Putri Borong Mini Eps 05 : Darah Para Tumbal

Eps 05 : Darah Para Tumbal

1

Telaga Ungu terlihat tenang. Angin lembut melun- cur di permukaan airnya, menciptakan riak kecil yang menyatu dalam warna kehijauan. Pepohonan cemara mengelilingi telaga tersebut, seolah barisan pengawal yang tak kenal lelah menjaga kedamaian tempat itu.

Sepasang anak muda yang belum saling mengenal tampak duduk berhadapan. Yang satu adalah seorang pemuda bercaping lebar terbuat dari anyaman kulit bambu. Sedangkan yang lain, seorang gadis bertubuh mungil dengan pakaian merah ketat. Dia adalah Putri Bong Mini yang baru saja menikmati ikan bakar ber- sama pemuda itu (baca episode: ‘Iblis Pulau Neraka’).

Dengan bibir mengulum senyum serta pandangan lembut ke arah Bong Mini, tangan pemuda itu berge- rak membuka caping lebarnya. Sehingga wajah yang semula terhalang oleh caping, kini terlihat jelas oleh gadis yang duduk di hadapannya.

Beberapa saat Bong Mini diam terpaku. Sepasang matanya memandang pemuda itu tanpa berkedip.

“Baladewa...!” desis Bong Mini dalam keterpanaan- nya. “Bagaimana bisa sampai di sini?” lanjutnya de- ngan suara tertahan, berusaha menekan rasa terke- jutnya.

“Aku memang sengaja mencarimu,” sahut Baladewa tenang.

Bong Mini tersenyum.

“Bagaimana kabar orangtuamu?” tanya Bong Mini. Seolah-olah tidak mempedulikan ucapan Baladewa ta- di.

“Mereka baik-baik saja!”

“Kau cerita tentang aku yang berguru pada Kanjeng Rahmat Suci?” “Tidak. Aku hanya menceritakan tentang keadaan- ku selama berada di Gunung Muda,” sahut Baladewa.

Bong Mini menghela napas. Sebenarnya itu yang ia harapkan. Sebagaimana halnya ia tidak bercerita me- ngenai pertemuannya dengan Baladewa pada papanya. Biar mereka sendiri yang mengetahui nanti, pikirnya.

Bong Mini menoleh ke arah Baladewa. Pemuda itu pun tengah memandang wajahnya dengan tatapan ma- ta yang berpijar-pijar.

“Kenapa kau memandangku seperti itu?” tanya Bong Mini, menutupi perasaannya yang langsung ber- getar hebat ketika bertatapan dengan mata Baladewa.

“Tak tahukah kau penyebabnya?” Baladewa balik bertanya.

Bong Mini tersenyum sambil menggelengkan kepala. Baladewa diam beberapa saat. Matanya yang sendu,

tetap memandang gadis yang duduk di hadapannya. “Aku mencintaimu!” ucap Baladewa dengan suara

tersendat.

Bagaimanapun tenangnya perasaan Bong Mini menghadapi pemuda itu, tapi hatinya bergetar juga mendengar pernyataan yang diungkapkan Baladewa. Kemudian dengan tatapan mata sendu ia berkata, “Se- benarnya kita mempunyai perasaan yang sama. Tapi untuk saat ini belum waktunya kita bercinta!”

“Maksudmu?” tanya Baladewa cepat.

“Masih ada yang lebih penting daripada urusan cin- ta!” tandas Bong Mini.

Baladewa termangu tak mengerti.

“Cinta kita sekarang ini milik rakyat. Dan kita ha- rus memberikannya dengan cara mengembalikan ke- bahagiaan dan kedamaian mereka, yang selama ini di- rampas oleh manusia-manusia berhati iblis!” kata Bong Mini. Membuat pemuda yang duduk di hadapan- nya tergugu mendengarkan. Tidak mengherankan jika cara berpikir Bong Mini lebih matang dari Baladewa. Usia mereka memang sa- ma-sama delapan belas tahun. Tapi dalam persamaan usia itu, cara berpikir Bong Mini rupanya lebih matang dibandingkan Baladewa.

“Aku tidak mengira kau berpikir sejauh itu,” puji Baladewa.

“Kurasa semua orang akan berpikir demikian. Ha- nya cara pengungkapannya saja yang mungkin berbe- da!” sahut Bong Mini.

Baladewa masih termangu kagum pada gadis yang duduk di hadapannya itu. Kalau dulu ia mengagumi kecantikannya, maka sekarang ia mengagumi seluruh yang ada dalam diri Bong Mini. Baik hati maupun piki- rannya. Baginya itu suatu keberuntungan. Baru per- tama kali kenal dengan wanita, ia langsung bertemu dengan gadis yang menarik perhatian.

“Apa rencanamu selanjutnya?” Baladewa mengalih- kan pembicaraan.

“Membersihkan negeri ini dari manusia-manusia ib- lis seperti Perguruan Topeng Hitam!” tegas Bong Mini.

“Kalau begitu kita harus secepatnya bertindak!” sambut Baladewa penuh semangat.

“Memang begitu seharusnya!” sambut Bong Mini se- raya berdiri, begitu pula dengan Baladewa. Sehingga keduanya berhadapan. Karena tubuh Baladewa lebih tinggi, maka Bong Mini pun berkata dengan kepala menengadah.

“Sebaiknya kita melakukan tugas secara terpisah. Ini akan memudahkan kita dan mempercepat pembas- mian orang-orang biadab seperti Perguruan Topeng Hi- tam!” kata Bong Mini berpendapat.

Baladewa termangu menatap wajah Bong Mini. Ia merasa seperti ada beban yang menggayuti dinding- dinding hatinya. Bong Mini tersenyum lembut, melihat sikap Bala- dewa yang berdiri bimbang. Ia sudah dapat menerka, perasaan apa yang sedang menggeluti hati pemuda yang berhasil mencuri hatinya itu.

“Aku mengerti, kau memberatkan perpisahan ini. Tapi inilah salah satu perjuangan yang harus kita tempuh. Mengorbankan kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan orang banyak, merupa- kan langkah kita yang paling utama!” tutur Bong Mini dengan sorot matanya yang berpijar-pijar.

“Aku mengerti!” ucap Baladewa dengan suara lirih. “Tapi aku minta kau berjanji!”

“Janji apa?” Bong Mini mengerutkan keningnya. “Kau tidak akan tertarik pada pemuda lain, selain

diriku!”

Bong Mini mengembangkan senyumnya. “Percayalah! Aku bukan tipe wanita yang mudah ja-

tuh cinta!”

“Kau...!” desah Baladewa tanpa melanjutkan kata- katanya. Hanya tangannya saja yang menyentuh ke- dua bahu gadis di depannya, lalu didekap ke dalam pe- lukannya.

Ketika kepalanya rebah dalam dada bidang pemuda tampan itu, Bong Mini langsung merasakan satu kese- jukan dan kedamaian yang tak dapat diuraikan de- ngan kata-kata. Ia semakin terlena dalam dekapan Ba- ladewa. Sementara itu, Baladewa sendiri membelai- belai lembut rambutnya dengan ujung jari.

Setelah agak lama berpelukan, keduanya berdiri berhadap-hadapan dengan tatapan sendu.

“Selamat berjuang, Baladewa!” desah Bong Mini. “Selamat berpisah...!” balas Baladewa dengan suara

bergetar, menahan rasa berat terhadap perpisahan yang sebentar lagi diterimanya.

Usai Baladewa mengucap kata perpisahan, Bong Mini segera melesat ke arah utara tanpa menoleh, ka- rena tak ingin semangat juangnya pudar sedikit pun.

***

Sementara itu, di Pulau Neraka, sebelas lelaki gagah tampak berdiri termangu menyaksikan mayat-mayat yang bergelimpangan di hamparan tanah berumput. Wajah mereka tampak tegang dan geram. Mereka tidak lain sisa-sisa pasukan Iblis Pulau Neraka yang baru saja tiba. Ketika tiba di sana, mereka terkejut karena teman-temannya tewas dalam keadaan mengerikan, terbungkus darah yang sudah mengering dan menye- barkan bau busuk.

“Ini pasti perbuatan orang-orang Perguruan Topeng Hitam!” geram seorang di antara mereka. Dialah yang bernama Ong Lie. Orang yang dipercaya Gonggo Gung untuk melakukan misi pendekatan terhadap Putri Bong Mini agar mau bekerja sama dengan orang-orang Iblis Pulau Neraka.

Ong Lie seorang lelaki gagah dan tampan. Bermulut kecil dan bermata sipit. Rambutnya yang panjang di- sisir ke belakang dan terikat di tengah kepalanya. Tingginya sekitar seratus tujuh puluh lima sentimeter. Dia paling tinggi di antara kesepuluh orang lainnya. Berpakaian terpelajar yang berlapis jubah warna ku- ning. Kumisnya tipis, sedangkan umurnya sekitar tiga puluh lima tahun.

“Apa mungkin pasukan Perguruan Topeng Hitam datang ke sini dan menewaskan pemimpin kita?” tanya seorang di antara mereka, ragu. Ia tidak percaya kalau Gonggo Gung yang terkenal tangguh dan sadis itu da- pat dikalahkan oleh pasukan Perguruan Topeng Hitam. “Siapa lagi kalau bukan mereka? Bukankah tempo hari pasukannya berhasil kita kalahkan?” kata Ong Lie

mempertahankan pendapatnya. “Bagaimana kalau gadis mungil dan pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas yang melakukan ini semua? Bukankah pada saat kita bertempur dengan Perguruan Topeng Hitam, sepasang anak muda ini menyerang pasukan kita?” sela Jurik, seorang anggota pasukan berbaju seperti piyama berwarna hitam de- ngan sepasang golok di pinggang kiri dan kanannya. Rambutnya ikal panjang sebatas bahu dengan menge- nakan ikatan kepala berwarna merah. Dialah orang yang selamat dari amukan Bong Mini dan Khian Liong beberapa waktu lalu.

“Aku pikir tidak! Mereka mempunyai perhitungan yang matang dan tak mungkin datang ke sini hanya berdua saja. Apalagi sampai menewaskan pemimpin kita!” tukas Ong Lie.

Teman-temannya mengangguk-angguk.

“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya Jurik ti- dak sabar. Ia ingin cepat-cepat mendapat keputusan dari Ong Lie yang menjadi pemimpin pasukan terse- but.

Ong Lie diam beberapa saat, menimbang-nimbang keputusan yang akan diambilnya.

“Bagaimana kalau kita melanjutkan misimu menca- ri wanita yang memiliki Pedang Teratai Merah dan meminta bantuannya?” Jurik mengajukan pendapat.

Ong Lie terhenyak dari ketercenungannya. Ia baru ingat kembali pada misi yang akan dijalaninya.

“Kalau memang kau menyetujui, biar kami yang melakukan penyerangan terhadap orang-orang Pergu- ruan Topeng Hitam!” lanjut Jurik lagi.

Ong Lie mengangguk-angguk. Dia menyetujui pen- dapat temannya itu. Dan dia merasa yakin kalau pen- dekatannya terhadap Bong Mini akan membawa hasil. Sebab selama ini tak seorang pun yang tahu kalau dia salah seorang dari pasukan Iblis Pulau Neraka. Karena  setiap melaksanakan aksi, ia tak pernah diikutserta- kan. Kecuali tugas-tugas khusus seperti yang akan ia laksanakan kali ini.

“Aku menyetujui usulmu. Dan sebaiknya kita lak- sanakan tugas ini sekarang juga!” ucap Ong Lie, me- mutuskan.

“Memang demikianlah seharusnya!” sambut Jurik yang sudah tidak sabar hendak berhadapan dengan orang-orang Perguruan Topeng Hitam.

“Kalau begitu, kau kutugaskan untuk memimpin pasukan!” kata Ong Lie memberi kepercayaan kepada Jurik.

“Akan kulaksanakan!” sambut Jurik. Kemudian tu- buhnya melesat ke punggung kuda. Diikuti oleh sembi- lan temannya yang lain. Dalam sekejap saja, kuda yang mereka tunggangi bergerak meninggalkan Pulau Neraka. Setelah itu, barulah Ong Lie melangkah untuk melaksanakan niatnya menemui Bong Mini.

***

2

Senja mulai merayap. Matahari jatuh ke arah barat. Sinarnya yang siang tadi begitu menyengat, berubah redup. Daun-daun pepohonan yang semula tegak me- nadahi cahaya matahari, kini perlahan-lahan merun- duk serta menari-nari, ditiup semilir angin senja.

Di Desa Buncit, suasana tampak lengang. Hanya beberapa orang saja yang terlihat hilir-mudik di luar rumah, seolah-olah desa itu tenang, penuh kedamaian. Padahal jika menilik lebih jauh, maka akan terlihat si- kap was-was yang terpancar dari wajah dan mata me- reka. Bila mereka berpapasan dengan orang yang tak dikenal, baik di perkampungan maupun di pasar, ma- ka mereka memandang penuh kecurigaan yang amat dalam dan penuh waspada pada orang tersebut.

Sikap khawatir dan saling curiga di kalangan pen- duduk ini cukup beralasan. Orang-orang Iblis Pulau Neraka memang telah diganyang habis oleh Bong Mini. Sedang orang-orang Perguruan Topeng Hitam tidak melakukan aksinya lagi. Namun bukan berarti kejaha- tan orang-orang tersebut akan berhenti. Sebab selama Ketua Perguruan Topeng Hitam, Kidarga dan Nyi Genit masih hidup, tentu kejahatan akan terus berlangsung meski untuk beberapa hari ini menghilang bagai dite- lan bumi.

Ada dua keresahan yang sekarang mencekam pen- duduk negeri Selat Malaka, khususnya penduduk De- sa Buncit. Pertama mengenai Kidarga yang mengum- pulkan para tokoh sesat untuk bergabung dengannya, baik dari dalam maupun dari luar negerinya. Terutama sekali dari negeri Manchuria, tempat ia menjalin per- sahabatan dengan raja negeri tersebut. Kalau hal itu terus berlangsung, lalu suatu saat Kidarga mengerah- kan mereka untuk menghadapi orang-orang yang me- nentangnya, maka kiamatlah negeri Selat Malaka. Apa- lagi kalau orang-orang Perguruan Topeng Hitam benar- benar berkuasa di negeri itu.

Keresahan yang kedua, terutama bagi penduduk Desa Buncit yang dihantui kematian-kematian menge- rikan. Para korban terdiri dari bayi lelaki dan anak muda berumur sekitar dua puluh tahun. Setiap kema- tian para korban, selalu ditandai dengan lehernya yang berlubang. Diperkirakan, si pembunuh sadis itu mela- kukan aksinya dengan cara menggigit leher korban dan mengisap darahnya.

Beberapa orang yang sempat menjadi saksi menga- takan, kalau yang melakukan tindakan biadab itu ada- lah seorang wanita cantik berumur sekitar tiga puluh tahun. Karena itu, para penduduk mencurigai setiap perempuan asing yang datang ke desa mereka. Bahkan beberapa orang jago silat telah dikumpulkan untuk melakukan penangkapan terhadap wanita keji itu, hi- dup atau mati.

Waktu merayap tanpa terasa. Langit yang remang, perlahan-lahan menjadi gelap. Disusul dengan kabut yang turun menutupi permukaan gunung dan seba- gian rumah-rumah penduduk di Desa Buncit. Sehing- ga makin cepatlah kegelapan menyelimuti desa itu.

Dengan turunnya kegelapan di Desa Buncit, seiring itu pula kesunyian tercipta. Jalan-jalan sepi dan le- ngang. Seluruh pintu rumah dan jendela penduduk terkunci rapat, sehingga tak seorang pun terlihat bera- da di luar.

Dalam suasana sepi dan mencekam itu, seorang ga- dis bertubuh mungil dengan pakaian merah ketat serta usia tak lebih dari delapan belas tahun, berjalan te- nang sambil menyebarkan pandangannya ke sekitar rumah penduduk yang berjajar rapi.

Hm..., sepi sekali desa ini, gumam gadis bertubuh mungil dalam hati, yang tidak lain Putri Bong Mini. Dia berjalan di desa itu dalam rangka meneliti keadaan penduduk kampung yang selama kepulangannya tak pernah dilakukan.

Tanpa disadari oleh Bong Mini, empat lelaki tengah berjalan membayanginya dari jarak dua puluh meter. Mereka terdiri dari orang-orang gagah bertubuh tinggi besar serta wajah yang beringas.

Hm..., di desa ini tak sebuah kedai pun yang tam- pak! Gumam hati Bong Mini dengan pandangan mata menyebar, mencari warung nasi. Perutnya sudah tera- sa perih.

Di saat kaki Bong Mini melangkah tenang dengan mata mencari warung nasi, tiba-tiba telinganya men- dengar langkah yang mencurigakan.

Bong Mini memperlambat langkahnya. Dipasang te- linganya lebih tajam lagi agar dapat mengira-ngira, be- rapa jumlah orang yang membayanginya. Belum sem- pat ia menebak, tiba-tiba empat sosok tubuh ber- kelebat ke arahnya dan langsung mengurung.

Bong Mini cepat menghentikan langkah. Sedangkan matanya memandang keempat pengepungnya.

“Siapa kalian? Mengapa menghalangi langkahku?” tanya Bong Mini tenang. Satu persatu ia menatap para pengepungnya dengan penuh waspada.

“Nona nampaknya bukan penduduk asli sini!” kata seorang dari mereka. Ia mempunyai perawakan yang tinggi besar dengan kulit sawo matang. Pakaiannya model piyama berwarna hitam dengan kain sarung membelit pinggangnya. Sedangkan di balik kain sarung itu terselip sepasang golok. Umurnya sekitar empat pu- luh tahun, seperti ketiga temannya yang lain. Begitu pula penampilannya. Hanya wajahnya saja yang mem- bedakan lelaki itu dengan ketiga temannya. Kalau dia memiliki kumis yang melintang lebat sehingga membe- rikan kesan angker, sedangkan ketiga temannya tidak. Sementara rambut mereka semua dibiarkan bebas ter- gerai sampai sebatas pundak.

“Kalau aku bukan penduduk sini, memang kena- pa?” tanya Bong Mini. Dengan sikapnya yang tenang.

“Hm...,” lelaki itu terdengar bergumam. “Ketahuilah, Nona! Bahwa setiap wanita asing yarg datang ke sini harus kami curigai!” lanjut lelaki itu.

“Termasuk aku juga?” tanya Bong Mini.

“Begitulah! Dan aku berharap kepada Nona untuk ikut bersama kami ke rumah kepala desa. Tapi kalau Nona menolaknya, terpaksa kami melakukan kekera- san!” katanya tegas. “Hm...!” kini Bong Mini yang terdengar bergumam. Tampaknya sesuatu telah terjadi di desa ini. Dan orang-orang ini merupakan kepercayaan kepala desa untuk mengusut semua orang asing yang menginjak- kan kakinya ke desa ini! Nilai hati Bong Mini.

“Ayolah, Nona. Jangan mengulur-ulur waktu hingga habis kesabaran kami!” ujar lelaki berkumis tebal itu lagi, tanpa menunjukkan sikap manis dan lembut ke- padanya sedikit pun. Begitu pula dengan ketiga lelaki lainnya yang sejak tadi hanya diam, mendengarkan percakapan antara Bong Mini dengan lelaki berkumis tebal.

“Baiklah, kalau memang itu kehendak kalian!” sa- hut Bong Mini. Lalu kakinya melangkah mengikuti le- laki berkumis tebal. Sedangkan ketiga temannya menggiring Bong Mini dari kiri, kanan, dan bela- kangnya.

***

Malam merayap perlahan. Angin yang bertiup di malam itu terasa sepoi-sepoi basah. Begitu dingin, hingga menusuk sampai ke tulang sumsum.

Tidak berapa lama mereka berjalan, sampailah Bong Mini dan keempat orang itu di rumah kepala de- sa.

Rumah itu cukup besar. Halamannya luas, banyak ditumbuhi oleh pepohonan yang tinggi dan besar- besar. Sedangkan di samping pintu rumah itu, terda- pat sebuah dipan yang terbuat dari belahan bambu. Dan di atas dipan itu, tergantung lampu alit dengan li- dah apinya yang bergoyang ke sana kemari, tertiup a- ngin malam yang berhembus semilir. Bila dilihat dari jauh, lampu itu mirip sebuah bintang yang berkelip- kelip di langit yang luas.

Rumah kepala desa terbuat dari dinding setengah papan. Bagian atasnya disambung dengan bilik yang sudah usang termakan usia. Sementara atapnya ditu- tupi oleh anyaman rumbia.

Bong Mini dan ketiga lelaki yang mengawalnya ber- diri tenang, memandang lelaki berkumis yang sudah mengetuk pintu. Tidak lama kemudian, dari balik pin- tu itu muncul sesosok laki-laki yang sudah tua. Usia- nya sekitar enam puluh tahun. Kulitnya sawo matang dengan kedua pipi yang mulai kendur dan keriput. Se- dangkan tubuhnya pun terlihat agak kurus. Matanya cekung dengan sorot yang tajam. Menunjukkan kalau lelaki tua itu sedikit banyaknya mempunyai kepan- daian silat yang patut dibanggakan. Buktinya dia di- angkat menjadi kepala desa.

“Ada apa, Kundala?” tanya kepala desa itu dengan suara pelan dan berat. Menunjukkan kewibawaannya.

“Maafkan kami jika kedatangan ini mengganggu isti- rahat Bapak!” ucap lelaki berkumis melintang yang ter- nyata bernama Kundala dengan sikap hormat. Hal itu sesuai dengan perkiraan Bong Mini terhadap kepala desa itu kalau ia memang bukan orang sembarangan. Buktinya, walaupun sudah tua dengan kulit wajah yang keriput, lelaki muda dan gagah perkasa seperti Kundala begitu hormat kepadanya.

“Katakan saja maksud kedatanganmu,” pinta kepala desa yang malam itu hanya mengenakan piyama war- na merah dengan kain sarung yang berwarna merah pula. Sedangkan pinggangnya dibelit sabuk berwarna hijau muda yang lebarnya sekitar lima belas sentime- ter.

“Begini, Bapak Kepala Desa! Kami datang ke sini membawa seorang gadis asing yang sempat kami curi- gai!” lapor Kundala.

“Hm...,” terdengar gumam kepala desa itu. Kemu- dian dia keluar pintu dua langkah lalu mengamati wa- jah Bong Mini dengan tajam.

Bong Mini menyambut tatapannya dengan meng- anggukkan kepala seraya tersenyum, sebagai tanda hormat.

“Ayo, silakan duduk,” ucap kepala desa itu yang ternyata mempunyai sikap ramah terhadap Bong Mini. Kemudian dia duduk di atas dipan terlebih dahulu. Se- telah itu, Bong Mini dan keempat lelaki yang memba- wanya menyusul.

Beberapa saat suasana hening. Kepala desa itu te- rus mengamati wajah Bong Mini lebih lama lagi. Hati- nya menduga kalau gadis bertubuh mungil yang masih muda belia itu bukan seorang gadis lemah seperti ke- banyakan gadis di desa itu. Penilaian itu berdasarkan sebilah pedang yang tersandang di balik punggung Bong Mini, serta keberaniannya yang berjalan sendiri di desa yang akhir-akhir ini rawan dari bermacam ke- jahatan. Terutama pembunuhan terhadap anak-anak muda dan penculikan bayi.

“Tampaknya kau seorang gadis keturunan Tiong- hoa!” ucap kepala desa itu menebak, karena melihat sepasang mata Bong Mini yang sipit.

“Aku memang dari Tiongkok. Tepatnya dari negeri Manchuria!” sahut Bong Mini menyebutkan nama ne- geri asalnya.

“Baru pertama kali menginjak ke desa ini?” tanya kepala desa lagi dengan mata yang tidak berkedip me- mandang wajah Bong Mini.

“Begitulah, Bapak Kepala Desa!” sahut Bong Mini seraya tersenyum ramah.

“Apa tujuanmu?” tanya kepala desa.

“Aku tidak punya tujuan apa-apa. Kecuali melihat- lihat keadaan kampung ini,” jawab Bong Mini jujur.

Lelaki tua itu tampak mengangguk-angguk sambil meneruskan pertanyaannya. “Siapa namamu?” “Namaku Bong Mini!” sahut Bong Mini singkat. Mendengar nama itu disebutkan, kepala desa terce-

kat kaget. Begitu pula dengan keempat lelaki yang membawa Bong Mini ke rumah kepala desa itu.

“Maafkan empat utusanku yang lancang telah men- curigaimu!” kata kepala desa. Sikapnya yang tadi te- gang berwibawa, kini tampak lunak dan sedikit meng- hormati Bong Mini. Sebab ia tahu kalau gadis yang duduk di hadapannya itu seorang anak raja yang na- manya tersohor di negeri Selat Malaka.

Memang benar! Selama Bong Mini berpetualang dan membasmi kejahatan di setiap desa yang dilaluinya, namanya mulai dikenal oleh seluruh rakyat negeri Se- lat Malaka, terutama oleh para penduduk desa yang merasa telah ditolong oleh Bong Mini. Namun demi- kian, tidak membuat Bong Mini tinggi hati dan mele- cehkan orang lain yang di bawah kepandaiannya. Bah- kan ketika mendengar ucapan kepala desa itu, Bong Mini menjawab dengan bibir tersenyum. “Tidak ada ke- salahan yang diperbuat oleh keempat utusan Bapak. Malah aku bangga atas kewaspadaan mereka terhadap semua orang asing yang memasuki wilayah Desa Bun- cit ini!”

Kepala Desa Buncit dan keempat orang yang tadi mencurigai Bong Mini tampak terdiam. Mereka merasa malu terhadap kebesaran jiwa dalam diri gadis bertu- buh mungil itu.

“Kalau boleh tahu, siapa nama Bapak dan keempat utusan Bapak ini?” kini Bong Mini yang balik bertanya. “Namaku Ki Maja. Dan keempat orang ini masing- masing bernama Kundala, Bergajul, Harewong dan Kumaha!” jawab kepala desa itu memperkenalkan na-

manya dan nama keempat utusannya.

Bong Mini mengangguk setelah mendengar dan me- ngetahui nama-nama orang di sekelilingnya. “Apa ada sesuatu yang bisa Bapak jelaskan kepada- ku?”

“Maksudmu?” tanya Ki Maja dengan kening berke- rut

“Sejak pertama aku dibuntuti oleh keempat keper- cayaan Bapak ini, aku mulai menduga kalau di desa ini telah terjadi sesuatu. Apa memang begitu?” tanya Bong Mini.

“Apa yang kau duga memang benar. Dalam bebe- rapa minggu ini, wargaku mengalami keresahan yang teramat sangat, baik siang atau malam,” tutur Ki Maja menjelaskan.

Bong Mini menautkan alis rapat-rapat. Matanya memandang wajah lelaki tua itu sungguh-sungguh.

“Apa penyebabnya, Pak?” tanya Bong Mini ingin ta- hu.

“Selain perampokan dan pemerkosaan yang dilaku- kan oleh orang-orang Perguruan Topeng Hitam di desa ini, juga ada pembunuhan terhadap para pemuda dan penculikan bayi. Pembunuhan itu dilakukan secara keji dengan menggigit leher korban dan mengisap da- rahnya. Sedangkan terhadap bayi, si pelaku berbuat lebih keji lagi. Dia mengisap darah, sumsum dan otak si bayi sekaligus, setelah itu membuangnya begitu sa- ja,” cerita Ki Maja, mengenai penyebab keresahan pen- duduk Desa Buncit yang dipimpinnya itu.

Bong Mini bergidik seram mendengar kejadian yang mengerikan itu. Namun begitu, hatinya masih ingin mendengar cerita Ki Maja lebih lanjut.

“Apakah ada warga yang mengetahui pelakunya?” tanya Bong Mini lagi.

“Inilah yang menyulitkan kami untuk melacaknya. Namun yang pasti, kejahatan itu dilakukan oleh seo- rang wanita cantik!” jawab Ki Maja dengan wajah yang menunjukkan kesedihan mendalam. Bong Mini mengangguk-angguk sambil berpikir. Na- mun sebelum berpikir lebih jauh, seorang lelaki sete- ngah baya bercelana dan berbaju pangsi serta kain sa- rung yang tersampir di pundaknya datang tergopoh- gopoh ke arah mereka.

“Gawat..., gawat, Pak Kepala Desa!” seru lelaki itu dengan suara tersendat-sendat.

Ki Maja segera bangkit begitu melihat kedatangan lelaki berselendang sarung itu, dan dia langsung ber- tanya, “Ada apa, Kumang?”

“Ada perampok di ujung jalan ini!” kata lelaki yang bernama Kumang, lelaki bertubuh kurus dengan umur sekitar lima puluh tahun.

“Di rumah siapa?” tanya Ki Maja. Karena di ujung jalan yang dimaksud Pak Kumang banyak terdapat rumah penduduk.

“Di rumah Pak Jajang!” Pak Kumang menjelaskan. “Bangsat! Mereka pasti orang-orang Perguruan To-

peng Hitam yang mulai melaksanakan aksinya kemba- li!” geram Ki Maja sambil terus masuk ke dalam untuk mengambil goloknya. Setelah itu, ia melesat ke luar, di- ikuti empat orang kepercayaannya. Sedangkan Bong Mini secara diam-diam membuntuti lari mereka.

***

Malam itu udara terasa dingin menusuk. Apalagi angin bertiup sepoi-sepoi basah, membuat para pen- duduk Desa Buncit semakin malas keluar rumah.

Tidak lama berlari, Ki Maja dan keempat orang ke- percayaannya sampai di rumah yang ditunjuk Pak Kumang. Dua orang di antara mereka langsung men- dobrak pintu rumah. Di sana, mereka melihat Pak Ja- jang tengah duduk di kursi dalam keadaan terikat. Mulut tampak disumbat sepotong kain. Sementara itu istrinya sedang berusaha melepaskan diri dari cengke- raman orang-orang bertopeng hitam yang hendak menggagahinya.

“Kalian anjing-anjing lapar yang perlu diberi pelaja- ran!” geram Ki Maja menyaksikan peristiwa itu.

Mendengar bentakan itu, orang-orang bertopeng ta- di terkejut. Tanpa banyak cakap lagi, mereka melesat ke luar disertai serangan ke arah Ki Maja dan empat orang kepercayaannya.

Sedangkan lelaki yang bernama Pak Kumang sudah sejak tadi bersembunyi di balik sebatang pohon. Dia tidak berani turun ke dalam kancah pertempuran, ka- rena tidak memiliki kepandaian silat. Namun begitu, ia tetap berusaha membantu perjuangan kepala desanya dengan cara memata-matai dan melaporkan setiap ke- jadian yang dilihatnya seperti yang dilakukannya tadi.

“Hiyaaat!”

Enam lelaki bertopeng segera melancarkan sera- ngan yang kemudian disambut dengan tangkisan dan pukulan oleh Ki Maja serta empat orang kepercayaan- nya.

Des! Des! Des!

Tiga di antara enam orang bertopeng tersungkur ja- tuh ketika mendapat pukulan dari lawan-lawannya. Namun mereka segera bangkit kembali dengan menca- but goloknya masing-masing.

Sret! Sret! Sret!

Dari cara mencabut golok terlihat kalau mereka cu- kup pandai dalam memainkan senjata itu. Tampak pu- la dari serangan mereka yang begitu cepat dan gencar ke arah Ki Maja dan empat orang kepercayaannya.

Wut! Wut! Wut!

Golok yang berputar di tangan keenam perampok bertopeng itu menimbulkan deru yang demikian keras dan bergulung-gulung. Saat golok mereka masih ber- putar seperti baling-baling kapal, keenam orang berto- peng tadi melakukan gerakan melompat ke depan se- tinggi satu meter dan langsung menyerang lawan.

Trang! Trang! Trang!

Benturan senjata dari arah berlawanan menimbul- kan suara yang amat keras. Membuat tangan kedua pihak tergetar hebat, juga menimbulkan rasa perih di telapak tangan mereka.

Sementara itu, di bawah sebuah pohon yang tak jauh dari kancah pertarungan, Bong Mini terus meng- awasi jalannya pertempuran. Ia kagum pada keberani- an dan ketangkasan Ki Maja serta empat orang keper- cayaannya dalam menghadapi lawan.

“Hiaaat!” Crokkk! “Aaakh!”

Sabetan golok Ki Maja membabat leher seorang la- wan. Seketika itu juga terdengar pekik mengerikan dari mulut lawan. Disusul dengan robohnya tubuh orang bertopeng itu dengan leher hampir putus.

Para penduduk desa yang semula hanya berani mengintip dari rumah masing-masing, kini mulai bera- ni keluar untuk menyaksikan pertarungan lebih dekat. Bahkan sebagian di antara mereka turut ambil bagian dengan kayu pemukul dan golok terhunus di tangan masing-masing. Hingga tak lama kemudian pertaru- ngan pun berakhir dengan tewasnya semua perampok anak buah Perguruan Topeng Hitam.

Setelah para perampok bertopeng tewas bermandi- kan darah, Ki Maja segera masuk ke dalam dan mem- bebaskan Pak Jajang. Sedangkan di atas dipan, istri Pak Jajang tergolek dalam keadaan tak sadarkan diri. Dia pingsan karena kehabisan tenaga dan rasa takut saat berada dalam cengkeraman orang-orang berto- peng tadi.

“Terima kasih! Terima kasih atas pertolongan Ba- pak!” ucap Pak Jajang, merasa dirinya terbebas dari marabahaya.

Ki Maja hanya membalas ucapan itu dengan meng- anggukkan kepala.

“Tenangkanlah dirimu dan jagalah istrimu itu!” kata Ki Maja.

“Apakah dia tidak apa-apa, Pak?” tanya Pak Jajang dengan wajah cemas saat melihat istrinya tergolek pingsan.

“Tidak apa-apa. Istrimu hanya kehabisan tenaga. Nanti pun akan sadar sendiri,” sahut Ki Maja. Kemu- dian kakinya melangkah ke luar menemani para war- ganya yang masih berkumpul di tempat kejadian itu.

“Jagalah keamanan rumah kalian masing-masing. Jangan cepat tidur. Kalau ada di antara kalian yang melihat perampokan di salah satu tetangga, segera la- porkan seperti yang dilakukan oleh Pak Kumang. Ka- rena bantuan Pak Kumang, aku dan pengikutku bisa datang ke sini dan menggagalkan perampokan serta perkosaan yang hampir saja menimpa keluarga Pak Jajang!” kata Ki Maja mengingatkan warganya.

Para penduduk yang berkerumun di halaman ru- mah Pak Jajang mengangguk-angguk. Setelah itu satu persatu mereka meninggalkan tempat itu.

Setelah keadaan sekeliling sepi, barulah Ki Maja dan empat orang kepercayaannya kembali ke tempat mereka. Diikuti oleh Bong Mini.

“Itulah salah satu contoh yang membuat warga pen- duduk Desa Buncit ini resah. Mungkin setelah ini ada lagi perampokan-perampokan yang terjadi di tempat lain,” ucap Ki Maja menjelaskan.

Bong Mini mengangguk-angguk dengan pikiran yang terus berjalan, membayangkan keresahan yang melanda warga Desa Buncit.

“Kalau kau tidak keberatan, sudilah kiranya kau menginap beberapa hari di rumahku. Aku yakin, seba- gai putri raja yang sering membela rakyat, kau pasti tidak akan membiarkan kejahatan yang terjadi di de- panmu,” kata Ki Maja lagi setelah mereka sampai di halaman rumah kepala desa itu.

“Terima kasih atas tawaran Bapak yang menye- nangkan itu,” sahut Bong Mini ramah. “Ketika baru sampai di desa ini, aku bermaksud hendak menginap di salah satu rumah penduduk. Tapi belum sempat mendatanginya, keempat utusan Bapak keburu men- cegat dan menggiringku ke sini,” lanjut Bong Mini.

Empat orang kepercayaan kepala desa itu tampak tersenyum malu.

“Tapi ada untungnya kalian berempat menggiringku ke sini. Kalau tidak, tentu aku tak mungkin berkena- lan dengan Ki Maja dan menginap di rumahnya!” tam- bah Bong Mini, berusaha menutupi rasa malu mereka.

Saat mereka hendak memasuki rumah Ki Maja, ti- ba-tiba terdengar tangis bayi yang menyayat hati. Di- tingkahi oleh lengkingan seorang perempuan yang ber- teriak meminta pertolongan. Suara itu terdengar sayup-sayup tertiup angin. Pertanda tempatnya agak jauh dari mereka. Namun begitu, Bong Mini, Ki Maja serta empat orang kepercayaannya segera melesat ke arah utara, asal suara itu.

Tidak lama kemudian, mereka telah sampai di tem- pat kejadian. Di sana, mereka melihat puluhan pendu- duk desa berkerumun di salah satu rumah.

Ki Maja dan Bong Mini segera menyeruak kerumu- nan orang itu dan masuk ke dalam rumah yang dike- rumuni. Di sana, mereka melihat seorang perempuan muda menangis terisak-isak dalam dekapan seorang lelaki muda yang diperkirakan suaminya.

“Apa yang telah terjadi di sini?” tanya Ki Maja kehe- ranan. Mendapat teguran itu, lelaki muda yang berumur ti- ga puluh tahun tadi menoleh ke arah Ki Maja. Kemu- dian ia melepaskan pelukannya dan berdiri di hadapan Ki Maja dengan sikap penuh permohonan.

“Bapak Kepala Desa, tolonglah kami, Pak!” ucap le- laki muda itu dengan wajah menunjukkan kecemasan. “Tolonglah bayi kami, Pak!”

“Ada apa dengan bayimu?” tanya Ki Maja.

“Bayi kami diculik oleh seorang perempuan cantik!” lelaki muda itu menjelaskan.

Ki Maja dan Bong Mini terkejut bukan main. Mereka saling bertatapan dengan wajah tegang.

“Ke mana perempuan itu lari?” tanya Bong Mini, “Ke..., ke arah sana, Non!” sahut lelaki muda itu pa-

nik seraya menunjuk ke arah kanan jalan di depan ru- mahnya.

Tanpa membuang waktu lagi, tubuh Bong Mini se- gera melesat ke arah jalan yang ditunjuk oleh lelaki muda tadi. Diikuti oleh Ki Maja dan empat orang ke- percayaannya.

***

Malam semakin larut. Udara dingin semakin menu- suk sampai ke tulang sumsum.

Ketika Bong Mini, Ki Maja serta empat orang keper- cayaannya sampai di sebuah tempat yang tak jauh dari tempat kejadian tadi, tiba-tiba mata mereka melihat sesosok bayangan tengah berdiri di balik semak-se- mak.

Settt!

Bong Mini meloncat ke depan dengan ketinggian se- kitar dua meter. Ketika tubuh semakin dekat dengan orang yang dilihatnya, kaki kanan Bong Mini bergerak menendang punggung orang itu.

Dukkk! Karena tidak menyadari serangan mendadak, tubuh orang itu langsung terhuyung ke depan. Namun de- ngan cepat dikerahkan ilmu peringan tubuhnya agar dapat menahan diri. Sehingga tubuh yang terhuyung itu tidak sempat jatuh. Melainkan berbalik arah lalu berdiri memandang orang yang menyerangnya. Tapi karena suasana di sekitar gelap, orang tadi hanya da- pat melihat tubuh Bong Mini samar-samar. Begitu pu- la dengan Bong Mini dan Ki Maja serta empat orang kepercayaannya yang baru sampai di tempat itu.

“Siapa kalian! Mengapa menyerangku secara tiba- tiba!” terdengar jelas suara geram perempuan itu. Se- dangkan kedua tangannya tampak memeluk seorang bayi.

“Perempuan iblis! Kembalikan bayi itu!” bentak Bong Mini. Matanya mencorong ke arah wanita di ha- dapannya.

Mendapat bentakan itu, wanita tadi tertawa ngikik. Suaranya mirip kuntilanak. Membuat suasana malam di sekitar tempat itu terasa menakutkan.

“Kalau memang itu yang kau minta, kenapa harus melakukan serangan segala!” kata perempuan itu ke- mudian. “Nih, ambillah!” lanjut perempuan itu sembari melemparkan bayi yang digendongnya ke arah Bong Mini.

Bong Mini sangat terkejut melihat perempuan itu seenaknya melemparkan bayi. Dengan cepat ia me- nangkapnya.

“Heppp!”

Bong Mini semakin terkejut ketika melihat bayi yang sudah berada di tangannya. Bayi itu ternyata su- dah tidak bernyawa lagi. Di leher dan ubun-ubunnya terlihat luka gigitan. Rupanya perempuan itu telah mengisap darah dan otaknya!

“Iblis terkutuk!” geram Bong Mini seraya meman- dang ke depan kembali. Tetapi matanya tak melihat perempuan tadi. Rupanya perempuan pengisap darah itu telah menghilang ketika Bong Mini menangkap mayat bayi tadi.

Dengan kemarahan yang memuncak, lalu Bong Mini dan Ki Maja serta empat orang kepercayaannya segera melesat, mengejar perempuan pengisap darah tadi. Namun usaha mereka sia-sia. Mereka kehilangan jejak. Akhirnya mereka kembali ke tempat semula dengan membawa bayi yang sudah tidak bernyawa lagi.

Kedua orang-tua bayi itu menangis meraung-raung ketika Bong Mini menyerahkan bayi mereka. Malah ibunya jatuh pingsan saat melihat luka pada ubun- ubun anaknya yang baru berumur empat puluh hari itu.

“Aku akan berusaha mencari wanita itu!” janji Bong Mini kepada orang-tua lelaki bayi itu. Kemudian ia bersama Ki Maja dan pengikutnya kembali ke rumah Ki Maja dengan membawa sejuta kekesalan karena tak berhasil membekuk perempuan yang selama ini mem- buat onar di Desa Buncit.

***

3

Siang itu matahari gencar memancarkan panasnya. Seakan hendak membakar seluruh permukaan bumi. Sehingga banyak makhluk hidup yang tak kuasa me- nahan terik matahari yang menyengat, membakar tu- buh.

Seorang perempuan tampak berjalan sendiri di le- reng Bukit Buncit. Sebuah bukit kecil yang letaknya masih berada dalam wilayah Desa Buncit. Sehingga namanya pun sama dengan desa tersebut.

Wanita yang mengayunkan langkah di lereng bukit itu berwajah cantik. Walaupun wanita itu sudah ber- umur tua, sekitar lima puluh tahun, namun wajahnya memancarkan daya tarik tersendiri. Bahkan keriput- keriput kulit hampir tak terlihat pada wajahnya.

Wanita itu berjalan gontai seperti tak bertenaga. Sehingga pinggulnya yang padat berisi bergoyang ke kiri kanan, mengundang gairah lelaki yang melihatnya. Rambutnya yang panjang dan lebat digelung sedikit, sehingga bagian bawahnya tergerai sebatas pinggul. Kuku tangannya yang meruncing seperti kuku kucing dipoles oleh warna kuning daun pacar, sehingga terli- hat lebih manis dan menarik. Pakaian yang dikena- kannya pun indah, tipis dan ketat. Seakan-akan se- ngaja memperlihatkan lekuk tubuhnya yang menggai- rahkan! Sedangkan pada pinggangnya membelit selen- dang hitam panjang, membuat penampilan wanita itu benar-benar menarik.

Wanita cantik yang tengah berjalan itu tidak lain Nyi Genit. Seorang tokoh sesat dari Perguruan Topeng Hitam. Melihat keadaannya saat itu, orang tidak akan mengira kalau dia tokoh Perguruan Topeng Hitam. Se- lain penduduk negeri itu tidak tahu bagaimana rupa Nyi Genit, murid-murid Perguruan Topeng Hitam juga mengenal Nyi Genit hanya sebagai seorang perempuan tua berumur sekitar enam puluh tahun, berkeriput dan tidak menarik. Bahkan ketika meninggalkan Bukit Setan menuju Desa Larangan, tempat tinggalnya dulu, wajah Nyi Genit mirip seorang nenek sihir yang jahat dan menyeramkan! Dia mengunjungi Desa Larangan dengan tujuan hendak balas dendam terhadap pendu- duk yang telah menelanjangi dan mengaraknya keliling kampung saat tertangkap basah berbuat mesum den- gan Brata yang sekarang bernama Kidarga. Namun un- tuk membalas sakit hatinya kepada mantan suaminya belum kesampaian. Ia tidak tahu kalau suaminya yang bernama Sunggih itu telah pindah ke Gunung Muda dan mengganti namanya dengan Kanjeng Rahmat Suci. Sekarang, dalam perjalanannya menuju Bukit Se- tan, wajah Nyi Genit telah berubah muda dan cantik

berseri dengan tubuh yang menggairahkan!

Seperti telah diceritakan sebelumnya, bahwa ia sa- ngat gemar minum darah pemuda berumur sekitar dua puluh tahun. Kegemaran itu sebenarnya merupakan satu syarat untuk menambah kesaktiannya. Namun ji- ka ditambah dengan mengisap darah, otak, dan sum- sum seorang bayi lelaki berumur di bawah empat pu- luh hari, maka dalam waktu sekejap penampilannya akan berubah muda kembali seperti seorang wanita yang berumur dua puluh tahunan.

Semua persyaratan itu telah ia dapatkan ketika ka- kinya menjejak tanah Desa Larangan, tempat kelahi- rannya. Sebuah desa yang terletak di kawasan Pulau Jawa. Di sana, selain melakukan pembantaian sebagai tindakan balas dendam, ia pun mencari para lelaki un- tuk diisap darah, otak dan sumsumnya. Kebetulan di desa itu banyak pemuda tanggung berumur belasan tahun. Sehingga dengan mudah ia mendapatkan sega- la keinginannya itu.

Sekarang, dalam perjalanannya menuju Bukit Se- tan, wajah Nyi Genit yang telah berubah muda dan cantik itu tampak berseri-seri. Karena di Desa Buncit ia sempat mendapatkan mangsa, empat bayi berumur di bawah empat puluh hari dan pemuda berumur dua puluh tahun sebanyak empat orang. Sehingga tidak heran jika penampilannya kali ini semakin muda menggairahkan!

Saat ia berjalan tenang, tiba-tiba ia terkejut dan se- gera menghentikan langkahnya. Namun beberapa saat kemudian, bibirnya yang merah menggoda itu terse- nyum manis. Matanya berbinar-binar penuh kegaira- han saat melihat enam lelaki muda berdiri mengha- dangnya dengan sikap gagah. Gerak matanya terlihat jalang, membayangkan kepuasan dan kekaguman. Be- gitulah sikap Nyi Genit jika berhadapan dengan pemu- da tampan yang usianya di bawah tiga puluhan. Wani- ta gila pria ini selalu berdebar tegang setiap melihat pemuda gagah dan tampan. Seperti memandang buah yang ranum mengundang selera.

“Siapa kalian berenam? Kenapa menghadangku? Apakah memang sengaja hendak berjumpa dan berke- nalan denganku?” tanya Nyi Genit dengan lenggak- lenggok pinggulnya yang dibuat-buat, agar dapat me- mancing gairah keenam lelaki muda yang mengha- dangnya itu.

“Iblis perempuan tua yang tak tahu malu! Masih suka mengumbar nafsu!” ejek seorang pemuda yang berdiri paling depan. Rupanya, dialah yang menjadi pemimpin dari kelima pemuda lain.

Enam lelaki itu rata-rata berumur dua puluh lima tahun. Tubuhnya gagah, berpakaian yang menunjuk- kan kalau mereka ahli silat. Gerak-gerik mereka yang ringan cekatan membuktikan pula kalau mereka bu- kan orang sembarangan.

Wanita yang bernama Nyi Genit itu memainkan bola matanya nakal, memandangi wajah keenam pemuda itu secara bergantian. Dan sambil mengulum senyum serta tubuh yang masih bergerak genit, ia berkata, “Wah wah wah..., belum saling kenal sudah main ben- tak dan marah saja,” Nyi Genit mencoba bersikap ra- mah agar dapat membujuk keenam pemuda yang menggiurkan hatinya itu.

“Ketahuilah, Wanita Iblis! Kami berenam adalah orang yang menamakan diri Enam Pendekar dari Desa Buncit!” kata seorang yang menjadi Ketua Enam Pen- dekar dari Desa Buncit itu. Dia bernama Galih. Se- dangkan lima teman yang dipimpinnya masing-masing bernama Ujun, Dadam, Junet, Juling dan Juher. Pa- kaian yang mereka kenakan sama. Baju koko berwar- na putih dengan celana pangsi berwarna hitam. Dibelit oleh kain sarung di pinggangnya, seolah-olah kain sa- rung itu dijadikan ikat pinggang untuk menyelipkan golok mereka masing-masing. Mereka baru saja kem- bali setelah melakukan pelacakan ke hutan-hutan dan bukit-bukit mencari wanita pengisap darah. Menurut mereka, orang yang melakukan tindakan keji itu bi- asanya tinggal di tempat-tempat sepi seperti hutan dan pegunungan. Karena itu mereka tidak tahu tentang pe- ristiwa pengisapan darah yang terjadi semalam. Kini, secara kebetulan mereka berpapasan dengan wanita cantik yang mereka curigai.

“Ck ck ck!” bibir wanita muda itu berdecak-decak sambil tak henti-hentinya tersenyum kagum. “Kalau begitu, kalian orang-orang kepercayaan penduduk de- sa ini!”

“Begitulah! Dan aku peringatkan kepadamu untuk meninggalkan tempat ini!” geram Galih dengan sorot mata tajam penuh amarah.

“Mengapa?” tanya Nyi Genit terkejut.

“Karena kau telah mengganggu ketenteraman desa dengan membunuh para bayi serta anak-anak muda!” kata Galih, langsung menuduh. Karena pada setiap ke- jadian, ia selalu menanyakan orang-tua si bayi atau saksi mengenai ciri-ciri wanita pengisap darah. Dan ci- ri-ciri itu mirip dengan wanita yang dihadapinya se- karang ini.

“Aiiih, kalian salah duga. Aku adalah wanita baik- baik yang baru menginjakkan kaki di bukit ini!” elak Nyi Genit. “Jangan coba-coba mengelak, Iblis Pelacur! Aku ta- hu perbuatanmu!” geram Galih.

Menyadari perbuatannya diketahui oleh keenam le- laki itu, Nyi Genit pun segera mengambil sikap.

“Kalau aku tidak mau meninggalkan tempat ini, ka- lian mau apa?”

“Aku akan mencincangmu!”

“Hi hi hi..., boleh kalau kalian bisa melakukannya!” tantang Nyi Genit di sela tawanya yang berderai genit.

Sret sret sret!

Enam Pendekar dari Desa Buncit segera mencabut golok besar ketika mendengar ucapan Nyi Genit yang mengandung tantangan itu. Keenam pendekar itu me- mang merupakan ahli-ahli bermain golok dengan jurus andalan yang diberi nama ‘Golok Pembelah Bumi’. Se- lain itu mereka juga sangat mahir dalam ilmu menotok jalan darah yang diberi nama ‘Semut Gigit Kuping Ga- jah’. Semacam ilmu menotok yang menggunakan te- lunjuk dan ibu jari. Ketika mendaratkan kedua jari itu, mereka akan mencubit kecil hingga terasa sakit seperti gigitan semut. Selanjutnya orang yang terkena totokan akan menggelepar-gelepar dan pingsan. Itulah sekilas mengenai ilmu-ilmu dahsyat yang dimiliki Enam Pen- dekar dari Desa Buncit.

“Siaaat...!” Wut wut wut!

Keenam pendekar itu langsung menghujamkan go- loknya ke arah leher dan kaki wanita cantik itu.

“Hi hi hi..., kalian memang tangkas-tangkas dalam bermain golok! Tentu kalian pun akan lebih tangkas dan bergairah lagi jika bermain asmara!” ledek Nyi Ge- nit sambil mengelak menghindari serangan. Saat me- ngelak, ia mengeluarkan sebuah tongkat hitam yang panjangnya sekitar setengah meter dari balik selen- dang hitam yang membelit pinggangnya. Ini merupa- kan senjata istimewa yang ia miliki. Terbuat dari sepo- tong ranting kayu jati yang ukuran bulatnya sekitar lima sentimeter. Namun demikian senjata itu bukan tongkat sembarangan seperti kebanyakan tongkat lain. Tongkat hitam yang dimiliki Nyi Genit ini mengandung kekuatan yang luar biasa. Karena dipadukan dengan ilmu tongkat ‘Karang Setan’.

Trang trang trang...!

Bunga api berpijar-pijar ketika golok lawan-lawan- nya tertangkis oleh tongkat hitam Nyi Genit. Kemudian tongkat mini berwarna hitam itu diputar-putar dengan kecepatan yang sulit dijangkau pandangan manusia biasa. Sehingga yang terlihat hanya kilatan-kilatan dan angin yang bergulung-gulung di sekitarnya. Membuat keenam pendekar itu mendapat kesulitan untuk mela- kukan serangan.

“Hey, kenapa terdiam? Lelah? Wah, payah! Bagai- mana nanti kalau aku ajak berkencan!” ujar Nyi Genit, ketika melihat penyerangnya kebingungan mencari ke- sempatan untuk menyerang.

“Perempuan rendah!” “Hina!”

“Pelacur!” “Iblis jalang!”

Keenam pemuda itu marah sekali mendengar kata- kata Nyi Genit yang kotor tadi. Kemudian seorang dari mereka melompat ke depan setinggi dua meter dengan golok yang menyambar-nyambar dahsyat, namun tiba- tiba saja Nyi Genit membuka gelungan rambutnya yang ternyata amat panjang sampai sebatas mata kaki. Adapun keistimewaan rambutnya, bukan cuma karena berwarna hitam, tebal dan menyebarkan aroma yang harum memikat, tetapi juga dapat dipergunakan seba- gai senjata yang amat ampuh.

Siuttt! Wut! Nyi Genit menyabetkan rambutnya ke arah Ujun, seorang dari keenam pendekar dari Desa Buncit yang mengeroyoknya. Kemudian rambut berbentuk cambuk itu menggulung golok Ujun. Disusul dengan hantaman tangan kiri Nyi Genit pada tengkuk orang itu dengan gerakan membacok.

Duggg! “Aaakh!”

Ujun merintih sejenak. Lalu roboh tak dapat berdiri kembali. Sebab pukulan membacok dari tangan Nyi Genit itu telah dialiri totokan istimewa yang disebut ilmu ‘Jerat Asmara’. Sehingga tubuh itu langsung lum- puh, hanya mata dan telinganya saja yang masih dapat melihat dan mendengar.

Lima orang lain terkejut bukan main ketika melihat temannya terkulai tanpa daya. Mereka memutar golok- nya lebih gencar lagi. Bahkan tangan kiri mereka turut membantu dengan serangan totokan ‘Semut Gigit Ku- ping Gajah’ yang amat ampuh.

Namun lawan mereka bukan perempuan sembara- ngan. Dia memiliki ilmu kesaktian yang diberi nama ilmu ‘Jayadiguna’. Sehingga dalam menghadapi sera- ngan itu ia hanya terkikik mempermainkan lima pe- ngeroyoknya.

Trang trang trang!

Setiap golok yang menyambar ke arahnya, selalu dapat ditangkis dengan tongkat hitamnya yang beru- kuran setengah meter. Sedangkan rambutnya yang panjang tergerai seperti mengandung kekuatan gaib yang bisa menyambar-nyambar ganas.

“Matilah kau, Iblis!” seru Galih sambil mengirim se- buah totokan ‘Semut Gigit Kuping Gajah’.

Cep!

Ibu jari dan telunjuk Galih yang dipergunakan un- tuk menotok tepat mengenai buah dada Nyi Genit se- belah kiri yang besar. Namun ketika ujung jarinya me- nyentuh dan mencubit buah dada besar itu, ia hanya merasakan sesuatu yang kenyal dan hangat. Sedang- kan totokan jarinya sendiri tidak memberikan reaksi apa-apa terhadap lawannya itu. Malah sambil terse- nyum genit wanita yang menjadi tokoh Perguruan To- peng Hitam itu pun berkata, “Wih, nafsu amat kamu! Belum apa-apa sudah main colek dan cubit dada saja!” Muka Galih, Ketua Enam Pendekar dari Desa Bun- cit berubah merah mendengar kata-kata yang dilon- tarkan mulut Nyi Genit tadi. Ia merasa malu disangka mencolek dada perempuan itu. Tapi hatinya sendiri he- ran, mengapa ilmu totok yang dimilikinya tidak mem- berikan reaksi apa-apa terhadap wanita cantik yang genit itu? Padahal dia dapat melihat dan merasakan dengan jelas kalau jarinya tadi menotok jalan darah perempuan centil itu di buah dadanya yang besar. Dengan hati yang dihinggapi rasa penasaran, ia kem-

bali menyerang bersama empat temannya.

Di lain pihak, Nyi Gehit sudah kehilangan kesaba- rannya. Ia sudah tidak ingin berlama-lama melakukan pertempuran dengan pemuda-pemuda yang mengun- dang birahinya itu. Maka lewat kesaktian yang dimiliki, rambutnya yang panjang dan tebal segera bergerak mengibas-ngibas bagai cemeti yang dipergunakan un- tuk memacu kuda.

Wut..! Tarrr!

Wut...! Tar tar tarrr...!

Empat dari lima pemuda yang menyerangnya roboh terkena sabetan ujung rambut. Mereka tak dapat bangkit lagi. Kecuali memandang dan mendengar se- perti yang dialami lelaki pertama.

Ujun kaget melihat lima temannya roboh tanpa daya. Namun demikian, ia tidak merasa gentar sedikit pun. Malah dengan darah bergolak serta murka yang meluap-luap, ia memaki wanita cantik di hadapannya. “Perempuan iblis hina! Aku tidak akan pergi sebelum dapat menghabisi nyawamu dan membeset-beset wa- jahmu yang mengundang malapetaka itu!”

“Hi hi hi! Kau tak akan berkata begitu bila sudah merasakan kehangatan bibirku!” Nyi Genit tertawa ge- nit. Kemudian ia mengerahkan ilmu ‘Tiupan Iblis’ dari mulutnya.

“Fuuuh!”

Bibir yang merah tebal dan merangsang itu berge- rak berbentuk huruf O. Kemudian dari mulutnya itu berhembus angin dahsyat ke arah Ujun.

Wesss...!

“Aaakh!”

Ujun terpekik kaget mendapat dorongan angin yang demikian keras. Tubuhnya terpental ke belakang se- perti dihantam sebuah batu besar. Sebelum ia sempat bangkit, ujung rambut Nyi Genit telah menyambar dan membelit leher pemuda itu.

Pemuda itu berusaha melepaskan jeratan rambut Nyi Genit yang melilit di lehernya dengan kedua ta- ngan. Namun ketika wanita cantik itu menggerakkan kepalanya, rambut itu terpecah menjadi lilitan-lilitan kecil. Sebagian membelit leher dan sebagian lagi mem- belit pergelangan tangan pemuda itu, hingga pemuda itu tidak dapat bergerak sama sekali.

“Nah, kesinilah pemuda tampan! Nikmati kehanga- tan bibirku ini. Agar mulutmu tidak memaki-maki diri- ku!” ucap Nyi Genit dengan sorot mata yang berbinar- binar, mengandung birahi. Seolah-olah hendak menci- umi dan melumat pemuda itu dengan segera.

Pemuda yang terbelit rambut Nyi Genit benar-benar tak berdaya. Ia hanya dapat memandang dan berkedip ke arah lima temannya yang juga tengah tergeletak tanpa dapat menggerakkan tubuhnya. Libatan rambut Nyi Genit semakin erat pada tubuh Ujun. Dan saking eratnya, pemuda itu merasa sesak untuk bernapas. Sedangkan tubuhnya sendiri semakin dekat dengan tubuh Nyi Genit.

Ketika tubuh Ujun menempel dengan tubuh Nyi Genit, hidungnya mencium aroma harum yang ditim- bulkan oleh rambut panjang wanita tersebut. Hingga napasnya yang sesak perlahan-lahan lega kembali. Bahkan menimbulkan rangsangan yang kuat pada da- rah pemuda itu.

Dengan sorot mata penuh nafsu birahi, wanita can- tik itu segera mendekap tubuh pemuda itu lebih rapat lagi ke tubuhnya dengan kedua tangan. Kemudian bi- birnya yang tebal dan merah terbuka lebar dengan li- dah yang panjang menjulur ke arah pemuda di depan matanya, siap menjilat dan melumat bibir lawan yang hanya mampu mengedip-ngedipkan mata.

Melihat keadaan Ujun, lima temannya tampak me- mandang ngeri. Mereka sudah dapat menduga, apa yang akan dilakukan oleh wanita itu terhadap Ujun yang berada dalam pelukannya yaitu mencium lalu mengisap darahnya.

Di saat bibir tebal dan merah itu hendak menempel di bibir pemuda itu, tiba-tiba sebuah tamparan keras menghantam wajah Nyi Genit.

Plakkk!

Tubuh Nyi Genit terlempar dua meter ke samping kanan. Sedangkan rambut yang membelit tubuh pe- muda itu terlepas.

Dengan mata mendelik penuh amarah, Nyi Genit bangkit dan memandang orang yang telah berani me- lakukan penyerangan kepadanya.

Di sana, di bawah sebuah pohon, berdiri seorang gadis mungil dengan baju merah ketat serta pedang tersandang di punggungnya. Dia berdiri tegak dengan sorot mata yang mencorong tajam ke arah Nyi Genit. Wajahnya merah menahan kemarahan.

Sebelum Nyi Genit melontarkan kata-kata ke arah gadis bertubuh mungil yang tidak lain Putri Bong Mini itu, muncul lima lelaki lain dari balik semak-semak dan langsung mengurung Nyi Genit. Mereka tidak lain Ki Maja, Kepala Desa Buncit dan empat orang keper- cayaannya.

“Bocah perempuan sialan! Berani benar kau kurang ajar kepadaku!” geram Nyi Genit dengan mata menco- rong tajam. Senyum genit yang selama ini diumbarnya hilang seketika. Berubah dengan wajah bengis, tak be- da dengan iblis yang gagal membuat tipu daya pada manusia.

“Siapa yang takut menghadapi iblis betina seperti kau?” balas Bong Mini tak kalah geram.

“Bocah tengik! Kurobek mulutmu yang kotor itu!” geram Nyi Genit dengan tubuh siap meloncat mener- jang Bong Mini. Namun sebelum niatnya terlaksana, Ki Maja dan empat pengikutnya telah mendahului menye- rang wanita itu dengan golok masing-masing.

“Hiyaaat!”

Trang trang trang!

Golok-golok terhunus itu segera disambut oleh Nyi Genit dengan tongkat hitamnya yang berukuran sete- ngah meter.

“Kalian berlima ingin cari mampus rupanya!” hardik Nyi Genit seraya mengibaskan rambutnya yang tebal ke arah lima penyerangnya.

Tarrr tarrr!

Dua orang pengikut Ki Maja yang terkena sabetan rambut wanita itu langsung roboh. Ketika jatuh di ta- nah, nasibnya sama dengan Enam Pendekar dari Desa Buncit, berkedip-kedip tanpa bisa bangun lagi.

“Hiyaaat!” Tiba-tiba tubuh Bong Mini melesat di udara setinggi tiga meter ke arah Nyi Genit disertai tendangan ke wa- jahnya. Namun dengan cepat wanita cantik yang haus darah perjaka itu mengelak ke belakang. Sedangkan rambutnya yang tebal dan panjang menyambar tubuh Bong Mini.

Wut wut wut!

Kibasan-kibasan rambut Nyi Genit yang demikian cepat menimbulkan angin yang demikian dahsyat.

Terpaksa Bong Mini menarik kembali kakinya. “Huppp!”

Dengan menggunakan peringan tubuhnya yang hampir sempurna, Bong Mini meloncat ke belakang dan langsung berdiri tegak di atas tanah.

“Ki Maja, mundurlah! Ini bagianku!” seru Bong Mini.

Ki Maja dan dua orang pengikutnya yang masih ber- diri tegak, langsung mundur dari arena pertempuran mengikuti perintah Bong Mini. Mereka telah mende- ngar kehebatan gadis mungil itu dalam menghadapi musuhnya. Oleh karena itu mereka tidak khawatir ke- tika Bong Mini menghadapi wanita haus darah itu seo- rang diri.

“Bocah sombong! Sebutkan namamu sebelum nya- wamu kukirim ke neraka!” dengus Nyi Genit geram.

“Namaku Putri Bong Mini. Siapa pula namamu?!” kata Bong Mini.

Walaupun baru bertemu saat itu, Nyi Genit tersen- tak kaget mendengar nama Bong Mini disebutkan. Se- bab ia tahu siapa Bong Mini, seorang gadis mungil yang selama ini menjadi penghalang bagi pekerjaan anak buahnya yang terkumpul dalam Perguruan To- peng Hitam.

Nyi Genit yang selama ini tidak pernah keluar dan tidak diketahui bagaimana rupa sesungguhnya segera menyebutkan nama samaran, agar siapa pun yang be- rada di sekitar situ tidak mengetahui siapa dia sebe- narnya.

“Namaku, Tinting!” ujar Nyi Genit mengenalkan na- ma samarannya. “Sekarang, bersiaplah kau untuk ma- ti, Tikus Tengik!” lanjut Nyi Genit sambil memper- siapkan serangan.

Bong Mini yang belum mengetahui siapa sebenar- nya wanita yang sedang dihadapinya itu, karena belum pernah bertemu dengan Nyi Genit, tampak tenang-te- nang saja mendengar nama asing itu disebutkan. Na- ma yang tak pernah didengarnya selama terjun dalam dunia persilatan. Ia hanya menduga kalau wanita itu pasti baru terjun dalam dunia persilatan. Dan peker- jaannya dalam mengisap darah pemuda dan bayi, pasti untuk ilmu kesaktian yang dimilikinya. Salah satunya kesaktian rambut panjang yang baru saja disaksikan Bong Mini, begitu pikir Bong Mini. Karena itu ia te- nang-tenang saja menghadapi wanita cantik di hada- pannya.

Setelah keduanya saling memperkenalkan diri, me- reka pun kembali berhadapan dengan sikap hati-hati. Khawatir di antara mereka ada yang mendahului me- nyerang. Dan Bong Mini sendiri harus hati-hati meng- hadapi lawannya setelah melihat kesaktian rambutnya saat menyambar tubuh kedua pengikut Ki Maja. Ketika matanya melihat rambut tebal itu menyambar kedua orang pengikut Ki Maja, diam-diam Bong Mini mempe- lajari bagaimana cara mengelakkan rambut panjang milik wanita cantik yang mengandung kesaktian itu.

“Hiyaaat!”

Tiba-tiba wanita cantik itu menjerit dengan lengki- ngan panjang, rambutnya yang tebal dan panjang me- nyambar ke depan menuju leher Bong Mini. Tak cuma itu, ia pun menyambarkan tongkat hitamnya ke arah lawan.

Wuttt...!

Ujung rambut wanita cantik itu langsung membelit leher gadis bertubuh mungil yang tampaknya diam, tanpa melakukan perlawanan sedikit pun. Namun keti- ka tongkat hitam menyambar ke arahnya, Bong Mini langsung menangkap dan menariknya dengan keras.

“Hiy!” Tasss!

Tongkat hitam yang berhasil ditarik Bong Mini itu segera digunakan untuk membabat rambut lawannya yang membelit lehernya. Dalam sekejap mata rambut yang mengandung kesaktian itu putus.

“Aowww!”

Wanita cantik pengisap darah menjerit kaget ketika melihat rambut kesayangannya putus terbagi dua. Se- belum ia sempat membalikkan tubuhnya, Bong Mini kembali melancarkan serangan dengan telapak ta- ngannya yang terkembang.

Plakkk!

Tangan kanan Bong Mini mendorong hebat pung- gung lawannya, hingga wanita cantik itu jatuh lemas seperti lumpuh. Karena pada saat telapak tangannya menempel pada punggung lawan, Bong Mini langsung mengerahkan ilmu ‘Penyerap Tenaga’, membuat tenaga dalam tubuh wanita itu terkuras habis. Sedangkan da- ri mulut wanita cantik itu keluar darah segar.

Wanita cantik pengisap darah itu merangkak ba- ngun dengan sorot mata tajam ke arah Bong Mini. Pe- nuh dengan rasa dendam.

“Kelinci kecil! Aku tidak akan membiarkan penghi- naan ini!” setelah berkata begitu, Nyi Genit langsung pergi meninggalkan tempat pertempuran.

Ki Maja dan kedua pengikutnya yang masih segar segera bergerak untuk mengejar wanita tadi. Tapi de- ngan cepat Bong Mini menahan.

“Tidak baik menyiksa orang yang sudah tidak ber- daya!” cegah Bong Mini.

“Tapi dia telah berbuat keji. Membunuh bayi-bayi dan pemuda yang tidak berdosa!” kilah Ki Maja dengan napas memburu. Ia bernafsu hendak menangkap wa- nita itu.

“Semua telah berlalu. Yang penting bagi kita seka- rang ini, wanita tadi telah pergi dan mudah-mudahan tidak akan mengganggu ketenteraman penduduk desa ini!” kata Bong Mini.

Ki Maja dan pengikutnya tertegun mendengar uca- pan gadis mungil itu. Sedangkan Bong Mini tanpa me- nunggu lebih lama lagi segera menghampiri enam pe- muda dan dua orang kepercayaan Ki Maja yang terja- tuh lemas. Kemudian, ia mengerahkan ilmu ‘Pembang- kit Tenaga’, pasangan dari ilmu ‘Penyerap Tenaga’. Ke- tika dua jari tangan Bong Mini yang telah disalurkan ilmu ‘Pembangkit Tenaga’ itu menempel ke dada seo- rang pemuda, tangannya mengalirkan hawa dingin yang menjalar ke seluruh tubuh pemuda itu. Selanjut- nya, tubuh pemuda itu langsung dapat digerakkan dan berdiri seperti semula. Begitu pula dengan yang lain setelah dialiri ilmu ‘Pembangkit Tenaga’ oleh Putri Bong Mini.

“Ki Maja, tugasku sudah selesai. Aku akan kembali melanjutkan perjalanan ke tempat lain. Selamat ting- gal!” usai berkata, tubuh Bong Mini langsung melesat cepat. Sehingga dalam sekejap, tubuhnya telah lenyap dari pandangan mereka yang masih berdiri terkagum- kagum.

*** 4

Senja tiba. Terik matahari yang sejak siang tadi membakar Desa Gilirang, perlahan-lahan redup. Begi- tu pula dengan angin panas yang siang tadi bertiup kencang, kini perlahan-lahan pudar. Berganti dengan kesejukan. Karena angin yang bertiup di senja itu ber- campur dengan kabut yang mulai turun ke permukaan bumi. Malah sebagian sudah menutupi puncak gu- nung yang menjulang tinggi. Sedangkan cahaya mata- hari dari sebelah barat sesekali ditutupi oleh gumpalan awan hitam yang berarak. Sehingga alam terkadang te- rang, terkadang pula redup.

Dalam suasana alam yang teduh serta hembusan angin yang bertiup semilir, empat orang berpakaian si- lat warna hitam dengan gelang bahar pada tangan masing-masing tampak memasuki Desa Gilirang. Se- buah desa kecil yang bersebelahan dengan Desa Bun- cit.

Wajah mereka tampak begitu letih seperti baru me- nempuh perjalanan yang amat jauh. Sedangkan keri- ngat tampak mengucur membasahi wajah mereka yang tegang dan hitam gesang. Jika ditilik dari raut wajah- nya, umur mereka rata-rata sekitar empat puluh ta- hun.

“Bagaimana kalau kita makan dulu sambil istira- hat?” usul lelaki berperawakan tinggi besar dengan tiga buah cincin sebesar mata berjejer di jari tangan kanan dan kirinya. Sedangkan sabuk merah yang lebarnya kurang lebih sepuluh sentimeter tampak melingkar pada pinggangnya. Ia bernama Barong.

“Sebuah usul yang baik!” jawab lelaki di sebelahnya yang juga mempunyai perawakan tak berbeda dengan Barong. Bedanya, lelaki itu mempunyai kumis yang panjang melintang serta berewok yang lebat di sekitar wajahnya. Ia bernama Jegal.

“Kalau begitu kita segera saja cari warung nasi!” te- mannya yang bernama Jargon mengusulkan. Tubuh- nya tinggi dan agak kurus dengan gigi depan menjorok keluar, memperlihatkan warnanya yang kekuning-ku- ningan dan hitam di sela-selanya. Menandakan kalau lelaki itu seorang pecandu rokok berat. Sedang yang seorang lagi bernama Buraong. Bertubuh tinggi besar dengan mata kanan tertutup oleh kain hitam, agar ma- tanya yang cacat tak tampak oleh orang lain.

Setelah keempatnya mendapat kata sepakat, me- reka pun segera melangkah mencari warung nasi. Se- pasang kaki mereka yang tak beralas tampak begitu ringan berjalan. Sehingga bila dilihat sekilas, langkah keempat orang itu seperti tidak menyentuh tanah.

Tidak begitu lama mereka berjalan, sampailah di sebuah warung makan. Tanpa ragu-ragu lagi mereka langsung masuk ke ruang dalam. Di sana, mereka langsung mengambil tempat duduk di sudut ruangan serta memesan makanan yang disukai masing-masing. Sambil menunggu pesanan datang, Barong, salah satu dari keempat orang itu tampak menyebarkan pan- dangan ke sekeliling ruangan. Sepasang matanya yang bulat besar dan hitam kemerah-merahan terhenti pada lelaki yang sedang asyik menikmati hidangan. Kemu- dian pandangannya beralih pada seorang pemuda yang

tengah asyik menikmati hidangan.

“Rupanya banyak pula orang dari negeri lain yang datang ke tempat ini!” gumam Barong pada keempat lelaki, ketika melihat seorang pemuda yang tampaknya keturunan Tionghoa.

Ketiga temannya serentak menoleh pada lelaki yang dimaksud Barong. Mata mereka turut meneliti wajah serta pakaian berlapis jubah wama kuning yang dipa- kai oleh pemuda bermata sipit itu.

Pemuda bermata sipit yang sedang mereka perhati- kan itu tidak lain Ong Lie. Orang kepercayaan kawa- nan Iblis Pulau Neraka yang sedang melakukan penca- rian seorang gadis bernama Bong Mini. Namun sampai saat itu, ia belum juga bertemu sampai akhirnya beris- tirahat di warung nasi tersebut.

Empat lelaki berwajah kasar yang sejak tadi mem- perhatikan pemuda tampan itu segera mengalihkan pandangannya, ketika dua pelayan membawa maka- nan yang dipesan. Dan ketika dua pelayan itu selesai menaruh hidangan di atas meja mereka, Barong segera menarik salah seorang lengan pelayan tadi.

“Apakah perjalanan menuju Bukit Setan masih jauh dari sini?” tanya Barong dengan suara pecah. Sehingga walaupun ia bertanya lembut, namun terdengar besar di telinga pelayan itu.

Pelayan itu kelihatan terkejut mendengar nama Bu- kit Setan yang disebutkan oleh Barong. Tapi kemudian dia segera mengubah sikapnya kembali ketika melihat wajah yang menegurnya bertampang garang mena- kutkan.

“Masih..., masih jauh, Tuan! Sekitar satu hari satu malam lagi untuk bisa sampai ke bukit itu!” kata pe- layan tadi dengan suara gugup serta wajah yang agak pias.

“Arahnya ke mana?” tanya Barong lagi.

“Kalau dari sini, Tuan bisa mengambil arah utara!” sahutnya lagi, masih gugup.

Barong mengangguk-angguk. Hatinya lega. Kemu- dian tangan kekarnya yang berbulu lebat dan panjang itu segera melepaskan cekalannya. Lalu ia segera me- nyusul temannya yang sudah asyik menikmati hida- ngan.

Sementara itu, pelayan yang tadi ditegur Barong, segera meninggalkan tempat itu. Sesaat dia berdiri di tengah pintu, memandang kembali wajah keempat le- laki itu dengan wajah pucat dan sikap takut

Rasa takut yang menghinggapi diri pelayan itu me- mang bisa dipahami. Selain wajahnya bengis, mereka juga tidak memiliki sikap ramah. Terlebih ketika Ba- rong menanyakan Bukit Setan tempat Kidarga dan Nyi Genit serta puluhan pasukannya.

Begitu pula dengan orang-orang di ruangan itu. Ke- tika mendengar kata Bukit Setan dari mulut Barong, mereka bergegas menghabiskan hidangannya dan me- ninggalkan rumah makan itu setelah membayar ma- kanan. Hanya Ong Lie saja yang tidak beranjak dari tempat duduknya. Ia tetap bersikap tenang sambil me- reguk anggur.

Ketika Barong dan ketiga temannya telah selesai makan dan keluar, diam-diam Ong Lie pun meninggal- kan warung nasi itu untuk membuntuti mereka.

***

Matahari terus merayap tanpa terasa. Sehingga raja siang yang semula begitu angkuh menyoroti bumi, per- lahan-lahan tenggelam ke arah barat. Meninggalkan bias-bias cahaya di sekitarnya. Sehingga alam menjadi temaram.

Belum jauh keempat lelaki tadi meninggalkan ru- mah makan, tiba-tiba mata mereka melihat tiga lelaki gagah yang berjalan dari arah sebelah kiri. Ketiga lelaki itu tampak mengangkat tangan kanannya, seolah-olah memberi isyarat kepada Barong dan ketiga temannya.

Barong dan ketiga temannya segera menghentikan langkahnya. Ketika ketiga lelaki itu sudah dekat ke arahnya, Barong segera menegur.

“Siapa kalian dan kenapa menghalangi perjalanan kami?” “Kami adalah Tiga Serangkai Berkalung Tengkorak! Nama kami Resmolo, Sentanu, dan aku sendiri berna- ma Gombreh!” kata lelaki yang bernama Gombreh, memperkenalkan julukan mereka serta nama masing- masing.

Gombreh bertubuh tinggi besar, tidak berbeda de- ngan Barong, kecuali pakaiannya. Dia bersama dua temannya mengenakan celana hitam model pangsi dan berbaju model rompi tanpa kancing. Sehingga kalung bermata tengkorak yang melingkar di leher mereka ter- lihat jelas. Sedangkan di pinggang ketiga orang itu me- lingkar kain warna merah, seolah-olah menyembunyi- kan golok yang terselip di sana. Rambut mereka berge- lombang sampai sebatas bahu.

Barong dan ketiga temannya mengangguk-angguk kasar. Sedangkan mata mereka terus mencorong ke arah Tiga Serangkai Berkalung Tengkorak dengan pan- dangan penuh selidik.

“Kalau tidak keberatan, boleh kutahu siapa kalian berempat?” tanya Gombreh ingin tahu.

“Kami Pendekar Bermata Iblis. Aku bernama Ba- rong, sedangkan tiga temanku bernama Jegal, Jargon, Buraong. Asal kami dari negeri Ngarumpuyuk. Negeri paling ujung daratan Pulau Jawa!” kata Barong dengan suara tegas menggelegar. “Lalu negeri asalmu dari ma- na?”

“O, ya. Aku hampir lupa menyebutkan asal kami!” sahut Gombreh. “Kami pun berasal dari daratan Pulau Jawa. Dari negeri Lumajang!” lanjut Gombreh.

“Lalu, apa maksud kalian menahan perjalanan ka- mi?” tegas Barong dengan mata tak berkedip.

“Aku hanya ingin bertanya, ke mana jalan menuju Bukit Setan?” jawab Gombreh. “Ketika dari jauh tadi kulihat persimpangan jalan, aku bingung menentukan arah yang tepat untuk menuju Bukit Setan. Kebetulan di persimpangan ini aku melihat kalian, karena itu aku memanggil!” sambung Gombreh.

Barong dan tiga temannya tercenung ketika men- dengar ucapan Gombreh yang ingin menuju ke Bukit Setan.

“Ada keperluan apa kau pergi ke sana?” tanya Ba- rong lagi, ingin tahu. Matanya menatap tajam penuh selidik.

“Kami dengar, Perguruan Topeng Hitam yang ber- markas di sana mencari para pendekar untuk berseku- tu dengannya. Karena itu kami ingin mencoba berga- bung dengan Perguruan Topeng Hitam,” tutur Gomb- reh menjelaskan maksud tujuannya.

Barong dan ketiga temannya mengangguk-angguk. “Kalau begitu kita punya tujuan yang sama!” kata

Barong hangat, merubah sikap curiganya menjadi pe- nuh persahabatan.

“Apakah kalian juga hendak bersekutu dengan Per- guruan Topeng Hitam?” tanya Gombreh.

“Ya. Sekarang, kami pun hendak menuju ke sana!” sahut Barong.

“Kalau begitu kita sama-sama saja ke sana!” usul Gombreh.

“Memang itu yang aku kehendaki. Ayo!” ajak Ba- rong. Dia siap melangkah, melanjutkan perjalanan kembali.

Karena jalan di hadapan mereka terbagi empat ja- lur, maka Barong mengambil jalan kiri yaitu jalan me- nuju Bukit Setan. Namun sebelum mereka melangkah lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara yang ditujukan kepada mereka.

“Apakah ilmu kalian sudah hebat hingga ingin ber- sekutu dengan Perguruan Topeng Hitam?!”

Tujuh orang bertubuh kekar yang hendak melan- jutkan perjalanan itu segera menghentikan langkah. Mereka terkejut mendengar suara yang menggetarkan jantungnya itu. Mereka langsung sadar kalau orang yang mengeluarkan suara itu memiliki tenaga dalam yang amat kuat.

Dengan sigap, ketujuh orang itu langsung meloncat mundur sejauh tiga langkah, sambil melintangkan go- lok mereka masing-masing di depan dada. Sedangkan sepasang mata ketujuh orang itu menatap tajam pada pemuda yang entah datangnya dari mana, tiba-tiba sudah berada di depan mereka.

Barong dan ketiga temannya terkejut melihat keha- diran pemuda tampan itu. Karena pemuda tampan yang mengenakan baju berlapis jubah kuning itu tidak lain lelaki yang pernah dilihatnya ketika di warung makan. Dan kini dia muncul tiba-tiba dan langsung menghadang mereka.

“Rupanya sejak tadi dia membayangi perjalanan ki- ta!” bisik Barong kepada ketiga temannya. Sedangkan kedua biji matanya terus mencorong ke arah pemuda itu.

“Siapakah kau, pemuda asing? Mengapa begitu be- rani menghalangi perjalanan kami?” geram Barong. Darahnya mendidih sejak mendengar ucapan pemuda yang mengandung ejekan tadi.

Pemuda berjubah kuning melangkah setapak men- dekati ketujuh lelaki berwajah beringas. Wajahnya tak sedikit pun menunjukkan rasa gentar. Malah bibirnya memperlihatkan senyum ketika menatap mereka. Se- dangkan ketujuh orang yang ditatapnya bergerak mengatur posisi, sehingga ketika dia sudah berada di tengah-tengah, tubuhnya langsung dikurung.

“Aku bukan menghalangi perjalanan kalian. Aku hanya bertanya, sejauh mana kemampuan kalian hing- ga begitu bersemangat hendak bersekutu dengan Per- guruan Topeng Hitam!” kata pemuda berjubah kuning tenang. Bibirnya masih mengembangkan senyum. “Phuih! Apa pedulimu, Anak Ingusan!” rutuk Ba-

rong dengan sorot mata berkilat-kilat menahan marah. “Tentu saja ini menjadi tugasku. Karena kalian ti- dak akan bisa melaksanakan niat kalian menuju Per- guruan Topeng Hitam sebelum dapat mengalahkanku!” tantang pemuda berjubah kuning yang tidak lain ber-

nama Ong Lie.

Ketujuh orang itu semakin geram mendengar uca- pan Ong Lie. Walaupun ucapannya lembut, tapi jelas mengandung penghinaan. Meremehkan ilmu yang me- reka miliki.

“Dari cara kalian memegang golok, aku dapat me- nilai kalau ilmu kalian masih mentah!” lanjut pemuda itu seperti sengaja memancing kemarahan tujuh orang yang dihadapinya.

“Setan kurap! Kau benar-benar harus diberi pelaja- ran!” bentak Barong yang dilanjutkan dengan meloncat ke depan setinggi setengah meter sambil membacok- kan goloknya ke tubuh lawan.

Wut wut wuttt!

Gebrakan yang dilancarkan Barong berhasil dielak- kan Ong Lie dengan cara merunduk dan melompat. Sehingga golok itu tak berhasil mengenai tubuhnya.

Melihat serangannya tidak mengenai sasaran, Ba- rong semakin murka. Kemudian dengan lengkingan tinggi, tubuhnya kembali bergerak menyerang pemuda berjubah kuning itu.

Wut wut wuttt!

Serangan goloknya kali ini lebih gencar mencecar tubuh lawan. Tapi dengan mudah pula Ong Lie menge- lak. Bahkan pada kesempatan lain dia berhasil balas menyerang.

Teppp! Duggg! Tangan kiri Ong Lie berhasil mencekal pergelangan tangan lawan yang memegang golok. Sedangkan ta- ngan kanannya berhasil memukul dada lawan dengan telak.

“Aaakh!”

Barong mengerang. Goloknya terlempar sejauh tiga meter dari tangannya. Sedangkan tubuhnya sendiri langsung tersungkur di tanah dengan mulut memun- tahkan darah segar. Dalam sekejap tubuh Barong mengejang-ngejang seperti ayam yang disembelih. Se- lanjutnya tubuh itu kaku dengan mata mendelik.

“Bangsat! Kau benar-benar ingin cari mati rupa- nya!” geram Jargon ketika mengetahui temannya mati dalam satu gebrakan di tangan pemuda berjubah ku- ning. Bersama dua temannya yang lain, dia segera ma- ju untuk menyerang Ong Lie bertubi-tubi.

“Hiaaat!”

Trang trang trangngng!

Lengkingan tiga Pendekar Bermata Iblis serta den- ting senjata membuat suasana jadi ramai.

Ong Lie yang menyadari serangan lawan begitu ber- tubi-tubi, segera mencabut pedang yang terselip di pinggang kirinya. Kemudian pedang itu dipergunakan untuk menghalau serta menyerang lawan.

“Hiyyy...!” Crattt blesss!

Dengan permainan pedang yang cukup hebat, Ong Lie berhasil membabat leher seorang lawan di depan- nya hingga putus. Dilanjutkan dengan gerakan menu- suk ke perut seorang lawan lagi yang berada di sebelah kirinya. Dalam detik itu juga, kedua tubuh lawan yang terkena babatan pedangnya roboh tanpa mengelua- rkan suara sedikit pun.

Melihat ketiga temannya mati dalam keadaan me- ngerikan, muka Jegal langsung memucat. Kemudian kakinya bergerak hendak melarikan diri. Namun ketika baru mencapai sepuluh meter dari tempat pertempu- ran, Ong Lie langsung melemparkan pedangnya ke arah lawan.

Singngng...! Clebbb!

Pedang Ong Lie yang mengarah lurus ke tubuh Jeg- al langsung mengenai punggungnya hingga tembus ke perut. Membuat Jegal roboh seketika itu juga.

Tiga Serangkai Berkalung Tengkorak yang menyak- sikan peristiwa itu tercengang kaget menyaksikan em- pat Pendekar Bermata Iblis yang mati dalam waktu singkat di tangan lelaki berjubah kuning yang masih muda itu.

“Kalian bertiga ingin mencoba seperti mereka?” ta- nya Ong Lie dengan sikap tenang serta senyum me- ngembang. Tapi di balik ketenangannya itu, ia mem- punyai sifat sadis. Sekali bertemu lawan yang dicuri- gai, pantang baginya untuk melepaskan.

Kepada keempat Pendekar Bermata Iblis, ia pun be- gitu kejam. Sebab sejak di warung nasi tadi hatinya mulai geram saat Barong menanyakan letak Bukit Se- tan kepada seorang pelayan. Pikirnya, pasti mereka akan bersekutu. Dan kalau hal itu terjadi, akan sema- kin kuatlah Perguruan Topeng Hitam. Sehingga pasu- kannya yang hanya sepuluh orang pasti akan kalah menghadapinya. Karena pertimbangan itu, sebelum Perguruan Topeng Hitam mendapat pendekar-pende- kar baru, lebih baik ia melakukan penjegalan.

Mendapat pertanyaan itu, Gombreh segera mengem- bangkan senyum ramah dan berkata, “Kami bukan orang-orang yang menyukai kekerasan dan saling menguji kekuatan!” kata Gombreh, menutupi hatinya yang kecut setelah mengetahui ketelengasan pemuda itu.

“Hm..., bagus!” puji Ong Lie dengan wajah sungguh- sungguh. Pikirannya mulai merasa, kalau ketiga orang itu pasti dapat dibujuk untuk bergabung dengannya. “Nama kalian siapa dan berasal dari mana?” lanjut Ong Lie seraya maju lima langkah ke arah mereka.

“Kami menamakan diri dengan sebutan Tiga Se- rangkai Berkalung Tengkorak. Aku bernama Gombreh dan kedua temanku ini bernama Resmolo dan Senta- nu. Sedangkan kami berasal dari negeri Lumajang, se- belah timur Pulau Jawa!” urai Gombreh, memperke- nalkan diri. “Kau sendiri siapa, Pemuda Tampan?” ia balik bertanya.

“Namaku Ong Lie berasal dari negeri Lanoa!” sing- kat Ong Lie.

Gombreh dan dua temannya tampak mengangguk- angguk. Mereka merasa lega karena pemuda itu mau diajak bercakap-cakap dan bersahabat.

“Apa maksud kalian hendak menuju Bukit Setan?” tanya Ong Lie lagi ingin tahu.

Tanpa ragu-ragu lagi, Gombreh yang menjadi pe- mimpin kedua temannya, menceritakan maksud me- reka yang hendak bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam.

“Aku mendengar perguruan itu memiliki kesaktian yang sukar tertandingi hingga kami datang ke sini un- tuk berguru pada pemimpinnya!” kata Gombreh.

“Apakah kalian tidak tahu sepak-terjang Perguruan Topeng Hitam?” tanya Ong Lie dengan sorot mata pe- nuh selidik.

“Secara samar aku mendengar kalau mereka mela- kukan tindakan-tindakan keji terhadap rakyat negeri ini,” jawab Gombreh.

“Kalau memang tahu, kenapa kalian hendak berse- kutu dengan mereka?” pancing Ong Lie.

“Karena mereka yang sekarang berjaya di negeri ini,” sahut Gombreh cepat “Walaupun mereka berjaya, bukan berarti mereka bisa hidup tenang,” tukas Ong Lie.

“Maksudmu?” tanya Gombreh kurang paham. “Ketua Perguruan Topeng Hitam saat ini sedang

mencari para pendekar tangguh, itu berarti kalau me- reka sedang mengalami keresahan akibat perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang tangguh di dalam ne- geri ini. Salah seorang yang akan menghancurkan Per- guruan Topeng Hitam adalah diriku. Karena itu aku membunuh keempat orang tadi sebelum mereka sam- pai di tempat tujuan!” tutur Ong Lie menjelaskan.

“Kalau memang begitu, aku dan dua temanku ini akan membantumu!” ujar Gombreh yang mendadak berubah niat.

Ong Lie tersentak mendengar pernyataan itu, wa- laupun semula, ia berniat hendak membujuk mereka untuk bersekutu dengannya.

“Mengapa tiba-tiba kau berubah niat?” pancing Ong Lie. Walau bagaimanapun ia harus mengetahui alasan dari pernyataan Gombreh yang tiba-tiba itu.

“Setelah mengetahui ada pemberontakan di sini dan salah satunya kau sendiri, hatiku langsung memihak padamu. Karena aku yakin kau berada di pihak golo- ngan putih yang menentang segala macam kesesatan dan kelaliman!” sahut Gombreh.

Golongan putih! Bisik hati Ong Lie. Ia tercenung be- berapa saat mendengar kata-kata itu. Karena ia me- nyadari kalau dirinya pun tidak lebih dari manusia hi- tam yang penuh nafsu iblis. Dan pertentangannya de- ngan Perguruan Topeng Hitam bukan karena berpihak pada rakyat, melainkan untuk merebut kekuasaan. Karena itu ia mencari Bong Mini agar dapat membantu menghancurkan Perguruan Topeng Hitam, dengan ala- san membantu penderitaan rakyat yang terjajah oleh Perguruan Topeng Hitam. Bila ia dan Bong Mini berha- sil menghancurkan Perguruan Topeng Hitam, maka akan mudah menduduki negeri Selat Malaka. Sedang- kan Bong Mini akan dibunuh dengan caranya sendiri setelah semua selesai.

“Kenapa kau tercenung?” tanya Gombreh heran. “Ah, tidak! Tidak apa-apa. Aku hanya kagum atas

pernyataan kalian yang tiba-tiba!” sahut Ong Lie cepat. Sekadar menutupi perasaannya sendiri.

“Semua itu tak akan terjadi bila tak bertemu de- nganmu!” sahut Gombreh seraya tersenyum.

“Kalau begitu, kita harus cepat mengatur siasat. Pergilah kalian mencari sepuluh orang temanku. Me- reka sedang bergerak menuju Bukit Setan untuk me- lakukan serangan. Mereka mengenakan baju koko dan celana pangsi!” kata Ong Lie.

Gombreh dan kedua temannya mengangguk. “Kau sendiri hendak ke mana?”

“Aku akan melakukan penyergapan terhadap orang- orang yang akan bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam seperti yang kulakukan pada keempat orang ta- di!” jawab Ong Lie.

Tiga Serangkai Berkalung Tengkorak itu mengang- guk-angguk. Kemudian mereka pun segera berpisah. Ong Lie menuju pantai Selat Malaka, sedangkan Tiga Serangkai Berkalung Tengkorak bergerak mencari se- puluh orang berkuda yang dimaksud pemuda berjubah kuning itu.

***

5

Waktu terus berputar tanpa terasa. Dari siang ke malam, hari ke minggu, minggu ke bulan, dan terus melaju demikian cepat.

Di pantai Malaka yang biasanya hanya disinggahi beberapa kapal dagang, kini kelihatan ramai. Bahkan di darat banyak orang-orang yang hilir-mudik. Mereka berasal dari berbagai negeri. Kedatangan mereka ke tempat itu bukan sebagai orang biasa, melainkan se- bagai pendekar dan orang-orang gagah. Ini bisa diken- al lewat pakaian dan sikap mereka. Tidak sedikit dari para pendekar atau orang-orang gagah ini mengenakan pakaian-pakaian aneh dan nyentrik seperti pakaian pertapa atau ala pengemis, butut, dan compang- camping.

Para pendekar yang datang ke tempat itu bukan sa- ja berkelompok, tetapi juga ada yang datang per- orangan. Mereka datang dengan penampilan menarik dan wajah berseri. Karena tempat yang baru mereka pijak itu bisa dijadikan ajang perkenalan antar sesama pendekar. Baik pendekar yang datang dari berbagai negeri maupun yang datang dari pelosok kampung.

Apa sebenarnya yang akan dilakukan oleh para pendekar itu? Tak seorang pun yang tahu pasti. Apa- kah akan bergabung dengan Perguruan Topeng Hitam yang memang sengaja mencari orang-orang gagah un- tuk menggulingkan Bongkap dan pengikutnya yang masih merongrong kekuasaannya, atau justru sebalik- nya, hendak membela penderitaan rakyat negeri Selat Malaka dari penindasan orang-orang Perguruan To- peng Hitam, tak ada yang tahu. Sebab pendekar yang datang ke tempat itu, menyembunyikan maksudnya masing-masing.

Di antara banyaknya pendekar yang terdiri dari tua- muda, laki-perempuan yang datang ke situ, tampak seorang wanita bertubuh mungil dengan umur kurang lebih sekitar delapan belas tahun. Rambutnya yang hi- tam panjang tampak melambai-lambai ketika terhela angin pantai, menutupi wajahnya yang selalu berseri- seri. Sedangkan matanya yang sipit dan tajam di- arahkan kepada para pendekar yang berada di sekitar pantai itu. Seakan-akan tengah memberikan penilaian terhadap mereka.

Namun sebenarnya tidak demikian. Sorot matanya yang lincah itu bukan karena sedang memberikan pe- nilaian, melainkan karena ia merasa suka terhadap tingkah laku serta pakaian yang dikenakan oleh setiap pendekar, tanpa memberikan penilaian sedikit pun pa- da mereka.

Menurutnya, menilai seseorang tidak bisa hanya di- lihat dari tingkah laku, perbuatan, keturunan, pang- kat, pendidikan ataupun pintar bodohnya seseorang. Sebab penilaian seperti ini akan membuahkan hasil yang palsu.

Berdasarkan hal itu, Bong Mini selalu mengambil sikap apa adanya. Bagi Bong Mini, kalau dirinya bersih dari segala penilaian, maka dia akan bisa menghadapi apa pun dengan hati dan pikiran yang bebas. Tanpa membedakan antara si kaya dan si miskin, pintar atau bodoh. Jika manusia sudah lepas dari segala macam penilaian, selanjutnya dia hanya berhadapan dengan sesama manusia tanpa embel-embel yang mengotori diri manusia itu sendiri. Baik itu kedudukan, pangkat, kekayaan, bangsa, ras, agama dan sebagainya. Dari sini, ego yang selalu ingin menang sendiri akan lenyap. Karena tidak mempunyai penilaian siapa diriku dan siapa dirimu. Namun demikian, kewaspadaan tetap harus dipelihara. Waspada terhadap diri sendiri. Meng- amati terus sampai sifat buruk yang kita punyai terli- hat dan berusaha menggantinya dengan sifat-sifat baik.

Di saat Bong Mini mengalihkan pandangannya pada keramaian, tiba-tiba sepasang matanya yang sipit itu menangkap seorang pemuda sedang duduk malas di dekat sebatang pohon kelapa di pinggir pantai. Pemu- da itu berwajah tampan. Rambutnya yang panjang di- gelung ke atas, memperlihatkan bentuk wajahnya yang bulat telur. Sedangkan pakaiannya terlihat indah, ber- jubah sutera berwarna kuning.

Bong Mini tertarik melihat penampilan pemuda yang umurnya sekitar tiga puluh lima tahun itu. Dan ketika kaki pemuda itu mengikuti empat lelaki berke- pala botak, Bong Mini mengikutinya secara diam-diam. Keempat lelaki berkepala botak terus berjalan me- nuju Hutan Roban. Tubuh mereka yang tinggi besar dan berotot dibiarkan telanjang dada. Sehingga dada bertato kepala macan yang mulutnya menganga sangat jelas terlihat. Mereka terus berjalan gagah sambil me- nikmati pemandangan di sekitar lereng bukit yang me-

nakjubkan! “Berhenti!”

Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang demikian keras, membuat keempat lelaki berkepala botak itu terkejut seraya menghentikan langkahnya. Mereka berdiri tegak. Mata mereka memandang ke segenap penjuru, mencari asal suara itu. Namun sampai begitu lama mengedarkan pandangan, keempat lelaki itu ti- dak melihat seorang pun di atas bukit kecuali mereka sendiri. Mereka menjadi yakin kalau orang yang meng- hentikan langkah mereka pasti seorang pendekar yang memiliki kepandaian tenaga dalam yang cukup tinggi.

Belum sempat mereka berkata, tiba-tiba seorang pemuda berjubah kuning yang tidak lain Ong Lie telah berdiri tegak di hadapan mereka dengan wajah berseri, penuh senyum.

“Siapa kau, Anak Muda? Apa tujuanmu menghala- ngi perjalanan kami?” tanya seorang lelaki berkepala botak yang memegang tongkat panjang kira-kira dua meter. Sepasang telinganya dihiasi anting besar. Se- dangkan celananya model pangsi berwarna hitam. Umurnya kurang lebih lima puluh tahun. Sama de- ngan ketiga temannya.

Ong Lie tersenyum sambil berjalan dua langkah ke depan. Membuat jarak mereka semakin dekat.

“Seharusnya aku yang bertanya. Bukankah kalian orang-orang Tiongkok yang baru menginjakkan kaki ke negeri ini?” tanya Ong Lie. Matanya terus mengamati mata sipit keempat lelaki berkepala botak itu.

“Sombong sekali kau, Bocah!” dengus lelaki yang mengenakan anting di kedua telinganya tadi. “Tapi, baiklah! Sebagai pendatang di negeri ini, aku terpaksa mengalah!” katanya sambil menggerakkan tubuh agar lebih enak dan gagah. “Kami adalah Empat Iblis Pen- cabut Nyawa!” lanjut lelaki beranting itu.

Ong Lie mengangguk-angguk.

“Apa tujuan kalian datang ke negeri ini?” tanya Ong Lie, seperti mendikte.

Mendengar pertanyaannya, Empat Iblis Pencabut Nyawa tersinggung. Baru kali ini mereka merasa di- dikte. Apalagi didikte oleh anak muda. Wajah mereka yang putih berubah merah seakan darahnya hendak merembes lewat pori-pori tubuh.

“Apa urusanmu, Bocah Tengik?!” geram lelaki yang menjadi pemimpin ketiga temannya.

“Tentu saja urusanku. Sebab kalian telah menjejak- kan kaki di negeri ini,” sahut pemuda itu masih de- ngan sikap tenang. “Atau kalian memang ingin berse- kutu dengan orang-orang Perguruan Topeng Hitam?”

Keempat lelaki berkepala botak itu terkejut. Mereka saling berpandangan. Tidak menyangka bila niat me- reka telah terbaca oleh pemuda bau kencur.

“Kalau memang ya, mau apa?” tanya lelaki berant- ing dengan sikap geram. “Aku akan melarang!” sahut Ong Lie kalem.

“Apa hakmu?” bentak lelaki yang memiliki senjata tongkat itu.

“Karena aku tidak ingin negeri ini dikotori oleh o- rang-orang semacam kalian!”

“Angkuh sekali ucapanmu, Bocah Tengik!” geram le- laki berkepala botak lagi. Matanya yang sipit mulai ter- lihat merah seperti bara api yang siap membakar.

“Hei, Cacing Kremi! Sebutkan namamu sebelum aku membeset mulutmu yang busuk itu!” seorang teman- nya yang sejak tadi hanya berdiam diri mulai angkat bicara. Dilepaskannya senjata rantai berujung bola berduri ke atas tanah.

“Kalian tak perlu tahu siapa aku. Kalau memang berani, hadapilah segera!” tantang Ong Lie tenang.

“Bangsat!” geram lelaki beranting. Dengan wajah terbakar serta sinar merah menyala di kedua matanya, lelaki itu maju dua tindak. “Bersiaplah untuk mampus, Bocah Tengik!” geramnya lagi.

“Bagus! Berarti kalian memang orang-orang yang punya nyali. Nah sekarang, bersiaplah!” ucap Ong Lie.

Sementara itu, di atas sebuah cabang pohon yang terlindung oleh dedaunan rimbun, sosok tubuh mungil tampak sedang asyik duduk berongkang-ongkang kaki. Sudah sejak tadi ia berada di atas pohon, menyaksikan empat lelaki berkepala botak dan seorang pemuda tampan yang siap bertarung.

Sikap pemuda berjubah kuning itu tampak tenang. Tak ada tanda-tanda seperti hendak menyerang. Ke- cuali matanya saja yang meneliti keadaan lawan.

“Hiyaaat!”

Tiba-tiba tubuh Ong Lie mencelat ke arah lelaki ber- anting dengan ketinggian sekitar dua meter. Kedua tangannya melebar. Tangan kiri lurus ke depan, se- dangkan tangan kanan ke belakang dengan gerakan hendak memukul. Inilah yang disebut dengan jurus ‘Bacokan Maut’. Sebuah serangan membacok dengan sisi telapak tangan.

“Hiiih...!”

Ong Lie langsung melayangkan bacokan tangannya ke arah lawan. Namun segera lawannya menyambut serangan itu dengan jurus ‘Kincir Angin’. Tangan kiri- nya menyilang ke dada untuk menahan tangan kiri la- wan, sedangkan tangan kanan menyilang ke atas un- tuk menangkis dan menangkap tangan kanan lawan yang membacok ke arahnya. Dan kalau salah satu tangannya yang dipergunakan untuk menangkis dapat menyambar tangan lawan, maka secepat kilat dia akan membalikkan tubuh sambil memutar tubuh lawan dengan kecepatan yang amat dahsyat sebagaimana pu- taran kincir angin.

“Huppp!”

Ong Lie segera mencelat, membalikkan tubuhnya di udara ketika lawannya mampu menangkis. Tubuhnya melewati kepala lawan. Begitu kedua kakinya mengin- jak tanah, ia kembali menggenjot tenaganya untuk me- lakukan serangan dengan tendangan.

Dukkk!

Lelaki botak yang mengenakan anting di kedua te- linganya itu tersentak kaget manakala kaki kanan la- wan mendarat di dadanya. Karena pada saat ia mem- balikkan tubuh, saat itu pula tendangan lawan menda- rat ke dadanya tanpa mampu dielakkan lagi. Akibat- nya, ia terdorong keras ke belakang sejauh dua meter. Sehingga pada saat tubuhnya roboh di tanah, mulut- nya langsung mengeluarkan darah segar. Namun lelaki itu bangkit kembali tanpa menghiraukan luka dalam tubuhnya.

Sreset!

Tangannya mencabut kedua pedang yang tersang- kut di pinggang. Kemudian tubuhnya melabrak lawan dengan sepasang pedang yang menyambar-nyambar. Inilah jurus ‘Pedang Samber Nyawa’. Salah satu jurus yang banyak dimiliki oleh orang Tiongkok. Sedangkan dahsyat tidaknya jurus ini tergantung dari kemam- puan masing-masing pemiliknya.

“Hiyaaat..!”

“Hup hup huppp!”

Lelaki beranting terbelalak kaget melihat pemuda itu menangkap ujung pedangnya. Sebab selama ia ter- jun dalam dunia persilatan, belum pernah ia melihat seorang pendekar yang berani menangkap ujung pe- dang yang sangat tajam itu. Tapi pemuda di hadapan- nya begitu gagah menangkap kedua ujung pedangnya tanpa merasa takut akan luka.

“Hih!”

Lelaki beranting mencoba menarik kedua pedang- nya kembali. Maksudnya agar tangan lawan terputus. Tapi alangkah kaget ia, karena ketika menarik kedua pedangnya itu, tangan lawan malah semakin memper- erat genggamannya, seolah-olah tak ingin melepaskan.

“Hiyaaat...! Hahhh!”

Ong Lie mengeluarkan lengkingan tinggi seraya me- narik ujung pedang yang digenggamnya ke bawah. Tu- buh lawannya terhuyung ke depan dengan kedua pe- dang yang terlepas dari kedua tangannya. Pada saat itulah pemuda tampan berjubah kuning itu membalik- kan ujung pedang agar dapat memegang gagangnya. Selanjutnya, ujung pedang itu diarahkan pada lawan dengan gerakan menusuk.

Creb! Creb!

Tanpa menimbulkan erangan sedikit pun, tubuh le- laki beranting langsung roboh dengan kedua pedang yang menembus perutnya.

Tiga orang dari Iblis Pencabut Nyawa yang sejak ta- di hanya berdiri menyaksikan pertempuran menjadi terbelalak kaget melihat temannya tewas di tangan pemuda itu. Kemudian kaki mereka melangkah dua tindak dan memandang pemuda itu dengan geram.

“Bangsat! Berani kau mempermainkan Iblis Penca- but Nyawa!” geram lelaki yang tadi membawa rantai berujung bola besi. Wajahnya bengis. Saat berkata, kumisnya yang panjang tebal bergerak-gerak. Sedang- kan di tengah kepalanya yang botak, terkucir beberapa helai rambut yang panjangnya sekitar dua puluh lima sentimeter. Kemudian senjata yang panjangnya sekitar tiga meter di tangannya mulai diputar perlahan-lahan. Bila gandulan besi itu mengenai kepala lawan, sung- guh sangat sulit untuk dibayangkan!

Sementara ia memutar-mutar rantai besinya, kedua teman lainnya pun siap pula dengan senjatanya ma- sing-masing.

Seorang lelaki berkalung kepala naga memutar- mutar tongkatnya di atas kepala dengan kecepatan yang luar biasa, hingga menimbulkan desingan keras. Sedangkan sepasang matanya yang merah menyala mencorong tajam ke arah lawan.

Apa yang dilakukan dua orang itu diikuti oleh te- mannya yang berada di sebelah kiri lawan. Wajahnya yang dipenuhi berewok terlihat begitu angker ketika menatap lawan. Tubuhnya melompat ke kiri dan ka- nan. Tangan kanannya diangkat ke atas kepala sambil memegangi tombak yang panjangnya tiga meter. Ke- mudian tombak itu diayun-ayunkan dengan gerakan menusuk.

Pemuda yang terkepung itu berdiri tegak menatap lawannya satu persatu. Senyum yang selalu mengem- bang kini sirna sama sekali. Karena pikiran dan pan- dangannya terpusat pada tiga pengeroyok. Pikirnya, ia harus sungguh-sungguh menghadapi tiga dari Empat Iblis Pencabut Nyawa. Apalagi senjata mereka merupa- kan senjata berbahaya dibanding sebilah pedang. Apa- lagi rantai berujung bola berduri itu. Lengah sedikit, kepala akan remuk berkeping-keping.

“Sikaaat!”

Tiba-tiba terdengar lengkingan lelaki botak berkucir, membuat kedua temannya saat itu juga bergerak me- nyabet-nyabetkan senjata masing-masing dengan ke- cepatan lebih dahsyat

Tongkat dan tombak mengarah dari sisi kiri dan kanan Ong Lie. Sedangkan rantai bergandul bola ber- duri berputar di atas kepalanya dengan kecepatan tinggi, menyulitkan pemuda itu untuk melakukan ge- rakan mengelak. Bila dia melakukan lompatan sedikit saja, maka kepalanya pasti membentur senjata itu. Sedangkan untuk mengelak ke depan, tongkat dan ujung tombak dua lawannya menyambar-nyambar pu- la dengan ganas. Julukan Iblis Pencabut Nyawa bagi mereka benar-benar tepat sesuai dengan serangan mematikan mereka seperti saat itu.

Di negeri Kuraci yang berada di wilayah Tiongkok, nama San Hong, Cao Hui, Tek Chiang dan Gak Bun Ben yang bersatu dalam Iblis Pencabut Nyawa memang terkenal sadis. Hampir semua pendekar dan tokoh sakti di negeri Kuraci dapat dikalahkan. Bahkan me- reka menjadi pembunuh bayaran bagi para bangsawan di negeri tersebut. Dan sekarang, Gak Bun Ben mati di tangan seorang pemuda ingusan. Tentu saja tiga ka- wannya yang lain menjadi terkejut dan kalap. Sehingga senjata yang sudah lama tak dipakai itu, kini dipergu- nakan kembali untuk menghabisi nyawa lawan.

“Hiaaat!” Buggg!

Tiba-tiba Ong Lie membuat gerakan yang tak terdu- ga. Tubuhnya digulingkan ke arah Cao Hui, pemilik rantai bergandul bola berduri. Kemudian ia melompat setinggi setengah meter dengan gerakan menerkam ke arah Cao Hui yang sedang memutar-mutar senjatanya.

“Huggg!”

Napas Cao Hui terhenti sejenak saat kepala Ong Lie tepat menubruk ulu hati lawan. Akibatnya, rantai besi di tangan Cao Hui terlepas, melayang di udara dan ak- hirnya menancap di sebatang pohon.

Werrr ... Creb!

Tubuh Cao Hui jatuh telentang. Sedangkan Ong Lie langsung bangkit kembali dan segera menjauhi dua lawannya yang lain.

Melihat mangsa yang diburunya lepas, lelaki yang memegang tombak bernama Tek Chiang, langsung me- lempar tombaknya ke arah lawan.

Singngng...! Sret! “Uhhh!”

Ujung tombak itu berhasil menggores bahu kiri la- wan. Rupanya Tek Chiang berhasil mengelabui perhi- tungan lawan. Pada saat tombak itu meluncur, Ong Lie mengira kalau ujung tombak itu meluncur ke arah ka- nan. Namun ketika ia memiringkan tubuhnya ke samping, ternyata tombak itu meluncur ke sebelah ki- ri. Ujung tombak itu pun menyabet bahu kirinya, wa- lau tidak parah.

Ong Lie berusaha memperbaiki posisi. Namun tiba- tiba tubuhnya terasa seperti terbakar, panas, dan ti- dak bertenaga. Akhirnya ia jatuh tanpa dapat mengge- rakkan tubuhnya sedikit pun. Rupanya ujung tombak yang melukai bahunya telah dilumuri racun yang amat dahsyat. Sedikit saja menggores tubuh lawan, racun tersebut langsung bereaksi dan meresap ke seluruh peredaran darah.

Tubuh Ong Lie bergetar hebat, panas, dan lemah. Hanya dua biji matanya yang bergerak-gerak menatap tiga lawan yang sedang berjalan mendekatinya.

Ong Lie segera memejamkan kedua matanya dalam kepasrahan ketika ujung tombak yang tadi menggores bahunya diarahkan Tek Chiang ke tubuhnya. Dan....

Dukkk! Wuttt!

Tiba-tiba sebuah tendangan keras mendarat di wa- jah Tek Chiang, hingga tubuhnya terhuyung lalu jatuh ke belakang. Sedangkan tubuh Ong Lie langsung di- sambar oleh orang yang tadi memukul.

Menerima serangan yang tiba-tiba, tentu saja me- reka tersentak kaget, terlebih Tek Chiang. Ketika me- reka membalikkan tubuh, seorang wanita bertubuh mungil yang tidak lain Putri Bong Mini tampak berdiri gagah menghadap mereka. Sedangkan di belakang ga- dis itu, tubuh Ong Lie terbaring lunglai.

“Siapa kau, Kelinci Kecil?! Beraninya kau mencam- puri urusan orang lain!” geram Tek Chiang. Kedua ma- tanya mencorong tajam ke arah gadis bertubuh mungil dengan perasaan dongkol.

“Hanya lelaki pengecut yang menganiaya orang yang tidak berdaya!” sindir Bong Mini dengan sikap tenang. Ditatapnya ketiga lelaki bertubuh tinggi besar dengan tampang beringas itu.

“Bedebah! Akan kukirim nyawamu ke nereka!” ge- ram Tek Chiang karena merasa ditantang oleh seorang anak kecil.

“Wah, hebat sekali kalau kau mampu melakukan- nya. Tapi aku memilih dikirim ke surga saja biar enak!” seru Bong Mini dengan wajah berseri-seri, mirip seo- rang anak yang mendapat kabar gembira.

Mendengar kata-kata Bong Mini yang mengandung ejekan barusan, ketiga lelaki tadi bertambah geram. Mereka serentak mengepung Bong Mini. Mereka sadar kalau gadis kecil itu bukanlah seorang gadis semba- rangan. Buktinya, ia mampu menyelamatkan tubuh pemuda tadi dalam waktu sekejap, tanpa sepengeta- huan mereka.

Di saat ketiga lawan dengan beringas maju untuk melakukan serangan, Bong Mini segera memutar tu- buhnya cepat seperti baling-baling kapal. Tubuhnya yang berputar itu mengandung tenaga dalam yang amat dahsyat, sehingga menimbulkan angin yang ber- tiup sangat keras. Dedaunan di sekitarnya berguguran. Inilah jurus ‘Ilmu Tanpa Bayangan’ yang pertama kali didapat dari papanya.

Melihat jurus yang dikerahkan Bong Mini demikian dahsyat, ketiga lelaki tadi langsung menyerangnya se- belum didahului.

“Hiaaat!”

Wut wut wuttt!

Tongkat, tombak, dan pedang lawan menyambar- nyambar tubuhnya dari berbagai arah. Namun Bong Mini yang telah memadukan jurus ‘Tanpa Bayangan’ dengan ilmu ‘Halimun Sakti’ tampak tak mengalami kesulitan. Malah tubuhnya kini bergerak perlahan se- perti kabut yang turun ke bumi. Kemudian tubuh mungil itu menyelinap di antara ketiga lelaki yang me- nyerangnya.

“Ssst...!”

Tek Chiang menoleh ke arah desisan di samping ki- rinya. Tapi belum sempat dia mengetahui siapa yang berdesis, sebuah pukulan keras dari Bong Mini meng- hantam mukanya.

Dukkk! “Aaakh!”

Tubuh Tek Chiang terlempar sejauh dua meter di- sertai erangan kesakitan.

Melihat lawan yang dipukulnya jatuh tersungkur, tanpa menunggu lebih lama, Bong Mini melakukan ge- rakan menendang ke tubuh seorang lawan lagi.

Dukkk!

Tendangan kaki kanan Bong Mini mengenai dada lawan, hingga tubuh Cao Hui terjengkang ke belakang.

“Aaakh!”

Jeritan kematian keluar dari mulut Cao Hui. Ketika tubuhnya ambruk di tanah, ia tak dapat berkutik lagi.

Tek Chiang yang masih terhuyung-huyung serta San Hong, tampak tersentak melihat temannya dapat dirobohkan oleh gadis bertubuh mungil itu dalam wak- tu sekejap. Padahal selama ini, Iblis Pencabut Nyawa tak pernah tertandingi oleh pendekar mana pun, ter- masuk pemuda yang hampir mati tadi. Tapi sekarang mereka menghadapi kenyataan lain.

“Kelinci kecil, siapa kau sebenarnya!” dengus San Hong penuh kemarahan.

Bong Mini tersenyum.

“Kenapa itu yang kau tanyakan? Apakah untuk mengirim seseorang ke neraka kau harus mengetahui namanya dulu?” sindir Bong Mini dengan suara kalem. “Bocah sombong! Kau jangan bermimpi untuk me- menangkan pertempuran ini!” dengus San Hong de- ngan biji mata melotot merah. Kemudian dia segera bertindak dengan tongkat mautnya. Ia merasa harus mencabut nyawa gadis bertubuh mungil itu. Maka de- ngan tongkat hitamnya ia menyerang Bong Mini de- ngan dahsyat. Begitu pula dengan Tek Chiang yang menyerang dengan ujung tombak yang meruncing. Me- reka bersama-sama mengepung Bong Mini dengan pandangan mata penuh nafsu, bagai seekor kucing

yang siap menerkam mangsa.

Wut wut wuttt!

Tongkat hitam di tangan San Hong berkelebat ke sana kemari, menyambar tubuh lawan. Tapi dengan tangkas gadis bertubuh mungil itu menghindari sera- ngan maut San Hong. Dalam kesempatan berikutnya ia sudah menggunakan ilmu ‘Halimun Sakti’, bagian dari ilmu ‘Pancaran Sinar Sakti’ warisan Putri Teratai Merah.

Bong Mini terus melangkah pelan dan ringan di an- tara kedua musuhnya yang tampak jelalatan, mencari- cari dirinya. Sedangkan orang yang dicari justru ten- gah senyum-senyum di belakang punggung keduanya. Sifat jahil Bong Mini timbul. Dia mencolek kedua bahu lawannya. Begitu menoleh, kedua tangannya yang lembut itu menampar wajah mereka.

Plakkk, plakkk! “Aaakh!”

“Aaakh!”

Kedua lelaki itu langsung terjengkang ke belakang seraya meraba wajahnya yang terasa panas akibat tamparan tangan Bong Mini, tanpa menyadari kalau tamparan jari Bong Mini tadi membekas di pipi kedua lelaki itu dengan warna hitam gesang. Bentuknya mirip bunga teratai yang baru tumbuh.

“Heh, Iblis Pencabut Nyawa!” hardik Bong Mini sam- bil menatap kedua musuhnya yang mulai bangkit kem- bali. “Jika kalian ingin selamat, gagalkan niatmu un- tuk bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam! Tapi kalau kau terus membangkang, aku tidak akan segan- segan membunuhmu!”

“Aku tidak akan mengubah niat semula hanya kare- na gertakan bocah kecil sepertimu!” dengus San Hong. Siap untuk melakukan pertempuran kembali. Begitu pula dengan temannya.

Begitulah salah satu sifat Iblis Pencabut Nyawa. Me- reka tidak akan mundur setapak walau sudah terde- sak. Mereka harus menuntut balas hari itu juga atas kematian dua temannya. Lebih baik mati sama-sama daripada melarikan diri atau takluk di hadapan mu- suh. Sehidup semati! Semboyan itu yang mereka pe- gang kuat-kuat. Maka ketika Bong Mini mengajukan pilihan, mereka lebih baik memilih mati seperti kedua temannya, daripada kembali ke negerinya dengan membawa kekalahan.

San Hong telah menggenggam kembali tongkatnya. Begitu pula dengan Tek Chiang yang sudah sejak tadi siap dengan tombak runcingnya. Kemudian dengan senjata yang sudah siap di tangan masing-masing, tu- buh mereka langsung melesat ke arah Bong Mini diser- tai lengkingan tinggi.

“Hiyaaat!” Deggg!

Bong Mini cepat menangkap tongkat hitam San Hong yang mengarah padanya. Ditariknya sedikit, di- sertai tendangan kaki ke dada lawan. Sehingga tubuh yang terkena tendangan itu terjengkang ke belakang sejauh lima meter, disertai erangan kematian yang memilukan. Lalu tubuh lawan pun ambruk dengan biji mata mendelik. Sedangkan dari mulutnya keluar da- rah kehitam-hitaman.

“Jahanam! Kubunuh kau!” gertak Tek Chiang ketika melihat kematian temannya. Ia langsung menyerang Bong Mini membabi-buta dengan tombaknya. Tapi se- rangan tombak itu dapat ditangkis tangan kanan Bong Mini yang sekeras baja. Kemudian tombak itu pun di- rebut dan dihentakkan ke dada musuhnya.

Creb! “Aaakh!”

Ujung tombak yang runcing itu langsung menem- bus dada Tek Chiang. Saat itu juga tubuhnya mengge- lepar-gelepar dan roboh dengan lidah menjulur keluar.

Bong Mini menghela napas panjang sambil menatap keempat mayat yang terkapar di tanah. Kemudian ka- kinya melangkah mendekati pemuda tampan yang se- jak tadi hanya mampu menyaksikan pertempuran tan- pa dapat bergerak sedikit pun. Tanpa banyak cakap lagi, Bong Mini langsung mengerahkan ilmu ‘Pelebur Racun’ yang disalurkannya melalui ilmu ‘Batin Raga Sakti’ warisan Kanjeng Rahmat Suci dengan cara me- narik, menahan, lalu menyentakkan napas lewat tela- pak tangannya yang terkembang dan mengarah ke da- da Ong Lie. Karena kalau telapak tangannya me- nyentuh dada yang diobati, akan meninggalkan bekas berwarna hitam.

“Oekkk!”

Pemuda itu memuntahkan gumpalan darah hitam dari mulutnya. Disusul dengan cairan kuning. Itulah racun yang ditebarkan lewat ujung tombak lawan.

Setelah semua gumpalan darah hitam dan cairan kuning habis, Ong Lie memejamkan matanya seperti tertidur.

Bong Mini memandang wajah pemuda tampan itu sekilas. Setelah itu, ia bangkit dan melesat ke arah pantai Malaka.

***

6

Di Kampung Dukuh, pagi itu terasa cerah. Matahari memancar hangat dari sebelah timur, kembali mene- rangi bumi yang selama semalaman diselimuti kegela- pan. Daun-daun pohon yang menderita kedinginan ka- rena kabut menyelimuti sejak senja kemarin, kini ter- lihat segar berseri, menari-nari, mengikuti nyanyian burung yang tiada hentinya di pagi itu.

Dalam suasana pagi yang indah itu, seorang gadis cantik tampak duduk seorang diri di pinggir Sungai Bokor yang mengalir di Kampung Dukuh. Tubuh gadis itu amat bagus, berpinggang ramping. Wajahnya bulat telur, berhidung mancung dengan sepasang mata sipit. Rambutnya yang panjang sebatas punggung tampak tersisir rapi. Di bagian kiri-kanan rambut itu diikat, sedangkan bagian rambut belakang dibiarkan bebas tergerai. Sementara bagian atasnya ditata menyerupai bunga yang baru berkembang. Dia terlihat masih mu- da sekali. Usianya sekitar enam belas tahun.

Gadis yang mengenakan baju dan celana kuning muda dengan hiasan ikat pinggang warna hitam itu tampak duduk termenung sambil menyaksikan gemer- cik air pegunungan yang terjun ke sungai.

Nasib perjalanan anak manusia mungkin seperti air sungai itu. Setelah jatuh dari pegunungan, air itu terus melaju, berkelok-kelok menghindari batu-batu terjal! Gumam gadis itu dalam hati dengan bibir tersenyum- senyum menyaksikan kejernihan air sungai yang mengalir bebas.

Siapakah gadis remaja yang cantik itu? Dia seorang gadis yang hilang ingatan, yang ditolong oleh Sang Piao beberapa waktu lalu. Dan sekarang gadis itu sudah sembuh benar karena perawatan Sang Piao yang begi- tu telaten.

Gadis yang asyik menikmati gemerciknya suara air sungai itu tiba-tiba terhenyak ketika telinganya men- dengar gerakan semak-semak. Dia langsung berdiri dan memalingkan wajahnya ke belakang. Di sana, ma- tanya melihat seorang pemuda gagah berjubah putih. Dia adalah Sang Piao yang sengaja menyusul gadis itu. Selama ini, Sang Piao yang terus merawatnya hingga sembuh.

Melihat pemuda tampan itu tersenyum padanya, ga- dis itu membalas dengan penuh keheranan.

“Siapakah kau?” pertanyaan itu diajukan karena memang selama ini dia tidak mengenal Sang Piao sama sekali. Dia tidak tahu bahwa ia dirawat oleh pemuda itu selama mengalami sakit jiwa. Sehingga ketika ia sembuh, kesadaran pada sekitarnya pun kembali, ter- masuk pada pemuda yang berdiri di hadapannya sam- bil mengembangkan senyum.

Mendapati tanggapan yang diberikan gadis cantik itu, hati Sang Piao menjadi lega. Karena dari sikap dan ucapannya telah menunjukkan kalau ia benar-benar telah sembuh dari tekanan batin yang selama ini me- nyiksanya. Dan Sang Piao tahu, kenapa gadis itu tidak mengenalnya.

“Aku sangat gembira kau telah sembuh!” kata Sang Piao sambil terus melangkah mendekati, hingga akhir- nya dia tegak di hadapan gadis itu.

“Sakit?”

“Begitulah! Kau dalam keadaan hilang ingatan saat kutemukan di Bukit Lodan.”

“Hilang ingatan? Jadi penyakit itu yang membuat aku tidak mengenal kau selama ini?” tanya gadis itu.

“Begitulah! Dan sekarang kau telah sembuh dari pe- nyakit yang menekan batinmu selama ini!” kata Sang Piao ramah dengan bibir yang tak henti-hentinya me- nyunggingkan senyum.

Dalam ketermanguan itu, wajah gadis yang putih bersih tiba-tiba bersemu merah. Tapi kemudian wajah cantik itu berubah menjadi sangat pias. Dia ingat pe- ristiwa naas sebelum mengalami tekanan batin yang sangat hebat itu.

Terbayang oleh gadis itu, bagaimana neneknya mati dibantai empat orang dari Perkumpulan Iblis Pulau Ne- raka, ketika berusaha menyelamatkan dirinya yang hendak diperkosa. Pada saat itu dua orang dari me- reka menyeret lengan neneknya lalu membantai pe- rempuan tua itu dengan sebilah pedang hingga tewas. Setelah melihat perempuan tua yang tidak berdaya itu tewas, keempat orang itu segera memaksanya untuk melayani nafsu birahi hingga ia tak sadarkan diri.

“Nenek! Oh, nenekku!” keluh gadis itu seraya menu- tup wajahnya yang mulai dibasahi telaga bening yang mengalir lewat celah-celah bulu matanya.

“Tenanglah!” ucap Sang Piao menenangkan.

“Tidak, nenekku telah mati oleh orang-orang Iblis Pulau Neraka!” sahutnya dalam isak tangis. “Aku ha- rus membalas dendam pada iblis-iblis terkutuk itu!” lanjut gadis tadi dengan suara yang bernada geram.

Sang Piao tersenyum sambil menyentuh kedua ba- hu gadis itu dengan lembut.

“Tenanglah, orang-orang Iblis Pulau Neraka telah kami serang. Dan sekarang mereka sudah tidak lagi berkeliaran di negeri ini. Mereka sudah tewas semu- anya!” kata Sang Piao. Dia tidak tahu kalau sebelas orang dari pasukan Iblis Pulau Neraka masih ada yang hidup. Karena sejak penyerangan itu, tidak ada lagi kerusuhan yang dilakukan oleh orang-orang Iblis Pu- lau Neraka. Bahkan ia sendiri tak pernah melihatnya lagi.

“Kau...! Kau telah membunuh orang-orang jahat itu?” tanya gadis itu termangu-mangu.

“Bukan aku. Tapi seluruh keluarga Bongkap!” “Bongkap?” samar-samar gadis itu mengetahui na-

ma yang baru saja disebutkan oleh Sang Piao. Menurut neneknya ketika masih hidup, di negeri Selat Malaka telah berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seo- rang lelaki gagah berani dari keturunan Tionghoa yang bernama Bongkap.

“Jadi, sekarang aku berada dalam lingkungan raja?” tanya gadis itu lagi.

Sang Piao mengangguk sambil tersenyum.

“Oh, terima kasih atas pertolonganmu!” ucap gadis itu. Lalu dia menjatuhkan diri dan berlutut di depan Sang Piao.

“Siapa namamu?” tanya Sang Piao yang sejak mem- bawa gadis itu ia belum mengenal namanya.

“Namaku Thong Mey. Almarhum orang-tuaku ber- asal dari negeri Tiongkok. Sedangkan aku sendiri dila- hirkan di sini!” sahut gadis itu sambil menjelaskan as- al keturunannya.

“Nah, Thong Mey, bangkitlah! Janganlah kau ber- simpuh begitu di depanku. Aku bukan pembesar yang patut kau hormati. Aku hanya seorang pengawal kera- jaan!” kata Sang Piao merendah, tidak dibuat-buat. Ia memang merasa risih mendapat penghormatan yang berlebihan seperti itu.

“Tapi kau telah berjasa. Kau telah menyelamatkan aku dari penderitaan yang menyuramkan masa depan- ku. Jika saja kau tidak menemukan diriku, entah ba- gaimana nasibku selanjutnya. Mungkin aku telah mati dengan keadaan tubuh menyedihkan!” sahut gadis itu dengan menengadahkan wajahnya untuk menatap pe- muda tampan yang masih berdiri di hadapannya.

Melihat wajah gadis yang menengadah itu, disertai mata sendu serta sisa-sisa air mata yang meleleh di pi- pinya, darah Sang Piao mendadak bergelora. Tubuhnya panas.

Oh, alangkah cantiknya gadis menengadah seperti itu! Bisik hati Sang Piao. Kemudian dia membungkuk seraya mengulurkan tangannya ke arah sang gadis. Dan gadis itu pun menyambut dengan uluran tangan- nya pula. Sehingga tangan lembut dan halus serta jari- jemarinya yang lentik itu berpegangan erat dengan tangan kasar Sang Piao. Saat berpegangan, Thong Mey perlahan-lahan bangkit dan berdiri tepat di hadapan Sang Piao dengan jarak yang cukup dekat.

Ada sesuatu kehangatan yang menyelusup ke selu- ruh tubuh Sang Piao manakala tangannya memegang tangan lembut gadis itu. Sehingga dalam gejolak dada- nya yang tidak menentu itu, ia berkata dengan suara bergetar.

“Thong Mey!”

Thong Mey itu mendongakkan kepalanya sedikit dan menatap wajah pemuda di depannya dengan tata- pan sendu. Sedangkan bibirnya yang mungil dan me- rah asli itu terbuka sedikit, membuat jantung Sang Piao berdetak-detak hebat. Baru kali ini ia merasakan detak jantung yang demikian kuat. Menggoncangkan seluruh perasaan dan saraf-sarafnya.

“Maukah kau mendengar kata hatiku yang selama ini kupendam?” tanya Sang Piao dengan jantung yang masih berdetak-detak.

“Katakanlah kalau memang hal itu penting dan berhak untuk kuketahui!” desah Thong Mey.

Sang Piao diam sejenak. Lidahnya menjilat bibirnya yang mengering.

“Ketahuilah Thong Mey, semenjak pertama kali aku melihatmu dan melihat penderitaan yang kau alami, timbul rasa iba dan sayang dalam hatiku!” kata Sang Piao. Kemudian dia terhenti untuk menenangkan de- tak jantungnya sambil menelan ludah. “Oleh karena itu,” Sang Piao melanjutkan kata-katanya yang terpu- tus, “jika kau tidak keberatan, aku hendak mengam- bilmu sebagai istriku!”

Thong Mey terkejut sekali mendengarnya. Dia me- rasa berhutang budi pada pemuda tampan yang telah menyelamatkan jiwanya dari penganiayaan dan teka- nan batin yang cukup hebat. Dan sekarang, pemuda itu menyatakan secara berterus-terang rasa cintanya yang tulus dan hendak menjadikannya sebagai istri.

Sebenarnya hati Thong Mey sangat gembira men- dengar keterus-terangan pemuda itu. Sejak ia melihat pemuda itu hatinya memang langsung terkesan. Apa- lagi ketika mendengar tutur katanya yang lemah- lembut. Namun ketika menyadari dirinya telah kotor, tidak suci lagi akibat perbuatan empat orang Iblis Pu- lau Neraka yang memperkosanya beramai-ramai, ia menjadi sedih. Dan dengan wajah serta suara sendu, gadis itu berkata: “Ja..., jangan, Koko! Jangan mencin- tai aku!” ucap gadis itu tersendat. Sedangkan kepala- nya tampak tertunduk.

“Mengapa? Apakah karena aku seorang pengawal raja?” tanya Sang Piao agak tersentak.

“Bukan. Bukan itu!” sahut Thong Mey cepat. “Lalu?” desak Sang Piao.

“Aku bukanlah gadis yang patut dicintai. Aku tak mempunyai kehormatan yang dapat dibanggakan lagi!” jawab Thong Mey dengan butir-butir air mata yang kembali merembesi celah-celah bulu matanya. Lalu meliuk-liuk ke pipi seperti air sungai yang mengalir di dekatnya.

“Aku tahu. Aku tahu semua itu,” sahut Sang Piao cepat. “Tapi apakah lantaran kau telah ternoda, kau tidak berhak menerima cinta serta kasih sayang dari lelaki yang benar-benar ingin menjadikanmu sebagai istri?”

Thong Mey diam. Ia masih sibuk dengan isak ta- ngisnya.

“Tidak, Thong Mey. Semua orang berhak menerima cinta dan kasih sayang, walau bagaimanapun rusak dan hinanya orang tersebut. Sebab cinta dan kasih sa- yang merupakan anugerah Tuhan yang diberikan ke- pada setiap orang. Walaupun kadar cinta dan kasih sayang yang dimiliki berbeda-beda!” lanjut Sang Piao dengan semangat yang menyala-nyala.

Betapa terenyuhnya hati Thong Mey mendengar tu- tur kata lembut dan puitis yang diucapkan oleh pemu- da itu. Baru kali ini ia berjumpa dengan seorang pe- muda. Dan sekali berjumpa, langsung berhadapan dengan lelaki tampan yang mempunyai perasaan halus serta menghargai kehormatan wanita. Oleh karena itu, ia semakin terharu mendengar kata-kata yang diung- kapkan dengan penuh perasaan oleh Sang Piao.

“Apa kata orang nanti jika Koko yang memiliki wa- jah tampan dan berjiwa ksatria memiliki istri yang su- dah ternoda? Apa itu tak akan merusak nama Koko yang harum?” desah Thong Mey setelah dapat mena- han tangis dan getaran hatinya.

“Kewibawaan dan keharuman nama seseorang bu- kan dari pengaruh kekasih atau istri yang mendam- pinginya. Tapi dari perbuatan orang tersebut. Kalau tingkah laku kita buruk maka akan buruk pula nama yang kita sandang. Tapi kalau perangai dan budi pe- kerti kita baik, maka harum pula nama yang kita san- dang itu!” kata Sang Piao penuh pemikiran matang. Ini wajar! Karena usianya jauh lebih tua dibanding dengan usia gadis di hadapannya. Tiga puluh lima dan enam belas tahun. Sungguh perbedaan yang mencolok.

Lagi-lagi Thong Mey terkesan dengan kalimat-kali- mat yang meluncur dari bibir pemuda yang berdiri di depannya itu. Sehingga ia hanya dapat diam dan men- dengar dengan penuh kekaguman.

“Aku tidak menerima alasanmu seperti itu. Tapi ka- lau kau menolak cintaku dengan alasan lain, aku tidak memaksa. Cinta bukan paksaan. Cinta lahir dari na- runi yang murni!” kata Sang Piao akhirnya.

Hening.

Hanya desauan angin yang mengusik tubuh kedua orang itu. Sehingga rambut mereka tampak meriap- riap. Seolah-olah turut menyejukkan hati keduanya.

“Koko...!”

“Sang Piao namaku!” “Apakah Koko Sang tidak menyesal?” tanya Thong Mey dengan sepasang matanya yang redup.

Sang Piao menggeleng. “Sungguh?”

“Kau bisa buktikan.” Thong Mey melenguh.

“Tapi aku punya satu permintaan!” “Apa itu?” tanya Sang Piao cepat.

“Ajari aku ilmu silat agar tidak selalu ditindas oleh orang-orang yang gemar mengumbar nafsu iblis!”

“Tentu. Tentu! Aku akan mengajarkan apa yang ku- miliki padamu. Malah seluruh orang yang bergabung dengan keluarga Bongkap!” sahut Sang Piao cepat. Di- sertai wajahnya yang berseri-seri.

“Sungguh?” tanya Thong Mey dengan sendu.

“Aku bukan orang yang suka mengumbar keboho- ngan dan kepalsuan-kepalsuan untuk kepentingan pribadi!” tegas Sang Piao meyakinkan.

Wajah Thong Mey tampak segar berseri-seri men- dengar ucapan pemuda yang mencintainya itu. Mata- nya pun tampak berkerjap-kerjap ketika memandang Sang Piao.

“Perkenalkan aku dengan Bongkap!” ucap Thong Mey mengalihkan pembicaraan. Sejak pemuda tadi me- nyebut nama Bongkap keinginan itu menggayuti ha- tinya.

“Tentu. Sekarang juga aku akan mengajakmu menghadapnya!” sahut Sang Piao dengan wajah gembi- ra. Senang karena telah mendapatkan calon istri yang selama ini diidamkan. Dan calon istri itu seorang gadis cantik yang masih muda belia.

***

Waktu terus berjalan.

Matahari bergeser, tepat di atas kepala. Membuat panasnya seakan hendak membakar seluruh penghuni bumi.

Dalam keadaan panas seperti itu, dua belas pe- nunggang kuda tampak di atas Bukit Tengkorak, se- buah bukit yang berdekatan dengan Bukit Setan. Se- hingga bila orang-orang Perguruan Topeng Hitam hen- dak keluar, mereka harus melewati bukit itu.

Dua belas penunggang kuda bercelana hitam model pangsi serta berbaju hitam model koko adalah orang- orang Iblis Pulau Neraka dan Tiga Serangkai Berkalung Tengkorak yang masing-masing bemama Gombreh, Resmolo, dan Sentanu. Mereka bergabung dengan Iblis Pulau Neraka setelah mendapat persetujuan dari Ong Lie, pengganti Gonggo Gung yang telah tewas akibat gempuran Bong Mini, Bongkap, dan pengikutnya. Dan sekarang, sisa pengikut Iblis Pulau Neraka tengah me- lakukan penyergapan terhadap orang orang Perguruan Topeng Hitam yang dituduh telah menggempur Pulau Neraka dan membunuh pemimpinnya.

Dari arah yang berlawanan, dua puluh penunggang kuda lain tampak memacu kuda tempat di mana ke- dua belas orang tadi berada, adalah orang-orang Per- guruan Topeng Hitam yang hendak terjun ke perkam- pungan-perkampungan untuk melaksanakan aksi. Me- rampok, memeras rakyat, dan menculik wanita-wanita cantik.

Di antara dua puluh orang Pasukan Perguruan To- peng Hitam yang dipimpin oleh Giwang itu, tampak seorang pemuda gagah dan tampan yang memiliki lu- kisan naga emas di bagian dada kanan bajunya yang berwarna kuning. Pemuda itu tidak lain Khian Liong. Dia tampak bercakap-cakap sebentar dengan Giwang, pemimpin pasukan, kemudian bersama empat orang lain dia memacu kuda lebih cepat lagi, meninggalkan Giwang dan pasukan. “Hm..., ternyata orang yang memiliki baju berlukis naga emas adalah seorang sekutu Perguruan Topeng Hitam!” gumam seorang dari kawasan Iblis Pulau Ne- raka yang terus mengamati gerak-gerik mereka. Dia bernama Jurik yang dipercaya Ong Lie untuk memim- pin pasukan.

“Lalu, siapa gadis bertubuh mungil yang dulu ikut menyerang pasukan kita bersama pemuda itu?” tanya Seyton yang menunggang kuda di sebelahnya (lihat ep- isode 4: ‘Iblis Pulau Neraka’).

“Itulah yang menjadi tanda tanya bagi kita,” sahut Jurik.

“Apakah gadis itu juga pengikut Perguruan Topeng Hitam?”

“Entahlah! Tapi aku sendiri tidak yakin bila gadis semuda dan secantik itu mau bersekutu dengan o- rang-orang semacam mereka!” sahut Jurik yang sem- pat melihat Bong Mini pada pertempuran beberapa waktu lalu.

“Aku pun berpendapat demikian. Nyatanya, gadis itu tak terlihat di antara pasukan itu!” sambut Seyton pula sependapat.

Iring-iringan pasukan berkuda mulai mendekati le- reng bukit. Dan ketika mereka sudah benar-benar hampir dekat dengan pasukan Iblis Pulau Neraka, tiba- tiba Jurik yang menjadi pemimpin pasukan memberi aba-aba.

“Seraaang...!”

Saat itu juga, sebelas orang lainnya langsung meng- hambur ke arah pasukan Perguruan Topeng Hitam, di- sertai lengkingan-lengkingan tinggi, membelah kehe- ningan di sekitar Bukit Tengkorak.

Trek trek trekkk! Trang trang trangngng!

Suara derap langkah kuda dan denting pedang- pedang terhunus dari sisa pasukan Iblis Pulau Neraka yang diarahkan ke pasukan Perguruan Topeng Hitam terdengar susul-menyusul.

Pasukan Perguruan Topeng Hitam yang dipimpin oleh Giwang dan Khian Liong tampak terkejut menda- pat serangan mendadak itu. Sehingga pasukan berku- da yang tadi bergerak rapi, kini menjadi kacau-balau. Bahkan lima di antara mereka ada yang langsung tum- bang dan mati terkena tebasan pedang lawan.

“Lawan...! Mereka orang-orang Iblis Pulau Neraka!” teriak Khian Liong. Dia mengenal orang-orang Iblis Pu- lau Neraka dari pakaian yang dikenakannya.

Enam belas penunggang kuda dari Perguruan To- peng Hitam langsung menyambut lawan. Apalagi keti- ka melihat empat temannya mati terkena senjata la- wan, mereka semakin geram.

Tidak begitu lama, Bukit Tengkorak yang biasanya sepi dan jarang dilalui orang, kini ramai oleh pekikan dari kedua pasukan serta denting senjata yang beradu.

Trang trang trangngng!

Benturan senjata dari masing-masing lawan serta kilatan-kilatan sinarnya, menambah ramai suasana. Suasana penuh darah.

Pasukan Perguruan Topeng Hitam berhasil mene- waskan enam lawan. Tetapi pasukan Iblis Pulau Nera- ka pun tidak sedikit membunuh lawannya. Bahkan ada pula di antara mereka yang terluka dan tak mam- pu melakukan serangan lagi.

Pasukan Iblis Pulau Neraka terus mendesak dan mengepung lawan dengan dahsyat, hingga tidak heran kalau lawannya banyak yang berjatuhan tanpa dapat bernapas lagi. Sehingga dalam waktu singkat, keme- nangan berada di tangan mereka. Hanya Giwang dan Khian Liong saja yang berhasil menyelamatkan diri dan kembali ke markas mereka di Bukit Setan, me- ninggalkan enam lawan yang masih duduk gagah di atas punggung kuda.

“Apa yang harus kita perbuat selanjutnya?” tanya Seyton ketika Giwang dan Khian Liong menghilang dari pandangan matanya.

“Kita tidak mungkin terus ke Bukit Setan dalam jumlah yang seperti ini. Oleh karena itu, sebaiknya ki- ta mencari Ong Lie untuk melaporkan pemuda yang memiliki lukisan naga emas itu!” sahut Jurik berpen- dapat.

“Aku pikir juga begitu!” timpal Seyton sependapat. Kemudian mereka berenam menghela kudanya cepat, meninggalkan Bukit Tengkorak.

***

7

Siang yang terik. Matahari bersinar garang, seperti memuntahkan cahayanya di atas kepala manusia. Memaksa orang-orang yang terkena sengatannya un- tuk berlindung di bawah pepohonan rimbun atau di bawah payung-payung terkembang.

Di atas bukit Hutan Roban, seorang pemuda yang mengenakan baju bertapis jubah kuning tampak se- dang menggeliatkan tubuhnya. Ia baru saja terjaga saat matahari siang yang terik membakar tubuhnya. Kemudian ia bangkit perlahan dan berlindung di ba- wah pohon rindang. Sedangkan sepasang matanya yang sipit menyebar ke sekeliling, seperti mencari se- suatu.

Pandangannya tiba-tiba menangkap sesosok baya- ngan mungil ke arahnya. Dan sebelum ia menyadari si- apa sosok bayangan itu, tiba-tiba seorang gadis mungil berwajah cantik dengan baju merah ketat berdiri di depannya.

Wajahnya cerah dengan bibir yang selalu terse- nyum. Sedangkan rambut bagian belakangnya yang dibiarkan tergerai bebas tampak berayun-ayun, tersi- bak angin panas yang berlalu.

Pemuda tampan yang semula duduk bersandar di bawah rimbunnya pohon tampak tersentak kaget. Du- duknya yang tadi santai, kini tegak menegang, me- mandang gadis mungil berwajah cantik di depannya. Lekuk-lekuk tubuh gadis itu jelas membayang lewat pakaian ketat yang membungkusnya. Sepasang mata yang hitam jernih terlihat berpijar-pijar ke arahnya. Sehingga pemuda itu benar-benar terpesona.

“Bagaimana? Sudah sembuh sakitnya?” tanya gadis bertubuh mungil yang tidak lain Bong Mini sambil mengumbar senyumnya.

“Sudah. Sudah sembuh! Tubuhku sudah dapat ber- gerak seperti biasa!” sahut pemuda tampan yang tidak lain Ong Lie dengan sikap gugup.

“Racun pada tongkat itu memang amat berbisa. Le- wat satu hari saja, orang yang terkena racun itu akan mati jika tidak segera ditolong!” tutur Bong Mini seraya mengambil tempat duduk di sebelah kiri depan pemu- da itu.

“Terima kasih atas pertolonganmu. Kalau saja tidak ada kau, tentu aku sudah mati sejak kemarin!” ucap Ong Lie yang baru ingat kalau gadis itulah yang telah menyelamatkan nyawanya dari ujung tombak Iblis Pencabut Nyawa. Dia menyadari benar, betapa tinggi ilmu yang dimiliki gadis bertubuh mungil itu. Ia me- rasa kalau ilmunya pun jauh di bawah gadis itu. Se- hingga Ong Lie bersikap hormat dan penuh kekagu- man pada Bong Mini, walaupun usianya jauh lebih tua dari gadis itu. Bong Mini tersenyum mendengar ucapan Ong Lie tadi. Dan dengan gerakan bola matanya yang indah, ia menoleh ke wajah tampan lawan bicaranya.

“Sebagai manusia sudah selayaknya kita tolong-me- nolong, bahu-membahu dalam segala kesulitan!” ujar Bong Mini merendah.

Ong Lie terdiam. Hatinya benar-benar mengagumi gadis di hadapannya. Bukan saja karena kecantikan- nya, akan tetapi juga karena kebersihan hati dan ke- ramah-tamahannya.

“Siapa kau sebenarnya? Dan mengapa bisa sampai di tempat ini?” tanya Ong Lie ingin tahu.

“Namaku Bong Mini. Ada pun keberadaanku di tem- pat ini hanya kebetulan saja!” sahut Bong Mini.

Ong Lie terdiam. Ia sudah mulai punya firasat kalau gadis yang berada di hadapannya pasti orang yang di- cari selama ini. Gadis yang akan diajaknya untuk ber- sekutu melawan orang-orang Perguruan Topeng Hitam. Namun demikian ia tetap diam, ingin mengetahui pri- badi gadis itu lebih dalam lagi.

“Nama kau sendiri siapa?” Bong Mini balik berta- nya.

“Namaku Ong Lie!” sahut pemuda tampan itu cepat. Sengaja ia tidak menyebutkan asal-usulnya, khawatir rahasianya yang menjadi pengikut Iblis Pulau Neraka akan terbongkar.

“Lalu, kenapa kau bisa bentrok dengan empat lelaki itu?” tanya Bong Mini pura-pura tidak tahu.

“Aku memang sengaja menghadang mereka!” “Alasannya?” pancing Bong Mini lagi.

“Mereka orang-orang yang hendak bersekutu de- ngan Perguruan Topeng Hitam!” sahut Ong Lie.

Bong Mini mengangguk-angguk. Sesungguhnya ia sendiri sudah tahu semua itu, dari awal penyergapan sampai pertempuran antara Ong Lie dengan Iblis Pen- cabut Nyawa. Namun demikian ia ingin mengetahui le- bih jauh lagi maksud pemuda itu.

“Apakah kau mempunyai persoalan dengan Pergu- ruan Topeng Hitam?” Lagi-lagi Bong Mini memancing.

Ong Lie terdiam beberapa saat mendengar pertanya- an Bong Mini. Pikirannya menimbang-nimbang, apa- kah harus berterus terang atau tetap menyembunyi- kan siapa dirinya yang sebenarnya. Bila dia membuka kedoknya, tentu hal itu akan mengejutkan si gadis. Dan mungkin akan mengundang kemarahannya. Ka- rena gadis itu sendiri pernah menjadi korban perbua- tan empat temannya. Tapi kalau tetap memperta- hankan niatnya semula, ia tidak sampai hati. Meng- ingat gadis itu telah berbuat baik kepadanya. Menye- lamatkan jiwanya saat nyaris mati di ujung tombak lawan.

“Aku memang punya persoalan yang harus disele- saikan secepatnya dengan Perguruan Topeng Hitam,” sahut Ong Lie datar.

“Persoalan lama?”

Ong Lie menggeleng pelan.

“Orang-orang Perguruan Topeng Hitam telah mela- kukan pembantaian terhadap perguruanku. Bahkan pemimpinku tewas di tangan mereka!” sahut Ong Lie.

“Apa nama perguruanmu?” tanya Bong Mini sung- guh-sungguh. Matanya mencorong tajam menatap wa- jah pemuda itu.

“Iblis Pulau Neraka!” sahut pemuda itu tenang. Se- dangkan matanya tetap memandang Bong Mini, ingin mengetahui reaksi gadis itu setelah ia membuka raha- sia dirinya.

Bong Mini tersentak bukan main mendengar nama Iblis Pulau Neraka. Ia tidak mengira sama sekali kalau pemuda berwajah tampan dan pernah ditolongnya me- rupakan salah satu anggota perkumpulan Iblis Pulau Neraka. Perkumpulan yang telah menghancurkan ru- mah dan para prajurit papanya. Bahkan sempat mem- buatnya pingsan selama satu hari satu malam ketika terkena jarum hitam beracun.

“Aku tahu, kau akan terkejut setelah mendengar pe- ngakuanku ini. Karena selama ini sepak-terjang per- kumpulanku sangat merugikan rakyat negeri ini. Oleh karena itu, aku siap menerima hukuman apa saja yang akan kau lakukan terhadap diriku sekarang ini!” kata Ong Lie mengandung nada pasrah.

Bong Mini menghela napas panjang. Jelas ia tak mungkin memberikan hukuman kepada orang yang te- lah berterus terang padanya. Namun yang ia heran- kan, kenapa pemuda itu tiba-tiba berubah sikap ke- padanya dengan mengatakan siapa dirinya yang sebe- narnya? 

“Apa yang mendorongmu bersikap terus terang ke- padaku kalau kau seorang pengikut perkumpulan Iblis Pulau Neraka?” tanya Bong Mini.

“Semula aku berniat hendak membujukmu untuk bergabung dengan perkumpulanku dalam memberan- tas orang-orang Perguruan Topeng Hitam. Hal ini dido- rong oleh keinginanku untuk menguasai negeri ini. Ta- pi setelah aku bertemu denganmu, tiba-tiba niat itu berubah. Tidak layak bagiku mengelabui orang yang telah berhutang budi padaku. Apalagi orang itu mem- punyai sifat welas asih sepertimu!” sahut Ong Lie.

Bong Mini tercenung mendengar pengakuan pemu- da itu.

“Tahukah kau, siapa yang melakukan penyerangan terhadap perkumpulanmu?” tanya Bong Mini.

“Secara pasti tidak. Tapi aku yakin kalau orang-o- rang Perguruan Topeng Hitam yang telah melakukan- nya!” sahut Ong Lie.

Bong Mini menggeleng tenang. “Aku dan papaku yang telah melakukan itu semua!” sahut Bong Mini mantap. Matanya memandang tajam pada pemuda itu.

Ong Lie tersentak kaget mendengar pengakuan ga- dis di hadapannya. Ia tidak mengira kalau gadis itu mampu menaklukkan pemimpinnya yang terkenal be- ringas dan berkepandaian tinggi.

“Kau ingin tahu, kenapa aku melakukan itu?”

Ong Lie diam. Ia masih terpana terhadap pengaku- an Bong Mini tadi.

“Karena orang-orang Iblis Pulau Neraka telah mela- kukan kesalahan terhadapku. Mereka membantai o- rang-orangku, merusak rumah dan merampok seluruh hartaku!”

“Jadi, kau putri Bongkap?” tanya Ong Lie, langsung menebak.

“Ya!”

Lagi-lagi pemuda itu terkejut mendengar pengakuan Bong Mini. Pikirnya, pantas kalau teman-temannya dulu melihat Bong Mini menunggang kuda bersama- sama Bongkap.

“Aku makin kalap setelah melihat seorang gadis ke- hilangan ingatan akibat perbuatan biadab orang- orangmu. Atau mungkin kau sendiri yang melakukan- nya?!” tuduh Bong Mini (lihat episode 4: ‘Iblis Pulau Neraka’).

“Sungguh! Aku tak pernah melakukan itu. Selama aku masuk perkumpulan Iblis Pulau Neraka, aku tak pernah keluar bersama-sama pasukan. Pemimpinku memperbolehkanku keluar bila memberikan tugas- tugas khusus yang lebih penting seperti membujukmu untuk bergabung!” sahut Ong Lie.

Bong Mini menatap sorot mata Ong Lie dalam-da- lam. Dia melihat tidak ada kebohongan dalam sorotan mata pemuda itu. Sehingga ia percaya kalau pemuda itu sungguh mempunyai sifat jujur dan ksatria. Hanya lingkungan perkumpulan Iblis Pulau Neraka yang membuatnya liar.

Apa yang menjadi penilaian Bong Mini itu memang benar. Sesungguhnya keberadaan Ong Lie di Perkum- pulan Iblis Pulau Neraka bukan atas kehendaknya sendiri. Ia berada di sana karena diajak oleh Gonggo Gung, Ketua Iblis Pulau Neraka sejak berumur enam belas tahun.

Waktu itu ia hidup sebatang kara. Kedua orang- tuanya tewas ketika terjadi huru-hara di negerinya sendiri, negeri Lanoa. Dalam kehidupannya yang ham- pa, tiba-tiba datang Gonggo Gung dan menawarkannya ilmu bela diri. Sebagai anak remaja tentu saja Ong Lie senang mendapat tawaran itu. Sehingga ia pun ber- sedia menjadi pengikut Gonggo Gung dan belajar kungfu padanya.

Ketika ia sudah cukup pandai dalam bermain silat, Gonggo Gung mengajaknya untuk berlayar ke Selat Malaka. Saat itu ia tidak tahu apa tujuan Gonggo Gung berangkat ke Selat Malaka bersama para pengi- kutnya. Dan betapa terkejutnya ia ketika mengetahui kalau tujuan Gonggo Gung berlayar tidak lain hendak melakukan pembajakan terhadap kapal-kapal sauda- gar kaya atau pun nelayan. Dalam pembajakan itulah ia pertama kali diperintah untuk terjun memimpin pa- sukan.

Karena merasa dirinya berhutang budi pada Gonggo Gung, maka perintah itu terpaksa ia jalankan walau- pun dengan hati berat.

Apa yang diperintahkan Gonggo Gung itu ternyata hanya sebuah ujian. Sampai di mana kesetiaannya terhadap Gonggo Gung yang telah banyak menurun- kan ilmu kepadanya. Setelah tiga kali ia memimpin teman-temannya dalam membajak, Gonggo Gung tak pernah lagi menyuruhnya atau mengikutsertakan diri- nya dalam setiap aksi pembajakan ataupun perampo- kan. Dia diberi tugas khusus sebagai penyelidik atau membujuk orang-orang tertentu sesuai dengan perin- tah Gonggo Gung. Seperti juga perintah membujuk Bong Mini untuk bersekutu dengan orang-orang Iblis Pulau Neraka. Itulah sekilas kisah tentang pemuda yang bernama Ong Lie.

“Sekarang, apa yang hendak kau lakukan?” tanya Bong Mini setelah beberapa saat hening.

“Aku minta maaf atas kesalahan orang-orang Iblis Pulau Neraka yang selama ini membuat kesalahan ke- padamu dan rakyat banyak. Selanjutnya, aku ingin menyertaimu dalam memperjuangkan rakyat negeri ini!”

Betapa gembiranya hati Bong Mini mendengar jawa- ban itu. Ini menunjukkan kalau pemuda itu benar- benar telah menyadari kekeliruannya selama ini.

Di saat mereka asyik bercakap-cakap, tiba-tiba muncul enam orang berkuda ke arah mereka. Mereka tidak lain Jurik dan teman-temannya.

“Sungguh letih aku mencarimu. Rupanya kau di si- ni bersama seorang gadis!” kata Jurik sambil melom- pat dari atas punggung kuda. Ketika melihat Bong Mini, wajahnya tampak terkejut. Sebab gadis itulah yang direncanakan Gonggo Gung untuk dibujuk agar bersekutu dengan pasukannya.

“Mana yang lain?” tanya Ong Lie sebelum Jurik mengajukan pertanyaan lebih jauh lagi.

“Teman-teman yang lain tewas ketika terjadi per- tempuran dengan orang-orang Perguruan Topeng Hi- tam, termasuk Tiga Serangkai Berkalung Tengkorak yang bersekutu dengan kita!” sahut Jurik menje- laskan. Sedangkan matanya sesekali melirik ke arah Bong Mini. Begitu pula dengan yang lain. “Jadi kalian sempat menyerbu mereka?”

“Ya. Semua pasukan Perguruan Topeng Hitam te- was. Hanya dua pemimpin pasukannya saja yang ber- hasil meloloskan diri!” cerita Jurik sambil beralih me- mandang pada Bong Mini. “Nona, apakah Nona kenal dengan pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas?”

Bong Mini diam, mengingat-ingat pemuda yang di- sebutkan Jurik tadi.

“Hm... ya, aku kenal!” sahut Bong Mini setelah ingat kalau pemuda yang dimaksud orang itu Khian Liong.

“Ada hubungan apa antara Nona dengan pemuda itu?” tanya Jurik lagi ingin tahu.

“Aku sendiri baru mengenalnya. Tapi menurut pengakuannya, dia utusan rakyat negeri Manchuria untuk mencari papaku dan meminta bantuan menye- lamatkan rakyat dari penindasan rajanya!” sahut Bong Mini.

“Apa hubungan pemuda itu dengan Perguruan To- peng Hitam?” tanya Jurik lagi setengah mendesak. Membuat Ong Lie dan Bong Mini keheranan.

“Tidak ada. Malah dia akan membantu papaku un- tuk menumpas perguruan itu!”

“Dusta!” potong Jurik membuat Bong Mini dan Ong Lie terkejut.

“Maksudmu?” kini Bong Mini yang balik bertanya. “Dia bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam.

Dan dalam pertempuran yang kami lakukan, dialah yang memimpin pasukan bersama seorang temannya!” kata Jurik menjelaskan.

Bong Mini tersentak. Hampir-hampir ia tidak per- caya dengan penjelasan lelaki tadi. Karena pemuda yang dituduh itu tidak mempunyai tampang jahat, apalagi bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam.

“Benarkah apa yang kau ucapkan itu?” tanya Bong Mini ragu.

“Nona bisa buktikan sendiri nanti!” sahut Jurik mantap.

Bong Mini mengangguk-angguk. Tapi bukan berarti percaya terhadap laporan itu. Paling tidak, ia harus membuktikannya sendiri.

“Sudahlah! Persoalan mengenai pemuda itu ditunda dulu. Yang harus kalian ketahui, bahwa perlawanan kita sekarang terhadap Perguruan Topeng Hitam bu- kan atas nama Iblis Pulau Neraka, tetapi atas nama rakyat negeri Selat Malaka!” kata Ong Lie mengubah suasana percakapan.

“Heh, apa pula maksudmu?” tanya Jurik dengan wajah terkejut.

“Iblis Pulau Neraka telah mati. Dan sekarang kita berjuang untuk kepentingan rakyat!” sahut Ong Lie.

Perubahan sikap Ong Lie tentu saja membuat te- man-temannya terkejut. Kecuali Seyton yang tampak bersikap tenang.

“Aku tidak menyangka kalau tekadmu cepat pupus hanya karena seorang wanita!” ejek Jurik dengan wa- jah geram.

“Terserah pendapatmu. Tapi sekarang aku menya- takan diri untuk bersatu dengan rakyat!” sahut Ong Lie.

“Baik kalau begitu. Mulai hari ini kita berpisah. Aku tetap akan membangun kembali Perkumpulan Iblis Pu- lau Neraka! Dan siapa di antara kalian yang berpihak padaku, silakan ikut!” tegas Jurik.

Empat orang lainnya yang sejak tadi hanya berdiri langsung mengikuti langkah Jurik. Hanya Seyton saja yang berpihak pada Ong Lie. Karena sesungguhnya, dia sendiri sudah bosan hidup di tengah kejahatan yang selama ini dilakukannya.

“Seyton! Beresi mereka. Aku tidak ingin nantinya ia mengganggu ketenteraman negeri ini!” kata Ong Lie memberi perintah.

Tanpa mengucapkan kata sepatah pun, Seyton yang memiliki tubuh pendek kekar, berkalung taring singa dengan baju koko terbuka segera melesat menghadang lima temannya yang belum jauh dari tempat itu.

“Jurik, hadapilah aku jika kau ingin membangun Perkumpulan Iblis Pulau Neraka kembali!” dengus Sey- ton dengan sorot mata mencorong.

“Rupanya kau pun telah ketularan si Ong Lie!” ejek Jurik. “Tapi baik. Aku akan layani tantanganmu itu!” usai berkata begitu, ia langsung melompat setinggi sa- tu meter ke arah lawannya disertai pekikan yang amat nyaring. Sedangkan golok di tangannya diangkat ting- gi, siap dihujamkan ke leher Seyton

Wut!

Jurik mengarahkan golok ke leher Seyton dengan gerakan membacok. Namun dengan cepat Seyton men- gelak dengan sedikit memiringkan tubuhnya ke bela- kang. Sedangkan golok di tangannya pun siap memba- las serangan lawan.

Wut...! Bret! “Uhhh!”

Tangan Seyton yang memegang golok begitu cepat bergerak. Tanpa disangka lawan, golok yang diayun- kannya itu berhasil membabat paha kiri lawannya hingga terhuyung jatuh. Disusul dengan lemparan go- lok ke tubuh Jurik yang belum sempat bangkit

Creb! “Aaakh!”

Ujung golok yang dilemparkan Seyton tepat menan- cap di perut lawan. Seketika itu juga, tubuh Jurik langsung roboh kembali di atas tanah dan tak dapat berkutik lagi.

Melihat lawannya tewas, Seyton segera menghampi- ri dan mencabut golok yang menancap di perut Jurik sedalam dua puluh senti. Kemudian ia berdiri tegak memandang empat orang temannya yang lain.

“Siapa lagi di antara kalian yang ingin menyusul kematiannya?!” tantang Seyton dengan sikap gagah.

“Cecunguk! Jangan dulu berlagak!” ujar satu dari keempat orang itu. Kemudian tanpa komando, keem- patnya langsung menyerang Seyton dengan golok di tangan masing-masing.

Trang trang trangngng!

Golok yang digenggam Seyton berusaha menangkis serangan empat buah golok yang menyambar-nyambar ke arahnya. Sedangkan matanya terus mengamati kel- engahan lawan agar dapat melakukan serangan balik.

“Hiaaat!”

Tiba-tiba tubuh Seyton melompat setinggi dua me- ter ke arah seorang lawan yang lengah. Kemudian ka- kinya menjejak punggung lawan dengan keras.

Bug! “Aaakh!”

Lawan yang terkena hentakan kaki Seyton ter- huyung ke depan dengan wajah membentur sebuah batu besar hingga mengucurkan darah dan tak dapat bergerak lagi.

Melihat seorang temannya mati lagi, tiga orang lain- nya segera memburu Seyton dengan golok terhunus dan bergerak lebih cepat lagi.

Dalam kepungan itu, tiba-tiba Seyton membuat ge- rakan yang tak terduga. Tubuhnya mencelat setinggi dua meter dengan keadaan berputar seperti gangsing. Dan dalam keadaan berputar itu, ia menghujamkan goloknya yang terhunus dengan sadis.

Wuttt!

Crokkk...! Brettt!

Pedang yang digenggam Seyton berhasil membacok kepala seorang lawan. Sedangkan leher seorang lawan yang lain nyaris putus. Tubuh keduanya hanya dapat berdiri limbung sebentar. Selanjutnya roboh tanpa da- pat berkutik lagi.

“Hiaaat!”

Sebuah teriakan melengking tiba-tiba terdengar dari mulut lawan yang masih hidup. Bersama teriakan itu, tubuhnya langsung melesat cepat ke arah Seyton se- raya menyabet-nyabetkan goloknya dengan buas hing- ga tak dapat lagi mengontrol posisi serangan. Akibat- nya, serangan jadi tak menentu, sehingga memberikan kesempatan baik bagi lawannya untuk melakukan se- rangan balasan.

Trang! Crokkk!

Di saat goloknya menangkis, Seyton menyusulkan serangan balasan, tepat menggurat wajahnya.

Lawan yang terkena sabetan golok itu langsung me- lepaskan senjatanya untuk menutupi wajahnya yang sudah dialiri darah.

Seyton yang sudah kalap tidak menyia-nyiakan ke- sempatan itu. Dia langsung menghujamkan senjata bertubi-tubi ke tubuh lawan dengan penuh nafsu. Da- lam waktu singkat lawannya tewas tanpa ampun lagi.

Bong Mini yang sejak tadi menyaksikan pertempu- ran itu agak bergidik dan ngeri. Walaupun ia seorang pendekar dan sering pula membunuh lawan dalam menumpas kejahatan, namun kalau menonton pertem- puran yang sadis begitu, perasaan ngeri menyusup pu- la ke hatinya.

“Aku kagum terhadap kepandaian dan perjuangan- mu yang akan membantuku!” ucap Bong Mini kepada Seyton yang kini telah berdiri tegak menghadapnya.

“Semua itu belum ada artinya, Nona. Aku masih menjadi seorang penjahat. Aku belum membuktikan kesetianku terhadap rakyat!” sahut Seyton tegas. “Seharusnya kau tidak memiliki perasaan itu. Keta-

huilah, Seyton! Aku amat kagum terhadapmu yang se- mula menjadi pemeras rakyat, kini berbuat sebaliknya. Dan itu telah kau tunjukkan dengan memberesi lima temanmu yang tak sejalan!” ucap Bong Mini.

Seyton terdiam.

“Sudahlah, sekarang kita lanjutkan perjalanan!” ka- ta Bong Mini lagi.

“Ke mana tujuan kita?” tanya Ong Lie.

“Sebaiknya kita menemui papaku. Kita sampaikan laporan orang-orangmu mengenai pemuda yang me- ngenakan baju berlukis naga emas itu, agar papaku bisa bersikap lebih hati-hati lagi,” jawab Bong Mini.

Ong Lie dan Seyton mengangguk-angguk, menyetu- jui pendapat Bong Mini. Setelah itu, mereka melan- jutkan perjalanan menuju Kampung Dukuh, di mana Bongkap dan pengikutnya tinggal.

***

8

Sebenarnya Kidarga geram melihat kedatangan Khian Liong dan Giwang yang membawa berita tentang kekalahan pasukannya dalam menghadapi serangan mendadak Iblis Pulau Neraka. Tapi karena saat itu ba- nyak para pendekar yang ingin bersekutu dengannya, maka kemarahannya bisa teredam. Ditambah lagi de- ngan kabar kedatangan prajurit Kerajaan Manchuria yang akan tiba beberapa hari lagi untuk membantu pergerakannya, maka nyawa-nyawa anak buahnya yang tewas itu pun sudah tidak lagi diperhitungkan. Pikirnya, masih banyak pengganti yang lebih tangguh untuk membalas kekalahan itu. Sekaligus mewujud- kan cita-citanya menguasai negeri ini secara mutlak. Tanpa ada gangguan dan pemberontakan, baik yang dilakukan Bongkap dan pengikutnya maupun yang di- lakukan Iblis Pulau Neraka.

Siang itu, Kidarga tampak duduk gagah menghada- pi tiga pendekar gagah yang menamakan perkumpu- lannya Siluman Ular Belang. Tiga pendekar itu berju- bah merah dengan kepala botak. Umur ketiganya rata- rata sekitar lima puluh tahun dengan tinggi badan se- kitar 1,63 meter. Mereka besar dan berotot. Wajahnya tenang, penuh simpatik. Namun di balik ketenangan- nya itu, mereka memiliki sifat sadis yang tiada ban- dingnya. Apalagi bila berhadapan dengan musuh. Me- reka pantang melarikan diri walau terdesak. Mati lebih baik daripada selamat jadi pecundang! Demikian sem- boyan dalam diri para pendekar tersebut.

Tiga Siluman Ular Belang mempunyai nama ma- sing-masing Chiang Su Kiat, Ji Sun Bi, dan Sim Lie King. Ketiganya berasal dari kota Weining, Tiongkok.

“Bagaimana, Ketua. Apakah kami bisa diterima un- tuk membantu Perguruan Topeng Hitam yang Ketua pimpin? Tentu saja dengan perjanjian kalau kelak ge- rakan ini berhasil, kami dapat bagian atau kedudukan tinggi dan terhormat, sesuai dengan jasa-jasa kami!” ujar Chiang Su Kiat yang memimpin kedua temannya.

Wajah Kidarga yang hitam gesang itu tampak ber- seri mendengar pernyataan Chiang Su Kiat. Pikirnya, bila ada orang yang ingin membantu dengan pamrih, tentu akan lebih bisa dipercaya. Dengan wajah berseri ia berkata kepada ketiga Siluman Ular Belang.

“Jangan khawatir, jabatan panglima akan kuberi- kan jika kalian berhasil!”

“Terima kasih! Terima kasih, Ketua Perguruan!” ucap Chiang Su Kiat tersenyum senang. Lalu dengan wajah masih gembira, dia bersama dua temannya sal- ing berpandangan dan tersenyum.

Di dalam menerima anggota baru, Kidarga telah me- netapkan persyaratan khusus bagi calonnya. Di anta- ranya, menguji setiap pendekar yang akan bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam. Ini dilakukan karena musuh yang akan dihadapi bukanlah orang-orang sembarangan. Di antaranya, Bongkap dan Bong Mini. Dua orang ini yang menjadi musuh alot orang-orang Perguruan Topeng Hitam.

Dalam suasana gembira itu, tiba-tiba muncul dua pelayan muda yang cantik-cantik dengan membawa arak dan buah-buahan. Kemudian setelah menyuguh- kan hidangan di atas meja, kedua wanita itu segera pergi lagi dengan langkah genit, membuat pinggul me- reka yang padat berisi bergoyang-goyang. Mengundang perhatian tiga pendekar Siluman Ular Belang.

“Raja Manchuria yang mengirimkan dua pelayan itu. Katanya, untuk membangkitkan semangat orang- orang Perguruan Topeng Hitam!” kata Kidarga ketika melihat tamunya terpesona terhadap kegenitan dua pelayan wanita tadi.

Siluman Ular Belang sadar kalau sikapnya tadi di- perhatikan Kidarga, maka dengan cepat mereka mem- perbaiki sikapnya kembali.

“Ayo, nikmati hidangan segar ini!” kata Kidarga sambil menuangkan arak pada gelas tamu masing- masing. Setelah itu mereka menikmatinya dengan pe- nuh kegembiraan. Termasuk Khian Liong dan Giwang yang sejak tadi duduk mendengar percakapan antara Kidarga dan tiga pendekar Siluman Ular Belang.

***

Sementara itu, seorang pemuda tampan berjalan gagah di sekitar Bukit Setan. Pakaian yang dikenakan- nya setengah jubah warna putih. Diteruskan dengan celana panjang yang juga berwarna putih dengan tali sepatu melilit sampai pertengahan betis. Pemuda itu tidak lain bernama Baladewa. Dia adalah saudara se- perguruan Bong Mini ketika berada di Gunung Muda, tempat Kanjeng Rahmat Suci, gurunya.

Walaupun sudah lama berpisah dengan Bong Mini dan sudah sampai di Bukit Setan, tapi ia belum juga dapat menyingkirkan wajah Bong Mini yang selama di Gunung Muda telah menjerat hatinya. Pada setiap langkah dan pandangannya selalu terbayang wajah Bong Mini yang cantik, mungil dan menggemaskan.

Tanpa disadari, langkahnya terus diawasi oleh lima pasang mata pengikut Perguruan Topeng Hitam yang sengaja ditugaskan untuk menjaga ketat keadaan se- keliling bukit itu. Kemudian lima orang berompi dan bercelana pangsi warna hitam itu segera melompat menghadang Baladewa dengan senjata pedang yang te- lah tergenggam di tangan masing-masing.

“Heh, Kecoa Buduk! Kau mau jadi pemberontak, ya!” bentak satu di antara kelima orang itu sambil me- nudingkan ujung pedang ke arah Baladewa.

Baladewa yang sejak tadi pikirannya tertuju pada Bong Mini menjadi gelagapan. Sehingga ia tersentak kaget memandang lima penghadangnya.

“Tangkap dia! Hidup atau mati!” perintah lelaki tadi kepada empat temannya.

Mendapat aba-aba itu, keempat temannya segera memutar-mutar pedang yang digenggamnya dengan sangat mahir. Sehingga sinar yang ditimbulkan oleh pedang-pedang itu tampak bergulung-gulung. Setelah itu, barulah mereka menyerang Baladewa disertai leng- kingan-lengkingan tinggi.

“Hiaaat!” Trang trang! Walaupun Baladewa terkejut dengan serangan men- dadak itu, tapi sempat pula ia mencabut pedang yang terselip di pinggang kirinya untuk menangkis serangan lima orang tersebut. Kemudian ia membuat gerakan memutar sambil menyerang kelima lawannya.

“Hiaaat...! Huhhh!”

Tiba-tiba Baladewa menghentakkan kedua tangan dan perutnya setelah beberapa saat menarik dan me- nahan napas. Ketika napasnya dihentakkan, kelima pengeroyoknya terhuyung beberapa langkah ke bela- kang. Itulah ilmu ‘Batin Raga Sakti’ yang dipelajarinya dari Kanjeng Rahmat Suci ketika berada di Gunung Muda. Sebuah ilmu yang berkekuatan dahsyat, namun tidak mematikan. Cukup memberikan kesempatan un- tuk mengambil posisi lebih baik lagi.

Lima pengeroyoknya telah berdiri tegak kembali. Mereka langsung melakukan serangan ke arah lawan- nya. Namun pada saat itu pula, Baladewa mengelua- rkan suara lengkingan tinggi disertai lentingan tubuh- nya yang melewati kepala para pengeroyoknya. Dan ke- tika kelima orang itu mencoba menghalangi, Baladewa mendorong tangan kirinya yang sudah mengandung tenaga sakti Dewa Matahari yang sangat panas, se- hingga lima orang yang berusaha menghalanginya itu langsung terdorong mundur dan berteriak kepanasan.

“Monyet bego! Aku tidak punya urusan dengan ka- lian! Aku cuma ingin berjumpa dengan Ketua Pergu- ruan Topeng Hitam!” bentak Baladewa sambil mema- sukkan pedangnya kembali. Sengaja ia tidak membu- nuh kelima orang itu agar tidak berkepanjangan.

Sebelum kelima orang itu kembali menyerang, Bala- dewa segera melesat menuju pintu gerbang yang dijaga oleh empat murid Perguruan Topeng Hitam.

“Siapa kau dan hendak apa datang ke sini!” bentak seorang dari mereka dengan tatapan tajam, penuh se- lidik.

“Aku tidak punya urusan denganmu. Aku ingin ber- temu dengan Ketua Perguruan Topeng Hitam!” sahut Baladewa, memancing kemarahan empat penjaga ter- sebut. Karena kalau mereka marah dan melakukan penyerangan berarti akan memancing Kidarga untuk keluar.

“Tidak bisa! Ketua kami tidak bisa menerima tamu sembarangan jika tidak diketahui maksud tujuannya!” kata lelaki penjaga pintu gerbang itu sambil mencabut goloknya. Dan bersamaan dengan itu pula, lima orang lain yang tadi melakukan penghadangan segera men- dekati pintu gerbang.

“Tahan orang itu. Dia pengacau!” teriak mereka de- ngan suara lantang.

Baladewa memandang kelima orang itu dengan si- kap mengejek. Kemudian dengan suara yang sengaja dikeraskan ia berkata, “Eh, apa sih sebenarnya mau kalian! Sudah kubilang, aku datang ke sini hendak bertemu dengan Ketua Perguruan Topeng Hitam. Bu- kankah sekarang ini dia sedang mengumpulkan para pendekar? Sekarang aku datang ke sini hendak me- nemuinya langsung. Tapi kenapa kalian menyambutku dengan kasar begitu? Beginikah cara orang-orang per- guruan yang mempunyai nama besar dalam menyam- but tamunya?”

“Heh! Anak muda, dengar! Kau datang ke sini hen- dak menemui ketua kami, tapi kenapa tidak mau se- butkan nama? Ini jelas sangat mencurigakan dan aku harus menghadapimu seperti musuh!” bentak lelaki yang tadi bertanya di pintu gerbang.

‘Tidak patut kalian mengenal namaku, kecuali pe- mimpin perguruan ini!” berang Baladewa.

“Tidak bisa!” bantah lelaki itu pula.

“Kalau aku memaksa, kalian mau apa?” tantang Ba- ladewa sengit.

“Aku terpaksa mengusirmu dengan kekerasan!” ka- ta lelaki tadi. Selanjutnya sembilan orang Perguruan Topeng Hitam itu segera mengurung Baladewa dengan senjata-senjata terhunus. Tapi sebelum senjata mereka melayang ke arah Baladewa, tiba-tiba terdengar suara lantang dan berat.

“Tahan!”

Mendengar bentakan itu, sembilan orang Perguruan Topeng Hitam yang mengurung Baladewa segera mem- batalkan niatnya. Kemudian sambil memasukkan sen- jata kembali, mereka mengalihkan pandangannya ke arah mulut goa. Di sana, mereka melihat Kidarga ber- sama tiga lelaki gagah yang tidak lain tiga pendekar Si- luman Ular Belang.

Kidarga dan tiga pendekar Siluman Ular Belang se- gera melangkah mendekati sembilan anak buahnya.

“Ada apa ribut-ribut?” tanya Kidarga seraya mena- tap tajam pada seorang anak buahnya. Lalu matanya melirik pada Baladewa yang juga tengah berdiri di an- tara mereka.

“Maaf, Ketua! Orang ini hendak menerobos begitu saja ke ruangan, Ketua!” lapor seorang muridnya. Pa- dahal pertanyaan Kidarga tadi hanya basa-basi saja. Karena sesungguhnya dia sudah tahu apa yang me- nyebabkan keributan itu. Sejak tadi dia berdiri di mu- lut goa menyaksikan tingkah laku pemuda asing ter- hadap anak buahnya.

Ketika seorang penjaga pintu itu menyebut ketua, Baladewa segera memberi hormat pada Kidarga.

“Bila tidak salah duga, Anda pasti Ketua Perguruan Topeng Hitam!” kata Baladewa. Sesungguhnya dia ti- dak mengenal sama sekali bagaimana sosok Ketua Per- guruan Topeng Hitam. Apalagi selama terjun ke dunia keramaian, ia belum pernah berhadapan dengan o- rang-orang tersebut

Sepasang mata Kidarga yang karam dan merah tampak begitu tajam menatap pemuda di hadapannya.

“Dugaanmu tidak keliru, Anak Muda. Aku yang bernama Kidarga, pemimpin perguruan ini! Lalu siapa kau sesungguhnya dan mengapa hendak berjumpa de- nganku?”

Baladewa sangat girang mendengar pertanyaan Ki- darga yang nampak lembut, penuh keramah-tamahan.

“Namaku Baladewa!” sahutnya singkat.

Kidarga mengangguk-angguk. “Aku baru mengenal namamu itu!”

“Tentu saja, Ketua! Selama ini aku hidup menga- singkan diri di pegunungan-pegunungan. Dan ketika mendengar kalau di sini membutuhkan orang-orang gagah, maka aku segera turun dan langsung ke tempat ini!” sahut Baladewa.

“Asalmu dari mana?” tanya Kidarga lagi ingin tahu. “Aku berasal dari Kampung Padomorang. Tapi se-

perti penjelasanku tadi kalau aku lama hidup di pegu- nungan. Jadi tidak tahu bagaimana warna kehidupan di desa itu. Apalagi desa-desa lain di negeri ini!” sahut Baladewa.

Kidarga mengangguk-angguk kembali sambil mene- liti seluruh perawakan pemuda di depannya itu. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Bagaimana, Ketua?! Apakah keinginanku tadi da- pat diterima?” tanya Baladewa lagi.

Bibir Kidarga tersenyum. Sepasang matanya menco- rong ke arah Baladewa. Hatinya sangat kagum terha- dap kesungguhan pemuda itu.

“Untuk mengetahui diterima atau tidaknya, kau ha- rus diuji terlebih dahulu!” kata Kidarga menjelaskan.

“Hal itu sudah aku ketahui, Ketua. Dan alangkah baiknya jika langsung dilaksanakan uji tanding itu!” kata Baladewa.

Bibir Kidarga kembali mengembangkan senyum me- lihat ketidaksabaran pemuda itu.

“Baiklah! Mari menuju ruang berlatih!” ajak Kidar- ga.

Mereka bersama-sama menuju ruang latihan yang letaknya bersebelahan dengan goa kediamannya. Di- ikuti pula oleh tiga pendekar Siluman Ular Belang.

Ruang berlatih silat itu cukup luas. Dikelilingi oleh pagar tembok yang tingginya sekitar sepuluh meter. Sedangkan lantainya berlapis semen. Semua itu di- bangun atas biaya Raja Manchuria. Dengan maksud agar tempat itu bisa pula dijadikan tempat tinggal para pendekar yang bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam.

Baladewa melangkah tenang memasuki ruang lati- han itu. Matanya tertuju pada beberapa anak buah Ki- darga yang sedang berlatih silat.

Di saat Baladewa, Kidarga, dan tiga Siluman Ular Belang melangkah tenang, tiba-tiba seorang pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas menghampiri mereka dan memberi hormat kepada Kidarga.

“Saudara Baladewa, inilah Khian Liong. Dialah nan- ti yang akan menguji tingkat kepandaianmu. Dialah satu-satunya orang kepercayaanku selama ini. Ter- utama tugas-tugas khusus seperti penyelidikan!” kata Kidarga memperkenalkan.

Baladewa dan Khian Liong saling berjabat tangan hangat. Wajah mereka tampak berseri.

“Sudah siap?” tanya Khian Liong.

“Siap!” sahut Baladewa sambil menganggukkan ke- palanya.

“Kalau begitu, mari kita segera mulai!” ajak Khian Liong. Kemudian kakinya melangkah ke tengah ruang latihan. Diikuti oleh Baladewa yang berjalan tenang dengan pandangan mengedari sekeliling ruangan yang luas itu.

Khian Liong dan Baladewa telah berada di tengah ruangan. Sedangkan Kidarga dan beberapa puluh pengikut Perguruan Topeng Hitam siap menyaksikan pertandingan yang akan dimulai itu dengan sikap te- gang, menunggu siapa yang unggul dalam pertandi- ngan itu.

“Bersiaplah! Aku akan menyerangmu!” kata Khian Liong setelah keduanya saling berhadapan dengan si- kap gagah. Selanjutnya, Khian Liong mengeluarkan se- ruan nyaring. Tubuhnya berkelebat cepat hingga tak dapat diikuti pandangan mata. Dengan gerakan cepat itu, ia melancarkan serangan berupa totokan bertubi- tubi ke tubuh Baladewa.

“Hiaaat...! Hiyyy!”

Baladewa terkejut mendapat serangan yang begitu cepat. Namun ia segera menyambut serangan itu de- ngan mengerahkan ilmu peringan tubuh ‘Burung Ca- mar Terbang di Awan’. Sebuah jurus yang membuat tubuhnya melenting ringan seperti seekor burung yang melayang-layang di udara.

Khian Liong yang membuka serangan pertama ber- balik kaget. Begitu pula dengan penonton lainnya, ter- masuk Kidarga. Mereka berkali-kali menyerukan rasa kagum karena pertandingan kali ini benar-benar me- narik. Bahkan beberapa pendekar lainnya yang me- nyaksikan itu memberikan penilaian kepada Baladewa, kalau pemuda itu memiliki banyak macam ilmu. Ter- bukti dari bermacam jurus yang ditampilkannya. Ada silat dari Tiongkok, Pulau Jawa, dan dari negeri timur lainnya yang semua itu ia dapatkan saat bertapa. Ka- rena lewat bertapa itu, banyak tokoh-tokoh gagah yang telah mati ratusan tahun silam mengunjungi Baladewa dan memberikan ilmu yang mereka miliki kepada Bala- dewa.

Orang-orang tidak henti-hentinya berdecak kagum melihat kepandaian Baladewa, termasuk Khian Liong sendiri. Begitu pula dengan Kidarga yang selalu me- nunjukkan wajah gembira setiap melihat ketangkasan Baladewa. Ia membayangkan bila nanti Perguruan To- peng Hitam berkuasa mutlak di negeri Selat Malaka ini lewat kehebatan pemuda yang sedang bertanding itu. Ditambah lagi dengan pendekar-pendekar gagah lain.

“Hiyaaat!” Dep!

Khian Liong menyerang dada Baladewa lewat tela- pak tangan yang sudah dialiri ilmu tenaga dalam ‘La- har Panas Bergolak’. Tapi dengan cepat Baladewa me- nyambut serangan itu dengan telapak tangannya pula, hingga kedua tangan itu berbenturan lalu melekat erat. Baladewa pun telah mengerahkan ilmu tenaga dalam ‘Angin Pendingin’.

Setelah agak lama telapak tangan keduanya me- nempel, tiba-tiba Baladewa melakukan gerakan yang tidak diduga oleh lawannya.

“Hiyaaat..!” Dug!

Heggg!

Baladewa melompat sedikit sambil memutarkan ba- dannya mengelilingi tubuh lawan. Dan dalam putaran itu kakinya menendang punggung Khian Liong dengan keras. Membuat tubuh lawan terhuyung ke depan mencium lantai.

Para pendekar yang menyaksikan pertandingan itu terbelalak ketika melihat tubuh Khian Liong tersung- kur dengan mulut mengucurkan darah yang cukup banyak. Benar-benar sebuah pertandingan yang dah- syat. Apalagi melihat Khian Liong belum dapat bangun, menahan rasa nyeri yang teramat sangat. Kidarga melonjak kaget dari kursinya melihat orang yang selama ini dibanggakan tersungkur tak berdaya. Namun ia juga senang mendapat tenaga pembantu yang lebih pandai dan muda seperti Baladewa yang ba- ru berumur delapan belas tahun.

“Cukup. Cukup! Aku sudah puas melihat kepandai- an silatmu!” ujar Kidarga dengan wajah berseri-seri menyambut Baladewa yang sekarang tengah mem- bungkuk hormat di hadapannya.

“Hari ini, aku langsung menyatakan kepadamu bah- wa kau sudah sah menjadi pembantuku di Perguruan Topeng Hitam!” kata Kidarga lagi dengan wajah berseri- seri. Segala persoalan yang menggayuti pikirannya se- lama ini sirna setelah kedatangan Baladewa yang telah menjadi pengikutnya.

Kemenangan Baladewa dalam uji coba dengan Khi- an Liong bukan saja menyenangkan hati Kidarga, teta- pi juga para pendekar lain. Hal ini disebabkan usianya yang masih muda. Khian Liong sendiri merasa jengkel karena tersaingi.

***

9

Senja itu, kota Girik terlihat ramai oleh orang-orang gagah yang hilir-mudik. Mereka tidak lain para pen- dekar yang datang dari berbagai pelosok negeri dengan tujuan yang tidak bisa diketahui secara pasti. Sebab wajah beringas, lembut, atau simpatik tidak bisa jadi ukuran kalau mereka orang jahat atau sebaliknya. Se- lain itu, di antara para pendekar saling menutupi diri. Hanya sorot mata mereka saja yang menatap penuh kecurigaan antara satu dengan lain. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, Bong Mini, Ong Lie, dan Seyton memasuki rumah ma- kan dan penginapan yang agak mewah. Dan di Rumah Makan Hin-Hin ini banyak tersedia makanan asli Tiongkok yang cukup lezat. Ini sengaja disediakan agar orang-orang asli Tiongkok yang sudah lama tinggal di negeri Selat Malaka dapat mengenang kembali kam- pung halamannya lewat masakan yang disediakan.

Setiap hari Rumah Makan Hin-Hin selalu banyak dikunjungi orang-orang Cina, khususnya yang berasal dari negeri Tiongkok. Hingga tidak heran jika Bong Mini dan kedua pengikutnya memasuki rumah makan itu. Ruangan sudah banyak terisi. Pengunjungnya ti- dak lain para pendekar yang baru menjejakkan kaki di negeri itu. Sehingga antara satu dengan yang lain tidak saling mengenal.

Bong Mini menyebarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Di sana ada empat bangku kosong. Mereka segera mengisi satu meja kosong.

Tidak berapa lama mereka duduk, makanan yang mereka pesan pun segera diantar oleh seorang pelayan yang juga masih keturunan Tionghoa. Kemudian pesa- nan itu diletakkan di atas meja.

Bong Mini, Ong Lie, dan Seyton segera menyantap hidangan yang sudah tersedia di atas meja dengan la- hap. Maklumlah sejak pagi tadi perut mereka belum terisi makanan sedikit pun. Sehingga tidak heran bila dalam waktu singkat hidangan yang disantap telah habis tanpa sisa.

Di saat Bong Mini menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, tiba-tiba matanya tertuju pada dua pemuda yang sedang duduk berhadapan, tak jauh dari tempat duduk Bong Mini. Dia melihat kedua pemuda yang umurnya kurang lebih dua puluh lima tahun itu sedang mengadu kesaktian tanpa sepengetahuan para pendekar lain yang memenuhi ruangan itu.

Bong Mini mengalihkan pandangan pada pemuda berkumis yang tengah menunjukkan kebolehannya dengan menyalurkan hawa panas pada air anggur di segelas cawan. Sehingga secawan anggur itu menda- dak panas dan mengeluarkan asap yang begitu tebal. Andai saja orang yang menerima tidak memiliki kesak- tian yang cukup tinggi, air anggur yang panas itu tidak akan berubah keadaannya sehingga yang menerima akan merasa kepanasan.

Pemuda berambut panjang yang bergelung di ba- gian atas kepalanya tampak melebarkan senyum, keti- ka melihat pemuda berkumis di hadapannya itu me- ngeluarkan hawa panas pada anggur yang kini di- sodorkan kepadanya. Pemuda itu menerimanya sambil mengerahkan hawa dingin yang lebih sakti lagi agar dapat meredakan air panas itu. Sehingga ketika cawan itu beralih ke tangannya, pemuda berambut panjang itu langsung mereguknya sampai habis, membuat la- wannya melongo tak berkedip. Bukan dia saja, Bong Mini dan para pendekar lainnya yang kini menyaksi- kan atraksi itu pun terkejut dan kagum. Mereka sama- sama mengagumi tenaga sakti yang dimiliki oleh kedua pemuda itu.

“Huh, kesaktian semacam itu saja dipamerkan!” ti- ba-tiba terdengar suara lembut seorang wanita. Dan ketika semua orang menoleh, terlihat seorang perem- puan muda berparas cantik tengah berdiri di sudut ruangan sambil mengumbar senyum. Sedangkan pa- kaiannya yang berwarna kuning dan terbuat dari ba- han sutera halus terlihat begitu ketat, memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya yang sintal.

Belum hilang keterkejutan mereka, tiba-tiba wanita tadi mengacungkan dua jarinya ke arah dua pelayan yang sedang berdiri dengan termangu-mangu ke arah- nya.

Cuat cuat!

Dari dua jari yang diarahkan pada pelayan itu me- luncur dua jarum berwarna hitam secara berbarengan, sehingga dua pelayan itu menjerit dan roboh tak berge- rak lagi. Mereka mati akibat dua jarum hitam yang menembus ulu hati keduanya.

Bong Mini yang menyaksikan perbuatan itu menjadi terkejut. Karena wanita yang melakukan perbuatan ke- ji itu pernah dilihatnya. Bahkan bertarung ketika be- rada di Desa Buncit. Dialah wanita yang mengaku ber- nama Tinting.

“Hm..., perempuan itu ternyata tidak jera-jera juga. Kini dia membuat keonaran di desa ini,” gumam Bong Mini dalam hati.

“Kalian semua boleh bangga jika sudah memiliki il- mu seperti tadi!” desah wanita cantik yang memiliki bibir merah, tebal, dan agak lebar itu dengan genit. Kemudian ia melangkah gemulai, sehingga pinggulnya yang berbentuk itu melenggok-lenggok.

Orang-orang di ruangan itu tampak terpaku. Seo- lah-olah terkena hipnotis oleh keindahan pinggul wa- nita tadi.

“Heh, tunggu!” tiba-tiba tiga pemuda yang duduk di sudut ruangan tersadar dari keterpakuannya. Mereka melompat mengejar wanita yang mempunyai daya pe- sona tadi. Diikuti pula oleh para pendekar lain, terma- suk Bong Mini dan dua pengikutnya.

Wanita cantik yang memiliki tubuh sintal tadi se- gera menghentikan lenggak-lenggoknya ketika mende- ngar seruan tiga pemuda tadi. Dia membalikkan tu- buhnya dengan lembut dan wajahnya menatap tiga pemuda yang umurnya kurang lebih dua puluh lima tahun itu.

“Aiiih...! Kukira siapa orang yang memanggil tadi. Ternyata tiga pemuda tampan dan gagah!” desah wani- ta cantik itu sambil memainkan kedua tangannya den- gan lemah-gemulai, layaknya seorang penari. Sedang- kan sepasang matanya yang bundar dan bening tam- pak berkerjap-kerjap, menggoda tiga pemuda yang berdiri di depannya.

Tiga pemuda yang berdiri di depan wanita cantik itu memang mempunyai wajah yang cukup tampan. Kulit mereka putih kemerah-merahan. Di atas matanya yang sipit, terukir alis mata yang cukup tebal. Berambut pendek serta berpakaian kemeja tangan panjang warna putih yang dikenakan bersama celana yang juga ber- warna putih, membuat mereka lebih simpatik. Mereka adalah Tiga Pendekar Mata Dewa.

“Siapa kalian bertiga?” tanya wanita cantik itu se- raya tersenyum genit.

“Kami Tiga Pendekar Mata Dewa berasal dari negeri Manchuria! Dan siapa namamu?!” tanya seorang dari Tiga Pendekar Mata Dewa. Suaranya tenang dan berat, hingga memberikan kesan berwibawa.

“Namaku Nyi Genit dari Perguruan Topeng Hitam!” ucap wanita cantik itu.

Semua pendekar di tempat itu tampak terkejut keti- ka mendengar nama Perguruan Topeng Hitam. Karena kedatangan mereka ke negeri itu pun ada hubungan- nya dengan Perguruan Topeng Hitam. Hanya tujuan- nya saja yang mereka rahasiakan.

Bong Mini pun tersentak kaget. Karena saat ia ber- hadapan di Bukit Buncit beberapa waktu yang lalu, wanita itu menyebut namanya Tinting. Tapi sekarang, ketika berhadapan dengan Tiga Pendekar Mata Dewa, wanita tersebut memperkenalkan dirinya dengan nama Nyi Genit. Mana yang benar? Pikir Bong Mini.

“Kebetulan sekali kalau kau dari Perguruan Topeng Hitam. Sebab kedatangan kami ke sini ada hubu- ngannya dengan perguruanmu!” kata pemuda tadi me- wakili kedua temannya yang berdiri di kiri kanannya.

“Ada maksud apa gerangan?” tanya Nyi Genit. “Maksudku hendak menghancurkanmu bersama-

sama Perguruan Topeng Hitam!” cetus pemuda tadi.

Walau kata-kata tadi cukup pedas terdengar di teli- nga Nyi Genit, wanita tersebut tetap bersikap ramah. Dan dengan bibir tersenyum ia berkata, “Aiiih..., sung- guh tidak pantas lelaki gagah seperti kalian marah- marah pada seorang wanita!”

“Seharusnya memang begitu. Tapi yang kuhadapi sekarang bukanlah wanita lembut yang patut dihorma- ti dan dilindungi. Melainkan wanita iblis yang harus dihadapi dengan kekerasan!” kata pemuda yang berdiri di antara kedua temannya itu. Suaranya sudah tidak lagi terdengar lembut. Melainkan penuh caci-maki yang menyakitkan! Tapi karena wanita yang dihadapi- nya bukanlah wanita biasa, maka kata-kata yang me- manaskan telinganya itu justru disambutnya dengan senyum menggoda.

“Aiiih, galak amat! Bukankah kita bisa bicara secara baik-baik?”

“Maksudmu?”

Mata bulat gemerlap itu terlihat mengerling. Bibir- nya tersenyum penuh makna.

“Maksudku dengan cara yang lebih tenang dan pe- nuh kehangatan!”

“Perempuan lacur!” “Iblis jalang!” “Perusak!”

Tiga Pendekar Mata Dewa yang masing-masing ber- nama Kao Cin Liong, Sin Hong, dan Kui Lok memaki penuh emosi. Kemudian mereka membuat kurungan segitiga. Sedangkan wanita yang dikurung tampak te- nang saja. “Kalian memang orang-orang gagah. Majulah! Siapa yang ingin menikmati tubuhku terlebih dahulu!”

Tiga Pendekar Mata Dewa yang sudah marah sema- kin geram mendengar kata-kata wanita itu, kata-kata rendah yang menjijikkan bagi telinga-telinga sopan. Sedangkan bagi mereka yang gemar mengumbar nafsu iblis, tentu ucapan itu merupakan satu tantangan yang menyenangkan.

“Kau memang wanita yang perlu diberikan pelajaran agar tahu bagaimana cara menghormati kehormatan- mu sendiri!” geram Kao Cin Liong yang sejak tadi men- jadi juru bicara kedua temannya. Atas ajakannya pula mereka datang ke negeri Selat Malaka dengan tujuan menolong rakyat dari kebiadaban orang-orang Pergu- ruan Topeng Hitam. Hal itu diketahui ketika mende- ngar Raja Manchuria mengirim para pendekar untuk membantu gerakan Perguruan Topeng Hitam.

Kao Cin Liong yang sudah naik pitam segera mener- jang ke arah Nyi Genit dengan totokan jari-jari ta- ngannya yang dilakukan secara beruntun ke arah tu- juh jalan darah terpenting di bagian depan tubuh wa- nita itu.

Plak plak! Desss!

Sungguh di luar dugaan. Nyi Genit yang sejak tadi hanya diam saja, tiba-tiba menyambut serangan itu secara berbarengan, hingga tubuh penyerangnya ter- lempar ke belakang, lalu terbanting dan pingsan men- cium tanah. Debu mengepul dari tempat yang tertimpa tubuhnya.

Melihat temannya begitu mudah dirobohkan, pemu- da yang kedua menjadi geram. Dia berseru keras me- nerjang Nyi Genit sambil menyambar-nyambarkan pu- kulannya. Melihat serangan susulan itu, Nyi Genit se- gera bergerak mengelakkan tendangan dan pukulan lawan dengan lincah disertai tendangan balasan. Na- mun dengan cepat pula pemuda kedua itu mengelak- kannya.

Sementara itu, di antara para pendekar yang me- nyaksikan pertempuran, Bong Mini tampak memper- hatikan sungguh-sungguh. Sepasang matanya begitu lincah mengikuti gerakan-gerakan tubuh dua orang yang bertarung.

Pemuda kedua dari Tiga Pendekar Bermata Dewa kembali berdiri gagah menghadapi wanita genit dari ja- rak lima meter. Dia bersiap-siap untuk menerjang la- wannya kembali dengan pukulan ‘Tapak Tangan Dewa’ yang dipelajarinya selama lima tahun di negeri Pano- rama Biru.

Pukulan ‘Tapak Tangan Dewa’ yang dilancarkan pemuda kedua ini amat berbahaya. Sebab dari puku- lan yang dilayangkan akan menyebar hawa racun yang sulit disembuhkan! Namun besar kecilnya bahaya yang diderita lawan tergantung dari besar kecilnya tenaga dalam yang dikeluarkan saat memukul. Sedangkan pemuda itu mengerahkan pukulannya hanya setengah tenaga. Dia hanya ingin memberikan pelajaran kepada wanita genit itu tanpa membunuhnya.

Tapi apa yang dia kehendaki bertolak belakang dari kenyataan. Karena pada saat pemuda itu menyerang, Nyi Genit telah mendahului serangannya dengan ‘Pu- kulan Angin Sakti’.

Duk! “Aaakh...!”

Tubuh pemuda itu terpental dan membentur tanah dengan keras. Beberapa saat, dia hanya dapat mengge- liatkan tubuhnya, menahan rasa nyeri yang teramat sangat.

“Bedebah! Kubunuh kau, Perempuan Iblis!” geram pemuda ketiga yang sejak tadi hanya melihat pertem- puran. Kini ia menerjang ke arah lawan penuh nafsu setelah melihat dua temannya berhasil dirobohkan.

Wanita genit itu kembali berdiri tenang sambil terus mengumbar senyum meremehkan! Karena dia telah berhasil merobohkan dua lawannya dengan mudah, berarti pemuda yang ketiga pun tidak jauh berbeda dengan kedua orang tadi.

Dugaan Nyi Genit meleset. Sebab pada saat tangan- nya mencengkeram tubuh pemuda itu, lawannya se- gera menghindar dan lolos. Dan wanita ini semakin kaget ketika melihat kaki lawannya menggeser ke samping disertai tangan kiri yang menotok ke arah lambungnya dengan cepat. Wanita itu cepat-cepat me- narik tangannya kembali dan menangkis sambil men- coba mencengkeram lengan lawan.

Duk!

Sebuah tangkisan telah membuat tubuh wanita tadi tergetar, hingga ia membatalkan niatnya untuk men- cengkeram. Tangannya sendiri sudah ditarik saking kagetnya. Dia menyadari, betapa lawannya yang beru- sia muda itu memiliki tenaga yang luar biasa! Dari per- temuan lengan itu ia dapat menilai kalau pemuda yang satu ini jauh lebih pandai dari kedua temannya. Dia bukan lawan yang bisa dianggap remeh. Namun demi- kian, bukan berarti dia harus menguras tenaga untuk menghadapinya. Sebab bagaimanapun juga ilmu yang dimilikinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pe- muda itu. Yang diperlukan dalam menghadapi pemuda ketiga ini adalah kewaspadaan!

Sebenarnya bisa saja Nyi Genit menjatuhkan ketiga lawannya sekaligus tanpa harus buang-buang waktu dan tenaga. Namun hal itu sengaja tak dilakukan, ka- rena dia punya rencana tertentu sebelum mengakhiri- nya, yaitu mengencani dan mengisap darahnya satu persatu. Pemuda ketiga dari Pendekar Bermata Dewa telah memasang jurus-jurusnya kembali. Sebentar kemu- dian tubuh pemuda itu pun telah berkelebat ke depan dengan kecepatan seperti kilat secepat gerakan kedua tangannya yang mengandung tenaga cukup, hingga menimbulkan angin yang cukup besar pula. Lawannya terkejut dan membalikkan tubuhnya. Tapi ...

Bresss! Dukkk!

Wanita genit yang mempunyai tubuh sintal itu ke- colongan.

Brukkk!

Tubuhnya terlempar ke belakang dan menabrak se- batang pohon. Untunglah Nyi Genit memiliki kepan- daian yang amat tinggi. Kalau tidak, tentu tulang- tulangnya akan remuk.

Nyi Genit telah selamat dari bahaya yang mengan- camnya. Kini tubuhnya bangkit kembali dengan gagah. Namun wajahnya sangat berbeda dari sebelumnya. Bi- bir merahnya yang menantang yang selalu banyak mengumbar senyum kini berubah dengan seringai yang amat mengerikan, seketika itu juga, pesona wa- jahnya lenyap. Matanya berkilat-kilat, diiringi suara kaku dan ketus, penuh kemarahan!

“Anak muda tidak tahu diri! Dikasih hati malah ku- rang ajar! Sekarang, rasakanlah pembalasanku!” ge- ramnya sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah lawan.

Cuat cuat cuat!

Ujung jari itu tampak bersinar merah. Sekejap ke- mudian memuntahkan tiga buah jarum hitam beracun ke arah lawan. Tapi pemuda ketiga itu langsung me- nyadari perbuatan wanita yang di hadapannya. Saat lawannya menudingkan jari telunjuk ke arahnya tadi, ia melompat cepat dan bersalto disertai pengerahan te- naga peringan tubuh. Tiga jarum beracun yang dike- rahkan wanita itu pun luput dari sasaran.

Perempuan genit itu marah bukan main melihat se- rangannya tidak mengenai sasaran. Darahnya berdesir panas ke seluruh tubuh. Malah bola mata bundar yang sebelumnya memikat hati, berubah menjadi merah menyala, seolah menyimpan bara api. Sepasang mata yang merah menyala itu tampak menyorot tajam pada lawan.

Melihat perubahan sikap wanita itu, dua pemuda lain yang sempat dirobohkan segera membantu. Me- reka mengambil posisi segi tiga mengurung. Mereka sadar, bagaimanapun gigih temannya melawan wanita itu, dia tetap akan kalah. Karena kepandaian mereka masing-masing masih jauh di bawah lawan. Dalam soal jurus mereka memang unggul. Tapi dalam hal ke- saktian, lawannya lebih hebat.

Untuk menghadapi wanita itu mereka memperguna- kan pedang masing-masing.

“Bagus! Rupanya kalian tetap siap untuk mati!” se- ringai wanita yang berubah menakutkan itu.

Tiga pemuda itu tidak memberikan tanggapan. Ke- cuali serentak melakukan serangan ke arah lawan di- sertai lengkingan tinggi.

“Hiaaat!”

Sing sing singngng!

Tiga pedang berdesing-desing dan menyambar la- wan dengan cepat. Namun bagaimanapun baiknya per- mainan pedang mereka, tak satu pun di antara tiga pedang itu yang berhasil menggores tubuh lawan. Tu- buh Nyi Genit rupanya bergerak mengelak dengan ke- cepatan dua kali lipat dari kecepatan Tiga Pendekar Mata Dewa. Sehingga pertempuran itu memberikan ke- san seperti tiga lelaki yang sedang memburu baya- ngan. “Aaakh!”

Tiba-tiba satu di antara tiga pemuda itu mengeluh. Disusul dengan robohnya tubuh lelaki tadi dan tak da- pat bergerak lagi. Tanpa diduga oleh mereka, lawan te- lah melakukan serangan menotok, membuat seluruh persendian tulang-tulangnya tak dapat digerakkan. Hanya mata dan telinganya saja yang masih dapat ber- fungsi.

Melihat temannya roboh dengan tubuh lumpuh, dua temannya semakin gencar melakukan serangan- serangan ke arah lawan. Namun kepandaian wanita itu sangat sulit tertandingi. Setiap kali pedang dua pemu- da itu berkelebat, setiap kali pula lawan lenyap seperti angin.

Sambil melakukan gerakan mengelak, diam-diam Nyi Genit membuka selendang panjang berwarna hi- tam yang selalu membelit pinggangnya. Kemudian se- lendang panjang itu diulur ke arah dua lawannya se- kaligus.

Sungguh menakjubkan! Selendang hitam yang di- ulurkan wanita itu seperti mempunyai kekuatan gaib yang luar biasa, bergerak ke sana kemari mencari sa- saran. Begitu sasarannya telah didapat, selendang itu bergerak menggulung tubuh dua lawannya.

Dua pemuda yang terkena lilitan selendang hitam berusaha bergerak, melepaskan lilitan selendang sakti itu. Tapi jangankan bergerak, membuka mulut saja mereka tidak mampu. Karena selendang hitam itu te- lah melilit tubuh keduanya sampai sebatas leher, hing- ga sulit untuk bernapas. Kemudian tubuh mereka yang sudah terjerat selendang sakti bergerak mende- kati Nyi Genit. Setelah dekat, wanita itu memberikan dua totokan pada punggung keduanya. Dalam sekejap, kedua pemuda itu kehilangan tenaga, sama seperti te- mannya yang sudah lebih dulu terbaring di tanah tan- pa dapat berbuat apa-apa. Kemudian tubuh kedua pemuda yang tidak berdaya itu diletakkan di dekat te- mannya yang lain hingga berjejer.

“Kalian tiga orang pemuda yang gagah dan tampan,” kata Nyi Genit, kembali berubah lembut dan menarik. “Dan sebelum aku mengirimmu ke neraka, aku akan memberikan kehangatan yang luar biasa. Biar kalian bertiga tidak menyesal meninggalkan kehidupan dunia ini!” sambung wanita itu seraya tersenyum-senyum.

“Rupanya kau belum jera juga, Perempuan Iblis!” ti- ba-tiba terdengar suara lantang di antara para pen- dekar yang sejak tadi hanya melongo menyaksikan pertempuran antara Tiga Pendekar Mata Dewa dengan wanita genit itu.

Nyi Genit yang akan melakukan aksinya terhadap ketiga pemuda yang siap menjadi mangsanya itu lang- sung terkejut melihat gadis mungil yang melangkah tenang ke tengah arena pertempuran. Dia lebih terke- jut lagi ketika melihat dan meneliti penampilan gadis itu. Gadis berbaju merah yang berdiri angkuh di de- pannya itu pernah dia kenal beberapa waktu yang lalu. Siapakah wanita yang tiba-tiba menghentikan aksi Nyi Genit? Mengapa wanita iblis itu terkejut? Bagai- mana kelanjutan kisah Baladewa yang bersekutu de- ngan Perguruan Topeng Hitam? Apa tujuannya? Apa-

kah pemuda itu telah berubah jahat?

Ikutilah kisah seru Putri Bong Mini selanjutnya da- lam episode selanjutnya: ‘Rahasia Pengkhianatan Ba- ladewa’.

SELESAI
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar