Seruling Sakti Jilid 16

Jilid 16

75-Arwah Pedang

Tubuh tinggi kurus dengan baju hijau pupus di dunia persilatan merupakan ciri yang mudah dikenal. Lelaki itu bernama Pariçuddha, lebih dikenal sebagai Arwah Pedang. Untuk menjumpai lelaki ini sangat sulit jika dia tak menginginkan untuk bertemu.

Tapi beberapa hari ini kaum persilatan yang ada di kota Pagaruyung, sering melihat orang yang disenyalir sebagai Arwah Pedang, muncul disana sini,meskipun dia tak memakai baju hijau, bahkan pedang juga tak tampak tersoren. Meski orang menyangka dia mirip dengan Arwah Pedang, tapi tak satupun berani memastikan dengan bertanya.

Saat ini, dia sedang terlihat duduk di sebuah rumah makan. Arwah Pedang memesan air jahe dengan nasi ketan. Meskipun Jaka sudah menerangkan detail arah bangunan, dimana Ketua Bayangan tinggal, dia lebih suka kedatangannya diundang. Tentu saja dia punya cara bagaimana anak buah Ketua Bayangan menjumpai dirinya.

Hari ini dia duduk di rumah makan yang diduga pengelolaannya ditangani kelompok Ketua Bayangan. Di tempat itu pula Jaka berjumpa dengan Momok Wajah Ramah. Simbol cara Arwah Pedang minta bertemu orang, diperoleh dari Jaka, sementara pemuda itu memperolehnya dari Arseta. Setelah wedang disajikan, Arwah Pedang menyelup jemarinya dan meneteskan ke meja sebanyak tiga tetes. Dan itu dilihat oleh pelayan saat mengantar nasi ketan. Lelaki ini percaya, sebentar lagi ada balasan serupa.

Nampaknya dia tak perlu menunggu lebih lama, sesaat kemudian masuk lelaki muda, dia duduk di seberang meja Arwah Pedang. Air yang dia pesan adalah air daun salam, uap yang mengepul dari gelas tanah liat itu tertampung oleh penutup gelas, lalu pemuda itu membuka tutup, mencecerkan dua butir air disamping gelas.

Arwah Pedang melihat itu, dia bergegas membayar lalu keluar, berjalan santai. Ternyata simbol yang dilakukan tadi adalah tanda ingin bertemu orang, jika si pelayan yang melihat tanda itu tidak memberi respon, Pariçuddha beranggapan dia salah tempat. Tapi ternyata tanda yang dia buat tadi mendapat balasan cepat, dua tetes air berarti: ikuti aku.

Tak berapa lama kemudian, pemuda dalam rumah makan juga keluar, berjalan cepat dan melewati Arwah Pedang, dipertigaan depan, dia berbelok kekiri. Pariçuddha segera mengikuti dengan tak kentara. Tak berapa lama, dia sampai di sebuah hutan pinus, terlihat pemuda itu berhenti menunggu dirinya.

Tangan pemuda itu diudara membuat suatu tanda bulatan, dengan jari manis. Pariçuddha melakukan hal sama dengan ibu jari. Pemuda itu membungkuk, "Harap tunggu sejenak." lalu dia membalikan tubuh dan melepas bajunya. Saat sudah berhadapan dengan Arwah Pedang lagi, dia sudah mengenakan baju coklat ketat. Wajahnyapun tak lagi seramah tadi. Arwah Pedang pada dasarnya memang bertampang dingin, serius, sifatnya juga nyentrik. Tapi sejak berkumpul dengan Jaka semua sifat itu tidak ada. Kini dihadapannya ada pemainan semacam ini, membuat kebiasaannya kembali. Dari tadi belum sepatah katapun keluar dari mulutnya, dia juga tak bertanya apapun.

"Di hari biasa, kami pasti akan menyilahkan tamu-tamu yang mengetahui simbol kami, tapi saat ini adalah kekecualian!" Kata pemuda itu dengan tawar, dia menatap Arwah Pedang penuh selidik.

Lelaki ini mengerutkan keningnya, dia teringat simbol tertentu, lalu tangannya bergerak dengan dinamis, jemarinya satu per satu bergerak bergiliran. Wajah pemuda itu berubah, tanda yang dilakukan orang didepannya itu adalah kesepakatan paling baru yang dibuat oleh Arseta sendiri. Apakah orang ini kawan dari Arseta? Jelas tidak mungkin. Setelah kedatangan seorang tamu yang diterima Ketua Bayangan, Arseta tak pernah keluar, jadi satu-satunya kesimpulan adalah; orang itu berhubungan dengan tamu terakhir. Sebab tamu terakhir mempelajari simbol rahasia terbaru. Dengan ragu pemuda ini menatap lelaki itu.

"Kau temannya?"

Arwah Pedang, tidak tahu 'nya' yang dimaksud adalah siapa. Tapi jika itu bisa membawanya menjumpai adik iparnya, diapun mengangguk.

"Hm.. Kebetulan sekali, aku belum sempat berjumpa dengannya, sempat kudengar sedikit sanjung puji atas dirinya. Kupikir harus kubuktikan lebih dulu, aku mohon pengajaranmu!" tegas dan getas ucapan pemuda ini. Arwah Pedang terheran-heran dengan ketusnya sikap pemuda itu, dia menangkap rasa iri didalamnya. Dengan perasaan apa boleh buat lelaki ini mulai mengawasi pemuda dihadapannya dengan seksama.

Ada yang mengejutkan dari penampilan pemuda itu. Sosoknya tidak setinggi Jaka, tapi raut dan sikapnya, cukup berbobot, wajahnya juga tampan, cuma berkesan dingin. Lamat-lamat Pariçuddha merasa ada hawa beku merembes dari tubuh si pemuda, padahal sinar mentari juga cukup menyorot hutan pinus, hawa itu sangat tipis nyaris tak bisa dirasakan, jika saja dirinya tidak pernah melewati puluhanan pertempuran hidup mati, tentu hawa semacam itu tak akan bisa dirasakan. Diam-diam Arwah Pedang mempertinggi kewaspadaan, sikapnya pun jadi prihatin. Hawa yang merembes dari tubuh lawanya, semacam cikal bakal hawa membunuh, bisa dirasakan olehnya, tak lebih dari sepuluh tahun kedepan pemuda itu pasti sanggup melampauinya.

Pemuda lawannya itu seperti batu mulia yang belum terbentuk. Sikapnya yang kokoh dan teguh, membawa satu perbawa cukup menakutkan. Perlahan tangan kirinya terangkat dengan lengan tertekuk kesamping sejajar bahu, jemari mengepal menempel dada, tangan kanannya memegang siku kirinya-tepatnya jemarinya menjumput siku. Melihat itu, berubah wajah Pariçuddha, sikap pembukaan itu dikenal Arwah Pedang sebagai Silat Baginda.

Terkesip juga lelaki ini menyaksikan gerak selanjutnya, dia pikir mungkin saja lawannya cuma mencangkok gerakan, tapi gerakan jemari yang sekelumit tadi memastikan kemurniannya. Silat Baginda adalah olah gerak yang hanya dimiliki kalangan bangsawan. Para leluhur mereka yang waskita telah mencipta olah gerak berdasarkan kewibawaan, sementara sistem pernafasan untuk membangun hawa sakti konon hanya bisa dilakukan oleh trah darah biru.

"Hiat!" pekik bagai lengking hewan, menusuk timpani telinga. Dengan melesat cepat kearah Arwah Pedang, tangan kanan yang memegang siku kirinya mencuat dalam kepalan dengan gemuruh laksana guntur.

Arwah Pedang terkesip menyaksikan jurus itu, dia pernah bertarung dengan orang yang memiliki jurus serupa, tapi perbawanya tak sedahsyat ini! Penasaran ingin melihat tataran ilmu lawannya, Arwah Pedang memapaki kepalan lawan dengan tapak tangannya, sebuah jurus sederhana yang digunakan oleh pintu perguruan manapun, 'Mendorong Selaksa Angin', cuma bedanya jika jurus itu seharusnya digunakan dengan jari lurus mengarah langit, Arwah Pedang menggunakannya dengan tapak miring ke kiri.

Plak! Benturan keras terjadi, terjangan si pemuda seperti batangan besi yang tak tertahankan, lengan Arwah Pedang sampai menekuk, tergempur! Ternyata gempuran pemuda itu belum selesai, dari bahunya mengedut sekali, dan Arwah Pedang merasa seperti disembur satu pukulan jarak jauh,tapi dengan jarak sedekat itu Telapakannya terasa kebas.

Tak mau dirugikan, telapak tangan lelaki ini memutar kebawah, dan ibu jari serta kelingkingnya mengait kepalan si pemuda yang terus saja mengeluarkan tenaga kedut dari bahu.

Dan seiring tenaga itu terhambur, tangan Arwah Pedang seperti sedang dipukul-pukul dengan besi. Kaitan pada kepalan dia kencangkan, sementara jari telunjuknya sudah menyentuh nadi pemuda itu. Seperti dugaan Arwah Pedang, begitu jarinya menempel pada nadi, kepalan tangan kiri yang menempel didada begitu sebat mengibas, serangan itu terlampau mendadak, bahkan lebih dahsyat dari serangan pertama, pemuda itu sudah memiringkan tubuh, memanjangkan poros tubuh! Dia memukul kepala Arwah Pedang. Tapi agaknya pemuda ini lupa, kepalannya sedang dikait dan nadinya sudah disentuh Arwah Pedang.

Lelaki ini memiliki keistimewaan dalam pengerahan tenaga, dia tidak pernah melakukan hal yang sia-sia, semuanya selalu pas, tak lebih-tak kurang, hanya setitik saja. Sentuhan jarinya juga pas, tidak lebih untuk menghentikan serangan susulan, tidak kurang untuk membekukan gerakan pemuda itu selama satu tarikan nafas...

"Tangan kirimu kuat sekali." Puji Arwah Pedang disamping si pemuda yang masih membeku, sesaat kemudian dia bisa bergerak, dan terburu-buru menjauhi Arwah Pedang.

"Kau bisa panggil aku Kiwa Mahakrura." Dengus si pemuda merasa tak puas dengan kekalahannya, namun diapun harus bersikap jantan untuk tak meneruskan gebrakan.

Arwah Pedang menghela nafas dingin. "Tahukah kamu, sebutan itu bisa memendekkan usiamu?"

"Bukan urusanmu!" seru Kiwa Mahakrura ketus. "Ikuti aku!"

Arwah Pedang tak banyak bicara, dia mengikuti pemuda itu, melalui jalan yang pernah Jaka lalui, tak berapa lama Arwah Pedang pun terheran-heran dan takjub dengan keadaan disitu. Sebuah bangunan tua cukup luas, dikelilingi bangunan lain sebagai dinding pelindung, lantai halaman yang kehitaman dan licin. Arwah Pedang, tahu batu lantai adalah kuarsa kasar, tapi sudah sedemikian licin, lelaki ini memperkirakan paling tidak, sepuluh dasa warsa adalah hitungan minimal keberadaan bangunan itu. Diantara keheningan yang mencekam, aroma kayu kuno juga teruar, membuat kesan bangunan itu begitu misterius. Arwah Pedang tak lagi memperhatikan kemana Kiwa Mahakrura, setelah puas melihat diapun duduk di sebuah kursi kayu jati.

Tak berapa lama, muncul lelaki dari dalam. Menyaksikan tamunya, wajahnya terperanjat. Dia memang dapat laporan ada orang berpenampilan mirip Arwah Pedang, tak disangka dugaan itu malah nyata. Buru-buru dia datang dan menjura. "Mohon maaf jika kedatangan tuan, tidak mendapat sambutan yang pantas."

Arwah Pedang mengulap tangannya. "Aku tak ingin berbasa-basi, aku perlu bertemu Ketua Bayangan.."

Wajah Arseta nampak berubah, dia tak bisa menduga apa maksud Arwah Pedang, cuma jika dikaitkan dengan Jaka, bisa jadi kedatangannya untuk membalas dendam?

"Kau tak perlu memikirkan, kedatanganku gara-gara buah Jalanidhi atau bukan." Arwah Pedang bisa membaca kecanggungan Arseta.

"Kalau demikian, mari.. Ikuti saya." Setelah bimbang, Arseta memutuskan untuk membawa tamunya ke dalam. Tapi bukan tempat dimana Jaka pernah masuk, melainkan ruang yang berbeda. Pada saat Jaka datang kesitu, memang sudah timbul rencana mereka untuk merekrutnya, dengan atau tanpa persetujuan. Maka ruangan yang lebih pribadi diperlihatkan. Tapi tokoh sekaliber Arwah Pedang jelas tidak bisa disamakan dengan Jaka. Cuma, ucapannya tentang buah Jalanidhi, memberi ilham aneh pada Arseta. Jangan-jangan kita salah bertindak? Pikirnya makin gundah.

Arwah Pedang sudah duduk dalam ruangan dibelakang bangunan utama, ada sebuah taman yang cukup luas disana. Meski dirinya cukup dingin menghadapi semua persoalan, tapi berpikir akan menjumpai adik iparnya, membuat denyut jantung lebih cepat.

76 - Obat Peredam Masalah

Tak berapa lama kemudian, muncul sosok tegap dengan wajah berjenggot dari dalam. Rahangnya mengeras melihat sosok lelaki yang berdiri dihadapannya. Lelaki itu adalah suami kakaknya, tapi dalam pandangannya—dan mungkin orang lain, Arwah Pedang sangat tidak layak di sebut lelaki yang bertanggung jawab.

“Tak kusangka kau berani memunculkan diri disini!” datar suara Ketua Bayangan begitu berhadapan dengan Arwah Pedang.

Arwah Pedang terdiam, dia tidak langsung menjawab. Begitu banyak golakan perasaan yang ingin dia katakan pada adik iparnya, tapi dia memiliki kesulitan yang tak mungkin diutarakan kepada orang lain. Dengan meredam gejolak perasaan, tanpa merubah raut wajahnya. Arwah Pedang mendengus perlahan.

“Jika bukan urusan yang membuat dirimu terdesak, tak mungkin aku munculkan diri disini.” Ketusnya.

“Aku tidak perlu bantuanmu!” seru Ketua Bayangan hampir lepas kendali.

“Kau harus sadar diri, kau tidak tahu siapa yang kau hadapi, kau tidak tahu hendak melawan siapa! Kau hanya meraba bayangan!” kata Arwah Pedang menatap adik iparnya. Lelaki dihadapannya itu dia kenal sebagai pribadi yang jujur dan tegas, dan kini dibalik tatapan matanya yang nyalang, dia temui semacam rasa lelah.

Geraham Ketua Bayangan bergemertak menahan emosi, apa yang dikatakan Arwah Pedang itu sangat tepat, dia tidak dapat menolak fakta itu.

“Lalu apa maumu?”

“Seperti yang kukatakan, aku akan menolongmu!”

Lagi-lagi Ketua Bayangan mendengus. “Kaupun tidak tahu apa yang harus kau tolong, kau menghadapi hal yang kau tidak tahu sama sekali!” timpanya membalas ucapan Arwah Pedang tadi.

“Kau bisa mengatakan itu setelah melihat apa yang kubawa.” Desis Arwah Pedang mencoba meredam gejolak perasaannya. Dengan hati-hati, Pariçuddha mengeluarkan bungkusan dari balik bajunya. Bungkusan itu di lapisi daun jati, begitu di buka dauni itu, lamat-lamat tercium bau harum. Menicum bau harum itu wajah Ketua Bayangan berubah hebat, tiba-tiba saja tubuhnya bergetar, dan jatuh terduduk dikursi. Arseta yang melihat dari kejauhan berlari mendekat, dengan terburu dia pegang lengan Ketua Bayangan. Tapi lelaki ini mengibaskan tangan Arseta.

“Jangan campuri urusan kami!” katanya tegas.

Mengangguk bingung, Arseta kembali masuk kedalam.

Arwah Pedang terkejut melihat reaksi yang ditimbulkan obat pemberian Jaka, diapun tidak tahu entah obat jenis apa yang di berikan pemuda itu padanya. Apapun itu, dia percaya penuh pada Jaka, maka dengan percaya diri Arwah Pedang berkata.

“Sekarang, apa yang bisa aku tolong?”

Ketua Bayangan menutupi wajah dengan kedua tapak tangannya. “Kenapa justru harus kau?” geramnya hampir tak terdengar.

Arwah Pedang benar-benar bingung dengan kondisi adik iparnya yang seperti kena pukulan batin itu. Tapi raut wajahnya yang dingin tidak menggambarkan perasaan hatinya.

“Baik! Aku akan terima pertolonganmu!” seru Ketua Bayangan dengan raut muka antara marah juga putus asa. “Agaknya kau puas sudah menginjak-injak harga diri seluruh keluarga kami!” ketus lelaki ini dengan wajah merah padam.

Arwah Pedang benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi, Jaka memang sempat memberi isyarat bahwa obat itu akan membawa cukup banyak perubahan. Tapi dia sama sekali tidak mengerti, kenapa reaksi adik iparnya bisa sehebat itu?

“Aku tidak seperti yang kau tuduhkan, jika kau memang aku memang demikian, aku tak perduli! Tapi jika kau merasa terpaksa menerima bantuanku, lebih baik aku buang bungkusan ini!” gumam Arwah Pedang sembari membalikan badan seolah hendak berlalu

“Jangan!” seru Ketua Bayangan terburu-buru. “Tolong, jangan… baik! Aku tidak terpaksa, aku sangat berterima kasih dengan bantuanmu!” katanya dengan wajah kuyu, tertunduk dalam.

Arwah Pedang tidak tega lagi melihat kondisi adik iparnya yang demikian tertekan. “Dari awal, aku memang berniat menolongmu, jadi tidak mungkin aku membuang ini… apalagi aku bertaruh nyawa demi mendapatkannya!” ujar Arwah Pedang. Jika Hastin mendengar ucapan lelaki ini, mungkin dia akan mencibir dirinya sebagai pembohong, dari mana datangnya; obat pemberian Jaka, dia dapatkan dengan bertaruh nyawa? Padahal maksud Arwah Pedang adalah, dia percaya penuh pada si pemberi obat, seperti halnya dia sanggup mempertaruhkan nyawa untuk membela seluruh kepentingan Jaka.

Ketua Bayangan tergagu mendengar ucapan kakak iparnya, dia paham benar, jika Arwah Pedang berkata, maka itulah kenyataan yang terjadi. Dengan hati-hati Ketua Bayangan menerima obat itu seperti menerima anugrah seisi bumi, wajahnya diliputi perasaan haru campur senang.

“Akhirnya.. akhirnya, engkau tertolong… terima kasih Tuhan…” bisiknya dengan suara lirih. Arwah Pedang mendengar ucapan itu, dia bukan orang bodoh, sejak awal Jaka menyerahkan obat itu, dia mengira ada seseorang sangat penting, yang harus segera mendapatkannya. Melihat gelagat adik iparnya, Arwah Pedang dapat menduga, mungkin saja istri atau anaknya yang membutuhkan obat itu.

“Apa yang kau minta sebagai balasan dari obat ini? “ kata Ketua Bayangan dengan nada lebih lunak dari sebelumnya.

Arwah Pedang terpekur, dia sebenarnya ingin mengatakan, bahwa seharusnya adik iparnya percaya padanya, bahwa dia bukan seperti orang yang dia tuduhkan, dia memiliki kesulitan yang tak mungkin diungkapkan pada siapapun. Jika ini berkaitan dengan nyawanya, dirinya bukanlah orang yang tamak hidup, dia berani berkorban nyawa demi itu semua! Tapi masalahnya ini bersangkutan dengan nyawa orang lain… nyawa istrinya! Nyawa, kakak dari Ketua Bayangan. Tapi itu semua tak mungkin dia ungkapkan. Dengan menghela nafas panjang-panjang, Arwah Pedang menindas perasaannya.

“Aku tidak meminta apapun.” Katanya dengan suara datar. Ketua Bayangan terperangah tak percaya mendengarnya. “Tapi jika, kau mau mendengar nasehatku, aku ingin kau

melakukan sesuatu…” “Katakan!”

“Percepat semua rencanamu. Akan ada banyak perubahan dalam beberapa hari kedepan.” Kata Arwah Pedang dengan nada lebih ringan, dia berhasil menindas perasaannya. Benar kata Jaka, obat yang di berikan pada iparnya itu, memang membuat urusan lebih mudah, obat itu ternyata cukup ‘memperbaiki’ keadaan hubungan dengan adik iparnya, meski tidak mengalami kemajuan apapun. Setidaknya kini mereka bisa bercakap-cakap tanpa di selingi emosi membuta.

“Apakah kau terlibat dengan ini semua?” Tanya Ketua Bayangan dengan nada ragu.

“Apa yang kau maksud dengan terlibat?” Arwah Pedang balik bertanya.

“Maksudku, usaha penumpasan gerakan-gerakan dalam bayangan…”

Untuk pertama kalinya, Arwah Pedang tersenyum tipis. “Kau boleh berasumsi demikian. Aku memiliki kepentingan dengan itu semua.”

“Apakah kau sudah mengetahui rencana kami, dari anak didikmu?” Tanya Ketua Bayangan, dia teringat bahwa boleh jadi, Jaka-lah yang memaparkan segala sesuatu tentang kondisi disini.

Tawa Arwah Pedang melebar, “Dia bukan anak didikku, dia sahabatku.” Serunya dengan dada agak membusung. Entah kenapa jika berkaitan dengan Jaka, perasannya jadi lebih ringan.

Raut wajah Ketua Bayangan seolah tak percaya mendengar ucapan Arwah Pedang. Bersahabat dengan iparnya ini merupakan hal langka yang jarang terjadi. Tapi jika dia mengingat bahwa Jaka bisa melakukan kemahiran serupa ilmu Arwah Pedang, ucapanan iparnya itu merupakan legitimasi yang tak terbantahkan. “Dia berkirim salam padamu, dan ingin mengatakan terima kasih atas pemberian buah Jalanidhi…” cetus Arwah Pedang menatap wajah adik iparnya.

Selebar wajah Ketua Bayangan memerah sekejap. Tak disangka, cara ancaman halusnya pada Jaka tidak mempan sama sekali. Dia berpikir, bahwa kakak iparnyalah yang membebaskan Jaka dari pengaruh buah itu. Tapi kalau dipikir- pikir, waktu itu Jaka juga tahu bahwa yang dia telan adalah buah Jalanidhi, boleh jadi anak muda itu juga tahu cara memunahkannya.

“Melakukan segala sesuatu secara berterang memang sulit menjaga dari kemungkinan dicurangi diam-diam. Tapi dengan perbuatan yang dilakukan terang benderang, bisa membuat kepala tegak saat menghadapi siapapun.” Ucap Arwah Pedang setengah menyindir.

Ketua Bayangan sangat merasa oleh sindiran itu. “Ucapan itu seharusnya kau katakan untuk dirimu juga!” katanya dengan nada meninggi.

Arwah Pedang tergagu sesat, lalu dia mengangguk, yang di maksud adik iparnya, adalah ganjalan mereka tentang kakaknya. “Ya, kau benar… kau benar sekali!” lelaki ini hanya bisa mengatakan demikian.

Suasana diantara mereka kembali ‘memanas’, tapi mumpung hubungan mereka sedang ‘membaik’, Arwah Pedang berkeputusan untuk segera meninggalkan kediaman adik iparnya.

“Aku sudah tidak memiliki urusan lagi, kupikir sudah saatnya pergi.” Cetus lelaki bertubuh tinggi kurus itu. Ketua Bayangan hanya bisa mengangguk saja, sejauh ini dia sudah tidak bisa membenci ‘bekas’ kakak iparnya, seperti kebenciannya selama ini.

“Silahkan…” dengan singkat dia menyilahkan Arwah Pedang pergi. Ketua Bayangan meminta Arseta untuk mengantar Arwah Pedang.

Saat mengantar Arwah Pedang, Arseta bertanya. “Saat ini, dimanakah Jaka?”

Pariçuddha terdiam sesaat. “Kurasa dia akan melakukan rencana yang pernah dipaparkan olehmu dalam waktu dekat.” Katanya singkat.

Arseta manggut-manggut, dia tidak berani bertanya lebih jauh, karena melihat tampang dingin Arwah Pedang. Sebenarnya dia ingin bertanya dari mana lelaki itu mendapat obat pemunah, tapi dia segan melontarkan kalimat tanya itu.

“Selamat jalan…” ucap Arseta dengan mengangguk hormat sesaat setelah mereka berada di ‘pintu gerbang’ unik dari perkampungan misterius itu.

Arwah Pedang balas mengangguk, dalam sekejap, tubuhnya berkelebat lenyap. Meninggalkan Arseta yang terbengong.

“Siapa sebenarnya Jaka? Apakah aku telah melakukan kesalahan?” Pikirnya sambil masuk kedalam. Sebab dia merasa, setelah Jaka masuk ke perkampungan mereka dan mengikuti berbagai petunjuknya, dia melihat seolah ada hal yang kasat mata sedang bergerak seolah mendukung langkah mereka! ----dewikz----

77 - Kepalan Arhat Tujuh

Usianya sudah masuk kepala lima. Di usia senja seperti itu, sebenarnya dirinya sudah tak memiliki ambisi apapun. Tapi kondisi dunia persilatan dan pertikaian masa mudanya membuat dia harus kembali ke dalam dunia hingar bingar, dunia yang membesarkan nama Alih Wangsa sebagai Kepalan Arhat Tujuh.

Bagi orang lain nama Kepalan Arhat Tujuh bagai mega- mega diangkasa, terdengar tapi tak terjangkau. Orang-orang yang ada disekitar Jaka Bayu pun kadang masih tak percaya bisa sedekat itu dengan Kepalan Arhat Tujuh. Karena kebiasaan dirinya memang tak banyak orang yang tahu. Dia paling suka menyamar! Makanya dia paling sulit ditemui. Sejauh ini jarang sekali ada tahu seperti apa rupa asli Alih Wangsa, tapi sejak kesulitan terakhir mendera dirinya, dia memutuskan tidak lagi menggunakan samaran—tentu saja terkecuali jika ada kondisi-kondisi yang memaksanya harus turun tangan.

Hari masih begitu sejuk, permohonan Jaka agar dirinya berkordinasi dengan Penikam, membuatnya tersenyum. Tak disangka, seorang Kepalan Arhat Tujuh harus kesana kemari untuk mendukung usaha seseorang yang lebih patut menjadi anaknya. Jaka Bayu, adalah sebuah anomali dalam dunia persilatan, demikian menurutnya. Dia pernah merasakan betapa lapang hati pemuda itu, jika berbalik kedudukan, bahwa yang mengalami ‘kejadian itu’ adalah Jaka Bayu, belum tentu dirinya melakukan pengorbanan seperti yang dilakukan Jaka.

Maka dari itu, apapun yang terjadi, dia akan terus mendukung pemuda itu. Tadinya karena dilatarbelakangi rasa terima kasih saja, tapi lama kelamaan, perasaan itu bergeser menjadi gairah yang menggebu. Gairah dalam mendukung cita-cita Jaka Bayu. Ambisi pemuda itu untuk menciptakan kehidupan lebih baik-pun kini menjadi cita-citanya yang mendarah daging, dia kira rekan-rekan yang lain pun mempunyai perasaan serupa.

Melalui pinggiran Kota Pagaruyung, Ki Alih menyusuri jalan-jalan setapak. Penampilannya yang sangat bersahaja tidak mencerminkan betapa tenar namanya. Tak disangka di hadapannya juga lewat seseorang dengan tergesa-gesa, lelaki itu sangat dikenalnya, Bergola!

”Minggir pak tua!” ketus Bergola seraya menepis Ki Alih pada saat mereka berpapasan. Tentu saja Ki Alih sangat bisa menghindar, tapi itu tak dilakukannya, dia tak ingin kehadiran mereka mendapat perhatian dari banyak kalangan, meskipun Jaka memutuskan untuk sedikit menampakkan ’ekor’.

Ki Alih terjerembab, begitu Bergola mendorongnya kesamping. Lelaki itu tidak melihat akibat tindakannya, dia terus saja berlari dengan tergesa, bahkan makin lama makin cepat. Dengan gerakan sangat cepat, Ki Alih menyambitkan sesuatu dari balik bajunya, begitu cepat dan lembut benda yang dia lontar, sebelum Bergola menghilang di belokan, benda itu sudah menempel di tubuh tanpa dia ketahui.

Melihat Bergola begitu tergesa, Ki Alih yakin ada perubahan yang mungkin saja Penikam sudah tahu. Maka diapun dengan langkah terburu bergegas menuju tempat ’mangkal’ Penikam dan kawan-kawan.

Sebuah tempat pejagalan ayam di sebuah pasar dan warung memang sangat tidak mencolok. Disanalah Penikam dan Cambuk menyambungkan mata rantai sandi dan menghimpun berbagai data. Pasar Joropasa adalah nama tempat mereka ’mangkal’. Di pasar itu, kegiatan boleh dibilang hampir sehari semalam non stop. Karena pasar Joropasa bisa dikatakan semacam pasar induk Kota Pagaruyung. Seluruh komoditi yang beredar di kota itu, semua harus melewati satu pintu.

Jadi sangat jamak, jika pasar itu selalu dipenuhi orang dari berbagai penjuru. Segala macam saudagar dan pengusaha dari lain kota banyak yang mengembangkan usaha disana. Bahkan Pasar Joropasa adalah tempat bongkar muat barang kebutuhan sehari-hari terbesar di seluruh daerah pemerintahan Kerajaan Rakahayu.

Ki Alih datang kesebuah kios jagal ayam, ”Aku mau enam kati hati ayam dan dua puluh kati rempela.” katanya pada seorang penjual.

”Tunggu sebentar Ki, saya lihat persediaan kami dulu.” kata sang penjual, lalu dia menanyakan kedalam sembari berteriak. Dikeriuhan suara para pengunjung pasar terdengar sahutan dari dalam.

Walau Ki Alih mendengar apa jawabannya, tapi dia tetap diam saja, membiarkan penjaga kios mengatakan padanya.

”Ada Ki, harap kau tunggu di sana...” tunjuknya pada sebuah bangku di belakang kios. Dengan segera, Ki Alih-pun segera menuju tempat yang ditunjuk tadi. Tak berapa lama, dari dalam kios keluar Penikam. Enam ditambah dua puluh adalah dua puluh enam dan jumlah itu adalah nama lain dari Penikam. Jika jumlah Ki Alih tidak sebanyak itu, jangan harap Penikam mau menjumpainya. Terkadang sandi dalam dunia mata-mata tidak memberikan keringanan pada siapapun, meski orang yang datang adalah kerabat sendiri.

Begitu Penikam duduk di hadapan Ki Alih, maka lelaki separuh baya itu mengeluarkan uang—untuk membayar, ditambah secuil kain. Sangat kecil cuilan kain itu, tapi bagi Penikam sudah paham, apa yang di minta oleh Ki Alih. Secuil kain yang memiliki aroma khas itu hanya sebagai contoh barang yang harus segera ditemukan jejaknya. Salah satu kemahiran Penikam adalah melatih anjing, dimanapun dia singgah, jika dia menjumpai anjing, maka dia bisa membuat hewan itu dalam waktu singkat menjadi ’kaki-tangannya’ dalam melakukan pelacakan.

Dan sekarang, Ki Alih datang membawa ’sample’ untuk di lacak. Sambil mengatakan ’terima kasih’, Penikam memberikan kembalian berupa remukan perak—berfungsi sebagai receh kembalian. Setelah mendapatkan barang yang tadi dicari, sambil berjalan, Ki Alih meraba-raba remukan perak itu, dia menyatukannya—seperti permainan puzzle, sedemikian rupa hingga menjadi batangan. Dengan jarinya, diesla-sela langkah santainya, dia bisa membaca pesan dalam batangan itu.

Begitu terbaca, Ki Alih mengacaukan lagi ’puzzle’ peraknya, dan dimasukan kedalam kantong. Dia berjalan dengan pasti kearah sebuah rumah sederhana di deretan jalan-jalan yang cukup padat menduduknya. Dengan pasti Ki Alih mengetuk pintu, selang beberapa saat dari dalam muncul gadis muda membukakan pintu, dia segera mengambil bungkusan di tangan Ki Alih seraya menjabat tangan dan menciumnya.

”Silahkan masuk eyang...” katanya.

Ki Alih mengangguk-angguk sambil menepuk bahu anak dara itu, dia masuk kedalam dan menghempaskan pantatnya di kursi. Rangkaian kegiatan Ki Alih sangat wajar. Seorang tua yang datang kepasar membeli daging, lalu ’pulang’ kerumah disambut cucunya, tak ada satu orangpun yang mengira bahwa rangkaian kegiatan itu, adalah hal-hal yang terpisah dan tidak direncanakan sama sekali. Gadis muda itupun hanya diberi tugas oleh Penikam, untuk mencium tangan orang yang datang kerumah itu sambil membawa apapun yang memiliki jumlah dua puluh enam! Lain dari itu, tidak ada! Jadi seandainya ada orang yang melacak kegiatan Penikam, informasi itu akan selalu terputus pada saat dia menemukan setitik petunjuk.

Tak berapa lama dari dalam, keluarlah lelaki usia akhir tiga puluhan berperawakan pendek agak gemuk bahunya lebar, paling banter tingginya hanya 5 kaki (151.5cm), wajahnya beroman senyum dengan kumis tipis tak teratur tumbuh diatas bibir.

Ki Alih menyerahkan pecahan perak tadi, dan orang itu menerima dengan hormat. ”Boleh saya tahu apa yang Pandra inginkan?”

Pandra adalah sebutan istilah tingkatan dalam organisasi Penikam, bawa orang tersebut termasuk salah satu pemuncak, pimpinan. ”Pemabuk Berkaki Cepat.” kata Ki Alih singkat.

Lelaki itu mengangguk paham, lalu dengan memohon diri dia masuk kedalam untuk sementara. Tak berapa lama kemudian, dia membawa sebuah lencana terbuat dari kayu dengan ukiran sederhana. Ukiran sebuah garis melintang. Bahkan jika dilihat lebih teliti, benda itu tak patut disebut lencana.

“Ini adalah Tanda Silam, sebuah simbol yang sangat dijunjung tinggi oleh Perguruan Pedang Mentari, Merak Inggil, Awan Gunung dan Awanamuk. Di tempat kota ini kebetulan ada empat orang yang oleh Mahapandra, ditarik sedemikian rupa untuk memperhatikannya.”

Ki Alih sudah mendengar cerita tentang Mahapandra (pimpinan tertinggi)—sebutan lain untuk Jaka Bayu, yang menarik perhatian Para Pemabuk Berkaki cepat—Swatantra dan kawan-kawannya, saat sedang ‘mengkonfirmasi’ data orang yang Jaka sangka sebagai wakil tetua perkumpulan pengemis cabang selatan, dicurigai sebagai atasan Bergola. Dan tadi dirinya sempat berpapasan dengan Bergola, betapa sangat kebetulan!

“Aku paham. Apa ada kekurangan informasi untuk kalian rangkum lebih jauh?” Tanya Ki Alih, mengherankan pertanyaan lelaki ini, jika dia bertanya pada orang lain— sebagai penawaran menambah informasi, mungkin masuk akal. Tapi, penawaran itu diajukan kepada kelompok mata- mata?

“Benar Pandra, kami tidak bisa berbenturan dengan mereka. Harap Pandra dapat menarik semua kebiasaan mereka.” Ki Alih tersenyum, tugas mata-mata adalah mengamati, mereka selamanya tidak pernah berbenturan dengan orang lain dalam segala kondisi! Dan untuk saat ini, mereka sangat membutuhkan data para Pemabuk Berkaki Cepat. Yang di maksud ‘menarik kebiasaan mereka’, adalah segala kemahiran yang dimilik orang-orang itu.

“Baik, tidak masalah. Ada yang lain?”

“Mereka, sekarang sedang bingung mengaitkan Tanda Silam dengan Benteng Ilusi Mahapandra. Posisi mereka saat ini dekat dengan benteng ilusi.”

Ki Alih tahu dimana tempat itu, sebab dia datang lagi kekota ini justru menyamar sebagai kusir anak-anak Pratyantara. Kali ini dia baru paham apa yang di maksud oleh Jaka dengan ‘menemui’ para Pemabuk Berkaki Cepat. Dengan informasi terakhir yang dia dapatkan, maka bisa dia tebak, Jaka meminta dirinya untuk membuat kocar-kacir orang-orang itu. Tentu saja bukan sembarang kocar-kacir, tapi gebrakan yang akan membuat mereka mendatangkan lebih banyak ‘angin’ yang sedang ditunggu Jaka. Ki Alih menggelengkan kepalanya berkali-kali sambil tersenyum, dia memang tahu pikiran Jaka tidak tertebak, kadang kala aneh bahkan tak masuk akal, tapi dia baru sadar ternyata urusan yang dilakukan Jaka begitu njlimetnya.

“Bagaimana dengan nomor satu?”

“Tunggu sebentar Pandra.” Lelaki itu masuk kedalam, dan membawa beberapa catatan. Diatas profil catatan itu tertulis nama Bergola, ternyata nomer satu adalah indek yang mereka sepakati dalam membuat pengurutan tokoh-tokoh bermasalah. Ssuai petunjuk Jaka, Bergola adalah orang pertama yang masuk dalam pengurutan itu.

“Sejauh ini belum ada gerakan yang mencurigakan, mengenai dugaan Mahapandra bahwa wakil tetua perkumpulan pengemis cabang selatan adalah atasan Bergola, kami rasa tidak tepat. Setelah kami amati seksama, dia lebih cocok sebagai gurunya…”

Ki Alih menggumam perlahan, karena pemuda ini tidak sempat memperhatikan gerak-gerik kedua orang itu—karena terlalu banyak urusan, tentu saja dugaan yang selama ini lebih banyak benarnya; jika kali ini melesat, adalah jamak.

“Baiklah kupikir sudah cukup…” Ki Alih bergegas keluar dari rumah itu diantar dara muda yang tadi membukakan pintu untuknya.

Mengambil jalan yang jarang orang melalui, Ki Alih sudah bersalin dengan sangat cepat, dia mengenakan pakaian hitam-hitam dengan wajah memakai kedok kulit, jika ada orang-orang dari Pratyantara, maka mereka akan segera mengenali ‘kusir’ mereka lagi. Tak berapa lama kemudian Ki Alih sudah ada di dasar jurang dekat jalan batu tempat Jaka ‘melukis’ benteng ilusinya.

Dia melihat dua bangkai kereta yang dihempaskan oleh Hastin tiga hari lalu, teronggok hancur. Dengan terburu-buru Ki Alih memilah-milah kayu-kayu yang sudah hancur tak berbertuk itu. Selama menyusup di perkumpulan Pratyantara, Ki Alih tahu benar bahwa tiap kereta kuda yang di buat oleh Jung Simpar—sang ketua, dilengkapi dengan bubuk-bubuk mesiu. Meski Jung Simpar terkenal licik dan sangat suka menimpakan kesalahan pada orang lain, tapi harus diakuinya bahwa orang itu termasuk jenius dalam hal rancang bangun. Jika kereta itu masih berbentuk, sedikit mematik api pada bagian tertentu, kereta itu bisa jadi ‘bom berjalan’. Tapi kondisinya sudah menjadi rongsokan seperti itu malah menguntungkan Ki Alih, dia bisa menggunakan untuk aksinya.

Benteng Ilusi adalah bibit angin yang ditanam Jaka, sudah tentu banyak orang-orangnya yang tersebar di sekitar itu. Maka tidak heran jika di belakang Ki Alih, tiba-tiba bergerombol orang mengepungnya. Buru-buru, dirinya membuat symbol dengan jari yang dilakukan satu kali. Enam orang yang mengepungnya langsung membungkukkan badan dan salah satunya menghampirinya.

“Ah, hampir saja kami kesalahan tangan…”

“Kau pasti, Macan Terbang.” Tukas Ki Alih, dari Jaka dia tahu, penanggung jawab di tempat ini adalah Ludra si Macan Terbang.

Sambil mengangguk, Ludra berkata. “Sebuah kehormatan nama saya bisa diingat oleh Pandra pertama.”

Ki Alih tertawa. “Sudahlah! Bagaimana dengan kondisi terakhir?”

“Orang-orang dari Perguruan Awanamuk sudah bergabung dengan para Pemabuk Berkaki Cepat. Nampaknya mereka sedang memburu jejak pencuri kitabnya.”

“Ah…” Ki Alih paham, ternyata Lindu Wastu sudah bergerak, pikirnya. Lindu Wastu adalah murid kedua Ketua Perguruan Naga Batu. Dia menganjurkan Netracurik untuk mencuri Kitab Soce Pranala—milik Perguruan Awanamuk, tak disangka diapula yang membocorkan jejak bahwa kitab itu ada di sekitar kota ini. Entah peranan apa yang sedang dimainkan orang itu, pikir Ki Alih lagi.

“Kau adalah salah satu yang turut meringkus Netracurik, bagaimana kesanmu dengan orang-orang Awanamuk?”

“Saya bingung Pandra…” katanya agak tergagap. “Lho, kenapa?”

“Sebab reaksi orang-orang Awanamuk justru tidak gusar, sudah jamak diketahui jika orang yang kehilangan salah satu benda pusaka, seharusnya sangat mudah marah. Tapi mereka tidak berkesan seperti itu.”

“Apakah kau atau temanmu melihat mereka bertemu dengan pihak lain sebelum bergabung dengan para Pemabuk Berkaki Cepat?”

“Ya, ada…” lalu Ludra menerangkan cirri-cirinya, yang membuat Ki Alih terkejut.

“Bergola?” desisnya. “Bagaimana mungkin dia kenal dengan orang-orang Awanamuk? Apa hubungannya?”

78 – Membesarkan Bibit Api dan Angin

Ludra hanya memperhatikan keheranan Ki Alih dengan pandang mata bingung pula, dia selalu ingin mengucapkan terima kasih kepada salah satu penolongnya ini, tapi situasinya benar-benar tidak memungkinkan. Boleh dibilang nyawanya memang diselamatkan Jaka Bayu, tapi orang inilah yang melakukan pertolongan pertama di tempat kejadian! Cukup memusingkan mengetahui fakta baru, tapi Ki Alih memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi, ada pekerjaan yang lebih penting untuk dikerjakan saat ini!

“Kalian perhatikan keadaan disekelilingku. Aku akan menyapa orang-orang diatas.” Desisnya.

Ludra mengiyakan, beserta teman-temannya, dia bergegas pergi menyebar keseluruh penjuru. Ki Alih mempersiapkan segala sesuatunya sambil kembali menganalisa persoalan secara detail. Pada saat Jaka bertemu dengan orang berkedok di seputar Kuil Ireng, pemuda itu mengatakan hendak; memancing, menyulut api dan membumbui. Sebagai salah satu dari tujuh orang yang ikut bersembunyi dalam Kuil Ireng dan memperhatikan seluruh percakapan Jaka, dia paham benar apa yang diinginkan pemuda itu.

Bibit Angin adalah Benteng Ilusi, mengenai bibit Api; banyak sekali! Menurutnya, saat ini Para Pemabuk Berkaki Cepat adalah salah satu bibit Api yang diharapkan. ‘Memasak’ dengan api tanpa ‘angin’, tidak akan menambah besar api. Tetapi jika terlalu besar api, karena hembusan angin, segala sesuatunya akan melebar, dan tidak fokus. Mungkin saja menurut Jaka, ketidak fokusan ini akan membuat masakan mereka ‘hangus’ dan inilah yang dihendaki pemuda itu. Rencana bertajuk ‘tumis ikan arang’. Seolah ingin melempar anjing, tapi yang kena babi. Boleh dibilang tipu bersuara di timur menyerang barat. Tapi caranya sangat rumit dan sulit di lacak. Mengingat begitu banyak pihak yang terlibat di dalam pusaran masalah Perguruan Naga Batu, mungkin menurut Jaka, hanya inilah cara yang tepat untuk memancing keluar seluruh pihak yang berkepentingan. Tanda Silam yang di sebarkan oleh Penikam, nampaknya membuahkan hasil yang cukup mencairkan kejenuhan di rumitnya persoalan Perguruan Naga Batu. Orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan persoalan ini, mereka tidak memiliki undangan dari Perguruan Naga Batu—hanya kusus di berikan pada enam belas perguruan besar. Tentunya, sangat mudah baginya untuk ‘menggosok’ orang-orang ini.

Ki Alih sudah mantap dengan rencananya, serpihan kayu bekas kereta Perkumpulan Pratyantara, dihancurkan dengan hawa saktinya hingga menjadi bubuk debu. Sekujur tubuhnya ditaburi debu-debu kayu yang bercampur mesiu itu. Dengan melejit pesat, Ki Alih mendaki dinding jurang bagai berjalan di jalanan datar. Nama Kepalan Arhat Tujuh disematkan padanya, karena lelaki itu memiliki keistimewaan pukulan, tendangan dan kecepatan geraknya bagai bayangan rangkap tujuh, bisa dibayangkan secepat apa dia bergerak.

Hanya dalam satu tarikan nafas, dinding jurang setinggi belasan tombak dia lalui dengan mudah. Ki Alih mencari tempat persembunyian yang strategis, dia mengamati keadaan dengan seksama. Hal pertama yang di lihat olehnya adalah benteng ilusi buatan Jaka. Sungguh dia tak pernah mengira, jejak ‘pertarungan’ Jaka, menjadi perhatian demikian banyak orang! Sedikitnya separuh dari orang-orang dari enam belas perguruan utama sedang mencermati ‘bekas pertempuran’ itu.

“Kau pikir siapa yang sanggup melakukan gebrakan seperti ini, apakah kau pernah mendengar ada tokoh seperti ini?” terdengar salah seorang anak murid Perguruan Lengan Tunggal melontar tanya pada rekannya. Tapi pertanyaan itu, seolah kalimat yang di tujukan pada setiap orang. Sebab tak ada satupun yang menjawab. Mereka mengikuti alur pertarungan yang memecah pada tujuh jenis kekuatan berbeda, semua tertera jelas di tanah padas dan dinding tebing.

“Apa ini bukan Tujuh Satwa?” gumam salah seorang menduga-duga. Tapi itupun tak ada yang menimpali, sungguh mereka tak berani menyimpulkan terlalu dini. Tapi jika ada yang berani menduga semacam itu, tentu saja karena mereka melihat ada ‘jejak’ Tujuh Satwa pada ‘bekas pertarungan’ itu.

Tiba-tiba kesunyian di pecahkan oleh derap langkah terburu dari kejauhan, dilihat dari bajunya, dia adalah anak murid Perguruan Matahari Tanpa Sinar.

“Guru, Kakang… ada kabar menghebohkan!” seru orang ini pada salah satu rombongan yang di kawal oleh orang lelaki paruh baya.

“Ada apa?” Tanya pemuda yang bertampang angkuh ini melirik sekilas.

Dengan menyesuaikan nafas yang berkejaran si pendatang ini menghirup udara dalam-dalam. “Baru saja kudengar, Perguruan Naga Batu diserang orang!”

“Ah…” kejap berikutnya suara bagai kumpulan lebah mendengung di sekitar jalan batu itu. Berita itu begitu menghebohkan! Kontan saja tiap orang memperbincangkan, siapa yang punya nyawa rangkap menganggu Perguruan Naga Batu?

“Kau tidak salah dengar?” tegur lelaki paruh baya yang menyertai pemuda bertampang angkuh itu. “Tidak guru Rudra Lugas…” sahut pemuda itu dengan takzim.

“Dari mana kau mendengar berita itu?” Tanya lelaki yang di sebut sebagai Rudra Lugas. Dari kejauhan Ki Alih menengarai lelaki itu ada hubungannya dengan Matahari Dua Bukit, Singo Lugas, mungkin adiknya.

“Anak murid perguruan itu sendiri, konon katanya Serigala yang menerobos masuk dan membuat kalut. Tapi aku juga mendengar, malah Beruang juga ikut merecoki Perguruan Naga Batu.”

Ah, Cambuk dan Penikam sudah bergerak cepat menyebar berita. Pikir Ki Alih dengan gembira. Kebetulan sekali, aku bisa bertindak dengan membawa nama kalangan Perguruan Naga Batu.

Disaat bersamaan ini, seharusnya Serigala-lah yang sedang mulai mengusik Perguruan Naga Batu. Jadi sangat tidak mungkin anak murid Perguruan Naga Batu mengetahui demikian cepat. Cepatnya berita ini menjalar pasti akan di telusuri oleh orang-orang Perguruan Naga Batu. Entah apapun hasil yang mereka dapatkan, kesimpulan yang akan mereka hasilkan adalah; Ada sesuatu yang ikut ‘bermain’ dengan kekuatan besar. Jika perhitungan Jaka benar, ‘sesuatu’ itu akan memikirkan ulang langkah-langkahnya. Tapi jika dia nekat meneruskan langkahnya, kemungkinan besar penggalangan kekuatan besar-besaran akan dilakukan Perguruan Naga Batu.

Keterangan tadi membuat orang-orang makin kalut, jika benar dua satwa yang paling susah dihadapi sudah ada di kota ini, artinya ‘pertempuran’ di tebing ini benar adanya. “Sebenarnya apa yang sedang terjadi?” gumam Rudra Lugas kebingungan, sembari memperhatikan ‘bekas pertempuran’ dengan kening berkerut dalam.

“Guru, jika kabar itu benar datang dari anak murid Naga Batu. Artinya, ada satu tokoh besar yang sudah membuat tujuh satwa terpaksa harus menghadapinya secara bergilir…” pemuda bertampang angkuh ini tak berani menyatakan tujuh satwa ‘mengeroyok’ seseorang. Sebab dia paham, jika salah satu satwa mendengar ucapannya dan tersinggung, satu satwa saja bisa membuat perguruannya jungkir balik, konon lagi harus tujuh orang. “Apakah guru bisa mengambil kesimpulan siapa dia?”

Rudra Lugas menggeleng. “Jangan-jangan dia?” bisiknya. “Dia siapa?” kejar pemuda yang tadi membawa berita

menghebohkan.

“Kalian berdua sudah pernah melawannya!” tegas sang guru.

Wajah kedua pemuda itu tiba-tiba kemerahan dan memucat. Lelaki bertampang angkuh ini mengepalkan tangannya.

“Kukira bukan dia!” serunya dengan gigi bergemeletuk.

Sang guru menepuk bahu muridnya. “Aku tidak menyaksikan kau melawan dia, tapi aku dengar dari kakakku, bagaimana dia memunahkan Pancawisa Mahatmya. Cukup dari sini saja, aku pun harus mengakui diriku bukan lawannya.” Ucapan Rudra Lugas menggegerkan orang-orang disekitar tebing, meskipun mereka tidak tahu seberapa tinggi kemahiran lelaki yang menjadi guru dua orang pemuda itu, tapi mereka paham. Perguruan Mentari Tanpa Sinar, tidak pernah membiarkan seorang anak murid dilatih oleh guru yang memiliki kemampuan semenjana. Yang menjadi pertanyaan, siapa orang yang dimaksud guru dan murid itu?

Keduanya tak mengatakan apa-apa, tetapi dari perubahan wajah keduanya seolah membenarkan ucapan gurunya.

“Mohon maaf…” mendadak seseorang mendekati ketiganya, dia pemuda berusia akhir dua puluhan, “saya Swatantra dari Perguruan Pedang Mentari.”

Rudra Lugas balas memberi hormat. Kedua muridnyapun membalas hormat Swatantra ala kadarnya. Di belakang Swatantra mengikut pula tiga orang pemuda lainnya. Mereka adalah Pancaksi dari Perguruan Awan Gunung, Kagendra dan Dwiya Galih dari Perguruan Merak Inggil. Swatantra memperkenalkan mereka satu per satu. Membuat Rudra Galih beserta murid-muridnya terkejut juga, sebab empat orang itu cukup memiliki nama di dunia persilatan.

“Ada keperluan apa?” Tanya Rudra Lugas mengerutkan kening.

“Sebenarnya ini tidak ada hubungannya, tapi maaf.. saya lancang bertanya. Tokoh seperti apa yang sedang tuan sekalian perbincangkan? Maaf, bukan bermaksud ingin ikut campur, tapi… di kalangan perguruan kami juga ada sedikit kehebohan dengan munculnya tanda yang seharusnya hanya bisa keluar jika keadaan kritis… sangat kritis.” Tutur Swatantra hati-hati. “Oh…” Rudra Lugas terkejut, “Apakah maksudmu Tanda Silam?” tanyanya heran.

Swatantra mengiyakan, dia tidak terkejut jika kabar ‘Tanda Silam’ juga diketahui orang lain, sebab keluarnya lencana itu cukup menghebohkan dunia persilatan dan membuat beberapa tetua dari enam belas perguruan utama menjadi saksi.

Percakapan itu tidak menarik bagi Ki Alih, dia memutuskan untuk mencukupkan perbincangan yang tak ketahuan juntrungannya itu, dengan gerakan sangat pesat, dia melesat dari tempat persembunyiannya dan menghentakkan sebuah tendangan kearah dinding tebing, tepat disebelah tanda yang di buat Jaka.

Brak!

Sebuah bekas tapak kaki melesak dalam, membuat dinding-dinding di sekitarnya bergetar lalu berguguran. Bekas jejak itu melesak, dalam jarak beberapa depa kesamping kanan kiripun ikut amblas. Seolah-olah ada bola raksasa jatuh menghantam dinding tebing itu. Tentu saja kejadian yang sangat tiba-tiba itu membuat orang panik dan menjauh dari longsoran batu. Sadar ada bahaya mengancam, sontak belasan orang itu berkumpul dalam satu kelompok dengan Rudra Lugas dan Swatantra sekalian.

Ki Alih berdiri mendarat dengan ringan dihadapan mereka, disekujur tubuhnya terlihat percikan-percikan api berkelap- kelip. Bahkan mereka masih melihat kelap-kelip bara api serupa kunang-kunang di jalur gerakan pendatang itu. Seolah pendatang itu mengenakan serabut benang emas yang terurai panjang. “Siapa yang menyiarkan omong kosong perguruanku di serang orang?!” bentak Ki Alih dengan nada dalam. Suaranya datar, tapi tiap orang yang mendengar seperti di godam dadanya. Mereka sadar pendatang itu memiliki hawa sakti amat tinggi.

Tatapan Ki Alih menjelajah tiap wajah orang dihadapannya. “Kalian datang kemari karena undangan dari kami. Jadi, jagalah tingkah laku kalian. Perguruan Naga Batu adalah tonggak pimpinan seluruh perguruan, jadi sangat tidak mungkin ada cecurut yang berani bertingkah didalam perguruan kami!”

“Omong kosong!” ketus seorang pemuda tiba-tiba maju. Ki Alih mengenalnya sebagai Pancaksi dari Perguruan Awan Gunung. “Perguruan Naga Batu memang sudah lama berdiri, tapi kau tidak sepantasnya mengaku memimpin seluruh perguruan di bawah perintahmu!”

“Tutup mulutmu!” bentak Ki Alih dengan garang. “Kau hanya berasal dari perguruan kecil, tidak patut mengatas namakan enam belas perguruan utama!” cetusnya membuat seluruh orang di luar enam belas perguruan utama tersinggung.

“Kau terlalu sombong tuan!” sahut Swatantra terbakar emosinya.

Ki Alih tertawa. “Kau mau membuktikan bahwa Perguruan Naga Batu ada diatas seluruh perguruan?” katanya menantang. Ucapan Ki Alih yang terakhir seperti minyak menyiram api, bahkan Rudra Lugas yang cukup dingin pikirinya pun terusik karena ucapan sombong Ki Alih.

“Kau terlalu tinggi hati kisanak!” geram Rudra Lugas. “Adalah sebuah kenyataan, enam belas perguruan utama

memenuhi undangan kami dengan mengirimkan salah satu jajaran tertinggi, jika itu bukan pengakuan akan status kami sebagai pimpinan, memangnya itu apa?!” pancing Ki Alih membakar emosi massa.

“Bualanmu memang harus dihentikan!” teriak Pancaksi, mendadak melompat dengan pedang terhunus, gerakannya gesit, dalam satu tarikan nafas sudah ada di hadapan Ki Alih.

Pedang yang terhunus tentu saja bukan sebagai hiasan semata, begitu sampai dihadapan Ki Alih, Pancaksi membacok lurus dari atas kebawah dengan gerakan kilat, seolah akan membelah tubuh lawanannya. Dengan sangat mudah Ki Alih menghindari serangan itu, kakinya hanya bergeser satu tapak, lalu tangannya mengibas dada lawannya.

Blang!

Pancaksi terpental, nyaris menggelinding masuk jurang, tapi rupanya pemuda itu cukup keras kepala, dengan mencengkeram tanah padas dia menghentikan laju tubuhnya. Mendadak, dia kembali melenting dan langsung mengeluarkan seluruh jurus simpanannya menyerang Ki Alih, tebasannya kali ini bagai sambaran puting beliung. Mengingatkan orang dengan hembusan angin gunung, tapi lagi-lagi serangannya tidak membuahkan hasil sama sekali. Melihat kondisi Pancaksi yang mulai kepayahan, Swatantra dan dua pemuda lainnya turut menyerang Ki Alih.

Ketiganya berturut-turut menghunus pedang, seraya berkelebat mendekat mereka membacok Ki Alih dengan berbagai ilmu simpanan perguruan masing-masing. Desingan pedang Swatantra bagaikan kilat, berkerjap menyambar- nyambar seluruh bagian tubuh lawan. Tiap sambaran di sisipi hawa sepanas bara!

Demikian pula dengan kakak beradik seperguruan dari Perguruan Merak Inggil. Pedang keduanya sangat aneh, melengkung seperti celurit, tapi panjangnya bagai pedang pada umumnya. Ki Alih pernah melihat pedang semacam itu, dari negeri seberang, hanya saja pedang orang-orang negeri seberang itu, tidak semelengkung pedang anak murid Merak Inggil. Jika sambaran Swatanta bagai petir menyambar, sambaran kedua anak murid Merak Inggil bagai, hembusan biang es, dingin menggigit dan membuat bulu kuduk meremang. Diam-diam Ki Alih memuji kemahiran keempat anak muda itu, kemampuan mereka benar-benar tidak dibawah anak murid perguruan utama!

Namun Kepalan Arhat Tujuh bukanlah sebuah nama kosong, tebasan demi tebasan, bacokan dan tusukan, dengan mudah dia elakkan. Semua hadiri melihat gerakan Ki Alih dengan terpesona, tiap gerakannya membawa kerlip bara, yang kemudian membumbung, tercampur dalam pusaran gerak lawan. Hadirin seolah melihat satu garis fatamorgana yang bergerak-gerak mengikuti kelebatan tubuh mereka.

Setelah begitu lama, Ki Alih menghindari serangan mereka, lelaki paruh baya ini merasa cukup, dia sudah melihat seluruh gerak serang mereka, dan itu cukup bagi anak buah Penikam untuk ‘merekam’ seluruh pertarungan. Dengan menghentakkan hawa saktinya, tiba-tiba Ki Alih melakukan bacokan mendatar. Kejap itu juga, seluruh senjata lawannya terbawa dalam arus hisap bacokan tangan kosong itu, begitu senjata lawan terseret dalam arus hawa saktinya, tangan Ki Alih membentuk cakar, dan melakukan gerakan menarik dan menghempas. Hadirin melihat keempat orang itu seolah dibetot oleh tangan tak terlihat, berikutnya keempatnya bagai dihempas badai, tanpa ampun mereka jatuh bergulingan!

Di tangan Ki Alih kini ada, empat batang pedang. Dengan tertawa menghina, dia membolang balingkan pedangnya kesana kemari, lalu melemparnya ke dinding tebing. Betapa cepat dan kuat lemparannya, semua orang kini hanya melihat gagangnya saja yang tak tertanam.

“Melawan Perguruan Naga Batu berarti membuat kesalahan besar!” dengusnya memberikan pandangan menantang pada tiap orang. Tapi apa daya mereka yang hadir disitu justru hanya setingkat dibawah Swatantra dan kawan- kawannya, tentu saja mereka tidak mau melakukan tindakan sia-sia.

Tapi Rudra Lugas tentu saja berbeda. Bagaimanapun ucapan Ki Alih sangat menyinggung harga dirinya! Rudra Lugas cukup mengenal Perguruan Naga Batu, dan gerakan terakhir itu membuatnya benar-benar meyakini orang di depannya memang salah satu tokoh Naga Batu, Cakar Naga Menghisap Gelombang, adalah jurus andalan yang hanya di miliki tokoh-tokoh tetua. Rudra Lugas mengepal tangan demikian keras, untuk menahan amarah yang meluap-luap. Sungguh tak di sangka, Perguruan Naga Batu yang terhormat itu, melakukan hal-hal semacam ini! “Apakah kau merasa apa yang kau lakukan itu sangat gemilang?” sindir Rudra Lugas, seolah mengatakan, menang dari anak kecil bukanlah tindakan yang bisa dibanggakan.

“Hahaha… keempat orang itu cukup ternama di dunia persilatan. Tapi dimataku mereka hanya semut saja, kau pun tak terkecuali!”

Ucapan Ki Alih membuat kedua murid Rudra Lugas menggeram. “Biarkan aku menghadapi dia guru!” dengus pemuda yang bertampang angkuh ini.

Sang guru, tak menyahut, tapi sinar matanya yang tajam bagai membara, mengingatkan dirinya bahwa dia belum bisa bertarung dengan leluasa semenjak terkena serangan Jaka. “Seta Angling, Gemati… kalian berdua harus ingat! Bertindak sembrono, tanpa perhitungan hanya mendatangkan kehancuran lebih cepat!”

Keduanya mengiyakan sambil menunduk, semisal kondisi mereka tidak dalam keadaan lemah seperti saat ini-pun, belum tentu keroyokan mereka bisa memberikan perlawanan berarti pada lawannya yang sangat sombong itu.

“Apakah kau akan mengulangi kekalahan keempat anak bawang itu?” Tanya Ki Alih lagi.

Perasaannya dikocok begitu rupa, membuat nalar Rudra Lugas benar-benar nyaris pudar! Tapi dia masih memiliki sisa kesadaran untuk berpikir. Bahwasanya keempat pendekar muda yang cukup disegani itu tidak dapat memberikan perlawan yang berarti, diapun tahu diri… namun untuk melindungi harga dirinya, tak mungkin dia membiarkan hinaan lawan begitu saja. Andaikata dia harus kalah-pun, dirinya harus mencari jalan mundur yang aman, yang jelas tidak membuat malu perguruannya.

“Jika dalam tiga jurus aku tak mampu mendesak dirimu, anggap saja aku terlalu bodoh, karena tak sanggup menyerap ilmu perguruanku dengan sempurna!” desis Rudra Lugas sambil melangkah menghampiri Ki Alih.

Ucapan itu memang mencari jalan mundur aman, Ki Alih sangat paham. Sebenarnya dia juga enggan membuat tokoh- tokoh itu jadi bahan tertawaan, tapi demi melakukan peranan pentingnya, dia pun harus mengeraskan hati.

Menanggapi ucapan lawannya Ki Alih membuat lingkaran dengan kakinya di tanah padas itu.

”Tiga jurus? Membosankan, jika seranganmu bisa membuatku keluar dari lingkaran ini, anggap saja Perguruan Naga Batu memang tidak becus memimpin seluruh perguruan utama. Tapi jika kau tak sanggup… hm, suka tidak suka, kau telah mengakui, perguruanmu terlalu jauh untuk bersaing dengan kami!”

Rudra Lugas menyedot udara dalam-dalam, rasa-rasanya jika dia tak melakukan itu dadanya bisa meledak saking kesalnya. “Aku tak mengakui apapun!” dengusnya. Wajahnya tiba-tiba membeku, jemari tangan yang dari tadi terkepal mendadak memucat dan tiba-tiba merah meranggas. Dari tempatnya berdiri, Ki Alih bisa merasakan pancaran panasnya.

“Kemarilah!” tantang Ki Alih dengan nada meremehkan, meski demikian dia pun bersiap-siap.

Dengan pandangan tajam, Rudra Lugas berjalan perlahan menghampiri Ki Alih, setiap langkahnya menimbulkan tekanan yang begitu menghendak dada. Tapi Ki Alih menanggapinya dengan tenang.

Kini jarak mereka tinggal dua jangkauan. Ki Alih merasakan Rudra Lugas memendarkan hawa panas yang terpusat pada kepalan tangannya, namun sebaliknya, Rudra Lugas tidak merasakan hawa atau tekanan apapun dari lawannya.

Teriakan membahana, terlontar dari mulut Rudra Lugas, tinju yang membara itu menghujani Ki Alih dengan kecepatan tak terukur. Jika berganti orang lain, menghadapi serangan seperti itu pasti kepayahan, tapi Kepalan Arhat Tujuh justru orang yang sangat mahir menggunakan tenaga lawan untuk menyerang balik. Seluruh serangan Rudra Lugas diterima dengan tapaknya. Dia menghalau serangan lawan dengan tenaga si penyerang itu sendiri! Tentu saja Rudra Lugas cukup merasakan betapa semua serangannya seperti membentur baja. Tiba-tiba hadirin, melihat tubuh Ki Alih bagai kembang api yang disulut satu demi satu, dimana serangan Rudra Lugas mengarah, disanalah percik api berkerjap dan kemudian berkobar. Mata kedua anak murid Perguruan Matahari Tanpa Sinar berbinar melihat kejadian itu. Mereka mengira serangan-serangan gurunya membuahkan hasil dan membakar hangus lawan. Padahal mereka mana tahu, kobaran-kobaran api itu terjadi karena sisa bubuk kayu bercampur mesiu yang masih menempel di baju Ki Alih.

Setelah beberapa belas kali benturan terjadi, kepalan Rudra Lugas meluruh. Ki Alih memperhatikan lawannya dengan tatapan mata ‘meremehkan’, beberapa orang yang tadinya berteriak menyemangati Rudra Lugas, terdiam melihat tak secuilpun baju lawannya hangus.  “Kau cukup bagus menjadi salah satu orang berbakat dari Perguruan Matahari Tanpa Sinar. Tapi kau melupakan hal paling penting dari perguruanmu! Coba kau ingat kembali kenapa perguruanmu bernama Matahari Tanpa Sinar.” Kata- kata Ki Alih itu adalah kalimat terakhir orang bisa melihat wujudnya, kejap berikut, tubuh Ki Alih sudah lenyap begitu cepat. Tak ada yang bisa mengikuti kemana dia pergi.

Rudra Lugas menatap kosong kedepan. Dia merasa seluruh serangannya bagai memukul baja tapi juga seperti menghantam sepercik air, tiap tangkisan sang lawan membuat kepalannya yang membara meredup, seperti api unggun yang terkepung embun. Jika seluruh pemuncak Perguruan Naga Batu memiliki kemampuan seperti itu, alangkah menakutkan ambisi yang tadi diungkapkan lawannya. ‘Apakah kami harus menghadiri undangan ini? Jika yang kami dapati hanya penghinaan dan pemaksaan?’ pikirnya gundah.

Dia baru sadar manakala muridnya menyapa. “Engkau mengalahkannya guru?!” Tanya Seta Angling bersemangat.

“Bukan kalah menang yang menjadi masalah.” Katanya menghindari pertanyaan sang murid. “Agaknya Perguruan Naga Batu memiliki sandaran kuat untuk meneruskan ambisi gilanya!” cetusnya sembari memperhatikan Swatantra dan teman-temannya yang masih duduk memulihkan tenaga

Swatantra dan tiga orang temannya menghampiri Rudra Lugas, langkah mereka masih lemah. “Apakah tuan memiliki pendapat setelah menghadapi orang itu? Mohon petunjuknya…”

“Kau mengatakan Tanda Silam muncul?” Tanya Rudra Lugas menegaskan,  disambut anggukan  mereka berempat. “dengan kejadian tadi, aku bisa menyimpulan, bahwa kemunculan lambang perserikatan perguruan kalian berkaitan dengan sesuatu yang sedang berkembang di Perguruan Naga Batu. Mungkin salah seorang tetua perguruan kalian ada yang menyadari hal ini dan ingin meminjam mulut kalian untuk memberi kabar pada semua anak murid kalian…”

Swatantara mengangguk-angguk. “Saya berpikir juga demikian. Tapi rasanya ada yang tidak benar…”

“Bagian mana yang kau rasa meragukan?”

“Jika dia adalah orang Perguruan Naga Batu, kenapa menyangkal adanya kerusuhan di perguruannya sendiri?” ujar Swatantra.

“Kupikir itu hanya propaganda orang itu.” Sahut Gemati si pembawa kabar. “Aku bisa menjamin kebenaran berita itu, karena yang mengatakan adalah beberapa orang anak murid Naga Batu yang tergesa mencari tabib. Coba bayangkan, jika dua orang anggota satwa mengobrak-abrik sarang mereka, kerusakan seperti apa yang akan di timbulkan? Sampai- sampai mereka harus mencari juru obat dari luar perguruan?”

Semua orang mendengarkan dengan seksama, meskipun kesimpulan Gemati terasa menggantung dan kurang meyakinkan, tapi mereka semua sudah bisa menangkap satu jalinan masalah yang sangat serius.

“Apakah kalian tidak merasa aneh?” tiba-tiba Dwiya Galih membuka suara.

“Aneh bagaimana?” Tanya Kagendra pada saudara seperguruannya. ”Kita semua memperhatikan bekas pertempuran ini, tapi orang itu tidak memperhatikan sama sekali. Bahkan dia melakukan satu serangan disebelah bekas pertarungan ini…”

Ucapan Dwiya Galih menyadarkan mereka, dengan tergesa semua orang memperhatikan bekas telapak kaki Ki Alih yang bersebelahan dengan ‘bekas pertempuran’ itu.

“Ah… serupa!” terdengar seruan dari beberapa orang.

Apakah lelaki tadi yang telah bertarung dengan tujuh satwa? Pertanyaan serupa itu menggantung dibenak tiap orang.

“Adalah jamak, jika dia tidak memperhatikan bekas pertarungannya sendiri.” Kata Dwiya Galih berkesimpulan. Pendapatnya di amini oleh banyak orang.

“Ja-jadi… yang kulihat dan kudengar itu, bagaimana?” kata Gemati kebingungan.

Tak ada satupun yang bisa menjawab itu.

“Apapun itu, dengan kejadian tadi, aku harus menghubungi guru...” Gumam Swatantra di benarkan ketiga temannya. Keempat orang itu berpamitan pada Rudra Lugas sekalian. Tak lupa mereka menarik senjata masing-masing yang tertanam di dinding tebing, dengan susah payah. Tak berapa lama kemudian jalanan tebing itu senyap, tiap orang membubarkan diri dengan pertanyaan membingungkan bergayut di benak mereka.

Tapi ternyata tidak semua orang pergi, ada dua orang yang masih asik melihat ‘bekas pertempuran’ itu. “Langkah kita bergabung dengan mereka ternyata sebuah keberuntungan.” Dia berkata pada kawannya.

“Melihat lihainya cara orang-orang Naga Batu membuat sebuah relief pertarungan ini, ternyata bisa menyesatkan pandangan orang.” Ujar temannya dengan tertawa. Lalu keduanya berlalu sambil bercakap-cakap riang.

Jalanan kini benar-benar senyap, angin keras menderu menyapu dinding tebing, membuat beberapa batu bergulir jatuh. Ditempat persembunyiannya, Ludra si Macan Terbang berkata pada temannya.

“Sebenarnya aku yang bodoh atau mereka yang bodoh?” ujarnya dengan menggaruk kepala yang mendadak gatal.

“Kenapa kau bertanya begitu?”

“Sebenarnya siapa yang membuat bekas pertempuran itu? Bukankah itu jelas dilakukan oleh Mahapandra, kenapa orang- orang membuat kesimpulan berbeda-beda?!” tanyanya dengan tatapan mata bingung. Teman-temannya tertawa mendengar ucapan Ludra. Tentu saja mereka paham, ‘lelucon’ Ludra adalah sindiran untuk mengatakan orang-orang sok tahu itu sempurna masuk dalam perangkap.

--dwkz--

79 – Melacak Jejak

Disebuah rumah makan sederhana, tertempel tulisan ‘tutup’ cukup besar. Beberapa orang yang ingin mampir makan dan minum wedang ronde, menyumpah. “Tak biasanya Ki Sampana absen begini. Apa dia tak butuh uang lagi?” gerutu salah seorang yang sudah kadung datang ke warung itu.

“Mungkin, tadi malam di acara akhir bulan dia dapat keuntungan besar, makanya hari ini tutup.” Jawab temannya menenangkan.

“Padahal acara di Telaga Batu tadi malam, juga tidak terlalu menarik.” Gerutunya lagi.

“Ah, kau punya bini baru, apapun tak ada yang menarik di matamu kecuali binimu itu!” sahut temannya, disambut gelak tawa lelaki yang dari tadi menggerutu. Langkah keduanya terdengar beranjak menjauh.

Mereka tidak tahu, jika kedatangan mereka sangat diharapkan oleh Ki Sampana—si pedagang wedang ronde. Mulutnya ingin menjerit, tapi dia tak sanggup keluarkan suara lagi. Pedagang ronde itu menggigil ketakutan, seluruh tubuhnya sudah penuh luka. Dari mulai ujung kaki sampai lutut, sudah penuh sayatan cukup dalam. Kuku tangan dan kakipun sudah tercabut semua! Seluruh darahnya tidak ada yang tertumpah di lantai, sebab kakinya dimasukkan kedalam ember kayu, dan darah sudah menggenang sampai kemata kakinya.

“Ak-ku, sudah katakan pada kalian… aku tidak tahu apa- apa.” Katanya setengah berbisik, dengan terengah-engah lemah. Untuk mengatakan beberapa patah kalimat penjual ronde itu sudah menghabiskan seluruh tenaganya. “Sudah enam belas kali kau mengatakan itu, artinya; enam belas kali sayatan sudah kubuat.” Sahut suara yang berkesan sangat dingin, datar.

Dia menancapkan lagi pisau tipisnya tepat di sambungan lutut penjual wedang ronde itu. Seriangai kesakitan yang amat sangat tidak membuat lelaki itu menghentikan tindakanannya.

“Kutanyakan sekali lagi, kau kenal dengan orang itu?” suara yang dingin menyeramkan itu membuat penjual wedang ronde itu makin putus asa meraih harapan hidup.

“Demi Tuhan, kau tanyakan berapa kalipun aku akan menjawab sama!” teriak lelaki tua ini, tapi hanya suara mendesis yang keluar. Tubuhnya terikat dikursi demkkian kencang membuat darah tak bisa mengalir lancar.

“Ah, mungkin aku yang salah.” Gumam suara itu sembari mengiris jeruk nipis, dengan senyum sadis, dia peras air jeruk nipis itu ke luka-luka sayatan. Ki Sampana menggerang kesakitan, kepalanya tergolek kebelakang, dia pingsan!

Lelaki itu mendengus, “Kau saja yang mengompresnya.” Katanya dengan nada bosan pada rekannya.

“Urusan semacam ini, kau selalu tolol!” seru rekannya, sembari menampar pipi Ki Sempana berkali-kali. Saking sakitnya, lelaki penjual wedang ronde itu siuman lagi.

“Dengar pak tua, aku akan mulai dengan pertanyaan sederhana. Kau pernah melihat dia sebelumnya?”

Ki Sempana tak tahu harus menjawab apa, sebab ‘dia’ yang di tanya kedua orang ini, hakikatnya dia tak tahu juntrungannya. Setengah sadar dia menggelengkan kepala perlahan.

“Kau mendapat uang ini dari mana?” kata lelaki itu sambil mengacungkan beberapa kepeng logam.

“Ah…” setitik cahaya akan harapan hidup membayang di wajahnya. Dia baru sadar kemana arah pertanyaan orang itu. “Ak-ak-ku… dapatkan dari pemuda yang menitip temannya di bangkuku…” jelasnya dengan susah payah.

“Bagus, ada kemajuan!” seru lelaki ini sambil menatap rekannya yang bertampang dingin. “Sudah kubilang, kau memang tolol dalam urusan begini…” ejeknya.

“Lanjutkan saja pekerjaanmu!” sentaknya dengan muka bosan.

“Apa yang di katakan pemuda itu selama berbincang dengan temannya?”

Lelaki tua ini mengerjap matanya berulang kali, “ti-ti dak ingat… ak-ku tak ingat…” jawabnya lirih.

Sambil menghela nafas panjang lelaki kedua ini menggeleng. “Kau memang sudah terlalu tua, baik.. aku perlu segarkan engkau dengan melepas jemarimu satu demi satu….” Katanya sadis, mulai memgang jemari lelaki tua itu.

Karuan saja Ki Sempana ketakutan, “tu..tunggu.. beri aku waktu..” entah dari mana datangnya tenaga, dia bisa berkata dengan suara agak keras.

“Jangan kau buat kami menjadi kebosanan.” Seru lelaki pertama sambil mengambil pisau tipisnya dari lutut pak tua itu. Karuan saja Ki Semana terbungkuk menahan sakit yang luar biasa, dengan nafas memburu dan mata yang makin berkunang-kunang, lelaki tua ini mulai berkata. “akan kuingat- ingat…” katanya tersendat. “Ak-kku hanya mengingat dia berkata begini, ‘jika perkerjaanmu terganggu, kau tidak naik peringkat… kau akan di kejar atasanmu… memulai pencarian dari pekerjaanmu yang terakhir disini kau takut dengan Kilat…’” lelaki itu mengambil nafas panjang-panjang. “Add- da… Maut, … Emas, dan … Ekor apa, begitu dia sebut… aku tak begitu ingat… ‘mereka mengiringi seorang tokoh termasyur’…”

“Hm…” keterangan pak tua itu membuat keduanya saling berpandangan, mulai ada titik kejelasan, meskipun hanya berupa kilasan.

“Bu..buat mereka tidak nyaman di kota ini…” sambung pak tua itu lagi, membuat mereka makin heran.

“It-tu saja saja yang aku ingat… aku tak ingat lagi yang lain..” desisinya melemah. “Ah, dia sempat mengatakan nama orang juga…” sambungnya dengan suara menguat, seperti lilin yang tiba-tiba membesar apinya.

“Nama apa?” Tanya keduanya hamper bersamaan.

“Sora… seperti itulah.. aku tak ingat yang lainnya…” katanya terengah-engah lalu kembali pingsan.

Keduanya memperhatikan lelaki tua itu dengan seksama. “Cukup?” tanyanya pada lelaki kedua.

“Kurasa ini cukup. Kita bisa mulai melacak jejak dimulai dari nama-nama tadi.” Ujarnya dengan wajah suntuk. Lalu keduanya bergegas pergi, tapi lelaki pertama member isyarat saat melihat ada satu wadah minyak jarak. Rekannya menyeringai.

“Kau memang cocok untuk urusan seperti ini…” katanya menyeringai, sembari mengucurkan minyak jarak keseluruh penjuru ruangan, sebelum mereka keluar, sepercik api sudah dilempar oleh lelaki pertama.

Dengan singkat kobaran api mulai menjilat seluruh ruangan yang hanya terbuat dari kayu-kayu tua itu. Dari kejauhan keduanya melihat api mulai membungkus rumah makan sederhana itu. Keduanya tersenyum puas, lalu melesat pesat menjauhi keramaian yang ditimbulkan kebakaran yang makin menghebat itu.

***

Momok Wajah Ramah masih menyumpahi kecerobohannya, semenjak terbangun dari lelapnya dini hari tadi, lelaki ini sudah kabur kedalam pekarangan salah seorang sesepuh kota untuk menetralisir rasa pusing yang masih menggayuti kepalanya.

Dari sebuah sumur dia menimba air dan menyiram kepalanya berulang kali, sampai akhirnya dia merasa lebih enakan. “Keparat orang-orang itu!” runtuknya berulang kali. Maklum saja, sejak dia makan di warung dimana dia bertemu dengan seorang pemuda yang aneh, rasa pening akibat obat bius membuat dirinya kehilangan kelincahan tubuh untuk sementara. Dia teringat, saat meninggalkan Telaga Batu, dirinya sempoyongan seperti orang mabok, tak tahu harus berjalan kemana sampai akhirnya dia sadar sudah berada di pekarangan salah seorang sesepuh kota, yang sebelumnya pernah dia lewati.

Matahari sudah naik makin tinggi, dan rasa pening sudah berangsur hilang. Lelaki ini membersihkan badan sejenak dan mulai duduk bersemadi sejenak. Tak berapa lama kemudian, dia sudah merasakan semangatnya pulih.

“Aku harus memulai dari mana?’ pikirnya, untuk pertama kali dia merasakan sebuah kebimbangan. Pimpinannya mengharuskan dia mengganggu tiga tokoh besar dari Perguruan Sampar Angin yang akan segera datang ke kota ini. Dilain pihak, pemuda aneh yang tadi malam menjumpai dirinyapun meminta hal yang sama! Bukan sebuah permintaan yang sulit buat dia, tapi dirinya sangat sadar, jika dua belah pihak itu mempunyai tujuan yang berbeda.

“Apakah aku harus meminta bantuan setan itu lagi?” pikirnya gundah. Yang di maksud olehnya adalah Bergola.

Dengan hati-hati Momok Wajah Ramah mengeluarkan seluruh peralatan yang disimpan di tubuhnya. Sudah dua belas tahun dia berkecimpung di organisasi rahasia, membuatnya cukup sadar, jika dia terpaksa menginjak dua perahu, usianya akan memendek dengan sangat cepat. Dia harus menentukan pilihan, kemana dia harus mengikuti arah mata angin.

“Orang itu kelihatannya sangat menakutkan…” pikirnya saat membayangkan kejadian tadi malam. Serangan mendadak yang di barengi bubuk racun tidak menimbulkan efek yang diharapkan. Kemahiran Momok Wajah Ramah adalah serangan yang mendadak di balik wajah ramahnya, boleh dibilang lawan maupun kawan sangat segan pada dirinya karena kemahirannya menyembunyikan ciri-ciri penyerangan. Pernah dia membunuh rekan kerja hanya karena tersinggung oleh celotehnya, dan sang atasan tidak menegur tindakannya, karena mereka berpikir, jika tidak cerdik, siapapun tak perlu bergabung dalam garis perintah ‘Panah’, pengunduran diri yang paling tepat tentu saja melenyapkan para anggota yang harus ‘pensiun dini’. Dan Momok Wajah Ramah adalah pelaksana tugas luar-dalam organisasi yang memiliki fungsi sama, ‘melenyapkan’ para perintang dengan segala cara.

Tapi menghadapi pemuda yang usianya jauh di bawah dia, dirinya tak sanggup berkutik, dia tak berani lagi melakukan serangan kedua, karena tidak memiliki keyakinan apapun. Diluar itu semua, seluruh langkah yang di jalankan seolah terang benderang di mata pemuda itu. Menghadapi orang yang dapat mengetahui jati dirinya membuat dia tak tenang. Apalagi pemuda itu memaksa untuk mendengar nama salah seorang atasannya. Dia merasa tidak ada jalan lain kecuali ‘berlindung’ di sisi pemuda itu.

Momok Wajah Ramah segera menyusuri jalan-jalan di seputar kota Pagaruyung, dia memperhatikan dengan seksama ‘pos-pos’ informasi yang biasa dia dapatkan dari teman-temannya yang lain. Tapi sejauh ini dia belum mendapatkan informasi terbaru. Kedatangan tokoh-tokoh Perguruan Sampar Angin, pasti tidak akan secara berterang, bisa jadi mereka menyamar. Informasi ini hanya dia dan Bergola yang tahu, sebelum disampaikan pada atasan masing-masing. Tentu saja Bergola juga sudah menyiapkan ‘paket’ kejutan untuk para pendatang itu. Lebih baik kuikuti dia saja, pikirnya sembari tegesa-gesa menuju kediaman Begola.

Tak berapa lama kemudian, lelaki ini sudah berdiri didepan rumah Begola. Rumah itu termasuk salah satu bangunan paling baik di kota ini, karena orang tua Begola berjualan benda-benda berharga, dengan sendirinya rumah itu ruamai dikunjungi para pembeli.

Dia tahu, beberapa orang dari pembeli itu adalah orang- orangnya sendiri. Sebenarnya dia ingin masuk tanpa diketahui identitasnya, tapi apa daya ciri-ciri tinggi kurus itu sulit mengelabui rekan-rekannya. Dengan langkah apa boleh buat, Momok Wajah Ramah masuk melalui pintu depan.

“Silahkan tuan,” pengawal keamanan rumah sudah mengenal Momok Wajah Ramah sebagai kawan karib tuan mudanya.

Dengan mengangguk ramah lelaki ini masuk kedalam, selanjutnya dia dipersilahkan lagi oleh seorang pegawai. Entah berapa kali dia datang kerumah orang tua Bergola, tapi selalu saja dia merasa ada sebuah kesan aneh. Teringat olehnya saat sang atasan memperkenalkan Bergola sebagai salah satu anggota Panah, yang langsung berada diatas tingkatannya, membuat dia tidak puas. Dengan sendirinya setiap celah kecil apapun keterangan mengenai Bergola dia usahakan untuk mengorek secara tuntas.

“Ah, kau…” tiba-tiba Bergola si Panah Sebelas agak kaget menyapa Momok Wajah Ramah, tak disangka sang rekan akan mendatangi rumahnya. Momok Wajah Ramah memberi isyarat bahwa mereka perlu bicara lebih serius. Lelaki itu segera membawa Momok Wajah Ramah kedalam kamarnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar