Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 177

Buku 177

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Aku pun melakukan seperti yang kau lakukan. Aku ternyata makan lebih banyak dan saat-saat aku belum mengalami luka yang parah ini. Dengan demikian, seperti yang kau harapkan, pertama-tama wadagku harus pulih lebih dahulu.”

“Karena itu Ki Waskita, aku ingin mohon diri kepada Ki Gede untuk kembali ke rumahku yang sudah terlalu lama kosong,” jawab Agung Sedayu.

Ki Waskita mengangguk-angguk. Tetapi ada sepercik kecemasan di dalam dirinya. Bagaimanapun juga ia tidak dapat begitu saja melupakan orang yang menyebut dirinya Kiai Jayaraga. Meskipun orang itu pergi bersama dengan Kiai Gringsing, tetapi tidak sulit bagi Kiai Jayaraga untuk memisahkan diri apabila dikehendakinya. Sementara itu, dendam perguruannya akan dapat menuntunnya kembali ke Tanah Perdikan Menoreh untuk mencari Agung Sedayu.

“Tetapi, nampaknya ia mengakui dengan jujur kekalahannya atas Kiai Gringsing,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya, “bahkan sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gringsing, bahwa ia bukan seorang pembunuh. Jika murid-muridnya itu berusaha melakukannya, maka itu justru telah membuatnya menjadi berprihatin.”

Meskipun demikian, Ki Waskita tidak dapat meninggalkan kewaspadaan, sehingga katanya kemudian kepada Agung Sedayu, “Baiklah Ngger. Jika demikian, maka aku akan ikut bersamamu. Bukan aku merasa bahwa aku akan dapat menyelamatkanmu jika terjadi sesuatu, karena kita bersama-sama sedang dalam pertumbuhan kepulihan tenaga kita. Tetapi aku merasa bahwa apabila diperlukan, kita dapat menggabungkan tenaga kita untuk menghadapi persoalan yang mungkin timbul. Kita tidak tahu dengan pasti, apa yang dilakukan oleh Kiai Jayaraga sekarang. Apakah ia benar-benar dapat menerima kenyataan tentang murid-muridnya, ataukah ia akan mengambil langkah-langkah untuk melepaskan dendamnya.”

“Jika demikian, aku hanya dapat mengucapkan terima kasih Paman,” jawab Agung Sedayu kemudian.

Demikianlah, maka ketika mereka sedang duduk di pendapa di sore harinya bersama Ki Gede, maka Agung Sedayu telah menyampaikan niatnya kepada Ki Gede.

“Aku sudah baik Ki Gede, aku sudah dapat melakukan tugasku sehari-hari. Aku sudah ke sawah untuk membuka air dari parit,” jawab Agung Sedayu.

“Benar Ngger, tetapi jika terjadi sesuatu yang bukan persoalan sehari-hari?” bertanya Ki Gede. “Sebenarnyalah bahwa kita tidak boleh ingkar, bagaimanapun perasaanmu untuk menghindarkan permusuhan, tetapi kau agaknya memang menjadi sasaran dari banyak pihak. Dendam menyala dimana-mana justru karena kau berusaha menyapu keingkaran.”

“Ki Gede,” Ki Waskita menyela pembicaraan itu, “agaknya karena kecemasan yang serupa, maka aku pun berniat untuk ikut bersama Angger Agung Sedayu ke rumahnya. Meskipun aku pun sedang dalam keadaan sakit, dan mungkin dibandingkan dengan Angger Agung Sedayu aku tidak memiliki kelebihan apa pun juga, namun mungkin dalam keadaan memaksa, aku akan dapat membantunya.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu Katanya, “Jika demikian, aku tidak berkeberatan. Mudah-mudahan tidak ada sesuatu yang akan mengganggu kalian untuk selanjutnya.”

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah membenahi diri. Sekar Mirah dan Glagah Putih pun telah membenahi diri. Sekar Mirah dan Glagah Putih pun bersiap-siap pula untuk kembali. Bahkan malam itu, Glagah Putih telah mendahului untuk menengok rumahnya yang hanya ditunggui oleh seorang anak tetangga yang ikut bersama mereka.

“Ah, kalian meninggalkan aku terlalu lama,” desis anak itu ketika Glagah Putih datang.

“Kau akan kemana?” bertanya Glagah Putih.

“Ke sungai. Aku sekarang selalu membuka pliridan sendiri,” jawab anak itu, “tetapi dengan demikian, hasilnya aku makan sendiri pula.”

“Kau juga masih selalu mendapat ikan?” bertanya Glagah Putih.

“Setiap malam. He, apakah kau malam ini akan pergi ke sungai?” bertanya anak itu.

“Jadi, selama ini rumah ini selalu kau tinggal pergi di malam hari?” bertanya Glagah Putih.

Anak itu termangu-nangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil menjawab, “Ya. Rumah ini sering aku tinggal di malam hari. Tetapi bukankah tidak pernah terjadi sesuatu?”

Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Namun kemudian Katanya, “Tetapi kau harus membersihkan dan membenahi rumah ini. Besok kakang Agung Sedayu berdua akan kembali. Bahkan dengan Ki Waskita.”

“Baiklah. Besok pagi-pagi aku akan membersihkannya,” jawab anak itu.

“Kenapa besok pagi-pagi? Kenapa tidak sekarang saja?” bertanya Glagah Putih.

“Sekarang aku akan ke sungai. Aku sudah membuka pliridan itu sore tadi. He, kemarin aku mendapat tiga ekor lele dan dua ekor kutuk yang cukup besar,” jawab anak itu, “siapa tahu, malam nanti aku akan mendapat lebih banyak.”

“Pergilah. Tetapi ingat, besok pagi-pagi kau harus sudah membenahi rumah ini,” berkata Glagah Putih kemudian.

“Dan kau pagi-pagi harus sudah mendahului pula datang kemari. Kau bantu aku membersihkan rumah ini,” minta anak itu .

Glagah putih mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia menjawab, “Baiklah. Aku akan datang pagi-pagi mendahului Kakang Agung Sedayu.”

Demikianlah, maka di pagi hari berikutnya, Glagah Putih benar-benar telah datang ke rumah itu pula untuk bersama-sama membersihkannya dan menyiapkan perabot-perabotnya. Setelah ditinggal beberapa lama, rumah itu memang kelihatan agak kurang terpelihara. Namun sebelum matahari sepenggalah, isi rumah itu pun telah menjadi rapi sebagaimana rumah itu sebelum ditinggalkan.

Hari itu, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Ki Waskita telah meninggalkan rumah Ki Gede. Meskipun Agung Sedayu belum sembuh benar, tetapi keadaannya sudah berangsung-angsur baik, sehingga tenaga dan kemampuannya telah hampir menjadi pulih kembali. Demikian pula Ki Waskita. Agaknya luka-lukanya sudah tidak banyak mengganggunya lagi.

Di rumahnya, Agung Sedayu dan Ki Waskita dengan tekun telah berusaha untuk menyembuhkan luka-luka di dalam tubuh mereka masing-masing dengan obat yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing. Di samping obat yang dapat menyembuhkan luka-lukanya, juga obat yang dapat memperbaiki arus darah di urat-urat nadinya serta kerja urat-urat syarafnya.

Dari hari ke hari keduanya telah dengan perlahan-lahan melatih diri di dalam sanggar untuk mendapatkan kekuatan dan kemampuan mereka sepenuhnya sebagaimana sebelum mereka terluka. Bahkan pengalaman yang telah terjadi itu telah membantu keduanya untuk menempa diri menghadapi ilmu yang ada pada tataran tertinggi.

Ketika Agung Sedayu kemudian telah benar-benar sembuh dan mendapatkan kemampuan serta kekuatannya sepenuhnya, maka Swandaru masih dalam kesibukan memperdalam ilmunya dengan bimbingan gurunya. Sementara itu, Kiai Jayaraga masih juga berada di Kademangan Sangkal Putung. Kadang-kadang ia masih juga bersama Kiai Gringsing berada di dalam sanggar.

Namun semakin lama Kiai Jayaraga berada di Sangkal Putung, ia pun semakin mengenali perhatian Swandaru pada bagian-bagian ilmunya yang lebih condong kepada ujud kewadagannya saja.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing sudah memberikan petunjuk dan peringatan-peringatan bagi Swandaru. Namun setiap kali Swandaru masih saja kembali kepada perhatiannya terhadap bagian yang paling menarik hatinya.

Dalam waktu-waktu senggang, kadang-kadang Kiai Jayaraga sempat juga berbincang dengan Kiai Gringsing. Kadang-kadang Kiai Jayaraga memberikan beberapa pengalamannya atas muridnya. Kegagalan yang pernah dialami oleh Kiai Jayaraga mungkin akan dapat menjadi perhatian Kiai Gringsing terhadap murid-muridnya.

“Nampaknya sulit bagi Swandaru untuk melepaskan diri dari unsur yang paling mendapat perhatiannya,” berkata Kiai Gringsing, “pada dasarnya wataknya memang demikian. Dalam penanganannya atas kademangannya, maka hal itu dapat menghasilkan satu kebanggaan karena dalam penilikan ujud kewadagan, Sangkal Putung memang merupakan kademangan yang paling baik,” berkata Kiai Gringsing.

“Bukan saja ujud kewadagan” sahut Kiai Jayaraga.

“Maksudku, usaha Swandaru untuk memberikan warna yang paling cerah atas Kademangan Sangkal Putung memang sudah berhasil. Bagi Swandaru, Sangkal Putung memang harus dapat dilihat langsung kelebihannya dari kademangan-kademangan yang lain.” Berkata Kiai Gringsing kemudian, “Demikian pula mengenai dirinya sendiri dan perhatiannya terhadap ilmunya. Ia condong kepada yang langsung dapat diraba dan kasat mata.”

“Tetapi, bagi kademangannya nampaknya hal itu dapat sejalan. Swandaru dapat menunjukkan kepada orang di luar Sangkal Putung bahwa kademangannya adalah kademangan yang subur, yang memiliki kelengkapan paling baik dan memiliki kekuatan yang paling tinggi,” desis Kiai Jayaraga sambil mengangguk-angguk, “namun hal itu akan juga berarti kemakmuran yang lebih baik dan kesejahteraan yang meningkat serta kemampuan para pengawalnya, sehingga yang nampak itu akan saling berpengaruh dengan isi.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu, “Persoalannya menjadi agak berbeda dengan pendalaman ilmu kanuragan. Kadang-kadang yang dianggap tidak mempunyai kelebihan menurut pengamatan wadag, justru adalah yang lebih baik menurut penilaian isi.”

“Tetapi aku masih belum terlambat,” berkata Kiai Gringsing, yang agaknya memang benar-benar menganggap Kiai Jayaraga seorang yang dapat menjadi kawan berbincang. “Jika ia mencapai kedalaman, maka yang dalam itu pun akan selalu dipancarkan pada ujud kewadagannya.”

“Maksud Kiai, jika ia menemukan tingkat tertinggi dari ilmunya, maka ia akan menjadi sombong?” bertanya Kiai Jayaraga.

Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Tetapi dengan demikian Kiai Jayaraga telah dapat menangkap maksudnya, karena sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing pun akan mengatakannya demikian.

Karena itu, maka tanpa mengiakan pertanyaan Kiai Jayaraga, sebenarnya Kiai Gringsing sudah menjawabnya.

Tetapi sebagai seorang guru, Kiai Gringsing tidak boleh menghambat kemajuan muridnya. Adalah menjadi kewajiban seorang guru untuk memberikan pengetahuan sebanyak-banyaknya. Namun di samping itu, Kiai Gringsing harus mempergunakan pengaruhnya untuk memberikan arah kepada Swandaru, agar ia melangkah lewat jalan yang paling baik untuk dilaluinya.

“Itu adalah satu tanggung jawab yang sangat berat, tetapi tidak boleh diingkari oleh seorang guru,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “sebagian dari warna kehidupan seorang murid di samping tuntunan dari orang tuanya adalah karena pengarahan seorang guru, tanpa mengabaikan pengaruh lingkungan. Jika pengaruh lingkungan itu menguntungkan, maka kemajuan seseorang akan tidak terhambat, baik jasmaniah maupun rohaniah. Tetapi sebaliknya, jika pengaruh lingkungan itu kurang menguntungkan, maka hal itu akan dapat menambah tugas dan beban seseorang guru, dan tentu saja juga orang tuanya.”

Dengan demikian, maka Kiai Gringsing dengan sepenuh hati akan berusaha untuk memberikan arah perjalanan hidup muridnya, bukan menghentikan kemajuannya, meskipun dengan jujur Kiai Gringsing harus mengakui bahwa ia menjadi cemas karenanya.

Namun demikian, pada saat-saat tertentu Kiai Gringsing berada di sanggar bersama Swandaru. Dengan sepenuh hati Swandaru menempa dirinya sendiri untuk meningkatkan ilmunya sejauh-jauh dapat dijangkaunya.

Tetapi dalam perkembangannya, Kiai Gringsing segera dapat menduga, bahwa betapa pun juga usaha Swandaru untuk meningkatkan ilmunya, namun ia sudah tertinggal agak jauh dari Agung Sedayu, sehingga sulit baginya untuk dapat menyusulnya, meskipun Agung Sedayu masih belum mendapat kesempatan untuk mempelajari isi kitabnya. Namun untuk memberitahukan hal itulah yang terasa agak sulit bagi Kiai Gringsing, karena Swandaru telah terlanjur salah menilai perbandingan ilmunya dengan ilmu saudara seperguruannya, meskipun Sekar Mirah sudah berusaha untuk memberitahukannya.

Demikian, maka di samping membantu Swandaru mengembangkan ilmunya, Kiai Gringsing tidak jemu-jemunya selalu memberikan beberapa petunjuk kepada muridnya itu agar ia tidak menjadi semakin terdesak kepada satu keinginan untuk menampakkan diri dalam keberhasilannya di segala bidang. Termasuk di dalam olah kanuragan.

Sementara itu, di Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayu telah benar-benar menjadi sembuh. Segala kekuatan dan kemampuannya telah pulih kembali sebagaimana juga Ki Waskita. Bahkan keduanya telah mulai memasuki sanggar untuk menempatkan ilmu mereka pada tataran yang seharusnya.

Dalam pada itu, bukan saja Agung Sedayu dan Ki Waskita yang telah mulai lagi dengan latihan-latihan. Tetapi Sekar Mirah pun tidak ketinggalan pula. Ia merasa wajib untuk meningkatkan ilmunya, apalagi, pada satu saat nanti, ia berharap untuk dapat kembali ke barak pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Yang tidak mau ketinggalan pula adalah Glagah Putih. Agung Sedayu telah menyediakan waktunya khusus bagi anak itu. Dengan pengalamannya yang luas, maka Agung Sedayu telah memberikan kemungkinan kepada Glagah Putih untuk berkembang dengan pesat.

Bahkan Glagah Putih yang telah merambah ke ilmu kanuragan yang bersumber dari perguruan yang lain, bukan saja dari perguruan Ki Sadewa, telah mampu memperkaya unsur-unsur geraknya.

Bahkan Agung Sedayu tidak saja memberikan tuntunan kepada Glagah Putih hanya di dalam sanggar saja, tetapi sekali-sekali Glagah Putih itu telah dibawanya ke tempat yang terpencil, yang tidak banyak dikunjungi orang.

Di tempat yang terbuka, maka kesempatan yang dapat dipergunakan oleh Glagah Putih agak lebih banyak daripada jika mereka berada di dalam sanggar.

Di tempat terbuka, maka Glagah Putih dapat berlatih tata gerak dan ilmu mempergunakan senjata dengan leluasa. Untuk mempertinggi kemampuannya bergerak dengan cepat, maka lingkungan di tempat terbuka itu telah membantunya.

Sambil berloncatan di atas padang perdu dan dengan senjata di tangan, maka Glagah Putih dapat melihat dan menilai kemampuan geraknya. Loncatan-loncatannya dan daya jangkau senjatanya. Sekali-sekali Glagah Putih berloncatan di atas gerumbul-gerumbul perdu tanpa menyentuhnya sementara itu, tangannya pun telah menggerakkan pedangnya, memotong ranting-ranting dan dahan-dahan yang sudah ditandai sebagai sasaran.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu pun selalu memberikan peringatan kepada anak itu bahwa sasaran itu adalah sasaran diam, sementara di dalam pertempuran, maka sasarannya adalah sasaran bergerak, dan bahkan sasaran itu pun mampu menyerangnya pula.

“Tetapi kau memerlukan latihan-latihan seperti itu,” berkata Agung Sedayu. Namun pada kesempatan lain, maka Agung Sedayu pun telah memberikan sasaran yang bergerak bagi Glagah Putih.

Dengan mengikat sasaran yang tergantung pada sebatang dahan yang agak tinggi, maka Agung Sedayu dapat menggerakkan sasaran itu, sementara Glagah Putih harus berusaha mengenainya. Sedangkan pada kesempatan lain, sasaran itu adalah Agung Sedayu sendiri. Dengan mengetrapkan ilmu kebalnya, Glagah Putih sama sekali tidak menjadi cemas seandainya senjatanya benar-benar dapat menyentuh sasarannya itu.

Dengan demikian maka latihan-latihan bagi Glagah Putih itu merupakan latihan yang benar-benar dapat meningkatkan daya tahan tubuhnya dan kemampuan untuk menguasai pernafasannya. Ki Waskita yang memperhatikan kemajuan Glagah Putih itu pun ikut berbangga pula karenanya. Meskipun ia tidak langsung ikut menangani perkembangan ilmu anak muda itu, tetapi rasa-rasanya kemajuan ilmu Glagah Putih adalah kemajuan ilmunya pula.

Dalam pada itu, maka ternyata kemajuan ilmu Glagah Putih yang pesat itu, membuatnya menjadi semakin mantap. Bukan saja kemampuannya dalam olah kanuragan, tetapi secara jiwani Glagah Putih pun menjadi semakin dewasa pula karenanya.

Sejalan dengan itu, ilmu Agung Sedayu pun maju pula. Ia menjadi semakin mendalami kemampuan yang telah dikuasainya. Terasa bahwa Agung Sedayu menjadi semakin matang. Sedangkan Ki Waskita, meskipun ia menjadi semakin tua, tetapi ternyata bahwa ia tidak berhenti pula meningkatkan kemampuannya, meskipun kemajuannya tidak lagi sepesat Agung Sedayu.

Di Sangkal Putung, Kiai Jayaraga masih saja merenungi perkembangan, keadaan. Setiap kali terasa percikan-percikan kebanggaan Swandaru yang kurang terkendali. Baik dalam hubungannya dengan kademangannya, maupun dengan kemajuan ilmunya yang semakin tinggi. Meskipun Kiai Gringsing tidak henti-hentinya berusaha untuk menghambat gejolak yang demikian, tetapi masih saja Swandaru tergelincir ke dalam sikapnya itu.

Namun bukan berarti usaha Kiai Gringsing gagal sama sekali. Karena setiap kali tanpa jemu-jemunya hal itu dikemukakan pada setiap kesempatan, maka sedikit demi sedikit, pengaruhnya menjadi semakin terasa pula.

Meskipun demikian, Kiai Jayaraga yang telah mengalami banyak kegagalan itu, berusaha mengekang keinginannya untuk mengalirkan ilmunya kepada anak muda yang gemuk itu. Meskipun Kiai Jayaraga masih tetap merindukan seorang murid yang akan dapat mewarisi ilmunya agar tidak terkubur bersama jasadnya jika ia meninggal, namun pengalamannya dan pesan-pesan Kiai Gringsing itu selalu diingatnya. Justru karena itu, maka sikapnya menjadi sangat berhati-hati.

Namun pada satu malam, Kiai Jayaraga itu pun telah menyatakan keinginannya itu kepada Kiai Gringsing. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Kiai, aku menjadi semakin lama semakin tua. Pada masa mudaku aku berguru untuk waktu yang tidak terhitung. Barangkali juga seperti Kiai. Aku berusaha untuk mencapai satu tingkatan ilmu yang sebagaimana kau lihat sekarang. Aku telah mengorbankan waktu dan segala-galanya. Bahkan aku tidak lagi dapat menemukan keluargaku yang aku tinggalkan bertahun-tahun untuk mencari kepuasan dalam menguasai ilmu kanuragan. Kemudian, apakah yang telah aku ketemukan itu akan lenyap begitu saja bersama dengan tubuhku yang akan hancur dimakan tanah di dalam kubur?”

“Aku mengerti Kiai,” berkata Kiai Gringsing, “sudah sewajarnya jika Kiai berusaha menemukan tempat untuk menuangkan ilmu yang telah Kiai miliki. Tetapi Kiai harus tetap memperhitungkan, bahwa ilmu yang Kiai wariskan itu tidak akan disalahgunakan. Bukankah Kiai sudah cukup mempunyai pengalaman pahit, dan sekarang pun kau sedang dicemaskan oleh persoalan yang serupa.”

“Tetapi, Kiai masih mempunyai kemungkinan lain,” berkata Kiai Jayaraga.

“Ya. Dan aku berharap dengan sepenuh hati dan berusaha dengan sepenuh kemampuan,” jawab Kiai Gringsing, Lalu, “Tetapi Kiai, jika Kiai bersedia menerima sedikit pendapatku, maka mungkin aku akan dapat membantu Kiai.”

Tetapi Kiai Jayaraga menggeleng. Katanya, “Jika aku harus menggurui Agung Sedayu, agaknya tidak akan banyak gunanya. Mungkin ilmu Agung Sedayu justru lebih luas dari ilmuku. Hanya karena umurku yang tua sajalah maka aku, dan juga Kiai sebagai gurunya, mempunyai lebih banyak pengalaman. Tetapi aku yakin, bahwa tidak akan ada dasar-dasar ilmu yang akan dapat aku berikan kepada Agung Sedayu untuk memperluas pengetahuannya. Apalagi jika pada saatnya Agung Sedayu mendapat kesempatan menekuni isi pelajaran perguruannya yang tercantum dalam kitab yang sangat berharga itu.”

“Itu sekedar dugaan Kiai,” berkata Kiai Gringsing. “Sebenarnya aku pun tidak ingin menunjuk Agung Sedayu.”

“O,” Kiai Jayaraga mengangguk-angguk, “kalau begitu aku menanggapi pendapat Kiai dengan tergesa-gesa. Meskipun demikian, aku ingin menjelaskan dugaanku tentang Agung Sedayu. Murid Kiai itu sudah berhasil membunuh muridku. Tumenggung Prabadaru, yang sudah menyadap semua ilmu dasar dari perguruanku, tidak dapat menandinginya. Bahkan bajak laut yang mempunyai pengalaman yang luas itu pun dikalahkannya. Dengan demikian maka muridmu, meskipun masih diperlukan waktu untuk menjadikan ilmunya benar-benar masak dan membuatnya menjadi seperti Kiai, tetapi tanpa ilmu tambahan dari mana pun juga, Agung Sedayu akan mampu membuat dirinya seperti Kiai dalam tataran oleh kanuragan. Tetapi aku tidak dapat mengatakan demikian dengan murid Kiai yang seorang ini.”

“Ia pun akan maju pesat. Tetapi aku pun sependapat, bahwa ia tidak akan dapat menjangkau kemampuan sebagaimana Agung Sedayu, yang bukan saja menyadap ilmu dari perguruanku, tetapi dengan cara yang bermacam-macam ia membuat dirinya sendiri menjadi seorang yang mempunyai kelebihan.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Namun kemudian Katanya, “Tetapi jika bukan Agung Sedayu, siapakah yang Kiai maksudkan?”

“Agung Sedayu mempunyai seorang adik sepupu yang berguru kepadanya. Namanya Glagah Putih,” jawab Kiai Gringsing. “Jika kau berbicara dengan Agung Sedayu, mungkin kau akan dapat membentuk Glagah Putih dalam olah kanuragan, sementara itu dalam olah kajiwan Agung Sedayu akan dapat menuntunnya.”

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Seujung duri telah menyentuh perasaannya. Bagaimanapun juga, sekecil debu terbagi seribu, masih juga ada kecurigaan Kiai Gringsing atas dirinya, sehingga dalam olah kajiwan Kiai Gringsing masih menilainya di bawah nilai yang diharapkannya.

Namun Kiai Jayaraga tidak akan menolak penilaian itu. Ia memang harus menyadari, bahwa ia telah mengalami kegagalan mutlak atas semua murid-muridnya. Meskipun ia berhasil menuangkan ilmunya menjadi seorang yang berarti bagi sesama.

Dalam pada itu, agaknya pendapat Kiai Gringsing agar ia berbicara dengan Agung Sedayu itu sangat menarik perhatiannya. Ia sudah mengenal serba sedikit tentang anak muda yang bernama Glagah Putih itu, ketika ia berada di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi ia masih belum mengenal sifat dan wataknya. Meskipun demikian, jika Kiai Gringsing sudah menunjukkan kepadanya, tentu bukan sekedar asal saja menyebut nama. Kiai Gringsing tentu mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu yang cukup mapan.

Karena itu, maka dengan sungguh-sungguh Kiai Jayaraga pun kemudian bertanya, “Kiai, apakah kau yakin bahwa Agung Sedayu tidak akan berkeberatan jika aku ikut mencampuri persolan muridnya yang juga saudara sepupunya itu?”

“Kita dapat mencobanya. Mungkin Agung Sedayu mempunyai beberapa pertimbangan, karena ia tentu lebih mengetahui tentang anak muda yang bernama Glagah Putih itu,” jawab Kiai Gringsing.

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi ia masih tetap ragu-ragu. Jika Agung Sedayu dihantui oleh kegagalan-kegagalan yang pernah dialaminya, maka sulit bagi Agung Sedayu untuk dapat mempercayai Kiai Jayaraga.

Meskipun demikian, segalanya memang masih akan dapat dicoba.

Karena itu, maka Kiai Jayaraga itu pun kemudian berkata, “Aku tertarik kepada pendapat Kiai. Aku tidak akan merampas murid Agung Sedayu. Tetapi aku hanya ingin menitipkan dasar-dasar ilmu yang pernah aku tekuni selama bertahun-tahun agar tidak lenyap tanpa bekas. Meskipun aku sadar, bahwa Glagah Putih yang sudah memiliki dasar ilmu kanuragan dari perguruan Ki Sadewa lewat Agung Sedayu itu tidak akan dapat lagi menjaga kemurnian ilmu yang akan aku berikan, tetapi aku tidak akan berkeberatan. Karena dengan demikian, maka akan tumbuh dan berkembang satu ramuan ilmu yang telah luluh menyatu. Sebagaimana nampak pada Agung Sedayu sendiri. Ia adalah murid Kiai yang paling baik, tetapi ia memahami ilmu yang pernah dikuasai oleh ayahnya dan bahkan beberapa jenis ilmu yang justru tidak nampak hadir, meskipun hanya bayangannya saja, pada unsur-unsur gerak Kiai Gringsing sendiri.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya kemudian, “Kau belum pernah menyaksikan anak itu bertempur.”

“Tetapi aku berani bertaruh hitamnya kuku di jari-jariku. Bahwa yang aku katakan itu tentu benar,” jawab Kiai Jayaraga.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia percaya akan ketajaman pengamatan bukan saja mata wadagnya, tetapi juga mata batin Kiai Jayaraga.

Karena itu, maka kemudian katanya, “Kiai, jika Kiai sependapat, maka kita akan dapat mengatur waktu, kapan kita bersama-sama menemui Agung Sedayu.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Aku menurut saja kapan Kiai sempat. Tetapi apakah Agung Sedayu sudah sembuh dari luka-lukanya?”

“Mudah-mudahan ia sudah sembuh,” jawab Kiai Gringsing. Lalu, “Aku masih memerlukan waktu sedikit untuk memberikan pengarahan-pengarahan terakhir kepada Swandaru. Sesudah itu, aku akan dapat meninggalkannya, sementara anak itu akan dapat memperdalam ilmunya sendiri.”

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Kiai Jayaraga bergumam, “Sebenarnya aku akan dapat mengisi waktuku selama aku berada di sini.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apa yang dapat kau lakukan?”

Kiai Jayaraga-lah yang kemudian menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian katanya, “Kiai, terserahlah kepada penilaian Kiai atas pendapatku ini. Tetapi jika Kiai tidak sependapat, aku pun tidak akan melakukannya.”

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Kiai Gringsing.

“Kiai,” suara Kiai Jayaraga menjadi agak sendat, “seandainya Kiai meragukan murid Kiai yang seorang ini, apakah tidak sebaiknya diberikan seorang pendamping yang akan dapat mengekangnya dalam berbagai hal? Juga dalam ungkapan-ungkapan ilmunya yang kadang-kadang kurang terkendali.”

“Maksudmu?” bertanya Kiai Gringsing.

“Seorang yang mendampinginya harus memiliki kemampuan yang mendekati kemampuannya, sehingga dalam keadaan yang paling gawat, maka pendampingnya itu akan dapat mempergunakan kemampuannya untuk mencegah ungkapan-ungkapan yang tidak bermanfaat itu,” jawab Kiai Jayaraga.

“Bukankah dengan demikian akan dapat terjadi benturan, bahkan mungkin satu keadaan yang akan dapat menimbulkan akibat yang sangat parah?” desis Kiai Gringsing.

“Pendampingnya harus seorang yang memiliki kelembutan. Jika Swandaru bersikap keras, maka orang itu akan bersikap lunak. Meskipun dalam beberapa hal, dengan kelembutan hati, ia akan mencegah tingkah laku Swandaru itu. Sudah barang tentu hanya dalam keadaan yang sangat khusus,” berkata Kiai Jayaraga.

“Aku masih kurang jelas, apakah yang kau maksudkan. Coba katakan, siapa orang yang kau maksud itu, agar aku dapat menilainya dengan pasti,” berkata Kiai Gringsing.

“Pandan Wangi. Bukankah Pandan Wangi termasuk seorang istri yang lembut? Yang dapat menempatkan dirinya sebagaimana seharusnya. Namun yang dalam keadaan yang paling gawat, ia akan dapat berbuat sesuatu,” berkata Kiai Jayaraga.

Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kau meletakkan perempuan itu pada satu keadaan yang paling sulit bagi perasaannya. Jika datang saatnya ia harus berbuat demikian, maka hatinya akan hancur menjadi debu. Pandan Wangi tidak akan dapat melakukannya.”

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sambil berdesah ia berkata, “Aku mengerti Kiai. Nampaknya memang demikian. Tetapi bukan maksudku untuk pada satu saat membenturkan kemampuan Pandan Wangi dengan Swandaru, jika Pandan Wangi harus memberikan pertimbangan dan pengekangan atas tingkah laku Swandaru. Namun yang sebenarnya mendesakku adalah keinginanku untuk meninggalkan bekas dasar-dasar ilmuku kepada seseorang. Meskipun aku sependapat bahwa kita akan menemui Agung Sedayu dan berbicara tentang Glagah Putih, tetapi rasa-rasanya aku ingin segera berbuat sesuatu. Rasa-rasanya aku telah didesak oleh keharusan berbuat demikian, seakan-akan umurku tidak akan dapat mencapai Glagah Putih.”

“Ah, jangan berkata begitu,” jawab Kiai Gringsing, “kau jangan meramalkan sesuatu yang memperkecil gairah hidupmu. Kau dan aku tidak berwenang untuk berbicara tentang umur kita. Seperti saat kita lahir tanpa dapat mencampuri persoalannya, maka mati pun kita tidak akan dapat berbuat apa-apa. Kita serahkan semuanya kepada Yang Maha Agung. Daripadanya kita hadir di dunia ini, dan pada saatnya kita akan kembali pula kepadanya, meninggalkan yang fana ini untuk menetap pada satu keadaan yang baka.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku dapat menerimanya dengan nalar. Tetapi kadang-kadang perasaan ini berbicara lain.”

“Kau harus menemukan keseimbangannya,” desis Kiai Gringsing.

Sekali Kiai Jayaraga menarik nafas panjang. Sejenak ia merenung. Namun ia benar-benar mengerti keberatan Kiai Gringsing, jika ia akan menurunkan ilmunya kepada perempuan itu sebelum ia bertemu dengan Glagah Putih.

Meskipun demikian Kiai Jayaraga itu pun masih juga berkata, “Kiai, seandainya aku tidak akan pernah menurunkan ilmuku kepada Pandan Wangi, namun aku melihat sesuatu yang sangat berarti pada perempuan itu. Ia akan dapat mencapai kedalaman ilmunya sehingga akan dapat mengejutkan ayahnya yang juga gurunya. Dengan tenaga cadangannya yang terarah, ia akan dapat menembus ruang mendahului unsur wadagnya. Jika kemampuan ini dikembangkan, maka ia termasuk salah seorang yang jarang terdapat di dunia olah kanuragan sekarang ini. Seseorang yang dapat menyentuh sasaran dengan menyeberangi jarak menurut pengamatan lahiriah. Bahkan kemampuan itu akan dapat berlaku atas benda-benda di tangannya, termasuk senjata di tangannya akan merupakan bahaya yang gawat bagi lawannya. Demikian pula pedang rangkapnya itu.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Aku juga melihat kemungkinan itu. Perlahan-lahan ilmu itu sudah berkembang. Namun ada satu hal yang menghambat. Pandan Wangi merasa segan terhadap suaminya, meskipun serba sedikit suaminya sudah mengetahuinya. Selain Swandaru tidak tertarik kepada usaha Pandan Wangi untuk memperdalam kemampuannya menyerap kekuatan ruang di sekitarnya berlandaskan tenaga cadangannya, Pandan Wangi juga memperhitungkan satu kemungkinan. Apabila ia mempunyai satu kelebihan dari suaminya, maka hal itu akan sangat menyinggung perasaan Swandaru, dan Swandaru pasti tidak akan mau mengakui kelebihan itu.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Sebenarnyalah ia mengerti, bagi Pandan Wangi tentu harus mempertimbangkan banyak segi. Bukan saja kemampuan olah kanuragan, tetapi juga sebagai seorang istri yang menghargai suaminya.

Dan agaknya bagi Pandan Wangi, menilik sifat dan wataknya, akan memilih menjadi seorang istri yang baik bagi suaminya daripada menjadi seseorang yang memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni. Meskipun seandainya mungkin ia menginginkan kedua-duanya.

Karena itu, maka niatnya untuk mewariskan dasar-dasar ilmunya untuk melengkapi ilmu Pandan Wangi telah diurungkannya. Ia tidak mau menjadi sebab jika terjadi sesuatu yang dapat mengganggu ketenangan hubungan antara Pandan Wangi dan Swandaru. Jika terjadi demikian, maka Kiai Gringsing pun akan ikut menyalahkannya pula.

Meskipun demikian, ketika Kiai Jayaraga itu terbaring di dalam biliknya di gandok kademangan Sangkal Putung, hatinya masih saja selalu digelitik oleh kemampuan Pandan Wangi yang belum terungkapkan seluruhnya. Sebagaimana yang selalu bergejolak di dalam hatinya, ia selalu dibayangi oleh satu keinginan mendorong seseorang untuk meningkatkan ilmunya. Bahkan sebelumnya kadang-kadang ia tidak memiliki sasaran, sehingga akibatnya akan dapat merugikan sesamanya.

“Tetapi Pandan Wangi bukan seorang yang pantas dicemaskan untuk menjadi seorang yang dapat mengganggu orang lain. Bahkan menurut Kiai Gringsing, seandainya ia memiliki kelebihan dari suaminya, ia akan menyembunyikan kelebihan itu,” berkata Kiai Jayaraga di dalam hatinya.

Ternyata bahwa perasaan itu bagaikan melekat di hati Kiai Jayaraga. Bukan saja semalam-malaman ia merenunginya. Tetapi di hari berikutnya, ia pun masih saja memikirkannya.

“Aku tidak akan memberikan apa-apa kepadanya,” berkata Kiai Jayaraga itu kepada diri sendiri, “satu unsur gerak pun tidak.”

Namun, ternyata orang tua itu tidak dapat menahan dirinya. Ia memang tidak memberikan unsur gerak dari ilmunya. Sama sekali tidak. Tetapi ketika ia melihat Pandan Wangi menumbuk padi di belakang lumbung, maka ia pun datang menghampirinya.

“Kenapa kau menumbuk padi sendiri? Bukankah banyak pembantu yang dapat melakukannya?” bertanya Kiai Jayaraga.

Pandan Wangi tersenyum. Jawabnya, “Aku memerlukan gerak yang cukup banyak, Kiai. Kesempatan yang demikian sangat menguntungkan bagi tubuhku. Karena itu, aku kadang-kadang menumbuk padi di tempat yang menyendiri agar tidak terlalu menarik perhatian. Sambil berlatih diri memelihara kemampuan gerak tanganku, kadang-kadang aku dapat menyelesaikan pekerjaanku jauh lebih cepat dari orang lain. Sementara itu, aku dapat berlatih dengan tidak usah memasuki sanggar.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Seorang yang menekuni olah kanuragan den menyadari keadaannya, akan berbuat seperti yang dilakukan oleh Pandan Wangi. Segala sesuatu yang dikerjakan, dikembalikan kepada usaha untuk memelihara kemampuan dan tenaga yang tersimpan di dalam dirinya.

Namun agaknya Pandan Wangi masih selalu berusaha untuk tidak terlalu menarik perhatian orang-orang di sekitarnya, meskipun mereka sebenarnya sudah mengetahui bahwa Pandan Wangi memang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan.

Untuk sesaat Kiai Jayaraga terdiam. Ia melihat Pandan Wangi yang sedang menumbuk padi itu. Kepada Kiai Jayaraga, Pandan Wangi sama sekali tidak berusaha untuk menyembunyikan kemampuannya. Karena itulah, maka Kiai Jayaraga pun melihat kekuatan Pandan Wangi yang sangat besar, sehingga pekerjaannya menjadi cepat selesai. Jauh lebih cepat daripada jika pekerjaan itu dilakukan oleh orang lain.

“Tetapi aku tidak dapat terlalu cepat mengayunkan penumbuk padi ini,” berkata Pandan Wangi kemudian, “suaranya akan dapat menarik perhatian.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk sambil tersenyum Katanya, “Kau sempat mempertimbangkan pekerjaanmu ini dari segala segi.”

“Tentu Kiai,” jawab Pandan Wangi, “aku berada di antara orang-orang kebanyakan.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk pula. Namun kemudian suaranya telah berubah menjadi kesungguhan, “Pandan Wangi. Sebenarnya aku memang ingin mengatakan sesuatu.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia merasa akan perubahan pada kata-kata Kiai Jayaraga. Karena itu, maka ia pun menghentikan pekerjaannya sambil bertanya, “Apakah ada sesuatu yang panting Kiai?”

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Sebenarnya bukan sesuatu yang penting. Tetapi aku selalu digelitik oleh satu keinginan untuk mewariskan ilmuku kepada orang lain. Namun agaknya aku tidak dapat melakukannya atasmu.”

Wajah Pandan Wangi menjadi tegang. Sementara itu Kiai Jayaraga berkata seterusnya, “Aku tidak perlu mengatakan apa sebabnya. Tetapi ada beberapa pertimbangan, bahwa aku tidak sebaiknya mewariskan ilmuku itu kepadamu. Mungkin aku masih tetap dihantui oleh kegagalan-kegagalanku yang terdahulu, seakan-akan semua orang yang menjadi muridku akan menjadi orang yang memilih jalan sesat.”

“Ah, tentu tidak Kiai.” jawab Pandan Wangi hampir di luar sadarnya.

“Mungkin demikian. Tetapi aku harus mencari orang lain untuk membuktikan bahwa aku tidak akan selalu gagal. Tetapi bukan kau,” berkata Kiai Jayaraga kemudian.

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Memang menarik untuk menerima ilmu dari siapa pun juga, selama ilmu itu sendiri tidak beralasan kekuatan ilmu hitam. Jika kemudian mereka yang berilmu itu melakukan pelanggaran terhadap paugeran pergaulan selama, itu adalah tanggung jawab mereka sendiri.

Tetapi ternyata bahwa Kiai Jayaraga telah memutuskan untuk menemukan orang lain yang akan menjadi pewaris ilmunya yang sulit dicari bandingnya itu.

Karena itu, maka Pandan Wangi pun tidak lagi banyak memperhatikan kemungkinan untuk dapat mempelajari ilmu yang pernah dimiliki oleh Kiai Jayaraga. Ia akan selalu mencoba mengembangkan apa yang sudah ada pada dirinya, Pandan Wangi merasa bahwa ia bukan lagi orang yang akan menjadi tempat bergantung sebagaimana jika ia berada di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi, di Sangkal Putung segalanya akan dikembalikan kepada Swandaru. Dan Pandan Wangi pun merasa bahwa ia adalah istri Swandaru, yang tidak merasa perlu untuk memiliki kemampuan melampaui Swandaru itu sendiri.

Namun dalam pada itu, ternyata Kiai Jayaraga itu pun berkata, “Pandan Wangi. Meskipun demikian, meskipun hanya seujung rambut, namun aku tidak dapat ingkar dari satu keinginan untuk melihat kau berkembang di samping suamimu yang berkembang dengan pesat. Suamimu telah mendapat tuntunan langsung dari gurunya, apalagi ia mendapat kesempatan untuk mempelajari isi kitab gurunya itu.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Aku pun tidak berhenti Kiai. Aku berusaha untuk dapat menjadi seorang istri yang baik, yang dapat mendampingi suamiku dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Karena itu, aku pun selalu berusaha untuk meningkatkan ilmuku. Aku sama sekali tidak ingin menjadi seorang yang mampu berdiri pada tataran yang sama dengan suamiku. Tetapi aku berharap bahwa aku akan dapat berbuat sesuatu jika diperlukan. Setidak-tidaknya, dalam keadaan yang sulit, aku jangan memperberat tanggung jawabnya sehingga aku memerlukan perlindungannya, justru ia sendiri sedang dalam keadaan yang gawat.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya dalam hati, “Pandan Wangi memang seorang istri yang baik. Ia tidak manja, tetapi juga tidak ingin menonjolkan dirinya sendiri.”

Namun justru karena itu, maka Kiai Jayaraga itu pun semakin terdorong ke dalam keinginan untuk berbuat sesuatu.

Karena itu, maka katanya, “Pandan Wangi. Aku senang mendengar sikapmu. Karena itu, maka aku mendorongmu untuk berbuat lebih banyak lagi. Meskipun kau harus tetap memelihara kemampuan tubuhmu, kemampuan wadagnya, tetapi sebenarnyalah kau sudah merintis ke kedalaman ilmu yang sulit dijajagi dengan unsur wadag semata-mata. Kau sudah dapat menyerap kekuatan di sekitarmu untuk kemudian kau sadap intinya, sehingga kau mampu mengungkapkannya kembali dalam satu ilmumu. Kau sudah dapat melancarkan serangan melampaui jarak, dan ilmu pedangmu pun telah kau lengkapi dengan kemampuanmu mengungkapkan kekuatan itu. Ujung pedangmu seakan-akan telah menyergap lawan mendahului ujud wadagnya.” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Satu kurnia yang sangat berharga, Kiai.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi ia menjadi semakin kagum kepada perempuan itu. Pandan Wangi ternyata mengembalikan segala sesuatunya kepada Sumber Hidupnya.

Karena itu, maka katanya kemudian, “Benar Pandan Wangi. Segala ilmu yang kita kuasai adalah kurnia. Karena itu, kita harus mempergunakan untuk kepentingan kebesaran nama-Nya. Mereka yang menyimpang dari garis itu ternyata telah disapu oleh murka-Nya. Contoh yang paling dekat adalah murid-muridku sendiri.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk kecil. Desisnya, “Mudah-mudahan kita selalu mendapat bimbingan-Nya untuk tetap menyadarinya. Mudah-mudahan kita dijauhkan dari segala goda yang dapat menyesatkan kita. Juga dalam menggunakan kurnia yang satu ini.”

“Sebenarnya aku tidak ingin memujimu Pandan Wangi. Apalagi langsung di hadapanmu. Tetapi aku tidak dapat menahan diri untuk menyatakan kekagumanku,” gumam Kiai Jayaraga.

“Ah. Kiai memang tidak perlu memuji. Bukankah yang aku lakukan itu memang seharusnya dilakukan oleh seseorang? Bukankah dengan demikian tidak ada kelebihan apa pun yang pantas dipuji?” bertanya Pandan Wangi.

“Ya. Memang tidak ada apa pun yang pantas dipuji,” ulang Kiai Jayaraga, ”namun, dengan demikian aku menjadi semakin percaya kepadamu, seandainya kau memiliki kelebihan, maka kau akan dapat mempergunakannya sebaik-baiknya.”

“Mudah mudahan Kiai,” jawab Pandan Wangi, “sekali lagi aku berharap, dijauhkanlah aku dari segala godaan. Dan aku sadar, bahwa setiap kali aku harus berdoa untuk selalu dijauhkan dari goda itu. Karena kita wajib menyadari kelemahan diri sebagai sifat seseorang akan dapat menyeret kita kepada ketamakan dan tingkah laku yang bertentangan dengan kehendak Sumber Hidup kita.”

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Mudah-mudahanlah. Doa yang demikian akan sangat berarti bagimu.”

Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ketika ia akan mengangkat alat penumbuk padinya yang terbuat dari kayu, maka Kiai Jayaraga berkata, “Pandan Wangi. Dengarlah. Ada sedikit yang ingin aku katakan kepadamu.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi ia mengurungkan niatnya untuk melanjutkan kerjanya.

“Pandan Wangi,” berkata Kiai Jayaraga, “aku ingin berbicara serba sedikit tentang ilmumu. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan mewariskan ilmuku kepadamu. Sedikit pun tidak. Tetapi aku ingin melihat kau semakin meningkat. Karena itu dengarlah. Mungkin akan berguna bagimu.”

Pandan Wangi menjadi tegang, sementara itu Kiai Jayaraga pun berkata lebih lanjut, “Aku sengaja tidak membawamu ke sanggar agar tidak menimbulkan salah mengerti, seolah-olah telah mengajarimu dengan dasar-dasar ilmuku. Aku sengaja memilih tempat ini, tempat yang terbuka tetapi tidak ada orang lain yang berada dekat di sisi kita.”

Pandan Wangi menjadi semakin tegang. Namun Kiai Jayaraga kemudian berkata, “Jangan menjadi gelisah karena kata-kataku. Berbuatlah dan terimalah segalanya dengan wajar. Memang tidak ada yang penting yang akan aku katakan kepadamu.” Kiai Jayaraga berhenti sejenak, lalu, “Pandan Wangi. Dengarlah. Kau sudah mampu menguasai kekuatan cadanganmu dengan baik sekali. Kau pun telah mampu menyerap kekuatan di sekitarmu dan kau sadap intinya untuk kau ungkapkan kembali lewat lontaran ilmumu. Dengan memusatkan nalar budi, maka kekuatan itu mempunyai ujud yang luar biasa. Kau dapat menyentuh sasaran dari jarak tertentu. Kau dapat menyerang sasaran mendahului ujud wadagmu atau alat yang kau pergunakan. Dengan demikian, maka kau mempunyai dasar-dasar dari penguasaan ilmu yang lebih berarti. Aku tidak memberikan dasar-dasar ilmuku kepadamu. Tetapi carilah sendiri sebagaimana kau menemukan inti kekuatan udara di sekitarmu. Tetapi yakinkan dirimu, bahwa kau akan mampu bukan saja bersahabat dengan udara dan kekuatan yang ada di sekitarmu, tetapi kau akan dapat bersahabat dengan inti kekuatan bumi, air dan api, di samping kekuatan udara. Tetapi ingat, udara, api dan air adalah kebutuhan umat manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun dalam keadaan tertentu mereka dapat menjerumuskan manusia itu sendiri. Banjir bandang, api yang membakar isi dunia ini dalam pengertian wantah, angin prahara dan badai, gempa dan guncangan-guncangan bumi, merupakan bahaya yang gawat bagi manusia.

Jika menurut pendengaranku, gejala-gejala kemampuan itu datang pada suatu saat kepadamu pada saat kau mengungkapkan ilmumu dalam ujud yang kurang kau kenal, maka sekarang, kenalilah kekuatan itu. Kau serap intinya dan kau akan dapat menguasainya. Tetapi sekali lagi, kekuatan itu akan memberikan arti bagi manusia dalam takaran yang serasi. Tetapi dalam takaran yang berlebihan, maka kekuatan itu adalah permusuhan yang nggegirisi. Kau akan dapat menekuninya untuk mengenalinya dengan baik. Kau sudah mempunyai dasar-dasar penguasaan. Namun, kau masih harus selalu berdoa, agar kau dilepaskan dari segala goda. Pesan terakhir inilah yang tidak pernah aku berikan kepada murid-muridku yang terdahulu. Namun agaknya kau telah menunjukkan kepadaku, bahwa kekurangan ini adalah justru kelemahanku yang paling buruk. Kelemahan ini sudah kau ketahui sendiri sebelumnya. Karena goda yang paling buruk adalah datang dari diri sendiri. Keinginan yang berlebihan sehingga menjadi ujud ketamakan, kesombongan dan sifat-sifat buruk lainnya.”

Wajah Pandan Wangi Justru menjadi semakin tegang. Sementara itu Kiai Jayaraga berkata, “Tidak ada hubungan apa pun antara kau dan aku dalam olah kanuragan. Jika kau pada suatu saat juga mampu menyerap inti kekuatan bumi, air, api dan udara, maka hal itu tidak akan ada hubungannya sama sekali dengan ilmu yang dikuasai oleh Tumenggung Prabadaru dan ketiga bajak laut yang mati terbunuh itu. Karena dasar menyerapnya adalah berbeda. Kau mempergunakan dasar-dasar ilmu Tanah Perdikan Menoreh, Tumenggung Prabadaru mempergunakan dasar-dasar ilmu Jayaraga. Karena itu, maka orang berilmu akan dapat membedakannya.”

Wajah Pandan Wangi menjadi tegang. Ia mulai membayangkan kemampuan Ki Tumenggung Prabadaru yang luar biasa. Tiga orang bajak laut yang nggegirisi. Kemudian dilihatnya dirinya sendiri yang terlalu kecil di dalam dunia olah kanuragan.

Namun ia mengerti apa yang dimaksudkan oleh Kiai Jayaraga. Ia memang memiliki kemampuan menyentuh sasaran dengan wadagnya dari jarak tertentu. Dan ia pun telah berusaha untuk mengetahui dan mengenali ilmu itu sampai sedalam-dalamnya. Keterangan Kiai Jayaraga itu telah membuka pikirannya, bahwa ia akan dapat mengenali bukan saja inti kekuatan udara di sekitarnya, tetapi ia juga dapat mempelajari inti kekuatan air, api dan bumi. Kemudian dengan dasar dan laku yang lama ia akan dapat menyerapnya dan memanfaatkan inti kekuatan itu dalam ungkapan ilmunya.

Dalam pada itu, sejenak Pandan Wangi merenung. Kiai Jayaraga berkata, “Pikirkan. Pikiran, Pandan Wangi. Jika kau berminat, katakan kepada Kiai Gringsing. Katakan apa adanya, bahwa aku telah mengatakan hal itu kepadamu. Tetapi kau pun harus juga mengatakan, bahwa aku sama sekali tidak menyentuhmu dengan ilmuku. Sama sekali tidak. Kau akan mendengar pendapat Kiai Gringsing. Selanjutnya terserah, kesimpulan apakah yang akan kau ambil kemudian.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Kiai. Mungkin ilmu yang akan aku dalami sama sekali tidak bersentuhan dengan ilmu Kiai. Tetapi apakah orang-orang di sekitarku akan mempercayainya. Kiai pernah tinggal di sini. Jadi tidak mustahil bahwa Kiai pernah dengan diam-diam memberikan beberapa unsur dari dasar ilmu Kiai itu kepadaku.”

“Kau akan mempunyai beberapa orang saksi. Kiai Gringsing, suamimu sendiri dan mungkin beberapa orang lain,” jawab Kiai Jayaraga. “Bukankah kita berada di tempat terbuka? Beberapa orang melihat aku berdiri di sini dan kau berdiri di situ dengan penumbuk padi itu di tanganmu. Bagaimana mungkin aku dapat mewariskan ilmuku kepadamu?”

“Tetapi, bagi orang yang tidak mengetahui, maka mereka akan mempunyai banyak dugaan,” jawab Pandan Wangi.

“Jangan terlalu menghiraukan orang yang tidak mengerti,” berkata Kiai Jayaraga.

“Tetapi apa kata Sekar Mirah dan Agung Sedayu? Mungkin Ki Waskita, dan bahkan Ayah sendiri?” desis Pandan Wangi.

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan menyelami ilmu seseorang dengan tajam. Mereka justru akan melihat, bahwa tidak ada satu pun unsur gerak ilmuku yang menyangkut pada ilmumu.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Ia mulai merenungi keterangan Kiai Jayaraga. Ia memang tidak bersalah jika ia dengan dasar pengalamannya yang ada dalam pendalamannya atas ilmunya yang semula kurang dikenalinya itu dengan laku yang khusus, kemudian mampu menyerap kekuatan-kekuatan lain yang tidak dilandasi dengan ilmu hitam, tetapi dengan inti tenaga yang memang sudah disediakan bagi kepentingan manusia, dalam takaran yang serasi.

Selagi Pandan Wangi merenungi keadaannya, maka Kiai Jayaraga itu pun kemudian berkata, “Segala sesuatunya dapat kau pertimbangkan. Kau masih mempunyai banyak waktu Pandan Wangi. Kau terhitung masih cukup muda. Sementara itu kau dapat membuat pertimbangan dengan suamimu, dengan Kiai Gringsing, bahkan sekali-kali jika kau sempat, berbicaralah dengan ayahmu. Sayang, Ki Gede tidak sempat mendalami ilmunya sampai ke batas yang kau capai sekarang, meskipun pengalamannya telah memberikan banyak kelebihan padanya daripada orang lain. Tetapi dasar-dasar ilmu yang kau miliki, dengan perenungan dan pendalaman yang kau lakukan, kau sebenarnya memiliki bekal lebih banyak dari ayahmu. Meskipun aku belum mengenalnya dengan baik dalam pendengaranku dan dalam hubungan dengan langkah-langkah yang pernah diambilnya.”

Pandan Wangi mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah Kiai. Aku akan mempertimbangkannya. Aku akan membicarakannya dengan beberapa orang di sekitarku. Mudah-mudahan aku mendapat petunjuk untuk mengambil satu keputusan yang besar.”

“Silahkan. Sekali lagi aku katakan, bahwa waktumu masih panjang. Kau masih sempat menjangkau ilmu yang paling tinggi sekali pun yang pernah dimiliki oleh cabang perguruanmu,” berkata Kiai Jayaraga sambil bergeser.

Kemudian sambil melangkah pergi ia berkata, “Kita hanya berbicara. Orang-orang melihatnya dari kejauhan. Aku sama sekali tidak menunjukkan rahasia tata gerak dan unsur-unsur yang ada di dalam ilmuku.”

Pandan Wangi tidak menyahut. Diikutinya langkah Kiai Jayaraga meninggalkannya sendiri. Sementara itu, seorang gadis kecil sedang membenahi beberapa jenis empon-empon yang sedang dipanaskan.

Sejenak kemudian, maka Kiai Jayaraga itu pun telah hilang di balik sudut dapur. Sementara itu, beberapa ekor ayam saling berkejaran sambil berkotek-kotek.

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja penumbuk padi itu digenggamnya semakin erat. Diperhatikannya butir-butir gabah di dalam lesung. Kemudian dengan wajah tegang, hampir di luar sadarnya, dipusatkannya nalar budinya pada tangannya yang menggenggam penumbuk padi itu.

Sejenak kemudian, terdengar dentang lesung tempat penumbuk padi itu. Jarang-jarang sebagaimana orang lain menumbuk padi. Tetapi ternyata Pandan Wangi telah mengerahkan segenap kemampuannya, sehingga kekuatannya menjadi berlipat. Sentuhan pada butir-butir padi itu terjadi beruntun. Kekuatan yang mendahului ujung penumbuk padinya kemudian disusul dengan ujud wadagnya. Karena itu, maka pekerjaan itu menjadi jauh lebih cepat dibandingkan jika ia melakukannya dengan tenaga wajarnya, meskipun tenaga wajarnya itu pun telah mampu menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat dari orang kebanyakan.

Untunglah bahwa tidak ada orang yang memperhatikannya. Tetapi Pandan Wangi baru menyadari, ketika pekerjaannya itu terasa demikian cepatnya selesai.

Tetapi Pandan Wangi tidak segera meninggalkan tempatnya. Ia masih menampi beras yang baru saja ditumbuknya. Kemudian duduk sejenak di bayangan emper yang rendah.

Udara yang mengalir oleh silirnya angin terasa sejuk menyentuh tubuhnya. Sementara itu, dipandanginya sinar matahari yang memanasi longkangan.

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Demikian panasnya sehingga udara seakan-akan telah mendidih. Dalam panasnya sinar matahari yang silau, Pandan Wangi seakan-akan melihat bayangan yang menggeliat berbaur dengan terik yang membakar.

Pandan Wangi berpaling ketika ia mendengar desir langkah mendekatinya. Seorang gadis muda datang mendekatinya sambil berkata. “Jika kau lelah, beristirahatlah. Biarlah aku selesaikan pekerjaanmu.”

Pandan Wangi justru menjadi termangu-mangu. Tetapi sebelum ia menjawab, gadis itu memandanginya dengan heran.

“Kau sudah selesai?” gadis itu bertanya.

“Aku hanya menumbuk beberapa ikat saja,” jawab Pandan Wangi.

Tetapi gadis itu masih tetap keheranan. Ia melihat sebakul beras yang telah menjadi sangat putih.

Pandan Wangi-lah yang menjadi berdebar-debar. Namun kemudian katanya, “Tidak semua itu aku tumbuk dari ikatan padi. Sebagian memang sudah menjadi beras, sehingga aku tinggal memutihkannya saja.”

“Tetapi seonggok merang itu?” Di luar sadarnya gadis itu bertanya.

“Ah, bukankah sebagian adalah merang kemarin?” jawab Pandan Wangi.

“Yang kemarin sudah dibuang,” desis gadis itu.

Pandan Wangi tertawa. Katanya, “Aku akan mandi dan keramas sebentar setelah beristirahat. Karena itu aku mengumpulkan merang untuk diambil air abunya. Aku akan membakarnya nanti.” Pandan Wangi berhenti sejenak. Lalu, “He, apakah kau ingin turut aku ke kali dan mandi keramas bersama?”

Gadis itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, “Ya. Aku akan ikut bersamamu.”

“Nah, jika demikian, bantu aku membawa beras itu. Sisihkan merang itu di sudut kandang. Kita akan membakarnya dan membuat air abunya,” berkata Pandan Wangi.

Gadis itu tidak menjawab. Didukungnya bakul berisi beras itu di lambungnya. Kemudian ditinggalkannya Pandan Wangi yang masih berdiri termangu-mangu .

Namun Pandan Wangi pun kemudian menyisihkan merang bekas untaian padi yang ditumbuknya dan diletakkannya di sudut kandang. Ia harus menepati janjinya, membuat landa merang untuk mandi keramas bersama gadis muda itu.

Di dapur tidak banyak orang yang memperhatikan hasil beras yang ditumbuk oleh Pandan Wangi. Jika seseorang melihat isi bakul itu, maka orang itu mengira bahwa beras itu telah ditumbuk oleh Pandan Wangi dan gadis muda itu.

Demikianlah, maka Pandan Wangi telah mengambil api di dapur untuk membakar merangnya. Kemudian mengambil abunya dan kemudian merendamnya dengan air untuk kemudian disaring. Dengan air itu ia akan membersihkan rambutnya di sungai bersama gadis yang telah datang kepadanya dan membawa beras sebakul ke dapur.

Dalam pada itu, Pandan Wangi yang masih menunggu landa merangnya mengendap, telah duduk kembali di bawah emper. Sekali lagi ia memperhatikan getar udara yang dipanggang oleh panasnya matahari. Tetapi agaknya matahari telah mulai bergeser, meskipun terasa panasnya masih menyengat kulit.

“Ndog pengamun-amun,” desis Pandan Wangi sambil memperhatikan getar udara yang kepanasan, yang seakan-akan menggeliat-geliat.

Dalam pada itu terngiang kata-kata Kiai Jayaraga di telinganya, bahwa ia akan dapat berbuat lebih banyak lagi dengan ilmunya. Ia dapat memperhatikan inti kekuatan udara dan inti kekuatan api. Tetapi panas bukan hanya dapat disadap dari api. Tetapi juga dari matahari.

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia justru merenungi terik yang bagaikan membakar halaman. Daun-daun menjadi layu dan rumput menjadi kering.

“Orang-orang berilmu tinggi, mampu memancarkan panas dari dalam dirinya,” berkata Pandan Wangi. Namun rasa-rasanya hal itu bukan lagi hal yang mustahil baginya. Kiai Jayaraga seakan-akan telah membuka nalar budinya untuk mencari hubungan antara dirinya dan panas yang membakar halaman itu.

Tetapi Pandan Wangi tidak sempat merenung lebih lama lagi. Tiba-tiba saja gadis muda yang berjanji untuk ikut bersamanya itu pun telah datang sambil berdesis, “Marilah. Kita pergi ke sungai, mumpung masih ada panasnya matahari.”

“Siapa lagi yang akan ikut?” bertanya Pandan Wangi.

“Tidak ada. Kita hanya berdua,” jawab gadis itu.

“Bawalah belanga itu,” berkata Pandan Wangi kemudian.

“Landa merang?” bertanya gadis itu pula.

“Ya. Bukankah kita akan keramas?” desis Pandan Wangi.

“Kita akan keramas. Aku akan mencuci pakaian juga,” sahut gadis itu.

Pandan Wangi pun kemudian memberitahukan kepada suaminya bahwa ia pergi ke sungai. Ia ingin keramas dan mencuci beberapa potong pakaiannya.

Pandan Wangi telah berpuluh bahkan berratus kali pergi ke sungai. Tetapi rasa-rasanya ia tidak pernah mengenali sungai itu dengan sungguh-sungguh. Ia hanya melihat air yang mengalir di sela-sela bebatuan. Gemercik menyusup di antara batu-batu besar, kemudian berlari bagaikan berkejaran.

Tetapi Pandan Wangi tidak sempat merenung. Gadis muda itu selalu mengajaknya berbicara tentang apa saja yang menarik perhatiannya.

Namun pada satu saat, tatapan mata Pandan Wangi telah menyentuh tebing yang longsor. Ia tahu benar, apa yang telah terjadi di tebing itu. Beberapa bulan yang lalu, sungai yang tidak seberapa besar itu telah banjir. Beberapa rumput pring ori yang mampu berpegangan tanah tempatnya tumbuh dengan kuatnya, telah terangkat dan hanyut. Bahkan bendungan pun telah dadal dan batu-batu yang besar telah berpindah tempat, hanyut untuk beberapa puluh langkah.

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia telah mengenang banjir yang telah terjadi. Sungai yang dalam keadaan sehari-hari merupakan sahabat yang akrab bagi manusia, pada satu saat telah menjadi hantu yang sangat menakutkan.

“He?” Pandan Wangi terkejut ketika gadis yang mandi bersamanya itu memanggilnya, “Apa yang kau renungkan Pandan Wangi? Bukankah kau akan keramas dan mencuci?”

“O,” Pandan Wangi menarik nafas, “bekas tanah longsor itu membuat aku ngeri.”

“Tidak apa-apa. Bukankah tidak ada mendung di langit, sehingga tidak mungkin akan ada hujan?” sahut gadis itu.

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Kemudian ia pun mulai bersiap-siap untuk mandi keramas.

“Tetapi kita akan mencuci dahulu bukan? Kemudian keramas,” berkata Pandan Wangi.

“Ya. Kita mencuci dahulu,” jawab gadis itu.

Sejenak kemudian keduanya telah mencuci pakaian yang mereka bawa di pinggir sungai itu, di bawah sebatang pohon benda yang rimbun. Meskipun matahari yang terik masih bertengger di langit, tetapi di bawah sebatang pohon benda dan berendam di dalam air, rasa-rasanya tubuh mereka pun menjadi sejuk.

Namun dalam pada itu, selagi keduanya sibuk mencuci tiba-tiba saja seorang telah datang mendekati. Seorang laki-laki yang sudah berumur setengah abad.

“Wuni,” panggil orang itu.

Gadis yang mencuci bersama Pandan Wangi itu pun mengangkat wajahnya. Tiba-tiba saja wajahnya telah berkerut.

“Ayah,” desisnya.

“Naiklah Wuni. Berkemaslah. Kau harus pulang segera,” panggil laki-laki itu.

“Ada apa Ayah?” bertanya gadis itu.

“Sudahlah, pulanglah. Ada sesuatu yang penting akan kita bicarakan,” jawab ayahnya.

Gadis itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah ada hubungannya dengan yang Ayah katakan semalam?”

Ayahnya termangu-mangu. Namun kemudian ia pun menjawab, “Ya Wuni. Karena itu pulanglah. Kita akan berbicara.”

Tetapi tiba-tiba gadis itu menjawab hampir menjerit, “Tidak. Aku tidak mau, Ayah. Bukankah aku sudah mengatakannya.”

“Jangan begitu. Pulanglah. Semuanya akan kita bicarakan di rumah dengan baik,” berkata ayahnya.

Tetapi gadis itu tetap pada sikapnya. Katanya, “Aku tidak mau pulang, Ayah. Aku akan berada di Kademangan saja.”

Ayahnya menjadi gelisah. Sementara Pandan Wangi berusaha untuk menenangkannya, “Wuni. Tenanglah. Kenapa kau tidak mau pulang? Nanti kau dapat kembali ke Kademangan.”

“Aku akan mandi dan keramas,” jawab Wuni. .

“Nanti kau dapat mandi dan keramas. Atau jika tidak, besok atau lusa. Jika ada yang penting di rumah, pulanglah. Aku pun akan pulang juga bersamamu,” berkata gadis itu.

“Tidak. Aku tidak mau pulang,” tiba-tiba saja gadis itu justru menangis.

Pandan Wangi menjadi heran. Tetapi dengan demikian ia mempunyai dugaan, bahwa telah terjadi sesuatu dengan anak gadis itu. Mungkin sesuatu telah menunggunya di rumah. Sesuatu yang tidak dikehendakinya.

Meskipun demikian Pandan Wangi itu masih juga berkata, “Wuni. Jika ada sesuatu yang kurang mengena di hatimu, bukanlah lebih baik kau bicarakan dengan orang tuamu?”

“Aku tidak mau,” jawab gadis itu, “Ayah dan Biyung akan memaksa aku kawin dengan laki-laki yang tidak aku senangi, bahkan sama sekali tidak aku kenal,” jawab gadis itu.

“Wuni!” ayahnya membentak dari atas tebing, “Kau jangan lancang. Pulanglah. Semuanya akan kita selesaikan.”

“Aku tidak mau pulang!” jerit gadis itu.

Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Jika persoalannya menyangkut masalah kawin, maka ia tidak akan dapat terlalu banyak mencampurinya.

Sementara itu gadis yang sambil menangis berkata lantang, “Katakan kepada laki-laki itu Ayah, bahwa aku tidak mau. Jika Ayah pernah berhutang budi kepadanya, atau berhutang apa pun juga, bayarlah sebagaimana Ayah berhutang. Bukan aku yang harus menderita, kawin dengan laki-laki yang sudah hampir sebaya dengan Ayah.”

“Tutup mulutmu!” ayahnya membentak lagi. Lebih keras. Katanya, “Jika kau tidak mau pulang, kau akan kuseret seperti aku menyeret kambing.”

“Aku tidak mau!” gadis itu berteriak semakin keras.

Wajah laki-laki di atas tebing itu menjadi semakin tegang. Namun ketegangan itu kemudian dipecahkan oleh suara seseorang, “Biarlah Wuni tidak pulang, Paman. Aku akan menjemputnya.”

“O, kau Ki Saudagar,” desis ayah Wuni.

“Aku sudah mengira kalau gadis yang sedang mandi tidak akan segera mau pulang. Karena itu, aku justru ingin menyusulnya dan mandi bersama. Bahkan ternyata di sini ada dua orang gadis yang sedang mandi di panasnya terik matahari,” berkata orang yang kemudian berdiri di sebelah ayah Wuni. Namun ayah Wuni menjadi berdebar-debar. Dengan tergesa-gesa ia berkata, “Ki Saudagar. Yang seorang itu adalah Pandan Wangi. Istri Swandaru, anak Ki Demang Sangkal Putung.”

Saudagar yang datang ke tebing sungai itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya kedua orang perempuan yang sedang berendam di dalam air sambil mencuci. Namun yang kemudian keduanya telah menjadi gelisah karena kehadiran orang-orang di tebing itu.

Namun tiba-tiba saja Saudagar itu tersenyum. Katanya, “Jadi yang seorang itu yang bernama Pandan Wangi, istri Swandaru? Aku memang pernah mendengar namanya, bahwa Swandaru adalah seorang yang memiliki ilmu linuwih. Tetapi aku belum pernah melihat orangnya.”

“Karena itu, jangan sebut namanya,” berkata ayah Wuni, “aku adalah salah seorang pembantu di rumah Ki Demang. Demikian juga anakku Wuni.”

Tetapi Saudagar itu tertawa semakin keras. Katanya, “Kau takut kepada anak Ki Demang itu? Jangan cemas. Jika kau diberhentikan dari pekerjaanmu, maka kau akan bekerja di rumahku. Kau akan mendapat tempat yang lebih baik dari tempatmu sekarang.”

Ayah Wuni itu menjadi semakin berdebar-debar. Keringat dingin telah mengalir di tubuhnya.

Karena itu, maka ia pun segera berusaha mengalihkan semua perhatian kepada anak gadisnya. Katanya, “Wuni. Cepatlah pulang sebelum keadaan menjadi semakin buruk. Kita akan berbicara di rumah.”

“Tidak!” jawab Wuni hampir berteriak.

“Sudahlah,” potong Saudagar itu, “jangan dipaksa Paman. Biarlah ia mandi. Sudah aku katakan, aku akan ikut mandi bersama mereka. Swandaru tidak akan marah, jika aku hanya menemani mandi istrinya yang cantik. Nanti, sesudah kami selesai, aku akan membawa Wuni pulang. Semuanya akan segera dapat aku selesaikan.”

“Tidak! Aku tidak mau!” teriak Wuni.

“Wuni!” bentak ayahnya, “Jangan berteriak-teriak begitu. Nanti didengar orang yang sedang berada di sawah.”

“Aku tidak peduli,” jawab Wuni.

“Mereka akan berdatangan,” berkata ayahnya.

“Biar saja. Adalah kebetulan sekali jika mereka datang,” jawab Wuni hampir menangis.

Saudagar itulah yang menyahut, “Karena itu, biarkan saja, Paman. Aku tidak tergesa-gesa.”

Wajah orang tua itu menjadi tegang. Jika saudagar itu mengganggu Pandan Wangi dan hal itu diketahui oleh Swandaru, maka akan dapat menimbulkan masalah yang gawat. Saudagar itu akan dapat dicincang di Sangkal Putung. Seandainya ia memiliki ilmu yang tinggi sekali pun, jika Swandaru bertindak, maka akibatnya akan menjadi parah. Apalagi di Sangkal Putung itu ada pula Kiai Gringsing, guru Swandaru yang seakan-akan tidak terkalahkan.

Namun dalam pada itu, sikap Pandan Wangi pun ternyata telah mengejutkan kedua laki-laki yang berada di atas tebing. Ternyata kata-kata Saudagar itu telah menusuk hatinya, sehingga bagaimanapun juga ia berusaha menahan diri, namun akhirnya terlontar pula sikapnya pada kata-katanya, “Wuni. Kau tinggal di sini bersamaku. Aku tidak bermaksud mencampuri persoalanmu. Tetapi laki-laki itu memang pantas mendapat peringatan.”

Saudagar itu mengerutkan keningnya. Sementara ayah Wuni pun berkata, “Sudahlah Ki Saudagar. Lebih baik kita kembali. Biarlah aku mengurus anakku.”

Tetapi Saudagar itu justru tertawa. Katanya, “Perempuan yang keras memang sangat menarik. Pandan Wangi mempunyai sifat yang sangat menyenangkan. Sudahlah, kau jangan cemas. Pulanglah. Aku akan tinggal di sini bersama dua orang kawanku itu.”

Keringat dingin telah membasahi punggung ayah Wuni itu. Karena itu sikapnya pun menjadi sangat gelisah. Wajahnya menjadi tegang dan tidak menentu.

“Jika Swandaru marah, maka aku akan minta maaf,” berkata Saudagar itu, “bukankah aku tidak berbuat apa-apa? Tetapi jika ia tidak menghiraukan permintaan maafku, maka terserah kepadanya, sikap apakah yang akan diambilnya.”

“Itu akan menimbulkan persoalan,” jawab ayah Wuni.

“Aku akan menyelesaikan persoalanku sendiri. Kau tidak usah ikut campur,” jawab Saudagar itu. Bahkan kemudian nada suaranya menjadi keras, “Pergilah pengecut. Jangan mencampuri persoalanku dengan kedua perempuan itu.”

Kegelisahan yang sangat telah mencengkam jantung orang itu. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Saudagar itu pun kemudian berpaling kepada dua orang yang berdiri beberapa langkah di belakangnya yang tidak dapat dilihat dari bawah tebing.

“Singkirkan orang tua itu,” katanya.

“Jangan Ki Saudagar,” orang itu meminta, “masalahnya bukan masalahku saja. Tetapi kau akan mengalami kesulitan di sini. Kau belum mengenal Swandaru.”

“Aku sudah tahu. Ia adalah pemimpin pengawal Kademangan Sangkal Putung. Anak Ki Demang dan mempunyai kemampuan oleh kanuragan yang tinggi. Nah, apa lagi?” bertanya Saudagar itu. Namun kemudian katanya, “Tetapi di dunia ini bukan hanya Swandaru saja yang memiliki kemampuan olah kanuragan. Aku pun memiliki ,dan kedua orang pengawalku itu adalah orang-orang yang tidak terkalahkan.”

“Tetapi Swandaru dapat mengerahkan seisi kademangan,” desis ayah Wuni.

“Seisi kademangan ini tidak akan dapat mengalahkan kami bertiga,” jawab Saudagar itu.

Perbantahan itu terputus ketika dua orang pengawal Ki Saudagar kemudian mendekati ayah Wuni. Seorang di antaranya berkata, “Marilah. Jangan paksa aku untuk menyeretmu.”

Orang itu menjadi bimbang. Tetapi sorot mata kedua orang itu sangat menakutkan baginya, sehingga ayah Wuni itu sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa.

Namun dalam pada itu, selagi mereka sibuk menyingkirkan ayah Wuni, maka tidak setahu orang-orang di atas tebing, Pandan Wangi telah mengenakan pakaian khususnya, meskipun basah. Tetapi dengan pakaian itu ia akan dapat mengatasi persoalan yang mungkin akan timbul.

Karena menurut pengamatan Pandan Wangi, orang yang disebut Ki Saudagar itu adalah orang yang meskipun sudah separuh baya, tetapi memiliki kelakuan yang tidak sepantasnya menghadapi perempuan.

Dengan demikian, pakaiannya yang seharusnya sedang dicuci itu justru telah dikenakannya. Mungkin ia harus bertindak apabila orang-orang yang berada di atas tebing itu memang ingin mengganggu Wuni, apalagi dirinya sendiri.

Meskipun demikian, di luar pakaian khususnya Pandan Wangi masih saja memakai kainnya yang memang sudah basah, yang dipakainya berendam di dalam air ketika ia sedang mencuci pakaian.

Sementara itu, ayah Wuni masih berusaha untuk memberi penjelasan. Namun tiba-tiba sebuah sentuhan di pundaknya telah membuatnya menjadi lemah.

“Duduklah di sini Ki Sanak”, berkata salah seorang pengawal orang yang disebut Ki Saudagar itu.

Ki Saudagar tertawa. Ia memang mendekati ayah Wuni yang terduduk itu. Kemudian katanya, “Paman, agaknya aku telah bertemu dengan seorang perempuan yang ternyata adalah istri Swandaru. Bukankah Swandaru itu adalah murid orang bercambuk yang bernama Kiai Gringsing? Nah, ketahuilah, bahwa Kiai Gringsing telah membunuh guruku yang bernama Kebo Watang. Aku memang tidak ikut bertempur di Prambanan. Tetapi kehilangan seorang guru memang terasa sangat pahit. Jika sekarang di luar kehendakku aku bertemu dengan Pandan Wangi, maka hal ini akan merupakan satu lantaran untuk melepaskan dendamku.”

“Jangan,” suara ayah Wuni itu terlalu lemah.

Tetapi Ki Saudagar itu tertawa. Katanya, “Aku akan mengambil anakmu sekaligus perempuan cantik yang ternyata adalah istri Swandaru. Biarlah Swandaru menyusulku. Aku akan membuat perhitungan dengan perguruan orang bercambuk itu. Meskipun guruku telah tidak ada, tetapi jika Swandaru dan gurunya berani menyusul aku, maka mereka akan mengalami nasib yang paling buruk.”

Wajah ayah Wuni menjadi semakin pucat. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Kakinya bagaikan menjadi lumpuh sementara tenggorokannya bagaikan tercekik sehingga ia tidak dapat berteriak sama sekali.

“Selamat beristirahat Paman,” berkata Ki Saudagar, “aku akan tetap memenuhi janjiku. Pada satu saat aku akan datang untuk membawa sepasang lembu yang akan dapat kau pergunakan menggarap sawahmu, di samping uang dan pakaian. Sementara itu Wuni akan aku bawa sekarang juga. Pada saatnya keadaanmu akan menjadi baik dengan sendirinya. Tolong katakan kepada Kiai Gringsing, bahwa Pandan Wangi telah dibawa oleh keluarga perguruan Kebo Watang yang dibunuhnya di medan perang di Prambanan beberapa saat yang lalu. Katakan bahwa orang tua itu harus memilih, apakah Pandan Wangi yang akan menjadi korban, bukan saja korban pembunuhan, atau Kiai Gringsing yang akan menyerah untuk dipenggal kepalanya sebagai penebus dosanya, bahwa ia telah membunuh guruku.”

“Kalian telah gila,” desis ayah Wuni. Tetapi suaranya bagaikan hilang di bibirnya.

Meskipun demikian Ki Saudagar itu mendengarnya. Sekali lagi ia tertawa sambil berkata, “Jangan menyesali dirimu sendiri.”

Ayah Wuni itu tidak dapat berbuat apa-apa sama sekali ketika Ki Saudagar dan kedua orang pengawalnya itu melangkah kembali ke tebing.

Ketika saudagar itu melihat Pandan Wangi dan Wuni yang masih tetap di tempatnya, telah tertawa pula sambil berkata, “Nah, kalian telah berbuat sebaik-baiknya. Kalian memang tidak perlu melarikan diri, karena hal itu tidak mungkin dapat kalian lakukan. Sekarang, aku memang akan ikut mandi bersama kalian.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi Wuni justru semakin mendesaknya, bahkan seakan-akan bersembunyi di punggung Pandan Wangi.

Dalam pada itu, maka Pandan Wangi pun kemudian berkata, “Ki Sanak Jangan berbuat sesuatu yang dapat menyakiti hati seseorang. Pergilah. Jangan ganggu anak ini.”

“Pandan Wangi,” berkata Ki Saudagar itu, “ternyata rencanaku telah berkembang setelah aku tahu bahwa kau adalah istri Swandaru. Kedatanganku ke Sangkal Putung memang bukannya tanpa maksud. Jika aku berhubungan dengan ayah Wuni, yang kebetulan adalah pembantu di rumah Ki Demang, adalah memang aku sengaja agar aku mendapat sedikit kesempatan untuk lebih banyak mengenal orang yang telah membunuh guruku.”

Wajah Pandan Wangi menjadi tegang. Lalu terdengar Ki Saudagar itu meneruskan, “Nah, sekarang ternyata aku mempunyai kesempatan yang bagus sekali. Aku memang ingin membawa Wuni. Tetapi aku juga akan membawamu Pandan Wangi. Selain kau memang cantik, aku akan dapat memancing suamimu dan Kiai Gringsing untuk mencari aku. Maksud mereka tentu akan membebaskanmu. Tetapi mereka akan segera masuk ke dalam satu perangkap.”

Jantung Pandan Wangi rasa-rasanya berdegup semakin keras. Untunglah bahwa ia telah mengenakan pakaian khususnya walaupun basah. Dengan demikian, maka ia akan dapat menghadapi ketiga orang yang masih belum diketahui tingkat kemampuan mereka.

Dalam pada itu, maka orang yang disebut Ki Saudagar itu pun berkata “Karena itu, marilah kita bekerja lebih cepat. Agaknya kalian akan lebih baik berjalan dengan pakaian yang kering. Karena itu cepatlah berganti pakaian. Atau kami akan menyeret kalian dalam pakaian yang basah.”

Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun masih berendam di dalam air ia menjawab, “Jika kau membawa kami dalam pakaian yang basah, maka kalian tentu akan menarik perhatian banyak orang. Orang-orang Sangkal Putung akan mengetahui bahwa kalian telah berbuat jahat atasku, karena semua orang Sangkal Putung mengenal aku. Sebelum kalian mampu keluar dari padukuhan terujung di kademangan ini, maka suamiku dan gurunya telah dapat menangkap kalian.”

Saudagar itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia pun tertawa pula. Katanya, “Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa jika mereka tidak ingin kalian berdua terbunuh.”

Wajah Pandan Wangi menjadi semakin tegang. Agaknya orang yang disebut Ki Saudagar itu benar-benar akan membawanya bersama Wuni. Mungkin mereka benar-benar didorong oleh perasaan dendam, tetapi mungkin pula ada perasaan lain yang telah mendorong mereka untuk berbuat demikian

Tetapi alasan apa pun juga yang telah mendorong mereka untuk melakukan penculikan itu, maka usaha itu memang harus dicegah. Apalagi yang akan mereka bawa di antaranya adalah Pandan Wangi sendiri.

Namun demikian Pandan Wangi merasa, bahwa ia harus berhati-hati menghadapi ketiga orang itu. Karena itu, maka ia pun kemudian berbisik kepada Wuni, yang melekat di punggungnya, “Wuni. Aku akan memancing perhatian mereka. Usahakan untuk melarikan diri ke padukuhan terdekat, atau jika ada orang yang sedang bekerja di sawah. Katakan bahwa aku telah diculik orang di sini, agar orang itu menyampaikannya ke Kademangan.”

Wuni yang menggigil di belakangnya berdesis, “Aku takut.”

“Ini adalah satu-satunya cara Wuni. Jika tidak, maka kau dan aku akan hilang dari kademangan ini untuk selama-lamanya. Apakah kau menyadari akibatnya.”

Wuni tidak menjawab. Tetapi hatinya terasa berdentangan.

“Cobalah berpikir. Kau masih mendapatkan pilihan,” desis Pandan Wangi.

Wuni masih tetap berdiam diri. Tetapi ia memang mulai memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas dirinya dan Pandan Wangi.

Namun Wuni mengetahui, bahwa Pandan Wangi memang bukan perempuan kebanyakan. Ia tahu bahwa Pandan Wangi kadang-kadang telah mempergunakan pakaian khusus. Dan Wuni pun tahu, bahwa Pandan Wangi memiliki kemampuan untuk bertempur.

Karena itu, maka Wuni pun mencoba untuk memaksa dirinya sendiri mengerti maksud Pandan Wangi, sehingga karena itu maka ia pun berdesis, “Aku akan mencoba.”

“Bagus,” desis Pandan Wangi, “mudah-mudahan kita berhasil.”

Tetapi Pandan Wangi tidak sempat memberikan pesan lebih banyak lagi. Agaknya Ki Saudagar dan kedua orang pengawalnya tidak sabar lagi menunggu. Mereka pun harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang lain jika tiba-tiba saja ada orang yang mengetahui maksudnya.

Karena itu, maka mereka pun telah meluncur menuruni tebing, mendekati Pandan Wangi dan Wuni.

“Wuni,” desis Pandan Wangi, “aku harus segera bertindak sebelum mereka terlalu dekat. Tunggulah sebentar. Baru kemudian jika terbuka kesempatan, kau cepat sajalah berlari. Kau dapat memanjat tebing di sebelah dan langsung naik ke daerah persawahan. Jika tidak ada orang yang berada di sawah, pergilah ke padukuhan sebelah.”

“Aku akan berusaha,” jawab Wuni.

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Dalam pada itu, ketiga orang itu pun telah berada di tepian. Dengan suara lantang Ki Saudagar itu pun berkata, “Cepat. Aku beri kesempatan kepada kalian untuk berganti pakaian.”

“Tidak,” jawab Pandan Wangi, “kami tidak akan pergi kemana pun. Pergilah kalian. Jangan ganggu kami.”

“Jangan keras kepala,” berkata orang yang disebut Ki Saudagar, “jangan memaksa aku berbuat sesuatu yang tidak kau sukai, karena aku memang bukan orang yang dapat mengekang diri. Apalagi di hadapan perempuan-perempuan cantik seperti kalian berdua.”

Tetapi Pandan Wangi sudah bertekad untuk melawan. Karena itu, maka ia pun berdesis kepada Wuni, “Tinggallah di sini.”

Wuni tidak menyahut. Ketakutan memang mencengkam jantungnya. Tetapi ia masih mencoba mempergunakan akalnya. Ia berusaha untuk mengingat pesan Pandan Wangi.

Dalam pada itu, maka tiba-tiba saja Pandan Wangi justru telah bangkit. Dengan pakaian yang basah ia naik ke tepian. Katanya, “Ki Sanak. Adalah menjadi hak seseorang untuk membela diri. Karena itu, aku pun berusaha untuk membela diriku jika kau memaksa untuk membawa aku dan Wuni.”

Saudagar itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian Katanya, “Pandan Wangi, jangan terlalu sombong. Kau tidak usah bermimpi untuk melawan, meskipun aku sudah mendengar bahwa istri Swandaru adalah seorang perempuan yang memiliki kemampuan olah kanuragan. Tetapi seberapa tinggi kemampuanmu, sama sekali tidak akan berarti. Jika kau mencoba melawan, maka itu hanya akan mempersulit dirimu sendiri. Perlawananmu hanya akan memaksa kami untuk bertindak lebih keras. Bahkan ada kemungkinan langkah kami agak terlanjur sedikit sehingga tangan kami melukai kulitmu. Bukankah akan sayang sekali bahwa demikian kecantikanmu akan menjadi cacat.”

Wajah Pandan Wangi menjadi merah. Tetapi ia menjawab,”Jangan mencoba menakut-nakuti aku. Apa pun yang terjadi, aku merasa bahwa aku lebih terhormat jika aku melawan.”

“Kau memang keras kepala,” geram orang yang disebut Ki Saudagar, “tetapi jika kau memang menghendaki demikian, apa boleh buat. Kami benar-benar akan memperlakukanmu dengan kasar.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi kemarahan yang sangat serasa telah membakar jantungnya, sehingga karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan diri. Bahkan ia pun kemudian telah melepas pakaian luarnya yang basah, sehingga ia telah mengenakan pakaian khususnya yang basah juga.

“Gila,” geram Saudagar itu, “kau membuat aku pening. Tetapi apa boleh buat. Kau memang cantik. Lebih-lebih dalam pakaian basah itu.”

Pandan Wangi tidak menghiraukannya. Tetapi ia sudah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan, meskipun saat itu ia tidak membawa sepasang pedangnya.

Dalam, pada itu, Wuni yang gemetar masih tetap berendam di dalam air. Tetapi ia menyadari bahwa ia tidak boleh tenggelam ke dalam gejolak ketakutan yang mencengkamnya. Karena itulah, maka ia selalu mengingat-ingat pesan Pandan Wangi. Jika ia mendapat kesempatan, maka ia harus melarikan diri.

“Usaha memang selalu lebih baik daripada membiarkan diri kita mengalami kesulitan,” berkata Wuni di dalam hatinya untuk mendorong keberaniannya. “Jika aku berusaha, maka aku masih mempunyai harapan. Jika tidak, maka aku sama sekali tidak dapat berpengharapan apa pun.”

Karena itu, maka Wuni pun telah bersiap-siap pula. Jika ketiga orang itu nanti terlibat dalam perkelahian melawan Pandan Wangi, maka ia harus mencari jalan keluar dari daerah yang gawat itu.

Dalam pada itu, Pandan Wangi justru tidak menunggu orang-orang itu mendekat. Ialah yang kemudian melangkah menghampiri orang yang disebut Ki Saudagar itu.

Sikap Pandan Wangi memang mengejutkan. Saudagar itu tidak menyangka bahwa perempuan itu justru akan menyongsong mereka dengan sikap yang tegas.

“Pandan Wangi,” desis Ki Saudagar “kau benar-benar akan melawan?”

“Aku terpaksa melawan tingkah lakumu yang kotor itu,” jawab Pandan Wangi, “apa pun yang akan terjadi atasku bukan persoalan bagiku. Tetapi aku harus berusaha.”

Ki Saudagar mengerutkan keningnya. Kata-katanya mulai bernada keras, “Kau jangan terlalu sombong. Yang berguru kepada Kiai Gringsing adalah suamimu. Bukan kau. Kau sangka kau akan dijalari oleh kemampuan Swandaru dan gurunya? Mungkin kau memang pernah mempelajari olah kanuragan sebagaimana pernah aku dengar. Tetapi ketahuilah, bahwa kemampuanmu tidak akan berarti apa-apa bagi kami bertiga.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia sudah benar-benar siap menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu, orang yang disebut Ki Saudagar itu pun telah kehilangan kesabarannya. Ia pun mulai digelisahkan oleh kemungkinan bahwa ada orang lain yang melihat usahanya mengambil kedua orang perempuan itu, sehingga sebelum mereka menguasai benar-benar Pandan Wangi dan Wuni yang akan dapat mereka jadikan perisai, para pengawal Sangkal Putung telah berdatangan. Apalagi jika yang datang itu Swandaru dan Kiai Gringsing sendiri.

Karena itu, maka Ki Saudagar itu pun kemudian berkata kepada kedua pengawalnya, “Kita tidak mempunyai banyak waktu lagi. Tangkap perempuan itu dan kita akan membawanya. Jika ada orang yang berani mengganggu perjalanan kami, maka nasib perempuan itu akan menjadi sangat buruk.”

Kedua orang pengawal Ki Saudagar itu pun kemudian telah bersiap. Keduanya berdiri dalam jarak beberapa langkah. Kemudian bersama-sama mereka melangkah mendekati Pandan Wangi.

Nampaknya keduanya cukup berhati-hati setelah mereka melihat sikap Pandan Wangi yang meyakinkan, serta keterangan yang mereka dengar tentang perempuan itu.

Pandan Wangi bergeser setapak. Namun tiba-tiba saja ia telah melenting menyerang seorang di antara kedua orang yang mendekatinya.

Serangan itu benar-benar mengejutkan. Orang itu berusaha untuk menghindar dengan meloncat ke samping. Tetapi ternyata ketika kaki Pandan Wangi menyentuh tanah, tubuhnya segera berputar, bertumpu pada sebelah kakinya, sementara kakinya yang lain telah berputar mendatar setinggi lambung.

Tidak ada cara lain untuk melindungi lambungnya dari kaki Pandan Wangi selain menangkis serangan itu. Orang itu sama sekali sudah tidak sempat lagi untuk menghindarkan diri.

Sejenak kemudian telah terjadi benturan antara kaki Pandan Wangi dan tangan lawannya yang berusaha melindungi lambung. Namun agaknya Pandan Wangi sama sekali tidak ragu-ragu mempergunakan segenap kekuatannya, sehingga karena itu maka dalam benturan itu lawannya telah terdorong beberapa langkah surut.

Pandan Wangi tidak membiarkannya. Dengan serta merta, ia telah memburunya. Tetapi langkahnya terhenti ketika tiba-tiba saja pengawal Ki Saudagar yang lain telah menyerangnya pula.

Pandan Wangi dengan tangkasnya telah mengelak. Namun dengan cepat ia melenting menyerang.

Tetapi agaknya lawannya pun cukup cepat, sehingga serangan itu sama sekali tidak menyentuh tubuh lawannya .

Kedua orang itu mengumpat hampir bersamaan. Yang seorang tengah menyeringai menahan sakit, sementara yang lain masih saja berdebar-debar melihat gerak Pandan Wangi yang demikian cepatnya.

Karena itu, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit. Ternyata bahwa Pandan Wangi mampu mengimbangi kedua lawannya itu dengan kecepatan geraknya dan kelebihan pada kekuatan tubuhnya. Meskipun Pandan Wangi seorang perempuan, tetapi ia telah melakukan latihan-latihan yang berat sebagaimana dilakukan oleh Swandaru yang lebih berat kepada pengamatan kekuatan jasmaniahnya.

“Perempuan ini mempunyai kekuatan iblis,” geram salah seorang dari kedua orang pengawal Ki Saudagar itu.

Pandan Wangi mendengar geram itu. Dengan demikian ia dapat mengambil kesimpulan bahwa orang itu menganggapnya memang memiliki kemampuan untuk melawan, sehingga perhatian orang-orang itu akan tertuju sepenuhnya atau sebagian besar kepadanya.

Karena itu, maka Pandan Wangi pun berusaha untuk bergerak lebih cepat. Ia ingin memancing ketiga orang itu melibatkan diri ke dalam pertempuran. Ia akan berusaha memeras segenap kemampuannya untuk sekedar bertahan, karena ia yakin, jika Wuni dapat lepas dari pengamatan ketiga orang itu, maka Swandaru tentu akan segera datang, atau setidak-tidaknya beberapa orang pengawal di padukuhan pertama yang dapat dicapai oleh Wuni.

Sebenarnyalah kedua orang pengawal Ki Saudagar itu menjadi heran Mereka merasa sudah cukup berpengalaman bertualang dalam dunia kanuragan, namun ketika mereka bertempur melawan Pandan Wangi, seorang perempuan, terasa bahwa kemampuan mereka masih belum cukup untuk segera menghentikan perlawanannya, meskipun mereka telah bertempur berpasangan.

Sebenarnyalah, bahwa Pandan Wangi memang mampu bergerak terlalu cepat bagi keduanya. Serangan-serangan Pandan Wangi melenting dari yang seorang kepada orang yang lain, seakan-akan tidak terbendung. Bahkan apabila lawannya tidak sempat menghindar dan terpaksa menangkis serangannya, sehingga terjadi benturan, terasa betapa tubuh mereka menjadi sakit.

Semakin lama, menjadi semakin jelas, bahwa kedua orang itu tidak akan mampu menangkap Pandan Wangi dan membawanya seperti yang dikehendaki oleh Ki Saudagar. Bahkan semakin lama agaknya justru menjadi semakin sulit bagi kedua orang itu untuk mengatasi kecepatan gerak Pandan Wangi.

“Orang-orang dungu,” geram Ki Saudagar, “apa gunanya kalian ikut bersamaku jika kalian tidak dapat berbuat sesuatu? Apalagi hanya berhadapan dengan seorang perempuan.”

Kedua pengawal itu menjadi berdebar-debar. Pandan Wangi memang sulit untuk ditundukkan.

Karena itu, tiba-tiba saja salah seorang dari kedua orang itu telah menarik pedangnya sambil menggeram, “Jika aku tidak dapat menangkap dengan tanganku, maka aku akan mempergunakan senjataku.”

“Jangan gila!” tiba-tiba saja Ki Saudagar itu berteriak. “Jangan lukai perempuan cantik itu. Kau harus dapat menangkapnya tanpa cacat sama sekali. Bahkan tidak boleh kalian membuat noda pada tubuhnya dengan pukulan-pukulan yang dapat membuat kulitnya menjadi biru atau bengkak”

Kedua orang pengawal itu mengumpat di dalam hati. Bagaimana mungkin keduanya dapat menangkap tanpa menyakiti lawannya. Padahal perempuan itu ternyata seorang perempuan yang memiliki ilmu yang tinggi.

Karena itu, maka pengawal itu pun telah menyarungkan pedangnya kembali sambil bergeremang yang hanya dapat didengarnya sendiri.

Ternyata Pandan Wangi adalah seorang yang mampu berpikir cepat. Justru pada saat salah seorang lawannya itu menyarungkan pedangnya, maka dengan kecepatan yang mungkin dilakukannya, bahkan dengan mengungkapkan tenaga cadangannya serta kemampuannya untuk melepaskan kekuatannya mendahului ujud wadagnya, maka dengan sepenuhnya tenaga, Pandan Wangi telah menyerang lawannya yang seorang.

Serangan itu benar-benar mengejutkan. Rasa-rasanya selingkar angin pusaran datang menyambarnya.

Tidak ada kesempatan untuk berbuat apa-apa. Orang itu hanya dapat menyilangkan tangannya untuk menangkis serangan Pandan Wangi. Tetapi ternyata serangan Pandan Wangi terlalu kuat bagi orang itu. Pukulan ganda telah menghantam tubuhnya sehingga rasa-rasanya tubuhnya bagaikan dilemparkan oleh kekuatan raksasa sehingga orang itu terbanting jatuh di tanah.

Pukulan Pandan Wangi yang dilambari oleh segenap kemampuannya itu telah menghantam lawannya berganda. Kekuatan ilmunya yang seakan-akan mendahului sentuhan tangannya telah menghantam orang itu, disusul dengan hentakan kekuatan wadagnya. Karena itu, maka orang itu tidak mampu bertahan, sehingga terbanting jatuh.  

Tetapi Pandan Wangi tidak sempat memburunya. Orang yang sedang memasukkan kembali pedang di dalam sarungnya itu melihat betapa kawannya terlempar. Karena itu, maka dengan serta merta ia pun telah meloncat menyerang.

Pandan Wangi bergeser ke samping. Sementara itu, kakinya pun segera terjulur.

Dengan tangkasnya orang itu menghindar. Tetapi ia menjadi terkejut bukan buatan. Ia merasa bahwa kesempatan untuk menghindar itu masih cukup, namun terasa kaki lawannya telah menghantam lambungnya.

Orang itu terdorong surut. Namun kemudian ia bahkan meloncat beberapa langkah menjauhi Pandan Wangi. Dengan tajamnya dipandanginya perempuan itu sambil mengumpat, “Anak iblis. Ilmu apakah yang kau miliki itu he?”

Pandan Wangi tidak menjawab. Namun ia telah bersiap menghadapi pertempuran berikutnya.

Sementara itu, Ki Saudagar sendiri memperhatikan Pandan Wangi dengan kerut di kening. Baru kemudian ia menyadari bahwa perempuan itu memang memiliki kelebihan yang tidak dapat diabaikan. Ia pun melihat, bagaimana seorang pengawalnya itu terlempar sebelum sempat berbuat banyak. Kemudian pengawalnya yang lain terdesak pula sehingga banyak mengalami kesulitan.

“Karena itulah agaknya maka ia berani menentang aku,” berkata Ki Saudagar itu di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, ternyata Pandan Wangi telah melenting lagi dengan cepatnya menyerang lawannya yang tinggal seorang. Pukulannya menyambar dengan dahsyatnya, melemparkan lawannya sebelum tangan itu benar-benar menyentuhnya. Bahkan ia sempat memburunya dan satu pukulan ganda yang dahsyat telah menghantam keningnya, sehingga lawannya itu tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya.

Ki Saudagar itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun melangkah mendekat sambil berdesis, “Luar biasa. Memang luar biasa. Aku tidak mengira bahwa kau akan mampu berbuat demikian sehingga, aku tidak segera turun sendiri ke gelanggang.”

Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Ia sadar, bahwa orang yang disebut Ki Saudagar itu tentu orang yang memiliki kelebihan dari dua orang pengawalnya. Bahkan mungkin Ki Saudagar itu adalah seorang yang mumpuni.

Namun, Pandan Wangi tidak akan melangkah surut. Ia sudah mengambil keputusan untuk melawan, sehingga apa pun yang terjadi, ia tidak akan mengingkari.

Sejenak ia sempat memperhatikan kedua lawannya yang telah dilumpuhkannya. Meskipun keduanya tidak pingsan, tetapi keduanya telah dicengkam oleh kesakitan yang sangat, sehingga agaknya keduanya tidak akan mampu membantu Ki Saudagar itu lagi.

Karena itu, maka perhatian Pandan Wangi pun kemudian telah dipusatkan kepada orang yang menyebut dirinya Ki Saudagar itu.

Perlahan-lahan Ki Saudagar melangkah mendekati Pandan Wangi. Ditatapnya perempuan itu dengan tajamnya. Namun kemudian terdengar ia berdesis, “Agaknya memang sulit untuk menangkapmu tanpa menyakitimu. Tetapi apaboleh buat. Jika kulitmu merasa sakit dan tergores luka, maka itu adalah karena salahmu sendiri.”

Pandan Wangi sama sekali tidak menjawab. Ia sadar, bahwa pada akhirnya Ki Saudagar itu akan benar-benar bertempur dengan segenap kemampuannya. Bahkan mungkin dengan mempergunakan senjatanya.

Karena itu, maka Pandan Wangi kemudian telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Sekilas ia melihat Wuni masih tetap berada di tempatnya. Tetapi Pandan Wangi yakin, bahwa pada satu saat anak itu akan meninggalkan tempatnya dan berlari ke padukuhan terdekat untuk menyampaikan persoalan yang terjadi itu kepada suaminya, meskipun mungkin lewat anak-anak muda atau orang-orang lain yang dijumpainya.

Sementara itu, Ki Saudagar benar-benar sudah bersiap untuk menyerang. Tetapi nampaknya ia masih ingin menjajagi kemampuan Pandan Wangi. Ternyata bahwa Ki Saudagar itu belum menarik senjatanya.

Demikianlah, maka keduanya pun kemudian terlihat dalam satu perkelahian yang seru. Meskipun keduanya masih belum sampai ke puncak ilmu mereka, namun mereka telah mulai merambah ke tenaga cadangan mereka.

Pandan Wangi yang berusaha memperpanjang waktu, berusaha untuk menahan diri, agar perkelahian itu menjadi bertambah panjang, sehingga memberi kesempatan kepada Wuni untuk berbuat sesuatu. Meskipun Pandan Wangi belum pasti, tetapi ia merasa agaknya sulit untuk dapat menangkap Ki Saudagar itu seorang diri.

Jika kemudian suaminya datang, maka agaknya akan lebih mudah baginya dan mungkin juga bagi suaminya untuk menangkap orang itu. Dengan demikian maka akan dapat diketahui, apakah orang itu benar-benar datang untuk kepentingannya sendiri, seperti yang dikatakan, atau masih ada orang lain yang terlibat atau bahkan berdiri di belakangnya.

“Jika masalahnya dendam semata-mata, maka agaknya akan lebih mudah diselesaikan. Tetapi jika ada latar belakang yang lain, maka persoalannya memang akan dapat berkepanjangan,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya.

Dalam-pada itu, kedua orang di tepian itu telah bertempur semakin lama menjadi semakin cepat. Meskipun demikian, Pandan Wangi masih saja berusaha untuk memperpanjang waktu, sehingga ia sama sekali belum menunjukkan ilmunya yang dapat memancing lawannya untuk bersungguh-sungguh.

Dalam keadaan yang demikian, agaknya Wuni dapat menanggapi keadaan. Dua orang pengawal Ki Saudagar itu masih belum sempat memperbaiki keadaannya. Yang seorang rasa-rasanya tubuhnya telah kehilangan urat dan nadinya, sementara yang lain, kepalanya serasa bagaikan pecah. Sementara itu, Ki Saudagar sendiri telah terlibat dalam perkelahian melawan Pandan Wangi.

Karena itu, maka perlahan-lahan Wuni itu pun telah beringsut. Setiap kali perhatian Ki Saudagar tertumpah sepenuhnya kepada Pandan Wangi, maka ia pun telah bergeser menepi.

Akhirnya, ketika kesempatan yang terbaik itu datang, setelah Wuni berada di bawah tebing, tiba-tiba saja gadis itu telah meloncat memanjat tebing yang tidak terlalu tinggi.

Bagaimanapun juga Wuni dan Pandan Wangi berusaha, namun Ki Saudagar itu pun akhirnya melihatnya pula. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Jika ia mengalihkan perhatiannya kepada gadis itu, rasa-rasanya Pandan Wangi justru bergerak semakin cepat, menyerang ke bagian-bagian tubuhnya yang berbahaya.

Karena itu, Ki Saudagar itu hanya dapat berteriak-teriak kepada kedua pengikutnya. Tetapi keduanya tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika seorang di antara mereka berusaha untuk bangkit, maka orang itu pun telah terjerembab kembali. Untunglah bahwa tanah memang mengandung pasir, sehingga bibir orang itu tidak sobek terbentur batu padas.

“Anak celaka,” geram Ki Saudagar, “ia telah melakukan satu kesalahan yang sangat besar. Tetapi yang akan mengalami akibatnya adalah kau, Pandan Wangi.”

“Kenapa?” bertanya Pandan Wangi yang sengaja ingin mengajak lawannya untuk berbicara panjang.

Tetapi Ki Saudagar berbicara sambil bertempur terus. Katanya, “Agaknya kau memang telah mengaturnya Pandan Wangi. Baiklah. Sekarang tugasku adalah menangkapmu, mengancammu jika ada orang lain sehingga mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Bahkan dengan pisau di lehermu, aku akan dapat memaksa suamimu dan gurumu untuk menyerah. Kecuali jika mereka sudah tidak memerlukan kau lagi.”

Pandan Wangi sama sekali tidak menanggapinya. Tetapi ia pun bertempur terus sebagaimana Ki Saudagar, yang bertempur semakin keras, karena kepergian Wuni bagi Ki Saudagar adalah satu isyarat, bahwa ia harus lebih cepat menyelesaikan pekerjaannya. Setidak-tidaknya menangkap dan mempergunakan Pandan Wangi sebagai perisai.

Namun dalam pada itu, Pandan Wangi pun telah meningkatkan kemampuannya pula untuk tetap bertahan menghadapi ilmu lawannya.

Dengan demikian, maka pertempuran di pinggir sungai itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Saudagar tidak lagi bermain-main dengan lawannya. Sementara itu Pandan Wangi pun harus mempertahankan diri. Ia harus berusaha untuk tidak dikuasai oleh lawannya, sehingga akan dapat dijadikan perisai untuk memaksa Swandaru dan Kiai Gringsing menyerah.

Namun sebenarnyalah bahwa orang yang disebut Ki Saudagar itu adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Geraknya semakin lama menjadi semakin cepat. Sedangkan kekuatannya yang dilontarkan dengan dukungan tenaga cadangannya terasa berapa besarnya.

Tetapi Pandan Wangi pun telah mengerahkan kemampuannya pula. Dengan tangkasnya ia mengimbangi kecepatan gerak lawannya. Sementara itu, Pandan Wangi telah sampai kepada ilmunya yang mengejutkan. Dengan segenap nalar budinya, maka telah terungkap lewat unsur-unsur geraknya, kemampuan yang jarang ada duanya. Kemampuan mengenai sasarannya melampaui ujud wadagnya.

Mula-mula Ki Saudagar itu memang menjadi bingung menghadapi ilmu yang sudah jarang itu. Tetapi kemampuannya menilai lawannya telah menuntunnya pada satu penglihatan, bahwa Pandan Wangi memang mampu menyentuh sasarannya sebelum wadagnya menyentuhnya.

“Perempuan gila,” geram orang itu, “itulah agaknya kedua orangku dapat kau kalahkan. Aku tidak mengira bahwa kau memiliki ilmu iblis itu, sehingga meskipun aku mengamati pertempuran antara kau dan orang-orangku, namun aku tidak mempercayai dugaanku pada waktu itu. Tetapi ternyata kau benar-benar mampu melakukannya dengan baik.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia menyerang terus dengan dahsyatnya.

Namun Ki Saudagar memang seorang yang luar biasa. Semakin lama tata geraknya menjadi semakin mapan menghadapi ilmu Pandan Wangi. Bahkan dengan perhitungan yang cermat, maka Ki Saudagar mampu mendahului serangan-serangan Pandan Wangi yang dahsyat itu, justru untuk menghindarkan diri dari kesulitan.

Pandan Wangi yang mengerahkan segenap kemampuannya yang pada akhirnya sampai pula ke puncak ilmunya, harus mengakui bahwa lawannya memang memiliki kemampuan yang luar biasa. Perlahan-lahan Pandan Wangi mulai terdesak. Bahkan rasa-rasanya keadaannya pun menjadi semakin gawat. Serangan lawannyalah yang datang membadai, sehingga rasa-rasanya sulit bagi Pandan Wangi untuk membalas menyerang. Bahkan dalam benturan-benturan yang terjadi, terasa kekuatan orang itu memang lebih besar dari kekuatan Pandan Wangi.

Namun demikian Ki Saudagar itu masih saja mengumpat-umpat. Ia tidak dapat dengan cepat menguasai perempuan itu. Setiap kali Pandan Wangi masih saja mempunyai cara untuk melepaskan diri dari libatan serangan lawannya. Bahkan dalam pertempuran yang semakin sengit, Pandan Wangi telah sampai pada satu pengalaman baru. Ia menyadari, bahwa kemampuannya menyentuh lawannya mendahului wadagnya itu adalah satu lontaran kekuatan pada saat ia menyerang dengan hentakan ilmunya yang sudah ditrapkan pada serangannya itu. 

Karena itu, maka Pandan Wangi mulai membuat pertimbangan-pertimbangan baru. Ia tidak berusaha menghindar ketika sebuah serangan yang keras telah dilontarkan lawannya mengarah ke lambungnya dengan putaran kaki mendatar.

Dengan segenap kekuatan yang ada padanya, dengan hentakkan ilmunya yang ditrapkan dengan mapan, maka ia telah menghantam kaki lawannya, sebagaimana ia menyerang, bukan hanya sekedar menangkis.

Ternyata akibatnya adalah jauh berbeda. Serangan kaki yang mendatar itu terasa oleh lawannya bagaikan menghantam perisai yang berlapis ganda. Serangan Pandan Wangi ternyata telah mengenai kaki lawannya itu pada serangan kekuatan ilmunya yang mendahului wadagnya, sedangkan kemudian kaki lawannya itu benar-benar telah menyentuh tangan Pandan Wangi yang menghantam kaki yang terjulur mendatar menyerang lambung itu.

Benturan itu benar-benar tidak terduga. Justru karena itu, maka lawannya telah terdorong selangkah surut. Bahkan kemudian seakan-akan Ki Saudagar itu telah kehilangan keseimbangannya, sehingga ia harus memusatkan perhatiannya untuk bertahan agar tidak jatuh.

Tetapi Pandan Wangi tidak memberi kesempatan kepadanya. Dengan garangnya Pandan Wangi memburunya, dan dengan serangan kaki mendatar pada loncatan menyamping, Pandan Wangi menyerang dada orang itu.

Memang tidak ada kesempatan untuk mengelak. Sementara itu kekuatan Pandan Wangi yang dilambari dengan tenaga cadangannya, bagaikan menjadi berlipat oleh sentuhan gandanya.

Orang yang disebut Ki Saudagar itu mengeluh tertahan. Sekali lagi ia justru terlempar dan tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya yang memang sudah goyah.

Karena itu, maka orang itu pun telah terdorong jatuh terlentang di atas pasir tepian.

Namun Pandan Wangi lah yang kemudian terkejut. Orang yang terbanting jatuh itu dalam sekejap telah melenting dan bangkit berdiri di atas kedua kakinya yang renggang.

“Bukan main,” desis Pandan Wangi.

Sebenarnyalah Ki Saudagar itu memiliki kemampuan melenting dengan cepat dan mapan.

Bahkan dengan wajah yang merah oleh kemarahan yang menghentak di dadanya Ki Saudagar itu berkata, “Kau memang tidak dapat di tundukkan dengan cara yang baik. Tetapi sekali lagi aku katakan, bahwa akibatnya tentu akan menimpa dirimu sendiri.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Namun sejenak kemudian, Ki Saudagar itu sudah menyerangnya lagi. Tetapi serangan-serangan berikutnya itu pun telah dilakukan dengan cara yang aneh, tetapi mendebarkan. Kaki Ki Saudagar kemudian bagaikan berubah menjadi kaki bilalang. Loncatan-loncatannya menjadi panjang dan sangat kuat.

Dengan demikian, maka Pandan Wangi pun harus menyesuaikan diri dengan tata gerak lawannya. Dengan segenap kemampuan yang ada, maka Pandan Wangi berusaha untuk mengimbangi kecepatan gerak Ki Saudagar yang melenting-lenting, meloncat dan menyerang.

Dengan kemampuan pengamatannya, maka Pandan Wangi mengerti, bahwa ada satu kekuatan yang telah mendukung kemampuan dan kekuatan gerak pada kaki Ki Saudagar. Mungkin sebangsa ilmu yang membuat orang itu menjadi sangat cekatan.

Karena itu, Pandan Wangi menjadi ragu-ragu untuk membentur kekuatan lawannya, terutama pada serangan kakinya. Karena itu, yang dilakukan Pandan Wangi kemudian adalah justru lebih banyak mengelakkan diri. Namun demikian, Pandan Wangi justru mempergunakan setiap kesempatan untuk menyerang. Ia tidak mau sekedar menjadi sasaran serangan lawannya yang mendebarkan itu.

Dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Keduanya bergerak semakin cepat. Saling menyerang dan saling menghindar. Sekali-sekali Pandan Wangi terdesak beberapa langkah surut, namun kemudian Pandan Wangi-lah yang mendesak lawannya.

Tetapi semakin lama kemampuan lawannya yang bertumpu pada kakinya itu membuat Pandan Wangi semakin sulit. Ketika serangan kaki itu tidak lagi mampu dihindarinya, maka Pandan Wangi telah menghentakkan kekuatannya justru menghantam kaki itu, agar ia mampu melepaskan kekuatan gandanya. Tetapi ternyata bahwa kekuatan kaki lawannya itu bagaikan berlipat pula, sehingga dalam setiap benturan, maka Pandan Wangi pun telah terdorong surut, sebagaimana lawannya. Bahkan semakin lama benturan-benturan itu menjadi semakin menyakitinya.

Dengan ilmunya yang aneh itu, Ki Saudagar benar-benar ingin mengalahkan dan menguasai lawannya. Ki Saudagar itu melenting dengan cepat dan menyerang dari segala arah. Mula-mula Ki Saudagar masih harus mengumpat karena Pandan Wangi masih mampu mengimbangi kecepatan geraknya. Namun kemudian, Saudagar itu yakin, bahwa ia akan dapat menguasai perempuan yang luar biasa itu. Namun bagi Ki Saudagar, waktu yang diperlukan ternyata terlalu lama.

Karena itu, maka tiba-tiba saja Ki Saudagar itu mengumpat dengan kasarnya yang ditujukan kepada kedua pengawalnya, “He, pemalas, pengecut. Apakah kalian akan berbaring saja di tepian ini he?”

Suara itu mengejutkan kedua orang yang masih saja bermalas-malas. Bahkan rasa-rasanya mereka lebih senang memperhatikan pertempuran yang dahsyat itu daripada ikut mencampurinya.

Namun Ki Saudagar telah berteriak kepada mereka.

Karena itu, maka kedua orang itu pun berusaha untuk tegak kembali. Ternyata keadaan mereka menjadi lebih baik setelah mereka sempat beristirahat. Dengan demikian, maka setelah menggeliat, maka mereka pun mulai bergeser mendekati arena.

“Bantu aku menangkap perempuan ini!” geram Ki Saudagar.

Pandan Wangi benar-benar menjadi berdebar-debar. Jika kedua orang itu telah mendapatkan tenaga mereka kembali, meskipun belum pulih sama sekali, rasa-rasanya Pandan Wangi akan mengalami kesulitan.

Sebenarnyalah bahwa kedua orang itu pun agaknya benar-benar akan membantu Ki Saudagar. Mereka pun kemudian berpencar dan berdiri di arah lain dari Pandan Wangi, sehingga ketiga orang itu seakan-akan telah mengepungnya.

Meskipun kedua orang itu tidak memiliki kemampuan seperti Ki Saudagar, bahkan mereka telah kehilangan sebagian dari tenaga mereka, namun bersama-sama mereka masih tetap berbahaya bagi Pandan Wangi.

Dalam pada itu, Pandan Wangi masih tetap bertempur melawan Ki Saudagar yang memiliki kecepatan gerak yang luar biasa dengan kekuatan kaki yang luar biasa pula. Sekali-sekali Pandan Wangi masih saja terdesak, dan bahkan kadang-kadang terlempar beberapa langkah surut, jika terpaksa terjadi benturan dengan serangan kaki Ki Saudagar itu.

Namun dalam pada itu, Pandan Wangi masih belum berputus-asa. Yang terjadi itu justru merupakan pengalaman-pengalaman yang memaksa Pandan Wangi melakukan semacam percobaan atas ilmunya.

Ketika serangan Ki Saudagar itu menjadi semakin mendesak, maka Pandan Wangi telah mengambil satu sikap yang tidak diduga pula oleh Ki Saudagar. Dalam serangan yang gawat Pandan Wangi telah terdesak. Namun ia berhasil meloncat menyusup di antara kedua orang pengawal Ki Saudagar. Dengan loncatan panjang Pandan Wangi berusaha untuk mengambil jarak.

Ki Saudagar tidak mau melepaskannya. Karena itu, maka ia pun siap untuk memburunya. Dengan kekuatan kaki yang luar biasa, seperti belalang Ki Saudagar itu meloncat dengan loncatan yang panjang.

Tetapi Pandan Wangi telah siap. Dengan mengerahkan nalar budinya dalam pemusatan ilmunya, maka Pandan Wangi telah melontarkan satu pukulan dari jarak beberapa langkah sebelum Ki Saudagar itu mampu berdiri tegak.

Serangan itu tidak diduga sama sekali oleh Ki Saudagar. Ia tidak menyangka bahwa pada jarak yang masih beberapa langkah itu, dadanya bagaikan dihantam oleh kekuatan yang sangat besar. Karena itu maka Ki Saudagar yang tidak sempat mengelak itu telah terdorong beberapa langkah surut, justru pada saat ia meloncat maju memburu Pandan Wangi.

Terasa dada Ki Saudagar itu bagaikan terhimpit oleh bukit padas. Nafasnya serasa tersumbat, sehingga menjadi sesak.

Pandan Wangi berusaha mempergunakan kesempatan itu sebaik baiknya. Sekali lagi ia berusaha menyerang Ki Saudagar. Dua langkah ia maju sambil mempersiapkan ilmunya.

Demikian Ki Saudagar berusaha memperbaiki keseimbangannya, maka serangan Pandan Wangi berikutnya telah menghantamnya sekali lagi.

Ki Saudagar itu kembali terlempar beberapa langkah. Bahkan kemudian keseimbangannya bagaikan tidak lagi dapat dikuasainya, sehingga ia pun terhuyung-huyung seperti batang ilalang yang diputar oleh angin pusaran.

Tetapi ketika Pandan Wangi melontarkan serangannya sekali lagi, Ki Saudagar itu justru telah menjatuhkan dirinya, sehingga serangan itu tidak mengenainya.

Ternyata bahwa Ki Saudagar itu telah menemukan cara yang paling baik untuk melawan serangan Pandan Wangi. Ki Saudagar tidak boleh menunggu. Ia harus dengan cermat mengamati setiap gerak Pandan Wangi, agar dadanya tidak dihentak oleh serangan perempuan itu dari jarak beberapa langkah.

Sementara itu, maka Ki Saudagar pun harus berusaha agar ia melibat Pandan Wangi dalam pertempuran jarak pendek, sehingga Pandan Wangi tidak sempat melontarkan serangan berjarak.

Sebenarnyalah bahwa Ki Saudagar memang seorang yang memiliki kelebihan. Ia mempunyai daya tahan yang luar biasa. Serangan-serangan Pandan Wangi yang berhasil melemparkannya dan membuat nafasnya sesak, ternyata dalam sekejap seakan akan sudah tidak membekas lagi. Bahkan kemudian, serangan-serangannya pun telah melibat Pandan Wangi dengan garangnya. Kakinya yang memiliki kekuatan berlipat ganda itu jadi bahaya yang gawat bagi pertahanan Pandan Wangi.

Apalagi ketika kemudian dua orang pengawalnya yang keadaannya sudah menjadi semakin baik itu pun melibatkan diri langsung melawan perempuan itu.

Dengan demikian, betapa pun kemampuan Pandan Wangi dengan ilmunya, namun ia benar-benar telah terdesak. Ki Saudagar itu telah mengetahui kekuatannya, sehingga dengan kecepatan geraknya ia mampu mengatasinya, bahkan kemudian berusaha untuk menguasainya pada jarak yang pendek bersama dengan dua orang pengawalnya bersama-sama. Pandan Wangi yang marah itu tidak akan dapat menuntut terlalu banyak dari lawannya. Ketika ia mengatakan, bahwa cara yang ditempuh lawannya itu adalah cara yang sangat licik, maka Ki Saudagar itu tertawa. Katanya, “Aku bukan orang yang sedang mempertaruhkan harga diriku dalam satu perang tanding. Aku datang untuk menangkapmu dengan cara apa pun juga. Dengan cara yang paling licik pun tidak ada keberatannya. Apalagi yang mengatakan adalah kau, orang yang sedang mengalami kesulitan.”

Pandan Wangi menggeram. Tetapi sebenarnyalah, keadaannya memang menjadi semakin sulit. Meskipun kedua orang pengawal itu tidak mempunyai kelebihan apa pun juga dibandingkan dengan Pandan Wangi, tetapi bersama-sama dengan Ki Saudagar, maka mereka terasa sangat banyak mengganggu pemusatan perlawanan Pandan Wangi.

Dalam pada itu, ternyata bahwa semakin lama, Pandan Wangi yang telah mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatannya itu pun menjadi semakin banyak menitikkan keringat, sehingga daya perlawanannya pun menjadi semakin surut. Meskipun kesulitan demi kesulitan masih dapat diatasi, tetapi kesulitan itu datang semakin sering.

Ketika kelelahan mulai menjamah Pandan Wangi yang terpaksa mengerahkan segenap kemampuannya untuk melawan tiga orang yang akan menangkapnya itu, maka perlawanannya pun mulai kehilangan banyak kesempatan. Serangan-serangan Ki Saudagar yang memiliki ilmu yang luar biasa, sehingga kakinya seakan-akan telah terisi dengan kekuatan yang berlipat-lipat, semakin sering menyusup menembus pertahanannya, sedangkan Pandan Wangi sendiri tidak banyak mempunyai kesempatan untuk menyerang.

Dalam puncak kesulitannya, maka serangan kaki Ki Saudagar meluncur mengarah ke lambung Pandan Wangi. Dengan menghentakkan sisa kekuatannya, Pandan Wangi yang tidak sempat menghindar, justru telah memukul kaki lawannya. Satu kekuatan ganda telah menahan serangan kaki itu, sehingga kaki Ki Saudagar itu tergeser. Bahkan Ki Saudagar yang terdorong surut, segera meloncat untuk memperbaiki keseimbangannya. Namun Pandan Wangi tidak sempat menyerangnya dari tempatnya dengan serangannya yang berjarak, karena kedua orang pengawal Ki Saudagar bersama-sama telah menyerangnya dari dua arah.

Pandan Wangi sempat menghindari serangan yang datang dari salah seorang pengawal itu, dan kemudian justru menghantam serangan pengawal yang lain, sehingga orang yang membentur kekuatan ganda itu telah terlempar dan jatuh berguling. Namun pada saat yang bersamaan, Pandan Wangi pun telah kehilangan kesempatan untuk menghindar maupun menangkis serangan Ki Saudagar yang datang dengan kecepatan yang luar biasa menghantam lambungnya.

Pandan Wangi lah yang kemudian terlempar dan jatuh terguling di pasir tepian. Sambil menyeringai menahan sakit, Pandan Wangi berusaha untuk melenting berdiri. Tetapi pada saat kakinya berpijak di atas pasir, pengawal Ki Saudagar yang seorang telah menghantamnya pula dengan serangan kaki menyamping mengenai dadanya. Pandan Wangi masih berusaha melindungi dadanya dengan tangannya, tetapi ia terlambat, sehingga serangan kaki itu telah menembus pertahanannya, menghantam dadanya.

Pandan Wangi terguncang. Tetapi ia masih dapat bertahan atas keseimbangannya, sehingga Pandan Wangi masih tetap tegak. Namun serangan berikutnya adalah serangan kaki Saudagar sendiri, langsung menghantam punggung.

Pandan Wangi jatuh terjerembab. Kaki Ki Saudagar yang mempunyai kekuatan yang luar biasa itu, telah membuat nafas Pandan Wangi menjadi sesak. Isi dadanya seakan akan telah dirontokkan oleh pukulan di punggungnya itu.  

Namun Pandan Wangi masih berusaha untuk berguling. Tetapi ketika ia berusaha untuk bangkit, maka niat itu pun telah diurungkannya. Tiba-tiba saja ujung sebilah pedang telah melekat di dadanya, sementara Ki Saudagar berjongkok di sampingnya.

“Pengecut”, geram Pandan Wangi.

“Sudah aku katakan,” jawab Ki Saudagar, “aku tidak sedang mempertaruhkan harga diriku. Apa pun yang kau sebut, aku tidak berkeberatan.”

Pandan Wangi yang marah itu justru tidak dapat berkata apapun juga. Ketegangan yang sangat telah mencengkam jantungnya. Sementara itu ia melihat kedua pengawal Ki Saudagar itu berdiri dengan sangat letihnya di belakang Ki Saudagar yang sedang berjongkok.

“Kau sekarang berada dalam kekuasaanku,” desis Ki Saudagar, “kau tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi, perempuan binal.”

Pandan Wangi tidak dapat berbuat apa-apa. Pedang Ki Saudagar telah melekat di dadanya. Seandainya yang memegang pedang itu bukan seorang yang berilmu tinggi, maka Pandan Wangi masih mempunyai kemungkinan untuk berbuat sesuatu. Tetapi Ki Saudagar itu pun seorang yang mumpuni sehingga jika ia mencoba untuk melakukan satu tindakan yang mencurigakan, maka pedang itu akan dapat menghunjam di dadanya.

Karena itu, Pandan Wangi berusaha untuk mengekang diri. Betapa pun kemarahan dan kebencian bergejolak di dalam dadanya, namun ia masih dapat mempergunakan akalnya. Ia harus tetap hidup sebelum terbuka satu kesempatan untuk berbuat sesuatu.

Karena itu, maka Pandan Wangi itu pun justru dengan lemahnya telah terbaring diam di tepian. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa perempuan itu akan menghentakkan diri untuk berusaha terlepas dari kekuasaan Ki Saudagar.

Tetapi ternyata Ki Saudagar itu tertawa sambil berdesis, “jangan berpura-pura anak manis. Kau kira, aku dapat menjadi lengah melihat sikapmu yang seakan-akan berputus asa itu? Aku mengerti, bahwa pada suatu saat kau akan meloncat, dan dengan pukulan gandamu kau akan membebaskan diri. Tetapi segala usahamu itu tidak ada gunanya.

“Aku tahu,” jawab Pandan Wangi, “karena segala usahaku tidak akan ada gunanya, maka aku tidak akan berusaha berbuat apa-apa. Tetapi aku masih dapat menunggu kedatangan orang-orang Sangkal Putung bersama suamiku. Kau selanjutnya akan dicincang di tepian ini bersama kedua orang pengawalmu yang tidak mampu berbuat apa-apa itu, selain mengeluh.”

“Jangan bermimpi. Suamimu tidak akan berani melangkah turun dari atas tebing itu. Selangkah ia turun, maka pedangku ini sudah menghunjam ke dadamu,” geram Ki Saudagar.

Pandan Wangi tidak menjawab. Ia memang merasa cemas, bahwa suaminya akan terpengaruh oleh sikap lawannya, yang mempergunakan dirinya sebagai perisainya.

“Sekarang bangkitlah,” berkata Ki Saudagar, “perlahan-lahan. Kau harus segera berdiri dan berjalan menurut perintahku.”

“Kau memang bodoh,” berkata Pandan Wangi, “kita akan menjadi tontonan.”

“Apa salahnya?” sahut Saudagar itu.

“Pakaianku basah. Aku harus berganti pakaian,” gumam Pandan Wangi kemudian.

“Jangan main-main perempuan cantik. Kau sangka aku tidak tahu, bahwa kau sedang mencari kesempatan?” Ki Saudagar itu tertawa, “Sekarang kau harus berjalan dalam pakaianmu yang basah dan kotor oleh pasir tepian. Tetapi itu adalah salahmu sendiri. Aku sudah memberi kesempatan sebelumnya. Tetapi kau menolak. Bahkan kau telah memberi kesempatan kepada gadis yang ingin aku bawa pula itu untuk lari dan memberikan laporan kepada suamimu.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Ki Saudagar itu tidak mudah untuk dikelabuhinya. Ia cukup cerdik menangkap siratan niat Pandan Wangi.

Karena itu, Pandan Wangi tidak dapat berbuat sesuatu. Perlahan-lahan ia pun bangkit berdiri. Sementara Ki Saudagar yang sudah berdiri pula, tetap mengacungkan pedangnya ke dada Pandan Wangi.

“Sekarang kita berangkat,” berkata Ki Saudagar.

“Kemana?” bertanya Pandan Wangi.

“Menurut perintahku. Kita akan berjalan ke utara,” berkata Ki Saudagar.

Pandan Wangi termangu-mangu. Ki Saudagar yang kemudian berada di belakangnya, mengacukan ujung pedangnya ke punggung Pandan Wangi. Sambil menekankan ujung pedangnya ia berkata, “Cepat. Mulailah melangkah.”

Tetapi ketika Pandan Wangi mulai melangkah, maka mereka pun terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar suara di atas tebing, “Tunggu.”

Ketika orang-orang yang berada di tepian itu berpaling, maka mereka melihat Swandaru, Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga berdiri termangu-mangu. Kemudian disusul oleh beberapa orang pengawal Sangkal Putung.

“Tetaplah di situ,” berkata Ki Saudagar, “selangkah kalian turun, maka pedang ini akan menusuk ke dalam punggung perempuan cantik ini.”

“Tetapi kau tidak akan terlepas dari tangan kami!” teriak Swandaru yang marah.

“Kau kira aku takut mati? Alangkah senangnya mati bersama sama perempuan cantik ini. Kami akan bersama-sama meniti pelangi yang berwarna-warni, naik ke surga yang paling indah,” jawab Ki Saudagar.

Swandaru menggeram. Sementara itu Kiai Gringsing pun berdesis, ”Jangan tergesa-gesa Swandaru. Kita harus mencari jalan.”

“Nah, jika demikian, maka silahkan. Siapakah yang akan turun dan melihat tubuh perempuan ini terkapar di tepian? Kemudian siapakah yang akan membunuh aku? Atau barangkali kalian ingin beramai-ramai melakukannya?” Ki Saudagar itu justru tertawa semakin keras.

Swandaru hampir tidak dapat menahan diri. Tetapi sekali lagi Kiai Gringsing bergumam, “Hati-hati. Orang itu tidak sekedar bermain main. Ia akan dapat benar-benar membunuh Pandan Wangi.”

“Lalu, apakah yang akan kita lakukan?” Swandaru menjadi tidak sabar.

“Kita harus mempergunakan otak kita,” jawab Kiai Gringsing, “mudah mudahan kita menemukan suatu cara. Tetapi tidak dengan tergesa-gesa. Kita harus berusaha mempertahankan keadaan ini. Pandan Wangi harus tetap hidup.”

Swandaru menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih tetap berdiri di tempatnya. Tubuhnya justru menjadi gemetar oleh kemarahan yang mencengkam.

Tiba-tiba saja ia berteriak, “Jika kau laki-laki, aku tantang kau berperang tanding. Jika aku kalah, perlakukan Pandan Wangi sesuai dengan rencanamu.”

Tetapi jawaban Ki Saudagar memang menyakitkan hati. Dengan nada tinggi ia menjawab, “Aku bukan seorang kesatria yang tahu akan harga diri. He, kau suami perempuan cantik ini bukan? Nah, jika demikian, dengarlah. Aku ingin membawa perempuan ini pergi. Jika kau akan mengikutinya, aku tidak keberatan. Tetapi ajak gurumu yang bernama Kiai Gringsing. Ia telah membunuh guruku. Aku harus membalas sakit hati dan penghinaan atas perguruanku. Aku tidak peduli cara apa yang dapat aku lakukan.”

Swandaru menggeram. Tetapi Kiai Gringsing berkata, “Sudahlah. Ia tidak akan dapat kau ajak berbicara. Baiklah kita ikuti saja kehendaknya.”

“Tetapi bagaimana dengan Pandan Wangi?” desis Swandaru.

“Kita akan berusaha. Mungkin masih ada kesempatan,” jawab Kiai Gringsing.

Swandaru menjadi semakin tegang. Tetapi ternyata orang yang mengancam istrinya itu seakan-akan tidak memperhatikannya. Dengan ujung pedangnya ia mendorong Pandan Wangi sambil berkata, “Marilah anak manis. Kita memang harus berjalan-jalan menyusur sungai ini. Jika terpaksa kita menjadi tontonan, apaboleh buat.”

Pandan Wangi, menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat menolak. Seperti Kiai Gringsing, ia berpendapat bahwa ia harus tetap hidup, jika ia ingin mendapatkan kesempatan.

“Cepat sedikit!” Ki Saudagar itu menekan punggung Pandan Wangi dengan pedangnya. Lalu katanya kepada orang-orang yang berada di atas tebing, “Marilah. Siapa yang akan ikut bersamaku? Tetapi tidak lebih dari Swandaru dan gurunya.”

Swandaru mengumpat didalam hati. Kemarahannya telah membuat tubuhnya gemetar. Tetapi ia benar-benar harus berusaha untuk menahan diri.

Dalam pada itu, maka Pandan Wangi pun mulai melangkah. Sementara itu Ki Saudagar pun berkata kepada kedua pengawalnya, “Amati orang-orang di atas tebing itu. Jika di antara mereka ada yang mencurigakan, beri aku isyarat. Punggung yang kuning ini akan segera berlubang oleh ujung pedangku. Betapun sayangnya, tetapi apaboleh buat.”

“Gila,” geram Pandan Wangi.

Tetapi Ki Saudagar itu hanya tertawa saja. Bahkan katanya, “Aku telah kehilangan Wuni. Kau akan menjadi gantinya setelah aku membunuh guru suamimu itu.”

Meskipun dada Pandan Wangi bagaikan meledak, namun ia tidak berbuat apa-apa. Ia melangkah saja di tepian. Kemudian melangkah di antara bebatuan. Namun Pandan Wangi itu benar-benar berusaha untuk tidak melakukan satu perbuatan yang mencurigakan. Bagaimanapun juga pada suatu saat ia berharap untuk mendapatkan kesempatan.

Ki Saudagar itu berjalan di belakangnya. Ujung pedangnya masih selalu melekat di punggung Pandan Wangi. Sementara itu di atas tanggul, Swandaru, Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga berjalan mengikutinya.

“Satu perjalanan yang mungkin tidak menyenangkan.” berkata Ki Saudagar. Namun ia pun kemudian berteriak, “Suruh para pengawal itu kembali. Jika mereka masih saja mengikuti aku, maka aku tidak bertanggung jawab atas keselamatan Pandan Wangi.”

“Anak setan,” geram Swandaru.

Namun Kiai Gringsing-lah yang kemudian berkata kepada para pengawal itu, “Tinggallah. Biarlah hal ini kami selesaikan, demi keselamatan Pandan Wangi.”

Para pengawal itu termangu-mangu. Tetapi ketika mereka melihat wajah Kiai Gringsing yang bersungguh-sungguh, maka mereka pun kemudian berhenti.

“Apa yang dapat kita lakukan?” desis salah seorang di antara para pengawal.

“Aku tidak tahu,” sahut yang lain, ”mudah mudahan Kiai Gringsing dapat memecahkan kesulitan ini.”

Dengan jantung yang berdegupan, maka para pengawal itu pun kemudian hanya dapat melihat Swandaru melangkah dengan tubuh gemetar oleh kemarahan yang memuncak, diikuti oleh Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga.

Beberapa saat mereka berjalan. Tetapi akhirnya Swandaru mengalami kesulitan. Di atas tebing telah tumbuh gerumbul-gerumbul pandan, sehingga Swandaru tidak dapat lagi mengikutinya dari atas tebing. Karena itu, maka ia pun telah meluncur turun ke tepian.

“Orang itu meloncat turun!” teriak salah seorang pengawal Ki Saudagar.

Tetapi Ki Saudagar tertawa. Katanya, “Biarlah mereka mengikut kita. Agaknya mereka tidak dapat berjalan di atas tanggul itu.”

Jawaban itu membuat dada Swandaru semakin panas. Tetapi ia tidak dapat menuangkannya. Justru karena itu, maka rasa-rasanya dadanya itu akan retak karenanya.

Sementara itu, Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga pun telah turun pula dan berjalan di tepian yang semakin sempit. Ketika sungai itu kemudian berkelok, maka mereka sudah harus berjalan menyusuri air sungai yang mengalir di antara batu-batu.

Beberapa saat kemudian, ketika mereka sampai di tempat yang sulit dicapai oleh seseorang, maka Ki Saudagar itu pun berkata, “Pandan Wangi. Berhentilah.”

Pandan Wangi berhenti dengan dada yang berdebaran. Kemudian Ki Saudagar itu telah berputar dari balik punggung Pandan Wangi. Ia berdiri menghadap kepada Swandaru dan kedua orang tua yang mengikutinya, yang berhenti beberapa langkah daripadanya.

“Jangan berbuat sesuatu yang dapat melubangi punggung Pandan Wangi,” berkata Ki Saudagar, “jika terjadi sesuatu atas kulit perempuan yang halus ini, maka kalian-lah yang bertanggung jawab.”  

Swandaru hanya dapat menggeretakkan giginya.

“Nah, Ki Sanak,” berkata Ki Saudagar, “agaknya memang sudah sampai saatnya, dendamku akan dapat tertumpahkan. Kematian guruku telah menyiksaku siang dan malam. Karena itu, maka adalah kebetulan sekali aku bertemu dengan Pandan Wangi tanpa seorang pengawal pun di pinggir sungai ini, ketika ia sedang mencuci pakaiannya.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar