Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 172

Buku 172

Dengan demikian, tanpa hadirnya Raden Sutawijaya, maka sidang para pemimpin dan orang-orang tua yang berpengaruh di bidang pemerintahan dan keagamaan telah mengambil keputusan, menunjuk Raden Sutawijaya untuk memangku jabatan tertinggi dari pemerintahan Pajang. Para pemimpin itupun tahu dan menyadari sepenuhnya, bahwa Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga itu tentu tidak akan mau memimpin pemerintahan di atas tahta Pajang. Tetapi Raden Sutawijaya tentu akan memindahkan pimpinan pemerintahan dari Pajang ke Mataram.

Karena itu, maka para pemimpin itu pun telah menetapkan, bahwa menantu Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang bergelar Wirabumi akan menjadi Adipati di Pajang dan Pangeran Benawa akan tetap menjadi Adipati di Jipang.

Namun dalam pada itu, dalam suasana yang penuh dengan kesungguhan itu, terdengar Adipati Wirabumi berdesis di telinga Pangeran Benawa, “Adimas Pangeran. Kenapa bukan Adimas yang duduk di atas tahta? Tidak ada orang lain yang lebih berhak atas tahta Pajang selain Adimas.”

Tetapi, Pangeran Benawa tersenyum sambil berkata, “Tidak Kakangmas. Kita sudah sepakat bahwa Kakangmas Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga yang pantas duduk di atas tahta yang mungkin akan berkedudukan di Mataram. Aku sependapat dengan keputusan itu. Dan akupun akan menjunjungnya dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab. Jipang sepenuhnya akan tetap mengakui kekuasaan Mataram di bawah pimpinan Kakangmas Sutawijaya.”

Adipati Wirabumi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia tahu pasti isi hati Pangeran Benawa, karena sejak lama ia telah mengikuti perkembangan jalan pikiran adik iparnya itu.

Namun demikian, Adipati Wirabumi pun tidak menentang keputusan itu, meskipun ia merasa bahwa kedudukannya sendiri lebih tinggi dari Sutawijaya. Demikian pula hubungan keluarga antara dirinya dengan Kanjeng Sultan, karena Adipati Wirabumi adalah menantu Kanjeng Sultan, sedangkan Sutawijaya hanyalah anak angkat saja.

Tetapi keputusan telah diambil. Memang agak menyimpang. Justru atas kehendak Pangeran Benawa sendiri.

“Keputusan ini akan segera disampaikan kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga di Mataram,” berkata Pangeran Benawa kemudian kepada para pemimpin di Pajang. Meskipun Pangeran Benawa sadar, bahwa ada wajah-wajah yang menjadi gelap atas keputusan itu, tetapi mereka tidak dapat-berbuat apa-apa. Kekuatan yang membayangi kekuasaan Kanjeng Sultan telah dihancurkan sampai tuntas di Prambanan oleh kekuatan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga itu.

Karena itu, maka tidak ada kekuatan lain di Pajang yang akan mampu melawan kekuatan Raden Sutawijaya di Mataram.

Dalam pada itu, ternyata tiga orang bajak laut yang sedang mencari pembunuh Ki Tumenggung Prabadaru itu masih tetap di Pajang. Mereka tertarik kepada berita tentang usaha Pajang untuk mengganti seorang pemimpin yang telah pergi.

“Kita tidak tergesa-gesa,“ berkata yang tertua di antara mereka, “kita menunggu di Pajang sambil mendengarkan perkembangan keadaan. Agaknya memang sangat menarik untuk mengetahui, langkah-langkah yang akan diambil oleh Pajang sepeninggal Kanjeng Sultan Hadiwijaya.”

“Ya,” jawab yang lain, “pembunuh Kakang Tumenggung itu tentu akan dapat kita ketemukan kelak. Sementara itu kita akan mendengarkan berita perkembangan keadaan.”

Dengan demikian maka ketiga orang bajak laut itu tetap berada di Pajang. Mereka mendengar keputusan yang diambil oleh para pemimpin di Pajang. Dan merekapun mendengar bahwa akan ada utusan yang pergi ke Mataram untuk menyampaikan keputusan itu kepada Raden Sutawijaya.

“Biar utusan itu pergi lebih dahulu. Kita akan mendengarkan, apakah jawaban Raden Sutawijaya,” berkata salah seorang dari ketiga orang bajak laut itu. “Namun dengan demikian kita tahu, bahwa tidak ada orang yang memiliki ilmu yang cukup berbobot di Tanah ini. Apa artinya Sutawijaya di Mataram. Apalagi Pangeran Benawa, dan yang sama sekali tidak berarti apa-apa adalah Wirabumi.”

“Kita sudah terlalu lama pergi,” berkata yang lain, “agak sulit bagi kita untuk menilai mereka. Mungkin pada saat-saat terakhir, mereka telah meningkatkan kemampuan ilmu mereka.”

“Tetapi apa artinya peningkatan ilmu bagi orang-orang malas seperti Sutawijaya, Benawa dan Wirabumi,” jawab yang lain lagi. “Seandainya dalam waktu tiga tahun, mereka terus-menerus berada di sanggar, mungkin mereka akan dapat memiliki kelebihan ilmu yang memadai. Tetapi agaknya mereka lebih senang menikmati kamukten atas kedudukan mereka, seperti yang dilakukan oleh Sultan Hadiwijaya di saat-saat terakhir. Meskipun pada usia mudanya, Kanjeng Sultan itu memiliki ilmu yang ngedab-edabi.”

“Kita tidak berkepentingan dengan Sutawijaya, Benawa dan Wirabumi. Kita berkepentingan dengan pembunuh Kakang Tumenggung Prabadaru,” berkata yang pertama, “karena itu, kita tidak usah memikirkan yang lain-lain.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Salah seorang di antara mereka menyahut, “Ya. Aku akan menemukannya kelak dan membantainya dengan cara yang sangat menarik.”

“Jangan mengigau. Kita belum menentukan siapa yang berhak membunuhnya,” berkata yang lain.

“Kalian mulai berkicau seperti burung kedasih,” berkata yang pertama. “Kita baru akan menentukan kelak. Sementara ini kita akan beristirahat di Pajang. Kita tidak akan kekurangan apa pun juga di sini. Ternyata orang-orang Pajang adalah orang-orang yang baik hati. Mereka memberi apa saja yang kita butuhkan.”

Namun dalam pada itu, di luar pengetahuan ketiga orang itu, Pangeran Benawa sendiri bersama beberapa orang kepercayaannya tengah mengawasi orang-orang itu. Setiap saat, ketiga orang itu tidak lepas dari pengamatan Pangeran Benawa atau orang-orang yang dipercayanya. Bahkan pada suatu saat, Pangeran Benawa telah berhasil mengetahui dimana ketiga orang itu tinggal. Apalagi karena keyakinan ketiga orang itu atas kemampuan mereka, maka mereka sama sekali tidak berusaha untuk melindungi diri mereka dengan penyamaran.

“Mereka tidak banyak membuat onar di sini,” berkata salah seorang kepercayaan Pangeran Benawa.

“Awasi saja. Mereka memang tidak memerlukan orang lain kecuali Agung Sedayu. Agaknya merekapun menjaga diri, agar mereka tidak harus berhadapan dengan prajurit-prajurit Pajang,” berkata Pangeran Benawa.

Sebenarnyalah ketiga orang itu memang tidak terlalu banyak melakukan perbuatan yang dapat menarik perhatian. Justru karena mereka terlalu yakin akan diri sendiri, maka mereka menganggap orang-orang lain terlalu kecil untuk dilayani atau dihadapi dengan kekerasan.

Agaknya ketiga orang itu dengan sabar menunggu, apakah Raden Sutawijaya menerima keputusan yang tentu akan disampaikan kepadanya tentang kedudukannya itu.

Pada saat-saat yang demikian, Agung Sedayu telah mempergunakan hampir seluruh waktunya di dalam sanggarnya. Ia telah menyerahkan anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh kepada Glagah Putih, meskipun Glagah Putih masih juga sering berada di sungai mencari ikan. Namun anak muda itu sama sekali tidak mengabaikan tugas-tugasnya.

Dalam pada itu, ketika Ki Waskita sudah berada di Tanah Perdikan Menoreh kembali, maka Agung Sedayu minta kepadanya untuk berada di rumahnya.

“Ki Waskita,” berkata Agung Sedayu, “dalam sepuluh hari ini aku akan menempa diri. Aku akan berusaha untuk menguasai ilmu itu dengan tuntas. Selama ini aku sudah merintis ke arah penguasaan ilmu itu. Pintu telah terbuka. Dan aku harus masuk ke dalamnya.”

“Bagus,” jawab Ki Waskita, “tetapi apakah dengan demikian kau tidak bekerja terlalu keras. Seandainya yang sepuluh hari itu dapat kau lipatkan. Maka kau akan dapat melakukannya lebih mapan bagi wadagmu.”

“Aku sudah menjajaginya,” berkata Agung Sedayu, “namun seandainya aku tidak berhasil dalam sepuluh hari, aku akan dapat menyelesaikannya dalam lima belas hari. Selebihnya aku akan dapat menyempurnakannya dalam waktu-waktu berikutnya tanpa batas. Tetapi inti dari ilmu itu sudah aku kuasai sepenuhnya.”

Ki Waskita pun menyadari, bahwa Agung Sedayu memang seorang yang luar biasa. Sebelumnya ia sudah menguasai berbagai macam ilmu. Karena itu, maka tidak mustahil bahwa dalam lima belas hari, ia akan dapat menguasai ilmu itu, karena sebelumnya untuk beberapa hari ia sudah merintisnya.

Dengan demikian, maka Ki Waskita pun kemudian telah menyediakan diri untuk berada di rumah Agung Sedayu, selama Agung Sedayu berada di dalam sanggarnya untuk mendalami satu di antara sekian banyak ilmu yang dipetiknya dari kitab Ki Waskita.

Ki Waskita menyadari, bahwa ia tidak saja harus memberikan pertimbangan-pertimbangan tertentu, tetapi ia juga harus melindungi Agung Sedayu dalam saat-saat ia mesu diri. Selama ia berada di dalam sanggar, maka ia tidak dapat melihat apa yang berkembang di luar sanggar dan rumahnya. Karena itu, agar ia tidak tiba-tiba saja terjebak dalam kesulitan, maka Ki Waskita dimintanya untuk berada di rumahnya, menemani Agung Sedayu dalam laku yang ditempuhnya, baik persoalan yang timbul dari dalam maupun dari luar.

Dalam pada itu, maka sebenarnyalah para pemimpin dan orang-orang tua yang berpengaruh di Pajang telah mengirimkan sekelompok utusan untuk menyampaikan keputusan tentang persetujuan mereka, bahwa Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga-lah yang akan menjadi Raja, menggantikan Kanjeng Sultan Hadiwijaya.

Keputusan itu diterima oleh Raden Sutawijaya. Namun ternyata kemudian bahwa Raden Sutawijaya tidak menyebut dirinya sebagaimana Kanjeng Sultan Hadiwijaya. Tetapi Raden Sutawijaya kemudian dikenal dengan sebutan Panembahan Senapati.

Raden Sutawijaya tidak ingkar akan beban itu. Sebagaimana Ayahanda angkatnya telah mengatakannya di saat terakhir, bahwa masa depan Pajang harus dipikulnya, dengan citra kebesaran yang diinginkan oleh Kanjeng Sultan Hadiwijaya. Bukan saja besar ujudnya, tetapi besar jiwanya.

Berita itupun kemudian segera menyebar ke seluruh daerah Pajang. Para Adipati menerimanya dengan ragu-ragu. Namun apa yang terjadi di Prambanan telah menunjukkan, bahwa Raden Sutawijaya memang memiliki kekuatan yang besar yang mampu mengimbangi kekuatan yang telah membayangi kekuasaan Kanjeng Sultan di Pajang.

Sementara itu beberapa orang Adipati yang tidak dengan langsung terlibat dalam pertentangan antara Pajang dan Mataram, telah mendengar apa yang telah terjadi. Kebesaran jiwa Raden Sutawijaya serta kepercayaan Kanjeng Sultan kepada putra angkatnya itu, telah mendorong para Adipati untuk memberi kesempatan kepada Raden Sutawijaya.

“Kami akan melihat perkembangan keadaan selanjutnya, sebelum kami memastikan sikap kami. Apakah Raden Sutawijaya yang berkedudukan di Mataram itu akan mampu menggantikan kedudukan Ayahanda angkatnya, Kanjeng Sultan Hadiwijaya,” berkata para Adipati itu.

Sementara itu, beberapa daerah yang telah ikut serta bertempur bersama Mataram telah menerima berita itu sebagaimana seharusnya. Pengangkatan Raden Sutawijaya menggantikan kedudukan Ayahanda angkatnya dan berkedudukan di Mataram adalah wajar sekali. Mereka telah mendengar sikap Pangeran Benawa sebelumnya, sehingga mereka hampir memastikan, bahwa kedudukan itu akan temurun kepada Raden Sutawijaya, sebagaimana telah terjadi kemudian.

Sementara gelombang pengangkatan Raden Sutawijaya itu menjalar menempuh segala daerah Pajang, Raden Sutawijaya sendiri telah berketetapan hati untuk memulai pemerintahannya dengan keseimbangan nalar dan budinya. Ia tidak didera oleh dendam yang menyala di hatinya karena peristiwa yang telah melemparkannya dari Pajang sehingga ia berada di Hutan Mentaok yang kemudian menjadi sebuah negeri yang ramai. Iapun sama sekali tidak mendendam karena benturan kekuatan yang terjadi di Prambanan. Ia juga tidak mendendam kepada orang-orang yang tidak dengan tulus menerimanya.

Tetapi Raden Sutawijaya berjanji kepada diri sendiri, sebagai Panembahan Senapati ia akan menunjukkan, bahwa ia mampu melakukan tugas yang harus diembannya, sehingga dengan demikian, maka pengakuan atas kepemimpinannya akan datang dengan sendirinya tanpa memaksa pihak yang manapun juga.

“Aku tidak berbuat karena dorongan keinginanku semata-mata bagi kepentinganku,” berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya, “tetapi aku berbuat bagi kepentingan rakyat Pajang seluruhnya. Rakyat Pajang dari segala tingkatan. Mudah-mudahan aku dapat memenuhi keinginan mereka lahir dan batin.”

Pergeseran pusat pemerintahan dari Pajang ke Mataram memang terasa sebagai sentuhan-sentuhan perasaan yang mempunyai akibat yang berbeda. Bagi orang-orang Mataram, perpindahan pimpinan pemerintahan itu memberikan dorongan tertentu. Apalagi mereka menyadari, bahwa perbendaharaan pusaka Pajang akan segera dipindahkan ke Mataram, sebagai perlambang kekuasaan atas Tanah ini.

Sementara itu, Pajang pun kemudian terasa menjadi sepi. Meskipun Adipati Wirabumi akan tetap berkedudukan dan memerintah Pajang sebagai sebuah Kadipaten, namun kekuasaan yang sebenarnya telah berkisar dari Pajang ke Mataram.

Namun pergeseran itu akan dilakukan berangsur-angsur. Raden Sutawijaya tidak tergesa-gesa melakukan perubahan-perubahan yang tiba-tiba dan membuat gejolak dalam kehidupan rakyatnya.

Berita tentang pengangkatan itu telah diterima di Tanah Perdikan Menoreh dengan gembira, meskipun tidak mengejutkan. Rasa-rasanya orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh, terutama Ki Gede dan para pemimpin yang lain, menerimanya sebagaimana memang seharusnya terjadi demikian. Demikian juga Kiai Gringsing di Sangkal Putung dan keluarga Ki Demang, termasuk Swandaru.

“Kita menunggu langkah-langkah yang akan diambilnya kemudian,” berkata Kiai Gringsing kepada Ki Demang di Sangkal Putung.

Namun dalam pada itu, yang terjadi itu sama sekali tidak mempengaruhi ketekunan Agung Sedayu mesu diri. Ia memang mendengar berita itu di saat ia beristirahat, langsung dari Ki Waskita. Tetapi justru dalam masa mesu diri selama sepuluh sampai lima belas hari, maka ia telah mengesampingkan persoalan itu. Ia benar-benar ingin membenamkan dirinya dalam penempaan diri sepenuhnya

Di Sangkal Putung, Swandaru pun baru menekuni isi kitab Kiai Gringsing dengan sungguh-sungguh. Meskipun Swandaru tidak melakukannya seberat yang dilakukan oleh Agung Sedayu.

Dengan demikian, baik Tanah Perdikan Menoreh, Sangkal Putung maupun beberapa daerah lain, menunggu dengan penuh kesungguhan, bahwa keadaan di masa mendatang akan berkembang lebih baik. Sementara itu mereka pun menunggu satu saat mereka akan menghadiri wisuda dari Raden Sutawijaya yang meskipun dengan sederhana, namun merupakan satu pertanda resmi dari kedudukan yang diembannya.

Sementara itu, di Pajang tiga orang ,yang menyebut dirinya bajak laut itu pun menanggapi berita tentang kesediaan Raden Sutawijaya itu dengan sikap yang dingin. Mereka memang sudah mengira bahwa hal yang demikian akan terjadi setelah mereka mendengar serba sedikit tentang perkembangan keadaan Pajang dan Mataram.

“Kedudukan Tanah ini akan menjadi semakin suram” berkata salah seorang dari mereka.

“Aku tidak peduli. Setelah aku berhasil membunuh orang yang telah membunuh Ki Tumenggung Prabadaru, aku akan kembali ke lautan. Aku sudah merindukan desah angin senja yang sejuk di laut yang terbentang tanpa tepi. Di darat rasa-rasanya hidup ini menjadi sesak dan menjemukan,” sahut yang lain.

“Kita masih harus menentukan, siapa yang akan membunuh anak yang bernama Agung Sedayu itu,” sahut orang yang ketiga, “kau atau aku. Seterusnya, aku pun segera ingin kembali ke laut, berburu dengan layar yang mengembang memang memberikan kepuasan tersendiri.”

Kedua orang saudara seperguruannya tidak menjawab. Mereka masing-masing berkeinginan untuk menjajagi kemampuan orang yang telah membunuh Ki Tumenggung Prabadaru itu.

Ketika berita tentang ketetapan Raden Sutawijaya menerima pengangkatannya itu sudah diterima di Pajang dan tersebar ke segala sudut, maka ketiga orang itu merasa bahwa mereka tidak perlu berada di Pajang lebih lama lagi.

“Kita mencari anak itu,” berkata salah seorang dari ketiganya.

“Ya,” sahut yang lain, “tidak ada lagi yang kita tunggu di Pajang. Kesediaan Sutawijaya itu merupakan satu keputusan yang wajar sekali. Jika ia menolak, justru baru menarik. Tentu akan timbul pertentangan-pertentangan yang dapat membuat kita kerasan di sini.”

“Sebenarnya aku berharap demikian,” berkata yang lain pula, “tetapi ternyata yang terjadi tidak demikian. Jika terjadi pergeseran-pergeseran dan pertumpahan darah, barulah kita dapat menyatakan diri sebagai orang-orang yang penting di sini. Orang-orang akan menghargai kita. Tetapi dalam keadaan yang tenang seperti ini, rasa-rasanya memang sangat menjemukan. Pertengkaran dengan tikus-tikus kecil hanya membuat perut menjadi mual.”

Karena itulah, maka ketiganya pun telah memutuskan untuk meninggalkan Pajang. Mereka sudah mendapat keterangan yang jelas tentang orang yang telah membunuh Ki Tumenggung Prabadaru. Mereka pun tahu pasti bahwa orang yang bernama Agung Sedayu itu tinggal di Tanah Perdikan Menoreh.

Sementara itu, Agung Sedayu masih tetap berada di sanggarnya. Ia sudah memasuki hari ke tujuh. Sementara itu, Ki Waskita pun telah dengan hati-hati mengamatinya. Apalagi ketika iapun kemudian mendengar tentang tiga orang yang tengah mencari Agung Sedayu, pembunuh Ki Tumenggung Prabadaru. Rasa-rasanya Ki Waskita tidak sampai hati meninggalkan regol halaman rumah Agung Sedayu. Jika ia terpaksa harus pergi, maka ia minta agar Glagah Putih dan Sekar Mirah kedua-duanya berada di rumah.

Dalam pada itu, Ki Gede pun telah minta agar di rumah Agung Sedayu ditempatkan kentongan yang dapat dipergunakan untuk memberikan isyarat jika diperlukan sekali. Ketiga orang yang mencari Agung Sedayu itu tentu bukan orang-orang yang dapat diabaikan dalam olah kanuragan.

“Jika ketiganya memiliki kemampuan seperti Ki Tumenggung, maka tentu diperlukan kemampuan yang cukup untuk melawan mereka,” berkata Ki Gede yang merasa tubuhnya menjadi semakin lemah, karena cacat kakinya yang semakin mengganggu. Meskipun demikian, Ki Gede tidak menyerah kepada keadaannya. Ia menjadi semakin mendalami kemungkinan yang dapat dilakukan oleh tangannya untuk mengimbangi kelemahan kakinya.

Sementara itu, penjagaan di gardu-gardu pun menjadi semakin ditingkatkan. Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang menjadi semakin matang ditempa oleh pengalaman yang dahsyat di Prambanan, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan itu sendiri, menjadi semakin mapan pula sikapnya.

Tetapi, ketiga orang bajak laut itu benar-benar telah meninggalkan Pajang. Tetapi, ternyata bahwa mereka tidak langsung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Ada keinginan mereka untuk melihat-lihat Mataram yang telah menggeser Pajang.

“Luar biasa,” berkata salah seorang dari ketiga orang itu, “di saat terakhir, Mataram telah berhasil membangun dirinya.”

“Pembangunan yang cepat,” sahut yang lain, “kita akan tinggal di sini satu dua hari. Nampaknya menarik juga tinggal di satu negeri yang baru berkembang.”

Kawan-kawannya tidak berkeberatan. Mereka ternyata tinggal untuk beberapa saat di Mataram. Sambil melihat-lihat suasana, maka mereka pun ingin melihat, apa saja yang dapat dilakukan oleh Mataram menghadapi masa depan.

Tetapi, seperti di Pajang, ketiganya tidak ingin terlibat dalam persoalan yang sungguh-sungguh dengan para prajurit dan pengawal. Bagaimanapun juga, mereka memperhitungkan keadaan dengan sebaik-baiknya. Jika mereka terlibat persoalan yang berat dengan para pengawal sebelum bertemu dengan Agung Sedayu, maka persoalannya tentu akan segera bergeser.

Namun dalam pada itu, tanpa disengaja mereka telah memberikan kesempatan lebih banyak kepada Agung Sedayu. Untuk beberapa hari ketiga orang itu berada di Mataram. Mereka berniat untuk meninggalkan Mataram dan langsung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh, setelah Agung Sedayu memasuki hari ke sebelas.

“Yang sepuluh hari telah aku lampaui,” berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri di dalam sanggarnya.

Namun, ternyata bahwa Agung Sedayu masih belum selesai. Pada hari yang kesebelas itu ia justru baru memasuki laku yang paling gawat dalam pendalaman ilmunya. Ia harus memasuki satu laku yang menentukan apakah ia berhasil atau tidak. Karena sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu sebelum ia memasuki sanggar, bahwa ia tidak hanya sekedar ingin dapat melepaskan bentuk-bentuk semu yang dapat dengan mudah dikenal oleh orang-orang berilmu tinggi, sehingga bentuk-bentuk semu itu hanya akan membingungkan mereka yang belum dapat mempergunakan mata hatinya untuk menembus ujud semu itu.

Tetapi yang ingin dicapai oleh Agung Sedayu adalah satu kemampuan untuk membuat dirinya menjadi rangkap. Bukan hanya sekedar ujud semu yang dapat dilihat tembus oleh orang-orang berilmu tinggi, tetapi ujud yang menjadi bayangan dirinya itu tidak akan dapat dibedakan dengan ujud yang sebenarnya, sebagaimana dapat dilakukan oleh Ki Juru Martani dan Ajar Tal Pitu.

Demikianlah, maka pada hari yang kedua belas, maka Agung Sedayu sudah memasuki laku terakhir untuk menguasai ilmu itu. Dengan sepenuh hati nalar dan budi, maka Agung Sedayu telah duduk di dalam sanggarnya. Kedua tangannya bersilang di dadanya. Sementara kedua matanya telah dipejamkannya. Perlahan-lahan Agung Sedayu memasuki satu keadaan yang lembut di dalam teleng keheningan budinya. Selapis demi selapis rasa-rasanya Agung Sedayu telah melepaskan ujud wadagnya. Berlandaskan ilmu yang sedang didalaminya, maka dalam puncak lakunya, Agung Sedayu melihat dengan mata batinnya, ujud-ujud sebagaimana dirinya perlahan-lahan lepas dari ujud badaninya.

Tetapi laku itu tidak dapat diselesaikannya dalam satu hari. Pada hari yang pertama, Agung Sedayu mengenal dengan pengenalan batinnya, satu ujud dari dirinya sendiri, lepas dari ujud wadagnya dan kemudian duduk pula sebagaimana laku yang ditempuhnya. Namun betapa hal itu memerlukan pemusatan budi yang tiada taranya. Ketika ujud itu terpisah dari dirinya, rasa-rasanya seluruh kekuatan tubuh wadagnya terlepas pula dari padanya.

Namun Agung Sedayu tetap duduk di tempatnya. Ia masih dalam pemusatan laku di dalam keheningan budinya. Sehingga pada hari kedua, maka satu lagi ujud seperti yang pertama, lepas dari dirinya pula. Melayang dalam terawang pengamatan hatinya.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu telah mencapai puncak lakunya. Betapa Agung Sedayu pada hari ketiga serasa telah terlepas dari ikatan paugeran alami. Rasa-rasanya Agung Sedayu telah kehilangan bobot wadagnya. Ketika ia sampai ke puncak laku sebagaimana harus dilakukan menurut petunjuk kitab Ki Waskita, rasa-rasanya Agung Sedayu telah dihisap oleh satu kekuatan yang tidak dikenal, perlahan-lahan naik ke udara tanpa dibatasi oleh ruang.

Dari tempatnya, Agung Sedayu telah melihat, sebagaimana ia melihat dirinya sendiri dalam tiga ganda duduk bersilang tangan di dada.

Namun dalam pada itu Agung Sedayu tetap sadar diri dalam lakunya sebagaimana disebutkan dalam kitab Ki Waskita. Itulah sebabnya, maka ia pun sadar, bahwa ia telah hampir selesai dengan laku terakhirnya.

Perlahan-lahan pula Agung Sedayu kemudian kembali memasuki tata ruang di dalam sanggarnya. Tubuhnya yang dihisap oleh kekuatan yang membawanya melepaskan diri dari ikatan ruang mulai mengendor.

Dalam kesadaran yang utuh, dalam laku terakhir dari ilmu yang disadapnya dari kitab Ki Waskita, telah membawanya semakin dekat dengan pusat dari ujud-ujud dirinya, sehingga di tataran akhir yang terasa melemparkannya ke dalam satu keadaan yang ditinggalkannya sebelumnya.

Akhirnya, Agung Sedayu telah menyatu kembali dengan dirinya di hari ke empat belas itu. Sementara itu, kedua ujud yang lain pun bersama-sama telah bergeser pula dan lenyap menyatu ke dalam dirinya kembali.

Terasa betapa dirinya adalah dirinya sebagaimana tiga hari yang lalu. Sehingga dengan demikian, laku terakhir dalam tiga hari tiga malam telah dilakukannya. Tanpa sentuhan dengan dunia di luar dirinya, yang dibatasi oleh ruang dalam sanggarnya.

Agung Sedayu telah melakukan pati geni.

Karena itulah, maka ia telah kembali ke dalam dunianya. Wadagnya yang terasa sangat letih dan lemah. Tiga hari tiga malam ia telah mengerahkan segenap kemampuan budinya dalam laku terakhir.

Namun keberhasilannya telah membuatnya terlepas dari perasaan kewadagannya.

Perlahan-lahan Agung Sedayu membenahi dirinya. Namun ketika ia bangkit berdiri, kakinya seakan-akan terlalu berat mengangkat tubuhnya. Hampir saja Agung Sedayu terjatuh. Untunglah, bahwa ia cepat duduk kembali sambil menarik nafas dalam-dalam.

Barulah Agung Sedayu menyadari, betapa letih dan lemahnya tubuhnya. Dalam waktu sebelas hari ia menempuh kewajiban laku badani dan jiwani. Kemudian di hari kedua belas, tiga belas dan empat belas ia telah menempuh laku terakhir dalam keadaan pati geni.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu masih mempunyai sisa tenaga yang kemudian dapat membawanya keluar dari sanggarnya.

Ketika perlahan-lahan pintu sanggarnya dibukanya, maka yang pertama-tama lari menyongsong adalah Glagah Putih. Dengan wajah yang gembira Glagah Putih pun menyambutnya dengan pertanyaan, “Kakang sudah selesai?”.

Agung Sedayu tersenyum. Cahaya di luar sanggarnya terasa silau. Namun saat-saat matahari telah hampir terbenam terasa betapa segarnya.

Tetapi, sebenarnyalah bahwa dalam laku terakhirnya, Agung Sedayu sama sekali tidak mendengar, bahwa Tanah Perdikan Menoreh telah digemparkan oleh kehadiran tiga orang yang menyebut dirinya bajak laut, yang sedang mencari pembunuh Ki Tumenggung Prabadaru.

Hal itu baru didengar oleh Agung Sedayu setelah ia mandi dan keramas serta serba sedikit meneguk air hangat.

Agung Sedayu yang masih merasa terlalu letih itu mendengarkan Ki Waskita tentang kedatangan ketiga orang bajak laut itu. Sambil meneguk air hangat dengan gula kelapa, Agung Sedayu mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Sementara itu, Sekar Mirah dan Glagah Putih duduk pula bersama dengan mereka.

“Jadi mereka benar-benar telah datang?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Mereka telah berada di Tanah Perdikan ini. Tetapi tidak seorang pun yang mengetahui, dimana mereka berada,” jawab Ki Waskita.

“Di sini masih terdapat banyak hutan lebat di lereng-lereng pegunungan,” sahut Agung Sedayu, “mungkin sekali mereka berada di sana.”

“Ya. Mungkin pula di tempat lain yang jarang dikunjungi. Bahkan seandainya mereka berada di pategalan sekalipun, agaknya jarang pula dijumpai seseorang, karena tidak setiap hari orang pergi ke pategalan. Mungkin tiga hari bahkan lebih, seseorang baru menengok pategalannya,” berkata Ki Waskita pula.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian Katanya, “Apakah hal ini sudah dilaporkan kepada Ki Gede?”

“Sudah Ngger. Aku sendiri sudah bertemu dengan Ki Gede. Ternyata Ki Gede juga sudah mendengar laporan itu. Karena itu, Ki Gede sudah memerintahkan untuk memperkuat penjagaan tanpa memberikan kesan yang dapat menggelisahkan para penghuni Tanah Perdikan ini. Tetapi berita tentang kehadiran ketiga orang yang mencari pembunuh Ki Tumenggung Prabadaru itu sudah cukup menggelisahkan mereka, karena hampir setiap orang di Tanah Perdikan Menoreh telah mendengar, bahwa yang membunuh Ki Tumenggung adalah Agung Sedayu.”

Dengan demikian mereka pun mengerti, bahwa ketiga orang yang menyebut dirinya bajak laut itu telah mencari Agung Sedayu.

Dalam pada itu, Sekar Mirah pun kemudian berkata, “Untunglah bahwa Kakang telah sampai kepada laku terakhir. Meskipun barangkali saat ini tubuh Kakang Agung Sedayu masih sangat letih, namun mungkin dengan laku yang telah Kakang tempuh itu, Kakang mendapatkan bekal baru untuk menghadapi ketiga orang itu, meskipun bukan berarti bahwa kami akan tinggal diam jika mereka berusaha untuk melakukan pembalasan dengan curang.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Kita belum mengetahui, siapakah mereka sebenarnya. Kita pun belum mengetahui sampai tingkat yang manakah kemampuan ketiga orang itu. Jika mereka masing-masing memiliki bobot ilmu seperti Ki Tumenggung Prabadaru, maka kita memang harus sangat berhati-hati.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Aku mengerti, bahwa untuk menghadapi Ki Tumenggung diperlukan satu tingkat ilmu yang sangat tinggi. Apalagi jika tiga orang itu memiliki ilmu yang setingkat. Tetapi bukankah dengan demikian tidak berarti bahwa kita akan membiarkan mereka berbuat sesuka hati mereka. Apalagi dengan dendam yang menyala di hati mereka?”

“Aku mengerti Ki Waskita,” jawab Agung Sedayu, “agaknya aku di sini tidak seorang diri. Meskipun demikian, kita memang harus bersiaga sepenuhnya. Ketiga orang itu tentu sudah mempunyai perhitungan sebaik-baiknya. Jika mereka dengan sengaja mencari orang yang telah membunuh Ki Tumenggung, maka mereka tentu merasa yakin bahwa mereka memiliki kelebihan dari Ki Tumenggung itu.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat Ngger. Karena itu, tentu diperlukan kekuatan yang cukup untuk melawan mereka.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Tetapi, kita tidak perlu cemas. Di sini ada Ki Waskita, ada Sekar Mirah, ada Glagah Putih dan ada Ki Gede Menoreh. Selebihnya di sini ada sebagian dari pasukan khusus yang telah ditempa dengan matang, serta para senapati yang memimpin mereka. Dengan demikian, kita akan dapat mengimbangi kekuatan tiga orang itu dengan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi jika kita menganggap mereka sebagai bajak laut yang dapat merusak ketenangan Tanah Perdikan ini, sehingga kita memang berkewajiban untuk menangkap mereka dengan seluruh kekuatan yang ada di Tanah Perdikan ini. Kecuali jika mereka atau di antara mereka dengan jantan berniat melakukan perang tanding.”

“Kakang,” hampir di luar sadarnya Sekar Mirah berdesis.

Agung Sedayu berpaling kepada perempuan itu. Ia melihat kecemasan membayang di wajahnya. Bagaimanapun juga Sekar Mirah sebagai seorang istri telah tersentuh oleh kekhawatiran tentang suaminya.

“Kau masih sangat letih,” berkata Sekar Mirah kemudian.

“Malam ini aku dapat beristirahat sepenuhnya Mirah. Aku akan dapat minum dan makan secukupnya,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi tidak untuk perang tanding. Kau memerlukan waktu dua tiga hari untuk memulihkan seluruh kekuatan jasmaniahmu. Meskipun mungkin ilmumu telah meningkat, tetapi kemampuan dan kekuatan wadag tidak akan dapat diabaikan,” berkata Sekar Mirah.

“Agaknya beristirahat untuk semalam sudah cukup Mirah,” jawab Agung Sedayu, “syukurlah jika mereka tidak datang esok. Tetapi memberi kesempatan aku beristirahat lebih lama lagi.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi terasa dalam tarikan nafasnya, kegelisahan yang mencengkam.

Tetapi, sebenarnyalah bahwa ketiga orang bajak laut itu tidak terlalu tergesa-gesa. Mereka ingin meyakinkan diri, dengan siapa mereka berhadapan. Mereka ingin mendapat sedikit gambaran yang akan dapat memberikan arah terhadap langkah-langkah yang harus mereka ambil.

Di pasar-pasar dan di tempat orang-orang berkumpul, ketiga orang itu mencoba mendengarkan segala sesuatu tentang Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan mereka berusaha untuk tidak menakut-nakuti orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu kehadiran mereka di pasar-pasar dan tempat-tempat yang dikunjungi oleh banyak orang, kadang-kadang tidak menarik perhatian sama sekali. Mereka bersikap dan berpakaian seperti kebanyakan orang-orang yang berada di tempat itu. Namun pertanyaan dan pernyataan mereka-lah yang kemudian telah menunjukkan siapakah mereka sebenarnya.

Dalam keadaan tertentu, maka salah seorang dari mereka terlanjur mengatakan tentang diri mereka bertiga, sehingga orang-orang Tanah Perdikan yang mendengarnya menjadi berdebar-debar karenanya.

Tetapi untuk beberapa hari orang-orang itu masih belum mengganggu kehidupan di Tanah Perdikan selain mencari keterangan tentang Agung Sedayu. Namun sikap mereka itu telah cukup menggetarkan Tanah Perdikan. Apalagi orang-orang Tanah Perdikan itu untuk beberapa hari tidak melihat Agung Sedayu.

Tetapi, nampaknya Glagah Putih telah mempunyai cara tersendiri untuk menunda agar ketiga orang yang mencari Agung Sedayu itu tidak segera bertindak. Atas kehendaknya sendiri, maka Glagah Putih telah mengatakan kepada anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh bahwa Agung Sedayu sedang sakit sehingga tidak keluar dari rumahnya.

Berita itu pun segera telah tersebar. Bahkan ketika Sekar Mirah bertemu dengan beberapa orang di luar halaman rumahnya, orang-orang itu pun telah menanyakan, apakah Agung Sedayu sudah membaik.

Sekar Mirah menjadi bingung mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi, iapun segera menghubungkan pertanyaan itu dengan keadaan Agung Sedayu yang tidak keluar dari halaman rumahnya untuk beberapa hari. Karena itu, maka asal saja ia menjawab bahwa Agung Sedayu sudah berangsur baik.

Baru ketika hal itu dipercakapkannya di rumah. Glagah Putih mengatakan, bahwa ia sengaja telah mengatakan bahwa Agung Sedayu sedang sakit.

“Ah, kau,” desis Sekar Mirah, “ketika aku mendengar pertanyaan itu, aku menjadi bingung.”

Tetapi berita itu telah menunda semua langkah yang akan diambil oleh ketiga orang bajak laut itu. Justru karena mereka pun mendengar bahwa Agung Sedayu sedang sakit, maka mereka telah menyabarkan diri untuk menunggu.

“Kita tidak akan menodai nama kita dengan sikap yang licik, seolah-olah kita hanya berani melawan orang yang sedang sakit,” berkata salah seorang dari orang-orang itu.

Tetapi, karena mereka mulai jemu berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka mereka pun mulai tidak dapat mengekang lagi sifat-sifat mereka yang kasar dan keras.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu ternyata telah mendapat kesempatan untuk beristirahat barang dua tiga hari.

Dalam pada itu, kekerasan telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh, ketika sekelompok anak-anak muda yang sedang meronda di malam hari bertemu dengan mereka. Nampaknya ketiga orang itu mulai dengan sengaja memancing persoalan. Ketika anak-anak muda itu menghentikan mereka dan menyapanya, maka seorang di antara mereka berkata, “Jangan main-main anak-anak. Kalian tidak berhak menghentikan kami.”

“Kalian bukan orang-orang Tanah Perdikan ini,” jawab salah seorang dari anak-anak muda itu.

“Kalian tentu sudah mendengar tentang tiga orang bajak laut yang sedang mencari Agung Sedayu. Nah, bajak laut itu adalah kami bertiga,” jawab salah seorang di antara mereka.

Anak-anak muda yang sedang meronda itu memang sudah mengira. Tetapi mereka tidak dapat melepaskan tugas mereka. Karena itu, maka pemimpin anak-anak muda yang sedang meronda itupun kemudian bertanya, “Apakah kalian akan bertemu dengan Agung Sedayu malam ini?”

“Kami belum pernah berjanji kapan kami akan bertemu,” jawab salah seorang dari ketiganya.

“Lalu, apa yang akan kalian kerjakan sekarang?” bertanya peronda itu.

“Kami sudah terlalu lama berada di Tanah Perdikan ini. Kami memerlukan makan dan pakaian. Karena itu, kami akan mengambilnya malam ini,” jawab salah seorang bajak laut itu.

“Dimana kalian akan mengambil?” bertanya peronda itu dengan heran.

“Kami adalah bajak taut yang berkuasa di lautan. Tetapi kamipun berkuasa di daratan. Karena itu, kami dapat mengambil dimana saja yang kami kehendaki. Aku tahu, di padukuhan ini ada rumah yang cukup besar,” jawab bajak laut itu.

“Ki Sanak,” bekata peronda itu, “kami tahu, jika kalian berusaha untuk mencari Agung Sedayu, maka kalian tentu bukan orang-orang kebanyakan. Tetapi apakah kami akan dapat membiarkan kalian mengambil barang-barang begitu saja tanpa berusaha mencegahnya? Karena dengan demikian kalian telah mengganggu ketenangan hidup di Tanah Perdikan ini.”

“Sekali lagi aku peringatkan anak-anak. Jangan main-main dengan kami. Biarkan saja kami mengambil barang-barang yang kami perlukan. Kami tidak akan mengambil lebih dari keperluan kami selama kami berada di Tanah Perdikan ini, karena sebenarnyalah kami telah memiliki harta benda yang jauh lebih banyak dari yang dimiliki oleh orang yang paling kaya di Tanah Perdikan ini,” jawab bajak laut itu.

Anak-anak muda yang meronda itu menjadi berdebar-debar. Mereka menyadari dengan siapa mereka berhadapan. Tetapi mereka pun merasa sedang bertugas.

Karena itu, maka pemimpin peronda itu pun berkata, “Ki Sanak. Kami mengerti bahwa kalian adalah orang-orang yang luar biasa. Tetapi kami ingin memohon agar kalian tidak melakukan tindakan yang dapat mengganggu ketenangan Tanah Perdikan ini.”

“Jangan mencegah kami,” jawab bajak laut itu, “sudahlah. Duduklah dengan tenang. Barangkali kau sudah menjerang air. Minumlah air hangat dengan gula kelapa. Mungkin kalian sudah merebus ketela pohon dengan santan.”

“Kami sedang meronda malam ini Ki Sanak,” jawab pemimpin peronda itu meskipun jantungnya terasa berdentangan, “karena itu, kami mohon tinggalkan padukuhan ini.”

“Anak setan,” geram bajak laut itu, “jangan memaksa diri menjadi pahlawan. Jika Agung Sedayu telah sembuh sama sekali, katakan, bahwa aku sudah hampir jemu menunggu. Semakin lama aku di sini, semakin banyak aku akan mengambil barang-barang dan makanan di padukuhan ini. Kau dengar?”

Anak-anak muda Tanah Perdikan itu menjadi semakin tegang. Tetapi mereka tidak akan membiarkan orang-orang itu untuk berbuat sesuka hati. Bagaimanapun juga, anak-anak muda itu pernah juga berlatih memegang senjata.

Karena itu, maka pemimpin peronda itu pun kemudian memberikan isyarat kepada kawan-kawannya yang jumlahnya lebih dari sepuluh orang. Di antaranya adalah anak-anak muda yang sebenarnya tidak bertugas tetapi duduk-duduk pula di gardu itu.

Ketika anak-anak muda itu bersiap, maka ketiga orang bajak laut itu mengumpat. Seorang di antaranya berdesis, “Memang sulit menghadapi anak-anak muda yang gila. Sebenarnya aku tidak ingin mengganggu kalian. Tetapi kalianlah yang mencari persoalan.”

Anak-anak muda itu tidak menjawab. Tetapi mereka bergeser menebar.

Tetapi nampaknya ketiga orang bajak laut itu sama sekali tidak menghiraukan mereka. Seorang di antara bajak laut itu berkata, “Marilah. Kita memerlukan makan dan sekedar uang.”

Ketika ketiga orang itu melangkah, maka anak-anak muda itu berusaha untuk menahannya. Mereka mencegat dengan sikap yang mapan untuk menghadapi segala kemungkinan. Bahkan kemungkinan untuk bertempur.

Ketiga bajak laut itu agaknya tidak dapat menahan diri lagi. Ketika mereka maju beberapa langkah dan anak-anak muda itu justru telah menahan mereka, maka tiba-tiba saja telah terjadi sesuatu yang mengejutkan.

Dua orang di antara anak-anak muda itu terlempar dengan kerasnya. Seorang membentur dinding halaman di pinggir jalan, sedang yang seorang terbanting jatuh di tanah. Namun selain keduanya, ternyata seorang lagi di antara mereka telah jatuh terduduk di tempatnya sambil mengeluh pendek. Tetapi sejenak kemudian anak muda itu pun telah terbaring diam. Pingsan. Anak-anak muda yang lain pun bergeser surut. Mereka melihat satu peristiwa yang mendebarkan jantung. Tiga orang kawan mereka jatuh seolah-olah tanpa sebab.

Karena itu, maka anak-anak muda itu pun tidak lagi berusaha untuk menahan mereka. Seorang di antara mereka, tiba-tiba saja telah berlari ke gardu.

Sejenak kemudian maka suara kentongan pun telah bergema. Suaranya melengking memecah sepinya malam.

Ketiga orang bajak laut itu memandang anak muda itu dengan wajah yang geram. Namun seorang di antara mereka berkata, “Marilah. Kita tinggalkan saja anak-anak gila itu.”

Ketiganya pun kemudian meninggalkan gardu itu. Dibiarkannya anak-anak muda yang lain berdiri termangu-mangu, sementara suara kentongan itu pun telah disahut oleh kentongan yang lain di gardu di ujung lain dari lorong di tengah-tengah padukuhan itu. Bahkan sejenak kemudian, suara kentongan itu tidak saja memenuhi padukuhan itu, tetapi menjalar dari pedukuhan yang satu ke padukuhan yang lain.

Dalam waktu yang pendek, maka seluruh Tanah Perdikan Menoreh telah diguncang oleh suara kentongan. Anak-anak muda yang tidak sedang bertugas telah terbangun dari tidurnya. Dengan sigapnya mereka telah meloncat menyambar senjata mereka dan berlari ke gardu terdekat, sehingga gardu-gardu pun telah dipenuhi oleh anak-anak muda yang siap dengan senjata-senjata mereka.

Sementara itu, di padukuhan induk, suara kentongan itu pun telah membangunkan setiap orang. Glagah Putih yang baru saja pulang dari ujung padukuhan, telah terkejut pula.

“Ada apa Glagah Putih?” bertanya Agung Sedayu yang masih duduk di ruang dalam dengan Ki Waskita.

“Aku kurang tahu Kakang. Ketika aku berada di ujung lorong, kami yang ada di gardu tidak melihat tanda-tanda apa pun,” jawab Glagah Putih. Lalu, “Baiklah aku pergi ke gardu, Paman.”

Agung Sedayu termangu-mangu. Namun ia pun segera teringat kepada ketiga orang bajak laut itu. Karena itu, maka Katanya, “Kita akan bersama-sama pergi ke rumah Ki Gede. Kita akan bersiap menghadapi kemungkinan apa pun yang akan terjadi. Semua laporan tentu akan disampaikan ke rumah Ki Gede.”

Glagah Putih pun segera membenahi dirinya. Sekar Mirah yang sudah berada di dalam biliknya pun telah bangkit dan mengenakan pakaian khususnya. Di sambarnya tongkat baja putihnya dan ketika ia hadir di ruang dalam, maka ia pun telah siap sepenuhnya.

Ki Waskita dan Agung Sedayu pun kemudian bersiap pula. Kepada anak muda yang membantu di rumah itu, Agung Sedayu berpesan, “Kau tinggal dirumah. Jangan pergi ke sungai malam ini.”

Anak muda itu berpaling ke arah Glagah Putih. Mereka telah membuka pliridan yang akan ditutup menjelang fajar. Jika mereka tidak boleh pergi ke sungai, maka pliridan itu akan terbuka sampai pagi.

Tetapi Glagah Putih yang mengetahui perasaan anak itu berkata, “Jangan hiraukan pliridan itu. Lebih baik kita biarkan saja terbuka dari pada kau dijerat oleh bajak laut itu. Karena di sini tidak ada laut, maka bajak-bajak itu akan membajak orang-orang yang pergi ke sungai.”

Wajah anak itu menjadi tegang. Tetapi tiba-tiba saja ia menjawab, “Kenapa mereka tidak pergi ke laut selatan atau ke muara Sungai Praga?”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun jawabnya, “Sudahlah. Kau tinggal di rumah.”

Anak itu tidak menjawab lagi. sementara itu Agung Sedayu, Ki Waskita dan Sekar Mirah pun telah keluar dari pintu butulan. Ketika Glagah Putih melangkahi tlundak, ia pun berkata, “Selarak pintu. Jika ada orang mengetuk pintu, tanyakan siapakah mereka.”

“Jika bajak laut itu?” bertanya anak itu.

“Jangan dibuka,” jawab Glagah Putih.

“Kau kira orang-orang itu tidak dapat memecahkan pintu? Aku kira kau pun dapat melakukannya. Atau bahkan membakar rumah ini,” gumam anak itu.

Glagah Putih merenung sejenak. Lalu katanya, “Jika demikian, tinggalkan saja rumah ini agar kau tidak ikut terbakar.”

Anak itu masih akan bertanya lagi. Tetapi Glagah Putih sudah berlari menyusul Agung Sedayu.

Demikianlah, sejenak kemudian Agung Sedayu telah berada di rumah Ki Gede bersama Ki Waskita dan Sekar Mirah serta Glagah Putih. Ternyata di rumah itu Ki Gede telah siap pula menghadapi segala kemungkinan, karena memang telah datang laporan, dua orang penghubung berkuda yang memberitahukan bahwa tiga orang bajak laut itu telah dilihat di padukuhannya. Bahkan berniat untuk merampok rumah seseorang.

“Apa yang sebaiknya kita lakukan?” bertanya Ki Gede.

“Kita lihat padukuhan itu,” jawab Agung Sedayu.

Demikianlah, maka beberapa orang pun segera bersiap. Mereka ingin bergerak cepat, sehingga dengan demikian, maka sejenak kemudian beberapa ekor kuda berderap di jalan-jalan padukuhan. Ki Gede diiringi oleh Agung Sedayu, Ki Waskita, Sekar Mirah, Glagah Putih, Prastawa dan beberapa orang anak-anak muda terpilih.

Mereka hanya memerlukan waktu yang singkat, ketika mereka memasuki padukuhan yang telah melaporkan bahwa tiga orang bajak laut telah datang ke padukuhan itu. Sementara itu, tiga orang yang telah mengalami kekerasan duduk di gardu di ujung lorong padukuhan itu dengan tubuh yang terasa sakit dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun.

“Apakah mereka masih ada di sini?” bertanya Agung Sedayu.

“Kami belum melihat mereka pergi,” jawab anak-anak muda yang sedang meronda.

Agung Sedayu pun kemudian membawa beberapa orang memasuki padukuhan itu. Mereka mengenal seorang yang dianggap paling kaya di padukuhan itu, sehingga dugaan Agung Sedayu dan Ki Gede, maka tiga orang bajak laut itu tentu memasuki rumah itu untuk mendapatkan barang-barang yang diingininya.

Tetapi ketika mereka mengetuk pintu rumah itu, maka dua orang yang justru datang dari arah kegelapan telah menyapa, “Ki Gede?”

Ki Gede berpaling. Dilihatnya pemilik rumah itu beserta seorang kepercayaannya mendekatinya dengan senjata di tangan.

“Kau?” sapa Ki Gede, “Apakah tiga orang itu datang kemari?”

“Tiga orang bajak laut itu maksud Ki Gede?” bertanya pemilik rumah itu.

“Ya,” jawab Ki Gede.

“Tidak Ki Gede. Ketika aku mendengar suara kentongan, maka seorang anakku telah datang dan memberitahukan bahwa tiga orang bajak laut itu memasuki padukuhan ini. Karena itu, maka bagiku lebih baik untuk berada di luar rumah, sehingga dengan demikian aku akan dapat berbuat lebih banyak. Mungkin aku akan lari atau memberitahukan kepada para peronda. Tetapi ternyata mereka tidak datang kemari.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Apakah mungkin ada rumah lain?”

Ki Gede termangu-mangu sejenak. Lalu Katanya, “Kita lihat rumah di sebelah simpang empat itu.”

Mereka pun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan rumah itu, menuju ke rumah di sebelah simpang empat. Rumah yang dihuni oleh seorang yang cukup kaya pula.

Sementara itu di perjalanan, Agung Sedayu telah bertanya kepada seorang anak muda padukuhan itu yang mengantar mereka, tentang ketiga bajak laut itu.

“Apakah tidak seorang pun yang mengamati arah perjalanan mereka?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Tidak ada di antara kami yang berani melakukan. Mereka memasuki padukuhan ini, kemudian seolah-olah mereka telah hilang di kegelapan,” jawab anak muda itu.

“Lalu, apa yang kalian lakukan?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Anak-anak muda di padukuhan ini telah berkumpul di gardu-gardu mengamati keadaan. Tetapi tiga orang bajak laut itu bagaikan hilang di dalam padukuhan ini. Tetapi belum ada yang melihat mereka keluar,” jawab anak muda itu.

“Apakah tidak ada yang berjaga-jaga di dalam padukuhan?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Kami tidak dapat berbuat banyak atas mereka. Tiga orang kawan kami telah mengalami kesulitan tanpa melihat apa yang mereka lakukan,” jawab anak muda itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti, bahwa anak-anak muda di padukuhan itu tentu tidak akan dapat banyak berbuat atas ketiga orang yang mengaku bajak laut itu, karena menurut perhitungan Agung Sedayu, mereka tentu memiliki kemampuan sebagaimana dimiliki oleh Ki Tumenggung Prabadaru.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun tidak bertanya lagi sesuatu tentang ketiga orang yang sedang mereka buru itu.

Demikianlah, ketika mereka memasuki halaman rumah di sebelah simpang empat itu, maka mereka telah menemukan pintu rumah itu terbuka. Demikian mereka memasuki regol, maka seseorang telah menyongsongnya.

“Ki Gede,” sapa orang itu.

“Ya. Aku,” jawab Ki Gede, “apakah sesuatu telah terjadi di sini?”

“Ya Ki Gede. Tiga orang telah datang ke rumah ini. Mereka menyebut diri mereka bajak laut. Bajak laut yang untuk beberapa hari sempat menggetarkan Tanah Perdikan ini,” jawab orang itu.

“Jadi mereka telah datang kemari?” bertanya Agung Sedayu, “Apa yang telah mereka lakukan?”

Tetapi jawaban pemilik rumah itu mengejutkan, “Mereka tidak berbuat apa-apa. Mereka hanya memerlukan tiga pengadeg pakaian. Tidak lebih.”

“Mereka tidak mengganggu kalian seisi rumah?” bertanya Ki Gede.

“Tidak Ki Gede. Mereka mengambil tiga pengadeg pakaian itu, kemudian mereka pergi.” jawab pemilik rumah itu.

Ki Gede mengangguk-angguk, sementara Ki Waskita berkata, “Agaknya mereka juga tergesa-gesa Ki Gede. Suara kentongan itu telah memburu mereka. Nampaknya mereka tidak ingin berhadapan dengan seluruh kekuatan yang ada di Tanah Perdikan ini, termasuk barak itu.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan Ki Waskita. Nampaknya ketiga orang bajak laut itu menghindari benturan kekerasan dengan para pengawal dan mungkin pengawal khusus yang akan keluar dari barak mereka oleh suara kentongan.

Sebenarnyalah, kelompok kecil pasukan khusus telah keluar dari barak dipimpin langsung oleh Ki Lurah Branjangan. Mereka membawa beberapa senapati mereka yang terbaik, karena mereka pun mendengar bahwa di Tanah Perdikan Menoreh telah hadir tiga orang bajak laut yang ingin menuntut kematian Ki Tumenggung Prabadaru.

Kehadiran para senapati itu ternyata telah menarik perhatian anak-anak muda di padukuhan itu. Mereka pun segera memberitahukan bahwa Ki Gede pun sudah berada di padukuhan itu pula.

Sejenak kemudian para senapati itu pun telah menemui Ki Gede yang masih berada di halaman rumah yang telah didatangi oleh ketiga orang bajak laut itu. Mereka pun mengangguk-angguk pula ketika mereka mendengar keterangan tentang tingkah laku ketiga orang bajak laut itu.

“Apakah kita akan mencoba mencari mereka?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Ya,” jawab Agung Sedayu, “kita akan melihat, apakah mereka memang masih berada di padukuhan ini. Anak-anak muda yang meronda belum melihat orang itu keluar dari padukuhan ini.”

“Marilah kita berpencar,” berkata Ki Lurah.

Ki Gede pun mengangguk-angguk. Lalu Katanya, “Marilah. Kita akan mencari ke seluruh sudut halaman di padukuhan ini.”

Demikianlah, maka mereka pun segera membagi diri. Agung Sedayu bersama Sekar Mirah dan Glagah Putih telah mengajak beberapa orang anak muda keluar dari halaman rumah itu. Disusul oleh Ki Gede dan Ki Waskita serta beberapa orang pengawal. Ki Lurah Branjangan dan para senapatinya pun telah memencar menjadi dua kelompok pula. Sementara anak-anak muda yang meronda tetap berada di gardu-gardu di mulut lorong. Mereka mengawasi dengan saksama agar ketiga orang itu tidak lolos tanpa mereka ketahui.

Namun sebenarnyalah, bahwa orang-orang yang dicari itu telah lenyap seperti embun yang menguap. Sedangkan anak-anak muda yang berada di mulut-mulut lorong pun tidak melihat mereka keluar dari padukuhan itu. ‘

Agung Sedayu bersama Sekar Mirah dan Glagah Putih serta beberapa anak-anak muda telah menjelajahi setiap halaman sebagaimana dilakukan oleh kelompok-kelompok lain. Mereka memperhatikan setiap gerumbul dan setiap bayangan yang kegelapan. Bahkan ada di antara anak-anak muda itu yang membawa obor. Tetapi mereka tidak menemukan sesuatu.

“Mereka telah keluar,” desis Agung Sedayu.

“Ya. Tidak mustahil,” sahut Sekar Mirah, “mereka dapat meloncati dinding dimana pun juga mereka kehendaki.”

Agung Sedayu pun mengangguk-angguk. Ketiga orang itu tidak akan menemui kesulitan apapun untuk melepaskan diri dari pengamatan anak-anak muda di padukuhan itu.

Dengan demikian, maka orang-orang yang mencari ketiga orang bajak laut itu pun sejenak kemudian telah berkumpul pula di banjar padukuhan. Mereka sepakat bahwa ketiga orang bajak laut itu tentu sudah meninggalkan padukuhan itu.

“Kita memang harus berhati-hati,” berkata Ki Gede, “agaknya ketiganya memang orang-orang yang memiliki ilmu.”

“Mereka agaknya sengaja ingin berhadapan hanya dengan Agung Sedayu,” sahut Ki Lurah Branjangan.

“Tetapi jika mereka bertiga, maka wajarlah jika Kakang Agung Sedayu juga tidak seorang diri menghadapi mereka,” gumam Glagah Putih seolah-olah kepada diri sendiri.

“Ya,” jawab Ki Gede, “Agung Sedayu tidak boleh mengorbankan dirinya menghadapi ketiga orang itu jika mereka bersama-sama memasuki satu arena pertempuran. Meskipun mungkin tidak ada orang yang dapat mengimbangi kemampuan mereka seorang melawan seorang, tetapi adalah tidak wajar seandainya mereka bertiga harus dihadapi oleh seorang diri.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengingat apa saja yang dapat dilakukan oleh Ki Tumenggung Prabadaru yang memiliki kekuatan angin, air dan api. Kekuatan yang agaknya memang sulit untuk diimbangi tanpa bekal ilmu yang tinggi pula.

Tetapi, di Tanah Perdikan itu ada beberapa orang yang berilmu tinggi. Ki Waskita dan Ki Gede. Tetapi Ki Gede yang menjadi semakin ringkih karena cacat kakinya itu, agaknya memang sulit untuk mengimbangi kemampuan orang-orang yang berada dalam tataran Ki Tumenggung Prabadaru.

Namun, Agung Sedayu belum tahu, apakah orang-orang itu secara sendiri-sendiri mempunyai tataran ilmu Ki Tumenggung, atau mereka bertiga merasa mampu mengimbangi kekuatan Ki Tumenggung. Juga Agung Sedayu pun belum mengerti, atas dasar apakah ketiga orang itu akan menuntut kematian Ki Tumenggung. Apakah mereka saudara seperguruannya, atau saudara kandung yang merasa kehilangan.

Tetapi bagaimanapun juga, ketiga orang itu sudah mendatangkan kegelisahan yang sangat bagi Tanah Perdikan, meskipun mereka tidak secara langsung berbuat sesuatu yang berakibat buruk bagi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.

Karena itulah, maka Agung Sedayu telah bertekad di dalam dirinya, bahwa ia harus segera mengakhiri kecemasan itu. Ia harus segera berbuat sesuatu. Jika ia harus menghadapi orang-orang itu dalam bentuk apa pun, maka ia akan segera melakukannya.

Dengan demikian, maka malam itu para pemimpin di Tanah Perdikan Menoreh dan para senapati dari barak pasukan khusus itupun meninggalkan padukuhan yang menjadi gempar itu. Mereka berpesan agar anak-anak muda tetap berhati-hati dan memberikan isyarat jika mereka melihat ketiga orang itu lagi.

Namun ketiga orang yang mengaku diri mereka bajak laut itu tidak terlihat lagi oleh anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, ketiga orang bajak laut itu mengumpat di dalam hati. Meskipun mereka yakin akan kemampuan diri, tetapi suara kentongan yang mengumandang di seluruh Tanah Perdikan itu membuat mereka menjadi gelisah.

“Anak-anak muda Tanah Perdikan ini memang gila,” geram salah seorang dari mereka, “ternyata bukan saja para pemimpin Tanah Perdikan yang keluar, tetapi para pengawal khusus itu pun telah keluar dari barak mereka.”

“Bagaimanapun juga kita memang harus membatasi diri,” sahut yang lain, “pasukan khusus itu cukup terlatih. Dengan jumlah yang cukup banyak, maka kita tidak akan dapat berbuat banyak. Apakah kita harus membunuh berpuluh-puluh orang pengawal yang tidak mempunyai sangkut paut dengan persoalan kita.”

Tetapi, kawannya yang lain tertawa. Katanya, “Aku tahu. Yang kau pikirkan bukannya karena kau harus banyak membunuh. Tapi kau agak cemas juga menghadapi para pengawal dalam jumlah yang banyak, karena betapapun tinggi ilmu kita, namun jumlah yang banyak ikut menentukan juga. Apalagi para senapatinya yang terpilih tentu akan melibatkan diri juga.”

Kawannya mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi tegang. Namun akhirnya ia pun tersenyum. Katanya, “Baiklah. Andaikata aku menjadi cemas melawan sepasukan pengawal khusus dan para senapati serta para pemimpin Tanah Perdikan ini. Namun dengan demikian bukankah kedatangan kita ke Tanah Perdikan ini menjadi sia-sia seperti kesia-siaan kematian kita di sini? Mungkin aku akan berpikir lain setelah aku berhasil membunuh Agung Sedayu.”

Orang yang pertama memotong dengan nada datar, “Sudahlah. Kita memang harus membedakan kepentingan kita yang pertama dan kepentingan-kepentingan yang lain. Kita sudah cukup lama bersabar. Aku kira Agung Sedayu sudah sembuh dari sakitnya. Tetapi jika ia masih juga beralasan sakit dalam ketakutannya, maka kita akan mengambil sikap yang lain.”

“Kita akan segera mengetahui. Besok kita akan berada di pasar,” berkata yang lain, “kita akan mendengarkan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh bercerita tentang peristiwa malam ini. Dan kita akan dapat memancing mereka untuk berbicara tentang Agung Sedayu.”

“Tetapi sebaiknya kita tidak selalu bersama-sama. Jumlah yang tiga ini akan menarik perhatian,” berkata yang lain lagi.

“Aku setuju,” sahut yang pertama, “kalian besok dapat pergi ke pasar berdua. Aku akan pergi sendiri. Tetapi jangan membuat keributan yang akan dapat memanggil para pemimpin Tanah Perdikan ini sekaligus para pengawal khusus di barak itu beserta para senapatinya.”

Demikianlah, maka ketiganya pun menyusuri pematang menjauhi padukuhan yang telah menjadi gempar itu. Mereka menuju ke hutan kecil di lereng pebukitan. Satu tempat yang telah mereka pilih untuk tempat tinggal selama mereka berada di Tanah Perdikan Menoreh. 

Seperti yang mereka harapkan, maka di hari berikutnya, mereka telah mendengar serba sedikit tentang Agung Sedayu. Dari beberapa orang yang sempat mereka hubungi di warung-warung, mereka mendengar bahwa Agung Sedayu telah nampak dalam tugasnya sehari-hari. 

“Apakah anak muda itu sudah sembuh benar?” bertanya salah seorang dari bajak laut itu.

“Aku kira begitu,” jawab seseorang yang bersama-sama berada di dalam warung itu.

“Sayang sekali. Seluruh Tanah Perdikan menunggunya,” berkata bajak laut itu. Lalu, “Tetapi aku merasa heran bahwa Agung Sedayu dapat juga sakit.”

“Ah,” jawab orang yang diajaknya berbicara, “bagaimanapun juga Agung Sedayu adalah manusia biasa. Ia juga disentuh oleh keadaan yang dapat mengenai orang lain. Sakit dan bahkan mati. Seandainya ia mempunyai nyawa rangkap sekalipun, pada suatu saat ia akan mati dan tidak akan dapat hidup kembali. Mereka yang disebut mempunyai Aji Panca Sona pun pada akhirnya akan mati juga, apa pun sebabnya dan bagaimanapun juga caranya.”

Bajak Laut itu mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi ia telah sembuh. Dengan demikian ia akan dapat melanjutkan tugas-tugasnya.”

“Ia menghadapi bahaya sekarang,” berkata orang yang sedang berbincang dengan bajak laut itu.

“Bahaya apa?” bertanya bajak laut itu.

“Ada orang yang ingin menuntutnya karena kematian Ki Tumenggung Prebadaru,” jawab orang yang ada di warung itu. “Bukankah dengan demikian, Agung Sedayu harus menghadapi lawan yang berat. Jika bajak laut yang ingin menuntut kematian Ki Tumenggung itu menyadari dengan siapa ia berhadapan dan ia tidak menarik diri dari rencana itu, berarti bahwa bajak laut itu mempunyai satu keyakinan di dalam diri, bahwa ia memiliki kelebihan dari Ki Tumenggung. Kecuali jika mereka ingin menghadapi Agung Sedayu bersama-sama, karena orang yang menyebut dirinya bajak laut itu berjumlah tiga orang.”

“Tiga orang,” ulang bajak laut itu. “Apakah Agung Sedayu tidak merasa takut menghadapi mereka bertiga?”

“Agung Sedayu tidak pernah mengenal takut,” jawab orang itu, “meskipun aku belum mengenalnya terlalu dekat, tetapi aku mendengar dari anak-anak muda yang langsung berhubungan dengan anak muda itu.”

Bajak laut itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Keterangan itu sudah cukup baginya. Dan ia sudah memutuskan, bahwa saatnya sudah tiba untuk menghadapi Agung Sedayu.

Karena itu, ketika mereka telah berkumpul kembali, maka merekapun telah memutuskan untuk langsung menemui Agung Sedayu dan menantangnya berperang tanding.

“Siapa di antara kita yang akan menghadapinya?”

“Sudah tentu kita tidak akan menghina diri sendiri dengan bertempur bersama-sama,” berkata salah seorang dari mereka.

Kedua kawannya mengangguk-angguk. Mereka memang sependapat bahwa mereka ingin menimbang bobot kemampuan mereka. Sebenarnya mereka ingin menunjukkan kepada Ki Tumenggung Prabadaru, bahwa mereka sudah melampaui tingkat ilmu Ki Tumenggung. Tetapi ternyata bahwa Ki Tumenggung sudah tidak ada lagi.

Karena itu, maka yang tertua di antara ketiga orang bajak laut itu pun kemudian berkata, “Memang sulit untuk menentukan, siapakah di antara kita yang akan maju menghadapinya, karena kita masing-masing ingin melakukannya. Kita masing-masing ingin menunjukkan dengan pasti, bahwa kita masing-masing memiliki kelebihan dari Kakang Tumenggung Prabadaru. Karena itu, maka kita akan menyerahkan kepada Agung Sedayu, siapakah di antara kita yang akan dipilihnya menjadi lawannya.”

Kedua saudara seperguruannya itu merenung sejenak. Namun kemudian keduanya mengangguk-angguk. Yang seorang menyahut, “Bagus. Aku mengerti maksudmu. Kita bertiga akan menghadapi Agung Sedayu. Kemudian siapa di antara kita yang ditunjuknya, akan melawannya dalam perang tanding.”

Demikianlah, ketiganya pun telah mendapat kesepakatan. Mereka akan mendatangi Agung Sedayu langsung di rumahnya. Dan mereka pun akan bertemu dengan Agung Sedayu untuk menyampaikan persoalan mereka. Menantangnya berperang tanding. Dan mempersilahkan Agung Sedayu memilih lawan, seorang di antara mereka.

Karena ketiganya tidak mau diganggu lagi oleh anak-anak muda yang berada di gardu-gardu dan kemudian memukul kentongan sehingga Tanah Perdikan itu menjadi gempar, maka mereka akan memasuki padukuhan induk dengan tidak melalui lorong-lorong yang membelah padukuhan induk itu, di lewat tengah malam.

Dalam pada itu, maka terjadi kesiagaan di Tanah Perdikan Menoreh. Di setiap padukuhan anak-anak muda tetap berjaga-jaga. Di gardu-gardu, di banjar dan di rumah bebahu Tanah Perdikan, anak-anak muda berkumpul untuk mengamati perkembangan keadaan. Para pengawal meronda padukuhan-padukuhan terpenting yang mungkin dapat menjadi sasaran ketiga orang bajak laut itu.

Tetapi semuanya itu sama sekali tidak dapat menghambat rencana bajak laut itu untuk mengunjungi rumah Agung Sedayu. Karena itu, maka tanpa diketahui oleh seorang pun dari anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu, maka lewat tengah malam, ketiga orang itu sudah berada di regol halaman rumah Agung Sedayu.

Ternyata rumah itu nampak sepi. Lampu minyak di pendapa nampak masih tetap berkeredipan meskipun nyalanya menjadi semakin kecil.

Dalam pada itu, di dalam rumah itu Agung Sedayu masih duduk berbincang dengan Ki Waskita, sementara Glagah Putih masih belum juga kembali, karena ia berada di antara para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu, Sekar Mirah yang sudah selesai membersihkan perabot-perabot dapurnya, telah berada di dalam biliknya untuk beristirahat. Justru pada saat matanya mulai terpejam, terdengar pintu rumahnya diketuk orang.

Sekar Mirah pun bangkit dan melangkah ke pintu biliknya. Dilihatnya Agung Sedayu pun telah bangkit pula dan melangkah ke pintu yang diketuk orang itu. Di belakangnya Ki Waskita berdiri termangu-mangu.

“Hati-hatilah Kakang,” desis Sekar Mirah.

Nampaknya penggraita seorang perempuan memang lebih mudah tersentuh, sehingga seakan-akan Sekar Mirah telah merasa betapa bahaya berada di luar pintu rumahnya.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Aku akan selalu berhati-hati Mirah.”

“Sudah bukan waktunya seseorang bertamu di saat seperti ini,” berkata Sekar Mirah, “dan sudah barang tentu bukan pula Glagah Putih yang selalu mengetuk pintu butulan jika ia pulang dari gardu atau dari sungai.”

Agung Sedayu mengangguk. Sementara itu, terdengar lagi pintu rumah itu diketuk perlahan-lahan.

Agung Sedayu pun kemudian melangkah ke ruang tengah dan memasuki pringgitan bersama Ki Waskita. Sementara itu, dengan tergesa-gesa Sekar Mirah mengenakan pakaian khususnya dan menyambar tongkat baja putihnya.

Di muka pintu, hampir di luar sadarnya Agung Sedayu menyapa, “Siapa di luar?”

“Aku, Agung Sedayu,” terdengar jawaban, “ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu.”

Suara itu belum pernah dikenalnya. Justru karena itu, maka Agung Sedayu pun menjadi berhati-hati.

Ketika ia menggapai selarak pintu, Ki Waskita menggamitnya sambil berdesis, “Bersiagalah sepenuhnya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian mengangguk.

Yang mula-mula ditrapkannya adalah ilmu kebalnya. Apa pun yang mungkin dihadapinya, maka ia telah mengenakan perisai bagi dirinya, sehingga untuk selanjutnya, ia mempunyai kesempatan untuk berbuat dan mengambil sikap sebaik-baiknya.

Baru kemudian maka Agung Sedayu itupun telah membuka selarak pintu itu. Ketika pintu itu didorongnya ke samping, maka sekilas wajahnya menjadi tegang. Ia melihat tiga orang bertubuh tegap dengan wajah yang bersungguh-sungguh berdiri di muka pintu itu. “Apakah aku berhadapan dengan Agung Sedayu?” salah seorang dari ketiga orang itu bertanya.

“Ya, Ki Sanak,” jawab Agung Sedayu, “aku adalah Agung Sedayu.”

“Kebetulan sekali,” jawab salah seorang dari mereka, ”kami bertiga memang ingin bertemu dengan orang yang bernama Agung Sedayu.”

Agung Sedayu memandang ketiga orang itu berganti-ganti. Baru sejenak kemudian ia menjawab, “Silahkan Ki Sanak. Marilah, silahkan duduk di pendapa.”

Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun seorang di antara mereka pun menyahut, “Baik Ki Sanak. Tetapi keperluanku tidak terlalu penting, sehingga aku hanya memerlukan waktu beberapa saat saja.”

Bagaimanapun juga, Agung Sedayu menjadi berdebar-debar juga menerima ketiga orang itu. Ia sudah menduga, bahwa ketiganya adalah mereka yang menyebut diri mereka dengan bajak laut, yang mencari orang yang membunuh Ki Tumenggung Prabadaru.

Dalam pada itu, agaknya Ki Waskita tidak sampai hati membiarkan Agung Sedayu menemui ketiga orang itu seorang diri, meskipun Ki Waskita mengetahui tingkat kemampuannya. Namun, ketiga orang itu pun tentu orang-orang yang merasa dirinya memiliki ilmu yang tinggi pula.

Karena itu, maka sejenak kemudian Ki Waskita pun telah melangkah ke pendapa pula.

“Marilah Paman,” Agung Sedayu mempersilahkan. Kemudian katanya kepada ketiga orang itu, “Ia adalah pamanku.”

Ketiga orang itu mengangguk hormat. Namun mereka tidak menyahut.

Sejenak kemudian maka mereka pun telah duduk di pendapa rumah Agung Sedayu yang tidak begitu besar, di bawah nyala lampu yang berkeredipan. Sementara di balik pintu, Sekar Mirah yang gelisah telah bersiap lengkap dengan tongkat baja putihnya. Setiap saat ia akan dapat meloncat ke luar dan membantu suaminya apabila diperlukan. Bagaimanapun juga tinggi ilmu seseorang, maka kehadiran Sekar Mirah harus diperhitungkan.

Dalam pada itu, ketika mereka sudah duduk di pendapa, Agung Sedayu pun segera bertanya, “Ki Sanak. Aku belum pernah mengenal Ki Sanak sebelumnya. Perkenankanlah aku bertanya tentang Ki Sanak bertiga.”

“Baiklah Agung Sedayu. Aku tidak akan berbelit-belit. Seperti yang aku katakan, keperluanku tidak terlalu penting. Karena itu, mungkin akan dapat kau abaikan,” salah seorang bajak laut itu menjawab. Kemudian katanya melanjutkan, “Barangkali benar menurut pendengaranku, bahwa kau telah membunuh Ki Tumenggung Prabadaru?”

“Ya, Ki Sanak,” jawab Agung Sedayu, “aku tidak akan ingkar. Aku telah membunuh Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi itu terjadi di medan perang, sehingga aku tidak mempunyai pilihan lain, karena jika aku tidak membunuhnya, maka akulah yang akan dibunuhnya.”

“Tetapi menurut pendengaranku, kematian Ki Tumenggung Prabadaru tidak terjadi di dalam perang brubuh. Tetapi dalam perang tanding,” jawab bajak laut itu. Lalu, “Meskipun perang tanding itu terjadi di sela-sela perang gelar, tetapi menurut anggapan kami, maka kematian Kakang Tumenggung itu tetap terjadi dalam perang tanding.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Ki Sanak. Seperti Ki Sanak tidak berbelit-belit, maka akupun tidak akan berusaha mengingkari. Memang kami telah bertempur seorang melawan seorang di sela-sela perang gelar sebagaimana pernah kau dengar beritanya. Dan aku memang terpaksa membunuhnya.”

“Dengan istilah apapun yang kau pergunakan Agung Sedayu, tetapi kau sudah membunuh kakak seperguruanku itu,” geram salah seorang dari ketiga bajak laut itu.

“Ya,” jawab Agung Sedayu singkat.

Suasana meningkat semakin tegang. Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri.

Namun akhirnya orang tertua dari ketiga bajak laut itu menarik nafas panjang sambil berdesis, “Sudahlah Agung Sedayu. Sudah aku katakan bahwa aku tidak akan memerlukan waktu terlalu banyak malam ini. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa kematian Kakang Tumenggung Prabadaru menimbulkan persoalan di dalam diri kami bertiga. Karena itu, maka persoalan itu harus mendapat satu perpecahan. Satu-satunya cara untuk memecahkan persoalan itu adalah dengan cara yang sama sebagaimana pernah kau lakukan dengan Kakang Prabadaru.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia sudah menduga, bahwa jalan itulah yang harus ditempuhnya. Sekali lagi ia akan dihadapkan kepada satu pilihan. Membunuh atau dibunuh.

Tiba-tiba saja jantung Agung Sedayu menjadi berdebaran. Keringatnya mengalir membasahi seluruh pakaiannya. Sekali-sekali Agung Sedayu mengusap keningnya dengan tangannya. Namun keringat itu sempat juga menitik dari dagunya.

Tetapi pertanyaan salah seorang bajak laut itu telah membangunkannya dari cengkaman suasana itu.

“Apakah kau menjadi ketakutan Ki Sanak ?

Wajah Agung Sedayu berkerut. Tetapi pertanyaan itu telah mempengaruhi perasaannya, sehingga rasa-rasanya ia berhasil menggapai sebatang patok kayu di dalam arus banjir bandang.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya ketiga bajak laut itu sejenak. Lalu katanya, “Apakah ini berarti satu tantangan?”

“Ya Agung Sedayu. Aku menantangmu untuk berperang tanding,” berkata orang tertua dari ketiga bajak laut itu. Lalu, “Tetapi karena kami bertiga, maka kau akan dapat memilih salah seorang dari kami bertiga. Dua orang di antara kami akan menjadi saksi. Apakah benar kau memiliki kelebihan dari Kakang Tumenggung. Tetapi seandainya benar demikian, maka barulah kau akan dapat mengimbangi salah seorang di antara kami. Siapa yang kemudian akan mati dalam perang tanding bukanlah soal bagi kami. Sudah lama kami tidak mempersoalkan lagi apakah kami akan mati atau tidak. Pengalaman kami selama kira-kira tiga tahun menjadi bajak laut telah menempa kami menghadapi ancaman maut. Tetapi ternyata kami masih tetap hidup. Maut itu akhirnya telah menyingkir dari kami. Namun seandainya kami harus mati di darat, maka kami pun tidak akan menyesal. Di darat kami justru akan mendapat tempat yang lebih baik dari di lautan, karena di lautan mayat kami akan menjadi mangsa ikan-ikan buas.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Saat itu pun akhirnya telah tiba. Ia harus menghadapi kenyataan itu.

Selagi Agung Sedayu termangu-mangu, maka terdengar salah seorang bajak laut itu berkata, “Agung Sedayu. Sudahlah. Seperti yang aku katakan, maka aku tidak akan mengganggumu terlalu lama. Aku dan kedua saudaraku ini minta diri. Tetapi sebelum pekan ini berakhir, aku ingin tahu sikapmu. Besok aku akan datang lagi kemari untuk mendengarkan jawabmu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia harus menghadapi kenyataan itu. Satu tantangan untuk berperang tanding. Ia harus memilih satu di antara ketiga orang itu. Tetapi karena ia sama sekali tidak mengerti tingkat kemampuan ketiga orang itu, maka baginya tentu tidak akan ada bedanya. Siapa pun yang akan dihadapinya.

Namun sikap ketiga orang yang menyebut diri mereka bajak laut yang meyakinkan dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, maka dapat diduga bahwa ketiganya memang merasa memiliki kemampuan melampaui Ki Tumenggung Prabadaru.

Selagi Agung Sedayu masih termangu-mangu, maka salah seorang bajak laut itu pun berkata, “Agung Sedayu. Sudah bukan waktunya bagimu untuk menyesali perbuatanmu. Ki Tumenggung Prabadaru, kakak seperguruanku itu sudah mati kau bunuh. Maka tentu akan datang saatnya pembalasan itu menerkammu. Karena itu, sebaiknya kau menghadapinya dengan jantan. Atau kau pun harus dengan jantan mengakui seandainya kau tidak berani melakukan perang tanding melawan salah seorang dari kami, karena ketika kau membunuh Kakang Tumenggung kau telah melakukan kecurangan misalnya. Mungkin orang lain di luar arena telah membantumu dengan caranya. Atau cara-cara lain yang licik dan pengecut. Jika demikian maka kami akan mengambil satu sikap yang bijaksana. Mungkin kau akan kami ampuni atau kau hanya akan mendapat hukuman yang paling ringan. Tetapi aku berpesan kepadamu Agung Sedayu. Jangan mencoba mengerahkan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Jika kau melakukan hal itu, maka ternyata bahwa kau adalah orang yang paling licik dan paling kejam yang pernah aku jumpai, karena dengan demikian kau sudah membunuh kekuatan yang sedang tumbuh dan berkembang di Tanah Perdikan Menoreh.”

Jantung Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Tetapi ia masih tetap menahan diri. Bahkan ia pun masih sempat menjawab, “Baiklah Ki Sanak. Aku akan memperhatikan semua pesan-pesanmu. Aku menunggu kapan kau akan datang lagi untuk mendapatkan jawabanku.”

Para bajak laut itu menjadi berdebar-debar melihat sikap Agung Sedayu. Anak muda itu sama sekali tidak nampak menjadi gelisah atau cemas. Apalagi menjadi gemetar ketakutan. Nampaknya ia bersikap biasa dan wajar saja.

Karena itu, ketiga bajak laut itu pun mengerti, bahwa yang mereka hadapi benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang tangguh.

Dalam pada itu, Sekar Mirah-lah yang hampir tidak dapat menahan diri mendengar kata-kata bajak laut itu. Sambil menghentakkan tangannya pada tiang rumahnya ia berdesis, “Sombong sekali. Aku ingin menjajagi betapa tinggi ilmunya.”

Tetapi Sekar Mirah tidak meloncati pintu. Ia pun masih tetap berusaha menahan diri di balik pintu rumahnya.

Sementara itu, Ki Waskita sama sekali tidak mengucapkan kata-kata apa pun. Ia hanya berdiam diri saja. Tetapi dengan saksama ia mengamati keadaan. Bagaimanapun juga, ia tidak yakin, bahwa ketiga orang yang mengaku bajak laut itu akan bertindak sejujur-jujurnya.

Demikianlah, sejenak kemudian ketiga orang bajak laut itu minta diri. Sikap mereka masih tetap baik dan tertib. Meskipun demikian sekali-sekali tertangkap oleh penglihatan Agung Sedayu, bahwa sorot mata ketiga orang itu membayangkan kekasaran dan bahkan keliaran ketiga orang bajak laut itu.

Ketika ketiganya turun dari tangga pendapa, seorang di antara mereka berkata, “Kau lebih mengenal daerah ini Agung Sedayu. Kau dapat menentukan dimana kita akan melakukan perang tanding sebagaimana pernah kau lakukan dengan Kakang Tumenggung Prabadaru.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun menjawab, “Baiklah. Aku akan menentukan dimana kita akan melakukannya. Aku akan mengatakan kepadamu besok jika kau datang kembali ke rumah ini.”

“Terima kasih,“ jawab bajak laut itu, “mudah-mudahan jika besok aku datang ke rumah ini, aku tidak kau paksa membunuh sebanyak jumlah pengawal Tanah Perdikan ini di sini.”

Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Aku tidak akan berbuat sebodoh itu Ki Sanak.”

Ketiga orang bajak laut itu tersenyum. Namun mereka tidak berkata apa pun lagi. Dengan tenang mereka melangkah meninggalkan pendapa rumah Agung Sedayu.

Namun langkah mereka tertegun ketika mereka bertemu dengan dua orang anak muda yang berlari-lari memasuki regol halaman. Sementara itu, dua orang anak muda itu pun terkejut pula sehingga langkah mereka pun terhenti.

Sebelum terjadi pembicaraan di antara mereka, Agung Sedayu-lah yang lebih dahulu berkata, “Glagah Putih. Ketiga orang itu adalah tamu-tamuku.”

“O,” Glagah Putih pun kemudian mengangguk hormat. Demikian pula anak muda yang mengikutinya.

Ketiga bajak laut itu pun mengangguk pula. Tetapi mereka tidak bertanya apa pun juga.

Baru ketika ketiga orang bajak laut itu hilang di balik regol, Glagah Putih teringat, bahwa di Tanah Perdikan itu hadir tiga orang bajak laut yang mencari Agung Sedayu yang telah membunuh Ki Tumenggung Prabadaru. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia melangkah mendekati Agung Sedayu sambil berdesis, “Apakah mereka itu orang-orang yang telah mencari Kakang?”

“Ya Glagah Putih,” jawab Agung Sedayu.

“Dan kakang membiarkan saja mereka pergi?” bertanya Glagah Putih pula.

“Ya,” terdengar suara Sekar Mirah di pintu, “aku hampir tidak sabar. Seharusnya kita dapat menangkap mereka dengan tuduhan bahwa mereka telah mengacaukan Tanah Perdikan ini. Bahwa mereka telah pernah merampok dan mengancam.”

“Kita harus memperhitungkan segala sesuatunya Mirah,“ sahut Agung Sedayu, “nampaknya mereka adalah orang-orang yang benar-benar berilmu tinggi.”

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya Ki Waskita yang termangu-mangu. Namun akhirnya Ki Waskita itu pun berkata, “Aku sependapat dengan suamimu Sekar Mirah. Aku tidak yakin, bahwa kita akan dapat menangkapnya seandainya kita ingin melakukannya. Mungkin kita akan dapat memukul isyarat. Sementara kita berusaha menahan mereka dalam satu perkelahian. Tetapi mereka tentu akan dapat melepaskan diri sebelum kita menguasai mereka.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Namun sebenarnyalah ia menjadi cemas, bahwa pada suatu saat Agung Sedayu harus menghadapi mereka dalam perang tanding.

Tetapi Sekar Mirah tidak mampu mencegahnya. Jika ia dengan terus terang menentang kesediaan Agung Sedayu untuk berperang tanding, maka ia ragu-ragu, apakah hal itu tidak akan menyinggung harga diri Agung Sedayu sendiri.

Karena itu, maka Sekar Mirah itupun tidak menjawab lagi, meskipun hatinya terasa bergejolak.

Demikianlah, mereka pun kemudian masuk kembali ke dalam rumah itu, sedangkan Glagah Putih dan pembantu rumah itu pun mengikutinya pula.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu dan Ki Waskita masih juga berbincang. Sementara Sekar Mirah duduk pula mendengarkannya. Mereka mencoba untuk menilai persoalan yang sedang mereka hadapi.

“Ternyata mereka adalah adik-adik seperguruan Ki Tumenggung,” berkata Ki Waskita kemudian, “tetapi sudah barang tentu, ketika perang terjadi, mereka tidak berada di Pajang.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Meskipun sikap mereka baik dan nampak sebagai orang-orang jantan, namun pada sorot mata mereka aku melihat sifatnya yang lain, Ki Waskita.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Setelah mengingat-ingat sejenak, ia pun menjawab, “Agaknya Angger benar. Memang ada semacam keliaran yang mendebarkan di sorot mata mereka. Karena itu, kita jangan terjebak oleh sikap mereka yang nampak jantan. Namun dalam keadaan tertentu, mungkin sikap mereka akan berubah.”

“Aku juga menangkap isyarat bahwa mereka akan dapat menjadi kehilangan keseimbangan penalaran mereka,” berkata Agung Sedayu, “tetapi semuanya itu baru dugaan. Kita masih harus membuktikannya.”

“Kakang benar,” Sekar Mirah menyela, “tetapi membuktikan dugaan itu bukan berarti terjebak ke dalamnya. Kita harus dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya jika yang dicemaskan itu terjadi. Jika kemudian terjadi sebagaimana yang ingin Kakang buktikan, maka kita tidak akan menjadi korban sifat-sifat mereka itu.”

“Aku mengerti Mirah,” jawab Agung Sedayu, “dan hal itulah yang mendorong aku untuk melaporkan hal ini kepada Ki Gede. Mungkin kita memang memerlukan saksi.”

“Bukan sekedar saksi Kakang. Seandainya kita mempunyai saksi yang di saat yang gawat hanya dapat menjadi saksi kecurangan ketiga orang bajak laut itu tanpa berbuat apa-apa, maka hal itu tidak akan berarti apa-apa.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak, sementara Ki Waskita menyahut, “Aku mengerti maksud Sekar Mirah, Ngger. Yang akan menjadi saksi harus mampu bertindak di saat yang gawat. Sebab sekedar saksi bahwa mereka curang tidak akan berati apa-apa. Jika kecurangan itu membawa akibat yang sangat pahit, maka semuanya tidak akan dapat diulang kembali.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya seakan-akan kepada diri sendiri, “Jadi, saksi itu akan dapat bertindak untuk menghentikan kecurangan-kecurangan itu jika diperlukan.”

“Ya,” desis Sekar Mirah. Tiba-tiba saja suaranya menurun, “Aku merasa sangat cemas, Kakang.”

“Aku mengerti Mirah,” jawab Agung Sedayu. Kemudian dengan nada rendah ia bertanya, “Barangkali kau mempunyai pendapat, siapakah yang paling baik untuk menjadi saksi dari perang tanding yang mereka tawarkan itu?”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Bagaimana dengan Kiai Gringsing?”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Saksi yang paling baik. Aku sependapat Sekar Mirah.”

“Tetapi, bukankah dengan demikian berarti salah seorang dari kita akan pergi ke Sangkal Putung?” bertanya Agung Sedayu.

“Tentu,” jawab Sekar Mirah, “tetapi bukan Ki Waskita. Ki Waskita harus tetap berada di sini. Kecurangan itu dapat terjadi bukan saja saat perang tanding. Tetapi dapat terjadi sebelumnya. Karena itu, maka biarlah aku saja yang pergi ke Sangkal Putung.”

Wajah Agung Sedayu menegang. Lalu Katanya, “Jangan kau Mirah. Jika kita sependapat, bahwa kita akan memohon Kiai Gringsing untuk menjadi saksi, maka biarlah orang lain yang pergi.”

“Tidak ada orang lain,” jawab Sekar Mirah.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Meskipun tidak terucapkan, namun ia mencemaskan kepergian Sekar Mirah. Jika Sekar Mirah yang pergi ke Sangkal Putung, maka hal itu hanya akan membuatnya selalu gelisah. Bukan karena kehadiran tiga orang bajak laut di Tanah Perdikan Menoreh, tetapi justru karena kepergian Sekar Mirah.

Dalam pada itu, selagi keragu-raguan mencengkam suasana, tiba-tiba saja Glagah Putih telah memasuki ruangan itu. Dengan nada penuh keraguan ia berkata, “Aku mohon maaf Kakang, bahwa aku telah mendengarkan pembicaraan ini. Justru karena aku pun merasa cemas dengan kehadiran ketiga orang yang mengaku bajak laut itu. Karena itu jika Kakang tidak berkeberatan, biarlah aku saja yang pergi ke Sangkal Putung untuk menyampaikan hal ini kepada Kiai Gringsing. Besok pagi-pagi benar aku berangkat, maka sore hari aku sudah akan datang kembali, bersama Kiai Gringsing.”

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Dipandanginya Ki Waskita dan Sekar Mirah berganti-ganti. Agaknya mereka pun menjadi ragu-ragu. Apakah mereka dapat menyetujui niat Glagah Putih itu. Ia masih terlalu muda, sehingga banyak hal yang mungkin masih belum mapan jika ia dihadapkan pada suatu keadaan yang memaksanya mengambil sikap.

Tetapi memang tidak ada orang lain yang pantas untuk pergi ke Sangkal Putung. Sekar Mirah berkeberatan jika Ki Waskita pergi meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Sedangkan Agung Sedayu tidak akan sampai hati membiarkan Sekar Mirah untuk pergi. Meskipun Sekar Mirah memiliki kemampuan yang cukup, namun ia adalah seorang perempuan.

Dalam pada itu, Glagah Putih itupun berkata, “Kakang. Aku berharap Kakang tidak ragu-ragu melepaskan aku. Aku bukan kanak-kanak lagi.”

Agung Sedayu menarik nafas. Sementara dipandanginya Sekar Mirah yang menjadi tegang.

Dalam pada itu terdengar Sekar Mirah berkata, “Biarlah aku dan Glagah Putih sajalah yang pergi.”

Tetapi dengan serta merta Glagah Putih berkata, “Tidak. Biarlah Mbokayu tinggal. Mungkin Kakang Agung Sedayu memerlukan Mbokayu setiap saat. Sebaiknya aku pergi sendiri. Tidak akan ada orang yang akan memperhatikan aku di perjalanan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam suasana yang demikian itu Ki Waskita berkata, “Nampaknya Glagah Putih telah berketetapan hati. Namun demikian, harus disadari, bahwa perjalanan ke Sangkal Putung adalah perjalanan yang berat bagimu dalam keadaan seperti sekarang. Tetapi kau akan mendapat kesempatan untuk menemui kakangmu Untara di Prambanan. Aku kira ia masih akan tetap di sana, atau setidak-tidaknya satu dua kelompok pasukannya. Dalam keadaan yang penting, kau dapat minta bantuan kakangmu Untara itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku baru teringat sekarang. Dengan demikian bukankah perjalanan itu sama sekali tidak mencemaskan.”

Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Semua keputusan ada pada Angger Agung Sedayu.”

Sejenak ruangan itu menjadi hening. Namun sejenak kemudian Agung Sedayu berkata, “Baiklah Glagah Putih. Tetapi kau harus berhati-hati di perjalanan. Jangan banyak menarik perhatian agar kau tidak terlibat dalam persoalan dengan siapapun juga.”

“Aku mengerti Kakang. Biarlah besok sebelum matahari terbit aku berangkat,” berkata Glagah Putih.

“Jika demikian, pergilah tidur sekarang. Kesempatan beristirahat tinggal sedikit sekali,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Glagah Putih pun segera meninggalkan ruangan itu. Ada semacam kebanggaan di hatinya, bahwa ia mendapat satu kepercayaan untuk melakukan sesuatu, sehingga ia tidak untuk selamanya selalu menjadi kanak-kanak yang harus mendapat perlindungan.

Karena itu, maka ia pun berusaha untuk mempergunakan sisa malam itu untuk beristirahat sebaik-baiknya.

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun kemudian telah pergi ke bilik mereka pula. Demikian pula Ki Waskita. Namun mereka tidak segera dapat memejamkan mata mereka, sehingga akhirnya terdengar kokok ayam jantan menjelang fajar.

Ternyata mereka hanya sempat tidur sekejap, karena Glagah Putih pun telah bangun pagi-pagi benar. Diam-diam ia membangunkan pembantu rumah itu dan menyuruhnya untuk merebus air.

“Aku akan mandi,” berkata Glagah Putih, “kau rebus air. Aku akan pergi sebelum matahari terbit.”

“Kemana?” bertanya anak itu.

“Jauh sekali. Aku akan pergi bertamasya,” jawab Glagah Putih.

“Aku ikut,” minta anak itu.

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Nanti, kalau kau sudah sebesar aku, atau setelah kau pandai berkuda.”

“Aku tidak pernah mendapat kesempatan berkuda. Bagaimana aku pandai berkuda,” gumam anak itu hampir kepada diri sendiri.

Tetapi Glagah Putih tidak menanggapinya. Ia pun segera pergi ke pakiwan untuk mandi.

Namun dalam pada itu, Sekar Mirah telah terbangun pula. Ketika Glagah Putih sedang mandi, Sekar Mirah telah berada di dapur pula menyiapkan minum dan merebus ketela pohon, agar jika Glagah Putih nanti pergi, ia sudah makan sekedarnya. Sementara itu, Agung Sedayu telah terbangun pula.

Karena itu, Glagah Putih menjadi termangu-mangu ketika ia mendengar suara sapu lidi di halaman depan dan di halaman samping.

“Kakang Agung Sedayu tentu sudah bangun,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya, karena ia mendengar selain pembantu rumah itu, ada orang lain pula yang menyapu halaman. Bahkan ia pun telah mendengar pula suara Sekar Mirah di dapur.

Demikianlah, maka ketika langit menjadi kemerah-merahan, maka Glagah Putih pun telah siap untuk berangkat. Setelah makan beberapa potong ketela rebus dan minum beberapa teguk minuman panas, maka ia pun segera minta diri.

Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Ki Waskita mengantarkannya sampai ke regol. Sementara Agung Sedayu masih sempat berpesan, “Jika kau pulang hari ini juga, sebaiknya kau menukar kudamu di Sangkal Putung, agar kuda itu tidak terlalu letih.”

“Baik Kakang,” jawab Glagah Putih, “aku mohon diri.”

Sebenarnyalah Agung Sedayu merasa agak ragu-ragu juga melepaskan Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih sendiri sudah bertekad untuk melakukan perjalanan itu. Tidak ada keragu-raguan sama sekali nampak di wajahnya. “Agaknya jalan sudah tidak banyak lagi gangguan,” berkata Agung, Sedayu yang lebih banyak ditujukan kepada diri sendiri.

“Ya,” jawab Ki Waskita, “suasana sudah semakin baik. Para keluarga di Pajang telah menerima Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga untuk memerintah menggantikan Kanjeng Sultan Hadiwijaya. Agaknya tidak ada lagi orang yang menentangnya. Seandainya Adipati Pajang kurang dapat memahami keputusan itu, namun ia tidak akan berbuat apa-apa, karena Pangeran Benawa juga tidak berbuat apa-apa.”

Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi ia masih memandang jalan yang menjelujur di hadapan regol halaman rumahnya. Namun Glagah Putih sudah tidak nampak lagi.

Demikianlah Glagah Putih telah memacu kudanya meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Demikian ia ke luar dari regol padukuhan, maka kudanya pun berlari menyusuri bulak-bulak panjang. Udara pagi terasa sejuk menyentuh tubuhnya. Langit menjadi semakin lama semakin terang.

Udara terasa semakin segar ketika burung-burung liar terdengar berkicau di batang-batang pepohonan yang tumbuh di pinggir jalan yang dilaluinya. Sementara batang-batang padi yang hijau terhampar sampai ke kaki langit.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Semakin lama Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin subur. Kehidupan pun menjadi semakin meningkat. Usaha yang dilakukan oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh selama ini dengan tekun dan bersungguh-sungguh ternyata tidak sia-sia.

Namun dalam pada itu, didorong oleh keinginan untuk segera sampai ke Sangkal Putung, maka kudanya pun berlari semakin cepat. Udara pagi yang segar rasa-rasanya telah membuat perjalanan itu semakin menarik bagi Glagah Putih.

Dalam pada itu, Glagah Putih ternyata telah menentukan arah perjalanannya. Ia tidak ingin melalui Mataram agar perjalanannya tidak terganggu. Mungkin saja ia bertemu dengan orang-orang yang, pernah dikenalnya, menghentikannya dan bertanya tentang berbagai masalah yang tidak dapat dijawabnya.

Karena itu, maka Glagah Putih telah memilih jalan lain. Kecuali tidak melalui Mataram, jalan itu menjadi agak lebih dekat meskipun hanya berselisih sedikit. Jalan itu pula yang sering dilalui oleh Agung Sedayu jika ia tidak ingin singgah atau melalui Mataram.

Demikianlah Glagah Putih itu pun berpacu dengan cepat. Ketika matahari terbit, terasa udara menjadi semakin cerah. Daun padi yang hijau basah oleh embun, nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya pagi yang kekuning-kuningan.

Glagah Putih akhirnya mencapai Kali Praga dengan selamat. Dengan rakit, bersama kudanya ia pun menyeberangi sungai yang airnya berwarna lumpur itu.

Sejenak kemudian, maka kudanya pun telah melaju di jalan-jalan persawahan di sebelah timur Kali Praga. Jalan persawahan yang sudah sering dilaluinya pula.

Rasa-rasanya tidak ada hambatan di perjalanan. Kudanya berlari terus. Tidak secepat kuda yang sedang berpacu, tetapi juga tidak terlalu lambat, karena Glagah Putih ingin segera mencapai tujuan. Hari itu juga Glagah Putih ingin sampai di Tanah Perdikan Menoreh lagi.

Namun dalam pada itu, ada yang tidak diduga sebelumnya oleh Glagah. Putih. Dalam saat-saat yang masih gawat itu, ternyata pasukan Mataram masih juga meronda dari ujung sampai ke ujung tlatah Mataram. Padahal tidak semua pengawal Mataram telah dikenalnya.

Demikianlah ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Glagah Putih memacu kudanya menembus pategalan. Di ujung pategalan terdapat hutan perdu. Kemudian ia harus menelusuri jalan di tepi hutan yang tidak begitu lebat karena hutan itu sudah menjadi daerah perburuan.

Glagah Putih menjadi berdebar-debar ketika ia melihat sekelompok orang berkuda di hadapan arah perjalanannya. Namun ketika iring-iringan itu menjadi semakin dekat, maka Glagah Putih dapat mengenalinya bahwa iring-iringan itu adalah sekelompok pengawal dari Mataram.

Karena itu, Glagah Putih tidak mencemaskannya lagi. Menurut pendapatnya, maka para pengawal itu tentu tidak akan menggangunya.

Tetapi jantungnya menjadi berdebar-debar kembali ketika ia melihat pengawal yang berada di paling depan telah mengacukan tangannya, memberinya isyarat untuk berhenti.

Glagah Putih pun kemudian berhenti beberapa langkah di hadapan para pengawal Mataram yang dengan tajam memandanginya.

Denyut jantung Glagah Putih menjadi semakin cepat ketika ia melihat sorot mata para pengawal. Mereka memandang Glagah Putih dengan penuh kecurigaan.

Dalam pada itu, orang yang berada di paling depan, yang nampaknya adalah pemimpin kelompok pengawal itu bertanya, “Siapa kau anak muda? Dari mana dan akan kemana?”

Pertanyaan itu terdengar tajam di telinga Glagah Putih. Namun ia berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Karena itu, maka jawabnya, “Namaku Glagah Putih, Ki Sanak. Aku datang dari Tanah Perdikan Menoreh dan akan pergi ke Sangkal Putung.”

“Aku memerlukan keteranganmu lebih banyak tentang dirimu anak muda. Aku harus meyakinkan, bahwa kau bukan salah seorang yang sedang kami cari,” jawab pemimpin pengawal itu.

“Siapakah yang sedang kalian cari?” bertanya Glagah Putih.

“Kerusuhan telah terjadi di sebuah padukuhan karena tingkah laku sekelompok orang-orang yang putus asa dan melarikan diri dari medan di Prambanan. Mereka tentu para pengikut orang-orang yang telah diperalat oleh Ki Tumenggung Prabadaru,” jawab pemimpin pengawal itu, “karena itu, kami mencurigai setiap orang yang tidak kami kenal dan bukan penghuni daerah ini.”

Wajah Glagah Putih menjadi tegang. Lalu katanya, “Tetapi aku adalah orang Tanah Perdikan Menoreh. Aku ikut bertempur di Prambanan di pihak Mataram dalam lingkungan pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin oleh Ki Gede Menoreh sendiri. Dan aku adalah saudara sepupu Agung Sedayu. Apakah kalian belum pernah mendengar nama Agung Sedayu yang telah membunuh Ki Tumenggung Prabadaru?”

“Aku sudah pernah mendengar nama Agung Sedayu. Tetapi aku belum mengenalmu. Karena itu, marilah kita pergi ke barak. Mungkin setelah kita berbincang sebentar, aku akan mempercayaimu,” berkata pemimpin pengawal itu.

Wajah Glagah Putih menjadi tegang. Ia tidak mempunyai banyak waktu, karena ia harus segera sampai ke Sangkal Putung dan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Ia harus kembali bersama Kiai Gringsing karena Agung Sedayu terancam oleh tiga orang yang menyebut diri mereka sebagai bajak laut yang ingin membuat perhitungan karena kematian Ki Tumenggung Prabadaru.

Karena itu, maka Glagah Putih pun masih ingin meyakinkan mereka. Katanya, “Ki Sanak. Seharusnya kau dapat menilik sikap dan tingkah laku seseorang. Apakah menurut pendapat Ki Sanak, aku pantas untuk kau anggap sebagai salah seorang yang sedang kau cari itu?”

Pemimpin pengawal itu tersenyum. Jawabnya, “Memang sulit untuk menilai seseorang hanya dari ujudnya saja. Karena itu, marilah. Kita akan berbicara. Di barak itu ada seorang senapati yang akan dapat menilai apakah kau boleh meneruskan perjalanan atau kau harus tinggal untuk satu dua saat.”

Jantung Glagah Putih menjadi berdentangan. Rasa-rasanya ia ingin menguak sekelompok pengawal yang berhenti di hadapannya. Tetapi agaknya Glagah Putih masih harus memperhitungkan beberapa hal yang mungkin akan dapat membuat kedudukannya semakin sulit.

Dalam pada itu, pemimpin pengawal itu pun berkata pula, “Marilah Anak Muda. Nampaknya kau merasa segan untuk melakukannya. Tetapi kau memang tidak mempunyai pilihan lain sekarang ini kecuali mengikuti kami pergi ke barak.”

“Dengar Ki Sanak,“ berkata Glagah Putih masih membela diri, “aku harus segera menemui Kiai Gringsing sekarang ini. Ada persoalan yang sangat penting yang akan dapat mengancam keselamatan Agung Sedayu karena kelicikan seseorang.”

Tetapi pemimpin pengawal itu tersenyum. Katanya, “Kau jangan berceritera ngayawara anak muda. Seolah-olah kami belum mengenal Agung Sedayu. Ia adalah seorang yang memiliki ilmu yang tidak ada taranya. Bagaimana mungkin ia merasa terancam jiwanya oleh seseorang. Apalagi bukankah di Tanah Perdikan Menoreh ada Ki Gede Menoreh, ada pasukan khusus dan ada orang-orang yang memiliki ilmu yang mumpuni. Kenapa kau harus mencari Kiai Gringsing ke Sangkal Putung? Aku tahu, bahwa Kiai Gringsing memang seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun untuk melawan orang yang kau katakan itu, Agung Sedayu tidak memerlukan pertolongan.”

Jantung Glagah Putih rasa-rasanya bagaikan meledak. Dengan suara yang bergetar ia berkata, “Kalian tentu pengawal-pengawal Mataram yang tidak ikut dalam pertempuran di Prambanan. Jika kalian ikut dalam pertempuran itu, kalian tentu akan mengenal aku dan tidak akan berbuat seperti itu. Karena aku berada di medan itu pula.”

“Aku memang tidak ikut dalam pertempuran di Prambanan itu, Anak Muda. Tetapi jangan menganggap bahwa kami yang tidak ikut bertempur di Prambanan itu tidak mempunyai arti sama sekali.”

“Bukan begitu Ki Sanak. Maksudku, bahwa kalian tidak mengenal aku,” jawab Glagah Putih dengan serta merta.

“Ya. Kami memang tidak mengenalmu Ki Sanak. Karena itu, marilah, jangan terlalu banyak alasan sehingga dapat membuat kami pusing,” jawab pemimpin pengawal itu.

Akhirnya Glagah Putih tidak dapat menolak lagi. Ada keinginannya untuk melawan dan melepaskan diri dari para pengawal. Tetapi niat itu pun kemudian diurungkannya. Jika demikian, mungkin kesulitan akan semakin bertambah-tambah.

Tanpa dapat mengelak lagi, maka Glagah Putih pun kemudian mengikuti pemimpin pengawal itu. Di belakangnya beberapa orang pengawal berkuda mengiringnya dengan penuh kewaspadaan.

“Apa yang telah terjadi di sini?” bertanya Glagah Putih.

“Kerusuhan, Anak Muda,” jawab pemimpin pengawal itu, “ada sekelompok orang yang membuat kerusuhan di padukuhan-padukuhan terpencil. Mereka merampok dan merampas. Bahkan menyamun di bulak-bulak panjang. Kerusuhan itu telah merupakan alasan yang cukup bagi kami untuk mencurigai orang-orang yang tidak kami kenal. Orang-orang yang nampak asing dan menarik perhatian. Justru karena itu maka kami telah mencurigai kau Anak Muda.”

“Bagaimana aku dapat membuktikan, bahwa aku bukan salah seorang dari mereka?” bertanya Glagah Putih.

“Kita akan berbicara. Seorang senapati yang mahir mengenali watak dan sifat seseorang, akan dapat mengambil kesimpulan, apakah kau termasuk di antara mereka atau tidak,” jawab pemimpin pengawal itu.

Glagah Putih mengumpat di dalam hatinya. Tetapi ia tidak dapat membantah. Betapa pun kegelisahan bergejolak di dalam hatinya, tetapi ia harus mengikuti pemimpin pengawal itu.

“Jika aku tidak dapat kembali malam ini, mungkin persoalan di Tanah Perdikan Menoreh akan berkembang semakin buruk,” gumam Glagah Putih di dalam hatinya.

Tetapi katanya kemudian kepada diri sendiri, “Mudah-mudahan bajak laut itu berbuat seperti yang dikatakannya. Ia tidak terlalu tergesa-gesa.”

Namun bagaimanapun juga, Glagah Putih benar-benar telah dicengkam oleh kegelisahan.

Sementara itu di Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayu telah melaporkan apa yang terjadi di rumahnya kepada Ki Gede. Agung Sedayu pun melaporkan, bahwa Glagah Putih telah pergi ke Sangkal Putung untuk memberitahukan hal itu kepada Kiai Gringsing.

“Kiai Gringsing akan dapat menjadi saksi yang baik,“ berkata Agung Sedayu.

Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Apakah Glagah Putih hanya seorang diri saja?”

“Ya Ki Gede. Glagah Putih hanya seorang diri,” jawab Agung Sedayu.

“Kenapa tidak seorang pun yang menemaninya? Mungkin untuk kawan berbincang di sepanjang jalan,” bertanya Ki Gede pula.

Agung Sedayu merenung sejenak. Namun jawabnya kemudian, “Nampaknya anak itu akan tidak menarik perhatian jika ia pergi seorang diri. Tetapi jika ia pergi dengan sekelompok kecil, maka kelompok itu akan sempat menarik perhatian orang lain.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Memang kadang-kadang bepergian seorang diri itu akan dapat menjadi lebih cekatan tanpa harus menunggu, dan bahkan kadang-kadang tergantung yang satu dengan yang lain. Tetapi seorang diri kadang-kadang juga dapat mengalami kesulitan tanpa dapat membicarakannya dengan orang lain.

Agung Sedayu yang melihat keragu-raguan Ki Gede berkata, “Glagah Putih sudah terlalu sering menempuh perjalanan ke Sangkal Putung.”

“Ya. Ya Ngger. Tetapi kadang-kadang perjalanan itu terhambat oleh sekelompok orang atau oleh seseorang yang berniat buruk,” gumam Ki Gede. Tetapi katanya lebih lanjut, “Namun mudah-mudahan Angger Glagah Putih tidak mengalaminya.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Namun sebenarnyalah di dalam hatinya ada juga rasa cemas sebagaimana dikatakan oleh Ki Gede Menoreh.

Meskipun demikian, Agung Sedayu masih juga berkata kepada diri sendiri, “Glagah Putih sudah cukup dewasa untuk melakukan tugas-tugas yang penting seperti ini.”

Dalam pada itu, Ki Gede pun kemudian bertanya, “Apakah kau juga akan melaporkannya ke barak pasukan khusus?”

Agung Sedayu berpaling kepada Ki Waskita yang menyertainya. Ternyata Ki Waskita pun mengangguk kecil sambil berkata, “Tidak ada salahnya Ngger. Jika terjadi perang tanding itu, maka tidak akan mengejutkan orang-orang yang tinggal di barak itu. Bahkan mungkin beberapa orang senapati akan dapat menjadi saksi juga agar perang tanding itu terjadi benar-benar tanpa kecurangan dan kelicikan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun katanya, “Mungkin Ki Lurah Branjangan sajalah yang akan dapat hadir sebagai saksi.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya. Mungkin cukup dengan Ki Lurah Branjangan saja.”

Karena itu, maka Agung Sedayu dan Ki Waskita pun kemudian telah menghubungi barak pasukan khusus. Mereka telah memberitahukan persoalan yang dihadapi oleh Agung Sedayu kepada Ki Lurah, agar jika terjadi sesuatu, seisi barak tidak terkejut dan menganggap bahwa yang terjadi itu merupakan persoalan yang menyangkut langsung seisi Tanah Perdikan Menoreh.

Ternyata bahwa Ki Lurah Branjangan telah menaruh perhatian yang sungguh-sungguh terhadap persoalan yang dihadapi oleh Agung Sedayu itu. Karena itu, maka iapun telah bertanya, “Apakah kau benar-benar ingin menghadapi ketiga orang itu dalam satu arena perang tanding yang jujur?”

“Ya Ki Lurah. Menilik sikapnya, maka orang-orang yang menyebut dirinya bajak laut itu memang ingin melakukan perang tanding. Mereka memberi kesempatan kepadaku untuk memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi lawanku. Agaknya aku memang tidak akan dapat menghindar lagi.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba katanya, “Agung Sedayu. Sudah terbukti bahwa mereka telah melakukan kejahatan. Mereka telah merampok dan merampas hak seorang penduduk Tanah Perdikan ini. Apakah dengan demikian, belum cukup alasan untuk menangkap mereka tanpa kesempatan untuk berperang tanding?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak dapat berbuat demikian Ki Lurah. Mereka menganggap bahwa aku telah membunuh saudara seperguruannya. Dan karena itu mereka datang untuk membuat perhitungan dengan aku. Tidak dengan orang lain.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, “Jika kau sudah berketetapan hati, maka baiklah aku menjadi saksi. Kecuali jika orang-orang itu kelak melanggar paugeran perang tanding, maka kau dan kita semuanya sudah tidak terikat lagi. Kita dapat berbuat apa saja yang kita anggap paling baik. Dan aku, pemimpin pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh dapat pula mengambil sikap tertentu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika hal yang demikian terjadi, terserahlah kepada Ki Lurah. Dan barangkali Ki Gede dan Ki Waskita juga akan dapat mengambil sikap.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan datang sendiri melihat dan menjadi saksi. Jika saatnya datang, aku minta kau sempat memberitahukan kepadaku.”

“Baik Ki Lurah. Sementara itu, Glagah Putih telah pergi ke Sangkal Putung. Mudah-mudahan malam nanti ia dapat datang dengan Kiai Gringsing. Aku mohon Kiai Gringsing dapat menjadi saksi yang baik menghadapi ketiga orang bajak laut itu. Kami pun telah memperhitungkan seandainya bajak laut itu mengambil langkah yang melampaui paugeran perang tanding.”

“O,” Ki Lurah mengangguk-angguk, “jadi, kau mengundang Kiai Gringsing?”

“Ya Ki Lurah” jawab Agung Sedayu.

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga, bagi Agung Sedayu, Kiai Gringsing adalah gurunya. Anak muda itu tentu merasa dirinya bagian dari gurunya dalam olah kanuragan. Seandainya jika terjadi sesuatu, maka biarlah gurunya menyaksikannya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Agung Sedayu itu pun telah minta diri bersama Ki Waskita untuk kembali. Ia masih harus mempersiapkan dirinya di dalam sanggar. Mungkin ada sesuatu yang penting yang harus dipersiapkannya menghadapi bajak laut yang belum diketahuinya tingkat kemampuannya.

Namun, ketika ia memasuki halaman rumahnya, Agung Sedayu itu terkejut. Dilihatnya seorang tamu duduk di pendapa rumahnya seorang diri. Sekar Mirah tidak menemuinya sebagaimana seorang tamu yang datang ke rumahnya jika ia tidak ada.

Tetapi, ia lebih terkejut lagi ketika ia kemudian melihat, bahwa orang itu adalah salah seorang dari tiga orang bajak laut yang sedang mencarinya.

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Namun ia pun kemudian langsung naik ke pendapa menemui tamunya yang mendebarkan itu.

Bajak laut yang duduk di pendapa itu berpaling ketika ia mendengar gemerisik langkah memasuki regol halaman. Karena itu, maka iapun kemudian berpaling. Dilihatnya Agung Sedayu dan Ki Waskita tertegun di halaman dan bahkan kemudian langsung naik ke pendapa.

Sambil tersenyum bajak laut itu bergeser. Sementara itu Agung Sedayu pun bertanya, “Kau sudah lama Ki Sanak?”

“Belum,” jawab bajak laut itu, “tetapi aku memang sengaja menunggumu.”

“Ada sesuatu yang penting?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Ada yang penting yang ingin aku sampaikan kepadamu.” jawab bajak laut itu.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sementara itu di ruang dalam, Sekar Mirah yang telah siap dengan pakaian khususnya dan menggenggam tongkat baja putihnya berdiri tegak dengan jantung yang berdebaran. Sementara itu, iapun mendengar suara suaminya di pendapa. Karena itu maka iapun telah menarik nafas dalam-dalam. Apalagi ketika iapun kemudian mendengar suara Ki Waskita pula.

“Nampaknya kau tidak sabar menunggu malam nanti,” desis Ki Waskita.

“Ya Ki Sanak,” jawab bajak laut itu, “kami memang harus segera mengambil sikap. Ternyata bahwa ada sesuatu yang memaksa kami mengambil tindakan yang cepat.”

“Apa maksudmu?” bertanya Agung Sedayu.

“Agung Sedayu,” berkata bajak laut itu, “kali ini aku datang seorang diri karena aku tidak ingin menarik perhatian jika aku datang bertiga. Tetapi yang akan aku katakan kepadamu adalah keputusan kami bertiga tentang rencana yang sudah pernah kami sampaikan kepadamu. Kita akan mengukur kemampuan kita. Kau yang telah berbangga membunuh Kakang Tumenggung Prabadaru, dan kami, saudara-saudara seperguruannya.”

“Ya. Aku mengerti,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi agaknya kau telah mengambil satu kesempatan yang mungkin akan merusak perjanjian kita itu,” berkata bajak laut itu.

“Apa yang kau maksud?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Kau telah mengirimkan anak muda yang semalam hampir melanggar kami di belakang regol halaman ini. Kami melihat menjelang fajar anak itu meninggalkan padukuhan induk ini. Kami tidak tahu kemana anak itu pergi. Tetapi menilik ketergesa-gesaannya, maka aku yakin bahwa kepergiannya itu tentu ada hubungannya dengan rencana perang tanding yang akan kita selenggarakan. Mungkin anak itu melaporkannya ke Mataram. Atau mungkin memanggil satu dua orang yang akan dengan licik membantumu dalam perang tanding,” jawab bajak laut itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia bertanya, “Kau melihat anak itu pergi?”

“Ya. Kami bertiga telah melihatnya,” jawab bajak laut itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar Ki Sanak. Tetapi sama sekali bukan untuk satu rencana yang licik. Anak itu pergi untuk memanggil seorang saksi yang paling baik yang dapat aku pilih untuk melihat perang tanding itu.”

Bajak laut itu tersenyum. Katanya, “Kau dapat menyebut apa saja Ki Sanak. Tetapi kau akan dapat berbuat licik pada saat perang tanding itu sedang berlangsung.”

“Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu, “seandainya aku ingin berbuat licik, maka aku tidak perlu mengundang siapa pun juga, karena di sini ada barak pasukan khusus yang cukup kuat untuk menangkap kalian bertiga.”

“Kau pikir bahwa pasukan khusus itu benar-benar dapat menangkap kami meskipun mereka mengerahkan lebih dari seratus orang termasuk senapatinya?” bertanya bajak laut itu, “Seandainya kami tidak dapat melawan seratus orang pasukan khusus termasuk senapatinya, namun aku yakin bahwa mereka tidak akan dapat menangkap aku.”

“Jika demikian, apa yang Ki Sanak cemaskan dengan kepergian Glagah Putih, anak muda yang kau lihat meninggalkan padukuhan induk ini?” bertanya Agung Sedayu.

“Tentu banyak hal yang dapat membuat kami cemas Agung Sedayu,” jawab bajak laut itu, “mungkin mereka menghubungi orang-orang yang kau anggap memiliki kemampuan yang akan dapat menolongmu dari bencana yang dapat timbul karena kehadiran kami sepeninggal Kakang Tumenggung Prabadaru.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Sanak. Apa pun yang dilakukan oleh anak itu, namun yang kami harapkan dari orang yang akan datang ke Tanah Perdikan ini adalah sekedar untuk menjadi saksi. Aku sama sekali tidak ingin berbuat licik seperti yang kau cemaskan. Seandainya aku tidak bersedia melakukan perang tanding maka aku akan mengatakan dengan jujur, bahwa aku menolak perang tanding. Tetapi kali ini, aku tidak akan dapat mengelak. Jika kau menuntut karena kematian saudara seperguruanmu atas orang yang telah membunuhnya dengan melakukan perang tanding, maka aku sudah menjawab, bahwa aku akan melakukannya. Tetapi aku memerlukan saksi, karena terus terang, aku pun menyangsikan kejujuran Ki Sanak.”

“Nah, bukankah kita mempunyai anggapan yang sama atas kita masing-masing. Karena itu, kedatanganku sekarang ini sesuai dengan keputusan kami bertiga, bahkan kami tidak menunggu lebih dari hari ini. Jika kau tetap seorang laki-laki sebagaimana kau berhadapan dengan Kakang Tumenggung, maka kami menghendaki perang tanding dilakukan tidak lebih dari hari ini juga. Kecuali jika kau telah berubah menjadi seorang perempuan, atau pada saat kau bertempur melawan kakang Tumenggung, kau sudah berbuat licik dan membiarkan orang lain membantumu dengan diam-diam.”

Wajah Agung Sedayu menegang. Tetapi ia menyadari, bahwa tantangan itu harus diperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Apalagi ketika bajak laut itu berkata, “Tetapi Ki Sanak. Jika kau menolak dengan alasan apa pun juga atas perang tanding ini, maka kami pun akan bebas menentukan sikap dan cara yang akan kami ambil untuk membuat perhitungan atas kematian Kakang Tumenggung. Mungkin kami memilih untuk menukar nyawa Kakang Tumenggung dengan lima puluh nyawa anak-anak muda Tanah Perdikan, atau dengan cara lain yang dapat menyenangkan dan memberi kepuasan hati kami.” Jantung Agung Sedayu rasa-rasanya berdebar semakin cepat. Ketika ia menatap wajah bajak laut itu, ia melihat seakan-akan wajah itu telah berubah. Selama ini ia melihat bahwa ketiga bajak laut itu mempunyai sikap dan tingkah laku yang wajar, sebagaimana orang kebanyakan. Tetapi saat itu wajah bajak laut itu menjadi seakan-akan berubah. Wajah itu menjadi buas dan liar.

Dengan nada berat Agung Sedayu menjawab, “Yang terlibat dalam persoalan ini adalah aku dan kalian yang mengaku saudara seperguruan Ki Tumenggung Prabadaru. Karena itu jangan menyangkut orang lain. Karena dengan demikian kau sudah membuka medan melawan seisi Tanah Perdikan Menoreh. Jangan kau sangka bahwa ancamanmu itu akan dapat menakut-nakuti anak-anak muda Tanah Perdikan ini yang akan dapat bekerja sama dengan para pengawal khusus di barak itu. Apa kau kira bahwa kalian bertiga memiliki kemampuan iblis yang tidak ada batasnya?”

Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Kau memang dungu Agung Sedayu. Kau tidak mengetahui cara yang dapat aku tempuh. Aku dapat muncul di sembarang saat dan di sembarang tempat untuk membunuh. Mungkin untuk mengambil sesuatu yang kami ingini. Bahkan mungkin kami menginginkan gadis-gadis cantik di Tanah Perdikan ini.”

“Gila,” geram Agung Sedayu, “itu tingkah laku orang yang tidak berkeadaban.”

Tetapi bajak laut itu masih saja tertawa. Katanya, “Aku memang termasuk orang yang tidak berkeadaban. Kami bertiga adalah orang-orang yang tidak terikat paugeran yang mana pun juga, karena kami adalah bajak laut yang hidup bebas menurut kehendak hati kami sendiri. Tidak ada hukum apa pun yang dapat mengikat kami. Tidak ada sandaran tata cara dan unggah-ungguh yang manapun yang kami pergunakan untuk menilai tingkah laku kami.”

Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Namun dengan demikian, ia sudah melihat wajah yang sebenarnya dari bajak laut yang selama ini telah berbuat seakan-akan orang-orang yang berhati jantan dan berpijak pada harga diri seorang yang berperadaban. Namun ternyata bahwa mereka adalah iblis-iblis yang sangat berbahaya bukan saja bagi Agung Sedayu, tetapi juga bagi banyak orang di Tanah Perdikan Menoreh.

Di saat-saat Agung Sedayu dan Ki Waskita merenungi sikap bajak laut itu, maka terdengar orang itu berkata, “Sudahlah. Aku tidak akan terlalu banyak berbicara sekarang ini. Aku hanya diminta untuk mengatakan, bahwa perang tanding itu akan terjadi hari ini. Malam nanti, demikian hari menjadi gelap, kami bertiga menunggu kehadiranmu di lereng bukit. Orang-orang di Tanah Perdikan ini menyebut tempat itu Watu Lawang. Nah, kita akan bertemu di Watu Lawang. Jika kau ingin membawa saksi, kau dapat membawa saksi yang kau anggap paling baik itu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya kemudian, “Aku akan datang. Aku akan melakukan perang tanding dengan paugeran yang maton. Aku bukan termasuk orang yang tidak terikat oleh hukum dan paugeran. Karena itu, maka aku akan memasuki arena sebagai seorang laki-laki yang mempunyai harga diri.”

Bajak laut itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian berkata, “Apakah paugeran perang tanding itu? Bukankah hanya ada satu batasan? Membunuh atau dibunuh?”

“Jika itu batasannya, aku tidak berkeberatan. Tetapi tidak ada orang lain yang akan mencampuri perang tanding itu. Kita hanya memerlukan saksi-saksi. Tetapi saksi-saksi itu harus bertindak jujur. Apakah kalian juga memiliki kejujuran itu?” bertanya Agung Sedayu kemudian.

Bajak laut itu tertawa. Jawabnya, “Demi kebesaran nama perguruan kami. Dalam perang tanding itu kami akan menempatkan diri pada ikatan yang pantas bagi perang tanding itu.”

“Baik,” jawab Agung Sedayu yang tidak mempunyai pilihan lain. Lalu katanya, “Setelah matahari terbenam, aku akan berada di Watu Lawang. Dengan beberapa orang saksi. Tetapi jangan takut bahwa kami akan bertindak curang.”

Bajak laut itu masih saja menunjukkan keliarannya. Namun kemudian tiba-tiba saja ia mengangguk hormat sambil berkata, “Aku mohon diri. Sampai bertemu nanti malam di Watu Lawang. Satu pertemuan yang tentu sangat menarik. Karena dengan demikian kita akan mengetahui, apakah saat kau membunuh Kakang Tumenggung Prabadaru kau benar-benar berlaku jujur sebagaimana perang tanding yang dibatasi dengan paugeran-paugeran seperti yang kau maksudkan.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi jantungnya serasa hampir meledak. Sikap orang itu benar-benar menyakiti hatinya.

Sejenak kemudian maka orang itu pun telah meninggalkan pendapa kecil rumah Agung Sedayu. Sementara itu, Sekar Mirah pun segera muncul dari balik pintu sambil menggeram, “Aku ingin memecahkan kepalanya dengan tongkatku ini.”

“Kita harus mengekang diri Mirah,” sahut Agung Sedayu.

“Ya,” sambung Ki Waskita, “nampaknya orang bajak laut itu memang berbahaya. Mula-mula mereka nampaknya sebagai orang-orang terhormat. Tetapi semakin lama semakin jelas ujud jiwani mereka yang liar. Sementara itu mereka agaknya memiliki ilmu yang tinggi.”

“Tetapi aku tidak biasa membiarkan diri disakiti perasaanku seperti itu, “jawab Sekar Mirah.

“Sudahlah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “aku harus mempersiapkan diri. Bagaimanapun juga, aku akan menghadapi tugas yang berat. Segalanya terserah kepada Ki Waskita, siapakah yang baik untuk menjadi saksi malam nanti. Jika Kiai Gringsing belum datang, maka sebaiknya ada orang lain yang akan dapat mencegah kecurangan yang mungkin dilakukan oleh bajak laut itu, karena mereka agaknya, benar-benar merasa diri mereka tidak terikat oleh paugeran yang mana pun juga. Sementara ini aku akan berada di dalam sanggar untuk membenahi diri sebaik-baiknya.”

Wajah Sekar Mirah tiba-tiba menjadi buram. Bagaimanapun juga ia tidak dapat melepaskan diri dari kecemasan.

Namun ia tidak dapat mencegah perang tanding yang akan terjadi. Ia pun mengerti, jika Agung Sedayu menghindar, maka namanya tentu akan dihinakan. Sekar Mirah sendiri tentu tidak menghendaki hal seperti itu terjadi. Tetapi dalam pada itu, iapun menyadari bahwa agaknya orang-orang yang mengaku dirinya bajak laut itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Sementara itu, maka Agung Sedayu pun telah pergi ke sanggar untuk mempersiapkan dirinya lahir dan batin. Seperti biasa ia tidak selalu berbangga atas segala macam ilmu dan kemampuan yang dimilikinya. Agung Sedayu cenderung untuk mohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Bahwa persoalan yang dihadapinya itu tidak lagi dapat dihindarinya, karena dengan demikian, maka akibatnya akan sangat gawat bagi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang sama sekali tidak bersalah.

Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu berada di dalam sanggarnya untuk bersiap lahir dan batin menghadapi bajak laut yang mengaku saudara seperguruan Ki Tumenggung Prabadaru, Glagah Putih masih duduk dengan gelisah di sebuah rumah yang tidak terlalu besar, yang dipergunakan sebagai barak para prajurit yang mengawasi keadaan di daerah yang dianggap gawat di sisi sebelah utara dari Mataram. Daerah yang pada saat-saat terakhir sering diganggu oleh kejahatan yang kadang-kadang dapat mengguncangkan keberanian penduduk, sehingga para pengawal kademangan terpaksa memohon bantuan Mataram.

“Sampai kapan aku harus menunggu?” geram Glagah Putih.

Tetapi Glagah Putih tidak dapat berbuat sesuatu. Ia hanya dapat bertanya kepada para pengawal, kapan ia dapat meninggalkan tempat itu.

“Kau harus menunggu, Ki Sanak,” berkata pemimpin pengawal yang telah membawanya ke tempat itu. Lalu, “Senapati yang akan memeriksa Ki Sanak baru pergi ke Mataram. Ia akan segera kembali dan semuanya akan diselesaikannya.”

“Jika Senapati itu tidak kembali?” bertanya Glagah Putih.

“Ia pasti kembali,” jawab pengawal itu, “tetapi jika hari ini Senapati tidak juga kembali, maka kau memang harus menunggu sampai esok.”

“Aku mempunyai keperluan yang penting sekali. Hari ini aku harus kembali ke Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Glagah Putih.

“Apaboleh buat,” jawab pengawal itu.

“Mungkin kau dapat mengatakan seperti itu,” berkata Glagah Putih, “tetapi sikap Ki Sanak akan dapat menimbulkan bencana di Tanah Perdikan Menoreh.”

Pengawal itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia tersenyum. Katanya, “Aku mengenal Tanah Perdikan Menoreh dengan baik anak muda. Ki Gede Menoreh yang bernama Ki Argapati itu adalah orang yang luar biasa. Sementara itu di Tanah Perdikan Menoreh ada pula sepasukan yang menjadi kebanggaan Mataram. Pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Branjangan. Kenapa kau mencemaskannya?”

Jantung Glagah Putih rasa-rasanya hampir meledak. Tetapi ia ragu-ragu untuk mengatakan, apa yang tengah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Jika ia mengatakan tentang kehadiran tiga orang bajak laut itu, apakah pengawal itu akan percaya.

Justru karena keragu-raguan itulah, maka Glagah Putih akhirnya mengambil keputusan untuk tidak mengatakan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh, karena Glagah Putih menduga, pengawal itu akan tidak mempercayainya. Seandainya mereka percaya, maka mereka akan menunjuk pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh untuk menyelesaikannya.

Betapa pun kegelisahan mencengkam jantungnya, namun ia memang harus tinggal di tempat itu sesuai dengan perintah pengawal yang membawanya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar