Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 194

Buku 194

Dengan demikian, maka memang tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukan oleh Adipati Pajang itu. Sehingga akhirnya batas antara Pajang dan Mataram itu menjadi semakin tebal. Bahkan, agaknya yang akan terjadi adalah benturan kekerasan.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Windubaya yang telah meninggalkan Pajang menuju ke Mataram, sebagaimana diduga oleh Agung Sedayu telah singgah di pesanggrahan pasukan Mataram yang dipimpin oleh Ki Lurah Branjangan.

Dengan singkat Ki Tumenggung Windubaya telah memaparkan hasil pembicaraannya dengan Kanjeng Adipati Pajang. Sehingga menurut pendapatnya, tidak ada jalan lain kecuali mengambil Wiladipa dengan kekerasan, sekaligus pusaka-pusaka yang diperlukan oleh Mataram yang masih ada di Pajang. Dengan demikian, maka Mataram akan melakukan dua langkah sekaligus.

“Baiklah,” berkata Ki Lurah Branjangan, “jika demikian, maka aku akan mempersiapkan pasukanku. Sesuai dengan perhitungan agar Ki Tumenggung Wiladipa tidak dapat melarikan diri dari Pajang, maka Pajang harus dikepung rapat. Kita tidak akan menyerang dari satu sisi. Namun dengan demikian diperlukan pasukan yang besar dan berjumlah banyak.”

“Benar Ki Lurah,” berkata Ki Tumenggung, “kau harus mempersiapkan pasukan itu sebaik-baiknya. Kita tidak boleh gagal.”

“Apakah ada kemungkinan bantuan dari tempat lain? Dari Jipang misalnya, selain prajurit Demak yang dibawa oleh Wiladipa itu?”

“Ki Lurah akan mendapat laporan dari prajurit sandi,” jawab Ki Tumenggung, “aku pun akan menunggu laporan itu. Tetapi aku akan melaporkan segala sesuatunya kepada Panembahan Senapati.”

“Kami menunggu segala perintah dari Panembahan Senapati,” berkata Ki Lurah kemudian.

Ki Tumenggung itupun telah melanjutkan perjalanan ketika Agung Sedayu sampai ke pesanggrahan Ki Lurah. Selain mempersoalkan hasil pembicaraan Ki Tumenggung Windubaya dengan Kanjeng Adipati. maka Agung Sedayu pun memberikan keterangan bahwa pasukan berkuda yang ada di dalam kota Pajang telah siap membantu pasukan Mataram yang bakal datang memasuki Pajang.

Tetapi seperti pesan Untara, maka Agung Sedayu pun berkata, “Tetapi setiap saat Ki Lurah pun diharapkan akan dapat membantu pasukan berkuda itu, jika kesediaannya itu dapat didengar oleh Ki Tumenggung Wiladipa.”

“Kami sudah siap sepenuhnya,” berkata Ki Lurah, “tetapi kami pertama-tama akan menempatkan diri dalam tujuan utama kita, yaitu menangkap Ki Wiladipa.”

“Kami mengerti,” jawab Agung Sedayu, “karena itu, maka biarlah kekuatan yang ada di luar dan di dalam selalu dapat berhubungan untuk mengatur langkah-langkah yang akan datang.”

“Kami hanya tinggal menunggu perintah Panembahan Senapati. Jika hari ini Ki Tumumenggung Windubaya menghadap Panembahan Senapati dan melaporkan hasil pembicaraannya dengan Kanjeng Adipati, maka besok kita akan mendapat perintah itu. Namun setelah perintah jatuh, kita masih harus menyatukan langkah-langkah berikutnya, sehingga dalam dua tiga hari lagi, kita baru akan dapat bertindak.”

“Kami memerlukan langkah-langkah yang cepat,” berkata Agung Sedayu, “karena Ki Wiladipa agaknya sudah menyusun kekuatannya pula. Jika ia berhasil membujuk kekuatan dari luar Pajang, maka persoalannya akan menjadi bertambah sulit.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya maksud Agung Sedayu sebagaimana dipesankan oleh Untara dan sebagaimana diperhitungkannya. Karena itu, maka katanya, “Kita akan berusaha untuk bertindak secepatnya.”

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah masuk kembali ke dalam kota dan menyampaikan kabar dari Ki Lurah, tentang pasukannya yang telah siap.

“Namun diperlukan pasukan yang cukup banyak untuk mengepung kota ini dari segala penjuru agar tidak ada kesempatan bagi Ki Tumenggung Wiladipa untuk melarikan diri,” berkata Agung Sedayu.

“Ki Lurah harus berusaha melengkapi pasukannya,” berkata Untara.

“Panembahan Senapati tidak sependapat jika Mataram mengambil pasukan dari lingkungan yang luas karena Mataram ingin membatasi persoalan. Biarlah persoalannya hanya didengar oleh Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung. Jika kemudian daerah-daerah lain mengetahuinya, namun mereka tidak perlu terlibat ke dalamnya. Dengan demikian, maka seandainya Pajang juga menghubungi beberapa daerah lain, pertentangan tidak akan menjadi sangat luas,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi Mataram juga bertanggung jawab bahwa rencana ini tidak akan gagal. Seandainya Ki Tumenggung Wiladipa yang lolos, masih ada waktu untuk mencarinya dimanapun juga di Tanah ini. Tetapi jika pusaka-pusaka itu sempat disembunyikan atau bahkan dihancurkan, maka akibatnya akan sangat pahit bagi Mataram,” berkata Untara.

“Hal itu memang harus diperhitungkan,” berkata Agung Sedayu, “tetapi agaknya menurut Ki Lurah Branjangan, pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung, di samping prajurit Mataram yang ditarik dari daerah yang tersebar, cukup banyak untuk melakukan tugas itu. Tentu saja dibantu oleh prajurit berkuda Pajang yang telah bersedia untuk bertempur bersama Mataram.”

Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Pada satu saat, aku akan memberikan perincian kekuatan Pajang. Mudah-mudahan Ki Lurah tanggap dan mampu memperhitungkan kekuatan yang diperlukan untuk mengepung Pajang jika benar perang meletus. Kepungan itu harus kuat di segala arah, agar pasukan Pajang tidak dapat memecahkan kepungan dengan memusatkan segala kekuatan pada satu titik kepungan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Ki Lurah memerlukan sekali perincian itu.”

“Aku akan berusaha dari para pemimpin pasukan berkuda, meskipun tidak tepat benar tetapi tentu mendekati kekuatan yang nyata ada. Tetapi yang aku tidak mengerti, apakah mereka juga mengetahui dengan tepat, kekuatan yang dibawa oleh Wiladipa dari Demak yang jumlahnya cukup banyak,” jawab Untara.

“Mudah-mudahan jumlah itu dapat dibaca dari kesibukan mereka, atau jika perlu berusaha untuk mengetahui kebutuhan belanja dari barak-barak yang diperlukan oleh prajurit Demak yang ada di tempat itu, untuk memperkirakan jumlah orang yang ada,” berkata Agung Sedayu.

Untara mengangguk-angguk. Memang masuk akal untuk menghitung penghuni barak dari jumlah kebutuhannya untuk makan, meskipun tidak tepat benar.

Dengan demikian, maka suasana di Pajang menjadi kian menghangat. Sementara itu, Ki Tumenggung Windubaya telah menghadap Panembahan Senapati di Mataram untuk menyampaikan hasil pembicaraanya dengan Kanjeng Adipati Pajang.

“Kemarahan Kanjeng Adipati tidak dapat dikekangnya, Panembahan,” berkata Ki Tumenggung, “hampir saja kepala hamba disambar oleh bokor yang ditendang oleh Kanjeng Adipati.”

Panembahan Senapati mendengarkan laporan itu dengan wajah yang merah. Bahwa orang-orang Pajang telah menghinakan utusannya, adalah pertanda bahwa Pajang benar-benar telah menantang Mataram. Untara hampir saja terbunuh oleh orang-orang yang dipasang Ki Tumenggung Wiladipa meskipun dengan diam-diam. Kemudian Kanjeng Adipati Pajang sendiri telah melemparkan bokor kepada utusannya, yang akan dapat membunuhnya apabila bokor itu mengenainya.

Karena itu dengan suara gemetar Panembahan Senapati itu berkata, “Aku sendiri akan pergi ke Pajang.”

Orang-orang yang ada di bilik penghadapan itupun terkejut. Namun Ki Juru Martani yang bergelar Ki Mandaraka itupun berkata, “Ampun Angger Panembahan. Angger sudah bukan lagi seorang anak muda yang menelusuri Tanah ini dari ujung sampai ke ujung. Bukan lagi seseorang yang tidur di ranting-ranting pepohonan atau menempuh laku merendam diri di pusaran air. Angger sekarang adalah Panembahan Senapati di Mataram.”

“Jadi bagaimana menurut Paman? Apakah kita akan membiarkan Adimas Adipati Pajang itu menghina aku?” bertanya Panembahan Senapati.

“Tentu tidak,” jawab Ki Juru, “kita memang sudah memutuskan untuk mengambil sikap.”

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Sejak semula memang sudah direncanakan jika pembicaraan gagal, maka pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Branjangan akan bergerak.

Karena itu, maka Panembahan Senapati itupun berkata, “Paman, tingkah laku Adimas Adipati memang sudah melampaui batas. Kesabaranku pun telah melampaui batas pula. Karena itu, maka aku akan melengkapi rencana yang terdahulu dengan menempatkan diriku sendiri dalam pasukan itu.”

Tetapi Ki Juru menggeleng. Katanya, “Tidak perlu Ngger. Selama masih dapat diatasi dengan cara lain, maka Angger Panembahan tidak perlu turun langsung ke medan.”

Panembahan Senapati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian suaranya merendah, “Aku akan melihat yang akan terjadi. Tetapi jika perlu, aku akan turun langsung ke medan.”

“Jika perlu memang sudah sewajarnya Angger turun tangan. Tetapi biarlah Angger mempercayakannya lebih dahulu kepada Ki Lurah Branjangan. Sementara itu, di Pajang ada pula Untara dan Agung Sedayu.”

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa ia masih dapat menahan hatinya, sehingga Panembahan Senapati sendiri tidak turun ke gelanggang untuk menghukum Pajang.

Namun dalam pada itu, maka Panembahan Senapati pun telah menjatuhkan perintah, bahwa pasukan Mataram dapat mulai bergerak untuk menangkap seseorang yang bernama Ki Tumenggung Wiladipa.

Kepada Ki Tumenggung Windubaya Panembahan Senapati berkata, “Ki Tumenggung, pergilah ke pesanggrahan Ki Lurah Branjangan. Jatuhkan perintahku, tangkap orang yang bernama Ki Tumenggung Wiladipa. Siapapun yang berusaha untuk melindunginya, maka ia dianggap ikut bersalah, dan dapat ditangkap pula, meskipun orang itu adalah Adipati Pajang.”

“Hamba Panembahan,” Ki Tumenggung mengangguk hormat. “Apakah hamba dapat berangkat sekarang?”

“Kau dapat beristirahat sebentar. Tetapi, kemudian harus berangkat. Dan besok pasukan Mataram harus sudah bergerak,” berkata Panembahan Senapati.

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun mohon diri untuk singgah dan minta diri kepada istrinya, bahwa ia akan berangkat lagi ke Pajang.

Tetapi sebagai seorang senapati yang mengemban tugasnya, maka ia masih belum mengatakan kepada istrinya, bahwa ia harus menyampaikan perintah kepada Ki Lurah Branjangan untuk bergerak besok pagi. Ia hanya minta diri untuk bertugas ke Pajang menghubungi Ki Lurah Branjangan.

Nyi Tumenggung pun tidak pernah memaksa suaminya untuk mengatakan sesuatu yang tidak ingin dikatakannya, karena ia sadar, bahwa sebagai seorang senapati kadang-kadang suaminya harus menyimpan rahasia bagi kepentingan jabatannya.

Malam itu, Ki Tumenggung sudah kembali berpacu dengan beberapa orang pengawal, kembali ke Pajang untuk menemui Ki Lurah Branjangan. Pada lapisan kedua Ki Tumenggung hanya mengatakan bahwa ia harus menemui Ki Lurah Branjangan.

“Sebaiknya kalian bersiap,” berkata Ki Tumenggung, “aku ingin berbicara dengan Ki Lurah. Segala sesuatunya akan ditentukan oleh Ki Lurah.”

Para pemimpin pasukan di lapisan kedua itu sudah merasa meskipun belum jatuh perintah, bahwa pertempuran tidak akan dapat dihindarkan lagi.

Demikianlah, maka Ki Tumenggung itupun langsung menuju ke pesanggrahan Ki Lurah Branjangan dan menyampaikan perintah Panembahan Senapati.

Ki Lurah mengangguk-angguk. Ia sudah menduga, bahwa perintah itu akan cepat datang. Tetapi tidak secepat itu.

“Panembahan Senapati menjadi sangat marah,” berkata Ki Tumenggung Windubaya, “jika tidak dicegah oleh Ki Juru, maka Panembahan Senapati akan langsung turun ke gelanggang memimpin sendiri pasukan Pajang.”

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Namun ia sadar, bahwa dengan demikian maka ia harus mengemban tugas itu dengan menumpahkan segenap kemungkinan yang dapat dilakukannya. Ia tidak boleh mengecewakan Panembahan Senapati yang sudah siap untuk turun sendiri ke gelanggang.

Karena itu maka katanya, “baiklah Ki Tumenggung. Aku akan melakukannya sejauh kemampuan yang ada padaku, Mudah-mudahan dapat memenuhi keinginan Panembahan Senapati.”

Dalam pada itu, malam itu juga Ki Lurah memerintahkan petugas sandinya untuk mencari hubungan dengan Agung Sedayu sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah mereka gariskan. Petugas sandi itu harus menyampaikan perintah Ki Lurah, bahwa pasukan yang ada di dalam kota harus menyesuaikan diri.

“Panembahan Senapati ternyata bertindak lebih cepat dari yang kita duga, sehingga dengan demikian maka kita harus berusaha menyesuaikan diri,” berkata petugas sandi yang telah berhasil menemui Agung Sedayu yang sedang berada di dalam kota.

“Baiklah. Kita akan berbicara dengan Kakang Untara,” sahut Agung Sedayu.

Dengan demikian, maka malam itu perintah Panembahan Senapati telah sampai ke semua unsur dari pasukan Mataram. Pasukan yang berada pada lapisan pertama, lapisan kedua dan pasukan yang ada di dalam kota, pasukan berkuda Pajang yang telah menyatakan berada di pihak Mataram.

Dengan demikian, maka sebenarnya-lah ketika matahari terbit, pasukan Mataram telah mulai bergerak. Tetapi mereka tidak langsung menyerbu memecahkan gerbang kota.

Tetapi mereka telah mengepung dan menempatkan pasukan Mataram pada jalur-jalur jalan yang penting, sehingga tidak memungkinkan seorang pun yang lolos dari kota, termasuk Ki Tumenggung Wiladipa.

Langkah yang diambil pasukan Mataram itu telah menggemparkan kota Pajang. Rakyat yang berangkat ke pasar di dalam kota, tidak dapat melanjutkan perjalanan mereka. Jalan-jalan telah tertutup oleh para prajurit Mataram dalam kesiagaan tertinggi.

Tetapi para prajurit itu tidak mengusik mereka, meskipun mereka tidak diijinkan untuk berjalan terus.

“Kembali sajalah,” perintah para prajurit, “jika kalian memasuki kota, maka kalian tidak akan dapat keluar lagi. Mungkin untuk sehari, tetapi mungkin untuk sepekan atau lebih.”

Dengan demikian maka orang-orang itupun telah kembali ke padukuhan masing-masing dengan jantung yang berdebar-debar. Tetapi mereka mengerti, bahwa Pajang berada di pintu gerbang peperangan.

Dalam pada itu, maka di Pajang pun semua prajurit sudah di persiapkan. Ki Tumenggung Wiladipa telah memerintahkan para senapati untuk menempatkan diri. Orang-orang Pajang telah mendapatkan sedikit gambaran tentang kekuatan Mataram. Sehingga dengan demikian, maka Ki Tumenggung Wiladipa tidak menjadi begitu cemas.

Untara-lah yang berdesis, “Aku belum sempat memberikan keterangan tentang kekuatan Pajang.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata, “Tetapi Ki Lurah tentu sudah mendapat laporan dari petugas sandinya. Namun jika Kakang dapat memberikan keterangan itu, akan dapat dipakai sebagai bahan perbandingan.”

Ki Untara mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Malam nanti aku akan mengusahakannya.”

Dalam pada itu, Untara benar-benar telah berusaha untuk mendapatkan sedikit keterangan tentang prajurit yang ada di dalam kota Pajang, khususnya di dalam lingkungan pengaruh kuat Ki Tumenggung Wiladipa, dan prajurit yang datang dari Demak dan memperkuat kedudukan Kanjeng Adipati Pajang.

Lewat Agung Sedayu, maka Untara telah mengirimkan keterangan itu sebagai bahan pertimbangan Ki Lurah Branjangan untuk mengambil langkah-langkah selanjutnya.

“Terima kasih,” berkata Ki Lurah, “tetapi kau sendiri harus berhati-hati jika kau keluar masuk kota. Apalagi setelah kami mengepung kota. Setiap orang yang lewat akan dicurigai oleh para petugas, baik dari Pajang maupun dari Mataram.”

“Aku sudah mempunyai jalan tersendiri,” jawab Agung Sedayu, “meskipun aku harus memanjat dan meloncat dinding. Sebatang pohon yang rimbun seakan-akan telah disediakan untuk jalanku masuk keluar kota.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Tetapi ia tahu benar, bahwa Agung Sedayu memang seorang yang mempunyai ilmu yang luar biasa.

Dengan keterangan Untara lewat Agung Sedayu, Ki Lurah dapat mempunyai gambaran tentang kekuatan yang dihadapiya. Keterangan itu dapat diperbandingkan dengan keterangan para petugas sandinya. Namun para petugas sandinya tidak dapat mengatakan, berapa bagian dari kekuatan itu yang telah menyatakan kesediaannya untuk berpihak kepada Mataram.

“Kekuatan kami tidak begitu besar dibandingkan kekuatan prajurit Pajang dalam keseluruhannya,” berkata Ki Lurah kepada diri sendiri, “tetapi cukup mengejutkan dan mampu mengguncang ketahanan batin para prajurit Pajang sendiri. Bahkan karena pasukan ini tidak diduga-duga oleh para pemimpin di Pajang, maka agaknya akan mempunyui pengaruh yang cukup besar.”

Demikianlah, sudah sehari pasukan Mataram mengepung Pajang. Namun Mataram masih belum dengan kekuatan itu mendekati kekuatan pasukan Pajang. Yang dilakukan pasukan Mataram sekedar menutup hubungan antara kota Pajang dengan lingkungan di sekitarnya. Kemudian dengan tegas Mataram menunjukkan kesiagaannya untuk benar-benar pada satu saat menggempur Pajang.

Namun demikian, sekali lagi Mataram masih memberi peringatan. Tiga orang berkuda, di antara mereka adalah Ki Tumenggung Windubaya sendiri, mendekati gerbang kota Pajang dan bertemu dengan perwira yang bertugas di pintu gerbang. Katanya, “Mataram masih memberi kesempatan bagi Ki Tumenggung Wiladipa untuk menyerah. Dengan demikian maka akan dapat dihindari korban puluhan bahkan ratusan orang yang tidak bersalah.”

“Omong kosong,” geram perwira di pintu gerbang itu.

“Aku tidak perlu menghadap Kanjeng Adipati sendiri. Tetapi sampaikan kepada Kanjeng Adipati, agar kau tidak dihukum gantung kelak jika ternyata hal ini kau potong di tengah, di antara pesan ini dan Kanjeng Adipati.”

Perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Pergilah. Kau membuat aku muak.”

“Jangan terlalu kasar Ki Sanak. Aku memang akan pergi. Tetapi sekali lagi, sampaikan pesan ini kepada Kanjeng Adipati. Sebab pada suatu saat Panembahan Senapati akan bertemu dengan Kanjeng Adipati. Jika hal ini ditanyakan, maka kau akan menjadi sasaran. Kau, perwira yang bertugas di regol dinding kota saat ini, hari ini dan waktu ini.”

“Persetan,” geram perwira itu, “kau kira aku takut mendengar ancaman seperti itu?”

“Tidak. Aku tidak menuduhmu takut, tetapi bukankah kita berpegang kepada sumber kekuatan yang sama bagi seorang prajurit?” bertanya Ki Tumenggung Windubaya.

“Apa maksudmu?” bertanya perwira itu.

“Kita harus mengemban kewajiban sebaik-baiknya. Jika kau berani memotong sesuatu yang pantas disampaikan Kanjeng Adipati, apalagi dari Panembahan Senapati, maka kau adalah seorang prajurit yang kurang baik,” berkata Ki Tumenggung Windubaya.

Prajurit itu tidak segera menjawab. Tetapi hatinya memang berdebar-debar juga. Meskipun demikian, ia masih juga kemudian berkata, “Pergilah. Apakah aku akan menyampaikan kepada Kanjeng Adipati atau tidak, itu adalah persoalanku. Kau tidak akan dapat mencampurinya.”

“Sekarang memang tidak. Tetapi jika pasukan Mataram ini telah memecahkan dinding pertahananmu, maka baru kau tahu, siapakah kami, prajurit-prajurit Mataram ini. Dan apakah kami berhak untuk mencampuri persoalanmu atau tidak,” berkata Ki Windubaya.

“Kalian hanya mengantarkan nyawa kalian,” geram perwira itu.

“Jangan begitu,” jawab Ki Tumenggung Windubaya, “yang akan mati bukan hanya dari pihak Mataram. Tetapi juga dari pihak Pajang, karena seperti yang sudah aku katakan, bahwa sebagian dari antara kita akan mati. Mungkin aku, mungkin kau, dan mungkin prajurit-prajuritmu. Hal itu hanya dapat dihindari jika Ki Wiladipa, hanya satu orang, diserahkan kepada Mataram karena telah bersalah, berupaya untuk membunuh utusan Panembahan Senapati.”

“Persetan,” geram perwira itu semakin marah, “pergi, atau aku perintahkan pasukanku menangkapmu.”

Ki Windubaya justru tersenyum. Katanya, “Terserah kepadamu, apakah kau akan memberitahukan hal itu kepada Kanjeng Adipati, atau biarkan orang-orang Pajang dan Mataram saling berbunuhan di sini? Tempat ini akan menjadi seperti Kuru Setra dalam cerita Mahabarata.”

Wajah perwira itu menjadi merah padam. Untuk sesaat ia justru tidak dapat mengatakan sesuatu oleh kemarahan yang menghentak di dalam dadanya.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Windubaya tidak menghiraukannya lagi. Iapun kemudian meninggalkan para prajurit Pajang yang bertugas di pintu gerbang. Namun ia yakin, bahwa perwira yang memimpin para prajurit yang bertugas itu akan menyampaikan pesan yang dikatakannya pesan Panembahan Senapati itu.

Sebenarnya-lah perwira itu telah berusaha menghadap Kanjeng Adipati. Dengan ragu-ragu ia telah menyampaikan pesan yang dibawa oleh Ki Tumenggung Windubaya itu sebagai pesan Panembahan Senapati.

Wajah Kanjeng Adipati menjadi tegang. Di luar sadarnya ia memandang Ki Tumenggung Wiladipa dengan tegangnya.

Ki Wiladipa melihat keragu-raguan di wajah Kanjeng Adipati. Terasa jantungnya bergejolak. Bagaimanapun juga, keragu-raguan itu menjadi ukuran penilaian Kanjeng Adipati atas dirinya. Keragu-raguan itu menunjukkan bahwa Kanjeng Adipati masih belum dengan sepenuh hati mempercayakan hari depan Pajang kepadanya. Betapapun kecilnya, tetapi masih ada sepercik keragu-raguan, dan bahkan sepercik pikiran yang memungkinkannya untuk mempertimbangkan penyerahan Ki Tumenggung itu kepada orang-orang Mataram.

Ternyata hal itu sangat menyakitkan hati Ki Tumenggung. Meskipun demikian ia masih juga berkata, “Ampun Kanjeng Adipati. Sebenarnya-lah segala sesuatunya terserah kepada Kanjeng Adipati. Jika menurut pertimbangan Kanjeng Adipati, hamba harus diserahkan untuk menebus jiwa puluhan bahkan ratusan orang sebagaimana dikatakan oleh Ki Tumenggung Windubaya, maka hamba tidak akan makar. Justru ada kebanggaan di hati hamba, bahwa nyawa hamba ternyata mempunyai nilai yang sama dengan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus nyawa.” Ki Tumenggung berhenti sejenak, lalu, “Tetapi jika Kanjeng Adipati berdiri di atas satu sikap dan harga diri, serta menghendaki Pajang menjadi pusat dan kiblat dari kesetiaan rakyat Tanah ini, maka Kanjeng Adipati tentu akan bersikap lain. Yang hamba lakukan semata-mata adalah bagi kebesaran nama Pajang, yang telah menjadi tempat semacam wahyu keraton setelah Demak. Tentu Pajang harus mempertahankannya dan tidak akan melepaskannya, meskipun kepada Mataram.”

Kangjeng Adipati termangu-mangu. Sementara Ki Tumenggung Wiladipa berkata, “Jika untuk itu harus jatuh korban, maka hal itu wajar. Untuk menegakkan satu sikap, maka memang harus diberikan pengorbanan. Jika Pajang menilai korban akan terlalu besar, maka hal itu disebabkan karena pengaruh pendapat orang Mataram yang justru menjadi cemas dan ketakutan. Bahwa akhirnya orang Mataram yang terakhir akan terbunuh di sini.”

Kanjeng Adipati tidak segera menjawab. Sebenarnya-lah hatinyayang  dicengkam oleh kebingungan dan kebimbangan itu membuat jantung Ki Tumenggung bergelora. Ia sangat membenci keragu-raguan itu, yang akan dapat menggoyahkan kedudukannya.

Namun akhirnya Kanjeng Adipati itu pun berkata, “Kita akan melawan kekuatan Mataram, apapun yang akan terjadi.”

Ki Tumenggung Wiladipa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kanjeng Adipati, persoalannya bukan sekedar keselamatan hamba. Tetapi semata-mata untuk menegakkan keadilan.”

Kanjeng Adipati mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian, “Apapun alasannya, kita melawan Mataram.”

Dahi Ki Tumenggung berkerut. Namun kemudian katanya, “Terima kasih Kanjeng. Hamba mohon diri untuk mempersiapkan semua kekuatan yang ada di Pajang. Agaknya besok Mataram akan mulai bergerak dan menyerang dinding kota Pajang yang memang tidak terlalu kuat. Tetapi hamba yakin, bahwa kekuatan hati para prajurit jauh melampaui kekuatan dinding kota yang justru sudah mulai rapuh itu. Sehingga dengan demikian, maka Mataram tentu tidak akan mampu menembus ketahanan kekuatan para prajurit Pajang, meskipun seandainya Mataram mampu merobohkan dinding kota.”

Kanjeng Adipati mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Besok aku sendiri ingin melihat kesiagaan para prajurit Pajang, dan mungkin pertempuran yang akan terjadi, jika Mataram benar-benar menyerang.”

Ki Tumenggung kemudian meninggalkan pertemuan itu. Sementara perwira yang memimpin para prajurit di pintu gerbang itupun telah mohon diri pula untuk kembali ke tugasnya.

Namun ketika perwira itu melintasi halaman dan melewati sudut gandok, tiba-tiba saja ia terkejut. Seseorang telah meludahinya. Dengan sigapnya ia berpaling, dan hampir saja tangannya menarik kerisnya.

Namun niatnya itupun diurungkan, meskipun wajahnya masih saja terasa panas.

“Penjilat,” geram Ki Tumenggung Wiladipa. Perwira itu mengusap bajunya dengan ujung kainnya. Dengan nada tertahan ia berkata, “Tetapi tidak sepantasnya Ki Tumenggung meludahi pakaianku. Itu satu penghinaan yang tidak ada taranya.”

“Kau memang pantas dihinakan,” jawab Ki Tumenggung Wiladipa. “Kenapa kau menyampaikan pesan itu kepada Kanjeng Adipati? Seandainya benar pesan itu adalah pesan Panembahan Senapati, maka persetan dengan Panembahan Senapati.”

“Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya menyampaikan sebuah pesan,” desis perwira itu.

“Sekali lagi kau menjawab, aku koyak mulutmu di sini. Kau tahu bahwa aku dapat melakukannya tanpa menyentuh kulitmu?” bentak Ki Tumenggung Wiladipa. “Sekarang pergi kau. Kembali ke tempatmu. Aku masih berbaik hati tidak meludahi wajahmu di hadapan anak buahmu.”

Perwira itu tidak menjawab. Namun sambil melangkah pergi ia berkata kepada dirinya sendiri, “Tumenggung itu kasar, kotor dan gila. Sungguh bukan perbuatan seorang pembesar di istana Adipati Pajang. Sikapnya mirip sikap bajak laut terhadap para pengikutnya.”

Ternyata bahwa sikap Ki Tumenggung Wiladipa itu berkesan mendalam di dalam hati perwira itu. Sudah lama ia mengenal Ki Tumenggung. Bahkan ia benar-benar telah berada di bawah pengaruhnya. Perwira itu sudah menempatkan diri ke dalam kesetiaan terhadap Kanjeng Adipati, yang dalam banyak hal mengikuti petunjuk Ki Tumenggung. Tetapi tiba-tiba ia melihat dan justru dikenai sikap yang terlalu kasar dan bukan sikap seorang Tumenggung.

Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah Tumenggung itu atau aku-lah yang telah menjadi gila dalam keadaan seperti ini?”

Namun perwira itu kembali pula ke tugasnya di gerbang kota. Ia sama sekali tidak mengatakan kepada siapapun juga, perlakuan Ki Tumenggung atas dirinya yang kurang dapat dimengerti. Bahkan ia akan malu sekali jika ada orang lain yang mengetahuinya.

“Jika hal ini dilakukan di hadapan anak buahku, aku akan menantangnya berperang tanding sampai mati,” geramnya. “Lebih baik aku mati sebagai laki-laki daripada dihinakan seperti itu.”

Dalam pada itu, maka Pajang pun benar-benar bersiap sepenuhnya. Ketika Pajang diselimuti oleh gelapnya malam, maka iring-iringan pasukan dalam kelompok-kelompok telah menempatkan diri. Namun pasukan Pajang tidak keluar dari gerbang kota. Mereka siap menyambut kedatangan lawan apabila pasukan Mataram itu menyerang masuk ke dalam kota. Sementara itu, pasukan yang khusus telah berjaga-jaga di halaman istana. Mereka adalah kesatuan yang paling dipercaya Ki Tumenggung Wiladipa di antara pasukan yang dibawanya dari Demak.

Sementara itu, Ki Tumenggung memerintahkan agar pasukan berkuda tetap berada di baraknya. Pasukan itu akan mendapat perintah untuk dengan cepat menuju ke tempat yang paling rawan jika pasukan Mataram memang akan menyerbu.

Dalam pada itu, Ki Pranawangsa sempat berbicara dengan Untara dan Agung Sedayu, yang ternyata sampai saat terakhir masih belum diketahui berada di dalam kota oleh para petugas sandi Pajang.

“Kebetulan sekali,” berkata Untara, “kau berada di belakang garis pertahanan. Jika saatnya tiba, maka kau akan dapat menyerang dari belakang dan berusaha menghentikan perlawanan mereka.”

“Kita harus mematangkan pertanda yang harus kita berikan menurut kebutuhan, karena mungkin kita akan segera dibatasi oleh jarak, sehingga kita tidak akan dapat menyampaikan pesan secara langsung,” berkata Ki Pranawangsa.

Agung Sedayu-lah yang kemudian harus menyampaikan persetujuan itu agar Ki Lurah Branjangan tidak salah memberikan dan menangkap isyarat. Mereka akan mempergunakan panah sendaren pada saat-saat yang paling gawat dan menentukan.

Pada saat pasukan Pajang sudah bersiaga penuh, maka sulitlah bagi Agung Sedayu untuk keluar dan masuk dinding kota. Namun karena kesigapannya, maka akhirnya iapun dapat melakukannya. Kemampuan melenting sangat berguna baginya untuk meloncati dinding. Namun Agung Sedayu harus menemukan satu tempat yang lepas dari pengawasan prajurit Pajang.

Namun akhirnya Agung Sedayu pun mampu melakukan tugasnya. Ternyata ia dapat bertemu dengan Ki Lurah Branjangan dan menyampaikan semua pembicaraan dengan pasukan berkuda yang masih tetap berada di baraknya namun dalam kesiagaan penuh.

“Baiklah,” berkata Ki Lurah, “besok kami akan mulai menyerang, meskipun kami masih belum berniat untuk memecah gerbang itu besok. Jika masih ada perubahan sikap Kanjeng Adipati Pajang dan mau menyerahkan Ki Tumenggung Wiladipa dan pusaka-pusaka yang dikehendaki oleh Panembahan Senapati, maka kita tidak perlu bertempur memberikan korban lebih banyak lagi.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi nampaknya orang-orang Demak di Pajang sangat menentukan. Meskipun demikian Ki Lurah dapat mencobanya.”

Malam itu juga Agung Sedayu telah berada kembali di antara pasukan berkuda yang telah bersiaga sepenuhnya di dalam barak. Mereka yang tinggal di luar barak, terutama para perwiranya, telah ditarik dan harus berada di barak itu pula setiap saat.

Ketika fajar mulai membayang di ujung timur, maka pasukan Mataram yang mengepung Pajang pun telah bersiap. Tetapi yang mendapat perintah untuk bergerak pada hari yang akan segera datang adalah pasukan yang berada di depan gerbang kota. Meskipun demikian, maka seluruh pasukan pun telah diperintahkan untuk bergerak maju. Tetapi mereka hanya sekedar memancing pasukan Pajang untuk bersiaga di tempat masing-masing, agar tidak bergerak ke pintu gerbang. Karena jika demikian, maka berdasarkan keputusan yang diambil dengan cepat, mungkin justru para prajurit Pajang-lah yang menyerang pasukan Mataram, karena menurut perhitungan mereka kekuatan Mataram yang terbagi melingkari Pajang itu hanya dalam lapisan yang tipis.

Matahari yang kemudian terbit telah disambut oleh suara bende dan sorak gemuruh. Suara senjata yang berdentangan serta hiruk pikuk para prajurit yang mulai bergerak. Rontek, kelebet dan tunggul pertanda kebesaran pasukan Mataram telah bergerak maju menuju ke pintu gerbang. Sementara itu, para prajurit Mataram di seputar dinding kota pun telah bergerak pula mendekat.

Namun yang terjadi, Mataram belum menyerang gerbang itu dengan sungguh-sungguh. Ketika mereka mendekati pintu gerbang itu, maka para prajurit Pajang yang berada di dinding kota telah menyerang mereka dengan anak panah dan lembing. Namun karena pasukan Mataram telah memperhitungkannya, maka pasukan yang berperisai pun telah berusaha melindungi kawan-kawan mereka. Sementara itu, selapis prajurit Mataram membalas serangan-serangan itu dengan meluncurkan anak-anak panah pula.

Para senapati Pajang yang berada di pintu gerbang itupun segera mengetahui, bahwa pasukan Mataram memang tidak ingin merebut pintu gerbang itu.

Karena itu, maka para senapati Pajang pun tidak bertindak lebih jauh. Mereka hanya memerintahkan para prajuritnya untuk melontarkan anak panah dan lembing ke arah para prajurit Mataram yang berada di depan pintu gerbang.

Para prajurit Mataram pun telah membalas lontaran anak panah dan lembing dengan anak panah pula. Semakin lama semakin banyak, sementara prajurit Mataram dan para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung pun telah mendekati dinding kota dan pintu-pintu gerbang samping di sisi lain untuk mengikat, agar para prajurit Pajang tetap berjaga-jaga di tempatnya.

Merekapun telah meluncurkan anak panah sebagaimana terjadi di pintu gerbang induk. Tetapi yang mereka lakukan memang belum bersungguh-sungguh.

Ki Lurah Branjangan dan Ki Tumenggung Windubaya memang masih memberikan waktu kepada Kanjeng Adipati untuk memikirkan kemungkinan yang paling baik. Sebagaimana dikatakannya, maka Kanjeng Adipati sendiri akan melihat apa yang terjadi di pintu gerbang.

Namun ketika Kanjeng Adipati benar-benar hadir di atas pintu gerbang induk, dilihatnya bahwa pasukan Mataram agaknya tidak bersungguh-sungguh untuk memecahkan gerbang dan memasuki kota.

Untuk beberapa saat lamanya Kanjeng Adipati menilai pertempuran yang tidak bersungguh-sungguh itu. Namun demikian, ia melihat kebesaran pasukan Mataram yang diperkuat para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung. Meskipun Mataram tidak berhubungan dengan daerah-daerah lain yang sebenarnya dapat membantunya, namun pasukannya nampaknya sudah cukup kuat dan besar.

“Jika perang benar-benar terjadi, maka seperti yang dipesankan oleh Kakangmas Panembahan Senapati, bahwa korban tentu akan berjatuhan. Memang tidak hanya puluhan, tetapi ratusan,” desis Kanjeng Adipati.

“Tetapi bukankah itu sudah wajar terjadi?” berkata Ki Tumenggung Wiladipa. “Dimanapun dalam pergeseran sikap dan penilaian atas yang benar dan yang salah, tentu timbul pertentangan. Tetapi apa kata orang jika Pajang membiarkan ketidakadilan berlaku tanpa penolakan, sementara kita mempunyai kekuatan. Jika dalam menegakkan kebenaran dan keadilan itu harus jatuh korban, bukankah itu juga wajar sekali? Tetapi satu hal yang harus Kanjeng Adipati perhatikan, bahwa kita jangan menjadi sasaran kutukan anak cucu karena kelemahan kita. Apa yang terjadi sekarang, akan mempunyai akibat yang luas di hari esok. Karena itu, kita harus mampu menilai dan mengambil langkah sekarang ini, agar kita bukan merupakan orang-orang yang bersalah bagi hari esok.”

Kanjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam. Dilihatnya para prajurit Mataram melemparkan anak panah ke arah para prajurit Pajang yang berada di atas dinding di sekitar pintu gerbang utama. Namun yang dilakukan oleh orang-orang Mataram tidak lebih dari satu permainan. Sementara itu, dengan geram para prajurit Pajang telah menghujani para prajurit Mataram itu dengan anak panah dan lembing.

Dalam pada itu, Kanjeng Adipati yang kemudian berada di belakang pintu gerbang induk itu tiba-tiba saja telah memanggil beberapa orang senapati terpenting.

Ki Tumenggung Wiladipa memang menjadi berdebar-debar. Jika pendirian para senapati itu nanti menggeliat dan sebagaimana keraguan yang mencengkam Kanjeng Adipati itu mempengaruhi sikap mereka, maka Ki Tumenggung Wiladipa menjadi korban, karena ia adalah orang yang dituntut oleh para prajurit dari Mataram.

Namun ternyata Kanjeng Adipati tidak bertanya tentang sikap mereka. Tetapi Kanjeng Adipati justru bertanya tentang kesiapan mereka masing-masing.

“Kenapa pasukanmu belum kau tempatkan di pintu-pintu gerbang?” bertanya Kanjeng Adipati kepada Pranawangsa.

“Ampun Kanjeng Adipati,” jawab Pranawangsa, “hamba mendapat perintah untuk tetap berada di barak. Setiap saat pasukan hamba dapat bergerak kemanapun yang memerlukannya, karena pasukan hamba dilengkapi dengan alat gerak cepat itu.”

Kanjeng Adipati mengangguk-angguk. Iapun mengerti bahwa Pranawangsa adalah senapati dari pasukan berkuda, yang meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak, tetapi mempunyai kekuatan yang besar serta mempunyai kemampuan untuk bergerak cepat.

Dalam pada itu, maka Kanjeng Adipati pun berkata kepada para senapati itu, “Berhati-hatilah. Aku sudah naik ke atas dinding dan melihat kekuatan pasukan Mataram yang berada di depan pintu gerbang utama ini. Nampaknya kekuatan itu sangat meyakinkan, sehingga jika kita tidak berbuat dengan hati-hati dan mengerahkan seluruh kekuatan yang ada, maka kita tentu akan dihancurkannya.”

“Ampun Kanjeng Adipati,” Ki Tumenggung Wiladipa memotong, “jangan cemas. Kekuatan kita cukup besar. Di antara pasukan Pajang dan Demak yang berada di Pajang, maka kita mempunyai orang-orang yang dapat kita surukkan ke dalam api peperangan dengan tanpa merasa kehilangan, namun mempunyai akibat yang akan dapat menggelisahkan lawan.”

“Apa maksudmu?” bertanya Kanjeng Adipati.

“Budak-budak dan tawanan-tawanan yang sudah takluk dan dikuasai oleh orang-orang Pajang dan orang-orang Demak di Pajang sudah disiapkan pula,” jawab Ki Tumenggung Wiladipa.

“Apa pula yang kau maksud dengan budak-budak?” desak Kanjeng Adipati.

“Orang-orang yang tidak berharga, yang tidak lebih dari budak-budak dan hamba sahaya serta para tawanan itu, akan menjadi bebanten dalam perang ini. Tetapi mereka mendapat janji, siapa yang berhasil keluar hidup dari peperangan ini, maka mereka akan mendapat kedudukan. Sedangkan mereka yang dapat membunuh lawan, maka mereka akan mendapat bukan saja kedudukan, tetapi juga upah yang besar bagi setiap kepala orang Mataram,” jawab Ki Tumenggung.

“Maksudmu selain budak dan hamba sahaya, juga orang-orang yang sedang menjalani hukuman karena merampok misalnya?”

Ki Tumenggung Wiladipa mengangguk sambil tersenyum. Dengan nada datar ia justru bertanya, “Bukankah mereka orang-orang yang tidak berguna, sehingga seandainya mereka mati, maka kita tidak akan merasa kehilangan?”

Kanjeng Adipati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ada beberapa persoalan. Hamba dan budak-budak itu adalah manusia juga seperti kita. Kematiannya sama dengan kematian kita. Sedangkan orang-orang yang sedang menjalani hukuman itu mempunyai persoalannya tersendiri. Apakah mereka dapat dipercaya, sehingga mereka tidak akan justru melarikan diri? Atau jika kelak benar-benar dapat keluar hidup dari pertempuran ini dan mendapat kedudukan, apakah hal itu tidak akan merusakkan tata kehidupan?”

Ki Wiladipa masih saja tersenyum. Katanya, “Kepada orang-orang seperti itu bukankah kita tidak terikat untuk menepati janji kita? Sedangkan mereka yang mencoba untuk melarikan diri, akan langsung dibunuh di peperangan oleh para prajurit yang akan bertempur bersama mereka.”

Kanjeng Adipati memandang wajah Ki Tumenggung Wiladipa dengan tajamnya. Wajah itu nampak menjadi aneh di dalam pandangan Kanjeng Adipati. Tetapi segala sesuatunya sudah terlanjur. Pasukan Pajang sudah berada di dalam kepungan pasukan Mataram. Justru karena itu, Kanjeng Adipati justru mencoba untuk mengerti pendapat Ki Tumenggung Wiladipa.

Tetapi Kanjeng Adipati tidak ingin berbincang lebih lama lagi. Sejenak kemudian maka katanya, “Aku akan kembali. Aku menginginkan laporan perkembangan keadaan setiap saat. Dalam keadaan yang memaksa aku akan turun sendiri ke medan melawan orang-orang Mataram. Aku berharap Panembahan Senapati juga secara jantan memasuki medan.”

Ki Wiladipa menjawab, “Baiklah Kanjeng Adipati. Tetapi, lebih baik Kanjeng Adipati tetap berada di istana. Hanya jika Panembahan Senapati sendiri memasuki arena peperangan, maka sepantasnya Kanjeng Adipati turun menghadapinya. Tetapi jika yang memimpin pasukan Mataram hanyalah para senapatinya, apalagi hanya didukung oleh para pengawal dari Tanah Perdikan. Menoreh dan Sangkal Putung, maka biarlah kami-kami inilah yang akan menahan mereka. Dan bahkan jika mereka berani benar-benar berusaha memcahkan pintu gerbang kota, maka kita akan menghancurkannya.”

“Tetapi kau harus tahu, bahwa Mataram, Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung mempunyai senapati-senapati yang pilih tanding. Kekuatan Pajang yang dipimpin oleh Ayahanda Sultan Hadiwijaya sendiri dapat dipatahkan oleh orang-orang Mataram.”

Tetapi Ki Wiladipa menjawab, “Ampun Kanjeng Adipati. Sebagaimana Kanjeng Adipati mengetahui, apakah Ayahanda Sultan tidak benar-benar berniat menghancurkan Mataram pada waktu itu? Apalagi pengkhianatan pasukan Pajang yang berada di Jati Anom telah memperkuat pasukan Mataram pula.”

“Tetapi orang yang menyebut dirinya Kakang Panji, yang membayangi kekuasaan Pajang pada waktu itu, terbunuh oleh Kiai Gringsing. Dan kita tahu bahwa orang yang bernama Kiai Gringsing itu selalu berada hanya di dua tempat. Jika tidak berada di Sangkal Putung, ia berada di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ya Kanjeng Adipati,” jawab Ki Tumenggung Wiladipa, “seandainya ia sekarang berada di antara para pengawal Tanah Perdikan Menoreh atau Sangkal Putung, maka Kanjeng Adipati tidak usah cemas. Ada beberapa orang dari Demak yang akan mampu menghadapinya, meskipun seandainya tidak seorang melawan seorang. Tetapi dua atau tiga orang yang memiliki kemampuan yang tinggi menghadapinya, maka aku kira Kiai Gringsing tidak akan dapat berbuat sesuka hatinya.”

Kanjeng Adipati mengangguk-angguk. Katanya, “Terserah kepadamu, mudah-mudahan kau tidak sekedar bermimpi buruk.”

“Hamba akan mencoba menjunjung kepercayaan Kanjeng Adipati,” berkata Ki Tumenggung Wiladipa.

Demikian-lah, Kanjeng Adipati pun segera kembali ke istana. Tetapi ia sama sekali tidak dapat melepaskan kegelisahannya tentang pertempuran yang pada suatu saat tentu akan membakar Pajang, karena ia tidak mau menyerahkan Ki Tumenggung Wiladipa. Tetapi sebenarnya-lah Kanjeng Adipati Pajang juga merasa, bahwa tujuan Mataram tentu tidak sekedar Ki Tumenggung, karena sejak sebelumnya Mataram sudah beberapa kali menghendaki pusaka-pusaka yang ada di Pajang untuk dibawa ke Mataram.

Dalam pada itu, pertempuran yang masih belum bersungguh-sungguh itu masih berlangsung. Kedua belah pihak telah melontarkan beribu anak panah dan lembing.

Meskipun pertempuran itu nampaknya masih belum bersungguh-sungguh, namun ada juga satu dua di antara prajurit Pajang dan Mataram yang terluka oleh anak panah dan lembing karena kelengahannya.

Pertempuran itu benar-benar sangat menjemukan bagi para prajurit di kedua belah pihak. Tetapi perintah yang mereka terima adalah belum perintah untuk benar-benar memasuki gerbang. Karena itu, maka pasukan Mataram itu masih belum membawa alat-alat yang benar-benar diperlukan. Mereka tidak membawa tangga dan alat-alat memanjat yang lain. Mereka juga tidak membawa sebatang kayu gelondong yang besar dan panjang, yang akan dapat mereka pergunakan untuk memecahkan pintu.

Meskipun demikian, pertempuran itu berlangsung cukup lama juga. Pada saat matahari turun di barat, barulah orang-orang Mataram memberikan isyarat agar pasukannya ditarik mundur.

Beberapa orang senapati Pajang mengumpat-umpat. Yang dilakukan oleh orang-orang Mataram itu sama sekali tidak berarti. Mereka hanya sekedar memancing kegelisahan karena mereka telah memamerkan kekuatan mereka.

Namun orang-orang Pajang itu sudah memperhitungkan, bahwa esok paginya orang-orang Mataram tentu tidak sekedar bermain-main. Karena para perwira yakin, bahwa Wiladipa tidak akan diserahkan oleh Kanjeng Adipati.

Ketika malam turun, maka para senapati dari Mataram telah berkumpul. Di antara mereka terdapat para pemimpin pasukan pengawal dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan karena di antara mereka ternyata terdapat Kiai Gringsing, maka Kiai Gringsing pun telah diminta untuk ikut dalam pertemuan itu pula.

“Aku hanya sekedar melihat apa yang terjadi,” berkata Kiai Gringsing.

“Meskipun demikian, mungkin pendapat Kiai Gringsing sangat kami perlukan,” jawab Ki Lurah Branjangan.

Kiai Gringsing tidak mengelak. Bahkan ia hadir bersama Ki Widura, disamping Ki Gede sendiri. Sementara dari Sangkal Putung telah hadir pula Ki Demang dan Swandaru.

Sementara itu, Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang juga berada di dalam pasukan itu, tidak ikut dalam pembicaraan itu. Karena itu maka mereka sempat untuk bertemu dengan berbincang sendiri bersama Glagah Putih.

Dalam pada itu, para senapati dari Mataram sudah cukup yakin bahwa Kanjeng Adipati tidak akan menyerahkan Ki Tumenggung Wiladipa dan pusaka-pusaka yang diperlukan oleh Mataram. Karena itu, maka Ki Lurah Branjangan pun mengambil keputusan, bahwa mereka besok benar-benar akan menyerang dan memasuki Pajang.

“Tetapi jangan salah hitung. Memasuki Pajang bukan satu perjuangan yang mudah. Kita tahu, bahwa pasukan Pajang yang diperkuat dengan pasukan dari Demak ternyata cukup besar. Bahkan laporan terakhir dari dalam kota mengatakan, bahwa Pajang akan mempergunakan hamba dan budak-budak di dalam pasukan mereka. Namun itu tidak akan mengganggu kita karena mereka tidak banyak memiliki kemampuan dalam olah kanuragan. Bahkan jika mereka terasa mengganggu justru kita menghindari pembunuhan yang sewenang-wenang. Tetapi yang harus kita perhitungkan adalah, bahwa Pajang akan mempergunakan orang-orang hukuman di dalam pasukannya. Perampok, penyamun, bajak laut dan merompak, serta penjahat-penjahat yang lain. Mereka mendapatkan janji kebebasan dan bahkan kedudukan, jika mereka dapat menunjukkan satu sikap dan perbuatan yang menguntungkan di peperangan,” berkata Ki Lurah Branjangan.

Para senapati menarik nafas dalam-dalam. Sungguh satu langkah yang kasar yang tidak mereka duga sebelumnya. Menurut perhitungan para senapati Mataram, maka langkah yang diambil itu tentu atas dasar pertimbangan Ki Tumenggung Wiladipa yang memang sudah diragukan kebersihannya.

Dalam pada itu, Ki Lurah Branjangan berkata selanjutnya, “Karena itu, maka kalian harus mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan-kemungkinan itu. Kalian tidak boleh membantai dengan sewenang-wenang jika kalian bertemu dengan budak dan hamba sahaya yang tidak pernah berlatih dalam olah kanuragan. Mereka maju ke medan karena tidak ada pilihan lain. Mati atau mati. Mati dibunuh oleh lawan atau dibunuh oleh tuan sendiri. Namun kalian pun tidak boleh menjadi gentar jika kalian bertemu bekas perompak dan bajak laut. Mungkin penjahat-penjahat yang tidak terkendali dan barangkali juga orang-orang yang separuh gila.”

Para senapati itu mengangguk-angguk. Mereka mencoba untuk membayangkan calon lawan yang akan mereka jumpai di medan. Mungkin budak-budak yang tidak akan mampu melawan sama sekali. Mungkin para prajurit Pajang atau Demak. Tetapi mungkin juga para perampok dan penjahat-penjahat yang tidak berjantung. Tetapi sebagai prajurit dan pengawal, maka mereka tidak akan memilih lawan.

Meskipun demikian, Ki Lurah Branjangan telah menempatkan pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh beserta para prajurit Mataram yang berada di Jati Anom untuk bersama-sama memasuki Pajang lewat pintu gerbang yang akan mereka pecahkan. Kemudian mereka akan mengalir ke seluruh kota dan membuka pintu-pintu gerbang samping dan butulan agar para pengawal yang mengepung seluruh kota dapat bergerak masuk tanpa memberi kesempatan kepada seorang pun untuk dapat lolos.

“Ki Tumenggung Wiladipa harus dapat ditangkap,” berkata Ki Lurah Branjangan, “kita mengharapkan langkah-langkah yang diambil oleh Untara, Sabungsari dan Agung Sedayu yang berada di dalam kota bersama pasukan yang dijanjikannya. Pasukan itu hendaknya yang akan mampu dengan langsung menangkap Ki Tumenggung Wiladipa.” Para senapati mencoba untuk mencerna setiap pesan yang diberikan oleh Ki Lurah Branjangan, yang telah ditunjuk untuk memimpin pasukan Mataram yang datang ke Pajang untuk menangkap Ki Tumenggung Wiiladipa.

Demikianlah, maka malam itu Ki Lurah sudah memberikan perintah-perintah, pesan-pesan dan pertimbangan-pertimbangan agar para senapati dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang mereka hadapi, karena mungkin pasukan yang satu akan menghadapi keadaan yang berbeda sekali dengan pasukan yang lain.

Sementara itu, para pemimpin Pajang pun telah bertemu pula malam itu. Mereka membicarakan dan membagi tugas untuk menghadapi orang-orang Mataram esok pagi. Sementara itu, maka Ki Tumenggung Wiladipa pun telah menunjuk beberapa kelompok prajurit yang akan mengendalikan orang-orang yang akan disurukkan ke dalam api pertempuran. Mereka tidak banyak mencemaskan para budak dan hamba sahaya. Tetapi para perwira dari Pajang telah menunjuk kelompok-kelompok khusus yang akan mengamati para penjahat yang akan dipersenjatai dengan janji yang dapat mendebarkan jantung mereka. Namun para prajurit khusus yang berkemampuan tinggi itu mendapat perintah tegas. Bunuh mereka yang berusaha untuk melarikan diri atau mereka yang dengan sengaja berkhianat.

Demikianlah, kedua belah pihak telah melakukan persiapan setinggi-tingginya. Orang-orang Mataram telah menyiapkan tangga dan alat-alat yang lain. Tali, jangkar dan gelondong kayu yang dapat dipergunakan untuk memecahkan pintu.

Namun pada sisa malam, kedua belah pihak pun memanfaatkannya untuk dapat beristirahat sebaik-baiknya.

Sementara kedua belah pihak bersiap-siap dengan rencana masing-masing, maka Untara pun telah bersiap dengan rencananya sendiri. Bersama Ki Pranawangsa ia telah menyiapkan langkah-langkah yang akan diambilnya. Pasukan berkuda itu akan bergerak pada saat yang memungkinkan, sehingga justru bukan pasukan berkuda itulah yang akan dihancurkan lebih dahulu di dalam lingkungan dinding kota karena pasukan Mataram belum dapat memasuki pintu gerbang. Karena itu, pasukan berkuda itu akan bergerak setelah pasukan Mataram benar-benar bersiap untuk memasuki pintu gerbang.

“Penjagaan yang paling kuat tentu berada di pintu gerbang induk,” berkata Untara.

“Jadi bagaimana dengan pertimbanganmu?” bertanya Ki Pranawangsa, “Apakah pasukan berkuda ini akan menerebos memecahkan penjagaan di gerbang induk, sehingga memungkinkan pasukan berkuda ini membuka pintu gerbang?”

“Aku akan membuat hubungan dengan Ki Lurah Branjangan,” berkata Untara, “bagaimana jika pasukannya memasuki kota tidak lewat gerbang induk.”

“Maksudmu?” bertanya Ki Pranawangsa.

“Kita membuka pintu gerbang samping. Biarlah pasukan Mataram menerobos masuk lewat pintu gerbang samping. Kemudian pasukan yang telah memasuki kota bersama-sama dengan kita berusaha untuk melemahkan pertahanan di pintu gerbang induk. Sehingga pasukan induk Mataram akan dapat memecahkaan pintu itu dari luar dengan perlawanan yang tidak terlampau berat,” berkata Untara.

Ki Pranawangsa mengangguk-angguk. Iapun kemudian menentukan bersama Untara, pintu gerbang yang manakah yang akan dibuka lebih dahulu.

Akhirnya, Agung Sedayu-lah yang harus menyampaikan pesan itu kepada Kj Lurah Branjangan. Agung Sedayu pun harus segera kembali dan menyampaikan tanggapan Ki Lurah atas rencana itu.

Betapapun sulitnya, ternyata Agung Sedayu masih mampu menembus pengawasan prajurit Pajang dan meloncat keluar dinding kota untuk menghubungi Ki Lurah Branjangan.

Ki Lurah yang telah membaringkan dirinya untuk sekedar beristirahat telah terbangun lagi. Pesan yang dibawa Agung Sedayu telah membuat persoalan baru bagi pasukannya.

Namun Ki Lurah dapat menyesuaikan rencananya dengan pesan Untara itu. Ia pun segera memanggil Ki Gede Menoreh. Dengan singkat ia berbicara tentang rencana Untara. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Pasukan Ki Gede-lah yang menghadap pintu gerbang yang di maksud oleh Untara. Karena itu, maka apakah Ki Gede dapat menggerakkan pasukan Tanah Perdikan sebagaimana direncanakan oleh Untara?”

Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya kepada Agung Sedayu, “Kau tahu kekuatan pasukan Tanah Perdikan. Bagaimana pendapatmu?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian menjawab, “Pasukan itu akan bergabung dengan pasukan berkuda yang dipimpin oleh Ki Pranawangsa. Satu kekuatan yang harus diperhitungkan baik-baik oleh Pajang. Karena itu, jika pasukan Tanah Perdikan dalam keadaan utuh sebagaimana aku kenal, maka aku kira kita akan berhasil mencapai pintu gerbang induk dan membuka pintu gerbang itu. Meskipun harus diperhitungkan, bahwa dengan demikian pasukan Tanah Perdikan akan benar-benar bertempur di ujung kekuatan Mataram seluruhnya.”

“Dengan pengertian lain, korban akan lebih banyak jatuh,” berkata Ki Gede. Namun kemudian katanya, “Tetapi jika dituntut demikian, maka kami siap untuk melakukannya.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Satu kelompok pasukan khusus akan aku kirimkan untuk membantu kalian. Tetapi pasukan induk dari pasukan khusus itu tetap berada di gerbang utama.”

“Terima kasih,” berkata Ki Gede, “kami akan melakukan perintah ini. Aku mohon pasukan Sangkal Putung mendapat pemberitahuan, sehingga tidak terkejut karenanya.”

Dengan demikian, maka dalam waktu yang tersisa, yang seharusnya dipergunakan untuk beristirahat sebaik-baiknya. Ki Lurah justru telah bekerja keras untuk menyesuaikan susunan rencananya dengan pesan Untara, meskipun ia tidak harus membuat terlalu banyak perubahan. Perubahan utama dipercayakannya atas pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin langsung oleh Ki Gede sendiri. Namun yang di dalam pasukan itu terdapat Sekar Mirah dan Glagan Putih. Sementara Agung Sedayu sendiri sudah berada di dalam kota, sehingga ia akan dapat bergabung dengan pasukan Tanah Perdikan.

Kesediaan itu telah disampaikan kepada Untara oleh Agung Sedayu yang kembali memasuki kota. Sehingga dengan demikian, maka semua rencana rasa-rasanya telah tersusun dengan cermat, sehingga pada saatnya akan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, maka semua pihak tinggal menunggu fajar menyingsing di ujung timur.

Sementara itu, suasana terasa menjadi semakin senyap. Yang terdengar adalah suara cengkerik yang ngelangut. Sekali-sekali terdengar suara burung hantu di kejauhan.

Kedua belah pihak, selain mereka yang bertugas, masih sempat mempergunakan waktu sebaik-baiknya untuk beristirahat. Jika fajar membayang, maka kedua belah pihak akan segera mempersiapkan diri untuk menghadapi satu pertempuran yang benar-benar akan membakar Pajang. Bukan sekedar bermain-main dengan anak-anak panah dan lembing sebagaimana terjadi sebelumnya.

Tetapi pertempuran yang akan terjadi adalah pertempuran antara hidup dan mati, untuk memperebutkan pintu-pintu gerbang, dan selanjutnya pertempuran-pertempuran akan menjalar di jalan-jalan kota, apabila pintu-pintu gerbang berhasil dipecahkan.

Namun sebelum fajar menyingsing, ternyata di kedua belah pihak telah terjadi kesibukan. Mereka yang bertugas di dapur telah sibuk menyiapkan makan dan minum bagi para prajurit yang akan turun medan perang.

Demikianlah ketika saatnya tiba, maka pasukan kedua belah pihak pun telah dipersiapkan. Ternyata yang terdengar lebih dahulu adalah justru isyarat bagi pasukan Pajang. Sebelum matahari terbit telah terdengar suara benda yang melengking, mengumandang di seluruh kota. Dengan demikian, maka semua prajurit yang ada di dalam kota pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Pasukan yang kuat telah bergerak menuju ke pintu gerbang utama. Sebagian dari mereka telah bersiap-siap di atas dinding. Mereka telah menyediakan anak panah dan lembing yang tidak terhitung jumlahnya.

Sementara itu di setiap pintu gerbang yang lain pun telah bersiap pula prajurit Pajang yang akan mempertahankan setiap jengkal tanah yang mungkin akan direbut oleh orang-orang Mataram. Namun demikian, beberapa orang di antara mereka ada juga yang bergumam di dalam hatinya, “Apakah Ki Tumenggung Wiladipa termasuk orang yang demikian pentingnya, sehingga kami semua harus siap mati untuk mempertahankannya?”

Namun tidak seorang pun yang berani mengatakannya, kecuali para prajurit dari pasukan berkuda. Itupun mereka bicarakan di antara kawan-kawan mereka sendiri.

Menjelang matahari terbit, seluruh kekuatan pasukan berkuda pun telah bersiap. Tetapi mereka masih belum bergerak. Mereka masih mempertahankan rahasia mereka dengan bersikap sebagaimana diperintahkan. Bahwa mereka harus tetap berada di barak untuk menunggu perintah, kemana mereka harus bergerak.

Ketika langit menjadi terang, maka pasukan Mataram pun mulai bergerak pula. Sebagaimana dilakukan di hari sebelumnya, pasukan Mataram telah memasang semua tanda kebesarannya. Dengan pertanda dan kelengkapan semua pasukan yang ikut dalam persiapan perebutan kota itu, pasukan Mataram maju mendekati pintu gerbang. Bukan saja pintu gerbang utama, tetapi semua pintu gerbang. Kepungan pasukan Mataram pun menyempit, dan pasukan itu telah berusaha untuk mengamati setiap jengkal, agar tidak seorang pun dari para prajurit Pajang yang akan dapat melarikan diri keluar dari kepungan.

Setiap orang di kedua pihak menjadi tegang. Senjata-senjata pun telah bergetar di tangan. Sebentar lagi, tanah akan basah oleh darah yang bertumpah.

Di luar pengamatan pasukan Pajang, maka sekelompok prajurit dari pasukan khusus Mataram telah bergeser memperkuat kedudukan pasukan Tanah Perdikan yang akan menjadi ujung serangan pasukan Matataram seluruhnya, bersama pasukan berkuda yang berada di dalam kota.

Demikianlah, ketika matahari kemudian terbit di ujung timur, maka isyarat untuk bertempur dari kedua belah pihak pun mulai terdengar. Pasukan di kedua belah pihak pada isyarat yang pertama telah menempatkan diri di tempat yang telah ditentukan bagi mereka rnasing-masing. Para pemimpin kelompok meneliti setiap orang di dalam pasukannya serta semua kelengkapan yang akan dipergunakan.

Pada isyarat yang kedua, semua pasukan telah siap untuk bertempur. Senjata mereka telah teracu. Setiap busur telah menyandang anak panah yang pertama yang akan dilepaskan, segera jika pasukan kedua belah pihak sudah berbenturan.

Dan pada isyarat yang ketiga, maka pasukan Mataram yang telah mempersempit kepungannya itu pun mulai melancarkan serangannya. Beberapa orang di antara mereka membawa tangga yang akan mereka pergunakan untuk memanjat dinding. Sementara itu, beberapa puluh orang telah mengusung sebatang balok yang besar dan panjang. Sedangkan beberapa orang kawannya berusaha melindungi mereka dari hujan anak panah yang kemudian meluncur dari setiap busur prajurit Pajang yang ada di atas pintu gerbang. Lembing pun kemudian dilontarkan pula dengan sepenuh tenaga. Namun beberapa puluh perisai menjadi payung yang rapat di atas kepala orang-orang Mataram.

Pertempuran di gerbang utama pun segera menjadi sengit. Anak panah meluncur dari dua arah. Dari bawah yang dilontarkan oleh selapis prajurit Mataram, dan dari atas dinding yang diluncurkan oleh para prajurit Pajang, disertai dengan lembing dan bahkan batu sebesar kepalan tangan yang dilontarkan dengan bandil.

Di tempat-tempat lain pertempuran telah terjadi. Tetapi tidak seseru pertempuran yang terjadi di gerbang induk. Di satu sisi, pasukan Sangkal Putung telah menyerang sebuah pintu gerbang samping. Para pengawal Sangkal Putung telah mengerahkan segenap kemampuannya. Swandaru sudah mendapat pemberitahuan bahwa di pintu gerbang yang lain, pasukan berkuda akan membuka dari bagian dalam, setelah mereka menembus pasukan Pajang yang bertugas mempertahankan pintu gerbang itu.

Namun ada niat di dalam hati Swandaru, meskipun pasukannya tidak mendapat bantuan dari dalam, tetapi ia ingin mendahului pasukan Tanah Perdikan Menoreh memasuki Kota Pajang. Pasukan Sangkal Putung akan menjadi pasukan yang pertama merebut jengkal-jengkal tanah Kota Pajang dengan kekuatan sendiri.

Tetapi rencana itu tidak terlalu mudah dilakukan. Pasukan Pajang yang ada di atas pintu gerbang dan di sebelah-menyebelah ternyata cukup kuat untuk setiap kali menghalau usaha Swandaru untuk memecahkan pintu gerbang dengan sepotong kayu gelondong. Meskipun para pengawal dilindungj oleh berpuluh perisai, namun anak panah dan lembing yang jumlahnya tidak terhitung itu mampu menghambat gerak pasukan pengawal dari Sangkal Putung itu.

Di bagian lain, pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang kuat dan diperkuat pula oleh sekelompok prajurit dari pasukan khusus, telah berjuang pula untuk merebut salah satu dari pintu gerbang kota. Namun usaha mereka pun tidak segera dapat berhasil.

Ternyata bahwa pasukan Pajang dan Demak telah berjuang mati-matian untuk mempertahankan setiap pintu gerbang. Mereka telah memuntahkan anak panah dan lembing tanpa hitungan. Para perwira dari Pajang dan Demak mengawasi mereka dengan wajah-wajah yang keras. Setiap kali terdengar teriakan aba-aba dengan suara yang telah menjadi serak.

Para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh yang diperkuat oleh sekelompok pasukan khusus telah bertempur dengan segenap kemampuan yang ada. Di bawah hujan anak panah dan lembing, mereka berusaha memecahkan pintu gerbang dengan cara yang hampir selalu dipakai oleh pasukan-pasukan yang berusaha memecahkan pintu gerbang. Mereka membawa balok yang besar dan panjang. Mereka setiap kali mengambil ancang-ancang untuk menyurukkan balok yang besar itu menggempur pintu gerbang.

Namun hal itu tidak mudah dilakukan. Setiap kali usaha itu terhambat karena satu dua orang menjadi terluka oleh anak panah dan lembing lawan. Satu dua orang yang terluka dan terjatuh di antara mereka, telah membuat ancang-ancang mereka terganggu dan terhenti sama sekali.

Sementara itu, usaha lain untuk memanjat dinding pun telah dilakukan Para pengawal telah menyandarkan tangga pada dinding kota. Tetapi para prajurit Pajang dan Demak telah mendorong tangga itu sehingga roboh pada saat-saat beberapa orang prajurit sedang memanjat.

Namun demikian, pasukan Tanah Perdikan Menoreh tidak tinggal diam dalam kegagalan itu. Mereka berusaha terus. Selain dilindungi oleh perisai, mereka pun dilindungi oleh selapis pasukan yang menyerang para prajurit Pajang dan Demak juga dengan anak panah. Mereka melemparkan anak panah dalam jumlah yang tidak kalah derasnya dengan anak panah yang meluncur dari atas.

Namun dalam pada itu, ketika matahari mulai memanjat langit, maka pasukan berkuda Pajang yang masih tetap berada di dalam baraknya pun telah bersiap sepenuhnya.

Tidak ada yang menaruh kecurigaan sama sekali. Pasukan itu seakan-akan siap menunggu perintah. Agaknya ke pintu gerbang yang pertama kali pecah, pasukan itu akan diperbantukan dengan cepat.

Namun ternyata bahwa panglima pasukan berkuda itu mengambil kebijaksanaan lain. Pranawangsa tidak menunggu perintah dari pimpinan tertinggi pasukan Pajang dan Demak, yang atas kehendak sendiri telah dipegang oleh Ki Tumenggung Wiladipa.

Sejenak kemudian, maka perintah Ki Pranawangsa pun telah jatuh. Pasukan berkuda itu tiba-tiba telah bergerak. Di antara para prajurit berkuda itu ternyata terdapat Untara, Sabungsari dan Agung Sedayu. Sesaat kemudian, maka pasukan berkuda itu sudah turun ke jalan. Derap kaki kudanya bagaikan meruntuhkan dinding-dinding halaman di sebelah-menyebelah jalan yang dilaluinya.

Sementara itu, orang-orang yang tinggal di dalam lingkungan dinding kota telah dicengkam oleh perasaan ngeri karena mereka menyadari bahwa peperangan telah terjadi. Jika pintu gerbang kota pecah, pasukan dari Mataram akan menghambur masuk ke dalam kota dan pertempuran pun akan terjadi di sepanjang jalan.

Di antara mereka yang dicengkam kegelisahan itu, ternyata telah dikejutkan oleh derap kaki pasukan berkuda yang menghambur berlari di jalan utama kota. Satu iring-iringan prajurit yang memberikan kebanggaan di hati mereka. Bahkan seorang di antara mereka yang sempat melihat pasukan berkuda itu lewat, berkata kepada diri sendiri, “Mereka akan menyapu pasukan Mataram sampai orang yang terakhir.”

Tetapi dugaan orang itu ternyata keliru. Pasukan berkuda itu langsung berderap menuju ke pintu gerbang samping.

Dua perwira penghubung yang melihat pasukan berkuda itu lewat, menjadi berdebar-debar. Mereka belum mendengar perintah untuk menggerakkan pasukan berkuda itu. Namun demikian, mereka merasa ragu. Mungkin perintah itu datang lewat perwira penghubung yang lain karena keadaan menjadi gawat.

Karena itu maka kedua orang perwira itupun telah memacu kudanya pula menuju ke pusat pimpinan dan pengendalian pasukan-pasukan Pajang dan Demak. Keduanya langsung menanyakan apakah memang sudah ada perintah kepada pasukan berkuda untuk bergerak.

“Perintah apa?” Ki Tumenggung Wiladipa yang masih berada di tempat itu menjadi tegang.

“Kami justru bertanya kemari,” sahut salah seorang perwira itu.

Ketegangan telah mencekam para perwira dan pimpinan prajurit Pajang dan Demak. Namun Ki Tumenggung ternyata telah bergerak dengan cepat. Diperintahkannya para perwira yang yakin dipercayainya untuk segera meninggalkan tempat itu menuju ke pintu-pintu gerbang. Sedangkan Ki Wiladipa sendiri akan melihat pintu gerbang yang searah dengan tujuan pasukan berkuda itu.

Sejenak kemudian para perwira itupun telah menghambur ke dalam tugas masing-masing, selain dua perwira yang tinggal bersama sekelompok pengawal dan beberapa orang penghubung berkuda.

Sementara itu, maka para perwira itupun segera mencapai pemusatan-pemusatan pasukan yang terdapat di pintu-pintu gerbang. Tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Pasukan Pajang dan Demak masih bertempur dengan gigihnya. Sementara itu pasukan yang kuat bersiap di balik pintu gerbang. Jika pintu gerbang benar-benar pecah maka mereka tidak akan menunggu pasukan Mataram memasuki pintu gerbang. Tetapi merekalah yang akan mendesak keluar dan bertempur di luar dinding.

Budak-budak dan hamba sahaya yang dianggap tidak berharga telah dipersenjatainya pula. Mereka mendapat petunjuk ringkas dan janji-janji. Namun di antara pasukan Pajang dan Demak itu terdapat kelompok-kelompok yang mendebarkan jantung. Mereka adalah penjahat-penjahat, perampok, bajak laut dan penyamun-penyamun yang ikut dalam pasukan itu.

Namun dalam pada itu, di pintu gerbang yang menjadi tujuan Ki Tumenggung Wiladipa telah terjadi kekacauan. Ketika para prajurit Pajang dan Demak sedang dengan gigih mempertahankan pintu gerang itu dari serbuan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang menjadi bagian dari pasukan Mataram, mereka telah melihat pasukan berkuda yang datang ke arah mereka.

Pasukan yang bersiap-siap di belakang pintu gerbang menyambut pasukan itu dengan gembira, karena mereka berharap bahwa pasukan berkuda itu akan memperkuat kedudukan mereka jika pintu itu benar-benar mampu dipecahkan oleh pasukan Mataram.

Tetapi ternyata sikap pasukan berkuda itu berlawanan dengan harapan mereka. Ketika pasukan berkuda itu mendekati pintu gerbang, maka mereka pun telah berpencar.

Ki Pranawangsa, senapati yang memimpin pasukan berkuda itu tiba-tiba saja telah memberikan perintah kepada pasukan Pajang dan Demak untuk menyerah dan melepaskan senjata mereka.

“Apa arti perintah ini?” bertanya perwira yang memimpin pasukan Pafang dan Demak di pintu gerbang itu.

“Kalian harus menyerah dan membuka pintu gerbang itu!” perintah Ki Pranawangsa.

“Menyerah kepada siapa?” bertanya perwira itu.

“Menyerah kepada kami, karena kami merupakan bagian dari pasukan Mataram,” jawab Ki Pranawangsa.

“Pengkhianat!” geram perwira itu, “Jadi kalian telah berkhianat dan berpihak kepada Mataram?”

“Kami tidak berkhianat,” jawab Pranawangsa, “kami adalah pasukan yang justru berusaha untuk menempatkan Pajang pada keadaan yang seharusnya. Pajang merupakan bagian dari Mataram. Sekarang Pajang yang berada di bawah pengaruh Ki Tumenggung Wiladipa telah memberontak melawan Mataram.”

“Persetan!” teriak perwira itu, “Hancurkan pasukan berkuda yang berkhianat itu.”

“Kami berusaha untuk tegak pada kebenaran!” Ki Pranawangsa berteriak pula, “Kami tidak mau dijadikan korban pengkhianatan Tumenggung Wiladipa. Nyawanya tidak lebih berharga dari nyawa kami, sehingga kami tidak mau dijadikan tebusan dan mati tanpa arti.”

“Lalu kalian mau mati sebagai apa?” bertanya perwira yang marah itu.

“Kami ingin mati sebagai prajurit yang setia kepada kedudukannya, karena Pajang merupakan bagian dari Mataram,” jawab Pranawangsa.

Perwira itu tidak bertanya lebih lanjut. Sekali lagi ia meneriakkan perintah kepada para prajurit Pajang dan Demak yang bersiap-siap di belakang pintu gerbang.

Dengan demikian, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran antara pasukan yang mempertahankan pintu gerbang itu melawan pasukan berkuda yang kuat. Pertempuran yang segera menjadi pertempuran yang sengit. Namun dengan demikian, maka pasukan Pajang dan Demak itu telah melawan dua kekuatan yang besar yang berada di luar dan di dalam arah pintu gerbang. Karena itu, maka kekuatan mereka seakan-akan telah terbagi.

Sementara itu, Ki Tumenggung Wiladipa dengan dua orang pengawal telah sampai ke tempat itu. Dengan jantung yang hampir meledak ia melihat satu kenyataan, bahwa pasukan berkuda Pajang telah berkhianat kepadanya.

Dengan demikian, maka dengan suara gemetar ia telah memerintahkan pengawalnya untuk langsung menuju ke barak pasukan cadangan.

“Perintahkan atas namaku, agar mereka dengan cepat menuju kemari,” perintahnya.

Seorang dari kedua pengawalnya telah berpacu menuju ke barak pasukan cadangan yang dipersiapkan sebagaimana pasukan berkuda yang dapat ditarik ke segala arah. Dengan sangat tergesa-gesa pengawal itu telah menyampaikan perintah Ki Tumenggung Wiladipa untuk segera menggerakkan pasukan cadangan.

Pasukan cadangan itupun terdiri dari prajurit-prajurit yang sigap. Karena itu, maka dengan cepat mereka menyiapkan diri, dan dalam kesatuan yang utuh mereka berlari menuju ke pintu gerbang yang dimaksud.

Sementara itu Ki Tumenggung Wiladipa masih belum melibatkan diri. Ia masih berusaha untuk memelihara jarak dengan pertempuran.

Namun pasukan berkuda itu berusaha dengan cepat menembus pertahanan pasukan Pajang dan Demak. Mereka berusaha untuk mencapai pintu gerbang dan mengangkat selaraknya yang besar dan berat untuk membukanya.

Tetapi orang-orang Pajang dan Demak mempertahankan pintu gerbang itu dengan mempertaruhkan nyawa mereka. Mereka tidak lagi mengingat untuk apa mereka bertempur. Sebagai seorang prajurit Pajang dan Demak mereka mempunyai naluri untuk mempertahankannya.

Ki Tumenggung Wiladipa masih berusaha untuk menunggu pasukan cadangan yang dengan cepat bergerak. Tetapi ketika keadaan menjadi semakin mendesak, maka Ki Tumenggung Wiladipa tidak dapat berpangku tangan. Dengan diam-diam ia berusaha mendekati arena dan dengan tidak menyatakan dirinya sebagai seorang yang memegang perintah seluruh pasukan Pajang dan Demak, maka ia menyelinap ke medan bersama seorang pengawalnya.

Dengan garangnya Ki Tumenggung Wiladipa telah menyapu setiap prajurit berkuda yang mendekatinya. Kemampuannya ternyata sangat mengagumkan. Meskipun tidak seorang pun di antara prajurit dari pasukan berkuda yang ragu-ragu, namun kehadiran seorang yang tidak terlalu banyak dikenal itu telah menggetarkan pasukan itu.

Tetapi ternyata di bagian lain dari pertempuran itu, dari antara para prajurit dari pasukan berkuda itupun beberapa orang telah bertempur dengan kemampuan yang tidak tertahankan. Kemampuannya yang luar biasa telah membawanya mendesak dan menerobos pasukan yang sedang bertahan mati-matian.

Sekelompok kecil prajurit berkuda telah berusaha mematahkan setiap penghambatnya untuk dapat mencapai pintu gerbang. Dengan kemampuan ilmunya, maka setapak demi setapak jarak itu akan dapat dijangkaunya.

Namun dalam pada itu, telah terdengar sorak yang bagaikan merobohkan gerbang. Pasukan cadangan yang diperintahkan oleh Ki Tumenggung Wiladipa ternyata telah datang.

Perwira dari pasukan cadangan yang memimpin pasukan itupun segera meneriakkan aba-aba. Pasukan cadangan itu diperintahkannya untuk menghancurkan pasukan berkuda yang telah berkhianat.

“Kita harus cepat mencapai pintu gerbang itu jika pasukan ini tidak ingin dihancurkan di sini,” berkata Ki Pranawangsa.

Untara menggeram. Lalu katanya, “Kita terpaksa menghancurkan setiap orang yang berusaha menghalangi kita.”

Sabungsari mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Marilah.”

Masih seorang lagi yang akan bertempur bersama mereka. Agung Sedayu. Betapapun ia menghindarkan diri dari kemungkinan membunuh, namun dalam pertempuran yang menjadi semakin sengit itu, kemungkinan yang tidak diinginkan itupun terjadi.

Bersama dengan sekelompok kecil pengawal terpilih, mereka telah menerobos menusuk ke dalam pertahanan lawannya.

Sulit untuk menahan gerak Sabungsari dan Agung Sedayu. Sementara pedang Untara, Ki Pranawangsa dengan para pengawal terpilihnya, telah menyibakkan pertahanan lawan.

Betapa pasukan berkuda itu bertempur dengan beraninya, tetapi kehadiran pasukan cadangan itupun terasa sangat berpengaruh. Pasukan cadangan yang kemudian mengepung dari punggung pasukan berkuda telah membuat pasukan berkuda itu menjadi semakin sulit kedudukannya.

Bahkan semakin lama mereka pun menjadi semakin terjepit. Namun karena kematangan latihan-latihan yang telah menempa pasukan itu, maka mereka pun mampu bertahan dan melawan dengan sengitnya pula.

“Kalian telah membunuh diri,” geram senapati yang memimpin pasukan cadangan itu.

Prajurit dari pasukan berkuda itu sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan sekali lagi seorang perwira dari pasukan berkuda itu masih berteriak, “Menyerahlah! Kalian akan mendapat pengampunan dari Mataram.”

“Gila kau pengkhianat!” teriak senapati dari pasukan cadangan itu.

Dengan demikian maka pertempuran pun telah menjadi semakin seru. Suara dentang senjata beradu berbaur dengan sorak yang gemuruh di antara orang kesakitan, membuat suasana pertempuran itu menjadi semakin menegangkan.

Pertempuran yang berkobar semakin dahsyat bukan hanya di pintu gerbang yang satu itu. Di pintu gerbang utama, pasukan Mataram telah menggempur pasukan Pajang dan Demak. Tetapi pintu gerbang utama itupun dipertahankan dengan kekuatan yang memadai, sehingga pertempuran pun terjadi dengan sengitnya, meskipun dibatasi oleh jarak. Kedua belah pihak telah melontarkan anak panah dan lembing tak terhitung lagi jumlahnya. Sementara usaha untuk memecahkan pintu gerbang atau memanjat dinding masih belum berhasil.

Di pintu gerbang yang lain, pasukan Sangkal Putung menyerang menghentak-hentak. Swandaru sendiri memimpin serangan untuk mencoba memecahkan pintu gerbang. Tetapi bagaimanapun juga, mereka tidak dapat membiarkan anak-anak terbaiknya terbunuh di muka pintu gerbang tanpa perhitungan. Karena itu, maka Swandaru pun berusaha untuk dapat mengurangi jumlah korban yang jatuh di muka pintu gerbang itu. Sehingga dengan demikian, maka usaha pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung itupun masih belum berhasil juga.

Dalam pada itu, maka Untara dan kelompok kecilnya berusaha terus menyuruk maju. Mereka tidak lagi berada di atas punggung kuda, tetapi mereka bertempur dengan kaki di atas tanah.

Agung Sedayu dan Sabungsari yang berada di paling depan telah membuka jalan bagi mereka. Meskipun keduanya tidak sempat mempergunakan ilmu mereka yang memancar lewat sorot mata mereka, namun ilmu pedang keduanya melampaui kemampuan setiap prajurit Pajang dan Demak. Bahkan dengan ilmu kebalnya, Agung Sedayu membuat lawan-lawannya menjadi bingung dan tidak percaya akan kenyataan yang mereka hadapi. Namun Agung Sedayu itu maju terus betapapun lambatnya.

Sementara itu, prajurit Pajang dan Demak telah mendesak terus. Di atas dinding mereka bertempur melawan pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang berusaha menerobos masuk dari luar. Kedatangan pasukan cadangan yang membantu mereka, telah memulihkan kekuatan pasukan Pajang dan Demak yang berada di atas dinding untuk menahan usaha pasukan Tanah Perdikan Menoreh untuk maju.

Sedangkan pasukan cadangan yang lain telah menghimpit pasukan berkuda yang mengalami sedikit kesulitan. Tetapi pada saat-saat yang mendebarkan itu, Agung Sedayu dan kelompok kecilnya telah menjadi semakin dekat dengan pintu gerbang. Tidak ada lagi pertimbangan yang menghambatnya. Ia harus mencapai pintu gerbang dan membukanya. Para prajurit Pajang dan Demak yang menghalanginya, terpaksa disingkirkannya. Mati atau tidak mati.

Tetapi para prajurit Pajang dan Demak pun mempertahankan pintu gerbang itu mati-matian. Seorang perwira yang memimpin kelompok prajurit dari Demak yang setia kepada Ki Tumenggung Wiladipa, telah meneriakkan aba-aba untuk mempertaruhkan nyawa mereka agar pintu gerbang itu dapat diselamatkan.

Ketegangan itu ternyata sampai juga kepada Ki Tumenggung Wiladipa. Sehingga dengan kemarahan yang menghentak di dalam dadanya ia menggeram, “Setan mana yang dapat menerobos prajurit-prajuritku itu?”

Sebenarnya-lah bahwa prajurit Pajang dan Demak memang tidak mampu menahan gerak maju sekelompok kecil yang dengan ujung senjata telah menyibakkan lawau-lawannya.

Dengan jantung yang berdegup keras Ki Tumenggung Wiladipa bergeser di antara pasukannya untuk berusaha mencapai sekelompok orang yang bergerak menuju ke pintu gerbang. Sementara pertempuran antara pasukannya dengan pasukan berkuda masih juga berlangsung dengan sengitnya, meskipun prajurit-prajurit dari pasukan berkuda yang jumlahnya lebih sedikit dari pasukan Pajang dan Demak, apalagi setelah ditambah dengan pasukan cadangan. Namun yang semakin lama menjadi semakin jelas bahwa para prajurit dari pasukan berkuda mengalami kesulitan.

Namun pada saat yang gawat itu, Agung Sedayu dan Sabungsari telah menghentakkan kemampuannya. Untara, Ki Pranawangsa dan sekelompok terpilih berusaha untak mendesak maju. Sementara Agung Sedayu dan Sabungsari menahan tekanan dari sebelah-menyebelah bersama Untara dan Ki Pranawangsa, maka lima orang pengawalnya telah mulai menggapai selarak pintu yang besar.

“Cepat!” perintah Untara.

Kelima orang itupun kemudian dengan menggerakkan kekuatannya berusaha untuk mengangkat selarak pintu itu. Betapapun beratnya selarak pintu yang besar itu, namun perlahan-lahan selarak itu mulai terangkat.

Ki Wiladipa yang menyusup di antara pertempuran itupun sudah mendekati regol itu pula. Beberapa langkah lagi ia akan sampai untuk mencegah pintu itu terbuka. Namun iapun tertegun. Dari sela-sela ujung senjata ia melihat Untara berada di antara orang-orang yang berusaha membuka selarak pintu itu.

“Setan! Untara,” geram Ki Tumenggung Wiladipa. Jantungnya yang bergejolak keras telah mendorongnya untuk meloncat menerkam Untara dan orang-orangnya. Tetapi pada saat yang demikian, selarak pintu yang berat itu telah terangkat.

Di muka pintu gerbang itu telah terjadi keributan yang membingungkan. Kekuatan di luar pintu gerbang yang sangat besar telah menekan pintu gerbang yang sudah tidak berselarak lagi itu. Betapapun orang-orang Pajang dan Demak menghujani orang-orang Tanah Perdikan dengan anak panah dan lembing, namun ketika pintu mulai terbuka perlahan-lahan, maka kekuatan dari luar regol telah mengalir memasuki pintu gerbang, diiringi oleh sorak gemuruh yang bagaikan meruntuhkan langit.

Sementara itu, selapis pasukan yang khusus telah mendapat tugas untuk melindungi pasukan yang menerobos masuk itu dengan lontaran anak panah dan lembing ke arah para prajurit Pajang dan Demak yang berada di atas pintu gerbang dan sebelah-menyebelahnya.

Dalam kekisruhan itu, ternyata kelompok-kelompok pasukan berkuda telah mengambil kesempatan. Mereka justru menghindar dari pertempuran. Sebagian dari mereka berusaha memanjat dinding untuk menghentikan atau setidaknya mengurangi hambatan yang dilakukan oleh para prajurit Pajang dan Demak, sementara prajurit Pajang dan Demak yang ada di pintu gerbang ternyata tidak sempat menahan mereka, karena arus pasukan yang memasuki pintu gerbang.

Pertempuran pun menjadi bertambah sengit. Para prajurit dari pasukan berkuda yang memanjat dinding tidak segera dapat berbuat sesuatu yang berarti, karena yang sempat melakukan tidak cukup banyak jumlahnya. Namun sementara itu, ternyata pasukan khusus dari Mataram yang berada di lingkungan pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah memanjat dinding dari luar pula, dengan tangga-tangga yang sudah mereka persiapkan.

Dengan demikian, maka prajurit Pajang dan Demak yang ada di atas dinding itu menjadi seolah-olah terjepit. Sementara itu, prajurit dari pasukan berkuda pun semakin banyak pula yang memanjat tebing dari bagian dalam.

Akhirnya pertahanan di atas dinding itupun pecah pula. Para prajurit Pajang dan Demak tidak lagi sempat menghujani lawannya dengan anak panah dan lembing. Tetapi mereka harus mencabut pedang mereka dan bertempur beradu dada.

Sementara itu, pasukan Tanah Perdikan Menoreh benar-benar bagaikan air bah yang telah memecahkan bendungan. Meskipun tertahan-tahan, tetapi pasukan itu mengalir terus memasuki pintu gerbang. Bahkan kemudian pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang terlatih dan memiliki pengalaman di beberapa benturan perang besar itupun dengan pasti telah mendesak lawan mereka. Bahkan pasukan khusus Mataram yang ada di lingkungan pasukan Tanah Perdikan itupun telah berloncatan turun pula dari atas dinding, setelah mereka berhasil mematahkan perlawanan pasukan Pajang dan Demak, bersama para prajurit dari pasukan berkuda yang memanjat dari dalam.

Dengan demikian, maka sejenak kemudian pertempuran pun telah membakar kota Pajang di dalam pintu gerbang. Pasukan Mataram yang terdiri dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, sekelompok pasukan khusus Mataram dan para prajurit dari pasukan berkuda Pajang, perlahan-lahan berusaha menyusun diri sebaik-baiknya sambil mendesak pasukan lawan untuk bergeser mundur.

Ki Tumenggung Wiladipa ternyata terlambat menyelamatkan pintu gerbang itu. Tetapi iapun memiliki ketajaman pengamatan atas seluruh medan. Karena itu, maka yang dilakukannya kemudian adalah berusaha menemui senapati pasukannya yang terdesak itu dan berkata, “Aku tidak dapat terikat dalam satu pertempuran, karena aku harus berada di segala medan. Aku terlambat mencapai pintu gerbang. Tetapi sudah pasti bahwa tujuan pasukan Mataram kemudian adalah membuka pintu gerbang utama. Karena itu, tarik pasukan ke pintu gerbang utama dan bantu pasukan yang ada di sana untuk mempertahankan pintu gerbang. Biarlah sebagian saja dari pasukanmu yang melayani pasukan lawan, karena menurut perhitunganku, sebagian besar dari mereka tentu akan menuju ke pintu gerbang utama. Aku akan berada di sana.”

Senapati yang memimpin prajurit Pajang dan Demak di pintu gerbang yang sudah terbuka itupun dengan cepat telah menarik diri. Sambil bertahan mereka beringsut surut menuju ke pintu gerbang induk. Mereka akan menyatukan diri dengan pasukan yang kuat yang ada di pintu gerbang utama itu dan mempertahankannya.

Namun senapati itu tidak melepaskan sama sekali pintu gerbang yang sudah terbuka itu. Ia menugaskan sekelompok pasukannya untuk berada di sekitar pintu gerbang dan mengganggu prajurit Mataram yang terdiri dari pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, setelah sebagian besar dari pasukan itu mengalir ke pintu gerbang utama.

Tetapi tidak semua kekuatan yang memasuki kota di pintu gerbang yang terbuka itu menuju ke pintu gerbang utama. Meskipun sebagian dari mereka memang menuju ke pintu gerbang utama, tetapi sebagian yang lain telah menuju ke pintu gerbang yang lain. Ke pintu gerbang yang harus bertahan melawan pasukan dari Sangkal Putung.

Kehadiran pasukan itu, memang agak kurang diperhitungkan sebelumnya. Karena itu, maka prajurit Pajang dan Demak yang berada di pintu gerbang itu terkejut dan untuk beberapa saat mereka dicengkam oleh kebingungan. Namun para perwiranya dengan susah payah telah berhasil menguasai keadaan, sehingga perlawanan mereka pun menjadi mapan.

Apalagi ketika sebagian pasukan yang terpecah dari para prajurit Pajang dan Demak yang kemudian datang pula ke pintu gerbang itu telah membantu mereka.

Dengan demikian maka pertempuran pun telah berlangsung dengan sengitnya. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh berusaha untuk memecahkan perhatian para prajurit Pajang dan Demak. Bahkan sebagian dari mereka telah berusaha untuk memanjat dinding dari bagian dalam untuk mengurangi perlawanan pasukan Pajang dan Demak atas pasukan pengawal Sangkal Putung.

Bagaimanapun juga, kehadiran para pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu berpengaruh atas perlawanan pasukan Pajang dan Demak. Sementara itu Swandaru telah berusaha dengan sekuat tenaganya untuk memecahkan pintu gerbang.

Sebenarnya Swandaru merasa agak kecewa bahwa telah datang pasukan Tanah Perdikan Menoreh ke pintu gerbang itu untuk membantu pasukannya. Sebenarnya ia ingin menunjukkan bahwa pasukannya memiliki kemampuan untuk memecahkan pintu gerbang itu tanpa bantuan dari siapa pun. Namun agaknya pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah datang membantunya, justru dari dalam.

Sementara itu, di pintu gerbang induk, pertempuran pun berlangsung pula semakin sengit. Pasukan Pajang dan Demak yang ditarik dari pintu gerbang yang pecah, sebagian besar telah mundur ke pintu gerbang itu pula. Sementara itu sebagian besar pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan sekelompok prajurit Mataram dari pasukan khusus telah berusaha untuk memberikan tekanan sebesar-besarnya kepada pasukan Pajang dan Demak yang mempertahankan pintu gerbang utama. Bahkan sebagian dari pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil memanjat dinding dan bertempur melawan mereka yang mempertahankan pintu gerbang itu dari atas dinding. Dengan demikian maka mereka yang berada di luar dinding pun telah mendapatkan kemungkinan lebih besar untuk memanjat dinding pula.

Di luar pintu gerbang, pasukan khusus Mataram bekerja dengan keras. Usaha para pengawal Tanah Perdikan untuk mengurangi tekanan atas pasukan yang menyerang pintu gerbang itu mempunyai pengaruh yang besar, sehingga pasukan Mataram mendapat lebih banyak kesempatan untuk berusaha memecahkan pintu gerbang dari luar.

Sebenarnyalah, pertempuran di pintu gerbang itu menjadi semakin seru ketika Pajang melepaskan orang-orang khususnya untuk melawan para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Mereka telah melepaskan budak-budak dan orang-orang yang dianggap tidak berharga, di samping para prajurit.

Orang-orang itu tidak banyak berpengaruh. Meskipun jumlah yang besar di dalam benturan kekuatan ada juga pengaruhnya, tetapi pasukan Tanah Perdikan Menoreh justru dengan cepat mampu menguasai mereka.

Tetapi yang menyusul kemudian, benar-benar telah menggetarkan jantung para pengawal. Ternyata Pajang benar-benar telah mempergunakan orang-orang yang seharusnya menjalani hukuman karena melakukan kejahatan. Mereka adalah perampok-perampok, bajak laut dan perompak, yang pada umumnya secara pribadi memiliki kemampuan. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang itu benar-benar telah mengguncang medan pertempuran.

Cara mereka bertempur telah mengejutkan orang-orang Tanah Perdikan. Tetapi mereka pun dengan cepat berusaha untuk menyesuaikan diri.

Namun ternyata bahwa Pajang benar-benar telah menempatkan pasukan yang kuat di pintu gerbang utama itu, sehingga meskipun pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah datang membantu dari dalam, namun mereka tidak mudah dapat memecahkan atau membuka pintu gerbang. Apalagi karena pasukan Pajang dan Demak dari pintu gerbang yang tidak berhasil dipertahankan itu telah berada pula di pintu gerbang induk.

Sementara itu, Ki Pranawangsa dan Untara yang telah berada di pintu gerbang itu pula, serta Ki Gede Menoreh telah sepakat untuk menyusun kelompok kecil sebagaimana telah dilakukan oleh pasukan berkuda waktu membuka pintu gerbang, yang juga bertugas menyusup pasukan lawan membuka pintu gerbang utama itu.

Pasukan kecil itu harus terdiri dari orang-orang terpilih.

Sejenak kemudian maka telah berkumpul orang-orang yang memiliki kemampuan melampaui para pengawal yang lain. Ki Pranawangsa sendiri, Ki Gede Menoreh yang juga menyatakan kesediaannya. Untara, Agung Sedayu dan Sabungsari, bahkan kemudian akan ikut pula Sekar Mirah dan Glagah Putih.

“Kita akan menyusup di antara pasukan lawan dan membuka pintu gerbang,” berkata Untara.

Kelompok kecil itupun segera bersiap-siap. Mereka melengkapi kelompok mereka dengan beberapa orang terpilih, sehingga dengan demikian maka mereka akan mampu untuk menahan gelombang yang akan mendera dari sebelah-menyebelah.

Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung Wiladipa tidak mau melakukan kesalahan yang sama seperti pernah terjadi. Ia tidak menunggu sekelompok orang bergerak lebih dahulu. Tetapi Ki Tumenggung Wiladipa telah menunggu mereka di pintu gerbang bersama beberapa orang pengawal terpilihnya.

“Mereka tentu akan datang,” berkata Ki Tumenggung Wiladipa, “kita tunggu mereka di sini.”

Sebenarnyalah, maka sekelompok kecil orang-orang terpilih dari pasukan Mataram itu pun mulai bergerak.

Namun dalam pada itu, pasukan pengawal Tanah Perdikan dan prajurit Mataram dari pasukan khusus selain bertempur di dalam pintu gerbang, mereka pun telah berhasil untuk merintis jalan memanjat dinding, sehingga dengan demikian maka orang-orang Pajang dan Demak yang berada di atas dinding harus membagi perhatian mereka. Apalagi ketika prajurit Mataram dari pasukan khusus di luar sempat juga memasang tangga dan memanjat pula.

Dengan demikian, maka hambatan bagi para prajurit Mataram yang akan membuka pintu gerbang dari luar itupun menjadi jauh berkurang, meskipun pertempuran di belakang pintu gerbang itu sendiri masih terjadi dengan sengitnya.

Ki Tumenggung Wiladipa yang mengetahui bahwa orang-orang dalam kelompok kecil yang ingin menyusup di antara para prajurit Pajang dan Demak itu adalah orang-orang pilihan, benar-benar telah mempersiapkan diri. Ia tidak mengenal sebagian dari mereka. Tetapi ia tahu bahwa Untara dan seorang pengawalnya adalah orang pilihan, karena mereka dapat lolos dari tangan orang-orang yang dipilihnya untuk membunuhnya ketika Untara kembali dari Pajang ke Mataram.

Namun dalam pada itu, sebelum Ki Wiladipa benar-benar bertemu dengan Untara atau dengan Agung Sedayu atau Sabungsari, karena sekelompok kecil orang-orang pilihan dari Tanah Perdikan Menoreh belum sempat mencapai pintu gerbang, maka terdengar derak yang memekakkan telinga. Di luar pintu gerbang, dilindungi oleh lontaran-lontaran anak panah, lembing dan bahkan mereka yang sempat memanjat dinding, maka sekelompok orang telah mengangkat sebuah kayu balok yang besar dan panjang. Dengan berlari kencang sebagai ancang-ancang, maka mereka membenturkan balok kayu itu ke arah pintu gerbang.

Betapapun kuatnya pintu gerbang dan selaraknya yang besar, namun ketika benturan itu dilakukan beberapa kali, maka selarak pintu gerbang itu pun mulai retak.

“Gila,” geram Ki Wiladipa, “tahan agar pintu itu tidak terbuka!” Namun dalam pada itu, Untara yang mendengar dan kemudian mengetahui bahwa selarak pintu yang besar itu mulai retak, telah memberi peringatan kepada kawan-kawannya untuk berhati-hati.

“Sebaiknya kita menunggu sejenak,” berkata Untara, “kita dapat bertempur dalam jarak tertentu. Mudah-mudahan selarak itu benar-benar akan pecah.”

Kawan-kawannya pun mengerti. Karena itu, maka mereka telah menahan diri untuk tidak mendesak maju. Tetapi mereka telah bertempur di tempat, melawan para prajurit Pajang dan Demak yang datang menyerang.

Sebenarnya-lah, ketika hentakan balok kayu yang besar dan panjang itu diulangi lagi dengan ancang-ancang yang cukup jauh, maka selarak pintu gerbang itu pun mulai bergetar. Selarak pintu yang retak pun menjadi semakin retak, sehingga akhirnya selarak pintu itu pun telah runtuh.

Dengan derak yang diiringi oleh sorak yang gemuruh, maka pintu gerbang itu perlahan-lahan telah terbuka. Kehadiran pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan sekelompok para prajurit dari pasukan khusus serta pasukan berkuda telah mampu memperkecil hambatan dari pasukan Pajang dan Demak, terutama yang berada di atas dinding, sehingga memungkinkan mereka memecahkan pintu gerbang yang kuat itu.

Sejenak kemudian, maka sebagaimana air yang menderu di atas bendungan yang pecah, maka pasukan Mataram pun telah mendorong pasukan Pajang dan Demak. Tanpa dapat ditahan lagi, maka mereka telah mendesak maju, sementara pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan sekelompok kecil pasukan khusus serta pasukan berkuda yang dipimpin oleh Ki Pranawangsa berusaha untuk menyesuaikan diri.

Dengan demikian, maka telah terjadi hiruk pikuk di pintu gerbang itu. Para prajurit Pajang dan Demak pun telah dengan susah payah menyusun diri. Mereka pun terdiri dari prajurit-prajurit yang berpengalaman, sehingga mereka berhasil memantapkan kembali pasukan mereka. Sementara itu, Pajang benar-benar telah melepaskan semua orang yang dianggapnya tidak berharga ke dalam medan. Terutama orang-orang yang telah diambilnya dari bilik-bilik hukuman.

Namun pasukan Mataram cukup kuat untuk mendesak mereka. Perlahan-lahan pasukan Mataram berhasil membangunkan landasan berpijak bagi pasukannya.

Yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang sengit di dalam lingkungan kota Pajang. Pasukan Mataram yang kuat, serta pasukan berkuda Pajang yang berpihak kepada Mataram, perlahan-lahan telah mendesak pasukan Pajang dan Demak selangkah demi selangkah surut.

Dalam pada itu, hampir bersamaan waktunya, ternyata pasukan Sangkal Putung pun telah mampu memecahkan pintu gerbang. Pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang sempat datang membantunya dari dalam dinding telah memperkecil perlawanan pasukan Pajang dan Demak sebagaimana terjadi di pintu gerang utama.

Meskipun tidak sedahsyat pertempuran di gerbang utama, namun pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh juga mengalami perlawanan yang gigih. Para prajurit Pajang, dan lebih-lebih para prajurit Demak yang berada di Pajang, telah bertempur dengan tekad yang mantap.

Dengan demikian, maka pertempuran yang terjadi di dalam kota Pajang di segala medan menjadi semakin dahsyat. Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kernampuan yang mungkin dapat mereka kerahkan. Mereka tidak mau mengalami kesulitan di dalam pertempuran itu karena kelengahan dan kelambatan. Karena itu, maka kedua belah pihak berusaha untuk dengan cepat mengatasi kemampuan lawannya.

Dalam pada itu, ketika pasukan Mataram sebagian besar telah memasuki Kota Pajang, maka ternyata bahwa kekuatan Mataram masih berada di atas kekuatan pasukan Pajang dan Demak. Perlahan-lahan pasukan Mataram berhasil mendesak pasukan Pajang yang menarik pasukannya menuju ke pintu gerbang halaman Istana Pajang, Mereka berusaha untuk mempersempit medan, sehingga mempersempit pula daerah benturan antara kedua pasukan itu.

Namun dalam pada itu, pasukan Mataram dengan kewaspadaan yang tinggi, masih tetap mengawasi setiap jengkal dinding Kota Pajang. Selain memasuki kota, mereka pun mendapat perintah, agar tidak seorang pun yang dapat lepas dari tangan mereka. Mereka harus berhasil menangkap Ki Tumenggung Wiladipa yang telah mencoba membunuh utusan Panembahan Senapati.

Karena itu, maka di setiap pintu gerbang yang ditinggalkan oleh pasukan Pajang dan Demak masih tetap diawasi oleh pasukan Mataram, di samping pengawasan atas dinding di seputar kota.

Sementara itu, ternyata Ki Tumenggung masih tetap berada di antara pasukannya. Ketika pasukan induknya telah terdesak semakin jauh, maka iapun telah memerintahkan sekelompok prajuritnya untuk menyiapkan tempat bagi pasukannya yang akan memasuki pintu gerbang dinding halaman istana. Sementara itu pasukan pengawal harus mempersiapkan diri. Pasukan Mataram mungkin akan berhasil mendesak pasukan Pajang dan Demak memasuki halaman istana. Dalam keadaan yang demikian, maka pasukan pengawal khusus yang terdiri dari orang-orang pilihan harus turun ke medan. Tidak ada pilihan lain bagi mereka, selain bertempur dan dengan kemampuan mereka yang rata-rata melampaui kemampuan prajurit kebanyakan, maka mereka akan dapat membantu kekuatan Pajang dan Demak untuk bertahan, bahkan mengusir pasukan Mataram.

Sebenarnya-lah bahwa Pajang dan Demak telah berusaha untuk menarik diri melalui empat pintu gerbang halaman istana. Sementara itu sekelompok pasukan telah mempersiapkan pintu gerbang yang akan dilalui oleh pasukan Pajang dan Demak. Sedangkan pasukan itupun telah mempersiapkan pula sekelompok prajurit yang akan berada di atas dan di sebelah-menyebelah pintu gerbang. Mereka akan menghambat pasukan Mataram yang akan mendesak pasukan Pajang dan Demak, setelah mereka masuk ke dalam pintu gerbang.

Ternyata bahwa pasukan pengawal khusus yang telah mendapat keterangan tentang pasukan Pajang dan Demak, telah mempersiapkan diri. Tetapi jumlah mereka pun cukup banyak, sehingga mereka dapat membagi para pengawal khusus itu pada ke empat pintu gerbang. Mereka segera memanjat dinding dan bersiap dengan bukan saja anak panah dan lembing, tetapi mereka justru lebih percaya kepada pisau-pisau yang dapat mereka lontarkan dengan bidikan yang lebih cepat dari bidikan anak panah, meskipun harus ditunggu sampai jarak yang lebih dekat. Bahkan seandainva lawannya berusaha untuk menyembunyikan diri di balik perisai sekalipun. Asal saja masih ada bagian tubuhnya yang nampak, maka yang nampak itu masih akan dapat dikenainya, menyusup di antara lindungan perisainya.

Namun dalam pada itu, telah terjadi ketegangan di dalam istana. Kanjeng Adipati yang mengikuti perkembangan keadaan terus-menerus lewat beberapa orang petugas yang mengamati keadaan, telah menjadi cemas juga. Ternyata bahwa Ki Tumenggung Wiladipa telah salah menilai kekuatan Mataram dan kekuatan Pajang yang diperkuat oleh Demak.

“Tetapi seandainya pasukan berkuda tidak berkhianat, maka hamba kira pintu gerbang samping itu tidak akan pecah, Kanjeng Adipati,” berkata salah seorang senapati pasukan pengawal khususnya.

“Kenapa tidak seorang pun di antara para petugas sandi yang dapat menyadap rencana pengkhianatan pasukan berkuda itu?” geram Kanjeng Adipati.

“Itulah yang membuat hamba geram,” jawab senapati itu. Kemudian katanya, “Tetapi Kanjeng Adipati tidak usah cemas. Ki Tumenggung Wiladipa mempunyai kemampuan yang luas menanggapi setiap keadaan. Ternyata dalam personal inipun Ki Tumenggung cepat mengambil sikap. Sekelompok prajurit telah diperintahkan untuk mempersiapkan diri menyongsong pasukan Pajang yang akan mundur memasuki gerbang halaman istana. Sementara itu, pasukan pengawal khusus yang tidak tertembus oleh kekuatan yang manapun sudah dipersiapkan pula. Apakah artinya pasukan Mataram jika mereka sudah berhadapan dengan pasukan pengawal khusus?”

Kanjeng Adipati Pajang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia merasa sangat kecewa terhadap Pangeran Benawa yang berkuasa di Jipang, karena Pangeran Benawa sama sekali tidak menanggapi permintaannya untuk mengirimkan pasukan yang akan dapat memperkuat kedudukan Pajang.

Hampir di luar sadarnya Kanjeng Adipati itu bergumam “Aku tidak dapat mengerti, kenapa Adimas Pangeran Benawa tidak mau bekerja sama dengan Pajang untuk menghancurkan Mataram. Jika Panembahan Senapati tidak merebut tahta dari Pajang ke Mataram, maka Pangeran Benawa-lah yang sebenarnya berhak atas tahta Pajang.”

Senapati yang menghadap itupun kemudian menyahut, “Ampun Kanjeng Adipati. Jipang tidak akan berarti apa-apa bagi kita selain hanya akan mempersulit kedudukan saja. Karena itu justru beruntung-lah kita, bahwa Jipang tidak melibatkan diri ke dalam persoalan ini, sehingga Pangeran Benawa kelak tidak akan dapat menuntut apapun juga kepada Kanjeng Adipati. Bahkan kelak, Jipang itupun akan dapat dihapuskan pengaruhnya, sehingga tidak akan mengganggu kedudukan Kanjeng Adipati.”

Kanjeng Adipati Pajang tidak menjawab. Tetapi nampak kebimbangan masih saja membayang di wajahnya. Namun demikian senapati itupun tidak berbicara lagi. Ia takut jika kemudian kata-katanya justru tidak berkenan di hati Kanjeng Adipati.

Dalam pada itu, pertempuran pun masih terjadi dengan sengitnya. Perlahan-lahan, masih dalam kesatuan yang utuh, pasukan Pajang dan Demak menarik diri. Jalan sudah dipersiapkan, sementara sebagian dari mereka yang telah mendahului serta pasukan pengawal khusus, telah siap melindungi mereka jika mereka memasuki regol yang kemudian akan diselarak dari dalam. Pasukan Mataram berusaha mencegah penarikan diri yang cermat itu. Tetapi ternyata tidak berhasil. Perlahan-lahan tetapi pasti, pasukan Pajang dan Demak telah memasuki pintu gerbang halaman istana dan kemudian diselarak dari dalam.

Pasukan Mataram memang terhambat oleh perlindungan pasukan yang memasuki gerbang itu lebih dahulu, dibantu oleh para pengawal khusus yang memiliki kemampuan melampaui para prajurit kebanyakan.

Ketika pintu gerbang di empat penjuru itu telah tertutup, maka pasukan Mataram, baik pasukan khususnya, maupun para prajuritnya yang berada di Jati Anom atau yang telah ditarik dari beberapa daerah, serta para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkai Putung, terpaksa menghentikan pengejaran. Pintu gerbang telah tertutup rapat, diselarak dengan pengawalan yang sangat kuat. Apalagi matahari telah menjadi semakin rendah di ujung barat.

“Pasukan Mataram tidak bersiap-siap untuk memecahkan pintu-pintu gerbang itu,” berkata salah seorang perwira, “alat-alat yang ada telah ditinggal di pintu gerbang yang memasuki kota.”

Laporan itu akhirnya sampai kepada panglima pasukan Mataram yang memimpin serangan itu. Ki Lurah Branjangan.

“Untuk sementara kita menarik diri,” berkata Ki Lurah, “sebentar lagi senja akan turun. Sebaiknya beberapa orang tertentu mencari tempat yang paling baik untuk malam nanti. Namun demikian, kita tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Ada beberapa kemungkinan dapat terjadi. Pasukan Pajang dan Demak akan dapat mengambil sikap yang menyimpang dari paugeran perang. Mereka dapat keluar di malam hari dan menyerang kita, kemudian melarikan diri kembali masuk pintu gerbang. Sedang kemungkinan lain yang tidak boleh terjadi, malam nanti Ki Tumenggung Wiladipa tidak boleh hilang dari dalam kepungan. Karena itu, tidak seorang pun yang boleh keluar dari dinding kota.”

Para perwira pun menyadari tugas mereka masing-masing. Karena itu maka mereka pun telah mempersiapkan pasukan mereka untuk menarik diri dari medan dan beristirahat. Namun dalam pada itu, mereka telah menunjuk orang-orang yang khusus untuk mencari tempat-tempat beristirahat. Tidak harus baik, tetapi harus memungkinkan mengamankannya.

Demikian-lah, ketika saatnya tiba, maka telah terdengar suara isyarat menggema di seluruh kota. Pasukan Mataram pun kemudian perlahan-lahan bergeser surut meninggalkan pintu-pintu gerbang dan dinding istana.

Ternyata setiap kelompok telah mendapatkan tempatnya masing-masing. Ada yang di banjar padukuhan, ada yang di rumah-rumah yang cukup besar dan berhalaman luas, ada yang mendapat tempat pada barak-barak, termasuk barak pasukan berkuda sendiri. Dan tempat-tempat lain yang memungkinkan. Namun dalam waktu singkat, para penghubung telah dapat mengetahui semua tempat yang dipergunakan tanpa ada yang terlampaui.

Ki Lu:ah Branjangan dan para pemimpin dari segala unsur yang ada di dalam pasukan Mataram telah menentukan tempat bagi pimpinan pasukan Mataram. Tempat yang harus diketahui oleh semua perwira dan penghubung, karena dari tempat itulah semua kebijaksanaan pertempuran itu akan diatur.

Namun dalam pada itu, semua prajurit Mataram telah menerima perintah untuk tidak me!epaskan kewaspadaan. Setiap saat mereka harus siap untuk bertempur. Juga malam hari. Karena itu maka setelah makan dan membenahi diri, maka para prajurit telah berbaring berserakan di tempat-tempat yang telah ditentukan, sambil memeluk senjata masing-masing apa pun ujudnya, Perisai dan pedang, tombak, trisula, canggah, kapak dan jenis-jenis senjata yang lain menurut kemampuan para prajurit itu sendiri. Karena di medan perang yang sebenarnya, mereka dituntut untuk mampu mengerahkan tingkat tertinggi dari kemampuan dan ilmu senjata masing-masing.

Tetapi di antara mereka, para penjaga hilir mudik di tempat tugas masing-masing. Bergantian mereka mengawasi keadaan. Sementara itu, petugas-petugas khusus telah mengitari seluruh medan untuk menolong kawan-kawan mereka yang terluka dan mengumpulkan mereka yang terbunuh di peperangan.

Sementara itu, pasukan Mataram sama sekali tidak mengganggu tugas yang sama dari orang-orang Pajang dan Demak, meskipun mereka telah keluar dari pintu gerbang halaman istana dengan obor-obor di tangan.

“Silahkan,” para petugas dari Mataram justru telah mempersilahkan mereka yang ditemui di bekas arena yang luas itu.

“Jika ada yang terlampaui, tolong rawat kawan-kawan kami yang terluka,” berkata para petugas dari Pajang.

“Kami tidak akan melepaskan kemanusiaan kami,” jawab orang Mataram, “siapa pun yang memerlukan pertolongan, akan kami tolong sesuai dengan kemampuan yang ada pada kami.”

“Terima kasih,” jawab orang-orang Pajang.

Namun sebenarnya-lah orang-orang Pajang harus bekerja keras untuk mengangkut kawan-kawan mereka yang terluka dan tersebar di seluruh kota ke dalam dinding halaman istana. Namun tugas itu mereka lakukan juga.

Namun dalam pada itu, setiap prajurit Mataram yang bertugas menjadi sangat berhati-hati. Mungkin di antara mereka terdapat orang yang bernama Wiladipa.

Namun sampai batas waktunya orang-orang Pajang itu ditarik memasuki regol halaman istana, tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Orang-orang Pajang sekedar melakukan tugas kemanusiaan atas kawan-kawan mereka tanpa menimbulkan persoalan lain.

Dengan demikian, maka para perwira Mataram dari segala unsur menganggap bahwa Ki Wiladipa tentu masih berada di dalam kota, kecuali jika orang itu terbunuh di luar pengetahuan para prajurit Mataram. Ki Tumenggung Wiladipa tentu memiliki kelebihan dari prajurit kebanyakan, sehingga ia tidak akan terlalu mudah untuk terbunuh di pertempuran yang betapapun ganasnya.

Karena itu, maka perintah Ki Lurah Brangjangan masih tetap dijalankan oleh setiap prajurit Mataram dari segala unsurnya. Tidak seorang pun yang akan dapat lolos meninggalkan kota, yang kemudian dipersempit seluas halaman istana saja.

Sementara itu, Ki Lurah Branjangan masih sempat pula untuk mengadakan pembicaraan dengan beberapa orang yang bertanggung jawab atas unsur-unsur yang ada di lingkungan pasukan Mataram, hanya sekedar untuk menyesuaikan agar mereka dapat tetap memelihara langkah-langkah mereka, karena perjuangan mereka telah mendekati babak terakhir. Jika mereka mampu memecahkan gerbang halaman yang manapun dari keempat pintu gerbang istana, maka mereka akan dapat memasuki istana.

Namun tugas itu adalah tugas yang amat berat, karena di balik dinding halaman istana itu penuh dengan prajurit Pajang dan Demak yang siap untuk bertempur mati-matian. Seakan-akan setiap jengkal tanah akan dipertahankan oleh seorang prajurit yang bersedia mati untuk itu.

Malam itu, semua persiapan telah dilakukan sebaik-baiknya. Para prajurit Mataram telah mempersiapkan alat-alat yang akan mereka pergunakan untuk memecahkan pintu gerbang istana. Sementara itu, mereka juga menyiapkan tangga-tangga yang akan mereka pergunakan untuk mencoba memanjat dinding halaman, apabila memungkinkan.

Tengah malam, maka semua persiapan dan usaha untuk menyingkirkan setiap orang yang terluka dan mengumpulkan mereka yang terbunuh di peperangan telah dianggap selesai. Semua orang harus benar-benar beristirahat sebaik-baiknya, kecuali beberapa orang saja yang masih harus bertugas dengan penuh kewaspadaan. Di pintu-pintu gerbang, dan setiap jarak tertentu di seputar dinding istana dan di seputar dinding kota, agar tidak seorang pun dapat lolos.

Demikianlah, maka ternyata para prajurit dari kedua belah pihak, betapapun ketegangan mencengkam, namun mereka sempat juga melepaskannya dan dengan nyenyak tidur mendengkur, meskipun ada juga satu dua orang yang gelisah.

Tetapi pada keadaan yang demikian, maka hampir setiap orang di dalam pasukan kedua belah pihak merasa bahwa tidak akan ada kemungkinan lain daripada bertempur. Membunuh atau dibunuh, sehingga dengan demikian maka mereka tidak lagi dibayangi oleh kegelisahan lagi.

Demikianlah, waktu bergeser setapak demi setapak. Malam pun menjadi semakin dalam menjelang fajar.

Kesibukan mulai nampak pada kedua belah pihak ketika mereka yang mempersiapkan makan dan minum bagi para prajurit itupun mulai menyalakan api.

Ketika langit menjadi semakin terang, maka pasukan di kedua belah pihak pun telah bersiap. Ki Lurah Branjangan telah mengadakan pertemuan sekali lagi dengan para pemimpin. Ia memberikan perintah-perintah terakhir sebelum pasukannya mulai bergerak. Karena menurut perhitungan dan harapan Ki Lurah Branjangan, maka pada hari itu mereka akan dapat memecahkan gerbang di dinding halaman istana.

“Jangan kalian usik Kanjeng Adipati Pajang, karena bagaimanapun juga, Kanjeng Adipati adalah masih kadang sendiri,” berkata Ki Lurah Branjangan, “segala sesuatunya akan kami serahkan kepada Panembahan Senapati sendiri. Demikian juga jika kalian berhasil menangkap orang yang bernama Ki Tumenggung Wiladipa. Orang itu jika mungkin dapat ditangkap hidup. Biarlah Panembahan Senapati pula-lah yang memberikan hukuman kepadanya, karena ia sudah menghina Panembahan Senapati dengan mencoba membunuh utusannya. Sementara itu, sekelompok prajurit khusus yang sudah ditunjuk harus mengamankan gedung pusaka dan gedung perbendaharaan. Panembahan Senapati sendiri pula-lah yang akan menentukan, pusaka-pusaka manakah yang akan dibawa ke Mataram, dan yang manakah yang akan tetap berada di Pajang. Mungkin Panembahan Senapati harus berbicara lebih dahulu dengan Pangeran Benawa, karena meskipun Pangeran Benawa tidak menerima kedudukan sebagai Sultan di Pajang, namun ia adalah putra Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang lahir laki-laki, yang sebenarnya berhak menggantikan kedudukannya. Tetapi jika tidak, itu adalah karena kehendaknya sendiri.”

Para senapati pun menjadi jelas, apa yang harus mereka lakukan jika mereka nanti memasuki halaman istana. Sebagai kelengkapan pesannya, maka Ki Lurah pun berkata “Kalian adalah prajurit-prajurit Mataram yang berlandaskan sikap seorang kesatria, karena itu, kalian tidak boleh bersikap sewenang-wenang atas lawan kalian yang sudah kalian kalahkan. Kalian juga tidak boleh menyentuh semua harta benda yang ada di dalam Istana Pajang, karena itu bukan hak kalian. Panembahan Senapati pun tidak menghendaki menaklukkan Pajang sebagaimana perang antara dua kekuatan yang memang saling bermusuhan. Tetapi yang dilakukan adalah sekedar peringatan, dari keluarga sendiri terhadap anggota keluarga yang lepas dari kebijaksanaan.”

“Baik Ki Lurah,” jawab seorang senapati, “kami akan berusaha untuk mengendalikan setiap orang dalam pasukan kami sebagaimana Ki Lurah kehendaki.”

Demikianlah, maka sebelum matahari terbit, para senapati telah berada di dalam pasukan masing-masing. Mereka pun telah bersiap untuk melakukan serangan pada tahap-tahap terakhir. Mereka berharap bahwa pada hari itu mereka akan dapat menyelesaikan tugas mereka yang berat.

Sementara itu, untuk mengendalikan para prajurit di dalam setiap unsur pasukan Mataram, maka setiap kepala kelompok telah memberikan pesan-pesan sebagaimana mereka dengar dari para senapati yang tumimbal.

Setiap pemimpin kelompok berkata bepada pasukannya, “Kita harus memegang sifat seorang kesatria. Jangan menodai nama Mataram dengan sikap dan tingkah laku yang tidak pantas bagi seorang kesatria.”

Dengan demikian, maka para prajurit di dalam setiap kelompok itu pun mempunyai pegangan yang sama, karena mereka mempunyai pengertian yang sama tentang sifat-sifat seorang kesatria.

Demikianlah, pada saatnya maka isyarat pun telah berbunyi. Satu kali, setiap orang harus sudah berada di tempatnya. Dua kali, bersiap-siap. Dan ketika terdengar isyarat untuk ketiga kalinya, maka pasukan pun mulai bergerak.

Dengan tekad yang bulat untuk memecahkan pertahanan lawan, maka pasukan Mataram maju mendekati dinding halaman istana. Namun mereka pun sadar, bahwa di dalam dinding itu terdapat pasukan pengawal khusus yang terkenal. Sebagian besar mereka adalah orang-orang Demak yang memiliki kemampuan melampaui orang kebanyakan.

Seperti yang telah terjadi, maka pasukan Mataram telah dibagi sesuai dengan asal mereka masing-masing, sehingga dengan demikian maka mereka akan dapat bekerja sama dengan baik. Namun dalam keseluruhan, pasukan Mataram itu benar-benar telah mengepung halaman istana. Sementara di pintu-pintu gerbang telah terjadi pemusatan-pemusatan pasukan yang akan memecahkan dinding halaman.

Tetapi pasukan Pajang pun telah mengadakan pemusatan-pemusatan di atas dan di seputar regol. Mereka telah siap dengan segala macam senjata lontar. Bukan saja anak panah dan lembing, tetapi pasukan pengawal khusus telah siap dengan pisau-pisau kecil mereka yang dapat mereka lontarkan dengan daya bidik yang tidak akan pernah meleset dari sasaran yang dikehendaki.

Ketika pasukan Mataram telah mulai membentur dinding dan pintu gerbang, maka pertempuran pun telah mulai. Anak panah berterbangan ke kedua arah. Demikian pula lembing yang tajam. Sementara para prajurit dari pasukan pengawal khusus telah siap untuk melakukan tugas mereka dengan satu pegangan, bahwa tidak ada pasukan manapun juga yang mampu menembus pertahanannya.

Sejenak kemudian maka pertempuran pun telah membakar setiap jengkal tanah dan dinding halaman istana. Namun tekanan dan pertahanan yang terberat berada di sekitar pintu-pintu gerbang. Para prajurit dan pasukan pengawal khusus benar-benar memiliki daya tempur yang sangat besar.

Dengan demikian maka pasukan Mataram telah mengalami kesulitan untuk memecahkan gapura-gapura yang ada di dinding halaman itu. Satupun di antara gapura yang ada di empat arah itu tidak dapat didekatinya. Gelondong kayu yang besar yang sudah diangkat dan siap dibenturkan ke pintu gerbang. telah kandas karena pertahanan yang tidak tertembus. Hujan anak panah dan lembing yang dilontarkan oleh para prajurit dari pasukan khusus tidak dilakukan sebagaimana prajurit-prajurit yang lain. Prajurit-prajurit yang lain sekedar hanya melontarkan anak panah dan lembing ke arah pasukan Mataram. Tetapi para prajurit dari pasukan khusus benar-benar telah membidik. Mereka yang melindungi dirinya dengan perisai pun masih juga dapat dikenainya. Jika yang nampak adalah sikunya, maka sikunyalah yang terkena anak panah. Sedangkan jika yang masih nampak adalah jari-jari kakinya, maka jari-jari kakinya itulah yang terkena anak panah. Bahkan semakin dekat, yang menyusup di antara perisai-perisai itu bukan saja anak panah dan lembing, tetapi juga pisau-pisau kecil mereka.

Dengan demikian maka pasukan Mataram menjadi semakin berhati-hati. Selapis pasukannya yang melindungi kawan-kawannya dengan anak panah seakan-akan tidak berarti apa-apa. Bahkan para prajurit dari pasukan khusus Pajang itu ada yang sempat berdiri di atas dinding sambil berteriak, “Marilah orang-orang Mataram. Apa yang dapat kau lakukan dengan permainanmu yang buruk itu? Berapa orang kawanmu yang akan kau korbankan di muka pintu gerbang ini, he?”

Para senapati dari Mataram menjadi berdebar-debar. Namun dalam pada itu, pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh telah mengambil sikap. Terdengar Ki Lurah Branjangan sendiri meneriakkan aba-aba, “Pasang gelar kura-kura!”

Sekelompok pasukan khusus yang bersenjata perisai telah berkumpul. Dengan cepat mereka telah memasang satu gelar yang terlalu khusus. Gelar yang tidak banyak dikenal, tetapi seolah-olah secara khusus telah dikembangkan oleh pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh.

Gelar itu kemudian merupakan bentuk yang sangat tertutup. Yang nampak adalah perisai-perisai yang besar yang saling berhubungan rapat, sehingga tidak ada selubang jarum pun yang akan dapat disusupi oleh anak panah dan bahkan pisau-pisau kecil.

Sementara itu di dalam gelar itu, telah bersembunyi sekelompok orang yang membawa gelondong kayu yang besar dan panjang yang akan mereka benturkan pada pintu gerbang.

Gerakan yang aneh itu telah membuat pasukan pengawal khusus dari Pajang menjadi marah. Mereka tidak lagi menghujani pasukan yang mempergunakan gelar yang aneh itu dengan anak panah dan lembing, bahkan pisau-pisau kecil. Tetapi mereka kemudian menyerang gelar itu dengan batu-batu besar yang digulingkan di bibir dinding di atas regol.

Para prajurit dari pasukan khusus Mataram mencoba bertahan. Sementara di dalam gelar itu telah terjadi gerakan-gerakan yang keras, karena sekelompok prajurit mencoba memecahkan gerbang-gerbang dengan gelondong kayu, betapapun sulitnya, karena ruang gerak yang sangat sempit.

Namun dalam pada itu, ternyata seorang senapati dari pasukan pengawal itu melihat, betapa pasukan Mataram telah mempergunakan gelar yang aneh. Karena itu, maka mereka pun harus melawan gelar itu dengan cara yang khusus pula.

Yang kemudian berdiri di atas gerbang itu adalah Ki Turnenggung Wiladipa sendiri. Dengan wajah yang merah menahan kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya, ia pun berkata kepada senapati pasukan pengawal khusus, “Jadi kalian tidak dapat memecahkan gelar itu?”

“Bagaimana pendapat Ki Tumenggung?” bertanya senapati itu.

“Kalian memiliki kemampuan di atas orang kebanyakan. Marilah bersama aku memecahkan gelar yang gila itu,” jawab Ki Tumenggung.

Senapati itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Baik Ki Tumenggung Marilah. Kita pecahkan gelar yang gila itu.”

Ki Tumenggung Wiladipa pun kemudian mengambil anak panah dan busurnya, sebagaimana dilakukan oleh senapati itu. Dengan wajah yang tegang senapati itu berkata, “Mudah-mudahan aku memiliki kekuatan sebagaimana dimiliki oleh Ki Tumenggung, meskipun barangkali berbeda bentuknya.”

“Jika kau tidak mampu memecahkan gelar itu, maka sebaiknya kau meletakkan jabatanmu,” berkata Ki Tumenggung.

Sejenak kemudian maka Ki Tumenggung Wiladipa itu pun telah melontarkan satu di antara anak panahnya. Ternyata akibatnya sangat mengejutkan. Sentuhan anak panah itu pada perisai pasukan khusus Mataram, telah melontarkan bunga api yang memercik ke segala penjuru. Ternyata bahwa yang nampak itu hanya sekedar salah satu akibat saja dari benturan anak panah yang dilontarkan oleh Ki Tumenggung Wiladipa. Akibat yang lain yang ternyata sangat menentukan adalah, kekuatan ilmu Ki Tumenggung yang menjalar lewat anak panah yang dilontarkan dan kemudian menusuk ke dalam perisai prajurit Mataram dari pasukan khusus itu. Perisai baja itu rasa-rasanya bagaikan telah dipanggang di atas bara. Perlahan-lahan perisai itu menjadi panas.

Akibat itu memang sangat mengejutkan. Tetapi pada satu lapis tertentu kenaikan panas itu pun berhenti. Prajurit yang memegang perisai itu pun menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa masih mampu mengatasi panas itu dengan daya tahan tubuhnya.

Namun yang tidak diduga-duga, sekali lagi anak panah Ki Tumenggung Wiladipa mengenai perisai itu. Dengan demikian maka panas yang sudah hampir menurun itu telah meningkat semakin tinggi.

“Gila,” geram prajurit itu, “panas ini tidak tertahankan lagi.”

“Ada apa?” bertanya kawannya.

Namun ternyata bahwa anak panah Ki Tumenggung telah mengenai dua tiga perisai yang lain. Setiap kali bidikannya diulangi. Dan ternyata bahwa Ki Tumenggung tidak pernah salah membidik perisai yang telah pernah disentuh oleh anak panahnya.

Sementara senapati pasukan pengawal khusus Pajang itu mempergunakan anak panah pula untuk menggugurkan gelar lawannya. Dengan menghentakkan ilmunya, senapati itu telah melontarkan anak panahnya. Akibat yang timbul memang berbeda. Anak panah itu tidak membuat perisai lawannya menjadi panas. Tetapi perisai itu bergetar dengan kerasnya, seolah-olah segumpal batu hitam yang runtuh dari lereng bukit telah menimpanya.

Prajurit yang perisainya terkena anak panah senapati itu mengaduh. Dengan nada keheranan ia berkata, “Gila. Batu sebesar apakah yang telah dilemparkan ke perisaiku?” Namun kawannya tidak sempat menjawab, karena anak panah berikutnya telah mengenai perisai kawannya itu.

Dengan demikian, maka gelar kura-kura yang aneh itu menjadi goncang. Beberapa orang menjadi sakit karena goncangan kekuatan yang tidak tertahankan.

Pemimpin dari gelar itu semula tidak menyadari apa yang terjadi. Tetapi ketika gelarnya menjadi rusak maka ia pun telah meneriakkan aba-aba agar pasukannya itu ditarik mundur.

Gelar kura-kura yang aneh itu pun kemudian bergerak mundur. Bahkan sebagian dari mereka terpaksa tertinggal, karena pada saat-saat yang sulit, anak panah lawannya berhasil mengenainya. Bukan anak panah Ki Tumenggung dan senapati yang mampu menggetarkan perisai pasukan khusus Mataram itu, tetapi anak panah dari para pengawal yang mengejar saat-saat pasukan Mataram ditarik.

Ki Lurah yang melihat gelarnya itu mundur, telah memanggil pemimpin gelar itu. Namun kemudian dari beberapa orang prajuritnya, Ki Lurah mengetahui apa yang telah terjadi.

“Gila,” geram Ki Lurah, “ tetapi kita tidak boleh gagal lagi.”

Namun dalam pada itu, matahari pun telah melewati puncaknya. Pasukan Mataram yang terdiri dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para pengawal dari Sangkal Putung pun tidak mampu memecahkan pintu gerbang di sisi yang lain.

Untuk mengatasi kesulitan yang dihadapinya, maka Ki Lurah pun segera memanggil beberapa orang senapati terpenting dari unsur yang berbeda. Untara, Ki Gede Menoreh, Swandaru serta Agung Sedayu.

“Para senapati pajang telah mempergunakan ilmu yang sangat tinggi,” berkata Ki Lurah.

“Tetapi kita tidak boleh berputus asa,” berkata Swandaru, “pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh hampir saja berhasil memecahkan pintu gerbang.”

“Kita memang tidak akan berhenti,” berkata Ki Lurah, “tetapi yang terjadi itu mudah-mudahan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Iangkah-langkah kita selanjutnya.”

“Kita harus memikirkan kemampuannya yang melebihi kemampuan orang kebanyakan,” berkata Ki Gede.

“Kita habiskan hari ini,” berkata Agung Sedayu, “jika kita gagal, kita pertimbangkan cara-cara yang akan kita tempuh esok.”

“Kita biarkan anak-anak kita menjadi sasaran anak panah dari pembidik-pembidik tepat dari Pajang dan Demak?” bertanya Ki Lurah.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu memang masuk akal. Namun jawabnya, “Kita harus berhati-hati. Kita berusaha untuk memanfaatkan perisai sebaik-baiknya Tidak semua orang Pajang dan Demak mampu membakar perisai dan menggetarkan lengan orang-orang Mataram. Sementara itu, para pembidik tepat kita pun akan ikut membantu mereka. Jika terpaksa, maka kita akan mengambil jarak dari para pemimpin mereka yang tentu berada di gerbang induk. Aku yakin hanya satu dua di antara pemimpin-pemimpin mereka sajalah yang mampu berbuat demikian.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Sementara Swandaru berkata, “Aku masih akan mencoba. Aku kira kita akan dapat berbicara nanti setelah pertempuran ini diakhiri untuk hari ini.”

Ki Lurah masih mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi jangan lengah. Kita berhadapan dengan ilmu yang tinggi. Bukan saja dalam gelar perang, tetapi secara pribadi mereka memiliki kekuatan yang sulit untuk dilawan.”

Sementara itu, maka Swandaru dan Ki Gede pun segera kembali ke pasukan masing-masing. Sedangkan Agung Sedayu untuk sejenak masih berada bersama Ki Lurah.

Dengan nada ragu Ki Lurah bertanya kepada Agung Sedayu, “Bagaimana dengan Kiai Gringsing?”

“Guru ada di sini Ki Lurah. Tetapi Guru pernah berkata kepadaku bahwa Guru sudah waktunya untuk mulai menyingkir dari arena seperti ini. Meskipun tidak dengan serta merta,” jawab Agung Sedayu. “Namun jika keadaan memang memaksa, mungkin aku akan dapat menanyakan kepada Guru, setidak-tidaknya Guru akan dapat memberikan petunjuk untuk mengatasinya.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Ia memang sudah mendengar niat Kilai Gringsing untuk tidak melibatkan diri lagi dalam persoalan-persoalan seperti yang terjadi saat ini. Namun baik Agung Sedayu maupun orang-orang lain tidak tahu apa yang sebenarnya tersirat di hati Kiai Gringsing. Selain ia memang ingin perlahan-lahan menarik diri dan mulai dengan satu kehidupan yang menjurus di hari-hari tuanya, maka ia ingin mendorong agar Agung Sedayu lebih cepat untuk berusaha menggantikan tempatnya. Menurut pengamatan Kiai Gringsing, ilmu yang ada pada diri Agung Sedayu, baik kedalamannya maupun jenisnya, sudah pantas baginya untuk tampil menggantikannya. Hanya dalam keadaan tertentu saja, maka ia dapat keluar dari padepokan yang akan menjadi tempat tinggalnya.

“Aku memang sudah terlalu tua,” berkata Kiai Gringsing kepada diri sendiri, “jika aku tidak mulai mendorong yang muda untuk menggantikan kedudukan orang-orang tua seperti aku, maka pada suatu saat akan terjadi kekosongan yang berbahaya.”

Dalam pada itu, maka Agung Sedayu pun kemudian minta diri kepada Ki Lurah untuk sekali lagi mengamati medan. Ia masih akan berusaha untuk mencari pemecahan dari persoalan yang dihadapi oleh pasukan Mataram.

Ia tidak ingin segera menyampaikan persoalan itu kepada gurunya. Hanya jika sudah tidak ada jalan lain, maka ia akan minta petunjuk apa yang sebaiknya dilakukannya.

Bersama Ki Lurah Branjangan, maka Agung Sedayu pun kembali ke medan. Namun dengan tujuan yang berbeda. Ki Lurah berusaha untuk dapat melihat kemungkinan-kemungkinan lain di pintu gerbang-pintu gerbang samping. Mungkin dapat ditemukan jalan untuk memecahkan pintu gerbang itu. Tetapi jika ia mempergunakan gelar kura-kura, maka tentu akan terulang lagi kegagalan yang baru saja terjadi di pintu gerbang utama.

Sementara itu, Agung Sedayu telah berada di pintu gerbang utama. Untara telah menenggelamkan diri ke dalam pasukannya. Namun pasukan Mataram benar-benar menemui kesulitan, sehingga hari itu mereka masih belum berhasil memecahkan pintu gerbang yang manapun.

Di sisi lain, Swandaru berusaha untuk dapat memecahkan pintu gerbang dengan cambuknya. Ia telah minta sebuah perisai kepada seseorang pengawal. Dengan perisai di tangan kiri untuk melindungi dirinya dari lontaran lembing dan anak panah, maka ia mencoba untuk memecahkan pintu gerbang itu.

Ledakan cambuknya memang mengejutkan seluruh medan di satu sisi. Para prajurit Pajang dan Demak terkejut mendengarnya. Bahkan mereka pun menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat seseorang berusaha memecahkan pintu gerbang dengan sehelai cambuk.

Namun ternyata usaha Swandaru tidak segera berhasil. Meskipun pintu gerbang itu bergetar, tetapi ternyata bahwa pintu gerbang itu benar-benar kokoh, sehingga cambuk Swandaru tidak dapat mematahkan selaraknya di bagian dalam.

Sementara itu, maka serangan prajurit Pajang dan Demak seluruhnya seakan-akan terpusat kepada Swandaru. Meskipun sekelompok pengawalnya telah melindunginya dengan lontaran anak panah dan lembing, namun ternyata bahwa Swandaru tidak dapat dapat bertahan terlalu lama. Ketika kakinya dan lengannya tergores ujung anak panah dan kemudian berdarah, maka ia pun mengumpat sambil bergeser mundur. Ternyata bahwa perisai yang dibawanya tidak dapat melindungi seluruh tubuhnya.

“Gila,” geram Swandaru kemudian, sambil mengusapi luka-lukanya dengan obat pemampat darah, “kita harus menemukan satu cara untuk memecahkan pintu gerbang itu.”

Tetapi bagaimanapun juga, Swandaru masih mempunyai pertimbangan bahwa ia harus berusaha namun dengan tidak memberikan korban yang tidak diperhitungkan.

Di sisi lain, pasukan Tanah Perdikan Menoreh pun tidak berhasil memecahkan pintu gerbang. Namun Ki Gede tidak dibakar oleh gelonjak perasaan yang melonjak-lonjak. Karena itu, maka ia memang tidak ingin dengan tergesa-gesa memecahkan pintu gerbang itu tanpa menghiraukan kemungkinan yang buruk yang dapat terjadi atas pasukannya.

Di pintu gerbang utama, Agung Sedayu berdiri termangu-mangu di belakang pasukan yang sedang bertempur dengan anak panah dan lembing.

Namun sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun telah berkisar. Ia tidak lagi merenungi pintu gerbang utama. Tetapi ia merenungi pintu gerbang samping yang sedang bertahan melawan pasukan Tanah Perdikan Menoreh.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu termangu-mangu. Namun menurut perhitungannya, pintu gerbang samping yang lain pun tidak akan banyak berbeda dengan pintu gerbang yang sedang direnunginya itu.

“Pasukan pengawal khusus memang memiliki kemampuan yang luar biasa,” desis Agung Sedayu, “agaknya jika terjadi benturan pasukan, seandainya Mataram berhasil memecah pintu gerbang, maka Mataram harus benar-benar mengerahkan segenap kemampuan yang mungkin dapat dituangkan di dalam pertempuran itu.”

Untuk beberapa saat Agung Sedayu masih tetap berdiri termangu-mangu tanpa berbuat sesuatu. Sementara itu, langit pun menjadi semakin buram, karena matahari menjadi semakin rendah.

Tiba-tiba saja Agung Sedayu bergeser. Dimintanya sebuah busur dari salah seorang pengawal Tanah Perdikan. Selangkah ia maju.

“Beri aku anak panah,” berkata Agung Sedayu.

Sejenak kemudian, di lambung Agung Sedayu telah tergantung endong dengan segenggam anak panah. Sejenak Agung Sedayu mengawasi para prajurit yang berada di atas dinding. Mereka bukan saja mampu membidik dengan cepat. Tetapi mereka mampu menangkis serangan anak panah dan lembing dengan busurnya.

“Mereka memang terlatih secara khusus,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “melampaui pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh.”

Namun sejenak kemudian Agung Sedayu telah memasang sebuah anak panah. Ketika ia siap menarik anak panah itu seorang mendekatinya sambil berkata, “Tidak ada gunanya.”

“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.

“Kau lihat. Anak panah yang dilontarkan oleh para pengawal Tanah Perdikan ini bagaikan hujan. Tetapi tidak satu pun dapat mengenai mereka, meskipun mereka tidak berperisai,” berkata orang itu.

“Sebagian besar tubuhnya terlindung dinding,” jawab Agung Sedayu.

“Mereka mampu menangkis serangan anak panah dengan busurnya. Tidak perlu dengan perisai,” jawab orang itu.

Wajah Agung Sedayu berkerut. Satu gejala kemunduran tekad yang sebelumnya menyala di hati para pengawal Tanah Perdikan. Karena itu, maka ia merasa wajib untuk meniupnya kembali.

Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Lihatlah. Aku akan membuktikan kepadaniu, bahwa mereka tidak memiliki ilmu setinggi sebagaimana kau duga. Tetapi kita sendiri-lah yang kurang bersungguh-sungguh, sehingga serangan-serangan kita tidak dapat mengenai sasaran.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia memang ingin membuktikan apa yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu, seorang yang dikenal memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Tetapi sasaran susaran yang dibidiknya itu pun bukan orang kebanyakan pula.

Sejenak kemudian maka Agung Sedayu telah membidikkan anak panahnya. Dengan nada rendah ia berkata, “Orang yang berdiri di sisi pilar itu adalah orang yang sangat berbahaya. Aku akan mencoba membidiknya.”

“Orang yang hanya kelihatan sebagian kecil dari tubuhnya itu?” bertanya orang yang berada di dekat Agung Sedayu, “Kenapa tidak kau bidik orang yang berdiri dengan sombongnya di atas dinding dan mengibaskan setiap anak panah yang mengarah kepadanya?”

“Orang yang berada di samping pilar itulah yang paling berbahaya di antara mereka,” berkata Agung Sedayu.

Sebenarnyalah bahwa ia adalah seorang senapati dari pasukan pengawal khusus. Anak panahnya yang terlontar dari busurnya mempunyai daya dorong yang luar biasa. Jika anak panak itu menyentuh kulit betapapun tipisnya, kulit itu seakan-akan telah tergores oleh bara api yang menyala, yang membakar kulit daging sampai ke tulang.

Sejenak kemudian maka anak panah Agung Sedayu itu pun telah lepas dari busurnya. Demikian cepatnya, melampaui kecepatan anak panah yang dilontarkan oleh orang-orang kebanyakan.

Orang yang berdiri di sampingnya menjadi keheranan. Meskipun sasarannya sebagian besar tertutup oleh pilar dinding di sebelah pintu gerbang, namun anak panah Agung Sedayu seakan-akan mempunyai mata pada ujungnya. Anak panah itu meluncur tanpa dapat dicegah oleh siapa pun. Tidak mengenai tubuh orang yang hanya nampak sedikit di samping pilar itu, tetapi justru mengenai tangannya yang memegang busur dan siap melepaskan anak panah.

Orang itu mengaduh. Busurnya terlepas dari tangannya yang telah dikoyak oleh anak panah Agung Sedayu.

Sejenak kemudian orang itu telah hilang di balik pilar. Orang yang berdiri di samping Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan penuh keheranan ia bertanya, “Apakah kau sengaja membidik tangannya dan mengenainya?”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia telah memasang satu lagi anak panah pada busurnya. Dipandanginya orang yang berdiri di atas dinding istana itu dengan saksama. Seorang prajurit pengawal yang memiliki ketrampilan yang luar biasa. Ia mampu menangkis anak panah yang meluncur ke arahnya dengan busurnya. Sementara itu, bidikannya seakan-akan tidak pernah luput dari sasaran, meskipun akibatnya tidak separah bidikan orang yang berada di sebelah pilar.

Dengan tajamnya Agung Sedayu mengamati bumbung tempat anak panahnya yang tergantung di pinggangnya. Namun Agung Sedayu tidak ingin menyerang dengan tatapan matanya. Ia ingin menunjukkan kepada orang Tanah Perdikan Menoreh itu, bahwa anak panah mereka pun sebenarnya masih sangat berguna.

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar