Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 140

Buku 140

Demikian mereka muncul dari balik padukuhan kecil, maka di hadapan mereka terbentang tepian berpasir dan rumpun-rumpun batang ilalang. Melalui jalan setapak, kuda mereka mendekati arus sungai yang seperti biasanya, berwarna coklat lumpur.

Tidak ada yang menarik perhatian mereka di saat mereka menyeberang sungai. Tukang satang yang membawa mereka di atas rakit bersama-sama beberapa penyeberang lainnya, tidak menumbuhkan kecurigaan apa-apa.

Dengan selamat mereka turun di seberang dan melanjutkan perjalanan. Sesaat setelah mereka memasuki Tanah Perdikan Menoreh, mulai terasa pada Raden Sutawijaya, bahwa Tanah Perdikan itu memang sedang mengalami kemunduran, yang apabila tidak segera ditangani akan menjadi sangat mengecewakan bagi anak cucu mereka kelak.

Parit-parit tidak lagi terpelihara. Sementara jalan-jalan yang semula cukup baik. menjadi sangat mengecewakan Tanaman padi tidak lagi nampak hijau subur. Namun mulai nampak bahwa sawah itu agak kurang dipelihara.

“Kemalasan telah timbul di Tanah Perdikan ini,” desis Raden Sutawijaya.  

“Mungkin benar Raden,” jawab Ki Lurah Branjangan, “Ki Argapati menjadi semakin tua. Mungkin umurnya masih belum setua Ki Juru Martani. Tetapi ia merasa sangat kesepian di rumah. Ceritera tentang hidup kekeluargaannya pun agaknya kurang menarik, sehingga semuanya itu agaknya telah mempercepat peredaran usianya.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk Ia pun mengerti. bahwa di saat-saat terakhir Ki Argapati seolah-olah telah hidup sebatang kara. Kemenakannya yang seharusnya dapat membantunya tampaknya tidak terlalu tangkas berpikir dan tidak mempunyai banyak buah pikiran yang berarti bagi Tanah Perdikan Menoreh.

Sebenarnyalah bahwa Raden Sutawijaya mempunyai satu pikiran yang barangkali baik bagi Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka ia telah memilih untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh lebih dahulu sebelum ia pergi ke Jati Anom untuk menemui Kiai Gringsing dan murid-muridnya.

“Tetapi semuanya tergantung kepada Ki Gede Menoreh dan murid-murid Kiai Gringsing itu sendiri,” katanya di dalam hati.

Sementara itu, ia pun tidak mengatakan pikirannya itu kepada Ki Lurah Branjangan yang menyertainya, karena ia menganggap bahwa hal itu belum waktunya untuk dikatakannya.

Ketika mereka memasuki padukuhan demi padukuhan, sebenarnyalah ia masih melihat orang-orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh, tetapi keadaan padukuhan-padukuhan itu tidak lagi secerah beberapa saat lampau. Raden Sutawijaya masih melihat pande besi yang menempa alat-alat pertanian di sudut pasar. Dan iapun masih melihat beberapa buah pedati menelusuri jalan-jalan membawa hasil sawah dan pategalan. Namun yang dilihatnya itu tidak lagi seperti yang pernah dilihatnya sebelumnya.

“Tetapi agaknya masih belum terlambat,” katanya di dalam hati.

Demikianlah, maka akhirnya Raden Sutawijaya dan para pengawalnya pun telah memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Sebenarnyalah kehadirannya memang mengejutkan. Ketika ia memasuki regol rumah Ki Argapati, maka seorang penjaga telah memberitahukan kepada Ki Argapati, bahwa empat orang tamu telah datang.

“Siapa?” bertanya Ki Argapati.

“Aku kurang tahu,” jawab penjaga itu.

“Silahkan naik ke pendapa. Aku akan segera datang,” berkata Ki Argapati kemudian, lalu, “beritahukan pula kepada Prastawa, agar ia ikut menemui tamu itu.”

“Prastawa tidak ada,” jawab penjaga itu, “ia pergi ke pategalan.”

Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil mengangguk ia berkata, “Baiklah. Persilahkan tamu itu duduk.”

Raden Sutawijaya, Ki Lurah Branjangan dan pengawal-pengawalnya menunggu untuk beberapa saat di pendapa, sementara Ki Gede Menoreh telah membenahi pakaiannya.

Demikian Ki Gede keluar di pintu pringgitan, iapun terkejut melihat tamu yang duduk di pendapa. Dengan tergopoh-gopoh ia pun mendekat sambil berdesis, “Ternyata Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga.”

Raden Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, “Sudah lama aku tidak menengok Paman Argapati. Rasa-rasanya aku menjadi sangat rindu kepada Paman dan Tanah Perdikan ini.”

Ki Argapati yang kemudian duduk bersama tamu-tamunya segera menanyakan keselamatan mereka di perjalanan dan selama mereka tidak bertemu, dan demikian sebaliknya.

Ketika tamu-tamunya sudah dijamu dengan minuman hangat dan beberapa potong makanan, maka Ki Argapati pun mulai menyatakan keheranannya. bahwa tiba tiba saja Raden Sutawijaya telah datang secara pribadi ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Itulah agaknya burung prenjak berkicau sepanjang pagi di sebelah kanan pendapa,” berkata Ki Gede Menoreh, “ternyata ada tamu agung yang datang, meskipun tidak dalam kelengkapan kebesarannya.”

Raden Sutawijaya tertawa. Katanya, “Tiba-tiba saja aku ingin menengok keadaan Tanah Perdikan ini.”

Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Raden Sutawijaya sejenak. Lalu iapun bertanya, “Kesan apakah yang Raden lihat selama perjalanan Raden?”

“Semuanya masih seperti sediakala,” jawab Raden Sutawijaya.

“Raden mencoba untuk mengelakkan penglihatan Raden,” jawab Ki Gede Menoreh, “aku kira akupun tidak perlu mengingkari. Tanah ini mengalami kemunduran.”

Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Sebaiknya akupun berterus-terang Ki Gede. Aku memang melihat beberapa kemunduran. Tetapi tidak terlalu banyak. Aku kira jika Ki Gede menghendaki, dalam waktu singkat, kemunduran itu akan segera dapat dipulihkan kembali.”

Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja dilemparkannya pandangan matanya jauh ke dedaunan yang tumbuh di halaman. Hampir berdesah ia berkata, “Aku sudah terlalu tua. Yang akan datang justru akan menjadi lebih suram.”

“Ah, kenapa Ki Gede merasa demikian?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Tidak ada orang yang dapat membantu aku lagi,” jawab Ki Gede.

“Bagaimana dengan Prastawa?” bertanya Raden Sutawijaya pula.

Ki Geda termenung sejenak. Kemudian katanya, “Anak itu baik. Tetapi tidak banyak yang dapat aku harapkan daripadanya. Justru karena anak itu terlalu cepat menjadi puas. Baik tentang dirinya sendiri, maupun keadaan di sekitarnya. Bahkan kadang-kadang ia menilai dirinya terlalu tinggi, sehingga ia kehilangan keseimbangan.”

“Bukankah demikian adat anak-anak muda? Justru dengan demikian, maka gairahnya untuk hidup akan bertambah besar. Jika Ki Gede dapat memanfaatkannya, maka gelora yang terdapat di dalam dirinya itu akan membuat Tanah Perdikan ini pulih seperti sediakala.” sahut Raden Sutawijaya.

“Aku menangkap maksud Angger terbalik,” jawab Ki Gede sambil tersenyum, “jika ia cepat puas, maka tidak ada gelora itu di dalam jiwanya. Gairah hidupnya pun tidak akan melonjak menggapai masa depan yang jauh lebih baik, karena ia sudah puas akan keadaannya. Bukankah demikian? Dan aku juga tidak mengerti, kenapa Angger menganggap bahwa demikian itu adat anak-anak muda. Apakah perasaan yang demikian juga terdapat pada Angger?”

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun iapun tersenyum pula sambil berkata, “Aku keliru Ki Gede. Seharusnya aku sadar, dengan siapa aku berbicara.”

“Bukan maksudku. Tetapi agaknya Angger ingin menyenangkan hatiku. Namun, aku hampir menjadi berputus asa melihat perkembangan Tanah Perdikan yang justru semakin surut ini.” desis Ki Gede.

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ia mengerti, perasaan apa yang bergolak di dalam hati Ki Gede Menoreh. Sementara ia tidak dapat mengharap terlalu banyak dari kemanakannya.

“Jika ia menilai dirinya berlebih-lebihan. maka ia akan menjadi tinggi hati,” berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya. Dan seperti yang dikatakan oleh Ki Gede, perjuangannya bagi masa depan akan selalu dihambat oleh perasaan puasnya.

Untuk beberapa saat Raden Sutawijaya justru terdiam. Ia mulai memikirkan sesuatu yang dianggapnya akan sangat bermanfaat bagi Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan bagi Matararam dalam keseluruhan apabila pendapatnya itu disetujui.

Namun untuk beberapa saat ia masih dibayangi oleh keragu-raguan.

Tetapi dalam pada itu, Ki Gede Menoreh-lah yang berkata dalam nada rendah, “Raden. Aku sedang mencari cara yang paling baik, bagaimanakah aku dapat membangunkan kembali Tanah Perdikan ini.”

“Apakah Ki Gede sudah mencoba menunjukkan cara yang paling baik kepada Prastawa? Mungkin Ki Gede sendiri masih sempat membawanya sekali dua kali, kemudian melepaskannya untuk melakukannya sendiri di atas Tanah Perdikan ini,” bertanya Raden Sutawijaya.

Ki Gede menarik nafas dalam–dalam. Katanya, “Aku sudah mencoba dengan berbagai cara. Tetapi agaknya Prastawa memang kurang dapat menanggapi perkembangan keadaan. Ia melakukan apa yang disukainya, bukan apa yang penting bagi Tanah Perdikan ini. Sementara itu, cacat kakiku rasa rasanya menjadi semakin mengganggu.”

“Bagaimana dengan cacat kaki Paman?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Segala usaha sudah aku lakukan. Tetapi kakiku rasa-rasanya tidak akan dapat sembuh. Bahkan kaki ini menjadi sering kambuh,” desis Ki Gede sambil meraba-raba kakinya.

“Bagaimana dengan anak-anak muda di Tanah Perdikan ini?” bertanya Raden Sutawijaya pula.

“Mereka adalah anak-anak muda yang baik. Tetapi aku memerlukan seseorang yang dapat memimpin mereka, tidak dengan cara seperti yang dilakukan oleh Prastawa,” wajah Ki Gede tiba-tiba menunduk. “Ia mempunyai kebiasaan yang kurang baik, yang meskipun banyak dilakukan oleh anak-anak muda sebayanya. Ia mudah sekali tertarik pada wajah-wajah cantik seorang gadis. Dengan demikian, maka sebagian dari waktunya telah dipergunakan untuk memamerkan diri di hadapan gadis-gadis itu. Ia senang sekali dipuji dan berusaha untuk selalu mendapat perhatian.”

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa Ki Gede itu sama sekali tidak bermaksud menyindirnya. Tetapi Raden Sutawijaya sendiri tidak akan dapat ingkar, bahwa iapun selalu tertarik pada wajah-wajah cantik, seperti ayahanda angkatnya, Sultan di Pajang.

Namun dalam pada itu, Raden Sutawijaya merasa ada peluang yang dapat dipergunakannya untuk menyampaikan maksudnya meskipun ia masih tetap ragu-ragu.

“Mudah-mudahan Ki Gede tidak menjadi salah paham,” katanya di dalam hati.

Meskipun dengan ragu-ragu, namun akhirnya Raden Sutawijaya itupun berkata, “Ki Gede, sebenarnyalah aku mempunyai satu pendapat. Tetapi sebelumnya aku minta maaf, bahwa aku telah berani mencampuri persoalan yang tumbuh di atas Tanah Perdikan ini.”

Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Jika hal yang akan Raden kemukakan itu bermanfaat bagi kami, tentu kami akan mengucapkan banyak terima kasih.”

“Baiklah Ki Gede,” berkata Raden Sutawijaya kemudian, “seperti yang Ki Gede katakan. jika pendapat ini bermanfaat, silahkan Ki Gede mempergunakannya. Tetapi jika Ki Gede menganggap sama sekali tidak sesuai, sebaiknya Ki Gede tidak ragu-ragu untuk melepaskannya saja, seperti aku tidak pernah mengetahui sesuatu, karena sebenarnyalah segala hak dan wewenang ada pada Ki Gede.”

“Ya Raden. Silahkan mengatakannya,” desis Ki Gede.

“Sebenarnyalah bahwa aku melihat kemunduran pada Tanah Perdikan ini. Aku mohon maaf, bahwa aku sudah berani memberikan penilaian. Tetapi sebagai tetangga terdekat, aku melihat apa yang telah terjadi.” Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “Sebenarnyalah aku ingin melihat Tanah Perdikan Menoreh akan dapat dipulihkan kembali. Untuk itulah aku telah datang kemari dengan satu landasan pikiran. Tetapi sekali lagi aku mohon maaf, bahwa pikiran ini mungkin kurang sesuai dengan jalan pikiran Ki Gede, karena tentu Ki Gede lebih memahami daerah ini dengan segala isinya daripada aku.”

Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku akan menerima segala sumbangan pikiran. Dan hal itu tentu akan aku pertimbangkan dari segala segi.”

“Ya Ki Gede,” berkata Raden Sutawijaya pula, “sebenarnyalah bahwa Ki Gede memang hanya mempunyai seorang anak perempuan yang menjadi istri Swandaru di Kademangan Sangkal Putung. Seharusnya anak menantu Ki Gede itulah yang akan dapat membina Tanah Perdikan ini seperti pada masa lalu.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sudah aku pikirkan Raden. Tetapi aku ragu-ragu, apakah Swandaru akan bersedia meninggalkan kademangannya dan tinggal di Tanah Perdikan ini. Nampaknya ia terlalu terikat kepada Kademangannya itu.”

“Tetapi Ki Demang masih mempunyai anak yang lain,” jawab Raden Sutawijaya kemudian. Sekar Mirah akan mempunyai seorang suami yang dapat dipercaya pula. Bukankah dengan demikian. Swandaru akan dapat dengan tenang meninggalkan kademangannya, dan menyerahkannya kepada Agung Sedayu sebagai suami Sekar Mirah?”

Tetapi Ki Gede menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku kurang yakin bahwa Swandaru akan bersedia melakukannya. Meskipun barangkali aku akan mencobanya berulang kali untuk meyakinkannya. Namun seperti yang sudah aku katakan, ia terikat sekali kepada kademangannya.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Jika demikian, apakah Ki Gede pernah memikirkan untuk menemukan jalan lain, yang masih tetap bersangkut paut dengan lingkaran keluarga Swandaru itu?”

Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya Raden Sutawijaya menjadi sangat tertarik kepada Tanah Perdikan itu, sehingga ia ikut memikirkannya sampai sedalam-dalamnya.

Namun Ki Gede pun telah merasa, ada kepentingan Raden Sutawijaya dengan keadaan Tanah Perdikan itu. Ki Gedepun mengerti, perkembangan hubungan antara Mataram dan Pajang. Dengan demikian, maka Mataram tidak akan dapat melepaskan hubungannya dengan Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, Ki Gedepun mengetahui hubungan baik antara Raden Sutawijaya dengan Swandaru dan lingkaran keluarganya, sehingga hubungan baik itu akan tetap dipeliharanya.

Agaknya Raden Sutawijaya pun mengetahui apa yang bergolak d dalam hati Ki Gede yang masih terdiam itu. Maka katanya, “Ki Gede, untuk apa aku berpura-pura lagi di hadapan Ki Gede. Sebenarnyalah, Tanah Perdikan Menoreh memiliki kekuatan yang tiada taranya. Ki Gede pernah, bahkan berkali-kali memberikan bantuan kepadaku dalam beberapa masalah yang penting dan gawat. Sementara keadaan Mataram menjadi semakin genting dalam hubungannya dengan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dan yang berusaha memanfaatkan keadaan, agaknya Tanah Perdikan ini menjadi mundur.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah merasa Ngger. Langsung atau tidak langsung, Raden tentu berkepentingan. Sebenarnya akupun tidak berkeberatan, apalagi akupun telah dengan langsung melibatkan diri. Sehingga aku yakin, pihak-pihak tertentu telah menganggap Tanah Perdikan ini sebagai lawannya.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Demikianlah, maka aku telah memberanikan diri untuk menyampaikan satu pendapat yang barangkali dapat diterima. Tetapi seandainya tidak berkenan di hati Ki Gede, aku mohon Ki Gede berterus terang menolaknya, agar tidak terjadi persoalan yang akan berkembang di kemudian hari.”

“Katakan Raden. Mungkin saran Raden akan bermanfaat,” desis Ki Gede Menoreh.

Raden Sutawijaya beringsut setapak. Kemudian katanya, “Akupun mengira, bahwa Swandaru akan berkeberatan meninggalkan kademangannya yang sedang berkembang, meskipun di sana ada Sekar Mirah dan bakal suaminya, yang setidak-tidaknya memiliki tingkat ilmu setinggi Swandaru. Namun Swandaru adalah anak laki-laki, yang merasa bertanggung jawab atas tanah itu.”

“Ya, aku mengerti Raden. Pada saat Swandaru dan istrinya datang kemari, aku sudah memberikan pesan, agar mereka bersedia memikirkan perkembangan Tanah Perdikan ini. Meskipun tidak dikatakan dengan terus terang, namun aku melihat keberatan Swandaru. Tetapi keberatan itupun belum dikatakannya pula,” sahut Ki Gede Menoreh.

“Jika demikian Ki Gede, apakah tidak sebaiknya Ki Gede menawarkan kemungkinan lain, demi perkembangan Tanah Perdikan ini?” Raden Sutawijaya menjadi ragu-ragu. Tetapi ia berkata selanjutnya, “Karena Swandaru tetap ingin berada di kademangannya, bagaimana jika untuk kepentingan Tanah Perdikan ini, Swandaru dapat berbicara dengan saudara seperguruannya?”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku sudah mengira bahwa Raden akan mengatakan demikian. Karena aku tahu, tidak ada orang lain yang dekat dengan Swandaru.”

Raden Sutawijaya mengangguk–angguk, katanya, “Aku selalu ragu-ragu untuk mengatakannya, Tetapi jika yang aku katakan tidak berkenan di hati, segalanya terserah kepada Ki Gede.”

“Raden,” suara Ki Gede Menoreh menjadi dalam, “aku mengerti alasan apakah yang mendorong Raden menunjuk anak muda itu. Dan akupun melihat alasan yang cukup kuat untuk mengaitkan Angger Agung Sedayu dengan Tanah Perdikan ini, tentu saja dengan persetujuan Swandaru.”

“Ya Ki Gede,” jawab Raden Sutawijaya, “aku tidak usah ingkar dan berputar-putar. Agung Sedayu akan dapat menjadi kawan yang baik bagi Mataram.”

“Sudah aku katakan, bahwa hubungan itu sudah berlangsung. Karena itu aku tidak akan berkeberatan sama sekali,” sahut Ki Gede. “Namun soalnya akan tergantung kepada Swandaru dan Agung Sedayu sendiri.”

“Swandaru akan dapat memilih,” berkata Raden Sutawijaya kemudian, “apakah ia akan memilih Sangkal Putung dan memberikan wewenang atas Tanah Perdikan ini atas nama Pandan Wangi kepada saudara seperguruannya, atau Swandaru tampil di atas Tanah Perdikan ini, dan menyerahkan pimpinan kademangannya kepada Sekar Mirah, yang pelaksanaannya akan dibantu oleh Agung Sedayu.”

Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Katanya, “Aku tidak mempunyai keberatan apa-apa. Bahkan akupun sebenarnya pernah memikirkannya. Tetapi aku belum sempat mengatakannya kepada Swandaru dan Pandan Wangi.”

“Apakah Ki Gede menganggap bahwa waktunya belum tiba?” bertanya Raden Sutawijaya.

Ki Gede tidak segera menjawab. Tetapi iapun kemudian merenungi Tanah Perdikannya yang tidak dapat diingkari, sedang meluncur surut dengan derasnya. Jika hal itu tidak segera ditangani, maka akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di atas Tanah Perdikan ini, sehingga untuk membangun kembali diperlukan waktu yang cukup lama.

“Ki Gede,” berkata Raden Sutawijaya, “karena aku juga berkepentingan, maka apa saja yang Ki Gede kehendaki, aku akan dapat membantu memecahkannya. Bahkan seandainya Ki Gede tidak sempat untuk bertemu dengan kedua saudara seperguruan itu. Atau sudah barang tentu dengan gurunya.”

“Aku akan memperhitungkan waktu, Raden,” jawab Ki Gede, “tetapi menurut pertimbanganku, semakin cepat akan semakin baik. Namun aku belum tahu, seandainya Swandaru dan Pandan Wangi sependapat, apakah hal ini bukannya justru akan dapat menyinggung perasaan Angger Agung Sedayu, atau justru kakaknya Angger Untara?”

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Untara memang harus diperhitungkan. Sebagai saudara tua, maka ia mempunyai pengaruh yang kuat terhadap adiknya. Sepeninggal orang tuanya, maka Untara adalah orang tua bagi Agung Sedayu. Meskipun Agung Sedayu sebenarnya sudah dewasa. tetapi pengaruh kakaknya masih nampak sangat kuat.

Tetapi Raden Sutawijaya cenderung untuk mencoba menyampaikan persoalan itu kepada yang berkepentingan. Memang mungkin rencana itu dapat ditolak. Tetapi mungkin pula dapat diterima.

“Ki Gede,” berkata Raden Sutawijaya kemudian, “mungkin peran Kiai Gringsing akan ikut menentukan. Pengaruh Untara cukup besar terhadap adiknya. Tetapi pengaruh Kiai Gringsing pun nampak sekali pada anak itu.”

Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Sebenarnyalah ia tidak berkeberatan untuk membicarakannya dengan Swandaru dan Pandan Wangi, Kiai Gringsing, dan Agung Sedayu sendiri.

“Aku kira, kita akan dapat melakukan secepatnya Raden,” berkata Ki Gede Menoreh, “tetapi aku masih harus mempertimbangkan seorang lagi, yang bagaimanapun juga akan langsung berkepentingan dengan keadaan di Tanah Perdikan ini.”

“Siapa?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Prastawa,” jawab Ki Gede. “Ia adalah kemanakanku. Ia adalah anak adikku, yang sebenarnyalah aku harus mempertimbangkan kedudukannya. Meskipun seperti yang aku katakan, bahwa aku tidak akan dapat meletakkan harapan atas masa depan Tanah Perdikan ini kepadanya.”

Raden Sutawijaya mengangguk–angguk. Katanya, “Ki Gede benar. la memang tidak boleh dikecewakan, agar untuk seterusnya ia tidak akan berbuat sesuatu yang akan dapat mengganggu usaha memperkembangkan kembali Tanah Perdikan ini.”

“Apalagi ayahnya pernah kecewa menghadapi keadaan di atas Tanah Perdikan ini. Meskipun sekarang nampaknya sudah tidak lagi ada bekasnya, tetapi luka itu akan dapat kambuh lagi pada anak laki-lakinya,” berkata Ki Gede Menoreh.

“Aku kira Ki Gede akan cukup bijaksana menghadapi kemenakan Ki Gede itu. Karena sebenarnyalah bahwa ia bukan tidak berarti sama sekali. Ia memiliki kemampuan yang akan dapat dimanfaatkan di atas Tanah Perdikan ini,” sahut Raden Sutawijaya.

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Mudah–mudahan semuanya akan segera menjadi jernih. Bagaimanapun juga, Raden harus berusaha bahwa hubungan antara Pajang dan Mataram akan menjadi semakin baik.”

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mudah-mudahan. Tetapi Pajang bagiku bagaikan obor yang sudah kehabisan minyak, Tidak banyak berarti lagi. Meskipun di Pajang terdapat orang-orang yang sebenarnya memiliki kelebihan, tetapi mereka seakan-akan selalu menuruti keinginan mereka masing-masing, sehingga jalan pemerintahan tidak akan dapat diharapkan untuk menjadi lurus kembali.”

Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Tetapi mungkin ada usaha yang dapat ditempuh. Meskipun itu harus berarti bahwa kesiagaan menghadapi masa yang paling buruk tidak dapat diabaikan.”

“Ya Ki Gede,” desis Raden Sulawijaya, “itulah sebabnya maka aku datang kemari untuk membicarakan dan menyampaikan suatu pendapat. Sebenarnyalah aku ingin sekali bertemu dengan Kiai Gringsing, tetapi aku telah mementingkan datang kemari lebih dahulu sebelum aku pergi ke Jati Anom.”

Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Kapan Raden akan pergi ke Jati Anom? Aku kira kita akan dapat pergi bersama-sama untuk membicarakan masalah ini. Jika Raden pergi tanpa aku dan aku pergi tanpa Raden, maka kita masih memerlukan waktu untuk dapat berbicara bersama-sama di kesempatan lain.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Gede benar. Kita sebaiknya pergi bersama-sama. Tetapi aku masih harus memperhitungkan waktu, Ki Gede. Dalam waktu dekat, aku akan menerima tamu dari Pajang. Bahkan mungkin hari ini. Tetapi menurut perhitunganku tentu belum hari ini.”

“O,” Ki Gede mengerutkan keningnya, “siapa? Pangeran Benawa? Atau siapa?”

Raden Sutawijaya menceritakan dengan singkat apa yang telah terjadi. Sehingga ada dua orang yang kini berada di dalam pengawasan para pengawal Mataram.

Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian, maka peristiwa itu telah menyangkut anak dan menantunya saat mereka kembali ke Sangkal Putung. Bersyukurlah ia bahwa tidak terjadi sesuatu dengan anak dan menantunya.

“Untunglah Ki Waskita pergi bersama mereka saat itu,” berkata Ki Gede di dalam hatinya.

Pada saat terakhir, berkata Raden Sutawijaya selanjutnya, “Aku sengaja mengundang satu atau dua orang pimpinan prajurit dari Pajang untuk datang dan bertemu dengan Ki Lurah Pringgabaya. Aku ingin tahu, bagaimana tanggapan pimpinan prajurit Pajang atas peristiwa itu. Jika yang datang itu termusuk golongan Ki Lurah itu sendiri, tanggapannya tentu akan berbeda dengan jika yang datang itu benar-benar prajurit Pajang seperti halnya Untara.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi Angger akan dapat mengalami akibat yang gawat. Yang datang itu dapat saja menceritakan hitam dan yang hitam dikatakan putih.”

“Aku sudah memperhitungkan, Ki Gede,” berkata Raden Sutawijaya, “karena itulah maka Mataram harus mulai mempersiapkan diri.”

“Raden baru akan mulai, sementara Pajang sudah siap untuk bertindak lebih jauh,” berkata Ki Gede Menoreh, “apakah dengan demikian Mataram tidak akan terlambat?”  

“Pajang tentu tidak akan terlalu tergesa gesa. Sementara Ayahanda Sultan masih memiliki kesempatan untuk membuat pertimbangan-pertimbangan betapapun lemahnya,” jawab Raden Sutawijaya. “Tetapi akupun merasa bahwa pada suatu hari, Ayahanda Sultan tidak akan dapat lagi mengelak. Kecuali jika Adimas Pangeran Benawa berbuat sesuatu. Tetapi nampaknya Adimas Pangeran Benawa lebih senang menuruti hatinya sendiri.”

Hampir saja Ki Gede juga menunjuk Raden Sutawijaya berbuat demikian meskipun dengan alasan yang berbeda. Namun untunglah bahwa kata-kata itu tidak diucapkannya. Karena tindakan berikutnya memang berlainan antara Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa.

Demikianlah ternyata memang ada beberapa persamaan sikap antara Raden Sutawijaya dan Ki Gede Menoreh menghadapi masa depan yang masih kabur bagi Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh sendiri. Masa yang masih harus diperjuangkan agar menjadi masa yang lebih baik dari masa sebelumnya.

Akhirnya Raden Sutawijaya pun berkata, “Ki Gede, apapun, sebaiknya aku kembali ke Mataram. Aku akan melihat perkembangan keadaan. Pada suatu saat, aku akan memberitahukan kepada Ki Gede, bahwa aku siap untuk pergi ke Jati Anom. Sehingga Ki Gede dapat berangkat dan singgah di Mataram, untuk selanjutnya kita akan pergi bersama-sama.”

Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Raden. Aku akan menunggu Raden sempat melakukannya.”

Dengan demikian, maka nampaknya keduanya telah menemukan kesepakatan untuk dalam waktu dekat pergi ke Jati Anom untuk berbicara dengan Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru serta istrinya. Namun karena persoalan yang dihadapi oleh Raden Sutawijaya tentang kedua orang tawanannya, maka Raden Sutawijaya masih akan menunggu.

Dalam pada itu, setelah pembicaraan itu dianggap selesai, serta Raden Sutawijaya yang berada di Tanah Perdikan Menoreh sampai siang itu telah dijamu dengan makan siang. maka iapun segera minta diri.

“Raden tidak bemalam?” bertanya Ki Gede.

“Terima kasih Ki Gede,” jawab Raden Sutawijaya, “masih ada yang harus aku kerjakan di Mataram.”

Ki Gede tidak dapat menahannya lebih lama lagi. Sementara itu ternyata Prastawa yang kemudian kembali dari pategalan masih sempat bertemu dengan Raden Sutawijaya barang sejenak. Namun Raden Sutawijaya tidak mengatakan sesuatu tentang keperluannya menemui Ki Gede.

Sejenak kemudian, maka Raden Sutawijaya pun segera meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Sebenarnyalah bahwa Raden Sutawijaya memang mengharap agar Tanah Perdikan Menoreh akan tetap menjadi kawan seiring dalam perjalanan menuju ke masa depan yang baik bagi Mataram dan juga bagi Tanah Perdikan itu sendiri.

Tidak ada sesuatu yang terjadi di perjalanan. Raden Sutawijaya dan pengawalnya kembali dengan selamat sampai ke Mataram, yang ternyata seperti yang diperhitungkan, Pajang masih belum mengirimkan seseorang atau lebih untuk mengunjungi Mataram.

Namun yang terjadi di hari berikutnya, telah mengejutkan Raden Sutawijaya. Yang datang di Mataram adalah seorang perwira yang tidak membawa pesan dan kuasa untuk bertemu dengan Ki Lurah Pringgabaya dan Ki Tandabaya. Tetapi perwira prajurit Pajang itu mendapat perintah untuk membawa kedua orang itu kembali ke Pajang untuk mendapatkan keadilan, karena keduanya adalah prajurit Pajang dan pengawal Kepatihan Pajang.

Tetapi bagaimanapun juga Raden Sutawijaya harus menahan diri. Yang datang di Mataram itu adalah sekedar utusan Karena itu, bagaimanapun juga, Raden Sutawijaya harus tetap bersikap baik kepadanya.

“Ki Tumenggung Jayawiguna,” berkata Raden Sutawijaya sambil menahan gejolak jantungnya, “apakah pendengaranku tidak salah, bahwa Ki Tumenggung mendapat tugas untuk membawa kedua orang itu kembali ke Pajang?”

“Demikianlah Raden,” jawab Ki Tumenggung, “aku mengemban tugas itu. Karena sebenarnyalah tidak ada manfaat apapun juga untuk bertemu dengan kedua orang itu di sini. Tetapi jika aku dapat membawa mereka, maka kami akan segera dapat mengadilinya sesuai dengan kesalahan yang telah mereka lakukan.”

“Tetapi, apakah itu mungkin?” jawab Raden Sutawijaya. “Siapakah yang akan memberikan keterangan, bukti dan saksi-saksi atas kesalahan yang pernah dilakukan oleh keduanya, jika keduanya setelah berada di Pajang mengingkari segala tingkah laku mereka yang melanggar paugeran itu.”

“Apakah Raden merasa curiga bahwa kami akan memperlakukannya tanpa mengingat keadilan?” bertanya Tumenggung Jayawiguna.

“Bukankah hal itu mungkin sekali dilakukan oleh siapapun juga, termasuk orang-orang di Pajang?” justru Raden Sutawijayalah yang bertanya.

“Raden,” desis Ki Tumenggung Jayawiguna, “bagaimanapun juga yang memegang Bawat Keadilan di Pajang adalah Ayahanda Raden sendiri. Aku tidak menyangka sama sekali, bahwa Raden akan mencurigainya. Dan apakah Raden memang pernah melihat Pajang bertindak tidak adil?”

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Ki Tumenggung telah mendesak aku untuk mengatakan sesuatu yang akan dapat Ki Tumenggung pergunakan untuk menjerat lidahku. Tetapi tidak mengapa. Mungkin aku masih dapat menyebut beberapa hal yang mungkin dapat berarti untuk memperkuat sikapku.” Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “Katakan Ki Tumenggung, apakah Ayahanda Sultan pernah mendapat laporan tentang kedua orang yang kini berada di bawah pengawasan para pengawal di Mataram?”

Sejenak wajah Ki Tumenggung Jayawiguna menegang. Namun sebelum ia berkata sesuatu, Raden Sutawijaya sudah mendahuluinya, “Sebenarnyalah kecurigaanku tidak aku tujukan kepada Ayahanda Sultan. Tetapi justru kepada orang-orang yang berada di sekitarnya. Mataram melihat sikap yang tidak pasti dari para pemimpin di Pajang. Mataram melihat sikap yang tidak menunjukkan satunya pandangan dari para pemimpin di Pajang. Jika aku harus mengatakan, apapun akibatnya, aku dapat menunjuk. Apakah sikap Ki Patih dan Adimas Pangeran Benawa sejalan? Apakah sikap Ki Tumengung Prabadaru dan sikap senapati muda di daerah selatan yang berkedudukan di Jati Anom sejalan? Apakah sikap para Adipati di daerah timur sejalan pula dengan sikap para pemimpin di Pajang? Ki Tumenggung, jangan dikira bahwa aku tidak tahu bahwa beberapa pihak kini sedang sibuk mengembangkan pikiran untuk mengangkat masa kejayaan masa lalu menurut citra sekelompok orang yang justru lebih mementingkan diri sendiri.”

“Raden,” Ki Tumenggung Jayawiguna memotong, “sikap Raden agak kurang aku mengerti. Sebaiknya kita batasi persoalan kita dengan kedua orang yang kini berada di Mataram itu saja. Karena memang hanya itulah wewenangku.”

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tetapi gejolak di dalam dadanya rasa-rasanya tidak lagi dapat ditahankannya. Karena itu. maka katanya, “Ki Tumenggung, sebenarnyalah bahwa tugas Ki Tumenggung memang hanya mengurus kedua orang itu. Tetapi aku ingin menjelaskan kenapa aku telah mengambil sikap pula terhadap kedua orang itu, sehingga aku berkeberatan untuk menyerahkannya kepada Ki Tumenggung, apalagi Ki Tumenggung tidak dapat menunjukkan pertanda bahwa Ki Tumenggung adalah utusan Ayahanda Sultan.”

“Tentu tidak Raden,” jawab Ki Tumenggung Jayawiguna, “aku memang bukan utusan langsung dari Sultan yang berkuasa di Pajang. Jika dalam menangani segala masalah. Sultan sendiri langsung turun, maka apakah artinya segala orang yang telah diangkatnya sebagai pembantu-pembantunya? Apakah arti para pengemban praja dalam kedudukan dan tugas masing-masing. Karena itulah, aku adalah utusan dari Ki Patih di Pajang yang kuasanya dilimpahkan kepada pimpinan keprajuritan.”

Raden Sutawijaya masih tetap pada sikapnya. Bahkan kemudian katanya, “Sudah aku katakan. Aku tidak mempunyai kepercayaan lagi kepada siapapun juga di Pajang, karena justru keadaan yang tidak menentu. Jika aku minta satu atau dua orang dari para pemimpin di Pajang untuk datang dan berbicara langsung dengan kedua orang yang kini berada dibawah pengawasan para pengawal di Mataram adalah karena aku masih menghormatinya, sehingga aku akan dapat mengambil kesimpulan, sikap apakah yang akan ditujukan oleh para pemimpin Pajang terhadap orang-orangnya yang bersalah. Tetapi kini justru Ki Tumenggung datang dengan membawa perintah yang tidak masuk akal. Ia melakukan kesalahan di Mataram atas orang-orang Mataram. Bukanlah wajar sekali bahwa ia haras diadili di Mataram?”

“Raden sudah dengan tegas menyebut Mataram,” berkata Ki Tumenggung, “seolah-olah bahwa Mataram tidak lagi berada dibawah lingkup keadilan Kanjeng Sultan di Pajang.”

Darah Raden Sutawijaya yang telah panas itu rasa-rasanya hampir mendidih. Namun sebelum ia berkata sesuatu, terdengar pintu pringgitan berderit dan Ki Juru-lah yang muncul dari ruang dalam.

Sambil tertawa Ki Juru berkata, “Ah, nampaknya ada pembicaraan penting. Ternyata bahwa Ki Tumenggung Jayawigunalah yang harus datang ke Mataram.”

Tumenggung Jayawiguna mengangguk dalam-dalam. Katanya, “Ki Juru. Ternyata aku hanya sekedar utusan, justru karena aku bukan orang penting di Pajang.”

Ki Juru pun kemudian duduk di antara mereka. Sikapnya yang ringan dan senyumnya yang selalu nampak di bibirnya, telah merubah suasana pertemuan yang tegang itu. Seolah-olah tidak tahu pembicaraan sebelumnya, Ki Juru bertanya, “Bagaimana dengan Kanjeng Sultan? Apakah Kanjeng Sultan masih selalu dibayangi oleh penyakitnya itu sehingga tidak lagi sempat berbuat sesuatu?”

“Ya Ki Juru,” jawab Ki Tumenggung, “setiap orang menjadi prihatin atas keadaan Kanjeng Sultan. Segala macam obat telah dicobanya, tetapi keadaannya masih belum menjadi lebih baik.”

Ki Juru mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Mudah-mudahan dalam waktu dekat Kanjeng Sultan dapat segera baik kembali. Pajang akan segera bangkit seperti saat Pajang lahir dalam kancah pergolakan yang sengit pada waktu itu, karena sikap yang saling bertentangan diantara mereka yang merasa dirinya berhak alas tahta.”

Wajah Ki Tumenggung Jayawiguna menegang sejenak. Namun karena Ki Juru masih saja tersenyum, maka Ki Tumenggung pun kemudian mengangguk-angguk pula, sementara Ki Juru berkata selanjutnya, “Tetapi keadaan memang cepat berubah. Umur Pajang terlalu pendek dibandingkan dengan panjangnya sejarah.”

“Ki Juru,” Ki Tumenggung tiba-tiba telah memotong, “apakah benar umur Pajang terlalu pendek?”

“Maksudku, jika Kanjeng Sultan tidak segera bangkit dan membenahi pemerintahan yang sekarang nampaknya menjadi buram ini,” jawab Ki Juru. “Karena itu, sebenarnyalah bukan salah orang lain jika kepercayaan terhadap Pajangpun telah jauh menurun.”

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Aku mengerti Ki Juru. Apakah hal ini menyangkut pula tugasku sekarang ini?”

“Aku sudah mendengar apa yang harus Ki Tumenggung lakukan,” berkata Ki Juru, “dan akupun sudah mendengar sikap dari Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati Ing Ngalaga.”

“Jadi Ki Juru ingin mempertegas sikap Raden Sutawijaya?” bertanya Tumenggung Jayawiguna.

“Bukan begitu. Aku tidak akan mempertegas sikap itu, karena sikap itu sendiri sudah cukup tegas,” jawab Ki Juru, “namun sebenarnyalah kami di Mataram, mohon sekedar pengertian bahwa kami akan mengalami kesulitan untuk menuntut keadilan atas tingkah laku kedua orang itu.”

Ki Tumenggung Jayawiguna menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Aku memang sekedar utusan. Bukan Duta Ngrampungi. Karena itu, maka aku tidak akan mengambil sikap apapun sebelum aku menyampaikan persoalan ini kepada para pemimpin di Pajang. Mungkin Ki Patih atas nama Kanjeng Sultan akan mengambil sikap, atau orang-orang lain yang mendapat limpahan wewenang.”

“Ki Tumenggung,” berkata Ki Juru kemudian, “aku mohon Ki Tumenggung dapat menganyam kata-kata, sehingga persoalannya dapat dimengerti oleh orang-orang Pajang, sehingga tidak akan menimbulkan salah paham. Kami sama sekali bukannya tidak percaya bahwa keadilan dapat pula di tegakkan di Pajang, tetapi bahan-bahan untuk mempertimbangkan sikap yang paling adil itu terdapat lengkap di sini. Jika kami mengundang beberapa orang pemimpin dari Pajang, itu adalah karena kami merasa Pajang adalah induk kami pula. Dalam pada itu, jika saatnya keadilan akan dijatuhkan atas kedua orang itu, maka kamipun masih tetap akan mengundang satu dua orang perwira dari Pajang apabila mereka ingin menyaksikan, bahwa keadilan tidak akan disia-siakan disini.”

Ki Tumenggung itupun mengangguk-angguk. Ketika ia sekilas memandang Raden Sutawijaya, nampak betapa Senopati Ing Ngalaga itu berusaha menahan hatinya.

Sebenarnyalah bahwa Ki Tumenggung Jayawiguna itupun merasa tersinggung atas penolakan para pemimpin Mataram atas tugas yang dilaksanakannya. Tetapi seperti yang dikatakan, ia tidak mempunyai wewenang untuk bertindak lebih jauh, karena ia sekedar seorang petugas yang mempunyai kewajiban khusus, sehingga betapa pun jantungnya bergejolak, ia tidak akan dapat berbuat lebih jauh lagi.

Karena itu. setelah ia meyakini sikap para pemimpin di Mataram, Ki Tumenggung itupun segera minta diri.

“Kenapa tergesa-gesa?” bertanya Ki Juru Martani.

“Aku sedang mengemban kewajiban, Ki Juru,” jawab Ki Tumenggung Jayawiguna, “mungkin pada kesempatan lain, aku akan datang atas nama pribadi, sehingga aku tidak akan dengan tergesa-gesa minta diri.”

“Baiklah,” jawab Ki Juru, namun kemudian, “tetapi apakah Ki Tumenggung benar-benar tidak ingin bertemu dengan Ki Lurah Pringgabaya dan Ki Tandabaya?”

“Aku tidak mendapat tugas yang demikian, Ki Juru,” jawab Ki Tumenggung, “sebaiknya aku tidak melakukannya. Tugasku membawa mereka ke Pajang. Jika aku tidak dapat melakukannya. maka sebaiknya aku tidak melakukan yang lain di luar tugasku.”

“Tetapi apakah secara pribadi Ki Tumenggung tidak mengenal Ki Lurah Pringgabaya? Atau mungkin pengawal Kepatihan yang bernama Ki Tandabaya itu?” bertanya Ki Juru.

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tetap pada jawabannya, “Tidak Ki Juru. Aku tidak ingin bertemu dengan mereka, karena aku gagal melaksanakan tugasku.”

Ki Juru tidak memaksanya untuk menemui kedua orang itu. Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun segera minta diri kepada Ki Juru dan kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga, untuk kembali ke Pajang tanpa membawa dua orang yang sedang dalam pengawasan para pengawal di Mataram.

“Hal ini terpaksa kami lakukan,” berkata Ki Juru ketika Ki Tumenggung meninggalkan regol halaman.

Ki Tumenggung tersenyum. Kemudian bersama pengawalnya ia memacu kudanya kembali ke Pajang.

Ki Juru memandangi kuda yang berlari itu sejenak. Ketika ia berpaling ke arah Raden Sutawijaya, maka nampak wajah itu masih tetap buram. Karena itu, maka Raden Sutawijaya tidak banyak berbicara lagi kepada Ki Tumenggung Jayawiguna, sampai saatnya Ki Tumenggung itu meninggalkan rumahnya.

Untuk beberapa saat kemudian. Raden Sutawijaya masih berbincang dengan Ki Juru di pendapa. Betapa kesalnya hati Raden Sutawijaya menghadapi sikap orang-orang Pajang.

“Sebenarnya aku ingin melihat, bagaimanakah sikap Ki Tumenggung terhadap kedua orang tawanan itu,” berkata Ki Juru.

“Aku tidak dapat mempercayainya lagi Paman,” sahut Raden Sutawijaya, “mereka dapat berpura-pura.”

“Memang Ngger, tetapi pada ungkapan pertama, kita akan dapat menduga,” jawab Ki Juru.

“Mungkin, Paman. Tetapi aku kira tidak ada gunanya lagi. Nampaknya orang-orang Pajang sudah benar-benar ingin bersikap kasar. Agaknya Ayahanda tidak lagi mendapat perhatian. Bahkan mungkin sebagian dari para pemimpin di Pajang telah berusaha untuk menyingkirkannya,” geram Raden Sutawijaya.

Ki Juru justru terdiam. Ia tidak mempunyai pendapat yang lebih baik daripada suatu sikap, agar Raden Sutawijaya bersedia datang menemui Kanjeng Sultan dan menerima perintahnya. Mungkin perintah itu akan berbunyi, “Selamatkan Pajang. Bimbing Benawa agar ia bersedia naik tahta.”

Tetapi jarak antara Raden Sutawijaya dengan Pajang nampaknya sudah sulit untuk ditautkan kembali. Salah paham antara Kanjeng Sultan dan ayahanda Raden Sutawijaya nampaknya mempunyai akibat yang menentukan.

Karena itu, Ki Juru justru hanya berdiam diri. Bahkan iapun telah merenungi dirinya sendiri. Kenapa ia tidak berani mengatakan perasaannya itu kepada Raden Sutawijaya.

Tetapi sebagai orang tua, Ki Juru yang sudah mengetahui sikap Raden Sutawijaya merasa tidak perlu untuk mengusiknya. Ialah yang harus berusaha menyesuaikan diri. Bahkan kemudian iapun tidak dapat ingkar lagi atas sikap batinnya, bahwa sebenarnyalah Pajang yang rasa-rasanya menjadi semakin tua dalam usia yang terhitung masih sangat muda di dalam perjalanan sejarah itu, memang perlu mengalami perubahan yang mendasar. Pajang, Mataram, Jipang atau Madiun dan Kediri, atau tempat-tempat lain, bukannya alasan mutlak bagi perkembangan masa baru. Yang penting adalah sikap pembaharu yang akan berakibat baik bagi seluruh rakyat Pajang atau daerah Demak lama. Bahkan batas bayangan dari Kerajaan Majapahit, yang sudah menjadi semakin kabur.

“Mungkin karena pandanganku terlalu picik,” berkata Ki Juru di dalam hatinya, “atau barangkali aku sudah dipengaruhi oleh kesetiaanku terhadap ayahanda Raden Sutawijaya yang disebut Ki Gede Pemanahan itu, sehingga menurut pengamatanku, pikiran yang paling jernih untuk melahirkan sikap yang baru adalah Mataram.”

Dan karena itulah, maka Ki Juru berada di Mataram yang diharapkannya akan dapat melaksanakan gagasan-gagasan baru yang berguna bagi Pajang meskipun dilakukannya di Mataram.

“Pajang atau Mataram sebagai tempat tidak penting,” berkata Ki Juru itu di dalam hatinya. “Tetapi gagasan yang baik dan bermanfaat akan memancar ke segenap penjuru.”

Dalam pada itu, Ki Juru yang sedang merenung itupun mengangkat wajahnya ketika Raden Sutawijaya kemudian berkata, “Paman, nampaknya kita tidak boleh terlalu lamban. Kita harus berbuat lebih cepat untuk mengimbangi kecepatan gerak orang orang yang terlalu bernafsu untuk mempercepat beredarnya matahari. Pajang nampaknya telah didorong untuk segera terbenam. Mereka dengan tergesa gesa menunggu terbitnya satu masa baru yang sesuai dengan citra mereka. Citra sekelompok manusia yang sekedar didorong oleh keinginan pribadi dengan segala macam cara. Terhormat atau tidak terhormat.”

Ki Juru hanya dapat mengangguk-angguk. Tetapi hatinya memang terasa pahit. Hubungan yang tersendat-sendat itu benar-benar akan terputus sama sekali.

“Tetapi,” katanya di dalam hati, “sulit untuk menemukan cara yang lain untuk mambersihkan Pajang dari orang-orang yang telah terbius oleh satu mimpi yang hitam itu. Jika yang harus terjadi itu justru akan dapat membersihkan mereka, maka apa boleh buat, meskipun dengan demikian akan jatuh korban yang sangat mahal.”

Dalam pada itu, maka Raden Sutawijaya pun berkata, “Nampaknya Pajang tidak akan mengirimkan seorangpun yang akan bertemu dengan Ki Lurah Pringgabaya dan Ki Tandabaya. Sikapku nampaknya akan mendapat tanggapan tersendiri dari mengirimkan utusan itu.”

“Ya Ngger. Aku kira memang demikian,” jawab Ki Juru.

“Karena itu Paman, aku tidak dapat sekedar menunggu. Aku harus berbuat sesuatu,” desis Raden Sutawijaya.

“Apa yang akan Angger lakukan?” bertanya Ki Juru.

“Aku akan pergi ke Jati Anom,” sahut Raden Sutawijaya.

Ki Juru mengangguk-angguk. Ia sudah mengerti, apakah yang akan dibicarakan oleh Raden Sutawijaya dengan Kiai Gringsing dan kedua muridnya. Sementara itu, Raden Sutawijaya melanjutkan, “Besok aku akan mengirimkan utusan ke Tanah Perdikan Menoreh. Aku akan pergi bersama dengan Ki Gede Menoreh ke Jati Anom.”

Ki Juru mengangguk-angguk. Rencana Raden Sutawijaya itu nampaknya akan memberikan arti bagi Mataram. Jika Tanah Perdikan Menoreh menjadi kuat, maka Tanah Perdikan itu akan dapat membantu tegaknya Mataram jika yang memimpin Tanah Perdikan itu dapat mengerti tujuan perjuangan Mataram menghadapi masa depan.

Seperti yang direncanakan, maka di hari berikutnya Raden Sutawijaya telah mengirimkan dua orang pengawal ke Tanah Perdikan Menoreh. Keduanya mendapat perintah untuk menyampaikan pesan kepada Ki Gede Menoreh, bahwa Raden Sutawijaya sudah siap pergi ke Jati Anom kapan saja sesuai dengan waktu yang dapat diberikan oleh Ki Gede Menoreh sendiri.

Kedua utusan itu telah diterima di Tanah Perdikan Menoreh langsung oleh Ki Gede. Namun Ki Gede tidak dapat berangkat pada hari itu juga. Ia masih harus memberikan beberapa pesan kepada kemenakannya yang akan menunggui Tanah Perdikan itu.

“Kapan saja Ki Gede sempat,” berkata utusan itu.

“Baiklah,” berkata Ki Gede, “besok aku akan datang ke Mataram. Mudah-mudahan aku sudah dapat menyerahkan tugas-tugasku di sini kepada Prastawa.”

“Segala-galanya akan kami sampaikan kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga,” jawab utusan itu, yang kemudian mohon diri untuk kembali ke Mataram.

Sepeninggal utusan itu, maka Ki Gede Menorehpun segera memanggil Prastawa. Iapun segera memberitahukan bahwa ia akan pergi ke Mataram.

“Untuk apa?” bertanya Prastawa.

“Kami akan pergi ke Jati Anom dan Sangkal Putung,” jawab Ki Gede.

“Menyenangkan sekali,” tiba-tiba saja Prastawa menjadi gembira. “Apakah maksud Paman memberitahukan kepadaku bahwa aku harus ikut serta?”

Namun anak muda itu menjadi sangat kecewa ketika Ki Gede kemudian menjawab, “Tidak Prastawa. Maksudku, aku ingin memberikan beberapa pesan kepadamu selama aku pergi. Agaknya akan kurang bijaksana jika kita pergi bersama-sama. Tanah Perdikan ini akan menjadi kosong sama sekali.”

“Banyak orang yang akan dapat diserahi. Bukankah Paman hanya akan pergi untuk beberapa hari?” bertanya Prastawa.

“Ya. Tetapi yang beberapa hari itu sebaiknya justru kaulah yang mengawasi Tanah Perdikan ini sebaik-baiknya,” jawab Ki Gede.  

Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya iapun mengerti, bahwa sebaiknya ia tidak ikut pamannya ke Jati Anom dan Sangkal Puiung. Namun rasa-rasanya, ada keinginan yang sulit untuk ditahannya sendiri.

Meskipun demikian, ia tidak akan dapat memaksa. Karena itu, betapapun ia merasa kecewa iapun kemudian berkata, “Baiklah Paman. Aku akan tinggal dan mengawasi Tanah Perdikan ini selama Paman pergi.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Hati-hatilah. Meskipun pada saat terakhir Tanah Perdikan ini nampaknya tenang dan tidak terjadi sesuatu, itu bukan berarti bahwa kalian akan dapat melepaskan kewaspadaan. Barangkali ada baiknya kau ketahui, bahwa persoalan antara Pajang dengan Mataram nampaknya menjadi semakin hangat. Karena itu. kaupun harus berhati-hati menghadapi perkembangan keadaan itu.”

“Baiklah Paman,” jawab Prastawa, “aku akan berhati-hati.”

Ki Gede pun kemudian telah menunjuk dua orang pengawal terpilih untuk mengikutinya pergi ke Mataram. Ia sudah mendengar berita apa yang telah terjadi di Kali Praga, sehingga karena itu maka kemungkinan yang buruk itu dapat saja terjadi atas dirinya.

Di hari berikutnya, Ki Gede pun telah bersiap pagi-pagi benar. Sudah cukup lama Ki Gede tidak meninggalkan Tanah Perdikannya. Terutama sejak keadaan kakinya menjadi semakin buruk. Untunglah bahwa pada saat ia pergi ke Mataram, kakinya tidak sedang kambuh. Karena itu, maka sama sekali tidak ada kesan, bahwa Ki Gede Menoreh telah mendapat cacat kaki.

Meskipun demikian, Ki Gede Menoreh adalah tetap seorang yang pilih tanding. Pada saat-saat kakinya menjadi semakin buruk, maka Ki Gede yang sudah menjadi semakin tua itu, masih sempat menyesuaikan diri dan ilmunya. Sesuai dengan keadaan kakinya. Ki Gede telah mempersiapkan satu perkembangan ilmu sesuai dengan keadaannya, sehingga apabila keadaan itu memaksa, ia akan dapat bertempur dengan baik. Ki Gede sudah berhasil menitik beratkan gerak dan ungkapan ilmunya dengan tangannya dan sedikit sekali menggerakkan kakinya.

“Mudah-mudahan kakiku tidak kambuh di perjalanan,” desisnya ketika ia meninggalkan padukuhan induk.

Demikianlah, Ki Gede diiringi oleh dua orang pengawalnya menempuh perjalanan yang sebenarnya tidak terlalu jauh. Dengan selamat mereka menyeberang Kali Praga. dan kemudian menuju ke Mataram.

Di Mataram, Raden Sutawijaya sudah menunggunya. Rasa-rasanya segalanya menjadi terlalu lamban. Kedatangan Ki Gede Menoreh pun rasa-rasanya sudah ditunggunya terlalu lama.

Demikian Ki Gede Menoreh datang, maka Raden Sutawijaya pun dengan tergopoh-gopoh telah menyambutnya dan mempersilahkannya naik ke pendapa. Demikian pula Ki .Juru Martani dan beberapa orang pemimpin yang lain telah menerima mereka pula di pendapa.

Betapapun gejolak hati Raden Sutawijaya untuk segera berangkat ke Jati Anom, namun ia sama sekali tidak menampakkannya pada sikap dan kata-katanya. Bahkan mengingat keadaan kaki Ki Gede Menoreh, maka agaknya lebih baik Ki Gede dipersilahkan untuk bermalam barang satu malam, sebelum mereka di hari berikutnya berangkat ke padepokan kecil di Jati Anom.

Beberapa saat lamanya mereka saling mengucapkan selamat. Para pelayanpun segera menghidangkan jamuan bagi para tamu dari Tanah Perdikan Menoreh. Serabi dan emping melinjo, serta beberapa jenis makanan yang lain.

Dalam pada itu, maka Ki Gede Menorehpun bertanya, “Apakah Angger Sutawijaya berniat untuk pergi ke Jati Anom hari ini juga?”

Raden Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, “Sebenarnya aku memang ingin Ki Gede. Tetapi aku kira Ki Gede lebih baik beristirahat barang satu hari di sini.”

“Ah,” desis Ki Gede, “itu tidak perlu Raden. Semakin cepat persoalan ini selesai, akan semakin baik bagiku. Karena dengan demikian aku akan dapat segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.”

Tetapi Ki Gede perlu beristirahat. Jika Ki Gede terlalu lelah, maka kaki Ki Gede akan dapat kambuh kembali. Justru pada saat Ki Gede sedang dalam perjalanan.”

“Tetapi bukankah aku tidak mempergunakan kakiku Raden,” jawab Ki Gede, “aku tinggal duduk saja di punggung kuda. Kaki kuda itulah yang akan menjadi letih. Tetapi jika kuda-kuda itu diberi kesempatan untuk beristirahat, maka aku kira kuda-kuda itupun tidak akan terlalu letih.”

Tetapi Ki Juru-lah yang berkata kemudian, “Tetapi sebaiknya Ki Gede bermalam satu malam di sini. Besok pagi-pagi benar Ki Gede akan menempuh perjalanan di bawah sinar matahari pagi yang segar.”

Ki Gede Menoreh tersenyum. Katanya, “Terserahlah kepada Radan Sutawijaya. Tetapi jika dikehendaki, aku sudah siap untuk berangkat sekarang.”

Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun agaknya Ki Juru yang mengetahui kegelisahan itu justru berkata, “Sebaiknya Raden memang berangkat besok pagi.”

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam dalam. Kata-kata itu memang dapat menolongnya mengambil keputusan setelah ia diombang-ambingkan oleh kebimbangan beberapa saat lamanya.

“Ki Gede,” berkata Raden Sutawijaya kemudian, “sebenarnyalah aku memang ragu-ragu. Apakah aku akan berangkat sekarang atau besok. Aku memang dibayangi oleh kegelisahan hati, sehingga rasa-rasanya aku ingin berangkat sekarang. Tetapi adalah tidak sepantasnya jika aku mempersilahkan Ki Gede dengan tergesa-gesa, apalagi aku tahu. bahwa kaki Ki Gede tidak lagi wajar seperti semula.”

“Tidak apa-apa Raden.” desis Ki Gede sambil tersenyum, “tetapi baiklah, aku tidak akan menumbuhkan lagi kebimbangan di hati Raden itu. Aku berterima kasih bahwa aku mendapat kesempatan untuk bermalam semalam di sini.”

Malam itu, Ki Gede bermalam di Mataram. Dari Raden Sutawijaya dan Ki Juru, Ki Gede Menoreh mendengar apa yang dilakukan oleh para pemimpin di Pajang. Mereka tidak mengirimkan utusan seperti yang dikehendaki oleh Raden Sutawijaya, tetapi mereka justru mengirimkan utusan untuk mengambil kedua orang tawanan itu.

“Bukankah itu tidak mungkin,” geram Raden Sutawijaya.

Ki Gede Menorehpun mengangguk-angguk. Iapun menyadari, betapa gawatnya hubungan antara Pajang dan Mataram. Tentu bukan hubungan antara Raden Sutawijaya dan ayahanda angkatnya, tetapi justru karena orang-orang yang berada di sekitar Kanjeng Sultan Hadiwijaya, yang sebagian sudah dipengaruhi oleh mereka yang menyebut diri mereka pewaris kejayaan Majapahit.

“Mereka yang tidak tergolong lingkungan itu, seakan akan tidak mendapat tempat lagi,” berkata Raden Sutawijaya.

Ki Gede mengangguk-angguk. Karena itulah, agaknya Raden Sutawijaya seakan-akan menjadi semakin tergesa-gesa untuk membentuk satu kekuatan yang tangguh di Mataram, untuk mengimbangi orang-orang yang ingin membuat Pajang dan Mataram hancur bersama-sama. Dan yang kemudian di atas reruntuhan itu membangun satu lingkungan yang sesuai dengan keinginan mereka.

Ketika malam kemudian larut semakin malam, maka Ki Gede pun dipersilahkan untuk beristirahat. Raden Sutawijaya sudah menawarkan, apakah Ki Gede Menoreh ingin bertemu dengan kedua orang yang tertawan di Mataram itu. Tetapi Ki Gede menggeleng sambil menyahut, “Aku kira aku tidak usah bertemu dengan keduanya Raden. Aku belum mengenal keduanya. Apalagi yang seorang adalah pengawal Kepatihan. Mungkin kehadiranku di bilik mereka, akan dapat mereka anggap sebagai satu kesengajaan untuk menyinggung perasaan mereka.”

Raden Sutawijayapun dapat mengerti, sehingga karena itu ia tidak mempersilahkan lagi.

Sementara itu. di pagi-pagi benar, Raden Sutawijaya telah siap untuk berangkat. Demikian pula Ki Gede Menoreh dan pengawal-pengawalnya. Untuk sesaat mereka masih sempat makan pagi. Kemudian, begitu matahari mulai melontarkan sinar paginya. Raden Sutawijaya diiringi oleh seorang pengawalnya, telah meninggalkan Mataram bersama-sama Ki Gede Menoreh dan kedua pengawalnya. Seperti biasanya. Raden Sutawijaya tidak mengenakan pakaian dan tanda-tanda kebesarannya. Ia mengenakan pakaian orang kebanyakan seperti yang dikenakan pula oleh Ki Gede Menoreh.

Namun demikian mereka sampai keluar regol kota Mataram, Ki Gede mulai dibayangi oleh keragu-raguan. Kemana mereka akan singgah lebih dahulu.

“Aku jadi bingung,” berkata Ki Gede Menoreh, apakah sebaiknya kita pergi langsung ke Jati Anom, atau kita akan singgah lebih dahulu ke Sangkal Putung?”

“Kenapa Sangkal Putung?” bertanya Raden Sutawijaya, “Jika kita sudah berada di Jati Anom, maka kita tinggal memanggil Swandaru dan Pandan Wangi. Kita dapat menyuruh satu dua orang pengawal kita untuk pergi ke Sangkal Putung.”

Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin bagi Raden tidak ada persoalan apapun juga. Tetapi bagiku hal ini akan mengundang pertanyaan. Pandan Wangi adalah anakku. Jika aku lebih dahulu singgah di tempat orang lain, baru kemudian memanggil anak dan menantuku, agaknya akan menimbulkan pertanyaan di hati mereka. Juga pada Ki Demang Sangkal Putung.”

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Iapun sadar, bahwa Ki Gede Menoreh adalah ayah Pandan Wangi dan mertua Swandaru. Sedang dengan orang-orang yang tinggal di padepokan kecil itu di Jati Anom, ia tidak mempunyai sambungan kekeluargaan sama sekali.

Karena itu, maka katanya kemudian, “Jika demikian, baiklah aku menurut saja mana yang baik bagi Ki Gede. Agaknya memang lebih pantas jika Ki Gede lebih dahulu singgah di Sangkal Putung. Baru kemudian kita pergi ke Jati Anom bersama sama dengan Swandaru dan Pandan Wangi.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Desisnya, “Baiklah Raden. Kita pergi ke Sangkal Putung.”

Demikianlah, maka iring-iringan kecil itupun segera memaacu kudanya menuju ke Sangkal Putung. Di Prambanan, mereka sempat beristirahat sejenak untuk memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka minum dan makan rerumputan di pinggir Kali Opak, sementara penunggang-penunggangnya duduk di bawah sebatang pohon yang rindang.

Tanpa disengaja Raden Sutawijaya memandangi sekelompok candi yang berdiri di pinggir Kali Opak. Sekilas terbayang kebesaran masa lampau. Bagaimana sekumpulan manusia bekerja keras untuk membuat candi yang besar dan tinggi dari tumpukan-tumpukan batu berukir lembut.

Namun dalam pada itu, Raden Sutawijaya yang duduk bersama Ki Gede itupun telah tertarik perhatiannya kepada dua orang berkuda yang tiba-tiba saja telah berhenti dan meloncat turun mendekati pengawal-pengawal Ki Gede dan Raden Sutawijaya yang duduk terpisah.

“Apakah yang kalian lakukan disini?” bertanya salah seorang dari kedua orang itu.

Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun salah seorang dari mereka menyahut, “Kami beristirahat di sini Ki Sanak.”

“Kalian dari mana dan mau kemana?” bertanya orang itu pula.

“Kami sedang dalam perjalanan ke rumah seorang kawan kami di Kumuda,” jawab salah seorang pengawal itu dengan serta merta. “Kenapa? Apakah kalian juga ingin bertanya kenapa kami mengunjungi kawan kami itu?”

Kedua orang itu menegang sejenak. Namun salah seorang kemudian berkata, “Jarang sekali kami melihat orang-orang yang duduk beristirahat di pinggir Kali Opak ini.”

“Apakah kalian setiap hari mengamati orang-orang lewat?” salah seorang pengawal yang lain bertanya.

Kedua orang itu tidak segera menyahut. Namun sekilas mereka memandang Raden Sutawijaya dan Ki Gede yang duduk beberapa langkah dari para pengawalnya.

“Apakah kedua orang itu kawan kalian?” bertanya salah seorang dari kedua orang itu.

Para pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun salah seorang dari mereka tiba-tiba saja menyahut, “Kita berpapasan jalan. Kami akan ke Kumuda, namun agaknya mereka akan menempuh jalan ke Cupu Watu atau Temu Agal atau mungkin ke Tambak Baya atau malahan pergi ke Mataram. Bertanya sajalah kepada mereka.”

Kedua orang itu menggeram. Yang satu berdesis, “Kau sengaja berteriak agar mereka mendengar. Tidak ada gunanya lagi aku bertanya kepada mereka.”

“Siapa sebenarnya kau berdua? Prajurit? Petugas sandi atau apa?” bertanya salah seorang pengawal.

“Bukan apa-apa,” jawab salah seorang dari kedua orang itu.

“Sikap kalian sangat aneh. Jarang sekali orang bertanya dengan serta merta kepada orang yang belum dikenalnya seperti yang kalian lakukan ini,” desis pengawal yang lain.

Tetapi kedua orang itu hampir bersamaan menjawab, “Tidak ada apa-apa.”

Pengawal-pengawal itu tidak bertanya lagi ketika kemudian kedua orang itu meninggalkan mereka. Keduanya kemudian meloncat ke punggung kuda masing-masing dan berlari ke arah barat.

Ketiga orang pengawal itu saling berpandangan sejenak. Namun kamudian merekapun mendekati Raden Sutawijaya dan Ki Gede. Salah seorang dari mereka bertanya, “Apa pendapat Ki Gede tentang mereka?”

“Belum jelas,” jawab Ki Gede, “tetapi nampaknya daerah yang berada di garis lurus antara Pajang dan Mataram ini selalu mendapal pengawasan. Baik oleh Pajang maupun oleh Mataram. Bukankah begitu Raden?”

Raden Sutawijaya terseyum. Jawabnya, “Agaknya memang begitu Ki Gede. Tetapi keduanya tentu bukan dari Mataram.”

“Jika demikian kemungkinan terbesar mereka adalah orang-orang Pajang. Untunglah mereka belum mengenal Raden dengan baik. Dan sudah barang tentu bahwa Senapati Ing Ngalaga tidak akan duduk di bawah sebatang pohon di pinggir Kali Opak seperti ini. Setidak-tidaknya menurut anggapan mereka,” berkata Ki Gede.

Raden Sutawijaya tertawa. Namun kemudian iapun bangkit sambil berkata, “Bukankah kita telah cukup lama beristirahat? Marilah, kita akan melanjutkan perjalanan. Kuda-kuda kita tentu sudah tidak letih lagi.”

Kelima orang itupun kemudian bersiap-siap untuk meneruskan perjalanan ke Sangkal Putung.

Tidak ada hambatan apupun di sepanjang perjalanan mereka. Dengan aman mereka memasuki padukuhan-padukuhan yang termasuk dalam lingkungan Kademangan Sangkal Putung.

“Bukan main,” desis Ki Gede Menoreh, “kemajuan yang dicapai oleh Sangkal Putung memang dapat membuat Tanah Perdikan menjadi iri.”

“Swandaru memang tangkas,” sahut Raden Sutawijaya, “ia mampu membuat kademangannya menjadi semakin baik. Dari hari ke hari ia mendorong kademangannya untuk tumbuh terus dalam segala segi.”

“Sementara Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin lama semakin mundur,” gumam Ki Gede.

“Ah, tentu tidak sejauh yang Ki Gede cemaskan,” jawab Raden Sutawijaya, “aku memang melihat kemunduran di Tanah Perdikan Menoreh, tetapi Ki Gede tidak perlu menjadi sangat cemas. Kemunduran itu tidak separah yang Ki Gede sangka. Selama ini Ki Gede telah berjuang untuk meningkatkan tataran hidup rakyat Tanah Perdikan Menoreh seperti yang dilakukan oleh Swandaru sekarang. Pada saat Ki Gede berhenti, maka rasa-rasanya kemunduran-lah yang telah mencengkam dengan cepat atas seluruh Tanah Perdikan itu.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin demikian. Tetapi kemungkinan yang lain adalah, bahwa Tanah Perdikan Menoreh telah mengalami satu masa yang parah sekarang ini. Sebaiknya kita tidak usah berusaha untuk menenangkan hati sendiri. Karena dengan demikian kita justru akan mendapat gambaran yang salah. Yang mundur itu akan kita sangka sekedar berhenti.”

Raden Sutawijaya tidak menjawab lagi. Tetapi ia mengangguk-angguk kecil. Anak muda yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu ternyata berpikir cukup dewasa. Ia mengerti perasaan Ki Gede yang kecewa dan sepi. Rasa-rasanya ada semacam kerinduan pada suatu masa yang lewat. Namun yang dirasakannya pada suatu keinginan bagi masa mendatang.

“Harapan bagi masa mendatang itu harus mendapat tanggapan sebaik baiknya,” berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya, “jika tidak, maka perasaan kecewa akan semakin menekan hatinya yang semakin pepat. Ia akan menjadi semakin cepat tua dan masa depan baginya adalah kegelapan. Justru ia sendiri sudah tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat banyak. Satu tataran keturunan berikutnya memang harus bangkit di Tanah Perdikan Menoreh.”

Namun ternyata bahwa yang ada di Tanah Perdikan Menoreh dari tataran harapan itu adalah Prastawa yang kurang tanggap terhadap panggilan jamannya.

Tetapi sebenarnyalah Ki Gede telah meletakkan harapan kepada rencana perjalanan mereka. Jika disetujui oleh Swandaru, Pandan Wangi dan Agung Sedayu sendiri, maka ia akan mengundang satu kekuatan yang mungkin akan dapat membantu membangunkan Tanah Perdikan Menoreh yang sebenarnya cukup menyimpan kemampuan di dalam dirinya itu.

Namun demikian, Prastawa pun akan tetap menjadi satu masalah. Ia harus mengerti. apa yang sebenarnya terjadi di atas Tanah Perdikannya, karena iapun tentu merasa memiliki hak pula atas Tanah itu.

Namun bagi Ki Gede, bahwa Tanah Perdikan harus tumbuh sejalan dengan masa yang mendatang, adalah tuntutan mutlak yang tidak dapat ditunda lagi.

Demikianlah iring-iringan itupun semakin lama menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk. Ketika kemudian iring-iringan itu memasuki regol, maka semakin terasa oleh Ki Gede bahwa Kademangan Sangkal Putung telah menjadi sebuah kademangan yang besar. Sehingga dengan demikian adalah tidak mustahil, bahwa Swandaru akan berkeberatan untuk meninggalkan kademangannya. meskipun kedudukan sebuah Tanah Perdikan lebih kuat dari kedudukan sebuah kademangan.

Di sepanjang perjalanan Ki Gede sempat melihat sawah yang subur karena air yang mengalir teratur. Pande besi yang bekerja keras untuk membuat alat-alat pertanian, serta pedati yang hilir mudik membawa barang-barang yang akan dijual belikan dari padukuhan yang satu kepadukuhan yang lain, atau bahkan dibawa keluar masuk kademangan dalam hubungannya dengan daerah-daerah lain. Gardu-gardu peronda yang bersih dan tidak terlalu kecil, sehingga nampak jelas. bahwa gardu-gardu itu mempunyai arti dalam kehidupan sehari-hari Kademangan Sangkal Putung.

Ada sepercik kebanggaan di hati Ki Gede atas menantunya yang agak gemuk itu. Namun yang ternyata memiliki ketangkasan berpikir dan bekerja.

Ketika iring-iringan itu memasuki regol halaman Kademangan, maka beberapa orang yang berada di Kademangan itupun menjadi sibuk. Sejenak, mereka tidak segera mengetahui, siapakah tamu-tamu yang datang itu. Namun ketika Pandan Wangi menengok dari antara pintu pringgitan yang sedikit terbuka, di luar sadarnya iapun telah memekik, “Ayah! Ayah dari Tanah Perdikan Menoreh!”  

Suaranya didengar oleh Ki Demang dan Sekar Mirah. yang kemudian dengan tergopoh-gopoh telah ikut pula menyongsong mereka.

Dan sebenarnyalah mereka menjadi semakin terkejut ketika mereka kemudian mengetahui, bahwa seorang yang lain adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga di Mataram, tetapi tanpa tanda-tanda kebesarannya sama sekali.

Demikianlah. maka dengan serta merta, Ki Demangpun telah mempersilahkan mereka untuk naik ke pendapa. sementara Pandan Wangi telah menyuruh seseorang untuk memanggil Swandaru yang agaknya baru berada di padukuhan sebelah dalam rangka kewajibannya.

Kademangan Sangkal Putung itupun telah disibukkan karena kehadiran tamu-tamu yang tidak mereka sangka sebelumnya. Ki Demang di pendapa telah menerima tamu-tamunya dengan ucapan selamat dan saling menanyakan keadaan masing-masing.

Sejenak kemudian, para pelayanpun telah menghidangkan jamuan bagi para tamu itu, sementara Swandarupun dengan tergesa-gesa memacu kudanya memasuki halaman rumahnya.

Demikian ia meloncat dari kudanya dan menyerahkan kuda itu kepada seorang pelayannya, maka iapun dengan tergesa-gesa pula telah naik kependapa menemui tamu-tamu dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu.

Ketika di pendapa terjadi percakapan yang riuh, maka di dapurpun Pandan Wangi dan Sekar Mirah menjadi sibuk pula. Bukan saja karena tamu yang datang itu adalah ayah Pandan Wangi sendiri, tetapi bersamanya adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga.

Tetapi agaknya Pandan Wangi dan Sekar Mirah tidak dapat berada di dapur saja dengan kesibukannya sendiri, karena Ki Gedepun ingin segera bertemu.

Karena itu, maka Pandan Wangi dan Sekar Mirah itupun telah menemui para tamu itu pula di pendapa atas permintaan Ki Gede.

Untuk beberapa saat mereka berbicara tentang keadaan masing-masing. Tentang Tanah Perdikan Menoreh, tentang Mataram dan tentang Kademangan Sangkal Putung. Ternyata bahwa di saat-saat terakhir daerah-daerah itu tidak lagi diganggu oleh peristiwa-peristiwa yang dapat mengguncang ketenangan.

“Tetapi,” kemudian Ki Demang pun bertanya, “apakah kedatangan Ki Gede Menoreh dan Raden Sutawijaya ini mempunyai maksud tertentu atau hanya sekedar singgah, atau karena sesuatu hal yang lain?”

Raden Sutawijaya dan Ki Gede saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Raden Sutawijayalah yang menjawab, “Aku hanya sekedar singgah Ki Demang. Sebenarnya aku sedang melihat-lihat keliling daerah Mataram ketika Ki Gede singgah di Mataram dan berniat untuk pergi ke Sangkal Putung. Adalah sudah biasa kerinduan orang tua kadang-kadang tidak dapal ditunda-tunda lagi. Begitu tiba-tiba sangat mendesak. Adalah kebetulan bagiku, bahwa sudah lama pula aku tidak mengunjungi Sangkal Putung dan barangkali Ki Gede juga akan pergi ke Jati Anom.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Jawabnya, “Syukurlah. jika tidak ada persoalan yang penting apalagi gawat. Jika demikian, maka aku akan mempersilahkan Ki Gede dan Raden Sutawijaya untuk berada di Kademangan ini untuk beberapa lama.”

Tetapi Raden Sutawijaya tertawa kecil sambil menjawab, “Mungkin Ki Gede akan tinggal di sini beberapa hari. Tetapi tentu tidak mungkin bagiku, karena aku mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang tidak dapat aku tinggalkan terlalu lama.”

“Tetapi bukankah Ki Juru ada?” sahut Swandaru.

Raden Sutawijaya masih tertawa. Jawabnya, “Memang Paman Juru Martani ada. Tetapi Paman Juru Martani lebih senang jika ia sempat beristirahat.”

“Tetapi untuk satu dua hari, aku kira tidak akan berpengaruh,” berkata Ki Demang.

Raden Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi suara tertawanya sajalah yang terdengar, sementara ia memandangi Ki Gede yang tersenyum pula. Tetapi Ki Gede tidak segera mengatakan sesuatu. Rasa-rasanya ia masih belum siap untuk mengatakan bahwa mereka akan pergi ke Jati Anom untuk satu kunjungan yang bukan saja sekedar menengok keselamatan penghuni padepokan kecil itu. Tetapi karena ada sesuatu yang penting.

Karena itu, maka percakapan mereka kemudian sama sekali tidak mengarah kepada rencana kunjungan Ki Gede dan Raden Sutawijaya ke Jati Anom.

Dalam pada itu, ketika dalam kesibukannya masing-masing, Raden Sutawijaya dan Ki Gede Menoreh sudah duduk beberapa saat lamanya, maka Ki Demang dan Swandaru kadang-kadang beringsut pula meninggalkan mereka untuk menyiapkan segala sesuatu. Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun kemudian minta diri untuk membantu kesibukan di dapur, sementara para pengawal lebih senang berada di halaman yang sejuk daripada duduk di pendapa. Di halaman mereka sempat menggeliat dan bahkan berjalan hilir mudik dan berbicara dengan pengawal Kademangan di sebelah regol.

Dalam pada itu, Ki Gede yang kemudian duduk berdua saja dengan Raden Sutawijaya sempat berdesah, “Aku tidak dapat segera minta diri untuk meneruskan perjalanan ke Jati Anom.”

“Ki Gede akan bermalam di sini?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Inilah contohnya seorang tua, Raden,” berkata Ki Gede, “Raden sudah dapat menyebut, bahwa kerinduan orang tua kadang-kadang tidak dapat ditunda-tunda lagi. Dan jika orang tua sudah berada di antara anak-anaknya, tentu tidak akan dapat dengan serta merta minta diri. Nampaknya akan janggal karena justru begitu tergesa-gesa.”

“Jadi kita akan menunda perjalanan ke Jati Anom sampai besok?” bertanya Raden Sutawijaya, “Bukankah lebih cepat lebih baik, sehingga persoalan kita akan segera menjadi mantap.”

“Kita sudah terlanjur mengatakan, bahwa perjalanan ini tanpa maksud. Dan bukankah Ki Demang akan menjadi sangat kecewa, jika seolah-olah lebih penting bagiku untuk mengunjungi orang lain daripada berada di rumah kadang sendiri,” berkata Ki Gede.

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia bergumam, “Agaknya memang demikianlah yang sebenarnya. Ki Gede masih belum dapat melepaskan rindu Ki Gede kepada anak dan menantu.”

Ki Gede tertawa. Katanya, “Agaknya memang demikian Raden. Aku mohon maaf.”

Tetapi Raden Sutawijaya pun tertawa pula.

Karena itulah, maka ketika Ki Demang kemudian menunjukkan bilik-bilik mereka, maka mereka tidak menolak.

Tetapi pengawal Raden Sutawijaya-lah yang kemudian bertanya kepada anak muda itu, “Kita bermalam di sini Raden?”

Raden Sutawijaya mengangguk. Jawabnya, “Ya. Kita terpaksa bermalam di sini. Mudah-mudahan kita besok tidak terpaksa bermalam lagi di Jati Anom, mekipun barangkali Ki Gede akan tinggal.”

Demikianlah, maka merekapun telah bermalam di Sangkal Putung untuk satu malam. Sebenarnyalah bahwa Ki Gede memang ingin bermalam di tempat tinggal anak dan menantunya itu.

Ternyata di malam hari Ki Gede sempat melihat kesiagaan anak-anak muda Sangkal Putung. Karena itulah, maka ia merasa semakin cemas tentang Tanah Perdikannya yang semakin suram. Di malam hari. anak-anak muda tidak lagi berada di gardu-gardu, selain para pengawal yang sedang bertugas meronda. Itupun kadang-kadang ada satu dua di antara mereka yang malas dan tidak hadir dengan seribu macam alasan.

“Tanah Perdikan Menoreh memang harus dibangunkan dengan segala macam cara,” berkata Ki Gede di dalam hatinya.

Karena angan-angannya tentang Tanah Perdikannya itulah. maka Ki Gede tidak dapat segera tertidur. Ia masih mendengar suara kentongan dengan nada dara muluk di tengah malam. Namun akhirnya, Ki Gede itupun dapat juga tidur dengan nyenyak.

Di pagi hari berikutnya, maka Ki Gede tidak dapat menunda lagi perjalanannya ke Jati Anom. Karena itu, maka iapun telah minta diri untuk pergi ke Jati Anom. Namun ia ingin mengajak Swandaru dan Pandan Wangi menyertainya.

“Apakah tidak dapat ditunda saja sampai besok atau lusa?” bertanya Ki Demang.

Ki Gede tertawa. Katanya, “Besok aku sudah berada disini lagi.”

Swandaru yang tidak mengetahui maksud mertuanya itupun tidak berkeberatan untuk mengikutinya ke Jati Anom. Bahkan karena Pandan Wangi akan mengikuti pula, Sekar Mirah pun telah minta untuk pergi juga ke Jati Anom.

“Bagaimana Ki Gede, apakah Ki Gede tidak berkeberatan jika Sekar Mirah pergi bersama kita?” bertanya Swandaru.

“Tentu tidak. Jika ia ingin pergi, biarlah ia pergi bersama kita,” jawab Ki Gede.

Ki Demang tidak dapat mencegah lagi. Namun Swandaru masih harus menyiapkan beberapa orang pengawal khusus di Kademangan, selama ia berada di Jati Anom.

Sejenak kemudian, maka sebuah iring-iringan kecil telah berangkat dari Sangkal Putung. Tiga orang dari Tanah Perdikan Menoreh, dua orang dari Mataram dan tiga orang dari Kademangan Sangkal Putung.

Namun dalam pada itu, di perjalanan Raden Sutawijaya berkata, “Jangan memberikan kesan bahwa aku adalah Senapati Ing Ngalaga dari Mataram, karena kedatanganku tanpa memberitahukan kepada Untara. Ia akan dapat tersinggung, atau barangkali merasa bahwa aku tidak tahu diri, karena aku tidak memberitahukan kepadanya.”

“Apakah harus begitu?” bertanya Swandaru.

“Ia adalah senapati di daerah ini. Seharusnya memang demikian,” jawab Raden Sutawijaya, “apalagi jika kedatangan itu ada hubungannya dengan tugas-tugas keprajuritan.”

Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bergumam, “Tidak perlu Raden memberitahukan kepadanya. Raden adalah tamuku.”

Raden Sutawijaya-lah yang kemudian termangu-mangu mendengar sikap Swandaru. Namun iapun kemudian sadar, bahwa sifat Swandaru memang berbeda dengan sifat Agung Sedayu.

Tetapi Raden Sutawijaya tidak mempersoalkannya lagi. Ia berkuda di antara para pengiring dari Tanah Perdikan Menoreh dan Mataram, sehingga tidak akan ada seorangpun yang menyangka bahwa di antara mereka di dalam iring-iringan itu terdapat Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram.

Karena itulah, ketika mereka berpapasan dengan dua orang prajurit Pajang yang meronda, maka yang mereka kenal pertama-tama adalah Swandaru dari Sangkal Putung yang mengaku mengantarkan mertuanya menengok Kiai Gringsing.

“Aku kurang begitu mengenal anak Ki Demang Sangkal Putung itu,” desis yang seorang dari kedua prajurit Pajang di Jati Anom itu.

“Aku mengenalnya. Tetapi jika tidak, kedua perempuan itu adalah ciri yang paling mudah dikenal. Seorang yang gemuk dan berkuda bersama dua orang perempuan dalam pakaian laki-laki, adalah anak Ki Demang Sangkal Putung. Kedua perempuan itu adalah istri dan adiknya,” jawab kawannya.

“Aku hanya pemah mendengar cerita tentang kedua perempuan itu,” berkata yang lain, “tetapi mengenal dengan baik, agaknya memang belum.”

“Kau belum terlalu lama di sini,” desis kawannya.

Keduanya tidak membicarakannya lagi. Keduanya melanjutkan perjalanan mereka, meronda daerah Jati Anom yang kadang-kadang masih dikejutkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak terduga.

Namun sebenarnyalah Untara memang meningkatkan kewaspadaan. Ia tidak dapat menutup mata, bahwa terjadi pergolakan yang seolah-olah menjadi semakin tajam antara Mataram dan Pajang. Namun Untara pun tahu, bahwa ada beberapa orang yang mempunyai sikap tersendiri di Pajang. Untara pun tahu, bahwa ada satu jalur yang di antara bulir-bulir untaiannya adalah Ki Pringgajaya dan Ki Tumenggung Prabadaru.

Tetapi Untara adalah seorang prajurit. Kecuali sikap yang tumbuh pada dirinya sendiri, maka iapun harus menyesuaikan diri dengan perintah-perintah yang diterima dari Pajang. Meskipun ia sadar, bahwa ia mempunyai wewenang untuk menyaring perintah-perintah itu. Justru karena di Pajang telah tumbuh perbedaan sikap di antara para pemimpinnya meskipun dengan diam-diam.

Dalam pada itu, iring-iringan dari Sangkal Putung itupun telah menjadi semakin dekat dengan padepokan kecil yang dihuni oleh Kiai Gringsing dan muridnya.

Sementara itu, Ki Gede Menoreh pun telah menjadi berdebar-debar. Ia berharap bahwa jika persoalannya itu disampaikan kepada Agung Sedayu dan Swandaru, hendaknya keduanya atau salah seorang daripadanya tidak akan tersinggung karenanya. Ki Gede yakin, bahwa Pandan Wangi sendiri tentu tidak akan berkeberatan, jalan manapun yang akan dipilihnya. Namun, ia tidak tahu bagaimana tanggapan Swandaru dan Agung Sedayu sendiri. Sementara Ki Gede merasa, bahwa Prastawa akan dapat diberinya pengertian tentang cara yang telah dipilihnya itu.

Ketika iring-iringan itu mendekati regol padepokan, maka seorang cantrik yang melihatnya, telah dengan tergesa-gesa memberitahukan kehadiran iring-iringan itu kepada Kiai Gringsing.

“Siapa?” bertanya Kiai Gringsing.

“Tidak jelas,” jawab cantrik itu, “tetapi di antara mereka terdapat Swandaru dari Sangkal Putung dengan istri dan adik perempuannya.”

“O,” Kiai Gringsingpun mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjadi gelisah, karena yang hadir itu adalah muridnya sendiri. Meskipun demikian iapun ingin segera mengetahui, apakah mereka sekedar datang untuk menengoknya atau ada kepentingan yang lain.

Karena itulah, maka Kiai Gringsing pun kemudian dengan tergesa-gesa telah keluar ke pendapa. Sementara ia telah menyuruh cantrik itu untuk memberitahukan kepada orang-orang yang berada di padepokan itu bahwa Swandaru, istri dan adiknya telah datang.

Yang segera terlintas di dalam angan-angan Ki Gringsing, kedatangan mereka itu justru atas keinginan Sekar Mirah. Bagaimanapun juga, hubungannya dengan Agung Sedayu kadang-kadang telah memaksanya untuk sekali-sekali bertemu apapun alasannya.

Namun Kiai Gringsing itupun tiba-tiba telah tertegun ketika ia melihat siapa saja yang telah memasuki regol padepokannya. Dan ternyata kehadiran tamu-tamunya itu telah membuat orang tua itu menjadi berdebar-debar.

Kiai Gringsing tidak saja menyambut tamunya di pendapa. Tetapi ia telah turun ke halaman dan berjalan tergesa-gesa mendekati tamu-tamunya, yang ternyata antara lain adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga dan Ki Gede Menoreh dari Tanah Perdikan Menoreh.

“Kehadiran Raden dan Ki Gede benar-benar telah membuat jantungku berdebar-debar,” berkata Kiai Gringsing.

Raden Sutawijaya dan Ki Gede Menoreh tersenyum. Sambil membungkuk hormat, Raden Sutawijava menyahut, “Maaf Kiai, mungkin kedatangan kami memang mengejutkan. Tetapi sebenarnyalah kami tidak mempunyai kepentingan yang akan dapat membuat Kiai terkejut, karena kami hanya sekedar singgah dari sebuah perjalanan.”

“O,” Kiai Gringsing mengangguk-angguk, “Raden baru saja menempuh perjalanan yang panjang bersama semuanya ini?”

“Tidak,” jawab Raden Sutawijaya, “hanya aku dan Ki Gede. Kami telah singgah di Sangkal Putung dan mengajak Swandaru, istri dan adiknya untuk datang kemari.”

“Syukurlah,” Kiai Gringsing mengangguk-angguk, “marilah. Aku persilahkan Raden, Ki Gede dan anak-anak dari Sangkal Putung ini untuk naik ke pendapa.”

Setelah menyerahkan kuda-kuda mereka kepada para cantrik. maka para tamu itupun segera naik ke pendapa.

Sejenak kemudian, di pendapa itu telah duduk pula selain para tamu dan Kiai Gringsing, Ki Widura yang kebetulan sedang berada di padepokan itu pula, Ki Waskita yang telah terlibat ke dalam satu pergumulan ilmu dengan Agung Sedayu, Agung Sedayu sendiri dan prajurit muda yang bernama Sabungsari, yang menghabiskan sebagian waktunya di padepokan itu. Sementara Glagah Putih telah sibuk membantu para cantrik menyiapkan jamuan bagi tamu-tamu mereka.

Setelah mereka saling mempertanyakan keselamatan masing-masing, maka Kiai Gringsingpun telah bertanya, “Mudah-mudahan kedatangan para tamu ini benar-benar tidak akan mengejutkan aku.”

“Benar Kiai,” sahut Raden Sutawijaya, “kami benar-benar hanya sekedar berkunjung dan karena sudah lama kami tidak bertemu, maka rasa-rasanya kami menjadi sangat rindu kepada padepokan ini dan seisinya.”

“Padepokan yang sepi,” desis Kiai Gringsing, “tetapi kami sangat berterima kasih, bahwa Raden dan Ki Gede telah sudi datang berkiunjung.”

Raden Sutawijaya dan Ki Gede Menoreh tertawa. Sambil memandang berkeliling, Ki Gede berkata, “Padepokan yang manis. Tanaman-tanaman itu tumbuh subur. Bahkan pohon buah-buahan itu rasa-rasanya sudah tertanam puluhan tahun. Berapa sebenarnya umur padepokan ini?”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Sebelum tanah ini menjadi padepokan, tanah ini adalah pategalan milik keluarga Angger Agung Sedayu. Dalam pategalan itu sudah terdapat beberapa jenis pohon buah-buahan. Bahkan sudah ada pula yang berbuah. Ketika tanah ini menjadi sebuah padepokan kecil, maka pohon buah-buahan itu sama sekali tidak kami usik.”

Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Dari pendapa nampak pula sebuah bangunan yang terpisah, yang agaknya adalah sanggar tempat penghuni padepokan itu berlatih olah kanuragan. Namun di tempat lain Ki Gede Menoreh menbayangkan, bahwa tentu ada sanggar tempat penghuni padepokan itu melakukan olah kajiwan.

Namun dalam pada itu, padepokan itu benar-benar merupakan satu tempat yang sejuk. Pepohonan yang rimbun, pohon-pohon perdu yang mapan dan beberapa jenis pohon-pohon bunga. Sementara itu, sebuah kolam yang cukup luas dengan ikan peliharaan yang berenang hilir mudik di dalam air yang jernih.

Dalam pada itu, Ki Gede tidak segera menyampaikan maksud kedatangannya. Bahkan seolah-olah ia memang tidak mempunyai satu kepentingan apapun juga, kecuali sekedar singgah seperti yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya. Karena itu. setelah duduk di pendapa beberapa saat, maka iapun dipersilahkah oleh para penghuni padepokan itu untuk melihat-lihat berkeliling.

Swandaru dan Pandan Wangi yang sudah terbiasa berada di padepokan itu, telah mengantarkan tamu-tamu dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu berkeliling. Di belakang mereka, berjalan sambil menundukkan kepalanya, Sekar Mirah dan Agung Sedayu.

Di pendapa, Ki Waskita masih duduk bersama Kiai Gringsing dan Ki Widura sejenak, sebelum merekapun kemudian menyusul tamu-tamunya. Dengan wajah bersungguh-sungguh, Ki Waskita berkata, “Hatiku menjadi berdebar-debar.”

“Jika yang mengatakannya bukan Ki Waskita, aku kira kita tidak usah memikirkannya,” sahut Kiai Gringsing.

“Tetapi semakin tua, aku menjadi semakin sering mengalami kegelisahan. Tetapi nampaknya kehadiran tamu-tamu itu mempunyai satu kepentingan khusus,” desis Ki Waskita kemudian. Lalu, “Hal itu terasa bukan saja karena isyarat di dalam getaran perasaan. Tetapi menilik kehadiran mereka yang tiba-tiba dan bersama-sama. Aku memang menduga, bahwa ada kepentingan bersama antara Mataram, Tanah Perdikan Menoreh, Sangkal Putung dan padepokan kecil ini.”

Kiai Gringsing dan Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya hampir bersamaan, “Aku sependapat.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata, “Silahkan Kiai Gringsing mengantar tamu-tamu itu. Aku akan pergi ke belakang kandang yang masih kotor itu. Agaknya perlu sedikit dibersihkan.”

Kiai Gringsing tidak mencegah Ki Waskita yang langsung akan pergi ke belakang kandang. Sejak kehadirannya di padepokan kecil itu, sebagaimana kehadirannya yang terdahulu, Ki Waskita menganggap dirinya berada di tempat sendiri, sehingga iapun melakukan berbagai macam kerja seperti yang dilakukan oleh para penghuni padepokan itu sendiri.

Sementara itu, Kiai Gringsing dan Ki Widurapun telah turun dari pendapa dan menyusul tamu mereka diikuti oleh Sabungsari.

Di kebun yang sejuk, para tamu itu berhenti. Sebatang pohon jambu air yang buahnya lebat sekali nampaknya sangat menarik perhatian Ki Gede Menoreh.

Dalam pada itu, Swandaru yang melihat perhatian Ki Gede atas buah yang bergayutan itu bertanya, “Apakah Ki Gede mengingininya?”

Ki Gede tersenyum. Sementara Agung Sedayu telah mendekatinya dengan tergesa-gesa, “Biarlah aku mengambilnya.”

Para tamu itupun kemudian duduk di bawah pohon jambu yang berbuah rimbun itu, sementara Agung Sedayu yang siap untuk memanjat telah mengurungkan niatnya, karena Glagah Putih-lah yang kemudian naik dengan cepatnya ke atas dahan-dahan yang digayuti oleh buahnya yang lebat dan berwarna merah segar.

Ternyata para tamu itu lebih senang duduk di bawah pohon jambu itu daripada dengan segera kembali ke pendapa. Suasananya yang sejuk segar dan buah jambu air yang manis, membuat mereka merasa nyaman berada di tempat itu.

Ketika kemudian Kiai Gringsing dan Ki Widura berada di antara mereka, maka semakin riuhlah pembicaraan di bawah pohon jambu itu. Namun ternyata Raden Sutawijaya-lah yang dengan hati-hati telah mengarahkan pembicaraan itu justru kepada maksud kedatangannya bersama Ki Gede ke padepokan itu.

Ki Gede Menoreh yang menyadarinya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun mengerti, bahwa Raden Sutawijaya tidak akan dapat meninggalkan Mataram terlalu lama, sehingga ia ingin segera menyelesaikan masalah yang mereka bawa. Bahkan nampaknya waktu yang satu malam yang mereka pergunakan bermalam di Sangkal Putung itupun telah menggelisahkan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu.

Bagaimanapun juga akhirnya pembicaraan itupun sampai juga pada satu pembicaraan tentang Tanah Perdikan Menoreh yang semakin lama semakin mundur. Tidak seperti padepokan kecil yang bangkit itu, dan apalagi dibandingkan dengan Sangkal Putung.

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang istrinya sekilas, dilihatnya Pandan Wangi pun menunduk dalam-dalam.

Meskipun tidak berterus-terang, namun terasa, bahwa ayahnya menjadi sangat prihatin atas keadaan ini.

Hal itu terasa juga oleh Kiai Gringsing dan Ki Widura, sehingga keduanya pun telah mengangguk-angguk di luar sadarnya.

“Keadaan Tanah Perdikan sekarang ini telah menjadi semakin parah,” berkata Ki Gede.  

Swandaru termenung sejenak. Lalu hampir di luar sadamya ia berdesis, “Kita harus mencari jalan keluar.”

“Tepat,” berkata Ki Gede, “kita harus menemukan satu jalan keluar yang dapat menyelamatkan Tanah Perdikan Menoreh itu dari kesulitan yang semakin dalam.”

Tetapi Swandaru tidak dapat berkata apa-apa lagi. Ia tidak mengerti, jalan keluar yang manakah yang paling baik dilakukan. Namun rasa-rasanya sangat berat baginya, apabila ia sendiri harus meninggalkan Sangkal Putung yang dibinanya itu, dan tinggal untuk sementara di Tanah Perdikan Menoreh, meskipun itu juga kewajibannya. Kecuali bahwa dengan demikian ia adalah seorang laki-laki yang mengikut istrinya, namun yang penting baginya, Sangkal Putung yang baru tumbuh itu harus berkembang terus. Jika ia berada di Tanah Perdikan Menoreh, mungkin ia dapat menghentikan kemunduran yang semakin berlarut-larut di Tanah Perdikan itu, tetapi Sangkal Putung-lah yang akan mengalami masa surut.

Dalam pada itu, dalam kebimbangan yang mencengkam, maka Ki Gede itupun tiba-tiba bertanya kepada Pandan Wangi, “Apa pikiranmu Pandan Wangi? Atau barangkali Angger Swandaru mempunyai satu pemecahan yang baik bagi kita semuanya?”

Pandan Wangi menjadi semakin tunduk. Tetapi iapun mengerti bahwa Tanah Perdikan itu tidak akan dapat diterbengkelaikan lebih lama lagi. Seperti ayahnya, maka Pandan Wangi tidak terlalu percaya terhadap kemampuan Prastawa.

Tiba-tiba saja, dengan betapapun ragunya, Ki Gede berkata, “Angger Swandaru. Sebelumnya aku minta maaf, apakah aku boleh mengajukan satu pendapat tentang jalan keluar itu. Tetapi sebelumnya sekali lagi aku minta maaf, mudah-mudahan hal itu tidak menyinggung perasaan segala pihak.”

Swandaru dan Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian keduanya mengangguk kecil. Swandarulah yang menjawab, “Silahkan Ki Gede. Semua usaha yang baik dapat ditempuh.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Sekilas dipandanginya Raden Sutawijaya yang duduk terpekur. Di tangannya masih digenggam sebuah jambu air yang merah. Sementara Glagah Putih yang sudah turun dan duduk pula beberapa langkah dari mereka yang sedang berbincang itu, masih membawa sekeranjang kecil buah jambu yang masak.

“Swandaru dan anakku Pandan Wangi,” berkata Ki Gede kemudian dengan bersungguh-sungguh, “jika boleh aku ingin menyatakan perasaanku, bahwa aku iri terhadap perkembangan Kademangan Sangkal Putung. Jika di Tanah Perdikan Menoreh aku merasa sendiri dan kesepian, ternyata di sini memiliki kemampuan yang melimpah. Di Sangkal Putung terdapat Angger Swandaru yang sudah jelas berhasil membuat Sangkal Putung menjadi semakin maju. Namun di Sangkal Putung pun terdapat Angger Sekar Mirah yang sebentar lagi akan terlibat ke dalam satu masa hidup kekeluargaan.”

“Ah,” desis Sekar Mirah.

“Nampaknya hal itu akan segera terjadi,” berkata Ki Gede, “jika demikian, aku akan merasa menjadi semakin sepi di Tanah Perdikan Menoreh.”

Sekar Mirah menunduk dalam-dalam. Agung Sedayupun menjadi berdebar-debar. Sementara Swandaru dan Pandan Wangi tersenyum sambil memandang kedua anak-anak muda itu.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing sudah mulai melihat dengan mata hatinya arah pembicaraan Ki Gede Menoreh. Bahkan di dalam hati ia berkata, “Inilah yang dikatakan oleh Ki Waskita. Tetapi agaknya akan menyangkut masalah yang akan memberikan ketegasan warna pada Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.”

Sementara itu Ki Gede Menoreh pun meneruskannya, “Karena itu, maka aku akan merasa sangat berbahagia bahwa Sangkal Putung akan menjadi semakin berkembang lahir dan batin.” Ki Gede berhenti sejenak, lalu, “Tetapi seperti yang aku katakan, Tanah Perdikan Menoreh justru akan menjadi semakin susut.”

Swandaru dan Pandan Wangi menarik nafas panjang. Merekapun mulai mengerti maksud pembicaraan ayahnya. Keadaan semacam itu memang bukan yang pertama mereka dengar. Meskipun pada saat itu Ki Gede mengatakan kepada mereka, “Soalnya tidak terlalu tergesa-gesa.”

Tetapi kini Ki Gede itu datang bersama Raden Sutawijaya. Ki Gede itu seolah-olah telah mengulangi apa yang pernah dikatakannya, pada saat Swandaru dan Pandan Wangi datang menengoknya di Tanah Perdikan Menoreh.

Sementara itu, Ki Gedepun berkata selanjutnya, “Swandaru, masalahnya memang tidak tergesa-gesa. Tetapi juga tidak dapat dilupakan dan ditunda sampai waktu yang tidak terbatas. Karena itu, maka aku telah datang kemari. Adalah kebetulan bahwa Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga juga berkenan datang ke padepokan kecil ini. Dengan demikian, maka apa yang aku katakan ini telah didengar baik oleh Raden Sutawijaya, maupun oleh gurumu, Kiai Gringsing.”

Swandaru menjadi tegang. Demikian pula Pandan Wangi. Bahkan Sekar Mirah dan Agung Sedayupun telah tertarik pula kepada pembicaraan itu. Karena itulah maka merekapun telah mendengarkannya pula dengan seksama.

“Angger Swandaru,” berkata Ki Gede lebih lanjut, “bagaimana pendapatmu, jika dalam keadaan yang paling menggelisahkan ini, kau dapat memberikan sekedar jalan keluar meskipun hanya bersifat sementara?”

Debar jantung Swandaru menjadi semakin cepat. Ia tidak menduga, bahwa tiba-tiba saja ayah mertuanya itu bertanya langsung kepadanya. Beberapa saat lampau ketika ia berada di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Gede itu berkata, bahwa ia tidak memerlukan jawab segera. Tetapi hal itu dikatakannya beberapa waktu yang lampau.

“Apakah Ki Gede menganggap bahwa waktuku untuk berpikir telah cukup?” pertanyaan itu timbul di hati Swandaru.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing, Ki Widura dan Agung Sedayu merasa tidak akan dapat memberikan pendapat mereka, karena masalahnya menyangkut persoalan yaug sangat khusus. Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri.

Namun Swandaru sendiri juga tidak segera dapat menjawab. Beberapa saat ia termenung. Namun kemudian ia berkata, “Pertanyaan ini terasa begitu tiba-tiba. Aku sama sekali tidak bersiap untuk menghadapinya. Karena itu, aku memang merasa terlalu sulit untuk menjawab.”

Ki Gede menarik nafas dalam dalam. Dipandanginya Raden Sutawijaya sejenak. Namun kemudian katanya, “Swandaru. Memang sulit untuk mengambil satu sikap. Aku minta maaf, bahwa aku ingin bertanya kepadamu, sementara aku minta kau menjawab seperti yang kau katakan di dalam hatimu. Aku ingin melihat satu sikap yang sebagaimana adanya, sehingga aku akan dapat mengambilnya sebagai bahan untuk mengusulkan satu pemecahan kepadamu dan Pandan Wangi.”

Dada Swandaru menjadi berdebar-debar. Namun akhirnya iapun mengangguk sambil menjawab, “Aku akan mencoba menjawabnya Ki Gede.”

Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Swandaru. Aku ingin mendapat satu kepastian, apakah dalam waktu dekat ini kau akan dapat berada di Tanah Perdikan Menoreh? Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang biasa. Kau dapat menjawab ya atau tidak, yang tidak akan mempunyai akibat apapun juga, selain sebagai bahan yang akan dapat aku pakai untuk mengusulkan satu sikap kepadamu. Jika kau dapat berada di Tanah Perdikan Menoreh, aku merasa gembira sekali. Tetapi jika tidak, akupun dapat mengerti. Kau sedang membangun kademangan. Dan kita tidak akan ingkar, bahwa justru di garis antara Pajang dan Mataram, diperlukan satu sikap yang mapan menghadapi perkembangan terakhir ini. Karena itu, aku minta kau memberikan jawaban sesuai dengan kata hatimu.”

Bagaimanapun juga jantung Swandaru tergetar pula oleh pertanyaan itu. Sementara itu, Pandan Wangipun menjadi gelisah. Karena pertanyaan ayahnya itu, Pandan Wangipun menjadi gelisah. Namun dalam pada itu Ki Gede meneruskan, “Sebenarnyalah bahwa aku sudah mempunyai satu usul, meskipun segala sesuatunya tergantung kepadamu dan kepada Pandan Wangi, apapun jawab yang akan kau katakan.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Pandan Wangi sejenak. Tetapi yang nampak di wajah Pandan Wangi adalah kebimbangan hatinya.

“Ki Gede,” berkata Swandaru kemudian, “sulit sekali bagiku untuk memberikan jawabannya sekarang. Sebenarnya aku merasa sangat berat untuk meninggalkan Sangkal Putung, yang seperti Ki Gede katakan, justru pada saat sekarang ini. Tetapi akupun mengerti, bahwa keadaan Tanah Perdikan Menoreh memerlukan penanganan yang segera pula. Semakin lama Tanah Perdikan itu akan menjadi semakin parah. Mungkin kelambatan satu dua bulan, akan berakibat sangat buruk bagi Tanah Perdikan itu.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Ia melihat kesempatan yang ditunggunya. Karena itu, maka katanya, “Angger Swandaru. Kau benar-benar sudah berpikir dewasa, seperti yang pernah kau katakan di Tanah Perdikan Menoreh. Karena kau sudah berpikir dewasa itulah, maka aku ingin menyampaikan satu pendapat yang terserah kepadamu dan kepada Pandan Wangi, apakah pendapat ini dapat kalian terima.”

Swandaru menegang sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk kecil sambil berkata, “Ki Gede, mungkin pendapat itu sangat bermanfaat.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga ia merasa ragu-ragu untuk menyampaikan pendapatnya kepada Swandaru. Ia merasa ragu-ragu, apakah Swandaru tidak merasa tersinggung karenanya, seolah-olah Swandaru telah diperbandingkan dengan saudara seperguruannya. Tetapi mungkin justru Agung Sedayulah yang merasa tersinggung. Dengan demikian, maka ia akan berkedudukan sekedar sebagai pelaksana dari kekuasaan yang seharusnya berada di tangan Swandaru.

Swandaru ternyata menunggu pendapat itu dengan hati yang berdebar-debar. Demikian pula orang-orang lain yang berada di tempat itu.

“Swandaru,” desis Ki Gede, “sekali lagi aku minta maaf. Juga kepada segala pihak yang berkepentingan. Yang akan aku katakan itu adalah sekedar satu pendapat, karena aku menganggap bahwa kemampuan dan kecerahan pikiran di sini berlebihan, dan di Tanah Perdikan Menoreh benar-benar mengalami kekeringan. Dengan demikian, bagaimanakah pendapatmu, dan juga pendapat Pandan Wangi dan Kiai Gringsing, jika satu di antara kemampuan yang melimpah itu aku persilahkan sementara berada di Tanah Perdikan Menoreh, sambil menunggu. Maksudku, sampai Angger Swandaru dan Pandan Wangi mengambil satu keputusan yang mantap.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih belum tahu pasti apakah yang dimaksud oleh Ki Gede Menoreh itu.

Ki Gede melihat kebimbangan di sorot mata Swandaru. Karena itu, maka katanya kemudian, “Tegasnya Swandaru, jika kau masih terlalu sibuk dengan Kademangan Sangkal Putung, dan apalagi seperti yang aku mengerti sekarang ini, dalam hubugan antara Pajang dan Mataram, bagaimanakah pendapatmu jika untuk sementara aku persilahkan saudara seperguruanmu untuk berada di Tanah Perdikan Menoreh?”

Swandaru mendengarkan setiap kalimat yang diucapkan oleh Ki Gede dengan jantung yang berdegup. Ia memang terkejut mendengar pendapat Ki Gede itu. Namun iapun kemudian mencoba merenunginya. Bahkan di luar sadarnva ia telah berpaling kepada Pandan Wangi.

Pandan Wangi sendiri menundukkan kepalanya. Ia mendengar dan mengerti sepenuhnya pendapat ayahnya. Tetapi yang terasa di hatinya justru debar yang menggelora. Ia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja jantungnya serasa berdenyut semakin cepat.

Agung Sedayu-lah yang benar-benar terkejut. Ia sadar, bahwa yang dimaksud adalah dirinya. Ki Gede Menoreh minta agar Agung Sedayu untuk sementara berada di Tanah Perdikan Menoreh sebelum Swandaru menentukan satu keputusan tertentu tentang Tanah Perdikan itu.

Agung Sedayu tidak mengerti, perasaan apakah yang kemudian bergejolak di dalam hatinya. Tetapi bagaimanapun juga ia merasa, bahwa ia akan mendapat tempat yang baginya tidak mapan. Ia akan berada di satu tempat atas nama Swandaru. Ia akan berada di tempat yang seharusnya menjadi tempat kewajiban Swandaru sebagai suami Pandan Wangi. Karena Swandaru sudah mendapat tempat sendiri yang justru memberatinya, maka ia diminta untuk melakukan tugas tugas adik seperguruannya itu atas namanya.

Bagaimanapun juga, perasaan Agung Sedayu telah tersentuh. Tetapi ujud sentuhan itu justru adalah suatu panalangsa. Agung Sedayu tidak mengangkat wajahnya dengan sorot mata yang menyala. Tetapi Agung Sedayu justru menunduk melihat ke dalam kekecilan diri. Bahkan ia merasa dirinya semakin kecil justru di hadapan Sekar Mirah. Jika hal itu terjadi, adalah karena ia mempunyai kaitan perasaan dengan Sekar Mirah. Adik Swandaru yang seharusnya mempunyai wewenang atas Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, jika memang demikian seperti yang dikatakan oleh Ki Gede, maka ia akan menjadi seorang yang menjalankan kewajiban sebagai calon adik ipar Swandaru yang menjalankan kewajiban atas hak istrinya.

“Ah,” desah Agung Sedayu di dalam hatinya, “apakah kata Sekar Mirah tentang diriku. Ia sudah terlalu sering menyatakan perasaannya tentang kekecilan diriku. Kini, ia langsung mendengar, betapa orang lain menganggap diriku memang terlalu kecil.”

Tetapi ternyata tanggapan Sekar Mirah agak berbeda. Ia menangkap semuanya itu pada kulitnya. Bahkan ia merasa, bahwa Agung Sedayu akan berada di Tanah Perdikan Menoreh dengan kedudukan yang tidak ada bedanya dengan Swandaru sendiri, karena ia akan memerintah atas namanya. Yang mula-mula terbayang di angan angannya, bahwa Agung Sedayu akan mempunyai kekuasaan yang penting di Tanah Perdikan Menoreh. Sehingga sehari-hari, ia adalah orang tertinggi di Tanah Perdikan itu.

Justru karena tanggapan yang berbeda-beda itulah, maka keadaan pun telah dicengkam oleh keheningan. Kiai Gringsing yang menjadi berdebar-debar memandangi wajah Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti. Sebagai seorang guru, maka hatinyapun tersentuh pula. Ia merasa apa yang dirasakan oleh Agung Sedayu. Muridnya yang seorang ini adalah anak muda yang luar biasa. Tetapi justru karena sikap hidupnya, ia adalah seorang anak muda yang seakan-akan hanya sekedar pelengkap di dalam satu lingkungan hidup.

Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga adalah seorang anak muda yang berpendangan luas. Ia melihat jauh ke dalam pusat jantung Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Swandaru, soalnya memang tidak terlalu sederhana. Ki Gede memang berbicara atas nama Kepala Tanah Perdikan Menoreh, yang merasa dirinya sudah tidak dapat berbuat seperti saat mudanya, sehingga Ki Gede perlu bantuan seseorang. Tetapi baiklah aku berkata jujur di hadapan Ki Gede Menoreh, di hadapan Kiai Gringsing, di hadapan Ki Widura dan barangkali nanti akan didengar pula oleh Ki Waskita. Bahwa sebenarnya, segalanya itu ada sangkut pautnya dengan perkembangan keadaan yang lebih luas. Jika Swandaru merasa dirinya terikat di Kademangan Sangkal Putung, justru karena hubungan yang semakin rumit antara Pajang dan Mataram, maka persoalan yang sangat mendesak di Tanah Perdikan Menoreh itupun ada hubungannya pula dengan masalah itu. Jika aku berbicara tentang hubungan Pajang dan Mataram, maka aku berbicara dengan sadar. Aku adalah orang yang paling berkepentingan dengan hubungan antara Pajang dan Mataram itu. Dalam keadaan yang demikian itulah, maka Ki Gede menganggap bahwa Tanah Perdikan Menoreh harus dibina. Dan aku akan menipu diriku sendiri jika aku mencoba mengingkari, bahwa akupun sangat berkepentingan dengan Tanah Perdikan itu.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam mendengar pengakuan yang jujur dari Raden Sutawijaya. Namun pengakuan itu baginya merupakan satu sikap yang memang penting bagi perasaan Agung Sedayu seperti yang dimaksud oleh Raden Sutawijaya sendiri.

Karena itulah, maka Kiai Gringsing yang lebih banyak mendengarkan itu kemudian berusaha untuk membantu menenangkan hati Agung Sedayu yang diketahuinya telah bergejolak. “Agung Sedayu, persoalannya dapat dilihat dari banyak segi. Kau dapat melihat persoalan ini dari segi hubungan keluarga. Tidak ada orang lain di antara keluarga Swandaru yang pantas untuk melakukannya. Kau adalah saudara seperguruannya dan pada saatnya kau adalah keluarga dekat baginya. Namun kau akan dapat memandangnya dari segi yang lain pula. Segi yang barangkali mempunyai hubungan dengan sikap seseorang atas Tanah ini. Bukan sekedar Tanah Perdikan Menoreh, tetapi lingkungan Pajang dalam keseluruhan sebagai penerus pemerintahan Demak. Dan sebagaimana kau ketahui, Demak lahir setelah Majapahit tidak dapat diselamatkan lagi. Karena itu, jika kau menangkap masalah ini dengan pandangan yang luas, maka kau akan mendapat kesan yang lain. Yang kau lakukan adalah satu usaha untuk menegakkan suatu keadaan yang lebih baik dari sekarang bagi Tanah ini. Bukan sekedar karena Swandaru tidak dapat melakukan kewajibannya di atas Tanah Perdikan Menoreh, sehingga menunjukmu untuk melakukannya atas namanya. Tetapi dengan sadar, mengingat kedudukan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh yang terletak berseberangan diantarai oleh Mataram.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Yang dikatakan oleh gurunya itu agak menenangkan hatinya. Dengan demikian ia mempunyai satu sudut pandangan yang lebih luas tentang kewajiban yang disebut-sebut akan diserahkan kepadanya itu.

Dalam pada itu, Raden Sutawijayapun berkata, “Agung Sedayu. Gurumu sudah menjelaskan masalahnya. Tegasnya, Mataram memerlukan bantuan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh di dalam banyak hal. Mungkin di dalam hal persediaan makanan dalam keadaan yang khusus, bahkan mungkin bantuan yang lebih berarti lagi. Namun semuanya itu tentu tidak akan dapat kalian katakan apa-apa sekarang ini, karena sebenarnya kalianpun masih harus merenungi keadaan lebih dalam. Namun aku agaknya telah dibayangi oleh harapan-harapan yang baik bagi masa datang yang dekat.”

Tidak ada masalah lagi yang disembunyikan oleh Raden Sutawijaya. Mataram memerlukan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh untuk menghadapi Pajang yang tidak menentu. Sudah tentu tidak untuk menghadapi ayahanda angkat, Sultan Hadiwijaya. Tetapi tidak mustahil bahwa karena orang-orang di sekitar Sultan Hadiwijaya yang semakin berkuasa, dan keadaan Sultan sendiri yang tidak menguntungkan, bahwa perkembangan hubungan Mataram dan Pajang akan sampai ke puncak keretakan, sehingga keduanya harus memilih jalan masing-masing yang justru akan menghadapkan yang satu kepada yang lain.

Namun soalnya bagi Agung Sedayu, apakah dalam kemelut antara Pajang dan Mataram, ia akan memilih pihak?

Ki Gede Menoreh melihat wajah Agung Sedayu yang tertunduk. Ia sudah mendengar penjelasan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Iapun sudah mendengar pendapat Kiai Gringsing yang langsung menghunjam ke sasaran. Karena itu, ia tidak akan memberikan penjelasan lagi akan sikapnya. Ia tinggal menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh Swandaru, Pandan Wangi atau Agung Sedayu.

Tetapi anak-anak muda itu untuk beberapa saat hanya tertunduk diam. Nampaknya mereka sedang merenungi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di atas Tanah Perdikan Menoreh, di Kademangan Sangkal Putung dan sudah tentu dalam hubungannya dengan persoalan Pajang dan Mataram.

Seperti yang sudah diduga. Agung Sedayupun segera teringat akan kakak kandungnya. Untara.

Ia adalah seorang senapati Pajang yang berkedudukan di Jati Anom. Jika ia kemudian terlibat ke dalam satu persoalan yang langsung dalam hubungannya dengan persoalan Pajang dan Mataram, dan apalagi jika ia berdiri di pihak Mataram, maka bagaimanakah hubungannya dengan kakak kandungnya.

Tetapi kemudian timbul pula pertanyaan, “Apakah Kakang Untara tidak dapat melihat, apakah yang sebenarnya terjadi di Pajang?”

Di luar sadarnya ia memandang ke arah Sabungsari yang duduk sambil menunduk dalam-dalam. Ia adalah prajurit Pajang. Meskipun ia tidak duduk terlalu dekat dengan mereka yang sedang berbincang, namun ia mendengar sebagian besar dari percakapan itu. Dan iapun mengerti apa yang sedang mereka perbincangkan dalam hubungannya dengan Pajang dan Mataram.

Namun Agung Sedayu sama sekali tidak mencemaskannya bahwa ia akan mengadukan persoalan itu kepada senapati Pajang di Jati Anom, atau kepada orang lain dari lingkungan keprajuritan Pajang. Ia percaya bahwa Sabungsari bersikap baik kepadanya dan mengerti segala persoalannya. Seandainya ia tidak sependapat dengan pembicaraan itu, maka prajurit muda itu tentu akan langsung berkata kepadanya dengan jujur, sehingga ia akan dapat menentukan sikap yang lebih baik.

Sejenak suasana memang menjadi sepi. Tetapi degup jantung masing-masing terasa semakin cepat dan semakin keras.

Dalam keheningan itu, tiba tiba saja terdengar Raden Sutawijaya berkata, “Segalanya memang tidak dapat diputuskan sekarang. Mungkin kalian memerlukan waktu sampai sore nanti, atau bahkan sampai esok pagi. Kalian mungkin masih ingin membicarakan beberapa persoalan sampingan yang dapat terjadi, atau kalian masih akan memperbincangkan beberapa masalah yang tidak dapat kalian katakan di hadapanku, karena masalahnya sudah menyangkut sikap dan pendirian kalian mengenai hubungan antara Pajang dan Mataram. Karena itu, silahkan kalian memperbincangkannya tanpa aku. Ambillah satu keputusan yang paling baik sesuai dengan nurani kalian.”

“Lalu, apakah yang akan Raden lakukan?” bertanya Ki Gede Menoreh.

“Ki Gede, waktuku tidak terlalu banyak,” jawab Raden Sutawijaya.

Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Tetapi ia mengerti maksud Raden Sutawijaya. Namun kecuali maksud Raden Sutawijaya untuk memberikan kesempatan kepada Agung Sedayu dan Swandaru mempelajari masalah itu tanpa kehadirannya, sebenarnyalah bahwa Raden Sutawijaya tidak akan dapat terlalu lama meninggalkan Mataram justru pada saat yang gawat ini. Apaiagi di Mataram ada dua orang Pajang yang berada di bawah pengawasan para pengawal karena tingkah laku mereka.

Dalam pada itu, Raden Sutawijaya pun berkata, “Aku sudah mengutarakan masalah yang harus aku katakan. Terserah kepada segala pihak. Aku akan menunggu dengan sabar. Segala keputusan akan aku terima dengan senang hati, apakah keputusan itu sesuai atau tidak dengan kepentinganku, karena sebenarnyalah aku tidak akan dapat berbuat apa-apa atas Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung.”

“Kami mohon Raden bersedia bersabar sebentar untuk tinggal semalam saja di padepokan kecil ini,” berkata Kiai Gringsing.

“Terima kasih Kiai,” jawab Raden Sutawijaya, “seharusnya aku tidak dapat meninggalkan rumahku sama sekali karena keadaan yang gawat. Tetapi justru karena aku menganggap masalah yang akan disampaikan oleh Ki Gede ini menyangkut kepentinganku yang menentukan, maka akupun telah memerlukan untuk ikut serta membicarakannya. Aku mohon maaf, bahwa aku telah berani mencampuri masalah yang sebenarnya adalah masalah keluarga, karena aku menganggap masalah yang sebenarnya akan menyangkut kepentingan yang jauh lebih luas dari sekedar kepentingan keluarga.”

“Jadi Raden benar-benar akan segera kembali ke Mataram?” bertanya Kiai Gringsing.

“Ya Kiai,” jawab Raden Sutawijaya, “kelak, pada saatnya Ki Gede kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, aku mohon Ki Gede bersedia singgah dan memberitahukan, apakah kalian sudah mengambil satu keputusan.”

“Aku akan singgah Raden,” berkata Ki Gede.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing pun berkata, “Baiklah Raden. Kami dapat mengerti, bahwa Raden mempunyai tugas-tugas yang tidak dapat Raden tinggalkan berlama-lama. Memang agak berbeda dengan kami yang dapat pergi untuk waktu yang tidak ditentukan tanpa dituntut oleh satu kewajiban apapun.”

“Ah setiap orang mempunyai kewajibannya masing-masing Kiai,” jawab Raden Sutawijaya.

“Namun demikian Raden, kami masih mohon Raden tinggal sebentar. Hanya untuk sekedar makan di padepokan ini,” minta Kiai Gringsing.

Raden Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, “Tentu aku tidak akan menolak. Terima kasih. Aku akan menunggu saatnya akan dijamu makan di padepokan ini.”

“Tetapi baiklah kita kembali ke pendapa,” Kiai Gringsing mempersilahkan.

“Ah, kami belum tuntas mengelilingi halaman dan kebun di padepokan ini,” sahut Raden Sutawijaya, “kami akan menunggu nasi masak sambil melihat-lihat. Di sini kami menemukan sebatang pohon jambu air. Mungkin di bagian lain kami akan menemukan sebatang pohon manggis yang berbuah lebat.”

“Jika demikian, silahkan,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi yang ada bukannya buah manggis, karena belum musimnya. Namun di samping pohon manggis, ada sebatang pohon srikaya yang barangkali cukup lebat buahnya.”

“O, menyenangkan sekali,” sahut Raden Sutawijaya.

Sementara itu, merekapun segera bangkit dan meneruskan langkah mereka memutari kebun di padepokan yang cukup luas itu.

Ketika saatnya makan telah tiba, maka dipersilahkannya para tamu dan penghuni padepokan itu, termasuk Ki Waskita untuk berada di pendapa. Para pengawal dari Mataram dan dari Tanah Perdikan Menoreh pun telah makan bersama pula.

Baru setelah beristirahat sejenak, Raden Sutawijayapun mohon diri untuk kembali ke Mataram.

“Sekali lagi aku berpesan, bahwa kedatanganku di Jati Anom tidak setahu senapati Pajang yang berkedudukan di Jati Anom ini,” berkata Raden Sutawijaya, “karena kedatanganku memang bukan satu kunjungan resmi. Namun karena itu, maka aku kira kedatanganku ini tidak perlu diberitahukan kepada senapati muda itu.”

Penghuni padepokan itupun mengangguk-angguk. Mereka memang tidak merasa perlu untuk melaporkan kehadiran Raden Sutawijaya, sementara Ki Gede Menoreh nampaknya memang tidak terlalu menarik perhatian seperti kehadiran Raden Sutawijaya, sehingga kehadiran Ki Gede yang sekedar menengok anak menantunya di Sangkal Putung dan yang sekedar singgah di Jati Anom itu tidak perlu memberitahukan kepada Untara.

Demikianlah, maka Raden Sutawijaya dan seorang pengawalnya telah meninggalkan padepokan kecil itu dengan meninggalkan beberapa masalah yang berhubungan dengan kepentingan Ki Gede Menoreh.

Karena itu, sepeninggal Raden Sutawijaya, maka Kiai Gringsing telah minta Swandaru, Pandan Wangi, Agung Sedayu dan Sekar Mirah untuk membicarakannya dengan sungguh-sungguh, ditunggui oleh orang-orang tua yang berada di padepokan itu.

Agung Sedayu yang mulai menelusuri latar belakang dari penunjukkan atas dirinya, mencoba untuk mengerti, bahwa yang penting bukannya sekedar karena ia adalah bakal ipar Swandaru, tetapi justru dihubungkan dengan perkembangan Mataram dalam hubungannya dengan Pajang.

“Memang tidak ada orang lain,” desis Ki Gede Menoreh.

Swandaru mencoba merenungi baik dan buruknya. Tetapi iapun kemudian berdesis, “Memang tidak ada orang lain. Namun karena Pandan Wangi-lah yang langsung berada dalam garis keturunan Menoreh, maka iapun justru ikut menentukan.”

“Sudah tentu,” berkata Ki Gede Menoreh, “iapun wajib menyatakan pendapatnya.”

Kiai Gringsing beringsut setapak. Lalu katanya, “Angger Pandan Wangi. Bagaimana pendapat Angger tentang hal ini? Angger sudah mendengar segala sesuatunya. Sebab dan pertimbangannya, serta segala kemungkinan yang bakal terjadi.”

Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Sebenarnyalah baginya memang tidak ada orang yang lebih baik dan dapat dipercaya dari Agung Sedayu. Apakah ada hubungan keluarga atau tidak, Agung Sedayu bagi Pandan Wangi adalah seorang anak muda yang sangat baik. Baginya Agung Sedayu telah banyak berbuat sesuatu yang menuntut pengorbanan, dan bahkan mempertaruhkan nyawanya tanpa pamrih pribadi.

Tetapi Pandan Wangi tidak dapat mengatakannya. Ia tidak akan dapat memuji Agung Sedayu dengan jujur seperti apa yang tersirat di dalam hatinya.

Karena itu, maka katanya kemudian, “Kiai, di sini ada Ayah dan Kakang Swandaru. Aku kira apa yang baik bagi Ayah dan Kakang Swandaru akan baik juga bagiku.”

Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi bukankah seharusnya kau ikut menentukan?”

“Dengan demikian, aku sudah ikut menentukan,” jawab Pandan Wangi.

“Baiklah Pandan Wangi,” berkata Ki Gede Menoreh. Lalu katanya kepada Kiai Gringsing, “Kiai, menurut pendapatku, jawab Pandan Wangi itu menyatakan bahwa ia tidak berkeberatan pula seperti Swandaru.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sementara Ki Gede Menoreh itupun meneruskan, “Nah, aku ingin mendengar jawab Agung Sedayu sendiri.”

Jantung Agung Sedayu terasa berdenyut semakin cepat. Namun ia harus menjawab pertanyaan itu. Ketika ia memandang wajah Sekar Mirah sekilas, justru ia menjadi bertanya-tanya. Ia melihat mata itu bagaikan memancarkan harapan.

“Apakah Sekar Mirah menerima penyerahan kewajiban ini dengan gairah?” bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri. Namun sekilas ia melihat sifat Sekar Mirah dan keinginan-keinginannya yang pernah dikatakannya tentang hari depan, maka agaknya Sekar Mirah memang mempunyai minat atas tugas yang dibebankan kepadanya itu. Karena bagi Sekar Mirah, hal itu akan berarti bahwa ia akan menjadi seorang yang memerintah Tanah Perdikan Menoreh, betapapun landasannya.

Namun karena itu, maka rasa-rasanya Agung Sedayu memang tidak akan dapat mengelak lagi. Yang masih tetap menjadi persoalan baginya adalah sikap kakaknya. Apakah Untara akan dapat menyetujuinya. Apakah yang harus dilakukannya jika Untara tidak mengijinkannya.

Agung Sedayu benar-benar merasa berdiri di jalan simpang.

Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Kiai Gringsing yang seolah olah mengetahui kesulitannya berkata, “Agung Sedayu. Kau adalah seorang adik bagi Angger Untara. Sudah seharusnya kau minta pertimbangannya. Tetapi sebelum datang menghadap, kau harus sudah bersikap. Kau sudah cukup dewasa, sehingga aku kira, kakakmu akan menghargai sikapmu.”

Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab.

“Cobalah melihat ke dalam dirimu. Baru kau pertimbangkan, apakah yang akan kau lakukan sehubungan dengan sikap Angger Untara,” berkata Kiai Gringsing lebih lanjut.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku masih sangat ragu-ragu untuk menentukan sikap.”

Adalah di luar dugaan, ketika tiba-tiba saja Sekar Mirah berdesis seolah-olah tidak sengaja, “Kapan Kakang Agung Sedayu tidak ragu-ragu menghadapi satu masalah. Apalagi masalah yang cukup besar.”

Ki Gede Menoreh berpaling kepadanya sejenak. Namun orang tua itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sementara Swandaru-lah yang menyahut, “Ia perlu mempertimbangkan segala kemungkinan Sekar Mirah.”

“Aku mengerti,” jawab Sekar Mirah, “tetapi akupun mengenal Kakang Agung Sedayu. Hampir tidak pernah terjadi, bahwa Kakang Agung Sedayu mengambil satu sikap yang mantap menghadapi masalah-masalah penting dalam hidupnya. Ia selalu ragu-ragu, dan karena itulah, maka banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan. Selama ia membuat pertimbangan yang tidak berujung pangkal, maka masalah-masalah itu berjalan tanpa berhenti dan menunggunya. Dengan demikian, maka Kakang Agung Sedayu banyak ditinggalkan oleh kesempatan-kesempatan baik yang tidak dapat ditangkapnya, justru karena ia sibuk dengan pertimbangan-pertimbangan dan keragu-raguan.”

Agung Sedayu tidak membantahnya. Meskipun Sekar Mirah mengucapkannya dengan nada rendah dan perlahan-lahan, namun terasa betapa perasaan yang tertahan selama itu bagaikan meledak tanpa dapat dikendalikan.

Namun bahwa Sekar Mirah menyetujui untuk menerima tugas itu, membuatnya agak mantap. Nampaknya ia memang tidak boleh melepaskan harapan gadis itu lagi. Jika ia menolak, apapun alasannya, maka Sekar Mirah akan menjadi sangat kecewa dan bahkan mungkin akan berakibat kurang baik.

Akhirnya Agung Sedayu itupun menjawab, “Ki Gede Menoreh. Agaknya memang tidak ada alasan lagi bagiku untuk menolak. Namun bagaimanapun juga, aku harus mengatakannya kepada Kakang Untara. Aku berharap bahwa Kakang Untara tidak akan menghalangiku.”

“Aku akan mengantarkanmu,” sahut Kiai Gringsing dengan serta merta.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih Guru. Mudah-mudahan semuanya dapat berlangsung tanpa hambatan apapun.”

Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk sambil berkata, “Tentu sudah sewajarnya bahwa kau akan berbicara dengan Angger Untara. Namun agaknya Angger Untara pun akan menghargai sikapmu sebagai seorang anak muda yang telah dewasa. Meskipun aku tahu, bahwa mungkin Untara mempunyai pertimbangan yang berkaitan dengan sikapnya sebagai seorang prajurit menghadapi Mataram. Namun kau akan dapat menjelaskkannya.”

“Aku akan mencoba meyakinkannya,” berkata Kiai Gringsing, “mudah-mudahan aku dan Angger Agung Sedayu tidak harus bersikap keras atas pendirian ini. Tetapi justru akan mendapat restu dan ijinnya karena pengertiannya.”

“Mudah-mudahan. Namun bagaimanapun juga, rasa-rasanya Tanah Perdikan itu sudah akan mulai hidup lagi. Seolah-olah setelah mengalami musim kering yang panjang, di atas tanah itu telah jatuh hujan yang segar dan membasahi seluruh batang dan akar pepohonan.” 

Demikianlah, maka pembicaraan itu nampaknya sudah sampai pada satu kesimpulan. Meskipun masih dibayangi oleh kabut yang tipis, namun sudah dapat dilihat, bahwa Agung Sedayu akan berada di Tanah Perdikan Menoreh tidak lama lagi. Ki Gede Menoreh merasa bahwa dirinya menjadi semakin lama semakin lemah. Bukan saja tubuhnya, tetapi juga jiwanya. Cacat kakinya membuatnya semakin sepi di Tanah Perdikan yang luas. Apalagi jika senja mulai membayang dan lampu-lampu minyak sudah mulai menyala. Rumah yang besar di Tanah Perdikan Menoreh itu tidak ubahnya bagaikan kuburan. Ia terlalu merasa sepi dalam kesendiriannya.

Meskipun di Tanah Perdikan itu ada Prastawa, tetapi jarang ia berada di rumah di senja hari. Ada saja alasannya. Dan Ki Gedepun tidak dapat mencegahnya. karena Prastawa selalu mengatakan, bahwa ia akan pergi ke gardu perondan, atau akan nganglang mengelilingi Tanah Perdikan. Atau akan melihat bagaimana para petani mentaati waktu pembagian air atau alasan-alasan lain yang memaksa Ki Gede Menoreh tidak menahannya untuk tinggal di rumah mengawaninya.

Sementara itu, maka Kiai Gringsinglah yang telah menutup pembicaraan itu. Katanya, “Ki Gede, nampaknya kita sudah sampai pada pokok masalahnya. Meskipun belum berarti bahwa segalanya akan berjalan rancak, namun kita akan dapat membicarakannya di saat-saat berikutnya. Biarlah pembicaraan seterusnya kita tunda, karena aku yakin bahwa Ki Gede tidak akan dengan tergesa-gesa meninggalkan padepokan ini.”

Ternyata Ki Gede pun tidak berkeberatan. Bahkan katanya, “Aku akan berada di sini sampai saatnya aku yakin, bahwa aku kembali ke Tanah Perdikan Menoreh dengan satu kepastian sikap bagi Tanah Perdikan itu.”

“Baikiah,” berkata Kiai Gringsing, “karena itu, maka kami ingin mempersilahkan Ki Gede untuk sekedar beristirahat. Mungkin malam nanti kita masih akan berbicara lagi tentang masalah ini.”

Ki Gede tersenyum. Jawabnya, “Terima kasih. Sebenarnyalah aku memang ingin beristirahat. Agaknya akan lebih senang beristirahat di kebun yang sejuk di belakang padepokan ini.”

Kiai Gringsing pun tersenyum pula sambil mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Waskita akan menemani Ki Gede. Mungkin juga Glagah Putih, yang akan dapat mengambil buah-buahan di dahan jika Ki Gede menginginkan.”

Demikianlah, maka Ki Gede diantar oleh Ki Waskita dan Glagah Putih telah meninggalkan pendapa. Sementara itu Agung Sedayupun telah mengambil kesempatan tersendiri untuk berbicara dengan Sabungsari.

“Aku mengerti, bahwa tidak seharusnya aku menyampaikan hal ini kepada senapati Pajang di Jati Anom,” berkata Sabungsari, “terserah kepadamu apakah yang akan kau lakukan.”

“Aku berada dalam kebimbangan,” berkata Agung Sedayu. “Jika aku menerima hal ini seperti yang sudah aku katakan, tentu akan mempunyai akibat yang jauh. Kakang Untara adalah prajurit Pajang, dan kaupun seorang prajurit Pajang yang baik.”

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Kalau aku berbicara tentang Mataram, rasa-rasanya aku melihat satu kepastian sikap dan cita-cita. Tetapi jika aku berbicara tentang Pajang, maka yang nampak adalah kekaburan. Namun aku percaya kepada senapati Pajang di Jati Anom. Ki Untara bagiku adalah seorang prajurit. Karena itu, aku akan menerima segala perintahnya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Karena itu katanya, “Terima kasih atas sikapmu Sabungsari. Mudah-mudahan aku mendapat terang untuk menentukan sikapku di kemudian hari.”

“Kau memang harus bersikap. Aku kira apa yang dikatakan oleh Sekar Mirah sebagian memang benar. Meskipun sebagian yang lain, nampaknya Sekar Mirah kurang mengerti akan sikapmu,” berkata Sabungsari.

“Aku akan mencoba tidak mengecewakannya kali ini,” jawab Agung Sedayu, “mungkin keinginan inilah yang telah mendorongku untuk menerima permintaan Ki Gede Menoreh.”

“Memang mungkin. Tetapi dengan demikian, bukankah berarti bahwa kau telah terlibat langsung dalam masalah yang gawat dalam kemelut antara Pajang dan Mataram?” berkata Sabungsari.

?Ya. Aku mengerti,” desis Agung Sedayu.

“Baiklah. Sementara kita akan menunggu perkembangan keadaan. Tetapi bukankah yang akan kau lakukan itu masih akan terjadi dalam waktu yang tidak terlalu singkat? Maksudku, tidak besok atau pekan mendatang?” bertanya Sabungsari.

“Mungkin tidak,” jawab Agung Sedayu, “tentu akan ada beberapa persiapan.”

“Baiklah. Selama ini aku tidak akan berkata apapun kepada siapapun, sebelum kau sendiri mengatakannya. Khususnya kepada Ki Untara. Dan akupun akan berbuat seperti yang biasa aku lakukan. Aku mendapat ijin khusus untuk berada di tempat ini sejak aku terluka, dan ijin itu sampai sekarang belum pernah dicabut. Karena itu, maka aku akan banyak mempergunakan waktu seperti sekarang ini, meskipun pada saat-saat tertentu aku akan berada di barakku.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia percaya sepenuhnya kepada Sabungsari meskipun anak muda itu pernah merencanakan untuk membunuhnya. Tetapi perkembangan jiwanya telah meyakinkan bagi Agung Sedayu, bahwa ia akan berbuat baik untuk seterusnya.

Dalam pada itu, ternyata Swandaru dan Pandan Wangi yang berada di serambi berdua saja, telah terlibat ke dalam pembicaraan yang sungguh-sungguh. Betapapun beratnya, namun Swandaru telah menyampaikan perasaannya tentang adik sepupu Pandan Wangi yang mempunyai perhatian yang agak menarik perhatian terhadap Sekar Mirah.

“Maaf Kakang,” sahut Pandan Wangi, “sebenarnyalah akupun akan mengatakannya kepada Kakang, bahwa aku melihat sesuatu yang kurang wajar pada Prastawa. Karena itu, terserahlah kepada Kakang, kebijaksanaan apakah yang akan diambil. Karena jika Agung Sedayu ada di Tanah Perdikan Menoreh, maka Sekar Mirahpun tentu akan sering berada di sana pula. Sebenarnyalah bahwa hal itu harus mendapat perhatian sepenuhnya dari segala pihak.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ternyata istrinya juga mempunya perasaan yang sama. Jika semula ia ragu-ragu, dan bahkan cemas bahwa Pandan Wangi akan tersinggung, ternyata dugaan itu keliru.

Karena itu, maka Swandaru pun justru berkata lebih lanjut, “Meskipun Kakang Agung Sedayu dalam kedudukannya sebagai murid Kiai Gringsing lebih tua dari aku, tetapi di dalam hubungan ini, maka aku adalah kakak Sekar Mirah.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Katanya, “Memang dalam hal ini, kita adalah orang tua yang wajib memberikan bimbingan. Apalagi Prastawa adalah adik sepupuku yang sudah aku anggap adikku sendiri.”

“Kita barus berbicara dengan Guru,” berkata Swandaru, “apakah yang baik kita lakukan. Jika kita membiarkan hal itu berkepanjangan, sementara ternyata kelak menimbulkan sesuatu yang tidak dinginkan, maka kita termasuk orang-orang yang bersalah karena kita tidak berusaha mengambil tindakan pencegahan.”

“Apakah aku juga harus berbicara dengan Ayah? Jika Ayah mengetahuinya, maka setidak-tidaknya Ayah akan dapat membantu memberikan beberapa petunjuk meskipun tidak langsung, kepada Prastawa. Justru sebelum Kakang Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh.”

Swandaru menjadi ragu-ragu. Katanya, “Tetapi jika hal itu sudah terlanjur kita sampaikan kepada Ki Gede, padahal hal ini hanya tumbuh karena prasangka semata-mata, apakah hal itu tidak akan berpengaruh?”

“Memang mungkin hanya satu prasangka,” jawab Pandan Wangi, “tetapi kita mempunyai prasangka yang sama. Karena itu, hal ini akan dapat kita pertanggung jawabkan bersama. Sementara yang akan kita katakan kepada ayahpun tentu akan kita lambari dengan pengantar, bahwa ini hanya suatu dugaan.”

“Aku tidak berkeberatan Pandan Wangi, tetapi bagaimana jika hal itu kita bicarakan dahulu dengan Guru, sebelum kita menyampaikannya kepada Ki Gede? Mungkin Guru dapat membantu memberikan arah pembicaraan kepada kita, jika kita akan menyampaikannya nanti kepada Ki Gede,” berkata Swandaru kemudian.

Pandan Wangi tidak berkeberatan. Karena itu, maka merekapun menunggu kesempatan yang baik untuk dapat berbicara dengan Kiai Gringring tanpa orang lain.

Demikianlah untuk beberapa saat di padepokan kecil itu telah terjadi pembicaraan yang terpisah-pisah. Masing-masing menurut kepentingan mereka sendiri. Sementara itu, Ki Gede bersama kedua pengawalnya dan Ki Waskita berada di kebun belakang. Nampaknya udara di padepokan itu terasa sangat segar bagi Ki Gede. Karena itulah. maka ia telah berbaring di atas sehelai tikar di bawah sebatang pohon kemuning yang rindang. Sementara Ki Waskita yang duduk di sebelahnya kemudian mempersilahkannya untuk beristirahat, karena ia sendiri akan menemui Kiai Gringsing di ruang dalam.

“Silahkan,” berkata Ki Gede, “aku akan beristirahat di sini bersama Angger Glagah Putih.”

Ki Waskita pun kemudian meninggalkan Ki Gede yang sedang berbaring ditemani oleh Glagah Putih dan para pengawalnya.

Namun dalam pada itu, Ki Waskita tidak langsung masuk ke ruang dalam untuk menemui Kiai Gringsing. Seolah-olah di luar sadarnya ia telah pergi ke sanggar. Ketika ternyata bahwa sanggar itu sepi, maka Ki Waskitapun telah menutup dan menyelarak pintu dari dalam. Ada semacam kegelisahan yang mengusik hatinya. Ia tidak tahu, apakah sebenarnya yang telah mengganggu perasaan itu. Sehingga karena itulah ia ingin melihat ke dalam alam isyarat, yang kadang-kadang justru dapat membingungkannya sendiri.

Beberapa saat kemudian Ki Waskita itu telah duduk di atas tikar di lantai sanggar yang sepi itu. Kemudian ia telah bersungguh-sungguh ingin melihat sesuatu yang mungkin akan dapat diurainya dalam hubungannya dengan rencana-rencana yang baru saja didengarnya tentang Tanah Perdikan Menoreh.

Sebenarnyalah, dalam kegelisahan itu Ki Waskita telah melihat satu isyarat yang kabur. Bukan Tanah Perdikan Menorehnya, tetapi justru pada Agung Sedayu.

Dengan hati yang berdebar-debar Ki Waskita berusaha untuk melihat lebih jauh lagi. Bayangan-bayangan yang kabur itu justru bagaikan terurai dalam garis-garis warna yang berbeda. Kemudian cahaya yang berterbangan melintas dengan cepat. Sementara itu, kabutpun menjadi semakin gelap. Namun bayangan Agung Sedayu di belakang kabut itu justru nampak semakin jelas.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat satu isyarat. Dan ia harus mengurai isyarat itu. Sebagaimana yang sering dilakukannya.

Namun dalam pada itu, kelemahan manusiawi telah mencengkam jantungnya. Justru karena yang dilihatnya itu adalah satu peristiwa yang menyangkut seorang anak muda yang menjadi pusat perhatiannya di dalam pewarisan ilmunya. Agung Sedayu adalah satu-satunya anak muda yang pernah mendapat ijinnya untuk melihat isi kitabnya. Sehingga karena itulah, maka ia melihat isyarat itu tidak lagi dengan pandangan yang tanpa kepentingan.

Tetapi Ki Waskita menyadari keadaannya. Karena itu, maka katanya kepada diri sendiri, “Aku akan berbicara dengan Kiai Gringsing. Meskipun Kiai Gringsing tidak terbiasa melakukan pekerjaan seperti ini, tetapi aku yakin, bahwa pandangan mata batinnya akan cukup tajam untuk membantu aku mengurai isyarat ini. Mungkin aku mempunyai kepentingan yang sama dengan Kiai Gringsing atas anak muda yang bernama Agung Sedayu itu. Namun dengan memperbincangkannya, maka akan aku dapat bahan-bahan lain kecuali isyarat yang sudah aku lihat. Mungkin peristiwa yang sudah terjadi, atau sedang terjadi dalam hubungan antara Pajang dan Mataram.”

Karena itulah, maka Ki Waskitapun kemudian mengakhiri usahanya untuk melihat masa depan Tanah Perdikan Menoreh dalam isyarat, seperti yang sering dilakukannya atas beberapa hal yang penting. Dengan gelisah ia ingin segera menemui Kiai Gringsing untuk menyampaikan penglihatannya itu.

Namun dalam pada itu, ketika ia memasuki ruang dalam, dilihatnya Kiai Gringsing sedang sibuk berbicara dengan Swandaru dan Pandan Wangi.

Ki Waskita yang melihat pembicaraan yang sungguh-sungguh itu tidak ingin mengganggunya. Karena itu, maka iapun telah menunda rencananya untuk bertemu dengan Kiai Gringsing. Dibiarkannya Swandaru dan Pandan Wangi berbicara sampai tuntas dengan Kiai Gringsing.

Karena itulah, maka Ki Waskita pun kemudian justru beringsut dan meninggalkan ruang dalam. Ia ingin menunggu pembicaraan itu selesai di longkangan.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang terlibat dalam pembicaraan yang sungguh-sungguh dengan Swandaru dan Pandan Wangi, menjadi berdebar-debar juga mendengarkan keterangan kedua orang suami istri itu. Jika benar seperti yang mereka katakan, bahwa sikap Prastawa memang pantas mendapat perhatian, seharusnyalah bahwa hal itu tidak dapat diabaikan begitu saja.

“Jadi menurut pendapatmu, apakah sikap Prastawa itu benar-benar akan dapat mengganggu?” bertanya Kiai Gringsing.

“Maaf Kiai,” sahut Pandan Wangi, “ia adalah adik sepupuku. Menurut pendengaranku, Prastawa memang mempunyai kelemahan. Ia tidak boleh berdekatan barang sebentar saja dengan perempuan-perempuan cantik. Apalagi seorang gadis yang riang dan peramah seperti Sekar Mirah. Ia akan mudah tertarik, dan bahkan mungkin akan dapat kehilangan pertimbangan-pertimbangan nalar yang bening.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ternyata pendapat Pandan Wangi itu dikuatkan oleh pengamatan Swandaru. Katanya, “Mungkin aku hanya berprasangka saja Guru. Tetapi aku berkepentingan dengan kedua-duanya. Kakang Agung Sedayu adalah saudara seperguruanku, sementara Sekar Mirah adalah adik kandungku. Jika terjadi sesuatu pada hubungan antara keduanya. maka akupun akan merasakan akibatnya pula.”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja hampir di luar sadarnya ia berkata, “Jika demikian, apakah sebaiknya hubungan antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah itu ditegaskan saja dalam waktu dekat?”

Swandaru mengangkat wajahnya. Dipandanginya Kiai Gringsing dengan tajamnya. Namun ketika ia berpaling memandang Pandan Wangi, maka iapun telah mengangguk kecil sambil berkata, “Aku kira jalan itu adalah jalan yang paling baik.”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Kita akan dapat memikirkannya Ngger. Alangkah baiknya jika Agung Sedayu hadir di Tanah Perdikan itu tidak lagi sebagai seorang yang masih belum berkeluarga. Mungkin ia dapat berada di Tanah Perdikan itu sebelumnya. Tetapi pembicaraan tentang hari-hari perkawinannya harus sudah masak lebih dahulu. Jika ia berada di Tanah Perdikan itu, maka Prastawa pun sudah tahu dengan pasti bahwa Agung Sedayu itu akan menjadi suami Sekar Mirah. Yang karena itu, maka ia akan mengesampingkan semua perasaan yang akan menyangkut gadis Sangkal Putung itu. Jika demikian Ngger, kita akan merintis pembicaraan tentang hal itu. Namun aku minta agar kau berdua tidak menyampaikan masalah ini kepada Ki Demang, sebelum aku membicarakannya dengan masak. Aku masih harus berbicara dengan Agung Sedayu sendiri, dan akupun harus berbicara dengan orang yang paling berhak disebut pengganti ayah bundanya, yaitu Angger Untara.”

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar