Wisang Geni Bab 21 : Selamat Tinggal

Bab 21 : Selamat Tinggal

Malam gelap gulita, Prawesti tidak peduli akan keselamatan diri, dia hanya menuruti langkah. Dia berlari sambil menangis. Berhenti bersandar di pohon, dia berlari lagi. Hatinya hancur, malu dan marah. Ia menyesal mengapa sampai terjerumus ajakan Ekadasa. "Gayatri itu perempuan baik, dia tidak marah dan tidak menaruh dendam padaku. Yang marah, hanya ketua, itu pun memang salahku sendiri. Mengapa aku begitu bodoh?"

Berlari dan berlari, ia sangat letih. Tubuh letih dan batin merana, Prawesti jatuh di tengah hutan. Ia roboh, pingsan. Ia sadar ketika embun membasahi wajahnya, suara burung berkicau, ayam berkokok.

"Aku tertidur semalaman. Di mana aku sekarang?" Ia mencari jalan setapak, setelah menemukan jalan, ia kemudian menuju ke arah tenggara. Ia tahu arah tenggara adalah tujuan ke air terjun hutan dawuk. "Aku akan menetap di situ, di goa, berlatih sampai aku menguasai semua ilmu silat yang diajarkan ketua."

Setelah menetapkan keputusannya ia melanjutkan per jalanan. Ia tidak terburu-buru. Tak ada sesuatu yang mengejar dan tak ada sesuatu yang dia kejar. Senja hari dia tiba di desa Sajan, desa kecil. Ia merogoh saku, masih ada kepingan uang. Ia numpang di rumah rakyat, kebetulan pemiliknya seorang ibu tua dan dua orang cucu yang masih belia. Esoknya dia melanjutkan perjalanan.

Suara gemuruh air terjun terdengar merdu di telinga Memandang jauh ke sana terbayang Wisang Geni sedang berlatih di bawah guyuran air terjun. Dia membayangkan dirinya sedang bercinta dengan lelaki itu di dalam goa di balik air terjun. Bagi dirinya goa itu penuh kenangan manis. Tak tahan lagi, Prawesti berlari menerobos dinding air, masuk ke dalam goa. Goa itu gelap. Ia mengibas rambutnya yang basah. Tiba- tiba matanya melihat sosok tubuh sedang berbaring di tanah. Tubuh itu membelakangi dia. Samar-samar Prawesti memerhatikan rambut orang itu, putih mengkilap. "Apakah dia Wisang Geni?"

Belum sempat berpikir lebih lanjut, Prawesti dikejutkan ketika orang itu memanggil namanya, "Westi, kemari kamu!"

Ia mengenal suara itu, suara panggilan "Westi", ia tahu persis itu suara Wisang Geni. Tetapi pikirannya membantah. "Aku sudah mulai gila, mustahil dia ada di sini, dia sekarang sedang bercinta dengan isterinya di Lemah Tulis, bagaimana mungkin dia bisa berada di sini, pasti aku sudah gila!"

Orang itu memang Wisang Geni. Ia melakukan perjalanan cepat, pagi hari berangkat tepat senja hari ia menemukan Prawesti yang nginap di desa Sajan. Ia bisa menyusul dan mendahului, karena tahu persis tujuan Prawesti juga lantaran gadis itu melakukan perjalanan lambat. Geni menguntit dari jauh. Ia mendahului masuk ke goa. Ia mengintip dari jauh.

Ketika gadis itu berlari menuju goa, ia pura-pura tidur.

Dalam keadaan masih bingung, apakah bermimpi, ataukah sudah gila, Prawesti melihat orang itu melejit dan menubruk ke arahnya. Prawesti terkejut dengan sigap mengelak sambil menyerang balik. Namun mana mampu dia melawan Wisang Geni. Hanya dengan satu gerak tipu, Geni sudah mendekap tubuh Prawesti. Gadis ini memberontak, namun ketika melihat orang yang mendekapnya adalah Wisang Geni, seketika ia pingsan lantaran kaget. Tubuhnya lemas tidak bertenaga lagi dalam pelukan Geni.

Sesaat Geni terkejut. Pelan-pelan ia meletakkan tubuh Prawesti di tanah. Ketika meraba denyut nadinya, ia tahu Prawesti hanya pingsan karena kaget. Dalam remang-remang gelap, Geni memerhatikan Prawesti. Tubuhnya agak kurus dan wajah itu seperti menyimpan banyak derita. Timbul rasa kasihan, Geni tak kuasa menahan diri, ia merunduk dan mencium mulut Prawesti. Bibir itu lembut dan basah tetapi dingin. Pelan-pelan bibir itu bergerak, mulut itu membuka dan terjadilah ciuman yang panjang. Mata Prawesti masih terpejam. Dua tangannya melingkar di punggung Geni. Mendadak dia berontak. Dua tangannya menolak tubuh Geni. "Pergi kamu, Geni, pergi!"

Geni membekap tubuh Prawesti. "Tidak, aku tak mau pergi!"

Prawesti menangis. Suaranya tersendat, "Aku mohon, Geni, kau pergilah, jangan mempermainkan aku, pergi kembalilah kepada isterimu, mereka menantimu."

"Justru mereka yang menyuruhku mengejarmu," kata Geni lirih.

Prawesti kembali memberontak. "Dia menyuruhmu mengejar aku, buat apa? Aku tak mau dipermainkan. Geni kamu pergilah."

Tiba-tiba Geni ingat kata-kata Gayatri. "Dia sendirian di luar sana, tak punya siapa-siapa." Ingat kata-kata itu dan menilai penolakan Prawesti, Geni sekarang mengerti apayang harus ia lakukan. "Westi, kamu sekarang kurang ajar, berani panggil aku, Geni, kamu tak lagi memanggil ketua atau Mas Geni."

"Kau bukan lagi ketua bagiku, aku sudah bukan murid Lemah Tulis lagi, aku diejek orang, semua gara-gara kamu."

"Kamu harus ikut aku, harus ikut, kamu harus hidup bersamaku, berempat bersama Sekar dan Gayatri."

Prawesti melotot memandang Geni. "Dengar Geni, aku tak mau dikasihani oleh Gayatri atau Sekar, aku tak mau kamu kasihani."

"Siapa bilang aku kasihan padamu." Berkata demikian Geni memeluk erat Prawesti, menjambak rambutnya, dan mencium mulutnya. Prawesti berontak, tetapi makin lama makin lemah. Gadis itu bereaksi dengan bernafsu. Geni memperlakukan Prawesti dengan kasar dan penuh nafsu. Dua anak manusia itu tenggelam dalam nafsu birahi yang tak pernah kunjung padam.

Tengah malam, saat bulan bersinar terang, cahayanya menerobos sela-sela dinding air terjun sedikit menerangi goa. Prawesti terbaring lemas di sisi Geni. Mendadak gadis itu berbalik dan menerkam Geni, ia menampar pipi Geni. Ia terkejut karena Geni tidak menangkis. Ia mengelus pipi lelaki itu. "Kenapa kamu tidak menangkis?"

"Untuk perempuan yang kucintai, kalau hanya sekali tamparan, tidak berarti apa-apa."

"Kamu bohong Geni, kamu tidak mencintaiku, kamu hanya menganggap aku sebagai pelampiasan nafsumu saja."

"Tidak Westi, tidak benar itu. Aku mengejarmu karena ingin memperbaiki kesalahanku, sekarang ini aku memaksa kamu ikut bersamaku, kembali ke Lemah Tulis dan setelah itu kita berempat, aku, kamu, Sekar dan Gayatri pergi dari Lemah Tulis, kita hidup menyendiri, hanya berempat."

Prawesti mengelus bulu dada Geni. "Kamu sudah meniduri aku, bagaimana kalau Gayatri dan Sekar tahu, mungkin "

Geni memotong, "Gayatri dan Sekar mengikuti apa mauku, lagi pula keduanya yang menganjurkan aku membawamu pulang."

"Jadi semua ini anjuran dua isterimu itu, bukan kemauanmu?"

Geni memeluk erat gadis itu. "Tentu saja itu kemauanku, kamu kan tahu berada di dekatmu saja aku sudah terangsang."

Gadis itu menggigit bahu kekasihnya. "Kamu selalu mengucapkan kalimat itu kepada setiap gadis." Geni tertawa geli. Prawesti mencium leher kekasihnya. "Geni jawab yang jujur, siapa yang lebih kau cintai Sekar atau Gayatri?"

"Mengapa kamu tidak menempatkan namamu ke dalam pertanyaan itu?"

"Aku tahu diri. Sejak awal aku hanya meminta menjadi pelayanmu, berada di sisimu. Aku tahu kamu mencintai dua perempuan itu, aku tidak masuk hitungan. Jawablah dengan jujur, siapa yang lebih kaucintai, Sekar atau Gayatri?"

"Aku akan berkata jujur, memang aku mencintai Sekar dan Gayatri. Dan di antara mereka berdua, aku merasa aku lebih mencintai Sekar."

"Apa kelebihannya yang membuat kau begitu mencintai Sekar?"

Tanpa sadar Geni menjawab, "Sekar tidak pernah meminta, dia selalu memberi, dia memberi semangat, kenikmatan dan kebahagiaan. Dia mencintai aku, tetapi dia tidak cemburu, dia memberiku kebebasan."

"Alasan itu bisa dimengerti, tetapi aku pikir pasti ada yang istimewa dalam diri Sekar, dia sangat cantik, aku belum pernah melihat perempuan secantik dia, apakah karena kecantikannya?"

Geni menjawab tanpa ragu, "Dia sangat cantik." Prawesti melanjutkan, "Gayatri, bagaimana dengan

Gayatri?"

"Gayatri cerdas," Geni menceritakan bagaimana Gayatri menyelamatkan dia dari fitnah.

Mendadak saja Prawesti teringat sesuatu, dia melompat berdiri dan berkata dengan suara parau dan gugup. "Geni, di mana Gayatri sekarang ini?"

"Di Lemah Tulis, mengapa?" "Kamu cepat pulang ke Lemah Tulis, Gayatri dalam bahaya, cepat, jangan terlambat, isterimu dalam bahaya, aku nanti menyusul."

"Ada apa? Bahaya apa?"

"Ekadasa, dia dendam padamu, dia merencanakan membunuh Gayatri pada saat kau tidak ada di samping isterimu. Cepat Geni, tak ada waktu lagi, pergi cepat, aku akan menyusul."

Kendati belum mengerti sepenuhnya, saat itu juga Wisang Geni berkelebat pergi. Ia menggelar ilmu ringan tubuh yang paling tinggi.

"Gayatri dalam bahaya, tak mungkin, dia aman di Lemah Tulis, ada kakek, ada Sekar dan anak murid yang pasti akan membelanya. Tetapi ada apa dengan Ekadasa apakah dia yang mau membunuh Gayatri, hmmm, biar ada sepuluh Ekadasa juga tak akan ungkulan menghadapi Gayatri. Tetapi isteriku itu baru saja sembuh dari luka dalam, apakah ia sudah bisa bertarung seperti sediakala, tetapi Sekar ada di sampingnya, lalu mengapa Prawesti begitu tegang dan menyuruh aku cepat pergi melindungi Gayatri?"

Banyak pertanyaan yang simpang siur di benak Geni, namun lelaki ini tak membuang-buang waktu. Ia mengempos seluruh tenaga dalamnya dan berlari dengan ilmu ringan tubuh paling tinggi. Di tengah jalan ia berjumpa dua pengendara kuda. Sambil mengucap maaf, Geni menyerobot seekor kuda dan memacunya menuju Lemah Tulis. Makin cepat makin baik.

---ooo0dw0ooo---

Pagi hari itu ketika Wisang Geni meninggalkan Lemah Tulis mencari Prawesti, sesaat kemudian Jayasatru keluar dari pintu gerbang. Ia menuju ke rumah penduduk menemui seorang lelaki muda. Tak lama berselang, lelaki itu menulis sesuatu di secarik kulit tipis, menggulungnya sampai kecil, mengikatkan di kaki burung elang. Burung itu terbang pergi Jayasatru kembali ke perguruan setelah sebelumnya mampir di sebuah warung.

Burung elang itu meluncur turun dan hinggap di tangan seorang punggawa Tumapel. Dia, seorang lelaki tegap bertelanjang dada memperlihatkan tubuhnya yang bidang. Dia, punggawa Tumapel kesembilan, berjuluk Nawa si Tombak, nama aslinya Margana. Ia berteriak ke dalam rumah. "Jeng, sudah ada berita!"

Dari dalam rumah keluar Ekadasa, tangannya memegang erat selembar kain yang hanya dililitkan di tubuh montoknya. Ia menempelkan tubuh ke punggung Nawa. "Coba bacakan!"

Nawa mengambil sekerat daging, memberinya kepada si elang, mengambil kulit yang terikat di kaki burung. Ia membacanya, "Geni sudah pergi?”

Nawa berbalik, memeluk Ekadasa. "Ayo kita berangkat sekarang."

Perempuan itu mendesah, "Nanti siang-siang saja kita berangkat aku masih mau tiduran lagi." Sambil tertawa cekikikan Ekadasa menarik lengan Nawa masuk rumah.

Sebuah rumah darurat di tepi hutan dekat desa Diwek, delapan orang sedang tiduran. Lelaki kecil pendek dengan rambut panjang dikuncir berjalan mondar mandir. "Sudah dua hari kita menanti, aku sudah tak sabaran lagi, aku ingin melumat perempuan asing itu, sudah dua tahun ini aku mencarinya. Tak lama lagi dendam isteri dan selirku akan terbalas. Tetapi mengapa begini lama?"

"Atirodra, aku juga sudah tak sabaran. Kita tidak saja diberi kesempatan balas dendam malahan dijanjikan menjadi punggawa Tumapel, wuah bisa pesta setiap hari, duit berlimpah dan kapan saja kita mau perempuan pasti tersedia," tukas lelaki tinggi jangkung dengan wajah tirus macam burung elang. Julukannya juga seram "Elang Maut".

Seorang lelaki lain, Maruta, usia setengah baya namun tampan dan kekar. Ia duduk dan berkata lirih, "Aku tak ingin hadiah apa pun, mendapatkan Ekadasa untuk satu malam saja, aku bersedia pertaruhkan nyawa membelanya.

Menantang Wisang Geni yang konon disebut Pendekar Nomor Satu Tanah Jawa, aku bersedia, apalagi hanya membunuh perempuan asing."

Atirodra berkata tegas, "Kawan-kawan, kita sudah sepakat, jika perempuan asing itu masih berada di dalam perguruan Lemah Tulis, aku tak mau masuk. Itu sama saja dengan memancing murid Lemah Tulis ikut campur. Sesuai janji, kita hadapi perempuan itu di luar pagar Lemah Tulis, dengan demikian tak ada alasan bagi Lemah Tulis membantu perempuan itu, jangan lupa itu."

Delapan pendekar itu berhasil dikumpulkan Ekadasa dan Nawa, sebagai pasukan khusus yang akan membunuh Gayatri.

Ekadasa sudah merencanakan sejak saat Geni mencium perempuan India itu di depan matanya dan mengumumkan pernikahannya dengan Sekar dan Gayatri. Ia sangat marah. Ia merasa dirinya paling cantik, sehingga cemburunya meradang melihat perempuan lain merebut lelaki yang dicintainya dan yang pernah bercinta dengannya.

Ketika Geni menidurinya di kamarnya di istana Tumapel, ia telah mengerahkan segala pesona miliknya untuk memikat Geni. Dan pengalaman selama ini membuat Ekadasa yakin setiap lelaki yang bercinta dengannya tidak akan pernah lupa kenikmatan yang diberikannya. Itu sebab keakuannya tersinggung oleh Gayatri. Seluruh kebencian dan kecemburuannya akan terobati jika perempuan Himalaya itu mari. Di Argowayang ia membujuk Prawesti bersekongkol membunuh Gayatri, tetapi Prawesti menolak malah mengusirnya pergi.

Sepulang dari rumah nginapkelompok Lemah Tulis, ia dibuntuti seseorang. Ia menoleh. Lelaki itu dikenalnya. Dia Jayasatru. Tiba tiba terlintas rencana di benaknya akan memanfaatkan lelaki itu. Senja itu ia berhasil membuat Jayasatru bertekuk-lutut. Ia memberi kenikmatan persetubuhan yang menurut Jayasatru, amat istimewa dan luar biasa. Jayasatru makin tergila-gila mendengar Ekadasa menjanjikan pertemuan di hari-hari mendatang.

Jayasatru tidak bermaksud mengkhianati Wisang Geni. Tetapi melihat nasib Prawesti yang nelangsa, ia pun sangat membenci Gayatri. Pada pikirannya, gara-gara Gayatri maka Geni sampai mengusir Prawesti. Ditambah pengaruh pesona erotisme Ekadasa, tak heran akhirnya Jayasatru menyetujui rencana melenyapkan Gayatri. Dan rencana itu sangat rinci dan njelimet sehingga ia yakin rahasianya tak akan terbongkar.

Tugasnya hanya memberi kabar saat Geni pergi meninggalkan Gayatri sendirian. Setelah itu ia mencari jalan agar Gayatri bisa diajak pesiar ke bukit Kukun. Sampai di situ tugasnya selesai, rombongan pembunuh sewaan akan menyelesaikan rencana selanjutnya. Ia tak pernah mengenal dan tak pernah bertemu dengan orang-orang sewaan itu, semuanya ditangani Ekadasa.

Saat Wisang Geni dalam perjalanan bergegas menuju Lemah Tulis, saat yang sama Sekar dan Gayatri sedang makan di dapur. Tidak seperti biasa, kali ini Dyah Mekar menemaninya. Tiga perempuan itu berbincang dengan akrab. Diam-diam Dyah Mekar mengagumi pengetahuan sastra Gayatri yang dengan lancar menceritakan perasaan Subadra saat mengetahui suaminya, Arjuna kawin lagi "Itu sebab aku mengerti bagaimana perasaan Prawesti, ia sedih dan nelangsa tetapi moral gadis itu sangat baik sehingga ia tidak memusuhi aku dan Sekar atau membenci Geni.

Pertama jumpa dengannya aku sudah menyukainya, ia manis dan ramah. Aku setuju malah memaksa Geni memaafkan dan mengajaknya pulang berkumpul dengan aku dan Sekar."

Selesai makan ketiganya beranjak ke bilik masing-masing. Di tengah jalan mereka jumpa Jayasatru. Lelaki ini sengaja bersilang jalan dengan tiga wanita itu. "Kalau mau jalan-jalan melihat-lihat pemandangan, sebaiknyake bukit Kukun, pemandangannya bagus," kata Jayasatru yang melangkah terus sambil mengharap umpannya mengena. Dan memang usulan itu membangkitkan keinginan tahu Gayatri. "Mbak Dyah, bukit itu jauh?"

"Tidak. Bukit itu tidak jauh dari sini, banyak pepohonan dan dari ketinggian di situ kita bisa memandang jauh ke sekeliling perdikan. Pemandangannya indah," kata Dyah Mekar.

Sekar menolak pergi. Ia memilih istirahat di bilik. Dyah Mekar berdua Gayatri melangkah ke bukit. Setelah puas berkeliling bukit, keduanya istirahat di bawah pohon dan berbincang-bincang.

Dyah Mekar menyukai Gayatri yang cantik, cerdas dan baik budi. Ia kagum mengetahui isi hati Gayatri yang tulus terhadap Prawesti. Pandangan Gayatri menerawang jauh ke depan, ia bertata lirih, "Dua hari sudah suamiku Geni pergi, aku rindu kepadanya, tetapi aku tidak ingin dia cepat-cepat pulang jika tidak membawa serta Prawesti, aku sangat berharap dia menemukan Prawesti dan membawanya kemari."

Tanpa dibuat-buat Dyah Mekar memegang erat tangan Gayatri, dan berbisik di telinganya, "Tadinya aku tak begitu menyukaimu, kupikir kamu telah merebut Geni dari pelukan Prawesti, dan kebetulan Prawesti sangat dekat denganku. Tetapi sekarang aku sungguh menyukaimu, aku bangga padamu, sungguh pintar ketua memilih isteri." Ia tertawa lirih, Gayatri ikut tertawa.

Mendadak terdengar bentakan, "Ini dia perempuan pembunuh itu." Beberapa bayangan mengepung Gayatri dan Dyah Mekar.

"Siapa kalian?" kata Dyah Mekar. Saat berikutnya ia mengenali seorang di antaranya, "Ekadasa, apa yang kamu lakukan di sini?"

"Kamu orang Lemah Tulis, urusan ini tidak ada sangkutannya dengan Lemah Tulis, kamu boleh minggir. Aku dan teman-teman hanya berurusan dengan perempuan asing ini, dia telah banyak membunuh pendekar tanah Jawa, kini saatnya balas dendam."

"Tidak bisa. Dia isteri ketua Lemah Tulis, bagaimanapun juga aku tak akan membiarkan orang mengganggu dia."

Gayatri berbisik pada rekannya, "Hati-hati mereka semua memiliki ilmu silat tinggi. Jumlahnya banyak, sepuluh orang." Ia menatap Ekadasa, "Waktu itu kamu telah melukai aku, kini kamu datang bersama teman-temanmu, apa sebenarnya maumu?"

"Jangan banyak bacot, kamu telah membunuh saudaraku, sudah lama aku mencarimu, sekarang rasakan golok ini." Pendekar bernama Atirodra langsung menerjang Gayatri.

Serangan ini diikuti sembilan temannya. Mereka sejak awal sudah sepakat untuk menyelesaikan keroyokan mi secepatnya, khawatir datangnya bantuan untuk Gayatri.

Gayatri cepat mengambil posisi. Ia memang baru sembuh dari luka dalam, dan tenaga dalamnya belum pulih seperti sediakala. Ia mengelak, balas menyerang. Dyah Mekar tak mau ketinggalan, ia menyerang pendekar yang bernama Maruta. Tetapi jumlah lawan yang banyak membuat Gayatri dan Dyah Mekar terdesak. Melihai situasi yang tidak menguntungkan, Gayatri berbisik, "Mbak Dyah, kita bertarung saling memunggungi, tujuan kita adalah lolos menuju Lemah Tulis. Begitu ada kesempatan, kamu lari ke Lemah Tulis minta bantuan."

Dyah Mekar berbisik, "Aku tak mau meninggalkan kamu sendiri."

Serangan sepuluh orang itu semakin gencar. Gayatri tidak leluasa bertarung karena ia memikirkan keselamatan Dyah. "Mbakyu, kamu pergilah, aku masih bisa bertahan untuk waktu lama, tak usah khawatirkan aku, percayalah."

Sambil berkata, Gayatri mulai memainkan jurus handal an dari Himalaya Terisanson Meiti Jevan Mein, Sirefteri Kusbu Hai (Dalam hidup dan nafasku hanya ada harum dirimu). Ia bergerak sangat cepat, gesit dan gemulai

Tangan Gayatri mengibas dan menampar. Ia bergerak bagai penari, kakinya bergerak lincah dan gesit, pukulannya yang berisi tenaga dalam mengancam setiap lawan. Seorang pengeroyok kena tendangan, tulang pahanya retak. Seorang lain kena kibasan tangan yang gemulai itu, pundaknya cedera

Gayatri bergerak kian kemari, mengelak dan menyerang. Para penyerang, bahkan Ekadasa pun terkejut dengan sepak terjang Gayatri yang begitu trengginas. Pada saat kepungan agak kendur, ia mendorong Dyah Mekar. "Cepat lari, aku akan menyusul."

Setelah menyaksikan ilmu silat Gayatri yang dalam beberapa jurus sudah mencederai dua penyerang, Dyah Mekar tak ragu lagi. Ia keluar dari kepungan dan lari menuju perguruannya yang tidak jauh. Tak lama kemudian ia sampai di pintu gerbang. Ia berteriak memanggil teman-temannya, memberitahu Gayatri dikeroyok penjahat di bukit Kukun.

Tetapi ia terkesima melihat mereka hanya menggeleng kepala, dan balik kembali ke dalam. Prastawana, suami Dyah Mekar sedang turun gunung. Jayasatru dan beberapa murid enggan membantu. Tidak demikian dengan Gajah Lengar,yang langsung berlari mendaki bukit.

Dyah Mekar berdua Gajah Lengar tiba di tempat pertarungan, tampak Gayatri dikeroyok empat orang. Ekadasa, Nawa, Elang Maut dan nenek bersenjata tongkat kepala ular. Tiga pengeroyok terkapar di tanah. Tiga lainnya berdiri di pinggiran sambil sekali-sekali menyerang dari belakang.

Gajah Lengar kesal dan kecewa melihat rekan-rekannya enggan menolong Gayatri yang adalah isteri Wisang Geni, ketua mereka. Ia tak mengerti sebabnya. Tetapi ia tak peduli, baginya membela Gayatri merupakan harga mati. Sebab Wisang Geni adalah putra tunggal Gajah Kuning, gurunya. Ia berteriak, "Curang," sambil ia menyerang lelaki yang berdiri di pinggiran.

Pertarungan makin seru, Dyah Mekar dan Gajah Lengar melawan tiga penjahat. Pertarungan berimbang, menyerang dan bertahan silih berganti. Di tempat lain Gayatri terdesak. Sebenarnya jurus silat Gayatri lebih unggul dibanding pengeroyok. Dalam keadaan biasa, ia akan mengalahkan mereka. Tetapi tenaganya belum pulih dari luka dalam. Ia juga lupa membawa senjata andalannya. Dan tarung puluhan jurus membuatnya lelah. Dari empat penyerangnya, nenek bersenjata tongkat itu yang paling lihai. Nenek itu ternyata guru dari Ekadasa, julukannya Tongkat Ular.

Gayatri terdesak. Empat pendekar itu menyerang dengan jurus mematikan. Cepat dan ganas. Mereka ingin membunuh Gayatri secepatnya. Tak ada ampun, tak ada belas kasihan. Gayatri bahkan tak pernah mengenal siapa mereka. "Mengapa mereka ini begitu membenciku, ingin membunuhku, kenapa?" katanya dalam hati

Gayatri tahu diri, tenaganya belum pulih untuk pertarungan panjang. Limapuluh jurus sudah berlalu, tiga pendekar sudah ia gebuk terkapar di tanah. Kedatangan nenek tua bersenjata tongkat kepala ular merupakan kesulitan paling besar baginya. Nenek itu menyerang dengan jurus-jurus ganas, mengincar titik kematian. Kesulitan lain, tiga pendekar yang berdiri di pinggiran, mereka menyerangnya setiap melihat salah seorang dari empat kawannya terancam bahaya. Dengan demikian empat pendekar leluasa menyerang.

Situasi Gayatri agak tertolong dengan datangnya Dyah Mekar dan Gajah Lengar. Begitu tiba di tempat Gajah Lengar langsung menyerang tiga penjahat di pinggiran itu. Gayatri heran melihat Dyah Mekar hanya membawa bantuan Gajah Lengar. Ia bertanya dalam hati "Mengapa Dyah hanya membawa seorang tenaga bantuan, ke mana murid Lemah Tulis yang lain, apakah Lemah Tulis juga diserbu penyerang?"

Tetapi ia tak peduli. Baginya dua tenaga itu sudah cukup untuk meringankan desakan lawan. Di balik itu Gayatri mengerti keadaan dirinya, tenaganya semakin terkuras dan lambat laun ia akan melemah. Empat penjahat itu bisa membaca gerak Gayatri yang tidak lagi cepat dan ganas. "Ia sudah lelah, cepat selesaikan," suara keras Ekadasa sepertinya menambah daya gempur tiga kawannya.

Nawa menyerang ganas. Ujung tombaknya mengancam leher Gayatri. Gadis Himalaya ini merunduk dan tombak itu lewat di atas kepala namun tak urung beberapa lembar ujung rambutnya putus beterbangan.

Gayatri terkesiap. "Hari ini mungkin ajalku sudah ditentukan, seharusnya aku ikut saja ke mana Geni pergi, sayang aku tak bisa bertemu suamiku lagi. Baiklah tetapi sebelum ajal, aku akan adu jiwa," katanya dalam hati.

Mendadak Gayatri berseru dalam bahasa India, 'Martahoon Magar Martabhinahin (Aku memukulnya tapi serasa tak memukulnya)", tangan dan kakinya berkelebat. Dia memainkan jurus andalan itu dengan pengerahan tenaga dalam yang besar, memompa habis sisa tenaganya yang masih tersedia. Jurus itu memang liar dan aneh, sulit ditebak arahnya. Hanya sekejap saja, pundak Ekadasa kena tampar, terlepas dari engsel. Tangan kiri wanita itu lumpuh. Rekannya, Elang Maut, ulu hatinya kena tendangan Gayatri, langsung tewas.

Gayatri gembira melihat hasilnya, ia memang berniat adu jiwa sehingga tak lagi memikirkan pertahanan. Ia menyesal pukulannya ke kepala Ekadasa luput dan hanya mendarat ke pundak si wanita genit. Selang sesaat: ia melihat datangnya serangan Nawa, ujung tombak mengarah dada, perut dan leher berbarengan datangnya serangan tongkat si nenek yang mengemplang kepala.

Tidak tinggal diam dengan sisa tenaganya Gayatri memainkan jurus Yaadon Mein Tum Koye Rahoo Saare Jahan Kobhul Ke (Melamunlah dalam pelukan dan lupakan dunia ini). Ia menampar ujung tombak sambil kakinya melepas tendangan. Nawa terpental, tulang pahanya patah. Gayatri memang hebat, tetapi ia sudah sangat lelah. Tubuhnya limbung pada saat mana tongkat kepala ular si nenek mengancam akan menghancurkan kepalanya.

Melihat isteri ketuanya terancam maut, Gajah Lengar yang sedang bertarung secepatnya meninggalkan lawannya dan melompat dengan seluruh tenaganya. Dia membentak dengan teriakan keras, "Mati kamu nenek cabul!"

Dia tidak hanya membentak tetapi berbarengan menyambit kerisnya mengarah kepala si nenek, gerak lanjutan adalah menubruk untuk melindungi Gayatri. Semua gerak dilakukan dalam sekejap mata. Bentakan itu telah mengejutkan nenek tua sehingga serangannya tertunda beberapa detik.

Nenek tua mengelak lemparan keris, tetapi tongkatnya tetap mengancam kepala Gayatri yang semakin limbung. Tubrukan dan dorongan Gajah Lengar membuat Gayatri terpental dan terhindar dari sasaran tongkat. Sebagai gantinya adalah Gajah Lengar yang menangkis tongkat dengan gerak mengibas. Gayatri selamat, tetapi lengan Gajah Lengar kena hantam tongkat kepala ular. "Duuukkk," tulang lengan Gajah Lengar patah Tetapi tongkat itu seperti ular hidup, terus bergerak dalam serangan susulan mengejar Gayatri. Melihat itu meskipun kesakitan, Gajah Lengar siap mempertaruhkan nyawa melindungi isteri sang ketua.

Pada saat kritis itu terdengar lengking teriakan perempuan. Kesiuran angin kencang menyerbu dalam arena. Sekar datang pada saat yang tepat

Setelah berpisah dengan Gayatri, Sekar istirahat di biliknya.

Dalam tidurnya ia terjaga oleh mimpi buruk. Ia melihat suaminya bermandi darah. Suaminya tampak sekarat tapi masih bisa berteriak minta tolong, "Sekar, tolong aku!"

Sekar melompat bangun. Ia lari keluar. Sampai di gerbang, ia ingat Gayatri dan Dyah Mekar pergi ke bukit Kukun.

Firasatnya tajam ada yang bertarung di bukit itu. Ia lantas mengerahkan ringan tubuhnya yang paling handal Wimanasara. Dari kejauhan ia melihat Gayatri terancam jiwanya. Ia langsung masuk tarung.

Belum sampai di dekat Gayatri, Sekar mendorong dengan dua jurus Sapwa Tanggwa (Sapu menyapu) yakni Mammyangken (Menyakiti hati) disusul Hatut (Sehidup semati). Serangan itu datang bergelombang dengan tenaga besar Segoro (Samudera).

Hantaman Sekar memaksa nenek tua mengubah posisi kaki dan menarik pulang serangannya. Tanpa pikir lagi ia mengerahkan seluruh tenaga menahan hantaman Sekar. "Deeesss" dua tenaga berbenturan. Nenek itu terdorong mundur dua langkah. Ia memandang Sekar. Ia heran dan tak menyangka tenaga Sekar yang hanya seorang gadis muda, bisa sebesar serudukan gajah.

Gayatri terbaring di tanah. Ia nyaris pingsan, tetapi langsung siuman ketika mendengar lengkingan Sekar. Sambil tarung Sekar bertanya keadaannya. Gayatri menjawab tegas, "Aku tak apa-apa, hanya letih, kau cepat selesaikan nenek jelek itu." Di samping Gayatri, berdiri Gajah Lengar dengan tegar dan waspada, siap melindungi isteri ketuanya.

Nenek itu marah dan menyerang ganas, tongkatnya mengancam dada. Sekar mengerahkan seluruh tenaga Segoro dalam jurus Harwuda (Seratus ribu juta) dan Ghardawari (Saling sayang). Tangannya memutar dan menarik. Tangan lainnya mengibas dalam lingkaran besar. Tongkat si nenek terbawa dalam arus putaran. Saat berikut Sekar menyodok dan tongkat memukul balik kepala si nenek. Tengkorak kepalanya retak. Tak sempat berteriak, nenek itu tewas di tempat Ia bahkan tidak sempat melihat gerakan lawan.

Tidak berhenti sampai di situ, Sekar merunduk ke tanah, meraup pasir dan batu kerikil kemudian mengibas ke tiga penjahat yang sedang mengancam Dyah Mekar. Terdengar desir angin yang mencicit, tiga orang itu berteriak keras, wajah mereka kena terjang pasir kasar. Pasir itu menusuk daging, perih dan panas. Darah menetes dari wajahnya.

Beruntung pasir dan kerikil tak mengena mata. Sambil teriak kesakitan ketiganya kabur. Tarung usai.

Sekar memeluk dan memeriksa Gayatri. Ia merasa lega karena sahabatnya hanya kehabisan tenaga karena kelelahan. Dengan bantuan tenaga dalam dan istirahat satu hari, ia akan pulih sediakala. "Untung kamu tidak kena apa-apa," katanya.

Dia memeriksa Gajah Lengar yang tulang lengannya patah.

Sementara Gayatri sudah berdiri dan membantu membalut luka Dyah Mekar yang kena senjata tajam di pundak, lengan dan paha. Sekar yang sedikitnya sudah menguasai ilmu pengobatan dari Dewi Obat merawat Gajah Lengar. Ia membenahi letak tulang yang patah, mengamankannya dengan dua potong kayu lebar. Keadaan Gajah Lengar tidak berbahaya. Pada saat itu kesiuran angin keras mendatang. Geni muncul. Ia terkejut namun gembira melihat Gayatri tertawa dalam pelukan Sekar. Ia mendekat Gayatri berkata lirih, "Untung Sekar datang di saat yang tepat, terlambat sedikit saja, aku, kangmas Gajah Lengar dan mbak Dyah sudah tak bernyawa. Eh, mana Prawesti?"

Geni tak menjawab. Setelah yakin Gayatri tidak luka. Ia menoleh ke para pengeroyok yang sedang berusaha bangkit. Nawa dan Ekadasa mengerang kesakitan. Kali ini Geni marah. Dalam benaknya tidak ada lagi sisa kenangan indahnya tubuh punggawa wanita itu. Ia benar-benar marah: "Ekadasa, ini peringatan terakhir, jika kamu masih mengganggu isteriku, tak ada ampun bagimu, aku akan telanjangi kamu di depan umum, semua pakaianmu akan kulucuti dan membiarkan kamu jadi tontonan orang. Ingat itu! Sekarang pergi bersama temanmu semua, pergi, sebelum aku berubah pikiran."

Wisang Geni memeluk Gajah Lengar, kemudian menyalami Dyah Mekar. "Terirnakasih kangmas Lengar dan mbakyu Dyah, kalian sudah mempertaruhkan nyawa melindungi isteriku."

Karuan saja dua anak buah itu tersipu-sipu, malu. "Itu sudah kewajiban kami, ketua. Kamu membuat kami jadi sungkan."

Gayatri menyahut dengan tertawa senang, "Aku yang harus berterimakasih kepada kakak berdua, kalau tidak ada kalian, aku pasti sudah mati, kalian sudah menyelamatkan nyawaku dan kamu juga mbakyu Sekar, terimakasih." Ia mengulang pertanyaannya, "Eh Geni, mana Prawesti?"

Dyah Mekar dan Gajah Lengar terharu, dalam keadaan seperti itu, Gayatri masih juga menanyakan Prawesti. Satu bukti ketulusan hati perempuan India ini. Geni menyahut dengan kesal, "Aku sudah temukan dia, tetapi aku pulang duluan, dia menyusul belakangan. Dia yang mengatakan adanya bahaya mengancam kamu, dan ia mendesak aku cepat-cepat kembali. Ternyata dia benar. Dan aku memang terlambat, untung ada Sekar."

Wisang Geni tampak kesal. Ia menggenggam tangan Gajah Lengar dan mengajak tiga perempuan itu kembali ke Lemah Tulis. Geni berdiam diri sepanjang jalan. Dari wajahnya yang kusut tampak ia sedang marah. Mereka tiba di kaki bukit, berbarengan dengan tibanya Prawesti yang menunggang kuda.

Prawesti melompat dari kuda, ia mendekati Gayatri. "Kamu tidak apa-apa?"

Gayatri tersenyum, "Kamu lihat sendiri aku sehat"

Dia menggenggam tangan Gayatri. Ketika gadis Himalaya itu tersenyum, tak bisa membendung harunya Prawesti menghambur memeluk Gayatri. Ia menangis dan berkata dalam sendu. "Maafkan aku, memang aku bodoh, maafkan aku Gayatri."

Gayatri berbisik di telinga Prawesti, "Mulai sekarang, kamu harus memanggil aku, kakak, tak peduli berapa pun usiamu."

Prawesti mengangguk. "Iya kakak, aku akan ikuti semua perintahmu." Gayatri mendorong Prawesti. "Kamu pergi kepada mbakyu Sekar, minta maaf padanya."

Tanpa diperintah dua kali, Prawesti menggenggam dan menciumi tangan Sekar. Ia memeluk Sekar. "Mbak Sekar, aku minta maaf atas semua kesalahan dan kebodohanku."

Dua perempuan itu menggenggam tangan Prawesti.

Persentuhan tangan tiga perempuan itu menjalarkan pertemanan tulus. Keakraban merambah lewat telapak tangan menuju hati sanubari ketiganya. Dua perempuan itu saling rangkul. "Maafkan aku, kak Gayatri. Malam itu aku seperti orang tolol, mau saja terjerumus bujukan Ekadasa. Aku berterimakasih karena kakak berdua telah mengajak aku pulang." Dalam perjalanan menuju perguruan, Geni bertanya bagaimana Prawesti bisa menduga adanya bahaya itu. Prawesti menceritakan kejadian di Argowayang ketika Ekadasa membujuknya. "Maafkan aku ketua atas kesalahanku malam itu. Tetapi Ekadasa benar-benar membenci kakak Gayatri.

Rencananya, ia memisahkan ketua dari kakak, sebab ilmu silat ketua tak mungkin bisa dilawan. Pada saat ketua tidak berada di tempat, dia bersama teman-temannya menyerang kakak Gayatri. Dia minta aku bekerjasama dan tugasku memancing ketua pergi dari sisi kakak. Waktu itu aku marah dan mengusirnya. Tetapi kemarin terpikir jangan-jangan lantaran aku kabur dan ketua mencari aku, kakak Gayatri diserang Ekadasa. Tetapi sebenarnya kakak aman karena berada di perguruan Lemah Tulis, kupikir tak akan ada yang berani menyerang. Tapi tampaknya rencana Ekadasa hampir saja berhasil."

Wisang Geni diam, tetapi ia mendengar percakapan itu. Begitu juga Dyah Mekar dan Gajah Lengar yang berjalan berdampingan. Gayatri memotong, "Westi kamu tidak bersalah, lagipula aku sendiri salah, tubuhku masih lemah, belum sehat benar, seharusnya aku di rumah saja berlatih semedi. Sialnya, aku juga tak membawa senjata" Ia menyambung dengan kesal "Kalau aku sehat dan berbekal senjata, sepuluh orang itu t,ak ada apa-apanya"

Dyah Mekar ikut bicara, "Jikalau saja aku tidak mengajak Gayatri jalan-jalan ke bukit Kukun, mungkin tak akan ada kejadian itu, aku minta maaf ketua."

Geni menyahut dengan kesal, "Kalian mencari-cari alasan siapa yang salah, kalian tidak bersalah, tak ada seorang pun yang salah. Aku akan membereskan semua ini." Mendengar suara Geni yang serak pertanda marah, ketiganya diam tak menyahut.

Mereka tiba di pendopo. Wisang Geni duduk di tangga pendopo, berkata kepada Gajah Lengar, tepatnya memerintah. "Kangmas, tolong panggil kedua kakek sepuh dan semua murid, aku sebagai ketua ingin bicara."

Sekar, Gayatri dan Prawesti selama ini belum pernah melihat Wisang Geni bersikap tegas dan kasar seperti itu. Sikap seorang pemimpin, tegas, tegar dan wibawa. Diam-diam mereka keder dan takut. "Wibawanya itu, wibawa seorang raja yang bisa memutuskan mati hidup seseorang, pantas jika ia disegani dan ditakuti anak buahnya"

Hari sudah senja ketika semua orang berkumpul di pendopo termasuk Padeksa dan Gajah Watu. Mereka menduga-duga ada kejadian apa yang membuat wajah ketua muram dan kesal. Geni mengumpulkan segenap tenaga batinnya, ia harus membicarakan hal paling penting dalam kehidupannya.

"Aku mohon maaf kepada guru Padeksa dan paman Gajah Watu, dua sesepuh yang paling kuhormati, sebagai ketua Lemah Tulis hari ini aku harus menyelesaikan apa yang harus kuselesaikan, untuk aku pribadi dan untuk kemajuan Lemah Tulis. Ada beberapa kejadian yang membuat aku mengambil keputusan ini.

"Pertama, kejadian aku dituduh memerkosa perempuan. Aku tidak persalahkan kalian yang percaya berita buruk itu. Kalian punya hak untuk percaya. Aku kecewa, karena itu membuktikan bahwa kalian tidak percaya padaku, kalian tidak percaya bahwa aku laki-laki yang punya moral baik dan budi pekerti tinggi yang mustahil mau melakukan perbuatan terkutuk itu.

"Di sini ada pembelajaran, bahwa jika seorang pemimpin sudah tidak dipercaya oleh anak buahnya, maka dia tidak layak lagi menjadi pemimpin. Itu artinya aku sudah tidak layak menjadi ketua Lemah Tulis.

"Hal kedua, perkawinan dengan Sekar dan Gayatri adalah urusan pribadiku, pilihanku sendiri. Isteriku Gayatri memang perempuan asing, jadi aku anggap wajar dan cukup manusiawi jika kalian tidak menyukainya. Kalian punya hak tidak menemaninya di dapur, tidak mengajak bergaul, tidak menyukainya. Kalian punya hak mengasingkan dia dari pergaulan di perdikan ini, tapi tak seorang pun yang boleh mencelakai isteriku, camkan itu.

"Contoh, kejadian di bukit Kukun tadi, kalian diberitahu oleh Dyah Mekar bahwa Gayatri isteriku dikeroyok banyak orang, tetapi kalian diam dan memilih tidak mau membantu, itu hak kalian. Aku menghormati hak pilih kalian. Tetapi aku kecewa, karena tugas kependekaran adalah menolong manusia yang perlu ditolong, dan itu telah kalian langgar, kalian lupa itu.

"Hal ketiga, tantangan dari pendekar Cina, mereka menantang aku, dan tidak ada sangkut paut dengan Lemah Tulis, ini urusan dendam mereka atas kematian Sam Hong dua tahun lalu. Akan kuhadapi tantangan ini, aku tidak minta bantuan kalian karenanya aku larang kalian ikut campur. Mau nonton silahkan. Aku akan datang ke desa Bangsal di bulan Waisaka bersama Sekar, Gayatri dan Prawesti."

Wisang Geni menoleh ke arah dua kakek sepuh. "Hal keempat, aku mohon maaf atas kelancanganku kepada guru berdua, aku sudah pikir masak-masak, hari ini aku mengundurkan diri dari jabatan ketua, untuk seterusnya silahkan guru berdua dan para kawan memilih ketua baru, ketua yang kalian percaya."

Pengumuman terakhir ini disambut keluh kesah semua murid. Semua menyuarakan tidak setuju. Gajah Lengar berseru, "Tidak bisa, ketua harus tetap memimpin kami, kesalahan segelintir murid tak bisa menjadi sebab ketua meninggalkan kami, masih banyak murid yang mencintaimu dan yang bersedia mati untukmu."

Wisang Geni mengangkat tangannya, meminta agar para murid diam sejenak. "Aku belum selesai. Aku berdiri di sini dengan penuh kesadaran, aku belajar banyak dari pengalaman sebagai ketua Lemah Tulis, keputusanku sudah bulat untuk mundur tetapi aku tak akan tinggal diam jika ada orang menyerang perguruan ini. Aku pernah mengucap janji dan mengancam di hadapan banyak pendekar di gunung Argowayang, bahwa siapa pun yang memusuhi Lemah Tulis akan aku hadapi, tanpa kecuali. Janjiku ini masih berlaku sampai kapan pun bahkan sampai ajalku.

"Hal kelima, akan kubereskan semua urusanku. Hari ini aku bukan lagi ketua, tetapi aku masih nginap disini bersama Sekar, Gayatri dan Prawesti sampai kalian mendapatkan ketua baru. Kemudian aku akan pergi menetap di lereng gunung Welirang." Geni berhenti dan merasa lega telah mengutarakan keputusannya yang berat itu.

Ia melanjutkan, "Pintu rumahku akan selalu terbuka untuk kalian semua, silahkan datang kapan saja. Aku menyepi bersama tiga isteriku. Cukup sudah kata-kataku, aku mohon pamit, selanjutnya pertemuan ini akan dipimpin guru dan paman guru," sambil dia menoleh ke arah Padeksa dan Gajah Watu. Ia kemudian menggandeng tiga isterinya melenggang menuju rumah. Ia meninggalkan orang-orang yang gelisah dan ribut di belakangnya.

---ooo0dw0ooo---

Malam hari di Lemah Tulis keadaan sunyi Biasanya suasana cukup meriah dengan sekelompok murid menyanyi berbagai macam kidung dan tembang sekelompok lain belajar sastra Tetapi malam itu semua murid tampak lesu dan kurang bersemangat Terjadi banyak perdebatan. Sebagian besar mempersalahkan diri dan menyesal atas sikap dan perlakuan tidak adil kepada Gayatri.

Di dapur keadaan sepi. Hanya tampak Gayatri, Sekar dan Prawesti mempersiapkan santap malam Mereka tampak akrab, tertawa di lain saat berbisik-bisik. Dyah Mekar bersama dua murid, Rukmini dan Selasih masuk. Ketiganya ikut larut dalam pembicaraan. Ketiga isteri Geni pamit setelah siap dengan masakannya Sepeninggal mereka, Selasih berbisik, "Gayatri orangnya baik, ramah lagi. Tadinya kukira wanita cantik seperti dia pasti angkuh."

Mereka bertiga terkejut ketika masuk rumah, ternyata Padeksa dan Gajah Watu sedang bicara dengan Wisang Geni. Agaknya urusan penting. Mereka tak mau mengganggu, berniat keluar lagi setelah meletakkan makanan di tilam. Geni menggeser duduknya dan memanggil tiga isterinya duduk di dekatnya. "Kalian duduk di sampingku, silahkan dilanjutkan, guru."

Padeksa dan Gajah Watu diam. Tampak keduanya tersinggung. "Geni, aku mau bicara hanya dengan kamu, jangan ada yang lain ikut mendengar," kata Padeksa agak kaku.

"Guru, tiga wanita ini, adalah wanita dalam hidupku, aku mohon guru membolehkan mereka ikut mendengarkan."

Gajah Watu melihat suasana memanas. Ia batuk-batuk kecil dan berkata lirih, "Kangmas, mohon tiga perempuan ini dibolehkan mendengarkan apa yang diputuskan Wisang Geni."

Akhirnya Padeksa mengalah, dia mengangguk, "Geni, semua murid menginginkan kamu jangan mundur. Untuk itu mereka akan mematuhi apa saja syarat kamu. Mereka menyatakan menyesal akan kesalahannya."

"Guru, aku tak sanggup memimpin suatu kelompok orang yang pernah tidak mempercayai moralku, bahkan kakek sendiri orang yang mendidik aku sejak kecil bisa tidak mempercayai moralku. Sedangkan Gayatri dan Sekar, orang yang belum lama mengenalku tidak mempercayai fitnah keji itu. Keduanya tidak percaya moralku sebejat itu."

"Kamu harus bisa memaafkan kesalahan orang, apalagi jika yang bersangkutan sudah minta maaf," suara Padeksa lirih. Wisang Geni mengiyakan. "Aku sudah maafkan, aku hanya tak mau menjadi ketua lagi, itu saja."

"Geni, kami masih butuh kamu sebaga iketua, kamu pikirlah dulu" Gajah Watu bicara dengan penuh harapan, hampir-hampir seperti memohon.

Wisang Geni tetap pada keputusannya. Dua orangtua ini gagal mengubah keputusan Geni, keduanya pamit. Empat orang muda ini mengantar sampai di pintu "Guru, besok pagi aku akan pamitan," kata Geni.

Sambil menikmati santapan malam, Geni berkata kepada tiga isterinya, "Besok kita pamitan, kita ke gunung Welirang, aku nanti minta tolong kangmas Gajah Lengar dan Gajah Nila ikut membangun rumah."

Geni membantu mengobati Gayatri menata tenaga dalam.

Luka isterinya sudah sembuh namun perkelahian tadi menyebabkan jalan darah tidak lancar. Usai mengobati Gayatri, Geni semedi.

Ketika membuka mata, ia terkejut melihat Gayatri, Sekar dan Prawesti berbaring di tikar dengan selembar kain menutupi tubuh. Tiga wanita itu tertawa. "Mulai malam ini, Geni, kita bertiga tidur bersamamu," bisik Sekar sambil tawa cekikikan.

Wisang Geni tak pernah menyangka tiga isterinya bisa cepat akrab. Tadi sewaktu di dapur Gayatri menanyakan usia Prawesti dan Sekar.

"Sembilanbelas," kata Prawesti.

Lalu Gayatri memotong cepat, "Aku duapuluh, jadi kamu harus panggil aku kakak," bisik Gayatri.

Prawesti mengiyakan. Sekar menyahut, "Aku duapuluh satu, jadi kalian berdua panggil aku kakak." Gayatri tertawa. Sebenarnya usia mereka sama, duapuluh tahun. Selanjutnya tiga perempuan itu bisik-bisik, akan tidur bertiga "Geni itu mesti dikeroyok, kalau sendirian kita bisa cepat tua atau cepat mati Tapi mbak Sekar, aku heran bagaimana mbakyu Wulan bisa tahan melayani Geni selama dua tahun," bisik Gayatri

"Oh mbak Wulan itu luar biasa, usianya empatpuluhan tetapi nampak seperti gadis belasan tahun, karena punya ilmu Karma Amamadangi, ilmu langka warisan Ki Panawijen," kata Prawesti. "Ilmu itu membuat wanita awet muda dan tubuh tetap sekel" imbuhnya.

Malam itu Geni merasa beruntung, kehilangan Wulan tetapi memperoleh ganti tiga isteri cantik. Malam itu menjadi istimewa bagi Geni dan tiga isterinya Empat insan ini bercanda-ria dan bercinta sepanjang malam.

---ooo0dw0ooo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar