Tunggul Bintoro Jilid 16

 
JILID XVI

“JUSTRU BEGITU, tiba-tiba resi Giri Pragoto berkata kepadaku : ‘Mintaraga kau harus mengalahkan setengah jurus kepada kami’.

“Mendengar perkataan ini aku menjadi heran sekali. Apakah arti perkataan resi ini?” Tanyaku menegaskan.

Resi Giri Pragoto menunjuk kearah resi Jlontrot Boyo. Dan barulah menjawab :

“Dia baru saja terhajar oleh Arya Panuju, tenaganya belum pulih kembali. Karena itu untuk kita bertempur, kau harus memberi ketika kepada kami untuk mengatur barisan kuning hingga sempurna, setelah itu barulah kau menyerang. Setujukah kau?”

Memang sewaktu bertempur dengan Arya Panuju barisannya menjadi kacau balau, pasti ini merupakan sebuah kelemahan dan dilain pihak mereka tentu masih teringat akan pertempurannya didaerah Karang Bolong. Hingga dengan demikian maka mau tak mau mereka pasti masih merasa takut kepadaku. Aku segera memandang kearah resi Jlontrot Boyo. Kudapatkan wajahnya sangat tenang dan terang, inilah artinya kalau orang tua itu telah mendapatkan kembali tenaganya. Dimana aku tak takut barang sedikitpun juga untuk kekebalanannya ini. Biarpun mereka kuat menahan pukulan. Karena itulah aku tak keberatan untuk mengabulkan permintaannya. Karena itulah aku menganggukkan kepalaku.

Melihat anggukanku ini resi Giri Pragoto menjadi girang sekali, segera saja ia memberi pertanda, maka sebentar saja, mereka semua telah memperbaiki keadaannya. Memang mereka tak akan mendapat kesulitan untuk mengatur barisannya kembali.....  

Tiba-tiba saja anak muda itu menghela napas, kemudian ia tertawa

menyeringai.

“Pada waktu itu aku telah mendapatkan sebuah pikiran untuk memukul hancur barisan sembilan resi ini.” Serunya. “Sedikitpun aku tak memikirkan kalau dayaku ini adalah sebuah daya untuk keruntuhanku. Coba kalau tak mendadak eyang guru datang aku pasti telah roboh bagaikan Arya Panuju.....

Kembang Arum, bahkan semuanya menjadi heran.

“Bagaimanakah dayamu itu sebenarnya kakang?” Tanya Kembang Arum dengan terheran-heran.

“Aku telah meyakinkan cara Arya Panuju bertempur.” Jawab Mintaraga dengan tersenyum. “Aku telah dapat melihat pula mana bagian-bagian yang baik dan buruk. Kekalahannya ini disebabkan karena orang Banten ini kurang mempunyai kesabaran. Dia tak melanjutkan pembelaan dirinya. Belum pada saatnya dia telah merobohkan resi Jlontrot Boyo, hingga dengan demikian ia lalu kelihatan pula kerugiannya, hingga karena itu pula ia dapat dikalahkan dengan cara yang sangat menyedihkan sekali. Tentang robohnya resi Giri Bragoto tak banyak berarti bagi barisan sembilan orang resi sakti ini. Semua resi ini adalah orang-orang yang memiliki kekebalan. Kupikir kalau kurang sabar maka ini akan merusak dayanya sendiri. Karena itu aku mendapatkan keputusan kalau harus melawan mereka itu dengan mempergunakan keuletan hingga dengan demikian akan dapat menang waktu.”

“Dayamu itu tak buruk kakang.” Seru Candra Wulan. “Akan tetapi mengapa kau katakan kalau dayamu ini tak berjalan sama sekali?”

“Bukankah tadi aku telah mengatakannya?” Jawab Mintaraga sambil menatap Candra Wulan. “Kalau daya itu dipakai oleh Arya Panuju maka barisan sembilan resi itu akan dapat dipukul pecah, jika aku yang mempergunakan, lalu menjadi kebalikannya. Pertamanya akupun tak mengerti akan hal ini, akan tetapi setelah eyang guru yang menjelaskan baru aku sadar. Sederhana saja hal itu. Bicara tentang tenaga dalam, aku kalah mahir dalam latihan oleh sembilan orang resi-resi itu, perkelahian mereka itu makin lama semakin ulet, sebaliknya dengan aku semakin lama menjadi semakin kehabisan tenaga. Sebenarnya tambahan tenaga ada akan tetapi aku tak dapat menyusul mereka........

“Habis dengan cara apakah kau pergunakan untuk memukul pecah barisan mereka itu?” Tanya Kembang Arum.

“Kau sabarlah, dan dengarkan aku akan bercerita dengan perlahan- lahan.” Seru Mintaraga dengan meminta. “Begitu mereka mengatur dengan rapi barisannya, resi Giri Pragoto terus tertawa dengan lebar. Teranglah dia percaya penuh kalau pihaknya akan menang.

“Mintaraga marilah kita mulai.” Tantangnya. Malahan ia lalu menyerangku. Pelan sekali gerakannya.  

“Coba kita bertempur satu lawan satu, tentu sikapku akan lain. Akan

tetepi sekarang aku menghadapi mereka dengan serempak, aku tak mau roboh seperti halnya Arya Panuju. Maka itu akupun berlaku tenang. Selanjutnya jurus demi jurus kulayani resi Giri Pragoto. Aku menanti untuk menurunkan serangan yang terakhir. Selama itu aku selalu memasang mata dan kuping, untuk melihat dan mendengar. Aku harus selalu memperhatikan gerakan-gerakan resi Giri Pragoto, selain itu harus pula aku waspada untuk melihat gerakan delapan orang resi lainnya yang selalu mengitariku.

Mungkinkah resi Giri Pragoto dapat menerka siasatku, dia juga berlaku sangat tenang, serangan-serangannya dilakukan dengan sabar. Hanya kawan-kawannya yang terus menerus mengurung dengan gerakannya yang cepat itu. Semua mereka itu membungkam, tak seorangpun yang mau mencuri menyerangku. Pada mulanya hal ini benar-benar mengherankan hatiku. Apakah artinya sikap mereka itu??? Namun aku tetap berlaku sabar dan waspada.

Setengah jam sudah kita bertempur, namun belum ada seorangpun diantara kita yang telah melakukan serangan yang membahayakan. Kemudian aku berusaha mencari tahu seberapa kuat tenaga dari resi Giri Pragoto. Dan kudapatkan kalau tenaganya telah berkurang. Melihat hal ini hatiku benar-benar menjadi girang sekali. Kupikir saat kemundurannya inilah saat yang baik bagi penyeranganku. Karena itu aku lalu mulai menggerakkan tenaga dalamku. Justru tepat pada waktu itu pula resi Giri Pragoto lalu menyerukan kepada kawan-kawannya :

“Mulai berubah.”

Lalu saja resi Giri Pragoto melompat dan ganti menduduki tempat resi Jlontrot Boyo. Maka sekarang resi Jlontrot Boyolah yang menghadapiku.

Ketika itu aku benar-benar tak mengerti akan arti sikap mereka yang tiba-tiba saja merubah sikapnya itu. Untukku, siapapun juga yang berada dihadapanku, kupandang sama saja. Dari itulah aku melayani resi nomor dua dari para resi dari Indrakilo. Kita bertempur jurus demi jurus hingga mencapai enam puluhan jurus, mendadak saja resi Jlontrot Boyo berseru :

“Berubah.”

Segera saja ia mengundurkan diri dan tempatnya terus digantikan oleh resi Putut Tejowantah, orang ketiga dari perguruan Indrakilo ini. Adalah semenjak itu setiap kali mereka bertukar kedudukan, hingga satu demi satu aku melayani mereka. Mereka bertukaran mengambil urutan kekuatan mereka dan dari yang tertua sampai yang termuda. Maka ketika aku bertempur dengan resi Kendil Wesi orang kesembilan itu aku telah melakukan pertempuran lebih dari seribu jurus. Baru sekaranglah aku mulai merasa letih, baru sekarang pula aku insyaf bahwa mereka itu telah memperdayakanku. Jadinya salah dugaanku mengenai mereka itu.  

“Seterusnya aku berkelahi dengan tetap tenang. Ingin aku menantikan

hingga merekapun menjadi lelah, supaya aku dapat memberi hajaran kepada mereka. Kembali aku menghadapi sebuah kesudahan yang kebalikannya. Sewaktu aku menjadi letih, sebaliknya mereka itu makin kelihatan gagah. Mengapa jadi begitu???”

“Aku tahu!” Seru Candra Wulan.

“Bagaimana?” Tanya Mintaraga dengan tertawa lebar.

“Cara berkelahinya sekalian paman-pamanku itu yang main berubah- ubah.” Jawab gadis itu. “Itu adalah cara berkelahi yang saling berganti- gantian, cara bergantian bagaikan roda kereta. Mereka itu melayani kau satu demi satu, kau sebaliknya sendirian, dan tak henti-hentinya menggerakkan tangan dan kaki bahkan tubuhmu untuk melawan mereka. Mereka itu dapat melepaskan lelah, sedangkan kau tidak. Mereka berlari-lari diluar gelanggang, akan tetapi mereka mengurung. Cara mereka berlari itu mirip dengan cara beristirahat. Bukankah keteranganku ini benar semuanya kakang?”

Mintaraga menganggukkan kepalanya.

“Betul... betul, memang begitulah kira-kira.” Jawabnya. “Akupun telah menjadi korban dari keragu-raguanku. Disaat aku mengerti kalau sedang terancam bahaya, timbullah niatku untuk berlaku kejam dan telengas, akan tetapi setiap kali niatku timbul selalu kupadamkan sendiri, aku benar-benar tak tega untuk menurunkan tangan jahat kepadanya...

Anak muda ini menghentikan ceritanya sebentar, dan kelihatanlah kalau ia sedang menghela napas.

“Aku menjadi serba sulit. Bahkan sulit sekali.” Serunya yang terus meneruskan ceritanya. “Menurunkan tangan jahat tak bisa merobohkan mereka yang berkelahi bergantianpun tak dapat. Inilah yang dikatakan maju ataupun mundur tak dapat. Bukankah itu berarti kalau aku telah ditakdirkan untuk kalah? Dengan begitu kita jadi bertempur terus. Lagi-lagi kira-kira enam ratus jurus telah dilewatkan. Dengan lewatnya sang waktu aku menjadi letih sekali. Sekarang yang mengambil kedudukan menyerang dan berdiri didepanku, ialah Giri Pragono. Dia hanya berdiri membungkam, hanya kadang-kadang saja tangannya menyerang kearahku. Dengan lapang resi-resi lainnya tetap mengurungku. Berkisar berputaran mata mereka mengerling kepadaku. Ketika aku telah melayani tiga ratus jurus lagi maka kepalaku menjadi pusing, agaknya resi Giri Pragoto girang ketika melihat gerakanku ini mulai tak teratur. Mungkin mereka itu menganggap ketikanya telah tiba mereka tak berayal pula. Lalu dia memperdengarkan seruannya tiga kali berturut-turut, lalu aku merasakan kalau tenaga mereka itu bertambah. Diseputarku, berputarnya delapan resi lainnya menjadi semakin cepat. Itu waktu aku merasakan benar-benar betapa hebatnya barisan sembilan orang resi sakti dari Indrakilo itu.  

Kembali Mintaraga berhenti sejenak.

“Aku menjadi kaget dan khawatir sekali, namun sudahlah tentu aku berusaha menenangkan hatiku sendiri, menetapkan hati.” Ia mulai melanjutkan lagi. “Aku sangat menyesal karena aku telah terlambat. Sebenarnya tak layak aku melayani mereka, untuk mengulur waktu. Sekarang ini berarti aku takabur apa bila aku menyebut tidak telengas lagi. Yang benar-benar ialah para resi itu akan menurunkan tangan jahat. Pukulan Gundala Kurda dari resi Giri Pragoto benar-benar hendak meremukkan jantungku. Dia menyerang dengan berulang-ulang. Demikianpun dengan delapan orang adik seperguruannya. Walaupun kadang-kadang mulai menyerangku... Karena itu kesembilan orang resi itu terus merupakan sembilan ekor kupu-kupu yang datang pergi mengelilingi bunga. Kepalaku pening dan mataku berkunang-kunang, gerakanku benar-benar kacau.

“Huahaaa... Huahaa.... Huahaaa.... Mintaraga.” Seru resi Giri Pragoto sambil tertawa lebar. “Kau lihat bagaimanakah barisan kami?”

Mendengar itu, mana berani aku menjawab pertanyaan ini, yang sekaligus merupakan ejekan pula bagiku.

“Hai bocah.” Katanya pula. “Kau telah berkata besar dan sombong, hendak memecahkan barisan kami, akan tetapi sekarang apakah kau masih bisa hidup?” Tanyanya menggoda sambil tangannya terus menerus menyerang.

Aku hendak menangkis dengan tangan kananku atau aku tiba-tiba merasakan kalau ada serangan dari belakang. Itulah resi Kendil Wesi yang menyerangku. Aku hendak menangkis dan sekalian akan merobohkan resi Kendil Wesi itu, tetapi mendadak aku teringat akan nasib Arya Panuju orang Banten itu, ia celaka karena kurang kesabarannya. Hal itupun karena ia merobohkan seorang lawannya. Karena itulah aku lalu membatalkan maksudku untuk menangkis dan merobohkan serangan resi Kendil Wesi. Dengan menarik kedua belah tanganku dengan bersama terpaksa aku menyingkir dengan melompat dan berjumpalitan diatas udara dengan gerakan burung merak memperagakan diri. Dengan cara inilah aku dapat menyelamatkan diri dari kedua serangan itu. Akan tetapi begitu kedua kakiku menginjak tanah kembali, begitu mereka telah mengurungku kembali. Sebab aku tak dapat melompat keluar gelanggang. Aku menghela napas saking menyesal. Kupikir apakah benar kalau Mintaraga harus roboh dalam barisannya? Apakah benar putra Darmakusuma rela bersumpah kalau selama hidupnya akan mencuci tangan dan tak akan mencampuri dalam hal pencarian TUNGGUL TIRTO AYU yang menjadi lambang dari kejayaan kerajaan Demak Bintoro itu? Memang waktu itu dapat dikatakan kalau seluruh badanku bermandikan peluh. Aku lalu berpikir bolehlah aku mampus dengan kehabisan tenaga akan tetapi tak boleh aku kena dipukul hingga roboh. Biarlah aku mati dengan wajar Dengan runtuh maka aku tak  

akan bakal dapat melihat Tunggul Tirto Ayu lagi.... Setelah berpikir

demikian, mendadak saja semangatku bangun kembali... bahkan berkobar- kobar. Aku lalu menggertakkan gigi, dengan tenaga bertambah aku lalu melawan keras lawan keras. Beberapa kali aku dapat membebaskan serangan-serangan mereka yang membahayakan nyawaku, namun tetap saja aku tak dapat memerdekakan diriku. Sebabnya ialah aku sejak tadi tak mau menurunkan tangan jahat. Selain itu memang harus diakui kalau barisan sembilan orang resi sakti dari Indrakilo ini memang sebuah barisan yang hebat dan jarang sekali tandingannya. Orang sakti manapun juga tentu tak akan sanggup menghadapinya... orang itu tentu akan menantikan saja saat kematiannya... Coba pikir, siapakah yang dapat memenangkan sebuah pertempuran kalau ia tak berani berlaku ganas untuk merobohkan lawannya?”

Candra Wulan merasakan tegangnya si anak muda yang sedang bercerita itu, walaupun mereka tahu kalau akhirnya toh Mintaraga tak mengalami kepatahan suatu apa.

“Kemudian bagaimana kakang?” Tanya Candra Wulan yang sejak tadi merasakan ketegangan si Mintaraga yang sedang bercerita. Kemudian kau toh tak apa-apa bukan kakang?”

Mintaraga tertawa ketika mendengar pertanyaan Candra Wulan si anak angkat dari ayahnya ini.

“Tentu saja tidak adi.” Jawabnya. “Kalau tidak demikian, maka akan sangat mengherankan sekali kalau sekarang aku dapat berkumpul dan bercerita denganmu.”

Pemuda ini lalu melepaskan lelahnya dengan merebahkan dirinya keatas sebuah rumput yang tebal. Matanya memandang kearah langit dan sekalian bintang-bintangnya.

Keadaan menjadi sunyi selama pemuda itu berdiam diri dan menghentikan ceritanya. Kecuali Candra Wulan yang barusan saja bertanya, semuanya yang lain tetap membungkam mulut.

“Ketika itu makin lama permainan silatku makin kalut, demikian juga pikiranku makin kacau. Karena kepala pusing dan mata berkunang-kunang.” Mintaraga lalu meneruskan ceritanya. “Kecuali serangan-serangannya resi Giri Pragotopun saban-saban memperdengarkan tawa dinginnya.

Dia telah mengejek kita dari perguruan Lawu, sambil tertawa lebar orang pertama dari Indrakilo ini lalu berkata :

“Barisan sembilan resi sakti kami ini adalah barisan yang paling istimewa sendiri didunia persilatan. Huahaa.... Huahaa... Huahaaa bocah

cilik yang masih ingusan, biarpun eyang gurumu sendiri yang datang kemari, aku sangat khawatir kalau si pendeta Argo Bayu tidak dapat meloloskan diri dari barisan kami. Huahaaa...... Huahaaaaa... Huahaa ”  

Baru saja resi Giri Pragoto menutup mulutnya, mendadak saja terdengar

sebuah tawa riang dan kemudian disusul dengan kata-katanya :

“Giri Pragoto mungkin dengan perkataanmu yang baru saja kau ucapkan itu aku akan mengatakan kalau kau ini seorang yang tak tahu malu.”

Bukan main leganya hatiku ketika mendengar suara itu. Inilah sebuah suara yang kukenal dengan baik. Ternyata eyang guru telah datang dengan secara tiba-tiba hal ini memang kebetulan sekali. Dalam saat serepot itu dan cemas, aku masih mencari kesempatan akan melirik dari tempat mana sumber suara eyang guru duduk dibawah sebuah pohon....

Mendengar ini Candra Wulan lalu berjingkrak bangun.

“Benar... benarkah eyang guru datang?” Tanya dengan serentak. “Sungguh bagus... dan bagus sekali. !”

Mintaraga tertawa.

“Memang eyang guru telah datang hanya aku tak tahu kapan eyang guru datang ketempat itu.” Jawab Mintaraga. “Aku terkejut bercampur girang. Karena itu aku menjadi bersemangat sekali, hendak aku menerjang untuk dapatnya menerjang keluar dari kurungan. Justru diwaktu hatiku tegang eyang guru lalu berseru :

“Mintaraga jangan kau terlalu sibuk. Kau lawanlah mereka itu, janganlah kau membuat malu padepokan kita. Angkatlah tinggi-tinggi nama padepokan Lawu dan nama besar gurumu.”

Tentu saja aku menuruti perintah eyang guru ini. Dengan adanya eyang guru disana maka aku menjadi mantap, sedikitpun tak ada yang kutakutkan. Maka juga aku lalu mulai dengan penyeranganku yang berulang-ulang.

Kali ini aku menjadi bersemangat sekali, dan dapatlah kekeluarkan jurus- jurus kami yang berbahaya. Sewaktu itu tiba-tiba kupingku mendengar sebuah tertawa yang pelan dari eyang guru, lalu katanya kepada Resi Giri Pragoto.

“Giri Pragoto, cukup kau permainkan saja cucu muridku ini, akan tetapi mengapa kau justru menghinaku? Huahaaa... Huahaaa... Huahaaa baru saja

kau berkata kalau aku tak sanggup menerjang keluar barisanmu, sekarang baiklah aku hendak mencoba-coba.”

Giri Pragoto benar-benar menjadi terkejut sekali ketika mendengar suara dan kedatangan eyang guru yang secara tiba-tiba ini. Hingga dengan demikian maka wajahnya berubah menjadi pucat. Akan tetapi ia sangat percaya kepada barisannya itu. Para resi itu tak menjadi ciut keberaniannya. Bahkan lalu menegakkan kepalanya dan tertawa lebar.

“Bagus... bagus sekali. Argo Bayu kami akan menyambutmu dengan perasaan penuh kelegaan.”

Mendengar ini eyang guru lalu tersenyum. Sebenarnya eyang guru telah menyingsingkan lengan bajunya, akan tetapi ketika beliau hendak melompat  

maju, mendadak saja terus menundukkan kepala. Rupa-rupanya beliau lalu

mengingat sesuatu hingga penyerangannya ini dibatalkan. Namun tak lama kemudian terdengarlah suara tawanya :

“Giri Pragoto sebenarnya telah lama aku si pendeta tua tidak mencampuri lagi segala urusan dunia persilatan, maka malam inipun aku tak dapat melanggar kebiasaan ini. Tak dapat aku melayani kalian.”

Resi Giri Pragoto rupa-rupanya menyangka kalau eyang guru menjadi takut dia lalu tertawa sambil berkata :

“Begitupun baik! Biar kau lihat saja aku akan merobohkan cucu muridmu.”

Eyang guru hanya tertawa.

“Itu tak semudah membentang mulutmu.” Seru eyang guru yang masih tetap dengan tersenyum. “Resi Giri Pragoto, barisanmu ini memang bagus, bahkan boleh juga kau katakan istimewa, akan tetapi ketahuilah kalau semua barang itu tentu ada cacatnya, begitupun dengan barisan Sembilan Resi Indrakilo ini...”

Mendengar perkataan eyang guru ini aku menjadi sangat heran, hingga tanpa sesadarku aku lalu berpaling dan bertanya kepada eyang guru :

“Bagaimanakah eyang?”

Eyang guru enak-enak melintir-lintir kumisnya, dia kelihatan tertawa. Namun tak lama kemudian terdengarlah jawabannya yang boleh dikatakan setengah melantur :

“Entah, Giri Pragoto memperbolehkan aku mengatakannya atau tidak.”

Mendengar jawaban eyang guru kepadaku ini, resi Giri Pragoto yang telah terlalu yakin dan percaya penuh dengan barisannya ini lalu menghina dengan memperdengarkan suara dari hidungnya, ia lalu memberi tanda kepada saudara-saudaranya untuk mendesak.

“Silahkan kau sebutkan Argo Bayu.” Serunya dengan sinis.

Mendengar ini eyang guru hanya mengganda sambil tertawa. Dan benarlah eyang guru lalu menyebutkan kelemahannya :

“Menarik sehelai rambut maka itu artinya menggetarkan seluruh badan. Dari antara sembilan, satu roboh, lalu seluruh barisan runtuh karenanya. Mintaraga ingatkah kau dengan pukulan Braholo Meta?”

Pertanyaan eyang guru ini benar-benar membuatku menjadi terkejut, dengan segera aku sadar. Maka diam-diam aku menegur diriku sendiri mengapa berbuat setolol ini. Coba aku mempergunakan ilmu pukulan Braholo Meta yang kehebatannya mengedap-edapi itu maka aku yakin kalau siang-siang barisan mereka itu telah dapat kuruntuhkan. Hingga dengan demikian tak usah aku berkelahi setengah harian ini. Bukankah mereka bersembilan itu hanya mengandalkan kekebalannya saja? Apakah artinya kekebalan mereka itu untuk menghadapi ilmu pukulan Braholo Meta ciptaan eyang guru kita itu? Sampai disitu aku tak berayal lagi, pula tak menanti-  

nantikan waktu lagi. Segera saja setelah kesempatan terbuka aku menyerang

bagian pusat. Untuk serangan ini tiba-tiba saja Bondowoso orang keempat dari sembilan resi Indrakilo ini melayangkan tangannya untuk menangkis. Bersama dengan itu Giri Pragoto dan Rukmoroto menyerangku dari kanan kiri, sedangkan rombongan Jlontrot Boyo terus menyerang dari belakang mereka ingin membokong. Demikianlah empat lawan dari empat penjuru, menyerang dengan bersama-sama kepadaku. Kalau tadinya aku berdiri tegak, tiba-tiba akupun lalu mengubah jurusan. Sambil memutar tubuh, dengan tangan kiri aku melindungi diriku, dengan tangan kiri aku melindungi diriku, dengan tangan kanan aku menyerang Bondowoso, jari tanganku mengarah kedada. Tepat seranganku ini mengenai sasarannya. Tujuh resi-resi itu menjadi terkejut sekali, dengan serentak mereka lalu berseru, dengan bersama pula mereka lalu meloncat kebelakang. Dengan gerakan ini berubah pula kurungan mereka, dan karena mereka kekurangan dua pembantu, dengan sendirinya barisan mereka itu telah tak menjadi barisan lagi. Tentu saja aku tak mau memberi kesempatan kepada mereka untuk memperbaiki barisannya lagi. Aku lalu melanjutkan serangan- seranganku. Dengan beruntun aku lalu merobohkan Mahesthi dan Blendrong, dengan begitu barisan mereka menjadi bobol diempat bagian.

Setelah empat bobol, maka yang mengeroyokku tinggal lima orang. Hingga kalau tadinya barisan itu bernama sembilan resi sakti kini tinggalan lima resi ompong.... dimana lima jurusan ini bukan lagi merupakan sebuah barisan, sudah sewajarnyalah kalau segala macam kucing, atau anjing dapat menyerbu sekarang.

Mendengar ini Candra Wulan dan semuanya lalu tertawa dengan terbahak-bahak.

“Empat orang resi yang roboh itu.” Seru Mintaraga yang terus melanjutkan ceritanya. “telah mengempos semangat mereka, untuk mengerahkan tenaga, untuk menggerakkan tubuh, supaya bisa bangun berdiri. Mereka dapat bergerak, mereka bisa merayap, akan tetapi untuk bangkit bangun mereka tak mampu, beberapa kali mereka mencoba akan tetapi hasilnya tetap sia-sia saja. Maka habislah kekuatan sembilan barisan resi sakti dari Indrakilo ini. Sebenarnya aku berniat untuk merobohkan lima resi lainnya, akan tetapi segera aku mendengar suara eyang guru yang berkata sambil tertawa :

“Mintaraga sudah cukup!”

Akupun tertawa, apa lagi setelah menyaksikan kalau kelima orang resi lainnya itu masih berlari-lari mengitariku. Dengan merdeka sekali dengan tenang dan bebas sekali aku dapat keluar dari dalam kurungan mereka. Seorangpun tak ada yang dapat mencegah kepergianku ini.

Sekarang ini dari lima orang resi itu Putut Tejowantahlah yang menjadi ketuanya. Dia sudah segera memperdengarkan suaranya, memetintahkan  

supaya sisa-sisa barisannya ini ditarik pulang kembali. Dengan wajah merah

padam karena mendongkol, malu dan menyesal, dia lalu menolong Giri Pragoto dan lain-lainnya untuk bangun. Mereka itu menutup mata mereka masing-masing. Dengan terkena pukulan Braholo Meta ini bukan hanya kekebalan mereka yang tergempur, akan tetapi merekapun menderita luka dalam. Diantara mereka itu hanya resi Giri Pragotolah yang mempunyai tenaga dalam paling hebat, setelah mengerahkan tenaganya dapatlah orang pertama dari Indrakilo ini duduk. Namun aku tak peduli kepada mereka itu, aku lebih mengutamakan menghadap eyang guru untuk memberi hormat. Eyang guru bertanya mengapa dan apa sebab-sebabnya aku dapat bentrok dengan sembilan orang sakti dari Indrakilo ini. Dan teranglah aku menjelaskan dengan sejelas-jelasnya. Setelah itu untuk penyelesaian terlebih jauh aku minta pertimbangan-pertimbangan dari eyang guru.

Akan tetapi ternyata eyang guru tak bergembira ataupun mempunyai kesenangan untuk mengurusi Tunggul Tirto Ayu ini. Hal ini tampak jelas dengan perkataannya.

“Mintaraga untuk hal ini lebih baik kau bekerjalah sendiri, apa yang kau kira baik itu lakukanlah. Aku tak punya waktu yang luang untuk ikut memikirkan hal itu. Sekarang aku harus pergi ke Jipang Panolan.”

Aku mengerti maksud eyang guru itu, eyang guru telah mendengar kalau kakang Tunggorono telah ditawan oleh musuh dan rupa-rupanya eyang guru merasa kasihan sekali kepada kakang Tunggorono. Eyang gurupun menjadi bersedih hati setelah mengetahui kematian guru dari kakang Tunggorono, atau kematian ayahku. Eyang guru berniat menolong kakang Tunggorono dan akan mendidiknya, supaya kelak kakang Tunggorono akan menjadi seorang sakti yang pilih tanding. Untuk itu eyang guru tak segan-segan melanggar pantangannya sendiri untuk pergi ke Jipang. Banyak yang eyang guru bicarakan denganku, dan ketika beliau membicarakan tentang ayahku, air matanya terus berlinang-linang. Diwaktu berpisah eyang guru berpesan kepadaku agar aku tetap dan selalu menjaga keselamatan anak angkat ayahku yaitu adi Candra Wulan yang telah kuanggap sebagai adikku sendiri ini.”

Mendengar ini Candra Wulan menjadi terharu.

“Kakang Tunggorono telah sangat menderita, kalau sekarang dia akan ditolong dan akan mendapat kebahagiaan itu adalah sewajarnya.” katanya kemudian. “Pantas kalau ia akan dididik oleh eyang Argo Bayu.”

“Eyang guru berkata kalau hendak pergi, lalu dengan sekejap saja beliau telah tak tampak lagi bayangannya.” Seru Mintaraga menambahkan. “Dengan demikian maka aku tinggal seorang diri bersama sembilan orang resi sakti ini.”  

“Kakang Mintaraga, lalu bagaimanakah dengan sembilan orang resi dari

Indrakilo itu?” Tanya Kembang Arum yang semenjak tadi hanya berdiam diri saja.

Mintaraga lalu merogohkan tangannya kedalam saku, dengan cepat ia lalu menarik keluar tangannya dan mengibaskan.

“Akhirnya aku berhasil mendapatkan barang ini.” Katanya dengan tertawa.

Itulah surat dari kulit kambing, hanya kami menjadi heran mengapa ia hanya mendapatkan selembar saja. Mereka lalu meminta keterangannya.

Mintaraga tertawa lalu memandang kearah Candra Wulan.

“Adi Candra Wulan.” Katanya. “Aku akan menghina paman-paman gurumu, akan tetapi apakah kau tak akan marah kepadaku?”

“Seseorang akan dapat bertindak dengan menurutkan kehendak hatinya sendiri-sendiri, akan tetapi keadilan berada diatas segala-galanya.” Jawab gadis itu. “Mereka itu bertindak keliru, mengapa aku harus marah kepadamu?”

Mintaraga tersenyum ketika mendengar jawaban dari adik angkatnya ini, sedangkan Wirapati mengawasi kekasihnya. Ia menjadi heran dan kagum. Baru beberapa bulan ia tak melihat Candra Wulan, sekarang kekasihnya ini telah maju dengan pesat kepandaiannya, dan orangnyapun bertambah kian cantik. Dengan sendirinya ia sebagai kekasihnya terus menjadi girang sekali.

“Baik.” Jawab Mintaraga kepada si gadis itu. “Semua orang paman- pamanmu itu adalah orang-orang yang tak mempunyai kepercayaan... hanya.” Ia lekas menambahkan. “Mereka itu terus menerus memusuhi orang-orang Jipang Panolan, dengan demikian maka mereka itu masih terhitung orang yang mencinta negara dan bangsanya...”

“Kakang Mintaraga, coba kau jelaskan mengapa mereka itu disebut orang-orang yang tak mempunyai kepercayaan.” Tanya Candra Wulan. “Kau katakanlah tak nanti aku marah kepadamu.”

Mintaraga menyimpan terlebih dahulu kertas kulit kambingnya. “Beginilah duduknya persoalan itu.” Jawabnya. “Ketika itu aku melihat

kesembilan orang resi itu memandang kearahku. Putut Tejowantah hendak menolong saudara-saudaranya akan tetapi mana mungkin dia mampu? Untuk itu tenaga dalamnya tak cukup. Maka terpaksalah akhirnya ia minta tolong kepadaku. Aku tertawa diwaktu menjawab pertanyaan mereka :

“Dapat aku menolong saudara-saudaramu itu akan tetapi diantara aku dan resi Giri Pragoto pada mulanya terdapat sebuah perjanjian. Kau suruhlah resi Giri Pragoto itu mengeluarkan dua helai kulit kambing itu. Setelah itu barulah kita bicara.”

Rupa-rupanya resi Giri Pragoto tak senang dengan perkataan kami ini, segera ia berteriak dengan suaranya yang parau :  

“Bocah yang baik, kau bebaskan dahulu kami, tak usah kau khawatir

kepada kami, sebab tak nanti para resi dari Indrakilo mau menipumu. Kami adalah bangsa lelaki tulen dan selalu memegang teguh akan perjanjian.”

Kalau orang pertama dari Indrakilo ini telah berkata demikian mana berani aku tak mempercayainya? Lagi pula mereka itu adalah adik-adik seperguruan dari paman Surokoco. Karena itu aku segera menghampiri mereka, dengan sedikit membungkukkan badanku maka aku lalu membebaskan totokan mereka, totokan dari perguruan Lawu, apa lagi totokan yang berdasarkan ilmu pukulan Braholo Meta itu tak akan dapat dibebaskan oleh orang lain, kecuali orang dari perguruan kita sendiri. Untuk menolong mereka itu aku tak perlu banyak mengeluarkan tenaga dan waktu, pertama-tama aku menolong resi Giri Pragoto, setelah bebas resi Giri Pragoto lalu bangkit berdiri dengan perlahan-lahan. Dari sakunya ia mengeluarkan selembar peta, sambil mengangsurkan kepadaku, ia lalu berkata :

“Mintaraga, kau ambilah ini. Kuberikan kepadamu untuk hadiah atas pertolonganmu dan kemenanganmu ini.”

Aku menjadi heran setelah melihat kalau mereka itu hanya memberikan sehelai kepadaku.

“Mana yang selembar lagi?” Tanyaku dengan tak mengerti. Resi Giri Pragnto hanya tertawa saja.

“Sebelum kita bertanding apakah perjanjian yang telah kita buat bersama itu?” Tanyanya. “Kau jelaskanlah.”

“Kalau aku menang maka kau akan menyerahkan peta itu kepadaku.” Jawabku dengan cepat. “Dan kalau aku yang kalah maka untuk selama- lamanya aku tak akan mencampuri urusan Tunggul Tirto Ayu lagi. Benar bukan perkataanku ini?”

Kembali resi Giri Pragoto tertawa dengan lebar.

“Cocok... cocok dan perkataanmu ini memang benar semuanya.” katanya. “Akan tetapi apakah pihak kami pernah mengatakan kalau kami kalah akan menyerahkan dua lembar?”

“Memang terang untuk hal itu tak dijelaskan. Aku tahu sifat tak dapat dipercaya mereka itu. Belum lama berselang mereka itupun pernah dipermainkan oleh Arya Panuju, sekarang mereka menurut contoh, mereka mempermainkan aku. Akan tetapi aku tak mau banyak rewel lagi. Aku juga mengerti, umpama aku mendapatkan dua helai itu, tak dapat aku langsung mencari Tunggul Tirto Ayu yang asli. Begitu dengan secara laki-laki aku lalu menerima sehelai kertas kulit kambing itu. Hanya aku telah menegaskan kepada mereka :

“Baiklah! akan datang saat dari pertempuran yang kedua kalinya untuk menentukan. Sampai itu waktu, apa bila kau kalah pula, kau tentu tak akan dapat berkata apa-apa lagi.”  

“Itulah pasti angger.” Jawab resi Giri Pragoto dengan keras. “Sekarang

kami hendak pulang ke Indrakilo. Tiga bulan lagi kami tentu akan mencari Arya Panuju ke Banten. Waktu itu tentu akan terjadi sebuah pertunjukan yang hebat yaitu naga bertarung harimau kerah dan gajah bertempur. Siapa yang bakal menang sekarang tak dapat dipastikan terlebih dahulu.” Setelah berkata demikian ia lalu mengibaskan tangannya untuk mengajak adik-adik seperguruannya berkelebat keselatan. Dari lagu suaranya itu aku merasa pasti kalau sepulangnya mereka kegunungnya itu tentu akan berlatih dengan bersungguh-sungguh, mungkin mereka akan menciptakan sesuatu lagi.”

Candra Wulan kelihatan masygul.

“Kalau begitu.” Katanya. “Kali ini kita pergi ke Banten selain untuk melayani Arya Panuju juga akan melayani mereka bersembilan. kakang

Mintaraga, bagaimana kau lihat adalah pengharapan untuk Kita?” Orang yang ditanya itu tertawa.

“Jika aku berbicara tentang diriku sendiri, sebenarnya aku tak dapat memastikan.” Jawabnya. “Akan tetapi setelah aku berkumpul dengan kalian yang sanggup dan dapat membantuku, walaupun memasuki gua harimau dan sarang naga aku tentu tak akan mengenal takut.”

Kata-kata itu teranglah sebuah perkataan untuk mengangkat para kawannya, hingga mau tak mau kedua orang gadis itu menjadi tersenyum.

“Ki Mintaraga.” Seru Baskara, yang sejak tadi hanya berdiam diri saja. “tentang diriku, aku mengaku untuk maju berkelahi aku benar-benar tak mempunyai kemampuan, akan tetapi kalau harus mencuri ayam atau menyolong babi.... huahaaa... huahaa... bukannya aku meniup-niup diriku sendiri, peta apa saja pasti akan dapat kuperoleh.”

Candra Wulan tertawa.

“Itulah bagus.” Serunya. “Memang asal kau meraba kesakunya Arya Panuju, urusan bagaimanapun besarnya tentu akan menjadi beres. Dengan demikian maka kita tak usah mengadu mati-matian. ”

Kata-kata Candra Wulan ini benar-benar membuat mereka semua menjadi tertawa lebar. Baskara atau Hasto Piguna ini bukannya menjadi malu atau likat, ia malahan ikut tertawa dengan keras.

Angin halus meniup dengan sepoi-sepoi basah, rembulanpun menyinarkan sinarnya yang penuh damai dan permai. Waktu itu cerita Mintaragapun telah selesai, tanpa terasa tengah malam telah tiba.

Mintaraga mengulurkan kedua belah tangannya dan melempangkan pinggangnya, iapun lalu menguap.

“Bagus pikiranmu itu adi Candra Wulan.” Katanya sambil tertawa dengan keras. “Sekarang baiklah kita beristirahat sambil menantikan sang rembulan indah disini. Dismi akan lebih baik dari pada kita harus rebah didalam kota yang penuh dengan kebusukan. Marilah kita melepaskan lelah supaya besuk pagi kita dapat melakukan perjalanan ke Banten.”  

Agni Brasta atau yang telah bernama Baskara ini adalah seorang yang

bermata tajam dan pengalamannya bukan main banyaknya. Melihat gerak- gerik empat orang muda-mudi ini, ia mengerti kalau mereka itu adalah dua buah pasangan. Maka ia telah berpikir :

“Malam begini indah permainya, inilah saatnya untuk berasmara dan memadu kasih, maka kenapa aku merintangi mereka itu?” Karena itulah dengan mempergunakan sebuah alasan maka Baskara lalu menyingkir jauh dari mereka. Ia mencari pepohonan yang lebat, disana diatas sebuah pohon yang daunnya lebat, ia merebahkan diri disebuah cabang yang besar untuk tidur.

Apa yang dipikirkan oleh raja pencopet yang telah salin rupa itu juga dipikirkan oleh Mintaraga. Ia ingat kalau Candra Wulan dan Wirapati ini satu sama lainnya telah berpisah lama sekali, selama pertemuannya ini belum pernah mereka hanya berduaan untuk memasang omongan, karena itulah ia harus mengenal diri sendiri. Dengan tak berayal lagi, ia melirik kearah Kembang Arum, kemudian mengerdipkan matanya.

Kembang Arum mengerti akan pertanda ini.

“Kakang Mintaraga marilah kita pergi kedepan sana.” Katanya. “Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan mengenai hal ilmu tenaga dalam. Memang aku masih kurang jelas, maukah kau memberi keterangan kepadaku?”

Pemuda itu lalu bertindak pergi, sedangkan Kembang Arumpun segera mengikutinya, maka sejenak kemudian bayangan merekapun kini telah lenyap.

Candra Wulan memandang kearah Wirapati, sedangkan sang pemuda inipun memandang kepadanya, keduanya lalu tertawa. Mereka berdua bukannya orang-orang tolol, mereka dapat menebak maksud orang.

Setelah itu Wirapati duduk diam saja. Ia teringat akan pengalamannya. Ketika pertama kali ia turun gunung, ia merasa kalau kepandaiannya telah sempurna sekali, mungkin tak ada tandingannya di kolong langit ini, siapa tahu, kenyataannya lain, berulang-ulang ia gagal. Dengan sendirinyalah lenyap kebanggaannya. Dilain pihak ia mendapatkan kepandaian ilmu silat Candra Wulan ini telah maju dengan pesat sekali, sampai kepandaian gadis ini melebihi kepandaiannya, sudah tentu hal ini membuatnya menjadi semakin jengah. Karena itulah ia tak berani banyak omong.

Candra Wulan tak henti-hentinya mengawasi pemuda itu. Kemudian tiba-tiba saja ia tertawa sendiri.

“Wirapati, kau bicaralah.” Katanya separuh menggoda. “Apakah kau gagu?”

Wirapati segera mengangkat kepalanya dan matanya memandang kearah kekasihnya dengan tajam-tajam.  

“Can... Candra Wulan.”   Katanya. “Kau   menginginkan aku bicara

tentang apakah?”

Ia sebenarnya ingin memanggil dengan sebutan adi Wulan, akan tetapi terus batal dengan secara tiba-tiba. Bukankah ia telah dipanggil namanya saja? Maka iapun memanggil namanya saja.

Candra Wulan mencibirkan bibirnya.

“Kakang Mintaraga pergi setengah bulan, sepulangnya lalu mendongeng dengan tiada henti-hentinya.” Katanya dengan agak menyesali. “Kau? Kau telah pergi selama enam atau tujuh bulan, sekarang kau pulang, lalu kau diam dan membisu saja, tak sepatah katapun kau keluarkan... apakah artinya ini? Mustahilkah kalau salah sebuah pengalaman- pengalamanmu itu tak berharga untuk diceritakan?”

Wajah pemuda itu menjadi bersemu merah.

“Ilmu silatku rendah sekali, pengalaman apakah dariku yang patut kuceritakan?” Katanya dengan malu-malu.

Candra Wulan merasa bahwa ia keterlaluan telah menegur, melihat wajah Wirapati menjadi merah, hatinya menjadi lemas. Perasaan kewanitaannya segera timbul.

“Oh... kakang Wirapati.” Katanya dengan perlahan. “Sebenarnya aku harus memanggil apakah kepadamu supaya tepat?”

Wirapati merasakan kemanisan dalam panggilan kekasihnya ini. Inilah untuk yang pertama kalinya ia mendengar kalau kekasihnya memanggilnya dengan sebutan ‘kakang’.

“Candra Wulan.” Katanya dengan tertawa. “Apapun yang akan kau panggilkan kepadaku itu sungguh tepat sekali. Aku akan menerima panggilanmu dengan baik.”

Dimulut ia mengatakan demikian, akan tetapi didalam hatinya pemuda itu ingin kekasihnya ini memanggilnya dengan sebutan kakang Wirapati.

Candra Wulan segera memperlihatkan kemanjaannya.

“Kau selalu memanggilku dengan sebutan Candra Wulan, maka baiklah akupun akan selalu memanggilmu dengan sebutan Wirapati saja.” Katanya. “Yah kau yang memberi contoh maka jangan sesalkan aku.”

Wirapati segera membungkam pula baru saja ia merasakan manis, akan tetapi kini telah bertemu dengan batunya.

Selang sesaat Candra Wulan lalu mendekati orang yang sangat di pujanya.

“Kakang Wirapati, marahkah kau kepadaku?” Tanyanya dengan perlahan.

Hati Wirapati menjadi berdebar-debar. Bukan saja suara gadis itu sangat merdu, pada itupun ada itu panggilan ‘kakang’. Akan tetapi untuk sejenak ia bersangsi, mungkin ia salah mendengar, maka ia masih pula berdiam diri. Hanya disamping itu ia lalu merapatkan duduknya kearah si dara.  

Hidungnya dapat mencium bau yang harum dari tubuh Candra Wulan yang

selalu diminyaki dengan sari kembang-kembangan. Hingga karena itu pula ia menjadi terbengong-bengong.

Candra Wulan memandang, dan tiba-tiba saja ia melompat bangun. “Wirapati, benar-benarkah kau tak memperhatikan aku?” Tanyanya

dengan suara yang sangat keras. “Benarkah??”

Pemuda itu terperanjat. Inilah benar-benar tak pernah disangkanya. Ia lalu menggerakkan tangan kanannya, menyambar tangan si gadis, yang terus ditarik.

“Adikku yang baik mana mungkin aku tak mempedulikanmu?” Katanya dengan sabar. “Nah kau duduklah, nanti aku akan bercerita untukmu.”

Candra Wulan merasakan kalau tubuhnya bergetar ketika dipegang oleh si perjaka yang menjadi tunangannya. Dengan sendirinya ia duduk disampingnya.

“Bagus.” Katanya dengan tertawa. “Kaupun mempunyai cerita bukan?”

Wirapati masih memegangi tangan Candra Wulan, memang semula ia akan melepaskannya akan tetapi setelah mengetahui kalau Candra Wulan sendiri tak akan menarik tangannya yang putih halus dan lemas itu, iapun lalu membiarkannya.

Sejenak keadaan menjadi sunyi. Sepi seakan-akan mereka berdua berada ditengah-tengah kuburan angker yang siap dengan segala macam hantu dan gelundung peringis yang selalu menggoda setiap orang yang sedang lewat disekitarnya.

Wirapati adalah bukan seorang pemuda yang tolol menghadapi kekasihnya ini, ia lebih pandai dari pada Mintaraga, kalau tadinya ia masih bersangsi-sangsi, itulah disebabkan karena ia melihat gerak-gerik Candra Wulan. Gerak-gerik dara ini memang meragukan hati Wirapati, karena itulah ia lalu mencoba untuk mengendalikan diri. Memang benar kalau tadinya Candra Wulan selalu berkesan kurang baik kepada pemuda ini. Akan tetapi sekarang lain, maka dengan hatinya yang menjadi besar iapun lalu menarik tangan yang satunya dari gadis ini.

“Adi Candra Wulan, memang sebenarnya aku mempunyai sebuah cerita. Entah cerita itu akan membosankan atau tidak kalau kuceritakan kepadamu. Namun terang kalau tak sehebat cerita Mintaraga.” Katanya dengan tersenyum. “Maukah kau mendengarkannya?”

Candra Wulan menghela napas perlahan.

‘Ah... sampai detik ini barulah dia memanggilku dengan sebutan adik.’ Pikirnya. ‘Dia benar-benar terlalu.’

Sejak mengetahui kalau perjodohan mereka telah ditetapkan oleh orang tua mereka, ketiga keluarga Darmakusuma, keluarga Surokoco dan keluarga Pandu Pregolo. Hati Candra Wulan yang tadinya miring kearah Mintaraga  

pelan-pelan dapat digeser, hingga sekarang ia dapat melenyapkan semua. Ia

memang dapat berpikir, luas pandangannya, maka mengertilah ia bahwa tidak dapat ia kukuhi sesuatu yang ia pastikan tak akan mendapatkannya. Ia lalu menatap kearah kekasihnya dan kemudian tertawa.

“Kakang Wirapati, kau ceritalah!” Katanya kemudian. “Apa juga yang kau ceritakan, aku akan mendengarkannya dengan penuh perhatian.”

Wirapati menjadi girang sekali, hatinya benar-benar lega. Ia lalu melepaskan tangan Candra Wulan, dan merogohkan tangannya kedalam saku. Setelah itu ia lalu mengeluarkan sebuah kertas yang kemudian dibeberkan diatas tanah.

“Adi Candra Wulan, lihat apakah ini?” Tanyanya dengan suara yang gembira.

Candra Wulan melihat sebuah kertas yang kumal dan degil, kertas itu dibuat dari bahan yang buruk. Diatas kertas itu terlukis sebuah peta, peta inipun tak jelas, mungkin hal ini disebabkan karena peta ini dibuat telah lama dan diatas sebuah kertas yang jelek.

“Kakang Wirapati, apakah itu?” Tanya Candra Wulan setelah memandang lama-lama kearah kertas ini.

Wirapati tertawa.

“Untuk setengah hidupmu kau telah berkelana dan menangkap ikan dilaut Selatan, hingga dapat pula kukatakan kalau kau ini adalah seorang cucu dari nyai Loro Kidul yang terkenal itu. Akan tetapi sungguh sangat mengherankan kalau kau belum pernah melihat benda ini.” Ia berkata dengan nada setengah bertanya.

Candra Wulan menjadi heran, ia memang belum pernah melihat kertas itu. Maka ia lalu memandang dengan seksama. Gambar itu berupa sebuah gunung kecil, disekitarnya ada garis-garis yang halus dan berliku-liku, mirip dengan lukisan air. Ia terus meneliti, lalu ia mulai dapat menebak. Yang diputarkan air itu apakah bukan merupakan sebuah pulau? Dengan mata yang tajam sekarang ia melihat huruf-huruf kecil yang sangat halus akan tetapi masih dapat dibaca. Huruf-huruf itu berbunyi Ko-wulu-Do-suku-Lo- pangku.

Diatas huruf ini dituliskan pula mata angin timur, selatan, barat dan utara. Dan inilah petunjuk letak pulau itu. Sekarang Candra Wulan ingat kalau sewaktu ia ikut ayah angkatnya berlayar, maka ayah angkatnya selalu berpedomankan peta semacam ini, karena ia masih kecil maka ia tak mengerti akan peta semacam ini.

“Inilah.....!” Serunya dengan tertahan. Apa bila ia telah mengerti benar- benar, hanya ia masih belum dapat menyebutkan nama-namanya barang itu. Ia lalu menyambungi. “Inilah sebuah barang yang bisa dipakai untuk berlayar. Ah... kusangka kau mendapatkan sebuah peta dimana tempat penyimpanan Tunggul Tirto Ayu. Kakang Wirapati, kau ini bukannya  

seorang    yang    hidup    ditengah-tengah    lautan    akan    tetapi    mengapa

mempunyai barang semacam ini. ? Bagaimanakah asal usulnya?”

“Inilah peta pelayaran dilaut adikku yang manis.” Kata Wirapati menjawab kekasihnya. “Ah... kau ini hidup dilautan akan tetapi sangat mengherankan kalau belum pernah melihat peta semacam ini.”

Candra Wulan tertawa.

“Kalau hanya melihat sih sudah, akan tetapi aku tak pernah memakainya.” Katanya. “Kakang Wirapati, menurut anggapanmu, jadinya kau anggap kaum nelayan mempunyai peta semacam itu baru mereka bisa pergi kelaut untuk menangkap ikan? Huahaa... huahaa... huahaa itu omong

kosong. Marilah aku perumpamakan. Kau adalah seorang yang biasa hidup didarat, lalu kalau kau akan pergi ke Jawa Timur apakah harus mempunyai sebuah peta dulu baru nanti berangkat pulang?”

Wirapati terdiam, namun hatinya berkata :

‘Kalau aku mengetahui bahwa adi Candra Wulan pandai bermain lidah seperti ini, siang-siang aku tak berani menanyakan hal ini kepadanya.’ Setelah itu ia lalu mengambil petanya dan kembali memasukkan kedalam saku bajunya. Setelah itu iapun lalu menyambar tangan Candra Wulan dan memegangnya dengan erat-erat. Ia terus berbisik :

“Adi Candra Wulan semenjak aku melihatmu pertama kali dulu itu, bayangan wajahmu selalu terpaut dipelupuk mataku. Sedikitpun aku tak pernah dapat melupakanmu..... adi Candra Wulan, kau adalah kekasihku dan aku adalah kekasihmu, orang tua kita telah memberikan sebuah peringatan kepada kita, tanda yang dapat dilenyapkan..... adi Candra Wulan aku mencintaimu, kau percayakah dengan cintaku?”

Diluar memang kelihatannya sikap Candra Wulan sangat keras, didalam hatinya sebenarnya ia mempunyai sebuah perasaan yang halus. Biarpun bagaimana ia adalah seorang gadis... seorang gadis atau perempuan yang selalu mempunyai perasaan halus. Maka begitu mendengar perkataan kekasihnya yang setengah merayu ini maka lenyaplah segala macam kekerasannya. Malahan ia merasakan kalau tubuhnya menjadi menggigil, sedangkan paras mukanya menjadi merah. Ia lalu tunduk, lewat beberapa saat barulah ia berkata, perlahan.

“Kakang Wirapati apakah modalku untuk tak mempercayaimu?” Jawabnya dengan perlahan. “Mari kau serahkanlah perhiasan sanggulmu itu kepadaku, akupun nanti akan memberimu sebuah barang. ”

Wirapati telah melepaskan anting-antingnya itu, sedangkan Candra Wulan lalu melepaskan permainan sanggulnya. Maka disitulah mereka itu saling tukar menukar barang ‘tanda mata’ yang merekapun simpan masing- masing dengan cara yang sangat berhati-hati.

Wirapati melihat kearah wajah kekasihnya, dimana ada sepasang mata yang jeli, yang air matanya kelihatan menggembeng hampir menetes. Inilah  

tandanya sebuah cinta sejati. Maka iapun merasakan kalau hatinya menjadi

tegang sekali. Tak dapat ia mengendalikan diri lagi, ia lalu menarik Candra Wulan kedalam rangkulannya, lalu mendongakkan muka Candra Wulan dan menciumnya dengan perlahan-lahan.

“Adi Candra Wulan. !” Katanya dengan halus.

Inilah yang pertama kali Candra Wulan merasakan tubuhnya melanggar tubuh seorang lelaki, ia lalu merasa menjadi lemas, segera saja ia menutup rapat-rapat kedua matanya. Ia membiarkan dirinya berada didalam pelukan kekasihnya tersayang ini.

“Kakang Wirapati.....” Katanya dengan perlahan. “Kau memanggil aku?”

Wirapati tertawa.

“Ya, adi Wulan......!” Jawabnya. “Ah aku ingat sekarang! Aku masih mempunyai serupa barang untuk diserahkan kepadamu ”

Candra Wulan memperdengarkan suaranya melalui hidung, akan tetapi ini dilakukan dengan sangat pelan sekali.

“Apakah itu?” Tanyanya.

“Bukan lain adalah peta pelajaran yang baru saja kutunjukkan kepadamu.” Jawab Wirapati.

Inilah yang tak pernah disangka-sangka oleh Candra Wulan, sebab memang gadis ini sedikitpun tak tertarik kepada peta kumal tadi. Apa lagi disaat yang sedang manis dan romantis. Tubuhnya terus bergerak sedikit.

“Kakang Wirapati.” Katanya. “Tidak dapatkah kalau tidak berbicara   ?”

Wirapati terdiam, hanya tangannya saja yang meraba-raba rambut kekasihnya yang hitam dan indah ini. Rambut panjang hitam dan menyerbakkan bau yang harum. Namun hatinya jauh.... jauh..... nun jauh disebuah pulau diantara Jawa dan Lombok. Itulah sebuah pulau indah yang terkenal dengan nama pulau Dewata........

Nanti setelah usaha mereka berhasil, bersama kekasihnya ini ingin ia terbang kesana, untuk tinggal disana diluar kungkungan masyarakat Jawa yang penuh dengan kedengkian serta kepalsuan didunia persilatannya. Di Pulau Dewata ini mereka mengharapkan sebuah kehidupan yang tentram dan abadi......

Tiba-tiba saja pemuda itu terperanjat. Ia mendengar suara pelan seperti orang menangis, ternyata yang menangis adalah Candra Wulan sendiri yang sekarang menjadi kekasihnya.

“Adi Wulan, mengapakah kau ini?” Tanyanya. “Kau tak mengapa bukan?”

Candra Wulan menyeka air matanya, kemudian kepalanya yang indah ini digelengkan dengan perlahan.

Namun si dar perkasa ini sedikitpun tak membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan sang kekasih.  

Ketika Wirapati menatap tajam-tajam kearah si perempuan, hatinya

bukan main besarnya ketika mengetahui kalau Candra Wulan ternyata tersenyum. Tersenyum dengan manis. Sebuah senyuman yang dapat mendebarkan hati setiap orang yang memandangnya.

Candra Wulan semenjak kecil tak mempunyai orang tua, baik ayah maupun ibu kandung. Memang tak dapat disangkal kalau semenjak kecil ia dirawat dan dididik oleh Darmakusuma dengan penuh kasih sayang bahkan melebihi anaknya sendiri. Namun Ki Darmakusuma atau yang terkenal dengan namanya ki Plompong, tetaplah seorang jago dari dunia kependekaran. Dia tak dapat disamakan dengan ibu kandung dan ayah yang sejati. Karena itu sampai sebesar ini belum pernah ia dapat merasakan kasih sayang yang sedemikian besarnya. Sekarang ia berada didalam pelukan seorang yang mencintainya, yang diapun mencintainya, maka tak sangat mengherankan kalau mereka itu lalu menjadi terharu dan bersedih. Sedih saking girangnya.

*

* *

Dengan lengan bajunya Wirapati menyusuti mata kekasihnya.

“Adi Candra Wulan, bergembiralah kau adi.” Serunya dengan pelan lembut dan penuh dengan kasih sayang.

Candra Wulan mendongakkan kepalanya, memandang dengan matanya yang basah kepada pemuda yang kini sedang memeluknya.

Kemudian ia memandang kearah langit yang tenang dimana-mana tak ada mega yang melayang. Ia merasakan kalau tubuhnya terombang-ambing tertawa oleh amukan sang bayu. Dengan kedua tangannya yang halus dan mungil itu dipeluknyalah tubuh Wirapati kekasihnya. Ia sedikitpun tak mengeluarkan jawaban, akan tetapi diam-diam itu berarti jawaban yang hebat...

Wirapati membiarkan saja. Ia sebagai seorang pemuda yang telah berpengalaman tahu akan perasaan dan hati kekasihnya ini.

Dimana dua hati telah terangkap menjadi satu, muda-mudi ini akan merasakan kalau dunia ini akan menjadi semakin indah permai dan penuh dengan kesukaan, bahkan akan mengira kalau seisi dunia ini hanya merekalah pemiliknya. Satu sama lain tetap membungkam. namun biarpun mulut tak mengeluarkan sebuah perkataanpun, hati dan mata mereka saling bercakap-cakap dengan asyiknya.....

Setelah sekian lamanya mereka berdiam diri saja, tiba-tiba saja Candra Wulan memecahkan kesunyiannya ini, keheningan malam seketika itu juga terkoyak-koyak oleh suara Candra Wulan :  

“Kakang Wirapati.” Katanya. “Bukankah kau tadi bilang kalau akan

memberiku sesuatu?”

Ditegur dengan demikian barulah Wirapati menjadi sadar.

“Benar... benar...” Katanya. “Benda yang akan kuberikan kepadamu bukan lain adalah peta palayaran ini.”

Candra Wulan memisahkan diri dengan perlahan-lahan, sambil duduk ia lalu merapikan pakaiannya. Setelah itu kembali Candra Wulan tertawa dangan keras.

“Kau katakanlah dulu, dari mana kau dapatkan peta.” Katanya dengan geli. “Kau katakan pula apakah faedah dan manfaatnya peta itu kakang?”

Pembicaraan ini menyadarkan kedua anak muda ini kepada penghidupan mereka sebenarnya. Hingga tak lagi mereka kelelap dalam lamunan seperti tadi.

Wirapati berpikir sebentar sebelum ia memberikan jawabannya.

“Adi Candra Wulan, sebenarnya sangat panjang sekali kalau harus kuceritakan tentang peta ini.” Katanya dengan perlahan. “Namun apakah kau sudi mendengarkannya?”

“Kakang Wirapati.” Katanya. “Aku adalah kekasihmu, maka sangat mengherankan kalau aku yang menjadi kekasihmu tak mau mendengarkan apa yang diucapkan oleh kekasih.”

Pertanyaan Candra Wulan ini sekaligus merupakan sebuah teguran. Teguran yang cukup mengena dihati sang perjaka. Namun begitu mendengar perkataan Candra Wulan ini Wirapati segera tertawa dengan bergelak-gelak.

“Baik.” Katanya. “Sekarang kau dengarlah. Setelah berkata demikian ia lalu mulai menuturkan dongengannya.

Kira-kira enam bulan yang telah lalu, dikaki gunung Ijen Jawa Timur ada seorang pemuda yang mengendarai kudanya naik keatas.

Pemuda yang berpakaian indah, orannyapun tampan. Kuda yang dinaiki ini dijalankan dengan perlahan-lahan. Terang kalau si pemuda bermuka masygul.

Tak lama kemudian dari belakang pemuda itu terdengar tindakan kaki kuda yang dilarikan dengan keras sekali, penunggangnya duduk miring diatas punggung kuda itu. Ternyata penunggangnya itu adalah seorang kakek tua. Dan yang lebih mengherankan lagi ialah si kakek itu terluka parah, ada belasan lubang luka yang mengalirkan darah segar dengan deras sekali. Ketika ia dapat menyusul kuda si anak muda itu, sang kakek telah tak dapat bertahan lagi, tubahnya terguling roboh diatas kudanya itu.

Melihat ini pemuda itu menjadi terkejut, segera saja ia melompat turun dari kudanya yang ditahannya lari kuda itu dengan tiba-tiba. Ia melompat kearah orang tua itu dan mencoba untuk menahan supaya si kakek tak sampai jatuh keatas tanah.  

“Tolonglah aku.....” Kata orang itu dengan suara yang tak nyata.

“Dibelakangku ada seorang jahat yang mengejarku.....” Serunya sambil menunjuk kebelakang, kearah tempat darimana dia datang. Memang disana terlihat debu mengepul dengan tinggi-tinggi.

“Kau tolong orang itu atau tidak?” Tanya Candra Wulan memotong ketika Wirapati bercerita sampai disitu. Ia segera bisa menerka siapa adanya anak muda itu.

“Pasti... aku mesti menolongnya.” Jawab Wirapati dengan cepat. “Malahan aku lalu melabrak orang jahat itu.”

Dan kemudian si pemuda itu lalu melanjutkan ceritanya.

“Anak muda itu berpaling kesekelilingnya. Ia lalu melihat sebuah gua didekatnya. Inilah sebuah tempat yang bagus untuk menyembunyikan diri. Maka ia lalu memondong orang tua yang terluka itu, dibawa masuk kedalam gua. Ia lalu merobek baju untuk membalut luka kakek tua itu, namun sebelum luka itu dibalut terlebih dahulu ia harus memborehkan obat pada luka-luka itu. Orang yang kelihatan seperti pingsan itu, mulutnya terus mengoceh.

“Mustika..... mustika     !”

Tidak lama dari sembunyinya mereka itu, diluar gua terdengar suara gemerisik. Teranglah telah datang orang-orang jahat yang mengejar sang kakek ini. Begitu mendengar suara berisik ini, mendadak dia melompat bangun seraya berteriak :

“Bunuh! Bunuh penjahat itu   !”

Tapi dia lalu kehabisan tenaga, segera saja roboh dengan sendirinya.

Anak muda itu hanya berpikir sejenak, segera ia bekerja. Ia menutup mulut gua dengan memindahkan jumlah batu besar yang berada didalam gua. Kemudian dengan memegang pedangnya, ia berdiam diri dibelakang tumpukan batu itu, untuk mengintai keluar.

Ada beberapa puluh penunggang kuda yang berkumpul diluar gua, yang rupa-rupanya mengambil sikap mengurung. Segera saja seorang yang mungkin menjadi kepalanya, yang berdiri dimuka gua lalu memberi tanda dengan suara yang keras dan garang :

“Iblis laknat dari Bali lekas kau keluar.”

Mendengar perkataan ini si anak muda itu lalu berpaling kearah orang yang terluka tadi. Setelah memandang tajam-tajam kearah orang itu dari pakaiannya saja ia mengenal kalau orang itu memang benar-benar orang Bali, orang dari pulau Dewata.

Sedikitpun si anak muda ini tak tahu permusuhan mereka itu. Tak tahu mengapa mereka bertarung, hingga orang Bali ini terluka. Akan tetapi segera pemuda ini mendapat inisiatif kalau ia telah mau menolong orang Bali maka tak boleh menolong kalau hanya setengah-setengah saja. Segera saja ia menegur mereka :  

“Kau telah melukai dia dengan hebat sekali apakah sekarang kau akan

membunuhnya pula?” Namun orang itu bersikap sangat maka ia lalu mempergunakan goloknya untuk menyerang mereka itu.

Pemimpin rombongan itu memakai senjata tombak, ia sangat pandai mempergunakan senjatanya itu, selain itu tubuhnyapun lincah sekali. Setelah beberapa jurus ia mendesak keras sekali, setelah itu ia lalu bertanya :

“Kau benar-benar gemar usilan sekali, siapakah sebenarnya kau ini anak muda?”

“Aku Wirapati.” Jawab anak muda ini. “Pernahkah kau mendengar namaku?”

“Oh... kakang Wirapati.” Seru Candra Wulan memotong pula, bergurau. “Maaf... maaf...!”

Wirapati tertawa dan segera melanjutkan ceritanya.

Orang itu memperdengarkan suara hinaannya dari dalam hidung.

“Apa itu Wirapati.” Katanya. “Aku orang tua Kolo Lodro belum pernah mendengarnya.”

Setelah berkata demikian ia lalu berteriak dan tiga orang kawannya segera muncul dan langsung mengurung.

Dengan gagah Wirapati melawan keempat orang pengeroyoknya, setelah tiga puluh jurus kemudian ia berhasil menabas kutung sebuah lengan lawannya, lawan itu terus roboh dan menjerit dengan hebat.

Tidak puaslah hati Wirapati, maka ia lalu mengeluarkan tiga batang golok terbangnya, inilah sebuah senjata rahasia andalannya. Dengan senjata rahasia ini ia lalu melemparkan kearah tiga orang musuhnya itu. Namun sayang sekali yang terkena hajaran senjata rahasia ini hanya seorang, hingga dengan demikian masih ada dua orang lagi yang harus segera dibereskan.

Melihat hal ini maka pemimpin pengeroyok itu menjadi takut. Maka ia lalu memperdengar pertandanya, setelah itu ia lalu mengajak dua orang kawannya dan kawan-kawan yang lain mundur. Mereka tak pergi jauh di mulut gua mereka terus menjaga dengan ketat.

Wirapati tak mengejar musuhnya, ia hanya kembali kedalam gua. Ia mendapatkan kalau orang tua itu masih pingsan, karena ini ia lalu keluar pula, sekarang ia menghampiri Kolo Lodro, untuk membereskannya. Namun musuh berjumlah besar dan tak lama kemudian masuk kedalam gua kembali.

Sejak itu, beberapa kali Wirapati pergi keluar, untuk menerjang namun ia selalu tak berhasil. Musuh berjumlah lima atau enam puluh orang, sulitlah untuk menerjang mereka itu.

Sampai maghrib akan tetapi kedua belah pihak saling menanti tanpa hasil suatu apa. Lalu setelah malam mendatang kawanan penjahat itu mulai mengadakan penyerbuan lagi. Dengan dipimpin oleh Kolo Lodro sebagian dari mereka itu terus merayap naik keatas gua. Ternyata diatas gua terdapat  

sebuah lubang yang dimana mereka dapat melemparkan obor-obor yang

apinya menyala dari situ. Didalam gua terdapat rumput kering, karena ada api lalu rumput kering itu terbakar dengan hebat, asapnya lalu mengepul dan mengulak didalam.

“Wirapati.” Kolo Lodro berteriak-teriak. “Hendak kulihat apakah yang dapat kau perbuat? Baiknya kau serahkan saja orang tua itu kepada kami, dan nanti setelah itu perkara akan dapat dibereskan dengan segera. Biar orang tua itu saja yang akan kupanggang.”

Wirapati menjadi marah. Ia segera melemparkan golok terbangnya. Maka dengan segera saja ia dapat melukai beberapa orang penjahat. Akan tetapi iapun harus segera memadamkan api. Hawa panas dan asap sangat menyulitkan padanya. Melawan api dan menangkis musuh, itu bukanlah permainan. Syukurlah ia tetap gagah. Meskipun begitu ada bagian anggota tubuhnya yang melempuh kena api.

Akhirnya malam ini dapat dilewatkan. Besok paginya, kawanan penyerang mengundurkan diri, tidak lagi mereka datang menyerang. Rupanya mereka itu akan makan dan melepaskan lelah, untuk menyiapkan penyerangan yang lanjut. Mungkin mereka mau mengurung saja, guna membuat orang menjadi lelah dan mati kelaparan.

Wirapati memang mempunyai bekalan nasi sedikit dan airpun ia hanya membawa sedikit.

Sedangkan waktu itu orang tua yang terluka itupun telah mulai sadar dan merintih-rintih dengan tiada henti-hentinya.

Wirapati melepaskan lelah sampai setengah hari penuh, namun segera saja ia kehabisan kesabaran. Ia geser beberapa batu penutup mulut gua, ia pergi keluar, dengan berani ia lalu menghampiri musuhnya. Segera saja ia menerjang musuh-musuhnya itu.

Ia bertempur dengan hebat karena ia memang PENASARAN. Ia insyaf bahwa tidak dapat ia mengulur waktu. Dalam kemarahannya itu ia lalu merobohkan beberapa orang pembantu dan bahkan ada pula yang dibunuhnya. Ia sendiri kena tikaman tombak Kolo Lodro. Untunglah hanya lecet kulitnya saja. Hal ini membuat ia gusar sekali, ia terjang mereka hingga kalang kabut. Pada akhirnya ia dapat mengusir mereka.

Begitu mendapat kepastian kalau orang jahat itu tak datang kembali, Wirapati lalu masuk kedalam dan memondong keluar orang yang terluka tadi. Dia ternyata telah bernapas dengan kempas-kempis. Matanya meram saja seperti orang menahan kematian.

“Ki sanak siapakah jengandika ini?” Tanyanya dengan perlahan terus saja ia memegangi tangan Wirapati.

Memang dia itu adalah seorang Bali akan tetapi ia telah pandai mempergunakan bahasa Jawa. Mendengar kalau ditanya Wirapati lalu menjawab dan memberi tahukan siapa namanya.  

“Aku Wayan Swatara.” Orang itu memperkenalkan diri. “Aku datang

dari pulau Dewata, kemari ini mencari seseorang. Aku hendak menyerahkan serupa barang kepadanya. Akan tetapi sungguh sayang sekali dia telah meninggal dunia ”

“Siapakah itu yang kau cari?” Tanya Wirapati.

“Orang yang kucari adalah seorang nelayan yang hidup dilaut Kidul dan bernama ki PLOMPONG ”

Candra Wulan menjadi terkejut, hingga tanpa sesadarnya ia lalu berjingkrak bangun.

“Itulah ayah angkatku, ki Darmakusuma.” Katanya memotong cerita kekasihnya itu.

Wirapati tertawa lebar.

“Mengherankan kalau aku tak mengetahui.” Katanya. “Eh... adik yang baik, tak dapatkah kau kalau tak memotong ceritaku ini?”

Ketika si gadis ini mulai berdiam diri lagi, maka Wirapati lalu melanjutkan ceritanya.

Sebenarnya Wirapati menjadi terkejut ketika orang itu menyebutkan nama ki PLOMPONG. Ia memang tahu kalau ki Darmakusuma itu menyembunyikan TUNGGUL TIRTO AYU yang menjadi lambang kerajaan Demak Bintoro. Maka ia lalu menduga kalau Wayan Swatara ini tentunya ada hubungannya dengan Tunggul Tirto Ayu itu. Terhadap orang pulau Dewata ini ia pura-pura tak tahu.

“Kemudian bagaimana Wayan Swatara?” Tanyanya. Wayan Swatara menghela napas.

“Aku menuju kebarat dengan naik perahu.” Wayan Swatara mulai menerangkan. “Aku mendarat dilaut kidul dan terus ke Karang Bolong. Namun sungguh tak pernah kusangka kalau desa ini telah habis terbakar dan dikarang abangkan hingga tak ada seekor kucing ataupun anjing yang masih kelihatan hidup. Aku lalu berkeliaran mencari ki Plompong. Disekitar situ tak kudapatkan dia, bahkah tak ada bayangan manusia lain. Belakangan lalu aku mendengar kalau Karang Bolong ini ternyata dibakar oleh orang-orang Jipang Panolan. Penduduknya banyak yang meninggal ataupun terluka dengan hebat. Aku berpikir tentunya ki Plompong ikut mati dalam penyerbuan itu. Tadinya aku berpikir akan pulang saja ke Pulau Dewata. Setelah kupikir lagi dengan secara masak-masak, aku lalu membatalkan niatku untuk kembali ke pulau Dewata. Sekarang aku berdaya upaya untuk mencari orang lain. Dia adalah seorang wanita muda, putri dari ki Plompong yang bernama Candra Wulan. ”

Mendengar namanya disebut-sebut maka Candra Wulan lalu berjingkrak bangun.  

“Aneh... aneh...! Serunya. “Untuk apakah Wayan Swatara mencariku?

Aku adalah anak dari ki Plompong, hee... kakang Wirapati tahukah kau akan hal ini?”

Wirapati tertawa.

“Terang kalau aku telah mengetahuinya.” Jawabnya. “Ayah angkatmu telah meninggal, maka sudah selayaknya kalau Wayan Swatara lalu mencarimu sebab kau adalah putrinya. Ia akan menyampaikan barang itu kepadamu. Namun orang dari pulau Dewata inipun sangat menyesal karena kaupun hilang lenyap tak dapat dicarinya. Karena Wayan Swatara ini belum mengetahui akan tempat-tempat di tanah Jawa ini maka ia kesasar sampai ke gunung Ijen. Disinilah dia bertemu dengan orang-orang jahat. Adi Candra Wulan tahukah kau barang apa yang dibawanya itu dan akan diserahkan kepada ayah angkatmu itu?? Itulah sebuah peta pelayaran yang tadi.”

Candra Wulan menjadi heran dan lama ia berdiam diri.

Wirapatipun menghentikan ceritanya sebentar, namun tak lama kemudian ia ialu meneruskan ceritanya.

“Jadi kau ketemu penjahat setelah kau sia-sia untuk mencari Candra Wulan?” Tanya Wirapati.

Wayan Swatara kelihatan menarik napas panjang.

“Benar.” Katanya. “Kalau tak ada kau ki sanak, maka aku sekarang telah menjadi bangkai. Mampus ditangan para penjahat itu. Kau baik sekali, nah terimalah hormatku.”

Dia lalu merayap bangun untuk menyembah. Namun Wirapati segera mencegah sambil membangunkannya.

“Lukamu sangat berat, jangan kau hiraukan segala macam aturan yang lapuk itu.” Katanya. Sambil berkata demikian Wirapati lalu membantu orang itu untuk duduk. Setelah itu ia lalu membuka balutan kemarin dan memberi obat-obatan yang baru.

Wayan Swatara menutup kedua matanya dengan rapat-rapat, dan orang dari pulau Dewata ini kelihatan istirahat.

“Ki sanak, aku telah merasa kalau aku tak akan lama lagi hidup didunia ini.” Katanya kemudian. “Untuk itu maka aku hendak minta tolong kepadamu dalam dua hal, untuk itu akupun tak mengerti apakah kau sudi menolongku atau tidak. ”

“Coba saja kau sebutkan.” Jawab Wirapati. “Asal saja aku mampu melakukannya dan tenagaku sanggup maka aku akan membantumu.”

Wajah Wayan Swatara yang tadinya kelihatan sayu ini sekarang menjadi kelihatan bercahaya. Malahan orang Bali ini lalu memperdengarkan suara tawanya.

“Ki sanak yang baik, kau ini bukan sanak bukan kadang akan tetapi aku sangat bersyukur setelah bertemu denganmu yang baik hati ini.” Katanya. “Disini aku membawa sebuah peta pelayaran laut dan kuharapkan kau suka  

memberikan barang ini kepada ki Plompong ataupun kepada anaknya yang

bernama Candra Wulan. Tapi... ah... kau tak kenal ayah dan anak itu, apakah kau akan dapat mencarinya? Bagaimana nanti kau mencarinya??”

Wirapati belum tahu maksud orang ini kepada ki Plompong, mengapa dari begitu jauh ia memerlukan datang kemari? Bahkan akan menyerahkan peta. Iapun tak tahu asal-usul dari orang Bali ini. Akan tetapi agaknya orang ini jujur dan baik hati.

Maka iapun tak akan merahasiakan dirinya lagi. Maka ia lalu menceritakan hubungannya dengan ki Plompong dan anak gadisnya itu.

Mendengar ini bukan main girangnya hati ki Wayan Swatara itu.

“Jagat dewa batoro...... sungguh kebetulan sekali.” Serunya sambil menyebutkan nama Yang Membuat Hidup. “Ki sanak kau terimalah ini dan tolong kau sampaikan ini kepada ayah atau anaknya. Dan sebelumnya aku Wayan Swatara menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya.” Setelah berkata demikian dia lalu merogohkan tangannya kedalam saku bajunya dan mengeluarkan sehelai kertas yang sangat kumal dan kotor, dan terus saja ia mengangsurkan kearah Wirapati. Kemudian ia memegang tangan ksatrya muda itu sambil berkata :

“Ki sanak yang budiman, karena kau adalah sahabat dari ki Plompong, aku kini juga tak akan merahasiakannya lagi. Peta ini adalah peta pelayaran dilaut. Yang dilukiskan itu adalah sebuah pulau dan jalan untuk menuju kepulau itu. Inilah sebuah pulau yang luar biasa dan merupakan sebuah dunia tersendiri. Kalau orang akan dapat tiba disana bukan saja ia boleh. ”

Baru saja ia mengucap sampai disitu mendadak orang Bali ini telah roboh jatuh pingsan. Rupa-rupanya ia barusan ini telah mengeluarkan tenaga terlalu banyak untuk menyampaikan kata-katanya ini. Waktu Wirapati dapat menyadarkan lagi dari pingsannya akan tetapi orang itu telah tak dapat memberi keterangan terlebih jauh. Dia hanya dapat menggerak-gerakkan kedua tangannya, inilah tanda permintaan supaya Wirapati segera menyimpan peta ini dengan baik-baik, dan menyampaikannya kepada ki Plompong ataupun Candra Wulan.

Wirapati mengangguk dan berkata dengan perlahan :

“Kau pergilah dengan baik-baik, sebab aku tak akan menyia-nyiakan pesanmu ini.”

Kedua mata Wayan Swatara ini mengalirkan air mata. Dia tetap saja tak dapat bicara, maka dengan jari tangannya ia lalu menggurat-gurat ditanah, menulis huruf-huruf dengan apa ia meninggalkan pesan, kalau dia mati ia minta mayatnya besuk diangkut ke pulau Bali dan disempurnakan disana. Dia menulis dengan gemetar, inilah sebuah tanda kalau orang ini telah menguat-nguatkan tenaganya yang terakhir. Maka tak sampai hatilah hati Wirapati melihat hal ini.

Segera saja Wirapati berkata  

“Wayan Swatara, tak usah kau khawatir atau risau lagi, aku pasti akan

melakukan apa segala pesan-pesanmu itu.”

Wayan Swatara mengangguk dengan perlahan, tanda bahwa ia menyatakan terima kasih. Sesaat setelah itu ia lalu menghembuskan napasnya yang terakhir, kedua kakinya dilonjorkan dan kedua matanya ditutup rapat.

Wirapati segera bekerja. Terlebih dahulu ia menyimpan peta itu. Kemudian ia mencari tempat yang tersembunyi, dan menggali lubang di situ. Disinilah untuk sementara mayat Wayan Swatara dikebumikan. Ia menggali lubang itu dalam-dalam akan tetapi atasnya dibuat rata dengan tanah sekitarnya. Ini dilakukan karena ia khawatir kalau nanti Kolo Lodro akan datang dan mengganggu kuburan ini. Untuk pertanda ia membuat sebuah tulisan didekatnya, supaya besuk kalau ia datang lagi kesitu akan mudah untuk mencari kuburan Wayan Swatara ini. Bisalah dibayangkan untuk membuat lubang dan mengubur jenasah orang Bali ini Wirapati harus mengeluarkan banyak tenaga dan waktu yang tak singkat.

“Menurut Wayan Swatara, peta ini hanya bearti sesuatu pulau yang permai.” Ia pikir kemudian. “Apakah yang berharga mengenai peta ini? Maka akan sangat luculah kalau Kolo Lodro sangat begitu bernafsu untuk mendapatkannya. Mereka itu jahat sekali dan aku ingin menumpas habis, sapaya untuk selanjutnya mereka ini tak dapat membuat kerusuhan lain.”

Dengan hati bulat Wirapati lalu mencari Kolo Lodro dikaki gunung Ijen ini. Kolo Lodro adalah berandal ditempat ini, dan selamanya belum pernah ia pergi jauh dari sarangnya. Maka untuk mencari sarang berandal yang telah terkenal ini tak begitu sukar. Sesampainya didalam sarang ini maka Wirapati segera menyerang Kolo Lodro dan kawan-kawannya itu, ia menghajar habis- habisan, hingga terpaksa Kolo Lodro kabur dari Maha Meru, pindah kelain tempat yang jauh. Tak berani ia pulang kembali. Sebaliknya Wirapati menjadi sangat tertarik dengan keindahan panorama dan pemandangan alam dari gunung Ijen ini. Sebab selain mempunyai pemandangan yang indah juga tempat ini sangat sunyi, bagus sekali untuk dijadikan tempat meyakinkan ilmu silat. Maka diatas itu ia lalu membuat gubuk dan disinilah mulai Wirapati tinggal sambil memperdalam ilmu silatnya.

Selama melatih diri ini sering Wirapati teringat akan Wayan Swatara mengenai pesannya orang Bali ini, tak dapat ia pikirkan sesuatu apa. Demikianlah lima bulan telah lewat. Ia merasa kalau latihannya telah cukup, ia lalu mengambil keputusan kalau akan turun gunung dengan membawa peta itu.

Bercerita sampai disitu, ia berhenti untuk membuang napas sebentar. “Adi Candra Wulan, dongengku ini menarik atau tidak?” Tanyanya

sambil menatap kekasihnya itu dengan tajam-tajam.  

Candra Wulan tengah memperdengarkan dongengnya ini dengan

penuh perhatian.

“Kemudian?” Tanyanya. “Bagaimana kemudiannya? Kuharapkan kau jangan selalu menahan-nahan...”

Wirapati tertawa.

“Ceritaku telah sampai keakhirnya.” Katanya. “Kemudian segala kejadian selanjutnya, tanpa kuceritakan lagi, kau sudah mengetahui sendiri.” “Ya benar.” Kata Candra Wulan yang turut ketawa. “Kemudian kau masuk pula kedunia persilatan, kau lalu pergi ke Jipang Panolan hingga kemudian kita bertemu satu dengan lainnya. Kakang Wirapati ceritamu ini sungguh menarik hati. Coba saja kau dapat mengetahui tentang pulau

Dewata itu, tentu lebih menarik lagi. !”

“Memang sayang sekali Wayan Swatara itu keburu menutupkan matanya dan melayang pula jiwanya.”

Wirapati lalu memberikan peta itu ketangan kekasihnya.

“Adi Candra Wulan, peta ini adalah kepunyaanmu.” Katanya pula. “Meskipun peta ini tak ada faedahnya, akan tetapi ini adalah warisan dari ayah angkatmu, maka telah selayaknya kalau kau menyimpannya dengan baik-baik sebagai peninggalan orang tua.”

Candra Wulan menyambut peta itu.

“Benar.” Jawab Candra Wulan. “Kakang Wirapati, kupikir pada suatu hari nanti kita akan pergi kepulau Dewata itu untuk melihat-lihat keindahan disana !”

Baru saja Candra Wulan menutup perkataannya ini, tiba-tiba ia mendengar sebuah tawa dan setelah itu disusul dengan beberapa perkataan.

“Memang itu bagus sekali, adi Candra Wulan. Aku harapkan agar kau jangan lupa untuk mengajak kami.”

Candra Wulan menjadi terkejut, hingga ia lalu menggeserkan tubuhnya sedikit. Segera saja ia menengok kebelakang untuk melihat siapakah orang yang telah berkata itu. Segera saja ia melihat Mintaraga dan Kembang Arum sedang berdiri dibelakangnya. Wajah mereka berdua berseri-seri. Entah telah beberapa lama mereka itu berdiri disitu.

“Wirapati, aku telah mendengar sekian lamanya.” Seru Mintaraga sambil tertawa terpingkal-pingkal. “Ceritamu tadi sangat menarik sekali. Aku sangat setuju sekali dengan pendapat adi Candra Wulan. Setelah usaha kita berhasil, marilah kita melihat-lihat kesana. Dengan pergi kesana maka tak akan sia-sialah kehidupan kita ini. !”

“Misalkan saja usaha kita ini tak berhasil, lebih-lebih lagi kita harus pergi kesana.” Seru Kembang Arum menambahkan dengan jenaka. Hingga hal ini membuat semua orang menjadi tertawa.  

“Eh...   kakang   Mintaraga.”   Seru   Candra   Wulan   dengan   cemberut

menegur kakak angkatnya ini. “Sebenarnya telah berapa lama kau mendengarkan pembicaraan kami ini?”

Memang Candra Wulan akan sangat malu dan jengah kalau sampai kedua orang temannya ini menyaksikan tingkah polah mereka tadi.

“Jangan khawatir.” Kembang Arum mendahului Mintaraga untuk menjawab pertanyaan Candra Wulan tadi. “Ketika kami berdua sampai disini, baru saja kalian berdua berhenti memasang omong. Kita hanya mendengar cerita kakang Wirapati, kita tak mendengar tentang perkataan- perkataan cinta kalian.” Ia lalu tertawa.

Muka Candra Wulan menjadi merah.

“Cis...!” Katanya. “Kalau benar kau tak mendengar mengapa kau tahu tentang pembicaraan kita?.... Hem dasar budak busuk!”

Memang Candra Wulan agaknya malu untuk menyebutkan perkataan ‘asmara’ lalu tiba-tiba saja ia mengayunkan tangannya sambil berteriak : “Budak busuk, kau sambutlah ini.”

Kembang Arum sedang tertawa dengan terpingkal-pingkal. Hingga tak mengherankan kalau ia menjadi kaget dan gelagepan sekali. Mana dapat ia menangkis serangan yang datangnya dengan secara mendadak ini? Iapun tak sempat mundur, maka dadanya segera kena dijambak.

“Budak busuk, lain kali kau berani lagi atau tidak??” Tanya Candra Wulan dengan gemas.

“Tidak, lain kali aku tak akan berani lagi...” Seru Kembang Arum yang terus saja menyerah kalah. Ia memang menjadi jengah sekali sebab buah dadanya kena dipegang oleh kawannya, atau tepatnya calon iparnya itu.

Wirapati dan Mintaraga ketika melihat kawan-kawannya itu bergurau menjadi kehenaran, keduanya telah segera melengos. Justru itu ia lalu mendengar Candra Wulan tertawa terbahak-bahak. Setelah tertawa maka terdengarlah perkataannya yang nyaring :

“Bagus apakah ini??”

Menyusul dari suara itu maka terdengarlah suara tajam dari Kembang Arum :

“Adi Candra Wulan.... lekas kembalilah. lekas kembalikan kepadaku.”

Kedua orang pemuda itu telah segera berpaling. Maka ia lalu melihat kearah tangan Candra Wulan, segera saja tampak sebuah permainan perhiasan yang diangkat tinggi-tinggi.

Muka Kembang Arum menjadi merah. Ia mencoba mengulurkan tangannya untuk merampas kembali barang itu.

“Inilah pusakanya kakang Mintaraga.” Seru Candra Wulan, sambil tertawa terus. “Beberapa kali aku minta ini dari tangan kakang Mintaraga, namun kakang Mintaraga berkeras kepala tak memberikan permainan ini kepadaku. Huahaaaa... Huahaaa... Huahaa... mengapa sekarang barang ini  

berada didalam dadamu? Huahaaa... Huahaaa... Huahaa... malu tidak kau

Kembang Arum?”

Kembang Arum malu sekali, apa lagi ketika ia berpaling kearah Mintaraga dan Wirapati, mereka melihat kalau pemuda ini sedang tersenyum dan mukanya berseri-seri. Maka itu ia lalu melompat kearah Candra Wulan.

“Kau akan mengembalikannya atau tidak?” Ia segera mengancam. “Kalau kau marah, apakah kau akan menyangka kalau aku mau segera

mengembalikan ini?” Bantah Candra Wulan yang kini mempunyai kesempatan baik untuk menggodanya.

Kedua pipi Kembang Arum menjadi merah. Ia lalu mengulurkan lagi tangannya. Tubuhnya melompat. Ia segera hendak merampas pulang.

Candra Wulan mundur, lidahnya dikeluarkan, kedua tangannya ditaruh didepan mukanya, kemudian ia lari.

Kembang Arum penasaran dan mengejar terus.

“Kakang Mintaraga lihatlah, adi Kembang Arummu marah, bukankah ia menjadi semakin cantik?” Seru Candra Wulan terus menggoda dengan senang sekali. “Sungguh aku menjadi semakin menyayanginya..... Tapi, ah, kasihan..... sudahlah. !”

Wirapati tertawa ketika melihat kelucuan kekasihnya ini.

Mintaraga sebaliknya, mukanya menjadi merah dadu. Mau tak mau pemuda inipun menjadi malu dan likat. Memang permainannya ini di berikan kepada Kembang Arum sebagai tanda mata, diberikan baru sepenanak nasi yang lalu. Entah bagaimana Candra Wulan dapat mengambilnya.

“Sudah... sudahlah adi Candra Wulan sudah.” Katanya dengan tersipu- sipu. “Sudahlah jangan bergurau lagi.”

Ia hanya dapat mengatakan demikian, sebab kalau dia akan ikut merampasnya maka itu akan tak dapat dilakukannya. Ia akan sangat lebih malu lagi kepada adik angkatnya ini.

Candra Wulan tertawa.

“Kaupun hendak memohon ampun?” Tanyanya. “Apakah kau sendiri juga minta ampun? kalau benar-benar maka nanti aku akan mengembalikannya ”

Mintaraga melihat Kembang Arum yang menjadi sangat malu sekali lalu menjadi kasihan.

“Baiklah aku minta maaf kepadamu.” Katanya kepada gadis yang jail dan lucu itu. “Lain kali aku tak berani mengintaimu lagi.”

Candra Wulan tertawa lalu tubuhnya mencelat kearah Kembang Arum. Indah sekali gaya lompatannya ini, karena diam-diam gadis ini telah mempergunakan ilmu lompatan wanita cantik mempersembahkan bunga. Setelah sampai didepan Kembang Arum ia lalu mengangsurkan tangannya.  

“Budak busuk, inilah mustikamu.” Katanya.

Kembang Arum menjadi gembira sekali tubuhnya bergerak, tangannya menyambar dengan jurus kunyuk sakti menyambar buah, maka dengan demikian maka permainan itu telah mencelat dari tangan Candra Wulan dan sekali sambar saja telah berada ditangannya kembali.

Dengan memutar tubuh ia lalu menyimpan kembali permainan tanda mata dari kekasihnya itu kedalam saku bajunya. Gerakannya inipun sangat manis, sebab belakang tangan Candra Wulan tertepuk, dan permainannya terpental naik.

“Bagus.” Demikianlah datang pujaan yang tak diminta, hingga semua orang menoleh dan segan melihat kalau Baskara telah muncul lagi ditengah- tengah mereka. Rupa-rupanya ia baru saja bangun dari tidurnya. Kedua matanya masih ketip-ketip bagaikan kera kebanyakan sambel.

“Baskara, bagus kau datang.” Kata Candra Wulan dengan tertawa lebar. “Kau adalah raja copet, bagaimanakah kau lihat kepandaianku tadi?”

Baskara menunjukkan jempolnya.

“Akulah si anak pencopet, dan kau adalah bapaknya.” Katanya dengan tertawa nyaring karena kegembiraannya.

Maka kembalilah semua orang menjadi tertawa lebar.

Ketika itu dari arah timur mulai tampak cahaya merah dengan samar- samar. Suatu tanda kalau sang fajar mulai menyingsing.

“Cukup sudah.” Seru Mintaraga. “Sekarang telah waktunya kita berangkat. Untuk menuju ke Banten maka kita akan memerlukan waktu lama dan jauh sekali.”

Biarpun Mintaraga mengatakan kalau perjalanan mereka itu amat jauh dan mungkin akan mengalami banyak sekali penderitaan-penderitaan akan tetapi mereka akan tetap menjalankan dengan perasaan hati penuh kegembiraan.

Terlebih dahulu ia harus kembali kekota Cirebon dahulu. Sebab Kota Cirebon inilah yang menghubungkan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat dimana daerah Banten terletak. Untuk mengadakan perjalanan jauh ini iapun harus menyiapkan perbekalanannya terlebih dahulu.

Biasanya di kota Cirebon ini orang akan dapat membeli apa-apa dengan mudah, akan tetapi entah mengapa sekarang ini membeli nasipun sangat sukar. Apa lagi kalau harus mencari kuda ataupun keledai.

“Bagaimana sekarang, kakang Mintaraga?” Tanya Kembang Arum kepada kekasihnya sambil mengerutkan kening. “Perjalanan kita ini akan melintasi jalanan lereng gunung ataupun jurang yang sukar diterjang maupun penuh dengan bahaya-bahaya. Setelah menginjak tanah Jawa Barat kita lalu membelok kekanan lalu meneruskan kebarat lagi untuk menerjang keangkeran gunung Tangkuban Prau dan melintasi padang rumput yang sangat kering didaerah Trowulan, setelah melintasi dataran tinggi terus  

menerjang daerah Pajajaran dan Pakuan akhirnya barulah kita akan dapat

memasuki daerah Banten.”

Kembang Arum memang berkata dengan sesungguhnya, hingga teman- temannya ini saling berpandangan dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Aku mempunyai pendapat.” Seru Candra Wulan.

“Apakah itu?” Tanya mereka dengan beramai-ramai. Semua mata terus ditujukan kearah Candra Wulan.

Candra Wulan tertawa, hahaha... hiii... hahaaaa... sambil menunjuk kearah Baskara.

“Kau adalah si raja copet yang sangat terkenal sekali. Bahkan dikatakan tokoh copet yang nomor satu dikolong langit ini.” katanya. “Kau mengaku atau tidak?”

“Bagaimana kalau benar?” Baskara atau Hasto Piguna balik bertanya “Bagaimana?” Agaknya ia agak tembereng.

“Karena itu, tugas ini kaulah yang harus mengerjakan.” Jawab Candra Wulan. “Jika dalam waktu sepenanak nasi kau dapat menyiapkan perbekalan kita maka aku akan memujimu sebagai seorang raja copet yang sejati. Raja biarpun tak bermahkota.” Katanya dan kemudian Candra Wulan menambahkan lagi. “Bahkan kau tak usah malu-malu mempunyai kepandaian dan julukan yang demikian ini.

Baskara menjadi terkejut sekali.

“Mana ini dapat terjadi?” Serunya. “Umpama saja kau menyuruhku mencuri emas dan perak atau sampai pada Tunggul Tirto Ayu dan mahkota raja sekalipun, itulah gampang. Akan tetapi untuk mencuri kuda ataupun keledai yang sedemikian besarnya, bagaimana aku harus menjemputnya?”

Meskipun ia berkata demikian, raja copet ini toh kena di pancing oleh Candra Wulan yang cerdik dan nakal. Maka ia lalu sudah menepuk-nepuk dadanya sambil berseru :

“Baiklah kalian lihat saja kepandaianku.

Setelah berkata demikian maka Baskara lalu memeriksa kantongnya yang memuat beberapa barang-barang seperti dupa penyirepan, anak-anak kunci rahasia dan lain-lainnya, setelah itu ia lalu tertawa dan pergi dengan segera.

Mintaraga diam-diam bergembira sekali. Ia lalu berpikir :

“Aku tak akan sia-sia mendapatkan raja pencopet ini sebagai kawan, sebab tak akan ada ruginya. Dalam perjalanan ke Banten ini maka kitapun harus mempergunakan kepandaian yang aneh-aneh, maka sungguh beruntung sekali kalau aku telah dapat menarik tenaganya untuk membantuku.”

Sambil menantikan kembalinya si Raja Pencopet, mereka berempat tak banyak memasang omongan, mereka lebih banyak menduga-duga apakah  

kawannya itu dapat berhasil atau tidak. Mereka mengharap-harap serta

berdoa semoga segera berhasil....

Lama rasanya akan tetapi ketika waktunya telah tiba, kira-kira sepenanak nasi, Baskara telah muncul kembali ditengah-tengah kawan- kawannya itu. Sebelum membuka perkataannya terlebih dahulu Hasto Piguno ini tertawa berkakakan.

“Ki sanak sekalian, marilah kalian ikut aku untuk melihat barang- barangnya. Sudah lengkap atau belum.”

“Bagus... bagus...” Seru Candra Wulan dengan berulang-ulang. “Hasto Piguno aku telah mengatakan kalau kau iui memang tak mengecewakan sekali kalau mendapat gelar si Raja Pencopet. Namun bukankah kini kau telah berganti nama dengan Hasto Piguno?”

“Kau terlalu memuji.” Seru Raja Pencopet itu dengan tertawa lebar. “Marilah.” Ajaknya kepada keempat orang kawannya itu menuju kesebuah rumah yang reyot dan kosong. Namun disitu mereka telah mendapatkan kuda, tenda, perabot masak, kantong air dan lain-lainnya. Lengkap untuk mengadakan perjalanan panjang.

“Pencopet, akan tetapi merupakan sebuah raja, itulah tak gampang.” Kata Kembang Arum tertawa. “Baskara kau masih kekurangan satu lagi.”

“Semua barang yang berada didalam kota telah kuambil.” Seru Hasto Piguno sambil memberi keterangan. “Kalau saja disana ada gajah mana dapat ia lolos dari tanganku. Pula sekarang kita tak memerlukan gajah. Ini beberapa ekor kuda saja telah cukup. Kuda teji, kutanggung kalau kuda ini adalah sebuah kuda jempolan.”

Mendengar kalau perkataan si raja pencopet ini memang sangat beralasan maka Kembang Arum tak mengeluarkan perkataan apa-apa.

“Baskara, apakah kau telah meninggalkan uang untuk perbuatanmu ini mengambil barang-barang orang lain?” Tanya Mintaraga.

Hasto Piguna hanya tertawa.

“Kalau meninggalkan uang itu namanya membeli, bukannya mencuri ataupun mencopet.” Jawabnya. “Bukankah keteranganku inipun benar ki Mintaraga?”

Mintaraga berdiam diri, walaupun sebenarnya ia merasa tak puas melihat sepak terjang kawannya ini. Namun memang mereka itu sekarang tak dapat berbuat apa-apa.

“Dari mana kau samber semua barang-barang ini?” Tanya Wirapati. “Inilah rahasia, maaf kalau untuk ini aku si raja pencopet tak dapat

menerangkan.” Jawab Hasto Piguno.

Mendengar jawaban ini Wirapati hanya dapat tersenyum nyengir saja.

Sedikitpun tak dapat berbuat apa-apa.

“Mari kita bersiap. Sudah waktunya untuk berangkat.” Kata Mintaraga kemudian.  

Ia lalu menyuruh kawan-kawannya untuk menyiapkan barang-barang

itu keatas punggung kuda-kudanya.

Berlima mereka mengadakan perjalanan, melintasi perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, lalu mulai masuk kedaerah Jawa Barat. Banyak hari-hari yang dilewatkan, namun banyak pula kesukaran-kesukaran yang harus ditempuhnya. Untunglah mereka berlima ini kebanyakan bertubuh kuat dan sebagai orang-orang dunia kependekaran telah kenyang akan asam garamnya perantauan hingga dengan demikian mereka tak kurang suatu apapun juga. Sampai pada suatu hari mereka itu tiba disuatu tempat dimana mereka merasakan hawa yang panas seperti juga mereka kejeblos masuk kedalam lubang gunung besar atau tempat-tempat pengleburan logam.

Didepan mereka ada sebuah kota, sambil menunjuk kearah kota itu Mintaraga lalu berkata :

Itulah yang disebut orang dengan nama gunung Tangkuban Prau, sedangkan kota kecil yang kelihatan itu adalah kota Lemah Gempal, mengapa disebut Lemah Gempal, ini karena tanah sekitar situ selalu gempal saja akibat dari daya kekuatan gunung Tangkuban Prau yang mengeluarkan hawa panas. Kalau dari sini kita menuju ke sebelah barat laut maka kita akan menemukan sebuah padang rumput yang luas.

“Pantas saja kalau tanahnya selalu gempal sebab namanya saja demikian panasnya. Lebih baik lagi kalau disebut kota Api.” Kata Wirapati sambil menyusuti peluhnya. Bahkan kini muka pemuda itu kelihatan banyak peluhnya. “Kakang Mintaraga jangan kita pergi kekota api ini, akan tetapi lebih baik kita melintasi padang rumput ataupun padang tandus saja.”

Mintaraga memandang kelangit dimana matahari merah itu mulai mencondongkan diri kearah barat.

“Kita harus bermalam disini.” Katanya. “Kita harus menambah perbekalan kita dahulu, setelah itu barulah kita menyeberangi lautan padang yang sangat luas itu. Mulai daerah sini sampai kepadang tandus tanah selalu kering dan tak ada tetanaman apa-apa, hanya pasir-pasir saja yang berserakan disana sini. Daerah kosong hingga kita tak akan dapat membeli apa-apa disana.”

Kembang Arum dan Candra Wulanpun merasakan makin lama makin panas, peluh mereka itu terus menerus mengalir keluar hingga baju mereka itu menjadi basah kuyup karena tersiram peluh.

“Sudahlah kakang Mintaraga, tak usah kita menambah perbekalan lagi.” Katanya. “Sungguh hawa panas ini dapat mematikan orang. Disini saja telah begini rupa, apa lagi nanti setelah kita sampai ke Lemah Gempal. Apakah kita hanya akan menjadi babi panggang yang siap sedia dipanggang secara bulat-bulat.

Mintaraga tertawa.  

“Kalian jangan khawatir dan tak karuhan begitu.” Katanya menghibur

kawan-kawannya. “Sebentar setelah matahari tenggelam maka udara akan berubah menjadi dingin.”

Kalau di Cirebon tak ada gajah, maka didaerah pegunungan ini tentunya ada. Mungkin kalau bukan gajah ya cukup kita naik kerbau hutan.” Seru Baskara. “Huahaaa... Huahaaaa... Huahaa... Asal ada gajah maka kalian akan dapat menyaksikan sampai dimana kepandaianku tentang hal curi mencuri.” “Benar.” Seru Mintaraga. “Marilah kita masuk kedalam kota untuk membeli beberapa ekor gajah tunggangan. Tanpa gajah jangan harap kita

akan dapat melintasi gurun dan hutan belantara.”

Kembang Arum dan Candra Wulan terpaksa mengalah, maka mereka lalu berlomba-lomba untuk melarikan kudanya menuju ke Lemah Gempal. Setibanya mereka disana maka mereka mendapatkan sebuah kota yang sunyi senyap bagaikan dimalam hari. Tak seorang juga yang terlihat.

“Mungkin disini terjangkit sebuah penyakit menular hingga karena gegebluk inilah maka seluruh penduduk mati semuanya. Mungkinkah hal itu terjadi?” Seru Candra Wulan dengan heran bukan main.

Mintaraga menertawakan kawan-kawannya.

“Kau ingin mengetahui sebab-sebabnya?” Katanya. “Nah marilah ikut aku.”

Dengan menduga-duga Candra Wulan berempat lalu mengikuti Mintaraga, mereka mengambil jalan dijalan yang berliku-liku.

“Sudah sampai.” Kata Mintaraga kemudian, setelah berjalan sekian lama. “Kalian lihat apakah itu.” Ia menunjukkan jari telunjuknya kearah depan.

Kawan-kawannya itu melihat sebuah gua. Mereka lalu mendekati gua itu. Gua ini dalamnya ada beberapa puluh kaki. Dari mulut hingga dasar gua itu dipasangi tangga batu.

“Apakah ini kakang Mintaraga?” Tanya Wirapati kepada kawannya itu dengan heran.

“Kalian turun saja, nanti kalian akan mengetahui sendiri.” Inilah jawaban yang tak pernah diduga-duga oleh kawan-kawannya. Akan tetapi ini adalah merupakan jawaban dari Mintaraga.

Wirapati dan semuanya lalu bertindak menuruni batu tangga didalam gua itu. Baru mereka berjalan belasan tumbak saja mereka telah mendengar suara berisik dari dalam. Bahkan mereka itu mendengar nyata sekali.

“Lekas minggir, lekas... panas... panas.....” Mereka lalu berpaling, dan mereka melihat tiga orang yang terus lari turun. Tiga orang itu masing- masing bertubuh tinggi, mata mereka besar dan mulutnya lebar-lebar! Mereka itu tak mengenakan baju hingga dengan demikian maka tampaklah kalau dada mereka itu penuh dengan bulu-bulu hitam dan panjang-panjang.  

“Lekas   minggir.”   Seru   Mintaraga   untuk   memperingatkan   kawan-

kawannya yang sedang berjalan menuruni tangga itu.

Mereka itu lari turun sambil sebentar-sebentar menyusuti peluhnya. Merekapun lalu mengutuk kearah hawa panas itu. Ketika mereka lewat disamping Wirapati beramai-ramai, bau peluh mereka itu menyebabkan Candra Wulan dan Kembang Arum harus segera mengeluarkan sapu tangannya supaya jangan muntah-muntah. Sapu tangan itu dipakai untuk menutupi mulut dan hidungnya.

Sekarangpun terlihat dengan nyata, tiga orang raksasa itu memakai celana merah, putih dan hijau. Yang memakai celana putih itu, diwaktu melewati orang-orang ini, sudah segera memperlihatkan tinjunya yang besar sambil mulutnya mengeluarkan perkataan :

“Budak-budak busuk, kalian telah menghina kami. Sebentar lagi kalian tentu akan tahu rasa.”

Orang itu terang kalau bukan orang Jawa akan tetapi bahasa Jawanya sungguh lancar sekali. Mungkin kalau tak salah mereka adalah manusia- manusia raksasa setengah kera dari penduduk asli Jawa ini.

Mendengar perkataan orang itu maka Candra Wulan menjadi tak senang hatinya.

“Siapakah menghinamu?” Tegurnya dengan gagah. “Jika benar-benar kau hendak mencari gara-gara maka marilah.”

Sedikitpun Candra Wulan tak takut menghadapi para raksasa yang kelihatannya menakutkan itu.

Si celana merah itu segera menghentikan larinya, dan tahu-tahu tinjunya yang besar itu telah melayang.

Candra Wulan akan melayani, akan tetapi segera Mintaraga menarik tangannya dan mulai membisiki kawannya :

“Mereka itu adalah manusia-manusia purba yang setengah kera, jangan kau pandang mereka itu seperti manusia-manusia biasa yang mempunyai akal budi yang sehat ini adi.”

Raksasa merah itu telah menjadi sangat gusar, akan tetapi segera ia ditarik oleh kawannya yang bercelana putih.

“Didaerah pedalaman banyak orang-orang luar biasa, inilah benar sekali.” Seru Wirapati. “Kalau di Jawa Tengah kita tak pernah melihat ada orang sebesar raksasa itu. Inilah hebat!”

Mintaraga dan Candra Wulan masih mendongkol, sambil tertawa ia lalu berkata pula :

“Tiga manusia kera itu kepanasan hingga mereka menjadi semakin kalap. Mereka itu mau segera turun supaya segera dapat merebahkan diri. Sebentar kalian jangan suka mengusik mereka.”

“Tidur?” Tanya Candra Wulan dengan heran. “Tidur diwaktu begini hari?”  

Mintaraga hanya tertawa, sedikitpun tak menjawab pertanyaan adik

angkatnya itu.

Didalam dasar gua itu, mereka lalu mendapatkan sebuah lorong yang lebar dan panjang. Begitu mereka berjalan dilorong itu maka lenyaplah perasaan panas yang tadinya mengganggu mereka. Dan peluh mereka mulai kering dengan sendirinya. Merekapun lalu melihat banyak orang tidur dengan berserakan. Dengkur mereka kedengaran dengan keras sekali.

“Nah sekarang barulah kalian mengerti bukan?” Kata Mintaraga kepada Candra Wulan dan semuanya. “Didaerah Tangkuban Prau ini memang kalau siang orang tak kuat panasnya dan mereka terpaksa lari masuk kedalam gua ini dan sekalian untuk melepaskan lelahnya akan tetapi nanti begitu ia bangun dan hari telah mulai malam mereka akan keluar dan mulai bekerja.”

Disini terdapat gua-gua semacam ini, disegala tempat.” Mintaraga lalu memberi keterangan terlebih jauh. “Diantara orang-orang hartawan ada yang membuat gua-gua sendiri yang didalamnya disediakan perlengkapan tidur dan lain-lainnya. Gua semacam ini adalah sebuah tempat umum, siapapun juga boleh masuk kemari.”

“Inilah hebat untuk kami orang-orang yang biasa berkeliaran dimalam hari.” Seru Wirapati dengan tertawa. “Mereka telah menukar malam menjadi siang dan siang menjadi malam. Kalau siang mereka tidur dan malamnya mereka bekerja. Kita tak bisa bekerja malam ” 

“Memang.” Seru Baskara membenarkan, dan diapun lalu ikut tertawa. Bahkan ia lalu tertawa dengan lebar. “Kalau aku harus tinggal disini dan bekerja disini pula maka akan celakalah aku ini. ”

Mendengar kalau kawannya bergurau maka mau tak mau Kembang Arum dan Candra Wulanpun ikut tertawa pula.

“Hussstt... jangan berisik.” Seru Mintaraga yang datang-datang telah menyela mereka. “Nanti mereka akan terganggu dan terjaga dari tidurnya.”

Candra Wulan membentur Kembang Arum dengan sikutnya. “Ayu kau akan tidur atau tidak?” Tanyanya.

“Cis.” Jawab Kembang Arum dengan mencibirkan bibirnya yang manis itu. “Kalau kau mau tidur, tidurlah aku tak akan tidur malam ini.”

Candra Wulan tertawa.

“Apakah dapat kita tidur ditempat begini?” Tanyanya.

“Masuk kekampung menuruti kebiasaannya, masuk kedesa kita harus menanyakan pantangannya.” Seru Mintaraga yang memberi petuah dan menasehatkan mereka. “Di daerah Tangkuban Prau ini ada beraneka macam kebiasaan, maka kita harus memperhatikannya, jika kalian tak niat tidur maka sekarang juga kita harus mencari dimana kita akan duduk. Aku sendiri mau tidur.  

Pemuda ini lalu menarik tangan Wirapati, untuk diajak jalan diantara

berbaris-baris orang raksasa yang sedang tidur nyenyak. Mereka mencari tempat yang luang. Mereka berdua ini lalu merebahkan diri.

Kembang Arum dan Candra Wulan terus kasak-kusuk. Candra Wulan masih tetap mendongkol kepada ketiga orang raksasa tadi. Ingin sekali ia menggoda mereka.

Baskara mengetahui akan maksud Candra Wulan ini, maka si raja pencopet ini menyatakan kesetujuannya. Malahan ia lalu yang menganjurkan. Ia lalu berpikir :

‘Disebuah pihak adalah bangsa-bangsa raksasa, sedangkan dilain pihak adalah bangsa nona-nona manis, kalau mereka bertempur tentunya akan hebat dan menarik hati untuk ditonton.’ Memang ia senang sekali kalau dunia menjadi kacau balau....

Candra Wulan lalu mencari ketiga orang raksasa tadi, namun ia tak mendapatkannya.

“Eh... siapakah binatang ini?” Tanya Kembang Arum yang mengikuti kawannya itu. Ia menunjuk kearah orang yang sedang tidur.

Candra Wulan memandang kearah orang yang sedang ditunjuk kawannya itu, ia melihat seorang yang berpakaian secara raksasa, dan dipinggang mereka itu terdapat benda-benda yang muncul. Ia melihat potongan kepala kijang mata tikus.” Melihat orang itu ia segera teringat kepada orang kelima dari jago-jago Jipang Panolan. Dialah Poncowolo.

“Haaa... binatang ini datang kemari.” Kata Candra Wulan. “Dia menyamar sebagai orang-orang raksasa. Dia mencampurkan diri disini, sangat mengherankan sekali kalau orang macan dia mempunyai maksud yang baik!”

“Dia mempergunakan baju seperti raksasa ini maka banyak kemungkinan kalau iapun mempunyai hubungan dengan para pribumi- pribumi ini.” Kembang Arum mengutarakan juga dugaannya. “Baskara. Kau harus memperlihatkan kepandaianmu. Coba kau usut-usut pinggangnya. Dia ini menyimpan barang rahasia apakah?”

Baskara memperdengarkan kalau tanda ia telah menyetujui. Baru saja ia mau bertindak menghampiri, Poncowolo tiba-tiba saja bergerak membalikkan diri, setelah itu ia lalu berjungkir balik.

“Lekas rebah, jangan memberi kesempatan untuknya mengenali kita.” seru Kembang Arum dengan perlahan. Iapun mempelopori untuk membuang diri dengan jurus keledai malas menyandarkan kepala. Perbuatan Kembang Arum ini diikuti oleh kedua orang kawannya. Namun mereka berdua kurang sebat.

Syukurlah Poncowolo tak dapat melihat mereka. Jago dari Jipang Panolan ini mengusuk-usuk matanya. Setelah itu ia melihat kearah sekitar lalu ia memperdengarkan siulannya sebanyak tiga kali.  

“Entah dia akan main gila apa lagi....!” Pikir Candra Wulan yang

semenjak tadi memasang kupingnya.

Mendengar tanda siulan ini, dua orang berlompatan bangun dari tidurnya diantara banyak orang-orang pribumi ini. Segera saja tampak kalau yang bangun itu adalah orang keenam dari jago-jago Jipang Panolan yang bernama Paku Waja, dan yang seorang adalah raksasa penduduk pribumi asli. Orang ini tak dikenal oleh Candra Wulan.

Paku Wajapun mengenakan pakaian persis seperti apa yang dipakai oleh para raksasa penduduk asli itu. Setelah ia mengangguk bersama dengan raksasa yang bangun itu terus berlalu dengan secara hati-hati sekali. Poncowolo lalu mengikuti dengan berjalan tunduk.

Mereka menuju kemulut gua.

Mintaraga dan Wirapati tidur didekat jalanan yang diambil tiga orang itu, mereka ini tak melihat atau mengenalinya. Sebentar saja mereka itu telah lenyap dari undak-undakan tangga.

Kembang Arum melompat bangun.

“Mari kita ikuti mereka.” Seru Candra Wulan, yang telah turut bangun. “Apakah tidak lebih baik kalau kita memberi tahukan kepada kakang Mintaraga?”

“Tak usah.” Jawab Kembang Arum. “Marilah kita berangkat.”

Kembang Arum lalu bertindak dengan cepat dan diikuti oleh Candra Wulan dan juga Baskara. Ketika mereka itu muncul dimulut gua, maka kelihatanlah mereka itu sedang jalan bersama-sama dan tiga orang ini kelihatan kasak-kusuk, dan menoleh kebelakang, rupa-rupanya kalau ada orang yang mengikutinya.

Kembang Arum bertiga ini lalu berlaku dengan waspada dan juga sangat gesit. Mereka tak sudi memperlihatkan dirinya dihadapan jago-jago Jipang Panolan itu.

Tiga orang itu jalan kira-kira tiga ratus tombak dari mulut gua, mereka lalu menghentikan tindakannya. Orang tinggi besar itu lalu memperdengarkan siulannya dengan perlahan. Tiba-tiba saja dari muka bumi itu muncullah sebuah kepala orang, kepala ini besar sekali, yang segera disusul dengan tubuhnya, yang besar dan telanjang. Hingga akhirnya keluar dan dibawah pinggangnya tampak celananya yang merah.

“Ah...!” Kembang Arum berseru tertahan. Itulah si raksasa bercelana merah, yang tadi tak mereka dapatkan diterowongan.

Raksasa pribumi ini memberi tanda-tanda lalu menggerak-gerakkan tangannya, bicara dengan raksasa itu, kemudian setelah mereka datang dekat satu dengan lainnya, merekapun lalu kasak-kusuk. Kembang Arum bertiga tak dapat mendengarkan perkataan mereka.

Si Raksasa bicara sambil tertawa gembira. Dia kelihatan mengangguk- angguk, diapun lalu menepuk-nepuk dadanya hingga terdengar suara yang  

nyaring.    Tak    lama    kemudian    Poncowolo    bertiga    lalu    melanjutkan

perjalanannya. Sedangkan raksasa merah inipun lalu menghilang pula masuk kedalam tanah.

Segera saja Kembang Arum bertiga menghampiri gua raksasa itu. Gua itu lebar dan tangga batunya, sama dengan yang mereka masuki tadi.

Itulah tak heran, sebab mulut gua ini ada sama dengan mulut gua yang tadi. Mungkin yang sana untuk masuk dan yang ini untuk keluar.

Candra Wulan melongok kearah mulut gua, justru waktu itu si raksasa sedang menjatuhkan tubuhnya keatas tanah hingga kepalanya didongakkan. Dengan begitu ia dapat segera melihat Candra Wulan. Rupa-rupanya dia telah mengenal hingga kini ia menjadi kelihatan gusar.

“Budak busuk, kembali kau.” Serunya. Dia lalu melompat bangun untuk lari kearah mulut gua. Dia mempunyai tubuh yang besar akan tetapi gerakannya kelihatan enteng dan gesit. Begitu dia datang dekat si gadis, sebelah tangannya lalu melayang.

Sewaktu Candra Wulan melongok, Kembang Arumpun ikut melongok juga, maka selain mereka melihat si celana merah inipun mereka melihat pula si celana putih dan celana hijau. Namun kedua orang lainnya itu sedang kelihatan tidur menggeros dengan keras. Tubuh mereka itu masih keringatan. Ia lalu berpikir :

‘Kita mesti bentrok satu lawan satu, atau kita harus melawan yang satu ini dari pada harus melawan ketiga-tiganya. Maka lebih baik kalau si celana merah ini dipancing hingga pergi jauh-jauh dari sini...’ Ia baru berpikir begitu, namun segera melihat kalau Candra Wulan terus diserang dan terpaksa ikut melompat mundur.

“Kerbau dungu, apakah benar kau ini hendak mengajak kami berkelahi?” Tanyanya. “Kau harus mengetahui kalau aku ini tak takut kepadamu.”

“Kau memanggil aku apa?” Tanya raksasa itu sambil melayangkan tangannya.

Candra Wulan mengelak sambil menyambut. “Aku memanggilmu dengan sebutan si kerbau dungu. Bukankah ini merupakan nama gagah dan kehormatan bagimu?”

Candra Wulan tak hanya mengelak saja, malahan ia lalu menyelusup masuk kesamping orang tinggi besar itu.

Raksasa itu bertubuh kaku hingga persis dengan pohon bongkot cemara. Kedua tangannya besar sekali dan pasak. Dia memang mirip dengan kerbau akan tetapi dia ini sangat gesit. Dia dapat memutar tubuh dengan cepat. Begitu sewaktu Candra Wulan lewat disamping, dia lalu memutar diri sambil mengayunkan tangannya untuk menyerang. Akan tetapi kelincahan Candra Wulan benar-benar tak mengecewakan, ia dapat bergerak mendahului lawannya hingga dapat memukul perut raksasa itu. Keras  

pukulan itu hingga terdengar suara.... ‘BUKKK’... akan tetapi si raksasa itu

tak bergeming, dia agaknya tak merasakan sakit, hingga Candra Wulan menjadi heran sekali, segera ia mencelat mundur.

*

* *

Raksasa itu tak mau mengerti, dia melompat menyusul, akan tetapi gadis ini terus berlari.

Kembang Arum yang menyaksikan ini, iapun lalu menjadi heran. Maka iapun lalu memberi tanda kepada Baskara. Didalam hatinya ia berkata :

‘Candra Wulan kalau kau ini seorang gadis cerdik maka kau harus menyingkir sedikit lebih jauh.’

Ternyata Candra Wulan inipun berpikiran seperti kakaknya ini. Ia memang seorang gadis yang cerdik, bahkan kadang-kadang ia lebih cerdik kalau dibandingkan dengan Kembang Arum. Setelah mengetahui kalau lawannya ini mempunyai kekebalan, maka ia lalu lari menjauhkan diri dari pada berbuat ribut-ribut disitu dan akan dapat membangunkan dua orang raksasa lainnya. Maka iapun lalu memancing raksasa ini lari ketempat yang jauh. Demikianlah ia lalu kearah jalan besar.

Si Raksasa ini lari terus mengejar dibelakang Candra Wulan. Dibelakang mereka itu Kembang Arum dan Baskara lari mengikutinya.

Candra Wulan lari keluar kota, disana terdapat sebuah tanah datar yang berpasir kuning (agaknya bekas lumpur). Disitu tak ada rumput maupun pepohonan. Ia segera saja mengeluarkan keringat. Untung untuknya sebab matahari telah mulai merebahkan dirinya kebarat. Maka juga hawa panaspun telah berkurang terus, hingga dengan demikian ia menjadi tak begitu menderita.

Raksasa itu mengejar terus dan sering terdengar kutukannya. Dan juga ia lalu mengacung-acungkan tinjunya yang besar, tanda kalau orang pribumi ini sangat mendongkol sekali. Dia juga bermandikan keringat, hingga ia mirip sekali bagai orang menceburkan dirinya kesungai.

Sampai disitu Candra Wulan lalu menghentikan langkahnya. Ia lalu membalikan tubuhnya dan tertawa.

“Kerbau dungu, jangan kau mencaci makiku dan mengutukku.” katanya dengan bergurau. “Marilah, kita bertempur disini untuk mencari keputusan. Kau lihat saja siapakah yang bakal rebah ditanah, kau atau aku!”

Raksasa itu menyusuti peluhnya yang terus deleweran diseluruh tubuhnya.

“Budak busuk, jika kau sekali lagi memanggilku sebagai kerbau dungu maka aku tak akan segan-segan untuk membunuhmu.” Serunya dengan sesumbar. “Ketahuilah aku bernama Bereum.”  

Candra Wulan sedikitpun tak menggubris ancaman itu, ia malahan

tertawa dengan terbahak-bahak.

“Kerbau dungu! Kerbau dungu......!” Ia lalu berteriak dengan berulang- ulang. “Ya aku akan memanggilmu sebagai kerbau dungu. Untung kau tak kupanggil kerbau kopoken.”

Bereum adalah seorang jago kelas satu diantara orang-orang pribumi itu. Dimana ia sampai maka disitulah banyak penduduk yang menghormatinya. Bahkan orang-orang akan menyanjungnya. Akan tetapi sekarang ketika ia bertemu dengan seorang gadis maka gadis itu mengatakan kalau ia bernama kerbau dungu, bagaimanakah ia tak akan marah? Maka dengan dua tinjunya yang besar ia menyerang gadis itu.

Candra Wulan melompat mundur sambil menghunus pedangnya, karena itulah ketika serangan raksasa itu tak mengenai sasarannya dan dapat di elakkan maka ia dapat membarengi dengan serangan pedangnya menikam kearah dada dibawah tetek.

Benar-benar ia seorang pemberani raksasa itu, bukannya ia melompat mundur, ia malahan menggerakkan sebuah tangannya, untuk mencoba merampas pedang penyerangnya. Sedangkan dengan tangannya yang lain ia berusaha menghajar batok kepala lawannya itu.

Hebat sekali tikaman Candra Wulan itu, ujung pedangnya segera mengenai sasarannya. Hingga orang itu terluka dan darahnya mengucur keluar. Akan tetapi Bereum tak mempedulikan lukannya, ia terus menyerang kearah penyerangnya. Maka ia lalu dapat memegang gagang pedangnya, sedangkan tinjunya terus menuju kearah kepala lawannya.

Candra Wulan tercengang sekali ketika melihat orang itu tak menggerang kesakitan ataupun berteriak bahkan sedikitpun tak bergeming walaupun lukanya tak enteng. Ia kaget dan heran sekali. Syukur ia masih sempat mengelitkan kepalanya.

Si raksasa itu sebaliknya, dari pada menjerit kesakitan ia malahan tertawa terbahak-bahak. Tangannya yang gagal menghajar kepala itu terus dipakai untuk membantu tangannya yang lain, maka dalam sekejap saja Candra Wulan menjadi kaget luar biasa. Gadis ini tak sempat berdaya menarik pulang pedangnya atau senjatanya itu, hingga dengan demikian maka ia lalu menjadi terkejut setelah mengetahui kalau pedangnya menjadi patah dua potong.

Belum lagi gadis itu sadar dari herannya, Bereum sudah melanjutkan gerakannya. Terlebih dahulu ia membuang kedua potongan pedang itu, habis itu barulah ia menyerang pula. Lagi-lagi ia mempergunakan kedua tangannya.

Candra Wulan mengelak, setelah itu ia melayani orang ini bertempur. Iapun terpaksa bertangan kosong, karena pedangnya telah kena dipatahkan  

oleh lawannya. Patahnya pedang itu tak membuat ia menjadi gugup ataupun

berkecil hati, hanya pada permulaan saja ia terkesiap.

Kedua orang itu bertempur bagaikan orang dewasa melawan seorang anak gadis. Karena yang satu tinggi besar yang lawannya hanyalah seorang perempuan yang bertubuh kecil. Hanya saja Candra Wulan terlalu gesit, merdeka sekali ia mengelak dari setiap serangan raksasa itu. Hal ini menyulitkan si raksasa yang bertubuh besar. Tak leluasa ia menekuk pinggangnya untuk membungkuk, guna membekuk lawannya yang licin ini. Sebentar kemudian, Bereum sudah bermandikan peluh, ia lelah dan penasaran sekali, dilain pihak, hatinyapun cemas. Sia-sia saja ia menyerang ataupun menjambak. Hingga ia pikir, lebih suka mengalah tiga puluh jurus

asalkan lawannya itu bisa tambah tinggi tubuhnya tiga kali lipat.

Candra Wulan berkelahi dengan berputaran, sambil mempermainkan musuhnya ia pikirkan daya untuk merobohkan lawannya yang tinggi besar dan kebal itu. Ia hanya main mengelak saja, ia lalu melompat kesana-kemari. Tubuhnya yang kecil dan lincah ini benar-benar menolongnya. Begitu selama lima puluh jurus, ia membuat lawannya kewalahan.

Berat tubuh Bereum mungkin kurang lebihnya ada tiga ratusan kati. Mestinya ia ayal segala gerakannya, akan tetapi buktinya, ia bertenaga besar dan kuat. Iapun gesit hingga tak mengenal lelah. Ia hanya kewalahan sendiri menghadapi musuh-musuhnya yang cerdik itu, terutama disebabkan dia tak dapa menyerang kebawah.

Candra Wulan segera dapat melihat kelemahan raksasa itu. Karena itu ia lalu mempergunakan akal. Ia berlaku ayal, akan memberikan kepalanya untuk dihajar. Waktu diserang ia mendak, dan menyerang kearah lawan.

Raksasa itu tak sempat menggeserkan kakinya, kaki itu kena dijejak oleh Candra Wulan yang telah mengerahkan seluruh tenaganya kearah kaki. Bentrokan keras menyusul serangan yang cepat itu. Tapi raksasa itu benar- benar tangguh, dia tak roboh, melainkan hanya terhuyung-huyung beberapa tindak.

Hanya kali ini Candra Wulan tak menyia-nyiakan kesempatannya yang baik. Ia melompat maju, untuk menyusul orang yang baru terhuyung- huyung itu. Candra Wulan berada disebelah belakang, maka dengan kedua tinjunya ia menghajar punggung si raksasa. Keras suara sasaran kena diserang. Akan tetapi kedua tinju itu tak mengenakan telak, keduanya terpeleset bagaikan tergelincir. Sebabnya ialah punggung Bereum itu bermandikan peluh, tubuh itu tanpa mengenakan baju.

Biar bagaimanapun juga raksasa itu merasakan sakit juga. Dia lalu menahan seluruh tubuhnya, supaya tak terhuyung-huyung jatuh. Setelah itu ia memutar diri, sedangkan dari mulutnya terdengar sebuah jeritan yang hebat. Rupa-rupanya ia sangat marah ketika kena hantam. Dengan mementang kedua tangannya, ia maju membalas menyerang. Dia penasaran  

sekali, sebab didaerahnya setiap kali ada pertempuran maka ia akan keluar

sebagai juaranya.

Candra Wulanpun heran dan penasaran, karena jejaknya dan dua tinjunya tidak berhasil merobohkan orang atau menyebabkan orang itu menjadi terluka parah.

“Adi Candra Wulan kau hati-hatilah.” Seru Kembang Arum yang memberi peringatan, sebab gadis inipun menjadi heran dan kagum akan kedahsyatan tenaga serta keuletan lawan Candra Wulan. Bahkan kini si raksasa mulai berkelahi dengan kalap.

Candra Wulan melihat lawannya memasang kuda-kuda terbuka. Dalam saat yang berbahaya ini ia lalu melupakan perasaan malunya, sebab untuk menyingkir kelain arah sudah tak ada waktu lagi. Ia lalu menangkis dan terus lewat selangkangan raksasa itu.

Bereum menyerang dengan sepenuh tenaganya, maka itu ketika serangannya gagal, tubuhnya terus terdorong kedepan. Tanpa ampun lagi ia kena serangan sebuah batu besar didepannya itu, batu yang tadinya berada dibelakang Candra Wulan. Justru karena rintangan batu inilah maka Candra Wulan tak dapat melompat mundur.... Keras hajaran raksasa itu hingga batu itu menjadi pecah dengan menerbitkan suara yang nyaring..........
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar