Tunggul Bintoro Jilid 08

 
JILID VIII

“KITA BERJANJI UNTUK BERPISAH dan bekerja sendiri-sendiri.” Jawab Mintaraga. “Kita berjanji siapa yang lebih dahulu mendapatkan Tunggul Tirto Ayu lambang dari tahta kerajaan Bintoro dialah yang menang. Kita berjanji pula, umpama aku yang mendapatkan kau tak boleh merampasnya dari tanganku. Selain itu akupun tak boleh lagi mengingat- ingat perasaan sakit hati ayahku ”

Pendeta Baudenda tertawa berkakakan, akan tetapi segera terdengar perkataan Mintaraga yang meneruskan perkataannya tadi.

“Misalkan kau yang mendapatkan dan tak akan menyerahkan kepada orang-orang Jipang Panolan, aku tak akan mengambil peduli lagi.” Serunya. “Akupun tak akan mengingat-ingat lagi perasaan sakit hati ayahku. Akan tetapi kalau kau menyerahkan kepada orang Jipang maka aku akan merampasnya dan menuntut perasaan sakit hati ayah.”

Syarat perjanjian ini untuk pendeta Baudenda lebih menguntungkan, hal ini berjalan karena Mintaraga berlaku sedikit mengalah. Sekarang mendengar jawaban anak muda itu, atau cucu keponakan murid, pendeta itu menjadi tertawa lebar. Karena kerasnya ia hingga melengak. Dengan tiba-tiba ia mengangkat tangannya, kemudian dengan cepat merogoh kedalam saku bajunya.

“Mintaraga ternyata sangat kuat sekali ingatanmu.” Katanya dengan gembira. “Sekarang aku akan memperlihatkan kepadamu sebuah barang.”

Mintaraga melihat kakek pendeta itu membawa sebuah bungkusan kuning, bungkusan itu bersulamkan sebuah burung garuda mementang sayap. Melihat sulaman garuda mementang sayap ini maka orang-orang akan tahu kalau benda yang berada didalamnya tentu kepunyaan raja. Karena memang semenjak Demak Bintoro, bahkan sewaktu Raden Patah memerintah beliau telah memakai lambang Garuda mementang sayap. Karena itu Mintaragapun lalu menjadi terkejut ketika melihat bungkusan ini. ‘Mungkinkah Tunggul Tirto Ayu yang berada didalam bungkusan kain

kuning itu?’ Pikir Mintaraga.

Kembali Pendeta Baudenda tertawa, lalu dengan cara yang angin- anginan ia membuka bungkusan yang bersulam kuning itu. Setelah bungkusan itu dibuka maka tampak pula sebuah lipatan kain kuning emas yang menyinarkan cahaya bergemerlapan. Setelah dibuka maka tampak jelas kalau benda atau tepatnya kain emas itu adalah sebuah bendera yang berbentuk segitiga dan pinggirnya bergelombang. Cahaya Tunggul Tirto Ayu ini makin berkilau-kilauan setelah terkena cahaya matahari. Walaupun Mintaraga bertiga berada dijarak yang cukup jauh akan tetapi mereka tetap silau ketika memandang kearah Tunggul Tirto Ayu itu.

Hati Mintaraga dan Kembang Arum menjadi tercekat kaget setelah mendengar teriakan Candra Wulan :  

“TUNGGUL   TIRTO   AYU.   Itulah   pusaka   lambang   tahta   kerajaan

Bintoro.”

Bersama dari terdengarnya suara Candra Wulan ini, Jogosatru muncul dari lantai perahu, ditempat itulah mendekam sejak tadi.

“Memang betul, sedikitpun tak salah.” Katanya dengan nyaring. “Ini memang Tunggul Tirto Ayu.”

“Mintaraga berdiri terpaku. Hal ini benar-benar tak pernah disangkanya. Begitu jauh ia telah melakukan perjalanan, untuk mencari barang itu, tak sangka kalau Pendeta Baudenda telah mendahuluinya. Karena kegelisahannya, sampai-sampai pemuda ini tak dapat membuka mulutnya.

Pendeta Baudenda yang sangat puas hatinya kembali tertawa dengan berkakakan.

“Apakah kau telah puas melihat barang ini?” Tanyanya dengan lagak lagu suara yang sangat mengejek. Tanpa menunggu jawaban lagi, kembali kakek pendeta tua itu membungkus lagi barang yang berharga itu. Dan memasukkan kedalam saku bajunya.

Candra Wulan menjadi sangat tak puas setelah mengetahui kalau Tunggul Tirto Ayu itu terjatuh ketangan pendeta Baudenda yang dianggapnya kejam dan ganas itu. Ia menjadi masygul, pikirannya tak tentram. Tiba-tiba saja ia telah menuruti suara hatinya. Hingga ia tak merasa lagi tulang iganya. Dengan sekonyong-konyong ia menjejakan kakinya kelantai perahu, melompat keperahu pendeta Baudenda. Sambil melompat ia mengerahkan aji pukulannya Gundala Kurda. Gadis ini langsung menyerang pendeta itu.

“Kembalikan Tunggul Tirto Ayuku!” Teriaknya.

Wajah pendeta Baudenda menjadi muram, sebelah tangannya lalu digerakkan. Ia menangkis sambil menyerang. Serangan yang dilancarkan ini sangat hebat sekali. Menurut hatinya yang telengas ingin rasanya ia memukul gadis itu dengan sekali pukul mampus. Akan tetapi disaat yang sangat genting, tiba-tiba saja ia mengubah jalan pikirannya.

‘Sudah... sudah.   ’ Katanya dalam hati. ‘Tunggul Tirto Ayu telah berada

ditanganku, untuk apakah aku membuat permusuhan dengan mereka?’ Karena pikiran inilah maka ia bukannya menyerang gadis ini, akan tetapi hanya menangkis dan menyambar, memegang tangan gadis itu. Setelah itu ia melemparkannya. Seolah-olah ia hanya melemparkan sebuah ayam saja. Memanglah tenaga dalam kakek pendeta ini sepuluh kali lebih hebat kalau dibandingkan dengan Candra Wulan.

Sedangkan Candra Wulan dengan jalan berjumpalitan lalu kembali melayang keperahunya. Berdiri tepat diatas kepala perahu.

Biar bagaimanapun juga Candra Wulan ini mempunyai keberanian yang besar dan mengagumkan sekali. Apa lagi kini hatinya baru panas sekali. Ia telah melupakan segalanya, termasuk pula bahaya. Ia masih sadar  kalau  

pendeta itu lebih sakti dari padanya, akan tetapi hal itu benar-benar tak

pernah dibuat takut. Karena itu ia lalu berteriak :

“Kau benar-benar membandel tak mau mengembalikan Tunggul Tirto Ayuku itu?” Baiklah kakang Mintaraga, mari kita hajar mampus mereka itu.”

Pendeta Baudenda menjadi tertawa terbahak-bahak.

“Eh... budak, mengapa kau mengatakan kalau Tunggul Tirto Ayu ini kepunyaanmu?” Tanyanya menegaskan.

“Karena itu adalah kepunyaan ayah angkatku.” Jawab Candra Wulan dengan sengit. “Barang kepunyaan ayah angkatku sama saja dengan barangku.”

Kembali pendeta Baudenda menjadi tertawa berkakakan.

“Apakah yang kau maksudkan itu si binatang rendah Darmakusuma?” Tanyanya menegaskan dan sikapnya sangat memandang rendah kepada orang yang baru saja namanya disebutkan tadi. “Hem... dia toh keponakan muridku. Sedangkan dia adalah kakak dari Jogosatru. Kau jadinya akan menarik-narik hubungan keluarga? Bukankah hubungan pihakku lebih erat dari pada hubungan pihakmu?!” Sambil berkata demikian ia mengawasi Mintaraga dan lalu kembali berkata :

“Hem   Mintaraga, bukankah kau tak dapat berkata apa-apa pula?”

Pemuda itu kelihatan sangat masygul dan lesu, iapun tengah menyesalkan dirinya, sebab urusan dengan Surodento bertiga itu maka perjalanannya menjadi terlambat. Hingga dengan demikian benda yang di carinya kini telah terjatuh ketangan saingannya. Mintaraga adalah seorang jujur dan terhormat, karena itu ia tak dapat berbuat lain.

“Paman eyang guru.” Katanya dengan perlahan. “Asal kau tak menyerahkan benda itu kepada orang-orang Jipang Panolan maka aku tak akan dapat berbuat apa-apa ”

Pendeta Baudenda tertawa dingin, ia berpaling kearah Jogosatru. Akan tetapi pendeta tua itu sedikitpun tak mengatakan sesuatu apapun juga.

Mintaraga sangat bersangsi. ‘Melihat sikap Pendeta Baudenda itu, pendeta itu rupa-rupanya bekerja tanpa minta bantuan orang sakti lainnya, dengan cara bagaimanakah pendeta itu dapat mendapatkan Tunggul Tirto Ayu itu? Apakah ia benar-benar dapat memukul roboh orang aneh yang sakti itu?? Benarkah ia dapat mengalahkan Sucitro?!’

Sewaktu berpikir Mintaraga memandang kearah orang yang tak dikenalnya. Ia semenjak tadi berdiri dikepala perahu. Sekarang ia dapat melihat dengan tegas. Orang itu berperawakan kurus, roman mukanya tak ada yang menunjukkan yang luar biasa, dia hanya tersenyum-senyum bagaikan orang puas dengan dirinya sendiri. Setelah memandang tanpa sesadarnya Mintaraga tertawa sendiri.

‘Dialah pembantu satu-satunya dari pendeta Baudenda.’ Katanya didalam hatinya.  

Orang itu ketika melihat Mintaraga memandang dengan secara terus-

menerus maka menganggap kalau pemuda ini tak punya aturan. Karena itulah dengan tiba-tiba ia menjadi tak senang. Dengan secara tiba-tiba pula ia menjejakkan kakinya hingga tubuhnya melayang kearah perahu yang berada dihadapannya. Dan melayang turun tepat dimuka Mintaraga.

“Ki sanak.” Katanya. Tertawa bukannya tertawa. “Bukankah kau ini ki Mintaraga yang telah berulang-ulang mengalahkan jago-jago Jipang Panolan dan menginjak ratakan perkumpulan Tengkorak Berdarah? Sungguh kau ini benar-benar tak kecewa karena mempunyai nama besar.”

Mintaraga tak menjadi marah, malahan ia menunjukkan sikapnya yang menghormat. Karena itu ia lalu membungkukkan sedikit badannya untuk menghormat orang yang baru datang keperahunya ini.

“Tidak, tak berani aku menerima pujian setinggi itu.” Katanya merendah. “Bolehkan aku menanyakan nama dan gelar ki sanak yang mulia?!”

Orang itu tak menjawab, hanya dengan sekonyong-konyong dia menyingkap tirai perahunya Mintaraga hingga didalam situ tampak Pacar Keling, Sampar Mega dan Surodento yang tubuhnya tak dapat bergerak akibat tertotok jalan darahnya. Semuanya rebah dilantai. Dia mengawasi sambil tertawa.

“Ki Mintaraga kau benar-benar sakti sekali.” Katanya kemudian dengan mengangkat jempolnya. “Bukankah ketiga ki sanak ini adalah tawananmu semua?”

Mintaraga tak menyangka sama sekali kalau orang itu akan berani menyingkap tirai gubuk perahunya. Akan tetapi sebelum ia berkata ia telah didahului oleh Pacar Keling, yang benar kalau tubuhnya tak bergerak akan tetapi matanya tetap melek dan tak tertidur, malahan mulutnya tetap merdeka. Wajahnya lalu berubah :

Sampar Mega malahan berseru :

“Bagus, kaupun datang tangan panjang.” Tegur pendeta itu. Mana tongkatku? Lekas pulangkan benda itu kemari!”

Orang yang dipanggil dengan nama tangan panjang itu lalu tertawa berkakakan.

“Tongkatmu itu berada didalam perahu.” Jawabnya. Sikapnya tetap wajar. “Apakah kau hendak mengambil kembali? Nah silahkan kau pindah keperahuku. Huahaaaa.... Huahaaa.... Huahaa.... aku hanya khawatir kalau kau tak mampu bergerak barang sedikitpun juga !”

Mintaraga bertiga menjadi tercengang, mereka tak menyangka kalau orang itu kenal baik dengan pendeta Sampar Mega. Malahan menurut perkataan mereka itu tongkat pendeta Sampar Mega pernah di curi oleh orang ini. Tentu saja mereka menjadi heran karena mengetahui kalau tongkat kok bisa dicopet.  

Pendeta Baudenda diperahunya seperti tak mengerti apa-apa.

“Eh... Agni Brasta, kau bertemu dengan siapakah?” Tanyanya dengan suara yang nyaring.

Orang yang dipanggil pendeta Sampar Mega dengan sebutan si Tangan Panjang dan yang dipanggil oleh pendeta Baudenda dengan nama Agni Brasta ini lalu tertawa dengan nyaring.

“Untuk menyebutkan nama mereka itu, bisalah perutku ini menjadi pecah!” Katanya dengan bergurau atau mengejek. “Kau tahu siapakah mereka itu? Mereka itu adalah pendeta Sampar Mega yang mulia dan pendekar besar Pacar Keling. Huahaaa.... Huahaaa... Huahaa...... tidakkah ini sangat lucu?”

Dia mengatakan lucu, akan tetapi bagi Mintaraga bertiga kelucuan dalam hal ini benar-benar tak ada. Mereka hanya heran mengapa orang yang bernama Agni Brasta ini disebut juga dengan sebutan tangan panjang.

Diperahu sana Pendeta Baudenda dan Jogosatru tertawa dengan terbahak-bahak. Karena suara tawa itu sangat keras maka perut mereka menjadi tenguncang-guncang. Rupa-rupanya mereka itu menganggap perkataan Agni Brasta itu sangat lucu sekali. Setelah mereka tertawa agak lama barulah pendeta itu menutup mulutnya dan segera berkata :

“Mintaraga, bagus benar perbuatanmu itu.” Demikianlah katanya. “Kedua orang itu adalah musuh-musuh besar ayahmu, karena itu bukankah lebih baik kalau kau lemparkan saja mereka itu kedalam sungai?!”

“Pendeta Baudenda, sungguh kau ini seorang yang tak tahu malu. Damprat Sampar Mega sebelum Mintaraga menjawab perkataan paman kakek gurunya itu. “Dahulu itu kaupun ikut mencelakakannya, bukankah dengan demikian berarti kaupun ikut punya bagian pula?”

“Pendeta Baudenda.” Surodentopun ikut berseru. “Apakah kau masih teringat kepadaku? Bagus! Kau telah mendapatkan Tunggul Tirto Ayu lambang dari kerajaan Bintoro, biar bagaimanapun juga aku Surodentopun ikut mempunyai bagian pula.”

Pendeta Baudenda ketika mendengar suara orang ini, segera saja ia dapat mengenalinya. Karena itu ia lalu tertawa nyaring.

“Ah, kiranya kakang Surodentopun ikut datang kemari pula.” Katanya. “Sudah lama kita tak bertemu satu dengan lainnya. Apakah kau baik-baik saja? Eh... mengapa kau tak memperlihatkan mukamu untuk bertemu muka? Apakah kau telah melupakan diriku yang termasuk sahabat lama pula?!”

Perkataan ini sangat tak enak sekali masuk kedalam telinga Surodento. Sebab waktu itu keadaan Surodentopun sedang tertotok, sedikitpun tak berdaya, karena itu saking malu dan mendongkolnya wajahnya terus berubah menjadi matang biru. Coba, kalau ia sanggup rasanya ingin sekali ia menghajar pendeta Baudenda dan muridnya itu.  

Sementara itu Pacar Keling yang hatinya ngurek itu, telah mendapat

sebuah pikiran. Ia beranggapan untuk menolong dirinya sendiri, ia harus mampu mengadu Mintaraga dengan pendeta Baudenda. Karena itu ia mencoba untuk berdiam sejenak. Kemudian setelah itu mulailah ia menyebarkan perkataannya yang berbisa :

“Eh..... Pendeta Baudenda, apakah kau masih mengenal aku?” serunya dengan tertawa.

“Ki Pacar Keling!” Jawab Pendeta Baudenda. “Akan ada pengajaran apakah darimu itu?!”

Begitu mendengar suara ini maka pendeta Baudenda telah segera dapat mengenalnya.

“Memberi pelajaran itulah aku tak berani.” Seru Pacar keling berlagak merendahkan diri. Jauh-jauh kau datang kemari, bukankah kau telah mendapatkan Tunggul Tirto Ayu yang menjadi lambang dari kerajaan Demak Bintoro bukan?”

“Tentu... tentu sekali.” Jawab Pendeta Baudenda dengan bangga. “Karena memandang kau adalah sahabatku yang kekal, maka kumohon sukalah kau memberi selamat kepadaku. Sudikah kau memberi selamat ki Pacar Keling?”

Pacar Keling tertawa bergelak-gelak.

“Untuk mengucapkan selamat kepadamu waktunya masih terlalu siang sekali sahabat.” Jawabnya.

Pendeta Baudenda menjadi sangat heran, hingga karena herannya inilah ia lalu melengak. Lalu segera ia kearah Jogosatru Setelah itu dengan sebat dan cepat sekali ia mengenjot tubuhnya berkelebat kearah perahu Mintaraga. Perbuatannya ini ditirukan oleh muridnya. Begitu sampai ia lalu melongok kedalam perahu Mintaraga.

Selama ini perahu mereka itu telah hanyut, karena itulah maka mereka telah menjadi jauh sekali dengan tempat kediaman Sucitro si orang aneh yang tadinya memegang Tunggul Tirto Ayu lambang dari kerajaan Demak Bintoro.

Ketika melihat lawan-lawannya ini tak main sungkan-sungkan lagi maka Candra Wulan menjadi marah sekali.

“Mau apakah kau datang kemari?” Serunya menegur kearah Pendeta Baudenda dan Jogosatru. “Apakah kalian sangka perahuku ini rumah makan hingga kau dapat datang kemari dengan sesuka perutmu sendiri?”

Gadis ini telah akan turun tangan, akan tetapi tiba-tiba saja Mintaraga membisikinya :

“Jangan kesusu, kita lihat saja mereka akan bentrok satu dengan lainnya. Bukankah itu akan lebih bagus dari pada kita yang harus turun tangan sendiri?!”

Pendeta Baudenda telah segera mengeluarkan perkataannya.  

“Pacar Keling, apakah maksudmu?” Tanyanya dengan suara yang

lantang. “Apakah kau menyangka kalau aku ini tak mampu mendapatkan Tunggul Tirto Ayu? Atau kau menyangka kalau Tunggul Tirto Ayuku ini palsu?!”

Pacar Keling tertawa berkakakan, akan tetapi sebentar saja ia berhenti dengan tiba-tiba, dia tak sadar akan dirinya.

Pacar Keling sebenarnya telah terserang oleh tenaga dalam Mintaraga yang amat hebat, hingga dengan demikian keadaan dalamnya benar-benar luka parah. Karena itulah ketika ia tertawa keras maka luka yang baru saja diobati sendiri dengan jalan beristirahat itu kini telah kembali kambuh lagi. Karena kambuhnya sangat mendadak dan menghebat maka pingsanlah orang itu.

Pendeta Baudenda telah mempunyai banyak pengalaman, dengan sekelebat pandang saja ia tahu mengapa orang ini berdiam dengan secara tiba-tiba. Kemudian ia menoleh kepada Mintaraga dan tersenyum.

“Pukulan tenaga dalammu sungguh hebat sekali anak muda.” Katanya dengan tetap tersenyum. “Nanti aku akan menolongnya ”

“Apa?” Tanya Candra Wulan dengan membentak. Gadis ini benar-benar masih panas hatinya.

Mintaraga segera menarik ujung baju dara ini, untuk mencegah Candra Wulan berlaku sembrono.

Pendeta Baudenda bertindak masuk kedalam perahu, tanpa banyak bicara ia lalu mengurut tubuh Pacar Keling. Selain itu masih pula pendeta jahat ini memberinya dua buah ramuan obat-obatan kedalam mulut jago dari gerombolan Uling Abang itu.

Tak antara lama lagi maka Pacar Kelingpun menjadi tersadar. Bahkan kini orang yang seperti berpenyakitan inipun merasakan kalau tubuhnya menjadi agak enak.

Mintaraga adalah seorang tokoh yang sakti, akan tetapi pendeta Baudenda adalah orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi, maka tak mengherankan kalau pendeta itu dapat menolong tubuh Pacar Keling yang terluka oleh Mintaraga.

“Eh... Pacar Keling, lekaslah kau bicara.” Desak pendeta Baudenda sambil memandang tajam-tajam kearah Pacar Keling.

“Kau sabarlah pendeta Baudenda.” Jawabnya dengan suara yang serak. “Memang benar Tunggul Tirto Ayumu itu bukannya palsu, akan tetapi Tunggul kalau tak ada kotak tempat penyimpannya saja dan kau bawa ke Jipang Panolan maka harganya akan turun. Tidak demikian kalau kau menyerahkan Tunggul Tirto Ayu beserta kotak emas tempat penyimpanannya. Mengapakah begitu? Sebab orang selalu tahu kalau ada Tunggulnya maka ada pula kotaknya. Kalau kurang salah satu saja maka itu namanya tak sempurna  ”  

“Hmm.” Pendeta Baudenda memperdengarkan suara dihidungnya.

“Setuju sekali dengan apa yang kau katakan ki Pacar Keling, rupa-rupanya kau telah berhasil mendahuluiku mencuri kotak peryimpan dari Tunggul Tirto Ayu itu ki sanak, bukankah kau telah berhasil mengambilnya? Hmm.”

Mata Pendeta jahat itu menjadi bercahaya tajam dan bengis sekali dari tertawa, wajahnya menjadi sebuah wajah yang gusar sekali.

Pacar Keling dan Pendeta Sampar Mega itu datang bersama-sama kedaerah itu dengan maksud bersama-sama mencari Tunggul Tirto Ayu, sayang sekali mereka itu terlambat dan barang yang dicarinya itu telah dapat diambil terlebih dahulu oleh pendeta Baudenda. Karena itulah mereka lalu kehilangan harapan dan mendongkol serta penasaran sekali. Karena itu ia lalu mengambil jalan air untuk mengumpulkan teman-temannya yang terdiri dari kaum bajak dan begal untuk diajak bersama-sama menghadapi Pendeta Baudenda. Akan tetapi sungguh sial sekali, karena begitu tiba di selatan mereka bertemu dengan Mintaraga. Ketika mereka melihat kalau Mintaraga mempunyai sebuah kotak maka mereka tak mau melewatkan keadaan yang dianggapnya baik itu.

Kesalahannya yang terbesar ialah mereka itu sungguh tak memandang mata kepada anak muda ini, akan tetapi sungguh-sungguh diluar sangkaan mereka, akhirnya mereka yang dirobohkan dan ditawan mentah-mentah oleh pemuda itu.

Surodento datang karena ia telah mendengar kabar angin, dia datang telah terlambat jauh sekali oleh Pacar Keling dan pendeta Sampar Mega. Dia tak dapat berkumpul dengan Pacar Keling maupun pendera Sampar Mega. Karena selama enam belas tahun yang lalu mereka itu semuanya gagal dalam memperebutkan Tunggul Tirto Ayu, mereka lalu berpencaran dan masing- masing mencari kehidupan sendiri-sendiri. Sejak saat itu belum pernah mereka bekerja sama lagi. Untuk orang-orang macam mereka itu masih ada ujar-ujar yang mengatakan :

Ada keuntungan mereka berkumpul, akan tetapi tak ada keuntungan mereka bubar.

Ketika itu pendeta Baudenda, dalam kemarahannya, sudah lalu menunjukkan kebengisannya. Dia telah mengerahkan tenaga dalamnya ditangan, dan tampaklah kalau tangan itu diangkat dengan secara pelan- pelan.

“Eh... Pacar Keling, mana kotak tempat penyimpan Tunggul Tirto Ayu itu?” Tanyanya dengan suara bengis dan bernada dingin. Dengan tangannya yang ampuh ini kakek pendeta itu telah main ancam.

Pacar Keling tengah menjalankan siasatnya biarpun ia tak menjadi takut akan tetapi tetap saja ia menunjukkan perasaan yang gelisah. Bahkan seperti orang cemas hatinya. Demikianlah ia menjawab dengan segera :  

“Kotak itu berada jauh diujung langit, akan tetapi juga dekat didepan

mata.“ Begitulah jawabnya. “Kotak itu sebenarnya berada ditubuh cucu keponakan muridmu sendiri.”

Dia sengaja menyebutkan nama Mintaraga sebagai cucu murid keponakan dari pendeta sakti ini.

Pendeta Baudenda menjadi terkejut. Hal inilah yang benar-benar tak pernah disangkanya. Dengan cepat ia berpaling kearah Mintaraga, matanya memandang dengan tajam. Kalau melihat sikapnya ini rupa-rupanya ia hendak segera menyerang cucu murid keponakannya itu. Akan tetapi dalam waktu sejenak saja, ia telah berpikir :

‘Kepandaian bocah ini tak berada disebelah bawah kepandaianku. Dengan cara apakah aku dapat merampas kotak emas itu dengan gampang dari tangannya?’ Karena pikiran inilah maka ia lalu mengubah sikapnya. Dengan cepat dan luar biasa sekali ia lalu memperlihatkan wajah yang ramah dengan senyum-senyum.

“Mintaraga, bukankah perkataan Pacar Keling itu hanyalah sebuah kedustaan belaka?” Tanyanya sambil tertawa lebar.

“Sedikitpun tak salah.” Jawab Mintaraga dengan segera dan lancar. Malahan iapun menirukan sikap kakek gurunya itu, menjawab dengan tertawa.

“Eyang aku akan memperlihatkan kepadamu sebuah barang.” Katanya dengan wajar. Ketika itu ia merogohkan tangannya kedalam saku bajunya, akan tetapi gerakan tangan ini dilakukan dengan ayal-ayalan, sikapnya sangat tenang. Ia menarik kotak emas itu keluar dengan perlahan-lahan dan kemudian membuka bungkusannya. Karena itu segeralah empat puluh sembilan butir mutiaranya mengeluarkan sinar yang berkilau-kilauan hingga pendeta Baudenda menjadi tercengang karenanya.

Mintaraga tertawa, kalau tadi ia memperlambat membuka tutup bungkusan itu, akan tetapi kini setelah menutupnya kembali ia melakukannya dengan amat cepat dan sebat sekali.

Dia juga tak memperlihatkan terlalu lama, bahkan dapatlah dikatakan kalau hanya sekejap saja. Hingga sama cepatnya dengan kotak itu dimasukkan kembali kedalam saku bajunya.

“Paman eyang guru, apakah matamu menjadi merah setelah melihat barangku itu?” Tanya Mintaraga.

Pendeta Baudenda hanya tersenyum, memang berat ia harus mengendalikan hatinya.

“Oh... tidak... tidak angger Mintaraga yang baik. Aku atau kau yang mendapatkan sama saja karena kita sama-sama dari perguruan Lawu.” Jawabnya. “Kau mendapatkan kotaknya dan aku mendapatkan Tunggul Tirto Ayunya. Sungguh dengan demikian maka kita sama-sama   

mendapatkan hasil. Dengan demikian kedua rombongan benar-benar tak

kecewa. Agni Brasta mari kita pergi.”

Ia lalu mengajak kawannya, kepada kawannya ini kakek pendeta itu lalu mengerdipkan matanya, kemudian dengan menarik tangan Jogosatru, ia mengajak melompat kearah perahunya sendiri.

Agni Brasta itu lalu memandang kearah Kembang Arum dan Candra Wulan lalu ia menepuk-nepuk pundak Mintaraga.

“Hai bocah sungguh bagus sekali peruntunganmu ini.” Katanya sambil tertawa. “Nah sampai kita bertemu pula dilain kesempatan.” lalu iapun melompat keperahunya sendiri, menyusul pendeta Baudenda berdua dengan muridnya. Setelah itu perahunya kembali digerakkan dengan cepat bahkan memasang layar segala. Maka tak sangat mengherankan kalau perahunya bergerak dengan sangat cepat.

Mintaraga saling berpandangan dengan kedua orang kawannya. Ia menjadi heran, dan kawan-kawannyapun menjadi heran sekali. Memang aneh sekali sikap kedua orang guru dan murid itu. Pendeta Baudenda dan Jogosatru. Mereka melihat kotak emas akan tetapi mengapa tak segera timbul hati serakahnya. Bukankah hal ini seperti halnya matahari naik dari sebelah barat dan silamnya disebelah timur?

Mintaraga dan gadis itu mengharapkan sebuah pertempuran, dengan begitu mungkin mereka akan mendapatkan kemenangan, hingga tak mengherankan pula kalau merekapun akan mendapatkan pula Tunggul Tirto Ayunya. Akan tetapi ternyata pengharapan mereka itu ternyata kosong melompong saja.

Pacar Keling menjadi sangat menyesal. Sia-sia saja ia telah memikir. Tipu dayanya itu kesudahannya tak mendapatkan hasil apa-apa, pendeta Baudenda tak dapat diadu dengan anak muda yang sakti ini. Ia lalu memancing kearah Mintaraga dan matanya tersasar kearah saku anak itu, dari masygulnya mendadak hatinya menjadi girang bukan kepalang.

“Hem... bocah cilik.” Katanya. Suaranya ini benar-benar mengandung rasa penasaran. “Eyang gurumu itu telah pergi dengan membawa Tunggul Tirto Ayu apakah kau tak munyusulnya?”

Mintaraga berkata dalam hati kecilnya :

‘Coba aku tak membuat perjanjian dengan kakek guruku itu, mustahillah aku akan menunggu sampai kau mengeluarkan perintah seperti ini.’  

Pacar Keling masih memperdengarkan suaranya yang bernada dingin. “Kau tahu kakek gurumu kali ini telah dapat membangun sebuah jasa

yang besar.” Demikianlah katanya. “Dia telah berhasil mencuri Tunggul Tirto Ayu dan juga mencopet kotak emas yang menjadi tempatnya. Huahaaa.... Huahaaa... Huahaa.... dengan jasanya ini ia tinggal memilih pangkat Jendral atau Tumenggung. Sungguh beruntung sekali orang-orang Lawu, dengan cepat kalian akan dapat mempunyai seorang anggota menjadi

orang penting di kerajaan Jipang Panolan.”

Mintaraga menjadi terkejut, demikian juga dengan Kembang Arum dan Candra Wulan. Merekapun menjadi heran.

“Apa? Kotak emas, katamu?” Tanya Kembang Arum dengan masih sangat heran.

Mintaraga segera meraba kedalam saku bajunya, tiba-tiba saja pemuda itu mengeluh.

“Kotak emasku.” Katanya.

Mendengar ini pendeta Sampar Mega lalu tertawa berkakakan.

“Kotak itu telah berada ditangan Agni Brasta.” Katanya dengan nada yang sangat puas. Juga sangat terang kalau perkataannya inipun mengandung sebuah ejekan.

“Ki Agni Brasta, itu.” Pacar Keling menambahkan. “Dialah yang diberi julukan Trihasta. Atau dewa besar kantong melompong. Memanglah orang memberinya julukan sebagai Trihasta atau tangan tiga ini karena kepandaiannya dalam hal mencopet. Yah dalam kepandaiannya ini dia melebihi kepandaian dewa besar. Huahaaa... Huahaa... Huahaa... Mintaraga kau kali ini ketemu batunya.”

Bersama-sama dengan Sampar Mega, dia lalu tertawa bergelak-gelak pula, agaknya mereka itu sangat puas, karena itu mereka lalu mengumbar kepuasan hati mereka.

Candra Wulan menjadi sangat marah.

“Pasang layar.” Perintahnya. “Mari kita kejar mereka.” Serunya dengan lantang.

Akan tetapi perahu Pendeta Baudenda telah pergi jauh, tak dapat mereka segera menyusul. Mendengar nama Trihasta ini Mintaraga lalu tersadar, yah tersadar bagaikan orang yang terbangun dari mimpinya.

“Benar-benar dia hebat.” Katanya dengan masygul. “Rupa-rupanya sewaktu dia menepuk-nepuk pundakku dia telah memperlihatkan kehebatannya.

*

* *

Biar bagaimana, Mintaraga mengagumi kepandaian Agni Brasta. Memang tidak gampang, untuk mencopet barang dari dalam tubuhnya. Agni Brasta telah dapat melakukannya itu, karena itu ia haruslah mengagumi setan tangan itu.

Kembang Arum yang tak kurang masygul dan mendongkolnya, tiba- tiba saja ia teringat sesuatu.  

“Barusan saja kau menyebut pendeta Baudenda mencuri Tunggul Tirto

Ayu.” Tanyanya kepada Pacar Keling. “Apakah yang kau artikan dengan istilah ‘mencuri’ itu?”

“Ada apakah artinya?” Sampar Mega memotong. “Hem..... kalau bukan Agni Brasta si kura-kura itu yang membantunya, dengan cara bagaimanakah pendeta Baudenda itu dapat merebut Tunggul Tirto Ayu dari tangan ki Sucitro yang terkenal mempunyai kepandaian tinggi dan beradat aneh itu.”

Mendengar ini barulah Mintaraga mengerti. Rupa-rupanya Pendeta Baudenda pergi ke Utara ini bukannya untuk minta bantuan kepada jago- jago Jipang Panolan, kiranya hanya untuk mengundang si tukang copet yang hebat ini.

Mestinya Pendeta Baudenda beramai-ramai tentunya telah mengunjungi Sucitro, entah apa yang telah dikatakan oleh pendeta itu dan sewaktu itu pula Trihasta memperlihatkan kepandaiannya.

Agni Brasta ini dalam hal ilmu silat kepandaiannya hanya biasa saja, kalau dalam hal ilmu mencopet ia memang sangat luar biasa sekali. Sampar Mega mengetahui hal ini, maka iapun menjadi sangat mendelu.

“Binatang ini benar-benar bukan manusia.” Seru pendeta itu dengan menggerutu. “Dia telah mencuri juga tongkatku. Hem... jika kemudian aku dapat membekuknya aku akan mengutungi tangannya hingga nama julukannya harus diganti dengan Tanpa Lengan.

Pendeta itu mengumbar kemarahannya, hingga tanpa ia sadari bahwa ia serdiri sekarang ini sedang ditawan oleh seorang musuh. Bukankah jiwanya akan melayang dalam waktu sekejap saja kalau Mintaraga berlaku kejam terhadapnya?

“Benar kakek guru memang hebat.....” Kata Mintaraga kemudian. Ia lalu menghela napas panjang. “Dia benar-benar pandai berpikir, karena itu ia tak mengundang siapapun juga, hanya mengundang si tukang copet itu saja. Bukankah si raja copet itu jauh lebih menang kalau dibandingkan dengan jago-jago Jipang Panolan?”

Candra Wulan sebaliknya, menyuruh kedua orang tukang perahunya itu untuk mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengejar terus perahu Pendeta Baudenda.

“Kakang Mintaraga, jangan kau berputus asa.” Katanya dengan berusaha menghibur. “Mari kita kejar terus mereka itu. Asal mereka dapat terpegang, kita habiskan saja mereka semua.”

Tepat baru habis Candra Wulan berkata, ditepian, ditempat gerumbul dari sungai, mereka melihat empat orang yang berkelebat, dan karena saking gesitnya gerakan mereka itu maka kelihatannya hanya bayangan saja. Mereka itu lari mendatangi. Kemudian tampaklah dengan jelas perbedaan warna pakaian mereka.  

Orang yang terdepan memakai baju warna merah, tiga orang yang

berada dibelakangnya masing-masing memakai pakaian berwarna hitam, putih dan hijau. Yang lebih menarik perhatian ialah kegesitan mereka itu. Hal ini menandakan kalau tubuh mereka sangat enteng.

Segera terdengarlah perkataan orang yang terdepan dan memakai baju warna merah :

“Pendeta Baudenda, sungguh besar juga keberanianmu. Hendak kulihat kemanakah kau hendak menyingkir?”

Suara itu kedengaran menyeramkan sekali, persis seperti suara burung kokok beluk diwaktu malam. Suara itu tak nyaring sekali akan tetapi tegas kedengarannya. Seakan-akan mengalun dikuping. Hingga tanpa terasa, orang akan bergidik dengan sendirinya.

“Sucitro.” Kata Sampar Mega dengan suara tergetar. “Dia adalah Sucitro, si orang yang beradat aneh itu, marilah kita lekas-lekas menyingkir !”

Memang keempat orang itu adalah Sucitro bersama dengan rombongannya. Begitu ia mengetahui kalau Tunggul Tirto Ayunya lenyap, dia menjadi marah bukan main. Dia lalu pergi menyusul dan mengajak kedua orang muridnya yang bernama Gagak Seto dan Gemak Ijo. Gagak Seto ialah orang yang berpakaian putih dan Gemak Ijo adalah seorang yang berpakaian hijau.

Sucitro benar-benar seorang manusia yang luar biasa, aneh sekali kelakuannya. Dia adalah seorang paling aneh sekali didunia kependekaran ini. Kalau ia menerima murid maka ia akan membuang nama muridnya itu, dia lalu mengganti dengan nama baru. Akan tetapi orang aneh ini tak mengambil nama manusia, melainkan mengambilkan nama binatang. Hingga demikianlah nama aneh dari kedua orang muridnya itu. Tadinya ia memang bertiga, akan tetapi ditengah jalan lalu bertemu dengan Kalong Ireng. Kalong Ireng inilah orang yang memakai pakaian serba hitam. Dari muridnya ini maka Sucitro mengetahui peristiwa yang terjadi di pulau Selarong. Hingga hal ini menambah kemarahan hatinya. Karena itu iapun lalu mengajak muridnya ini mencari Mintaraga.

Mengetahui kalau dia baru menghadapi musuh yang tangguh, Mintaraga lalu mengempos seluruh semangatnya. Dia mengumpulkan tenaga dalamnya, lalu dengan keras ia berteriak :

“Apakah kalian hendak mencari Pendeta Baudenda? Dia berada disebelah muka sana.”

Kata-kata ini didahului dengan sebuah tawa yang nyaring, hingga kedengaran mengalun ditengah udara bebas. Gaung suara ini kedengaran lama dan akhirnya sirap ditelan teriak gemercikan ombak. Kalau dibandingkan dengan suara Sucitro tadi, suara ini sama kerasnya dan sama- sama mengalun.  

Ditepian segera terdengar perkataan Sucitro :

“Bagus.” Katanya. “Apakah kau orang yang bernama Mintaraga? Sebentar ingin aku bertemu denganmu. Sekarang aku hendak mencari bangsat tua Pendeta Baudenda terlebih dahulu.”

Lalu suara ini disusul dengan lenyapnya empat buah bayangan tadi.

Mereka terus lari kearah hilir untuk menyusul Pendeta Baudenda.

Kembang Arum dan Candra Wulan menjadi menyesal. Mereka telah lama mendengar nama Sucitro, sebenarnya mereka ingin sekali melihat rupa dari orang itu, sekarang setelah mendengar suaranya, akan tetapi masih tetap tak dapat melihat adanya orang aneh itu. Dengan demikian maka tak tercapailah cita-cita mereka.

Pendeta Sampar Mega agaknya tak berputus asa.

“Ki Mintaraga.” Katanya. Suara pendeta ini kedengaran sember dan tak enak didengar. “Tolong kau bebaskan jalan darah kami.”

Mintaraga tertawa.

“Pendeta Sampar Mega ternyata kau hanya bermental tikus saja.” Katanya. “Karena itulah maka baiknya kau jangan banyak tingkah, mengapa kau berani datang kesungai ini untuk turut mengambil bagian dalam perebutan mustika ini?!”

Pendeta itu tertawa meringis.

“Ki Mintaraga aku memohon kepadamu.” Katanya dengan tanpa mengingat perasaan malu lagi. “Aku mengharapkan agar kau suka berlaku agak murah sedikit kepadaku. Seperti diuga kata-kata dalam ujar-ujar kuno dahulu, menolong sebuah nyawa akan lebih besar manfaatnya dari pada dapat membangun sebuah menara tingkat tujuh”.

Tidaklah sangat mengherankan kalau hati pendeta Sampar Mega menjadi sedemikian ciutnya. Pertama kalinya ia datang bersama Pacar Keling, semangatnyapun menyala-nyala. Memang ia pernah mendengar nama Sucitro si tokoh aneh itu, akan tetapi tentang kepandaiannya ia sama sekali tak tahu. Karena itulah mereka lalu pergi keselatan untuk, mencari Sucitro untuk merebut kembali Tunggul Tirto Ayu dari tangan manusia aneh itu. Mereka percaya kalau dengan kerja sama yang baik ini maka mereka akan dapat merobohkan Sucitro. Hanya kesudahannya, hati mereka menjadi runtuh.

Sucitro tak turun tangan sendiri menghadapi pendeta murtad dari gunung Gebyok dan jago dari perkumpulan Uling Abang itu. Orang aneh itu hanya membuat pertunjukan, yaitu dia memerintahkan seorang muridnya, ialah Gagak Seto, berkelahi melawan seekor banteng. Gagak Seto bertempur dengan mempergunakan jurus-jurus tipu silat cengkeraman iblis kaget. Hanya dengan jurus-jurus ini maka Gagak Seto berhasil memukul hancur kepala banteng itu. Tidak kelihatan caranya, dan tak ketahuan pula apa sasarannya, hanya tahu-tahu tubuh banteng itu telah roboh dengan tanpa  

nyawa. Mereka menyaksikan itu, maka dengan demikian ciutlah hati Sampar

Mega dan Pacar Keling. Segera saja mereka berdua lari sipat kuping. Dikaki gunung mereka bertemu dengan pendeta Baudenda, kedua belah pihak telah mengenal satu dengan lainnya, merekapun tahu tentang Sucitro. Pendeta Baudenda menceritakan tentang kepandaiannya manusia aneh itu. Keterangan itu membuat mereka bertambah takut.

Melihat kalau orang itu sedang mendongkol. Pikirannya, mustahil kalau orang-orang semacam ini berani memperebutkan Tunggul Tirto Ayu yang menjadi lambang dari kerajaan Bintoro. Karena itu ia lalu menyuruh Agni Brasta untuk mencuri Tunggul lambang Bintoro itu dan juga mencuri tongkat dari kakek pendeta Sampar Mega ini untuk memberi peringatan.

Candra Wulan menjadi marah ketika mendengar keluhan pendeta Sampar Mega ini.

“Bagus sekali perbuatanmu pada enam belas tahun yang lalu dulu itu ya.” Kata gadis itu, dengan sengit. “Sekarang Sucitro tak membunuh mampus kalian, maka akulah yang akan melakukannya.”

Biarpun bagaimana juga dahulu aku tak pernah membunuh barang seorangpun juga.” Seru pendeta Sampar Mega yang tetap membandel. “Adalah karena pendeta Baudenda si kepala gundul yang berpikiran busuk itu yang menipu kami........

Candra Wulan menghunus pedangnya.

“Bagaimana kakang Mintaraga?” Dia bertanya kepada Mintaraga, yang sedang memandang kearahnya.

Sejenak lalu Mintaraga memandang ganti kearah Kembang Arum.

“Adi Kembang Arum, kau sajalah yang mengatakannya. Akhirnya pemuda itu membuka perkataannya.

Kembang Arum mengerti maksud perkataan anak muda ini. Dia masih ingat akan keterangan si pemuda ini tentang pesan dari gurunya, pendeta Argo Bayu. Guru pemuda itu.

“Memang mereka belum pernah membunuh salah seorang dari keluarga kita bertiga.” Kembang Arum menerangkan kepada Candra Wulan yang hatinya panas dan penasaran. “Dengan demikian tak semestinya kalau kita membinasakannya. Disamping itu memang benar mereka itu jahat-jahat sekali, entah telah berapa tumpuk kejahatan yang diperbuatnya selama hidup itu, karena itu maka sudah selayaknya kalau mereka itu dihukum berat. Begini saja adi, setiap orang dipotong sebuah telingannya. Lain kali kalau ternyata mereka itu masih tetap berbuat jahat maka kita akan memotong lehernya.”

“Jika demikian maka sungguh enak sekali mereka itu.” Kata Candra Wulan yang masih penasaran, suaranya kedengaran sengit. Cepat luar biasa Candra Wulan menabas berkali-kali, dan dilain saat enam buah daun telinga  

telah bergelimpangan diatas lantai perahu. Candra Wulan bukan hanya memotong sebelah daun telinga saja, akan tetapi kedua-duanya.

Pacar Keling bertiga merasa kesakitan, akan tetapi mereka tetap menahan perasaan sakitnya itu supaya tak berkaok-kaok.

Mintaraga segera menotok jalan darah mereka itu untuk membebaskan totokan yang pertama kali tadi. Sementara itu perahu lalu ditepikan.

“Pergilah kalian.” Bentak anak muda itu. “Lekas.! Jangan tunggu aku sampai berubah pikiran lagi.”

Ketiga orang itu sangat takut kepada anak muda ini, mereka juga jeri terhadap Pendeta Baudenda, terlebih-lebih terhadap Sucitro si tokoh aneh itu. Karena itu dengan tak ayal lagi, mereka lalu melompat kedaratan lalu berlalu dengan cepat. Pendeta Sampar Mega harus dipapah dengan Pacar Keling karena itu mereka berdua berjalan dengan perlahan-lahan.

Surodento telah menyobek ujung bajunya, dan segera ia mempergunakan sobekan kainnya itu untuk membalut kupingnya.

“Candra Wulan.” Katanya kepada gadis itu. “Budimu sekali tabasan ini akan selalu kucatat dalam ingatan.” Cepat luar biasa Candra Wulan menabas berkali-kali dan dilain saat enam buah daun telinga telah bergelimpangan diatas lantai perahu.... Candra Wulan tak menjadi marah. Dia malahan memperdengarkan

suara tawannya yang nyaring.

“Bukannya satu, hanya dua kali.” Jawabnya. Ia tak mempedulikannya lagi, Candra Wulan segera menyuruh perahunya dikayuh ketengah lagi. Hanya sementara itu perahu pendeta Baudenda telah tak tampak lagi oleh pandangan mata mereka.

“Bagaimana sekarang?!” Tanya Candra Wulan itu dengan membanting kakinya. “Pendeta Baudenda bukan hanya mencuri Tunggul Tirto Ayu saja, iapun telah mencuri kotak kita pula. “Lekas... lekas...!” Ia mendesak kepada kedua orang tukang perahunya.

Perahu itu terus maju dengan pesat sekali.

Tak lama kemudian mereka mendapatkan sebuah perahu kecil yang melintang sedikit ditepi sebelah kanan. Candra Wulan segera mengetahui kalau perahu itu adalah perahu dari pendeta Baudenda.

“Sudah kosong...!” Gadis itu mengeluh setelah mendekati perahu pendeta itu.

“Mereka takut kepada Sucitro, merekapun takut kalau kita kejar bagaimana mereka tak segera menghilang?” Kata Mintaraga.

“Lihat apakah itu?” Kata Kembang Arum dengan tiba-tiba. Dia menunjukan jari telunjuknya kearah daratan, tepat kepada sebatang pohon yang ternyata Kembang Arum telah melihat coret-coretan yang tak nyata.

Mintaraga dan Candra Wulan segera berpaling untuk melihat.

Diantara mereka bertiga hanya Mintaraga itulah saja yang matanya paling awas. Pemuda itu segera melihat sebaris huruf kecil-kecil yang berbunyi :

‘TUA BANGKA PENDETA BAUDENDA TELAH KABUR KE UTARA DAN JIKA KAU MEMPUNYAI KEPANDAIAN MAKA KAUPUN BOLEH IKUT MENYUSUL KESANA UNTUK BERTEMU DENGANKU.’

Tulisan itu tak ada tanda pengenalnya ataupun lain-lain tanda lagi. Akan tetapi Mintaraga tahu kalau tulisan ini adalah tulisan dari Sucitro si tokoh dunia kependekaran yang beradat aneh. Teranglah sekarang kalau Pendeta Baudenda melarikan diri keutara, dan secara tak terang-terangan Sucitro telah mengundangnya atau tepatnya menantangnya untuk pergi keutara.

“Anehlah kalau kau takut kepada Sucitro.”

“Mari kita menyusul.” Seru Mintaraga. Memanglah pemuda ini sangat bernafsu untuk menyusul kakek pendeta Baudenda dan Sucitro seorang tokoh besar yang terkenal sakti dan berwatak aneh.

“Akan tetapi kakang Mintaraga.” Tiba-tiba saja Kembang Arum memperingatkan. “Apakah kau telah melupakan pertemuan diatas gunung Indrakilo?”

Pemuda itu menjadi terperanjat.  

“Ya, hampir saja aku melupakan perjanjianku dengan para resi-resi di

Indrakilo itu.” Jawabnya. Terus saja pemuda ini menghitung dengan jari tangannya. Ternyata waktu yang harus ditetapkan masih mempunyai jarak sepuluh hari lagi.

Janji itu adalah sebuah perjanjian antara resi Giri Pragoto dan Mintaraga, yang mengatakan kalau dalam waktu sebulan harus pergi ke Indrakilo. Pemuda ini harus memukul pecah barisan dari sembilan orang resi itu. Selain itu Candra Wulan harus diajaknya supaya gadis ini dapat memperdalam ilmu pukulan Gundala Kurda yang telah diturunkan oleh uwa gurunya itu. Selama hari perjanjian itu telah dua puluh hari yang lalu. Karera repot dengan perlombaan mencari Tunggul Tirto Ayu dan perjanjian-perjanjiannya dengan pendeta Baudenda, janji dengan orang-orang Indrakilo itu menjadi tak teringat lagi. Untunglah Kembang Arum memperingatkannya.

Mintaraga bagaikan baru sadar dari mimpinya. Ia masih teringat akan perkataan resi Giri Pragoto :

“Tak usah sampai sebulan Tunggul Tirto Ayu pasti akan kembali ketangan kami. Karena itu bocah, kau harus berlatih dengan sungguh- sungguh. Sekali saja barisan sembilan resi sakti pecah maka Tunggul Tirto Ayu lambang kerajaan Bintoro itu akan menjadi kepunyaanmu ” Selain itu

iapun masih teringat akan perkataan Giri Pragoto yang lainnya.

“Apakah kau hendak mencari Tunggorono? Dia sekarang berada ditangan Patih Udara, didalam waktu pagi ataupun malam ia pasti telah dikirim dipenjara yang terkuat di ibu kota Jipang Panolan. Jika kau hendak mencarinya maka pergilah kepenjara negara itu dan kau harus mengacaunya.”

Ia jadi berpikir. Untuk sementara ia berada dalam keragu-raguan. Iapun menjadi heran. Menyusul Pendeta Baudenda ke Jipang Panolan sendiri atau menepati janjinya terhadap Resi Giri Pragoto. Sekarang ini terang-terangan kalau Tunggul Tirto Ayu telah berada ditangan pendeta Baudenda, dengan cara bagaimanakah Tunggul Tirto Ayu itu akan dapat pulang lagi ketangan para resi yang berada di Indrakilo? Lagi pula Tunggorono telah tertawan, dia perlu ditolong. Dengan menyusul ke Jipang Panolan, merampas pulang Tunggul Tirto Ayu dan kotak penyimpannya dan selain itu iapun perlu menolong Tunggorono. Untuk itu pastilah ia harus menghadapi jago-jago Jipang Panolan dan Sucitro serta pendeta Baudenda juga. Kalau ia percaya Giri Pragoto, ia harus berangkat ke Indrakilo untuk memukul pecah barisan Sembilan Resi Sakti.

Selain dari Mintaraga juga Kembang Arum dan Candra Wulan ikut bersangsi. Keutara atau kebarat? Sedangkan Candra Wulan kalau harus menuju ke barat, ialah pulang ke Indrakilo ia agaknya segan menemui pula sembilan paman gurunya itu.  

“Kakang Mintaraga, marilah kita ke utara saja.” Akhirnya Candra

Wulan membuka perkataannya. “Aku merasakan kalau perkataan para resi hidung kerbau itu kurang dapat dipercayai “

“Kesembilan resi dari Indrakilo orang-orang yang terhormat dan ilmu silatnya sempurna, kata-katanya mesti berarti.” Seru Mintaraga. “Kupikir baiklah kita jalan-jalan dahulu kesana, untuk melihat keadaan, setelah itu barulah kita ke Jipang Panolan. ”

“Tidak.” Candra Wulan menolak. Ia merasa, kalau pulang ke Indrakilo maka sembilan paman gurunya itu pasti akan menahannya. Hingga kalau demikian maka akan lenyaplah ketikanya untuk ikut Mintaraga berkelana. Itulah hebat.......

Mintaraga mencoba merubah sikapnya Candra Wulan itu. Ia beranggapan, perjalanannya selanjutnya akan menghadapi lebih banyak bencana yang mengancam dan bencana itu makin lama akan menjadi makin besar. Mungkin kelak, ia akan lebih banyak menemui orang-orang yang lebih pandai. Inilah merupakan bahaya bagi Candra Wulan, yang kepandaiannya masih sangat terbatas itu. Dia tidak mau kalau gadis itu terancam keselamatannya. Ia berpikir, lebih baik kalau gadis itu tinggal di gunung Indrakilo, untuk memperdalam silatnya lebih jauh. Dengan berdiam digunung, gadis itu pastilah akan terhindar dari malapetaka apapun juga. Disamping itu ia merasa dapat memahami maksud dari gadis itu.

Dyah Kembang Arum melihat orang-orang saling berkukuh.

“Nah, begitu saja.” Ia lalu mengusulkan. “Kita lebih baik jalan berpencaran. Setujukah kamu?”

‘Memang bagus demikian!’ kata Mintaraga dalam hatinya. ‘Biarlah Candra Wulan kembali pulang ke gunung Indrakilo, kau sendiri ikut aku pergi ke Jipang, dengan bekerja sama berdua, kita pasti tidak akan kecewa ’

Sewaktu pemuda itu sedang berpikir demikian, gadis itu telah mendahuluinya.

“Bagus, ayu!” kata Candra Wulan gembira. “Bagus kau telah mendapatkan pikiranmu ini! Nah, pergilah kau serbu dan hancurkanlah barisan dari resi, aku sendiri bersama kakang Mintaraga nanti pergi menuju ke Utara untuk menolong Tunggorono!”

Sehabis berkata demikian ia segera bertindak kesisinya Mintaraga!

Hati Kembang Arum tidak tentram menyaksikan sikap dari kawannya itu. Ia menginsafi apa artinya kelakuan dari gadis itu. Didalam hatinya, ia berkata. ‘Kakang Mintaraga itu adalah bakal Suamiku, mau apa kau mendekati dia......?’ Tetapi dia adalah teman wanita yang luas pikirannya yang juga polos pikirannya serta jujur, maka lalu ia memberikan jawabannya

: “Baiklah, akan kucoba pergi kesana! Tetapi sampai di Gunung Indrakilo aku bukannya akan memukul mundur barisan mereka itu, aku hanya akan  

mewakili kakang Mintaraga berbicara dengan kawanan imam itu. Nah,

pergilah kamu ke Utara!”

Bukan main leganya hati Candra Wulan mendengar jawaban ini, suatu jawaban yang sebenarnya tidak berani ia mengharapkannya.

Mintaragapun menjadi tidak berdaya, maka dari itu, ia terpaksa menganggukkan kepalanya tanda setuju.

“Kalau kau pergi kesana cobalah kau lihat apakah benar-benar mereka mempunyai Tunggul Tirto Ayu itu.” pesannya kepada Kembang Arum. “Tidak usah kau melayani mereka bertempur, asal kau jelaskan saja mengapa saja tidak menepati janji, setelah itu cepat-cepat kau menyusul kita ke Jipang.”

“Baiklah!” sahut Kembang Arum dengan singkat.

Gadis ini adalah seorang wanita yang mempunyai sifat kejantanan dia tidak mengecewakan, dia selalu melakukan yang ia katakan sendiri. Maka setelah berpesan.

“Baik-baiklah kamu!” dia melompat kedarat, untuk segera menuju kearah Utara.

Mintaraga memandang sampai orang itu tidak tampak lagi, lalu ia berkata dengan perlahan-lahan kepada gadis disampingnya itu :

“Adi Wulan kita juga tidak usah duduk diperahu terlalu lama pula.

Marilah!”

Candra Wulan memandang kearah pemuda itu, hatinya kurang senang. Ia mengetahui kalau Mintaraga kurang senang hatinya. Ia sendiripun, sebenarnya, merasa berat untuk berpisah dari Kembang Arum. Telah lama mereka hidup bersama-sama, mereka merasakan seperti seorang kakak beradik, seperti saudara kandung mereka sendiri. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain dari itu, maka ia merogoh sakunya, untuk diserahkan kepada kedua tukang perahu itu.

“Kau telah banyak bekerja dengan susah payah demi untuk kita.” Katanya. “Sekarang tak usahlah kamu kembali ke Pulau Nusakambangan. Uang itu boleh kau pakai untuk usaha apa saja yang kamu kehendaki.”

Kedua orang itu menerima uang itu.

“Terima kasih!” kata mereka. “Kami cuma dapat membunuh, serta membakar rumah orang saja, mana mungkin kami dapat berusaha? Biarlah kami hidup disini saja, sebagai nelayan. Dan kami harap lain kali sudi datang memenuhi undangan kami untuk makan ikan segar?”

Candra Wulan tersenyum, begitu pula dengan Mintaraga. Sambil tertawa pemuda itu menarik tangan gadis itu untuk diajak melompat kedaratan. Terus mereka itu mencari tempat persewaan kuda ditempat yang terdekat, untuk membeli dua ekor kuda dan dengan itu, mereka terus menuju ke Utara.  

Pada suatu hari, tibalah mereka dikaki Gunung Indrakilo. Gunung

Indrakilo adalah merupakan gunung pujaan serta kenamaan, karena pemandangan diatas serta sekitarnya sangat permai. Karena itu setelah mereka letih berjalan, kedua muda-mudi itu mengicipi keindahan dari gunung itu.

“Itu dia yang dinamakan puncak Tri Argo!” kata Candra Wulan seraya menunjuk kedepan.

“Kakang Mintaraga, maukah kau mendaki kesana, setujukah kau?”

Mintaraga sedang memikirkan Kembang Arum. Maka hatinya tetap kurang gembira. Tetapi ia tertawa juga.

Dan Mintaraga meluluskan permintaan Candra Wulan. Begitu mendapat jawaban tanpa menunggu jawaban selanjutnya Candra Wulan sudah menyambar tangan pemuda itu, untuk mengajak mereka turun dari kuda mereka, untuk berjalan mendaki tanjakan gunung. Dia sangat gembira, sehingga ia tidak mempunyai pikiran kalau diatas puncak itu mungkin timbul pengalaman baru.....

Kalau mulanya Candra Wulanlah yang menarik tangan si anak muda itu, kemudian dialah yang ditarik oleh Mintaraga. Kepandaian mengentengkan tubuhnya melebihi dia. Cepat mereka berlari-lari, atau dilain saat mereka telah sampai dikaki tepat dibawah gunung itu dimana tampak tiga batu dimana diantara celah-celahnya mega melayang-layang. Kalau orang melewati daerah itu dan menengadah, maka tampaklah cahaya yang terang dan panjang. Disinilah keduanya pesiar sampai, mereka itu duduk diatas sebuah batu.

“Diwaktu begini, mungkin adi Arum telah sampai.” kata Mintaraga membuka pembicaraan.

“Mungkin juga dia telah bentrok dengan sekalian paman gurumu hingga seandainya diumpamakan dengan kata-kata itu langit terbalik dan bumi ambruk. ”

“Secara beginilah kau memikirkan dia!” Kata Candra Wulan sambil tertawa. “Memang ayu Kembang Arum itu cantik sekali dan lagi ilmu silatnya sempurna. Ia benar-benar seorang dara perkasa, bukankah demikian kakang?”

Mintaraga tak menginsyafi hati perempuan.

“Benar.” Jawabnya dengan wajar. “Diantara jago-jago dari dunia kependekaran sekarang ini, orang yang sanggup mengalahkan dia itu sungguh jarang sekali. Tanpa menyebut orang lain, paman gurumu yang berjumlah sembilan itu juga walaupun mereka mengepung bersama, mereka pasti tak akan dapat berbuat apa-apa kepadanya ”

Mendengar kalau Mintaraga memuji kepada Kembang Arum, maka Candra Wulan merasakan hatinya menjadi tak enak. Demikian ia menggerakkan mulutnya akan tetapi sedikitpun tak mengeluarkan perkataan  

apa-apa.   Mintaraga   melihat   itu,   akan   tetapi   ia   membiarkan   saja.   Ia

menyangka kalau gadis ini hanya suka bergaul dengannya. Mintaraga benar- benar tak dapat menjajaki hati gadis ini. Candra Wulan sebenarnya telah meletakkan hatinya diatas diri Mintaraga, asmara hati telah memegang peranan didalam hati perempuan muda itu........

Masih saja Mintaraga memikirkan Kembang Arum, tanpa disadari ia telah meloloskan perhiasannya yang disimpan dipinggangnya, untuk sesaat pula tangannya mempermainkan perhiasan itu.

Candra Wulan tahu empat orang keturunan dari Darmokusuma, Pandu Pergolo dan Surokoco masing-masing mempunyai permainan yang terbuat dari pada batu perhiasan. Karena itu iapun lalu menarik perhiasan sanggulnya.

“Kakang Mintaraga bolehkah aku melihat dan mempermainkan permainan-permainanmu itu?” Tanyanya.

“Mengapa tak boleh?” Jawab anak muda itu, setelah menjawab terus saja Mintaraga menyerahkannya.

Candra Wulan menyambut anting-anting itu bersama-sama permainan sanggul, ia meletakkan ditelapak tangannya. Ia lalu memandang kearah Mintaraga.

“Kakang Mintaraga, bukankah ini ada sepasang?” Tanyanya pula. Candra Wulan menanyakan ini memang ada maksudnya, dan kali ini Mintaraga tercekat. Segera pemuda itu balas memandang dara manis ini. Mintaraga melihat kalau wajah gadis ini menjadi merah dadu yang menandakan kalau Candra Wulan menjadi malu. Inilah sebuah wajah yang manis.

‘Adi Candra Wulan sungguh kau mempunyai wajah yang tak ada celanya.’ Pikir Mintaraga. ‘Sungguh beruntung sekali ki Wirapati yang mendapatkannya.’

Candra Wulan ketika melihat Mintaraga berdiri menjublak, lalu tertawa dengan gembira.

“Eh... kakang Mintaraga, mengapa kau memandangku dengan sedemikian rupa?” Tanyanya. “Mustahil kalau kau tak mengenalku.” Kembali ia tertawa dengan riang.

Kulit muka Mintaraga menjadi merah. Barulah ia tersadar. Seketika itu ia melengos, tubuhnya digeser sedikit......

Candra Wulan lalu mempermainkan kedua buah perhiasan yang berupa anting-anting dan perhiasan sanggul itu. Hingga lama ia teringat kepada perkataan Wirapati dahulu.

“Kakang Mintaraga.” Tanyanya. “Perhiasan sanggulku ini berukirkan perkataan Wirapati. Sedangkan anting-anting Wirapati berukirkan huruf Candra Wulan, tak tahulah aku apa sebabnya. Tahukah kau artinya itu?”

Mintaraga tertawa.  

“Apakah kau pernah menanyakan hal itu kepada ki Wirapati adi Candra

Wulan?” Mintaraga balik menanyakan.

“Aku pernah menanyakan hal itu kepadanya, akan tetapi sedikitpun ia tak memberi keterangan kepadaku.” Jawab Candra Wulan dengan mendongkol. “Hem... mustahilkah kalau kedua benda permainan ini mempunyai arti yang sangat aneh?”

Gadis ini menunjukkan muka yang wajar dan polos.

“Maksudnya yang luar biasa memang tak ada.” Seru Mintaraga. “Itu hanya sesuatu apa yang telah ditetapkan oleh orang-orang tua kita saja...”

Pemuda ini tak meneruskan, oleh karena ia segera teringat, bahwa Candra Wulan tak menyukai Wirapati.

“Apakah itu yang telah ditetapkan?” Tanya Candra Wulan pula. “Kakang Mintaraga, coba kau ceritakan kepadaku mengapa kau menjadi ragu-ragu kelihatannya?”

Candra Wulan memandang kearah anak muda itu. Mintaraga berpikir dengan cepat.

“Cepat atau lambat ia pasti akan mengetahui perihal ini, karena itu mengapa aku tak mau mengatakannya sekarang?” Karena itulah Mintaraga lalu tertawa, setelah tertawa terdengarlah perkataannya.

“Ketika dahulu orang-orang tua kita berhasil mendapatkan Tunggul Tirto Ayu yang menjadi lambang dari kerajaan Demak Bintoro.” Mintaraga mulai menerangkannya. “Untuk memperingati itu mereka telah bersepakat untuk membuat sebuah tanda. Ujung kotak penyimpannya mereka potong, lalu diserahkan kepada seorang tukang yang pandai untuk dibuat dua buah permainan sanggul dan sepasang anting-anting. Setelah itu permainan itu diserahkan kepada kita berempat yang menjadi turunan mereka. Anting- antingku berukirkan nama Kembang Arum seperti halnya kepunyaanmu yang berukirkan Wirapati. Dan itu artinya kau dan aku harus menjadi pasangan dari kakak beradik Wirapati dan Kembang Arum itu ”

Muka Candra Wulan segera berubah menjadi merah. Akan tetapi tak lama kemudian iapun segera membuka mulutnya :

“Kakang Mintaraga kau bakal kawin dengan siapakah?” Demikianlah pertanyaan Candra Wulan. Akan tetapi gadis ini telah kelepasan omong dan segera menundukkan kepalanya, wajahnya menjadi semakin merah. Sedikitpun tak berani mengangkat wajahnya.

Ditanya demikian tanpa terasa. Mintaraga tertawa. Ia tahu kalau Candra Wulan telah kelepasan omongan.

“Siapakah yang akan kawin denganku?” Ulangnya. “Sangat mengherankan kalau aku kawin dengan Wirapati!”

Candra Wulan merasakan kalau kepalanya bagaikan disiram air dingin. Dan kupingnyapun seperti berbunyi mengaung-ngaung. Hampir dara jenaka itu jatuh pingsan.  

Mintaraga melihat wajah Candra Wulan yang berubah menjadi pucat.

Iapun mengetahui kalau hal ini disebabkan karena gadis ini tak mencintai Wirapati. Segera saja ia menghibur.

“Itu adalah apa yang telah ditentukan oleh orang tua kita.” Katanya dengan suara yang halus. “Dalam hal ini kita tentu saja tak dapat berbuat sekehendak hati sendiri. Ki Wirapati itu memang sedikit aneh wataknya, akan tetapi ia cakap dan cerdas. Orang seperti dia itu didunia kependekaran tak banyak jumlahnya adi. ”

Candra Wulan hanya menundukkan kepalanya.

“Kakang Mintaraga tahukah kau........ akan hatiku?” Katanya dengan pelan dan ragu-ragu.

Mintaraga tertawa.

“Mengapa aku tak tahu?” Jawabnya dengan jujur. “Kau tak mencintai Wirapati. Huahaaaa... Huahaa.... Huahaaa... kau benar-benar berwatak seperti bocah kecil saja adi. Sudah terang kalau calon suamimu itu bukannya orang yang buruk. Apakah benar-benar kau tak melihatnya? Kalau baru-baru ini ia nekad hendak membunuhku, itu hanya disebabkan karena kesalahan paham saja. Mengenai aku, sedikitpun Mintaraga tak marah kepadanya, bahkan juga tak menyalahkannya ”

Belum habis Mintaraga mengucapkan perkataannya, tiba-tiba saja Candra Wulan berjingkrak bangun. Sedangkan anting-anting yang berada ditangannya dilemparkan kearah Mintaraga untuk dikembalikan.

“Kau... Kau... apakah kau menaruh hati?” Tanyanya dengan suara yang tergetar. “Hem... kiranya kau sama dengan Wirapati. Ternyata sedikitpun kau tak lebih dari Wirapati. ”

Dengan tiba-tiba Candra Wulan menangis. Gadis ini benar-benar berduka sekali. Hatinya menjadi masygul. Ia teringat kalau ayahnya telah meninggal dan ayah angkatnyapun mati dengan secara mengerikan, hingga dengan demikian ia sekarang menjadi seorang anak yang sebatang kara dan disisinya tak ada seorangpun juga yang dekat dengannya. Kalau ada satu ialah Mintaraga, akan tetapi sekarang terbukti kalau Mintaraga ini tak tahu akan perasaan hatinya, bahkan tak tahu barang sedikitpun juga. Karena itu hatinya menjadi sangat tawar, yah tawar dan kosong. Sebab itulah Candra Wulan lalu melampiaskan kemarahan hatinya ataupun kekecewaan hatinya ini dengan jalan menangis........

Bingung juga Mintaraga menghadapi Candra Wulan ini. Sedikit banyak ia menjadi gugup. Ia benar-benar menjadi heran sekali. Ketika ia melihat mata gadis itu mengeluarkan air mata dengan deras maka hatinya menjadi lemah. Mintaraga masih terlalu muda hingga ia tak dapat menjajaki hati seorang perempuan. Tak cukuplah kecerdikannya ini untuk melayani seorang gadis.  

“Adi Candra Wulan jangan kau menangis.....” Katanya. “Marilah kita segera menuruni gunung ini dan melanjutkan perantauan kita ini. ”

Candra Wulan menangis terus. Ia mengharapkan agar Mintaraga mengeluarkan perkataan yang manis dan halus, ia mengharapkan agar anak muda ini menghiburnya, membujuknya, maka hatinya menjadi kecewa setelah mendengar kalau pemuda itu hanya berkata demikian saja.

“Kau... kau... ada orang yang menyayanginya, akan tetapi.       aku?”

Katanya. Tak kuat hatinya untuk tidak mengucapkan perkataan itu. “Siapakah yang menyayangi aku ?”

Dan Candra Wulan menangis terus.

“Adi Candra Wulan.” Seru Mintaraga. “Asal kau tak menangis maka aku akan menyayangimu.....” Mendengar perkataan Mintaraga ini Candra Wulan lalu mengangkat kepalanya, menatap wajah Mintaraga. Tiba-tiba saja ia menjadi tersenyum.

“Baik... baik aku tak akan menangis lagi.” Katanya. “Bukankah kau sayang kepadaku kakang?” “Adi Candra Wulan.” Seru Mintaraga. “Asal kau tak menangis maka aku akan menyayangimu. ”

Dalam usia tujuh belasan tahun Candra Wulan masih belum kehilangan sifat kekanak-kanakannya. Ia masih sangat polos dan jujur, kalau ia ingin menangis maka ia akan melakukannya. Dan kalau hatinya girang maka gadis

ini tak segan-segan untuk tertawa.

Mintaraga tercengang. Ia benar-benar menjadi bingung. Tak tahulah ia bagaimana harus menuruti perasaan hati Candra Wulan ini. Ia tadi bicara dengan sekenanya saja. Hanya sekedar penghibur hati Candra Wulan akan tetapi siapa tahu gadis ini menganggap perkataannya itu dengan sebenar- benarnya. Karena itu sekarang ia dihadapkan dengan sebuah kesulitan yang lain.  

“Bagaimana?” Tanya Candra Wulan yang sejak tadi melihat Mintaraga masih berdiam diri saja.

“Apakah perkataanmu yang barusan kau ucapkan itu tak ada artinya sama sekali?”

Mintaraga tertawa menyeringai.

“Aku... aku tak mengerti.” katanya dengan ayal-ayalan.

Mendengar perkataan ini maka mendeliklah kedua biji mata Candra Wulan.

“Kau tak mengerti?” Tanya Candra Wulan dengan membentak. “Apakah kau ini seorang laki-laki sejati? Baiklah jika kau tak menganggapku sebagai adikmu. Baik kalau demikian kita tak perlu bergaul terlalu rapat lagi. ”

Tak dapatlah Candra Wulan itu menahan hatinya seketika itu juga kembalilah gadis ini manangis. Setelah itu ia lalu memutar tubuhnya dan terus lari pergi.....

Mintaraga mendongkol menghadapi tingkah laku gadis manja ini.

“Aku benar tak mengerti, akan tetap kau..... apakah kau sendiri mengerti?” Katanya seorang diri.

Benar apa yang dikatakan pemuda ini. Candra Wulan telah mengumbar hatinya itu, akan tetapi kenyataannya, dia belum mengerti. Dia tak menginsyafi apa artinya sayang itu. Biarpun bagaimana juga ia masih kalah pengalaman kalau dibandingkan dengan Mintaraga.

Kedua anak muda ini baru saja menginjakkan kakinya kedunia asmara, karena itu kedua-duanya belumlah punya pengalaman dalam dunia yang serba aneh dan sulit itu. Mereka hanya tahu. SAYANG saja. Mereka bertindak dijalan yang wajar. Mereka hanya mencintai siapa yang dicintai.....

habis perkara....

Malahan Dyah Kembang Arumpun begitu pula.....

Segera juga Mintaraga tersadar, karena itu Mintaraga segera melompat, berlari menyusul Candra Wulan yang sedang ngambek.

Candra Wulan berlari dengan cepat. Gadis ini seperti tak ingat apa-apa

lagi.

“Candra Wulan..... adi Candra Wulan. ” Mintaraga memanggil berkali-

kali. “Jangan kau pergi aku sayang kepadamu ” Rupa-rupanya Candra Wulan  dapat mendengar  perkataan Mintaraga

yang diucapkan dengan keras ini.

“Buat apa kau panggil-panggil aku.” Katanya dengan masih tetap menangis. “Siapa yang sudi kau sayang? Pergilah kau ke Indrakilo untuk menyayanginya. Tak sudi aku kau bohongi pula ”

Sambil berkata demikian Candra Wulan mencoba makin mempercepatkan larinya.

Mintaraga tak mengucapkan sesuatu apa lagi. Ia tahu kalau gadis ini sedang ngambek. Ia telah cukup mengetahui adat dan watak adiknya ini. Karena itu ia hanya mempercepat larinya saja. Hingga sebentar kemudian jarak antara mereka hanya tinggal beberapa langkah saja.

Candra Wulan terus berlari, biarpun ia tahu kalau Mintaraga tentu akan dapat menyusulnya dan dirinya tak mungkin dapat meloloskan diri dari kejaran pemuda itu. Karena itulah ia lalu melompat ketepian jurang.

“Jangan susul aku.” Katanya sambil memutar tubuh. Dan sesaat ia menghapus air matanya. “Setapak lagi kau datang mendekat maka aku akan menerjunkan diriku masuk kedalam jurang.” Setelah berkata demikian ia lalu membuat sebuah tipu gerakan yang akan melompat kedalam jurang.

Mintaraga berhenti mengejar. Ia tahu kalau gadis ini sangat keras sekali kemauannya. Banyak kemungkinannya kalau ancaman ini akan dibuktikannya.

“Baik... baiklah aku tak akan mengejar terus.“ Katanya dengan cepat. “Lihatlah aku telah berhenti, janganlah kau melompat masuk kedalam jurang. “

Mintaraga memang berdiri dengan diam, akan tetapi diam-diam otaknya bekerja dengan keras. Ia ingin mencegah kenekatan Candra Wulan, pemuda itu terus memandang dengan tajam-tajam dan tenaga dalamnya disiapkan dikakinya. Hal ini dikerjakan supaya ia dapat melompat disetiap saat.  

Candra Wulanpun diam, tubuhnya tak bergerak barang sedikitpun juga. Didepannya Mintaragapun diam seperti apa yang dilakukannya. Keduanya tak ada yang membuka mulutnya. Melainkan hati mereka berdua yang berlainan sama-sama bekerja dilain jurusan.

Hati Candra Wulan bergelombang. Mengapa tidak? Sebab ia memikirkan Mintaraga. Pemuda inilah yang sangat dicintainya, akan tetapi justru pemuda ini tak membalas cintanya. Karena itulah hidupnya menjadi tawar. Dengan mata mendelong, ia memandang jurang yang berada dihadapannya. Gadis ini diam-diam menyesal, mengapa ia tak segera terjun saja, terjun untuk membunuh diri...

Sedangkan Mintaragapun menyesal sekali atas kesembronoannya. Ia telah berlaku jujur dengan mengatakan apa yang sedang dipikirkannya. Hingga dengan demikian Candra Wulan kecewa karenanya. Kasihan sekali gadis yang sangat mencintainya itu. Barulah sekarang ia menginsyafi bahwa

Candra Wulan benar-benar mencintainya.

Akan tetapi masih tetap saja kedua manusia itu berdiri tegap bagaikan patung. Seakan-akan waktu berjalan dengan sangat lambat. Lalu akhirnya terdengarlah perkataan Candra Wulan yang berkata terlebih dahulu :

“Kakang Mintaraga...!” Katanya dengan perlahan.

Maka pecahlah saat-saat yang sangat ditakutkan itu. Keadaan yang tadinya sunyi kini telah dapat berubah.

“Adi Candra Wulan...!” Jawab Mintaraga. Jawaban inipun dikatakan dengan pelan.

Namun diam-diam Mintaraga menjadi girang sekali karena Candra Wulan yang keras kepala itu telah mau memanggilnya terlebih dahulu. Memanggil dengan suara yang halus.

Kini keduanya saling berpandangan, sinar mata mereka kelihatan sangat bercahaya. Lain sekali kalau dibandingkan dengan keadaan yang semula.

“Kakang Mintaraga...“ Kembali terdengar perkataan Candra Wulan yang tetap pelan.

“Ya, mengapa adi Candra Wulan...“ Jawab Mintaraga yang telah tersenyum.

Candra Wulan berdiam diri, sedikitpun belum membuka perkataannya lagi. Akan tetapi matanya memandang tajam-tajam kearah Mintaraga, maka pemuda itupun lalu menatap lagi wajah Candra Wulan.

“Adi Candra Wulan, kau hendak mengatakan apakah?” Kemudian Mintaraga itu bertanya. Biarpun bagaimana juga ia adalah seorang laki-laki hingga dapat berpikir lebih cepat dari pada Candra Wulan. Suara halus dari tegur sapa gadis itupun telah membuat hatinya menjadi lega.

“Kakang Mintaraga.” Seru Candra Wulan. “Kakang, aku hendak bertanya kepadamu, sekarang ini kau tengah memikirkan siapakah?”

“Kau dan Kembang Arum.” Jawab Mintaraga dengan cepat. Ia menjawab seperti tanpa memikirkan perkataannya lagi.

Senanglah hati Candra Wulan ketika mendengar perkataan ‘kau’. Akan tetapi disebelah itu masih pula disebutkan perkataan ‘Kembang Arum’. Karena itu ia lalu terlonggong-longgong lagi. Inilah yang tak disangka sama sekali. Sedikitpun perkataan ini tak diharapkan.

Candra Wulan berdiri dengan diam saja. Membiarkan sang bayu membelai-belai tubuhnya yang indah dan montok itu. Agaknya gadis ini sedang berpikir dengan keras.

“Adi Candra Wulan.....!” Kata Mintaraga kemudian. Agaknya ia telah mendapatkan sebuah pikiran. “Adi, kita janganlah bergurau lagi. Maukah kau berkata dengan sungguh-sungguh?”

“Asal kau tak memikirkan dia lagi dalam hal manapun, aku akan suka mendengarkan segala apa yang kau  katakan.....”  Jawab gadis itu dengan  

cepat. Dengan perkataan ‘dia’ ini teranglah kalau yang dimaksudkan adalah

Kembang Arum.

“Adi Candra Wulan dengarlah. '' Kata Mintaraga. “Didalam hidupku ini aku hanya memikirkan empat orang. ”

Candra Wulan lalu memandang kearah anak muda itu.

“Kecuali ayah dan guruku, aku hanya memikirkan kau dan Kembang Arum.” Seru anak muda itu menjelaskan apa yang tengah menjadi pikirannya. “Aku menyayangi dia karena ia adalah seorang yang akan menjadi temanku..... sedangkan akupun menyayangimu karena kau adalah adikku yang terbaik. Percayalah kepadaku kalau lain hari tentu ada orang lain yang akan menyayangimu lebih besar lagi dari pada sayangku kepadamu ini adik. Dialah Wirapati! Adikku apakah kau mengerti apa yang kukatakan ini?”

Candra Wulan telah diombang-ambingkan dengan pikirannya yang kacau. Baru saja ia mendapat ketenangan sebentar akan tetapi sesaat kemudian telah bergelombang lagi. Biarpun bagaimana ia telah mencintai Mintaraga. Sekarang ia merasakan terlebih-lebih lagi. Ia telah menanyakan kepada dirinya sendiri :

‘Aku mencintainya, tetapi mengapa aku tak dapat menjadi istrinya      ?”

Inilah kesulitan asmara sukar sekali disingkirkan. Malahan semakin keras ingin dihalau maka semakin keras pula tancapan akarnya.

Mintaraga mengawasi gadis itu. Ia sedang berusaha menebak-nebak pikiran adiknya itu. Iapun merasa sangat menyesal atas kejadian ini. Didalam hatinya ia berkata :

‘Candra Wulan aku mengerti kau. Kau mencintaiku hal ini bukannya aku tak tahu, hanya sayang aku tak dapat membalas cintamu ini....

bagaimana aku dapat membalas cintamu ini. ?’

Mintaraga benar-benar menjadi bingung. Tak ada jalan untuk membalasnya kecuali dengan perasaan cinta pula. Inilah justru yang sangat menyulitkan.

Kembali sekian lama mereka saling berdiam diri. Candra Wulan terus berpikir dengan keras untuk menenangkan pikirannya. Sedangkan Mintaraga berpikir dengan keras untuk mencari pemecahannya. Akan tetapi kedua-duanya tak dapat berhasil.

Mintaraga menjadi menyesalkan dirinya mengapa tak dari dulu-dulu ia memberi tahukan rahasia hatinya kepada gadis ini. Coba saja ia berbuat demikian maka tak akan terjadi peristiwa semacam ini.

Waktu berjalan dengan cepat. Hingga tak terasa lagi mahgribpun telah  

tiba.

“Kakang Mintaraga, apakah kau tak merasa letih?” Akhirnya

terdengarlah perkataan Candra Wulan. Perkataan gadis ini benar-benar memecahkan kesunyian. Mintaraga tak segera menjawab, ia hanya menggerakkan kakinya, untuk

bertindak lebih mendekati. Ia bertindak dengan sangat pelan. Mintaragapun memperlihatkan muka yang terang.

“Aku tak letih adi...!” Jawabnya dengan tertawa. “Bagaimana dengan kau sendiri adikku?”

Belum lagi Candra Wulan menjawab pemuda itu telah melompat kepadanya, dan sewaktu ia terkejut, lengannya telah kena disambar.

“Hai kau hendak berbuat apakah?” Tanya Candra Wulan. Ia hendak menggerakkan tubuhnya untuk terjun kedalam jurang.

Akan tetapi Mintaraga telah memegangi, bahkan pemuda ini memegang dengan erat-erat.

“Lompatlah.” Katanya dengan tawar. “Kau melompatlah turun.” Anak muda ini telah memperoleh ketetapan hatinya.

Candra Wulan telah benar-benar melompat. Ia telah berpikir :

‘Aku telah tak dapat mencintaimu, biarlah aku sekarang akan merebut kebencianmu...’

Akan tetapi ia tak mampu melompat kedalam jurang. Pinggangnya yang langsing itu telah menjadi sasaran rangkulan si anak muda ganteng itu. Malahan pemuda itu telah membawanya menyingkir jauh-jauh dari jurang yang curam itu.

Hebat sekali gerakan Mintaraga, hingga tanpa terasa ia telah mengeluarkan keringat dingin. Biarpun bagaimana ia tadi barusan saja telah membuat sebuah percobaan yang sangat berbahaya. Coba gadis itu dapat mengelak dan terjun, bukankah ini akan lebih hebat kesudahannya? Ia tak segera melepaskan gadis ini. Bahkan terus memandangnya, Mintaraga memandang dengan mulut yang tertutup rapat-rapat.

Candra Wulan agak tenang sekarang. Sejak tadipun ia tak mencoba untuk berontak, untuk meloloskan diri dari rangkulan pemuda yang dicintainya ini.

“Kakang Mintaraga.” Katanya dengan perlahan. “Aku ingin minta sesuatu supaya kau suka meluluskan permintaanku ini...”

Mintaraga mengangguk.

“Bilanglah adikku yang baik...” Jawabnya. Setelah berkata demikian ia lalu memegangi tangan Candra Wulan.

“Aku hendak pergi dari sini seorang diri saja.” Katanya dengan perlahan. “Aku hendak merantau keselatan, utara timur dan barat. Yah pokoknya keempat penjuru. Kuharapkan supaya kau jangan mengikutiku. Kuharapkan supaya didunia ini tak ada orang yang bernama Candra Wulan. Maukah kau berjanji?”

“Untuk memberikan janjiku kepadamu boleh saja.” Jawab Mintaraga dengan sabar. “Hanya kau harus berkata dahulu kepadaku, kau hendak pergi kemanakah, kemana kau akan pergi?!”  

“Bukankah aku telah mengatakan?” Jawab gadis itu membalikkan

pertanyaannya. Akan tetapi ia segera berpikir. Dan tak lama kemudian terdengarlah jawabannya :

“Baiklah aku akan memberi tahukan.” Jawabnya dengan suara yang tetap. “Aku hendak pergi ke Indrakilo untuk mencari Kembang Arum, dan aku akan membantu paman-paman guruku untuk membunuhnya.”

Baru saja perkataan itu habis diucapkan, atau tiba-tiba saja terdengar suara orang tertawa yang keras sekali. Bahkan dapat dikatakan kalau terbahak-bahak.

“Kata anak-anak.... kata anak.   !” Demikian terdengar sebuah perkataan

setelah suatu tawa itu terhenti.

Suatu tawa dan perkataan itu sangat nyaring. Suara itu persis gajah menjerit atau harimau mengaum. Semuanyapun berkumandang dilembah- lembah.

Pertama kalinya Mintaraga menjadi kaget, akan tetapi setelah itu pemuda ini menjadi girang setengah mati. Segera ia melompat kearah orang yang keluar dengan secara tiba-tiba. Dan pemuda ini lalu menjatuhkan diri berlutut dihadapan orang itu.

“Eyang... eyang. guru?.” Katanya dengan berulang-ulang.

Candra Wulan melengak.

Ternyata yang datang itu adalah seorang pendeta yang telah lanjut usianya. Alisnyapun panjang, demikianpun dengan jenggotnya. Wajahnya sangat tenang. Jubahnya berwarna hijau dan kelihatan agung, kedua matanya bersinar berpengaruh. Ia memang kakek guru dari Mintaraga, atau gurunya dan juga guru ki Darmakusuma. Inilah pendeta Argo Bayu pendiri perguruan Lawu.

Ketika Candra Wulan memandang kearah pendeta itu maka hatinya menjadi tercekat. Kedua mata yang tajam dan mengeluarkan sinar yang berpengaruh. Dengan tanpa terasa ia lalu menundukkan wajahnya dan ikut Mintaraga bersujut dihadapan orang suci ini.

“Jangan pakai banyak peradatan, Candra Wulan.” Seru pendeta itu sambil mengangkat bangun gadis ini. Suaranyapun sabar sekali. Sedangkan tangannya yang lain diusap-usapkan kearah kepala cucu muridnya.

“Kau baik sekali..... kau bangunlah.” Katanya kepada cucu muridnya sambil tertawa.

Mintaraga bangkit dengan cepat. Ia lalu berdiri dipinggiran dan kedua tangannya diturunkan sebuah tanda kalau pemuda ini sangat menghormat sekali kepada eyang gurunya.

“Anak yang baik kau tetap menjunjung aturan.” Kata pendeta tua itu sambil tertawa. “Kau sangat berbeda sekali dengan ayahmu.”

Mintaraga tak menjawab perkataan kakek gurunya ini, hanya ia bertanya apakah kakek itu baru saja tiba?  

“Ya... ya... aku baru saja datang. Jawab pendeta Argo Bayu. “Aku suka

sekali kepada tempat ini yang mempunyai pemandangan indah lagi terang. Banyak pepohonan yang rindang, bukan seperti gunung Lawu.”

“Benar eyang.” Jawab cucu muridnya ini sambil mengangguk- anggukkan kepala.

Pendeta Argo Bayu melirik dan kemudian tertawa lagi. Bahkan suara tawanya kedengaran keras namun tetap halus dan enak didengar.

“Aku lihat matamu bersinar kaget.” Katanya. Didalam hatimu rupanya ada sesuatu keragu-raguan. Huahaaa... Huahaa... Huahaa... Bukankah kau hendak menanyakan mengapa aku datang kemari bukankah demikian?”

Air muka Mintaraga menjadi merah.

“Benar.” Jawabnya dengan tanpa berani berdusta. Memang selamanya ia tak pernah membohong kepada gurunya ini.

Pendeta Argo Bayu memainkan kumisnya.

“Tentang itu sebentar kau akan mengerti.” Katanya. “Sudah berapa bulankah kau turun gunung, tentang pengalamanmu semua, tentang segala perbuatanmu, telah kudengar melalui mulut-mulut orang lain. Pokoknya aku mengetahui dengan jelas. Kau baik sekali. Tak sia-sialah aku mendidikmu.” Seru kakek gurunya ini yang terus memberi nasehat dan setelah menarik napas panjang kembalilah ia meneruskan perkataannya :

“Ayahmu berwatak keras dan terlalu percaya kepada dirinya sendiri. Karena itulah ia menerima nasibnya yang buruk itu. Kau sendiri jangan mencontoh perbuatannya.”

Dengan tiba-tiba saja Mintaraga teringat kepada ayahnya. Karena sedihnya ia lalu mengucurkan air mata.

Candra Wulanpun teringat kepada ayah angkatnya itu, dengan segera iapun lalu ikut menangis.

Pendeta Argo Bayu mengusap-usap kepala anak perempuan itu sambil memandangnya dengan tajam-tajam.

“Ayah angkatmu sering menyebutkan tentang dirimu Candra Wulan. Kaupun seorang anak yang baik.” Katanya dengan nada tetap sabar. “Eh... barusan kau menyebut hendak membunuh Kembang Arum. Apakah sebenarnya kau mengandung maksud itu nini?”

Suara ‘eh’ tadi kedengaran sangat lucu hingga mau tak mau Candra Wulan menjadi geli dan sukar sekali untuk tidak menjadi tertawa. Ia merasa kalau orang suci ini sangat luar biasa sekali. Sejak munculnya orang itu Candra Wulan seperti merasakan kalau dirinya tanpa pegangan. Tak tahulah ia harus bergirang atau berduka... karena itu ia diam dan menundukkan kepalanya.

Pendeta itu tak mendesak.

“Ya Mintaraga.” Katanya kemudian kepada anak muda yang menjadi muridnya. “bukankah kau hendak pergi ke Jipang Panolan?”  

“Benar eyang.” Jawab Mintaraga. “Aku telah berjanji dengan ki Sucitro

untuk mengunjungi Jipang Panolan dan yang kedua menemui eyang paman guru pendeta Baudenda, untuk mengambil kembali Tunggul Tirto Ayu yang menjadi lambang dari kerajaan Demak Bintoro. Setelah itu aku akan pulang menuju ke Indrakilo untuk menemui Sembilan Resi Indrakilo.”

Pendeta Argo Bayu tertawa terbahak-bahak.

“Kali ini kau turun gunung dengan maksud menemui semua jago-jago yang berada dikolong langit ini.” Katanya.

“Hal ini benar-benar tak kumengerti, karena melakukan hal ini aku yang muda masih tak berani eyang.” Kata Mintaraga. “Karena itu aku mohon petunjuk dari eyang guru.”

Kembali ki pendeta Argo Bayu itu memandang kearah cucu muridnya dengan tajam-tajam.

“Mintaraga, bagaimanakah sikapmu untuk menghadapi paman eyang gurumu itu?”

“Aku hanya ingin minta kembalinya Tunggul Tirto Ayu lambang dari kerajaan Demak Bintoro, sedangkan lainnya aku tak berani minta kepada paman eyang guru pendeta Baudenda itu eyang.” Jawab Mintaraga dengan tegas.

Pendeta Argo Bayu menundukkan kepalanya. Agaknya pendeta tua ini tengah berpikir dengan keras.

“Apakah kau sanggup melawan eyang gurumu itu?” Tiba-tiba pendeta Argo Bayu itu bertanya.

“Beberapa kali aku telah bentrok dengannya, sukurlah dalam setiap bentrok itu aku belum pernah dapat dikalahkannya.” Jawab Mintaraga dengan tenang.

Kembali pendeta Argo Bayu menghela napas panjang.

“Ketika mula-mula kau turun gunung, aku telah memesan kepadamu supaya kau jangan terlalu memamerkan dirimu.” Katanya dengan sabar dan tetap ramah. “Supaya semua persoalan dapat dibereskan dan persoalan ayahmu dapat diselesaikan dengan jalan memuaskan kedua belah pihak. Akau tetapi sekarang, nampaknya. Ah... aku menyesal mengapa dahulu itu aku tak memberimu pelajaran jang lebih banyak dari pada apa yang kau peroleh itu ”

Mintaraga mengetahui kalau eyang gurunya ini menjadi tak puas mengapa ia selalu mengalah kalau terjadi bentrok dengan paman eyang gurunya itu.

“Memang kebiasanku ini tak sempurna karena itulah aku minta tolong supaya eyang guru sudi memberi petunjuk pula kepadaku yang masih bodoh ini.” Seru Mintaraga meminta.

Akan tetapi kembali kelihatan kalau pendeta Argo Bayu itu menarik napas panjang.  

“Tidak, aku tak mempersalahkanmu Mintaraga.” Katanya. “Tadinya aku

menyangka kalau pendeta Baudenda tentunya masih mempunyai sifat laki- laki. Tidak tahunya dia tetap tak dapat mengubah kelakuannya itu. Mintaraga, kalau lain kali kau bertemu dengannya jangan kau berlaku mengalah kepadanya, kau harus memandangnya sebagai pengkhianat dan pembrontak. Tak usah kau menganggapnya sebagai paman eyang gurumu lagi.”

Makin lama suara kakek pendeta tua itu kedengaran makin keras dan lantang.

Mintaraga menundukan kepalanya.

“Ya eyang.” Jawabnya dengan singkat. “Akan tetapi dia lebih sakti dari padaku. Misalnya aku melayaninya dengan sungguh-sungguh mungkin aku bukannya tandingannya ”

“Apakah aku tak mengetahui itu?” Seru kakek pendeta Argo Bayu itu yang kini dapat berkata dengan penuh kesabaran lagi. Bahkan senyumannya segera terlihat kembali. “Tahukah kau mengapa aku menyusulmu kemari? Mengapa aku telah mendahuluimu dan menunggu disini?”

Mintaraga dan Candra Wulan menjadi terkejut. Kiranya kakek gurunya itu, diluar sepengetahuan mereka itu, kakek tua ini telah membuntutinya. Inilah hebat. Bukankah mereka berdua ini seorang pemuda dan pemudi yang selalu berjalan bersama-sama dan berdampingan satu dengan lainnya? Bukankah barusan saja mereka itu sedang membicarakan tentang ASMARA? Coba mereka bertindak diluar garis, tidakkah kakek gurunya itu akan tahu? Kalau sampai terjadi begitu bagaimana nanti jadinya. Pasti eyang gurunya ini tak akan berdiam diri saja.

Karena itu, mereka lalu memandang kearah pendeta tua yang berada dihadapannya. Sedangkan tubuh mereka sendiri terus mengeluarkan peluh dingin.

Candra Wulanpun menjadi khawatir dan bersama dengan itupun ia merasakan mukanya menjadi tebal merah karena perasaan malunya kepada pendeta tua yang waskita itu.

“Disamping itu kecuali Dua Puluh Satu Jago-jago Jipang Panolan, masih ada lagi sembilan orang resi Indrakilo.” Pendeta Argo Bayu melanjutkan omongannya. “Mereka itu juga sakti sekali. Dengan cara bagaimana kau akan dapat memukul hancur barisan Sembilan Resi Sakti itu?”

Mintaraga berdiam diri tak dapat menjawab. Iapun menjadi jengah dan malu.

“Maka itu.” Seru eyang gurunya. “Maka itu aku telah datang kemari.

Mengertikah kau sekarang?”

Tentu saja Mintaraga ini mengerti. Maka sekarang ia lalu menjatuhkan dirinya kembali dihadapan kakek gurunya itu sambil mengangguk- anggukkan kepalanya tiga kali.  

“Aku mengerti.” Jawabnya dengan terus terang. “Eyang guru datang

kemari untuk menurunkan ilmu silat kepadaku...!”

Jawaban Mintaraga ini membuat Candra Wulan menjadi terkejut sekali. Hingga dengan tanpa sengaja Candra Wulan mengeluarkan seruan yang tertahan.

Pendeta Argo Bayu memang terkenal sebagai salah seorang ahli silat terpandai ditanah Jawa sini, bukannya hanya pandai mempergunakan pedang dan tangan kosong dari perguruan Lawu saja. Karena iapun mempunyai sebuah ilmu silat yang dapat dipakai untuk menjagoi dunia kependekaran. Ilmu silat simpanannya ini adalah sebuah ilmu yang bernama ‘BRAHOLO META’. Ilmu ini tak sembarangan untuk diwariskan. Ki Darmakusumapun mengetahui akan ilmu itu, akan tetapi karena gurunya tak mengajarkan ilmu ini kepadanya maka ia tak dapat menjagoi dunia kependekaran. Tentang ilmu ini sering pula ia ceritakan kepada Candra Wulan, karena itulah gadis ini dapat segera mengetahuinya.

“Coba aku telah mendapatkan ilmu silat Braholo Meta itu, walaupun hanya kulitnya saja maka tak nanti aku menyembunyikan diri di Karang Bolong daerah laut Kidul ini.” Demikianlah perkataan ki Plompong dahulu yang sekarang terdengar mengiang-ngiang ditelinganya.

Candra Wulan teringat akan perkataan ayah angkatnya dahulu karena itulah ia menjadi heran.

Pendeta Argo Bayu tersenyum.

“Mintaraga tak kelirulah dugaanmu itu.” Berkatalah kakek pendeta tua itu. “Mulai besuk, dengan batas waktu lima hari akan kuajarkan ilmu Braholo Meta.” Ia terus berpaling kepada Candra Wulan dan berkata :

“Melihat air mukamu yang kagum sekali itu, rupa-rupanya kaupun ingin mempelajari sesuatu.”

Hati gadis ini berdebaran, dengan cepat iapun menjadi malu. Segera saja Candra Wulan menjawab perkataan pendeta tua itu :

“Aku telah berjanji kepada paman-paman guruku kalau tak akan mempelajari silat dari perguruan lain-lain...”

“Apa? Lain perguruan???” Seru pendeta Argo Bayu kepada Candra Wulan. Wajahnya menunjukkan kegusaran. “Kau adalah anak angkat dari muridku, apakah tak pantas kalau aku memberi sedikit ilmu silat kepadamu? Kaupun harus ingat resi-resi dari Indrakilo itu sering membolak-balikkan omongannya. Hem... kau baru mempelajari sejurus ilmu pukulan Gundala Kurda, apakah dengan ilmu itu kau akan dapat menjagoi dunia kependekaran? Mulai besuk pagi aku akan memberimu pelajaran ilmu silat lain kepadamu, karena itu janganlah kau melupakannya ”

Setelah mengucapkan demikian entah bagaimana gerakannya pendeta tua itu telah melenyapkan diri dari hadapan kedua anak muda-mudi itu. Hingga disitu tampaklah sinar rembulan yang terang. Benar-benar hebat  

bulan ini muncul tanpa mereka rasakan dan bersama dengan itu terasa pula

desiran angin malam.

“Kakang Mintaraga, eyang gurumu itu sakti sekali.” Seru gadis itu sambil menjulurkan lidahnya.

Baru saja Candra Wulan itu berkata, belum lagi Mintaraga menjawabnya, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat dan pendeta Argo Bayu sudah muncul dihadapan mereka. Pendeta itu terus saja berkata kepada cucu muridnya.

“Mintaraga, aku sampai lupa memberitahukan kepadamu. Sebentar lagi akan datang tetamu, dan kau harus menyambutnya dengan baik.”

“Eh nini!” Kini pendeta Argo Bayu itu berkata kepada Candra Wulan. “Kau jangan lagi memikirkan soal asmara, jangan kau suka menjadi penasaran ataupun membenci. Disaat sedang kacau seperti ini baik kau mempelajari ilmu kepandaian yang berarti. !”

Setelah mengucap demikian maka kembalilah pendeta tua itu berkelebat menghilang.

Candra Wulan malu dan tercengang. Mukanya menjadi merah, karena itu ia lalu menundukkan kepalanya. Tak berani ia memandang kearah Mintaraga. Candra Wulan menjadi bergembira karena ia tadi tak berkata yang menyakitkan hati pendeta tua itu.

Mintaragapun tak sempat mengiakan perkataan kakek gurunya itu. “Eh... kakang Mintaraga, aku memberi selamat kepadamu.” Dan tiba-

tiba saja Candra Wulan memecahkan kesunyian malam setelah itu. “setelah kau mempelajari ilmu silat tambahan dari eyang gurumu bukan saja kau tak usah takut kepada Pendeta Baudenda, kau tentu juga akan dapat mengalahkan Sucitro si tokoh aneh dari dunia kependekaran ini.”

“Itu masih belum tentu adikku.” Jawab Mintaraga dengan tenang dan perlahan. “Kau harus mengetahui, belajar silat sama saja dengan belajar membaca ataupun menulis, satu soal satu pula judulnya. Akan tetapi setelah dikarangnya, maka ada pula yang baik dan yang buruk. Aku malahan khawatir kalau aku tak dapat mempelajarinya dengan sempurna. Hingga dengan demikian aku khawatir kalau eyang guru bakal marah padaku ”

Setelah mengucapkan demikian, anak muda ini lalu teringat akan pelajaran Candra Wulan. Pertama ini mempelajari ilmu silat dari perguruan Lawu, lalu diteruskan dengan pelajaran dari Indrakilo yaitu pukulan Gundala Kurda. Dan sekarang, ilmu Indrakilo akan dibalik menjadi ilmu perguruan Lawu. Sebenarnya ia paling tak suka kepada ilmu silat Gundala Kurda, maka sekarang setelah eyang gurunya akan memberinya pelajaran silat diam-diam pemuda itu menjadi girang.

“Adi Candra Wulan sukakah kau dengan ilmu silat Braholo Meta?” “Eyang gurumu akan memberi pelajaran kepadaku, tentu saja aku

senang sekali.” Jawab gadis itu, memang benar ia girang sekali.  

“Eh kakang Mintaraga.” Kemudian ia bertanya kepada Mintaraga.

“Eyang gurumu berkata kalau malam ini akan datang tetamu, tahukah kau siapa tetamu yang dimaksudkan itu?”

Mintaraga menggelengkan kepalanya.

“Mana aku tahu?” Jawabnya. “Kita lihat saja sebentar malam nanti?“

Waktu itu rembulan telah berada ditengah-tengah. Tanpa terasa mereka telah melewati tengah malam.

Perasaan kedua orang muda-mudi ini menjadi gembira sekali, bukankah mereka akan mendapatkan sebuah pelajaran baru? Karena itu mereka lalu duduk berhadapan sambil bersemedi melepaskan lelahnya. Dalam hal ini karena keyakinan Candra Wulan masih terlalu sederhana, ia mendapat pelbagai petunjuk dari Mintaraga. Hingga dengan demikian gadis ini memperoleh kemajuan yang luar biasa.

Sewaktu mereka tengah meyakinkan ilmu tenaga dalam itu, sekonyong- konyong ada sebuah tubuh hitam yang bergerak-gerak dipuncak gunung didepan mereka, bayangan itu terus melompat turun, gerakannya sangat pesat.......

*

* *

Candra Wulan menjadi terkejut. “Siapakah itu?” Tanyanya.

“Mungkin dia adalah tetamu yang eyang guru sebutkan tadi.” Jawab Mintaraga dengan perlahan.

Candra Wulan masih ragu-ragu. Benarkah ada orang yang demikian hebatnya? Apakah ia bukannya sedang melihat hantu?

“Kalau benar ia adalah si tetamu, dia ini aneh sekali.” Kata gadis ini. “Kakang Mintaraga apakah kau tak akan menyambut kedatangannya?”

“Tentu saja, hanya ”

“Kau pergilah, aku akan menunggumu disini....” Seru Candra Wulan dengan perlahan.

Tentramlah hati Mintaraga, karena itu ia segera bangkit. Dengan sebuah lompatan, ia mulai turun gunung, untuk memapaki bayangan tadi.

Bayangan itu terlihat berlari-lari, sebentar tampak sebentar tidak. Akan tetapi teranglah kalau ia tengah akan mendatangi ketempat kedua muda- mudi ini.

Mintaraga segera memperdengarkan suara untuk memperkenalkan diri. Ia menyebutkan namanya sendiri dan nama perguruannya. Pemuda ini berbicara dengan nada yang sangat menghormat, dan iapun mengeluarkan perkataannya ini dengan disertai tenaga dalamnya yang di salurkan melalui mulutnya. Karena itu suaranya akan dapat terdengar jelas dari jauh. Ia  

percaya   kalau   orang   itu   akan   dapat   mendengarnya.   Hanya   anehnya

bayangan itu seperti tak mendengarnya, hal ini terbukti dengan jelas kalau bayangan ini melintas kelain arah.

Melihat demikian, Mintaraga menjadi tak dapat menyambutnya karena itu terpaksalah ia menyusul. Adalah setelah disusul, tiba-tiba saja orang itu berhenti berlari. Akan tetapi ketika anak muda itu hampir sampai mendadak orang itu lari lagi.

“Ki sanak tunggu.” Teriak Mintaraga. “Eyang guru menitahkan kepadaku untuk mengundangmu dan berbicara diatas puncak gunung.”

Orang itupun tak mempedulikan keterangan itu, ia tetap lari dengan pesat sekali.

Perlakuan ini membuat Mintaraga kurang puas.

‘Apakah kau hendak mengujiku?’ Ia bertanya kepada dirinya sendiri. Karena itu ia menyusul dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya. Hingga kedua bayangan itu seperti saling kejar-mengejar. Mereka itu sebentar naik dan sebentar pula turun dan sebentar kelihatan kekiri dan lain saat kelihatan disebelah kanan.

Setelah mengejar sekian lamanya Mintaraga lalu menghentikan larinya. Diantara mereka ada jarak terpisahnya. Inilah hebat untuk anak muda ini, sebab ia tahu akan kepesatan larinya. Ia tahu biarpun pendeta Baudenda ataupun Sucitro sendiri belum tentu dapat mengalahkannya. Akan tetapi orang yang tak dikenalnya ini telah dapat meninggalkannya sebanyak belasan meter.

‘Teranglah sudah kalau dia itu tentunya seorang tokoh dari kependekaran yang mempunyai kepandaian tinggi.’ Pikir Mintaraga kemudian. Mungkin dalam hal ilmu lari ia dapat mengalahkan eyang guru.”

Mintaraga lalu mengejar lagi. Sekarang sambil berlari ia berpikir menduga-duga, mengingat-ingat siapakah diantara sahabat-sahabat kakek gurunya, siapakah yang hebat ilmu lari cepatnya. Untuk sejenak ia tak dapat mengingat-ingat siapakah orang yang dapat mengalahkan ilmu lari cepat gurunyas.

Mintaraga mengejar terus sampai tiba-tiba saja orang yang berada didepannya itu menoleh dan terus berkata :

“Mintaraga, ilmu lari cepatmu masih belum sempurna. Akan tetapi kalau dibandingkan dengan ayahmu kau telah menang berlipat ganda.”

Terang dan jernih sekali suara itu, suatu tanda kalau suara ini tentunya suara seorang perempuan.

Hanya sejenak Mintaraga berpikir atau segera ia ingat.

“Orang tua, bukankah kau ini bibi Woro Keshi, bikshuni yang menetap diatas puncak Muria?” Tanyanya.

Orang itu tertawa lalu berhenti dari larinya hingga sampai tampak tegas tubuh dan wajahnya, yang bersih dan walaupun kulit mukanya telah mulai  

berkeriput,   pada   wajah   itu   masih   terlihat   keagungan   Bikshuni   ini

mengenakan jubah abu-abu. Memang ia adalah istri mendiang almarhum Pandu Pergolo atau ibu dari Kembang Arum dan dia ini juga bekas kekasih dari Darmakusuma yang bernama Woro Keshi. Ia menjadi Bikshuni baru enam belas tahun lamanya.

Mintaraga segera menghampirinya, untuk menjalankan penghormatan. Sementara itu, banyak pikiran dan perasaan yang menyandingi otaknya. Karena itulah ia tak dapat omong terlalu banyak.

Bikshuni ini mengawasi anak muda ini sampai lama, dan tak lama kemudian terdengarlah suara tawannya.

“Mana eyang gurumu?” Tanyanya. “Apakah eyang gurumu itu yang mengharuskan kau mempertontonkan ilmu lari cepatmu itu dihadapanku?”

“Bukan... bukan...!” Jawab Mintaraga dengan cepat. “Maafkan aku, jika aku mengetahui bahwa akan berhadapan dengan bibi Bikshuni, tak nanti aku berani mengejar bibi. !”

Woro Keshi tertawa.

“Sungguh hebat eyang gurumu itu.” Katanya. “Dia menyingkir dari aku, dia memajukan kau untuk mencoba ilmu lari cepatku ”

“Oh... bukan, bibi. !” Seru pemuda itu.

Pada waktu sepuluh tahun yang lalu sewaktu Mintaraga belajar ilmu silat diatas puncak Lawu, pernah Woro Keshi datang berkunjung secara tiba- tiba kegunung Lawu untuk menemui pendeta Argo Bayu. Ia mengenal bikshuni ini dan tergolong kalangan yang terlebih muda, karena itu ia lalu memohon pengajaran dalam ilmu silat dan ilmu tenaga dalam. Kemudian ia mengajak pendeta tua itu mengujinya dalam ilmu lari cepat.

Pendeta Argo Bayu adalah orang yang berwatak sederhana iapun tak sudi melayani semua kemauan anak-anak muda. Akan tetapi ia diminta dengan sangat, terpaksalah ia melayani juga. Kesudahannya mereka itu seri. Akan tetapi sebenarnya ia mengalah, hal ini benar-benar diinsyafi Woro Keshi, hingga ketika Bikshuni ini minta diri ia menjadi sangat gembira. Mengenai hal adu lari ini Mintaraga masih kecil dan tak tahu apa-apa, ia melainkan merasa heran. Maka ia telah bertanya kepada gurunya, mengapa eyang gurunya ini berimbang dengan kepandaian lari Woro Keshi ini. Atas pertanyaan ini maka Pendeta Argo Bayu lalu menjelaskan. Dia sengaja berbuat demikian, untuk dengan jalan tak langsung menganjurkan Woro Keshi meyakinkan terlebih jauh ilmu lari cepatnya.

Benar saja Woro Keshi lalu belajar dengan mendalam dan rajin dalam hal ilmu lari cepat. Hingga dengan demikian ia memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Mungkin dalam ilmu silat ada pula orang-orang yang dapat mengalahkannya, akan tetapi didalam ilmu lari cepat dan mengentengkan tubuh kiranya hanya pendeta Argo Bayu sajalah yang dapat mengalahkannya.  

Woro Keshi memandang Mintaraga sekian lamanya. Ia mendapatkan

wajah yang tak gembira diwajah pemuda itu. Hal ini membuat wajah Mintaraga menjadi bertambah malu. Memang ia baru pertama kali ini bertemu dengan calon mertuanya perempuan, tidak dapatlah berpikir apa- apa untuk melenyapkan perasaan malunya.

“Mintaraga, apakah yang telah kau perbuat dengan anakku?” tanya Bikshuni ini dengan mendadak.

“Dia telah pergi ke Indrakilo.” Jawab pemuda ini dengan tegas. “Mungkin kini dia telah tiba Jipang untuk menyambut kedatangan kami disana.”

“Siapakah yang bicara tentang Kembang Arum?” Seru pendeta wanita itu dengan nada dingin. “Kau telah melabrak orang-orang Tengkorak Berdarah dan kau telah menaklukkan orang-orang laut Timur dan Selatan dan kau pula telah mengalahkan dua puluh satu jago-jago Jipang Panolan. Semuanya itu mustahil kalau aku tak mengerti. Aku hanya menanyakan anakku si Wirapati, kau telah mendesaknya hingga ia sekarang pergi kemanakah?”

Memang bikshuni ini telah mendengar kabar kalau anaknya yang bernama Wirapati ini telah melarikan diri dari perguruannya, iapun mengetahui dengan baik akan kelakuan serta perangai putranya itu, karena itu ia mengkhawatirkan Wirapati mendapat bahaya. Karena inilah maka bikshuni dari gunung Muria ini turun ke dunia ramai untuk menyusul putranya.

Bikshuni ini telah pergi berputar-putar untuk mencari putranya yang keras kepala itu. Akan tetapi kepergiannya yang jauh ini sedikitpun tak mendapatkan hasil. Kebetulan sekali ia bertemu dengan pendeta Argo Bayu, dari pendeta inilah ia mendapat keterangan tentang sepak terjang Kembang Arum bersama Mintaraga dan Candra Wulan yang telah mengangkat namanya didunia kependekaran. Lalu pendeta Argo Bayu ini menjanjikan pertemuan dipuncak gunung ini dan bikshuni ini akan dapat pula bertemu dengan Mintaraga.

Hati Mintaraga menjadi tercekat setelah melihat sikap dari pendeta wanita yang juga menjadi calon mertuanya ini.

“Aku tak mendesaknya, malahan ki Wirapati sendiri yang mendesakku bibi. !” Jawabnya.

“Kau jelaskanlah!” Seru pendeta wanita itu dengan nada perintah.

Mintaraga lalu menabahkan hatinya, dan segera menceritakan bagaimana dahulu ia bentrok dengan Wirapati.

“Dia memaksa untuk mengajakku berkelahi, katanya untuk menuntut balaskan atas kematian paman Pandu Pergolo yang mati dibawah tangan ayahku. Tentu saja aku tak melayaninya. Setelah itu ia kabur seorang diri, entah kemana perginya aku benar-benar tak tahu ”   

Woro Keshi berdiam diri. Pikirannya terus bekerja. Nampak nyata ia tak

gembira. Rupanya segera terbayang segala apa yang telah dialaminya dahulu itu. Ia berdiam sekian lamanya.

“Mintaraga, manakah abu dari jenasah ayahmu itu?” Tanyanya.

“Kami telah membawanya kelaut Timur.” Jawab Mintaraga. Oleh karena kami hendak mencari Sucitro dan mungkin kami akan melakukan pertempuran, tidak leluasalah untuk membawa-bawa abu ayah itu, karena itu aku telah menitipkan kepada ki Bargawa dilaut Timur. Nanti kalau ada ketika aku akan membawanya pulang untuk dikubur di atas puncak Lawu.

“Begitupun bagus.” Seru pendeta wanita itu. “Ayahmu telah merantau, dia adalah seorang gagah, maka sayang sekali ia telah mati dengan sedemikian menyedihkan. Katanya dia mati ditangan pendeta Baudenda, benarkah itu?”

Mintaraga mengangguk.

“Benar-benar celaka.” Seru pendeta wanita itu. Kemudian ia lalu bertanya kepada Mintaraga. “Mintaraga, tahukah kau kemana perginya si jahanam Baudenda itu?”

“Dia telah kabur pulang ke Jipang Panolan.” Jawab anak muda itu. “Bagus benar.”Seru Woro Keshi. “Dan sekarang kau bukannya pergi

menyusul Baudenda si jahanam itu, akan tetapi malahan bersembunyi untuk mempercakapkan soal asmara, mengapakah?!”

Mintaraga melengak.

“Oh... tidak... tidak...” Katanya dengan gugup. “Kami melakukan perjalanan, adi Candra Wulan itu merasa letih kebetulan tempat ini tentram dan indah, karenanyalah kami singgah disini...”

“Apakah kau akan membohongi aku dengan segala perkataan busukmu itu?” Seru pendeta wanita ini. “Aku adalah seorang yang lebih berpengalaman. Sinar matamu juga telah memberitahukan kepadaku. Apakah kau sangka aku tak dapat melihatnya?”

Didesak demikian Mintaraga menjadi berdiam diri. Bahkan ia lalu menundukkan wajahnya.

“Eh... Mintaraga bagaimanakah sikapmu terhadap anakku si Kembang Arum?” Sekonyong-konyong bikshuni ini bertanya.

Wajah Mintaraga menjadi merah. “Dia baik sekali... aku...”

“Aku apa, bilanglah.” Desak Woro Keshi. “Kau toh bukannya seorang anak perawan...!”

“Aku... aku senang terhadapnya...!” Jawab Mintaraga dengan tegas. “Senang??” Bikshuni ini mengulangi. “Mengapa kau tak berterus terang

saja kalau kau benar-benar mencintainya. Heh bukankah kau cinta kepadanya?”

Dengan terpaksa Mintaraga menjawab, tetapi dengan pelan.  

“Aku cuma tahu yang aku senang terhadapnya... dia itu tentunya akan

menjadi istriku. Karena itu dikelak kemudian hari tentunya aku akan menyukai dan mencintainya...”

Mendengar perkataan ini maka Bikshuni ini berkata didalam hati kecilnya.

‘Tak kusangka kalau bocah ini sungguh-sungguh pandai bicara. Dia ini sama saja dengan ayahnya ’ Karena itu ia menjadi teringat peristiwa asmara

antara dirinya dengan ki Darmakusuma ayah dari Mintaraga ini. Dan karena asmara itulah maka telah membuat dirinya menjadi sengsara. Karena itulah pendeta wanita ini lalu menarik napas panjang...

“Baik.” Katanya kemudian. “Sekarang pergilah kau ajak adikmu si Candra Wulan itu datang kemari, aku sedang malas berjalan. ”

“Dia bukan adikku...” Kata Mintaraga dengan perlahan. “Diapun bakal menantu dari bibi sendiri. !”

“Baiklah.” Kata perempuan pertapa itu dengan keras. “Anggap saja aku barusan salah omong. Kau masih belum mau pergi?”

Mintaraga tak berani berayal lagi. Segera ia memberi hormat, setelah itu ia lalu memutar tubuhnya pergi berlari turun gunung.

Dengan suara tak nyata Woro Keshi berkata seorang diri : ‘Bocah ini... hem... dia jauh lebih menang dari pada ayahnya ’

Tak antara lama Mintaraga telah kembali. Dia bukan datang bersama Candra Wulan berlari mendaki bersama-sama. Dia hanya memondong pinggang Candra Wulan yang langsing itu. Setelah tiba dihadapan Bikhsuni ini wajahnya tak berubah menjadi merah dan napasnyapun tak tersenggal- senggal.

Diam-diam Woro Keshi harus memuji bocah ini. Ia lalu mengawasi Candra Wulan, yang cantik manis dan tubuhnya lincah. Hingga dengan demikian siapa yang melihatnya tentu akan timbul perasaan sukanya.

Candra Wulan telah segera memberi hormat kepada pendeta itu. “Bibi...” katanya kemudian. “Ketika ayah angkatku hendak

meninggalkan dunia ini, ia telah meninggalkan sepucuk surat untuk bibi, karena itu harap sekarang bibi suka menerima surat ini dengan baik.“

Ia lalu merogoh kedalam bajunya dan mengeluarkan surat peninggalan ayah angkatnya. Kulit macan yang membungkus surat itu kelihatan lusuh kotor karena kena air. Sambil menyerahkan surat itu ia lalu berkata :

“Baru-baru ini, surat ini telah dirampas oleh Pendeta Baudenda, kemudian bersama-sama dengan kakang Tunggorono aku telah merampasnya dengan susah payah. ”

Wajah Woro Keshi menjadi berubah dan hatinyapun menjadi tercekat. Dia lalu mengulurkan tangannya untuk menyambut surat itu. Ketika ia menyobek sampul surat itu, tangannya tampak tergetar sedikit.  

Mintaraga dan Candra Wulan lalu menjauhkan diri sedikit dari pendeta

wanita itu. Sedikitnya ia mengetahui pula hubungan antara ayahnya dengan pendeta wanita ini. Entah apa bunyinya surat itu. Ketika mereka memutar tubuh untuk berjalan mereka masih mendengar suara sampul itu disobek. Dan selain itu terdengar pula suara surat itu ketika dibeber.

Tiba-tiba saja mereka mendengar jeritan dari pendeta wanita itu. Hingga karena heran dan terperanjat, mereka segera menoleh. Tampaklah kalau wajah Bikshuni ini merah pucat bergantian, kedua tangannya gemetar keras, karena itulah mereka menjadi heran.

“Kau... kau kena apakah bibi?” Tanya Candra Wulan. Wanita muda ini benar-benar mengkhawatirkan keadaan Bikshuni ini.

Akan tetapi Woro Keshi tak menjawab, ia hanya mendongakkan kepalanya saja. Dan terdengarlah dari mulutnya keluar sebuah keluhan. Kemudian ia berkata seorang diri :

‘Darmakusuma mengapa kau berbuat demikian???? Mengapa...??’

Lalu tubuhnya terhuyung-huyung seperti orang mabuk hendak roboh pingsan.

Mintaraga kaget, cepat ia melompat memeganginya.

Woro Keshi menggerakkan tangannya, dan surat ini terlepas, jatuh ketanah. Bersama dengan itu dua buah barang ikut jatuh. Mintaraga yang melihat barang itu segera menjerit. Lalu tubuhnya terus roboh dan tak sadarkan diri.

Candra Wulan kaget sekali hingga ia berdiri tercengang.

Woro Keshi sudah dapat segera menguatkan hatinya, ia telah sadar. Melihat keadaan Mintaraga ia segera menghampiri, tanpa ragu-ragu lagi dia menotok jalan darah pemuda itu.

Walaupun totokan ini dilakukan dengan sangat pelan akan tetapi telah cukup untuk menyadarkan si pemuda ini dari pingsannya tadi.

“Ayah...!” Akhirnya ia mengeluh. “Oh... ayah... “

Candra Wulan sedikitpun tak menyangka kalau surat peninggalan ayah angkatnya ini akan dapat mengakibatkan yang demikian hebatnya. Segera saja ia menghampiri barang yang membuat Mintaraga menjadi pingsan. Ia mendapatkan sepasang telinga yang telah kering. Karena itu ia lalu mengeluarkan seruan tertahan.

“Kuping siapakah ini?” Akhirnya ia bertanya. Gadis ini benar-benar tak mengerti. Akan tetapi segera ia teringat akan sesuatu. Ketika dahulu mereka menyerbu ke perkumpulan Tengkorak Berdarah yang bersarang di pulau Iblis bersama ayah angkatnya, ki Darmakusuma telah membungkus kupingnya. Dari samar-samar ia menjadi teringat dengan baik. Segera saja gadis ini menjadi kaget. Didalam hatinya ia berkata :

“Inilah kuping ayah...!”  

Woro Keshi telah segera melipat pula suratnya. Juga bersama dua buah

kuping itu ia masukkan kedalam saku bajunya. Nenek pendeta itu diam, dan matanya memandang jauh kedepan. Ia seperti teringat sesuatu, seperti sedang membayangkan apa-apa.

Mintaraga dan Candra Wulanpun ikut berdiam diri, masing-masing bagaikan kelelep dalam pikirannya sendiri-sendiri, karena itu gunungpun menjadi sunyi.

Tak antara lama tiba-tiba saja terdengar suara tawa pendeta wanita dari gunung Muria itu. Ia telah dapat mengatasi dirinya. Ia telah dapat berpikir kalau dihadapan kedua orang anak muda ini ia harus tak boleh menunjukkan kelemahannya. Tak peduli kalau sekarang hatinya tengah karam.

“Mari kita duduk.” Katanya kemudian. “Ada beberapa hal yang akan kuceritakan kepadamu ”

Mintaraga dan Candra Wulan segera memilih tempat duduk. Disitu terdapat sebuah batu besar dan lebar.

“Tentang hubunganku dengan Darmakusuma, tentunya Kembang Arum telah menceritakan kepada kalian bukan?” Kata bikshuni itu dengan tenang.

Sepasang muda-mudi ini duduk tenang dan tak menjawab. Tak berani mereka menyebut-nyebut lelakon orang tua mereka yang menyangkut diri perempuan tua yang kini berada dihadapannya itu. Hanya saja mereka itu saling berpandangan sekelebatan saja.

“Kita orang-orang dunia kependekaran.” Kembali bikshuni itu berkata : “kita harus bercakap-cakap dengan terus terang. Baik tetap baik dan buruk tetaplah buruk. Hendak kuceritakan kepadamu kalau aku pernah berbuat yang tak baik. Apakah kalian mengira kalau aku tak berani bercerita dengan sesungguhnya?”

Tiba-tiba saja Mintaraga teringat akan perkataan Kembang Arum bahwa mengenai permusuhan antara keluarga Pandu Pergolo dan keluarga Darmakusuma ini yang salah adalah ibunya, nyi Woro Keshi atau tepatnya ialah istri dari ki Pandu Pergolo. Iapun lalu teringat akan perkataan Jogosatru bahwa sebenarnya bentrok antara ayahnya dengan ki Pandu Pergolo ini urusan Tunggul Tirto Ayu adalah urusan yang kedua dan yang pertama adalah mereka saling memperebutkan Woro Keshi yang cantik jelita. Waktu itu wanita cantik ini belum menjadi bikshuni. Karena itulah hatinya dan duduknyapun menjadi tak tentram.

Woro Keshi segera mengawasi anak muda ini.

“Marilah kuceritakan kepadamu.” Katanya pula. “Kejadian ini adalah kejadian enam belas tahun yang lalu. Pendeta Baudenda telah berhasil menipu Tunggul Tirto Ayu yang menjadi lambang dari kerajaan Demak Bintoro, setelah itu ia lalu kabur. Bersama-sama ayahmu aku lalu  

menyusulnya. Bukankah Kembang Arum telah menceritakan hal ini

kepadamu?”

Mintaraga mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Dia menceritakan bahwa waktu itu bibi dan ayah telah dikepung oleh pendeta Baudenda, setelah bertempur dengan seru akhirnya Tunggul Tirto Ayu itu dapat direbut kembali.” Jawabnya.

“Benar demikian.” Seru pendeta wanita itu membenarkan. “Akan tetapi. ”

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar