Tikam Samurai Si Bungsu Episode 3.1

Episode III (Ketiga) 

Singapura!

Kota ini berkembang dengan cepat. Dari sebuah pulau yang selama ini lebih banyak dikenal sebagai tempat persinggahan kaum pedagang atau tempat pelarian penjahat-penjahat, tiba-tiba muncul sebagai sebuah kota yang paling penting setelah Kuala Lumpur di semenanjung Malaya.

Tapi pulau yang tiba-tiba berobah jadi kota besar ini juga menjadi sarang kegiatan spionase. Disana juga secara diam-diam atau terang-terangan berlangsung kegiatan politik untuk berbagai negara. Baik negara- negara eropah, terutama Inggris, Perancis, Belanda, Portugis dan Spanyol yang memiliki tanah jajahan di lautan pasifik dan lautan hindia.

Juga terutama kegiatan-kegiatan politik untuk kepentingan negara-negara Asia yang baru dan akan merdeka. Negara-negara Asia yang pernah dijamah kekejaman balatentara Jepang mengurus kepentingan pampasan perang di Singapura ini.

Berbagai jenis manusia makin hari makin memenuhi kota di pulau kecil tersebut. Dan diantara berseliwerannya manusia-manusia, pencopet dan penodong juga ikut beraksi. Berbeda dengan Jepang dimana para penjahatnya terorganisir rapi dalam berbagai kelompok seperti Jakuza, Kumagaigumi, atau yang kecil- kecil seperti kelompok Shiba, maka di kota singa ini para penjahat, pencopet, penodong dan pemeras beroperasi sendiri-sendiri.

Karena negeri ini negeri baru, maka organisasi apapun nampaknya belum sempat membenahi diri. Kalaupun ada yang terorganisir, maka itu hanyalah sindikat-sindikat penyelundup. Mulai dari penyelundup emas, timah, kayu bakau sampai pada kopra, karet dan bedil.

---000---

Hari itu sangat panas. Tengah hari terik. Seorang anak muda kelihatan keluar bersama puluhan kaum muslim lainnya dari sembahyang Lohor di Mesjid Sultan tak jauh dari Arab street.

Dia tak lain daripada Si Bungsu. Masih ingat padanya bukan? Dahulu dia diantar oleh Kenji, Hanako dan suaminya serta Tokugawa ke lapangan terbang Haneda. Dia akan pulang ke Indonesia. Karena waktu itu tak ada hubungan antara Indonesia dan Jepang, maka setiap orang yang akan atau kembali ke Indonesia dari Jepang, harus mempergunakan Singapura sebagai pelabuhan transit.

Nah, nampaknya dia belum kembali ke Indonesia. Siang itu, sehabis sembahyang lohor di Mesjid Sultan itu, dia menuju ke sebuah kedai nasi Padang yang tak jauh dari mesjid tersebut.

Kedai nasi itu terletak persis di pinggir jalan. Sebuah tenda dibentangkan sebagai atap. Sebuah meja besar terletak di bawahnya. Di meja besar itu lah terletak panci-panci bersisi nasi, gulai, goreng ikan, goreng ayam, sambal lado sampai rebus daun ubi. Sesekali kelihatan petai mentah dan gulai jengkol. Pokoknya spesifik makanan orang Padang lah.

Dan warung ini kabarnya milik orang Kapau. Sebuah desa kecil di luar Bukittinggi. Untuk menanak nasi mereka mempergunakan kompor pompa. Dan warung mereka ramai terus. Mulai dari pagi buta sampai malam hari. Tapi warung itu segera tutup sebelum jam 9 malam. Soalnya nasi berikut lauk pauknya sudah keburu habis.

Nah, kesanalah Si Bungsu pergi.

Dia terpaksa menanti beberapa saat. Warung dengan jumlah kursi sepuluh buah itu sudah penuh sesak.

Bersamanya ikut menanti beberapa lelaki lainnya.

Yang makan disini bukan hanya orang Padang saja. Tapi juga orang-orang Batak, Cina dan Jawa. Itu karena dari omong mereka ketika makan.

Waktu Si Bungsu tegak menanti itulah, di ujung jalan sebuah sedan kelihatan berhenti. Dari dalamnya turun seorang lelaki berpakaian cukup parlente.

Lelaki itu melangkah juga ke arah warung Padang itu. Si Bungsu yang pertama melihat lelaki itu. Dia jadi kaget. Lelaki itu juga menatapnya. Tapi tak begitu acuh. Nampaknya mereka seperti tak mengenal satu dengan yang lain.

Namun Si Bungsu mana bisa melupakan orang itu. Hanya dia tak yakin, apakah benar ini orangnya? Karena merasa ditatap terus menerus, lelaki yang baru turun dari sedan itu kembali menatap pada Si Bungsu. Mereka saling pandang sejenak.

Dan tiba-tiba : “Ya Tuhan, engkau Bungsu!” lelaki gagah itu seperti bicara buat dirinya sendiri.

“Nurdin….!” Kata Si Bungsu tak kalah kagetnya. Dan hanya beberapa detik setelah itu, mereka bersalaman dan berpeluk.

“Hai Si Bungsu! apa yang membawamu kemari. Apa engkau sudah bertemu dengan Jepang yang membunuh keluargamu…..?” lelaki itu bertanya.Si Bungsu tentu saja tak menjawab. Beberapa lelaki dan perempuan yang duduk makan, menatap pada mereka.

Ada yang mengerutkan kening. Yang datang dari Padang serasa pernah mendengar nama Si Bungsu itu dahulu.

Akhirnya mereka duduk di kedai itu. Memesan nasi, dan makan dengan lahap. Mereka sengaja mengundurkan pembicaraan karena di sana banyak orang.

Selesai makan, Nurdin membayar rekeningnya, lalu mereka naik ke sedan Nurdin yang menanti di ujung jalan. Seorang sopir juga orang Indonesia menjalankan mobil itu.

“Nah, sekarang kau cerita Bungsu, kenapa sampai nyangkut di kota ini…?” Nurdin bicara ketika mobil mulai berjalan.

Si Bungsu menatap temannya ini. Keadaannya sudah jauh berobah. Nurdin yang dahulu seorang Kapten TKR di Pekanbaru, yang bertubuh kurus kini kelihatan gagah berpakaian necis dengan dasi segala.

“Sudah lama sekali kita tak jumpa….” Kata Si Bungsu. “Ya. Sudah lama sekali…”

“Apa kabar Buluh Cina?”

“Masih tetap seperti dahulu. Batang Kampar masih berwarna kuning. Kanak-kanak masih mengayuh sampan mencari ikan. Penduduk masih menabang rimba untuk dijadikan ladang. Tahun depan jika sudah panen, ladang itu mereka tinggalkan untuk mencari hutan lain. Ditebas, dibakar dan dijadikan ladang pula…. Ah, saya juga sudah rindu pada Buluh Cina Bungsu…”

“Pak Bilal masih hidup?”

“Masih. Oh ya, masih ingat Nuri?”

Si Bungsu berdebar. Bagaimana dia takkan ingat gadis cantik ditepian sungai Kampar itu? Bukankah dia yang merawatnya ketika sakit di Buluh Cina dahulu?

“Ya, saya masih ingat. Apakah dia ada sehat-sehat?”

“Tiga tahun yang lalu, yaitu ketika saya akan meninggalkan Pekanbaru, dia menikah dengan seorang pedagang dari Teluk Petai Bungsu, saya tahu, dan semua penduduk kampung tahu, bahwa Nuri mencintaimu. Tapi….engkau entah dimana. Ada dia nanti kabar berita darimu. Setahun dua. Tapi kampung itu terlalu miskin. Seorang gadis betapapun dia mencintai seorang pemuda, namun dia harus lebih mencintai keluarganya. Keluarganya butuh makan. Dan itulah yang dilakukan oleh Nuri. Dia ingin mengabdi pada keluarganya yang miskin. Dia menerima lamaran seorang pedagang dari kampung Teluk Petai. Bukan karena dia mata duitan, tapi semata-mata demi keluarganya. Engkau dapat mengerti Bungsu….?”

Si Bungsu tertunduk. Tak mejawab. Hatinya amat terharu mendengar cerita Nurdin.

“Saya mengerti…Nurdin. Saya bangga pada gadis itu. Dia gadis yang berhati mulia. Saya ingin Tuhan melimpahkan kebahagiaan padanya….” Suara Si Bungsu terdengar bergetar. Nurdin diam, Si Bungsu juga diam. Sedan itu meluncur diantara ratusan modil yang berseliweran di kota Singa itu.

Lama mereka terdiam. Ketika kahirnya sedan itu berhenti di sebuah taman di pinggir laut. Nurdin membawa Si Bungsu duduk dikursi batu yang terdapat di bawah pohon-pohon.

Si Bungsu menceritakan secara ringkas tentang pertemuaannya dengan musuh besarnya, Saburo Matsuyama. Dia juga menceritakan tentang Obosan yang bunuh diri itu. Tapi dia tak menceritakan tentang anaknya yang bernama Michiko. Yang menaruh dendam dan ingin menuntut balas padanya. Karena itu dia anggap tak perlu amat buat diceritakan pada orang lain.

“Nah, engkau sudah tahu kisahku Nurdin. Kini, giliranmu. Sejak bila engkau berada di kota ini?” “Saya bertugas disini…”

“Bertugas?”

“Ya. Pemerintah kita telah membuka Konsulat disini. Saya ditugaskan sebagai salah seorang atase militer. Mengurus kepentingan-kepentingan untuk negeri kita…..Nah, sudah tiba saatnya kita kerumahku. Hei, engkau dimana tinggal Bungsu?”

“Saya tinggal bersama seorang teman. Nanti lah saya kerumahmu Nurdin. Saya tak mau menyibukkanmu…”

“Ah tidak. Engkau harus kerumahku. Kita pergi mengambil pakaianmu. Engkau harus pindah ke rumahku Bungsu. Jangan menolak. Kecuali kalau engkau tak menganggap aku sebagai saudaramu lagi…” Si Bungsu memandang terharu pada temannya itu. Akhirnya dia terpaksa menyerah. Mereka mengambil barang-barangnya dari sebuah rumah di jalan Arab. Kemudian mereka menuju ke rumah dinas yang ditempati Nurdin yang kini berpangkat Letnan Kolonel.

Mobil itu memasuki sebuah halaman rumput yang luas di pinggir jalan Bras Basah yang teduh oleh pohon-pohon. Sebuah rumah terletak persis di tengah sebuah lapangan rumput itu. Berwarna putih dengan atap dari kayu sirap berwarna coklat tua.

“Nah, itu isteri saya. Dia akan senang mengenalmu Bungsu. Dia juga orang Minang…” Nurdin menunjuk ke pintu rumah ketika mobil berbelok ke sana.

Seorang perempuan cantik dengan rambut tergerai hingga bahu tegak di depan pintu dengan baju kembang berwarna biru. Mobil itu berhenti tak jauh dari nyonya rumah tersebut tegak.

Si Bungsu turun mengikuti Nurdin.

“Bawa koper dibelakang ke rumah Madin…” Nurdin berkata pada sopirnya.

“Nah, Bungsu kenalkan ini isteriku. Bu, ini teman seperjuangan saya ketika di Pekanbaru. Dia juga dari Minangkabau….”

Si Bungsu mengangguk hormat pada wanita cantik itu. Lalu mengulurkan tangan. Perempuan itu tersenyum dan juga mengulurkan tangan.

“Ke kamar tamu yang ditengah pak…?” suara Madin si sopir itu mengalihkan perhatian Nurdin dari isterinya dan Si Bungsu.

“Ya. Kekamar tamu yang besar…” kata Nurdin sambil berjalan menutupkan bagasi di belakang mobil.

Dan untunglah dia melakukan gerakan itu. Sebab pada saat yang sama Si Bungsu tertegak seperti patung menatap isteri temannya yang tegak di depannya itu.

Dia seperti bermimpi. Wajahnya tiba-tiba jadi pucat. Menatap dengan tatapan tak percaya pada wanita cantik di depannya.

Dan wanita cantik itu, isteri Letnan Kolonel Nurdin itu, yang kata Nurdin juga berasal dari Minangkabau itu, tak kalah kagetnya dari Si Bungsu.

Wanita itu justru merasakan darahnya terhenti mengalir. Merasa jantungnya seperti berhenti berdetak.

Tangan mereka masih sama-sama terulur. Namun tak bersentuhan. “Salma….?” Suara Si Bungsu mirip desahan.

“Uda….” Suara nyonya cantik itu, terdengar seperi dari alam mimpi.

Buat sesat mereka masih bertatapan. Dan ketika bagasi belakang mobil berdentam ditutupkan Nurdin, Si Bungsu cepat menguasai diri.

Dia menyambar tangan Salma. Menyalaminya. Dan dengan suara yang jelas dipaksakan untuk gembira dan wajar, dia berkata :

“Senang berkenalan dengan ibu. Saya dari Situjuh Ladang Laweh. Ibu dimana di Minangkabau?”

Nurdin saat itu sudah berjalan kembali ke arah mereka. Salma buat sesaat masih tergagau. Namun dia juga cepat menguasai diri. Dia tersenyum meski hatinya menggigil.

“Saya dari Bukittinggi…” katanya lemah.

“Jauh kota itu dari kampungmu Bungsu?” suara Nurdin memutus. Si Bungsu melepaskan salamnya. Menoleh pada Nurdin. Dan sungguh mati, tak sedikitpun Nurdin menangkap bayangan lain pada wajahnya. Entah belajar dari mana, tapi saat ini baik Salma, lebih-lebih lagi Si Bungsu adalah pemain sandiwara yang alangkah sempurnanya.

“Cukup jauh. Saya pernah datang ke Bukittinggi. Tapi hanya sebentar…”

Mereka lalu masuk. Rumah itu alangkah besarnya. Berisi perabotan yang mewah.

Seorang anak perempuan tiba-tiba berlarian dari kamar belakang. Mukanya belepotan bedak dan lipstik. “Ayaaah…!” anak yang berusia sekitar tiga tahun itu berlari dan tanpa memperdulikan pakaian ayahnya

yang mentereng, dia lantas saja menghambur kepelukan ayahnya. Dan Nurdin mencium anak perempuan yang mungil itu. Hingga wajahnya ikut berlepotan bedak dan lipstik.

Si Bungsu menatapnya dengan rasa tak menentu. Salma menatap anak dan suaminya dengan mata berbinar. Namun hatinya, jelas tak kesana. Hatinya sedang bergemuruh.

“Hei, Eka, salam sama paman Bungsu, ayo…” Nurdin berkata sambil menurunkan anaknya dari pangkuan. Anak kecil hitam manis dengan tubuh montok itu melangkah mendekati Si Bungsu. Sesaat dia tegak menengadah keatas, menatap Si Bungsu. Si Bungsu berjongkok. Gadis kecil yang mungil itu mengulurkan lidahnya. Menjilat bibir. Matanya berbinar-binar. Kemudian mengulurkan tangan.

Si Bungsu menyambut tangan anak itu. Menyalaminya. “Siapa namanya…?”

“Eka….” Jawab gadis kecil itu.

Si Bungsu mencium pipinya yang berlepotan bedak. Kemudian memangkunya. Salma mengundurkan diri dari ruangan itu. Dia pergi ke kamar yang diperuntukkan bagi Si Bungsu. membenahi kamar itu baik-baik. Ada gigilan aneh ketika dia membereskan tempat tidur di kamar itu. Dan tiba-tiba dia teringat sesuatu.

Dia teringat, ketika akan berangkat dari Bukittinggi dahulu, dia memberikan sebuah cincin bermata berlian pada Si Bungsu. Apakah cincin itu masih ada?

Perlahan dia meninggalkan kamar. Berjalan ke tengah. Melihat Si Bungsu masih menggendong Eka.

Suaminya barangkali ada di kamar depan.

Dan Si Bungsu tiba-tiba juga terpandang pada Salma yang tegak antara ruang depan dengan ruang tengah. Mereka bertatapan. Salma mencari-cari. Dan tiba-tiba dia melihat cincin di jari manis tangan kiri Si Bungsu.

Si Bungsu tanpa sengaja mengikuti pandangan mata Salma ke jarinya. Dan dia terpandang pada cincin yang telah bertahun-tahun menemaninya itu.

Ketika dia melihat lagi pada Salma, perempuan itu telah berbalik. Yang kelihatan hanyalah punggungnya yang berjalan ke kamar belakang. Nurdin muncul.

“Hei, masih gendong terus. Ayo, turun Eka. Paman lelah. Bungsu, mari saya tunjukkan bilikmu. Engkau harus disini. Saya merasa sepi di kota ini. Rindu terus ke kampung…”

Nurdin yang berkata sambil membimbing tangan puterinya dan menunjukkan Si Bungsu ke kamarnya. Di kamar itu, Salma tengah melipatkan selimut wool berbunga merah jambu. Meletakkannya ke atas tempat tidur.

“Nah, inilah kamarnya. Seadanya. Kami harap uda betah di sini….” Nyonya rumah berkata perlahan sambil tersenyum. Bagi Nurdin ucapan itu adalah ucapan biasa. Namun tidak demikian di telinga Si Bungsu. Dan tidak demikian juga di hati Salma.

“Ah, saya…saya barangkali tak bisa tertidur ditempat sebagus ini nyonya…” jawabnya. “Jangan sebut saya dengan sebutan nyonya. Panggil nama saya saja….” Salma berkata.

Nurdin telah berada lagi diluar kamar mengejar anaknya yang berlari ke ruang tengah. Sesaat Salma dan Si Bungsu bertatapan lagi. Dan Si Bungsu melihat betapa mata perempuan cantik itu berkaca-kaca.

“Udaaa….” Suara Salma seperti desahan.

“Saya bahagia, bisa bertemu lagi dengan engkau Salma…” “Maafkan saya,….Udaaa..”

Si Bungsu menggeleng.

“Tak ada yang harus dimaafkan Salma. Saya ikut bahagia dengan kebahagianmu. Nurdin sahabat saya.

Saya banyak berhutang budi padanya…’

Suara terputus. Langkah-langkah kaki terdengar mendekati kamar. Salma tak berusaha menghapus matanya yang basah. Nurdin muncul dipintu kamar menggendong anaknya. Si Bungsu merasa marah pada dirinya sendiri. Kenapa kejadian ini bisa terjadi, pikirnya. Dan dia pura-pura sibuk meletakkan koper ke atas meja. Membukanya dan memasukkan beberapa potong pakaian kain ke lemari.

“Bersiaplah Bu, kita ke Konsulat sore ini. Bungsu, engkau juga ikut kami. Di Konsulat ada pertemuan keluarga Indonesia, kita kesana ya?”

“Maafkan saya Nurdin. Saya terlalu lelah. Saya ingin sekali berkenalan dengan orang-orang se bangsa di kota ini. Tapi barangkali lain kesempatan. Saya ingin istirahat…”

Nurdin sebenarnya ingin membawa Si Bungsu dan memperkenalkannya pada teman-temannya di Konsulat. Dia agak kecewa memang. Sebab dia benar-benar ingin membanggakan Si Bungsu pada teman- temannya.

Dan ketika suami isteri itu berangkat bersama puteri mereka, tinggallah Si Bungsu terbaring di kamarnya yang mewah. Ada kipas angin besar berputar di loteng kamar. Membuat udara dalam kamar itu jadi sejuk. Namun tubuh Si Bungsu tetap saja mengalirkan keringat dingin.

Siang tadi, ketika akan makan di restoran padang dekat Arab Street, dia sangat merasa bahagia bertemu dengan sahabatnya Nurdin. Betapa tidak, Nurdinlah yang membantunya ketika di Pekanbaru. Nurdin yang saat itu adalah Komandan Gelirya untuk Pekanbaru dan sekitarnya, yang berasal dari kampung Buluh Cina, juga telah menolongnya untuk bisa menuju ke Jepang. Nurdin menompangkannya ke sebuah kapal yang menuju Singapura ini dahulu. Kapal kecil yang menyelundupkan senjata. Tapi, siapa sangka pertemuan itu menyeretnya ke situasi yang begini sulit.

Tanpa sadar, dia memainkan jarinya di cincin emas bermata berlian di jari manis tangan kirinya. Bertahun-tahun cincin pemberian Salma ini tak pernah tanggal dari jarinya. Dan bertahun-tahun dia menyimpan kerinduan pada gadis itu.

Dia telah berniat untuk segera pulang ke Minangkabau. Ingin bertemu dengan Salma. Dan kalau gadis itu belum menikah, dia ingin melamarnya. Ingin sekali!

Tapi, ya Tuhan. Siapa sangka bahwa nasib akan begini jadinya. Dahulu, ketika dia akan berangkat dari rumah gadis itu, dia memberikan oleh-oleh berupa sebuah cincin, gelang dan liontin. Kemudian sehelai kain bekal baju dan sehelai kain batik.

“Ini bukan sebagai pembalas budimu Salma. Tidak. Budimu takkan bisa kubalas. Ini hanya sebagai kenang-kenangan. Guntinglah kain ini. Buat kebaya panjang dan kebaya pendek. Saya bahagia, kalau kelak engkau menikah, engkau memakai kain dan perhiasan ini…’

Begitulah dia berkata dahulu. Ya, dahulu!

Dan tadi, ketika akan pergi ke Konsulat itu, Salma memakai seluruh yang dia berikan dahulu. Kebaya panjang berwarna biru. Kain batik buatan Jawa. Cincin dan gelang serta liontin pemberiannya dahulu. Mereka berpapasan di ruang tengah. Salma nampaknya seperti sengaja memakai pakaian itu hari ini. Untuk memperlihatkan pada Si Bungsu, bahwa dia mengabulkan permintaan Si Bungsu dahulu. Dan Si Bungsu merasakan tubuhnya menggigil melihat perempuan itu. Kenangan masa lalunya menikam amat dalam hulu jantungnya.

Salma menatap padanya tanpa bicara, tanpa berkedip. Si Bungsu menghela nafas panjang di pembaringan. Berguling ke kanan. Merasa gelisah. Berguling ke kiri. Merasa tak betah. Menelentang. Merasa resah. Duduk. Berdiri dan berjalan ke tepi jendela besar dan tinggi. Memandang ke taman yang luas dengan rumput hijau. Dan pikirannya merangkak lagi ke masa lalunya.

Ketika dia akan berangkat meninggalkan Bukittinggi, Salma mencegatnya di pintu. Menatapnya dengan mata basah. Kemudian berkata lembut :

“Terimakasih atas pemberian Uda kemarin. Tak ada yang bisa saya berikan sebagai tanda terimakasih. Tapi…. Saya berharap uda mau menerima ini….sebagai kenang-kenangan dari saya. Dimanapun uda berada lihatlah cincin ini, dan ingatlah bahwa pemiliknya selalu mendoakan semoga uda selamat dan bahagia selalu…” Gadis itu menanggalkan cincin emas bermata berlian dari jari manisnya. Kemudian perlahan memegang tangan kiri Si Bungsu, memasukkan cincin itu ke jari manis si pemuda. Lalu mereka bertatapan. Mata gadis itu basah. Air mata merembes perlahan ke pipinya. Si Bungsu menghapus air mata itu perlahan dengan jarinya. Sesaat, Salma ingin mendekap pemuda itu erat-erat. Namun yang dia lakukan hanyalah berlari ke biliknya. Menghempaskan diri ke pembaringan dan menangis terisak. Si Bungsu turun ke halaman. Menyalami Kari Basa,

ayah Salma. Kemudian meninggalkan Bukittinggi.

Si Bungsu yang hari ini tegak dalam sebuah rumah besar dan mewah di bilangan Bras Basah Road Singapura, melihat bayangan masa lalunya itu berlarian di taman rumah.

Dan tiba-tiba, dia merasa menyesal kenapa harus bertemu dengan Nurdin siang tadi. Dan yang lebih disesalkannya, kenapa ketika diperkenalkan tadi dia tak berterus terang saja bahwa dia sudah mengenal Salma?

Dia tak mengerti kenapa tiba-tiba saja dia ingin menyembunyikan pada Nurdin bahwa dia telah mengenal gadis itu. Bukan hanya sekedar kenal, tapi dia malah mencintai gadis itu. Kenapa dia merahasiakannya? Apakah itu karena pertimbangan bahwa dia tak mau membuat hati Nurdin jadi kecewa?

Kini keadaan jadi rumit sekali. Bagaimana dia akan bersikap terhadap Salma dihadapan Nurdin? Akan bersandiwara teruskah? Dan dia juga jadi tak mengerti kenapa keinginan untuk menyembunyikan bahwa mereka telah saling mengenal itu juga dilakukan oleh Salma siang tadi.

Ini adalah situasi yang sangat tidak baik. Benar dia mencintai gadis itu. Tapi dia tak boleh mengganggu rumah tangga mereka. Tidak. Lalu bagaimana? Dia harus pergi dari rumah ini secepat mungkin. Harus! Ya, itulah satu-satunya jalan yang harus dia tempuh. 

Dia harus berani menerima kenyataan bahwa situasi telah berobah. Dan kalau selama ini dia selalu kuat menerima kenyataan, selalu tabah dalam tiap cobaan yang bagaimanapun kerasnya datang menerpa, kenapa kini tidak?

Dan akhirnya dia mengambil ketetapan. Dia harus pergi. Hatinya jadi tenteram setelah ketetapan itu dia putuskan. Dia memang mencintai gadis itu. Merindukannya. Kini gadis itu telah dia temukan. Dan dia dapati kenyataan bahwa gadis itu berbahagia. Lagi pula, suaminya adalah seorang lelaki yang dia hormati pula. Sahabat yang dia kenal baik semasa perjuangan fisik dahulu.

Dan ketika keluarga yang dia tompangi itu pulang malam hari, dia bisa menanti mereka dengan senyum menghias bibir. Gadis kecil anak suami isteri itu berlari mendapatkannya.

“Paman sudah makan…?” tanyanya begitu dia dipangku Si Bungsu. Si Bungsu tak segera dapat menjawab. Sudut matanya melirik, menyambar cepat sekali ke arah Salma yang tegak di jenjang. Perempuan itu menatap padanya.

Ada tikaman halus menyelusup ke lubuk Si Bungsu. Pertanyaan gadis kecil ini, pastilah ibunya yang menyuruh. Dan pertanyaan itu, adalah pertanyaan yang selalu diucapkan Salma ketika dia di Bukittinggi dahulu. Pertanyaan masa lalunya yang berbekas.

Anak itu dia cium sambil membawanya naik ke rumah. “Paman sudah makan….?” Gadis kecil itu kembali bertanya.

“Sudah….sudaah….!” jawab Si Bungsu. Gadis kecil itu tersenyum. Dan senyumnya membuat wajahnya kelihatan lucu.

“Engkau harusnya ikut tadi Bungsu. Ada beberapa teman dari Jakarta yang ingin mengenalmu. Mereka mengenal namamu sejak lama. Dari teman-teman yang pernah berjuang di Minangkabau. Ah, mereka menganggapmu sebagai seorang tokoh dongeng…” Nurdin berkata ketika mereka duduk di ruang tengah.

Si Bungsu hanya tersenyum.

Malam itu mereka lewatkan sambil bercerita tentang masa lalu mereka. Nurdin yang duduk di sebelah Salma menceritakan pula mula awal dia bertemu dengan isterinya itu.

Ternyata setelah Agresi ke II di tahun 49 Nurdin dipindahkan ke Bukittinggi. Dan disinilah dia bertemu dengan Salma. Dua tahun dia tinggal di kota itu. Dan ketika dia akan dipindahkan ke Jakarta, dia melamar Salma. Namun Salma menolak dengan halus. Setahun di Jakarta, Nurdin cuti. Dia kembali ke Bukittinggi dan kembali melamar Salma.

Ayah Salma, Kari Basa tahu betapa anaknya mencintai Si Bungsu. Namun kemana harus mencari anak muda itu? Dan bagi Salma, sampai bila dia harus menanti? Usianya bertambah juga tahun demi tahun. Teman- teman seusianya sudah pada menikah semua. Bahkan ada yang sudah punya anak empat. Saat itu usianya sudah dua puluh dua tahun. Dan bagi gadis sebayanya, usia demikian sudah bukan main tuanya.

Dan akhirnya, karena desakan keluarga, ditambah pertimbangan-pertimbangan lain, Salma menerima lamaran Nurdin. Pemuda itu memang seorang yang menarik hati wanita. Seorang yang sopan dan berbudi. Kalau saja belum ada Si Bungsu dalam hidupnya selama ini, maka Salma tak usah malu untuk mengakui, bahwa dia sebenarnya juga terpikat pada Nurdin.

Nah, mereka menikah. Memang bukan proses yang mudah. Tapi waktu membuat yang jauh jadi dekat. Waktu juga menjalin kehidupan keluarga mereka jadi bahagia. Nurdin membawa Salma pindah ke Jakarta. Dan setahun setelah pernikahan mereka, Nurdin ditugaskan menjadi atase militer di Konsulat RI di Singapura.

Si Bungsu mendengarkan cerita itu sambil mengangguk sekali-sekali. Namun esok paginya ketika dia bangun tidur, hari telah siang sekali. Dan dia mendapatkan dirinya hanya berdua di rumah itu dengan Salma. Lewat jendela yang dia buka lebar, dia melihat Eka, gadis kecil anak Nurdin berlarian di taman bersama pembantu rumah tangga mereka.

Selesai mandi dia keluar ke ruang tengah. Begitu kakinya tiba di luar kamar, Salma kebetulan juga tengah menuju ke ruang itu. Mereka berpapasan di depan kamar. Sama-sama tertegak. Diam. Memandang. Si Bungsu sudah bertekad untuk berlaku wajar dan menghormati keuarga ini sebagai keluarganya sendiri. Dia harus bersikap wajar seolah-olah tak pernah ada apa-apa antara mereka.

Dan saat begini, Nurdin tak ada di rumah. Dia telah pergi ke konsulat. Alangkah tak baiknya kalau dia justru mempergunakan kepercayaan kawannya itu untuk berlaku tak sopan.

Namun mereka masih tetap tegak diam. Dan tiba-tiba saja, entah siapa yang memulai diantara mereka, tahu-tahu mereka telah saling peluk. Dan dengan terkejut Si Bungsu mendapatkan Salma menangis dalam pelukannya.

“Udaaa…kenapa begini jadinya….” Perempuan cantik itu berkata diantara isaknya yang tertahan.

Si Bungsu tak berkata. Tak ada kata yang mampu dia ucapkan. Dia ingin memeluk perempuan itu selamanya. Ingin untuk tak melepaskannya. Tapi pada saat yang sama dia mengutuk dirinya. Mengutuk ketidakjujuran pada temannya. Alangkah akan aibnya kalau Nurdin tahu peristiwa ini. Namun itulah hal hal yang tak terhindarkan. Barangkali memang bukan dosa mereka. Mereka memang tak hendak menyengaja kejadian ini. Nasib jua yang membuat dan memaksa mereka demikian.

“Udaaa….kenapa kita harus bertemu dalam keadaan begini…” “Tenanglah Salma…tenanglah….”

“Oh Tuhan. Engkau masih memakai cincin yang kuberikan dahulu. Aku juga masih memakai cincin yang engkau berikan sesaat sebelum engkau pergi meninggalkan rumahku di Panorama Bukittinggi dahulu….”

Si Bungsu tak menjawab. Perlahan dia renggangkan pelukannya dari tubuh Salma. Menatap wajah perempuan itu. Salma memejamkan matanya. Tak berani dia menatap wajah Si Bungsu. Perlahan, Si Bungsu mengusap matanya yang basah. Pipinya yang basah. Namun itu justru menambah luluh hati Salma.

“Ayahmu adakah sehat-sehat Salma?” Salma mengangguk.

“Demikian juga kakak-kakakmu?” Salma mengangguk.

Dan akhirnya mereka melangkah ke kamar tengah. Di meja, pembantu telah menyiapkan sarapan pagi. Mereka duduk berhadapan. Bertatapan. Dan Si Bungsu merasa betapa makin tak mungkin dia tinggal di rumah ini lebih lama.

Salma juga merasakan hal yang sama. Dia telah coba melenyapkan kenangannya terhadap Si Bungsu selama ini. Sebagai seorang iteri dia adalah isteri yang baik. Tak sekali juga dia bertengkar dengan suaminya. Mereka sama-sama pandai menenggang perasaan.

Dan kemaren serta hari ini, sejak bertemu kembali dengan Si Bungsu, hati Salma sebenarnya tak tergoyahkan. Dia tetap seorang isteri yang setia dan mencintai suami dan anaknya. Tapi salahkah dia, kalau dia tak dapat melenyapkan sama sekali kenangan masa lalunya dengan pemuda yang pertama dia cintai?

Mereka sarapan dengan diam. Sesekali mereka bertatapan. Salma melihat, betapa pemuda dihadapannya itu kini telah berobah banyak sekali.

Pemuda itu bukan lagi seorang “Pemuda”. Dia telah berobah jadi seorang lelaki. Wajahnya tetap murung dan matanya tetap bersinar lembut seperti dahulu. Namun gurat pada wajahnya yang murung itu, terlihat keteguhan dan keperkasaan seorang lelaki perkasa. Lelaki dihadapannya ini, seperti gunung Merapi di kampungnya. Yang tegak diam tapi keras.

Dan pikiran Salma melayang pada masa lalu. Pada saat dia merawat Si Bungsu yang luka setelah disiksa Jepang dalam terowongan bawah tanah yang tersohor itu.

Berhari-hari, baik ketika ayahnya Kari Basa ada dirumah atau tidak, dia merawat Si Bungsu dengan telaten. Menyendokkan bubur ke bibirnya yang pecah-pecah dihantam pukulan Kempetai. Mengganti balut dan obat dari luka-luka disekujur tubuh Si Bungsu yang disayat Kempetai dengan Samurai.

Merawat jari-jarinya yang patah. Dipatahkan dengan kakak tua oleh Jepang dalam rangka memaksa anak muda itu agar mau membuka rahasia dimana markas pejuang-pejuang Indonesia yang melawan Jepang. Jika menggantikan bajunya, untuk bisa duduk, anak muda itu berpegang ke bahunya. Dia juga memegang bahu Si Bungsu dan mendudukkannya perlahan.

Dan setelah anak muda itu sembuh, dia menolongnya kembali berlatih mempergunakan samurai dengan melempar-lemparkan putik jambu perawas yang tumbuh dibelakang rumahnya di bilangan Panorama. Dan ketika Si Bungsu latihan itulah, ada sesuatu yang amat berkesan dan membahagiakan dirinya terjadi.

Waktu itu Si Bungsu meminta Salma tegak dalam jarak lima depa. Di dekat gadis itu ada panci yang penuh oleh putik jambu perawas yang baru dipetik Si Bungsu. Si Bungsu memintanya untuk melempar putik perawas itu.

Salma bersiap. Si Bungsu tegak pula bersiap. Tangannya terkepal. Yang kiri memegang samurai. Dia nampaknya coba melemaskan otot tangannya yang sudah lama sekali tak mempergunakan samurai. Dan saat itulah Salma berteriak : Awas!

Seiring dengan teriakan peringatannya ini, tangan Salma terayun. Dua buah putik perawas terbang bergantian ke arah Si Bungsu. Si Bungsu agak terkejut. Tangan kanannya cepat menyambar samurai disebelah kiri. Namun sebelum samurai itu sempat dia tarik, kedua putik perawas itu telah menhantam tubuhnya.

Salma jadi kaget. Anak muda itu terlalu lemban.

“Udaa! Kenapa….?” Tanyanya sambil mendekat pada Si Bungsu. Si Bungsu hanya menggelang. Salma tegak disisinya.

“Kenapa. Tangan uda sakit lagi?” tanyanya sambil memegang tangan kanan anak muda itu dengan lembut. Si Bungsu tambah menunduk. Menarik nafas panjang. Kemudian menatap pada Salma yang tegak hanya sehasta di sisinya. “Ya, terasa sakit. Tapi tidak hanya tangan. Tubuh saya juga terasa lumpuh…” katanya perlahan. Salma jadi pucat.

“Kenapa….?” Tanyanya perlahan sambil menatap Si Bungsu dengan cemas. “Karena matamu….” Jawab Si Bungsu. Salma terbelalak.

“Ya. Saya jadi lumpuh karena engkau tatap bergitu Salma…” jawab Si Bungsu perlahan. Tiba-tiba Salma tertunduk. Hatinya berdebar kencang. Kakinya menggaris-garis tanah. Dadanya gemuruh. Mukanya merona merah. Namun perlahan matanya jadi basah. Pipinya juga basah. Si Bungsu kini yang jadi kaget.

“Salma? Saya menyakiti hatimu…?” tanyanya gugup.

Salma tetap menunduk. Kakinya tetap menggaris-garis tanah. Lalau dia menggeleng. “Lalu kenapa?”

“Uda mempermainkan saya….” Jawabnya sambil coba mencuri pandang pada Si Bungsu. Gadis itu sebenarnya amat bahagia atas kata-kata Si Bungsu tadi. Bukankah pernyataan Si Bungsu bahwa dirinya jadi lumpuh karena tatapan matanya sebagai suatu pernyataan rasa hatinya yang terpikat pada Salma? Ah, meski anak muda itu tak menyatakannya terus terang, namun dia dapat merasakan. Bukankah cinta itu tak perlu diucapkan dengan kata-kata?

Bukankah yang lebih indah itu adalah pernyataan yang disampaikan secara isyarat dan sindiran? Ah, siapa yang tak tahu di Minang ini tentang Kias. Dan sungguh mati, Salma sangat bahagia saat itu. Namun pada saat yang sama dia juga merasa sedih. Sebab bukankah ketika dia merawat Si Bungsu, ketika anak muda itu menggigau dalam tidurnya, berkali-kali dia menyebut nama Mei-Mei? Siapa gadis itu, pikirnya. Itulah yang selalu menghantui hati Salma. Di hati Si Bungsu ada gadis lain yang sampai dibawanya ke dalam mimpi. Dan gadis itu, jika menilik namanya, pastilah gadis Cina.

Dan kali ini Si Bungsulah yang kaget karena dituduh Salma mempermainkannya.

“Mempermainkan….?” Tanyanya sambil mengerutkan kening. “Sungguh mati, saya berkata sebenarnya Salma. Saya jadi lumpuh dan gugup melihat sinar matamu Salma….tapi, maafkanlah saya kalau ucapan saya tadi menyinggung perasaanmu….”

Salma mengangkat kepala. Kemudian tersenyum. Mereka bertatapan. Perlahan Si Bungsu menghapus airmata di pipi gadis itu. Salma amat bahagia.

“Tidak marah?” bisik Si Bungsu. Salma menggeleng. Kemudian senyumnya mekar lagi. Si Bungsu menarik nafas. Lalu balas tersenyum. Kemudian Salma berjalan kembali ketempatnya tadi tegak. Tegak dalam jarak lima depa dari Si Bungsu. dia mengambil putik perawas dari dalam baskom disisinya.

Mereka bertatapan. Lama. Kemudian sama-sama tersenyum. “Siaaap….?” Suara Salma bergema.

Dia telah bersiap dengan dua buah putik perawas di tangannya.

“Ya, tapi jangan sihir dengan matamu. Tangan saya bisa tak bergerak….” Si Bungsu bergurau. Salma tersenyum lagi. Lalu tanpa peringatan dia melemparkan kedua putik perawas di tangannya. Dan anak muda itu kaget lagi. Tangannya bergerak ke samurai. Yang satu berhasil dia babat. Belah dua. Tapi yang satu lagi mengenai pipinya.

“Hei, engkau mencido…!” teriak Si Bungsu. Salma tersenyum. Dan tanpa dia sadari, kinipun ketika berhadapan di meja makan di Singapura ini, Salma juga tersenyum mengingat masa lalu yang alangkah indahnya itu. Bibirnya tersenyum, namun matanya basah.

Si Bungsu yang duduk di depannya, jadi heran atas senyum Salma. “Ada sesuatu yang lucu…?” tanyanya perlahan. Salma menggeleng.

“Saya teringat masa lalu….” Keluhnya. Si Bungsu tak berani menanyakan masa lalu yang mana yang teringat nyonya rumah ini.

“Ingat ketika di Bukittinggi?” Si Bungsu mendesak sambil menghirup kopi di cangkirnya. Salma mengangguk.

“Ketika Uda meminta saya melempar Uda dengan putik perawas….” Salma mengingatkan lagi. Si Bungsu jadi tak sedap hati. Kalau dia perturutkan cerita ini, maka bisa bisa luka hatinya akan bertambah meroyak. Tapi bagaimana dia harus menyuruh nyonya ini berhenti ngomong? Sebagai seorang tamu, tak sedap juga bila tak melayani bicara tuan rumah bukan?

Dan karena alasan itulah, Si Bungsu kembali mengangguk. Tapi Salma tak melanjutkan ceritanya. Mereka lebih banyak berdiam diri. Situasi yang alangkah jauhnya berbeda dibanding mereka berpisah dahulu membuat pembicaraan mereka jadi kaku. Tak tahu apa yang harus dimulai.

Satu hal yang pasti adalah : kerinduan. Siapa pun diantara mereka tak dapat mengelak kenyataan bahwa mereka saling merindukan. Salma meskipun dia seorang wanita yang telah bersuami dan mempunyai puteri, namun sebagaimana hanya setiap wanita, dia tetap saja tak mampu menolak kodrat bahwa dia tak mampu melupakan lelaki pertama yang menyentuh hatinya. Yang menyentuh tubuhnya.

Betapapun setia dan berbaktinya seorang wanita pada suaminya, namun jika suaminya itu bukan cintanya yang pertama, maka jejak cinta itu berbekas jauh di dasar hatinya.

Hanya saja barangkali karena kodratnya pada setiap wanita pandai menyimpan rahasia. Demikian juga halnya dengan Salma. Dia mencintai suaminya. Mencintai anaknya. Dan dia telah membuktikan bahwa dia telah mengabdikan dirinya dengan segenap hati dan cintanya pada suaminya. Tapi, kini….ah!

Si Bungsu merasa tak betah berada di rumah besar itu tanpa Nurdin. Dia menjadi serba salah. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi jalan-jalan. Dan itulah yang dia lakukan. Salma menatap kepergiannya dari balik tirai jendela.

Si Bungsu menolak ketika Salma menyuruh sopir mengantarkannya dengan mobil.

“Tidak, saya ingin jalan kaki. Rasanya amat penat tidur seharian ini….” Katanya menolak tawaran Salma. Dan kini anak muda itu melangkah di jalan dalam taman rumah itu menuju ke jalan raya. Salma menatap punggungnya. Alangkah jauhnya berbeda.

Dahulu ketika anak muda ini meninggalkan rumahnya di Bukittinggi untuk menuju Pekanbaru keadaannya tak seperti sekarang. Dahulu dia hanya membawa sebuah buntal. Tapi yang jauh berbeda adalah pakaiannya.

Anak muda dari gunung Sago ini dahulu memakai baju gunting Cina dengan pentalon lusuh dan selop jepit dari kulit. Sehelai kain sarung melintang dari bahu kanan ke pinggang kiri. Kini dia kelihatan berpakaian necis. Bersepatu dan berbaju kemeja dari kain sutera berlengan panjang.

Dia telah berobah, dari seorang pendekar klasik menjadi seorang lelaki yang hidup di kota besar. Masih cintakah Salma dengannya?

Tak ada yang bisa menjawab. Bahkan Salma sendiri tak bisa menjawab pertanyaan itu dengan kata putus. Namun ada perasaan lain yang barangkali bisa jadi jawaban.

Salma kini membandingkan diri anak muda itu dengan kehidupannya. Kehidupan para Diplomat. Sudah tentu sangat jauh bedanya. Dia hidup sebagai seorang pejabat tinggi. Dan dia mencintai suami dan anaknya. Dan selain mencintai, dia juga hidup bahagia. Kini dia jumpa dengan Si Bungsu. Alangkah jauhnya berbeda sisi tempat mereka berpijak kini. Seperti langit dan bumi. Dan dia jadi kasihan pada Si Bungsu. Kasihan pada lelaki yang pernah dia cintai itu.

Nah, jawabannya apakah dia masih mencintai Si Bungsu atau tidak, kini jadi jelas. Dia hanya kasihan! Salahkah dia? Ah tidak. Tak ada yang salah. Bukankah setiap orang berhak memilih jalan hidupnya sendiri? Dan siapapun wanitanya, barangkali akan menempuh jalan seperti yang di tempuh nyonya Atase Militer ini. Ah, perempuan.

---000---

Dan barangkali firasat halus jua yang membisikkan pada Si Bungsu, agar dia segera meninggalkan rumah sahabatnya itu. Hanya tiga hari dia tinggal di sana. Dan hari ketiga itu, sore harinya, ketika dia dibawa oleh Nurdin melihat pelabuhan, dia lalu menceritakan, bahwa dia sebenarnya telah mengenal Salma sebelum ini.

Dia berharap Nurdin jadi kaget. Namun justru dialah yang kaget.

Nurdin hanya menatap padanya sebentar. Namun air mukanya tak berobah. Mereka tengah duduk di sebuah restoran di daerah pelabuhan. Daerah Anting yang selalu ramai oleh kapal-kapal yang datang dari Indonesia.

“Saya mengenalnya ketika saya di Bukittinggi….” Kata Si Bungsu menyambung ketika temannya itu tetap diam. Nurdin masih tetap tenang.

“Dan saya tidak hanya sekedar mengenalnya Nurdin…” Si Bungsu jadi merasa tak sedap karena Nurdin diam saja.

“Ya. Saya tahu. Kalian pernah saling mencintai bukan?” Kalau saja ada petir, Si Bungsu barangkali takkan sekaget ini. Dia menatap tak percaya pada Nurdin.

“Saya mengetahuinya Bungsu…” “Dari Salma…?” “Ya. Dari Salma. Dan bahkan ketika mulai pertama kalian saya pertemukan, ketika saya berjalan kebelakang mobil menutupkan bagase, saya sempat mendengar engkau setengah berbisik karena kaget menyebut nama Salma. Dan saya juga mendengar Salma memanggilmu “Uda”. Saya gembira kalian saling kenal. Tapi saya jadi kaget takkala saya datang lagi ketempat kalian berdiri, kalian justru bersandiwara seperti tak saling kenal. Maka tak ada jalan lain yang bisa saya ambil selain mengikuti permainan kalian. Tidak, saya tidak berprasangka buruk. Engkau sahabatku. Salma isteriku. Dan kedua kalian sama-sama saya hormati. Sama-sama saya cintai.

Saya menanti perkembangan. Dan malam harinya, Salma bercerita pada saya. Dia ceritakan segalanya. Saya jadi terharu…saya harus minta maaf padamu. Karena saya tak pernah menyangka, bahwa saya akan memperisteri gadis yang dicintai sahabat saya…”

Nurdin terhenti. Si Bungsu merasakan dirinya dibasahi peluh. Dia jadi pucat. Namun akhirnya menaik nafas dan menunduk. Dia jadi merasa sangat hormat pada Salma. Ternyata dia isteri yang jujur.

“Apa saja yang diceritakan Salma…?” tanyanya perlahan. Dia berharap, bahwa gadis itu hanya becerita garis besarnya saja.

“Dia menceritakan semuanya. Tentang pakaian dan perhiasan yang engkau berikan. Yang dia pakai malam itu. Saya yang menyuruhnya memakai pakaian itu. Bukan dengan niat menyiksamu. Tapi saya ingin melihat isteri saya menghargai pemberian orang yang pernah dia cintai. Dan dia juga bercerita tentang cincin ini…” Nurdin menunjuk pada cincin di jari manis Si Bungsu. “Cincin ini dia berikan sesaat sebelum engkau meninggalkannya dahulu bukan? Dan Salma juga mengakui dengan jujur, bahwa dia masih tetap mencintaimu. Sampai anak kami lahir. Saya tak merasa cemburu Bungsu. Tidak. Saya malah merasa berdosa. Kalau saja dahulu saya tahu…”

Nurdin terhenti dan memandang laut.

Si Bungsu menarik nafas panjang. Dia merasa bulu tengkuknya merinding. Ternyata tak ada lagi rahasia antara dia dengan Salma dimata sahabatnya ini.

Namun Si Bungsu merasa lega. Sebab sebelum dia minta diri untuk pergi, dia telah ceritakan hal sebenarnya pada temannya ini. Kalau saja dia tak menceritakannya, tentu Nurdin akan berprasangka yang tidak-tidak selamanya.

Sebaliknya Nurdin benar-benar tidak berbohong ketika tadi dia berkata bahwa baik terhadap Si Bungsu, maupun terhadap isterinya, dia sama-sama mencintainya. Ucapan itu tidak sekedar pemanis. Itu memang keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam.

Dia memang mencintai isterinya itu sepenuh hati. Betapa dia takkan mencintainya, perempuan itu mencintai lelaki lain, namun itu adalah masa lalunya. Bukankah yang penting bukan masa lalu. Melainkan masa sekarang dan yang akan datang?

Nurdin berpendirian, dia tak kawin dengan masa lalu isterinya. Dia kawin dengan isterinya saat dia temui. Dan kalaupun isterinya punya masa lalu yang indah dengan lelaki lain, buat apa dia cemburui? Bukankah dia juga punya masa lalu yang indah dengan seorang dua gadis, yang tak sampai dia nikahi karena tak jodoh?

Masih untung isterinya hanya punya masa lalu yang indah. Bagaimana kalau masa lalu isterinya adalah hitam dan berlumur dosa? Kalaupun hal itu terjadi, Nurdin tetaplah Nurdin. Dia adalah lelaki yang fragmatis. Dia akan tetap mencintai isterinya itu. Sebab, baginya memilih isteri bukan untuk menggali lagi masa lalu. Kalau lelaki telah memilih isteri, dan perempuan telah menetapkan seorang suami baginya, maka mereka hendaklah kawin secara utuh baik fisik maupun rohaninya.

Kalau masa lalu pasangannya indah, maka kewajibannya untuk berbuat lebih indah, atau sekurang- kurangnya sama indahnya dengan masa lalu isteri atau suaminya itu. Barangkali kadar keindahan dan kebahagian itu berbeda. Namun kebahagiaan bukankah tidak hanya berstandar pada materi?

Dan kalau masa lalu pasangannya hitam dan bernoda, maka dia hendaklah berusaha sekuat mungkin untuk membersihkannya. Itulah konsekuensi sebuah pernikahan bagi Nurdin. Konsekuensi logis dari sebuah pilihan.

Dan itulah yang dia lakukan terhadap isterinya. Yang kebetulan dalam hal ini adalah Salma. Perempuan yang punya masa lalu yang indah dengan seorang pemuda. Dan pemuda itu justru adalah Si Bungsu. Seorang lelaki yang telah bertanam budi padanya, pada perjuangan kemerdekaan dan pasukannya di Pekanbaru dahulu. Dia memang mencintai kedua orang ini, seperti dia mencintai diri dan tugasnya. Nurdin memang tak munafik dalam hal ini. Dan dia tak khawatir bahwa Salma akan meninggalkan dirinya. Dia tak khawatir karena dia tahu akan kesetiaan perempuan itu. Selain itu, dia tak khawatir karena dia tahu bahwa dia telah berusaha sekuat dayanya untuk membahagiakan perempuan itu. Baik lahir maupun bathinnya. Dan dia juga tak khawatir karena dia orang yang beriman. Artinya, kalau Salma tetap juga meninggalkan dirinya, maka dia yakin hal itu semata karena Takdir!

Dan siapa orangnya yang akan mampu menolak datangnya Takdir. Demikian Nurdin berpendapat. Dalam hal ini, tentu saja Si Bungsu jauh tertinggal. Sebab dia tak pernah sempat berfikir kesana. Selama ini dia hanya memikirkan bagaimana membalas dendamnya. Dan dia juga berfikir bagaimana menolong orang dari aniaya dan perbuatan sewenang-wenang pihak lain.

Dia lebih banyak memikirkan orang lain. Sehingga tak punya kesempatan untuk memikirkan dirinya sendiri. Dan ketika dia mulai memikirkan dirinya, ternyata dia dinanti oleh kekecewaan. Itulah dirinya kini. Seorang pahlawan samurai yang menundukkan puluhan ahli samurai lainnya. Seorang pahlawan dihati rakyat. Namun hidupnya sepi.

Dia tersadar ketika tangan Nurdin memegang tangannya di atas meja.

“Betapapun Bungsu, engkau tetap sahabat saya…dan tetap pulalah menjadi sahabat Salma. Sebuah perkawinan hendaknya menjadi tali pengikat untuk memperbanyak kenalan, sanak famili dan keluarga. Perkawinan tidak menjadi kampak pemutus hubungan antara yang satu dengan yang lain. Barangkali ini mudah saya ucapkan, karena bukan saya yang disakiti. Melainkan engkau. Namun, demi Tuhan, kalaupun saya yang disakiti saya akan bersikap begitu….sekali lagi maafkan saya karena tak mengetahui bahwa engkau mencintai Salma. Dan tetaplah jadi sahabat kami….”

Dan Nurdin memang bersungguh. Kedua lelaki ini memang bukan sembarang lelaki. Banyak pertempuran telah mereka lalui. Bahkan sampai kini mereka juga sedang bertempur. Bertempur dengan perasaan. Dan justru terkadang pertempuran tanpa bedil inilah yang lebih berat.

Si Bungsu balas menggenggam tangan sahabatnya itu.

“Engkau banyak mengajar saya tentang hidup ini kawan. Insya Allah, dalam hidup saya tak pernah ada rasa benci dan dendam. Sedang pada orang lain saya mengalah. Apalagi pada seorang sahabat. Namun kepada engkau saya tak perlu mengalah Nurdin. Karena engkau tak pernah berbuat apa-apa menyakiti hatiku. Tentang Salma, bukankah itu soal takdir? Saya bangga dia telah menceritakan segalanya padamu. Saya tahu sejak dulu, dia gadis yang jujur dan berhati mulia. Engkau adalah saudaraku. Dan dia juga”

“Terimakasih, sahabat…!”

Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Nurdin. Dan alangkah lega dan lapangnya perasaan mereka setelah

itu.

Beberapa kelasi turun dari motor tempel ke dermaga. Beberapa perempuan mengikutinya. Ada Cina

yang menanti di luar dermaga, kemudian masuk ke mobil yang menanti. Kapal-kapal berlabuh jauh dari dermaga. Membuang jangkar agak ditengah teluk. Kelasi yang turun naik ke kapal harus memakai sampan atau dengan motor tempel.

“Kita pulang…” kata Nurdin setelah melirik pada beberapa lelaki yang turun menggandeng beberapa perempuan muda. Si Bungsu tegak mengikuti Nurdin. Mereka memanggil sebuah taksi. Masuk, dan pulang!

Namun begitu taksi itu akan membelok keluar dari pelabuhan, serentetan tembakan bergema. Kaca samping taksi yang mereka tumpangi berderai hancur. Terdengar pekik tak menentu. Ada suara deru mesin mobil menjauh. Ada rintihan di samping Si Bungsu. Segalanya begitu cepat terjadi. Hampir-hampir tak ada waktu untuk berfikir.

Dan Si Bungsu merasakan darah meleleh di bahunya. Tapi dia yakin, darah itu bukan darahnya. Takkala mobil itu tadi akan membalik, yaitu beberapa detik saja sebelum peluru memberondong, ada firasat tak sedap menyelusup ke hati Si Bungsu.

Naluri yang amat tajam terhadap bahaya yang mengancam, segera saja secara otomatis. Hanya saja, dalam mobil dengan Nurdin begini dia tak tahu bahaya apa yang akan menyerangnya. Perasaan tak sedap itu menyebabkan dia menoleh ke belakang. Ada sebuah mobil datang dari belakang. Firasatnya jua yang menyuruhnya untuk membungkuk. Namun saat itulah berondongan peluru itu menghantam mobil mereka.

Dan dia tahu, darah yang membasahi bahunya adalah darah Nurdin. Dia Bangkit. Nurdin terkulai. Tubuhnya berlumur darah. Orang-orang di restoran dekat dermaga pada tegak kaget. Tak ada yang berani mendekat. Nampaknya mereka takut terlibat.

“Ke Konsulat….antarkan saya ke Konsulat Indonesia..” Nurdin berkata sambil tetap terguling di pangkuan Si Bungsu. Sopir taksi itu menjalankan taksinya.

“Apakah tidak ke hospital?” tanya sopir sambil melarikan mobil. “Tidak. Ke Konsulat saja…” kata Nurdin terengah.

“Nurdin… ada apa..? Si Bungsu yang memegang kepala temannya dipangkuannya itu bertanya kaget.

Nurdin menghela nafas. Nampaknya dia sangat kesakitan. “Kau…kau lihat perempuan dan Cina-cina yang turun dari kapal tadi..?” Nurdin balik bertanya sambil menahan rasa sakit. Si Bungsu mengangguk. Dia ingat semuanya.

Nurdin memegang bahu Si Bungsu.

“Bungsu, dengarlah….” Dia coba mengumpulkan tenaga, ”Kalau nyawa saya tak bisa ditolong, ada dua hal yang saya minta engkau melakukannya untuk saya, Bungsu. Maukah engkau…?”

Si Bungsu mengangguk. Dia tak perlu bertanya apa permintaan temannya itu. Apapun yang diminta sahabatnya ini pasti akan dia lakukan demi menyenangkan hatinya. Nurdin kelihatan agak lega melihat angguknya itu.

“Terimakasih. Saya senang engkau mau melakukannnya untuk saya. Pertama, engkau lindungi Salma dan anak saya. Hanya pada engkau mereka saya percayakan….” Nurdin terhenti, nampaknya dia berusaha mengumpulkan sisa tenaganya. Mobil dilarikan kecang menuju konsulat Indonesia. Meliuk-liuk dan berusaha mencari jalan pendek. Namun pada saat itu, Si Bungsu jadi kaget mendengar permintaan temannya itu.

Tapi suara Nurdin segera memintas kekagetannya :

“Jangan menolak Bungsu. Kalau engkau tidak mau menikahi Salma, maka anggaplah dia sebagai adikmu. Namun percayalah, aku akan sangat berterima kasih, kalau engkau mau menikahinya. Percayalah, dia seorang perempuan berhati mulia…. Dan, permintaanku yang kedua, ini sebenarnya bukan tugasmu, … ini merupakan tugas konsulat dan pemerintah Indonesia…”

Nurdin terhenti lagi. Agak lama baru dia menyambung.

“Saya sengaja membawamu ke daerah pelabuhan itu tadi, dan saya sengaja tak memakai mobil konsulat, sebab kedatangan kita kesana merupakan rangkaian tugas rahasia. Perempuan-perempuan Indonesia yang kau lihat turun dari kapal tadi Bungsu, adalah perempuan-perempuan yang diselundupkan dari Indonesia. Dan Cina-Cina yang menyertai mereka, adalah agen-agennya. Ada sebuah sindikat Internasional yang mengorganisir perdagangan wanita-wanita. Yang juga melakukan jual beli wanita dari Indonesia. Bungsu, sudah setahun kami mengintai langkah mereka. Jakarta telah berkali-kali mengintai, tapi mereka selalu lolos.

Dan saya sudah hampir bisa mencium jejak mereka di Singapura ini. Namun datanya belum saya kirim ke Jakarta. Bungsu, padamu saya minta tolong, kalau engkau ke Jakarta, bawa dokumen tentang sindikat itu. Saya bukan tak percaya pada beberapa petugas di Konsulat Indonesia disini, namun saya lebih percaya padamu. Saya yakin, dokumen rahasia itu akan aman di tanganmu. Bungsu, jangan sampai orang di konsulat tahu, bahwa dokumen itu ada padamu….minta dokumen itu pada….pada Salma…” suara Nurdin lenyap.

“Nurdin…!”

Tak ada jawaban.

“Nurdin!” Si Bungsu mengguncang bahu Letnan Kolonel itu. Namun tubuhnya tak bergerak. Saat itu sedan membuat tikungan tajam. Kemudian berhenti mendadak.

Gedung yang dijadikan untuk Kantor Konsulat Republik Indonesia itu tak lebih dari sebuah bangunan bertingkat yang sudah tua. Seorang penjaga dari kepolisian Singapura bergegas membukakan pintu. Dan dia kaget ketika melihat bahagian kanan taksi itu remuk dimakan peluru. Dan makin terkejut lagi dia. Ketika diketahuinya bahwa atase militer dari konsulat yang dia jaga terluka parah.

Dia segera berlari ke pintu konsulat. Memijit sebuah bel dan berlari ke box telepon. Hanya selang semenit setelah itu, halaman konsulat itu sudah dipenuhi oleh Polisi, ambulan dan dokter-dokter. Nurdin dinaikkan ke tandu. Tapi ketika dia akan dimasukkan ke ambulan yang akan membawanya ke hospital, Si Bungsu mencegahnya. Dia mengatakan bahwa Nurdin meminta agar dia dirawat di konsulat saja.

Konsul Republik Indonesia untuk Singapura yang juga datang menatap Si Bungsu. “Apakah anda yang bernama Bungsu?”

Si Bungsu mengangguk.

Konsul itu menjabat tangan Si Bungsu.

“Overste Nurdin banyak bercerita tentang anda, sayang kita bertemu dalam saat seperti ini…” dia menoleh pada tubuh Nurdin yang masih tergeletak dalam pandu, “ : Bawa dia ke dalam. Didalam ada ruang khusus untuk perawatan. Panggilkan dokter konsulat..”

Dan konsul itu memberikan perintah-perintah.

Dan dokter konsulat yang memeriksa Nurdin menyatakan bahwa meskipun sangat gawat, namun Overste itu mungkin masih bisa ditolong. “Harus dioperasi. Ada dua peluru yang bersarang di tulang dekat jantungnya. Dan untuk operasi harus di hospital…” kata dokter itu. Si Bungsu kembali menerangkan bahwa Nurdin menolak ketika akan dibawa oleh taksi ke Hospital tadi.

Konsul kembali menatap Si Bungsu.

“Kalau demikian dia mempunyai alasan-alasan khusus. Minta saja agar operasi diadakan di konsulat

ini…”

Dan permintaan konsul Indonesia itu dikabulkan oleh Pemerintah Singapura. Seperangkat alat-alat

operasi segera dipindahkan ke konsulat tersebut.

Konsul Indonesia itu memutuskan untuk memberi tahu isteri Nurdin melalui telepon. “Bu Salma…”

“Ya, ini dari siapa…?”

Konsul itu menyebutkan namanya.

“Oh, bapak. Apa kabar pak, ibuk di rumah?” “Ya. Ya, dia ada dirumah…tapi…”

“Bapak ingin bicara dengan Pak Nurdin?”

“Tidak. Tidak. Dia ada di sini. Eh, maksud saya ya, ya dia ada di konsulat sekarang ini. Ada pertemuan penting. Saya harap ibu juga bisa hadir di sini sekarang…”

Salma memang tak punya prasangka. Dia segera saja bersiap dan berangkat ke konsulat dengan mobil dinas suaminya yang memang ditinggal di rumah. Sebagai isteri seorang diplomat, bagi Salma bukanlah hal yang baru kalau tiba-tiba diminta datang kesuatu tempat dan acara dengan mendadak. Apalagi yang memanggil ini adalah Konsul sendiri. Salma berpendapat, pastilah ada pertemuan yang penting sekarang. Sehingga ibuk- ibuk pejabat teras konsulat diperlukan untuk hadir.

Namun segala pendapatnya itu segera saja buyar ketika mobil memasuki halaman konsulat. Konsulat itu dipenuhi oleh mobil polisi yang nampaknya siap siaga.

Dan kagetnya segera berobah jadi pekik tangis ketika dia tiba di dalam. Ketika padanya diberitahu tentang malapetaka yang menimpa suaminya. Untunglah konsul Indonesia itu dan isterinya juga datang menahan Salma. Kalau tidak, perempuan itu pasti telah memeluk suaminya yang tengah menjalani operasi.

“Tenanglah Salma. Tenanglah, overste pasti selamat. Tenanglah…” nyonya konsul membujuk. Salma menangis memeluk perempuan separoh baya yang telah dia anggap sebagai ibunya itu.

“Apa yang terjadi bu? Apa yang terjadi dengan suami saya…”

“Barangkali ada kekeliruan. Dia kena tembak di pelabuhan…” suara konsul menjelaskan. Salma menatap pada pejabat tinggi Republik Indonesia itu.

“Di pelabuhan…?”

“Ya. Dia bersama saudara Bungsu…”

Dan Salma baru ingat akan anak muda itu. Dia menoleh pada arah yang juga ditoleh oleh konsul tersebut. Disana ditentang bahu Nurdin, dalam jarak dua depa, tegak anak muda itu dengan diam. Ketika tadi Salma masuk, dia ingin menemuinya. Tapi anak muda ini segera tahu diri. Tempat ini adalah tempa para pejabat. Bukan tempatnya. Dan dia merasa kurang pantas kalau harus dia menemui Salma. Apa benar jabatannya hingga berani mendekati isteri seorang atase militer dari sebuah Negara?

Ah, dia merasa tak pantas. Dan karenanya dia mengundurkan diri diam-diam. Lalu tegak di balik tali yang dibuat secara darurat untuk membatasi dokter-dokter yang tengah mengoperasi itu dengan para pejabat konsulat yang hadir disana.

Barulah ketika namanya terdengar disebut dia menolehkan kepala. Salma tengah menatap padanya. Dia mengangguk pada isteri atase militer itu. Dalam cahaya listrik, Salma melihat bercak darah memenuhi kemeja dan kaki celana Si Bungsu. dan dapat dia duga, suaminya pastilah rebah ke tubuh anak muda itu tadi. Dan ingatannya hanya sampai disana. Tubuhnya doyong. Dan perempuan muda itu lalu rubuh tak sadar diri. Dia sangat mencintai suaminya. Mencintai ayah dari anaknya. Dan malapetaka ini adalah cobaan pertama selama perkawinan mereka yang selalu berbunga bahagia. Dan setiap goncangan yang pertama meskipun tak begitu kuat, akan terasa melumpuhkan. Apakah goncangan kuat seperti yang dialaminya saat ini!

Salma lalu digotong ke kamar yang ada di kantor itu. Dan operasi terhadap Nurdin berlanjut terus.

Menjelang tengah malam, sudah ada delapan dokter berkumpul disana. Dan Nurdin masih tetap tak sadar diri.

Lewat tengah malam. Dari dua peluru yang bersarang dekat jantung Nurdin, belum satupun yang bisa dikeluarkan. Mereka baru sampai pada taraf penghentian pendarahan secara total. Mereka memerlukan beberapa kali konsultasi untuk mencabut kedua peluru itu dari sela jantung Nurdin. Sebab letaknya amat berbahaya. Sedikit saja bergeser atau mengenai tempat lain, maka akibatnya fatal.

Mungkin tidak mematikan. Tapi bisa melumpuhkan overste itu secara total seumur hidupnya. Tabung zat asam dan infus darah dilakukan terus menerus.

Menjelang pagi, barulah kedua peluru itu bisa diangkat dan dibuang. Namun pekerjaan berbahaya masih belum selesai. Penjahitan kembali dua liang tempat peluru itu terbenam memerlukan kehati-hatian yang tak kalah dari saat mengangkat perluru itu tadi.

Seluruh operasi yang menegangkan untuk menyelamatkan nyawa atase militer dari Indonesia itu baru selesai takkala siang telah datang.

“Dia selamat. Tapi diperlukan waktu yang amat lama baginya untuk istirahat…” dokter konsulat yang memimpin operasi itu berkata sambil membuka tutup mulut dan sarung tangan karetnya.

Salma yang sudah sejak tadi sadar diri, menangis tersedu-sedu. Dan dia tercenung ketika didengarnya orang sembahyang dari kamar sebelah. Dari bacaan ayatnya dia segera mengenal bahwa yang sembahyang adalah Si Bungsu.

Salma dan keluarga konsul Republik Indonesia itu sama-sama tercenung. Mereka semua orang Islam. Tapi karena alasan kesibukan tugas negara, mereka amat jarang sholat. Bahkan boleh dikata mereka tak pernah melakukannya. Demikian juga Salma. Padahal dahulu dia adalah gadis yang soleh. Bekas pelajar Diniyah Puteri Padang Panjang.

Dan tanpa dapat ditahan, air mata perempuan muda itu merembes turun. Konsul sendiri bergegas ke kamar mandi. Mengambil udhuk. Kemudian ikut sembahyang. Ah, meskipun dia seorang pejabat tinggi, namun dia tak malu untuk belajar dari yang lebih muda.

Kenapa harus malu memulai sholat, pikirnya. Dan dia sholat dibelakang Si Bungsu tegak. Untuk keamanan, Nurdin tetap tak dirawat di hospital ataupun di rumahnya.

Konsul menyuruh agar dia dirawat di konsulat itu saja. Kantor Konsulat itu cukup besar. Konsul Jenderal itu sendiri dahulu tinggal di gedung Konsulat tersebut bersama anak isterinya.

Kini kamar itu ditempati oleh Salma dan suaminya yang sakit. Dokter datang tiga kali sehari mencek keadaannya.

---000---

Hari keempat setelah operasi itu.

Nurdin masih belum sadar. Namun keadaannya tak lagi begitu mengkhawatirkan. Makanannya diinfuskan melalui pembuluh darah berupa zat cair berwarna putih. Di kamar tamu, Si Bungsu menceritakan pada Salma tentang peristiwa di pelabuhan tersebut.

“Dia mengatakan tentang dokumen yang ada padamu. Salma…” “Dokumen?”

“Ya. Ada sebuah map biru berbungkus kertas minyak berwarna kuning…” Salma coba mengingat.

“Oh ya. Ya, saya ingat. Dia berikan sebulan sebelum kejadian ini..” “Engkau mengetahui isinya?”

“Tidak. Saya hanya menyimpannya..”

“Dia meminta saya mempelajari dokumen itu” “Apakah tak lebih baik diserahkan pada Konsul?”

Dia tak berkata begitu. Barangkali dia tak ingin memberitahukannya sebelum dia usut secara menyeluruh. Ada dokumen itu sekarang…?”

“Ada. Di rumah di jalan Brash Basah. Kita bisa mengambilnya sekarang…”

Salma lalu berdiri. Namun telinga Si Bungsu yang amat tajam dapat menangkap suara langkah kaki bergeser halus dibalik pintu ruang tamu dimana mereka berada.

Langkah itu jelas sekali diinjakkan secara amat hati-hati. Semula Si Bungsu berniat memburu. Tapi dia segera sadar. Ini adalah gedung konsulat. Dan statusnya sendiri hanyalah sebagai tamu. Dia tak mau bertindak gegabah. Namun peringatan Nurdin ketika menuju ke konsulat ini terngiang ditelinganya :

“Kalau engkau ke Jakarta, bawa dokumen tentang sindikat itu. Saya bukannya tak percaya pada beberapa petugas di konsulat Indonesia di kota ini. Namun saya lebih percaya padamu. Bungsu, jangan sampai orang di konsul tahu, bahwa dokumen itu ada padamu…” Masih dia ingat pesan itu. Dan hatinya jadi tak sedap mengingat langkah menjauh di balik pintu tadi. Kalau demikian, gerak gerik mereka di gedung ini telah diawasi dengan cermat. Hanya pihak manakah yang mengamati itu?

Saat itu Salma muncul setelah bertukar pakaian. Mereka segera menuju ke rumah kediaman Salma di jalan Brash Basah.

“Uda, apakah Bang Nurdin ada berpesan sesuatu padamu sebelum dia jatuh pingsan dahulu..?”

Tiba-tiba saja bertanya ketika mobil telah berjalan. Si Bungsu jadi kaget. Dia teringat pada pesan Nurdin yang meminta dia menjaga dan bahkan mengawini Salma jika Nurdin meninggal dunia.

Dan sampai saat ini, overste itu belum juga sadar diri. Nyawanya masih dalam kritis. Akan dia ceritakan permintaan Nurdin itu?

“Ya. Dia berpesan tentang dokumen itu..” “Tak ada yang lain?”

“Tidak..”

Salma menarik nafas panjang. Si Bungsu juga meraik nafas panjang. Tapi nafas mereka seperti terhenti tatkala mereka sampai di rumah kediaman Salma di jalan Brash Basah.

Isi rumah itu seperti sudah diaduk aduk ribuan kerbau.

Meja kursi dan tempat tidur bertempetasan. Kain-kain dan laci-laci semua terbongkar habis. Dan lebih kaget lagi, diruang tengah, seorang polisis Singapura yang bertugas menjaga rumah itu kelihatan terbaring berlumur darah.

Salma terpekik dan memeluk Si Bungsu.

“Tenanglah. Tenang. Dimana engkau simpan dokumen itu?”

Namun Salma tak bisa segera tenang. Keadaan suaminya dan ditambah dengan situasi rumah ini menambah kesan yang amat kuat dihatinya. Betapa sebenarnya suaminya berada dalam bahaya besar. Hal itu menggoncangkan hati Salma.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar