Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 166

Buku 166

Di bagian lain dari pertempuran itu, Swandaru masih bertempur dengan dahsyatnya. Cambuknya meledak-ledak memekakkan telinga. Jauh lebih keras dari ledakan cambuk Kiai Gringsing sendiri.

Namun dalam pada itu, seorang berwajah kasar dan berjambang lebat tengah bertempur di sebelahnya. Dengan garangnya orang itu telah mengguncang arena. Tiga orang harus bergabung untuk melawannya.

Orang berwajah kasar dan berjambang itu tertegun, bahkan ia harus meloncat menjauhi lawan-lawannya ketika ia mendengar keluhan tertahan. Lawan Swandaru yang bertempur dengan kemampuan yang mengagumkan itu pada suatu saat telah lengah, sehingga ujung cambuk Swandaru telah menyayat kulitnya tepat di dadanya. Sesaat kemudian, darah telah memancar dari luka itu. Luka yang memanjang meskipun tidak terlalu dalam. Namun luka itu telah membuat senapati itu kehilangan sebagian dari kemampuannya.

Dua orang prajurit Pajang dengan serta merta telah datang melindunginya. Ketika Swandaru akan memburunya, dua orang prajurit itu berlari-lari langsung menyerangnya.

Dengan tangkasnya Swandaru mengelakan serangan itu, sekaligus mengayunkan cambuknya mendatar.

Sekali lagi, terdengar keluhan tertahan. Seorang dari prajurit itu telah terkena ujung cambuk Swandaru, sehingga terdorong beberapa langkah surut, dan bahkan senjatanya tiba-tiba saja sudah tidak lagi di dalam genggamannya.

Tetapi ketika Swandaru mengangkat cambuknya untuk menyerang prajurit yang seorang lagi, senapati yang terluka itu sudah siap untuk menyerangnya pula, meskipun tubuhnya berlumuran darah.

Dalam keadaan itu, orang berwajah kasar itu telah mendekatinya sambil berkata, “Beristirahatlah. Obati lukamu jika masih mungkin. Biarlah anak bersenjata cambuk ini menjadi lawanku.”

“Persetan,” geram Swandaru “jangan hanya seorang. Majulah bersama-sama.”

“Kau jangan sombong, Anak Muda. Aku, murid Kebo Watang, akan dengan mudah membunuhmu,” jawab orang berwajah kasar itu.

“Aku tidak peduli siapa kau,” jawab Swandaru, “bersiaplah. Kita akan bertempur.”

Orang itu tidak menjawab. Namun ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ketika Swandaru kemudian meloncat menyerangnya maka ia pun telah siap pula menyambutnya.

Dalam pada itu, seseorang telah berlari-lari ke pesanggrahan pasukan Pajang. Dengan tergesa-gesa ia memasuki rumah orang-orang yang seakan-akan tidak menghiraukan pertempuran yang sedang terjadi.

Dengan singkat orang yang berlari-lari itu memberitahukan, bahwa telah terjadi kesulitan di medan.

“Kesulitan?” bertanya seorang yang bertubuh tinggi.

“Ya. Pada Kebo Watang. Ternyata ia berhadapan dengan Kiai Gringsing,” jawab orang yang berlari-lari itu.

“Apa kelebihannya Kiai Gringsing, sehingga ia dapat membuat Kebo Watang dalam kesulitan?” bertanya orang yang bertubuh tinggi itu.

Orang yang datang berlari-lari itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan nada datar ia berkata, “Kita telah salah menilainya. Cambuknya memiliki kekuatan iblis. Kulit Kebo Watang telah dilukainya.”

“Bagaimana dengan senjata Kebo dungu itu?” bertanya orang yang bertubuh tinggi.

“Senjata itu nggegirisi. Tetapi satu kenyataan bahwa ia dalam kesulitan,” jawab orang yang datang berlari-lari dari medan itu.

“Bagaimana dengan muridnya yang mengikutinya?” bertanya orang yang bertubuh tinggi.

“Muridnya telah memisahkan diri. Ia berada di tempat yang berbeda,” jawab orang yang datang itu.

“Lalu, apa maumu sekarang?” bertanya orang bertubuh tinggi.

“Kakang Panji menghendaki, agar kalian menyelamatkan Kebo Watang. Juga seorang di antara kalian harus membayangi Ki Lasem Sanga. Ia pun berada dalam keadaan yang kurang baik,” jawab orang itu.

“Gila,” seorang yang bermata juling menyahut, “bagaimana dengan sayap yang lain?”

“Aku kurang tahu. Aku hanya mengamati satu sayap. Kakang Panji merasa cemas dengan sayap kanan. Ia sendiri belum berhasil menemui Sutawijaya. Mudah-mudahan hari ini semuanya dapat diselesaikan. Kita sudah terlalu lama tertahan di Prambanan. Kita harus segera memecahkan pertahanan itu dan mendesak mendekati benteng terakhir pertahanan Mataram,” berkata orang yang datang dengan tergesa-gesa itu.

Orang bermata juling itu memandang berkeliling. Kemudian katanya, “Jika demikian, kita akan turun semua ke medan. Kenapa sebelumnya tidak ada perintah demikian? Seolah-olah pembalasan dan Kebo dungu itu akan dapat menyelesaikan tugas mereka dengan gemilang.”

“Kakang Panji salah hitung,” jawab orang itu, “tetapi sekarang belum terlambat.”

Seorang berewok dengan kening yang cacat berkata, “Jika Guru mengalami kesulitan, aku akan pergi sekarang.”

“Apa yang dapat kau lakukan, jika Kebo Watang saja mengalami kesulitan?” berkata orang yang bertubuh tinggi.

“Jangan menghina. Aku memiliki kemampuan seluruhnya yang dimiliki Guru,” jawab orang yang cacat di keningnya.

Tetapi orang bertubuh tinggi itu tertawa. Katanya, “Kau terlalu sombong. Jangan membunuh diri. Cari saudara seperguruanmu yang berangkat bersama gurumu. Berdua kalian akan mempunyai arti.”

“Cukup! Kau sangka aku tidak dapat menyobek mulutmu?” bentak orang berewok serta cacat di kening itu.

“Kita berada di medan pertempuran,” orang yang datang berlari-lari itu menengahi, “jangan menjadi gila. Kita memerlukan kalian berada di medan. Sementara itu, semua senapati cadangan pada pasukan khusus juga sudah ditarik ke medan. Ki Tumenggung Prabadaru sendiri telah terlibat dalam satu pertempuran yang tidak dimengerti dengan Agung Sedayu.”

“Apa maksudmu pertempuran tidak dimengerti?” bertanya orang yang bertubuh tinggi.

Orang yang datang tergesa-gesa itu termangu-mangu sejenak, namun kemudian katanya, “Kita tidak mempunyai banyak waktu. Jika kita terlambat, maka matahari akan segera turun, dan pertempuran akan tertunda. Sementara itu, orang-orang sempat membuat penilaian dan membuat perhitungan-perhitungan baru.”

“Tetapi aku ingin tahu, apa maksudmu dengan pertempuran yang tidak dimengerti itu?” orang bermata juling itu pun bertanya.

“Pertempuran yang sangat dahsyat. Keduanya bertempur tanpa senjata. Tetapi mereka benar-benar mengadu ilmu. Ki Tumenggung Prabadaru memiliki ilmu yang tidak dapat dijajagi betapa tingginya. Ia bersumber pada kekuatan tanah, air, api dan udara. Sementara Agung Sedayu pun seperti orang yang kalis dari segala macam bencana. Kulitnya bagaikan tidak teraba oleh kekuatan ilmu Ki Tumenggung.”

“Omong kosong,” jawab orang yang berkening cacat. “Tetapi aku tidak peduli. Aku akan menyusul Guru membunuh orang yang bernama Kiai Gringsing.”

Orang itu tidak menghiraukan apa-apa lagi. Iapun kemudian membenahi pakaiannya. Parang yang besar tergantung di pinggangnya. Parang bukan parang kebanyakan. Tetapi parang yang memiliki bentuk dan kemampuan yang tersendiri. Sehingga dengan demikian, maka parang itu lebih dipercaya dari kemampuan ilmu pemiliknya sendiri.

Sejenak kemudian, maka orang-orang yang ada di rumah itu pun telah bersiap-siap. Seorang yang masih saja mengunyah makanan bergumam, “Nampaknya Kakang Panji benar-benar akan menyelesaikan pertempuran hari ini.”

Tetapi kawannya menyahut, “Bukan menyelesaikan pertempuran. Tetapi memecahkan pertahanan Mataram. Seandainya pertahanan ini pecah, maka kita masih akan bertempur lagi pada garis-garis pertahanan Mataram yang berikutnya.”

“Tetapi pertempuran itu tidak akan berarti apa-apa,” jawab orang yang masih mengunyah makanan itu, “pertahanan yang akan dibangun dengan tergesa-gesa itu tidak akan berarti sama sekali.”

Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian turun dari rumah itu dan melangkah menuju ke medan. Seorang telah terlebih dahulu keluar dari regol halaman, sementara yang lain masih sibuk di dalam rumah.

Orang yang datang berlari-lari memberitahukan kesulitan yang terjadi di medan itu pun menggeleng-gelengkan kepalanya. Orang-orang itu memang tidak dapat diatur. Mereka tidak bersama-sama pergi ke medan, apalagi dengan langkah dan sikap yang teratur. Tetapi satu-satu mereka berangkat, seakan-akan satu sama lain tidak ada ikatan apa pun juga.

Namun dari arah lain, beberapa orang dari kesatuan khusus pun telah pergi ke medan. Tetapi mereka berjalan serempak meskipun tidak dalam satu barisan.

Kekuatan cadangan dari Pajang memang sudah dikerahkan. Baik Kakang Panji maupun Ki Tumenggung Prabadaru benar-benar berniat untuk memecahkan pertahanan orang-orang Mataram pada hari itu juga.

Namun dalam pada itu, kedua orang itu terbentur pada satu kenyataan di sayap kanan pasukan dari Mataram. Ternyata rencana Untara berhasil. Pasukan Pajang benar-benar telah terbelah. Meskipun dengan demikian bukan berarti bahwa pasukan Pajang tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Namun dengan demikian, maka pasukan Pajang seakan-akan telah didorong ke dalam satu keadaan yang tidak mereka kehendaki. Pengaruh terbesar dari keberhasilan Untara tidak pada kekuatan pasukannya yang berhasil membelah pasukan Pajang, tetapi lebih banyak pada pengaruh perasaan para prajurit Pajang dan para prajurit serta pengawal yang berpihak kepada Mataram.

Para prajurit Pajang merasa, seolah-olah mereka telah terpecah. Mereka tidak mengetahui dengan pasti, nasib kawan-kawan mereka pada belahan yang lain. Sementara itu pasukan Mataram merasa berhasil menusuk langsung sampai ke pusat jantung pasukan Pajang, sehingga mereka telah berhasil mencapai inti kekuatan pasukan Pajang itu.

Kakang Panji melihat dengan cermat tusukan pasukan Mataram itu. Iapun menjadi cemas. Tetapi Kakang Panji mempunyai perhitungan lain. Ia membiarkan pasukan di sayap kirinya itu untuk sementara dalam keadaannya. Ia berharap bahwa pasukan itu akan dapat bertahan sampai senja. Seandainya pasukan itu terdesak mundur, namun pasukan Mataram takkan dapat menghancurkan gelar pasukan Pajang di sayap kiri itu. Sementara itu, Kakang Panji berharap, bahwa sayap kiri pasukan Mataram akan dapat dihancurkan oleh sayap kanan pasukannya. Karena itu, maka ia mengerahkan orang-orangnya, dan sejalan dengan itu, Ki Tumenggung Prabadaru pun telah mengerahkan para senapati yang disiapkan untuk mengisi setiap kekosongan untuk maju bersama-sama.

“Di sayap itu, lebih banyak terdapat orang-orang berilmu tinggi” berkata Kakang Panji di dalam hatinya, “nampaknya Senapati ing Ngalaga lebih mempercayakan sayap kanannya kepada kemampuan gelar dari Senapati Besar Untara, sehingga ia pun meletakkan seluruh pasukan khususnya di sayap kiri, menghadapi langsung pasukan Ki Tumenggung Prabadaru.”

Karena itulah, maka para senapati dan orang-orang berilmu tinggi berduyun-duyun telah pergi ke arena pertempuran di sayap kanan pasukan Pajang, menghadapi sayap kiri pasukan dari Mataram.

Sebenarnyalah pasukan Pajang di sayap kanan tidak mengalami desakan yang berat seperti pasukan Pajang di sayap kiri. Bahkan pasukan Pajang itu berhasil mendesak pasukan Mataram beberapa langkah menjauhi tebing.

Namun pasukan itu telah tertahan, ketika para pemimpin Mataram yang berilmu tinggi hadir di medan untuk ikut bertempur bersama para pengawal, menghadapi para pemimpin dan senapati dari Pajang.

Orang-orang berilmu tinggi itulah yang telah mengundang para pemimpin dan senapati dalam kekuatan cadangan dari pasukan Pajang untuk tampil, sekaligus berhubungan dengan niat Kakang Panji dan Ki Tumenggung Prabadaru untuk memecahkan pertahanan Mataram. Meskipun di sayap yang lain pasukan Mataram berhasil menekan pasukan Pajang, tetapi jika di satu sayap, pasukan Mataram benar-benar dapat dihancurkan, maka sayap yang lainpun tidak akan dapat bertahan lebih dari hari berikutnya.

Dalam pada itu, Kakang Panji yang mengamati pertempuran itu dengan cermat, melampaui pengamatan Kanjeng Sultan sendiri lewat para pengamatnya, telah dapat mengetahui kesulitan yang parah yang dialami oleh Kebo Watang dan Ki Lasem Sanga. Kesulitan yang tidak diperhitungkan akan terjadi oleh Kakang Panji. Kakang Panji berharap bahwa kedua orang yang memiliki kemampuan yang tinggi itu akan dapat membantu menghancurkan para pemimpin dari Mataram.

Bahkan seorang senapati dari pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru itupun telah dilukai oleh cambuk Swandaru, sehingga salah seorang murid Kebo Watang harus menghadapi anak muda gemuk dari Sangkal Putung itu. Apalagi senapati yang menghadapi Ki Gede Menoreh. Senapati terpilih itupun tidak mampu mendesak lawannya, meskipun lawannya itu memiliki cacat pada kakinya.

Namun yang paling mencemaskan Kakang Panji adalah kesulitan yang dialami oleh Kebo Watang dan Ki Lasem Sanga. Kedua orang yang termasuk orang-orang yang paling dibanggakan.

“Murid-murid Kebo Watang akan membantunya, dan orang yang melawan Ki Lasem Sanga itupun harus dibinasakan meskipun harus dilakukan oleh dua atau tiga orang,” berkata Kakang Panji kepada orang-orang kepercayaannya.

“Apakah mereka tidak berkeberatan untuk bertempur berpasangan seperti yang Kakang Panji kehendaki?” bertanya seorang kepercayaannya.

“Keberatan atau tidak keberatan,” jawab Kakang Panji, “jika mereka sekedar berpegangan kepada harga diri, maka tugas kita tidak akan cepat selesai.”

Kepercayaannya itu tidak membantah. Ia pun sependapat, bahwa cara itu dapat saja ditempuh dalam peperangan. Kecuali jika mereka berjanji untuk berperang tanding.

Dalam pada itu, ternyata Ki Tumenggung Prabadaru dan Agung Sedayu telah menempatkan diri dalam perang tanding itu. Ki Tumenggung Prabadaru yang merasa memiliki ilmu yang tidak ada duanya ingin memaksa Agung Sedayu mengakui kemenangannya dan kemudian dibunuhnya.

Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu yang bertempur melawan Ki Tumenggung dengan masing-masing tanpa mempergunakan senjata itupun segera merasa, betapa tinggi kemampuan Tumenggung yang menjadi pemimpin pasukan khusus di Pajang itu. Seorang yang tuntas menyadap ilmu dari jalur perguruannya. Ilmu yang bertumpu kepada kekuatan yang terserap dari kekuatan tanah, air, api, dan udara. Dengan demikian, maka ilmu Ki Tumenggung mempunyai watak sebagaimana sumber kekuatannya. Kadang-kadang Ki Tumenggung berdiri tegak bagaikan batu karang yang tidak terguncang. Namun kadang-kadang serangannya meluncur seperti arus prahara yang dahsyat. Jika lawannya berhasil melepaskan diri dari amukan praharanya, maka serangannya pun datang bergulung-gulung seperti ombak di lautan yang melandanya beruntun tidak henti-hentinya.

Tetapi yang paling garang adalah kekuatan api yang terdapat dalam ilmu Ki Tumenggung Prabadaru. Untuk sementara Ki Tumenggung dengan sengaja belum mempergunakannya. Ia ingin menilik bobot ilmu lawannya tanpa mempergunakan kekuatannya yang paling dahsyat.

“Betapapun tinggi ilmunya, ia masih terlalu muda untuk dapat melawan ilmuku. Meskipun ia mampu membunuh Ajar Tal Pitu dan Ki Mahoni, namun ia akan kehilangan kiblat perlawanannya menghadapi ilmuku yang tidak ada bandingnya,” berkata Ki Tumenggung Prabadaru.

Dalam pada itu, Agung Sedayu untuk beberapa saat memang harus mengakui kelebihan ilmu Ki Tumenggung. Beberapa kali Agung Sedayu terdesak dan terpaksa berloncatan menghindari serangan lawannya.

Untuk beberapa saat Ki Tumenggung masih belum melihat kelebihan Agung Sedayu. Bahkan, Ki Tumenggung mulai curiga bahwa Agung Sedayu benar-benar mampu membunuh Ajar Tal Pitu dan Ki Mahoni tanpa melakukan satu kecurangan yang licik. Justru karena itu, maka Ki Tumenggung pun menjadi sangat berhati-hati. Ia harus memperhatikan lawannya dengan saksama. Mungkin Agung Sedayu akan mempergunakan akal yang licik pula untuk mengalahkannya. Mungkin ia sempat menyebar racun atau mempergunakan orang lain yang mampu menyerang dari jauh dengan mempergunakan tulup beracun, atau cara-cara lain seperti itu.

Dalam pada itu, Agung Sedayu yang kemudian dapat menjajagi tingkat ilmu lawannya, mulai mempersiapkan diri untuk memasuki perang tanding yang benar-benar akan menentukan. Apakah ia berhasil keluar dari pertempuran itu, atau mayatnya akan terkapar di pinggir Kali Opak.

Sekilas teringat olehnya Sekar Mirah. Ia belum terlalu lama hidup berkeluarga. Jika ia gagal mempertahankan diri, maka Sekar Mirah akan menjadi janda.

“Tetapi ia seorang perempuan yang memiliki landasan untuk hidup sendiri,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Karena itu, maka justru Agung Sedayu menjadi tenang, dan tidak memikirkannya lagi.

Yang kemudian nampak di matanya adalah Ki Tumenggung Prabadaru dengan segala macam kelebihannya. Dan ia harus mempersiapkan diri melawan segala macam ilmu yang nggegirisi itu.

Namun, sebenarnyalah Agung Sedayu mempunyai akal yang cukup baik untuk mengimbangi Ki Tumenggung. Yang mula-mula diterapkan adalah ilmu kebalnya. Tetapi ia belum memeras ilmu itu sampai ke puncak. Ia masih menunggu perkembangan benturan ilmu itu untuk selanjutnya.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung yang menyadari bahaya yang dapat memancar dari mata Agung Sedayu, berusaha untuk selalu mengambil jarak dekat, sehingga Agung Sedayu tidak akan mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu dengan sorot matanya, meskipun Ki Tumenggung Prabadaru belum tahu pasti, arti dari sorot mata Agung Sedayu itu. Tetapi sebagai seorang yang berilmu tinggi, ia mengenal kemungkinan yang gawat dari pandangan mata Agung Sedayu yang mendebarkan itu. Sejenak kemudian, maka pertempuran di antara kedua orang itu telah menjadi semakin meningkat. Ketika Ki Tumenggung menyerang dengan kekuatan praharanya, maka Agung Sedayu tidak lagi mempersulit diri, karena ia menyadari, pertempuran itu tentu akan berlangsung lama. Karena itu, maka ia pun telah mengetrapkan kemampuannya untuk memperingan tubuhnya, sehingga seolah-olah ia tidak lagi mempunyai bobot. Dengan demikian, maka dengan mudah Agung Sedayu menghindari setiap serangan yang datang melibatnya.

“Gila,” geram Ki Tumenggung, “ilmu apa yang dimiliki oleh anak ini.”

Namun setiap kali, serangan Ki Tumenggung yang dahsyat menyambar anak muda itu, ia selalu sempat menghindar. Bahkan dengan kecepatan yang sulit dimengerti, Agung Sedayu sempat menyerangnya pula.

Tetapi, serangan Ki Tumenggung tidak terhenti dalam keheranannya melihat Agung Sedayu dengan tangkasnya melontarkan diri. Ketika Agung Sedayu sempat menghindar, maka tiba-tiba serangan Ki Tumenggung telah berubah. Serangan itu datang beruntun, seperti ombak yang bergulung-gulung. Satu serangan yang gagal, disusul oleh serangan yang lain yang tidak kalah dahsyatnya.

Terasa oleh Agung Sedayu, bahwa ia seolah-olah telah kehilangan kesempatan untuk menyerang. Meskipun Agung Sedayu sama sekali tidak tersentuh oleh serangan itu, namun serangan itu selalu mengejarnya.

“Aku harus menunjukkan kepada Ki Tumenggung, bahwa aku mampu bergerak lebih cepat,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Karena itulah, maka Agung Sedayu pun kemudian dengan sengaja menunjukkan betapa dirinya mampu melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh Ki Tumenggung.

Ketika serangan yang membadai itu datang melandanya, maka dengan cepat dan seolah-olah tanpa bobot Agung Sedayu meloncat melenting justru di atas tubuh Ki Tumenggung yang menyerangnya, dan dengan kedua kakinya yang renggang Agung Sedayu berdiri tegak di belakang Ki Tumenggung. Ki Tumenggung pun menggeram dengan marahnya. Sekali lagi ia berputar dan meloncat menyerang. Namun hal seperti itu telah teruiang lagi.

Tetapi Agung Sedayu-lah yang kemudian terkejut bukan buatan. Ketika ia tegak, ia masih melihat Ki Tumenggung memutar tubuhnya. Namun di luar dugaannya, tiba-tiba saja, angin prahara yang dahsyat telah menghantamnya, mendahului serangan Ki Tumenggung Prabadaru. Demikian dahsyatnya, sehingga Agung Sedayu yang tidak menduganya sama sekali itu telah terpelanting dan jatuh berguling di tanah.

Terasa jantung Agung Sedayu berdegup semakin cepat. Dengan tergesa-gesa ia melenting berdiri. Namun demikian ia tegak, serangan Ki Tumenggung Prabadaru telah menghantamnya. Bukan saja arus angin prahara yang keras, tetapi sebenarnyalah tubuhnya telah dikenai oleh serangan Ki Tumenggung Prabadaru. Tangan Ki Tumenggung itu tepat menghantam dada Agung Sedayu.

Agung Sedayu merasakan hantaman tangan Ki Tumenggung itu menghentak di dadanya, mengguncangkan pertahanan ilmu kebalnya, meskipun tidak memecahkannya.

Dengan demikian, maka sekali lagi Agung Sedayu terdorong beberapa langkah. Tetapi ia masih dapat mempertahankan keseimbangannya, sehingga karena itu, maka ia tidak lagi jatuh terguling.

Pada saat itulah serangan Ki Tumenggung telah memburunya dengan kecepatan yang tinggi.

Namun Agung Sedayu telah mendapat kesempatan untuk melenting dengan kemampuannya memperingan tubuhnya. Karena itu, maka serangan Ki Tumenggung berikutnya tidak mengenai sasarannya.

Meskipun demikian, Agung Sedayu harus berhati-hati. Ia sudah dikejutkan oleh serangan badai yang menghantamnya tanpa disentuh tangan Ki Tumenggung. Karena itulah, maka ketika ia menyentuh tanah, ia sudah siap menghadapi kemungkinan itu.

Sebenarnyalah, bahwa serangan itu pun datang seolah-olah memancar dari tubuh Ki Tumenggung Prabadaru, menghantam Agung Sedayu.

Tetapi Agung Sedayu tidak ingin melakukan kesalahan yang sama menghadapi badai yang dilontarkan oleh Ki Tumenggung. Karena itu maka sekali lagi ia melenting menghindar.

Namun, Agung Sedayu tidak ingin sekedar menjadi sasaran. Karena itu melampaui kecepatan Ki Tumenggung Prabadaru, maka Agung Sedayu-lah yang kemudian datang menyerang.

Dengan loncatan panjang Agung Sedayu menjulurkan tangannya tepat mengenai dada Ki Tumenggung. Tetapi Agung Sedayu terkejut, ketika tangannya seolah-olah menghantam seonggok batu karang yang berakar menghunjam ke pusat bumi.

Meskipun oleh ilmu kebalnya tangan Agung Sedayu tidak terasa sakit, tetapi satu dorongan telah memantul dari tenaganya yang tertahan oleh tubuh Ki Tumenggung.

Agung Sedayu justru terdorong beberapa langkah surut. Sesuatu terasa menyesak di dalam dadanya. Pantulan kekuatannya itu tidak menyakitinya, tetapi membuat dadanya bagaikan tersumbat.

Ki Tumenggung masih saja berdiri tegak. Tetapi wajah Ki Tumenggung itu menjadi merah padam. Meskipun oleh kekuatannya yang diserapnya dari kekuatan bumi membuatnya kokoh seperti bukit karang yang tidak goncang oleh hentakan badai dan prahara, namun Ki Tumenggung merasa seolah-olah dadanya menjadi pecah. Isi dadanya bagaikan dirontokkari oleh kekuatan tangan Agung Sedayu.

Sesaat keduanya berdiri tegak di tempatnya. Dengan memusatkan nalar budinya Agung Sedayu berusaha untuk memulihkan pernafasannya, meskipun ia selalu siap menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ternyata Ki Tumenggung itu tidak memburunya. Bahkan Ki Tumenggung yang berdiri tegak itu nampak menahan sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya. Bukan saja kemarahan yang menghentak-hentak, tetapi juga perasaan sakit yang mencengkam. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa Ki Tumenggung pun berusaha untuk memperbaiki keadaannya.

Namun akhirnya Ki Tumenggung menyadari, bahwa ia tidak dapat membiarkan Agung Sedayu mendapat kesempatan untuk mempergunakan matanya, sebagaimana pernah didengarnya. Karena itu, ia tidak membiarkan Agung Sedayu berdiri tegak terlalu lama. Meskipun dadanya masih terasa sakit, namun ia mulai bergerak untuk menyerang.

Agung Sedayu pun segera mempersiapkan diri. Ia memang sudah siap untuk menghadapi kemungkinan yang manapun.

Sejenak kemudian, pertempuran itu pun telah berlangsung pula dengan dahsyatnya. Namun Agung Sedayu mulai merasa kelainan pada tata gerak lawannya. Ki Tumenggung tidak lagi bergerak dengan cepat dan menyerangnya bagaikan badai. Tetapi Ki Tumenggung tiba-tiba saja menjadi lamban.

Namun dalam pada itu, terasa oleh Agung Sedayu, kekuatan lain yang memancar dari tubuh Ki Tumenggung. Bukan lagi prahara dan debur gelombang yang menyerangnya beruntun, bukan lagi kekuatan daya tahannya yang bagaikan batu karang, namun tiba-tiba perlahan-lahan udara terasa menjadi panas.

“Ilmu apa lagi yang dipergunakan oleh Ki Tumenggung ini,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Sebenarnyalah, telah memancar kekuatan yang disadapnya dari kekuatan api, sehingga udara di sekitar Ki Tumenggung itu pun menjadi panas. Bahkan bukan saja udara menjadi panas, ketika tiba-tiba saja Ki Tumenggung itu menghentakkan tangannya, terasa tubuh Agung Sedayu bagaikan tersambar api.

Ternyata panas udara itu berhasil menyusup ke celah-celah ilmu kebal Agung Sedayu, meskipun tidak seutuhnya, sehingga Agung Sedayu tidak menjadi hangus karenanya.

“Anak iblis,” geram Ki Tumenggung Prabadaru. Ia sudah rnenyadari bahwa Agung Sedayu memang seorang yang memiliki ilmu yang linuwih. Tetapi, ketika ternyata Agung Sedayu tidak hangus oleh sambaran apinya, maka Ki Tumenggung itu benar-benar meyakini, bahwa Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang jarang ada bandingnya.

“Pantas Ki Mahoni dan Ajar Tal Pitu dapat dibunuhnya,” berkata Ki Tumenggung Prabadaru, “apa yang dikatakan oleh Pringgajaya memang sebenarnya telah terjadi. Agung Sedayu membunuh Ajar Tal Pitu dalam puncak kemampuannya, di saat bulan terang. Cerita itu bukan dengan sengaja dilebih-lebihkan oleh Pringgajaya, sebagaimana aku melihat sendiri ia membunuh Ki Mahoni.”

Dengan demikian, maka Ki Tumenggung harus benar-benar mempersiapkan diri lahir dan batin. Agung Sedayu adalah lawan yang paling berbahaya yang pernah dihadapinya.

Ketika kemudian Agung Sedayu dan Ki Tumenggung telah terlibat lagi dalam pertempuran yang sengit, maka dikehendaki atau tidak dikehendaki, maka ia telah meningkatkan ilmu kebalnya sampai ke puncak. Namun sejalan dengan itu, maka puncak ilmu kebalnya itupun telah terpengaruh pula sebagaimana ia menghadapi kekuatan api dan cahaya bulan yang dilontarkan oleh Ajar Tal Pitu. Sehingga dengan demikian, maka dari tubuh Agung Sedayu pun telah memancar pula kekuatan yang mirip dengan kekuatan Ki Tumenggung Prabadaru yang disadapnya dari kekuatan api. Sehingga dengan demikian, maka Agung Sedayu pun telah memancarkan panas dari dalam dirinya yang membakar udara di sekitarnya.

Yang terjadi kemudian benar-benar menggetarkan seluruh medan. Kekuatan api yang terpancar dari tubuh Ki Tumenggung dan panas yang membakar udara karena kekuatan puncak ilmu kebal Agung Sedayu, telah membuat medan pertempuran bagaikan terpanggang api.

Beberapa orang prajurit dan pengawal yang bertempur di sekitar medan yang dipergunakan oleh Ki Tumenggung Prabadaru dan Agung Sedayu, telah dihalau oleh udara yang panas, semakin menjauh.

Namun dalam pada itu, yang kemudian menjadi gelisah adalah Ki Tumenggung sendiri. la tidak segera mengerti, kenapa ia sendiri telah terpengaruh oleh ilmunya yang memancarkan kekuatan api.

Tetapi akhirnya, ketajaman nalarnya telah menangkap kenyataan, bahwa Agung Sedayu pun telah memancarkan ilmu yang memiliki kekuatan mirip dengan ilmunya, sehingga panas yang dirasakannya adalah panas yang terpancar dari Agung Sedayu.

“Benar-benar anak iblis,” geram Ki Tumenggung di dalam hatinya, “inilah kekuatan yang dapat memaksa Ajar Tal Pitu kehilangan kesempatan untuk membakar tubuh Agung Sedayu dengan senjata apinya.”

Namun demikian, Ki Tumenggung Prabadaru tidak segera menjadi cemas. Dengan kekuatan yang ada di dalam dirinya, maka iapun melibat Agung Sedayu semakin cepat. Di samping kekuatan apinya, maka bagaikan badai di lautan yang melanda menghantam perahu yang terdorong dan terguncang-guncang oleh ombak yang berputaran dalam amukan prahara yang maha dahsyat. Sementara itu, apabila Agung Sedayu sempat menyerangnya, maka Ki Tumenggung itu seolah-olah tidak terguncang sama sekali oleh kekuatan yang tersadap dari kekuatan bumi.

Namun kekuatan Ki Tumenggung adalah kekuatan bertahan yang tiada taranya. Tetapi bukan ilmu kebal seperti Agung Sedayu, sehingga karena itu, meskipun tubuhnya tidak tergetar oleh serangan Agung Sedayu, namun terasa isi dadanya menjadi pedih dan pernafasannya menjadi sesak.

Meskipun demikian, kekuatan ilmunya telah benar-benar mendera Agung Sedayu dan mengguncang-guncang ilmu kebalnya, sehingga sekali-sekali terasa dinding ilmu kebalnya mulai tertembus.

Dengan demikian, pertempuran antara kedua orang itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada. Namun dalam pada itu, sebenarnyalah Agung Sedayu masih belum sempat mempergunakan kemampuannya yang dapat dipancarkannya lewat sorot matanya. Meskipun kemudian terasa kekuatannya mulai susut, dan iapun merasa perlu untuk mempertimbangkan kemampuannya yang dapat dipancarkan lewat sorot matanya, namun Ki Tumenggung benar-benar berusaha untuk tidak memberi kesempatan kepada Agung Sedayu untuk mempergunakannya.

Tetapi Agung Sedayu berusaha dengan segenap sisa kekuatan dan ilmu yang ada padanya. Dengan puncak ilmu kebalnya, maka panas dari dalam dirinyapun menjadi semakin kuat membakar udara di seputarnya. Bagaimanapun juga, udara yang panas itu telah mempengaruhi lawannya, sehingga lawannyapun merasa bagaikan terpanggang di atas bara.

Dengan demikian, maka semakin lama Ki Tumenggung menjadi semakin sulit untuk mendekati Agung Sedayu. Namun demikian, prahara yang nggegirisi masih saja terpancar dari hentakan tangannya, menyerang Agung Sedayu dari jarak beberapa langkah.

“Bukan main,” desis Agung Sedayu. Hanya oleh kemampuannya memperingan tubuhnya sehingga ia mampu bergerak jauh lebih cepat dari kemungkinan yang dapat dilakukan oleh orang kebanyakan sajalah, maka Agung Sedayu tidak selalu dihantam oleh kekuatan prahara Ki Tumenggung Prabadaru.

Sementara itu, keadaan Kebo Watang memang menjadi semakin sulit. Seorang muridnya yang telah berada di medan pun telah terikat dalam pertempuran melawan Swandaru, sehingga muridnya itu tak dapat mengetahui apa yang telah terjadi dengan gurunya.

Namun dalam pada itu, beberapa orang telah memasuki medan pertempuran. Seorang murid Kebo Watang yang lain, segera menemukan gurunya yang berada dalam kesulitan, sementara yang lainpun telah memancar di seluruh sayap, setelah mereka mendapatkan tanda masing-masing.

“Inikah yang disebut orang bercambuk itu?” berkata murid Kebo Watang ketika ia melihat gurunya dalam kesulitan melawan Kiai Gringsing.

Karena itu, maka tanpa berpikir panjang, ia pun mendekati arena dengan menggeram keras, “Guru, serahkan orang itu kepadaku.”

Kiai Gringsing berpaling sekilas. Dilihatnya seseorang berdiri tegak di pinggir arena.

Kebo Watang yang merasa, bahwa ia tidak akan mampu melawan Kiai Gringsing seorang diri tidak mencegahnya. Bahkan katanya, “Marilah. Jagalah tikus yang licik ini agar tidak bertempur semakin curang.”

“Apa aku berbuat curang?“ bertanya Kiai Gringsing.

Kebo Watang tidak menjawab. Dibiarkannya muridnya melangkah mendekat.

Tetapi muridnya itu pun terkejut. Demikian pula Kebo Watang yang sempat melihatnya. Seorang anak yang masih sangat muda menggamit murid Kebo Watang itu dengan tenangnya.

“He, kau mau apa?” teriak murid Kebo Watang ketika ia berpaling.

“Jangan ikut campur di arena orang-orang tua. Marilah, kita bermain-main di tempat lain,” jawab anak muda itu.

“Anak gila. Siapa kau?” bertanya murid Kebo Watang.

“Namaku Glagah Putih,” jawab anak itu, yang ternyata telah berada di medan itu pula.

Murid Kebo Watang menggeram. Katanya, “Pergi kunyuk kecil. Cari kawan untuk bermain kejar-kejaran. Tetapi jangan berada di medan.”

“Lawan pedangku,” tiba-tiba saja Glagah Putih mengacukan pedangnya. Bahkan kemudian ia mulai menggerakkan pedang itu.

Murid Kebo Watang menjadi sangat marah. Dengan suara bergetar karena kemarahannya itu, ia menggeram, “Guru. Biarlah aku memenggal kepala monyet kecil yang lancang ini.”

Kebo Watang tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar mengalami kesulitan menghadapi Kiai Gringsing yang bersenjata cambuk itu.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang telah berada di sayap itu pula segera terlibat dalam pertempuran melawan murid Kebo Watang yang marah. Dengan garangnya murid Kebo Watang itu menyerang. Ia benar-benar ingin dengan cepat menyelesaikan lawannya yang masih sangat muda itu, agar ia segera dapat membantu gurunya yang mengalami kesulitan menghadapi orang bercambuk itu.

Karena itu maka senjata murid Kebo Watang yang menggetarkan itu pun segera terayun-ayun mengerikan. Sebilah parang yang panjang.

Glagah Putih yang bersenjata pedang itu pun segera menghadapinya dengan sepenuh kemampuannya pula. Namun demikian ia masih sempat bertanya, “He, senjatamu agak berbeda dengan senjata gurumu.”

“Persetan,” geram lawannya yang meloncat menyerang sambil mengayunkan parangnya mendatar.

Glagah Putih meloncat surut. Namun dalam pada itu, lawannya telah mengejarnya dan menusuk ke arah jantung.

Tetapi Glagah Putih sempat menggeliat, sehingga ujung parang itu tidak menyentuh tubuhnya. Bahkan kemudian Glagah P.utih sempat memutar pedangnya menebas ke arah lambung lawannya.

Lawannya yang tidak menduga bahwa serangan Glagah Putih akan datang demikian cepatnya tidak sempat mengelak. Tetapi ia berusaha menangkis dengan parangnya, sehingga kedua senjata itu pun telah beradu.

Ternyata benturan kedua senjata itu telah benar-benar mengejutkan murid Kebo Watang. Ia tidak menduga sama sekali, bahwa dalam benturan itu, hampir saja ia kehilangan senjatanya.

“Gila!” orang itu mengumpat.

Terasa betapa tangannya menjadi sakit. Namun ia masih sempat meloncat sambil memperbaiki genggaman tangannya atas parangnya yang hampir saja meloncat oleh benturan yang keras.

Ketika kemudian Glagah Putih memburunya, murid Kebo Watang itu telah sempat memperbaiki keadaannya dengan mapan. Karena itu, maka murid Kebo Watang itu sempat meloncat mengelak ketika Glagah Putih menjulurkan pedangnya ke arah dada.

Pertempuran antara keduanya itupun kemudian menjadi semakin lama semakin sengit. Keduanya segera mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka.

Ternyata anak yang disangkanya tidak tahu diri dengan melibatkan dirinya ke dalam pertempuran itu, benar-benar memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi kemampuannya. Sehingga dengan demikian, perhitungannya menjadi kisruh. Ia tidak segera dapat memenggal leher anak muda yang dianggapnya lancang itu dan kemudian membantu gurunya, karena ia justru telah terikat dalam pertempuran melawan anak bengal itu.

Dalam pada itu, Kebo Watang benar-benar mengalami kesulitan.

Agaknya Kiai Gringsing tidak ingin melepaskannya. Ketika sekali lagi ujung cambuknya mengenai tubuh Kebo Watang, maka terdengar Kebo Watang itu mengumpat kasar.

Tetapi betapapun kemarahan menghentak-hentak di dadanya, namun ia tidak dapat ingkar, bahwa yang dihadapinya adalah Kiai Gringsing yang tidak dapat dikalahkannya.

Namun dalam pada itu, medan itu telah dikejutkan oleh sorak yang membahana. Terdengar di antara suara sorak yang meledak itu suara melengking, “Ki Gede Menoreh terluka. Ki Gede Menoreh terluka.”

Sebenarnyalah Ki Gede Menoreh telah tertusuk lambungnya oleh tombak seorang lawan yang licik. Ketika ia sedang bertempur melawan seorang Senapati Pajang, maka senapati yang telah mandi keringat itu sama sekali tidak dapat mengalahkannya. Bahkan ujung tombak Ki Gede telah melukainya.

Namun dalam pada itu, adalah di luar dugaan, seorang yang bertubuh tinggi telah menyerangnya dengan diam-diam saat ia sedang memusatkan perhatiannya menghadapi senapati yang telah dilukainya itu.

Ki Gede sempat mengelakkan serangan yang pertama. Tetapi seorang yang berwajah kasar telah datang pula menyerangnya dari arah yang berlawanan.

Ki Gede tidak mampu mengatasi serangan-serangan yang datang beruntun dari orang-orang terpilih di lingkungan pasukan Pajang itu. Karena itu, maka sebilah pedang telah mematuk punggungnya.

Ki Gede tidak sempat berbuat sesuatu. Tiba-tiba saja terasa sendi-sendinya menjadi lemah.

Untunglah, bahwa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh melihat keadaannya. Dengan sigapnya mereka telah berloncatan tanpa menghiraukan keselamatan mereka sendiri. Beberapa orang telah bersama-sama menyerang orang-orang yang telah melukai Ki Gede itu, sementara itu orang-orang Pajang telah bersorak dengan gemuruh. Maksudnya jelas, bahwa dengan demikian perlawanan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh pun menjadi surut karena mereka telah kehilangan pemimpinnya.

Namun sebaliknya, orang-orang Tanah Perdikan Menoreh justru telah terbakar hatinya. Mereka bertempur dengan garangnya. Seolah-olah mereka tidak lagi memperhitungkan apa yang telah dan akan terjadi atas mereka.

Sorak orang-orang Pajang yang menjalar itu memang mengejutkan. Ki Lurah Branjangan pun mendengarnya. Justru karena itu, maka ia pun telah menyelinap meninggalkan lawannya, langsung menuju ke tempat orang-orang Pajang itu berteriak.

Bukan saja Ki Lurah Branjangan yang telah terkejut. Tetapi para pemimpin Mataram yang lainpun terkejut pula.

Sementara itu, orang-orang yang telah bersama-sama melawan Ki Gede itu pun menjadi marah ketika mereka tidak sempat dengan yakin melihat Ki Gede terbunuh. Karena itu, maka dengan marahnya mereka berusaha untuk mengusir orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang sedang menyelamatkan pemimpinnya yang terluka.

Ternyata bukan saja mereka yang telah melukai Ki Gede Menoreh sajalah yang telah berusaha menghalau orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, tetapi para prajurit Pajang pun kemudian telah datang membantu mereka.

Dalam keadaan yang sulit itulah, maka Ki Lurah Branjangan hadir di arena itu. Dengan kemarahan yang menyala di dalam dadanya, Ki Lurah pun segera bertempur bersama orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh.

Namun dalam pada itu, ternyata sorak yang membelah arena pertempuran itu terdengar oleh beberapa orang petugas di belakang garis pertempuran. Tanpa berpikir panjang, seseorang di antara mereka telah berlari-lari ke barak-barak pesanggrahan. Dengan nafas terengah-engah orang itu mencari Pandan Wangi yang masih belum turun ke arena, karena tugasnya yang untuk sementara membantu orang-orang yang mempersiapkan makanan dan minuman, sekaligus menjaga mereka jika terjadi sesuatu yang gawat di belakang garis pertempuran itu.

“Ada apa?” Pandan Wangi pun terkejut.

Orang itu tidak sempat memikirkan akibat dari sikapnya atas Pandan Wangi. Karena itu, maka dengan serta merta ia pun berkata, “Pandan Wangi. Ki Gede telah terluka.”

“He? Apa katamu?” bertanya Pandan Wangi gugup.

“Ki Gede telah terluka,” jawab orang itu.

Pandan Wangi tidak mengulangi pertanyaannya. Dengan serta merta iapun meloncat berlari ke medan.

Sekar Mirah yang melihat sikap Pandan Wangi itu pun terkejut pula. Tetapi ia tidak sempat bertanya, karena Pandan Wangi telah berlari mendahuluinya. Namun demikian ia masih dapat bertanya kepada orang yang dengan tanpa menjaga perasaan Pandan Wangi telah memberitahukan keadaan Ki Gede.

“Apa yang terjadi?” bertanya Sekar Mirah.

”Ki Gede telah terluka,” jawab orang itu.

“Kau bodoh,” geram Sekar Mirah, “seharusnya kau tidak mengatakannya dengan serta merta, agar Pandan Wangi dapat mengatur perasaannya sebelum ia turun ke medan.”

Tetapi Sekar Mirah tidak menunggu orang itu menjawab. Iapun segera meloncat pula menyusul Pandan Wangi sambil menjinjing tongkat baja putihnya.

Pandan Wangi yang cemas tidak menahan diri lagi. Ia langsung memasuki arena pertempuran dengan pedang rangkapnya di kedua tangannya.

“Dimana Ayah bertempur?” bertanya Pandan Wangi kepada seorang pengawal.

Pengawal yang segera mengetahui siapa yang telah bertanya kepadanya itupun segera menunjukkan daerah pertempuran para pengawal dari Tanah Perdikdan Menoreh yang dipimpin langsung oleh Ki Gede.

Pandan Wangi dengan ketegangan di dalam dadanya, telah menyusup di antara mereka yang sedang bertempur, langsung menuju ke arena yang telah ditunjukkan oleh pengawal itu.

Sebenarnyalah telah terjadi hiruk pikuk di medan. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang berusaha untuk melindungi Ki Gede memang mengalami kesulitan. Untunglah bahwa Ki Lurah Branjangan dengan cepat telah datang, sehingga ia mampu membantu orang-orang dari Tanah Perdikan yang kebingungan.

Dalam pada itu, seseorang telah berusaha untuk membantu Ki Gede beringsut dari medan. Namun seakan-akan orang-orang Pajang telah mengepungnya, sehingga sulit sekali bagi Ki Gede untuk dapat menembus lingkaran orang-orang Pajang yang memang berusaha membunuhnya. Apalagi orang-orang yang merasa telah melukainya. Dengan garangnya mereka berusaha membelah pertahanan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.

Ki Lurah Branjangan ternyata tidak terlalu banyak dapat berbuat. Ketika orang yang berdada bidang datang menyerangnya, maka ia telah terikat untuk bertempur melawan orang itu. Ternyata orang itu adalah salah seorang yang telah diminta oleh orang-orang Kakang Panji untuk membantunya menghadapi orang-orang Mataram dan orang-orang yang membantu perjuangan mereka.

Sementara itu, yang lain memaksa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh untuk berjuang mati-matian mempertahankan keselamatan pemimpinnya.

Tetapi seorang berwajah kasar telah membentak dengan suara menggetarkan jantung, “Minggir. Beri aku kesempatan berhadapan langsung dengan orang yang disebut Ki Gede Menoreh. Orang yang dianggap memiliki ilmu yang tiada taranya.”

Tetapi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang menyadari keadaan Ki Gede sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka dengan berani menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.

Karena orang-orang Tanah Perdikan Menoreh tidak mau bergeser dan menyibak, maka orang itu pun kehilangan kesabaran.

Sebenarnyalah bahwa orang itu memang bukan lawan para pengawal kebanyakan. Karena itu, ketika pedangnya yang telah melukai Ki Gede itu terayun, maka tiga bilah pedang orang-orang Tanah Perdikan Menoreh telah terlepas dari genggaman tangan mereka.

Dengan terkejut orang-orang itu berdiri tegak tanpa dapat berbuat sesuatu. Seolah-olah tubuh mereka telah membeku oleh kejutan yang tidak pernah diduganya sebelumnya.

Sekejap kemudian, orang berwajah kasar itu sudah siap mengayunkan senjatanya. Bukan saja untuk melemparkan senjata lawan, tetapi untuk membelah dada ketiga orang yang kebingungan itu.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja orang itu terkejut. Ia mendengar suara perempuan dekat di sebelahnya. Katanya, “Jangan kau lawan para pengawal itu. Lihat, akulah lawanmu.”

Orang itu sempat berpaling. Dilihatnya seorang perempuan yang membawa sepasang pedang di kedua tangannya.

“Siapa kau? “desis orang itu.

“Aku anak perempuan Ki Gede Menoreh,” jawab Pandan Wangi, “aku telah melihat luka di punggung Ayah. Biarlah Ayah dibawa ke belakang baris perang. Aku akan menggantikan kedudukannya.”

Orang itu tertegun sejenak. Seolah-olah ia masih ingin meyakinkan bahwa orang yang kemudian berdiri menghadapinya itu adalah seorang perempuan.

Namun akhirnya orang itu menyadari, bahwa ia memang sudah mendengar bahwa anak perempuan Ki Gede memang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan.

Meskipun demikian orang berwajah kasar itu berkata, “Anak manis, Sebaiknya kau menyingkir dari medan. Apa yang akan dapat kau lakukan? Ki Gede telah terluka. Aku telah menusuk punggungnya tanpa dapat dilawannya. Apalagi kau seorang perempuan.”

Pandan Wangi menggeram. Katanya, “Jadi kau yang telah menusuk punggung Ayah dengan curang? Jika demikian, beruntunglah bahwa aku dapat menjumpaimu. Apapun yang dapat terjadi atasku, aku akan menuntut balas.”

Orang berwajah kasar itu tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Sudahlah. Jangan hanyut dalam arus perasaanmu. Pikirkanlah. Apakah kau memiliki kelebihan dari ayahmu?”

“Tetapi kau menusuk Ayah dengan cara yang curang. Seandainya kau berhadapan langsung dengan Ayah, aku yakin bahwa kau tidak akan dapat melakukannya,” jawab Pandan Wangi.

“Kita berada di peperangan,” jawab orang itu, “bukan dalam arena perang tanding. Tidak ada paugeran yang menyebutkan, bahwa di dalam peperangan, seseorang hanya boleh melawan seorang lawan dan sebaliknya, seseorang tidak boleh bertempur berpasangan.”

“Jika demikian, maka kita akan berhadapan seorang lawan seorang tanpa landasan paugeran perang. Tetapi dengan landasan harga diri kita masing-masing,” tantang Pandan Wangi.

“Sekali lagi aku peringatkan. Jangan hanyut dalam arus perasaan perempuanmu, meskipun aku memang pernah mendengar bahwa Pandan Wangi, anak Ki Gede Menoreh yang menjadi istri Swandaru dari Sangkal Putung, adalah seorang perempuan yang memiliki ilmu yang cukup. Namun jangan sekali-sekali berusaha untuk membenturkan ilmumu dengan ilmuku,” jawab orang berwajah kasar itu.

Kemarahan Pandan Wangi sudah tidak dapat di bendungnya lagi. Apalagi jika ia menyadari kecurangan yang telah terjadi sehingga ayahnya terluka. Sebuah sentuhan tombak di lambung dan ujung pedang di punggung.

Karena itu, maka ia pun tidak lagi ingin berbicara berkepanjangan. Ketika orang-orang di sekitarnya berusaha untuk menggeser Ki Gede yang terluka, maka Pandan Wangi telah memutar kedua pedangnya sambil berdesis, “Kita akan bertempur sampai tuntas.”

Orang itu memandang Pandan Wangi dengan tajamnya. Namun jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat sorot mata Pandan Wangi yang bagaikan menyala. Sehingga bagaimanapun juga, orang itu harus menilai perempuan yang berdiri dihadapannya itu sebagai lawan yang tidak dapat diabaikan.

Sejenak kemudian, ujung-ujung pedang Pandan Wangi mulai mematuk. Sementara itu orang berwajah kasar itu tidak lagi dapat berdiam diri. Serangan Pandan Wangi meskipun belum bersungguh-sungguh, tetapi terasa cukup berbahaya.

Karena itu, maka sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang menjadi semakin sengit. Dalam pada itu, beberapa orang Tanah Perdikan Menoreh berusaha untuk menyingkirkan Ki Gede ke belakang garis pertempuran. Luka Ki Gede ternyata cukup parah. Darah mengalir dari luka di lambung dan di punggungnya.

Meskipun Ki Gede membawa obat untuk melawan luka-luka senjata, tetapi dalam hiruk-pikuk pertempuran, masih belum sempat untuk menaburkannya di atas luka. Sementara itu, orang-orang Pajang dengan sengaja telah menyerang orang-orang yang berusaha menyingkirkan Ki Gede.

Tetapi dengan mengerahkan segenap kemampuan dan tanpa mengenal bahaya atas diri mereka sendiri, orang-orang Tanah Perdikan Menoreh telah bertempur dengan sengitnya untuk melindungi Ki Gede yang telah terluka itu.

Namun dalam pada itu, orang bertubuh tinggi yang telah ikut menyerang Ki Gede dengan licik itupun telah berada di antara orang-orang Pajang yang berusaha untuk membinasakan sama sekali Ki Gede yang telah terluka itu. Karena itu, maka ia pun kemudian berteriak, “Minggir. Biarlah aku halau orang-orang Tanah Perdikan yang dungu itu. Jika mereka tidak mau minggir dan membiarkan Ki Gede Menoreh terbunuh di peperangan, maka mereka sendiri akan aku cincang sampai lumat. Sungguh kematian yang sia-sia. Apa artinya mereka mempertahankan orang yang memang sudah sewajarnya menjadi mayat.”

Tetapi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh justru bertempur semakin garang. Setapak demi setapak mereka berhasil membawa Ki Gede bergeser. Namun tekanan yang datangpun rasa-rasanya menjadi semakin berat ketika orang bertubuh tinggi itu benar-benar melibatkan diri.

“Jika orang-orang yang berpihak Mataram tidak dibinasakan, mereka akan tetap berbahaya. Hari ini adalah batas waktu yang diberikan untuk membinasakan semua orang yang berpihak Mataram. Termasuk Ki Gede Menoreh,” teriak orang itu.

Dalam waktu yang singkat, maka tombak pendek orang itu telah menyambar-nyambar. Bahkan pengawal yang bertahan dengan tanpa mengenal bahaya, telah terlempar oleh tusukan tombak orang itu.

“Salahmu sendiri,” geramnya. Tombaknya telah terayun lagi dengan dahsyatnya. Sambil menggeram, ujung tombaknya itu telah menyambar dada seorang pengawal yang telah kehilangan keseimbangan sehingga ia sama sekali tidak lagi dapat mengelak.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja orang itu mengumpat. Ternyata tombaknya telah membentur kekuatan yang tiada taranya. Bahkan hampir saja tombaknya itu terlepas dari tangannya. Hanya karena kesigapannya sajalah, orang itu sempat meloncat dan memperbaiki keadaannya.

Ketika ia sempat memandang dua langkah di hadapannya, maka jantungnya menjadi berdebar-debar. Ia melihat seorang perempuan berdiri tegak dengan tongkat baja putih di tangannya.

Dengan tegang orang bertubuh tinggi dan bersenjata tombak pendek itupun sempat melihat orang-orang yang membawa Ki Gede bergeser semakin jauh. Namun kemudian ia harus mengakui satu kenyataan, bahwa perempuan yang berdiri tegak di hadapannya itu bukannya kebanyakan perempuan. Ketika tombaknya membentur tongkat baja di tangan perempuan itu, terasa betapa kekuatan yang mendebarkan tersimpan di dalam diri perempuan itu.

Meskipun demikian orang bertubuh tinggi itu masih berkata, “He, perempuan yang tidak tahu diri. Apa kerjamu di sini? Pergilah. Aku mempunyai persoalan dengan orang yang terluka itu.”

“Aku adalah anak Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Sekar Mirah.

“Apakah kau anak perempuan Ki Gede yang bernama Pandan Wangi?” bertanya orang itu.

“Bukan, aku Sekar Mirah. Anak Demang Sangkal Putung yang kini tinggal di Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, adalah menjadi kewajibanku untuk membantu melepaskan Ki Gede dari kesulitan,” jawab Sekar Mirah.

Orang bertubuh tinggi itu menggeram. Dengan wajah tegang ia mengamati tongkat baja di tangan Sekar Mirah. Dengan suara bergetar orang itu berdesis, “Tongkat Macan Kepatihan.”

“Bukan,” sahut Sekar Mirah, “tetapi agaknya aku memiliki sumber ilmu yang sama dengan Macan Kepatihan itu. Tetapi aku bukan murid Mantahun.”

“Kau murid siapa?” bertanya orang itu.

“Aku murid Sumangkar,” jawab Sekar Mirah.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga, tongkat baja putih itu sempat membuat jantungnya menjadi berdebar-debar.

Namun dalam pada itu, orang itu pun kemudian menyadari kewajibannya. Karena itu, maka katanya, “Sekar Mirah. Meskipun kau murid Sumangkar, tetapi kau adalah seorang perempuan. Mungkin pada benturan yang tidak aku sadari, kekuatanmu sempat mengejutkan aku. Tetapi jika kau hanya bermodal kekuatan saja, sebaiknya kau menyingkir. Kau masih terlalu muda untuk mati. Beri aku jalan, sehingga aku sempat menghancurkan sama sekali Ki Gede Menoreh.”

“Jangari mengigau. Menyerahlah,” jawab Sekar Mirah.

Wajah orang itu menjadi merah. Kemarahannya telah memanjat sampai ke ubun-ubunnya. Sementara itu, ia melihat orang-orang Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil membawa Ki Gede semakin jauh. Sebentar lagi, Ki Gede akan keluar dari medan, sehingga orang-orangnya akan sempat mengobatinya.

“Aku masih memperingatkan kau sekali lagi,” berkata orang bertubuh tinggi itu, “bagaimanapun juga, aku merasa segan untuk melawan seorang perempuan. Apalagi menusuk jantungmu dengan ujung tombakku ini.”

Tetapi Sekar Mirah menjawab, “Kita berada di peperangan. Terima kasih atas kesempatan yang kau berikan kepadaku untuk menyingkir. Tetapi aku sama sekali tidak berniat untuk berbuat demikian.”

“Anak iblis,” geram orang itu. Sikap Sekar Mirah membuatnya semakin marah. Karena itu, maka iapun mulai merundukkan tombaknya sambil berkata, “Aku tidak mempunyai waktu untuk mendengarkan guraumu yang menyakitkan hati. Apaboleh buat. Jika kau tidak menyingkir, aku terpaksa membunuhmu.”

“Kau akan meyakini kelemahanmu nanti. Tetapi kau tidak akan mendapat kesempatan lagi jika kau mulai dengan satu serangan. Aku tidak pernah memaafkan lawan-lawanku apabila aku sudah benar-benar mulai. Karena itu, sebelum kita bertempur, pikirkanlah,” jawab Sekar Mirah.

Jawaban itu bagaikan bara api yang menyentuh telinga orang bertubuh tinggi itu. Karena itu, maka tanpa menjawab lagi, tiba-tiba orang itu sudah meloncat sambil menjulurkan tombaknya.

Sekar Mirah memang sudah menduga. Karena itu, maka iapun sempat bergeser menghindar sambil menangkis serangan itu dengan tongkat baja putihnya.

Tetapi lawannya telah menarik serangannya. Sekali tombak itu berputar. Kemudian sekali lagi mematuk dengan cepat, mengarah ke lambung.

Sekar Mirah pun bergeser pula ke samping. Dengan tongkat baja putihnya ia memukul tombak lawannya. Namun sekali lagi lawannya sempat menarik tombaknya, sehingga tidak tersentuh oleh tongkat Sekar Mirah.

Tetapi yang tidak diduga, Sekar Mirah-lah yang kemudian meloncat menyerang lawannya. Tongkatnya terayun mendatar menebas kaki lawannya. Tetapi lawannya itu pun cukup tangkas. Dengan cepat ia meloncat surut, sehingga tongkat Sekar Mirah tidak mengenainya. Tetapi Sekar Mirah dengan cepat pula memburunya. Tongkatnya tidak lagi terayun. Tetapi mematuk seperti ujung tombak lawannya.

Ternyata orang bertubuh tinggi itu cukup tangkas. Karena senjatanya lebih panjang dari tongkat Sekar Mirah, maka ia sama sekali tidak menghindar atau menangkis serangan itu. Tetapi ujung tombaknyalah yang justru terjulur menyongsong serangan Sekar Mirah.

Sekar Mirah terkejut. Tetapi ia pun cepat mengambil satu keputusan dalam keadaan yang sulit. Tiba-tiba saja tongkatnya berputar. Bahkan kemudian ia sempat menyentuh tombak lawannya dengan tongkat bajanya, sehingga ujung tombak itu bergeser ke samping.

Meskipun demikian, Sekar Mirah tidak berhasil mengenai lawannya pada serangannya yang berikut, karena lawannya dengan cepat bergeser surut.

Demikianlah, ternyata keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Meskipun Sekar Mirah seorang perempuan, namun lawannya harus mengakui, bahwa perempuan itu memiliki kekuatan yang mendebarkan. Setiap sentuhan pada senjatanya oleh tongkat Sekar Mirah, terasa betapa kekuatan perempuan itu bagaikan mengalir menghentak pada tangannya yang menggenggam landean tombak pendeknya.

Karena itu, maka orang itu pun menyadari sepenuhnya, bahwa ia telah bertemu dengan lawan yang tangguh. Murid Ki Sumangkar, yang pernah didengarnya sebagai salah seorang yang ditakuti di samping Patih Mantahun dari Kadipaten Jipang. Dan kini, ia telah berhadapan dengan murid Sumangkar yang juga membawa tongkat baja putih dengan tengkorak yang kekuning-kuningan.

Bahkan dalam pertempuran yang menjadi semakin seru, orang itu harus mengakui bahwa bukan saja kemampuan, tetapi juga kekuatan Sekar Mirah benar-benar mendebarkan. Meskipun ia seorang perempuan, tetapi pada setiap benturan terasa oleh orang bertubuh tinggi itu bahwa rasa-rasanya tenaga Sekar Mirah melampaui tenaga laki-laki yang paling kuat yang pernah dikenalnya.

Karena itu lawan Sekar Mirah itu pun kemudian selalu menghindari benturan senjata. Orang itu sadar, bahwa benturan-benturan itu pada suatu saat akan dapat merampas senjatanya.

Tetapi sementara itu, orang bertubuh tinggi itu pun tidak dapat ingkar, bahwa Sekar Mirah mempunyai kecepatan gerak yang mendebarkan. Kadang-kadang ia telah kehilangan kiblat apabila Sekar Mirah berloncatan menyerangnya dari berbagai arah.

Sementara itu, orang-orang Tanah Perdikan Menoreh pun kemudian telah berhasil membawa Ki Gede ke belakang garis perang. Dengan tergesa-gesa beberapa orang telah membaringkannya di bawah sebatang pohon.

“Luka Ki Gede agak parah,” desis seorang pengawal.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tolong. Taburkan obat pada lukaku itu.”

Pengawal itu menerima sebuah bumbung kecil yang berisi obat. Kemudian menaburkan obat itu pada luka Ki Gede di lambung dan punggung.

Terasa sentuhan obat itu bagaikan menyengat. Sambil menggeliat Ki Gede berdesis menahan pedih. Namun ia sadar bahwa justru perasaan pedih itu adalah pertanda bahwa obat itu mulai bekerja.

Dengan demikian, maka perlahan-lahan luka itu pun mulai menjadi pampat. Meskipun demikian, tubuh Ki Gede masih terasa terlalu lemah.

“Mana tombakku?” bertanya Ki Gede.

“Ini Ki Gede,” jawab seorang pengawalnya, “aku telah membawanya mundur bersama Ki Gede.”

“Terima kasih,” jawab Ki Gede.

“Sebaiknya kami bawa saja Ki Gede ke pesanggrahan. Mudah-mudahan luka itu akan menjadi baik,” berkata seorang pengawalnya.

Tetapi Ki Gede menjadi ragu-ragu. Katanya, “Bukankah Pandan Wangi ada di medan?”

“Ya Ki Gede. Setelah Pandan Wangi melihat luka Ki Gede, maka ia langsung terjun ke medan,” jawab pengawalnya.

“Seharusnya ia tidak turun kemedan dengan marah,” berkata Ki Gede, “aku tidak sampai hati meninggalkannya.”

“Tetapi keadaan Ki Gede menuntut agar Ki Gede beristirahat,” berkata pengawalnya.

“Aku akan beristirahat di sini,” jawab Ki Gede.

“Berbahaya Ki Gede. Sebaiknya Ki Gede kami antar saja ke barak pesanggrahan itu,” desak pengawalnya.

Tetapi ternyata bahwa Ki Gede berkeberatan. Rasa-rasanya ia tidak ingin meninggalkan Pandan Wangi di medan itu. Apalagi Ki Gede menyadari, bahwa Pandan Wangi telah didorong oleh kemarahannya ketika ia memasuki arena.

Bahkan kadang-kadang terbersit di dalam dadanya satu keinginan untuk kembali ke medan, agar ia dapat menyaksikan dengan langsung, apa yang telah dilakukan oleh anak perempuannya itu. Satu-satunya anak yang ada padanya.

Tetapi ketika ia menyatakan keinginannya, maka para pengawalnya telah mencegahnya.

“Keadaan Ki Gede tidak memungkinkan,” berkata salah seorang pengawalnya.

“Sebentar lagi keadaanku akan menjadi baik,” berkata Ki Gede. Namun ternyata nafasnya menjadi terengah-engah. Ketika seorang pengawalnya memberikan air dari impesnya, maka Ki Gede pun kemudiam minum beberapa teguk.

Air itu memang menyegarkannya, tetapi tidak dapat dengan segera memulihkan kekuatan Ki Gede. Apalagi luka Ki Gede memang cukup parah. Luka di lambung dan punggungnya itu akan dapat berdarah lagi, jika ia terlalu banyak bergerak.

Tetapi Ki Gede tidak mau berbaring terlalu lama. Ia pun kemudian dengan sangat hati-hati bangkit dan duduk di bawah pohon yang rindang itu. Dihadapannya pertempuran masih berlangsung dengan dahsyatnya. Tetapi orang-orang Pajang tidak berhasil mendesak orang-orang Mataram. Apalagi memecahkannya.

Ki Gede tidak dapat bersandar dengan bebas, karena luka di punggungnya. Namun ia bersandar pada pundaknya sambil menggenggam tombak pendeknya. Dengan wajah yang tegang ia memandangi pertempuran yang hiruk-pikuk itu, seolah-olah ia ingin menembus sampai ke jantung pertempuran, untuk menyaksikan apa yang telah dilakukan oleh Pandan Wangi. Anaknya satu-satunya itu.

Dalam pada itu, Pandan Wangi memang sedang bertempur dengan sengitnya. Lawannya, orang berwajah kasar itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi pula. Namun menghadapi pedang rangkap Pandan Wangi orang itu menjadi gelisah.

Sebenarnyalah ketika Pandan Wangi yang marah itu tidak lagi mengendalikan dirinya, ilmunya telah terungkap seluruhnya dan tersalur lewat permainan pedangnya. Namun adalah di luar sadar Pandan Wangi sendiri, ketika ia sampai ke puncak kemampuannya, degan mengerahkan segenap daya kekuatan lahir dan batin, maka kekuatan yang belum dikenali seluruhnya oleh dirinya sendiri telah merambat sampai ke ujung pedangnya. Dalam puncak pengerahan ilmu, kekuatan itu terungkap dalam ujud yang sangat mengejutkan. Ujung pedang Pandan Wangi seolah-olah memiliki kekuatan yang mendahului ujung pedang itu sendiri. Sebagaimana tangannya mampu menyentuh benda-benda yang menjadi sasarannya dari jarak yang melampaui jarak jangkau tangannya itu.

Meskipun kekuatan itu belum begitu nyata, namun pengaruhnya telah terasa sangat nggegirisi bagi lawannya yang menjadi bingung menghadapi perlawanan pedang rangkap Pandan Wangi.

Karena itu, maka di luar pengamatan pandangan mata wadagnya, lawan Pandan Wangi tidak mampu untuk menghindarkan diri dari kejaran kekuatan yang seolah-olah menjadi kepanjangan pedangnya, meskipun bukan setajam ujung pedang itu sendiri.

Orang berwajah kasar itu pun menjadi berdebar-debar menghadapi ilmu yang belum dikenalnya itu. Sentuhan ilmu Pandan Wangi yang terpancar dari hentakan-hentakan kemampuannya itu memang belum merupakan tenaga yang menentukan. Juga tidak mampu melukai tubuh lawannya sebagaimana ujung pedangnya. Tetapi ilmu itu telah membuat lawannya menjadi sangat gelisah.

Setiap kali, terasa tubuh orang berwajah kasar itu tersentuh oleh serangan lawannya. Meskipun sentuhan itu tidak banyak berpengaruh, tetapi semakin lama sentuhan-sentuhan itu menjadi semakin sering. Bahkan kadang-kadang terasa juga kulitnya menjadi agak pedih, meskipun tidak sangat menyakitinya.

Tetapi sentuhan-sentuhan itu benar-benar sangat mengganggunya. Rasa-rasanya sentuhan-sentuhan itu telah membuatnya menjadi gila. Setiap kali terasa kulitnya tersengat, meskipun ujung pedang lawannya masih berjarak sejengkal dari tubuhnya.

“Ilmu iblis,” geram orang itu.

Pandan Wangi yang semula kurang menyadari keadaan itu, akhirnya dapat melihat dengan jelas apa yang telah terjadi. Ia pun kemudian teringat apa yang dapat dilakukannya. Ini telah berhasil memecahkan kendi tanpa disentuhnya. Ia pun mampu mengguncang dinding tanpa merabanya.

Karena itu, menilik tata gerak lawannya, maka Pandan Wangi pun menyadari bahwa ilmu itu telah terungkap dalam puncak kernampuannya, didorong oleh kemarahannya yang menghentak-hentak.

Namun justru karena itu, maka Pandan Wangi pun menjadi agak tenang. Ia sadar, bahwa ia tidak dapat bertempur hanya dengan kemarahan yang tidak terkendali. Tetapi ia harus bertempur dengan mempergunakan bukan saja ilmunya, tetapi juga nalar dan akalnya.

Karena itu, maka ia pun kemudian menjadi semakin mapan. la harus berusaha mempergunakan kemampuannya sejauh-jauhnya dalam ungkapan yang tepat, sehingga kemampuannya tidak terhambur tanpa arti. Apalagi ketika ia menyadari, bahwa lawannya adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi pula.

Itulah sebabnya, maka terasa oleh lawan Pandan Wangi bahwa ilmu lawannya, seorang perempuan dengan pedang rangkap itu, menjadi semakin menekan.

Pandan Wangi tidak lagi dengan tergesa-gesa dan dengan hentakan-hentakan yang kurang berarti menyerangnya. Tetapi langkah Pandan Wangi menjadi semakin lamban, namun mantap dan menegangkan. Sentuhan-sentuhan yang tidak dikenalnya itu justru terasa semakin sakit di tubuhnya. Rasanya sentuhan itu semakin dalam menghunjam sampai ke tulang.

Karena itulah, maka lawan Pandan Wangi itupun harus bertempur semakin bersungguh-sungguh. Segala ilmu yang ada dalam dirinya telah diungkapkannya. Namun demikian, serangan-serangan perempuan berpedang rangkap itu membuatnya semakin gelisah.

Dalam pada itu, keadaan Kebo Watang menjadi semakin sulit menghadapi orang bercambuk dari Jati Anom itu. Muridnya yang datang ke medan tidak pernah sampai kepadanya, karena mereka telah bertemu dengan lawan mereka masing-masing. Seorang di antara mereka yang bertempur melawan Glagah Putih ternyata tidak banyak dapat berharap.

Karena itu, maka pada saat-saat menjelang matahari turun ke punggung bukit, Kebo Watang tidak mampu lagi bertahan menghadapi ujung cambuk Kiai Gringsing. Segores demi segores telah menyayat kulitnya membujur lintang. Kegarangannya perlahan-lahan menjadi susut.

Meskipun demikian Kebo Watang sama sekali tidak mau menerima kenyataan itu. Ia masih tetap menganggap dirinya seorang yang pinunjul. Seorang yang tidak terkalahkan. Karena itu, betapapun luka ditubuhnya menjadi arang keranjang, namun ia masih memutar bulatan besi berantai di tangannya, meskipun semakin lama menjadi semakin lambat. Desing putaran senjatanya itu tidak lagi menyakiti pendengaran lawannya. Sementara itu, kadang-kadang tangannya tidak lagi mampu mengendalikan lagi senjatanya. Bahkan kadang-kadang Kebo Watang justru telah terseret oleh ayunan senjatanya sendiri.

Kiai Gringsing yang melihat keadaan lawannya itupun kemudian mulai mengurangi tekanannya. Ia justru bergeser surut ketika ia melihat lawannya itu terhuyung-huyung mendekatinya.

“Iblis tua,” geram Kebo Watang, “jangan lari. Aku bunuh kau dengan senjataku.”

Kiai Gringsing sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Kebo Watang itu kemudian terjatuh pada lututnya. “Pengecut!” Kebo Watang itu berteriak. Bahkan kemudian ia mengumpat-umpat dengan kasarnya.

Namun akhirnya suaranya itupun menjadi semakin hilang. Sementara hiruk-pikuk peperangan telah menelannya dengan garang tanpa memberikan kesempatan untuk mempertahankan diri.

Kebo Watang yang garang itu akhirnya tertelungkup di medan. Tenaganya semakin terkuras sejalan dengan darahnya yang semakin terperas dari tubuhnya.

Murid Kebo Watang tidak dapat berbuat apa-apa. Ia sendiri mengalami kesulitan menghadapi lawan-lawannya. Bahkan murid Kebo Watang yang bertempur tidak jauh daripadanya pun tidak dapat meninggalkan lawannya yang masih sangat muda itu. Ternyata lawannya itu mampu membuatnya menjadi bingung dan kehilangan kesempatan untuk menguasainya. Apalagi membunuhnya dalam waktu singkat.

Kematian Kebo Watang disambut dengan sorak yang gemuruh dari orang-orang Mataram. Mereka yang tidak dapat menyebut namanya, berteriak dengan caranya sendiri. “Lawan Kiai Gringsing telah terbunuh! Lawan Kiai Gringsing telah mati!”

Teriakan-teriakan itu telah menggelisahkan medan. Jika semula orang-orang Pajang merasa mendapat satu nilai kemenangan karena keadaan Ki Gede Menoreh, maka kemudian merekapun telah digelisahkan oleh kekalahan Kebo Watang. Dengan demikian, berarti Kiai Gringsing telah bebas dari lawannya.

Namun dalam pada itu, meskipun Kiai Gringsing telah bebas`dari lawannya yang garang, tetapi sebenarnyalah ia telah mengerahkan segenap kemampuan dan tenaganya. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun telah menjadi sangat letih. Tulang lengannya serasa telah remuk oleh sentuhan senjata Kebo Watang. Bahkan punggungnya yang juga terkena senjata lawannya meskipun tidak terlalu berat, namun rasa-rasanya kulitnya telah membengkak pula.

Dengan demikian, Kiai Gringsing yang sudah kehilangan lawannya itu memerlukan waktu untuk memperbaiki keadaan dirinya. Ia memerlukan sekedar perawatan, agar perasaan sakit di tubuhnya itu tidak menjadi semakin parah.

Karena itu, setelah lawannya tidak berdaya lagi, maka Kiai Gringsing berkisar meninggalkan arena. Sementara itu orang-orang Pajang telah berusaha untuk menyingkirkan tubuh Kebo Watang dari medan. Bagaimanapun juga, mereka mengenal Kebo Watang sebagai salah seorang yang diharapkan akan dapat ikut menyelesaikan pertempuran itu.

Dalam pada itu, dua orang cantrik dari padepokan kecil di Jati Anom yang juga berada di medan itu telah berusaha membantu Kiai Gringsing untuk bergeser ke belakang garis peperangan. Karena mereka menyadari bahwa Kiai Gringsing memang memerlukan waktu sekedar untuk beristirahat.

Sementara itu pertempuran masih saja berlangsung dengan sengitnya, meskipun tenaga di kedua belah pihak mulai menjadi susut. Matahari perlahan-lahan telah turun ke barat dengan malasnya, seolah-olah ikut menjadi kelelahan seperti para prajurit dan pengawal yang sedang bertempur di medan.

Kematian Kebo Watang telah membuat orang-orang Pajang yang bertempur di sekitarnya menjadi cemas. Mereka melihat bahwa Kiai Gringsing memang menyingkir dari medan. Tetapi jika sudah cukup beristirahat dan mengobati luka-lukanya, maka orang yang nggegirisi itu akan tampil lagi di medan.

Sementara itu Glagah Putih masih bertempur dengan sengitnya. Sementara itu, lawannya menjadi marah bukan buatan. Orang yang cacat di keningnya itu, merasa telah kehilangan kesempatan untuk membantu gurunya, sehingga gurunya itu terbunuh di peperangan. Perasaan kehilangan itu telah membuatnya menjadi liar dan buas.

Yang bertempur melawan murid Kebo Watang yang lain adalah Swandaru. Cambuknya yang meledak-ledak menjadikan medan pertempuran itu semakin menggetarkan.

Namun dalam pada itu, ternyata orang-orang Pajang telah mendengar perintah Kakang Panji. Mereka tidak terlibat dalam perang tanding, sehingga mereka harus memanfaatkan setiap kesempatan untuk membinasakan lawan mereka sebanyak-banyaknya. Jika perlu bersama-sama pula.

Perintah itulah yang telah menggema di medan. Karena itulah, maka seorang yang berwajah murung telah hadir di dekat arena pertempuran antara Swandaru dan murid Kebo Watang. Ketika murid Kebo Watang itu menjadi semakin terdesak, maka orang berwajah murung itu telah mendekatinya sambil berkata, “Kita tidak mempunyai banyak waktu untuk bermain-main seperti itu. Aku akan membantumu membunuh anak gemuk ini.”

Murid Kebo Watang itu tertegun. Tetapi sorak yang membelah langit tentang kematian lawan Kiai Gringsing itu telah membuatnya kehilangan pertimbangan. Apalagi ketika orang berwajah murung itu berkata, “Kau telah kehilangan gurumu, karena lawan Kiai Gringsing itu adalah Kebo Watang.”

Orang itu hanya menggeram saja. Tetapi ia tidak mencegah ketika orang berwajah murung itu memasuki arena untuk melawan Swandaru.

Swandaru sama sekali tidak menjadi gentar. Ia mempercayakan perlawanannya kepada kekuatannya yang tersalur pada ujung cambuknya.

Namun Swandaru terkejut ketika ternyata orang berwajah murung itu memiliki kecepatan bergerak yang luar biasa. Bahkan kadang-kadang telah membuatnya menjadi agak bingung menghadapinya. Untunglah bahwa ia bersenjata lentur yang dapat diputarnya di seputar tubuhnya. Sehingga dengan demikian, maka ia telah mengurangi kemungkinan lawannya untuk menyerangnya.

Tetapi sejenak kemudian, tidak dapat diingkari bahwa Swandaru segera terlibat ke dalam satu kesulitan. Ia harus berloncatan menghindari kecepatan gerak lawannya yang bertempur bersama murid Kebo Watang.

Dua orang pengawal yang bertempur di sekitarnya melihat kesulitan itu. Karena itu, maka merekapun telah bergeser mendekat, bertempur bersama Swandaru.

Namun dua orang itu bukanlah orang-orang yang memiliki ilmu yang memadai untuk melawan orang berwajah murung itu. Meskipun demikian kehadiran kedua orang itu telah membantu Swandaru mengatasi kesulitannya.

Sementara itu, di belakang medan, Kiai Gringsing yang beristirahat setelah bertempur mengerahkan segenap kemampuannya, berhasil menemui Ki Gede yang duduk sambil menggenggam tombaknya. Setelah mengobati dirinya sendiri, dengan mengoleskan sejenis param yang berwarna coklat kehitaman, maka Kiai Gringsing pun telah melihat luka-luka Ki Gede yang cukup parah. Namun Kiai Gringsing masih tetap berpengharapan bahwa luka-luka itu akan dapat disembuhkan, sehingga keadaan Ki Gede akan dapat pulih seperti sedia kala.

Dalam pada itu, matahari pun telah menjadi semakin rendah. Langit menjadi kemerah-merahan. Sementara itu pertempuran pun rasa-rasanya menjadi semakin lesu oleh kelelahan.

Namun dalam keadaan yang demikian, Swandaru masih harus mengerahkan sisa tenaganya yang terasa menjadi sangat letih. Sementara itu dua orang pengawalnya telah membantunya dengan tidak mengenal bahaya yang dapat menerkam keduanya.

Sementara itu, Pandan Wangi yang bertempur dengan kemampuannya yang mendebarkan itu, membuat lawannya seolah-olah kehilangan kesempatan. Serangan-serangannya datang beruntun menembus benteng pertahanan lawannya yang menjadi kebingungan.

Meskipun sentuhan kekuatan yang terpancar dari ilmu Pandan Wangi yang seolah-olah terlontar dari ujung pedangnya itu tidak melukai lawannya, tetapi sentuhan-sentuhan itu benar-benar terasa mengganggu. Rasa-rasanya sentuhan-sentuhan itu telah menghambat semua gerak dan rencana geraknya. Justru karena itu, maka lawan Pandan Wangi itu pun menjadi semakin keras dan bahkan menjadi liar. Untuk mengatasi kebingungannya, orang berwajah kasar itu kadang-kadang berteriak tidak menentu. Menghentak-hentak dan menyerang dengan sepenuh kemampuannya tanpa diperhitungkan dengan cermat. Sehingga karena itu, Pandan Wangi masih selalu mampu menghindarinya.

Bahkan semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa pedang rangkap Pandan Wangi seolah-olah telah mengurungnya. Sehingga akhirnya bukan saja sentuhan-sentuhan ilmu yang mendahului ujung pedang Pandan Wangi sajalah yang menyentuhnya. Tetapi ujung-ujung pedang Pandan Wangi yang sebenarnya telah tergores pula di tubuhnya, sehingga darahpun benar-benar telah mengalir.

Namun dalam keadaan yang paling sulit bagi lawannya, tiba-tiba telah terdengar suara sangkakala yang bergema menelusuri tebing Kali Opak. Suara yang menggelegar tidak saja di sebelah menyebelah medan yang basah oleh darah, tetapi juga menggelegar di hati setiap orang yang berada di medan.

Dalam pada itu, Swandaru yang telah tersudut dalam satu kesulitan yang hampir tidak dapat diatasinya, meloncat beberapa langkah surut. Namun ia masih harus mengumpat karena terasa lengan dan punggungnya terasa sangat pedih. Dua goresan senjata telah melukainya, sementara seorang pengawalnya yang ikut bertempur bersamanya dengan tubuh gemetar berjongkok pada lututnya bertelekan pedangnya.

Namun suara sangkakala itu telah memisahkan kedua belah pihak sehingga kedua orang lawan Swandaru itu pun mengumpat kasar. Seorang di antara mereka berkata, “Kau sudah diselamatkan oleh suara sangkakala itu.”

“Persetan,” geram Swandaru, “jika kalian masih ingin bertempur terus, aku tidak berkeberatan.”

Kedua lawan Swandaru itu ragu-ragu. Namun dalam pada itu, kedua pasukan yang berhadapan di medan itu sudah mulai bergeser surut. Orang-orang Pajang mulai menarik diri. Mereka menuruni tebing Kali Opak dan menyeberang kesebelah timur. Justru karena itu, maka lawan Swandaru itu pun tidak dapat tinggal. Mereka akan kehabisan kawan seandainya Swandaru memanggil para pengawalnya untuk bertempur menghadapi keduanya.

Karana itu, maka salah seorang dari lawan Swandaru itu berkata, “Nasibmu memang terlalu baik. Tetapi aku akan melihat, apakah kau besok akan berani turun ke medan atau tidak.”

Murid Kebo Watang tertawa. Meskipun suara tertawanya terdengar pahit. Katanya, “Aku tahu, guruku sudah terbunuh di peperangan ini. Orang-orang Mataram bersorak-sorak kegirangan ketika orang yang bertempur melawan Kiai Gringsing terbunuh. Seorang membisikkan di telingaku, bahwa lawan Kiai Gringsing itu adalah guruku. Sebenarnyalah guruku tentu dibunuhnya dengan curang. Karena itu, maka aku akan membalas dendam kepada siapapun juga. Terutama kepada murid-murid Kiai Gringsing.”

“Besok kita akan bertemu di medan ini. Jangan hanya berdua. Tetapi kalian dapat membawa kawan lebih banyak lagi,” jawab Swandaru.

“Kau sudah terluka. Besok kau akan mati,” jawab orang berwajah murung.

Swandaru menggeretakkan giginya. Tetapi kedua orang itu pun sudah melangkah mundur. Kawan-kawan mereka puntelah meninggalkan medan. Sebentar lagi, akan hadir para petugas untuk mencari dan mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan terbunuh dipeperangan.

Dalam pada itu, Pandan Wangi pun menjadi kecewa. Ia sudah berhasil membuat lawannya bingung. Beberapa gores luka telah terpahat di tubuh lawannya oleh ujung pedang rangkapnya. Namun lawannya telah mendapat kesempatan untuk menyelamatkan diri, justru karena suara sangkakala.

Dengan demikian, maka medan pun semakin lama menjadi semakin sepi. Sekar Mirah pun harus melepaskan lawannya pula. Sementara di sayap yang lain, Untara yang berhasil membelah pasukan lawannya pun harus membiarkan lawannya itu menarik diri. Sabungsari dan Widura yang kemudian ditempatkan di sayap itu pula, telah mengumpulkan pasukan mereka masing-masing.

Namun dalam pada itu, ketika para prajurit dan pengawal menarik diri dari peperangan, di medan masih terjadi pertempuran yang menggemparkan. Beberapa orang masih sempat mengerumuninya dan memberikan peringatan, bahwa sangkakala telah berbunyi. Beberapa orang Senapati Pajang dan Mataram berusaha untuk melerai pertempuran itu. Ki Waskita yang meninggalkan lawannya dalam keadaan yang sulit, namun masih bertahan sampai suara sangkakala berbunyi, telah mendekati arena itu pula.

Yang terjadi adalah perang tanding yang luar biasa. Benturan ilmu yang sulit dimengerti. Yang nampak seolah-olah hanyalah angin pusaran dan menyala sepanas api, sehingga dengan demikian, maka orang-orang yang mengerumuni pertempuran itu tidak dapat melangkah semakin dekat lagi. Rasa-rasanya mereka benar-benar berada di pinggir perapian yang membakar arena itu.

Ketika beberapa orang berusaha memperingatkan mereka sekali lagi, maka seorang di antara mereka berteriak, “Kami tidak terikat oleh suara sangkakala. Kami telah memutuskan untuk berperang tanding sampai seorang di antara kami terbunuh.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Suara itu menggelegar mengumandang di seluruh medan.

Dalam pada itu, seorang senapati dari pasukan khusus Pajang berdesis, “Ki Tumenggung Prabadaru.”

“Ya,” jawab kawannya, “lawannya adalah Agung Sedayu.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Yang bertempur itu adalah dua raksasa dengan ilmunya masing-masing. Ki Tumenggung Prabadaru melawan Agung Sedayu.

Namun demikian, beberapa saat kemudian, medan itupun menjadi semakin lengang. Sebagian besar dari para senapati, prajurit dan pengawal, benar-benar telah kelelahan. Mereka lebih senang beristirahat untuk memulihkan keletihan yang mencengkam tubuh mereka. Besok mereka masih harus hadir di peperangan. Jika mereka tidak dapat menjaga diri, yang akan dialami bukan sekedar kekalahan, tetapi kemungkinan yang lebih buruk akan dapat terjadi. Maut.

Swandaru. yang kemudian bergeser surut pula, telah dicengkam oleh sengatan perasaan pedih dan sakit pada luka-lukanya. Karena itu maka iapun kemudian beristirahat di sebelah Ki Gede yang juga terluka parah.

“Beristirahatlah di pesanggrahan,” berkata Kiai Gringsing, “nampaknya ada sesuatu yang tidak wajar terjadi di peperangan.”

“Dimana Pandan Wangi?” desis Ki Gede.

Kiai Gringsing mengerutkan kening. Namun kemudian ia memerintahkan untuk mencari Pandan Wangi.

Ketika pengawal itu menemukan Pandan Wangi yang berusaha mendekati dan melihat apa yang terjadi di medan yang sudah lengang itu, maka iapun segera memberitahukan apa yang telah terjadi dengan Swandaru.

Pandan Wangi terkejut mendengar keadaan Swandaru. Karana itu, maka iapun segera berlari-lari untuk mendapatkan suaminya. Ketika ia berpapasan dengan Sekar Mirah, maka dengan singkat iapun mengatakan apa yang telah terjadi, sehingga dengan demikian maka Sekar Mirah pun telah mengikutinya pula mendapatkan Swandaru dan Ki Gede Menoreh.

“Lukanya tidak berbahaya,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi ia harus beristirahat.”

Swandaru dan Ki Gede pun kemudian dibantu oleh beberapa orang telah bersiap-siap untuk pergi ke pasanggrahan. Namun dalam pada itu, seseorang telah memberitahukan kepada Kiai Gringsing, bahwa di medan, masih ada dua orang yang ternyata telah mengambil satu kesempatan untuk berperang tanding tanpa menghiraukan paugeran peperangan dalam keseluruhan.

“Siapa?” bertanya Kiai Gringsing.

“Agung Sedayu melawan Ki Tumenggung Prabadaru,” jawab orang itu.

“Agung Sedayu?” ulang Kiai Gringsing.

Di luar sadarnya, nada kata-katanya telah menunjukkan kecemasannya, karena Kiai Gringsing tahu pasti, siapakah Ki Tumenggung Prabadaru.

“Aku ingin melihat,” sahut Sekar Mirah serta merta.

“Aku juga,” desis Pandan Wangi. Namun sambil memandangi suaminya ia bertanya, “Bagaimana dengan kau kakang?”

Tetapi yang menjawab adalah Kiai Gringsing, “Biarlah ia beristirahat. Bersama Ki Gede, Swandaru perlu memulihkan keadaan tubuhnya dan menjaga agar luka-lukanya tidak menjadi berbahaya bagi keduanya.”

Swandaru termenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku akan melihat, apa yang terjadi dengan Kakang Agung Sedayu.”

“Tetapi kau sendiri memerlukan istirahat,” berkata Kiai Gringsing. “Biarlah aku pergi ke tempat mereka bertempur bersama Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Mudah-mudahan Ki Waskita juga sudah berada di sana.”

Swandaru masih ragu-ragu. Namun ketika perasaan pedih itu menyengatnya lagi, maka katanya, “Baiklah. Aku akan beristirahat. Tetapi jika keadaan sudah menjadi semakin baik dan pertempuran itu masih belum selesai, aku akan melihatnya. Rasa-rasanya aku akan selalu dibayangi oleh kecemasan. Aku tahu, bahwa Ki Tumenggung Prabadaru adalah Panglima pasukan khusus Pajang yang dibanggakan. Mudah-mudahan Kakang Agung Sedayu tidak menemui kesulitan.”

“Ia akan mempertahankan diri,” berkata Kiai Gringsing.

“Tetapi kita harus menyadari, bahwa mungkin di antara keduanya terdapat selisih tingkat ilmu mereka,” jawab Swandaru, “aku masih mencemaskan perkembangan ilmu Kakang Agung Sedayu.”

“Ia memiliki kelebihan,” desis Sekar Mirah.

“Jangan mempunyai penilaian yang salah. Kau terlalu mengagumi suamimu. Tetapi di dalam arena yang gawat ini, semuanya akan diukur dengan timbangan yang garang dan tanpa ampun,” jawab Swandaru,

Sekar Mirah tidak menjawab lagi. Tetapi ia memang sudah pernah menjajagi ilmu Agung Sedayu. Menurut perhitungannya, ilmu Agung Sedayu tidak berada di bawah kemampuan ilmu Swandaru.

Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing pun berkata, “Sudahlah. Biarlah Swandaru dan Ki Gede beristirahat.”

Ketika Swandaru berdiri dibantu oleh dua orang pengawal, terasa sakit pada luka-lukanya mencengkam sampai ke tulang sungsum. Karena itu, maka ia merasa perlu untuk benar-benar beristirahat jika ia di hari berikutnya benar-benar akan tampil. Ia masih mendendam terhadap murid Kebo Watang dan orang berwajah murung yang melukainya dengan licik sekali.

Demikianlah, maka Swandaru dan Ki Gede pun telah diantar oleh beberapa orang pengawal ke belakang garis pertempuran yang menjadi lengang, kecuali di satu lingkaran perang tanding antara Ki Tumenggung Prabadaru dengan Agung Sedayu.

Dalam pada itu, beberapa orang senapati terpenting dari kedua belah pihak ternyata ikut serta berkerumun. Seolah-olah mereka akan menjadi saksi, apa yang telah terjadi.

Di antara para senapati Pajang terdapat seorang senapati yang tidak terlalu banyak dikenal. Tetapi sebenarnyalah orang itulah yang telah membayangi kekuasaan Kanjeng Sultan di Pajang. Kakang Panji. Namun di antara para senapati Mataram terdapat seorang yang mengenakan pakaian seorang senapati kebanyakan, berdiri di antara mereka yang mengerumuni arena dari jarak yang agak jauh. Di belakangnya berdiri dua orang senapati yang juga berusaha tidak menarik perhatian orang lain. Untara dan Sabungsari, yang berdiri di belakang Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga.

Dalam pada itu, perhatian semua orang memang tertuju kepada perang tanding itu sendiri, sehingga tidak ada orang yang menghiraukan, siapa di antara mereka yang menyaksikannya. Apalagi hari menjadi semakin gelap, dan orang yang berkerumun pun menjadi semakin banyak. Namun mereka tetap berdiri pada jarak tertentu, karena rasa-rasanya mereka telah berada di tepi perapian.

“Keduanya memang orang-orang luar biasa,” desis para senapati yang menunggui pertempuran itu. Dari pihak manapun juga mereka datang, mereka tidak dapat menyembunyikan kekaguman mereka atas kedua orang yang bertempur dengan mengerahkan ilmu yang sulit diukur.

Meskipun yang berdiri di seputar arena itu pada umumnya adalah orang-orang yang berilmu pula, namun yang mereka saksikan benar-benar telah menggetarkan jantung mereka.

“Ki Tumenggung memang orang luar biasa,” desis Kakang Panji di dalam hatinya. Namun kemudian, “Tetapi anak iblis itu nampaknya mampu mengimbangi ilmu yang pilih tanding itu.”

Demikianlah, maka kedua orang yang bertempur itu telah saling mendesak. Saling menyerang dan saling menyakiti tubuh lawannya. Panas yang terpancar dari tubuh Agung Sedayu rasa-rasanya telah dilunakkan oleh sejuknya kekuatan air dari ilmu Ki Tumenggung Prabadaru. Namun prahara yang menghantam tubuh Agung Sedayu dengan pancaran panasnya api, terbentur pada dinding ilmu kebal yang sudah menjadi semakin mapan.

Karena itu, maka pertempuran itu seolah merupakan pertempuran yang tidak akan berakhir. Keduanya memiliki ilmu yang mampu melanda lawannya bagaikan arus badai dan amuk halilintar dan lidah api. Namun keduanya pun memiliki perisai yang dapat menjadi pelindung sehingga tubuh mereka tidak menjadi hancur dan terbakar menjadi abu.

Yang berdiri di pinggir arena itu adalah para senapati terpenting Pajang dengan jantung yang berdegup semakin keras. Bagi mereka Tumenggung Prabadaru adalah benteng pertama dari kekuatan para senapati Pajang, sebelum orang yang disebut Kakang Panji itu turun ke medan. Sementara itu, Ki Tumenggung masih belum berhadapan langsung dengan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga.

“Hampir di luar nalar,” desis seseorang, “Agung Sedayu ternyata memiliki ilmu yang ngedab-edabi. Tetapi bagaimanapun juga ia tentu akan dibinasakan oleh Ki Tumenggung Prabadaru.”

Raden Sutawijaya sendiri berdiri mematung. Yang disaksikannya benar-benar satu pertarungan antara dua orang raksasa dalam ilmu kanuragan. Raden Sutawijaya berpaling ketika ia mendengar desir di belakangnya. Sementara Untara dan Sabungsari pun bergeser selangkah ke samping.

“Kau adimas,” desis Raden Sutawijaya.

“Luar biasa,” desis orang yang baru datang itu.

“Apakah Adimas Pangeran Benawa seorang diri saja?” bertanya Raden Sutawijaya.

Pangeran Benawa memandang Untara dan Sabungsari berganti-ganti. Lalu katanya, “Kakangmas juga aneh. Yang mengawal Kakangmas sekarang justru prajurit-prajurit Pajang.”

Raden Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, “Bukankah aku juga seorang prajurit Pajang yang sedang berusaha untuk menyelamatkan semua gagasan dan cita-cita Kanjeng Sultan Hadiwijaya?”

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Namun perhatiannya kemudian justru tertuju kepada kedua orang yang sedang bertempur itu. Perlahan-lahan ia berdesis, “Darimana Agung Sedayu memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi kemampuan Ki Tumenggung Prabadaru yang perkasa itu?”

“Anak itu memang luar biasa,” sahut Raden Sutawijaya.

“Kau dapat berbangga Untara,” berkata Pangeran Benawa kemudian, “adikmu adalah seorang yang berhasil mengejutkan dunia olah kanuragan. Meskipun kau juga mampu mengejutkan orang-orang Pajang.”

“Aku tidak mampu berbuat apa-apa Pangeran” sahut Untara.

“Meskipun secara pribadi kau tidak dapat menyamai tingkat kemampuan adikmu, tetapi sebagai seorang senapati kau mampu menciptakan satu suasana yang mengejutkan lawan. Kemampuanmu terletak pada ketajaman penalaranmu, dan bahwa kau benar-benar menguasai segala jenis gelar peperangan,” berkata Pangeran Benawa.

“Pangeran memang selalu memuji,” desis Untara.

Pangeran Benawa tidak menyahut. Tetapi, perhatiannya semakin terpancang kepada pertempuran di tengah-tengah arena yang luas. Keduanya semakin dalam terlibat dalam benturan ilmu yang sulit dimengerti.

Bahkan, ketika prahara yang memancar dari lontaran ilmu Ki Tumenggung mengguncangkan arena, maka orang-orang yang berdiri di seputar arena itu pun harus bergeser surut. Udara yang menampar tubuh mereka menaburkan panasnya kekuatan api dan prahara. Pepohonan di atas tebing Kali Opak itu pun telah berguncang. Dedaunan yang tidak mampu tagi berpegangan pada dahan-dahannya telah terlempar dan hanyut menebar. Bahkan ranting-ranting pun telah berpatahan dan tanah di bawah arena menjadi bagaikan dibajak. Sentuhan-sentuhan kekuatan ilmu mereka, bukan saja mengguncang ranting-ranting, tetapi dahan-dahan pun berderak patah dan daun-daunnya menjadi kering.

Kekuatan air yang terkandung dalam ilmu Ki Tumenggung Prabadaru hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, sementara kekuatan yang terserap dari bumi membuatnya bagaikan batu karang.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu bagaikan hilang dari tatapan matanya. Di dalam keremangan malam, yang berterbangan di sekitar Ki Tumenggung rasa-rasanya hanyalah bayangan yang menyelinap sesaat lewat di depan matanya, kemudian menghambur dan berbaur dengan hitamnya malam. Namun yang tinggal adalah pancaran udara panas yang terasa menjadi semakin mencekik.

Kecepatan bergerak Agung Sedayu benar-benar di luar jangkauan kemampuan Ki Tumenggung Prabadaru. Namun kekuatan Ki Tumenggung dari segala macam kekuatan yang diserapnya, masih mampu membuatnya menjadi seorang lawan yang tangguh tanggon.

Orang-orang yang mengerumuni arena pertempuran itu pun menjadi semakin mengagumi kedua orang yang sedang bertempur itu. Di antara mereka kemudian terdapat Kiai Gringsing, Pandan Wangi dan istri Agung Sedayu itu sendiri. Sekar Mirah. Di sisi lain Glagah Putih berdiri bagaikan membeku. Sementara Ki Waskita setiap kali menarik nafas dalam-dalam melihat apa yang mampu dilakukan oleh Agung Sedayu.

Bagaimanapun juga, Ki Waskita ikut merasa berbangga, bahwa di dalam diri Agung Sedayu tersimpan kemampuan yang dapat disadapnya dari kitab yang pernah dipinjamkannya kepada anak muda itu, sehingga secara tidak langsung, maka iapun menganggap Agung Sedayu sebagaimana muridnya sendiri.

Yang hampir tidak dapat menahan diri adalah Sekar Mirah. Meskipun ia melihat, betapa Agung Sedayu mampu mengimbangi Ki Tumenggung Prabadaru, namun kecemasan yang sangat telah mencengkam jantungnya. Menurut penglihatannya, Ki Tumenggung Prabadaru benar-benar seorang yang luar biasa. Yang memiliki ilmu yang jarang ada duanya. Meski iapun melihat, bahwa kemampuan Agung Sedayu sungguh-sungguh di luar dugaannya, namun pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran yang sangat menegangkan.

Meskipun demikian, menyelinap pula kebanggaan di dalam hati Sekar Mirah. Jika saat-saat ia menjajagi kemampuan Agung Sedayu, ia sekedar mengetahui bahwa ilmu Agung Sedayu masih berada di atas kemampuannya sendiri, kini ia melihat, bahwa kemampuan suaminya itu bukan sekedar selapis di atasnya. Tetapi benar-benar tidak lagi dapat diperbandingkan.

“Aku tidak mengira,” hampir di luar sadarnya ia berdesis.

“Apa?” bertanya Kiai Gringsing, “Apa yang tidak kau duga?”

“Kemampuan Kakang Agung Sedayu,” jawab Sekar Mirah, “di saat aku menyaksikan Kakang Agung Sedayu benar-benar mengerahkan kemampuannya melawan orang yang memiliki ilmu yang seimbang, barulah aku menyadari, betapa kecilnya ilmu yang sudah aku miliki. Agaknya selama ini aku memiliki anggapan yang sama sekali salah terhadap ilmunya. Apalagi kakang Swandaru. Jika ia tidak terluka parah dan sempat menyaksikan pertempuran ini, maka ia sangat terkejut karenanya.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia pun mengerti, bahwa Swandaru mempunyai penilaian yang keliru atas Agung Sedayu. Jika kemudian Sekar Mirah menceritakan apa yang dilihatnya kepada Swandaru, maka mungkin sekali Swandaru mempunyai tanggapan yang salah pula.

Mungkin Swandaru tidak mempercayainya, atau menganggap bahwa cerita Sekar Mirah yang mengagumi suaminya itu agak berlebihan. Tetapi mungkin pula Swandaru menyalahkannya sebagai gurunya, bahwa ia dianggap berbuat tidak adil.

Sementara itu, yang tidak kalah tegangnya adalah Pandan Wangi. Meskipun ia sudah pernah mendengar kemampuan Agung Sedayu, dan ia cenderung untuk mempercayai kelebihannya, namun ketika ia menyaksikan sendiri apa yang telah terjadi itu, maka rasa-rasanya ia melihat pertempuran di dalam sebuah mimpi.

Sementara itu, di pesanggrahan, Swandaru yang terluka berbaring dengan kecemasan yang mencengkam jantungnya. Rasa-rasanya ia telah meninggalkan anak yang baru pandai merangkak di pinggir sebuah jurang yang curam. Setiap saat anak itu akan dapat terjerumus ke dalamnya, menghantam batu-batu padas yang tajam sehingga tubuhnya akan menjadi lumat.

Tetapi keadaannya benar-benar tidak memungkinkan. Luka-lukanya ternyata cukup parah. Jika pada saat ia berhadapan dengan kedua lawannya, ia masih mampu melawan, adalah karena dorongan kemarahannya yang menghentak-hentak. Untunglah bahwa ia harus menghentikan pertempuran itu. Jika ia masih saja memaksa diri, maka darah akan mengalir semakin banyak. Dan kemungkinan yang paling pahit itupun akan dapat terjadi.

Namun demikian, ia tidak dapat melepaskan bayangan yang bermain di angan-angannya tentang Agung Sedayu.

Ki Gede yang berada tidak jauh dari padanya pun nampak gelisah pula. Ki Gede itu juga terluka parah. Namun kadang-kadang terdengar Ki Gede itu berdesah.

“Sebenarnya aku ingin menyaksikan Kakang Agung Sedayu bertempur,” desis Swandaru.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Akupun ingin. Tetapi aku tidak dapat mengingkari kenyataanku sekarang. Aku terluka parah.”

“Ya,” jawab Swandaru, “tetapi rasa-rasanya aku tidak dapat menahan diri disiksa oleh kecemasan ini. Kakang Agung Sedayu nampaknya terlalu sibuk dengan tugas-tugasnya, sehingga ia kurang memperhatikan perkembangan ilmunya sendiri. Seperti juga Kakang Untara yang aku kagumi saat ia mengalahkan Tohpati dari Jipang. Namun ternyata kemudian, bahwa ilmunya telah terhenti dan tidak berkembang sama sekali.”

“Aku kira tidak demikian Ngger,” jawab Ki Gede, “ilmu Angger Untara tentu berkembang. Apalagi ilmu Angger Agung Sedayu. Aku yakin, bahwa Angger Agung Sedayu memiliki banyak kelebihan dari anak-anak muda sebayanya.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ingin juga rasa-rasanya untuk membantah. Tetapi ia tidak ingin mengecewakan orang tua itu. Karena orang tua itu sudah terlanjur percaya kepada Agung Sedayu, dan bahkan mempercayakan Tanah Perdikannya kepadanya.

“Aku tidak boleh mengecewakannya. Aku sendiri tidak dapat berbuat apa-apa bagi Tanah Perdikan Menoreh, karena aku tidak dapat meninggalkan Kademangan Sangkal Putung,” berkata Swandaru di dalam hatinya. “Jika ia kecewa atas Kakang Agung Sedayu, maka ia akan kehilangan harapan bagi masa depan Tanah Perdikannya.”

Karena itu, maka ia pun tidak membantah lagi. Tetapi Swandaru itu pun mulai berangan-angan lagi tentang pertempuran yang sedang terjadi. Apalagi apabila ia mulai membayangkan, bahwa Ki Tumenggung Prabadaru adalah Panglima pasukan khusus Pajang yang memiliki kemampuan yang sukar dibayangkan.

Sebenarnyalah, saat itu Ki Tumenggung Prabadaru telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalam dirinya telah terungkap menghantam lawannya dalam pusaran pertempuran yang menggetarkan jantung.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dengan segenap ilmu yang ada padanya telah mengimbangi kemampuan Ki Tumenggung Prabadaru. Kecepatannya bergerak dalam ilmunya yang dapat memperingan tubuhnya. Kekuatan ilmunya yang disadapnya dari lingkungannya dan ilmu kebalnya yang matang sehingga seolah-olah tidak tertembus, bahkan telah memancarkan udara panas dari dalam dirinya.

Satu hal yang belum sempat dilakukan oleh Agung Sedayu. Ia masih belum sempat mempergunakan ilmu yang dapat dipancarkan dengan mempergunakan sorot matanya. Ki Tumenggung agaknya selalu berusaha untuk berputar pada jarak jangkau tangannya, sehingga Agung Sedayu masih belum sempat mempergunakan ilmunya itu.

Yang berdiri dengan tegang adalah seorang senapati Pajang yang tidak banyak dikenal di antara senapati-senapati lain. Namun demikian, dua orang kepercayaannya berdiri di sebelah menyebelahnya dengan jantung yang berdebaran.

“Anak itu luar biasa,” desis yang seorang dari kedua kepercayaannya.

Senapati yang disebut Kakang Panji itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ia tidak boleh kalah dalam perang tanding ini. Ia harus dapat mengalahkan anak muda itu.”

Kedua kepercayaannya mengangguk-angguk. Namun yang seorang berkata, “Tetapi sampai saat ini, kita tidak akan dapat menebak apa yang bakal terjadi. Nampaknya keduanya memiliki kemampuan yang seimbang.”

Kakang Panji mengangguk-angguk. Katanya, “Jika ternyata Ki Tumenggung terdesak, maka aku harus berbuat sesuatu, agar anak itu terganggu dan akhirnya ia dapat dikalahkan. Tetapi jika dengan demikian Prabadaru tidak menyadari pertolonganku kelak, maka ia akan menyesal.”

Kedua kepercayaannya mengangguk-angguk. Tetapi, mereka pun tidak mengerti, bagaimana Kakang Panji itu akan membantu Ki Tumenggung Prabadaru. Di seputar arena pertempuran itu terdapat banyak senapati dari kedua belah pihak. Jika ia turun ke medan, maka pihak Mataram pun tentu akan melakukan hal yang sama. Dengan demikian, maka hal itu akan dapat memancing satu pertempuran baru antara para senapati dari kedua belah pihak. Apalagi jika para prajurit dan para pengawal turun membantu, maka pertempuran yang seharusnya terhenti itu akan menyala lagi dalam suasana yang tidak lagi dapat di batasi dengan paugeran-paugeran perang bagi para kesatria.

Ternyata salah seorang kepercayaannya itu tidak dapat menyembunyikan perasaan cemasnya. Karena itu, maka ia pun bertanya, “Kakang, apakah hal yang demikian itu tidak akan memancing persoalan baru yang dapat berkembang dengan cepat dan mungkin akan terjadi hal-hal yang tidak kita kehendaki?”

Kakang Panji memandang kepercayaannya itu dengan wajah yang berkerut. Katanya, “Kau sudah cukup lama mengenal aku. Bagaimana mungkin kau bertanya seperti itu?”

Kepercayaannya itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Iapun kemudian teringat bahwa Kakang Panji itu memiliki kemampuan menyerang lawannya dari jarak yang cukup jauh tanpa menimbulkan gerak dan bunyi.

“Agaknya Kakang Panji akan mempergunakan ilmunya,” berkata kepercayaannya di dalam hati, “dalam keadaan seperti ini, ia akan berkesempatan memusatkan nalar budinya tanpa diganggu oleh orang lain di tempat ini.”

Namun dalam pada itu, Kakang Panji masih belum berbuat sesuatu. Pertempuran antara Ki Tumenggung Prabadaru dan Agung Sedayu itu nampaknya masih saja seimbang. Keduanya memiliki peluang yang sama, tetapi juga kemungkinan pahit yang sama.

Tetapi lambat laun, Kakang Panji itupun mengerti sepenuhnya apa yang terjadi. Dengan ketajaman pengamatannya, maka ia berdesis, “Sungguh luar biasa. Anak muda itu mempunyai ilmu kebal yang hampir sempurna. Itulah sebabnya agaknya udara di sekitar arena pertempuran ini menjadi panas. Kemampuan Ki Tumenggung menyadap kekuatan api ternyata tidak terlalu banyak berpengaruh atas lawannya karena dinding ilmu kebalnya, dan bahkan Ki Tumenggung mempunyai kemampuan untuk menangkap kekuatan air di dalam dirinya, sehingga panas yang terpancar dari tubuh lawannya tidak membakarnya menjadi abu. Namun sebenarnyalah aku menjadi cemas, apakah Ki Tumenggung akan dapat bertahan sampai satu malam menghadapi anak yang luar biasa itu. Ia memiliki ilmu yang jarang ada duanya sekarang ini. Ilmu membuat dirinya menjadi seakan-akan tanpa bobot, di lambari dengan ilmu kanuragannya yang matang, maka ia adalah orang yang sangat berbahaya.”

Kedua orang kepercayaannya sama sekali tidak menjawab. Namun mereka kemudian melihat satu perubahan dalam putaran pertempuran itu. Agung Sedayu yang memiliki kecepatan gerak yang luar biasa itu, tiba-tiba berusaha untuk melontarkan diri menjauhi lawannya. Meskipun Ki Tumenggung selalu memburunya, namun Agung Sedayu selalu berhasil mengambil jarak, menghindarkan diri dari libatan angin prahara yang dahsyat menghantamnya, dibarengi dengan panasnya api yang mengguncang-guncang ilmu kebalnya. Jika pada suatu saat ilmu lawannya itu berhasil memecahkan ilmu kebalnya, maka serangan-serangan berikutnya akan membuatnya kehilangan perisai pertahanannya.

Ketika Ki Tumenggung Prabadaru menghembuskan angin yang bagaikan badai, maka Agung Sedayu telah menghanyutkan diri beberapa langkah. Tetapi ketika Ki Tumenggung kemudian memburunya, Agung Sedayu telah meloncat ke arah yang berlawanan, seolah-olah meloncat lewat di atas kepala lawannya itu.

Dengan sigapnya Ki Tumenggung memutar diri menghadap ke arah Agung Sedayu. Namun yang dilihatnya Agung Sedayu itu berdiri tegak dengan tangan bersilang di dadanya.

Darah Ki Tumenggung Prabadaru tersirap. Ia sadar, bahwa sesuatu akan terjadi. Ia pernah melihat Agung Sedayu dalam sikap serupa menghadapi Ki Mahoni. Dan ia pun mendengar apa yang pernah dilakukan oleh Agung Sedayu sebelumnya.

Karena itu, Ki Tumenggung tidak boleh terlambat. Ia sadar kemampuan yang dapat terpancar dari mata anak muda itu.

Karena itu, maka dengan serta merta Ki Tumenggung pun telah melontarkan kekuatan praharanya langsung menghantam Agung Sedayu.

Pada saat yang bersamaan Agung Sedayu memang telah melontarkan kekuatan puncaknya lewat sorot matanya. Demikian Ki Tumenggung berdiri tegak, maka sorot mata Agung Sedayu pun langsung menghunjam ke jantungnya.

Terasa jantung Ki Tumenggung bagaikan diremas oleh kekuatan yang sulit untuk dilawan. Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk bertahan. Namun perasaan sakit itu telah mengurangi kemampuannya untuk melontarkan serangannya dengan tenaga anginnya.

Namun bersamaan dengan hentakan kekuatan Agung Sedayu yang bagaikan meremas isi dada Ki Tumenggung, maka kekuatan badai yang tidak terelakkan telah menghantam dada Agung Sedayu. Meskipun kekuatan angin itu tidak memecahkan dinding ilmu kebalnya namun angin itu telah mengguncangnya. Serangan itu demikian dahsyatnya, sehingga tubuh Agung Sedayu itu pun telah terguncang. Apalagi pada saat-saat Agung Sedayu memusatkan nalar budinya untuk mengerahkan ilmu puncaknya lewat sorot matanya, sehingga karena itu maka ia tidak dapat bertahan untuk berdiri tegak.

Ketika keseimbangan Agung Sedayu goyah oleh dorongan kekuatan prahara Ki Tumenggung, maka pemusatan kemampuan ilmunyapun telah menjadi goyah pula. Sehingga dengan demikian, maka cengkaman ilmunya atas dada Ki Tumenggung menjadi mengendor pula.

Ki Tumenggung rasa-rasanya mendapat kesempatan untuk bernafas. Namun waktu yang sekejap, pada saat ia cidera oleh perasaan sakitnya, maka Agung Sedayu pun telah terlepas dari hempasan angin prahara yang menghantam dadanya.

Dengan demikian, hampir bersamaan pula, keduanya telah terlepas dari serangan lawan dan kekuatan ilmu yang dahsyat.

Ki Tumenggung tidak mau serangan itu terulang. Karena itu, maka ia pun telah meloncat mendekati Agung Sedayu sekaligus melontarkan serangannya yang dahsyat.

Tetapi Agung Sedayu pun mampu bergerak cepat. Ia pun segera menghindari serangan itu, sehingga Ki Tumenggung telah kehilangan sasarannya.

Namun demikian, kekuatan angin yang terlontar sedahsyat badai itu mampu menyapu mengitari dirinya, ke seluruh arena. Tidak ada sejengkal pun yang terlampau.

Meskipun demikian, Agung Sedayu masih juga mempunyai cara untuk mengelak. Ia tidak mau hanyut dan bahkan terbanting oleh dorongan angin yang kuat, meskipun angin itu tidak melukai bagian tubuhnya yang dilindungi oleh ilmu kebalnya. Namun dalam keseluruhannya, ia akan dapat terlempar oleh dorongan kekuatan yang luar biasa itu. Apalagi hentakan-hentakan yang didorong oleh segenap kekuatan ilmunya.

Dengan demikian, maka pertempuran di antara keduanya pun telah berlangsung seperti semula. Keduanya saling menyerang dalam jarak yang tidak terlalu jauh, sebagaimana selalu diusahakan oleh Ki Tumenggung. Setiap kali Agung Sedayu mengambil jarak, maka Ki Tumenggung dengan serta merta telah menghantamnya dengan angin prahara yang dahsyat, sehingga Agung Sedayu masih belum sempat mempergunakan ilmu yang dapat terpancar dari sorot matanya.

Dalam pada itu, maka semakin lama keduanya pun mulai dipengaruhi oleh perasaan sakit dan letih. Serangan-serangan Ki Tumenggung yang semakin tajam, kadang-kadang mulai terasa menyakiti bagian dalam tubuh Agung Sedayu meskipun kulitnya sama sekali tidak terluka. Sebaliknya serangan-serangan Agung Sedayu yang cepat, yang kadang-kadang berhasil menyentuh tubuh Ki Tumenggung, membuat kulit Ki Tumenggung menjadi memar dan disengat oleh perasaan sakit dan pedih.

Senapati Pajang yang tidak banyak dikenal, yang sebenarnya adalah orang utama di medan itu, menjadi semakin tegang. Menurut penilaiannya, jika tidak dipengaruhi oleh apapun juga, maka sulit bagi salah satu pihak untuk memenangkan pertempuran itu. Jika kemampuan keduanya mulai susut, pada suatu saat keduanya akan kehabisan kekuatan untuk meneruskan pertempuran. Mungkin salah seorang di antara mereka masih dapat mempergunakan sisa-sisa kekuatannya untuk mengakhiri perang tanding itu. Tetapi mungkin keduanya sudah tidak mampu sama sekali.

Ketika Ki Tumenggung Prabadaru lengah, dan dengan kekuatan ilmunya Agung Sedayu berhasil menghantam dadanya, sehingga Ki Tumenggung itu terlempar dan jatuh berguling, rasa-rasanya dada Kakang Panji itu pun ikut menjadi sesak. la menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat, Ki Tumenggung sempat menghalau Agung Sedayu meskipun sambil terbaring di tanah dengan praharanya yang dahsyat. Namun ketika serangan yang sama sekali lagi menghantamnya saat Ki Tumenggung bangkit, maka kekuatan bumi di dalam dirinya telah membuatnya tetap tegak bagaikan gunung anakan. “Gila, anak iblis,” meskipun demikian Ki Tumenggung itu menggeram. Meskipun tubuhnya tidak terguncang, tetapi perasaan sakit telah mencengkam sampai ke tulang.

Agung Sedayu pun menjadi heran melihat keadaan lawannya yang tiba-tiba saja tidak bergeser setapak pun oleh serangan yang menghantam langsung ke dadanya.

Namun dalam pada itu, Kakang Panji menjadi semakin gelisah. Sesaat kemudian terdengar giginya gemeretak oleh kemarahan yang bergelora, di dadanya.

Dalam pada itu, di lingkaran yang mengelilingi pertempuran itu dari jarak yang cukup jauh, Ki Lurah Branjangan setiap kali mengusap dadanya. Ia merasa terlalu kecil dibandingkan dengan pimpinan pasukan khusus yang dibentuk oleh Pajang.

Ketika ia melihat satu pertempuran yang sebenarnya antara dua kekuatan raksasa, maka iapun menjadi semakin menyadari, bahwa tanpa Agung Sedayu, maka Pasukan Khusus Mataram itu tentu tidak akan dapat mencapai hasil sebagaimana dilihatnya saat itu. Hanya Agung Sedayu seorang sajalah di antara para pemimpin dan senapati dari Pasukan Khusus Mataram yang mampu mengimbangi kemampuan Ki Tumenggung Prabadaru.

“Anak itu memang luar biasa,” desis Ki Lurah. Terkilas sejenak dikenangnya, apa saja yang pernah dilakukannya terhadap anak muda itu. Ia pernah memperlakukannya sebagai orang yang berada di bawah perintahnya. Ketika Agung Sedayu itu minta ijin untuk kawin, maka ia berusaha untuk memberikan batasan waktu yang lebih pendek dari yang diminta.

“Ilmunya memang luar biasa. Tetapi ia bukan seorang prajurit sebagaimana kakaknya, Untara,” berkata Ki Lurah kepada diri sendiri. Namun ternyata bahwa anak muda itu pada suatu saat telah menunjukkan kemampuannya yang luar biasa.

Dalam pada itu, pertempuran antara kedua orang yang seolah-olah menjadi satu peristiwa yang hanya terjadi dalam angan-angan itu, telah berlangsung semakin dahsyat. Keduanya telah saling menyakiti. Saling mengguncang pertahanan ilmu masing-masing dan saling digelisahkan oleh kemampuan lawannya.

Namun, dalam keadaan yang gawat itu, maka Agung Sedayu seakan-akan telah mengenali pengalaman yang pernah dilakukannya. Ia harus berani mengambil satu kesempatan untuk membenturkan ilmunya meskipun taruhannya sangat mahal. Karena jika ia gagal, maka mungkin sekali ia akan mengalami keadaan yang paling buruk.

“Tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Karena itulah, maka ia pun mulai mempersiapkan diri sebagaimana pernah terjadi ketika ia bertempur melawan lawan-lawannya yang telah dikalahkannya. Karena Agung Sedayu yakin, bahwa kemampuannya yang paling tinggi ada pada lontaran ilmunya lewat sorot matanya.

Dalam pertempuran selanjutnya, maka Agung Sedayu pun telah membuat perhitungan yang cermat. Ia ingin mendapatkan kesempatan untuk sekali lagi melepaskan ilmunya yang terpancar dari sorot matanya, namun dengan satu sikap yang tidak memungkinkannya terlempar oleh kekuatan angin prahara Ki Tumenggung Prabadaru.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah mengerahkan kemampuannya untuk bergerak dengan cepat karena seolah-olah tubuhnya tidak lagi mempunyai berat. Ketika ia menyambar Ki Tumenggung yang berdiri mapan dan sikapnya yang tidak tergoyahkan, dengan sengaja ia tidak menyentuhnya, namun tubuhnya justru telah terlontar beberapa langkah melampaui Ki Tumenggung yang sedang mengerahkan segenap kekuatannya untuk melawan hentakan kekuatannya agar tidak terlempar dan terbanting di tanah.

Tetapi Ki Tumenggung terkejut ketika ia melihat Agung Sedayu bagaikan terbang justru mengambil jarak daripadanya. Segera ia menyadari apa yang akan dilakukan oleh anak muda itu. Karena itu, maka ia pun dengan tergesa-gesa telah mengerahkan kekuatan badainya untuk menghantam Agung Sedayu yang pasti akan melontarkan ilmunya lewat sorot matanya.

Ki Tumenggung hanya memerlukan waktu sekejap. Segera angin prahara pun telah menderu menghantam Agung Sedayu.

Tetapi Agung Sedayu sudah mempertimbangkannya. Karena itu ketika angin itu melandanya, maka ia tidak lagi berdiri dengan tangan bersilang di dadanya. Tetapi Agung Sedayu justru telah duduk di tanah. Dengan demikian maka daya dorong angin yang menderu oleh dorongan ilmu Ki Tumenggung itu tidak terlalu kencang mendorongnya, sehingga ia akan dapat jatuh karenanya.

Sambil duduk dengan bersilang tangan di dada, Agung Sedayu telah melepaskan ilmunya yang dahsyat. Ilmu yang memancar dari kedua belah matanya yang memandang Ki Tumenggung itu bagaikan tiada berkedip.

Kekuatan badai yang dahsyat memang mengguncang Agung Sedayu. Tetapi ternyata bahwa sikapnya telah menolongnya. Justru karena Agung Sedayu duduk, maka ia dapat membagi kekuatannya. Untuk bertahan agar ia tidak terdorong oleh kekuatan lawannya, sekaligus melontarkan kekuatan ilmunya lewat sorot matanya.

Ki Tumenggung merasa, satu kekuatan yang dahsyat bagaikan telah menyusup ke dalam dadanya. Terasa jantungnya bagaikan diremas. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu memang tidak dapat mengerahkan ilmunya sampai ke puncak, karena ia pun masih harus bertahan agar ia tidak jatuh terlentang oleh ilmu lawannya.

Demikianlah kedua orang itu telah mengadu ilmu puncak mereka. Badai yang panas mendera Agung Sedayu yang sedang duduk. Namun Agung Sedayu masih mampu bertahan sambil berlindung di balik ilmu kebalnya. Namun sementara itu, sorot matanya telah mencengkam isi dada Ki Tumenggung Prabadaru, meskipun tidak sedahsyat kekuatan ilmunya yang utuh dan bulat.

Untuk beberapa saat keduanya bertahan dalam keadaan masing-masing. Keduanya berusaha mendahului kekuatan lawan untuk memadamkan kekuatan ilmunya.

Dalam keadaan yang demikian, maka orang yang menyebut dirinya Kakang Panji telah sampai ke puncak kecemasannya. Jika Ki Tumenggung gagal, maka akibatnya akan sangat parah baginya. Jantungnya akan dapat menjadi hangus dan mautpun akan merenggutnya.

Jika hal itu terjadi, maka ia akan kehilangan kekuatan yang cukup besar. Di hari berikutnya ia masih harus mencari kesempatan melawan Senapati ing Ngalaga dan menghancurkannya. Dengan demikian Pajang tidak akan mempunyai orang lain yang akan dapat membantunya. Kebo Watang sudah tidak berhasil, bahkan ia telah dihancurkan oleh orang bercambuk dari Mataram itu. Orang-orang lain pun tidak akan dapat diharapkannya lagi, selain Ki Tumenggung Prabadaru. Adalah di luar perhitungan bahwa di Mataram, selain Raden Sutawijaya ada seseorang yang akan mampu mengimbangi ilmunya.

“Aku tidak dapat mengharapkan Pangeran Benawa, Adipati Tuban atau Adipati Demak,” berkata Kakang Panji kepada dirinya sendiri, “apalagi Kanjeng Sultan sendiri.”

Karena itulah, maka orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus berbuat sesuatu untuk menolong Ki Tumenggung Prabadaru di luar pengetahuan orang-orang yang berada di sekitar arena itu.

Tetapi orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itupun yakin, bahwa di sekitar arena itu tentu terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi dari kedua belah pihak. Karena itu, maka ia harus berbuat dengan sangat hati-hati. Ia harus dapat mempergunakan salah satu ilmunya, langsung mengenai sasarannya.

Meskipun demikian Kakang Panji sadar, bahwa kemungkinan-kemungkinan yang lainpun akan dapat terjadi, karena terlalu sulit baginya untuk sama sekali tidak menyentuh seorangpun diantara mereka yang berada di seputar arena, termasuk Ki Tumenggung Prabadaru sendiri. Tetapi Kakang Panji mengerti dengan pasti, bahwa ilmunya yang paling banyak akan berpengaruh atas orang yang dikehendaki.

“Tetapi aku harus dapat melihat Agung Sedayu,” berkata Kakang Panji itu di dalam hatinya.

Ketika keadaan menjadi semakin gawat karena serangan Agung Sedayu yang semakin mencengkam jantung Ki Tumenggung Prabadaru, sementara itu, Agung Sedayu tidak dapat dihanyutkan oleh angin pusaran yang terlontar dari ilmu Ki Tumenggung Prabadaru, maka Kakang Panji itu pun telah mengambil satu keputusan bulat untuk berbuat sesuatu.

Dan iapun benar-benar telah bertindak.

Dengan dua orang kepercayaannya, maka Kakang Panji telah mengambil satu tempat yang meskipun berada di antara orang-orang lain yang menyaksikan pertempuran itu, namun ia berdiri agak terpisah, dan dari tempatnya ia dapat melihat Agung Sedayu yang duduk sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Sementara itu, Ki Tumenggung berdiri tegak, bertahan dari rasa sakit yang mencengkam sambil melontarkan ilmu praharanya dibarengi dengan panasnya kekuatan yang disadapnya dari panasnya api.

“Berbuatlah sebaik-baiknya,” berkata Kakang Panji kepada dua orang kepercayaannya, “aku akan melumpuhkan kemampuan Agung Sedayu memusatkan pikirannya. Ia akan kehilangan kemampuan untuk menyerang Ki Tumenggung dengan sorot matanya yang berbahaya itu.”

“Aku akan menjaga jika terjadi sesuatu, pada saat Kakang Panji melepaskan bantuan bagi Ki Tumenggung,” berkata salah seorang kepercayaannya.

“Mungkin ilmu ini akan berpengaruh juga bagi orang-orang lain, tetapi sudah tentu tidak akan setajam yang dialami oleh Agung Sedayu sebagai sasarannya yang utama. Kecuali itu, tentu tidak akan ada orang lain yang mengetahui, bahwa ilmu ini dilepaskan oleh orang lain. Bukan oleh Ki Tumenggung, kecuali Ki Tumenggung itu sendiri,” berkata Kakang Panji itu.

Kedua orang kepercayaannya itu tidak menjawab. Mereka pun segera bersiap-siap di sebelah menyebelah orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu.

Dalam pada itu, keadaan Ki Tumenggung Prabadaru memang sudah menjadi semakin buruk. Meskipun ia masih tegak berdiri, namun dadanya serasa bagaikan pecah. Pada saat-saat yang sangat sulit itu ia masih sempat menghentakkan kekuatannya, sehingga Agung Sedayu menjadi goyah pula.

Ki Tumenggung Prabadaru dapat mengurangi rasa sakit di dadanya saat-saat Agung Sedayu harus bertahan dari arus angin yang melanda tubuhnya. Namun pada saat-saat tertentu, ia masih sempat membuat jantung Ki Tumenggung bagaikan pecah.

Tetapi agaknya Ki Tumenggung tidak ingin mengalami kesakitan itu terlalu lama. Dengan sisa tenaganya, sambil menyerang lawannya, ia pun berusaha untuk memperpendek jarak antara keduanya, agar ia dapat memancing Agung Sedayu bertempur pada jarak jangkau tangannya.

Namun pada saat itu, orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itupun sudah bertindak.

Sesaat kemudian, di arena itu telah tercium bau yang aneh. Seperti bau kemenyan yang tajam. Namun bau itu seolah-olah hanya singgah saja sesaat di setiap hidung. Kemudian bau itu bagaikan telah hilang dihanyutkan arus angin yang kuat. Bukan saja arus yang memancar dari ilmu Ki Tumenggung. Tetapi malam itu, angin memang bertiup dari selatan.

Namun dalam pada itu, tidak demikian halnya dengan Agung Sedayu. Bau kemenyan itu bukan saja tercium untuk sesaat sebagaimana tercium pula oleh orang-orang yang berada di sekitar tempat itu. Namun bau itu justru terasa semakin tajam menusuk hidungnya.

Bagaimanapun juga Agung Sedayu memusatkan nalar budinya, menghadapi lawannya yang luar biasa, tetapi bau itu terasa sangat mengganggunya. Bau kemenyan dan wewangian telah membuatnya menjadi pening. Sedikit demi sedikit, pemusatan nalar budinya pada pengerahan kemampuannya menjadi susut. Meskipun ia masih mampu bertahan di tempatnya dan masih juga mampu menyerang lawannya dengan sorot matanya, tetapi perlahan-lahan perasaan sakit di dada Ki Turnenggung menjadi berkurang.

Ki Tumenggung Prabadaru juga mencium bau tajam di hidungnya. Tetapi seperti juga orang-orang lain, bau itu pun lewat saja sebentar di hidungnya. Namun bau itupun kemudian menjadi semakin lunak dan bahkan hampir tidak tercium lagi olehnya. Hanya kadang-kadang saja bau itu singgah sejenak. Namun kemudian lenyap lagi dihanyutkan angin.

Sejalan dengan bau kemenyan dan wewangian itu, serangan Agung Sedayu terasa menjadi lemah. Perlahan-lahan terasa oleh Ki Tumenggung, seakan-akan Agung Sedayu telah melepaskan serangannya. Sehingga dengan demikian, maka Ki Tumenggung itupun melangkah semakin mendekati Agung Sedayu.

Dalam pada itu, bau yang tajam itu benar-benar berpengaruh atas perasaan Agung Sedayu. Ia benar-benar merasa terganggu. Sementara itu, iapun melihat Ki Tumenggung melangkah setapak demi setapak mendekatinya.

Pada saat terakhir, Agung Sedayu masih mencoba untuk mengerahkan kemampuannya. Ia berusaha untuk tidak menghiraukan pengaruh pada indra penciumannya.

Untuk mendorong pemusatan nalar budinya, maka Agung Sedayu pun telah mengatupkan giginya rapat-rapat. Sambil menggeram ia berusaha untuk mengerahkan kemampuannya melontarkan ilmunya lewat sorot matanya.

Hentakan itu memang terasa oleh Ki Tumenggung. Terasa cengkaman di dadanya pun menghentak pula. Rasa-rasanya jantungnya akan pecah oleh hentakan kekuatan itu.

Karena itulah, maka langkahnya pun telah terhenti.

Di luar sadarnya Ki Tumenggung telah memegangi dadanya sambil menyeringai menahan sakit.

Namun dalam pada itu, Kakang Panji yang cemaspun telah mengerahkan gangguannya pada indra penciuman Agung Sedayu. Bau yang wangi terasa semakin menusuk hidungnya. Bahkan rasa-rasanya ada semacam benda yang berbau tajam melekat di hidungnya, sementara baunya meresap sampai ke otaknya, sehingga pemusatan nalar budinya telah terganggu sepenuhnya.

Dalam keadaan pening, Agung Sedayu benar-benar telah terpengaruh. Matanya yang memandang tajam dalam puncak ilmunya, menjadi kabur. Hentakan ilmunya tiba-tiba telah mengendor.

Pada saat yang demikian, maka Agung Sedayu harus berjuang melawan perasaannya sendiri yang dipengaruhi oleh bau yang tajam. Agung Sedayu tidak mengerti, bahwa seseorang telah berbuat curang. Ia tidak lagi bertempur melawan satu orang dalam perang tanding. Tetapi orang lain yang berilmu tinggi, telah terlibat dalam pertempuran itu, langsung menyerangnya pada indra penciumnya, sehingga mempengaruhi pemusatan kemampuannya pada ilmu pamungkasnya.

Dalam gejolak yang terjadi pada dirinya itu, maka serangan Agung Sedayu atas lawannya pun terasa menjadi kendor. Perasaan sakit yang mencengkam jantung Ki Tumenggung pun menjadi susut. Sehingga dengan demikian, maka Ki Tumenggung pun telah maju lagi setapak demi setapak mendekati Agung Sedayu.

Dalam keadaan yang demikian, Agung Sedayu masih tetap duduk di tempatnya. Ia harus bertempur melawan badai dan udara panas yang melandanya. Namun iapun harus berjuang melawan pengaruh yang sangat menentukan pada indra penciumannya.

Pada saat yang demikian itulah, Ki Tumenggung Prabadaru berhasil mencapainya. Dengan segenap kemampuan yang ada, maka Ki Tumenggung tidak lagi menyerang Agung Sedayu dengan kekuatan ilmunya. Tetapi Ki Tumenggung benar-benar telah menyerang dengan sentuhan wadagnya. Dengan kakinya Ki Tumenggung menghantam dada Agung Sedayu yang masih saja duduk dengan menyilangkan tangan di dadanya. Sementara pengaruh pada indra penciumannya serasa semakin mengganggunya.

Namun ketika serangan wadag Ki Tumenggung yang dilambari dengan kekuatan buminya mengarah ke dadanya, maka Agung Sedayu tidak dapat membiarkannya. Ia terpaksa melepaskan serangan lewat sorot matanya yang terganggu itu, dan mengerahkan kekuatan cadangannya untuk menangkis serangan itu, dilambari dengan ilmu kebalnya.

Sejenak kemudian terjadi benturan yang dahsyat antara kedua kekuatan raksasa itu. Betapapun juga Agung Sedayu mengerahkan ilmu kebalnya, namun ia telah terdorong pula oleh kekuatan dahsyat yang terlontar pada serangan Ki Tumenggung, sehingga Agung Sedayu yang duduk itu telah terlempar dan jatuh terlentang. Meskipun kulitnya sama sekali tidak terluka, tetapi terasa dadanya menjadi sesak dan pandangan matanya telah mengabur sesaat.

Namun dalam pada itu, ternyata Ki Tumenggung pun telah membentur kekuatan yang tidak tertembus oleh kekuatannya. Justru Ki Tumenggung juga telah terdorong surut berapa langkah dan jatuh pula terguling di tanah.

Sesaat keduanya merasa dadanya menjadi sesak. Sesaat keduanya berusaha memperbaiki keadaan mereka. Perlahan-lahan Ki Tumenggung pun kemudian bangkit berdiri, sementara Agung Sedayu pun telah berusaha pula untuk bangun.

Namun pada saat itu, serangan pada indra penciumannya terasa menjadi semakin tajam. Rasa-rasanya bau itu benar-benar telah menusuk-nusuk hidung dan otaknya. Nalarnya menjadi buram dan kekuatan daya pikirnya benar-benar sangat terganggu. Adalah sulit bagi Agung Sedayu untuk memusatkan nalar budinya menghadapi kekuatan raksasa Ki Tumenggung Prabadaru. Baik serangan-serangan badai dan apinya, maupun serangan-serangan wadagnya dengan kekuatan bumi yang dahsyat.

Namun demikian Agung Sedayu. tidak ingin menyerahkan dirinya di bantai oleh kekuatan Ki Tumenggung Prabadaru. Karena itu, bagaimanapun juga, ia harus melawan dengan mengerahkan segenap kemampuannya.

Dalam saat yang demikian, orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu tercengkam oleh ketegangan yang semakin mendalam. Orang-orang Mataram menjadi sangat cemas, sementara orang-orang Pajang mulai berpengharapan. Seolah-olah Ki Tumenggung Prabadaru mulai mendapat kesempatan untuk menyerang langsung Agung Sedayu yang nampak menjadi letih dan gugup.

Ki Waskita yang berdiri di lingkungan yang luas itu menjadi sangat cemas melihat keadaan Agung Sedayu. Ketika sekilas bau yang menusuk hidung itu singgah sejenak dan menyentuh indra penciumannya, maka Ki Waskita itu pun mengerutkan keningnya. Namun bau itu sejenak kemudian telah lenyap lagi dan tidak berbekas.

Pandan Wangi pun menjadi sangat gelisah, sementara Sekar Mirah hampir kehilangan pengekangan dirinya. Hampir saja ia meloncat memasuki arena karena iapun melihat kesulitan yang dialami oleh Agung Sedayu pada saat-saat terakhir, meskipun Agung Sedayu masih tetap melawan Ki Tumenggung Prabadaru. Untunglah bahwa ia masih teringat, bahwa Agung Sedayu dan Ki Tumenggung telah menyatakan bahwa keduanya telah memasuki arena perang tanding.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar