Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 159

Buku 159

“Apa katanya ketika senapati itu menemuimu?” bertanya seorang kawannya.

“Ia hanya mengatakan agar kami mengikutinya. Ia ingin menunjukkan satu bukti tentang kemampuan para pelatih di dalam lingkungan pasukan khusus ini,” jawab anak muda itu.

“Tetapi sebenarnya kami sudah menjadi curiga,” berkata anak muda yang lain, “apalagi ketika kami melihat sikapnya. Sekali-sekali ia menyebut nama Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang terlalu di besar-besarkan oleh anak-anak muda di dalam barak ini, sehingga para pemimpin yang lain kurang mendapat perhatian mereka.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk, sementara seorang di antara mereka bertanya, “Apa yang sudah dikerjakannya kemudian?”

Seorang di antara ketiga orang anak muda yang menyaksikan peristiwa di pategalan itupun telah menceritakan serba sedikit, apa yang telah terjadi. Kedua kawannya kadang-kadang menyambung untuk melengkapinya. Sehingga akhirnya anak-anak muda itupun telah mendengar kenyataan yang telah terjadi.

“Tetapi senapati muda itu bersikap jujur,” berkata salah seorang anak muda yang menyaksikannya, “ia menerima kekalahannya. Nampaknya ia tidak mendendam, meskipun ada juga perasaan kecewa tentang dirinva sendiri.”

“Apakah benar ia tidak mendendam?” bertanya kawannya yang lain.

“Aku kira tidak,” jawab anak muda yang menyaksikan peristiwa itu.

“Atau hanya karena Ki Lurah hadir pada waktu itu?” bertanya yang lain.

“Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Ki Lurah menjadi saksi. Jika terjadi sesuatu, maka Ki Lurah akan cepat mengetahuinya,” jawab anak muda yang menyaksikannya.

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi mereka memang berharap agar senapati itu tidak mendendam, sehingga tidak akan terjadi sesuatu yang lebih keras pada saat-saat mendatang.

Dalam pada itu, cerita tentang peristiwa itu telah dengan cepat menjalar dari mulut ke mulut. Bahwa senapati muda itu membawa tiga orang di antara anak-anak muda dari pasukan khusus itu, memang sudah diperhitungkannya. Dengan kehadiran mereka, maka apa yang terjadi di pategalan itu akan segera tersebar. Tetapi sudah tentu bahwa maksudnya adalah berita tentang kemenangannya atas Sekar Mirah, sehingga anak-anak muda di barak itu mengetahui, bahwa ia adalah seorang pemimpin yang paling baik. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Justru Sekar Mirah-lah yang menjadi semakin dikagumi oleh anak-anak muda di dalam barak itu.

Sebenarnyalah, bahwa dengan demikian, anak-anak muda itu menjadi semakin hormat kepada Sekar Mirah. Mereka tidak lagi menganggap kehadiran Sekar Mirah sebagai sesuatu yang aneh.

Namun dalam pada itu, ternyata bahwa senapati muda itu benar-benar seorang prajurit. Ia mengakui kekalahannya, sebagaimana sudah terjadi. Meskipun ada juga perasaan kecewa dan tersinggung, tetapi ia berhasil menekannya dengan sikap seorang senapati yang jujur.

Dalam pada itu, di hari berikutnya, Agung Sedayu sempat menemui Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita yang berada di rumah Ki Gede. Dengan jelas ia menceritakan apa yang telah terjadi. Latar belakangnya dan peristiwanya itu sendiri.

Kedua orang tua itu hanya dapat mengangguk-angguk sambil menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya merekapun merasa heran atas sikap kasar senapati muda itu. Tetapi untunglah bahwa ia kemudian mengerti tentang kedudukannya dan sikapnyapun cukup terpuji.

“Nampaknya senapati itu tidak akan berbuat apapun,” berkata Agung Sedayu.

“Syukurlah,” sahut Ki Gede, “dengan demikian iapun telah bersikap jantan. Dan aku percaya, bahwa para senapati di bawah Raden Sutawijaya, akan bersikap seperti itu.”

“Meskipun demikian,” sambung Ki Waskita, “kau harus tetap berhati-hati. Bukan karena senapati muda itu akan mendendam, namun terutama Sekar Mirah. Jangan jatuh ke dalam satu sikap yang akan benar-benar dapat disebut sombong karena kemenangannya itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya Ki Waskita. Aku akan berusaha untuk mengekang gejolak perasaannya yang kadang-kadang melonjak-lonjak.”

Dalam pada itu, sepeninggal Agung Sedayu yang kemudian bersama Sekar Mirah pergi ke barak pasukan khusus itu, Ki Waskita dan Ki Gede masih sempat berbincang sejenak. Keduanya memang sudah mengira bahwa sikap semacam itu memang akan dapat timbul, meskipun ujudnya tidak sekasar itu. Namun agaknya hal itu memang sudah terjadi.

“Tetapi ada juga baiknya bahwa hal itu dengan cepat terjadi,” berkata Ki Waskita, “dengan demikian segalanya menjadi jelas.”

“Agaknya Ki Lurah Branjangan pun mempunyai perhitungan yang demikian sehingga ia tidak mencegah perkelahian itu berlangsung terus ketika ia datang,” sahut Ki Gede. Lalu, “Bagi Ki Lurah, peristiwa yang demikian memang sebaiknya terjadi di bawah pengamatannya langsung. Sehingga kemungkinan-kemungkinan yang tidak dikehendaki akan dapat dikurangi sampai sekecil-kecilnya.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun ia kemudian bergumam, “Aku mengenal Sekar Mirah. Karena itu sebenarnya aku menjadi cemas. Mudah-mudahan Agung Sedayu benar-benar dapat mengekangnya.”

“Itulah yang perlu diperhatikan kemudian,” sahut Ki Gede, “agaknya kita harus selalu ikut membantu Agung Sedayu mengamatinya. Setiap kali kita harus bertanya kepada anak muda itu tentang sikap dan tingkah laku Sekar Mirah dalam barak pasukan khusus itu, agar tidak menumbuhkan persoalan-persoalan yang lain.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Ia memang sependapat dengan Ki Gede untuk ikut serta mengamati sikap Sekar Mirah selanjutnya, agar ia tidak terperosok ke dalam satu keadaan yang tidak menguntungkan, bukan saja bagi Sekar Mirah, tetapi juga bagi Agung Sedayu.

Dalam pada itu, di perjalanan menuju ke barak pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh, nampaknya Sekar Mirah masih juga merasa jengkel terhadap seorang anak yang membantu di rumahnya. Semalam, anak itu kembali lewat tengah malam. Tanpa merasa bersalah anak itu mengetuk pintu dan kemudian setelah dibuka oleh Agung Sedayu, iapun segera masuk ke ruang dalam sambil bercerita tentang pliridan.

“Kau dari sungai?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Aku membuat pliridan bersama dua orang kawan. Lihat, aku mendapat banyak ikan wader pari. Dua ekor lele dan seekor kotes yang besar. Besok pagi-pagi aku akan menggorengnya. Cukup untuk makan pagi kita bertiga.”

“Makanlah sendiri,” sahut Sekar Mirah dari dalam biliknya.

Anak itu terkejut. Namun kemudian Agung Sedayu mengelus kepalanya sambil berkata, “Tidurlah. Kau boleh pergi ke sungai. Tetapi kau selesaikan dahulu pekerjaanmu.”

“Pekerjaan yang mana? Aku sudah menyapu halaman. Aku sudah merebus air, dan aku sudah mengisi jambangan.” jawab anak itu.

“Tetapi kau belum menyalakan lampu,” jawab Agung Sedayu, ” apalagi rumah ini jangan terlalu sering ditinggal.”

“Kenapa? Bukankah tidak ada barang-barang berharga di rumah ini yang mungkin akan dapat diambil orang? Di sini jarang sekali ada pencuri,” jawab anak itu.

“Memang tidak ada barang-barang berharga, karena kami memang tidak mempunyainya. Tetapi jika barang-barang yang tidak berharga ini juga dibawanya, maka kita tidak mempunyai apa-apa lagi. Sama sekali.”

Anak itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Sore tadi aku menunggu terlalu lama. Kalian belum juga kembali. Kawan-kawanku sudah menunggu. Padahal biasanya kalian tidak pernah pulang terlalu malam.”

“Sekali-sekali kami mempunyai keperluan yang tiba-tiba harus kami selesaikan. Justru dalam keadaan seperti itu, kau jangan pergi. Apalagi lampu masih belum menyala.”

Anak itu masih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Aku mengerti.”

Hampir saja semalam Sekar Mirah meloncat bangkit dan menarik telinga anak itu. Untunglah ia masih berusaha bersabar, karena dengan demikian, maka ia akan dapat menyinggung perasaan orang tua anak itu. Namun ia benar-benar menjadi jengkel karenanya.

Karena itu, hampir di luar sadarnya, justru karena ia selalu mengingat-ingat tingkah laku anak itu, iapun berkata, “Kakang, apakah kau masih tetap berkeinginan mengambil Glagah Putih?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan heran ia bertanya, “Kenapa tiba-tiba saja kau menyebut Glagah Putih?”

“Aku jengkel terhadap anak itu. Jika ada Glagah Putih, mungkin sikapnya akan lain. Dan rumah kitapun tidak akan terlalu sering kosong seperti sekarang ini. Anak itu sama sekali tidak mengerti, bahwa ia mempunyai tanggung jawab pula atas rumah itu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian iapun mengangguk-angguk.

“Aku sebenarnya sependapat,” berkata Agung Sedayu kemudian, “tetapi yang pernah aku katakan, aku tidak dapat segera mengambilnya. Mungkin dalam waktu beberapa pekan lagi, sehingga aku sudah cukup lama bertugas setelah aku meninggalkan barak itu untuk waktu yang agak lama.”

“Bukankah kau tidak terlalu terikat dengan tugas-tugasmu di barak itu?” bertanya Sekar Mirah.

“Kau benar. Tetapi ada keseganan untuk berbuat demikian,” berkata Agung Sedayu, “apalagi mengingat kepentingan anak-anak muda dalam pasukan khusus itu. Mereka dalam waktu dekat harus dipersiapkan dengan masak untuk benar-benar menjadi seorang pengawal dalam pasukan khusus yang tangguh di segala macam medan.”

“Kakang,” berkata Sekar Mirah, “bukankah sekarang ada aku? Aku akan dapat melakukan tugas-tugas itu. Kau tentu mendapat ijin Ki Lurah untuk barang satu dua hari meninggalkan barak itu. Hanya satu atau dua hari saja.”

Agung Sedayu merenungi kata-kata itu. Ia memang hanya memerlukan waktu satu atau dua hari. Bahkan jika ia berniat, maka menjelang fajar ia berangkat, sebelum tengah malam ia sudah akan berada di Tanah Perdikan itu kembali. Jika Glagah Putih belum siap, maka ia akan dapat bermalam satu malam.

Sejenak kemudian Agung Sedayu itupun mengangguk-angguk. Glagah Putih tentu akan bergembira jika Ki Widura mengijinkannya.

“Tetapi agaknya Paman juga tidak akan berkeberatan,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Ternyata di sepanjang jalan ke barak pasukan khusus itu, Agung Sedayu merenungi rencananya itu. Bahkan kemudian ia seolah-olah bergumam kepada diri sendiri, “Ya. Aku akan pergi ke Jati Anom.”

“Bagus,” sahut Sekar Mirah, “kapan Kakang merencanakan akan berangkat?”

“Aku akan berbicara dengan Ki Lurah. Jika Ki Lurah setuju untuk satu atau dua hari kau bertugas sendiri, maka segera aku dapat berangkat,” jawab Agung Sedayu.

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Jika ada Glagah Putih, rumah kita tentu tidak akan terasa sangat sunyi.”

Demikianlah, sebagaimana direncanakan di sepanjang jalan itu, maka Agung Sedayu pun kemudian telah menemui Ki Lurah Branjangan untuk menyatakan niatnya.

“Hanya satu atau dua hari saja. Biarlah dalam satu atau dua hari itu Sekar Mirah melakukan tugasku,” berkata Agung Sedayu.

Ki Lurah sebenarnya agak keberatan. Baru beberapa saat Agung Sedayu meninggalkan barak itu, ketika ia melangsungkan perkawinannya. Tetapi Ki Lurah pun tidak ingin membuat Agung Sedayu kecewa, karena tenaganya masih sangat dibutuhkan.

Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Ki Lurah adalah berpesan dengan sungguh-sungguh agar Agung Sedayu tidak meninggalkan barak lebih dari dua hari.

“Kita sedang menghadapi kerja yang berat,” berkata Ki Lurah.

“Aku mengerti Ki Lurah,” jawab Agung Sedayu, “sementara aku pergi, Sekar Mirah akan dapat melakukan tugasnya meskipun sendiri. Aku akan dapat berpesan kepadanya apa saja yang perlu dilakukannya. Ia memiliki kemampuan, sehingga apabila diarahkan, maka ia akan dapat memberikan bimbingan sebagaimana aku lakukan.”

“Tentu berbeda Agung Sedayu,” jawab Ki Lurah, “Sekar Mirah memang memiliki kemampuan ilmu kanuragan. Tetapi bagi dirinya sendiri. ”

“Ia sudah belajar, bagaimana ia dapat menuangkan ilmunya itu kepada orang lain, meskipun dalam arti yang sempit. Berbeda dengan sebagaimana dilakukan oleh gurunya kepadanya,” jawab Agung Sedayu.

“Sudah tentu. Dalam barak ini, olah kanuragan diberikan secara umum. Tidak secara khusus sebagaimana dilakukan di dalam perguruan-perguruan,” jawab Ki Lurah.

“Untuk itu, Sekar Mirah akan dapat melakukannya,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Ki Lurah mengangguk-angguk. Ia memang tidak dapat ingkar, bahwa Agung Sedayu tentu sudah memberikan beberapa pesan kepada Sekar Mirah, sehingga Sekar Mirah akan dapat berlaku sebagaimana Agung Sedayu dapat melakukan, meskipun dalam keterbatasan.

Dengan persetujuan Ki Lurah, maka Agung Sedayu memutuskan untuk pergi ke Jati Anom pada keesokan harinya. Karena itu, maka ketika mereka kembali dari barak, maka Agung Sedayu pun segera pergi ke rumah Ki Gede untuk memberitahukan rencananya.

“Aku tidak berkeberatan,” berkata Ki Gede, “bahkan aku akan senang sekali menerima Angger Glagah Putih di antara anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh. Ia akan dapat berbuat banyak, sebagaimana pernah dilakukan oleh Angger Agung Sedayu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun terasa juga sentuhan pada perasaannya, seolah-olah Ki Gede mengatakan bahwa yang dilakukan oleh Agung Sedayu kini sudah jauh susut dibandingkan dengan saat-saat ia datang. Tetapi itu adalah satu kenyataan. Bukan saja karena ia sudah kawin. Tetapi barak pasukan khusus itupun telah merampas sebagian besar dari waktunya.

Tetapi Agung Sedayu berjanji kepada diri sendiri, sesudah ia kembali dari Jati Anom maka ia akan memberikan waktunya lebih banyak lagi kepada Tanah Perdikan Menoreh, sehingga kehadirannya di Tanah Perdikan itu tidak akan sia-sia.

Namun dalam pada itu, Ki Waskitapun berkata, “Sebaiknya kau jangan pergi sendiri Agung Sedayu. Aku akan menemanimu. Nampaknya perjalanan tanpa seorang kawanpun tidak akan menarik. Tidak ada orang yang akan dapat diajak berbicara tentang apapun juga.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Aku akan sangat berterima kasih, jika Paman bersedia pergi bersamaku ke Jati Anom.”

“Sekedar untuk kawan berbincang. Jika kepergian kita itu kita lakukan dengan tiba-tiba, tentu hambatan akan dapat dikurangi,” berkata Ki Waskita kemudian.

Sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita. Jika mereka pergi tanpa banyak orang yang mengetahuinya, maka perjalanan mereka tidak akan mengalami hambatan. Tidak ada pihak-pihak yang memanfaatkan kesempatan untuk melepaskan dendam dengan memotong perjalanan itu.

Setelah rencana itu disetujui bersama, maka Agung Sedayu pun kemudian kembali ke rumahnya untuk memberitahukan rencana itu kepada istrinya, bahwa Ki Waskita pun akan pergi pula bersamanya.

“Syukurlah,” berkata Sekar Mirah, “kau akan mendapat kawan di perjalanan Kakang. Bukan saja kawan mengusir kesepian di perjalanan, tetapi dalam keadaan yang gawat, akan dapat banyak memberikan bantuan.”

Demikianlah, di keesokan harinya, Agung Sedayu pun telah bersiap-siap. Setelah makan pagi, maka iapun minta diri kepada Sekar Mirah untuk berangkat. Ia akan singgah di rumah Ki Gede, dan kemudian bersama Ki Waskita menuju ke Jati Anom.

Beberapa macam pesan telah disampaikannya kepada Sekar Mirah. Bagaimana ia harus menghadapi anak-anak muda di barak itu. Bagaimana jika ia berhadapan dengan senapati muda yang telah menjajagi ilmunya, yang ternyata adalah seorang laki-laki yang tanggon dan jujur. Dan bagaimana ia menjaga rumah mereka. “Jika kau memerlukan satu petunjuk tentang apapun, maka kau dapat menghadap Ki Gede,” berkata Agung Sedayu.

“Ya, Kakang. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang dapat menimbulkan persoalan sepeninggal Kakang,” jawab Sekar Mirah.

“Hati-hatilah,” berkata Agung Sedayu ketika ia sudah sampai di regol halaman rumahnya, “segala sesuatu yang menyangkut persoalan Tanah ini dan persoalan diri sendiri, hubungilah Ki Gede. Sedangkan yang menyangkut barak dan anak-anak muda dari pasukan khusus itu, kau harus selalu melaporkannya kepada Ki Lurah. Jangan cepat mengambil sikap sendiri.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata, “Jangan cemas Kakang. Aku akan belajar mengekang diri sendiri.”

Agung Sedayu pun tersenyum pula. Namun kemudian iapun berkata, “Baiklah. Selamat tinggal.”

Sekar Mirah melambaikan tangannya ketika kuda Agung Sedayu mulai bergerak. Sekar Mirah berdiri di regol halaman rumahnya sampai Agung Sedayu hilang di tikungan.

Sejenak kemudian, maka iapun mulai berkemas. Ia akan pergi ke barak seorang diri pada hari itu, dan mungkin di keesokan harinya pula.

Ternyata Sekar Mirah agak malas berjalan seorang diri pergi ke barak. Karena itu, maka iapun telah menyiapkan kudanya. Ia akan pergi ke barak dengan berkuda, Dengan demikian, maka ia tidak akan terlalu lama berada di perjalanan seorang diri.

Dalam pada itu, maka Agung Sedayu pun telah sampai di rumah Ki Gede Menoreh. Ternyata Ki Waskita pun telah bersiap pula, dan bahkan telah makan pagi pula. Karena itu, ketika kuda Agung Sedayu memasuki regol, maka Ki Waskita berdiri di tangga pendapa sambil berkata, “Nah, apakah kau akan duduk dahulu, atau kita akan segera berangkat?”

Agung Sedayu yang menuntun kudanya mendekati Ki Waskita menyahut, “Kita akan terus saja berangkat Paman.”

“Baiklah. Kita minta diri kepada Ki Gede,” sahut Ki Waskita.

Ternyata Ki Gede pun telah berada di pendapa pula. Karena itu, maka iapun turun tangga pendapa sambil berkata, “Baiklah. Jika kalian ingin berangkat, mumpung hari masih pagi, silahkan. Tetapi besok kalian harus sudah berada di Tanah Perdikan ini kembali.” 

Agung Sedayu mengangguk sambil tersenyum. Jawabnya, “Ya Ki Gede, besok aku sudah berada di Tanah Perdikan ini. Mudah-mudahan tidak ada kesulitan di perjalanan.”

“Tuhan akan melindungi kalian,” berkata Ki Gede.

Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah siap untuk berangkat. Keduanya menuntun kuda mereka sampai di regol bersama Ki Gede yang mengantar mereka. Ketika keduanya telah berada di luar regol, maka keduanyapun segera meloncat ke punggung kuda, sementara Ki Waskita berkata, “Sudahlah Ki Gede. Kami mohon diri.”

“Selamat jalan,” berkata Ki Gede kemudian.

Keduanyapun mengangguk-angguk. Ketika kuda-kuda mereka mulai bergerak, keduanya mengangkat tangan mereka. Terdengar Ki Waskita berkata, “Selamat tinggal. Besok kita bertemu lagi.”

“Aku mohon titip Sekar Mirah,” berkata Agung Sedayu.

“Baik Ngger. Aku akan menjaganya, meskipun sebenarnya itu tidak perlu. Tetapi aku akan mengamatinya,” jawab Ki Gede.

Ki Gede pun mengangkat tangannya pula ketika kuda itu mulai berlari meninggalkan regol rumah Ki Gede di Tanah Perdikan Menoreh.

Sementara itu, dari balik seketheng, seseorang mengamati keberangkatan Agung Sedayu dan Ki Waskita. Sejenak ia mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk sambil tersenyum.

“Perjalanan yang manis,” desisnya.

Sejenak kemudian, orang itupun hilang di longkangan, sehingga ketika Ki Gede melintasi halaman menuju ke pendapa, ia sama sekali tidak tahu, bahwa ada seseorang yang mengamati keberangkatan Agung Sedayu dengan saksama. Karena itu, maka iapun tidak berbuat sesuatu. Apalagi ia menganggap bahwa Agung Sedayu dan Ki Waskita adalah dua orang yang pilih tanding. Sedangkan perjalanan mereka tidak banyak orang yang mengetahuinya. Sementara yang ditinggalkan di rumahpun adalah seorang istri yang lain dengan kebanyakan perempuan.

Tetapi Ki Gede tidak mengetahui, bahwa ada persoalan lain yang dapat tumbuh di saat Agung Sedayu meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Persoalan yang sama sekali tidak diduganya sebelumnya.

Sesaat setelah Agung Sedayu meninggalkan rumah Ki Gede ke arah daerah penyeberangan melintasi Kali Praga, maka seseorang telah meninggalkan regol halaman rumah Ki Gede menuju ke arah yang lain.

Seorang anak muda yang berkuda cukup kencang telah menuju ke rumah Agung Sedayu. Namun ketika anak muda itu mendekati regol halaman rumahnya, maka iapun segera memperlambat langkah kudanya. Semakin dekat dengan regol halaman rumah itu, hatinyapun menjadi semakin berdebar-debar.

Namun tiba-tiba saja darahnya bagaikan berhenti mengalir ketika ia melihat seekor kuda muncul dari balik regol. Di luar sadarnya ia mengumpat di dalam hatinya, “Anak iblis. Kenapa Agung Sedayu singgah pula ke rumahnya.”

Tetapi ia sudah berada beberapa langkah saja dari regol halaman rumah Agung Sedayu itu, sehingga ia tidak dapat berkisar sama sekali, apalagi berbalik dan meninggalkan regol itu.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja ia menarik nafas dalam-dalam. Yang berkuda keluar dari regol halaman rumah itu bukan Agung Sedayu. Tetapi Sekar Mirah.

“Sekar Mirah,” ia berdesis.

Sekar Mirah yang keluar dari regol halaman rumahnya di atas punggung kuda itu berpaling. Iapun kemudian tersenyum pula sambil menyapa, “Prastawa. Kau akan pergi kemana?”

“Aku lewat di jalan ini secara kebetulan. Aku akan pergi ke padukuhan sebelah untuk melihat-lihat anak-anak muda yang sedang memperbaiki parit yang bobol kemarin,” jawab Prastawa.

“O. Silahkan,” berkata Sekar Mirah.

“Kau akan pergi ke mana?” bertanya Prastawa pula.

“Aku akan pergi ke barak. Kakang Agung Sedayu pergi ke Jati Anom untuk sehari ini. Aku terpaksa pergi sendiri ke barak dan menggantikan tugasnya,” jawab Sekar Mirah.

Prastawa mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Sekar Mirah adalah seorang perempuan yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itulah agaknya maka ia bertugas di barak pasukan khusus itu pula sebagaimana Agung Sedayu.

“Jadi Agung Sedayu sudah berangkat?” bertanya Prastawa.

“Ya. Belum terlalu lama,” jawab Sekar Mirah. “Bukankah ia singgah dirumah Ki Gede?”

“Ya, ya. Mungkin. Aku tidak melihatnya,” jawab Prastawa. Lalu, “Sebenarnya aku mempunyai keperluan dengan Agung Sedayu.”

“Besok ia kembali,” jawab Sekar Mirah.

“Aku memerlukan pertimbangannya tentang padukuhan sebelah. Jika kau dapat menggantikan kedudukannya di barak itu, setidak-tidaknya membantunya, apakah kau dapat berbuat seperti itu bagi Tanah Perdikan Menoreh?” bertanya Prastawa.

“Tentu. Aku akan bersedia berbuat sesuatu jika aku dapat melakukannya,” jawab Sekar Mirah.

“Jika demikian, kita akan dapat berbincang sejenak. Apakah aku boleh singgah?” bertanya Prastawa.

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Dipandanginya Prastawa sekilas. Ia melihat senyum di bibir anak muda itu. Senyum yang sudah terlalu sering dilihatnya.

Namun di luar dugaan Prastawa, Sekar Mirah menjawab, “Sayang Prastawa. Sebenarnya aku juga ingin mempersilahkan kau singgah. Tetapi aku harus pergi ke barak. Aku tidak mau terlambat, karena aku tidak ingin memberikan contoh yang kurang baik bagi anak-anak muda dalam pasukan khusus itu.”

Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kesan, bahwa sikap Sekar Mirah telah berubah. Beberapa waktu yang lampau, ia dapat mengajak Sekar Mirah mengelilingi Tanah Perdikan Menoreh. Seakan-akan ia melihat bahwa hati Sekar Mirah bagaikan pintu yang selalu terbuka.

Namun pintu itu kini sudah tertutup.

Sambil berdesah Prastawa berkata di dalam hatinya, “Ia memang sudah kawin.”

Namun dalam pada itu, Prastawa masih juga berkata, “Baiklah. Jika kau tergesa-gesa, marilah, kita pergi bersama-sama.”

“Arah kita berbeda,” jawab Sekar Mirah, “silahkan pergi dahulu. Aku akan mengambil jalan memintas.”

Terasa jantung Prastawa berdegub. Namun iapun kemudian menyadari bahwa sebagai pengantin yang belum terlalu lama, maka ia tentu masih terikat kepada suasana yang khusus.

Karena itu, maka Prastawa pun kemudian berkata, “Baiklah Sekar Mirah. Aku akan pergi dahulu. Mungkin sore nanti aku akan singgah.”

“Tidak banyak artinya Prastawa,” jawab Sekar Mirah, “bukan aku menolak kehadiranmu. Apalagi kau adalah kemenakan Ki Gede. Tetapi sebaiknya kau datang esok jika Kakang Agung Sedayu ada di rumah. Dengan demikian kita akan dapat berbicara panjang tentang persoalan yang sedang terjadi di Tanah Perdikan ini.”

Prastawa menarik nafas panjang. Kemudian jawabnya, “Baiklah. Pada saatnya aku akan menemui Agung Sedayu.”

Sejenak kemudian Prastawa pun meninggalkan Sekar Mirah yang masih berada di punggung kudanya. Beberapa langkah kemudian ia masih sempat berpaling. Tetapi ternyata bahwa Sekar Mirah sudah menghadap ke arah yang lain. Sekar Mirah pun mulai menggerakkan kendali kudanya menuju ke arah yang berlawanan.

“Perempuan yang tinggi hati,” berkata Prastawa kepada diri sendiri, “ia terlalu bangga menjadi istri Agung Sedayu, sehingga sikapnya menjadi sombong. Tetapi pada suatu saat ia akan tahu, siapakah Prastawa itu.”

Sejenak kemudian Prastawa pun telah mendera kudanya untuk berlari lebih kencang lagi. Sementara itu Sekar Mirah pun telah bergerak menuju ke barak lewat jalan lain dari jalan yang dilalui oleh Prastawa.

Sementara itu Prastawa masih saja bergumam, “Sebenarnya Sekar Mirah dapat juga menempuh jalan ini menuju ke barak. Bahkan jalan ini adalah jalan yang lebih baik. Agaknya ia memang sengaja menghindari perjalanan bersama aku.”

Sebenarnyalah Sekar Mirah memang menghindari perjalanan bersama Prastawa. Ia sadar, bahwa suaminya justru tidak sedang berada di rumah, sehingga nampaknya tentu akan kurang baik jika ia pergi bersama Prastawa, yang pada masa gadisnya pernah berhubungan agak rapat meskipun masih dalam batas-batas tertentu. Tetapi yang hubungan itu pernah menarik perhatian Pandan Wangi dan Swandaru, sehingga keduanya pernah mempersoalkannya secara khusus.

Sejenak kemudian, maka Sekar Mirah pun telah berpacu di bulak panjang menuju ke barak pasukan khusus di Tanah Perdikan itu.

Dalam pada itu, terasa perasaan Prastawa memang tersinggung oleh sikap Sekar Mirah. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu, karena ia sadar bahwa Sekar Mirah memiliki ilmu yang luar biasa, sebagaimana Agung Sedayu sendiri.

“Hanya karena Agung Sedayu mempunyai pengaruh di barak pasukan khusus itu, ia menjadi sangat sombong,” berkata Prastawa di dalam hatinya, “ia tidak mau menerima aku untuk singgah barang sejenak. Bahkan berkuda bersamapun ia sama sekali tidak bersedia.”

Di luar sadarnya Prastawa menggeretakkan giginya. Namun kemudian katanya, “Tetapi suasana itu tidak akan lama. Pada saatnya ia menjadi kecewa. Agung Sedayu bukan orang yang tepat bagi Sekar Mirah.”

Prastawa pun kemudian memacu kudanya di sepanjang bulak panjang. Tetapi karena ia tidak mempunyai tujuan tertentu, maka akhirnya kudanya itupun telah melingkar kembali menuju ke padukuhan induk, dan akhirnya memasuki regol rumah Ki Gede kembali.

“Kau dari mana?” bertanya seorang bebahu Tanah Perdikan.

“Sekedar melihat keadaan, Paman,” jawab Prastawa.

Bebahu itu tidak bertanya lagi. Tetapi ia menjadi agak heran bahwa sepagi itu Prastawa telah sempat melihat-lihat keadaan.

Sementara itu, Sekar Mirah pun telah berada di barak. Setelah mengikat kudanya di tempat yang tersedia, maka iapun langsung pergi ke tempat tugasnya, yang biasa dilakukannya bersama Agung Sedayu. Tetapi karena Agung Sedayu tidak ada di Tanah Perdikan, maka Sekar Mirah telah melakukannya sendiri.

Sebenarnya ia agak cemas juga menghadapi senapati muda yang telah dikalahkannya. Justru karena Agung Sedayu tidak ada. Jika ia mendendam, maka ia akan dapat mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Meskipun seorang dengan seorang Sekar Mirah sama sekali tidak gentar, tetapi senapati muda itu akan dapat berbuat banyak.

Namun ternyata bahwa kecemasan itu tidak beralasan. Senapati muda itu benar-benar bersikap jujur. Ia sama sekali tidak mendendam. Bahkan sikapnya wajar seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.

Karena itu, maka Sekar Mirah pun dapat melakukan tugasnya sebaik-baiknya, sebagaimana dipesankan oleh Agung Sedayu.

Pada saat Sekar Mirah sibuk di barak pasukan khusus, maka Agung Sedayu dan Ki Waskita telah menempuh perjalanan yang cukup panjang. Mereka telah menyeberangi Kali Praga dengan selamat. Tidak ada seorangpun yang mengganggunya. Apalagi perjalanan Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak banyak diketahui orang, karena mereka melakukannya seolah-olah tanpa direncanakan lebih dahulu.

Keduanya memang menghindari jalan yang melintasi Mataram, agar mereka tidak usah singgah. Meskipun hanya sebentar, namun dengan demikian waktu mereka akan tersita. Sehingga karena itu, maka keduanya telah memilih jalan lain.

Tidak banyak yang terjadi di perjalanan. Kecuali debu yang mengotori tubuh, maka segalanya berjalan dengan lancar.

Meskipun demikian, mereka memerlukan berhenti untuk beristirahat di pinggir Kali Opak. Sambil memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka beristirahat dan makan rerumputan segar, maka keduanya membersihkan diri dari debu yang melekat.

Dalam pada itu, ternyata jalan yang melintasi Kali Opak itupun cukup ramai. Beberapa orang hilir mudik melintasi sungai yang tidak terlalu deras, meskipun cukup lebar. Di saat sungai itu tidak banjir, maka orang-orang yang melintas dapat langsung menyeberang tanpa mempergunakan rakit. Tetapi jika saatnya hujan turun di lereng Gunung, maka arus sungai itupun menjadi kian besar, sehingga seseorang yang ingin menyeberanginya harus mempergunakan rakit seperti mereka yang menyeberangi Kali Praga.

Agung Sedayu dan Ki Waskita kemudian duduk beberapa puluh langkah dari jalur penyeberangan. Mereka menunggu sampai kuda mereka menjadi kenyang.

Ternyata bahwa arus lalu lintas jalan itu, masih belum banyak dipengaruhi oleh suasana hubungan antara Mataram dan Pajang yang menjadi semakin buram. Nampaknya jalan itu masih tetap ramai. Beberapa buah pedati telah melewati jalur penyeberangan itu dengan membawa berbagai macam muatan. Hasil bumi, hasil kerajinan dan alat-alat pertanian dengan perabot-perabot rumah tangga yang terbuat dari kayu dan gerabah.

Dalam pada itu, Agung Sedayu yang mengamati arus lalu lintas itu di luar sadarnya bergumam, “Paman, jika kehidupan yang mulai menjadi sibuk seperti itu harus dihancurkan oleh permusuhan, maka kita akan terpelanting ke dalam satu keadaan surut beberapa tahun.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar Ngger. Segalanya harus dimulai lagi. Apalagi jika dengan demikian akan memberikan bekas-bekas dendam dan kebencian. Maka untuk memulihkan keadaan seperti ini diperlukan waktu bertahun-tahun. ”

“Jika saja kita semuanya dapat menahan diri. Saling memberi dan menerima, maka pertengkaran akan dapat dihindari. Tetapi jika kita berpegang kepada keinginan dan kepentingan diri, maka benturan kepentingan itu akan dapat menelan peradaban manusia itu sendiri.,” gumam Agung Sedayu kemudian.

Ki Waskita mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak menyahut. Perhatiannya mulai tertuju kepada sekelompok prajurit yang melintasi sungai Opak menuju ke arah barat. Tetapi prajurit-prajurit itu sama sekali tidak berpaling ke arah Ki Waskita dan Agung Sedayu beristirahat.

“Kemana mereka?” desis Agung Sedayu.

“Satu pertanda bahwa suasana memang menjadi semakin panas. Aku kira mereka sekedar nganglang mengamati keadaan. Agaknya mereka prajurit Pajang yang bertugas di Prambanan, di bawah kepemimpinan Untara di Jati Anom,” berkata Ki Waskita.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab lagi.

Sementara itu, rasa-rasanya mereka sudah cukup memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk beristirahat. Karena itu, maka sejenak kemudian merekapun telah melanjutkan perjalanan mereka kembali.

Sejenak kemudian, maka kedua orang itu telah berpacu kembali di sepanjang bulak dan pedukuhan. Mereka kemudian telah memilih jalan memintas. Mereka tidak akan singgah di Sangkal Putung di saat mereka menuju ke Jati Anom. Baru apabila kemudian ada waktu, mereka akan singgah di saat mereka kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

Namun dalam pada itu, ketika mereka melintasi jalan di sebelah padang perdu, keduanya telah menjadi berdebar-debar. Mereka melihat jauh di tengah-tengah padang perdu, debu yang mengepul.

“Kuda yang saling memburu,” desis Agung Sedayu yang mempunyai pandangan yang sangat tajam. Apalagi dalam jangkauan ketajaman penglihatannya yang melampaui ketajaman penglihatannya yang wajar.

“Ya,” Ki Waskita yang juga melihat debu yang menghambur di udara, “nampaknya sesuatu telah terjadi.”

Agung Sedayu dan Ki Waskita memperlambat laju kuda mereka. Dengan hati-hati mereka memperhatikan suasana di sekitar padang perdu itu. Semakin dekat, maka merekapun menjadi semakin yakin, bahwa beberapa puluh ekor kuda berlari-larian di padang perdu yang luas.

Tetapi Agung Sedayu dan Ki Waskita menjadi heran, ketika ia melihat seseorang yang dengan tenang mencangkul di sawah di sebelah jalan yang mereka lalui.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian telah menarik kekang kudanya dan berhenti dekat dengan orang yang sedang sibuk bekerja di sawah itu.

“Ki Sanak,” bertanya Agung Sedayu yang kemudian meloncat turun dari punggung kudanya, “apakah yang terjadi di padang perdu itu?”

Petani itu kemudian tegak sambil menekan punggungnya dengan tangannya. Kemudian sambil berpaling ke arah debu yang memutih di padang perdu ia berkata, “Prajurit-prajurit Pajang yang berada di Prambanan.”

“Kenapa dengan prajurit-prajurit itu?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Mereka sedang gladi perang berkuda. Hampir setiap hari ada gladi. Sejak beberapa lama. Bahkan kadang-kadang Senapati Besar di Jati Anom sering hadir dan memimpin gladi itu sendiri,” jawab petani itu. “Ki Untara maksudmu?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Ki Untara. Bukan saja gladi perang berkuda. tetapi kadang-kadang gladi perang darat dan gelar perang di padang perdu yang panas berdebu itu. Sehari-harian,” jawab orang itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah. Aku sudah menjadi ketakutan. Aku kira telah terjadi sesuatu di padang perdu itu, sehingga akan dapat mencelakai kami berdua.”

“Tidak Ki Sanak. Berjalan sajalah terus. Mereka tidak akan berbuat apa-apa. Memang kadang-kadang orang-orang yang lewat di jalan ini menjadi ragu-ragu. Tetapi jika mereka melihat kami bekerja di sawah dengan tenang, maka mereka tentu mengambil kesimpulan, bahwa tidak terjadi sesuatu yang berbahaya bagi perjalanan mereka.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Terima kasih Ki Sanak. Jika demikian, kami akan melanjutkan perjalanan kami.”

“Silahkan. Tidak akan terjadi apa-apa,” berkata orang itu.

Agung Sedayu pun kemudian meloncat ke punggung kudanya. Meskipun agak ragu, namun keduanyapun kemudian melanjutkan perjalanan. Sementara itu debu masih saja mengepul. Dari kejauhan Agung Sedayu dan Ki Waskita melihat tangkai-tangkai tombak yang panjang mencuat di antara pepohonan perdu. Namun kemudian merekapun melihat, bahwa tombak-tombak itu ternyata berujung tumpul.

“Benar-benar gladi,” berkata Agung Sedayu.

Ki Waskita mengangguk-angguk. Dipandanginya latihan perang-perangan yang dilakukan di padang perdu yang berjarak beberapa ratus langkah dari jalan yang mereka lalui itu. Nampaknya latihan itu bukan sekedar latihan menunggang kuda. Tetapi juga gelar dan ketrampilan olah senjata.

Ki Waskita yang juga memandangi latihan itu kemudian berdesis, “Memang satu pertanda yang mendebarkan Ngger. Nampaknya Untara tidak mau ketinggalan dari pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru. Setidak-tidaknya Untara tidak mau digilas oleh Prabadaru dengan pasukan khususnya. Karena itu, maka Untara pun telah membuat pasukannya sekuat pasukan khusus. Latihan-latihan dilakukan dengan cermat dan bersungguh-sungguh.”

“Nampaknya pasukan Kakang Untara mempunyai kelebihan dari pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan, Ki Waskita,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Sebagai pasukan berkuda.”

“Ya. Latihan-latihan perang berkuda masih terlalu kurang dilakukan pada pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh. Mereka lebih banyak mempelajari gelar perang dan kemampuan secara pribadi dalam olah kanuragan dan olah senjata,” berkata Agung Sedayu.

“Tetapi kemampuan itu akan mengimbanginya. Mungkin Untara mempunyai perhitungan tersendiri. Jika terjadi pertempuran di daerah ini, maka pertempuran itu akan mempergunakan arena yang luas. Sawah dan pategalan. Sehingga pasukan berkuda di sini mendapat perhatian yang besar,” sahut Ki Widura. “Tetapi itu bukan berarti bahwa pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh dapat melupakan unsur pasukan berkuda. Nampaknya pasukan berkuda di dalam lingkungan pasukan khusus di Pajang pun mendapat perhatian yang besar. Karena itu, maka Untara pun telah membuat imbangan kekuatan dengan pasukan berkudanya. Meskipun pasukan Untara bukan pasukan khusus, tetapi menilik sikap Untara di saat terakhir, maka ia telah menempa pasukannya sehingga tidak akan kurang nilainya dari pasukan khusus itu sendiri.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun yang dilihatnya itu merupakan satu peringatan, bahwa pasukan khususnya di Tanah Perdikan Menoreh pun harus memperhatikan ketrampilan berkuda. Setidak-tidaknya sekelompok dari mereka akan menjadi inti dari pasukan berkuda. Dalam perang berarena luas, pasukan berkuda akan sangat penting artinya.

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Ki Waskita pun semakin lama menjadi semakin jauh dari padang perdu itu. Mereka melintasi sebuah bulak panjang dan kemudian mendekati sebuah hutan yang tidak terlalu lebat. Mereka akan lewat di pinggir hutan itu.

Meskipun jalan itu menyusuri pinggiran hutan, tetapi jalan itu tidak terlalu sepi. Jarang terjadi, seekor binatang buas keluar dari hutan itu dan mengganggu orang yang sedang lewat. Kecuali karena di hutan itu jarang sekali terdapat binatang yang termasuk binatang buas, juga hutan itu memang sudah terlalu sering dirambah kaki manusia. Bahkan orang mencari kayupun berani memasuki hutan itu.

Ketika Agung Sedayu dan Ki Waskita sampai ke pinggir hutan itu, merekapun tertegun. Dari arah yang berlawanan mereka melihat beberapa orang berkuda berpacu dengan cepatnya.

“Kita akan berpapasan dengan sekelompok orang berkuda,” berkata Ki Waskita.

Agung Sedayu pun mengangguk. Jawabnya, “Ya Paman. Dan kita belum tahu, siapakah mereka.”

Tetapi Agung Sedayu dan Ki Waskita sama sekali tidak berhenti. Meskipun demikian keduanya menjadi sangat berhati-hati. Memang banyak kemungkinan akan dapat terjadi.

Semakin dekat mereka dengan sekelompok orang-orang berkuda itu, jantung Agung Sedayu dan Ki Waskita menjadi semakin berdebaran. Bahkan kemudian terasa darah mereka semakin cepat mengalir.

“Kakang Untara,” desis Agung Sedayu.

Ki Waskita memerlukan waktu sejenak untuk memperhatikan orang berkuda di paling depan. Namun akhirnya iapun berdesis, “Ya. Angger Untara.”

Agung Sedayu dan Ki Waskita pun memperlambat kuda mereka. Kudanya pun kemudian menepi dan bahkan berhenti.

Ternyata Untara pun telah melihat mereka, sehingga iapun telah memperlambat kudanya. Demikian pula beberapa orang pengiringnya.

Akhirnya kedua belah pihak telah berhenti. Untara yang kemudian mendekat bertanya kepada adiknya, “Kau akan kemana?”

“Aku akan menemui Paman Widura,” jawab Agung Sedayu.

“Apakah ada sesuatu yang penting?” bertanya Untara pula.

“Tidak Kakang,” jawab Agung Sedayu, “aku hanya ingin berbicara tentang Glagah Putih. Rasa-rasanya kami berdua terlalu sepi di Tanah Perdikan Menoreh. Aku ingin minta ijin kepada Paman Widura, untuk mengajak Glagah Putih bersama kami.”

Untara mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, ” Apakah Sekar Mirah sudah sependapat? Jika tidak, maka keadaannya akan menjadi sulit. Sekar Mirah-lah yang berada di rumah setiap hari. Ialah yang banyak menentukan. Jika ia tidak setuju, maka akan dapat timbul persoalan.”

“Aku sudah berbicara dengan Sekar Mirah. Ia tidak berkeberatan,” jawab Agung Sedayu.

Ada niatnya untuk mengatakan bahwa Sekar Mirah telah ikut bersamanya memberikan latihan-latihan di barak pasukan khusus. Tetapi niat itu diurungkannya, karena ia tidak sempat untuk dapat memberikan penjelasan secukupnya.

“Nanti saja kalau aku mendapatkan kesempatan berbicara lebih panjang,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Dalam pada itu, maka Agung Sedayu-lah yang kemudian justru bertanya, “Kakang akan pergi kemana?”

“Aku akan melihat latihan. Apakah kau melihat para prajurit latihan di padang perdu sebelah?” sahut Untara.

“Ya, kakang. Aku melihatnya. Semula aku menjadi berdebar-debar melihat debu yang mengepul. Tetapi seorang petani mengatakan, bahwa mereka hanya sekedar melakukan latihan. Agaknya latihan seperti itu sudah terlalu sering diselenggarakan,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Ya. Hampir setiap hari. Prajurit-prajuritku harus menjadi prajurit yang baik,” berkata Untara. Dan kemudian sambil berpaling ke arah Ki Waskita ia berkata, “Aku tidak dapat mempersilahkan Ki Waskita untuk singgah.”

“Terima kasih Ngger. Bukankah Angger Untara sedang menjalankan tugas. Sementara itu, kamipun hanya mempunyai waktu yang sangat sempit,” jawab Ki Waskita.

“Baiklah,” berkata Untara kemudian, “kita akan saling berpisah. Kita masing-masing akan meneruskan perjalanan kita.”

Untara pun kemudian minta diri. Iapun kemudian berpacu diikuti oleh para pengiringnya. Agaknya ia akan menyaksikan latihan yang diselenggarakan oleh para prajuritnya di Prambanan.

Sejenak kemudian Agung Sedayu dan Ki Waskita pun meneruskan perjalanan mereka pula. Sekali-sekali mereka berpaling. Untara dan pengiringnya pun menjadi semakin jauh. Sementara debu berhamburan di belakang kaki kudanya yang berlari kencang.

Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak tergesa-gesa. Sepanjang jalan mereka telah memperbincangkan tentang perkembangan suasana. Agaknya Untara dapat melihat tembus ke dalam lingkungan keprajuritan Pajang. Nampaknya iapun dapat mengurai hubungan para pemimpin Pajang dengan Kanjeng Sultan yang tengah mengalami kemunduran kesehatan yang cepat.

“Keadaan menjadi semakin suram,” desis Ki Waskita.

“Dan anak-anak di barak pasukan khusus di Tanah Perdikan itu masih belum siap,” gumam Agung Sedayu.

“Tetapi mereka sudah berada pada tataran yang cukup,” sahut Ki Waskita. Lalu, “Pada saat-saat terakhir latihan-latihan nampaknya menjadi semakin meningkat. Sejak kita melihat tataran mereka dalam benturan ilmu di tepian.”

“Mudah-mudahan dalam waktu singkat, anak-anak itu sempat menyusul kekurangan mereka,” berkata Agung Sedayu.

“Tetapi mereka sudah menguasai ilmu yang terpenting. Bahkan mereka sudah mulai mendalaminya, terutama olah kanuragan secara pribadi,” sahut Ki Waskita.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk iapun kemudian berkata, “Bagaimanapun juga, kita masih harus bekerja keras Paman.”

Ki Waskita memandang Agung Sedayu sekilas. Kemudian katanya, “Ya. Kita memang harus bekerja keras.”

Untuk sesaat keduanyapun saling berdiam diri. Mereka menyusuri jalan yang semakin menanjak lereng Gunung Merapi. Namun mereka akan melingkari lereng itu sehingga akhirnya mereka akan sampai kesisi sebelah timur, masih jauh di bawah lambung.

Tidak banyak persoalan yang mereka lihat di perjalanan. Semakin lama merekapun menjadi semakin dekat dengan Jati Anom. Namun mereka tidak memilih jalan dari arah timur. Tetapi mereka datang dari arah putaran kaki gunung. Meskipun jalan lebih sulit, tetapi jaraknya menjadi lebih dekat.

Ketika mereka memasuki Kademangan Jati Anom, mereka menjadi berdebar-debar. Mereka memperlambat kuda mereka, ketika dari kejauhan mereka melihat padukuhan Banyu Asri.

“Apakah Paman Widura ada di Jati Anom atau di Banyu Asri?” bertanya Agung Sedayu,

“Kita lihat di padepokan saja Ngger,” jawab Ki Waskita, “baru kemudian kita akan menyusulnya ke Banyu Asri, jika Ki Widura tidak berada di padepokan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Merekapun meneruskan perjalanan mereka menuju ke padepokan kecil di ujung Kademangan Jati Anom. Tetapi mereka tidak memilih jalan induk yang melalui rumah Untara yang dipergunakan untuk para prajurit Pajang di Jati Anom.

Beberapa saat kemudian, merekapun telah sampai ke regol halaman padepokan kecil di Jati Anom. Yang pertama-tama melihat mereka adalah seorang cantrik. Sambil berlari-lari cantrik itu menyongsong Agung Sedayu yang meloncat turun dari kudanya diikuti oleh Ki Waskita.

“Selamat datang,” berkata cantrik itu sambil menerima kuda Agung Sedayu dan Ki Waskita, “marilah. Kebetulan Ki Widura ada disini.”

“O,” desis Agung Sedayu, “syukurlah. Hampir saja aku berbelok menuju ke Banyu Asri.”

“Marilah. Memang beberapa hari Ki Widura berada di Banyu Asri. Baru kemarin Ki Widura kembali ke padepokan,” jawab cantrik itu.

“Glagah Putih?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Ia berada di padepokan,” jawab cantrik itu pula.

“Dan Kiai Gringsing?” Ki Waskita yang bertanya.

“Kiai Gringsing berada di Sangkal Putung. Sudah beberapa hari,” jawab cantrik itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Bersama Ki Waskita iapun kemudian melintasi halaman dan naik ke pendapa. Sementara cantrik yang sudah mengikat kuda itu di samping pendapa, segera memberitahukan kehadiran Agung Sedayu dan Ki Waskita kepada Ki Widura dan Glagah Putih.

Glagah Putih yang berada di kebun belakang, segera berlari-lari ke pendapa, sementara itu, Ki Widurapun telah keluar pula dari ruang dalam.

Sejenak kemudian, merekapun telah duduk bersama di pendapa padepokan kecil itu. Setelah saling mempertanyakan keselamatan masing-masing, maka merekapun mulai berbicara tentang keadaan padepokan itu serta para penghuninya.

“Beberapa orang prajurit telah berada di padepokan ini,” berkata Glagah Putih.

“Bukankah mereka telah lama berada di sini?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Tetapi beberapa saat yang lalu, mereka telah ditarik semuanya ke rumah Kakang Untara. Pada saat-saat yang mendebarkan. Namun nampaknya keadaan menjadi agak tenang lagi, sehingga beberapa orang diperkenankan, atau justru diperintahkan untuk berada di padepokan ini,” jawab Glagah Putih.

“Berapa orang yang berada di sini sekarang?” bertanya Ki Waskita.

“Sepuluh orang,” jawab Glagah Putih.

“O,” Agung Sedayu terkejut,” demikian banyaknya.

“Ya, Agung Sedayu,” Widuralah yang menjawab, “memang banyak sekali. Tetapi agaknya keadaan memang menghendaki demikian. Jika yang berada di padepokan ini terlalu sedikit, maka keselamatan mereka kurang terjaga. Tetapi dengan sepuluh orang, masih banyak kesempatan yang dapat mereka lakukan bersama para penghuni padepokan ini sendiri.”

Agung Sedayu dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Nampaknya keadaan bukan menjadi tenang, meskipun mereka sedikit. Tetapi ternyata bahwa prajurit Pajang di Jati Anom harus tetap berhati-hati menghadapi perkembangan keadaan yang agak mereda itu. Karena menurut perhitungan Untara, segala sesuatu masih akan dapat meledak setiap saat.

Dalam pada itu, maka sejenak kemudian, para cantrikpun telah menghidangkan minuman dan makanan bagi Agung Sedayu dan Ki Waskita, sementara Agung Sedayu bertanya kepada pamannya tentang gurunya yang menurut keterangan seorang cantrik berada di Sangkal Putung. Agaknya Swandaru ingin ditunggui oleh gurunya dalam perkembangan ilmunya yang terakhir.

“Ada kekhususannya?” bertanya Ki Waskita.

“Aku kurang tahu,” jawab Ki Widura, “tetapi nampaknya Swandaru benar-benar ingin menempa diri menghadapi perkembangan keadaan yang semakin gawat sekarang ini, meskipun udara terasa agak mendingin. Namun api masih akan dapat berkobar setiap saat.”

“Syukurlah,” Ki Waskita mengangguk-angguk, “Swandaru memang masih harus menempa diri. Mematangkan ilmunya dan melengkapinya dengan pengalamannya selama ini.” Ki Waskita berhenti sejenak, lalu “Bagaimana dengan Pandan Wangi?”

“Agaknya ia tidak mau ketinggalan. Bahkan menurut Kiai Gringsing, ternyata bahwa perkembangan ilmu Pandan Wangi mempunyai jalur yang agak berbeda dengan perkembangan ilmu Swandaru. Pandan Wangi mulai melihat ke kedalaman watak ilmu yang diwarisinya.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Nampaknya perkembangan kematangan ilmu Pandan Wangi dan Swandaru mempunyai jalur yang berbeda. Tetapi itu bukan berarti bahwa Swandaru tidak melihat ke dalam ilmu yang diwarisinya dari Kiai Gringsing. Tetapi cara pendalamannya sajalah yang berbeda dari Pandan Wangi yang lebih banyak mencari sendiri, karena ia terpisah dari gurunya. Namun dengan tekun ia mencari perkembangan ilmunya, karena semua dasar ilmu Ki Gede Menoreh telah diberikannya kepada Pandan Wangi.

Pembicaraan Agung Sedayu, Ki Waskita, Ki Widura dan Glagah Putih terpotong, karena tiba-tiba dua ekor kuda memasuki halaman padepokan. Dua orang prajurit Pajang di Jati Anom memasuki halaman itu. Mereka tertegun ketika mereka melihat beberapa orang duduk di pendapa.

Baru kemudian seorang di antara mereka berdesis, “Agung Sedayu.”

Kedua orang prajurit itupun kemudian menuntun kuda mereka dan mengikatnya disamping pendapa. Sambil tersenyum keduanyapun kemudian naik pula ke pendapa.

“Kapan kau datang, Agung Sedayu?” bertanya seorang di antara mereka.

Agung Sedayupun kemudian beringsut dan kedua prajurit itu duduk pula bersama mereka.

Demikianlah, maka pembicaraan mereka menjadi semakin riuh ketika beberapa orang prajurit yang lainpun telah datang pula.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu masih menyimpan masalahnya sendiri yang akan disampaikannya kepada Glagah Putih dan Ki Widura. Karena persoalan itu tidak ada hubungannya dengan para prajurit, maka iapun menunggu sampai ia mendapat kesempatan untuk berbicara langsung dengan keduanya.

Baru pada malam hari kemudian, Agung Sedayu dan Ki Waskita sempat berbicara langsung dengan Glagah Putih dan Ki Widura. Dengan berbagai pertimbangan, termasuk tugas-tugas baru yang diemban oleh Sekar Mirah di Tanah Perdikan Menoreh untuk membantunya memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda di barak pasukan khusus, maka Agung Sedayu telah minta agar Glagah Putih bersedia mengikutinya di Tanah Perdikan Menoreh.

“Aku sudah memintanya sejak lama,” sahut Glagah Putih dengan serta merta, “Kakanglah yang selalu menunda-nunda.”

“Aku menunggu saat yang sebaik-baiknya,” jawab Agung Sedayu, “dan sekarang saat itu sudah tiba.”

Glagah Putih memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Kemudian katanya, “Kapan kita berangkat?”

“Ah,” potong Ki Widura, “jangan tergesa-gesa begitu. Mungkin kakangmu akan berada di sini satu atau dua pekan.”

“Tidak mungkin. Mbokayu Sekar Mirah berada di Tanah Perdikan sendiri,” jawab Glagah Putih, “siapa tahu, Mbokayu didatangi genderuwo.”

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Mbokayumu tidak takut genderuwo. Bahkan genderuwo yang baik, dapat di minta untuk menjaga rumah.”

Glagah Putih pun tertawa pula.

Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Menoreh, Sekar Mirah yang berada di rumahnya sendiri, merasa kesepian juga. Seorang anak yang membantu di rumah itu, masih selalu pergi bersama kawan-kawannya. Kadang-kadang ke sungai sampai jauh malam. Tetapi agaknya Agung Sedayu tidak sampai hati untuk marah kepadanya, karena seumurnya, anak itu masih belum banyak mengenal tanggung jawab.

Sekar Mirah yang duduk sendiri di amben di ruang dalam sambil merenung setelah makan malam, terkejut, ketika pintu rumahnya diketuk orang. Menilik nadanya, tentu bukan pembantunya yang nakal.

Sejenak Sekar Mirah termangu-mangu. Dalam keadaan yang gawat, segala sesuatunya dapat terjadi. Sementara itu, ia tidak dalam pakaian yang memungkinkannya untuk bergerak cepat, karena setelah mandi di sore hari, ia mengenakan pakaian sebagaimana kebanyakan seorang perempuan.

Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat banyak. Sekali lagi pintu rumahnya terdengar diketuk perlahan-lahan.

Sekar Mirah pun kemudian melangkah mendekati pintu rumahnya. Namun ia cukup berhati-hati. Meskipun ia tidak mengenakan pakaian khususnya, namun ia berusaha untuk dapat berbuat sesuatu jika terpaksa.

Sejenak Sekar Mirah berdiri tegak di depan pintu rumahnya. Kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, “Siapa di luar?”

“Aku Mirah,” terdengar jawaban lambat. Namun Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Ia mengenal suara itu.

Dengan wajah yang tegang, Sekar Mirah pun kemudian membuka pintu rumahnya. Sebagaimana yang diduganya, yang berdiri di luar adalah Prastawa.

“Kau,” desis Sekar Mirah.

“Ya Mirah. Bukankah sudah aku katakan, bahwa aku ingin berbicara serba sedikit tentang Tanah Perdikan in  ” jawab Prastawa.

“Kakang Agung Sedayu belum kembali. Baru besok ia akan datang,” jawab Sekar Mirah.

“Kau dapat menyampaikannya jika ia pulang,” minta Prastawa.

Sekar Mirah memandang Prastawa dengan tajamnya. Kemudian katanya, “Sebaiknya kau datang esok sore Prastawa. Katakan langsung kepada Kakang Agung Sedayu, apa yang kau inginkan. Atau biarlah Kakang Agung Sedayu pergi ke rumah Ki Gede. Kau dapat menemuinya di sana.”

Prastawa mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Apakah aku tidak kau persilahkan masuk? Betapapun singkatnya, lebih baik kita berbicara di dalam.”

Sekar Mirah menjadi tegang. Namun dalam keremangan malam, wajahnya tidak nampak menjadi merah.

Meskipun demikian Sekar Mirah masih berusaha untuk mencari jawab yang paling baik yang dapat diberikan kepada Prastawa. Bagaimanapun juga anak muda itu adalah keenakan Ki Gede Menoreh. Orang tertinggi di Tanah Perdikan itu.

Untuk sesaat Sekar Mirah berdiri tegang. Sementara itu Prastawa bergeser setapak maju. Dengan suara dalam ia bertanya pula “Bagaimana? Setuju?”

Sekar Mirah menjadi semakin tegang. Ia sadar, bahwa menerima anak muda itu selagi suaminya tidak di rumah adalah kurang pada tempatnya. Apalagi jika ada orang lain yang melihatnya. Maka orang lain itu tentu akan menyebutnya sebagai seorang perempuan yang kurang pantas.

Dalam pada itu, wajah Sekar Mirah terasa menjadi semakin tegang. Namun sementara itu Prastawa justru telah hampir kehilangan nalar. Ia ingin duduk dan berbicara apa saja. Sebagaimana kebiasaannya bersikap terhadap perempuan-perempuan muda di Tanah Perdikannya. Bahkan kadang-kadang ia telah melakukan sesuatu yang kurang terpuji terhadap gadis-gadis di Tanah Perdikan Menoreh, sehingga dapat menumbuhkan persoalan tersendiri.

Ketika Prastawa beringsut semakin dekat, maka sambil bergeser surut Sekar Mirah menjawab, “Prastawa. Sebenarnya aku memang tidak akan menolak. Tetapi sayang, bahwa aku harus mempersiapkan diri untuk tugasku esok siang. Aku harus memberikan bimbingan kepada anak-anak muda di barak pasukan khusus itu. Aku sedang mempersiapkan diri untuk menempa mereka dalam kemampuan secara pribadi. Aku harus menunjukkan kepada mereka, bagaimana mereka berhadapan dengan lawan yang tangguh tanggon. Dan aku harus memberikan contoh kepada mereka bagaimana menghadapi lawan lebih dari satu orang. Karena itu, aku besok akan bertempur dalam keadaan yang seperti bersungguh-sungguh melawan lima orang.”

Kata-kata Sekar Mirah itu seolah-olah telah membangunkan Prastawa dari mimpinya. Yang berdiri dihadapannya itu bukan saja seorang perempuan cantik, tetapi juga seorang perempuan yang garang. Apalagi ketika Sekar Mirah berkata selanjutnya, “Prastawa. Jika kau ingin singgah, aku akan berterima kasih. Karena kau tentu akan dapat membantu aku. Kita akan berlatih bersama. Kau tentu memiliki kemampuan sebagaimana lima orang anak muda dari pasukan khusus itu. Dengan demikian, aku sudah akan dapat membiasakan diri dalam tugasku besok.”

Kata-kata Sekar Mirah itu terasa panas di telinga Prastawa. Seolah-olah perempuan itu dengan sengaja telah merendahkannya. Karena dengan demikian, maka Prastawa harus menyadari keadaannya. Sekar Mirah bukan perempuan kebanyakan. Bukan perempuan sebagaimana perempuan Tanah Perdikan Menoreh selain Pandan Wangi. Karena itu, maka ia tidak akan dapat mengganggunya, sebagaimana ia mengganggu gadis-gadis yang ketakutan bukan saja karena kemampuannya, tetapi juga karena ia adalah kemenakan Ki Gede Menoreh.

Sejenak Prastawa termangu-mangu. Ia menyadari tingkat ilmu Sekar Mirah, dan iapun menyadari kedudukan Agung Sedayu.

Karena itu, maka iapun kemudian bergeser surut sambil berkata, “Baiklah Sekar Mirah, jika kau masih mempunyai tugas yang harus kau lakukan, aku minta diri.”

“Kau dapat membantu aku Prastawa,” sahut Sekar Mirah.

“Tidak. Aku tidak ingin mengganggumu. Seandainya aku mempunyai banyak waktu, mungkin aku akan mempertimbangkannya. Tetapi waktuku sekarang ini hanya sedikit sekali,” jawab Prastawa.

“Jadi kau tidak ingin singgah di sanggar?” bertanya Sekar Mirah.

Prastawa menggeleng. Jawabnya, “Lain kali saja Sekar Mirah.”

Prastawa pun kemudian minta diri. Agaknya ia hanya berjalan kaki saja tanpa membawa seekor kuda.

Ketika Prastawa hilang di balik regol, Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia mengenang saat-saat ia berada di Tanah Perdikan sebelum ia kawin dengan Agung Sedayu. Dengan demikian, maka ia memang tidak dapat menimpakan segala kesalahan kepada Prastawa, jika anak muda itu kemudian bersikap kurang wajar terhadapnya.

“Tetapi aku sekarang adalah istri Agung Sedayu,” berkata Sekar Mirah kepada diri sendiri.

Namun Sekar Mirah pun bersukur, bahwa Prastawa telah meninggalkan rumahnya. Perlahan-lahan ia menutup dan menyelarak pintunya. Kemudian iapun pergi ke biliknya.

Ketika ia membaringkan dirinya, semakin terasa betapa sepinya malam yang menjadi semakin dingin.

Namun akhirnya, Sekar Mirah pun telah lelap di dalam tidurnya.

Dalam pada itu, selagi Sekar Mirah sudah mulai dengan mimpinya yang gelisah, di Jati Anom, Agung Sedayu masih berbincang dengan Ki Waskita, Ki Widura dan Glagah Putih. Sekali-sekali mereka tertawa oleh gurau yang segar. Glagah Putih yang gembira menjadi semakin banyak berbicara.

“Aku akan kembali besok,” tiba-tiba Agung Sedayu berkata, “apakah kau akan pergi bersamaku besok, atau aku akan datang lagi menjemputmu?”

“Kenapa harus menjemput aku lagi ? Besok aku pergi bersamamu Kakang, ” jawab Glagah Putih.

“Kau minta diri kepada ayahmu,” berkata Agung Sedayu pula.

“Ayah sudah mendengar sendiri persoalan yang kita bicarakan ini,” jawab Glagah Putih heran.

“Tetapi kau harus minta diri,” Agung Sedayu menekankan.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia memang merasa aneh, bahwa ia harus memberitahukan persoalannya kepada orang yang sudah megetahuinya.

Namun kemudian Glagah Putih pun melakukannya. Katanya, “Ayah, jika Ayah tidak berkeberatan, besok aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh mengikuti Kakang Agung Sedayu.”

Ki Widura tersenyum. Katanya, “Baiklah Glagah Putih. Tetapi jika demikian, esok pagi-pagi kau harus pergi ke Banyu Asri. Kau harus minta diri kepada seluruh keluarga. Baru kau akan boleh meninggalkan Jati Anom. Sementara itu, malam ini kau harus mengemasi pakaian dan mungkin barang-barangmu yang akan kau bawa besok.”

“Baiklah Ayah,” jawab Glagah Putih, “malam ini aku akan berkemas. Esok pagi-pagi aku akan ke Banyu Asri.”

Sebenarnyalah bahwa malam itu Glagah Putih telah mengemasi pakaian yang akan dibawanya. Tidak terlalu banyak. Ia hanya membawa seperlunya saja.

Dalam pada itu, maka Agung Sedayu dan Ki Waskita pun telah dipersilahkan untuk beristirahat, sementara Ki Widura membantu anaknya mempersiapkan diri. Namun sejenak kemudian, maka Glagah Putih pun telah pergi ke biliknya pula.

“Tidurlah,” berkata ayahnya, “besok kau akan melakukan perjalanan. Meskipun perjalanan itu tidak terlalu jauh, namun akan melelahkan juga.”

Glagah Putih pun berusaha untuk dapat tidur. Tetapi rasa-rasanya matanya sama sekali tidak mau terpejam. Angan-angannya telah jauh mendahului wadagnya pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

Glagah Putih telah melihat beberapa kali Tanah Perdikan yang besar dan subur itu. Iapun serba sedikit telah mengenal isinya. Namun dalam pada itu, keningnya mulai berkerut ketika ia mulai membayangkan sebuah wajah anak muda yang aneh menurut pendapat Glagah Putih. Bukan pula tingkah lakunya, tetapi juga sikapnya terhadap masalah yang dihadapinya.

“Aku tidak mengerti sikap Prastawa,” berkata Glagah Putih kepada diri sendiri.

Baru menjelang akhir malam, Glagah Putih pun dapat tidur lelap.

Sementara itu di Tanah Perdikan Menoreh, Prastawa duduk di gardu bersama beberapa orang anak muda. Adalah bukan satu kebetulan bahwa yang berada di gardu itu adalah kawan-kawan dekatnya. Satu dua orang pengawal yang lain duduk di sebelah regol, sementara yang lain berjalan hilir mudik di luar regol.

“Perempuan itu terlalu sombong,” geram Prastawa.

“Sebelumnya sikapnya kepadamu terlalu baik,” berkata seorang kawannya.

“Pengantin baru,” sahut yang lain, “tunggu sajalah barang dua tiga bulan. Kau mempunyai beberapa kelebihan dari Agung Sedayu.”

Prastawa tersenyum. Katanya, “Ia akan menyesal atas kesombongannya itu.”

“Tetapi kau jangan terlalu kasar menghadapinya. Ia memiliki ilmu yang tinggi,” berkata yang pertama, “waktumu masih panjang.”

Prastawa tertawa. Katanya, “Aku mempunyai cukup pengalaman.”

Kawan-kawannya pun tertawa pula. Pengawal yang berada di regol berpaling ke arah mereka. Namun para pengawal itu tidak mengetahui apa saja yang sedang mereka perbincangkan.

Ketika kemudian ayam jantan berkokok, maka Prastawa pun berdiri dan turun dari gardu. Sambil melangkah pergi ia berkata, “Malam ini akan aku habiskan di bilikku. Aku akan tidur sampai matahari naik di atas pepohonan.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Kau akan dapat bermimpi indah.”

“Aku sedang kesepian,” desis Prastawa. Kawan-kawannya tidak menyahut lagi. Dipandanginya langkah Prastawa melintas halaman langsung menuju ke seketheng.

Pada saat yang bersamaan, justru Sekar Mirah telah bangun. Ketika ia pergi ke dapur, dilihatnya anak yang tinggal bersamanya masih tidur melingkar di serambi belakang. Nampaknya anak itu tidak berani mengetuk pintu, sehingga ia tidur saja di sebuah amben kecil di serambi.

Ketika pintu berderit, anak itu menggeliat. Tetapi iapun segera meloncat bangkit. Ditatapnya wajah Sekar Mirah yang berkerut.

“Aku… aku tertidur di tepian semalam,” berkata anak itu agak gagap.

Sekar Mirah menjadi iba juga melihatnya. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Tetapi jangan kau ulangi lagi. Cepat, nyalakan api dan kemudian isi jambangan. Aku akan menyapu halaman.” Anak itu pun segera menyalakan api untuk menjerang air. Kemudian iapun pergi ke sumur untuk mengisi jambangan di pakiwan.

Sejenak kemudian, maka derit senggot timbapun telah terdengar berderit di antara suara sapu lidi yang berdesir dalam irama yang ajeg. Sebagaimana Agung Sedayu, maka ternyata Sekar Mirah pun telah melakukannya pula. Menyapu sambil bergeser mundur, sehingga pada bekas sapu lidinya tidak terdapat telapak kaki.

Dalam pada itu, langitpun menjadi semakin terang. Cahaya kemerahan telah membuka wajah langit yang kelam. Sementara kesibukan mulai menjamah Tanah Perdikan Menoreh, di Jati Anom Glagah Putih telah meloncat ke punggung kudanya. Ia ternyata tidak dapat tidur terlalu lama. Seperti pesan ayahnya, maka pagi-pagi benar ia harus pergi ke Banyu Asri untuk minta diri.

Glagah Putih tidak pergi sendiri. Ia pergi bersama ayahnya ke Banyu Asri. Sementara itu Agung Sedayu dan Ki Waskita pun telah berkemas pula. Mereka ingin singgah barang sejenak ke Sangkal Putung. Selain untuk memberitahukan keselamatan Sekar Mirah, maka Agung Sedayu pun ingin bertemu dengan Kiai Gringsing barang sebentar.

Tetapi Agung Sedayu dan Ki Waskita harus menunggu kedatangan Glagah Putih dan Ki Widura dari Banyu Asri.

Ketika matahari mulai menjenguk di balik pepohonan, maka merekapun telah bersiap. Para prajurit, termasuk Sabungsari yang datang pula ke padepokan itu, yang berada di padepokan itupun ikut mengantar Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putih yang telah minta diri kepada seluruh keluarganya di Banyu Asri.

“Dengan demikian, maka Ki Widura akan lebih banyak berada di Banyu Asri,” berkata seorang cantrik yang tertua diantara kawan-kawannya.

“Bukankah kawanmu sudah bertambah banyak,” sahut Agung Sedayu.

“Tetapi kami tentu akan merasa sepi,” berkata cantrik itu pula.

“Sabungsari dan para prajurit yang lain akan menggantikan kami,” berkata Glagah Putih sambil memandang Sabungsari.

Sabungsari tersenyum. Sejak beberapa lama, ia memang merasa berkewajiban atas padepokan itu lebih dari para prajurit yang lain, apalagi setelah beberapa orang pengikutnya menyatakan diri menjadi cantrik di padepokan itu.

Dalam pada itu, maka sejenak kemudian maka Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putih pun telah meninggalkan padepokan kecil itu. Mereka menuju ke Kademangan Sangkal Putung. Dengan demikian, maka mereka telah mengambil jalan lain dari yang telah dilalui oleh Agung Sedayu ketika ia datang bersama Ki Waskita.

Perjalanan mereka ke Sangkal Putung tidak memerlukan waktu terlalu lama. Namun terasa panas matahari mulai menggatalkan kulit.

Kedatangan Agung Sedayu dan Ki Waskita serta Glagah Putih ke Sangkal Putung, ternyata telah mengejutkan Swandaru yang masih belum meninggalkan Kademangan. Tetapi ia sudah bersiap untuk melihat-lihat keadaan sebagaimana kebiasaannya. Bukan saja ketenangan dan keamanan kademangannya, tetapi juga saluran air, jalan-jalan dan kegiatan segi-segi kehidupan yang lain.

Dengan tergesa-gesa Swandaru pun kemudian menyongsong Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putih. Kemudian merekapun dipersilahkan untuk naik ke pendapa, setelah mengikat kuda mereka pada patok-patok yang sudah disediakan.

Sejenak kemudian, Ki Demang Sangkal Putung dan Pandan Wangi telah menemui mereka pula di pendapa Kademangan. Namun Agung Sedayu yang melihat kegelisahan di wajah-wajah mereka, segera berkata, “Kami tidak mempunyai kepentingan khusus. Kami hanya sekedar singgah untuk melihat keselamatan Kademangan Sangkal Putung.”

“Syukurlah,” sahut Ki Demang, “tetapi apakah kalian mempunyai keperluan dengan kakangmu Untara?”

“Juga tidak,” jawab Agung Sedayu, “kepentinganku satu-satunya adalah menjemput Glagah Putih. Ia akan aku ajak pergi ke Tanah Perdikan Menoreh dan tinggal bersamaku, jika ia kerasan.”

“O,” Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Barangkali ada juga baiknya bagi Angger Glagah Putih. Dengan demikian ia akan menjadi lebih berprihatin.”

“Ya. Ia memang harus lebih berprihatin. Dengan demikian, ia akan dapat lebih banyak melihat ke dalam dirinya sendiri,” sahut Agung Sedayu.

Dalam pada itu, sejenak kemudian maka Kiai Gringsing pun telah hadir pula di pendapa. Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun telah menceritakan pula kepentingannya datang ke padepokan.

“Aku memerlukannya,” berkata Agung Sedayu kemudian, “Glagah Putih akan dapat menunggui rumah jika aku dan Sekar Mirah sedang pergi.”

“Jadi aku hanya sekedar akan menjadi penjaga rumah?” potong Glagah Putih.

Yang mendengar pertanyaan itu tersenyum. Sementara itu Kiai Gringsing pun berkata, “Semua kerja yang besar sebaiknya dimulai dari yang kecil. Pengalaman-pengalaman dari kerja yang kecil itu akan bermanfaat bagi kerja yang besar.”

Glagah Putih pun tersenyum pula. Sambil menunduk ia berdesis, “Ya Kiai. Aku akan mulai dari kerja yang kecil itu.”

Ki Waskita pun tertawa pula. Katanya, “Nampaknya kau tidak menerimanya dengan ikhlas.”

Glagah Putih mengangkat wajahnya. Namun jawabnya, “Aku bersungguh-sungguh Ki Waskita.”

“Bagus,” Ki Waskita tertawa, “jika demikian maka kau tentu akan berhasil.”

Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi kepalanyapun telah menunduk lagi.

Sementara itu, Swandaru mulai berbicara tentang anak-anak muda Sangkal Putung yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Anak-anak muda yang berada di dalam lingkungan pasukan khusus yang disusun oleh Mataram di samping para pengawal Mataram sendiri.

“Mereka dalam keadaan baik,” jawab Agung Sedayu, “nampaknya mereka kerasan. Selama mereka berada di Tanah Perdikan, maka ilmu merekapun telah meningkat pula. Sejak terjadi peristiwa di tepian Kali Praga itu, maka para pemimpin di barak pasukan khusus itu bekerja lebih keras, karena mereka menyadari, bahwa tingkat kemampuan pasukan khusus itu masih belum setataran dengan pasukan khusus yang dibentuk oleh Ki Tumenggung Prabadaru.”

“Dan nampaknya usaha itu akan berhasil?” bertanya Swandaru.

“Ya. Para pemimpin di barak itu berharap, usaha mereka tidak akan sia-sia,” jawab Agung Sedayu.

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah jika demikian. Apabila anak-anak itu tidak terbentuk menjadi anak-anak yang memiliki kemampuan pasukan khusus, lebih baik ia kembali saja ke Sangkal Putung.”

“Mereka tidak mengecewakan,” sahut Agung Sedayu.

Ternyata Swandaru tetap memperhatikan keadaan anak-anak muda Sangkal Putung dimanapun mereka berada. Anak-anak muda yang berada di Tanah Perdikan itupun tetap mendapat perhatiannya.

Dalam kesempatan itu, Agung Sedayu telah memberitahukan pula serba sedikit tentang Sekar Mirah, yang telah mendapat kesempatan untuk membantunya menempa anak-anak muda yang berada di barak pasukan khusus itu.

“Bukan main,” desis Swandaru, “tentu ia menjadi gembira sekali.”

“Ya. Karena itu, maka ia menganggap tugasnya itu sebagai satu kesenangan. Namun ia tetap bertanggung jawab atas tugas itu,” jawab Agung Sedayu.

“Syukurlah,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “dengan demikian ia telah mempunyai satu kesibukan yang sesuai dengan gejolak di dalam jiwanya. Karena itu, maka kalian memerlukan sekali Glagah Putih.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Di siang hari, rumah kami selalu kosong.”

Ketika Glagah Putih mengangkat wajahnya, orang-orang yang berada di sekitarnya telah tertawa sebelum anak itu mengatakan sesuatu. Dengan demikian justru Glagah Putih tidak mengucapkan sepatah katapun.

Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putih tidak berada di Sangkal Putung terlalu lama. Mereka harus kembali ke Tanah Perdikan Menoreh pada hari itu juga.

Ketika mereka minta diri, maka Kiai Gringsing masih sempat memberikan beberapa pesan. Kepada Ki Waskita ia berkata, “Kami yang berada di Sangkal Putung dan Jati Anom, menitipkan Agung Sedayu dan istrinya serta Glagah Putih kepada Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh.”

Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Kita yang tua-tua ini hanya dapat mengikuti tingkah laku anak-anak muda dengan penuh kebanggaan. Ternyata anak-anak muda sekarang jauh lebih cepat berkembang dari masa muda kita dahulu.”

“Tetapi mereka masih tetap memerlukan pengarahan. Bagaimanapun juga yang tua tentu lebih banyak umurnya dari yang muda,” sahut Kiai Gringsing sambil tersenyum pula.

“Itulah satu-satunya kemenanganku dari Angger Agung Sedayu. Umurku lebih banyak dari umurnya,” jawab Ki Waskita.

Ki Demang pun tertawa. Katanya, “Tetapi setidak-tidaknya kita dapat bercerita tentang pengalaman kita kepada anak-anak muda. Biarlah mereka mempertimbangkan dan memperbandingkan. Kesimpulannya terserah kepada mereka.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Kami masih selalu memerlukan bimbingan. Mungkin gejolak jiwa kami masih belum mapan sebagaimana orang tua-tua.”

“Gejolak jiwa dan pengalaman yang mapan. Memang keduanya harus berpadu untuk menemukan keseimbangan,” berkata Kiai Gringsing sambil mengangguk-angguk.

Demikianlah, maka Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putih pun kemudian telah minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Tanah Perdikan Menoreh. Ketika mereka melangkah ke regol, Kiai Gringsing masih sempat berbisik, “Pandan Wangi menemukan arah ilmunya lebih ke kedalamannya. Ia sedang mengembangkan kemampuannya untuk menyentuh sasaran dengan serangan berjarak.”

“Luar biasa,” desis Agung Sedayu, “juga dengan tatapan matanya?”

“Tidak,” jawab Kiai Gringsing, “dengan pukulan yang melontarkan kekuatan ilmu yang sedang dikembangkannya itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Kemudian iapun berdesis, “Bagaimana dengan Swandaru atas perkembangan ilmu istrinya?”

“Pandan Wangi ingin segera memperkenalkannya kepada suaminya,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi ia masih menekuninya.”

Agung Sedayu tidak sempat bertanya lebih banyak lagi. Merekapun kemudian telah berada di regol. Ketika mereka siap meloncat ke punggung kudanya, Pandan Wangi yang kemudian ikut pula ke regol mengusap kedua pundak Glagah Putih dengan kedua tangannya sambil berkata, “Kau akan menemukan sesuatu yang berharga di Tanah Perdikan Menoreh.”

Glagah Putih memandanginya sambil menyahut, “Terima kasih. Mudah-mudahan aku dapat mengembang-kannya di dalam diriku.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat sesuatu pada anak itu. Sorot matanya membayangkan keteguhan hatinya dan bergelora. Sementara itu, nampaknya anak muda itu mempunyai kecerdasan penalaran yang sangat tinggi.

Demikianlah, maka sejenak kemudian ketiga-tiganyapun telah meninggalkan regol halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung. Sekali-sekali mereka masih berpaling. Namun sejenak kemudian, maka kuda merekapun berjalan semakin cepat.

Perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh memang bukan perjalanan yang terlalu berat. Jalan-jalan yang akan mereka lalui cukup baik dan banyak dilalui orang dan pedati yang mengangkut barang-barang dan hasil bumi dari satu tempat ke tempat yang lain. Meskipun jarak yang akan mereka tempuh cukup panjang, namun mereka tidak akan merasakan terlalu lelah.

Kadang-kadang mereka berpapasan dengan sebuah pedati yang memuat beberapa keranjang gula kelapa. Beberapa orang yang berada di dalam pedati terdengar berdendang dengan suara yang lembut. Seorang di antara mereka terkantuk-kantuk sambil memegang cambuk di belakang sepasang sapi yang menarik pedati itu.

Sementara itu, beberapa anak muda nampak bekerja di sawah dengan gembira. Kadang-kadang mereka sempat juga berkelakar di antara kotak-kotak sawah mereka. Dengan setengah berteriak mereka bergurau sambil tertawa berkepanjangan.

Namun mereka segera menyentuh suasana yang lain ketika mereka melihat kesiagaan para prajurit. Terasa bahwa mendung menjadi semakin tebal menyelubungi Pajang dan Mataram.

Namun dalam pada itu, perjalanan mereka sama sekali tidak mengalami hambatan. Sebagaimana diperhitungkan sebelumnya, perjalanan mereka tidak banyak diketahui orang, sehingga pihak-pihak tertentu tidak sempat membuat rencana-rencana yang barangkali akan dapat mengganggu perjalanan ketiga orang itu.

Sebagaimana ketika mereka berangkat, maka ketika mereka kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, merekapun tidak ingin singgah ke Mataram. Tidak ada persoalan yang akan mereka sampaikan. Bahkan mungkin jika mereka singgah, maka perjalanan mereka akan tertunda, karena tidak mustahil bahwa Raden Sutawijaya akan meminta mereka bermalam di Mataram.

Dengan demikian, maka sebagaimana mereka rencanakan, pada hari itu mereka benar-benar telah kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Kami akan singgah lebih dahulu di rumah Ki Gede,” berkata Agung Sedayu, “baru kemudian aku dan Glagah Putih akan kembali ke rumah.”

“Kau akan mengantarkan aku dahulu?” bertanya Ki Waskita.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Ya Ki Waskita. Aku akan menyerahkan Ki Waskita kembali kepada Ki Gede. Dalam keadaan utuh sebagaimana saat kita berangkat.”

Ki Waskita tertawa. Tetapi ia tidak menjawab.

Demikianlah, setelah duduk sejenak dan minum minuman hangat, maka Agung Sedayu pun minta diri kembali ke rumahnya bersama Glagah Putih.

“Kau mendapat seorang kawan yang baik,” berkata Ki Gede.

“Mudah-mudahan,” jawab Agung Sedayu, “anak ini kadang-kadang masih merajuk.”

Ki Gede dan Ki Waskita tertawa. Tetapi Glagah Putih menundukkan kepalanya.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah turun ke halaman. Ketika mereka menuntun kuda melintas ke regol, maka mereka tertegun karena mereka mendengar kuda berderap. Ternyata Prastawa memasuki regol masih di atas punggung kudanya. Namun demikian ia melihat beberapa orang di halaman termasuk Ki Gede, iapun segera menarik kekang kudanya dan meloncat turun.

“Kau baru datang dari Jati Anom Agung Sedayu?” bertanya Prastawa.

“Ya,” jawab Agung Sedayu, “aku bermalam semalam.”

“Bersama anak ini?” bertanya Prastawa pula.

Glagah Putih memandang Prastawa dengan tajamnya. Terasa sesuatu tergetar di dalam dadanya. Namun ia tidak berbuat sesuatu.

Yang menjawab adalah Agung Sedayu, “Aku memerlukan seorang kawan di rumah.”

Prastawa mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja terbersit perasaan tidak senang terhadap kehadiran Glagah Putih. Dalam keadaan tertentu Sekar Mirah tidak akan sendiri. Tetapi ada anak bengal itu di rumahnya.

Namun Prastawa tidak bertanya lebih banyak lagi. Agung Sedayu dan Glagah Putih pun kemudian menuju ke regol diikuti oleh Ki Waskita dan Ki Gede, sementara Prastawa telah mengikat kudanya di samping pendapa.

Dalam pada itu, seorang kawannya yang telah menunggunya mendekatinya sambil berbisik, “Bagaimana?”

“Aku masih harus berjuang. Tetapi sudah ada jalan yang dapat ditempuh,” jawab Prastawa perlahan-lahan.

Ketika kawannya masih ingin bertanya lagi, Prastawa memberi isyarat. Iapun kemudian pergi pula ke regol dan melepaskan Agung Sedayu dan Glagah Putih meninggalkan regol itu sebagaimana dilakukan oleh Ki Gede dan Ki Waskita.

Sejenak kemudian, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah mendekati regol halaman rumahnya, karena jaraknya memang tidak jauh.

Ketika mereka memasuki halaman rumahnya, ternyata Sekar Mirah pun telah berada di rumah pula. Bahkan lampu-lampu telah dinyalakan. Sementara itu, seorang anak yang membantu di rumah itupun sedang sibuk mengisi pakiwan.

Sementara itu, selagi Sekar Mirah sibuk menyediakan minuman panas dan makanan bagi suaminya yang baru datang dan Glagah Putih yang kemudian sedang mandi, di halaman rumah Ki Gede, Prastawa sibuk berbincang dengan dua orang kawannya.

“Aku menjadi sangat tersinggung,” berkata Prastawa, “perempuan itu semasa gadisnya dekat sekali dengan aku. Bahkan rasa-rasanya lebih dekat dari Agung Sedayu. Sekarang ia telah menghinaku. Ia tidak mau menerima aku di rumahnya selagi suaminya tidak ada. Bukankah itu satu kesombongan yang sangat menyinggung perasaan.”

“Mungkin bukan karena ia memang tidak mau,” jawab kawannya, “tetapi sebagai seorang istri ia terikat kepada paugeran-paugeran. Ia merasa segan terhadap tetangga, jika mereka mengetahui bahwa ia telah menerima seorang laki-laki di rumahnya selagi suaminya tidak ada. Apalagi di malam hari.”

“Apa peduli dengan tetangga,” geram Prastawa.

“Itu bagimu. Tetapi tentu tidak bagi Sekar Mirah,” desis kawannya.

“Lalu, bagaimana menurut pertimbanganmu. Apakah pendapat Mbah Kanthil itu baik?” bertanya Prastawa.

“Itukah yang kau maksud dengan jalan yang dapat ditempuh?” bertanya kawannya.

Prastawa mengangguk.

“Mungkin memang dapat ditempuh,” desis kawannya, “tetapi kau harus yakin, bahwa orang itu benar-benar memiliki kemampuan yang tidak sekedar bualan saja.”

“Menurut Mbah Kanthil, orang itu memiliki ilmu yang tidak ada duanya. Ia akan dapat mengguncang hati dan kemudian, semacam ilmu gendam, maka seorang perempuan yang telah terkena ilmunya akan menjadi seperti gila. Nah, baru Sekar Mirah akan merasakan betapa sakitnya hatiku saat ini,” geram Prastawa.

“Jika dukun itu memang benar benar sakti, maka apa salahnya. Perempuan itu akan mengejarmu sampai ke lubang semut. Jika suaminya marah, maka kemampuan olah kanuragan perempuan itu mungkin akan dapat mengimbangi kemampuan suaminya,” sahut kawannya.

“Bukan hanya itu,” berkata Prastawa, “dukun itu mampu menyerang dari jarak jauh. Dengan jambe yang dibelah, diletakkan di atas sebuah jambangan, diantar dengan mantra, maka jambe yang terbelah itu akan dapat menyerang langsung menyusup ke dalam jantung, sehingga orang yang diserang itu tidak akan bertahan satu atau dua hari.”

“Kau sudah mengambil keputusan untuk berbuat demikian?” kawannya yang lain bertanya.

“Aku sudah berkeputusan untuk melakukannya sejak ia datang. Ketika aku meminjam tangan seseorang, maka aku memang sudah berniat untuk menyingkirkannya, meskipun tidak harus membunuhnya. Tetapi persoalannya sekarang menjadi semakin berkembang. Aku inginkan perempuan itu berlutut di bawah kakiku, dan menyingkirkan suaminya bukan saja dari Tanah Perdikan Menoreh,  tetapi dari atas bumi ini. Namun demikian, aku masih berbaik hati, aku ingin minta kepada dukun sakti itu agar tidak membunuhnya, tetapi membuatnya lumpuh dan kehilangan segala kesaktiannya yang membuatnya mampu membunuh Ajar Tal Pitu dan Ki Mahoni di tepian,” Prastawa bersungguh-sungguh.

“Tetapi dengan demikian, maka Mataram akan kehilangan seorang yang mungkin akan dapat membantu mengimbangi para senapati Pajang, apabila terjadi satu benturan kekuatan,” bertanya kawannya yang lain.

“Aku tidak peduli. Tetapi aku tidak mau dihinakan dan disakiti hatiku. Perempuan itu terlalu cantik buat Agung Sedayu,” berkata Prastawa. Lalu, “Ikuti aku ke rumah Mbah Kanthil. Aku minta ia menunjukkan rumah dukun sakti itu. Aku menjadi tidak sabar lagi. Semakin lama Sekar Mirah itu menjadi semakin cantik.”

Kawan-kawannya menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Prastawa benar-benar tidak dapat menyingkir dari cengkaman perasaannya terhadap istri Agung Sedayu. Sebagaimana ia setiap kali tertarik kepada gadis-gadis dan perempuan-perempuan cantik, maka nampaknya terhadap Sekar Mirah ia bukan saja telah tertarik, tetapi ia benar-benar telah kehilangan nalar.

Demikianlah, maka Prastawa diikuti oleh dua orang kawannya telah meninggalkan padukuhan induk, pergi ke sebuah padukuhan kecil di pinggir sebelah utara Tanah Perdikan Menoreh. Rumah seorang perempuan tua yang hidup seolah-olah terasing. Tidak banyak orang yang berhubungan dengan orang tua itu. Bukan saja karena orang tua itu berwatak keras, pemarah dan sulit bergaul, tetapi ia juga terkenal sebagai seorang dukun.

Berbeda dengan tetangga-tetangganya yang seolah-olah dibatasi oleh jarak yang tebal, maka justru orang-orang dari padukuhan lain telah datang kepadanya untuk berbagai macam keperluan. Ada di antara mereka yang ingin mendapat jodoh, ingin memikat hati perempuan atau sebaliknya memikat hati laki-laki. Bahkan ada yang ingin memisahkan perkawinan seseorang atau lebih mendebarkan lagi, membuat seseorang menjadi sakit dan bahkan jika mungkin lebih parah lagi.

Dalam kegelapan, Prastawa dan dua orang kawannya telah mengetuk pintu rumah perempuan tua itu. Sementara itu terdengar perempuan itu membentak kasar, “He, anak iblis. Siapa membuat gaduh di luar?”

Tetapi jawabannya juga sebuah bentakan, “Jangan gila perempuan cengeng. Buka pintumu, atau aku akan membakar rumahmu.”

“O,” perempuan itu tersuruk-suruk pergi ke pintu. Sambil membuka selarak pintu rumahnya ia berkata, “Maaf, Ngger. Aku tidak tahu bahwa Anggerlah yang datang malam-malam begini.”

“Aku lebih suka datang ke kandangmu ini malam hari,” jawab suara di luar.

Sejenak kemudian, pintu rumah itu telah berderit. Perempuan tua itu menyandarkan selarak pintunya, kemudian dengan terbungkuk-bungkuk ia mempersilahkan, “Marilah Anakmas. Silahkan,”

Prastawa dan dua orang kawannya melangkah masuk. Demikian mereka melangkahi tlundak pintu, maka pintu itupun telah tertutup lagi.

“Silahkan duduk,” perempuan tua itu mempersilahkan pula.

Prastawa dan dua orang kawannya duduk di sebuah amben yang cukup besar, sementara perempuan tua itu pun duduk pula di hadapan mereka.

“Seseorang sudah memberitahukan kepadaku, bahwa Anakmas akan datang kemari,” berkata perempuan tua itu.

“Ya. Aku memang sudah merencanakan untuk menemui Mbah Kanthil malam ini,” jawab Prastawa.

“Nampaknya ada keperluan yang mendesak sekali?” desis Mbah Kanthil itu.

“Jangan berpura-pura dungu,” jawab Prastawa, “kau tentu sudah tahu. Kawanku yang aku suruh menemuimu itu tentu sudah mengatakan. Nah, sekarang tunjukkan kepadaku, siapakah yang akan dapat menolong aku.”

“Aku akan mencobanya Anakmas. Mudah-mudahan niat Anakmas itu akan terkabul. Demi danyang-danyang di segala sudut Tanah Perdikan Menoreh,” jawab perempuan tua itu.

“Kau jangan mengigau, perempuan tua,” berkata Prastawa, “kau mengatakan, bahwa gurumu akan dapat melakukannya dengan baik dan pasti. Aku masih meragukan kemampuanmu, karena sasarannya adalah bukan orang kebanyakan. Mungkin kau dapat memberikan jodoh kepada penjual gangsiran kulit melinjo, atau mungkin kau dapat menjadi lantaran gadis anak penarik keseran di dekat pande besi itu terpikat oleh seorang laki-laki, atau membuat tukang blandong itu mabuk dan sakit-sakitan. Tetapi sasaran kali ini adalah seseorang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Dan kau sendiri sudah mengatakan bahwa ada orang lain yang jauh lebih baik dari kau sendiri, sehingga segalanya akan dapat dilakukan dengan pasti.”

Perempuan tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang sudah mengatakan. Aku memang masih mempunyai seorang guru dalam ilmu hitam.”

“Aku tidak peduli, apakah ilmu itu hitam, kuning atau jingga. Aku hanya ingin maksudku dapat terjadi,” potong Prastawa. “Baiklah. Jika Anakmas tidak berkeberatan, aku bersedia mengantar Anakmas pergi ke tempat orang itu. Ia adalah guruku. Ilmunya bagaikan sundul langit. Tidak ada seorang dukun pun yang memiliki kesaktian seperti guruku itu,” berkata Mbah Kanthil.

“Dimana rumahnya?” bertanya Prastawa.

“Di Gunung Somawana. Dekat Rawa Pening, di sebelah daerah Banyubiru,” jawab Mbah Kanthil.

Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Cukup jauh. Aku belum pernah pergi ke tempat itu.”

“Tempat itu terletak di sebelah utara Gunung Merbabu. Jika Anakmas berkeras hati untuk mencapai maksud Anakmas, maka baiklah aku akan mengantarkannya. Tetapi jika Anakmas ingin mencoba kemampuanku, aku akan mengusahakan. Baru jika aku tidak berhasil, maka aku akan pergi ke guruku,” berkata mBah Kanthil.

“Mbah Kanthil,” jawab Prastawa, “aku akan memberikan upah yang tinggi jika kau mau memanggil saja gurumu itu untuk datang di Tanah Perdikan ini. Ia dapat tinggal di rumahmu. Aku akan datang kemari, dan gurumu akan melakukan tugas itu di sini.”

Mbah Kanthil mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Aku tidak tahu, apakah ia bersedia. Dahulu ia tidak pernah berkeberatan bermalam di rumah ini, waktu aku masih belum terlalu tua. Tetapi sekarang, keadaannya sudah lain. Meskipun demikian aku akan mencobanya. ”

“Katakan, berapa ia minta upah. Asal masih dalam takaran wajar, maka aku akan memenuhinya. Kau sudah tahu persoalannya, dan kau akan dapat mengatakannya dan memberikan gambaran tentang sasaran yang harus dituju,” berkata Prastawa.

“Ya, ya Ngger. Aku akan mencobanya. Aku akan pergi ke Gunung Somawana. Gunung yang terkenal, karena di bawah gunung itulah Prabu Dasamuka yang terkenal itu terkubur,” jawab Mbah Kanthil.

Prastawa dan kedua kawannya tidak terlalu lama berada di rumah Mbah Kanthil. Mereka tidak ingin diketahui oleh orang lain, karena dengan demikian akan dapat menumbuhkan kecurigaan.

Sejenak kemudian, Prastawa itupun minta diri. Ketika ia melangkah ke pintu iapun berkata, “Jangan mencoba mempermainkan aku. Kau harus melakukan segalanya dengan sebaik-baiknya. Jika kau berkhianat, maka kau akan mengalami nasib seburuk orang-orang yang kau tenung. Dan kaupun tidak akan dapat melakukannya terhadap aku, karena aku adalah kemanakan Ki Gede. Jika terjadi sesuatu atasku, maka Paman akan dapat menjatuhkan perintah kepada rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Mereka akan datang ke rumah ini, membakar rumah dan kau sekaligus sehingga menjadi abu. Atau bahkan mereka akan menangkapmu, menyeretmu ke banjar dan mengadilimu bersama-sama tanpa ampun.”

“Ah,” desah Mbah Kanthil, “jangan menyebut-nyebut hal-hal yang mengerikan itu. Tentu aku tidak ingin mengalaminya.”

“Karena itu, lakukan permintaanku sebaik-baiknya. Ingat, jangan berkhianat,” ancam Prastawa.

“Tentu, tentu Anakmas. Aku tidak akan berani berkhianat. Selebihnya, aku masih memerlukan uang untuk kesenanganku di hari tua ini,” jawab Mbah Kanthil.

“Tiga hari lagi, aku akan menyuruh seorang kawanku kemari untuk menanyakan, apakah orang yang kau maksud itu sudah datang,” berkata Prastawa kemudian.

“Jangan tiga hari. Perjalanan ke Gunung Somawana memerlukan waktu. Apalagi aku sudah setua ini. Aku tidak dapat berjalan lebih cepat dari merangkak seperti siput,” jawab perempuan itu.

“Jadi berapa hari?” bertanya Prastawa.

“Sepekan. Aku akan kembali dalam sepekan,” jawab perempuan tua itu.

Prastawa merenung sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah. Aku akan bersabar sampai sepekan. Tetapi aku tidak mau lebih dari itu.”

Demikianlah, maka Prastawa pun kemudian meninggalkan rumah perempuan tua itu. Ketika mereka memasuki bulak panjang, maka iapun berkata, ” Kalianpun harus dapat menjaga rahasia ini. Jika rahasia ini dapat diketahui oleh Agung Sedayu, ia akan mengambil satu sikap. Ia telah melupakan rencanaku untuk menyingkirkannya dengan meminjam tangan orang yang justru dapat dikalahkannya. Jika hal seperti itu diketahuinya terulang kembali, maka aku tidak yakin, bahwa ia akan memaafkannya lagi.”

“Tentu,” jawab kawannya, “kami mengetahui akibat yang paling buruk akan terjadi, jika rahasia ini sampai ke telinga anak iblis itu.”

Prastawa mengangguk-angguk. Namun ia masih berkata, “Aku akan mengancam kalian seperti aku mengancam perempuan tua itu.”

Kedua kawannya justru tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, “Apakah kepercayaanmu kepadaku mulai goyah?”

Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggeleng sambil berkata, “Tidak. Aku masih tetap percaya kepada kalian.”

Demikianlah, maka Prastawa telah mulai merambah satu jalan yang kelam untuk mencapai maksudnya. Ia telah menghubungi seseorang yang menyadap ilmu hitam, karena ia tidak mampu mengekang gejolak hatinya yang meronta-ronta tanpa terkendali.

Sepekan itu terasa demikian lamanya bagi Prastawa yang sedang menunggu. Namun rasa-rasanya sepekan itu berlalu begitu cepatnya bagi Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang sedang sibuk. Di samping kegiatannya di barak pasukan khusus dan di sanggar bersama Glagah Putih, Agung Sedayu mulai menuruni gelapnya malam di Tanah Perdikan Menoreh sebagaimana pernah dilakukan sebelum ia kawin. Kadang-kadang bahkan Glagah Putih ikut pula bersamanya berjalan dari gardu ke gardu.

Bahkan kadang-kadang Agung Sedayu telah mengambil waktu di siang dan pagi hari untuk melihat-lihat perkembangan Tanah Perdikan Menoreh, sementara Sekar Mirah dapat melakukan tugasnya di barak pasukan khusus.

Dengan demikian, maka Tanah Perdikan Menoreh itupun tetap mendapat perhatian dari Agung Sedayu.

Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang tidak ikut memasuki barak itupun merasa mendapat kekuatan baru di dalam diri mereka. Selama itu, mereka merasa mulai dilupakan oleh Agung Sedayu. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu telah kembali lagi ke tengah-tengah mereka, sehingga merekapun bekerja semakin keras bagi Tanah Perdikan mereka. Juga dalam latihan-latihan olah kanuragan merekapun menjadi semakin bergairah lagi. Apalagi di samping Agung Sedayu terdapat seorang anak muda yang mempunyai adat dan kebiasaan yang lebih terbuka dari Agung Sedayu. Sehingga dalam waktu singkat, Glagah Putih telah merasa dirinya berada di kampung halaman sendiri. Apalagi sebelumnya Glagah Putih memang sudah dikenal di Tanah Perdikan Menoreh.

Namun di luar pengetahuan Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih, bahkan di luar pengetahuan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh selain orang-orang yang khusus, maka Mbah Kanthil telah kembali dari Gunung Somawana bersama seorang laki-laki tua yang sebaya dengan ketuaan Mbah Kanthil sendiri. Namun meskipun umur mereka sebaya, tetapi orang itu adalah guru Mbah Kanthil dalam ilmu hitam.

Tepat pada hari kelima, Prastawa telah menyuruh seorang kawannya menghubungi Mbah Kanthil untuk menanyakan, apakah orang yang dimaksudkan sudah datang.

“Katakan kepada Anakmas Prastawa,” berkata Mbah Kanthil, “guruku telah berada di dalam gubugku. Khusus bagi Angger Prastawa, guruku ternyata bersedia datang, meskipun ia sudah tua dan harus menempuh jalan yang panjang. Tetapi ilmunya telah mempengaruhinya, sehingga seolah-olah jarak yang kami tempuh tidak lebih dari ujung padukuhan ke ujung padukuhan yang lain.”

Kawan Prastawa itupun kemudian menyampaikan hal itu kepadanya, sehingga dengan demikian, maka Prastawa pun segera mengatur diri untuk menemui guru Mbah Kanthil yang tua itu.

Untuk menghindari agar tidak ada orang yang melihat ia datang ke rumah Mbah Kanthil, maka Prastawa pergi ke rumah itu di malam hari seperti yang pernah dilakukannya. Bersama dua orang kawannya, maka dengan diam-diam ia memasuki regol halaman rumah Mbah Kanthil.

Ketika ia mendekati pintu rumah itu, maka terasa jantungnya berdentang semakin keras. Seolah-olah sebuah kegelisahan yang tajam telah menahannya.

Namun Prastawa itupun kemudian menghentakkan dirinya. Kegelapan telah menguasai hatinya, sehingga iapun kemudian berkata kepada diri sendiri, “Aku harus mendapatkannya. Ia terlalu cantik. Tetapi iapun telah menyakiti hatiku. Karena itu, aku harus membalasnya sehingga perempuan itu harus merangkak di bawah kakiku, sementara suaminya tidak akan berdaya untuk mencegahnya.”

Karena itu, maka bersama dua orang kawannya, Prastawa pun telah mengetuk pintu rumah Mbah Kanthil yang jarang mendapat kunjungan tetangga itu. Tetapi justru orang-orang dari tempat yang jauhlah yang sering datang kepadanya.

Ketika pintu rumah itu diketuk perlahan-lahan, maka terdengar Mbah Kanthil bertanya ramah, “Siapa diluar?”

“Aku,” jawab Prastawa singkat.

“Anakmas Prastawa?” terdengar suara Mbah Kanthil pula.

“Ya,” sahut Prastawa pula.

Dengan tergesa-gesa Mbah Kanthil telah membuka pintu rumahnya. Kemudian mempersilahkan Prastawa dengan dua orang kawannya untuk masuk ke ruang dalam.

Prastawa tertegun ketika ia melangkah ke amben bambu yang besar, yang terdapat di ruang itu. Dilihatnya seorang laki-laki setua Mbah Kanthil duduk dengan tenang memandanginya. Rambutnya yang putih panjang terurai di punggungnya. Sebuah ikat kepala berwarna hitam tersangkut di lehernya, sedangkan kedua tangannya bersilang di dadanya.

Orang itu tersenyum ketika ia melihat Prastawa dan kedua orang kawannya termangu-mangu. Dengan suara yang berat dan serak ia berkata, “Marilah Anakmas, silahkan duduk.”

Prastawa melangkah maju. Kemudian dengan hati yang berdebar-debar ia duduk di bibir amben itu bersama dengan dua orang kawannya yang juga menjadi gelisah.

“Aku sudah tahu, siapakah Anakmas bertiga. Dan aku sudah tahu kepentingan Anakmas memanggil aku, dari Kanthil,” berkata orang itu. Lalu, “Nah, perkenankan aku memperkenalkan diriku. Orang yang sudi memanggil aku, namaku adalah Tali Jiwa. Kiai Tali Jiwa.”

Prastawa mengangguk hormat. Jawabnya, “Aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan Kiai untuk datang memenuhi undanganku.”

Kiai Tali Jiwa itu tertawa. Katanya, “Itu sudah menjadi kewajibanku Anakmas. Aku memang wajib menolong sesama yang memang memerlukan pertolonganku. Aku akan merasa bahagia jika usahaku untuk menolong mereka yang memerlukan pertolonganku itu berhasil dengan baik.”

Prastawa mengangguk-angguk. Terasa betapa besar pengaruh wibawa orang yang menyebut dirinya Kiai Tali Jiwa itu. Jauh berbeda dengan wibawa Mbah Kanthil yang dikenalnya sebagai seorang dukun tukang meramal nasib dan kadang kadang membantu seseorang yang mempunyai keinginan tertentu.

“Anakmas,” berkata Kiai Tali Jiwa, “meskipun Kanthil sudah mengatakan kepadaku tentang kepentingan Anakmas, namun aku masih berharap Anakmas menyampaikan keinginan itu kepadaku, agar aku yakin bahwa aku tidak salah langkah, karena mungkin ada hal yang kurang atau lebih dari keterangan Kanthil kepadaku.”

Prastawa beringsut setapak. Kemudian katanya, “Baiklah Kiai. Aku memang sangat mengharap pertolongan Kiai.”

“Ya, ya. Katakan. Jangan ragu-ragu,” sahut Kiai Tali Jiwa.

Prastawa masih saja merasa gelisah. Tetapi ia berkata juga, “Kiai, aku merasa hatiku disakiti oleh seorang perempuan.”

“Disakiti?” Kiai Tali Jiwa mengerutkan keningnya. “Nah, yang aku dengar justru sebaliknya. Anakmas telah tertarik kepada seorang perempuan.”

“O,” keringat dingin membasahi punggung Prastawa. “Maksudku, perempuan yang telah menyakiti hatiku itu memang telah menarik hatiku pula.”

Kiai Tali Jiwa tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Baiklah. Katakan. Katakan semuanya sampai tuntas, agar aku tidak salah tangkap.”

Prastawa pun kemudian menceritakan segala sesuatu tentang Sekar Mirah dan tentang Agung Sedayu dalam hubungannya dengan dirinya. Bukan saja karena tertarik kepada Sekar Mirah yang telah terlanjur kawin dengan Agung Sedayu dan yang kemudian telah membuat hatinya menjadi sakit, tetapi juga dalam kedudukannya sebagai kemenakan Ki Argapati yang berkuasa di Tanah Perdikan Menoreh, yang kedudukannya telah terdesak oleh Agung Sedayu.

Kiai Tali Jiwa mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah Anakmas. Aku mengerti. Aku dapat merasa betapa hatimu merasa tertekan oleh keadaan itu. Dan adalah wajar sekali jika kau ingin berbuat sesuatu untuk memecahkan himpitan itu. Karena itu, aku tidak akan menyalahkanmu jika kau ingin berbuat sesuatu.”

“Aku ingin pertolongan Kiai,” berkata Prastawa kemudian.

“Membalas sakit hati sekaligus mendapatkan perempuan itu?” desis Kiai Tali Jiwa.

“Ya Kiai,” jawab Prastawa.

“Dengan satu jaminan, bahwa suami perempuan itu tidak akan berbuat sesuatu?” Kiai Tali Jiwa meneruskan.

“Ya Kiai,” Prastawa menundukkan kepalanya.

Kiai Tali Jiwa tertawa. Katanya, “Aku senang kepada orang yang jujur seperti Anakmas ini. Karena itu, anakmas memang harus mendapatkan pertolongan. Dan menolong sesama itu adalah kewajibanku.”

“Terima kasih atas kesediaan Kiai,” desis Prastawa.

“Tetapi aku tidak dapat melakukannya dengan serta merta sekarang juga Anakmas. Aku memerlukan waktu sedikit untuk mempersiapkan diri.”

Prastawa mengerutkan keningnya. Nampak sepercik kekecewaan di wajahnya.

Namun dalam pada itu, Kiai Tali Jiwa berkata, “Sebaiknya Anakmas memang tidak tergesa-gesa. Tetapi segalanya akan berlangsung dengan pasti.”

Prastawa mengangguk-angguk.

“Nah, sekarang katakan kepadaku Anakmas,” berkata Kiai Tali Jiwa, “apa yang harus aku lakukan terhadap perempuan itu? Apakah aku harus membuatnya menyesali perbuatannya? Atau aku harus membuatnya tergila-gila kepada Anakmas? Sementara itu, apa pula yang harus aku lakukan terhadap suaminya? Membunuhnya atau dengan cara lain?”

Prastawa tertegun sejenak. Ada sesuatu yang memberati perencanaannya untuk mengatakan maksudnya. Tetapi ia sudah berada di hadapan Kiai Tali Jiwa.

Karena itu, maka bagaimanapun juga, ia harus berbicara.

“Kiai,” berkata Prastawa, “aku memang menginginkan perempuan itu. Apapun yang Kiai lakukan, tetapi yang pada akhirnya aku berhasil memilikinya. Sementara itu, Kiai dapat berbuat apa saja terhadap suaminya. Kiai tidak usah membunuhnya, tetapi dengan satu kepastian bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi terhadap istrinya dan terhadapku.”

Kiai Tali Jiwa tertawa. Katanya, “Baiklah Anakmas, baiklah. Aku mengerti, Anakmas adalah seorang yang baik hati.”

“Selebihnya Kiai,” berkata Prastawa, “aku mohon agar Paman tidak berpaling kepada Agung Sedayu sehingga aku kehilangan kesempatan memerintah di Tanah Perdikan Menoreh.”

Kiai Tali Jiwa mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah mengerti sepenuhnya. Dan aku akan melakukannya. Pekerjaan ini tidak terlalu sulit aku lakukan. Tetapi sekali lagi, aku mohon waktu. Aku harus berpuasa empat puluh hari empat puluh malam. Aku minta Kanthil membantuku agar segalanya dapat berlangsung tanpa kemungkinan untuk gagal.”

Prastawa mengangguk angguk. Katanya, “Terserahlah kepada Kiai. Aku akan menunggu.”

“Besok aku akan mulai dengan mandi keramas. Aku harus mulai dengan sesaji. Ada beberapa macam kebutuhan untuk kepentingan sesaji itu Ngger. Biarlah nanti Kanthil mengatakannya. Ia tahu apa yang aku butuhkan,” berkata Kiai Tali Jiwa.

Prastawa mengangguk-angguk pula. Kemudian iapun berpaling kepada mBah Kanthil yang duduk tidak begitu jauh di sebelahnya.

“Anakmas,” berkata Kiai Kanthil, “kami membutuhkan ayam putih mulus. Sepotong mori putih. Kebutuhan-kebutuhan kecil yang tidak berarti lainnya dan yang penting, kami memerlukan jarum dari emas murni tiga batang. Emas itu harus dilontarkan langsung menyerang bagian dalam sasaran.”

“Kenapa harus emas murni?” di luar sadarnya Prastawa bertanya.

“Bukankah Anakmas tidak ingin membunuhnya? Kami dapat melakukannya dengan benda-benda lain. Dengan potongan besi biasa, atau dengan duri ikan air atau dengan cara-cara yang lain. Tetapi benda-benda itu akan dapat merusak sasaran dan mungkin akan membunuhnya. Emas murni tidak akan berkarat dan melukai sasaran lebih dari yang dikehendaki,” jawab Kiai Tali Jiwa.

Prastawa mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, aku akan memenuhi segala kebutuhan. Besok seorang kawanku akan datang kemari. Ia akan membawa uang untuk memenuhinya.”

“Baiklah nakmas,” berkata Kiai Tali Jiwa, “yang kita lakukan ini bukan sekedar bermain-main. Tetapi kita sudah melakukan satu kerja besar dan bersungguh-sungguh. Karena itu, maka kita harus benar-benar mempersiapkan diri. Lahir dan batin.”

“Ya Kiai,” jawab Prastawa singkat.

“Baiklah. Malam ini aku akan menyiapkan segalanya. Besok aku akan mulai dengan puasaku empat puluh hari empat puluh malam. Aku akan melangkah dengan satu keyakinan, karena pekerjaan seperti ini sudah sering aku lakukan,” berkata Kiai Tali Jiwa.

Dalam pada itu, Prastawa yang merasa sudah cukup, segera mohon diri. Ia tidak betah terlalu lama berada di tempat itu. Rasa-rasanya nafasnya menjadi sesak dan darahnya tersendat-sendat di jantungnya, selama ia duduk berhadapan dengan Kiai Tali Jiwa dan sekaligus Mbah Kanthil yang tua itu,

Dengan hati-hati ketiga anak muda itupun kemudian meninggalkan rumah Mbah Kanthil. Mereka tidak mau dilihat oleh seorangpun yang akan dapat menyebarkan kabar yang sangat menarik perhatian orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi jika kemudian ternyata usaha Kiai Tali Jiwa berhasil dan nampak mencengkam sasarannya.

“Kau tidak akan menunggu terlalu lama,” berkata seorang kawannya, “perempuan itu tentu akan selalu mencarimu, sementara suaminya akan terbaring di rumahnya karena sakit yang tidak diketahui sebab-sebabnya.”

Prastawa tidak menjawab. Tetapi wajahnya justru menjadi tegang.

Kawan-kawannyapun kemudian tidak bertanya lagi. Mereka berjalan tergesa-gesa melintasi jalan yang gelap, langsung menuju ke padukuhan induk.

Dalam pada itu, di rumah Agung Sedayu, Glagah Putih masih berada di dalam sanggar. Ia sudah menguasai ilmunya sampai tuntas. Dari Agung Sedayu ia sudah mendapat pengarahan untuk memahami puncak ilmu yang dipelajarinya di dalam goa pada bagian yang hilang dan rusak, yang tanpa sengaja telah terhapus oleh Agung Sedayu.

Justru karena itu, maka Agung Sedayu mulai memperkenalkan beberapa bagian ilmu dari jalur perguruan yang lain dari perguruan Ki Sadewa.

“Glagah Putih,” berkata Agung Sedayu, “jika aku memperkenalkan beberapa bagian ilmu kanuragan dari jalur perguruan yang lain, maka hal itu akan dapat kau pergunakan sebagai bahan perbandingan dan sekaligus sebagai bahan untuk melengkapi ilmu yang telah kau kuasai. Tentu saja yang mempunyai dasar dan watak yang bersamaan.”

Glagah Putih dengan tekun mengikuti segala petunjuk Agung Sedayu. Dengan penuh minat ia berusaha mengenal beberapa unsur dari ilmu olah kanuragan dari jalur yang berbeda. Namun yang dengan ketajaman nalar dan pengamatan, maka unsur-unsur itu akan dapat berarti bagi ilmu yang telah dikuasainya. Justru melengkapinya.

Karena itu, maka ilmu Glagah Putih itupun menjadi semakin padat. Yang terasa lemah pada sendi-sendi hubungan antara unsur yang satu dengan yang lain, dapat dimantapkan dengan unsur-unsur yang dikenalnya dari jalur perguruan yang lain, yang dengan seksama diselaraskan dengan watak ilmu yang telah ada padanya. Bahkan kemudian unsur-unsur gerak itu terasa luluh di dalam ilmunya.

“Dalam perkembangannya nanti, maka kau tentu akan semakin banyak menyadap unsur-unsur yang kau kenal lewat pengalamanmu, dan dengan daya ungkap yang tajam, kau akan memanfaatkannya untuk mengisi kelemahan-kelemahan dari jalur perguruan yang kau anut sekarang ini. Karena itu, kau tidak perlu berpegang teguh pada kemurnian unsur dari ilmumu, karena jika unsur-unsur yang kau kenal kemudian itu dapat melengkapi dan tidak bertentangan dengan watak ilmu yang kau miliki, maka unsur-unsur itu akan sangat bermanfaat bagi ilmumu,” berkata Agung Sedayu meyakinkan.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya maksud Agung Sedayu. Dan iapun tidak akan mengelak dari tuntunan itu. Ia memang tidak berdiri tegak di atas jalur ilmu yang dianutnya tanpa menghiraukan kemungkinan-kemungkinan lain. Seolah-olah menolak segala macam sentuhan yang dapat dianggap menodai kemurnian ilmu yang dianutnya.

Dengan demikian, maka Glagah Putih pun menyadari, bahwa ia harus berpandangan luas tanpa memagari diri dalam kekerdilan pandangan atas pegangannya, yang diungkapkannya tanpa menghiraukan keadaan di seputarnya.

Bahkan Glagah Putih merasa beruntung, karena Agung Sedayu masih tetap membimbingnya dan memberikan arah perkembangan ilmunya, selesai mengendapkan pengalaman yang seharusnya di sadapnya untuk waktu yang bertahun-tahun.

Demikianlah, kehadiran Glagah Putih di Tanah Perdikan Menoreh tidaklah sia-sia. Tidak sia-sia bagi Glagah Putih, dan tidak sia-sia bagi Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Karena dengan kehadiran Glagah Putih, terasa rumah Agung Sedayu itu semakin hidup. Meskipun kadang-kadang Glagah Putih justru masih ikut bersama pembantu di rumah Agung Sedayu pergi ke sungai di tengah malam untuk menutup pliridan dan menangkap ikan, setelah Glagah Putih keluar dari sanggar, atau di waktu-waktu senggang apabila Agung Sedayu berada di gardu-gardu di antara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi di saat-saat lain, Glagah Putih telah ikut pula bersama Agung Sedayu dalam latihan-latihan bersama anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh yang tidak ikut dikirim ke barak pasukan khusus yang dibentuk oleh Mataram.

Dalam pada itu, maka keluarga kecil yang terdiri dari tiga orang dan seorang pembantu yang masih sangat muda itu, menjadi semakin mapan. Mereka telah berhasil menyusun acara kesibukan mereka. Agung Sedayu yang sudah mendapat bantuan Sekar Mirah dalam tugasnya di barak, telah mendapatkan waktu untuk melakukan kegiatan di Tanah Perdikan Menoreh. Glagah Putih ternyata tidak tinggal diam. Bahkan dalam usianya, ia justru lebih banyak berbuat dari Agung Sedayu sendiri.

Sementara itu, Prastawa sama sekali tidak mengganggu mereka. Menurut pengamatan Glagah Putih, anak muda itu justru telah berubah. Ia tidak lagi bersikap kasar dan kadang kadang tidak dapat dimengerti oleh Glagah Putih. Tetapi ia cenderung untuk tidak mengacuhkan kehadiran Glagah Putih di Tanah Perdikan.

Namun sementara itu, di rumah Mbah Kanthil, Kiai Tali Jiwa telah melakukan puasa empat puluh hari empat puluh malam. Hanya di saat matahari terbenam dan terbit sajalah ia minum beberapa teguk dan makan beberapa suap nasi putih tanpa lauk sama sekali.

Dengan laku itu, ia telah memusatkan segenap kemampuannya untuk melakukan satu tugas yang berat bagi kepentingan Prastawa. Ia harus memasang guna-guna pada seorang perempuan yang bernama Sekar Mirah, sekaligus membuat suami perempuan itu tidak berdaya.

“Masalahnya bukan saja perempuan itu,” berkata Kiai Tali Jiwa kepada Mbah Kanthil, “tetapi tentu Tanah Perdikan ini. Angger Prastawa tentu berharap menjadi satu-satunya orang yang akan diserahi kepemimpinan Tanah Perdikan ini, karena Pandan Wangi sebagaimana kau katakan berada di Sangkal Putung.”

“Persoalannya memang tumpang tindih,” jawab Mbah Kanthil, “tetapi aku tidak tahu, yang manakah yang lebih penting bagi Anakmas Prastawa.”

Dalam pada itu, jika malam turun, maka Kiai Tali Jiwa hampir tidak pemah memejamkan matanya. Tetapi ia duduk tepekur di amben bambu. Kedua tangannya disilangkannya di dadanya.

Meskipun ia belum sampai pada laku puncak, yang akan dilakukan pada hari-hari terakhir, namun setiap saat ia sudah mulai dengan pengetrapan ilmunya. Semakin hari semakin tajam, sehingga pada hari terakhir, maka dalam satu hari satu malam, ia akan melepaskan segenap ilmunya dengan melontarkan ilmu gendamnya kepada Sekar Mirah, dan sekaligus melukai bagian dalam tubuh Agung Sedayu, sehingga ia kehilangan kemampuannya untuk berbuat sesuatu.

Dalam pada itu, Mbah Kanthil telah menyiapkan segala-galanya. Sebuah jambangan di senthong tengah. Meskipun masih belum diasapi dengan kemenyan, tetapi jambangan itu telah berisi air yang ditaburi beberapa jenis bunga. Di samping bunga kanthil, kenanga dan mawar, maka di dalam air itu terdapat pula daun awar-awar dan duri beberapa jenis ikan, dalam tabung bersama tiga batang jarum emas murni. Sepotong kayu wregu kembang dan akar waringin sungsang direndam pula di dalam air itu, bersama sepasang jambe yang sudah dibelah. Sementara lampu minyak berkeredipan tanpa pernah padam selama empat puluh hari empat puluh malam.

Demikianlah, dari hari ke hari, Kiai Tali Jiwa bekerja semakin keras. Waktunya untuk tepekur semakin panjang. Bukan saja di malam hari, tetapi di siang haripun Kiai Tali Jiwa lebih banyak menekuni kewajibannya dengan sepenuh hati. Bahkan setelah hari yang ketiga puluh, Kiai Tali Jiwa mulai memasuki bilik khusus. Di senthong tengah itu Kiai Tali Jiwa mulai menyalakan api berbau kemenyan. Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang sama sekali tidak menduga bahwa mereka sedang dibayangi oleh rencana yang gawat, melakukan tugas mereka sehari-hari sebagaimana mereka lakukan. Agung Sedayu masih juga menyisihkan waktu untuk membawa Glagah Putih ke dalam sanggar.

Namun demikian, pada keduanya mulai terasa sesuatu yang asing. Sekar Mirah yang setiap hari pergi juga ke barak sebagaimana juga Agung Sedayu, merasakan satu pengaruh yang tidak dikenalnya. Di saat-saat ia berjalan pulang bersama Agung Sedayu, ia merasa Tanah Perdikan itu begitu sepi. Apalagi ketika mereka sudah berada di rumah. Di bawah nyala lampu minyak yang berkeredipan. Disaat-saat mereka makan ditemani oleh Glagah Putih.

Bagi Sekar Mirah, Agung Sedayu seakan-akan mengalami perubahan sikap. Seolah-olah Agung Sedayu itu tidak banyak lagi menghiraukannya. Ia lebih banyak berbuat sesuatu bagi Glagah Putih. Selebihnya hampir seluruh waktunya dipergunakannya bagi Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika Sekar Mirah berada di halaman rumahnya di sore hari, setelah ia pulang dari barak bersama Agung Sedayu, hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Prastawa berkuda lewat di depan rumahnya.

Tetapi Prastawa itu tidak berhenti. Bahkan berpaling pun tidak.

“Anak muda itu sombong sekali,” berkata Sekar Mirah di dalam hatinya. “Untuk apa ia lewat di depan rumah ini tanpa berhenti sama sekali.”

Selagi Sekar Mirah termenung, tiba-tiba saja ia terkejut karena terdengar suara Agung Sedayu di belakangnya, “Aku akan pergi ke padukuhan sebelah, Mirah.”

“O,” desis Sekar Mirah.

“Aku ingin melihat tanggul susukan yang katanya pecah itu,” berkata Agung Sedayu pula.

“Silahkan Kakang,” jawab Sekar Mirah.

“Glagah Putih akan pergi bersamaku,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Sekar Mirah mengangguk, sementara Glagah Putih telah berlari-lari turun tangga pendapa.

Sejenak kemudian keduanya telah pergi. Sekar Mirah yang sendiri di rumahnya merasa menjadi semakin sepi. Kehadiran Glagah Putih tidak banyak memberikan arti lagi kepadanya. Bahkan bersama Glagah Putih, Agung Sedayu semakin sering keluar rumah.

“Apa artinya semuanya ini?” pertanyaan itu mulai bergejolak di dalam hati Sekar Mirah.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu pun merasakan sesuatu yang tidak dimengertinya pada tubuhnya. Pada saat-saat tertentu terasa sendi-sendinya terasa letih. Seakan-akan kekuatan yang ada di dalam tubuhnya mulai susut dari hari ke hari.

Tetapi pada saat-saat tertentu, jika kegelisahan itu merayapi jantungnya tanpa dapat dikendalikan, maka Agung Sedayu telah pergi ke tempat yang terasing. Ia tidak membiarkan perasaan itu bermain di dalam dirinya. Karena itu, maka ia ingin membuktikan, apakah benar kekuatannya telah susut.

Pada saat yang demikian, maka ia telah mengambil sasaran di lereng pegunungan Menoreh. Bukan saja untuk menilai kemampuan tenaga wadagnya dan landasan tenaga cadangannya. Tetapi Agung Sedayu menilai pula kemampuan ilmunya lewat sorot matanya. Bahkan kemampuannya melenting dan bergerak dalam landasan ilmu meringankan tubuhnya.

Ternyata semuanya masih tidak berubah. Semuanya masih tetap pada tingkat dan tataran yang seharusnya.

Agung Sedayu bukan orang yang cepat menerima pengaruh pada dirinya, Demikian pula agaknya dengan Sekar Mirah. Karena itu, maka yang terjadi di dalam diri mereka itupun, tidak luput dari perhatian mereka dengan sungguh-sungguh. Meskipun masing-masing telah berusaha untuk menilai apa yang sebenarnya sedang mereka hadapi.

Sebenarnyalah mereka memang bukan orang kebanyakan. Karena itu, maka mereka tidak menerima segala yang terjadi atas diri mereka itu begitu saja. Bahkan Sekar Mirahpun menjadi heran kepada diri sendiri, bahwa perhatiannya kepada Prastawa menjadi semakin besar.

“Ada yang asing pada diriku,” berkata Sekar Mirah kepada diri sendiri, “mungkin pengaruh kesepianku yang terasa semakin mencengkam, karena Kakang Agung Sedayu terlalu sering meninggalkan aku di rumah.”

Tetapi Sekar Mirah bukan orang yang tertutup sebagaimana Agung Sedayu. Ia lebih terbuka seperti Swandaru. Karena itu, maka ia tidak senang menyimpan perasaan asing itu di dalam dirinya.

Karena itu, maka ternyata Sekar Mirah-lah yang lebih dahulu menyatakan perasaan itu kepada Agung Sedayu, daripada Agung Sedayu sendiri.

Ketika keduanya duduk di amben bambu setelah makan malam dikawani oleh Glagah Putih, maka Sekar Mirah itupun berkata, “Kakang, apakah aku boleh mengatakan sesuatu.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia tidak dapat menolaknya, betapapun ia tidak dapat mengatakan perasaan tentang dirinya itu lebih dahulu.

“Apakah ada sesuatu yang penting Mirah?” bertanya Agung Sedayu kemudian.

“Menurut pendapatku, ada sesuatu yang wajib aku katakan kepadamu Kakang. Untuk kepentingan kita berdua,” jawab Sekar Mirah.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Jika hal itu kau anggap penting, dan berguna bagi kita berdua, maka sebaiknya katakanlah.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang Glagah Putih yang gelisah.

“Kakang,” berkata Glagah Putih kemudian dengan tersendat-sendat, “jika Kakang ingin berbicara dengan Mbokayu, sebaiknya aku keluar sebentar. Mungkin ada sesuatu yang tidak seharusnya aku dengar.”

“Tidak Glagah Putih,” Sekar Mirah-lah yang menyahut, “kau duduk saja di situ. Kau sudah cukup dewasa sekarang. Karena itu, kau boleh mendengar persoalan yang akan aku bicarakan dengan Kakang Agung Sedayu.”

Glagah Putih masih tetap termangu-mangu. Namun Agung Sedayu kemudian berkata, “Duduk sajalah di situ Glagah Putih.”

Glagah Putih tidak jadi beringsut. Tetapi kepalanyapun kemudian menunduk dalam-dalam. Ia menjadi cemas, bahwa persoalan yang akan dibicarakan oleh Sekar Mirah dan Agung Sedayu itu berkisar kepada dirinya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar