Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 164

Buku 164

Suara titir itu menjadi semakin jelas, sementara itu, dengan jantung yang berdebaran ia melihat air yang datang bergulung menyusuri Kali Opak.

Dengan tangkasnya ia meloncat turun. Kemudian dengan sekuat-kuatnya ia berteriak, “Banjir! Banjir itu datang!”

Suaranya yang mula-mula tidak terdengar itu, ternyata telah disahut dan disambung oleh seorang senapati yang lain, yang mendengar teriakan itu. Meskipun agak ragu, namun iapun berteriak pula, “Banjir! Banjir!”

Suara mereka hampir tenggelam dalam hiruk pikuk pertempuran. Tetapi yang mendengar teriakan itu telah berteriak pula, “Banjir!”

Tidak banyak waktu yang ada untuk meyakini teriakan-teriakan itu. Tetapi agaknya beberapa orang telah mendengar suara gemuruh yang mengumandang di antara Kali Opak.

Para senapati yang tidak terlibat langsung dalam peperangan karena tugas mereka, masih mempunyai kesempatan. Ketangkasan gerak dan kemampuan mereka telah berhasil melemparkan mereka kembali ke tebing sebelah timur Kali Opak. Namun sebagian para prajurit yang sedang berjuang untuk mempertahankan hidupnya dalam benturan senjata di tebing sebelah barat, sama sekali tidak mendengar teriakan-teriakan itu.

Hanya para prajurit yang masih belum terlibat langsung sajalah yang ternyata mempunyai kesempatan untuk menghindarkan diri dari banjir itu.

Sejenak kemudian, ketika gemuruh air itu menjadi semakin dekat, maka teriakan-teriakan peringatan sudah tidak banyak berarti. Para prajurit yang tidak sempat menghindarkan diri, ternyata tidak sempat berbuat banyak. Air itu telah mendorong mereka sehingga sebagian dari para prajurit Pajang yang telah berada di Kali Opak itu telah dihanyutkan. Hanya mereka yang memiliki kekuatan yang luar biasa, dan kemampuan berenang yang tinggi sajalah yang berhasil menyelamatkan diri, menyusul kawan-kawan mereka yang telah lebih dahulu berloncatan ke tebing sebelah timur pada saat air itu datang.

“Gila,“ geram seorang senapati yang hanya oleh satu dua orang saja diketahui, bahwa orang itulah yang disebut Kakang Panji, ”apakah artinya banjir ini?”

Sementara Tumenggung Prabadaru yang hampir saja hanyut dan telah diselamatkan oleh sebatang pohon yang merunduk di pinggir Kali Opak itupun mengumpat sejadi-jadinya. Beberapa orang dari pasukan khususnya yang dibanggakannya, telah hanyut pula. Meskipun sebagian dari mereka berhasil menyelamatkan diri, kembali ke sebelah timur Kali Opak, dan yang lain yang tidak sempat mencapai tebing, ada pula yang berhasil berenang menepi, meskipun nafasnya hampir terputus karenanya.

Yang bernasib buruk lainnya adalah mereka yang sudah berada di tebing sebelah barat. Mereka tidak dapat melangkah surut. Sementara kawan-kawan mereka yang berada di belakang mereka telah dihanyutkan oleh banjir.

Karena itu, betapapun tinggi kemampuan mereka dan gigihnya perlawanan mereka, namun akhirnya merekapun terpaksa membiarkan diri mereka dikuasai oleh orang-orang Mataram, sehingga mereka menjadi tawanan yang terdahulu di antara kawan-kawannya.

Kanjeng Sultan Hadiwijaya memperhatikan banjir itu dengan hati yang berdebar-debar. Seorang, senapati dari Tuban berdesis, “Untunglah, kita belum menyeberang Kali Opak. Agaknya ketajaman penglihatan batin Kanjeng Sultan telah mencegahnya untuk turun.”

“Bagaimanapun juga, Kanjeng Sultan Hadiwijaya masih seorang yang mempunyai ilmu linuwih,“ sahut kawannya.

Dalam pada itu, beberapa orang senapati sibuk mengatur barisannya yang telah dikacaukan oleh banjir di Kali Opak. Banjir yang datang tiba-tiba tanpa gejala dan tanda-tanda.

Kemarahan telah menghentak setiap dada orang Pajang, terutama pasukan-pasukan yang berada di sayap sebelah-menyebelah. Sebagian dari mereka telah hanyut. Sementara sebagian yang lain, dengan pakaian basah kuyup berhasil menyelamatkan diri kembali ke tebing sebelah timur.

Sejenak orang-orang Pajang itupun memperhatikan banjir yang terjadi di Kali Opak. Sangkrah, kekayuan dan bahkan batu-batupun bergetar di dorong oleh kekuatan air yang meluncur dengan derasnya.

“Apakah sebenarnya yang telah terjadi?“ bertanya seorang senapati kepada seorang kawannya dari pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru.

“Aneh sekali,“ sahut kawannya, “sebagian dari kawan-kawan kita tidak berhasil menyelamatkan diri dari amukan air yang melibat mereka.”

“Gila. Agaknya Senapati ing Ngalaga telah berhasil menghubungi para lelembut di Gunung Merapi sehingga mereka telah menurunkan banjir,“ berkata senapati itu.

Kawannya mengangguk-angguk. Banjir yang mencurigakan itu memang tidak berlangsung terlalu lama. Sebelum matahari sampai ke puncak langit, airpun telah mulai menjadi surut. Demikian cepatnya, seperti tiba-tiba saja air itu pulih kembali seperti sebelumnya. 

Yang kemudian berkembang adalah dugaan, bahwa Senapati ing Ngalaga telah mempergunakan kekuatan lelembut dan orang-orang halus di Gunung Merapi untuk menumpahkan air ke ujung Kali Opak, sehingga sungai itu menjadi banjir dan membunuh sebagian dari prajurit Pajang.

Dalam pada itu, maka Kanjeng Sultan pun telah memanggil para panglima untuk bertemu ketika banjir sudah reda. Dengan ragu-ragu Kanjeng Sultan bertanya, “Apakah hari ini ada gairah kalian untuk menyerang?”

Para panglima tidak segera menjawab. Tetapi dari wajah mereka memancar keengganan. Rasa-rasanya mereka sedang berusaha untuk memperbaiki kekecewaan yang telah mencengkam jantung mereka.

Karena itu, maka Kanjeng Sultan pun berkata, “Nampaknya, waktu sudah menjadi terlalu pendek hari ini. Kita tunda pertempuran sampai esok.”

Ternyata keputusan itu telah disepakati. Sementara itu para panglima akan sempat menghitung pasukan mereka yang telah berkurang ditelan oleh banjir yang aneh itu, sementara yang lain tertawan

Namun dalam pada itu, kecuali kenyataan bahwa kekuatan Pajang telah berkurang, rasa-rasanya dalam hati para prajurit telah timbul satu persoalan tersendiri. Mereka menganggap bahwa Senapati ing Ngalaga mempunyai satu kekuatan di luar kekuatannya sendiri, sehingga Kali Opak pun dapat dikuasainya.

Dengan demikian, maka kegarangan mereka, baik dari para prajurit kebanyakan maupun dari mereka yang termasuk dalam pasukan khusus serta para pengikut orang-orang terpilih yang mendukung usaha untuk menumbuhkan kembali satu kekuasaan yang besar seperti masa kebesaran Majapahit, telah susut.

Namun dalam pada itu, orang-orang Pajang tidak berniat untuk menarik pasukannya. Dengan pasukan yang ada, yang ternyata menurut perhitungan para Panglima masih tetap cukup kuat untuk menghadapi orang-orang Mataram, esok akan mengulangi serangan mereka.

“Bagaimana jika esok Kali Opak itu banjir lagi?” bertanya seorang senapati. “Tidak,“ sahut Ki Tumenggung Prabadaru, “aku akan berada di depan. Biar akulah yang hanyut pertama kali, atau dibantai oleh orang-orang Mataram jika aku sampai ke tebing di seberang, sementara kawan-kawan kita dihanyutkan lagi oleh banjir.”

Senapati itu tidak menjawab. Namun sesuatu masih terasa bergejolak di dalam dadanya.

Tetapi hari itu, orang-orang Pajang lebih banyak merenungi kegagalan mereka karena banjir yang tiba-tiba datang. Mereka dengan penyesalan mengenang kawan-kawan kereka yang mati tenggelam. Satu kematian yang tidak diharapkan oleh seorang prajurit yang justru telah berada di medan perang.

Namun hal itu telah terjadi. Mereka tidak akan dapat menolak kenyataan yang telah terjadi. Dan merekapun tidak dapat mengingkari, bahwa kekuatan mereka telah susut.

Sementara itu, di seberang barat Kali Opak, Senapati ing Ngalaga memperhatikan dengan seksama setiap gerakan orang-orang Pajang. Namun iapun mengerti, bahwa pasukan Pajang pada hari itu tidak akan mengulangi serangan mereka, meskipun Kali Opak sudah tidak banjir lagi. Tetapi Senapati Ing Ngalaga pun yakin, bahwa pasukan Pajang telah menjadi jauh berkurang. Selain mereka yang dihanyutkan oleh banjir, sebagian dari orang-orang Pajang itu telah berhasil ditawan, karena mereka yang sudah terlanjur menyeberang tidak didukung oleh kekuatan berikutnya, karena banjir itu juga.

Untara yang berdiri di samping Senapati ing Ngalaga itupun memperhatikan orang-orang Pajang dengan seksama. Nampak kelesuan pada para prajurit Pajang. Mereka mundur dengan langkah yang berat, kembali ke pasanggrahan. Beberapa pucuk tunggul nampaknya sudah tidak tegak lagi seperti saat mereka mendekati tebing. Sedangkan genderang dan sangkakala tidak terdengar lagi mengiringi langkah para prajurit yang kembali ke pasanggrahan itu.

Beberapa lamanya keduanya memperhatikan orang-orang Pajang yang kembali ke pesanggrahan mereka dengan lesu. Namun dengan nada dalam Senapati ing Ngalaga berkata, “Besok mereka akan kembali dengan penuh dendam.”

“Ya Raden,“ sahut Untara, “tetapi bagaimanapun juga, Raden sudah berhasil mengurangi kekuatan mereka.”

Senapati ing Ngalaga mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan Ayahanda Sultan tetap berdada lapang melihat hari depan Pajang.”

Untara mengangguk-angguk pula sebagaimana Senapati ing Ngalaga. Sebenarnyalah bahwa Kanjeng Sultan Pajang masih tetap merupakan penentu dari keadaan yang akan terjadi di sebelah menyebelah Kali Opak itu. Jika Kanjeng Sultan menggerakkan induk pasukannya, Mataram akan mengalami kesulitan. Namun kehadiran Pangeran Benawa di induk pasukan itu, di samping Kanjeng Sultan sendiri, akan banyak memberikan harapan kepada Mataram.

Namun dalam pada itu, Senapati ing Ngalaga pun berkata, “Untara. Bagaimanapun juga kita harus tetap berhati-hati. Menurut pendapatku, sisa pasukan Pajang masih cukup kuat.”

“Ya Raden. Tetapi ada semacam gangguan batin yang dapat memperlemah daya tempur mereka. Meskipun dendam akan semakin menyala, tetapi mereka agaknya sudah di sentuh oleh kekecewaan yang sulit untuk mereka abaikan, karena perasaan itu telah mencengkam jantung mereka,“ berkata Untara.

“Aku sependapat. Jika kita dapat memperbesar gangguan batin itu, maka kita akan lebih yakin bahwa mereka akan meninggalkan Kali Opak,“ berkata Raden Sutawijaya.

“Raden,“ berkata Untara, “kita dapat melakukannya. Esok pagi, sangkakala, genderang dan bunyi-bunyian harus kita tingkatkan sebagai pertanda gejolak jiwa kita yang semakin membara. Mudah-mudahan bunyi-bunyian itu benar-benar akan dapat membantu para pengawal dan pasukan Mataram, serta memperkecil gairah perjuangan orang-orang Pajang.”

Ketika Raden Sutawijaya mendekatinya, maka Ki Juru itupun berkata, “Satu pembunuhan mendebarkan.”

“Hal itu terpaksa kita tempuh Paman,“ sahut Raden Sutawijaya, “karena jika tidak demikian, maka pasukan kita sendirilah yang akan kehilangan gairah hari ini. Mungkin lebih banyak dari orang-orang Pajang yang hanyut di Kali Opak itu.”

Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Sementara Raden Sutawijaya berkata, “Tetapi bagaimana menurut pendapat Paman? Apakah pasukan Pajang yang tersisa masih juga akan mampu mengalahkan pasukan Mataram?”

“Tidak seorangpun yang akan dapat meramalkan, siapakah yang lebih kuat sekarang ini,“ jawab Ki Juru, “tetapi yang terjadi atas pasukan Pajang itu benar-benar telah mengguncangkan jantung mereka.”

“Bagaimana menurut pendapat Paman, jika gangguan batin itu kita usahakan untuk mempengaruhi gairah perjuangan mereka?“ berkata Raden Sutawijaya.

“Apa maksud Angger?“ berkata Ki Juru.

Raden Sutawijaya pun kemudian menyatakan rencananya. Menjelang benturan kekuatan antara pasukan Mataram dan Pajang di esok hari, Mataram akan membunyikan segala pertanda perang yang ada dengan sekeras-kerasnya. Sementara itu, maka Raden Sutawijaya akan membunyikan pula bende Kiai Bicak yang mempunyai nada yang khusus di antara semua bende, kecuali nada yang mampu menggetarkan udara sampai jarak yang cukup jauh.

Ki Juru mengerutkan keningnya. Kemudian dengan sungguh-sungguh ia bertanya, “Untuk apa semuanya itu akan kita lakukan Ngger?”

“Paman,“ berkata Raden Sutawijaya, “jika kita berhasil mempengaruhi batin orang Pajang, maka pertempuran yang akan terjadi tentu tidak akan sedahsyat yang kita perhitungkan sebelumnya. Betapapun orang-orang Pajang mendendam, namun tentu ada semacam keragu-raguan di dalam hati mereka untuk bertindak tanpa kendali sama sekali.”

“Apakah Raden membayangkan arti dari keadaan itu?“ bertanya Ki Juru pula.

“Maksud Ki Juru?“ Raden Sutawijayalah yang kemudian bertanya.

“Bukankah dengan demikian orang-orang Mataram akan mendapat kesempatan lebih banyak untuk membantai orang-orang Pajang yang sedang ragu-ragu, cemas dan kehilangan pegangan karena pengaruh gangguan batin mereka?”

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun katanya, “Paman. Aku masih berharap, bahwa orang-orang Mataram tidak akan berbuat demikian. Mereka aku harapkan masih tetap sadar, bahwa yang kita hadapi sebenarnya adalah saudara sendiri. Jika kita berperang, adalah karena kita tidak dapat menerima sikap dan pendirian mereka yang menurut pendapat kita telah menyimpang dari paugeran bebrayan bagi Pajang. Sementara itu, aku mengemban keinginan Ayahanda Sultan untuk membangun hari esok Pajang sesuai dengan cita-cita dan keinginan Ayahanda. Sebagai seorang murid, maka aku harus melakukannya. Apalagi aku adalah putranya dan sekaligus seorang senapati di bawah perintahnya.”

Sesuatu bergetar di hati Ki Juru. Tetapi ia tidak dapat membantahnya, meskipun di dalam hati ia berkata, “Yang dilakukan Kanjeng Sultan adalah sikap yang terbaik yang dapat diambil pada saat terakhir. Jika Angger bersikap lain sebelumnya, maka keadaanpun akan berbeda. Tetapi memang sikap itulah yang terbaik sekarang ini.”

Dengan demikian, maka bagaimanapun juga Ki Juru tidak menolak rencana Raden Sutawijaya. Iapun sadar, bahwa tanpa berbuat demikian, maka kemungkinan akan terjadi sebaliknya. Orang-orang Pajanglah yang akan membantai orang-orang Mataram. Jika orang-orang Pajang itu adalah orang-orang yang berkuasa tanpa batas, maka akibatnya tentu akan lebih parah.

Karena itu, maka Ki Juru pun kemudian berkata, “Segalanya terserahlah kepada Raden. Namun dengan satu sikap, bahwa kita akan berbuat sebaik-baiknya menghadapi tahap akhir dari pertempuran ini.”

Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Percayalah Paman. Aku adalah putra angkat Kanjeng Sultan Pajang itu sendiri.”

Dalam pada itu, maka Raden Sutawijaya pun kemudian meninggalkan Ki Juru Martani. Kiai Bicak harus diambil ke Mataram.

“Siapa yang akan berangkat?“ bertanya Untara.

“Tidak ada orang lain yang akan dapat memasuki Gedung Perbendaharaan Pusaka kecuali aku. Seandainya aku mempercayakannya kepada orang lain, maka juru gedung itupun tentu akan menolak memberikan pusaka Kiai Bicak kepada orang itu.”

“Jadi Raden akan pergi sendiri?“ bertanya Untara.

“Ya. Aku akan pergi sendiri,“ jawab Raden Sutawijaya.

Untara termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya,“ Jangan pergi tanpa pengawal yang dapat dipercaya dalam keadaan seperti ini.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku mengerti. Tetapi sebaliknya, jika aku pergi tanpa pengawal, maka tidak seorangpun yang akan menduga, bahwa aku, Senapati ing Ngalaga-lah yang lewat.”

Untara mengerutkan keningnya. Iapun pernah mendengar, bahwa Senapati ing Ngalaga itu sering menempuh perjalanan seorang diri dalam pakaian orang kebanyakan. Namun dalam keadaan yang gawat itu, maka perjalanan yang demikian akan mengandung bahaya yang sungguh-sungguh.

Agaknya Senapati ing Ngalaga itu mengerti perasaan Untara. Karena itu, maka katanya, “Baiklah Untara. Aku akan pergi berdua bersama Agung Sedayu. Aku percaya kepada anak muda itu, bahwa ia memiliki keampuhan yang jarang ada bandingnya. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu di medan ini ketika kami berdua berada di perjalanan.”

“Menilik sikap orang-orang Pajang, mereka tidak akan berbuat apa-apa hari ini dan malam nanti. Mereka menjadi lesu dan kehilangan gairah perjuangan mereka hari ini. Jika malam nanti para pemimpin mereka berhasil membangunkan lagi kemauan mereka untuk bertempur, maka baru besok mereka akan menyerang.”

Dalam pada itu, maka Senapati ing Ngalaga pun telah memerintahkan seorang penghubung untuk memanggil Agung Sedayu. Dengan sedikit penjelasan, maka Agung Sedayu pun segera mengerti, bahwa ia harus mengikuti Senapati ing Ngalaga itu kembali ke Mataram untuk mengambil sebuah bende yang bernama Kiai Bicak.

Perjalanan kedua orang itu harus bersifat rahasia. Selain yang seorang di antaranya adalah Senapati ing Ngalaga itu sendiri, maka yang akan mereka bawa adalah sebuah pusaka yang sangat bernilai bagi orang Mataram.

Demikianlah, setelah Agung Sedayu minta diri kepada istrinya, gurunya, Ki Waskita dan Ki Gede, maka iapun segera meninggalkan pesanggrahan bersama Senapati ing Ngalaga itu sendiri.

“Hati-hatilah Untara,“ berkata Senapati ing Ngalaga, “jika kau melihat sesuatu yang pantas kau curigai, katakan kepada Paman Juru agar Paman Juru dapat mengambil satu keputusan.”

“Baik Raden. Tetapi bagaimana dengan sayap yang lain?“ bertanya Untara.

“Masih ada orang-orang tua yang pantas dipercaya. Tetapi kau wajib selalu membuat hubungan dengan mereka,“ berkata Senapati ing Ngalaga.

Sejenak kemudian, maka Senapati ing Ngalaga itupun telah meninggalkan pesanggrahan menuju langsung ke Mataram. Satu perjalanan yang tidak terlalu jauh. Namun dalam suasana perang, maka jalan itupun terasa sangat sepi.

Beberapa padukuhan di sekitar Prambanan memang menjadi sangat lengang. Para penghuninya kebanyakan telah mengungsi ke padukuhan-padukuhan yang agak jauh dari Prambanan, karena mereka tahu pasukan Mataram telah membangun pertahanan di sepanjang Kali Opak.

Dalam pakaian orang kebanyakan, tidak seorangpun yang menduga bahwa yang berkuda berdua dengan tergesa-gesa itu adalah Senapati ing Ngalaga dari Mataram. Mereka menyangka bahwa dua orang yang masih muda itu, adalah orang-orang yang terpaksa menempuh perjalanan karena satu kepentingan yang tidak dapat ditunda, meskipun baru dalam suasana perang.

Kedatangan Raden Sutawijaya ke rumahnya di Mataram telah mengejutkan para petugas yang berjaga-jaga. Seorang senapati yang rambutnya sudah mulai memutih berlari-lari menyongsongnya dengan tatapan mata penuh kecemasan.

“Raden, apakah aku harus menyiapkan pasukan cadangan yang masih ada?“ bertanya senapati itu.

Tetapi Raden Sutawijaya berkata, “Tidak Paman. Keadaan medan masih cukup baik. Hari ini tidak terjadi pertempuran. Mungkin besok pagi-pagi benar orang-orang Pajang akan mulai menyerang.”

“O,“ senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun bertanya, “Agaknya karena itu Raden sempat kembali hari ini? Tetapi apakah perjalanan Raden bukan merupakan perjalanan yang sangat berbahaya, apalagi hanya berdua saja?”

“Tidak banyak orang dapat mengenali kami berdua dalam keadaan seperti ini,“ jawab Raden Sutawijaya. “Baiklah Paman. Ada sesuatu yang penting, kenapa aku kembali hari ini, dan malam nanti aku harus sudah berada di medan lagi.”

“Tentu ada sesuatu yang penting sekali Raden,“ sahut senapati itu.

Raden Sutawijaya mengangguk. Sekali lagi ia menepuk bahu orang itu sambil berkata, “Hati-hatilah mengamati, bukan saja rumah ini. Tetapi seluruh kota Mataram.”

“Baik Raden. Para pengawal yang tidak ikut serta ke medan, telah melakukan tugas mereka sebaik-baiknya,“ jawab pengawal itu.

Raden Sutawijaya dan Agung Sedayu pun kemudian meninggalkan senapati itu. Setelah mengikat kuda mereka, maka keduanyapun telah naik ke pendapa dan langsung masuk ke ruang dalam.

“Marilah,“ ajak Senapati ing Ngalaga ketika ia melihat keragu-raguan Agung Sedayu memasuki ruang dalam.

Agung Sedayu memang tidak mempunyai pilihan lain. Iapun kemudian mengikuti Raden Sutawijaya masuk ke ruang dalam. Bahkan langsung melalui pintu samping, melintasi serambi dan turun ke longkangan.

Senapati ing Ngalaga tertegun ketika dilihatnya dua orang pengawal menundukkan tumbaknya. Namun ketika mereka kemudian mengenalinya sebagai Senapati ing Ngalaga, maka keduanyapun telah membungkuk dengan hormatnya.

“Kita langsung ke Gedung Pusaka,“ desis Raden Sutawijaya.

Agung Sedayu hanya mengangguk-angguk kecil sambil mengikuti Raden Sutawijaya yang menuju ke sebuah pintu yang kuat dan berat di belakang kedua pengawal yang berjaga-jaga.

“Dimana Paman Hangga?“ bertanya Raden Sutawijaya kepada pengawal yang termangu-mangu itu.

“Ada di ruang belakang, Senapati,“ jawab salah seorang dari kedua pengawal itu.

“Panggil kemari,“ berkata Raden Sutawijaya selanjutnya.

Salah seorang dari kedua pengawal itupun dengan tergesa-gesa telah pergi ke ruang belakang untuk memanggil Hanggadipa, juru gedung yang bertanggung jawab atas pusaka-pusaka yang ada di dalamnya.

Seperti para pengawal yang lain, maka Hanggadipa itupun tergopoh-gopoh menghadap Raden Sutawijaya sambil bertanya, “Apakah yang Raden kehendaki? Bukankah Raden hari ini berada di medan?”

“Ya Paman. Aku telah meninggalkan medan sesaat untuk mengambil satu jenis pusaka yang aku perlukan,“ jawab Raden Sutawijaya.

Hanggadipa tidak merasa perlu untuk bertanya, pusaka apa yang dikehendaki oleh Senapati ing Ngalaga. Jika ia sudah menemukan pusaka itu dan membawanya, maka ia tentu akan memberi tahukan kepada juru gedung, agar ia tahu pasti, pusaka apakah yang sedang tidak berada di dalam Gedung Perbendaharaan Pusaka itu.

Sejenak kemudian, maka Hanggadipa pun telah membuka pintu gedung itu. Sekilas bau yang harum telah menyentuh hidung.

Ketika Raden Sutawijaya kemudian memasuki ruang itu, maka Agung Sedayu pun mengikutinya.

Di sebelah pintu, Agung Sedayu termangu-mangu. Ruang itu tidak terlalu terang, meskipun sebuah pelita minyak sedang menyala. Di sudut ruang nampak langes bekas asap yang kehitam-hitaman, sementara sebuah anglo nampak berasap.

Ternyata pintu itu adalah satu-satunya lubang pada ruang pusaka yang pengap itu. Meskipun di siang hari, ruang itu tidak diterangi oleh cahaya matahari. Bahkan dengan pelitapun nampaknya ruang itu masih tetap remang-remang.

Di ruang itu terdapat beberapa buah pusaka yang paling dihormati oleh Mataram. Beberapa pucuk tombak di dalam selongsongnya. Bunga melati dalam untaian yang sudah menjadi layu membelit pada tangkai tombak itu. Sementara beberapa buah peti nampak tertutup rapat. Agaknya beberapa jenis pusaka ada di dalamnya. Bahkan ada beberapa buah songsong yang agaknya bukan songsong kebanyakan.

Sejenak Raden Sutawijaya termangu-mangu. Namun kemudian iapun melangkah mendekati sebuah peti yang tidak begitu besar. Sambil menyentuh peti itu ia berkata, “Di sini disimpan sebuah bendera pusaka yang jarang sekali dikeluarkan.”

Agung Sedayu hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu. Raden Sutawijaya kemudian mendekati sebuah peti yang lain. sambil berjongkok dan membuka tutupnya ia berkata, ”Inilah bende itu. Kiai Bicak.

Raden Sutawijaya pun kemudian menunduk hormat sebelum ia mengeluarkan sebuah bende yang masih berada di dalam selongsong.

Agaknya bende itu cukup berat, sehingga katanya, “Marilah. Kita bawa bende ini keluar.”

Ketika Agung Sedayu akan menerima benda itu, maka seperti yang dilakukan oleh Raden Sutawijaya, maka iapun telah menunduk hormat. Kemudian diterimanya bende itu dari tangan Raden Sutawijaya.

Bende itu memang berat. Karena itu, maka Agung Sedayu dapat menduga, meskipun ia tidak melihat ujudnya, bahwa bende itu terbuat dari logam yang tebal.

Sementara Raden Sutawijaya menutup kembali peti itu. Agung Sedayu pun telah melangkah keluar. Tetapi langkahnya terhenti, ketika di muka pintu berdiri Ki Hanggadipa.

“Aku yang menyerahkan kepadanya,“ berkata Raden Sutawijaya.

Ki Hanggadipa menarik nafas dalam-dalam. Sesaat kemudian, barulah ia bergeser memberi kesempatan kepada Agung Sedayu untuk melangkah keluar.

Sejenak kemudian, Raden Sutawijaya pun melangkah keluar pula sambil berkata, “Kanjeng Kiai Bicak aku perlukan.”

“Silahkan Raden,“ jawab Hanggadipa.

“Aku akan membawanya ke medan,“ sambung Raden Sutawijaya.

“Mudah-mudahan pusaka itu akan bermanfaat,” jawab Hanggadipa pula.

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada Agung Sedayu, “Kita masih mempunyai kesempatan untuk beristirahat. Kita akan pergi ke medan menjelang malam hari, agar tidak seorangpun yang melihat kita membawa bende itu.”

“Terserah kepada Raden,“ jawab Agung Sedayu.

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun kemudian telah dibawa oleh Raden Sutawijaya ke ruang tengah. Keduanya masih sempat menikmati hidangan yang dengan tergesa-gesa disiapkan.

Tetapi pada Raden Sutawijaya sendiri sama sekali tidak ada kesan ketergesa-gesaan itu. Dengan tenang Raden Sutawijaya duduk dan berbincang sambil menghirup minuman hangat dan menikmati beberapa potong makanan.

Baru ketika langit menjadi gelap, Raden Sutawijaya berkata, “Marilah. Kita kembali ke medan.”

Keduanyapun kemudian bersiap. Agung Sedayu berkuda di belakang atas permintaan Raden Sutawijaya, yang membawa pusaka bende itu sendiri.

“Kita harus berhati-hati,“ berkata Raden Sutawijaya, “mudah-mudahan pilihan kita atas waktu menguntungkan.” “Baiklah Raden,“ jawab Agung Sedayu.

Keduanya pun kemudian meninggalkan Mataram menuju ke Prambanan. Dalam kegelapan malam, tidak langsung dapat dilihat yang dibawa oleh Raden Sutawijaya, yang telah membungkus selongsong bende yang putih itu dengan kain berwarna gelap.

Demikianlah keduanya berpacu dengan cepat. Yang mereka bawa adalah sebuah pusaka yang sangat berharga. Karena itu, maka mereka tidak dapat menghindarkan diri dari ketegangan selama dalam perjalanan.

Tetapi ternyata bahwa tidak ada hambatan apapun di perjalanan. Dalam keadaan yang gawat dan suasana perang, maka jalan menuju ke Prambanan benar-benar sepi. Sepanjang jalan dari Mataram sampai ke pinggir Kali Opak itu, Senapati ing Ngelaga dan Agung Sedayu sama sekali tidak pernah berjumpa dengan seorangpun, kecuali mereka melihat satu dua orang yang berada di sawah mereka.

Kedatangan mereka di pesanggrahan telah disambut oleh Ki Juru Martani, para senapati dan orang-orang tua yang berdiri di pihak Mataram. Merekapun kemudian bersepakat untuk mempergunakan cara yang telah mereka rencanakan. Ki Juru yang sangat berprihatin melihat kenyataan yang terjadi itupun menyetujui pula, bahwa benda itu akan di bunyikan esok pagi.

Demikianlah, setelah berbincang beberapa saat, para senapati dan para pemimpin pasukan yang membentang dari ujung sayap sampai ke ujung yang lain itupun kembali ke pasukan masing-masing. Beberapa orang senapati muda sempat memberikan dorongan kepada para pengawal dan pasukan yang berada di pihak Mataram untuk berbuat sebaik-baiknya.

“Kemenangan pertama telah kita dapat pada hari pertama,“ berkata seorang senapati muda, “kita jangan kehilangan kesempatan di hari berikutnya. Prajurit Pajang telah berkurang jumlahnya. Dengan demikian, maka selisih jumlah pasukan Pajang dan Mataram pun menjadi jauh susut pula. Dengan demikian, maka tidak ada lagi alasan bagi kita untuk menjadi cemas menghadapi mereka.”

Dengan demikian, maka setiap orang dalam pasukan Mataram itupun merasa bahwa lawan mereka tidak lagi pasukan raksasa seperti yang mereka lihat di hari pertama, saat kedua pasukan itu saling berhadapan.

Malam itu pasukan Mataram berusaha untuk beristirahat sebaik-baiknya. Mereka berusaha untuk dapat menghimpun tenaga sebaik-baiknya buat esok, karena mereka yakin, bahwa esok pertempuran benar-benar akan menyala. Bukan sekedar berdiri di atas tebing sambil bersorak-sorak melihat orang-orang Pajang disapu oleh banjir.

Namun dalam pada itu, ternyata bahwa berdasarkan pengalaman di malam sebelumnya, para pemimpin tertinggi Mataram telah membagi waktu untuk mengamati keadaan. Jika orang-orang Pajang telah mengirimkan orang-orang terbaik mereka untuk mengamati pertahanan Mataram, maka mereka tidak boleh lengah. Jika pada malam sebelumnya, orang-orang Mataram bertindak sendiri-sendiri, maka pada malam itu mereka justru diatur oleh Ki Juru Martani, meliputi daerah yang panjang. Tetapi Ki Juru menitik beratkan pengamatan itu justru di sayap-sayap pasukan, karena menurut pendapat Ki Juru, induk pasukan Pajang justru tidak akan melakukan satu tindakan yang dapat memperlemah kekuatan pasukan Mataram dengan cara yang tidak sewajarnya dan terbuka.

Seperti malam sebelumnya, maka para pengawas dari Mataram telah dengan sengaja membuat perapian-perapian di sepanjang tebing kali Opak. Beberapa orang duduk di tepi perapian. Namun beberapa orang yang lain bertugas mengawasi daerah pertahanan mereka sambil berkeliling menelusuri tebing dan mengamati ujung-ujung pasukan mereka dengan saksama. Namun waktu telah diatur sebaik-baiknya, sehingga setiap orang mendapat kesempatan cukup untuk beristirahat menjelang keesokan harinya yang mendebarkan.

Sebagaimana malam sebelumnya, menjelang dini hari, beberapa orang yang bertugas khusus menyiapkan makan dan minuman telah sibuk dengan tugas mereka di kedua belah pihak. Sebelum fajar, seluruh pasukan harus sudah selesai makan. Sehari-harian mereka akan bertempur. Karena itu, maka harus menyiapkan diri sepenuhnya menghadapi perang itu.

Sejenak kemudian, ketika langit menjadi merah, maka mulai terdengar suara sangkakala untuk membangunkan para prajurit dan pengawal yang sedang tertidur nyenyak. Mereka harus segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka harus membenahi diri lahir dan batin. Memeriksa senjata mereka agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan karena senjata itu. Mereka masih sempat membersihkan diri dan menunaikan kewajiban masing-masing sebagai titah Yang Maha Agung.

Namun ketika langit menjadi semakin cerah, maka setiap orangpun telah bersiap di dalam pasukan masing-masing.

Sejenak kemudian, sangkakala pun telah bergema lagi. Kedua belah pihakpun benar-benar telah bersiap. Dengan tanda-tanda kebesaran pasukan masing-masing, maka kedua belah pihak telah mulai bergerak.

Yang terdengar kemudian, di antara suara sangkakala adalah suara genderang dan aba-aba. Perlahan-lahan dalam cahaya pagi yang cerah, pasukan Pajang mulai mendekati tebing.

Di sebelah barat Kali Opak, pasukan Mataram pun telah bersiap. Seperti juga pasukan Pajang, untuk membesarkan hati pasukannya, maka para senapati Mataram juga memasang semua tanda-tanda kebesaran. Kelebet dengan tunggul-tunggulnya. Rontek dan panji-panji. 

Ketika pasukan Pajang semakin mendekat, maka Mataram telah menempatkan pasukannya di tempat yang paling baik untuk melontarkan anak-anak panah dan lembing.

Seperti yang terjadi di hari sebelumnya, pasukan Pajang yang telah susut, menempatkan para prajurit yang bersenjata perisai di paling depan untuk melawan lontaran anak-anak panah dan lembing sebagaimana mereka perhitungkan.

Namun dalam pada itu, beberapa orang dari prajurit Pajang telah mendapat tugas khusus untuk mengawasi air sungai yang menurut pendapat mereka dapat dengan tiba-tiba saja menjadi banjir. Dengan panah sendaren yang siap, prajurit Pajang itu telah berada di tempat yang agak jauh dari arena pertempuran. Jika banjir itu datang, maka dengan panah sendaren mereka akan sempat memberikan pertanda agar kawan-kawannya dengan cepat menepi.

Dalam pada itu, perlahan-lahan pasukan Pajang maju terus. Tetapi para prajurit menjadi ragu-ragu ketika mereka harus menuruni tebing sungai.

Namun para pemimpin mereka telah meneriakkan aba-aba, sehingga betapapun kebimbangan bergejolak di dalam jantung, para prajurit itu harus turun ke tepian dan siap menyeberangi sungai.

Ketika para prajurit Pajang baru mempersiapkan ancang-ancang, maka telah terdengar suara sangkakala yang dibunyikan oleh beberapa orang Pajang untuk mendorong kemantapan bertempur para prajuritnya. Kemudian disusul suara genderang yang menggetarkan tepian Kali Opak.

Tiba-tiba prajurit Pajang itupun telah bersorak bagaikan membelah langit. Merekapun kemudian meloncati bebatuan, menyeberangi Kali Opak dengan perisai di dada, sementara pedang di tangan kanan terayun-ayun mendebarkan. Cahaya matahari pagi yang mulai memancar memantul pada helai-helai pedang, berkilat-kilat menyilaukan.

Sementara itu, induk pasukan Pajang pun telah bersiap pula. Tetapi Kanjeng Sultan masih belum naik ke punggung gajahnya.

Sementara itu Pangeran Benawa memperingatkannya, “Jangan tergesa-gesa Ayahanda. Kita harus memperhatikan medan dengan saksama. Nampaknya orang Mataram telah memanfaatkan Kali Opak untuk melawan pasukan Pajang. Baru setelah pengawas yakin, bahwa banjir tidak akan datang, kami akan mempersilahkan Ayahanda untuk menyeberang.”

Kangjeng Sultan mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun bertanya kepada Adipati Tuban, “Bagaimana menurut pendapatmu?”

Adipati Tuban itu termangu-mangu. Sebenarnya ia berpendapat lain. Ia ingin langsung saja menyeberang dan menyerang induk pasukan Mataram. Tetapi ia memang mempunyai perasaan segan terhadap Pangeran Benawa, yang diketahuinya memiliki kelebihan dari setiap orang senapati yang ada di pasukan Pajang.

Karena itu, maka iapun kemudian menjawab, “Sebenarnyalah Kanjeng Sultan sebaiknya menunggu barang sejenak. Tetapi sudah barang tentu tidak terlalu lama. Pasukan di induk pasukan ini sudah mulai gelisah.”

“Baiklah,“ berkata Kanjeng Sultan kemudian, “aku akan menunggu sejenak sebelum induk pasukan ini turun ke medan. Mudah-mudahan sayap-sayap pasukan ini akan segera dapat menguasai keadaan.”

“Mereka sudah mulai menyerang,“ sahut Adipati Tuban, “sekarang mereka sedang menyeberangi sungai diiringi oleh suara sangkakala dan genderang, sementara para prajurit telah bersorak-sorak.”

Kanjeng Sultan tidak menjawab. Ia tahu, bahwa pasukan Pajang cukup kuat. Bahkan di sayap kiri dan kanan telah diperkuat pula oleh pasukan yang sebenarnya tidak termasuk dalam jajaran keprajuritan Pajang, yang telah di pasang tanpa memberikan laporan sebelumnya kepada Kanjeng Sultan. Meskipun demikian, akhirnya Kanjeng Sultan itupun mengetahuinya juga.

Tetapi bahwa sebagian dari pasukan itu telah hanyut oleh banjir yang datang dengan tiba-tiba itu, maka kekuatan sayap pasukan Pajang telah berkurang.

Dalam pada itu, maka sejenak kemudian, benturan antara kedua pasukan itupun sudah mulai. Sorak orang-orang Pajang bagaikan meruntuhkan gunung.

Pasukan Mataram yang bertahap di sebelah barat Kali Opak pun mulai menyambut pasukan lawan. Anak panahpun tiba-tiba saja telah meluncur bagaikan hujan.

Tetapi orang-orang Pajang telah berlindung dengan perisai-perisai mereka, meskipun ada juga satu dua batang anak panah menyusup di antara perisai-perisai itu dan menyentuh tubuh lawan. Meskipun demikian, anak panah yang bagaikan disebar dari tebing itu tidak banyak menghambat pasukan Pajang. Bahkan lembing-lembing yang kemudian dilemparkan pun tidak banyak berarti. Pasukan Pajang yang berlindung di balik perisai maju terus sambil mengacungkan pedang mereka, sehingga akhirnya orang yang pertamapun telah mencapai tebing sebelah barat Kali Opak, diikuti oleh kawan-kawan mereka sambil bersorak-sorai gemuruh.

Namun dalam pada itu, pada saat yang menegangkan, saat orang-orang Pajang telah melupakan banjir yang dapat terjadi setiap saat, tiba-tiba terdengar sangkakala yang ditiup oleh orang-orang Mataram. Kemudian genderang pun telah membahana, jauh lebih riuh dari yang pernah terdengar disaat-saat perang itu baru mulai.

Tetapi orang-orang Pajang tidak menghiraukannya. Suara sangkakala dan genderang itu tidak ubahnya suara sangkakala dan genderang yang dibunyikan oleh orang-orang Pajang, yang masih juga terdengar di antara sorak sorai yang mengguntur dari para prajurit Pajang.

Namun justru pada saat-saat yang paling menegangkan, karena para prajurit Pajang mulai merayap naik tebing dengan lindungan kawan-kawan mereka yang berada di belakangnya dengan ujung-ujung tombak, tiba-tiba terdengar suara yang mula-mula terdengar sangat asing.

Suara itu melengking dengan nada tinggi memecah segala macam hiruk pikuk peperangan, menggetarkan tebing Kali Opak dari ujung sayap pasukan sampai ke ujung yang lain.

Suara itu semakin lama seolah-olah menjadi semakin keras dengan nada tunggal. Mendengung mengumandang.

“Suara bende,“ desis para prajurit Pajang di dalam hatinya.

Suara bende sama sekali tidak menyentuh hati mereka. Kadang-kadang suara bende memang terdengar di antara suara sangkakala dan genderang. Tetapi suara bende yang satu ini agak lain. Suara bende yang satu itu seakan-akan mempunyai kekuatan yang menggoncang setiap jantung para prajurit Pajang yang mendengarnya.

Sebenarnyalah, pada saat itu pasukan Mataram telah bersorak menggelepar. Di antara suara yang gemuruh itu terdengar kata-kata, “Kiai Bicak telah berbunyi! Kiai Bicak telah berbunyi!”

Kata-kata itu telah menjalar dari ujung pasukan sampai ke ujung. Sehingga orang-orang Pajang pun mendengar, bahwa Kiai Bicak telah berhasil dibunyikan. Suaranya telah memenuhi medan.

Hampir setiap orang pernah mendengar tentang bende Kiai Bicak. Pusaka yang disegani yang kemudian telah berada di Mataram. Para prajurit percaya, jika Kiai Bicak berhasil dipukul dan dibunyikan, maka itu adalah pertanda bahwa pasukan pihak Kiai Bicak itu akan menang.

Pengertian itulah yang kemudian mencengkam jantung setiap prajurit. Mereka yang mulai merayap naik tebing menjadi ragu-ragu. Sementara pasukan yang ada di belakangnya menjadi termangu-mangu.

Saat-saat itulah yang ditunggu oleh pasukan Mataram. Dengan pesan yang khusus dari Raden Sutawijaya, pada saat-saat yang demikian maka pasukan Mataram tidak saja harus bertahan.

Hampir bersamaan, setiap pemimpin kelompok dari pasukan Mataram telah meneriakkan perintah kepada pasukannya untuk mempergunakan saat dimana para prajurit Pajang menjadi ragu-ragu.

Raden Sutawijaya sadar, bahwa saat yang demikian itu tidak akan terlalu lama. Karena itu, dengan pesan yang sungguh-sungguh, maka para Senapati Mataram jangan melewatkan saat yang sangat berharga itu.

Demikianlah, maka dalam keragu-raguan oleh suara bende Kiai Bicak itu, tiba-tiba saja pasukan Mataram telah melanda pasukan Pajang bagaikan banjir bandang. Bukan banjir sebenarnya banjir seperti yang terjadi di hari sebelumnya, tetapi pasukan Mataram itu seakan-akan telah meluncur turun dari tebing sebelah barat menghantam pasukan Pajang yang gelisah oleh suara bende itu.

Saat yang pendek itu telah dipergunakan oleh pasukan Mataram dengan baik. Para pengawal dari Mataram dengan tangkasnya telah menusuk pasukan Pajang. Sebagaimana pasukan Pajang yang maju pada sayap sebelah menyebelah, maka pasukan Mataram pun bergerak hanya pada sayapnya.

Benturan yang tidak terduga-duga itu telah mengejutkan pasukan Pajang. Hampir tanpa disadari, maka orang-orang Mataram telah menyusup di antara para prajurit Pajang, sebagaimana ujung senjata mereka telah mematuk lawan.

Dengan demikian, maka untuk beberapa saat, para prajurit dan orang-orang yang berada di dalam pasukan Pajang di sayap pasukan telah mengalami satu tekanan yang berat. Di hari pertama jumlah pasukan Pajang telah susut dengan cepat, maka di hari kedua, kejutan yang tidak di sangka-sangka itu telah menggoyahkan gelora perjuangan mereka.

Dalam pada itu, di induk pasukan, Kanjeng Sultan Hadiwijaya pun telah terkejut pula mendengar suara bende itu. Iapun dengan segera dapat mengenali, bahwa suiaira itu adalah suara khusus dari bende Kiai Bicak.

“Bende itu,” desis Kanjeng Sultan.

Pangeran Benawa pun menjadi tegang. Namun iapun segera berdesis, ”Ya Ayahanda. Kakangmas Senapati ing Ngalaga ingin segera mengetahui akhir dari pertempuran ini, sehingga Kakangmas telah memukul bende Kiai Bicak.”

“Dan suara bende itu ternyata telah bergema di sepanjang Kali Opak,“ berkata Kanjeng Sultan dengan nada datar.

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu. Adipati Tuban bertanya, “Ada apa dengan suara bende itu?“

“Satu pertanda,“ jawab Pangeran Benawa, “jika bende itu suaranya lantang dan bergetar sampai ke daerah lawan, maka pasukan di pihak bende Kiai Bicak itu akan menang.”

Wajah Adipati Tuban itu menegang. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah Kanjeng Sultan percaya akan hal itu?”

Pertanyaan itupun mengejutkan pula bagi Kanjeng Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Apalagi ketika Adipati Tuban itu berkata, “Jatuhkan perintah. Aku akan menyeberangi Kali Opak. Aku akan membuktikan bahwa suara bende itu sama sekali tidak berpengaruh.”

Kanjeng Sultan Hadiwijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau dapat saja tidak percaya. Tetapi sebaiknya kita melihat, apa yang terjadi dengan pasukan pada sayap sebelah-menyebelah. Kekuatan kita sebagian terbesar ada di sayap itu. Bahkan pasukan khusus yang mendapat latihan-latihan melampaui pasukan yang lain dibawah pimpinan Tumenggung Prabadaru itupun berada di sayap itu pula. Jika pasukan sayap itu berhasil naik ke tebing barat, kita turun ke sungai hari ini.”

“Jika tidak?“ bertanya Adipati Tuban.

“Kita akan membuat perhitungan lagi, agar korban tidak terlalu banyak jatuh di pihak kita. Aku berharap, bagaimanapun juga keseimbangan kedua pasukan itu, pasukan induk Mataram tidak akan menyerang. Agaknya mereka memang dipersiapkan untuk sekedar bertahan,“ berkata Kanjeng Sultan.

Adipati Tuban menjadi semakin gelisah. Tetapi ia tidak dapat membantah keputusan Kanjeng Sultan. Ia tahu, bahwa Kanjeng Sultan adalah orang yang memiliki kelebihan dan memiliki pengamatan yang sangat tajam. Apalagi nampaknya Pangeran Benawa sependapat dengan ayahandanya itu.

Karena itu, maka betapapun jantung Adipati Tuban itu bergejolak, tetapi ia harus menahan diri. Ia harus menunggu, apakah yang akan terjadi atas pasukan Pajang pada kedua belah sayap yang sedang bertempur di tepian Kali Opak.

Adipati Tuban memang melihat, bahwa pasukan Pajang pada sayap sebelah-menyebelah terlalu kuat. Karena itu, maka iapun mencoba untuk mengerti, bahwa Kanjeng Sultan akan mempergunakan ukuran kekuatan pada sayap itu atas kekuatan lawan.

Pangeran Benawa yang dengan tegang memperhatikan pertempuran itupun kemudian berkata, “Ayahanda, jika kekuatan sayap pasukan Pajang itu dapat mendesak lawan, maka mereka tentu akan menekan induk pasukan Mataram yang kuat dari sebelah-menyebelah. Dalam keadaan yang demikian, kita akan menyeberangi Kali Opak dan menyelesaikan perang ini dengan cepat.”

“Ya. Jika pasukan pada sayap itu berhasil,“ berkata Kanjeng sultan.

“Tetapi suara bende itu memang menggetarkan jantung. Ternyata sayap pasukan Mataram tidak saja bertahan. Tetapi mereka telah turun ke tepian dan bertempur di bawah tebing,” berkata Pangeran Benawa.

Kanjeng Sultan tidak menjawab. Dipandanginya arena yang panjang membujur di sepanjang Kali Opak. Sementara itu, seorang srati sudah siap dengan seekor gajah. Apabila dikehendaki, maka setiap saat gajah itu dapat dipergunakan oleh Kanjeng Sultan Hadiwijaya.

Tetapi agaknya Kanjeng Sultan masih belum berniat untuk turun ke medan.

Dalam pada itu, pertempuran di kedua sayap pasukan Mataram dan Pajang itu menjadi semakin seru. Namun mulai terasa pada kedua belah pihak, akibat dari banjir yang terjadi di hari sebelumnya. Pasukan Pajang yang jumlahnya telah susut itu, tidak lagi memiliki kekuatan yang dengan mudah dapat menguasai pasukan Mataram.

Dalam pertempuran itu, bukannya orang-orang Pajang yang berhasil memanjat tebing, tetapi justru orang-orang Mataram-lah yang telah turun. Satu saat yang menentukan telah terjadi. Seperti yang diharapkan oleh Raden Sutawijaya, maka suara bende itu benar-benar mempunyai pengaruh yang luar biasa.

Untuk beberapa saat lamanya, suara bende itu masih mengumandang. Sementara itu pasukan Mataram-lah yang telah mendesak pasukan Pajang, sehingga pertempuran yang sengit telah terjadi di antara bebatuan Kali Opak.

Dalam pertempuran yang mendebarkan itu, para senapati dari kedua belah pihak masih sibuk mengatur orang-orangnya. Mereka sendiri masih belum terlibat di dalam peperangan. Karena jika demikian, maka pasukannya akan kehilangan kendali, sehingga orang-orang yang ada di dalam pasukan itu akan mengambil sikap sendiri-sendiri.

Di sayap pasukan Mataram sebelah-menyebelah, para pemimpin yang datang bersama pasukannya dari beberapa daerah bertempur dengan mantap, termasuk orang-orang yang datang dari Pasantenan, dari Mangir, dari Tanah Perdikan Menoreh, Sangkal Putung, dan Mataram sendiri yang tidak termasuk dalam lingkungan pasukan pengawal dan pasukan khusus yang telah mendapat latihan khusus di Tanah Perdikan Menoreh. Namun yang lebih menggetarkan lawan adalah anak-anak muda yang tergabung dalam pasukan khusus yang sudah ditempa di Tanah Perdikan Menoreh, dan para prajurit Pajang di Jati Anom, termasuk kelompok terpilih di bawah pimpinan prajurit muda yang bernama Sabungsari.

Dengan perhitungan yang mapan, mereka berhasil memanfaatkan saat-saat yang sangat berarti bagi Mataram. Saat-saat orang-orang Pajang dikejutkan oleh suara bende Kiai Bicak.

Ketika matahari merayap semakin tinggi di langit, maka orang-orang yang bertempur itu telah menjadi basah oleh keringat. Dengan demikian, maka merekapun menjadi semakin garang. Beberapa orang kawan mereka telah tersentuh oleh ujung senjata. Apalagi orang-orang Pajang. Pada saat mereka dikejutkan oleh suara bende Kiai Bicak, maka orang-orang Mataram bagaikan mendapat peluang untuk mengurangi jumlah lawan mereka sebanyak-banyaknya.

Dalam pertempuran yang sengit itu, seorang Senapati Pajang yang tidak banyak disebut namanya, bertempur di antara orang-orangnya. Ia bukan termasuk seorang senapati yang menentukan, sehingga karena itu, maka ia berada di antara sekelompok kecil prajurit yang dipimpinnya, bertempur dengan garangnya. Bahkan ia telah mendapat kesempatan untuk menunjukkan kelebihannya di hadapan anak buahnya yang tidak terlalu banyak.

“Ki Wastupada memang luar biasa,“ berkata beberapa orang anak buahnya di dalam hati.

Sebenarnyalah orang yang disebut Wastupada itu bertempur dengan kemampuan yang menggetarkan lawan dan kawan. Bahkan kadang-kadang ia telah berbuat di luar kemampuan nalar orang-orang untuk menilainya. Namun orang-orang Mataram tidak membiarkannya berbuat sekehendak hatinya. Beberapa orang telah berusaha untuk melawannya bersama-sama, sehingga dengan demikian, maka orang itu tidak lagi dapat berbuat sekendak hatinya.

“Licik,“ geram Ki Wastupada, “kalian bukan prajurit-prajurit jantan.”

Tetapi lima orang yang mengepungnya tidak menanggapinya. Mereka tetap berada dalam lingkaran untuk membatasi gerak orang yang luar biasa itu.

Dalam pada itu, ketika para prajurit dan pasukan di kedua belah pihak mulai merasakan terik matahari yang membakar, maka pertempuran mulai bergeser setapak demi setapak. Ternyata benturan pertama benar-benar telah menentukan kemungkinan selanjutnya. Pasukan Pajang perlahan-lahan mulai terdesak. Namun demikian, belum berarti bahwa orang-orang Mataram akan dengan cepat dapat memenangkan pertempuran itu.

Dalam keadaan yang gawat itu, maka para Senapati Pajang mulai mengambil sikap. Mereka tidak lagi dapat membiarkan keadaan yang tidak menguntungkan itu berkepanjangan.

Dengan demikian, maka para Senapati Pajang mulai melepaskan sebagian dari kekuatan cadangan yang membayangi pertempuran itu. Pasukan yang sebagian besar bukanlah prajurit-prajurit Pajang sendiri. Tetapi mereka adalah orang-orang yang berada di antara para prajurit Pajang karena mereka adalah para pendukung dari usaha beberapa orang pemimpin Pajang untuk mengambil alih pimpinan pemerintahan.

Dengan garangnya mereka langsung melibatkan diri ke dalam pertempuran sebagaimana sebagian kawan-kawan mereka yang telah terdahulu berada di medan. Justru mereka adalah orang-orang yang mempunyai cara tersendiri untuk bertempur. Mereka tidak terikat pada paugeran seorang prajurit di medan perang. Apa saja dapat mereka lakukan untuk mengurangi jumlah lawan sebanyak-banyaknya.

Hadirnya kekuatan cadangan yang tidak terlalu banyak itu memang dapat mempengaruhi keadaan. Kemajuan pasukan Mataram memang mendapat hambatan, sehingga kekuatan kedua belah pihakpun rasa-rasanya menjadi seimbang.

Dalam pada itu, hadirnya kekuatan itu di arena, segera didengar oleh Pangeran Benawa. Namun karena keadaan masih belum membahayakan, maka Pangeran Benawa masih belum menanggapinya.

Meskipun demikian, Pangeran Benawa menaruh perhatian tersendiri. Jika keadaan memaksa, maka ia akan dapat mengambil satu sikap. Mungkin ia akan dapat mempengaruhi Adipati Tuban dan Adipati Demak yang berada di belakang induk pasukan, agar terhadap orang yang dapat dituduhnya mengambil kesempatan dalam pertempuran itu, dapat diambil satu sikap tersendiri.

Tetapi Pangeran Benawa tidak dapat bertindak dengan tergesa-gesa. Ia harus memperhitungkan saat dan keadaaan dengan tepat, sehingga ia tidak justru salah langkah.

Karena itu, selama keadaan tidak membahayakan rencana ayahandanya, maka ia masih saja berdiam diri menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dipeperangan.

Para pemimpin di Mataram pun melihat kehadiran pasukan cadangan yang menurut penilaian mereka bukannya prajurit Pajang sebagaimana sebagian dari pasukan yang berada di sayap itu sebelah-menyebelah. Tetapi orang-orang Mataram sudah mengetahuinya, bahwa baik orang-orang itu, maupun para Senapati Prajurit Pajang yang berada di sayap, adalah orang-orang yang sudah menentukan sikap mereka sendiri, lepas dari sikap Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang sebenarnya.

Demikianlah, pertempuran di kedua sayap pasukan itupun menjadi semakin seru. Kedua belah pihak berusaha untuk dapat mendesak lawan mereka. Setiap pergeseran garis perang, telah di getarkan oleh sorak yang gemuruh dari salah satu pihak. Namun jika kemudian garis itu bergeser sebaliknya, maka yang bersorak bagaikan membelah langit adalah pihak yang lain.

Dengan demikian, maka pertempuran yang sengit itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua pasukan itu saling mendesak, saling menghentak dengan teriakan-teriakan yang menggetarkan.

Dalam pada itu, seorang Senapati Pajang dengan nada cemas berdesis di telinga seorang kawannya, “Pada hari kedua kita sudah harus melepaskan beberapa orang pasukan cadangan.”

“Keadaan memaksa,“ jawab kawannya, “banjir yang aneh itu telah menghanyutkan sebagian dari pasukan kita. Sementara suara bende itu telah mengejutkan, terutama para prajurit yang percaya bahwa bende Kiai Bicak itu mempunyai pengaruh atas pertempuran itu.”

“Bukan begitu. Bukan suara Kiai Bicak dapat mempengaruhi pertempuran ini. Tetapi suara itu sebagai pertanda apa yang akan terjadi, ada atau tidak ada bunyi bende itu,“ jawab yang lain.

Namun senapati yang seorang berkata, “Keseimbangan sudah tercapai. Hari ini kita tidak boleh didesak sampai naik ke tebing sebelah timur Kali Opak Jika demikian, maka kepercayaan para prajurit dan pasukan Pajang yang lain akan menjadi susut.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Ternyata bahwa pertempuran yang terjadi di Kali Opak menjadi seimbang. Keduanya menunjukkan kekuatan yang tidak berselisih terlalu banyak.

Namun bagaimanapun juga, jika setiap kali bende Kiai Bicak dibunyikan, maka rasa-rasanya hati para prajurit Pajang bagaikan tersentuh. Rasa-rasanya suara bende itu selalu memperingatkan kepada mereka, bahwa mereka tidak akan dapat memenangkan perang itu, apapun yang mereka lakukan.

Dalam pada itu, Kanjeng Sultan Hadiwijaya masih saja memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Meskipun matahari sudah mulai condong ke barat, namun Kanjeng Sultan sama sekali tidak beringsut dari tempatnya, sementara srati dan gajahnyapun selalu siap apabila setiap saat akan dipergunakan.

Tetapi agaknya Kanjeng Sultan masih belum ingin turun para hari itu. Sebagaimana diperingatkan oleh Pangeran Benawa, Kanjeng Sultan harus memperhatikan setiap kemungkinan yang dapat terjadi di medan.

Namun sebenarnyalah, Kanjeng Sultan telah memaksa diri. Pada malam pertama, ia hadir di sebelah barat tebing dalam pakaian penyamaran. Kemudian di hari pertama dan di hari kedua, ketegangan telah mencengkam jantungnya.

Sehingga karena itu, maka sebenarnyalah keadaan tubuh Kanjeng Sultan menjadi semakin lemah. Seolah-olah sakitnya mencengkamnya semakin dalam.

Tetapi Kanjeng Sultan tidak menghiraukannya. Ia masih tetap berada di dekat tebing sambil mengamati pertempuran yang mendebarkan itu. Di bawah terik matahari yang bagaikan membakar tubuh.

Namun sebenarnyalah, penyesalan yang dalam atas kegagalannya selama masa pemerintahannya-lah yang lebih panas membakar jantungnya. Kegagalan yang terbayang di saat-saat terakhir masa pemerintahannya, sebagaimana diujudkan dalam pertempuran yang besar di Kali Opak itu.

Tetapi semuanya itu telah terjadi. Perang itu adalah satu kenyataan yang harus diterimanya. Yang penting baginya, bagaimana ia harus mengambil satu sikap yang paling baik dalam keadaan yang buruk itu.

Dalam pada itu, perang antara kedua pasukan itu, khususnya di sayap pasukan, menjadi semakin sengit. Namun garis perang itu masih belum beringsut dari jalur Kali Opak. Kadang-kadang garis perang itu memang bergeser ke timur. Tetapi kadang-kadang ke barat, sampai ke tebing. Namun kedua belah pihak tidak berhasil mendesak lawannya untuk naik ke tebing.

Namun dalam pada itu, arus air Kali Opak sudah mulai merah karena darah. Beberapa orang terbaring diam di antara bebatuan. Namun beberapa orang berhasil merangkak menepi dan dengan lemahnya duduk bersandar batu-batu padas di tepian.

Sementara itu, matahari pun menjadi semakin rendah. Sesaat kemudian maka cahayanya yang kemerah-merahan menjadi semakin lemah.

Dalam pada itu, maka dari arah pesanggrahan para prajurit Pajang telah terdengar suara sangkakala untuk menawarkan penghentian pertempuran pada hari itu, karena matahari sudah berada di punggung pegunungan.

Suara itupun segera disaut oleh suara sangkakala di sebelah Kali Opak. Pasukan Mataram pun agaknya telah memutuskan untuk menarik pasukannya pada hari itu.

Demikianlah, maka pasukan di kedua belah pihakpun mendengar pertanda yang bersahutan dari sebelah barat dan sebelah timur Kali Opak. Karena itu, maka merekapun berangsur-angsur surut dari medan. Para prajurit sibuk mengamati pasukannya. Bagaimanapun juga mereka tetap menghormati sikap seorang laki-laki jantan. Mereka sama sekali tidak ingin melanggar paugeran bagi peperangan. Apabila kedua belah pihak telah memberikan pertanda, maka perang memang harus dihentikan.

Beberapa orang yang bukan prajuritpun telah mendapat beberapa petunjuk tentang hal itu. Karena itu, pasukan Mataram yang terdiri dari orang-orang yang dikumpulkan dari beberapa daerah itupun berusaha untuk menghormati paugeran itu. Bahkan orang-orang yang berada di lingkungan prajurit Pajang pun tidak berniat untuk melanggar ketentuan yang sama -sama dihormati itu, meskipun mereka bukan prajurit.

Dalam pada itu, maka kedua pasukan itupun segera ditarik dari medan, kembali ke pasanggrahan masing-masing. Tubuh-tubuh yang lelah, bahkan ada di antara mereka dengan luka yang tergores di tubuh mereka, bergeser perlahan-lahan dari medan. Beberapa orang di antara mereka masih tetap memandang panji dan kelebet dengan tunggul-tunggul yang mereka hormati sebagai pertanda kebesaran pasukan masing-masing.

Demikian mereka sampai di pesanggrahan, maka beberapa orang segera merebahkan dirinya sambil memeluk senjata-senjata mereka. Tetapi ada pula di antara mereka yang langsung mencari air dan meneguknya hampir satu siwur penuh.

Yang kemudian berlari-lari ke medan adalah para petugas khusus yang harus merawat orang-orang yang terluka dan yang terbunuh di peperangan. Dengan tidak bersenjata, mereka melakukan tugas masing-masing, yang saling dihormati pula.

Beberapa orang Pajang dan Mataram sibuk memeriksa tubuh-tubuh yang terbujur lintang. Dengan cermat mereka mengamati seorang demi seorang. Yang terluka dikumpulkan di antara mereka, sedang yang telah menjadi banten di peperangan pun dikumpulkan. Mereka akan segera dimakamkan sebagaimana seharusnya. Namun mereka tidak akan dibawa kembali ke Pajang atau ke Mataram. Tetapi mereka akan dimakamkan di Prambanan, sebelah menyebelah Kali Opak dengan ciri-ciri masing-masing.

Namun dalam pada itu, ketika langit menjadi semakin buram, maka orang-orang yang masih belum selesai dengan tugas mereka itupun sebagian harus menyalakan obor. Mereka harus meneliti di antara bebatuan, di pasir tepian dan di gerumbul-gerumbul perdu di tepi Kali Opak.

Dalam kesibukan itu, seorang petugas dari Mataram sedang mengamati seorang pengawal yang terluka parah sehingga tidak lagi mampu meninggalkan tempatnya. Namun selagi petugas itu berjongkok di sisinya, tiba-tiba saja tanpa diketahui mula terjadinya, ia sudah terbaring di sebelah sesosok tubuh yang semula juga disangkanya salah seorang korban dari peperangan itu.

“Jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakakan diri sendiri,“ desis orang yang disangkanya sesosok mayat itu.

Petugas dari Mataram itu tidak dapat berbuat apa-apa. Ujung pisau belati yang runcing terasa melekat di lambungnya.

“Jawab pertanyaanku,“ geram orang itu, “di sayap manakah Sutawijaya berada?”

Orang Mataram itu tidak segera menjawab. Tetapi ujung pisau belati itu semakin terasa menghunjam di kulitnya.

“Cepat. Waktu kita hanya sedikit,“ orang itu menggeretakkan giginya.

“Curang,“ desis petugas dari Mataram itu, “kau tidak dapat mengganggu tugasku. Aku tidak bersenjata. Jika kau jantan, beri aku kesempatan untuk melawan, dan kita akan berperang tanding.”

“Jangan mengigau,“ geram orang itu sambil menekankan pisaunya semakin lekat, “jawab pertanyaanku, atau aku akan melubangi perutmu.”

Petugas dari Mataram itu memperhatikan beberapa buah obor yang hilir mudik. Apakah obor itu dibawa oleh orang Mataram atau oleh orang Pajang.

Tetapi ia tidak mendapat kesempatan memperpanjang waktu karena ujung pisau itu semakin menekan lambungnya. Bahkan mulai terasa darah meleleh dari ujung pisau itu.

“Dimana Senapati? Cepat!“ suara orang itu bergetar.

Tidak ada kemungkinan lain daripada menjawab pertanyaan itu. Tetapi ia bukan orang yang paling dungu dari orang-orang Mataram. Karena itu, maka jawabnya kemudian, “Sutawijaya berada di induk pasukan.”

“Bohong!“ gigi orang itu gemeretak, “Siapa di sayap, jika Sutawijaya ada di induk pasukan?”

Sejenak orang Mataram itu terdiam. Namun ketika ujung belati itu semakin menekan lambungnya, maka jawabnya, “Ada sederet nama para Senapati Mataram yang mumpuni. Putra Ki Gede Pasantenan. Ki Bekel Tandon dari Mangir. Ki Lurah Branjangan dengan pasukan khususnya yang tidak akan terlawan oleh orang-orang Pajang, meskipun dari pasukan khusus Ki Tumenggung Prabadaru sekalipun. Murid orang bercambuk dari Sangkal Putung. Ki Gede Menoreh. Kiai Gringsing itu sendiri. Ki Waskita. Dua orang senapati perempuan dari Sangkal Putung, dan jangan pura-pura tidak tahu, bahwa Agung Sedayu ada di pasukan itu juga, selain Senapati ing Ngalaga sendiri dan Ki Juru Martani.”

“Diam!“ geram orang yang menggenggam pisau itu, “Aku bertanya dimana Sutawijaya itu berada?”

“Aku sudah menjawab,” jawab orang Mataram itu.

“Dan dimana Agung Sedayu?“ bertanya orang itu lagi.

Sejenak orang Mataram itu merenung. Namun iapun kemudian menyeringai karena perasaan pedih di lambungnya.

“Cepat, sebelum kau mati,“ geram orang yang menggenggam pisau itu.

Orang Mataram itu kemudian berdesis, “Apakah kau bukan seorang Senapati Pajang?”

“Apa maksudmu?“ jawab orang itu.

“Kalau kau seorang Senapati, maka kau tidak akan bertanya seperti itu. Raden Sutawijaya, yang memimpin keseluruhan pasukan Mataram tidak akan dapat di anggap berada di satu sisi dari pasukan itu. Ia dapat berada di induk pasukan. Tetapi karena sesuatu hal, ia akan dapat berada di manapun yang ia kehendaki,“ jawab orang Mataram itu.

Orang yang menekankan pisaunya itu menggeretakkan giginya. Jawaban itu memang masuk akal. Namun rasa-rasanya jawaban itu sama sekali tidak memuaskannya.

Karena itu, maka tiba-tiba saja orang Mataram itu mengeluh pendek. Ternyata pisau itu benar-benar telah menghunjam ke lambungnya.

Tetapi orang yang membawa pisau itu tidak sempat melihat, apakah korbannya sudah mati atau belum, karena seorang yang membawa obor telah mendekatinya.

Dengan tergesa-gesa orang itu bangkit dan meloncat meninggalkan arena yang sudah menjadi padang bebatuan tempat orang-orang sakit mengerang, dan mayat-mayat terbujur lintang.

Orang yang membawa obor itu ternyata sempat melihat orang yang meloncat berlari itu. Hampir di luar sadarnya, maka orang yang membawa obor itupun berteriak, ”Berhenti!”

Tetapi orang itu berlari semakin cepat. Demikian cepatnya, sehingga seolah-olah orang itupun telah hilang di kegelapan. Namun untuk meyakinkan dirinya, agar tidak seorangpun yang mengejarnya, maka tiba-tiba saja sebongkah batu padas di tebing sebelah timur Kali Opak itu telah pecah dan berguguran. Sehingga dendam demikian, maka setiap orang yang ingin mengejarnya pun telah menghentikan langkahnya.

Tiga orang yang semula memang ingin mengejarnya karena teriakan orang Mataram yang membawa obor itu, termangu-mangu. Dua di antara mereka adalah orang Mataram, sedangkan yang seorang adalah orang Pajang.

“Siapa orang itu?” bertanya salah seorang dari kedua orang Mataram itu.

“Aku tidak tahu,“ jawab orang Pajang.

“Tetapi menilik arah larinya, maka ia tentu orang Pajang,“ berkata orang Mataram itu pula.

“Belum tentu. Mungkin ia hanya sekedar ingin menyembunyikan jejak,“ jawab orang Pajang.

Namun dalam pada itu, orang yang membawa obor itupun tiba-tiba berkata, “Lihat! Seorang telah terluka.”

Orang Pajang itu berpaling. Tetapi ia menjawab, “Di sini ada berpuluh puluh orang terluka.”

“Maksudku, di antara kita yang tidak bersenjata,“ jawab orang Mataram yang membawa obor itu.

Orang-orang itupun segera mendekati orang Mataram yang terluka di lambungnya. Pisau lawannya masih tertancap di lambung itu. Tetapi ternyata ia tidak mati.

“Cepat, bawa ke pasanggrahan,“ berkata orang Mataram yang mengurungkan niatnya memburu orang yang curang itu.

Kemudian orang yang terluka itu dibawa dengan hati-hati, sementara obor orang Mataram itupun telah diserahkan kepada kawannya yang tinggal bersama orang Pajang. Namun karena keributan yang terjadi itu, agaknya telah menarik perhatian beberapa orang petugas sehingga merekapun mendekatinya. Baik dari lingkungan orang-orang Mataram, maupun orang-orang Pajang.

Sejenak kemudian, maka peristiwa yang telah terjadi itupun telah diketahui oleh kedua belah pihak. Sementara itu, baik orang Pajang maupun orang Mataram tidak dapat mengatakan dengan pasti, siapakah yang telah melakukan kecurangan itu.

“Tetapi tentu bukan orang Mataram,“ berkata salah seorang dari orang-orang Mataram.

“Tetapi juga belum pasti kalau hal itu dilakukan oleh orang Pajang,“ sahut salah seorang di antara orang-orang Pajang.

Orang-orang Mataram tidak membantah lagi. Merekapun menyadari, bahwa mereka tidak boleh bertengkar dan apalagi melakukan tindak kekerasan.

Karena itu, maka salah seorang di antara orang-orang Mataram itu berkata, “Baiklah, siapapun orang itu, kita masing-masing akan membuat laporan. Biarlah para pemimpin kita membuat penilaian. Sekarang, kita akan meneruskan tugas kita atas orang-orang yang terluka dan terbunuh di peperangan.”

Orang-orang Pajang dan orang-orang Mataram itupun kemudian melanjutkan tugas mereka masing-masing, karena tugas mereka masih cukup banyak.

Dalam pada itu, maka peristiwa yang terjadi atas salah seorang Mataram yang tidak bersenjata itupun telah didengar oleh para pemimpin di Mataram. Raden Sutawijaya yang mendengar langsung dari orang yang telah terluka, serta pembawa obor yang melihatnya pertama kali, mengambil kesimpulan bahwa orang itu tentu bukan orang kebanyakan.

“Aku menantangnya berperang tanding,“ berkata orang Mataram yang terluka.

“Bukankah kau tidak bersenjata?“ bertanya Raden Sutawijaya.

“Jika ia menerimanya, di Kali Opak banyak berserakan senjata yang terlepas dari tangan orang-orang yang terluka atau yang terbunuh,“ jawab orang itu.

Namun Raden Sutawijaya menggelengkan kepalanya. Katanya, “Untunglah bahwa tantanganmu perang tanding tidak diterimanya.”

“Kenapa Raden?“ bertanya orang itu. “Jika kau harus berperang tanding, maka kau tidak akan dapat melawannya sepenginang. Dalam sekejap tubuhmu akan hancur seperti batu-batu padas yang berguguran itu,“ jawab Raden Sutawijaya.

Orang Mataram itu termangu-mangu sejenak. Sementara orang yang membawa obor dan yang kemudian membawanya ke pesanggrahan itupun berkata, “Memang mengejutkan. Batu-batu padas itu berguguran.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berkata apapun lagi kepada orang yang terluka dan yang kemudian mendapat perawatan sebaik-baiknya.

Namun dalam pada itu, Raden Sutawijaya berdesis kepada Ki Juru Martani, “Orang itu agaknya yang telah menyerangku di pinggir Kali Opak itu.”

“Ya Ngger. Orang itu khusus mencari Angger Sutawijaya. Mungkin orang itu ingin berhadapan dengan Raden Sutawijaya di peperangan. Tetapi mungkin ia ingin mempergunakan kesempatan yang lain. Agaknya ia bukan seseorang yang memegang teguh paugeran prajurit dan sikap kejantanan. Karena itu, Angger Sutawijaya harus berhati-hati. Setiap saat orang itu dapat muncul dan menyerang. Karena itu, setiap saat, siang malam, di medan atau Raden sedang berbaring di pembaringan pesanggrahan ini, Angger harus mengetrapkan segala macam perisai ilmu yang ada pada Angger,“ berkata Ki Juru.

“Aku mengerti Paman. Aku akan melakukannya. Tetapi tentu ada saatnya aku berkesempatan menemuinya. Mudah-mudahan di peperangan,“ sahut Raden Sutawijaya.

Tetapi Ki Juru berkata selanjutnya, “Tetapi ada juga baiknya, Agung Sedayu mendapat peringatan pula. Jika orang itu menyadari kemampuan anak muda itu, mungkin ia akan berbuat serupa atasnya, sebagaimana akan dilakukan atas Angger Sutawijaya sendiri.”

“Ya. Aku akan memanggilnya,“ berkata Raden Sutawijaya.

Tetapi ternyata yang dipanggil oleh Raden Sutawijaya bukan hanya Agung Sedayu. Para pemimpin pasukan dari daerah-daerah yang berpihak Mataram dan orang-orang yang dianggap memiliki kelebihan di antara para pemimpin Mataram, telah berkumpul. Ada beberapa penjelasan dari Raden Sutawijaya. Orang-orang Pajang telah mulai melepaskan pasukan cadangannya.

“Mereka sebagian bukan prajurit-prajurit Pajang,“ berkata Raden Sutawijaya lebih lanjut. “Dan mereka yang bukan prajurit itu agaknya telah melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari paugeran seorang prajurit tanpa merasa segan.”

Dengan singkat Raden Sutawijaya juga menceritakan yang telah terjadi atas salah seorang petugas Mataram yang tidak bersenjata.

“Orang itu mencari aku,“ berkata Raden Sutawijaya. Lalu, “Tetapi aku memang berharap dapat bertemu dengan orang itu di medan.”

“Tetapi Raden belum mengenalnya,“ berkata Kiai Gringsing, “karena itu Raden harus sangat berhati-hati. Ia dapat saja datang mendekati Raden dengan ujud seorang prajurit Pajang. Tetapi juga dapat menantang Raden sebagai seorang senapati, atau tiba-tiba saja menyerang dengan ilmunya yang tinggi itu tanpa sangkan paran, selagi Raden sibuk bertempur dengan Senapati Pajang yang sebenarnya.”

“Memang hal itu akan dapat terjadi,“ berkata Raden Sutawijaya, “tetapi aku tidak sendiri di sayap. Aku berharap bahwa aku akan dapat menghadapinya beradu dada.”

Para pemimpin Mataram itupun mengangguk-angguk. Tetapi mereka merasa bahwa mereka berhadapan dengan lawan yang terdiri dari unsur-unsur yang beraneka. Ada diantara prajurit Pajang yang bertempur sebagaimana seorang prajurit dengan paugeran-paugeran keprajuritan dan harga diri yang tinggi. Tetapi di antara pasukan Pajang itu ada juga orang-orang yang sama sekali tidak menghormati sikap dan harga diri seorang prajurit. Mereka dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya.

“Karena itu, kalian memang harus berhati-hati. Bukan hanya aku saja,“ berkata Raden Sutawijaya sambil tersenyum.

Ketika para pemimpin itu kembali ke pasukan masing-masing, maka Senapati ing Ngalaga itupun berkata kepada Untara, “Perketat penjagaan. Aku menjadi semakin curiga, bahwa unsur-unsur di luar keprajuritan Pajang akan lebih banyak menentukan dalam pertempuran ini.”

“Ya Raden,“ jawab Untara, “sebagai seorang prajurit Pajang, aku hampir tidak mengenal lagi tata cara yang dipergunakan pasukan Pajang di medan pertempuran. Tetapi aku percaya bahwa Sabungsari akan dapat mengatasinya di sayap kami. Ia memiliki pengalaman yang luas. Sebelum ia menjadi seorang prajurit, ia adalah seorang yang ditakuti di lingkungan orang-orang yang berilmu buram itu. Mudah-mudahan ia dapat melihat cara yang dipergunakan oleh sebagian orang-orang di dalam pasukan Pajang itu.”

“Mudah-mudahan ia sempat melakukannya,“ berkata Raden Sutawijaya.

“Aku sudah memesan agar ia berhati-hati dan dengan teliti mengamati keadaan. Ia mempunyai beberapa orang pembantu yang dapat dipercayainya.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, seluruh penjagaan di garis perang itupun menjadi semakin diperketat. Bahkan beberapa orang pemimpin langsung turun ke medan untuk meronda.

Pengamatan yang paling ketat adalah justru pada sayap pasukan. Tetapi Sutawijaya tidak mengabaikan pengamatan di induk pasukan. Orang-orang Pajang pun nampaknya mengetahui bahwa Mataram mempunyai beberapa kelemahan yang disembunyikan di induk pasukannya.

Ki Juru Martani sendiri berusaha untuk dapat mengawasi induk pasukan Mataram. Menurut pengalamannya, ternyata ada juga orang Pajang yang berhasil menyusup ke dalam garis pertahanan orang Mataram.

“Tetapi usaha itu agaknya tidak akan diulangi,” berkata Ki Juru di dalam hatinya. Lalu, “Ternyata para pemimpin Pajang sendiri berusaha untuk mencegahnya.” Meskipun demikian, Ki Juru tidak mau mengalami kesulitan karena usaha yang serupa. Karena itu, maka ia telah mengatur penjagaan sebaik-baiknya selain Ki Juru sendiri.

Ternyata Raden Sutawijaya pun telah mengamati keadaan dengan cermat. Di sisi lain, Agung Sedayu dan Kiai Gringsing berada di tebing Kali Opak, sementara Ki Waskita berada di antara para prajurit yang meronda.

Namun sebagaimana diduga oleh Ki Juru, tidak seorangpun di antara orang Pajang yang menyusup ke daerah pertahanan orang-orang Mataram. Meskipun demikian, saat-saat orang-orang terpenting dari Mataram itu beristirahat, mereka telah memberikan perintah kepada para petugas untuk berhati-hati.

Ada beberapa orang yang dapat berjaga-jaga bergantian. Ki Bekel Tandon yang memiliki ilmu yang mumpuni menggantikan Untara yang harus beristirahat menjelang dini hari.

Demikianlah, seperti hari-hari sebelumnya, sebelum fajar menyingsing orang-orang yang harus mempersiapkan makan dan minum bagi pasukan yang akan turun ke medanpun telah menjadi sibuk. Baru kemudian terdengar bunyi sangkakala dari kedua belah pihak untuk membangunkan para prajurit yang masih tertidur nyenyak, agar mereka segera mempersiapkan diri menghadapi hari-hari yang gawat bagi mereka.

Setelah kesibukan para prajurit dan pengawal mempersiapkan diri, maka rontek, panji-panji, kelebet yang melekat pada tunggul-tunggul pun telah tegak. Para senapati telah berada di antara pasukan masing-masing. Sementara setiap orang di dalam pasukan itu telah memeriksa senjata mereka, agar senjata itu tidak akan mengecewakan di medan perang.

Dalam pada itu, telah jatuh perintah dari Raden Sutawijaya, bahwa para senapati harus berada langsung di medan. Jika pada hari kedua Pajang telah menurunkan pasukan cadangannya, maka mungkin sekali pada hari ketiga, para senapati akan turun ke medan dan akan langsung mempengaruhi pertempuran. Karena itu, adalah menjadi kewajiban setiap senapati dari Mataram untuk mengimbanginya.

“Aku sendiri akan menunggu seseorang yang mencari aku,“ berkata Raden Sutawijaya, “mungkin ia akan memakai pakaian seorang prajurit biasa seperti dikatakan oleh Kiai Gringsing. Bahkan mungkin ia seolah-olah tidak mempunyai arti sama sekali di peperangan ini. Namun tiba-tiba saja ia menyerang.”

Namun secara khusus Raden Sutawijaya juga memperingatkan Agung Sedayu agar ia berhati-hati.

“Ia dapat memakai cara yang licik. Ia akan menghadapi kita seorang demi seorang,“ berkata Raden Sutawijaya, “ia berharap untuk dapat membunuh para Senapati Mataram seorang demi seorang, sehingga pasukan Mataram akan menjadi sangat lemah.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku akan selalu berhati-hati. Mudah-mudahan aku dapat menghadapinya beradu dada, sehingga akhirnya akan dapat dinilai sewajarnya.”

Demikianlah, maka para senapati itupun akan langsung memimpin pasukannya menghadapi pertempuran yang tentu akan menjadi semakin dahsyat.

Dalam pada itu, pasukan Pajang pun telah bersiap pula.

Menjelang dini hari, ketika Pangeran Benawa mendekati peraduan ayahandanya, ia mendengar ayahanda mengeluh tertahan. Ketika dengan tergesa-gesa ia mendekat, maka dilihatnya ayahandanya sudah duduk di bibir pembaringan.

Namun wajah Kanjeng Sultan Hadiwijaya nampaknya menjadi semakin pucat. Nafasnya agak sendat dan tatapan matanya menjadi sayu.

“Ayahanda,“ desis Pangeran Benawa sambil duduk di hadapan ayahandanya.

“Kemarilah Benawa,“ Kanjeng Sultan memanggilnya dan memberinya isyarat untuk duduk di sampingnya, di bibir pembaringannya.

Dengan jantung yang berdebaran, Pangeran Benawa mendekatinya dan duduk di sebelahnya.

“Ayahanda nampak pucat sekali,“ desis Pangeran Benawa.

“Aku tidak apa-apa,“ jawab Kanjeng Sultan, “biarlah aku berkemas sejenak. Apakah gajahku sudah dipersiapkan?”

“Sudah Ayahanda,“ jawab Pangeran Benawa ragu-ragu.

Kanjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sakitku memang menjadi semakin parah. Dalam keadaan seperti ini, kita akan melihat kepada diri kita sendiri. Aku sudah menghimpun seribu macam ilmu dan aji di dalam diriku. Aku dapat meruntuhkan batu-batu padas di lereng pegunungan. Aku dapat memecah batu-batu yang berserakkan di Kali Opak, dan akupun akan dapat membakar hutan dengan kekuatan mataku. Tetapi segala macam kekuatan aji dan ilmu itu tidak dapat aku pergunakan untuk melawan penyakitku. Apalagi untuk melawan jantra hidupku. Di sini kita merasa, betapa kecilnya kita yang sebelumnya menganggap diri kita linuwih. Diri kita pinunjul ing apak-apak. Sehingga akhirnya kita harus berkata, bahwa Yang Maha Agung jualah tempat kita bersandar.“

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian tersendat-sendat, “Tetapi Ayahanda harus berobat.”

“Aku tidak pernah melupakan segala macam obat yang diberikan oleh para dukun dan para tabib,“ jawab Kanjeng Sultan, “tetapi sekali lagi, bahwa kemampuan para dukun dan tabib itupun terbatas, seperti ilmu kanuragan yang aku kira akan mampu melawan batas akhir dari hidupku.”

Pangeran Benawa menundukkan kepalanya. Betapapun hatinya dikecewakan oleh ayahandanya, namun dalam keadaan yang demikian, maka iapun menjadi ngeri. Pangeran Benawa yang pernah menjelajahi hutan dan lembah, ngarai dan lereng pegunungan di sembarang waktu tanpa mengenal takut menghadapi bahaya yang manapun juga, tiba-tiba hatinya menjadi sangat kecil seperti yang dikatakan ayahandanya. Segala macam ilmu yang dimilikinya itu memang tidak akan berarti apa-apa di hadapan keputusan Yang Maha Agung.

Namun demikian, dengan nada dalam ia berkata, “Tetapi bukankah kita wajib berusaha Ayahanda?”

Ayahandanya tersenyum. Sambil menepuk pundak anaknya ia berkata, “Aku sudah cukup berusaha, Benawa. Karena itu, apabila saatnya datang, aku tidak akan kecewa. Karena dengan demikian aku yakin, bahwa usahaku memang sia-sia, justru karena waktu itu memang sudah tiba.”

“Ayahanda,“ desis Pangeran Benawa.

Tetapi Kanjeng Sultan itu menggelengkan kepalanya, “Sudahlah. Sebentar lagi, peperangan akan dimulai lagi. Aku akan melihat, apa yang terjadi di medan. Aku masih berharap bahwa Adipati Tuban akan tetap patuh akan perintahku. Apapun yang aku katakan.”

Pangeran Benawa mengangguk kecil.

Dalam pada itu, maka Kanjeng Sultan itupun segera berkemas. Setelah minum seteguk minuman panas, dan makan beberapa suap nasi, maka iapun berkata, “Aku sudah siap Benawa.”

“Marilah Ayahanda,“ jawab Pangeran Benawa.

Tetapi ketika Kanjeng Sultan itu melangkah, ia tertegun sejenak.

“Bagaimana, Ayahanda?“ bertanya Pangeran Benawa.

Kanjeng Sultan memijit keningnya. Namun kemudian katanya, “Aku tidak apa-apa. Aku masih sanggup menghancurkan pebukitan itu.”

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab lagi.

Sejenak kemudian, maka Kanjeng Sultan pun keluar dari pasanggrahannya. Sementara itu, seluruh pasukannya memang sudah siap. Segala macam pertanda, rontek, umbul-umbul, panji-panji dan kelebet telah terpasang. Tunggul-tunggul yang beraneka berjajar di ujung pasukan induk yang sudah siap, meskipun belum ada perintah dari Kanjeng Sultan untuk menyerang.

Namun dalam pada itu, ketika genderang mulai menggetarkan udara di medan pertempuran itu, maka pasukan di sayap-lah yang mulai bergerak.

Sementara itu, ternyata para senapati di kedua sayap pasukan Pajang telah menerima perintah yang sambung bersambung dari mulut ke mulut tanpa diketahui sumbernya. Mereka mendapat perintah untuk pada hari itu juga menghancurkan pasukan Mataram.

“Jangan hiraukan Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang ragu-ragu. Hari ini pasukan Mataram harus dihancurkan dan didesak mundur. Jika mereka meninggalkan tebing Kali Opak, maka mereka akan menjadi semakin lemah. Mungkin mereka akan menarik diri. Bahkan mungkin pasukan Mataram akan bercerai berai. Satu-satunya tempat untuk menghimpun diri adalah Alas Tambak Baya. Atau bahkan mereka akan menarik pertahanan mereka ke dinding kota,“ kata perintah yang meloncat dari mulut-kemulut itu.

Namun beberapa orang pemimpin pasukan di sayap pasukan Pajang itu tidak mencari sumber perintah itu. Mereka mengerti, bahwa di samping Kangjeng Sultan Hadiwijaya, ada orang lain yang mengendalikan mereka. Terutama pasukan di sayap kiri dan kanan itu.

Dengan demikian, maka pasukan di kedua sayap itu benar-benar telah melepaskan diri dari jalur perintah Kanjeng Sultan. Mereka mempunyai kepentingan sendiri. Karena sikap Kanjeng Sultan itu, maka orang-orang yang mempunyai sikap sendiri itu telah menentukan langkahnya.

“Kita tidak dapat menyaksikan pasukan Pajang itu hancur bersama pasukan Mataram. Tetapi kita akan menghancurkan pasukan Mataram. Seterusnya menduduki Mataram dan menghancurkan sisa pasukan Pajang yang tidak seberapa kuat. Sebagian para prajurit Pajang ada di lingkungan kita. Juga Kesatuan Khusus di bawah Tumenggung Prabadaru itupun ada di pihak kita,” berkata perintah itu lebih lanjut.

Demikianlah, maka ketika pertanda perang sudah mulai, maka pasukan sayap sebelah-menyebelah, dengan serta merta telah turun ke tepi Kali Opak, langsung menuju ke tebing sebelah barat. Sedangkan induk pasukan Pajang, masih tetap berada di atas tebing. Meskipun beberapa kali Adipati Tuban mendesak, namun Kanjeng Sultan masih tetap tidak ingin langsung turun ke peperangan sebelum mendapatkan saat yang paling tepat.

“Kanjeng Sultan terlalu percaya kepada suara bende itu,” berkata Adipati Tuban kepada seorang senapatinya.

Dalam pada itu, ternyata bahwa orang-orang Mataram masih tetap mempergunakan akalnya. Mereka tidak terdorong oleh cengkaman perasaan sehingga kehilangan nalar. Mereka tetap berada di atas tebing sebelah barat dan mempergunakan tebing itu sebagai landasan pertahanan. Mereka masih tetap menunggu orang-orang Pajang menyerang, dan mengurangi jumlah mereka saat-saat orang-orang Pajang itu memanjat tebing. Orang-orang Mataram itu masih tetap bersiaga dengan busur dan anak panah serta lembing-lembing mereka.

Tetapi orang-orang Pajang masih juga bersiap dengan perisai untuk melindungi diri dari anak panah dan lembing yang akan menghujani mereka.

Sejenak kemudian, maka benturan kedua kekuatan itupun telah menggetarkan udara. Orang-orang Pajang bersorak dengan riuhnya sambil berusaha mencapai tebing. Sambil melindungi diri dengan perisai, mereka berloncatan dari batu ke batu menyeberangi sungai yang cukup luas itu. Sementara itu, dari atas tebing, anak panah dan lembingpun telah menghujani orang-orang Pajang yang menjadi semakin dekat.

Namun dalam pada itu, pada saat orang pertama mencapai tebing, maka telah terdengar lagi bende Kiai Bicak mengumandang di medan.

Betapapun juga, setiap prajurit Pajang masih juga tergetar hatinya. Meskipun beberapa orang pemimpin pasukan dari luar lingkungan keprajuritan Pajang berusaha untuk meyakinkan mereka, bahwa suara bende itu tidak akan berpengaruh apa-apa, tetapi suaranya yang bagaikan gaung kematian itu telah menggelitik jantung.

Namun suara bende itu ternyata bukan sekedar usaha Mataram untuk mempengaruhi tekad orang-orang Pajang untuk menghancurkan Mataram. Tetapi juga sebagai pertanda yang dikehendaki oleh Untara, yang dalam pertempuran yang besar itu masih juga menunjukkan kelebihan nalarnya.

Atas perintah Untara, maka pasukannya yang terpilih di bawah pimpinan Sabungsari telah memisahkan diri dari ujung sayap. Demikian suara bende itu bergema, maka pasukan itu dengan diam-diam telah menuruni tebing di sebelah kelokan Kali Opak.

Ketika pasukan Pajang membentur pertahanan orang-orang Mataram, serta dalam usaha mereka melindungi diri dari hujan anak panah dan lembing, maka pasukan Sabungsari itu telah menghantam pasukan Pajang dari lambung sayap.

Dengan sorak yang gegap gempita, pasukan itu muncul dari tikungan Kali Opak dengan senjata teracu.

Kehadiran pasukan Sabungsari itu benar-benar mengejutkan. Pasukan Pajang tidak menyangka, bahwa sekelompok prajurit Pajang terpilih yang telah berpihak kepada Senapati ing Ngalaga datang menyerang mereka dari arah lambung.

Dengan tergesa-gesa pasukan Pajang berusaha menahan serangan itu. Tetapi pasukan terpilih itu telah berhasil menusuk masuk ke dalam tubuh sayap lawan, yang ternyata pada sisi sayap itu lebih banyak terdiri dari orang-orang yang melibatkan diri dalam peperangan itu bukan terdiri dari prajurit-prajurit Pajang.

Benturan itu telah berhasil mengacaukan orang-orang Pajang. Sementara itu, anak panah dan lembingpun masih juga menghujani mereka. Pada saat-saat tertentu, perhatian mereka tertuju kepada pasukan terpilih yang menyerang lambung. Namun pada saat-saat yang gawat itu, sepucuk lembing telah menembus kulit daging mereka.

Namun pada hari itu, orang-orang Pajang telah bertekad untuk menghancurkan pasukan Mataram. Karena itu, dalam keadaan yang gawat, maka para senapati tidak saja mengamati dan mengatur pasukannya, tetapi mereka turun langsung ke medan perang.

Karena itulah, maka seorang senapati terpilih dari antara orang-orang yang melibatkan diri ke dalam pasukan Pajang telah turun melawan pasukan yang datang dari lambung.

Tetapi pasukan yang datang dari lambung itupun pasukan terpilih di antara prajurit-prajurit Pajang yang berada di Jati Anom, di bawah pimpinan seorang senapati muda yang bernama Sabungsari. Dengan pedang di tangan, Sabungsari pun berteriak-teriak memerintah. Tetapi pada saat yang menentukan, Sabungsari sendiri berada di benturan antara kedua pasukan itu.

Di sayap lain, pertempuran benar-benar bagaikan membakar langit. Pasukan khusus yang dipimpin oleh Tumenggung Prabadaru yang menjadi batang kekuatan sayap itu, telah bertemu dengan pasukan khusus yang telah ditempa di Tanah Perdikan Menoreh, yang dipimpin oleh Ki Lurah Branjangan. Dua pasukan yang pilih tanding. Meskipun pasukan khusus dari Pajang memiliki pengalaman yang lebih banyak, tetapi tempaan yang berat di lereng Bukit Menoreh itu telah membuat pasukan khusus dari Mataram itu menjadi bagaikan sekeras baja.

Pertempuran yang dahsyat telah terjadi. Dengan usaha yang sangat berani, pasukan Pajang mulai memanjat tebing. Tetapi pasukan khusus dari Mataram yang ada di antara tebing telah menggeser diri, dengan sengaja menghadapi pasukan Pajang yang nggegirisi itu. Kedua bagian kecil dari pasukan itu memang pernah bertemu di pinggir Kali Praga pada saat Agung Sedayu dan istrinya kembali ke Tanah Perdikan Menoreh di hari-hari perkawinannya. Pada saat itu, pasukan khusus yang ditempa di Tanah Perdikan Menoreh itu masih harus berusaha untuk meningkatkan diri agar kemampuan mereka dapat mengimbangi pasukan khusus di bawah pimpinan Ki Tumenggung Prabadaru itu.

Ternyata bahwa usaha anak-anak muda yang tergabung dalam pasukan khusus yang ditempa di Tanah Perdikan Menoreh itu tidak sia-sia. Dalam keadaan yang menentukan, mereka berhasil menunjukkan, bahwa mereka memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi pasukan khusus dari Pajang. Pasukan yang memang terdiri dari para prajurit gemblengan dari beberapa unsur kesatuan.

Sementara itu, gema Kiai Bicak benar-benar telah mendorong tekad di hati pasukan Mataram. Suaranya yang bening bagaikan mengaum mengipasi api yang telah menyala di setiap hati pasukan Mataram yang tengah bertempur dengan dahsyatnya.

Kesabaran pasukan Mataram menunggu lawannya di atas tebing memang menguntungkan. Tetapi pasukan Pajang yang merasa lebih besar, menganggap bahwa menyerang lawan mereka adalah lebih baik dari sekedar bertahan. Apalagi sebagian dari orang-orang Pajang pun telah melindungi orang-orangnya yang memanjat tebing dengan anak panah, meskipun mereka harus sangat berhati-hati, agar anak panah itu tidak justru mengenai orang-orang mereka sendiri yang sedang berusaha untuk naik.

Sebagaimana diperintahkan oleh sumber yang tidak jelas, maka pasukan Pajang yang ada di sayap itu bertekad untuk benar-benar memecahkan pertahanan pasukan Mataram. Mereka harus dapat mendesak pasukan itu mundur, atau memecah mereka hingga bercerai berai. Mereka tidak lagi mempedulikan, apa yang akan dilakukan oleh Kanjeng Sultan Hadiwijaya. Bahkan sebenarnyalah telah timbul satu kecurigaan dari kendali pasukan Pajang yang ada di sayap, bahwa Sultan Hadiwijaya bukan sekedar ragu-ragu. Tetapi agaknya Sultan Hadiwijaya itu telah menyadari adanya satu usaha untuk membenturkan kekuatan Pajang di bawah pengaruhnya, dengan pasukan Mataram.

“Persetan dengan Hadiwijaya,“ geram orang yang membayangi kepemimpinan Kanjeng Sultan itu.

Karena itu, maka orang yang membayangi kekuasaan Kanjeng Sultan itu telah memberikan perintah lebih keras untuk menghancurkan orang-orang Mataram. Terlebih-lebih lagi kepada para pemimpin yang terdiri dari unsur-unsur lain dari prajurit Pajang sendiri, meskipun prajurit-prajurit Pajang yang ada di sayap itupun tunduk pula kepada perintahnya. Apalagi pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru.

Beberapa orang yang memiliki nama yang menggetarkan di antara orang-orang berilmu, telah mengambil tempatnya masing-masing. Mereka sudah bersiap untuk menghancurkan siapapun yang ada di hadapannya.

Tumenggung Prabadaru sendiri, tidak lagi berada di belakang pasukannya sambil memberikan perintah-perintah. Tetapi saat itu ia sudah berada di antara pasukan khususnya yang sedang memanjat tebing.

Sementara di sisi lain, pasukan Pajang yang menghadapi pasukan Untara tengah bertempur dengan gigihnya. Beberapa unsur lain yang ada di sayap pasukan itu, tengah bertahan dari tikaman pasukan Mataram yang dipimpin oleh senapati muda Sabungsari.

Ternyata cara yang ditempuh oleh Untara itu memang memberikan pengaruh. Setiap benturan yang tiba-tiba dan di luar dugaan, akan dapat memberikan keuntungan. Sesaat ketika pasukan Sabungsari itu menyerang dari arah lambung, maka mereka telah berhasil mengurangi jumlah lawan mereka. Namun akhirnya pasukan Pajang itupun dapat mengatur diri dan menghadapi pasukan yang dipimpin oleh Sabungsari itu dengan kekuatan yang besar. Dengan susah payah mereka berusaha untuk mendesak pasukan Sabungsari keluar dari lubang tikamannya yang berbahaya. Bahkan sebagian mereka ingin memotong para prajurit pilihan itu dan menghancurkan sebagian dari mereka yang sudah ada di dalam tubuh pasukan Pajang. Tetapi Sabungsari tidak terlalu bodoh. Ia sempat menarik orang-orangnya yang mungkin akan terkurung dengan tekanan yang besar pada sisi lambung yang lain, sehingga dengan demikian, perlahan-lahan Sabungsari berhasil menarik orang-orangnya yang sudah terlanjur memasuki tubuh pasukan lawan.

Dalam pada itu, Sabungsari memang menjadi agak kecewa. Ada kelambatan gerak dari pasukan Mataram lainnya di bagian sayap. Suara Kiai Bicak sudah diam untuk beberapa saat. Sementara orang-orangnya sudah berhasil menusuk ke dalam tubuh lawan. Namun pertanda yang baru itu masih belum terdengar.

Tetapi Sabungsari tidak terlalu lama mengalami kekecewaan, bahkan hampir saja pasukannya mengalami keadaan gawat jika kelambatan itu masih berkepanjangan.

Sejenak kemudian, maka suara bende Kiai Bicak pun telah terdengar lagi. Selain untuk memberikan aba-aba bagi sayap pasukan Mataram yang sebagian terdiri dari pasukan Untara.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja pasukan di sayap itu di bagian tengah telah mengendor. Dengan penuh kekuatan, pasukan Pajang berusaha untuk menembus bagian yang terasa mulai menjadi lemah itu.

Beberapa langkah pasukan Mataram di tengah-tengah sayap itu terdesak surut. Bahkan kemudian sayap itu bagaikan pecah, dan orang-orang yang bertahan di atas tebing itu telah menyibak ketika kekuatatn Pajang yang besar yang berhasil menggapai tebing itu menekan semakin kuat.

Sepasukan Pajang yang berhasil memecah pertahanan Mataram di tengah sayap itupun telah terdorong masuk ke dalam sayap pasukan Mataram, sementara orang-orang Mataram yang bertahan telah terdesak semakin jauh ke dalam.

Namun baru kemudian mereka menyadari, bahwa sayap pasukan Mataram telah memasang gelar Jurang Grawah. Dengan perhitungan yang teliti atas kekuatan lawan dan kekuatan sendiri, Untara menyusun gelar yang jarang dipergunakan itu. Selapis pasukan yang kuat berada di baris terakhir dari gelarnya. Kemudian lapis terdepan dari gelarnya itu memang harus menyibak. Tetapi demikian sepasukan lawan menusuk ke dalam pasukan yang memasang gelar Jurang Grawah itu, maka dengan hentakan kekuatan yang besar, maka pasukan lapis terdepan yang dengan sengaja menyibak itu, telah menutup kembali.

Dengan demikian, maka pasukan Mataram yang telah memperhitungkan kemungkinan itu dengan cermat, telah mengurung sekelompok pasukan Pajang yang terkejut mengalami perangkap itu. Bukan karena mereka tidak mengenal gelar itu. Tetapi gelar itu memang sangat jarang dipergunakan dan kemampuan memasang yang sangat cermat, telah membuat mereka sama sekali tidak melihat kesan gelar itu pada mulanya.

Sekelompok pasukan Pajang yang ada di dalam tubuh sayap pasukan Mataram itu dengan cepat mengalami banyak kesulitan, sehingga dengan cepat pula pasukan Mataram telah melumpuhkan mereka, meskipun Mataram harus melihat, pasukannya yang mengatup kembali itupun mengalami tekanan yang sangat berat dari pasukan Pajang berikutnya, yang menyadari kesalahan yang telah dibuatnya.

Namun dengan tekad yang menyala di dalam dada setiap orang dari pasukan Mataram, didorong oleh kepercayaan mereka tentang suara Kiai Bicak, maka pasukan Mataram itu berhasil mengatasi kelemahan pada lapis pertama sesudah gelar Jurang Grawah itu mengatup kembali.

Senapati ing Ngalaga yang menyaksikan gelar itu menarik nafas dalam-dalam. Untara secara pribadi memang bukan seorang senapati yang memiliki kemampuan olah kanuragan yang tinggi sebagaimana adiknya Agung Sedayu. Tetapi sebagai seorang senapati perang, maka ia adalah seorang senapati yang memiliki nalar yang sangat cemerlang. Sehingga ketajaman nalarnya mempunyai nilai yang tidak kalah dengan kemampuan senapati yang memiliki kemampuan ilmu kanuragan yang ngedab-edabi.

Tetapi sudah tentu pasukan Pajang tidak akan terperangkap untuk kedua kalinya. Meskipun demikian, serangan pada lambung pasukan oleh Sabungsari dan prajurit-prajurit pilihannya, kemudian gelar Jurang Grawah yang berhasil, benar-benar telah membuat pasukan Pajang menjadi susut. Bukan hanya jumlah orangnya, tetapi juga kekuatan dan gejolak perjuangan di dalam dada setiap orang di dalam pasukan itu.

Dengan demikian, maka keadaan medan di sayap yang dipimpin langsung oleh Senapati ing Ngalaga serta Untara itu telah terjadi perubahan imbangan yang berarti. Pasukan Pajang yang susut dengan cepat itu telah membuat seluruh kekuatannya menjadi berkurang.

Dalam keadaan yang demikian, maka sisa kekuatan cadangan yang ada pada orang-orang Pajang, khususnya bukan prajurit Pajang, telah dikerahkan. Merekapun dengan serta merta turun ke Kali Opak dan bergabung dengan kawan-kawannya.

Namun, kemenangan yang berarti bagi pasukan Mataram itu bukan saja memberikan arti pada kekuatan lahiriahnya saja, tetapi gejolak perjuangan di dalam dada setiap orangpun menjadi mekar. Apalagi suara bende Kiai Bicak masih saja terdengar tidak berkeputusan.

Di sayap yang lain, pasukan Mataram benar-benar percaya kepada kekuatannya. Pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Branjangan dengan beradu dada telah menahan pasukan khusus dari Pajang yang dipimpin langsung oleh Ki Tumenggung Prabadaru. Sementara itu pasukan dari beberapa daerah yang berada di sayap itu pula, dengan keberanian yang menggetarkan telah menahan setiap orang Pajang yang berusaha memanjat tebing.

Namun dengan kemampuan yang didukung oleh keberanian yang luar biasa, maka sedikit demi sedikit, pasukan Pajang berhasil memanjat tebing, meskipun untuk itu mereka memerlukan waktu yang panjang.

Dengan demikian, maka pasukan Mataram di sayap kiri itu telah terdesak beberapa langkah surut. Pasukan Pajang telah mendesak lawannya mundur dari tebing Kali Opak.

Dengan mengerahkan segenap kemampuan, pasukan Mataram berusaha untuk menahan dorongan lawan. Ki Lurah Branjangan telah meneriakkan aba-aba untuk mendorong para pengawal dalam kesatuan khusus, agar mereka dengan gigih bertempur mempertahankan setiap jengkal tanah.

Swandaru yang berada di antara para pengawal dari Sangkal Putung telah melibatkan diri langsung ke dalam pertempuran. Seorang Senapati Pajang yang mengamuk di antara pasukannya, tiba-tiba saja telah tertahan ketika didengarnya ledakan cambuk yang dahsyat menggelepar di tebing Kali Opak.

“Orang bercambuk itu,“ katanya di dalam hati.

Sebenarnyalah di hadapannya telah hadir seorang anak muda yang gemuk dan bersenjata cambuk.

“Anak ini agaknya yang telah bermain-main dengan cambuk itu,” berkata senapati itu di dalam hatinya.

Swandaru memang berusaha untuk mendekatinya. Iapun melihat bahwa senapati itu merupakan salah satu kekuatan yang harus dihambat. Karena agaknya para senapati dari Pajang dalam keseluruhan di kedua sayapnya, telah berada langsung di antara pasukannya.

“Suara cambukmu memekakkan telinga,“ berkata senapati itu.

Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia sudah berhadapan dengan Senapati Pajang itu. Ledakan cambuknya justru terdengar semakin keras, bagaikan membelah langit.

Senapati Pajang itu merasa betapa getaran cambuk itu mengguncang dadanya. Tetapi ia adalah seorang prajurit. Karena itu, maka suara yang menggelegar itu sama sekali tidak menggoyahkan keberaniannya.

Karena itu, dengan tombak bertangkai pendek dengan tajam eri pandan, ia menghadapi cambuk Swandaru yang meledak-ledak.

“Kau masih terlalu muda untuk mati,“ berkata senapati itu sambil menjulurkan ujung tombaknya.

Swandaru bergeser selangkah. Dengan ujung cambuknya ia berusaha membelit tangkai tombak lawannya. Tetapi lawannya cukup tangkas sehingga ujung cambuk itu sama sekali tidak menyentuh landean tombak itu.

Namun dalam pada itu, Swandaru itu sempat menjawab, “Karena itu aku tidak mau mati. Kau sajalah yang mati.”

Senapati itu menggeram. Tombaknya berputar dan terayun mendatar. Namun sekali lagi cambuk Swandaru meledak. Bahkan ledakan berikutnya, Swandaru tidak lagi berusaha untuk membelit tangkai tombak lawannya, tetapi langsung mengarah ke tubuh lawannya itu.

Senapati Pajang itu meloncat surut. Namun demikian kakinya menjejak tanah, ternyata ia sudah melenting maju. Tombaknya mematuk ke arah jantung.

Namun Swandaru cukup tangkas. Ia sempat meloncat ke samping, sementara tangannya mengayunkan cambuknya mengarah ke leher Senapati itu.

Tetapi Senapati itupun cukup cepat. Ia sempat merendahkan dirinya sehingga cambuk Swandaru meledak di atas ubun-ubunnya. Bahkan pada saat yang demikian, Senapati itu sempat menggerakkan tangan kanannya yang menggenggam landean tombaknya, sementara tangan kirinya mengarahkan ujung tombak itu langsung ke dada Swandaru.

Swandaru terpaksa meloncat mundur, sehingga ujung tombak itu tidak menyentuhnya.

Demikianlah, perang antara dua orang senapati itu menjadi semakin lama semakin sengit. Dalarn pada itu, para prajurit Pajang pun harus berjuang dengan segenap kemampuan mereka menghadapi para pengawal Kademangan Sangkal Putung yang terlatih baik. Sementara itu, orang-orang yang bertempur di pihak Pajang pun berusaha semakin mendesak pula.

Tetapi pasukan Sangkal Putung bertahan dengan mantap. Yang mereka hadapi bukan prajurit dari pasukan khusus, sehingga pasukan pengawal dari Sangkal Putung itu masih mempunyai kesempatan menilai kemampuan lawannya. Apalagi di antara mereka terdapat orang-orang yang bukan prajurit. Namun yang bukan prajurit itulah yang justru sama sekali tidak mengenal paugeran. Mereka dapat berbuat apa saja dengan tujuan tunggal, membunuh sebanyak-banyaknya.

Tetapi di sebelah pasukan pengawal Sangkal Putung itu adalah pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh, yang mendapat tempaan yang cukup berat, meskipun tidak seberat pasukan khusus. Tetapi merekapun memiliki kemampuan tempur yang harus diperhitungkan. Mereka memiliki kemampuan secara pribadi, tetapi juga dalam gelar perang.

Dalam pada itu, orang-orang Pajang berusaha dengan sepenuh tenaga bukan saja untuk mendesak pasukan Mataram. Seandainya mereka berhasil mendesak pasukan Mataram itu mundur, maka jika malam datang, orang-orang Pajang itu harus meninggalkan jengkal-jengkal tanah yang direbutnya. Namun sebagaimana perintah yang mereka terima, mereka harus berhasil memecahkan dan mencabik dan menyayat pertahanan pasukan Mataram, sehingga pasukan itu menjadi pecah tercerai berai. Dengan demikian maka pasukan Pajang itu akan dapat merebut pesanggrahan dan mengusir pasukan Mataram.

Dalam keadaan yang bercerai berai, maka pasukan Mataram akan memerlukan waktu untuk menghimpunnya kembali, sementara itu pasukan Pajang akan dapat maju semakin dekat dengan pusat kedudukan pemerintahan Senapati ing Ngalaga. Bahkan kemudian pusat pemerintahan itu akan direbut dan dihancurkan sama sekali.

Tetapi pasukan Mataram bertahan dengan gigihnya. Setiap jengkal tanah dipertahankannya dengan sepenuh tenaga. Jika mereka bergeser juga surut, maka bukan berarti bahwa mereka meninggalkan arena dengan suka rela.

Ki Gede Menoreh yang berada di antara pasukan Tanah Perdikan Menoreh pun menyadari. Seorang Senapati Pajang yang berada di ujung pasukannya telah menggelisahkan para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, agar pasukannya tidak lagi bergeser, maka Ki Gede itupun tidak dapat tinggal diam. Agaknya memang sudah sampai saatnya, para senapati langsung turun ke gelanggang. Karena jika Ki Gede membiarkan Senapati Pajang itu tidak dihambat, maka ia akan menjadi hantu yang menakutkan bagi para pengawal Tanah Perdikan, sehingga sekelompok orang Tanah Perdikan Menoreh harus terhisap untuk melawan satu orang saja.

Dengan tombak siap di tangan, Ki Gede menyusup di antara para pengawal sambil berkata lantang, “Tunjukkan kebesaran watak para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Kita berpihak bagi kecerahan hari depan.”

Para pengawal yang mendengar kata-kata Ki Gede itu menggeretakkan gigi. Mereka menyadari, bahwa Ki Gede pun telah tampil pula di antara mereka.

Senapati Pajang yang sudah tidak terlalu muda lagi, melihat kehadiran Ki Gede di medan. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian pedangnya berputar dengan cepat ketika ia bergeser mendekat.

“Kau pemimpin pasukan ini?“ bertanya senapati itu.

Ki Gede memperhatikan senapati itu dengan seksama. Namun tiba-tiba ia berdesis, “Kau bukan seorang prajurit.”

“Apa pedulimu,“ jawab senapati itu, “aku memang bukan prajurit dalam arti seutuhnya. Tetapi sebagaimana kau ketahui, prajurit Pajang terdiri dari beberapa tataran. Ia prajurit karena ia memang prajurit. Tetapi ada juga prajurit yang hadir dalam keadaan tertentu. Dan aku adalah prajurit pada tataran ketiga. Aku prajurit yang mengemban tugas hanya pada saat-saat Pajang dalam keadaan yang gawat. Dalam keadaan sehari-hari, aku adalah seorang pemimpin sebuah padepokan kecil.”

Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Agaknya kekuatan pasukan Pajang kali ini sebagian besar memang tidak pada prajurit Pajang sendiri.”

“Kau salah,“ jawab senapati itu, “sebagian besar adalah prajurit Pajang dalam arti yang sebenarnya.“ Lalu katanya, “Ki Sanak. Sebaiknya kau menyadari kesalahanmu sebelum pasukanmu hancur di medan. Kau dapat menarik diri dari pertempuran ini. He, siapa kau sebenarnya?”

“Aku pengawal Mataram,“ jawab Ki Gede, “tidak ada jalan untuk menghindari benturan kekuatan. Aku kira cara ini adalah cara yang paling baik untuk membersihkan Pajang dari orang-orang seperti kau, dan barangkali masih banyak lagi orang-orang yang ingin menghancurkan Pajang dari dalam.”

“Persetan,“ geram orang itu, “dengan ini kau akan mengerti, bahwa kau telah salah langkah.”

Ki Gede tidak sempat menjawab. Pedang orang itu terjulur lurus ke dadanya.

Ki Gede sempat mengelak. Ternyata orang itu bergerak dengan cepat. Dengan loncatan panjang ia memburunya.

Tetapi langkahnya terhenti, ketika ujung tombak Ki Gede terjulur mematuk lambung senapati berpedang itu, sehingga justru senapati itu harus meloncat ke samping.

Sejenak kemudian, maka pertempuran di antara keduanyapun meningkat semakin sengit. Senjata kedua orang itupun berputar dan terayun dengan cepat. Saling membentur dan menyerang.

Ternyata Senapati Pajang itu menjadi heran melihat kemampuan Ki Gede Menoreh. Ada juga orang Mataram yang memiliki kemampuan yang dapat mengimbanginya, selain orang yang disebut Senapati ing Ngalaga dan Ki Juru Martani.

Dalam pada itu, semakin lama pertempuran itupun menjadi semakin seru. Senapati Pajang yang menurut pengakuannya adalah seorang pemimpin padepokan yang terpanggil untuk ikut dalam pertempuran melawan Mataram itu ternyata kurang mendapat penjelasan tentang tugas yang dihadapinya. Karena itu, maka ia benar-benar heran melihat satu kenyataan, bahwa orang bersenjata tombak itu tidak dapat segera dikalahkannya.

“Tumenggung Prabadaru mengakui kelebihanku ketika diadakan pendadaran untuk menentukan tingkat-tingkat kemampuan para Senapati Pajang,“ berkata orang itu di dalam hatinya. “Menurut pesannya, yang harus aku lepaskan hanya Senapati Ing Ngalaga, Ki Juru Martani dan anak muda bersenjata cambuk yang bernama Agung Sedayu, karena mereka akan mendapat lawan masing-masing. Tetapi ternyata orang tua ini memiliki ilmu yang cukup tinggi.”

Namun orang tua menjadi semakin terkejut, ketika pada saat-saat terakhir telah meningkatkan ilmunya untuk mengatasi kecepatan gerak lawannya.

“Aku harus mengerahkan segenap ilmuku untuk mengalahkannya,” berkata orang itu, “aku harus menyelesaikannya dengan cepat.”

Dengan demikian maka senapati itupun telah meningkatkan kecepatan geraknya. Pedangnya semakin garang menyerang Ki Gede. Kadang-kadang mendatar, kadang-kadang menebas.

Tetapi Ki Gede pun mampu mengimbanginya. Sekali-sekali tombaknya terjulur lurus. Sekali-sekali berputar. Tetapi pangkal landeannya yang berselut baja putihpun sangat berbahaya sebagaimana ujungnya yang tajam.

Dengan demikian maka Senapati Pajang itupun menjadi semakin heran. Keinginannya untuk mengetahui lawannyapun menjadi semakin mendesak. Sehingga karena itu maka sekali lagi ia bertanya, “Sebelum kau mati, sebut namamu.”

Ki Gede mengerutkan keningnya. Katanya sambil menghindari serangan lawannya. “Apakah namaku penting bagimu?”

“Agar aku dapat bercerita, siapa saja yang telah aku bunuh hari ini,“ jawab Senapati itu.

“Baiklah,“ jawab Ki Gede, “namaku Argapati. Dari Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ki Gede Menoreh?“ desis orang itu.

“Ya,“ jawab Ki Gede.

Orang itu mengambil jarak. Ia berusaha memandang wajah Ki Gede sekilas. Kemudian katanya, “Pantas. Kau memiliki ilmu yang tinggi sehingga kau dapat bertahan untuk beberapa saat.”

Ki Gede tidak menjawab, sementara Senapati itupun telah menyerangnya semakin garang.

“Ternyata aku bertemu dengan pemimpin Tanah Perdikan Menoreh,“ berkata Senapati itu di dalam hatinya.

Senapati itu memang pernah mendengar nama Ki Argapati dari Tanah Perdikan Menoreh. Iapun pernah mendengar bahwa Ki Argapati memiliki kelebihan. Namun ternyata bahwa pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itu benar-benar seorang yang sangat berilmu tinggi.

Karena itu, maka Senapati itu tidak lagi menahan diri. Ia sadar, bahwa untuk mengalahkan Ki Gede Menoreh, ia harus mengerahkan segenap tenaga dan pikirannya.

Dengan demikian, maka pertempuran itupun menjadi semakin dahsyat, sementara para prajurit Pajang dan para pengawal dari Tanah Perdikan Menorehpun bertempur semakin seru.

Dalam pada itu, ternyata orang-orang Pajang tidak dapat mendesak orang-orang Mataram semakin jauh. Justru orang-orang Pajang sudah berada di atas tebing, dan mendesak beberapa langkah menjauhi tebing, maka pasukan Mataram telah mengerahkan segenap kekuatan yang ada untuk menahan lawan.

Pasukan yang paling dibanggakan oleh Pajang, pasukan khusus di bawah pimpinan Ki Tumenggung Prabadaru, ternyata telah membentur pasukan khusus Mataram yang ditempa di Tanah Perdikan Menoreh. Sementara prajurit pilihan yang lain di sayap sebelah, telah berhadapan dengan prajurit Pajang di Jati Anom di bawah pimpinan Untara dengan pasukan terpilih yang dipimpin oleh Sabungsari, yang justru telah berpihak kepada Mataram.

Ki Tumenggung Prabadaru sendiri masih mengamati pasukannya dengan saksama. Ia ingin melihat kekuatan dan kelemahannya. Dengan tegang ia menyaksikan, bahwa pasukan Mataram telah berhasil menahan gerak maju pasukannya. Meskipun ia mengetahui, bahwa yang telah bergeser menghadapi pasukannya itu tentu pasukan khusus yang telah dipersiapkan oleh Mataram, namun ia tidak menduga, bahwa pasukan khusus itu dalam gelar perang mampu mengimbangi.

Namun adalah satu kenyataan, bahwa pasukannya telah dihentikan oleh pasukan khusus dari Mataram.

Sementara itu di sayap yang lain, keadaan pasukan Pajang ternyata menjadi lebih buruk. Setelah sebagian dari pasukan Pajang itu dihentak oleh pasukan Sabungsari, kemudian sebagian lagi ditelan oleh gelar Jurang Grawah yang berhasil, maka jumlah pasukan Pajang itupun susut dengan-cepat.

Namun dalam pada itu, sebenarnyalah seorang senapati yang tidak banyak dikenal, baik di antara kawan-kawannya sendiri, apalagi oleh lawannya, memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Dengan tangkasnya ia menyusup diantara pasukan Pajang untuk menemukan lawan yang dicarinya. Ia sudah berada di sayap yang lain untuk beberapa lama. Namun kemudian ia telah berpindah ke sayap itu. Namun ia belum menemukan orang yang harus dilawannya.

“Aku harus bertemu dengan orang yang bernama Sutawijaya,“ berkata orang itu, “mungkin benar kata orang di tepian itu, bahwa Sutawijaya berada di induk pasukan. Tetapi mungkin pula seperti yang dikatakannya, ia berada di seluruh medan. Ia bergeser dari satu kesatuan ke kesatuan yang lain.”

Namun dalam pada itu, ia masih tetap membatasi tata geraknya. Ia masih bertempur sebagaimana para senapati yang lain. Ia sama sekali tidak menunjukkan kelebihan yang dapat menarik perhatian.

Sementara itu, orang-orang Pajang mulai melihat satu kenyataan, bahwa pasukan Mataram memang memiliki kekuatan yang dapat dibanggakan. Orang-orang dari Mangir ternyata bukannya orang-orang padesan yang hanya mengenal cangkul dan lumpur. Di antara kekuatan yang ada di pertempuran itu, maka orang-orang Mangir memiliki kelebihan tersendiri. Mereka seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh oleh terik matahari yang menyengat tubuh. Meskipun mereka telah memeras keringat dengan mengerahkan segenap kemampuan, namun seolah-olah mereka tidak menjadi letih. Tenaga mereka masih tetap sebagaimana mereka mulai turun ke medan pertempuran.

Sedangkan orang-orang dari Pasantenan memiliki ketangkasan yang mengagumkan. Kaki mereka yang trampil dan bergerak dengan cepat, membuat lawan-lawan mereka bercerai-berai.

Dalam pada itu, maka matahari yang lelah semakin lama menjadi semakin rendah. Agaknya pada hari itu, orang-orang Pajang tidak berhasil memecahkan pertahanan pasukan Mataram sebagaimana yang mereka inginkan. Bahkan di salah satu sayapnya, mereka telah mengalami kesulitan yang berat, sementara di sayap yang lain, pasukan kebanggaan mereka telah tertahan oleh pasukan yang memang dipersiapkan untuk menghadapi pasukan dari Mataram.

Dalam pada itu, baik pasukan Pajang, maupun Mataram tidak lagi memaksa diri untuk menentukan satu akhir dari pertempuran itu. Mereka tinggal menunggu matahari itu terbenam.

Meskipun demikian, orang-orang di kedua belah pihak tidak mau menjadi korban menjelang suara sangkakala berbunyi. Karena itu, sebagian mereka masih juga bertahan dengan mengerahkan segenap kemampuan yang tersisa. Namun pertempuran memang sudah menjadi letih dan benturan senjata tidak lagi melontarkan bunga api.

Sejenak kemudian, memang terdengar suara sangkakala. Dengan demikian maka kedua belah pihakpun segera mengendorkan ketegangan di medan perang. Perlahan-lahan mereka menarik diri selangkah demi selangkah.

Swandaru yang masih memutar cambuknya berdesis perlahan. Sementara lawannya berkata geram, ”Ternyata hari ini kau diselamatkan oleh suara sangkakala itu.”

“Persetan,“ sahut Swandaru, “jika kau tidak puas, kita lanjutkan dengan perang tanding. Dengan beberapa saksi, aku tidak berkeberatan menentukan siapa di antara kita yang akan mati sebelum tengah malam.”

Wajah senapati itu menjadi merah. Sementara Swandaru berkata selanjutnya, “Dengan demikian kita tidak akan melanggar paugeran. Kau mengambil seorang saksi, aku seorang saksi dari pimpinan pasukan kita masing-masing.”

Senapati itu menggeretakkan giginya. Tetapi ia menjawab, “Kau terlalu sombong. Aku ingin membunuhmu tidak dalam perang tanding. Tetapi aku ingin membunuhmu di hadapan pasukanmu. Biarlah mereka mengetahui, bahwa pimpinannya sama sekali tidak berarti di hadapan Senapati Pajang.”

“Tetapi kau tidak mampu berbuat apa-apa hari ini,“ jawab Swandaru.

Senapati, itu menggeram. Tetapi iapun kemudian menarik dirinya bersama pasukannya.

Untuk beberapa saat Swandaru masih berdiri di tempatnya. Dipandanginya pasukan lawan yang menjauh. Kemudian menuruni tebing dan melintas Kali Opak.

Dalam pada itu, Ki Argapati mengusap kakinya yang mulai terasa nyeri. Sebagaimana biasa, jika ia mengerahkan kemampuannya maka kelemahannya yang pertama adalah pada kakinya. Tetapi karena sangkakala itu telah berbunyi, maka Ki Argapati tidak mengalami kesulitan karena kakinya itu. Sementara lawannyapun belum mengetahui bahwa Ki Argapati mengalami kesulitan.

Namun dengan demikian, Ki Argapati mendapat kesempatan menilai dirinya sendiri. Jika besok ia harus turun lagi ke medan dan bertemu sekali lagi dengan senapati itu, maka ia harus bertempur dengan cara yang berbeda. Sebagaimana ia sudah secara khusus mempelajari kemungkinan dengan ilmunya sesuai dengan cacat kakinya itu.

“Untunglah, bahwa aku masih mendapat kesempatan,“ berkata Ki Argapati di dalam hatinya.

Sementara itu, seorang Senapati Pajang yang tidak banyak dikenal di antara mereka sendiri mengumpat tidak habis-habisnya. Dengan kasar ia bergumam di mulutnya, “Aku ternyata harus bekerja dengan tikus-tikus dungu. Prabadaru ternyata tidak mampu memenuhi harapan. Apalagi Pringgajaya, Kiai Talun dan Raden Laksitapun tidak mampu berbuat banyak. Bahkan pasukan Pajang di satu sayapnya telah dihancurkan oleh pasukan Mataram dengan gelar gilanya.”

Tetapi tidak ada yang mendengar umpatan itu.

Bahkan kemudian katanya, “Besok aku harus menemukan Sutawijaya. Aku akan menunjukkan kepada orang-orang Pajang, bahwa Sutawijaya bukan orang yang pantas dihormati. Ia akan mati terkapar di antara orang-orangnya yang dungu, dan yang dengan demikian akan kehilangan keberanian mereka untuk melawan. Hadiwijaya pun hanya akan dapat menangisinya, dan ia akan ditelan oleh keragu-raguannya sendiri dan jatuh kedalam lumpur kehinaan, karena aku memang akan menghinakannya.”

Demikianlah, malam itu, ketika para prajurit Pajang sedang beristirahat, telah menjalar perintah bahwa esok pasukan Pajang harus berhasil memecahkan pertahanan orang-orang Mataram.

“Jangan hiraukan Sultan Hadiwijaya. Biarkan saja apa yang dilakukannya. Ia akan mati oleh tingkahnya sendiri,“ berkata perintah itu. Kemudian, “Langkah orang-orang Pajang hari ini pantas disesali. Kesempatan untuk memukul pasukan Mataram di sayap yang menghadapi pasukan Tumenggung Prabadaru tidak dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Pasukan yang telah terdorong mundur itu berhasil memperbaiki keadaannya dan bertahan dengan mantap.”

Tumenggung Prabadaru sendiri sadar, bahwa perintah itu tentu datang dari Kakang Panji yang tidak mau menampakkan diri dan datang langsung menemuinya.

“Ia harus melihat kenyataan itu,“ berkata Ki tumenggung Prabadaru, “aku adalah prajurit yang sebenarnya. Aku mengerti dengan pasti, apa yang terjadi di medan perang seperti yang sedang aku hadapi sekarang. Aku tidak dapat menyalahkan pasukanku. Mereka telah berbuat sebaik-baiknya. Tetapi mereka membentur kekuatan yang sepadan.”

Tidak ada yang menjawab. Ki Tumenggung Prabadaru sendiri tidak tahu, apakah di antara mereka yang mendengar kata-katanya itu akan dapat menyampaikan kepada orang yang disebutnya Kakang Panji, yang pernah di kenalnya. Namun dengan sadar Ki Tumenggung pun tahu, bahwa Kakang Panji itu dapat saja hadir dalam ujud yang lain dari yang pernah dikenalnya.

Namun demikian ia memang berharap, bahwa yang dikatakannya itu dapat didengar oleh orang yang akan dapat menyampaikan kepada Kakang Panji, atau bahkan orang itu sendiri. Karena bagaimanapun juga, Ki Tumenggung Prabadaru telah merasa melakukan kewajibannya dengan sebaik-baiknya.

“Setiap orang harus yakin, bahwa aku telah berbuat sebaik-baiknya yang dapat aku lakukan,“ berkata Ki Tumenggung Prabadaru kemudian.

T’idak ada seorangpun yang menyahut. Semuanya masih tetap berdiam diri. Sementara itu Ki Tumenggung memandangi wajah-wajah yang menegang, seolah-olah ia mencari di antara mereka, orang yang bernama Kakang Panji itu.

Tetapi Ki Tumenggung tidak dapat menemukan kesan apapun dari orang-orang yang letih itu. Karena itu, maka iapun kemudian memerintahkan orang-orangnya yang ada di sekitarnya itu untuk beristirahat.

“Kalian harus beristirahat sebaik-baiknya,“ berkata Ki Tumenggung,“ besok kita akan turun lagi ke medan dengan tenaga yang utuh dan dengan cara yang sebaik-baiknya. Tetapi jangan menyalahkan diri sendiri. Kalian sudah bekerja sejauh dapat kalian lakukan. Jangan membunuh diri di peperangan, selagi masih ada kemungkinan lain.”

Orang-orang yang sedang berkumpul itupun kemudian meninggalkan Ki Tumenggung Prabadaru yang murung. Ketika seorang kepercayaannya mendekatinya, maka katanya, ”Duduklah. Aku akan berbicara.”

Orang itupun kemudian duduk di sebelah Ki Tumenggung. Dengan kening yang berkerut ia bertanya, ”Apakah ada sesuatu yang penting Ki Tumenggung ?“

“Kau dengar perintah Kakang Panji ?“ bertanya Ki Tumenggung.

“Ya. Lewat orang-orang kepercayaannya,“ jawab orang itu.

“Ia menganggap bahwa aku, bahkan seluruh pasukan di sayap kita, telah melakukan kesalahan,“ berkata Ki Tumenggung.

“Ya. Aku sudah dengar,“ jawab orang itu pula.

“Aku tidak menerima tuduhan itu,“ jawab Ki Tumenggung.

“Sudahlah, seharusnya Ki Tumenggung tidak usah menghiraukannya. Apa yang dikatakannya, anggap saja seperti desir angin di dedaunan itu,“ jawab kepercayaan itu.

“Aku tidak dapat berbuat begitu,“ berkata Ki Tumenggung Prabadaru, “aku adalah Panglima pasukan terbaik dari Pajang. Jika pasukan terbaik itu masih dianggap terlalu buruk, maka seluruh pasukan Pajang tidak akan ada artinya. Apalgi menurut penilaianku pasukanku sudah berbuat sebaik-baiknya, bahkan paling baik yang dapat kita lakukan.”

“Ya. Kita sudah berbuat sebaik-baiknya,“ jawab kepercayaannya itu, “karena itu, jangan hiraukan. Nampaknya orang itu melihat medan dalam keseluruhan. Menurut pendengaranku, pasukan di sayap lain mengalami keadaan yang sangat buruk. Nampaknya Senapati Pajang di Jati Anom, yang kemudian berkhianat itu, memiliki kemampuan yang tinggi. Bukan kemampuan olah kanuragan secara pribadi, tetapi perhitungannya sangat cermat dan semua rencananya nampaknya berhasil dengan baik.”

“Jika kegagalan itu terjadi di tempat lain, jangan menyalahkan pasukanku. Pasukan terbaik yang ada di pihak Pajang. Tanpa pasukanku, Pajang tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap pasukan Mataram yang ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa. Apalagi nampaknya Kanjeng Sultan tidak berbuat apa-apa,“ geram Ki Tumenggung Prabadaru.

Kepercayaan Ki Tumenggung Prabadaru yang duduk di sebelahnya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut. Ia mengerti bahwa Ki Tumenggung Prabadaru benar-benar merasa tersinggung ketika pasukan khususnya seolah-olah dianggap kurang baik.

Bahkan Ki Tumenggung itupun kemudian berkata, “Aku mengerti bahwa Kakang Panji adalah orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tetapi akupun tahu, bahwa Kakang Panji belum tahu kemampuan Prabadaru yang sebenarnya. Seandainya tidak ada orang yang disebut Kakang Panji, maka aku kira kekuatan pasukan Pajang yang siap untuk membangun Pajang menjadi satu negara besar seperti Majapahit itupun tidak akan berkurang.”

Kepercayaannya itu menarik nafas pula untuk menahan gejolak perasaannya. Namun kemudian katanya, “Ki Tumenggung. Peperangan ini baru mulai. Mungkin peperangan ini akan berlangsung tidak hanya sepekan saja. Tetapi lebih dari itu. Sementara itu, kita sudah mulai saling tidak percaya. Maka dalam saat-saat mendatang, dimana tubuh kita menjadi semakin letih dan kawan-kawan kita semakin banyak yang gugur, maka perasaan kita akan menjadi lebih mudah tersinggung.”

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Aku akan berjuang sampai orangku yang terakhir dan bahkan nafasku yang terakhir. Tetapi aku tidak mau orang lain menilai perjuanganku dengan sudut pandangannya yang terlalu mementingkan diri sendiri. Sementara itu, kami masih berteka-teki tentang sikap Kanjeng Sultan yang menurut beberapa orang menjadi semakin parah. Menurut pendengaranku, Kanjeng Sultan hari ini sudah berusaha naik ke punggung gajahnya. Tetapi oleh satu sebab, maka beberapa orang menasehatkan agar niat itu diurungkan. Hampir saja Kanjeng Sultan terjatuh dari punggung gajah itu.”

“Ya,“ jawab kepercayaannya, “tetapi Kanjeng Sultan berkeras untuk maju. Mungkin besok Kanjeng Sultan akan maju langsung menghadapi orang-orang Mataram yang telah memberontak itu.”

“Besok kita patahkan pertahanan orang-orang Mataram,“ berkata Ki Tumenggung Prabadaru, “tetapi aku tidak mau diperintah seperti budak.”

Kepercayaannya sama sekali tidak menjawab. Dipandanginya saja lampu minyak yang masih menyala di beberapa tempat. Sementara dari tempatnya duduk, ia melihat malam yang semakin gelap.

“Seharusnya Ki Tumenggungpun beristirahat,“ berkata kepercayaannya itu.

“Aku akan beristirahat di antara anak-anak di bawah pohon nyamplung itu. Nampaknya udara terasa segar di luar daripada di dalam rumah-rumah yang kita pergunakan ini,“ berkata Ki Tumenggung Prabadaru.

Kepercayaannya itu hanya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih juga cemas, bahwa Ki Tumenggung akan mengatakan gejolak perasaannya itu kepada setiap orang. Karena itu katanya, “Tetapi anak-anak itu sudah tidur nyenyak.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar