Tanah Semenanjung Bab 8 : Bianglala (Tamat)

 
Bab 8 : Bianglala (Tamat)

Keabadian hanyalah khayalan semata. Ternyata yang kekal cuma pendapat. Melalui pergantian musim waktu pun berubah. Usia jagat dan isinya juga bertambah. Dan alam menjaga keseimbangannya sendiri, dan menggantikan apa yang telah tua dengan yang muda.

Dengan demikian ia menghindarkan diri dari kepunahan.

Kian hari Bandar Sumberwangi mampu menggantikan Surabaya yang kini dikuasai kompeni. Semua pedagang dari semua penjuru berlabuh. Karena pajak di sini jauh lebih kecil dari pajak di; Surabaya atau bandar lain yang dikuasai kompeni.

Peristiwa silih berganti di bumi Nusantara. Tapi hampir satu pun tak pernah berhubungan dengan bumi Blambangan. Blambangan seolah terpisah dari bumi tempatnya berpijak. Baik bentuk rumah maupun pengaturan ketatanegaraan sama sekali berbeda dengan daerah Jawa lainnya. Apalagi perbentengan yang menutup kota Lateng lebih cenderung meniru perbentengan Portugis. Cara berpakaian pun tidak sama dengan daerah Jawa lainnya. Di sini orang masih melihat perempuan-perempuan telanjang dada, sehingga buah dadanya tampak menggantung. Tapi di Mataram atau daerah lainnya sudah ber-kemben (selendang penutup dada)

Bukan cuma itu dan corak keindahan semesta alamnya yang membuat Blambangan berbeda dengan daerah lainnya di Jawa. Tapi juga igama. Namun setiap kejadian di luar Blambangan akan tetap mempengaruhi tata kehidupan di Blambangan. Seperti akibat perang Pecinan, antara Cina dan Belanda yang diawali oleh kekejaman Gubernur Jenderal Valckenier pada tahun seribu tujuh ratus empat puluh Masehi. Di Batavia diadakan pembunuhan massal selama sepuluh hari terhadap penduduk Cina yang memakan korban kurang lebih sepuluh ribu jiwa. Kemudian diteruskan dengan perang Pecinan yang hebat itu. Kompeni mengeluarkan biaya banyak. Karena beberapa kota di Jawa sudah jatuh ke tangan bangsa Cina itu. Termasuk di antaranya Rembang. Kekalahan Cina membuat mereka bergeser ke timur. Blambangan dan Bali. Tentu itu membuat perniagaan menjadi lebih maju dari semula.

Kemajuan perniagaan Blambangan disambut dengan gembira oleh kawulanya. Namun tentu saja itu membuat Mengwi cemburu, iri. Akibatnya Cokorda Dewa Agung mengeluarkan peraturan pembatasan yang cukup mengejutkan Wilis.

Berdirinya pabrik-pabrik gula di banyak kota di Jawa ini mempengaruhi petani Blambangan. Mereka kemudian tidak hanya menanam padi saja, tapi juga mulai banyak yang menanam tebu.

Para saudagar yang menampung dan membeli tebu itu, menjualnya ke pabrik-pabrik gula di luar Blambangan. Agung Wilis selalu menolak permohonan izin mendirikan pabrik gula oleh saudagar-saudagar Cina. Namun dengan liku-liku yang aneh, mereka tetap mendirikan penggilingan gula kecil-kecilan. Agung Wilis mulai jengkel terhadap pembangkangan kecil-kecilan itu. Maka ia membatasi masuknya saudagar-saudagar Cina yang kian membengkak.

Sementara itu Ayu Chandra rajin mengajari putra dan putri-putrinya menjadi orang bijak. Dari perkawinannya dengan Mangkuningrat ia telah melahirkan seorang putra dan tiga orang putri bagi Mangkuningrat. Putra mahkota diberi nama Mas Sutajiwa dan putri-putrinya antara lain: Mas Ayu Bali, Mas Ayu Telaga, Mas Ayu Tunjung. Sedang dari para selir Mangkuningrat masih mempunyai beberapa putri dan putra lagi. Semua anak-anaknya ia ajari membaca lontar. Ia latih berperang, ia latih menari, dan juga ia latih melakukan yoga semadi. Mangkuningrat senang melihat anak-anaknya tumbuh secara lain dengan dirinya sendiri. Dalam asuhan ibu yang bijak.

Walau sering mendapat contoh yang kurang bijak dari Mangkuningrat sendiri.

Mas Sutajiwa dan saudara-saudaranya memang tumbuh secara baik. Begitu pula putra-putra Wong Agung Wilis. Dari perkawinannya dengan Tantrini ia telah dianugerahi enam anak, 5 putra dan 1 putri. Yang pertama anak laki-laki yang tampan, Mas Sratdadi, Mas Kenceling, si kembar Mas Toyong dan Mas Berod, Mas Rumad, dan terakhir Mas Ayu Prabu. Wong Agung Wilis mendidik anak-anak mereka bukan hanya di istana. Tapi secara tidak diketahui banyak orang anak-anaknya sering dikirim ke Raung. Dan memang baik Tantrini maupun anak-anaknya lebih suka tinggal di Raung dari di istana. Wilis juga mengajari anak-anaknya perniagaan dan perkembangannya. Sebab perniagaan adalah tulang punggung pendapatan negara. Pendek kata Wilis selalu ingin mengisi anaknya dengan pengetahuan yang berguna bagi manusia dan kemanusiaan. Dengan begitu ia merasa sudah menuangkan keabadian pada anaknya.

Lain halnya dengan Yistyani. Ia cukup dengan satu anak saja dalam hidupnya. Walau usia sudah menua namun ia tetap segar. Penampilannya selalu menyenangkan banyak orang. Sering sekali Paramesywari mengundangnya dan Tantrini masuk tamansari untuk bertukar pendapat. Paramesywari menyadari keduanya adalah wanita-wanita cerdas yang sulit dicari bandingannya di Blambangan. Namun yang menjengkelkan, setiap kali mereka datang, mata suaminya lahap memandangi mereka dengan penuh birahi. Mata seorang raja. Mata keranjang...! Begitu pula mata ayahnya di Mengwi. Juga kakaknya, raja Mengwi sekarang. Mata semua raja di dunia.

Suatu hari Mangkuningrat mengajak istrinya berbincang di tamansari. Memang nyaman berbincang di taman. Hawanya sejuk pemandangan indah. Jika perlu ia panggil seorang selir untuk memijit-mijitnya waktu berbincang. Contoh yang jelek, desis Paramesywari dalam hati. Sebab ia selalu menyertakan anaknya bila Mangkuningrat mengajaknya berunding soal-soal negara atau pemerintahan.

"Adinda, berilah ia waktu bermain."

"Waktu bermain baginya sudah habis. Ia bukan kanak- kanak lagi. Mari, Kanda, biarlah Pangeran Pati belajar mendengar." Ia meraih anaknya untuk duduk di sampingnya.

"Tentang apa, Kanda?" Ayu Chandra berkata. "Apa katamu tentang Wong Agung Wilis?"

"Ia telah berbuat sebaik-baiknya untuk Blambangan.

Selama sekian tahun banyak satria menentangnya karena ia membersihkan Blambangan dari durjana. Tapi sekarang bukti menunjukkan kemajuan pesat telah dialami Blambangan di segala bidang. Hamba menghargainya sebagai putra terbaik Blambangan."

"Tapi sekarang ia mulai membuat ulah baru. Terhadap kaum saudagar. Bukankah itu akan menciutkan pendapatan negara." Ayu Chandra mengernyitkan dahi. Angin senja menerobos masuk. Bunga-bunga bergoyang. Begitu pun tirai-tirai.

"Beberapa hari lalu," sambung Mangkuningrat, "beberapa orang menghadapku. Di bawah pimpinan Martana."

"Martana? Siapa itu Martana?"

"Saudagar kaya yang banyak memajukan perniagaan Blambangan. Ia juga banyak menolong saudagar kecil dan petani dengan uangnya. Ia mengatakan Patih terlalu membatasi gerak saudagar asing. Dan itu menjengkelkan mereka. Dan akan membuat mereka enggan bersauh di Sumberwangi."

"Kanda, kita harus hati-hati menanggapi soal ini.

Mereka adalah orang-orang licik. Karena itu berundinglah dengan Wong Agung."

0oo0

Kehadiran Martana sebagai seorang nakhoda sebuah kapal sebenarnya sudah dilaporkan pada Andita. Tapi itu tak menarik perhatiannya. Dan tanpa diduga Martana bisa mendapat rumah di Sumberwangi. Kemudian berkembang dengan pesatnya menjadi seorang yang amat kaya. Bahkan lebih dari itu dikabarkan kian hari kian menjadi saudagar yang berpengaruh atas saudagar lainnya.

Rumahnya banyak dikunjungi oleh saudagar-saudagar Cina. Dan ternyata memang istri Martana adalah perempuan Cina. Tahun-tahun dilalui Martana dengan menjatuhkan pedagang-pedagang kecil untuk bergantung padanya. Bahkan tidak sedikit para petani yang harus menyerahkan tanahnya, kebun kelapanya, atau mungkin juga sawahnya, karena mereka telah terlebih dahulu punya pinjaman uang beriba pada Martana.

Namanya menjadi percaturan setelah ia menghadap secara resmi pada Sri Prabu. Wong Agung Wilis menjadi amat terkejut. Pikirannya menjadi sibuk menebak-nebak. Dari beberapa sumber, Martana ingin membuka perkebunan tebu sendiri dengan jalan menyewa tanah kerajaan atau jika perlu membelinya. Wong Agung memilin kumisnya yang tebal mendengar itu. Ia menganggap itu suatu penghinaan. Apalagi setelah mendengar Martana sedang menyiapkan diri akan mendirikan pabrik gula seperti di Kedawung (dekat Pasuruan) atau daerah lain di Jawa ini (Tahun 1710 telah berdiri kurang-lebih 160 pabrik gula di Batavia, Banten, Priangan, Cirebon, Jepara, dan beberapa daerah di Jawa Timur. Tahun 1619 VOC mendirikan di Banten, sedang pabrik gula putih pertama di Kedawung atau Pasuruan) Ah... Martana telah melangkahi wewenang Menteri Cadangan Negara!

Dari berita lain ia mendengar bahwa sebenarnya sebelum penghadapan resmi itu Martana telah menjalin hubungan erat dengan Sri Prabu melalui Ratu Anggabaya Bagus Tuwi. Maka ia memerintahkan Andita dan Yistyani menyelidiki siapa Martana.

Dan perintah itu segera dilaksanakan oleh Yistyani dengan mengadakan anjangkarya ke Sumberwangi. Arya Sanggabhumi, yang telah menggantikan ayahnya sebagai Singamaya muda menyambut kedatangan sang Menteri dengan penuh hormat. Yistyani tidak membawa rombongan besar. Juga tidak dalam kawalan orang bersenjata. Setiap lelaki yang berpapasan dengannya masih saja mengagurhi kecantikannya. Seperti halnya Paramesywari, Yistyani juga mendapat perawatan tabib khusus. Ia juga rajin minum obat ramuan dukun-dukun ahli. Ia juga selalu minum ramuan nanas muda dan daun- daunan lainnya di saat ia merasa bahwa dalam kandungannya tertanami benih baru.

Hari itu juga Singamaya memanggil seluruh pedagang Sumberwangi termasuk Martana untuk berwawancara dengan Menteri Cadangan Negara. Dan mereka semua hadir dengan pakaian terbagus. Bahkan banyak yang memakai sutra sebagai bajunya. Sutra buatan Cina.

Yistyani berbisik-bisik dengan Singamaya yang duduk di sebelahnya, untuk menanyakan yang mana Martana.

Singamaya menunjuk seseorang dengan dagunya.

Menurut Yistyani Martana adalah seorang yang cukup tampan. Rambutnya berombak, kulitnya kuning kemerahan. Kumisnya terawat rapi, melintang kecil di atas bibirnya yang tipis. Kesan dalam hatinya, orang ini lebih ganteng dari Wilis. Pandangan Yistyani menelusur ke bawah. Kaki orang itu perkasa. Ditumbuhi bulu lebat. Bukan seperti kaki kebanyakan pedagang. Tapi lebih cocok bila kaki itu milik prajurit.

“Tuankah yang bernama Martana?" sapa Yistyani sambil tersenyum merontokkan jantung Martana.

"Hamba, Yang Mulia." "Datang empat tahun silam?"

"Betul." Martana tambah mengagumi kecantikan sang Menteri. Makin dipandang makin menawan.

"Empat tahun Tuan telah menjadi orang terkaya di Blambangan. Menunjukkan Tuan seorang cerdik bukan main. Hingga mengalahkan saudagar lainnya," Yistyani memuji. Dan hati Martana melayang, bangga menerima pujian itu. Dan tiba-tiba saja ia menjadi iri terhadap Singamaya yang duduk di sebelah Yistyani. Ah... andaikata aku, tentu akan dapat mencium bau harum tubuh Yistyani itu.

"Aku sengaja datang ke sini untuk beranjang-karya, setelah lama tidak melakukannya ke Sumberwangi. Juga aku ingin melihat kemajuan kalian."

Para pedagang mengucapkan terima kasih. Bagi orang yang telah lama berniaga di Sumberwangi tahu bahwa menteri ini selalu memberikan perhatian besar pada mereka.

"Selain itu, tentu kami ingin mengetahui sejauh mana kebijakan kami dijalankan. Jika perlu barangkali kebijakan itu perlu disusun kembali untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan, maka kami ingin mendengar pendapat Tuan-Tuan. Kebijaksanaan mana yang seharusnya diubah."

Mereka saling pandang mendengar uraian itu. Terlebih Martana. Ia mengira kunjungan Yistyani ini sehubungan dengan kunjungannya ke istana. Tapi tampaknya Yistyani tidak menyinggung persoalan itu sama sekali.

Yistyani berhenti. Dan tidak memperdengarkan suaranya. Ia sengaja menunggu pendapat mereka. Tapi ia sengaja menjatuhkan pandangnya secara berlebih pada Martana. Debar jantung Martana kian mengencang. Bukan karena ia dipandang oleh menteri, tapi terlebih karena kecantikannya itu. Karena Yistyani tetap diam, walau belum siap Martana berkata juga.

"Memang peraturan perniagaan Blambangan banyak yang ketinggalan dibanding Mataram atau negara lain."

"Bagian yang mana?" Yistyani masih berendah hati. "Masuknya pedagang asing yang terlalu dibatasi."

"Apakah Tuan lupa bahwa Tuan juga orang asing di sini?"

Martana gugup mendengar pertanyaan yang begitu cepat.

"Ya... ya... tapi hamba kan sudah jadi warga Blambangan. Maksud kami mereka yang ingin seperti hamba. Mereka ingin memperoleh izin tinggal dan membeli tanah di sini untuk dapat lebih meramaikan perniagaan di Blambangan."

"Jadi menurut Tuan kerajaan harus menjual tanahnya?"

"Demi kemajuan Blambangan sendiri."

Yistyani mengangguk-angguk. Kemudian melirik pada pedagang yang lain. "Pendapat lain?" Yistyani membuka lagi.

"Perubahan peraturan yang sering terlalu mendadak sangat merugikan kami. Kami tahu itu didasari oleh sikap Patih yang terlalu keras. Tentu kurang menyenangkan kami," Martana yang menyahut lagi.

"Kekerasan itu dulu kami ambil untuk mengamankan negeri. Tanpa kekerasan kami tak mungkin membasmi perompak. Tuan datang negeri sudah aman. Tapi baiklah, semua usul akan kami pelajari."

"Sebenarnya kami telah mengutarakan pendapat kami pada Yang Mulia Syahbandar," ujar Martana lagi. Ia semakin berani karena keramahan Yistyani. Ah... tak lebih dari wanita lain. Dan sebagai lelaki keinginannya membawa Yistyani ke tempat tidur mulai timbul.  "Tapi..." Martana melanjutkan, "rupanya Patih tak pernah mendengarnya. Itulah sebabnya kami menghadap Raja."

"Hyang Dewa Ratu!" Yistyani pura-pura terkejut. Sedang Martana tersenyum bangga. Memamerkan giginya yang rapi.

"Kapan itu?" "Sepekan lalu."

"Kenapa Tuan tidak lebih dahulu berunding dengan kami?"

"Maaf, Yang Mulia Menteri... karena Yang Mulia di bawah Patih. Jadi kami takut."

"Baiklah " Yistyani menghela napas panjang

membuat buah dadanya yang disangga kutang emas berantai-rantai itu naik-turun. Martana memperhatikannya. Dan menelan ludahnya.

"Tidak apa. Aku akan mempertimbangkan pendapat Tuan. Dan mengusulkan pada beliau agar memberikan lebih banyak kelonggaran dalam perniagaan. Tapi ingat, sejauh itu tidak merugikan kerajaan," Yistyani menekankan sambil tersenyum. Udara panas di Sumberwangi di saat kemarau begitu membuat pipi Yistyani merona merah. Membuat Martana makin gila.

"Kami senang mendengar ini, Yang Mulia." "Berapa banyak saudagar asing, yang menurut

sepengetahuan Tuan ingin bermukim di sini?" "Banyak, Yang Mulia."

"Akan segera kami beri keputusan." Setelah pembicaraan selesai, Martana mengajukan undangan pada Yistyani untuk melihat-lihat kapalnya. Yistyani tahu benar lelaki itu hendak memamerkan kekayaannya. Tapi ia tidak menolak. Karena ia ingin menyelidiki lebih jauh orang itu. Ia berunding dengan Singamaya agar orang itu diawasi secara istimewa. Dan Yistyani berjanji pada Martana, selesai acaranya dengan Syahbandar ia akan mengunjungi kapal-kapal Martana. Sebelum Yistyani kembali ke Lateng, Martana menyerahkan hadiah istimewa untuk sang Menteri.

Untaian kalung mutiara...

0oo0

Yistyani melaporkan rasa-rasanya pernah melihat Martana tapi kapan dan di mana Yistyani lupa. Tapi Yistyani yakin bahwa ia akan mampu mengungkapkan siapa Martana, karena perasaan Yistyani sebagai wanita menangkap, Martana tertarik padanya. Maka berdasarkan beberapa laporan telik dan Yistyani, Wilis memanggil para perwira tinggi untuk merundingkan masalah baru ini. Kebetulan sekali Paramesywari berkunjung ke gedung kepatihan. Dan pada kesempatan itu Paramesywari mengutarakan pendapatnya.

"Aku sudah menjadi prihatin sekarang ini. Setelah bertahun-tahun di bawah kebijakan Dinda, perniagaan menjadi maju. Tapi melahirkan raja-raja uang yang sikapnya lebih sombong dari penguasa negeri."

"Yang Mulia benar. Justru itulah inti pembicaraan kita." "Mereka bermanja di bawah pengaruh Paman Bagus

Tuwi sebagai ratu anggabaya."

Wilis tidak menjawab. Tapi menoleh pada Andita. Dan Andita segera memberikan laporannya. "Martana memang mempunyai hubungan yang dekat sekali dengan Yang Mulia Bagus Tuwi. Beliau akhir-akhir ini bukan saja menerima persembahan berupa harta.

Tapi juga seorang gadis jelita yang bernama Sayu Jene. Seorang putri Cina."

"Hyang Dewa Ratu!" Paramesywari menyebut. "Tua- tua kelapa!"

"Yang Mulia Agung Wilis mungkin lebih kenal Martana daripada kami atau para telik. Martana akan berusaha menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Sri Baginda. Ia telah pula menyiapkan sebongkah emas dan seorang gadis cantik untuk dipersembahkan sebagai selir.

Persembahan seperti itu sebenarnya sudah terlalu sering mereka lakukan. Karena itu ada beberapa saudagar yang berani mendirikan penggilingan gula dengan diam- diam. Karena mereka merasa dekat dengan Yang Mulia Bagus Tuwi dan Baginda sendiri.

"Mereka tidak dapat dilawan dengan damai," Yistyani berpendapat. "Modal mereka telah berakar kuat dan mengkhawatirkan. Begitu banyak petani yang punya pinjaman berbunga pada Martana, dan setiap kali panenan hasil mereka tetap tidak cukup untuk membayar utang itu. Akhirnya mereka harus menyerahkan tanah mereka pada Martana. Untuk menyambung hidup, mereka harus menjadi budak di tempat Martana."

"Dewa Bathara! Dengan begitu tanah Martana akan semakin luas. Dan ia juga akan mempersenjatai orang- orang yang bekerja padanya untuk melawan kerajaan pada suatu ketika!" Wilis terbakar. "Kita akan hadapi mereka dengan sungguh-sungguh. Tapi jangan lupa.

Mereka bermodal. Siapa tahu ia tidak hanya menyogok Paman Bagus Tuwi, tapi ia punya payung di Mengwi. Ini perlu diperhitungkan," Wilis menguraikan lagi. "Persoalan sekarang ini jauh lebih berat dari menghadapi Wena dan Kuwara Yana."

Beberapa hari kemudian Wong Agung Wilis pergi ke Mengwi. Ia hanya minta izin pada Mangkuningrat tanpa memberi tahu persoalan yang akan dibahas di Mengwi. Tapi Paramesywari mengerti untuk apa ia pergi ke Mengwi. Bukan lain mencari dukungan untuk menindak Martana.

Namun Wong Agung tidak bertemu dengan Sri Prabu karena Dewa Agung sedang beranjangkarya bersama Dewa Rake. Kemudian ia menemui menteri muka, tapi ia tak bisa memberikan keputusan. Wilis menghadap ratu anggabaya Mengwi, tapi orang itu menjawab bahwa ia berjanji akan menyampaikan persoalan ini pada Maha Raja bila sudah pulang nanti.

Wilis tidak sabar menunggu tiga bulan Cokorda Agung pulang beranjangkarya di musim kemarau ini. Akhirnya dia kembali dengan keputusan melakukan kebijakan sendiri dengan tanpa persetujuan Mengwi. Persiapan pun dimulai. Martana diawasi ke mana pun pergi. Bahkan Andita telah memasukkan teliknya untuk bekerja di rumah dan kapal Martana.

Sementara itu sejak pertemuannya dengan Yistyani, Martana menjadi gelisah. Hampir setiap bulan ia mempersembahkan hadiah berupa perhiasan yang mahal-mahal untuk wanita itu. Martana mulai memperbanding-bandingkan istrinya dengan Yistyani. Walau kulit istrinya jauh lebih kuning dari Yistyani, tapi... Ah... matanya itu, senyumnya itu, pinggulnya... buah dadanya...

Dan Martana mencari akal untuk bersua lagi dengan wanita itu. Hal itu diketahui oleh Andita dan Yistyani melalui telik yang ada di sekitar Martana. Kebencian Martana pada Wilis yang mendalam itu mencurigakan Andita dan Yistyani. Juga Wilis sendiri. Karena itu Wilis mengusulkan supaya Yistyani beranjangkarya ke Sumberwangi lagi. Sementara itu dia akan menyamar jadi seorang pelayan dan Andita akan menjadi pengawal Yistyani.

Sementara itu hubungan Martana dan Sri Pabu semakin diketahui oleh Wilis. Ia sudah tahu bahwa Martana berani mengusulkan pemecatannya pada Sri Prabu dengan imbalan seorang perawan Cina yang kini tinggal di tamansari keraton Blambangan.

Berita turunnya Yistyani sengaja dihembuskan oleh telik ke telinga Martana. Apalagi diberitakan Yistyani akan bermalam di Sumberwangi. Tentu saja Martana menganggap ini suatu kesempatan emas. Maka ia buru- buru mengusulkan pada Syahbandar untuk menambahkan acara bagi sang Menteri, yaitu makan malam di tempatnya. Bahkan mengusulkan supaya selama beranjangkarya Menteri bisa tidur di tempatnya. Usul itu diterima.

Martana menyiapkan para pedagang yang ada di bawah pengaruhnya untuk menyambut sang Menteri. Sore hari itu Yistyani langsung menuju ke istana Singamaya. Sengaja Yistyani datang dengan pakaian terindah. Kalung mutiara dari Martana pun menghiasi lehernya. Kalung yang panjang itu menyatu di atas buah dada kemudian turun melalui celah buah kembar itu sampai ke perut dan menempel di pending emas yang menutupi pusar Yistyani. Di mata Martana sang Menteri masih seperti seorang perawan. Sampai senja hari sang Menteri masih berbincang dengan Singamaya dan beberapa nahkoda kapal niaga kerajaan. Setelah itu Menteri akan berkunjung ke rumah Martana. Dengan kereta berkuda milik Martana pribadi ia menuju kediaman saudagar terkaya di seluruh Blambangan itu. Pengawal Menteri berkuda di belakang kereta itu. Martana bangga.

"Terima kasih atas semua yang telah Tuan kirimkan," Yistyani memulai.

"Ah... itu biasa, Yang Mulia. Bahkan bila Yang Mulia setuju hamba ingin persembahkan sebuah kapal dagang untuk Yang Mulia pribadi." Martana menoleh pada wanita anggun di sampingnya itu. Ia sengaja tidak melarikan kudanya cepat-cepat.

"Oh.... kapal adalah kehidupan Tuan. Baga..." "Tentu kapal kami tidak satu," Martana memotong.

"Kapan Yang Mulia ada waktu untuk melihat kapal tersebut? Masih baru hamba beli dari Cina."

"Terima kasih... besok pagi boleh...," Yistyani agak gugup. Ia tidak menduga sebegitu jauh perhatian Martana padanya. Tapi ia menghiaskan senyum di bibirnya. Buah dadanya bergoyang-goyang terkena getaran kereta.

"Yang Mulia bermalam di tempat kami? Kami sudah sediakan yang terbaik untuk Yang Mulia." Ternyata Yistyani mengangguk.

Martana makin lega. Wanita itu pun pasti tidak menolak cintanya.

"Tuan mengagumkan sekali. Bukan hanya kaya tapi ramah dan penderma. Kami sudah dengar dari beberapa pedagang. Kami dulu kurang memperhatikan, karena terlalu sibuk dengan pekerjaan kami."

"Yang Mulia lebih mengagumkan. Sebagai seorang wanita cantik yang seharusnya sibuk merawat diri, tapi Yang Mulia sibuk dengan urusan negara." Martana ingin memasuki hati Yistyani. Dan Yistyani tersenyum tanpa menoleh. Ia telah terbiasa dipuji oleh lelaki. Tapi sekarang ia sedang bertugas.

"Memang melelahkan. Tapi itu keharusan."

"Jika Yang Mulia setuju, kita bisa istirahat. Di atas kapal dan berlayar ke Surabaya, misalnya. Hamba akan menyediakan kapal yang terbaik."

"Senang sekali," Yistyani menjawab cepat. "Kami akan ambil waktu istirahat sehingga bisa pergi tanpa pengawalan."

"Sungguh?" Martana meluap. Ia jamah tangan sang Menteri. Yistyani cuma tersenyum. Memandangnya.

Rembulan mulai terbit. Mereka telah sampai di sebuah rumah besar dengan pelataran lebar. Beberapa pedagang sudah menunggu di sana. Martana membimbing tangan Yistyani untuk turun dari kereta.

Istri Martana tergopoh-gopoh menyambut menteri itu.

Memberi hormat. Yistyani membalas. Wanita dengan pakaian sutra dan bermata sipit. Wanita itu memperhatikan Yistyani dengan penuh kekaguman. Setelah itu Yistyani dipersilakan duduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan meja. Di atas meja tersedia banyak makanan. Banyak meja dan kursi yang terisi penuh orang-orang kaya. Kebanyakan mereka pedagang asing. Berganti-ganti mereka memperkenalkan diri pada Yistyani. Dan memberi hormat. Yistyani berdiri dengan anggun untuk membalas setiap penghormatan itu. Matanya ia sempatkan melirik, betapa besarnya rumah Martana ini. Dan di dalamnya pasti banyak kamar. Ia dengar Martana sering membeli wanita Blambangan untuk dijadikan gundik. Dan bila wanita itu mengandung maka ia mengusir wanita itu ke luar.

Beberapa bentar kemudian Martana mempersilakannya duduk kembali. Makanan silih berganti keluar-masuk di atas meja. Orang Blambangan tidak biasa makan seperti itu.

"Yang Mulia tidak makan?"

Yistyani mencoba mengambil dengan sendok yang disediakan. Kaku sekali. Martana menolong mengambilkan ke piring Yistyani.

Yistyani makan sedikit-sedikit. Pelan-pelan. Lampu- lampu yang serba mewah menerangi tempat itu.

"Suasana damai yang menyenangkan," Yistyani memancing lagi.

"Tapi sayang... betapa lebih damainya bila hamba selalu di dekat Yang Mulia."

Yistyani tersenyum mendengar itu.

"Tuan sudah punya istri. Dan rupanya bangsa Cina?" "Itulah. Bagaimanapun hamba bukan bangsa mereka.

Dan sejak bersua dengan Yang Mulia, maka hamba hampir tak bisa tidur." Martana makin berani. Yistyani menarik napas panjang. Ia pandang Martana tajam- tajam. Orang ini belum menyadari keadaan. Dan ia makin teringat wajah yang ia hadapi.

"Bisa diatur, Tuan. Aku memang mengagumi Tuan." "Oh, bahagia sekali." Martana menoleh pada para

pedagang yang lain. Asyik makan dan minum. Ia ingin pesta segera bubar dan mengantar Yistyani ke tempat tidur. Yistyani mempermainkan kalung pemberian Martana. "Kita akan sering berjumpa. Aku akan berhenti menjadi menteri jika benar kapal itu Tuan serahkan. Aku pikir cukup hidup dengan kapal itu dan kita akan banyak waktu untuk bersantai."

"Bahagia sekali. Pasti, besok aku serahkan kapal itu.

Aku punya lima kapal. Satu untuk Yang Mulia. Bidadariku." Martana penuh harap.

"Aku sudah bosan terhadap Wilis. Jadi kerja de..."

"Itu dia! Sejak mudanya dia tukang merampas. Apalagi sekarang jadi penguasa. Ia pernah merampas kekasih hamba. Bahkan kemudian membunuhnya!"

"Begitu kejam? Di mana kekasih Tuan itu? Kami belum tahu itu. Mungkin ini juga suatu bahan untuk menumbangkannya."

"Di Lumajang. Tapi ini rahasia lho. Ah, hanya karena pada Yang Mulia hamba memberi tahu. Hamba dulu juga pernah menjabat ratu anggabaya di Lumajang."

"Oh... maka Tuan amat cerdas. Cerdik. Ah... aku tidak rugi melepas jabatan dan menjadi satu dengan Tuan."

Malam kian larut. Pesta semakin ramai. Dan mereka mulai bermabuk-mabuk. Martana juga ikut minum sambil menemani Yistyani. Pelayan keluar-masuk membawa minuman keras. Seorang saudagar mendatangi Yistyani sambil membawa tuak. Dan mempersilakan sang Menteri minum. Martana menerima gelasnya.

"Mari, Yang Mulia, kita nikmati malam ini." Ia menyodorkan pada Yistyani. Bertepatan saat itu seorang pelayan datang. Tiba-tiba saja pelayan itu meraih gelas di tangan Martana. Dan menyiramkan minuman itu ke muka Martana. Semua orang terkejut Martana berdiri dengan marah. "Bosan hidup! Berlaku tak sopan!"

Tetapi pelayan itu terbahak-bahak. Berkacak pinggang di hadapan Martana. "Kau tahu siapa aku?"

Martana segera menghunus pisau panjang yang selalu terselip di balik bajunya. Dan pelayan itu tertawa lagi.

"Ahai, orang gagah dari Lumajang yang melarikan diri waktu bahaya datang. Kau harus belajar dulu untuk mengalahkan patih Blambangan."

Wilis cepat bergerak seperti kilat menyepak tangan Martana yang memegang pisau itu. Martana terjatuh karena tendangan yang kedua. Ketika akan bangkit lagi beberapa orang mendekat dan mengikat tangannya.

"Kau belum pernah mengalahkan Raditya. Maka kau tak akan pernah mengalahkan Wong Agung Wilis," pelayan itu berkata lagi dengan tenang.

"Wilis tak pernah merampas milikmu. Tapi kau telah merampasi milik petani Blambangan!" Wilis masih saja berkata-kata.

Beberapa bentar kemudian beberapa laskar pasukan berkuda datang ke tempat itu. Pesta bubar. Yistyani dan Wilis pergi. Martana dinaikkan kuda dan dibawa ke Lateng.

0oo0

Berita penangkapan Martana Mengejutkan Bagus Tuwi dan Sri Prabu. Bahkan beritanya bukan hanya sampai di situ. Lima orang- lagi ditangkap dengan tuduhan bersekongkol dengan Martana. Merongrong perniagaan Blambangan dan kewibawaan istana. Mangkuningrat segera memanggil Bagus Tuwi dan Mas Alit serta Mas Anom dan Dharma-dhjaksa Suketi untuk merundingkan tindakan Wilis. Suketi melaporkan, sebenarnya sukar membuktikan kesalahan Martana.

"Kalau begitu bebaskan saja," Mas Alit menyarankan. "Ampun, Yang Mulia. Beberapa hari yang lalu dia

diambil lagi oleh laskar darat. Lebih dari itu perintah pemeriksaan sudah dijatuhkan oleh Yang Mulia Patih. Itu berarti tidak ada lagi kekuasaan yang bisa menolongnya."

"Jagat Dewa! Kau memaksudkan bahwa kekuasaanku tidak bisa mengatasi kekuasaan Wong Agung Wilis?"

"Ampun, Sri Prabu. Kenyataan ini sudah berlangsung bertahun-tahun."

"Lalu apa yang harus kita lakukan?"

Semua diam. Memandang Mangkuningrat. Sedang Mangkuningrat bergumul dalam hati. Bukankah aku seorang raja? Semua orang harus tunduk padaku!

Sebubar pertemuan yang tidak dapat memutuskan sesuatu itu Mangkuningrat menyuruh seorang utusan untuk memanggil Wilis. Ia bertekad hendak memaksakan kehendaknya.

Wilis menghadapnya di gedong kuning. Ia menyembah dengan hormat dan ramah sekali.

"Tentu Kanda memanggil hamba berkenaan dengan ditangkapnya Martana," Wilis langsung pada persoalannya.

"Ya. Aku tidak mengerti apa dasar pertimbangan Dinda mengambil langkah yang cuma bertimbang pada diri sendiri itu?" "Ampun. Kanda lupa di sini ada Panca Ri Blambangan (Dewan Pertimbangan Agung yang terdiri dari lima orang) dan Menteri Ri Pakira-kiran yang sudah mengolah apa yang akan hamba lakukan. Dan itu pula yang seharusnya menjadi titah Baginda."

Paramesywari yang ada di samping Mangkuningrat masih saja diam. Ia pandangi kedua lelaki kakak-beradik itu. Wajah Mangkuningrat memerah.

"Saya ingat nasib Yang Tersuci Wena dan yang lain beberapa tahun silam, mati seperti anjing kurap di tangan algojo. Apakah mereka juga akan menerima nasib yang sama? Adinda tidak hati-hati menyelesaikan soal manusia."

"Ini bukan main-main. Soalnya adalah kekuasaan.

Sekali lagi soal kekuasaan. Menyangkut manusia yang lebih banyak daripada yang mampu membayar pada penguasa. Kekuasaan seorang Martana atas perniagaan Blambangan akan dapat mengemudikan jalannya pemerintahan di Blambangan. Dengan emas ia dapat, memerintahkan dharmadhjaksa untuk melindungi dirinya dari Andita. Dengan emas dan wanita ia dapat memerintahkan beberapa menteri untuk mengeluarkan peraturan ini dan itu yang menguntungkan pribadinya.

Dengan emas ia akan menyeret wanita-

wanita tercantik Blambangan ke tempat tidurnya. Bahkan dengan emas ia telah memerintahkan Kanda untuk memecat Hamba."

"Dinda..." Mangkuningrat kaget.

"Memang mengejutkan. Karena Kanda sebenarnya tak kenal dia. Bukankah dia pernah mendurhakai hamba di hadapan Kanda dengan mengatakan bahwa hamba telah menumpas Lumajang. Dia pula yang menceritakan pada Kanda bahwa hamba pernah ditolak oleh gadis bernama Satiari, kekasih Lingsang Ireng?"

"Dinda..."

"Benar hamba pernah ditampik oleh Satiari putra Paman Adipati Agung. Tapi lumatnya Lumajang oleh karena titah Kakanda sendiri. Dan tahukah Kanda siapa sebenarnya Lingsang Ireng itu? Tak lain dan tak bukan adalah Martana sendiri."

"Dewa Bathara!" Mangkuningrat kagum. Wilis tahu segalanya.

"Martana bisa kaya di Blambangan karena menjalankan modal seorang yang bernama Cheng Bok. Orang yang sejak lama ingin menguasai Bandar Sumberwangi. Kanda, sekali lagi ini bukan soal kehormatan pribadi. Tapi soal kekuasaan."

"Tapi Blambangan punya hukum dan peraturan, yang harus dijalankan sebaik-baiknya."

"Tapi hukum dan peraturan dibangunkan untuk mengabdi pada kekuasaan. Bukan sebaliknya."

"Hukum dan peraturan diciptakan oleh Hyang Maha Dewa sejak zaman kita belum dilahirkan. Warisan leluhur untuk kita laksanakan."

"Ampun, Kanda, Hyang Maha Dewa menganugerahkan ingatan dan pikiran pada leluhur. Dengan anugerah itu mereka menciptakan hukum dan peraturan untuk menegakkan kekuasaan mereka. Dan kekuasaan pada dasarnya dibangun di atas puing kekuasaan yang lain."

"Hyang Bathara! Benarkah itu, Dinda Paramesywari?

Kenapa aku tidak pernah menerima pelajaran seperti ini?" "Semua benar. Hanya memang Kanda belum pernah menerima pelajaran mengenai hal ini."

Lagi, Mangkuningrat terdiam. Paramesywari juga. Ada yang mengherankan Sri Prabu, istrinya tak pernah menyalahkan kebijakan Wilis. Lalu kenapa Martana tidak pernah berkata bahwa sebenarnya ia adalah Lingsang Ireng. Tapi bila ia bukan, dari mana ia tahu tentang Wilis dan Satiari?

"Armada dagang kita masih mampu. Dan kita takkan kekeringan bila kehilangan mereka." Wilis membuyarkan angan Baginda.

"Akan bersikeraskah, Adinda?" "Akan bertimbang banyak."

"Aku nasihatkan agar kau tidak menjadi patih yang haus darah."

"Terima kasih, Kanda."

Wilis meninggalkan gedong kuning dengan hati yang kurang senang. Ia tahu selama Cheng Bok belum lagi ditemukan maka peristiwa ini berekor panjang. Ia belum tahu siapa yang berdiri di belakang Cheng Bok ini. Bisa juga sekarang ini Cheng Bok di Mengwi.

Dalam perjalanan pulang ia singgah di rumah Andita. Tapi tidak ada. Yistyani mengundangnya untuk mampir. Tapi Wilis menolak. Dan Yistyani segera membunuh kekecewaan dalam hatinya. Ia sadar Wilis sedang menghadapi masalah pelik. Karena itu ia hanya mengawasi kepergian kekasihnya itu dengan helaan napas.

Wilis segera menemui wakil kepala Dinas Rahasia Blambangan, Sindayu. "Dirgahayu, Yang Mulia," orang itu menyapa.

"Ada perkembangan?" Ia menyapukan pandang pada pengawal rahasia Sindayu.

"Beberapa orang telah menyuap Gusti Bagus Tuwi dalam usaha pembebasan Martana."

"Sudah kudengar."

"Yang lebih penting dari itu, mereka telah menyiapkan seorang bernama Surati untuk menggantikan Yang Mulia. Dan menurut surat Cheng Bok pada istri Martana, mereka juga berusaha untuk mencopot Syahbandar."

"Baik amati terus mereka itu. Tunggu perintah selanjutnya." Wilis menyentuh perut kudanya untuk kemudian kabur.

Beberapa hari kemudian Mangkuningrat memimpin sebuah persidangan yang dihadiri oleh lima orang penasihat raja yang biasa disebut Panca Ri Blambangan, menteri ripakira-kiran makabehan, yang dijabat oleh Mas Anom, Mas Alit, Mas Pandawijaya, dan Mas Ayu Ganuh, serta Bagus Tuwi. Dalam pertemuan itu mereka bersepakat mengambil tindakan terhadap Wong Agung Wilis. Dan seusai pertemuan itu, mereka memanggil Laksamana Penjalu tanpa melalui Umbul Songo sebagai menteri muka. Laksamana Penjalu diperintahkan menyiapkan laskar laut untuk menghadapi kekuatan Wong Agung Wilis.

Tentu saja hal itu mengejutkan Penjalu. Ia mengutarakan bahwa perwira laut pun banyak yang di bawah pengaruh Wilis. Seperti mereka yang tunduk perintah Haryo Dento, sepenuhnya ada di bawah Wilis.

"Tapi ini titah Raja! Menyangkut nasibmu!" Laksamana Penjalu pergi dengan hati yang berdebar.

Penuh kebimbangan. Segera ia panggil orang-orang terdekatnya. Tidak bisa tidak, ia harus menyiapkan kekuatan secara diam-diam. Ternyata memang ada beberapa orang laskar laut yang siap mengadakan perlawanan terhadap Wilis. Mereka adalah orang-orang yang pernah disewa oleh Martana untuk mengawal kapal dagangnya. Antara lain Laksamana Sugriwa. Dan Sugriwa menyiapkan beberapa anak buahnya.

Setelah hari yang ditentukan maka beberapa perwira laskar laut yang bersekongkol dengan Sugriwa telah mengiring Penjalu menghadap Mangkuningrat untuk melapor bahwa mereka siap mendatangi Wilis. Dengan gembira Mangkuningrat merestui mereka. Bukan hanya itu, Sugriwa juga mengerahkan bintara dan prajurit laskar laut Blambangan yang tidak tahu-menahu untuk berbaris mengelilingi kota Lateng dengan tanpa alasan. Mereka semua menganggap itu suatu latihan. Dan mereka memanggul senjata berlaras panjang. Hal yang begitu sudah lama sekali tak dilakukan laskar laut Blambangan. Maka itu mengejutkan seluruh kawula Lateng.

Hari telah sore ketika Penjalu dalam iringan para perwira tinggi laskar laut Blambangan memasuki istana Wilis. Para pengawal terkejut. Sebab yang seperti ini tak pernah terjadi. Lebih-lebih semua mengenakan pakaian perang. Seperti halnya seluruh laskar laut yang sedang berbaris mengelilingi kota. Tapi Wilis tetap berkenan menemui mereka walau dengan hati curiga.

"Dirgahayu, para Yang Mulia." Wilis menemui mereka dipendapa.

Bersama-sama mereka menyembah sambil masih berdiri. Wilis memerintahkan para pengawal mengambilkan tempat duduk untuk mereka secukupnya. Kemudian Penjalu duduk paling depan berhadapan langsung dengan Wong Agung Wilis. Ia segan beradu pandang.

"Mengagetkan," ujar Wilis lancar.

"Ampunkan kami, Yang Mulia, beberapa perwira tinggi laskar laut akan menyampaikan keluhan anak buah mereka masing-masing."

"Keluhan laskar laut Blambangan?" "Ya," Penjalu memberanikan diri.

Wilis terpukau sesaat sambil mengernyitkan keningnya. Dalam keadaan damai begini laskar laut mengeluh? Ada yang tak beres.

"Baiklah. Katakan!" Wilis menghela napas. "Penangkapan Martana ternyata menimbulkan akibat

yang sangat merugikan. Persahabatan laskar laut dengan para pedagang menjadi renggang. Mereka tak lagi mau mendekati anggota kami. Tentu ini juga akan menyulitkan..."

"Pada pokoknya kalian minta Martana dibebaskan?" potong Wilis sebelum Penjalu selesai. Dan Penjalu terdiam sesaat. Sementara itu pandangan Wong Agung Wilis tertuju pada perwira-perwira lainnya. Rata-rata memiliki pandangan yang terlatih menentang sinar mentari. Berani.

"Hamba tahu ini bukan niat Yang Mulia sendiri," sambung Wong Agung Wilis. "Juga bukan kehendak anak laskar laut pada umumnya. Sebab mereka tak pernah dirugikan. Demi Hyang Maha Dewa, Martana tidak akan kami lepaskan." "Tapi keadaan bisa berkembang memburuk.

Pendapatan Bandar Sumberwangi akan menciut. Dan laskar laut tidak akan mendapat jaminan sebagaimana sebelumnya."

"Ha... ha... ha... Yang Mulia, bukan tugas laksamana memberikan gaji pada mereka. Juga untuk mendapatkan uang untuk mereka. Bagaimana Yang Mulia dapat menduga pendapatan bandar akan menciut sedang monopoli atas perniagaan sekarang di tangan kerajaan? Ha... ha... ha... jangan mudah tertipu, Yang Mulia."

Penjalu agak tersinggung ditertawakan begitu. "Apakah kita sudah siap menghadapi kejadian

selanjutnya, bila Martana tetap akan dihukum?"

Sekali lagi Wilis tercenung. Pertanyaan yang mengandung ancaman. Ancaman seorang samodraksa. Sesaat hatinya berdesir.

"Aku sudah siap." Wilis menenangkan hatinya.

Mata para perwira itu kelihatan berunding satu dengan lainnya. Tapi Wilis segera melanjutkan,

"Apakah Yang Mulia merelakan hukum dan peraturan Blambangan yang suci ini diinjak-injak raja yang tak bermahkota? Dengan membiarkan mereka merampasi semua yang terbaik di Blambangan ini? Membiarkan perawan-perawan cantik kita kehilangan kesusilaan dan martabat karena dibayar oleh uang mereka?"

Diam sebentar. Mengambil napas sebentar sambil mengawasi mata mereka. Mulai redup. Mulai ada yang membenarkan kata-kata Wilis. Mulai ada yang menyesal ikut menghadap Patih. Sunyi Hanya suara burung-burung kecil di luar pendapa yang merajai suasana. "Memang..." Wong Agung memulai lagi setelah tiada yang berkata-kata, "tak ada yang tahu uang Martana telah memperkuda banyak punggawa, tumenggung, dan juga para menteri. Sebab yang ditunggangi sendiri tidak pernah menyadari. Mereka hanya tahu uang dan wanita. Apakah Yang Mulia tidak pernah dengar itu nama Cheng Bok, pengusaha gula yang berada di punggung Martana sebenarnya? Ingat Yang Mulia, pada VOC, pun Cina memberontak. Apalagi pada kita. Tidak dengar Jawa pernah dibakar oleh perang Pecinan? Itu perang rebutan rejeki antara Cina dan Belanda?"

"Jagat Pramudita!" Penjalu mengeluh. Ia mengakui sekarang kebenaran Wilis. Ia mulai menyesal.

"Aku akan perhatikan kehadiran para Yang Mulia ini sebagai suatu peringatan. Hamba tahu bersama keberangkatan Yang Mulia ini laskar laut dibariskan keliling kota. Di samping itu moncong meriam-meriam laut tertuju ke rumah ini."

"Hyang Bathara!" mereka menyebut hampir berbareng.

"Mungkin itu bukan niat Yang Mulia. Tapi begitulah kebiasaan seorang laksamana menyampaikan pendapatnya."

"Tidak ada..."

"Terlalu sering terjadi. Ingat kisah Laksamana Cheng Ho? Yang meruntuhkan Majapahit itu? Dan ingat cara Laksamana Alfonso d’Albuquer-que di Malaka? Ha... ha... ha... ha..."

“Ampun Yang Mulia, kami bukan mereka." Penjalu putus asa. "Ya. Karena itu pula suara Yang Mulia sekarang ini tetap menjadi bahan pertimbanganku. Aku akan berunding lagi dengan dharmadhjaksa."

Penjalu mengerti itu berarti peringatan agar ia segera pergi. Sebab Wilis memang sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Jika ia memaksa sekarang, pastilah seluruh pengawal, tukang-tukang kebun, mungkin juga para dayang siap meringkus mereka.

Karenanya ia minta diri. Dan terus melapor pada Mangkuningrat. Wilis masuk kembali ke istananya dengan disambut oleh istrinya. "Ada apa, Kanda? Kelihatan mendung?"

"Nyatalah memelihara merupakan suatu beban yang gunung-gemunung. Persoalan yang satu selesai, yang lain menyusul. Istriku, kita harus siap menghadapi semua kemungkinan." Kemudian Wilis menceritakan maksud kedatangan para perwira laskar laut tadi. Juga seluruh anak-anaknya mendengar semua yang terjadi.

"Anakku, hidup harus dipertahankan dengan pergumulan. Perjuangan. Tapi jangan kecil hati. Kita menghadapi masalah yang rumit. Pertumpahan darah antara sesama laskar Blambangan. Ini harus diatasi supaya jangan sampai timbul. Tapi yang lebih sulit lagi bila kita harus berhadapan dengan Mengwi. Maka itu yang penting, bersiaplah. Dan jika terjadi sesuatu atas diriku, yang terbaik adalah bila kalian bersiap dari Raung. Sebab kejadian ini akan berekor panjang sekali."

"Kanda..."

"Aku seorang satria!" Wilis merangkul istrinya. Anak- anaknya. Ia tetap menganjurkan mereka berangkat ke Raung. Bukan untuk melarikan diri. Tapi menyiapkan diri. Sementara itu Mangkuningrat menjadi pusing luar biasa, waktu mendengar laporan dari Penjalu. Ia memang mendengar laporan bahwa teman-teman Martana mulai menerobos ke Mengwi untuk memohon pada Cokorda Dewa Agung turun tangan membebaskan Martana. Tapi Mangkuningrat ragu apakah itu akan berhasil. Sebab biasanya Mengwi selalu membenarkan tindakan Wilis.

"Lalu kekuatan siapa yang akan kuhadapkan padanya?" Baginda putus asa.

"Ada kekuatan yang bisa mengimbangi Wong Agung dan Mengwi saat ini, jika kita mau menembusnya," Laksamana Sugriwa bersembah.

"Kekuatan siapa?" Mangkuningrat terbelalak.

"VOC," jawab Sugriwa. "Yang lain tidak ada. Mataram juga bekerja sama dengan VOC, Madura? Banten?

Kenapa kita tidak?" Sugriwa meneruskan. "Belanda?" Mangkuningrat kaget. "Tidak ada yang lain."

Suasana hening lagi. Mangkuningrat berpikir keras.

Mungkinkah ia bekerja sama dengan Belanda? Ia pandangi Mas Alit, Bagus Tuwi. Namun kedua orang itu masih diam. Semakin berpikir, Mangkuningrat semakin pening. Dari lubang-lubang kecil kulitnya keluar keringat dingin. Merembes tanpa disadarinya.

"Bagaimana, Paman?" Ia tak sabar.

"Jika itu satu-satunya jalan?" jawab Bagus Tuwi. "Tapi aku tak bisa berbahasa Belanda."

"Pasti akan ada yang menerjemahkannya," Bagus Tuwi menasihati. Mangkuningrat tak bisa mengambil keputusan.

Sebentar kemudian ia mengawasi Sugriwa dan Penjalu. Dan Sugriwa berkata lagi, "Memang hal itu belum pernah terjadi, Sri Prabu. Namun cepat atau lambat, VOC akan sampai kemari. Sejengkal demi sejengkal Nusantara jatuh ke tangan mereka. Karena itu kita harus memperlambat laju mereka dengan siasat berdamai.

Seperti Mataram."

"Pendapat yang jitu," Bagus Tuwi memuji. Sedang Penjalu memandang Sugriwa dengan penuh keheranan.

"Siapa yang akan mendampingi aku?" Mangkuningrat bertanya lagi.

"Hamba menyediakan diri. Hamba pernah belajar bahasa Belanda sedikit-sedikit."

Kemudian mereka memutuskan akan mengirimkan utusan rahasia ke Probolinggo. Dan Probolinggo akan mengadakan pembicaraan pendahuluan dengan perwakilan kompeni yang di Surabaya. Direncanakan mereka akan menempuh jalan darat dulu ke Probolinggo. Dan Sugriwa akan berlayar dengan kapalnya dan menjemput Baginda di Probolinggo. Hal ini untuk menghindari pengejaran yang mungkin dilakukan oleh laskar Wilis.

Setelah rencana matang mereka bubar.

Mangkuningrat kemudian dengan bangga menceritakan rencana itu pada Paramesywari. Bukan main kagetnya Paramesywari mendengar rencana itu. Apalagi ia akan diajak serta.

"Jadi menurut Kanda kita akan pergi ke Surabaya?" "Tidak ada jalan lain." "Kanda!" Paramesywari hampir berteriak. "Siapa yang menjejali kepala Kanda dengan pikiran sebusuk itu?

Kanda akan jadi seperti orang Mataram? Bertimbanglah seperti satria! Menjual bangsa ke tangan orang asing adalah sebusuk-busuknya manusia."

"Dewa Bathara! Perempuan yang berani terhadap suami wajib dihukum." Mangkuningrat mendidih. "Selayaknya kau jadi umpan budak-budak secara bergilir," ia berteriak.

Mendadak Paramesywari pun naik. Bertolak pinggang sehingga dadanya tertarik ke atas.

"Lakukan itu! Lakukan! Hayo lakukan padaku kalau kau ingin dicincang oleh algojo Mengwi. Ayo! Jangan diam!" tantang Ayu Chandra.

Bibir Mangkuningrat bergetar menahan marah dalam dadanya. Ia sadar, tak bisa berbuat semau-mau terhadap Paramesywari. Di belakang wanita ini ada kekuasaan Mengwi. Menghina putri Mengwi sama dengan menghina Mengwi sendiri. Ia tertunduk. Seperti ujung kumisnya yang jatuh ke bawah. Wajahnya muram. Seperti senja yang datang. Ia tinggalkan Paramesywari menuju ke taman. Ia hampiri seorang wanita berkulit kuning, berambut hitam lebat, bermata sipit. Berpakaian sutra, tidak mau telanjang dada seperti selir lainnya. Namun sebelum masuk taman ia mendapat laporan bahwa Martana beserta kawan-kawannya telah digantung tadi pagi. Kepala Mangkuningrat semakin berat. Para selir mengikuti langkahnya dari bilik masing-masing. Ia masuk ke bilik Manggar yang berpakaian sutra itu.

"Memang dia masih baru. Jangan dongkol," bisik seorang pada lainnya. "Tapi wanita itu tak punya kesuburan. Tak berani membuka susunya. Ia akan membawa malapetaka bagi Sri Prabu."

"Ssst, berani benar "

"Istri yang tak membuka buah dadanya berarti tak punya kesuburan. Ah bakal membawa sial suami.

Bintangnya bakal melorot," para selir saling membicarakan.

0oo0

Wong Agung Wilis tidak sempat memberi tahu Umbul Songo atau Andita waktu ia dijemput oleh utusan khusus Cokorda Agung Mengwi. Namun ia telah perintahkan istrinya untuk meninggalkan Lateng dan naik ke Raung. Firasat yang tidak baik sering muncul dalam benaknya. Namun Tantrini mengutus anaknya Sratdadi untuk menyampaikan apa yang dialami ayahnya itu. Dan Wilis pergi ke Bali hanya dengan beberapa pengawal saja.

Tanpa teman seorang pejabat negeri pun. Bahkan ketika anaknya, Mas Toyong dan Mas Berod akan ikut, dia melarangnya.

"Sekali lagi, bersiaplah di Raung! Aku sedang berhadapan dengan modal raksasa, yang punya kuasa di mana-mana."

Justru di saat Wilis pergi itu, Mangkuningrat mengumumkan pemecatan Wong Agung Wilis sebagai patih amangkubumi sang pratanda muka Blambangan dan menggantikannya dengan Bagus Surati, anak Bagus Tuwi, dan dibantu oleh anak Teposono, Teposono muda.

Semua orang menjadi terkejut. Di kedai-kedai, ladang- ladang, dan sawah-sawah, pendek kata di setiap sudut negeri Blambangan orang membicarakan perkara besar ini. Bukan hanya para kawula yang terkejut. Tapi juga semua narapraja dan laskar.

Semua pemimpin laskar darat dan laut berkumpul di rumah Umbul Songo, yang telah tua dan ditinggal mati oleh istrinya. Saat itu Mas Sratdadi, putra Wilis datang dan memberikan keterangan bahwa Wong Agung Wilis dipanggil menghadap Cokorda Dewa Agung dengan dijemput oleh utusan khusus yang terdiri dari lima belas orang. Berita ini cukup mendebarkan hati pemimpin- pemimpin laskar itu.

"Kami sudah menghitung bahwa Sri Prabu akan mengambil tindakan seperti ini pada akhirnya. Tapi kami tak menghitung campur tangan Mengwi ini," Andita menerangkan. "Tapi rupanya Wong Agung sendiri sudah siap."

"Tapi kita tidak boleh diam," Umbul Songo membuka suara. Suara yang gemetar karena ketuaan. "Persoalan yang dihadapi Wong Agung ini bukan persoalan pribadi. Persoalan kita bersama yang sedang menghadapi kerakusan orang-orang bermodal besar. Karena itu kita akan menunjukkan pada Mangkuningrat bahwa dengan tanpa Wong Agung sebenarnya Blambangan tanpa pemerintahan. Aku memerintahkan agar semua pengawalan baik di istana kerajaan maupun para menteri supaya ditarik. Dan kita tidak akan memenuhi setiap panggilan baik dari patih yang baru, maupun Sri Prabu sendiri."

Perintah yang disampaikan dengan suara gemetar itu tetap dipatuhi oleh semua perwira bawahannya. Tentu saja itu menciutkan hati Mangkuningrat. Ia menjadi panik kala istana tanpa pengawalan. Dan pada sidang para menteri yang pertama diadakan oleh Bagus Surati, tidak seorang pun menteri yang datang. Ini semua mendorong Mangkuningrat segera berangkat ke Surabaya dengan ditemani oleh Sugriwa, putra mahkota Mas Sutajiwa, Bagus Tuwi dan Teposono muda, serta beberapa orang lagi. Paramesywari marah bukan kepalang. Ia cari anaknya, tapi tiada.

Paramesywari mengumpat sejadi-jadinya. Anak-anaknya yang perempuan tak berani mendekat. Tahu ibunya sedang marah. Lebih baik mereka masuk tamansari mencari hiburan di antara bunga dan kupu.

Ayu Chandra bergesa ke tempat Wilis. Untuk memberi tahu kepergian Mangkuningrat. Tapi tiada. Istrinya juga tiada. Istana kosong-melompong. Ia meneruskan perjalanan ke Yistyani. Juga tiada. Hanya Andita yang ia temui. Kepada Andita ia tanyakan ke mana semua orang. Andita tahu ke mana Yistyani dan Tantrini. Tapi ia tak bisa menerangkan rahasia itu. Maka jawabnya, "Blambangan telah menjadi rawan sejak Wong Agung dipecat. Yistyani meninggalkan Blambangan terlebih dulu. Sedang Wong Agung sebenarnya dipanggil menghadap Mengwi sejak sebelum dipecat oleh Prabu Mangkuningrat. Tapi sampai sekarang belum lagi pulang."

"Mungkinkah terjadi peperangan?" "Peperangan bisa terjadi setiap saat."

"Hyang Dewa Ratu! Blambangan tak kunjung damai." "Memang hidup tak pernah damai." Andita tersenyum.

Paramesywari tercenung. Semua orang sudah siap. Tapi aku belum. Haruskah aku pulang ke Mengwi? Bila aku pulang apakah Kanda Cokorda Dewa Agung mau menerimaku? Kupikir aku sudah menjadi orang Blambangan. "Aku harus ikut pertahankan Blambangan," putus Ayu Chandra.

"Bagaimana jika yang menjadi musuh Prabu Mangkuningrat ?’’

"Aku menolak Belanda. Aku benci suamiku, Andita.

Akhirnya aku menyadari, aku telah menjadi orang Blambangan. Makan dan minum dari tanah ini. Aku bukan lagi orang Bali. Aku harus ikut pertahankan tanah ini."

"Bagaimana pendapat Yang Mulia tentang Wong Agung. Apakah beliau ditangkap?"

"Hyang Dewa Ratu! Andita, aku sama sekali tidak tahu. Aku buta berita tentang Mengwi. Wong Agung telah memutuskan jalur jalurku dengan Mengwi. Dan aku menyerah, aku mencintai Blambangan," suara Pramesywari. "Dan kau sendiri, Andita?"

"Ya." Andita memandang Paramesywari.

"Mari antarkan aku pulang, Andita. Istana sekarang tanpa pengawalan."

Hati Andita menjadi iba. Ia tidak bisa menolak. Ia ambil kudanya. Beriring mereka berkuda. Tidak begitu jauh.

Tapi keadaan kota Lateng lengang tanpa pemerintahan. Kedai, warung, banyak yang tutup. Juga tak kelihatan laskar jaga di gardunya. Selengang itu pula keadaan istana. Paramesywari melambaikan tangan agar Andita masuk. Seperti kena sihir ia mengikut bagaikan bayangan. Di depan sentong kuning Paramesywari menggandeng tangan Andita. Andita berdebar.

"Kita sama-sama sendiri. Sama-sama dalam ketegangan. Dan sama-sama dalam senja usia. Ah... kenapa kita terlalu tegang memikirkan hidup ini? Betapa indahnya bianglala senja di ufuk barat. Mari, Andita kita nikmati bersama dikala tiap orang meninggalkan kita.

Mari "

"Ampun, Yang Mulia, ini pelanggaran "

"Tiada lagi peraturan di Blambangan ini. Semua sudah menginjak-injaknya. Kau selama ini setia pada Yistyani yang jelita itu. Tapi kau tidak sadar bahwa sebelum denganmu dia sudah tidur dengan Kuwara Yana dan Mangkuningrat. Juga aku setia selama ini, tapi kesetiaanku dicampakkan bagai sampah. Apa salahnya jika sekarang kau dengari aku, seperti suamiku dan istrimu. Andita, mari jangan ragu."

Tanpa sadar mereka sudah sampai di dekat pembaringan. Mereka berhenti. Saling pandang. Dan Andita tak dapat membantah bahwa wajah Paramesywari memang menawan.

"Andita " Paramesywari menjatuhkan kepalanya ke

dada Andita yang bidang. Luluh sudah keanggunan yang dikagumi setiap orang selama ini. Hancur karena keputusasaan. Dan melarikannya ke atas pembaringan dengan seorang yang bukan suaminya.

Tangan Andita membopongnya ke pembaringan. Dua pasang mata beradu. Saling membutuhkan. Walau tidak saling mencinta. Cuma untuk mengusir ketegangan masing-masing.

0oo0

Perjalanan Mangkuningrat melintasi perbatasan dipenuhi oleh perasaan tegang. Takut dikejar oleh laskar Wilis. Atau oleh laskar Umbul Songo yang terkenal ganas. Karena itu mereka lebih sering menyusuri daerah- daerah yang sulit. Dan itu amat menyusahkan hati Mangkuningrat yang sama sekali tidak pernah masuk ke hutan belukar. Duri rotan yang berulang kali melukai kulitnya membuatnya hampir-hampir putus asa.

Belum lagi nyamuk hutan yang tak mau ber-damai, terus mengejar ke mana mereka pergi.-Apalagi jika mereka berhenti atau istirahat. Kendati begitu Teposono muda tetap menghibur hatinya. Hari kelima mereka sudah mendekati Kadipaten Probolinggo. Kadipaten yang dulu adalah wilayah Blambangan. Sekarang, telah menjadi jajahan kompeni.

Meskipun begitu Adipati Jayanegara, segera menyambut rombongan Blambangan itu di batas kota. Apalagi adipati itu mendengar bahwa Mangkuningrat berkuda. Mangkuningrat senang bahwa masih ada adipati yang menghargainya. Tidak lama ia bermalam di Probolinggo. Karena ia ingin segera sampai di Batavia.

Adipati Jayanegara mengatur pertemuan Mangkuningrat dengan perwakilan VOC di Surabaya. Setelah itu Jayanegara masih pula berbaik hati dengan mengatur perjalanan Mangkuningrat ke Batavia.

Namun demikian waktu di Batavia Mangkuningrat mengalami kekecewaan yang luar biasa. Kedatangannya tidak disambut dengan baik oleh Gubernur Jendral Van der Para. Bahkan dia tidak ditemui sendiri. Dia dihadapkan pada Raad Van India (Dewan Hindia) dan dia tidak disediakan tempat untuk bermalam. Dia juga disuruh menunggu dewan itu bersidang terlebih dulu.

Pembantu gubernur jenderal VOC yang terdiri dari dua belas direktur, berunding dengan Dewan Hindia. Mereka membicarakan soal permintaan, bantuan Mangkuningrat. Dan Mangkuningrat akan mengakui VOC sebagai yang dipertuan dan sanggup mempersembahkan upeti. Dewan Hindia mengingatkan pada Gubernur Jenderal bahwa menurut traktat Mataram, daerah-daerah timur mulai Pasuruan ke timur adalah milik Belanda. Maka kita harus juga mengambil kerajaan Blambangan itu bagi VOC. Tapi pada waktu itu Van der Para menjawab, "Kita tidak akan menerima apa-apa dari mereka. Malah akan menghamburkan biaya yang tidak perlu, Tuan-Tuan."

"Tapi bagaimana jika nanti datang Inggris atau Portugis, mengambil daerah itu?" tanya salah seorang anggota Dewan.

"Ah... biarkan mereka pulang dan bertempur satu dengan lainnya. Mereka akan menjadi lemah. Dan saat itu kita datang. Nah, kita cari mudahnya saja." Gubernur Jenderal itu terbahak-bahak.

Semua anggota Dewan pada akhirnya setuju dengan sang Gubernur Jenderal. Kemudian salah seorang anggota Dewan menyampaikan jawaban pada Mangkuningrat bahwa permohonannya ditolak oleh Gubernur Jenderal.

"Oh... apakah beliau tidak berkenan menemui kami?" tanya Mangkuningrat yang kemudian diterjemahkan oleh Sugriwa.

"E... Tuan coba nanti sore. Sekarang beliau tak punya waktu."

Dan Mangkuningrat menunggu lagi dengan hati tak menentu. Sore harinya ia dan Sugriwa tidak dihadapkan di rumah Gubernur Jenderal. Tapi diajak ke tamansari yang luas dan indah. Beraneka bunga tumbuh di sana. Apa yang dia lihat di sana?

Sang Gubernur Jenderal sedang berjalan-jalan dalam taman itu, menikmati segarnya udara senja di Batavia dengan diiringi oleh para selirnya. Dari jauh sang Gubernur Jenderal berteriak pada pengawal yang mengantarkan Mangkuningrat dalam bahasa Belanda yang tidak dimengerti oleh Mangkuningrat. Pengawal itu terhentak. Dengan wajah ketakutan ia mengajak Mangkuningrat kembali. Beliau tidak berkenan menerima tamu. Karena beliau ingin bersantai bersama para selir.

Mangkuningrat benar-benar tak tahan atas perlakuan itu. Maka ia segera mengajak Sugriwa untuk kembali ke Probolinggo. Lebih menyakitkan, waktu rombongan Blambangan yang telanjang dada dan kaki itu keluar perbentengan, menjadi tontonan sinyo-sinyo dan noni- noni. Seolah menonton sesuatu yang lucu. Juga wanita- wanita bule yang menonton mereka pada cekikikan tanpa dimengerti maknanya oleh Mangkuningrat. Sepanjang perjalanan pulang ia mengumpat. Pantas setiap orang benci Belanda, pikirnya.

Mereka tak mendarat di Sumberwangi. Tapi kembali mendarat di Probolinggo. Adipati Jayanegara menyediakan kuda dan perbekalan untuk perjalanan pulang ke Blambangan setelah satu bulan Mangkuningrat menjadi tamu Adipati Jayanegara.

Kehadiran Mangkuningrat kembali di istana membuat Paramesywari sebal. Maka ia meminta Umbul Songo dan Andita untuk mengirimkan berita ke Mengwi.

Berbeda dengan perjalanan Mangkuningrat ke Batavia, Agung Wilis langsung dihadapkan pada Cokorda Dewa Agung dan Dewa Rake, di sebuah puri di tengah-tengah keraton Mengwi. Di sana sudah pula duduk menteri muka Mengwi, juga dharmadhjaksa. Wilis menyadari, ia menghadapi sebuah pengadilan.

Pengawalnya dilarang ikut. Para pengawal langsung ditempatkan di luar tembok keraton dan tidak bisa lagi berhubungan dengan Wilis.

"Selamat, Yang Mulia. Kami sudah menunggu." Cokorda memulai. Dan Wilis segera menghaturkan sembah.

"Blambangan adalah bagian dari Mengwi. Karena itu hal-hal penting di Blambangan harus dilaporkan pada Mengwi. Tapi tidak demikian yang terjadi. Yang Mulia telah menggantung beberapa pedagang dengan tanpa laporan sebelum dan sesudahnya."

Wilis tidak terkejut atas pertanyaan itu. Ia sudah menduga Cheng Bok akan menyogok Mengwi. Untung Martana sudah digantung. Jika tidak tentu ia akan lepas sambil tertawa-tawa.

"Ampun, Yang Mulia. Hamba sudah datang untuk melapor sebelum menindak mereka. Tapi pada waktu itu Yang Mulia sedang tidak ada di tempat karena beranjangkarya. Yang Mulia Patih juga tidak ada. Karena itu hamba melapor pada menteri muka dan ratu anggabaya Mengwi. Hamba menganggap itu cukup karena beliau berjanji akan menyampaikan persoalan ini pada Sri Maha Prabu. Dan seandainya ada ketidakberkenanan Mengwi pastilah Sri Maha Prabu mengirim utusannya untuk memberi tahu kami."

"Yang Mulia sengaja memutuskan hubungan kami dengan Ayu Chandra dengan menangkapi telik kami. Bukankah itu awal pembangkangan?"

"Kejadian itu sudah lama sekali. Dan Paramesywari sendiri tak pernah menyesalinya. Lagi pula apa perlunya Blambangan dimata-matai? Jika kami berniat jelek maka kami sudah akan ambil kesempatan pada pemberontakan Buleleng. Tapi kami membantu Mengwi." "Dengan pamrih untuk membebaskan Blambangan dari upeti," Dewa Rake yang menyahut kini. Wilis memandangnya dengan berani. "Bukankah itu janji Yang Mulia sendiri pada Yang Mulia Umbul Songo? Kami cuma memburu janji itu. Siapa yang tidak ingin bebas dari upeti? Pemberontakan dilakukan oleh suatu negeri jajahan ke negeri yang menjajah, tak lain hanya ingin bebas dari upeti. Tapi kami menempuhnya dengan cara bersahabat."

"Tapi Blambangan membangun laskarnya dengan diam-diam. Padahal ada larangan bagi Blambangan untuk membangun laskar baru," menteri muka yang menuduh kini.

"Keamanan suatu negeri tidak bisa dipertahankan tanpa kekuatan laskar. Kami membangun sekadar untuk mempertahankan diri. Tidak mungkin yang tua tidak diganti, yang mati tidak pula ditukar dengan yang masih segar."

Semua terdiam. Wilis tahu ia sedang dicari-cari kesalahannya. Kembali pada soal Martana ditanyakan kenapa tanah yang diperolehnya dengan sah dari hasil kerjanya disita dan dikembalikan pada petani? Sang Prabu berusaha menyudutkan Wilis. Berarti sebagai pemerintah ia tidak memberi ketentraman pada penduduknya.

"Hyang Bathara. Martana mendapatkan tanah-tanah itu dengan menipu petani-petani Sumberwangi. Ia telah meminjamkan uang dengan riba tinggi. Dan itu menyalahi undang-undang di negeri kami. Karena ia menipu, kami merampas dan mengembalikan pada pemiliknya."

"Bagaimana, Dharmadhjaksa?" tanya Dewa Agung. Dharmadhjaksa menjawab bahwa ia belum melihat kesalahan Wilis dengan berat. Tidak ada kesalahan besar yang bisa merugikan Mengwi. "Baik. Tapi Yang Mulia belum diperkenankan pulang."

Dharmadhjaksa menyampirkan sutra kuning di pundak Wilis sebagai tanda bahwa ia seorang pejabat tinggi yang sedang menjalani hukuman.

"Ampun, Yang Mulia! Apa salah hamba?"

Semua tak menjawab kecuali Dewa Agung yang bertitah lagi

"Yang Mulia akan menempati sebuah puri indah di dalam keraton ini. Yang Mulia kami beri kesempatan untuk merenungkan semua yang telah Yang Mulia kerjakan. Selamat, Yang Mulia."

Wilis digiring ke suatu puri kecil yang halamannya penuh ditumbuhi bunga-bunga. Wilis hanya boleh bergerak seluas halaman puri itu. Selebihnya dilarang. Wilis tahu ia tidak dituduh apa-apa. Tapi ia sedang berhadapan dengan modal.

Dan Wong Agung Wilis tetap mendapat pelayanan dari para dayang yang terpilih. Tapi Wilis juga tahu benar, di luar pagar batu berukir telah berjajar barisan pengawal yang setiap saat siap mengirimkannya pada sebuah akhir. Wilis sadar, ia sudah memasuki sebuah awal dari keberakhir-an. Impian telah memasuki senja.

Sesekali memang ia dipanggil untuk menghadap Sri Prabu, atau harus menjawab pertanyaan dalam pemeriksaan lanjutan. Ia tidak menyesali keadaannya. Walau rasanya sudah berakhir semua dan segalanya. Sebab ia merasa telah meninggalkan apa yang terbaik buat Blambangan. Wilis dijauhkan dari segala dan semua. Juga dari berita. Itu yang membuatnya kadang-kadang" merasa seperti seorang dungu. Kadang ingin marah. Tapi tentu ia harus menahan hatinya. Ia tidak bisa marah pada para dayang yang melayaninya. Sebab ia tahu bahwa mereka bukan sembarang dayang.

Berbulan Wilis tidak tahu berita. Apa akal? Ketika Made Darmi mendapat giliran melayaninya maka ia bertanya,

"Made, apa kau bersedia menemani aku?" "Sebenarnyalah itu tugas kami, Yang Mulia," jawab

dayang itu sambil tersenyum.

"Kau tahu sudah lama aku terpisah dari keluargaku.

Dari istriku?"

"Disediakan kami. Tapi Yang Mulia mendiamkan saja." "Baiklah, Made. Aku ingin kau menemani aku malam

ini."

"Senang sekali."

Malam itulah Wong Agung Wilis mendengar berita dari mulut Made Darmi, bahwa Mangkuningrat bersama delapan puluh orang lainnya termasuk Bagus Tuwi dan Mas Sutajiwa diperiksa di Mengwi dan dijatuhi hukuman mati. Mereka dituduh berkhianat karena telah pergi ke Batavia untuk bersahabat dengan VOC.

Wilis sempat menitikkan air mata. Kanda, kau mati bersama kedunguanmu. Tapi cuma sekilas ia bersedih. Karena Made mengatakan lagi, "Mungkin Yang Mulia sebentar lagi mendapat tugas baru. Karena Lombok dan Buleleng berontak lagi. Hamba dengar Yang Mulia akan dikirim ke Lombok." Wong Agung Wilis tersenyum. Menutupi semua kegelisahan hatinya. Dan tak urung malam itu ia harus bersandiwara.

Ternyata apa yang dikatakan Made Darmi menjadi kenyataan. Beberapa hari kemudian Wong Agung dipanggil menghadap. Selendang sutra kuning yang selama ini disampirkan di bahunya dilepas. Kepadanya diberi tugas untuk memimpin penumpasan pemberontakan Lombok. Dan Wong Agung Wilis jadi benci pada diri sendiri karena ia hanya bisa berhamba- hamba saja sekarang.

"Malam ini Yang Mulia bisa menikmati yang terbaik di seluruh Mengwi," Patih Dewa Rake berkata lagi. "Kami akan segera menghadap Sri Prabu. Agar beliau mengirim anugerah itu lebih awal."

"Hamba, Yang Mulia," lagi Wilis berhamba.

Baru sebentar ia memasuki puri, seorang putri jelita masuk dengan tanpa kawalan siapa pun.

"Jangan terkejut. Hamba adalah Gusti Ayu Ratih, adik patih Mengwi yang dianugerahkan pada Yang Mulia."

"Jagat Bathara!" Wilis menyebut. Ia tahu makna ucapan itu. Putri ini memang cantik. Tapi ini berarti ia dikirim ke Lombok untuk mati.

"Apakah setiap panglima yang dikirim ke Lombok gugur?" tanya Wilis.

Ratih memeluk leher Wilis seraya bertanya, "Yang Mulia takut mati?"

"Tidak! Mati adalah kewajiban satria. Tapi kali ini aku ingin menang. Bukan ingin mati."

Wanita itu membelai kumis Wilis. Dan... "Semua panglima yang ke sana pasti mati." Lirih sekali suaranya. Kemudian ia duduk di pangkuan Wilis. Bau harum menusuk hidung Wilis.

"Tapi aku ingin menang," Wilis berbisik.

"Jika menang maka Blambangan adalah kewajiban Yang Mulia dan... hamba akan berada di sisi Yang Mulia untuk selama-lamanya."

0oo0

Asap dupa mengepul di setiap pura Mengwi, bahkan juga seluruh Pulau Bali. Bunga-bunga bertebaran bukan hanya di pura-pura. Tapi juga di perempatan-perempatan jalan. Dan di mana saja orang bisa bersua dengan Dewa Pencipta mereka.

Doa dan mantra tidak henti-henti dibunyikan oleh setiap mulut brahmana. Kendatipun begitu, wabah tidak pernah berhenti.

Bangkai yang berserakan di medan perang Bali bagian timur belum dibakar. Karena musuh baru saja mundur dari sana ke Pulau Lombok. Wong Agung diperintahkan mengejar terus.

Binatang dan manusia mati bersama dalam perang. Dan juga mati dalam keadaan yang sama. Binatang pun merintih terkena ujung tombak. Mereka pun punya perasaan sama dengan manusia. Sakit.

Lalat merajai udara Mengwi. Hinggap di mana saja dan kapan saja. Juga pindah dari satu ke lain tempat. Lalat memang kecil, namun lebih ganas daripada pedang yang tajam. Doa para pandita dan brahmana tidak mampu mengusir wabah yang berjangkit dan membunuh banyak orang Mengwi. Bahkan tabib-tabib ahli pun tidak punya kemampuan. Sore sakit, esok mati, dan sebaliknya.

Baginda sangat sedih. Ia sudah menanyakan pada tabib istana bagaimana cara mengatasi wabah ini, sang tabib tidak bisa memberikan jawaban. Sedang menurut pandita istana, Bedande Ida

Bagus Golah, hal ini disebabkan arwah Mangkuningrat bersama pengikutnya. Jawaban yang sebenarnya tidak ia pikir panjang. Jawaban dari seorang yang telah kehilangan akal dan takut dikatakan sebagai brahmana pandir. Takut disalahkan dan diberhentikan sebagai pandita istana, maka paling gampang adalah menyalahkan Mangkuningrat yang sudah mati.

Esok harinya sang Prabu mengambil kepu-tusan, untuk mengumumkan pada kaum brahmana dan seluruh kawula Bali, bahwa wabah ini disebabkan oleh mengamuknya arwah Mangkuningrat. Pada semua orang diharapkan berdoa menolak arwah mereka itu.

Akibatnya mereka yang telah kehilangan keluarganya karena wabah itu menjadi marah. Kemarahan itu kemudian menjalar pada setiap orang Bali. Bahkan laskar yang kehilangan keluarganya karena wabah marah tanpa kendali. Akibatnya, tanpa setahu Cokorda Dewa Agung, Agung Keta, Panglima laskar darat, mengirimkan pasukannya gelombang demi gelombang untuk menghukum orang Blambangan.

Sementara itu Ni Ayu Chandra, terkejut bukan kepalang. Laporan menjelaskan laskar Bali datang gelombang demi gelombang. Dalam hati Ayu Chandra heran. Bukankah ia telah menyerahkan Mangkuningrat beserta anak buahnya untuk dihukum? Kenapa mereka masih datang dengan pasukan yang bersenjata lengkap? Umbul Songo segera memerintahkan laskar Blambangan siap. Bende segera dibunyikan. Tanda adanya perang. Kepanikan segera terjadi. Bukan hanya di Lateng. Tapi juga di beberapa kota termasuk Sumberwangi. Para wanita sibuk mencari anaknya yang sedang bermain, kemudian dibawa berlari. Penghubung dari kota ke kota lain seluruh wilayah Blambangan bertebaran memberitahu penduduk akan datangnya musuh. Kedai-kedai segera tutup setelah mendengar pengumuman Umbul Songo supaya mengungsi. Para selir dan putri-putri mangkuningrat pun pergi mengungsi. Juga Pangeran Mas Alit. Tapi Ayu Chandra enggan mengungsi. Ia mengambil senjatanya dan maju. Tapi Andita segera mendekatinya. Ia menasihatkan agar Paramesywari bertahan di Srawet bersama Surendra.

"Andita, kita sudah masuk pada masa akhir. Kenapa takut?"

"Tidak boleh semua punah. Itu sebabnya Yistyani dan Tantrini pergi. Bukan takut, Yang Mulia. Jika kita kalah sekarang, peperangan harus ada yang melanjutkan.

Kalah dalam satu pertempuran bukan berarti peperangan harus selesai. Perang akan berjalan terus."

Paramesywari membenarkan. Ah, dalam keadaan terjepit ternyata Andita masih memiliki kecerdasan. Dengan iringan seorang pengawal khusus oleh Andita ia menuju ke pertahanan Surendra dan Gandewa. Untuk kemudian ia mengikuti jalannya pertempuran hanya dari laporan-laporan orang Andita.

Sempat ia mengutus beberapa orang ke daerah Malang di mana keturunan Surapati; Melayu Kesuma dan Wiranegara II bertahan. Ia ingin bekerja sama dan mendapat bantuan dalam keadaan terjepit seperti ini. Namun peperangan kian menghebat. Utusan itu belum kembali. Kabar pun tiada.

Siang dan malam tidak ada hentinya. Melihat temannya mati oleh peluru Blambangan, laskar Bali makin marah. Ternyata korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Umbul Songo yang tua itu terus memberikan semangat pada laskarnya untuk maju dan menembak. "Jangan mati dengan tanpa menyadari datangnya kematian ini. Mari kita songsong dengan penuh keberanian," Umbul Songo terus bicara sambil terus menembak. Satu-satu orang mati dari tangannya.

Laporan gugurnya Haryo Dento di pertempuran laut membuat Umbul Songo berhenti menembak buat sesaat. Sekali lagi ia ingat. Senja telah tiba. Sebentar akan berganti malam. Haryo Dento telah memasuki malam terlebih dulu.

Tembakan meriam makin mengguntur. Yang dari Blambangan ataupun Bali. Sebentar-sebentar kilat membelah awan. Gerimis mulai turun untuk mengawali hadirnya hujan. Sesaat ia ingat Baswi. Andaikata tak dibatasi sempitnya waktu, mungkin ia akan meminta Baswi turun bersama laskarnya. Ah... tidak! Ia berbantah sendiri. Tak perlu berbagi derita dengan anak angkatnya. Biarlah ia damai di atas gunung yang biru.

Tembakan tidak juga berhenti meskipun hujan telah menjadi lebat. Asap masih belum bersih di udara Blambangan. Sawah, ladang, juga musnah oleh api cetbang. Umbul Songo kehilangan sabar. Ia menyerbu semakin, maju mendekati suara tembakan meriam. Tak tahan melihat Blambangan punah. Peluru telah habis. Juga anak panah. Ia cabut tombaknya. Tapi sebuah peluru merobek kulitnya. Langkahnya terhenti, tangannya memegang dada yang robek. Seorang laskar Bali mendekat.

"Panglima Umbul Songo?"

Mata Umbul Songo semakin nanar. Tapi ia tidak lupa itu suara Ngurah Tantra. Namun ia tidak lagi mampu berkata-kata. Hanya karena ia seorang panglima, ia mampu mempertahankan dirinya untuk tetap berdiri.

Ngurah semakin mendekat di sela suara tembakan.

"Aku yang memimpin mereka, panglima ampuni aku.

Kita bersahabat. Tapi dalam peperangan tidak ada sahabat."

Umbul Songo merasa semakin perih mendengar itu.

Air hujan membuat lukanya semakin sakit. Dan sahabatnya telah dekat benar. Suaranya lebih menyakitkan dari pelor yang bersarang dalam dadanya.

"Blambangan telah jadi pengkhianat. Mengundang VOC. Karena itu aku datang untuk membunuh semua pengkhianat!"

Drubiksa! Umbul Songo mengumpat dalam hati. Ia kumpulkan sisa tenaga yang ada. Dan dengan satu gerakan kilat yang tidak terduga sama sekali oleh Ngurah, Umbul Songo menghunjamkan tombak kesayangannya ke jantung Ngurah.

"Drubiksa!!" Ngurah hanya sempat mengumpat. Sesaat kemudian rebah memegang tangkai tombak Umbul Songo yang tertancap di dadanya.

"Kita akan sama-sama menutup mulut untuk selama- lamanya." Umbul Songo sempat tersenyum. Namun kemudian tertelungkup memeluk bumi.

Berita kematian Umbul Songo sampai ke telinga Andita. Ia menjadi amat geram. "Jangan patah semangat!" katanya. "Kita pertahankan setiap jengkal tanah kelahiran kita!"

"Menyerah berarti mati! Maju lebih baik!" Andita terus bicara untuk memberi semangat.

Satu demi satu pahlawan Blambangan gugur. Wituna menyusul Umbul Songo. Tersungkur mencium bumi selamanya. Singamaya juga. Tanpa mampu mengucap selamat berpisah buat anak-istrinya.

"Mereka tidak lagi kenal damai." Andita kemudian memerintahkan semua orang berpakaian putih.

Agung Keta marah ketika sadar mendapat perlawanan dari orang Blambangan. Apalagi setelah berhadapan dengan pasukan yang berpakaian putih. Mereka siap mati. Dan menganggap ini perang puputan. Di satu pihak ia melihat laskarnya sendiri gugur dengan jumlah ribuan. Dihantam meriam, cetbang, dan pelor. Lebih membuatnya mendidih adalah kematian Ngurah di tangan orang yang sudah renta.

Dua hari kemudian Ayu Chandra dilapori bahwa Andita telah gugur dengan pakaian putih. Hatinya tersibak. Blambangan kehabisan pimpinan. Istana dijarah-rayah oleh orang-orang Bali. Diratakan dengan tanah. Juga sawah dan ladang yang tersisa dibakar tanpa ampun. Cuma hujan yang menolong sebagian sawah yang tersisa.

Sebagian orang yang selamat meninggalkan peperangan dan mundur ke Puger. Yang lebih malang adalah nasib wanita yang masih tersisa. Mau tak mau harus menjadi budak nafsu laskar yang menang.

"Harus dicegah!" Ayu Chandra berkata. "Tidak bisa, Yang Mulia. Mereka sudah menjadi seperti binatang," Surendra menerangkan.

"Aku yang akan mencegahnya."

"Berbahaya, Yang Mulia. Laskar kita kalah jumlahnya." "Jika benar Agung Keta pemimpin mereka, maka aku

sendiri yang akan mengusir mereka. Jika aku gagal, menyingkirlah."

"Hamba akan kawal..."

"Jangan, Surendra! Tak guna. Aku tak pernah berbuat sesuatu untuk Blambangan. Aku takkan balik ke Bali. Aku akan bangunkan kembali Blambangan."

Dengan tanpa dapat dicegah Ayu Chandra naik ke punggung kudanya. Di bawah sanggurdi terselip bedil dan keris. Gagah. Cantik. Ah...

sebenarnyalah ia wanita mengagumkan. Surendra hanya sempat mengaguminya sekilas.

Laskar Bali segera menyongsong Ayu Chandra. "Mana pemimpin kalian? Pergi! Jangan halangi aku!"

Ayu Chandra membentak.

Pemimpin regu maju. Ia terbahak-bahak melihat wanita menyeruak ke tengah peperangan dengan tanpa teman.

"Mencari aku? Hah... aha... haha... Kau wanita cantik, mau jadi istriku? Bekas istri siapa kau seperti satria?"

"Drubiksa! Mana Agung Keta? Kau lihat pending ini?

Aku putri raja Mengwi. Kalian wajib dihukum mati."

Pemimpin regu itu menjatuhkan diri dengan badan gemetar. "Ampun, Yang Mulia."

"Cepat beri tahu Agung Keta, aku datang."

Pemimpin regu itu segera berlari mencari Agung Keta.

Juga yang lain-lain. Sedang Kuda Ayu Chandra maju terus melangkahi bangkai demi bangkai. Manusia dan binatang. Laki dan perempuan. Bau busuk mulai tercium dari mayat Umbul Songo. Ayu Chandra melelehkan air mata yang segera dihapusnya sendiri. Tidak!! Aku tidak boleh menangis.

Mayat Andita juga ia temukan dekat reruntuhan istana.

Dengan pakaian serba putih. Ah... Andita siap mati. Ia telah pertahankan kejayaan terakhir yang dimiliki Blambangan. Tapi tak mampu. Tak urung Ayu Chandra mengeluarkan air mata lagi. Tapi dihapusnya kembali.

Keindahan telah tiada. Tamansari juga telah tiada. Ukir-ukiran cerita Dewi Tari pun punah. Dewata telah mengirimkan Rama untuk menghukum Rahwana. Bali juga telah menghancurkan Blambangan walau sudah membunuh Mangkuningrat. Lebih kejam dari cerita Ramayana.

Agung Keta mendatangi Ayu Chandra yang sedang memandangi reruntuhan istana. Hatinya berdesis.

Sementara ia berdiri di belakang Ayu Chandra. Sampai beberapa saat hatinya berdesir. Namun kemudian menyapa,

"Ampun, Yang Mulia, hamba menghadap."

"Siapa yang bertanggung jawab, Keta?" Ayu Chandra menggunakan sisa kewibawaannya.

"Hamba, Yang Mulia. Atas perkenan Sri Maha Prabu." "Kau tidak bohong? Seorang raja yang bijak tidak akan

memusnahkan puluhan ribu kawula yang tidak berdosa. Aku tidak percaya Yang Maha Mulya Cokorda Dewa Agung mempunyai keputusan seperti ini. Ini soal nyawa, Keta. Soal kehidupan. Kau tidak takut pada hukum karma yang bakal menimpa dirimu? Lihat! Mereka mampus seperti anjing kurap. Mereka tidak berdosa! Juga anak- anak dan wanita. Kalian lebih jahat lagi dengan

menjarah-rayah apa yang menjadi milikku." "Ampun, Yang Mulia."

"Baik. Tapi kau harus bangunkan kembali istana milikku. Aku tidak mau kedinginan. Setelah itu kau harus segera meninggalkan Blambangan. Kalau tidak, ingat Dewata tidak akan mengampunimu. Aku akan menuntutnya di hadapan Yang Maha Mulia."

"Ampun... hamba akan kerjakan semua titah Yang Mulia."

"Aku sudah menyerahkan Mangkuningrat untuk dibunuh. Kenapa kalian masih menuntut kawula Blambangan yang tidak berdosa itu? Keta, kau harus segera perintahkan laskarmu untuk membakar mayat- mayat ini, atau melemparkannya di laut biar dimakan oleh ikan-ikan raksasa."

"Hamba, Yang Mulia."

Berita lumatnya Blambangan telah dilaporkan pada Cokorda Dewa Agung di istana Mengwi. Suasana sunyi di saat penghadapan agung diadakan secara mendadak. Semua punggawa dan juga wakil-wakil masyarakat hadir. Termasuk Abubakar (Sesudah tahun 1723 Surabaya kalah maka mereka banyak mengungsi termasuk ke Bali. Memang orang-orang Bali selalu memberi tempat pada pelawan Belanda. Dan orang-orang Surabaya ini umumnya muslim. Mereka mengangkat pimpinan yang biasanya diundang ke istana untuk dimintai pendapat demi kemajuan kerajaan) sebagai pemimpin orang muslim, yang banyak tinggal di kota-kota.

Angin berlalu meniup api kehidupan. Sehingga api yang menyala selama raja berkuasa itu bergoyang seperti perawan menari. Patih Dewa Rake tertunduk memandang kalacakra hitam yang menghias permadani merah di bawah kakinya. Sedang Sri Prabu mengamati setiap yang hadir. Semua mendung. Ia rasakan angin yang masuk menyapu semua-mua itu membawa bau bangkai dari laut. Bangkai orang Blambangan. Bangkai adik iparnya sendiri.

Tiada seorang pun memandang wajahnya.

Keheningan merajai suasana. Sampai pandita istana, Bedande Ida Bagus Golah, membunyikan giring-giring tanda pertemuan dimulai. Sri Prabu sadar dari semua lamunannya. Ia kebaskan semua sesal. Ia tegakkan tubuhnya yang terkulai lemah di singgasana.

Dewa Rake mendongak pelan ketika diminta laporannya oleh Sri Prabu. Ujung kumisnya tertunduk seperti basah kehujanan. Ia memang amat sedih dengan lumatnya Blambangan. Ia selalu teringat pada adindanya Ayu Chandra. Maka kemudian ia melaporkan bahwa ia telah menangkap dan memecat Agung Keta dari jabatannya sebagai menteri muka Mengwi. Di samping itu ia mengusulkan agar Mengwi menangani Blambangan yang tanpa pimpinan itu. Dan ia mengusulkan agar Wong Agung Wilis dikirim kembali ke Blambangan. Dengan alasan ia sangat dicintai kawula Blambangan dan ia seorang bijaksana.

Hening beberapa bentar setelah laporan patih itu.

Kemudian Sri Prabu menebar pandang. Juga menoleh pada tokoh Islam Tuan Abubakar dan pada Bedande Golah. Bahkan Sri Prabu segera bertanya karena mereka semua diam, "Bagaimana, Yang Suci?"

Wilis? ulang Golah dalam hati. Hati orang itu berdesir.

Tapi kemudian jawabnya, "Wilis memang seorang perkasa. Tapi masih ingatkah kita beberapa tahun lalu? Berapa kepala berjatuhan di tangannya. Apakah ia brahmana, satria, bahkan saudagar..."

"Baiklah," Sri Prabu memotong. "Jika memang Wilis dianggap terlalu keras maka aku minta Dinda Patih menunjuk lainnya saja."

Dewa Rake mengalah. Semua orang takut pada brahmana. Ia mengakui keberanian Wilis yang berani membunuh pandita istana.

Kemudian Dewa Rake memutuskan mengirimkan Gusti Murah Kabakaba dan Kuthabedhah untuk membantu Paramesywari Blambangan membangun kembali Blambangan. Mereka akan dibantu oleh tujuh puluh dua mantri yang akan ditunjuk dalam waktu dekat.

Keputusan ini disetujui oleh semuanya termasuk Golah. Sri Prabu minta pada patih supaya itu segera diberitahukan pada Ayu Chandra dan pelantikannya supaya segera dipersiapkan.

Setelah pelantikannya Kuthabedhah dan Gusti Murah Kabakaba berangkat ke Blambangan bersama tujuh puluh dua mantri bawahannya. Sesampainya di Blambangan ia melapor dan menguraikan tugas yang ia pikul pada Ayu Chandra.

"Apa yang kalian harapkan lagi dari Blambangan yang remuk ini?" Ayu Chandra menunjukkan kejengkelannya.

"Kesetiaan Blambangan pada Mengwi," jawab Murah. "Kami tidak bisa membangun dengan mempersembahkan upeti."

"Setidaknya kami menjaga agar Blambangan tidak menjadi pijakan VOC untuk menyerang Bali."

"Baik. Jika benar demikian aku tidak keberatan."

Mereka meninggalkan istana Ayu Chandra yang tidak layak lagi disebut istana. Kemudian mereka mendirikan sendiri perumahan-perumahan untuk kedua orang pembesar Mengwi dan tujuh puluh dua orang anak buahnya. Pertama kali mereka membayar orang-orang Blambangan dalam membangun tempat mereka. Tempat itu lebih bagus dari istana Ayu Chandra yang hidup dalam kemiskinan. Langkah itu tentu menyebalkan hati Ayu Chandra. Tapi ia memang tidak berkutik terhadap tingkah orang Bali tersebut.

Langkah kedua mengejutkan Ayu Chandra. Mereka telah memanggil Mas Anom dan Mas Weka, ipar dari Mas Alit ke rumah mereka. Kedua orang itu nampak kurus dan pucat. Kumisnya tak terawat. Keduanya dijamu makan sekenyangnya. Gusti Murah dan Kuthabedhah memamerkan kekayaan mereka. Karena itu mereka mengharap keduanya mau bekerja sama dengan Gusti Murah. Dan tawaran itu langsung diterima oleh Mas Anom yang memang tidak tahan lagi hidup susah.

"Apa yang harus kami kerjakan?" "Menghubungi para bekel dan buyut untuk setia

kembali pada kami." "Akan kami kerjakan."

Begitulah selanjutnya Mas Anom dan Mas Weka terbebas dari kelaparan. Ia kemudian sibuk menghubungi para bekel dan buyut untuk tunduk kembali pada pemerintahan Mengwi. Diikuti oleh penempatan para mantri yang tujuh puluh dua orang itu ke desa-desa di hampir setiap sudut Blambangan.

Langkah berikut lebih mengejutkan lagi. Mas Anom dan Weka mulai mendatangi orang-orang yang masih dianggap kaya untuk dapat membantu pembiayaan para mantri dan para pejabat Bali yang ada di Blambangan.

Sekadarnya. Yang tidak memberatkan. Dan karena takut, mereka tidak bisa menolak. Untuk itu, Mas Weka dan Mas Anom akan diangkat menjadi kepala punggawa.

Keenakan-keenakan yang diterima oleh kedua orang itu membuat mereka mau mengerjakan perintah apa saja yang dikeluarkan Kuthabedhah maupun Gusti Murah.

Semakin dekat, semakin terikat. Karena kerja merekalah tujuh puluh dua mantri bisa ditempatkan tersebar di seluruh Blambangan, dan tentu itu menjadi beban bagi bekel (pimpinan pedukuhan) dan buyut di daerah-daerah tersebut.

Setelah mulai mapan kedudukan orang-orang Bali itu permintaan mereka menjadi bertambah. Semua bersikap seperti raja-raja kecil. Baik man-tri-mantri yang di desa- desa. Tidak peduli lagi mereka. Mereka mulai menghendaki wanita-wanita. Dengan suatu dalih bahwa mereka tidak beristri selama di Blambangan. Ada yang lebih menyakitkan, kadang mereka masuk ke rumah orang yang punya anak atau istri cantik dan langsung mereka ambil.

Demikian pula halnya Gusti Murah dan Kuthabedhah.

Mereka minta pada Mas Anom dan Weka untuk membujuk putri-putri Mangkuningrat yang masih perawan itu untuk menjadi istri mereka. Jika tidak bisa maka kepala mereka akan gugur ke bumi. Kedua orang itu kebingungan. Jika mereka menyampaikan permintaan ini langsung pada Ayu Chandra, tentu wanita itu akan menghardiknya. Maka mereka memutuskan untuk membujuk Mas Ayu Bali dan Mas Ayu Telaga yang sedang kembang menjadi remaja. Keduanya sering meninggalkan rumah dan pergi ke Srawet. Walau Ayu Chandra dekat dengan putri-putrinya, tapi ia membebaskan putrinya keluar. Kadang memang mencari bahan makanan.

Kedua orang itu sering menemui mereka di perjalanan. Tentu mereka juga membagi makanan pada kedua gadis itu. Pendekatan demi pendekatan menjadikan mereka akrab karena memang masih kerabat. Juga tanpa setahu ibunya mereka sering menerima hadiah berupa makanan dan pakaian dan juga perhiasan dari Gusti Murah dan Kuthabedhah. Kemudian hari selanjutnya anak-anak remaja itu tidak lagi pergi ke Srawet atau hutan-hutan untuk mencari kayu. Weka mengajak Mas Ayu Bali ke rumah Gusti Murah, sedang Mas Anom yang mengajak Mas Ayu Telaga ke rumah Kuthabedhah. Dan memang sudah diperunding-kan sebelumnya. Makanan maupun kinang atau kapur sirih di rumah keduanya diberi candu.

Hari pertama mereka pulang dengan tanpa kejadian apa-apa. Tapi siapa yang pernah merasakan candu maka ia akan menginginkannya untuk yang kedua dan ketiga dan seterusnya.

"Kinang di sini rasanya lain," kata Mas Ayu Bali pada Gusti Murali suatu hari. Ia sudah berani datang sendiri.

"Memang kinang semacam itu hanya dimiliki orang- orang kaya di Bali." Gusti Murah tertawa.

"Jika sehabis makan sirih di sini badanku segar." Hari-hari berikutnya Gusti Murah makin pelit.

Dikatakan belum ada kiriman dari Bali. Hingga suatu hari badan Ayu Bali lemas semua. Seluruh sendi rasanya lemah. Ia tak sanggup pulang.

"Aku akan berikan sirih semacam itu, tapi kau harus mau jadi istriku."

Remaja itu tak kuasa menolak. Dan untuk hari selanjutnya kedua gadis itu tidak pulang lagi ke rumah ibunya. Ayu Chandra marah bukan kepalang. Ia datangi Gusti Murah dan Kuthabedhah. Tapi Ayu Chandra melihat kenyataan sendiri, anaknya tidak mau pulang.

0oo0

Kekecewaan demi kekecewaan harus ditelan oleh Ayu Chandra dengan tabah. Kenyataan bahwa kawulanya menjadi kian menjadi miskin. Panenan harus dibagi dengan orang-orang Bali yang tidak pernah bekerja di sawah itu. Apalagi setelah kedua putrinya yang masih remaja, jatuh ke tangan orang-orang Bali. Semula ia heran kenapa anaknya tidak mau pulang? Karena tidak kuat lagi hidup dalam kemiskinan? Namun akhirnya ia tahu bahwa anaknya sudah makan candu. Maka ia kemudian mengawasi Mas Ayu Tunjung dengan agak ketat.

Kejutan lagi bagi Ayu Chandra ialah mendaratnya kapal dagang milik Cheng Bok dan milik orang-orang Inggris di Sumberwangi atas perkenan Mengwi dan Gusti Murah. Ia mengumpat dalam hati. Orang-orang Bali telah memung-gunginya. Maka kemudian kebenciannya memuncak. Sehingga ia mengubah namanya menjadi Nawangsasi. Tidak lagi menggunakan nama Bali.

Di tengah kesulitan untuk mendapatkan makan sehari- hari dan memikirkan langkah orang-orang yang mengecewakannya itu, ia dikejutkan dengan kunjungan Tantrini, istri Wilis. Ia peluk wanita itu. Dan Nawangsasi menangis sejadi-jadinya.

Kemudian ia ceritakan seluruh yang terjadi atas hidupnya. Tantrini menceritakan pengalamannya.

"Di Raung ada perkubuan?"

"Ya. Dan yang menjadi pemuka di sana seorang memuda bernama Wilis. Ia adalah anak Yistyani. Ia mengatakan Blambangan menghadapi bahaya yang lebih besar dari yang datang dulu. Bukan dari Bali tapi VOC. Karena itu Yistyani akan turun ke Lateng ini untuk membantu Yang Mulia."

Ayu Chandra termangu mendengar itu semua. Anak Andita bernama Wilis? Naluri kewanitaannya menangkap lain. Yistyani tak pernah mencintai Andita, tapi Wilis.

Mungkin sekali ia anak Wilis. Tapi ia segera menutup semua kecurigaannya itu dengan sebuah harapan kecil. Bianglala di ufuk senja.

Tantrini kembali ke Raung. Dan ia kemudian membujuk Ayu Tunjung untuk mengikutinya. Sebab ia kasihan. Blambangan tak bisa lagi menjadi tempat untuk mendidik anak, kata Tantrini. Dan itu disetujui oleh Ayu Chandra.

Aku harus membangun kembali laskar Blambangan. Karena itu aku harus mengikat Surendra dan Gandewa. Aku sekarang tak punya uang untuk menggaji mereka. Tapi aku akan mengikat mereka dengan cara lain.

Keputusan itu ia perun-dingkan dengan Yistyani waktu ia sudah datang bergabung padanya.

Mereka berdua bertekad menghadapi orang-orang Bali dengan cara tersendiri pula. Karena walau Nawangsasi bisa membunuh mereka dengan menggerakkan Surendra atau Gandewa, mereka akan menanggung pembalasan dari Mengwi.

Karena itu mereka mulai menjalankan pemerintahan berdua. Dan memerintahkan Surendra memanggil Cheng Bok dan kemudian Hendrik pedagang Inggris. Waktu Cheng Bok masuk Yistyani heran. Sudah tua orang ini sebenarnya. Tapi ternyata ia lepas dari pemburuan Andita dan Wilis. Bahkan sanggup memenjara atau mungkin sudah membunuh Wilis.

"Yang Mulia penguasa Blambangan? Sri Ratu?" tanya Cina itu dalam bahasa Blambangan yang lancar.

Matanya yang sipit berkedip-kedip.

"Bukan. Sri Ratu sedang ke asrama laskar kami. Dan menunggu hasil pembicaraan kita. Bila gagal mencapai kata sepakat maka kami akan membunuh Tuan dan merampasi semua kekayaan Tuan."

"Yang Mulia tidak usah mengancam seperti itu. Kami sudah mendapat izin dari Gusti Murah. Dan kami sudah seizin Mengwi."

"Ini adalah Blambangan. Murah bukan penguasa di sini."

Cheng Bok terkejut mendengar itu. Ia mengira dengan tiadanya Wilis ia sudah akan aman menguasai Blambangan. Ia melihat wanita ini yang pernah diceritakan Martana dulu. Masih ayu juga. Tapi kerasnya ancaman ini. Pasti bukan kosong.

"Baiklah. Apa maksud Yang Mulia."

"Tuan harus mengembalikan bandar pada kami. Juga tanah kerajaan yang Tuan ambil dengan tidak sah."

"Itu perampasan!" Cheng Bok terkejut. "Itu hak kami!"

Diam sebentar. Di luar pendapa laskar bersenjata tombak mondar-mandir. Tak menakutkah Cheng Bok. Tapi yang berbedil itu?

"Baiklah. Tapi ketahuilah, Yang Mulia, kami bersama laskar Inggris. Mereka setiap saat bisa bergerak kemari melindungi kami  "

"Mengancam?"

"Sebenarnya kita tak perlu bersitegang, Yang Mulia. Kami ada usul, bandar tetap di tangan kami tapi bukan milik kami. Artinya kekuasaan atas bandar itu- tetap Blambangan, dan kami adalah pengelola. Dengan pembagian hasil, tiga perempat untuk kerajaan dengan syarat kami bebas berniaga. Tuan Hendrik akan bantu membangunkan tembok perbentengan untuk menjaga keamanan bandar."

Yistyani tercenung sebentar. Cheng Bok bicara lagi "Kami akan membantu pembangunan kembali

Blambangan. Yang Mulia saat ini memerlukan banyak biaya untuk membangunkan kerajaan. Jika kami membantu itu akan berjalan lebih cepat dari rencana Yang Mulia."

Gila! Yistyani mengumpat dalam hati. Tentu saja Blambangan hancur, orang ini begitu cerdas. Tentu! Tentu orang ini telah menghancurkan Wilis dengan tangan Mengwi. Maka setelah melalui pertimbangan matang ia menerima usul Cheng Bok. Ternyata Cheng Bok tidak menipu.

Istana mulai dipugar. Begitu juga rumahnya. Setelah sebulan dari perundingan itu laskar Surendra dan Gandewa menerima gaji kembali. Nawangsasi gembira luar biasa. Ini hasil yang pertama yang bisa mereka raih. Walau gaji yang diberikan Yistyani itu belum sebesar dulu. Tapi ini sudah menolong mereka dari kemiskinan yang menjerat.

Waktu Hendrik sendiri memeriksa pemugaran istana Nawangsasi sempat menemuinya. Betapa terkejut Hendrik waktu bersua Nawangsasi. Cara berpakaiannya tidak seperti sudra. Walau hidup dalam kemiskinan, tubuhnya tidak sekotor orang Blambangan yang ia temui di Sumberwangi. Bahkan boleh dikata terlalu bersih sebagai pribumi.

"Yang Mulia Ratu?" ia bertanya dalam bahasa Blambangan yang belum lancar. Bahkan terdengar agak gagu. Matanya yang biru menembus langsung ke mata Paramesywari.

"Paramesywari. Ada adik suamiku yang lebih berhak atas tahta Blambangan." Hati Nawangsasi berdebar dipandang begitu rupa. Tubuh jangkung dan bulu-bulu kuning di tangannya yang mengeluarkan otot menarik perhatiannya. Gaya bicara dan berjalannya bebas.

Tertawanya tidak ditahan-tahan. Tidak seperti Cheng Bok yang penuh kepalsuan.

"Tapi adik Yang Mulia tidak pernah berbuat apa-apa. Tidak pandai. Kenapa tidak ambil saja kekuasaan dan atur negeri ini. Toh kami bantu Yang Mulia. Kami ada kerja sama."

Ayu Chandra tersenyum mendengar itu. Bukan main, mereka telah mengetahui persoalan keluarga sekalipun. Ia sadar, sedang berperang dengan tanpa senjata. Kini ia tidak mempunyai laskar yang kuat. Ia hanya punya kecerdasan dan keperempuanan. "Aku senang sekali mendengar itu. Apakah Tuan dapat membantu aku dalam mengatur perniagaan? Artinya Tuan sekarang memegang jabatan syahbandar Blambangan. Supaya kami mendapat hasil yang lebih besar dari yang diberikan Cheng Bok."

"Gembira sekali." Hendrik menyalami tangan Nawangsasi. Ia tak dapat mengelak waktu tangan Hendrik meraih tangannya kemudian mencium tangan itu. Suatu hal yang tak pernah terjadi atas hidup Nawangsasi. Menimbulkan perasaan aneh.

"Tapi jangan marah, Yang Mulia. Kami dan Cheng Bok telah bekerja sama lama sekali. Jadi jika soal tambahan pendapatan kami akan menambahinya dari hasil perniagaan kami. Jangan khawatir, Yang Mulia."

Hendrik mengerti Nawangsasi banyak kali gugup waktu berhadapan dengannya. Namun ia sendiri belum pernah bersua wanita yang begitu menarik. Menurut pendengarannya ia sudah punya empat orang anak. Tapi wajahnya masih kelihatan muda dan segar. Karena itu ia perintahkan orang untuk mempercepat pembangunan istana Nawangsasi itu. Perabot yang dulu tak pernah dimiliki selama menjadi paramesywari telah pula ia kirimkan. Juga perhiasan yang mahal-mahal sering ia hadiahkan buat Nawangsasi.

Hati Nawangsasi mulai kembang. Persahabatannya dengan Cheng Bok dan Hendrik makin hari makin baik. Juga Yistyani telah memiliki rumahnya sendiri. Berdua dengan Yistyani, Nawangsasi sadar bahwa apa yang mereka peroleh dari pedagang Cina maupun Inggris yang kian berkeliaran di Sumberwangi dan Lateng tidaklah lebih besar dari hasil yang mereka keruk.

Mereka telah berdagang candu, madu, kulit macan, rempah, dan macam-macam lagi. Tapi apa boleh buat. Mereka harus menempuh jalan ini demi Blambangan dan demi hidupnya sendiri.

Ia juga tahu itu bisa mengundang marah Mengwi. Tapi Mengwi sendiri telah merusak Blambangan. Bukan hanya dengan laskarnya. Tapi Nawangsasi juga amat terluka demi ingat kedua anaknya yang telah hilang hanya karena candu. Candu yang diberikan orang asing. Dan itu salah satu bahaya bila kita terlalu mengagumi semua yang datang dari asing. Begitu pendapat Yistyani.

Bahkan Yistyani telah berulang menasihatinya, agar menjaga jarak dengan orang-orang asing itu. Yistyani menceritakan bahwa Cheng Bok yang tua itu telah berulang merayunya untuk mau diajak ke tempat tidur. Tapi pengalaman Yistyani membuatnya mampu membentengi diri. Hati Nawangsasi berdebar ingat itu. Hendrik sekarang bukan hanya mencium tangannya waktu berpisah. Sebab sekarang hampir dua hari sekali Hendrik mengunjunginya ke istana. Hendrik sekarang mencium pipinya. Nawangsasi tak bisa tidur waktu Hendrik melakukan yang pertama. Tidak seperti waktu berhadapan dengan suaminya dulu, atau Andita, Surendra, ataupun Gandewa.

Hendrik makin lama tidak bisa menipu diri sendiri.

Hatinya terpaut oleh kemanisan wanita pribumi itu. Walau ia tahu ditolak secara aneh. Suatu hari ia menawari Nawangsasi memeriksa perbentengan bandar. Tak pantas sebagai penguasa tidak pernah -melihat bandar. Lagi pula malam itu ia akan mengadakan pesta sekadarnya. Sehubungan dengan selesainya pembangunan pagar perbentengan. Ia sendiri menjemput ke Lateng dengan kereta istimewa. Berkuda dua. Tapi Nawangsasi menolak kereta itu. Ia sengaja memamerkan kebolehannya berkuda di hadapan lelaki bule itu. Membuat orang itu kian kagum. Luar biasa, desisnya. Sepuluh orang pengawal ia bawa. Mereka berkuda di belakang. Sedang Hendrik memacu kudanya berjajar dengan Nawangsasi.

Nawangsasi melihat tembok perbentengan dari luar.

Cukup kokoh, pikirnya. Ada menara pengawasan di sudut-sudutnya. Pintu perbentengan terbuka ketika ia dan pengawalnya datang. Sederetan orang asing bule dan sipit menyambutnya dengan hormat. Setelah semakin masuk perbentengan ia mendengar musik riuh. Tak ia mengerti makna dan keindahannya.

Ia diajak naik ke panggung atas, sedang penga-wal- pengawalnya dijamu di bawah. Di atas panggung sini ia melihat banyak wanita dan lelaki bule sedang menari bergandengan. Berdansa barangkali. Sementara ia melintas semua berhenti untuk menghormatinya.

Kemudian Hendrik mengajaknya ke ruangan sebelah. Terbuka dan menghadap laut. Rembulan mulai muncul dari Pulau Bali.

"Mana istrimu?"

"Belum. Aku belum punya istri."

"Ya? Lelaki Blambangan seumur kau sudah punya empat atau lima."

Disambut dengan tertawa.

Setelah itu mereka mengadakan pemeriksaan keliling.

Sambil menanyakan biaya pembangunan dan sebagainya. Nawangsasi hanya geleng kepala kagum mendengar biaya yang dikeluarkan. Seteklah* itu Hendrik mengajaknya makan bersama-sama tamu lainnya.

Nawangsasi juga bertanya dalam hati, berapa jumlah uang yang dikeluarkan untuk menjamu tamu sekian banyak?

"Kita sudah jenuh dalam perbentengan ini, Yang Mulia. Mari kita melihat-lihat laut dari kapal pribadiku," ajak Hendrik setelah makan.

"Kapal pribadi?"

"Ya. Kapal yang aku pakai sekadar untuk melihat-lihat dunia. Bukan untuk mengangkut barang."

Luar biasa kekayaan pemuda ini, kata Nawangsasi dalam hati. Ia kemudian melihat pengawalnya. Sedang makan dan...

Ayu Chandra berdesir melihat itu. Pengawalnya telah ditemani wanita-wanita cantik. Ah... wanita-wanita Blambangan dibeli untuk menemani mereka. Ia jadi ragu. Tapi senyum Hendrik mematahkan semuanya.

Tangannya dibimbing menaiki tangga kapal. Juga di geladak mereka juga berjalan bergandengan. Dari atas geladak itu ia memang bisa menikmati keindahan purnama. Ia juga bisa melihat tanah kelahirannya, Bali.

"Blambangan memang cantik sekali. Eh... kita minum." Tanpa menunggu jawaban Hendrik sudah melangkah.

Kembali dengan botol minuman dan dua buah gelas. Sambil tersenyum ia menuang satu sloki dan memberikannya pada Nawangsasi.

"Apa ini."

"Tentu Yang Mulia belum pernah meminumnya. Ini arak dari Inggris. Mari kita rayakan pendirian Benteng ini. Demi kejayaan Blambangan dan Paramesywari."

Mereka minum bersama-sama satu gelas. Baunya harum. Tidak seperti arak orang Blambangan. Kemudian mereka berjalan-jalan sambil melihat keindahan kapal. Ada kamar makan di dalamnya. Akhirnya mereka berhenti di situ. Minum lagi. Dan lagi beberapa gelas tanpa dapat ditolak. Tubuh Nawangsasi seperti melayang. Ringan.

"Aku mau pulang."

"Hari sudah larut malam." Kembali Ayu Chandra dalam bimbingan. Masuk kamar. Suatu tempat tidur dengan alas permadani di hadapannya.

"Tuan "

"Yang Mulia terlalu cantik. Aku cinta " Ciuman

hangat. Badan ringan. Tapi kepala pusing. Membuat Nawangsasi tak berdaya  

0oo0

Tembok tinggi putih mengelilingi Batavia. Gedung- gedung yang juga berwarna putih berjajar di tepi jalan yang membujur dari utara ke selatan. Tidak seperti kota- kota kerajaan Jawa. Di sini kelihatan rapi. Bahkan Kartasura juga tidak dapat membandingi keindahan Batavia ini.

Jika malam tiba, lampu-lampu minyak dipasang dalam jarak yang sama menerangi sepanjang jalan raya. Seolah tiada kegelapan. Tak seperti Blambangan. Juga rumput- rumput di jalan tidak dibiarkan tumbuh. Bandar Batavia adalah yang teramai di Jawa. Semua kapal Eropa yang mengangkut rempah harus berlabuh di sini. Kecuali kapal milik Inggris.

Di tengah kota Batavia terdapat sebuah gedung besar yang juga dikelilingi tembok putih. Dari gerbang menuju gedung ini terhampar halaman luas ditumbuhi rumput yang terpangkas rapi seperti permadani yang sengaja dihamparkan di taman luas. Dari gerbang ke gedung itu juga terdapat jalanan yang bersih dan kiri-kanannya ditanami bunga sedap malam.

Prajurit berkulit putih berjaga di tepian gerbang. Tidak jauh dari situ terdapat sebuah rumah kecil. Rumah itu dipergunakan untuk istirahat bagi prajurit yang selesai atau belum mendapat giliran jaga. Pakaian mereka pun berwarna putih dengan tanda-tanda kebesaran yang terbuat dari logam kuning sehingga berkilau-kilau ditimpa sinar mentari.

Gedung tempat tinggal gubernur jenderal VOC, Petr. A lb. Van der Para, saat itu nampak lebih ramai dari biasanya. Sang Gubernur Jenderal duduk di atas singgasana dengan dihadapi oleh dua belas orang anggota direktur termasuk anggota Dewan Hindia, serta beberapa orang komisaris. Baju abu-abu yang diberati tanda-tanda pangkat dan jabatan, terbuat dari bahan woll buatan Inggris, membuat ia selalu berkeringat. Walau selalu ada beberapa wanita muda pribumi duduk di kirj- kanannya sambil mengipasinya. Terus tanpa henti.

Mereka adalah gadis pilihan di daerah masing-masing yang sengaja dipersembahkan oleh para raja atau adipati yang takluk pada VOC. Ada di antara mereka yang bertugas khusus menghapus keringat Gubernur Jenderal dengan sapu tangan.

Hal mana membuat iri para komisaris dan anggota Dewan. Tapi apa mau dikata? Gubernur Jenderal adalah mahadewa dibumi jajahan. Menentang Gubernur Jenderal akan pulang ke

Nederland dengan membawa kemiskinan atau ditenggelamkan di dasar laut seperti Susan istri Untung Surapati. Sampai-sampai pembuatan taman yang paling indah milik Van der Para pun tiada yang menggugat. Siapa yang tak menghitung pembangunan taman itu? Tentu keringat pribumi yang tertumpah di sana. Ah... harga dari suatu kekalahan.

"Tuan-tuan, kesalahan kecil waktu kita menolak Mangkuningrat dulu telah membuat kita sekarang menyesal. Inggris telah bercokol di sana. Dan mereka berdagang ampium dengan Bali. Harga mereka lebih murah dari kita. Maka di sana juga ramai dengan pedagang Cina yang membeli ampium itu," Van der Para bicara sambil mengelus kumisnya yang terawat rapi.

"Kita gempur saja!" usul Yohanis Vos, "Lalu kita tempatkan kompeni di sana."

"Usul yang baik," sambut Para. "Tapi untuk itu kita harus susun rencana yang rapi." Kemudian Para berdiri dan berjalan mendekati dinding. Di situ sudah disiapkan sebuah peta Jawa bagian timur. "Memang cuma Blambangan yang belum kita kuasai. Padahal daerah ini amat subur. Setelah kami pelajari, katanya bisa menjadi gudang beras. Betul begitu?"

Anggota Dewan mengiakan.

Dengan kayu kecil sepanjang setengah depa ia menunjuk peta tanah semenanjung Blambangan. Seraya katanya lagi,

"Kita tidak boleh melepas gudang-gudang makanan.

Sedangkan daerah pesisir yang tidak menghasilkan beras dan gula, kita sewakan pada Cina. Itu berarti akan menambah pemasukan kita."

Semua anggota Dewan kagum pada Van der Para yang memang cerdik. Itulah rupanya yang membuat ia menjadi gubernur jenderal yang paling lama di Batavia, dibanding pendahulunya. "Cina dan Inggris telah juga menguasai perdagangan gula di Blambangan. Kita harus mencegahnya." Ia kembali ke tempat duduknya. Suara gemerincing terdengar ketika ujung pedangnya menyentuh lantai waktu berjalan.

Sebelum menurunkan perintah penyerangan itu maka Van der Para mengadakan perubahan susunan kepemimpinan dalam VOC.

"Apa hubungannya peperangan di Blambangan dengan penggantian gubernur Surabaya?" tanya seorang komisaris.

"Peperangan hanya bisa dimenangkan oleh pikiran yang segar. Walau mesiu dan granat bertumpuk di gudang di Batavia ini, tapi tak punya kepala apa artinya semua itu? Seorang yang terlalu lama tinggal dalam ketegangan, perlu diragukan kemampuan berpikirnya." 

Saat itu juga Dewan mengumumkan bahwa sesuai Surat Keputusan Gubernur Jenderal, Yohanis Vos menjadi gubernur Surabaya.

Setelah itu Para memberikan petunjuk-petunjuk kerja pada Y. Vos supaya berbaik pada raja-raja di Jawa Timur untuk mendapat bantuan waktu menyerang Blambangan.

Setelah timbang terima jabatan Gubernur Semarang dan Surabaya, Maka Y. Vos segera mengurus penggantian H. Berton, pejabat lama gezaghebber Surabaya. Gubernur lama, Van Ossenbech sangat terkejut dan kecewa. Vos dianggapnya tergesa dan kurang bijak. Namun karena sudah tahu sebelumnya ia segera melakukan perjalanan keliling ke bupati-bupati pesisir dan minta persembahan yang bernilai. J. Vos tak peduli sikap pendahulunya. Bersama E. Coop A Groen ia melangkah cepat. Mereka segera menyusun serangan ke Blambangan, setelah mendapat surat perintah dari Gubernur Jenderal di Batavia.

Groen segera mengundang para bupati untuk mengadakan pesta di Surabaya. Maka berkumpullah saat itu bupati Surabaya, Sumenep, Pasuruan, Gresik, Bangil, Probolinggo dan Sidayu.

Setelah basa-basi, maka mulailah Groen berpidato. "Persahabatan kita dalam bahaya. Karena

Blambangan telah bersekongkol dengan Inggris. Ini tidak bisa diselesaikan kecuali dengan menyerbu Blambangan."

Para bupati berbisik satu dengan yang lain. Mereka tahu bahwa mereka akan dilibatkan satu dengan lainnya. Melihat mereka saling bisik Groen berkata lagi. Tapi persoalan lain.

"Maafkan kami. Memang masakan yang disajikan di sini semua daging babi." Ia tertawa. Para bupati menjadi pucat. Bupati Sumenep hampir saja marah. Untung ada di antara mereka ada yang tidak segera makan. Mereka masih sempat memilih telur bebek rebus. Keparat! Bupati Probolinggo mengumpat dalam hati. Cuma dalam hati. Ia juga harga suatu kekalahan.

"Dalam peperangan ini para bupati tidak perlu berangkat bertempur. Tapi kami minta bantuan kapal- kapal perang beserta awaknya," Groen menambahkan.

"Iblis!" Cokronegoro dari Surabaya mengumpat dalam hati. Surabaya pun kalah dari VOC, sehingga dengan hati berat mereka menyerahkan kekuasaan bandar pada seorang kapten Cina, Buhi. "Peperangan akan dipimpin oleh Panglima Troponegoro. Sedang Pangeran Cokronegoro dari Madura kami beri kehormatan untuk memimpin laskar Surabaya dan Madura sendiri. Pangeran akan didampingi oleh Raden Panji Suriadiningrat dan Raden Kertayuda."

Ratusan kapal armada gabungan Belanda berlayar dengan sorak-sorai yang gegap-gempita. Namun sorakan mereka berhenti, di lepas pantai Panarukan mereka diserang badai luar biasa besar. Hujan badai mengamuk dengan tanpa bisa diatasi. Beberapa kapal yang berusaha menepi malah dihempaskan gelombang ke pantai Panarukan. Teriakan putus asa dari berbagai bahasa terdengar sayup di pantai.

Doa terdengar dari segala agama. Yang Kristen dan yang Islam. Semua berdoa minta diselamatkan dari hujan badai itu. Tapi sepertiga dari armada mereka tidak selamat. Troponegoro, sempat mendarat di pantai Meneng dengan lebih dulu melakukan tembakan meriam. Semua mereka mendarat dalam keadaan basah kuyup.

Berita pendaratan itu segera terdengar oleh Kuthabedhah, juga Gusti Murah. Maka segera ia memerintahkan setiap lelaki Blambangan untuk berangkat bertempur di Jember, Situbondo, dan beberapa daerah pesisir lainnya.

Mendengar itu Mas Anom segera memberi tahu Mas Alit.

"Dewa Bathara, akhirnya kompeni datang juga!" Mas Alit gelisah.

"Jangan khawatir, Kanda. Hamba telah mengirimkan Bapak Anti ke Surabaya justru untuk menjadi petunjuk jalan kompeni." "Hai..."

"Jangan khawatir, Kanda. Laskar yang hamba kerahkan bukan untuk berperang dengan kompeni. Tapi untuk berpura-pura."

"Kau..."

"Ya, Kanda. Hamba sudah terlalu muak terhadap orang Bali. Lagi pula hamba sudah merasa berdosa pada Kanda Paramesywari. Ayu Bali dan Ayu Telaga menjadi budak nafsu Gusti Murah dan Kuthabedhah, karena hamba yang menyerahkannya."

Sementara itu Troponegoro dengan penunjuk jalan Bapak Anti, bergerak terus mengalahkan Panarukan. Penjarahan mereka lakukan sepanjang perjalanan.

Laskar Madura membunuh semua lelaki yang mereka jumpai. Penduduk, bergesa mengungsi.

Kuthabedhah memimpin sendiri peperangan itu. Dia menyambut musuhnya di Kali Tepakem, setelah kompeni merebut Candi Bang. Waktu melihat bendera musuh, Kuthabedhah memerintahkan laskarnya menyerbu. Tapi apa yang terjadi?

Orang demi orang, kelompok demi kelompok, orang Blambangan yang bersembunyi di semak belukar melarikan diri dari peperangan. Orang Bali memang mengarahkan tembakan ke laskar musuh. Tapi pertempuran menjadi tidak seimbang. Korban mulai berjatuhan.

Mendengar laporan dari teliknya Gusti Murah menjadi geram. Dan ia memutuskan bertempur dengan laskar Bali sendiri. Ia mengerahkan laskarnya ke Kali Tepakem untuk bersatu dengan Kuthabedhah. Tapi gerakan laskarnya tertahan di Hutan Kepanasan. Pertempuran berjalan seru. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Namun Kuthabedhah yang di Kali Tepakem kehabisan bahan makanan. Maka ia memerintahkan laskarnya yang telah kelaparan untuk mundur kelompok demi kelompok. Ia bergabung dengan Gusti Murah. 

Sementara itu Mas Anom bertahan di Loganta, jauh sebelah utara kota Lateng. Bersama dia saat itu, Wasengsari, Puspaningrat, Mas Ularan, dan Mas Weka. Bersama laskarnya mereka tidak menembakkan pelor sebutir pun. Sambil berjaga-jaga mereka menunggu isyarat dari Bapak Anti. Cukup lama. Beberapa hari kemudian saat yang mereka tunggu itu datang juga.

Bapak Anti bersama Komandan Blanke memasuki Loganta. Dan melihat itu Puspaningrat mengangkat bendera putih tinggi-tinggi. Laskar Belanda bersorak melihat penyerahan diri mereka. Sambil memuntahkan peluru meriam ke udara karena girangnya.

Para pemimpin Bali bersedih mendengar pengkhianatan itu. Kuthabedhah dan Murah Kabakaba memutuskan untuk mundur dari Hutan Kepanasan dan menyerbu ke Loganta.

"Lelaki Bali dilahirkan untuk berperang!" Murah memberi semangat pada laskarnya.

Dengan tidak takut sedikit pun mereka beringsut mundur sambil menembak menuju ke arah Loganta. Dan Loganta menjadi ajang pertempuran yang hebat.

Pasukan gabungan ditambah laskar Blambangan melawan laskar Bali yang kecil. Namun korban dari pasukan gabungan tidak kecil. Lima hari lebih orang- orang Bali masih saja menembak dengan gigih. Itu membuat Blanke marah dan ia memerintahkan orang Blambangan memenggal kepala Murah dan Kuthabedhah sebagai bukti bila mereka memang setia pada Belanda.

Pemimpin laskar Bali yang juga telah kehilangan banyak orang dan mesiu, menarik mundur laskarnya sampai di Lopangpang. Di sini lelaki dan perempuan menyiapkan diri untuk bertempur. Tanpa mengenal lelah mereka menyusun batu-batu besar sebagai perisai.

Mereka akan bertempur sampai peluru terakhir.

Namun laskar Bali ini tak sempat istirahat. Pasukan Mas Anom mengejar dan menembaki kubu mereka dengan meriam. Mas Anom memang benar-benar bernafsu membunuh mereka karena dendam yang tidak terhapuskan.

Semangat laskar Bali yang begitu tinggi membuat laskar gabungan dan laskar Mas Anom mengundurkan diri. Tiap orang Bali yang gugur tidak pernah merintih. Tapi mereka selalu memekik, "Dirgahayu Mengwi!"

Kuthabedhah bernapas lega. ketika tembakan musuh berhenti. Kemudian ia mencari teman-temannya. Tapi betapa terkejut demi dilihatnya Murah Kabakaba telah terkulai tanpa nyawa di balik perkubuannya. Kemudian ia memeriksa lainnya. Semua orang telah mati. Dan ia teringat istri dan anak-anaknya. Anakku? Panggilnya.

"Ya... Bapak...," tiga orang anaknya menyahut berbareng.

Mereka berempat berangkulan. Kuthabedhah melepas rangkulannya. Kemudian melirik Mas Ayu Telaga, berlumuran darah dengan bayi dalam gendongannya.

Tubuhnya jadi gemetar. Tapi ia tetap berkata, "Satria Bali, pantang menyerah, Nak." "Tapi kita tak melihat mayat Wayan Kotang? Di mana?"

Kuthabedhah tahu, Wayan menyelamatkan diri. Tapi bagi mereka tidak ada jalan mundur. Daripada menyerah maka berempat memilih jalan mati di tangan sendiri.

Ketika Mas Anom datang maka ia memenggal kepala yang sebenarnya sudah menjadi bangkai.

0oo0

Laporan tentang gugurnya orang-orang Bali dan pengkhianatan Mas Anom serta Bapak Anti telah didengar oleh Yistyani. Juga Nawangsasi.

"Mereka datang dengan kekuatan yang besar. Tiada guna melawan dengan kekuatan yang belum tertata." Yistyani menerangkan pada Surendra dan Gandewa.

Maka ia memutuskan sementara akan mundur.

Nawangsasi memilih ikut mengungsi daripada menerima tawaran Hendrik untuk kawin dan tinggal di luar negeri. Hendrik menawarinya tinggal di Bengkulu.

Dan kala laskar gabungan masuk Lateng maka Lateng kosong ditinggal mengungsi oleh seluruh penduduknya. Berita yang kemudian diterima oleh Nawangsasi, Hendrik memang melarikan diri dengan kapalnya. Tapi Babah Cheng Bok kali ini ketiban sial. Ditangkap dan digiring ke Surabaya dengan jalan darat.

Belanda mendirikan beberapa benteng di Blambangan untuk memperkuat kedudukannya.

Sementara itu di ibukota Mengwi orang mengelu- elukan Agung Wilis yang telah melumatkan Lombok. Dan seperti janji Dewa Rake padanya, maka ia mendapat hadiah sebuah puri dah seorang istri. Wanita tercantik di Mengwi, Gusti Ayu Ratih. Namun puri dan istri tidak menggembirakan hatinya. Ia tetap rindu melihat tanah airnya. Melihat anak-istrinya.

Berita jatuhnya Lateng ke tangan Belanda sungguh menyedihkan hatinya.

Suatu hari istrinya Ratih mendesak supaya ia memberi tahu kenapa selalu kelihatan susah.

"Wong Agung tidak suka padaku?" Ratih menjadi kesal.

Wilis gugup mendengar pertanyaan itu.

"Aku kurang cantik?" lagi wanita itu mendesak. "Setahuku tak ada wanita secantik engkau. Tapi

ingatlah, sudah empat tahun aku terpisah dari anak-istri. Dari negeri yang menyusui aku. Ratih, permintaanku tidak banyak, aku ingin kembali membangun negeri yang porak-poranda itu."

"Kanda bukan lain, aku sendiri yang meminta agar Wong Agung tetap di sampingku. Bukankah aku sudah mengatakan waktu kau berangkat bertempur dulu?"

"Jadi kau..." Wilis memandang istrinya.

"Ya, aku cinta Wong Agung. Apakah aku ditolak?" Wilis tahu persis menolak Ratih berarti hukuman mati

Dewa rake. Maka ia harus memakai siasat baru. Hari-hari berikutnya ia mengubah sikapnya. Kemudian setelah ia mengubah siasat ia mulai dapat mengirimkan berita pada laskar Surendra. Hatinya makin kembang kala mereka mengirim berita bahwa akan tetap setia pada Wilis. Dan setelah itu Surendra menyampaikan berita dari Wilis itu pada Nawangsasi dan ke Raung. Semua orang menjadi gembira. Dan ketika orang-orang Blambangan mengirimkan gambaran lengkap tentang keadaan negerinya maka Wilis memberanikan diri menghadap Dewa Rake. Ia menyatakan keinginannya menyerbu Blambangan.

Tentu saja patih Mengwi itu heran. Dia menjawab bahwa kini Mengwi tidak punya uang untuk menyeberangkan Wilis dan tidak punya biaya untuk membiayai peperangan. Dengan tersenyum Wilis menerangkan bahwa ia akan menyeberang sendiri bersama beberapa pengawalnya. Tidak perlu biaya perang. Karena ia akan membangunkan orang Blambangan sendiri untuk melawan Belanda.

"Jika itu sudah menjadi tekad Yang Mulia, maka tiada keberatan hamba. Tapi berpamitlah dulu pada Ratih.

Sebab ia sedang hamil muda."

"Dewa Bathara!!" Wilis kaget. "Kenapa ia tidak bicara?"

"Meskipun istri Yang Mulia mengandung, tapi jika niat untuk memukul VOC begitu besar maka hamba menyetujui. Tapi ingat, tanpa biaya, tanpa laskar."

"Terima kasih, Yang Mulia. Hamba akan tetap berangkat."

"Hamba akan melapor pada Sri Prabu."

"Terima kasih, Yang Mulia, hamba akan bertemu Ratih lebih dulu."

Suka cita besar menguasai hatinya ketika ia meninggalkan gedung pratanda muka. Ia menyusun jalan-jalan Mengwi menuju purinya. Banyak mata mengikutinya dengan kagum. Seorang gagah yang mampu menghancurkan Lombok di saat seluruh panglima lainnya gugur. "Kenapa kelihatan begitu gembira?" tanya Ratih waktu masuk rumah. Sambil tersenyum Wilis menghampiri istrinya. Ia angkat tubuh Ratih tinggi-tinggi.

"Kau akan punya anak, Ayu? Kenapa kau tak bilang?"

Wanita itu menjerit-jerit girang, bahagia. "Aku merasa bahagia," Wilis menyambung lagi.

"Sungguh?" "Tidak percaya?"

"Dari mana Yang Mulia tahu?" "Dewa Rake."

"Aku bahagia mengandungkan benih seorang pahlawan."

"Bukan. Aku bukan pahlawan sekarang. Jika aku pahlawan tentunya aku sekarang tidak di sini. Tapi di Blambangan." Wajah Wilis mendung. "Kau cinta aku? Aku pahlawan?"

Naluri wanita itu mengerti apa makna ucapan Wilis. Air matanya meleleh. Tapi ia mengangguk.

"Nah, jika kau cinta aku, biarlah aku berangkat perang.

Aku akan persembahkan kemenangan buatmu. Buat anakmu." Wilis meraba perut istrinya. Wanita itu merebahkan kepala didadanya.

0oo0

Gubernur Surabaya J. Vos di Surabaya gembira sekali mendengar jatuhnya Lateng ke tangan VOC. Karena itu ia segera memerintahkan pembangunan benteng Banyu Alit sebagai pusat dari seluruh benteng yang didirikan VOC di seluruh Blambangan. Ia mengangkat Blanke sebagai komandan benteng itu. Dengan giat orang-orang Madura membangunkan loji- loji untuk VOC. Tembok-temboknya dibangun meniru benteng di Batavia. Sedang Mas Anom diangkat oleh VOC menjadi tumenggung di Blambangan. Blanke meminta lima puluh orang pribumi untuk bekerja di loji-loji tiap harinya.

Tidak berhenti sampai di situ. Mas Anom harus mempersembahkan kambing dan lembu setiap hari untuk makan tentara pendudukan. Dan Mas Anom tidak bisa berkata lain. Inilah harga dari kerja sama dengan laskar asing. Bahkan Mas Anom hampir tidak tahan ketika Blanke meminta Mas Anom mempersembahkan anak gadisnya. Gadis ini menangis sejadi-jadinya.

"Jika kau mengasihi orang tuamu, maka relakanlah dirimu," Mas Anom membujuk anaknya. Ia teringat waktu membujuk Ayu Bali dan Ayu Telaga untuk dipersembahkan pada penguasa Bali. Inikah hukum karma? Istrinya juga ikut membujuk perawan itu.

Masih dalam tangisan ketika anak perawan itu diantar Mas Anom ke loji Blanke pada malam harinya. Sebab Blanke berpesan bila malam ini tidak dipersembahkan maka... ancaman. Orang tinggi besar itu sedang duduk di kursi malas dengan mengenakan celana pendek waktu dia masuk. Blanke langsung melompat kegirangan. Di depan mata orang tuanya Blanke menggendong perawan itu seperti menggendong boneka. Mas Anom menahan hatinya sambil menggigit bibirnya.

"Itu ambil bungkusan uang dan surat keputusanmu jadi tumenggung. Selamat malam," kata orang itu membawa anak Anom ke pembaringan. Air mata Mas Anom berkaca-kaca. Ia teringat Wilis yang pernah berkata dalam salah satu keterangannya: Setiap pasukan pendudukan harus dibayar dengan penjarahan terhadap harta dan wanita milik kawula.

Dalam pada itu wabah yang pernah berjangkit di Mengwi, menyerang Blambangan juga. Mungkin saja karena debu musim kemarau yang hinggap di makanan maka penyakit ini timbul. Tapi para tabib kemudian menduga lalat yang begitu banyak menjadi penyebabnya. Tapi jelas kematian satu disusul oleh kematian lainnya. Dan itu justru terjadi di daerah loji VOC. Blanke panik melihat kematian yang begitu banyak. Dalam satu hari anak buahnya susut enam atau lima orang. Ketika ia sendiri mulai demam, ia panggil Bapak Anti.

Bapak Anti menerangkan bahwa dewa orang Blambangan sedang marah karena kurang sajian.

"Kenapa orang Blambangan tidak kasih sajian?" "Mereka telah menjadi amat miskin. Setiap hari harus

menyembelih kerbau dan lembu dan kambing." "Kowe keberatan?" Blanke melotot.

"Ti... tidak, Tuan."

"Kasih tahu orang Blambangan, suruh kasih sesaji pada dewanya."

"Baik, Tuan, terima kasih."

Keesokan harinya Blanke sendiri mati. Dan dari tiga ribu orang kompeni yang ditempatkan di Blambangan yang tersisa cuma tiga puluh orang saja.

Gubernur segera menggantinya dengan komandan baru: A. Van Riyke. Komandan ini lebih teliti dan ia memerintahkan membakar semua hutan yang di dalamnya bertumpuk bangkai sisa perang. Ia juga memerintahkan patroli laut secara teratur.

0oo0

Malam begitu gelap kala orang-orang Blambangan yang di Bali karena melarikan diri atau mencari nafkah di Bali mengikut Wilis untuk menyeberang ke Blambangan. Kompeni sama sekali tidak menduga bahwa ribuan perahu-perahu nelayan yang mendekati pantai seperti gelombang itu berisikan manusia bersenjata bedil, panah, dan tombak. Dan pendaratan dilakukan di berbagai tempat sepanjang pantai. Ada yang di Muncar, Grajagan, Ketapang.

Benteng Ketapang yang dijaga cuma sedikit orang ditundukkan dengan tanpa mengeluarkan banyak suara. Puluhan penjaganya sedang terlelap karena lelah setelah seharian melakukan peron-daan. Cuma dua orang penjaga yang mondar-mandir disergap oleh laskar yang tidak mereka kenal. Hanya sebentar saja, semua orang yang dalam benteng itu disembelih. Kini moncong meriam benteng Belanda tidak lagi menghadap laut. Tapi ke arah darat. Wilis memerintahkan supaya meriam- meriam itu tidak digunakan bila tidak ada perintahnya.

Dari arah barat laskar Surendra pun bergerak. Sedang dari arah selatan bergerak Gandewa. Semua bergerak menuju ke Lateng. Kala Wilis membuka tembakan meriam yang pertama ke arah kota Lateng, komandan tentara Belanda dan Mas Anom menjadi amat terkejut.

Orang-orang Belanda menjadi panik. Musuh tidak kelihatan. Akibatnya ratusan tentara Belanda menembak dengan membabi-buta.

Komandan tentara Belanda mengumpat. Tapi umpatan itu tidak lama. Sebuah peluru meriam jatuh tepat di sisinya. Tubuhnya menjadi lumat berkeping- keping.

Pasukan Belanda di Lateng panik. Mas Anom dan keluarganya segera melarikan diri. Takut dihukum oleh orang-orang Bali. Laskar Wilis bergerak seperti gerombolan serigala liar. Penyembelihan terhadap Belanda terjadi lebih disebabkan karena pelampiasan dendam kesumat. Sebagian pasukan kompeni berusaha lari ke Benteng Banyu Alit. Tapi sayang benteng ini pun sudah terkepung rapat oleh laskar Wilis.

Malam itu juga Lateng jatuh ke tangan Wilis. Sorak kawula gemuruh menyambut kemenangan Wilis.

"Dirgahayu, Yang Mulia. Dirgahayu, Yang Mulia." "Dirgahayu!" Wilis membalas. Di saat itu dua orang

wanita menguak kerumunan manusia.

"Wong Agung!" dua wanita itu memanggil. Ia menoleh. Di bawah sinar obor ia melihat Yistyani dan Nawangsasi.

"Yang Mulia!" teriak Wong Agung Wilis. Dua wanita itu memeluk Wilis.

"Mana anak-anakku dan istriku, Yistyani? Juga anakmu?"

"Mereka semua di Raung. Wilis kini menjadi pemuka." "Jagat Pramudita."

"Ya. Cita-cita kita tak akan pernah berhenti, sekalipun kita nantinya akan mati."

Kemudian mereka menuju istana. "Kau Surendra? Tetap gagah."

"Pangeran juga masih gagah," Surendra membalas. "Yistyani dan Yang Mulia, uruslah istana. Hamba akan pukul Sumberwangi." \

Surendra menggerakkan laskarnya ke Sumberwangi. Perahu-perahu nelayan yang berjumlah ribuan kini siap mencegat kapal-kapal VOC yang sedang bersauh di Sumberwangi. Meriam mereka menyalak. Tapi dibalas dari darat oleh orang-orang Wilis. Di samping itu perahu- perahu nelayan merubung sehingga menyulitkan gerakan kapal-kapal VOC yang besar itu. Setelah dua hari dikepung, komandan Belanda di Sumberwangi yang anak buahnya tinggal tujuh orang mengibarkan bendera putih tinggi-tinggi. Semua kapal Belanda dapat dirampas sekalipun harus mengorbankan ratusan orang yang gugur.

Satu per satu benteng Belanda di seluruh wilayah Blambangan jatuh ke tangan Wilis. Mulai dari Panarukan, Situbondo, Bondowoso, dan Jember semua tidak bertahan menghadapi serbuan Wilis. Tinggal satu yang bertahan, Benteng Banyu Alit.

Kemenangan Wilis didengar di mana-mana. Juga di Bali. Semua orang mengaguminya. Termasuk Gusti Ayu Ratih.

Sementara peperangan di Banyu Alit tidak pernah berhenti, Wilis mulai menata kembali pemerintahan di Lateng. Memang berat. Tapi kawula sudah bertekad, akan mendukung Wilis dengan sepenuh hati. Mereka dengar betul-betul waktu Wilis berkata,

"Bukan mudah membangun negeri ini. Tapi orang besar adalah orang yang mampu melihat keruntuhan dari apa yang dibangunnya dan mendirikannya kembali di atas puing-puing reruntuhannya. Nah, kita harus mencoba membangunnya. Agar kelak anak-cucu kita tahu bahwa ada seorang nenek moyang mereka yang telah bersimbah darah membangun bumi yang mereka pijak."

Nawangsasi juga mendengar itu. Ah... aku memang bukan orang besar. Atau aku telah melakukan kesalahan. Berusaha membangun suatu pekerjaan besar dengan kaki goyah. Ya, ia memang goyah, karena tidak tahan hidup dalam kemiskinan yang terus-menerus.

Sekarang ia mau melupakan masa lalunya itu. Ia sadar bahwa ia harus belajar berdiri tegak. Ia juga melihat Mas Alit tidak berani mendekati Wilis. Dan kini ia melihat Wilis juga tidak punya uang. Tapi mampu membangun pagar tembok kota yang telah diruntuhkan meriam laskar Mengwi.

Ia melihat laskar Wilis tidak kelaparan walau Wilis tidak membayar mereka. Bahkan sekarang pembangunan benteng sudah hampir selesai. Sesudah itu Wilis merencanakan pengepungan terhadap Benteng Banyu Alit diperketat. Paramesywari minta supaya diberi kesempatan untuk memimpin laskar Blambangan.

Semula Wilis keberatan. Tapi karena Nawangsasi mendesak maka ia tidak bisa berbuat sesuatu untuk melarang.

Semangat laskar Blambangan memuncak waktu melihat Paramesywari memimpin langsung peperangan itu. Satu-satu kompeni berusaha menembus kepungan untuk melarikan diri. Sebagian dari mereka tidak tahan hidup dalam benteng dengan makan seadanya. Namun kepungan itu begitu rapat. Setiap yang tertangkap dipenggal kepalanya kemudian dilempar kembali ke dalam benteng. Bahkan ada juga yang dibakar hidup- hidup oleh laskar Blambangan. Di saat begitu mereka tidak menghentikan tembakan- tembakan kanon dan kadang meriam secara membabi buta. Namun laskar Blambangan akhirnya membalas juga dengan tembakan meriam ke benteng itu. Semua orang dalam benteng itu berdoa. Berdoa! Meriam Blambangan seolah mengguncangkan bumi. Dan tanpa terduga sebuah tembakan meriam lagi meruntuhkan dinding sebelah selatan benteng itu. Van Riyke, komandan Benteng itu, tertimpa reruntuhan. Dan itu membuatnya luka parah.

Satu pertempuran tidak terpisah dengan pertempuran lain. Saat itu Belanda memperoleh kemenangan di Malang. Pangeran Singasari dan putrinya gugur. Sisa laskar Surapati dan Surabaya juga porak-poranda setelah Melayu Kesumo gugur. Gabungan tentara Belanda yang menang itu tidak terus pulang ke Surabaya. Mereka berjalan terus ke selatan dan timur.

Mereka menjadi sangat penasaran mendengar temannya dibantai oleh Wilis.

Berita jatuhnya Blambangan secara keseluruhan ke tangan Wilis sangat mengejutkan Gubernur Jenderal di Batavia.

"Gila itu Wong Agung Wilis yang dikatakan Mangkuningrat dulu? Masih hidup? Ah... Kenapa bisa begitu, he? Terhadap pribumi biadab bisa kalah? Mereka punya bedil dari mana?"

Anggota Dewan Hindia tak menjawab. Karena itu ia segera memerintahkan perwakilan VOC di Surabaya mengerahkan seluruh kekuatan yang ada. Termasuk bantuan dari Mataram dan Madura.

Sorakan terdengar waktu api mulai membakar Benteng Banyu Alit, atas perintah Nawangsasi. Ia bertekad membakar hidup-hidup semua penghuni Banyu Alit.

"Dirgahayu Blambangan! Dirgahayu Paramesywari.

Dirgahayu Wong Agung Wilis!" mereka bersorak.

Namun sorakan itu tidak terlangsung terus. Karena tiba-tiba tembakan kanon bahkan meriam berlangsung dengan gencarnya. Pasukan gabungan kompeni telah tiba.

Nawangsasi mengirimkan berita jalannya pertempuran pada Wilis. Dan waktu Wilis akan berangkat membawa bala bantuan ke Banyu Alit, Yistyani mencegah.

Lalu? Wilis tidak mengerti. Mungkin saja Yistyani cemburu? Tapi Yistyani mengatakan, perang masih akan berjalan panjang dan lama. Karena itu Wilis harus mengatur siasat dari belakang. Dan diputuskan Surendra membawa pasukannya ke timur, Gandewa ke utara untuk membantu Nawangsasi. Perang telah benar-benar membakar tanah semenanjung.

Sebulan pertempuran belum menunjukkan gejala akan mereda. Tapi suasana sudah berbalik. Bala bantuan dari Mataram, juga Madura mengalir seperti semut.

Sementara itu Wilis sudah mengirim utusan ke Raung untuk minta bala bantuan. Dan di Lateng orang berbondong-bondong minta dipersenjatai. Laki- perempuan siap mengangkat senjata.

"Blambangan atau mati!" teriak mereka.

Hati Wilis melambung karenanya. Ia merasa mendapat kekuatan baru dari Hyang Durga. Mereka yakin bahwa mereka pasti menang. Namun kenyataan telah merisaukan hati Wilis. Laskarnya mulai terdesak di mana-mana. Jember, Panarukan, Situbondo, dan terus semakin menciut daerahnya. Laskar Wilis mundur terus. Hutan demi hutan, kota demi kota jatuh ke tangan laskar gabungan yang begitu banyak.

Wong Agung Wilis tersibak hatinya melihat serombongan orang mengusung Nawangsasi. Tubuhnya yang padat itu berlumuran darah.

"Drubiksa!" Gigi Wong Agung gemertak.

"Jangan marah, Wong Agung." Nawangsasi masih mampu bercakap. "Mana Yistyani?"

"Dia juga berangkat perang."

"Wong Agung, semua sudah berakhir bagiku," Nawangsasi berkata pelan. "Aku telah kehilangan banyak dalam hidupku. Bermula dari kehilangan hak memilih.

Untuk suatu tugas seperti Dewi Tari. Kemudian aku kehilangan kebahagiaan karena ditolak oleh orang yang kukagumi. Ingat kau, Yang Mulia? Untuk selanjutnya kehilangan anak.

Kekasihku. Terakhir aku kehilangan kehormat-anku karena hidup dalam kemiskinan. Kini segalanya telah hilang. Hilang juga milikku yang terakhir, nyawaku...

Wong Agung."

"Ampunkan daku." Ia bersihkan luka yang berdebu. "Kuatkan, Yang Mulia. Kita jelang hari esok yang

ceria."

"Setiap orang ingin memperpanjang impiannya. Tapi tak kurang-kurang karena mengejar impian itu orang masuk dalam suatu babak yang paling kelam dalam hidupnya. Aku orangnya. Aku telah melewati tiap liku hidupku dengan tanggung jawabku sendiri. Kini kau harus meneruskan langkahmu sendiri. Jangan hibur aku, Wong Agung. Aku bukan sudra yang bodoh." "Seorang wanita mengagumkan. Hamba mengagumi Yang Mulia sejak semula. Tapi karena beberapa hal manusia harus tinggal dalam kepalsuan." Wilis membelai rambut Nawangsasi. "Yang Mulia memang tidak seharusnya di sisi Kanda Mangkuningrat. Ampuni aku "

"Ahhhh jangan hibur lagi! Saat terakhir ini, mari kita

tanggalkan topeng kita."

"Tidak, Ayu Chandra aku sudah menanggalkannya.

Di penjaraku. Karenanya kuatkanlah hatimu. Semangat yang tinggi akan menumbuhkan kekuatan yang tinggi pula."

"Oh Benarkah yang kudengar ini? Wong Agung, aku

merindukanmu, Wong Agung, peluklah aku! Wong Agung "

Dua hari Nawangsasi mengerang karena panas. Hyang Durga makin mencengkeram nyawanya. Dan kemudian mencabutnya.

Wilis makin kacau kala Yistyani juga tertembak.

Sendiri ia antar ke garis belakang.

"Jika aku mati, jangan berhenti. Peperangan harus jalan terus."

"Yis "

"Jangan bersedih. Hamba akan terus menuju Raung.

Mereka harus turun."

"Kita sedang terkepung dari segala penjuru. Jangan lakukan itu."

"Tidak, Kekasih. Badan masih kuat untuk bisa sampai di Raung. Yang Mulia, ingatlah pemimpin yang lain, termasuk Surendra, tidak akan berarti apa-apa tanpa Yang Mulia. Nah, Kekasih, selamat berperang. Dirgahayulah. Hamba harus segera ke Raung."

Wilis mencium pipi Yistyani. Dan wanita itu pun berangkat.

Satu-satunya pemimpin laskar Wilis tertembak atau gugur. Rusaknya suatu barisan juga ditentukan oleh kemampuan pimpinannya. Juga dalam peperangan ini. Tapi musuh memang menyemut. Mati satu datang seratus. Tembakan makin mengganas. Wilis tidak sempat berdiri. Karena dengan tiarap pun peluru berdesing terus lewat kepalanya. Sekali dua ia membalas.

Dan dari sebelah menyebelahnya ia mendapat berita, Gandewa gugur. Hati Wilis sedikit risau. Maka ia memerintahkan agar seluruh pasukan bergerak mundur. Dan mereka menembak terus sambil mundur ke Lateng. Pada bulan ke tiga laskar Wilis dengan terpaksa menyuruh laskarnya bertahan di belakang tembok perbentengan Lateng.

Peperangan makin tidak imbang. Senjata, jumlah tentara, dan bahan makanan. Maka Wilis kian terdesak. Mayat kian banyak. Musuh atau kawan. Wong Agung Wilis tahu benar bahwa ia cuma dapat mengulur waktu kekalahan. Tapi anehnya, Wilis tidak bisa dipaksa oleh VOC untuk menyerah. Tembakan meriam tidak henti menghantam Lateng.

Karena Lateng sulit ditembus maka komandan penyerangan, memerintahkan menutup jalur makanan yang mungkin datang dari luar. Sekarang kepungan dilakukan berlapis-lapis. Bahkan juga dari laut. Sambil terus ditembaki. Waktu pengepungan terhadap pasukan Wilis sudah mencapai bulan ketiga, maka orang Blambangan benar- benar kehabisan bahan makanan. Kepanikan telah terjadi karena kelaparan. Wong Agus Wilis berpikir keras. Laskarnya sekarang tidak mati oleh pelor lawan. Tapi oleh karena kelaparan. Mereka mulai makan apa saja yang bisa dimakan. Semua ternak sudah habis. Tidak seekor ayam pun tersisa. Apalagi domba, kerbau, babi.

Bahkan anjing dan kucing pun punah sama sekali. Tikus dan bekicot juga kadal pun tiada. Ular menjadi rebutan. Akhirnya tidak seekor ular pun tersisa di Lateng.

Keadaan kian menyedihkan hati Wilis.

Maka Wong Agung Wilis kemudian mengumpulkan semua penghuni kota Lateng. Ia memberikan kesempatan bagi mereka yang ingin menyerah pada VOC untuk pergi membawa bendera putih ke luar perbentengan.

Yang pertama melakukan tak lain adiknya. Ya, adiknya sendiri. Mas Alit. Wilis memandang adiknya sendiri dengan tajam. Tak masuk akalnya, seorang pangeran menyerah. Kemudian diikuti beberapa ratus orang ia keluar dengan bendera putih yang diangkat tinggi-tinggi.

Balatentara VOC bersorak melihat ini. Tapi Mas Alit segera memperingatkan agar kompeni jangan terlalu bergirang. Karena Wong Agung Wilis bersama beberapa ribu pengikutnya belum menyerah.

Kini Wilis mengambil keputusan terakhir. Jika ia bersama mereka maka semua yang tersisa ini akan kelaparan. Mati pelan-pelan dengan menderita aniaya. Maka ia panggil Surendra. "Aku akan menyerbu mereka nanti malam. Surendra.

Aku akan mematahkan kepungan ini."

"Kepunganv ini berlapis-lapis, Yang Mulia. Jangan lakukan itu sendiri."

"Aku akan lakukan dengan beberapa orang yang masih kuat. Harus ada seorang Wong Agung Wilis tertangkap oleh mereka agar kelaparan ini berakhir."

"Wong Agung akan menyerah?"

Wong Agung Wilis tersenyum. Bahkan tertawa. "Tidak, Surendra. Tapi kita akan maju, semua orang

dengan pakaian yang sama dan mempunyai nama yang sama. Wong Agung Wilis. Nah... kita mencoba. Siapa yang berani, mari bersamaku."

Malam hari itu Wong Agung Wilis bersama ratusan orang merayap keluar. Surendra terharu. Juga para wanita menangis melihat pemimpin mereka melakukan tindakan senekat itu. Perasaan haru membuat jumlah orang yang mengikuti Wong Agung Wilis bertambah.

Kompeni tidak lagi sempat menembak dengan serbuan mendadak ini. Korban berjatuhan lagi. Orang Blambangan sangat nekat. Namun peperangan itu tetap tak imbang. Karena yang satu pihak segar dan berjumlah banyak. Dan karena itu jumlah korban tidak sama pula.

Berita peperangan diikuti bersama oleh setiap orang di Mengwi. Mereka bersukacita waktu Wilis mendapat kemenangan di mana-mana termasuk merebut Ibukota Lateng. Ratih bahagia.

Namun setelah mendengar adanya arus balik, maka Gusti Ayu Ratih adalah orang paling sedih. Apalagi setelah mendengar Wong Agung bertahan di Lateng selama lebih dari tiga bulan, dalam kepungan, kelaparan. Ia menangis setiap saat.

Wanita itu tak pernah keluar dari pura. Dan waktu ada berita yang dibawa oleh budak-budak mengabarkan bahwa Wilis tertangkap dan dibuang ke Banda, ia pingsan. Orang segera membawanya kembali ke puri.

"Ratih, kau seorang satria. Apa kata orang jika seorang satria tak mampu menerima kenyataan seperti ini? Bukankah semua ada akhirnya?"

Masih saja menangis.

"Dengar, Adikku. Jika kau bersedih terus, maka bayi dalam kandunganmu akan berbahaya. Kau harus menjaga agar bayi itu hidup terus. Kelak, dengar, Ratih, kelak, anak itu akan meneruskan peperangan di Blambangan. Dia akan jadi pahlawan! Ya, pahlawan yang lebih besar dari bapanya. Nah, berbahagialah kamu akan melahirkan seorang pahlawan."

"Hyang Dewa Ratu, benarkah itu?" Ni Ayu tersentak. "Wong Agung orang besar. Anaknya akan lebih besar

lagi. Ibu manakah yang lebih berbahagia dari seorang ibu yang melahirkan orang besar? Dan orang besar lahir dari seorang yang berjiwa besar."

Senyum Ratih merekah kembali mendengar nasihat kakaknya. Ia merasa anak dalam kandungannya kian besar. Untuk menghibur diri ia selalu menyirami bunga setiap hari. Ia pulihkan kembali keadaan taman seperti ketika Wilis masih tinggal di situ.

Mentari memancar terang. Menghapus semua kabut pagi di Mengwi. Gusti Ayu Ratih telah menyiapkan diri dengan bokor yang berisi bunga-bunga, hendak ke pura. Ia akan menghadap Bedande, memohonkan berkat bagi anaknya yang sebentar lagi akan lahir. Ia telah mengenakan pakaian terbagusnya.

Namun kala ia turun dari gerbang purinya, ia menjadi sangat terkejut. Seorang lelaki dengan tubuh berselimut debu memandangnya tajam. Ratih memperhatikan lelaki yang berani itu. Hidungnya, kumisnya, mulut, kemudian tubuh yang masih ada luka di beberapa bagian.

Para dayang ikut berhenti. Ikut memperhatikan. Ikut terpatri dalam kebisuan. Sampai lelaki itu menyembah.

"Sembah buat Yang Mulia."

Bokor di atas kepala Ratih terjatuh demi mendengar suara itu. Ia berlari mendekati lelaki itu.

"Benarkah ini Wong Agung?" "Inilah hamba, Yang Mulia." "Hyang Dewa Ratu..."

"Kecantikan Yang Mulia untuk selamanya. Itu yang membuat hamba datang kembali."

"Dewa..." Ratih menubruk Agung Wilis. Menangis.

Untuk kemudian menarik tangan Wong Agung. "Hyang Dewa Ratu..."

Kemudian mereka berjalan bergandengan masuk puri.

Kenapa tiba-tiba Wong Agung muncul di Bali?

Kalahkah ia dalam perjuangannya? Bagaimana nasib Blambangan selanjutnya? Adakah yang meneruskan perjuangan Wong Agung, atau ia akan kembali lagi untuk merebut negerinya dari tangan VOC?

Bacalah semua jawabnya dalam Gema di Ufuk Timur Selesai
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar