaisurinya yang telah mencabut patremnya.

Suasana menjadi semakin tegang. Panembahan Senapati justru berdiri tegak bagaikan patung.

Dalam keadaan yang demikian, maka selangkah demi selangkah Pangeran Benawa memasuki arena. Sejenak ia tertegun ketika Panembahan Senapati dan Adipati Pajang bersama-sama berpaling ke arahnya. “Kakangmas berdua,” berkata Pangeran Benawa, “ternyata aku datang terlambat.”

“Kau datang sendiri?” bertanya Penembahan Senapati.

“Tidak. Aku membawa pasukan segelar sepapan dari Jipang,” jawab Pangeran Benawa.

“Kepada siapa kau akan berpihak?” bertanya Adipati Pajang.

“Aku tidak akan berpihak. Aku ingin ikut meramaikan perang di antara keluarga, sebagaimana pernah terjadi berulang kali. Sejak berdirinya Majapahit yang ditandai pecahnya kerajaan Kediri. Kemudian perang di antara keluarga yang telah memecahkan Majapahit. Demak kemudian mengambil alih pemerintahan. Sepeninggal Sultan Trenggana, terjadi pula perebutan tahta, sehingga akhirnya berdiri Pajang, yang hanya terdiri dari satu tataran. Sepeninggal Ayahanda Sultan Hadiwijaya, kita wajib meramaikannya dengan peperangan pula. Bukankah kita adalah anak-anaknya? Kita wajib menjunjung tinggi dan menghargai peninggalan orang tua kita. Demikian tinggi kita menjunjungnya dan menghargainya, maka kita harus mempertaruhkan semuanya untuk memperebutkan,” berkata Pangeran Benawa.

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Sementara Kanjeng Adipati Pajang menundukkan kepalanya. Orang-orang di sekitarnya, terutama Ki Tumenggung Wiladipa telah menghembuskan nafas perlawanan terhadap Mataram.

“Nah,” berkata Pangeran Benawa, “aku meninggalkan pasukanku di luar pintu gerbang Kota Raja yang dijaga ketat oleh pasukan Mataram. Tetapi aku yakin, bahwa aku akan dapat menembusnya, karena kekuatan Mataram sebagian besar berada di sekeliling istana ini. Kemudian pasukanku akan memasuki arena ini dan bertempur melawan siapa saja. Melawan Mataram dan melawan Pajang sekaligus.”

“Aku mengerti maksudmu Adimas,” berkata Panembahan Senapati, “tetapi sebaiknya kau mempelajari keadaan yang berkembang antara Pajang dan Mataram”

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang sedang memikirkannya. Nah, sekarang kita berkumpul di sini.”

Kanjeng Adipati Pajang itu pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia bertanya, “Bagaimana menurut pendapatmu Adimas Pangeran?”

“Bagiku, semuanya terserah kepada Kakangmas Panembahan Senapati yang memang sudah diakui sebagai penguasa tertinggi atas Mataram yang mewarisi kekuasaan Pajang seluruhnya. Memang mungkin ada kekuatan yang mencoba-coba untuk mengambil keuntungan dari kekeruhan ini. Mereka akan bersorak jika kita sekeluarga sendiri masih saja saling bertengkar, karena dengan demikian mereka akan mendapatkan kesempatan,” jawab Pangeran Benawa.

Adipati Pajang itu pun kemudian melepaskan tangan istrinya sambil berkata, “Aku akan mendengarkan permohonanmu.”

Semua orang yang mendengar pernyataan Adipati Pajang itu termangu-mangu. Mereka tidak segera tahu maksudnya. Bahkan permaisuri itu pun bertanya, “Apa maksud Kakangmas?”

Dipandanginya Pangeran Benawa sambil berkata, “Adimas telah membuka hatiku. Aku akan mendengarkan permintaan Mbokayumu, Adimas.”

“Artinya?” bertanya Pangeran Benawa pula.

“Aku harus mengakui kekalahanku di medan,” jawab Adipati Pajang itu.

“Tidak ada kalah dan menang,” sahut Panembahan Senapati, “tetapi kita telah menyelamatkan beratus-ratus nyawa yang dapat terbunuh jika pertempuran antara Mataram dan Pajang pada tahap terakhir ini terjadi.”

Adipati Pajang itu menundukkan kepalanya sambil berkata, “Aku mohon ampun Kakangmas Panembahan.”

Panembahan Senapati memandang Adipati Pajang sekilas. Namun kemudian permaisuri Kanjeng Adipati itu berkata, “Segala sesuatunya kami serahkan kepada kebijaksanaan Kakangmas.”

“Baiklah. Marilah, kita bersama-sama mengatasi perasaan para prajurit. Mungkin para prajurit Pajang tidak dapat mengekang diri menanggapi keadaan ini,” berkata Panembahan Senapati.

“Aku akan berusaha,” berkata Adipati Pajang.

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku mohon waktu sejenak.”

Demikianlah, maka perang tanding itu sudah berakhir. Kanjeng Adipati itu pun kemudian memanggil senapati yang menjadi saksinya dan diperintahkannya senapati itu memanggil Panglima pasukan Pajang yang mengambil alih pimpinan pasukan dari tangan Ki Tumenggung Wiladipa.

Ketika panglima itu menghadap, maka Kanjeng Adipati pun kemudian berkata, “Demi nama baik serta menjunjung sifat kesatria prajurit Pajang, maka dengarlah dan sampaikan kepada para prajurit, bahwa aku tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa aku telah dikalahkan oleh Kakangmas Panembahan Senapati dalam arena perang tanding. Karena itu, maka dengan saksi yang hadir dari kedua belah pihak, serta Adimas Pangeran Benawa, maka aku harus mematuhi janjiku. Jika aku kalah, maka Pajang pun dinyatakan kalah, dan menyerahkan kebijaksanaan berikutnya kepada Mataram.”

Wajah panglima itu menjadi merah padam. Namun Pangeran Benawa berkata, “Aku membawa pasukan segelar sepapan. Aku adalah penengah yang memiliki kekuatan untuk memaksakan keputusan yang benar. Jika Mataram yang ingkar, aku akan berpihak kepada Pajang untuk menghancurkan Mataram. Tetapi jika Pajang yang ingkar, maka pasukanku yang berada di luar Kota Raja akan memasuki halaman istana ini dan berpihak kepada Mataram. Dengan demikian maka prajurit Pajang akan tumpas tapis sampai ke orang yang terakhir. Dan apakah itu perlu menurut perhitunganmu? Beramai-ramai membunuh diri dengan kedok kejantanan?”

Panglima itu memandang wajah Pangeran Benawa sekilas. Namun ia pun segera menunduk. Wajah Pangeran Benawa nampak bersungguh-sungguh. Dan senapati itu mengerti, siapakah Pangeran Benawa itu.

“Jika Pangeran Benawa benar-benar membawa pasukan segelar sepapan, bersama-sama prajurit Mataram maka Pangeran Benawa benar-benar akan dapat menumpas para prajurit Pajang,” berkata Panglima itu di dalam hatinya, “dan Pangeran Benawa tentu tidak sekedar bermain-main dalam keadaan seperti ini.”

Karena itu, maka Panglima pasukan Pajang itu pun akhirnya berkata, “Hamba akan menyampaikannya kepada segenap prajurit Pajang Kanjeng Adipati.”

“Berhati-hatilah. Jangan sampai ada sebagian kecil atau besar dari para prajurit yang kehilangan kesadaran diri dan melakukan langkah-langkah yang akan dapat memancing kekeruhan dalam keadaan seperti ini,” berkata Kanjeng Adipati.

Panglima itu pun kemudian menarik diri. Dengan cepat dikumpulkannya para senapati di seluruh medan, dan dengan hati-hati dijelaskannya apa yang telah terjadi.

“Jadi, setelah kita berjuang dengan segenap pengorbanan ini, kita harus menyerah?” bertanya seorang senapati.

“Kita harus memperhitungkan segenap kemungkinan yang dapat terjadi,” berkata panglima itu. “Selebihnya, kita harus menjunjung tinggi sifat kesatria. Apa yang sudah terucapkan, maka akan merupakan keputusan. Kanjeng Adipati ternyata dapat dikalahkan oleh Panembahan Senapati di arena perang tanding.”

“Tetapi kita tidak akan dikalahkan oleh orang-orang Mataram di medan,” berkata senapati itu.

“Seandainya demikian, maka telah hadir di Pajang Pangeran Benawa dengan pasukannya,” berkata panglima itu. “Pangeran Benawa ternyata akan berpihak kepada mereka yang berdiri di atas nilai-nilai perjanjian yang telah dibuat, dan akan menghancurkan mereka yang ingkar.”

“Kenapa Pangeran Benawa telah ikut campur?” bertanya seorang senapati.

“Yang berselisih sekarang ini adalah keluarga sendiri. Pangeran Benawa adalah adik dari kedua orang yang sedang berselisih,” jawab Panglima. Lalu, “Karena itu, kita wajib menghindari kehancuran mutlak bagi Pajang. Mungkin kita harus mengorbankan harga diri kita sebagai prajurit. Namun dengan demikian kita sudah ikut serta menyelamatkan beratus-ratus nyawa.”

Para senapati Pajang itu menjadi kecewa. Tetapi panglima itu kemudian berkata, “Aku mengemban perintah Kanjeng Adipati.”

Dengan demikian, maka betapapun kecewanya, para senapati itu pun tidak dapat berbuat lain. Selain mereka berhadapan dengan perintah Kanjeng Adipati, maka di luar dinding kota telah siap pasukan Jipang yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Benawa.

Karena itu, maka tidak ada lain yang dapat mereka lakukan kecuali menghentikan perlawanan.

Dalam pada itu, maka Panembahan Senapati telah memerintahkan pasukannya untuk mundur. Kepungan pasukan Mataram pun telah dikendorkan, sehingga pasukan Mataram tidak lagi mengelilingi halaman istana, namun mereka kemudian harus berada di sekeliling kota.

Beberapa orang senapati Mataram ternyata merasa lebih kecewa lagi atas keputusan Panembahan Senapati justru untuk mengendorkan kepungan. Mereka sudah sampai pada langkah terakhir untuk menghancurkan Pajang. Namun tiba-tiba langkah itu terhenti. Bahkan mereka harus memperluas lingkungan pasukan lawan.

“Mereka sudah menghentikan perlawanan,” Ki Lurah Branjangan menjelaskan, “kita sudah mengalahkan mereka, tanpa memberikan korban lebih banyak lagi.”

“Penyelesaian ini tidak memuaskan,” berkata seorang senapati.

”Apakah kepuasan yang kita maksudkan adalah kematian? Semakin banyak kematian, akan memberikan kepuasan semakin besar kepada kita?” bertanya Ki Lurah.

Senapati itu terdiam. Tetapi kekecewaan itu sulit disingkirkannya dari hatinya.

Meskipun demikian, para prajurit Mataram, para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung, telah mematuhi perintah itu. Seperti beberapa senapati, Swandaru pun merasa sangat kecewa. Namun Pandan Wangi-lah yang berusaha menenangkannya.

“Bukankah kita wajib mensyukuri kemenangan ini?” berkata Pandan Wangi, “Jika kita masih harus bertempur pada tataran terakhir, maka rasa-rasanya kita akan tidak sanggup melihat korban yang terbujur lintang di arena.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang wajah-wajah para pengawal Kademangan Sangkal Putung yang masih muda dan memancarkan cahaya kehidupan di matanya, maka ia pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Tentu sayang sekali jika anak itu terbunuh di peperangan.”

“Nah, bukankah lebih baik mereka mendapat kesempatan untuk hidup dan menyongsong masa depan mereka yang cerah?” bertanya Pandan Wangi.

Swandaru mengangguk. Jawabnya, “Ya. Kematian yang lebih banyak juga akan membuat Sangkal Putung menjadi lemah.”

Dengan demikian maka agaknya Swandaru mampu memahami dengan penalarannya untuk mengimbangi perasaannya yang bergejolak. Sementara Ki Gede Menoreh yang lebih matang menanggapi keadaan, merasa keputusan Panembahan Senapati itu bijaksana.

Ketika pasukan Mataram melonggarkan kepungan, maka Panembahan Senapati minta pasukan Pajang dan Demak untuk menempatkan diri dalam barak-barak dan tidak akan bergerak sama sekali. Mengumpulkan senjata mereka dan mentaati segala perintah. Namun demikian, Panembahan Senapati tidak berkeberatan memberikan kesempatan kepada beberapa kelompok Pengawal Dalam untuk tetap bersenjata.

Ternyata bahwa para prajurit Pajang dengan ketaatan seorang prajurit telah melakukan semua perintah yang diberikan oleh para senapati mereka.

Namun sebenarnyalah bahwa beberapa orang senapati telah menjadi kecewa terhadap Ki Tumenggung Wiladipa yang seakan-akan telah hilang begitu saja dan tidak bertanggung jawab terhadap pertempuran itu sampai ke batas akhir.

“Mungkin Ki Tumenggung telah terbunuh di peperangan,” berkata seorang senapati.

“Tidak seorang pun yang menemukan mayatnya,” jawab yang lain.

“Mungkin telah diketemukan oleh orang-orang Mataram yang tidak mengenalinya,” sahut kawannya.

“Mereka biasanya menyerahkannya kepada kita, jika mereka mengetahui bahwa yang diketemukan seorang prajurit Pajang atau Demak,” berkata yang lain lagi.

“Mungkin Ki Tumenggung tidak mengenakan pakaian keprajuritannya dengan lengkap, atau mungkin karena sebab-sebab lain, karena sebenarnya orang yang dicari oleh Panembahan Senapati adalah Ki Tumenggung Wiladipa,” sahut kawannya.

Yang lain mengangguk-angguk. Namun mereka memang merasa aneh bahwa Ki Tumenggung Wiladipa yang sebelumnya berhasil mempengaruhi Kanjeng Adipati untuk mengambil langkah-langkah tertentu serta membawa sepasukan prajurit dari Demak, tiba-tiba telah hilang begitu saja.

Namun, sebenarnyalah para senapati menganggap sikap Ki Tumenggung memang licik. Tetapi tidak seorang pun yang sampai hati mengatakannya.

Sementara itu, jarak kedua pasukan menjadi semakin jauh. Pasukan Pajang dan Demak yang meletakkan senjatanya tidak merasa terancam oleh pasukan Mataram sebagaimana jika pasukan Mataram itu berada di hadapan hidung mereka.

Namun demikian Ki Lurah Branjangan masih tetap pada perintahnya. “Kepung Pajang dan jangan biarkan seorangpun lepas. Apalagi Ki Tumenggung Wiladipa. Kita harus menemukannya,” berkata Ki Lurah.

Sampai saat terakhir menjelang matahari turun, masih belum dibicarakan lagi tentang Ki Tumenggung Wiladipa. Namun orang-orang Mataram pun telah mendengar bahwa Ki Tumenggung hilang.

Namun para prajurit yang bertugas menutup semua jalan dan mengawasi dinding-dinding kota yakin, bahwa belum seorang pun keluar dari kota, Karena itu, mereka pun yakin bahwa Ki Tumenggung Wiladipa masih tetap berada di kota. Kecuali jika ia terbunuh, atau membunuh diri dan membiarkan mayatnya tersembunyi, atau seorang kepercayaannya telah menguburkannya.

Dengan demikian, maka para pemimpin Mataram masih juga menginginkan untuk menangkap Ki Tumenggung Wiladipa, hidup atau mati.

“Jika besok kita tidak menemukannya, maka kita akan minta ijin untuk melihat semua barak dan tempat-tempat yang mungkin dipergunakannya untuk bersembunyi. Mungkin ia justru bersembunyi di antara juru masak di dapur,” berkata Ki Lurah Branjangan.

Sementara pasukan Mataram dan Pajang mematuhi perintah para pemimpin mereka, maka pasukan Jipang yang dibawa oleh Pangeran Benawa berada beberapa ratus patok di luar kota, Pangeran Benawa tidak ingin terjadi salah paham dengan kedatangan pasukannya. Karena itu maka ia pun telah memberikan perintah lewat penghubungnya agar pasukannya sama sekali tidak bergerak.

Dengan demikian, ada tiga pemusatan pasukan yang saling menahan diri. Namun betapa sakitnya hati para prajurit Pajang dan Demak.

Ketika malam kemudian turun, maka Panembahan Senapati dan Kanjeng Adipati Pajang telah berbicara tentang hubungan mereka. Kanjeng Adipati tidak lagi berkeras menentang rencana Penembahan Senapati untuk memindahkan beberapa jenis pusaka dari Pajang ke Mataram.

Pangeran Benawa yang hadir dalam pembicaraan itu bukan sekedar sebagai saksi. Tetapi ia pun telah ikut menentukan sikap kedua pemimpin yang sedang berunding itu.

Sementara keduanya telah mendapatkan kesepakatan tentang pusaka yang akan dibawa ke Mataram pada kesempatan yang lain nanti, maka Panembahan Senapati telah bertanya tentang Ki Tumenggung Wiladipa.

“Aku masih tetap dalam tuntutanku untuk menangkap Wiladipa,” berkata Panembahan Senapati.

“Kami telah kehilangan orang itu,” jawab Kanjeng Adipati Pajang. “Sejak pasukan Pajang didesak ke halaman istana, orang itu tidak dapat diketemukan lagi. Karena itu, terserah kepada Kakangmas Panembahan Senapati. Jika Kakangmas dapat menangkapnya, maka segala sesuatunya ada di tangan Kakangmas”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Ia percaya akan keterangan Kanjeng Adipati itu. Sementara ia pun telah mendapat laporan bahwa Ki Tumenggung Wiladipa tidak nampak lagi di segala medan.

“Baiklah Adimas,” jawab Panembahan Senapati, “namun aku minta ijin untuk dapat melihat di segala tempat. Mungkin ia sengaja bersembunyi di manapun juga.”

“Silahkan Kakangmas,” jawab Adipati Pajang, “segala kekuasaan ada di tangan Kakangmas”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian minta diri bersama Pangeran Benawa untuk kembali ke pasukan Mataram yang berada di lingkaran yang menjadi cukup luas.

Sementara itu, ketika para pemimpin pasukan Mataram sedang memperbincangkan Ki Tumenggung Wiladipa, tiba-tiba beberapa orang prajurit Mataram yang bertugas menjadi gempar. Mereka telah melihat sesuatu yang menggetarkan jantung mereka.

Tetapi mereka tidak sempat melaporkannya kepada para pemimpin dengan langsung dan mempersilahkan mereka menyaksikan. Ketika laporan itu sampai kepada Panembahan Senapati, maka yang menggemparkan sudah terjadi.

“Apa yang kalian lihat?” bertanya Panembahan Senapati.

Dengan nafas yang masih terengah-engah orang itu menjawab, “Panembahan, yang hamba lihat bersama beberapa orang petugas, adalah di luar kewajaran.”

“Sebut saja,” Panembahan Senapati menjadi tidak sabar.

“Panembahan, hamba bersama kawan-kawan melihat seseorang yang meluncur dengan pelepah kelapa. Pelepah kelapa itu seakan-akan menjadi seekor burung garuda,” jawab orang itu.

Wajah Panembahan Senapati menjadi tegang. Sementara itu Pangeran Benawa dengan tergesa-gesa berkata, “Aku akan melihat, apakah Kakangmas masih ada di istana.”

“Aku kira tentu bukan Adimas Adipati,” jawab Panembahan Senapati. “Tetapi tentu seseorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.”

“Apa yang telah kalian lakukan?” bertanya Pangeran Benawa kepada prajurit yang memberikan laporan itu.

“Beberapa orang perwira berkuda telah berusaha menyusulnya,” jawab prajurit.

Namun dalam pada itu Pangeran Benawa pun segera meloncat sambil berkata, “Kakangmas Panembahan. Aku akan ikut menyusul mereka. Tetapi aku akan singgah di istana.”

“Aku juga akan pergi mendahului Adimas,” jawab Panembahan Senapati, “silahkan singgah di istana. Atau barangkali Adimas Adipati akan ikut melihat, siapakah orang itu.”

Pangeran Benawa tidak menjawab. Ia pun segera hilang, setelah ia mendapat ancar-ancar kemana arah orang yang meluncur itu.

Sepeninggal Pangeran Benawa, maka Panembahan Senapati pun segera memerintahkan untuk mempersiapkan kudanya. Agung Sedayu, Sabungsari, Untara, Pranawangsa dan Ki Lurah telah bersiap untuk ikut pula bersamanya. Beberapa pengawal telah membenahi diri pula untuk mengikutiya.

Sejenak kemudian, maka kuda-kuda mereka pun telah berderap setelah mereka mendapat petunjuk pula arahnya, sebagaimana Pangeran Benawa.

Sementara itu Pangeran Benawa telah berpacu ke istana. Kedatangannya memang mengejutkan. Namun para Pengawal Dalam telah menyampaikan kedatangan Pangeran Benawa itu kepada Adipati Pajang.

Demikian ia melihat Kanjeng Adipati, maka hatinya menjadi tegang. Dengan terus terang ia berkata, bahwa ia menjadi cemas ketika ia mendengar laporan tentang seseorang yang berilmu sangat tinggi meninggalkan Pajang dan melampaui kepungan yang ketat, dengan naik pelepah kelapa.

“Aku akan mencari orang itu,” berkata Pangeran Benawa.

“Sendiri?” bertanya Kangjeng Adipati.

“Apakah Kakangmas akan pergi?” bertanya Pangeran Benawa.

Kanjeng Adipati menjadi ragu-ragu. Namun ia pun menjawab, “Jika aku diijinkan, aku tidak berkeberatan.”

“Marilah. Aku bertanggung jawab,” jawab Pangeran Benawa.

Sejenak kemudian keduanya telah berpacu diikuti oleh empat orang Pengawal Dalam Pajang yang masih diperkenankan memegang senjata.

Para prajurit Mataram yang bertugas tidak berani mencegah, karena di antara mereka terdapat Pangeran Benawa. Apalagi setiap kali Pangeran Benawa memberi isyarat, bahwa ia akan mencari orang yang telah naik pelepah kelapa keluar dari kepungan.

“Orang itu harus diketemukan,” berkata Pangeran Benawa, “ia memiliki ilmu yang tinggi, yang setiap saat akan dapat membuat keributan di lingkungan Pajang atau Mataram. Bahkan mungkin juga sampai ke Jipang.”

“Ya,” jawab Kangjeng Adipati. Bahkan Kanjeng Adipati itu pun berkata, “Mungkin orang itu adalah orang yang dicari oleh Kakangmas Panembahan Senapati.”

“Siapa?” bertanya Pangeran Benawa.

“Ki Tumenggung Wiladipa,” jawab Kanjeng Adipati.

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Namun dalam kegelapan ia berpacu terus mengikuti arah yang ditunjuk oleh prajurit yang memberikan laporan tentang orang yang bagaikan terbang di atas pelepah kelapa itu.

Namun setelah Pangeran Benawa berpacu beberapa saat lamanya, ia tidak melihat seseorang. Karena itu maka katanya, “Pelepah itu tidak akan dapat terbang lebih jauh, betapapun tinggi ilmu orang itu.”

“Ya. Aku sependapat Adimas. Kecuali jika orang itu memang memiliki ilmu Ngantariksa,” jawab Adipati Pajang.

“Jika demikian, ia tidak memerlukan pelepah kelapa itu,” desis Pangeran Benawa sambil memberikan isyarat untuk berhenti.

“Kita akan mencarinya,” berkata Pangeran Benawa itu kemudian. Diserahkannya kudanya kepada para pengawal sambil berkata, “Kami akan mencarinya di sekitar tempat ini. Jika kau lihat seseorang, beri kami isyarat, karena kalian tidak akan mampu menangkapnya.”

Demikianlah, maka Pangeran Benawa dan Kanjeng Adipati Pajang berdua telah mencari orang yang terbang di atas pelepah kelapa itu di sekitar tempat yang diduganya menjadi tempat orang itu mendarat.

Tetapi mereka tidak bertemu dengan seorang pun, sehingga mereka semakin lama menjadi semakin jauh dari kuda-kuda mereka.

Keduanya terkejut ketika mereka melihat bayangan di kejauhan. Tidak hanya seorang, tetapi beberapa orang. Namun dengan demikian Pangeran Benawa segera mengetahui bahwa mereka tentu Panembahan Senapati dengan para pengiringnya.

Karena itu maka Pangeran Benawa pun segera mendekati mereka, dan bergabung dengan mereka.

Beberapa lama mereka mencari, tetapi mereka tidak menemukan seseorang.

Namun mereka pun kemudian tertegun ketika mereka menemukan sebatang pelepah kelapa yang terletak di pinggir jalan, di antara semak-semak perdu.

“Di sini orang itu turun,” desis Pangeran Benawa.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Orang itu mendapat banyak kesempatan untuk menyingkir dari tempat ini. Tentu sangat sulit untuk menemukannya.”

“Ya,” sahut Pangeran Benawa. “Kakangmas Adipati menduga, bahwa orang itu tentu Ki Tumenggung Wiladipa.”

“Aku pun sudah berpikir ke sana,” jawab Panembahan Senapati. “Dengan demikian, maka orang itu telah menemukan satu cara untuk melepaskan diri. Aku kecewa sekali, bahwa aku tidak dapat menangkap orang yang bernama Wiladipa itu. Sebenarnya aku yakin, bahwa Adimas Adipati telah terpengaruh pula oleh sikap orang itu.”

“Kakangmas benar,” jawab Adipati Pajang, “tetapi aku tetap bertanggung jawab. Aku tidak dapat melemparkan tanggung jawabku kepada Wiladipa.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Sambil bergumam ia mencoba mengamati tempat di sekitar semak-semak itu, “Tidak ada bekasnya sama sekali.”

Yang lain pun tidak menemukan petunjuk apapun juga, sehingga dengan demikian maka mereka pun telah menghentikan pencaharian itu.

“Marilah, kita kembali,” berkata Panembahan Senapati.

“Apakah usaha pencarian tidak perlu dilanjutkan, dengan memerintahkan para prajurit untuk menjelajahi daerah ini?” bertanya Ki Pranawangsa.

“Tidak ada gunanya,” jawab Panembahan Senapati, “orang itu sekarang tentu sudah jauh. Apalagi kemampuan ilmunya akan dapat mempercepat langkahnya. Seandainya prajurit yang ada ini harus berpencar, maka tentu sulit untuk dapat menangkapnya, karena orang itu tentu akan melawan. Dua, tiga, bahkan empat orang prajurit belum tentu akan dapat menangkapnya.”

Ki Pranawangsa mengangguk-angguk. Ia pun mengerti, bahwa sulit untuk mencari seseorang di luasnya bulak dan padukuhan di malam hari, apalagi orang itu sudah mendapat kesempatan jarak waktu yang cukup panjang.

Namun dalam pada itu, Panembahan Senapati pun berkata, “Sebelum aku berangkat, maka sudah ada sekelompok prajurit yang mencarinya lebih dahulu. Demikian mereka melihat orang itu meluncur, menurut laporan maka beberapa orang prajurit telah menyusulnya. Jika kita tidak menemukan mereka di sini, mungkin mereka memang sedang mencarinya”

Yang lain pun mengangguk-angguk. Sementara Panembahan Senapati melangkah menujuk ke kudanya sambil berkata, “Marilah. Kita akan mencari Ki Tumenggung Wiladipa dengan cara lain.”

Orang-orang yang mengiringi Panembahan Senapati itu pun kemudian mengikutinya, sementara Pangeran Benawa dan Adipati Pajang menuju ke tempat kuda-kuda mereka tertambat.

Sejenak kemudian maka kuda-kuda itu pun berderap menuju ke gerbang kota.

Namun dalam pada itu, yang tidak diketemukan oleh para pemimpin Mataram dan Pajang itu, memang sempat dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat ia mendarat dengan pelepah kelapanya.

Demikian ia menyentuh tanah, maka ia pun segera meloncat berlari. Meskipun tidak terlalu cepat, namun seperti yang dikatakan oleh Panembahan Senapati, bahwa orang itu memang mampu dan mempunyai kesempatan untuk menghilang di dalam gelapnya malam dan luasnya bulak dan padukuhan.

Beberapa saat kemudian, maka debar di jantung orang itu pun segera mereda. Ia merasa bahwa ia menjadi semakin aman. Meskipun ia yakin bahwa tentu ada orang yang melihatnya terbang di atas pelepah kelapa melewati kepungan dan kemudian mengejarnya, namun ia mempunyai kesempatan cukup panjang.

Karena itu, maka orang itu tidak lagi menjadi tergesa-gesa, meskipun ia tidak menjadi lengah.

Namun dalam pada itu, ketika ia justru merasa sudah bebas dari kemungkinan untuk diketemukan oleh orang-orang Mataram, maka tiba-tiba saja ia mendengar seseorang tertawa.

Orang yang berhasil terbang dengan pelepah kelapa itu terkejut. Dengan sigap ia memutar tubuhnya menghadap ke arah suara tertawa itu.

Dalam kegelapan malam orang itu melihat seseorang berjalan mendekatinya. Suara tertawanya masih saja mengumandang di dalam kelam, menyelusuri embun yang mulai mengembang.

“Gila,” geram orang yang terbang dengan pelepah kelapa itu, “siapa kau, he? Dan apa maksudmu?”

“Kau tentu sedang melarikan diri,” jawab orang yang datang itu, “aku melihat kau naik pelepah kelapa. Jika kau tidak sedang melarikan diri dari kepungan orang-orang Mataram, kau tentu tidak akan berbuat seperti itu.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ketika ia yakin bahwa orang yang menghentikan langkahnya itu hanya seorang diri, maka ia sama sekali tidak bermaksud untuk mengelak dan ingkar. Dengan tegas ia menjawab, ”Ya. Aku memang sedang menunjukkan kepada orang Mataram, bahwa kepungannya tidak berarti sama sekali bagiku. Tidak ada kekuatan yang dapat membatasi gerakku.”

“Kau salah Ki Sanak,” jawab orang yang datang itu, “aku-lah yang bermaksud menghentikanmu. Aku ingin membawamu kembali kepada orang-orang Mataram.”

Orang yang terbang dengan pelepah kelapa itu ganti tertawa. Katanya, “Jangan salah mengambil langkah Ki Sanak. Jika kau datang dengan sekelompok prajurit di bawah pimpinan senapati terbaik di Mataram, mungkin kau akan berhasil menangkap dan membawaku kembali kepada orang-orang Mataram itu.”

“Ah,” desis orang itu, “jangan terlalu sombong. Aku akan membuktikan bahwa aku mampu menangkapmu.”

Orang yang terbang dengan pelepah kelapa itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Marilah, siapakah di antara kita yang mampu membuktikan bahwa kita adalah orang-orang linuwih.”

Orang yang baru datang itu mengangguk. Katanya, “Bagus. Kita akan bermain-main. Aku sudah melihat kelebihanmu dengan caramu menembus kepungan orang-orang Mataram, dan kemudian menyatakan bahwa orang-orang Mataram tidak dapat menemukanmu.”

“Apakah kau bukan orang Mataram?” bertanya orang yang terbang dengan pelepah kelapa itu.

“Aku orang yang tidak mempunyai alas berpijak. Aku orang mana saja dimana aku berada,” jawab orang yang baru datang itu.

“Baiklah,” jawab orang yang mampu terbang dengan pelepah kelapa itu, “siapapun kau, tetapi jika kau ingin menghambat perjalananku meninggalkan Pajang, aku akan hapuskan dari wajah bumi Pajang ini.”

“Marilah,” berkata orang yang baru datang itu, “kita akan mulai.”

Orang yang terbang dengan pelepah kelapa itu tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun segera bersiap menghadapi lawannya.

Ternyata bahwa orang yang mampu menembus kepungan orang-orang Mataram itu tidak mau menunggu terlalu lama. Dengan segera ia ingin menyelesaikan pertempuran itu. Karena itulah, maka tiba-tiba saja ia sudah menghentakkan ilmunya yang luar biasa.

Bumi bagaikan terguncang dan udara telah bergelora. Seolah-olah dari dalam bumi telah menyembur api dan udara, bagaikan uap air yang mendidih. “Uh,” orang yang datang itu melenting dengan kecepatan yang tidak kasat mata. Ketika ia hinggap di atas sebongkah batu yang besar, dikibaskannya pakaiannya sambil bergumam, “Luar biasa. Darimana kau memiliki ilmu seperti ini? Kenapa kau tidak memasuki gelar lawan dan memusnahkan sekelompok prajurit Mataram dengan caramu? Tetapi jika kau sempat membentur seorang senapati dan bertempur di dalam gejolak perang brubuh, kau tentu tidak akan berani mempergunakan ilmu ini, karena prajurit-prajuritmu sendiripun akan hangus terbakar oleh ilmumu yang luar biasa.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia telah meloncat sambil melontarkan ilmunya. Namun sekali lagi lawannya melenting mendahului sentuhan serangan itu.

“Ilmumu memang luar biasa. Tetapi jangan bermimpi mampu mengalahkan orang-orang Mataram. Kau tidak akan mampu mengalahkan Agung Sedayu. Ilmumu masih berada di bawahnya beberapa lapis. Bahkan mungkin kau tidak akan mampu mengalahkan seseorang yang memiliki ilmu mirip dengan Agung Sedayu, tetapi tidak mempunyai perisai kekebalan yang dapat melindungi tubuhnya. Apalagi jika kau bertemu dengan orang-orang tua, yang meskipun tidak mencampurinya, karena mereka ingin memberikan tanggung jawab kepada yang muda-muda, tetapi mereka menonton juga di luar arena” berkata orang yang baru datang itu.

“Persetan!” orang yang telah menyerang dengan serta merta itu tidak menjawab. Tetapi ia mengerahkan ilmunya sampai ke puncak, karena ia memang ingin menyelesaikan pertempuran itu.

Tetapi lawannya ternyata mampu bergerak cepat. Betapa ia melepaskan serangan dengan ilmunya yang nggegirisi, namun lawannya itu masih sempat mengelak, bahkan kemudian ia pun mulai menyerang. Justru karena ia sadar, bahwa lawannya telah mempergunakan ilmu puncaknya, maka ia pun telah mengimbanginya pula. Tetapi lawannya tidak mempergunakan ilmu yang keras sebagaimana orang yang turun dengan pelepah kelapa setelah menembus kepungan orang Mataram itu. Lawannya telah berusaha untuk membentur dengan lunak.

Itulah sebabnya, ketika lawannya menyerang dengan ilmunya, orang yang datang kemudian itu pun tidak menghindarinya. Tetapi ia telah melindungi dirinya dalam kemampuannya.

Dengan demikian maka telah terjadi benturan ilmu yang dahsyat. Tetapi benturan itu mempunyai ujud yang lain dari benturan ilmu yang keras. Ketika serangan itu datang, maka udara yang panas itu seakan-akan telah terhisap dalam pengaruh suhu yang dingin membeku, sehingga panasnya api yang membakar itu pun perlahan-lahan menjadi susut dan bahkan kemudian membeku. Sementara itu, api yang bagaikan menyembur dari dalam tanah itu pun rasa-rasanya telah hambar, dan yang terjadi tidak lebih dari semburan kecil yang tidak berpengaruh apa-apa.

Bahkan orang itu pun mampu melontarkan ilmunya langsung mengarah kepada lawannya, sehingga udara dingin itu benar-benar akan dapat membuat lawannya menjadi beku.

Tetapi lawannya masih mampu menghindar, dan mengatasi kebekuan itu dengan ilmu apinya.

Dengan demikian pertempuran antara kedua orang itu pun menjadi semakin lama semakin sengit. Ternyata mereka tidak saja bertempur dengan landasan ilmunya yang mampu dilontarkan ke arah lawannya, namun mereka pun telah berusaha untuk mempergunakan segala kemampuan yang ada pada mereka.

Orang yang baru datang itu nampaknya memang memiliki beberapa kelebihan, tetapi ternyata bahwa orang yang mampu menembus kepungan orang-orang Mataram itu memiliki beberapa jenis ilmu yang dapat diandalkan. Dengan demikian, maka ketika ia merasa bahwa ilmunya yang dianggapnya akan dengan cepat menyelesaikan perkelahian menghadapi benturan yang bagaikan menghisap kekuatan ilmunya itu sehingga tidak berpengaruh sama sekali, orang itu pun telah mempergunakan ilmunya yang lain, yang meskipun menurut penilaiannya sendiri tidak sedahsyat ilmu apinya, namun ia mengharap bahwa lawannya tidak memiliki kemampuan untuk menangkis atau menghindarinya.

Karena itulah, maka pertempuran antara kedua orang itu semakin lama menjadi semakin sengit. Berbagai macam ilmu telah saling dilontarkan dan dipergunakan. Namun keduanya masih saja mampu bertahan dan saling menyerang.

Sementara itu, orang-orang Mataram dan Pajang masih saja membicarakan orang yang sempat meninggalkan batas kepungan para prajurit Mataram dengan pelepah kelapa.

Pangeran Benawa yang telah berada kembali bersama Panembahan Senapati setelah mengantarkan Adipati Pajang kembali ke istananya, berkata, “Harus ada seseorang yang bersedia mengorbankan dirinya untuk menelusuri kepergian orang yang menembus kepungan para prajurit Mataram, yang menurut dugaan kita adalah Ki Tumenggung Wiladipa.”

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Siapakah yang akan dapat melakukannya? Ada beberapa syarat yang harus dimiliki orang yang bersedia melakukannya. Orang itu harus bersedia untuk mengadakan pengembaraan yang lama. Orang itu harus seseorang yang tidak terikat oleh sesuatu. Namun orang itu harus seorang yang berilmu tinggi, yang akan dapat mengimbangi kemampuan orang yang terbang dengan pelepah kelapa itu”

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam, sementara itu Panembahan Senapati pun berkata, “Kita sudah berubah sekarang Adimas. Aku dan kau tidak mungkin lagi melakukan”

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, “Memang tidak mungkin Kakangmas. Juga Agung Sedayu tidak akan mungkin. Ia sudah berkeluarga sekaran,g dan ia ikut serta membina Tanah Perdikan Menoreh yang justru mulai berkembang. Mungkin ia dapat meninggalkan Sekar Mirah karena Sekar Mirah akan dapat melindungi dirinya sendiri. Tetapi Tanah Perdikan Menoreh yang sedang berkembang, sementara Ki Gede sendiri menjadi semakin tua, akan berkeberatan untuk melepaskannya sekedar mencari orang yang bernama Wiladipa.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian berpaling ke arah Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Namun ternyata yang menyahut adalah Ki Gede Menoreh, “Mungkin Tanah Perdikan akan merasa kehilangan jika Angger Agung Sedayu harus pergi untuk waktu yang tidak terbatas. Mungkin setahun, mungkin dua tahun, karena ia harus mencari seorang yang sengaja menyembunyikan diri dalam luasnya wajah Tanah ini. Apalagi Angger Agung Sedayu agaknya belum mengenal orang itu dengan baik. Sementara itu, keadaanku menjadi semakin buruk. Cacat kakiku terasa semakin mengganggu pada saat-saat hari tuaku. Satu-satunya anakku berada di Kademangan Sangkal Putung, sementara Angger Swandaru nampaknya juga terikat oleh Kademangannya yang semakin mekar.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Pangeran Benawa pun mengerti sepenuhnya keberatan Ki Gede yang merasa tidak lagi memiliki tenaga sebagaimana masa mudanya.

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia sendiri memang tidak ingin melakukannya. Tetapi bahwa ia sama sekali tidak disebut, bahkan justru Agung Sedayu, rasa-rasanya memang tidak menyenangkan hatinya. Seolah-olah murid Kiai Gringsing yang hanya dua orang itu dianggap oleh semua orang, bahwa yang tualah yang memiliki kemampuan lebih baik dari yang muda. Sehingga karena itu tanpa mengetahui keadaan sebenarnya, mereka telah menyebut Agung Sedayu dan bukan Swandaru.

Nampaknya Swandaru ingin diperhitungkan juga untuk mencari orang itu, tetapi jika pertanyaan itu sampai kepadanya, maka ia pun akan menyatakan keberatannya.

Namun dalam pada itu, ketika orang-orang Mataram sedang sibuk membicarakannya, mereka telah dikejutkan oleh kehadiran seorang prajurit yang bertugas mengamati tempat pertemuan itu. Dengan kerut di dahinya orang itu berkata, “Ki Juru Martani yang bergelar Ki Mandaraka telah datang kemari Panembahan.”

“Paman Juru?” bertanya Panembahan itu.

“Ya Panembahan,” jawab prajurit itu.

Panembahan Senapati dan orang-orang yang berada di tempat itu menjadi tegang. Panembahan Senapati telah meminta agar Ki Juru Martani yang bergelar Ki Mandaraka tetap berada di Mataram dan mewakilinya sementara ia pergi ke Pajang. Jika Ki Juru pergi ke Pajang, tentu ada sesuatu yang penting yang ingin dibicarakannya.

Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia berkata kepada prajurit itu, “Persilahkan Paman Mandaraka untuk masuk. Pertemuan ini bukan pertemuan resmi yang tertutup. Bahkan seandainya demikian, maka Paman Mandaraka pun akan aku persilahkan untuk ikut pula.”

Prajurit itu pun kemudian meninggalkan ruang itu dan mempersilahkan Ki Juru masuk.

Panembahan Senapati telah mempersilahkannya duduk di antara para pemimpin prajurit dan pasukan pengawal yang berada di dalam lingkup pasukan Mataram.

Kemudian dengan agak tergesa-gesa Panembahan Senapati bertanya, “Apakah ada sesuatu yang penting Paman? Jika tidak demikian, maka Paman tentu tidak akan menyusulku kemari.”

Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Dengan memandang berkeliling ia pun kemudian berkata, “Agaknya sedang terjadi pembicaraan penting di sini.”

“Tidak. Tidak ada persoalan yang penting. Semuanya sudah selesai di sini,” sahut Panembahan Senapati. “Namun justru kedatangan Paman mengejutkan aku. Bahkan aku telah menjadi berdebar-debar karenanya.”

Ki Juru itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Angger Panembahan. Hamba mohon maaf, bahwa hamba telah mengejutkan Angger. Tetapi hamba memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyusul Angger kemari.”

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Panembahan Senapati.

“Ada dua tugas yang harus hamba lakukan di Mataram. Pertama, melakukan tugas Angger sehari-hari. Dan kedua, hamba harus mengawasi Cucunda Raden Rangga,” jawab Ki Juru. Lalu, “Tugas yang pertama dapat hamba lakukan, sejauh kemampuan hamba. Namun tugas yang kedua ternyata luput dari kesanggupan hamba untuk melaksanakannya. Cucunda Raden Rangga ternyata tiba-tiba saja bagaikan telah hilang dari Kesatrian. Hamba mencemaskannya, bahwa Cucunda telah menyusul kemari, dan karena tingkah lakunya, akan dapat mengganggu rencana penyelesaian yang telah disusun di sini.”

“O,” Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada datar, “Anak itu memang sulit dikendalikan. Tetapi ia tidak datang kemari Paman. Seandainya ia datang hari ini, maka semua persoalan di sini sudah kami selesaikan, sehingga ia tidak akan dapat mengganggunya, kecuali jika justru ia membuat persoalan baru.”

Ki Juru Martani menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Syukurlah jika ia tidak mengganggu. Tetapi mudah-mudahan ia pun tidak akan menimbulkan persoalan baru.”

“Ia tidak akan dapat banyak berbuat sesuatu di sini,” berkata Panembahan Senapati, “di sini ada orang-orang yang akan dapat mencegahnya. Ia pun tidak akan dapat berbuat banyak atas pamannya Adimas Adipati Pajang, karena Adimas Adipati juga memiliki kemampuan yang akan dapat mencegah tingkah laku Rangga.”

Ki Juru mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kita memang bersyukur bahwa anak itu tidak mengganggu semua rencana yang harus berlangsung di sini. Tetapi yang kemudian harus kita lakukan adalah menemukan anak itu kembali. Hamba tidak dapat menebak, kemana anak itu pergi sekarang, setelah aku ketahui bahwa ia tidak berada di sini.”

Panembahan Senapati kemudian berdesis, “Sudahlah Paman. Untuk sementara biarlah anak itu menuruti kesenangannya. Jika persoalan kita di sini benar-benar telah tuntas, barulah kita akan mencarinya.”

“Meskipun demikian, hamba mohon Angger Panembahan selalu mengamati kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas Cucunda Raden Rangga. Setiap saat ia dapat muncul dan mungkin dapat menimbulkan persoalan-persoalan baru yang seharusnya tidak terjadi,” berkata Ki Juru Martani yang bergelar Mandaraka.

“Terima kasih Paman,” jawab Panembahan Senapati, “aku pun akan minta semua orang yang hadir di sini ikut mengawasi kemungkinan hadirnya Rangga. Aku minta agar jika ia memang ada di sini, segera diberitahukan kepadaku.”

Semua orang mengangguk-angguk, betapapun mereka merasa ikut gelisah sebagaimana Ki Juru Martani, karena hampir semua orang yang ada di ruang itu sudah pernah mendengar tentang tingkah laku Raden Rangga itu.

Namun dalam pada itu, maka Penembahan Senapati pun telah mengakhiri pertemuan itu. Dipersilahkannya para pemimpin prajurit dan pengawal yang tergabung dalam pasukan Mataram itu untuk beristirahat. Besok Panembahan Senapati akan mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikan segala persoalan dan menarik pasukan Mataram kembali dari tlatah Pajang.

Panembahan Senapati kemudian telah mempersilahkan Ki Juru Martani untuk beristirahat pula. Katanya, “Jangan pikirkan lagi Rangga yang sulit dikendalikan itu. Silahkan Paman beristirahat sebaik-baiknya. Agaknya ia memang tidak akan kemari, karena ia tahu aku ada di sini untuk menyelesaikan satu persoalan yang penting.”

Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Ia pun kemudian pergi ke sebuah bilik yang diperuntukkan baginya, sementara di luar, para pengawalnya telah berada di antara para prajurit Mataram.

Di sisa malam itu para prajurit dan para pengawal sempat tidur nyenyak, kecuali para petugas. Beberapa orang yang berada di pintu gerbang masih saja membicarakan orang yang mampu terbang dengan pelepah kelapa.

Namun ternyata sejenak kemudian langit sudah menjadi merah. Rasa-rasanya waktu beristirahat itu sangat pendek.

Meskipun demikian, maka para prajurit dan pengawal itu pun telah bangun pada waktunya, betapapun mereka masih merasa segan.

Namun pada hari itu, para prajurit dan pengawal masih sempat menggeliat di pembaringan sambil menguap. Mereka tidak lagi dikejar-kejar oleh kegelisahan untuk segera mengenakan pakaian dan senjata di lambung. Hari itu mereka tidak akan bertempur, karena Panembahan Senapati dan Kangjeng Adipati Pajang telah mendapatkan kata sepakat di bawah saksi Pangeran Benawa, yang juga membawa prajurit segelar sepapan meskipun berhenti agak jauh di luar kota, agar tidak menimbulkan salah paham dengan salah satu pihak yang sedang berperang.

Tetapi pagi yang terasa tenang itu telah dikejutkan oleh hiruk pikuk yang terjadi di luar pintu gerbang. Para prajurit yang bertugas telah disibukkan oleh kedatangan seseorang sambil membawa sesosok mayat di pundaknya.

“Aku akan bertemu dengan Ayahanda,” berkata orang yang membawa sesosok mayat itu.

“Silahkan Raden,” jawab perwira yang bertugas, “tetapi tunggulah. Biarlah aku menyampaikan permohonan Raden untuk menghadap.”

“Cepat!” geram orang itu. “Sebelum kau menjadi mayat pula.”

Perwira itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Aku bertugas atas nama ayahanda Raden. Raden tidak akan dapat berbuat semena-mena atasku, karena dengan demikian berarti Raden telah melawan ayahanda Raden sendiri.”

Orang yang membawa sesosok mayat itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun telah menahan diri karena ancaman itu. Sambil meletakkan mayat yang dibawanya, ia kemudian duduk saja di bawah sebatang pohon sambil berdesis, “Aku menunggu di sini.”

Perwira itu menarik nafas dalam-dalam Namun ia sadar, bahwa ia memang harus cepat menyampaikan kedatangan orang itu kepada Panembahan Senapati.

Panembahan Senapati terkejut mendengar laporan itu. Apalagi ketika perwira itu menyebut, bahwa orang itu telah membawa sesosok mayat.

“Paman,” berkata Panembahan Senapati, “marilah kita lihat.”

Panembahan Senapati, Ki Juru Martani dan Pangeran Benawa pun segera pergi ke pintu gerbang. Demikian mereka keluar dari pintu gerbang, maka dilihatnya orang yang membawa sesosok mayat itu tertidur di bawah sebatang pohon di pinggir jalan. Di sebelahnya sesosok mayat itu tergolek membeku.

Panembahan Senapati menggelengkan kepalanya. Dengan nada dalam ia berkata, “Anak itu membuat hatiku selalu gelisah.”

Ki Juru termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Ternyata ia sampai juga di sini.”

Dalam pada itu, maka ternyata Untara pun telah hadir pula di luar pintu gerbang, diikuti oleh Agung Sedayu dan Sabungsari. Ia-lah yang tertarik kepada sesosok mayat di sebelah Raden Rangga bersandar. Perlahan-lahan ia mendekatinya dan mengamati mayat itu. 

Sambil masih memejamkan matanya Raden Rangga berkata, “Ia menolak ketika aku akan membawanya menghadap Ayahanda.”

“Ayahanda Raden ada di sini,” berkata Untara.

Raden Rangga membuka matanya. Ketika ia melihat ke pintu gerbang, maka dilihatnya Panembahan Senapati berdiri termangu-mangu di sisi Pangeran Benawa dan Ki Juru Martani.

Raden Rangga pun kemudian dengan tergesa-gesa memperbaiki duduknya tanpa mendekat. Sambil menunduk dalam-dalam ia pun menyembah.

“Ampun Ayahanda,” berkata Raden Rangga, “hamba bermaksud membantu Ayahanda. Hamba terpaksa membunuhnya, karena orang ini akan melarikan diri dan tidak bersedia untuk hamba bawa menghadap.”

“Siapa orang itu?” bertanya Panembahan Senapati dengan nada datar.

“Hamba tidak tahu, Ayahanda,” jawab Raden Rangga.

Untara-lah yang kemudian menjawab, “Ampun Panembahan. Orang inilah Ki Tumenggung Wiladipa.”

“Ki Tumenggung Wiladipa?” ulang Panembahan Senapati.

Dengan tanpa disadari, maka Panembahan Senapati diikuti oleh Pangeran Benawa dan Ki Juru Martani telah mendekat. Ternyata orang itu memang Ki Tumenggung Wiladipa.

“Dimana kau ketemukan orang ini?” bertanya Panembahan Senapati.

“Hamba melihat orang ini meluncur dengan pelepah kelapa, Ayahanda,” jawab Raden Rangga.

“Dan siapakah yang memberi kuasa kepadamu untuk membunuhnya?” bertanya Panembahan Senapati pula.

Raden Ranga terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun kemudian sambil menunduk dalam-dalam ia menjawab, “Hamba hanya ingin membantu Ayahanda.”

“Dan kenapa kau berada di sini? Apakah pesan Ayah ketika Ayah akan berangkat?” bertanya Panembahan Senapati pula. Lalu, “Nah, kau lihat, bahwa Eyangmu Ki Mandaraka terpaksa datang juga kemari malam-malam. Eyangmu sudah tua. Sementara kau telah membuatnya sibuk dan gelisah.”

Raden Rangga mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah Ki Juru sejenak. Lalu katanya, “Ampun Eyang. Hamba merasa letih sekali berada di dalam kungkungan dinding istana.”

“Tetapi bukankah itu perintah Ayahandamu?” bertanya Ki Juru.

Raden Rangga tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam. Sementara itu Panembahan Senapati telah berkata pula, “Rangga, aku mengerti, bahwa kau bermaksud membantuku. Tetapi kenapa kau telah membunuhnya? Aku memerlukan orang ini. Aku ingin mendapat keterangan daripadanya.” “Ayahanda,” sembah Raden Rangga, “jika hamba tidak membunuhnya, maka hamba-lah yang akan dibunuhnya. Orang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.”

“Dan karena kau menang atas orang itu, maka ilmumu tentu lebih tinggi lagi. Bukankah begitu?” bertanya Panembahan Senapati.

“Bukan maksud hamba mengatakan demikian,” jawab Raden Rangga yang menjadi semakin menunduk. “Hamba semata-mata ingin menangkapnya dan membawanya menghadap Ayahanda. Hamba tahu bahwa orang itu tentu berusaha melarikan diri dengan cara yang tidak wajar. Hamba sudah mencoba untuk membawanya menghadap dengan cara yang baik. Tetapi orang itu menolak. Dengan demikian maka telah timbul perselisihan dengan hamba dan terjadilah pembunuhan, setelah hamba merasa tidak akan mampu mengalahkannya dengan cara lain.”

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Ada berbagai perasaan bercampur baur . Ia mengerti niat Raden Rangga. Tetapi ia menyesal bahwa Wiladipa tertangkap mati. Panembahan Senapati pun merasa tidak senang bahwa Raden Rangga telah melanggar perintahnya untuk tidak meninggalkan Mataram.

“Tetapi tanpa Rangga, orang ini tentu sudah hilang, meskipun mungkin didapat cara yang khusus untuk mencarinya,” berkata Panembahan Senapati di dalam hatinva. Sementara itu, untuk menahan kemarahannya Panembahan Senapati itu berkata kepada diri sendiri, “Orang seperti Wiladipa tentu tidak akan menyerah sebelum mati.”

Dengan demikian, maka Panembahan Senapati pun telah berusaha untuk tidak menunjukkan kemarahan yang tidak terkendali di hadapan banyak orang. Yang kemudian dikatakannya hanyalah, “Baiklah Rangga. Aku berterima kasih kepadamu karena kau berniat untuk membantuku, meskipun caramu kurang aku sukai. Tetapi lain kali, kau sama sekali tidak boleh melanggar perintahku.”

“Hamba Ayahanda,” jawab Raden Rangga.

“Sekarang kau kembali ke Mataram,” perintah Panembahan Senapati.

“Sekarang?” Raden Rangga bertanya.

“Ya, sekarang,” jawab Panembahan Senapati.

Nampak perasaan kecewa melintas di wajah Raden Rangga. Namun ia pun kemudian menunduk sambil menyembah, “Hamba, Ayahanda.”

Beberapa orang yang ada di sekitarnya memandanginya dengan berbagai macam perasaan sebagaimana Panembahan Senapati yang agak keras terhadap putranya yang satu itu. Namun bagi Pangeran Benawa, perintah Panembahan Senapati agar Raden Rangga langsung kembali ke Mataram itu pun agak terlalu keras, sehingga Pangeran Benawa merasa iba juga kepada anak itu.

Karena itu, maka ia pun berbisik di telinga Panembahan Senapati, “Kakangmas, anak itu nampak sangat letih setelah ia bertempur melawan Ki Tumenggung Wiladipa. Kakangmas tentu juga melihat memar-memar di tubuh anak itu. Bahkan luka-luka bakar di beberapa bagian kulitnya, meskipun nampaknya tidak sangat menyakitinya.”

Tetapi Panembahan Senapati menggeleng meskipun tidak menjawab.

Raden Rangga pun kemudian menyembah sambil berkata, “Hamba, Ayahanda. Hamba akan segera kembali ke Mataram.”

Ki Juru pun nampaknya iba juga kepadanya. Karena itu, maka katanya kepada Panembahan Senapati, “Biarlah aku pergi bersamanya.”

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia merenungi putranya yang nakal itu. Namun kemudian sekali lagi ia berkata, “Kembalilah ke Mataram sekarang. Eyangmu akan tinggal di sini hari ini. Tetapi jika Eyangmu sampai di Mataram, kau harus sudah berada di tempat.”

“Hamba, Ayahanda,” sembah Raden Rangga.

Tidak ada yang berani mengatakan apapun lagi. Apalagi Ki Juru Martani, yang mengenal sifat-sifat Panembahan Senapati sebagaimana ia mengenal sifat-sifat Raden Rangga.

Sejenak kemudian, maka Raden Rangga itu pun beringsut meninggalkan tempat itu. Ketika ia bangkit berdiri, maka sekali ia membungkuk hormat kepada Ayahandanya. Kemudian kepada Pangeran Benawa dan Ki Juru. Baru kemudian ia pun mengangguk kepada orang-orang lain yang ada di tempat itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika Raden Rangga itu berjalan di depannya, maka anak itu pun berdesis, “Marilah. Dimana sepupumu yang nakal itu?”

“Ia ada di sini,” jawab Agung Sedayu.

Raden Rangga tersenyum. Namun nampak ia memang sangat letih.

Ketika Raden Rangga sudah berjalan beberapa langkah menjauh, Untara pun bertanya hampir berbisik kepada Agung Sedayu, “Siapakah yang dimaksud?”

“Glagah Putih,” jawab Agung Sedayu.

Untara mengerutkan keningnya. Namun ia tidak bertanya lebih jauh. Sementara itu, Panembahan Senapati pun telah memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menyelenggarakan penguburan Ki Tumenggung Wiladipa. Katanya, “Lakukan dengan baik. Ia adalah seorang Tumenggung. Kita harus melaporkannya pula kepada Adimas Adipati Pajang. Ia harus tahu apa yang dilakukan oleh orang yang mula-mula sangat berpengaruh di Pajang ini.”

Seorang perwira pun kemudian telah memimpin beberapa orang prajurit untuk menyelenggarakan penguburan Ki Tumenggung Wiladipa dengan cara yang baik. Sementara itu Panembahan Senapati dan para pengiringnya pun telah kembali ke pesanggrahan mereka di dalam dinding Kota Pajang.

Adipati Pajang memang agak terkejut mendengar bahwa Ki Tumenggung Wiladipa telah terbunuh. Apalagi ketika perwira yang melaporkan kepadanya mengatakan, “Ki Tumenggung telah dibunuh oleh Raden Rangga.”

Wajah Kangjeng Adipati nampak dibayangi oleh kegelisahan perasaannya. Dengan nada datar ia bertanya, “Jadi Ki Tumenggung Wiladipa itu telah dibunuh oleh anak-anak?”

“Yang terjadi memang demikian Kanjeng. Ki Tumenggung Wiladipa telah berusaha menembus kepungan orang Mataram dengan terbang di atas pelapah kelapa. Namun agaknya usahanya itu dilihat oleh Raden Rangga. Jika beberapa orang perwira dan pemimpin Mataram tidak dapat menemukannya dengan cepat, namun agaknya Raden Rangga yang memang berada di luar dinding kota telah berhasil mengikutinya dan menemukannya,” jawab perwira itu.

Kangjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia bergumam, “Rangga memang luar biasa. Tetapi jika tingkah lakunya tidak terkendali, maka ia akan menjadi anak yang sangat berbahaya.”

“Panembahan Senapati agaknya menjadi sangat marah terhadap putranya dan kemudian mengusirnya kembali ke Mataram,” berkata perwira itu. Kanjeng Adipati mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Menurut pendengaranku, beberapa kali Kakangmas Panembahan marah kepadanya. Bahkan Rangga pernah diancam dan mendapat hukuman tidak boleh keluar dari istana. Tetapi tingkah lakunya masih saja menggelisahkan. Mudah-mudahan adik-adiknya tidak berbuat sebagaimana dilakukannya.”

Perwira yang melaporkan kematian Ki Tumenggung itu, tidak menjawab. Tetapi seperti para prajurit Mataram kebanyakan yang telah mendengar tentang Raden Rangga berpendapat sebagaimana pendapat Kanjeng Adipati itu.

Namun sejenak kemudian Kanjeng Adipati telah berbicara tentang Ki Tumenggung Wiladipa, “Lalu, bagaimana dengan Wiladipa setelah terbunuh?”

“Para prajurit Mataram akan menguburkannya Mereka memperlakukan Ki Tumenggung yang terbunuh itu dengan baik, karena kematiannya sebenarnya tidak dikehendaki oleh Panembahan Senapati,” jawab perwira itu.

“Kakangmas Panembahan Senapati tentu berkepentingan. Kakangmas tentu ingin mengorek keterangannya. Karena Kakangmas menganggap bahwa keputusan-keputusan yang telah aku ambil sangat dipengaruhi oleh sikap Wiladipa,” berkata Kanjeng Adipati.

Perwira itu tidak menjawab. Ia tidak berani memberikan tanggapan atas keterangan itu, karena sebenarnyalah banyak orang yang memang berpendapat demikian, sehingga pasukan berkuda yang dianggap salah satu di antara pasukan terpilih di Pajang, telah berpihak kepada Mataram.

Namun di luar dugaan, Kanjeng Adipati itu berkata, “Aku tidak memerlukan Wiladipa lagi sekarang. Seandainya itu masih hidup pun, ternyata ia bukan orang yang tanggon. Pada saat yang paling gawat ia menghilang, dan kemudian berusaha melarikan diri dari tanggung jawab.”

Perwira yang melaporkan kematian Ki Wiladipa itu tidak menjawab. Bahkan sejenak kemudian, ia pun minta diri.

Sepeninggal perwira itu, maka Kangjeng Adipati pun masih beberapa saat merenungi apa yang telah terjadi. Bahkan sempat juga ia mencoba menjawab pertanyaan, apakah benar bahwa ia sudah terpengaruh oleh orang yang bernama Ki Tumenggung Wiladipa.

“Sejak sebelum orang itu ada di Pajang, aku memang sudah berniat untuk mempertahankan semua benda-benda berharga,” berkata Kanjeng Adipati kepada diri sendiri. “Tetapi aku tidak dapat berpegang teguh pada sikap itu, karena dengan demikian kematian akan terjadi diseluruh negeri. Bukan saja para prajurit dan pengawal. Apalagi ternyata sikap Adimas Pangeran Benawa tidak sejalan dengan sikap itu.”

Namun dalam pada itu, Kangjeng Adipati kemudian telah menjadi pasrah. Ia tidak dapat ingkar lagi, bahwa kekuasaan tertinggi memang berada di Mataram setelah Pajang kehilangan Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang telah dibayangi oleh kekuatan yang menginginkan kejayaan Majapahit dapat diujudkan lagi di bawah panji-panji kekuasaaan Pajang. Namun dengan demikian, maka Pajang justru telah menjadi lapuk dan kehilangan kewibawaannya. Yang terjadi kemudian di Pajang seakan-akan bukannya yang dikehendaki oleh para pemimpinnya.

Sambil menarik nafas dalam-dalam Kanjeng Adipati itu bergumam kepada diri sendiri, “Mudah-mudahan yang akan terjadi seterusnya menjadi semakin baik.”

Dalam pada itu, di pesanggrahannya, Panembahan Senapati telah berbicara dengan Pangeran Benawa tentang pelaksanaan rencananya untuk membawa beberapa jenis pusaka ke Mataram. Ternyata Pangeran Benawa mengusulkan agar hal itu segera dilakukan.

“Dalam dua tiga hari, mungkin pendirian seseorang akan dapat berubah. Mumpung Kakangmas Adipati sekarang tidak dapat menolak langkah-langkah yang akan Kakangmas ambil,” berkata Pangeran Benawa.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Adimas. Di samping keputusanku untuk membawa beberapa jenis pusaka ke Mataram ternyata aku juga ingin mengambil satu keputusan yang penting lainnya.”

“Tentang apa Kakangmas?” bertanya Pangeran Benawa.

Panembahan Senapati berpaling kepada Ki Juru. Sebenarnyalah yang ingin dikatakannya itu sudah dibicarakannya dengan Ki Juru. Bahkan dalam beberapa hal sejak Panembahan Senapati belum berangkat dari Mataram.

“Adimas,” berkata Panembahan Senapati, “Pajang adalah satu daerah dan juga satu tempat yang pernah dijadikan alas kekuasaan Ayahanda Sultan Hadiwijaya. Karena itu, Pajang merupakan satu daerah dan tempat yang khusus bagi kita. Meskipun kekuasaan sudah berpindah ke Mataram, namun Pajang masih tetap merupakan satu tempat yang harus mendapat kedudukan yang khusus.”

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia menjawab, “Aku mengerti maksud Kakangmas. Aku berterimakasih, bahwa Kakangmas tidak melupakan pancadan dari langkah-langkah kita sehingga kita dapat sampai ke jenjang ini.”

“Tentu Adimas,” jawab Panembahan Senapati, “aku tidak akan pernah melupakannya. Dan sementara ini kita melihat, bahwa yang memegang pimpinan di Kadipaten Pajang bukannya orang yang teguh kepada sikapnya sendiri. Kepribadiannya kurang meyakinkan, sehingga ketika muncul seseorang yang di sebut Ki Tumenggung Wiladipa, maka sebagian sikap Adimas Adipati Pajang adalah sikap dari orang yang bernama Wiladipa itu”

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Sementara Panembahan Senapati berkata terus, “Aku tidak ingin mencampakkan Adimas Adipati begitu saja. Bukankah sampai sekarang kita mempunyai dua kota yang memiliki kedudukan khusus? Selain Pajang, juga Demak, yang pernah menjadi pusat pemerintahan sebelum Ayahanda Sultan Hadiwijaya. Tetapi perkembangannya menurut perhitungan kita, Pajang mempunyai kesempatan yang lebih luas, selain kedudukannya dekat di samping Mataram. Karena itu, karena Pajang mempunyai kedudukan menjadi pendamping Mataram, maka Pajang harus dipimpin oleh seseorang yang memiliki kepribadian yang kuat dan mengerti tentang usaha Mataram untuk menyusun satu lingkungan yang besar dan satu.”

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengerti maksud Kakangmas. Tetapi jika yang dimaksud Kakangmas adalah pergeseran pimpinan di kadipaten-kadipaten wilayah Mataram yang menyangkut keluarga kita sendiri, maka aku tidak berkeberatan.”

“Ya Adimas,” jawab Panembahan Senapati, “aku tidak akan menyinggung kekuasaan para adipati yang lain, meskipun aku akan selalu berusaha untuk dapat mengikat mereka dalam satu kesatuan yang bulat bersama Mataram.”

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, “Apa rencana Kakangmas?”

“Aku ingin memindahkan Adimas Adipati Pajang ke Demak. Selain memang banyak berhubungan dengan orang Demak, maka kedudukannya di Pajang akan menjadi kurang baik. Sekelompok pasukan yang termasuk pasukan pilihan di Pajang telah meninggalkannya. Bahkan mungkin perasaan seperti yang terkandung di dalam hati para prajurit berkuda itu ada pula di dalam hati kelompok-kelompok pasukan yang lain di Pajang,” berkata Panembahan Senapati.

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya sambil mengangguk-anguguk, “Mungkin ada baiknya juga Kakangmas. Demak adalah kota yang juga sedang berkembang, Kedudukannya di pesisir menjadi semakin kuat, sementara di Demak tidak ada pemimpin yang memadai untuk memerintah dengan baik.”

“Kemudian, aku ingin Adimas Benawa menjadi lebih dekat dari Mataram,” berkata Panembahan Senapati pula, “selebihnya, Adimas yang sebenarnya berhak untuk menggantikan ayahanda Sultan Hadiwijaya seandainya Adimas tidak menolak, agaknya memang akan tinggal di Pajang pula.”

Pangeran Benawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Jangan menyebut-nyebut tentang hak itu Kakangmas. Aku memang sudah melepaskannya. Tetapi jika Kakangmas memang menghendaki aku berada di Pajang, aku tidak berkeberatan. Namun Kakangmas harus memikirkan, siapakah yang akan berada di Jipang. Sejak lama Jipang mengalami goncangan-goncangan yang gawat. Dengan susah payah aku berusaha untuk menenangkannya. Kini nampaknya Jipang sudah sampai pada satu kehidupan yang wajar.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar Adimas. Tetapi kita masih mempunyai waktu untuk memikirkannya. Aku tidak akan minta segalanya segera dilaksanakan. Aku ingin memberikan waktu kepada mereka yang berkepentingan untuk membenahi diri.”

“Baiklah,” jawab Pangeran Benawa, “aku kira Kakangmas Adipati juga tidak akan berkeberatan. Mungkin Kakangmas juga sudah tidak merasa tenang lagi berada di Pajang karena pergolakan yang baru saja terjadi. Bayangan tentang kematian akan selalu mengganggunya. Sementara itu Demak akan memberikan banyak kemungkinan kepadanya untuk berkembang. Sebagai kota pesisir, maka Demak yang membuka diri akan mempunyai hubungan yang luas.”

Panembahan Senapati pun kemudian menyahut dengan nada datar, “Jika demikian aku kira sudah tidak ada persoalan lagi Adimas. Nanti, pada saatnya aku akan menyampaikan kepada Adimas Adipati. Sementara aku ingin menyelesaikan persoalan yang selama ini menjadi jurang pemisah yang membatasi hubungan akrab antara Pajang dan Mataram. Aku ingin Adimas Adipati pergi ke Demak dengan perasaan yang tidak di kotori dengan dendam, seolah-olah aku telah dengan semena-mena mengusirnya.”

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah Kakangmas. Aku akan menjadi saksi sebelum aku kembali ke Jipang dengan pasukanku.”

“Hari ini aku akan mengadakan pembicaraan dengan Adimas Adipati. Mudah-mudahan tidak ada persoalan yang dapat menghambat pembicaraan ini. Mudah-mudahan Adimas Adipati tidak terpengaruh oleh kematian Tumenggung Wiladipa,” berkata Panembahan Senapati. “Aku berharap bahwa Adimas Benawa akan menyertai pembicaraan ini bukan hanya sekedar sebagai saksi, tetapi pendapat Adimas Pangeran akan sangat berarti. Bagaimanapun juga, pengaruh Adimas Pangeran Benawa sangat besar terhadap Adimas Adipati.”

Pangeran Benawa mengangguk-angguk sambil menjawab, “Aku akan berbuat apa saja bagi kebaikan kita bersama. Jika persoalannya sudah selesai dengan tuntas, maka aku kira tidak akan timbul lagi persoalan-persoalan yang akan dapat mengeruhkan masa depan. Apalagi jika Kakangmas Adipati bersedia berangkat ke Demak dengan hati yang lapang.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia menjawab, “Aku akan minta waktu kepada Adimas Adipati.”

“Pertemuan itu dapat diatur secepatnya Kakangmas. Dengan demikian maka kepungan ini akan segera dapat diurai. Apalagi orang yang bernama Wiladipa itu sudah tidak ada lagi.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan memerintahkan untuk menarik pasukan ini keluar dinding kota, meskipun prajurit Mataram masih akan mengawasi setiap pintu gerbang. Meskipun demikian, aku masih akan menunggu, apakah Adimas bersedia untuk berbicara secepatnya.”

“Aku akan menjadi penghubung,” jawab Pangeran Benawa, “aku kira tidak ada lagi persoalan yang akan menjadi hambatan.”

“Terima kasih Adimas,” jawab Panembahan Senapati, “semakin cepat memang semakin baik.”

Dengan demikian maka Pangeran Benawa pun telah mohon diri untuk menemui Adipati Pajang. Namun dalam pada itu, Ki Juru Martani pun telah minta diri pula.

“Kasihan Cucunda Raden Rangga jika ia terlalu lama sendiri di Mataram. Dalam kesepian, mungkin ia akan dapat berbuat sesuatu yang aneh-aneh. Menangkap harimau dan melepaskan di halaman orang, atau tingkah laku aneh-aneh yang lain. Apalagi jika ia mulai mempengaruhi adik-adiknya,” berkata Ki Juru.

Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Tidak Paman. Aku akan minta Paman ikut dalam pembicaraan dengan Adimas Adipati Pajang. Bukan sekedar soal pusaka-pusaka yang akan kita bawa ke Mataram, tetapi juga tentang kepindahan Adimas Adipati dari Pajang ke Demak.”

“Lalu bagaimana dengan Cucunda Raden Rangga?” bertanya Ki Juru.

“Aku baru saja bersikap keras terhadapnya. Ia tidak akan berbuat apa-apa. Setidak-tidaknya untuk beberapa hari ini,” jawab Panembahan Senapati.

Ki Juru tidak berani membantah. Ia pun kemudian berdesis, “Segala sesuatunya terserah kepada angger Panembahan.”

Sementara itu, sebenarnyalah dengan letih dan hati yang kesal Raden Rangga berjalan menuju ke Mataram. Beberapa kali ia melewati kelompok-kelompok kecil prajurit Mataram yang bertugas mengawasi keadaan. Di simpang empat, di simpang tiga, dan di batas-batas jalan penting di Pajang. Namun di antara mereka, Raden Rangga sudah terlalu banyak dikenal, sehingga tidak ada sekelompok pengawal pun yang pernah mempersoalkannya lewat.

Namun ada juga satu dua orang prajurit yang bertanya tanpa maksud apa-apa, “Raden akan pergi kemana?”

“Kembali ke Mataram,” jawab Raden Rangga.

“Seorang diri? Nampaknya Raden terlalu letih,” berkata seorang prajurit.

“Ya, aku memang sangat letih setelah aku berkelahi dengan orang yang ternyata bernama Wiladipa,” jawab Raden Rangga

“Raden berhasil membunuhnya,” sahut prajurit itu.

“Tetapi orang itu mempunyai ilmu yang tinggi,” berkata Raden Rangga. Lalu ditunjukkannya beberapa bagian tubuhnya yang terluka. Bahkan ternyata bahwa bagian dalam tubuh Raden Rangga pun terluka, meskipun anak itu mampu mengatasi rasa sakitnya.

“Kenapa Raden tergesa-gesa kembali? Bukankah sebaiknya Raden beristirahat saja dahulu sampai keadaan Raden menjadi segar kembali?” bertanya prajurit itu pula.

“Ayahanda memerintahkan aku kembali sekarang dan segera,” jawab Raden Rangga, “aku tidak berani membantah.”

Prajurit itu mengangguk-angguk. Namun dengan nada dalam ia berkata, “Raden dapat beristirahat di sini beberapa lama. Kemudian meneruskan perjalanan dan beristirahat lagi.”

“Jika Eyang Juru Martani sampai di Mataram dan aku belum sampai, maka aku akan dihukum. Padahal Eyang Juru naik seekor kuda, diiringi oleh para pengawal berkuda pula,” jawab Raden Rangga.

“Bukankah Raden akan memilih jalan yang paling banyak dilalui orang yang menempuh perjalanan dari Pajang ke Mataram? Dengan demikian, maka jika Ki Juru yang bergelar Ki Mandaraka itu mendahului Raden, maka Raden akan melihatnya.”

“Terima kasih,” berkata Raden Rangga, “aku akan berjalan saja perlahan-lahan. Mudah-mudahan aku akan sampai di Mataram mendahului Eyang Juru Martani.”

Prajurit itu tidak dapat menahan lagi. Raden Rangga yang letih dan kesal itu pun telah melanjutkan perjalanan. Namun beberapa langkah kemudian dilihatnya sebuah kendi berisi air yang memang disediakan oleh penghuni rumah di pinggir jalan bagi para pejalan yang haus. Raden Rangga pun kemudian melangkah mendekat dan diangkatnya kendi itu. Dituangkannya air yang segar ke dalam mulutnya.

Setelah minum beberapa teguk, terasa tubuh Raden Rangga agak menjadi segar. Sekali ia berpaling. Prajurit yang menyapanya masih berdiri memandanginya.

Raden Rangga ternyata masih sempat melambaikan tangannya sambil tersenyum. Kemudian ia pun melanjutkan perjalanannya yang masih panjang.

Prajurit itu menggelengkan kepalanya. Dilihat dari ujud lahiriahnya, Raden Rangga masih terlalu muda. Namun ia harus menempuh perjalanan kembali ke Mataram seorang diri dalam keadaan yang sangat letih. Tetapi karena prajurit itu sudah mendengar tentang Raden Rangga, maka ia berkata kepada diri sendiri, “Anak itu tentu akan memiliki daya tahan yang cukup bagi perjalanannya.”

Raden Rangga pun berjalan dengan segannya menelusuri jalan-jalan bulak. Namun semakin lama ia mulai merasa jemu dengan perjalanan yang sepi itu. Apalagi badannya masih saja terasa sangat letih dan bahkan masih terasa perasaan nyeri.

Tiba-tiba saja Raden Rangga ingin mandi dan berendam barang sejenak.

Karena itu, ketika ia melihat segerumbul pepohonan raksasa, maka ia pun mendekatinya. Ia menjadi yakin bahwa di bawah gerumbul pepohonan yang besar itu terdapat sebuah belumbang yang cukup besar, ketika ia melihat sebuah parit yang lebar dan mengalirkan air yang deras. Air yang jernih sekali.

Perlahan-lahan Raden Rangga mendekat. Di bawah pepohonan yang besar itu memang terdapat sebuah belumbang yang cukup besar dan berair jernih, dikelilingi oleh dinding yang terbuat dari bebatuan memagari belumbang itu.

Ternyata di belumbang itu telah terdapat beberapa orang anak yang sedang mandi dengan gembiranya. Di luar dinding, di parit yang menampung air dari belumbang itu, beberapa orang anak sedang memandikan kerbau mereka.

Raden Rangga merasa telah memasuki satu daerah yang sejuk dan segar. Gurau anak-anak yang berenang berkejaran di dalam belumbang, serta lenguh kerbau yang sekali-sekali menyelingi, terdengar renyah sekali.

Beberapa saat lamanya Raden Rangga berdiri di tepi belumbang itu. Bahkan kemudian duduk di atas batu di pinggir, dekat dengan anak-anak yang sedang memandikan kerbau.

Beberapa orang anak yang sedang beramai-ramai mandi itu semula tidak menghiraukannya. Sementara Raden Rangga dengan heran melihat mata air belumbang itu yang sangat besar.

Raden Rangga menjadi semakin heran ketika ia melihat seorang anak berani memasuki mulut mata air itu dengan kepala di bawah. Kemudian setelah sesaat tidak kelihatan, maka anak itu muncul lagi dengan kepala di atas.

“Apakah rongga di dalam lubang mata air itu cukup besar untuk memutar tubuh?” bertanya Raden Rangga di dalam hatinya.

Yang dilakukan oleh anak-anak yang sedang mandi itu memang menarik perhatian. Tiba-tiba saja timbul keinginan Raden Rangga untuk mencobanya.

Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak, “He, apakah aku boleh ikut mandi?”

Anak-anak yang sedang mandi itu berpaling kearahnya. Mereka melihat seorang anak yang tidak mereka kenal. Karena itu, maka seorang di antara anak-anak yang mandi itu bertanya, “Kau siapa? Dan kau anak dari mana?”

“Aku anak kabur kanginan. Aku tidak mempunyai rumah dan tempat tinggal,” jawab Raden Rangga.

Anak-anak yang sedang mandi itu berdiam diri sejenak. Namun sejenak kemudian mereka pun telah saling berbisik. Anak yang paling besar dan paling nakal di antara mereka berbisik kepada teman-temannya, “Biarlah anak itu mandi. Nanti kita akan mendapat permainan yang menarik.”

“Permainan apa?” bertanya seorang kawannya.

“Anak itu,” jawab anak yang paling nakal, “kita permainkan anak itu sampai ia bertobat dan menyembah kepada kita. He, sekali-sekali kita ingin juga main keraton-keratonan. Aku sebagai raja, dan kalian sebagai tumenggung. Anak itu kita paksa menjadi budak dan menyembah kepada kita semua.”

“Setuju,” jawab anak-anak yang lain. Wajah mereka nampak cerah. Rasa-rasanya mereka akan mendapatkan sebuah permainan yang menyenangkan.

Sementara itu, Raden Rangga sudah berdiri dari tempatnya. Tetapi ia hanya bergeser saja mendekati lubang mata air yang cukup besar itu.

Ketika seorang anak meluncur memasuki lubang tersebut, Raden Rangga bertanya kepada anak-anak yang lain, “Apakah lubang itu dalam?”

“Tidak terlalu dalam,” jawab salah seorang di antara mereka.

“Di dasar lubang itu ada apa?” bertanya Raden Rangga pula.

“Turunlah. Kita akan mandi bersama,” berkata anak yang paling besar di antara mereka.

Tetapi Raden Rangga masih bertanya, “Di dasarnya ada apa?”

“Sebuah rongga,” jawab anak yang lain, “di bawah rongga itu terdapat pasir lunak seperti air yang sedang mendidih. Dari celah-celah pasir bagaikan air mendidih itulah air memancar dari dalam tanah.”

Raden Rangga semakin tertarik. Ia pun kemudian mengambil sebuah batu yang berwarna keputih-putihan. Dimasukkannya batu itu ke dalam lubang itu sambil berkata, “Ambil batu itu.”

Seorang anak memandangi sambil termangu-mangu. Dengan wajah berkerut anak itu berkata lantang, “Buat apa aku mengambil batu itu? Kenapa kau tidak turun sendiri dan mengambilnya?”

“Aku ingin tahu, apakah lubang itu ada dasarnya,” jawab Raden Rangga.

“Jadi kau tidak percaya keteranganku?” jawab anak yang semula telah menjawab pertanyaan Raden Rangga.

Raden Rangga termangu-mangu. Namun ia mempunyai akal. Diambilnya sekeping uang. Sebagai seorang pangeran, maka uang bukan menjadi masalah baginya. Sambil menunjukkan uang itu ia berkata, “Aku akan memasukkan uang sekeping ini ke dalam lubang itu. Siapa yang dapat mengambilnya, ia akan memiliki uang ini.”

Tanpa menunggu jawaban, Raden Rangga telah melemparkan sekeping uang di tangannya ke dalam lubang di belumbang itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar