Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 188

Buku 188

Karena itu, maka Ki Tumenggung itu pun menjadi tergagap dan tidak segera dapat menjawab.

Karena Ki Tumenggung tidak menjawab, maka Panembahan Senapati pun telah bertanya kepada Raden Rangga, “Rangga, apakah yang sudah dilakukan oleh Agung Sedayu? Apakah ia membantumu menangkap harimau itu dan melepaskannya di halaman Ki Tumenggung?”

“Tidak Ayahanda,” jawab Raden Rangga, “Agung Sedayu justru berusaha mencegah aku. Aku mengatakan kepada Ki Tumenggung, bahwa aku telah melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Jika Tumenggung tidak percaya, aku mengajaknya bertaruh. Jika aku tidak berhasil, aku menyerah untuk melakukan apa saja. Tetapi jika aku berhasil, aku akan mengambil jabatan Tumenggung nya.”

Wajah Panembahan Senapati menegang. Katanya, “Apakah kau berwenang mengambil jabatannya, meskipun kau memenangkan satu pertaruhan?”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menundukkan kepalanya sambil menjawab, “Tidak Ayahanda.”

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya Raden Rangga yang menundukkan kepalanya dalam-dalam. Kemudian pandangan matanya pun beralih kepada Ki Tumenggung.

“Ki Tumenggung,” bertanya Panembahan Senapati kemudian, “mungkin kau secara pribadi memang belum mengenal Agung Sedayu. Kau sudah agak lama bertugas di luar Mataram. Dan kau kembali ke Mataram setelah pertempuran di Prambanan. Namun sebelum kau meninggalkan Mataram, atau setelah kau kembali, kau tentu pernah mendengar nama Agung Sedayu yang sudah cukup banyak membantu tegaknya Mataram. la sering berada di Mataram sejak Alas Mentaok ini masih merupakan daerah yang jarang sekali disentuh kaki orang. Sejak kau belum mengabdikan dirimu di sini. Seharusnya kau tahu, bahwa orang seperti Agung Sedayu itu tidak akan mungkin bermain-main seperti yang dilakukan oleh Rangga.”

Ki Tumenggung menjadi semakin menunduk. Tetapi di luar sadarnya ia memandang sekilas ke arah Raden Rangga yang kebetulan sekali sedang berpaling ke arahnya juga.

Betapa Ki Tumenggung’ harus menahan diri ketika ia melihat Raden Rangga menjulurkan lidahnya ke arah Ki Tumenggung itu.

Sementara itu, Panembahan Senapati berkata selanjutnya kepada Ki Tumenggung, “Meskipun demikian Ki Tumenggung, aku tidak akan mengurangi penghargaanku bahwa kau telah dapat membawa Rangga kepadaku justru pada saat ia melakukan kenakalan. Namun aku juga memperingatkanmu, agar kau tidak melakukan langkah-langkah yang tergesa-gesa tanpa perhitungan, seperti yang kau lakukan atas Agung Sedayu.”

Ki Tumenggung masih tetap menunduk. Tetapi, ia mengumpat di dalam hati. Kenapa selama ini prajurit yang bersamanya tidak ada yang memberitahukan serba sedikit tentang orang yang ditangkapnya itu. Mungkin mereka memang belum mengenal Agung Sedayu. Tetapi mungkin mereka sengaja membiarkan Tumenggung itu menghadapkan Agung Sedayu kepada Panembahan Senapati.

Sejenak kemudian maka Panembahan Senapati itupun berkata, “Atas nama Ki Tumenggung yang mengemban perintahku dengan pertanda kuasaku, aku minta maaf kepadamu Agung Sedayu.”

“Tidak ada yang bersalah Panembahan,” jawab Agung Sedayu, “persoalannya adalah bahwa Ki Tumenggung masih belum mengenal hamba.”

“Jika demikian, maka aku mengucapkan terima kasih kepadamu. Tetapi apakah ada kepentinganmu datang ke Mataram?” bertanya Panembahan Senapati kemudian.

“Kedatangan hamba memang dalam hubungan permainan Raden Rangga. Tetapi sebenarnyalah hamba ingin mencegah sesuatu yang mungkin dapat terjadi bahkan merugikan seseorang dengan permainan itu,” jawab Agung Sedayu.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi kau sudah mendengar sebelumnya bahwa Rangga akan melakukannya?”

“Ya Panembahan. Karena itu, hamba datang kemari,” jawab Agung Sedayu.

“Kau dengar Ki Tumenggung?” berkata Panembahan Senapati, “Seharusnya kau bersikap lebih dewasa. Bukan saja umurmu yang memanjat ke usia lanjutmu. Tetapi juga sikapmu.”

Raden Rangga masih menunduk dalam-dalam. Tetapi ia sempat tersenyum. Sekali-sekali ia memang mencuri pandang ke arah Ki Tumenggung. Namun Ki Tumenggung tidak lagi berpaling kepadanya.

Sementara itu, di dalam hati Raden Rangga berkata, “Ada juga baiknya Ki Tumenggung menangkap Agung Sedayu. Bukan saja Ki Tumenggung harus menelan kenyataan yang pahit, bahwa yang ditangkap adalah Agung Sedayu, yang telah dianggap sebagai seseorang yang banyak berjasa terhadap Mataram tanpa melakukan kesalahan apapun. Juga dengan demikian perhatian Ayahanda ternyata lebih banyak tertuju kepada Ki Tumenggung sendiri daripada kepadaku.”

Namun baru saja ia menikmati perasaannya itu, tiba-tiba saja ia terkejut ketika ia mendengar ayahandanya berkata, “Rangga. Ternyata kau telah melakukan kesalahan lagi. Sebelumnya aku telah memberimu peringatan, bahkan aku sudah mengancammu. Karena kau ternyata masih juga berbuat, maka aku akan mengetrapkan ancaman yang pernah aku ucapkan. Kau akan dikurung selama sepekan dalam bilik khusus. Jika kau berusaha untuk melarikan diri karena kau merasa mampu melakukannya, maka aku akan mengulangi hukuman itu dengan kelipatan dua, dan bahkan tiga, menurut caramu melarikan diri. Kau memang berkemampuan tinggi, dan bahkan terlalu tinggi bagi umurmu dan kenakalanmu. Tetapi jangan menyangka bahwa kau akan luput dari hukuman.”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun ia tidak akan dapat membantah. Apapun yang diperintahkan oleh ayahandanya yang juga penguasa di Mataram, harus dijalaninya.

Dalam pada itu, Panembahan Senapati pun berkata kepada Ki Tumenggung Wiragiri, “Ki Tumenggung. Serahkan Rangga kepada yang berkewajiban mengurungnya atas parintahku. Ia dapat ditempatkan dimana saja, karena ia tidak akan melarikan dirinya, diawasi atau tidak diawasi.”

Raden Rangga mengeluh di dalam hati. la sadar, bahwa dengan demikian ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Yang dikatakan oleh Ayahandanya adalah satu ancaman, apabila ia berusaha untuk melepaskan diri dari kurungannya.

Ki Tumenggung pun kemudian menunduk hormat sambil menyahut, “Hamba akan melakukan segala titah Panembahan.”

Dengan nada datar Panembahan Senapati pun berkata, “Aku ambil kembali partanda kuasaku.”

Ki Tumenggung pun kemudian menyerahkan tunggul kerajaan. Selanjutnya bersama Raden Rangga ia bergeser keluar dari ruang dalam, diikuti oleh prajurit yang semula mengawal Agung Sedayu menghadap.

Demikian mereka sampai di luar bilik itu, terdengar Raden Rangga tertawa tertahan. Agaknya sudah terlalu lama ia berusaha untuk mencegah agar ia tidak tertawa, namun demikian mereka sampai di luar pintu, maka terlalu sulit baginya untuk tetap berdiam diri dengan dada yang sesak.

“Maaf Ki Tunenggung,” berkata Raden Rangga, “tingkah laku Ki Tumenggung memang sangat menggelikan. Apalagi ketika Ayahanda memperingatkan agar Ki Tumenggung tidak melakukan kesalahan seperti itu lagi. Untunglah Ayahanda tidak memberi kesempatan kepada Agung Sedayu untuk melepaskan sakit hatinya mengalami perlakuan Ki Tumenggung yang kasar.”

Ki Tumenggung menggeretakkan giginya. Namun ia masih juga bergumam, “Aku tidak takut kepada Agung Sedayu meskipun aku pernah mendengar tentang tingkat ilmunya yang tinggi.”

“O,” Raden Rangga menutup mulutnya. Namun tubuhnya bagaikan diguncang menahan tertawanya. Beberapa langkah ia menjauhi pintu ruang dalam sambil berkata, “Ki Tumenggung memang seorang pemimpi. Bukankah Ki Tumenggung baru saja mengalami kesulitan melawan seekor harimau mabuk? He, jika Ki Tumenggung ingin tahu, Agung Sedayu mempunyai kekuatan melampaui kekuatan seekor harimau, mempunyai akal melampaui kecerdikan akalmu, dan mempunyai ilmu yang tinggi melampaui semua senapati Mataram, selain Ayahanda dan Paman Juru Martani. Nah, apa katamu?”

“Raden memang suka membual,” berkata Ki Tumenggung, “tetapi aku belum pernah melihat kemampuannya yang tidak masuk akal itu.”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Katanya, “Kau mau tahu? Aku dapat memberikan ukurannya, meskipun bukan kemampuannya yang sebenarnya. Nah, jika kau dapat mengalahkan aku, maka baru kau dapat mengatakan bahwa kau berani melawan Agung Sedayu. Itupun kau tentu akan dikalahkannya.”

Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Sementara itu Raden Rangga berkata selanjutnya, “Aku tidak akan mengingkari keputusan Ayahanda, bahwa aku harus dikurung. Tetapi sebelum aku dikurung, kita akan dapat mencoba sebentar saja. Tetapi tidak di sini. Ketahuilah, bahwa kemampuanku tidak jauh terpaut dari kemampuan murid Agung Sedayu yang bernama Glagah Putih itu. Dengan demikian kau akan dapat menjajagi, kira-kira sampai dimanakah kemampuanmu dibandingkan dengan kemampuan Agung Sedayu.”

Wajah Ki Tumenggung menjadi merah. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. la tidak akan dapat memenuhi keinginan Raden Rangga untuk menjajagi kemampuannya. Bukan karena Ki Tumenggung takut terhadap anak muda itu, tetapi justru karena kuasa Panembahan Senapati yang dilimpahkan kepadanya tidak sampai sejauh itu.

Namun demikian, Ki Tumenggung itupun pernah mendengar apa saja yang pernah dilakukan oleh Raden Rangga sebagai seorang anak nakal, yang kadang-kadang memang tidak masuk akal.

Karena itu, maka Ki Tumenggung pun kemudian berkata, “Sudahlah Raden. Aku memang tidak mendapat tugas yang lain sekarang ini, selain membawa Raden kepada para petugas yang akan mengurung Raden untuk waktu sepekan. Raden akan dapat berbuat sesuka hati Raden di dalam kurungan itu. Tetapi ingat akan pesan ayahanda Raden, bahwa kurungan itu akan dapat berlipat menjadi dua atau tiga kali, jika Raden berusaha untuk melepaskan diri, diawasi atau tidak diawasi.”

“Jangan takut aku lari Ki Tumenggung,” jawab Raden Rangga, “aku akan dengan taat melakukan semua perintah Ayahanda. Adalah menyenangkan sekali berada di dalam kurungan untuk waktu yang sepekan. Jika tidak demikian, maka bagiku akan sulit sekali mencari waktu untuk beristirahat.”

Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Anak ini memang anak yang menjengkelkan sekali. Karena itu, maka ia tidak mau terlibat dalam pembicaraan lebih panjang lagi, yang mungkin akan dapat melepaskannya dari kendali.

Karena itu, maka katanya, “Sudahlah Raden. Kita akan kehabisan waktu.”

Raden Rangga pun tidak menjawab lagi. Tetapi ia sempat berpaling ke arah pintu yang tadi dilaluinya. Agaknya Agung Sedayu masih berada di dalam ruang itu bersama ayahandanya.

Yang berpaling ternyata bukan hanya Raden Rangga. Ki Tumenggung pun merasa heran, bahwa Agung Sedayu telah mendapat kesempatan cukup lama untuk berbicara dengan Panembahan Senapati. Kesempatan yang jarang sekali didapatkan oleh siapa pun juga, selain Ki Juru Martani.

“Apa saja yang dibicarakan oleh keduanya?” bertanya Ki Tumenggung di dalam hati. Lalu, “Agaknya Panembahan Senapati telah mengenalnya dengan baik, karena seperti yang dikatakan, Agung Sedayu banyak berjasa terhadap Matararn sejak babat Alas Mentaok.”

Tetapi Ki Tumenggung harus segera meninggalkan tempat itu, karena justru Raden Rangga-lah yang kemudian berjalan cepat-cepat diiringi oleh dua orang yang semula mengawal Agung Sedayu.

Pada saat itu, di ruang dalam Panembahan Senapati memang masih berbincang dengan Agung Sedayu. Panembahan Senapati bertanya tentang beberapa hal yahg menyangkut putranya yang nakal itu.

“Sulit sekali untuk mengendalikannya,” berkata Panembahan Senapati, “ia memiliki kemampuan yang tidak sewajarnya.”

“Tetapi agaknya Raden Rangga sangat taat kepada Panembahan,” sahut Agung Sedayu.

“Ia akan melakukan segala perintah yang aku jatuhkan kepadanya. Tetapi hanya untuk sesaat. Pada kesempatan lain ia akan mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya. Yang mencemaskan aku adalah bahwa Rangga mempunyai kemampuan yang tidak disadarinya sepenuhnya. Karena itu, maka kadang-kadang meskipun tidak dikehendakinya sendiri, ia telah melakukan pembunuhan,” berkata Panembahan Senapati.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang telah melihat sendiri kenakalan anak yang masih sangat muda itu. Kelebihannya dari orang-orang kebanyakan telah membuat orang lain kadang-kadang mendapat kesulitan.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu yang mencemaskan langkah-langkah lain yang akan diambil oleh Panembahan Senapati itu pun kemudian berkata, “Panembahan. Ada yang mencemaskan yang menurut hamba harus mendapat perhatian. Raden Rangga berniat untuk membantu Panembahan dalam persoalan Panembahan dengan Adipati Wirabumi.”

“He?” Panembahan Senapati terkejut, “Apa maksudnya?

Agung Sedayu pun menceritakan bahwa Raden Rangga agaknya telah mendengar persoalan yang timbul antara Pajang dan Mataram. Sehingga timbul keinginannya untuk berbuat sesuatu, agar menurut Raden Rangga, ayahandanya tidak selalu marah kepadanya.

“Raden Rangga ingin melakukan sesuatu yang menurut pendapatnya merupakan jasa yang berarti bagi Mataram, sehingga ia mendapat pengakuan bahwa ia bukan lagi anak-anak yang hanya dapat merengek dan minta disuapi,” berkata Agung Sedayu lebih lanjut.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk.

Sebenarnyalah jika niat Raden Rangga itu diteruskan, maka hal itu merupakan bahaya yang sangat besar bagi hubungannya dengan keluarga Adipati Pajang.

Karena itu, maka katanya kemudian, “Terima kasih Agung Sedayu. Keteranganmu sangat berharga bagiku. Baik bagi Mataram, maupun bagi Rangga sendiri. Jika hal itu dilakukannya, maka tentu akan timbul jarak yang semakin jauh antara Pajang dan Mataram. Sementara itu, aku sedang berusaha untuk menghimpun kekuatan agar persatuan Mataram nampak menjadi utuh.”

“Selanjutnya terserah kepada Panembahan,” berkata Agung Sedayu, “namun sudah barang tentu Panembahan cukup bijaksana menanggapi keinginan Raden Rangga itu.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk Namun ia merasa bersyukur bahwa ia mendapatkan keterangan itu sebelum segala sesuatunya terlanjur terjadi.

Sementara itu, maka setelah keterangan Agung Sedayu dirasa cukup, maka Agung Sedayu pun kemudian mohon diri untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Hamba harus segera kembali,” ia menjelaskan.

Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Sebenarnya aku ingin menahanmu. Rasa-rasanya masih banyak yang dapat kita bicarakan. Aku sekarang tidak mempunyai cukup kesempatan untuk berbuat sebagaimana pernah aku lakukan. Dalam membenahi pemerintahan di tanah ini, ternyata aku dicengkam oleh tugas-tugas yang sulit untuk ditinggalkan.”

“Hamba mengerti Panembahan,” berkata Agung Sedayu.

“Syukurlah,” berkata Panembahan Senapati, “perubahan kedudukanku agaknya telah membuat banyak perubahan dengan tata cara hidupku. Sebenarnya aku tidak ingin terjadi jarak di antara kita seperti yang terjadi sekarang. Aku lebih senang berbicara sebagaimana pernah kita lakukan. Mungkin di tengah-tengah sawah. Mungkin di pinggir hutan, atau di lereng-lereng bukit. Persoalan yang kita bicarakan pun merupakan persoalan-persoalan yang sangat akrab dengan tata kehidupan kita waktu itu. Tetapi sekarang, setiap langkahku seakan-akan sudah ditentukan oleh kewajiban yang tidak-dapat aku tinggalkan.”

“Hamba merasakannya sebagai satu hal yang sangat wajar Panembahan,” jawab Agung Sedayu, “karena itu, maka sebaiknya hamba juga tidak terlalu Iama berada di sini. Selain Panembahan harus berbuat banyak bagi Mataram, hamba pun sebenarnya telah ditunggu Guru.”

“Kiai Gringsing?” bertanya Panembahan Senapati.

“Ya Panembahan. Hamba memang datang bersama Guru. Tetapi pada saat ditangkap, hamba berada berdua saja dengan Raden Rangga, karena Guru sedang melihat-lihat pande besi di sudut pasar,” jawab Agung Sedayu. “Jadi Kiai Gringsing tidak tahu bahwa kau berada di sini sekarang?” bertanya Panembahan Senopati.

“Guru melihat hamba dibawa oleh Ki Tumenggung Wiragiri bersama Raden Rangga, Panembahan,” jawab Agung sedayu.

Panembahan Senopati mengangguk-angguk. Desisnya, “Terima kasih atas kesediaanmu mengikuti Tumenggung Wiragiri, sehingga tidak timbul persoalan yang dapat mengejutkan orang-orang yang berada di sekitar itu.”

“Itu adalah yang seharusnya kami lakukan Panembahan,” jawab Agung Sedayu.

“Aku mengerti kedewasaan cara kalian berpikir. Apalagi Kiai Gringsing. Karena itu, sampaikan salamku kepadanya. Dan aku mengucapkan terima kasih atas sikapnya,” berkata Panembahan Senopati, “namun sebenarnya jika Kiai Gringsing tidak berkeberatan, aku berharap Kiai Gringsing dapat singgah barang sebentar.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Lain kali Guru tentu akan datang menghadap Panembahan. Namun tidak sekarang.”

“Baiklah Agung Sedayu,” jawab Panembahan Senopati, “aku tidak dapat menahan kau terlalu lama. Memang bukan maksudku mengusirmu. Tetapi agaknya kita masing-masing mempunyai kesibukan tersendiri.”

“Hamba mengerti Panembahan,” jawab Agung Sedayu, “karena itu hamba mohon diri. Mudah-mudahan keterangan hamba tentang Raden Rangga akan dapat. menjadi bahan pengawasan Panembahan terhadap putranda itu.”

“Aku sangat berterima kasih, seperti yang sudah aku katakan. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu. Namun Rangga masih harus menjalani hukuman sepekan. Itu jika ia tidak berbuat aneh-aneh selama berada dalam kurungan,” jawab Panembahan Senopati.

“Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu,” desis Agung Sedayu, yang sejenak kemudian benar-benar mohon diri dan meninggalkan istana Panembahan Senapati. Namun ia kemudian harus berjalan kaki menuju ke pasar.

Namun ketika ia sampai ke sebuah tikungan, langkahnya tertegun. la melihat seorang anak muda duduk di pinggir jalan, di bawah sebatang pohon gayam.

“Glagah Putih,” desis Agung Sedayu.

Melihat kedatangan Agung Sedayu, Glagah Putih pun segera bangkit dan melangkah menyongsongnya, ”Kau tidak apa-apa Kakang?”

“Sebagaimana kau lihat,” jawab Agung Sedayu, “aku selamat.”

“Lalu apa yang telah terjadi dengan Raden Rangga?” bertanya Glagah Putih.

“Raden Rangga harus menjalani hukuman, sebagaimana telah diketahuinya sebelumnya jika ia melakukan kesalahan lagi. la akan dikurung selama sepekan,” jawab Agung Sedayu.

“Kami menjadi gelisah. Tetapi apakah Kakang memang dibiarkan bebas, atau Kakang telah membebaskan diri?” bertanya Glagah Putih.

“Bagaimana mungkin aku dapat membebaskan diri?” jawab Agung Sedayu, “Jika aku harus dihukum, maka tidak ada jalan yang dapat aku tempuh untuk membebaskan diri.”

“Jadi Kakang memang dibebaskan?” bertanya Glagah Putih pula.

“Ya. Setelah Panembahan Senapati yakin bahwa aku tidak bersalah,” jawab Agung Sedayu.

“Jadi Kakang dihadapkan langsung kepada Panembahan Senapati?” Glagah Putih masih bertanya.

“Marilah, kita berjalan,” berkata Agung Sedayu, “agar kita tidak menjadi perhatian orang banyak.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi, iapun kemudian mengikuti Agung Sedayu berjalan menuju ke pasar.

“Apakah kuda-kuda kita sudah kau lihat?” bertanya Agung Sedayu.

“Kami sudah membawanya ke sebelah pasar dan kami ikat di sana, termasuk kuda Kakang” jawab Glagah Putih.

“Syukurlah,” jawab Agung Sedayu, “kita akan segera dapat mempergunakan.”

“Apakah kita harus melarikan diri?” bertanya Glagah Putih.

“Tidak,” jawab Agung Sedayu, “kenapa kita harus melarikan diri? Aku baru saja bercakap-cakap dengan Panembahan Senapati. Dan aku mohon diri dengan baik sebagaimana Panembahan Senapati pun melepaskan aku dengan baik.”

“Maaf,” desis Glagah Putih, “pikiranku dipengaruhi sikap orang-orang yang telah menangkap Kakang Agung Sedayu. Kemudian Kakang bertanya tentang kuda.”

Agung Sedayu tersenyum. la dapat menangkap alur jalan pikiran Glagah Putih. Karena itu maka katanya, “Jangan cemas. Aku tidak sedang melarikan diri.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia kemudian berjalan di sebelah Agung Sedayu sambil berdesis, “Apakah Kakang mengetahui, bahwa seseorang teIah mengikuti Kakang?”

Agung Sedayu memandang Glagah Putih sejenak. Lalu katanya, “Aku baru meyakinkannya. Aku merasa seseorang selalu mengawasi aku. Tetapi apakah ia mengikuti aku atau tidak, aku kurang tahu. Untuk itu maka kita harus menunggu beberapa lama.”

Glagah Putih mengangguk kecil. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Seandainya orang itu benar benar mengikuti Kakang, apakah Kakang masih tetap dicurigai, meskipun Panembahan Senapati menyatakan Kakang dibebaskan dari segala macam tuntutan?”

“Tentu bukan atas perintah Panembahan Senapati,” jawab Agung Sedayu. Namun kemudian katanya, “Biarkan saja. Kita berada di jalan yang cukup banyak dilalui orang, sehingga jika orang itu berbuat sesuatu, kita akan mempunyai banyak saksi bahwa kita tidak bersalah.”

Glagah Putih tidak bertanya lagi tentang orang yang menurut penglihatannya seakan-akan telah mengikuti Agung Sedayu. Namun di luar sadarnya, Glagah Putih telah berpaling. Ternyata ia masih melihat orang itu mengikuti mereka berdua.

Tetapi Glagah Putih tidak mempersoalkannya. la mengikuti saja Agung Sedayu yang berjalan menuju ke pasar.

Ternyata dengan berjalan kaki, pasar itu terasa menjadi lebih jauh jaraknya.

Ketika keduanya masuk ke dalam pasar, maka Glagah Putih masih sempat berpaling sekali lagi. Dengan tidak semata-mata ia berhasil melihat orang yang mengikutinya. Bahkan tidak sendiri. Tetapi dua orang yang berdiri di jarak yang agak lebih panjang dari sebelumnya

“Orang itu mengikuti kita sampai kita memasuki pasar,” desis Glagah Putih. “Bukan saja seseorang, tetapi ternyata dua orang.”

“Aku juga melihatnya,” berkata Agung Sedayu, “tetapi jangan terlalu merisaukannya. Mungkin orang itu mendapat tugas untuk mengawasi aku sampai aku keluar dari kota dan tidak berbuat sesuatu. Tetapi sekali lagi aku tegaskan bahwa tentu bukan atas perintah Panembahan Senapati.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak dapat melepaskan diri dari orang yang mengikuti Agung Sedayu itu. Bagaimanapun juga, tingkah laku orang itu membuatnya tidak senang apapun alasannya.

Tetapi Glagah Putih berusaha untuk tidak terlalu merisaukannya, meskipun ia menjadi lebih berhati-hati.

Agung Sedayu yang sudah berada di dalam pasar itupun kemudian dibawa oleh Glagah Putih menuju ke sebuah sudut tempat beberapa orang pande besi bekerja. Ada beberapa buah perapian dalam petak-petak kecil yang sibuk dengan para pande besi itu bekerja membuat berbagai macam peralatan. Ternyata di sekitar tempat itu, banyak berkerumun orang-orang yang membutuhkan alat-alat pertanian dan peralatan dapur. Mereka bergerombol-gerombol di sekitar beberapa jenis barang yang sudah jadi dan siap untuk diperjualbelikan. Agung Sedayu pun segera melihat Kiai Gringsing, Kiai Jayaraga dan Ki Widura di antara mereka yang berkerumun di tempat itu Agaknya Kiai Gringsing memang berkepentingan untuk membeli sebuah parang pembelah kayu bakar.

Karena itu, maka Kiai Gringsing pun masih saja sibuk memilih parang yang dianggapnya baik. “Parang pembelah kayu di padepokan itu sudah amber,” kata Kiai Gringsing.

“Apakah di Jati Anom tidak ada pande besi yang membuat parang yang baik?” bertanya Kiai Jayaraga.

“Pande besi di Sendang Gabus telah tidak ada lagi,” berkata Ki Widura.

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Banyak pande besi di Jati Anom. Tetapi ketika aku melihat parang pembelah kayu, aku teringat kebutuhan para cantrik. Tidak ada salahnya jika aku membelinya disini.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Namun sebelum ia menyahut, Glagah Putih telah berjongkok di sebelahnya.

“Aku datang bersama Kakang Agung Sedayu,” katanya.

“O,” orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu berpaling. Merekapun melihat Agung Sedayu sudah berjongkok pula di belakang mereka.

“Bagaimana dengan keadaanmu?” bertanya Kiai Gringsing.

“Aku dihadapkan kepada Panembahan Senapati,” jawab Agung Sedayu yang kemudian dengan perlahan-lahan menceritakan serba sedikit tentang pertemuannya dengan Panembahan Senapati.

Orang-orang tua yang mendengarkan ceritanya itupun mengangguk-angguk. Mereka memang sudah memperhitungkan, bahwa jika Agung Sedayu dibawa menghadap Panembahan Senapati, maka keadaannya akan tidak mengkhawatirkan.

“Jika sudah tidak ada persoalan lagi, maka sebaikaya kita kembali saja ke Tanah Perdikan,” berkata Kiai Gringsing, “agaknya semalam kita sudah mendapat kesempatan untuk melihat wayang beber semalam suntuk. Jarang sekali kita mendapat kesempatan yang demikian.”

“Baiklah Kiai,” sahut Kiai Jayaraga, “kita sudah cukup lama berada di pasar ini. Matahari sudah semakin tinggi. Bukankah kuda kita sudah ada di sebelah pasar ini.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. la sudah membeli sebilah parang pembelah kayu dan sarungnya, yang sekedar melindungi tajam parang itu.

Karena itu, maka sejenak kemudian merekapun telah berdiri dan berjalan menuju ke pintu gerbang pasar.

Demikian mereka berada di luar pintu gerbang, Glagah Putih telah menggamit Agung Sedayu sambil berkata, “Orang itu masih ada. Hanya seorang.”

Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Biarkan saja. la tidak akan berbuat apa-apa.”

Tetapi Glagah Putih tidak yakin, bahwa yang dikatakan Agung Sedayu itu diucapkanya atas dasar perhitungan yang sebenarnya. Mungkin Agung Sedayu hanya sekedar membuat agar ia tetap tenang.

Namun Glagah Putih memang tidak menyebutnya lagi. Seperti orang-orang yang lain yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh, iapun kemudian berjalan dengan langkah tetap menuju ke arah kudanya tertambat.

Beberapa saat kemudian, merekapun telah bersiap. Mereka menuntun kuda mereka ke jalan di sebelah pasar itu. Baru kemudian mereka meloncat naik ke punggung kuda.

“Agaknya malam ini kita telah memerlukan menonton wayang beber ke tempat yang sangat jauh,” berkata Ki Widura.

“Ya. Tetapi tentu ada pengalaman lain bagi Agung Sedayu,” jawab Kiai Gringsing.

Agung Sedayu hanya tersenyum saja. Namun Glagah Putih-lah yang kemudian bertanya, “Lalu bagaimana dengan Raden Rangga?”

“la harus menjalani hukumannya,” jawab Agung Sedayu, “sepekan dalam kurungan.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia membayangkan, apa saja yang dilakukan oleh Raden Rangga di dalam kurungan itu.

Namun hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Apakah Raden Rangga tidak dapat keluar dari kurungan itu?”

“Jika ia berniat, maka aku kira tidak ada kurungan yang dapat menahannya,” jawab Agung Sedayu, “tetapi Raden Rangga tidak akan keluar dari kurungan itu, karena ayahandanya sudah berpesan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Agaknya Raden Rangga memang tidak akan berani melarikan diri, sebagaimana pada saat ia ditangkap, meskipun ia mampu melakukannya.

Untuk beberapa saat Glagah Putih berdiam diri. Iring-iringan kecil itu menyusuri jalan meninggalkan Mataram menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Mereka melalui jalan yang paling ramai dipergunakan oleh orang-orang yang hilir mudik untuk bermacam-macam keperluan dari dan ke Mataram.

Baru setelah mereka menjadi semakin jauh dari pasar, maka kuda mereka mulai berpacu. Meskipun tidak terlalu cepat, karena jalan yang masih cukup ramai.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih yang berkuda di sebelah Agung Sedayu telah menggamitnya dan berdesis, “Kakang Agung Sedayu. Kau lihat beberapa orang berkuda yang berhenti di pinggir jalan itu?”

“Ya, kenapa?” bertanya Agung Sedayu.

“Siapakah mereka?” bertanya Glagah Putih pula.

“Tentu aku tidak mengerti,” jawab Agung Sedayu.

“Hatiku berdebar-debar,” berkata Glagah Putih, “aku rasa mereka ada hubungannya dengan orang yang mengikuti Kakang sampai ke pasar itu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. la tidak dapat sekedar menenangkan hati Glagah Putih. Agaknya anak muda itu tidak dapat dikelabuinya seperti kanak-kanak. Namun seandainya demikian, maka akhirnya anak muda itu akan tahu juga.

Karena itu, maka katanya, “Sebaiknya kita tunggu saja. Mungkin memang demikian. Tetapi mungkin kita hanya terlalu berprasangka saja.”

Glagah Putih tidak menjawab, tetapi ia menjadi semakin curiga terhadap orang-orang berkuda yang berhenti di pinggir jalan.

Sementara itu, orang-orang tua yang berkuda bersama mereka pun menjadi berdebar-debar pula. Perasaan mereka mulai mengatakan tentang sesuatu yang akan dapat menghambat perjalanan mereka. Namun mereka masih tetap berdiam diri.

Agung Sedayu memang mendapat firasat kurang baik tentang orang-orang berkuda yang berhenti di pinggir jalan. Namun jalan itu cukup ramai, sehingga apakah orang-orang itu akan berbuat sesuatu di jalan induk itu? Jika demikian, maka jalan itu akan terganggu dan berita tentang persoalan yang kemudian timbul tentu akan cepat tersebar sampai ke jantung kota.

Semakin dekat iring-iringan kecil itu dengan orang-orang berkuda yang berhenti di pinggir jalan itu, jantung mereka menjadi semakin berdebar-debar. Kiai Gringsing yang berkuda di paling depan justru telah sedikit memperlambat kudanya. Di belakangnya Ki Widura dan Kiai Jayaraga, baru kemudian berjarak beberapa langkah adalah Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Tetapi ternyata ketika iring-iringan itu lewat, orang-orang berkuda itu tidak berbuat sesuatu. Bahkan agaknya mereka sama sekali tidak menghiraukan. Demikianlah Kiai Gringsing lewat di hadapan mereka, Kiai Jayaraga dan Ki Widura, bahkan kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Beberapa langkah dari mereka, Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ternyata kita hanya berprasangka. Mereka sama sekali tidak berbuat apa-apa. Bahkan menegurpun tidak.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia sama sekali belum terlepas dari ketegangan. Bahkan kemudian, jantungnya berdegup semakin keras ketika ia melihat seorang yang berdiri menuntun kudanya di pinggir jalan.

Sebenarnyalah dugaan Agung Sedayu bukannya tidak beralasan. Orang yang menuntun kudanya itu telah menghentikan Kiai Gringsing yang berkuda di paling depan.

Kiai Gringsing itu pun menarik kekang kudanya. Sementara itu orang yang menuntun kudanya itu bertanya, “Maaf Kiai, apakah Kiai berkuda bersama anak muda di belakang itu?”

Kiai Gringsing berpaling. Dilihatnya Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berhenti pula beberapa langkah di belakang mereka.

“Ya,” jawab Kiai Gringsing, “mereka adalah keluargaku.”

“Tetapi bukankah yang berada di sisi anak muda itu Agung Sedayu?” bertanya orang itu.

“Tepat,” jawab Kiai Gringsing, “apakah Ki Sanak sudah mengenalnya?”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata ia memang tidak hanya seorang diri atau berdua. Benar seperti yang kami duga, bahwa Agung Sedayu tentu mempunyai beberapa kawan di Mataram.”

“Kami memang datang bersamanya,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi kenapa?”

“Aku berkepentingan dengan orang itu,” berkata orang yang menghentikan itu.

Orang itu tidak menunggu jawab Kiai Gringsing. Masih dengan menuntun kudanya ia mendekati Agung Sedayu yang berhenti beberapa langkah di belakang Kiai Jayaraga.

“Agung Sedayu,” panggil orang yang menuntun kuda itu.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah kau mempunyai satu keperluan dengan aku?”

“Ya. Aku minta kau mengikuti aku, mengambil jalan simpang itu ke kiri,” berkata orang itu.

“Untuk apa?” bertanya Agung Sedayu.

“Kau tidak perlu tahu. Aku akan minta kawan-kawanmu mengikutimu,” jawab orang itu.

“Aneh Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu, “aku harus mengikuti Ki Sanak. Tetapi Ki Sanak tidak mau mengatakan, apakah keperluan Ki Sanak memanggil aku.”

“Pokoknya ikut aku. Jangan banyak alasan untuk menolak. Lihat, orang-orang berkuda itu adalah orang-orangku. Jika kau menolak, maka kau akan berhadapan dengan orang-orang itu,” berkata orang yang menuntun kuda itu.

“Kau aneh Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu, “jaIan ini adalah jalan yang ramai. Jika terjadi benturan kekuatan di antara kita, maka beritanya akan segera didengar oleh para prajurit, sehingga mereka akan segera datang ke tempat ini. Dengan demikian, maka kalian tentu akan ditangkap karena kalian telah berusaha mengganggu perjalanan kami. Bahkan kami akan dapat mengatakan kepada para prajurit bahwa kalian berusaha untuk merampok kami.”

“Jangan seperti anak kecil,” berkata orang itu, “kau adalah orang yang disebut sebagai tokoh-tokoh di dalam dongeng. Bahkan dengan berlebih-Iebihan orang bercerita tentang kemampuanmu. Karena itu, jangan berbicara tentang prajurit. Marilah, seseorang ingin tahu, apakah kau benar-benar seorang yang memiliki kemampuan seperti yang diceritakan orang.”

Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Katanya, “Ki Sanak ini aneh. Aku tidak mempunyai persoalan apapun dengan seseorang. Bagaimana mungkin aku harus melayaninya dalam persoalan seperti ini?”

“Sudahlah. Kau tidak usah merajuk seperti itu Agung Sedayu. Marilah. Nanti kau dapat berbicara dengan orang yang ingin bertemu denganmu. Seperti yang kau katakan, ia tidak mau berbuat sesuatu di jalan yang ramai ini. Tetapi jika kau ternyata pengecut dan mengharap mendapat pertolongan dari para prajurit, kau tentu akan menolak dan sengaja membenturkan kekuatanmu yang disebut tidak ada taranya itu di sini, agar kegaduhan ini cepat dilerai oleh para prajurit,” berkata orang yang menuntun kudanya itu.

Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Namun sebelum ia menjawab, Glagah Putih-lah yang mendahuluinya, “Cukup. Kami sudah mengerti maksudmu. Kami akan datang sebagaimana kau kehendaki.”

“Glagah Putih,” potong Agung Sedayu.

Tetapi kata-kata itu sudah diucapkan dan Glagah Putih agaknya tidak dapat menahan diri lagi mendengar kata-kata orang itu.

Kiai Gringsing, Kiai Jayaraga dan Ki Widura hanya dapat saling berpandangan saja. Semuanya sudah terlanjur. Dan mereka tidak akan dapat mencegah lagi.

Sementara itu, maka Agung Sedayu pun telah tersudut karena sikap Glagah Putih. Karena itu, maka iapun kemudian menjawab, “Baiklah. Aku akan menemui orang itu. Mungkin telah terjadi salah paham.”

“Marilah, ikuti aku,” berkata orang berkuda itu. “Ia akan menghormatimu jika kau bersedia datang. Namun agaknya anak muda ini juga seorang anak muda yang pantas untuk mendapatkan perhatian.”

Glagah Putih yang sulit mengendalikan diri lagi karena kata-kata orang itu benar-benar menusuk perasaannya. tidak menjawab. Tetapi terdengar giginya sajalah yang gemeretak.

Sejenak kemudian orang yang menuntun kudanya itupun telah meloncat naik. Kemudian perlahan-lahan kudanya berjalan mendahului Agung Sedayu dan bahkan Kiai Gringsing. Seolah-olah ia tidak menghiraukan lagi orang-orang yang dimintanya untuk mengikutinya, karena ia yakin bahwa orang-orang itu tentu tidak akan ingkar terhadap kata-katanya sendiri, bahwa mereka akan mengikutinya.

Sebenarnyalah Agung Sedayu dan yang lainpun telah mengikuti orang itu sambil bertanya-tanya di dalam hati. Apa pula yang telah terjadi, sehingga mereka harus mengikuti seseorang untuk satu persoalan yang sama sekali tidak rnereka mengerti.

Namun sudah barang tentu bahwa Kiai Gringsing tidak akan dapat membiarkan Agung Sedayu pergi sendiri.

Demikianlah, seperti yang dikatakannya, maka orang berkuda itu telah mengambil jalan simpang berbelok ke kiri. Agung Sedayu dan yang lain pun telah mengikutinya. Namun ketika Glagah Putih sempat berpaling, maka ia pun melihat orang-orang berkuda yang berhenti di pinggir jalan yang baru saja mereka lalui itupun telah mulai bergerak pula.

“Mereka juga mengikuti kita,” desis Glagah Putih.

“Sudah kita duga” jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih tidak berbicara lagi. la mencoba untuk mengetahui, persoalan apakah yang akan mereka hadapi. Tetapi ternyata bahwa ia tidak segera dapat menemukannya.

Hanya Agung Sedayu-lah yang dapat merabanya, meskipun ia tidak yakin bahwa dugaannya itu benar seluruhnya.

Agaknya Ki Tumenggung Wiragiri yang merasa tersinggung-lah yang telah melakukan semua permainan yang tidak menyenangkan itu.

Ternyata bahwa Agung Sedayu harus mengikuti orang berkuda itu lewat jalan sempit yang panjang. Kemudian mereka berbelok ke arah sebuah hutan kecil dan sepi.

Agung Sedayu memang hampir pasti, bahwa Ki Tumenggung Wiragiri telah menunggunya di hutan kecil itu.

Sementara itu, Kiai Gringsing masih saja berkuda di paling depan. Di belakangnya Kiai Jayaraga berkuda bersama Ki Widura, dan di paling belakang adalah Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu telah memasuki hutan kecil yang tidak terlalu lebat itu. Dan seperti yang diduga, maka di dalam hutan itu telah menunggu pula beberapa orang. Di antara mereka memang terdapat Ki Tumenggung Wiragiri.

Ketika iring-iringan itu memasuki hutan, maka Ki Tumenggung telah melangkah maju, menyongsong mereka. Dengan hormat Ki Tumenggung itu pun mengangguk sambil berkata, “Selamat datang ke daerah perburuan ini.”

Kiai Gringsing dan kawan-kawannya telah meloncat turun. Mereka pun mengangguk hormat pula.

“Terima kasih Ki Tumenggung,” jawab Kiai Gringsing.

Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Siapakah Ki Sanak ini? Agaknya Ki Sanak telah mengenal aku sebelumnya?”

“Aku adalah orang tua yang disebut Kiai Gringsing,” jawab Kiai Gringsing.

“O,” Ki Tumenggung mengangguk-angguk, “aku sudah pernah mendengar nama Kiai. Sungguh nama yang sulit dicari duanya. Agaknya Kiai adalah orang yang menurut pendengaranku memiliki kemampuan yang tidak ada batasnya.”

“Ah,” sahut Kiai Gringsing, “apakah Ki Tumenggung mempercayainya?”

Pertanyaan itu agak mengejutkan Ki Tumenggung Wiragiri. Namun kemudian iapun menjawab, “Tentu aku percaya Kiai. Bukankah semua orang di Mataram, bahkan Panembahan Senapati sendiri, mengatakannya? Sayang aku tidak dapat menyaksikan, apa yang telah Kiai lakukan dalam perang yang terjadi di Prambanan. Sehingga karena itu, maka kepercayaanku itu bertumpu kepada pengakuan orang-orang penting di Mataram atas kemampuan Kiai. Bukan hanya Kiai, tetapi juga Agung Sedayu.”

“Jangan memuji Ki Tumenggung. Tetapi sebenarnyalah kami merasa heran, bahwa Ki Tumenggung telah memerlukan menjemput kami untuk datang ke tempat ini. Apakah Ki Tumenggung mempunyai kepentingan dengan kami, khususnya Agung Sedayu?” bertanya Kiai Gringsing. 

“Ya Kiai,” jawab Ki Tumenggung Wiragiri, “pagi ini aku telah membawa Agung Sedayu menghadap Panembahan Senapati, karena menurut perhitunganku Agung Sedayu tentu sudah terlibat ke dalam permainan Raden Rangga dengan melepaskan seekor harimau di halaman rumanku. Tetapi ternyata justru akulah yang dianggap bersalah oleh Panembahan Senopati. Tetapi sudahlah. Keputusan Panembahan Senapati adalah berlaku sebagai paugeran. Aku tidak akan mempersoalkannya.” Ki Tumenggung itu berhenti sejenak. Lalu katanya kemudian, “Yang ingin aku bicarakan dengan Agung Sedayu sekarang adalah kebenaran dari persoalan itu sendiri. Apakah benar bahwa Raden Rangga memang menangkap harimau itu tanpa bantuannya, bahkan tanpa bantuan orang-orang lain yang bersamanya. Mungkin tidak hanya dua atau tiga orang.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kemudian sambil berpaling kepada Agung Sedayu ia berkata, “Jawablah. Pertanyaan ini sebagian terbesar ditujukan kepadamu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dua langkah ia maju. Kemudian jawabnya, “Ki Tumenggung. Bukankah persoalannya sudah jelas. Baru saja Ki Tumenggung mengatakan, bahwa Ki Tumenggung menghormati keputusan Panembahan Senapati. Tetapi kenapa Ki Tunenggung mempersoalkannya lagi?”

“Aku tidak mempersoalkan keputusan Panembahan Senapati. Tetapi aku ingin melihat kebenaran, tanpa merubah keputusan Panembahan Senapati,” jawab Ki Tumenggung.

“Baiklah. Jika aku harus menjawab pertanyaan itu, maka aku akan menjawab sebagaimana aku katakan kepada Panembahan Senapati, dan sesuai dengan keterangan Raden Rangga, bahwa Raden Rangga telah melakukannya sendiri. Aku bahkan telah berusaha untuk mencegahnya. Tetapi Raden Rangga itu masih melakukannya juga,” jawab Agung Sedayu.

Ki Tumenggung itupun tersenyum. Katanya, “Memang tidak akan ada orang yang dapat membuktikan bahwa kau bersalah. Tetapi aku mempunyai cara sebagaimana diusulkan oleh Raden Rangga. Meskipun aku tidak dapat menerima tawaran bertaruh dengan Raden Rangga itu, karena kedudukannya dan kedudukanku. Tetapi di sini, aku tidak terikat oleh kedudukan itu, sehingga aku akan dapat bertaruh denganmu.” “Bertaruh apa?“ bertanya Agung Sedayu.

“Siapa yang lebih dahulu berhasil menangkap seekor harimau, hidup atau mati, maka ialah yang menang. Tantangan ini diberikan oleh Raden Ralngga. Tetapi aku tidak dapat menerimanya. Sekarang aku menantangmu,” berkata Ki Tumenggung.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia masih bertanya, “Apa taruhannya?”

“Siapa yang kalah harus mengakui kekalahannya. Kita akan menemui Raden Rangga di bilik kurungannya untuk mengatakan, siapa di antara kita yang menang,” jawab Ki Tumenggung.

“Kenapa harus menyampaikan hasilnya kepada Raden Rangga?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Raden Rangga telah menghina aku dan mengatakan bahwa kau adalah orang yang pilih tanding. Aku adalah Tumenggung Wiragiri yang memangku jabatan senapati dari pasukan segelar sepapan. Apakah mungkin aku kalah dari orang yang bernama Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh?” jawab Ki Tumenggung.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Tetapi bagaimana jika salah seorang di antara kita tidak menemukan seekor harimaupun di hutan kecil ini?”

“Betapapun kecilnya hutan ini, namun hutan ini di bagian barat adalah hutan yang lebat dan liar. Hutan ini kecil dibandingkan dengan hutan Paluhan di sebelah timur Ganjur. Tetapi hutan ini dapat dianggap tidak terlalu kecil jika dibanding degan hutan Plasa di sebelah barat Bera, yang masih dianggap sebagai hutan yang menakutkan,” berkata Ki Tumenggung. “Karena itu, menurut pendapatku, jika kau berani memasuki hutan di bagian barat pertanda daerah perburuan, maka kau tentu akan menemukannya. Memang mungkin satu hari penuh kau tidak akan mendapat seekor harimaupun di daerah perburuan itu sendiri. Tetapi di seberang itu, maka hutan itu masih mengandung seribu macam tantangan. Itu kalau kau mempunyai keberanian untuk melakukannya. Karena selain harimau, maka masih ada jenis-jenis binatang lain yang dapat membunuhmu. Kera-kera besar yang buas dari jenis kera berkulit merah merupakan bahaya yang harus kau perhatikan pula. Ular-ular yang besar yang membelit di hampir setiap pepohonan, dan binatang-binatang liar lainnya, termasuk serigala yang berkelompok-kelompok.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Nampaknya Ki Tumenggung memahami benar isi hutan itu.”

“Aku memang sering melakukan perburuan di daerah ini. Tetapi jika aku sekedar mengikuti anak-anak bangsawan belajar berburu, maka aku tentu tidak akan telaten. Karena itu, maka aku sering memasuki hutan di sebelah barat dari hutan perburuan ini,” jawab Ki Tumenggung.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Kemenangan pertama sudah berada di tangan Ki Tumenggung. Ki Tumenggung mengenal medan ini dengan sangat baik. Sedangkan aku baru pertama kali ini memasukinya.”

“Apakah itu termasuk hal yang perlu diperhitungkan?” bertanya Ki Tumenggung, ”Jika demikian, aku akan dapat memberikan tenggang waktu di hadapan para saksi. Kau pergi dahulu memasuki bagian barat hutan ini. Aku akan menyusul kemudian setelah waktu tertentu.”

“Bukan begitu maksudku,” berkata Agung Sedayu, “aku hanya ingin mengatakan behwa mungkin sekali aku akan mengalami kebingungan begitu aku memasuki hutan di bagian barat. Tetapi jika taruhan itu yang kau kehendaki, maka aku tidak akan menolak.”

“Bagus,” sahut Ki Tumenggung dengan serta merta, “kita akan segera mulai. Nah, apakah kau memerlukan tenggang waktu atau tidak, sehingga kita akan berangkat bersama?” bertanya Ki Tumenggung.

“Kita akan berangkat bersama Ki Tumenggung. Karena bagiku, kalah atau menang tidak akan ada masalah. Jika aku kalah, aku sama sekali tidak berkeberatan untuk memberitahukan kepada Raden Rangga, bahwa aku kalah dalam taruhan. Nah, apa kesulitannya?”

“Persetan,” geram Ki Tumenggung, “kita harus menghargai diri kita masing-masing. Jika seorang laki-laki tidak mempunyai harga diri seperti kau, maka kita akan menjadi orang-orang yang tidak berharga.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menjawab Ki Tumenggung berkata, “Kita akan segera mulai. Kita tidak hanya akan berbicara. Kita akan menentukan saksi-saksi di antara kita, siapakah yang lebih dahulu akan sampai di sini membawa harimau hidup atau mati.”

Agung Sedayu termangu-mangu. Ketika ia berpaling kepada gurunya, maka Kiai Gringsing itupun mengangguk kecil. Bahkan Glagah Putih telah berbisik, “Biarlah aku yang melakukannya.”

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Jangan. Kau akan menyinggung perasaannya.”

Dengan demikian maka Glagah Putih itupun terdiam. Tetapi sebenarnya ia merasa sanggup untuk melakukannya. Dengan ilmunya Glagah Putih merasa bahwa ia akan dapat membunuh seekor harimau. Apalagi jika ia diperbolehkan membawa parang pembelah kayu yang baru saja dibeli oleh Kiai Gringsing.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu-lah yang harus berangkat. Karena itu, maka Glagah Putih tidak dapat berbuat sesuatu.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung berkata, “Di sini ada beberapa orang-orangku. Sementara ada juga Kiai Gringsing dan kawan-kawannya. Mereka akan menjadi saksi yang jujur, siapakah di antara kita yang lebih dahulu membawa seekor harimau sampai ke tempat ini.” 

“Baiklah Ki Tumenggung,” berkata Kiai Gringsing, “untuk sekedar menjadi saksi aku tidak berkeberatan.”

“Terima kasih,” berkata Ki Tumenggung, “jika demikian, maka kita sudah siap untuk berangkat. Aku membawa pisau belati panjang untuk melawan harimau yang akan aku buru. Nah, apakah kau juga akan bersenjata.”

“Parang itu,” desis Glagah Putih.

Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Aku memang membawa senjata. Senjata yang selalu aku pergunakan. Sebuah cambuk.”

“O,” Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Apakah kau yakin bahwa dengan sebuah campuk kau dapat membunuh seekor harimau?”

“Sebagaimana Ki Tumenggung yakin, bahwa Ki Tumenggung akan dapat membunuh seekor harimau dengan pisau belati panjang,” jawab Agung Sedayu.

“Baiklah. Jika demikian kita akan segera mulai,” berkata Ki Tumenggung pula.

“Tetapi apakah Ki Tumenggung sudah merasa kekuatan Ki Tumenggung pulih sama sekali, setelah Ki Tumenggung pagi ini mengalami luka-luka oleh kuku-kuku harimau yang dilepas Raden Rangga di halaman rumah Ki Tumenggung?” bertanya Agung Sedayu.

Ki Tumenggung tidak menjawab. Tetapi dibukanya baju dan ditunjukkannya dadanya kepada Agung Sedayu. Sama sekali tidak nampak bekas-bekas luka itu, kecuali hanya sekedar garis-garis yang kehitam-hitaman.

“Obat apakah yang Ki Tumenggung pergunakan, sehingga luka-luka itu seakan-akan telah hilang sama sekali?” bertanya Agung Sedayu.

“Sudahlah,” berkata Ki Tumenggung, “kita akan mulai. Kita akan berangkat dari tempat ini, dan kembali ke tempat ini. Kita tidak akan cemas terganggu oleh siapapun juga. Aku tahu pasti, bahwa hari ini hutan perburuan ini tidak akan dipergunakan untuk berburu.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia pun telah membenahi dirinya. Sementara itu, Glagah Putih tidak lagi menawarkan senjata yang baru dibeli oleh Kiai Gringsing, karena Agung Sedayu akan mempergunakan cambuknya yang diikatkannya di lambungnya di bawah bajunya. Dengan cambuk itu, maka segala kesulitan yang akan dihadapi di hutan itu akan dapat diselesaikannya.

Sejenak kemudian, maka kedua orang itu pun telah bersiap. Ki Tumenggung-lah yang memberi isyarat dengan tangannya untuk mulai.

Demikian tangannya dilambaikannya, maka Ki Tumenggung itupun segera telah berlari menyusup di antara pepohonan yang lebih pepat.

Agung Sedayu masih termangu-mangu. Bahkan ia bertanya kepada diri sendiri, “Kenapa Ki Tumenggung itu harus berlari? Apakah jarak tempat ini sampai ke bagian hutan di sebelah barat yang masih pepat itu cukup jauh?”

Agung Sedayu memang belum mengenal medannya. Namun ia adalah seseorang yang mempunyai pengamatan yang sangat tajam. Karena itu maka iapun berharap untuk dapat mengimbangi kecepatan Ki Tumenggung Wiragiri menangkap seekor harimau.

Sejenak kemudian Agung Sedayu pun telah berjalan menyusup di antara pepohonan yang jarang di hutan perburuan itu. Namun ternyata semakin lama daerah perburuan itu pun menjadi semakin pepat. Meskipun demikian menilik tanda-tanda yang terdapat di hutan itu, maka jelas bahwa hutan itu adalah hutan perburuan yang memang dipersiapkan, sehingga di beberapa bagian nampak pertanda dan isyarat, sehingga para pemburu tidak akan tersesat.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu pun mulai memikirkan jarak dari hutan perburuan itu sampai ke bagian yang masih pepat. Mungkin jarak itu memang cukup jauh, sehingga Ki Tumenggung harus berlari.

Sejenak Agung Sedayu memandang berkeliling. la sudah tidak melihat siapapun juga, karena ia memang sudah berada di balik pepohonan. Karena itu, maka Agung Sedayu pun tidak mau mengalami kekalahan karena kelengahannya. la belum tahu, apa yang dapat dilakukan oleh Ki Tumenggung di medan yang sudah dikenalnya dengan baik itu.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian mengyingsingkan kain panjangnya. Sejenak kemudian, maka iapun telah berlari pula. Namun Agung Sedayu memiliki kemampuan untuk membuat dirinya seakan-akan menjadi lebih ringan, sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu itupun mampu berlari jauh lebih cepat dari Ki Tumenggung Wiragiri.

Bahkan sementara itu, Agung Sedayu pun berpikir, “Seandainya aku menjumpai seekor harimau di hutan perburuan ini, bukankah aku juga diperbolehkan menangkapnya?”

Tetapi Agung Sedayu tidak bersiap sebagaimana Raden Rangga yang membawa biji-biji kecubung, sehingga ia dapat membuat seekor harimau menjadi mabuk untuk waktu yang akan lama. Mungkin Agung Sedayu dapat menyerbu seekor harimau sebagaimana dilakukan oleh Raden Rangga, tetapi tidak mempunyai cara untuk membuat harimau itu tidak sadarkan dirinya cukup lama. Karena itu, bagi Agung Sedayu akan lebih mudah membunuh harimau itu daripada menangkapnya hidup-hidup.

Demikianlah, maka telah terjadi pertaruhan aneh yang menegangkan antara dua orang yang berilmu tinggi.

Sementara itu, Ki Tumenggung agaknya lebih senang untuk langsung pergi ke bagian barat dari hutan itu. Di tempat itu, masih terdapat banyak binatang buas. Di hutan perburuan binatang-binatang buas tidak lagi berkeliaran karena daerah itu sering sekali dijelajahi oleh para pemburu. Tetapi di sebelah barat, daerahnya masih jarang sekali disentuh kaki manusia. Karena itu, maka kemungkinan untuk segera menjumpai seekor harimau adalah di bagian barat dari hutan itu.

Karena itu, maka Ki Tumenggung pun telah berlari-lari menuju ke bagian barat dari hutan itu . la berharap akan dapat mendahului Agung Sedayu membunuh seekor harimau. Dengan demikian, maka ia akan dapat membawa Agung Sedayu dan berkata kepada Raden Rangga, bahwa penilaiannya atas dirinya dan Agung Sedayu ternyata keliru. Dengan cara yang ditawarkan oleh Raden Rangga maka ia telah mengalahkan Agung Sedayu yang oleh Raden Rangga dianggap orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Dengan demikian maka Ki Tumenggung itupun berlari semakin cepat. la merasa sudah meninggalkan Agung Sedayu terlalu jauh, karena selain ia berangkat lebih dahulu, maka ia sudah mengenal medan lebih baik. lapun mampu berlari cepat di antara semak-semak dan pepohonan.

“Aku akan menang dalam pertaruhan ini,” berkata Ki Tumenggung di dalam hati, “aku akan mempunyai waktu beberapa saat lebih dahulu daripadanya.”

Ki Tumenggung itupun kemudian meloncat lebih cepat. la ingin lebih cepat menerkam seekor harimau dan membunuhnya, kemudian membawanya kembali ke hadapan saksi-saksi. Semakin panjang jarak kemenangannya, ia akan menjadi semakin bebangga.

Namun ternyata Ki Tumenggung itu dikejutkan oleh sesuatu yang tidak diduganya, ketika ia melampaui gawar pertanda batas hutan perburuan.

Demikian Ki Tumenggung meloncati gawar yang melintang di sepanjang daerah perburuan itu, tiba-tiba saja ia melihat Agung Sedayu yang berdiri termangu-mangu.

“Kau sudah berada di sini?” bertanya Ki Tumenggung.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. la memang mendengar kedatangan Ki Tumenggung. Karena itu, maka iapun seakan-akan telah menunggunya di belakang gawar yang membatasi kedua bagian hutan itu.

“Ya Ki Tumenggung,” jawab Agung Sedayu, “aku menjadi agak bingung, ke arah mana aku harus pergi. Arah yang mempunyai kemungkinan paling cepat untuk bertemu dengan seekor harimau.”

Ki Tumenggung termangu-mangu. Dengan nada datar ia bertanya, “Tetapi, bagaimana mungkin kau sudah berada di sini? Bukankah aku berangkat lebih dahulu, dan aku mengenal hutan ini lebih baik?”

“Ya Ki Tumenggung,” jawab Agung Sedayu, “aku memang belum mengenal daerah ini. Karena itu, aku berjalan saja asal ke arah barat. Akhirnya aku sampai di sini, dan justru bertemu dengan Ki Tumenggung.”

“Tetapi bagaimana mungkin kau datang lebih dahulu.Apakah kau berlari kencang sekali?” bertanya Ki Tumenggung.

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Aku memang berlari Ki Tumenggung, karena aku tidak mengetahui medan ini dengan baik, maka aku mengira bahwa jarak yang harus aku tempuh adalah jarak yang panjang sekali.”

Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi bukankah jaraknya memang cukup panjang? Aku berlari karena aku ingin membunuh seekor harimau sebelum malam turun dan membawanya kembali ke hadapan para saksi.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, akupun akan melakukannya seperti yang dilakukan oleh Ki Tumenggung. Tetapi dimana kita akan mendapatkan seekor harimau?”

“Kita memasuki hutan yang lebat itu. Kita akan mencarinya di setiap gerumbul di balik batu-batu padas atau di bawah pohon-pohon raksasa. Kita akan menelusuri aliran-aliran air yang mengalir dari sumber-sumbernya di bawah pohon-pohon besar. Karena di sumber-sumber air itulah harimau-harimau itu mencari minum,” jawab Ki Tumenggung.

“Terima kasih Ki Tumenggung. Jika demikian, maka biarlah kita berpisah untuk mencari jalan kita masing-masing,” berkata Agung Sedayu.

Demikianlah, merekapun telah berpisah. Namun demikian, Ki Tumenggung masih dipengaruhi oleh suatu kenyataan tentang Agung Sedayu yang tidak diduganya semula. Tetapi ia tidak dapat mengingkari satu kenyataan, babwa Agung Sedayu telah mengejutkannya, karena ia justru berada di hutan di belakang gawar pertanda daerah perburuan itu lebih dahulu.

Dalam pada itu, meskipun Agung Sedayu bukan pemburu, tetapi ia bukannya buta sama sekali tentang perburuan. Bagaimanapun juga Agung Sedayu sudah dibekali sedikit pengertian tentang watak dan sifat binatang buas termasuk seekor harimau.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun mulai menyusup di antara gerumbul-gerumbul yang semakin lama semakin pepat di antara pohon-pohon besar yang tumbuh semakin padat. Dengan demikian, maka udarapun terasa semakin lembab, adn cahaya matahari tidak banyak yang langsung dapat menggapai tanah yang dilapisi dengan lumut yang hijau.

Beberapa puluh langkah kemudian Agung Sedayu sudah dikejutkan oleh gemerasak ranting di atas kepalanya. Ketika ia menengadahkan kepalanya, dilihatnya seekor kera yang barangkali juga terkejut karena kehadiran Agung Sedayu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun meneruskan perjalanannya menyusup ke kedalaman hutan yang pepat itu. Namun dalam pada itu, agaknya hutan itu memang menyimpan bahaya terlalu besar bagi orang kebanyakan, karena banyak binatang kecil beracun di sepanjang jalan yang dilalui.

Dalam pada itu, Ki  Tumenggungyang sudah mengenal medannya dengan baik, telah memotong sebatang ranting. Dengan ranting itu, ia mengatasi hambatan yang dihadapinya. Dengan ranting itu ia mengusir ular yang menyilang jalannya dan laba-laba hijau yang sangat beracun.

Namun dalam pada itu, ketika Ki Tumenggung beberapa kali bertemu dengan ular-ular berbisa dan binatang-binatang kecil lainnya yang juga berbahaya, ia menjadi cemas atas Agung Sedayu. Jika Agung Sedayu mengalami kesulitan dan apalagi mati terbunuh oleh binatang-binatang kecil itu, ia akan .dapat dianggap bersalah. Mungkin Agung Sedayu memang akan dapat membunuh seekor harimau. Tetapi belum tentu ia dapat mengelakkan diri dari patukan ular kecil yang terinjak kakinya.

Karena itu, maka dalam kecemasan, Ki Tumenggung bergeser dan berusaha mendekati arah lintas Agung Sedayu. Namun sekali lagi Ki Tumenggung terkejut ketika ia melihat bekas-bekas ranting berpatahan. Ternyata Agung Sedayu tentu sudah mendahuluinya. Agaknya bukan orang lain yang telah meninggalkan jejak perjalanan menuju ke kedalaman hutan yang lebat itu.

“Luar biasa,” desis Ki Tumenggung, “ternyata aku tidak perlu lagi mengguruinya. la memang seorang yang memiliki kelebihan. Karena itu, aku harus menyusul kelambatanku.”

Ki Tumenggung itupun kemudian memisahkan diri lagi dari jalur jejak Agung Sedayu. la menuju ke arah yang menurut pengalamannya banyak didatangi oleh binatang-binatang buas terutama harimau. Karena di daerah itu terdapat sebuah mata air di bawah sebatang pohon yang sangat besar, maka banyak binatang yang mencari minum di tempat itu. Seekor harimau yang cerdik, tinggal menunggu saja, sehingga datang saatnya seekor binatang yang lemah, seperti seekor kijang, datang minum di mata air itu.

Sementara itu, Agung Sedayu memang sudah masuk ke bagian yang lebih dalam dari hutan itu. la memang dapat berjalan jauh lebih cepat dari Ki Tumenggung. Selain Agung Sedayu memang mampu berlari cepat sekali, meloncati batang-batang yang tumbang dan gerumbul-gerumbul berduri. Agung Sedayu pun tidak menghiraukan sama sekali jika seekor ular kecil terinjak kakinya dan menggigitnya. Agung Sedayu hanya mengibaskannya, atau jika ular itu tidak mudah terlepas dari kakinya, maka ia dapat mencekiknya. Agung Sedayu juga tidak menghiraukan laba-laba hijau hinggap di tengkuknya dan menggigitnya. karena Agung Sedayu telah dikebalkan dari segala macam racun.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu dapat menempuh perjalanan yang sulit di tengah-tengah hutan yang lebat itu jauh lebih cepat dari Ki Tumenggung.

Namun untuk beberapa saat Agung Sedayu termangu-mangu. la tidak segera menemukan tempat yang paling baik untuk mencari seekor harimau. Namun beberapa saat kemudian, ia menemukan jalur yang menurut pengenalannya adalah jalur yang dipergunakan oleh binatang-binatang liar menuju ke sebuah tempat tertentu. Ketika Agung Sedayu melihat sebatang pohon raksasa tidak terlalu jauh dari tempatnya, maka jalur itu agaknya memang menuju ke sebuah mata air yang merupakan tempat minum bagi binatang binatang hutan.

Tetapi Agung Sedayu merasakan betapa lengangnya keadaan. Ia tidak melihat kera berloncatan sebagaimana saat ia masuk ke dalam hutan. la juga tidak mendengar burung-burung berkicau, atau binatang-binatang liar berlari-lari dari gerumbul ke gerumbul.

“Sepi,” desis Agung Sedayu.

Namun dengan demikian Agung Sedayu menjadi sedikit curiga. Menurut pendengarannya, jika hutan menjadi sangat lengang, maka ada dua kemungkinan yang akan dapat dihadapinya. Mungkin ia akan bertemu dengan seekor harimau, atau seekor ular raksasa yang sedang lapar. Tetapi kebiasaan seekor ular, terutama ular yang cukup besar, adalah mengikatkan ekornya pada sebuah pohon, sedangkan kepalanyalah yang terayun kian kemari untuk memungut mangsanya.

Tetapi Agung Sedayu tidak melihat dedaunan yang bergoyang. Karena itu, maka menurut penilaiannya kemungkinan yang terbesar yang dihadapinya adalah seekor harimau.

“Mungkin harimau itu sedang menunggu mangsanya di pinggir kolam atau sebuah mata air,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Karena itu, maka iapun dengan sangat berhati-hati telah menyusup di antara gerumbul-gerumbul liar, menyusuri jalan yang mungkin dipergunakan oleh binatang-binatang liar menuju ke sebuah mata air.

Sebenarnyalah Agung Sedayu memang melihat sebuah mata air di bawah pohon batang pohon raksasa. Tetapi ternyata bahwa tidak seekor binatang pun yang sedang minum. Karena itu, maka Agung Sedayu menjadi semakin curiga, sehingga ia justru telah mengetrapkan ilmu kebalnya. Mungkin seekor harimau telah merunduknya dan dengan tiba-tiba saja menyerangnya.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu menunggu. Dengan ketajaman penglihatannya ia memandang berkeliling.

Namun akhirnya, Agung Sedayu itu mendengar geram perlahan-lahan. Kemudian gemeresak gerumbul di sebelahnya.

Agung Sedayu bergeser sedikit. Ternyata bahwa ia melihat kilatan tatapan mata yang kehijau-hijauan di dalam bayangan dedaunan. Seekor harimau yang agaknya telah mencium baunya.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun tidak mau membuang waktu terlalu lama. Mungkin Ki Tumenggung pun telah menemukan seekor harimau pula.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun segera bersiap. Ia tidak mau mempersulit diri dengan segala macam cara menangkap hidup atau mati.

“Memang lebih cepat membunuhnya daripada menangkapnya hidup-hidup,” berkata Agung Sedayu di dalam hati, sehingga Agung Sedayu pun kemudian berniat untuk membunuh saja harimau itu. Dengan demikian ia berharap bahwa ia akan dapat menang dalam taruhannya dengan Ki Tumenggung Wiragiri.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun segera mempersiapkan diri. Memusatkan nalar budinya. la harus bertindak cepat untuk mengalahkan Ki Tumenggung.

Karena itu, Agung Sedayu ingin menyelesaikan harimau itu dengan kemampuan puncaknya. Ia tidak ingin berkelahi dengan wadagnya. Tetapi ia ingin langsung membunuh harimau itu dengan sorot matanya.

Ketika harimau itu menggeram dan mulai merunduk untuk menerkamnya, Agung Sedayu justru duduk sambil menyilangkan tangannya. Dipandanginya harimau itu langsung pada matanya yang bercahaya kehijauan itu.

Demikian harimau itu siap untuk menerkam, maka Agung Sedayu telah melepaskan serangannya.

Harimau itu terkejut. Tetapi serangan Agung Sedayu tidak dapat dielakkannya. Ilmu Agung Sedayu itu bagaikan menyusup langsung ke pusat otak di kepalanya, meremasnya dan menghancurkannya.

Harimau yang kesakitan itu melonjak sambil menggeliat. Tetapi sorot mata Agung Sedayu tidak terlepas dari tubuhnya. Sorot mata yang bukan saja mampu menghancurkan lawan yang berpribadi, tetapi juga binatang dan bahkan benda-benda mati, tanpa menyadari apa yang telah terjadi atasnya.

Dengan demikian, maka harimau yang memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa itu, tidak mampu bertahan atas serangan Agung Sedayu yang langsung menghancurkannya. Seekor harimau sama sekali tidak mampu berusaha untuk mengelak, atau berperhitungan justru menyerang pada saat-saat yang gawat, agar lawannya melepaskan atau mengurangi tekanan yang memancar dari kemampuan ilmu yang sangat tinggi.

Namun sebenarnyalah Agung Sedayu memerlukan waktu yang agak lama untuk mematahkan daya tahan harimau itu sepenuhnya. Sehingga akhirnya harimau itu tidak lagi mampu bergerak sama sekali. Jantungnya bagaikan hangus terbakar oleh kekuatan ilmu Agung Sedayu dan darahnya pun telah berhenti mengalir.

Sejenak Agung Sedayu duduk mematung. Ketika ia perlahan-lahan melepaskan ilmunya, ia melihat harimau itu terbaring diam di tanah. Mati.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu masih duduk di tempatnya. Namun ketika ia akan bangkit, tiba-tiba saja ia mendengar lagi gemerisik mendekati tempat itu.

Ternyata Ki Tumenggung Wiragiri mendengar harimau itu mengaum pada saat harimau itu mengalami serangan dan bagaikan meremas tubuhnya. Oleh suara harimau itu, maka Ki Tumenggungpun bergegas mencari sumber suara itu. la memang akan pergi ke mata air yang menjadi tempat binatang liar mencari minumnya. Namun agaknya seekor harimau sedang mengalami sesuatu. Mungkin seekor harimau sedang menerkam mangsanya atau mungkin seekor harimau sedang marah menghadapi binatang buas yang lain, atau mungkin menghadapi seekor banteng yang berani, dan siap mengoyak perutnya dengan ujung tanduk-tanduknya yang kuat.

Agung Sedayu-lah yang lebih dahulu melihat kedatangan Ki Tumenggung. Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak menyapanya. Bahkan ia berkisar di belakang sebuah gerumbul yang lebat.

Dari tempatnya Agung Sedayu dapat melihat apa yang dilakukan oleh Ki Tumenggung.

Betapa kagetnya Ki Tumenggung melihat seekor harimau yang besar terbaring mati. Perlahan-lahan Ki Tumenggung mendekatinya. Menyentuh harimau itu. Namun sebenarnyalah bahwa harimau itu memang sudah tidak bernyawa.

“Mati,” desis Ki Tumenggung. Ia sama sekali tidak melihat luka di tubuh harimau itu. Namun demikian, harimau itu terbaring mati

“Apa yang sudah terjadi?” desis Ki Tumenggung.

Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung itu memperhatikan keadaan disekitarnya. la memang melihat dahan-dahan dan ranting gerumbul di dekat mata air itu berpatahan. Tetapi menurut penilaiannya, sama sekali bukan bekas satu pertarungan yang sengit, yang dapat membunuh seekor harimau yang sedemikian besarnya. Apalagi tanpa luka sama sekali pada tubuhnya.

Dalam pada itu, ketika Ki Tumenggung itu berpaling, maka Agung Sedayu sudah dengan sengaja bergeser di sebelah gerumbul itu, sehingga Ki Tumenggung Wiragiri yang kemudian melihatnya, menjadi sangat terkejut karenanya. Ternyata Agung Sedayu itu telah sampai ke tempat itu lebih dahulu.

Bahkan Ki Tumenggung itu menjadi berdebar-debar ketika ia menghubungkan kehadiran Agung Sedayu di tempat itu dengan tubuh harimau yang terbaring mati itu.

Dengan ragu-ragu Ki Tumenggung itupun berdesis sambil menunjuk harimau itu, “Kau?

Agung Sedayu tersenyum sambil mengangguk. Jawabnya, “Ya. Aku telah membunuhnya Ki Tumenggung. Mudah-mudahan aku tidak kalah dalam taruhan ini. Bukan maksudku untuk menyombongkan diri, tetapi sekedar mempertegas keterangan Panembahan Senapati, bahwa aku dapat berbuat lain daripada ikut bermain dengan Raden Rangga. Itupun karena aku telah tersudut tanpa pilihan lain, karena Ki Tumenggung memaksa aku untuk berbuat demikian.”

Wajah Ki Tumenggung Wiragiri menjadi tegang. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Jadi kau sudah berhasil membunuh seekor harimu di sini?”

“Ya. Sebagaimana Ki Tumenggung lihat,” jawab Agung Sedayu.

Sejenak Ki Tumenggung termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja ia menjawab hampir berteriak, “Tentu tidak mungkin. Kita dapat memperhitungkan waktu dengan baik. Kapan kau sampai di tempat ini, dan kapan kau lakukan pembunuhan atas harimau itu?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Tetapi bukankah aku dapat membutikan bahwa aku sudah membunuh seekor harimau?”

“Tidak,” jawab Ki Tumenggung, “kau telah menemukan seekor harimau yang mati di sini.”

Wajah Agung Sedayu menegang. Namun ia kemudian tertawa karenanya, “Jangan bergurau Ki Tumenggung.”

Wajah Ki Tumenggung-lah yang kemudian menjadi merah. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya. Dengan nada tinggi ia berkata, “Aku tidak bergurau. Tetapi aku berkata sebenarnya, bahwa kau telah menemukan seekor harimau mati di sini, atau kau dengan sengaja menaburkan racun di mata air itu, sehingga harimau yang sedang minum itupun telah mati oleh racun.”

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Namun kemudian katanya, “Marilah kita buktikan, bahwa air itu tidak beracun.”

“Bagaimana caranya untuk membuktikannya?” bertanya Ki Tumenggung.

“Aku akan minum air itu,” jawab Agung Sedayu.

Ki Tumenggung tidak menjawab. Dipandanginya saja Agung Sedayu yang pergi ke mata air itu. Di tepi mata air yang mengalir tidak terlalu deras itu Agung Sedayu berjongkok. Dengan kedua telapak tangannya Agung Sedayu mengambil air yang sangat jernih dari mata air itu dan meneguknya. Betapa segarnya.

Ki Tumenggung memandanginya dengan tegang. Namun ternyata bahwa tidak ada akibat apapun terjadi atas Agung Sedayu. Bukan karena Agung Sedayu kebal akan racun, tetapi air itu memang tidak beracun.

“Segar sekali Ki Tumenggung,” berkata Agung Sedayu, “setelah berkelahi dengan seekor harimau, maka rasa-rasanya aku memang sangat haus.”

Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Dipandanginya Agung Sedayu untuk beberapa lamanya.

Sebenarnyalah Ki Tumenggung bukannya seorang yang jahat. Tetapi ia mempunyai harga diri terlalu tinggi, terlalu sombong dan kasar. Karena itu, maka tiba-tiba saja sekali lagi ia menggeram, “Aku tidak percaya.”

“Lalu, bagaimana aku harus membuktikannya? Aku sudah meneguk air itu. Seandainya air itu mengandung racun, tentu ada bangkai binatang lain yang mati. Atau, bagaimana mungkin aku sempat melakukannya. Jika di tepi kolam itu memang sudah ada seekor harimau, maka ia tentu akan menerkamku sebelum aku sempat menaburkan racun. Atau jika aku menaburkan racun lebih dahulu, adalah kebetulan sekali bahwa tiba-tiba saja ada seekor harimau yang datang untuk minum,” jawab Agung Sedayu.

“Bukankah pikiranmu sama saja dengan pikiranku. Kenapa tiba-tiba saja ada seekor harimau mati di sini demikian kau datang?” geram Ki Tumenggung.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. la tidak mengerti apa yang sebaiknya dikatakan. Ternyata Ki Tumenggung tidak dapat mempercayainya atau dengan sengaja Ki Tumenggung ingin membuat persoalan baru.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Ki Tumenggung. Selanjutnya terserah kepada Ki Tumenggung. Apa yang sebaiknya kita lakukan. Apakah kita akan mengulangi taruhan ini, atau mungkin Ki Tumenggung ada cara lain?”

Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Tidak sewajarnya kita bertaruh dengan membunuh seekor harimau. Ada unsur kebetulan yang mempengaruhi taruhan itu. Jika kebetulan kita lebih dahulu bertemu dengan seekor harimau, maka kita akan dapat memenangkan taruhan itu. Tetapi jika kebetulan kita tidak bertemu dengan seekor harimau, maka kita tentu akan kalah.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia menjadi semakin berdebar-debar. Ia menjadi cemas, bahwa K Tumenggung yang marah itu akan mengambil cara langsung untuk menguji kemampuan mereka berdua.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ketika ternyata dugaannya itu benar. Dengan garang Ki Tumenggung itu pun berkata, “Agung Sedayu. Kita tidak usah berbelit-belit lagi. Kita akan mengukur kemampuan kita. Tanpa takaran yang lain, kecuali kita ukur kemampuan itu langsung. Kita akan membenturkan ilmu kita, dan kita akan segera mengetahui, siapakah yang lebih tinggi ilmunya di antara kita.”

Agung Sedayu memandang wajah Ki Tumenggung yang merah. Dengan nada rendah ia berkata, “Kenapa kita terjerumus terlau jauh dalam persoalan yang tidak kita ketahui ujung pangkalnya ini.”

“Jangan berpura-pura. Aku tidak mau orang lain mempunyai pandangan yang salah tentang kemampuanku. Bukankah dengan sikap Raden Rangga itu kau merasa bahwa kau memiliki ilmu yang lebih baik dari aku?” bertanya Ki Tumenggung.

“Ki Tumenggung,” jawab Agung Sedayu, “kenapa kita terlalu terpengaruh oleh pendapat seorang anak yang tidak tahu pasti keadaan kita masing-masing. Percayalah Ki Tumenggung, bahwa aku tidak merasa bahwa aku memiliki kelebihan dari Ki Tumenggung, atau katakanlah, bahwa aku menganggap Ki Tumenggung tidak memiliki kemampuan sebagaimana aku miliki.”

“Omong kosong!” bentak Ki Tumenggung, “Di hadapanku kau berkata seperti itu. Tetapi dimana-mana, sebagaimana juga Raden Rangga, kau akan mengatakan bahwa kemampuanku tidak dapat menyamai kemampuanmu. Apalagi orang banyak terlalu percaya, bahwa Raden Rangga adalah seorang anak muda yang ajaib, sehingga kata-katanya pantas dipercaya tanpa dinilai kebenarannya.”

“Tetapi bukankah kita mampu menilainya?” berkata Agung Sedayu.

“Bukan untuk kepentingan kita. Tetapi kita akan membuktikan kepada Raden Rangga, agar ia tidak lagi bercerita tentang sesuatu yang tidak benar,” sahut Ki Tumenggung.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Rasa-rasanya sulit baginya untuk dapat menjelaskan maksudnya, agar Ki Tumenggung mengurungkan niatnya.

Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung telah menggeram, “Marilah kita mulai. Kita akan menguji langsung, ilmu siapakah yang lebih baik di antara kita.”

“Tetapi Ki Tumenggung, bukankah kita memerlukan saksi agar kita tidak terjerumus ke dalam arus perasaan tanpa kendali?”

Ki Tumenggung Wiragiri mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Bukankah kita orang-orang yang sudah dewasa. Yang dapat dengan pasti dan yakin mengendalikan diri sendiri? Karena itu, aku tidak memerlukan seorang saksipun. Kita berdua adalah saksi yang jujur. Siapa yang kalah akan mengakui kekalahannya.”

Agung Sedayu masih saja termangu-mangu. Bahkan kemudian ia berdesis, “Kenapa kita melakukan hal ini sekedar karena kita ingin. membuktikan kepada anak yang nakal bahwa kita adalah orang-orang berilmu? Kenapa kita tidak membiarkan saja anggapan anak nakal itu, apapun yang dikatakannya.”

“Kau dapat mengatakan demikian, karena kebetulan anak itu memujimu. Tetapi aku yang dianggapnya tidak berilmu, merasa terhina sekali karenanya. Apalagi kata-katanya sangat dipercaya oleh banyak orang, sehingga apa yang dikatakannya dianggap sebagai satu kebenaran,” berkata Ki Tumenggung.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Ki Tumenggung sudah tidak lagi mau mendengarkan kata-katanya. Meskipun demikian Agung Sedayu masih cari alasan, “Tetapi bukankah Ki Tumenggung baru saja berkelahi dengan seekor harimau di halaman rumah Ki Tumenggung dan mengalami luka-luka?”

“Kau juga baru saja berkelahi dengan seekor harimau, jika kau mengatakannya dengan jujur, meskipun aku tidak melihat segores luka pun pada kulitmu, bahkan pada bajumu,” jawab Ki Tumenggung.

Semua kemungkinan untuk mengurungkan tantangan Ki Tumenggung telah tertutup. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain bagi Agung Sedayu selain melayani keinginan Ki Tumenggung.

Namun demikian, betapapun keragu-raguan mencengkam jantung Agung Sedayu, tetapi ia merasa berkeberatan jika ia harus dengan begitu saja mengaku kalah sekedar untuk mengurungkan perkelahian itu. Bagaimanapun juga anak muda itu juga mempunyai harga diri, sehingga karena itu, maka Agung Sedayu pun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Sejenak kemudian Ki Tumenggung itupun berkata, “Kemarilah. Di sini, di dekat mata air ini terdapat tempat yang agak lapang untuk membuktikan, siapakah di antara kita yang lebih baik.”

Agung Sedayu benar-benar tidak dapat mengelak. Ketika Ki Tumenggung bergeser ke tempat yang agak lapang, di dekat mata air di bawah sebatang pohon raksasa itu, maka Agung Sedayu pun mengikutinya pula. Sekilas dipandanginya harimau yang mati terkapar. Ia menyesal bahwa ia tidak mempergunakan saja cambuknya sehingga pada tubuh harimau itu terdapat goresan-goresan luka, sehingga Ki Tumenggung tidak akan dapat menuduhnya berbuat curang.

Sambil melangkah, Agung Sedayu masih juga bertanya, “Apakah Ki Tumenggung tidak mendengar saat harimau ini mengaum? Bukankah jika Ki Tumenggung mendengar, Ki Tumenggung tidak akan dapat menuduh aku menemukan seekor harimau yang telah mati?”

Ki Tumenggung yang sudah dicengkam oleh satu keinginan untuk menjajagi kemampuan Agung Sedayu itu menjawab asal saja, “Aku tidak mendengar.”

“Apa boleh buat,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Namun iapun sadar, bahwa Ki Tumenggung adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Agung Sedayu sendiri menyaksikan, bagaimana Ki Tumenggung itu berkelahi melawan seekor harimau. Namun luka-luka yang dideritanya itu bagaikan begitu saja telah lenyap dari tubuhnya, hanya dalam waktu yang sangat singkat.

Sejenak kemudian kedua orang itupun telah berdiri berhadapan. Dengan wajah tengadah Ki Tumenggung itu berkata, “Nah, orang yang dikagumi oleh Raden Rangga. Kita sekarang akan membuktikan, siapakah di antara kita yang memiliki ilmu yang lebih tinggi.”

Agung Sedayu masih saja termangu-mangu. Yang terjadi itu bagaikan sebuah mimpi. setiap kali ia dihadapkan pada satu kenyataan bahwa ia harus berkelahi. Mau tidak mau. Bahkan sebab-sebab yang sama sekali tidak dianggapnya perlu untuk dipertengkarkan, telah menjadi alasan perkelahian yang tidak dapat dielakkan.

“Jangan termenung saja!” bentak Ki Tumenggung sekilas pada wajahnya. Ia memang melihat, betapa gejolak perasaannya memancar pada sorot matanya.

Karena itu, tidak ada yang lebih baik dilakukan daripada mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Demikianlah, sejenak kemudian, Ki Tumenggung mulai memancing gerak Agung Sedayu. Dengan serangan pendek, Ki Tumenggung berusaha menyentuh keningnya dengan tangannya.

Tetapi Agung Sedayu mengelak. Karena itu, maka tangannya sama sekali tidak mengenai sasarannya. Bahkan menghadapi Ki Tumenggung tiba-tiba saja Agung Sedayu ingin berbuat sesuatu untuk mengejutkannya. Justru pada saat serangan Ki Tumenggung dielakkan, serta di luar dugaan sama sekali, maka Agung Sedayu sudah membalas serangan itu dengan kecepatan yang luar biasa. Bahkan Agung Sedayu telah mernpergunakan kemampuannya memperingan tubuhnya, sehingga geraknya pun seolah-olah melampaui kecepatan penglihatan Ki Tumenggung.

Demikian Ki Tumenggung menarik serangannya, tiba-tiba saja Agung Sedayu justru telah meluncur dengan cepat di sisinya. Demikian cepatnya sehingga Ki Tumenggung tidak sempat berbuat sesuatu. Bahkan menangkispun tidak.

Tetapi Agung Sedayu masih belum bersungguh-sungguh. la hanya menyentuh saja punggung Ki Tumenggung dengan telapak tangannya.

Ki Tumenggung terkejut bukan buatan. Namun Agung Sedayu pun sadar bahwa dalam hal itu, Ki Tumenggung tidak menduganya sama sekali. Jika Ki Tamenggung itu sudah benar-benar bersiap, maka mungkin akibatnya akan lain.

Tetapi yang terjadi itu terasa sebagai satu penghinaan oleh Ki Tumenggung Wiragiri, bahwa lawannya itu telah berhasil menyentuh punggungnya demikian mudahnya.

Meskipun sentuhan itu tidak terasa sakit, karena Agung Sedayu memang tidak berusaha menyakitinya, tetapi hati Ki Temenggung-lah yang terasa sangat pedih. Karena itu, Ki Tumenggung pun segera berusaha untuk menebus penghinaan itu. Dengan putaran yang cepat, Ki Tumenggung berusaha menyerang dengan kakinya yang juga berputar mendatar.

Namun sekali lagi Ki Tumenggung gagal. Kakinya tidak menyentuh sasaran, karena dengan cepat Agung Sedayu bergeser mundur.

Ki Tumenggung berdiri tegak dengan wajah yang tegang. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya. Bahkan kemudian ia telah menggeram, “Agung Sedayu. Kau mulai memamerkan kemampuanmu. Kau ingin tetap mempertahankan sebutan yang diberikan oleh Raden Rangga kepadamu, bahwa kau adalah orang yang pilih tanding.”

“Jangan salah paham Ki Tumenggung,” jawab Agung Sedayu, “aku sama sekali tidak merasa bahwa aku memiliki kemampuan yang pilih tanding.”

“Kesombongan yang tiada taranya. Orang yang paling sombong di dunia adalah orang-orang yang berpura-pura rendah hati dan bersikap sederhana. Namun yang di dalam hatinya tersimpan keinginan untuk mendapat pujian yang setinggi-tingginya,” geram Ki Tumenggung Wiragiri, “bukankah kau mengharapkan pujian yang sempurna? Bukankah kau mengharapkan orang lain mengatakan bahwa meskipun Agung Sedayu itu berkemampuan tinggi, tetapi ia tetap seorang yang rendah hati? Nah, itu adalah sikap orang yang paling sombong dan gila pujian.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Bagimu Ki Tumenggung, apa yang aku lakukan adalah serba salah. Sebaiknya kita menilai masing-masing di antara kita menurut tanggapan kita sendiri. Apa yang ingin kau katakan tentang aku, katakanlah. Sebaliknya aku pun berhak mengatakan apa saja tentang kau.”

“Gila,” geram Ki Tumengung, “sekarang, kita akan melanjutkan. Siapakah di antara kita yang lebih baik.”

Agung Sedayu tidakmenjawab. Tetapi iapun telah bersiaga sepenuhnya. Ia sadar, bahwa Ki Tumenggung tentu akan segera mulai dengan serangan-serangan yang bersungguh-sungguh.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian, Ki Tumenggung benar-benar telah menyerang Agung Sedayu. Ia tidak saja memancing gerak lawannya. Tetapi ia sudah mulai memilih sasaran dengan perhitungan yang mapan. la ingin menunjukkan sebagaimana ditunjukkan oleh Agung Sedayu dengan sentuhan tangannya pada punggungnya.

Namun usaha Ki Tumenggung tidak terlalu mudah. Agung Sedayu ternyata merupakan sasaran yang selalu bergerak. Bahkan kadang-kadang terasa terlalu cepat.

Tetapi Ki Tumenggung adalah orang yang berpengalaman. Sedikit demi sedikit Ki Tumenggung telah meningkatkan tenaga cadangannya, sehingga geraknyapun menjadi semakin mantap. Langkahnya menjadi semakin cepat dan berat.

Namun Agung Sedayu telah bersiap sepenuhnya menghadapi kemungkinan yang bakal terjadi. Karena itu, maka ketika serangan Ki Tumenggung datang beruntun, dengan sigapnya Agung Sedayu mampu menghindarinya.

Namun gerak Ki Tumenggung semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin cepat. Karena itu, maka Agung Sedayu pun harus mengimbanginya. Ia pun telah bergerak semakin cepat pula. Bahkan kemudian geraknya justru menjadi lebih cepat dari Ki Tumenggung, sehingga serangan-serangannya tidak menyentuh sasarannya sama sekali.

Ki Tumenggung yang berusaha untuk dapat mengenai lawannya itu pun menggeram. Ia pun justru menjadi sadar sepenuhnya bahwa Agung Sedayu memang orang yang memiliki kelebihan.

Tetapi Ki Tumenggung sudah terlanjur berbuat sesuatu. Karena itu maka iapun segan menarik diri. Ketika ia sudah sampai ke batas kemampuan tenaga cadangannya, namun ia masih belum mampu menundukkan Agung Sedayu, maka Ki Tumenggung itu mulai berpikir untuk mempergunakan ilmunya yang lebih tinggi. Bukan sekedar kekuatan tenaga cadangannya.

Namun untuk beberapa saat Ki Tumenggung masih ingin meyakinkan kemampuan tenaga cadangannya. Karena itu, maka ia masih berusaha untuk menekan lawannya dengan serangan-serangan yang cepat dan tenaga cadangan yang besar.

Tetapi usahanya tetap sia-sia. Betapapun juga, kecepatan gerak Agung Sedayu mampu melepaskannya dari sasaran serangan-serangan Ki Tumenggung. Sehingga dengan demikian, Ki Tumenggung masih belum dapat menjajagi kekuatan Agung Sedayu dalam benturan yang mapan dan dengan kekuatan yang tinggi.

Karena itu, maka tidak ada pilihan lain bagi Ki Tumenggung kecuali mempergunakan tingkat kemampuan ilmunya untuk memaksa Agung Sedayu mengakui kelebihannya.

Namun karena Ki Tumenggung tidak bermaksud membunuh Agung Sedayu, maka Ki Tumenggung tidak dengan serta merta mengerahkan ilmunya sampai tingkat tertingggi. Ia masih dalam usaha menjajagi sampai batas manakah sebenarnya kemampuan Agung Sedayu.

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun merasakan, bahwa Ki Tumenggung telah merambah memasuki ilmu-ilmu simpanannya. Ketika Agung Sedayu merasakan udara menjadi hangat, sadarlah ia bahwa lawannya mulai menebarkan semacam ilmu yang dapat memancarkan panas. Sebagai seorang yang berpengalaman dalam dunia kanuragan, dan yang sudah pernah melawan orang-orang dengan berbagai macam ilmu, maka Agung Sedayu tidak terkejut mengalami serangan ilmu Ki Tumenggung. Namun Agung Sedayu pun sadar, bahwa Ki Tumenggung tidak ingin mencelakainya, kecuali sekedar menundukkannya.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian mengetrapkan pula ilmunya yang paling aman bagi lawannya. Agung Sedayu sekedar berusaha melindungi dirinya. Karena itu, yang ditrapkannya adalah justru ilmu kebalnya. Ilmu yang lebih banyak berguna untuk melindungi dirinya daripada untuk menyerang musuhnya.

Dengan demikian, maka serangan ilmu lawannya tidak lagi mempengaruhinya. Namun, meskipun Agung Sedayu dengan kemampuannya dapat melindungi dirinya, tetapi ia tidak menunjukkan kepada lawannya, bahwa ia telah terhindar seluruhnya dari ilmu lawannya itu.

Dalam perkelahian selanjutnya, maka sekali-sekali Agung Sedayu masih berusaha untuk menjauhi lawannya, seakan-akan kulitnya terasa terbakar oleh ilmu Ki Tumenggung Wiragiri.

Dengan sikap yang demikian, maka Ki Tumenggung Wiragiri menduga, bahwa Agung Sedayu benar-benar terpengaruh oleh lontaran ilmunya yang baru sebagian kecil dilepaskannya. Ilmu yang dianggapnya setiap kali mampu mengatasi kesulitan di medan yang betapapun sulitnya.

Namun demikian, setelah mereka berkelahi untuk beberapa lama, ternyata sama sekali tidak ada perubahan terjadi pada Agung Sedayu. Meskipun setiap kali ia meloncat surut untuk mengambil jarak, namun agaknya tenaga dan perlawanan Agung Sedayu sama sekali tidak menjadi susut.

“Apakah ia tidak merasakan udara panas yang terlontar dari ilmuku?“ bertanya Ki Tumenggung di dalam hatinya.

Untuk beberapa saat, perkelahian masih berlangsung terus. Tetapi Ki Tumenggung tidak melihat sesuatu terjadi atas Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun kemudian meyakini keadaan lawannya, bahwa ilmunya masih belum mempengaruhi lawannya itu.

“Orang ini memang luar biasa,” berkata Ki Tumenggung, “aku sudah melepaskan ilmuku meskipun baru sebagian kecil. Namun agaknya orang ini sama sekali tidak terpengaruh.

Karena itu, maka Ki Tumenggung pun telah mempertajam ilmunya. Udara pun menjadi semakin panas. Sehingga dengan demikian Ki Tumenggung mengharap bahwa Agung Sedayu tidak akan kuat lagi menahankannya.

Dengan kemampuan khususnya, Agung Sedayu mengetahui, bahwa lawannya telah meningkatkan ilmunya. Tetapi Agung Sedayu pun telah melindungi dirinya semakin rapat. Sehingga udara panas itupun masih belum mempengaruhinya.

Yang terjadi kemudian adalah perkelahian yang semakin cepat. Dengan perasaan heran, Ki Tumenggung menyerang Agung Sedayu dengan kecepatan yang tinggi. Ia berharap, bahwa dengan pancaran panas dari ilmunya, Agung Sedayu tidak akan mampu bergerak cepat, dan bahkan kemudian ia akan merasa dirinya terpanggang oleh panasnya udara sehingga ia akan kehilangan daya perlawanannya. Dengan demikian ia berharap akan dapat menundukkannya, tanpa melukainya.

Memang agak berbeda dengan melawan seekor harimau. Jika harimau itu disentuh udara panas, maka tanpa menghiraukan apapun juga, harimau itu tentu akan melarikan diri.

Namun yang terjadi memang tidak sebagaimana dikehendaki. Meskipun Ki Tumenggung itu meningkatkan ilmunya, sehingga udara menjadi semakin panas. namun Agung Sedayu masih tetap berkelahi sebagaimana dilakukan sebelumnya. la masih mampu bergerak cepat. Menghindari serangan-serangannya. Bahkan yang sangat menyakitkan hati, adalah justru serangan-serangan Agung Sedayu menjadi semakin sering menyentuhnya meskipun kadang-kadang Agung Sedayu telah meloncat mengambil jarak, seakan-akan menghindarkan diri dari sengatan udara panas.

Dengan demikian, maka Ki Tumenggung itu pun telah dibakar oleh kemarahanrrya yang tidak dapat dikendalikan lagi. Bahkan akhirnya ia sampai pada satu kesimpulan, bahwa ia harus menundukkan Agung Sedayu dengan segera, meskipun mungkin terjadi sesuatu atas orang itu.

“Aku akan dapat mencari alasan apapun juga jika terjadi bencana atas orang itu,” berkata Ki Tumenggung di dalam hatinya. Ia tidak dapat lagi membiarkan Agung Sedayu masih tetap dalam perlawanannya. Bahkan seolah-olah lontaran ilmunya sama sekali tidak mengenainya.

Dengan demikian, maka Ki Tumenggung itu telah memusatkan segenap kemampuannya pada pelepasan ilmunya. Dari tubuhnya seakan-akan telah terpancar panas yang semakin membara sehingga udaranya bagaikan terbakar karenanya. Ki Tumenggung tidak lagi mengekang pelepasan ilmunya oleh kemarahan yang semakin mencengkam jantungnya.

Agung Sedayu yang mengetrapkan ilmu kebalnya itu mengetahui betapa Ki Tumenggung benar-benar menjadi marah dan berusaha untuk mengalahkannya. Bahkan kemudian Ki Tumenggung itu tidak lagi mengekang diri dalam puncak ilmunya dan puncak kemarahannya.

Agung Sedayu yang sempat mengambil jarak telah menarik nafas dalam-dalam. Bahkan ia sempat berkata, “Ki Tumenggung, selagi kita belum terlibat ke dalam persoalan yang lebih dalam, aku minta Ki Tumenggung berusaha mengekang diri.”

“Jangan banyak bicara!” bentak Ki Tumenggung, “Kita sudah bertekad menunjukkan, siapakah di antara kita yang lebih unggul. Siapakah di antara kita yang akan memenangkan pertaruhan ini. Kita akan melihat kebenaran.”

“Apakah Raden Rangga itu sekedar membual atau ia memang berkata sebenarnya, sekali lagi aku minta Ki Tumenggung, jangan hiraukan kata-kata anak-anak. Apalagi anak nakal seperti Raden Rangga. Kita yang dewasa dalam berpikir dan bertindak, seharusnya tidak mudah hanyut ke dalam arus perasaan justru hanya karena sikap seorang anak nakal,” jawab Agung Sedayu.

“Persetan,” geram Ki Tumenggung, “kau berusaha menghentikan perkelahian justru pada saat kau merasa menang.”

“Kenapa aku merasa menang?” bertanya Agung Sedayu.

“Kau merasa mampu melepaskan diri dari serangan ilmuku. Kulitmu tidak terbakar karenanya,” jawab Ki Tumenggung. Namun kemudian dengan geram ia berkata, “Tetapi kau jangan cepat berbangga. Mungkin kau mampu melindungi dirimu dari panasnya udara. Tetapi jika aku sampai kepada puncak ilmuku, maka kau tentu akan menyesal karenanya.”

“Aku mengerti Ki Tumenggung. Karena itu, aku mengharap, bahwa kita tidak perlu mengerahkan segenap kemampuan kita dalam keadaan seperti ini,” berkata Agung Sedayu.

Tetapi Ki Tumenggung Wiragiri benar-benar telah diliputi oleh perasaan dengki. Ia harus menunjukkan kepada Agung Sedayu dan kemudian pengakuan Agung Sedayu di hadapan Raden Rangga yang dianggap sebagai seorang anak yang ajaib, bahwa kemampuan Ki Tumenggung ternyata lebih baik dari Agung Sedayu.

Karena itu, maka katanya, “Hanya ada dua jalan. Kau dengan suka rela mengakui keunggulanku, atau aku harus memaksamu untuk mengakuinya. Kau tidak mempunyai pilihan lain kecuali salah satu di antara keduanya.”

Wajah Agung Sedayu menegang. Bagaimanapun juga, ia tidak mau merendahkan dirinya sebagaimana dikehendaki oleh Ki Tumenggung. Karena itu, maka katanya, “Aku sudah berusaha sejauh dapat aku lakukan untuk menghindari pertempuran ini, namun agar kehormatan kita masing-masing tidak tersinggung. Tetapi ternyata Ki Tumenggung tidak sependapat. Ki Tumenggung berharap bahwa Ki Tumenggung dapat memaksakan satu penghinaan atasku.”

“Aku tidak peduli,” geram Ki Tumenggung, “aku hanya mempunyai dua syarat. Kau tidak dapat memilih yang lain.”

“Aku akan mencoba memilih yang lain Ki Tumenggung. Setuju atau tidak setuju. Pilihan yang Ki Tumenggung sediakan, ternyata keduanya tidak aku kehendaki,” jawab Agung Sedayu.

“Persetan,” Ki Tumenggung hampir berteriak, “jadi kau benar-benar berani melawan aku?”

“Aku akan menjaga harga diriku. Aku sudah memenuhi syarat kemenangan untuk taruhan ini dengan lebih dahulu membunuh seekor harimau. Tetapi Ki Tumenggung masih menghendaki yang lain, dan yang lain itu ternyata telah menyinggung harga diriku,” berkata Agung Sedayu. “Karena itu Ki Tumenggung, aku akan menentukan keinginanku sendiri sebagaimana Ki Tumenggung melakukannya.”

Ki Tumenggung benar-benar menjadi kehilangan pengamatan diri. Tiba-tiba Ki Tumenggung itupun berteriak nyaring. Sebuah loncatan yang cepat mengejutkan Agung Sedayu. Ternyata Ki Tumenggung telah menyerangnya dengan serta merta.

Untunglah Agung Sedayu mampu bergerak cepat. Ia pun dengan tangkasnya bergeser menyamping sehingga serangan Ki Tumenggung itu tidak menyentuh sasaran. Namun demikian, serangan Ki Tumenggung itu ternyata telah mengenai sebatang ranting yang merunduk di belakang tempat Agung Sedayu berdiri.

Agung Sedayu terkejut sekali lagi. Sentuhan tangan Ki Tamenggung yang sangat marah itu telah menumbuhkan asap pada ranting yang disentuhnya. Bahkan ranting itu pun kemudian patah dan jatuh di tanah.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia melihat tangan Ki Tumenggung, jantungnya terasa semakin cepat berdenyut. Ia melihat tangan Ki Tumenggung bagaikan membara.

“Puncak dari ilmu apinya,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Sebenarnyalah, bahwa Ki Tumenggung benar-benar sudah sampai ke puncak ilmunya. Selain panas yang terpancar dari dalam dirinya, maka tubuhnya pun seolah-olah telah berubah menjadi bara api. Terutama telapak tangannya. Karena itu, maka sentuhannya telah membakar ranting yang kemudian menjadi patah.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu termangu-mangu. Telapak tangan Ki Tumenggung yang membara itu benar-benar telah mendebarkannya.

Namun karena itu, maka Agung Sedayu pun telah mengetrapkan puncak ilmu kebalnya. Ia belum tahu sampai seberapa tajamnya sengatan bara api yang nampak pada telapak tangan Ki Tumenggung. Karena itu, Agung Sedayu tidak mau menjadi korban karena kelengahannya. Sehingga dengan demikian maka iapun telah berusaha melindungi dirinya serapat-rapatnya.

Namun sebagaimana yang telah terjadi, puncak ilmu kebal Agung Sedayu mempunyai rangkaian pancaran kekuatan ke udara di sekitarnya. Puncak ilmu kebal Agung Sedayu itupun seakan-akan telah memancarkan panas dari dalam dirinya.

Tetapi Agung Sedayu tidak mempunyai kesempatan untuk merenungi keadaan lawannya terlalu lama. Ki Tumenggung itupun dengan garangnya telah menyerangnya pula.

Agung Sedayu yang tidak tahu pasti kemampuan tangan Ki Tumenggung tidak ingin dengan serta merta membenturkan ilmu itu dengan ilmu kebalnya. Karena itu, maka iapun juga berusaha menghindarkan dirinya.

Namun dalam pada itu, ketika serangan Ki Tumenggung terayun sejengkal dari tubuh Agung Sedayu, terasa tangan yang membara itu telah disengat oleh perasaan panas. Sudah barang tentu bukan panasnya bara dari telapak tangannya sendiri.

Karena itu, maka Ki Tumenggung itu telah terkejut karenanya. Tetapi ia tidak langsung mempercayainya. Mungkin perasaannya memang agak terganggu oleh ilmunya. Karena itu, maka sekali lagi ia meloncat menyerang Agung Sedayu.

Yang terjadi itu telah terjadi lagi. Udara di sekitar tubuh Agung Sedayu juga terasa panas, meskipun tidak setajam panas dari tubuh Ki Tumenggung yang memang memancarkan ilmunya yang menyadap kekuatan api.

Namun tubuh Agung Sedayu telah dilapisi dengan ilmu kebal, sementara Ki Tumenggung tidak. Karena itu, meskipun panas yang terpancar dari ilmu Ki Tumenggung lebih tajam dari panas yang merupakan akibat dari kekuatan puncak ilmu kebal Agung Sedayu, namun ternyata bahwa Ki Tumenggung merasa menjadi sangat terganggu karenanya.

Tetapi Ki Tumenggung merasa bahwa daya tahannya akan mampu mengatasinya. Karena itu, maka serangannya pun semakin lama justru menjadi semakin cepat. Loncatan-loncatan yang panjang dan sambaran telapak tangannya telah berubah menjadi berpasang-pasang tangan yang membara.

Agung Sedayu memang lebih banyak menghindar. Meskipun sekali-sekali ia juga menyerang, bahkan menyentuh tubuh lawannya, justru semakin lama semakin keras.

Ternyata kecepatan gerak Agung Sedayu-lah yang sangat sulit diimbangi oleh Ki Tumenggung. Betapapun tangannya membara, tetapi jika tangan itu tidak dapat menyentuh sasaran, maka yang menjadi hangus adalah justru dedaunan yang tersentuh telapak tangan Ki Tumenggung itu. Karena itu, maka pertempuran itu telah membuat udara menjadi bagaikan terpanggang di atas api. Dedaunan menjadi layu, sementara yang hangus pun telah berguguran bersama ranting-ranting yang berpatahan.

Ki Tumenggung tidak dapat ingkar lagi dari pengenalannya atas lawannya. Agung Sedayu juga mampu memancarkan panas dari dalam dirinya.

Karena itu, maka Ki Tumenggungpun harus berbuat hati-hati meskipun menurut penilaian Ki Tumenggung, ilmu Agung Sedayu masih belum mendekati tingkat ilmunya.

Namun Ki Tumenggung menjadi sangat heran, bahwa udara panas yang dipancarkan dari dirinya, tidak segera membakar dan melumpuhkan Agung Sedayu. Orang itu masih saja tetap bertahan dan melawannya. Bahkan sekali-sekali Agung Sedayu itu justru telah menyentuhnya.

“Anak setan ini benar-benar memiliki kelebihan” geram Ki Tumenggung didalam hatinya, “itulah agaknya Raden Rangga menganggap bahwa Agung Sedayu adalah orang yang tidak terkalahkan. Bahkan Panembahan Senapati sendiri sikapnya terlalu khusus terhadap Agung Sedayu, seolah-olah Agung Sedayu adalah seseorang yang pantas dihormati.”

Sementara itu, dengan hati-hati Agung Sedayu berusaha menjajagi puncak kemampuan Ki Tumenggung itu. Agung Sedayu ingin mengetahui apakah kemampuan Ki Tumenggung menyadap kekuatan api dapat menembus ilmu kebalnya.

Karena itu, pada perhitungan yang mapan, setelah Agung Sedayu benar-benar mengetrapkan puncak ilmu kebalnya, maka ia berusaha untuk dapat menyentuh tangan Ki Tumenggung.

Ketika Ki Tumenggung dengan kemarahan yang menghentak di dadanya meloncat menyerang sambil mengayunkan tangannya mengarah kekeningnya, setelah serangannya sebelumnya gagal, Agung Sedayu berusaha untuk dapat menyentuh tangan itu. Dengan tangkas ia meloncat menghindar, namun kemudian dengan gerak yang tidak diduga oleh lawannya, Agung Sedayu telah menyambar tangan Ki Tumenggung dengan tangan kirinya, hanya untuk menyentuhnya.

Sentuhan itu benar-benar telah mengejutkan Ki Tumenggung pula. Namun kemudian ia berkata di dalam hatinya, “Orang yang dungu, apa maksudnya ia menyentuh tanganku? Sentuhan itu tentu akan membakar kulit dagingnya. Dan atas tingkah lakunya sendiri, tangannya akan terbakar.”

Namun ternyata bahwa ilmu Ki Tumenggung itu bukan ilmu yang melampaui ilmu orang-orang yang pernah dilawannya. Meskipun tangan Ki Tumenggung itu nampak membara dalam puncak ilmunya tetapi ternyata bah wa kemampuan ilmu itu tidak dapat memecahkan ilmu kebal Agung Sedayu, meskipun terasa juga sedikit menembusnya, tetapi sama sekali tidak menggoyahkan pertahanannya.

Sentuhan itu kemudian menjadi sangat berarti bagi Agung Sedayu. Iapun tidak mempunyai terlalu banyak waktu. la harus menundukkan lawannya secepatnya, agar ia segera dapat kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Ia masih mempunyai banyak tugas-tugas yang penting bagi Tanah Perdikan itu, jauh lebih penting dari bermain-main tanpa arti di dalam hutan itu.

“Jika tenaga terbuang ini aku pergunakan untuk memperbaiki jembatan yang longsor itu bersama anak-anak Tanah Perdikan, maka aku kira jembatan Karangmaja itu sudah dapat dilalui gerobak lagi,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Karena itu, maka iapun harus segera menyelesaikan permainan yang mulai menjemukan itu.

Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung menjadi semakin kehilangan pengekangan diri. Ia merasakan dan melihat sentuhan tangan Agung Sedayu pada tangannya. Tetapi ia tidak melihat pengaruh dari sentuhan itu. Agung Sedayu tidak menjadi terbakar tangannya dan mengalami kesakitan.

“Kekuatan iblis yang manakah yang tersimpan di dalam diri anak itu?” bertanya Ki Tumenggung kepada diri sendiri.

Sementara itu, ternyata Agung Sedayu sudah mengambil keputusan untuk mengalahkan lawannya. Tidak dengan menyerangnya dan menghancurkannya, meskipun ia mampu. Tetapi ia ingin mengalahkan lawannya dengan ilmu pertahanan dan perlindungan atas dirinya sendiri.

Karena itu, maka Agung Sedayu telah memperlambat geraknya. Dengan demikian, maka serangan-serangan Ki Tumenggung justru berhasil mengenainya beberapa kali. Tetapi di bawah perlindungan  ilmu kebalnya, maka sentuhan-sentuhan itu sama sekali tidak berhasil menyakitinya, apalagi melukainya. Memang terasa kekuatan lawannya itu mampu menyusup menyentuh simpul-simpul syarafnya, tetapi terlalu kecil dibandingkan dengan kemampuan daya tahan Agung Sedayu yang berada di bawah lapisan ilmu kebalnya. Bahkan yang terasa oleh Ki Tumenggung adalah justru pengaruh panas yang terlontar dari tubuh Agung Sedayu karena puncak ilmu kebalnya.

Keadaan itu ternyata telah membuat Ki Tumenggung menjadi marah, heran dan perasaan bingung yang bercampur-baur. Meskipun Ki Tumenggung berusaha meningkatkan serangannya, tetapi ia sudah sampai pada puncak ilmunya, sehingga ia tidak mampu meningkatkannya lagi.

Dengan demikian, maka Ki Tumenggung itu telah melihat satu kenyataan atas Agung Sedayu yang dikatakan oleh Raden Rangga memiliki kelebihan, dan yang telah diterima oleh Panembahan Senapati dengan cara yang khusus meskipun orang itu tidak lebih dari seorang penghuni Tanah Perdikan, sama sekali bukan Kepala Tanah Perdikan.

Tetapi Ki Tumenggung tidak segera menerima kenyataan itu. Ia masih meragukannya, bahwa orang yang-bernama Agung Sedayu itu memang memiliki kekebalan yang tidak dapat ditembus oleh ilmunya.

Karena itu, maka Ki Tumenggung itu masih berusaha untuk bertempur dengan sepenuh kemampuannya. Bahkan ia berusaha mempercepat geraknya dengan langkah-langkah panjang.

Agung Sedayu dengan sengaja telah membiarkan serangan-serangan lawannya itu mengenainya beberapa kali, meskipun ada juga yang dihindarinya. Dengan demikian, maka Agung Sedayu berhasil meyakinkan kepada Ki Tumenggung, bahwa sentuhan tangannya sama sekali tidak dapat menyakitinya.

Untuk beberapa saat pertempuran itu masih terjadi. Ki Tumenggung dengan kemarahan yang memuncak, berbaur dengan keheranan dan kebingungan, telah mengayunkan tangannya yang membara ke arah kening Agung Sedayu.

Dengan sigapnya Agung Sedayu bergeser selangkah, sehingga tangan Ki Tumenggung itu sama sekali tidak menyentuhnya. Namun ternyata serangan Ki Tumenggung datang beruntun. Tangannya yang lain telah terayun pula mengarah ke dada lawannya. Ki Tumenggung dengan ilmunya sama sekali tidak memerlukan kekuatan untuk menghancurkan sasaran, karena sentuhan bara api di telapak tangannya telah cukup berbahaya. Sentuhan itu akan dapat membakar kulit dan daging lawannya.

Agung Sedayu melihat serangan itu. Tetapi seperti yang sudah dilakukannya, maka ia tidak sepenuhnya menghindari garis serangan bara yang terayun pada telapak tangan Ki Tumenggung itu. Karena itu, maka serangan itu telah mengenai pundak Agung Sedayu.

Agung Sedayu meloncat surut. Ia memang merasa panasnya bara api itu menembus ilmu kebalnya. Tetapi tidak melampaui daya tahannya, sehingga karena itu, maka seolah-olah Agung Sedayu sama sekali tidak terpengaruh oleh sentuhan serangan itu.

Bahkan Agung sedayu kemudian berdiri tegak di tempatnya. Ia memang surut setapak. Tetapi kembali tegak berdiri di atas kedua kakinya yang renggang. Bahkan seakan-akan menantang Ki Tumenggung untuk mengulangi serangannya.

Ki Tumenggung yang telah bersiap untuk mengulangi serangannya telah tertegun. Beberapa kali ia sudah mengalami sikap Agung Sedayu yang demikian. Namun Ki Tumenggung yang masih merasa mampu untuk bertempur terus itu, sama sekali tidak berniat untuk menghentikan pertempuran.

Agung Sedayu melihat sorot mata Ki Tumenggung. Dengan demikian ia menyadari, bahwa usaha yang dilakukan itu tidak akan banyak mendesak Ki Tumenggung untuk menghentikan perkelahian. Karena itu, maka Agung Sedayu harus mengambil cara lain.

“Aku tidak perlu menyakitinya. Tetapi aku harus membuatnya berhenti bertempur,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Karena itu, maka perkelahian berikutnya menjadi semakin cepat. Ki Tumenggung yang masih ingin meyakinkan kenyataan yang dihadapinya telah meloncat mengulangi serangannya. Tetapi ternyata bahwa seperti sebelumnya serangan-serangannya tidak banyak berarti. Bahkan yang dilakukan kemudian oleh Agung Sedayu telah memaksa Ki Tumenggung untuk bergerak lebih cepat. Agung Sedayu telah berusaha beberapa kali menyentuh tubuh Ki Tumenggung. Sekali di punggung, kemudian di dada, di tengkuk dan bahkan kemudian telah menyentuh dahinya. Satu bagian dari tubuh Ki Tumenggung yang terletak di atas bagian lehernya, yang merupakan bagian yang dihormati.

Sentuhan-sentuhan itu telah memaksa Ki Tumenggung untuk bergerak lebih cepat. Sentuhan itu memang tidak terlalu keras dan tidak banyak menimbulkan akibat. Tetapi justru udara panas yang memancar dari tubuh Agung Sedayu karena getaran puncak ilmu kebalnya terasa setiap kali menyengat tubuhnya.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu telah berhasil memaksa Ki Tumenggung untuk bergerak lebih cepat dan memeras tenaganya lebih banyak lagi. Karena itu, maka beberapa lama kemudian, terasa tenaga Ki Tumenggung itu mulai menjadi susut.

Agung Sedayu yang menyaksikan Ki Tumenggung itu bertempur melawan seekor harimau merasa heran akan kekuatan dan daya tahan Ki Tumenggung. Namun betapapun juga kekuatan dan daya tahan itu pada saatnya akan sampai pada suatu batas dan menjadi susut karenanya.

Susutnya kekuatan dan tenaga Ki Tumenggung tidak luput dari pengamatan Agung Sedayu. Justru karena itu, maka Agung Sedayu telah menekannya semakin berat. Sentuhan-sentuhan tangan Agung Sedayu yang memancarkan panas pula telah membuat Ki Tumenggung berusaha untuk menghindarinya. Karena panas sentuhan tubuh Agung Sedayu yang menjadi semakin sering terasa menjadi sangat mengganggunya.

Dengan demikian, maka Ki Tumenggung itu harus memeras tenaganya semakin kuat. Selain menghindarkan diri, maka ia pun masih harus mengerahkan tenaga untuk berusaha menyerang. Namun serangannya tidak memberikan akibat apapun juga pada Agung sedayu.

Akhirnya Ki Tumenggung itu tidak lagi dapat ingkar dari kenyataan. Ketika serangan-serangan Agung Sedayu menjadi semakin meningkat maka terasa bahwa ia tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Nafasnya mulai terasa memburu sehingga kadang-kadang ia harus meloncat menjauhi lawannya untuk mendapat kesempatan bernafas. Bahkan akhirnya, Ki Tumenggung sudah tidak lagi dapat memperhitungkan keseimbangannya sebaik-baiknya. Mengayunkan tangannya, namun pada saat serangan itu tidak mengenai sasarannya, justru tubuhnya bagaikan telah terseret hampir saja jatuh terjerembab.

Agung Sedayu yang mengetahui keadaan lawannya, telah memancingnya untuk lebih banyak bergerak, sehingga akhirnya Ki Tumenggung itu benar-benar telah kehabisan nafas.

“Orang gila,” Ki Tumenggung itu hampir berteriak. Namun nafasnya justru semakin memburu.

Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Ia masih nampak segar seperti saat perkelahian itu belum dimulai.

Ki Tumenggung yang kehabisan nafas itupun berdiri sambil menekan pinggangnya. Bahkan sekali-sekali Ki Tumenggung itu terbongkok-bongkok untuk menarik nafas sampai ke paru-parunya. Agung Sedayu yang berdiri memandanginya itupun kemudian berkata, “Marilah Ki Tumenggung. Masih ada waktu sebelum matahari turun ke balik bukit.”

“Setan alas,” desah Ki Tumenggung, “ilmu dari iblis manakah yang telah menyusup ke dalam dirimu?” bertanya Ki Tumenggung.

“Bukan ilmu iblis,” jawab Agung Sedayu, “tetapi biarlah kita menyelesaikan persoalan kita dengan sebaik-baiknya. Bukankah kita berbeda dengan harimau yang mati itu, yang sama sekali tidak mempunyai nalar dan budi?”

Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Dipandanginya Agung Sedayu yang berdiri tegak itu. Meskipun baru saja mereka berkelahi, tetapi di sorot mata Agung Sedayu sama sekali tidak nampak kesan permusuhan di antara mereka. Bahkan wajah Agung Sedayu nampak bening dan sekali-sekali terpancar senyum dari bibirnya. Senyum yang ikhlas.

“Ki Tumenggung,” berkata Agung Sedayu, “marilah kita kembali kepada keinginan Ki Tumenggung semula. Bukankah Ki Tumenggung seorang kesatria dari Mataram yang berdiri di atas sikapnya? Nah, jika demikian, apakah Ki Tumenggung sudah meyakini akhir dari perkelahian ini?”

Wajah Ki Tumenggung menjadi semakin tegang sejenak. Namun tiba-tiba saja ia berkata dengan nada dalam, “Aku mengakui Agung Sedayu. Kau memenangkan taruhan ini.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, “Yang penting adalah, bahwa kita sudah mengakhiri perkelahian ini.”

“Bukan hanya itu Agung Sedayu,” jawab Ki Tumenggung, “Aku memang harus bersikap jujur dalam perkelahian ini. Aku tidak akan dapat mengingkari kekalahanku. Dan kita akan datang menemui Raden Rangga untuk mengatakan, bahwa aku tidak dapat melampaui ilmumu yang agaknya memang di atas lapisan-lapisan terakhir dari ilmuku. Ternyata kau memiliki ilmu kebal yang dapat melindungimu dari sengatan ilmuku yang jarang menjumpai lawan yang mampu mengatasinya.”

“Aku kira hal itu tidak perlu,” jawab Agung Sedayu, “biarlah Raden Rangga mengatakan apa saja menurut seleranya. Ia memang seorang anak yang ajaib. Tetapi kita yang sudah cukup dewasa, tidak akan terseret ke dalam anggapan anak itu, sehingga justru kita akan dapat menjadi sasaran permainannya.”

Ki Tumenggung itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Barangkali aku adalah orang yang berhati panas. Tetapi kali ini aku telah membentur sasaran yang memaksa aku untuk mengakui kelemahanku.”

“Semuanya itu dapat kita lupakan,” jawab Agung Sedayu.

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika demikian, maka sebenarnyalah nama Agung Sedayu bukan nama yang kosong. Aku pernah mendengar kebesaran nama itu bukan baru dari Raden Rangga. Tetapi cara Raden Rangga mengatakannya, seakan-akan menyindir bahwa aku tidak akan mampu mengimbangi ilmumu. Hatiku yang mudah terbakar itu telah menyeretku ke hutan ini. Namun agaknya aku memang harus melihat kenyataan ini. Itulah sebabnya, maka di hadapan Panembahan Senapati kau dianggap orang yang memiliki kedudukan khusus, meskipun kau bukan pemimpin pemerintahan, bukan seorang senapati dan bukan Kepala Tanah Perdikan.”

“Ya,” jawab Agung Sedayu, “aku memang bukan apa-apa. Tetapi aku seperti berpuluh ribu orang lain, pernah berjuang untuk menegakkan Mataram dari kemungkinan yang sangat buruk, sebagaimana terjadi atas Pajang. Jika Pajang tidak segera dilahirkan kembali dalam ujudnya Mataram, maka Tanah ini akan benar-benar binasa. Karena itu, seperti juga Ki Tumenggung, aku berjuang bagi tegaknya Mataram. Hanya mungkin kita berada di medan yang berbeda.”

“Ya. Kita memang berada di medan yang berbeda,” jawab Ki Tumenggung sambil mengangguk-angguk kecil. “Tetapi juga yang kita serahkan kepada Mataram jauh berbeda. Kau memberikan segumpal permata, tetapi aku hanya memberikan sekepal tanah liat.”

“Apapun yang kita berikan, kita sudah memberikan. Yang aku berikan tidak akan berarti apa-apa jika orang lain tidak melakukannya menurut kadar kemampuannya masing-masing. Tetapi kita sudah berbuat sesuatu,“ jawab Agung Sedayu

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau ternyata orang yang aneh menurut penilaianku. Ternyata kau bukan orang yang sombong seperti yang aku duga.”

“Pujianmu membuat jantungku berdebar-debar,” jawab Agung Sedayu, “kita sudah melakukan kewajiban kita. Nah, bukankah persoalan ini sudah selesai?”

“Kewajiban apa?” bertanya Ki Tumenggung, “Aku harus minta maaf kepadamu. Dalam kegelapan hati, aku tidak lagi mengekang diri. Jika bukan kau, mungkin aku telah melakukan satu langkah yang akan menjadi noda di sepanjang hidupku. Karena itu, aku berterima kasih kepadamu.”

“Marilah kita kembali kepada para saksi,” berkata Agung Sedayu, “tetapi aku tidak akan dapat meninggalkan harimau yang mati itu begitu saja tanpa mengambil manfaat daripadanya, seolah-olah kematiannya itu benar-benar hanya satu kesia-siaan saja.”

Ki Tumenggung itu mengangguk-angguk. Bahkan kemudian ia pun bergumam, “Jika kau mau, kau dapat rnembunuhku seperti membunuh harimau itu.”

“Satu langkah yang dungu,” jawab Agung Sedayu.

Agung Sedayu tidak ingin berbicara lebih panjang lagi. Karena itu maka iapun telah melangkah ke arah tubuh harimau yang terbaring mati.

“Biarlah aku yang membawanya,” berkata Ki Tumenggung, “jangan takut bahwa aku akan mengakunya.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Jangan begitu Ki Tumenggung, bukan karena aku takut bahwa Ki Tumenggung akan mengaku memenangkan pertaruhan ini, tetapi tentu tidak pantas bahwa Ki Tumenggung-lah yang akan membawa harimau itu. Karena itu, biarlah aku sajalah yang membawanya.”

Ki Tumenggung tidak memaksanya. Karena itu, maka merekapun kemudian meninggalkan tempat itu. Agung Sedayu telah mendukung seekor harimau yang telah mati.

Ki Tumenggung pun merasa heran melihat cara Agung Sedayu membawa harimau itu. Orang itu bertubuh sebagaimana kebanyakan orang lain. Tidak terlalu besar tinggi ataupun kekar. Namun ternyata ia memiliki kekuatan yang luar biasa. Agung Sedayu sama sekali tidak nampak kesulitan membawa seekor harimau yang sedemikian besarnya. Bahkan ketika mereka berjalan, menyusup di bawah ranting-ranting, meloncati batang-batang kayu yang tumbang dan sekali-sekali menyeberangi parit-parit yang berbatu-batu, Agung Sedayu sama sekali tidak nampak menjadi kesulitan dengan harimau yang besar itu di punggungnya.

Karena itulah, maka perjalanan mereka nampaknya sama sekali tidak terganggu. Sehingga mereka pun dapat menempuh perjalanan kembali sebagaimana saat mereka berangkat.

Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung pun hampir di luar sadarnya bertanya, “Agung Sedayu, apakah kau memang mampu meloncat seperti seekor belalang, sehingga kau selalu mendahului perjalananku? Meskipun aku merasa bahwa aku mampu menempuh jarak yang memisahkan para saksi dan daerah di luar hutan perburuan di luar gawar itu, dalam waktu yang terlalu singkat bagi orang lain.”

“Akupun berlari sebagaimana Ki Tumenggung.” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi menilik kemampuan serta kecepatanmu bergerak dalam perkelahian, maka kau memang mampu melenting melampaui jarak loncatan seekor belalang dibandingkan dengan panjang tubuhnya.”

“Ah, Ki Tumenggung itu ada-ada saja,” Agung Sedayu pun tertawa karenanya.

Ki Tumenggung memang tidak bertanya lagi. Namun baru kemudian ia menyadari setelah ia melihat cara Agung Sedayu menempuh jalan yang cukup panjang dan melalui banyak rintangan itu.

“Orang ini memang orang luar biasa,” berkata Ki Tumenggung di dalam hatinya, “agaknya ia memiliki kemampuan jauh lebih banyak dari yang ditunjukkan kepadaku. Agaknya dalam perkelahian tadi, ia baru mempergunakan ilmu kebalnya saja, dan sedikit panas dari dalam dirinya, namun yang rasa-rasanya telah membakar tubuhku. Sementara itu, ilmuku yang bagi orang lain tidak terlawan itu, sama sekali tidak berarti apa-apa. Panasnya bara api di telapak tanganku, sama sekali tidak terasakan olehnya. Apalagi jika ia mempergunakan ilmunya yang lain, maka aku kira, aku memang bukan tandingannya.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah melintasi hutan perburuan, dan sebentar lagi mereka akan sampai kepada para saksi yang menunggu dengan hati yang berdebar-debar. Bahkan rasa-rasanya mereka telah dicengkam oleh ketegangan. Mereka merasa bahwa mereka telah terlalu lama menunggu.

Karena itu, ketika mereka melihat keduanya muncul dari balik gerumbul, maka mereka pun telah menjadi tegang.

Yang mereka lihat membawa seekor harimau ternyata bukan Ki Tumenggung, tetapi adalah Agung Sedayu.

Karena itu, maka seorang prajurit bawahan Ki Tumenggung telah memandanginya dengan tegang. Dengan sendat ia bertanya, “Apakah artinya ini Ki Tumenggung?”

Ki Tumenggung justru tersenyum. Sama sekali tidak nampak kesan kekecewaan di wajahnya. Dengan pasti ia berkata, “Kau lihat, Agung Sedayu membawa seekor harimau lebih dahulu daripadaku. Karena itu, maka ia telah memenangkan pertaruhan ini.”

Prajurit itu termangu-mangu. Namun bukan hanya prajurit yang seorang itu saja, tetapi kawan-kawannyapun melihat, bahwa Ki Tumenggung nampak begitu letihnya. Meskipun Ki Tumenggung tetap tersenyum, tetapi menilik pakaiannya yang kusut, keringatnya, wajahnya yang kotor dan juga nafasnya, maka Ki Tumenggung benar-benar nampak keletihan, meskipun bibirnya nampak tersenyum.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar