Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 120

Buku 120

Sabungsari yang hampir tidak sabar mengawasi kelima orang-orangnya, ternyata sempat melihat mereka meninggalkan tempat persembunyiannya, sehingga ia pun segera menyusul mereka. Sementara itu kegelisahan dan hampir ketidaksabaran, membuatnya semakin mendendam. Setiap kali ia menggeretakkan giginya. Rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggu untuk meremas dada Agung Sedayu.

“Aku harus membunuhnya, sebagaimana ia membunuh ayahku. Mayatnya akan aku lempar ke padepokan kecil itu agar gurunya melihat apa yang telah terjadi atas muridnya yang sombong itu.”

Namun Sabungsari menjadi ragu-ragu. Ia sudah mengenal Agung Sedayu. Dan ia tidak dapat menyebutnya sebagai seorang anak muda yang sombong. Bahkan Agung Sedayu menurut pengenalannya adalah anak muda yang ramah, rendah hati dan bahkan agak tertutup, sehingga sulit untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.

“Persetan,” geram Sabungsari, ”aku akan membunuhnya. Aku akan meremas isi dadanya dengan tatapan mataku yang tidak akan terlawan oleh anak muda itu. Bahkan oleh gurunya sekalipun.”

Sabungsari menggeretakkan giginya. Ia memacu kudanya semakin cepat. Namun kemudian ia terpaksa memperlambatnya, karena ia tidak mau diketahui oleh orang-orangnya, bahwa ia pun mengikuti mereka pula.

“Pada saatnya mereka akan bertempur,” berkata Sabungsari kemudian. Namun ia menjadi ragu-ragu, ”Jika Agung Sedayu langsung kembali ke Jati Anom, maka orang-orang dungu itu tentu hanya akan mengikutinya saja, kemudian melaporkan kepadaku, bahwa Agung Sedayu telah kembali ke padepokannya.”

Tetapi Sabungsari masih mengharap, bahwa sepanjang jalan sampai ke Jati Anom akan terjadi sesuatu, sehingga pertempuran itu akan terjadi.

Dalam pada itu, seperti yang dikehendaki oleh Agung Sedayu, maka ia tidak akan singgah dimanapun juga. Tidak singgah di Tanah Perdikan Menoreh dan tidak singgah di Mataram. Ia sudah berpesan, agar Ki Waskita memberitahukan kepada Ki Gede Menoreh, bahwa Agung Sedayu tidak singgah ketika ia kembali ke Jati Anom, karena berbagai macam pertimbangan, apabila ada seseorang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

Seperti yang direncanakannya, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih akan menyusuri Kali Praga ke selatan. Glagah Putih lebih senang lewat jalan yang jauh dan belum pernah dilihatnya. Di sepanjang pantai atau daerah dekat pantai, akan dilihatnya suasana yang berbeda.

Sementara itu, beberapa orang masih tetap mengikutinya. Namun orang-orang itu pun menjadi sangat berhati-hati, agar Agung Sedayu tidak mengetahuinya. Karena itu, maka salah seorang dari mereka ada di paling depan. Jika ia melihat sesuatu yang mencurigakan, maka ia harus memberikan isyarat.

Ketika mereka sampai di pinggir Kali Praga, mereka masih sempat melihat Agung Sedayu turun dari getek penyeberangan di seberang. Tetapi agaknya Agung Sedayu tidak menghiraukan orang-orang yang akan menyeberang kemudian. Ada dua orang berkuda pula yang menyeberang berlawanan arah, selain beberapa orang pejalan kaki.

Namun hal itu tidak menyulitkan orang-orang yang mengikutinya untuk mengikuti jejaknya, karena kuda yang berpapasan arah jejaknyapun berlawanan.

Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Mereka memang melihat jejak kuda Agung Sedayu telah berbelok menempuh jalan yang lebih kecil menyusur Kali Praga.

“Apakah ia akan singgah di Mataram?” pertanyaan itu telah tumbuh di antara orang-orang yang mengikutinya.

Namun akhirnya mereka memutuskan untuk mengikuti saja kemana ia pergi, meskipun dengan ragu-ragu. Jika Agung Sedayu akan singgah di Mataram, lebih baik ia menempuh jalan biasa dilalui lewat sebelah barat Kali Praga dan menyeberang di penyeberangan sebelah selatan. Tetapi agaknya Agung Sedayu telah menentukan jalannya sendiri.

Orang-orang yang mengikuti Agung Sedayu itu akhirnya benar-benar merasa cemas. Mereka sudah mengikuti untuk jarak yang panjang dan dalam waktu yang lama. Bahkan mereka seolah-olah sudah kehilangan kesabaran untuk menggiring Agung Sedayu kembali ke Jati Anom lewat jalan sempit di pinggir hutan. Dengan demikian ada kesempatan bagi mereka untuk memaksa Agung Sedayu berhenti. Melumpuhkannya dan mengikatnya, sebelum mereka memanggil Sabungsari untuk membunuh Agung Sedayu dengan tangannya.

“Apa salahnya jika kamilah yang membunuh?” pertanyaan itu kadang melonjak di hati para pengikut Sabungsari. Tetapi mereka mengerti, bahwa Sabungsari ingin melepaskan dendamnya dan membunuh Agung Sedayu dengan caranya.

Untuk beberapa saat lamanya, orang-orang itu masih mengikuti Agung Sedayu. Mereka mengikuti jalan sempit yang semakin lama menjadi semakin buruk. Bahkan kadang-kadang mereka melalui daerah yang basah dan berawa.

“Gila,” orang-orang itu mengeluh oleh ketidaksabaran.

“Sampai kemana kita akan mengikuti mereka?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Kita akan segera memaksanya kembali ke Jati Anom. Jika perlu dengan kekerasan.”

”Kalau kita terpaksa menyakiti atau bahkan membunuhnya?”

“Apa boleh buat. Tetapi kita berusaha untuk menawannya hidup-hidup agar kita tidak dianggap bersalah oleh Sabungsari.”

Wajah orang-orang itu menegang. Salah seorang berkata, ”Apakah Sabungsari berani mengambil tindakan terhadap kita berlima?”

Kawan-kawannya memandanginya dengan ragu-ragu. Namun seorang yang lain berkata, “Aku kira, ia pun tidak akan berani melakukan sesuatu jika terpaksa kita melanggar perintahnya. Kita menghormatinya karena kita menghormati ayahnya. Tetapi jika anak muda itu ingin berbuat sewenang-wenang, apakah kita akan membiarkannya? Kita mempunyai kekuatan yang barangkali dapat mematahkan kesewenang-wenangannya.”

“Kalau begitu?” bertanya yang lain.

“Kita pun mendendam Agung Sedayu karena ia telah membunuh Ki Gede Telengan, sehingga perguruan kita kehilangan ikatan.”

“Tetapi sebaiknya kita tidak membuat persoalan-persoalan baru di antara kita sendiri. Kita akan mentaati perintahnya, mencoba menangkap Agung Sedayu hidup-hidup. Tetapi jika kita mendapat kesulitan, tentu kita tidak akan membiarkan diri kita justru menjadi korban keganasan anak muda itu.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Nampaknya mereka pun telah dibakar oleh dendam kepada anak muda yang bernama Agung Sedayu itu

Beberapa lamanya mereka masih mengikuti jejak kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih. Kadang-kadang jejak kaki itu hilang di tanah yang berair. Namun mereka tidak terlalu sulit untuk menemukan jejak itu di seberang yang lain, karena jalan kecil itu nampaknya memang jarang dilalui orang.

Dengan demikian maka orang-orang yang mengikuti Agung Sedayu itu menjadi semakin jemu. Mereka telah mempergunakan waktu yang lama, sementara Agung Sedayu nampaknya sengaja memilih jalan yang tidak biasa dilalui orang.

Karena itulah, maka orang-orang yang mengikutinya itu telah membagi diri. Satu orang yang berada di paling depan, mengamat-amati Agung Sedayu dengan sungguh-sungguh, sementara kawan-kawannya dapat beristirahat dari ketegangan meskipun mereka masih juga harus berkuda dan mengikuti jejak.

Bahkan, pada suatu saat mereka harus berhenti dan beristirahat, karena beberapa puluh tonggak di hadapan mereka, Agung Sedayu dan Glagah Putih juga beristirahat.

“Nampaknya mereka akan melalui daerah yang belum pernah mereka lihat,” berkata salah seorang dari mereka.

“Tentu anak itu ingin melihat daerah di sebelah selatan. Kita sudah berada di arah sebelah barat Mataram. Tetapi nampaknya Agung Sedayu akan berjalan terus ke selatan.”

“Gila. Pekerjaan gila,” desis yang lain. Rasa-rasanya mereka malas untuk berangkat lagi, ketika mereka mendapat isyarat bahwa Agung Sedayu telah meneruskan perjalanannya.

Tetapi mereka tidak dapat ingkar akan tugas yang dibebankan kepada mereka oleh Sabungsari. Bagaimanapun juga, masih ada keseganan dari kelima orang itu. Jika Sabungsari marah kepada mereka, dan benar-benar akan bertindak, mungkin mereka dapat menghindar jika mereka hanya berhadapan dengan Sabungsari seorang diri. Tetapi mungkin Sabungsari akan mempergunakan orang lain yang dapat membantunya.

Karena itu, maka mereka berlima akhirnya telah berangkat pula mengikuti Agung Sedayu.

Ternyata seperti dugaan mereka, bahwa Agung Sedayu memang memilih jalan yang sepi, yang tidak banyak dilalui orang, menuju ke pesisir.

“Kebetulan sekali,” berkata salah seorang dari kelima orang yang mengikutinya, ”nanti malam kita dapat bertindak. Kita memaksanya untuk menyerah,jika ia masih sayang akan jiwanya. Anak yang dungu itu dapat kita perlakukan sekehendak kita. Dibunuhpun Sabungsari tidak berkeberatan.”

“Jangan dibunuh dahulu,” berkata yang lain, ”kita pergunakan anak itu semacam tanggungan agar Agung Sedayu tidak berusaha melarikan diri di sepanjang jalan. Tentu ia merasa bertanggung jawab atas anak itu, sehingga ia akan menurut segala perintah kita.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Dengan demikian Agung Sedayu tentu akan menjadi agak jinak dan mudah dikendalikan.

Betapapun jemu dan jengkel, namun kelima orang itu masih tetap mengikuti Agung Sedayu dan Glagah Putih yang ternyata memang menyusur pantai. Namun sebentar lagi langit menjadi buram dan bintang-bintang mulai nampak di langit.  

Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih mendekati pantai, maka hati Glagah Putih menjadi semakin gembira. Agung Sedayu telah melintas justru di sebelah timur Kali Praga, tetapi di sebelah barat Mangir. Mereka memilih jalan yang sepi agar mereka tidak terganggu oleh pertanyaan-pertanyaan orang yang mungkin mencurigai mereka.

Ketika suara ombak laut selatan mulai terdengar, dada Glagah Putih menjadi berdebar-debar.

“Kita sudah sampai,” desisnya.

“Ya. Tetapi di daerah ini kita tidak akan dapat mendekat.”

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

“Bukankah kau lihat, di hadapan kita terbentang rawa-rawa yang ditumbuhi pohon pandan yang rapat-rapat, seperti padang duri yang runcing dan tajam.”

Glagah Putih termangu-mangu. Dipandanginya tanah rawa-rawa yang ditumbuhi gerumbul-gerumbul pandan yang berduri tajam. Sebagian tumbuh bagaikan jamur raksasa yang bergerumbul mencuat di permukaan air yang kehitam-hitaman, sedangkan sebagian yang lain tumbuh pada batangnya yang mencuat seperti berpuluh-puluh galah yang ujungnya bagaikan berkembang daun-daun bunga yang berwarna hijau dan berduri.

Terasa bulu-bulu Glagah Putih meremang. Apalagi ketika langit menjadi suram dan bintang mulai berkeredipan.

“Aku mendengar suara aneh,” desis Glagah Putih.

“Suara apa?”

“Seperti seekor harimau yang mengaum.”

“Itu suara angin. Kau dengar suara gelegar ombak itu?”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi langit bagaikan dipulas dengan warna hitam dan dilekati oleh keredipan bintang yang tersebar sampai ke batas pandangan mata.

Seleret nampak kilau buih ombak bagaikan hendak menerkam. Namun kemudian pecah berderai di atas pasir dan hilang ditelan oleh rawa-rawa yang berpagar pohon pandan.

Namun terasa oleh Glagah Putih, bahwa air bagaikan mengejarnya, menjadi semakin tinggi dan seperti tangan yang menggapai-gapai.

“Air di rawa-rawa itu naik,” desis Glagah Putih.

“Ya. Masih akan naik semakin tinggi,” jawab Agung Sedayu, ”pohon-pohon pandan itu akan tenggelam, tetapi yang seolah-olah kembang di ujung galah itu justru akan nampak bagaikan kembang di permukaan air.”

“Kalau begitu, kita harus menyingkir dari tempat ini.”

“Ya. Kita akan berjalan terus menyusuri pantai, tetapi menjauhi batas deburan ombak dan buih.”

Glagah Putih tidak menjawab. Diikutinya saja Agung Sedayu yang berkuda semakin jauh dari tanah rawa-rawa.

“Aku juga belum pernah menginjak daerah ini,” tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis.

Glagah Putih tidak menjawab. Ia memang belum pernah mendengar Agung Sedayu bercerita tentang daerah ini. Tetapi Glagah Putih yakin, bahwa Agung Sedayu pernah mendengar dari Kiai Gringsing atau dari orang lain sesuatu tentang rawa yang berpandan ini.

Meskipun malam menjadi semakin gelap, tetapi Agung Sedayu masih tetap berada di punggung kudanya, sehingga akhirnya Glagah Putih berkata, ”Kakang, apakah kita tidak akan berhenti dan mencari tempat yang paling baik untuk bermalam?”

“Tentu,” jawab Agung Sedayu, ”kita akan bermalam. Tetapi kita akan bergeser sedikit ke timur. Agaknya kita akan sampai ke pantai yang berpasir dan tidak lagi digenangi oleh rawa-rawa yang penuh dengan batang pandan berduri. Menurut kata orang, daerah di sebelah timur, merupakan daerah berpasir yang luas, sehingga kita akan dapat memilih tempat yang paling baik untuk bermalam. Meskipun seandainya kita berada di sini di musim hujan, kita akan kehilangan kesempatan untuk berteduh jika hujan turun.”

Glagah Putih tidak menjawab. Ia mengikuti saja di belakang Agung Sedayu. Namun akhirnya Agung Sedayu berkata, ”Kemarilah. Jangan di belakang.”

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi seolah-olah ia mendengarkan suara ombak yang menggelegar bergulung-gulung tanpa henti hentinya.

“Suara ombak itu,” berkata Agung Sedayu, ”seperti rangkaian suara yang iramanya telah disusun. Ajeg, tetapi terasa hidup.”

“Ya,” desis Glagah Putih yang telah berada di sebelah Agung Sedayu.

“Kemarilah Glagah Putih. Jangan terlalu jauh.”

Glagah Putih menjadi heran. Tentu Agung Sedayu tidak menjadi ketakutan meskipun suasananya memang agak mengerikan.

Di luar sadarnya Glagah Putih berpaling. Yang nampak hanyalah pekatnya malam. Namun di hadapannya nampak dalam keremangan, pasir yang keputih-putihan terbentang luas. Mereka mulai meninggalkan daerah yang berawa-rawa.

“Cepatlah sedikit,” ajak Agung Sedayu.

“Kenapa?” Glagah Putih menjadi curiga, ”kudaku nampaknya terlalu lelah berjalan diatas pasir.”

“Di sebelah akan kita dapati rerumputan meskipun tidak begitu banyak, di daerah yang basah oleh air tawar.”

“Kakang tahu pasti.”

“Mudah-mudahan.”

Glagah Putih tidak menjawab lagi. Diikutinya Agung Sedayu yang mempercepat langkah kudanya, semakin lama semakin jauh dari batas derai ombak di atas pasir pantai.

Namun sejenak kemudian Agung Sedayu menarik kekang kudanya. Katanya, “Kita tidak dapat terus menerus membiarkannya mengikuti kita Glagah Putih. Aku harus bertanya apakah keperluan mereka. Tetapi berhati-hatilah. Mungkin kita harus berusaha menyelamatkan diri dari gangguan orang-orang yang tidak kita kenal.”

“Apa yang Kakang maksudkan, aku tidak melihat sesuatu?”

“Aku mendengar di antara gelegar ombak yang berirama itu, suara yang lain.”

”Apa?”

“Ringkik kuda.”

Glagah Putih terkejut mendengar jawaban Agung Sedayu. Ia sama sekali tidak mendengar sesuatu selain debur ombak yang bagaikan berkejaran memukul pantai.

Dalam pada itu, kelima orang yang mengikuti Agung Sedayu menjadi tidak sabar lagi. Semakin gelap, mereka semakin cemas, bahwa pada suatu saat mereka akan kehilangan Agung Sedayu. Untuk beberapa saat mereka masih dapat mengikuti jejaknya meskipun dengan susah payah. Namun kemudian mereka menjadi tidak telaten lagi.

“Kita susul dan kita hentikan anak itu,” berkata salah seorang dari kelima orang yang mengikutinya.

“Tentu sudah dekat. Tetapi malam yang gelap telah membatasi jarak yang tidak terlalu panjang ini.”

“Kita cepat sedikit. Arahnya tentu tidak berubah.”

“Ya. Kita berpencar. Tetapi kita akan mengikuti arah yang sama. Lihat bintang gubug penceng itu. Kita jangan kehilangan kiblat. Kita akan menuju ke arah timur pada jarak kira-kira lima sampai sepuluh langkah menyamping.”

Kelima orang itu pun kemudian mengambil jarak. Tetapi orang yang terdekat akan tetap mendengar jika yang lain berteriak memanggil.

Ternyata usaha mereka tidak sia-sia. Apalagi ketika Agung Sedayu mendengar ringkik kuda mereka dan bahkan kemudian berhenti.

Jarak mereka semakin lama menjadi semakin pendek. Ternyata bahwa Agung Sedayu sudah bergeser agak jauh, sehingga orang yang berada di paling ujunglah yang kemudian melihat dua bayangan yang hitam, di dalam gelapnya malam.

Dengan serta merta maka orang yang berada di ujung itu pun berteriak memberikan isyarat. Suara itu terdengar oleh orang kedua yang menyambung teriakan itu. Demikian pula orang ketiga dan sampai pulalah ke telinga orang kelima.

Beberapa saat kemudian kelima orang itu sudah berkumpul hanya beberapa langkah saja dari Agung Sedayu dan Glagah Putih.

“Siapakah mereka Kakang?” bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu menggeleng lemah. Dengan suara parau ia menjawab lamat-lamat hampir tidak didengar karena deburan ombak yang tidak ada henti-hentinya, ”Aku tidak tahu Glagah Putih. Itulah yang mendebarkan hati. Selama ini aku merasa selalu diburu oleh kegelisahan karena dendam yang membara di hati banyak orang.”

“Kenapa mereka mendendam?” bertanya Glagah Putih

“Yang terjadi adalah di luar kehendakku. Didalam peperangan tangan ini tidak dapat dikendalikan lagi, sehingga kadang-kadang di luar keinginan telah terjadi kematian.”

“Sanak saudaranya menjadi dendam kepada Kakang?”

“Ya,” jawab Agung Sedayu.

“Itu bukan salah Kakang. Mereka yang mendendam itu tentu orang-orang yang berjiwa kerdil. Kematian di peperangan adalah kematian yang wajar sekali.”

“Ah,” Agung Sedayu berdesah. Dipandanginya lima bayangan hitam di atas punggung kuda yang semakin mendekat. Namun ia masih sempat berkata, ”Tentu mereka mempunyai alasan. Mereka menuntut balas sebagai tanda kesetiaan mereka terhadap saudara seperguruan, atau terhadap kawan dan sahabat atau terhadap keluarga.”

Glagah Putih tidak sempal menjawab lagi. Di antara debur ombak ia mendengar salah seorang dari kelima orang itu berteriak, ”He, bukankah kau Agung Sedayu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun menjawab, ”Ya. Aku adalah Agung Sedayu.”

Kelima orang itu menjadi semakin dekat. Dan salah seorang di antara mereka berkata lebih lanjut, ”Bagus. Ternyata kau memang seorang laki-laki yang berani. Dengan dada tengadah kau mengaku, bahwa kau adalah Agung Sedayu.”

“Kenapa aku harus ingkar? Bukankah wajar, bahwa aku mengaku tentang diriku.”

“Bagus anak muda. Aku mempunyai keperluan yang penting dengan kau.”

“Aku sudah menduga. Jika tidak, tentu kalian tidak akan mengikuti aku sampai ke tempat ini.”

“Baiklah,” orang itu melanjutkan, “kehadiranku disini sebenarnya bermaksud baik. Kami hanya akan mempersilahkan kau kembali ke Jati Anom. Hanya itu.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Jawabnya, ”Aku memang akan kembali ke Jati Anom.”

“Tetapi ternyata kau menuju ke arah yang tidak kami ketahui. Apakah jalan ini memang jalan yang biasa dilalui orang dari padukuhan Ki Waskita menuju ke Jati Anom?”

“Memang tidak Ki Sanak,” jawab Agung Sedayu, ”tetapi aku sekedar ingin memperpanjang langkah, melihat-lihat daerah yang belum pernah kami lihat sebelumnya.”

“Mungkin benar. Tetapi mungkin kau sengaja menghindari kami.”

“Kalian memang aneh. Aku baru saja tahu, bahwa kalian mengikuti aku. He, tetapi siapakah kalian berlima?“ bertanya Agung Sedayu.

“Kau tidak perlu mengetahui siapakah kami. Itu adalah karena kebodohan kalian. Kami berhasil mengetahui siapa kau, tetapi kau tidak mengetahui siapa kami,” jawab salah seorang dari kelima orang itu.

“Baiklah, jika kalian tidak ingin menyebut nama kalian. Tetapi apabila kalian hanya ingin minta agar aku kembali ke Jati Anom, aku akan menyanggupinya. Aku akan kembali ke Jati Anom menyusuri pantai zelatan. Tetapi tidak akan terlalu jauh lagi. Jika jalan menjadi semakin sulit dan apalagi sampai ke pegunungan padas, kami akan segera berbelok ke utara dan mencari jalan yang lebih baik.”

“Agung Sedayu,” berkata salah seorang dari kelima orang itu, ”kami sudah bertekad untuk membawamu. Kami tahu bahwa kau berkata sebenarnya. Tetapi agar kami yakin bahwa kau tidak berbohong, maka biarkanlah kami mengikat tangan dan kakimu. Kami tidak akan menyakitimu, karena kami akan membawamu kepada seseorang yang memang memerlukan kau dalam keadaan hidup dan sehat walafiat.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menjawab Glagah Putih telah mendahului, “Bicaramu aneh, Ki Sanak.”

Kelima orang yang ingin menangkap Agung Sedayu itu memandang bayangan Glagah Putih sejenak, tetapi mereka tidak dapat memandang kerut keningnya dengan jelas.

Salah seorang dari kelima orang itu berkata, ”Anak muda. Sebaiknya kau pun menurut segala perintah kami agar kau tidak mengalami kesulitan apapun juga.”

“Permintaan kalian memang menggelikan,” berkata Glagah Putih, ”apakah wajar bahwa kaki dan tangan kami akan diikat hanya karena ada seseorang yang ingin bertemu dengan kami. He, siapakah kalian sebenarnya Ki Sanak.”

“Apakah ada perlunya kau mengetahui nama kami? Aku kira itu hanya akan memperpanjang waktu saja. Sekarang, marilah kalian berdua turun dari kuda, mendekati kami dengan tangan di punggung. Kami akan mengikatnya kuat-kuat. Jika kalian berbuat demikian dengan suka rela, maka kalian akan selamat sampai ke daerah Jati Anom.”

“Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu kemudian, ”kenapa kita tidak berterus terang? Apakah maumu sebenarnya.”

“Aku sudah berterus terang,” jawab salah seorang dari kelima orang itu, ”kami akan mengikat kalian dan membawa kalian kembali ke Jati Anom.”

“Mungkin benar seperti yang kau katakan, tetapi yang aku maksud, berkatalah terus terang, siapakah yang menyuruh kalian melakukan hal itu.”

“Kami sendiri. Kami sendirilah yang ingin memperlakukan kalian berdua demikian.”

“Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu, ”jika kalian mau menyebut seseorang yang menyuruh kalian berbuat demikian, mungkin kami akan menurut perintah itu.”

Sejenak kelima orang itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian salah seorang dari mereka menjawab, ”Kami sendirilah yang memerlukan Agung Sedayu. Kami sendirilah yang memerintah diri kami untuk mengikat tangan dan kaki Agung Sedayu.”

Agung Sedayu menggeleng sambil menjawab, ”Mustahil. Tetapi baiklah jika kalian tidak bersedia menyebut siapakah kalian, dan siapakah yang berdiri di belakang kalian.”

“Jadi, apakah kau bersedia memberikan tanganmu untuk kami ikat?” bertanya salah seorang dari kelima orang itu.

“Pertanyaan aneh. Kalian tentu sudah mengetahui jawabku dan barang kali jawab setiap orang yang menerima permintaan yang serupa.”

“Apa jawabmu? Kau belum mengatakannya.”

“Ki Sanak,” berkata Agung Sedayui di antara debur ombak lautan, ”betapapun keinginanku untuk menghindari pertentangan dan apalagi benturan kekuatan, namun sudah barang tentu aku tidak akan dapat berbuat seperti yang kau inginkan. Aku tidak yakin, bahwa kalian tidak akan ingkar, apabila tangan dan kakiku sudah terikat. Jika kemudian kalian mengikat kakiku di belakang kaki kuda kalian, maka kulitku tentu akan terkelupas habis, meskipun hal itu kau lakukan di atas pasir di pantai ini.”

“Kami berkata sebenarnya Agung Sedayu. Jika kau bersedia kami ikat, maka kami tidak akan berbuat sesuatu yang dapat menyakitimu.”

“Bagaimana aku dapat percaya. Kau tidak mau menyebut namamu. Kau tidak mau mengatakan siapakah yang menyuruhmu. Dan kau tidak mau mengatakan, apakah sebenarnya kepentinganmu dengan aku. Apakah dengan demikian aku harus mempercayai kalian?”

“Baiklah Agung Sedayu,” berkata salah seorang dari kelima orang itu, ”aku sudah menduga, bahwa kau akan berkeras untuk menolak permintaan kami yang sebenarnya akan merupakan jalan yang paling baik bagi kami untuk seterusnya dan bagi keselamatanmu berdua. Karena itu, maka kami akan memilih jalan lain. Kami akan berbuat sesuatu dengan kekerasan agar kami dapat mengikatmu. Kami sudah mendapat wewenang untuk melakukan cara apapun juga, asal kami tidak membunuhmu.”

Tetapi salah seorang dari kelima orang itu menyambung, “Kami memang tidak ingin membunuhmu. Tetapi jika di luar kehendak kami, kau mati terbenam ke dalam pasir, itu adalah karena nasibmu yg memang sangat buruk Agung Sedayu. Malam nanti, jika air pasang, maka mayatmu akan dijilat oleh ombak dan hanyut menjadi makanan hiu.”

“Kata-katamu memang mengerikan Ki Sanak. Tetapi sudah barang tentu bahwa aku akan mencoba mempertahankan hidup kami. Mungkin dengan cara seperti yang kalian kehendaki, tetapi mungkin, kami akan melarikan diri dan hilang di dalam gelap.”

“Apakah Agung Sedayu akan berbuat demikian?” bertanya seseorang di antara kelima orang itu.

“Apa salahnya? Itu akan lebih baik bagiku.”

“Persetan,” geram seorang di antara kelima orang yang ingin menangkap Agung Sedayu itu, ”aku tidak sabar lagi.”

Ternyata orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun segera meloncat turun dari kudanya.

“Kudaku tidak akan lari kemana-mana meskipun aku tidak mengikatnya,” katanya, ”aku lebih senang bertempur tidak di atas punggung kuda.”

Kawan-kawannyapun segera berloncatan pula. Mereka melepas kudanya begitu saja. Satu-satu mereka berpencar memutari Agung Sedayu.

“Berhati-hatilah, Glagah Putih,” desis Agung Sedayu, ”nampaknya mereka benar-benar ingin mengikat kita. Karena itu, kita harus menghindar.”

“Lari?” bertanya Glagah Putih, ”tidak mungkin. Mereka sudah mengepung kita.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Putihnya pasir pantai seolah-olah telah memantulkan cahaya bintang di langit, bulan sepotong yang mulai membayang sehingga ia dapat melihat lebih jelas bayangan kelima orang lawannya.

“Kita pun akan turun,” berkata Agung Sedayu, ”kau harus menyesuaikan dirimu. Aku akan mencoba menghadapi mereka dan kalau mungkin menghalau mereka pergi.”

“Hanya untuk dihalau?” bertanya Glagah Putih.

“Itu lebih baik daripada membunuh mereka. Kita tidak menambah jumlah orang yang mendendam.”

Glagah Putih tidak sempat menjawab. Kelima orang yang mengepungnya berdua dengan Agung Sedayu telah merapat. Karena itu, maka baik Agung Sedayu maupun Glagah Putih segera meloncat turun pula.

Dalam pada itu, bulan sepotong yang naik di atas permukaan air laut yang bergejolak dihempas angin, nampak semakin tinggi. Meskipun cahayanya tidak terlalu terang, namun pantai yang gelap itu perlahan-lahan telah berubah.

Tetapi Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak sempat melihat buih ombak yang menjadi kemerah-merahan. Yang mereka hadapi adalah kelima orang yang benar-benar telah mengepung dengan rapat.

Dalam pada itu Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berdiri di atas pasir pula. Mereka pun membiarkan kuda mereka tanpa terikat.

Beberapa langkah Agung Sedayu bergeser diikuti oleh Glagah Putih sehingga kelima orang lawannyapun bergeser pula. Dengan demikian maka kedua ekor kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berada di luar kepungan.

“Apakah yang sebenarnya kalian kehendaki?” bertanya Agung Sedayu.

“Kau,” jawab salah seorang lawannya dengan singkat.

Agung Sedayu merasa bahwa tidak ada gunanya lagi untuk berbicara. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Sementara itu, seorang anak muda yang berdiri agak jauh dari arena itu telah mengikat kudanya pada sebatang pokok pandan yang mencuat agak tinggi. Kemudian dengan hati-hati, ia berjalan mendekat di antara pohon pandan yang satu dua masih terdapat meskipun sudah berjarak beberapa langkah dari tanah yang berawa-rawa. Dari antara daun-daun pandan, anak muda itu melihat dari jarak yang agak jauh, apakah yang akan terjadi.

Cahaya bulan yang buram telah menolongnya untuk dapat melihat meskipun tidak terlalu jelas. Tetapi bulan yang sepotong itupun cahayanya bagaikan pelita yang kehabisan minyak.

“Akhirnya aku akan melihat apa saja yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Jika ia berhasil lepas dari tangan kelima orang itu, maka ia benar-benar seorang anak muda yang pilih tanding. Yang masih harus dipertimbangkan lagi, apakah aku akan segera menantangnya berperang tanding. Tetapi jika kelima orang itu berhasil mengikat kaki dan tangannya, atau justru melumpuhkannya, maka akan datang saatnya aku membunuhnya, meskipun aku harus menyembuhkannya lebih dahulu dari luka-lukanya.”

Sabungsari pun kemudian beringsut setapak lagi. Ia ingin melihat apa yang akan terjadi. Bagaimanapun juga ia masih harus mengakui, bahwa kelima orang kepercayaannya itu memiliki kelebihannya masing-masing, sehingga apabila mereka berlima bertempur dalam satu kesatuan, mereka merupakan kekuatan yang luar biasa.

Dalam pada itu, kelima orang yang mengepung Agung Sedayu pun telah siap untuk bergerak. Sementara itu, Glagah Putih dengan hati-hati berada di belakang Agung Sedayu, menghadap ke arah yang berbeda.

“Kita akan segera mulai, Glagah Putih,” desis Agung Sedayu.

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

“Jangan mencoba menyerang,” Agung Sedayu masih memperingatkan, ”kau pusatkan sagala kemampuanmu pada mempertahankan diri. Sebaiknya kau berusaha mengelak dan menghindari benturan.”

Glagah Putih masih tetap berdiam diri. Tetapi ia telah menyiapkan diri untuk melakukan pesan kakak sepupunya itu.

Sejenak kemudian, kelima orang yang mengepungnya itu pun mulai bergerak. Mereka berputar mengitari kedua orang yang dikepungnya perlahan-lahan. Selangkah-selangkah. Seolah-olah mereka ingin melihat kedua lawannya dari segala arah.

Agung Sedayu pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan Glagah Putih, sehingga dengan demikian, maka ia harus berusaha melindunginya, melampaui dirinya sendiri.

“Aku masih memberimu kesempatan Agung Sedayu,” terdengar salah seorang lawannya menggeram di sela-sela suara ombak yang masih selalu menggelegar.

“Jangan memaksa aku berbuat terlalu banyak,” jawab Agung Sedayu, ”aku sama sekali tidak ingin mengembangkan pertentangan dengan siapapun.”

“Persetan,” yang lain dari kelima orang itu memotong. Nampaknya ia sudah tidak sabar lagi. Bahkan ia pun melangkah maju dengan serangan pendek.

Agung Sedayu hanya beringsut sedikit. Ia sadar, bahwa serangan itu bukannya serangan yang sebenarnya.

Namun ia pun sadar, bahwa akan segera menyusul serangan berikutnya sehingga pertempuran itu pun akan segera mulai pula.

Seperti yang diperhitungkan, maka sejenak kemudian dua orang di antara mereka telah menyerang dengan garangnya. Agung Sedayu dengan tangkasnya mengelakkan serangan itu, sementara Glagah Putih pun telah meloncat selangkah ke samping.

Tetapi ternyata bahwa seorang yang lain telah memanfaatkan loncatan Glagah Putih itu. Dengan serta merta, ia pun meloncat menyerang pula. Glagah Putih yang masih sangat muda di dalam gejolak hitamnya olah kanuragan menjadi bingung. Pada saat-saat pertama dari pertempuran itu ia sudah kehilangan keseimbangan sikap. Namun untunglah bahwa Agung Sedayu sempat meloncat menyambar serangan lawan itu dengan membenturkan kekuatannya.

Agung Sedayu memang tidak dapat berbuat lain. Namun benturan itu telah memperingatkan lawannya, bahwa Agung Sedayu mempunyai kekuatan yang harus mereka perhitungkan baik-baik.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu harus bertempur dengan cermat. Bukan saja karena ia harus menghadapi lima orang lawan. Tetapi ia masih harus melindungi Glagah Putih.

Pada permulaan dari pertempuran itu sudah mulai nampak. Glagah Putih mengalami kesulitan.

Tetapi Glagah Putih bukannya seorang anak muda yang sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa. Seperti pesan kakak sepupunya, maka Glagah Putih memusatkan segenap kemampuannya pada usahanya menghindari lawan.

Namun karena itulah, maka Agung Sedayu harus berjuang sekuat tenaganya. Bukan untuk menyelamatkan dirinya sendiri saja, tetapi juga untuk melindungi Glagah Putih.

Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Glagah Putih berloncatan di sekitar Agung Sedayu. Dengan bekal kemampuan yang ada ia berhasil menyesuaikan dirinya, meskipun hanya sekedar menghindar dan berlindung di belakang garis pertahanan Agung Sedayu.

Sementara itu Agung Sedayu bertempur seperti seekor burung sikatan. Kakinya seolah-olah tidak lagi menyentuh tanah. Tubuhnya menjadi ringan seperti kapas, tetapi tenaganya menjadi sekuat tenaga ganda beberapa ekor banteng terluka.

Seandainya Agung Sedayu tidak harus melindungi Glagah Putih, mungkin ia dapat bersikap lain. Mungkin ia masih mempunyai banyak pertimbangan untuk mengerahkan kemampuannya. Tetapi pada saat ia mempertanggung jawabkan keselamatan adik sepupunya, maka ia tidak mempunyai banyak pertimbangan lagi, sehingga seakan-akan di luar sadarnya, maka kemampuannya terperas tanpa kendali.

Sesaat-sesaat Agung Sedayu masih sempat menilai tata geraknya sendiri. Ia merasakan beberapa dorongan yang tidak pernah dikenalnya sebelumnya. Namun ia pun menyadari, pengaruh yang meresap di dalam dirinya dan ungkapan ilmunya telah membuatnya menjadi semakin cekatan.

Kelima lawannya yang semula menganggap bahwa betapapun tinggi ilmu Agung Sedayu, namun ia tidak akan dapat bertahan sampai menjelang fajar, ternyata mulai mereka meragukan. Bahkan kemudian ternyata bahwa Agung Sedayu mampu bergerak secepat tatit yang meloncat diudara.

“Gila,” geram salah seorang dari kelima lawannya, ”setan manakah yang merasuk ke dalam dirinya.”

Namun yang dihadapinya adalah suatu kenyataan. Agung Sedayu bertempur sambil berputaran di sekeliling adik sepupunya, seperti daun baling-baling yang berputar sepesat putaran angin pusaran.

Glagah Putih pun akhirnya menjadi bingung. Bahkan kadang-kadang ia menjadi cemas, bahwa ialah yang akan terlanggar oleh Agung Sedayu.

Namun gerakan Agung Sedayu ternyata cukup cermat, sehingga kelima lawannyapun menjadi kebingungan.

Dalam pada itu, Sabungsari yang mengamati perkelahian itu dari kejauhanpun menjadi bingung. Ia tidak dapat melihat dengan jelas apa yang sudah terjadi. Loncatan-loncatan panjang yang susul menyusul, dan bahkan kadang-kadang bagaikan saling melontarkan, membuat perkelahian itu bagaikan benang yang kusut.

“Gila,” geram Sabungsari, ”Agung Sedayu benar-benar seorang anak muda yang luar biasa. Namun, aku masih mempunyai kelebihan yang akan dapat melumpuhkannya, meskipun pada jarak beberapa langkah tanpa menyentuhnya dengan wadagku.”

Sementara itu, kelima pengikut Sabungsari itu pun berjuang dengan sekuat tenaga, dan dengan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Bahkan ketika mereka tidak dapat menguasai keadaan, maka mulailah mereka dengan mengerahkan kemampuan mereka yang tersimpan dalam tenaga cadangan mereka.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu mulai merasa, tekanan kelima orang lawannya menjadi semakin berat. Gerak mereka pun seolah-olah menjadi semakin cepat, dan setiap benturan rasa-rasanya tenaga mereka pun telah berlipat.

Dalam keadaan yang demikian, kelima orang lawan Agung Sedayu merasa, bahwa mereka berhasil sedikit demi sedikit menguasai anak muda yang luar biasa itu. Saat-saat mereka berhasil menyentuh tubuh Agung Sedayu maka terasa tubuh itu terdorong surut.

“Sebentar lagi, pekerjaan gila ini akan selesai. Anak muda itu akan menjadi lumpuh dan kami akan dapat mengikatnya. Tetapi rasa-rasanya belum puas kami belum dapat mematahkan tangan dan kakinya,” geram salah seorang lawannya di dalam hati.

Sementara yang lainpun dengan kemarahan yang membakar jantung telah berusaha untuk menguasainya pula.

Dalam pada itu, saat-saat Agung Sedayu mulai terdesak. Glagah Putih menjadi semakin sulit. Ia harus memeras tenaganya untuk menghindari serangan lawan-lawannya dan berlindung di balik pertahanan Agung Sedayu yang mengendor.

Berurutan kelima orang itu menyerang tiada putus-putusnya dari segala arah. Sekali-sekali tertuju kepada Glagah Putih, namun sebagian terbesar mereka arahkan kepada Agung Sedayu. Jika anak muda itu sudah mereka lumpuhkan, maka Glagah Putih bukan soal lagi bagi mereka.

Agung Sedayu pun kemudian merasakan tekanan yang menjadi semakin berat. Benturan-benturan yang terjadi, terasa seolah-olah tenaga lawannya menjadi bertambah-tambah. Kecepatan bergerak lawannyapun telah bertambah pula. Seorang di antara mereka mempunyai kekuatan yang luar biasa, sementara yang lain mampu bergerak mengimbangi kecepatan geraknya meskipun kekuatannya tidak terlampau besar.

Pada saat yang demikian, tidak ada pilihan lain bagi Agung Sedayu untuk mengimbangi kekuatan lawannya dengan kekuatan cadangannya. Kekuatan yang terlontar dari pemusatan tenaga yang tersimpan di dalam dirinya.

Pada hentakan berikutnya, terasa kekuatan itu telah tersalur melalui ungkapan-ungkapan geraknya. Bahkan ternyata pada lontaran ilmunya, pengaruh yang ada di dalam dirinya karena kitab yang dibacanya itu menjadi semakin terasa. Kekuatan yang menjalari urat-urat nadinya bagaikan menyalurkan kesegaran baru di dalam dirinya.

Namun Agung Sedayu sendiri masih belum mampu menilai kekuatan yang seakan-akan baru baginya yang menyusup ke dalam ungkapan ilmunya. Karena itu, ia terkejut ketika kemudian terjadi sebuah benturan yang dahsyat. Demikian cepatnya salah seorang lawannya melontarkan serangan mengikuti serangan kawannya, sehingga Agung Sedayu tidak mungkin lagi mengelakkannya. Karena itulah, maka terjadi sebuah benturan yang tidak diperhitungkannya lebih dahulu.

Akibat dari benturan itu telah mengejutkan semua orang yang ada di dalam arena pertempuran itu. Seorang dari lawan Agung Sedayu yang telah membentur kekuatan anak muda itu, ternyata telah terlempar lebih dari lima langkah. Kemudian jatuh berguling di atas pasir sehingga tubuhnya yang berkeringat, menjadi penuh oleh pasir yang melekat, seperti seekor ikan basah direndam di dalam tepung.  

Bukan saja tubuhnya penuh berpasir. Namun oleh benturan yang dahsyat itu, dadanya menjadi bagaikan retak dan jantungnya seolah-olah runtuh dari tangkainya.

Oleh kejutan itu, maka pertempuran itu seolah-olah telah terhenti sesaat. Semua orang berdiri tegak memandang orang yang masih tergolek di atas pasir karena dorongan kekuatan Agung Sedayu.

Sementara itu, Sabungsari yang melihat perkelahian itu dari kejauhan, terkejut pula melihat akibat dari benturan itu. Mula-mula ia tidak begitu mengerti, apa yang telah terjadi. Namun kemudian ia melihat salah seorang dari para pengikutnya telah terlempar dan kemudian berguling-guling di atas pasir. Untuk beberapa saat orang itu tidak dapat lagi bangkit dan berdiri, sehingga dua orang kawannya dengan tergesa-gesa telah mendekatinya dan menolongnya.

Agung Sedayu sendiri, untuk beberapa saat lamanya berdiri mematung. Ia tidak memperhitungkan bahwa akibat dari benturan kekuatan itu sedemikian dahsyatnya, sehingga lawannya terlempar dan terbanting di atas pasir.

“Aku harus lebih mengenal diriku sendiri,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. ”Mungkin tanpa mengenal nilai diri sendiri, aku akan semakin banyak melakukan kesalahan.”

Sementara itu, maka tertatih-tatih orang yang terlempar itu berdiri dibantu oleh kedua orang lawannya. Namun nampaknya keadaannya sudah terlalu parah, sehingga tidak ada kemungkinan lagi baginya untuk turut serta di dalam pertempuran selanjutnya.

“Agung Sedayu,” salah seorang lawannya tiba-tiba menggeram, ”ternyata kau memang mempunyai kekuatan iblis. Kawanku telah terlempar dan terbanting sekaligus tanpa dapat bangkit lagi. Namun itu bukan berarti bahwa kau sudah menang. Yang kau lakukan hanyalah suatu peristiwa yang secara kebetulan telah terjadi, tetapi yang akibatnya akan mencekik lehermu sendiri. Jika kami tidak ingin membunuhmu, namun kemudian kami tidak mempunyai cara lain yang dapat kami lakukan untuk melumpuhkanmu daripada dengan senjata. Jika dengan demikian maka ujung senjata kami akan menyobek dadamu, maka itu bukan salah kami.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi semakin tegang. Apalagi ketika terpandang olehnya Glagah Putih yang berdiri termangu-mangu.

“Jika pertempuran ini menjadi pertempuran bersenjata, maka Glagah Putih akan menjadi semakin sulit,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Sekilas terlihat olehnya salah seorang lawannya yang seakan-akan sudah tidak berdaya lagi. Ketika ia dilepaskan oleh kedua orang kawannya, hampir saja ia telah terjatuh lagi di atas pasir. Namun meskipun tertatih-tatih untuk sesaat, akhirnya ia dapat berdiri lagi meskipun keseimbangannya belum mantap.

“Jangan menyesali nasibmu Agung Sedayu,” berkata salah seorang lawannya yang sedang dibakar oleh kemarahan itu.

Agung Sedayu beringsut setapak. Di belakang Glagah Putih ia berdesis, ”Kau harus lebih berhati-hati Glagah Putih. Pergunakan senjatamu untuk melindungi dirimu. Sesuaikan gerakmu dengan kedudukanku. Mungkin aku akan kehilangan perhitungan, sehingga kaulah yang harus berusaha menyesuaikan diri dalam keadaan yang sulit.”

Glagah Putih mengangguk. Namun yang membesarkan hati Agung Sedayu, nampaknya Glagah Putih tidak menjadi ketakutan, gemetar dan kehilangan akal. Agaknya anak itu memang anak yang berani dan tidak mudah dikaburkan oleh keadaan.

Bahkan sejenak kemudian, Glagah Putih pun telah menggenggam senjatanya. Tidak seperti senjata Agung Sedayu yang lentur. Tetapi Glagah Putih mempergunakan sebilah pedang yang tidak terlampau panjang meskipun anak itu tergolong bertubuh tinggi.

“Jangan kehilangan perhitungan,” desis Agung Sedayu kemudian.

Glagah Putih tidak menyahut. Ketika ia mengedarkan pandangan matanya, ia melihat dalam keremangan cahaya bulan yang sepotong, lawan-lawannya juga sudah menggenggam senjata masing-masing. Bahkan orang yang sudah tidak mampu berdiri tegak itu pun menggenggam senjatanya pula.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja seorang dari lawannya berkata, “Kau jangan sombong anak muda, kami dapat mengatur perlawanan kami sebaik-baiknya. Seandainya kau mampu menghindari senjata kami, namun anak yang bertubuh tinggi itu tentu tidak akan dapat melepaskan diri. Kami akan membunuhnya dan mencincangnya tanpa ampun.”

Agung Sedayu menggeram. Namun Glagah Putih-lah yang menjawab, ”Kematian tidak ditentukan oleh ujung senjata kalian. Tetapi masih ada kekuasaan yang dapat menentukan segala-galanya. Juga menentukan saat-saat kematianku. Jika aku akan mati, seandainya aku tidak bertemu dengan kalian di sinipun, aku akan mati. Apakah aku akan disambar petir atau disambar hiu atau oleh sebab-sebab yang lain.”

“Gila,” geram orang itu, ”baiklah. Tetapi petir dan hiu akan membunuhmu dalam sekejap. Tetapi kami akan berbuat lain. Kami dapat membunuhmu perlahan-lahan.”

“Persetan,” Glagah Putih menggeram.

Sementara Agung Sedayu berkata, ”Sudahlah. Jangan banyak menakut-nakuti lagi. Namun demikian, aku masih ingin bertanya, apakah kita memang akan mengakhiri perkelahian ini dengan ujung senjata? Apakah tidak ada cara lain yang lebih baik dan tuntas. Dengan senjata kita hanya akan menemukan penyelesaian sementara. Jika kau berhasil membunuh aku, maka adik seperguruanku tentu akan mendendammu. Guruku tentu akan menuntut balas. Demikian pula sahabat-sahabatku, termasuk Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh. Bahkan mungkin Senapati Ing Ngalaga. Sebaliknya, jika aku yang berhasil membunuhmu, dendam itu akan tetap tersebar dimana-mana.”

Orang-orang yang telah menggenggam senjata masing-masing itu justru menggeretakkan giginya. Salah seorang dari mereka berkata, ”Jangan merajuk Agung Sedayu. Kita sudah berdiri di arena. Bahkan kita sudah saling berbenturan. Kenapa kau masih berbicara seperti itu? Bersiaplah untuk mati bersama anak dungu itu.”

Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Tidak akan ada gunanya untuk berbicara panjang lebar. Yang dihadapinya adalah senjata. Dan ia harus berusaha untuk berbuat sesuatu agar ia tidak mati terbunuh oleh senjata itu.

Sejenak kemudian, maka ujung-ujung senjata itu pun mulai bergerak dari segala arah. Lawannya dengan senjata mengepungnya untuk membagi perhatiannya.

Agung Sedayu tidak mau menyesal karena kelengahannya. Karena itu maka sejenak kemudian, ia pun telah mengurai cambuknya yang melilit dipinggangnya.

Bagaimanapun juga, hati lawan-lawannya tergetar juga melihat senjata Agung Sedayu itu. Setiap orang dari mereka yang mengepungnya telah pernah mendengar, bagaimana ujung cambuk salah seorang dari orang-orang bercambuk itu menyayat kulit lawan-lawan mereka. Bahkan sentuhan juntai cambuk bercincin besi baja itu, dapat membelah kulit daging seperti tajamnya sebilah pedang.

Namun yang harus dihadapi oleh Agung Sedayu saat itu adalah lima ujung senjata dari lima arah. Setiap saat ujung-ujung senjata itu dapat mematuknya. Kadang-kadang menyambar mendatar, terayun menyilang dan berputar seperti baling-baling.

Sejenak Agung Sedayu berdiri tegak. Dipusatkannya perhatiannya kepada lawan-lawannya. Meskipun ia memandang ke satu arah, tetapi telinganya mendengarkan setiap desir di sekitarnya, betapapun lembutnya.

Karena itu, ketika salah seorang lawannya bergerak, meskipun ia berada di belakang Agung Sedayu, anak muda itu dapat mengetahuinya, dan dengan sigapnya ia beringsut selangkah. Dan bahkan ujung cambuknyapun mulai bergetar pula.

Kelima orang lawannya masih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian salah seorang di antara mereka pun mulai memancing dengan gerakan pendek. Ujung senjatanya bagaikan menggapai meskipun tidak mencapainya.

Agung Sedayu hanya beringsut pula. Sementara Glagah Putih selalu berusaha menyesuaikan dirinya. Pedangnya bersilang dimuka dadanya. Dengan hati-hati ia pun bergegas dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Gerak ujung-ujung senjata itu pun semakin lama mejadi semakin cepat. Masing-masing berusaha untuk menarik perhatian Agung Sedayu. Namun kemudian serangan yang sebenarnya akan datang dari arah yang tidak terduga-duga.

Tetapi Agung Sedayu cukup waspada. Ia mengerti apa yang akan dilakukan oleh kelima orang lawannya. Karena itu, maka justru ialah yang mendahului membentengi dirinya dengan senjatanya.

Sesaat kemudian, maka kelima orang lawannya menjadi tercenung sejenak. Ketika Agung Sedayu memutar ujung cambuknya mendatar di atas kepalanya, maka mereka bagikan mendengar deru angin pusaran yang melampaui debur ombak pantai Laut Selatan.

“Gila,” geram salah seorang dari mereka, ”anak itu benar-benar mempunyai kekuatan iblis di dalam dirinya.

Dalam pada itu, Glagah Putih pun mengerutkan lehernya. Putaran ujung cambuk Agung Sedayu di atas kepalanya itu, benar-benar bagaikan deru angin yang membadai, mengguncang batang-batang pepohonan di seluruh daerah dan lembah-lembah.

Karena itu, maka kelima orang lawannya benar-benar berhati-hati. Mereka mencoba untuk mendekat bersama-sama, Memancing perhatian dan kemudian menyerang dengan cepat susul menyusul, secepat mereka harus berloncatan surut. Karena mereka sadar, jika cambuk Agung Sedayu itu menyentuh kulit, itu berarti bahwa kulit kulit mereka akan koyak karenanya.

Namun kelima orang itu bukannya orang-orang lemah yang tidak berilmu. Meskipun jantung mereka menjadi berdebaran oleh putaran cambuk Agung Sedayu, namun bersama-sama mereka merupakan kekuatan yang tetap berbahaya bagi anak muda itu.

Sejenak kemudian, maka kelima orang lawan Agung Sedayu itu mulai berloncatan. Serangan mereka datang susul menyusul dari segala arah. Namun tidak seorangpun dari mereka yang berhasil menembus putaran juntai cambuk Agung Sedayu.

“Ujung cambuk itu harus di tebas dengan tajam pedang,” berkata salah seorang lawannya di dalam hatinya.

Seorang di antara mereka yang berpedang tajam seperti pisau pencukur memberanikan diri untuk mencoba menebas ujung cambuk Agung Sedayu. Sejenak ia memperhatikan arah, dan memperhitungkan gelombang putarannya. Dengan cermat ia mengerahkan ilmu dan tenaganya.

Ketika saat itu datang, maka tiba-tiba saja ia telah mengayunkan pedangnya menyilang putaran ujung cambuk Agung Sedayu.

Terasa kekuatan yang besar membentur dan mengguncang tangan Agung Sedayu. Namun dengan gerak naluriah, maka ia pun segera menarik cambuknya sendal pancing.

Dalam pada itu, ketajaman pedang lawannya tidak berhasil memotong ujung cambuk Agung Sedayu yang terbuat dari janget yang khusus dan terikat oleh gelang-gelang besi baja pilihan. Karena itu, maka yang terjadi kemudian adalah bahwa ujung cambuk itu telah membelit pedang lawannya. Satu tarikan sendal pancing justru telah menghentakkan pedang itu dengan kekuatan yang luar biasa, seolah-olah pedang itu telah dihisap oleh kekuatan raksasa.

Lawannya tidak berhasil mempertahankan pedangnya. Tangannya menjadi pedih dan bagaikan terkelupas kulit di telapak tangannya, sehingga pedang itu tidak dipertahankannya lagi.

Adalah mendebarkan jantung ketika orang-orang yang sedang bertempur itu melihat pedang itu melayang di udara. Kilatan cahaya bulan yang memantul nampak meluncur seperti cahaya lintang alihan.

Agung Sedayu sendiri menjadi berdebar-debar. Pedang itu adalah pedang yang berat. Tetapi ternyata bahwa daya lontar hentakan cambuknya dppat melemparkan pedang itu sampai jarak yang sangat jauh.

Agung Sedayu dan orang di arena pertempuran itu tidak dapat melihat dengan jelas, dimanakah tepatnya pedang itu terjatuh. Bahkan Agung Sedayu yang mempunyai penglihatan yang tajam itu pun hanya dapat melihat kilatan pedang itu meluncur di balik gerumbul-gerumbul pandan. Namun ia tidak dapat melihat dengan jelas, saat pedang itu tercebur ke dalam rawa-rawa.

Namun dalam pada itu, seseorang yang bersembunyi di balik gerumbul pandan, hatinya bagaikan tercengkam kuat-kuat oleh pesona yang mengejutkan. Sabungsari yang sedang bersembunyi itu pun melihat kilatan pedang yang terlempar ke udara. Kemudian meluncur seolah-olah mengarah kepadanya. Namun ternyata pedang itu bagaikan terbang di atasnya, meluncur ke rawa-rawa.

“Gila,” geramnya, ”kekuatan apakah yang telah melontarkan pedang sejauh itu?”

Jantung Sabungsari bagaikan berdentang lebih cepat. Ia telah melihat satu segi kelebihan dari Agung Sedayu, meskipun Agung Sedayu sendiri termangu-mangu karenanya. Kekuatan itu adalah kekuatan raksasa yang sebelumnya tidak diduga sama sekali oleh Sabungsari.

“Kekuatan itu tentu dapat dipergunakannya untuk melemparkan aku ke dalam rawa-rawa itu,” desis Sabungsari.

Meskipun demikian, namun Sabungsari masih mempunyai kebanggaan tentang dirinya. Dengan sorot matanya ia akan dapat melumpuhkan kekuatan lawan yang betapapun besarnya.

“Aku dapat meretakkan dada Agung Sedayu dari jarak beberapa langkah,” berkata Sabungsari kepada diri sendiri, “betapapun kuat tenaganya asal tidak sempat meraba tubuhku, maka ia akan dapat aku lumpuhkan. Aku buat ia menyesali segala tingkah lakunya sambil berguling-guling di tanah oleh perasaan sakit yang tidak ada taranya, sementara aku akan meremas jantungnya dengan tatapan mataku.”

Sabungsari menggeretakkan giginya. Dendamnya justru menyala semakin dahsyat di dalam dadanya.

Sementara itu, Agung Sedayu masih termangu-mangu sejenak. Namun lawannya yang lainpun tiba-tiba saja telah berloncatan menyerang dari segala arah. Orang yang kehilangan pedangnya itu meloncat mendekat kawannya yang sudah tidak banyak dapat membantunya sambil menggeram, ”Serahkan pedangmu. Dan pergilah jauh-jauh. Kau perlu menyelamatkan dirimu dari perkelahian yang menggila ini. Agung Sedayu ternyata bukan manusia sewajarnya. Ia mempunyai kekuatan iblis.”

Kawannya yang sudah terlalu lemah itu tidak membantah. Diberikannya pedangnya dengan ragu-ragu. Namun kawannya menggeram sekali lagi, ”Pergilah. Jangan membiarkan dirimu terperosok ke tangannya jika akhir dari perkelahian ini bukannya seperti yang kita perhitungkan.”

Orang yang sudah terlalu lemah itu bergeser menjauh, mendekati kudanya. Ia sudah bersiap untuk melarikan diri jika keadaan memaksa demikian.

Yang telah terjadi itu ternyata telah menumbuhkan gagasan bagi Agung Sedayu untuk mengakhiri pertempuran. Jika ia dapat merampas senjata-senjata lawannya dengan cara yang serupa, maka ia akan dapat menguasai lawannya yang akan menghentikan perlawanannya.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun segera memperhitungkan keadaan sebaik-baiknya. Ia harus dapat menjerat senjata lawan atau menyakiti pergelangan tangan lawannya, sehingga senjatanya terlepas.

Karena itulah, maka Agung Sedayu pun kemudian memusatkan perhatiannya kepada senjata dan tangan lawannya yang menggenggam senjata.

Sejenak pertempuran itu masih berlangsung dengan sengitnya. Serangan lawannya yang sudah berkurang jumlahnya itu sekali-sekali mengarah kepada Glagah Putih. Tetapi karena ujung cambuk Agung Sedayu yang berputar, maka mereka tidak sempat menjangkau jarak dengan ujung pedangnya. Apalagi Glagah Putih mampu bergeser dan menangkis serangan yang kurang cermat itu.

Bahkan sesaat kemudian, Agung Sedayulah yang nampaknya menekan lawan-lawannya dengan rencananya. Sekali-sekali senjatanya yang berputar itu melenting dan meledak dengan dahsyatnya. Suaranya bergema di sela-sela bukit pasir yang berserakan di pesisir, mengatasi deru ombak dan angin.

Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Sabungsari melihat perkelahian itu. Dadanya semakin berdentangan melihat perlawanan Agung Sedayu atas empat lawannya yang sudah mengerahkan segenap kemampuannya. Bukan saja tenaga wajarnya, tetapi mereka sudah mengerahkan tenaga cadangan menurut kemampuan mereka masing-masing.

Tetapi Agung Sedayu benar-benar seorang yang luar biasa.

Pada saat yang demikian itu, Sabungsari telah dicengkam oleh keragu-raguan. Rasa-rasanya jantungnya menjadi gatal, untuk segera meloncat meremas dada Agung Sedayu dengan kekuatan matanya. Ia hanya memerlukan beberapa puluh langkah mendekati arena. Kemudian dengan sepenuh hati memusatkan segenap kekuatan dan kemampuannya pada pandangan matanya.

“Betapapun besar daya tahannya, ia akan jatuh terkulai di pasir tanpa mampu melawan. Ombak yang dilemparkan angin itu akan menyeretnya hanyut ke tengah lautan, menjadi makanan ikan hiu yang garang,” geram Sabungsari.

Namun hatinya tersentak oleh kenyataan, bahwa ujung cambuk Agung Sedayu telah mampu merenggut sehelai pedang lagi dan melemparkannya jauh-jauh.

“Gila,” geram Sabungsari.

Sejenak ia terpukau oleh keadaan. Hampir terpekik ia melihat pedang berikutnya telah terlempar pula.

Keempat lawannya menjadi termangu-mangu. Dua diantara mereka tidak bersenjata lagi.

Tetapi agaknya mereka tidak berputus asa. Setelah saling berbisik sejenak, maka keduanya telah memencar dari arah yang berlawanan.

“Jangan mengira bahwa kami telah kehilangan kemampuan untuk melawan,” berkata salah seorang dari mereka, ”kawan-kawan kami yang sudah tidak berpedang akan membunuhmu dengan lontaran pisau-pisau belatinya.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Hal itu memang tidak mustahil. Orang-orang itu memang mungkin membawa pisau-pisau belati.

Karena itu, Agung Sedayu tetap berhati-hati. Ia masih memutar cambuknya. Bahkan semakin lama seakan-akan menjadi semakin cepat, sehingga suaranyapun meraung semakin keras.

Sesaat kemudian, maka lawan-lawannyapun mulai menyerang lagi. Kedua orang yang masih berpedang itu menyerang dari arah yang berlawanan, sementara yang lain benar-benar telah menggenggam pisau belati yang tidak terlalu panjang, siap untuk dilemparkan.

Dengan hati-hati Agung Sedayu menilai keadaan. Dua orang lawannya yang berpedang ternyata tidak mendekatinya lagi. Mereka hanya mengacu-acukan pedangnya dari jarak yang agak jauh, sementara yang lain nampaknya siap untuk menyerang dengan pisau-pisaunya.

Untuk sesaat, Glagah Putih berdiri saja termangu-mangu, tetapi ia tidak lengah sama sekali. Ia sadar, bahwa pisau belati lawannya dapat meluncur ke arahnya.

Seperti yang diperhitungkan oleh Agung Sedayu, maka sejenak kemudian, lawan-lawannya telah mengambil suatu kesempatan untuk menyerang bersama-sama. Dua orang telah melontarkan pisaunya ke arah Agung Sedayu, sehingga ia berusaha untuk menangkisnya dengan putaran cambuknya. Namun pada saat yang bersamaan, seorang lawannya yang berpedang meloncat dengan garangnya, menyusup di bawah putaran cambuk Agung sedayu yang sedang menangkis serangan pisau itu. Ujung pedangnya terjulur lurus mengarah ke leher Agung Sedayu. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu sempat meloncat ke samping menghindarkan diri dari serangan pedang itu. Bahkan kemudian ia mengibaskan ujung cambuknya yang telah berhasil menyentuh pisau-pisau yang terbang ke arahnya untuk menghentikan serangan pedang dan bahkan mendesak lawannya untuk meloncat surut.

Tetapi ternyata bahwa lawan-lawannyapun telah membuat perhitungan yang cermat. Pada saat yang demikian itulah, maka lawannya yang seorang lagi telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Dengan serta merta ia menyerang Glagah Putih. Ayunan pedangnya yang dilambari dengan segenap kemampuannya telah membuat anak muda itu berdebar-debar. Demikian cepatnya lawannya mempergunakan kesempatan yang ada sehingga Glagah Putih tidak sempat meloncat untuk mengelakkan diri. Karena itu yang dapat dilakukannya adalah menangkis serangan itu dengan senjatanya pula.

Tetapi demikian kerasnya benturan yang terjadi, maka Glagah Putih tidak berhasil mempertahankan pedangnya, sehingga pedangnya itu pun telah terlempar jauh.

Saat itulah yang diperlukan oleh lawannya. Dengan cepatnya ia meloncat maju mendekati Glagah Putih. Ujung pedangnya langsung mengarah ke dadanya. Glagah Putih mencoba untuk menghindarkan diri dari ujung pedang itu. Namun ternyata bahwa lawannya telah mengayunkan kakinya mendatar, memotong gerak Glagah Putih.

Terdengar anak muda itu mengeluh pendek, karena kaki lawannya telah mengenai lambungnya. Belum lagi ia sempat memperbaiki keadaannya, tiba-tiba saja terasa tangan lawannya melingkar di lehernya dan ujung pedangnya menekan punggung.

Pada saat yang bersamaan, terdengar dua orang lawan Agung Sedayu terpekik. Seorang terlempar berguling-guling sambil memegang lambungnya, sementara yang lain terdorong beberapa surut dan terjatuh di atas lututnya.

Ketika Agung Sedayu siap melumpuhkan lawannya yang seorang lainnya, terdengar orang yang mengancam Glagah Putih itu berteriak, ”Agung Sedayu. Lihat, adikmu siap untuk aku bantai di sini.”

Agung Sedayu terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya Glagah Putih benar-benar telah dikuasai oleh lawannya.

Terasa jantung Agung Sedayu terguncang. Sesaat ia telah hanyut dalam arus perasaannya untuk menghalau lawan-lawannya. Namun salah seorang dari mereka sempat menyusup di sela-sela pertahanannya dan menguasai Glagah Putih.

Dengan ragu-ragu Agung Sedayu kemudian berdiri tegak. Dua orang lawannya telah dilukainya dengan cambuknya. Yang seorang lambungnya telah terluka menyilang sedang yang seorang lagi, kakinya bagaikan disayat, tetapi yang seorang lagi, masih sempat menghindar dan menyelamatkan diri dari senjata Agung Sedayu. Justru pada saat-saat yang gawat, kawannya telah berhasil menguasai Glagah Putih yang menggeram menahan kemarahan yang meledak di dadanya.

“Agung Sedayu,” terdengar suara lawannya yang menguasai Glagah Putih, ”kau dapat membunuh kawan-kawanku, tetapi adikmu akan mati pula di ujung senjataku. Aku dapat menekan ujung pedangku dan membunuhnya di sini.”  

“Tetapi kau akan mati juga,” geram Agung Sedayu.

“Akibat yang sudah aku perhitungkan. Tetapi aku sudah puas karena aku sudah membunuh Glagah Putih.”

Jantung Agung Sedayu bagaikan berdentangan di dalam dadanya. Untuk sesaat ia berdiri merenungi adik sepupunya yang tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Tekanan ujung senjata di punggungnya serasa semakin keras, seolah-olah mulai melubangi kulitnya.

Kawan-kawan orang yang telah berhasil menguasai Glagah Putih itu pun kemudian mulai membenahi diri. Yang terluka mencoba untuk menahan darah yang mengalir, sementara yang seorang lagi masih menggenggam pedang di tangannya pula.

“Lepaskan senjatamu Agung Sedayu,” geram orang yang menguasai Glagah Putih itu.

Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu.

“Lepaskan Agung Sedayu,” ulang lawannya yang lain. ”Dosamu sudah terlalu besar untuk dibiarkan berkembang terus. Pada saatnya kau memang harus dihadapkan pada suatu pengadilan yang akan memperhitungkan segenap dosa dan kesalahanmu.”

Agung Sedayu masih berdiri diam.

“Cepat lepaskan senjatamu, atau anak ini akan terkapar mati,” bentak orang yang menguasai Glagah Putih.

Tetapi di luar dugaan. Glagah Putih menggeram, ”Jangan hiraukan aku Kakang. Bunuh mereka semuanya. Tanpa aku, kau tentu akan segera dapat melakukannya.”

Jawaban Glagah Putih itu membuat para pengikut Sabungsari itu menjadi berdebar-debar, mereka sadar, jika Agung Sedayu tidak menghiraukan adik sepupunya, maka ia tentu akan dapat membunuh kelima orang itu.

Tetapi orang-orang itu berkeyakinan, bahwa Agung Sedayu tidak akan membiarkan adiknya itu terbunuh.

“Kakang,” teriak Glagah Putih, “apapun yang terjadi, jangan lepaskan senjatamu. Jika Kakang melakukannya, akhirnya aku akan dibunuhnya juga. Bahkan kemudian Kakang Agung Sedayu. Karena itu, biarkan aku. Bunuh mereka berlima, mumpung senjata Kakang masih ada di tangan.”

“Tutup mulutmu,” bentak orang yang menekankan pedangnya di punggung Glagah Putih, ”jika kau membuka mulutmu sekali lagi, punggungmu akan koyak oleh pedang ini.”

“Aku tidak peduli,” Glagah Putih masih berteriak.

Namun ternyata Agung Sedayu mempunyai pertimbangan lain. Ia mulai menjadi ragu-ragu dan bingung. Apakah yang sebaiknya dilakukan menghadapi saat-saat yang sulit seperti itu.

“Cepat,” teriak lawannya, ”lepaskan senjatamu dan minggir dari arena ini. Kau harus menurut segala perintahku. Jika tidak, maka anak ini akan mati.”

Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu. Namun sekali lagi ia mendengar lawannya membentak, ”Cepat.”

Tidak ada yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu.

Sesaat ia memperhatikan lawan-lawannya. Yang seorang sudah berada di punggung kudanya. Yang empat orang berdiri tegak di sekitarnya, sementara seorang di antaranya telah mengancam Glagah Putih dengan pedang di punggungnya.

“Apa yang dapat aku lakukan sekarang,” keluh Agung Sedayu di dalam hatinya.

Sementara itu di kejauhan Sabungsari melihat semuanya yang terjadi. Sekilas nampak ia tersenyum. Namun dahinya mulai berkerut ketika ia mulai membuat pertimbangan-pertimbangan.

Akhirnya Sabungsari pun menjadi ragu-ragu. Ada keinginannya untuk membuat penyelesaian pada saat itu juga. Orang-orangnya akan dapat tetap menahan Glagah Putih, sementara ia berperang tanding dengan Agung Sedayu.

“Aku tentu akan dapat membunuhnya,” berkata Sabungsari di dalam hatinya.

Namun tiba-tiba saja ia mengerutkan keningnya. Ia melihat Agung Sedayu kemudian melepaskan senjatanya dan melangkah surut.

Sabungsari menjadi berdebar-debar. Jika orang-orangnya tidak dapat mengendalikan diri, maka Agung Sedayu akan mengalami nasib yang buruk sebelum ia sempat berbuat sesuatu untuk melepaskan dendamnya.

“Cepat,” salah seorang dari para pengikut Sabungsari itu membentak.

Agung Sedayu melangkah lagi beberapa langkah, sementara Glagah Putih berteriak, ”Jangan Kakang. Jangan.”

Tetapi suara Glagah Putih bagaikan lenyap ditelan ombak. Agung Sedayu masih tetap melangkah beberapa langkah menjauhi cambuknya yang tergolek di pasir.

“Kau harus menyerah, Agung Sedayu,” berkata orang yang menguasai Glagah Putih, “seorang kawanku akan mengikat tanganmu dan membawamu kembali ke Jati Anom.”

“Tetapi aku minta kesanggupanmu. Glagah Putih akan kalian lepaskan,” jawab Agung Sedayu.

“Kami akan melepaskannya, setelah tanganmu terikat dan kau tidak akan melawan lagi.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Yang terdengar adalah teriakan Glagah Putih, ”Jangan hiraukan aku.”

Tetapi Agung Sedayu tidak dapat berbuat demikian. Ia tidak dapat mengorbankan Glagah Putih. Di saat mereka berangkat, maka pamannya telah menyerahkan Glagah Putih kepadanya.

Karena itu, maka akhirnya ia berkata, ”Aku akan menyerah, tetapi dengan janji bahwa Glagah Putih tidak akan kalian apa-apakan. Kalian akan melepaskan anak itu kembali ke padepokannya dengan selamat.”

“Menyerahlah. Kami berjanji.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil mengulurkan kedua tangannya ia berkata, ”Aku menyerah.”

Sejenak, keempat lawannya menjadi ragu-ragu. Namun kemudian salah seorang berkata, ”Kita ikat tangannya. Kita akan membawanya ke Jati Anom seperti yang seharusnya kami lakukan.”

Dengan ragu-ragu ketiga orang lawannya pun mendekat. Kemudian salah seorang berteriak, ”Tanganmu di belakang.”

Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain. Disilangkannya tangannya di belakang. Dan ia pun hanya dapat menggeretakkan giginya ketika lawannya mengikat tangannya, justru dengan juntai cambuknya.

“Aku tahu, cambukmu adalah cambuk yang luar biasa. Dengan tampar yang biasa kau mungkin akan dapat menghentakkannya sampai putus oleh kekuatanmu yang luar biasa. Tetapi aku yakin, bahwa kau tidak akan mampu memutuskan juntai cambukmu.”

Terasa pergelangan tangan Agung Sedayu menjadi sakit. Ia merasakan betapa kuatnya juntai cambuknya. Jika semula ia masih berharap untuk dapat memutuskan tali pengikat tangannya, maka kemudian ia telah kehilangan harapan. Bagaimanapun juga, ia merasa bahwa ia tidak akan dapat memutuskan juntai cambuknya, meskipun ia mengerahkan segenap kekuatan cadangannya.

“Tidak ada kekuatan yang dapat memutuskan janget cambuk itu,” berkata agung Sedayu di dalam hatinya.

“He, apakah kau sudah mengikatnya kuat-kuat?” teriak orang yang menguasai Glagah Putih.

“Sudah,” teriak kawannya.

“Bawa kuda itu kemari. Kita akan berangkat sekarang membawa dua orang tawanan ini.”

Glagah Putih mengumpat. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa, apalagi ketika Agung Sedayu sudah terikat tangannya justru dengan ujung cambuknya sendiri.

Sejenak kemudian, maka pengikut Sabungsari itu sudah menyiapkan kuda-kuda mereka serta kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tanpa dapat membantah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun didorong ke atas punggung kuda masing-masing.

“Jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakakan dirimu sendiri,” ancam salah seorang dari kelima orang pengikut Sabungsari itu, ”jika Glagah Putih mencoba melarikan diri, maka Agung Sedayu akan mati seketika. Tetapi jika Agung Sedayu yang mencoba melarikan diri, maka Glagah Putih akan kami cincang menjadi sembilan.”

Agung Sedayu tidak menyahut. Yang terdengar adalah Glagah Putih menggeram.

Sejenak kemudian, maka terdengar salah seorang dari mereka meneriakkan perintah, ”Kita berangkat sekarang. Kita akan berhenti jika matahari terbit. Sebaiknya di hutan yang tersembunyi. Sehari penuh kita akan menunggu. Baru jika matahari terbenam, kita akan melanjutkan perjalanan sampai ke tlatah Jati Anom. Kita tidak akan langsung pergi ke Kademangan Jati Anom atau ke padepokan kecil itu atau ke rumah Untara. Kita akan menunggu di tengah-tengah hutan sebelah utara Lemah Cengkar. Kau memang akan kami korbankan sebagai makanan Harimau Putih di hutan itu.”

Agung Sedayu tetap tidak menjawab. Sementara Glagah Putih menjadi semakin marah.

“Marilah. Kau berada di tengah anak bengal,” perintah salah seorang dari mereka.

Glagah Putih tidak dapat mengelak. Ia berkuda di paling depan diikuti oleh seorang lawannya. Di belakang orang itu adalah Agung Sedayu yang terikat. Sementara keempat orang yang lain, berada di belakangnya dengan senjata di tangan. Pedang-pedang yang terlempar di rawa-rawa tidak dapat dipungut lagi, sehingga ada di antara mereka yang hanya menggenggam pisau belati.

Agak jauh di belakang mereka, Sabungsari telah bersiap-siap pula. Tetapi ia tidak tergesa-gesa. Ia tidak perlu lagi mengikuti orang-orangnya, karena mereka akan langsung pergi ke Jati Anom, meskipun mereka masih akan berhenti lagi di siang hari besok.

“Aku harus mendahului mereka. Jika mereka mencari aku di Jati anom, aku harus sudah berada di tempat,” berkata Sabungsari kepada diri sendiri.

Karena itulah, maka ia justru membiarkan orang-orangnya berlalu. Ia akan menempuh jalan lain yang lebih baik. Ia tidak perlu mengikuti jejak pengikut-pengikutnya yang telah berhasil membawa Agung Sedayu dan Glagah Putih.

“Akhirnya anak itu dapat juga dikuasai oleh orang-orangku,” berkata Sabungsari di dalam hatinya.

Namun ketika ia sudah berada di punggung kudanya, maka ia mulai menilai keadaan Agung Sedayu. Agung Sedayu dapat dikuasai oleh kelima kawannya bukan karena ia tidak dapat mengimbangi kemampuan kelima lawannya itu. Tetapi justru karena kelengahan Glagah Putih. Dengan mengancam Glagah Putih, maka baru Agung Sedayu dapat mereka tangkap dan mereka ikat tangannya.

Bahkan kemudian Sabungsari tidak dapat ingkar akan kemampuan bertempur Agung Sedayu. Anak muda itu ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa. Dengan cambuknya yang membelit pedang lawannya, ia berhasil melontarkan pedang itu jauh-jauh. Bahkan di luar nalar. Pedang yang besar itu meluncur seperti anak panah yang lepas dari busurnya.

“Tentu kekuatan raksasa,” geram Sabungsari.

Selain kekuatan raksasa itu, maka kecepatan bergerak Agung Sedayu benar-benar menakjubkan. Jika ia tidak terpancing menjauhi Glagah Putih, maka mungkin kelima orang lawannya akan dapat dibunuhnya.

Namun tiba-tiba Sabungsari mengerutkan keningnya. Ia menjadi ragu-ragu, apakah Agung Sedayu benar-benar akan melakukanya demikian.

“Apakah jika pertempuran itu berlangsung terus tanpa Glagah Putih, Agung Sedayu akan membunuh kelima orang lawannya,” bertanya Sabungsari di dalam hatinya.

Agung Sedayu memang mampu bergerak cepat. Ujung cambuknya telah berhasil melemparkan beberapa pedang lawannya. Bahkan melukai lawannya sehingga mereka berdarah. Tetapi apakah benar-benar ujung cambuk Agung Sedayu langsung menggapai nyawa lawannya?

Pertanyaan itu ternyata menumbuhkan keragu-raguan Sabungsari. Jika benar seperti yang didengarnya, bahwa Agung Sedayu adalah seorang pembunuh yang paling buas di peperangan. maka apakah ia tidak mempunyai cara bertempur yang lain, yang lebih garang dan kasar?

Namun Sabungsari menggeretakkan giginya sambil menggeram, ”Kelengahannya terletak pada Glagah Putih. Tanpa Glagah Putih ia akan menjadi iblis yang paling kasar dan buas.”

Sabungsari mencoba membuang segala kesan keragu-raguannya terhadap Agung Sedayu. Bagaimanapun juga Agung Sedayu harus dibunuhnya. Ia mempunyai cara tersendiri untuk mengalahkan Agung Sedayu yang bagaimanapun tinggi kemampuannya.

Karena itu, maka Sabungsari pun kemudian melanjutkan perjalanannya. Tetapi ia tidak mengikuti jalan yang ditempuh oleh para pengikutnya. Ia mencari jalan sendiri yang paling baik menurut perhitungannya, sehingga ia akan lebih cepat sampai ke Jati Anom.

Dengan demikian, maka Sabungsari meninggalkan pantai berpasir. Ia mencoba mencari jalan yang lebih keras, semakin lama semakin jauh dari gelora ombak yang menghentak-hentak.

Di bawah cahaya bulan sepotong, Sabungsari menemukan jalan setapak yang membawanya ke jalan yang lebih besar melalui padukuhan-padukuhan kecil yang tersebar di sebelah padang ilalang yang luas.

Sementara itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih harus mengikuti jalan yang dipilih oleh kelima orang yang menawan mereka. Agaknya mereka masih harus menyusuri pantai beberapa saat lamanya, kemudian mereka akan menuju ke hutan perdu di sebelah bukit-bukit yang menjorok.

“Kita akan memasuki hutan perdu dan beristirahat sehari penuh. Agar tidak seorangpun yang melihat keadaan kita yang aneh ini.”

Agung Sedayu sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Dipandanginya Glagah Putih dalam keremangan cahaya bulan. Di belakang Glagah Putih seorang lawannya berkuda dengan senjata terhunus. Sedang Agung Sedayu pun sadar, bahwa keempat orang lainnya berkuda di belakangnya.

Meskipun nampaknya Agung Sedayu hanya menundukkan kepalanya saja, dan hanya sekali-sekali memandang ke depan, namun sebenarnya ia sedang berpikir keras. Sudah barang tentu ia tidak akan menyerahkan dirinya apalagi Glagah Putih untuk mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan. Terlebih-lebih jika Glagah Putih akan mengalami bencana atau bahkan kematian.

Tetapi tidak mudah bagi Agung Sedayu untuk mencari jalan melepaskan diri dari ikatan juntai cambuknya sendiri. Bahkan rasa-rasanya pergelangan tangannya menjadi sakit. Juntai cambuknya tidak terlalu lemas dan bahkan seakan-akan telah mengelupas kulitnya.

Agung Sedayu sama sekali tidak berniat untuk berusaha memutuskan ujung cambuknya, karena ia menyadari, bahwa hal itu hampir tidak mungkin dilakukannya. Namun Agung Sedayu harus menemukan cara yang lain sebelum ia sendiri dan Glagah Putih dibantai oleh orang-orang yang tidak dikenalnya.

Sejenak Agung Sedayu mencoba memperhitungkan kekuatan kelima orang lawannya. Tiga orang sudah dilukainya. Yang luka di lambung dan tersayat kakinya tentu menjadi semakin lemah oleh darahnya yang mengalir. Tetapi Agung Sedayu pun menyadari, bahwa mereka tentu mempunyai obat yang untuk sementara dapat menolong mereka, memampatkan darah dari luka itu.

Dalam pada itu, mereka yang berkuda beriringan itu pun mulai menjauhi pantai berpasir. Mereka memasuki daerah yang berumput ilalang. Semakin lama semakin lebat. Dan akhirnya mereka mendekati sebuah hutan yang cukup luas.

“Kita akan berhenti di ujung hutan perdu itu,” berkata orang yang berada di belakang Glagah Putih, ”kalian berdua akan kami ikat pada sebatang pohon yang cukup kuat. Tentu ada beberapa pohon yang cukup besar untuk mengikat kaitan. Seandainya Agung Sedayu mempunyai kekuatan seekor gajahpun. ia tidak akan dapat melepaskan diri sama sekali. Apalagi taruhan dari usaha melepaskan diri itu adalah adiknya.”

Agung Sedayu masih tetap berdiam diri. Namun pikirannya berjalan terus. Berputar-putar dari satu pertimbangan ke pertimbangan yang lain. Ia tidak begitu saja percaya, bahwa Glagah Putih benar-benar akan dilepaskan.

Angin malam yang basah bertiup semakin kencang. Seolah-olah titik air telah hanyut dari permukaan laut. Sehingga malampun menjadi semakin dingin karenanya.

Ketika iring-iringan itu mulai memasuki hutan perdu, maka dada Agung Sedayu pun menjadi semakin berdebar-debar. Mungkin seperti yang dikatakan oleh orang bersenjata di belakang Glagah Putih, bahwa mereka akan menunggu sehari sampai matahari terbenam di esok hari. Tetapi mungkin mereka berdua, Agung Sedayu dan Glagah Putih, akan dibantai di hutan perdu dan mayatnya akan dibiarkan menjadi makanan burung gagak.

Ketika Agung Sedayu kemudian menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya bintang-bintang di langit telah bergeser ke barat. Bintang Gubug Penceng di ujung selatan telah condong jauh ke barat, sehingga dengan demikian Agung Sedayu mengerti, bahwa sebentar lagi langit akan menjadi merah oleh fajar.

Sekilas dipandangnya bulan sepotong yang kemerah-merahan tergantung di langit. Selembar awan yang hanyut dipermukaannya mengalir ke utara.

Agung Sedayu menjadi gelisah. Bahkan ia berkata di dalam hatinya, ”Aku harus menemukan jalan. Apapun yang akan terjadi dengan mereka, adalah akibat yang barangkali tidak aku kehendaki. Tetapi aku tidak dapat membiarkan diriku sendiri dan Glagah Putih menjadi korban keganasan mereka.”

Sambil menggeram, Agung Sedayu memandang punggung orang yang berkuda di hadapannya mengikuti Glagah Putih. Dipandangnya punggung itu sejenak.

Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar orang itu berteriak, ”Jangan berbuat gila apapun juga Glagah Putih. Aku dapat membunuhmu dengan caraku.”

Agung Sedayu menggeretakkan giginya. Ia menjadi semakin tidak percaya bahwa orang-orang itu akan memberikan kesempatan kepada Glagah Putih untuk kembali ke padepokannya.

Karena itu, maka ia pun semakin yakin akan niatnya untuk melepaskan diri dari kekuasaan kelima orang itu. Tetapi ia masih belum menemukan caranya.

Tiba-tiba Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia melihat suatu kemungkinan yang dapat dilakukannya. Tetapi mungkin ia harus mengorbankan lawannya dan dendampun menjadi semakin menyala.

“Tetapi itu lebih baik daripada Glagah Putih-lah yang akan menjadi korban,” geram Agung Sedayu.

Akhirnya, setelah dipertimbangkannya berulang kali, maka ia pun menggeram di dalam dadanya, ”Apa boleh buat.”

Agung Sedayu menarik napas dalam-dalam. Dipandanginya orang yang berkuda didepannya. Kemudian ia pun berpaling melihat keempat orang yang mengikutinya.

Ternyata bahwa keempat orang yang ada di belakangnyapun berurutan pada jarak yang tidak terlalu dekat. Mereka yang sudah terluka nampaknya menjadi terlalu lemah dan tidak lagi mempunyai gairah di perjalanan.

“Meskipun demikian, jika hidupnya terancam, mereka masih dapat berbuat dengan liar dan buas. Bahkan orang-orang terluka itulah yang akan kehilangan pertimbangan dan membunuh dengan semena-mena,” berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.

Dalam pada itu, Agung Sedayu telah bertekad bahwa ia harus melepaskan diri bersama Glagah Putih sebelum fajar menyingsing. Sebelum lawannya menentukan sikap lebih jauh di hutan perdu di hadapan mereka.

“Mumpung masih dalam iring-iringan ini,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Sesaat kemudian Agung Sedayu pun beringsut, seolah-olah ia menempatkan diri sebaik-baiknya di atas punggung kudanya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia bergumam kepada diri sendiri, ”Apa boleh buat.”

Sekali lagi Agung Sedayu berpaling. Dilihatnya orang-orang yang di belakangnya terkantuk-kantuk di atas punggung kudanya. Silirnya angin malam dan redupnya cahaya bulan sepotong, membuat hati orang-orang itu meremang pula.

Sejenak kemudian Agung Sedayu pun mempersiapkan diri. Dipusatkannya segenap kekuatan lahir dan batinnya. Dipandanginya punggung orang berkuda di hadapannya.

Tiba-tiba saja sepinya sisa malam itu telah dikoyakkan oleh suara jerit yang melengking. Orang berkuda di belakang Glagah Putih itu pun meronta dan bagaikan dilemparkan ia terpelanting jatuh dari kudanya.  

Peristiwa itu benar-benar telah mengejutkan. Glagah Putih yang berada di paling depan cepat berpaling. Dilihatnya orang berkuda di belakangnya telah terpelanting jatuh.

Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Ia masih melihat orang itu menggeliat sambil mengaduh di atas pasir yang basah dan ditumbuhi oleh ilalang dan rumput yang berbentuk bola.

Peristiwa itu telah menarik perhatian keempat kawannya. Seorang yang masih belum terluka dengan serta merta mendekatinya. Dengan tergesa-gesa ia meloncat dari punggung kudanya dan berjongkok di samping kawannya yang kesakitan.

“Kenapa kau he?” ia mengguncang tubuh kawannya yang terbaring sambil merintih.

Kawannya yang terbaring tidak sempat menjawab. Setiap kali terdengar ia berdesis dan mengaduh.

Beberapa langkah dari orang itu, Agung Sedayu duduk di atas punggung kudanya. Dengan cemas, ia melihat perkembangan keadaan lawannya. Ia telah mempergunakan kekuatan tatapan matanya untuk menghantam punggung lawannya.

Namun Agung Sedayu telah berusaha, bahwa yang dilepaskannya bukanlah sepenuh kekuatan yang ada padanya. Ia berharap bahwa dengan demikian, lawannya yang memiliki ilmu dan daya tahan pula, akan dapat bertahan dan tidak mati karenanya.

Dalam pada itu, keempat kawannya telah turun dari kuda masing-masing dengan tergesa-gesa, seolah-olah mereka telah melupakan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Mereka sibuk berusaha menolong kawannya yang tidak diketahui sebabnya telah terpelanting jatuh dan hampir tidak sadarkan diri.

“Cari air,” desis yang seorang.

“Kemana?” bertanya yang lain, ”tentu tidak dapat dengan air laut.”

“Ke rawa-rawa. Mungkin masih terdapat air tawar di rawa-tawa.”

“Rawa-rawa itu sudah jauh.”

Sejenak mereka termangu-mangu. Namun keadaan orang yang terbaring itu menjadi semakin gawat.

“Cepat, cari air kemana saja,” desis yang seorang.

Orang yang masih belum mengalami cidera di tubuhnya itu pun kemudian berdiri sambil berkata, ”Aku akan mencoba mencari air. Awasi orang-orang itu. Jangan sampai mereka terlepas dari tangan kalian.”

“Cepatlah,” sahut seorang kawannya.

Orang itu pun kemudian meloncat ke punggung kudanya dan berpacu menuju ke rawa-rawa untuk mendapatkan air.

“Bagaimana ia akan membawa setitik air itu?” desis salah seorang kawannya.

“Tentu ada selembar daun talas atau daun apapun.”

Ketiga orang yang menunggui kawannya yang terluka itu pun kemudian kembali merenunginya. Sekali-sekali di antara mereka berpaling dan menggeram, ”Jangan gila. Jika kalian berbuat sesuatu yang mencurigakan, kalian akan dikubur disini.”

Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi ia memberikan isyarat kepada Glagah Putih agar mendekat.

Agaknya ketiga lawannya tidak berkeberatan melihat Glagah Putih mendekati Agung Sedayu yang terikat tangannya. Selain kebingungan yang tiba-tiba karena keadaan kawannya itu, mereka menganggap bahwa Agung Sedayu sudah menjadi lumpuh dan tidak dapat berbuat apapun juga.

“Kita mencoba melarikan diri,” bisik Agung Sedayu, ”pegangi tali kudaku dan bawa lari.”

“Mereka akan menyusul kita,” desis Glagah Putih.

“Kau lihat kuda mereka tidak terikat? Kita mengejutkannya, sehingga kuda-kuda itu berlarian. Sementara itu kita melarikan diri. Biarlah mereka menyusul jika mereka menghendaki dan berhasil menangkap kuda mereka kembali. Aku hanya memerlukan waktu agar kau dapat melepaskan ikatan tanganku.”

Glagah Putih bukannya anak yang dungu. Karena itu, maka ia pun segera dapat mengerti apa yang dimaksud oleh Agung Sedayu, justru pada saat seorang diantara lawannya mencari air.

Sejenak Glagah Putih memperhatikan ketiga orang lawannya yang kebingungan. Seorang kawannya terbaring di atas pasir sambil merintih kesakitan. Punggungnya bagaikan patah dan kulitnya bagaikan terbakar. Perasaan sakit yang tiada taranya telah meremas isi dadanya.

Pada saat yang tepat, maka Glagah Putih pun segera memegang tali di leher kuda Agung Sedayu. Sambil menghentak kudanya sendiri dengan kakinya, maka ia pun menuntun kuda Agung Sedayu.

Dengan tiba-tiba kedua ekor kuda itu pun berlari. Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka Glagah Putih menuntun kuda Agung Sedayu sambil menghentak mengejutkan kuda-kuda lainnya yang tidak terikat.

Yang terjadi itu demikian cepatnya, sehingga orang-orang yang sedang berjongkok di sekitar kawannya yang terbaring itu, terlambat mengambil sikap. Ketika mereka berloncatan berdiri, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berada beberapa langkah dari mereka, sementara kuda-kuda mereka pun telah berlari-larian oleh kejutan Glagah Putih.

“Berhenti, berhenti, he orang-orang gila,” terdengar salah seorang dari ketiga orang itu berteriak, ”aku bunuh kau.”

Tetapi Agung Sedayu dan Glagah Putih tak menghiraukannya. Mereka berlari tanpa menghiraukan arah, asal mereka sempat menjauhi ketiga orang lawannya.

Dalam pada itu, kuda-kuda mereka yang berlari itu pun tidak berlari terus sehingga menjadi terlalu jauh. Ketika salah seorang dari ketiga orang lawan Agung Sedayu itu bersuit nyaring, sehingga kuda itu pun berhenti.

“Tangkap kuda itu,” desisnya.

“Ya tangkap. Kita akan mengejar kedua orang gila itu.”

Tetapi ketiga orang itu tidak segera meloncat berlari. Sejenak mereka berdiri termangu-mangu. Barulah mereka menyadari, bahwa tubuh mereka sudah terlalu lemah. Meskipun dengan reramuan obat yang mereka bawa, luka-luka mereka tidak lagi mengalirkan darah, tetapi rasa-rasanya mereka sudah tidak mampu lagi untuk berlari di pesisir yang berpasir mengejar kuda mereka. Bahkan ketika kuda mereka sudah berhenti agak jauh dari mereka.

“Apakah kita tidak berbuat sesuatu?” bertanya salah seorang dari ketiga orang itu.

Tidak seorangpun yang menjawab. Seekor kuda milik orang yang terbaring kesakitan itu justru tidak terlalu jauh dari mereka. Tetapi tidak seorangpun dari ketiga orang itu yang bernafsu untuk berlari dan meloncat ke punggung kuda itu untuk mengejar Agung Sedayu, karena mereka pun mengerti, bahwa Agung Sedayu bukannya anak muda kebanyakan.

“Jika aku mengejarnya, maka aku akan segera menjadi bangkai,” berkata salah seorang dari mereka di dalam hatinya.

Karena itu, maka ketiga orang itu pun hanya termangu-mangu dan mengumpat-umpat. Ketika mereka mendengar kawannya yang tiba-tiba saja terpelanting dari kudanya itu merintih, maka mereka pun mendekatinya.

“Bagaimana?” bertanya salah seorang dari mereka.

Orang yang terbaring itu masih mengaduh. Tetapi ia sudah dapat mengucapkan beberapa patah kata, ”Punggungku, punggungku.”

“Kenapa punggungmu?” bertanya kawannya.

“Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja bagaikan terbakar. Jantungku bagaikan remuk diremas oleh kekuatan yang tidak aku ketahui.”

Kawan-kawannya terdiam. Ketika terdengar ombak menggelepar, maka salah seorang dari mereka berdesis, ”Kita sudah berbuat sesuatu yang tidak dikehendaki oleh penguasa di tempat ini.”

Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi kulit mereka terasa meremang. Sementara kawannya berkata selanjutnya, ”Sementara kita tidak dapat melawan kuasanya.”

Kawan-kawannya menjadi semakin berdebar-debar. Rasa-rasanya jantung mereka berdentang semakin cepat.

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menyingkir agak jauh dari lawan-lawannya. Karena itu, maka Agung Sedayu pun berkata, ”Glagah Putih, cepat, lepaskan ikatan tanganku. Rasa-rasanya pergelangan tanganku akan patah. Jika mereka menyusul kita, hendaknya tanganku sudah tidak terikat lagi jutru oleh cambukku sendiri.”

Glagah Putih pun kemudian berhenti. Dengan tergesa-gesa ia mulai mencoba melepaskan ikatan tangan Agung Sedayu.

“Sulit sekali Kakang,” berkata Glagah Putih.

“Tetapi kau tentu dapat melakukannya. Juntai cambukku tidak terlalu lemas, sehingga ikatannyapun tentu tidak akan mati.”

Dengan susah payah, akhirnya terasa ikatan itu mengendor, dan bahkan kemudian cambuk itu pun akhirnya dapat dilepas oleh Glagah Putih.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Diterimanya cambuknya yang telah mengikat tangannya bagaikan akan patah dengan hati yang berdebar-debar. Rasa-rasanya Agung Sedayu telah menerima senjatanya yang hampir saja hilang dan justru menjadi alat untuk mencelakainya.

“Terima kasih Glagah Putih,” gumam Agung Sedayu.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih justru menundukkan kepalanya. Di sela-sela suara angin malam dan gelegar ombak yang semakin jauh, terdengar ia berkata, ”Aku mohon maaf Kakang, bahwa hampir saja aku menjadi penyebab kesulitan yang gawat pada Kakang.”

Agung Sedayu menepuk pundak Glagah Putih. Katanya, ”Lupakan. Kita bersama-sama telah melakukan kesalahan. Tetapi ini merupakan pengalaman yang baik bagimu. Kau benar-benar telah menghadapi bahaya yang sullit.”

Glagah Putih mengangguk kecil, “Apakah Kakang akan kembali menemui perampok-perampok itu?”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ditatapnya wajah Glagah Putih yang kadang-kadang ditundukannya dalam-dalam.

”Jika Kakang akan kembali kepada mereka, biarlah aku menunggu di sini, agar aku tidak mengganggu Kakang mengalahkan mereka.”

Tetapi Agung Sedayu tersenyum. Katanya, ”Bersama atau tidak bersama aku, daerah ini tetap merupakan daerah yang gawat bagimu Glagah Putih. Karena itu, sebaiknya aku tidak kembali lagi kepada mereka. Marilah kita meneruskan perjalanan. Kecuali jika mereka mengejar dan berhasil menyusul kita, maka aku akan berbuat sesuatu untuk membela diri.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa telah menjadi rintangan perjuangan Agung Sedayu. Jika ia dapat melindungi dirinya sendiri, maka setidak-tidaknya Agung Sedayu akan dapat menangkap salah seorang lawannya sehingga dari padanya akan dapat didengar keterangan siapakah sebenarnya mereka. Tetapi justru karena Agung Sedayu bersamanya, maka kehadirannya itu menjadi perhitungan kakak sepupunya.

“Marilah Glagah Putih,” berkata Agung Sedayu, ”lebih baik kita menghindar. Mereka sangat licik dan dapat berbuat sesuatu di luar dugaan.”

Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi terasa dirinya semakin kecil di hadapan Agung Sedayu. Kehadirannya bukannya menjadi seorang kawan yang dapat membantu melawan lima orang yang mengeroyoknya, namun justru ialah yang menjadi sebab, bahwa hampir saja Agung Sedayu mengalami kesulitan.

Glagah Putih mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Agung Sedayu berkata, ”Marilah. Kita akan meneruskan perjalanan.”

Glagah Putih mengangguk. Disentuhnya punggung kudanya dengan telapak tangannya, serta digerakkannya kendali kudanya, sehingga kudanyapun perlahan-lahan mulai bergerak.

“Kau di depan, Glagah Putih,” berkata Agung Sedayu kemudian, ”kita berada di sebuah hutan perdu.”

Glagah Putih tidak menyahut. Ia pun kemudian berkuda di depan dan Agung Sedayu di belakang. Mereka menyusuri sebuah hutan perdu yang belum mereka kenal. Agung Sedayu mengenal arah dari petunjuk letak bintang yang berkeredip di langit.

“Kita menuju ke utara,” desisnya, ”nanti jika fajar menyingsing, kita akan mengetahui, dimana kita sedang berada, dan barangkali kita akan dapat menentukan arah lebih lanjut.”

Glagah Putih mengangguk kecil.

Sejenak kemudian maka mereka pun telah berada di hutan perdu yang menjadi semakin lebat. Pasir di bawah kaki mereka telah menjadi semakin tipis dan bahkan kemudian telah hampir tidak terdapat lagi. Jenis tumbuh-tumbuhan di hutan perdupun menjadi semakin banyak dan semakin rimbun.

“Kita sudah mendekati Sungai Opak,” gumam Agung Sedayu.

“Darimana Kakang tahu?”

“Menurut perhitungan dan menurut arah. Aku kira sebentar lagi kita akan sampai ke pinggir sungai apabila kita menuju ke timur.”

Glagah Putih mengangguk-angguk, sementara Agung Sedayu melanjutkan, ”Marilah, kita akan mendekati tanggul sungai. Mungkin kita akan menemukan jalan yang menuju ke padukuhan.”

Glagah Putih pun kemudian berbelok ke kanan. Menurut petunjuk bintang, mereka menuju ke arah timur. Sementara langitpun menjadi semakin menyala oleh warna fajar.

Bintang Gubug Penceng di ujung selatanpun menjadi semakin redup. Yang nampak di langit adalah warna merah yang semakin cerah. Ketika di kejauhan terdengar suara ayam berkokok, maka Agung Sedayu pun berkata, ”Kita tidak terlalu jauh lagi dari padukuhan.”

“Ya,” sahut Glagah Putih, ”aku juga mendengar ayam berkokok.”

“Kita akan turun ke sungai,” berkata Agung Sedayu, ”kita akan mandi dan membersihkan diri, agar kita tidak terlalu dicurigai oleh orang-orang yang akan berpapasan di perjalanan.”

Ketika langit menjadi terang, maka seperti yang diperhitungkan oleh Agung Sedayu, mereka pun telah mendekati Sungai Opak. Dari kejauhan nampak beberapa jenis pepohonan yang rimbun membujur di sepanjang tanggul. Jenis tumbuh-tumbuhan yang lebih besar dari tumbuh-tumbuhan di hutan perdu.

Bukit yang berjajar di hadapan mereka pun nampak menjadi semakin hijau oleh tumbuh-tumbuhan di lereng yang berjalur-jalur hitam. Semakin tinggi, hutan di lereng itu pun menjadi semakin tipis. Pada beberapa puncak bukit yang berjajar itu, terdapat dataran-dataran padas yang gundul.

“Kita akan mandi,” desis Agung Sedayu.

Tetapi wajah Glagah Putih nampak membayang kecemasan hatinya, sehingga Agung Sedayupun berkata pula, ‘ Kita mencuci muka dan bagian tubuh kita yang kotor.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian ia pun menundukkan wajahnya, seolah-olah ia ingin menyembunyikan perasaannya yang dapat ditebak oleh Agung Sedayu.

Sementara itu, di atas seonggok pasir, lima orang lawan Agung Sedayu yang ditinggalkannya, duduk dengan wajah yang kusut. Orang yang tiba-tiba saja terpelanting dari kudanya telah merasa tubuhnya menjadi semakin baik, sementara kawannya yang mencari air telah kembali di antara mereka dengan beberapa tetes air di daun talas. Tetapi yang beberapa tetes itu telah membuat kawannya menjadi segar.

“Kita telah kehilangan Agung Sedayu dan Glagah Putih,” berkata salah seorang dari mereka.

“Ternyata ia memang anak iblis. Iblis itulah yang telah datang membantunya, melemparkan aku dari punggung kuda. Rasa-rasanya punggungku telah dipukul dengan sepotong besi yang membara,” desis kawannya yang terpelanting dari punggung kudanya.

“Sst,” yang lain berdesis, ”jangan sebut lagi. Sekarang kau sudah berangsur baik. Apa lagi yang akan kita lakukan sekarang. Kuda kita masih utuh. Kita telah berhasil menangkap kuda-kuda itu seluruhnya.”

Orang yang telah mendapatkan air itu berpikir sejenak. Ia adalah satu-satunya orang yang tidak mengalami sesuatu di antara kelima orang sekelompok kecilnya.

“Kita akan mencari jejaknya,” desisnya tiba-tiba.

“Untuk apa?” bertanya yang lain.

“Kita akan mencari jalan untuk menangkapnya kembali. Kita akan memancing perkelahian dan sekali lagi memperalat Glagah Putih untuk menangkapnya.”

“Agung Sedayu tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Ia tentu akan menjadi semakin garang dan cambuknya akan menjadi semakin buas,” desis yang lain.

Kawan-kawannya tidak menyahut. Tetapi mereka pun tidak dapat ingkar akan kenyataan mereka masing-masing. Empat di antara kelima orang itu telah terluka. Meskipun keadaan mereka sudah menjadi semakin baik, namun mereka masih harus berpikir sepuluh kali lagi, apakah mereka akan mengikuti jejak Agung Sedayu dan berusaha untuk menyusulnya.

Karena itu, maka mereka masih saja duduk di atas pasir. Rasa-rasanya sangat malas untuk berdiri dan meneruskan perjalanan. Apalagi keempat orang yang telah terluka.

“Apakah yang akan kita katakan kepada Sabungsari,“ tiba-tiba salah seorang dari mereka berdesis.

Kawan-kawannya tidak segera dapat menjawab. Mereka sedang mencoba melihat banyak kemungkinan yang dapat terjadi.

Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Bukankah yang dikehendaki Sabungsari adalah bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih kembali ke Jati Anom? Selanjutnya persoalannya akan langsung ditangani oleh Sabungsari sendiri yang ingin membalas dendam dengan tangannya?”

Kawan-kawannya termenung sejenak. Seorang di antara mereka bergumam, ”Ya, kau benar.”

“Jika sekiranya Agung Sedayu kemudian memang kembali ke Jati Anom, apakah kita perlu berbuat sesuatu lagi atasnya?”

Yang lain termangu-mangu. Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja bertanya, ”Jika demikian, apakah artinya semuanya yang telah kita lakukan? Apakah yang kita lakukan itu sama artinya dengan jika kita tidak berbuat apa-apa?”

“Tentu berbeda,” sahut yang lain, ”tentu akan lebih baik jika kita membawa Agung Sedayu dalam ikatan. Sabungsari akan segera dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya di hutan lereng Gunung Merapi, atau di hutan di sebelah Lemah Cengkar yang dihuni oleh macan putih itu. Tetapi jika Agung Sedayu kembali seperti ia kembali dari bepergian, maka masih diperlukan cara untuk menggiringnya dalam perang tanding.”

Tetapi seorang yang lain menyahut, ”Tetapi bedanya tidak terlalu banyak. Biarlah kita mengatakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Sabungsari.”

“Apakah itu perlu? Kita dapat juga mengatakan, bahwa kita memang membiarkan Agung Sedayu dan Glagah Putih kembali ke padepokannya. Baru kemudian kita memancingnya melepaskannya dari penghuni padepokan yang lain,” berkata yang lain.

Tetapi orang yang sama sekali belum terluka itu akhirnya berkata, ”Biarlah kita mengatakan apa adanya. Terserah kepada penilaian Sabungsari. Jika kita masih dianggap bersalah, dan Sabungsari bermaksud menghukum kita, biarlah ia menghukum dengan caranya. Tetapi sebuah pertanyaan harus kita jawab, ”Apakah kita akan membiarkan diri kita dihukum setelah kita mengalami keadaan seperti ini.””

“Maksudmu?” bertanya salah seorang kawannya, ”apakah kita akan melawan?”

“Entahlah,” jawabnya, ”tetapi rasa-rasanya kita sudah berbuat sebaik-baiknya, sehingga kita tidak seharusnya disalahkan lagi.”

Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi jika benar mereka harus melawan Sabungsari, sementara keadaan tubuh mereka yang lemah itu, maka keadaan mereka tentu akan menjadi semakin buruk.

Tetapi yang seorang itu seolah-olah mengetahui apa yang tersirat dihati kawan kawannya. Maka katanya, ”Dalam perjalanan kembali ke Jati Anom, kita akan dapat memulihkan tenaga kita. Dengan demikian, kita berlima akan mempunyai kemampuan yang utuh, yang akan dapat kita pergunakan dimana perlu.”

Yang lain tidak menyahut. Tetapi nampak bahwa mereka masih tetap ragu-ragu. Bahkan akhirnya mereka tidak mau memikirkannya lagi.

“Entahlah, apa yang akan terjadi kemudian,” desis salah seorang dari mereka, ”tetapi aku cenderung untuk mengatakan apa yang telah terjadi sebenarnya.”

Namun demikian, mereka berlima tidak segera meninggalkan tempat itu. Rasa-rasanya masih malas bagi mereka untuk berdiri dan melanjutkan perjalanan. Apalagi mereka yang sudah terluka.

Tetapi ketika matahari kemudian mulai memanjat langit, maka mereka dengan segan berdiri dan mengibaskan pakaian mereka yang kotor oleh pasir dan darah.

“Marilah,” berkata orang yang masih belum terluka sama sekali, ”kita akan maju perlahan-lahan. Tanpa Agung Sedayu pun kita akan menunggu dan berhenti di pinggir Kali Opak, karena keadaan kita. Jika kita meneruskan perjalanan, maka orang-orang yang berpapasan dengan kita akan heran dan mungkin diantara mereka ada juga yang mencurigai kita.”

Kawan-kawannya tidak menyahut. Dengan segan mereka berdiri dan melangkah menuju ke kuda mereka masing-masing. Sejenak kemudian mereka telah berada di punggung kuda dan mulai dengan perjalanan yang terasa sangat menjemukan.

Tanpa mereka kehendaki, maka mereka pun mengikuti jejak kuda Agung Sedayu yang masih nampak jelas di atas pasir, di antara semak-semak dihutan perdu. Tetapi sama sekali tidak ada niat mereka untuk menyusulnya.

Kelima orang itu menjadi berdebar-debar. ketika mereka melihat jejak kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih juga menuju ke arah Sungai Opak, maka hati mereka menjadi berdebar-debar.

“Keduanya tentu sudah meninggalkan sungai itu,” berkata salah seorang dari mereka, ”kita akan mandi sepuas-puasnya tanpa takut diganggunya lagi.”  

Meskipun diantara mereka masih ada yang ragu-ragu, tetapi kelima orang itu tetap mengikuti jejak kuda Agung Sedayu menuju ke Kali Opak. Namun seperti yang mereka duga, tidak ada seorangpun lagi di pinggir sungai itu. Bahkan mereka telah melihat jejak kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih meneruskan perjalanan menuju ke utara.

“Mereka menyusuri Kali Opak,” desis salah seorang dari mereka.

“Ya. Agaknya mereka tidak akan berhenti dan menunggu jalan-jalan mejadi sepi. Mereka nampaknya dapat membenahi diri dan tidak menimbulkan kecurigaan apapun juga,” sahut yang lain.

“Aku masih membawa selembar baju yang lain di pelana kudaku,” berkata salah seorang dari mereka.

“Persetan,” geram yang lain, ”tetapi keadaan kita cukup menarik perhatian di siang hari. Jika kita melintas jalan yang ramai, maka mereka akan menyangka kita sekelompok orang yang pulang dari perampokan atau menyamun di jalan-jalan sepi.”

Yang lain tidak menyahut. Tetapi mereka segera turun dari kuda mereka dan menambatkannya pada pohon-pohon yang tumbuh di tanggul Kali Opak.

“Alangkah segarnya untuk mandi. Mudah-mudahan kekuatanku dapat pulih kembali,” desis salah seorang dari mereka.

Kelima orang itu pun kemudian turun ke dalam segarnya air Kali Opak. Beberapa saat lamanya mereka membenamkan diri ke dalam air. Terasa seakan-akan kekuatan mereka merayap kembali ke dalam tubuh mereka yang menjadi segar.

Mereka yang terluka oleh cambuk Agung Sedayu merasa pedih sesaat. Tetapi justru sekaligus mereka mencuci luka itu dan kemudian ketika mereka selesai mandi, mengobatinya dengan obat yang selalu mereka bawa sebagai bekal.

Ketika mereka selesai berpakaian, maka orang yang punggungnya telah dibakar oleh kekuatan tatapan mata Agung Sedayu berkata, ”Aku telah pulih kembali. Seandainya aku kini bertemu dengan Agung Sedayu, maka aku tidak segan lagi untuk mengulangi pertempuran.”

“Tanpa anak yang tinggi kekurus-kurusan itu?” bertanya kawannya.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam tanpa menjawab sepatah katapun.

Namun seperti orang itu pula, maka kelima orang pengikut Sabungsari itu memang merasa tubuh mereka menjadi segar kembali. Tetapi tidak ada niat mereka untuk menyusul dan kemudian menangkap Agung Sedayu. Apalagi di antara mereka, yang bersenjata tinggal dua orang. Yang lain tidak lagi memiliki pedang di lambung. Bahkan pisau-pisau belati mereka pun telah mereka lontarkan ketika mereka berusaha memancing perhatian Agung Sedayu, sehingga mereka berhasil menguasai Glagah Putih.

“Jika kita bertemu dengan bahaya, aku sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa,” desis salah seorang dari mereka yang tidak bersenjata.

“Lalu, apakah yang dapat kita lakukan?” bertanya kawannya.

“Aku akan memotong sebatang kayu metir. Kayu itu akan dapat aku pergunakan sebagai senjata.”

“Bagus,” berkata kawannya yang lain, yang juga telah kehilangan senjata, ”dengan kayu metir setinggi tubuh kita, maka kita akan dapat mempersenjatai diri melawan pedang yang paling tajam sekalipun.”

Kawan-kawannya yang berpedang ternyata tidak berkeberatan. Merekapun kemudian memotong beberapa batang metir yang tumbuh di atas tepian Kali Opak sepanjang tubuh mereka, sehingga mereka akan dapat mempergunakan tongkat itu sebagai senjata yang akan dapat melawan senjata apapun juga.

“Kayu metir sebesar pergelangan tangan ini tidak akan dapat putus dengan sekali babat betapapun tajamnya pedang. Bahkan pedang itu akan dapat melekat pada tongkat ini dan sulit untuk ditarik kembali,” berkata salah seorang dari mereka.

Dengan senjata tongkat kayu metir itulah maka para pengikut Sabungsari itu siap untuk meneruskan perjalanan. Namun mereka tetap pada pendirian mereka untuk menunggu sampai petang. Barulah mereka akan melintasi jalan-jalan yang agak ramai menuju ke Jati Anom.

Namun ketika mereka mulai melepas tali-tali kuda mereka, mereka terkejut, karena mereka mendengar suara seseorang yang sedang berbicara meskipun masih agak jauh. Kemudian suara yang lain menyahut. Bahkan masih terdengar suara yang lain lagi.

“Aku mendengar beberapa orang berbicara,” desis salah seorang dari kelima orang pengikut Sabungsari itu.

“Apakah Agung Sedayu dan Glagah Putih datang lagi ke tempat ini?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Bukan. Aku kira jumlah mereka lebih dari tiga orang.”

Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kelima orang itu tidak sempat mengambil sikap, karena tiba-tiba saja dari tikungan tebing sungai muncul empat orang yang agaknya berjalan menyusuri sungai.

Bukan saja kelima orang itu yang menjadi tegang, namun keempat orang yang tiba-tiba saja melihat lima orang berkuda itu pun terkejut pula, sehingga langkah mereka pun terhenti.

Sejenak kedua kelompok itu saling memandang. Nampaknya kerut merut diwajah masing-masing. Seolah-olah mereka telah berdiri dimuka sebuah cermin yang besar dan melihat diri masing-masing berhadapan dengan bayangannya.

Hampir setiap orang didalam kedua kelompok itu melihat wajah-wajah yang kasar seperti wajah mereka sendiri. Melihat sikap yang garang dan mata yang memancarkan kecurigaan.

Salah seorang pengikut Sabungsari itu pun tiba-tiba berdesis, ”Siapakah mereka ?”

Kawannya agaknya tidak sabar lagi. Kudanya yang telah dilepas ikatannya, telah ditambatkannya kembali. Kemudian selangkah ia maju dan berdiri di bibir tebing Kali Opak. Sambil memandang orang-orang yang menelusuri Kali Opak itu ia bertanya lantang, ”He, siapakah kalian Ki Sanak?”

Orang-orang yang berada di pasir tepian itupun memandanginya dengan heran. Seorang yang berkumis lebat dan berdada bidang melangkah maju pula sambil menjawab, ”Kami pulang dari mencari makan. Siapakah kalian?”

Para pengikut Sabungsari itu pun segera mengerti. Seolah-olah istilah itu memang merupakan istilah yang telah mereka sepakati untuk dipergunakan. Sekelompok penjahat yang baru pulang dari melakukan kejahatan akan mengatakan, bahwa mereka baru pulang dari mencari makan.

Para pengikut Sabungsari itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka memang sudah mengira. Dan mereka pun sadar, bahwa orang-orang di tepian itu pun tentu mengira bahwa mereka berlima tentu juga baru pulang dari mencari makan.

Justru karena itu, maka pengikut Sabungsari itu tidak ingin berurusan lebih lama lagi. Katanya, ”Silahkan kalian meneruskan perjalanan. Kami sedang digelisahkan oleh buruan kami.”

“He?“ orang berkumis di atas pasir tepian itu menjadi heran.

“Kami sedang memburu Agung Sedayu,” berkata orang di atas tebing itu acuh tidak acuh.

Tetapi ketika ia akan melangkah surut, ia terkejut karena orang berkumis itu berteriak, ”Apa katamu? Kau memburu Agung Sedayu?”

“Ya. Kenapa?” orang itu bertanya.

Sejenak orang-orang yang berada di tepian itu saling berpaling. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, ”Apakah Agung Sedayu lewat di padang perdu itu?”

Pertanyaan itu ternyata telah menarik perhatian kelima orang pengikut Sabungsari. Mereka serentak melangkah ke bibir tebing sambil memandang keempat orang itu dengan tajamnya.

“Kenapa kau bertanya tentang Agung Sedayu? Apakah kau pernah mengenal Agung Sedayu?” bertanya salah seorang dari mereka.

Orang berkumis itu tertegun sejenak. Namun kawannya yang membawa sebuah bungkusan kecil menyahut, ”Ya, kami tahu pasti. Siapakah Agung Sedayu. Katakan, apakah hubungan kalian dengan Agung Sedayu.”

Orang-orang yang berdiri di atas tebing itu termangu-mangu. Orang yang masih mempunyai pedang di lambungnya itu berkata, ”Kami mempunyai persoalan dengan anak itu. Jika kalian juga mempunyai persoalan, katakan. Apakah yang akan kau lakukan atas anak itu.” 

Orang berkumis itulah yang kemudian berteriak, ”Kami akan membunuhnya.”

Jawaban itu telah mendebarkan jantung kelima orang yang berada di atas tebing. Salah seorang dari mereka berkata, ”Benar kalian akan membunuh Agung Sedayu? Siapakah kalian, dan apakah kalian mempunyai kemampuan yang cukup?”

“Kalian belum pernah mendengar nama kami atau kalian memang tidak pernah mengira bahwa kalian akan bertemu dengan orang-orang dari Pesisir Endut?” jawab orang berkumis itu.

Sejenak orang-orang yang ada diatas tebing itu termangu-mangu. Sementara itu orang-orang yang berada dipasir tepian memandang mereka dengan dada tengadah. Mereka menyangka bahwa pengakuan mereka akan mengejutkan orang-orang yang berada di tepian itu.

Tetapi merekalah yang justru terkejut. Ternyata kelima orang itu justru tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, ”Jadi kalian inilah orang-orang dari Pesisir Endut itu? Kalianlah yang telah kehilangan dua orang pemimpin kalian yang dibunuh oleh Pangeran Benawa itu.”

Orang-orang ditepian itu termangu-mangu sejenak. Kemudian orang berkumis itulah yang berteriak, ”Jadi kalian pernah mendengar nama kami? Perguruan Pesisir Endut?”

“Nama perguruanmu memang telah dikenal sampai ke ujung bumi. Tetapi kami menjadi kecewa karena dua orang bersaudara yang terkenal dari Pesisir Endut itu sama sekali tidak berdaya menghadapi Pangeran Benawa seorang diri. He, apakah yang dapat kalian lakukan sekarang tanpa pemimpinmu itu?”

Orang bekumis itu menjadi merah padam. Dengan suara bergetar ia ganti bertanya, ”Siapakah kalian yang telah berani menghina perguruan Pesisir Endut? Kau sangka kalian memiliki kemampuan melampaui Pangeran Benawa? Bahkan seandainya Pangeran Benawa sekarang ini ada disini, kami berempat akan dapat membunuhnya tanpa mengalami kesulitan.”

Kelima orang itu menjadi tegang. Seolah-olah keempat orang itu demikian yakin akan diri mereka. Mereka merasa bahwa mereka akan dapat mengalahkan Pangeran Benawa.

Tetapi orang yang berpedang di atas tebing itu berkata,” Jangan sesumbar disini. Kau berteriak-teriak karena justru kau tahu, bahwa Pangeran Benawa tidak ada disini sekarang. Seandainya tiba-tiba saja Pangeran Benawa sekarang ini hadir, maka kalian akan menjadi pingsan.”

“Persetan. Siapakah kalian sebenarnya?” bertanya orang berkumis itu.

Orang berpedang itu tertawa kecil. Katanya, ”Baiklah, karena kalian telah mengaku bahwa kalian datang dari Pesisir Endut, maka kami pun akan mengatakan siapakah kami sebenarnya. Kami adalah orang-orang yang mendendam Agung Sedayu seperti orang-orang Pesisir Endut. Justru kalianlah yang agaknya lebih dahulu bertindak. Tetapi kalian tidak pernah berhasil. Bahkan menurut pendengaran kami, orang yang lebih tinggi tingkat ilmunya dari kedua kakak beradik dari Pesisir Endut itu pun tidak berhasil berbuat sesuatu atas Agung Sedayu.”

“Kedua kakak beradik itu dibunuh oleh Pangeran Benawa. Bukan oleh Agung Sedayu,” potong orang berkumis itu.

“Tidak jauh bedanya. Tidak seorangpun yang mengetahui dengan pasti, siapakah yang lebih kuat antara Agung Sedayu dan Pangeran Benawa. Tetapi yang jelas perguruan dari Pesisir Endut itu tak berhasil berbuat se suatu,” ia berhenti sejenak, lalu, “Nah, sekarang datang giliran kami. Kami datang dari pihak yang lain, yang juga menyimpan dendam seperti kalian. Kami adalah murid-murid dari perguruan Ki Gede Telengan.”

Keempat orang itu tercenung sejenak. Orang berkumis itu berkata, “Kami sudah mendengar orang yang bernama Ki Gede Telengan yang terbunuh juga oleh Agung Sedayu. He, apakah kalian tidak menyadari akan hal itu? Bahkan guru kalianpun telah mati?”

Tetapi orang berpedang itu tertawa. Katanya, “Kami tidak tergantung kepada Ki Gede Telengan. Orang terkuat di perguruan kami bukannya Ki Gede Telengan. Tetapi anak laki-lakinya. Ia mewarisi semua ilmu ayahnya. Tetapi ilmu itu sudah disempurnakan sesuai dengan jiwanya yang hidup karena kemudaannya. Ia mempunyai perincian kesalahan ayahnya, kenapa ia terbunuh oleh Agung Sedayu. Dan ia tidak akan mengulangi kesalahan ayahnya jika ia berhadapan dengan Agung Sedayu nanti.”

“Siapakah anak Ki Gede Telengan di antara kalian?” bertanya orang berkumis itu.

“Tidak ada di antara kami. Kami memang sedang menggiring Agung Sedayu ke arah yang dikehendaki, sehingga pada suatu saat keduanya akan bertemu. Keduanya adalah anak-anak muda, dan keduanya akan berhadapan dalam perang tanding yang tiada taranya.”

Orang-orang dari Pesisir Endut itu tertegun sejenak. Salah seorang dari mereka berbisik di telinga orang berkumis itu, ”Kita harus cepat membawa kabar ini pulang.”

“Tetapi orang-orang itu sangat sombong,” berkata orang berkumis itu, ”nampaknya mereka memang ingin dihajar sampai jera.”

“Apa yang akan kita lakukan?” bertanya yang lain.

“Kita naik ke tebing dan merebut kuda-kuda itu. Alangkah senangnya kita kembali dengan naik kuda.”

Kawannya termangu-mangu. Sejenak ia memandang orang-orang yang berada di atas tebing. Namun tiba-tiba saja jantungnya rasa-rasanya menjadi berdebaran. Katanya, ”Apakah kau pasti bahwa kita akan berhasil?”

“Kenapa tidak. Mungkin kita memerlukan waktu sejenak untuk mengusir mereka. Tetapi kemudian kita akan berkuda sampai ke Padepokan Pesisir Endut.”

Kawan-kawannya yang lainpun menjadi ragu-ragu. Bahkan seorang yang lain berkata, ”Apakah kita akan sempat memiliki kuda mereka.”

“Pengecut. Aku akan naik. Aku akan memaksa mereka meninggalkan kuda mereka.”

Orang berkumis itu tidak menunggu jawaban kawan-kawannya lagi. Ia pun kemudian melangkah maju mendekati tebing sambil berkata, ”Ki Sanak. Aku memerlukan kalian. Aku ingin berbicara lebih panjang. Karena itu aku akan naik.”

Para pengikut Sabungsari menjadi berdebar-debar. Orang berpedang yang masih belum terluka sama sekali itu berbisik, ”Berhati-hatilah. Nampaknya mereka akan naik. Tentu ada sesuatu yang akan mereka lakukan atas kita.”

Kawannya yang juga masih menggenggam pedang berdesis, ”Biarlah mereka naik. Apapun yang akan mereka lakukan, akan kita hadapi. Badanku sudah pulih kembali meskipun di pesisir itu punggungku rasa-rasanya akan retak dan berpatahan.”

Orang yang masih belum terluka sama sekali itu memandang kawan-kawannya yang lain. Di antara mereka ada yang terluka kulitnya oleh sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu. Namun orang yang terluka kakinya itu berkata, “Lukaku tidak seberapa. Memang pedih. Tetapi seandainya aku harus bertempur, aku sudah siap meskipun aku hanya bersenjata tongkat kayu.”

Orang berpedang itu justru masih mempunyai sebilah pisau belati. Sambil bergeser ia berkata, ”Jika kau perlukan, kau dapat mempergunakan pisauku di samping tongkatmu.”

“Tongkatku cukup kuat untuk menghadapi pedang. Kecuali lebih panjang, maka aku percaya akan kekuatan kayu metir meskipun agak berat.”

Kawan-kawannya yang bertongkatpun mengangguk-angguk. Salah seorang berdesis, “Aku merasa kuat. Pedang mereka tidak akan dapat mematahkan tongkat kayuku asal aku tidak membenturkan menyilang.”

Sejenak orang-orang di atas tebing itu menjadi tegang. Mereka menunggu keempat orang itu perlahan-lahan naik ke atas.

Sejenak kemudian, maka keempat orang itu sudah berdiri di atas tebing pula. Mereka masih berusaha mengatur pernafasan mereka, ketika mereka telah berdiri berhadapan.

“Aneh,” desis orang berkumis, ”beberapa di antara kalian membawa tongkat kayu.”

“Ini memang senjataku,” desis orang yang bertongkat kayu.

Tetapi orang berkumis itu tertawa. Katanya, ”Jika kau tidak membawa sarung pedang yang kosong, aku tentu percaya. Apalagi tongkat itu adalah kayu metir yang masih basah.”

Orang-orang yang bersenjata tongkat itu termangu-mangu sejenak. Namun salah seorang dari mereka telah tertawa pula. Katanya, ”Kau benar. Sarung pedangku telah kosong. Ini suatu kesalahan bahwa aku tidak membuangnya saja. Tetapi hal itu memang suatu akibat, bahwa aku kehabisan uang di perjalanan. Aku telah menjual pedangku di sebuah warung dan menukarkannya dengan nasi lima bungkus. Nah, bukankah jelas bagi kalian?”

Jawaban itu rasa-rasanya memang menyakitkan hati. Tetapi orang berkumis itu tidak segera marah. Bahkan ia masih bertanya, ”Apakah kuda-kuda yang terikat itu kuda kalian?”

“Apakah kau masih perlu bertanya begitu?” orang berpedang itu justru bertanya pula.

“Pertanyaan yang bagus,” sahut orang berkumis, ”nah, jika demikian aku pasti, bahwa kuda-kuda itu memang milik kalian. Entah kalian memang membawanya sejak kalian berangkat, atau kalian dapatkan di perjalanan dengan mencuri misalnya.”

Para pengikut Sabungsari itu serentak beringsut. Namun mereka masih menahan diri dan mendengarkan orang berkumis itu berkata selanjutnya, “Ki Sanak. Sebaiknya kita bergantian saja. Sekarang, kamilah yang akan berkuda kembali ke Padepokan Pesisir Endut. Jika kemudian perguruanmu membutuhkan, ambil sajalah ke Pesisir Endut dengan anak muda yang kau sebut anak Ki Telengan.”

Wajah orang berpedang itu menjadi merah. Tetapi ia tidak mau dibakar oleh perasaannya sehingga kehilangan pengamatan diri. Karena itu ia masih tetap menyadari keadaannya. Katanya kemudian, ”Aku tahu. Kau ingin merampas kudaku. Aku tahu pula, bahwa kau menganggap Perguruan Ki Telengan sudah tidak berarti lagi sepeninggal Ki Gede seperti juga Perguruan Pesisir Endut sepeninggal kakak beradik itu. Tetapi seandainya demikian, namun agaknya kami masih lebih berarti dari kalian. Kami masih menahan diri untuk tidak melakukan perampokan-perampokan kecil-kecilan, atau menyamun pedagang yang akan pergi ke pasar.”

“Persetan,” orang berkumis itulah yang menggeram, ”apapun yang kau katakan. Tinggalkan kuda-kuda kalian. Jika aku tidak mengingat bahwa nasib kita hampir bersamaan, aku tidak usah memberimu peringatan. Kami langsung membunuh kalian tanpa persoalan. Tetapi karena kita sama-sama mendendam pada orang yang sama, maka marilah kita saling berbaik hati. Serahkan kuda kalian, lalu kalian dapat pergi dengan tanpa kami ganggu.”

“Jangan omong saja. Kau tentu sudah tahu jawabku. Dan kau pun tentu tidak akan mundur. Karena itu, aku kira tidak ada kemungkinan lain yang terjadi, selain kita harus bertempur di sini. Terserah pada keadaan berikutnya, apakah kita akan saling membunuh atau akan terjadi penyelesaian lain.”’

Orang berkuda itu tidak sabar lagi. Karena itu, maka katanya kepada kawan-kawannya, “Sudah jelas, mereka mempertahankan kuda mereka.”

Orang-orang Pasisir Endut itu ternyata lebih kasar dari para pengikut Sabungsari. Meskipun tiga orang yang lain semula masih ragu-ragu, namun kemudian mereka pun berteriak dengan kasar sambil mencabut senjata mereka.

“Jumlah kami lebih banyak,” berkata salah seorang pengikut Sabungsari itu, ”dalam perhitungan kasar, maka kami akan menang.”

“Perhitungan kasar dan gila. Aku mempunyai perhitungan lain,” jawab orang berkumis, ”kami bersenjata lengkap. Tiga di antara kalian hanya bersenjata sepotong kayu. Apalagi nampaknya kalian bukan orang yang memiliki ilmu kanuragan yang pantas diperhitungkan.”

Pengikut Sabungsari yang sama sekali belum terluka itu tertawa sambil berkata, “Kita akan menghadapi orang-orang kasar yang dungu. Marilah. Jangan ragu-ragu.”

Kawan-kawannya mulai bergeser. Meskipun di antara mereka sudah terluka, tetapi air sungai di bawah tebing itu telah membuat tubuh mereka pulih kembali. Rasa-rasanya mereka tidak pernah mengalami cidera apapun juga sebelumnya.

Keempat orang dari Pesisir Endut itu pun telah memencar pula. Mereka mengacukan senjata mereka sambil menggeram. Yang berkumis itu masih berbicara lantang, ”Untuk yang terakhir kalinya, tepuklah dadamu dengan wajah tengadah. He, orang-orang dungu. Sebentar lagi kepalamu akan terpisah dari tubuhmu. Dan kuda-kuda yang tegar itu akan menjadi milik kami.”

Pengikut Sabungsari itu tidak menjawab lagi. Mereka sudah siap sepenuhnya menghadapi setiap kemungkinan. Mereka yang berpedang berdiri pada jarak yang terjauh, sementara tiga orang yang lain berdiri dalam satu kelompok kecil yang nampaknya ingin bertempur dalam satu lingkaran.

Orang berkumis itu pun mulai mendekati lawannya. Orang yang nampaknya paling berpengaruh di antara kelima orang pengikut Sabungsari itu agaknya orang yang bersenjata pedang dan banyak berbicara itu. Karena itu, maka ia pun maju selangkah demi selangkah mendekatinya sambil berteriak, ”Bunuh saja mereka semuanya agar pekerjaan kita rampung tanpa ada persoalan lagi yang dapat timbul kemudian.”

“Jumlah kalian hanya empat,” sekali lagi salah seorang pengikut Sabungsari itu menghitung jumlah, ”bagaimanapun juga kalian akan kalah. Seandainya kita masing-masing memiliki kemampuan yang sama, maka kelebihan jumlah ini akan sangat berpengaruh.”

“Kami baru saja membunuh dan melukai tujuh orang sekaligus,“ geram orang berkumis, ”kami ketemukan mereka di bulak panjang. Mereka kami bantai semuanya karena mereka mencoba melawan kami. Menurut pengakuan mereka, ketujuh orang itu adalah orang-orang terkuat dari Kademangan Watu Gede. Mereka berkata sambil menengadahkan kepala, bahwa mereka akan menangkap aku dan mengikat tanganku di belakang punggungku. Tetapi akhirnya mereka terbaring di alan tanpa dapat bangun lagi untuk selama-lamanya. Agaknya akan terjadi pula atas kalian yang mengaku orang-orang tanpa tanding. Tetapi kailan sebentar lagi akan terbaring di padang perdu ini.”

Orang berpedang di antara para pengikut Sabungsari itu pun berkata lantang, ”Kita tidak akan berbicara berkepanjangan. Marilah, yang akan mati biarlah segera mati.”

Orang berkumis itu menggeram. Namun tiba-tiba lawannya yang bersenjata pedang itu pula mengacukan pedangnya yang bergetar.

Sejenak kemudian, orang-orang itupun telah terlibat dalam perkelahian. Tiga orang yang bersenjata tongkat, telah bertempur dalam kelompok kecil menghadapi dua orang lawan. Sementara kawannya yang berpedang masing-masing telah menghadapi seorang lawan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar