Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 153

Buku 153

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia memang dapat membayangkan, jika Pajang bertempur melawan Mataram, maka keduanya akan mengerahkan kekuatan yang sangat besar.

“Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing, “yang kita harapkan adalah keterangan-keterangan yang meyakinkan bahwa perang tidak akan pecah pada bulan di akhir tahun ini.”

Swandaru mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya Guru.”

“Nah, untuk itulah Ki Widura akan berhubungan terus menerus dengan Untara. Bukan saja sebagai kakak Agung Sedayu yang memang mempunyai tanggung jawab atas pelaksanaan hari perkawinan itu, tetapi ia adalah seorang Senapati Pajang. Ia akan banyak mendapat keterangan tentang perkembangan keadaan di Pajang meskipun terus terang, bahwa jalur kekuasaan keprajuritan Pajang telah bercabang-cabang, sehingga jalur yang satu tidak berhubungan dengan jalur yang lain, atau justru dengan sengaja bersembunyi dari pengamatan jalur kekuasaan yang lain.”

Swandaru masih mengangguk-angguk. Katanya, “Salah satu cara Guru. Mudah-mudahan pada waktu dekat tidak terjadi sesuatu yang akan dapat mengurungkan hari-hari perkawinan yang sudah ditunggu-tunggu bukan saja oleh orang tuaku, tetapi juga oleh orang-orang Sangkal Putung, karena mereka akan merasa ikut mengadakan peralatan itu.”

Sebenarnyalah Untara sendiri kadang-kadang tidak dapat menyembunyikan kecemasan hatinya. Kepada Ki Widura ia mengakui, bahwa banyak hal yang tidak diketahuinya berkembang di Pajang pada hari-hari terakhir. Bahkan Untara melihat betapa para pemimpin keprajuritan di Pajang seolah-olah telah kehilangan ikatan, sehingga mereka bertindak sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan masing-masing.

“Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu?“ bertanya Ki Widura.

“Bagaimanapun juga aku masih seorang senapati, Paman,“ jawab Untara, “aku masih akan dapat berbuat sebagai seorang senapati di daerah ini.”

“Apa maksudmu?“ bertanya Ki Widura.

“Untuk menghindari kemungkinan buruk itu, aku masih dapat bertindak bersama pasukanku,“ jawab Untara, “atau mungkin aku akan menerima perintah dalam hubungannya dengan sikap pemimpin keprajuritan Pajang, yang manapun juga yang pada saat terakhir menguasai keadaan.”

“Bagaimana jika perintah itu bukan yang dapat memberi peluang bagi Agung Sedayu untuk melakukan perkawinan itu?“ bertanya Ki Widura.

“Jika memang keadaan memaksa, bukankah lebih baik perkawinan itu ditunda?“ jawab Untara, “Aku kira hal itu lebih baik dari pada perkawinan itu dipaksakan juga berlangsung pada hari yang telah ditentukan, tetapi akan mengalami gangguan-gangguan yang akan dapat menyulitkan.”

Ki Widura mengangguk-angguk. “Tetapi rasa-rasanya Sangkal Putung akan sangat menjadi kecewa apabila perkawinan itu harus ditunda. Namun, jika keadaan memang menjadi sangat gawat, maka apa boleh buat.”

“Paman,“ berkata Untara, “sebenarnya aku tidak dapat mengatakannya kepada siapapun juga. Tetapi karena Paman adalah bekas prajurit, maka aku kira Paman akan dapat menyimpan kecemasan ini di dalam hati. Sejak terbentuknya pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru, aku justru menjadi bimbang terhadap kebijaksanaan pimpinan prajurit di Pajang.“ Untara berhenti sejenak, lalu, “Sebagaimana Paman ketahui, aku adalah seorang prajurit. Aku sudah menyerahkan diri ke dalam ikatan yang utuh bagi seorang prajurit. Tetapi sudah barang tentu aku bukan alat yang mati bagi Pajang. Aku masih tetap seorang yang mempunyai pertimbangan nalar budi, sehingga keadaan yang berkembang pada saat terakhir dapat mengguncang nalar dan pertimbanganku, sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam diri.”

“Bukankah dengan demikian kau berada di dalam kesulitan untuk menentukan sikap?“ bertanya Ki Widura.

“Aku sudah sepakat dengan para perwira di Jati Anom, bahwa kami akan mempertimbangkan semua keadaan yang berkembang kemudian. Sebenarnya-lah kami sudah mengetahui, bahwa sejak beberapa lama Sultan di Pajang sudah tidak memerintah lagi sebagaimana yang seharusnya. Dalam keadaan sakit-sakitan, maka pemerintahan sedang terombang-ambing di antara orang-orang yang tamak dan mementingkan diri sendiri.”

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang bekas prajurit ia dapat mengerti, betapa sulitnya kedudukan Untara kemudian. Bagaimanapun juga Untara masih terikat pada susunan tataran keprajuritan. Namun ia mengetahui, bahwa jalur tingkatan keprajuritan itu sudah rapuh justru di tingkat puncaknya.

“Tetapi sikap itu mengandung kemungkinan yang berbahaya bagi kesatuanmu Untara,“ desis Ki Widura kemudian.

“Memang Paman. Mungkin akan dapat berakibat sangat buruk bagi aku sendiri. Tetapi aku tidak dapat berbuat lain. Aku menganggap bahwa hal itu akan lebih baik daripada secara buta dan tuli aku berbuat berdasarkan perintah, namun jalur urutan perintah itu tidak lagi sampai kepada puncak pimpinan pemerintahan Pajang yang sebenarnya. Dalam hal ini Kanjeng Sultan sendiri,“ jawab Untara. Lalu, “Aku akan dapat menghindari segala tindakan dan perbuatan yang dapat menjerat aku ke dalam satu sikap mati, sebagai sekedar alat untuk alas kepentingan seseorang.”

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga sikap Untara adalah sikap seorang prajurit Pajang, yang tetap mengakui Kanjeng Sultan Hadiwijaya sebagai pimpinan pemerintahan yang sah.

Namun karena itu, maka agaknya Untara pun tidak akan mudah berpaling ke Mataram, meskipun pada suatu saat ia akan menentang perintah yang datang dari Pajang, namun yang tidak lagi berpangkal kepada perintah Kanjeng Sultan di Pajang.

Segala macam peristiwa itulah yang ternyata harus dipertimbangkan oleh Widura, Kiai Gringsing dan Ki Demang Sangkal Putung. Meskipun Ki Widura tidak mengatakannya hal itu kepada Ki Demang, namun ia sudah membayangkan kemungkinan-kemungkinan apabila perkawinan harus ditunda.

“Tetapi itu adalah kemungkinan yang paling pahit, yang akan kita pertimbangkan apabila kita sudah tidak mempunyai jalan lain,“ berkata Ki Widura.

Sementara itu, haripun merayap semakin dekat dengan saat yang telah ditentukan. Hari, pekan dan bulan seolah-olah berlari seperti bayangan. Demikian cepatnya, sehingga tidak seorangpun yang dapat mengelakkan diri dari kejaran waktu.

Pada saat terakhir, ternyata Untara memberikan isyarat kepada Ki Widura, bahwa keadaan masih cukup tenang. Meskipun kemelut yang terdapat di Pajang memang menjadi semakin kabur, berbaur dengan kepentingan seorang-seorang, tetapi Untara menganggap bahwa masih belum akan sampai kepada satu saat untuk meledak.

“Kecuali jika Mataram-lah yang justru mengambil kesempatan,“ berkata Untara, “karena Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga adalah seorang yang cermat mengamati keadaan, maka mungkin sekali ia melihat satu peluang yang paling baik untuk menghancurkan Pajang sama sekali.”

Tetapi Ki Widura kemudian bertanya, “Apakah kau mempunyai satu dugaan, betapapun tipisnya, bahwa Raden Sutawijaya dapat berbuat demikian?”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Widura sejenak. Namun kemudian katanya, “Terus terang Paman, aku memang mempunyai dugaan bahwa Raden Sutawijaya pada suatu saat akan mempergunakan kesempatan untuk berbuat sesuatu atas Pajang yang dianggapnya tidak akan dapat ditolongnya lagi.”

“Apakah dengan demikian, kau dapat menyebut bahwa Mataram akan memberontak?“ bertanya Widura kemudian.

Untara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Kita semuanya masih ingat, bagaimana Ki Gede Pemanahan dan putranya itu meninggalkan Pajang. Kitapun mengerti, bahwa Raden Sutawijaya sudah menyatakan diri tidak akan naik ke paseban di Pajang, sebelum Mataram berhasil membentuk dirinya. Bagaimana tanggapan Paman atas sikap itu? Bukankah sikap itu tidak ubahnya satu sikap perlawanan terhadap kekuasaan Pajang?”

“Selama Kanjeng Sultan masih memegang pimpinan pemerintahan dengan wajar. Tetapi Raden Sutawijaya bukan seorang anak yang bodoh, yang pasti melihat bahwa sebenarnya yang sekarang berkuasa di Pajang adalah satu lingkungan yang tidak pasti. Dan karena itu. Raden Sutawijaya ingin menyelamatkan Pajang, atau justru menghancurkan Pajang?“ bertanya Widura.

“Paman,“ jawab Untara, “aku adalah seorang prajurit. Sikapku adalah sikap seorang prajurit. Pimpinan tertinggi Pajang adalah Sultan Hadiwijaya. Siapapun yang kemudian akan tampil, tanpa restu Kanjeng Sultan Hadiwijaya, ia bukan orang yang berhak memerintah aku.”

Widura menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah Untara. Aku tidak bermaksud berbicara tentang sikap Mataram. Tetapi kita akan berbicara tentang hari-hari perkawinan Agung Sedayu. Nah, bagaimana pendapatmu?”

“Sudah aku katakan. Pada hari-hari yang ditentukan itu akan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana. Untuk menghindari persoalan dengan Pajang, aku akan dengan sengaja memberitahukan kepada pimpinan prajurit di Pajang, dimanapun mereka berdiri, bahwa aku akan menempatkan pasukanku untuk menjaga ketenangan hari-hari perkawinan itu. Sudah tentu bahwa Agung Sedayu tidak berhak untuk mendapatkan pengawalan yang demikian. Tetapi aku dapat mempergunakan dalih apapun, seolah-olah aku mendapat keterangan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang akan mengacaukan hubungan antara Pajang dan Mataram, dengan mempergunakan kesempatan saat-saat perkawinan itu.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Untara memang cukup cepat berpikir. Ia tidak mengerahkan pasukannya bagi hari peralatan adiknya. Tetapi baginya, keterangan tentang akan timbulnya kekacauan itulah yang penting, yang dapat dipergunakannya sebagai alasan untuk mengerahkan pasukannya.

Dengan demikian, karena yang bersiap-siap di sekitar Sangkal Putung adalah prajurit Pajang, maka Pajang atau orang-orang yang ditunjuk tentu akan berpikir ulang jika mereka akan memanfaatkan hari-hari perkawinan Agung Sedayu itu untuk membuat keonaran.

Meskipun demikian, kemungkinan yang paling burukpun masih dapat terjadi. Mungkin orang-orang yang tidak dikenal, akan dapat mengaku dari pihak manapun juga untuk membuat kekacauan. Karena itu, maka di samping pasukan yang akan dipersiapkan oleh Untara, maka sebaiknya beberapa pemimpin dari Mataram pun diundang pula dalam peralatan itu.

“Memang kurang mapan, bahkan deksura, jika perkawinan Agung Sedayu, seorang penghuni padepokan kecil dengan seorang gadis anak seorang Demang, telah mengundang pemimpin-pemimpin di Mataram,“ berkata Widura. Lalu, “Tetapi mengingat hubungan antara Raden Sutawijaya dengan Agung Sedayu secara pribadi, maka hal itu mungkin dilakukan.”

Untara mengangguk-angguk. Bahkan hampir di luar sadarnya ia bergumam, “Paman, selama ini aku menganggap Agung Sedayu adalah seorang anak muda perajuk yang tidak berarti. Seorang anak muda yang menyimpan kemampuan di dalam diri, sebagaimana seorang yang menyembunyikan cintanya terhadap seorang gadis yang tidak dikenalnya. Ia seakan-akan menyingkir di sebuah padepokan kecil yang tidak berarti apa-apa. Namun pada saat yang demikian baru aku melihat, bahwa sebenarnya Agung Sedayu adalah seorang yang mempunyai pengaruh yang luas, jika aku tidak ingin mempergunakan istilah seorang yang besar. Ia mendapat sorotan tajam dari Pajang dan Mataram di saat ia akan kawin. Bahkan ternyata ia telah menggerakkan sepasukan prajurit Pajang dan mungkin pemimpin-pemimpin dari Mataram.” Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Ternyata akhirnya Untara mengakui juga kelebihan pada adiknya itu, meskipun selama ini ia selalu mendesaknya agar Agung Sedayu segera menggantungkan diri bagi suatu masa mendatang yang panjang.

Meskipun demikian, Ki Widura pun tidak dapat ingkar, bahwa kebesaran Agung Sedayu yang sebagian itu telah lewat, apakah pengabdiannya itu masih akan tetap dikenang oleh pihak yang bersangkutan. Tidak jarang bahwa mereka yang telah menunjukkan pengabdian yang tinggi, justru terjerat oleh keadaan yang paling pahit, setelah masa pengabdian itu lewat.

Karena itu, maka kebesaran Agung Sedayu pada satu saat tertentu bukan jaminan yang baik bagi masa depannya. Bagi masa depan keluarganya. Sementara Ki Widura serba sedikit dapat mengenali sifat dan watak Sekar Mirah yang mirip dengan watak dan sifat kakaknya, Swandaru.

Namun dalam pada itu, hari-haripun telah lewat. Sangkal Putung benar-benar telah mempersiapkan satu peralatan yang cukup meriah. Sementara itu, Ki Widura dan Untara masih selalu mencari keterangan-keterangan yang berhubungan dengan perkembangan keadaan di Pajang.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun berpendapat, bahwa pihak Mataram pun harus dihubungi. Karena itu, maka ia telah menyatakan dirinya untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, menemui dan berbicara dengan Agung Sedayu sendiri sebagai seseorang yang berkepentingan. Apalagi di Tanah Perdikan Menoreh terdapat Ki Waskita dan Ki Gede.

“Waktunya sudah terlalu dekat,“ berkata Kiai Gringsing, “sebaiknya Agung Sedayu sudah berada di Jati Anom beberapa hari lagi. Jika mungkin aku akan kembali bersamanya agar kita tidak selalu gelisah karenanya.”

Ternyata baik Widura maupun Ki Demang Sangkal Putung sependapat dengan Kiai Gringsing. Agung Sedayu harus secepatnya berada di Jati Anom, agar jika waktunya tiba, semua pihak tidak menjadi gelisah karenanya.

“Tetapi dengan siapa Guru akan pergi?“ bertanya Swandaru.

“Aka dapat pergi seorang diri,“ berkata Kiai Gringsing, “nampaknya justru aku akan aman di perjalanan.”

“Keadaan menjadi semakin tidak menentu,“ berkata Swandaru, “sebaiknya Guru tidak pergi sendiri dalam keadaan seperti ini.”

“Tetapi sebaiknya kaupun tidak meninggalkan Sangkal Putung,“ berkata Kiai Gringsing, “banyak hal dapat terjadi. Meskipun Pandan Wangi dan Sekar Mirah memiliki kemampuan olah kanuragan, tetapi mereka tidak akan dapat mengambil sikap sebagaimana kau lakukan.”

Swandaru mengangguk-angguk. Sebenarnya-lah bahwa ia tidak akan sampai hati meninggalkan Sangkal Putung menjelang hari-hari yang penting. Swandaru menyadari, bahwa dikehendaki atau tidak dikehendaki, ternyata banyak pihak yang memusuhi Agung Sedayu dan dirinya sendiri.

Kiai Gringsing yang melihat kebimbangan di wajah Swandaru itupun kemudian berkata, “Baiklah. Jika Ki Widura bersedia, aku akan pergi bersamanya.”

“Ki Widura bukan orang yang dapat disejajarkan dengan orang-orang berilmu tinggi,“ hampir di luar sadarnya Swandaru menjawab.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin memang demikian. Tetapi ia adalah bekas seorang perwira prajurit Pajang yang berpengaruh pada masanya.”

“Memang pada waktu itu,“ jawab Swandaru, “tetapi apakah Guru tidak justru harus melindunginya dalam keadaan yang sulit di perjalanan.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia memang mengerti bahwa Swandaru tidak bermaksud buruk. Sebenarnya-lah bahwa ilmu Ki Widura sudah tertinggal dibanding dengan Agung Sedayu dan Swandaru sendiri. Tetapi bagaimanapun juga Ki Widura adalah seorang senapati pada masa lewat. Bahkan justru di hari tuanya ia sempat memperdalam ilmunya bersama anak laki-lakinya di dalam goa yang telah diketemukan oleh Agung Sedayu.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Kiai Gringsing teringat kepada seorang prajurit yang bersahabat baik dengan Agung Sedayu, Sabungsari. Karena itu, dengan serta merta ia berkata, “Mungkin aku akan mendapat ijin Angger Untara untuk membawa Sabungsari bersamaku.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Ia mengenal Sabungsari. Dan iapun mengakui bahwa Sabungsari adalah seorang prajurit yang memiliki kelebihan dari prajurit kebanyakan. Sehingga karena itu, maka Swandaru itupun kemudian berkata, “Jika Untara tidak berkeberatan, ada juga baiknya Guru pergi bersama Sabungsari daripada bersama Ki Widura. Atau kedua-duanya.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, aku akan berbicara dengan mereka.”

“Silahkan Guru,“ jawab Swandaru, “selain bagi kelancaran perjalanan Guru, sebaiknya di perjalanan kembali, dapat dijamin bahwa Agung Sedayu akan selamat sampai ke Jati Anom. Meskipun aku percaya bahwa Kakang Agung Sedayu sendiri cukup mempunyai ilmu, tetapi jika yang dihadapi sejumlah orang di luar kemampuan perlawanannya, maka ia tidak akan dapat berbuat banyak.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan segera menghubungi Angger Untara dan Ki Widura.”

“Saatnya sudah menjadi semakin dekat. Paling lambat, sepasar sebelum hari perkawinan, Agung Sedayu harus sudah siap,“ berkata Swandaru.

Kiai Gringsing pun kemudian minta diri kepada Ki Demang untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Namun sebelumnya ia akan singgah lebih dahulu di Jati Anom.

Ternyata Untara sama sekali tidak berkeberatan ketika Kiai Gringsing menyatakan untuk mohon pertolongan Sabungsari pergi bersamanya ke Tanah Perdikan Menoreh bersama Ki Widura. Meskipun perjalanan itu tidak terlalu lama, tetapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan akan dapat terjadi di sepanjang perjalanan.

Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih tidak mau ditinggalkan sendiri. Sebenarnya Ki Widura sudah menduga, bahwa Glagah Putih tentu akan ikut pergi ke Tanah Perdikan Menoreh jika Ki Widura memperkenankan.

Ternyata setelah berbicara dengan Kiai Gringsing dan Sabungsari, Ki Widura tidak berkeberatan untuk membawa Glagah Putih bersama mereka ke Tanah Perdikan Menoreh.

Pada saat yang ditentukan, ketika matahari terbit di pagi yang cerah, empat orang berkuda meninggalkan padepokan Jati Anom. Mereka adalah Kiai Gringsing, Ki Widura, Sabungsari dan Glagah Putih. Rasa-rasanya Glagah Putih mendapat kesempatan untuk ikut bertamasya, sehingga wajahnya pun menjadi cerah seperti cerahnya pagi itu pula.

Perjalanan yang ditempuh oleh Glagah Putih bukannya perjalanan yang pertama kali. Meskipun demikian, ia masih saja sempat menikmati segarnya udara di bulak-bulak panjang yang hijau.

Titik-titik embun yang masih bergayutan di daun padi, nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari pagi.

Kudanya yang tegar berlari mendahului Kiai Gringsing dan Ki Widura. Di belakangnya Sabungsari seakan-akan mengikuti saja anak muda yang gembira itu.

Dalam perjalanan yang menuju ke Tanah Perdikan Menoreh itu, Kiai Gringsing dan Ki Widura sudah bersepakat, bahwa mereka tidak akan singgah di Mataram. Mereka akan langsung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh dan setelah bermalam satu dua malam, mereka akan mengajak Agung Sedayu kembali ke Jati Anom sampai saatnya hari perkawinannya tiba.

“Sebelum Agung Sedayu berada di Jati Anom, adalah sangat wajar jika Ki Demang dan keluarganya selalu dibayangi oleh kegelisahan. Apalagi mereka mengetahui, bahwa ada orang-orang yang kadang-kadang tanpa diketahui sangkan parannya berusaha untuk membinasakannya.”

Tidak ada hambatan yang timbul di perjalanan. Ketika mereka menuruni jalan yang lebih besar menuju ke Mataram, nampaknya jalan tidak terlalu ramai. Meskipun demikian, ada juga beberapa pedati yang lewat membawa hasil panenan.

Seperti semula, kadang-kadang Glagah Putih mendahului ayahnya yang berkuda bersama Kiai Gringsing. Sabungsari berada tidak terlalu jauh di belakangnya.

Ketika mereka menuruni Kali Opak di Prambanan, maka matahari sudah terasa menyengat kulit. Untuk beberapa saat mereka memberi kesempatan kepada kuda mereka untuk beristirahat. Sementara penunggangnya duduk di atas bebatuan di bawah pohon yang rindang.

Setelah kuda mereka minum dan makan rerumputan yang hijau di pinggir Kali Opak, maka merekapun segera melanjutkan perjalanan.

Tetapi rasa-rasanya ada kelainan yang mereka jumpai di jalan yang menuju ke Mataram itu. Mereka melihat jalan itu menjadi semakin sepi. Ada satu dua orang yang lewat dengan tergesa-gesa.

Bahkan ketika mereka semakin jauh meninggalkan Kali Opak, maka seseorang yang berkuda bertentangan arah telah menghentikan mereka.

“Ki Sanak,“ bertanya orang itu dengan nafas terengah-engah, “kemana kalian akan pergi?”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Kami akan pergi ke Menoreh.”

“Aku persilahkan Ki Sanak mengambil jalan lain,“ berkata orang itu.

“Kenapa?“ bertanya Glagah Putih ingin tahu.

“Di pedukuhan sebelah telah terjadi satu keributan,“ jawab orang itu.

“Keributan apa?“ Ki Widura pun tertarik.

“Aku kurang mengerti. Tetapi sekelompok orang-orang yang marah telah membakar sebuah warung. Aku tidak tahu nasib pemilik warung itu,“ jawab orang berkuda. Lalu, ”Aku lebih baik menghindari persoalan yang tidak aku mengerti, dan sama sekali tidak menyangkut diriku sendiri. Karena itu, aku anjurkan Ki Sanak untuk mengambil jalan lain.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Ki Sanak. Terima kasih. Kami akan mengambil jalan lain yang meskipun barangkali jalan lebih buruk.”

“Ya. Tetapi kalian tidak akan terlibat kedalam persoalan yang mungkin sangat berbahaya,“ berkata orang berkuda itu sambil minta diri, “aku akan mencari jalan pula.”

Keempat orang dari Jati Anom itu termangu-mangu sejenak. Mereka memandangi orang berkuda yang kemudian berpacu dengan cepat menuju ke arah yang berlawanan.

“Bagaimana dengan kita,“ desis Kiai Gringsing, “apakah kita akan mencari jalan lain?”

“Tidak,“ tiba-tiba saja Glagah Putih menyahut, “mungkin seseorang memerlukan pertolongan.”

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa darah petualangan anak muda mengalir dalam diri anaknya. Tetapi iapun juga merasa berbangga bahwa anaknya merasa dirinya berkewajiban untuk menolong sesama yang memerlukannya.

Karena itu, maka Ki Widura pun kemudian bertanya kepada Kiai Gringsing, “Bagaimana pertimbangan Kiai?”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan ia berdiri di jalan simpang. Jika ia mencampuri persoalan yang tidak diketahuinya, mungkin sekali persoalan itu akan dapat mengganggu perjalanannya yang sangat penting bagi keluarga Sangkal Putung itu. 

Tetapi apakah ia akan sampai hati membiarkan persoalan yang menekan seseorang dan bahkan mungkin membahayakannya tanpa memberikan pertolongan, seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih.

Selagi Kiai Gringsing dibayangi oleh keragu-raguan, Glagah Putih itupun mendesaknya, “Kita mempunyai kewajiban menolong sesama, Kiai. Mudah-mudahan kita tidak terlambat.”

Akhirnya Kiai Gringsing mengangguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan berjalan terus melalui jalan ini. Bagaimana pertimbangan angger Sabungsari?”

Sabungsari mengerutkan keningnya. Namun jawabnya kemudian, “Aku sependapat Kiai.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Karena itu, maka mereka berempat pun kemudian meneruskan perjalanan. Ketika mereka sempat berpaling maka orang berkuda yang telah menghentikan mereka telah menjadi semakin jauh dan kemudian hilang di tikungan.

Dalam pada itu, jalan yang mereka lalui benar-benar lengang. Mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat asap yang mengepul di pedukuhan di hadapan mereka.

Ternyata Glagah Putih menjadi tidak sabar. Ia telah memacu kudanya semakin cepat.

Sejenak kemudian, mereka telah memasuki padukuhan yang sedang ditimpa kemalangan. Mereka segera melihat sebuah rumah yang tidak terlalu besar sedang terbakar. Sebuah warung yang terletak di pinggir jalan. Sementara itu, mereka melihat beberapa orang sedang membentak-bentak dan bahkan di antara mereka tengah menyakiti seseorang yang tidak mampu berbuat sesuatu. Beberapa langkah dari orang-orang yang kasar itu, seorang perempuan memeluk anaknya sambil menangis.

“Gila. Apa yang mereka lakukan,“ geram Glagah Putih.

Tetapi ternyata Glagah Putih memang masih terlalu muda, sehingga Sabungsari harus menahannya, “Tunggu. Kita bersama-sama mendekat.”

Tetapi Glagah Putih seolah-olah tidak mendengarnya. Justru karena itu, maka ia telah melecut kudanya semakin cepat.

Karena itu, maka Sabungsari tidak rela membiarkannya mendahului seorang diri. Iapun kemudian memacu kudanya pula, sementara Kiai Gringsing dan Ki Widura dengan serta merta mengikuti kedua anak muda itu pula.

Jarak mereka berempat sudah tidak begitu jauh. Karena itu, maka agaknya orang-orang yang sedang sibuk itu telah tertarik pula untuk memperhatikan keempat orang berkuda yang datang itu.

Glagah Putih yang pertama mendekati orang-orang yang sedang sibuk dengan seorang yang sudah tidak berdaya itu segera meloncat turun. Setelah mengikat kudanya pada sebatang pohon yang tidak terlalu dekat dengan api yang sedang menelan warung di pinggir jalan itu, maka iapun segera mendekati orang-orang kasar yang memandanginya dengan heran.

“Apa yang sedang kalian lakukan?“ justru Glagah Putih yang pertama-tama bertanya.

“Siapa kau?“ geram salah seorang dari orang-orang yang sedang marah itu.

“Aku bertanya lebih dahulu!“ bentak Glagah Putih, “Apa yang sedang kalian lakukan terhadap orang yang tidak berdaya itu. Apa salahnya dan apakah sudah sepantasnya kalian memperlakukannya demikian? Orang itu sama sekali tidak melawan. Sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk melawan. Namun kalian masih saja bertindak sewenang-wenang.”

“Apa pedulimu?“ tiba-tiba seorang yang berjambang dan berjanggut lebat berteriak, “Kau tidak berurusan dengan kami. Kau bukan sanak bukan kadang orang ini. Aku minta kau pergi secepatnya jika kau tidak ingin mengalami nasib seperti orang ini.”

“Persetan!“ geram Glagah Putih, “Setiap orang berkepentingan dengan tindak sewenang-wenang. Setiap orang berhak mencegah dan menjaga agar tindakan sewenang-wenang tidak terulang lagi.”

Wajah orang itu menjadi merah. Katanya, “Kau gila. Siapakah sebenarnya kau he? Apa sangkut pautmu dengan orang ini? Sekali lagi aku peringatkan. Pergi dari tempat ini, atau kau akan aku lemparkan ke dalam api itu.”

Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak menjawab. Katanya, “Aku peringatkan. Lepaskan orang itu.”

Orang berjambang dan berjanggut lebat itu rasa-rasanya tidak dapat menahan hatinya lagi. Namun sementara itu, Sabungsari, Kiai Gringsing dan Ki Widura sudah berada di belakang anak muda itu.

“Ki Sanak,” Widura-lah yang kemudian bertanya, “kami memang ingin mengetahui, persoalan apakah yang telah terjadi. Mungkin orang itu sudah bersalah. Jika ia bersalah, apa yang telah dilakukannya. Jika kalian bersedia memberikan keterangan, dan kami dapat mengerti, mungkin kami akan bersikap lain. Anakku itupun akan bersikap lain.”

Orang berjambang dan berjanggut lebat itu sudah tidak ingin berbicara lagi. Kemarahannya telah sampai ke ubun-ubunnya. Namun seorang yang bertubuh tinggi, kekar dan bermata juling telah maju selangkah sambil berkata, “Baiklah. Kalian memang ingin tahu apa yang telah terjadi. Nampaknya kalian memang orang-orang yang ingin mencari persoalan dan barangkali juga petualang, menilik senjata-senjata yang kalian bawa. Orang ini telah mengkhianati dua orang kawan kami.”

“Pengkhianatan apa yang telah dilakukan?“ bertanya Ki Widura.

“Ceritanya panjang Ki Sanak,“ jawab orang juling itu, “tetapi baiklah aku ceritakan secara singkat. Dua orang kawan kami yang tinggal di warung ini telah diumpankan kepada segerombolan orang yang ternyata telah merampoknya. Barang kawan kami yang sangat berharga telah dibawa oleh segerombolan orang itu dan kedua kawan kami sampai saat ini tidak pernah kembali. Orang ini tentu mengetahui, siapakah orang-orang yang telah membawa kawan kami itu.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Darimana kalian tahu, bahwa kedua kawan kalian telah dirampok di warung ini, karena kedua orang kawan kalian tidak pernah kembali.”

“Kau memang bodoh. Terjadi perkelahian di sini. Banyak orang yang mengetahuinya meskipun mereka tidak berani menyaksikannya. Berita itu telah tersebar dan sampai ke telinga kami. Kami yakin, dua orang yang berkelahi di tempat ini adalah kawan-kawan kami.“ 

Ki Widura masih mengangguk-angguk. Dipandanginya orang yang dengan lemah terduduk di tanah. Sementara beberapa langkah di sebelah mereka, seorang perempuan menangis sambil memeluk anaknya. Di belakang sebuah halaman sempit, sebuah rumah sedang terbakar. Tidak seorangpun yang berani keluar untuk membantu memadamkan api yang bagaikan menjilat mega-mega di langit.

“Ki Sanak,“ bertanya Ki Widura kepada orang yang sudah hampir pingsan itu, “apakah kau tahu serba sedikit, siapakah yang telah membawa dua orang kawan orang-orang ini?”

“Mereka menyebut diri mereka pengawal dari Mataram,“ jawab orang itu sendat hampir tak terdengar.

“Bohong!“ teriak orang juling itu, sementara seorang yang lain telah menarik rambutnya. “Sekali lagi kau sebut pengawal dari Mataram, aku cincang kau di sini. Pengawal dari Mataram tidak akan merampok kedua kawanku itu.”

Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Orang itu sudah tidak dapat berbuat apapun lagi. Karena itu, ketika rambutnya dilepaskan, ia telah jatuh terjerembab.

Glagah Putih hampir saja meloncat. Tetapi Sabungsari yang lebih masak oleh pengalamannya telah menggamitnya, sehingga niatnya telah diurungkannya.

“Ki Sanak,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “apakah keuntungan orang itu berbohong. Mungkin ia mengatakan sebenarnya apa yang diketahuinya. Memang tidak masuk akal bahwa pengawal dari Mataram telah merampok. Tetapi yang berbohong mungkin bukan orang itu. Tetapi orang-orang yang mengaku diri mereka pengawal dari Mataram itu. Apalagi di tempat ini telah terjadi perkelahian. Agaknya yang terjadi mungkin bukan perampokan, tetapi mungkin perselisihan.”

“Kau jangan membuat kami bertambah marah,“ teriak orang yang berjambang dan berjanggut lebat, “kami sudah siap untuk membunuh. Siapapun yang mencoba menentang kami akan kami bunuh. Jika orang ini tidak mau mengatakan yang sebenarnya, iapun akan kami bunuh pula.”

“Itu tidak adil,“ jawab Kiai Gringsing, “mungkin orang itu benar-benar tidak mengetahuinya. Keterangan yang kalian dapatpun tidak lengkap dan cukup kuat untuk menjatuhkan tuduhan yang demikian.”

Orang-orang itu tidak dapat menahan diri lagi. Mereka yang masih mengerumuni orang yang sudah tidak berdaya itu telah meninggalkannya dan dengan wajah yang tegang mereka menghadapi keempat orang berkuda yang mereka anggap mulai mengganggu itu.

“Jangan banyak bicara lagi,“ orang juling itu berkata, “pergi dari tempat ini sekarang, atau aku akan menganggap kalian bersalah seperti orang itu.”

“Kalian yang harus pergi!“ teriak Glagah Putih tiba-tiba. “Perbuatan kalian sudah melampaui batas kemanusiaan. Apa pula salah rumah yang kau bakar itu?”

“Diam monyet kecil!“ bentak orang berjambang dan berjanggut lebat, “Kau membuat perutku mual.”

Sekali lagi Sabungsari harus menggamit Glagah Putih sambil berbisik, “Biarlah Kiai Gringsing mengambil sikap.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Di dampinginya Sabungsari yang nampaknya masih tetap tenang itu.

Sekilas Kiai Gringsing sempat menghitung orang-orang yang dengan kasar berkeliaran di depan warung yang terbakar itu. Nampaknya mereka memang tidak takut terhadap orang-orang yang melihat peristiwa itu. Agaknya mereka memperhitungkan, bahwa jarang sekali terdapat satu kelompok peronda yang lewat padukuhan itu. Jika ada peronda yang lewat, maka mereka adalah para pengawal Pajang yang berkedudukan di Prambanan, dan yang masih berada di bawah kepemimpinan Senapati Pajang di bagian selatan. Apalagi mereka mengetahui bahwa prajurit Pajang di Prambanan hampir tidak berarti sama sekali, selain sekedar mengawasi keadaan.

“Sepuluh orang,“ desis Kiai Gringsing di dalam hatinya.

Dalam pada itu, agaknya Ki Widura dan Sabungsari pun melakukan hal yang serupa. Merekapun berkata kepada diri sendiri, “Sepuluh orang.”

Hanya Glagah Putih sajalah yang tidak menghiraukannya. Terdorong oleh darahnya yang masih terlalu cepat menggelegak, maka ia tidak lagi sempat membuat perhitungan-perhitungan sebagaimana orang-orang yang telah berpengalaman.

“Ki Sanak,“ tiba-tiba Kiai Gringsing berkata, “sebaiknya aku mengajukan satu permintaan. Orang itu tidak cukup bukti telah terlibat dalam satu kesalahan seperti yang kau tuduhkan. Yang terjadi di dalam warungnya bukan sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya. Bahkan mungkin ia sudah menderita kerugian karenanya. Karena itu, lepaskan saja tuntutan kalian atas orang yang tidak tahu apa-apa itu.”

“Kalian jangan mengigau,“ geram orang yang bermata juling dan bertubuh tinggi besar itu, “sebenarnya kami tidak ingin mengotori tangan kami dengan darah petualang dungu seperti kalian. Tetapi jika kalian memaksa kami, maka apa boleh buat. Kami akan melakukannya.“

“Jangan begitu Ki Sanak,“ jawab Kiai Gringsing, “bukan maksud kami mencari persoalan, apalagi pertentangan. Tetapi kamipun tidak akan dapat tinggal diam melihat perlakuan kalian. Karena itu, kami mengusulkan, agar kalian berpikir sedikit bening. Orang itu sudah tidak akan dapat mengatakan apapun yang kalian kehendaki, apalagi untuk menemukan jejak kedua kawanmu yang hilang itu.”

“Cukup!“ teriak orang bermata juling, “Kalian memang ingin mati. Apapun yang aku lakukan, dan berapapun korban yang akan jatuh, aku harus menemukan kedua orang kawanku. Aku sudah cukup sabar, karena aku sudah berhari-hari mencarinya. Namun akhirnya aku harus sampai kepada satu sikap yang tegas. Kalau perlu bukan saja warung itu yang aku bakar. Tetapi seluruh padukuhan ini akan aku bakar habis menjadi debu.”

“Hanya perbuatan orang gila sajalah yang demikian itu,“ berkata Ki Widura, “karena itu sebaiknya kalian merenungi apa yang kalian lakukan ini sebaik-baiknya.”

Ternyata orang bermata juling itu tidak dapat menahan hati lagi. Dengan lantang ia berkata, ”Bungkam orang-orang ini. Baru kemudian aku akan memaksa pemilik warung itu mengatakan, apa yang telah terjadi. Berapa ia mendapat upah untuk menjebak kawan kita dari Goa Kelelawar itu.”

Yang pertama menarik pedang adalah justru Glagah Putih. Dengan lantang ia berkata, “Aku akan melawan kesewenang-wenangan disini. Apapun yang akan terjadi.”

Kiai Gringsing dan Ki Widura hanya menarik nafas dalam-dalam. Mereka dapat mengerti sikap anak muda itu. Memang berbeda dengan sikap Agung Sedayu pada umurnya sebesar Glagah Putih itu. Glagah Putih mempunyai darah yang lebih panas. Apalagi pengalaman yang masih terlalu sempit membuatnya kurang berperhitungan.

Sabungsari yang berada di belakang Glagah Putihpun kemudian menarik Glagah Putih surut selangkah. Sementara itu, orang-orang yang berjumlah sepuluh itu telah memencar. Dengan wajah dan sikap yang garang mereka berusaha mengepung keempat orang yang mereka anggap mengganggu kerja mereka itu.

Sementara itu api masih berkobar terus. Tetapi justru semakin lama menjadi semakin susut. Untunglah bahwa warung itu tidak berdekatan dengan bangunan-bangunan yang lain yang akan dapat ikut terbakar.

Dalam pada itu, tidak seorangpun yang berani membantu memadamkan api. Bahkan tidak seorangpun yang berani memukul tanda bahaya. Agaknya kesepuluh orang itu sudah berhasil menakut-nakuti seisi padukuhan itu sebelum mereka bertindak atas pemilik warung itu. Bahkan orang-orang yang berada di ujung-ujung padukuhan, berusaha untuk mernberitahukan orang-orang yang akan lewat, bahwa keadaan menjadi gawat. Sebaiknya mereka memilih jalan lain saja.

Ternyata kesepuluh orang itu, di luar perhitungan mereka telah bertemu dengan empat orang yang datang dari Jati Anom. Empat orang yang tidak mereka ketahui tingkat kemampuannya. Sehingga dengan demikian, maka sepuluh orang itu sama sekali tidak memperhitungkan bahwa akan terjadi sesuatu di luar dugaan.

Namun bahwa keempat orang itu agaknya sama sekali tidak gentar, telah menjadi pertimbangan orang bermata juling itu, sehingga karena itu, iapun menjadi lebih berhati-hati.

Yang tidak sabar kemudian adalah Glagah Putih. Demikian orang-orang itu mengepung mereka, maka iapun mulai menggerakkan pedangnya. Dengan garang, maka ia telah bersiap menghadapi pertempuran yang gawat.

Kiai Gringsing dan Ki Widura memperhatikan Glagah Putih dengan seksama. Seumur Glagah Putih itu, Agung Sedayu baru mulai segala-galanya. Meskipun Agung Sedayu mempunyai kemampuan dasar, tetapi pada masa remajanya ia adalah seorang penakut, sementara di usia remaja Glagah Putih adalah seorang yang garang.

Orang-orang yang kasar itupun tidak sabar pula. Apalagi melihat sikap Glagah Putih yang mereka anggap sebagai seorang anak muda yang sombong.

Seorang yang berkumis jarang telah menyerang Glagah Putih dengan senjatanya yang menggetarkan. Sebuah pedang yang besar, yang tajam di kedua sisinya.

Tetapi Glagah Putih benar-benar telah siap. Ia sempat menghindari serangan itu, bahkan kemudian sambil bergeser ia mengayunkan pedangnya mendatar. Namun lawannya cukup cepat untuk meloncat surut. Tetapi demikian kakinya menyentuh tanah, maka iapun segera meloncat maju sambil mengayunkan goloknya dengan segenap kekuatannya mengarah ke kening anak muda itu.

Demikian cepatnya, sehingga Glagah Putih tidak sempat untuk menghindar. Namun sebenarnya-lah Glagah Putih memang tidak ingin meloncat menghindar. Ia hanya bergeser sambil menyilangkan pedangnya untuk menangkis serangan lawannya.

Satu tindakan yang berbahaya. Tetapi sifat ingin tahu Glagah Putih telah mendorongnya untuk menjajagi kekuatan lawannya.

Pada saat yang demikian, maka sepuluh orang itu telah bergerak serentak. Dengan demikian, maka Kiai Gringsing, Widura dan Sabungsari pun telah melawan mereka pula. Widura dan Sabungsari ternyata telah mempergunakan pedang mereka pula, sementara Kiai Gringsing masih berusaha melawan tanpa mempergunakan senjata sama sekali.

Sebenarnya-lah sepuluh orang itu bukan lawan yang terlalu berat buat empat orang dari Jati Anom itu, meskipun mereka tidak dapat mengabaikannya. Karena bagaimanapun juga, mereka adalah orang-orang yang memiliki bekal bagi pekerjaannya.

Dalam pada itu, ternyata ayunan pedang yang besar dari orang berkumis telah menghantam pedang Glagah Putih. Dengan sengaja Glagah Putih tidak memukul pedang lawannya menyamping. Tetapi ia telah benar-benar berusaha untuk membentur dan beradu kekuatan.

Ternyata akibatnya sangat mengejutkan lawannya. Orang berkumis yang garang itu tidak menyangka sama sekali, bahwa lawannya yang masih terlalu muda itu telah memiliki kekuatan yang luar biasa. Pedangnya yang besar yang tajam di kedua sisi, seolah-olah telah menghantam segumpal besi baja. Betapa terasa tangannya telah tergetar, sehingga jari-jarinya terasa menjadi sakit. Untunglah bahwa ia masih sempat menahan senjatanya, agar tidak terlepas dari tangannya.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih tidak membiarkan lawannya berusaha untuk memperbaiki keadaannya. Meskipun tangan Glagah Putih juga terasa bergetar, tetapi keadaannya ternyata masih lebih menguntungkan dari lawannya. Karena itu, maka ia mampu bergerak lebih cepat. Berbekal ilmu yang telah dipelajarinya sampai tataran terakhir, maka iapun mampu menunjukkan kepada lawannya, bahwa ia bukan sekedar anak-anak yang sedang belajar bermain jirak kemiri.

Dengan serta merta, maka pedang Glagah Putih-lah yang kemudian terjulur ke arah lawannya. Demikian cepat, sehingga tidak ada kesempatan cukup bagi lawannya untuk membebaskan diri. Karena itulah, maka sesaat kemudian terdengar keluhan tertahan. Orang itu memang berusaha mengelak. Namun ujung senjata itu masih menyentuh lengannya.

Orang berkumis itupun mengumpat kasar. Tetapi serangan Glagah Putih justru datang beruntun seperti arus banjir, sehingga orang berkumis itu harus berloncatan mundur. Ketika seorang kawannya berusaha untuk membantu, ternyata orang itu gagal membantunya. Seperti tanpa sangkan paran, tiba-tiba saja Sabungsari telah mencegah orang itu dengan serangan pedangnya yang cepat, justru sambil memotong arah.

“Gila,“ geram lawannya. Tiga orang bersama-sama telah menyerang Sabungsari. Tetapi Sabungsari sama sekali tidak merasa terdesak dan banyak mengalami kesulitan, meskipun ia harus bergerak dengan cepat dan mempergunakan segenap kemampuannya. Namun demikian Sabungsari masih belum menganggap perlu untuk mempergunakan ilmu pamungkasnya yang dapat dipancarkannya lewat matanya.

Widura, yang juga sudah memperdalam ilmunya bersama anaknya, namun yang telah memiliki pengalaman jauh lebih luas dari Glagah Putih, telah menghadapi tiga orang lawan pula. Tetapi ketiga orang lawannya memang bukan orang yang terlalu kuat. Sehingga dengan demikian, meskipun tubuh Widura segera basah oleh keringat, tetapi ketiga lawannya itu tidak terlalu berbahaya baginya.

Yang berloncatan dengan tangkas dan cepat adalah Kiai Gringsing. Ia tidak banyak melawan, kecuali pada saat-saat mendesak. Ia lebih banyak menghindar dan berloncatan dengan langkah-langkah panjang, sehingga ketiga orang lawannya justru mengumpat-umpat.

“Pengecut,“ geramnya.

Namun Kiai Gringsing tidak menghiraukannya. Ia sama sekali tidak mengerti, apa yang telah terjadi sebelumnya. Tetapi dengan dasar pertimbangan yang serupa, maka iapun tidak mempergunakan senjata khususnya.

Baru ketika ia mulai merasa bahwa perjalanannya sudah terlalu lama terganggu, maka tiba-tiba saja ia melibat seorang dari ketiga lawannya dengan kecepatan yang tidak diketahui terjadinya. Yang kemudian terjadi, pedang orang itu telah berpindah di tangan Kiai Gringsing, sementara orang itu jatuh terguling dengan pergelangan tangannya yang serasa patah.

“Kami sudah terlalu lama di sini,“ berkata Kiai Gringsing.

Kata-kata itu bagaikan perintah bagi ketiga orang yang bersamanya dari Jati Anom untuk segera menyelesaikan tugas mereka.

Yang kemudian menyerang lawannya bagaikan badai adalah Glagah Putih. Lawannya yang telah terluka benar-benar tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menyerang. Yang dapat dilakukannya adalah sekedar bertahan dan berloncatan menghindar.

Sabungsari pun telah mempercepat serangan-serangannya pula. Senjatanya benar-benar telah membingungkan ketiga orang lawannya. Anak muda itu seolah-olah berada di seputar mereka dan menyerang dari segala arah.

Kiai Gringsing yang tidak tahu pasti, apa yang telah terjadi, memang tidak ingin berbuat lebih jauh dari mengusir mereka dan memaksa mereka untuk tidak kembali lagi. Karena itu, maka memang tidak terbersit niatnya untuk membunuh seorangpun di antara mereka, kecuali melukainya, sehingga membuat mereka jera.

Widura dan Sabungsari pun mengerti pula maksud Kiai Gringsing, sementara Glagah Putih masih harus mendapat peringatan, karena anak muda itu masih saja diliputi oleh gejolak jiwanya yang seolah-olah sedang mendidih.

Karena tekanan yang menjadi semakin berat, maka orang-orang itupun akhirnya merasa tidak mempunyai pilihan lain dari melarikan diri. Mereka tidak dapat menolak kenyataan, bahwa orang-orang yang tidak diperhitungkan itu telah hadir, dan tidak mampu mereka lawan dengan kekerasan senjata.

Namun demikian, ternyata Kiai Gringsing memang tidak melepaskan semua orang untuk lari. Dalam keadaan yang paling berat dari lawan-lawannya, maka Kiai Gringsing sempat melihat, siapakah di antara kesepuluh orang itu yang menjadi pemimpinnya.

Karena itu, ketika orang-orang itu tidak lagi dapat memilih dan berusaha untuk melarikan diri, maka justru orang yang dianggap pemimpin mereka itupun telah terlibat dalam satu perkelahian yang tidak dapat dihindarinya. Demikian kawan-kawannya melarikan diri, maka ia telah jatuh terduduk di tanah. Kakinya serasa menjadi lumpuh sehingga untuk berdiripun rasa-rasanya menjadi gemetar. Sementara itu, lawan Glagah Putih telah terluka lagi, sehingga iapun tidak sempat untuk melarikan diri. Namun pada saat yang gawat baginya, ternyata bahwa Glagah Putihpun memiliki perasaan yang tidak terlalu garang. Demikian lawannya kehilangan senjatanya yang terlepas dari tangannya, serta terjatuh terlentang tanpa dapat memberikan perlawanan lagi, Glagah Putih tidak menghunjamkan pedangnya kedada orang itu.

“Aku menyerah,“ desis orang itu.

“Kau bukan menyerah,“ geram Glagah Putih, “tetapi kau memang sudah kalah.”

“Ya, aku kalah. Aku mohon ampun. Jangan bunuh aku,“ minta orang itu.

Glagah Putih memandang wajah orang itu. Darahnya telah meleleh dari luka di lengan dan pundaknya.

Dalam pada itu, ketika ia berpaling ke arah ayahnya, Kiai Gringsing dan Sabungsari, maka ketiga orang itu memandanginya dengan sorot mata yang redup. Bukan sorot mata yang menyala dari mereka yang sedang terlibat dalam pertempuran untuk mempertaruhkan nyawa.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa bagi ketiga orang itu, apa yang terjadi, memang bukannya pertarungan untuk mempertaruhkan nyawa.

Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian melangkah mundur. Dibiarkannya lawannya bangkit dan duduk di tanah.

“Kemarilah,” panggil Kiai Gringsing.

Orang itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia mengerti, bahwa ia harus mendekati seorang kawannya yang seakan-akan menjadi lumpuh itu.

Dengan kepala tunduk kedua orang itu duduk di tanah. Api yang membakar warung itu telah jauh susut. Bahkan telah hampir menjadi padam karena warung itu telah menjadi debu.

Kiai Gringsing pun kemudian melihat dua orang suami istri yang ketakutan duduk dengan gemetar bersama anak mereka.

“Kemarilah,“ berkata Kiai Gringsing pula kepada keduanya.

Keduanya masih nampak ketakutan. Namun karena menurut penilaian mereka, orang-orang yang datang kemudian itu telah menolong mereka, maka merekapun kemudian mendekatinya.

“Aku ingin meyakinkan orang ini, bahwa kau memang tidak tahu apa-apa,“ berkata Kiai Gringsing, “agar dengan demikian, orang ini tidak lagi merasa perlu untuk datang sambil mendendam.”

Pemilik warung itu memandang Kiai Gringsing dengan wajah yang masih pucat.

“Nah,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “apakah yang kau ketahui tentang orang-orang yang ditanyakan oleh sepuluh orang itu?”

“Sebenarnya aku tidak tahu apa-apa,” jawab orang itu, “tiga orang pengawal Mataram berada di warungku. Justru mereka datang lebih dahulu. Baru kemudian datang dua orang yang nampaknya dengan sengaja membuat persoalan. Ternyata kemudian bahwa ketiga orang pengawal dari Mataram itu telah menangkap kedua orang yang datang kemudian itu.”

“Tidak ada yang kau ketahui lagi tentang persoalan mereka?“ bertanya Kiai Gringsing.

Pemilik warung itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak mengetahui lebih dari itu. Mereka bertempur, dan aku menjadi ketakutan. Memang mungkin sekali ada beberapa orang yang mengetahui bahwa orang-orang itu telah bertempur. Di hari berikutnya, akupun berbicara dengan tetangga-tetangga. Dan agaknya berita itu telah tersebar.”

Kiai Gringsing memandang dua orang dari kelompok yang telah terusir itu. Katanya, “Kau dengar. Tidak ada gunanya kau memaksa orang itu berbicara. Yang diketahuinya terlalu sedikit. Aku percaya bahwa orang ini tidak tahu apa-apa tentang orang yang sedang kau cari itu.“

Kedua orang yang telah menyerah itu mengangguk-angguk. Delapan orang kawannya telah melarikan diri. Dan keduanya masih belum tahu, nasib apa yang akan mereka alami kemudian.

Namun dalam pada itu, rasa-rasanya mereka memang melihat kebenaran kata-kata pemilik warung itu. Dalam keadaan lemah, mereka mulai percaya, bahwa pemilik warung itu memang tidak tahu apa-apa.

Tetapi semuanya sudah terlambat. Mereka berdua telah jatuh ke tangan orang-orang yang tidak diketahui. Apakah mereka orang-orang yang akan bertindak baik, atau mungkin bertindak adil dengan melihat kesalahan keduanya atau bahkan mungkin mereka adalah orang-orang yang memiliki tingkah laku yang dapat membuat kedua orang itu sangat menderita.

Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Sebenarnya aku dapat berbuat jauh lebih banyak dari yang aku lakukan sekarang. Juga ketiga orang kawan-kawanku. Jika kami kehendaki, maka kami dapat membunuh kalian semuanya. Tetapi aku pikir itu bukan penyelesaian. Karena kalian dan kawan-kawan kalian adalah orang-orang yang segan mempergunakan nalar kalian. Kalian tentu akan mendendam. Dan kawan-kawan kalian akan datang membakar seluruh padukuhan ini.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu “Karena itu aku mencoba mempergunakan jalan lain. Bagaimanapun juga aku masih percaya bahwa kalianpun masih mempunyai nalar dan perasaan seperti kami. Kami sengaja membiarkan kawan-kawan kalian melarikan diri, dan menahan kalian berdua untuk meyakinkan bahwa pemilik warung itu tidak bersalah. Apalagi seisi padukuhan ini. Dengan demikian kalian tidak pada tempatnya mendendamnya. Dengan membiarkan kalian hidup, aku berharap kekerasan dan kematian akan dapat kalian hindari pula jika kalian ingin mencari penyelesaian atas satu masalah. Terutama atas padukuhan ini.”

Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka jarang sekali mendengar penjelasan yang demikian. Kematian bagi mereka adalah penyelesaian yang paling baik untuk memecahkan satu persoalan. Membunuh atau dibunuh. Tetapi tiba-tiba ia mengalami satu peristiwa yang lain. Orang-orang yang telah menguasai mereka itu tidak membunuh mereka, dan bahkan menyakiti lebih jauh lagipun tidak, selain luka yang dideritanya dalam pertempuran.

Apalagi ketika tiba-tiba keduanya mendengar Kiai Gringsing berkata, “Pergilah. Tetapi kalian harus berjanji di dalam hati, bahwa kalian tidak akan kembali lagi ke padukuhan ini untuk menakut-nakuti orang yang tidak bersalah. Jika terjadi sesuatu atas padukuhan ini, kami akan memburu kalian sampai ke ujung bumi sekalipun. Bahkan siapapun yang bersangkut paut dengan kalian, bersalah atau tidak bersalah, akan kami musnahkan. Dengarlah baik-baik. Kami adalah empat orang dari sejumlah penghuni satu padepokan. Jika kami bergerak serentak, maka semua padepokan, bahkan Pajang pun akan berguncang.” Orang itu termangu-mangu sejenak. Memang terasa bahwa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu adalah satu ancaman yang berlebihan, tetapi merekapun sadar, bahwa sebagian dari ancaman itu tentu akan dapat dilakukan. Mereka sudah membuktikan, sepuluh orang bersama-sama tidak mampu berbuat apa-apa melawan hanya ampat orang, di antaranya dua orang anak muda.

“Pergilah,“ sekali lagi Kiai Gringsing berdesis.

Orang yang terluka itupun kemudian berusaha berdiri. Tetapi justru kawannya masih saja bagaikan lumpuh. Dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit. Meskipun ia berhasil berdiri, tetapi hampir saja ia terjatuh, jika kawannya yang terluka itu tidak menahannya.

“Daya tahan tubuhmu terlalu lemah,“ berkata Kiai Gringsing, “seharusnya kau sudah dapat bangkit berdiri dan berjalan pergi.”

Orang itu tidak menjawab. Kiai Gringsing-lah yang kemudian mendekatinya, mengurut punggungnya dengan ibu jarinya.

Rasa-rasanya tubuh orang itu menjadi bertambah baik. Dengan berat kakinya telah dapat diangkat dan melangkah. Namun kawannya masih harus memapahnya. Justru kawannya yang terluka.

“Apakah mereka akan dapat selamat?“ bertanya Ki Widura. “Yang terluka itu akan kehabisan darah.”

“Orang-orang yang demikian tentu membawa obat. Ia belum sempat saja melakukannya di sini. Tetapi jika mereka sudah menjauh, maka orang itu akan memampatkan luka-lukanya yang tidak terlalu parah itu.”

Tetapi ternyata Glagah Putih ingin meyakinkannya. Ia merasa bahwa ia adalah orang yang telah melukainya. Karena itu, maka rasa-rasanya iapun berkepentingan.

“He,“ bertanya Glagah Putih, “apakah kalian membawa obat untuk mengobati luka itu?”

Kedua orang yang baru saja melangkah pergi itu berpaling. Salah seorang dari keduanya menjawab, “Aku membawa obat pemampat luka.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia memang sudah mengenal kebiasaan orang-orang yang bertualang di dunia kekerasan seperti orang-orang itu.

Sepeninggal orang itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata kepada pemilik warung yang terbakar itu, “Kau tidak akan diganggu lagi. Tetapi jika ada seorang saja di antara mereka yang terbunuh, mungkin dendam mereka akan dapat terungkit kembali.”

“Terima kasih,“ berkata pemilik warung itu.

“Tetapi sebenarnya-lah, kamipun ingin mendapat keterangan tentang peristiwa yang telah terjadi itu,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “menurut pendengaranmu, ketiga orang yang menangkap dua orang yang datang kemudian itu adalah pengawal dari Mataram?”

“Ya,“ jawab pemilik warung itu, “nampaknya mereka memperebutkan sesuatu.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dari pemilik warung itu ia mendapat sedikit gambaran tentang para pengawal itu. Namun karena pemilik warung itu sama sekali tidak menyebut ciri-ciri yang mudah dikenal dari Agung Sedayu dan Ki Waskita, maka sebenarnya-lah Kiai Gringsing sama sekali tidak menduga, bahwa tiga orang pengawal itu, dua di antaranya adalah orang-orang yang paling dekat dengan dirinya.

“Baiklah Ki Sanak,“ berkata Kiai Gringsing, “aku tidak dapat membantumu lebih banyak lagi. Mungkin dengan kebakaran itu kau mengalami kerugian yang tidak kecil. Mudah-mudahan kau berhasil bangkit dari kepahitan ini dan melanjutkan usahamu itu, sehingga kau tidak kehilangan mata pencaharian. Mungkin tetangga-tetanggamu akan dapat membantumu.”

Pemilik warung itu memandang Kiai Gringsing dengan tatapan mata yang redup. Namun dari sela-sela bibirnya yang masih gemetar ia berkata, “Kiai. Yang Kiai berikan kepada kami sekeluarga adalah yang paling berharga bagi kami, karena Kiai dan kawan-kawan Kiai telah menyelamatkan hidup kami.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Aku minta diri. Kami berempat telah berusaha untuk mengusir orang-orang itu tanpa melekati dendam di hati mereka. Tetapi jika yang terjadi kemudian di luar perhitungan kami, maka kami mungkin tidak dapat berbuat sesuatu.”

“Kami mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga terhadap apa yang telah Kiai berikan kepada kami,“ desis pemilik warung itu.

Dalam pada itu, Ki Widura, Sabungsari dan Glagah Putih pun kemudian telah minta diri pula. Meskipun masih ada sesuatu yang rasa-rasanya menekan di hati, tetapi mereka memang harus melanjutkan perjalanan segera.

Beberapa saat kemudian, mereka berempat pun telah meninggalkan padukuhan itu. Ternyata para tetangga pemilik warung itupun segera keluar dari persembunyian mereka, ketika mereka mengetahui bahwa orang-orang yang garang itu telah terusir.

“Siapakah yang telah menolongmu?“ bertanya salah seorang tetangga.

“Sayang,“ jawab pemilik warung itu, “dalam keadaan yang sangat bingung aku lupa menanyakan kepada mereka, siapakah mereka berempat itu.”

“Dan kau juga lupa mengucapkan terimakasih?“ bertanya tetangganya yang lain.

“Tidak,“ jawab pemilik warung itu, “aku sudah mengucapkan terima kasih.”

Dalam pada itu, Kiai Gringsing, Ki Widura, Sabungsari dan Glagah Putih telah berpacu semakin jauh. Mereka masih saja berbincang tentang sepuluh orang yang dengan kasar telah memperlakukan pemilik warung dan bahkan telah membakar warung itu pula.

“Apakah kita akan singgah di Mataram? “ tiba-tiba Glagah Putih bertanya.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dipandanginya Ki Widura sekilas. Kemudian katanya, “Apakah hal itu perlu sekali?”

“Tentu ada laporan tentang tiga orang pengawal yang menangkap dua orang yang dicari kawan-kawannya itu,“ berkata Glagah Putih.

“Tetapi hal itu bukannya pokok dari tujuan perjalanan kita,“ jawab Widura, “karena itu, sebaiknya kita pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Jika masih ada waktu, kita akan singgah di Mataram untuk mendapatkan keterangan tentang dua orang yang hilang itu. Tetapi yang penting bagi kita, justru melaporkan apa yang telah terjadi, agar Mataram dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Iapun sependapat, bahwa mereka akan lebih dahulu pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Karena sebenarnya-lah kepentingan utama mereka adalah menghubungi Agung Sedayu dan membawanya kembali ke Jati Anom, justru pada saat hari perkawinannya sudah menjadi semakin dekat.

Demikianlah, maka iring-iringan kecil itupun melaju semakin cepat. Mereka telah memutuskan untuk mengambil jalan yang tidak melalui kota Mataram yang sedang tumbuh, karena mereka memang tidak ingin singgah.

Perjalanan selanjutnya telah mereka tempuh tanpa hambatan. Dengan gethek mereka melintasi Kali Praga. Kemudian merekapun telah sampai ke Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika mereka menelusuri bulak-bulak panjang di Tanah Perdikan Menoreh, maka merekapun segera melihat, bahwa memang sudah terjadi perubahan-perubahan di Tanah Perdikan itu. Parit-parit mengalir dengan lancar menelusuri kotak-kotak sawah. Tanaman yang hijau segar dan jalan-jalan yang nampak terpelihara. Setiap kali mereka berpapasan dengan pedati-pedati yang membawa hasil sawah dari pategalan. Sementara pande-pande besi-pun tersebar di beberapa padukuhan. Meskipun pande-pande besi telah menutup dan memadamkan perapian untuk kerja hari itu, namun dengan demikian ternyata bahwa Tanah Perdikan memang sudah berkembang meskipun masih perlu ditingkatkan terus.

Padukuhan demi padukuhan telah mereka lewati, sehingga akhirnya merekapun menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, ternyata sebelum mereka memasuki padukuhan induk, beberapa orang telah mengenal mereka, sehingga orang-orang itupun telah menyapa dengan ramahnya.

Sebenarnya-lah kehadiran mereka di padukuhan induk telah mengejutkan beberapa orang. Sehingga satu dua orang telah langsung melaporkan kehadiran Kiai Gringsing kepada Ki Gede Menoreh.

Dengan tergopoh-gopoh Ki Gede menyongsong tamu-tamu yang datang itu. Ketika Ki Gede turun dari pendapa, maka Kiai Gringsing, Ki Widura, Sabungsari dan Glagah Putih telah mengikat kuda mereka pada pathok-pathok yang tersedia di halaman.

Ki Gede pun kemudian mempersilahkan tamu-tamu itu naik ke pendapa. Merekapun segera duduk melingkar sambil saling menanyakan keadaan masing-masing.

Baru kemudian Ki Gede berkata, “Kedatangan Kiai telah mengejutkan kami di Tanah Perdikan ini. Bukankah tidak ada persoalan yang sangat penting dan mendesak?”

“O, tidak Ki Gede,“ jawab Kiai Gringsing, “kami datang hanya sekedar menengok keselamatan seisi Tanah Perdikan ini termasuk Agung Sedayu dan Ki Waskita.”

“Kami dalam keadaan baik. Syukurlah jika tidak ada masalah yang sangat penting dan mendesak,“ jawab Ki Gede.

Kiai Gringsing sengaja masih belum mengatakan kepentingan datang ke Tanah Perdikan itu sambil menunggu kehadiran Agung Sedayu sendiri dan Ki Waskita. Yang kemudian mereka bicarakan adalah keadaan masing-masing. Keadaan Tanah Perdikan Menoreh yang tumbuh dan Jati Anom yang menjadi semakin hangat oleh berbagai masalah.

Namun Ki Gede pun kemudian berkata, “Agung Sedayu dan Ki Waskita sedang berada di barak. Tetapi sebentar lagi mereka akan kembali.”

Demikianlah, maka setelah para tamu dari Jati Anom itu beristirahat dan membersihkan diri di ujung malam, Agung Sedayu dan Ki Waskita pun datang dari barak Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh itu.

Ketika tiba-tiba saja mereka berhadapan dengan Kiai Gringsing, Ki Widura, Sabungsari dan Glagah Putih, maka merekapun terkejut bercampur gembira.

“Silahkan mandi,“ Ki Gede mempersilahkan Agung Sedayu dan Ki Waskita, “kita akan makan bersama.”

Sebentar kemudian, di ruang dalam, di sebuah amben yang besar, mereka telah melingkari suguhan makan malam. Ki Gede, Prastawa, Agung Sedayu dan Ki Waskita sebagai tuan rumah, sedangkan yang baru datang dari Jati Anom sebagai tamu yang sedang mendapat jamuan.

Namun dalam pada itu, setelah makan selesai. Kiai Gringsing mempergunakan saat itu untuk sekaligus mengatakan maksud kedatangannya. Dengan hati-hati ia berkata, “Ki Gede. Kedatangan kami memang tidak mempunyai satu kepentingan khusus. Namun demikian, kami telah membawa pesan dari Angger Untara bagi adiknya Agung Sedayu.”

“O,“ Ki Gede mengerutkan keningnya, “justru mendebarkan. Pesan dari Angger Untara untuk Angger Agung Sedayu?”

“Ya Ki Gede,“ jawab Kiai Gringsing, “Angger Untara sebagai seorang saudara tua yang dengan demikian berdiri sebagai ganti orang tua Angger Agung Sedayu, dalam hubungannya dengan hari perkawinan yang semakin dekat.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Meskipun Kiai Gringsing masih belum mengatakan sepenuhnya, namun rasa-rasanya Ki Gede sudah mengetahui apa yang akan dikatakan oleh Kiai Gringsing dan Ki Widura.

Sementara itu. Kiai Gringsing pun telah berpaling ke arah Ki Widura, seolah-olah telah mempersilahkan untuk melanjutkan persoalan yang harus dikatakannya kepada Ki Gede Menoreh, justru karena ia adalah Paman Agung Sedayu.

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun beringsut setapak sambil berkata, “Ki Gede. Kedatangan kami berempat sebenarnya-lah telah membawa satu pesan dari Angger Untara dan yang telah kami bicarakan bersama di Jati Anom, bahwa sebaiknya Agung Sedayu yang dalam beberapa hari lagi akan melangsungkan hari perkawinannya berada saja di Jati Anom. Segala sesuatu akan dapat dipersiapkan sebaik-baiknya, bahkan dengan demikian rasa-rasanya hati menjadi tenang.”

Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu aku tidak akan dapat menolaknya. Akupun menyadari, bahwa hari-hari yang ditentukan itu sudah menjadi sangat dekat. Karena itu, segala sesuatunya terserah kepada Angger Agung Sedayu yang akan menjalaninya sendiri saat-saat yang tentu sudah dinanti-nantikannya itu.”

Semua orangpun kemudian berpaling kearah Agung Sedayu yang justru menjadi tunduk. Wajahnya serasa menjadi panas, justru karena ia menjadi pusat perhatian.

“Nah, bagaimana pendapatmu Agung Sedayu?” bertanya Ki Widura.

Agung Sedayu menarik nafas. Tetapi wajahnya masih menunduk meskipun kemudian ia menjawab, “Segalanya terserah kepada orang-orang tua. Aku akan melakukan yang paling baik harus aku lakukan.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Agung Sedayu. Segalanya semata-mata untuk menjaga agar segala rencana dapat dilakukan sebaik-baiknya.”

Demikianlah, beberapa saat kemudian, mereka masih berbincang tentang rencana kepergian Agung Sedayu ke Jati Anom. Sementara Agung Sedayu pun menyatakan, bahwa ia harus berhubungan pula dengan Ki Lurah Branjangan.

“Agaknya akupun ingin ikut serta,“ berkata Ki Waskita kemudian.

“Tentu,“ jawab Ki Widura, “kita semua akan menjadi orang tua Agung Sedayu di samping Untara.”

“Aku juga,“ sahut Ki Gede Menoreh, “pada saatnya aku juga akan berada di Jati Anom. Perkawinan itu harus berlangsung dengan meriah. Meskipun sudah barang tentu harus disesuaikan dengan keadaan yang berkembang kemudian.”

Yang dikatakan oleh Ki Gede itu justru mengingatkan Kiai Gringsing dalam hubungannya dengan Mataram. Sehingga Kiai Gringsing pun kemudian minta pertimbangan Ki Gede dan Ki Waskita, apakah yang paling baik dilakukannya dalam hubungannya dengan Raden Sutawijaya.

“Kita dapat singgah,“ berkata Ki Widura, “apakah aku cukup pantas untuk menyampaikan persoalan ini kepada Raden Sutawijaya?”

“Apa salahnya jika kita sekedar memberitakan apa yang akan dilakukan. Bukankah Agung Sedayu termasuk salah seorang yang ikut membina pasukan khusus itu? Dan bahkan seolah-olah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga itu sendiri yang telah memintanya?“ sahut Ki Gede. Kemudian, “Dan bukankah Ki Widura adalah Paman langsung Angger Agung Sedayu, sehingga dapat disebut ganti ayah bundanya?”

Orang-orang yang ikut dalam pembicaraan itupun sependapat bahwa mereka akan singgah dan memberitahukan rencana hari-hari perkawinan itu kepada Raden Sutawijaya.

“Sekedar memberitahukan,“ berkata Ki Widura. “Apakah kita pantas untuk mengundangnya?”

“Kita akan berbicara dengan Ki Demang Sangkal Putung,“ sahut Kiai Gringsing, “tetapi pemberitahuan itu memang penting. Jika ada rencana atau apapun dalam hubungan dengan persoalan Pajang dan Mataram, mudah-mudahan kita mendapatkan satu isyarat.”

Sementara pembicaraan berkisar pada rencana pemberitahuan kepada Raden Sutawijaya, maka harnpir di luar sadarnya Kiai Gringsing telah mengatakan apa yang di jumpainya pada saat ia berada di perjalanan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Sebuah warung di pinggir jalan itu musnah menjadi abu,“ berkata Kiai Gringsing.

Ki Waskita dan Agung Sedayu saling berpandangan sejenak. Dengan ragu-ragu Agung Sedayu berkata, “Mereka mempersoalkan dua orang yang telah dibawa oleh tiga orang pengawal dari Mataram.“ Lalu kemudian katanya kepada Ki Waskita, “Apakah yang mereka maksud dua pertapa dari Goa Kelelawar itu?”

Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Lalu iapun bertanya kepada Kiai Gringsing, “Apakah Kiai tidak bertanya, ciri-ciri dari ketiga orang pengawal dari Mataram itu?”

“Pemilik warung itu mengatakan,“ berkata Kiai Gringsing, “tetapi sudah tentu aku tidak akan mengenal para pengawal dari Mataram. Mungkin satu dua orang dapat aku kenal. Tetapi dengan menyebut seorang di antara mereka adalah seorang anak muda, sedangkan yang seorang lagi telah terluka, adalah sulit sekali untuk mengetahui, siapakah para pengawal itu.”

Agung Sedayu dan Ki Waskita saling berpandangan sejenak. Kemudian Ki Waskita pun berkata, “Yang mereka maksud pengawal dari Mataram adalah kami bertiga. Aku, Angger Agung Sedayu dan seorang yang memang pengawal dari Mataram.”

Kiai Gringsing memandang Agung Sedayu dan Ki Waskita berganti-ganti, sementara itu Glagah Putih berkata, “Tetapi tidak dikatakan oleh pemilik warung itu, bahwa anak muda itu bersenjata cambuk.”

Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, “Aku memang tidak bersenjata cambuk. Aku tidak ingin tersangkut lagi dengan persoalan yang dapat aku hindari. Pertapa dari Goa Kelelawar itu tentu tidak berdiri sendiri. Jika mereka mengenal ciri-ciri orang bercambuk dari Jati Anom, maka persoalanku akan bertambah lagi dengan satu perkara dengan pertapa dari Goa Kelelawar itu.”

Kiai Gringsing, Ki Widura, Sabungsari dan Glagah Putih berbareng mengangguk-angguk.

Sambil tersenyum Sabungsari berkata, “Ternyata kau mampu juga mempergunakan senjata yang lain kecuali cambuk itu.”

“Untunglah bahwa lawanku waktu itu bukan seorang yang berilmu tinggi, sehingga tidak memaksaku untuk mempergunakan cambuk,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi dalam keadaan yang memaksa, tanpa cambuknya Agung Sedayu mampu juga bertahan,“ berkata Kiai Gringsing, “justru sekarang ia dapat berbuat lebih berbahaya lagi.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, Kiai. Tetapi jika ia menyalurkan kemampuannya lewat cambuknya, maka cambuk itupun tentu akan menjadi sangat berbahaya bagi orang lain.”

Kiai Gringsing pun tersenyum pula, sementara Agung Sedayu berkata, “Yang penting, pada waktu itu aku adalah pengawal dari Mataram.”

“Ya,“ Ki Widura menyahut, “ternyata kau berhasil. Pemilik warung itupun hanya dapat mengatakan, bahwa kau adalah pengawal dari Mataram.”

Untuk beberapa saat mereka masih berbicara tentang Sepasang Pertapa dari Goa Kelelawar. Agung Sedayu pun kemudian menceritakan, bahwa persoalannya berkisar pada sehelai kain yang mirip dengan ikat kepala, tetapi yang sebenarnya mengandung gambar yang sangat berbahaya bagi keamanan Mataram.

Barulah Kiai Gringsing, Ki Widura, Sabungsari dan Glagah Putih melihat dengan gamblang persoalan yang telah terjadi di pinggir jalan itu. Sebuah warung telah terbakar habis dengan segala isinya karena tingkah laku Sepasang Pertapa dari goa Kelelawar bersama kawan-kawannya.

Dalam pada itu, Prastawa hanya sekedar mendengarkan saja pembicaraan di antara tamu-tamu Ki Gede dan Ki Gede sendiri. Namun dengan demikian ia merasa, bahwa dirinya memang terlalu kecil.

Namun demikian, ada sesuatu hal yang telah mengguncang hatinya. Ia mendengar semua pembicaraan tentang Agung Sedayu. Ketika pembicaraan tentang pertapa itu telah berkisar lagi, maka orang-orang tua itu telah kembali kepada pokok pembicaraan mereka, yaitu tentang Agung Sedayu yang sebaiknya segera kembali ke Jati Anom karena ia harus melakukan kewajibannya sebagai seorang anak muda yang memang sudah menjadi dewasa sepenuhnya.

Prastawa tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja tubuhnya bagaikan menjadi gemetar. Ia sudah mendengar sebelumnya bahwa Agung Sedayu dan Sekar Mirah memang akan kawin. Tetapi ketika saat perkawinan itu menjadi begitu pasti dan hanya dalam waktu yang sudah terlalu dekat, hatinya telah bergejolak. Rasa-rasanya ia tidak dapat menerima keadaan itu dengan ikhlas. Bahkan seandainya ia memiliki kemampuan atau kekuasaan untuk mencegahnya, maka ia akan mencegahnya.

Tetapi hal itu tidak akan mungkin dilakukannya. Ia tidak memiliki kekuasaan apapun. Dan iapun menyadari, bahwa kemampuan Agung Sedayu adalah kemampuan raksasa yang tidak dapat dinilainya.

Meskipun demikian, seakan-akan ada dorongan di dalam hatinya untuk mencegah agar perkawinan itu dapat dibatalkan.

“Tetapi tidak ada jalan untuk itu,“ berkata Prastawa di dalam hatinya. Yang dapat dilakukannya hanyalah berharap agar perang antara Pajang dan Mataram pecah dengan cepat sebelum hari perkawinan itu, sehingga dengan demikian maka perkawinan itu akan gagal. Setidak-tidaknya, perkawinan itu akan tertunda.

Tetapi harapan itupun bagaikan berharap akan titiknya embun di siang hari yang terik.

Karena itu, maka yang bergolak di hatinya kemudian adalah kegelisahan yang tidak berujung pangkal.

Sementara itu, maka orang-orang tua yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu, termasuk Ki Gede sendiri, bersepakat, bahwa Agung Sedayu akan segera pergi ke Jati Anom untuk mempersiapkan hari perkawinannya yang tinggal terlalu dekat.

“Tetapi sudah barang tentu dengan harapan, bahwa setelah hari perkawinan itu, Angger Agung Sedayu tidak berkeberatan tinggal di Tanah Perdikan ini untuk beberapa lama. Kecuali untuk kepentingan Tanah Perdikan ini, tentu tugas Angger Agung Sedayu di barak pasukan khusus itu masih belum selesai. Pasukan itu baru terbentuk dan menemukan ujudnya. Karena itu, maka pasukan itu harus dimatangkan dalam waktu dekat. Sebagaimana kemelut antara Pajang dan Mataram yang menjadi semakin panas,“ berkata Ki Gede.

Semua orang memandang Agung Sedayu. Seolah-olah menyerahkan penuh persoalannya kepada Agung Sedayu.

Namun yang menjawab kemudian adalah Ki Waskita, “Meskipun segalanya terserah kepada Angger Agung Sedayu, namun Tanah Perdikan dan barak pasukan khusus itu memang memerlukannya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Aku mengerti. Hubunganku dengan Tanah Perdikan ini sudah terlanjur menjadi sangat akrab, sehingga rasa-rasanya aku bukan orang lain di sini. Tetapi khusus bagi barak itu, sebenarnya aku tidak sangat diperlukan. Di barak itu ada beberapa orang perwira dari Mataram yang dengan bersama-sama telah membentuk isi barak itu menjadi sebuah pasukan khusus yang kuat. Aku hanya salah seorang saja yang membantu mereka dalam tugas itu bersama Ki Waskita dan Ki Gede. Tetapi perananku sama sekali tidak menentukan apa-apa.”

Kiai Gringsing memandang Agung Sedayu sekilas. Namun seolah-olah ia telah berhasil menangkap isi perasaan Agung Sedayu tentang barak dan pasukan khusus itu. Meskipun demikian, Kiai Gringsing tidak bertanya kepada muridnya yang sudah diketahui sifat dan wataknya itu.

Karena itu, maka yang dikatakannya kemudian adalah, “Baiklah Ki Gede. Segalanya tentu akan dipertimbangkan sebaik-baiknya. Setelah hari-hari perkawinan itu lewat, maka Agung Sedayu tentu akan segera mengambil keputusan. Aku sendiri tidak melihat keberatannya jika setelah hari perkawinan itu Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan ini untuk sementara. Agung Sedayu akan dapat melanjutkan kerjanya bagi Tanah Perdikan ini dan bagi pasukan khusus di dalam barak itu. Selanjutnya, keadaannya akan banyak ditentukan oleh perkembangan keadaan. Ia tidak akan dapat melepaskan diri dari perkembangan hubungan antara Pajang dan Mataram.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku memang tidak mempunyai pilihan lain.”

“Sementara itu, Agung Sedayu pun tentu harus berbicara dengan Ki Lurah Branjangan,“ berkata Ki Waskita. “Kau harus minta ijin kepadanya, bahwa kau akan melangsungkan perkawinanmu.”

“Aku akan memberitahukan kepadanya,“ jawab Agung Sedayu, “barangkali bukan permintaan ijin. Jika aku minta ijin, maka hari-hariku akan sangat tergantung kepada ijin yang diberikan. Tetapi jika aku memberitahukan kepada Ki lurah, maka aku tidak akan terikat kepada waktu yang diberikannya.”

Ki Waskita mengerutkan keningnya. Namun sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Kita akan menghadap besok.”

Demikianlah, maka itu pembicaraan mengenai rencana kepergian Agung Sedayu masih dibicarakan, meskipun pada dasarnya sudah tidak ada persoalan lagi. Namun akhirnya, Ki Gede pun mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat.

Namun dalam pada itu, selagi orang-orang tua memasuki biliknya, Glagah Putih berkata kepada Agung Sedayu, “Aku ingin melihat Tanah Perdikan ini.”

“Besok siang kita akan berkeliling,“ jawab Agung Sedayu.

“Maksudku, Tanah Perdikan ini di malam hari.” jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kita akan berjalan-jalan. Aku akan memberitahukan kepada Ki Waskita.“

Yang kemudian keluar dari regol halaman rumah Ki Gede bukan saja hanya Agung Sedayu dan Glagah Putih, tetapi Sabungsari pun ikut pula bersama mereka. Tetapi dalam pada itu, justru karena mereka bertiga bersama Sabungsari, maka Agung Sedayu tidak membawa mereka mendekati barak. Meskipun Agung Sedayu yakin, bahwa apa yang diketahuinya di Tanah Perdikan Menoreh tentang pasukan khusus yang di susun oleh Mataram, yang tentu akan dipergunakan untuk menghadapi Pajang, namun Sabungsari tentu tidak akan mempersoalkannya. Karena Sabungsari pun bukan seorang prajurit yang tidak melihat perkembangan keadaan yang tumbuh semakin buram antara Pajang dan Mataram. Sabungsari pun tentu tidak akan menutup penglihatannya tentang pasukan khusus yang disusun di Pajang, justru di bawah pimpinan Ki Tumenggung Prabadaru yang pantas untuk dipertanyakan.

Untunglah bahwa Glagah Putih di sepanjang perjalanan itu sama sekali tidak bertanya tentang barak pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, meskipun Agung Sedayu sudah siap untuk mengelak apabila hal itu benar-benar dipertanyakan.

Ternyata bahwa Glagah Putih merasa gembira dapat melihat gardu-gardu di padukuhan-padukuhan. Anak-anak muda yang gembira dalam tugas mereka dan dengan ramah menyambutnya. Sementara itu, di bulak-bulak panjang, Glagah Putih juga melihat sebagaimana dilihatnya di sepanjang perjalanannya ke Tanah Perdikan itu. Sawah yang subur dan gairah kerja yang besar dari orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh.

Bahkan di malam hari, mereka dapat melihat, orang-orang yang sedang mengisi waktu mereka dengan kerja di sungai-sungai. Dengan jala mereka menangkap ikan sebagai kerja sambilan yang dapat membantu kesejahteraan hidup mereka sehari-hari, karena kerja mereka di sungai-sungai itupun ternyata menghasilkan pula.

“Senang juga tinggal di Tanah Perdikan ini,“ berkata Glagah Putih.

“Tanah Perdikan ini serasa telah hidup kembali setelah beberapa lamanya terasa lesu,“ sahut Agung Sedayu.

“Ini adalah hasil kerja Kakang selama ini?“ bertanya Glagah Putih.

“O, tentu tidak. Apalah artinya aku seorang diri,“ jawab Agung Sedayu dengan serta merta, “aku hanya membantu tugas-tugas yang dilakukan oleh Ki Gede, Prastawa dan para bebahu Tanah Perdikan ini sendiri. Aku bukan apa-apa di sini, seandainya aku benar-benar sendiri.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti.”

Demikianlah, rasa-rasanya mereka sama sekali tidak menjadi lelah. Mereka berjalan dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain, dan dari satu gardu ke gardu yang lain.

Sementara itu, ternyata orang-orang tua yang sudah berada dibiliknya pun tidak juga segera tertidur nyenyak. Mereka masih juga berbicara tentang beberapa hal yang menyangkut hari-hari perkawinan Agung Sedayu yang menjadi semakin dekat.

Namun demikian, ketika Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih sampai di rumah Ki Gede, orang-orang tua itu sudah tertidur nyenyak sehingga Agung Sedayu harus mengetuk pintu gandok untuk membangunkan Ki Waskita.

Di hari berikutnya, maka ketika matahari naik di wajah langit yang bersih, Agung Sedayu dan Ki Waskita telah pergi ke barak untuk bertemu dengan Ki Lurah Branjangan. Agar persoalannya dapat lebih meyakinkan, maka telah pergi bersama mereka Ki Gede, Kiai Gringsing dan Ki Widura, sementara Sabungsari dan Glagah Putih tinggal di rumah Ki Gede bersama Prastawa.

Betapa perasaan Prastawa bergejolak, namun ia telah memaksa diri untuk berbuat sebaik-baiknya terhadap tamu-tamunya, karena ia tahu bahwa tamu-tamunya itu merupakan orang-orang yang dihormati pula oleh Ki Gede Menoreh.

Meskipun demikian, Prastawa tidak berbuat banyak. Dipersilahkan saja tamunya duduk di pendapa. Beberapa lamanya ia duduk bersama mereka. Namun kemudian keduanya itu telah ditinggalkannya di pendapa. Hanya kadang-kadang saja ia kembali duduk bersama mereka. Namun sebentar kemudian, ia telah meninggalkannya pula.

Akhirnya Glagah Putih tidak telaten. Maka diajaknya Sabungsari turun dan duduk di gardu bersama pengawal yang bertugas. Ketika Prastawa mengetahuinya, maka iapun telah menemani mereka di gardu pula.

Rasa-rasanya Agung Sedayu telah pergi ke barak terlalu lama. Ingin rasanya Glagah Putih menyusul mereka. Tetapi pesan Agung Sedayu dengan sungguh-sungguh, agar ia tidak pergi kemanapun juga.

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan orang-orang tua yang mengantarkannya telah mengejutkan Ki Lurah Branjangan. Ki Lurah Branjangan telah mengenal mereka semuanya dengan sebaik-baiknya. Ki Gede Menoreh, Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Widura. Orang-orang yang memiliki kelebihan dari orang-orang lain.

“Aku ingin menghadap Ki Lurah,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

Ki Lurah benar-benar menjadi berdebar-debar. Dipersilahkannya mereka masuk ke dalam sebuah ruangan khusus yang biasa dipergunakan oleh Ki Lurah untuk menerima tamu-tamunya.

Setelah mereka duduk sejenak, serta setelah Ki Lurah Branjangan bertanya berbagai hal mengenai keselamatan mereka yang jarang ditemuinya, maka Agung Sedayu pun mulai mengatakan maksud kedatangan mereka.

“Jadi kau akan meninggalkan tugasmu lagi untuk beberapa hari?“ bertanya Ki Lurah.

“Ya,“ berkata Agung Sedayu, “kami datang untuk memberi tahukan hal itu. Aku akan pergi ke Jati Anom untuk beberapa hari.”

“Berapa hari kau perlukan untuk pelaksanaan perkawinanmu itu?“ bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Secukupnya,“ jawab Agung Sedayu.

“Ya. Yang kau maksud secukupnya itu berapa hari?“ desak Ki Lurah.

“Lebih baik tidak menyebutnya,“ jawab Agung Sedayu, “agar dengan demikian aku tidak terikat kepada batasan yang mungkin tidak dapat aku tepati.”

Wajah Ki Lurah Branjangan menegang. Jawaban itu terdengar aneh di telinganya.

Namun dalam pada itu, Ki Widura yang pernah menjadi seorang senapati itupun menjawab, “Ki Lurah. Baiklah aku memberikan ancar-ancar batasan waktu yang diperlukan oleh Agung Sedayu. Hari perkawinannya masih akan berlangsung kira-kira dua pekan lagi. Kemudian ia akan beristirahat setengah bulan setelah hari perkawinannya. Dengan demikian, maka waktu yang kira-kira diperlukan adalah satu bulan.”

Ki Lurah Branjangan memandang Ki Widura dengan tajamnya. Dengan ragu-ragu ia kemudian berkata, “Jadi waktu yang diperlukan kira-kira satu bulan?”

“Ya,“ jawab Ki Widura.

“Ki Widura,“ berkata Ki Lurah Branjangan, “waktu yang Ki Widura sebutkan itu membuat aku menjadi gelisah. Aku kira Ki Widura yang juga pernah menjadi seorang prajurit akan dapat menarik pengalaman selama bertugas. Apakah Ki Widura pernah memberikan kesempatan kepada seseorang untuk meninggalkan tugasnya selama satu bulan? Apalagi dalam keadaan gawat seperti sekarang ini?”

Ki Widura menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Selagi aku menjadi seorang senapati, aku hanya memberikan waktu sepekan kepada prajurit-prajuritku yang melangsungkan perkawinannya.”

“Nah, bukankah dengan demikian Ki Widura sudah mendapat gambaran tentang kemungkinan waktu yang dapat aku berikan kepada Agung Sedayu?“ jawab Ki Lurah Branjangan.

“Persoalannya agak berbeda. Kedudukan Agung Sedayu dan kedudukan prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung waktu itu memang agak berbeda,“ jawab Ki Widura.

Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya.

Dengan nada yang tinggi ia kemudian berkata, “Aku tidak akan dapat menentukan. Aku akan melaporkannya kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga. Aku tahu, bahwa Agung Sedayu memang mempunyai hubungan khusus dengan Raden Sutawijaya, sehingga aku akan mengalami kesulitan untuk mengambil satu sikap terhadapnya.”

Tetapi tiba-tiba saja Agung Sedayu menjawab, “Kami juga sudah merencanakan untuk singgah di Mataram. Mungkin persoalannya akan dapat kami bicarakan dengan Raden Sutawijaya.”

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Sementara Kiai Gringsing berkata, “Benar Ki Lurah. Kami memang akan singgah. Mungkin tidak sepantasnya kami mengundang Raden Sutawijaya pada hari hari perkawinan Agung Sedayu, dan mungkin pula tidak seharusnya kami memberitahukan hal itu. Namun mengingat hubungan kami dengan Raden Sutawijaya sebelumnya, serta segala kebaikan hatinya, maka kami akan singgah sekedar memberitahu. Kami sama sekali tidak berniat untuk mengundangnya secara resmi, mengingat kedudukan kami.”

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Tidak banyak orang yang demikian dekat dengan Raden Sutawijaya. Sudah tentu selain para pembantunya.

Tetapi dengan Agung Sedayu, Senapati Ing Ngalaga mempunyai hubungan yang khusus sehingga dalam kedudukannya Agung Sedayu tetap merupakan orang yang mempunyai kedudukan yang khusus bagi Raden Sutawijaya.

Karena itu, maka Ki Lurah itupun kemudian berkata, “Kiai, sebaiknya justru aku menunggu perintah dari Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Namun aku ingin memperingatkan, bahwa dalam kemelut yang menjadi semakin panas ini, agaknya sulit untuk menunda segala persiapan dengan satu bulan. Mungkin dalam waktu satu bulan itu keadaan sudah menjadi semakin parah. Sementara anak-anak di barak ini masih perlu dipersiapkan jauh lebih baik lagi. Kita tahu bahwa yang dipersiapkan Pajang, pada dasarnya adalah prajurit-prajurit yang sudah memiliki dasar-dasar ilmu keprajuritan. Tetapi anak-anak di barak itu adalah orang-orang baru sama sekali dalam dunia keprajuritan itu.”

“Tetapi mereka adalah anak-anak muda yang sudah memiliki bekal kemampuan secara pribadi,“ Ki Widura-lah yang menyahut, “menurut pengalaman, mereka yang telah memiliki kemampuan secara pribadi tidak akan terlalu sulit mengikuti latihan-latihan dalam olah keprajuritan. Mereka akan cepat siap dan setelah mendapatkan dasar-dasar pengetahuan keprajuritan itu, maka dengan cepat pula mereka akan meningkat.”

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia berkata, “Baiklah. Segalanya terserah kepada Raden Sutawijaya. Aku menunggu perintahnya.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada Ki Gede maka Ki Gede itupun berkata, “Sebenarnya bukan hanya barak ini yang menunggu kedatangan Angger Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan. Tetapi seluruh Tanah Perdikan mengharapkannya. Namun aku memang tidak dapat bersikap lain kecuali menunggu.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, “Kami mengerti Ki Gede. Tetapi selama itu, Tanah Perdikan tentu akan bergerak terus. Baling-baling yang sudah berputar, akan berputar terus, selama masih ditiupkan nafas penggeraknya. Dan Ki Gede akan dapat melakukannya meskipun Agung Sedayu tidak ada di Tanah Perdikan ini.”

“Ya. Aku berharap demikian,“ jawab Ki Gede.

Dengan demikian, maka pembicaraan dengan Ki Lurah Branjangan itupun sudah dianggap selesai. Ki Lurah akan menunggu perintah dari Raden Sutawijaya, setelah Agung Sedayu menghadapnya di Mataram.

Para tamu Ki Lurah itupun kemudian mohon diri. Agung Sedayu masih ingin bertemu dengan beberapa orang anak muda yang berada di dalam barak itu. Ia langsung akan berpamitan untuk beberapa lama karena keperluan pribadinya.

“Aku tidak tahu, kapan aku akan kembali. Aku akan menghadap Senapati Ing Ngalaga untuk menerima perintahnya,“ berkata Agung Sedayu kepada anak-anak muda itu.

Tetapi Agung Sedayu merasa, bahwa dengan jujur anak-anak muda itu mengharap Agung Sedayu segera kembali dan berada di tengah-tengah mereka. Nampaknya bagi anak-anak muda itu, Agung Sedayu adalah orang yang paling sesuai dengan mereka. Ilmunya yang mumpuni memberikan keyakinan yang pasti pada anak-anak muda itu atas bimbingan dan tuntunannya. Sementara itu, umurnya yang tidak berselisih dengan mereka yang memasuki barak itu, membuat hubungan mereka menjadi akrab. Apalagi sifat dan sikap Agung Sedayu yang ternyata dapat memikat anak-anak muda itu, sebagaimana hubungan diantara kawan sendiri. Meskipun dalam beberapa hal, anak-anak muda itu tetap menghormati dan mengagumi Agung Sedayu.

Namun, bagaimanapun juga Agung Sedayu tidak akan dapat berbuat banyak. Ia memang harus meninggalkan barak itu dan berada beberapa lama di Jati Anom menjelang hari perkawinannya. Sementara itu, setelah hari-hari perkawinan itu selesai, maka iapun tidak akan dapat dengan serta merta meninggalkan Sangkal Putung. Apalagi jika Sekar Mirah akan ikut bersamanya.

Tetapi semuanya itu akan dipikirkannya kemudian. Bersama orang-orang tua itu, mereka akan menghadap Raden Sutawijaya. Karena sebenarnya-lah Kiai Gringsing juga berharap untuk mendapat sedikit gambaran, apakah hubungan antara Pajang dan Mataram itu menjadi semakin buruk atau masih dalam suasana yang meskipun bertambah panas, namun masih tidak akan terjadi sesuatu dalam waktu yang dekat. Tentu saja berdasarkan perhitungan pihak Mataram. Segala sesuatu di luar perhitungan itu memang dapat terjadi. Dan Kiai Gringsing pun yakin bahwa Matarampun telah memperhitungkan kemungkinan yang dapat terjadi di luar perhitungan itu.

Kiai Gringsing dan orang-orang tua yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu masih bermalam satu malam lagi. Baru di hari berikutnya mereka akan kembali ke Jati Anom bersama Agung Sedayu.

“Aku akan datang sehari sebelum hari yang ditentukan,“ berkata Ki Gede, “aku akan ikut mengiringkan Agung Sedayu dari Jati Anom ke Sangkal Putung.”

“Tidak,“ jawab Ki Widura, “aku kira pembicaraan kita tidak begitu. Agung Sedayu akan berada di Sangkal Putung sepekan sebelumnya. Sebagaimana kebiasaan calon pengantin laki-laki. Tetapi waktunya saja yang diperpendek. Tidak selapan, tetapi hanya sepekan.” 

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Jadi, jika aku datang sehari sebelumnya, aku akan pergi ke Sangkal Putung tanpa pengantin laki-laki.”

“Ya,“ jawab Ki Widura, “orang-orang tua akan pergi ke Sangkal Putung pada pagi hari menjelang hari perkawinan. Ki Demang akan meminjam sebuah rumah yang diperuntukkan bagi Agung Sedayu dan orang-orang tua yang datang dari Jati Anom. Di tempat itu Agung Sedayu akan dirias menjelang upacara ketemu di sore harinya, diiringi oleh orang-orang tua dari Jati Anom.”

Kiai Gringsing kemudian menyambung, “Jika Ki Gede datang di Jati Anom sehari sebelumnya, kita akan pergi bersama-sama ke Sangkal Putung.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Ia sudah mendapat gambaran apa yang akan dilakukan oleh orang-orang tua di Jati Anom. Karena itu maka katanya, “Baiklah. Aku akan datang bersama-sama orang-orang tua dari Jati Anom, seolah-olah aku adalah keluarga dari pengantin laki-laki.”

Demikianlah maka menjelang pagi, para tamu Ki Gede itu sudah siap. Merekapun meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh bersama Agung Sedayu dan Ki Waskita.

Sebagaimana yang mereka rencanakan, maka mereka akan singgah di Mataram. Kecuali untuk minta ijin barang satu bulan, Agung Sedayu pun ingin mendapat sedikit gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi menurut perhitungan Mataram. Meskipun di antara mereka terdapat Sabungsari, tetapi Agung Sedayu yakin bahwa Sabungsari tidak akan berbuat menyangkut pasukan yang dipersiapkan oleh Pajang. Meskipun Sabungsari juga seorang prajurit Pajang, tetapi dalam kedudukannya sebagai prajurit Pajang yang ditugaskan di Jati Anom, di bawah pimpinan Untara, maka Sabungsari akan selalu menyesuaikan diri dengan perintah Untara. Dan lebih dari itu. Sabungsari akan bersikap khusus terhadap Agung Sedayu.

Demikianlah, maka iring-iringan itu tidak mendapat hambatan apapun di perjalanan. Mereka langsung memasuki gerbang kota Mataram yang sedang berkembang itu, menuju ke rumah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga.

Kedatangannya pada hari yang masih terhitung pagi itu memang mengejutkan para pengawal. Bahkan Raden Sutawijaya yang kemudian diberitahupun menjadi terkejut pula.

“Sepagi ini mereka sudah sampai di sini,“ desis Raden Sutawijaya.

Sebenarnya-lah matahari memang belum begitu tinggi. Panasnya masih belum begitu terasa.

Sejenak kemudian, maka merekapun telah diterima langsung oleh Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani. Mereka duduk di pendapa dalam sebuah lingkaran di atas tikar pandan yang putih.

Setelah Raden Sutawijaya dan Ki Juru bertanya tentang keselamatan mereka di perjalanan, maka agaknya Raden Sutawijaya yang ingin segera mengetahui kepentingan mereka itupun bertanya, “Apakah kalian datang dari Tanah Perdikan Menoreh?”

“Ya,“ jawab Kiai Gringsing, “kami pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menjemput Agung Sedayu.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk, sementara Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Waktunya sudah semakin dekat bagi Agung Sedayu.”

Raden Sutawijaya segera menangkap maksud Kiai Gringsing. Karena itu sambil tertawa ia berkata, “Syukurlah. Dengan demikian maka kegelisahannya akan segera berakhir.”

Agung Sedayu memandang Raden Sutawijaya sekilas. Namun iapun kemudian menundukkan kepalanya. Yang penting baginya adalah keterangan tentang keadaan dan ijin untuk meninggalkan barak itu sebulan lamanya.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing-lah yang kemudian menyampaikan persoalan Agung Sedayu sebagaimana yang sudah dikatakannya kepada Ki Lurah Branjangan. Agung Sedayu mohon waktu sebelum dan sesudah hari perkawinannya kira-kira sebulan lamanya.

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, “Ya, kenapa? Seolah-olah Kiai telah minta ijin kepadaku.”

Kiai Gringsing menjadi heran. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Bukankah seharusnya Agung Sedayu memang minta ijin? Kami sudah menghubungi Ki Lurah Branjangan dan minta ijin kepada Ki Lurah. Namun karena Ki Lurah menganggap bahwa waktu yang satu bulan itu terlalu panjang, maka segalanya terserah kepada Raden. Raden-lah yang akan memutuskannya dan Ki Lurah akan menunggu perintah.”

Raden Sutawijaya tertawa. Sambil memandang Ki Juru, ia berkata, “Paman. Ternyata bahwa Ki Lurah keliru memberikan arti kedudukan Agung Sedayu.”

Ki Juru mengangguk-angguk. Tetapi agaknya iapun masih memerlukan penjelasan.

Dalam pada itu. Raden Sutawijaya berkata, “Sebenarnyalah aku tidak berwenang untuk memberikan ijin kepada Agung Sedayu. Aku telah mendapat banyak pertolongan dan kesediaannya membantu aku, khususnya dalam menangani pasukan itu. Karena itu, segala sesuatunya terserah kepada Agung Sedayu. Aku tidak akan dapat melarangnya jika memang dikehendakinya. Sebaliknya aku tidak akan dapat memberikan perintah apapun jika ia tidak ingin melakukannya. Yang dilakukan di Tanah Perdikan Menoreh adalah satu kesediaan untuk menolong aku. Dan aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Karena itu, jika Agung Sedayu mempunyai kepentingan bagi dirinya sendiri, meskipun sifatnya sangat pribadi, maka sudah barang tentu aku akan mempersilahkannya. Meskipun dengan penuh harapan, bahwa Agung Sedayu akan bersedia membantu aku lagi di waktu mendatang. Tetapi sudah tentu, bahwa aku tidak akan dapat membatasi waktu yang dikehendaki. Sepekan, dua pekan atau sebulan.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun menatap wajah Ki Widura yang sedang menarik nafas dalam-dalam.

Sambil mengangguk-angguk maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Terima kasih Raden. Namun bagaimanapun juga, kesediaan Agung Sedayu untuk menjalankan tugas yang Raden berikan di Tanah Perdikan Menoreh, telah mengikatnya pada suatu kewajiban tertentu. Karena itu, adalah bagian dari kewajibannya pula untuk minta ijin jika ia berhalangan untuk melakukan kewajibannya itu.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Bibirnya masih membayangkan senyum. Katanya, “Baiklah Kiai, akulah yang harus berterima kasih. Jika Agung Sedayu menganggap bahwa ia berkewajiban untuk minta ijin kepadaku, dan bukan sekedar memberi tahu, maka sudah tentu aku tidak akan berkeberatan. Aku termasuk salah seorang yang menganjurkannya agar perkawinan itu segera dilakukan. Aku akan mengucapkan selamat dan jika diperlukan, membantu apa saja yang dapat aku lakukan untuk kepentingan hari-hari perkawinan itu.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun terasa di dalam dada Agung Sedayu sesuatu yang bergetar. Nampaknya Raden Sutawijaya memang tidak berkeberatan sama sekali. Bahkan seakan-akan ia merasa tidak berhak untuk melarang atau mengurangi waktu yang diperlukan oleh Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu agak kurang mengerti, apakah yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya itu benar-benar seperti arti kata-katanya itu atau mempunyai makna yang sebaliknya.

Dalam keragu-raguan itu tiba-tiba saja Agung Sedayu menjadi gelisah. Keringatnya mengalir membasahi pakaiannya.

Ternyata bahwa anak muda yang bernama Raden Sutawijaya dan bergelar Senapati ing Ngalaga itu mempunyai pengaruh yang kuat di dalam diri Agung Sedayu. Mereka sama-sama muda dan sama-sama memiliki ilmu yang luar biasa. Namun terasa bahwa kedudukan, sikap dan pribadi Senapati ing Ngalaga mempunyai wibawa yang sangat besar sehingga Agung Sedayu benar-benar menghormatinya.

Karena itulah, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu telah berkata, “Raden. Aku memang mohon waktu sebulan untuk saat-saat yang sangat penting bagiku. Namun jika segala sesuatunya dapat aku anggap selesai lebih cepat, maka akupun akan mempercepat waktu yang satu bulan itu.”

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya Agung Sedayu sejenak. Sementara itu Kiai Gringsing, Ki Widura dan Ki Waskita pun dapat meraba gejolak perasaan anak muda itu.

Namun mereka sama sekali tidak berkeberatan atas pernyataan Agung Sedayu itu, sehingga Kiai Gringsing pun kemudian justru menyambung, “Waktu itu adalah sekedar batasan longgar agar Agung Sedayu tidak merasa dikejar oleh kesanggupannya pada saat-saat penting baginya. Mungkin Raden Suatwijaya serba sedikit dapat mengetahui sifat dan tabiat bakal istri Agung Sedayu. Masalahnya memang terlalu pribadi bagi Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu tidak akan dapat memisahkan dengan lingkungan, kewajiban dan dalam hubungan dengan kepentingan pribadinya dengan mutlak.”

Dalam pada itu Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Kiai. Dan akupun telah menyatakan sebagaimana aku katakan. Bukan sekedar pernyataan untuk melengkapi tatanan unggah-ungguh saja, yang sebenarnya bertentangan dengan kata hatiku yang sebenarnya.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun rasa rasanya ia justru mendapat kesempatan untuk menjajagi keadaan. Karena itu, maka katanya, “Sebenarnya seperti yang dikatakan oleh Angger Agung Sedayu, dalam keadaan yang khusus maka ia akan dapat memperpendek waktu yang dimohon itu. Khususnya dalam hubungannya dengan keadaan yang kurang menentu sekarang ini.”

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya tanpa ragu-ragu, “Dalam hubungan kami dengan Pajang?”

Kiai Gringsing-lah yang ragu-ragu. Tetapi ia menjawab, “Ya Raden. Persiapan-persiapan yang khusus dilakukan oleh Pajang, meskipun masih harus dimengerti apakah hal itu benar-benar dikehendaki oleh Kanjeng Sultan atau oleh orang-orang tertentu, telah menimbulkan beberapa pertimbangan atas hari-hari perkawinan Agung Sedayu. Sangkal Putung yang terletak di garis hubungan antara Pajang dan Mataram itu rasa-rasanya tidak akan dapat terhindar dari pengaruh langsung hubungan antara Pajang dan Mataram.”

Namun jawab Raden Sutawijaya ternyata tidak menggelisahkan. Katanya, “Aku tidak melihat kemungkinan-kemungkinan yang akan dapat mengganggu hari-hari perkawinan itu. Bukankah waktunya sudah sangat dekat? Jika yang dimaksud oleh Agung Sedayu, apakah waktunya yang satu bulan itu akan berpengaruh, maka akupun berharap bahwa kami benar-benar dapat memberikan waktu sebagaimana dikehendaki.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun sementara itu, terasa di hati Agung Sedayu, betapa ia menganggap dirinya orang yang sangat penting. Seandainya ia tidak kembali sebulan lagi atau bahkan tidak kembali sama sekali ke Tanah Perdikan Menoreh, atau ia tetap kembali ke Tanah Perdikan itu tetapi tidak kembali memasuki barak itu, apakah akan berarti bahwa persiapan Raden Sutawijaya dengan pasukan khususnya menjadi terganggu?

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Raden Sutawijaya tentu mempunyai pandangan yang cukup luas menghadapi masa depannya. Agung Sedayu hanya salah seorang yang dapat membantunya. Tetapi Mataram dengan pasukan khusus itu, sama sekali tidak tergantung kepadanya.

Sehingga seolah-olah Raden Sutawijaya itu berkata, “Kami tidak tergantung kepada seseorang.”

Namun dalam pada itu, segala pertimbangan itupun kemudian patah oleh kata-kata Raden Sutawijaya, “Nah, menghadapi hari-hari perkawinan itu, jika ada sesuatu yang kau perlukan, jangan segan-segan mengatakan kepadaku Agung Sedayu. Aku akan membantu seperti yang sudah aku katakan. Meskipun aku yakin, bahwa segala sesuatunya tentu sudah dipersiapkan sebaik-baiknya oleh Ki Demang Sangkal Putung dan Ki Widura.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih Raden. Sebenarnyalah jika kami memerlukan, kami tidak akan segan-segan menyampaikannya kepada Raden Sutawijaya.”

Raden Sutawijaya tersenyum. Sementara itu, hidangan yang telah tersedia itupun menjadi semakin dingin, sehingga Raden Sutawijaya pun telah mempersilahkan tamu-tamunya untuk menikmatinya.

Dalam pada itu, selagi mereka meneguk minuman dan mengunyah makanan, mereka masih saja berbincang tentang hari-hari perkawinan itu. Namun yang mereka bicarakan kemudian adalah persoalan-persoalan yang menyangkut pelaksanaan hari perkawinan itu sendiri.

Baru beberapa saat kemudian, Kiai Gringsing dan sekelompok kecilnya telah minta diri kepada Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani. Mereka akan melanjutkan perjalanan kembali ke Jati Anom.

“Aku tidak berusaha menahan kalian kali ini,“ berkata Raden Sutawijaya sambil tersenyum, “karena aku tahu, bahwa kalian akan segera mengadakan persiapan-persiapan seperlunya.”

Kiai Gringsing pun tersenyum pula. Bahkan Widura menyahut, “Tidak ada yang dipersiapkan Raden.”

Tetapi Raden Sutawijaya justru tertawa. Katanya, “Tentu ada yang dipersiapkan.”

“Bermacam-macam.” berkata Kiai Gringsing.

“Peralatan perkawinan adalah kerja yang sangat melelahkan. Tetapi bukan bagi pengantinnya.”

Ki Widura tertawa pula. Yang lainpun tersenyum. Tetapi Agung Sedayu menundukkan kepalanya.

Kelompok kecil yang akan pergi ke Jati Anom itupun kemudian meninggalkan Mataram. Di halaman, Raden Sutawijaya masih sempat berbisik kepada Ki Widura, “Aku akan melihat suasana. Mungkin aku akan datang meskipun tidak diundang. Tetapi mungkin aku tidak dapat datang. Bukan karena aku tidak diundang, tetapi karena sebab-sebab lain, karena bagiku diundang atau tidak diundang sama saja artinya.”

Ki Widura mengerutkan keningnya. Iapun menjawab lirih, “Kami merasa terlalu kecil untuk mengundang Raden.”

“Kalian selalu merendahkan diri. Tetapi seperti yang aku katakan, diundang atau tidak, aku akan tetap datang. Jika tidak, tentu karena sebab-sebab yang lain, bukan karena tidak diundang itu.”

Ki Widura menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Demikianlah maka iring-iringan kecil itupun telah meninggalkan Mataram langsung menuju ke Jati Anom. Ketika mereka melintasi kedai yang terbakar itu, maka jelaslah, bahwa kedai itu telah melibatkan baik Agung Sedayu dan Ki Waskita, maupun Kiai Gringsing dan Ki Widura kedalam persoalan yang ada sangkut pautnya tanpa mereka sadari.

Tidak ada persoalan di perjalanan kembali. Ketika mereka melihat bahwa kedai yang terbakar itu sudah mulai dibersihkan oleh beberapa orang tetangga-tetangganya, maka Kiai Gringsingpun berkata, “Mudah-mudahan warung itu akan segera dapat dibuka kembali.”

Namun dalam pada itu, di perjalanan kembali itu. Kiai Gringsing, Ki Widura dan Ki Waskita bersetuju, bahwa menurut pembicaraan mereka dengan Raden Sutawijaya, agaknya Mataram belum melihat bahwa kemelut antara Pajang dan Mataram akan mencapai puncaknya dalam sebulan mendatang.

“Tetapi kita harus melihat dari sudut Pajang,“

“Jika kita mendapat keterangan yang berbeda, bahkan berlawanan sehingga kita mengambil kesimpulan, bahwa akan ada gerakan tertentu dalam sebulan ini, kita bukan saja dapat berhati-hati, tetapi kita wajib memberikan keterangan itu kepada Raden Sutawijaya,“ berkata Ki Waskita.

Kiai Gringsing dan Ki Widura mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya mereka berpaling kepada Sabungsari yang berkuda di belakang bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tetapi Sabungsari itupun sama sekali tidak memperhatikan mereka.

“Anak itu tidak akan berbuat apa-apa yang dapat menyulitkan kita,” berkata Kiai Gringsing.

“Tetapi bagaimanapun juga ia seorang prajurit Pajang,“ berkata Ki Waskita.

“Tetapi pada saat-saat terakhir, Angger Untara berusaha menilai keadaan dengan sebaik-baiknya. Sikapnya itu ternyata mempengaruhi sikap prajurit-prajuritnya. Tetapi tidak mustahil bahwa di antara prajurit dan perwira di bawah Untara ada orang-orang seperti Ki Pringgajaya,“ berkata Ki Widura.

“Agaknya hal itu disadari oleh Angger Untara,” berkata Kiai Gringsing, “ia tidak akan terjerat untuk kedua kalinya oleh orang-orang seperti Ki Pringgajaya itu. Karena itu, agaknya kepercayaan-kepercayaan Untara berada di segala lingkungan di dalam pasukannya.”

“Tidak termasuk Sabungsari?“ bertanya Ki Waskita.

“Agaknya tidak termasuk Sabungsari,“ jawab Kiai Gringsing, “Untara masih berhati-hati memandang anak yang lebih sering berada di padepokan itu di waktu senggangnya.”

Demikianlah, sambil berbincang iring-iringan itupun semakin mendekati Jati Anom. Mereka meninggalkan jalan yang mereka ikuti dari Mataram dan berbelok turun ke jalan yang lebih kecil menuju ke kaki Gunung Merapi.

Setelah melalui jalan di pinggir hutan yang tidak begitu lebat, maka merekapun menjadi semakin dekat dengan padepokan mereka. Padepokan kecil yang sepi namun terasa sejuk dan tenang.

Kehadiran mereka di padepokan itu telah membuat para cantrik yang tidak banyak jumlahnya itu menjadi gembira. Mereka merasa terlalu sepi selama waktu yang panjang, sejak Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh, sementara Kiai Gringsing lebih banyak berada di Sangkal Putung, dan menurut pengertian mereka, Glagah Putih sering berada di Banyu Asri.

“Aku akan berada di sini untuk beberapa pekan,“ berkata Agung Sedayu kepada para cantrik.

“Tentu tidak,“ jawab seorang cantrik, “kau akan segera berada di Sangkal Putung menjelang hari-hari perkawinanmu.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya, sementara cantrik itu tersenyum sambil berkata, “Kau kira aku tidak tahu bahwa hari-hari perkawinanmu sudah menjadi sangat dekat?”

Agung Sedayu tersenyum. Hal itu memang bukan rahasia, sehingga tidak mustahil bahwa para cantrik dan kawan-kawannya dari Jati Anom telah mendengarnya.

Dalam pada itu, maka Untarapun tidak dapat mengelakkan tugasnya sebagai saudara tua Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun mulai memikirkan apa yang akan dilakukannya pada waktu dekat. Iapun memikirkan apa yang mungkin terjadi pada saat-saat perkawinan Agung Sedayu karena Untarapun menyadari, bahwa banyak pihak yang justru memusuhi Agung Sedayu.

“Tetapi sumbernya sudah jelas,“ berkata Untara kepada diri sendiri, “ada orang-orang tertentu yang ingin menyingkirkannya. Orang itulah yang menghubungi pihak manapun juga untuk melaksanakan maksudnya.”

Untara pun tidak menutup mata tentang hubungan Agung Sedayu dengan Mataram. Dan Untara pun sebenarnya tidak terlalu bodoh untuk tidak mengerti sikap adiknya. Tetapi Untara pun juga tidak terlalu bodoh untuk tidak mengerti, sikap beberapa orang di Pajang. Sehingga dengan demikian, maka ia harus menentukan sikapnya.

Karena itulah, maka dengan diam-diam Untara menempatkan kepercayaannya di antara para prajurit di Pajang dengan dalih apapun juga. Bahkan satu dua orang prajurit yang sudah ditarik kembali ke Pajang masih ada juga yang dengan suka rela telah bekerja untuk kepentingan Untara yang dikaguminya.

Dalam pada itu, justru pada saat Agung Sedayu kembali dari Tanah Perdikan Menoreh, Untara telah mendapat keterangan yang agak menggelisahkan. Orang-orang Pajang ternyata menaruh banyak perhatian kepada hari perkawinan Agung Sedayu.

“Apakah mereka pernah membicarakan secara khusus?“ bertanya Untara kepada seorang sahabatnya. Seorang perwira muda yang sudah ditarik dan bertugas di Pajang, namun yang masih tetap dalam persahabatan dengan Untara.

“Ya,“ jawab perwira yang pernah menjadi pembantu Untara itu, “justru orang-orang yang dekat dengan Tumenggung Prabadaru.”

Untara mengerutkan keningnya. Ia menjadi berdebar-debar. Sementara itu perwira muda itu berkata lebih lanjut, “Nampaknya mereka memang sudah memperbincangkannya dengan Tumenggung Prabadaru.”

Untara mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia bertanya, “Bagaimana menurut pertimbanganmu?”

“Tidak ada salahnya jika kau tempatkan pasukanmu di sekitar Sangkal Putung,“ berkata Untara.

“Terbuka?“ bertanya Untara.

“Ada baiknya. Dengan demikian maka jika ada satu kelompok orang yang berniat buruk, harus memperhitungkan kemungkinan untuk menghadapi prajurit Pajang. Sebenarnya prajurit Pajang,“ jawab perwira itu.

Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi apakah kata orang tentang tingkah lakuku. Aku telah mempergunakan kedudukanku untuk kepentingan pribadi. Bukankah tidak ada alasan bahwa Agung Sedayu mendapat pengawalan pasukan Pajang yang bertugas di Jati Anom pada hari-hari perkawinannya.”

“Kau tidak mengawal adikmu yang kawin itu. Tetapi kau menyiapkan pasukan untuk menjaga ketertiban, karena kau mendengar berita bahwa kerusuhan akan terjadi,“ berkata perwira itu.

“Tetapi tidak semata-mata melindungi seseorang yang sedang melangsungkan perkawinannya. Aku dapat meningkatkan perondan dan menempatkan beberapa orang di luar Sangkal Putung. Tetapi justru tidak di Sangkal Putung sendiri.”

“Itu terserah kepadamu. Tetapi menurut pendapatku, pengamanan pada saat-saat perkawinan itu penting sekali. Meskipun di Sangkal Putung itu terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi mungkin yang akan datang mengacaukan acara perkawinan itu jumlahnya cukup banyak. Mereka tentu memperhitungkan kekuatan para pengawal Kademangan yang cukup kuat. Tetapi akan ada pengaruhnya, jika mereka berhadapan dengan para prajurit Pajang sendiri,“ berkata perwira muda itu.

Untara mengangguk-angguk. Desisnya, “Terima kasih. Aku akan mempertimbangkannya. Mungkin aku akan memberitahukan hal ini kepada orang-orang tua yang selalu berada di sekitar Agung Sedayu. Kiai Gringsing, Paman Widura, Ki Waskita dan barangkali juga Swandaru.”

“Kau dapat memberitahukan hal ini kepada mereka. Tetapi jangan memberikan kesan, bahwa kalian sudah mendengar rencana ini, agar mereka tidak mencari orang-orang di Pajang yang mungkin memberitahukan hal ini kepada pihak Agung Sedayu.”

“Aku mengerti,“ jawab Untara, “sekali lagi, aku mengucapkan terima kasih.”

Ternyata bahwa rencana itu benar-benar telah menggelisahkan Untara. Bagaimanapun juga, ia tidak menghendaki bahwa perkawinan itu akan menjadi kacau balau. Kemudian disusul dengan genangan darah dan air mata.

Dalam pada itu, pada hari kedatangan Agung Sedayu di Jati Anom, Widura telah langsung pergi menemui Untara di Jati Anom. Ia memberitahukan bahwa Agung Sedayu telah berada di padepokannya.

“Syukurlah,“ berkata Untara kemudian, “dengan demikian kita tidak lagi digelisahkan oleh anak itu. Pada saatnya kita akan membawanya ke Sangkal Putung, karena ia akan berada di Sangkal Putung sebelum saat-saat perkawinannya.”

“Ya,“ jawab Widura, “sepekan sebelumnya.”

Untara mengangguk-angguk. Ada keragu-raguan padanya untuk memberitahukan kemungkinan yang dapat terjadi pada saat-saat hari perkawinan Agung Sedayu. Namun akhirnya Untara mengambil kesimpulan, bahwa lebih baik berjaga-jaga daripada tiba-tiba saja mereka dihadapkan kepada satu peristiwa yang dapat mengejutkan mereka sehingga mereka mengambil satu tindakan dengan tergesa-gesa dan akibatnya kurang menguntungkan.

Karena itu, maka akhirnya Untara pun menyampaikannya kepada Widura seperti yang didengarnya dari seorang perwira yang pernah menjadi bawahannya dan bersedia membantunya, memberikan beberapa keterangan tentang perkembangan Pajang kepadanya, khususnya menghadapi perkawinan Agung Sedayu.

Widura mengerutkan keningnya. Dengan nada cemas ia bertanya, “Menurut pendapatmu apakah hal itu memang mungkin akan terjadi?”

“Mungkin saja Paman. Tetapi aku tidak dapat mengatakan, tindakan apa saja yang akan mereka ambil. Jika hal itu sudah mereka bicarakan dengan Tumenggung Prabadaru, maka mereka akan bersungguh-sungguh.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya, “Apakah kau akan mengambil langkah-langkah tertentu?”

“Mungkin aku akan menempatkan orang-orangku di sekitar Kademangan Sangkal Putung, sementara aku dapat meningkatkan perondan yang bergerak antara satu padukuhan ke lain padukuhan,“ jawab Untara, “tetapi aku tidak dapat dengan semata-mata mengerahkan pasukan untuk menjaga saat-saat perkawinan Agung Sedayu, agar aku tidak akan dituduh menyalahgunakan jabatanku, karena sebenarnya memang tidak ada alasan yang cukup kuat untuk mengerahkan prajurit Pajang menjaga ketertiban pada saat perkawinannya.”

Widura mengangguk-angguk. Iapun mengerti, bahwa seorang yang tidak mempunyai kedudukan apapun juga seperti Agung Sedayu memang tidak pada tempatnya mendapat pengawalan prajurit-prajurit Pajang pada saat hari perkawinannya. Namun demikian Ki Widura pun bertanya, “Untara, apakah menurut pendapatmu, Tumenggung Prabadaru atau orang yang akan ditunjuk, akan bergerak dengan kelompok prajurit Pajang atau bahkan pasukan khusus yang telah dibentuk itu?”

“Itulah yang masih belum dapat aku katakan Paman,“ jawab Untara, “tetapi aku kira Pajang tidak akan dengan terang-terangan memusuhi Sangkal Putung. Pajang tidak mempunyai alasan yang kuat. Seandainya Sangkal Putung dianggap salah pada satu sikap tertentu, ajang akan memerintahkan aku untuk berbuat sesuatu.”

“Jadi menurut dugaanmu, mungkin sekali yang akan terjadi itu tidak atas nama Pajang? Meskipun seandainya satu pasukan mengepung dan menyerang Sangkal Putung, yang terdiri dari pasukan khusus yang nggegirisi itu, namun pasukan itu tidak akan mempergunakan panji-panji pasukannya. Dan mereka tidak akan menunjukkan bahwa mereka adalah prajurit-prajurit Pajang,“ berkata Widura.

Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin memang demikian. Tetapi ada kemungkinan lain. Mereka mempergunakan orang-orang upahan seperti yang pernah terjadi.”

Widura mengangguk-angguk. Iapun dapat mengerti sikap itu. Di Sangkal Putung akan berkumpul orang-orang yang dianggap oleh Tumenggung Prabadaru dan kawan-kawannya, akan menghalangi segala rencananya untuk mewujudkan impian mereka tentang sebuah kekuasaan yang meliputi daerah Majapahit lama beserta segala kemegahannya. Bahkan satu kumpulan yang akan dapat menjadi pendukung bangkitnya kekuasaan di Mataram.

“Sebelum mereka menghadapi Mataram yang sebenarnya, maka menghancurkan Sangkal Putung adalah langkah pertama yang akan sangat menguntungkan,“ berkata Widura di dalam hatinya. Lalu, “Sangkal Putung terletak di jalan menuju ke Mataram. Sementara orang-orang yang menjadi tumpuan kekuatan di Sangkal Putung akan berkumpul pada hari-hari perkawinan Agung Sedayu.”

Widura menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat membayangkan, jika Tumenggung Prabadaru mengambil jalan yang demikian, maka benar-benar akan terjadi perang. Perang yang tidak kalah dahsyatnya dengan yang pernah terjadi di sela-sela Gunung Merapi dan Merbabu.

“Tetapi sementara itu Paman,“ berkata Untara selanjutnya, “rencana yang sudah tersusun itu biarlah berjalan. Aku akan selalu berhubungan dengan kawan-kawanku di Pajang. Para perwira yang masih mempunyai sikap seorang prajurit. Aku berharap mereka akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya.”

Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Untara. Aku akan membicarakannya dengan orang-orang tua di padepokan kecil itu. Mungkin mereka mempunyai sikap tertentu yang dapat dipertimbangkan. Jalan yang paling baik untuk menghindari kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi di Sangkal Putung.”

“Tetapi Paman harus tetap berpijak pada satu pengertian, aku adalah seorang prajurit Pajang. Karena itu, aku mempunyai sikap tertentu terhadap perkembangan keadaan. Juga hubungan antara Pajang dan Mataram. Meskipun aku tidak harus dengan mata terpejam menanggapi perkembangan keadaan di Pajang itu sendiri,” berkata Untara.

“Aku mengerti Untara. Aku juga bekas seorang prajurit. Tetapi kedudukanku pada waktu itu tidak sesulit kedudukanmu sekarang. Agaknya kau benar-benar dihadapkan pada satu guncangan sikap di antara para pemimpin di Pajang, sementara Kanjeng Sultan nampaknya sama sekali tidak ada usaha untuk mengatasinya,“ jawab Widura.

Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi Kanjeng Sultan Hadiwijaya tetap Sultan di Pajang yang mempunyai kekuasaan untuk menentukan, apakah yang harus dilakukan oleh setiap prajurit Pajang. Mereka yang menentang perintah Sultan Hadiwijaya, jelas merupakan satu pemberontakan terhadap raja yang sah.”

Widura mengangguk-angguk. Tetapi sikap Untara sudah jelas, meskipun pada suatu saat, mungkin sekali ia akan dihadapkan pada satu kesulitan untuk memilih langkah.

Demikianlah, maka Widura pun kemudian minta diri untuk kembali ke padepokan Agung Sedayu. Sementara itu, iapun telah berpesan, bahwa bagaimanapun juga keluarga Agung Sedayu akan mempunyai kesibukan tertentu pada hari-hari perkawinan itu.

“Kau dapat memilih, Untara,” berkata Ki Widura, “segala-galanya dapat dilakukan di sini, di rumah peninggalan orang tuamu, atau di rumahku di Banyu Asri, karena aku akan mewakili orang tua Agung Sedayu di samping kau, kakak kandungnya. Tetapi dapat juga dilakukan di rumah Agung Sedayu sendiri, jika padepokan itu dapat dianggap rumahnya.”

“Aku kira lebih baik di sini Paman,“ jawab Untara, “rumah ini adalah rumahnya pula. Peninggalan ayah dan ibu. Orang-orang tua tetangga-tetangga kami akan menjadi saksi kesibukan kami, karena merekapun mengenal orang tua kami dengan baik.”

“Aku tidak berkeberatan. Tetapi apakah tidak akan terlalu sibuk justru karena rumah ini sudah dipergunakan untuk tempat tinggal beberapa orang perwira dan sekaligus menjadi tempat kau mengemudikan tugas-tugasmu di sini.”

“Bukankah untuk satu dua hari, kesibukan keprajuritan itu dapat dipindahkan,“ berkata Untara kemudian.

Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku sudah mendapatkan bahan yang cukup. Aku akan selalu datang kemari. Jika kau sempat, kaupun dapat datang ke padepokan itu.”

Widurapun kemudian meninggalkan rumah Untara. Ketika ia berada kembali di padepokannya, ia tidak segera mengatakan apa yang didengarnya dari Untara. Widura masih berusaha agar Agung Sedayu tidak terlalu cepat digelisahkan oleh bayangan-bayangan yang buram menjelang hari-hari perkawinannya.

Dengan demikian maka Widura akan mencari waktu yang paling baik untuk membicarakannya dengan Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Hanya apabila orang-orang tua itu menganggap perlu sajalah, Agung Sedayu akan diberi tahu.

Demikianlah, maka akhirnya Widura mendapat kesempatan pula untuk berbicara dengan Kiai Gringsing dan Ki Waskita sebagaimana dikatakan oleh Untara, tanpa diketahui oleh Agung Sedayu.

“Dimana Agung Sedayu?“ bertanya Ki Widura.

“Ia bersama Glagah Putih di sanggar,“ jawab Kiai Gringsing, “nampaknya Sabungsari juga masih belum kembali ke kesatuannya.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Karena biasanya Agung Sedayu berada di sanggar bersama Glagah Putih memerlukan waktu yang cukup lama jika tidak ada keperluan yang lain, maka Ki Widura dapat menjelaskan persoalannya dengan tidak tergesa-gesa.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Yang dikatakan oleh Angger Untara itu memang tidak mustahil terjadi. Meskipun ujudnya akan dapat bermacam-macam. Mungkin dengan kasar sepasukan orang orang yang diupah akan menyerang Sangkal Putung. Mungkin sepasukan prajurit yang tidak dalam pakaian keprajuritan atau mungkin cara-cara yang lain yang akan dapat mengacaukan perkawinan itu. Tetapi agaknya bukan mengacaukan perkawinan itulah yang menjadi sasaran mereka. Agaknya orang-orang yang dianggap berbahaya bagi Tumenggung Prabadaru akan berkumpul di Sangkal Putung. Kesempatan itulah yang akan mereka pergunakan.”

“Jika demikian nampaknya mereka akan bersungguh-sungguh,“ berkata Ki Waskita, “mereka tidak sekedar ingin mengacaukan upacara. Tetapi mereka benar-benar ingin membunuh.”

“Segalanya baru dugaan,“ jawab Kiai Gringsing. “Karena itu, kita jangan terlalu cepat terjebak pada kesimpulan yang manapun juga, agar kita tetap memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang lain.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Apakah Agung Sedayu sendiri tidak perlu mendapat penjelasan?”

“Nanti sajalah,“ berkata Widura, “agar ia tidak terlalu lama digelisahkan oleh kemungkinan-kemungkinan itu. Bahkan mungkin Swandaru pun harus diberi tahu pula agar ia dapat mempersiapkan pasukan pengawal Kademangan yang cukup kuat. Apalagi di Sangkal Putung ada Pandan Wangi dan calon pengantin perempuan itu sendiri.“

Ki Waskita masih mengangguk-angguk. Nampaknya beberapa pihak di Pajang menganggap bahwa Agung Sedayu dan orang-orang di sekitarnya adalah orang-orang yang akan dapat menghalangi niat mereka. Terutama membersihkan jalan ke Mataram. Namun jika Untara dan pasukannya mempunyai sikap yang berbeda, maka orang-orang Pajang itu harus membuat pertimbangan-pertimbangan tersendiri.

Dengan demikian, untuk sementara orang-orang tua itu bersepakat untuk tidak memberi tahukan persoalan yang menggelisahkan itu kepada Agung Sedayu, karena mereka mau tidak mengganggu perasaan Agung Sedayu yang sudah cukup gelisah menghadapi hari-hari perkawinannya.

Dalam pada itu, Agung Sedayu ternyata memanfaatkan waktunya yang ada bagi kepentingan Glagah Putih. Apalagi setelah Sabungsari kembali ke kesatuannya, maka Glagah Putih menjadi semakin sibuk berada di dalam sanggar untuk mengetahui tanggapan Agung Sedayu bagi perkembangan ilmunya.

Sedangkan dengan kesibukan itu Agung Sedayu seolah-olah dapat melupakan kegelisahannya menghadapi hari-hari yang sangat penting dalam jalur perjalanan hidupnya.

Dalam pengamatan Agung Sedayu, ternyata Glagah Putih benar-benar telah mencapai tingkatan tertinggi sesuai dengan pertanda dan lambang-lambang yang terdapat dalam goa itu. Bahkan Agung Sedayu pun menduga, seandainya puncak dari ilmu itu tidak dirusakannya, maka Glagah Putih tentu sudah merintis untuk menguasainya pula, meskipun ia memerlukan petunjuk atau pengalaman khusus untuk untuk memahami.

Karena itu, maka Agung Sedayu mulai mempertimbangkan, apakah ia akan memberikan petunjuk untuk mulai mempelajarinya.

“Waktuku hanya sedikit,“ berkata Agung Sedayu di dalam dirinya, “sebentar lagi, aku harus sudah berada di Sangkal Putung. Dengan demikian maka Glagah Putih tentu akan menjadi kecewa.”

Karena itu, maka Agung Sedayu mengambil keputusan untuk menunda saja sampai waktu-waktu yang akan datang apabila ia benar-benar mempunyai kemampuan yang cukup.

“Tetapi apakah pada hari-hari mendatang, aku tidak akan justru menjadi terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan yang sebelumnya tidak pernah aku pikirkan?“ bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri.

Dalam kebimbangan itulah, akhirnya Agung Sedayu memutuskan, untuk memberikan pengarahan secukupnya kepada Glagah Putih. Apabila perlu, maka ia akan dapat memberikan petunjuk lewat gambar dan lambang-lambang dari ilmunya.

Sebenarnya-lah, Glagah Putih memang mendapat keuntungan dari sikap Agung Sedayu yang ingin melupakan kegelisahannya itu. Hampir setiap saat keduanya berada di sanggar. Sebagaimana direncanakan, maka Agung Sedayu mulai membuka pengamatan Glagah Putih menuju ke puncak ilmunya.

Glagah Putih pun mulai merasa, bahwa ia sudah merambah pada satu tataran yang tidak dijumpainya pada gambar yang terpahat di dalam goa itu. Ia mulai dengan tingkat yang lebih tinggi dan rumit, dengan laku yang lebih berat.

“Kau sudah hampir sampai ke puncak ilmumu Glagah Putih,“ berkata Agung Sedayu, “karena itu, diperlukan sikap yang lebih mapan. Bukan saja kesiapan jasmaniah, tetapi juga kesiapan rohaniah. Dengan demikian, jika benar-benar kau mencapai tataran tertinggi dan menguasainya, maka tidak akan terjadi goncangan-goncangan jiwani. Kau akan mapan lahir dan batin.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan setiap peningkatan ilmu, maka iapun merasa, bahwa ia semakin menjadi dewasa. Sehingga seperti yang diharapkan Agung Sedayu, jika ia menguasai ilmu puncaknya, maka ia harus benar-benar sudah mampu bertindak, berpikir dan bersikap dewasa sepenuhnya.

Demikianlah, maka Agung Sedayu justru mengisi waktunya dengan kesibukan di sanggar. Namun ia tidak melupakan tugas-tugasnya yang pernah dilakukannya sebelum ia pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, memelihara sawah dan ladangnya.

Bahkan bagi Agung Sedayu, duduk di pematang disore hari menjelang senja merupakan satu kesenangan tersendiri. Langit yang berwarna kelabu kekuningan di sore hari memberi kesan kedamaian yang sejuk. Pelepah nyiur yang bergoyang ditiup angin di sepanjang padukuhan bagaikan melambai mengucapkan selamat menjelang mapan di pembaringan.

Glagah Putih yang biasanya ikut pula ke sawah, ikut pula merenungi sejuknya angin senja. Langit yang berubah warna dengan cepat dan bintang yang kemudian satu-satu menggantung dilangit memang sangat menarik untuk diperhatikan.

“Air mulai berkurang,“ berkata Glagah Putih kepada Agung Sedayu yang sedang merenung.

“Tetapi masih mencukupi,“ sahut Agung Sedayu, “sawah ini sudah basah seluruhnya. Air mulai tergenang. Sebentar lagi kita dapat menutup pematang dan memberikan kesempatan kepada kotak-kotak sawah di bawah untuk mengairi tanamannya.”

Glagah Putih mengangguk. Ia memang melihatnya. Sambil menggeliat Glagah Putih pun kemudian berdiri. Dipandanginya bulak di sekitarnya. Bulak sawah yang hampir seluruhnya digarap dan bagi kepentingan padepokannya. Meskipun bulak itu tidak begitu luas, tetapi ternyata mencukupi bagi para penghuni padepokan kecil itu.

Namun Glagah Putih itupun kemudian mengerutkan keningnya. Ia melihat seseorang berdiri di jalan yang membelah bulak yang tidak begitu luas itu. Seseorang yang berdiri termangu-mangu.

“Kakang,“ desis Glagah Putih, “kau lihat orang itu?”

Agung Sedayu berpaling k earah Glagah Putih yang memandang ke satu arah. Ketika Agung Sedayu ikut memandang ke arah pandangan Glagah Putih, maka dalam keremangan senja iapun melihat orang yang berdiri termangu-mangu itu.

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu.”

“Tentu bukan salah seorang cantrik dari padepokan kita,“ desis Glagah Putih kemudian.

Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, “Memang bukan.”

“Aku akan menyapanya,“ berkata Glagah Putih sambil melangkah.

Tetapi Agung Sedayu berkata, “Tunggulah.”

Glagah Putih tertegun. Sementara itu Agung Sedayu berusaha untuk dapat melihat orang itu lebih jelas lagi dengan kemampuannya memusatkan indra penglihatannya.

Namun Agung Sedayu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Meskipun belum pasti, tetapi ia menduga bahwa orang itu adalah orang yang dikenalnya dengan baik.

“Apakah Kakang mengenalnya?“ bertanya Glagah Putih kemudian.

“Ya, nampaknya kita sudah mengenalnya. Marilah, kita mendekat,“ ajak Agung Sedayu.

Agung Sedayu pun kemudian melangkah sepanjang pematang mendekati orang itu. Orang yang memang sudah dikenal dengan baik oleh Agung Sedayu.

“Pangeran Benawa,“ desis Agung Sedayu.

Orang itu tersenyum. Katanya, “Ternyata pengenalanmu tajam sekali Agung Sedayu.”

“Bukan karena pengenalanku tajam. Bukankah aku sudah mengenal Pangeran dengan baik,“ sahut Agung Sedayu.

Pangeran Benawa tertawa. Ketika Glagah Putih mendekat pula di belakang Agung Sedayu, Pangeran itu berkata, “Kau sudah menjadi seorang anak muda yang dewasa.”

“Terima kasih Pangeran,“ jawab Glagah Putih sambil mengangguk hormat.

“Apakah Pangeran sedang dalam perjalanan?“ bertanya Agung Sedayu.

“Perjalanan ke Jati Anom,“ jawab Pangeran Benawa, “aku memang ingin bertemu dengan kau.”

“O. Marilah. Aku persilahkan Pangeran singgah di padepokanku,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

Namun Pangeran Benawa menggeleng. Jawabnya, “Cukup di sini. Aku harus segera kembali ke Pajang.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sekilas ia teringat kepada Raden Sutawijaya yang pada saat yang hampir bersamaan berkata kepadanya, bahwa ia akan kembali ke Mataram.

“Pangeran,“ berkata Agung Sedayu kemudian, ”apakah tidak sebaiknya Pangeran singgah sebentar atau bahkan bermalam saja di padepokan?”

“Tidak,“ jawab Pangeran Benawa, “malam ini aku harus sudah berada di rumah.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Pangeran Benawa berkata, “Aku ingin berbicara sedikit. Tidak terlalu banyak.”

“Tetapi, sebaiknya kita duduk saja, jika Pangeran memang tidak bersedia singgah di padepoikan,” berkata Agung Sedayu yang menyadari bahwa tidak ada gunanya untuk memaksa Pangeran itu singgah.

Pangeran Benawa pun kemudian duduk di rerumputan di pinggir jalan menghadap Agung Sedayu dan Glagah Putih. Agaknya Pangeran Benawa memang tidak mempunyai waktu terlalu banyak, sehingga karena itu maka ia berbicara langsung pada persoalannya.

“Agung Sedayu,“ berkata Pangeran Benawa, “kali ini aku tidak sempat berbicara dengan basa-basi. Maaf, bahwa aku akan bertanya langsung saja pada persoalan yang kau hadapi.”

“Tentang apa Pangeran?“ bertanya Agung Sedayu.

“Bukankah kau akan kawin dua pekan lagi?“ bertanya Pangeran Benawa.

Agung Sedayu mengangguk kecil. Jawabnya sendat, “Ya. Pangeran. Dua pekan lagi. Bahkan sudah berkurang beberapa hari selama aku berada di padepokan ini.”

“Ya. Aku dengar, dua hari lagi kau sudah akan berada di Sangkal Putung. Benar?“ bertanya Pangeran Benawa.

“Darimana Pangeran tahu? “ Agung Sedayu-lah yang bertanya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar