Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 173

Buku 173

Dalam pada itu, pengawal itu pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Sudah ada tiga orang yang sekarang menunggu di sini seperti juga Ki Sanak. Mereka masing-masing juga mengatakan bahwa mereka nempunyai kepentingan yang mendesak seperti Ki Sanak. Tetapi kami pun mengatakan kepada mereka bahwa mereka terpaksa harus tinggal sampai saatnya mereka diijinkan untuk meneruskan perjalanan, atau mereka akan ditahan.”

Glagah Putih hanya dapat mengumpat di dalam hati. Tetapi, ia harus tetap tinggal. Ia tak dapat melawan para pengawal, sebab dengan demikian akan dapat menimbulkan kesan yang buruk terhadap bukan saja dirinya, tetapi juga Tanah Perdikan Menoreh dan Agung Sedayu.

Ketika matahari kemudian turun di sisi langit sebelah barat, maka Glagah Putih merasa, bahwa ia tidak akan dapat melakukan tugas itu dengan baik. Tetapi ia dibenturkan pada suatu keadaan yang memang tidak dapat diatasinya. Seandainya yang menghentikannya bukan para pengawal dari Mataram, maka ia tentu akan melawan atau berusaha untuk melepaskan diri untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi ia tidak akan dapat melakukannya terhadap para pengawal dari Mataram, karena hubungan antara Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.

Baru di sore hari, setelah tubuh dan pakaian Glagah Putih basah oleh keringat dingin, sekelompok kecil pengawal telah memasuki halaman rumah itu. Orang yang berkuda di paling depan itu adalah senapati yang sedang ditunggu.

Demikian senapati itu naik ke pendapa setelah menyerahkan kudanya kepada seorang pengawal, maka pengawal yang mengawasi Glagah Putih di serambi gandok itupun berkata, “Nah, orang itulah yang kau tunggu itu.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak melihat senapati itu dengan jelas. Namun ia sudah tidak mempunyai harapan untuk dapat memenuhi tugasnya dengan baik. Ia hanya dapat berharap, bahwa bajak laut itu akan menunggu untuk satu dua hari. Sehingga dengan demikian Kiai Gringsing masih akan dapat menjadi saksi dan mengamati perang tanding itu untuk mencegah kecurangan yang dapat saja dilakukan oleh bajak laut itu meskipun ia datang terlambat dari rencana.

Dalam kegelisahannya Glagah Putih masih harus menunggu. Karena ia orang terakhir yang datang untuk diperiksa, maka agaknya pemeriksaan itupun akan dilakukan yang terakhir atasnya.

Ternyata bahwa pemeriksaan itu telah berlangsung dengan cepat. Ketiga orang yang terdahulu itu telah dipanggil bersama-sama. Meskipun demikian, agaknya pemeriksaan itu tidak berjalan serancak yang dikehendaki oleh Glagah Putih, yang ingin segera dapat melanjutkan perjalanan.

Bahkan, ia menjadi berdebar-debar ketika iapun justru telah dipanggil pula.

“Kau juga, Anak Muda” berkata pengawal yang memanggilnya.

“Aku?” Glagah Putih menjadi heran.

“Nampaknya ketiganya mempunyai sangkut paut. Mereka tidak dapat ingkar, bahwa mereka terlibat dalam beberapa kali tindak kekerasan. Senapati yang memeriksa ketiga orang itu curiga, bahwa kaupun terlibat pula. Karena itu, kau akan dihadapkan ke tiga orang itu setelah mereka memberikan beberapa keterangan tentang kawan-kawannya,” berkata pengawal itu.

“Gila,” geram Glagah Putih, “apakah ketiga orang itu menyebut bahwa aku juga kawan mereka?”

“Aku kurang jelas. Tetapi senapati memanggilmu. Lebih baik kau berterus terang saja tentang dirimu seperti ketiga orang yang terdahulu itu, agar segala sesuatunya dapat berjalan dengan cepat,“ berkata pengawal itu.

“Aku juga akan berterus terang,” jawab Glagah Putih.

“Jadi kau memang kawan ketiga orang itu?” bertanya pengawal itu.

“Siapa bilang?” jawab Glagah Putih dengan serta merta, “Aku hanya mengatakan bahwa aku akan berterus terang tentang diriku sebagaimana sudah aku katakan.”

Pengawal itu tidak bertanya lebih banyak lagi. Katanya, “Baiklah, apapun yang akan kau lakukan, lakukanlah. Kau dapat langsung berbicara dengan senapati.”

Glagah Putih tidak menjawab. Iapun kemudian bangkit berdiri dan berjalan ke pringgitan. Karena ia tahu, bahwa senapati itu memeriksa tawanan-tawanannya di pringgitan.

Diantar oleh seorang pengawal, Glagah Putih pun memasuki pringgitan. Justru pemimpin pengawal yang telah menangkapnya.

Namun demikian ia memasuki pringgitan dan melihat senapati yang sedang memeriksa ketiga orang tawanan itu, langkah Glagah Putih tertegun. Apalagi ketika tiba-tiba saja senapati itu menyapanya, “Glagah Putih.”

“Ya, Aku Glagah Putih,” jawab Glagah Putih dengan dahi yang berkerut.

“Kenapa kau disini?” bertanya senapati itu pula.

“Kenapa aku di sini?” Glagah Putih menjadi heran. Namun kemudian katanya, “Bertanyalah kepada pengawal ini.”

Pengawal itu menjadi termangu-mangu. Dipandanginya senapati yang nampak heran itu. Bahkan tiba-tiba saja senapati itupun bangkit sambil berkata, “Awasi ketiga orang ini. Aku akan berbicara dengan Glagah Putih.”

Senapati itupun kemudian justru menggandeng Glagah Putih dan dibawanya keluar pringgitan. Sejenak kemudian mereka pun telah duduk di pendapa.

“Apakah kau juga ditangkap?” bertanya senapati itu.

“Pengawal itulah yang harus bertanggung jawab,” jawab Glagah Putih cukup keras, sehingga pengawal yang berdiri di belakang pintu pringgitan itu mendengarnya.

“Kenapa?” bertanya senapati itu lagi.

“Senapati dapat bertanya kepada pengawal itu,” jawab Glagah Putih. Lalu katanya, “Padahal aku sedang mengemban tugas yang sangat penting.”

Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku minta maaf. Pengawal itu berusaha melakukan tugasnya sebaik-baiknya. Ia tidak mengenalmu.”

“Baik, senapati,” jawab Glagah Putih. Lalu, “Tetapi dengar, apa yang sedang aku lakukan sekarang ini.”

Glagah Putih pun kemudian menceritakan apa yang sedang dilakukan, kepada senapati yang kebetulan telah dikenal dan telah mengenalnya itu. Mereka bersama-sama berada di Prambanan ketika perang besar antara Pajang dan Mataram terjadi di Kali Opak.

“O,” senapati itupun menjadi gelisah pula, “jika demikian, silahkan melanjutkan perjalanan. Mungkin masih ada waktu.”

“Tidak ada gunanya aku tergesa-gesa. Aku tidak akan dapat menyelesaikan tugasku pada saat yang aku janjikan. Aku telah gagal dalam ujian. Kakang Agung Sedayu menganggap bahwa aku telah dewasa dan dapat melakukan tugas sebaik-baiknya. Tetapi ternyata tidak. Dan aku tidak dapat mengatasi ketika beberapa orang pengawal menahanku. Seandainya mereka bukan pengawal dari Mataram, aku tentu berusaha untuk melawan dan membebaskan diri. Tetapi aku tidak mau melakukannya terhadap para pengawal dari Mataram.”

“Sekali lagi aku minta maaf. Para pengawal itu berusaha untuk melakukan tugas mereka sebaik-baiknya. Hanya itu. Karena keadaan memang sedang gawat dan agaknya pengawal itu belum mengenalmu,” ulang Senapati itu. Lalu Katanya, “Tetapi, seandainya kau sangat memerlukannya, apakah kau kembali saja ke Tanah Perdikan, dan berhubungan dengan kesatuan khusus yang ada di sana? Mungkin mereka akan dapat membantu.”

“Tidak,” jawab Glagah Putih, “Kakang Agung Sedayu akan menghadapi bajak laut yang mengaku saudara seperguruan Ki Tumenggung Prabadaru dalam perang tanding. Ia memerlukan seorang saksi yang baik. Bukan saja menjadi saksi, tetapi jika bajak laut yang lain berbuat curang, maka Kiai Gringsing akan dapat mencegahnya.”

“Pasukan khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu dapat juga berbuat seperti yang harus dilakukan oleh Kiai Gringsing itu,” berkata senapati itu pula.

“Tetapi dengan pasukan segelar sepapan. Hal itu akan dapat menimbulkan kesan yang kurang baik, seolah-olah Kakang Agung Sedayu-lah yang akan berbuat curang dengan pasukan khusus itu,” jawab Glagah Putih.

Senapati itu mengangguk-angguk. Ia mengerti, betapa kesalnya perasaan Glagah Putih bahwa tugasnya telah terhambat oleh seorang pengawal yang tidak mengenalnya. Tetapi senapati itu juga tidak dapat menyalahkan pengawal yang menghentikan Glagah Putih, karena pengawal itu sedang melakukan tugasnya.

Karena itu, maka senapati itupun bertanya, “Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang?”

“Aku akan melanjutkan perjalanan. Kapanpun aku sampai di Sangkal Putung, maka aku akan segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Glagah Putih. Lalu, “Mudah-mudahan Kiai Gringsing tidak terlambat.”

“Mudah-mudahan,” ulang senapati itu, “sampaikan kepada Kiai Gringsing, Ki Gede Menoreh dan Agung Sedayu. Aku minta maaf, karena tugas para pengawal itu termasuk tugas dan tanggung jawabku.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat berbuat apa-apa. Senapati itu sudah minta maaf kepadanya.

Karena itu, maka jawabnya kemudian, “Baiklah. Aku sudah terlalu lama menunggu di sini. Sekarang aku minta diri.”

Senapati itu mengangguk-angguk. Lalu Katanya, “Silahkan Anak Muda. Sekali lagi, aku minta maaf kepada segala pihak.”

Glagah Putih pun kemudian minta diri. Sementara itu pemimpin pengawal yang menahannya ternyata sempat juga mendekatinya ketika ia sudah berada di punggung kuda, “Aku minta maaf anak muda.”

Glagah Putih memandang wajah pengawal itu. Tetapi nampaknya ia menyatakan perasaannya dengan jujur. Karena itu, maka Glagah Putih pun menjawab, “Sudahlah. Lupakan. Bukankah kau bertugas mengawasi ketiga orang itu?”

“Kawanku sudah menggantikannya” jawab pengawal itu.

Sejenak kemudian Glagah Putih pun telah berpacu di atas punggung kudanya. Tetapi langit itu sudah menjadi semakin buram. Bahkan terbersit kecemasan di hati Glagah Putih, bahwa ia akan bertemu lagi sekelompok peronda yang akan menghentikannya dan membawanya kembali ke barak pengawasan itu.

Namun untunglah, bahwa hal itu tidak terjadi. Meskipun demikian, memang terasa oleh Glagah Putih bahwa padukuhan-padukuhan terasa sepi meskipun hari belum gelap. Tetapi pintu-pintu regol sudah tertutup. Namun Glagah Putih sempat melihat, hampir di setiap rumah terdapat kentongan di luar dan barangkali ,juga di dalam rumah. Bahkan di regol-regol.

Tetapi Glagah Putih tidak melihat anak-anak muda berada di gardu-gardu.

“Mungkin masih terlalu awal untuk datang ke gardu,” berkata Glagah Putih kepada diri sendiri.

Dengan demikian, maka Glagah Putih pun berpacu semakin cepat. Ia ingin segera sampai ke Sangkal Putung. Namun, terasa bahwa Sangkal Putung menjadi sangat jauh. Lebih jauh dari jarak yang terbiasa ditempuh sebelumnya.

Meskipun kemudian malam turun, namun Glagah Putih berpacu terus. Ia tidak ingin menjadi semakin terlambat. Namun demikian, ia tidak dapat memaksa kudanya untuk berlari terus tanpa beristirahat. Karena betapapun jantungnya bergejolak oleh desakan keinginan untuk secepatnya sampai ke Sangkal Putung, maka pada jarak-jarak tertentu Glagah Putih harus beristirahat.

Dalam pada itu, ketika Glagah Putih masih berpacu menuju ke Sangkal Putung, maka di Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayu telah berada di luar sanggarnya. Sekar Mirah menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Agung Sedayu itu mandi dan keramas. Rasa-rasanya sikap Agung Sedayu memberikan kesan yang lain dari tingkah lakunya sehari-hari.

“Paman,” desis Sekar Mirah ketika ia berbicara dengan Ki Waskita di serambi, “aku menjadi sangat gelisah.”

“Aku mengerti Sekar Mirah,” jawab Ki Waskita, “tetapi jangan menambah ketegangan hatinya. Bagaimanapun juga, ada semacam ketegangan yang mencengkam perasaannya. Bukan karena Agung Sedayu menjadi ketakutan. Tetapi, sebenarnyalah Agung Sedayu bukan orang yang terbiasa bermain dengan maut. Agung Sedayu adalah orang yang sebenarnya ingin berdiri sejauh-jauhnya dari tindakan kekerasan. Tetapi, setiap saat ia berada dalam satu keadaan tanpa pilihan. Seperti yang terjadi atasnya sekarang ini, sehingga perasaannya menjadi tegang.”

“Tetapi ia harus menyadari, jika ia enggan membunuh, maka ia sendiri akan dibunuh,” desis Sekar Mirah

“Ia memang sampai pada satu sikap sewajarnya sebagai manusia yang cenderung untuk mempertahankan hidupnya. Dalam keadaan tanpa pilihan itu, maka Agung Sedayu akan bertempur mempertahankan hidupnya pula, betapapun ia tidak suka melakukan kekerasan,” sahut Ki Waskita.

Sekar Mirah tidak menjawab. Ia mengerti sifat dan watak suaminya. Bahkan kadang-kadang ia menjadi tidak sabar melihat sikap Agung Sedayu.

Namun melihat Agung Sedayu berkemas, mandi dan keramas, maka hatinya menjadi berdebar-debar.

Demikianlah, maka ketika Agung Sedayu sudah selesai berbenah, maka iapun kemudian berkata kepada Ki Waskita yang berada di serambi, “Saatnya sudah datang Ki Waskita.”

Ki Waskita mengangguk. Jawabnya, “Marilah. Kita akan pergi ke rumah Ki Gede lebih dahulu. Kita akan bersama-sama ke Watu Lawang. Sementara itu, Ki Lurah Branjangan akan datang pula menyaksikan perang tanding itu.”

“Jadi Ki Lurah juga akan datang?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Aku menerima utusannya ketika kau berada di sanggar,” jawab Ki Waskita. “Aku sudah mengatakan segalanya dan utusan itupun nampaknya dapat menentukan satu keputusan yang akan dapat dilaksanakan oleh Ki Lurah. Sebab jika ada perubahan, maka ia akan memberitahukan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun bagaimanapun juga, ia memang menjadi cemas. Ki Waskita, Ki Gede Menoreh, Sekar Mirah, Ki Lurah Branjangan, akan menjadi saksi.

Sebenarnyalah, bahwa Agung Sedayu tidak mencemaskan dirinya sendiri. Ia sudah siap untuk mempertahankan hidupnya dalam perang tanding. Tetapi jika terjadi kecurangan oleh bajak-bajak laut itu, maka keadaan saksi-saksi itulah yang justru terancam.

Agung Sedayu tahu pasti, bahwa Ki Waskita adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi pula. Tetapi Waskita tentu tidak akan dapat berbuat sesuatu jika bajak laut yang lain mengarahkan sasaran kecurangannya kepada Ki Gede yang sudah menjadi cacat kaki, Sekar Mirah dan Ki Lurah Branjangan. Apalagi jika ketiga bajak laut itu benar-benar orang mumpuni dan memiliki ilmu melampaui Ki Tumenggung Prabadaru.

Agung Sedayu tidak berani menilai dirinya melampaui Ki Waskita. Tetapi Agung Sedayu pun tidak dapat menyingkirkan kecemasannya, bahwa Ki Waskita akan mengalami kesulitan melawan orang yang memiliki ilmu melampaui Ki Tumenggung Prabadaru.

Tetapi, Agung Sedayu tidak akan dapat mengusulkan agar seisi barak kesatuan khusus di Tanah Perdikan itu datang beramai-ramai untuk menyaksikan perang tanding itu. Jika demikian, maka hal itu akan dapat mengundang persoalan tersendiri, karena Agung Sedayu pun yakin, bahwa ketiga orang bajak laut itu tentu akan dapat berbuat lebih banyak lagi. Meskipun barangkali perang tanding itu menjadi batal karena ketiga bajak laut itu menjadi curiga, namun akibatnya akan sangat pahit bagi Tanah Perdikan Menoreh, karena ketiganya akan dapat berbuat apa saja untuk melepaskan dendam mereka, seperti yang mereka katakan, bahwa mereka tidak merasa terikat oleh paugeran, karena mereka merasa tidak satu kekuasaan pun yang memerintah atas mereka.

Karena itu, dalam kebimbangan, Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain dari yang akan dilakukannya. Datang ke Watu Lawang untuk berperang tanding, sementara beberapa orang akan menjadi saksi dari perang tanding itu.

Tetapi akhirnya Agung Sedayu pun menjadi pasrah. Jika terjadi kecurangan, maka ada satu keyakinan, bahwa akan datang perlindungan atas mereka yang tidak bersalah.

Demikianlah, maka kemudian sebuah iring-iringan kecil telah menuju ke Watu Lawang. Ternyata Ki Lurah Branjangan pun menepati sebagaimana ditentukan lewat utusan yang datang ke rumah Agung Sedayu. Ketika Agung Sedayu singgah di rumah Ki Gede, maka Ki Lurah Branjangan sudah ada di rumah Ki Gede itu pula.

Agung Sedayu dan sekelompok kecil itu, sama sekali sudah tidak lagi dapat mengharap kehadiran Kiai Gringsing. Menurut pengertian Glagah Putih, maka perang tanding itu tidak akan dilakukan malam itu juga. Karena itu, memang besar kemungkinannya, bahwa ia baru akan datang esok pagi bersama Kiai Gringsing.

Tetapi ternyata bahwa malam itu juga, Agung Sedayu harus turun ke medan di Watu Lawang.

Dalam pada itu, ketika mereka memasuki satu lingkungan yang disebut Watu Lawang, maka mereka segera melihat, tiga orang berdiri tegak di antara dua buah batu besar. Kedua batu yang seakan-akan merupakan sebuah gerbang itulah yang menjadikan tempat itu disebut Watu Lawang.

Agung Sedayu yang berjalan di samping Ki Waskita tertegun. Dengan tegang dipandanginya tiga orang bajak laut yang berdiri dengan tenangnya menunggu kedatangan orang yang akan menjadi lawan dalam perang tanding yang akan terjadi. “Berhati-hatilah Kakang,” desis Sekar Mirah yang berjalan di belakang Agung Sedayu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika orang-orang yang akan menjadi saksi berhenti, maka Agung Sedayu masih melangkah beberapa langkah maju.

“Ternyata kau menepati janjimu Agung Sedayu,” berkata salah seorang dari ketiga bajak laut itu.

“Aku selalu berusaha untuk menepati semua yang pernah aku janjikan,” jawab Agung Sedayu, “kecuali jika ada satu hal yang tidak mungkin aku atasi.”

Bajak laut itu tertawa. Katanya, “Kau memang seorang laki-laki yang mengagumkan. Namun demikian, aku masih memberi kesempatan kepadamu, jika kau merasa cemas menghadapi salah seorang dari kami bertiga”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia berusaha untuk tetap selalu dapat menguasai perasaannya. Karena itu, maka iapun menjawab, “Jika aku merasa cemas atau bahkan takut menghadapi perang tanding ini, maka aku akan minta Ki Lurah Branjangan mengerahkan semua pengawal dalam kesatuan khusus yang mendebarkan itu untuk mengepungmu. Betapapun tinggi ilmu kalian bertiga, tetapi kalian tidak akan dapat terlepas jika pasukan khusus itu sengaja mengepung kalian.”

“Ah,” hampir berbareng ketiga orang bajak laut itu tertawa. Salah seorang di antara merekapun kemudian berkata, “Kau mulai mengigau. Nampaknya kau terlalu sulit untuk mengatasi ketegangan di hatimu. Karena itu, aku ingin memperingatkanmu sekali lagi, jika kau ingin membatalkan perang tanding ini, maka kau masih mempunyai kesempatan. Tentu saja dengan sedikit imbalan.”

Terasa sentuhan yang menyakitkan di hati Agung Sedayu. Tetapi ia masih tetap menyadari keadaannya sepenuhnya. Karena itu, maka iapun menjawab “Apakah kau kira ada imbalan yang nilainya cukup untuk menukar harga diriku?”

Wajah ketiga orang bajak laut itu berkerut. Seorang di antara mereka berkata, “Kau terlalu sombong Anak Muda. Agaknya kau memang belum mengenal siapakah yang sedang kau hadapi. Kau kira, jika kau berhasil membunuh Kakang Tumenggung kau sudah dapat disebut orang yang tidak terkalahkan?”

“Aku tidak mengatakan demikian,” jawab Agung Sedayu, “aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku mempunyai harga diri yang tidak akan dapat kau injak-injak dengan cara apa-pun juga. Nah, sekarang katakan, siapa di antara kalian yang akan melawan aku dalam perang tanding ini?”

Ketiga orang bajak laut itu tertegun. Ternyata mereka masih belum menunjuk, siapakah di antara mereka yang akan melawan Agung Sedayu. Namun seperti yang pernah mereka bicarakan, akhirnya orang yang tertua di antara bajak laut itu berkata, “Baiklah. Sudah barang tentu, bahwa kita tidak akan melawan bertiga. Tetapi karena kita tidak dapat menentukan siapakah di antara kita yang akan turun ke arena, maka sebaiknya kau sajalah yang memilih seorang di antara kami.”

Agung Sedayu terdiam sejenak. Dipandanginya ketiga orang itu berganti-ganti. Meskipun malam menjadi semakin gelap, tetapi ternyata bahwa pandangan Agung Sedayu yang tajam, seakan-akan dapat menembus sampai ke jantung orang-orang itu.

Meskipun demikian Agung Sedayu menjawab, “Aku tidak akan memilih. Siapapun yang akan mewakili kalian, bagiku sama saja. Aku masih belum mengetahui tingkat kemampuan kalian seorang demi seorang. Mungkin yang satu mempunyai kelebihan dari yang lain. Tetapi mungkin juga kekurangan. Karena itu, siapapun yang akan kalian pilih, maka aku tidak akan berkeberatan.”

Ketiga orang itu menjadi termangu-mangu. Sesaat mereka saling berpandangan. Namun yang seorang di antara mereka berkata, “Agung Sedayu. Meskipun kau belum mengetahui siapakah di antara kita yang terbaik, atau justru yang paling buruk, tetapi kau akan dapat melihat ujud lahiriah kami. Ketajaman penglihatanmu atas ilmu seseorang akan dapat sedikit memberikan petunjuk kepadamu, siapakah yang paling lemah di antara kami, karena aku kira, kau tentu akan mencari siapakah yang paling lemah di antara kami bertiga.”

Penghinaan itu sungguh menyakitkan hati. Tetapi Agung Sedayu tidak membiarkan perasaannya mencengkam jantungnya sehingga ia akan dapat kehilangan penalaran.

Karena itu, justru ia menjawab, “Pilihan yang demikian adalah pilihan yang paling masuk akal. Sementara dua orang di antara kalian akan menjadi saksi bersama-sama dengan orang Tanah Perdikan Menoreh yang datang bersama kami.”

Wajah bajak laut itu menegang. Lalu jawabnya, “Memang pantas sekali bagi seorang pengecut. Nah, pilihlah seperti yang kau kehendaki.”

“Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu, “ada bedanya antara pengecut dan orang yang berperhitungan. Agaknya aku memilih istilah kedua.”

“Anak setan,” bajak laut yang tertua itu-pun menggeram. Lalu Katanya, “Kau memang pantas untuk dicincang. He, Agung Sedayu. Ketahuilah, bahwa tidak ada di antara kami yang paling lemah atau paling kuat. Kami adalah saudara seperguruan yang memiliki dasar dan landasan ilmu yang sama, sebagaimana juga Kakang Tumenggung Prabadaru. Namun di dalam perantauan kami sekitar tiga tahun di lautan, serta pengalaman kami yang jauh lebih luas dari Kakang Tumenggung Prabadaru, dan bermacam-macam ilmu yang berhasil kami sadap dari beberapa orang yang berilmu tinggi, maka kami adalah orang-orang yang memiliki ilmu jauh lebih baik dari Kakang Tumenggung Prabadaru sendiri, meskipun Kakang Tumenggung adalah saudara seperguruan kami yang menurut jenjang perguruan lebih tua dari kami bertiga.”

“Terima kasih atas keteranganmu Ki Sanak,” sahut Agung Sedayu, “tetapi yang penting bagi kami bukan keterangan tentang kemampuan kalian, tetapi siapakah di antara kalian yang akan turun ke arena malam ini.”

Terdengar bajak laut itu menggeram. Bahkan seorang di antara mereka telah mengumpat kasar. Namun nampaknya Agung Sedayu seakan-akan tidak mendengarnya, karena ia tidak memberikan tanggapan apapun juga.

Namun sebenarnyalah Agung Sedayu berusaha untuk tetap menyadari keadaan sepenuhnya. Ia tidak boleh terseret arus perasaannya, karena ketiga orang bajak laut itu agaknya benar-benar orang yang memiliki ilmu lebih baik dari Ki Tumenggung Prabadaru.

Dalam gejolak perasaan yang hampir tidak terkendali, maka orang tertua di antara ketiga bajak taut itupun kemudian menggeram, “Biarlah aku saja yang akan melumatkan kepalamu.”

Namun yang seorang kemudian memotong, “Aku ingin mendapat kesempatan ini.”

“Tidak,” jawab orang tertua itu, “aku ingin mendapat kesempatan yang paling baik sekarang ini untuk melumatkan kesombongan anak iblis ini. Ia mengira bahwa ia dapat mempermainkan perasaanku sekehendak hatinya saja.” Bajak laut itupun kemudian berkata kepada Agung Sedayu, “Bersiaplah. Mungkin kau memerlukan waktu untuk menikmati hidupmu yang sudah hampir berakhir. Atau barangkali kau akan memberikan beberapa pesan kepada istrimu atau kepada Ki Gede atau orang-orang lain yang datang bersamamu.”

Tetapi Agung Sedayu tetap menjawab dengan tenang, “Aku sudah memberikan semua pesan sebelum aku berangkat. Aku sudah tidak mempunyai pesan apapun lagi yang dapat aku berikan sekarang.”

“Bagus,” bajak laut itu hampir berteriak, “jika demikian, biarlah kita segera mulai. Biarlah saksi yang kau bawa memperhatikan dengan saksama, apa yang terjadi. Sementara itu, kedua saudaraku pun akan memperhatikan perang tanding ini dengan sebaik-baiknya agar tidak terjadi kecurangan.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia masih juga berpaling ke arah istrinya sekilas.

Sekar Mirah berdiri termangu-mangu. Seperti Agung Sedayu dan orang-orang yang datang bersamanya, maka mereka pun menyadari, bahwa bajak laut itu memang orang-orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka Sekar Mirah pun merasa sangat cemas menghadapi keadaan yang bakal terjadi sebentar lagi. Meskipun Sekar Mirah pun yakin bahwa Agung Sedayu adalah orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi pula, karena itu telah dapat membunuh Ki Tumenggung Prabadaru. Namun, ketiga bajak laut itu mengaku memiliki kemampuan melampaui Ki Tumenggung Prabadaru itu.

Demikianlah, maka sejenak kemudian kedua orang itupun telah bersiap. Kedua bajak laut yang lain, yang merasa lebih muda dari bajak laut yang kemudian menghadapi Agung Sedayu, tidak berani lagi mengganggu kakak seperguruannya itu. Mereka mengerti watak dan sifat kakak seperguruannya itu. Jika ia sudah mengambil satu keputusan, maka keputusan itu akan sulit untuk dapat dirubah lagi. Demikian pula keputusannya untuk memasuki arena perang tanding melawan Agung Sedayu.

Agung Sedayu pun maju beberapa langkah ketika bajak laut yang tertua itupun maju pula beberapa langkah. Keduanyapun kemudian saling berhadapan.

Sementara itu, Ki Waskita telah bergeser menjauhi Ki Gede yang berdiri tegak di samping Sekar Mirah. Sedangkan Ki Lurah Branjangan masih saja tetap di tempatnya, dua langkah di sebelah Ki Gede, berseberangan dengan Sekar Mirah.

Sementara itu, kedua saudara seperguruan bajak laut yang akan menjadi saksi itupun telah saling menjauhi pula. Mereka agaknya akan menyaksikan perang tanding itu dari arah yang berbeda.

“Bersiaplah untuk mati,” geram bajak laut itu.

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap sepenuhnya. Bahkan ia sudah mempersiapkan lahir dan batinnya di sanggar seharian. Karena itu, ketika ia hadir di Watu Lawang, maka sepenuhnya ia dapat menguasai perasaannya dan memelihara keseimbangan dengan nalarnya.

Ketika bajak laut itu bergeser, maka Agung Sedayu pun bergeser pula. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa bajak laut itu sudah siap untuk meloncat menyerangnya.

Namun Agung Sedayu pun sadar, bahwa bajak laut itu tentu baru akan mulai dengan menjajagi kemampuannya, sebagaimana juga akan dilakukan oleh Agung Sedayu.

Demikianlah, maka sejenak kemudian bajak laut itupun telah meloncat menyerang dengan tangannya mengarah ke dada. Namun seperti yang diduga oleh Agung Sedayu, bajak laut itu tentu belum mempergunakan tataran ilmunya yang tertinggi. Meskipun demikian namun pukulan itu seakan-akan telah meluncur secepat lidah api dan melontarkan angin yang keras mendahului tangan bajak laut yang terjulur itu.

Agung Sedayu pun bergeser selangkah menyamping. Meskipun ia tahu bahwa lawannya belum menyerang dengan sepenuh kemampuan, namun Agung Sedayu tidak mau merendahkannya. Karena itu, sejak awal ia telah mulai mengetrapkan ilmu kebalnya. Ilmu yang dapat melindungi ujud wadagnya, meskipun jika serangan lawannya cukup kuat dengan lambaran ilmu yang sangat tinggi, maka serangan itu akan dapat menyusup, dan memecahkan perisai ilmu kebal itu.

Namun demikian, ilmu itu ternyata memiliki kekuatan yang jarang sekali dapat ditembus oleh kekuatan lawan, meskipun lawannya berilmu cukup tinggi pula.

Dalam pada itu, maka pertempuran itupun benar-benar telah dimulai. Keduanya ternyata masih saling mencari landasan untuk bertempur selanjutnya, sementara mereka berusaha untuk mengetahui langkah dan watak ilmu lawannya.

Sementara itu, ketika pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat, maka Glagah Putih pun berpacu semakin cepat pula. Ternyata ia tidak mengalami hambatan lagi di perjalanan, sehingga beberapa saat lewat saat sepi uwong, Glagah Putih sudah mendekati Sangkal Putung.

Kuda Glagah Putih nampaknya sudah menjadi lelah. Tetapi jarak yang semakin pendek itupun akhirnya diselesaikannya juga.

Ketika Glagah Putih memasuki padukuhan pertama, maka ia telah dihentikan oleh beberapa orang anak muda yang berada di gardu. Nampaknya anak anak muda Sangkal Putung masih tetap pada kebiasaan mereka. Menjaga padukuhan mereka sebaik-baiknya.

Tetapi ketika mereka melihat bahwa yang datang adalah Glagah Putih, maka merekapun sesaat menjadi gembira, tetapi sesaat kemudian mereka menjadi cemas. Salah seorang dari merekapun bertanya, “He, apakah kau hanya seorang diri?”

“Ya,“ jawab Glagah Putih.

“Nampaknya perjalananmu membawa kabar yang sangat penting Apakah yang sudah terjadi?” bertanya anak-anak muda itu.

Glagah Putih itupun menarik nafas dalam dalam. Lalu katanya “Memang ada. Tetapi tidak begitu penting untuk kalian ketahui sekarang. Karena itu, aku minta maaf bahwa aku akan segera melanjutkan perjalanan. Besok kalian akan mengetahuinya.”

Anak anak muda itu mengerti bahwa agaknya ada masalah yang harus segera disampaikan kepada Kiai Gringsing atau Swandaru. Karena itu maka salah seorang anak muda itu berkata, “Baiklah, Silahkan.”

“Terima kasih. Ternyata kalian masih tetap melakukan tugas kalian sebaik baiknya,” berkata Glagah Putih

“Ah, bukankah ini sudah menjadi kewajiban kami. Dan bukankah di setiap padukuhan hal seperti ini juga dilakukan?” jawab anak muda itu

“Tidak di semua padukuhan. Sementara ada juga anak-anak muda meskipun berada di gardu, tetapi sama sekali tidak menyapa orang-orang lewat meskipun sudah lewat saatnya orang bepergian,” jawab Glagah Putih. “Tetapi mungkin ada padukuhan yang terlampaui oleh pengamatanku. Aku lebih senang berpacu lewat bulak-bulak untuk mengurangi hambatan di perjalanan. Bahkan kadang kadang aku sengaja untuk tidak berhenti di depan gardu-gardu, meskipun ada beberapa orang penjaganya. Sebenarnyalah aku memang ingin cepat sampai ke Sangkal Putung.”

Anak-anak muda itu mengangguk angguk, sementara Glagah Putih pun kemudian telah mohon diri pula.

“Silahkan,” jawab anak anak muda itu hampir berbareng.

Glagah Putih pun mulai berpacu lagi. Ia tidak lagi berusaha menghindari gardu-gardu dan bahkan padukuhan-padukuhan.

Meski pun ia harus berhenti beberapa kali, namun Glagah Putih tidak menjadi cemas bahwa ia ditahan lagi seperti waktu ia melintasi pinggiran kota Mataram. Namun setiap kali Glagah Putih telah menghindari pembicaraan yang berkepanjangan, karena iapun ingin segera dapat bertemu dengan Kiai Gringsing di rumah Ki Demang Sangkal Putung.

Demikianlah, akhirnya Glagah Putih pun memasuki padukuhan induk yang sudah menjadi sepi. Di ujung lorong, di belakang pintu gerbang, anak-anak muda berada di gardu seperti juga di padukuhan-padukuhan lain.

Ketika Glagah Putih memasuki pintu gerbang, maka iapun telah dihentikan oleh anak-anak muda itu. Namun seperti di depan gardu-gardu yang lain, maka Glagah Putih pun menghindari pembicaraan yang panjang dengan mereka, agar ia dapat segera menyelesaikan perjalanannya yang tinggal beberapa puluh tonggak.

Akhirnya, Glagah Putih pun telah memasuki regol Kademangan. Empat orang peronda yang berada di gardu di regol halaman Ki Demang itupun terkejut. Glagah Putih yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu datang pada saat yang tidak sewajarnya.

“Memang ada keperluan yang mendesak,” jawab Glagah Putih, “tetapi seharusnya aku datang lebih awal.”

“Silahkan. Marilah naik ke pendapa. Biarlah anak-anak berusaha membangunkan Swandaru atau Ki Demang sendiri,” berkata anak muda yang tertua di antara mereka yang meronda malam itu.

Glagah Putih pun kemudian duduk di pendapa dengan gelisah. Sementara itu, maka di gardu terdengar suara kentongan dalam nada dara muluk, menjelang tengah malam.

Seorang anak mudapun kemudian pergi ke serambi kanan rumah Ki Demang Sangkal Putung. Perlahan-lahan ia mengetuk dinding, sebagaimana dipesan oleh Swandaru apabila para peronda memerlukannya.

Sejenak kemudian, maka Swandaru pun telah terbangun. Dari dalam biliknya ia bertanya, “Siapa?”

“Aku Swandaru,” jawab peronda itu yang suaranya sudah dikenal oleh Swandaru.

“Ada apa?” bertanya Swandaru pula.

“Ada tamu. Glagah Putih,” jawab peronda itu.

Swandaru pun terkejut pula. Dengan serta merta iapun segera meloncat dari pembaringannya, sementara Pandan Wangi pun telah terbangun pula.

“Glagah Putih ada di sini,” berkata Swandaru kepada istrinya.

“Nampaknya ada sesuatu yang penting,” desis Pandan Wangi.

Setelah membenahi dirinya, maka Swandaru pun dengan tergesa-gesa telah keluar dan pergi ke pendapa mendapatkan Glagah Putih bersama Pandan Wangi.

Dengan singkat Glagah Putih telah memberitahukan apa yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka aku ingin bertemu dengan Kiai Gringsing untuk menyampaikan permintaan Agung Sedayu, agar Kiai Gringsing bersedia menjadi saksi perang tanding yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu itu.

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga, iapun menjadi gelisah. Hampir di luar sadarnya ia bergumam, “Kalau saja aku dapat ikut menyaksikannya. Bajak laut itu agaknya memerlukan sedikit kekerasan tanggapan.”

“Kakang Agung Sedayu pun telah menerima tantangan itu. Ia hanya memerlukan saksi. Agaknya baik Kakang Agung Sedayu maupun Ki Waskita agak kurang yakin, bahwa pada saatnya ketiga bajak laut itu tidak melakukan kecurangan,” berkata Glagah Putih.

Swandaru mengangguk-angguk. Lalu Katanya, “Baiklah. Aku akan membangunkan Guru. Mungkin Guru akan dapat mengambil sikap. Tetapi bukankah perang tanding itu tidak akan dilakukan segera? Maksudku hari ini?”

“Mungkin tidak. Bajak laut itu menunggu jawaban Kakang Agung Sedayu sampai akhir pekan ini,” jawab Glagah Putih. Tetapi katanya lebih lanjut “Namun demikian, aku tidak tahu, apakah yang dikatakan oleh ketiga orang bajak laut itu akan ditepati.”

“Baiklah,” berkata Swandaru, “aku akan membangunkan Guru sekarang.”

Glagah Putih mengangguk kecil sambil menjawab, “Tetapi rasa-rasanya aku gelisah oleh sikap bajak laut itu. Jika Kiai Gringsing bersedia, aku akan mohon malam ini juga untuk pergi ke Tanah Perdikan.”

“Malam ini?” bertanya Swandaru, “Bukankah kau dapat berangkat secepatnya besok pagi?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Lalu jawabnya, “Semuanya terserah kepada Kiai Gringsing.”

Swandaru pun mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berdiri dan pergi ke gandok untuk membangunkan Kiai Gringsing, sementara Glagah Putih pun menunggu di pendapa bersama Pandan Wangi.

“Apakah bajak laut itu nampaknya kurang dapat dipercaya menilik sikapnya?” bertanya Pandan Wangi yang juga menjadi cemas.

“Aku kira demikian,” jawab Glagah Putih.

“Mudah-mudahan Kiai Gringsing tidak berkeberatan,” desis Pandan Wangi.

Glagah Putih tidak menjawab. Namun sambil mengangguk-angguk kecil ia menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya yang gelisah.

Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Menoreh, di Watu Lawang, Agung Sedayu tengah bertempur menghadapi bajak laut yang tertua di antara mereka. Semakin lama ilmu merekapun menjadi semakin meningkat. Dengan cermat masing-masing berusaha untuk mengetahui kelemahan lawannya, sehingga pada satu saat, akan dapat mengambil langkah tertentu untuk mengalahkan lawannya. Namun Agung Sedayu pun menyadari, bahwa kalah menurut bajak laut itu tentu berarti mati.

Serba sedikit Agung Sedayu dapat mengenali kembali, ilmu yang pernah dijumpainya pada Ki Tumenggung Prabadaru, sehingga Agung Sedayu pun percaya, bahwa bajak laut itu adalah saudara seperguruannya. Namun karena itu, Agung Sedayu pun yakin, bahwa pada saatnya nanti bajak laut itupun akan mempergunakan ilmu yang dahsyat sebagaimana Ki Tumenggung Prabadaru.

Bahkan sesuai dengan pengakuan ketiga bajak laut itu, mereka telah menyadap pula ilmu dari beberapa orang mumpuni selain guru mereka. Karena itu, maka Agung Sedayu pun harus memperhitungkan, bahwa mungkin sekali bajak laut itu justru memiliki kelebihan dari Ki Tumenggung Prabadaru sebagaimana yang mereka katakan.

Karena itu, Agung Sedayu harus sangat berhati-hati. Setiap saat akan dapat terjadi perubahan sikap dan watak ilmu lawannya. Sekali serangannya datang membadai seperti angin prahara, namun kemudian melanda seperti deru gelombang diguncang taufan. Sementara pada saat lain serangan itu akan dapat melibatnya seperti jilatan lidah api yang sangat panas. Bahkan seperti yang pernah dilakukan oleh Ki Tumenggung Prabadaru, kekuatan angin, air dan api akan dapat bergabung dan sekaligus melandanya dengan dahsyatnya.

Demikianlah, perang tanding antara Agung Sedayu dan bajak laut yang tertua itu semakin lama menjadi semakin seru. Meskipun keduanya masih belum menunjukkan ilmu mereka yang nggegirisi, namun lontaran serangan wadag mereka rasa-rasanya telah menggetarkan jantung.

Ki Lurah Branjangan menjadi berdebar-debar. Seperti di Prambanan, maka ia melihat betapa tingginya ilmu Agung Sedayu. Apalagi ia yakin bahwa dalam perang tanding itu, ilmu mereka akan menjadi semakin meningkat, sehingga akhirnya, mereka akan sampai ke ilmu puncak mereka.

Tetapi, baik Agung Sedayu maupun bajak laut itu tidak mau tergesa gesa. Justru karena masing masing melihat kelebihan lawannya, mereka harus membuat perhitungan yang sebaik-baiknya dalam pertempuran itu, sehingga mereka tidak membuat kesalahan yang akan dapat menjerumuskan mereka ke dalam kesulitan yang gawat.

Serangan-serangan bajak laut itu semakin cepat menyambar-nyambar Agung Sedayu dari segala arah. Langkahnya seakan-akan sama sekali tidak diberati oleh bobot tubuhnya. Seperti seekor burung sikatan, bajak laut itu meloncat menyambar dan sekali-sekali mematuk lawannya.

Tetapi, Agung Sedayu benar benar sudah mapan. Ia sama sekali tidak dapat digelisahkan oleh kecepatan gerak lawannya. Namun Agung Sedayu pun sadar, bahwa ilmu lawannya akan segera berkembang. Serangan-serangan itu seolah-olah hanya sekedar ancang-ancang saja untuk sampai pada satu tataran yang menentukan. Ketika pertempuran di Tanah Perdikan itu meningkat semakin seru, maka Glagah Putih masih saja duduk di pendapa. Kiai Gringsing dan Ki Demang Sangkal Putung pun kemudian telah ikut pula menemuinya.

“Apakah menurut pendapatmu, sebaiknya kita berangkat sekarang?” bertanya Kiai Gringsing.

“Ya Kiai,” jawab Glagah Putih, “sebenarnya aku harus kembali sebelum malam, atau permulaan dari malam ini. Aku sudah berjanji. Tetapi para pengawal dari Mataram itu telah menghambat perjalananku.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam dalam. Namun kemudian Katanya, “Jika hatimu mantap, maka baiklah. Kita akan berangkat sekarang.”

“Bukankah Glagah Putih tidak terlalu tergesa-gesa?” bertanya Swandaru. “Bagaimana jika guru berangkat besok pagi-pagi saja? Bukankah hanya selisih beberapa saat saja?”

“Tetapi jika kita sudah mantap untuk berangkat sekarang, sebaiknya kita berangkat sekarang, agar jika terjadi sesuatu kita tidak menyesal.”

“Apa yang terjadi?” bertanya Swandaru.

“Kita belum mengetahuinya,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi seandainya terjadi, pada saat-saat seharusnya kita sudah sampai di Tanah Perdikan jika kita berangkat sekarang, namun ternyata kita menunda keberangkatan kita, maka kita akan selalu menyesalinya, bahwa kita sudah mengundur keberangkatan kita.”

Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian Katanya, “Baiklah Guru. Aku juga akan berangkat bersama Guru. Bajak laut itu ada tiga orang. Jika mereka berbuat licik, maka mungkin sekali akupun harus melibatkan diri.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Jika benar seperti yang diceritakan oleh Glagah Putih, bahwa ketiga bajak laut itu mengaku memiliki kemampuan seperti Ki Tumenggung Prabadaru, maka agaknya Swandaru masih belum dapat mengimbanginya, seandainya ia harus menghadapi salah seorang di antaranya. Tetapi Swandaru tidak melihat apa yang terjadi di Prambanan antara Agung Sedayu dan Ki Tumenggung Prabadaru, sehingga Swandaru masih belum dapat membayangkan, betapa tinggi ilmu bajak laut itu.

Tetapi sudah barang tentu Kiai Gringsing tidak dapat menolaknya. Apalagi Swandaru merasa, bahwa pada saat-saat terakhir, di dalam kesibukannya menekuni ilmu dari kitab gurunya yang diberikan kesempatan kepadanya untuk menekuni lebih dahulu dari Agung Sedayu, ilmunya telah semakin meningkat.

Beberapa saat lamanya Kiai Gringsing merenungi pernyataan Swandaru itu. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Baiklah. Kita akan berangkat.”

“Tetapi bagaimana dengan aku?” bertanya Pandan Wangi, “Rasa-rasanya aku juga sudah rindu kepada Ayah dan Tanah Perdikan Menoreh. Bukankah sekaligus aku akan dapat ikut bersama kakang Swandaru? Seandainya aku tidak dapat berbuat apa-pun juga atas bajak laut itu, setidak-tidaknya aku akan dapat membantu Sekar Mirah mengurangi ketegangan di hatinya.”

Swandaru-lah yang kemudian termangu-mangu. Dipandanginya wajah Ki Demang sejenak. Namun agaknya Ki Demang tidak dapat memberikan isyarat apapun juga kepadanya. Sehingga akhirnya Swandaru itupun harus mengambil sikap. Katanya, “Baiklah Pandan Wangi. Tetapi kita tidak akan terlalu lama berada di Tanah Perdikan Menoreh. Jika persoalan Kakang Agung Sedayu sudah selesai, maka kita akan segera kembali.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Jika Swandaru tidak berkeberatan, maka yang lain pun tentu tidak berkeberatan pula. Karena itu, maka Katanya, “Terima kasih Kakang. Rasa-rasanya keadaan di Sangkal Putung sudah berangsur baik. Apalagi setelah ada keputusan, siapa yang akan menggantikan kedudukan Kanjeng Sultan kelak.”

Ki Demang-lah yang kemudian berkata, “Jika demikian, maka sebelum kalian berangkat, sebaiknya kalian memberikan pesan kepada para pengawal. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu sepeninggal kalian.”

Namun dalam pada itu, Glagah Putih-lah yang berkata, “Ki Demang. Keadaan memang menjadi berangsur baik. Tetapi di sisi utara Mataram ternyata telah tumbuh kerusuhan baru. Bukan karena pertentangan antara Mataram dan Pajang. Tetapi akibat dari penyelesaian yang justru telah dicapai oleh Pajang dan Mataram. Beberapa kelompok orang yang kecewa terhadap keadaan ternyata telah melakukan tindakan tercela. Tentu saja hanya orang-orang yang putus asa dan tidak mempunyai pegangan hidup yang lain. Bukan orang-orang yang sudah memiliki nama. Namun demikian, agaknya Sangkal Putung perlu berhati-hati. Jika orang-orang itu kemudian bergeser ke timur, mereka menyentuh Kademangan Sangkal Putung.”

“Mungkin,” jawab Swandaru. Namun Katanya, “Tetapi di Prambanan orang-orang itu akan dihancurkan oleh pasukan Kakang Untara yang sebagian masih berada di sana.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia sendiri tidak bertemu dengan para peronda dari Prambanan ketika ia dengan tergesa-gesa menuju ke Sangkal Putung.

Meskipun demikian, berkata Swandaru kemudian, “Tetapi baiklah, aku akan segera menghubungi para pemimpin pengawal. Aku memang harus memberikan pesan-pesan kepada mereka. Sementara itu, Guru dan Pandan Wangi dapat berkemas lebih dahulu, jika kita memang akan segera berangkat dan tidak menunggu sampai esok pagi.”

Demikianlah, maka Swandaru pun kemudian justru meninggalkan Kademangan. Dua orang peronda telah diperintahkannya untuk memanggil beberapa orang pemimpin pengawal untuk datang ke banjar, sementara Swandaru sendiri juga pergi ke banjar.

Di Kademangan, Pandan Wangi dan Kiai Gringsing segera berkemas. Sedangkan di dapur, beberapa orang perempuan menjadi sibuk untuk menyediakan makan dan minum bagi Glagah Putih yang baru datang dan yang kemudian akan segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam kesempatan itu. Glagah Putih telah mandi dan kemudian minum minuman panas dan makan nasi yang masih hangat, sebelum ia berangkat lagi meninggalkan Sangkal Putung.

“Beristirahatlah barang sejenak,” berkata Kiai Gringsing, “Swandaru masih berada di banjar.”

“Nanti aku justru tertidur,” jawab Glagah Putih.

“Tidak apa. Nanti aku akan membangunkanmu,” jawab Kiai Gringsing. Tetapi, Glagah Putih tidak ingin tertidur agar ia tidak justru menjadi malas untuk bangun melanjutkan perjalanan.

Untunglah bahwa Glagah Putih telah terbiasa melakukan latihan-latihan yang keras, sehingga meskipun ia telah menempuh perjalanan yang panjang, namun ia masih cukup kuat untuk menempuh perjalanan yang sama ke arah yang berlawanan.

Dalam pada itu, selagi mereka yang berada di Sangkal Putung berbenah dan Swandaru menemui para pemimpin pengawal, di Tanah Perdikan Menoreh Agung Sedayu telah terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit. Agung Sedayu mulai merasakan, permulaan dari kekuatan ilmu lawannya yang nggegirisi. Terasa angin mulai menampar tubuhnya, sementara pukulan lawannya dari waktu ke waktu semakin dahsyat. Bajak laut itu kemudian tidak lagi merasa perlu untuk meloncat dan menjangkau Agung Sedayu untuk menyentuhnya pada serangan-serangannya yang dahsyat, tetapi kekuatan yang dahsyat telah menderanya, meskipun pukulan lawannya masih berjarak dari tubuhnya. Kekuatan yang bagaikan taufan menghantam tebing-tebing pantai yang tegak dengan melontarkan gelombang-gelombang yang dahsyat beruntun susul menyusul. Sementara tamparan serangan itupun mulai terasa bagaikan panasnya uap air yang sedang mendidih menyengat tubuhnya.

Namun, Agung Sedayu pun telah mempertebal lapis-lapis ilmu kebal pada tubuhnya, sehingga serangan-serangan itu tidak terlalu berpengaruh atas kulit wadagnya. Meskipun demikian, Agung Sedayu tidak dapat lengah menghadapi lawannya yang semakin lama menjadi semakin garang.

Di samping ilmu kebalnya, maka Agung Sedayu lebih banyak memperlihatkan kecepatan geraknya. Dengan tangkasnya ia berloncatan menghindari setiap serangan. Baik dengan sentuhan tubuh maupun dengan pukulan-pukulan berjarak.

Karena itu, yang mula-mula berkesan di jantung lawannya, bukan ilmu kebal yang melapisi wadag Agung Sedayu, tetapi justru kecepatannya bergerak.

“Anak muda itu memiliki kemampuan bergerak melampaui kemampuan orang kebanyakan, dan bahkan ilmu yang pernah aku kenal pada lawan-lawan yang pernah aku hadapi,” berkata bajak laut itu di dalam hatinya, sebagaimana kedua bajak laut yang lain, yang menyaksikan pertempuran itu.

Namun bajak laut itu masih belum tergetar oleh kecepatan gerak Agung Sedayu. Bajak laut itupun masih belum sampai ke puncaknya. Ia masih akan mampu meningkatkan ilmunya jauh lebih baik dan lebih dahsyat lagi. Ia akan mampu membakar lawannya sehingga menjadi hangus atau menderanya dan melemparkannya sehingga lawannya akan membentur batu raksasa yang berjajar dua sehingga disebut Watu Lawang itu.

Tetapi, bajak laut itu tidak ingin segera mengakhiri pertempuran. Memang ada niatnya untuk mempermainkan Agung Sedayu, agar sebelum orang itu dibunuhnya, Agung Sedayu lebih dahulu meyakini bahwa bajak laut itu memang memiliki ilmu yang lebih baik dari Ki Tumenggung Prabadaru.

Karena itu, maka dengan sengaja bajak laut itu meningkatkan ilmunya sedikit demi sedikit. Iapun sadar, bahwa Agung Sedayu masih juga mampu mengimbangi ilmunya pada tataran tertentu. Namun bajak laut itu yakin, bahwa pada suatu saat, Agung Sedayu akan sampai pada batas kemampuannya, sehingga ia harus mengakui kelebihan lawannya menjelang saat-saat kematiannya.”

“Kasihan,” desis bajak laut itu di dalam hatinya, “anak ini terlalu bangga kepada kemampuannya bergerak dengan cepat. Dengan demikian maka ia berpendapat, bahwa ia akan dapat menghindari setiap serangan. Namun jika hanya itu yang merupakan puncak kemampuannya, maka ia tentu tidak akan dapat membunuh Kakang Tumenggung Prabadaru. Namun bagaimanapun juga, pada suatu saat ia akan mengagumi ilmuku pada saat-saat kematian mulai mencekiknya.”

Setingkat demi setingkat bajak laut itu meningkatkan ilmunya yang nggegirisi. Kekuatan angin yang melanda Agung Sedayu menjadi semakin dahsyat. Bahkan kemudian angin itu mulai berputar. Agung Sedayu mulai merasa dirinya dihisap oleh pusaran. Seolah-olah pusaran air yang mempunyai kekuatan tidak terbatas telah menghisapnya ke dasar bumi. Sedangkan udara panas semakin lama menjadi semakin panas menerpa kulitnya.

Namun, Agung Sedayu pun telah meningkatkan ilmu kebalnya. Dengan demikian, maka ia telah terlindung dari serangan panas dan tamparan angin di tubuhnya. Sementara itu, dengan kekuatannya dan kemampuannya mengatasi bobot tubuhnya, maka Agung Sedayu setiap saat dapat melenting melepaskan diri dari hisapan pusaran yang serasa akan melumpuhkannya.

Bajak laut itu tersenyum melihat Agung Sedayu berloncatan seperti kijang kepanasan. Bajak laut itu menganggap bahwa kekuatan utama Agung Sedayu adalah pada kecepatannya bergerak, sehingga ia dapat menghindarkan diri dari serangan-serangannya.

“Sampai seberapa jauh ia mampu menghindar,” berkata bajak laut itu di dalam hatinya, “betapapun tinggi kecepatan geraknya, tetapi seranganku akan datang lebih cepat. Pada saatnya ia akan terkapar, memandang mataku dengan penuh penyesalan, sehingga kematian yang akan menelannya telah diwarnai dengan perasaan paling pahit di hatinya.”

Dengan demikian, maka bajak laut itu telah meningkatkan serangan-serangannya. Sementara Agung Sedayu pun bergerak lebih cepat. Namun pada satu batas tertentu, Agung Sedayu telah menentukan satu sikap, bahwa ia bukan sekedar sasaran coba kemampuan ilmu bajak laut itu.

Karena itulah, maka dengan memanfaatkan kecepatan geraknya, Agung Sedayu berusaha untuk dapat mendekati lawannya. Meskipun bajak laut itu mampu menyerangnya pada jarak tertentu, namun ternyata Agung Sedayu berhasil menyusup di antara serangan-serangan bajak laut itu. Yang mula-mula membuat lawannya heran dan hampir tidak percaya adalah loncatan-loncatan Agung Sedayu yang semakin cepat dan mulai membingungkan. Seolah-olah Agung Sedayu tiba-tiba saja berada di tempat yang tidak mungkin dijangkaunya.

Dalam pada itu, sebenarnyalah Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmunya yang dapat membuatnya melenting dan meloncat melampaui kemampuan orang kebanyakan, telah ditingkatkannya pula. Tubuh Agung Sedayu menjadi semakin ringan. Loncatan-loncatannya menjadi semakin panjang, tinggi dan cepat. Bahkan kadang-kadang terlepas dari kemampuan pengamatan lawannya.

Bajak laut itu mulai menjadi berdebar debar. Ia mulai melihat satu kelebihan pada lawannya. Meskipun ia mampu menyerang dari jarak tertentu, namun sasarannya ternyata bukan kayu atau batu yang beku. Ternyata sasaran serangannya mampu bergerak semakin lama semakin cepat melampaui kecepatan pengamatannya, apalagi kecepatan serangannya.

Karena itu, maka bajak laut itupun menjadi semakin marah menghadapi lawannya. Jika semula ia masih dapat tersenyum melihat Agung Sedayu berloncatan menghindari serangannya, namun kemudian ia mulai menilai lawannya itu. Ternyata kemampuan geraknya bukannya kemampuan sewajarnya betapapun banyaknya ia mempergunakan waktu untuk melatih diri. Bajak laut itupun kemudian melihat, bahwa kemampuan melenting, meloncat dan menghindar lawannya itu tentu didorong oleh sejenis ilmu yang tinggi.

Sebenarnyalah, akhirnya bajak laut itupun menyadari, bahwa Agung Sedayu tentu sudah berhasil melepaskan diri dari hambatan bobot tubuhnya, atau kemampuan mempergunakan tenaga cadangan yang sangat tinggi untuk mengatasi bobot tubuhnya itu.

“Aku tidak boleh terlalu lamban,” berkata bajak laut itu kepeda diri sendiri, “dan akupun tidak boleh menganggapnya terlalu ringan. Aku harus selalu ingat, bahwa orang ini telah berhasil membunuh Kakang Tumenggung Prabadaru.” Namun kemudian katanya pula di dalam hati, “Tetapi aku memiliki kelebihan dari Kakang Tumenggung Prabadaru.”

Untuk beberapa saat lamanya, bajak laut itu masih tetap dengan ilmunya yang didapatkannya sebagaimana Ki Tumenggung Prabadaru. Namun pengalamannya yang panjang dan penuh dengan tantangan di lautan, telah membuat bajak laut itu lebih garang dari Ki Tumenggung. Geraknya lebih cepat dan lebih kuat. Sementara itu, kekasaran lingkungannya telah mempengaruhinya pula.

Demikianlah, pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat. Agung Sedayu bukan saja sekedar berloncatan menghindar, tetapi iapun mulai menyerang lawannya. Dengan kemampuannya bergerak melampaui kemampuan gerak lawannya, maka Agung Sedayu berhasil menyusup di antara kekuatan serangan lawannya dan mulai menyentuh tubuh bajak laut itu.

Sentuhan tangan Agung Sedayu adalah sentuhan tangan orang berilmu. Karena itu, sentuhan itu terasa pedih di kulit bajak laut yang merasa memiliki kemampuan mumpuni itu.

“Gila,” geram bajak laut itu, “justru anak itu yang telah berhasil mengenai tubuhku.”

Namun daya tahan bajak laut itupun luar biasa. Perasaan pedih oleh sentuhan tangan Agung Sedayu itupun segera dapat diatasi. bahkan kemarahannya yang semakin meningkat telah membuatnya menjadi semakin garang pula.

Tetapi Agung Sedayu masih tetap tenang. Kemarahan lawannya bukan sesuatu yang menakutkan. Bahkan Agung Sedayu sendiri selalu menyadari, bahwa ia tidak boleh terbenam ke dalam arus kemarahan yang tidak terkendali. Karena dengan demikian akan dapat membuat penalarannya menjadi buram.

Demikianlah, pertempuran antara kedua orang berilmu tinggi itu menjadi semakin cepat. Orang-orang yang menjadi saksi dari pertempuran itu menjadi semakin berdebar-debar pula. Jika semula mereka berdebar-debar untuk menilai kemampuan kedua orang itu, kemudian mereka menjadi berdebar-debar karena ilmu mereka yang semakin meningkat serta benturan-benturan yang nampaknya menjadi semakin gawat.

Agung Sedayu masih tetap beralaskan pada kecepatan geraknya. Ia berusaha untuk mendahului setiap gerak bajak laut yang garang itu. Dengan demikian, maka iapun berhasil memotong langkah-langkahnya dan bahkan serangan-serangannya.

Tetapi, bajak laut itu mampu melakukan serangan yang sulit diperhitungkan. Seolah-olah, demikian tiba-tiba dan dengan jangkauan jarak tertentu. Karena itu, maka sekali-sekali serangan bajak laut itupun telah mengenai sasarannya pula.

Meskipun tamparan angin prahara yang keras tidak melukai kulit Agung Sedayu, namun kadang-kadang iapun telah terlempar beberapa langkah surut. Tetapi demikian kakinya berhasil menyentuh tanah, maka tubuhnya segera melenting. Jauh melampaui perhitungan lawannya dan ke arah yang tidak terduga-duga. Dengan demikian, maka untuk melontarkan serangan selanjutnya, bajak laut itu masih harus berpikir dan membuat perhitungan-perhitungan tertentu. Dalam keadaan yang demikian, maka kadang-kadang Agung Sedayu-lah yang telah menyerang mendahului serangan lawannya, langsung menghantam wadag lawannya.

Sekali-sekali terdengar bajak laut itu mengumpat kasar. Namun, bajak laut itu masih belum memperhitungkan ilmu kebal Agung Sedayu. Ia masih saja terpancang kepada kemampuan gerak Agung Sedayu yang sangat cepat dan sulit untuk diperhitungkan.

Dalam kemarahan yang semakin menyala, maka tubuh bajak laut itu seakan-akan telah menjadi semakin panas pula memanasi udara di sekitarnya. Bahkan dengan kemampuan serangannya, maka arus panas itu seakan-akan telah mengalir dengan derasnya menyapu seluruh arena. Bahkan orang-orang yang berdiri di luar arenapun merasakan, betapa tubuh mereka tersengat oleh panasnya udara.

Sekar Mirah menjadi semakin berdebar-debar. Ia sadar, bahwa lawannya telah membakar udara sebagaimana dilakukan oleh Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi, Sekar Mirah pun telah menghibur hatinya sendiri dengan satu keyakinan, bahwa Agung Sedayu akan dapat mengatasi udara panas itu, sebagaimana telah terjadi saat ia bertempur dengan Ki Tumenggung Prabadaru.

Sementara itu Ki Waskita pun menjadi berdebar-debar pula. Ia memang melihat sesuatu yang berbahaya pada bajak laut itu. Nampaknya ia mampu mempergunakan kekuatan sapuan anginnya dan kekuatan apinya yang mampu memanasi kekuatan air di dalam dirinya. Karena itu, maka mata batin Ki Waskita melihat lembaran-lembaran kabut panas dari uap air yang mendidih dihembus oleh arus yang kuat, mendera Agung Sedayu.

Tetapi, sebagaimana Ki Waskita dapat melihat dengan mata batinnya, ternyata Agung Sedayu pun dapat melihatnya pula. Karena itu, maka iapun menjadi berdebar-debar. Nampaknya lembaran-lembaran kabut uap air yang sangat panas itu merupakan salah satu kelebihan dari bajak laut itu dari Ki Tumenggung Prabadaru.

Dengan penglihatannya yang sangat tajam itu, Agung Sedayu berhasil setiap kali menghindari sambaran-sambaran kabut panas yang tidak kasat mata itu.

“Gila,” geram bajak laut itu, “ia berhasil menghindari serangan-seranganku yang berbahaya. Seakan-akan ia melihat sergapan kabut panas itu.”

Tetapi, bajak laut itu belum yakin akan penglihatan Agung Sedayu. Mungkin Agung Sedayu hanya memperhitungkan berdasarkan sikapnya saja. Namun demikian, bajak laut itupun menjadi semakin menyadari, bahwa lawannya memang orang luar biasa.

“Pantaslah, bahwa ia mampu membunuh Kakang Tumenggung Prabadaru. Ia mampu menghindari serangan-serangan yang tidak dilakukan oleh Ki Tumenggung,” berkata bajak laut itu di dalam hatinya.

Namun demikian, bajak laut itu masih mempunyai beberapa kelebihan yang masih akan mampu meningkatkan ilmunya. Kegarangannyalah yang kemudian menjadi semakin nampak pada sikapnya, melampaui kegarangan Ki Tumenggung Prabadaru.

Dengan demikian, maka serangan-serangan bajak laut itu menjadi semakin lama semakin cepat. Tetapi, Agung Sedayu pun semakin sering menyentuh lawannya. Namun ketahanan tubuh bajak laut itu menjadi semakin meningkat pula, sejalan dengan meningkatnya ilmunya yang nggegirisi.

Udara pun rasa-rasanya menjadi semakin panas. Prahara pun bertiup semakin keras menerpa tubuh Agung Sedayu, sementara pusaran yang seakan-akan menghisapnya ke jantung bumi pun menjadi semakin cepat. Dalam pada itu, lembaran-lembaran kabut panas pun seakan-akan menjadi semakin sering mengalir menjilat Agung Sedayu. Namun setiap kali Agung Sedayu masih tetap mampu menghindari.

Namun, ternyata bahwa pada saat-saat tertentu serangan bajak laut itupun berhasil menyentuh tubuh Agung Sedayu. Bahkan telah menggetarkan jantung Agung Sedayu pula. Lembaran-lembaran kabut panas yang dilontarkan dengan kemarahan yang semakin meluap itu, ternyata berhasil menyusup perisai ilmu kebalnya. Panas yang semakin tinggi itu rasa-rasanya benar-benar membakar kulitnya.

“Apa jadinya jika aku tidak mendapat kurnia ilmu kebal ini,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya dengan ucapan syukur.

Namun dengan demikian Agung Sedayu merasa, bahwa ia memang harus lebih berhati-hati menghindari lawannya yang garang itu.

Sementara itu, kedua orang bajak laut yang lain yang menyaksikan pertempuran itu pun menjadi tegang pula sebagaimana saksi-saksi lainnya.

Kedua bajak laut itu melihat, bahwa saudara seperguruannya yang bertempur melawan Agung Sedayu itu telah mulai dengan ilmunya yang nggegirisi. Kabut panas itu telah mulai dihembuskan ke arah Agung Sedayu. Tetapi kedua bajak laut itupun kemudian melihat bahwa kabut itu tidak mampu melumpuhkannya. Dengan penglihatannya yang tajam, maka kedua bajak laut itu dapat lebih jelas melihat, daripada saudara seperguruannya yang justru sedang berperang tanding.

“Sekali-sekali kabut itu telah menyentuhnya,” berkata salah seorang dari bajak laut itu di dalam dirinya.

Selangkah demi selangkah ia bergeser mendekati yang lain. Namun ternyata saudara seperguruannya itupun berdesis, “Aku melihat sesuatu yang mendebarkan pada anak itu.”

“ Sentuhan kabut panas itu?” bertanya yang lain.

Bajak laut itupun mengangguk. Katanya, “Seharusnya panas itu dapat mempengaruhinya. Tetapi anak itu seakan-akan tidak merasakan sesuatu. Atau seandainya terasa juga olehnya, namun daya tahan tubuhnya memang sangat luar biasa.”

Bajak laut yang lain menarik nafas. Tetapi kekesalan nampak bergejolak di wajahnya.

“Agaknya penglihatan anak itu cukup tajam. Ia melihat sergapan kabut panas itu. Ia memiliki kecepatan gerak yang memungkinkan untuk menghindarkan diri,” berkata yang seorang.

Tetapi yang lain menyahut, “Tetapi ia tidak berhasil menghindar sepenuhnya. Ujung kabut itu menjilatnya.”

Saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Iapun melihat hal yang tidak dapat dilihat oleh saudara seperguruannya yang sedang bertempur.

“Memang luar biasa,” desis bajak laut yang menyaksikan pertempuran itu, “ternyata ada juga orang yang tidak hangus oleh jilatan ilmu kita yang tidak ada bandingnya ini.”

Tetapi yang lain tersenyum. Katanya, “Kita belum melepaskan seluruh kemampuan kita. Apa yang dapat dilakukan oleh anak itu, jika kita mempergunakan ilmu yang kita sadap dari pendeta di pulau kecil di laut Kuning?”

“Yang kita sebut Gelap Ngampar itu bukan ilmu yang asing bagi kita di sini. Karena itu tidak mustahil anak itupun telah mengenalnya,” jawab yang lain.

Bajak laut itu mengerutkan keningnya. Agaknya Agung Sedayu memang seorang yang luar biasa.

Namun tiba-tiba salah seorang bajak laut itu berkata, “He, apakah ia memiliki ilmu Tameng Waja seperti Kanjeng Sultan Trenggana yang tdmurun kepada menantunya Jaka Tingkir yang bergelar Kanjeng Sultan Hadiwijaya?”

“Seandainya ilmu itu diwarisi oleh Sultan Hadiwijaya, apakah akan sampai juga kepada Agung Sedayu?” desis yang lain.

Yang lain tidak menjawab. Tetapi keduanya menjadi tegang karena saudara seperguruannya telah menghentakkan kemampuannya untuk menyerang Agung Sedayu.

Serangan itu demikian cepatnya menampar ke arah Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu memang mempunyai kemampuan bergerak melebihi kecepatan serangan lawannya.

Tetapi lawannya yang menyadari kecepatan gerak Agung Sedayu telah memperhitungkannya. Karena itu, maka tiupan prahara berikutnya dengan serta merta telah menyongsong arah loncatan Agung Sedayu.

Agung Sedayu terkejut. Ia menggeliat sehingga arah loncatannya pun berubah. Namun agaknya ia tidak dapat melepaskan diri seutuhnya dari serangan itu.

Karena itu, maka serangan bajak laut itu telah menghantam pundaknya, sehingga Agung Sedayu pun telah terdorong oleh kekuatan yang demikian kerasnya dan kabut yang panasnya tidak terkatakan.

Tubuh Agung Sedayu masih dilindungi oleh ilmu kebalnya, sehingga dorongan prahara yang membawa kabut panas itu tidak membakar tubuhnya. Tetapi tubuh itu terdorong beberapa langkah surut. Bahkan tubuh Agung Sedayu telah terpilin oleh sebuah pusaran yang bagaikan menghisapnya ke dalam pusat bumi, disertai oleh sengatan panas yang luar biasa.

Agung Sedayu tidak mampu mempertahankan keseimbangan oleh serangan itu. Karena itulah, maka Agung Sedayu yang terpilin itu jatuh terbanting. Namun kemampuannya yang tinggi telah berhasil melepaskan dirinya dari perasaan terhisap oleh pusaran air yang sangat deras. Dengan satu hentakkan yang kuat, Agung Sedayu justru telah melenting, sementara perasaan panas yang menyengat tubuhnya dapat diatasinya oleh ilmu kebal dan daya tahan tubuhnya.

Namun hentakan kekuatan yang tergesa-gesa itu, agaknya telah melepaskan Agung Sedayu dari perhitungan yang cermat. Karena itu, maka loncatannya yang dilontarkan oleh kekuatan yang sangat besar itu telah membuat orang-orang yang menyaksikan tercengang karenanya. Ternyata bahwa Agung Sedayu telah meloncat jauh melampaui kemampuan loncat sewajarnya. Tubuhnya seakan-akan memang tidak berbobot, sementara daya dorong kakinya seakan-akan tidak terbatas kuatnya. “Gila,” geram lawannya.

Keheranannya membuatnya termangu sejenak. Namun yang sejenak itu ternyata telah memberi kesempatan Agung Sedayu untuk berdiri tegak dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

“Anak iblis,” geram bajak laut, “pantas kau mampu membunuh Kakang Tumenggung Prabadaru. Tetapi aku kira hanya sampai di sini batas kemampuan Kakang Tumenggung, sementara aku masih akan menunjukkan kepadamu, berbagai macam ilmu yang lebih mapan dari ilmu Kakang Tumenggung, apalagi ilmu yang pernah aku sadap selama petualanganku di lautan dan yang tidak pernah dikenal oleh Kakang Tumenggung.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa lawannya masih akan meningkatkan ilmunya, meskipun dugaan bajak laut itupun salah, karena Ki Tumenggung memiliki kematangan ilmu melampaui ilmu yang sudah dilontarkan oleh bajak laut itu.

Demikianlah, sejenak kemudian kedua orang itupun telah bersiap-siap sepenuhnya untuk memulai lagi pertempuran yang lebih dahsyat dalam lambaran ilmu yang semakin meningkat. Agung Sedayu pun kemudian telah sampai pada batas penjajagannya. Ia sudah yakin akan kemampuan ilmu lawannya yang memang benar-benar menggetarkan. Karena itu, maka iapun harus mempersiapkan diri memasuki satu pertempuran yang akan mengerahkan segenap ilmu yang ada pada dirinya. Jika semua yang dimiliki sudah ditumpahkannya, namun masih belum juga mampu mengimbangi kemampuan lawannya, itu berarti perlawanannya akan patah dan ia tidak akan dapat lagi keluar dari arena pertempuran itu.

Sebenarnyalah pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin meningkat. Betapapun masing-masing menjadi berdebar-debar menilai kemampuan lawannya.

Ternyata kedua orang yang bertempur itu melihat bahwa yang dimiliki lawannya lebih baik dari yang mereka duga sebelumnya.

Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu dan bajak laut yang bertempur di Tanah Perdikan Menoreh itu menuju ke puncak ilmu masing-masing, di Sangkal Putung, beberapa orang tengah bersiap-siap untuk berangkat.

Beberapa orang pemimpin pengawal Sangkal Putung telah mengantar mereka sampai ke mulut lorong padukuhan induk. Sementara kuda-kuda yang membawa mereka berpacu menembus gelapnya malam yang pekat.

Baru ketika kuda-kuda itu hilang di dalam kegelapan, maka para pemimpin pengawal di Sangkal Putung itupun kembali ke Kademangan. Tanpa Swandaru dan Pandan Wangi, maka para pengawal di Sangkal Putung benar-benar harus bersiaga menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi. Apalagi Glagah Putih telah mengatakan kepada anak-anak Sangkal Putung, bahwa daerah yang dilalui ternyata agak terganggu oleh kerusuhan-kerusuhan yang memaksa para pengawal dari Mataram harus hekerja keras.

Dalam pada itu, Swandaru yang meninggalkan kademangannya bersama dengan istrinya mengikuti Kiai Gringsing, telah memberikan banyak pesan kepada para pengawal.

Namun agaknya Kiai Gringsing tidak ingin mengalami peristiwa seperti yang terjadi pada Glagah Putih, sehingga akan dapat menghambat perjalanan mereka. Karena itu, maka Kiai Gringsing telah mengajak iring-iringan kecil itu menempuh jalan yang agak lebih jauh lagi dari Mataram, agar mereka lebih cepat sampai di Tanah Perdikan Menoreh, karena mereka tidak harus berhenti di gardu-gardu pengawal Mataram.

“Para peronda Mataram tidak akan sampai pada jarak yang sejauh itu. Jika daerah itu memang memerlukan perlindungan, maka tentu ada sekelompok yang lebih besar yang ada di sana, sehingga mungkin sekali ada orang yang telah mengenal kita di antara mereka,” berkata Kiai Gringsing.

Demikianlah iring-iringan itu berpacu terus. Glagah Putih tidak mempergunakan kuda yang dipakainya dari Tanah Perdikan Menoreh dan mendapatkan kuda yang segar. Kudanya telah ditinggalkan di Sangkal Putung, dan ia telah mempergunakan kuda dari Sangkal Putung.

Demikianlah, dalam malam yang gelap, sekelompok orang telah melintasi bulak-bulak panjang. Namun agar perjalanan itu tidak mengejutkan, maka mereka tidak beriringan dalam satu kelompok. Dalam jarak beberapa puluh langkah, Swandaru dan Pandan Wangi berkuda di depan, sementara Kiai Gringsing dan Glagah Putih di belakang.

Sejauh mungkin mereka menghindari gardu-gardu di padukuhan-padukuhan agar mereka tidak harus selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan anak-anak muda yang meronda.

Namun ternyata tidak setiap padukuhan masih cukup bersiap dengan peronda-peronda di gardu. Bahkan pengaruh penyelesaian yang sudah dicapai antara Mataram dan Pajang menjadikan anak-anak muda segan untuk berada di gardu-gardu, sebagaimana masih tetap dilakukan oleh anak-anak muda Sangkal Putung.

Perjalanan itu merupakan perjalanan yang cukup melelahkan bagi Glagah Putih. Tetapi ternyata bahwa anak muda itu memiliki ketahanan tubuh yang tinggi, karena pengaruh latihan-latihan yang berat yang selalu dilakukannya.

Meskipun Glagah Putih sama sekali tidak memejamkan matanya, sementara itu perjalanan di atas punggung kuda itu cukup panjang, namun Glagah Putih tidak terpengaruh karenanya. Ia masih tetap tangkas dan segar. Ada juga terasa keletihan pada tubuhnya, tetapi perasaan itu dapat diatasinya.

Sebenarnyalah perjalanan dari Sangkal Putung ke Tanah Perdikan Menoreh bukannya perjalanan yang pendek. Karena itu, maka mereka memerlukan waktu yang cukup panjang. Apalagi untuk menjaga agar kuda mereka tidak terlalu letih, sekali-sekali mereka harus juga beristirahat.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih rasa-rasanya menjadi sangat gelisah. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya. Rasa-rasanya ia melihat Agung Sedayu sudah terlibat ke dalam perang tanding yang berat.

“Aku hanya diganggu oleh kegelisahanku sendiri,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Karena itu, ia justru berusaha untuk melupakan kegelisahannya itu.

Tetapi, ketika iring-iringan itu beristirahat untuk memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk sekedar minum di pinggir Kali Opak, maka di luar sadarnya, Glagah Putih yang duduk bersandar sebatang pohon, telah tertidur sekejap. Namun yang sekejap itu benar-benar membuat jantungnya bagaikan retak. Bahkan tiba-tiba saja ia telah terloncat berdiri sambil menggeram.

“Glagah Putih,” Kiai Gringsing cepat-cepat menggapainya, “ada apa, he?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian mengatakan kepada Kiai Gringsing, bahwa seolah-olah ia melihat Agung Sedayu terdesak dalam satu perang tanding melawan bajak laut itu.

Tetapi, Kiai Gringsing justru tersenyum. Katanya dengan sareh, “Kau terlalu memikirkan keadaan kakakmu Ngger. Tetapi bukankah menurut perhitunganmu, bajak laut itu belum akan mengajaknya berperang tanding malam ini?”

“Nampaknya begitu Kiai. Tetapi aku selalu merasa cemas, bahwa bajak laut itu telah berbuat licik dan merubah tantangannya,” jawab Glagah Putih.

“Baiklah,” jawab Kiai Gringsing, “kita akan secepatnya mencapai Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kita tidak dapat memaksa kuda-kuda ini untuk berlari tanpa beristirahat.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka telah meneruskan perjalanan. Sementara itu Glagah Putih seakan-akan tidak dapat menunggu kawan-kawan seperjalanannya yang terlalu lamban. Namun iapun tidak dapat menolak jika pada saat mereka harus beristirahat karena kuda-kuda mereka yang lelah.

Prambanan masih cukup jauh dari Tanah Perdikan Menoreh. Mereka baru mencapai kira-kira seperempat perjalanan. Karena itu, maka mereka tidak akan dapat mencapai Tanah Perdikan Menoreh sebelum pagi.

“Akupun merasa cemas Guru” desis Swandaru yang kemudian berkuda di sebelah Kiai Gringsing, sementara Pandan Wangi berkuda di belakang Glagah Putih di hadapan mereka.

“Apakah kau juga menganggap bahwa bajak laut itu akan berbuat curang?” bertanya Kiai Gringsing.

“Nampaknya dapat juga demikian Guru,” jawab Swandaru, “tetapi seandainya Kakang Agung Sedayu harus berperang tanding, maka iapun akan mengalami kesulitan. Ketika ia bertempur melawan Ki Tumenggung Prabadaru, Kakang Agung Sedayu menjadi pingsan. Kemampuannya tidak jauh di atas kemampuan Ki Tumenggung. Sementara itu menurut pendapatku, memang mungkin bahwa bajak laut itu memiliki kelebihan dari Ki Tumenggung Prabadaru. Apalagi Kakang Agung Sedayu baru saja sembuh dari kesulitan karena luka-luka bagian dalam tubuhnya dalam pertempuran di Prambanan itu.”

“Tetapi nampaknya Agung Sedayu tidak mempunyai pilihan lain,” jawab Kiai Gringsing.

Sementara itu Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Tetapi Swandaru merasa ragu-ragu.

Namun keragu-raguannya itu dapat ditangkap oleh Kiai Gringsing. Karena itu, Katanya, “Swandaru. Agaknya kau mempunyai satu pendapat. Katakan. Mungkin pendapatmu itu bermanfaat.”

Swandaru masih saja ragu-ragu. Tetapi akhirnya iapun berkata, “Guru. Adalah satu kebetulan, bahwa akulah yang lebih dahulu mendapat kesempatan untuk mempelajari kitab yang Guru pinjamkan itu. Seandainya Kakang Agung Sedayu-lah yang mendapat kesempatan itu, mungkin meskipun baru selapis tipis, namun ilmunya sudah meningkat. Dengan demikian, rasa-rasanya ada juga tambahan bekalnya untuk menghadapi bajak laut yang menurut pengakuannya memiliki kelebihan dari Ki Tumenggung itu.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi Katanya, “Kita akan selalu berdoa. Mudah-mudahan Agung Sedayu mendapat perlindungan, sehingga kali ini pun Agung Sedayu akan dapat menyelesaikan kewajibannya dengan baik.”

Swandaru pun mengangguk-angguk sambil berdesis, “Mudah-mudahan. Tetapi bagaimana jika kita mendasarkan kemungkinan yang lain berdasarkan perhitungan?”

“Maksudmu?” bertanya Kiai Gringsing.

“Guru,” berkata Swandaru kemudian, “bukan maksudku untuk memperkecil arti Kakang Agung Sedayu, karena Kakang Agung Sedayu adalah saudara tua seperguruanku. Tetapi adalah satu kenyataan, bahwa aku telah mendapat kesempatan pertama untuk mempelajari isi kitab yang Guru pinjamkan itu. Satu susunan pengetahuan tentang perguruan Windujati serta ilmu-ilmu yang diturunkannya. Karena itu, aku telah mendapat kesempatan pertama kalinya untuk meningkatkan ilmu yang pernah kami terima bersama dari Guru.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera menyahut. Ia masih menunggu Swandaru meneruskan, “Karena itu Guru. Seandainya segala pihak menyetujui, biarlah aku saja yang mewakili Kakang Agung Sedayu. Kita dapat memberikan alasan, bahwa keadaan Kakang Agung Sedayu masih belum pulih kembali. Sehingga ada dua kemungkinan yang dapat dipilih oleh bajak laut itu. Menunggu sampai keadaan Kakang Agung Sedayu pulih kembali, yang berarti mereka harus menunggu untuk waktu yang tidak terbatas, atau perang tanding itu dapat diwakili oleh adik seperguruan Kakang Agung Sedayu.”

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Ada sesuatu yang bergetar di dalam hatinya. Perasaan bersalah masih saja terasa menggelitik hatinya. Seharusnya ia mampu memberikan gambaran dari satu kenyataan tentang kemampuan Agung Sedayu dan Swandaru, sehingga Swandaru tidak selalu salah menilai kemampuan Agung Sedayu dan kemampuannya sendiri. Tetapi Kiai Gringsing masih belum sampai hati untuk mengatakannya. Ia ingin menjelaskan keadaan itu, setelah kedua muridnya selesai dengan waktu tiga bulan yang diberikannya. Namun sebelum waktu itu lampau, Agung Sedayu sudah harus menghadapi satu tantangan yang berat. Tantangan dari saudara seperguruan Ki Tumenggung Prabadaru.

Menurut penilaian Kiai Gringsing, Swandaru masih belum dapat dihadapkan pada Ki Tumenggung yang memiliki kemampuan yang nggegirisi. Apalagi jika benar bajak laut itu memiliki kelebihan karena pengalaman perantauannya menjelajahi samudra dan benua. Memang tidak mustahil hubungannya dengan orang-orang berilmu di benua lain akan dapat memberikan kesempurnaan dari ilmu yang mereka terima bersama Ki Tumenggung Prabadaru dari perguruan mereka.

Untuk sejenak Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Kuda mereka masih herpacu di bulak panjang dalam gelapnya malam. Di paling depan berpacu Glagah Putih. Di belakangnya Pandan Wangi mengiringinya. Kemudian Kiai Gringsing dan Swandaru berpacu bersama-sama sambil berbincang.

Karena Kiai Gringsing tidak segera menjawab, maka Swandaru pun bertanya, “Bagaimana pendapat Guru?”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Angin malam yang menyentuh wajah mereka terasa betapa sejuknya. Namun jantung Kiai Gringsing masih saja berdebaran.

Meskipun dengan ragu-ragu Kiai Gringsing pun kemudian menjawab, “Swandaru. Dalam hal ini dendam bajak laut itu ditujukan kepada orang yang telah membunuh saudara seperguruannya. Ia tidak mempunyai persoalan dengan Agung Sedayu dan perguruannya secara langsung. Tetapi bajak laut itu ingin membalas dendam kepada Agung Sedayu. Tidak kepada orang lain.”

“Tetapi aku juga saudara seperguruan Agung Sedayu,” jawab Swandaru, “bukankah akupun berhak menuntut balas sebagaimana mereka lakukan atas Kakang Agung Sedayu.”

“Tetapi, Agung Sedayu wajib mencobanya dahulu. Agaknya Agung Sedayu pun mempunyai harga diri pula sehingga ia tidak akan menolaknya,” berkata Kiai Gringsing.

Swandaru mengangguk-angguk. Namun Katanya, “Sebenarnya seseorang tidak perlu terikat kepada harga diri. Jika seseorang menyadari kekurangannya, maka ia tidak perlu membunuh diri hanya karena harga diri saja.”

Kiai Gringsing tidak menyahut. Sekali lagi perasaan bersalah tergetar di jantungnya. Namun dalam pada itu, ia berkata dalam hati, “Biarlah Swandaru menyaksikan langsung, apa yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Mudah-mudahan ia tidak menyalahkan aku, seolah-olah aku telah memberikan lebih banyak kepadanya. Seharusnya Swandaru melihat, hasil perkembangan ilmu Agung Sedayu dan ilmu-ilmu lain yang didapatkannya di luar ajaran yang pernah aku berikan, meskipun setiap kali ia telah memberikan laporan kepadaku tentang perkembangannya.”

Demikianlah, untuk beberapa saat lamanya mereka tidak lagi berbincang. Swandaru tidak akan dapat menggantikan Agung Sedayu menghadapi bajak laut itu. Namun telah menyala tekad di hati Swandaru. Jika terjadi sesuatu atas Agung Sedayu, maka iapun berhak menuntut balas kepada bajak laut itu sebagaimana telah dilakukannya atas Agung Sedayu karena kematian saudara seperguruannya, Ki Tumenggung Prabadaru.

Dalam kediaman itu, kuda-kuda merekapun telah berpacu. Mereka tidak menempuh jalan yang dilalui Glagah Putih ketika ia berangkat. Sekali-sekali mereka memang melalui padukuhan-padukuhan. Mereka lalu saja di hadapan gardu-gardu yang diterangi oleh obor-obor minyak. Beberapa anak muda yang berada di gardu tercengang-cengang melihat mereka lewat. Bahkan ada di antara anak-anak muda yang berada di gardu-gardu justru menjadi ketakutan dan sama sekali tidak berniat untuk menghentikan kuda-kuda yang berpacu itu.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dan bajak laut yang berperang tanding di Watu Lawang telah meningkat semakin dahsyat. Mereka telah memasuki tataran ilmu mereka yang paling tinggi. Air kabut panas telah meliputi seluruh arena, sehingga Agung Sedayu harus berterbangan kian kemari. Namun, sekali-sekali kecepatan geraknya telah berhasil menyusup pertahanan bajak laut itu. Setiap sentuhan tangan Agung Sedayu yang dilambari ilmunya yang tinggi, rasa-rasanya seperti tersentuh bara api.

“Orang ini benar-benar berilmu iblis,” geram bajak laut itu. Namun ia masih belum sampai ke puncak ilmunya.

Karena itu, maka bajak laut itupun kemudian telah memutuskan untuk meningkatkan ilmunya sampai ke puncak. Udara yang dibakar oleh panasnya api serta uap air yang bagaikan mendidih, rasa-rasanya benar-benar telah meliputi seluruh arena. Bajak laut itu telah benar-benar ingin mengakhiri pertempuran dengan memanggang Agung Sedayu pada panasnya uap yang tidak ada bandingnya.

Udara yang panas itupun terasa pula dari luar arena. Bahkan, mereka yang menyaksikan pertempuran itu harus bergeser mundur beberapa langkah. Rasa-rasanya merekapun telah terpanggang oleh arus udara yang mengandung uap air yang mendidih.

Sekar Mirah benar-benar menjadi cemas. Bahkan Ki Gede pun merasa cemas juga sebagaimana Ki Lurah Branjangan dan Ki Waskita.

Tetapi Agung Sedayu sendiri masih mampu mengatasi panasnya udara yang mengandung uap yang mendidih itu dengan ilmu kebalnya. Meskipun panas itu berhasil menyusup, tetapi sebagian terbesar dari serangan itu telah tertahan oleh perisai ilmu kebal Agung Sedayu.

Bahkan seperti yang pernah terjadi, ketika Agung Sedayu sampai kepada puncak ilmu kebalnya, maka terasa dari tubuhnya juga memancar udara yang panas memanasi sekitarnya.

Bajak laut itupun kemudian terkejut karenanya. Ilmunya dapat membakar lawannya, tetapi tidak memanasi dirinya sendiri. Namun tiba-tiba ia merasa udara di sekitarnya menjadi panas pula.

“Anak iblis ini mampu melontarkan ilmu seperti aku pula?” pertanyaan itu telah bergejolak di dalam hatinya. Sejalan dengan itu kegelisahan mulai merayapi jantung bajak laut itu. Serangan-serangannya ternyata mampu dielakkan oleh Agung Sedayu dan bahkan kemudian Agung Sedayu mampu pula memancarkan panas dari dalam dirinya.

Karena itu, maka tidak ada pilihan lain dari bajak laut itu kecuali benar-benar memasuki kemampuan yang masih belum dapat dicapai oleh Ki Tumenggung Prabadaru. Tiba-tiba saja terdengar suara menggelegar ketika bajak laut itu tertawa. Suaranya seolah-olah mengguncang-guncang seisi Tanah Perdikan Menoreh.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa lawannya telah melontarkan kekuatan lewat suaranya. Namun serangan itu sama sekali tidak menggetarkan Agung Sedayu. Dengan kemampuannya memusatkan nalar budinya, maka Agung Sedayu seakan-akan mampu menutup indra pendengarannya, sehingga suara Aji Gelap Ngampar itu tidak menghantam isi dada Agung Sedayu. Bahkan Agung Sedayu pun berhasil menutup pendengaran batinnya yang menjadi sasaran serangan Gelap Ngampar.

Tetapi ternyata bagi bajak laut yang marah itupun, Gelap Ngampar bukan serangan utama yang dimaksudkan untuk melumpuhkan Agung Sedayu. Dengan Gelap Ngampar ia sekedar membelokkan perhatian Agung Sedayu dari serangan ilmunya yang sebenarnya.

Dalam pada itu, perhatian Agung Sedayu memang sebagian terbesar ditujukan untuk melawan Aji Gelap Ngampar yang mengetuk pendengaran batinnya.

Gemuruh seperti guntur di langit. Menghentak-hentak tidak henti-hentinya. Namun Agung Sedayu berhasil melawan Aji Gelap Ngampar itu dengan baik, sehingga jantungnya tidak dapat dirontokkan karenanya.

Namun dalam pada itu, selagi Agung Sedayu bertahan dari serangan Gelap Ngampar, tiba-tiba saja bajak laut itu telah dengan kecepatan yang sangat tinggi, memungut sesuatu dari ikat pinggangnya. Demikian cepat, beruntun beberapa batang pisau-pisau berbisa. Tetapi pisau yang disentuh oleh kekuatan ilmu yang menggetarkan, sehingga pisau-pisau itu bagaikan membara dalam warna kemerah-merahan yang menyilaukan.

Agung Sedayu terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba dan tanpa diduga itu. Serangan pisau-pisau kecil itu seakan-akan telah melontarkan segenap kekuatan ilmu yang ada dalam diri bajak laut itu. Pisau-pisau kecil yang bercahaya dalam warna kemerah-merahan itu seakan-akan diselubungi oleh asap yang keputih-putihan namun menghimpun kekuatan yang tiada taranya.

Dalam keadaan yang sangat tergesa-gesa, Agung Sedayu telah berusaha mengelak. Tetapi pisau-pisau kecil itu datang terlampau cepat. Meskipun Agung Sedayu mampu bergerak lebih cepat dari pisau-pisau kecil itu. Tetapi Agung Sedayu telah terlambat bergerak. Karena itu, maka sebuah di antara pisau-pisau kecil itu telah menyambar pundaknya.

Sekali lagi Agung Sedayu terkejut. Pisau itu mampu menembus ilmu kebalnya.

“Agaknya bajak laut itu sudah memperhitungkan, bahwa aku memiliki ilmu kebal,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Sebenarnyalah, bajak laut yang curiga karena Agung Sedayu seakan-akan tidak terkena akibat kabut panasnya telah menduga, bahwa Agung Sedayu memiliki perisai yang dapat melindungi dirinya. Karena itu, maka iapun telah menghentakkan segenap ilmunya dengan melontarkan pisau-pisau kecilnya. Pisau yang didorong oleh ilmunya yang nggegirisi, sehingga pisau-pisau itu seakan-akan telah menyala dalam warna kemerah-merahan yang diselubungi oleh kabut putih yang panasnya melampaui panasnya bara api.

Perasaan pedih panasnya telah menyengat pundak Agung Sedayu yang terluka. Bahkan rasa-rasanya pundaknya telah tertembus oleh panasnya ujung baja yang tengah membara.

Namun luka itu merupakan peringatan bagi Agung Sedayu. Bahwa serangan-serangan yang demikian ternyata sangat berbahaya bagi dirinya.

Agung Sedayu tidak sempat mencabut pisau kecil yang panas di pundaknya itu, karena serangan-serangan yang serupa telah datang susul menyusul. Karena itu, maka Agung Sedayu pun harus berloncatan menghindarinya. Serangan itu ternyata lebih berbahaya dari kabut-kabut putih yang menyentuhnya. Karena kabut-kabut putih yang panas itu memang tidak dapat dihindarinya seluruhnya. Tetapi, kabut itu hanya mampu menyusup ilmu kebalnya. Sebagian besar dari serangan kabut itu telah membentur perisai ilmu kebalnya dan dengan demikian maka serangan-serangan itu tidak terlalu berbahaya baginya.

Tetapi pisau-pisau kecil yang membara dan bercahaya kemerah-merahan itu benar-benar berhasil memecahkan ilmu kebalnya dan mengenai tubuhnya. Benar-benar melukainya dan bahkan menancap di pundaknya.

Karena itu, maka Agung Sedayu benar-benar harus mengerahkan kemampuannya bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi untuk mengelakkan serangan-serangan itu.

Namun demikian, Agung Sedayu pun telah sampai pula pada batas pengamatannya atas kemampuan lawannya. Namun Agung Sedayu masih belum sempat mempergunakan puncak ilmunya yang dapat dipancarkannya lewat sorot matanya. Serangan pisau-pisau itu benar-benar menggetarkan karena kemampuannya menembus ilmu kebalnya.

Karena itulah, maka Agung Sedayu telah mempergunakan cara yang lain. Tidak dengan sorot matanya, tetapi ketika pisau-pisau itu masih saja menyambarnya dan bahkan mampu mendesaknya, maka Agung Sedayu telah mengambil keputusan untuk mengurai senjatanya. Cambuk.

Dengan demikian, maka sejenak kemudian cambuk Agung Sedayu pun telah meledak. Tidak terlalu keras, tetapi getarannya telah mengguncang udara Watu Lawang.

Ki Waskita, Ki Gede, Ki Lurah dan Sekar Mirah menjadi semakin berdebar-debar. Mereka sadar, bahwa agaknya Agung Sedayu masih belum sempat mempergunakan sorot matanya karena serangan-serangan pisau yang nampaknya mampu menembus ilmu kebalnya.

“Jika Agung Sedayu berhenti sejenak saja untuk membangkitkan ilmunya lewat sorot matanya, maka berpuluh pisau tentu sudah menancap di tubuhnya,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya.

Meskipun tidak dikatakannya, namun ternyata yang lain pun telah berpikir serupa.

Karena itulah, maka Agung Sedayu telah memilih cara lain untuk melawan bajak laut yang perkasa itu.

Cambuk itu membuat lawannya menjadi gelisah pula. Bajak laut itu sadar, bahwa Agung Sedayu memiliki kemampuan bergerak melampaui kemampuannya. Karena itu, dengan cambuk di tangan, Agung Sedayu akan benar-benar menjadi sangat berbahaya.

Sebenarnyalah, Agung Sedayu yang sudah terluka di pundaknya itu telah memutuskan untuk melumpuhkan lawannya, jika ia sendiri tidak ingin kehilangan kesempatan keluar dari arena itu.

Sejenak kemudian, cambuk Agung Sedayu pun telah berputar seperti baling-baling. Perisai ilmu kebalnya yang tidak dapat menahan kekuatan ilmu bajak laut yang tersalur pada lontaran pisau-pisau kecilnya itu telah diatasinya dengan ujung cambuknya. Ternyata ilmu Agung Sedayu yang tinggi, mampu menggerakkan cambuknya sehingga seakan-akan tidak ada lubang yang sekecil mana pun yang dapat ditelusupi oleh pisau-pisau lawannya. Sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu mampu melemparkan pisau-pisau kecil yang membara itu beberapa puluh langkah dari arena pertempuran. Dalam pada itu, maka orang-orang yang menyaksikan pertempuran itupun menjadi semakin tegang. Ki Waskita, Ki Gede, Ki Lurah Branjangan dan Sekar Mirah melihat, bahwa dengan senjata di tangannya ternyata Agung Sedayu mampu menguasai keadaan.

Kemampuannya mempergunakan cambuknya, dilandasi dengan kemampuannya bergerak dengan kecepatan yang tidak ada bandingnya serta perisai ilmu kebalnya, membuat Agung Sedayu menjadi seorang yang benar-benar menggetarkan hati bajak laut yang merasa dirinya memiliki kemampuan lebih baik dari Ki Tumenggung Prabadaru itu.

Karena itu, maka bajak laut itupun mulai membuat pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pisau-pisaunya ternyata dapat diatasi dengan cambuk Agung Sedayu yang berputaran.

Bahkan Agung Sedayu kemudian tidak sekedar melindungi dirinya dengan putaran ujung cambuknya saja, tetapi ujung cambuk itu mulai mematuk lawannya.

Bajak laut itupun mencoba untuk mengelak. Tetapi, kecepatan geraknya tidak dapat mengimbangi kecepatan gerak Agung Sedayu. Itulah sebabnya, maka ujung cambuk Agung Sedayu itu mulai meraba tubuhnya.

Bajak laut itu menggeram. Karena sentuhan-sentuhan itu, maka iapun mulai membuat perhitungan-perhitungan baru. Dengan saksama ia memperhatikan gerak cambuk Agung Sedayu. Tepat pada saat ujung cambuk itu mematuknya, maka bajak laut itu tidak menghindarinya. Tetapi ia justru melontarkan pisaunya ke arah Agung Sedayu.

Agung Sedayu terkejut. Ujung cambuknya berhasil mengenai lawannya. Ia mendengar lawannya itu mengeluh tertahan. Ketika ujung cambuk itu mengenai lengannya, maka bajak laut itu merasa tubuhnya terdorong oleh kekuatan raksasa.

Bajak laut itu tidak melawan kekuatan raksasa itu. Ia sadar, bahwa melawan kekuatan itu mungkin akan dapat membuat bagian tubuhnya justru terluka. Karena itu, maka demikian pisau kecilnya lepas dari tangannya, maka iapun telah menjatuhkan dirinya searah dengan dorongan kekuatan yang tidak terlawan itu.

Namun dengan demikian bajak laut itu telah terbanting jatuh. Bukan sekedar berguling di tanah. Tetapi kekuatan yang besar itu memang telah membantingnya, sehingga terasa tulang-tulangnya menjadi retak.

Namun, ketahanan tubuh bajak laut itu memang mengagumkan. Meskipun tulang-tulangnya serasa menjadi retak, namun ia masih juga sempat melenting berdiri. Namun ternyata bahwa dengan susah payah ia harus menguasai keseimbangannya. Hampir saja ia roboh kembali karena perasaan sakit yang tidak terkatakan di seluruh tubuhnya. Apalagi ketika iapun kemudian menyadari, bahwa lengannya yang tersentuh langsung ujung cambuk Agung Sedayu ternyata telah terkoyak. Sehingga luka pun telah mengganggu di lengannya. Dan darah pun telah mulai meleleh dari luka itu.

Tetapi pada saat yang hampir bersamaan, Agung Sedayu pun telah meloncat selangkah surut. Terasa perasaan pedih telah menggigit lambungnya. Belum lagi ia sempat mencabut pisau di pundaknya, maka sebilah pisau lagi telah menembus ilmu kebalnya dan melukai lambungnya.

Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Pisau-pisau itu membuatnya menjadi kesakitan. Bukan saja bagian dalam tubuhnya, tetapi kulitnya benar-benar telah terluka, karena ilmu bajak laut itu ternyata berhasil menerobos perisai ilmu kebalnya.

Seperti bajak laut yang terluka, maka Agung Sedayu pun telah menitikkan darah. Dari pundaknya dan kemudian dari lambungnya. Darah itu akan mengalir terus. Jika darah itu terperas semakin banyak, maka tubuhnya akan menjadi lemah.

“Siapakah yang akan lebih dahulu kehilangan kemampuan untuk bertempur?” berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.

Namun dalam pada itu, ia tidak mempunyai pilihan lain. Ketika ia melihat kesempatan itu, maka iapun harus mempergunakannya dengan tepat.

Justru pada saat lawannya sedang berusaha memperbaiki keseimbangannya, maka tanpa menghiraukan pisau yang tertancap pada tubuhnya, Agung Sedayu telah menyilangkan tangannya. Dalam pada itu, tatapan matanya yang tajam mulai memancarkan ilmu pamungkasnya langsung mencengkam dada bajak laut yang sudah terluka itu.

Cengkaman sorot mata Agung Sedayu itu mengejutkan lawannya. Terasa sesuatu menyusup ke dalam dadanya, kemudian seakan-akan telah meremas jantungnya.

Dalam sekejap bajak laut itu menyadari. Ia telah berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu raksasa. Karena itulah, maka lawannya itu bukan saja telah berhasil membunuh Ki Tumenggung Prabadaru, tetapi ia memang memiliki kelebihan dari saudara seperguruannya itu.

Karena itu, ia harus bertindak cepat. Bajak laut itu menyadari bahwa lawannya yang memiliki ilmu kebal itu memiliki kemampuan pula menyerang dari jarak jauh. Sementara itu, maka lontaran-lontaran pisau belatinya mampu menembus ilmu kebal lawannya yang tidak dapat dipecahkannya seluruhnya dengan kabut-kabut panasnya.

Dengan kesadaran itulah, maka pada saat-saat yang menentukan itu, ia tidak mau didahului oleh Agung Sedayu, sehingga isi dadanya akan diremukkannya. Dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, dengan mengatasi cengkaman pada jantungnya, maka bajak laut itu telah berusaha menghancurkan Agung Sedayu.

Itulah sebabnya, maka sesaat kemudian, pisau-pisaunya yang membara, yang bercahaya kemerah-merahan telah berterbangan menyambar Agung Sedayu yang berdiri tegak dengan tangan bersilang.

Jika serangan-serangannya itu berhasil mengenai Agung Sedayu, maka betapapun kuatnya daya tahan tubuhnya, namun ia akan terpengaruh juga, sehingga kemampuannya melontarkan ilmu yang dahsyat dari kedua matanya itu akan terpengaruh pula karenanya. Dengan demikian, maka cengkaman pada jantung di dalam dadanya itupun perlahan-lahan akhirnya tentu akan terlepas juga. Bahkan dengan demikian, maka Agung Sedayu itu akan kehilangan segenap kesempatan untuk dapat melawannya karena luka-lukanya.

Benturan ilmu antara kedua orang yang berilmu tinggi itu benar-benar telah menggemparkan setiap dada orang yang menyaksikannya. Tidak berbeda dengan saat Agung Sedayu bertempur dengan Ajar Tal Pitu yang disaksikan oleh beberapa orang anak muda Tanah Perdikan Menoreh meskipun dari kejauhan. Namun pertempuran yang terjadi di Watu Lawang itu hanya disaksikan oleh beberapa orang saja.

Jantung Sekar Mirah benar-benar bagaikan meledak. Ia melihat Agung Sedayu yang berdiri tegak dengan tangan bersilang. Ia pun melihat bajak laut itu siap untuk melontarkan pisau-pisaunya. Bahkan pisau-pisau itu sedang meluncur ke tubuh Agung Sedayu yang berdiri mematung. Sementara itu, Sekar Mirah menyadari, bahwa lontaran pisau-pisau yang seakan-akan menyala itu mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu, sehingga pisau-pisau itu akan dapat melukainya.

Dalam pada itu, Ki Waskita, Ki Gede dan Ki Lurah Branjangan pun menjadi tidak kalah tegangnya. Mereka menunggu dengan jantung yang berdegupan. Apa yang akan terjadi kemudian.

Di pihak lain, kedua orang bajak laut, saudara seperguruan dari bajak laut yang sedang bertempur melawan Agung Sedayu itupun menjadi tidak kalah tegangnya.

Pada saat terakhir, merekapun melihat satu serangan dari jarak jauh yang dilontarkan oleh Agung Sedayu lewat sorot matanya. Meskipun ia tidak melihat serangan itu menyambar dada saudara seperguruannya, tetapi menilik sikap keduanya, maka kedua bajak laut itu dapat mengambil satu kesimpulan, bahwa sorot mata Agung Sedayu telah mencengkam isi dada lawannya.

Tetapi perhitungan yang mapan dari bajak laut itu memberikan sedikit harapan kepada kedua orang saudara seperguruannya yang berada di luar arena. Keduanya berharap sebagaimana diharapkan oleh saudara seperguruannya yang berada di gelanggang, bahwa pisau-pisau itu akan sangat berpengaruh atas kemampuan Agung Sedayu untuk melontarkan ilmunya untuk selanjutnya.

Meskipun demikian, kedua orang bajak laut yang menyaksikan pertempuran itu, benar-benar telah dicengkam oleh ketegangan sehingga rasa-rasanya darah mereka telah berhenti mengalir.

Dalam ketegangan yang memuncak itu, Swandaru yang sedang di perjalanan, telah mengisyaratkan Kiai Gringsing untuk berhenti. Ia merasakan bahwa kudanya telah menjadi lelah.

Karena itu, maka Kiai Gringsing pun telah memanggil Glagah Putih yang berkuda di paling depan untuk berhenti pula barang sejenak.

Glagah Putih menjadi sangat gelisah. Rasa-rasanya ia ingin sekali meloncat, untuk segera mencapai Tanah Perdikan Menoreh. Namun Tanah Perdikan Menoreh masih jauh. Ia baru berada di sebelah utara arah Mataram. Sementara itu, melam pun menjadi semakin dalam.

Kiai Gringsing yang melihat kegelisahan itupun berkata, “Duduklah Glagah Putih. Kau coba menenangkan hatimu. Tidak ada apa-apa di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ya,” sahut Swandaru, “pertempuran itu tidak akan terjadi segera. Yakinilah. Dan kau tidak akan menjadi gelisah karenanya. Dengan demikian, kita akan dapat berjalan dengan tenang dan beristirahat tanpa kegelisahan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia memang mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri. Menurut pendengarannya, bajak laut itu memberi waktu sampai akhir pekan kepada Agung Sedayu.

Meskipun demikian rasa-rasanya sesuatu memang sudah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika Glagah Putih kemudian duduk bersandar batu dengan jantung yang berdegupan, Pandan Wangi mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Dengan lembut Pandan Wangi berkata, “Glagah Putih. Kau harus mempunyai dua keyakinan. Pertama, seperti kau katakan sendiri, bahwa masih ada waktu buat Kakang Agung Sedayu. Kedua, bukankah Kakang Agung Sedayu bukannya anak kemarin siang yang masih belum hilang pupuk lempuyangnya? Bukankah Kakang Agung Sedayu mempunyai pengalaman yang sangat luas di medan perang dan dalam perang tanding? Ingat, terakhir Kakang Agung Sedayu dapat membunuh Ki Tumenggung Prabadaru. Panglima dari pasukan khusus Pajang yang memiliki puluhan senapati mumpuni. Sebelumnya ia sudah membunuh orang yang bernama Ajar Tal Pitu. Nah, bukankah kau dapat menceritakan kembali, apa yang terjadi di bawah sebatang pohon randu alas itu? Aku dapat membayangkannya, bagaimana keduanya telah melepaskan ilmu yang tinggi sekali, sehingga akhirnya pohon randu alas itu menjadi kering dan mati, terbakar oleh panasnya udara di saat kedua orang berilmu tinggi itu bertempur.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia memang sangat mengagumi Agung Sedayu. Bukan saja sebagai saudara sepupunya, tetapi juga sebagai orang yang dianggapnya sebagai gurunya.

“Kau akan mencobanya?“ bertanya Pandan Wangi kemudian, “Dengan demikian, maka hatimu akan menjadi tenang. Kau tidak akan dicengkam satu kegelisahan yang tidak akan dapat kau lenyapkan dari hatimu tanpa keyakinan-keyakinan itu, karena kita baru akan sampai ke Tanah Perdikan besok setelah matahari membayang di langit. Selama itu kau tidak akan dapat berbuat apa-apa atas kegelisahanmu, jika bukan kau sendiri yang melawannya.”

“Aku mengerti,” Glagah Putih mengangguk-angguk.

Sementara itu, Swandaru sekali-sekali memandanginya. Tetapi ia sama sekali tidak menyahut. Ia tidak berkeberatan atas keterangan istrinya, karena menurut pendapatnya, Pandan Wangi hanya sekedar menghibur agar Glagah Putih tidak selalu gelisah. Tetapi justru Swandaru sendirilah yang sebenarnya gelisah, apabila ia mulai menilai kemungkinan kemampuan Agung Sedayu diperbandingkan dengan bajak laut yang sudah pernah mengarungi lautan dan menjelajahi benua itu.

“Tetapi perang tanding itu tentu belum terjadi sebelum Guru sampai di Tanah Perdikan Menoreh. Jika Kakang Agung Sedayu memanggil Guru, tentu bukannya tanpa maksud,” berkata Swandaru di dalam hatinya.

Dalam pada itu, Swandaru mempunyai dugaan, bahwa Agung Sedayu masih merasa dirinya perlu ditunggui oleh gurunya dalam keadaan yang paling gawat. Bahkan dalam keadaan yang khusus, gurunya akan dapat memberikan jalan untuk menyelamatkannya.

Sementara itu, Glagah Putih berusaha meyakinkan dirinya sebagaimana dikatakan oleh Pandan Wangi. Agung Sedayu tentu masih mempunyai waktu. Tetapi jika ia terdesak untuk mengadakan perang tanding, maka Agung Sedayu memiliki bekal yang cukup. Apalagi di Tanah Perdikan Menoreh ada Ki Waskita, ada Ki Gede Menoreh dan Sekar Mirah. Bahkan sepasukan yang kuat dari pasukan khusus Mataram, yang sebagian besar masih tetap berada di Tanah Perdikan Menoreh setelah perang berakhir.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Bahkan di luar sadarnya ia mengangguk-angguk.

“Kenapa?” bertanya Pandan Wangi yang melihat Glagah Putih itu menarik nafas sambil mengangguk-angguk.

Glagah Putih terkejut. Namun kemudian iapun menjawab, “Memang masih ada kesempatan bagi Kakang Agung Sedayu. Selebihnya ada beberapa orang yang dapat mendampinginya jika ia terpaksa memasuki arena. Bahkan ada Ki Lurah Branjangan dengan pasukan segelar sepapan dari pasukan khusus yang kuat.”

“Nah,” Pandan Wangi menyahut, “bukanlah kau tidak perlu mencemaskannya?”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi masih terbersit di dalam hatinya, bahwa bukan watak Agung Sedayu untuk menyandarkan keselamatannya kepada orang-orang di sekitarnya. Selain paugeran perang tanding yang harus ditaatinya, maka Agung Sedayu tidak akan mengorbankan harga dirinya. Kecuali jika bajak laut yang tiga orang itu telah melakukan kecurangan lebih dahulu.

“Selain karena sikapnya yang jujur menghadapi paugeran perang tanding, Kakang Agung Sedayu hanya pasrah kepada Tuhan Yang Maha Agung,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Sebenarnyalah, di Watu Lawang telah terjadi peritiwa yang menegangkan itu. Pada saat Agung Sedayu berkesempatan untuk melepaskan kemampuan yang tersimpan di dalam dirinya lewat sorot matanya dan langsung mencengkam isi dada lawannya, maka pada saat itu bajak laut yang garang itupun telah berhasil melontarkan beberapa buah pisaunya yang membara dan bercahaya kemerah-merahan. Pisau-pisau yang langsung mengarah ke tubuh Agung Sedayu. Sementara itu orang-orang yang menyaksikan perang tanding itu menyadari sepenuhnya, bahwa pisau-pisau itu telah mampu menembus perisai ilmu kebal Agung Sedayu. Jika pisau-pisau itu dibiarkan saja meluncur ke sasaran, maka pada tubuh Agung Sedayu akan tertancap beberapa pisau yang mematuknya beruntun.

Meskipun setelah melontarkan pisau-pisau itu bajak laut yang garang itu rasa-rasanya tidak lagi mampu bertahan, namun ia masih tetap berpengharapan, bahwa pisau-pisaunya akan membinasakan lawannya yang luar biasa itu.

Namun ternyata seperti lawannya, bahwa dalam keadaan yang paling gawat itu, Agung Sedayu tetap mempergunakan akalnya. Pada saat-saat terakhir, Agung Sedayu telah mengambil satu pilihan yang harus dapat mengatasi kesulitan yang dihadapinya, justru pada saat ia melontarkan ilmunya yang dahsyat lewat sorot matanya.

Tetapi Agung Sedayu tidak dapat membiarkan dirinya menjadi luka arang-kranjang oleh pisau-pisau lawannya yang akan mampu menembus ilmu kebalnya.

Karena itu, maka ia harus mengambil satu keputusan. Dilepaskannya kesempatannya untuk meremas jantung lawannya dengan sorot matanya. Dengan kecepatan yang mendahului pisau-pisau kecil itu, maka Agung Sedayu pun telah meloncat menghindar.

Namun, demikian ia melepaskan serangannya, maka rasa-rasanya dada lawannya pun menjadi lapang. Bajak laut itu sadar, bahwa Agung Sedayu tentu sedang berusaha menghindar. Namun karena itu, maka bajak laut itupun ingin mempergunakan setiap kesempatan untuk menyelesaikan perang tanding itu.

Dengan demikian, ketika terasa cengkaman kekuatan ilmu Agung Sedayu mengendor dan bahkan terlepas sama sekali, maka dengan dada tengadah bajak laut itupun telah bersiap untuk melepaskan pisau-pisaunya kemana Agung Sedayu menghindar. Ia tidak boleh terlambat dan ia tidak boleh kehilangan setiap kesempatan sehingga akhirnya pisau-pisaunya yang banyak itu akan habis terlemparkan seluruhnya, tanpa dapat menjatuhkan lawannya.

Namun ternyata jantung bajak laut itu bagaikan berhenti berdetak. Dalam kesiagaannya untuk melepaskan serangannya dengan hati-hati dan penuh perhitungan, tiba-tiba saja ia melihat Agung Sedayu itu berdiri di tiga tempat.

“Apakah aku sudah gila,” geram bajak laut itu kepada diri sendiri.

Sebenarnyalah ia melihat Agung Sedayu yang meloncat menghindar itu telah berada di tiga tempat. Dalam ujud yang sama dan sikap yang sama. Ketiganya berdiri bersilang tangan. Dan pada ketiganya juga terlihat pisau yang menancap dan darah yang meleleh.

“Gila!” bajak laut itupun mengumpat-umpat.

Namun ia tidak mempunyai waktu untuk kebingungan. Ia harus menyerang sebelum jantungnya diremukkan oleh ilmu lawannya yang sangat dahsyat itu.

Namun dalam pada itu, selagi bajak laut itu dicengkam oleh kecemasan, maka dua orang saudara seperguruannya telah terguncang pula melihat keadaan itu. Agung Sedayu seolah-olah telah menjadi tiga orang. Sehingga dengan demikian, maka bajak laut yang berada di arena itu, harus melawan tiga orang pula sekaligus.

Selebihnya, bajak laut yang dua orang itu telah mencemaskan nasib saudara seperguruannya. Jika ia dibiarkan bertempur sendiri melawan Agung Sedayu, maka akibatnya akan menjadi sangat pahit baginya.

Karena itu, tidak ada pilihan lain. Kedua orang bajak laut itu kemudian bersepakat untuk turun ke arena. “Persetan dengan perang tanding,” geram mereka.

Untuk beberapa saat bajak laut itu masih mengamati keadaan. Ia melihat saudara seperguruannya sudah siap dengan pisau-pisaunya. Tetapi nampaknya bajak laut itu sedang membuat perhitungan sebaik-baiknya, yang manakah yang harus diserangnya lebih dahulu.

Ternyata bajak laut itu tidak mau kehilangan kesempatan. Tiba-tiba saja ia telah mengambil satu sikap. Dalam sekejap telah meluncur tiga buah pisau belati yang bercahaya itu ke arah tiga ujud Agung Sedayu yang berdiri bersilang tangan.

Tetapi ternyata ujud lawan-lawannya itu terlalu tangkas. Mereka dengan cepat pula sempat meloncat menghindar.

“Satu pancingan yang gila,” geram bajak laut itu, “jika cara ini yang dipergunakan, maka pisau-pisauku akan habis sebelum aku dapat membunuhnya.”

Karena itu, maka bajak laut itu tidak lagi menyerang dengan pisau-pisaunya. Tetapi ia kembali mempergunakan kabut-kabut panasnya dan dengan ilmu Gelap Ngamparnya.

“Aku harus memperhitungkan saat sebaik-baiknya agar aku tidak kehabisan senjata pamungkasku,” geram bajak laut itu.

Namun ternyata bahwa kabut-kabut panasnya dan bahkan Gelap Ngamparnya tidak terlalu banyak berpengaruh, meskipun panas yang terpancar dari kabutnya itu meskipun hanya sedikit, mampu juga menembus perisai kebal Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu itu sama sekali tidak berusaha menghindar. Ketiganya kemudian kembali bersilang dan siap menghancurkan lawannya dengan sorot matanya.

Bajak laut itu menjadi berdebar-debar. Namun ia harus tetap melawan. Ia adalah orang yang memiliki pengalaman yang luas di lautan dan benua di seberang samodra.

Karena itu, maka ia sudah memperhitungkan, jika terasa ilmu lawannya mulai menyentuh dadanya, maka ia harus mengorbankan tiga pisaunya lagi. Sementara itu, ia harus mulai berusaha untuk bertempur pada jarak yang lebih dekat dari ketiganya.

“Tetapi mereka bergerak terlalu cepat,” bajak laut itu mulai mengeluh.

Namun pada saat yang demikian, maka dua orang saudara seperguruannya telah memasuki arena. Dengan tenang salah seorang dari mereka berkata, “Satu perang tanding yang tidak adil.”

Agung Sedayu termangu-mangu melihat kehadiran mereka. Salah seorang dari ujud Agung Sedayu itu bertanya, “Apa yang tidak adil?”

Bajak laut itu berpaling. Timbul pertanyaan di dalam diri mereka, bahwa yang berbicara itu adalah ujud yang sebenarnya. Tetapi ternyata yang lain menyambung, “Aku menghadapinya sebagaimana paugeran perang tanding.” “Kau berujud tiga,” jawab bajak laut yang memasuki arena itu, “adalah kebetulan bahwa kami juga bertiga. Kami akan menghadapi ujudmu seorang demi seorang.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun jika hal itu dilakukan juga, maka ialah yang akan mengalami kesulitan. Ketiga bajak laut itu tentu memiliki kemampuan yang sama atau hampir sama, sementara itu dirinya hanya dapat mengadakan ujudnya saja. Sementara itu, ilmu yang terpancar dari dalam dirinya, bukan berarti dapat berlipat tiga. Tidak ketiganya akan dapat melontarkan serangan lewat sorot matanya dalam kekuatan yang sebenarnya. Sebagaimana pernah terjadi atas orang-orang lain yang memiliki ilmu serupa.

Serangan-serangan yang hanya terasa akibatnya karena bantuan angan-angan lawannya sendiri. Tetapi tidak yang sebenarnya. Sehingga jika ia harus melawan tiga orang, maka akibatnya akan menjadi berbeda.

Tetapi Agung Sedayu tidak dapat merengek minta belas kasihan. Apapun yang terjadi harus dihadapinya. Ia harus dapat mempergunakan cara apapun untuk melawan ketiga bajak laut yang akan memasuki arena bersama-sama itu.

Namun dalam pada itu, ada saksi lainnya yang berdiri di luar arena. Ketika ketiga bajak laut itu berdiri berjajar, maka ketegangan telah mencengkam saksi-saksi yang lain itu.

“Kami tidak mempunyai pilihan lain,” geram salah seorang bajak laut itu, “kami akan membinasakan orang yang telah membunuh Kakang Tumenggung Prabadaru.”

Agung Sedayu pun telah merapatkan ketiga ujudnya. Seolah-olah ketiganya telah bersiap untuk menghadapi lawannya seorang demi seorang.

“Kau sudah terluka Agung Sedayu,” berkata salah seorang di antara bajak laut itu, “kau tidak akan dapat berbuat banyak melawan kami bertiga, karena kami bertiga memiliki tataran ilmu yang sama.”

“Seorang di antara kalian pun telah terluka.” jawab salah seorang dari ujud Agung Sedayu itu. Kemudian yang lain melanjutkan, “Ternyata bahwa yang akan kalian lakukan bukan satu sikap jantan. Kalian tidak menghormati paugeran perang tanding. Namun demikian, aku tidak akan ingkar. Jika kalian akan bertempur bertiga, maka akupun akan menghadapi kalian.”

“Bagus,” teriak bajak laut yang paling muda, “aku akan membantaimu di sini.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi dalam ketiga ujudnya, maka iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Namun dalam pada itu, orang-orang yang menjadi saksi dari perang tanding itupun tidak tinggal diam. Sekar Mirah yang pertama kali meloncat dari tempatnya. Namun cepat Ki Waskita menahannya sambil berdesis, “Berhati-hatilah Sekar Mirah. Mereka benar-benar orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa.”

“Tetapi mereka telah berbuat curang. Apakah kita akan membiarkan Kakang Agung Sedayu melawan ketiganya?” sahut Sekar Mirah.

“Tidak. Tetapi biarlah kita mempergunakan nalar kita sebaik-baiknya. Kau tetap akan menjadi saksi. Biarlah aku hadir dalam pertempuran itu. Meskipun barangkali kemampuanku meragukan untuk menghadapi bajak laut itu, tetapi mungkin kehadiranku akan dapat membantu Agung Sedayu,” berkata Ki Waskita.

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Ia mengakui bahwa ketiga bajak laut itu memiliki ilmu yang luar biasa, yang hanya dapat diimbangi oleh Agung Sedayu dan orang-orang yang memiliki ilmu setingkat. Tetapi ia tidak sampai hati membiarkan Agung Sedayu itu mengalami kesulitan, dan bahkan kemungkinan yang paling parah akan dapat terjadi.

“Jika Kakang Agung Sedayu tidak dapat keluar dari arena ini, maka biarlah namaku sajalah yang akan kembali ke Sangkal Putung,” berkata Sekar Mirah di dalam hatinya. Sementara itu, ia menggenggam tongkat baja putihnya semakin erat.

Tetapi ia tidak dapat mengabaikan peringatan Ki Waskita. Apalagi Ki Waskita sudah menyatakan kesediaannya untuk memasuki arena.

Namun dalam pada itu, Ki Gedepun berkata, “Kita akan memasuki arena bersama-sama, Ki Waskita.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ada keseganan untuk memberikan jawaban. Tetapi akhirnya ia berkata, “Bukan maksudku memperkecil arti Ki Gede. Aku tahu kemampuan Ki Gede sejak muda. Bukankah kita sudah sangat lama bergaul dalam suka dan dalam duka. Namun kini Ki Gede mengalami satu keadaan yang khusus. Apalagi menghadapi kemampuan bajak laut itu. Kaki Ki Gede kadang-kadang dapat mengganggu, sementara itu, kabut panas yang dilontarkan oleh bajak laut itu sangat berbahaya.”

“Aku mengerti Ki Waskita. Tetapi bagaimanapun juga, kehadiranku akan memberikan arti bagi Agung Sedayu,” jawab Ki Gede.

“Baiklah. Tetapi aku mohon Ki Gede bersedia menunggu sejenak, untuk melihat perkembangan keadaan setelah aku turun ke medan.”

Ki Gede tidak membantah. Sebab jika mereka masih saja berbantah, keadaan Agung Sedayu justru menjadi semakin gawat.

Karena itu, maka akhirnya, pada saat-saat ketiga bajak laut itu siap untuk menyerang, Ki Waskita telah turun ke arena. Yang mula-mula terdengar adalah suaranya sebelum ketiga bajak laut itu melihatnya melangkah mendekat.

“Kecurangan bukan adat yang baik bagi seorang laki-laki,” berkata Ki Waskita.

Ketiga bajak laut itu terkejut. Merekapun segera berpaling. Dilihatnya seseorang memasuki arena.

“He, apakah artinya ini?” bertanya salah seorang bajak laut itu, “Apakah kau juga ingin menempatkan dirimu dalam pertempuran ini?”

“Apaboleh buat,” jawab Ki Waskita, “sebenarnya aku tidak merasa pantas untuk turun ke arena. Tetapi kehadiranku sekedar menyatakan, betapa liciknya kalian bertiga.”

“Jadi kau ingin membunuh dirimu?” bertanya bajak laut itu.

“Apapun namanya, tetapi aku tidak dapat melihat kelicikan seperti ini terjadi. Agung Sedayu berharap untuk dapat berperang tanding dengan jantan. Tetapi kalian berbuat lain,” jawab Ki Waskita.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu-lah yang menjadi berdebar-debar. Tetapi, Ki Waskita juga bukan orang kebanyakan. Ia juga memiliki kelebihan yang sulit dicari bandingnya. Karena itu, maka Agung Sedayu tidak mencegah kehadirannya. Menurut perhitungannya, maka bagaimanapun juga Ki Waskita akan dapat bertahan untuk waktu yang cukup lama, sementara ia harus dapat berbuat lebih cepat lagi atas dua orang di antara lawannya.

Namun sekali-sekali terasa luka di tubuhnya menjadi pedih. Keringat yang membasahi luka-luka itu membuat lukanya semakin terasa sakit.

Tetapi Agung Sedayu harus berbuat sesuatu untuk melawan ketiga orang bajak laut yang memiliki ilmu yang dahsyat itu. Namun seorang di antara mereka telah terluka. Bukan saja oleh cambuknya, tetapi sesaat ia sudah dapat mencengkam isi dada bajak laut itu.

Dalam pada itu, maka seorang di antara bajak laut itupun kemudian telah menghadapi Ki Waskita sambil berkata, “Baiklah. Aku akan membunuhmu lebih dahulu, sebelum kami akan membantai Agung Sedayu.”

Ki Waskita tidak menjawab. Tetapi ia tidak ingin dihancurkan pada benturan pertama. Karena itu, maka dengan wajah yang tegang ia mulai membuka ikat kepalanya dan membalutkannya pada pergelangan tangannya. Ia sadar, pisau-pisau itu memiliki daya dan kekuatan yang luar biasa, sehingga mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu. Tetapi ia dapat mencoba melindungi dirinya. Ia harus berusaha menangkis setiap serangan tidak dengan benturan langsung, tetapi ia harus dapat menyentuh menyamping, sekedar untuk membelokkan arah.

Sementara itu, iapun telah mengurai ikat pinggangnya yang akan dapat dipergunakan sebagai senjata yang tidak kalah tajamnya dari mata pedang.

“O,” desis bajak laut, “kau mempergunakan peralatan seperti akan merampog macan. Baiklah, kita akan melihat apakah peralatanmu itu akan bermanfaat”

Ki Waskita masih belum menjawab. Namun ia mulai bergeser mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Sementara itu, kedua bajak laut yang lain telah mulai pula bersiap-siap. Agaknya mereka benar-benar ingin menyelesaikan pertempuran itu secepatnya, karena luka di tubuh bajak laut yang seorang terasa semakin menggigit.

Karena itu, maka keduanya telah bergeser merenggang. Sementara itu Agung Sedayu yang merasa masih mempunyai kelebihan satu ujud, akan dapat dipergunakannya untuk membingungkan kedua bajak laut itu agar mereka tidak dapat menyerang langsung ke arah Agung Sedayu yang sebenarnya.

Namun, kedua bajak laut itu tidak mau diperdayakan oleh Agung Sedayu. Tanpa berjanji mereka berniat untuk menyerang ketiga ujud itu dengan pisau-pisau mereka, sementara keduanya berusaha untuk dapat mendekat dan dengan demikian, maka serangan-serangan pisau mereka akan dapat lebih terarah.

Sedangkan bajak laut yang seorang pun telah mulai bersiap menghadapi Ki Waskita. Dengan hati-hati bajak laut itu bergeser mendekat. Ia sadar, bahwa orang yang memasuki arena itu telah melihat, apa yang dapat dilakukan oleh saudara seperguruannya. Karena itu, jika ia masih juga berani memasuki arena, tentu iapun membawa bekal perhitungan yang mapan.

Dengan, hati-hati Ki Waskita memperhatikan setiap gerak bajak laut yang menempatkan diri menjadi lawannya. Ia telah dapat mengukur kemampuannya, sebagaimana dilihatnya pada lawan Agung Sedayu. Meskipun lawan Agung Sedayu itu telah dapat dilukai oleh Agung Sedayu, namun Agung Sedayu sendiri telah dapat dilukainya pula.

Ketika Ki Waskita bergeser mendekat, maka debar jantungnya menjadi semakin cepat. Ia mulai melihat lawannya menyerang.

Hanya lewat setapak saja, kabut panas menyambar Ki Waskita yang meloncat ke samping. Jika kabut itu menyentuhnya, maka ia tidak memiliki ilmu kebal sebagaimana dimiliki oleh Agung Sedayu. Karena itu, maka ia harus berusaha untuk menghindarkan diri dari sentuhan kabut itu.

Namun Ki Waskita telah membuat perhitungan tersendiri. Ia harus berusaha untuk bertempur pada jarak pendek, agar lawannya tidak sempat melontarkan serangan-serangan kabut panas yang berbahaya itu. Apalagi serangan pisau-pisaunya yang sangat berbahaya.

Karena itu, demikian Ki Waskita menghindar, maka iapun telah berusaha untuk semakin mendekati lawannya. Ia mencoba untuk menumpukan kemampuannya menghadapi bajak laut itu pada kecepatan gerak, meskipun ia tidak memiliki kemampuan bergerak secepat Agung Sedayu.

Mula-mula bajak laut itu tidak mengira bahwa Ki Waskita justru akan berusaha mendekatinya dan bertempur pada jarak pendek. Namun akhirnya ia menyadari ketika tiba-tiba saja Ki Waskita itu telah menyerangnya dengan putaran ikat pinggangnya.

Desing ikat pinggang itu mendebarkan hati bajak laut yang melawannya. Bahkan bajak laut itu mengumpat di dalam hatinya, “Ikat pinggang ini tentu akan sangat berbahaya.”

Dengan demikian, maka bajak laut itupun menjadi semakin berhati-hati pula. Ia menyadari, bahwa sentuhan ikat pinggang itu akan sangat berbahaya.

Dalam pada itu, kedua orang bajak laut yang melawan Agung Sedayu pun telah bersiap-siap pula untuk menundukkan lawannya yang sangat berbahaya itu. Namun ujud yang tiga dari Agung Sedayu itu masih juga meragukan mereka.

Namun agaknya Agung Sedayu tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan tangkasnya ketiga ujud itu merenggang. Kemudian menyerang dengan cepat mengarah ke kedua bajak laut itu. Yang seorang menyerang yang terluka, sementara dua ujud yang lain telah menyerang bajak laut yang baru saja turun ke arena.

Namun serangan itu telah disambut dengan serangan-serangan yang dahsyat pula. Bajak laut itu tidak mau kehilangan setiap kesempatan. Karena itu, maka pisau-pisau merekapun telah meluncur menyambar.

Tetapi untunglah bagi Agung Sedayu. Agaknya kedua bajak laut itu tidak mau menghambur-hamburkan senjatanya, sehingga pisau-pisau itu tidak datang beruntun bagaikan hujan. Tetapi ada kesempatan pada sela-sela lontaran pisau-pisau itu untuk mempertimbangkan cara untuk menghindarkan diri.

Namun, dengan demikian ketiga ujud Agung Sedayu itu tidak mempunyai kesempatan lain kecuali menghindar dan menghindar saja. Ia sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk melontarkan serangannya dengan ilmu pamungkasnya, lewat sorot matanya.

Untuk mengurangi tekanan lawannya, maka ketiga ujud Agung Sedayu itu dalam saat-saat tertentu seolah-olah telah berbaur dan berpindah-pindah pasangan. Yang mula-mula menghadapi satu ujud, tiba-tiba saja harus menghadapi kedua ujud Agung Sedayu. Namun kemudian ujud-ujud itu telah saling bertukar tempat dan berbaur sambil menyerang.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar