Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 169

Buku 169

Sejenak kemudian, maka kedua pasukan itu pun telah berbenturan. Senjata-senjata yang merundukpun mulai berdentangan. Kedua belah pihak telah menempatkan orang-orang terbaik di garis pertama dari kedua pasukan itu.

Namun ternyata bahwa sejak benturan pertama, orang-orang Pajang mulai menyadari, bahwa pasukan Mataram bukannya pasukan yang dengan tergesa gesa disusun setelah pecah bercerai-berai. Namun pasukan Mataram yang mereka hadapi, masih juga pasukan yang mereka hadapi di tebing Kali Opak. Masih tersusun dalam gelar yang utuh. Masih pula kekuatan yang terdapat pada sayap kiri dan kanan dari pasukan Mataram.

Pertempuran yang dahsyat segera mulai membakar bulak bulak persawahan dan pategalan. Orang-orang Pajang yang semula berkerut karena mereka menganggap bahwa pasukan Mataram tidak lagi sebanyak pasukan di Kali Opak, terpaksa berusaha untuk menebar lagi, sebagaimana dilakukan oleh pasukan Mataram. Setelah benturan terjadi, maka ternyata pasukan Mataram yang berlapis itu berusaha untuk melebar dan menguasai sisi dari medan sebelah-menyebelah.

Namun sementara itu, sepasukan khusus yang kuat meskipun hanya sekelompok kecil dari kekuatan orang Pajang telah melingkari ujung-ujung pertempuran. Mereka ingin menyelinap ke belakang garis pertempuran dari orang-orang Mataram untuk menemukan letak bende Kiai Bicak. Mereka harus menghancurkan bende itu meskipun mereka harus bertaruh nyawa. Jika mereka berhasil, maka suara yang menjemukan itu tidak akan mempengaruhi medan lagi, sehingga orang-orang Mataram tentu akan merasa kecut. Perasaan yang demikian akan sangat berpengaruh bagi seorang prajurit di medan perang.

Pasukan khusus terpilih itu, meskipun harus menempuh jarak yang terasa panjang, namun berhasil menyusup melingkari pasukan Mataram. Suara bende itu sendiri telah menuntun mereka untuk menemukan tempatnya. Meskipun suara angin kadang-kadang membuat suara bende itu seolah-olah berubah tempatnya. Namun akhirnya pemimpin pasukan khusus itu akhirnya menunjuk dengan pasti, “Bende itu berada di bawah potion mahoni yang besar itu.”

Para prajurit dari pasukan khusus terpilih itupun segera mempersiapkan diri. Senjata mereka telah terhunus dan bergetar di dalam genggaman.

Perlahan-lahan kelompok kecil itu maju. Mereka berusaha untuk dapat menyergap dengan tiba-tiba, sehingga mempersempit kesempatan para pengawal bende itu untuk mempersiapkan diri, menghadapi mereka.

“Tetapi kitapun harus menyadari, bahwa bende yang dikeramatkan itu tentu mendapat pengawal yang baik,” berkata senapati yang memimpin sekelompok pasukan khusus terpilih itu.

Yang lain mengangguk-angguk. Namun bagi mereka, tidak ada lagi yang dapat menggetarkan jantung mereka. Mereka sudah menyerahkan hidup mati mereka kepada tugas yang harus mereka lakukan. Dengan kesetiaan seorang prajurit dari pasukan khusus, maka mereka tidak akan mundur sebelum tugas mereka selesai. Atau, jika mereka gagal, maka hanya nama mereka sajalah yang akan kembali ke pasukan induk mereka.

Dengan wajah yang tegang, sekelompok prajurit dari pasukan khusus yang terpilih itu merayap semakin dekat. Mereka pun kemudian yakin, bahwa bende itu memang berada di bawah pohon mahoni yang besar.

Semakin dekat, maka merekapun mulai melihat beberapa orang yang mengawal bende itu. Tidak terlalu banyak, sehingga senapati itu berdesis, “Jumlah kita ternyata terlalu banyak untuk memusnahkan orang-orang Mataram yang bodoh itu.”

“Tetapi tempat ini tidak terpisah terlalu jauh dari medan. Mereka akan dapat mengharap bantuan dari para prajurit Mataram yang berada di medan. Dengan isyarat mereka dapat memanggil beberapa orang prajurit untuk membantu mereka,” sahut seorang kawannya.

“Namun sementara itu, mereka sudah musnah terbantai di bawah pohon mahoni itu. Bende itupun telah kita hancurkan dan tidak mungkin dapat berbunyi lagi,” jawab senapatinya.

“Ternyata cerita tentang bende itu benar-benar ngayawara. Ada yang mengatakan, bahwa sumber suara itu dapat berubah-ubah tempat. Namun ternyata kita langsung dapat menemukannya,” desis seorang prajurit.

“Kebohongan besar yang mentertawakan,” sahut senapati yang memimpin pasukan itu, “memang pengaruh angin kadang-kadang dapat menyesatkan pendengaran kita. Tetapi telinga yang baik tidak akan dapat ditipu lagi.” Senapati itu berhenti sejenak, lalu, “Cepat. Kita sudah siap.”

Pasukan kecil itu telah bersiap-siap. Sejenak kemudian, maka jatuhlah perintah. Merekapun segera berloncatan dan berlari menuju ke sebatang mahoni tua yang tumbuh di tengah-tengah bulak di antara semak-semak yang tumbuh di sebuah bukit kecil.

Kedatangan prajurit khusus itu benar benar mengejutkan. Sekelompok pengawal yang tidak siap, tiba-tiba saja telah berloncatan berlari meninggalkan sebuah bende yang tergantung pada sebuah goyor kecil yang sudah terlalu tua.

Sikap para pengawal bende itu justru sangat mengejutkan. Beberapa orang prajurit Pajang sudah siap mengejar mereka yang berlari ke arah medan. Namun senapatinya segera mencegahnya. Katanya, “Jangan terpancing masuk ke dalam api. Kita selesaikan tugas pokok kita. Bende ini kita hancurkan.”

Prajurit-prajurit Pajang itu mengurungkan niatnya mengejar beberapa orang pengawal yang berlari ke arah medan. Nampaknya orang-orang Mataram itu ingin mencari perlindungan di antara para prajurit di medan.

Karena itu, maka yang mereka lakukan kemudian adalah menghancurkan bende itu. Bende tua yang tergantung pada sebuah gayor yang tua pula. Yang sebagian dari ukirannya sudah rusak dan sunggingnyapun telah hampir hilang.

Ketika beberapa orang di antara mereka ragu-ragu, pemimpin kelompok kecil itu berkata, “Bende ini sama sekali tidak bertuah. Jangan takut. Tidak akan ada akibat apapun juga.”

Dengan pedang mereka telah menghancurkan gayor tempat bende itu tergantung. Kemudian dengan bindi dan batu-batu besar, mereka memecahkan bende kecil yang sudah tua itu, sehingga hancur sama sekali. “Kita sudah melaksanakan tugas kita dengan baik,” berkata senapati itu, ”bawa bende yang rusak itu sebagai bukti, bahwa kita sudah melakukannya.”

“Lalu, apakah yang akan kita lakukan?” bertanya salah seorang di antara mereka.

“Kita kembali ke induk pasukan,” jawab senapati itu, “jangan sia-siakan waktu. Ternyata tugas kita jauh lebih mudah dari yang kita duga. Yang kita persiapkan ternyata tidak dapat kita pergunakan. Orang-orang Mataram terlalu licik dan pengecut. Aku kira, sebuah bende yang dikeramatkan itu, tentu dijaga oleh pasukan yang terpilih, sebagaimana kita terpilih untuk melakukan tugas ini.”

Pasukan kecil itupun tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka sempat melihat dari kejauhan, bahwa pertempuran telah membakar bulak dan pategalan. Sorak sorai mulai menggetar dan menyentuh langit.

Demikianlah, pasukan kecil itupun segera melingkar, kembali ke induk pasukan. Sementara itu, suara bende yang menjemukan itupun telah tidak terdengar lagi. Yang terdengar adalah dentang senjata beradu. Sorak para prajurit dan kadang-kadang teriakan para senapati yang memberikan aba-aba kepada pasukannya, yang disambut dengan suara gemuruh dan gegap gempita.

Dalam pada itu, api yang memusnahkan beberapa padukuhanpun menjadi semakin surut. Tetapi asapnya masih mengepul kehitam-hitaman. Pepohonanlah yang kemudian mulai terbakar di antara debu yang menghambur.

Tetapi api tidak dapat membakar pepohonan semudah membakar rumah yang berdinding bambu dan berangka kayu. Apalagi yang beratap ilalang atau ijuk. Karena itu, yang nampak kemudian dari kejauhan bukan lagi lidah api yang menjilat awan, tetapi asap kehitaman yang mengepul tinggi. Ketika angin kemudian bertiup, maka asap itupun terguncang dan pecah berserakan.

Dalam pada itu, sekelompok prajurit pilihan yang menghancurkan bende yang suaranya sangat mengganggu itu telah sampai ke induk pasukannya. Senapati yang memimpin sekelompok prajurit itupun segera menghadap salah seorang kepercayaan Kakang Panji yang telah memberikan perintah kepadanya untuk menghancurkan bende itu.

“Bagus,” gumam kepercayaan Kakang Panji itu, “ternyata bende itu bukan bende yang bertuah. Dengan rnudah kau menghancurkannya tanpa akibat apapun juga.”

“Sejak semula aku sudah tidak percaya, bahwa bende itu memiliki kekuatan yang dapat berpengaruh atas seseorang,” jawab senapati itu, “seandainya ada juga orang yang dapat dipengaruhinya, orang itu tentu bukannya aku.”

“Bagus.” jawab kepercayaan Kakang Panji, “aku tidak memerlukan bangkai bende itu. Aku akan melaporkan hasil tugasmu.”

Kepercayaan Kakang Panji itupun kemudian mencari Kakang Panji di medan. Ternyata Kakang Panji masih berada di lapisan belakang. Ia masih belum turun langsung ke tengah-tengah arena.

“Bende itu sudah dihancurkan. Bangkainya dibawa kembali oleh kelompok yang aku tugaskan menghancurkannya. Dan sekarang, suara bende itu sudah tidak terdengar lagi.”

“Bagus. Aku sekarang dapat memusatkan perhatianku kepada orang-orang yang aku perlukan. Aku akan berhubungan dengan Ajar Jatisrana agar tugas-tugasku cepat selesai,” berkata Kakang Panji.

Dalam pada itu, kepercayaan Kakang Panji itupun kemudian menarik diri. Ia memang menempatkan dirinya sebagai penghubung antara Kakang Panji dengan orang-orang yang diperlukannya.

Namun dalam pada itu, selagi senapati yang memimpin sekelompok prajurit pilihan itu sedang menikmati kemenangannya sebelum mereka memasuki medan, ternyata mereka telah dikejutkan oleh bunyi yang tiba-tiba saja melengking memecah hiruk pikuk pertempuran. Bunyi bende yang meraung-raung. Justru lebih keras dari suara bende yang telah dihancurkannya.

“Gila,” geram senapati itu, “permainan apa lagi yang dilakukan oleh orang-orang Mataram?”

Suara bende itu benar-benar mengejutkan bukan saja kepercayaan Kakang Panji dan seluruh prajurit dalam kelompok kecil yang telah menghancurkan bende itu. Tetapi juga Kakang Panji. Bahkan dengan garang Kakang Panji itu menggeram, “Gila. Orang-orang itu mencoba mempermainkan aku.”

Namun akhirnya Kakang Panji pun menyadari, bahwa orang-orang Mataram bukan orang-orang dungu. Bahkan mereka justru telah mengelabui orang-orangnya.

“Ternyata yang dibunyikan itu bukan sebenarnya bende Kiai Bicak, meskipun bende yang disebut Kiai Bicak itu tentu juga berada di medan,” geram Kakang Panji.

Karena itu, Kakang Panji tidak menghiraunkan lagi bunyi bende yang seakan-akan justru menjadi semakin keras dan seolah-olah nada yang terlontar mengandung ejekan atas kebodohan beberapa orang prajurit Pajang. Namun telinga Kakang Panji rasa-rasanya telah menjadi kebal.

“Aku tidak peduli meskipun bunyi bende itu akan memecahkan langit sekalipun,” geramnya.

Tetapi berbeda dengan orang kepercayaan Kakang Panji itu. Ia telah menemui senapati yang memimpin sekelompok prajurit pilihan dan merasa telah berhasil memecahkan bende itu.

“Apa katamu sekarang?” bertanya kepercayaan Kakang Panji.

“Orang-orang Mataram memang licik.” jawab senapati itu, “aku akan sekali lagi pergi ke belakang pasukan Mataram.”

“Kau sangka bende yang dibunyikan itu bende Kiai Bicak yang sebenarnya?” bertanya kepercayaan Kakang Panji.

“Meskipun bukan, tetapi aku akan berusaha menangkap satu atau dua orang di antara mereka. Dari mulut mereka, aku ingin mendengar, di mana bende yang sebenarnya itu disimpan,” jawab Senapati itu.

Kepercayaan Kakang Panji itu mengangguk angguk. Katanya, “Lakukan. Tetapi jangan hancurkan bende itu. Bawa bende itu kemari. Utuh. Kitalah yang kemudian akan membunyikannya. Tetapi ingat, jangan tertipu lagi.”

Senapati itu mengangguk. Namun iapun kemudian menggeram sambil berkata, “Aku akan menangkap orang-orang gila itu. Aku akan memeras darah mereka sampai kering jika mereka tidak mau menunjukkan letak bende yang sebenarnya.”

Dengan kemarahan yang menghentak-hentak di dada, Senapati itu telah memimpin kelompoknya kembali melingkari medan sebagaimana pernah dilakukan. Kemarahan mewarnai kelompok itu, sehingga setiap orang di dalam kelompok itu menjadi semakin garang. Bahkan mereka seakan-akan menjadi buas dan tidak mempunyai niat lain, kecuali membantai korban mereka. Kecuali satu dua orang yang akan mereka paksa untuk mengatakan di mana letak bende yang mereka cari, meskipun akhirnya orang-orang itupun akan mereka bunuh juga.

Dalam pada itu, pertempuran antara pasukan Mataram dan pasukan Pajang itupun berlangsung semakin sengit. Orang-orang Pajang harus melihat kenyataan bahwa orang-orang yang mereka anggap memiliki kemampuan melampaui orang kebanyakan telah mendapat lawan mereka masing-masing. Tidak seorangpun di antara mereka yang dapat lolos dan sebagaimana mereka inginkan, membantai sebanyak-banyaknya. Karena di dalam pasukan Matarampun terdapat banyak orang yang memiliki kelebihan itu.

Dengan demikian maka pertempuran itupun merupakan pertempuran yang semakin sengit. Masing-masing sudah sampai ke puncak usaha untuk menghancurkan lawan. Orang-orang Pajang yang kehilangan sasaran di tebing Kali Opak itu, dengan darah yang mendidih di dalam jantungnya, berusaha untuk menghancurkan orang-orang Mataram tanpa ampun. Namun orang-orang Mataram yang mengetahui kelicikan orang-orang Pajang, apalagi setelah mereka membakar pedukuhan-pedukuhan, maka merekapun menjadi sangat marah, sebagaimana para pemimpin dari Mataram.

Namun sementara itu, Raden Sutawijaya masih tetap berada di belakang medan. Dengan cermat ia mengamati pasukannya. Bukan saja dari satu sayap. Tetapi kedua sayap yang kemudian bertemu, karena induk pasukan Mataram yang dipimpin oleh Ki Juru tidak berada di garis pertempuran itu. Mereka menarik diri surut ke barat. Mereka harus menahan pasukan Pajang, apabila pasukan Pajang itu akan langsung menuju ke Mataram. Sementara pasukan Raden Sutawijaya akan menahan pasukan Pajang itu dari belakang. Tetapi Raden Sutawijaya ternyata tidak dapat menahan diri ketika ia melihat api yang membakar padukuhan-padukuhan kecil di lintasan pasukan Pajang.

Yang bertempur di medan semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah mendapatkan kemenangan-kemenangan kecil sehingga merekapun telah bersorak-sorak bagaikan membelah langit. Namun di samping kemenangan-kemenangan kecil merekapun mengalami kesulitan-kesulitan yang harus mereka atasi.

Orang-orang terpilih dari Pajang harus menghadapi kenyataan, hadirnya orang orang Mataram seperti Ki Waskita, Kiai Gringsing dan seorang anak yang memiliki kecepatan gerak bagaikan sikatan menyambar bilalang. Glagah Putih yang bagaikan anak kijang lepas di padang rumput, telah mempergunakan kesempatan itu untuk benar-benar menilai dirinya. Sementara di sayap lain, seorang senapati muda yang bemama Sabungsari memiliki kemampuan melampaui senapati-senapati lawannya. Bahkan putra Ki Gede Pesantenan mulai menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya. Bahwa ia adalah putra Ki Gede yang memiliki sumber perguruan sama dengan Ki Gede Pemanahan.

Yang saat itu tidak nampak di medan justru Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Oleh Raden Sutawijaya keduanya mendapat tugas tersendiri yang tidak kalah gawatnya dengan mereka yang berada di medan pertempuran. Sementara itu beberapa senapati pilihan yang lain, mempunyai tugas khusus mengawal orang-orang yang terluka di padukuhan yang tidak terlalu jauh dari medan. Sementara itu, Ki Gede Menoreh dan Swandaru sudah menjadi semakin baik, sementara Agung Sedayu masih harus tetap berbaring di pembaringan, meskipun keadaannya sudah menjadi semakin baik pula.

Dalam pada itu, sekelompok pasukan khusus yang terpilih, benar-benar telah melingkari medan menuju ke belakang garis pertempuran pasukan Mataram. Mereka dengan marah berusaha untuk dapat menangkap satu atau dua orang yang menunggu bende yang sedang berbunyi itu. Karena merekapun yakin bahwa bende itu bukan bende Kiai Bicak yang sebenarnya.

Sementara itu, di belakang garis pertempuran pasukan Mataram, Untara sedang sibuk memberikan petunjuk-petunjuk kepada Pandan Wangi dan Sekar Mirah bersama beberapa orang pasukan khusus yang terpilih pula.

Dari orang-orang yang sengaja melarikan diri ketika pasukan khusus Pajang menyergap para pengawal bende yang mereka sangka Kiai Bicak, Untara mendapat gambaran jumlah dan kekuatan pasukan itu. Karena itu, maka ia telah mengatur jumlah orang yang menurut perhitungannya akan dapat mengimbangi pasukan khusus dari Pajang itu. Sementara Untara telah menyediakan sebuah bende yang lain, yang sama sekali bukan Kiai Bicak.

“Menurut perhitunganku, mereka akan kembali,” berkata Untara, “karena itu, maka Senapati ing Ngalaga telah memerintahkan untuk menjebak mereka.”

“Apakah kami harus membinasakan mereka?” bertanya Sekar Mirah.

“Kalian harus mengalahkan mereka, tetapi tidak harus membunuhnya,” jawab Untara. Lalu dengan nada menurun ia meneruskan, “Kecuali jika memang tidak ada jalan lain bagi keselamatan kalian sendiri.”

Sekar Mirah mengangguk kecil. Ia mengerti tugas yang harus dilaksanakannya. Sementara itu, seorang pengawal terpilih masih saja sibuk membunyikan bende yang agak lebih besar dari bende yang telah dirusakkan oleh orang-orang Pajang. Karena itu suaranya terdengar semakin keras dan nyaring.

Setelah memberikan beberapa perintah yang lain atas nama Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga, maka Untara pun telah meninggalkan bende itu, yang dibunyikan di bawah sebatang pohon gayam yang tidak terlalu besar, tetapi disekitarnya tumbuh semak-semak yang agak rimbun. Dalam semak-semak itulah beberapa orang telah mengamati keadaan. Setiap saat orang-orang Pajang akan datang merunduk mereka seperti yang telah terjadi.

Namun saat itu, mereka tidak mendapat perintah untuk melarikan diri sebagaimana beberapa orang pengawal yang terdahulu.

Dalam pada itu, Sekar Mirah dan Pandan Wangi telah bersiap pula sebelah-menyebelah bende itu, sementara beberapa orang pengawal terpilih berada di sekitarnya. Dengan jumlah yang telah diperhitungkan, maka mereka berharap bahwa mereka akan dapat mengalahkan orang-orang Pajang yang menurut Untara tentu akan datang lagi.

“Permainan yang mengasyikkan,” desis Pandan Wangi di dalam hatinya. “Dalam keadaan yang gawat itu, Untara masih juga sempat bermain-main.”

Dalam api pertempuran yang semakin menyala, maka sekelompok pasukan khusus Pajang menjadi semakin dekat dengan bunyi bende di bawah pohon gayam itu. Dengan hati-hati senapati yang memimpin kelompok itu berkata, “Jangan kehilangan buruan lagi. Kita harus berpencar. Sebagian dari kita akan memotong mereka yang melarikan diri ke arah medan. Satu atau dua orang harus tertangkap hidup-hidup. Jika semuanya terbunuh maka kitapun akan kehilangan sumber keterangan.”

Seperti yang telah mereka lakukan, maka merekapun dengan sangat berhati-hati mendekati sasaran. Suara bende itu telah menuntun mereka pula sebagaimana yang terdahulu. Namun senapati itu masih sempat memperingatkan, “Hati-hatilah. Mungkin mereka sekarang akan menyambut kedatangan kita. Mereka agaknya memperhitungkan pula beberapa kemungkinan. Mungkin mereka sudah memperhitungkan pula bahwa kita akan kembali.”

Para prajurit itu menjadi semakin berhati-hati. Senjata mereka telah siap di tangan. Setiap saat senjata itu akan terayun dan mematuk ke arah lawan.

Senapati yang marah itu ternyata tidak kehilangan perhitungan. Iapun menduga, bahwa orang-orang Mataram sengaja mempermainkan mereka. Karena itu, maka senapati itupun menjadi semakin waspada menghadapi orang-orang yang mengawal bende itu.

Namun dalam pada itu, para pengawas yang menunggu di sebelah-menyebelah bende itu telah melihat kedatangan orang-orang Pajang yang merunduk-runduk di antara gerumbul-gerumbul perdu dan tanaman-tanaman di sawah. Karena itu, maka merekapun telah menggerakkan tali yang terentang antara mereka dan Pandan Wangi serta Sekar Mirah.

Isyarat tali itu telah diteruskan oleh Pandan Wangi dan Sekar Mirah kepada para pengawal di sekitarnya. Dengan demikian maka merekapun segera mempersiapkan diri pula menghadapi segala kemungkinan.

Orang-orang Pajang perlahan-lahan merayap mendekati bunyi bende di bawah sebatang pohon gayam yang tidak terlalu besar itu. Meskipun nampaknya tempat itu sepi-sepi saja selain bunyi bende yang melengking bagaikan memecahkan selaput telinga, tetapi senapati itu sadar bahwa yang di hadapannya adalah ujung senjata.

Dengan isyarat ia memerintahkan para prajuritnya untuk menebar. Kemudian, dengan tiba-tiba saja ia meloncat dan berteriak lantang memerintahkan prajurit-prajurit untuk menyerang.

Perintah itu memang mengejutkan orang-orang Mataram meskipun mereka sudah mengetahui bahwa prajurit-prajurit Pajang telah datang. Namun bahwa seorang senapati telah meloncat bangkit berdiri dengan mengangkat pedangnya sambil berteriak, tidak terpikirkan oleh mereka. Yang mereka duga adalah bahwa orang orang Pajang itu akan merunduk semakin dekat dan dengan tiba-tiba menyerang orang-orang Mataram tanpa melepaskan bunyi apapun juga.

Prajurit-prajurit Pajang memang mampu bergerak cepat. Demikian aba-aba itu dilontarkan, maka seakan-akan mereka telah berada di hidung orang-orang Mataram, karena prajurit-prajurit Pajang itu tidak mau kehilangan.

Sebagaimana telah diduga oleh senopati Pajang yang memimpin sekelompok prajurit pilihan itu, maka orang-orang Mataram yang mengawal bende itu tidak lagi terbirit-birit menuju ke medan dan berlindung di dalam kekalutan pertempuran. Tetapi orang-orang Mataram yang mengawal bende itu, telah berloncatan pula dengan senjata di tangan.

“Bagus,” geram senapati Pajang, “kalian tidak melarikan diri seperti kawan-kawan kalian.”

Ternyata yang berdiri di hadapan orang itu adalah Pandan Wangi. Sambil menyilangkan sepasang pedang tipisnya ia menjawab, “Kami memang sudah menunggu kedatangan kalian.”

“Satu permainan gila. Apa maksud kalian dengan tipu yang licik itu?” bertanya senapati Pajang.

Pandan Wangi tersenyum. Katanya, “Dengan demikian kami dapat mengetahui, berapa banyak orang yang kalian pergunakan untuk mengurusi suara bende ini. Atas dasar kekuatan itu, kami menyiapkan orang-orang kami yang akan menghadapi kalian. Tidak perlu terlalu besar, karena tenaga kami yang lain kami pergunakan di medan yang sengit itu.”

“Satu perpaduan antara kesombongan dan kelicikan,” geram senapati Pajang, “sekarang yang aku hadapi adalah seorang perempuan. Kami memang sudah mendengar bahwa di antara orang-orang Sangkal Putung yang berpihak kepada Mataram, terdapat dua orang pengawal perempuan.”

“Itulah kami berdua,” berkata Pandan Wangi sambil menunjuk Sekar Mirah.

“Dan sekarang kalian dengan sombong menghadapi aku dan prajurit-prajuritku,” berkata senapati itu. Lalu, “Sebaiknya kalian tidak usah terlalu banyak membuang tenaga. Menyerahlah. Aku sama sekaii tidak memerlukan bende itu, karena aku tahu, bahwa bende itu ialah bende palsu. Sama sekali bukan bende Kiai Bicak yang keramat itu. Namun yang aku perlukan adalah keterangan tentang Kiai Bicak yang sebenarnya. Dimanakah bende keramat itu disimpan.”

“Aku tidak tahu. Tetapi tugasku adalah melindungi bende ini. Keramat atau tidak keramat,” jawab Pandan Wangi.

Wajah senapati Pajang itu menjadi merah. Dengan tegas ia berkata, “Sekarang dengar perintahku. Menyerahlah. Dan katakan kepadaku, di mana bende Kiai Bicak yang sebenarnya disembunyikan. Dengan demikian maka kalian akan selamat.”

Namun dalam pada itu, seorang prajurit Pajang yang sudah tidak sabar lagi berkata, “Kita lakukan seperti yang kita rencanakan. Tidak ada yang pantas hidup di antara mereka, kecuali dua orang atau satu orang saja yang kita anggap akan dapat menunjukkan dimana bende Kiai Bicak disembunyikan.”

Kata-kata itu benar-benar menyakitkan hati Sekar Mirah, sehingga dengan serta merta ia menjawab, “Baiklah. Kitapun telah mendapat perintah untuk mempertahankan bende ini, tidak untuk membunuh. Tetapi jika hal itu tidak dapat dihindari, maka apaboleh buat.”

“Perempuan yang tidak tahu diri,” geram prajurit itu, “seandainya kau mampu menguasai ilmu sampai lapis ketujuh, tetapi seorang perempuan dikodratkan untuk menjadi mahluk yang lemah. Karena itu, jangan banyak tingkah. Jika nasibmu baik, dan kau mau menyerah, maka kau berdualah yang akan tetap hidup di antara para pengawal bende itu.”

“Ki Sanak,” sahut Pandan Wangi mendahului Sekar Mirah, “pimpinan kami telah mengukur kekuatan kami yang pantas untuk melawan sekelompok prajurit Pajang yang menyusup ke belakang garis pasukan Mataram. Karena itu, bukan tugas kami untuk menyerahkan diri.”

Jawaban Pandan Wangi cukup tegas, sehingga senapati dari Pajang itupun tidak mau membuang waktu lagi. Dengan wajah yang tegang ia bergeser maju sambil berkata, “Jika demikian, maka aku harus mengambil jalan lain. Ternyata kau adalah salah seorang yang keras kepala sehingga agaknya aku akan memilih orang lain yang pantas aku hidupi untuk menjadi sumber keterangan tentang bende Kiai Bicak yang sebenarnya.”

Pandan Wangi tidak menjawab lagi. Tetapi sepasang pedang tipisnya yang bersilang telah tergetar. Dengan demikian maka Pandan Wangi telah benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Sekejap kemudian, maka Senapati itupun telah memberikan isyarat kepada prajurit-prajuritnya. Mereka harus dengan cepat menghancurkan lawan mereka dan mensisakan satu atau dua orang yang akan mereka tangkap hidup-hidup.

Para prajurit Pajang itupun segera berloncatan menyerang. Sementara senapati yang memimpin kelompok itupun telah menyerang Pandan Wangi pula dengan garangnya.

Pandan Wangi telah benar-benar bersiap. Karena itu, maka serangan senapati itu dapat dielakkannya. Bahkan serangan berikut yang menyusul dengan cepatpun dapat dielakkannya pula.

Di bagian lain, seorang prajurit itu mengayunkan pedangnya. Namun Sekar Mirah yang marah itu dengan serta merta telah menangkis langsung senjata lawannya dengan tongkat baja putihnya.

Benturan yang keras tidak dapat dielakkan. Prajurit yang membentur langsung tongkat baja putih Sekar Mirah itu sama sekali tidak menyangka, bahwa perempuan yang dihadapinya itu memiliki kekuatan yang luar biasa. Karena itu pada benturan yang pertama, senjata prajurit itu telah terloncat dari tangannya. Prajurit itu terkejut bukan buatan. Apalagi ketika kemudian ia melihat Sekar Mirah memandanginya dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan. Tetapi untung baginya, ketika tongkat baja Sekar Mirah mulai bergerak, seorang kawannya telah meloncat menyerang perempuan itu, sehingga Sekar Mirah harus berkisar menghadapinya.

Tetapi prajurit yang menyerang kemudian itu menyadari apa yang telah terjadi dengan kawannya. Karena itu, maka ia telah membuat hitungan yang cermat. Ketika Sekar Mirah menangkis pula dengan tongkat baja putihnya, prajurit itu tidak membiarkan pedangnya berbenturan dengan tongkat baja putih itu. Dengan cepat prajurit itu menarik serangannya, memutar pedangnya dan menyerang dengan ayunan mendatar.

Geraknya cukup cepat, sehingga Sekar Mirah harus bergeser setapak untuk menghindarinya sementara ia mengayunkan tongkatnya menyilang di depan dadanya untuk menunggu serangan berikutnya.

Namun dalam pada itu, prajurit lawan yang kehilangan senjatanya langsung pada benturan pertama itu telah berhasil memungut pedangnya. Kemarahan yang tiada taranya telah membakar dadanya. Perempuan itu telah menyinggung harga dirinya. Bukan saja sebagai seorang prajurit, tetapi juga sebagai seorang laki-iaki. Karena itu dengan sorot mata membara prajurit itu telah mendekati Sekar Mirah sambil berkata, “Lepaskan perempuan itu. Aku akan mencincangnya sampai lumat.”

Tetapi kawannya tidak segera melepaskannya. Namun jelas bagi prajurit yang baru saja kehilangan senjatanya itu, bahwa kawannya itupun telah terdesak. Pada langkah-langkah pertama, Sekar Mirah benar-benar ingin menunjukkan, bahwa orang-orang Mataram bukan orang-orang yang hanya mampu menyerah di medan perang.

Prajurit dari pasukan khusus yang terpilih di Pajang itu menjadi heran. Perempuan Sangkal Putung itu mampu mengimbangi kekuatan dan bahkan langsung mendesak kawannya.

Namun sebenarnyalah prajurit Pajang itu tidak tahu, bahwa perempuan yang namanya Sekar Mirah itu adalah salah seorang dari mereka yang mempunyai wewenang melatih pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Tanah Perdikan Menoreh.

Ternyata prajurit itu tidak mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Karena itu, maka ia tidak berusaha menyingkirkan kawannya dan bertempur seorang diri. Bahkan ia pun kemudian menempatkan dirinya bersama dengan kawannya melawan Sekar Mirah.

Tetapi kedua prajurit itupun menjadi benar-benar keheranan. Meskipun keduanya bertempur berpasangan, namun Sekar Mirah mampu mengimbangi kemampuan mereka berdua. Meskipun dengan demikian Sekar Mirah harus bekerja keras. Tongkat baja putihnya yang berkepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan itu berputar semakin lama semakin cepat.

Dalam pada itu, Pandan Wangi bertempur seorang melawan seorang menghadapi senapati yang memimpin sekelompok prajurit pilihan dari Pajang yang menyusup ke belakang garis pertempuran pasukan Mataram. Namun iapun telah membentur kekuatan yang tidak diduganya. Ternyata perempuan dari Sangkal Putung itu memiliki kemampuan yang mendebarkan jantungnya.

Sementara kelompok kecil itu bertempur melawan para pengawal, seorang di antara orang-orang Mataram itu masih saja dengan tenang membunyikan bendenya. Jika semula ia sudah bersiap-siap untuk terjun ke medan pertempuran melawan orang-orang Pajang, maka ia telah mengurungkan niatnya ketika ia melihat, bahwa orang-orang Mataram masih mampu menjaga keseimbangan kekuatan meskipun ia sendiri masih belum ikut serta.

Suara bende itu benar-benar menjemukan. Namun senapati Pajang yang memimpin sekelompok pasukan kecil itu, agaknya dengan sengaja membiarkannya. Ia sama sekali tidak berusaha atau memerintahkan orang-orangnya untuk membungkam bende itu.

“Biar saja, agar orang orang Mataram tidak mengetahui bahwa di sini telah terjadi pertempuran. Jika bende itu masih saja berbunyi, mereka yang ada di medan akan mengira bahwa bende itu masih belum terganggu.”

Namun Pandan Wangi memang tidak merasa perlu untuk memberitahukan kedatangan orang-orang Pajang itu kepada induk pasukan. Mereka telah mempercayakan orang-orang Pajang itu kepada Pandan Wangi, Sekar Mirah dan kawan kawannya. Sehingga karena itu, maka Pandan Wangi pun akan berusaha untuk menyelesaikan persoalan itu bersama keiompoknya saja.

Demikianlah pertempuran dua kelomok kecil itu terjadi di sekitar pohon gayam yang tidak begiu besar itu. Beberapa orang prajurit pilihan dari pasukan khusus di Pajang bertempur melawan beberapa orang dari pasukan khusus dari Mataram. Keduanya adalah orang-orang yang terlatih dengan baik dan memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga karena itu, maka pertempuran itupun segera meningkat menjadi semakin sengit.

Ternyata pertempuran kecil itu merupakan gambaran dari pertempuran yang besar di induk pasukan. Kedua belah pihak memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing sehingga kedua pihak menjadi saling mendesak.

Senapati yang memimpin sekelompok kecil pasukan khusus itu ternyata benar-benar seorang senapati yang tangguh. Dengan tangkasnya ia melawan pedang rangkap Pandan Wangi. Dengan loncatan-loncatan pendek ia berhasil menghindari setiap serangan. Bahkan kadang-kadang dengan kecepatan yang mengejutkan ia telah meloncat, menusuk dengan senjatanya di sela-sela putaran sepasang pedang lawannya.

Namun Pandan Wangi pun cukup cepat menanggapi serangan-serangannya, sehingga dengan demikian, maka senapati itu tidak berhasil menyentuh lawannya dengan ujung senjatanya. “Perempuan celaka,” ia menggeram.

Sebenarnyalah bahwa perempuan yang pernah didengarnya berasal dari Sangkal Putung itu memiliki kelebihan. Bukan saja dari perempuan kebanyakan, tetapi para prajurit dari pasukan khususnya tentu tidak akan dapat mengimbanginya.

Sementara itu jika sekilas ia sempat melihat dua orang prajuritnya bertempur melawan Sekar Mirah, maka hatinya memang menjadi berdebar-debar. Adalah satu hal yang sangat mertarik, dua orang prajurit dari pasukan khususnya yang terpilih itu tidak segera dapat mengakhiri pertempuran melawan seorang perempuan saja.

Tetapi dalam pada itu, kedua lawan Sekar Mirah itupun menjadi sangat marah ketika usaha mereka untuk mengatasi perempuan itu tidak segera berhasil. Keduanya merasa dirinya telah ditempa dalam satu lingkungan yang khusus.

Karena itu, maka keduanyapun telah berusaha sampai ke puncak ilmu mereka. Dengan cepatnya mereka menyerang berpasangan. Ujung senjata mereka bagaikan arus banjir bandang yang menyerang tanpa ada henti-hentinya.

Tetapi Sekar Mirah pun lincah seperti seekor burung sikatan. Kakinya seolah-olah tidak menyentuh tanah. Berloncatan melemparkan tubuhnya yang seakan-akan tanpa bobot.

Dalam pertempuran yang semakin cepat, maka kedua orang lawannya telah memencar. Mereka berusaha untuk melawan Sekar Mirah dari dua arah. Dengan demikian, mereka merasa bahwa mereka dapat memecah pemusatan perhatian perempuan itu. Tetapi Sekar Mirah memang terlalu garang bagi keduanya. Tongkat baja putihnya berputaran semakin cepat. Bagaikan segumpal awan putih tongkat baja itu melibat kedua lawannya. Kadang-kadang sinar kekuning-kuningan memancar bagaikan cahaya lidah api yang menyambar kedua lawannya berganti-ganti.

Namun kedua lawannya itupun masih mampu mengelakkan serangan Sekar Mirah. Keduanya mampu bekerja bersama dengan baiknya. Jika serangan seorang di antara mereka dapat dielakkan oleh Sekar Mirah, maka ujung senjata yang lain telah menyerangnya pula. Berurutan, seakan-akan tidak memberikan kesempatan kepada Sekar Mirah untuk melawan serangan-serangan itu.

Tetapi serangan-serangan itu tidak pernah berhasil menyentuh tubuh Sekar Mirah. Bahkan loncatan-loncatan Sekar Mirah yang menjadi semakin cepat dan panjang, kadang-kadang membuat lawannya bagaikan kehilangan sasaran. Namun dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba saja sebuah serangan telah menyambar salah seorang dari mereka, sehingga dengan tergesa-gesa prajurit itu harus menghindar, sementara kawannya harus dengan cepat membantunya, agar orang yang menjadi sasaran serangan Sekar Mirah itu tidak mengalami kesulitan selanjutnya.

Hanya dengan kerja sama yang baik, ternyata kedua orang prajurit pilihan itu mampu memperpanjang perlawanannya terhadap Sekar Mirah. Meskipun demikian, semakin lama Sekar Mirah rasa-rasanya menjadi semakin cepat bergerak. Ketika Sekar Mirah meningkatkan penggunaan tenaga cadangannya, maka kakinyapun menjadi semakin cepat bergerak, sementara tongkatnya berputaran semakin cepat. Dalam sentuhan dan benturan senjata yang kemudian terjadi, maka terasa kekuatan Sekar Mirah menjadi semakin meningkat.

“Anak iblis,” seorang di antara keduanya menggeram.

Ada semacam kecemasan yang mencengkam hati. Keduanya masih belum melihat satu kesempatan untuk dapat mengalahkan perempuan dari Sangkal Putung itu. Bahkan rasa-rasanya keduanya ketinggalan semakin lama semakin jauh.

Sekali-sekali Sekar Mirah pun sempat melihat Pandan Wangi yang bertempur melawan seorang senapati yang bertugas memimpin sekelompok pasukan khusus itu. Namun, dalam kesibukannya sendiri, Sekar Mirah tidak sempat menilai, apa yang dapat terjadi atas Pandan Wangi itu. Namun Sekar Mirah masih belum mencemaskan, karena rasa-rasanya keadaannya masih belum sampai kepada tingkat yang berbahaya.

Namun dalam pada itu, yang terjadi disekitar kedua perempuan itu memang agak berbeda. Dalam benturan puncak kemampuannya, maka prajurit dari pasukan khusus Pajang masih mempunyai harapan yang lebih besar. Meskipun orang-orang Mataram itupun adalah orang-orang pilihan, namun ternyata bahwa mereka mengakui, bahwa prajurit Pajang, memiliki pengalaman yang lebih luas dari mereka.

Dalam pada itu, agaknya orang-orang Mataram terlalu percaya kepada pasukan khususnya, sehingga Mataram tidak memberitahukan jumlah yang lebih besar dari jumlah orang-orang yang mereka perkirakan akan datang kembali setelah mereka berhasil merampas bende yang pertama, kecuali seorang yang masih dengan tenangnya memukul bendenya dan seorang lagi yang menungguinya.

Sementara seorang yang lain berdiri di belakang orang yang sedang memukul bende itu untuk melindunginya. Selebihnya telah terlibat dalam pertempuran seorang melawan seorang dengan para prajurit dari Pajang, kecuali Sekar Mirah yang bertempur melawan dua orang lawan.

Nampaknya kekurangan pada orang-orang Mataram itu dapat dilihat oleh Sekar Mirah. Namun sementara itu, ia masih harus menghadapi dua orang lawan yang mampu bekerja bersama dengan sebaik-baiknya.

Meskipun demikian, Sekar Mirah adalah salah seorang yang ikut menempa pasukan khusus dari Mataram. Ia adalah satu-satunya murid Sumangkar. Dan ia adalah orang yang menerima senjata dari Sumangkar yang memiliki ilmu yang bersumber dari perguruan yang sama dengan Patih Mantahun yang namanya menggetarkan Pajang pada waktu itu. Sehingga banyak orang yang menganggap bahwa orang yang memiliki tongkat baja putih dengan kepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan itu mempunyai nyawa rangkap.

Namun dalam pada itu, prajurit-prajurit dari pasukan khusus Pajang perlahan-lahan dapat mendesak pasukan khusus Mataram yang lebih banyak bertahan. Satu-satu kemudian ternyata bahwa orang-orang Pajang itu memiliki ragam permainan senjata yang lebih banyak, sehingga kadang-kadang orang-orang Mataram menjadi agak kebingungan.

Tetapi orang-orang Mataram itu adalah para pengawal yang mengalami latihan-latihan yang sangat berat. Karena itu, desakan orang-orang Pajang yang memiliki beberapa kelebihan itu tidak dengan segera dapat mematahkan perlawanan orang-orang Mataram. Dengan sepenuh kemampuan dan ilmu yang ada, maka para pengawal dari Mataram itu memberikan perlawanan yang sengit atas lawan lawan mereka.

Pandan Wangi pun melihat kekurangan orang-orangnya. Sementara itu ia masih melihat tiga orang yang belum turun ke medan. Mereka merasa bahwa mereka sudah tidak mempunyai lawan lagi, karena jumlah mereka lebih banyak, sehingga seorang di antara mereka masih saja membunyikan bende yang melengking-lengking.

Justru karena itu, maka Pandan Wangi pun harus membuat perhitungan yang cermat. Jika tiga orang yang berada di sekitar bende itu kemudian turun pula ke medan, maka keadaannya tentu akan berbeda. Jika semula dua orang di antara mereka sudah siap untuk bertempur, namun akhirnya mereka kembali berada di sebelah-menyebelah bende yang masih saja dibunyikan itu, setelah mereka tidak melihat lagi lawan yang berdiri bebas.

Tetapi Pandan Wangi tidak mau memberikan perintah. Ia membiarkan saja apakah pengawal itu akhirnya akan menyadari keadaan. Kemudian turun ke medan pertempuran. Atau mereka terlalu percaya kepada kawan-kawannya tanpa memperhatikan keadaan di sekitarnya.

Tetapi agaknya pengawal yang berdiri di belakang orang yang sedang memukul bende itupun mengerutkan keningnya. Ia melihat kawan-kawannya mengalami kesulitan. Meskipun mereka masih tetap melawan dengan gigihnya, tetapi setapak demi setapak mereka mulai terdesak surut. Bahkan ada di antara pengawal Mataram yang harus meloncat jauh-jauh menghindari serangan-serangan yang datang beruntun.

“Ternyata kami harus mengakui kelebihan pasukan khusus Pajang yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru. Menilik pakaiannya, maka orang-orang itu adalah prajurit prajurit dari pasukan khusus itu,” gumam pengawal itu.

Sekali ia berpaling. Ia memang sedang melindungi pemukul bende itu, jika tiba-tiba saja seorang lawannya meloncat menusuknya dari belakang.

Namun dalam pada itu ia berbicara dengan kawannya yang lain, yang asyik menunggui pengawal yang memukul bende itu, katanya, “Kau lihat keseimbangan pertempuran ini?”

“Ya,” jawab kawannya, “meskipun harus melawan dua orang, tetapi Sekar Mirah teryata dapat mengatasinya.”

“Kau hanya melihat Sekar Mirah saja?” bertanya kawannya.

Yang berada di depan pemukul bende itu mengerutkan keningnya. Dengan jujur ia menjawab, “Ya, Aku kurang memperhatikan yang lain.”

“Lihatlah dengan saksama,” berkata kawannya yang berdiri.

Kawannya mulai memperhatikan seluruh arena pertempuran. Kemudian keningnya mulai berkerut. Jawabnya, “Aku melihatnya. Ternyata kita masih terlalu lemah menghadapi prajurit-prajurit Pajang yang sebenarnya.”

“Apakah kita akan turun?” bertanya yang berdiri.

“Kita tidak mempunyai lawan,” jawab yang lain.

“Aku akan mengambil lawan Sekar Mirah yang seorang,” berkata yang berdiri.

“Kau akan mengalami kesulitan seperti yang lain-lain,” jawab kawannya.

“Tetapi aku segan bertempur berpasangan untuk melawan seorang. Karena itu, aku akan melawan salah seorang lawan Sekar Mirah,” geram yang berdiri, “meskipun aku akan mengalami kesulitan seperti yang lain-lain, tetapi Sekar Mirah akan segera menyelesaikan yang seorang lagi. Dengan demikian, beruntun ia akan mengurangi jumlah lawan.”

Yang lain mengangguk-angguk. Katanya, ”Baiklah. Kau atau aku.”

“Aku. Kau awasi pemukul bende yang sibuk ini,” jawab yang berdiri, “aku akan pergi sekarang.”

Pengawal itupun kemudian mengacukan senjatanya. Dengan langkah panjang ia mendekati arena pertempuran antara Sekar Mirah dan dua orang lawannya.

Namun keragu-raguan telah tumbuh di hatinya, apakah Sekar Mirah akan melepaskan lawannya.

Sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah tengah bertempur dengan sengitnya. Perlahan-lahan Sekar Mirah mendesak lawannya meskipun ia harus melawan dua orang laki-laki. Dua orang prajurit dari pasukan khusus Pajang.

Dalam kesulitan itu, salah seorang dari kedua orang prajurit itu telah menggeram, “Perempuan celaka. Aku habisi nyawamu dengan cara seorang prajurit khusus.”

Sekar Mirah mendengar geram itu. Namun hampir saja ia tidak berkesempatan untuk menghindar ketika dua buah pisau belati kecil menyambarnya. Untunglah bahwa ia masih cukup tangkas. Karena itu, kedua pisau itu meluncur tanpa menyentuhnya.

“Inikah prajurit-prajurit dari pasukan khusus?” bertanya Sekar Mirah dengan nada tinggi.

Suaranya benar-benar menyakitkan hati. Apalagi setelah dua buah pisau belati yang meluncur dengan tiba-tiba itu tidak mengenai sasarannya.

Dalam pada itu, pengawal yang bebas itupun telah mendekatinya. Dengan suara lantang ia berkata, “Aku melihat perkelahian yang tidak adil disini. Namun akupun melihat, bahwa dua orang prajurit dari pasukan khusus Pajang ini tidak banyak dapat berbuat melawan Sekar Mirah. Karena itu, daripada kalian mati sebagai dua orang prajurit yang licik, sebaiknya kalian mati sebagai prajurit yang jantan. Marilah, aku memberi kesempatan kalian mati dengan sebutan seorang prajurit laki-laki yang tangguh.”

Sekar Mirah memandang pengawal itu sejenak. Namun iapun ternyata dapat mengerti. Para pengawal Mataram yang lain mengalami kesulitan. Dengan terlepasnya seorang lawannya, maka ia harus bertindak lebih luas daripada bertempur dalam keterikatan seperti itu. 

Karena itu, Sekar Mirah tidak mencegahnya ketika pengawal itu berdiri semakin dekat. Bahkan kemudian ia mulai mengganggu salah seorang lawan Sekar Mirah.

“Lihat, aku tidak mempunyai lawan,” berkata pengawal itu, “tetapi aku segan bertempur berpasangan. Aku tidak mau bertempur berdua melawan seorang prajurit Pajang. Karena itu, satu-satunya kemungkinan bagiku adalah mengambil salah seorang di antara kalian untuk bertempur, agar kehadiranku di sini tidak sia-sia.”

Kedua orang prajurit Pajang itu menjadi berdebar-debar. Mereka menyadari sepenuhnya apa yang terjadi. Namun merekapun melihat bahwa kawan-kawannya nampaknya mempunyai kesempatan lebih baik dari para pengawal dari Mataram itu.

Namun bagaimanapun juga pengawal itu telah berhasil menyentuh harga diri prajurit-prajupit Pajang, sementara merekapun melihat kemungkinan yang sebaliknya dari yang diperhitungkan oleh pengawal dari Mataram itu.

“Jika satu atau dua orang prajurit mempunyai kesempatan menyelesaikan lawannya lebih cepat dari Sekar Mirah, maka kesempatan bagi Pajang akan menjadi semakin baik,” berkata prajurit itu.

Karena itu, ketika pengawal dari Mataram itu menjadi semakin dekat, maka seorang dari kedua prajurit yang bertempur melawan Sekar Mirah itupun dengan cepat meloncat keluar dari arena. Namun secepat itu pula, prajurit itu telah melemparkan pisau kecilnya ke arah pengawal dari Mataram yang mendekatinya.

Yang dilakukan itu demikian cepatnya, sehingga pengawal dari Mataram itu tidak mempunyai banyak kesempatan. Ia melihat pisau itu meluncur. Namun demikian tiba-tiba.

Meskipun demikian ia tidak menyerahkan dirinya bulat-bulat menjadi sasaran pisau itu. Dengan segenap kemampuannya ia berusaha untuk berkisar dari arah sambaran pisau lawannya.

Namun pisau itu masih sempat menyambar pundaknya. Pisau itu tidak menghunjam. Namun pisau itu telah menggores mengoyak kulitnya.

Pengawal itu menggeram. Tetapi adalah satu kenyataan bahwa pundaknya telah terluka. Tetapi dengan demikian, kemarahan telah membakar jantung pengawal itu. Dengan tangkasnya ia meloncat mendesak maju. Ia tidak mau menjadi sasaran serangan serupa. Karena itu, maka ia justru harus bertempur dalam jarak yang lebih pendek.

Namun dalam pada itu, justru karena ia mengerahkan kemampuannya, maka darah di pundaknya bagaikan terperas. Semakin lama menjadi semakin cepat mengalir lewat mulut lukanya.

Dalam pada itu, prajurit Pajang itupun tertawa. Katanya, “Kau memang bernasib buruk. Kau mengantarkan nyawamu. Betapa mudahnya membunuhmu sekarang.”

Tetapi pengawal itupun menggeram. Ia tidak mau menyerah. Karena itu maka ia justru meloncat menyerang dengan senjata teracu. Namun dengan demikian, darahpun menjadi semakin banyak mengalir. Bagaimanapun juga, selain perasaan pedih yang menggigit, terasa kekuatan pengawal itupun menjadi susut.

Namun dalam pada itu, ia masih sempat melihat prajurit Pajang itu sekali lagi memungut pisau kecil pada ikat pinggangnya justru dengan tangan kirinya. Pengawal itu masih sempat meloncat menghindari sambaran pisau kedua yang hampir saja melubangi dadanya.

“Kau masih tangkas juga menghindar,” geram prajurit Pajang.

Kata-katanya terputus, karena pengawal yang terluka itu meloncat maju sambil menjulurkan senjatanya ke arah mulutnya.

Dalam pada itu, pertempuranpun menjadi semakin sengit. Arena yang kecil itu ternyata menggambarkan betapa serunya pertempuran antara orang-orang Pajang dan Mataram. Di medan perang yang besar, pasukan Mataram telah menahan gerak pasukan Pajang yang kuat dan marah. Para senapati Pajang pun tidak banyak dapat berbuat, karena para senapati dari Mataram mampu mengimbanginya.

Di arena kecil, dekat sumber suara bende yang masih saja mengaum itu, Pandan Wangi bertempur melawan seorang senapati terpilih dari pasukan khusus Pajang. Namun betapapun tinggi kemampuan senapati itu, akhirnya menjadi bingung menghadapi Pandan Wangi yang mulai mengembangkan ilmunya yang semula kurang dikenalnya. Dalam puncak benturan ilmu, maka ilmu itupun telah terungkap kembali.

Perlahan lahan Pandan Wangi yang mulai mengenal kemampuan diri itu dengan sadar telah mengetrapkan ilmunya itu. Dengan demikian maka ujung sepasang pedangnya, seolah-olah mampu bergerak lebih cepat dari geraknya yang sebenarnya.

Senapati pasukan khusus Pajang itu tidak segera menyadari apa yang sedang dihadapinya. Ketika pedang Pandan Wangi terjulur, maka dengan tangkasnya ia telah menangkisnya. Namun, meskipun ia berhasil mengibaskan arah serangan pedang Pandan Wangi, namun terasa ujung pedang itu telah menggores kulitnya.

Senapati itu meloncat surut. Dengan tegang ia mengamati senjata Pandan Wangi yang dengan langkah satu-satu dan pedang bersilang di dadanya, mendekati senapati yang termangu-mangu.

“Anak iblis,” geram senapati yang mulai menitikkan darah dari tubuhnya itu, meskipun lukanya tidak dalam.

Pandan Wangi sama sekali tidak menyahut. Tetapi kemudian sekali lagi ia dengan sengaja melontarkan kemampuannya. Dengan tangkasnya ia meloncat sambil menjulurkan pedangnya.

Senapati itu tidak menangkis serangan Pandan Wangi. Tetapi dengan cepat ia bergeser selangkah ke samping. Menurut perhitungannya ia telah keluar dari garis serangan lawannya.

Namun sekali lagi ia terkejut. Terasa ujung pedang Pandan Wangi yang masih berjarak sejengkal dari tubuhnya itu telah mengenainya. Sebuah goresan tajam telah mengoyak kulit lengannya.

“Gila,” geramnya, “aku telah berhadapan dengan ilmu iblis.”

Namun dalam pada itu, senapati itupun mulai yakin, bahwa ujung pedang Pandan Wangi mempunyai kemampuan melampaui kecepatan gerak pedang itu sendiri.

Ternyata senapati itu telah mengenal jenis ilmu seperti itu. Ia mengenal kemampuan serangan berjarak seperti yang dilakukan oleh Pandan Wangi, dan bahkan perkembangannya selanjutnya. Sebagaimana telah dimulai oleh Pandan Wangi bahwa ia mampu pula menyerang lawannya dari jarak beberapa langkah dengan tangannya yang seolah-olah melontarkan kekuatan. Namun kekuatan yang dapat dilontarkan oleh serangan Pandan Wangi dengan cara yang demikian masih belum memadai untuk melawan orang-orang yang memiliki ketahanan tubuh yang tinggi.

Karena itu, maka serangan Pandan Wangi diberatkan pada kemampuannya mempergunakan senjata yang seakan-akan mampu mendahului gerak wadagnya dan benar-benar mampu melukai lawannya.

Dengan demikian maka Senapati Pajang itu telah mengerahkan segenap ilmunya pula. Ia mempergunakan segenap tenaganya untuk mendorong kecepatan geraknya, sehingga dengan kecepatannya itu ia mampu mengatasi kecepatan gerak serangan-serangan Pandan Wangi.

Dengan demikian, maka pertempuran antara kedua orang berilmu tinggi itu menjadi semakin sengit. Ternyata bahwa senapati pilihan dari Pajang itu meskipun sudah terluka, namun masih mampu mengimbangi ilmu Pandan Wangi. Karena itu, maka kedua orang itupun bertempur semakin cepat. Keduanya memiliki kelebihan yang mendebarkan. Sementara itu, Sekar Mirah telah kehilangan seorang lawannya. Dengan demikian, maka terasa tugasnya menjadi semakin ringan. Namun dalam pada itu, dengan jantung yang berdebaran ia melihat seorang pengawal yang telah terluka itu semakin terdesak. Bahkan bukan hanya seorang saja. Beberapa orang yang lainpun telah terdesak pula oleh lawan-lawannya, prajurit-prajurit terpilih dari pasukan khusus Pajang yang ternyata masih memiliki pengalaman yang lebih luas dari para pengawal. Hanya karena para pengawal itu telah mengalami tempaan yang luar biasa sajalah, mereka memiliki kemampuan untuk bertahan terhadap prajurit-prajurit pilihan dari Pajang itu.

Dalam puncak kesulitan, pengawal yang terluka itu telah kehilangan harapan untuk dapat keluar dengan selamat dari arena. Namun ia sudah dengan sengaja menempatkan diri melawan prajurit itu. Ia sama sekali tidak menjadi ketakutan seandainya pedang lawannya itu menghunjam di dadanya. Namun yang membuatnya gelisah, bahwa usahanya itu seakan-akan menjadi sia-sia. Sekar Mirah tidak dengan cepat menyelesaikan lawannya yang sudah berkurang seorang itu dan membantu meringankan tugas para pengawal.

Namun agaknya Sekar Mirah dapat mengetahui kesulitannya. Dalam keadaan yang paling pahit yang hampir saja merampas nyawanya, maka Sekar Mirah telah bergeser mendekatinya.

Dengan perhitungannya sendiri, Sekar Mirah tiba-tiba saja telah meloncat ke dekat pengawal itu sambil berkata lantang, “Kita bertempur berpasangan. Biarlah kedua orang prajurit itu juga berpasangan.”

Pengawal itu masih dicengkam oleh ketegangan. Ia masih melihat ujung pedang lawannya terjulur lurus ke dadanya, sementara pedangnya bagaikan menjadi seberat bandul timah oleh kedudukannya yang sulit, karena keseimbangannya yang kurang mapan.

Namun tiba-tiba pedang lawannya telah membentur tongkat baja putih yang dengan cepat telah memotong serangan itu. Demikian kerasnya sehingga ujung senjata lawannya itu telah berkisar dan bahkan senjata itu hampir saja terlepas dari tangannya.

Sekar Mirah tidak membiarkan kesempatan itu berlalu. Dengan cepat ia bergeser dan sekali lagi tongkatnya terayun. Dengan sengaja Sekar Mirah tidak menghantam leher orang itu sehingga patah, tetapi senjata Sekar Mirah terayun mendatar menghantam paha lawannya.

Terdengar keluhan tertahan. Orang itu telah terlempar ke samping dan kemudian jatuh berguling. Dengan cepat orang itu berusaha untuk bangkit. Namun demikian ia bangkit, maka iapun terjatuh sambil mengaduh kesakitan. Ternyata sentuhan senjata Sekar Mirah seolah-olah telah memecahkan tulangnya.

Dalam pada itu, lawan Sekar Mirah sendiri telah memburunya. Dengan cepat orang itu menyerang Sekar Mirah. Tetapi Sekar Mirah sempat menghindar. Bahkan dengan segenap kekuatannya, Sekar Mirah telah memukul senjata lawannya, sehingga senjata itu telah terlempar beberapa langkah.

Seperiti yang terdahulu, maka Sekar Mirah tidak melepaskan kesempatan itu. Dengan cepat ia sekali lagi mengayunkan tongkat baja putihnya. Dan sekali lagi terdengar lawannya mengaduh. Ayunan tongkat baja putih Sekar Mirah telah menyambar kaki orang itu pula, sehingga lawannya itupun telah jatuh terpelanting di tanah.

Pengawal yang telah diselamatkan oleh Sekar Mirah itupun menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berati berkata, “Terima kasih.”

Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Tugas kita belum selesai. Lihat, kawan-kawan kita mulai terdesak.”

“Apa yang harus aku lakukan?” bertanya orang itu.

“Obati lukamu. Kemudian bantu kawan-kawanmu. Jangan segan bertempur berpasangan sebagaimana orang-orang Pajang pun tidak segan melakukannya. Aku sudah bertempur melawan dua orang,” jawab Sekar Mirah, “dalam pertempuran seperti ini, kita tidak perlu menempatkan diri selalu dalam perang tanding.”

Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah ia memang segan untuk bertempur berpasangan, tetapi sebagaimana dikatakan oleh Sekar Mirah bahwa arena itu bukan arena perang tanding.

Karena itu, maka orang itupun telah bergeser menepi, mendekati kawannya yang masih sibuk memukul bende, untuk mengobati luka-lukanya. Sementara itu iapun berkata kepada kawannya yang lain, “Aku akan bertempur berpasangan.”

“Kau sajalah yang tinggal. Kau sudah terluka. Aku akan menggantikanmu,” berkata kawannya yang menunggui pemukul bende itu.

Pengawal yang terluka itu tidak mencegahnya ketika orang itu kemudian berlari ke medan.

Sekar Mirah yang telah kehilangan lawannya, telah memasuki arena pertempuran yang sengit di antara para pengawal dan para prajurit Pajang. Namun dengan demikian, maka kehadirannya itu akan mempunyai pengaruh yang sangat besar.

Kemenangan Sekar Mirah telah menggetarkan hati para prajurit Pajang. Namun mereka adalah prajurit-prajurit pilihan. Untuk mengimbanginya, maka para prajurit itu bersama-sama telah meningkatkan segenap kemampuan mereka, agar mereka dapat mengalahkan lawan-lawan mereka dengan cepat.

Namun para pengawalpun telah berusaha dengan segenap kemampuan mereka pula untuk mempertahankan diri, sehingga akan datang saatnya, Sekar Mirah mengambil lawan mereka satu demi satu, atau kawan mereka yang lain datang untuk bertempur berpasangan.

Dalam pada itu, Pandan Wangi pun telah sampai ke puncak kemampuannya pula. Sepasang pedangnya yang berputaran dan yang memiliki kecepatan melampaui ujud wadagnya, membuat lawannya menjadi gelisah. Bahkan semakin lama, meskipun tidak dengan serta merta, Pandan Wangi berhasil mendesak lawannya.

Ketika Pandan Wangi, Sekar Mirah dan para pengawal sudah mulai menguasai lawan-lawan mereka, maka pertempuran di arena yang panjang antara pasukan Mataram dan Pajang itupun menjadi semakin sengit pula.

Namun dalam pada itu, pasukan Pajang yang dikerahkan bukan saja terdiri dari para prajurit dari pasukan khusus, tetapi juga dari kekuatan-kekuatan lain yang mendukung perjuangan Kakang Panji, ternyata mulai menggelisahkan orang-orang Mataram. Prajurit-prajurit dari pasukan khusus yang semula dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru, memang memiliki kemampuan tempur yang tinggi. Sementara itu orang-orang yang hadir di pertempuran itu dari lingkungan di luar para prajurit Pajang, telah bertempur dengan cara mereka sendiri. Sementara prajurit-prajurit Pajang yang lain, di bawah pimpinan para senapati yang sejalan dengan langkah Ki Tumenggung Prabadaru pun telah bertempur dengan sengitnya.

Sebagaimana dikatakan oleh Kakang Panji lewat para pengikutnya, bahwa jika hari itu mereka gagal menghancurkan orang-orang Mataram, maka perjuangan mereka akan menjadi semakin panjang. Karena itu, maka segenap kekuatan harus mereka kerahkan. Mataram harus dihancurkan di medan yang berat di Prambanan itu.

Ternyata Raden Sutawijaya yang mengikuti pertempuran itu dengan saksama, mulai dicemaskan oleh suasana di medan yang menjadi semakin sulit dikendalikan. Sorak yang kadang-kadang meledak, dentang senjata dan korban yang berjatuhan, membuat para prajurit dan pengawal di kedua belah pihak menjadi kehilangan pengamatan diri. Mereka tidak lagi sempat mengekang perasaan mereka yang meledak-ledak. Mereka tidak lagi berusaha untuk menghindarkan kematian atas lawan-lawan mereka yang sudah tidak berdaya. Apalagi orang-orang yang hadir di peperangan itu atas permintaan Kakang Panji bersama para pengikut mereka, di luar para prajurit Pajang sendiri. Mereka ternyata telah menjadi liar dan ganas.

Dalam keadaan yang demikian, maka tidak ada pilihan lain bagi Raden Sutawijaya daripada mempercepat penyelesaian pertempuran yang mengerikan itu. Meskipun benturan yang terjadi akan menjadi semakin dahsyat, tetapi dengan mempercepat penyelesaian, maka diharapkan korbanpun menjadi semakin berkurang. Bagaimanapun juga, Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga itu tidak dapat mengabaikan nilai jiwa seseorang, tanpa membedakan apakah ia kawan atau lawan.

Karena itu, maka Raden Sutawijaya itupun akhirnya telah memerintahkan penghubungnya untuk menyampaikan perintah kepada induk pasukan yang dipimpin oleh Ki Juru untuk turun ke medan. Apalagi dengan satu keyakinan, sesuai dengan pesan yang diterimanya dari Pangeran Benawa lewat Aji Pameling, bahwa pasukan induk Pajang yang dipimpin oleh Kanjeng Sultan sendiri, tidak akan mungkin bergerak. Dan sebagaimana yang terjadi, maka di dalam pasukan Pajang itu tidak hadir pasukan induk atau sebagian daripadanya.

“Kita harus menyelesaikan pertempuran ini secepatnya, agar korban tidak menjadi semakin besar.” berkata Raden Sutawijaya, “sampaikan pesan ini kepada paman Juru Martani. Yang akan kita lakukan bukan satu pertempuran, tetapi justru untuk berusaha menyelamatkan jiwa sejauh dapat dijangkau.”

Demikianlah, dua orang penghubung telah meninggalkan medan, untuk pergi ke induk pasukan Mataram yang justru masih belum tampil di medan. Pasukan yang dipimpin oleh Ki Juru Martani itu, sejak meninggalkan pesanggrahan telah mundur dalam garis lurus. Tidak menyibak sebagaimana kedua sayapnya. Sesuai dengan pembicaraan antara para pemimpin Mataram dalam waktu singkat sebelum mereka meninggalkan pesanggrahan, maka pasukan itu akan menghentikan pasukan Pajang jika pasukan itu mengikuti terus garis mundur pasukan Mataram. Sementara kedua sayapnya akan memukul pasukan Pajang itu dari belakang.

Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Raden Sutawijaya telah menggerakkan kedua sayap pasukannya sebelum pasukan Pajang itu membentur pasukan induk Mataram yang dipimpin oleh Ki Juru Martani, karena Raden Sutawijaya tidak tahan melihat kekejaman orang-orang Pajang setelah mereka membakar rumah orang-orang yang tidak bersalah. Sementara itu pasukan yang dipimpin oleh Ki Juru-lah yang akan menyerang pasukan Pajang itu dari belakang.

Ketika perintah itu sampai kepada Ki Juru, maka Ki Juru pun dapat mengerti suasana dalam keseluruhan. Ki Juru pun melihat asap yang mengepul sampai menyentuh langit. Dan hatinyapun telah bergejolak melihat sikap orang-orang Pajang, meskipun Ki Juru mengerti, bahwa yang melakukan itu tentu bukan prajurit-prajurit Pajang yang sebenarnya. Apalagi atas perintah Kanjeng Sultan atau Pangeran Benawa.

Namun agar pasukannya tidak melakukan kesalahan sehingga merusakkan rencana dalam keseluruhan, maka pasukan Ki Juru Martani telah menunggu perintah dari Raden Sutawijaya.

Karena itu, setelah Ki Juru menerima perintah itu, maka iapun segera memerintahkan pasukannya untuk bersiaga sepenuhnya. Sebentar kemudian, maka iapun memerintahkan pasukannya untuk bergerak. Sebagaimana dikehendaki oleh Raden Sutawijaya, maka Ki Juru pun telah berpesan kepada pasukannya, agar mereka tidak kehilangan nalar dan tetap bersikap sebagai seorang kesatria.

“Apapun yang dilakukan oleh lawan kalian, tetapi kalian harus tetap bersikap sebagai seorang yang beradab, seorang yang berpijak pada satu sikap yang telah menjadi pegangan kita, sikap seorang kesatria,” kemudian, “kalian memang harus mempertahankan hidup kalian. Namun kalian tentu sudah mengetahui paugeran seorang prajurit di medan perang.”

Sejenak kemudian, maka Ki Juru pun telah membawa pasukannya langsung menuju ke medan yang semakin lama menjadi semakin dahsyat.

Sementara itu, di belakang pasukan Mataram, Pandan Wangi dan Sekar Mirah telah berhasil menguasai lawan mereka sepenuhnya. Beberapa orang prajurit Pajang telah dapat dilumpuhkan, sementara para pengawal dari Mataram telah bertempur berpasangan. Sebagaimana prajurit Pajang, mereka tidak terikat kepada perang tanding seorang melawan seorang.

Namun demikian, ketika para prajurit terpilih dari pasukan khusus itu sudah tidak berdaya, senapati yang memimpin sekelompok prajurit itu masih bertempur melawan Pandan Wangi.

“Menyerahlah,” berkata Pandan Wangi, “kawan-kawanmu sudah menyerah dan yang lain telah terluka parah. Jika ada di antara mereka yang terbunuh, itu sama sekali bukan yang kami maksud. Tetapi dalam pertempuran mungkin saja seseorang kehilangan nyawanya.”

“Persetan,” geram senapati itu, “aku bukan pengecut.”

“Baiklah,” jawab Pandan Wangi, “agaknya kau ingin bertempur sampai batas kemampuanmu yang terakhir.”

“Aku akan membunuhmu,” senapati itu hampir berteriak, “jangan menyesal.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Iapun meningkatkan serangannya untuk menekan senapati yang tidak mau menyerah itu.

Sekar Mirah dan para pengawal yang lain yang telah berhasil menyelesaikan tugas mereka, telah mengerumuni arena pertempuran antara Pandan Wangi dan senapati itu. Mereka melihat satu benturan ilmu yang mengagumkan. Pandan Wangi yang memiliki kemampuan yang sulit dimengerti semakin mendesak lawannya. Bahkan akhirnya lawannya itu tidak mampu lagi mengimbangi kecepatan gerak Pandan Wangi. Apalagi justru karena ujung pedang Pandan Wangi seolah-olah mampu meloncat mendahului ujudnya.

Selagi Pandan Wangi berusaha menyelesaikan tugasnya, maka tiba-tiba saja terdengar sorak yang mengguntur di medan perang yang tidak terlalu jauh dari arena pertempuran antara sekelompok kecil pasukan Pajang yang ingin mendapatkan bende Kiai Bicak melawan sekelompok pengawal Mataram yang dipimpin oleh Pandan Wangi dan Sekar Mirah.

“Apa yang terjadi?” bertanya Sekar Mirah kepada para pengawal.

Para pengawal itupun saling berpandangan. Merekapun tidak mengetahui apa yang telah terjadi di medan.

Namun ternyata sorak yang bagaikan membelah langit itu telah mendebarkan jantung Pandan Wangi, justru karena ia tidak mengerti artinya. Karena itu, agar tidak terjadi sesuatu yang menyulitkannya, maka iapun segera mengerahkan segenap kemampuannya untuk segera menyelesaikan pertempuran itu.

Karena keadaan senapati itu memang sudah sulit, ditandai dengan luka-lukanya yang tergores di beberapa bagian dari tubuhnya, maka perlawanan senapati itu semakin lama menjadi semakin lemah.

Di saat-saat terakhir, Pandan Wangi telah mendesaknya sehingga senapati itu berloncatan surut. Beberapa orang pengawal Mataram yang melingkari pertempuran itu telah menyibak. Mereka sengaja tidak ikut mencampuri perkelahian itu, karena merekapun ingin menunjukkan, bahwa senapati Pajang itu bukan orang sang tidak terkalahkan. Bahkan melawan seorang perempuan senapati itu tidak berhasil mengalahkannya.

Sementara itu, para pengawal Mataram yang melihat kedatangan pasukan yang dipimpin oleh Ki Juru Martani itupun telah bersorak bagaikan meruntuhkan langit. Dengan kedatangan pasukan itu, mereka semakin yakin, bahwa mereka akan dapat memenangkan pertempuran itu.

Namun dalam pada itu, orang-orang Pajang telah mengumpat-umpat. Kedatangan pasukan yang dipimpin oleh Ki Juru itu telah menambah kemarahan mereka, meskipun sebagian dari mereka menjadi berdebar-debar pula.

Tetapi para prajurit khusus dari Pajang, menyambut kedatangan pasukan lawan itu dengan kemarahan. Ketika mereka mulai mendesak orang-orang Mataram, maka dari arah belakang mereka, telah datang pasukan Mataram yang akan dapat menikam punggung.

Namun orang-orang Pajang itu tidak dapat ingkar. Mereka merasa berkewajiban untuk menghancurkan lawan darimanapun arahnya.

“Apakah orang-orang Mataram telah mendatangkan bantuan dari Mataram?” bertanya seorang prajurit Pajang.

“Kau yang dungu,” jawab kawannya, “pada saat mereka menarik diri, ada sebagian di antara mereka yang mengambil arah lurus.”

Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi.

Sementara itu, yang jantungnya bagaikan meledak adalah Kakang Panji. Ia melihat pasukan yang datang dari arah belakang itu. Pasukan yang tidak dapat diabaikan kekuatannya.

Ketika pasukan Pajang sedang menghadapi ujung senjata dari dua arah, maka Pandan Wangi benar-benar telah menyelesaikan lawannya. Namun senapati itu benar-benar seorang prajurit. Ia tidak mau menyerah meskipun tubuhnya telah tergores oleh luka silang menyilang. Baru ketika ia kehilangan kekuatannya dan jatuh terkulai, maka ia tidak lagi dapat melawan. Namun pada saat-saat terakhir, senapati itu masih melemparkan senjatanya ke arah Pandan Wangi. Namun dengan mudah Pandan Wangi dapat menghindarinya.

“Urusilah mereka,” berkata Pandan Wangi.

“Apakah mereka harus dibunuh?” bertanya salah seorang pengawal.

“Tentu tidak,” jawab Pandan Wangi, “maksudku, kumpulkan yang terluka dan yang terbunuh. Yang menyerah supaya mendapat pengawasan yang kuat.”

“Kami telah mengikat tangan dan kaki mereka” jawab seorang pengawal.

“Tetapi hati-hatilah dengan mereka, kami akan pergi ke medan.” Lalu katanya kepada Sekar Mirah, ”Bukankah tempat ini sudah dapat kita tinggalkan?”

“Ya,” jawab Sekar Mirah, “sesuatu telah terjadi di medan. Aku mendengar sorak yang gemuruh.”

“Marilah,” ajak Pandan Wangi. Lalu katanya kepada para pengawal, “Usahakan untuk mengobati yang luka-luka. Dan biarlah bende itu berbunyi terus. Jika ada sekelompok prajurit yang lain yang datang ke tempat ini dengan kekuatan yang tidak dapat kalian lawan, maka hentikan bunyi bende itu sebagai isyarat. Kami akan datang membantu kalian.”

Sejenak kemudian, maka Pandan Wangi dan Sekar Mirah itu pun segera meninggalkan sekelompok pengawal yang telah berhasil menguasai lawan mereka, menuju ke medan perang yang gemuruh.

Pada saat yang demikian, pasukan yang dipimpin oleh Ki Juru Martani menjadi semakin dekat. Sementara itu, beberapa orang senapati Pajang yang telah melihat kedatangan musuh dari arah yang berlawanan dari musuh yang sedang dihadapinya, telah mempersiapkan pasukannya.

Namun mereka mulai diganggu oleh pertanyaan, apakah kedatangan pasukan baru itu akan berarti kesulitan yang sulit diatasi.

Dalam pada itu, ternyata Kakang Panji sudah tidak sabar lagi. Ia tidak dapat lagi mempercayakan kemenangan pertempuran itu kepada pasukannya saja. Karena itu, maka iapun dengan tergesa-gesa telah memanggil beberapa orang kepercayaannya yang terdekat.

“Aku tidak mempunyai pilihan lain,” berkata Kakang Panji.

“Apa yang akan Kakang Panji lakukan?” bertanya salah seorang kepercayaannya.

“Aku tidak akan membiarkan keadaan tidak menentu ini kian berlarut-larut,” jawab Kakang Panji, “aku harus mengakhirinya. Ternyata orang-orang yang aku harapkan akan dapat membantuku menyelesaikan persoalan ini telah terbentur pada orang-orang yang memiliki kemampuan seimbang, bahkan melampauinya. Beberapa orang telah terbunuh dan kini orang-orang yang disebut bernama Kiai Gringsing, Ki Waskita, putra Ki Gede Pasantenan dan beberapa orang lainnya telah sangat mengganggu rencanaku. Bahkan Agung Sedayu telah membunuh Ki Tumenggung Prabadaru.”

“Apakah Kakang Panji akan turun ke medan?” bertanya seorang kepercayaannya.

“Ya. Aku akan menghadapi pasukan yang datang. Siapkan orang-orang kita yang khusus dan biar sebagian dari pasukan yang ada ikut bersamaku,” jawab Kakang Panji, “sebagian dari pasukan khusus itu akan membantu kita. Perintahkan semuanya bersiap sekarang. Para senapati akan dapat membagi diri sebaik-baiknya. Tetapi sebelumnya aku akan membuat mereka gemetar.”

“Apa yang akan Kakang Panji lakukan untuk menakut-nakuti mereka yang baru datang?” bertanya kepercayaannya.

Kakang Panji menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Yang akan terjadi segera terjadilah. Aku akan mempergunakan puncak kemampuanku. Aku tidak perlu bersembunyi lagi. Semuanya akan segera berakhir. Aku akan menggempur pasukan yang pertama memasuki daerah jangkau kekuatanku.”

“Seharusnya Kakang Panji tidak menunggu sampai keadaan yang paling sulit. Jika sejak pertempuran ini kekuatan itu dipergunakan, maka perang ini tidak akan berkepanjangan.”

“Aku tidak ingin dikenal dengan serta-merta,” jawab kakang Panji, “tetapi aku tidak mempunyai cara lain. Prabadaru sudah mati. Meskipun aku sadar, bahwa pada pihak Mataram, ada juga orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Mungkin Sutawijaya sendiri, mungkin Ki Juru atau orang lain. Tetapi orang itu tidak akan mampu mengimbangi aku.”

Orang kepercayaannya pun mengangguk-angguk. Sebagian dari mereka pun segera menyampaikan perintah Kakang Panji kepada pasukan-pasukan yang tergabung dalam pasukan Pajang.

Dengan demikian, maka para senapati pun menjadi sibuk. Mereka telah membagi pasukannya. Sebagian dan mereka harus menghadapi pasukan Mataram yang baru datang dari arah yang berlawanan dengan pasukan Mataram yang lain.

Tetapi seperti yang diperintahkan Kakang Panji, pasukan yang akan menghadapi pasukan yang baru datang itu hanya sebagian kecil saja dari seluruh kekuatan mereka, agar pasukan Pajang itu tidak digilas oleh pasukan Mataram yang terdahulu.

“Aku tidak memerlukan pasukan yang terlalu kuat untuk menghadapi pasukan yang baru datang ini,” berkata Kakang Panji.

Demikianlah, ketika pasukan Pajang bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan, maka Ki Juru dan pasukannya pun menjadi semakin dekat. Mereka mendengar orang-orang Mataram yang bertempur terdahulu telah bersorak dengan gemuruh. Ternyata bahwa sorak itu telah membesarkan hati mereka pula.

Namun dalam pada itu, seorang yang menamakan dirinya Kakang Panji telah berdiri tegak di antara beberapa orang kepercayaannya, sementara sebagian kecil dari pasukan Pajang telah bersiap pula menghadapi kehadiran Ki Juru Martani itu.

Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Kakang Panji telah sampai kepada batas kesabarannya. Ia tidak mau lagi menunda waktu. Pertempuran yang terjadi itu sudah cukup lama, sementara kekuatan lawan justru bertambah banyak. Karena itu, jika ia tidak segera bertindak, maka pasukannya tentu akan dapat dikoyak dan dihancurkan oleh orang-orang Mataram. Bukan sebaliknya, sebagaimana yang diinginkannya bahwa pasukan Mataram harus hancur pada hari itu juga.

Karena itu, maka Kakang Panji itupun telah memusatkan segenap kemampuannya. Ia ingin membuat pengeram-eram menghadapi pasukan Mataram yang baru datang, agar orang-orang Mataram itu menjadi kecut dan menyadari dengan siapa mereka berhadapan.

Dengan demikian, maka ketika pasukan Mataram itu menjadi semakin dekat, maka Kakang Panji itupun sudah menakupkan kedua telapak tangannya. Dipusatkannya ilmunya pada telapak tangannya itu. Sehingga ilmunya yang nggegirisi pun akan dapat memancar dari telapak tangannya itu.

Pada jarak jangkau kekuatannya, maka Kakang Panji itu pun telah menggerakkan tangannya, seakan-akan ia telah menghantam sasaran. Namun sebenarnyalah Kakang Panji telah melepaskan kemampuan ilmunya. Ia telah melontarkan kekuatan pukulan dari jarak yang jauh.

Sebenarnyalah Ki Juru terkejut bukan buatan. Untunglah bahwa ia seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Demikian ia sadar melihat sikap orang yang menunggu kehadiran pasukannya, maka iapun telah bersiap-siap. Karena itu, ketika ia melihat gerak tangan orang yang menyebut dirinya Kakang Panji, maka seakan-akan digerakkan oleh nalurinya, maka Ki Juru itu pun telah meloncat sambil berteriak, “Cepat menghindar!”

Namun orang-orang yang berdiri di belakangnya terlambat bergerak. Mereka tidak sempat menghindar ketika tanah tempat Ki Juru berpijak itu bagaikan meledak. Untunglah Ki Juru telah melontarkan diri sehingga ia bebas dari bencana. Namun beberapa orang telah dengan sangat terkejut mengalami hentakan kekuatan yang luar biasa, meskipun sasaran Kakang Panji bukanlah mereka.

Tiga orang telah terlempar dan jatuh berguling. Dua orang lainnya tergetar dan terdorong surut. Tiga orang yang terguling itu dadanya menjadi sesak, sehingga seakan-akan mereka tidak dapat lagi bernafas. Sementara dua orang yang terdorong surut untuk sesaat mereka telah kehilangan kesadaran.

Dalam keadaan yang gawat itu, Ki Juru telah berteriak, “Cepat, capai garis benturan. Aku akan menghadapi orang itu.”

Ki Juru berharap, bahwa setelah benturan terjadi, orang itu tidak akan mungkin dapat menyerang orang-orangnya dari jarak jauh, karena hal itu akan dapat mengenai orang-orangnya sendiri.

Sementara itu, Ki Juru harus bekerja cepat untuk menghindarkan orang-orangnya dari kemungkinan yang paling buruk. Jika ia sendiri mampu menghindar, maka orang-orangnya-lah yang akan mengalami kesulitan.

Sebenarnyalah Kakang Panji adalah orang yang garang. Ia tidak menghiraukan apapun juga untuk mencapai maksudnya. Dalam-benturan pertama itu ia ingin menunjukkan kepada orang-orang Mataram, bahwa mereka berhadapan dengan satu kekuatan yang tidak dapat mereka lawan.

Karena itu, ketika ia gagal menghancurkan orang yang dianggapnya memimpin pasukan yang datang itu, maka ia telah mengulanginya. Tetapi Kakang Panji tidak ingin serangannya gagal. Karena itu maka arah sasarannya adalah justru para pengawal yang sedang bergejolak oleh serangannya yang pertama.

Akibatnya memang mengerikan. Sekali lagi tanah tempat orang-orang Mataram berdiri itu meledak oleh kekuatan ilmu Kakang Panji. Dua orang terlempar dan langsung jatuh tanpa dapat bernafas lagi. Empat orang lainnya nafasnya bagaikan tersumbat dan tiga orang terpental dari tempatnya.

Jantung Ki Juru bagaikan meledak melihat serangan-serangan itu. Orang itu akan dapat membunuh pengawal-pengawalnya. Karena itu, maka ia harus berbuat sesuatu, sementara para pengawalnya telah berlari menyerang, agar mereka segera berada dalam pertempuran. 

Ki Juru yang ingin melindungi orang-orangnya itu telah memusatkan kemampuannya pula. Tetapi ia tidak mempunyai kemampuan menyerang seperti orang itu. Karena itu, maka Ki Juru pun telah menggapai sebuah tombak seorang pengawalnya. Yang dapat dilakukannya adalah memusatkan kemampuan ilmunya pada tangannya.

Dengan kekuatan penuh Ki Juru itu telah melontarkan tombaknya langsung mengarah kepada orang yang memiliki ilmu yang mendebarkan jantung itu.

Ki Juru yang tua ternyata masih dapat mengejutkan orang yang disebut Kakang Panji. Meskipun Ki Juru tidak dapat melontarkan serangan sebagaimana dilakukan oleh Kakang Panji, namun ternyata bahwa Ki Juru mampu mengumpulkan segenap kekuatan dan kekuatan cadangannya pada lontaran tombaknya. Bahkan kekuatan itu seolah-olah telah berpengaruh pada tombaknya itu sendiri.

Karena itu yang terlontar itu bukannya sekedar tombak yang terdiri dari landean dan mata tombak yang runcing tajam, namun senjata itu seolah-olah telah memiliki kekuatan yang luar biasa, melampaui nilai sebuah tombak biasa.

Dorongan kekuatan Ki Juru Martani benar-benar di luar dugaan Kakang Panji. Tombak yang dilontarkan dengan landasan segenap kekuatan ilmunya itu meluncur dengan kecepatan yang sulit dimengerti.

Ternyata bahwa Ki Juru Martani untuk sesaat merampas perhatian Kakang Panji. Tombak yang meluncur itu demikian cepatnya, sehingga Kakang Panji tidak dapat mengabaikannya.

Karena itu, maka Kakang Panji itu pun telah mengerahkan kekuatannya untuk menghadapi tombak yang meluncur kearahnya. Dengan satu lontaran kekuatan, maka Kakang Panji telah menyerang tombak yang mengarah ke tubuhnya itu.

Akibatnya memang luar biasa. Tombak itu bagaikan menghantam lapisan yang hampir tidak tertembus. Namun tombak itu dilontarkan oleh kekuatan Ki Juru Martani, sehingga dengan demikian maka dorongan ilmu Ki Juru itu telah membentur kekuatan Kakang Panji yang dahsyat.

Kedua orang itu telah bersama-sama terkejut. Ki Juru terkejut, bahwa kekuatan yang dilontarkan dari tangan Kakang Panji itu berhasil menahan tombaknya. Meskipun tombak itu tidak hancur karena seakan-akan tombak itu telah dilapisi kekuatan ilmu Ki Juru, namun tombak itu tidak mampu menukik langsung mengenai tubuh Kakang Panji meskipun Ki Juru berhasil membidiknya dengan tepat.

Tombak itu bagaikan membentur dinding baja dan jatuh beberapa langkah di sisi Kakang Panji. “Gila,” geram Kakang Panji, “ada juga iblis tua yang mampu melontarkan kekuatan yang luar biasa.”

Namun dalam pada itu Ki Juru pun berkata di dalam hati, “Orang ini memang luar biasa. Ia memiliki ilmu yang sulit dikenali pada saat ini.” Bahkan tiba-tiba saja Ki Juru pun teringat apa yang pernah terjadi atas Agung Sedayu yang mendapat serangan dengan diam-diam lewat indra penciumannya.

“Apakah orang ini yang melakukan, atau orang lain?” bertanya Ki Juru di dalam hatinya, “Jika orang lain, maka Pajang benar-benar telah mengerahkan kekuatan yang sulit dilawan. Apalagi setelah Angger Agung Sedayu terluka. Yang ada tinggal Angger Sutawijaya, karena agaknya Ki Waskita dan Kiai Gringsing telah terlibat dalam perkelahian orang-orang yang berilmu tinggi pula sejak kemarin.”

Namun dalam pada itu, Ki Juru tidak dapat merenung terlalu lama. Namun justru setelah ia sempat menyaksikan orang-orang Mataram menebar dan menyerbu ke medan, maka hatinya menjadi agak tenang. Jika ia harus menghadapi orang itu, maka ia tidak akan berkeberatan meskipun ia tidak pasti, bahwa ia akan mampu melawannya.

Tetapi Ki Juru adalah seorang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka apa pun yang akan terjadi, maka ia akan langsung menghadapinya.

Dalam pada itu, para pengawal Mataram pun segera menyadari, dengan siapa mereka berhadapan.

Karena itu, maka beberapa orang yang mampu berpikir cepat, segera mengambil sikap. Ternyata orang yang telah menyerang mereka dengan cara yang kurang mereka mengerti itu, akan sangat berbahaya bagi pasukan Mataram yang tersisa, pasukan yang masih belum sempat membentur pasukan Pajang dari arah punggung.

Untuk mengurangi bahaya itu, maka beberapa orang pengawal telah memberanikan diri menyerang Kakang Panji. Mereka tidak menghiraukan keselamatan mereka sendiri.

Ternyata usaha para pengawal itu berhasil. Kakang Panji tidak membiarkan tubuhnya dikoyak oleh senjata. Sementara itu, Kakang Panji yang belum mengetahui tataran kemampuan lawannya tidak berani mengabaikan mereka. Jika di antara lawan-lawannya itu ada yang memiliki kemampuan untuk mengatasi daya tahan tubuhnya, maka ia akan mengalami kesulitan.

Orang-orang Mataram yang melihat kekuatan yang mampu dilontarkan oleh orang itu, telah melawannya dalam kelompok kecil. Mereka berusaha untuk tidak memberi kesempatan orang itu melepaskan ilmu seperti yang sudah mereka lihat. Ilmu yang mampu meledakkan tanah dan melemparkan beberapa orang kawannya ke udara, membantingnya sehingga tulang-tulangnya berpatahan.

Dalam keadaan yang demikian, maka Kakang Panji pun menjadi sibuk. Serangan telah datang dari segala penjuru berurutan dan tidak henti-hentinya. Namun dengan tangkas ia mampu menghindari serangan lawannya. Kecepatan geraknya benar-benar sangat mengagumkan. 

Dalam pada itu, ternyata Ki Juru telah mendapat kesempatan bersama beberapa orang pengawal untuk mendekati arena. Para pengawal pun segera membentur prajurit-prajurit Pajang yang sudah dipersiapkan menghadapi mereka.

Hampir seluruh medan yang panjang itu bergetar oleh kehadiran Ki Juru Martani. Beberapa kelompok pasukan Pajang telah menahan mereka.

Tetapi jumlah orang-orang Mataram ternyata jauh lebih banyak dibanding dengan orang-orang Pajang yang sempat menghadapi mereka. Sehingga karena itu, meskipun para prajurit Pajang memiliki pengalaman yang lebih baik dari orang-orang Mataram, namun jumlah kekuatan mereka pun telah mengalami keseimbangan yang berat sebelah. Orang-orang Mataram ternyata berjumlah lebih banyak dari orang-orang Pajang yang masih harus bertahan dari tekanan pasukan Mataram dari sayap-sayap pasukan di tebing sebelah barat Kali Opak di Prambanan.

Pembagian pasukan Pajang itu memang terasa sangat membebani setiap orang di dalam pasukan Pajang itu.

Namun dalam pada itu, yang kemudian menjadi gelisah adalah Ki Juru Martani. Ternyata orang yang telah menyerang pasukan Mataram dari jarak beberapa depa dan seolah-olah berhasil meledakkan tanah tempat lawannya berpijak itu, benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa.

Dalam waktu yang pendek, dua orang Mataram yang bertempur dalam kelompok kecil melawan Kakang Panji itu telah terlempar dari arena. Meskipun keduanya tidak terbunuh, tetapi keduanya sudah tidak lagi mampu berbuat sesuatu selain merangkak menjauhi hiruk pikuk pertempuran.

“Luar biasa,” desis Ki Juru. Sementara itu ia tidak membiarkan korban semakin banyak. Karena itu, maka iapun segera menempatkan diri melawan orang yang memiliki ilmu yang luar biasa itu.

“Minggirlah,” desis Ki Juru.

Orang-orang Mataram itu menyibak. Mereka memberi tempat kepada Ki Juru menghadapi orang yang nggegirisi itu. Namun orang-orang Mataram yang mengetahui kemampuan orang itu tidak segera meninggalkannya. Mereka ingin melihat apa yang akan terjadi antara orang itu dengan Ki Juru Martani.

Dalam ketegangan itu, terdengar orang itu bertanya, “He, apakah kau memang sudah jemu melihat pertempuran ini?”

“Aku tidak mengerti maksudmu,” jawab Ki Juru.

“Orang setua kau memang sudah waktunya mati,” berkata orang itu pula, “marilah. Aku akan mengantarkanmu, Ki Juru. Bukankah kau yang bernama Ki Juru Martani?”

“Ya. Aku yang disebut Ki Juru Martani,” jawab Ki Juru, “tetapi siapa kau sebenarnya? Kau memiliki ilmu yang sekarang sulit dicari bandingnya.”

“Namaku Panji. Orang-orang memanggilku Kakang Panji, karena mereka menganggap aku sebagai saudara tua mereka,” jawab orang itu.

“Kakang Panji, hanya begitu? Atau masih ada kelengkapan nama Panji itu?” bertanya Ki Juru.

“Namaku Panji. Itu saja,” jawab orang itu. “Sekarang kita sudah berhadapan di medan. Tetapi kehadiranmu benar-benar mengecewakan aku. Aku ingin bertemu Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga.”

Ki Juru memandang orang itu dengan saksama, sementara di sekitar mereka pertempuran menjadi semakin sengit. Namun masih ada juga beberapa orang Mataram yang bebas, karena jumlah mereka memang lebih banyak.

“Kenapa kau mencari Senapati ing Ngalaga?” bertanya Ki Juru.

“Bukankah ia orang yang dianggap memiliki hak untuk memerintah Mataram dengan gelarnya itu, namun yang kemudian di salah-gunakannya untuk memberontak kepada Kanjeng Sultan? Dan bukankah bagi Mataram tidak ada orang yang dianggap mumpuni selain Senapati ing Ngalaga? Nah, aku adalah salah seorang prajurit yang setia kepada Kanjeng Sultan. Aku ingin menangkap Sutawijaya hidup atau mati, sekaligus membuktikan bahwa Sutawijaya bukan orang yang tidak terkalahkan, sebagaimana diperkirakan orang.”

“Ki Sanak,” berkata Ki Juru, “apakah kau masih menganggap bahwa Pajang akan mungkin dipulihkan kembali kewibawaannya? Apalagi sekarang Kanjeng Sultan Pajang sedang dalam keadaan yang gawat.”

“Itu adalah karena ulah Senapati ing Ngalaga. Seorang yang sama sekali tidak mengenal terima kasih. Seorang yang diangkat dari kehinaan menjadi anak angkat Kanjeng Sultan. Seorang yang telah menerima warisan ilmu yang tidak terkatakan nilainya. Seorang yang mendapat kedudukan yang tinggi meskipun sebenarnya tidak ada darma baktinya sama sekali yang dapat dikenang oleh Pajang,” jawab Kakang Panji. “Semuanya itu diakhiri dengan sebuah pemberontakan yang tidak mengenal tatanan sama sekali.”

“Jangan berpura-pura tidak tahu Ki Sanak,” jawab Ki Juru, “kau tentu lebih tahu, isi dari Istana Pajang sekarang? Seandainya di sini ada Kanjeng Sultan Hadiwijaya, apakah ia akan mengatakan seperti yang kau katakan, atau justru Kanjeng Sultan itu akan berkata kepada Senapati ing Ngalaga agar Senapati bersedia membantunya, menyingkirkan duri yang tumbuh di dalam jantung kehidupan Pajang.”

Wajah Kakang Panji menegang. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Apapun yang dapat kau sebutkan, berilah kesempatan Sutawijaya untuk membuktikan bahwa ia adalah orang yang pilih tanding.”

“Di peperangan kau tidak usah memilih lawan, Panji. Marilah kita hadapi siapa saja yang ada di hadapan kita,” jawab Ki Juru Martani.

Wajah Kakang Panji menjadi semakin tegang. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia merasa kecewa karena ia tidak dapat bertemu dengan Raden Sutawijaya. Ia ingin membuktikan kata-katanya bahwa ia akan mampu membunuh Raden Sutawijaya, meskipun hampir setiap orang mengatakan bahwa Raden Sutawijaya adalah orang yang memiliki ilmu yang hampir sempurna.

Dalam pada itu, maka sambil bergeser setapak orang itu berkata, “Marilah orang tua. Umurmu memang sudah tidak terlalu panjang lagi.”

Namun Ki Juru menjawab, “Kita sudah sama-sama tua Ki Sanak. Aku atau kaulah yang akan mati.”

Kakang Panji menggeram. Iapun segera mempersiapkan diri.

Ki Juru yang melihat Kakang Panji bersiap, dengan cepat ia bergeser justru mendekat. Ia tidak ingin mendapat serangan dengan lontaran pukulan yang mampu mengenai lawan yang berdiri beberapa langkah dari padanya.

Kakang Panji mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun menyadari bahwa Ki Juru adalah seorang tua sebagaimana dirinya, yang memiliki perbendaharaan pengalaman yang tidak terbatas.

Karena itulah, bagaimanapun juga, kakang Panji itu harus berhati-hati. Apalagi ia masih juga melihat beberapa orang Mataram berdiri di sekitarnya. Di setiap saat orang-orang itu akan dapat meloncat langsung memasuki arena pertempuran.

Namun agaknya orang-orang Mataram itu tidak ingin segera mencampuri pertempuran yang bakal terjadi. Mereka menyadari bahwa baik Ki Juru maupun lawannya itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang luar biasa.

Demikianlah kedua orang itupun bersiap-siap. Keduanya bergeser saling mendekat. Ki Juru memang ingin bertempur tanpa jarak, sehingga ia akan mempunyai kesempatan sama dengan lawannya.

Pada saat-saat yang tepat, maka Ki Juru pun mencoba memancing lawannya. Dengan langkah pendek ia menyerang lawan dengan tangannya.

Kakang Panji yang tahu bahwa serangan itu bukannya serangan yang berbahaya, tidak meloncat menghindarinya, tetapi ia sekedar menarik tubuhnya condong menyamping. Namun tiba-tiba saja ia telah meloncat dengan kecepatan yang luar biasa menyerang Ki Juru dengan kakinya mengarah ke lambung.

Ki Juru terkejut, tetapi ia sempat menghindari serangan itu dengan satu loncatan surut. Namun, pada saat yang demikian, ia melihat bahaya yang dapat menghancurkannya. Benar-benar menghancurkannya, ketika lawannya hampir saja mendapat kesempatan untuk memukulnya pada jarak dua tiga langkah.

Karena itu, dengan cepat Ki Juru pun meloncat maju. Tangannya terjulur lurus ke arah dada. Namun ketika Kakang Panji itu mengelak dengan putaran setengah lingkaran, maka tangan Ki Juru pun menebas ke samping mengarah kening.

Kakang Panji meloncat surut. Cepat sekali. Namun Ki Juru pun telah memburunya dan menyerang dengan keras.

Tetapi serangan-serangan itu tidak berhasil menyentuh lawannya. Kakang Panji cukup tangkas. Namun juga sebaliknya, Ki Juru itu bagaikan bayangan yang tidak teraba.

Demikianlah keduanya telah bertempur dengan sengitnya. Semakin lama semakin cepat, Semakin lama keduanya semakin tenggelam ke kedalaman ilmu mereka masing-masing.

Dalam pada itu, selagi kedua orang itu bertempur semakin dahsyat, maka benturan antara orang-orang Pajang dan Mataram pun menjadi semakin seru pula. Namun karena orang-orang Mataram yang menggempur pasukan Pajang dari dua arah itu berjumlah lebih banyak, maka pasukan Mataram itu pun telah mengguncang kegelisahan orang-orang Pajang.

Meskipun orang-orang Pajang memiliki pengalaman yang pada umumnya lebih baik dari orang-orang Mataram, bahkan pasukan khususnya, namun jumlah kedua pasukan itu pun ternyata sangat berpengaruh pula.

Dalam pada itu, para senapati dan para pemimpin dari Pajang pun telah berusaha dengan sepenuh kemampuan mereka untuk mengatasi kesulitan yang mulai terasa. Namun karena perhatian pasukan Pajang itu terbagi, maka mereka benar-benar harus memeras ilmu yang ada pada mereka.

Namun demikian, terasa meskipun perlahan-lahan, bahwa orang-orang Pajang semakin mengalami kesulitan. Meskipun di antara mereka masih terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi, namun mereka telah mendapat lawan mereka masing-masing.

Dalam pada itu, selagi kedua pasukan itu berbenturan dengan dahsyatnya, dari jarak yang tidak terlalu dekat, seseorang tengah memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Namun orang itu tidak lagi dicengkam oleh kegelisahan setelah ia melihat apa yang terjadi di medan. Apalagi ketika orang itu melihat pasukan induk Mataram ikut melibatkan diri melawan pasukan Pajang yang telah melepaskan diri dari ikatan paugeran itu.

“Bagaimanapun juga, mereka tidak akan dapat mengalahkan pasukan Kakangmas Sutawijaya,” desis orang itu. Namun ia masih saja berada di tempatnya. Ia masih ingin melihat pertempuran itu lebih lama lagi.

Dalam kegelisahannya, orang-orang Pajang itu pun telah mendengar laporan bahwa pasukan Pajang di induk pasukan, yang dipimpin langsung oleh Kanjeng Sultan telah meninggalkan medan dan kembali ke Pajang sambil membawa Kanjeng Sultan yang terluka parah di bagian dalam tubuhnya setelah Kanjeng Sultan itu jatuh dari punggung gajah, membentur sebongkah batu hitam yang justru pecah karenanya.

Tetapi, orang-orang Pajang yang ada di medan itu memang tidak mengharap sama sekali bantuan dari induk pasukan. Mereka telah menyerang pasukan Mataram dengan cara yang lain dari paugeran perang. Namun agaknya rencana licik mereka itu telah diketahui oleh lawan mereka sehingga orang-orang Mataram itu sempat menyingkirkan diri, dan bahkan seakan-akan telah menjebak pasukan Pajang itu ke dalam satu keadaan yang sangat berat.

Namun berbeda dengan para pengawal dari Mataram yang berhasil mendesak orang-orang Pajang, maka Ki Juru menghadapi satu kesulitan yang besar dengan lawannya. Bahkan, ternyata Kakang Panji itu benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa. Meskipun Ki Juru berusaha untuk bertempur dalam jarak yang pendek, namun ternyata sekali-sekali Kakang Panji itu berhasil melontarkan pukulan petirnya, Untunglah bahwa Ki Juru yang tua itu masih tetap Ki Juru yang memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan, sehingga beberapa kali ia berhasil menghindarkan diri dari lontaran pukulan ilmu yang dahsyat, yang mampu meledakkan tanah tempat lawannya berpijak. Hanya karena kemampuan Ki Juru meloncat dengan cepat sajalah, maka ia masih sempat menyelamatkan diri dari ledakan pukulan orang yang menyebut dirinya Kakang Panji. Bahkan setiap kali, Ki Juru masih juga berhasil menemukan kembali jarak yang dikehendakinya dalam perlawanannya.

“Orang tua ini benar-benar liat,” gumam Kakang Panji. Dengan demikian iapun telah meningkatkan ilmunya. Yang kemudian terjadi bukan saja sekedar pertempuran ujud wadag kedua orang itu. Bukan saja lontaran-lontaran pukulan yang mampu meledakkan sasaran yang disentuhnya. Tetapi kedua orang itu telah mulai mengerahkan kekuatan ilmu mereka yang sulit dimengerti oleh para pengawal dan prajurit yang berada di sekitar arena perkelahian antara kedua orang tua itu.

Dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Di antara pertempuran antara prajurit Pajang dan para pengawal dari Mataram, maka lontaran-lontaran ilmu antara Kakang Panji dan Ki Juru Martani merupakan ledakan-ledakan yang mentakjubkan.

Di seberang lain, pertempuran pun menjadi semakin dahsyat. Ada juga orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi, yang bertempur di luar kemampuan pengamatan nalar. Namun lambat laun, pertempuran itu pun menjadi semakin lemah, karena para pengawal dari Mataram semakin lama menjadi semakin menguasai medan. Bahkan para senapatinya pun seakan-akan telah terpengaruh oleh keadan dan suasana itu, sehingga mereka pun seakan-akan telah kehilangan harapan. Di sekitar mereka para pengawal dari Mataram yang jumlahnya melampaui para prajurit dan orang-orang Pajang, ternyata mendesak lawan mereka di segala tempat. Pengalaman yang mendasari para prajurit Pajang, ternyata terdesak oleh jumlah lawan mereka yang bertambah. Apalagi orang-orang Mataram itu pun memiliki bekal yang cukup pula.

Di sebelah sisi dari pasukan Mataram, Untara dan para prajurit Pajang yang berada di bawah pimpinannya, benar-benar merupakan imbangan yang berat bagi lawan-lawan mereka, sementara sekelompok terpilih di antara mereka yang dipimpin oleh Sabungsari, tidak kalah nilainya dari setiap prajurit dari pasukan khusus Pajang yang berada di bawah pengaruh Tumenggung Prabadaru.

Sementara itu, putra Ki Gede Pasantenan pun mampu membuat pangeram-eram. Lawannya menjadi gelisah dan bahkan kemudian tidak berdaya.

Dalam pada itu, pertempuran antara Ki Juru dan Kakang Panji pun menjadi semakin dahsyat. Kakang Panji telah mengerahkan segenap kemampuannya. Dengan kecepatannya ia setiap kali berhasil mengambil jarak dan menyerang Ki Juru dengan kemampuannya yang mengagumkan.

Setiap kali Ki Juru harus berloncatan. Ledakan-ledakan tanah tempat ia berpijak, membuatnya berdebar-debar, karena ledakan itu akan dapat melontarkannya. Bukan saja wadagnya, tetapi jika nasibnya buruk, maka nyawanyalah yang akan terloncat dari tubuhnya.

Serangan-serangan yang mendebarkan itu semakin lama menjadi semakin sering. Ki Juru harus berloncatan dengan cepat dan tergesa-gesa, sehingga semakin lama, maka pengerahan tenaga itupun telah mempengaruhinya.

Karena itu, maka Ki Juru pun mulai dengan caranya untuk mengurangi kesibukannya. Iapun sadar, kelengahan yang terjadi, akan dapat berarti maut baginya.

Karena itu, maka Ki Juru pun mulai mengerahkan ilmunya. Dalam satu hentakan oleh serangan Kakang Panji yang dahsyat, Ki Juru itu pun telah meloncat menghindar. Namun Kakang Panji tidak melepaskannya. Sekali lagi ia mengangkat tangannya. Jika tangan itu terayun, maka kekuatan yang terloncat dari tangannya itu akan menyambar sasaran dan menghancur-lumatkannya.

Tetapi ayunan tangan Kakang Panji tertahan. Sekali lagi ia mengumpat, “Orang gila, anak iblis.”

Kakang Panji berdiri tegang memandang sasarannya yang membuatnya tertegun.

Dalam pada itu, Ki Juru yang tidak memiliki kemampuan seperti Kakang Panji untuk menyerangnya dari jarak tertentu, telah mempergunakan ilmunya sekedar untuk bertahan. Namun demikian, yang dilakukannya itu telah membuat Kakang Panji menjadi bingung.

Ketika serangan kakang Panji menjadi semakin cepat dan semakin dekat memburunya kemana saja ia meloncat, maka Ki Juru pun tiba-tiba telah melepaskan ilmunya yang sulit dicari bandingnya.

Dalam keadaan yang sulit, pada saat Kakang Panji sudah hampir sampai kepada satu batas kemenangan, tiba-tiba saja Ki Juru telah meloncat ke dua arah sekaligus. Tiba-tiba saja orang yang bernama Ki Juru Martani itu bagaikan terpecah menjadi dua. Seorang meloncat ke kiri, seorang meloncat ke kanan.

Dalam keadaan yang demikian, Kakang Panji menjadi bingung. Yang nampak dihadapannya bukannya bayangan semu yang akan dapat diurainya dan dikenalinya, tetapi keduanya sama sekali tidak dapat dibedakannya. Baik oleh mata wadagnya, maupun oleh mata hatinya.

Karena itu, untuk sesaat Kakang Panji menjadi bingung. Sementara dalam keadaan yang demikian, kedua bayangan itu telah meloncat semakin dekat.

Tiba-tiba saja, selagi Kakang Panji belum sempat mengambil keputusan, kedua bayangan telah menyerangnya dari dua arah. Bersama-sama.

Kakang Panji yang masih dicengkam oleh kebingungan tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu. Ia ragu-ragu untuk melontarkan serangan karena ia tidak tahu, yang manakah yang harus menjadi sasarannya.

Karena itu, yang dapat dilakukannya, adalah meloncat jauh-jauh mengambil jarak dari kedua orang yang ujudnya sebagaimana Ki Juru Martani.

Dalam pada itu, kedua bayangan Ki Juru itu masih tetap mengejarnya dan menyerang dari arah yang berbeda pula.

“Persetan,” geram Kakang Panji. Ia tidak mau terlalu lama dibingungkan oleh keadaan itu. Tiba-tiba saja ia telah melontarkan serangannya ke salah seorang di antara kedua orang yang berujud Ki Juru Martani itu.

Namun sekali lagi Kakang Panji mengumpat. Ujud itu tidak meledak dan hancur menjadi kepingan daging dan tulang. Tetapi ujud itu telah lenyap bagaikan asap.

Namun pada saat ia tercenung oleh peristiwa itu, ternyata ujud yang lain benar-benar telah menyerang dan menghantam tubuhnya dengan kekuatan luar biasa. Seolah-olah Gunung Merapi telah terlontar menghantam tubuhnya, menghimpit dadanya.

Kakang Panji terdorong beberapa langkah. Hampir saja ia kehilangan keseimbangannya dan jatuh berguling. Namun ternyata bahwa ia masih mampu menguasai keseimbangannya, sehingga ia pun sejenak kemudian telah tegak kembali.

Ki Juru melihat lawannya yang dalam sekejap telah mampu berdiri tegak kembali. Karena itu, maka hatinya pun menjadi berdebar-debar. Lawannya memang bukan orang kebanyakan. Lawannya adalah orang yang berilmu tinggi.

Karena itu, maka Ki Juru pun segera mempersiapkan dirinya kembali. Tidak ada waktu untuk merenungi keadaan lawannya, karena dalam sekejap kemudian, Kakang Panji telah melontarkan ilmu yang dahsyat. Dengan mengayunkan tangannya, maka sebuah kekuatan yang tidak kasat mata telah menyambar Ki Juru.

Namun Ki Juru cukup tangkas. Sekali lagi ia meloncat. Tetapi karena ia tidak terdesak dalam keadaan yang hampir tidak teratasi, maka ia tidak merasa perlu untuk menjadikan dirinya kembar.

Demikian serangan Kakang Panji meluncur, maka Ki Juru telah tidak lagi berdiri di tempatnya, sehingga yang kemudian meledak adalah tanah bekas tempatnya berdiri.

Sementara itu, Ki Juru telah meloncat menyerang dengan loncatan panjang. Demikian cepatnya, sehingga Kakang Panji tidak sempat mendahuluinya. Bahkan ia harus bergeser dari tempatnya dengan cepat,

Ki Juru tidak melepaskannya. Dengan tangkas pula ia memburunya. Tetapi Kakang Panji sama sekali tidak kehilangan kesempatan untuk menghindarinya dan bahkan kemudian menyerang langsung dengan wadagnya.

Namun sebenarnyalah bahwa keduanya adalah orang-orang yang luar biasa.

Sementara itu, pertempuran antara pasukan Mataram dan pasukan Pajang masih berlangsung dengan sengitnya. Namun sudah mulai nampak kesulitan pada pasukan Pajang. Perlahan-lahan pasukan Mataram menyusup ke segenap celah-celah pasukan lawan.

Namun dalam pada itu, orang-orang Pajang bukannya orang-orang yang mudah menjadi putus asa. Mereka adalah orang-orang yang berpengalaman, Baik para prajurit, apalagi mereka dari pasukan khusus. Juga orang-orang yang menjadi pengikut Kakang Panji dari padepokan-padepokan dan kelompok-kelompok yang mendukung gagasannya. Juga, dari orang-orang yang merasa mempunyai sentuhan dengan kejayaan masa lampau dengan tanpa menilai persoalan yang dihadapinya.

Bahkan dalam keadaan yang sulit, orang-orang yang berada di dalam lingkungan pasukan Pajang itu semakin tidak merasa lagi terikat oleh paugeran perang gelar. Mereka lebih banyak bertempur sebagai seorang yang memiliki ilmu kanuragan. Apakah dengan demikian mereka justru terlepas dari gelar perang atau tidak, mereka sama sekali tidak menghiraukannya.

Namun dengan demikian, orang-orang Mataram memang agak terpengaruh karenanya. Mereka menghadapi orang-orang yang bertempur menurut cara mereka masing-masing. Menurut dasar ilmu yang berbeda-beda.

Namun untunglah, baik pasukan khusus Mataram yang ditempa di Tanah Perdikan Menoreh, maupun prajurit Pajang di Jati Anom yang dipimpin oleh Untara atau Sabungsari, telah mendapatkan latihan-latihan dalam perang yang demikian. Mereka mendapat latihan untuk bertempur seorang-seorang.

Tetapi sebagian dari lawan-lawan mereka tiba-tiba saja telah berubah. Mereka menjadi kasar dan keras. Sehingga dengan demikian maka arena itu perlahan-lahan telah berubah. Gelar yang mapan telah hampir kehilangan bentuknya.

Jika semula orang-orang Mataram berhasil menyusup ke celah-celah pasukan Pajang yang lemah, namun ternyata bahwa mereka telah memasuki satu lingkungan yang mengejutkan. Orang-orang Pajang memang tidak lagi menjaga keutuhan gelarnya. Celah-celah di dalam gelar mereka nampaknya menjadi semakin banyak. Tetapi justru karena sebagian dari orang-orang Pajang telah bertempur dengan cara mereka sendiri.

Namun dalam keadaan yang demikian, maka para senapati dari pasukan khusus Mataram telah meneriakkan perintah, agar mereka berusaha untuk tetap dalam satu keterikatan pasukan. Perintah yang sambung-menyambung.

Demikian pula Sabungsari di sisi yang lain berusaha untuk tetap mengikat pasukannya agar tak terpancing oleh cara yang dipergunakan orang-orang Pajang.

Namun dalam pada itu, di antara orang-orang Mataram terdapat pula orang-orang yang mampu dengan tangkas menanggapi cara bertempur orang-orang Pajang itu. Sebagian dari para pemimpin pasukan yang bergabung dengan Mataram mampu menghadapi orang-orang yang melepaskan diri dari keterikatan gelar.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi semakin hiruk pikuk. Selain dentang senjata dan teriakan-teriakan yang garang, maka para prajurit dan pengawal masih juga bersorak-sorak apabila mereka mendapatkan kemenangan-kemenangan kecil. Bukan saja karena kemampuannya, namun dengan sorak yang riuh itu, mereka berusaha untuk mempengaruhi perasaan lawan.

Dalam kekalutan itu, tiba-tiba telah terjadi sesuatu. Jika suara bende yang tidak henti-hentinya itu semula tidak lagi dihiraukan oleh pasukan kedua belah pihak, justru karena telinga mereka seakan-akan telah terbiasa, namun tiba-tiba suara bende itu telah berubah.

Suara bende yang semula melengking-lengking memenuhi arena dan bahkan terasa menyakitkan telinga, maka suara itu kemudian telah terhenti.

Kepercayaan Kakang Panji yang memerintahkan sekelompok orangnya mencari bende bernama Kiai Bicak yang sebenarnya itu mengira, bahwa sekelompok orang-orangnya itulah yang telah membungkam bende itu. Namun yang justru terjadi kemudian sangat menggejutkannya.

Setelah beberapa saat suara bende yang menyakitkan telinga itu terhenti, tiba-tiba saja telah berbunyi suara bende yang lain. Suara bende yang bagaikan menggelepar mengguncang udara di sekitar arena pertempuran.

Suara itu benar-benar menggetarkan. Suara itu tiba-tiba telah mengingatkan mereka yang bertempur, suara bende yang pertama kali mereka dengar. Suara itu. Bukan suara yang baru saja terhenti.

Suara yang berubah itu ternyata telah menyentuh setiap orang dalam pertempuran yang dahsyat itu. Suara itu telah membuat mereka yang mendengarnya menyadari, bahwa yang mereka dengar selama ini bukanlah suara bende itu. Bukan suara bende yang mereka dengar pertama kali di pinggir Kali Opak.

Selama ini orang-orang Pajang tidak menghiraukannya. Bahkan mereka memang berusaha untuk tidak mendengar dan terpengaruh oleh suara bende itu. Sehingga dengan demikian, mereka tidak menyadari, bahwa suara bende itu telah berubah.

Namun kini setelah suara bende itu didengar kembali, maka orang-orang Pajang itu tidak dapat menahan getar di dalam dadanya. Mereka tidak dapat mengingkari bahwa suara bende itu mempunyai pengaruh yang kuat di dalam hati mereka.

Dalam suasana yang demikian, maka orang-orang Mataram justru mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Suara bende itu mempunyai pengaruh yang sebaliknya bagi mereka, karena menurut kepercayaan mereka, jika bende itu melontarkan bunyi yang lantang, maka itu berarti bahwa mereka akan mendapatkan kemenangan.

Ternyata kepercayaan yang demikian itu mempunyai pengaruh yang sangat besar. Pasukan Mataram yang memang berjumlah lebih banyak itu merasa bahwa mereka akan segera memenangkan perang, sehingga dengan demikian, maka merekapun telah mengerahkan segenap ilmu dan kemampuan mereka.

Gelombang yang dahsyat itu terasa melanda pertahanan orang-orang Pajang. Bergulung-gulung tidak henti-hentinya, sehingga pertahanan orang-orang Pajang itupun seakan-akan menjadi semakin rapuh karenanya. Jumlah yang banyak dari orang-orang Mataram, telah mengisi kekurangan mereka dalam perbendaharaan pengalaman.

Namun dalam pada itu, Ki Juru masih tetap merasakan betapa beratnya tekanan lawannya. Setiap kali Ki Juru terpaksa mempergunakan kemampuannya untuk membuat dirinya sendiri menjadi rangkap. Namun lambat laun, Kakang Panji itupun telah mempergunakan cara yang membuat Ki Juru mengalami kesulitan. Setiap kali Kakang Panji selalu berusaha mengambil jarak untuk melontarkan serangannya kepada kedua ujud yang kembar itu berturut-turut. Namun dalam keadaan yang demikian, Ki Juru masih mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan diri menghindari serangan yang nggegirisi itu.

Dengan demikian, maka pertempuran antara kedua orang itupun semakin lama menjadi semakin dahsyat. Meskipun Ki Juru tidak mempunyai kemampuan menyerang pada jarak di luar jangkauan tangannya, namun dalam puncak ilmunya Ki Juru telah membuat Kakang Panji berdebar-debar. Pada saat-saat yang kadang-kadang di luar perhitungan Kakang Panji, Ki Juru tiba-tiba saja telah menyerang dengan gerak yang sangat cepat. Pada saat Kakang Panji sempat menghindar, sehingga serangan Ki Juru menyentuh sasaran yang lain, maka tiba-tiba sentuhannya itu telah mengeluarkan asap.

“Sentuhan tangannya melampaui panasnya api,” geram Kakang Panji yang marah. Namun serangan Kakang Panji pun tidak kalah dahsyatnya.

Orang-orang yang ada di sekitar kedua orang itu pun semakin lama telah menyibak semakin jauh. Namun dalam pada itu, orang-orang Mataram-lah yang berhasil mendesak orang-orang Pajang, sehingga dengan demikian, beberapa orang kepercayaan Kakang Panji telah bertahan mati-matian untuk tidak terdesak dari landasan mereka untuk tetap berada tidak terlalu jauh dari arena pertempuran Kakang Panji.

Ternyata mereka adalah orang-orang yang bukan saja memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi mereka adalah orang-orang yang tidak lagi menghiraukan apapun juga, selain usaha untuk tetap berada di arena yang tidak terlalu jauh.

Sementara itu, di bagian lain dari arena pertempuran itu, Raden Sutawijaya melihat bahwa pasukannya mulai menguasai keadaan. Raden Sutawijaya sendiri masih tetap belum turun ke arena. Ia ingin melihat pertempuran itu dalam keseluruhan. Apalagi setelah pasukannya berhasil mendesak lawannya.

Di beberapa bagian, Raden Sutawijaya memang melihat, orang-orang berilmu tinggi masih bertempur dengan sengitnya. Namun keadaan pertempuran itu dalam keseluruhan sangat mempengaruhinya, sehingga orang-orang berilmu tinggi itu pun akhirnya sulit untuk bertahan menghadapi Ki Waskita, putra Ki Gede Pasantenan dan beberapa orang yang lain.

Namun dalam pada itu, Raden Sutawijaya merasa kehilangan seseorang. Dari para pengamat yang mendapat tugas daripadanya untuk membuat laporan menyeluruh, Raden Sutawijaya tidak melihat Kiai Gringsing di arena pertempuran itu.

“Kiai Gringsing telah menyelesaikan lawannya,” seseorang melaporkan. ”Namun kemudian ia tidak lagi berada di tempatnya atau menghadapi lawan yang lain.”

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi untuk sementara ia masih saja membiarkannya. Katanya, “Mungkin Kiai Gringsing perlu beristirahat atau ia telah memilih satu tugas tertentu yang penting dan berada di luar pengamatan kita.”

Petugas yang melaporkan itu hanya mengangguk-angguk. Namun ia mendapat pesan dari Raden Sutawijaya, “Tetapi usahakan untuk melihat, dimana Kiai Gringsing itu sekarang.”

“Baik Raden,” jawab petugas itu, “aku akan mencarinya.”

Namun sementara petugas itu meninggalkannya, maka telah datang menghadap seorang penghubung dari induk pasukan yang melaporkan keadaan pertempuran di induk pasukan secara menyeluruh.

“Jadi Paman Juru Martani mengalami kesulitan dengan lawannya itu?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Ya Raden. Lawannya adalah orang yang luar biasa,” jawab petugas yang melaporkannya.

“Paman Juru Martani bukan orang kebanyakan,” desis Raden Sutawijaya, “ia memiliki ilmu yang dahsyat. Dan pada puncak kemarahannya ia adalah orang yang sangat berbahaya bagi lawan-lawannya.”

Namun penghubung yang menghadap itu menjelaskan apa yang terjadi. Lawan Ki Juru mempunyai kemampuan yang jarang dimiliki oleh orang-orang berilmu tinggi sekalipun.

“Ia mampu melontarkan serangan di luar jangkauan wadagnya?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Ya Raden. Bahkan jarak jangkau serangannya itu mencapai beberapa langkah dari tempatnya berdiri,” jawab penghubung itu.

“Beberapa langkah?” ulang Raden Sutawijaya.

“Ya Raden. Memang orang luar biasa,” jawab penghubung itu.

“Baiklah. Aku akan melihatnya. Aku akan menyerahkan pimpinan dan pengamatan pasukan Mataram kepada seseorang. Mungkin kepada Untara yang menguasai masalah-masalah keprajuritan. Sementara itu aku akan menyeberang ke belakang orang-orang Pajang untuk melihat apa yang telah terjadi di medan sebelah,” berkata Raden Sutawijaya.

“Silahkan Raden. Aku akan menunjukkannya,” berkata petugas itu.

“Tunggulah di sini. Aku akan menemui beberapa orang di sini,” berkata Raden Sutawijaya kemudian.

Sejenak kemudian Raden Sutawijaya telah meninggalkan tempatnya. Ketika ia berhasil menemui Untara, maka ia pun memerintahkan Untara untuk mengamati seluruh medan di sisi timur.

“Aku akan berada di sisi barat,” berkata Raden Sutawijaya.

“Baik Raden. Aku akan berbuat sebaik-baiknya. Tetapi apakah para senapati sudah mengetahui?” bertanya Untara.

“Aku akan memberitahukan kepada mereka,” jawab Senapati ing Ngalaga.

“Silahkan Raden,” jawab Untara.

Seperti yang dikatakan, maka Raden Sutawijaya pun segera berloncatan dari satu tempat ke tempat yang lain diikuti oleh dua orang pengawal kepercayaannya. Ditemuinya putra Ki Gede Pasantenan. Ditemuinya Ki Waskita, Sabungsari, Ki Lurah Branjangan dan para pemimpin yang lain.

Kepada mereka Raden Sutawijaya memberitahukan bahwa pimpinan pasukan dalam keseluruhan ada di tangan Untara, yang dianggap mengerti dan menguasai gelar perang dan tata keprajuritan, meskipun bukan berarti bahwa Untara adalah orang yang memiliki ilmu yang tertinggi di antara orang-orang Mataram.

Namun dalam pada itu, seperti yang dilaporkan oleh para petugas dan sebagaimana disaksikan sendiri, Kiai Gringsing tidak ada di medan.

Tidak seorang pun yang dapat mengatakannya. Glagah Putih pun tidak melihatnya. Apalagi Pandan Wangi dan Sekar Mirah yang kemudian telah memasuki arena pertempuran itu pula, setelah mereka berhasil menjebak sekelompok prajurit Pajang yang ingin merampas bende Kiai Bicak.

Tetapi Raden Sutawijaya tidak mencarinya lebih lama. Ia mencemaskan keadaan Ki Juru Martani. Meskipun Ki Juru adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi, namun ternyata ia mengalami kesulitan.

“Tentu orang yang menjadi lawannya itu orang yang luar biasa,” berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya.

Bahkan Raden Sutawijaya pun kemudian teringat seseorang yang telah melintasi Kali Opak di malam ketika pasukan Pajang dan pasukan Mataram saling berhadapan seberang-menyeberang Kali Opak. Seorang yang telah menyerangnya dengan sambaran ilmu yang memecahkan batu padas.

Karena itu, maka Raden Sutawijaya pun dengan tergesa-gesa telah meninggalkan medan di sisi timur. Mereka akan pergi ke medan di seberang barat.

“Kita melingkari medan,” berkata Raden Sutawijaya kepada kedua orang pengawal yang akan menyertainya.

Demikianlah, maka mereka pun telah berusaha pergi ke seberang. Mereka menyusuri medan sampai ke ujung. Kemudian melingkar untuk pergi ke seberang sebelah barat. Agaknya jalan itu lebih baik daripada mereka menerobos medan.

Namun, tiba-tiba langkah Raden Sutawijaya terhenti. Dengan sigap ia bergeser.

Kedua pengawalnya pun terkejut. Namun mereka segera mempersiapkan diri pula.

Namun Raden Sutawijaya pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Yang kemudian muncul dari balik gerumbul adalah Pangeran Benawa.

“Kau Adimas?” bertanya Raden Sutawijaya.

Pangeran Benawa tersenyum. Dengan nada dalam ia bertanya, “Apakah Kakangmas akan melihat arena di sebelah barat?”

“Ya” jawab Raden Sutawijaya, “Paman Juru Martani bertempur di sebelah barat.”

“Paman Juru Martani akan menyelesaikan semua persoalan,” berkata Pangeran Benawa selanjutnya.

“Mudah-mudahan,” desis Raden Sutawijaya. Namun katanya kemudian, “Tetapi menurut laporan yang aku terima, Paman Juru Martani mengalami kesulitan”

Pangeran Benawa mengerutkan keningnya. Sementara itu Raden Sutawijaya bertanya, “Kenapa Adimas berada di tempat ini? Aku menerima pesan Adimas lewat Aji Pameling. Aku kira Adimas masih berada di pesanggrahan.”

“Aku memang ingin melihat medan,” jawab Pangeran Benawa, yang kemudian menceritakan tentang Ayahandanya, Sultan Hadiwijaya.

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ada sepercik kegelisahan di dalam hatinya tentang Ayahandanya, Sultan Hadiwijaya. Namun sejenak kemudian ia berusaha untuk melenyapkan kesan kegelisahannya itu.

“Baiklah,” berkata Raden Sutawijaya kemudian, “sekarang kita menghadapi keadaan yang rumit ini. Meskipun orang-orang Mataram nampaknya berhasil menguasai lawan-lawan mereka, namun ada sesuatu yang menggelisahkan.”

“Apa yang telah menggelisahkan Kakangmas?” bertanya Pangeran Benawa.

“Ki Juru Martani mengalami kesulitan menghadapi lawannya,” jawab Raden Sutawijaya.

“Paman Juru?” bertanya Pangeran Benawa agak kurang percaya.

“Ya. Karena itu, aku melingkari arena untuk menyaksikan apa yang telah terjadi,” jawab Raden Sutawijaya.

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku ikut bersama Kakangmas. Menarik sekali bahwa ada orang yang mampu mengatasi kemampuan Paman Juru Martani di antara orang-orang Pajang.”

“Aku teringat apa yang terjadi di pinggir Kali Opak, ketika pada suatu malam seseorang telah menyeberang dan pada saat ia meninggalkan tebing barat, telah menyerangku dengan ilmu yang dahsyat,” berkata Raden Sutawijaya.

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Mungkin orang itu yang telah menghadapi Ki Juru sekarang.”

“Ciri-ciri ilmunya memang menunjukkan demikian,” berkata Raden Sutawijaya kemudian. Lalu, “Marilah. Kita akan melihat apa yang telah terjadi.”

Pangeran Benawa pun kemudian mengikuti Raden Sutawijaya melingkari arena menuju ke sisi sebelah barat. Dengan hati-hati mereka telah mendekati medan. Bahkan para pengawal pun kemudian telah membaurkan diri di dalam arena bersama-sama dengan para prajurit dari Mataram dengan segala ciri-cirinya.

Namun dalam pada itu, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya masih tetap mengambil jarak. Meskipun demikian mereka pun kemudian dapat menyaksikan apa yang telah terjadi dengan Ki Juru Martani.

Dalam pada itu, Ki Juru memang telah mengerahkan segenap kemampuannya. Bukan saja benda-benda yang tersentuh tangannya menjadi berasap sebagaimana tersentuh panasnya api. Tetapi hampir setiap benda yang tersentuh tangannya kemudian justru telah hangus menjadi abu.

Tetapi tangan Ki Juru itu masih belum mampu menyentuh tubuh lawannya, Bahkan setiap kali Ki Juru terpaksa harus berloncatan, menjadikan dirinya rangkap, bahkan dengan susah payah membuat lawannya untuk sejenak memperhitungkan geraknya dalam ujudnya yang rangkap.

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Ia pun segera melihat bahwa lawan Ki Juru memang orang yang luar biasa. Serangan-serangan yang terlontar dari tangannya, benar-benar mendebarkan jantung, Meskipun seseorang memiliki daya tahan yang sangat tinggi, namun mereka tentu akan mengalami cedera jika mereka tersentuh serangan lawan Ki Juru yang dahsyat itu.

Meskipun demikian, lawan Ki Juru yang luar biasa itu pun merasa betapa liatnya Ki Juru yang tua itu. Kemarahan orang itu pun menjadi semakin memuncak. Orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu tidak menyangka, bahwa Ki Juru Martani akan dapat mengimbangi ilmunya untuk sekian lamanya.

“Nyawa orang ini memang liat sekali,” geram orang itu.

Namun dalam pada itu, orang itu pun benar-benar ingin segera menghancurkan lawannya.

“Aku tidak peduli dengan pertempuran dalam keseluruhan sekarang ini,” katanya di dalam hati. Tetapi Kakang Panji itu yakin, jika ia dapat mengalahkan Ki Juru dalam waktu yang singkat, maka ia pun tentu akan segera dapat menghancurkan orang-orang Mataram. Ia dapat mempergunakan ilmunya, Jika orang-orang Mataram benar-benar telah mendesak orang-orang Pajang, maka ia akan dapat menyerang dari belakang garis perang. Ia dapat menghancurkan orang-orang Mataram dari arah punggung tanpa mengorbankan orang-orang Pajang sendiri, meskipun mungkin ada juga satu dua di antara mereka yang akan menjadi korban tanpa disengajanya.

Tetapi Ki Juru itu tidak segera dapat dilumatkan. Ki Juru itu tidak dapat segera terkena sambaran kekuatan tangannya dan meledak menjadi sayatan daging dan pecahan tulang. Ki Juru masih saja dapat membuatnya bingung.

Demikianlah, pertempuran antara kedua orang itu menjadi semakin lama semakin dahsyat. Meskipun Ki Juru tidak dapat sepenuhnya mengimbangi ilmu lawannya, tetapi lawannya pun tidak mudah dapat mengalahkannya dan apalagi menghancurkannya.

Dalam keadaan yang paling gawat dari benturan ilmu kedua orang itu, maka tiba-tiba saja orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu telah mengambil jarak yang cukup. Di saat Ki Juru bersiap menghadapi sambaran serangan dari tangan Kakang Panji, ternyata orang itu telah mengambil sikap yang lain. Orang itu sama sekali tidak mengayunkan tangannya dan tidak menghentakkan kekuatan dari tangannya itu, yang akan dapat memecahkan batu-batu padas. Namun orang itu justru sekali lagi mengambil jarak.

Ki Juru memang menjadi heran. Ia sadar, bahwa ia akan dapat memasuki jebakan ilmu jika ia kurang berhati-hati.

Namun, selagi Ki Juru memperhatikan lawannya dengan saksama, maka barulah ia menyadari apa yang sedang terjadi. Ternyata Kakang Panji itu telah mengerahkan jenis ilmunya yang lain. Ilmu yang mempunyai kekuatan luar biasa. Tidak lewat benturan kekuatan atau kecepatan gerak, tetapi Kakang Panji telah menyerang lawannya lewat indra penciumannya.

Serangan itu memang mengejutkan Ki Juru. Ketika tercium bau yang sangat wangi, maka Ki Juru itupun sadar, bahwa ia telah memasuki satu perjuangan yang sangat berat.

Bau yang sangat tajam menusuk hidung itu, ternyata bukan saja hanya tercium oleh Ki Juru, tetapi orang-orang yang ada di sekitarnya pun telah menciumnya pula. Meskipun demikian, sebagaimana yang telah terjadi, sasaran utama yang dikehendaki yang dapat dijangkau oleh penglihatannyalah yang mengalami gangguan yang terbesar. Orang-orang lain yang tidak menjadi sasarannya langsung, memang tidak terlalu terpengaruh oleh bau yang menusuk itu.

Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa telah mencium bau itu pula. Dan mereka pun segera mengetahui, bahwa pada saat Agung Sedayu bertempur melawan Ki Tumenggung Prabadaru, maka orang itu, atau orang yang seperguruan dengan orang itu telah mengganggu Agung Sedayu dengan serangannya.

Dan kini, ia tidak sekedar mengganggu, tetapi kini ia berhadapan dengan Ki Juru Martani. Dengan ilmu itu pula ia telah menyerang, di samping ilmunya yang lain yang ada padanya. Ilmu petirnya yang dapat dilontarkannya dari tangannya, menyambar lawannya dan menghancurkannya.

Ki Juru pun menyadari akan hal itu. Karena itu, maka segera ia memusatkan bukan saja ilmunya untuk menghancurkan lawannya apabila berhasil disentuhnya, tetapi juga kemampuan batinnya untuk mengatasi serangan pada indra penciumannya.

Dengan segenap kemampuan yang ada padanya, Ki Juru berusaha untuk menutup indra penciumannya tanpa mengganggu pernafasannya, sementara ia masih harus memperhatikan kekuatan petir yang setiap kali datang menyambarnya.

Namun lawannya memang seorang yang tangguh tanggon. Dalam keadaan yang demikian, maka tangannya telah terayun dan melepaskan serangannya. Ki Juru yang melihat gerak itu pun telah meloncat ke dua arah, karena ujudnya yang rangkap.

Ujud yang rangkap itu memang dapat sekedar membingungkan lawannya dan memberinya kesempatan mempersiapkan diri menghadapi serangan-serangan berikutnya. Namun serangan lewat indra penciumannya itu ternyata demikian tajamnya. Meskipun kadang-kadang lawannya harus melepaskan serangannya, justru pada saat-saat Ki Juru berhasil menyusup ke dalam perisai pertahanannya, namun ketajaman bau yang sangat menusuk itu telah berhasil menembus indranya betapapun ia berusaha untuk menutupnya rapat-rapat.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar