Wisang Geni Bab 13 : Wulan dan Sekar

Bab 13 : Wulan dan Sekar

Hari itu, pertengahan bulan Kartika tahun 1248, tiga belas purnama setelah kepergian Sekar mengikuti nenek Tongkat Sapu Lidi. Wisang Geni dan Wulan sesuai janji menjemput Sekar di Lembah Cemara. Tetapi mereka hanya menemukan Dewi Obat sendiri. Tidak ada Sekar. Bahkan Dewi Obat pun tidak tahu mengapa Sekar belum juga datang. Geni masih ingat janji nenek Tongkat Sapu Lidi saat membawa pergi Sekar. "Nanti duabelas purnama kamu jemput isterimu di Lembah Cemara." Sekarang sudah lewat duabelas purnama, bahkan sudah lebih dari tigabelas bulan Sekar belum juga pulang ke Lembah Cemara Apa yang terjadi?

Geni penasaran. Ia menanyakan di mana kediaman nenek tua sakti itu. Dewi Obat menggeleng kepala "Kakak perguruanku itu tak punya kediaman tetap, ia selalu berpindah tempat. Bertahun-tahun ia memburu suaminya Ia tak pernah berhenti mencari suaminya"

Pada kesempatan itu Dewi Obat memeriksa Wulan yang hamil memasuki masa tiga bulan. Pertumbuhan janin tidak sehat. Dewi Obat memberi ramuan khusus. Namun ia berpesan agar Geni cepat mencari bunga talasari guna memperkuat kandungan dan juga perkembangan si bayi Bunga itu hanya ada di Lembah Bunga di kaki gunung Bromo. "Jangan sampai melewati batas tiga bulan masa hamil," pesannya

Dalam perjalanan pulang keduanya tiba di desa Gadang yang letaknya di tepi kali Bangu. Seperti biasa desa itu selalu ramai. Para pedagang singgah bermalam lalu melanjutkan perjalanan esok harinya. Di desa terdapat banyak warung makan dan rumah penginapan. Dan warung makan yang paling laris adalah warung Mbok Lemu. Siang itu warung dipenuhi pengunjung. Di pojokan dekat jendela, Wisang Geni dan isterinya sedang menikmati makanan. Tampak sekali wajah dua insan itu kecewa terutama Wisang Geni yang tampak murung.

"Kau ingat Geni, dulu kita sedang makan di meja ini lalu muncul Waning Hyun yang dikejar Tambapreto."

Melihat suaminya diam, Wulan melanjutkan upaya menghibur. "Waktu itu kita masih bersembunyi di balik nama Ambara dan Sari. Kita juga tidak mengenal gadis itu, belakangan baru tahu dia Waning Hyun putri keraton, bahkan dia murid paman Gajah Watu."

Dia menatap suaminya yang tetap diam "Suamiku, aku tahu kamu gelisah memikirkan Sekar, aku prihatin. Dari sini ke Lemah Tulis hanya dua hari perjalanan, kamu antar aku pulang, kemudian kau pergi mencari Sekar. Sebenarnya aku bisa pulang sendiri, tetapi entah mengapa tiba-tiba saja aku merasa takut."

"Tidak, kamu tak boleh pulang sendirian, aku akan mengantar kamu pulang, setelah itu baru aku pergi mencari Sekar. Aku pikir itu jalan terbaik."

"Geni, aku tahu kamu sangat mencintai Sekar, aku bahkan merasa kamu lebih mencintai Sekar ketimbang mencintai aku, benar kan?"

Wisang Geni tak pernah menyangka akan datang pertanyaan seperti itu. Sesaat dia gugup dan terdiam. "Aku tidak cemburu, aku berupaya jujur pada diriku. Aku tahu tidak ada laki-laki yang bisa mencintai dua wanita sekaligus dengan sama besarnya, harus ada yang lebih. Dan kamu pantas memberi Sekar cinta yang lebih besar. Sungguh aku belum ketemu perempuan secantik Sekar selama ini. Dia punya segala persyaratan untuk mendapatkan cintamu, aku legowo Geni."

Wulan menatap Geni dengan pandangan penuh cinta. "Kamu memperlakukan aku dengan baik, kamu mencintai aku meski cintamu lebih besar kepada Sekar, itu sudah cukup bagiku, aku bahagia menjadi isterimu."

Terdengar suara gaduh. Beberapa orang bergegas meninggalkan warung dengan bersungut-sungut. Wulan yang duduk menghadap ke bagian dalam, melihat dengan jelas.

Serombongan orang datang. Bangku yang tersedia tidak cukup, karenanya mereka mengusir beberapa tamu. Sikap dan tingkah laku mereka kasar.

Wajah Wulan berubah ketika dia bertatap mata dengan salah seorang di antaranya. Wulan berbisik. "Geni, rombongan yang baru datang itu duduk dekat jendela di pojok. Aku melihat Lembu Agra di antara mereka."

Wisang Geni tidak menoleh ke arah yang dimaksud isterinya. Dia memerhatikan wajah Wulan yang agak pucat. "Oh si pengkhianat, apakah dia melihat kita? Kau jangan khawatir, berapa orang jumlahnya?"

"Aku yakin Lembu Agra telah mengenal kita." Wulan menghitung. "Semuanya sepuluh orang." Dia memandang suaminya dengan perasaan yang sulit dilukiskan. Ada sedih, bahagia dan cinta yang sangat dalam. "Entah mengapa, saat ini perasaanku agak lain, aku merasa takut kehilangan kamu"

"Kamu benar, aku memang sangat menyintai Sekar, tetapi aku juga menyintaimu Dulu ketika kau lari meninggalkan aku, rasanya aku hampir gila, aku tak tahu apa yang harus kuperbuat tanpa engkau di sisiku."

"Hidup tidak selamanya nyaman, orang tidak selalu memperoleh mimpinya. Dalam hidup ada pertemuan ada juga perpisahan, suatu waktu jika terjadi perpisahan di antara kita, kamu harus terus hidup. Tanpa aku di sisimu kamu tetap harus hidup."

"Wulan, kita tak akan pernah berpisah, kecuali dipisahkan ajal."

"Ya kecuali ajal memisahkan kita."

"Tapi buat apa bicara hal yang tak masuk akal, kau masih akan hidup panjang ilmur, kita hidup bersama, berkumpul dengan anak-anak kita." Geni berpikir mungkin isterinya takut melahirkan, dia menghibur." Kau tak perlu takut berlebihan, banyak perempuan yang berhasil melahirkan dengan baik- baik."

"Kau benar, tetapi mendadak saja aku punya firasat buruk saat ketemu Lembu Agra tadi. Dia jahat, sangat jahat dan orang-orang yang bersamanya pasti jahat semuanya."

"Selama aku di sampingmu tidak akan ada seorang pun yang bisa mencelakaimu."

"Memang dengan ilmu silat yang kau miliki sekarang ini, rasanya tak ada orang bisa menandingimu. Tetapi Geni di atas langit masih ada langit yang lebih tinggi, lagipula kini aku tak sekuat biasanya, hamil ini membuat sebagian tenagaku hilang, bahkan rasa-rasanya aku makin malas dan selalu ingin tidur."

Geni memegang tangan isterinya. "Aku akan melindungimu" "Sebaiknya kita pergi dari sini, bukannya takut, tetapi saat ini lebih baik menghindari perkelahian, ayo pergi"

Geni diam sesaat, kemudian merogoh saku, mengeluarkan sekeping uang, meletakkan di meja, lalu memegang tangan isterinya. "Baiklah, kita pergi." Ketika melangkah keluar warung, Geni sempat memerhatikan rombongan yang diceritakan Wulan. Dia melihat Lembu Agra. Tetapi lelaki itu, barangkah sengaja berpura-pura tidak melihat Geni. Persis yang dikatakan Wulan, mereka berjumlah sepuluh orang.

Geni memegang tangan isterinya. Dingin dan basah. "Tidak biasanya dia gentar, mungkin lantaran hamil," pikir Geni.

Esok harinya Geni dan Wulan tiba di desa Tumbas. Dari desa itu menuju ke perdikan Lemah Tulis hanya satu hari perjalanan. Keduanya istirahat di sebuah warung makan. Selepas makan siang, pasangan pendekar itu melanjutkan perjalanan.

Keduanya tiba di hutan yang sepi dan lengang. Terik cahaya mentari tak seluruhnya bisa menerobos kerimbunan pepohonan. Di antara pepohonan, Wulan melihat samar-samar bayangan beberapa orang bergerak mendekat. Dia menggenggam erat tangan suaminya. Geni merasa tapak tangan isterinya, dingin dan basah.

Bayangan itu ternyata Lembu Agra bersama sembilan orang temannya. Mereka menghadang di depan pasangan suami isteri itu. Lembu Agra tertawa sinis sambil merentang dua tangan seperti menyambut sahabat lama.

"Ha... ha., kita jumpa lagi. Ini dia, ketua Lemah Tulis yang kesohor Wisang Geni pendekar nomor satu tanah Jawa, dan perempuan itu isterinya, Walang Wulan, dulu pernah menjadi kekasihku dan calon isteriku tetapi dia mengkhianatiku. Kalian berdua hari ini aku perkenalkan dengan seorang terhormat dari keraton Kediri, Ki Lembu Ampai pembantu utama Sri Baginda Raja Tohjaya"

Wisang Geni menatap lelaki separuh baya yang diperkenalkan sebagai Lembu Ampai Tinggi kurus, kumisnya tipis, pelipisnya menonjol dan mengkilat, mulurnya lebar, mata agak sipit. Yang luar biasa dari orang ini adalah sinar matanya yang tajam, berkilat dengan tatapan yang dingin.

Wajah Lembu Ampai tak memperlihatkan ekspresi ketika ia merangkap tangan memberi hormat. "Sudah lama aku mendengar nama besar Wisang Geni, ilmu silat sampean saat mengalahkan jago-jago daratan Cina telah menggegerkan tanah Jawa Tanganku ini gatal, aku ingin menguji kepandaianmu."

Memerhatikan Wisang Geni dengan seksama, Lembu Ampai hampir tak percaya bahwa orang muda berusia sekitar tigapuluh lima yang berdiri di depannya adalah pendekat nomor satu tanah Jawa, yang namanya telah mengguncang dunia persilatan dua tahun belakangan ini.

Wisang Geni memang tidak istimewa, tingginya sedang, tubuhnya ramping berotot. Wajahnya tampan dengan mulut lebar dan bibir tipis. Yang mencolok dari sosoknya adalah rambutnya putih beruban. Gondrong dan beruban. Sinar matanya bening dan sangat tajam, pertanda memiliki tenaga dalam cukup tinggi.

"Ki Geni, sampean masih muda tapi rambut sampean seluruhnya beruban, konon cerita orang hanya dalam satu hari uban itu tumbuh disebabkan sampean menciptakan jurus silat tingkat tinggi, boleh aku tahu benarkah itu?" kata pendekar keraton Kediri itu. Wisang Geni balas memberi hormat "Cerita tentang diriku terlalu dilebih-lebihkan orang, tentang uban ini memang sudah maunya tumbuh sendiri, tak ada hubungan dengan jurus silat" Ia lalu menyambung dengan tegas. "Tetapi kalau boleh aku bertanya, sampean sebagai pendekar terhormat keraton Kediri mengapa menghadang perjalananku...?"

Dia menjawab dengan jumawa, "Aku punya dua maksud. Pertama ingin menjajal kepandaian pendekar utama tanah Jawa. Kedua mengajak sampean bergabung dengan keraton Kediri karena Paduka Raja Tohjaya sedang mencari pendekar handal untuk dijadikan punggawa pembantunya."

Meraih dan menggenggam tangan isterinya, Wisang Geni berbisik dengan ilmu pendam suara. Ilmu itu hanya bisa didengar Wulan seorang. "Wulan, jangan jauh-jauh dariku." Ia menatap kesepuluh orang itu. Ia melihat Lembu Ampai menggerak-gerakan otot tubuh

"Ki Lembu Ampai, aku sedang tak punya waktu untuk mengadu jurus silat, lain kali saja. Tentang maksud kedua, aku merasa mendapat kehormatan tetapi aku butuh waktu untuk berpikir."

Mendadak punggawa di samping Lembu Ampai membentak. "Tidak bisa! Apa yang diminta Paduka Patih adalah sabda raja, tidak boleh ditolak!"

"Maaf aku bukan orang keraton, jadi aku tidak terikat aturan keraton, sampean pasti orang penting maaf kalau aku tidak kenal."

Lembu Ampai tertawa. "Ki Wisang Geni, orang seperti sampan tidak perlu mengenal orang karena semua orang mengenal siapa sampean si Pendekar Tanah Jawa. Baik, aku perkenalkan tujuh orang ini adalah punggawa Patlikur Sinelir keraton Kediri dan dua lainnya pasti sampean sudah kenal, Ki Lembu Agra dan murid keponakannya Ki Wirotama."

Sambil menggandeng isterinya, Geni melangkah. Tetapi dia dihadang serangan. Punggawa itu menyerang dengan dua tangan mencengkram, jurus Cakar Elang. Serangan itu menguarkan bau bacin. Geni melihat jari-jari tangan lawan, kukunya berwarna hitam. Pasti racun ganas. Geni tidak menghentikan langkahnya. Tangan kirinya menggenggam tangan Wulan, tangan kanannya mengibas ke arah lawan.

Pukulan Geni membawa angin keras berhawa dingin. Itulah jurus Bahni Anempuh Toya dari ilmu Bang Bang Alum Alum. Punggawa Sinelir itu terkejut, tak menyangka kalau tenaga dalam Geni sebesar itu. Sesaat dia menggigil. Apa lacur, kejadian sudah sampai di situ, dia tak boleh mundur. Dia mengelak dengan mendekam dilanjutkan serangan mengarah selangkangan Geni.

Wisang Geni memainkan jurusnya yang paling handal. Dia bergerak sambil tetap menggandeng isterinya. Geni dan Wulan sama menggunakan Waringin Sungsang ilmu ringan tubuh yang paling handal. Gerakan Geni bagaikan siluman, sesaat dia seperti menghilang, pindah tempat.

Punggawa Sinelir kehilangan lawan. Sebelum sadar apa yang terjadi, mendadak ia diterjang angin keras yang panas. Ia memutar tubuh sambil memukul dengan tenaga panas.

Tampaknya dia terpaksa adu tenaga dalam Pada saat-saat akhir, tenaga panas Geni berubah dingin, sangat dingin.

Punggawa itu terkejut, tak pernah menyangka ada orang yang sanggup menukar tenaga panas dan dingin dalam sekejap dan di tengah-tengah suatu gerak serangan.

Geni tak mau berlama-lama, ingin pertarungan cepat selesai agar segera bisa meloloskan diri. Itu sebab dia menyerang dengan menggunakan tenaga Wiwaha dalam jurus Sanakanilamatra (Sebesar angin yang terkecil) jurus kedua dari tujuh jurus Garudamukha Prasidha.

Pada saat bersamaan tiga bayangan berkelebat ke arah Geni. Tiga punggawa Sinelir bermaksud menolong rekannya. Terlambat. Tenaga Wiwaha Geni mengena dan menerobos tubuh punggawa itu yang terlempar ke belakang. Ia menggigil hebat Darahnya beku, sesaat kemudian tubuhnya kejang, mati.

Suara Geni perlahan namun tajam dan dingin. "Hmmm, main keroyok, begini rupanya tata cara orang-orang keraton Kediri. " Tak cuma bicara. Geni bergerak terus, melepas tangan isterinya, memutar dua tangan menerapkan jurus Makanjaran (Menari dengan lengan terkembang) dari Garudamukha.

Gerakan itu bersinambung dengan Prasada Atishasha (Menara tinggi bukan main) dari jurus Garudamukha disalurkan dengan tenaga Wiwaha dan perasaan Prabhawa (Kekuasaan). Itulah Jurus Penakluk Raja.

Gerakan itu sangat indah dalam rangkaian Asi yang mulus.

Namun tenaga yang keluar sangat menakjubkan. Lembu Ampai yang berdiri di luar gelanggang merasakan desir angin dingin berganti panas. Ia terkejut, tak pernah menyangka ada orang yang memiliki tenaga istimewa seperti yang diperlihatkan Geni. Tidak menanti lagi, Lembu Ampai ikut menerjang. Dia berniat menolong anak buahnya. Tubuhnya seperti terbang. Dia juga memiliki ilmu ringan tubuh yang sangat unggul. "Kalian mundur semua...!"

Tetapi peringatan itu terlambat Tiga punggawa itu meski telah mengerahkan tenaga penuh, tetap tak mampu menandingi tenaga Geni. Terjadi benturan tenaga di udara. Geni tetap tegar, dia tertawa sinis. Tiga punggawa itu terpental, jatuh di tanah dengan kuda-kuda limbung.

Ketiganya berusaha menenangkan diri, tetapi tenaganya seperti terkuras, ada tenaga dingin yang menerobos membuat mereka menggigil. Untuk mengatasi luka dalam ketiganya duduk bersila mengerahkan tenaga inti mengusir rasa dingin.

Saat itu Lembu Ampai menerjang dengan dua tangan berputar macam kitiran menebar angin keras dan panas. Geni mendorong isterinya dengan bahu agar menjauh. Ia tahu tenaga Lembu Ampai sangat ampuh. "Orang ini memiliki kepandaian tinggi, aku tak boleh memandang enteng "

Berpikir demikian, Geni mengerahkan tenaga Wiwaha dalam sikap empat Pethuk A/i Golong Pikir (Bersatunya hati, pikiran dan tekad) menggunakan jurus berturutan Warayangungas (Anak panah tembus) dan Sbuhdrawa (Hancur luluh) yakni jurus ke-sepuluh dan keempat dari ilmu Gantdamukba.

Lembu Ampai mengerahkan seantero tenaganya, angin panas menerjang Geni. Tak terhindarkan angin pukulan itu bentrok di udara. Suara keras membahana. Dua pendekar itu sepertinya hendak menguji tenaga dalam masing-masing.

Keduanya melanjutkan adu pukulan, beruntun. Pukulan Geni makin lama makin keras, tenaga Wiwaha semakin dibentur semakin bertenaga. Adu pukulan berlangsung cepat, tak ada selang istirahat meski sesaat pun. Pada pukulan kesepuluh, wajah Lembu Ampai merah macam kepiting direbus. Geni biasa-biasa saja bahkan masih bisa memerhatikan isterinya yang berdiri tak jauh dari arena. Pada benturan kesebelas I- embu Ampai semakin terdesak, dia mundur sampai lima langkah. Jika adu pukulan diteruskan dia pasti akan luka parah.

Pada saat itu lima bayangan bergerak serentak ke dalam arena. Lembu Agra, Witotarna dan tiga pendekar Sinelir.

Kelimanya bergerak serentak menolong Lembu Ampai. Mereka menyerang dengan jurus ganas andalan masing-masing.

Berganti Geni yang terancam. Saat itu ia sedang konsentrasi pada pukulan keduabelas. Lembu Ampai juga sudah siap melanjutkan adu pukulan, meski agak terpaksa. Ternyata datangnya serangan lima orang itu membuat pertarungan menjadi ricuh. Saat bersamaan terdengar teriakan Walang Wulan. "Curang, kalian bajingan kotor!" Serangan Wulan diarahkan kepada Lembu Agra, yang menurutnya adalah lawan paling berbahaya, ganas dan licik.

Wulan bergerak dengan ringan tubuh Waringin Sungsang dan melancarkan dua pukulan dari dua aliran berbeda, Garudamukha Prasidha dari Lemah Tulis dan Na^/wjw warisan ayahnya, pendekar Nagapasa. Dua pukulan telengas yang tak kenal ampun. Lembu Agra melihat datangnya serangan Wulan. Batal menerjang Geni, dia membalik tubuh menangkis serangan Wulan. Keduanya terlibat pertarungan cepat Dalam beberapa jurus terlihat Lembu Agra masih lebih unggul dari Walang Wulan.

Pada saat yang sama Wisang Geni batal memukul Lembu Ampai. Ia menggeser kuda-kuda dan mengalihkan serangan dahsyat itu ke lima lawan baru. Namun takut pukulannya tampias mengena isterinya, maka dia menujukan serangannya kepada dua lawan yang paling jauh dari posisi Wulan.

Lembu Ampai melihat peluang. Pertahanan Geni terbuka lebar. Sesaat ia bimbang. Menyerang Geni saat itu sama dengan laku seorang pengecut rendah. Namun hanya dengan cara ini dia bisa memenangkan tarung. Dia menerjang dengan pukulan paling dahsyat, jurus ampuh dari Gelap Ngampar.

Geni sudah memperhitungkan kemungkinan ini, bahwa lawan akan menyerang dengan curang, itu sebab dia telah mempersiapkan diri dengan menggeser kuda-kuda. Dua punggawa Sinelir lainnya merasa gembira mengira serangannya akan mengena sasaran. Demikian juga pikiran Lembu Ampai, pukulan Gelap Ngampar]ika mengena pasti Geni akan luka parah.

Dalam posisi terdesak Geni memperlihatkan kehebatannya. Sekali lagi dia menggeser kuda-kuda. Tangan kanannya tetap meneruskan memukul dua lawan sekaligus, Wirotama dan seorang punggawa. Ia menggunakan tenaga dingin. Tangan kirinya memainkan jurus Sikepdehak (Tangkap, dorong) dan Dekungpulir (Bengkok, putar) dengan mengerahkan tenaga panas Wiwaha sepenuhnya. Iangau kanan dengan tenaga dingin, tangan kiri dengan tenaga panas.

Akibatnya luar biasa. Dua lawan yang diserang Geni, menggigil diterpa angin dingin. Keduanya terdorong mundur empat langkah. Sementara dua punggawa Sinelir lainn ya merasa tenaganya memasuki pusaran kekuatan panas yang misterius. Keduanya tersedot dan terpental ke arah datangnya pukulan Lembu Ampai. Dua orang itu berteriak. "Celaka "

Wisang Geni memainkan Jurus Penakluk Raja, memukul melukai Wirotama dan seorang punggawa Sinelir, menyedot dan menghimpun tenaga dua lawan lain kemudian mendorongnya ke arah Lembu, Ampai.

Lembu Ampai terkesiap. Tak pernah menyangka akan menemukan kejadian seperti itu. Kedua pihak tak bisa menghindar. Terjadi bentrok pukulan Tenaga Lembu Ampai membentur tenaga dua anak buahnya. Dia merasa dadanya sesak. Tenaganya sudah terkuras setelah sebelas kali adu pukul dengan Geni. Benturan dengan tenaga pukulan dua anak buahnya ini membuat tenaga dalamnya kacau dan tidak terkendalikan. Keadaan dua punggawa Sinelir lebih parah.

Tenaga dalam mereka satu tingkat di bawah tenaga Lembu Ampai. Keduanya terdorong mundur empat langkah, dan mulutnya muntah darah segar.

Wisang Geni tahu pertarungan ini antara hidup atau mati Dia hanya berdua Wulan, di pihak lawan jumlahnya sepuluh. Seorang sudah mati, sisa sembilan. Dia harus secepat mungkin mengurangi jumlah musuh. Tak boleh ada rasa kasihan. Berpikir demikian, Geni memburu Wirotama dan punggawa yang seorang, dengan pukulan keras, dingin dan panas lewat jurus Agniwisa dan Prasidha. Dua orang itu yang sudah terluka sebelumnya, tidak punya cukup tenaga untuk menangkis. Keduanya kena telak, terlempar dan mati sebelum tubuhnya menyentuh tanah.

Pertarungan itu sangat singkat. Pada awalnya seorang punggawa Sinelir mati Lalu Wirotama dan satu punggawa lainnya mati Lima punggawa lainnya semedi memulihkan tenaga. Juga Lembu Ampai sedang menata kembali tenaga dalamnya. Saat itu tiga punggawa Sinelir lainnya telah pulih. Dua lainnya yang berbentur tenaga dengan Lembu Ampai juga mulai pulih. Kelimanya berdiri siaga di samping Lembu Ampai.

Pertarungan Wulan dan Lembu Agra berlangsung berat sebelah. Dari perbendaharaan ilmu Lemah Tulis, Lembu Agra sebagai kakak sc|xi guru.m jelas lebih menguasai. Tapi Wulan dengan menggunakan jurus-jurus Garudamukha Prasidha, ilmu Lemah Tulis yang belum sempat dipelajari Agra dan jurus-jurus Nagapasa masih bisa bertahan meskipun dalam keadaan terdesak. Lembu Agra tanpa rasa kasihan menggelar jurus andalannya Pitu Sopakara dengan tujuan membunuh.

Sambil bertempur Lembu Agra memerhatikan sepak-terjang Geni. Dia melihat kehebatan Geni dan menyadari keadaan tak menguntungkan pihaknya. Ia cepat menetapkan keputusan. Ia harus cepat menyelesaikan tarung dengan Wulan agar bisa membantu mengeroyok Wisang Geni. Ia juga tak peduli apakah jurusnya nanti akan membunuh Wulan, adik seperguruan yang dicintainya. Tak kenal kasihan ia menggelar Sambartaka (Rusak, kiamat) dan Sarwakrura (Perbuatan yang buas) dua jurus ganas Pitu Sopakara.

Pada saat itu Geni baru menyelesaikan serangan yang membunuh Wirotama dan satu punggawa. Dia berada agak jauh dari isterinya dan melihat ancaman terhadap isterinya. Geni bergerak pesat menolong. Namun di tengah jalan dia mendengar suara mendesis. Beberapa pisau terbang menuju dirinya.

Lembu Ampai menyambit dengan lima pisau terbang. Geni tak berani menangkis, khawatir pisau melejit ke arah isterinya. Ia berkelit yang menyebabkan gerakan menolong Wulan, jadi terhambat Tidak cuma itu Lembu Ampai juga menerjang dengan keris terhunus. Ia merasa tak mampu mengimbangi Geni dengan tangan kosong, tanpa malu lagi ia menyerang dengan senjata keris, menggunakan jurus Keris Tujuh Kembang. Lima punggawa Sinelir juga menggunakan senjata, dua orang menerjang dengan pedang, seorang lainnya dengan golok panjang dan dua lainnya dengan keris. Serangan lawan ini membuat Geni tak bisa mendekati dan menolong isterinya.

Terpisah dari Wisang Geni sekitar sepuluh tombak, Lembu Agra menyerang gencar Walang Wulan sambil berseru, "Kau membuat keputusan keliru, mencampakkan aku dan memilih Wisang Geni, kau membuat aku hampir gila memikirkan dirimu, kau perempuan jalang, pengkhianat cinta." Lembu Agra menyerang sambil memaki. Wulan tak bisa membuka mulut. Setiap hendak mencaci maki lawannya, dadanya sesak ditekan tenaga Lembu Agra sehingga tak bisa bersuara.

Geni sibuk menghadapi serangan gencar Lembu Ampai bersama lima punggawa Sinelir. Ia tak bisa menolong isterinya, hanya bisa menyaksikan dari jauh. Geni khawatir keselamatan isterinya.

Lembu Agra menyerang gencar. "Aku tadinya hendak menculik membawa lari dan memerkosamu. Tetapi daya tarikmu sudah hilang. Kamu harus tahu bahwa apa yang sudah menjadi milikku tak boleh direbut orang. Aku mencintaimu, itu artinya kau sudah menjadi milikku, karena itu kau tak boleh menjadi milik orang lain. Kau benar-benar perempuan jalang."

Geni tahu isterinya dalam keadaan terancam, kritis. Tetapi dia tak bisa menolong, serangan enam lawannya makin gencar, tak ada ruang sedikit pun untuk lolos. Geni cuma bisa menyaksikan ketika dua pukulan beruntun menerpa pundak dan lambung isterinya.

Wulan menjerit lirih. Semangat Geni terbang.

Mendadak Geni merasa tenaga Wiwaha membakar tubuhnya. Kecintaannya terhadap Wulan, melihat isterinya dilukai tanpa dia sanggup menolong telah membangkitkan tenaga dalam Wiwaha merambah ke seluruh tubuhnya, utuh dan sempurna. Tenaga Geni menjadi berlipat ganda dari sebelumnya. Munculnya tenaga istimewa Whvaha ini tanpa melalui suatu proses lagi, muncul secara mendadak, menghasilkan tenaga Wiwaha yang dahsyat.

Reaksi spontan Geni yang paling awal adalah teriakan keras disertai bentakan. Itulah pelampiasan dari kemarahan yang amat sangat. Amarah membakar dirinya dilampiaskan lewat bentakan dengan tenaga Wiwaha yang dahsyat membuat Lembu Ampai dan lima punggawa terperanjat. Mereka merasa otot-otot dalam tubuh serasa kejang, gendang telinga seakan pecah. Berbarengan Geni mainkan jurus Prasada Atishasha (Menara sangat tinggi) dari Prasidha dengan rasa Hayu (Keselamatan). Dia memikirkan keselamatan isterinya. Inilah Jurus Penakluk Raja, ilmu dari segala ilmu.

Gebrakan Geni kali ini tidak memerlukan jurus yang khusus.

Jurus apa pun yang digunakan Geni akan menjadi dahsyat. Jurus paling sederhana pun menjadi jurus serangan ampuh. Apalagi Geni menggelar jurus dari Garudamukha Prasidha, sehingga kibasan tangan dan gerak kaki Geni yang tegar dan pegas, membuat enam lawannya terpental.

Lembu Ampai meski seorang pendekar kelas satu tetap saja merasa tangannya tergetar. Keris di tangannya terlempar.

Sadar jiwanya dalam bahaya, Lembu Ampai melompat ke belakang. Dia selamat, lolos dari bahaya maut. "Gila... ilmu apa ini?" gerutunya.

Dua punggawa Sinelir melepas senjata di tangan, mengikuti dorongan gelombang tenaga Geni, melempar diri ke belakang. Keduanya selamat. Tiga punggawa lainnya yang menghadang di depan Geni menerima akibat paling parah. Geni yang menerjang membuka jalan ke arah isterinya menerkam tiga lawannya itu.

Geni tidak mengelak dari tebasan senjata lawan. Dia yakin tubuhnya tak mungkin dilukai senjata. Geni menghantam sekerasnya disertai bentakan keras. Tanpa ampun tiga punggawa itu terlempar, mati dengan dada remuk

Lembu Agra melihat sepak terjang Geni yang kesurupan, bersiap. Geni tiba secepat angin, pukulannya melanda. Lembu Agra menangkis dengan jurus Panahuraninghulun (Pembalasan) dan Pitu Sopakara tingkat lima. Dua tenaga bentrok hebat, debu mengepul. Laju gerak Geni tak terhenti oleh benturan itu. Lembu Agra terpental sambil mendesah. Dia limbung, pijakannya goyah. Lembu Agra sempoyongan diikuti dengan muntah darah. Ia terluka. Ia melompat mundur, berdiri di samping Lembu Ampai.

Geni tertawa sinis. "Huh cuma sebegini saja hebatnya jurus Pitu Sopakara, bangsat pengkhianat hari ini kau kuantar bertemu nenek moyangmu di neraka."

Pada saat hendak menyerang Lembu Agra, saat bersamaan Geni mendengar Wulan mengeluh kesakitan. Ia sadar Wulan terluka. Ia melihat isterinya limbung sempoyongan. Sesaat ia bimbang, hendak menyerang Lembu Agra atau menolong isterinya.

Lembu Agra dan Lembu Ampai berdiri agak jauh bersama dua punggawa Sinelir yang masih hidup. Keempatnya memasang kuda-kuda mengerahkan tenaga dalam, bersiap untuk pertarungan akhir dengan taruhan hidup atau mati

Dia memutuskan menolong isterinya. Saat itu Wulan jatuh, tapi sebelum tubuhnya menyentuh tanah, Geni dengan Waringin Sungsang seperti terbang berhasil memeluk tubuh isterinya.

Lembu Agra tertawa sinis. "Kau membuat keputusan bagus, kau masih punya sedikit waktu untuk bicara dengan perempuan jalang itu, karena tak lama lagi dia akan mati dan kau akan merasakan bagaimana pedihnya ditinggal mati oleh kerabat dekatmu Kau jangan mimpi bisa menolong perempuan itu, dia tak tertolong, itu ilmu Pitu Sopakara tingkat lima, orang yang kena pukulan itu sudah pasti akan mati"

Geni tak mempedulikan ocehan lawan. Ia menahan marah dan berusaha mengendalikan tenaga serta pikirannya. Telapak tangan menempel di punggung isterinya, ia menyalurkan tenaga dalam

Lembu Agra tertawa. "Isterimu akan mati, dan kau akan terbakar rasa dendam, kau pasti ingin membunuhku, tapi kuberitahu kau Geni, bahwa kau tak perlu mencari aku, sebab aku juga akan mencarimuu, hutang Lemah Tulis yang membabat habis keluargaku masih harus kau bayar. Kau masih ada waktu untuk hidup sampai aku menyelesaikan Pitu Sopakara tingkat tujuh, saat itu baru kau bisa merasakan hebatnya Pitu Sopakara... ha... ha... ha "

Wisang Geni yang memeluk isterinya, hanya bisa memandang empat lawannya menghilang di kejauhan. Geni merasa tubuh isterinya dingin berkeringat. Darah merembes dari mulut dan kemaluan isterinya. Geni terkesiap. Parah.

Isterinya luka parah. Muntah darah artinya paru-paru dan jantung terluka. Isterinya juga mengalami keguguran, perut dan seisinya terluka berat

Nafas Geni seakan terhenti. Terkejut.

Dia mengerti ilmu pengobatan, meraba denyut nadi isterinya. Kacau tak beraturan. Sinar mata yang biasanya gemerlap, kini redup. Nafasnya tak teratur, kadang bunyikeras, kadang tak terdengar. Geni tahu luka isterinya sangat parah. Peluang hidup isterinya sangat tipis. Tetapi Geni tak peduli, ia tetap mengirim tenaga dalam ke tubuh Wulan.

Jika masih ada peluang hidup, mungkin tenaga Wiwaha masih bisa menolong.

Wulan membuka matanya. "Geni, suamiku, tak ada gunanya. Pukulan Pitu Sopakara sangat ganas, telah merusak bagian dalam tubuhku, tak ada obatnya Geni, jangan membuang waktu dan tenagamu... sekarang aku ingin manfaatkan sisa waktuku, cium aku, peluk aku "

Geni dengan berlinang air mata menciumi seluruh wajah dan mulut isterinya. Memeluk erat tubuh isterinya. "Geni, aku menyintaimu." "Aku juga sangat menyintaimu."

"Geni, aku menyesal anakmu ikut mati, jangan salahkan dewa. Yang bersalah Lembu Agra. Kau harus balas dendam tetapi hati-hati dia jahat, telengas dan sangat licik" Wulan berhenti, nafasnya sesak, tersendat-sendat.

Geni memeluk terus. "Wulan, aku tak tahu harus bagaimana, selama ini kita tak pernah berpisah meski satu hari pun."

"Geni, aku sudah puas hidup bersamamu selama ini. Kau tahu apa kata Dewi Obat, katanya anak kita itu perempuan cuma sayang dia ikut mati"

"Dia pasti akan secantik ibunya."

'Ya kalau dia hidup, dia memang akan cantik kasihan kamu Geni, hari ini kamu kehilangan dua orang sekaligus, isterimu dan anakmu.

Kau harus membalas hutang darah ini."

"Aku pasti akan menagih hutang darah ini, Lembu Agra dan Lembu Ampai akan menanggung akibatnya. Aku akan mencari dan memburu mereka ke mana pun, sampai ke neraka pun."

Dia merasakan tubuh Wulan semakin dingin. Dia memeluk tubuh isterinya, merapatkan dada dengan dada kemudian menyalurkan tenaga dalam.

Wulan menatap suaminya dengan sinar mata menyinta. "Geni sepeninggalku kau harus mencari Sekar. Entah berada di mana si Sekar, dia sangat mencintaimu Kau tak boleh sedih berlebihan, sudah takdir dewa, aku harus mati. Tapi kau harus hidup terus, cepat temukan Sekar, kau membutuhkan dia." "Wulan, aku akan menemukan Sekar, tapi kamu tak boleh mati."

"Tidak Geni, aku tak tertolong. Dengar Geni, waktuku tak banyak lagi. Masih ada seorang gadis yang pantas menjadi isterimu, kau mengenalnya, Prawesti, cucu kakang Gubar Baleman, ia masih muda, sangat cantik dan dia pasti akan setia melayanimu"

Geni diam, memandang isterinya dengan sinar mata menyinta.

"Oh suamiku, pandanganku gelap, tubuhku dingin. Geni peluk aku lebih erat, ajalku sudah dekat, selamat tinggal suamiku, cium aku Geni. Peluk dan cium aku."

Dia memeluk isterinya, serasa ingin menyatu dengan tubuh molek itu. Tapi tubuh itu makin dingin. Geni mencium mulut isterinya. Tadinya mulut itu hangat. Bibir itu dulunya lembut dan hangat, penuh birahi. Kini dingin. Makin lama makin dingin.

Tubuh itu sudah dingin. Geni sadar isterinya mati. Tetapi perasaannya mengatakan Wulan masih hidup. Dia tak percaya isterinya sudah mati Dia memandangi wajah yang cantik itu. Tak ada tanda-tanda hidup. Airmata membasahi pipi Geni. "Istriku yang malang. Tapi tak mungkin kamu mati, tak mungkin. Wulan masih hidup."

Tiba-tiba ada suara merdu di telinganya. Geni merasa ada sentuhan tangan yang lembut di pundaknya. "Kangmas Geni, relakan dia pergi. Dia sudah mati"

Geni menoleh. Seorang gadis, muda dan cantik berdiri di sampingnya. Tangannya menepuk pundak Geni.

"Kau siapa, kenapa ada di sini? Apakah kau datang untuk menolong isteriku, kau bisa menolong isteriku?"

Perempuan itu memandang dengan airmuka yang sedih. Dia menggeleng kepala. "Maaf Kangmas, namaku Rahayu, panggil saja Ayu, aku murid Mahameru, aku kebetulan lewat di sini, maaf Kangmas, isterimu sudah mati, kamu harus rela."

Geni mengawasi perempuan muda itu dengan curiga. "Kau murid siapa, murid pendeta Macukunda?"

"Bukan. Aku cucu muridnya. Guruku adalah Nyi Minasih, murid paman sepuh Macukunda."

Geni kembali menatap tubuh isterinya. Meraba wajah Wulan. "Kenapa isteriku harus mati, kenapa mereka membunuh isteriku, kenapa, apa salah isteriku?"

Rahayu melihat mayat berserakan. Pasti sudah terjadi pertarungan hebat. Enam mayat itu pasti mati di tangan Wisang Geni. Rahayu pernah mengenal Wisang Geni dan Walang Wulan di Mahameru saat diadakan pertarungan memilih lima pendekar tanah Jawa. Waktu itu sepak terjang Geni sangat luar biasa. Dari seorang tak dikenal, dia melejit menjadi pendekar kelas utama. Ilmu silatnya dikagumi orang ketika membunuh tokoh hitam Sempani, dan Kalayawana berserta tiga muridnya.

Sejak saat itu, Rahayu tak pernah melupakan Geni.

Sekarang, tanpa rencana, ia bertemu Wisang Geni di hutan ini dalam situasi yang sangat berbeda.

Tadi siang Ayu bersama tiga saudara seperguruannya dalam perjalanan pulang ke Mahameru Di tengah jalan Ayu terpisah. Ketika ia sedang bingung mencari-cari saudaranya, ia mendengar suara bentakan orang yang sedang bertarung.

Dia tiba pada saat Wisang Geni baru saja menghantam mati tiga punggawa Sinelir keraton. Dia menyaksikan ketika Lembu Agra terpental oleh hantaman Geni. Dia melihat dan mendengar semua kejadian sejak itu. Dia mendengar kata- kata Lembu Agra. Dia menyaksikan kaburnya Lembu Agra dan tiga rekannya. Rahayu meski pernah menyaksikan kehebatan Geni, namun tetap saja kagum. Pertarungan singkat tadi memperlihatkan tingkat kelihaian Geni yang sulit diukur tingginya.

Dia menyaksikan pemandangan mengharukan saat maut merenggut nyawa Wulan. Juga mendengar pembicaraan suami isteri itu yang mesra penuh rasa cinta. Rahayu makin teng gelam dan larut dalam kesedihan. Tanpa terasa air mata mengalir di pipinya. Dia bisa memaklumi betapa batin Geni terpukul dan goncang dan merasa berkewajiban menolong. "Mas, mari aku bantu kubur."

"Sssssshhhh, jangan, isteriku belum mati Aku masih harus menolongnya, masih ada harapan."

Rahayu melihat sinar mata Geni yang ngambang. "Kangmas, isterimu sudah mati, relakan dia pergi, Mas."

Geni menggoyang-goyang tubuh Wulan. "Aku masih bisa mengobatinya, ayo Wulan bangun, jangan mati Oh Wulan jangan mati, jangan tinggalkan aku "

Hutan itu masih sepi. Wisang Geni meratapi kematian isterinya. Rahayu bingung, tak tahu harus berbuat apa. Mendadak ia teringat sesuatu. "Kangmas Geni, lebih baik kita antar Mbakyu Wulan ke Lemah Tulis, di sana mungkin ada yang bisa menolongmu."

Sepasang mata Geni memandang tajam gadis di depannya. "Ya kau benar, kita bawa dia ke Lemah Tulis, ayo kamu ikut."

Hanya sesaat Rahayu bimbang. "Baik. Aku ikut."

Perjalanan dilakukan dengan cepat. Wisang Geni sambil memeluk tubuh isterinya, berlari menggunakan ilmu Waringin Sungsang yang tentu saja membuat Rahayu kedodoran mengejarnya.

Geni mengendurkan lari. "Kamu kurang cepat, mari kubantu." Tangan kanan Geni menggendong Wulan, tangan kiri memegang tangan Rahayu. Gadis itu merasa sekujur tubuhnya dirasuki tenaga hangat yang berasal dari tangan Geni. Gerak langkah Ayu menjadi lebih bertenaga dan lebih cepat. Malam tiba. Hutan gelap. Samar-samar sinar rembulan menerobos pepohonan tapi tidak cukup menerangi jalan, apalagi untuk menentukan arah. Geni dan Rahayu terpaksa istirahat. Geni masih memeluk jenazah isterinya. Malam itu Rahayu berhasil meyakinkan lelaki itu bahwa Wulan sudah mati dan tak mungkin hidup kembali.

Perlahan namun pasti, Wisang Geni menemukan kembali kesadarannya. Walang Wulan isterinya sudah mati, tak mungkin hidup kembali. Kini yang bisa ia lakukan adalah membawa jenazah Wulan ke perdikan Lemah Tulis dan menguburnya di sana.

Geni berterimakasih kepada gadis itu. Malam itu Geni tidak tidur. Dia menjaga jenazah isterinya dan Rahayu yang tidur pulas. Esok paginyakokok ayam dan kicau burung mewarnai suasana sejuk hutan. Rahayu terbangun. Dia melihat Geni yang sedang duduk bersila di dekat jenazah Wulan. Lama Rahayu menatap wajah pendekar yang dikaguminya itu.

Di Mahameru, dia tak punya kesempatan berkenalan. Namun meski hanya mengenal dari jauh, Rahayu sangat terkesan. Geni tidak tergolong lelaki tampan, tetapi punya daya tarik kelaki-lakian yang membuat Ayu tak pernah bisa melupakannya.

Tiba-tiba Geni terjaga. Rahayu gugup ketika matanya bertatapan.

"Kamu sudah bangun Ayu"

"Aku, aku baru saja bangun." Sinar mentari pagi menyinari wajah Rahayu. Geni melihat seorang gadis yang cantik dan matang. Rahayu berusia duapuluhan. Kulit sawo matang, bersih dan mulus. Rambut lurus sebatas pundak. Hidungnya agak pesek dengan mulut yang indah. Bibirnya tebal membentuk busur gandewa. Sepasang matanya berbinar, agak nakal. Mata itu tak menyembunyikan rasa kagum pada lelaki di hadapannya.

Kemarin Geni tidak memerhatikan kehadiran gadis Mahameru itu. Tetapi setelah semalaman bersemedi dan menghimpun tenaga Wiwaha, kesadaran Geni sudah kembali seperti sediakala.

Dia sedih kehilangan isterinyayang sangat dicintainya. Tetapi dia masih harus menjalani hidup. Dia adalah ketua Lemah Tulis. Kehormatannya sebagai ketua Lemah Tulis, sebagai suami Walang Wulan, sebagai pendekar yang disegani orang di tanah Jawa, telah diinjak-injak oleh Lembu Agra dan orang-orang keraton Kediri. Isteri dan anaknya, mati Dendam ini harus diperhitungkan. Hutang darah, bayar darah. Hutang nyawa bayar nyawa.

Pagi itu Rahayu melihat Geni yang berbeda dengan Geni yang kemarin. Geni dengan rendah hati mengucap terimakasih atas bantuan Rahayu yang menyadarkan dirinya dari kesedihan. Perjalanan dilanjutkan. Geni membopong jenazah Wulan, Rahayu berjalan di sampingnya. Siang hari keduanya tiba di Lemah Tulis.

Kontan saja, suasana perdikan diliputi duka yang amat sangat, di sana sini terdengar isak tangis para wanita. Hampir semua murid Lemah Tulis mengenal dan menyayangi Walang Wulan. Mereka tak pernah menyangka Walang Wulan yang cantik dan ramah itu akan mengalami kematian mengenaskan.

Padeksa dan Gajah Watu, dua tokoh sepuh dari Lemah Tulis menghibur dan menenangkan Geni Siang itu Walang Wulan dikubur di pekuburan Lemah Tulis. Semua orang larut dalam duka. Semua murid Lemah Tulis mengutuk kejahatan Lembu Agra, murid pengkhianat itu. Esok harinya Rahayu pamit dan kembali ke Mahameru. Semua murid Lemah Tulis sepakat akan membalas dendam, Lembu Agra harus mati Semua murid menunggu perintah. Tetapi ketua Lemah Tulis belum mengeluarkan perintah. Bahkan Geni masih belum mau keluar dari kamarnya.

Pada hari pertama sepertinya Wisang Geni belum bisa menerima kenyataan matinya Wulan. Terkadang sadar, sesaal kemudian ia seperti linglung mencari-cari Wulan. Seharian itu Padeksa dan Gajah Watu bergantian menjenguk dan menghiburnya.

Murid-murid wanita bergantian melayani ketuanya, membujuknya makan minum Di antaranya Prawesti, yang disebut-sebut kembang perdikan, muda dan cantik. Pada hari ketiga hanya Prawesti yang melayani, murid lainnya sepakat menarik diri, memberi kesempatan Prawesti melayani sang ketua.

Suatu siang, ketika Prawesti sedang berada di sumur, melamun. Jayasatru, lelaki berusia limapuluhan, menghampirinya. "Westi, kau belakangan ini gelisah, apakah keadaan ketua tidak begitu menggembirakan ?"

Gadis itu terkejut, tersentak dari lamunan. "Oh paman Jayasatru"

"Bagaimana keadaan ketua kita?"

"Oh ketua semakin membaik, hanya kesedihannya masih belum hilang. Ia sering melamun dan menyebut nama isterinya, pernah suatu saat ia memanggilku Wulan. Paman Jaya, aku tidak tahu sampai kapan ia baru bisa melupakan isterinya."

"Kau amat gelisah, Westi. Kau mencintai ketua?"

Kembang Lemah Tulis itu gugup, tidak menyangka datangnya pertanyaan itu. "Ah tidak. Mengapa paman bertanya seperti itu?" "Beberapa hari ini aku memerhatikanmu, tak perlu malu Westi, kau tak perlu malu padaku, aku mengenalmu karena aku yang merawatmu sejak kecil, hubungan kita seperti ayah dan anak."

"Paman, aku berterimakasih kepadamu dan juga bibi, kalian berdua sudah seperti orangtua bagiku, tapi aku tak tahu perasaanku pada ketua, mungkin aku hanya merasa kasihan."

"Westi, menyinta adalah suatu rasa yang sulit ditebak dan sulit diduga. Sulit mengetahui apakah kita menyinta seseorang atau hanya merasa kasihan. Tapi aku cuma mau berpesan padamu, jika kau merasa yakin menyintai ketua, jangan ragu dan jangan malu."

Prawesti tersipu malu. "Tapi paman, melihat cintanyayang begitu besar kepada bibi guru Wulan, apa mungkin dia bisa menyinta perempuan lain? Dia juga masih punya isteri lain, Sekar yang entah ada di mana."

Jayasatru tersenyum Kini ia yakin Prawesti mencintai sang ketua. Hanya gadis itu malu. "Semua laki-laki butuh perempuan, begitu sebaliknya. Dan aku yakin ketua membutuhkan lebih dari seorang isteri. Apalagi Sekar sudah satu tahun ini tak ketahuan rimbanya. Ketua tak mungkin sendirian terus. Tinggal kini, siapa perempuan yang bisa menarik hatinya. Kau harus tahu, banyak perempuan yang ingin menjadi isteri ketua."

Sebelum pergi, dia berbisik ke telinga Prawesti. "Kau harus mendekatinya, berusaha menarik hatinya."

Prawesti kembali merenung. "Ya, pasti banyak perempuan yang ingin menjadi istri atau kekasih ketua, bagaimana dengan aku?"

Prawesti berusia duapuluh tahun, sudah tak punyakeluarga sejak kecil. Kakeknya, GubarBaleman dan empat murid termasuk ayahnya gugur di perang Ganter. Dia melihat semua kawan perempuannya sepakat tidak lagi melayani ketua. Gadis cantik itu tersenyum Tetapi senyum lenyap ketika teringat Rahayu, murid Mahameru itu, yang hari itu datang bersama- sama ketua. "Apa hubungannya dengan ketua? Benar kata paman Jaya, bakal banyak perempuan yang mengejar ketua."

Hari sudah siang, Prawesti ingat tugasnya menyediakan makanan untuk ketua. Ia menuju dapur. Di tengah jalan, berpapasan dengan dua murid wanita. Keduanya menegur Prawesti, mengatakan santapan siang sudah siap. Prawesti mengucap terimakasih.

Prawesti melihat Wisang Geni duduk semedi. Ia meletakkan nampan di atas tikar. Ia memerhatikan lelaki yang dipujanya itu. Sudah lama ia mengagumi Wisang Geni, tetapi tak pernah berpikir akan menyintainya. Hanya kagum Terbatas pada rasa kagum saja. Tetapi kini perasaannya berubah. Dari kagum menjadi kasihan kemudian cinta.

Kemarin, Geni hanya berdua dengan Prawesti yang melayani makan siangnya. Mendadak Geni menarik tubuh Prawesti dan memeluk gadis itu sambil menyebut nama Wulan. Prawesti hendak berontak melepaskan diri, tetapi tenaganya hilang. Ada keinginan yang tak dapat ditolak, keinginan untuk pasrah. Dan ia memang pasrah ketika Geni menciumi dengan bernafsu. Ia tak sadar secara spontan mengimbanginya dengan bernafsu. Beberapa saatkemudian Geni sadar. Dia minta maaf, telah berlaku tidak senonoh.

Tetapi dia heran lantaran Prawesti tidak marah, malah tersenyum dengan sinar mata berbinar. Prawesti masih ingatketika itu dia mengatakan. "Tidak apa-apa ketua, aku senang bisa membuat ketua senang."

Setelah kejadian itu Geni sering kali menyentuh tangan atau menepuk bahu gadis itu. Dan Prawesti mulai berani mengimbangi dengan sentuhan mesra. Keduanya mulai membiasakan saling sentuh. Prawesti kemudian melangkah lebih jauh, memijit betis dan telapak kaki sampai lelaki itu tertidur. Terdengar suara Geni yang membual Prawesti sadar dari lamunan. "Kamu melamun apa?"

"Tidak, aku tidak melamun. Aku menanti perintah, aku siap untuk melayanimu"

"Kulihat kau tersenyum tadi, apa yang membuatmu senang."

"Aku senang, bisa melayani ketua."

Wisang Geni memerhatikan seksama gadis di hadapannya. Tidak salah Prawesti dijuluki kembang Lemah Tulis, dia cantik, kulit tubuh kuning sawo. Rambut panjang terurai. Matanya bulat gemerlap dengan sepasang alis tebal. Mulurnya agak lebar namun pantas. Tubuhnya sedang, tidak tinggi dan tidak pendek, sintal dengan buah dada yang menonjol.

Gadis itu duduk di atas lipatan dua kakinya. Cantik dan montok. Geni merasa gejolak birahi. Tak bisa menahan diri lagi, Geni melesat dari duduknya, dalam sekejap sudah berada di sampingnya. Tangannya meraih tubuh si gadis, memeluk gemas, menciuminya dengan penuh nafsu. Prawesti dari semula diam dan pasif menjadi bernafsu dan liar.

Sejak ciuman yang pertama kemarin, gadis itu sering melamun merindu ciuman dan pelukan Geni. Karenanya begitu lelaki itu memeluk dan menciumnya, tanpa bisa ditahan lagi Prawesti balas mengimbangi dengan memeluk erat dan ciuman yang bernafsu.

Geni terengah-engah berbisik. "Aku tak tahan lagi. Kamu membuat birahiku tak terkendali."

"Ketua, aku pasrah, aku siap melayanimu, aku milikmu, ambillah."

"Kita hanya berdua, jangan panggil aku ketua "

"Ya, ambillah, nikmatilah tubuhku, aku rela dan pasrah, Mas." Saat dua anak manusia itu tenggelam dalam lautan nafsu birahi, pada saat yang sama di pendopo yang tidak jauh dari rumah Geni, Gajah Watu dan Padeksa duduk berhadapan dengan salah seorang murid, Jayasatru Ketiga lelaki itu tersenyum memandang ke arah rumah ketua Lemah Tulis.

Senyum yang penuh arti

Padeksa, tertawa senang. "Adalah lebih baik bagi Lemah Tulis jika Wisang Geni mengawini Prawesti. Karena sebenarnya aku kurang setuju ia beristeri Sekar, tetapi apa boleh buat sudah terjadi. Aku lebih senang jika Geni memilih orang sendiri."

Di bilik ketua Lemah Tulis, Geni berbaring di samping Prawesti. Pada masa itu terutama di dunia kependekaran, orang tidak terikat batasan moral agama serta kepercayaan sehingga hubungan intim di luar pernikahan antara lelaki dan wanita bisa saja terjadi. Meskipun demikian Geni tetap merasa bersalah lantaran selama ini ia mengaku menyintai Walang Wulan dan Sekar, dua isterinya. Tetapi hanya hanya terpaut lima hari setelah Wulan dikubur, ia telah meniduri Prawesti. Ia merasa telah mengkhianati Wulan dan juga Sekar.

Prawesti seperti mengetahui apa yang dipikir ketuanya. Dia pun merasakan hal yang sama, ada rasa bersalah, sepertinya dia telah mengkhianati bibi gurunya, Wulan "Ketua, mohon ampun, aku yang bersalah, hukumlah aku, tapi jangan salahkan dirimu."

Geni memeluk Prawesti. "Aku yang salah, padahal sebagai ketua perdikan seharusnya aku bisa menahan diri, aku menyesal telah merenggut perawanmu."

"Ketua, aku rela perawanku kau ambil, tubuh dan cintaku kini milikmu, ketua. Aku senang dan bahagia, meski aku merasa seperti mengkhianati bibi Wulan."

Geni menghela nafas. "Sebenarnya Wulan telah merestui malahan menganjurkan aku mengawinimu."

"Apa? Restu? Aku tak mengerti, ketua." "Sebelum ajal Wulan berpesan agar aku cepat mencari Sekar. Katanya, nafsu kelaki-lakianku sangat besar karenanya aku butuh lebih dari seorang isteri. Ia menyebut namamu sebagai calon, katanya kau muda, cantik dan pasti akan setia mendampingiku."

"Apakah benar begitu? Apakah aku memang cantik?"

Geni memeluk Prawesti. "Kau memang cantik, masih perawan dan sangat menggoda."

Prawesti malu-malu, memeluk Geni dan menyembunyikan wajahnya di dada lelaki itu. "Bibi Wulan memang benar, aku pasti akan setia mendampingimu."

Geni menciumi wajah Prawesti. Perempuan itu melarikan wajahnya ke dada Geni. "Mas, aku tanya padamu kau jawab dengan jujur? Kamu bersedia?"

Lelaki itu mengiyakan dengan menggerutu. Nafsunya berkobar lagi. Tangannya meraba-raba semua bagian tubuh Prawesti.

"Ketua, kau jawab dulu pertanyaanku, nanti baru aku layani lagi."

"Kau memerintah aku?"

"Aku membujuk, bukan memerintah, dan itu pun pada saat-saat tertentu seperti sekarang ini, di saat lain aku adalah budakmu, pelayanmu yang siap melayanimu bahkan seandainya kau meminta nyawaku pun."

Geni tertawa. "Tanyalah."

Prawesti memeluk, menyembunyikan wajahnya di dada Geni.

"Mas, Sekar isterimu itu, ia sangal cantik, lebih cantik dari aku. Kau pasti mencintainya. Bagaimana kisahmu dengannya?" Geni menceritakan pengalamannya dengan Sekar, dua tahun lalu. Ia terluka oleh pukulan Kalayawana dan dipaksa menelan racun oleh pasangan pendekar dari India, Kumara dan Malini. Kemudian Sekar membawanya ke Lembah Cemara, memaksa neneknya mengobati. Nyatanya Dewi Obat yang kesohor itu hanya sanggup mengusir sebagian racun, memperpanjang usianya tiga bulan. Nyawanya tertolong setelah secara kebetulan terjatuh di jurang di kaki gunung Lejar, malahan di tempat itulah Geni menemukan ilmu Wimihn warisan pendekar Lalawa.

"Kamu bercinta dengannya? Katamu ia bekas penyakit cacar?" Geni tertawa merasa lucu akan kecemburuan gadis itu. "Waktu itu memang tubuhnya penuh bercak cacar. Tapi sekarang sudah sembuh. Lagipula Sekar memang cantik, tubuhnya indah dan ia membuat aku kasmaran. Aku sangat mencintainya."

"Jika harus memilih satu di antaranya, kamu memilih siapa, Sekar atau bibi Wulan?"

Geni teringat saat dua isterinya luka keracunan. Saat itu ia hai us memilih mendahulukan Wulan atau Sekar. Nalurinya mendorong ia menolong Sekar lebih dahulu. "Aku mencintai Sekar. Selama satu tahun lebih, sudah empatbelas purnama, aku rindu dan selalu teringat Sekar. Tetapi aku juga mencintai Wulan."

Mendadak dengan gesitnya Prawesti berpindah posisi. Dia kini tengkurap di atas tubuh Geni. Dia menatap mata lelaki itu. ”Mas Geni, ketuaku yang mulia, jika kau bertemu lagi dengan Sekar isterimu, atau perempuan lain yang cantik dan montok, apakah kau akan mencampakkan aku?"

Geni melihat sepasang mata bening Prawesti, tajam dan menantang, tak ada rasa takut. Saat itu Geni tahu persis betapa beraninya perempuan ini. Juga cantik. Berani, setia dan cantik, adalah tiga sifat yang jika dimiliki seorang perempuan maka berbahagialah lelaki yang meyuntingnya. "Tidak, aku tak akan meninggalkanmu Tapi "

Prawesti memotong ucapan Geni, tangannya membekap mulut lelaki itu. Dia tahu sekarang belum waktunya meminta cinta Wisang Geni. Belum waktunya mengharap Geni mengawininya karena lelaki itu baru lima hari kematian isteri. Juga masih ada Sekar dalam ingatan Geni. Tetapi sekarang satmya memancing janji lelaki itu. "Mas, ingat kau sudah berjanji tak akan meninggalkan aku. Kau boleh bercinta dengan perempuan lain, aku tak peduli meskipun aku akan cemburu, tetapi kau sudah berjanji dan janji pendekar utama tanah Jawa adalah janji yang tak boleh diingkari. Jika kau mencintai perempuan lain kau harus ingat akan janjimu, kamu harus menerima pengabdianku sebagai salah satu isteri atau selirmu, aku akan setia di sisimu, melayanimu, kau harus janji ketuaku yang mulia." 

"Aku sudah berjanji tidak akan meninggalkanmu, hanya tentang kawin atau menjadi isteri, aku tidak berani berjanji. Tetapi Westi, mengapa kau lakukan semua ini, mengapa kamu pasrah dan rela menjadi pelayanku, kenapa?"

Prawesti tersenyum Dia mengecup mulut Geni. Menatapnya dengan penuh rasa cinta. "Kau tidak sadar, kau tidak tahu, atau pura-pura tak tahu bahwa aku mencintaimu. Aku tak mungkin bisa hidup jika kau tinggalkan, mungkin aku akan bunuh diri."

"Kita kan baru saja berdekatan. Baru lima hari."

"Aku sudah mencintaimu sejak pertama kali melihatmu, tetapi waktu itu kau kan suami bibi Wulan dan juga ketua perdikan, aku tak berani memperlihatkan cintaku, bisa menjadi tertawaan dan hinaan orang."

Wisang Geni memeluk Prawesti erat dan rapat seakan hendak menelan perempuan itu dan menyatukan dengan dirinya.

---ooo0dw0ooo--- Hutan rimba di kaki gunung Bromo masih berselimut kabut tebal. Suasana sepi dan lengang. Tak ada tanda-tanda kehidupan selain kicau burung dan kokok ayam jantan. Pagi itu udara bersih, berembun dan dingin. Dari kerimbunan hutan muncul dua lelaki berlari pesat menguak kabut. Keduanya berhenti di lapangan luas yang ditumbuhi ilalang setinggi dada. Keduanya saling pandang.

"Apa benar ini tempatnya?" Lelaki jangkung berkumis lebat memecah kesunyian pagi.

"Tak salah lagi, ini Lembah Bunga, mungkin kita baru sampai di tapal batas," sahut temannya yang bertubuh pendek gemuk

Lelaki jangkung itu, menghela napas panjang, memenuhi parunya dengan udara bersih pegunungan. Ia berseru, lantang dan keras. "Kami utusan keraton Kediri, ingin bertemu Penguasa Cantik dari Lembah Bunga, Nyi Kalandara."

Suara ini mengumandang jauh, berulang-ulang dipantulkan gema. Pertanda tenaga dalam si jangkung ini cukup berbobot.

Belum juga gema suara ini lenyap, terdengar tawa gelak. Tawa ini berderai panjang, mirip ringkik kuda. Seorang lelaki berpakaian putih muncul mendekat. "Hm... kalian dari keraton Kediri, kalian pasti punya nyawa rangkap berani datang kemari. Dan kau tadi pamer tenaga dalam atau memang benar-benar kulonuwun"

Dua utusan Keraton Kediri itu menahan rasa dongkol karena tugas yang diembannya jauh lebih penting dari meladeni sikap temberang lelaki berbaju putih. "Oh sama sekali tidak. Tak ada maksud kami pamer kepandaian di Lembah Bunga yang ketuanya begitu kesohor, cantik dan berilmu tinggi. Tetapi kami juga bukan sembarang orang, kami diutus keraton Kediri, Paduka Raja Yang Muka Panji Tohjaya, pesan penting untuk ketua Lembah Bunga" Sekonyong-konyong lelaki berbaju putih menerkam dengan dua tangan terpentang. Gaya menyerang yang unik.

Menyerang ganas tetapi dengan membiarkan pertahanan sendiri terbuka Jarak yang dua tombak itu bukan rintangan baginya Desir angin tajam menerpa kedua tamu yang tak pernah menyangka ada aturan main macam itu

Serangan unik itu berubah di tengah jalan. Dari posisi tangan terbentang berganti menekuk tangan di depan dada kemudian menjotos lurus ke dada lawan. Pada saat berbarengan tangan larinya mencakar wajah lawan disusul tendangan lurus mengarah selangkangan lawan. Sasarannya adalah si jangkung.

Lelaki jangkung ini terkejut sesaat. Ia bergerak cepat.

Tanpa menggeser kuda-kudanya, ia mendoyongkan tubuh ke kiri memunahkan cakar lawan. Tangan kanannya membuat dua gerakan, menangkis pukulan dan tendangan sementara tangan kirinya balas menjotos pinggang lawan.

Semua berlangsung cepat Hanya dalam sekali tarikan nafas. Serangan lelaki jangkung jatuh di tempat kosong. Lelaki berbaju putih, meminjam tenaga tangkisan lawan, melesatke tetamu pendek gemuk Kali ini tendangan potong mengawali serangannya.

Lelaki gemuk tertawa sinis. Ia menggeser langkah, menghindar. Keadaan berbalik, kedudukan lelaki berbaju putih kini terancam Lelaki gemuk memukul keras menggunakan dua tangan. "Kena kau!" Tetapi ia tertipu. Jurus aneh lelaki baju putih tidak putus di situ saja. Tendangan potong tadi cuma pancingan.

Begitu si gemuk menghindar, si baju putih melakukan gerak putar sambil menekuk tubuh dilanjutkan dengan tendangan mengarah leher. Itu belum semua. Dari posisi setengah jungkir tangannya mengirim pukulan keras ke selangkangan lawan. Tamu gemuk itu terkejut. Serangan lawan tak mungkin dihindari kecuali melempar diri ke belakang. Dan memang ia berhasil lolos, namun tetap saja ia merasa malu. Pertarungan sudah usai. Dua tamu Kediri merasa kagum Hebat kepandaian lelaki baju putih itu. Sekali serang ia melepas enam pukulan berantai, serba cepat

Lelaki jangkung merangkapkan dua tangannya di dada. Ia memberi hormat "Hebat Jurus Lembah Bunga bukan nama kosong. Tetapi belum cukup untuk menakuti-nakuti utusan keraton Kediri."

Tampak ia mendongkol namun bicaranya terputus. Ia melihat dua perempuan baju putih berdiri tak jauh dari tempat perkelahian. Dua perempuan itu bergerak cepat, seperti terbang. Keduanya cantik. "Ah... Kampak, kamu mengejutkan tamu kita. Tetapi bagus juga, kita bisa menyaksikan kepandaian orang-orang Kediri," kata gadis yang lebih tua, usianya sekitar tigapuluhan.

Tamu jangkung memperkenalkan diri "Aku Krepa, dan kawanku ini Cucut. Kami utusan Mapatih Ki Lembu Ampai dari keraton Paduka Raja Panji Tohjaya. Paduka Mapatih menyampaikan salam persahabatan kepada ketua Lembah Bunga, Nyi Kalandara."

"Sampean dari kelompok Patlikur Sinelir?" tanya si gadis. "Tidak, kami belum beruntung dan belum cukup

kepandaian untuk bisa masuk regu Sinelir, maaf siapa gerangan nona?"

"Aku, Mawar dan adikku ini Seruni, kami murid Nyi Dumilah. Dan kawanku ini, Kampak dia tukang kebun. Kalian mau jumpa ketua perguruan kami, mari ikuti kami."

Keduanya bergerak cepat, sengaja memperlihatkan ilmu ringan tubuh. Ringan seperti kupu-kupu. Cepat seperti burung elang. Mereka bergerak pesat menerobos kerimbunan hutan. Krepa dan Cucut berupaya keras membuntuti. Tak berapa lama, mereka tiba di kebun yang luas. Tampak berbagai macam bunga tertata rapi dalam beberapa kelompok sesuai warnanya. Di tengah kebun, seorang perempuan duduk di atas batu hitam yang besar. Bajunya panjang, warna merah. Rambutnya panjang tergerai sebatas dada. Dia cantik, meski tak bisa menyembunyikan ketuaan di wajahnya.

Matanya berkilat-kilat Pandangannya tajam dan dingin. Mau tidak mau dua utusan Keraton Kediri itu bergidik. Dalam hari keduanya mengakui perempuan tua itu menebarkan rasa takut. Tiga wanita berbaju hitam berdiri di sampingnya.

Mereka murid-murid utama.

Kemara, murid pertama, berusia empatpuluhan, tidak cantik namun tampak sexy dan genit. Dumilah murid kedua usianya lebih muda sekitar tigapuluhan, tidak cantik namun punya daya tarik pada tubuhnya yang montok dengan pandangan mata genit. Manohara murid bungsu berusia duapuluh tahun, masih perawan, wajah cantik. Tubuhnya molek, lingkar pinggang kecil, bokong semok dengan payudara menonjol. "Akulah Kalandara, ketua Lembah Bunga. Cepat katakan apa pesan Lembu Ampai, atau mungkin juga ada pesan dari rajamu."

Krepa dan Cucut membungkuk hormat. Krepa merogoh sesuatu dari balik bajunya. Mendadak Kalandara mengerakkan tangannya. Angin keras dan dingin mendorong Krepa mundur dua langkah. Bumbung berisi surat dalam genggamannya melayang tersedot ke tangan Kalandara. Tentu saja Krepa dan Cucut terkejut. Pertunjukan tenaga dalam yang tinggi. Sekali sentak bumbung pecah di udara dan selembar kulit melayang. Kulit itu terhenti di udara, tergantung begitu saja, di depan Kalandara. "Dumilah, kau baca surat itu," perintahnya pada si murid.

Dumilah menggerakkan tangannya dan surat itu melayang ke tempat ia berdiri. Ini juga pertunjukan tenaga dalam yang tinggi Dua tangan Dumilah memegang lembar kulit itu dan membacanya.

"Sobatku Nyi Kalandara, terimalah hormatku, sudah sekian tahun kita tidak berjumpa, tentu kepandaianmu semakin tinggi, aku khawatir aku tak lagi bisa mengimbangimu, aku perlu tenagamu untuk sama-sama bekerja di keraton Kediri, kita akan menghadapi banyak pertarungan, di antaranya menghadapi Wisang Geni orang yang sudah membunuh kakak perguruanmu, datanglah ke istana Paduka Yang Muka Raja Panji Tohjaya, aku tunggu. Dari Mapatih Lembu Ampai."

"Ha... ha... haa... haaa... hahahaha " Suara tertawa

Kalandara menggema di seantero hutan. Krepa dan Cucut terkejut. Itu tawa khas Lembah Bunga. Konon tawa merdu itu mengandung daya magis yang merangsang birahi lawan.

Orang tak akan curiga mengira hanya tertawa biasa. Namun pada puncaknya, orangyang mendengar akan merasa darah mengalir ke otak. Saat kemudian darah merembes keluar dari telinga, hidung, mata diikuti kejang-kejang, lalu mati

Dua punggawa keraton Kediri ini sudah diwanti-wanti Mapatih Lembu Ampai saat berangkat tentang bahayanya ilmu tawa dari Lembah Bunga. Teringat itu kontan saja Krepa dan Cucut membentengi diri dengan tenaga dalam. Tetapi seperti awalnya, mendadak saja tawa itu berhenti. "Percuma mengerahkan tenagamu, Ki Sanak. Aku memang tak mau melukai kalian. Jika mau, kalian tak akan mampu bertahan meskipun kalian siap dengan tenaga dalam."

Kalandara tersenyum "Kalian akan diantar keluar dari hutan ini, tanpa diantar kalian akan tersesat. Katakan kepada Lembu Ampai, aku setuju bergabung dan aku akan datang menjenguknya dalam waktu dekat Dumilah dan Manohara, antar mereka keluar."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar