Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 147

Buku 147

“Dengan sekali ayun, ia dapat membuat dua tiga orang pingsan. Padahal, orang itu seolah-olah tidak berbuat apa-apa sama sekali. Bagaimana kira-kira akibat yang dapat timbul jika ia benar-benar mengayunkan tangan atau kakinya untuk menyerang,” berkata salah seorang dari kedua anak muda itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Kita serahkan segalanya kepada Yang Maha Agung.”

Kedua anak muda itu terdiam. Merekapun mengerti, bahwa akhir dari segalanya ada dalam tangan dan keputusan-Nya.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu masih juga bertanya, “Menurut perhitungan kalian, purnama naik dalam berapa hari lagi ?”

“Lima hari lagi,” jawab anak muda yang langsung berbicara dengan orang yang disangka Ajar Tal Pitu itu.

“Yang aku tidak tahu, apakah sebabnya ia menunggu sampai saatnya purnama naik,” desis Agung Sedayu.

“Aku tidak tahu. Tetapi mungkin pada saat bulan bulat, malam tidak terlampau pekat, sehingga ia dapat melihat lawannya dengan jelas. Hal itu akan menguntungkan baginya,” jawab anak muda yang lain.

“Tetapi bukankah lawannya juga akan mendapatkan keuntungan yang sama karena malam yang terang itu?” desis Agung Sedayu. Namun kemudian, ”Tetapi baiklah. Aku tidak berkeberatan kapan ia akan turun dalam arena perang tanding. Aku terima tantangannya, tempat dan waktunya.”

Kedua anak-anak muda itu termangu-mangu. Namun ia tidak dapat merubah lagi keputusan Agung Sedayu, karena hal itu agaknya menyangkut banyak masalah yang tidak mereka ketahui sebelumnya.

Ketika anak-anak muda itu meninggalkan rumah Ki Gede, maka Agung Sedayu pun telah membicarakan hal itu tidak saja dengan Ki Waskita, tetapi juga dengan Ki Gede Menoreh.

“Kau dapat menangkapnya,” berkata Ki Gede, “tanpa menghiraukan tantangan perang tanding. Aku dapat menganggapnya sebagai seorang penjahat yang dapat aku tangkap dengan seluruh kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh ini.”

“Tetapi masalahnya adalah masalahku Ki Gede,” jawab Agung Sedayu, “sebaiknya aku terima tantangannya dengan jantan. Bukan karena sikap yang sombong, tetapi semata-mata aku tidak akan menyangkut orang lain dalam kesulitan ini. Ajar Tal Pitu adalah orang yang memiliki kemampuan baik secara pribadi, maupun sebagai seorang pemimpin padepokan. Ia tentu tidak akan menerima keadaan apapun juga, kecuali perang tanding. Aku tahu, ia ingin melepaskan dendamnya. Tetapi tentu ada juga pembicaraan dengan Ki Pringgajaya yang memberikan dorongan kepadanya untuk melepaskan dendamnya itu.”

Ki Gede Menoreh pun tidak mempunyai kesempatan untuk mencegahnya. Agung Sedayu sudah bertekad untuk membatasi persoalannya dengan Ajar Tal Pitu tanpa menyeret orang lain. Apalagi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang mulai bangun dari tidurnya yang nyenyak.

Demikianlah, maka pada hari itu juga telah tersebar di seluruh Tanah Perdikan Menoreh tantangan yang ditujukan kepada Agung Sedayu. Setiap orang di Tanah Perdikan Menoreh mengetahui, bahwa besok pada saat purnama naik, Agung Sedayu akan melakukan perang tanding di randu papak di ujung hutan.

Namun sementara itu, yang lima hari itu adalah waktu yang dapat dipergunakan untuk mematangkan diri menghadapi perang tanding yang mendebarkan itu.

Ketika malam kemudian tiba, Agung Sedayu sudah tidak merasa perlu lagi untuk mengelilingi Tanah Perdikan Menoreh mencari orang yang disangka Ajar Tal Pitu, karena orang itu justru sudah menyampaikan tantangan. Namun demikian Agung Sedayu pun masih juga menyempatkan berjalan-jalan antara padukuhan untuk menjaga agar anak-anak muda tidak menjadi ketakutan karenanya. Jika mereka melihat bahwa Agung Sedayu sendiri tidak merasa cemas menghadapi tantangan itu, maka anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh itupun tidak akan terpengaruh karenanya.

Sebenarnya-lah bahwa anak-anak muda di gardu-gardu yang melihat justru Agung Sedayu hanya seorang diri, saling berbisik, “Agung Sedayu sama sekali tidak gentar.”

Namun dalam pada itu, meskipun bulan belum bulat, tetapi langit sudah nampak terang. Lewat senja, bulan yang sudah hampir bulat sudah memanjat langit, sementara awan yang tipis hanyut oleh angin malam yang dingin.

Ketika Agung Sedayu kembali ke biliknya, baru saja ia duduk di pembaringannya, maka Ki Waskita berdesis, “Kau dengar suara itu Agung Sedayu?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian iapun bertanya, ”Suara apa Paman?”

“Aku tidak pernah memperhatikannya, tetapi rasa-rasanya suara itu jarang aku dengar sebelumnya. Mungkin sebelumnya aku kurang memperhatikan. Baru setelah aku mendengar rencana Ajar Tal Pitu untuk melakukan perang tanding pada saat purnama naik, aku tertarik pada suara itu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi keinginannya untuk mengetahui semakin mendesaknya, sehingga ia bertanya pula, “Tetapi suara apakah yang Paman maksud?”

“Kau mendengar suara srigala?” bertanya Ki Waskita.

Tiba-tiba saja kulit Agung Sedayu meremang. Ia memang mendengar suara srigala yang melolong panjang sekali. Seolah-olah menelusuri pegunungan dari ujung sampai ke ujung.

“Paman,” berkata Agung Sedayu kemudian, ”kita dapat bertanya kepada anak-anak muda yang berada di regol, apakah di hutan-hutan di daerah Menoreh terdapat banyak serigala.”

Ki Waskita mengangguk. Jawabnya, “Ada baiknya juga kau bertanya kepada mereka.”

Agung Sedayu tidak menunggu lagi. Iapun segera bangkit dan melangkah keluar biliknya. Ketika ia turun dari serambi gandok, langit sudah menjadi suram. Bulan yang belum bulat telah turun di ujung barat. Namun di regol masih ada beberapa orang peronda yang duduk sambil memeluk lutut, sementara dua orang di antara mereka berjalan hilir mudik sambil memanggul tombak pendek.

Agung Sedayu pun kemudian duduk di antara para peronda itu. Mereka sama sekali tidak heran, karena Agung Sedayu memang sering melakukannya.

Setelah beberapa saat mereka berbincang, maka Agung Sedayu pun kemudian bertanya tentang penghuni hutan di sekitar Tanah Perdikan Menoreh.

“Ki Gede masih sering berburu harimau,” jawab salah seorang di antara para peronda itu.

“Apakah di hutan itu terdapat srigala?” bertanya Agung Sedayu.

Para peronda itu mengerutkan keningnya. Seorang yang sudah berpengalaman dalam perburuan berkata, ”Tidak. Di hutan itu tidak ada serigala. Yang ada hanya anjing-anjing liar yang memang mirip dengan tingkah laku srigala. Tetapi ujudnya agak berbeda.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya, ”Jika demikian, apakah yang aku dengar ini suara anjing hutan?”

Para peronda itu mengerutkan keningnya. Merekapun mendengarkan dengan seksama. Sebenarnyalah mereka mendengar lolongan panjang.

Seorang peronda yang masih sangat muda beringsut. Kulitnyapun terasa meremang. Hampir berbisik ia berkata, ”Aku belum pernah mendengar suara itu.”

Tetapi yang lebih tua tersenyum. Katanya, “Tentu suara anjing hutan. Mungkin mereka kelaparan, sehingga mereka melolong seperti itu.”

“Apakah suara itu jarang terdengar?” bertanya Agung Sedayu.

“Mungkin kami kurang memperhatikan saja sebelumnya,” jawab yang lebih tua itu.

Tiba-tiba saja jantung Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Anak-anak muda yang meronda itu juga kurang memperhatikan sebelumnya, atau suara srigala itu memang tidak pernah terdengar kecuali malam itu.

Demikianlah, setelah berbicara sejenak maka Agung Sedayu kembali lagi ke dalam biliknya untuk memberitahukan apa yang diketahui oleh anak-anak muda itu kepada Ki Waskita.

Ki Waskita yang masih duduk di pembaringannya itupun mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Akupun merasa aneh mendengar suara itu.”

“Paman,” bertanya Agung Sedayu kemudian, ”seandainya suara itu belum pernah terdengar sebelumnya, apakah menurut dugaan Paman, telah terjadi geseran kawanan serigala dari ujung hutan yang lain ke hutan di tlatah Menoreh?”

“Mungkin juga hal itu dapat terjadi. Karena sesuatu hal maka sekelompok srigala telah memasuki hutan di daerah ini, sehingga lolongan itu merupakan jerit perkenalan dengan daerah barunya.” Ki Waskita berhenti sejenak, namun kemudian katanya, ”Tetapi cobalah kau renungkan Agung Sedayu. Mungkin kau pernah mendengar dongeng tentang seekor harimau jadi-jadian. Tentang seekor babi hutan jadi-jadian dan juga tentang srigala jadi-jadian?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Suara serigala itu sudah tidak didengarnya lagi.

“Bulan yang belum bulat sudah tenggelam. Sebentar lagi fajar akan menyingsing,” desis Ki Waskita.

“Apakah tenggelamnya bulan itu ada hubungannya dengan hilangnya lolong anjing hutan atau srigala atau semacam itu, yang Ki Waskita sebut jadi-jadian?” bertanya Agung Sedayu.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Mungkin aku terlalu berhati-hati. Tetapi mungkin ada gunanya juga untuk menghubungkannya dengan tantangan orang yang kita sangka Ajar Tal Pitu itu. Bukankah ia akan melakukannya tepat saat purnama naik di bawah randu papak di ujung hutan?”

Tiba-tiba wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Sejenak ia memandang Ki Waskita, kemudian katanya, “Apakah menurut Ki Waskita, orang itu dapat menjelma menjadi seekor srigala atau anjing hutan yang garang dan buas?”

Ki Waskita mengangguk kecil.

Tetapi Agung Sedayu masih menjawab, “Paman. Kita adalah orang-orang yang bertualang di dalam olah kanuragan. Bukankah seandainya kita bertemu dengan seekor harimau sekalipun kita tidak akan gentar? Apalagi seekor serigala. Jika aku harus berkelahi dengan Ajar Tal Pitu dalam ujud serigala, aku tidak akan gentar. Bahkan dengan demikian ia telah mempersempit kemungkinan geraknya, karena apa yang dapat dilakukan oleh seorang, maksudku seekor, serigala adalah sangat terbatas. Apalagi jika aku bersenjata. Cambukku akan segera mengoyak kulitnya.”

“Kau benar Ngger. Tetapi kau harus ingat, dalam ujud seekor serigala maka ia akan dapat berbuat dengan cara yang paling buas dan liar. Ia akan dapat mempergunakan segenap tubuhnya, kuku-kukunya, giginya dan barangkali juga racun pada kuku-kukunya itu.” Ki Waskita berhenti sejenak, lalu, ”Tetapi yang lebih buruk dari itu adalah satu ilmu yang dapat mempengaruhi binatang sejenis dari bentuk jadi-jadiannya itu.”

“Maksud Paman, bentuk srigala itu akan mampu menyeret srigala-srigala sebenarnya untuk menyerang aku?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Itulah yang harus diperhatikan. Betapapun tinggi ilmumu, kau akan mengalami kesulitan untuk melawan dua puluh atau duapuluh lima ekor srigala, atau bahkan anjing hutan yang buas dan liar. Binatang itu akan menerkam dari segala arah tanpa mengenal takut dan perhitungan apapun juga.”

“Suatu ilmu yang aneh,” desis Agung Sedayu.

“Tetapi seseorang akan dapat melakukannya. Seseorang mempunyai kemampuan untuk memanggil beribu-ribu ekor ular dan memberikan perintah kepadanya. Bahkan ada seorang pawang ular yang mampu menemukan satu di antara beribu-ribu ular yang telah menggigit seseorang dan memerintahkan kepada kawan-kawannya, maksudku kawan-kawan ular itu, untuk menghukum dan membinasakan. Di pinggir kedung yang terdapat di pinggir kali Bagawanta aku mendengar ada seorang pawang yang dapat memanggil berpuluh-puluh ekor buaya dan memberikan perintah kepada buaya-buaya itu dengan cara yang khusus.”

“Dan buaya-buaya itu dapat juga menyerang seseorang?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Demikian juga terjadi atas seseorang yang dapat menjelma menjadi seekor harimau,” berkata Ki Waskita. Lalu, “Tetapi yang lebih mungkin dilakukan dan yang lebih tepat diperhitungkan adalah mereka yang mampu mempengaruhi binatang-binatang itu dengan semacam ilmu gendam.”

Agung Sedayu merenung sejenak. Dengan demikian ia akan menghadapi satu persoalan baru. Ia akan menghadapi satu bentuk ilmu yang pelik dan yang tidak ditemuinya dalam kitab Ki Waskita.

Dalam pada itu, seolah-olah Ki Waskita dapat membaca pikiran Agung Sedayu sehingga iapun berkata, “Berjenis-jenis ilmu yang terdapat di dalam kitab yang pernah kau baca itu tidak kau jumpai satu pun dari jenis ilmu yang dapat mempengaruhi binatang dalam bentuk apapun. Sementara itu, untuk melawan seekor binatang kau tidak akan dapat mempergunakan ilmu semu, karena binatang itu tidak akan terpengaruh karenanya.”

“Jadi, bagaimana menurut pendapat Ki Waskita?” bertanya Agung Sedayu.

“Kau harus menemukan jalan. Tetapi untuk sementara kau harus meningkatkan ilmu kebalmu. Selebihnya kau akan di paksa untuk menyapu lawanmu dengan kekuatan sorot matamu. Namun harus diperhitungkan, bahwa kau mungkin sekali akan menghadapi sekelompok srigala sekaligus Ajar Tal Pitu itu sendiri dalam bentuk dan ujudnya di atas alas segenap ilmu dan kemampuannya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun dengan demikian ia sudah memperhitungkan, bahwa melawan Ajar Tal Pitu atau orang yang disangka Ajar Tal Pitu itu akan sangat berat baginya. Apalagi apabila benar orang itu dapat mempengaruhi beberapa ekor binatang. Yang suaranya sudah diperdengarkan di saat bulan ada di langit adalah suara lolongan serigala.

Seandainya Agung Sedayu mengetrapkan ilmu kebalnya, maka iapun harus memperhitungkan, apakah Ajar Tal Pitu itu secara pribadi di samping binatang-binatang yang dapat dipengaruhinya, mempunyai kemampuan untuk menembus ilmu kebalnya, atau bahwa Ajar Tal Pitu di dalam ujud jadi-jadiannya juga mampu menembus ilmu kebalnya, sementara ia sendiri tidak dapat membedakan, di antara sekian banyak serigala, yang manakah bentuk jadi-jadian itu.

Namun dalam pada itu, Ki Waskita yang sudah memiliki pengalaman yang lebih banyak dari Agung Sedayu itupun berkata, “Agung Sedayu. Jika kau sudah menerima tantangannya untuk berperang tanding, maka tidak seorangpun yang berhak untuk membantumu dalam ujud apapun setelah perang tanding itu berlangsung. Tetapi sebelumnya, tegasnya saat ini, aku masih dapat memberikan petunjuk. Kau sudah membaca kitab itu, dan kau sudah memahatkan isinya di dalam dinding hatimu. Nah, kau akan dapat melihat perkembangan yang dapat kau pelajari dari ilmu kebal yang terdapat di dalam kitab itu. Semisal orang berjalan, kau tinggal melangkah satu dua langkah lagi, sehingga kau akan sampai ke tujuan.”

“Tetapi,” wajah Agung Sedayu menjadi tegang, “apakah aku pantas melakukannya Ki Waskita?”

“Kenapa tidak?” jawab Ki Waskita, ”Ilmu itu tidak akan terungkap di sembarang waktu dan tempat, kecuali kau kehendaki. Karena itulah maka meskipun kau mempunyai ilmu kebal, Glagah Putih telah membuat kau terkejut dengan api upet yang tidak lebih besar dari jari tangan, karena saat itu kau tidak sedang mengungkapkan ilmumu. Juga ilmu yang dapat kau capai selangkah lagi itu tidak akan banyak berpengaruh dalam kehidupanmu sehari-hari. Kau masih mempunyai waktu empat hari empat malam setelah malam ini. Dan kau akan mempergunakannya tiga hari tiga malam.”

Agung Sedayu merenungi kata-kata itu. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk. Tiga hari tiga malam ia akan berada di sanggar. Sudah tentu ia harus minta ijin kepada Ki Gede Menoreh agar tidak menimbulkan salah paham.

Demikianlah, bersama Ki Waskita, Agung Sedayu menghadap Ki Gede Menoreh di pagi harinya. Mereka menyampaikan semua persoalan yang dihadapi dan akan dilakukan.

Ki Gede mengangguk-angguk. Namun katanya, “Aku masih ingin mengemukakan sekali lagi satu rencana penangkapan terhadap seorang yang telah berbuat jahat di Tanah Perdikan Menoreh, bukan satu perang tanding.”

Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Aku akan menyerahkan segalanya jika perang tanding itu sudah selesai, dan aku tidak berhasil.”

Ki Gede pun tidak dapat memaksa. Karena itu, maka yang dapat dilakukan adalah menyediakan sanggarnya bagi Agung Sedayu.

Demikianlah, maka Agung Sedayu mulai dengan menempa dirinya khusus untuk menghadapi cara-cara yang dapat ditempuh oleh Ajar Tal Pitu. Di dalam sanggar, ketika malam turun, dan bulan yang hampir bulat memancar di langit, maka di kejauhan terdengar suara srigala yang melolong semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin keras. Jantung Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar, ketika ia mendengar lolong anjing yang lain, menyahut dari arah yang berbeda.

Namun justru hal itu telah mendorongnya untuk lebih tekun dalam pembajaan diri.

Ada bermacam-macam tanggapan di Tanah Perdikan Menoreh sejak Agung Sedayu tidak menampakkan diri. Bagaimanapun juga, Prastawa masih belum ikhlas sepenuhnya untuk menerima Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh dalam kedudukan yang lebih baik dari dirinya sendiri di hadapan anak-anak muda. Karena itu, ketika beberapa anak-anak muda bertanya kepadanya, maka Prastawa itu menjawab, “Anak itu menjadi sangat tertekan. Ia menjadi ketakutan dan tidak berani keluar dari biliknya sampai purnama lewat. Nanti, jika purnama telah lampau, maka ia akan kembali menyelusuri jalan-jalan Tanah Perdikan ini di atas punggung kudanya yang berwarna gelap itu.”

“Tetapi, jika Agung Sedayu tidak memenuhi tantangan itu, kita akan menjadi korban,” jawab anak-anak muda itu.

“Tidak. Sudah barang tentu dalam keadaan yang demikian, semua kekuatan akan dikerahkan. Tentu Paman Argapati tidak akan tinggal diam. Betapapun tinggi ilmu orang yang menantang Agung Sedayu dalam perang tanding itu, ia tidak akan dapat mengimbangi kemampuan Paman Argapati itu sendiri. Apalagi di sini ada Ki Waskita dan sudah tentu aku sendiri.”

Anak-anak muda itu tidak menjawab. Tetapi mereka sebenarnya masih menyimpan persoalan di dalam hati. Jika demikian kenapa mereka tidak beramai-ramai menangkap pada saat seperti yang disebut oleh orang yang menantang Agung Sedayu untuk berperang tanding.

Demikianlah rasa-rasanya hari merambat dengan lamban. Ada semacam keinginan dari anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh untuk menunggu apa yang akan terjadi. Bahkan dalam pada itu, Ki Gede yang masih selalu mengelilingi Tanah Perdikannya yang sedang bangkit itu bersama Ki Waskita, selalu mengatakan, Agung Sedayu akan turun ke arena sebagaimana dikehendaki oleh orang yang menantangnya.

Akhirnya yang tiga hari tiga malam itu telah lewat. Ketika fajar menyingsing Agung Sedayu telah keluar dari sanggar. Ia langsung menuju ke pakiwan untuk mandi dan keramas sebagaimana harus dilakukan sesuai dengan petunjuk yang tertera di dalam kitab.

“Kau masih mempunyai waktu satu malam untuk beristirahat,” berkata Ki Waskita kepada anak muda itu setelah Agung Sedayu mandi. Lalu, “Kau dapat memanfaatkan waktumu sebaik-baiknya.”

Agung Sedayu mengangguk. Ketika ia kemudian menghadap Ki Gede, maka Ki Gede pun berkata, “Kita semua berdoa kepada Tuhan. Tidak ada ilmu yang dapat membatalkan keputusannya. Mudah-mudahan Tuhan selalu melindungi kita semuanya.”

Satu malam yang tersisa telah dipergunakan oleh Agung Sedayu untuk beristirahat. Tetapi beristirahat sesuai dengan tugas Agung Sedayu adalah berkunjung dari gardu ke gardu.

Anak-anak muda yang telah tiga malam tidak melihat Agung Sedayu terkejut. Apalagi Agung Sedayu malam itu hanya seorang diri. Sehingga dengan demikian, kesan seolah-olah Agung Sedayu menjadi ketakutan segera telah terhapus dari pikiran anak-anak muda itu.

“Kemana kau selama ini?” bertanya seorang anak muda.

“Menikmati hari-hari terakhir di pembaringan,” jawab Agung Sedayu sambil tersenyum.

“Ah, kau aneh,” desis anak muda yang lain.

“Seperti kalian, akupun harus bersiap-siap. Sudah lama aku tidak mempergunakan ilmu kanuragan yang ada di dalam diriku sepenuhnya. Aku berusaha mengungkapnya. Mungkin malam besok aku memerlukannya,” jawab Agung Sedayu bersungguh-sungguh.

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun jantung merekapun ikut menjadi tegang, bahwa di malam hari esok akan terjadi perang tanding antara Agung Sedayu dengan orang yang tidak mereka ketahui, namun yang tentu menyimpan dendam terhadap Agung Sedayu.

Ketika bulan yang hampir bulat sudah memanjat langit, maka seperti beberapa malam sebelumnya, terdengar suara sejenis anjing hutan melolong di kejauhan. Bukan sekedar anjing liar yang tidak terpelihara, tetapi anjing hutan yang buas dan garang.

Agung Sedayu yang sedang berkuda dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain telah berhenti di tengah-tengah bulak. Dipandanginya pegunungan yang dimandikan oleh cahaya bulan yang kekuning-kuningan. Pohon nyiur di lereng yang bagaikan tertidur nyenyak. Namun suara anjing hutan itu bagaikan telah menggetarkan seluruh Tanah Perdikan.

Tetapi Agung Sedayu benar-benar telah siap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan seandainya malam itu ia harus bertempur, iapun telah siap pula.

Sejenak kemudian Agung Sedayu melanjutkan perjalanannya. Namun ketika ia sampai di sebuah tikungan, di tengah-tengah bulak, tiba-tiba kudanya meringkik bahkan kemudian hampir melonjak berdiri. Untuk beberapa saat kuda itu sulit dikendalikan. Namun akhirnya kuda itupun dapat dikasainya meskipun masih nampak betapa kuda itu menjadi gelisah dan ketakutan.

Bahkan kemudian, ternyata tengkuk Agung Sedayu pun telah meremang. Kudanya yang gelisah dan kadang-kadang masih bergeser surut itu ternyata telah dikejutkan oleh sepasang mata yang bagaikan menyala. Dengan jantung yang berdebaran Agung Sedayu memandang seekor anjing yang luar biasa besarnya menunggu di tikungan. Seekor anjing yang bulu ditengkuknya memanjang dan moncongnya runcing melampaui anjing kebanyakan.

Kuda Agung Sedayu meringkik lagi ketika anjing itu menyeringai. Gigi-giginya yang tajam runcing nampak mengerikan, sementara matanya masih saja menyala memandang Agung Sedayu yang masih duduk di punggung kuda.

Namun akhirnya Agung Sedayu menjadi tenang. Ia bahkan turun dari kudanya dan melepaskan kudanya begitu saja. Dengan demikian ia tidak akan terpengaruh jika kudanya menjadi ketakutan dan tidak terkendali. Demikian kudanya dilepaskan, maka kuda itupun telah berlari meninggalkan Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu pun yakin, bahwa kuda itu akan kembali ke kandangnya.

Sementara itu Agung Sedayu telah berdiri menghadapi anjing yang luar biasa besarnya itu. Anjing hutan yang jarang sekali terdapat di Tanah Perdikan Menoreh, bahkan menurut penglihatannya, anjing yang sejenis itu baru dilihatnya untuk pertama kali.

Tetapi anjing yang seekor itu kemudian tidak mampu menggetarkan jantung Agung Sedayu setelah ia berpikir mapan. Jangankan seekor anjing yang bagaimanapun besarnya, seekor harimaupun tidak akan membuatnya ketakutan dan kehilangan akal.

Sejenak anjing itu berdiri sambil menggeram, sementara giginya masih saja menyeringai mengerikan. Ketika Agung Sedayu melangkah setapak mendekat, anjing itu merendah pada kaki depannya sambil menggeram lebih keras lagi.

Agung Sedayu bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ia akan mengambil jalan yang paling mudah seandainya anjing itu menyerang. Sambil bersiap menghadapi segala kemungkinan, maka Agung Sedayu telah mengurai cambuknya.

“Kecuali jika anjing hutan ini termasuk bukan anjing hutan sewajarnya, maka cambukku tidak akan dapat menyakitinya.” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Tetapi tantangan Ajar Tal Pitu masih akan berlangsung besok. Karena itu, maka kehadiran anjing itu memang menimbulkan pertanyaan bagi Agung Sedayu. Apakah anjing ini mempunyai hubungan dengan tantangan Ajar Tal Pitu pada saat purnama naik, atau ada pihak lain yang telah mengambil kesempatan dengan tantangan Ajar Tal Pitu itu.

Sejenak Agung Sedayu menunggu. Anjing itupun kemudian bergeser pula mendekat. Kepalanya semakin merunduk, dan ekornya menjelujur lurus ke belakang tubuhnya.

Demikian anjing itu siap menyerang, Agung Sedayu pun telah mempersiapkan dirinya dalam ilmunya. Ia telah melindungi dirinya dengan ilmu kebalnya, seandainya gigi anjing hutan raksasa itu menyentuh kulitnya.

“Seandainya anjing hutan raksasa ini ada hubungannya dengan Ajar Tal Pitu, nampaknya ia sedang menjajagi kemungkinan yang dapat terjadi esok malam,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Seperti yang diperhitungkan, maka tiba-tiba anjing hutan raksasa itu mengaum keras sekali sambil meloncat menerkamnya. Mulutnya terbuka lebar, dan giginya yang tajam siap merobek kulit Agung Sedayu.

Tetapi Agung Sedayu sudah siap. Dengan loncatan pendek ia mengelak sambil berkata, “Kau sudah tahu, bahwa dengan ketajaman gigi dan kukumu kau tidak akan dapat melukai kulitku.”

Anjing yang sedang mengaum itu, tiba-tiba menggeram keras sekali, seolah-olah telah menjawab kata-kata Agung Sedayu. Namun suaranya segera terputus, ketika tiba-tiba saja cambuk Agung Sedayu itu meledak.

Ledakan cambuk Agung Sedayu itu telah mendesak anjing hutan raksasa itu untuk bergeser surut. Namun sejenak kemudian anjing raksasa itu telah menyerangnya kembali. Tidak dengan ancang-ancang. Tetapi anjing itu langsung melonjak dengan kukunya yang tajam, sementara giginya yang runcing siap untuk merobek kulit Agung Sedayu.

Agung Sedayu bergeser surut. Tetapi ia masih tetap menghubungkan anjing raksasa itu dengan tantangan Ajar Tal Pitu. Karena itu, ia tidak mau terpancing. Sehingga dengan demikian, maka yang dilakukannya adalah sekedar perlawanan dengan kemampuannya yang sewajarnya. Jika anjing hutan itu juga anjing hutan sewajarnya, maka anjing itu tentu akan dapat dikalahkannya. Namun seandainya anjing itu adalah usaha penjajagan Ajar Tal Pitu, maka yang dapat diperhitungkan oleh Ajar Tal Pitu itu adalah sekedar tenaga wajarnya saja.

Ketika sekali lagi anjing hutan itu menggeram sambil melonjak, maka sekali lagi cambuk Agung Sedayu meledak. Tidak hanya sekedar untuk menakut-nakuti. Tetapi ujung cambuk itu benar-benar telah mengenai anjing raksasa itu.

Namun jantung Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ternyata anjing itu tidak melengking dan melolong kesakitan. Meskipun terdengar seolah-olah anjing itu merintih, tetapi tiba-tiba anjing itu telah menggeram sekali lagi dengan dahsyatnya. Dengan tangkasnya anjing itu justru menerkamnya sekali lagi. Mulutnya terbuka lebar dengan gigi dan taringnya yang tajam, siap untuk merobek kulit wajah Agung Sedayu.

Tetapi Agung Sedayu masih mampu mengelak. Sekali lagi ia mempergunakan cambuknya. Tidak hanya sekali. Tetapi beberapa kali lecutan telah terdengar.

Anjing raksasa itu bergeser surut. Tetapi dalam cahaya bulan yang hampir bulat, Agung Sedayu tidak melihat darah pada tubuh anjing itu, sehingga Agung Sedayu benar-benar menjadi heran. Jika anjing itu anjing sewajarnya, betapapun liat kulitnya, maka anjing itu tentu akan terluka oleh ujung cambuknya.

Tetapi Agung Sedayu masih menahan diri. Ia sama sekali tidak kehilangan akal dan dengan serta merta mengerahkan ilmunya. Ia masih tetap dengan tenaga wajarnya melawan anjing yang telah meloncat menerkamnya.

Agung Sedayu pun kemudian berloncatan ketika anjing itu memburunya dengan garang sambil menggeram dan berusaha menggigitnya. Ledakan cambuk Agung Sedayu menjadi semakin sering terdengar. Meledak-ledak. Setiap kali tepat mengenai sasarannya. Bahkan mengenai mulut, leher dan kepala anjing itu. Tetapi anjing itu tetap menyerangnya dengan garang.

Tiba-tiba Agung Sedayu mendapat akal. Di pinggir jalan bulak itu ada sebatang pohon waru yang cukup besar meskipun tidak terlalu tinggi. Agung Sedayu tahu pasti, seekor anjing tidak akan dapat memanjat. Karena itu, maka iapun telah memutuskan untuk melihat keadaan anjing raksasa itu dengan caranya.

Sambil berloncatan dan menahan serangan anjing raksasa itu, Agung Sedayu mendekati sebatang pohon waru itu. Demikian ia berada di bawah pohon itu, maka iapun segera meloncat dan dengan cepat memanjat pohon yang tidak terlalu tinggi itu. Kemudian dengan cambuknya tetap di tangan ia berdiri pada sebatang dahan yang cukup kuat.

Namun sekali lagi jantung Agung Sedayu berdebar. Ternyata anjing itu berusaha melonjak menggapai Agung Sedayu. Namun ketika beberapa kali ia tidak berhasil, maka tiba-tiba anjing itu telah mengambil ancang-ancang beberapa langkah.

Melihat sikap anjing raksasa itu, Agung Sedayu benar-benar harus membuat perhitungan yang cermat. Jika ia salah hitung, maka ia tidak akan sampai pada saat purnama naik. Anjing raksasa itu akan membinasakannya lebih dahulu.

Sebenarnyalah telah terjadi di luar kebiasaan. Anjing itupun kemudian berlari sambil mengaum keras sekali. Dengan kukunya yang tajam anjing itu telah berhasil memanjat pohon waru itu, menyusul Agung Sedayu pada dahan yang tidak dapat digapainya.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun menyadari sepenuhnya, dengan siapa ia berhadapan. Karena itu, maka demikian anjing raksasa itu mencapai dahan tempat ia berdiri, maka Agung Sedayu pun telah meloncat turun sambil menggeram, “Nampaknya kau tidak sabar lagi. Baiklah. Apa yang kau kehendaki? Aku tidak akan ingkar.”

Anjing yang justru bertengger di atas dahan itu menggeram. Giginya seolah-olah menjadi bertambah panjang. Namun sejenak kemudian anjing yang kehilangan lawannya itupun telah bersiap untuk menerkam Agung Sedayu dari atas dahan.

Tetapi Agung Sedayu benar-benar telah siap. Ia tidak dapat sekedar mempergunakan tenaga wajarnya. Meskipun ia masih harus berusaha untuk tidak sampai kepuncak ilmunya, tetapi ia tidak mau dikoyak-koyak oleh anjing hutan raksasa itu.

Karena itu, maka anak muda itupun mulai mengalirkan tenaga cadangannya pada ujung cambuknya. Bahkan kemudian iapun bertekad untuk menyaksikan kenyataan dari anjing hutan raksasa itu.

“Jika aku berhasil membunuhnya, maka aku akan dapat mengungkap sebagian dari rahasia anjing hutan itu,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Sejenak ketegangan telah mencengkam. Agung Sedayu berdiri tegak dengan hulu cambuknya di tangan kanan dan ujung cambuknya di tangan kiri. Tangannya yang dialiri oleh kekuatan ilmunya menjadi bergetar. Sambil menunggu anjing raksasa yang aneh, yang mampu memanjat pohon waru itu, ia telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya.

Sejenak kemudian maka terdengar anjing itu mengaum keras sekali. Dengan garangnya anjing itu langsung menerkam Agung Sedayu dari atas dahan. Kedua kaki depannya terjulur lurus, seolah-olah ingin mencekik leher lawannya, sementara mulutnya terbuka siap untuk mengoyak wajah korbannya.

Namun dengan tangkasnya, Agung Sedayu telah bergeser ke samping. Dengan demikian, kaki anjing itu sama sekali tidak menyentuhnya. Bahkan demikian anjing itu menyentuh tanah, maka dengan lambaran ilmunya Agung Sedayu telah mengayunkan cambuknya.

Yang kemudian terdengar, cambuk Agung Sedayu itu meledak. Tetapi suara ledakannya menjadi berbeda. Suara ledakan itu justru tidak lagi terlalu keras menurut pendengaran telinga wadag. Namun justru karena itu, maka kekuatan yang tersalur pada juntai cambuk itu merupakan kekuatan ilmu Agung Sedayu yang memiliki kekuatan luar biasa, meskipun Agung Sedayu belum sampai ke puncak ilmunya.

Juntai cambuk Agung Sedayu itu tepat mengenai punggung anjing raksasa itu. Demikian dahsyatnya, sehingga anjing raksasa itu seolah-olah telah terputar dan terangkat ke udara. Kemudian dengan derasnya anjing raksasa itu telah terbanting di tanah.  

Terdengar anjing itu melolong panjang. Namun anjing itu masih sempat bangkit dan dengan lolongan yang menggetarkan bulu-bulu tengkuk, anjing itu dengan kecepatan yang luar biasa telah berlari meninggalkan Agung Sedayu, menyusup ke dalam tanaman yang tumbuh subur di sawah sebelah menyebelah jalan.

Agung Sedayu yang telah dijalari keinginan untuk membunuh anjing raksasa itupun telah meloncat mengejarnya. Meskipun anjing itu berlari terlalu cepat.

Tetapi baru beberapa langkah Agung Sedayu berlari, tiba-tiba saja langkahnya telah terhenti. Telinganya yang tajam telah mendengar suara orang tertawa. Tidak terlalu keras. Namun jelas terdengar di hadapannya.

Agung Sedayu berhenti. Dalam keremangan cahaya bulan yang hampir bulat ia melihat seseorang berdiri tegak di atas pematang. Kedua tangannya disilangkannya di dadanya.

“Kau akan kemana Agung Sedayu?” terdengar orang itu bertanya.

Agung Sedayu tegak berdiri memandang orang itu. Sebenarnyalah bahwa ia sudah menduga, bahwa ia akan bertemu dengan orang yang mendendamnya. Ajar Tal Pitu.

“Jadi kau telah menyusulku Ki Sanak,” desis Agung Sedayu. ”Dengan demikian benar yang aku dengar, bahwa orang yang telah berusaha menakut-nakuti anak-anak ingusan di Tanah Perdikan Menoreh adalah kau.”

Ajar Tal Pitu tertawa. Katanya, “Kali ini aku tidak berhasil menakut-nakuti kau.”

“Aku sudah menduga pula, bahwa anjing-anjing itu adalah permainanmu,” sahut Agung Sedayu.

“Bukankah hanya seekor?” bertanya Ajar Tal Pitu.

“Ya. Hanya seekor,” jawab Agung Sedayu, ”tetapi yang seekor ini adalah satu penjajagan.”

Ajar Tal Pitu tertawa semakin keras. Katanya, ”Kau memang cerdik. Perhitunganmu tajam dan agaknya kau mengerti, apa yang aku rencanakan.”

“Aku sudah mengerti,” jawab Agung Sedayu, ”ternyata kau memang orang luar biasa. Kau mampu mempengaruhi anjing hutan. Bukan saja solah tingkahnya, tetapi juga kebiasaannya. Kau dapat memaksa anjing itu memanjat. Dan bahkan akupun mengetahui, bahwa dalam sekelompok anjing-anjing liar yang dapat kau gerakkan sesuai dengan keinginanmu, maka kau sendiri akan dapat berada di antaranya.”

“Persetan!” geram Ajar Tal Pitu.

“Kau dapat berbangga karenanya. Tetapi jika bukan kau sendiri maka kau dapat mempergunakan wadag anjing-anjing raksasa itu dengan kekuatanmu di dalamnya. Jika yang aku hadapi itu adalah anjing sewajarnya, maka ia tentu tidak akan dapat memanjat. Bahkan punggungnya tentu sudah aku patahkan dengan ujuing cambukku. Demikian anjing itu terbanting di tanah, ia tidak akan lebih dari seonggok daging dan kulit yang tidak akan berdaya untuk bangkit, apalagi berlari meninggalkan tempat ini,” geram Agung Sedayu. Lalu, “Tetapi anjing yang baru saja mengalami lecutan cambukku tidak demikian. Ia dapat menyelamatkan dirinya. Dan ia bukan tidak berarti bagiku, karena yang ada di sini sekarang adalah kau sendiri.”

Ajar Tal Pitu tertawa semakin keras. Dengan nada tinggi ia berkata, “Jadi kau sangka aku dapat merubah diriku menjadi seekor anjing raksasa?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat mengatakannya dengan pasti. Apakah Ajar Tal Pitu itu telah merubah ujud wadagnya, atau wadag anjing itu telah disusupi oleh kekuatan ilmunya sehingga anjing itu memiliki daya tahan yang luar biasa.

“Ajar Tal Pitu,” berkata Agung Sedayu, ”baiklah kita menunggu sampai esok. Apakah kau akan berperang tanding dengan jujur, atau kau akan bermain-main dengan sekelompok anjing hutan dan kau sendiri akan berada di antara mereka. Namun dengan demikian, maka kau bukan lagi seorang Ajar yang siap untuk berhadapan secara jantan.”

“Kau memang pantas dikasihani Agung Sedayu,” berkata Ajar Tal Pitu, ”tetapi sangat memalukan bahwa kau telah merengek seperti itu. Sayang bahwa aku mempunyai ilmu yang dapat aku pergunakan dengan cara apapun juga. Apakah aku dapat mempengaruhi anjing-anjing liar itu, atau aku sendiri dapat berubah ujud seperti seekor anjing raksasa, di antara beberapa ekor anjing yang sebenarnya, namun itu bukannya satu kecurangan. Aku memang memiliki ilmu yang demikian.”

“Bagaimana jika aku mempunyai ilmu yang dapat mempengaruhi orang lain? Bukan binatang seperti yang kau lakukan?” bertanya Agung Sedayu.

“Itu bukan ilmu. Tetapi itu benar-benar kecurangan. Tetapi jika kau memang ingin berbuat demikian, bertempur bersama-sama dengan isi Tanah Perdikan ini, akupun tidak berkeberatan. Kalian akan dikoyak-koyak oleh anjing-anjing liarku yang ganas melampaui ganasnya seekor harimau,” geram Ajar Tal Pitu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Terserahlah apa yang akan kau lakukan Ajar Tal Pitu. Permainanmu itu bukan sesuatu yang mengejutkan bagiku. Seandainya anjing hutan dan bahkan ditambah dengan anjing-anjing liar di seluruh pegunungan Menoreh itu kau kerahkan, maka aku sudah siap untuk mengahadapinya, termasuk kau sendiri di dalamnya.”

“Gila!” geram Ajar Tal Pitu, “Jadi kau menganggap bahwa dirimu adalah orang yang tidak terkalahkan dengan ilmu apapun juga?”

“Tidak. Sama sekali tidak. Aku hanya berkata bahwa aku sudah siap.”

Wajah Ajar Tal Pitu menjadi tegang. Terdengar giginya gemeretak. Yang telah terjadi itu sama sekali tidak menggetarkan jantung anak muda dari Jati Anom itu. Bahkan nampaknya Agung Sedayu sama sekali tidak menghiraukannya.

Dengan nada tinggi Ajar Tal Pitu berkata, “Kau akan hancur oleh kesombonganmu.”

“Siapakah yang sebenarnya sombong di antara kita? Aku atau kau? Atau kita berdua?” bertanya Agung Sedayu.

“Tutup mulutmu!” Ajar Tal Pitu itu membentak, ”Aku dapat merobek mulutmu.”

Namun justru jantung Ajar Tal Pitu itulah yang bergetar ketika Agung Sedayu yang berdiri tegak memandanginya dengan tajam itu berkata, “Kau kasar sekali. Tetapi jika kau tidak sabar menunggu besok, malam inipun bulan sudah hampir bulat. Kau dapat menggerakkan anjing-anjingmu yang hidup dan menjadi garang dalam cahaya bulan. Aku tidak berkeberatan kita pergi bersama-sama ke tempat yang kau pilih, yang barangkali dengan susah payah sudah kau ajarkan pada anjing hutan itu.”

“Persetan!” Ajar Tal Pitu berteriak. Lalu, “Aku tetap pada pendirianku. Perang tanding akan dilakukan besok malam sampai salah seorang di antara kita mati.”

“Aku menuntut sekarang,” Agung Sedayu berkata lantang.

Tetapi Ajar Tal Pitu menolak. Katanya, “Kau memang sudah menjadi seorang pengecut. Kau akan mengingkari sebuah perjanjian jantan?”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Jika kau tidak berani menghadapi aku sekarang, pergilah. Kau membuat perutku menjadi mual.”

“Jangan kau urusi aku dan apa yang akan aku lakukan,” geram Ajar Tal Pitu. Namun iapun kemudian beringsut menjauh. Kemudian sambil melangkah pergi ia berkata, “Aku akan membunuhmu besok. Dan tidak seorangpun yang akan dapat menemukan mayatmu, selain onggokan tulang-tulang basah.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Dibiarkannya Ajar Tal Pitu itu kemudian menyelusuri pematang. Semakin lama menjadi semakin jauh.

Agung Sedayu tersadar ketika ia mendengar derap kaki kuda. Ketika ia berpaling, dilihatnya dalam cahaya bulan yang kekuning-kuningan beberapa orang di atas punggung kuda berpacu semakin dekat.

Dengan bebeapa loncatan panjang Agung Sedayu kemudian telah berdiri di pinggir jalan sambil memperhatikan orang-orang yang semakin dekat.

“Ki Gede,” desisnya.

Sebenarnya-lah, yang datang itu adalah Ki Gede Menoreh, Ki Waskita dan beberapa orang pengawal.

“Kau tidak apa-apa Agung Sedayu?” Ki Waskita-lah yang pertama-tama meloncat dari punggung kudanya yang berhenti beberapa langkah di hadapannya, yang kemudian disusul oleh Ki Gede dan para pengawalnya.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku tidak apa-apa Ki Waskita.”

“Kami terkejut ketika para pengawal di regol padukuhan melihat kudamu pulang tanpa penunggangnya. Kemudian pengawal yang lain melaporkan bahwa terdengar ledakan cambukmu. Bahkan ketika kami sudah keluar dari padukuhan indukpun, kami masih mendengarnya pula satu dua kali.” berkata Ki Gede.

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya kemudian, “Sebenarnya tidak ada yang mengejutkan. Tetapi aku memang terpaksa mempergunakan cambukku.”

“Untuk apa?” bertanya Ki Waskita.

Dengan singkat Agung Sedayu bercerita tentang seekor anjing hutan. Tetapi ia bercerita dengan wajar. Di hadapan para pengawal ia tidak mengatakan keanehan yang dijumpainya pada anjing liar itu, apalagi dalam hubungannya dengan Ajar Tal Pitu.

Namun demikian, ketika mereka sudah berada di rumah Ki Gede Menoreh, maka secara khusus Agung Sedayu telah berbicara dengan Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh. Agung Sedayu telah menceritakan segalanya yang terjadi.

Ki Gede Menoreh menarik nafas panjang. Dengan nada datar ia berkata, “Satu pengalaman baru bagi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Di atas bukit itu memang kadang-kadang terdapat sekelompok anjing-anjing liar. Tetapi nampaknya yang terjadi itu bukannya sekedar kebetulan bahwa Ajar Tal Pitu memanfaatkan apa yang ada di atas bukit.”

“Agaknya memang demikian,” sahut Ki Waskita, “Ajar Tal Pitu memang memiliki ilmu yang berhubungan dengan peri kehidupan anjing hutan. Tetapi bahwa yang menyerang Agung Sedayu adalah sejenis anjing raksasa, agaknya memang sangat menarik perhatian.”

“Juga mengenai waktu, Ki Waskita,” berkata Agung Sedayu kemudian. “Aku memang mencobanya untuk memaksakan perkelahian malam ini. Tetapi Ajar Tal Pitu masih menghindar betapapun kemarahan menghentak di dadanya. Aku tidak tahu pasti, apakah memang ada hubungan antara ilmunya dengan cahaya bulan di saat purnama penuh.”

“Mungkin demikian,” berkata Ki Waskita. ”Agaknya anjing-anjing itu baru sampai kepada puncak kekuatannya pada saat purnama penuh.”

“Ya,” Ki Gede mengangguk-angguk, “semacam ilmu yang pernah aku dengar dalam dongeng orang-orang tua. Orang-orang kerdil di Hutan Madenda adalah pemuja bulan. Mereka berperang pada saat bulan penuh justru karena pada saat yang demikian mereka memiliki puncak kemampuan ilmunya. Pada saat bulan pudar dan bahkan di malam-malam tidak berbulan, mereka bersembunyi, karena lawan-lawan mereka akan memburunya. Namun pada puncak purnama, mereka adalah raja di Hutan Madenda itu, sehingga tidak ada suku lain yang akan dapat mengalahkan mereka.”

“Jika demikian,” berkata Ki Waskita, “unsur cahaya bulan itu sangat penting. Kau dapat memperhitungkannya Agung Sedayu. Cahaya bulan itu bagaikan api yang membakar getaran ilmu di dalam darah mereka. Semakin besar api itu, maka semakin panas pula gelora di dalam tubuh mereka.”

Agung Sedayu menundukkan kepala. Pendapat Ki Waskita itu ternyata telah mempengaruhi nalarnya. Bahkan hampir di luar sadarnya ia berkata, “Bagaimana dengan bayangan pepohonan meskipun pada saat puncak purnama?”

“Aku kira juga ada pengaruhnya,” berkata Ki Gede, “meskipun pengaruh itu tidak terlalu menentukan. Tetapi itu bukan pegangan yang meyakinkan. Kita belum mengetahui dengan pasti ilmu yang aneh itu.”

“Apapun yang dapat kau lakukan, lakukanlah Agung Sedayu, selama kau masih tetap berjalan pada jalan yang benar sambil menempatkan diri sebagaimana seorang mahluk di hadapan Penciptanya,” berkata Ki Waskita. “Kitapun yakin bahwa Ajar Tal Pitu telah menyadap ilmu yang langsung bertentangan dengan kedudukannya sebagai hamba Yang Maha Agung, bahwa ia telah menempatkan diri di bawah pengaruh dunia yang hitam dan hidup di dalam bayangannya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa ia telah berhadapan dengan kekuatan hitam yang maha dahsyat. Namun iapun mempunyai kepercayaan sepenuhnya, bahwa segalanya tidak akan dapat menyimpang dari keputusan Yang Maha Agung, karena betapapun besarnya kekuatan dunia kelam, namun kekuatan itu tidak akan berarti apa-apa di hadapan Yang Maha Tinggi.

Dalam pada itu, maka Ki Waskita pun kemudian berkata, “Sudahlah. Kaupun perlu beristirahat. Tidurlah.”

Agung Sedayu pun kemudian pergi ke biliknya. Setelah berganti pakaian maka iapun segera membaringkan dirinya di pembaringannya, sementara Ki Gede dan Ki Waskita masih berbincang untuk beberapa lamanya.

“Besok aku akan hadir,” berkata Ki Waskita kemudian.

“Aku juga,” desis Ki Gede. “Jika Ajar Tal Pitu tidak berhasil dengan caranya, mungkin ia akan mengambil cara lain yang lebih curang sehingga kehadiran kita mungkin ada gunanya.”

Kedua orang tua itupun akhirnya masuk ke dalam biliknya masing-masing pula. Agung Sedayu menggeliat ketika ia mendengar pintu berderit dan Ki Waskita masuk ke dalamnya. Agaknya derit pintu itu telah membangunkannya.

“Tidur sajalah,” desis Ki Waskita.

Agung Sedayu tersenyum. Namun iapun kemudian telah tertidur lagi ketika Ki Waskita juga membaringkan dirinya di pembaringannya. Meskipun hanya sesaat.

Seperti biasanya, mereka bangun pagi-pagi benar. Mereka langsung pergi ke pakiwan. Setelah mengisi jambangan dan mencuci pakaian, kemudian merekapun membersihkan diri untuk menunaikan kewajiban mereka sebagai hamba Tuhannya.

Hari itu adalah hari yang menegangkan bukan saja bagi Agung Sedayu, tetapi juga bagi anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh yang mengetahui apa yang akan terjadi malam mendatang, sehingga di setiap sudut padesan, jalan-jalan ke pasar dan bahkan hampir di setiap pintu rumah, mereka mempercakapkan apa yang dapat terjadi malam mendatang, saat purnama bulat di langit. Namun purnama yang bulat itu tidak akan ditandai dengan kegembiraan bocah-bocah bermain gobag, kejar-kejaran dan jamuran, tetapi purnama malam itu akan ditandai dengan perang tanding yang mengerikan.

Hari itu Agung Sedayu tidak banyak membuang tenaga. Ia hanya berkunjung ke beberapa padesan yang paling dekat. Sebagian besar waktunya telah dipergunakannya untuk beristirahat dan merenungi kemungkinan-kemungkinan yang harus dihadapinya malam nanti.

Sementara itu, Ki Gede dan Ki Waskita justru telah melakukan kunjungan sebagaimana sering dilakukan. Mereka mengunjungi padukuhan-padukuhan yang agak jauh dari padukuhan induk. Sebenarnyalah merekapun ingin tahu, bagaimana tanggapan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh tentang perang tanding yang akan diadakan malam mendatang.

Ternyata berita itu adalah berita yang sangat mengerikan. Mereka menganggap peristiwa itu sebagai pertanda yang kurang baik bagi masa-masa mendatang, apalagi jika Agung Sedayu kalah.

Ki Gede mendengarkan pendapat orang-orang itu dengan sungguh-sungguh. Bahkan iapun telah teringat apa yang pernah dilakukannya beberapa puluh tahun yang lalu. Perang tanding. Tetapi alasannya jauh berbeda. Dan perang tanding itupun telah pernah diulanginya di tempat yang sama.

Tetapi orang yang kemudian bernama Ki Tambak Wedi itu agaknya masih belum nggegirisi seperti orang yang menyebut dirinya Ajar Tal Pitu itu.

Dalam pada itu, mataharipun melintas dengan lamban di langit yang bersih. Selembar awan yang putih hanyut tertiup angin ke utara. Jalan-jalan yang panjang bagaikan terbakar oleh terik matahari yang berpijar di birunya langit.

Namun akhirnya, matahari itupun turun ke barat. Semakin lama semakin rendah. Sementara keteganganpun semakin meningkat.

Anak-anak muda yang pergi ke sawah telah pulang jauh lebih cepat dari kebiasaan mereka. Pande-pande besi telah memadamkan perapiannya lewat tengah hari, sementara pasarpun menjadi sepi karena kedai-kedaipun telah menutup pintunya.

Menjelang senja, Tanah Perdikan Menoreh telah menjadi sangat sepi. Jalan-jalan tidak lagi dilewati orang. Air yang mengalir di parit melimpah ke sawah yang telah penuh, karena tidak seorangpun yang berbuat sesuatu atas air dan sawah mereka. Bulak-bulak panjang menjadi sepi bagaikan kuburan.

Namun gardu-gardu justru menjadi penuh sebelum waktunya. Anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh, ternyata telah berada di gardu-gardu mereka. Para pengawal telah bersiaga sepenuhnya di setiap padukuhan dari ujung sampai ke ujung.

Tanah Perdikan Menoreh seolah-olah tengah menghadapi perang yang akan menyergap setiap jengkal tanah.

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun telah membenahi dirinya. Tubuhnya terasa segar setelah beristirahat secukupnya. Sambil membenahi pakaiannya, maka iapun berkata kepada Ki Waskita, “Sebentar lagi matahari akan tenggelam Paman. Aku akan berangkat.”

“Kita berangkat bersama-sama,” berkata Ki Waskita, “aku dan Ki Gede sudah bersepakat untuk menjadi saksi dalam perang tanding di bawah pohon randu papak itu. Beberapa orang pengawal akan pergi bersama kami.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa kedua orang itu tentu ingin menyaksikan, apa yang terjadi. Namun Agung Sedayu pun tidak akan mengharap apapun juga dari keduanya, karena ia memang sudah bertekad untuk berperang tanding, kecuali jika Ajar Tal Pitu mulai dengan kecurangan.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun sama sekali tidak berkeberatan untuk pergi bersama Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh.

Sejenak kemudian, kedua orang tua itupun telah siap. Ki Waskita telah mengenakan ikat kepala khususnya dan ikat pinggangnya yang setiap saat dapat dipergunakannya, sementara Ki Gede Menoreh pun telah membawa tombak pendeknya.

Namun dalam pada itu, ternyata Prastawa pun telah menemui Ki Gede dan mohon ijin untuk ikut bersamanya.

“Aku ingin melihat, apa yang akan terjadi,” berkata Prastawa kepada Ki Gede.

Ki Gede termangu-mangu. Yang akan mereka saksikan adalah pertarungan ilmu yang tinggi. Jika ada pihak lain yang melibatkan dirinya, tentu orang yang berilmu tinggi pula.

Namun nampaknya Prastawa benar-benar ingin menyaksikannya. Ketika Ki Gede memperingatkan, ia berkata, “Aku hanya ingin melihat apa yang akan terjadi Paman. Tetapi jika kemudian terjadi kecurangan, sehingga aku harus terlibat, maka aku tidak akan ingkar.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk ia berkata, “Jika kau sudah bertekad untuk menghadapi semua kemungkinan yang dapat terjadi, baiklah. Tetapi bersiaplah sepenuhnya.”

Dengan demikian, maka sejenak kemudian mereka berempat telah meninggalkan rumah Ki Gede Menoreh. Matahari yang sudah terbenam meninggalkan sisa cahayanya yang kemerahan. Namun dalam pada itu, langitpun menjadi cerah oleh cahaya bulan purnama yang terbit di ujung timur.

Namun dalam pada itu, cahaya bulan itupun telah membuat jantung Agung Sedayu berdebaran. Seakan-akan terlontar pesan lewat garis-garis sinarnya yang kekuning-kuningan, bahwa sekelompok anjing hutan telah siap berbaris di ujung hutan di hadapan pohon randu alas yang disebut randu papak. Anjing-anjing liar yang menunggu perintah lewat ilmu Ajar Tal Pitu untuk merobek-robek tubuh Agung Sedayu dengan giginya yang runcing tajam.

Ketika mereka berempat keluar dari padukuhan induk, maka terasa kulit mereka meremang, ketika tiba-tiba saja telah terdengar lolong anjing hutan di kejauhan. Tidak hanya suara seekor anjing hutan, tetapi sahut menyahut.

Prastawa bergeser mendekati Ki Gede Menoreh yang berkuda agak di depan. Dengan nada dalam anak muda itu bertanya, “Apakah anjing hutan itu berbahaya?”

Ki Gede berpaling sekilas. Lalu katanya, “Kau sudah mendengar apa yang diceritakan oleh Agung Sedayu tentang peristiwa semalam?”

“Ya,” jawab Prastawa, “meskipun kurang jelas.”

“Karena itu, kita harus berhati-hati,” pesan Ki Gede kemudian.

Prastawa mengangguk kecil. Namun debar jantungnya seakan-akan menjadi semakin cepat berdentang di dalam dadanya.

Ketika mereka menjadi semakin dekat dengan randu papak, maka Agung Sedayu pun telah mengambil tempat di paling depan. Kudanya berlari tidak terlalu kencang menyusuri jalan-jalan persawahan. Namun sekali-sekali mereka telah melewati jalan-jalan padukuhan.

Beberapa orang anak muda yang memenuhi gardu-gardu telah menyapanya. Beberapa orang telah dengan bersungguh-sungguh berdesis, “Hati-hatilah Agung Sedayu.”

Agung Sedayu tersenyum kepada anak-anak muda itu. Katanya, “Kita bersama-sama berdoa kepada Tuhan. Segalanya tergantung kepada keputusan-Nya. Sedangkan kita masih tetap percaya, bahwa Tuhan Maha Benar adanya.”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun, demikian Agung Sedayu lewat diikuti oleh Ki Gede sendiri, Ki Waskita dan Prastawa, maka anak-anak muda itupun saling berbisik, “Kitapun dapat menyaksikan perang tanding itu, asal kita tidak mengganggunya.”

“Apakah kita berhak?” bertanya yang lain.

“Kenapa tidak?” desis yang lain, “Kita akan menjadi saksi seperti Ki Waskita dan Ki Gede.”

Beberapa orang anak muda yang memiliki keberanian akhirnya memutuskan untuk melihat dengan diam-diam perang tanding di bawah randu papak di sebelah ujung hutan.

Dengan demikian, maka merekapun minta diri kepada kawan-kawannya yang lebih baik tetap tinggal di gardu-gardu. Namun merekapun berpesan, jika terjadi sesuatu, maka mereka harus membunyikan isyarat.

“Tidak mustahil, selama perang tanding itu terjadi, ada pihak yang ingin memanfaatkan keadaan, atau justru kawan-kawan orang yang disebut dengan Ajar Tal Pitu itu sendiri,” pesan seorang pemimpin pengawal pedukuhan yang terdekat dengan randu papak.

“Sementara itu, jika terjadi sesuatu di arena perang tanding itu, kalianpun sebaiknya segera memberi tahu kepada kami,” sahut anak muda yang tinggal di gardu.

Dalam pada itu, maka ketika cahaya purnama telah memenuhi Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayu pun telah mendekati sebatang pohon randu alas yang besar yang disebut randu papak.

Namun, demikian anak muda itu mendekati arena yang disepakati, maka lolong anjing hutan itupun telah terdiam. Tidak seekor anjing hutanpun yang terdengar di sekitar randu papak itu. Bahkan terasa tempat itu menjadi sangat sepi.

Beberapa puluh langkah dari pohon randu alas itu Agung Sedayu berhenti. Diamatinya keadaan di sekitarnya. Namun tidak selembar daunpun yang nampak bergerak.

“Aku akan mendekat Ki Gede,” desis Agung Sedayu kemudian.

“Tinggalkan kudamu di sini,” berkata Ki Waskita. “Nampaknya kau akan menjadi lebih baik tanpa seekor kuda. Kami akan menyaksikan segalanya dari tempat ini. Jarak ini tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak terlalu jauh.”

Agung Sedayu merenung sejenak. Kemudian iapun turun dari kudanya sambil berkata, “Nampaknya memang demikian Paman. Aku mohon titip kuda ini.”

Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh serta Prastawa pun turun pula dari kuda masing-masing. Merekapun kemudian mengikat kuda mereka serta kuda Agung Sedayu pada sebatang pohon perdu. Ternyata mereka bertigapun merasa lebih aman untuk tidak berada di punggung kuda.

“Berhati-hatilah Agung Sedayu,” pesan Ki Gede Menoreh, “kau akan melawan ilmu yang barangkali jarang dikenal saat ini. Tetapi kau harus yakin, bahwa Yang Maha Agung akan selalu melindungimu, karena dalam hal ini kau tidak bersalah sama sekali.”

“Aku akan berhati-hati, Ki Gede,” jawab Agung Sedayu. “Aku mohon doa restu Ki Gede dan Ki Waskita.”

Kedua orang itu mengangguk. Namun bagaimanapun juga, terasa ketegangan telah menekan dada mereka.

Sejenak kemudian Agung Sedayu melangkah mendekati pohon randu alas yang besar itu, Di sebelah pohon randu alas itu, terdapat sebuah gumuk padas yang tidak terlalu tinggi, sementara di sebelahnya berjarak beberapa puluh langkah, adalah ujung sebuah hutan yang menjorok.

Hampir di luar sadarnya Agung Sedayu mengangkat wajahnya, memandang langit yang cerah. Kemudian ditatapnya beberapa saat bulan yang berwarna kuning bulat penuh memancarkan cahayanya yang bening.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Semilirnya angin membuat udara menjadi sejuk. Namun demikian pakaian Agung Sedayu telah basah oleh keringat.

Beberapa saat kemudian Agung Sedayu telah berdiri di bawah pohon randu alas. Dengan hati-hati ia mendekati pokok pohon randu yang besar itu. Mungkin Ajar Tal Pitu ada di belakang batang yang besar yang berdiri tegak dalam kebisuannya.

Tetapi ternyata Agung Sedayu tidak menemukan seseorang. Sehingga karena itu, maka iapun menjadi semakin tegang.

Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu berdiri termangu-mangu di sebelah pohon randu yang besar itu, tiba-tiba saja ia telah dikejutkan oleh suara tertawa. Perlahan-lahan. Namun semakin lama menjadi semakin keras.

Di sela-sela suara tertawa itu terdengar suara seseorang, “Ternyata kau memang seorang anak muda yang jantan, Agung Sedayu. Kau datang sebagaimana telah kau janjikan. Agaknya kau sama sekali tidak dapat membayangkan betapa tingginya ilmu Ajar Tal Pitu. Seharusnya kau bertigalah yang harus berdiri melawan aku, karena ilmuku sekarang sudah sundul langit. Setelah aku mesu diri dalam laku selama empat puluh hari empat puluh malam, serta menjalani pati geni selama tiga hari tiga malam, maka aku adalah manusia yang sempurna dalam ilmuku. Tidak seorangpun akan dapat mengalahkan aku, meskipun ia bernama Agung Sedayu.”

Agung Sedayu menjadi tegang. Tetapi ia tidak melihat seorangpun di sekitar tempat itu. Sementara itu, iapun belum berhasil mengetahui arah suara Ajar Tal Pitu yang seakan-akan melingkar-lingkar dari hutan gumuk, bulak panjang dan pegunungan yang membujur ke utara.

Namun akhirnya Agung Sedayu menyadari sepenuhnya bahwa ia memang berhadapan dengan orang yang mumpuni. Karena itu, maka iapun harus menghadapinya dengan sikap yang matang. Lahir dan batin.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun sama sekali tidak menanggapinya. Ia berdiri saja seperti patung. Namun ia telah bersiaga sepenuhnya untuk menghadapi lawannya dari arah manapun datangnya.

Dalam pada itu, suara itu masih terdengar pula mengumandang, “Marilah Agung Sedayu, kita akan mulai dengan permainan kita yang mengasyikkan. Kau sudah tahu, siapakah yang akan kau hadapi.”

Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Namun dalam pada itu, sebenarnyalah bulu-bulu di seluruh wajah kulit Agung Sedayu telah meremang. Tiba-tiba saja ia mendengar anjing hutan melolong keras sekali beberapa langkah saja dari padanya. Ketika ia bergeser, maka dilihatnya di atas gumuk padas seekor anjing hutan raksasa berdiri sambil melolong panjang. Wajahnya tengadah memandang bulan di langit yang menjadi semakin tinggi.

Agung Sedayu mempersiapkan dirinya. Anjing hutan itu adalah anjing hutan yang dijumpainya di tengah-tengah sawah. Anjing hutan yang ternyata pandai memanjat pohon waru.

Tetapi anjing itu masih tetap melolong panjang, sementara Agung Sedayu masih juga di tempatnya. Agung Sedayu sama sekali tidak berniat untuk mendekati anjing raksasa itu, meskipun anjing itu seolah-olah telah menantangnya.

Beberapa saat anjing itu tetap melolong-lolong. Sementara Agung Sedayu pun tetap berdiri di bawah pohon randu alas, di bawah bayangan rimbunnya daun randu alas, sehingga ia sama sekali tidak tersentuh dengan langsung cahaya bulan yang bulat di langit.  

Anjing yang melolong itu melolong semakin keras. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tatapan mata yang merah membara, seolah-olah anjing itu telah memaki-makinya karena Agung Sedayu tidak mau mendekatinya.

Ketika anjing itu seakan-akan menjadi tidak sabar lagi, maka terdengar anjing itu menjerit panjang, kemudian menghilang di balik gumuk padas.

Demikian anjing itu hilang, terdengar suara mengumandang, “Agung Sedayu. Aku sangka kau seorang yang pilih tanding, yang tidak gentar menghadapi runtuhnya gunung sekalipun. Tetapi ternyata kau pengecut yang tidak berani mendekati anjing yang semalam telah dapat kau halau dari tikungan di bawah pohon waru itu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak tinggal diam. Sejenak ia memusatkan kemampuan dan tenaga cadangannya. Kemudian dengan lambaran kekuatannya, ia menjawab. Meskipun mulutnya seolah-olah tetap terkatup rapat, namun bergulung-gulung bagaikan badai dari samudra terdengar jawabannya membentur hutan dan pegunungan, “Aku tetap memegang teguh perjanjian kita Ajar Tal Pitu. Kita akan bertempur di bawah randu papak ini. Aku siap menunggu, kapanpun kau datang mendekat. Aku sudah siap. Dan aku mulai curiga, bahwa aku menyesali tantanganmu itu, karena setelah kau menjajagi ilmuku dengan anjingmu itu, kau melihat satu kenyataan yang tidak kau duga sebelumnya.”

Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa yang berkepanjangan. Semakin lama semakin keras, sehingga rasa-rasanya pohon randu alas yang besar itu telah berguncang.

Prastawa yang mendengar suara tertawa itupun menjadi gemetar. Ia belum pernah merasakan pengaruh yang demikian kuatnya menghentak-hentak di dadanya.

“Aku tidak mengira bahwa Agung Sedayu adalah anak yang sedungu itu. Jika aku menyebut di bawah pohon randu alas, itu tentu mempunyai arti yang tidak sesempit jalan pikiranmu,” jawab suara yang berkumandang itu.

Sementara jawab Agung Sedayu tidak kurang menghentak jantung, sehingga rasa-rasanya Prastawa ingin secepatnya meninggalkan tempat itu. Namun ia masih juga merasa malu meninggalkan arena yang mengerikan itu.

“Ajar Tal Pitu,” berkata Agung Sedayu, “seandainya demikian, apakah salahnya jika kita bertempur di bawah randu alas ini? Kenapa aku harus pergi ke gumuk untuk menyongsong anjing liar itu? Biarlah aku menunggu di sini. Biarlah anjing itu menyerang aku jika ia masih berani. Atau sekali lagi aku akan mencambuknya sehingga tulang punggungnya benar-benar menjadi patah. Sebenarnya-lah bahwa aku sama sekali tidak merasa perlu untuk melayani seekor anjing meskipun anjing itu mempunyai kelebihan apapun juga. Karena itu, biarlah aku tetap di sini.”

“Anak iblis!” terdengar suara itu mengumpat. “Jangan menyesal. Anjing-anjing liar akan membunuhmu.”

Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi iapun bersiap sepenuhnya. Ia sadar, bahwa Ajar Tal Pitu telah kehabisan kesabaran, sementara seperti yang dikatakannya, bahwa anjing yang akan menyerangnya bukan hanya seekor anjing. Tetapi anjing-anjing liar yang tentu sudah dipersiapkannya.

Agung Sedayu tidak perlu menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian anjing hutan raksasa itu telah kembali memanjat gumuk padas. Seperti semula anjing itu nampak menengadah, memandang bulan yang bulat di langit.

Sejenak kemudian terdengar anjing itu mulai melolong. Semakin lama semakin keras, sehingga suaranya benar-benar telah menggetarkan dedaunan di hutan yang menjorok itu, dan menggoyahkan cabang dan ranting pohon randu alas itu.

Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh pun tergetar pula hatinya. Mereka tidak mengerti, apakah yang sebenarnya dihadapi oleh Agung Sedayu. Apakah anjing itu sebenarnya anjing hutan raksasa yang dapat dipengaruhi oleh ilmu Ajar Tal Pitu, atau Ajar Tal Pitu itu sendiri yang oleh ilmunya yang jarang diketahui oleh orang lain, mampu merubah dirinya menjadi seekor anjing raksasa.

Namun Prastawa menjadi semakin gemetar. Apalagi anak-anak muda yang merayap-rayap mendekati arena itu. Ketika mereka mendengar lolong anjing di atas gumuk padas itu, rasa-rasanya mereka akan menjadi pingsan karenanya.

Agug Sedayu yang bersiap di bawah randu alas itupun kemudian mendengar lolong anjing yang lain, yang seolah-olah menyahut dari dalam hutan. Meskipun Agung Sedayu tidak mengerti arti dari suara anjing hutan itu, namun seolah-olah ia dapat mengerti, bahwa anjing hutan yang berada di gumuk itu telah memanggil kawan-kawannya dari dalam hutan.

Sebenarnya-lah, sejenak kemudian terdengar suara sekelompok anjing hutan yang saling menyahut. Kemudian yang terdengar adalah gemerasak seperti arus air.

Jantung setiap orang yang menyaksikan menjadi bergetar karenanya. Ternyata dari dalam hutan itu telah muncul beberapa puluh ekor anjing hutan. Sambil menyalak mereka berlari menuju ke randu alas yang besar di sebelah gumuk batu padas.

Agung Sedayu pun segera mengerti, sekelompok anjing hutan telah menyerangnya.

Namun hati Agung Sedayu telah mapan. Ia memang sudah menduga, bahwa demikianlah yang akan terjadi. Karena itu, maka iapun tidak terlalu terkejut melihat sekelompok anjing hutan berlari-lari ke arahnya. Namun demikian, sebenarnya-lah hatinyapun telah berdesir melihat sekian banyak mulut anjing menganga dengan gigi-giginya yang runcing tajam. Meskipun anjing hutan yang berkelompok itu tidak sebesar anjing hutan yang melolong panjang di gumuk itu, namun dalam jumlah yang banyak, maka anjing liar itu menjadi sangat mengerikan.

Sebelum anjing itu menyerang, Agung Sedayu telah menyiapkan cambuknya. Karena itu, demikian anjing yang pertama meloncat menerkamnya, maka tiba-tiba saja telah meledak suara cambuk Agung Sedayu.

Sebenarnya-lah bahwa kemampuan Agung Sedayu memang luar biasa. Untuk menjajagi lawannya, Agung Sedayu masih mempergunakan tenaga wajarnya, meskipun ia sudah melindungi dirinya dengan ilmu kebalnya. Ternyata bahwa anjing yang menyerangnya dalam kelompok itu tidak sejenis anjing yang menyerangnya di bawah pohon waru itu, yang kemudian telah berdiri di atas gumuk batu padas, melolong sambil memandang bulan bulat di langit.

Anjing yang pertama-tama tersentuh ujung cambuk Agung Sedayu itupun telah melengking kesakitan. Keras sekali, namun anjing itu tidak akan pernah dapat mengulanginya, karena setelah berguling beberapa kali, maka anjing itupun diam untuk selamanya. Mati dengan tulang punggung yang patah dan kulit yang terkoyak oleh ujung cambuk Agung Sedayu.

“Mereka adalah anjing sewajarnya,” geram Agung Sedayu.

Namun anjing itu memang terlalu banyak. Ketika anjing yang kedua meloncat menyerangnya, maka nasibnya seperti anjing yang pertama. Namun dalam pada itu, anjing berikutnya telah menerkam pundak Agung Sedayu disusul dengan anjing-anjing berikutnya.

Sebenarnya-lah anjing-anjing itu tidak berhasil melukai kulit Agung Sedayu karena ilmu kebalnya. Tetapi karena banyaknya anjing yang menyerang, maka Agung Sedayu pun menjadi ngeri. Namun ia masih dapat mengayunkan cambuknya. Tanpa diarahkannya lagi, maka setiap lecutan, cambuknya telah membunuh bukan saja seekor, tetapi dua ekor bahkan kadang-kadang tiga ekor. Namun anjing itu ternyata terlalu banyak.

Anjing-anjing itu meloncat, menerkam, menggigit kaki, dan berbuat apa saja sambil menggeram, menggonggong dan melolong-lolong. Sementara Agung Sedayu sibuk mengayunkan cambuknya ke segenap arah.

Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh menyaksikan hal itu dengan jantung yang berdebaran. Mereka sudah tidak melihat Agung Sedayu lagi. Yang nampak adalah segerombolan anjing hutan yang bagaikan berebut mangsa. Namun setiap kali mereka masih mendengar ledakan-ledakan cambuk dan melihat anjing hutan yang terlempar.

Prastawa benar-benar menjadi gemetar melihat peristiwa itu. Demikian pula anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang telah memberanikan diri menyaksikan dari jarak yang lebih jauh.

Dalam pada itu, anjing hutan raksasa yang berdiri di atas gumuk padas itupun masih saja menggonggong dengan keras sekali sambil menengadahkan kepalanya memandang bulan bulat di langit. Bahkan rasa-rasanya suaranya semakin lama menjadi semakin keras menggetarkan udara.

Sementara itu, di Sangkal Putung, Sekar Mirah yang baru saja membaringkan dirinya dan memejamkan matanya, tiba-tiba saja telah berteriak-teriak dalam tidurnya. Swandaru dan Pandan Wangi yang pertama-tama mendengar adiknya berteriak-teriak telah berlari-lari ke biliknya. Dengan serta merta Swandaru telah mendorong pintu bilik Sekar Mirah sehingga suaranya berderak keras sekali.

Agaknya suara pintu itu telah membangunkan Sekar Mirah pula. Iapun terkejut. Namun kemudian terasa tubuhnya menggigil. Ketika Pandan Wangi duduk di sebelahnya dengan jantung berdebaran, tiba-tiba saja Sekar Mirah telah memeluknya.

Terasa oleh Pandan Wangi, tubuh adik iparnya itu masih gemetar, dan nafasnya terengah-engah.

“Kakang Swandaru, tolong, ambilkan kendi itu,” desis Pandan Wangi.

Swandaru pun kemudian mengambil kendi yang berisi air bersih, sementara Ki Demang pun telah datang ke bilik itu pula.

“Kenapa dengan Sekar Mirah?” Ki Demang bertanya.

“Kami belum bertanya, Ayah,” sahut Swandaru.

Ketika Swandaru memberikan kendi itu kepada Pandan Wangi, maka Pandan Wangi pun telah membantu Sekar Mirah sambil berkata, “Minumlah barang seteguk Sekar Mirah. Agaknya kau telah bermimpi buruk.”

Sekar Mirah pun kemudian meneguk air dari dalam kendi itu. Namun iapun telah terbatuk-batuk sehingga air yang telah berada di mulutnyapun terlontar keluar.

“Jangan tergesa-gesa,” bisik Pandan Wangi, “tenanglah. Kami ada di sini.”

Akhirnya Sekar Mirah pun telah minum beberapa teguk. Terasa dadanya menjadi agak sejuk dan nafasnya pun menjadi lebih teratur.

“Kau bermimpi?” bertanya Pandan Wangi.

“Aku bermimpi mengerikan sekali,” sahut Sekar Mirah.

“Mimpi apa?” bertanya Swandaru.

“Kakang Agung Sedayu yang sedang berburu di hutan telah diserang oleh sekelompok anjing hutan yang liar,” jawab Sekar Mirah.  

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “O, itu hanya mimpi saja Sekar Mirah. Bukankah Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh?”

“Ayah,” desis Sekar Mirah, “apakah benar ada mimpi yang disebut dara-dasih?”

“Maksudmu mimpi yang sebenarnya terjadi?” bertanya Ki Demang.

Sekar Mirah mengangguk.

“Memang ada, Sekar Mirah. Tetapi itu jarang sekali terjadi. Dan apakah di Tanah Perdikan Menoreh Agung Sedayu sempat pergi berburu? Dan apakah di Tanah Perdikan Menoreh terdapat kelompok-kelompok anjing hutan yang banyak jumlahnya?” sahut Ki Demang.

Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Katanya, “Memang ada hutan yang terbujur di sebelah bukit di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi tidak banyak terdapat anjing-anjing liar. Mungkin di lereng bukit, di hutan-hutan yang tidak pernah didatangi oleh seseorang terdapat beberapa ekor anjing hutan. Tetapi tentu Agung Sedayu tidak akan pergi ke bukit itu.”

“Sudahlah,” berkata Swandaru, “tidurlah Sekar Mirah.”

Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ketika lamat-lamat ia mendengar suara gejok lesung dengan lagu-lagunya yang gembira, ia bertanya, “Bukankah hari masih belum terlalu malam?”

“Belum. Kau tidur belum lama. Kami justru masih belum tidur,” sahut Swandaru, “Gadis-gadis masih bermain lesung dengan lagu-lagu gembira.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Suara gejok lesung yang gembira itu masih terdengar terus. Justru rasa-rasanya semakin keras. Nampaknya beberapa orang gadis dan anak-anak muda sedang bermain-main di bawah bulan purnama yang bulat di langit. Sinarnya yang berwarna kuning cerah menyiram Kademangan Sangkal Putung, seolah-olah sengaja menyiramkan kegembiraan bagi para penghuninya. Gadis-gadis dan anak-anak muda bermain lesung dengan gembira. Anak-anak remaja bermain kejar-kejaran dan sembunyi-sembunyian di tempat-tempat yang biasanya dicengkam oleh kegelapan. Di gardu-gardu para pengawal bergurau dengan riangnya, sehingga kadang-kadang orang-orang yang lebih tua menahan mereka agar tidak tertawa terlalu keras.

“Kau akan mengejutkan anak-anak yang sedang tidur lelap,” berkata seorang pengawal kepada kawannya yang tertawa meledak tanpa tertahankan lagi.

“Anak-anak bermain jamuran,” jawab anak muda yang tertawa itu.

“Tetapi bayi-bayi tentu tidak,” sahut pengawal itu pula.

Anak muda itu mengangguk. Tetapi ia masih tetap juga tertawa meskipun tidak terlalu keras.

Dalam pada itu, Sekar Mirah yang sedang gelisah itupun telah mencoba untuk tidur lagi, sementara Swandaru, Pandan Wangi dan Ki Demang telah meninggalkan biliknya. Sedangkan suara gejok lesung masih terdengar dengan gending-gending gembira.

Namun agaknya Sekar Mirah tidak dapat memejamkan matanya lagi. Mimpi itu masih saja terbayang. Agung Sedayu telah diserang oleh sekelompok anjing-anjing liar di saat anak muda itu berburu di hutan.

“Hanya sebuah mimpi,” desisnya. Meskipun demikian mimpi itu terasa sangat mengganggunya. Bahkan rasa-rasanya ia masih melihat betapa taring anjing-anjing liar itu menghunjam di tubuh Agung Sedayu.

Namun dalam pada itu, sebenarnya-lah Agung Sedayu sedang bergulat melawan sekelompok anjing hutan. Tetapi tidak sebuahpun gigi dari anjing hutan itu yang mampu melukai tubuh Agung Sedayu. Adalah satu keuntungan pula, bahwa Agung Sedayu telah membawa senjata lentur, sehingga dengan demikian, maka ujung cambuk itu mematuk ke segenap arah dan membunuh beberapa ekor serigala yang telah menyerangnya.

Raung kesakitan dan gonggong yang memekakkan telinga, telah menggetarkan udara di bawah pohon randu alas itu, sementara anjing hutan raksasa yang berada di atas gumuk batu padas itu masih juga melolong-lolong sambil memandang bulan bulat di langit. Semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin keras, sementara anjing yang menyerang Agung Sedayu itupun menjadi semakin buas meskipun jumlahnya semakin berkurang.

Akhirnya anjing hutan raksasa itu agaknya tidak sabar lagi. Sejenak kemudian terdengar anjing itu menyalak keras sekali. Suaranya mengguntur mengoyak suasana malam, mengatasi raung anjing hutan yang sedang berkelahi melawan Agung Sedayu. Dengan garangnya anjing hutan raksasa itupun segera melompat dengan mulut ternganga dan mata yang bagaikan menyala.

Agung Sedayu melihat anjing raksasa itu telah meloncat ke arahnya pula. Karena itu, maka ia merasa, bahwa ia harus mengkhususkan diri menghadapinya. Anjing-anjing hutan yang lain tidak boleh mengganggunya, karena ia yakin, bahwa melawan anjing hutan raksasa itu, berarti ia melawan Ajar Tal Pitu sendiri, dengan atau tidak dengan wadagnya sendiri.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun segera mengerahkan segenap kemampuannya. Ia sudah menguasai sampai tuntas ilmu kekebalan yang disadapnya dari kitab Ki Waskita. Bahkan iapun mulai merambah pada perkembangan dari ilmu itu.

Karena itu, maka ketika anjing raksasa itu mendekatinya, maka anjing-anjing hutan yang lainpun telah bergeser mundur. Anjing-anjing itu masih tetap menyalak dengan mengerumuni Agung Sedayu, tetapi mereka tidak berani menyerangnya.

Dengan demikian maka kesempatan Agung Sedayu menjadi lebih luas. Dengan garangnya ia memutar cambuknya. Dalam satu putaran, maka anjing-anjing hutan yang berdiri di paling depanpun telah memekik, meraung dan meronta untuk kemudian jatuh terkapar. Mati.

Anjing hutan raksasa itu tidak sempat memperhatikan kawan-kawannya yang terdahulu. Anjing raksasa itupun langsung meloncat menerkam Agung Sedayu.

Agung Sedayu mempunyai perhitungan lain menghadapi yang seekor ini. Ia tidak membiarkan anjing itu menyentuhnya. Karena itu, maka iapun telah bergeser dengan loncatan pendek. Demikian anjing itu meluncur, maka ia tidak melecutnya sebagaimana dilakukannya atas anjing-anjing hutan yang lain. Namun Agung Sedayu telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk melecut anjing raksasa yang menyerangnya itu.

Ledakan suara cambuk Agung Sedayu tidak terlalu keras, apalagi karena ujung cambuknya telah membelit anjing raksasa itu. Dengan hentakkan yang sangat kuat, maka ia menarik cambuknya, sehingga anjing hutan raksasa itu terputar, seperti yang telah terjadi di tengah sawah pada malam sebelumnya.

Terdengar anjing itu melengking keras sekali. Demikian anjing itu jatuh di tanah, maka dengan cepat anjing itu melenting berdiri. Namun sejenak ia termangu-mangu. Anjing-anjing yang lain masih mengerumuni Agung Sedayu sambil menyalak dengan buasnya. Tetapi mereka tidak berani menyerangnya.

Barulah anjing hutan raksasa itu mengerti, kenapa kawan-kawannya tidak berani mendekati Agung Sedayu. Nampaknya perkembangan ilmu kebal Agung Sedayu itu telah menjadikan Agung Sedayu mampu membuat dirinya bagaikan bara api yang panas. Setiap sentuhan dari moncong binatang buas dan liar itu, serasa telah membakarnya, sehingga merekapun tidak lagi berani menyentuh. Bahkan udara di sekitar Agung Sedayu rasa-rasanya menjadi panas pula.

Anjing hutan raksasa itu menggeram. Matanya benar-benar bagaikan api yang menyala, sementara taringnya yang besar runcing siap untuk merobek mangsanya.

Namun yang dihadapi oleh anjing hutan raksasa itu adalah Agung Sedayu, sehingga karena itu, maka anjing hutan itu tidak akan mampu berbuat terlalu banyak.

Tetapi sejenak kemudian anjing hutan raksasa itupun telah menyerangnya lagi. Udara yang panas, serta tubuh Agung Sedayu yang bagaikan bara sama sekali tidak dapat menahan serangan anjing hutan itu. Kuku-kukunya yang tajam telah terjulur langsung ke arah leher Agung. Sedayu, seolah-olah anjing itu ingin mencekiknya.

Agung Sedayu masih mencoba menghindar. Tetapi anjing itu telah memburunya tanpa ancang-ancang. Kakinya melonjak dan menerkamnya. Giginyapun telah mencoba untuk mengoyak daging lengannya.

Baju Agung Sedayu-lah yang menjadi compang-camping. Namun kulitnya sama sekali tidak tergores seujung rambutpun. Bahkan ia berhasil meloncat mengambil jarak. Sekali lagi ia mengayunkan cambuknya. Seluruh kekuatannya telah tersalur pada cambuknya. Sehingga ketika cambuk itu meledak, maka sekali lagi anjing hutan raksasa itu terlempar dan terbanting di tanah. Jauh lebih keras dari hentakan yang pertama, sehingga terdengar anjing itu melolong dan untuk sesaat anjing itu tidak segera mampu bangkit. Namun anjing itu telah berguling-guling menjauhi Agung Sedayu keluar dari bayangan dedaunan randu alas, dan terlempar ke dalam cahaya bulan bulat di langit.

Agung Sedayu yang melihat keadaan anjing itu tidak segera memburunya. Ia mengira anjing itu benar-benar menjadi kesakitan dan tidak mampu lagi untuk berbuat sesuatu.

Namun tiba-tiba saja rasa-rasanya seluruh kulitnya meremang. Anjing yang kesakitan dan berguling-guling di tanah itu, demikian disentuh oleh cahaya bulan, maka seolah-olah telah mendapatkan tenaga baru. Anjing itupun segera melenting berdiri dan sambil menengadahkan kepalanya ke langit, terdengar anjing itu melolong keras sekali.

Agung Sedayu tertegun di tempatnya. Ia mulai menghubungkan kekuatan anjing itu dengan sinar bulan yang penuh. Tentu ada pengaruh sinar bulan itu. Sekilas teringat oleh Agung Sedayu cerita tentang orang-orang yang ditakuti justru pada saat purnama di Hutan Madenda. Meskipun orang-orang itu adalah orang-orang kerdil, tetapi pengaruh cahaya bulan, lebih-lebih bulan purnama, telah membuat mereka menjadi orang-orang yang tidak terkalahkan.

Dalam pada itu Agung Sedayu sudah tidak menghiraukan lagi anjing-anjing hutan yang lain, yang hanya dapat menggonggong dan melolong-lolong. Anjing-anjing itu sama sekali tidak lagi berani mendekati Agung Sedayu karena tubuh anak muda itu seakan-akan telah membakar udara di sekitarnya.

Tetapi Agung Sedayu tetap berdiri di tempatnya. Ia sama sekali tidak mau memburu anjing hutan raksasa yang berdiri di bawah cahaya bulan purnama sambil menengadahkan kepalanya.

Dalam pada itu, anjing hutan raksasa itupun masih saja berdiri di tempatnya pula. Semakin lama anjing itu menggonggong dan melolong-lolong semakin keras. Kadang-kadang anjing itu merunduk, meloncat mondar-mandir sambil menggeram, kadang-kadang kaki depannya seolah-olah hendak mengaduk tanah dengan ekor yang terangkat tinggi-tinggi.

Agung Sedayu merasa, bahwa anjing itu seolah-olah telah menantangnya agar ia menyerang. Tetapi Agung Sedayu tetap berada di bawah pohon randu alas, sehingga daunnya yang rimbun telah melindunginya dari sinar bulan purnama yang bulat.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun sadar, bahwa sinar bulan itu agaknya memang berpengaruh. Tetapi sudah barang tentu, bahwa pengaruhnya tidak mutlak. Ajar Tal Pitu dalam ujudnya yang bagaimanapun juga tentu masih mempunyai lambaran ilmu yang tidak semata-mata tergantung kepada cahaya bulan.

Untuk sesaat anjing itu masih tetap di tempatnya, sementara anjing-anjing yang lain melonjak-lonjak sambil melingkari Agung Sedayu. Betapapun anjing-anjing itu menjadi marah, tetapi mereka tidak dapat mendekatinya.

Dalam pada itu, Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita bagaikan telah membeku menyaksikan pertempuran yang aneh itu. Merekapun telah mengambil kesimpulan pula, bahwa anjing hutan raksasa itu ingin memancing agar Agung Sedayu memburunya dan mereka akan bertempur di bawah cahaya bulan. Sementara itu, Prastawa tidak tahu lagi apa yang sebenarnya sedang terjadi. Demikian pula anak-anak muda yang menyaksikan perang tanding yang mengerikan itu dari tempat yang agak jauh.

Dalam pada itu, anjing hutan raksasa itupun menjadi semakin marah justru Agung Sedayu tidak juga mau mengejarnya dan menyerangnya di bawah cahaya bulan. Karena itu, maka anjing itupun tidak sabar lagi. Ekornyapun tiba-tiba di kibas-kibaskannya, sementara anjing itu merunduk dalam-dalam. Sambil menggeram mulutnya menyeringai sehingga gigi dan taringnya yang runcing nampak semakin mengerikan.

Agung Sedayu sadar, bahwa anjing itu sudah siap menyerangnya. Karena itu, maka iapun telah bersiap pula. Dengan segenap kemampuannya ia sudah siap meledakkan cambuknya seperti yang pernah dilakukannya.

Seperti yang diperhitungkannya, maka sejenak kemudian anjing itu telah meloncat menerkamnya. Sambil menggeram keras, maka mulutnyapun menganga dan berusaha untuk menggigit langsung wajah Agung Sedayu.

Namun Agung Sedayu yang sudah siap itupun telah menghindar pula. Seperti yang pernah terjadi, maka anjing itupun tidak berhasil menyentuhnya. Namun demikian anjing itu menginjakkan kakinya, maka anjing itupun segera meloncat berputar dan menyerang Agung Sedayu dengan meloncatinya.

Kedua kaki depan anjing itu berhasil menerkam dada Agung Sedayu. Mulutnya yang terbuka itupun dengan cepat telah berusaha menggigitnya. Karena Agung Sedayu menarik wajahnya ke belakang, maka akhirnya anjing itu hanya dapat menggigit pundak Agung Sedayu.

Tetapi ternyata ilmu kebal Agung Sedayu telah mapan. Gigi dan taringnya yang runcing sama sekali tidak dapat melukai Agung Sedayu yang bertempur di bawah lindungan bayangan dedaunan randu alas.

Kemarahan anjing hutan raksasa itu nampaknya semakin menjadi-jadi. Karena giginya tidak berhasil melukai Agung Sedayu, maka anjing itupun telah melepaskannya. Dengan kedua kaki depannya anjing itu seakan-akan telah mendorong Agung Sedayu surut beberapa langkah ke belakang.

Hampir saja Agung Sedayu sampai ke curahan cahaya bulan bulat di langit. Namun ia tetap menyadarinya. Karena itu, maka dengan tangkasnya iapun meloncat mengambil jarak. Sekali lagi cambuknya meledak dilambari dengan segenap kekuatannya. Dan sekali lagi ujung cambuk itu membelit perut lawannya. Dengan hentakan yang dahsyat maka Agung Sedayu telah membanting anjing itu ke tanah.

Anjing itu memang melengking. Namun demikian anjing itu menggeliat kesakitan, maka kepalanya telah berada di luar bayangan lebatnya daun randu alas. Agung Sedayu masih berusaha meraih anjing raksasa itu dengan ujung cambuknya dan menyeretnya ke dalam bayangan daun randu alas, tetapi anjing itupun ternyata tangkas pula. Sinar bulan yang jatuh di kepalanya itu telah menyelematkannya.

Anjing itu masih sempat melenting berdiri. Ketika ujung cambuk Agung Sedayu membelit kakinya, anjing itu meloncat mengibaskannya. Pada saat itu, Agung Sedayu menariknya dengan sekuat tenaganya. Namun terasa olehnya, seolah-olah kekuatan anjing itu menjadi berlipat ganda. Justru hampir saja Agung Sedayulah yang terseret oleh kekuatan anjing yang dengan sekuat tenaganya pula mengibaskan ujung cambuknya.

Ternyata bahwa akhirnya ujung cambuk Agung Sedayulah yang terlepas dari tubuh anjing raksasa itu, sehingga karena itu, Agung Sedayu telah terdorong surut beberapa langkah.

Tetapi anjing itu tidak memburunya. Anjing itu bagaikan menjadi gila. Sambil menggeram anjing itu melonjak-lonjak ke kanan ke kiri di dalam cerahnya sinar bulan.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa di dalam cahaya bulan bulat di langit, kekuatan anjing itu memang bagaikan berlipat. Meskipun apabila terpaksa ia tidak akan gentar bertempur melawan anjing itu di dalam cahaya bulan, tetapi selagi ia masih dapat memilih tempat untuk menghemat tenaganya, maka ia akan tetap berada di dalam bayangan lebatnya daun randu alas.

Sementara itu, hampir di luar sadarnya Ki Waskita berkata, “Untunglah bahwa musimnya musim randu tidak berbuah.”

“Kenapa?” bertanya Ki Gede.

“Jika musimnya randu berbuah, maka daun randu itu akan gugur selembar demi selembar pada saat randu menjadi tua. Dengan demikian maka pohon randu alas itu bagaikan menjadi gundul dan tidak berdaun lagi. Betapapun lebatnya buah randu, namun tidak akan dapat membuat bayangan sepepat daunnya,” jawab Ki Waskita.

Ki Gede mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa randu alas itu memang sedang berdaun lebat. Di musim yang lain, randu alas itu benar-benar bagaikan pohon kayu yang mati dan kering.

Anjing hutan raksasa itu masih meraung-raung dengan marahnya. Namun Agung Sedayu tidak beranjak dari tempatnya, sementara anjing hutan yang lain, sama sekali tidak berani mendekatinya meskipun anjing-anjing itu juga meraung-raung.

Namun tiba-tiba terjadi sesuatu yang mengejutkan. Anjing hutan raksasa itu telah berpaling. Di dalam cahaya bulan nampak oleh Ki Waskita, Ki Gede dan Prastawa, bahwa anjing hutan raksasa itu memandang mereka dengan kilatan cahaya di matanya.

Tiba-tiba saja anjing hutan itu meraung dahsyat. Tidak lagi tertuju kepada Agung Sedayu yang masih tetap berada di dalam bayangan randu alas, tetapi anjing itu agaknya telah memberikan perintah kepada anjing-anjing hutan yang lain menyerang Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh.

Sejenak anjing-anjing liar itu termangu-mangu. Namun ketika sekali lagi terdengar anjing hutan raksasa itu mengaum sambil memandang ke arah Ki Gede dan Ki Waskita maka tiba-tiba saja anjing-anjing liar itu berloncatan meninggalkan Agung Sedayu, menuju ke arah ketiga orang yang menyaksikan pertempuran itu.

Darah Agung Sedayu tersirap sampai ke kepala. Hampir saja ia meloncat mengejar anjing-anjing liar itu. Namun tiba-tiba saja ia mendengar suara mengguntur seperti guruh yang meledak di langit, “Kau tetap di situ Agung Sedayu. Biarlah kami menyelesaikan anjing-anjing liar ini.”

Barulah Agung Sedayu kemudian menyadari. Suara itu adalah suara Ki Waskita. Karena itu, maka Agung Sedayu pun mengurungkan niatnya, karena sebenarnyalah Ki Waskita dan Ki Gede pun bukan orang kebanyakan. Suara Ki Waskita telah memberikan kepercayaan kepadanya, bahwa Ki Waskita akan dapat mengatasi kesulitan itu. Apalagi bersama-sama dengan Ki Gede.

Yang mengaum keras sekali adalah anjing hutan raksasa itu. Dengan peringatan Ki Waskita itu, maka Agung Sedayu pun mengerti, bahwa anjing hutan raksasa itu telah mencoba untuk memancingnya dengan satu cara yang lain. Jika Agung Sedayu mengejar anjing-anjing liar yang menyerang Ki Waskita dan Ki Gede itu, maka ia akan muncul dalam cahaya bulan. Meskipun Agung Sedayu sendiri sudah bertekad, apabila terpaksa ia tidak akan lari sekalipun harus bertempur di bawah cahaya bulan purnama langsung.

Karena itu, maka anjing itupun menjadi sangat marah. Tetapi anjing hutan itu tidak dapat berbuat apa-apa untuk memaksa Agung Sedayu keluar dari bayangan lebatnya daun randu alas.

Sementara itu, sekelompok anjing hutan yang jumlahnya sudah jauh berkurang itu telah menuju ke tempat Ki Waskita dan Ki Gede menunggu. Prastawa yang menjadi ngeri melihat anjing-anjing itu bergeser mendekati Ki Gede.

“Prastawa, jangan menjadi perempuan cengeng! Jika kau masih ingin hidup, lindungi dirimu sendiri. Bukankah kau bersenjata?” tiba-tiba saja Ki Gede membentak.

Suara itu seolah-olah telah membangunkannya dari sebuah mimpi yang sangat buruk. Prastawa pun kemudian menarik pedangnya dan siap menghadapi anjing-anjing liar itu.

Ki Gede, Ki Waskita dan Prastawa memang berada pada jarak yang tidak terlalu dekat. Mereka berada di dalam sebuah gerumbul pategalan di bawah pohon yang berdaun lebat pula, sehingga merekapun telah terlindung dari sinar bulan bulat di langit.

Ki Waskita pun kemudian menggeram. Ia mengambil jarak beberapa langkah dari Ki Gede dan menempatkan dirinya di bawah perlindungan bayangan pula. Diurainya ikat kepalanya sekaligus ikat pinggangnya dan dipeganginya dengan kedua tangannya.

Demikianlah ketika anjing yang pertama meloncat menyerang Ki Waskita, maka dikibaskannya ikat kepalanya di tangan kirinya. Tidak terlalu keras, tetapi anjing itu terlempar lima langkah dan terbanting jatuh. Anjing yang kedua bagaikan diremukkan kepalanya karena telah tersentuh oleh ayunan ikat pinggang Ki Waskita.

Anjing yang menyerang Ki Gede pun mengalami nasib yang sama. Dengan tangkai tombaknya Ki Gede memukul anjing-anjing liar itu. Dengan satu putaran tangkai tombaknya, beberapa ekor anjing telah meraung dan mati terbunuh.

Sementara itu, ada juga di antara anjing-anjing liar itu yang menyerang Prastawa. Tetapi hati Prastawa telah bangkit. Dengan pedang di tangan ia melawan anjing-anjing liar itu. Sabetan pedangnya telah membelah perut seekor anjing hutan. Sementara seekor yang lain, yang meloncatinya dengan mulut ternganga, mengalami nasib yang buruk pula, karena pedang Prastawa telah menyayat kulit di lehernya.

Anjing-anjing liar itu tidak banyak dapat berbuat menghadapi Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh. Karena itu maka anjing-anjing itupun susut dengan cepatnya.

Tetapi anjing-anjing liar itu bagaikan menjadi gila.

Mereka sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu di luar kerangka perintah anjing raksasa yang mengaum keras sekali itu. Bahkan ketika anjing raksasa itu mengetahui, bahwa anjing-anjing hutan liar itu sudah hampir habis ditumpas, maka kemarahannya tidak terkendali lagi. Tiba-tiba saja ia meninggalkan Agung Sedayu dan berlari ke arah Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh. Karena sebenarnya-lah anjing raksasa itu belum mengenal siapakah sebenarnya orang-orang yang berada di pategalan itu.

Sekali lagi Agung Sedayu sudah hampir meloncat menyusul anjing raksasa itu. Namun sekali lagi suara Ki Waskita mengguntur, “Kau tetap di situ Agung Sedayu.”

Anjing raksasa itu mengaum dahsyat sekali. Seolah-olah dedaunan di hutan, pategalan dan randu alas itu telah terguncang. Dedaunan yang menguning telah berguguran, terlepas dari pegangan tangkainya.

Ketika anjing raksasa itu mendekat, maka anjing-anjing liar yang menyerang mereka telah berserakan di sekitar ketiga orang itu dengan luka-luka yang parah di tubuhnya. Ada satu dua yang masih meraung-raung. Tetapi anjing-anjing itu sudah tidak berdaya sama sekali.

Menghadapi anjing hutan raksasa itu, Ki Waskita mempunyai perhitungan tersendiri. Ia tidak dapat membiarkan Prastawa menjaga dirinya sendiri. Satu kelengahan kecil, akan dapat berakibat gawat bagi anak muda itu. Karena itu, maka Ki Waskita telah bergeser mendekat.

Agaknya Ki Gede Menoreh pun berpikir demikian. Iapun bergeser selangkah, seolah-olah kedua orang itu telah sepakat untuk menutup serangan anjing hutan itu, sehingga tidak akan berbahaya bagi Prastawa.

Sebenarnyalah, anjing hutan raksasa yang marah itu, langsung dengan ancang-ancangnya yang panjang telah meloncat menerkam Ki Gede Menoreh. Namun Ki Gede bukanlah orang kebanyakan. Demikian anjing itu menjulurkan kedua kaki depannya dengan mulut menganga, Ki Gede bergeser setapak sambil mendorong Prastawa yang berada di belakangnya untuk menyingkir. Demikian anjing itu menginjakkan kakinya di tanah, maka tombak pendek Ki Gede Menoreh telah menghunjam ke dalam tubuhnya.

Namun ternyata Ki Gede terkejut bukan buatan. Anjing ini lain dengan anjing-anjing liar yang telah mati berserakan. Ujung tombak Ki Gede ternyata bagaikan mengenai kulit yang liat dan kuat. Ternyata ujung tombaknya yang dirasanya telah menghunjam ke dalam tubuh anjing itu, sama sekali tidak melukai kulitnya, meskipun anjing itu melengking kesakitan. Namun anjing itu justru melonjak dan dengan garangnya merunduk siap menerkam Ki Gede.

Namun dalam pada itu, Ki Waskita tidak tinggal diam. Ki Gede dan Ki Waskita tidak terikat dengan perjanjian perang tanding. Sementara anjing hutan raksasa itu sendirilah yang mencari lawan. Sehingga karena itu, maka Ki Waskita pun telah menghentakkan ikat pinggangnya dengan sepenuh kekuatan, menghantam punggung anjing liar yang sedang merunduk itu.

Anjing itu terkejut dan melonjak tinggi-tinggi. Sambil mengaum dahsyat sekali, maka anjing itupun kemudian jatuh menggelepar. Tetapi dengan cepat anjing itu bangkit meskipun tertatih-tatih.

Ki Gede yang nenyadari dengan siapa ia berhadapan, maka iapun telah menghimpun segenap ilmu dan kemampuannya. Ia tidak lagi menghunjamkan tombaknya dengan tenaga wajarnya, sehingga ujung tombaknya tidak berhasil melukai kulit anjing itu, meskipun seolah-olah ujung tombaknya telah terhunjam ke dalam tubuh anjing liar itu.

Dengan tangkas Ki Gede telah menyentuhkan ujung tombaknya di tanah, kemudian dengan kekuatan ilmunya sekali lagi ia menyerang anjing raksasa itu. Ia tidak langsung menusuk tubuh itu, tetapi ia menyerang dengan watak tombak pusakanya. Ujung tombak itu tidak mematuk lurus, tetapi terayun dan menggores kulit anjing liar itu.

Sekali lagi anjing itu mengaum. Kemudian sambil melengking anjing itu berusaha melarikan diri. Namun sekali lagi Ki Waskita sempat memukul anjing itu dengan ikat pinggangnya, sehingga anjing itu terlempar sambil berguling.

Tetap ternyata bahwa anjing itu justru telah terlempar ke dalam cahaya bulan. Sekilas nampak darah mengucur dari kulitnya yang berhasil dikoyak oleh bukan saja ilmu yang matang dari Ki Gede, namun juga watak tombaknya yang garang menghadapi kejahatan.

Namun demikian anjing hutan raksasa itu berada di cahaya bulan bulat, maka anjing itu bagaikan menjadi segar kembali. Dengan lidahnya yang terjulur panjang, anjing itu menjilat bagian tubuhnya yang terluka oleh tombak Ki Gede Menoreh.

Adalah sangat mendebarkan. Ternyata luka-luka itupun seolah-olah begitu saja lenyap dari kulitnya, sementara itu, anjing itupun berlari ke arah Agung Sedayu. Namun kemudian ia berhenti dan menengok kembali ke arah Ki Gede dan Ki Waskita.

Sementara itu, terdengar Agung Sedayu berkata lantang, “Akulah yang harus berperang tanding malam ini. Aku sudah siap siapapun yang harus aku hadapi.”

Anjing hutan raksasa itu menggeram. Matanya bagaikan menyala sementara gigi-giginya menyeringai mengerikan.

Tetapi anjing itu masih termargu-mangu. Nampaknya anjing itu sedang menimbang-nimbang. Apakah sebaiknya yang akan dilakukannya.

Dalam pada itu, Agung Sedayu yang menjadi gelisah. Ia menduga, bahwa di samping Ki Gede dan Ki Waskita yang diikuti oleh Prastawa, agaknya ada beberapa orang pengawal yang ingin menyaksikan perang tanding itu. Jika anjing raksasa itu kemudian memilih untuk menyerang anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu, maka ia tidak akan dapat tinggal diam.

Namun dalam pada itu, terjadilah sesuatu yang sama sekali tidak diperhitungkan oleh anjing raksasa itu. Ketika anjing raksasa itu mengangkat kepalanya memandang bulan bulat sambil melolong panjang, tiba-tiba saja nampak segumpal awan yang kelabu mengambang di langit.

Dengan dahsyatnya anjing hutan itu mengaum marah. Tetapi ia tidak kuasa menentang tingkah laku alam sesuai dengan kodratnya. Karena itu, maka anjing hutan yang merasa tidak mampu melawan Agung Sedayu maupun kedua orang tua-tua yang menonton perang tanding itu di bawah bayangan, harus memperhitungkan awan yang kelabu yang bergerak cepat mendekati bulan bulat di langit.

Awan itu tidak terlalu banyak. Namun beriringan. Dengan demikian ada saat-saat yang paling gawat dapat terjadi atasnya, justru pada saat awan yang agak panjang lewat di hadapan wajah bulan.

Karena itu, maka anjing hutan raksasa itupun telah mengambil satu keputusan lain. Kecuali ternyata bahwa lawan-lawannya cukup cerdik untuk bertempur di bawah bayangan dedaunan, maka awan itupun tidak menguntungkan lagi baginya.

Dengan demikian, maka tiba-tiba anjing hutan raksasa itu telah meloncat berlari menuju ke gumuk padas dan kemudian menghilang dari pandangan mata Agung Sedayu dan orang-orang yang menyaksikan perang tanding itu.

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia juga melihat awan yang kelabu di langit. Dan iapun mempunyai perhitungan tentang awan itu. Namun demikian ia melihat anjing hutan raksasa itu hilang di balik gumuk padas, maka iapun harus memperhitungkan kemungkinan lain yang bakal terjadi.

Ketika awan yang kelabu itu lewat di hadapan wajah bulan yang bulat, maka cerahnya pun menjadi buram. Dengan hati yang berdebar-debar Agung Sedayu memperhatikan awan yang cukup panjang. Memang ada kemungkinan, anjing hutan itu sengaja menunggu sampai awan itu lewat.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja sebuah bayangan telah meloncat ke atas gumuk padas. Dalam cahaya bulan yang buram karena awan yang kelabu, Agung Sedayu melihat bayangan seseorang berdiri tegak dengan dada tengadah.

Yang pertama terdengar adalah suara tertawanya yang menggelegar. Menghantam bukit-bukit yang membujur ke Utara, mengguncang dedaunan, dan bahkan seolah-olah telah menghentak-hentak isi dada.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia benar-benar akan berhadapan dengan Ajar Tal Pitu sebagaimana keadaannya yang sesungguhnya.

“Agung Sedayu,” terdengar suara Ajar Tal Pitu itu mengguruh, “kau memang seorang anak muda yang cerdik jika kau segan disebut pengecut. Kau mampu memperhitungkan keadaan di sekitarmu. Kau telah mengambil keuntungan dengan bayangan randu papak itu. Adalah kesalahanku, bahwa aku kurang memperhatikan sebelumnya.”

Agung Sedayu memandang bayangan yang berdiri di atas gumuk padas itu. Ajar Tal Pitu yang berdiri tegak itu ternyata membawa sebuah senjata yang mendebarkan. Sebuah trisula bertangkai panjang, melampaui panjang tubuhnya sendiri.

Sambil menggenggam tangkai trisulanya yang tegak di sisinya dengan tangan kirinya, Ajar Tal Pitu itu berkata pula, “Baiklah Agung Sedayu. Aku tidak akan bermimpi lagi untuk memanfaatkan cahaya bulan yang ternyata sudah kau perhitungkan sebelumnya. Tetapi aku akan berhadapan denganmu sebagaimana Ajar Tal Pitu yang akan berhadapan dengan Agung Sedayu.”

Agung Sedayu yang masih berdiri tegak di bawah pohon randu alas itupun menjawab dengan suara yang tidak kalah lantangnya, “Aku menunggu Ajar Tal Pitu. Bulan sudah menjadi semakin tinggi di langit. Marilah, kita selesaikan persoalan kita malam ini.”

“Bagus. Aku akan mulai justru dengan mempergunakan senjata. Aku tahu kau berilmu kebal. Tetapi aku ingin mencoba, apakah kebal kulitmu mampu menahan ujung trisulaku,” berkata Ajar Tal Pitu.

“Anjing hutanmu telah mencoba apakah kulitku benar-benar kebal. Apakah trisulamu itu lebih runcing dari taring anjing hutanmu?”

“Seandainya kau berdiri di terang bulan, mungkin akibatnya akan berbeda. Tetapi baiklah. Aku tahu bahwa kau pengecut. Karena itu aku akan menjajagi kulitmu yang kebal itu dengan trisula ini. Bukan saja ujungnya yang runcing dan terbuat dari besi baja yang khusus, tetapi kemampuan tenagaku yang mendorong ujung trisula itulah yang harus kau perhitungkan,” jawab Ajar Tal Pitu.

“Marilah. Jangan hanya berbicara. Kita akan bertanding dengan senjata. Mungkin justru kemudian kita akan melemparkan senjata kita masing-masing dan berhadapan sebagaimana kita adanya,” berkata Agung Sedayu pula.

Ajar Tal Pitu tertawa. Kemudian diangkatnya trisulanya tinggi-tinggi. Ketika awan di langit bergeser semakin jauh, sehingga wajah bulan mulai nampak lagi di langit, Agung Sedayu menjadi berdebar melihat ujung trisula Ajar Tal Pitu yang berikilat-kilat. Bahkan kemudian seolah-olah telah berubah menjadi nyala api yang merah membara.

“Ajar Tal Pitu,” geram Agung Sedayu kemudian, “lihat. Awan telah lewat. Apakah kau akan bermain-main lagi dengan anjing hutanmu yang jinak itu?”

“Tidak Agung Sedayu. Sulit bagiku untuk melawan seorang pengecut. Tetapi kau akan melihat arti dari trisulaku ini.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia sadar sepenuhnya, bahwa akan segera datang saat penentuan dari perang tanding yang sebenarnya.

Namun dalam pada itu, agaknya trisula di tangan Ajar Tal Pitu itupun terpengaruh juga oleh cahaya bulan, betapapun kecilnya.

Tetapi Agung Sedayu benar-benar sudah siap. Segala ilmu yang ada di dalam dirinyapun telah dipersiapkannya pula. Ia tidak ingin terlambat dan menyesal. Ilmu kebalnya yang telah menjadi mapan dengan perkembangannya, kemampuan tenaga dan kecepatan geraknya, segala unsur gerak yang telah luluh di dalam dirinya, dan kemampuannya mempergunakan sorot matanya yang mempunyai sentuhan wadag. Sementara itu, di tangannya masih tergenggam cambuk yang diterimanya dari gurunya. Cambuk yang tidak memiliki kekuatan apapun juga yang mandiri, sehingga karena itulah maka cambuk yang di tangannya itu tergantung sekali kepada siapa yang memegangnya.

Namun, cambuk itu sebagai satu senjata, memang memiliki banyak kemungkinan di tangan orang yang memang menguasainya.

Sejenak kemudian, Ajar Tal Pitu yang berdiri di atas gumuk padas itupun segera meloncat turun. Dengan trisula yang merunduk di sisi tubuhnya Ajar Tal Pitu itu berjalan mendekati randu alas yang berdaun rimbun.  

Ki Waskita, Ki Gede dan Prastawa memandanginya dengan tegang. Merekapun melihat, bagaimana ujung-ujung trisula itu bagaikan menyala tersentuh oleh cahaya bulan.

Di luar sadarnya Ki Waskita dan Ki Gede menengadahkan wajah mereka memandang ke langit. Awan yang kelabu telah hanyut oleh angin yang terasa semilir.

Sesaat kemudian, Ajar Tal Pitu telah berada di bawah randu alas itu pula beberapa langkah di hadapan Agung Sedayu. Dengan lantang ia berkata, “Agung Sedayu. Puaskan hatimu memandang bulan untuk yang terakhir kalinya. Malam ini adalah malam kematianmu.”

“Aku sudah siap Ajar Tal Pitu. Tetapi katakan, apakah kehadiranmu di sini itu hanya karena dendam pribadimu, atau kau masih juga datang dalam hubungannya dengan Ki Pringgajaya yang pernah berusaha membersihkan namanya dengan cerita kematian itu?” bertanya Agung Sedayu.

Ajar Tal Pitu tertawa. Katanya, “Bagimu tidak ada gunanya. Apakah aku datang untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan Ki Pringgajaya, atau untuk kedua-duanya. Yang penting bagiku adalah membunuhmu apapun alasannya. Kematianmu akan memberikan kepuasan kepadaku.”

“Kepuasan ganda? Karena kau adalah orang upahan Ki Pringgajaya?” desak Agung Sedayu.

“Sudahlah. Kau tidak perlu merajuk seperti itu,” sahut Ajar Tal Pitu, “bersiaplah untuk mati.”

“Aku sudah bersiap untuk menghindari kematian itu,” berkata Agung Sedayu. “Agaknya itu sudah menjadi kodrat seseorang untuk berusaha menyelamatkan dirinya dari ancaman maut.”

Ajar Tal Pitu tertawa. Suaranya menggelegar menghentak-hentak di dalam dada. Prastawa yang juga mendengar suara itu seolah-olah merasa isi dadanya diguncang-guncang dari dalam, sehingga anak muda itu harus menahan dadanya dengan telapak tangannya.

Dalam pada itu, Ajar Tal Pitu itupun telah menggenggam trisulanya yang bertangkai panjang dengan kedua tangannya. Sambil bergeser selangkah ia berkata, “Bersiaplah Agung Sedayu, ujung trisulaku ini mempunyai watak yang khusus. Yang tengah dari ketiga mata trisulaku ini selalu haus akan darah seseorang. Itulah sebabnya, maka trisula ini mempunyai tabiat yang dapat mempengaruhi pemiliknya. Nampaknya akupun kini telah dijalari oleh watak itu, sehingga aku malam ini benar-benar ingin membunuhmu. Justru di hadapan orang-orang yang nampaknya sangat bangga atas ilmumu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak boleh lengah barang sekejappun. Ajar Tal Pitu dapat mulai di segala saat dengan menjulurkan trisulanya.

Setelah bergeser selangkah lagi, maka Ajar Tal Pitu itu mulai menggerakkan trisulanya. Dengan gerak yang pendek ujung trisula itu terjulur. Namun agaknya Ajar Tal Pitu memang belum bersungguh-sungguh.

Agung Sedayu pun belum menanggapinya. Ia melangkah selangkah surut. Namun kemudian iapun bergeser ketika Ajar Tal Pitu bergeser lagi.

Namun Agung Sedayu itupun telah tertegun ketika Ajar Tal Pitu justru merendahkan diri pada lututnya. Trisulanya terangkat condong ke depan.

Ketika ujung trisula yang bermata tiga itu semakin merunduk, maka Agung Sedayu pun telah bersiaga sepenuhnya. Dengan gerak yang sederhana, Ajar Tal Pitu memancing gerak lawannya dengan sangat hati-hati, karena Ajar Tal Pitupun sebenarnya mengetahui bahwa anak muda yang bernama Agung Sedayu memiliki banyak kelebihan dari anak-anak muda kebanyakan.

Dengan tangan kiri Ajar Tal Pitu mengarahkan ujung trisulanya, sementara dengan tangan kanan ia menggerakkan trisulanya untuk mematuk lawannya, atau memutar ketiga mata senjatanya untuk menguasai senjata lawan.

Tetapi senjata Agung Sedayu adalah senjata lentur yang mempunyai watak yang berbeda dengan pedang atau tombak. Sehingga karena itu, maka Ajar Tal Pitupun harus mempergunakan cara tersendiri untuk melawannya.

Dalam pada itu, Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak dan bergeser setapak demi setapak. Digenggamnya tangkai cambuknya dengan tangan kanannya, sementara ia masih memegangi ujungnya dengan tangan kirinya. Dengan tenang ia melihat sikap dan gerak Ajar Tal Pitu dengan senjata yang dahsyat bertangkai panjang.

Ketenangan Agung Sedayu itulah yang membuat Ajar Tal Pitu justru menjadi berdebar-debar. Anak muda yang bajunya sudah compang-camping dikoyak oleh gigi dan taring anjing-anjing hutan itu sama sekali tidak nampak menjadi cemas dan apalagi ketakutan.

Namun dalam pada itu, Ajar Tal Pitu tidak lagi sekedar ingin memancing gerak lawannya. Ketika ia bergeser setapak lagi, dan Agung Sedayu masih tetap berdiri di tempatnya, maka tiba-tiba saja Ajar Tal Pitu telah meloncat sambil menjulurkan trisulanya yang bertangkai panjang itu, langsung mengarah ke leher Agung Sedayu.

Agung Sedayu melihat gerak lawannya. Karena itu, maka iapun bergeser selangkah ke samping. Sambil memiringkan kepalanya maka ia telah menghindari patukan trisula yang mengarah ke lehernya itu.

Namun dalam pada itu, Ajar Tal Pitu telah bergerak dengan tangkas. Ketika ia sadar bahwa trisulanya tidak menyentuh lawannya, maka iapun telah mengayunkan senjata itu mendatar.

Namun sekali lagi Agung Sedayu menghindar. Dengan cepat ia berputar sambil merendahkan diri pada lututnya.

Ajar Tal Pitu tertawa. Katanya, “Aneh. Kau masih juga ingin bermain-main seperti itu. Agung Sedayu. Kita sudah mengetahui, bahwa kita dapat berbuat lebih banyak dari permainan-permainan yang tidak berarti apa-apa ini. Aku tahu kau mempunyai ilmu kebal. Kau mampu menyerang dari jarak yang panjang sehingga aku gagal membunuhmu dengan ilmu Kembar Tigaku itu. Pedang apikupun tidak mampu melawanmu dan bahkan aku hampir mati kau bunuh di dekat Lemah Cengkar. Nah, sekarang datang gilirannya aku membunuhmu. Aku tidak membawa pedang api dan pisau-pisau kecilku. Tetapi aku datang dengan trisula bertangkai panjang.”

Agung Sedayu bergeser. Dipandanginya ketiga ujung trisula yang berwarna kemerah-merahan itu. Memang mirip dengan cahaya yang menyala pada pedang api Ajar Tal Pitu yang dipergunakannya di Jati Anom.

“Sekarang, apakah yang kau kehendaki? Ilmu anjingmu itu sama sekali tidak berdaya melawanku. Nah, sekarang apa lagi yang dapat kau lakukan?” bertanya Agung Sedayu. “Apakah kau akan mengulangi ilmu yang pernah kau pamerkan di Jati Anom itu? Ilmu Kakang Pembarep dan Adi Wuragil yang gagal itu? Atau ilmu yang barangkali dinamai Gelap Ngampar atau Sangga Dahana? Atau ilmu apa lagi?”

Ajar Tal Pitu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa lebih keras. Semakin lama semakin keras.

Terasa hentakkan di dada Agung Sedayu. Dan iapun sadar, bahwa Ajar Tal Pitu benar-benar telah mulai dengan ilmunya yang sebenarnya. Bukan sekedar berusaha menyentuhnya dengan ujung trisulanya.

Tetapi daya tahan Agung Sedayu benar-benar telah dipersiapkan. Suara tertawa yang menghentak-hentak itu sama sekali tidak berhasil mengguncang isi dadanya.

Namun dalam pada itu, orang lainlah yang telah hampir menjadi pingsan. Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh mampu mengatasi hentakan-hentakan itu di dadanya. Namun Prastawa rasa-rasanya hampir menjadi pingsan karenanya, sementara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang lain, mengalami hal yang sama dengan Prastawa. Justru karena jarak mereka agak jauh, maka mereka tidak menjadi kehilangan kesadaran karenanya. Meskipun demikian, nafas mereka bagaikan terhimpit oleh bukit-bukit padas yang menimpa dada mereka.

Tetapi Agung Sedayu seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh. Meskipun ia berdiri beberapa langkah saja di hadapan Ajar Tal Pitu. Namun Agung Sedayu justru tertawa sambil berkata, “Permainan yang itu lagi. Apakah kau tidak mempunyai cara lain untuk menggertak lawan? Lolong anjing hutan, gema teriakanmu dari balik batu padas, dan sekarang suara tertawamu itu tidak berarti apa-apa sama sekali.”

“Bagus, bagus,” sahut Ajar Tal Pitu. “Aku hanya ingin memperingatkanmu tentang kemampuanku pada saat aku menghadapimu di Jati Anom. Tetapi ketahuilah Agung Sedayu. Setelah itu aku telah menyempurnakan ilmuku. Empat puluh hari empat puluh malam aku mesu raga. Kemudian aku akhiri dengan pati geni selama tiga hari tiga malam. Nah, kau dapat menduga, apa yang akan dapat aku lakukan sekarang ini.”

“Tentu peningkatan ilmu yang dahsyat sekali,” berkata Agung Sedayu.

“Kau akui? Lalu, apakah yang akan kau lakukan?” bertanya Ajar Tal Pitu, “Menyerah, atau membunuh diri?”

“Ajar Tal Pitu,” berkata Agung Sedayu, “kita memang dapat berusaha. Termasuk menyempurnakan ilmu. Tetapi segalanya tergantung kepada kuasa Yang Maha Agung. Nah, kepada kuasa Yang Maha Agung itulah aku bersandar setelah aku berusaha untuk mempertahankan hidupku menghadapi ilmumu yang dahsyat. Jika masih ada kesempatanku untuk tetap hidup, maka aku akan dapat keluar dari arena ini dengan selamat.”

Ajar Tal Pitu tertawa. Semakin lama semakin keras. Gejolak suara tertawa itu menghentak-hentak dan menghantam dinding jantungnya. Ajar Tal Pitu telah melepaskan ilmunya sepenuhnya. Justru setelah ia mesu diri di padepokannya.

Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak. Namun dalam pada itu, Ki Waskita dan Ki Gede yang bertahan dari gejolak di dadanya itu, melihat, Prastawa hampir tidak lagi mampu bertahan, sehingga keduanya harus berusaha menahan anak itu yang hampir saja jatuh terkulai, dan kemudian menolongnya duduk bersandar sebatang pohon.

“Kau mampu mengatasinya jika kau berjiwa besar,” desis Ki Gede.

Prastawa memang masih berusaha. Dan ia berhasil untuk tetap sadar dan tidak pingsan karenanya, meskipun ia sudah tidak dapat lagi tegak di atas kedua kakinya.

Sementara itu, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh benar-benar telah menjadi pingsan karenanya, sehingga mereka tidak tahu lagi apa yang terjadi.

Ajar Tal Pitu memang benar-benar meningkat. Ki Waskita dan Ki Gede pun akhirnya benar-benar harus berjuang untuk tetap bertahan. Ketika keduanya kemudian berdiri tegak memandang ke bawah randu alas yang disebut randu papak, mereka masih melihat Agung Sedayu berdiri, dan bahkan terdengar ia tertawa kecil, “Sudahlah Ajar Tal Pitu,” berkata Agung Sedayu, “jangan kau pamerkan lagi permainan yang memuakkan itu.”

Suara tertawa Ajar Tal Pitu masih menggetarkan dedaunan. Namun Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak. Suara itu tidak berhasil mempengaruhinya.

Namun sebenarnya-lah Agung Sedayu harus bertahan agar jantungnya tidak berhenti berdentang. Suara itu sebenarnya terasa seolah-olah menyusup sampai ke pusat dadanya. Karena itulah, maka Agung Sedayu benar-benar harus mapan.

Tetapi akhirnya bahwa Ajar Tal Pitu itu harus mengakui, bahwa ia tidak berhasil mengguncang isi dada Agung Sedayu dengan ilmunya itu, sebelum ia menghantam dengan ilmunya yang lain. Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak dan sama sekali tidak nampak akibat apapun yang menunjukkan kelemahannya.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ketika terasa tekanan di dadanya itu menurun. Bahkan iapun kemudian berkata, “Ajar Tal Pitu. Aku kira kita hanya akan bermain-main seperti ini semalam suntuk.”

“Persetan Agung Sedayu,” jawab Ajar Tal Pitu, “kau sudah pernah melihat betapa pedang apiku mampu membakarmu di dekat Lemah Cengkar di Jati Anom. Sekarang kau harus melihat, betapa ujung trisulaku akan melumatkanmu.”

“Aku sudah siap sejak anjing-anjing liar itu belum datang,” sahut Agung Sedayu.

Ajar Tal Pitu menggeram. Ia mulai menggerakkan trisula bertangkai panjang di tangannya. Ujungnya bergerak mendatar. Namun kemudian trisula itu berputar berporos genggaman tangannya di tengah-tengah tangkainya yang panjang.

Agung Sedayu surut selangkah. Ternyata Ajar Tal Pitu memang seorang yang luar biasa. Ujung trisulanya yang berputar itu seolah-olah telah membara, sehingga yang nampaknya bagaikan putaran cahaya api yang kemerah-merahan.

Seperti yang pernah di alami, udara di bawah pohon randu alas itupun menjadi panas. Ajar Tal Pitu memang mampu melepaskan ilmu yang seolah-olah dapat membakar udara.

Agung Sedayu mulai merasa, betapa ia telah disentuh oleh udara panas. Namun dengan ilmu kebalnya, maka ia berhasil melindungi dirinya. Udara panas itu tidak banyak mempengaruhinya sehingga Agung Sedayu dapat mengabaikannya.

Namun yang tidak dapat diabaikannya adalah senjata Ajar Tal Pitu. Ternyata setelah Ajar Tal Pitu menganggap bahwa udara panas telah mempengaruhi lawannya, mulailah ia mempergunakan senjatanya untuk menyerang.

Ketika senjata yang berputar itu kemudian menyilang, dan tiba-tiba saja mematuk, Agung Sedayu sudah siap untuk mengelak. Namun ternyata tangan Ajar Tal Pitu benar-benar telah terlatih. Ujung-ujung trisula yang membara itu, telah berubah arah, terayun mendatar mengejarnya.

Agung Sedayu masih belum mempercayakan kepada ilmu kebalnya untuk melawan ujung trisula itu. Ia masih harus menjajagi kekuatan yang terlontar dari padanya, karena bagaimanapun juga Agung Sedayu tetap sadar, bahwa kekuatan yang melampaui daya tahan ilmu kebalnya akan dapat mempengaruhinya. Terutama pada bagian dalam tubuhnya.

Karena itu Agung Sedayu masih juga berusaha untuk mempergunakan kecepatan geraknya. Dengan tangkas ia meloncat menghindari ujung trisula yang membara itu. Namun demikian ujung itu lewat, justru Agung Sedayu telah meloncat maju. Sebuah ledakan cambuknya yang dahsyat telah menggetarkan pohon randu alas itu.

Tetapi Ajar Tal Pitu dengan tangkas sempat juga mengelak. Dengan loncatan kecil ia surut selangkah. Namun ketika Agung Sedayu siap meloncat sekali lagi, ujung trisula Ajar Tal Pitu justru telah mematuk lurus ke arah dada.

Agung Sedayu-lah yang surut. Namun Ajar Tal Pitu telah memburunya dengan ujung trisula yang terayun. Bahkan kemudian berputar dengan cepatnya.

Agung Sedayu masih berusaha menghindar. Sekali-sekali ia justru mendekat. Cambuknya menggelepar. Meskipun ledakan cambuknya tidak terdengar terlalu dahsyat bagaikan ledakan gunung berapi, namun bagi lawannya, terasa hentakan kekuatan yang tiada taranya telah terlontar dari ujung cambuk itu.

Dalam pada itu, ternyata setelah mesu diri selama empat puluh hari empat puluh malam dan pati geni selama tiga hari tiga malam, ilmu Ajar Tal Pitu benar-benar telah meningkat. Lontaran ilmunya yang bagaikan membakar udara di sekitar arena, terasa menyentuh bahkan menyusup di antara ilmu kebal Agung Sedayu. Meskipun ia masih mampu mengatasi perasaan panas yang menyentuhnya, namun dalam pada itu, rasa-rasanya keringatnya telah terperas habis.

Karena itulah, maka Agung Sedayu pun telah mengembangkan ilmu kebalnya sampai ke batas kemampuan yang berhasil dijangkaunya. Ia ingin mengimbangi ilmu lawannya dengan ilmu yang serupa, meskipun sumbernya dan dasar pengembangannya yang berbeda pula.

Dalam pada itu, maka Agung Sedayu pun seakan-akan semakin lama menjadi semakin panas pula. Seperti ilmu lawannya, maka lontaran panas ilmunya itu mulai terasa oleh lawannya. Jika semula hanya Agung Sedayu saja yang dipanggang dalam panasnya ilmu Ajar Tal Pitu, maka tiba-tiba saja Ajar Tal Pitu mulai merasa pula bahwa udara menjadi semakin panas.

Anjing hutan raksasa yang tidak berdaya melawan Agung Sedayu itupun mengetahui pula, bahwa anjing-anjing liar yang mengerubut anak muda itu telah terusir oleh udara panas. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu masih mampu mengembangkannya, sehingga udara di bawah pohon randu alas itu benar-benar bagaikan terbakar.

Dengan demikian, maka kedua orang itupun seolah-olah telah bertempur di alas neraka. Mereka harus bertahan atas panasnya udara yang membakar, sementara itu, maka ujung-ujung senjata telah menyambar-nyambar.

Ajar Tal Pitu yang telah dibekali dengan dendam yang tiada taranya itu berusaha untuk segera membinasakan lawannya. Ujung trisulanya ternyata memiliki kekuatan seperti pedang yang pernah dipergunakannya. Ketiga mata trisula yang bertangkai panjang itu bagaikan menyala menyembur ke arah lawannya.

Terasa panasnya memang bagaikan semburan lidah api. Tetapi ilmu kebal Agung Sedayu mampu menahan, dan ia masih terlindungi sehingga tubuhnya tidak menjadi hangus karenanya.

Namun sementara itu, ternyata Ajar Tal Pitu menahan diri bagaikan dipanggang di atas api. Betapa Ajar Tal Pitu menahan diri dari panasnya ilmu Agung Sedayu, namun akhirnya ia merasa, bahwa ia tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi.

Pada saat-saat terakhir Ajar Tal Pitu berusaha menekan Agung Sedayu dengan lidah api yang menyala dari ketiga mata trisulanya, maka Agung Sedayu pun menghentakkan ilmunya, sehingga udara di bawah randu alas itu benar-benar bagaikan terbakar.

Dengan demikian, maka Ajar Tal Pitu tidak lagi mampu bertahan. Selangkah demi selangkah ia mundur meskipun trisulanya masih tetap berputaran dan mematuk-matuk jika Agung Sedayu memburunya. Dalam keadaan yang paling gawat, maka Ajar Tal Pitu itupun telah meloncat langsung keluar dari bayangan pohon randu alas.

Agung Sedayu masih tetap ragu-ragu. Karena itu ia tertegun sejenak.

Tetapi yang terjadi kemudian benar-benar sangat mengejutkan. Ajar Tal Pitu itu tiba-tiba saja telah berlari meninggalkan arena menuju ke gumuk padas.

Agung Sedayu tidak memburunya. Ia masih belum tahu pasti, apakah di dalam cahaya bulan, trisula itu akan mempunyai arti tersendiri. Namun seakan-akan ada beberapa pertimbangan yang mencegahnya untuk mengejar Ajar Tal Pitu. Dan bahkan masih ada firasat padanya, bahwa Ajar Tal Pitu itu masih akan kembali lagi.

Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh menjadi berdebar-debar. Prastawa yang seakan-akan telah pingsan oleh getar suara Ajar Tal Pitu yang dilambari ilmunya itu, telah menyadari dirinya sepenuhnya. Ketika ia bangkit, maka iapun berdesis, “Ke mana Ajar Tal Pitu itu Paman?”

Ki Gede menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Tetapi aku kira ia belum lari.”

“Berhati-hatilah,” desis Ki Waskita. “Seperti anjing hutan raksasa yang kehabisan akal itu, tiba-tiba saja telah menyerang kita. Mungkin kitapun harus bersiap-siap, jika pada suatu saat Ajar Tal Pitu itu justru menyerang kita.”

Beberapa saat lamanya Agung Sedayu berdiri dengan tegang. Ia masih tetap berada di bawah bayangan dedaunan yang rimbun. Meskipun bulan bergeser, dan bayangan itupun bergeser, tetapi Agung Sedayu telah ikut bergerak pula.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja telah terdengar suara menggelegar dari balik gumuk batu padas itu. Katanya, “Agung Sedayu, kau anak muda yang luar biasa. Dalam usiamu yang muda itu, kau sudah memiliki ilmu yang luar biasa. Kau mampu menahan panasnya api ilmuku. Bahkan kau telah mampu membakar udara di sekilingmu dengan api neraka.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Ajar Tal Pitu tentu akan membuat sebuah permainan yang tidak kalah dahsyatnya. Karena itu, maka iapun telah bersiap menghadapinya.

“Tetapi anak muda,” terdengar suara Ajar Tal Pitu itu lebih lanjut, “kau jangan terlalu bangga dengan kemenangan kecilmu itu. Aku masih mampu mengembangkan ilmuku yang pernah gagal melawanmu di Jati Anom. Bukan ilmu baru, tetapi ilmu yang pernah kau kenal itu pula dalam ujudnya yang lebih sempurna.”

Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Ia masih tetap berdiri tegak menghadap ke gumuk batu padas itu.

Sejenak kemudian, terasa jantungnya menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba saja ia melihat bayangan meloncat ke atas gumuk padas itu. Dua orang dalam ujud yang serupa. Ajar Tal Pitu lengkap dengan trisulanya.

“Hanya dua,” agung Sedayu berdesis.

Namun ia tidak sempat berpikir lebih lama. Kedua bayangan itu sejenak kemudian telah menghambur, meloncat dari atas gumuk kecil itu bagaikan terbang dengan trisulanya terangkat tinggi-tinggi.

Agung Sedayu pun telah bersiap melawannya. Ketika kedua bayangan itu mendekatinya, maka cambuknya pun telah menggelepar menyongsongnya.

Tetapi lecutan ujung cambuk Agung Sedayu itu seolah-olah tidak terasa di tubuh Ajar Tal Pitu, sementara yang seorang lagi telah menyerangnya pula dengan dahsyatnya.

Agung Sedayu harus berloncatan menghindar. Yang dilawannya tidak hanya sebuah trisula berujung rangkap tiga, tetapi dua buah trisula bertangkai panjang, yang seolah-olah telah menyembur api dari ujung-ujungnya.

Sejenak kemudian, cambuk Agung Sedayu pun telah meledak-ledak. Memang tidak begitu keras, tetapi penuh dengan lontaran tenaga. Dengan ujung cambuknya Agung Sedayu ingin menjajagi, yang manakah di antara kedua bayangan itu, yang sebenarnya Ajar Tal Pitu.

Namun keduanya ternyata seolah-olah kebal dari segala macam senjata. Ujung cambuk Agung Sedayu yang berkarah baja pilihan itu sama sekali tidak mampu menggores di kulit kedua bayangan Ajar Tal Pitu yang serupa itu.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu menjadi agak bingung. Sementara itu kedua Ajar Tal Pitu itu menyerangnya semakin lama semakin dahsyat. Ujung trisula merekapun menyambar-nyambar dari segala arah, sementara lidah api bagaikan menyala di mana-mana di seputar pohon randu alas itu.

Ki Waskita dan Ki Gede yang menyaksikan pertempuran itupun menjadi berdebar-debar. Mereka melihat Agung Sedayu yang telah memeras tenaganya, melawan kedua orang dalam ujung trisula Ajar Tal Pitu dengan segenap kemampuan dan ilmunya.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu masih juga bertempur. Namun akhirnya ia tidak mau kehilangan tenaga terlalu banyak. Anak muda itu sadar, bahwa ia telah mencapai satu tingkat yang paling tinggi dari penguasaan ilmu kebal. Dalam keadaan luka parah ketika ia bertempur melawan Ajar Tal Pitu yang terdahulu, ia sudah memanfaatkan keadaan itu untuk menyempurnakan ilmu kebalnya. Terakhir di Tanah Perdikan Menoreh, ia justru telah mengembangkan ilmu kebalnya, sehingga ia mampu membakar udara di sekitarnya dengan ilmunya itu.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun dengan hati-hati telah menjajagi kemampuan kedua orang lawannya yang serupa itu. Pada saat-saat tertentu ia sengaja tidak menangkis dan tidak menghindari serangan lawannya.

Sebenarnyalah, bahwa kedua ujud Ajar Tal Pitu itu benar-benar tidak mampu menembus ilmu kebalnya. Meskipun masih juga terasa pada tubuhnya, hentakan-hentakan kekuatan yang menyentuhnya. Namun seperti juga udara panas yang dilontarkan oleh Ajar Tal Pitu, segalanya masih mampu diatasinya.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian lebih banyak berpikir untuk menghadapi lawannya. Ia membiarkan beberapa serangan lawannya mengenainya. Namun baik udara panas maupun ujung trisula yang bagaikan semburan lidah api itu tidak dapat melukainya.

Namun dalam pada itu, serangan-serangan kedua ujud Ajar Tal Pitu itu menjadi semakin marah. Mereka menghentakkan kekuatan mereka. Serangan-serangan merekapun menjadi semakin meningkat. Bukan saja kedua ujung trisula itu semakin sering mengenainya, tetapi hentakan kekuatannyapun menjadi semakin terasa oleh tubuh Agung Sedayu yang kebal. Sedikit demi sedikit, rasa-rasanya serangan-serangan itu sempat menerobos perisai ilmunya.

“Ajar Tal Pitu memang luar biasa,” desis Agung Sedayu, ”setelah mesu diri, kekuatannya telah meningkat dengan pesat.”

Namun Agung Sedayu pun sempat mengucap syukur. Jika ia tidak meningkatkan ilmu kebalnya, maka ia tentu sudah tergolek di bawah pohon randu alas yang besar itu. Tubuhnya meskipun tidak terkoyak oleh ujung trisula yang bagaikan menghembuskan api itu, namun bagian dalamnya akan segera menjadi remuk berkeping-keping. Tulang-tulangnya akan retak dan urat-urat darahnya akan pecah-pecah.

Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu telah meningkatkan ilmu kebalnya, seperti juga Ajar Tal Pitu meningkatkan ilmunya. Seperti yang pernah terjadi di Jati Anom, maka Agung Sedayu masih juga mampu menahan serangan-serangan Ajar Tal Pitu yang dahsyat.

Namun dalam pada itu, baik Agung Sedayu sendiri, maupun Ki Waskita yang pernah terlibat dalam pertempuran di Jati Anom itu merasa heran, bahwa yang hadir pada waktu itu hanya dua ujud Ajar Tal Pitu.

Sementara itu, Agung Sedayu yang bertempur melawan keduanya, ternyata sempat juga membuat perhitungan-perhitungan setelah ia lebih mempercayakan perlawanannya pada ilmu kebalnya.

Agung Sedayu mulai membayangkan kembali, sekilas-sekilas di antara ledakkan cambuknya, bagaimana ia bertempur melawan tiga orang Ajar Tal Pitu di Jati Anom.

“Seorang di antara ketiganya adalah Ajar Tal Pitu yang sebenarnya,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “Sementara itu Ajar Tal Pitu yang sebenarnya itu justru selalu berusaha menghindari serangan-serangannya.”

Agung Sedayu akhirnya menemukan jawaban atas pertanyaan yang selalu bergejolak di dalam hatinya, sejak ia bertempur melawan dua orang bayangan Ajar Tal Pitu itu.

“Yang dua ini tentu bukan Ajar Tal Pitu yang sebenarnya,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “karena itulah, maka aku tidak akan mungkin dapat melumpuhkannya.”

Karena itulah, maka Agung Sedayu pun harus mengatur perlawanannya sebaik-baiknya. Iapun mulai melawan ilmu Ajar Tal Pitu itu bukan saja dengan ilmu kebalnya. Tetapi dengan satu keyakinan, bahwa yang dihadapinya itu adalah sekedar kekuatan ilmu Ajar Tal Pitu. Karena itulah, maka yang mampu dilakukan oleh ke dua ujud itu tentu tidak akan sebagaimana dilakukan oleh Ajar Tal Pitu sendiri.

Agung Sedayu pun kemudian berusaha untuk membuat dirinya meyakini apa yang sedang dihadapinya. Senjata di tangan kedua ujud itu bukannya senjata Ajar Tal Pitu yang sesungguhnya. Ketika Ajar Tal Pitu menggenggam pedang api di tangannya, maka kedua ujud kembarnya memegang pedang pula. Di saat Ajar Tal Pitu memegang trisula, maka kedua ujud itupun memegang trisula pula sebagaimana Ajar Tal Pitu itu sendiri.

Dengan kekuatan daya pikirnya, maka Agung Sedayupun kemudian berusaha meyakinkan watak kedua lawannya. Dengan ujung cambuknya ia telah menyerang dengan garangnya. Namun ternyata bahwa kedua ujud itu seolah-olah tidak merasakan sama sekali sambaran ujung cambuknya. Keduanya tidak dapat dilukainya dan keduanya tidak dapat disakitinya.

“Gila!” geram Agung Sedayu.

Meskipun ia telah memiliki ilmu kebal yang mapan, namun ternyata bahwa perasaannya masih juga mempengaruhinya. Sekilas Agung Sedayu menilai dirinya sendiri. Dibiarkannya ujung trisula lawannya mengenainya. Namun bukan saja ia melawan dengan ilmu kebalnya, namun dengan satu keyakinan, bahwa yang dihadapinya tidak akan memiliki kekuatan sebagaimana sumbernya.

“Jika aku tidak dapat menyakitinya, maka kedua bayangan ini tentu tidak akan mampu menyakiti aku, meskipun seandainya aku tidak memiliki ilmu kebal. Hanya orang-orang yang miris dan cemas sajalah yang akan jatuh ke dalam pengaruh kedua ujud itu, sementara di dalam pertempuran yang sebenarnya, ujud sumbernyalah yang akan melukai dan bahkan membunuh lawannya yang sudah kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri,” berkata Agung Sedayu kepada dirinya sendiri. Dalam keyakinan yang penuh, maka ia berkata pula di dalam dirinya, “Hanya ujud yang sebenarnyalah yang akan mampu menyakiti aku. Dan aku memang menunggu ujud yang sebenarnya itu.”

Demikianlah, Agung Sedayu telah berhasil memecahkan teka-teki yang dihadapinya. Ia sudah yakin, bahwa ujud-ujud yang dihadapinya itu telah bersandar kepada kecemasannya sendiri. Dalam pada itu, maka segala macam sentuhan dan sayatan senjata ujud-ujud bayangan yang dilontarkan oleh kekuatan aji Kakang Pembarep dan Adi Wuragil itu telah tumbuh dari hatinya sendiri. Dengan demikian maka Ajar Tal Pitu yang sebenarnya, apabila ia tampil, maka sebenarnyalah orang itu yang melakukannya.

Dalam perang tanding yang dahsyat itu, ternyata Ajar Tal Pitu sendiri tidak tampil di arena. Agung Sedayu pun segera dapat mengerti alasannya. Agung Sedayu akan dapat menyerangnya ke manapun ia melenting. Karena itu, maka Ajar Tal Pitu itu telah mencoba membiarkan Agung Sedayu bertempur dengan kekerdilan hatinya sendiri dengan lantaran kedua ujud bayangannya yang dilontarkan oleh ilmunya, yang mempunyai watak yang memang berbeda dengan ujud semu yang dapat dilontarkan oleh Ki Waskita, yang akan dengan cepat dapat diketahui oleh lawan-lawannya yang memiliki pandangan mata hati yang cukup tajam.

Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu telah berhasil mengatasi perasaannya sendiri, sehingga dengan demikian, maka segala macam perasaan yang timbul karena kedua lawannya itu dapat diatasinya.

Dengan yakin ia memastikan, bahwa sentuhan trisula itu sama sekali tidak akan menyakitkan. Api yang memancar itupun sama sekali tidak akan membuat udara menjadi panas. Yang terasa panas adalah justru karena dirinya sendiri. Karena perasaannya sendiri.

Bahkan seandainya ia tidak memiliki ilmu kebal sekalipun, namun asal ia memiliki keyakinan yang teguh, maka kedua bayangan ujud Ajar Tal Pitu itu sama sekali tidak akan dapat berbuat apa-apa.

Demikianlah maka Agung Sedayu telah membuktikannya. Ia membiarkan dirinya ditikam oleh trisula yang bagaikan menyala itu. Bahkan sedikit demi sedikit ia telah mengurangi kemampuan daya tahan ilmu kebalnya.

Ternyata Agung Sedayu berhasil mengurai dengan tepat teka-teki ilmu lawannya. Dengan keyakinan yang teguh, tanpa lambaran ilmu kebalnya, maka kedua ujud Ajar Tal Pitu itu sama sekali tidak menyakitinya.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun telah sampai kepada puncak permainannya. Setelah ia berhasil mengatasi kekerdilan jiwanya, sehingga seolah-olah kedua ujud itu tidak mampu menyakitinya sebagaimana telah dilakukan oleh Ajar Tal Pitu sendiri. Namun dengan satu kesadaran, bahwa terhadap Ajar Tal Pitu sendiri, ia harus mengenakan perisai ilmu kebalnya dalam puncak pengetrapannya.

Dalam pada itu, betapa Agung Sedayu sudah berhasil mengurai watak ilmu lawannya, namun nampaknya ia masih saja bertempur dengan segenap kemampuannya. Sekali-sekali ia masih meloncat, melejit dan kemudian menghentakkan cambuknya. Namun kedua ujud Ajar Tal Pitu itu nampaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh senjata Agung Sedayu yang meledak-ledak.

Ki Waskita dan Ki Gede menjadi cemas. Justru karena mereka tidak berhadapan langsung seperti yang dilakukan oleh Agung Sedayu, maka merekapun tidak melihat watak yang sebenarnya dari ilmu yang nampaknya nggegirisi itu.

Jantung mereka bagaikan berhenti berdetak, ketika keduanya melihat justru Agung Sedayu-lah yang kemudian terdesak. Bahkan kemudian anak muda itu terhuyung-huyung dan jatuh bersandar batang pohon randu alas.

“Ki Gede!” desis Ki Waskita.

Wajah Ki Gede menjadi merah. Ujung tombaknya menjadi bergetar oleh kemarahan yang menghentak jantungnya. Dengan suara yang gemetar ia berkata, “Jika Agung Sedayu gagal, aku akan menantangnya dalam perang tanding. Akulah yang membawa Agung Sedayu kemari. Dengan demikian aku harus bertanggung jawab. Aku harus berhasil membunuh orang yang menyebut dirinya Ajar Tal Pitu itu, atau aku yang harus mati di arena.”

“Serahkan orang itu kepadaku Ki Gede,” geram Ki Waskita. “Aku sudah mengenalnya sebelumnya. Sebagian dendamnya tertuju kepadaku, kepada orang-orang yang ikut bertempur di Jati Anom.”

Ki Gede tidak menyahut. Namun terdengar giginya gemeretak, dan ujung tombaknya yang bergetar itu seakan-akan mulai menyala kebiru-biruan. Kemarahannya ternyata telah menjalar bukan saja sampai ke genggaman tangannya, tetapi sudah sampai ke ujung tombaknya.

“Kita harus menunggu sampai tuntas,” desis Ki Waskita, “baru kita mulai dengan babak yang baru, apapun yang akan terjadi dengan Agung Sedayu.”

Ki Gede tidak menjawab. Tetapi kemarahannya benar-benar telah menyala di hatinya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar