Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 182

Buku 182

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Aku percaya kepada kesungguhan Kiai. Karena itu, aku tidak berkeberatan, jika Kiai bersedia untuk tinggal di rumah ini. Di sini Kiai akan dapat berbicara dengan beberapa orang tetua Tanah Perdikan dan beberapa orang tamuku yang lain, di antaranya adalah seorang yang bernama Kiai Jayaraga.”

“Kiai Jayaraga?” jawab Kiai Bagaswara menegang, “Apakah yang dimaksud Kiai Jayaraga guru Ki Tumenggung Prabadaru?”

“Ya,” jawab Ki Gede ragu-ragu.

“Jadi orang itu ada di sini sekarang?” bertanya Kiai Bagaswara pula.

“Ya Kiai. Kiai Jayaraga sekarang ada di Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Ki Gede pula.

Wajah Kiai Bagaswara menjadi tegang. Dipandanginya Ki Gede Menoreh dan Agung Sedayu berganti-ganti. Namun kemudian ia berdesis seolah-olah kepada diri sendiri, “Apakah kehadirannya di sini tidak menimbulkan kesulitan, justru karena muridnya telah terbunuh oleh Angger Agung Sedayu?”

Namun dalam pada itu, Ki Gede-lah yang menjawab, “Kiai, agaknya sesuatu telah terjadi di dalam diri Kiai Jayaraga. la mengerti bahwa muridnya telah terbunuh oleh Agung Sedayu. Bukan saja Ki Tumenggung Prabadaru, tetapi juga muridnya yang lain, yang menjadi bajak laut di perairan yang garang di sela-sela tanah dan benua. Namun Kiai Jayaraga ternyata mempunyai sikap yang berbeda dengan murid-muridnya.”

Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Syukurlah. Sebenarnya aku sudah mengenalnya. Di saat terakhir, yang aku tahu, Kiai Jayaraga telah mengasingkan diri di sebuah padepokan terpencil. Itupun jika dapat disebut padepokan, karena yang didiami adalah sekedar sebidang tanah dengan pagar kayu yang tinggi, dihuni olehnya sendiri.”

“Dengan seorang muridnya,” sahut Ki Gede.

“O,” Kiai Bagaswara mengerutkan keningnya, sementara Ki Gede meneruskan, “muridnya itupun terbunuh pula oleh saudara seperguruan Agung Sedayu.”

Kiai Bagaswara mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya memang demikian Ki Gede. Menilik sifat-sifatnya, Kiai Jayaraga memang mempunyai sikap yang berbeda dengan murid-muridnya.”

“Tetapi, murid-muridnya telah menyakiti hatinya,” berkata Ki Gede. Lalu, “Sekarang ia telah mengambil seorang murid lagi.”

“Ia berada di rumah Agung Sedayu,” jawab Ki Gede, “biarlah Agung Sedayu memanggilnya. Mungkin kita akan berbicara sekaligus tentang niat Ki Tumenggung Purbarana yang ingin menguasai sisi sebelah barat dari Mataram, sebelum kita berbicara dengan Ki Lurah Branjangan.”

“Baiklah, nanti biarlah aku ajak Kiai Jayaraga datang kemari bersama Sekar Mirah, Ki Gede. Mungkin sekarang saatnya bagi Kiai Bagaswara untuk beristirahat, setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang,” berkata Agung Sedayu.

“Aku setuju Agung Sedayu, biarlah Kiai Bagaswara beristirahat di gandok, sementara kau dapat memberitahukan kepada Kiai Jayaraga. Sore nanti, ajak Kiai Jayaraga kemari bersama istrimu. Biarlah kita berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas Tanah Perdikan ini karena tingkah Ki Tumenggung Purbarana. Jika perlu sekali, maka besok atau lusa, kita akan memberitahukan pula kepada Ki Waskita.”

“Siapakah Ki Waskita itu?” bertanya Kiai Bagaswara.

“Masih ada hubungan darah dengan aku,” jawab Ki Gede, “ia termasuk seorang tetua di Tanah Perdikan ini.”

Kiai Bagaswara mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi.

Sementara itu, Kiai Bagaswara pun dipersilahkan untuk beristirahat di gandok setelah membersihkan diri di pakiwan. Kemudian Agung Sedayu pun telah minta diri untuk kembali ke rumahnya.

Dalam pada itu, Sekar Mirah yang lagi sibuk di dapur, telah dipanggil oleh Agung Sedayu untuk berbicara serba sedikit tentang apa yang didengarnya di rumah Ki Gede.

“Dimana Kiai Jayaraga sekarang?” bertanya Agung Sedayu kepada istrinya.

“Di sanggar, bersama Glagah Putih,” jawab Sekar Mirah, “hari ini mereka tidak berlatih di alam terbuka.”

“Biarlah. Nanti pada saatnya Kiai Jayaraga akan mendengar,” berkata Agung Sedayu yang kemudian mengatakan apa yang telah diceritakan oleh Kiai Bagaswara.

“Ki Gede dan Kakang langsung dapat mempercayainya?” bertanya Sekar Mirah.

“Menilik sikap dan kata-katanya, maka kami mempercayainya,” jawab Agung Sedayu.

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya masih saja persoalan-persoalan yang tumbuh susul-menyusul. Jika orang itu menyinggung kemelut di tlatah kekuasaan para adipati di daerah timur, maka nampaknya orang yang bernama Purbarana itu mempunyai perhitungan yang cukup cermat. Tetapi apakah orang itu sudah dapat memperhitungkan kekuatan kita di sini?”

“Entahlah,” jawab Agung Sedayu, “namun agaknya, persoalan ini akan menjadi persoalan yang cukup gawat, karena Ki Tumenggung itu telah berhubungan dengan dua orang pemimpin padepokan yang menurut Kiai Bagaswara, sebenarnya adalah pemimpin sekelompok brandal yang menyebut sarangnya sebagai sebuah padepokan. Tetapi menurut gambaran Kiai Bagaswara, padepokan itu memang mempunyai ciri-ciri sebagai sebuah padepokan yang lain. Padepokan itu mempunyai barak-barak bagi para cantrik, mempunyai tanah garapan dan mempunyai peternakan. Ada beberapa bangsal untuk menurunkan ilmu dan pengetahuan, kesusastraan dan kejiwaan. Ada beberapa sanggar untuk berlatih olah kanuragan, dan ada beberapa sanggar pamujan. Namun ternyata bahwa isi dari padepokan itu adalah segerombolan brandal dan perampok yang sudah lama mengusutkan nama Pajang, dan kini Mataram, di daerah-daerah yang terpisah dari Kota Raja.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Kita memang perlu membicarakannya dengan sungguh-sungguh bersama Ki Gede. Tetapi bukankah kita menunggu Kiai Jayaraga keluar dari sanggar?”

“Sore nanti kita akan bertemu dengan Ki Gede. Sekarang tamu itu sedang beristirahat,” jawab Agung Sedayu.

Dengan demikian, maka Sekar Mirah pun telah kembali pula ke dapur dan Agung Sedayu pergi ke padukuhan sebelah untuk melakukan tugasnya pula. Namun dalam pada itu, ketika Kiai Jayaraga dan Glagah Putih keluar dari sanggar, dan Agung Sedayu sudah kembali dari tugas-tugasnya, pada saat mereka bersama-sama makan di sebuah amben besar, maka Agung Sedayu sudah mulai menyinggung persoalan yang dikemukakan oleh Kiai Bagaswara, serta tentang kehadiran orang itu sendiri di Tanah Perdikan Menoreh.

Berita itu memang mengejutkan Kiai Jayaraga. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Jadi Bagaswara sekarang ada di sini?”

“Ya Kiai,” jawab Agung Sedayu. Sementara itu Sekar Mirah pun bertanya, “Menurut pengenalan Kiai atas Kiai Bagaswara itu, apakah kira-kira semua keterangannya dapat dipercaya?”

Kiai Jayaraga merenung sejenak. Namun kemudian katanya sambil mengangguk-angguk, “la orang yang menurut pengenalanku termasuk orang yang baik. Aku kira ia tidak mengada-ada dengan ceritanya. Apalagi bahwa Ki Tumenggung Purbarana sudah sampai hati membunuh gururya sendiri, dan pasukannya telah membantai seisi padepokan. Ternyata bahwa masih ada orang yang malang melampaui kemalanganku. Aku sudah merasa disakiti hatiku oleh murid-muridku. Namun ternyata masih ada orang yang aku kenal baik, bukan saja disakiti hatinya, tetapi bahkan dibunuh oleh muridnya sendiri.”

“Jadi Kiai mempercayainya?” desak Sekar Mirah.

“Aku mempercayainya Mirah,” jawab Kiai Jayaraga, “dan akupun sependapat dengan keterangan yang diberikan oleh Bagaswara, tentang Ki Linduk yang juga disebut Sambijaya dan Warak Ireng.

“Kiai juga sudah mengenal keduanya?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku mengenalnya meskipun tidak terlalu banyak. Tetapi pengenalanku atas mereka, memang sebagaimana dikatakan oleh Kiai Bagaswara itu,” jawab Kiai Jayaraga.

Dengan demikian, maka bagi Agung Sedayu dan Sekar Mirah, Tanah Perdikan Menoreh memang benar-benar harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Segala persiapan tidak boleh tertunda terlalu lama, karena setiap saat bahaya itu memang akan dapat mengancam dan menerkam Tanah Perdikan itu.

Karena itu, maka di sore hari menjelang senja, Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah pergi ke rumah Ki Gede untuk menemui Kiai Bagaswara. Sebenarnyalah, ketika Kiai Bagaswara dan Kiai Jayaraga bertemu, ternyata mereka memang sudah saling mengenal sebelumnya. 

Banyak cerita yang dapat mereka ceritakan tentang diri masing-masing. Namun yang kemudian menjadi pokok persoalan dalam pertemuan itu adalah rencana Tumenggung Purbarana untuk menyerang Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, ternyata mereka sepakat untuk dengan segera menyampaikan rnasalah itu kepada pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, karena agaknya pasukan khusus itu akan menjadi sasaran utama untuk melumpuhkan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.

Ternyata orang-orang yang sedang berbicara tentang bahaya yang mungkin akan melanda Tanah Perdikan Menoreh itu sependapat, bahwa mereka akan pergi pada saat itu juga. Selagi senja baru saja lewat dan hari masih belum terlalu malam.

“Mudah mudahan Ki Lurah Branjangan bersedia menerima kami,” berkata Ki Gede.

Demikianlah, beberapa orang telah pergi ke barak pasukan khusus untuk menyampaikan persoalan yang dibawa oleh Kiai Bagaswara kepada Ki Lurah Branjangan.

Memang sudah diduga sebelumnya, bahwa Ki Lurah Branjangan tidak begitu saja mempercayainya. Namun dalam pada itu, Ki Gede pun berkata, “Tetapi lebih baik kita berhati-hati Ki Lurah.”

“Akupun yakin, bahwa Kiai Bagaswara mengatakan sebagaimana yang diketahui,” berkata Kiai Jayaraga. “Jika serangan itu urung, tentu ada perkembangan rencana Ki Tumenggung Purbarana.”

“Tetapi sebodoh-bodoh Tumenggung Purbarana, tentu ia akan dapat belajar dari pengalaman dalam pertempuran di Prambanan. Kekuatan Pajang di Prambanan waktu itu benar benar merupakan kekuatan raksasa. Tetapi ternyata bahwa mereka tidak dapat memecahkan pertahanan Mataram. Bahkan akhirnya pasukan Pajang dapat digulung,” berkata Ki Lurah Branjangan.

Namun dalam pada itu, hampir di luar dugaan, Agung Sedayu pun berkata “Tetapi Ki Lurah, kita juga harus belajar dari pengalaman itu. Seandainya Kanjeng Sultan mempunyai sikap lain, apakah tidak terjadi akhir yang lain pula di Prarnbanan?”

Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Sementara itu Ki Gede pun berkata, “Kematian Kakang Panji juga merupakan salah satu unsur, kenapa Pajang dapat dihancurkan oleh pasukan Mataram.”

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Jadi, bagaimana pertimbangan kalian?”

“Kita anggap bahwa hal itu benar-benar akan terjadi,” berkata Ki Gede, “karena itu, kita harus benar-benar bersiap, meskipun persiapan itu tidak perlu kita pertontonkan kepada rakyat Tanah Perdikan ini, karena hal yang demikian akan dapat menimbulkan kegelisahan. Belum lama kita menikmati ketenangan. Tiba-tiba ketenangan itu sudah mulai diusik lagi.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. sementara Agung Sedayu berkata, “Aku sependapat dengan Ki Gede. Kita justru bersiap dengan diam-diam, sehingga tidak boleh seorangpun yang digelisahkan karenanya. Aku akan mengatur anak-anak muda dan para pengawal Tanah Perdikan. Sementara itu terserah kepada kebijaksanaan Ki Lurah tentang pasukan khusus ini.”

Ki Lurah mengangguk-angguk pula sambil berkata, “Baiklah. Aku akan menentukan langkah-langkah yang patut aku ambil menghadapi kemungkinan ini.”

“Terima kasih Ki Lurah,” Agung Sedayu-lah yang menyahut, “kita akan bersama-sama menghadapi persoalan ini. Tidak mustahil bahwa mereka akan mengirimkan orang-orangnya untuk mengamati keadaan, sebelum mereka benar-benar akan datang.”

Ternyata dugaan itu tidak saja tumbuh di hati Agung Sedayu. Ki Lurah Branjangan pun berkata, “Ki Tumenggung Purbarana adalah seorang senapati. la tidak akan melakukan satu pekerjaan besar dengan tergesa-gesa. Karena itu, maka bukan saja satu kemungkinan bahwa ia akan mengirimkan beberapa orang untuk mengamati keadaan, tetapi hal itu merupakan satu rangkaian dari pekerjaan besar yang akan dilakukan, kecuali jika Ki Tumenggung itu sudah menjadi pikun.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu, yang lainpun berpendirian seperti itu juga.

Karena itu, maka Ki Gede berkata, “Dengan demikian, maka akan menjadi satu pola pekerjaan kita, bahwa persiapan ini harus kita lakukan dengan diam-diam. Selain agar tidak menggelisahkan rakyat Tanah Perdikan, maka kita memang memancing agar Ki Tumenggung itu datang ke Tanah Perdikan ini. Bukan karena satu keinginan untuk saling membunuh atau melepaskan dendam dan sakit hati, tetapi bagiku lebih baik Ki Tumenggung itu datang kemari, karena di sini ada pasukan khusus yang akan dapat menghadapinya. Jika Ki Tumenggung dan kawan-kawannya dapat ditangkap, maka kita sudah membantu untuk menjaga ketenangan Mataram yang baru membenahi diri. Apalagi jika perhitungan Ki Tumenggung itu benar, bahwa di sisi timur dari Mataram terjadi kemelut yang akan dapat membahayakan persatuan Mataram sebagai penerus Pajang.”

Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Hal ini harus kita terima sebagai satu tugas. Tetapi bagaimanapun juga, aku akan melaporkannya kepada Panembahan Senapati di Mataram, atau seseorang yang ditunjuknya.”

Dengan demikian, maka baik Ki Lurah Branjangan yang memimpin pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, maupun Ki Gede sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh, telah mendapatkan kesepakatan. Mereka akan dengan segera melakukan persiapan-persiapan yang terselubung. Sementara itu, Ki Lurah akan mengirimkan petugas untuk melaporkan rencana Ki Tumenggung Purbarana itu.

Merekapun benar-benar telah mulai dengan persiapan-persiapan yang tidak terbuka. Baik di barak pasukan khusus, maupun di Tanah Perdikan sendiri. Agaknya persiapan yang demikian lebih mudah dilakukan di barak pasukan khusus, karena tempatnya memang tertutup bagi kebanyakan orang.

Tetapi Agung Sedayu berusaha untuk tidak menggelisahkan rakyat Tanah Perdikan dan anak-anak muda itu sendiri. Karena itu, maka yang kemudian diajaknya berbicara mula-mula adalah para pemimpin pasukan pengawal saja.

“Sulit utuk melakukannya,” berkata salah seorang pemimpin pengawal, “jika kita bersiap-siap, maka setidak-tidaknya kita akan berkumpul dalam jumlah yang lebih besar dan bersenjata, di malam hari. Hal seperti itu dapat dihamburkan dengan berkumpulnya anak-anak muda di gardu-gardu. Tetapi bagaimana di siang hari?”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Memang sulit untuk melakukannya tanpa memberikan kesan persiapan. Namun demikian ia mencoba menjelaskan, “Kita dapat mengadakan kerja di tempat-tempat yang menjadi pintu keluar dan masuk Tanah Perdikan. Setidak-tidaknya sekelompok pengawal telah berkumpul dan dapat bertindak dalam waktu yang cepat, sementara yang lain akan dapat segera dipanggil dengan isyarat.”

“Kerja apa saja?” bertanya pemimpin kelompok itu, “Kita belum tahu, kapan serangan itu akan terjadi. Jika serangan itu akan terjadi sebulan Iagi, maka apa saja yang dapat kita lakukan dalam sebulan? Sementara itu, justru pada saat-saat kita menjadi jemu menunggu, barulah mereka datang.”

Agung Sedayu memahami itu. Karena itu, maka katanya, “Dalam beberapa hari ini kita akan merencanakan tempat-tempat yang akan menjadi sasaran kerja. Mungkin bendungan, mungkin jalan-jalan yang sudah mulai rusak, mungkin memperbaiki gardu di regol padukuhan yang menjadi pintu masuk Tanah Perdikan ini dari arah yang dimungkinkan. Dengan rencana itu kita mulai bergerak. Kita harus memanaskan kegiatan para pengawal tanpa menggelisahkan rakyat. Pemanasan itulah yang penting, sehingga pada saat-saat yang diperlukan, kita dapat bertindak cepat. Sementara pasukan khusus itu akan memberikan dukungan yang memastikan gerak kita berikutnya. Pasukan berkuda yang ada di barak pasukan khusus itu akan dapat bergerak dengan cepat.”

“Aku sependapat,” desis seorang pemimpin kelompok yang lain, “yang penting, kita melakukan sesuatu. Para pengawal akan mendapatkan penjelasan apa yang sebenarnya kita hadapi. Mereka dapat dipercaya, bahwa mereka tidak akan menggelisahkan rakyat Tanah Perdikan ini. Sebagian dari tanggung jawab itu memang terletak di atas pundak kita, para pemimpin kelompok. Pada saat-saat tertentu anak-anak muda yang bukan termasuk pasukan pengawal pun sedikit demi sedikit harus mendapat penjelasan tentang masalahnya, agar pada saatnya mereka tidak menjadi bingung.”

“Ya,” sahut pemimpin kelompuk yang lain, “yang penting, kita harus merencanakan kerja yang akan kita lakukan itu sebaik-baiknya. Yang nampak adalah kesibukan kerja. Bukan persiapan untuk bertempur melawan siapapun juga. Di malam hari, kita mendapat kesempatan untuk mengulang latihan-latihan mempergunakan senjata di ladang-ladang, yang tidak akan banyak mengganggu dan menimbulkan kecurigaan. Yang penting, selain persiapan ini tidak menggelisahkan rakyat Tanah Perdikan ini, kita sudah dapat mengerti, maksud Ki Gede untuk menjebak mereka.”

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu, yang kemudian menugaskan beberapa orang di bawah pimpinan Prastawa untuk merencanakan daerah kerja yang akan dilakukan untuk waktu yang cukup lama. Namun kemudian Agung Sedayu pun menunjuk beberapa’orang yang dianggap memiliki ketajaman pengamatan, untuk melihat kemungkinan pengamatan dari pihak Ki Tumenggung atas Tanah Perdikan Menoreh.

“Sementara ini kita tidak akan ikut berbicara tentang kemelut di daerah Madiun,” berkata Ki Gede kepada Agung Sedayu setiap kali.

Agung Sedayu mengerti maksud Ki Gede. Ia tidak perlu terlalu banyak merenungi persoalan yang mungkin timbul di daerah Madiun. Sebagai daerah yang baru saja membenahi diri, Tanah Perdikan Menoreh memang harus lebih banyak melihat kepada dirinya sendiri.

Apalagi dengan berita yang dibawa oleh Kiai Bagaswara tentang rencana Ki Tumenggung Purbarana.

Meskipun demikian, Agung Sedayu yang ikut berjuang, bahkan hampir saja merenggut jiwanya di Prambanan untuk menegakkan Mataram, maka berita tentang kemelut di daerah timur itu akan selalu mempengaruhi pikirannya.

“Apa saja yang mereka kehendaki sebenarnya?” pertanyaan itu rasa-rasanya tidak dapat disingkirkan dari hatinya. “Apakah mereka tidak menerima kehadiran Raden Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati sebagai pimpinan tertinggi di Mataram, atau karena mereka telah didorong oleh satu keinginan untuk mencapai kemukten yang lebih besar lagi, dengan mengangkat diri mereka sendiri menjadi seorang raja yang sejajar dengan Mataram, atau mimpi gila Kakang Panji dan Ki Tumenggung Prabadaru, dan yang sekarang disandang oleh orang yang bernama Purbarana, tentang kejayaan masa lampau, telah menjangkiti mereka pula?”

Tetapi sebenarnyalah, tidak banyak yang diketahui oleh Ki Gede yang dapat diberitahukan kepada Agung Sedayu tentang peristiwa di daerah timur sebagaimana yang dikatakan oleh Kiai Bagaswara, karena Ki Gede sendiri memang tidak banyak berhubungan dengan daerah itu sebetulnya.

Dalam pada itu, maka perhatian para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh sebagian besar ditujukan kepada usaha mempertahankan diri apabila satu kekuatan benar-benar akan melawan mereka. Di padukuhan yang merupakan pintu masuk ke Tanah Perdikan, anak-anak muda yang sebagian besar terdiri dari para pengawal tengah bekerja memperbaiki jalan yang memang sudah mulai geripis-geripis di bagian pinggirnya. Mereka dengan gembira mengerjakan tugas mereka. Namun dalam pada itu, para pemimpin pengawal itu menyadari, bahwa yang penting anak-anak muda, terutama para pengawal itu, mendapatkan kesempatan untuk mengadakan pemanasan. Mereka yang sudah jarang sekali melakukan kegiatan dalam kelompok-kelompok yang besar, tiba-tiba telah berkumpul kembali dalam suasana yang gembira. 

Meskipun demikian, para pemimpin dari para pengawal itu tidak lengah. Pada jarak beberapa puluh langkah dari tempat itu, di beberapa arah, dua tiga orang anak muda sedang bekerja di sawah atau menelusuri parit.

Dua orang yang sedang duduk beristirahat di bawah sebuah gubug berdesis, “Untuk berapa hari kita melakukan pekerjaan seperti ini?”

“Untuk waktu yang tidak terbatas,” jawab kawannya, “tetapi aku kira, ada macam pekerjaan lain yang harus dikerjakan besok atau lusa, setelah kita sempat berkumpul dalam kerja ini. Rasa-rasanya kita diingatkan, bahwa kita adalah para pengawal Tanah Perdikan ini. Selama ini kita hanya sempat melakukan tugas-tugas kecil oleh kelompok-kelompok kecil pula. Seakan-akan kita hampir melupakan, bahwa kita terdiri dari satu kesatuan yang besar, yang mampu menyusun gelar di medan perang. Namun dengan berkumpul seperti ini, maka rasa-rasanya jiwa kesatuan kita dalam pasukan telah tergugah.”

“Itulah maksudnya,” jawab yang pertama, “dengan demikian, jika sesuatu terjadi, kita akan dapat digerakkan dengan mudah.”

“Dua tiga hari sudah cukup untuk memanaskan jiwa kita,” jawab kawannya, “kemudian, maksud yang sesungguhnya yang harus kita lakukan.”

Sebenarnyalah, para pengawal itu rasa-rasanya menemukan sesuatu yang di saat-saat terakhir terasa mengendor. Dengan bekerja bersama dalam suasana yang gemuruh, maka para pengawal itu seakan-akan teringat akan diri mereka dalam satu kesatuan.

Sementara itu, beberapa orang khusus yang dipandang memiliki pengamatan yang tajam, tengah mengawasi jika di Tanah Perdikan itu telah menyusup beberapa orang pengamat yang dikirim oleh Ki Tumenggung Purbarana. Siang dan malam.

Dalam pada itu, enam orang memang tengah mendekati Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mendapat tugas untuk mengamati keadaan Tanah Perdikan itu. Mereka harus mengetahui dan memperhitungkan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan itu. Juga harus membagi Tanah Perdikan itu menjadi tiga daerah kekayaan, yang isinya akan menjadi hak setiap unsur yang ikut memasuki dan kemudian menguasai Tanah Perdikan itu.

Tetapi enam orang itu sama sekali tidak menyangka bahwa sebelum mereka sampai ke Tanah Perdikan Menoreh, Kiai Bagaswara telah mendahului mereka dan mengabarkan rencana akan hadirnya sebuah kekuatan yang akan menduduki Tanah Perdikan Menoreh.

Sementara itu, selagi para pengawal sibuk memanaskan diri dengan kerja di ujung padukuhan yang menjadi pintu masuk ke Tanah Perdikan Menoreh dari arah yang diduga akan dipergunakan oleh kekuatan yang akan menyerang Tanah Perdikan itu, di barak pasukan khusus Ki Lurah Branjangan juga sedang mengadakan persiapan-persiapan. Tetapi yang dilakukan oleh Ki Lurah Branjangan sama sekali tidak mempengaruhi keadaan di luar barak pasukan khususnya.

Namun demikian, Ki Lurah berusaha untuk meningkatkan ketrampilan pasukan berkudanya yang mungkin setiap saat akan diperlukan di sudut-sudut Tanah Perdikan.

Sementara itu, tanpa ada kesempatan yang menggelisahkan rakyat Tanah Perdikan, Ki Lurah dapat memberitahukan kepada pasukannya, bahwa setiap saat mereka akan dapat digerakkan untuk menghadapi serangan yang mungkin akan datang. Mungkin siang, mungkin malam. Menilik keterangan yang pernah didengar oleh Ki Lurah Branjangan, maka justru barak itu akan menjadi sasaran utama penghancuran Tanah Perdikan Menoreh, karena setelah pasukan khusus itu hancur, Tanah Perdikan Menoreh, dianggap tidak memiliki kekuatan yang memadai.

Dalam pada itu, yang nampak pada rakyat Tanah Perdikan Menoreh justru kerja dari anak-anak muda. Orang-orang yang pergi ke pasar dan bekerja di sawah menyapa mereka dengan ramah. Dengan kerja itu jalan yang semakin rata dan parit-parit pun akan menjadi bersih. Air dapat mengalir lebih lancar, sementara tanggul-tanggul parit itu pun menjadi lebih kuat, dilapisi dengan gebal yang akan tumbuh rerumputan yang akar-akarnya akan mencengkam.

Demikianlah, ketika keenam orang itu mendekati Tanah Perdikan Menoreh, maka mereka telah membagi diri, masing-masing berdua. Dalam saat-saat tertentu mereka akan bertemu di tempat yang akan ditentukan kemudian untuk membicarakan hasil pengamatan mereka.

Karena itulah, maka keenam orang itu telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh lewat jalan yang berbeda-beda. Namun dua orang di antara mereka ternyata telah melewati jalan yang sedang diperbaiki itu.

Kedua orang itu mula-mula terkejut melihat dari kejauhan, orang-orang yang banyak berkerumun di sepanjang jalan. Namun kemudian merekapun melihat, bahwa orang-orang itu sedang sibuk memperbaiki jalan yang cukup panjang serta parit di pinggir jalan itu, yang mengairi sawah di sebelah-menyebelah.

Kedua orang itu lewat di antara orang-orang yang bekerja dengan hati yang sedikit berdebaran. Namun agaknya orang-orang yang bekerja itu sama sekali tidak menghiraukan mereka. Prastawa yang memimpin kerja itupun tidak memperhatikan secara khusus dua orang yang lewat di antara anak-anak muda yang sedang bekerja itu. Karena jalan itu memang banyak dilalui orang hilir mudik.

Demikian kedua orang itu lewat dari anak-anak muda yang sedang bekerja itu, keduanya tersenyum. Salah seorang di antara mereka berkata, “Mereka sama sekali tidak bermimpi buruk. Mereka justru sedang sibuk mempercantik Tanah Perdikan mereka yang sebentar lagi akan menjadi neraka.”

Kawannya justru tertawa kecil. Katanya, “Kita akan melihat seluruh Tanah Perdikan ini. Kemudian dengan hati-hati kita akan melihat barak pasukan khusus Mataram yang menurut pendenagaran kita ada di Tanah Perdikan ini.”

“Memang ada di Tanah Perdikan ini,” jawab yang lain.

Keduanyapun meneruskan perjalanan mereka. Mereka sama sekali tidak melihat sesuatu yang dapat diartikan sebagai satu persiapan yang khusus. Yang mereka lihat adalah anak-anak muda yang sedang bekerja. Selain sekelompok besar anak-anak muda yang bekerja memperbaiki jalan, mereka masih juga melihat di padukuhan-padukuhan beberapa anak muda memperbaiki gardu dan juga tanggul-tanggul parit.

“Nampaknya Tanah Perdikan ini sedang dengan serentak membenahi diri,” berkata salah seorang dari kedua orang itu.

“Setelah perang berakhir,” jawab kawannya. Namun sambil tertawa ia berkata, “Tanpa memikirkan akan datangnya perang baru yang justru mempergunakan Tanah ini sebagai medan. Tidak di Prambanan atau daerah-daerah lain.”

Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu keduanya memasuki Tanah Perdikan semakin dalam.

Hari itu, ketiga kelompok yang masing-masing terdiri dari dua orang itu telah berusaha melihat keadaan Tanah Perdikan itu dalam keseluruhan. Mereka melihat-lihat tempat yang paling baik yang dapat mereka pergunakan untuk bersembunyi selama beberapa hari. Sementara itu, merekapun berusaha untuk mengenali lorong-lorong dan jalan-jalan di seluruh Tanah Perdikan.

Namun satu hal yang tidak mereka perhitungkan, ternyata bahwa dua di antara mereka telah bertemu dengan Agung Sedayu yang berjalan bersama Sekar Mirah. Keduanya memang tidak menarik perhatian. Jika Agung Sedayu memperhatikan keduanya, karena agaknya kedua orang itu bukan orang Tanah perdikan yang pernah dikenalnya. Sementara itu kedua orang itupun tidak banyak memperhatikan Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Selain keduanya memang belum mengenal wajah Agung Sedayu, mereka mengira bahwa dua orang suami istri itu adalah dua orang di antara mereka yang akan pergi ke pasar.

Tetapi demikian mereka berpapasan, maka Agung Sedayu tidak memikirkan lagi kedua orang itu, karena sebagaimana biasa, banyak orang dari luar Tanah Perdikan Menoreh yang pergi ke Tanah Perdikan itu di hari-hari pasaran atau untuk kepentingan-kepentingan yang bermacam-macam.

Karena itu, maka pada hari itu ketiga kelompok itu seakan-akan dengan leluasa sempat melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan akhirnya dua di antara mereka telah memilih jalan yang akan melewati padukuhan induk. Keduanya ingin melihat rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang terkenal itu.

Tetapi, adalah di luar pertimbangan nalar mereka, bahwa sekali lagi ia bertemu dengan orang yang bernama Agung Sedayu itu. Bagi kedua orang itu, mereka hanya melihat seseorang yang sedang membersihkan regol halaman rumahnya, tidak terlalu jauh dari rumah Ki Gede. Keduanya sama sekali tidak mengira, bahwa orang itu telah memperhatikannya, karena orang itu adalah orang yang sebelumnya dijumpai berjalan bersama istrinya. Ternyata Agung Sedayu masih tetap mengenali kedua orang itu. Orang yang telah dijumpainya sebelum tengah hari, yang ternyata sampai sore masih berada di Tanah Perdikan itu. Apalagi menurut pengamatan Agung Sedyu, orang itu berjalan dengan seenaknya. Tidak ada kesan ketergesa-gesaan atau kesan bahwa mereka sedang melakukan satu kewajiban, atau bahkan kesan bahwa keduanya sedang mengunjungi sanak kadangnya di Tanah Perdikan itu.

“Sehari mereka berada di Tanah Perdikan ini,” berkata Agung Sedayu. Namun katanya kemudian, “Mungkin mereka mengunjungi seseorang. Tetapi ketika aku bertemu sebelum tengah hari, arah perjalanan mereka tidak menuju ke padukuhan induk. Tetapi mungkin mereka memang belum mengenal Tanah Perdikan ini, sehingga mereka mengambil jalan yang salah.”

Tetapi dalam pada itu, Agung Sedayu pun telah dibekali pesan yang dibawa oleh Kiai Bagaswara, tentang banyak memungkinan yang dapat terjadi di Tanah Perdikan itu.

Karena itu maka Agung Sedayu tidak dapat menyingkirkan perasaan curiganya kepada kedua orang itu.

Tiba-tiba saja Agung Sedayu telah menghentikan kerjanya. Dengan tergesa-gesa ia masuk ke dalam rumahnya mencari Sekar Mirah yang ternyata sedang mencuci alat-alat dapur.

“Aku akan pergi sebentar Mirah,” berkata Agung Sedayu.

“Kemana?” bertanya istrinya.

“Aku melihat kedua orang yang pagi tadi kita temui di perjalanan, lewat di muka rumah kita,” jawab Agung Sedayu.

“Yang mana?” bertanya Sekar Mirah pula.

“Mungkin kau tidak memperhatikan. Agaknya akupun hanya secara kebetulan saja memperhatikan orang itu,” jawab Agung Sedayu. Namun sebenarnyalah ketajaman ingatan Agung Sedayu tetap dapat mengenali wajah yang hanya dilihatnya sekali saja. Lalu katanya, “Ada keinginanku untuk melihat apakah kerjanya di Tanah Perdikan ini.”

Sekar Mirah mengangguk. Katanya, “Hati-hatilah Kakang.”

“Dimana Glagah Putih? Apakah masih berada di sanggar?” bertanya Agung Sedayu kemudian.

“Ya. Ada yang tersisa untuk hari ini, yang agaknya akan diselesaikannya,” jawab Sekar Mirah.

Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ia pun kemudian membenahi pakaiannya dan kemudian turun ke halaman.

Ketika ia sampai di jalan, dilihatnya beberapa orang anak muda pulang dari kerja mereka di ujung Tanah Perdikan. Sambil tersenyum Agung Sedayu menyapa, “Sudah selesai untuk hari ini?”

“Ya,” jawab anak-anak muda itu, “sejak kau tadi meninggalkan tempat itu, kerja kami telah kami hentikan. Kami lebih banyak tertarik kepada menyiapkan jalur baru untuk pengadaan air pada tanah kering yag selama ini hanya dapat kita jadikan pategalan di ujung Tanah Perdikan ini. Ternyata gagasan untuk menaikkan air dari sungai kecil di sebelah barat padukuhan itu memungkinkan.

“Bagaimana pendapat Prastawa?” bertanya Agung Sedayu.

“Jadi?” bertanya Agung Sedayu pula, “Besok kita membuat bendungan?”

“Ya. Tetapi tidak kita semuanya. sebagian masih akan tetap bekerja memperbaiki jalan itu, sehingga mencapai padukuhan berikutnya,” jawab anak muda itu.

Agung Sedayu mengagguk-angguk. Katanya, “Bagus. Aku setuju saja jika hal itu akan bermanfaat.”

Demikianlah, ketika anak-anak muda itu melanjutkan perjalanan, maka Agung Sedayu pun dengan cepat menyusul kedua orang yang dicurigainya. Sementara itu langitpun menjadi semakin buram karena mentari menjadi semakin rendah.

Ketika Agung Sedayu sampai di regol padukuhan induk, ia masih sempat melihat dua orang yang disusulnya itu berjalan di bulak menyusuri jalur jalan persawahan. Mereka memang tidak tergesa-gesa. Nampaknya mereka memang sedang memperhatikan keadaan di sekitar mereka.

Agung Sedayu mengikuti keduanya dari jarak yang cukup jauh. Namun ketajaman penglihatan Agung Sedayu sampai memperhatikan keduanya.

Dalam pada itu, maka mataharipun menjadi semakin rendah. Agung Sedayu memang mengharap agar senja segera turun. Dengan demikian ia akkan dapat mengikuti kedua orang itu dari jarak yang lebih dekat.

Agung Sedayu terpaksa berhenti di belakang sebatang pohon mahoni yang tumbuh di pinggir jalan ketika ia melihat kedua orang itu justru berhenti di sebuah simpang empat di tengah-tengah bulak. Untuk beberapa saat keduanya nampaknya sedang berbicara tentang daerah di sekeliling simpang empat itu.

Sementara itu, maka matahari pun mulai menyelinap di balik pegunungan. Langit pun menjadi semakin suram, dan senja pun berlahan-lahan telah turun di atas Tanah Perdikan Menoreh.

Dengan ketajaman penglihatanya, Agung Sedayu kemudian melihat kedua orang itu mulai melanjutkkan perjalanan mereka. Agung Sedayu pun mengikutinya pula. Bahkan ketika gelap mulai merata, Agung Sedayu sempat mendekati kedua orang itu, meskipun masih tetap berjarak beberapa puluh langkah.

Ternyata kedua orang itu kemudian menuju ke luar Tanah Perdikan. Mereka berusaha untuk menghindari padukuhan-padukuhan. Meskipun demikian, mereka nampaknya memang sedang mengamati padukuhan-padukuhan itu.

Dengan hati-hati Agung Sedayu masih selalu mengikutinya. Agung Sedayu pun kemudian mengerti bahwa kedua orang itu berusaha untuk melihat gardu-gardu yang sudah mulai diterangi dengan obor-obor. Tetapi masih belum terisi oleh anak-anak muda yang meronda.

Namun sebenarnyalah, bahwa di gardu itu telah ada setidak-tidaknya dua orang yang duduk merenungi malam yang sedang turun. Bahkan mungkin mereka tengah mengawasi jalan yang memasuki padukuhan mereka, karena para pengawal sudah mendapat perintah untuk bersiaga. Bahkan di padukuhan-padukuhan yang merupakan pintu masuk Tanah Perdikan, persiapan itu nampak lebih ketat, meskipun tersembunyi.

Yang nampak adalah anak-anak muda yang duduk-duduk di pematang dengan cangkulnya mengamati aliran air. Namun sebenarnyalah bahwa mereka sedang mengamati pintu masuk padukuhan mereka, untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang dapat menjebak padukuhan mereka ke dalam satu kesulitan yang tidak teratasi.

Meskipun demikian, tetapi orang-orang yang dikirim oleh Ki Tumenggung Purbarana, Ki Linduk dan Ki Warak Ireng cukup berhati-hati juga. Mereka memang berusaha untuk melalui jalan-jalan yang jauh dari padukuhan. Jika mereka sengaja mendekati padukuhan, maka mereka melakukannya dengan hati-hati. Mereka dengan kemampuan mereka yang tinggi, selalu berhasil menghindarkan diri dari pengamatan siapa pun juga, termasuk anak-anak muda yang duduk duduk di pematang, karena orang-orang itu memang memiliki kelebihan beberapa lapis dari mereka.

Namun demikian, meskipun mereka mampu lolos dari pengamatan para pengawal, tetapi ternyata bahwa mereka tidak dapat lolos dari pengamatan Agung Sedayu. Betapa tinggi ilmu orang-orang yang dipilih untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh sebelum pasukan yang sebenarnya datang, namun mereka merupakan butir-butir kecil yang sama sekali tidak dapat diperbandingkan dengan Agung Sedayu.

Dengan demikian maka Agung Sedayu berhasil mengikuti mereka sampai mereka keluar dari Tanah Perdikan. Ternyata pada malam yang pertama dari tugas mereka, keenam orang itu berjanji untuk bertemu lagi di luar Tanah Perdikan. Mereka memilih sebuah hutan yang tidak terlalu lebat bagi tempat persembunyian mereka.

Justru karena itu, maka tempat itu telah memberikan kesempatan bagi Agung Sedayu untuk dapat mendekat dan mendengar pembicaraan mereka.

Dari hasil pembicaraan yang dapat didengar oleh Agung Sedayu, maka iapun dapat memastikan, siapakah keenam orang yang bersembunyi di hutan itu.

Ia pun mengetahui, bahwa keenam orang itu ternyata terdiri dari orang-orang Ki Tumenggung, Ki Linduk dan Ki Warak Ireng. Serba sedikit Agung Sedayu pun dapat mengerti apa saja tugas mereka di Tanah Perdikan Menoreh, karena keenam orang itu sudah mulai berbicara serba sedikit tentang pembagian Tanah Perdikan itu menjadi tiga daerah yang masing-masing akan menjadi hak setiap unsur yang ikut dalam rencana penyerbuan ke Tanah Perdikan itu.

“Satu rencana yang gila,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Namun yang didengar Agung Sedayu belum cukup banyak, karena keenam orang itu baru mulai dengan pengamatan mereka atas Tanah Perdikan. Keenam orang itu masih belum dapat berbicara banyak tentang barak pasukan khusus, yang pada umumnya telah mereka lihat tempatnya.

Tetapi satu hal yang menarik, bahwa pada umumnya orang-orang itu menganggap bahwa Tanah Perdikan Menoreh sama sekali tidak mengetahui bahaya yang mengancam. Mereka menganggap bahwa Tanah Perdikan Menoreh sedang sibuk mempercantik diri, setelah untuk beberapa lamanya orang-orang Tanah Perdikan itu sibuk mempersoalkan perang di Prambanan.

“Kita akan datang pada saat yang tepat,” berkata salah seorang diantara mereka.

“Kita harus dapat menghitung jumlah padukuhan dan kemungkinan yang terkandung di dalamnya, agar kita dapat membagi daerah ini menjadi tiga bagian yang adil,” sahut yang lain

“Kita memerlukan waktu yang agak lama,” berkata seorang di antara mereka dengan suara berat, “sekurang-kurangnya sepekan.”

“Ya. Kita memang diberi waktu sepekan,” jawab yang lain, “kemudian kita akan kembali dengan pasukan yang akan menggilas Tanah Perdikan yang sedang sibuk dipercantik ini.”

Tidak ada jawaban. Namun seorang di antara mereka berkata, “Aku ternyata merasa letih sekali. Aku akan tidur. Kita bergantian mengadakan pengamatan atas keadaan di sekitar kita.”

Demikianlah, maka mereka pun telah membagi diri, sementara Agung Sedayu merasa sudah cukup untuk hari itu. Ia tidak melihat tanda-tanda bahwa orang-orang itu akan berpindah tempat di malam berikutnya, meskipun hal itu mungkin saja terjadi.

“Jika demikian, maka aku harus menemukan kembali orang-orang itu di siang hari dan mengikutinya sampai mereka pergi ke tempat persembunyian mereka,” berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.

Dalam pada itu, maka Agung Sedayu pun kemudian telah kembali ke padukuhan induk. Bersama isterinya dan Kiai Jayaraga, iapun kemudian memperbincangkan orang-orang yang diikutinya sampai ke persembunyiannya.

“Aku sependapat, bahwa Ki Tumenggung itu harus dipatahkan perjuangannya yang dianggapnya akan membawa kebesaran bagi dirinya,” berkata Kiai Jayaraga. “Karena itu, daripada ia akan datang ke tempat lain, maka lebih baik ia datang ke Tanah Perdikan ini, yang ditunggui oleh sepasukan prajurit dari Pasukan Khusus yang akan ikut menentukan. Seandainya Ki Purbarana mempunyai perhitungan yang tepat tentang kekuatan di Tanah Perdikan ini, maka ia tentu tidak akan dapat memperhitungkan kekuatan yang sesungguhnya, karena kemampuan para pengawal Tanah Perdikan ini, yang mereka anggap tidak lebih dari kekuatan anak-anak muda kebanyakan.”

“Ki Tumenggung Purbarana nampaknya mengetahui apa yang terjadi di Prambanan, sehingga iapun menyadari kemampuan para pengawal Tanah Perdikan ini,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi adanya beberapa orang yang memiliki ilmu yang tinggi tentu akan ikut menentukan. Di sini ada Ki Gede. Kau sendiri, Sekar Mirah, Ki Waskita yang akan dapat dipanggil setiap saat, dan apabila tidak berkeberatan adalah Bagaswara sendiri. Mungkin aku juga akan dapat membantu, sehingga aku berpendapat, bahwa kita di sini akan mampu mengatasi kesulitan,” berkata Kiai Jayaraga.

“Tetapi yang kita belum mengetahui, apakah Ki Linduk dan Ki Warak Ireng itu benar-benar telah berdiri sendiri. Maksudku, mereka tidak lagi dibayangi oleh kekuatan yang lebih tinggi. Guru mereka misalnya?” bertanya Agung Sedayu.

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Aku kurang tahu Ngger. Tetapi hal yang demikian memang mungkin sekali. Justru pada saat Kiai Gringsing telah meninggalkan Tanah Perdikan ini.”

“Tetapi kita sudah mempunyai gantinya,” berkata Agung Sedayu.

“Angger sendiri?” Kiai Jayaraga bertanya.

“Ah, bukan aku Kiai. Tetapi agaknya Kiai Jayaraga pernah mendapat kesempatan untuk mempelajari jenis-jenis ilmu yang kini tidak lagi terdapat di dalam petualangan dunia kanuragan,” berkata Agung Sedayu.

“Hanya sejenis ilmu yang tercecer. Tentu tidak sebagaimana diajarkan oleh perguruan Windujati,” jawab Kiai Jayaraga.

Namun sementara itu, tiba-tiba saja Agung Sedayu teringat kepada Glagah Putih. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Dimana Glagah Putih, Kiai?”

Ki Jayaraga memandang Sekar Mirah sejenak.

“Ya,” jawab Sekar Mirah, “Glagah Putih telah pergi ke sungai. la masih sempat juga membuka pliridan.”

Namun kemudian ia berkata, “Bukankah tadi Glagah Putih telah minta ijin untuk pergi sebentar?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Malam ini agaknya orang-orang ini masih belum akan berkeliaran. Tetapi aku ingin berpesan kepadanya, agar besok malam dan beberapa malam berikutnya, ia tidak usah pergi ke sungai saja dahulu.”

“Aku akan mengatakannya,” berkata Sekar mirah.

Meskipun demikian, ada semacam kecemasan di hati Agung Sedayu. Karena itu, maka katanya, “Aku akan menengoknya ke sungai. Besok kita akan menghadap Ki Gede dan mengatakan apa yang telah aku lihat hari ini, untuk menyesuaikan pendapatku. Juga dengan Kiai Bagaswara.”

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah menyusul Glagah Putih ke sungai. Ternyata Glagah Putih memang sedang sibuk membuka pliridan untuk menangkap ikan. Agaknya menangkap ikan telah menjadi kegemarannya, bersama anak laki-laki pembantu di rumah Agung Sedayu.

Glagah Putih memang agak terkejut bahwa Agung Sedayu sudah menyusulnya. Tetapi nampaknya tidak ada masalah yang penting yang akan disampaikan. Bahkan untuk beberapa lama Agung Sedayu sempat membantunya membuka pliridan.

Baru ketika mereka sudah pulang, maka Agung Sedayu telah memberitahukan bahwa pada hari-hari itu di Tanah Perdikan telah berkeliaran enam orang yang sedang mengamati Tanah Perdikan itu.

“Tidur saja di rumah, atau lebih baik kau berada di gardu. Tetapi jangan pergi kemana pun. Jangan menimbulkan persoalan apa-apa dengan keenam orang itu, seandainya kau menjumpai mereka mengamati padukuhan-padukuhan, asal mereka tidak berbuat apa-apa,” pesan Agung Sedayu.

“Bagaimana dengan malam ini? Menjelang dini hari, aku seharusnya membuka pliridan itu. Biasanya aku mendapat banyak ikan,” bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “ Ambillah untuk malam ini. Tetapi sejak besok, jangan pergi ke sungai.”

Glagah Putih memang agak kecewa. Tetapi ia mengerti, bahwa jika ia bertemu dengan keenam orang itu, mungkin memang akan dapat timbul persoalan, sementara Glagah Putih pun tahu, bahwa Agung Sedayu dan para pemimpin di Tanah Perdikan Menoreh menghendaki agar Ki Tumenggung Purbarana benar-benar datang di tanah Perdikan itu bersama pasukannya.

Di hari-hari berikutnya, tanpa disadari oleh keenam orang itu, ternyata mereka tengah diamati oleh Agung Sedayu sendiri. la telah memerintahkan semua orang untuk tidak menghiraukan seandainya ada orang-orang yang dicurigai. Segalanya akan dilakukan oleh Agung Sedayu, sendiri untuk menjaga agar tidak menumbuhkan persoalan tersendiri.

Sementara itu, segala sesuatunya telah diketahui bersama oleh para pemimpin Tanah Perdikan menoreh, termasuk Ki Lurah Branjangan. Segala sesuatunya yang diketahui oleh Agung Sedayu telah dilaporkannya.

Pada hari ketiga, ternyata bahwa Agung Sedayu kehilangan keenam orang yang sedang diawasinya. Ternyata mereka tidak berada di tempat mereka bersembunyi sebagaimana di hari-hari sebelumnya.

Karena itu, maka di siang hari Agung Sedayu terpaksa mencari mereka dengan berjalan menyusuri jalan-jalan di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi banyak alasan yang dapat dibuatnya untuk melakukan hal itu.

Untuk menghilangkan perhatian orang-orang yang sedang di awasinya, maka Agung Sedayu tidak berjalan sendiri.

la telah mengajak Glagah Putih untuk ikut bersamanya. Kadang-kadang keduanya berhenti dan duduk di atas tanggul sambil menjulurkan kaki mereka ke dalam parit. sebagaimana dilakukan oleh anak-anak muda yang sedang menunggui air di parit sementara mereka menggenangi sawah mereka.

“Kemana saja mereka ini?” desis Agung Sedayu ketika sampai lewat tengah hari ia masih belum bertemu dengan seorang pun di antara keenam orang itu.-

“Mungkin mereka tidak berbuat apa-apa hari ini?” desis Glagah Putih.

“Menurut pembicaraan mereka, yang mereka lakukan tinggal melihat lihat padukuhan-padukuhan agar pembagian mereka dapat dilakukan seadil-adilnya,” jawab Agung Sedayu.

“Orang-orang gila,” geram Glagah Putih. “Rasa-rasanya aku ingin mematahkan leher mereka itu.”

“Karena itu jangan pergi sendiri,” berkata Agung Sedayu, “seandainya kau melakukannya, maka rencana kita dalam keseluruhan mungkin akan gagal.”

Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia mengerti maksud Agung Sedayu

Namun dalam pada itu, ketika keduanya menjadi jemu, maka mereka telah melihat dua orang yang berjalan ke arah mereka. Karena itu, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah memperbaiki letak duduk mereka, agar tidak menimbulkan kecurigaan atau menarik perhatian kedua orang yang lewat itu.

Sebenarnyalah, kedua orang itu tidak menghiraukan Agung Sedayu dan Glagah Putih yang duduk di pinggir jalan. Namun Agung Sedayu-lah yang diluar pengetahuan kedua orang itu, tengah memperhatikan mereka.

“Ternyata kita masih akan mendapat kesempatan,” berkata Agung Sedayu, “keduanya adalah dua di antara enam orang itu.”

“Kita akan mengikuti mereka?” bertanya Glagah Putih.

“Kau pulang sajalah. Tetapi jika kau bertemu dengan yang lain, jangan membuat persoalan. Aku akan mengikuti kedua orang itu untuk mengetahui dimana persembunyian mereka. Justru sebentar lagi matahari akan semakin rendah dan hilang di belakang pegunungan,” berkata Agung Sedayu. Sebenarnya Glagah Putih ingin mengikuti Agung Sedayu. Tetapi bagi Agung Sedayu, Glagah Putih akan dapat mempersulit tugasnya. Mengikuti bersama Glagah Putih akan cepat menarik perhatian. Karena itu, maka Agung Sedayu lebih senang melakukannya sendiri.

Karena itu, maka meskipun Glagah Putih menjadi kecewa, tetapi apa boleh buat.

Dengan demikian, maka yang dilakukan oleh Agung Sedayu kemudian adalah mengikuti orang itu sampai ke tempat persembunyiannya, sebagaimana pernah dilakukan.

Seperti yang terdahuIu, maka orang-orang itu sama sekali tidak menyadari, bahwa Agung Sedayu telah mengikuti mereka dan menemukan tempat persembunyian mereka. Bahkan mendengarkan pembicaraan di antara mereka untuk beberapa lama.

Menilik pembicaraan mereka, maka tugas orang-orang itu di Tanah Perdikan sudah tidak akan terlalu lama lagi. Namun Agung Sedayu pun mengetahui pula, bahwa mereka akan mulai dengan pengamatan mereka di malam hari.

“Kita akan dapat lebih dekat dengan rumah-rumah yang kita anggap memiliki simpanan yang besar,” berkata salah seorang dari mereka, “jika kita melakukan pekerjaan ini dengan cermat, maka kelompok kita masing-masing tidak akan menyesal kelak. Kita tidak akan merasa bahwa pembagian ini tidak adil.”

Agung Sedayu hanya dapat menggeram. Tetapi ia harus menahan diri agar rencananya bersama para pemimpin Tanah Perdikan dan Ki Lurah Branjangan tidak gagal.

Meskipun ada juga semacam kecemasan, bahwa apabila kekuatan orang-orang yang akan menyerang Tanah Perdikan itu melampaui kekuatan Tanah Perdikan itu sendiri bersama pasukan khusus, maka akibatnya akan menjadi parah.

Namun dalam pada itu, agaknya orang-orang itu tidak mencemaskan kehadiran pasukan khusus di Tanah Perdikan. Setelah mereka mengamati barak pasukan itu, maka rasa-rasanya bagi mereka, barak itu bukannya barak yang besar. Memang para prajurit yang ada di barak itu adalah prajurit pilihan, tetapi jumlah mereka memang tidak terlalu banyak. Tidak sebanyak pasukan yang dibawa oleh Ki Tumenggung Purbarana.

Dengan pengamatannya atas orang-orang itu, maka Agung Sedayu mengerti, bahwa dalam waktu itu, masih belum akan datang pasukan yang akan menyerang Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka kerja yang dilakukan oleh para pengawal Tanah Perdikan dapat disusut sebagian agar pekerjaan itu akan menjadi lebih lama, sehingga sampai saatnya pasukan itu datang. Menurut perhitungan Agung Sedayu, setelah orang-orang itu meninggalkan Tanah Perdikan, baru secepatnya sepekan kemudian serangan itu akan datang dan benar-benar memasuki Tanah Perdikan Menoreh.

Karena itulah, maka hari-hari berikutnya terasa bahwa kerja di Tanah Perdikan itu menjadi susut. Yang melanjutkan kerja di bendungan dan memperbaiki jalan telah dikurangi dengan hampir separuh. Mereka akan dapat bekerja bergantian, meskipun alasan yang diberikan kepada mereka bukan alasan yang sebenarnya. Hanya para pemimpin kelompok dan beberapa orang sajalah yang mengetahuinya.

Tetapi dengan tidak sengaja, maka hal itu telah menumbuhkan kesan tersendiri bagi orang-orang yang sedang mengamati Tanah Perdikan itu. Rasa-rasanya anak-anak-muda Tanah Perdikan itu tidak dapat bertahan bekerja untuk kepentingan Tanah Perdikan mereka, sehingga sebagian dari mereka telah menjadi jemu.

“Ini adalah satu pertanda,” berkata salah seorang dari keenam orang yang berada di Tanah Perdikan itu, “anak-anak muda Tanah Perdikan ini tidak dapat dipercaya untuk melakukan satu kerja yang besar. Mereka cepat menjadi jemu dan meninggalkan tugas mereka. Apalagi bahwa tugas itu akan dapat berakibat maut.”

“Ya. Ternyata Tanah Perdikan Menoreh adalah Tanah Perdikan yang besar tetapi rapuh. Agaknya tidak terlalu sulit untuk menghancurkan Tanah Perdikan ini,” sahut yang lain.

Demikianlah, tanpa terlepas dari pengamatan Agung Sedayu, maka keenam orang itu pun telah mengakhiri tugasnya di Tanah Perdikan itu. Di malam sebelum mereka meninggalkan Tanah Perdikan, maka Agung Sedayu sempat mendengarkan kesan-kesan mereka hampir dalam keseluruhan. Karena itu, maka Agung Sedayu pun dapat membuat perhitungan-perhitungan, disesuaikan dengan keterangan Kiai Bagaswara sebelumnya, untuk menghadapi orang-orang yang akan menyerang Tanah Perdikan itu.

Karena itulah, maka sepeninggal orang-orang itu, Agung Sedayu telah mohon kepada Ki Gede untuk mengadakan pertemuan antara beberapa orang pemimpin dan tetua yang ada di Tanah Perdikan itu.

Dalam pertemuan yang terbatas itulah, maka segala sesuatunya telah diuraikan oleh Agung Sedayu. Sehingga akhirnya mereka mendapat satu kesimpulan. bahwa orang-orang itu akan datang dan menyerang Tanah Perdikan ini sebagaimana sepasukan prajurit yang menyerang daerah lawannya. Mereka tidak akan datang dengan diam-diam dan memasuki padukuhan demi padukuhan, untuk kemudian menghilang. Tetapi rasa-rasanya, mereka merasa kuat untuk datang berhadapan dengan seluruh isi Tanah Perdikan itu, termasuk pasukan khususnya.

Hal yang serupa telah disampaikan pula kepada Ki Lurah Branjangan yang telah membuat kesimpulan yang sama pula, meskipun menurut Ki Lurah, kemungkinan-kemungkinan lain dapat saja terjadi.

“Pikiran keenam orang itu belum tentu sama dengan pikiran Tumenggung Purbarana yang memiliki pengalaman yang luas dalam peperangan. Mungkin juga tidak sama dengan kelicikan Ki Linduk dan Warak Ireng yang mempunyai pendapat yang berbeda. Karena itu, kita harus berhati-hati dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Aku sudah mempersiapkan pasukan berkuda, meskipun jumlahnya tidak begitu banyak. Tetapi untuk mengambil langkah pertama, agaknya akan cukup memadai.”

Dengan dasar perhitungan-perhitungan itulah, maka Tanah Perdikan Menoreh telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya.

Bagaimanapun juga para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh berusaha untuk tidak menggelisahkan rakyatnya, namun akhirnya mulai tersebar juga berita tentang kemungkinan hadirnya kekuatan asing di Tanah Perdikan itu. Bahkan karena berita itu tersebar dari mulut kemulut, maka akibatnya justru telah membuat keresahan yang menjalar dari satu orang ke orang yang lain. Sehingga akhirnya, maka Ki Gede pun telah mendapat laporan tentang keresahan yang timbul karena desas-desus yang tersebar itu.

Ki Gede yang kemudian mengumpulkan para pemimpin Tanah Perdikan itu kemudian berkata, “Kita memang tidak akan dapat menutup mulut kita untuk lebih lama lagi. Pada saatnya merekapun akan tahu, bahkan terkejut sekali, jika kekuatan itu pada satu saat benar-benar akan datang ke Tanah Perdikan ini. Karena itu, maka adalah menjadi kewajiban kita untuk memberitahukan hal itu dengan hati-hati kepada mereka, agar mereka sempat mengatur diri lahir dan batin. Jika saat itu memang tiba, maka biarlah mereka tidak menjadi terkejut sekali dan kebingungan apa yang harus mereka lakukan.”

Seorang babahu yang sudah berambut putih menyahut, “ Aku sependapat Ki Gede. Tetapi kita harus mempunyai cara yang baik untuk memberitahukan hal ini. Jika kita salah langkah, maka akibatnya akan benar-benar membuat Tanah Perdikan ini menjadi bingung dan tidak terkendali.”

“Itu adalah tugas kita semua,” jawab Ki Gede, “karena itu, maka marilah, kita melakukan tugas ini sebaik-baiknya.”

Dengan demikian, maka Ki Gede telah memanggil semua bebahu padukuhan untuk mendapat penjelasan apa yang seharusnya mereka lakukan.

“Kita menunggu kedatangan mereka,” kata Ki Gede, “mungkin dalam waktu sepekan ini. Sementara itu, mereka telah mencari bahan keterangan tentang keadaan kita.”

Para bebahu itupun mengerti apa yang sebaiknya mereka lakukan. Karena itu, demikian mereka kembali dari rumah Ki Gede, maka merekapun mulai mengatur diri untuk memberitahukan persoalan yang sedang mereka hadapi, kepada rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu, di padukuhan-padukuhan yang berada di pintu masuk Tanah Perdikan dari arah utara dan beberapa penyeberangan Kali Praga di sisi utara, para bebahu padukuhan telah memberikan petunjuk, bahwa ada kemungkinan mereka harus meninggalkan rumah dan halaman mereka untuk mengungsi. Namun padukuhan-padukuhan lain pun tidak menutup kemungkinan yang demikian, terutama yang berada dekat dengan barak pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Betapa para bebahu bertindak dengan hati-hati, namun mereka memang tidak dapat menghindarkan sama sekali kegelisahan rakyat Tanah Perdikan. Namun kegelisahan itu masih dapat dibatasi dengan pengarahan-pengarahan yang sedikit memberikan ketenangan kepada rakyat yang kebingungan itu.

Pada saat yang demikian, maka para pengawal tidak lagi melakukan tugas mereka dengan diam-diam. Tetapi mereka menjadi lebih terbuka dengan kegiatan mereka. Bahkan kesiagaan mereka membuat rakyat Tanah Perdikan itu menjadi agak tenang.

Sementara itu menurut perhitungan Agung Sedayu, Ki Tumenggung Purbarana dan kawan-kawannya sudah merasa cukup mengamati Tanah Perdikan itu, sehingga pada saat mendatang, mereka akan datang dengan sikap yang sudah jelas.

Meskipun demikian, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh masih tetap membatasi gerak mereka. Namun para pengawal itu benar-benar telah dipersiapkan menghadapi satu keadaan yang garang, mengingat unsur-unsur yang akan datang memasuki Tanah Perdikan itu. Ki Tumenggung Purbarana adalah seorang prajurit pilihan yang sedang kecewa, bahkan yang telah sampai hati membunuh gurunya sendiri. Warak Ireng dan Sambijaya adalah orang-orang yang memang berada dalam gelimang kehidupan yang buram.

“Kita harus mempersiapkan diri, bukan saja wadag kita, tetapi jiwa kita,” berkata para pemimpin kelompok kepada para pengawal.

Dengan sedikit contoh dan gambaran tentang lawan yang bakal datang itu, maka mereka pun dapat mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya menjelang kedatangan lawan yang keras itu.

Selain para pengawal, maka anak-anak muda Tanah Perdikan pada umumnyapun telah dipersiapkan. Apabila diperlukan, maka merekapun harus turun di medan. Meskipun mereka bukan pengawal dalam kedudukan yang resmi, namun merekapun telah mengalami latihan-latihan yang berat dan mempunyai tanggung jawab yang besar pula terhadap ketenangan Tanah Perdikan mereka. Meskipun mereka mendapat tugas melindungi rakyat yang akan terpaksa mengungsi dari padukuhannya, namun merekapun akan mungkin harus tampil di peperangan.

Dalam pada itu, pasukan khusus di baraknya telah bersiap sepenuhnya. Mereka dapat bergerak setiap saat. Siang atau malam. Bahkan di antara mereka terdapat pasukan berkuda yang akan bergerak cepat untuk mengatasi persoalan-persoalan yang datang dengan tiba-tiba.

Ketika Tanah Perdikan Menoreh sibuk mempersiapkan diri, maka keenam orang yang bertugas mengamati Tanah Perdikan itu telah memberikan laporan tentang hasil kerja mereka. Tentang apa yang mereka lihat dan tentang apa yang mereka dengar.

“Rasa-rasanya Tanah Perdikan belum menyadari apa yang akan terjadi,” berkata salah seorang dari keenam orang itu.

“Mungkin mereka telah mendengar juga desas-desus tentang hal itu. Tetapi mereka agaknya tidak yakin,” berkata Ki Tumenggung Purbarana. “Para cantrik, dan mungkin Paman Bagaswara sendiri, akan dapat menjadi orang yang berkhianat terhadap rencana kita.”

“Tetapi tidak banyak yang mereka ketahui tentang rencana kita,” desis salah seorang perwiranya.

“Tetapi mungkin beberapa orang kita yang sudah berkhianat pula akan dapat berbahaya bagi kita,” berkata Tumenggung itu.

“Namun agaknya Tanah Perdikan itu masih belum mempersiapkan diri. Seandainya mereka telah mendengar, maka mereka menganggap kita tidak berarti apa-apa,” berkata salah seorang dari keenam orang yang telah mengamati Tanah Perdikan itu.

Darah Ki Tumenggung menjadi semakin panas. Baginya Tanah Perdikan harus dikalahkannya, tetapi Tanah Perdikan itu tidak boleh menjadi hancur sama sekali. la memerlukan anak-anak mudanya untuk memperkuat barisannya. Dengan ancaman terhadap keluarganya, maka anak-anak muda itu tidak akan dapat mengelakkan diri dari keharusan untuk berpihak kepadanya.

Karena itu, maka bersama Warak Ireng dan Sambijaya, Ki Tumenggung segera menyusun rencana mereka. Keenam orang itupun telah berhasil menyusun batas tentang pembagian daerah di Tanah Perdikan itu, khusus untuk memiliki harta kekayaan yang tersimpan di dalamnya. Tetapi anak-anak mudanya di seluruh Tanah Perdikan itu kelak akan tetap dikuasai oleh Ki Tumenggung Purbarana.

Ternyata bahwa tiga unsur yang melibatkan diri dalam rencana untuk menguasai Tanah Perdikan itu, telah menyusun satu kekuatan yang besar. Jumlah prajurit Ki Tumenggung Purbarana cukup banyak, sementara para pengikut Ki Linduk yang juga disebut Sambijaya dan pengikut Ki Warak Ireng jumlahnya tidak sebanyak prajurit Ki Tumenggung, namun mereka mampu berbuat melampaui kemungkinan kemampuan orang kebanyakan.

Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung Purbarana telah berpesan kepada mereka, jangan terlalu banyak menimbulkan kematian.

“Aku memerlukan anak-anak muda dan semua laki-laki di Tanah Perdikan itu untuk menduduki Mangir dan Pasantenan. Kemudian aku akan mengepung Mataram dari banyak jurusan, kecuali dari arah Pajang. Aku harus mampu mengalahkan Jati Anom dan Sangkal Putung lebih dahulu. Atau aku akan melakukannya pada saat yang bersamaan dengan langkah yang akan diambil oleh Madiun,” berkata Ki Tumenggung Purbarana.

Warak Ireng dan Sambijaya sama sekali tidak menghiraukan apa saja yang akan dilakukan oleh Ki Tumenggung itu kemudian. Yang penting baginya adalah merampas sepertiga dari kekayaan yang terdapat di seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Apabila kerja sama yang demikian masih akan diteruskan, maka tuntutan serupa itu masih akan tetap berlaku.

Demikianlah, maka Ki Tumenggung pun segera mempersiapkan diri. Pasukannya akan berangkat bersama pasukan Ki Linduk dari padepokannya. Mereka telah menentukan tempat untuk bertemu dengan pasukan Warak Ireng di sebuah ujung hutan. Kemudian mereka akan menelusuri bukit dari arah utara.

Tetapi ketiga orang itu telah sependapat, bahwa mereka akan tetap berjalan di lereng bukit yang terjal. Mereka tidak akan menuruni lereng dan memasuki Tanah Perdikan dari utara. Tetapi mereka akan langsung mendekati barak pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan. Mereka akan menghancurkan barak itu lebih dahulu, sebelum mereka akan menguasai Tanah Perdikan dalam keseluruhan.

“Jika pasukan khusus itu sudah hancur, maka kekuatan Tanah Perdikan itu tidak akan banyak menghambat rencana pasukan kita,” berkata Ki Tumenggung Purbarana. Sementara itu keterangan keenam orang yang telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh, telah menguatkan pendapatnya itu.

“Aku setuju,” berkata Ki Warak Ireng. “Jika kita memasuki Tanah Perdikan, maka kita akan bertempur melawan anak-anak muda Tanah Perdikan, yang kemudian tentu akan dibantu oleh pasukan khusus Mataram yang terkenal itu. Tetapi jika kita dengan serta merta menghancurkan pasukan khusus itu, keadaannya berbeda.”

Karena itu, maka merekapun telah menentukan langkah-langkah yang akan mereka ambil kemudian.

Ketika pasukan Ki Tumenggung dan Ki Linduk sudah siap, maka merekapun telah memenuhi halaman padepokan. Sementara itu Ki Linduk dan Ki Tumenggung masih berada di pendapa. Mereka masih berbincang tentang beberapa kemungkinan yang bakal datang.

“Perhitungannya akan aku berikan kemudian. Baiklah kita berangkat sekarang,” berkata Ki Linduk.

“Perhitungan apa?” bertanya Ki Tumenggung.

“Makan dan minum kalian selama kalian berada di padepokan ini,” jawab Ki Linduk.

“Gila. Apakah itu akan kau perhitungkan sebagai hutangku kepadamu?” bertanya Ki Tumenggung.

“Ya. Kenapa tidak? Apakah kau sangka aku kakekmu yang memberimu makan dengan cuma-cuma? Itupun sekedar kau sendiri. Tetapi sekian banyak orang? Beras siapa, he? Setidak-tidaknya kau harus mengganti beberapa pikul padi yang telah kau habiskan selama kau berada di tempat ini. Nah, kekayaan yang akan kau dapatkan di Tanah Perdikan itu tidak akan terganggu jumlahnya jika hanya diperhitungkan dengan beberapa pikul padi.”

“Orang gila,” geram Ki Tumenggung. Tetapi ia tidak dapat membantah. Sebenarnyalah bahwa sudah sewajarnya jika Ki Linduk yang bukan apa-apanya, minta ganti atas semua pengeluaran bagi pasukannya.

Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Kita akan berbicara tentang hal itu kelak.”

Dengan demikian, maka tidak ada lagi persoalan yang masih harus diperbincangkan. Sejenak kemudian, iring-iringan yang cukup panjang itu mulai bergerak. Ki Linduk yang sudah memahami jalan yang harus mereka tempuh sehingga tidak terasa terganggu oleh padukuhan-padukuhan, berada di depan dengan beberapa orang pengawal khususnya. Di belakangnya adalah para pengikutnya. Para cantrik, manguyu dan jejanggan, dua orang putut terpilih. sementara seorang jejanggan tinggal di padepokan bersama beberapa orang cantrik untuk menjaga harta benda yang telah mereka kumpulkan beberapa lama.

Sebagaimana diperhitungkan oleh Agung Sedayu, maka pasukan yang akan datang ke Tanah Perdikan itu secepatnya akan berjarak waktu sepekan dari saat para pengamatnya meninggalkan Tanah Perdikan itu. Bahkan ternyata kenyataannya, pasukan itu baru akan datang setelah enam hari sejak keenam orang itu meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.

Pada saat-saat yang demikian, Tanah Perdikan Menoreh benar-benar sudah bersiap lahir dan batin, termasuk barak pasukan khususnya. Di tempat-tempat tertentu telah dipasang para pengawas yang akan melaporkan, apabila mereka melihat tanda-tanda yang mencurigakan.

Beberapa di antara para pengawas memang berlaku sebagai pengawas. Mereka berada di lereng bukit yang mampu menebarkan pandangan sampai ke tempat yang jauh. Orang-orang Menoreh berpendapat bahwa jika pasukan Tumenggung Purbarana itu datang, maka pasukan yang besar itu akan segera nampak dari kejauhan.

Tetapi di samping petugas-petugas itu, maka orang-orang yang pergi ke sawahnya telah mendapat pesan. Jika mereka melihat pasukan itu datang, maka mereka harus segera memberikan isyarat.

“Kalian harus berusaha mencapai padukuhan terdekat,” pesan para pemimpin Tanah Perdikan untuk membunyikan isyarat. Kentongan atau isyarat-isyarat yang lain. Para pengawal telah dibekali pula dengan panah sendaren.

Demikian pula para petugas di lereng bukit. Mereka telah membawa panah sendaren yang akan dapat mereka lontarkan ke padukuhan terdekat yang menang sudah mendapat pesan untuk menangkap isyarat itu dan meneruskannya ke padukuhan induk dengan pertanda sandi, dari mana arah pasukan lawan itu datang.

Sebenarnyalah bahwa pasukan Ki Tumenggung Purbarana adalah pasukan yang kuat. Bersama dengan kekuatan Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya, dan Ki Warak Ireng, maka pasukan itu akan benar-benar menjadi pasukan yang nggegirisi.

Perlahan-lahan pasukan yang berada dalam iring-iringan yang panjang merambat di jalan sempit yang agak jarang dilalui orang. Mereka menuju ke sebuah hutan yang telah menjadi kesepakatan mereka untuk bertemu dengan pasukan Warak Ireng.

Sebagaimana telah mereka bicarakan bersama, maka ternyata pasukan Warak Ireng telah menunggu beberapa saat lebih dahulu dari waktu yang mereka sepakati. Pasukan Warak Ireng sempat beristirahat beberapa saat. Para pengikutnya bertebaran di antara pepohonan hutan, dan bahkan sebagian dari mereka telah berserakan berbaring di atas rerumputan. Satu dua di antara mereka telah tertidur nyenyak ketika seseorang datang melapor kepada Ki Warak Ireng, “Pasukan itu telah mendekat.”

Warak Ireng menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Siapkan orang-orang kita. Kita akan menghabiskan sisa hari ini sampai ke hutan Mara Alun. Kita akan bermalam di sana.”

Sejenak kemudian, maka pasukan Warak Ireng itupun telah dipersiapkan untuk melanjutkan perjalanan. Orang-orang yang sedang tidur nyenyak telah mengumpat. Namun mereka tidak dapat membantah, bahwa mereka harus melanjutkan perjalanan.

Sementara itu, seorang yang berambut putih, bertubuh tinggi besar dan berjambang lebat, mendekati Warak Ireng sambil berdesis, “Kita akan berangkat sekarang?”

“Ya Guru,” jawab Warak Ireng, “kita akan bermalam di hutan Mara Alun. Besok kita teruskan perjalanan kita menuju ke Tanah Perdikan, dan bermalam di luar Tanah Perdikan itu sambil beristirahat.”

Orang berambut putih itu mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Di hari berikutnya kita hancurkan Tanah Perdikan itu.” Orang itu berhenti sejenak, lalu, “Apakah Linduk juga pergi bersama gurunya? Dan bagaimana dengan Purbarana?”

“Linduk berangkat sendiri. Tetapi gurunya akan berada di Tanah Perdikan Menoreh pada saat kita datang. Sedangkan Purbarana tidak akan pergi bersama gurunya, karena gurunya telah dibunuhnya,” jawab Warak Ireng.

“Anak durhaka,” geram orang berambut putih itu. “Jadi benar Purbarana membunuh gurunya?”

“Bagaimanapun juga ia berniat untuk menyembunyikan persoalan itu, tetapi akhirnya ia tidak akan dapat ingkar. Ia memang membunuh gurunya untuk mempertahankan sikapnya. Gurunya tidak sependapat dengan rencana petualangannya,” jawab Warak Ireng.

“Ia akan mendapat kutukan dari gurunya itu,” berkata orang berambut putih itu.

“Purbarana juga berminat atas pusaka gurunya, keris yang disebut Kiai Santak,” berkata Warak Ireng kemudian. Oang berambut putih itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Kiai Santak adalah keris yang jarang ada duanya. Jika keris itu dipergunakan, maka gunung akan runtuh dan lautan akan menjadi kering tersentuh seujung rambut saja.”

“Keris itu sudah ada di tangan Ki Tumenggung Purbarana,” berkata Warak Ireng

“la benar-benar seorang yang sangat berbahaya,” berkata gurunya, “dendam dan keris itu bersama-sama akan dapat menghancurkan isi bumi ini.”

“Tetapi itu bukan persoalan kita Guru,” berkata Warak Ireng.

“Siapa tahu. Jika Tanah Perdikan itu sudah kita kalahkan, maka mungkin sekali Tumenggung itu mengambil sikap lain terhadap kita. Karena itu, kau dan Linduk harus selalu berhubungan dan menilai sikap Purbarana. Aku dan guru Linduk akan tetap mengawasinya. Keris itu memang sulit dilawan. Tetapi aku dan guru Linduk akan mampu mengimbangi kemampuan Purbarana bersama Kiai Santak.”

Warak Ireng mengangguk-angguk. Sebenarnya ia tidak sependapat dengan gurunya yang menilai Tumenggung itu terlalu tinggi, meskipun ia membawa Kiai Santak. Bukan dua orang yang berilmu tinggi itulah yang harus menghadapinya bersama-sama, tetapi Warak Ireng sendiri merasa sanggup untuk melawannya.

“Orang tua memang terlalu berhati-hati,” berkata Warak Ireng di dalam hatinya, “betapapun besar tuah sebilah keris, segala sesuatunya tentu tergantung kepada orangnya. Jika Purbarana tidak dapat memanfaatkan keris itu dengan baik, maka keris itu tidak akan berarti apa-apa. Tetapi agaknya guru sangat terpengaruh oleh nama Kiai Santak.”

Tetapi keduanya tidak sempat berbincang lebih lama. Sejenak kemudian maka pasukan Ki Linduk dan Ki Tumenggung Purbarana telah menjadi semakin dekat, sehingga Warak Ireng pun segera menyiapkan pasukannya.

Sejenak kemudian, maka Ki Linduk telah memasuki lingkaran tempat yang telah mereka sepakati itu.

Beberapa. orang petugas yang ditunjuk oleh Warak Ireng kemudian menyongsong mereka dan menunjukkan tempat dimana mereka dapat beristirahat barang sejenak untuk minum dan makan yang telah dipersiapkan oleh orang-orang Ki Warak Ireng, sebagaimana memang telah dibicarakan.

Demikianlah, Ki Linduk dan orang-orangnya telah mendapat tempat tersendiri, sedangkan di bagian lain, Ki Tumenggung Purbarana dan prajuritnya dipersilahkan untuk beristirahat.

Sambil duduk bertebaran, maka para pengikut Ki Linduk dan Ki Tumenggung Purbarana itupun telah meneguk minuman mereka dan makan dengan lahapnya, karena mereka memang sudah sangat haus dan lapar.

Tetapi mereka tidak beristirahat terlalu lama. Setelah duduk-duduk sejenak sehabis makan dan minum, maka mereka telah mendengar aba-aba untuk segera melanjutkan perjalanan.

“Kita akan bermalam di hutan Mara Alun,” berkata Warak Ireng kepada Ki Tumenggung Purbarana dan Ki Linduk, “disana kita akan mendapat tempat yang baik. Esok hari kita akan melanjutkan perjalanan.”

Sejenak kemudian pasukan itu dalam keseluruhan telah bersiap. Di paling depan adalah pasukan Ki Warak Ireng. Kemudian Ki Linduk dan para pengikutnya. Baru di paling belakang Ki Tumenggung Purbarana dan para prajuritnya.

Tidak ada persoalan di perjalanan. Mereka sampai di hutan Mara Alun sebelum gelap. Mereka masih sempat mengatur diri. Ternyata bahwa hutan itu adalah hutan yang tidak terlalu lebat, meskipun hutan itu masih dihuni oleh binatang-binatang buas. Tetapi binatang buas itu tidak berarti apa-apa bagi orang-orang yang ada di dalam pasukan itu. Bahkan seandainya ada seekor atau dua ekor binatang buas yang tersesat ke tengah-tengah pasukan itu, maka binatang buas itulah yang akan mengalami nasib yang sangat buruk.

Orang-orang dalam pasukan itupun segera mencari tempat masing-masing. Namun seperti sebelumnya, orang-orang Ki Warak Ireng-lah yang mendapat tugas untuk menyediakan makan dan minum. Bahannya dan sekaligus memasaknya sehingga siap untuk dimakan dan diminum.

Namun seperti Ki Linduk, ternyata Ki Warak Ireng pun kemudian berkata Kepada Ki Linduk dan Ki Tumenggung Purbarana, “Aku akan membuat perhitungan kemudian. Berapa kalian harus membayar aku untuk makan dan minum kalian. Bahkan termasuk penyediaannya.”

Ki Linduk tersenyum. Ia mengerti, bahwa hal itu akan dilakukan oleh Ki Warak Ireng sebagaimana dilakukannya. Namun Ki Tumenggung-lah yang kemudian mengumpat di dalam hati, “Orang-orang gila ini sama sekali tidak mengerti, perjuangan yang berat ini memerlukan banyak pengorbanan.”

Namun Ki Tumenggung pun kemudian menyadari, bahwa bagi Ki Linduk dan Ki Warak Ireng, perjuangannya itu tidak akan ada artinya sama sekali. Yang penting mereka mendapatkan rampasan harta kekayaan yang akan dapat mereka timbun. Apapun yang terjadi atas Pajang dan Mataram.

Karena itu, maka setiap kali Ki Tumenggung Purbarana menguraikan nilai-nilai perjuangannya, maka Ki Linduk dan Ki Warak Ireng tidak terlalu banyak menaruh perhatian.

Malam itu, pasukan yang lelah itu sempat beristirahat dengan tenang. Meskipun demikian, ketiga unsur yang ada di dalam pasukan itu telah mengatur orang-orangnya untuk berjaga-jaga.

Ketika cahaya fajar mulai meraba langit, maka pasukan itu mulai mempersiapkan diri. Mereka bergantian telah pergi ke sebatang sungai yang tidak begitu besar di pinggir hutan itu untuk membasahi wajah-wajah mereka atau untuk keperluan-keperluan lain. Tetapi jarang di antara mereka yang mandi seutuh badannya.

Demikian matahari terbit, maka pasukan itu mulai bergerak. Mereka akan mendekati Tanah Perdikan Menoreh dengan dada tengadah. Mereka tidak akan datang sambil bersembunyi-sembunyi. Mereka akan bermalam satu malam di luar Perdikan. Dan di hari berikutnya, pasukan itu akan memasang gelar dan menyerang barak pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan itu.

Ternyata bahwa rencana itu dapat mereka lakukan sebaik-baiknya. Hari itu mereka memang dapat mencapai Tanah Perdikan Menoreh. Merekapun kemudian memanjat lereng pegunungan dan menyusuri lereng itu lewat di antara pepohonan hutan yang cukup lebat di luar daerah berpenghuni Tanah Perdikan Menoreh, meskipun hutan itu juga masih termasuk daerah Tanah Perdikan itu. Tetapi hutan di lereng pegunungan yang mereka lewati seakan-akan berada di luar lingkungan penghuni Tanah Perdikan itu, karena daerah itu memang jarang sekali di jamah oleh seseorang.

Tetapi, keenam orang yang telah mendahului melihat keadaan Tanah Perdikan itu ternyata telah menemukan tempat yang paling baik bagi pasukan itu. Bukan saja hutan di tempat itu agak longgar dan tidak terlalu pepat. Tetapi tempat itu terletak di atas daerah yang dipergunakan oleh Mataram untuk membangun sebuah lingkungan bagi pasukan khususnya.

Dari tempat itu mereka tinggal menuruni tebing. Begitu mereka sampai di lembah, maka mereka sudah menghadap ke arah barak pasukan khusus.

Dalarn pada itu, para pengawas di Tanah Perdikan Menorehpun telah melihat kehadiran pasukan itu. Merekapun segera melaporkan kedatangan itu kepada para pemimpin pengawal.

“Menilik arah yang mereka ambil, maka mereka akan langsung menuju ke barak pasukan khusus itu,” berkata salah seorang pengawas.

Laporan itupun dalam waktu yang sangat singkat telah sampai kepada Ki Gede Menoreh. Setelah membicarakan sejenak bersama para pemimpin Tanah Perdikan itu, maka empat orang penghubung berkuda telah mendapat perintah untuk datang ke barak pasukan khusus memberikan laporan serupa.

Tetapi ternyata para petugas di barak itupun telah mengetahui kehadiran pasukan itu. Dan merekapun telah memperhitungkan, bahwa sasaran utama dari pasukan yang besar itu adalah menghancurkan isi barak pasukan khusus itu. Baru kemudian mereka akan menduduki Tanah Perdikan Menoreh.

Karena itu, maka para prajurit di barak itupun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka menyadari, bahwa jumlah pasukan yang datang jauh lebih banyak dari jumlah pasukan khusus yang ada di barak itu. Namun sebagai prajurit pilihan, maka isi barak itu sama sekali tidak menjadi gentar karenanya.

Dua orang penghubung telah pergi ke Mataram untuk menyampaikan laporan tentang kedatangan pasukan di Tanah Perdikan itu. Tetapi Ki Lurah Branjangan tidak memohon untuk mendapat bantuan prajurit. Ki Lurah dan Ki Gede di Tanah Perdikan Menoreh akan berusaha untuk mengatasi dengan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan itu. Kecuali jika keadaan memaksa.

Dalam pada itu, maka Tanah Perdikan Menoreh telah mempersiapkan para pengawalnya. Pemanasan yang dilakukan sebelumnya ternyata memberikan manfaat bagi para pengawal itu. Dengan cepat mereka berkumpul di setiap padukuhan menunggu perintah lebih lanjut.

Di rumah Ki Gede, para pemimpin Tanah Perdikan telah berkumpul. Seorang perwira dari barak pasukan khusus hadir pula mewakili Ki Lurah yang tidak dapat meninggalkan baraknya karena keadaan yang gawat.

Perwira itu secara terperinci dapat memberikan keterangan tentang pasukan yang datang itu, berdasarkan laporan para petugas sandi yang sudah terlatih baik.

“Esok pagi, menurut perhitungan kami mereka akan turun dan langsung menghadapi barak pasukan khusus. Nampaknya mereka akan memasang gelar menghadap ke timur, memanjang di sepanjang lereng pegunungan. Mereka mempergunakan ladang di sebelah barak untuk dijadikan medan yang terbuka, sementara mereka membelakangi hutan di lereng bukit. Jika mereka terdesak, maka mereka akan memasuki hutan di lereng itu, sementara yang lain sempat melontarkan senjata jarak jauh dari balik pepohonan dan bebatuan,” berkata perwira itu.

Ki Gede mengangguk-angguk. Kemudian iapun bertanya, “Jadi bagaimana menurut pendapat Ki Sanak tentang pasukan pengawal Tanah Perdikan? Apakah mereka akan memasuki barak dan bersama-sama memasang gelar?”

“Kami tidak dapat memperhitungkan, apakah pasukan Ki Tumenggung akan berada di induk pasukan, sementara pasukan Warak Ireng dan Linduk akan berada di sayap, atau mereka akan membaurkan pasukan mereka,” jawab perwira itu. Lalu, “Namun, bagaimanapun juga bentuk gelar mereka, maka kita akan tetap berpegangan kepada pola yang pernah dirancangkan oleh Ki Lurah Branjangan. Pasukan khusus itu akan menebar sampai ke ujung sayap, karena kamilah yang memang mempunyai kewajiban utama menghadapi orang-orang yang datang menyerang barak itu. Sementara itu, para pengawal juga menebar dari ujung sayap sampai ke ujung sayap. Dengan demikian, maka kekuatan akan terbagi rata. Bukan berarti bahwa pasukan khusus itu mempunyai kelebihan dari para pengawal Tanah Perdikan, tetapi menghadapi lawan agaknya memang merupakan kewajiban utama kami, para prajurit.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada Agung Sedayu, maka agaknya Agung Sedayu juga mengisyaratkan, bahwa ia sependapat.

“Baiklah Ki Sanak,” berkata Ki Gede Menoreh, “pasukan kami akan segera berada di sekitar barak. Kami siap melakukan tugas sebagaimana direncanakan oleh Ki Lurah. Di samping para pengawal, maka anak-anak muda pada umumnya, terutama yang sudah mempunyai pengalaman di Prambanan, akan ikut bersama kami. Mungkin pengaruhnya tidak terlalu banyak, tetapi pada ujud gelar yang jumlahnya mampu mengimbangi jumlah lawan, agaknya akan berarti juga.”

“Terima kasih Ki Gede,” berkata perwira itu, “segalanya akan aku laporkan kepada Ki Lurah.”

“Baiklah. Kami datang sebelum tengah malam. Kami akan sempat mengatur pasukan sebentar dan kemudian beristirahat, agar di pagi harinya kami mendapatkan kesempatan tenaga baru,” berkata Ki Gede kemudian.

Demikianlah, maka ketika perwira itu meninggalkan rumah Ki Gede, maka Agung Sedayu pun dengan cepat bergerak bersama dengan para pemimpin Tanah Perdikan yang lain. Prastawa pun ikut sibuk pula mengatur para pengawal. Mereka mendapat perintah untuk berada di sekitar barak sebelum tengah malam. Namun dalam pada itu, di setiap padukuhan masih harus ada beberapa orang laki-laki yang ada di padukuhannya.

Dalam pada itu, maka dua padukuhan yang terletak terlalu dekat dengan barak pasukan khusus itupun harus dikosongkan. Mungkin kedua padukuhan itu akan dapat menjadi sasaran orang-orang yang datang menyerang Tanah Perdikan itu.

Demikianlah, sebagaimana direncanakan, maka sebelum tengah malam para pengawal Tanah Perdikan Menoreh beserta anak-anak muda yang cukup berpengalaman telah berada di sekitar barak. Agung Sedayu pun kemudian memanggil setiap pemimpin kelompok dan membagi kelompok-kelompok itu dalam tiga bagian. Satu bagian akan berada di induk gelar, sementara yang dua akan berada di sayap, sebelah-menyebelah.

Dengan mengingat kekuatan lawan, maka Ki Lurah telah mengambil keputusan bahwa pada induk gelar, kekuatannya diperhitungkan berlipat dari kekuatan yang ada di sayap, sehingga jumlah kekuatan pasukan di induk gelar sama dengan jumlah kekuatan pada sayap-sayap pasukan, sementara kekuatan terbesar dari sayap-sayap pasukan akan berada di ujung sayap.

Namun demikian, apabila setelah pertempuran berlangsung perlu ada peninjauan kembali atas imbangan kekuatan, maka pasukan akan dapat bergeser dari induk pasukan ke sayap, atau sebaliknya.

Setelah semua pesan dimengerti, maka Agung Sedayu pun telah mempersilahkan para pengawal dan anak-anak muda yang akan terlibat untuk beristirahat pada sisa kesempatan yang ada.

Tetapi justru pada saat itu, orang-orang yang bertugas menyediakan makan dan minum bagi pasukan yang akan berternpur itu telah terbangun dan mulai sibuk mengerjakan tugasnya. Tetapi mereka tidak bekerja di gubug-gubug darurat dengan kajang ilalang, karena mereka dapat mempergunakan dapur dari pasukan khusus yang ada di Tanah Perdikan itu, bersama-sama dengan para petugas dari pasukan khusus itu sendiri.

Karena itu, maka asap justru mulai mengepul dari perapian.

Namun dalam pada itu, petugas yang mengawasi gerak pasukan lawan tidak menjadi lengah karenanya, meskipun nampaknya pasukan Ki Tumenggung Purbarana dan kawan-kawannya sedang tidur lelap.

Dalam keadaan yang demikian, seseorang telah melangkah di antara pepohonan hutan, mendekati ladang yang memang dikehendaki oleh pasukan yang datang ke Tanah Perdikan itu untuk menjadi arena terbuka.

Dengan cermat orang itu mengamati pepohonan, bebatuan dan tanaman yang ada di bawah hutan di lereng bukit. Sambil berdiri di atas batu padas di lereng bukit di tepi hutan, ia memandang ke ladang di dataran yang ada di hadapannya. Ladang yang luas itu terbentang sampai pada batas yang jauh, hampir di garis cakrawala.

Orang itu berpaling ketika ia mendengar desir lembut di belakangnya. Ternyata seorang yang lain telah muncul dari balik pepohonan pula.

“Kapan kau datang, Kumbang Talangkas?” bertanya seorang laki-laki berambut putih.

“Belum lama. Setelah aku mendapat penjelasan dari muridku, maka ada keinginanku melihat tempat yang bakal menjadi medan,” jawab orang pertama. Lalu iapun bertanya, “Apakah kau datang bersama muridmu?”

“Ya. Aku mengikuti Warak Ireng dari padepokan. Ketika aku mendengar rencananya untuk datang ke Tanah Perdikan ini, aku berusaha untuk mencegahnya. Tetapi ia menjelaskan, bahwa ia akan datang ke Tanah Perdikan ini bersama para pengikut Linduk dan para prajurit di bawah pimpinan Ki Tumenggung Purbarana,” jawab orang berambut putih itu. “Karena itu, akupun kemudian tidak berkeberatan lagi. Menurut Warak Ireng, pasukan ini cukup besar untuk menghadapi pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan ini. Jika demikian, maka untuk menghancurkan para pengawal bukan lagi persoalan yang sulit, meskipun mereka sudah mendapat pengalaman bertempur di Prambanan.”

“Tetapi bukankah Warak Ireng memberitahukan kepada Ki Punta Gembong, bahwa Purbarana mengharap anak-anak muda di Tanah Perdikan itu dapat ditundukkan tanpa banyak korban? Purbarana memerlukan anak-anak itu untuk menyusun kekuatan baru menghadapi Mataram. la akan menanamkan pengaruhnya di Tanah Perdikan dan daerah di sekitarnya.”

Orang yang disebut Punta Gembong itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Tetapi melakukannya tidak semudah mengatakannya. Jika anak-anak muda itu mengancam dengan ujung pedang ke arah jantung kita, maka apakah kita tidak berusaha untuk menusuknya lebih dahulu?”

Kumbang Talangkas mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Kita akan dapat menakut-nakuti mereka. Jika pasukan khusus itu sudah kita hancurkan, maka dengan sedikit kasar kita akan dapat memaksa anak-anak muda itu menyerah.”

“Mudah-mudahan. Tetapi jika anak-anak itu berbuat lain, maka tentu bukan salah kita,” berkata Punta Gembong.

Yang lain tidak menyahut. Tetapi ia menebarkan pandangan matanya ke pategalan di hadapan mereka. Pategalan yang hanya mendapat air pada musim hujan, sehingga pada musim kering, pategalan itu hanya dapat ditanami palawija. Namun palawija yang sudah mulai tumbuh semakin besar itu, akan segera terinjak-injak oleh kaki para prajurit dan pengawal yang bertempur.

Di sana-sini di pategalan itu sudah terdapat pepohonan yang cukup besar. Sebatang pohon kluwih mulai nampak berbuah. Pohon nangka yang subur dan beberapa batang pohon buah-buahan bertebaran tidak teratur di persilangan pematang.

“Ki Punta Gembong,” berkata Kumbang Talangkas kemudian, “apakah kau sudah melihat persiapan pasukan Tanah Perdikan dan pasukan khusus di barak itu?”

“Aku justru telah melihat kehadiran anak-anak muda di sekitar barak. Tetapi tentu tidak keseluruhan, karena mereka datang dari segala arah, sedangkan aku hanya dapat melihat dari satu arah saja,” berkata Punta Gembong. “Tetapi menilik kedatangan anak-anak muda dari satu arah itu, maka agaknya jumlah anak-anak muda itu cukup banyak. Itulah sebabnya maka aku mengatakan, apakah mungkin kita berbuat sebagaimana dikehendaki oleh Ki Tumenggung.”

Ki Kumbang Talangkas mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berdesis, “Ada keinginanku untuk melihat-lihat, apakah mereka benar-benar siap menghadapi pasukan kita.”

“Sebagian mereka ada di dalam barak,” jawab Punta Gembong, “apakah kita akan dapat masuk ke dalam barak itu?”

“Kita akan dapat melihat suasana,” berkata Kumbang Talangkas.

Punta Gembong merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Marilah. Biarlah kita melihat sekilas. Tetapi mungkin sekali kita akan bertemu dengan orang-orang berilmu tinggi dari Tanah Perdikan.”

“Agung Sedayu barangkali, yang merasa dirinya berkemampuan setinggi tangit, setelah ia membunuh Prabadaru di Prambanan?” bertanya Kumbang Talangkas.

“Bukan hanya Agung Sedayu,” jawab Punta Gembong, “apalagi jika gurunya ada di sini, yang menurut pendengaranku sempat membunuh orang yang menyebut dirinya Kakang Panji, yang mempunyai pengaruh kuat di Pajang pada waktu itu.”

Tetapi Kumbang Talangkas tersenyum. Katanya, “Sebuah dongeng yang mengasyikkan tentang orang bercambuk itu. Tetapi biarlah kita membuktikannya sendiri.”

“Mungkin Ki Tumenggung Purbarana ingin membuktikan tuah keris gurunya yang dinamai Kiai Santak itu,” jawab Punta Gembong.

Kumbang Talangkas tersenyum. Namun kemudian iapun berkata, “Pemimpin itu memang harus dibangunkan. Tetapi rasa-rasanya tidak sampai hati juga melepaskan Purbarana menghadapi orang yang dapat membunuh Kakang Panji.”

“Kalau hal itu memang sudah dikehendaki?” desis Punta Gembong.

“Terserahlah jika demikian,” jawab Kumbang Telangkas.

Demikianlah, maka kedua orang itupun telah menuruni bongkah-bongkah batu di lereng bukit.

Dengan hati-hati mereka telah mendekati barak pasukan khusus Mataram. Namun mereka sadar, bahwa di luar barak itupun tentu terdapat para pengawal din anak-anak muda Tanah Perdikan.

“Dapur barak itu agaknya sudah mulai berasap,” desis Kumbang Talangkas.

“Memang sudah waktunya. Bukankah orang-orang kita juga sudah mulai menyiapkan makan dan minum? Sebelum kita turun ke medan, maka kita sebaiknya makan dan minum lebih dahulu. Baru kita akan bertempur. Mungkin sebentar, tetapi mungkin sehari penuh. Bahkan mungkin lebih dari dua tiga hari,” jawab Punta Gembong.

Kumbang Talangkas tidak menjawab. Namun mereka telah berusaha untuk menyusup semakin dekat. Penglihatan dan pendengaran mereka yang tajam dapat menuntun mereka menyusup di celah-celah para penjaga.

“Biarkan mereka,” desis Punta Gembong, ketika mereka melewati dua orang penjaga yang tidak melihat kedatangan mereka.

Kedua penjaga itu memang tidak diganggu. Narnun mereka menyusup semakin dalam ke lingkungan pasukan Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi mereka tidak menemukan pertanda apapun. Para pengawal dan anak-anak muda Tanah Perdikan masih tertidur lelap. Nampaknya mereka benar-benar mempergunakan waktu yang tersisa untuk beristirahat sebaik-baiknya.

“Mereka benar-benar telah terbentuk sebagai pasukan pengawal yang mapan. Setidak-tidaknya mereka telah mendapatkan pengalaman yang paling berkesan di Prambanan,” berkata Kumbang Talangkas.

“Bukan satu-satunya pengalaman bagi mereka,” jawab Punta Gembong, “tetapi menurut pendengaranku, Tanah Perdikan ini mempunyai pengalaman sejak bertahun-tahun. Bahkan mungkin puluhan tahun. Pertentangan di antara keluarga Tanah Perdikan ini pernah juga terjadi dengan sengitnya. Kemudian beberapa benturan kekerasan telah terjadi. Yang terakhir adalah perang di Prambanan. Semuanya itu telah menempa anak-anak Tanah Perdikan ini menjadi anak-anak muda yang kuat dan tabah.”

Kumbang Talangkas mengangguk-angguk. Namun yang mereka lihat tidak lebih anak-anak muda yang sedang tidur dan beberapa orang di antara mereka bertugas berjaga-jaga.

“Kita tidak dapat memasuki barak,” berkata Kumbang Talangkas.

“Tidak perlu,” jawab Punta Gembong, “di dalam barak itu tentu terdapat orang-orang berilmu tinggi, sehingga jika kita memasukinya, maka perang akan terjadi sekarang. Tidak besok.”

Kumbang Talangkas mengangguk-ngangguk, sementara itu mereka dengan cermat berusaha untuk mengetahui keadaan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi yang mereka lihat ternyata bernada sama. Orang-orang tidur dan beberapa orang penjaga, tersebar di sekitar barak. Sementara itu, dari jarak yang agak jauh, penglihatan mereka yang tajam melihat penjaga di regol barak dengan senjata telanjang.

“Kita tidak menemukan apa-apa yang menarik,” berkata Kumbang Talangkas.

Punta Gembong mengerutkan keningnya. Namun didorongnya Kumbang Talangkas ke samping sambil berdesis, “Peronda itu.”

“Kenapa? Mereka tidak akan melihat kita,” desis Kumbang Talangkas.

Punta Gembong tidak menjawab. Tetapi mereka berkisar di belakang sebuah gerumbul kecil. Agaknya yang lewat bukan sekedar peronda, tetapi mereka agaknya dua orang pemimpin kelompok yang sedang bertugas menghubungi seseorang.

Demikian keduanya lewat Punta Gembong berdesis, “Mereka bukan peronda biasa.”

Kumbang Talangkas mengangguk-angguk. Namun jawabnya, “Tetapi kemampuan mereka tidak lebih dari anak-anak muda yang sedang mendengkur itu.”

Punta Gembong tidak menjawab. Diamatinya langit yang mulai disentuh warna kemerahan. Karena itu, maka katanya, “Sebentar lagi fajar akan segera menyingsing. Kita harus segera kembali. Pasukan kita harus kita atur sebaik-baiknya Ternyata dalam jumlah, pasukan Tanah Perdikan ini berusaha mengimbangi jumlah pasukan kita.”

“Mungkin dalam jumlah,” jawab Kumbang Talangkas, “tetapi mereka sebagian besar hanya anak-anak yang biasanya membawa tongkat untuk menggembala, meskipun kita tidak boleh menutup mata, bahwa di antara mereka terdapat para pengawal yang berpengalaman.”

Demikianlah keduanya segera berkisar. Mereka masih tetap berhati-hati untuk dapat menyusup di antara para penjaga. Namun demikian Kumbang Talangkas masih juga bergumam, “Ternyata tidak seorangpun yang melihat kehadiran kita. He, apakah benar di Tanah Perdikan ini ada orang berilmu tinggi selain orang yang membunuh Kakang Panji? Padahal belum tentu orang itu ada di sini.”

“Ya. Agaknya orang-orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan tidak lebih dari orang-orang malas yang lebih senang tidur di barak daripada mempersiapkan pertempuran besok,” desis Punta Gembong.

Namun tiba-tiba saja keduanya terkejut ketika mereka melihat sebuah bayangan di kejauhan, bertengger di atas sebongkah batu padas.

“Setan,” geram Punta Gembong, “ada juga orang yang melihat kita, he?”

Kumbang Talangkas tidak sabar lagi. la langsung meloncat ke arah bayangan itu. Namun dalam sekejap bayangan itu bagaikan hilang dihisap bumi. Tanpa bekas, dan Kumbang Talangkas tidak melihat, kemana orang itu pergi.

Sejenak Kumbang Talangkas berdiri termangu-mangu. Sementara itu Punta Gembong pun mendekatinya sambil berdesis, “Ternyata dugaan kita salah. Kita yang merasa tidak dilihat oleh seorangpun, ternyata justru kitalah yang tidak melihat orang itu sebelumnya.”

“Setan,” geram Kumbang Talangkas.

“Jangan mengumpat-umpat saja,” desis Punta Gembong.

“Orang itu telah menghina kita,” jawab Kumbang Talangkas.

“Tidak apa-apa. la hanya berdiri saja memperhatikan kita,” berkata Punta Gembong, “kenapa kita menjadi kebingungan?”

“Aku ingin menangkapnya dan menyeretnya ke tempat kita beristirahat,” geram Kumbang Talangkas pula.

“Untuk apa?” bertanya Punta Gembong.

“la akan dapat banyak memberikan keterangan,” jawab Kumbang Talangkas.

“Atau kita yang telah dijebaknya. Kita yang mungkin telah diseretnya ke barak pasukan khusus. Dan kitalah yang akan dipaksa untuk memberikan keterangan itu,” berkata Punta Gembong. Lalu, “Kita tidak usah terlalu merasa diri kita berilmu tinggi dan tidak terlawan. Karena dengan demikian, maka kita akan menjadi kurang berhati-hati.”

“Hatimu ternyata kecil sebesar biji kemangi. Kenapa kau tidak bersikap garang seperti biasanya?” bertanya Kumbang Talangkas.

Tetapi Punta Gembong tertawa. Katanya, “Hatiku atau hatimu yang sekecil biji kemangi. Aku sama sekali tidak menjadi gelisah dan barangkali ketakutan, meskipun ada seseorang yang melihat kehadiran kita di daerah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Sebaliknya, kau menjadi seakan-akan berdiri di atas api.”

“Persetan,” geram Kembang Talangkas, “mari kita kembali ke pasukan kita. Sebentar lagi fajar akan menyingsing. Kita akan menghancurkan pasukan khusus di barak itu.”

Keduanyapun kemudian melanjutkan langkah mereka kembali ke lereng bukit. Namun sekali lagi mereka melihat sesosok bayangan berdiri di atas batu padas, beberapa puluh langkah dari mereka. “Jangan hiraukan,” desis Punta Gembong, “jika kau buru orang itu, maka kau hanya akan mendapatkan jejaknya saja. Orang itu akan hilang lagi sebagaimana pernah terjadi.”

“Aku tidak peduli,” jawab Kumbang Talangkas, “biar bayangan itu berbuat apa saja, aku tidak akan menghiraukannya lagi.”

Punta Gembong tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali. Bahkan langkahnya sajalah yang menjadi semakin cepat, karena warna merah di langit menjadi semakin jelas.

Ketika mereka berada di antara para pengikutnya, maka merekapun segera mempersiapkan pasukan mereka. Yang masih belum bangun telah dibangunkannya. Para pengikut Ki Tumenggung, Ki Linduk dan Ki Warak Ireng itupun kemudian mendapat perintah untuk makan dan minum, sebelum mereka akan maju ke medan perang, sebagaimana juga dilakukan oleh pasukan khusus Mataram dan para pengawal serta anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.

Namun berbeda dengan cara orang-orang yang berada di lereng bukit itu, yang membangunkan orang-orangnya dengan mengguncang-guncang tubuh mereka, maka di barak pasukan khusus itu telah terdengar suara sangkakala.

Ki Tumenggung Purbarana yang juga mendengar lamat-lamat di kejauhan suara sangkakala itu mengumpat.

Terpercik di dalam ingatannya, pada saat ia masih berada di Pajang dalam tugas sebagai seorang senapati. la akan dapat juga berbuat seperti orang-orang dalam pasukan khusus itu. Ia dapat juga membangunkan para prajuritnya dengan bunyi sangkakala yang kemudian tidak dipergunakannya lagi, karena bagi Ki Tumenggung, sangkakala itu tidak bermanfaat lagi bagi pasukannya.

Tetapi ketika ia mendengar sayup-sayup suara sangkakala di barak pasukan khusus Mataram, rasa-rasanya suara itu telah mengejeknya, bahwa ia seakan-akan telah terlempar dari kedudukannya sebagai seorang senapati, dan justru menjadi seorang petualang yang diburu oleh prajurit-prajurit Pajang dan Mataram.

“Persetan,” geram Ki Tumenggung, “aku akan datang untuk menghancurkan mereka dengan Kiai Santak.”

Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung Purbarana itu telah menyiapkan seluruh pasukannya. Menurut pembicaraan di antara mereka, maka pasukan Ki Tumenggung akan berada di pusat gelar, kemudian pasukan Ki Linduk dan Ki Warak Ireng, masing-masing akan berada di sayap sebelah-menyebelah.

Demikian langit menjadi terang, maka pasukan di lereng bukit itupun sudah tersusun. Mereka mempergunakan gelar yang sederhana. Mereka tidak berada dalam gelar lengkap selain pusat kekuatan yang berada di tengah, kemudian dua unsur kekuatan yang lain di sebelah-menyebelah.

Namun demikian, karena yang berada di pusat gelar itu adalah para prajurit, maka di antara mereka telah tersusun dengan sendirinya kelengkapan sebuah gelar betapapun sederhananya.

Di sebelah menyebelah Ki Tumenggung, dua orang perwira menempatkan diri sebagai senapati pengapit, yang melindungi dan melanjutkan segala macam perintah dari senapati yang menjadi panglima dalam gelar itu secara keseluruhan Sementara itu pasukan terbaik telah berada di sekitar panglima dan kedua orang senapati pengapit itu, sementara yang Iain menebar dalam kelompok-kelompok yang dipimpin oleh pemimpin kelompok masing-masing.

Sedangkan di sayap pasukan, Ki Linduk dan Ki warak Ireng tidak begitu memperhatikan tatanan gelar. Mereka melepaskan orang-orangnya dalam garis datar, namun yang ujungnya siap untuk membatasi gerak ujung gelar lawan.

“Yang penting bukan tatanan gelar yang teratur,” berkata Ki Linduk kepada orang-orangnya, “tetapi kemantapan kemampuan kita masing-masing. Karena itu, maka kalian harus berbuat sebaik-baiknya. Menghancurkan musuh secepat-cepatnya, agar kita sendiri tidak terlalu banyak melepaskan korban.”

Dalam pada itu, di barak pasukan khusus pun para pengawal telah bersiap. Bahkan mereka telah bergeser keluar dan siap menyusun gelar.

Tetapi pada saat yang demikian, Ki Lurah Branjangan masih saja berada di dalam baraknya. Di dalam bilik khusus ia menerima dua orang utusannya, yang melaporkan kedatangan pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Purbarana, ke Mataram. Tetapi ternyata di saat mereka kembali, mereka bukan saja melaporkan tugas mereka, tetapi ada sesuatu yang telah mereka dengar selama mereka berada di Mataram, meskipun hanya sebentar.

“Ki Lurah,” berkata salah seseorang dari keduanya, “ternyata yang menjadi panas justru bukannya Madiun. Meskipun agaknya Madiun memang pantas mendapat perhatian, tetapi orang-orang yang dekat di Mataram dengan para pimpinan tertinggi, mengatakan bahwa hubungan antara Mataram dan Pajang yang sekarangpun menjadi hangat.”

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia bertanya, “Bagaimana sikap Mataram?”

“Ki Juru berusaha dengan sekuat tenaga untuk menenangkan kedua-duanya” berkata petugas itu.

“Apakah ada persoalan yang penting, sehingga Pajang dan Mataram menjadi hangat, atau hanya karena Adipati Wirabumi merasa haknya dikurangil?” bertanya Ki Lurah.

Orang itu termangu-mangu. Namun yang seorang berkata, “Nampaknya pasukan sudah siap Ki Lurah.”

“Ya. Biarlah mereka mengatur diri. Tetapi aku ingin mendengar, apa sebabnya?” desis Ki Lurah

“Agaknya ada beberapa buah pusaka yang oleh Adipati Wirabumi di Pajang tidak diserahkan kepada Mataram. Pajang merasa tetap berhak atas pusaka-pusaka itu,” jawab petugas yang baru datang dari Mataram. Namun kemudian katanya, “Tetapi itu sekedar pendengaranku. Aku tidak tahu, bagaimana senyatanya.”

“Ya Ki Lurah. Baru menurut kata orang. Tetapi sekarang kita benar-benar berhadapan dengan pasukan yang kuat di lereng bukit. Pasukan Tanah Perdikan sudah menebar di sepanjang gelar sebagaimana direncanakan,” berkata yang lain.

“Baiklah,” berkata Ki Lurah, “agaknya karena itulah, maka Mataram tidak begitu menanggapi laporan kita dari Tanah Perdikan Menoreh.”

“Bukan begitu,” jawab utusan itu, “Mataram menyiapkan apa saja yang kita perlukan. Bukankah Ki Lurah memerintahkan kepada kami untuk menyampaikan pesan, bahwa Menoreh akan mengatasi persoalannya sendiri?”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan bersiap. Tetapi persoalan Pajang sangat menarik perhatian. Seharusnya Pajang disiapkan untuk menghadapi Madiun, jika Madiun benar-benar akan mengambil sikap terhadap Mataram. Tetapi ternyata justru ada persoalan sendiri antara Pajang dan Mataram.”

“Masih ada waktu untuk memikirkannya Ki Lurah,” berkata utusan yang seorang lagi.

“Ya,” jawab Ki Lurah. Tetapi ia masih saja bergumam, “Mudah-mudahan kita dapat mengatasi kesulitan di Tanah Perdikan ini. Jika Pajang kemudian nampak oleh Madiun sebagai satu kelemahan dan berhasil dibujuk untuk bergabung bersama mereka, maka tugas kita akan berat. Mungkin melampaui tugas kita saat kita berhadapan dengan Pajang sebelumnya.”

Tetapi utusan itu tidak menjawab lagi. Mereka kemudian bersama-sama meninggalkan bilik di dalam barak itu dan keluar, memasuki barisan yang sudah siap untuk menebar.

Bahwa Ki Lurah Branjangan tidak segera keluar dari dalam bilik khususnya, ternyata telah membuat para`perwiranya menjadi berdebar-debar. Mereka sudah melihat Ki Lurah hilir mudik sebelumnya, namun justru pada saatnya, Ki Lurah masih berada di dalam biliknya.

Karena itu, maka persiapan para prajurit dan pasukan khusus itu menjadi agak tergesa-gesa. Langit sudah mulai terang dan burung-burung liarpun mulai berkicau.

Pada saat yang demikian, pasukan lawan pun sudah mulai bergerak. Pasukan yang menebar itu turun perlahan-lahan. Kemudian muncul dari antara pepohonan hutan di lereng bukit, menuju ke pategalan setelah menyeberangi padang perdu beberapa puluh langkah.

Pada saat yang bersamaa,n pasukan khusus Mataram pun telah selesai menebar. Kemudian dengan tergesa-gesa pula beberapa orang petugas telah meniup sangkakala.

Sejenak kemudian, maka pasukan Mataram itupun mulai bergerak. Di tengah adalah pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah sendiri, dirangkai oleh anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Kemudian sebagian yang lain dari pasukan itupun telah menebar pula di antara para pengawal Tanah Perdikan.

Dari arah yang berlawanan, pasukan Ki Tumenggung Purbarana pun telah bergerak pula semakin dekat. Mereka mulai merambah pategalan yang terbuka. Di tengah, pasukan Ki Tumenggung Purbarana merupakan induk pasukan yang kuat, dipimpin oleh Ki Tumenggung dengan senjata andalannya, Kiai Santak. Di sebelah menyebelahnya, meskipun tidak tersusun rapi, terdapat para senapati pengapitnya dengan prajurit-prajurit terpilih. Dengan keyakinan yang membakar isi dada mereka, Ki Tumenggung dan para prajurit itu menentukan langkah kemenangan mereka terhadap lawan, yang mereka anggap tidak cukup kuat untuk menghadapi mereka. Meskipun jumlahnya cukup memadai, tetapi kemampuan mereka tidak akan dapat mengimbangi kemampuan pasukannya serta para pengikut Ki Sambijaya dan Ki Warak Ireng, yang berada di sayap pasukan.

Sebenarnyalah, para pengikut Ki Sambijaya dan Ki Warak Ireng telah menghambur pula di pategalan dengan sengaja teracu. Mereka yang tidak terbiasa bertempur dengan paugeran prajurit, sama sekali tidak menghiraukan apapun juga. Bagi mereka, bertempur adalah membunuh, jika tidak ingin dibunuh.

Di antara pasukan di sayap itu, ternyata terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi dan nggegirisi.

Dalam jarak yang semakin dekat di pategalan yang terbuka, maka kedua pasukan itu benar-benar telah bersiap untuk bertempur. Di induk pasukan khusus yang berbeda di paruh pasukan, Ki Lurah Branjangan dengan beberapa orang pengawal terpilih telah bersiap-siap menghadapi Ki Tumenggung Purbarana dengan para senapati pengapitnya.

Namun dalam pada itu, seseorang telah bergeser mendekatinya sambil berdesis, “Ki Lurah, aku minta maaf, bahwa dengan deksura aku telah memberanikan diri mengajukan satu permintaan kepada Ki Lurah.”

“Apa?” bertanya Ki Lurah yang perhatiannya sebagian besar telah tertuju kepada pasukan lawan.

“Di induk pasukan lawan, terdapat seseorang yang mempunyai persoalan pribadi dengan aku,” jawab orang itu.

“Siapa?” bertanya Ki Lurah pula.

“Tumenggung Purbarana,” jawab orang itu.

“la adalah senapati pasukan lawan. Aku mempunyai kewajiban untuk melawannya,” jawab Ki Lurah.

“Ki Lurah,” berkata orang itu, “aku mohon kemurahan hati Ki Lurah. Persoalan pribadi ini harus aku selesaikan dengan tuntas. Aku atau Purbarana yang harus disingkirkan dari muka bumi. Karena tidak mungkin di muka bumi ini hidup dua orang yang tidak akan dapat bersentuhan satu sama lain. Aku dan Tumenggung Purbarana.”

“Persoalan apa yang ada antara Ki Sanak dan Tumenggung Purbarana?” bertanya Ki Lurah.

“Persoalan yang sangat pribadi,” jawan orang itu.

Ki Lurah menjadi bimbang. Namun agaknya orang itu benar-benar ingin mempergunakan kesempatan itu untuk membuat perhitungan dengan Ki Tumenggung Purbarana.

Dalam kebimbangan itu orang itupun berkata, “Bukankah Ki Lurah adalah panglima dari seluruh pasukan ini? Aku ingin mempersilahkan Ki Lurah memimpin seluruh pasukan dari ujung sayap ke ujung sayap yang lain. Sementara itu, biarlah orang yang bernama Purbarana itu membuat perhitungan dengan aku.”

Ki Lurah berpaling kepada para perwira yang ada di sisinya. Namun mereka agaknya tidak memberikan kesan apapun juga. Sehingga akhirnya Ki Lurah itu berkata, “Tetapi Ki Sanak bertanggung jawab atas keselamatan Ki Sanak sendiri. Jika terjadi sesuatu dengan Ki Sanak, adalah karena Ki Sanak telah menempuh jalan penyelesaian persoalan pribadi.”

“Ya Ki Lurah. Jika aku gagal dan harus menebus dengan nyawaku, maka persoalan itu adalah persoalan dan tanggung jawabku sendiri. Kemudian terserah kepada Ki Lurah, apa yang akan Ki Lurah lakukan.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Sementara itu, kedua pasukan itupun telah menjadi semakin dekat.

Sebenarnyalah, atas ijin Ki Lurah Branjangan, namun dalam batas tanggung jawab sendiri jika terjadi sesuatu, maka orang itu telah mengambil alih lawan Ki Lurah Branjangan yang bernama Ki Tumenggung Purbarana.

Demikianlah, jarak kedua pasukan itu semakin lama menjadi semakin dekat, sehingga akhirnya jarak itupun terasa sangat mengganggu oleh para prajurit di kedua belah pihak. Rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi menunggu. Karena itu, maka merekapun seakan-akan telah berlari-lari kecil menyongsong lawan mereka dengan senjata telanjang.

Namun getar di dada merekapun rasa-rasanya tidak tertahan lagi, sehingga meledak membahana. Sorak sorai yang bagaikan membelah langit mengiringi gerak pasukan dari kedua belah pihak yang semakin lama menjadi semakin cepat.

Ki Lurah Branjangan yang telah menyerahkan pimpinan pasukan lawan kepada seseorang atas permintaan orang itu sendiri, justru telah menarik diri ke dalam barisan bersama pengapitnya. Namun para pengawal terpilih masih tetap berada di ujung pasukan induk untuk menahan maju gerak pasukan lawan.

Sejenak kemudian maka benturanpun segera akan terjadi. Ki Tumenggung telah memberikan aba-aba terakhir, semenatra itu iapun telah berlari menyongsong orang yang berdiri di paling depan dari pasukan khusus Mataram itu.

Namun tiba-tiba langkahnya tertegun. Ia melihat orang yang membuat jantungnya semakin cepat berdetak.

Tetapi dengan cepat Ki Tumenggung mengatasi gejolak perasaannya. Bahkan tiba-tiba saja ia telah meneriakkan aba-aba untuk menghancurkan lawan secepat-cepatnya.

“Ternyata kita bertemu disini Purbarana,” desis orang yang telah berusaha menghadapkan diri sebagai lawannya.

“Persetan,” geram Ki Tumenggung, “kenapa Paman ada di sini?”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Aku memang; menunggu satu kesempatan yang paling baik unuk menemuimu.”

“Kenapa Paman meninggalkan padepokan? Bukankah aku sudah datang menghadap, sehingga kita dapat bertemu pada waktu itu, jika Paman tidak dengan sengaja menghindar?” berkata Purbarana.

“Aku sudah mendengar apa yang telah kau lakukan. Kau telah membunuh gurumu sendiri. Apalagi aku sekedar paman gurumu. Bukankah kau akan menggilas kami sepadepokan, melampaui kekejamanmu yang kau lakukan terhadap gurumu?”

“Cukup! Paman tidak usah mengumpat-umpat. Sekarang, apakah Paman akan berpihak kepadaku, atau kepada orang-orang Menoreh?” bertanya Purbarana.

“Jangan licik. Beri aku kesempatan menyelesaikan persoalanku dengan orang-orang Menoreh. Nanti kita akan dapat membuat perhitungan tersendiri,” geram Purbarana.

“Bagiku, sekarang adalah waktu yang paling baik. Karena itu, bersiaplah Purbarana.”

Wajah Ki Purbarana menjadi merah seperti bara. Sejenak ia masih sempat memperhatikan pasukannya yang membentur pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Namun kemudian iapun menggeram, “Aku kira bahwa di belakang nama besar Bagaswara terdapat seorang yang berjiwa besar. Tetapi ternyata Bagaswara adalah seorang yang licik, yang mencari kesempatan untuk membalas dendam dalam keadaan yang tidak sewajarnya.”

“Justru wajar sekali Purbarana,” berkata Kiai Bagaswara, “di sini kita dapat berhadapan seorang melawan seorang. Tetapi dalam kesempatan lain, mungkin sangat sulit bagiku untuk mecari kemungkinan seperti ini, karena kau tentu akan mengerahkan orang-orangmu untuk membunuhku beramai-ramai, atau pada saat-saat aku lengah kau akan membunuhku dengan racun, atau….”

“Diam!” Purbarana berteriak. “Baiklah Kiai Bagaswara. Jika kau memang ingin cepat mati, biarlah aku membunuhmu, sementara orang-orangku akan menyapu orang-orang Mataram dan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.”

Kiai Bagaswara tersenyum. Katanya, “Marilah. Kenapa kau nampak terlalu gelisah menghadapi aku?”

“Bukan karena aku menghadapi kau maka aku menjadi gelisah. Tetapi kelicikanmu itu terasa sangat mengganggu tugasku sebagai panglima sekarang ini,” jawab Purbarana. “Tetapi apa boleh buat. bahwa aku tidak boleh segan-segan lagi membunuhmu. Kau memang harus mati sekarang.”

Kiai Bagaswara tidak menjawab. Tetapi iapun segera mempersiapkan diri menghadapi Purbarana yang marah.

Sebenarnyalah dalam pada itu, Ki Tumenggung Purbarana ternyata ingin dengan cepat menyelesaikan paman gurunya. Karena itu, maka iapun segera menarik kerisnya yang besar, yang dirampasnya dari gurunya, setelah gurunya dibunuhnya dengan licik. Kiai Santak.

Kiai Bagaswara mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa keris itu adalah keris yang nggegirisi. Keris yang memiliki kekuatan yang luar biasa, yang seakan-akan dapat mempengaruhi orang yang mempergunakan sehingga ilmunya seakan-akan menjadi berlipat ganda. Selebihnya, warangan keris itu adalah warangan yang sangat keras. Setiap sentuhan dari keris itu dan tergores pada kulit seseorang, akan berarti maut telah datang menjemputnya.

Karena itu, maka Kiai Bagaswara harus sangat berhati-hati. la tidak boleh lengah, meskipun ia adalah adik seperguruan dari guru Purbarana. Menurut pendengarannya, Purbarana telah menyelesaikan dan memahami ilmu yang diturunkan kepadanya sampai tuntas, meskipun ia masih harus mengembangkannya. Tetapi dalam tataran yang demikian dan Kiai Santak di tangan, maka Purbarana tentu merupakan orang yang sangat berbahaya.

Dengan demikian, maka Kiai Bagaswara merasa bahwa ia harus sangat berhati-hati menghadapi murid saudara seperguruannya itu.

Sementara itu, pertempuran antara pasukan Ki Tumenggung Purbarana dan kawan-kawannya melawan pasukan khusus Mataram dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh telah menjadi semakin seru.

Dalam pada itu, di sayap-sayap pasukan, beberapa orang berilmu tinggi telah bersiap menghadapi lawan-lawan mereka. Di satu sisi, Ki Warak Ireng dengan gurunya yang memiliki kemampuan yang sulit dicari bandingnya telah bersiap untuk menggilas lawannya. Sedangkan di sayap yang lain, Ki Linduk pun telah mulai mengayunkan senjatanya, dibayangi oleh gurunya pula, yang ternyata telah menyusul ke Tanah Perdikan Menoreh

Tetapi ternyata di sayap-sayap pusukan itu terdapat pemimpin-pemimpin Tanah Perdikan Monoreh. Di satu sisi, Kiai Jayaraga telah bersiap-siap bersama Ki Gede, yang meskipun kadang-kadang merasa terganggu oleh kakinya, tetapi dengan tekun Ki Gede telah mengembangkan kemampuan ilmunya yang tidak terlalu banyak mempergunakan gerak kakinya, sehingga sebagian besar dari tata geraknya dipercayakannya pada ketrampilari tangannya menggerakkan tombaknya. Sedangkan di sayap yang lain, Agung Sedayu telah siap menghadapi lawannya bersama istrinya, Sekar Mirah.

Namun dalam pada itu, ketika Ki Gede sudah siap untuk menghadapi iawannya, maka Kiai Jayaraga pun berkata, “Ki Gede. Biarlah anak-anak kita mencoba kemampuan mereka. Aku ingin melihat Glagah Putih berdiri berhadapan dengan orang yang bernama Warak Ireng atau Linduk. Tetapi aku sudah memberitahukan kepadanya, bahwa anak itu tidak boleh terlalu sombong untuk menempatkan dirinya dalam perang tanding. Warak Ireng atau Linduk adalah seorang yang memiliki pengalaman petualangan yang sangat luas. Karena itu, maka dalam saat-saat tertentu ia harus mampu menilai dirinya. Untuk itu, aku mohon Ki Gede mengawasinya. Sementara itu, aku akan menghadapi guru salah seorang dari mereka, karena aku memang sudah mengenalnya.”

Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun ia tidak membantah. Ia tidak berkeberatan untuk memberi kesempatan kepada Glagah Putih untuk menguji diri. Namun demikian ia bertanya, “Kiai Jayaraga, apakah kita sudah dapat melepaskan Glagah Putih memasuki gelanggang menghadapi orang yang disebut Warak Ireng atau Linduk itu?”

“Satu ujian baginya. Tetapi aku mohon Ki Gede membayanginya,” jawab Kiai Jayaraga.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam: Tetapi kemudian iapun mengangguk, “Baiklah. Mudah-mudahan aku tidak lengah mengamati anak itu. Tetapi bukankah Glagah Putih masih harus mencari orang yang bernama Warak Ireng atau Linduk itu?”

“SeteIah benturan terjadi seperti ini, maka mencarinya tidak akan terlalu sulit. Sementara itu, aku memang sudah mengenal gurunya, dan aku akan dapat menemukannya jika ia memang berada di medan ini. Kecuali jika dua orang yang dilihat Angger Agung Sedayu semalam itu bukan guru Warak Ireng dan guru Linduk, yang keduanya telah aku kenal.”

Ki Gede pun mengangguk-angguk. Sementara itu, Kiai Jayaraga pun segera mempersiapkan Glagah Putih untuk memasuki medan dan menemukan orang yang bernama Warak Ireng atau Linduk.

Dibayangi oleh Ki Gede, maka GIagah Putih telah memasuki arena dengan garangnya, untuk bertemu dengan pemimpin pasukan lawan yang bernama Warak Ireng atau Linduk.

Dalam pada itu, Kiai Jayaraga yang menyusup di antara mereka yang sedang bertempur, telah melihat orang yang memang pernah dikenalnya.

“Punta Gembong,” desis Kiai Jayaraga. Dengan demikian, maka kemungkinan terbesar bahwa Glagah Putih yang dibayangi oleh Ki Gede akan bertemu dengan Warak Ireng, karena Warak Ireng akan bertempur dekat dengan gurunya, sementara di sisi lain, Agung Sedayu dan Sekar Mirah tentu akan bertemu dengan Ki Linduk serta gurunya.

Sebenarnyalah, bahwa Glagah Putih yang juga memasuki arena, telah melihat seseorang yang agaknya merupakan pemimpin dari pasukan di sayap itu. Orang yang dengan suara garang memberikan aba-aba dan perintah-perintah.

“Agaknya orang inilah yang harus aku cari,” berkata Glagah Putih. Sementara Ki Gede di samping membayangi Glagah Putih, juga memperhatikan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang menebar. Namun anak-anak muda Tanah Perdikan itu, telah dipercayakannya kepada pemimpin-pemimpin kelompok, serta beberapa orang yang bertugas memadukan semua gerakan dari pasukan pengawal dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, yang antara lain adalah Prastawa sendiri.

Sementara itu, Warak Ireng yang terbiasa bertempur dengan keras dan tanpa menghiraukan paugeran apapun juga, telah mulai dengan keras pula. Beberapa orang prajurit dari pasukan khusus berusaha untuk menahannya. Namun beberapa orang pengikut Warak Ireng itupun telah berada diseputarnya pula, untuk mengimbangi pasukan khusus yang berusaha menghadapi Warak Ireng dengan kelompok-kelompok kecil.

Sejenak Glagah Putih memperhatikan orang itu. Memperhatikan caranya menggerakkan senjatanya, dan caranya menggertak lawan dengan teriakan-teriaknnya yang memekakkan telinga.

Baru kemudian Glagah Putih mendekatinya. Dengan lantang maka iapun menyapa, “Ki sanak, apakah kau yang telah memimpin pasukan di sayap ini?”

Warak Ireng mendengar suara anak yang masih sangat muda itu. Sejenak ia tertegun dan berpaling ke arahnya, Benar-benar seorang anak muda yang berdiri tegak dengan kaki renggang memandanginya.

“Kau bertanya kepadaku anak muda?” Bertanya Warak Ireng.

“Ya. Aku bertanya kepadamu,” jawab Glagah Putih.

“Buat apa?” bertanya orang itu.

“Aku adalah satu di antara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Aku mendapat tugas untuk menghadapi senapati dari sayap gelar ini. Jika kau benar senapatinya, maka biarlah aku menghadapimu,” tantang Glagah Putih.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar