Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 192

Buku 192

Wajah Untara menjadi merah. Tetapi iapun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa ia teringat pesan sahabatnya, bahwa ia harus berusaha untuk keberhasilan tugasnya, bukan sekedar mempertahankan harga diri.

Karena itu, maka ia pun telah bertanya, “Kenapa mereka menganggap bahwa aku seorang pengkhianat?”

“Apakah kau tidak menyadarinya?” bertanya perwira itu, “Kau adalah seorang perwira Pajang yang disegani dan mempunyai kekuasaan yang besar di daerah selatan. Tetapi ketika terjadi perang antara Pajang dan Mataram, maka kau berpihak kepada Mataram.”

Untara menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih berusaha untuk menahan diri. Ia tidak dapat mengatakan, bahwa langkah yang diambilnya adalah satu kesimpulan dari pertemuannya dengan Kanjeng Sultan sendiri. Sehingga dengan demikian, maka rasa-rasanya jantungnya-lah yang akan pecah karenanya.

Tetapi ternyata bahwa Untara mampu menyalurkan gejolak perasaannya. Sehingga karena itu, maka iapun justru tertawa betapapun dadanya bergejolak. Katanya, “Aku tidak berkeberatan mereka mempertanyakan hal seperti itu. Ketidaktahuan kadang-kadang membuat seseorang untuk mencari jawab sendiri.”

“Karena itu kau harus menjelaskan, apa yang sebenarnya sudah kau lakukan. Dan apa pula yang akan kau lakukan sekarang, bahwa kau telah datang kembali ke Pajang,” berkata perwira itu.

“Aku tidak dapat menjelaskan kepada setiap orang. Aku akan menjelaskan kepada Kanjeng Adipati,” jawab Untara tiba-tiba.

Wajah perwira itulah yang kemudian menjadi merah. Dengan demikian Untara telah merendahkan kedudukannya sebagai seorang perwira di Pajang.

Namun perwira itu masih juga menahan dirinya. Meskipun demikian iapun berkata, “Kau dapat berbicara hanya kepada Adipati tentang persoalan yang kau bawa sebagai utusan Panembahan Senapati. Tetapi persoalan yang kau lakukan atas tanggung jawabmu sendiri, sebaiknya kau jelaskan kepada kami, agar kami dapat melihat siapakah kau sebenarnya.”

“Aku merasa tidak perlu menjelaskan sikapku kepada siapapun,” jawab Untara, “sebagaimana kau katakan, itu adalah tanggung jawabku kepada Kanjeng Sultan yang telah wafat, dan kepada Panembahan Senapati. Dan semua itu sudah aku lakukan. Sekarang aku hadir sebagai utusan Panembahan Senapati yang membawa wewenang dan wibawanya. Penghinaan atas utusan Panembahan Senapati adalah penghinaan atas Panembahan Senapati itu sendiri. Namun agaknya Kanjeng Adipati di Pajang telah bersikap wajar kepadaku, kepada utusan Panembahan Senapati.”

“Namun bagaimanapun juga kau tidak boleh melanggar paugeran yang ada di Pajang, yang juga sudah disahkan oleh Kanjeng Adipati sendiri,” berkata perwira itu. “Kau tidak dapat menghadap sekehendak hatimu, karena waktu penghadapan dan urutan siapa yang lebih penting dan lebih dahulu harus menghadap sudah disiapkan oleh para petugas. Bahkan di waktu penghadapan di paseban, telah ditentukan orang-orang yang dapat memasuki paseban.”

“Jangan mencoba menghalangi aku,” berkata Untara yang hampir kehilangan kesabaran.

“Aku tidak menghalangi. Tetapi paugeran harus berlaku bagi siapa saja,” berkata perwira itu. “Tetapi kenapa hal ini kau katakan di sini? Kenapa kau tidak berada saja di gardu istana dan menyampaikan hal ini kepadaku di sana?” bertanya Untara.

“Aku berniat baik. Karena kau seorang tamu dari jauh, maka aku ingin memberitahukan hal ini kepadamu agar kau tidak membuang waktu datang ke istana,” berkata perwira itu. ”Dengan demikian kau dapat mempergunakan waktumu untuk beristirahat atau kepentingan-kepentingan yang lain.”

Tetapi Untara justru tersenyum. Sambil berpaling kepada kawannya ia berkata, “Nah, kau lihat. Mereka tidak akan dapat mencegah kita menghadap jika kita sudah berada di halaman istana. Agaknya Kanjeng Adipati benar-benar telah menempatkan satu atau dua orang Pelayan Dalam sejak sekarang, untuk memberi kesempatan kita langsung berhubungan dengan Kanjeng Adipati.”

Wajah perwira itu menegang. Sementara itu perwira kawan Untara itupun berkata, “Jangan mencoba menghalanginya Ki Sanak. Untara adalah utusan Panembahan Senapati. Kanjeng Adipati sendiri menyadari betapa ia harus menghormati utusan Panembahan Senapati itu. Karena bagi Kanjeng Adipati, Panembahan Senapati bukan saja pemimpinnya, tetapi juga saudara tuanya.”

“Saudara tua? Bukankah Panembahan Senapati tidak lebih dari putra angkat Sultan Hadiwijaya?” bertanya perwira itu.

“Apa bedanya putra angkat dan putranya sendiri, jika yang diangkat itu sudah diakunya sebagai putra sendiri? Sehingga dengan demikian, maka ia akan mendapat hak dan wewenang sebagaimana putra sendiri.”

“Tidak,” jawab perwira itu, “bagiku ada perbedaan antara putra angkat dan putra sendiri.”

“Marilah kita tidak berbicara tentang sikap atas anak angkat dan anak sendiri. Yang penting, bahwa Kanjeng Adipati sesuai dengan janjinya telah menempatkan satu atau dua orang Pelayan Dalam di penjagaanmu, sehingga memungkinkan kami dapat menghadap atau berhubungan setiap saat,” berkata perwira kawan Untara itu.

Perwira dari pasukan khusus yang seakan-akan telah melingkari kuasa dan pribadi Adipati Pajang itu menjadi semakin tegang. Namun sekali lagi ia dibayangi oleh sikap Adipati Pajang sendiri, karena Untara justru telah berhasil menerobos penjagaan dan berhubungan langsung dengan Adipati Pajang.

Namun dalam pada itu. selagi mereka dicengkam oleh ketegangan, terdengar derap kaki kuda memasuki halaman rumah itu. Dua ekor kuda dengan penunggangnya masing-masing.

Demikian penunggang-penunggang itu meloncat turun, telah terdengar salah seorang di antara mereka berkata lantang, “He, aku dengar Kakang Untara ada di sini?”

Untara mengangkat wajahnya. Dilihatnya dua orang perwira dari pasukan berkuda, sebagaimana perwira yang mempunyai rumah itu, telah datang untuk menemuinya.

Pertemuan yang kemudian terjadi adalah pertemuan yang akrab sekali. Kedua perwira itu bagaikan saudara kandung yang telah lama tidak bertemu.

“Kapan kau datang Kakang?” bertanya salah seorang di antara mereka.

Dengan demikian maka percakapan pun menjadi riuh. Mereka saling bertanya tentang keselamatan dan tentang keadaan masing-masing selama mereka tidak bertemu.

Untuk beberapa saat lamanya, perwira yang datang untuk mencegah kehadiran Untara di istana itu seakan-akan telah terlupakan. Namun tiba-tiba saja perwira itu memotong pembicaraan yang akrab, “Maaf, aku mempunyai tugas lain Aku minta pesanku kau pertimbangan baik baik.”

“O,” Untara berpaling ke arah perwira itu, “aku juga minta maaf, mereka adalah sahabat-sahabatku. Tetapi sekali lagi aku minta maaf. Aku akan tetap datang ke istana.”

“Apa yang kalian persoalkan?” bertanya salah seorang perwira yang baru datang itu.

“Tidak apa apa,” jawab perwira dari pasukan khusus yang berusaha mencegah kehadiran Untara itu.

Tetapi kawan Untara, pemilik rumah itulah yang kemudian bercerita tentang persoalan mereka. Persoalan Untara dan Kanjeng Adipati di Pajang.

Wajah perwira dari pasukan khusus yang berasal dari Demak itu menjadi semakin tegang.

Sementara itu kawan Untara masih bercerita terus, sehingga akhirnya ia berkata, “Kedatangan perwira pasukan khusus ini tentu dalam rangka menghambat kehadiran Untara menghadap Kanjeng Adipati itu pula.”

Kedua perwira yang datang kemudian itupun mengangguk-angguk. Dipandanginya perwira dari pasukan khusus itu dengan tajamnya. Kemudian salah seorang di antara mereka pun berkata, “Kenapa para prajurit dari Demak yang ditempatkan di Pajang seakan-akan ingin mengambil alih kepemimpinan Kanjeng Adipati?”

“Siapa yang berkata demikian?” jawab perwira dari pasukan khusus itu, “Kami berusaha untuk melindungi Kanjeng Adipati dari orang-orang yang tamak di Pajang ini. Adalah kewajiban para prajurit dari Demak, sebagaimana saat mereka diminta untuk datang, adalah membersihkan Pajang dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.”

Perwira dari pasukan berkuda itu tiba-tiba saja tertawa meledak Katanya, “Jika kau ingin menyusun cerita tentang Pajang, sebaiknya kau berpikir dua tiga kali. Mungkin cerita itu menarik bagi orang-orang Demak, Pati dan mungkin juga bagi orang-orang Jipang. Tetapi tentu tidak menarik bagi orang Pajang yang lebih tahu tentang keadaannya sendiri daripada orang-orang lain.”

Wajah perwira dari pasukan khusus itu benar benar menjadi tegang. Namun ia sadar bahwa ia tidak akan dapat berselisih dengan para perwira dari pasukan berkuda yang ternyata adalah sahabat Untara.

Karena itu, maka sejenak kemudian ia berkata, “Aku minta diri. Aku tidak sempat memperbincangkan persoalan-persoalan seperti itu dalam keadaan seperti ini. Tetapi aku berharap bahwa Untara dapat mempertimbangkan pesan-pesan yang diperuntukkan baginya.”

“Sudahlah,” berkata salah seorang perwira yang baru datang, “kembalilah ke tugasmu memagari Kanjeng Adipati agar tidak berhubungan dengan orang-orang lain, karena orang-orang lain akan dapat memberikan pertimbangan dengan nalar dan akal yang sehat.”

Sorot mata perwira dari pasukan khusus itu bagaikan membara. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Bahkan iapun kemudian telah minta diri dan meninggalkan rumah itu.

Sikap perwira dari pasukan khusus itu telah mempertegas anggapan prajurit-prajurit Pajang sendiri tentang orang-orang Demak yang ada di Pajang. Orang-orang yang tidak mau melihat kenyataan yang berlaku, sementara di Demak sendiri para pemimpin dan para prajurit sama sekali tidak berkeberatan jika Panembahan Senapati memegang kekuasaan atas daerah Demak lama. setelah Pajang.

“Jangan hiraukan pesan perwira itu,” berkata salah seorang di antara para perwira dari pasukan berkuda itu, “jika pasukan khusus berani mengambil langkah-langkah kekerasan, maka kami akan menentukan sikap. Aku yakin, bahwa Kanjeng Adipati sendiri tidak banyak mengetahui persoalan yang berkembang sekarang ini.”

Untara hanya mengangguk-angguk saja. Bahkan sambil tersenyum iapun berkata, “Ternyata bahwa tugas kalian masih belum selesai. Kalian masih harus menghadapi orang-orang Demak di tempat kalian sendiri.”

Para perwira itu mengerutkan keningnya. Namun seorang diantaranya tersenyum sambil berkata, “Kami tidak mempunyai keberanian untuk mengambil langkah sebagaimana kau lakukan pada saat pertentangan antara Pajang dan Mataram memuncak.”

“Sikapku memang dapat menimbulkan salah paham,” sahut Untara.

“Tidak. Akhirnya kami semuanya mengetahui, apalagi setelah kami mendengar cerita bagaimana kau dengan cara yang khusus pula menghadap Kanjeng Sultan.”

Kawan Untara pemilik rumah itu tertawa. Katanya, “Enak juga rasanya orang mabuk biji kecubung.”

Para perwira itupun tertawa pula. Meskipun Sabungsari juga tertawa, tetapi ia tidak begitu jelas, apa yang sedang dipercakapkan oleh para perwira itu.

Namun dalam pada itu, ada yang masih ingin diketahui oleh Untara. Selagi ada dua orang kawannya yang datang, maka iapun telah bertanya pula tentang seseorang yang bernama Wiladipa.

“Tidak banyak yang kami ketahui tentang iblis itu,” berkata salah seorang dari perwira pasukan berkuda itu. Lalu, “Tetapi ia mempunyai pengaruh yang besar di istana Kanjeng Adipati. Ia adalah seseorang yang dianggap mempunyai penglihatan yang tembus ke masa yang akan datang.”

“He, begitu?” sahut Untara, “Atau sekedar kelicikannya sehingga ia mampu membujuk Kanjeng Adipati dengan kata-kata yang menyentuh perasaan?”

“Ya. Itulah yang benar,” berkata perwira yang lain, “tidak ada kelebihan apapun juga pada orang yang disebut Tumenggung Wiladipa itu.”

“Sebenarnya aku ingin bertemu dan berbicara serba sedikit dengan Ki Tumenggung itu,” berkata Untara.

“Apa yang akan kau bicarakan?” bertanya kawan-kawan Untara hampir berbareng.

“Ia telah melakukan satu langkah yang menyinggung Mataram,” jawab Untara.

“Sulit untuk berbicara dengan Tumenggung itu,” jawab seorang di antara kawan-kawannya, “ia merasa orang yang sangat dihormati. Untuk menemuinya agaknya sama sulitnya dengan menghadap Kanjeng Adipati. Namun dalam keadaan yang berbeda. Ki Tumenggung itu dengan sengaja membangunkan kewibawaannya dengan caranya, sedangkan bagi Kanjeng Adipati, sekelompok orang telah berusaha untuk membatasinya.”

“Aku ingin berbicara dengan orang itu,” desis Untara

“Tidak banyak gunanya. Tetapi kenyataan tentang orang itu adalah bahwa ia memang datang dari Demak. Ia adalah orang yang mengatur segala sesuatunya. Tetapi satu hal yang patut kau ketahui, ia memang seorang yang memiliki ilmu iblis,” sahut seorang kawannya.

Untara mengangguk-angguk. Kedua kawannya itupun kemudian menceritakan apa yang mereka ketahui tentang orang yang bernama Wiladipa. Namun tidak banyak yang dapat memberikan petunjuk tentang tingkah laku orang itu.

Akhirnya Untara justru berkata, “Aku akan menemuinya.”

Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Dengan nada heran seorang di antara mereka bertanya, “Apa yang akan kau lakukan?”

“Sekedar memperkenalkan diri,” jawab Untara.

“Kau kira bahwa ia tidak akan dapat menangkap maksud kedatanganmu? Kau adalah utusan dari Panembahan Senapati. Bukankah sudah jelas, bahwa kau tentu bermaksud untuk mengetahui sikapnya terhadap Mataram?” sahut salah seorang kawannya itu.

“Aku akan berterus terang. Aku akan mempertanyakan maksudnya atas sikapnya terhadap Mataram,” jawab Untara.

“Kau memang gila,” geram salah seorang kawannya yang lain, “dengan cara yang aneh kau berhasil menghadap Sultan Pajang saat itu. Sekarang kau akan bertemu dengan Ki Tumenggung Wiladipa untuk mempertanyakan tugas-tugasnya yang rahasia, yang tidak banyak diketahui orang. Apakah kau kira ia akan mengatakan sesuatu kepadamu?”

“Tentu tidak. Tetapi dengan demikian aku akan sempat berbicara dengan orang itu dan mengenalinya lebih dalam. Menilik sikap, kata-kata yang dipilihnya untuk menyatakan perasaannya, aku akan dapat menjajagi wataknya,” berkata Untara.

“Tetapi kau tahu, bahwa dengan demikian kau telah menempatkan dirimu di tempat yang paling gawat sekarang ini di Pajang,” berkata kawannya, pemilik rumah itu. Lalu, “Tetapi apakah memang demikian perintah Panembahan Senapati?”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Perintah Panembahan Senapati adalah, bahwa aku harus menghadap Kanjeng Adipati untuk mempertanyakan pusaka-pusaka yang akan dibawa ke Mataram. Memang hanya itu. Tetapi aku sendiri berniat untuk bertemu dengan Ki Wiladipa.”

“Kau masih saja seperti dahulu,” desis seorang kawannya, “tetapi jika kau memang berniat demikian, hubungi kami setiap saat. Beritahukan saat keberangkatanmu. Jika pada waktu tertentu kau belum kembali, maka kami akan berbuat sesuatu.”

“Terima kasih. Tetapi kalian jangan terlalu jauh melibatkan diri dalam persoalan ini. Jika kalian melawan pasukan khusus itu, maka kalian akan dapat dituduh memberontak terhadap kuasa Kanjeng Adipati di Pajang, sehingga akan menumbuhkan akibat yang kurang baik. Seandainya kalian, seluruh pasukan berkuda, menentukan sikap, didukung oleh para Wira Tamtama yang memang berasal dari Pajang seluruhnya, maka kalian tidak banyak menemui kesulitan. Tetapi apakah semua orang dalam lingkungan pasukan berkuda dan prajurit Pajang bersikap sebagaimana sikap kalian?” bertanya Untara.

Kawan-kawan Untara itu termangu-mangu. Namun salah seorang kemudian berkata, “Menurut pendapatku, prajurit-prajurit Pajang akan bersikap sebagaimana sikap kami. Setidak-tidaknya sebagian besar.”

“Jangan melakukannya,” sahut Untara, “aku mengucapkan terima kasih. Tetapi biarlah segala sesuatunya aku lakukan atas nama senapati pasukan Mataram di Jati Anom.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun kemudian pemilik rumah itu berkata, “Lakukanlah. Tetapi biarlah kami melakukan yang mungkin kami lakukan.”

Untara memandang wajah kawannya sejenak. Dengan nada dalam ia berkata, “Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. Tetapi sebenarnyalah aku tidak ingin membuat kedudukan kalian menjadi bertambah sulit.”

Kawannya itu tersenyum. Katanya, “Orang-orang Demak itupun harus membuat pertimbangan semasak-masaknya jika mereka ingin berbuat sesuatu atas kami. Justru karena kami berada di kampung halaman kami sendiri.”

Untara tidak menjawab lagi. Tetapi ia memang bertekad untuk bertemu dan berbicara langsung dengan Ki Tumenggung Wiladipa atas tanggung jawabnya sendiri, setelah kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh Panembahan Senapati diselesaikannya. Karena sebenarnyalah kedatangannya di Pajang itu lebih banyak untuk mengetahui serba sedikit tentang Ki Tumenggung Wiladipa dan kekuatan Demak di Pajang.

Untuk beberapa saat Untara masih berbincang dengan kawan-kawannya yang sudah lama tidak bertemu. Namun percakapan mereka pun kemudian sudah bergeser dari persoalan Wiladipa kepada persoalan-persoalan yang lebih ringan dalam tugas mereka sehari-hari, meskipun setiap kali mereka masih juga menyentuh hadirnya sekelompok orang-orang Demak di Pajang atas kehendak Kanjeng Adipati, namun yang kemudian justru telah melingkari kuasa Kanjeng Adipati itu sendiri.

Demikianlah, seperti yang diperintahkan oleh Kanjeng Adipati, maka Untara telah bermalam di rumah kawannya itu semalam. Ternyata yang datang menemuinya sepeninggal kedua orang perwira pasukan berkuda itu, masih ada beberapa orang lagi bekas kawan-kawannya. Mereka semula memang menganggap Untara sebagai seorang senapati yang tidak menepati tugas kesatrianya karena ia berpihak kepada Mataram. Namun akhirnya mereka pun tahu, bahwa sebelum pecah perang antara Mataram dan Pajang pada waktu itu, Untara berhasil menemui Kanjeng Sultan Hadiwijaya dengan cara yang tidak sewajarnya dan menerima petunjuk-petunjuk, bahkan perintah-perintah, meskipun tidak dengan langsung.

Menjelang pagi hari, Untara sudah siap. Rasa-rasanya ia menjadi gelisah. Sementara Sabungsari tidak banyak memberikan pertimbangan dan pendapatnya. Ia tidak terlalu banyak mengetahui persoalannya, meskipun Untara telah memberitahukan beberapa hal tentang rencana mereka selama berada di Pajang. Tetapi Sabungsari lebih banyak mempersiapkan diri untuk menerima perintah, apa yang harus dilakukannya.

Namun dalam pada itu, kawannya pemilik rumah itu yang belum mandi menegurnya sambil tertawa, “Kita pergi ke istana setelah matahari mulai naik. Sekarang Kanjeng Adipati tentu masih belum bangun.”

Untara mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, “Tentu tidak. Kanjeng Adipati tentu sudah bangun. Tentu menjadi kebiasaannya untuk berada di dalam sanggarnya beberapa saat lamanya, agar ia tetap pada tingkatan dan ketrampilan ilmunya. Bahkan semakin meningkat. Kaulah yang sangat malas dan baru bangun pada saat matahari sepenggalah. He, apakah kau tidak pergi kebarak pasukan berkuda?”

“Tidak,” jawab kawannya “hari ini aku minta ijin untuk mengantar seorang tamu dari Mataram menghadap Kanjeng Adipati.”

Untara pun tertawa. Ketika ia berpaling kepada Sabungsari yang juga sudah siap, dilihatnya anak muda itupun tertawa pula.

Namun ternyata kawan Untara itu dengan cepat mempersiapkan diri. Setelah makan pagi, maka mereka pun segera berangkat ke istana.

Tetapi demikian mereka keluar regol halaman rumah kawan Untara itu, dilihatnya dua orang penunggang kuda mendekatinya. Ternyata keduanya adalah kawan Untara yang di hari sebelumnya juga sudah datang mengunjunginya.

“Kalian pergi ke istana sepagi ini?” bertanya salah seorang dari para perwira yang datang berkuda itu.

“Ya. Mudah-mudahan Kanjeng Adipati belum terlalu sibuk,” jawab Untara.

“Baiklah. Kami akan mengikuti perkembangan tugasmu,” berkata perwira itu.

Untara tidak dapat mencegah mereka. Namun demikian ia menjawab, “Terima kasih. Tetapi bukan maksudku untuk melibatkan kalian ke dalam persoalan ini.”

“Memang bukan maksudmu. Tetapi kami sendirilah yang telah melibatkan diri meskipun hanya sangat terbatas,” jawab perwira itu. Lalu, “Nah, pergilah. Agaknya Kanjeng Adipati pun sudah siap menerima kalian. Menurut pendengaranku, semalam Kanjeng Adipati telah memanggil beberapa orang pemimpin Kadipaten Pajang serta para penasehatnya. Mereka tentu membicarakan persoalan yang kau bawa dari Mataram.”

Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan aku berhasil, sehingga persoalan antara Mataram dan Pajang dapat dibatasi.”

“Mudah-mudahan,” jawab perwira itu, “dengan demikian maka tidak akan timbul benturan kekerasan sebagaimana yang pernah terjadi di Prambanan. Untung sekali saat itu aku tidak berada di satu medan dengan kau, sehingga aku masih tetap hidup sampai sekarang.” 

Untara tertawa. Katanya, “Bagaimana jika akan terjadi lagi benturan kekuatan di Prambanan?”

Kawannya pun tertawa pula. Katanya, “Pergilah. Mudah-mudahan kau dapat segera diterima Kanjeng Adipati.”

Untara pun kemudian melanjutkan perjalanannya. Memang tidak terlalu jauh. Tetapi Untara dan kawannya bersama Sabungsari sengaja tidak mempergunakan kuda. Meskipun demikian, mereka telah mengenakan pakaian kelengkapan seorang senapati pada tingkat mereka masing-masing.

Meskipun pakaian prajurit Mataram dan Pajang itu hampir serupa, namun ada juga orang-orang Pajang yang dapat mengenalinya, sehingga beberapa orang agaknya telah tertarik perhatiannya kepada dua orang prajurit Mataram yang berada di Pajang itu.

Ketika keduanya sampai di istana, maka yang terjadi adalah berbeda dengan dugaan Untara maupun kawannya, perwira dari pasukan berkuda di Pajang. Para penjaga dengan ramah telah mempersilahkan Untara untuk langsung menghadap ke Paseban Dalam.

“Seorang Pelayan Dalam akan mengaturnya,” berkata seorang petugas di gardu penjagaan.

Perwira dari pasukan berkuda Pajang serta Untara dan Sabungsari justru merasa heran. Tetapi mereka pun kemudian melangkah menuju ke Paseban Dalam.

Sebagaimana dikatakan oleh penjaga di gardu penjagaan, maka seorang Pelayan Dalam telah menunggunya. Demikian ketiga orang itu datang, maka Pelayan Dalam itu pun menyampaikannya kepada Kanjeng Adipati, yang berada di ruang penghadapan khusus. Di Paseban Dalam.

“Silahkan,” berkata Pelayan Dalam itu kemudian, “Kanjeng Adipati sudah siap menerima kedatangan kalian.”

“Terima kasih,” jawab Untara.

Dengan hati yang berdebar-debar Untara memasuki ruangan. Ternyata ada orang lain di Paseban Dalam itu.

Jantung Untara terasa berdentangan ketika perwira Pajang itu berbisik lirih d itelinganya, “Itulah Ki Tumenggung Wiladipa.”

Tetapi Untara tidak menyahut. Mereka menjadi semakin dekat di hadapan Kanjeng Adipati. Beberapa jengkal kemudian, maka mereka pun segera duduk dengan kepala tunduk.

“Selamat pagi Untara,” berkata Kanjeng Adipati yang menyapanya.

“Hamba, Kanjeng Adipati,” jawab Untara, “oleh restu Kanjeng Adipati, hamba dan kawan dalam keadaan selamat.”

“Marilah. Mendekatlah. Jangan seperti orang lain,” berkata Kanjeng Adipati.

Untara termangu-mangu. Namun iapun telah bergeser maju selangkah.

“Untara,” berkata Kanjeng Adipati kemudian, “ternyata kau memenuhi permintaanku untuk tinggal semalam di Pajang ini.”

“Hamba, Kanjeng Adipati. Hamba memang merasa sebagaimana hamba di rumah sendiri. Apalagi Pajang dan tempat tinggal hamba hanya berjarak beberapa ribu tonggak saja, sehingga seolah-olah hamba masih berada di sebelah padukuhan hamba,” jawab Untara.

Kanjeng Adipati tersenyum. Katanya, “Sejak semula kau memang orang Pajang meskipun kau tinggal di Jati Anom. Apalagi kau memang berasal dari tempat itu.”

“Hamba, Kanjeng Adipati,” sahut Untara.

Kanjeng Adipati mengangguk-angguk. Namun hampir di luar sadarnya ia berpaling ke arah Ki Tumenggung Wiladipa. Sabungsari yang duduk agak di belakang Untara melihat Ki Wiladipa itu mengangguk kecil.

“Untara,” berkata Kanjeng Adipati, “sebenarnya sikapmu terhadap Pajang dan Mataram terasa sangat menarik. Banyak orang yang tidak mengerti caramu berpikir. Kenapa tiba-tiba saja kau berpihak kepada Mataram pada saat Pajang dan Mataram terlibat ke dalam benturan kekerasan.”

Wajah Untara menjadi tegang. Sekilas ia mengangkat wajahnya. Dipandanginya Kanjeng Adipati dan Ki Tumenggung Wiladipa berganti-ganti. Namun iapun kemudian telah menundukkan wajahnya kembali. Namun dengan nada dalam ia menjawab, “Kanjeng Adipati. Apakah pertanyaan itu penting bagi Kanjeng Adipati?”

“Memang tidak terlalu penting Untara,” jawab Kanjeng Adipati Pajang, “tetapi aku hanya ingin menempatkanmu pada kedudukan yang sebenarnya. Tempatmu sebenarnya bukan Mataram, tetapi Pajang.”

“Apakah maksud Kanjeng Adipati agar aku meninggalkan Mataram dan berada di Pajang?” bertanya Untara. “Aku hanya sekedar mengingatkan bahwa kau sejak semula adalah seorang perwira Pajang. Kau adalah senapati yang mendapat kekuasaan di daerah selatan, justru di antara Pajang dan Mataram. Jika kau kembali kepada kedudukanmu yang semula, maka kau tentu akan mendapat tempat yang lebih baik dari sekedar senapati di Jati Anom,” berkata Kanjeng Adipati Pajang. Lalu, “Nah, pikirkan. Apakah yang kau dapatkan dari Mataram, setelah dengan mati-matian kau membantu Mataram menghadapi Pajang.”

“Ampun Kanjeng Adipati. Hamba mohon Kanjeng Adipati tidak mempersoalkan lagi langkah-langkah yang telah hamba ambil pada saat Mataram bertentangan dengan Pajang pada saat itu, karena langkah-langkah hamba telah hamba pertanggungjawabkan kepada Kanjeng Sultan pribadi,” jawab Untara.

“Kanjeng Sultan pribadi?” bertanya Kanjeng Adipati.

“Ya. Tidak banyak orang yang mengetahuinya. Tetapi beberapa orang perwira telah mengerti, apa yang sebenarnya terjadi,” jawab Untara.

“Aku minta kau menjelaskannya,” berkata Kanjeng Adipati Pajang.

Tetapi Untara menjawab, “Hamba berkeberatan Kanjeng Adipati, karena bukan itulah tugas hamba sekarang. Hamba adalah utusan Panembahan Senapati dengan tugas tertentu. Karena itu, justru hamba-lah yang memohon kepada Kanjeng Adipati, bagaimanakah jawab dari pesan Panembahan Senapati yang sudah hamba sampaikan.”

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Tumenggung Wiladipa telah memotong pembicaraan itu, “Ki Untara, Senapati Agung yang namanya dikenal sampai di seluruh negeri. Maksud Kanjeng Adipati adalah justru baik. Kanjeng Adipati ingin menempatkan Ki Untara pada tempat yang sewajarnya. Sudah tentu bukan maksudnya untuk melawan Mataram, karena memang tidak ada niat Pajang untuk melawan Mataram. Jika Ki Untara kemudian berada di Pajang dalam urutan jalur tata keprajuritan, bukankah berarti bahwa Ki Untara tetap berada dalam lingkungan kekuatan Mataram juga? Karena Pajang mengakui kuasa Mataram sebagai satu-satunya pimpinan dan pengendali pemerintahan.”

Untara mengerutkan keningnya. Namun ternyata Untara justru bertanya, “Ampun Kanjeng Adipati, apakah hamba boleh mengetahui, siapakah Ki Sanak yang telah ikut dalam pembicaraan ini atas perkenan Kanjeng Adipati?”

“O,” Kanjeng Adipati terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun iapun kemudian dengan serta merta menjawab, “Ia adalah Ki Tumenggung Wiladipa.”

Untara mengangguk-angguk. Kemudian iapun bertanya lagi, “Ampun Kanjeng Adipati. Selama hamba berada di Pajang, hamba belum pernah mengenal Ki Tumenggung Wiladipa. Apakah Ki Tumenggung termasuk orang baru di Pajang, untuk mengisi kekosongan beberapa jabatan setelah Pajang pecah, bahkan ada sepasukan prajurit yang meninggalkan Pajang melingkari daerah yang jauh, dan akhirnya menuju ke Tanah Perdikan Menoreh? Namun yang kebetulan justru telah dihancurkan di Tanah Perdikan Menoreh oleh kekuatan yang ada di sana?”

Kanjeng Adipati mengerutkan keningnya. Namun selagi Kanjeng Adipati masih termangu-mangu, maka Untara berkata selanjutnya, “Prajurit-prajurit itu adalah prajurit Pajang yang tidak mau menerima kenyataan tentang hadirnya Mataram yang diakui sendiri oleh Sultan Hadiwijaya di Pajang pada waktu itu. Dengan perasaan dengki tanpa menghiraukan uluran tangan persahabatan Panembahan Senapati atas semua kekuatan yang ada di Pajang, sekelompok prajurit itu telah melawan Mataram dengan kekerasan. Menurut dugaan hamba, mereka adalah orang-orang yang langsung berada di bawah pengaruh orang yang menamakan diri Kakang Panji.”

Sejenak suasana menjadi hening. Namun terasa ketegangan mulai merayapi jantung masing-masing. Sementara itu, maka Kanjeng Adipati pun berkata, “Aku tidak berbicara tentang sikap prajurit-prajurit itu. Aku ingin berbicara tentang kau.”

“Hamba bertanya tentang Ki Tumenggung Wiladipa, Kanjeng Adipati. Ampun, jika hamba ingin mengenalnya, karena baru sekarang hamba langsung berhubungan,” jawab Untara. Lalu, “Meskipun demikian, ketika hamba masih berada di Pajang, agaknya hamba memang pernah mendengar nama Ki Wiladipa, sebagai seorang perwira di Demak. Tetapi apakah nama itu juga nama Ki Sanak yang sekarang berada di sini?”

Wajah Ki Wiladipa menjadi merah. Namun kemudian iapun tersenyum. Katanya, “Kau benar Ki Sanak. Aku memang seorang prajurit Demak pada waktu itu. Tetapi bukankah wajar sekali jika terjadi perpindahan tugas di antara para prajurit dari kadipaten yang satu ke kadipaten yang lain?”

Tetapi sikap Untara memang terasa aneh bagi Ki Tumenggung. Ia tidak menanggapi kata-kata Ki Tumenggung. Tetapi ia bertanya kepada Kanjeng Adipati, “Apakah para prajurit Demak memang jauh lebih baik dari prajurit Pajang sendiri?”

Tetapi pertanyaan Untara itu telah menyinggung perasaan, bukan saja Ki Tumenggung Wiladipa, tetapi juga Kanjeng Adipati Pajang. Namun mereka harus tetap menyadari, bahwa yang berada di hadapan mereka itu adalah utusan Panembahan Senapati, yang telah mengambil alih pimpinan pemerintahan dari Pajang ke Mataram. Betapapun mereka tidak mau menerima hal itu, tetapi telah merupakan kenyataan bahwa Mataram telah memimpin lingkungan yang semula berada di bawah kekuasaan Pajang, meskipun ada beberapa daerah yang ternyata tidak ikhlas, sebagaimana Pajang sendiri.

Tetapi untuk bersikap menentang dengan terus-terang, mereka yang tidak ingin melihat Mataram benar-benar menjadi besar masih harus berpikir dua tiga kali. Mereka harus benar-benar mempersiapkan diri. Mataram bagi mereka masih tetap merupakan satu rahasia. Apakah benar Mataram memiliki kekuatan sebagaimana mereka bayangkan, atau Mataram sebenarnya sangat lemah, tetapi karena kecakapan Panembahan Senapati mengatur prajurit-prajuritnya yang sedikit, maka seolah-olah Mataram kelihatan sebagai satu pusat pemerintahan yang kuat dan kokoh.

Namun dalam pada itu, Ki Wiladipa yang hampir tidak dapat menguasai dirinya telah menjawab mendahului Kanjeng Adipati, “Ki Sanak. Kami menghormati Ki Sanak sebagai utusan Panembahan Senapati. Namun itu bukan berarti bahwa Ki Sanak dapat menghina kami, para pemimpin di Pajang.”

Untara tidak menjawab. Tetapi seakan-akan ia tidak mendengar kata-kata Ki Tumenggung. Dengan sikap yang nampak bersungguh-sungguh Untara tetap menunggu titah Kanjeng Adipati Pajang.

Baru sejenak kemudian Adipati Pajang berkata, “Untara, pertanyaanmu aneh. Tetapi biarlah aku tidak menjawabnya, karena itu adalah masalahku. Apakah aku akan memanggil orang-orang dari Demak, atau dari Jipang yang tentu saja atas ijin Adimas Pangeran Benawa, atau bahkan dari Madiun atau Ponorogo sekalipun, kau tidak mempunyai persoalan apapun juga. Persoalannya adalah persoalanku dengan para adipati di tempat-tempat itu.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Hamba, Kanjeng Adipati. Hamba mohon maaf. Namun justru ada masalah yang khusus yang mendorong hamba untuk mempertanyakannya.”

“Bukankah kau diutus untuk mempertanyakan pusaka-pusaka yang tersimpan di gedung perbendaharaan Pajang?” bertanya Kanjeng Adipati.

Untara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Hamba, Kangjeng Adipati. Hamba memang mendapat tugas untuk mempertanyakan pusaka-pusaka itu. Apakah pusaka-pusaka itu sudah siap untuk dibawa ke Mataram.”

“Baiklah kita membatasi pembicaraan kita,” berkata Kanjeng Adipati.

Untara mengerutkan keningnya. Tetapi untuk sementara ia tidak dapat mengelak. Karena itu, maka iapun justru bertanya, “Apakah Kanjeng Adipati sudah mengambil keputusan?”

“Ya. Aku sudah membicarakan dengan para pemimpin di Pajang. Apakah yang paling baik kami lakukan,” berkata Kanjeng Adipati.

Untara menjadi berdebar-debar. Namun kemudian iapun bertanya, “Jika demikian, apakah titah Kanjeng Adipati tentang pusaka-pusaka itu?”

“Untara,” suara Kangjeng Adipati merendah, “bukan maksud kami menentang kehendak Kakangmas Panembahan Senapati. Tetapi menurut keputusan para sesepuh di Pajang, maka sebaiknya pusaka-pusaka itu untuk sementara biarlah tetap berada di Pajang.”

Wajah Untara menegang. Dengan nada dalam ia bertanya, “Apakah itu sudah merupakan keputusan Kanjeng Adipati, atau sekedar pertimbangan para sesepuh yang masih akan dipertimbangkan oleh Kanjeng Adipati?”

“Itu sudah merupakan keputusan para sesepuh,” jawab Kanjeng Adipati.

“Ampun Kanjeng Adipati,” sahut Untara, “yang hamba tanyakan adalah keputusan Kanjeng Adipati. Bukan keputusan para sesepuh. Karena sebenarnya-lah para sesepuh hanya dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan. Tetapi keputusan dan pertanggungan jawabnya ada di tangan Kanjeng Adipati.”

Wajah Kanjeng Adipati menjadi tegang. Di luar sadarnya Kanjeng Adipati memandang ke arah Ki Tumenggung Wiladipa.

“Ki Untara,” Ki Tumenggung Wiladipa tiba-tiba saja telah menyahut pembicaraan itu, “Kanjeng Adipati di Pajang adalah seorang yang memiliki pandangan yang luas. Karena itu, maka keputusan-keputusan penting yang diambilnya, sebelumnya telah dibicarakan dalam lingkungan yang meskipun terbatas tetapi meliputi beberapa orang yang mewakili lingkungan yang berbeda-beda.”

Namun Untara segera memotong, yang justru bertanya kepada Kanjeng Adipati, “Ampun Kanjeng Adipati. Hamba menunggu titah Kanjeng Adipati, apakah yang harus hamba sampaikan kepada Panembahan Senapati? Sudah barang tentu, yang harus hamba sampaikan itu merupakan jawaban dari Kanjeng Adipati dan di bawah tanggung jawab Kanjeng Adipati.”

Betapa jantung Ki Tumenggung Wiladipa bergejolak. Hampir saja ia kehilangan kesabaran, seandainya Kanjeng Adipati tidak segera menjawab, “Baiklah Untara. Sampaikan kepada Kakangmas Panembahan Senapati. Untuk sementara biarlah pusaka-pusaka itu tetap berada di gedung perbendaharaan di Pajang, sampai saatnya nanti akan aku sampaikan kepada Kakangmas Panembahan Senapati untuk mengambil pusaka-pusaka itu.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sudah mengira bahwa jawaban itulah yang akan didengarnya. Sebenarnya Untara sama sekali tidak terkejut mendengarnya. Namun desakan keinginannya untuk menghubungkan persoalan itu dengan kehadiran Ki Tumenggung Wiladipa ternyata tidak dapat ditahannya.

Karena itulah, maka iapun kemudian bertanya, “Ampun Kanjeng Adipati. Apakah langkah yang diambil oleh Kanjeng Adipati ini sudah diperhitungkan, sejalan dengan tingkah laku beberapa orang petugas sandi dari Pajang?”

Kanjeng Adipati mengerutkan keningnya. Ia merasa heran mendengar pertanyaan Untara itu. Dengan ragu-ragu iapun bertanya, “Apakah yang kau maksud Untara? Apa yang telah dilakukan oleh para petugas sandi dari Pajang?”

Namun sebelum Untara menjawab, Ki Tumenggung Wiladipa telah mendahului, “Ampun Kanjeng Adipati. Sebaiknya Kanjeng Adipati membatasi pembicaraan ini pada pokok persoalannya.”

“Ya,” berkata Kanjeng Adipati, “aku memang membatasi pembicaraan ini pada pusaka-pusaka itu. Dan aku sudah memberikan jawaban.”

“Hamba tahu Kanjeng Adipati,” sahut Untara, “tetapi persoalan pusaka itu bukan sekedar kita lihat pada permukaannya. Jika kita menjajagi sebuah kedung, maka kita tidak cukup melihat wajah air kedung itu. Tetapi kita harus mencoba menceburkan batu, atau mempergunakan galah yang panjang, atau dengan cara-cara lain.”

“Sudahlah Untara,” berkata Kanjeng Adipati, “persoalan yang menyangkut keputusan itu, latar belakangnya, dengan siapa aku berbicara dan alasan-alasannya, tidak perlu kau ketahui. Yang penting, kau sebagai seorang utusan sudah melakukan tugasmu dengan baik. Kau sudah berhasil menemui aku, orang yang memang harus kau temui. Dan kau pun telah mendengar jawabku.”

“Ampun Kanjeng Adipati. Baiklah, hamba memang sudah menerima jawaban untuk hamba sampaikan kepada Panembahan Senapati,” berkata Untara kemudian, “tetapi biarlah hamba memberitahukan, bahwa Mataram telah menangkap beberapa orang petugas sandi dari Pajang yang sedang mengamati dan menghitung kekuatan Mataram sekarang ini. Mungkin para petugas sandi itu telah memberikan laporan yang salah kepada Kanjeng Adipati, seolah-olah Mataram tidak memiliki kekuatan sama sekali, sehingga Pajang sempat mengambil keputusan untuk menunda penyerahan pusaka-pusaka itu.”

“Untara!” Ki Tumenggung Wiladipa yang telah kehilangan kesabaran justru membentak, “Kau mulai mengancam? Kau kira Kanjeng Adipati itu apa? Kau kira Kanjeng Adipati Pajang dapat ditakut-takuti, sehingga membatalkan keputusan yang sudah diambil oleh orang-orang tua?”

Untara sama sekali tidak menanggapinya. Bahkan berpalingpun tidak.

“Untara,” Kanjeng Adipati-lah yang kemudian berkata dengan nada yang mulai keras, “apakah kau dengar pernyataan Ki Tumenggung Wiladipa?”

Untara mengangkat wajahnya. Katanya, “Apakah juga demikian pernyataan Kanjeng Adipati? Yang ingin hamba dengar adalah kenyataan tentang para petugas sandi itu dari Kanjeng Adipati sendiri. Jika memang Kanjeng Adipati yang mengirimkannya, maka sikap kami akan berbeda. Mungkin Kanjeng Adipati hanya sekedar ingin tahu sebagai bahan perbandingan dengan prajurit Pajang. Tetapi jika hal itu dilakukan di luar pengetahuan Kanjeng Adipati, maka hamba mohon Kanjeng Adipati mempertimbangkannya.”

“Cukup!” Ki Tumenggung Wiladipa-lah yang membentak.

Tetapi sebagaimana sebelumnya, Untara sama sekali tidak menanggapinya.

Jantung Ki Tumenggung Wiladipa rasa-rasanya bagaikan akan meledak oleh kemarahan yang menghentak-hentak. Kanjeng Adipati sendiri nampaknya memang sudah menjadi marah. Tetapi pernyataan Untara tentang petugas-petugas sandi itu sangat menarik perhatiannya. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Untara. Apakah kau sedang bermimpi atau sedang berusaha memfitnah aku? Kau jangan mengigau tentang petugas-petugas sandi, yang sebagaimana kau sebut, sedang mengamati Mataram. Apa kepentinganku dengan Mataram?”

Dan Untara yang juga sudah terlanjur digulung oleh perasaannya itu menjawab, “Bukankah untuk mengambil satu keputusan, bahwa Pajang mempertahankan pusaka-pusaka yang seharusnya dipindahkan ke gedung perbendaharaan di Mataram, setelah bangsal pusaka di Mataram itu selesai dibangun, harus didukung oleh satu persiapan kewadagan?”

Ki Tumenggung Wiladipa benar-benar tidak dapat menahan diri. Beberapa langkah ia beringsut mendekati Kanjeng Adipati. Katanya, “Ampun Kanjeng Adipati. Apakah ada perintah Kanjeng Adipati untuk mengusir orang ini?”

Wajah Kanjeng Adipati menjadi tegang. Namun ketika ia melihat pakaian Untara dan kelengkapan ke-senapatiannya, maka Kanjeng Adipati memang harus menahan diri.

Katanya, “Sudahlah Untara. Pembicaraan kita sudah selesai. Aku tidak mengusirmu. Tetapi jika kau masih ingin berbicara, maka aku ingin mengusulkan untuk dilakukan pada kesempatan lain. Karena tugas yang dibebankan kepadamu sebenarnyalah sudah selesai. Pembicaraan kita kemudian adalah pembicaraan di luar tugasmu sebagai utusan Kakangmas Panembahan Senapati. Karena itu, pembicaraan yang demikian tidak lagi pembicaraan antara utusan Panembahan Senapati dengan Adipati Pajang, tetapi pembicaraan antara Untara dengan Wirabumi.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu, bahwa Adipati Pajang itu sudah tidak dapat menahan diri lagi. Karena itu, maka iapun harus berusaha untuk mengekang diri. Bagaimanapun juga, ia hanyalah seorang utusan. Dan ia hanya berdua saja dengan Sabungsari, di antara orang-orang Pajang dan orang-orang Demak yang berada di Pajang.

Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Ampun Kanjeng Adipati. Jika demikian, maka hamba memang telah melanggar tugas dan wewenang hamba. Karena itu hamba mohon ampun yang sebesar-besarnya. Perkenankan hamba kemudian mohon diri untuk kembali ke Mataram membawa hasil tugas hamba. Namun sedikit yang ingin hamba sampaikan, bahwa setiap petugas sandi yang tertangkap di Mataram, mengatakan bahwa mereka mendapat perintah dari seorang senapati Demak yang bernama Ki Tumenggung Wiladipa.”

“Tutup mulutmu! Atau aku harus merobeknya?” bentak Ki Tumenggung Wiladipa sambil bergeser maju. Hampir saja ia meloncat menerkam Untara. Untunglah Ki Tumenggung masih menyadari, bahwa mereka berada di hadapan Kanjeng Adipati Pajang.

Suasana menjadi semakin tegang. Tetapi Untara masih saja dalam sikapnya. Meskipun Ki Tumenggung Wiladipa menjadi bagaikan terpanggang di atas api, serta siap untuk meloncat menerkamnya, namun Untara sama sekali tidak menanggapinya. Ia ingin melihat tanggapan Kanjeng Adipati atas pernyataannya itu.

Ternyata wajah Kanjeng Adipati pun nampak berkerut. Tetapi agaknya Kanjeng Adipati berusaha untuk menutup pembicaraan itu dengan keras. Katanya, “Untara. Aku peringatkan kau sekali lagi.”

“Hamba, Kanjeng Adipati,” jawab Untara, “hamba mohon maaf. Hamba hanya ingin Kanjeng Adipati mengetahuinya.”

“Cukup,” potong Kanjeng Adipati.

“Sudah lebih dari cukup,” jawab Untara. Lalu, “Kemudian perkenankanlah hamba mohon diri. Segala kesalahan hamba selama hamba menghadap, hamba mohon maaf yang sebesar-besarnya. Segala titah akan hamba sampaikan kepada Panembahan Senapati di Mataram.”

“Baiklah,” jawab Kanjeng Adipati sambil menahan gejolak di dalam dadanya, “Sungkemku kepada Kakangmas Panembahan Senapati.”

Demikianlah, maka Untara pun meninggalkan istana Kanjeng Adipati. Ia tidak langsung menuju ke Mataram Tetapi ia singgah di rumah sahabatnya.

Ternyata di rumah itu telah menunggu ampat orang perwira dari pasukan berkuda. Ketika keempat orang itu melihat kedatangan Untara, maka wajah mereka yang tegang pun menjadi kendor karenanya.

“Aku sudah cemas,” berkata salah seorang di antara mereka, “kalian terlalu lama di paseban.”

“Untara memang gila,” jawab sahabatnya yang memiliki rumah itu, “sama gilanya sebagaimana ia menembus para pengawal dan menghadap Kanjeng Sultan Hadiwijaya pada waktu itu.”

“Apa yang dilakukan?” bertanya salah seorang perwira itu.

Kawannya, pemilik rumah itu pun kemudian menceritakan apa yang telah dikatakan dan dilakukan oleh Untara di hadapan Kanjeng Adipati.

“Uh,” seorang di antara perwira itu menyahut, “kau mengandalkan perintah Panembahan Senapati.”

“Tidak,” jawab Untara, “tetapi aku tidak tahan melihat kegilaan Ki Tumenggung Wiladipa yang nampaknya lebih berkuasa dari Kanjeng Adipati sendiri.”

Tetapi para senapati dari pasukan berkuda itu menjadi cemas. Seorang di antara mereka berkata, “Untara. Kau harus berhati-hati. Wiladipa adalah iblis yang sangat licik. Ia memang berhasil mempengaruhi sikap dan jalan pikiran Kanjeng Adipati.” “Terima kasih,” berkata Untara, “tetapi kalian sudah mengetahui persoalannya. Jika aku tidak sampai ke Mataram, maka kalian dapat bercerita apa sebabnya.”

“Bagaimana aku tahu bahwa kau tidak sampai ke Mataram,” bertanya seorang di antara para perwira itu.

“Jika dalam tiga hari aku tidak mengirimkan utusan untuk menemui kalian, maka berarti bahwa aku tidak sampai ke Mataram,” berkata Untara.

“Siapa yang akan kau perintahkan untuk datang kemari?” bertanya kawan Untara, pemilik rumah itu.

“Seorang di antara para prajuritku yang sudah pernah mengenal tempat ini. Bukankah prajurit-prajuritku adalah prajurit Pajang pada mulanya?” sahut Untara.

Para perwira itu mengangguk-angguk. Tentu banyak di antara para perwira bawahan Untara yang telah mengenal rumah itu serta penghuninya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Untara pun telah minta diri. Ia tidak ingin menunda perjalanannya meskipun para perwira itu menahannya.

“Kembalilah besok atau malam nanti,” minta seorang di antara para perwira.

“Untuk menghindari kemarahan Ki Tumenggung Wiladipa?” bertanya Untara.

“Ya. Ia dapat saja mengirim orang untuk mencegat perjalananmu,” jawab salah seorang di antara para perwira itu.

“Sudah aku perhitungkan. Tetapi jalan ke Mataram tidak hanya satu,” jawab Untara.

Perwira-perwira yang tahu benar akan watak Untara itu tidak menahannya lebih lanjut. Namun mereka pun berpesan, agar Untara berhati-hati di perjalanan. Bagaimanapun juga Ki Tumenggung Wiladipa adalah orang yang sangat berbahaya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Untara pun telah meninggalkan rumah sahabatnya, diiringi oleh perasaan cemas dari para perwira dari pasukan berkuda. Mereka mulai membayangkan, sesuatu yang mungkin terjadi dengan Untara.

“Ia memang orang yang tingkah lakunya kadang-kadang tidak kita ketahui,” berkata salah seorang kawannya, “aku lebih banyak menyebutnya sebagai seorang yang nekad, daripada seorang pemberani.”

“Tetapi pengawalnya, anak muda itupun memiliki ketahanan jiwani yang sangat besar. Ia sama sekali tidak merasa cemas melihat tingkah laku Untara,” gumam seorang yang lain.

“Namanya Sabungsari,” sahut kawannya yang lain, “ia seorang perwira muda yang menurut pendengaranku adalah seorang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi, sebagaimana Untara sendiri. Bahkan secara pribadi, menurut pendengaranku, Sabungsari memiliki kelebihan dari Untara.”

Para perwira itu mengangguk-angguk. Namun mereka masih juga mencemaskan keselamatan Untara, meskipun ia adalah utusan Panembahan Senapati. Jika utusan itu tidak kembali, maka Panembahan Senapati memang akan dapat mengambil langkah-langkah tertentu. Namun agaknya pengaruh orang-orang yang menyatakan kesetiaannya kepada Kanjeng Adipati telah mencengkam kehidupan di lingkungan keprajuritan di Pajang. Hanya beberapa orang di antara mereka sajalah yang masih sempat untuk menilai keadaan dengan wajar, khususnya dari pasukan berkuda. Tetapi kekuatan pasukan berkuda dibandingkan dengan seluruh kekuatan Pajang, memang tidak terlalu besar.

Dalam pada itu, Untara dan Sabungsari telah berpacu meninggalkan rumah sahabatnya, seorang perwira dari pasukan berkuda. Mereka ingin segera menghadap Panembahan Senapati untuk menyampaikan hasil perjalanan mereka ke Pajang.

Namun ketika mereka sampai di regol dinding kota, para penjaga telah menghentikan mereka.

“Kalian akan pergi ke mana?” bertanya salah seorang di antara para prajurit yang menghentikannya.

Untara termangu-mangu. Dipandanginya beberapa prajurit yang lain. Agaknya penjaga di regol kota itu telah diperkuat. Ketika ia memasuki regol itu, prajurit yang bertugas tidak sebanyak itu.

Namun dalam pada itu Untara pun menyahut, “Kalian lihat pakaianku? Aku adalah prajurit Mataram. Karena itu maka kami akan kembali ke Mataram setelah mengemban perintah Panembahan Senapati.”

“Kalian harus menunggu di sini,” berkata prajurit yang bertugas itu.

“Menunggu apa?” bertanya Untara.

“Pemimpin kami baru pergi sebentar. Ia akan segera kembali. Semua prajurit dari luar Pajang yang akan keluar regol ini harus menemuinya dan menjawab beberapa pertanyaan,” berkata penjaga itu.

“Kapan ia kembali?” bertanya Untara.

“Aku tidak dapat mengatakannya. Tetapi ia akan segera kembali,” jawab penjaga itu.

“Apakah tidak ada orang lain yang dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan yang diperlukan?” bertanya Untara.

“Tidak. Harus pimpinan kami sendiri,” jawab penjaga itu.

“Aku tergesa-gesa. Aku harus segera menghadap Panembahan Senapati,” jawab Untara. Lalu, “Jika ada orang yang mewakilinya, aku tidak berkeberatan. Tetapi jika aku harus menunggu untuk waktu yang tidak ditentukan, aku minta maaf. Aku akan melanjutkan perjalanan.”

“Tidak. Kalian harus berhenti,” berkata prajurit yang bertugas itu dengan lantang.

Tetapi Untara memberi isyarat kepada Sabungsari agar mereka berjalan terus.

“Berhenti!” bentak prajurit yang bertugas, “Kami dapat memaksa kalian untuk berhenti.”

Beberapa orang prajurit segera bersiap dengan senjata masing-masing. Namun Untara tidak berhenti. Tetapi ia berkata, “Jika kalian ingin mempergunakan senjata, lakukanlah. Aku adalah utusan Panembahan Senapati. Penghinaan atau serangan wadag atas utusan Panembahan Senapati berarti menodai nama Panembahan Senapati itu sendiri. Dan kalian tahu, bahwa Pajang adalah wilayah Mataram sekarang ini.”

Ternyata kata-kata Untara itu menyentuh perasaan para prajurit yang berdiri termangu-mangu. Mereka tidak dapat dengan cepat mengambil sikap, sehingga dengan demikian maka kuda yang ditumpangi Untara dan Sabungsari telah meluncur semakin jauh.

Ketika para prajurit itu menyadarinya, mereka sudah terlambat. Bahkan seandainya mereka akan melontarkan anak panahnya, agaknya tidak akan dapat lagi mengenainya.

Dalam pada itu, Untara dan Sabungsari berpacu dengan kecepatan yang tinggi. Mereka melintasi jalan-jalan berbatu menjauhi Kota Raja Pajang, yang pernah menjadi pusat pemerintahan setelah runtuhnya Demak yang dikoyak oleh pertentangan di antara saudara sendiri.

Sementara itu, seorang perwira dengan wajah yang tegang tiba-tiba saja telah berdiri di antara para prajurit di regol. Dengan nada geram ia berkata, “Kalian memang kelinci-kelinci yang bodoh.”

Para prajurit itu tidak menjawab. Mereka hanya menundukkan kepalanya.

“Tetapi biarlah. Agaknya nasib kedua orang itu memang buruk. Mereka lebih senang mati di bulak-bulak panjang daripada di regol kota ini,” geram perwira itu.

Para prajurit itu mengerutkan keningnya. Tetapi tidak seorang pun yang bertanya.

Perwira itupun kemudian meninggalkan para prajurit itu diikuti oleh dua orang pengawalnya. Demikian ia meloncat ke punggung kudanya yang diikatnya di halaman rumah di sebelah regol itu, kuda itupun segera berlari.

Ternyata perwira itu dengan tergesa-gesa telah menemui Ki Tumenggung Wiladipa. Dilaporkannya apa yang telah terjadi. Para penjaga regol tidak mampu menghambat perjalanan Untara.

“Gila,” geram Ki Tumenggung, “aku ingin para penjaga itu menghambat beberapa saat, sehingga orang-orang yang aku pasang sudah siap di tempatnya.”

“Mereka tentu sudah siap,” berkata perwira itu, “agaknya Untara tidak langsung menuju ke Mataram ketika ia keluar dari istana. Agaknya ia singgah lebih dahulu di rumah kawan-kawannya. Karena itu ia baru saja keluar regol kota. Demikian ia meninggalkan para prajurit dungu di regol, aku langsung menuju kemari.”

“Jadi Untara belum lama keluar dari kota?” bertanya Ki Tumenggung.

“Belum. Sesaat sebelum aku sampai di sini” jawab perwira itu.

Ki Tumenggung Wiladipa mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku kira semuanya sudah siap, jalan manapun yang dipilihnya.”

“Tetapi apakah orang-orang yang Ki Tumenggung tugaskan itu cukup memadai?” bertanya perwira itu.

“Aku mampu memperhitungkan ilmu orang-orangku. Dan akupun telah mendengar apa yang dapat dilakukan oleh Untara sebagai seorang senapati. Ia memang memiliki kemampuan mengurai keadaan medan dan mengambil langkah tertentu yang kadang-kadang mengejutkan. Tetapi secara pribadi ia bukan orang yang pantas ditakuti,” jawab Ki Tumenggung. ”Karena itu, maka ia akan bertemu dengan beberapa orang penyamun. Untara harus mati, tetapi kawannya harus dibiarkan hidup, sehingga kawannya akan dapat membuat laporan tentang para penyamun itu.”

Perwira yang menghadap Ki Tumenggung itu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Ki Tumenggung. Ki Tumenggung berharap bahwa Sabungsari akan memberikan kesaksian bahwa keduanya telah disergap oleh sekelompok penyamun, yang kemudian telah membunuh Untara.

Tetapi perwira itu masih juga bertanya, “Tetapi Ki Tumenggung, apakah pengawal Untara itu tidak dapat menceritakan apa yang telah terjadi di Paseban Dalam itu?”

“Tidak apa-apa. Tetapi kenyataan yang dihadapinya adalah sekelompok penyamun telah menyamun mereka, dan dalam perkelahian dengan para penyamun itu Untara terbunuh,” jawab Ki Tumenggung. “Dengan demikian, maka satu di antara orang-orang yang paling buruk di Mataram telah mati. Sementara itu Panembahan Senapati tidak akan dapat dengan terang-terangan menuduh Pajang, karena yang membunuh Untara adalah penyamun-penyamun.”

Perwira itu tidak menjawab lagi. Berpegang pada kenyataan yang nampak, memang Mataram tidak akan dapat menuduh Pajang. Tetapi perwira itu yakin, bahwa Panembahan Senapati yang mendengar laporan Sabungsari dengan lengkap akan dapat mengurai persoalannya dan dengan yakin menuduh Pajang membunuh Untara dengan cara yang licik.

Sementara itu, Untara berpacu semakin lama semakin jauh dari Pajang. Beberapa bulak panjang telah dilaluinya. Namun seperti yang dikatakannya, jalan ke Mataram memang tidak hanya satu jalur. Dan Untara memilih jalan yang tidak biasa dilaluinya dan tidak terlalu ramai. Jalan itu bukan jalan yang baik meskipun tidak terlalu asing.

Ketika Untara dan Sabungsari telah menjadi semakin jauh, maka merekapun telah mengurangi kecepatan kuda mereka. Bahkan mereka sempat juga berbincang sambil melanjutkan perjalanan menuju ke Mataram.

“Apakah Ki Untara akan singgah di Jati Anom sebagaimana ketika kita berangkat ke Pajang?” bertanya Sabungsari.

Untara menggeleng. Jawabnya, “Tidak perlu. Aku ingin segera menghadap Panembahan Senapati dan menceriterakan tentang Pajang dalam keseluruhan.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Memang menghadap Panembahan Senapati itulah yang paling penting untuk dilakukan segera. Dengan demikian Mataram akan segera dapat mengambil langkah-langkah tertentu.

Namun dalam pada itu, ketika mereka mendekati sebuah tikungan, keduanya termangu-mangu. Di bawah sebatang pohon tanjung yang besar dan rimbun, beberapa orang yang bertingkah laku dan berujud kasar nampak bergerombol. Ada yang duduk, ada yang berjalan mondar-mandir sambil mengunyah makanan dan ada yang berdiri saja bersandar batang tanjung itu.

“Siapakah”mereka?” desis Untara.

“Entahlah,” berkata Sabungsari.

“Tetapi firasatku mengatakan, bahwa mereka bukan orang baik-baik,” berkata Untara selanjutnya.

Sabungsari mengangguk-angguk. Semakin dekat dengan tikungan itu, maka orang-orang itu pun menjadi semakin jelas. Dengan suara yang berat Sabungsari berkata, “Lima orang.”

Untara mengangguk. Katanya, “Ya. Lima orang. Bersiaplah Sabungsari. Mungkin ia merupakan rangkaian solah Ki Tumenggung Wiladipa.”

Sabungsari mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.

Sejenak kemudian, maka kuda-kuda mereka pun telah berada beberapa langkah saja dari tikungan itu. Dua orang di antara kelima orang kasar itu meloncat ke tengah jalan yang tidak begitu lebar dan memberi isyarat agar kedua ekor kuda itu berhenti.

Namun Untara dan Sabungsari memang sudah memperlambat laju kuda mereka.

“Berhentilah Ki Sanak,” berkata salah seorang di antara orang-orang kasar itu.

Untara dan Sabungsari pun kemudian berhenti pula. Bahkan keduanya telah meloncat turun. Sementara orang-orang kasar yang lain pun telah berada di tengah-tengah jalan pula.

“Siapakah kalian berdua?” bertanya salah seorang di antara orang-orang kasar itu. “Menilik pakaian kalian, maka kalian bukannya orang kebanyakan. Kalian tentu dua orang prajurit. Tetapi bukan prajurit Pajang.”

“Kami prajurit dari Mataram,” jawab Untara.

“Pantas,” desis orang kasar itu yang lain, “sikap kalian menunjukkan bahwa kalian adalah prajurit pilihan. Apalagi prajurit pilihan dari Mataram.”

“Apa maksud Ki Sanak menghentikan kami berdua?” bertanya Untara.

“Maaf Ki Sanak. Terus terang, kami memerlukan bantuan Ki Sanak. Panen di padukuhan kami tidak dapat dipetik sebagaimana seharusnya. Ada sejenis belalang yang menjadi hama di sawah-sawah kami.”

“Bantuan apakah yang kalian maksud?” bertanya Untara.

“Kalian adalah prajurit yang tentu bukan prajurit bawahan. Kalian tentu perwira yang berkedudukan tinggi, sehingga kalian akan dapat memberikan apa saja yang pantas bagi kami,” jawab orang kasar itu.

“Uang maksudmu?” bertanya Untara yang mulai dapat menanggapi peristiwa yang dihadapinya.

“Ya uang. Tetapi juga timang kalian yang tentu terbuat dari emas dengan tretes berlian. Pendok keris kalian yang dibuat dari emas dan barangkali perhiasan-perhiasan lain,” jawab orang kasar itu.

Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi kalian hanya membutuhkan benda-benda itu?”

“Ya. Jika kau berkeberatan memberikannya, maka kalian akan aku bunuh di sini,” geram orang kasar itu.

Adalah di luar dugaan sama sekali. Bukan saja orang-orang kasar itu yang terkejut dan bahkan menjadi bingung. Tetapi Sabungsari pun tidak segera menangkap maksud Untara yang menjawab, “Baiklah. Ambil semua itu.”

Wajah-wajah menjadi tegang. Namun Untara justru tersenyum. Dipandanginya orang-orang kasar yang kebingungan itu sambil berkata, “Ambillah. Dan sesudah itu beri kesempatan kami berlalu.”

Sejenak orang-orang kasar itu termangu-mangu. Namun kemudian ia berteriak, “Tidak. Kalian harus meninggalkan kuda-kuda kalian. Kami memerlukannya.”

Untara mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Baiklah. Marilah Sabungsari. Kita serahkan semua yang dimintanya. Kita akan segera meninggalkan tempat ini dengan berjalan kaki. Biarlah barang-barang kita mereka ambil, asal jiwa kita mereka ampuni.”

Kuping Sabungsari bagaikan tersentuh api mendengar kata-kata Untara itu. Namun sebelum ia sempat berbuat sesuatu, terdengar orang kasar itu berteriak, “Tidak! Kalian gila! Kalian tidak akan meninggalkan tempat ini. Terutama Untara. Kami harus membunuhnya.”

Untara mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa. Katanya, “Nah, itulah yang ingin aku dengar. Jadi yang kalian kehendaki tentu bukan sekedar pendok emas, timang tretes berlian dan kuda-kuda yang tegar. Yang ingin kalian lakukan sebenarnya adalah membunuh kami. Setidak-tidaknya membunuh aku.”

Wajah orang-orang kasar itu menjadi tegang. Namun sementara itu Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Baru ia sadar apa yang dihadapinya. Ia tahu betul maksud Untara yang ternyata telah berhasil memancing niat orang-orang kasar itu yang sebenarnya. Mereka memang tidak sekedar ingin harta benda, tetapi mereka inginkan nyawa Untara.

“Tentu ada yang menggerakkan mereka,” berkata Sabungsari di dalam hatinya, “meskipun yang nampak di mata kami adalah perampok-perampok, tetapi mereka tentu mempunyai hubungan dengan Ki Tumenggung Wiladipa, sebagaimana orang-orang yang tertangkap dalam tugas sandinya di sekitar Mataram.”

Sementara itu Untara berkata selanjutnya, “Nah, Ki Sanak. Setelah kami tahu apa yang akan kalian lakukan sebenarnya, maka kami akan mengatakan tekad kami berdua. Kami tidak akan menyerahkan apa-apa, karena kalian memang tidak memerlukan. Jika kalian ingin membunuh kami, lakukanlah jika kalian mampu, tanpa alasan yang berbelit-belit.”

“Persetan,” geram orang kasar itu. Namun bagaimanapun juga mereka terikat kepada pesan Ki Tumenggung lewat beberapa orang perwiranya, bahwa mereka hanya boleh membunuh Untara dan membiarkan Sabungsari lolos.

Tetapi orang kasar itu pun mengerti, bahwa dengan demikian diharap bahwa Sabungsari akan memberikan kesaksian bahwa terbunuhnya Untara adalah dalam pertempuran melawan sekelompok penjahat ketika ia pulang dari Pajang.

Namun rahasia itu telah tersingkap. Orang-orang kasar itu tidak sekedar perampok biasa, tetapi mereka mengemban tugas dari Ki Tumenggung Wiladipa.

Karena itu, maka Sabungsari pun kemudian berkata, “Ki Untara. Sebenarnya aku menjadi bingung melihat sikap Ki Untara. Aku bertanya di dalam diri, sejak kapan Ki Untara demikian mudahnya menyerah apalagi kepada perampok. Namun dengan sikap Ki Untara itu telah kita ketahui latar belakang dari perampokan ini. Yang penting bagi mereka sebenarnya bukan perampokan ini sendiri. Tetapi kematian kita.”

Untara mengangguk-angguk. Jawabnya, “Nah, dengan demikian kita tahu, dengan siapa kita berhadapan.”

Sabungsari pun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Ya. Kita sudah tahu pasti dengan siapa kita berhadapan.”

“Dengan demikian, kita pun tahu pasti cara untuk menghadapi mereka,” sahut Untara.

“Persetan,” geram salah seorang di antara orang-orang kasar itu, “apapun yang kalian katakan, tetapi kami memang ingin merampok kalian dan membunuh kalian sekaligus, agar kalian tidak sempat menceritakan apa yang kalian alami di sini.”

“Sudahlah,” berkata Untara, “kami sudah tahu. Kau mendapat perintah untuk mencegat kami berdua dan membunuh kami. Karena itu jangan memakai alasan lain. Kami pun sudah siap untuk melayani kalian, sehingga dengan demikian maka kita akan bertempur. Mungkin kami memang akan mati. Tetapi mungkin kalian berlimalah yang akan mati.”

Orang-orang kasar itu menggeram. Sejenak kemudian mereka pun justru telah memencar. Dengan wajah yang seram mereka bersiap untuk membunuh korbannya.

“Bunuh senapatinya lebih dahulu,” geram seorang di antara mereka yang agaknya pemimpin dari kelima orang itu, “baru kemudian yang lain, yang tidak berarti apa-apa bagi kami.”

“O,” desis Sabungsari, “terima kasih, bahwa kalian telah memberi kesempatan kepadaku untuk dibunuh pada saat terakhir.”

Jawaban itu benar-benar menyakitkan hati orang-orang kasar itu. Namun seperti yang diperintahkan kepada mereka, biarkan kawan Untara itu hidup dan melarikan diri. Ia akan bercerita tentang segerombolan perampok. Namun ternyata orang itu akan berkata lain jika ia benar-benar dibebaskan.

“Kita bunuh keduanya,” berkata pemimpin perampok itu di dalam hati, “namun bekas yang mungkin diketemukan orang akan memberikan pertanda bahwa keduanya mati dalam sebuah perampokan. Barang-barang dan perhiasan mereka telah hilang. Demikian pula kedua ekor kuda mereka. Orang-orang yang menemukan kedua korban itu akan segera mengetahui, bahwa keduanya telah dirampok habis-habisan. Dengan demikian maka kesaksian itu akan dapat diberikan oleh orang lain, bukan oleh salah seorang di antara yang mengalami perampokan itu sendiri.”

Dengan demikian, maka pemimpin dari orang-orang kasar itu tidak lagi merasa terikat untuk tidak membunuh kedua-duanya, karena justru Untara telah berhasil memancing untuk mengetahui tugas mereka berlima yang sebenarnya.

Karena itu, maka pemimpin dari kelima orang itu telah benar-benar bersiap untuk merampok kedua orang itu habis-habisan. Bukan sekedar karena mereka mendapat perintah untuk membunuh Untara. Tetapi sekaligus mereka akan mendapat harta benda yang dibawa oleh Untara dan pengawalnya, di samping upah yang dijanjikan oleh Ki Tumenggung Wiladipa.

Dengan suara lantang maka pemimpin dari kelima orang itu pun berkata, “Marilah anak-anak. Kita tidak mempunyai terlalu banyak waktu. Meskipun jalan ini tidak terlalu ramai, tetapi sekali-sekali ada juga sekelompok orang yang melewatinya. Agar kita tidak harus berurusan dengan banyak orang, maka kedua orang ini harus cepat kita selesaikan.”

Keempat orang kawannya pun segera bersiap. Tiga orang di antara mereka mengepung Sabungsari, sementara dua orang yang lain berdiri disebelah menyebelah Untara.

“Kita tidak tahu, siapakah di antara kedua orang ini yang memiliki ilmu lebih tinggi. Tetapi biarlah aku menyelesaikan senapati yang bernama besar. Aku ingin membuktikan bahwa hanya namanya sajalah yang mengumandang sampai ke lembah dan pegunungan-pegunungan. Tetapi untuk menghormatinya, maka biarlah seorang di antara kalian ini menemani aku,” perintah pemimpin dari orang-orang yang akan merampok Untara itu.

Untara pun segera bersiap. Ia harus menghadapi dua orang. Tetapi seorang di antara keduanya adalah pemimpin dari kelima orang yang mencegat mereka. Menurut perhitungan Untara, maka kelima orang itu pun tentu orang-orang pilihan.

Karena itu, maka Untara merasa bahwa ia benar-benar harus berhati-hati. Ia harus mampu menempatkan diri di antara kedua lawannya. Sementara itu, tiga orang yang lain telah mengepung Sabungsari.

Sabungsari pun telah bersiap. Iapun tidak ingin merendahkan ketiga orang lawannya. Mungkin ia akan segera mengalami kesulitan. Namun bagaimanapun juga ia harus berjuang sejauh dapat dilakukan untuk mengatasi ketiga orang lawannya itu.

Dalam pada itu, pemimpin dari kelima orang yang akan merampok Untara dan Sabungsari itu telah meneriakkan aba-aba. Serentak mereka berloncatan maju mendekati sasaran masing-masing. Bahkan pemimpin dari kelima orang itu pun telah mulai menyerang Untara dengan garangnya.

Untara sempat mengelak dengan cepat. Bagaimanapun juga ia adalah seorang senapati yang memiliki bekal kemampuan yang tinggi. Sementara itu, di setiap hari ia masih menyisihkan waktunya serba sedikit untuk meningkatkan kemampuannya di dalam sanggar. Setidak-tidaknya ia dapat memperdalam unsur-unsur gerak yang pernah dikuasainya, sehingga dengan demikian ilmunya pun menjadi semakin matang.

Namun ternyata bahwa orang yang ditugaskan oleh Ki Tumenggung Wiladipa itu pun bukan orang kebanyakan. Ketika serangannya sempat dielakkan, maka serangan-serangan berikutnya pun datang beruntun, susul menyusul berpasangan. Dengan demikian maka pada permulaan dari pertempuran itu Untara sudah harus mengerahkan kecepatannya untuk mengatasinya.

Karena itulah maka pertempuran itu pun segera menjadi semakin cepat dan keras.

Ternyata bahwa Untara menanggapi pertempuran yang keras itu dengan sikap yang keras pula. Dengan melepaskan kekuatan cadangannya setingkat demi setingkat, Untara menjajagi kekuatan lawannya dengan membenturkan kekuatannya. Namun agaknya lawannya pun berbuat demikian. Keduanya pun telah melepaskan tenaga cadangan di dalam dirinya setingkat demi setingkat pula.

Sementara itu, Sabungsari pun telah mendapat lawan yang berat. Bertiga lawannya telah bertempur berpasangan, saling mengisi dan menyerang beruntun berganti-ganti.

Sabungsari harus mengerahkan tenaganya untuk menghindari serangan-serangan itu. Ia harus bergerak cepat, berloncatan, menghindar dan bahkan kemudian Sabungsari telah menangkis serangan-serangan yang tidak sempat dihindarinya. Meskipun semula Sabungsari ragu-ragu, namun dengan hati-hati ia berusaha menjajagi kekuatan lawannya dengan benturan-benturan yang tidak langsung.

Namun kemudian Sabungsari dapat menilai, bahwa satu-satu lawannya tidak memiliki kekuatan yang mendebarkan jantungnya. Tetapi menghadapi mereka bertiga, Sabungsari harus berhati-hati.

Pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin cepat. Ternyata selama ia berada di lingkungan Mataram, Sabungsari bukan saja mampu mempertahankan kemampuannya pada tatarannya, namun ternyata bahwa dalam beberapa hal Sabungsari sempat pula meningkatkan kemampuannya.

Dengan demikian maka pertempuran di antara Sabungsari melawan tiga orang lawannya, serta Untara melawan dua orang, menjadi semakin lama semakin sengit. Pertempuran itu menjadi semakin cepat dan keras. Seperti Untara, maka Sabungsari pun mengimbangi lawannya dengan keras pula. Benturan-benturan menjadi semakin sering terjadi. Namun dalam benturan-benturan itu Sabungsari menjadi semakin yakin, bahwa seorang-seorang di antara ketiga orang lawannya itu akan dapat diatasinya.

“Mudah-mudahan aku masih mempunyai cadangan kekuatan untuk melawan ketiganya sekaligus” berkata Sabungsari di dalam dirinya.

Justru karena itu, maka Sabungsari pun kemudian telah berusaha untuk semakin sering membenturkan ilmunya. Ia ingin dengan demikian memberikan tekanan kepada seorang-seorang di antara lawan-lawannya.

Sebenarnyalah, benturan-benturan yang terjadi telah menunjukkan kepada ketiga orang lawan Sabungsari, bahwa pengawal Untara itu memang bukan orang kebanyakan.

Namun ternyata bahwa ketiga orang itu mampu bekerja sama dengan baik sekali menghadapi kekuatan Sabungsari itu.

Dengan demikian maka pertempuran pun berkembang semakin lama menjadi semakin seru. Ketiga orang itu pun mampu bergerak cepat, sehingga Sabungsari benar-benar harus mengerahkan kemampuannya. Bahkan ketiga orang itu pun kemudian telah berusaha untuk selalu menghindarkan diri dari benturan-benturan yang dapat menyakitinya.

Karena itulah, maka lambat laun terasa oleh Sabungsari tekanan yang menjadi semakin berat. Ketiga orang itu berloncatan dan kadang- kadang berlari berputaran, sehingga Sabungsari harus berusaha untuk tidak kehilangan lawannya.

Tetapi lawan-lawannya bergerak terlalu cepat, sehingga kadang-kadang Sabungsari memang menjadi bingung.

Dalam pada itu, lawan-lawannya pun mulai mempermainkannya. Mereka menyerang dengan garangnya, menyakitinya dan bahkan kemudian seorang di antara mereka berteriak, “Ayo Ngger. Jangan menangis. Ternyata bahwa kau harus mati juga hari ini.”

Sabungsari tidak menjawab. Ia memang merasa bahwa serangan-serangan lawan-lawannya itu telah mulai menembus pertahanannya dan menyakitinya. Bahkan semakin lama terasa menjadi semakin sering.

Dengan demikian maka kemarahan Sabungsari pun tidak tertahankan lagi. Namun ia masih tetap menyadari apa yang dihadapinya, sehingga ia tidak menjadi kehilangan akal karenanya.

Karena itulah, maka perlahan-lahan Sabungsari telah memasuki kekuatan bukan saja kekuatan wajarnya dan tenaga cadangannya. Tetapi sekaligus telah diungkapkannya ilmunya yang mempunyai kekuatan berlipat ganda.

Lawan-lawannya terkejut ketika Sabungsari itu menghentakkan kakinya sambil menggeram. Kemudian tangannya mengembang dengan cepat dan dengan tiba-tiba tangan itu bersilang di depan dadanya.

Lawan-lawannya bergeser surut. Mereka menangkap sesuatu yang lain pada anak muda itu. Geraknya terasa menjadi semakin mantap dan ketika Sabungsari mulai meloncat, maka geraknya bagaikan ombak yang bergulung-gulung menghantam tebing.

Ketiga lawannya berloncatan menghindar. Namun gerak Sabungsari menjadi terlalu cepat. Tenaganya nampak semakin besar dan tata geraknya pun menjadi keras.

Benturan yang kemudian terjadi benar-benar membingungkan lawannya. Mereka tidak saja merasa kesakitan. Tetapi ketika Sabungsari dengan sengaja membentur serangan lawannya yang menjulurkan kakinya mengarah ke dadanya dengan menyilangkan tangannya di depan dadanya itu, maka lawannya benar-benar telah terlempar beberapa langkah.

Perubahan yang terjadi pada Sabungsari membuat ketiga lawannya menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba saja mereka berpencar menjauh. Dengan wajah yang tegang, maka ketiga orang itu tanpa aba-aba telah menarik senjata mereka masing-masing.

Sabungsarilah yang kemudian tertegun. Ia melihat ketiga ujung senjata mengarah ke dadanya. Tiga ujung pedang.

Sejenak Sabungsari memperhatikan pedang itu. Satu demi satu. Namun tiba-tiba Sabungsari-lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Nah, aku menjadi yakin sekarang. Kalian tentu prajurit-prajurit Demak seperti yang aku duga, setidak-tidaknya berhubungan dengan mereka.”

“Omong kosong,” seorang di antara lawannya itu menyahut, “jangan mengigau.”

“Kalian kurang cermat melakukan tugas kalian yang gawat ini. Mungkin kalian memang ingin merampok kami. Dengan demikian kalian akan mulai belajar melakukannya di samping tugas kalian sebagai prajurit. Dengan benar-benar merampok kami, kalian akan mendapat hasil ganda. Hasil rampokan itu dan upah dari tugas kalian yang gawat ini,” jawab Sabungsari.

“Kami memang ingin merampok. Jika kemudian kami mendapat upah dari seseorang itupun urusan kami. Tetapi kau tidak akan dapat berbicara dengan siapapun juga, karena sebentar lagi kalian akan mati,” geram salah seorang di antara mereka.

“Baiklah,” berkata Sabungsari, “jika kalian sudah sampai kepada keputusan untuk membunuh, maka lakukanlah. Tetapi lain kali jika kalian mendapat tugas untuk melakukan tugas seperti ini, kalian harus bekerja lebih cermat. Kalian telah membawa senjata keprajuritan kalian.”

“Persetan,” sahut salah seorang di antara mereka. Tetapi ia dapat juga mencari jawabnya, “Telah beberapa orang prajurit yang kami bunuh dan kami ambil harta bendanya, termasuk senjatanya. Jika kalian mati, maka senjata kalian pun akan jatuh ke tanganku.”

Sabungsari tertawa pula. Katanya, “Kalian memang cerdik dan cepat mencari jawab. Tetapi baiklah. Ternyata bahwa apa yang ingin kalian lakukan, ingin aku lakukan pula. Bukan kalian yang akan mampu membunuh kami, tetapi kami berdualah yang akan membunuh kalian berlima.”

Kelima orang yang bertempur melawan Untara dan Sabungsari itu ternyata telah mendapat tempaan lahir dan batin. Karena itulah, maka mereka sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan ketiga lawannya berbareng telah menyerang Sabungsari.

Tetapi ketiga orang itu terkejut. Dengan kecepatan yang di luar jangkauan kemampuan mereka, mereka harus membiarkan Sabungsari itu mengambil jarak.

“Jangan lari!” teriak salah seorang dari ketiga orang itu. “Kau tidak akan dapat melepaskan diri dari tangan kami.”

Sabungsari termangu-mangu. Sekilas dilihatnya ketiga orang lawannya melangkah satu-satu mendekatinya dengan ujung pedang yang bergetar.

“Pilihlah jalan kematian yang paling baik bagimu,” geram salah seorang dari ketiga orang itu.

Sabungsari tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia menjadi muak melihat ketiga orang itu.

Karena itu ketika ketiga orang lawannya itu menjadi semakin dekat, maka Sabungsari pun telah menarik pedangnya pula. Dengan lantang ia berkata, “Marilah kita lihat, siapakah di antara kita yang memiliki kemampuan lebih baik untuk bermain pedang.”

Ketiga orang lawannya tidak menjawab. Tetapi mereka melangkah semakin dekat dengan senjata teracu.

Sabungsari pun telah mengangkat pedangnya pula. Ketika ia melihat ketiga orang lawannya mulai berpencar, maka ujung pedangnya pun mulai bergetar.

Sejenak kemudian, ketiga orang lawannya pun telah telah meloncat hampir berbareng. Ketiga ujung pedang itu pun bersama-sama mematuk ke arah tubuh Sabungari.

Dengan cepat Sabungsari mengelakkan serangan-serangan itu. Sementara pedangnya pun berputar melindungi dirinya. Ketika sebilah pedang lawannya menggeliat, maka pedang itu telah membentur pedang Sabungsari. Sementara dua bilah pedang yang lain sama sekali tidak menyentuhnya.

Lawannya yang menggenggam pedang membentur pedang Sabungsari itu benar-benar terkejut. Hampir saja pedang itu terloncat dari genggamannya. Untunglah bahwa ia masih mampu mempertahankannya, meskipun dengan demikian tangannya terasa menjadi sangat nyeri.

“Setan alas,” geram orang yang hampir kehilangan pedangnya, “kekuatan iblis manakah yang telah menyusup di dalam dirinya, sehingga ia mempunyai kekuatan yang luar biasa itu?”

Namun dengan demikian ia menjadi semakin berhati-hati Ketika ia mendekati Sabungsari, maka ia menggenggam pedangnya semakin erat.

Sejenak kemudian, maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Sabungsari yang telah melepaskan bukan saja tenaga cadangan di dalam dirinya, namun juga ia mulai merambah ke dalam kekuatan ilmunya, benar-benar telah mendebarkan jantung lawan-lawannya. Tetapi lawan-lawannya pun memiliki bekal yang cukup di dalam ilmu pedang, sehingga dengan demikian maka mereka berusaha untuk dapat mengatasi kecepatan gerak dan kekuatan Sabungsari dengan ketrampilan mereka.

Ternyata bahwa bertiga mereka merupakan paduan kekuatan yang nggegirisi. Betapa Sabungsari mengerahkan kemampuannya dalam ilmu pedang, namun ternyata bahwa ia masih saja terdesak.

Beberapa kali Sabungari terpaksa meloncat mengambil jarak. Namun lawan-lawan mereka pun telah memburunya.

Sehingga akhirnya, sampailah Sabungsari kepada satu keputusan untuk mengakhiri kemenangan-kemenangan kecil dari ketiga lawannya.

Karena itu, maka Sabungsari telah berusaha untuk mendapatkan kesempatan mengambil jarak yang cukup. Dengan menghentakkan kemampuannya dalam ilmu pedang ia berusaha untuk membuka kesempatan itu.

Hentakan itu memang telah mengejutkan lawannya, sehingga mereka pun berloncatan surut selangkah. Kesempatan itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Sabungsari. Sebelum lawannya sempat menyusul mereka, maka Sabungsari telah berada dalam puncak kemampuannya. Kemampuan ilmu yang jarang dimiliki oleh orang kebanyakan.

Ternyata Sabungsari tidak mengacukan pedangnya. Dengan erat ia menggenggam pedangnya pada hulunya, kemudian dipegangnya pula ujungnya dengan jari-jarinya. Namun perhatian Sabungsari tidak tertuju pada pedangnya itu. Tetapi ia tengah memusatkan nalar budinya pada ilmu puncaknya.

Dengan sorot mata yang tajam ia menatap salah seorang dari ketiga lawannya tepat di dadanya.

Ketiga lawannya tidak segera menyadari. Namun sekejap kemudian terdengar seorang di antara mereka mengeluh tertahan. Bahkan tiba-tiba saja ia telah membungkukkan badannya sambil memegangi dadanya dengan sebelah telapak tangannya.

Kedua kawannya pun tertegun. Seorang di antara mereka bertanya, “Kenapa?”

“Dadaku,” desis kawannya yang kesakitan.

Kedua kawannya termangu-mangu. Namun tiba-tiba seorang di antara kawannya itu berdesis, “Inilah agaknya pengawal Untara yang disebut mempunyai kemampuan menyerang lawannya dengan tatapan matanya.”

Kawannya pun mendengarnya. Tiba-tiba iapun teringat bahwa memang pernah didengar ilmu semacam itu. Karena itu, maka di luar sadarnya orang itu berpaling ke arah Sabungsari serta memperhatikan sikapnya.

“Tidak salah lagi,” desisnya, “ia memandang dengan kemampuan ilmunya yang jarang ada duanya. Matanya yang bagaikan menyala, serta sikapnya yang mematung dalam pemusatan kemampuan.”

“Kita harus mencegahnya,” berkata yang lain.

Dengan serta-merta, maka kedua orang itupun telah berloncatan memencar. Keduanya berusaha untuk menyerang Sabungsari dari dua arah. Jika Sabungsari sempat menyerang seorang di antara mereka, maka yang lain akan dapat memecah pemusatan ilmunya itu.

Tetapi Sabungsari tidak segera bergerak. Ia masih memancarkan ilmu ke arah lawannya yang seakan-akan telah kehabisan tenaga, karena tatapan mata Sabungsari bagaikan memeras segenap isi dadanya sampai mengering. Ia ingin mengurangi seorang dari kedua lawannya tidak hanya untuk sementara.

Namun Sabungsari harus memperhatikan juga serangan yang datang.

Karena itu, maka iapun harus melepaskan sasarannya ketika kedua orang lawannya menyerangnya.

Dengan tangkas Sabungsari meloncat. Sementara itu demikian ia melepaskan ilmu yang mencengkam dada lawannya, maka lawannya itu benar-benar sudah tidak berdaya. Meskipun ia masih dapat bertahan untuk berdiri sambil memegang pedangnya, tetapi ketika ia berusaha untuk melangkah, rasa-rasanya kakinya menjadi seberat bandul timah.

“Gila,” geramnya. Namun ia tidak dapat ingkar dari kenyataan itu. Seakan-akan ia telah terbelenggu oleh kesakitan yang sangat di dalam dadanya.

Dengan demikian, sebagaimana dikehendaki oleh Sabungsari, maka lawannya yang seorang itu pun telah kehilangan kemampuannya untuk ikut bersama kawan-kawannya bertempur melawannya, sehingga lawannya pun tinggal menjadi dua orang.

Karena itu maka Sabungsari merasa bahwa ia akan mampu melawan keduanya tanpa mempergunakan ilmu puncaknya yang jarang sekali dipergunakannya itu, jika ia tidak tersudut dalam keadaan yang paling sulit.

Dengan ilmu pedangnya serta kemampuan tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya, maka Sabungsari pun kemudian melayani kedua lawannya. Ketangkasan dan ketrampilannya bergerak dengan pedang di tangan membuat kedua lawannya kadang kadang kehilangan kesempatan untuk menyerang. Tata gerak Sabungsari seakan-akan menjadi semakin cepat dan ujung pedangnya pun menyambar-nyambar semakin mengerikan.

Kedua orang itu pun kemudian telah didesak oleh kesulitan yang semakin menekan. Keduanya tidak berhasil bermain sebagaimana ketika mereka masih bertiga. Dengan hanya berdua, maka Sabungsari mendapat lebih banyak kesempatan bukan saja untuk bertahan. Tetapi juga untuk menyerang.

Namun ternyata Sabungsari tidak dapat dengan cepat menyelesaikan kedua lawannya itu, meskipun kadang-kadang ia berhasil mendesaknya. Apalagi kedua orang itu nampaknya memiliki kekuatan untuk bertahan serta tenaga yang cukup panjang.

Dalam pada itu, maka Untara pun telah bertempur dengan sekuat tenaganya. Ternyata Ki Tumenggung Wiladipa tidak menunjuk orang kebanyakan untuk menyelesaikan tugas yang sangat penting itu. Pemimpin dari kelima orang itu yang bertempur melawan Untara, adalah seorang yang memiliki kemampuan dan pengalaman yang sangat luas, sehingga dengan demikian, berdua dengan seorang kawannya mereka merupakan kekuatan yang sangat sulit untuk diatasi oleh Untara.

Bahkan Untara harus mengakui, bahwa kedua orang itu adalah orang-orang pilihan yang ditunjuk oleh Ki Tumenggung Wiladipa.

Namun kedua orang itupun tidak terlalu mudah untuk menghabisi Untara. Untara pun memiliki ilmu dan pengalaman yang sangat luas. Meskipun ia lebih banyak menitikberatkan kemampuannya dalam olah gelar di peperangan, namun secara pribadi ia memiliki ilmu yang mapan.

Dengan demikian, maka pertempuran antara Untara dan kedua lawannya pun nampaknya akan berlangsung dalam waktu yang lama. Bahkan tidak segera dapat diramalkan siapakah di antara kedua belah pihak itu yang akan menang.

Melihat hal itu, maka Sabungsari pun kemudian berniat untuk dengan cepat menyelesaikan kedua lawannya, sehingga kekalahan mereka tentu akan berpengaruh juga bagi kedua lawan Untara yang bertempur dengan garangnya.

Dengan demikian, maka kembali Sabungsari terpaksa mempergunakan ilmu puncaknya. Ia tidak lagi ingin bermain-main terlalu lama.

Karena itu, maka sekali lagi Sabungsari meloncat mengambil jarak. Dengan pemusatan nalar budinya, maka ia telah menghimpun dan menyerang lawannya dengan kekuatan sorot dari matanya.

Serangan itu sebagaimana terhadap orang yang pertama, benar-benar melumpuhkan seorang dari kedua lawannya. Bahkan demikian kerasnya Sabungsari meremas isi dada orang itu dengan ilmunya, maka orang itupun telah jatuh terjerembab. Dengan keluhan panjang ia menggeliat. Kesakitan yang sangat telah mencengkam jantungnya.

Tetapi serangan Sabungsari terhenti ketika lawannya yang tersisa meloncat menyerangnya dengan ujung pedangnya. Sabungsari terpaksa meloncat menghindar. Dengan pedangnya pula ia menangkis serangan lawannya itu.

Untuk beberapa saat Sabungsari bertempur seorang melawan seorang. Kedua orang lawan Sabungsari yang lain telah tidak mampu lagi untuk melawan. Meskipun perasaan sakitnya terasa menyusut ketika serangan sorot mata Sabungsari lepas dari jantung mereka, namun tenaga mereka terasa telah surut pula sampai ke dasarnya.

Melawan bertiga maka Sabungsari memang mengalami kesulitan dalam ilmu pedang. Tetapi kini lawannya tinggal seorang saja. Dengan demikian maka Sabungsari pun telah menekan lawannya dengan serangan-serangan beruntun yang mematikan, tanpa mempergunakan ilmu puncaknya.

Lawan Sabungsari yang tinggal bertempur sendiri itu mengalami kesulitan. Ia harus melihat kenyataan itu. Ilmunya tidak dapat mengimbangi ilmu Sabungsari jika ia bertempur sendiri.

Tetapi ternyata Sabungsari benar-benar ingin segera menyelesaikan lawannya. Tanpa harus melepaskan ilmu puncaknya, maka Sabungsari telah mendesak tawannya sampai ke tanggul parit pinggir jalan. Pada saat yang sulit itu lawannya berusaha untuk meloncati parit menghindari serangan Sabungsari. Namun ternyata Sabungsari bergerak lebih cepat. Demikian lawannya itu sampai ke seberang parit, maka ujung pedang Sabungsari telah tergores di tubuh lawannya, sehingga kulit dan dagingnya telah terkoyak karenanya.

Terdengar orang itu mengaduh tertahan. Sementara orang itu belum mampu memperbaiki keadaannya, maka ujung pedang Sabungsari telah mematuk pundaknya pula.

Sekali lagi terdengar orang itu mengaduh. Namun tubuhnya pun kemudian telah menjadi merah oleh darah.

Ketika Sabungsari telah siap untuk menyerangnya lagi, maka niat itupun dibatalkannya, karena ia melihat lawannya itu tidak mampu lagi mengangkat pedangnya untuk menangkis serangannya. Bahkan kemudian iapun terhuyung-huyung dan jatuh di sawah.

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ketiga lawannya benar-benar telah dilumpuhkan, sehingga mereka tidak akan mampu berbuat apa-apa lagi.

Sabungsari membiarkan lawannya berusaha untuk berbuat sesuatu bagi dirinya sendiri. Namun sementara itu, iapun mulai memperhatikan Untara dengan dua orang lawannya.

Untara yang telah bertempur dengan senjatanya, benar-benar harus memeras segenap tenaga dan kemampuannya. Pemimpin dari kelima orang yang berusaha membunuhnya itu benar-benar seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Karena itu, maka menghadapi kedua orang itu, Untara memang mengalami kesulitan. Semakin lama semakin ternyata bahwa Untara memang terdesak.

Sabungsari termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun mengerti bahwa Untara tidak akan dapat bertahan terlalu lama menghadapi kedua orang itu. Keduanya bertempur semakin lama semakin keras dan kasar, sementara nafas Untara yang telah memeras segenap kemampuannya untuk mengimbangi kecepatan dan kekerasan kedua orang lawannya itupun mulai memburu, sehingga tenaganya mulai susut.

Pemimpin orang-orang yang berusaha membunuhnya itu merasakan juga bahwa perlawanan Untara menjadi semakin surut. Tetapi orang itu mengumpat tiada habis-habisnya ketika diketahuinya ketiga orang kawannya yang bertempur melawan Sabungsari telah dikalahkannya.

“Tikus clurut,” geram pemimpin kelompok itu, “mati sajalah kalian yang tidak mampu membunuh kelinci itu.

Tetapi tidak terdengar jawaban. Ketiga orang kawannya yang terluka itu benar-benar tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Mereka sedang berusaha untuk bertahan agar mereka tetap hidup.

Pemimpin kelompok yang bertempur melawan Untara itupun kemudian berteriak nyaring, “Jangan merasa dirimu terlepas dari maut. Akulah yang akan membunuhmu.”

Sabungsari masih tetap berdiri tegak di tempatnya. Ia memang berharap bahwa salah seorang di antara mereka yang bertempur melawan Untara itu datang kepadanya. Jika ia yang memasuki arena, maka ia masih juga merasa segan terhadap Untara. Mungkin Untara tidak menganggap langkahnya itu benar sebelum Untara sendiri memberikan perintah. Tetapi jika salah seorang itu dengan kehendaknya sendiri datang kepadanya, persoalannya akan berbeda.

Dalam pada itu, maka pemimpin kelompok yang menganggap bahwa kekuatan Untara sudah susut, telah berkata kepada kawannya, “Tahan orang ini. Aku akan membunuh anak setan itu. Baru kemudian aku akan membunuh Untara.”

Kawannya yang bertempur bersamanya itupun telah mengambil seluruh perlawanan terhadap Untara, karena pemimpinnya itupun telah meloncat meninggalkannya.

Dalam pada itu, Sabungsari pun telah bersiap pula. Tetapi ia benar-benar sudah merasa jemu menghadapi perkelahian itu. Karena itu, iapun telah memutuskan untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran.

Dengan demikian, maka ia tidak menunggu pemimpin kelompok itu mendekatinya. Ia harus menyelesaikannya. Ia sudah tidak ingin lebih banyak membuang tenaga lagi dalam arena pertempuran yang menjemukan itu.

“Kami harus segera sampai ke Mataram,” berkata Sabungsari di dalam hatinya sambil berdiri tegak.

Pada saat pemimpin kelompok itu berlari ke arahnya, maka Sabungsari telah melepaskan ilmu puncaknya. Ditatapnya pemimpin kelompok yang menyerangnya itu dengan ketajaman sorot matanya. Dan lewat sorot matanya itu Sabungsari pun telah menyerang pula, langsung meremas isi dada lawannya.

Terasa dada orang yang berlari menyerang Sabungsari itu bagaikan dihantam batu. Kemudian rasa-rasanya jantungnya telah terhimpit oleh kekuatan yang tidak terlawan.

Pemimpin kelompok itu menyeringai menahan sakit. Namun ternyata bahwa ia memiliki daya tahan yang cukup besar. Dalam keadaan yang sulit itu ia menghentakkan sisa kekuatannya meloncat ke udara.

Sekali ia berputar di udara. Kemudian melenting tepat di hadapan Sabungsari sambil menebaskan pedangnya.

Sabungsari terkejut. Tetapi ia sempat melepaskan serangannya untuk meloncat menghindar. Dengan demikian maka pedang itu sama sekali tidak menyentuhnya.

Pemimpin kelompok itu masih berusaha menahan sakit di dadanya. Namun ketika Sabungsari melepaskan serangannya karena ia harus meloncat menghindar, maka terasa dada orang itu menjadi agak lapang. Batu yang menghimpit jantungnya seakan-akan telah terangkat. 

Orang itupun kemudian menyadari, bahwa ia berhadapan dengan ilmu yang sangat dahsyat, yang dilepaskan lewat sorot mata anak muda yang dihadapinya.

“Itulah sebabnya, maka ketiga orang yang bertempur melawannya telah tidak berdaya,” katanya di dalam hati.

Dengan demikian, maka pemimpin kelompok itu harus bertindak cepat. Ia harus bertempur pada jarak yang pendek, sehingga lawannya itu tidak sempat mempergunakan ilmunya yang tidak terlawan itu.

Karena itu, sebelum serangan itu mencengkam dadanya lagi, maka iapun telah menghentakkan kemampuannya. Meskipun dadanya masih terasa sakit.

Ternyata orang itu memang tangkas. Pada saat Sabungsari bersiap untuk melepaskan ilmunya, maka orang itu telah menjulurkan pedangnya ke arah jantung anak muda itu.

Sabungsari memang tidak sempat berbuat banyak dengan ilmunya yang tidak terlawan itu. Demikian ujung pedang itu hampir menyentuh dadanya, maka iapun segera mengelak.

Tetapi lawannya telah memburunya. Dengan perhitungan yang matang, maka iapun berusaha untuk tetap bertempur pada jarak yang pendek.

Sabungsari memang tidak sempat mempergunakan sorot matanya. Tetapi iapun mampu bermain pedang dengan baik. Karena itu, maka iapun dengan tangkas pula telah melawan setiap serangan dengan ilmu pedangnya pula. Bahkan ternyata bahwa ilmu pedang Sabungsari tidak segera dapat diatasinya.

Namun Sabungsari pun tidak membiarkan dirinya dibelenggu oleh pertempuran dalam jarak yang pendek itu sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menghancurkan lawannya dengan sorot matanya.

Karena itu sambil bertempur Sabungari berusaha untuk mencari jalan, agar ia dapat mempergunakan ilmu puncaknya yang akan dapat mengakhiri pertempuran itu.

Dengan ilmu pedangnya, Sabungsari agaknya sulit untuk segera dapat menyelesaikan lawannya, karena ternyata lawannya itu adalah orang pilihan. Orang yang memang sudah dipersiapkan dengan perhitungan yang cermat oleh Ki Tumenggung Wiladipa.

Sementara itu, tugas Untara menjadi lebih ringan karenanya. Sepeninggal seorang di antara kedua lawannya, maka tugasnya rasa-rasanya akan cepat dapat diselesaikan. Lawannya yang tinggal tidak memiliki kemampuan sebagaimana pemimpin kelompok itu, yang ternyata karena kemarahannya tengah berusaha untuk membunuh Sabungsari, setelah ketiga orang kawannya dilumpuhkan oleh orang yang ternyata memiliki ilmu yang nggegirisi itu.

Dengan kemampuan ilmu pedangnya, maka Untara dengan cepat dapat menguasai lawannya. Meskipun lawannya itu bekerja keras, namun ternyata bahwa kemampuannya tidak akan dapat mengimbangi kemampuan Untara.

Karena itu, maka untuk beberapa saat orang itu terpaksa berloncatan surut untuk mengambil jarak dalam usahanya memperbaiki keadaannya. Namun ternyata bahwa ia benar-benar dalam kesulitan.

Pemimpin yang melihat keadaannya mengumpat kasar. Dengan nada keras ia berteriak, “Tikus dungu. Bunuh orang itu! Atau setidak-tidaknya bertahanlah sampai aku membunuh kelinci ini.”

Kawannya tidak menjawab. Tetapi keringat mulai mengaliri seluruh tubuhnya. Kegelisahan yang mencengkam jantungnya, membuatnya menjadi semakin bingung menghadapi ilmu pedang Untara.

Sementara itu Sabungsari pun masih berusaha untuk dapat mengalahkan lawannya. Dengan kemampuan ilmu pedangnya, maka akan sulit baginya untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran itu. Namun lawannya yang menyadari kemampuannya, berusaha untuk selalu bertempur pada jarak pendek.

Tetapi akhirnya usaha Sabungsari itupun dapat juga dilakukan. Ketika ia menghentakkan ilmunya dengan tiba-tiba, mendesak lawannya bagaikan arus badai yang menerpa rimbunnya dedaunan, maka lawannya telah terdesak beberapa langkah surut. Sabungsari masih sempat memburunya dengan hentakan-hentakan kemampuannya selagi lawannya belum sempat memperbaiki keadaannya.

Namun ketika ia berhasil sekali lagi mendesak lawannya, maka ia tidak lagi memburunya. Dengan perhitungan yang cermat, maka Sabungsari telah melemparkan pedangnya ke arah tubuh lawannya.

Lemparan pedang itu sama sekali tidak diduganya Demikian cepatnya, sehingga lawannya sesaat kehilangan waktu untuk mengatasinya. Tetapi dengan gerak naluriah, pemimpin kelompok itu berusaha menangkis serangan yang tidak pernah diperhitungkannya itu.

Pada kesempatan itulah, Sabungsari yang telah melepaskan senjatanya mempunyai kesempatan sekejap untuk membangunkan ilmunya. Selagi lawannya masih dicengkam oleh kejutan karena serangan yang tidak disangkanya itu maka Sabungsari telah mendapat kesempatan untuk menyerang lawannya. Sabungsari sadar, jika ia gagal, maka ia tentu akan mengalami banyak kesulitan karena ia sudah melepaskan pedangnya. Namun ternyata perhitungan Sabungsari yang cermat itu mampu mengatasi keadaan. Selagi lawannya berusaha untuk memperbaiki keadaannya, maka serangan sorot mata Sabungsari telah mencengkamnya. Sabungsari tidak mau melepaskan kesempatan itu. Karena itulah maka Sabungsari benar-benar telah mengerahkan segenap kemampuan ilmunya yang nggegirisi itu. Ilmu yang sulit dicari bandingannya.

Ternyata bahwa puncak ilmu Sabungsari yang dilontarkan dengan dorongan segenap kemampuan yang ada padanya, telah membangkitkan kekuatan yang tiada taranya. Serangan yang langsung mengarah ke dada lawannya itu benar-benar telah mencengkamnya, dan rasa-rasanya bagaikan meremas jantung.

Pemimpin kelompok itu telah mengerahkan segenap daya tahannya. Ia ingin mengulangi caranya mengatasi serangan Sabungsari itu. Tetapi ia tidak mempunyai waktu untuk ancang-ancang. Ia tidak sempat melenting dan berputar di udara, karena kekuatan cengkaman ilmu Sabungsari yang dilontarkannya telah berhasil menguasai dan seakan-akan melumatkan seluruh isi dadanya.

Meskipun demikian, dengan sisa tenaganya pemimpin kelompok itu tertatih-tatih melangkah ke arah Sabungsari yang berdiri tegak dengan tangan bersilang di dadanya. Pemimpin kelompok itu masih juga mengacukan senjatanya yang bergetar.

Tetapi Sabungsari benar-benar tidak mau gagal. Dikerahkannya segenap kemampuan ilmunya. Ia harus menahan lawannya agar tidak dapat mencapainya dan menghunjamkan pedangnya ke dadanya.

Dua kekuatan telah berbenturan. Sabungsari berusaha untuk menghancurkan isi dada lawannya, sementara lawannya mengerahkan kemampuan daya tahannya dalam usahanya terakhir. Jika ia mampu mencapai lawannya dan melukainya dengan pedangnya, maka serangan dengan sorot matanya itupun akan pudar dengan sendirinya.

Selangkah demi selangkah pemimpin kelompok itu maju dengan pedang teracu. Sementara itu, Sabungsari benar-benar telah melepaskan segenap kemampuan yang ada di dalam dirinya untuk menahan langkah lawannya.

Pemimpin kelompok itu telah mengerahkan segenap sisa tenaganya sambil menyeringai menahan sakit yang semakin lama semakin dalam menusuk dadanya.

Jarak keduanya pun menjadi semakin pendek. Dua langkah lagi, maka ujung pedang itu akan dapat menggapai tubuh Sabungsari. Sementara itu Sabungsari sama sekali tidak berkisar dari tempatnya. Ia sudah bertekad untuk menyelesaikan lawannya, apapun yang terjadi dengan dirinya.

Sabungsari menyadari bahwa jika pedang itu menggapainya, mungkin ia akan kehilangan kesempatan untuk selanjutnya. Karena itu, ia harus menghentikan langkah lawannya itu. Secepatnya.

Pada saat-saat terakhir itu telah terjadi ketegangan yang mencengkam. Keduanya telah mengerahkan kemampuannya untuk dapat mengatasi keadaan yang semakin gawat bagi keduanya.

Dengan sisa kekuatan yang terakhir, pemimpin kelompok itu berhasil melangkah selangkah maju. Pedangnya terasa menjadi sangat berat, seberat bongkah-bongkah batu hitam. Namun orang itu berhasil menggerakkan tangannya dan mengangkat pedangnya. Selangkah lagi ia berusaha untuk maju sambil mengayunkan pedangnya.

Orang itu berhasil mengangkat kakinya dan menyeretnya maju. Namun pada saat terakhir, ternyata ia tidak mampu lagi bertahan melawan kesakitan yang tiada taranya yang mencengkam seluruh isi dadanya. Sabungsari tidak berusaha untuk mengelakkan diri. Ia tidak melepaskan sasarannya meskipun ia tahu, jika sasarannya itu berhasil maju selangkah, maka pedangnya akan dapat menggapainya.

Namun orang itu ternyata gagal pada langkah yang terakhir. Bahkan orang itupun tidak lagi mampu bertahan untuk tegak. Karena itu, maka iapun kemudian telah jatuh tertelungkup. Hampir saja ujung pedangnya menyentuh tubuh Sabungsari. Namun ternyata masih ada jarak antara ujung pedang itu dengan tubuhnya.

Untuk beberapa saat Sabungsari masih berdiri tegak. Tetapi ia sudah memadamkan serangannya. Sementara itu, pemimpin kelompok itu sama sekali sudah tidak bergerak lagi.

Ketika kemudian Sabungsari melangkah maju dan berhenti di sebelah orang yang terbaring diam itu, maka Untara pun telah menyelesaikan lawannya. Karena luka-lukanya, maka orang itu tidak lagi mampu untuk berbuat apa-apa lagi.

Untara pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Selangkah demi selangkah ia mendekati Sabungsari. Kemudian dengan suara berat ia berkata, “Terima kasih Sabungsari. Kau sudah menyelamatkan jiwaku.”

“Aku menjalankan kewajibanku, Ki Untara,” jawab Sabungsari.

Untara pun kemudian berpaling ke arah pemimpin kelompok yang tertelungkup itu. Perlahan-lahan ia berjongkok dan memutar tubuh yang tertelungkup itu.

Dengan tarikan nafas panjang Untara berdesis, “Orang ini sudah meninggal.”

Sabungsari mengangguk kecil. Katanya, “Bukan maksudku untuk membunuh. Tetapi dalam pertempuran yang melelahkan ini, kemungkinan itu ternyata telah terjadi.”

“Bukan salahmu,” sahut Untara. Lalu, “Tetapi kawan-kawannya masih tetap hidup. Kita serahkan saja orang ini kepada mereka.”

Sabungsari mengangguk kecil. Ketika ia kemudian mengedarkan pandangan matanya, maka dilihatnya orang-orang yang telah dilukainya termangu-mangu di tempatnya. Bahkan orang yang dilukainya dengan pedang telah sempat menaburkan obat pada lukanya itu sehingga menahan arus darah yang mengalir keluar.

Sabungsari pun kemudian berdiri ketika Untara bangkit pula. Dengan suara lantang Untara berkata, “Orang ini telah mati. Agaknya orang inilah yang memegang perintah atas kalian. Selenggarakan mayatnya sebaik-baiknya. Kalian yang masih hidup dapat memberikan laporan kepada Ki Tumenggung Wiladipa, apa yang telah terjadi. Mengaku atau tidak mengaku, maka kalian adalah orang-orangnya.”

Orang-orang itu hanya termangu-mangu saja. Tidak seorangpun yang menjawab.

“Sekarang baiklah kami meneruskan perjalanan kami. Jangan menyesal bahwa kami telah menyakiti kalian, bahkan membunuh pemimpin kalian,” berkata Untara kemudian.

Orang-orang itu masih saja terdiam. Mereka menyaksikan dengan pandangan kosong, Untara dan Sabungsari pergi ke kudanya, setelah Sabungsari mengambil pedangnya yang dilemparkannya kepada lawannya.

Demikian keduanya meloncat ke punggung kuda, maka Untara berkata, “Kami minta diri. Salam kami buat Ki Tumenggung Wiladipa.”

Orang-orang yang terluka itu tidak juga menjawab. Mereka memandang saja kuda yang ditumpangi Untara dan Sabungsari bergerak. Kemudian lari meninggalkan tempat itu.

Orang-orang itupun kemudian bagaikan terbangun dari sebuah mimpi yang menakutkan. Mereka merasa bimbang, apakah benar bahwa mereka masih tetap hidup. Bahkan Untara dan Sabungsari itu tidak membunuh mereka sama sekali.

Namun kemudian orang-orang itupun yakin bahwa mereka ternyata masih tetap hidup. Mereka kemudian semakin merasakan gigitan sakit yang mencengkam dadanya, sementara yang terluka pun telah disengat pula oleh perasaan pedih dan nyeri.

Tetapi mereka masih mempunyai kewajiban. Menyelenggarakan mayat pemimpinnya yang terbunuh di pertempuran itu.

“Mereka mengetahui dengan pasti, siapakah kita sebenarnya,” berkata salah seorang di antara mereka.

“Kita tidak dapat ingkar lagi. Hanya dengan membunuh mereka rahasia ini tidak akan diketahui oleh orang-orang Mataram. Namun kita sudah gagal. Dan orang-orang Mataram akan semakin yakin, peranan apakah sebenarnya yang dimainkan oleh Ki Tumenggung Wiladipa,” berkata yang lain.

Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Bukan salah kita. Tetapi memang nasib kitalah yang buruk. Kenapa Untara dan pengawalnya tidak memilih jalan lain, sehingga orang lainlah yang mendapat pekerjaan yang sangat sulit dan ternyata tidak berhasil kami lakukan dengan baik ini. Mungkin orang-orang lain yang ditempatkan di jalan-jalan yang menuju ke Mataram dapat menyalahkan kita. Tetapi sebaiknya pada suatu saat mereka bertemu pula dengan Untara dan pengawalnya itu.”

Yang lain hanya mengangguk-angguk saja. Namun kemudian mereka pun tidak dapat berbuat lain. Orang-orang yang dadanya dicengkam oleh perasaan nyeri, merasa semakin lama menjadi semakin baik, setelah mereka berhasil mengatur pernafasan mereka dengan leluasa.

Namun bagaimanapun juga mereka merasa heran, bahwa Untara dan pengawalnya ternyata tidak membunuh mereka dan membiarkan mayat mereka beserakan di pinggir jalan itu.

Tetapi hanya seorang di antara mereka yang dibunuh. Orang yang dianggap bertanggungjawab atas rencana pembunuhan itu, disamping Ki Wiladipa sendiri.

Sementara itu. Untara dan Sabungsari telah berpacu semakin jauh. Mereka langsung menuju ke Mataram. Tidak ada rencana Untara untuk singgah barang sebentar di Jati Anom. Mereka ingin segera menghadap Panembahan Senapati untuk menyampaikan hasil tugas yang mereka lakukan di Pajang.

Perjalanan selanjutnya tidak ada hambatan lagi, sehingga keduanya memasuki pintu gerbang istana Panembahan Senapati.

“Kami ingin segera menghadap,” berkata Untara kepada para petugas.

“Biarlah permohonan itu disampaikan kepada Panembahan Senapati,” jawab pemimpin para prajurit yang bertugas itu.

Sejenak kemudian ternyata bahwa Panembahan Senapati tidak berkeberatan menerima Untara dan Sabungsari menghadap. Bahkan Panembahan Senapati sendiri juga ingin segera mendengar apa yang diperoleh Untara di Pajang.

Ketika Untara dan Sabungsari telah berada di serambi samping menghadap longkangan maka Panembahan Senapati pun segera hadir pula. Serambi itu adalah tempat Panembahan Senapati menerima tamu-tamunya yang tidak resmi. Atau justru tamu-tamu yang khusus seperti Untara pada waktu itu.

“Kau berhasil mengenali orang yang bernama Wiladipa itu?” bertanya Panembahan Senapati.

“Ya Panembahan, hamba dapat mengenalinya. Hamba dapat berbicara serba sedikit,” jawab Untara.

“Kita akan memberitahukannya pula kepada Kiai Gringsing yang kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Tidak ke Jati Anom,” berkata Panembahan Senapati.

“Hamba akan bersedia menyampaikan kepada orang tua itu,” berkata Untara.

“Nah, sekarang katakan tentang hasil perjalananmu. Namun sebaiknya aku memohon Paman Juru Martani ikut mendengarkannya,” berkata Panembahan Senapati itu.

Dengan demikian, maka Ki Juru pun telah diundang pula untuk ikut mendengarkan hasil kepergian Untara ke Pajang bersama Sabungsari.

Untara pun menceritakan apa yang telah dilihat, didengar dan dialaminya. Meskipun Untara tidak dapat menyebut dengan terperinci tentang Ki Tumenggung Wiladipa, namun serba sedikit Panembahan Senapati dapat membayangkan, ujud dan peranan apakah yang telah dilakukan oleh Ki Tumenggung Wiladipa.

Demikian Untara selesai dengan ceritanya, maka Panembahan Senapati pun telah menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Seorang yang pantas untuk menjadi perhatian pada masa yang kemelut ini.” Lalu iapun bertanya kepada Ki Juru, “Bagaimana pendapat Paman?”

“Seorang yang memang sangat menarik perhatian,” jawab Ki Juru. Lalu, “Sayang sekali bahwa Demak saat ini masih belum mendapatkan seorang Adipati yang mapan. Pemangku jabatan Adipati Demak agaknya tidak kuasa mengendalikan tingkah laku Ki Tumenggung Wiladipa. Bahkan sebelumnya Wiladipa bukan seorang Tumenggung. Karena pokalnya, maka akhirnya ia mendapatkan kedudukannya dan bahkan kesempatan untuk berada di Pajang.”

“Seharusnya Adimas Adipati Pajang-lah yang berada di Demak. Tetapi dari beberapa pertimbangan, maka ia telah berada di Pajang. Tanpa persetujuanku, maka ia telah menerima beberapa orang Demak untuk membantunya memerintah. Namun agaknya di antara orang-orang Demak itu telah disisipi seorang Wiladipa,” berkata Panembahan Senapati.

“Angger jangan membiarkan hal itu berlarut-larut. Perbuatannya harus dihentikan,” berkata Ki Juru.

“Apakah yang sebaiknya kita lakukan Paman? Bukankah persoalan hubungan antara Pajang dan Mataram sendiri masih belum baik, karena pusaka-pusaka yang seharusnya dipindahkan ke Mataram itu dipertahankan?” bertanya Panembahan Senapati.

“Ya,” jawab Ki Juru, “sebaiknya kita memang berbicara dengan Kiai Gringsing. Ia adalah salah seorang yang mempunyai jalur urutan darah Majapahit. Mungkin ia mempunyai pendapat yang dapat kita pertimbangkan.”

“Aku sependapat Paman. Tetapi bagaimana dengan pendapat Paman sendiri?” berkata Panembahan Senapati, “Apakah dengan alasan kita akan mengambil pusaka-pusaka yang ada di Pajang, maka kita serang Pajang?”

“Jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan seperti itu Angger Panembahan. Dengan demikian, maka seakan-akan Angger menjadi sewenang-wenang.”

“Jadi alasan apakah yang dapat kita ambil?” bertanya Panembahan Senapati, “Apakah kita akan membiarkan saja tingkah laku Adimas Adipati Pajang yang sudah dipengaruhi oleh Ki Tumenggung Wiladipa itu?”

Ki Juru termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Angger Panembahan. Mungkin Angger dapat mempertimbangkan, apalagi kelak jika Kiai Gringsing sudah datang, bahwa Angger berwenang menuntut terhadap orang yang telah berusaha mencelakai utusan Angger Panembahan. Sebagai utusan Panembahan Senapati di Mataram yang berkuasa pula atas Pajang, maka tindakan salah seorang pemimpin di Pajang itu sangat tercela. Maka sepantasnya-lah orang yang telah berusaha mencelakai utusan yang mengemban perintah Panembahan Senapati itu dihukum”

Panembahan Senapati merenung sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk. Katanya, “Itu agaknya alasan yang lebih baik daripada sekedar berebut harta dan pusaka. Mungkin langkah itu akan aku ambil.”

“Bicarakan dengan Kiai Gringsing,” minta Ki Juru.

“Ya Paman. Aku akan membicarakannya. Untara akan segera memanggilnya. Meskipun ia baru saja kembali dari Mataram, biarlah ia pergi lagi ke Menoreh, karena persoalannya adalah persoalan yang menurut aku. cukup penting,” desis Panembahan Senapati.

Demikian, maka Panembahan Senapati telah memutuskan untuk memanggil Kiai Gringsing ke Mataram. Jika berkesempatan, baik juga Ki Gede dan Agung Sedayu untuk datang pula bersama Kiai Gringsing.

Tetapi Panembahan Senapati mengerti, bahwa Untara agaknya sangat letih hari itu, karena ia harus bertempur melawan orang-orang yang agaknya telah dipasang oleh Tumenggung Wiladipa untuk membunuhnya. Sehingga karena itu, maka Panembahan Senapati memberi kesempatan Untara dan Sabungsari beristirahat semalam di Mataram dan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh dikeesokan harinya.

Sebenarnyalah malam itu Untara dan Sabungsari benar-benar dapat beristirahat dengan tidur nyenyak setelah beberapa saat di Pajang ia mengalami ketegangan-ketegangan Di Mataram Untara dan Sabungsari sama sekali tidak mencemaskan sesuatu terjadi atas mereka, sehingga dengan tenang keduanya dapat tidur nyenyak hampir semalam suntuk.

Pagi-pagi benar di keesokan harinya, keduanya telah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menjemput Kiai Gringsing, serta apabila tidak berkeberatan, Ki Gede dan Agung Sedayu.

Perjalanan Untara sama sekali tidak menemui hambatan apapun juga. Hari itu ia sampai ke Tanah Perdikan Menoreh bersama Sabungsari, maka iapun langsung mempersilahkan Kiai Gringsing, Ki Gede dan Agung Sedayu untuk pergi ke Mataram.

“Apakah Angger Untara tidak akan beristirahat di Tanah Perdikan?” bertanya Ki Gede.

“Terima kasih Ki Gede. Agaknya Panembahan Senapati ingin segera membicarakan persoalan ini. Tetapi jika Ki Gede dan Kiai Gringsing berhalangan hari ini, maka Panembahan Senapati akan menunggu kesediaan Ki Gede dan Kiai Gringsing,” jawab Untara.

Tetapi Kiai Gringsing dan Ki Gede tidak dapat menunda panggilan itu. Apalagi persoalan yang dihadapinya adalah persoalan yang cukup penting.

Karena itu, maka setelah beristirahat sejenak dan menjamu Untara dan Sabungsari, maka Kiai Gringsing, Ki Gede dan Agung Sedayu pun telah pergi ke Mataram bersama dengan Untara dan Sabungsari.

“Apakah Angger Untara tidak letih hari ini?” bertanya Kiai Gringsing.

“Semalam aku tidur semalam suntuk,” jawab Untara, “karena itu hari ini aku merasa sangat segar.”

Kiai Gringsing tersenyum. Ia percaya, bahwa Untara memang tidak letih pada hari itu, selelah semalam ia beristirahat sepenuhnya.

Hari itu juga, Kiai Gringsing, Ki Gede dan Agung Sedayu telah menghadap Panembahan Senapati yang menunggu mereka bersama Ki Juru Martani.

“Hamba mohon maaf Panembahan, bahwa kedatangan hamba terlambat sekali,” berkata Kiai Gringsing.

“Ah, tentu tidak. Agaknya kami di sini-lah yang diburu oleh ketergesa-gesaan, sehingga rasa-rasanya kami menunggu sudah terlalu lama. Tetapi nalar dan pertimbangan kami mengerti bahwa Kiai dan Ki Gede tidak dapat begitu saja meningalkan tugas dan kewajiban di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Tidak ada tugas yang lebih penting daripada menghadap Panembahan pada hari ini,” berkata Ki Gede.

Panembahan Senapati tersenyum. Katanya, “Aku minta maaf Ki Gede, bahwa kedudukanku menghendaki aku memanggil Ki Gede. Jika saja aku masih seperti dahulu, maka akulah yang akan datang ke Tanah Perdikan.”

“Kami mengerti,” jawab Ki Gede, “kedudukan Panembahan menuntut sikap yang berbeda daripada Panembahan semasa masih belum menduduki jabatan ini,” berkata Ki Gede, “sebagaimana juga Pangeran Benawa sekarang harus berbeda sikap daripada Pangeran Benawa dahulu.”

Panembahan Senapati tertawa. Iapun mengerti bahwa Pangeran Benawa pada waktu itu juga banyak berada di perjalanan. Di tempat-tempat yang memungkinkannya untuk menyepi, untuk memusatkan nalar dan budi tanpa terganggu oleh kesibukan dunia dan perputarannya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar