Putri Borong Mini Eps 04 : Iblis Pulau Neraka

Eps 04 : Iblis Pulau Neraka

1

Wajah bumi dihujani sengatan panas. Siang me- mang sudah demikian matang, membawa bola raksasa alam yang bersinar gencar ke puncaknya. Satwa pagi tidak lagi memperdengarkan senandungnya. Barang- kali mereka enggan terpanggang di hari yang tak ber- sahabat itu. Hanya terdengar desah angin panas yang menelusupi dedaunan kering.

Di bawah pancaran sinar matahari yang menyengat itu, dua puluh orang berkuda tampak duduk gagah di punggung kuda masing-masing. Mereka mengelilingi dua orang gagah. Seorang lelaki setengah baya berpa- kaian pangsi warna hitam bernama Jaim. Dan seorang lagi pemuda tampan berpakaian terpelajar dengan warna kuning muda, sedangkan baju di bagian da- danya tampak lukisan naga emas yang amat indah. Dia bernama Khian Liong. Mereka berdua baru saja menghentikan pertempuran setelah mendengar deru dan ringkik kuda yang dipacu oleh kedua puluh orang yang mengepung.

Lelaki setengah baya yang sebelumnya bertanding dengan pemuda tampan itu melangkah ke depan dan memberi hormat pada seorang penunggang kuda.

Penunggang kuda yang berumur sekitar lima puluh tahun dan berwajah hitam beringas itu hanya meman- dang sekilas pada Jaim. Lalu sepasang matanya yang hitam kemerah-merahan beralih pada tiga mayat yang tergeletak di tanah. Setelah beberapa saat terpaku pa- da tiga mayat yang bersimbah darah itu, matanya me- mandang ke arah Khian Liong yang sejak tadi berdiri gagah di hadapannya. Kemudian mata itu beralih mengawasi lukisan naga emas di baju pemuda terse- but.

“Siapa dia?” tanya lelaki berjubah hitam seraya me- mandang Jaim. Suaranya besar dan pecah, sehingga terdengar berwibawa.

“Dia seorang pemuda asing yang melakukan pem- bunuhan terhadap tiga temanku, Ketua!” sahut Jaim yang ternyata anak buah lelaki berjubah hitam itu.

“Hm...!” gumam lelaki berjubah hitam seraya me- mandang pemuda yang memiliki lukisan naga emas pada baju bagian dadanya itu.

“Tangkap pemuda itu! Hidup atau mati!” perintah lelaki berjubah hitam yang menjadi pemimpin pasukan berkuda itu.

Mendapat perintah itu, Jaim dan lima belas pe- nunggang kuda langsung bergerak mengepung pemu- da tampan tersebut. Sedangkan pemimpin mereka ber- sama empat orang lain pergi memacu kudanya menuju rumah orang-tua Bong Mini yang dijadikan istana.

Melihat musuhnya demikian banyak dan gagah-ga- gah, Khian Liong tampak gentar. Ia merasa tidak mam- pu melawan mereka yang mempunyai senjata lengkap. Jalan satu-satunya, ia harus melarikan diri agar tidak mati konyol. Namun untuk melarikan diri pun dia be- lum mempunyai kesempatan. Karena pasukan berku- da itu demikian ketat mengepung dirinya.

“Majuuu...!”

Teriak beberapa orang dari mereka yang dilanjutkan dengan acungan pedang ke arah pemuda yang dike- pung.

Khian Liong sejak tadi berdiri terpaku memikirkan cara melarikan diri, segera menggerakkan pedangnya untuk melakukan tangkisan sabetan pedang lawan.

Trang trang trang!

Benturan senjata milik pemuda tampan dengan enam belas pengeroyoknya terdengar nyaring. Disertai pijar-pijar api yang memercik terang. Berbaur dengan teriakan-teriakan membahana dari pasukan berkuda.

Pemuda tadi benar-benar kewalahan menghadapi serangan gencar para pengeroyoknya. Sehingga dalam menghadapi serangan itu ia hanya dapat menangkis dan mengelak dengan cara melompat, bersalto dan bergulingan tanpa mampu membalas serangan lawan.

Di saat keadaan Khian Liong tersudut, tubuhnya membuat gerakan reflek yang tidak disadarinya.

Hiat hiat hiat!

Pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas itu melompat berputar sambil menyabet-nyabetkan pe- dang ke arah pengepungnya dengan kecepatan yang amat dahsyat.

“Akh!”

Dua lengkingan tertahan terlontar dari mulut pe- ngepungnya, disusul dengan robohnya dua orang dari mereka disertai darah yang mengucur dari leher yang nyaris putus tersayat pedang Khian Liong.

Pasukan berkuda lain terlihat terkejut melihat dua temannya tewas akibat sabetan pedang lawan. Mereka tidak menyangka sama sekali kalau pemuda itu mam- pu melakukan perlawanan walau telah dikepung ketat. Ini menunjukkan kalau pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas itu memang seorang tangguh yang tak dapat dianggap ringan.

Melihat para pengepungnya terpaku memandangi dua temannya yang tewas, Khian Liong segera meng- gunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Tubuh- nya melompat melewati kepala para pengepungnya.

“Kejar dia! Bunuh!” teriak beberapa orang yang me- lihat lawannya akan melarikan diri. Dan rekan mereka yang lain segera tersadar, Khian Liong yang hendak melarikan diri dari kepungan segera dikejar. Namun dengan tangkas pula pemuda itu melepas pukulan ja- rak jauh ke arah mereka yang hendak mencoba mena- han kepergiannya.

Beberapa pengepung yang mencoba memburunya terhuyung terkena sambaran angin kencang yang ke- luar dari telapak tangan Khian Liong. Kemudian tubuh yang terkena sambaran angin itu terjungkal dari atas kudanya.

“Kejar!” “Tangkap!” “Serang!”

“Bunuh!”

Teriakan-teriakan lantang keluar dari mulut mereka ketika mengetahui mangsanya lolos dari kepungan. Suara ringkik kuda dan deru langkah kakinya kembali terdengar ketika mengejar pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas.

Pemuda yang baru saja melarikan diri tadi bukan- lah seorang pemuda biasa. Ia memiliki kepandaian il- mu silat yang cukup diandalkan. Bila pasukan berku- da itu melakukan perlawanan satu persatu, belum ten- tu mereka dapat mengalahkannya. Namun karena me- reka melakukan penyerangan secara keroyokan, maka pemuda itu berpikir lebih baik mengambil langkah se- ribu daripada harus melakukan perlawanan dan mati konyol.

Melihat pasukan berkuda terus mengejar, Khian Liong segera mengerahkan ilmu peringan tubuhnya. Dalam waktu sekejap tubuhnya sudah melesat di anta- ra rimbunnya pepohonan, jauh meninggalkan para pengejarnya. Walau begitu, para pengejar terus mem- buru dengan memacu kuda mereka lebih cepat lagi.

*** Bong Mini masih terbaring bersama puluhan mayat yang tergeletak di antara reruntuhan rumahnya. Tam- paknya mayat-mayat itu sudah beberapa hari di sana. Terbukti dari banyaknya lalat yang menghinggapi serta bau busuk yang memenuhi udara.

“Ah...!” Bong Mini mengeluh lemah. Ia baru saja ter- sadar dari pingsannya yang memakan waktu cukup lama. Kemudian dicobanya untuk mengangkat kepala. Tapi ia hanya dapat menggerakkannya beberapa senti dari tanah.

“Sudah berapa lama aku di sini?” tanyanya berbisik. Bong Mini menurunkan kepalanya kembali. Ia be- lum mampu bertahan lebih lama untuk menegakkan kepala. Setelah beberapa saat dibaringkan di tanah, ia mencoba mengangkat kepalanya kembali. Pandangan-

nya kini tertuju pada pintu gerbang yang terbuka. “Oh...!” ia kembali mengeluh dengan wajah terkejut

ketika matanya melihat mayat-mayat bersimbah darah kering yang bergelimpangan di sekitarnya. “Nafsu ma- nusia benar-benar sudah gila. Manusia mereka anggap seperti hewan yang mudah disembelih tanpa rasa peri- kemanusiaan!” kutuk Bong Mini samar.

Bong Mini mencoba mengangkat kepalanya lebih tinggi lagi dengan cara menekan kedua tangannya di tanah. Tapi tubuhnya seperti kehilangan tenaga sama sekali. Jangankan untuk mencoba bangkit, untuk mengusir lalat-lalat yang mendengung di sekitarnya pun tak dapat dilakukan.

Rupanya aku sudah pingsan cukup lama, pikir Bong Mini sambil mencoba menggerak-gerakkan kedua pergelangan tangannya. Ketika menggerakkan kedua pergelangan tangannya, tiba-tiba ia merasa ada benda kecil yang menusuk bagian pinggulnya. Lalu tangan- nya merayap lemah di tanah untuk menjangkau ba- gian pinggulnya yang terasa sakit dari celah baju. De- ngan tubuh yang masih terbaring lunglai, Bong Mini mencoba menarik dua benda kecil yang menusuk ping- gulnya.

Hm..., jarum hitam beracun! Gumam Bong Mini da- lam hati, ketika matanya melihat benda yang tadi me- nusuk pinggulnya. Untunglah aku telah memiliki ilmu kekebalan tubuh. Kalau tidak, tentu jarum beracun ini akan menghabisi nyawaku! Lanjutnya sambil terus mengawasi ujung jarum berwarna hitam.

Apa yang dikatakan Bong Mini memang benar. Wa- laupun jarum beracun itu mampu menembus tubuh- nya, tapi tidak akan menyebabkan kematian baginya. Sebab ia telah memiliki ilmu kekebalan tubuh yang di- berikan oleh Kanjeng Rahmat Suci gurunya. Kecuali hanya mempengaruhi kekuatan tenaganya hingga le- mah seperti apa yang dirasakannya saat itu.

Rupanya telah terjadi pertempuran dahsyat di ru- mahku ini! Kata Bong Mini dalam hati. Kemudian ia merebahkan kembali tubuhnya. Ia mulai memusatkan hati dan pikirannya sambil mengerahkan ilmu ‘Batin Pengusir Racun’. Sebuah ilmu yang dapat mengusir racun dari dalam tubuh hanya dengan memusatkan pikiran dan hati pada racun dalam tubuh.

“Hep!”

Bong Mini menahan napasnya beberapa saat. Se- bentar kemudian, ia pun merasakan cairan yang agak kental keluar di sekitar pinggul yang terasa nyeri.

Bong Mini kembali menyusupkan tangan kirinya ke celah baju untuk mengetahui cairan apa yang keluar dari lubang bekas tusukan jarum hitam beracun itu.

Ia menghela napas lega ketika melihat cairan kental kehijau-hijauan menempel pada tangan kiri yang dipa- kai untuk meraba tadi. “Syukurlah. Racun ini telah keluar dari dalam tu- buhku!” desah Bong Mini sambil membersihkan cairan racun yang seperti getah pada rumput di dekatnya. Saat racun itu menempel pada rumput, rumput yang semula hijau segar berubah menguning dan mati. Bayangkan! Bagaimana kalau racun itu masuk ke da- lam tubuh yang tidak memiliki kekebalan? Tentu akan mengalami nasib seperti rumput-rumput itu.

Di cakrawala, awan gelap tampak bergerombol me- ngerikan, menutupi seluruh permukaan langit. Mem- buat alam di sekitarnya menjadi gelap, walaupun hari belum petang benar.

Petir mulai menyalak amat keras, menggetarkan bu- mi tempat gadis mungil itu berbaring. Disusul dengan butiran-butiran air hujan yang menimpa mayat-mayat serta tubuh sang gadis berumur delapan belas tahun itu.

Mendapat siraman rintik hujan, hati Bong Mini menjadi gembira. Ia menengadahkan kepalanya seraya membuka mulut agar air hujan yang turun rintik-rin- tik itu membasahi tenggorokannya yang kering.

Tubuh Bong Mini berangsur segar ketika tetesan air hujan dapat diteguk hingga sedikit mengusir haus yang menggelantung di kerongkongannya.

Baru beberapa detik ia menengadahkan kepala, me- nikmati butiran-butiran air hujan yang sejuk, tiba-tiba ia merasakan bumi menderam seperti ledakan kawah gunung. Lewat matanya yang masih kuyu, ia melihat pusaran angin sedang melaju mendekatinya. Disusul dengan barisan penunggang kuda yang meluncur ke arahnya.

“Pasukan berkuda!” desis Bong Mini ketika melihat sekelompok orang berkuda keluar dari dalam rumah- nya. Dengan serta-merta ditelungkupkan kembali wa- jahnya ke tanah. Dalam sekejap mata pasukan ber- kuda itu telah melewati mayat-mayat yang berserakan dengan angkuh.

Bong Mini berbaring menelungkup dengan kedua mata terpejam. Hatinya memohon kepada Yang Maha Kuasa agar dirinya tidak terinjak-injak oleh puluhan kaki kuda seperti yang dialami mayat-mayat yang ber- gelimpangan di sekitarnya. Harapan Bong Mini terka- bul. Langkah kuda itu hanya melewati tubuhnya bebe- rapa senti. Kemudian semuanya berlalu.

Untuk beberapa saat tubuh Bong Mini masih ter- diam kaku dengan kedua mata terpejam. Ketika kedua telinganya tidak mendengar lagi derap kaki kuda, ba- rulah ia membuka matanya perlahan-lahan. Digerak- gerakkan kedua kaki dan tangannya, seakan ia tak percaya kalau tubuhnya tidak terluka. Padahal lang- kah-langkah kaki kuda itu terasa begitu dekat menje- jak di antara tubuhnya.

Gadis bertubuh mungil dengan pakaian merah ketat yang sudah lusuh terkena debu itu kembali mengang- kat kepalanya. Kemudian dengan susah-payah ia men- coba bangkit lalu melangkah terhuyung-huyung menu- ju rumahnya yang tinggal serakan puing.

Sampai di ruang tengah reruntuhan rumah itu, ia berdiri termangu menyaksikan keadaan kamarnya yang tak berbentuk lagi. Bahkan tempat tidur dan se- luruh isi kamar itu tertimbun oleh puing-puing.

Perang, desah Bong Mini dalam hati. Rumah Ini te- lah menjadi ajang pertempuran!

Pada saat itu, bayangan wajah papanya dan pendu- duk desa di sekitar tempat tersebut mengambang di pelupuk matanya.

“Papa, di mana kau? Apakah kau sudah mati?” ucap Bong Mini dengan rona wajah sedih. Telaga be- ning di matanya yang selama ini kering mendadak me- luap kembali. Kemudian air telaga itu pelan-pelan ber- gulir menuju dua pipinya yang kotor oleh debu dari ce- lah-celah bulu matanya.

Mama, apakah tempat tinggalmu juga telah runtuh seperti ini? Tiba-tiba ia teringat makam mamanya yang terletak di sebelah rumahnya. Kemudian kakinya me- langkah terhuyung ke tempat pembaringan terakhir tubuh mamanya. Dan sampai di sana, matanya meli- hat tembok makam mamanya sudah tidak utuh lagi. Bagian nisan telah hancur. Hanya sepotong tembok sa- ja yang terlihat masih utuh.

“Oh, Mama! Rumahmu telah dihancurkan orang. Sungguh biadab mereka!” keluh Bong Mini terisak se- raya merangkul tembok makam yang tinggal sepotong. Kemudian, mendadak ia tercekat, melepaskan pelu- kannya pada makam. Benaknya teringat oleh pasukan berkuda yang tadi melintasinya. Wajah yang semula sedih berubah merah merona dan tegang.

Pasti anjing-anjing berkuda itu yang telah menye- rang orang-orang papa! Geram Bong Mini dalam hati disertai sepasang matanya yang berkilat-kilat.

“Bong Mini!” tiba-tiba salah satu mayat yang tidak jauh darinya mengangkat kepala dan memanggilnya dengan suara parau.

Bayang-bayang dalam kepala Bong Mini menghilang seketika. Bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya mere- mang. Hatinya berdetak ciut mendengar teguran parau itu. Namun ia tetap memberanikan diri untuk menoleh ke arah suara yang memanggil.

“Aowww!” Bong Mini menjerit. Mukanya ditutup ce- pat ketika melihat seraut wajah pucat yang banyak di- lumuri darah kering dengan tangan kiri buntung. Se- hingga ia tidak mengenali benar siapa orang itu. Apa- lagi ia hanya melihat sekilas karena dicekam rasa ta- kut terlebih dahulu.

“Bong Mini, jangan takut!” kata lelaki setengah baya yang berusaha mengangkat kepalanya itu. Suaranya terdengar parau. “Pandanglah aku lekat-lekat. Apakah kau masih mengenaliku?”

Bong Mini menurunkan kedua tangannya perlahan. Dengan kedua mata yang masih terpejam, ia mencoba menarik napas berkali-kali untuk menenangkan pera- saannya yang masih diliputi keresahan. Kemudian se- telah merasa keberaniannya tumbuh kembali, ia me- malingkan wajahnya lagi dan menatap laki-laki tadi.

“Papa, kaukah itu?” desah Bong Mini agak keras.

Karena suaranya kalah oleh rintik-rintik hujan.

“Ya. Aku Bongkap. Papamu!” suara lelaki itu mem- benarkan.

“Kau...? Kau masih hidup?” tanya Bong Mini hampir tak percaya. Karena di sekelilingnya bergelimpangan mayat-mayat yang menyebarkan bau busuk.

“Ya, Sayang. Aku masih hidup!” sahut Bongkap de- ngan suara yang lemah. Kemudian ia merangkak, me- nyeret tubuhnya dengan susah-payah. Bong Mini pun mencoba bangkit mendekati papanya dengan langkah yang masih terhuyung. Kemudian ia terduduk sambil menggenggam tangan papanya yang tinggal sebelah itu.

“Aku tidak percaya kalau kau masih hidup!”

“Mana bisa aku mati!” sahut Bongkap pongah. Ke- mudian tubuhnya rebah kembali di atas tanah dengan wajah meringis menahan sakit. “Aku tidak mau mati sebelum kejahatan sirna dari negeri Selat Malaka ini!”

“Ya. Dan sekarang ini hanya Papa yang bisa sela- mat!”

“Tapi aku belum bisa berdiri!” “Aku akan bantu, Papa. Mari kita pergi dari sini!” ajak Bong Mini sambil berusaha membangkitkan tu- buh Bongkap agar dapat berdiri. Tapi baru saja ia me- narik lengan kanan papanya, tiba-tiba terdengar derap langkah kuda. Semakin lama suara itu terdengar se- makin jelas. Seolah-olah tengah menuju mereka ber- dua. Ketika derap langkah kuda itu semakin dekat, Bong Mini melihat pasukan berkuda tadi. Segera dire- bahkan tubuhnya di antara mayat-mayat yang berge- limpangan.

Di antara serakan mayat, Bong Mini membuka ke- dua matanya sedikit untuk mengetahui orang-orang berkuda itu.

Pasukan berkuda itu menghentikan kudanya di te- ngah-tengah mayat yang bergelimpangan. Mata mereka menyebar ke seluruh reruntuhan rumah.

“Tidak ada yang mencurigakan!” ucap seorang di antara mereka ketika melihat tidak ada orang selain mereka di sekitar reruntuhan rumah.

“Ya. Kita segera kembali saja ke markas!” sahut te- mannya yang lain sambil sesekali memandang mayat- mayat yang telah menyebarkan bau busuk. Tidak lama kemudian pasukan berkuda itu segera menarik tali kekang kudanya dan memacu dengan cepat.

Pasukan berkuda tadi tidak lain orang-orang yang melakukan pengeroyokan terhadap Khian Liong. Me- reka datang ke reruntuhan rumah itu tidak lain hen- dak meneliti keadaan sekeliling. Khawatir ada orang lain di sekitar tempat itu seperti pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas tadi. Ketika yakin tidak ada orang yang mencurigakan, barulah mereka pergi me- nuju markasnya.

“Kita selamat!” bisik Bong Mini pada papanya ketika mengetahui pasukan berkuda tadi telah lenyap. De- ngan susah-payah, ia kembali membantu Bongkap un- tuk dapat berdiri. Setelah papanya dapat bangkit, ke- duanya pun melangkah perlahan melintasi mayat- mayat yang berserakan bersama puing-puing.

***

2

Awan hitam yang semula bergayut tebal di cakra- wala, bergerak lambat menuju utara. Langit yang men- dung, perlahan-lahan terang kembali, meski sore itu matahari telah berada di ujung sebelah barat. Sesaat lagi, tentunya matahari akan lenyap pula oleh kegela- pan malam yang menjemputnya.

Walaupun dengan tenaga setengah terkuras dan langkah terhuyung-huyung, akhirnya Bong Mini dan Bongkap berhasil melintasi mayat-mayat yang berge- limpangan. Kini mereka berada di sebuah semak-se- mak terlindung yang masih berada dalam lingkungan rumah tersebut.

“Papa tinggal di sini dulu sebentar!” kata Bong Mini sambil membantu menyandarkan tubuh Bongkap di sebuah pohon.

“Mau ke mana?” tanya Bongkap parau.

“Aku akan menguburkan mayat-mayat itu!” Bong Mini menunjuk ke arah mayat-mayat yang bergelim- pangan.

“Kenapa kau menyia-nyiakan waktu hanya mengu- rus mayat-mayat itu, Putriku?” tanya Bongkap dengan wajah keheranan.

“Justru aku tidak dapat pergi meninggalkan tempat ini sebelum dapat mengubur semua mayat-mayat itu,” sahut Bong Mini.

“Kalau aku melarang dan memaksamu untuk terus meninggalkan tempat ini?” pancing Bongkap.

Bong Mini mengembangkan senyumnya.

“Aku tahu siapa Papa. Papa tidak mungkin akan berbuat seperti itu. Kalaupun Papa benar-benar mela- rangku untuk mengubur mayat-mayat itu, terpaksa aku membangkangnya!”

Bongkap terbelalak mendengar ucapan putrinya yang baru ditemuinya itu. Dia tidak menyangka sete- lah kurang lebih dua tahun tidak bertemu, putrinya te- lah memiliki pendirian sekokoh batu karang.

“Sudah dua tahun kita tidak saling bertemu. Sekali bertemu kau sudah pandai membangkang. Siapa yang mengajarimu, heh?” tanya Bongkap pura-pura marah.

“Aku memang anak Papa yang wajib mengikuti se- gala kehendak Papa. Tapi bukan berarti aku harus menjadi seekor bebek yang menurut ke sana-sini. An- dai aku mengikuti kehendak Papa yang tidak benar, sama artinya Papa menyeretku ke dalam kesesatan,” dalih Bong Mini, mengemukakan pendapatnya dengan suara tegas tanpa ragu-ragu. Tapi sikapnya tetap hor- mat, sebagaimana anak terhadap orang-tua.

Sepintas lalu, ucapan Bong Mini itu memang ku- rang ajar. Tetapi karena di balik ucapannya itu me- nyimpan satu kebenaran, maka Bongkap bukannya marah, malah jadi terkagum-kagum terhadap putrinya. “Kalau memang itu sudah menjadi tekadmu, laksa-

nakanlah!”

“Terima kasih, Papa!” ucap Bong Mini. Sesungguh- nya ia sendiri sudah tahu bahwa ucapan dan kemara- han papanya itu hanya sebagai pancingan belaka.

Kaki Bong Mini melangkah menuju tempat mayat- mayat tergeletak. Satu persatu tubuh tanpa nyawa itu dikumpulkan. Setelah berkumpul semua, baru ia menggali tanah dengan menggunakan sebilah pedang milik salah satu mayat.

Aneh! Kalau tadi ia merasakan tubuhnya lemah, bahkan ketika membantu papanya berjalan ia hampir saja jatuh, tapi ketika ia mengumpulkan mayat-mayat dan mulai menggali lubang untuk makam mereka, tu- buhnya tidak merasa letih sedikit pun. Malah semakin ia bersemangat, semakin bertambah pula tenaganya.

Bongkap yang duduk bersandar di bawah sebuah pohon menyaksikan putrinya sedang bekerja keras menggali tanah dengan tatapan mata yang takjub.

Sungguh tak sia-sia aku merawat, menyayangi dan mendidiknya. Karena dia sekarang telah tumbuh men- jadi seorang gadis remaja yang mempunyai pendirian yang kuat. Sungguh aku bangga terhadap putriku sendiri! Gumam hati Bongkap sambil terus meman- dang putrinya yang masih bekerja keras menggali ta- nah.

Tanpa merasakan letih sedikit pun, Bong Mini terus menggali tanah. Tapi karena usaha penggaliannya ma- sih terlalu lama untuk mencapai kedalaman yang di- harapkan, ia pun menjadi tidak sabar. Lalu ia meng- ambil pedangnya sendiri dan mulai menggali tanah lagi dengan dua pedang. Ketika ia hendak menggerakkan Pedang Teratai Merahnya, tiba-tiba pedang itu lepas dari genggaman Bong Mini. Kemudian ia bergerak sen- diri untuk menggali tanah dengan kecepatan yang luar biasa. Saking cepatnya hingga menimbulkan angin kencang di sekitarnya, membuat tanah galian itu ber- hamburan lalu menumpuk di sekitar mulut lubang yang sudah tergali dalam.

Melihat kejadian pedang itu, bukan saja Bong Mini yang merasa takjub, Bongkap pun terbelalak kaget! Tanpa berkedip, matanya terus mengawasi Pedang Te- ratai Merah yang memiliki kesaktian itu.

Bong Mini tersadar dari ketercengangannya. Kemu- dian ia segera mengangkat mayat yang telah terkum- pul satu persatu dan memasukkannya ke dalam lu- bang. Sedangkan Pedang Teratai Merah terus mem- buat galian yang baru sebanyak tiga lubang.

Bong Mini telah selesai menimbun mayat-mayat yang sudah berada di dalam lubang. Kini empat gun- dukan besar terlihat di halaman rumahnya yang po- rak-poranda.

“Maafkan aku yang terlambat datang, sehingga ti- dak sempat membantu kalian dalam pertempuran!” ucap Bong Mini setengah berbisik. Tubuhnya berdiri menghadap empat kuburan besar. Sedangkan dari ke- dua matanya tampak air mata berurai membasahi ke- dua pipinya yang terlihat letih dan lusuh.

Bongkap, yang sejak tadi memperhatikan tingkah anaknya dari kejauhan, menjadi terharu mendengar ucapan Bong Mini tadi. Dengan susah-payah ia beru- saha bangkit dan melangkah menuju tempat putrinya berlutut di hadapan salah satu gundukan. Di sana dia berdiri di belakang putrinya dengan kedua matanya yang berkaca-kaca.

Suasana hening beberapa saat. Hanya desir angin senja mengusik lembut, membelai rambut bapak dan anak itu.

Setelah lama terpaku di depan makam para pen- gawal yang telah gugur, Bongkap dan Bong Mini me- langkah gontai meninggalkan rumah mereka. Matahari telah tersungkur ke tempat persembunyiannya. Alam yang semula terang-benderang, kini ditelan kegelapan. Membuat rumah-rumah penduduk dan pepohonan be- rubah menjadi bayang-bayang hitam. “Papa bisa bertahan?” tanya Bong Mini seraya me- lingkarkan tangan Bongkap ke bahunya untuk mem- bantu papanya berjalan. Sengaja ia tidak menolong mengobati luka Bongkap karena yakin akan kemam- puan papanya untuk mengobati sendiri.

“Aku baik-baik saja!” sahut Bongkap. Sesungguh- nya ia sendiri dapat berjalan tanpa bantuan Bong Mini. Tapi sengaja hal itu tidak dilakukan karena ia merasa rindu terhadap putri kesayangannya yang menghilang sekian lama.

Hening kembali. Hanya jangkrik saja yang mulai ramai bernyanyi. Ditingkahi oleh senandung katak. Se- hingga lengkaplah kesunyian yang melingkupi malam itu.

Bong Mini dan Bongkap terus berjalan menembus kegelapan. Tanpa terasa keduanya telah jauh mening- galkan rumah mereka yang telah porak-poranda.

“Kita istirahat di sini!” usul Bongkap ketika kedua- nya telah sampai di tengah Hutan Lodan.

Bong Mini menurut. Kemudian keduanya mengam- bil tempat yang agak nyaman untuk beristirahat

“Aku ingin mencari kayu bakar dulu!” cetus Bong Mini.

“Jangan lama-lama!” kata Bongkap.

Bong Mini mengangguk sambil tersenyum. Kemu- dian ia segera melangkah untuk mencari kayu bakar. Diikuti pandangan mata papanya yang masih menyim- pan kerinduan.

Tidak begitu lama Bongkap menunggu, Bong Mini muncul dengan membawa setumpuk kayu bakar. Ke- mudian kayu-kayu bakar itu disusun untuk api un- ggun. Setelah itu Bong Mini segera menyulutnya. Per- lahan keadaan di sekeliling mereka yang sebelumnya gelap berubah terang. Api unggun yang bergerak di udara seperti lambaian tangan penari, menerangi wa- jah keduanya sekaligus menghangatkan mereka.

Dalam jilatan cahaya api unggun, Bong Mini tam- pak membersihkan wajah papanya dari bercak darah yang mulai mengering. Dibersihkan darah kering itu dengan menggunakan daun-daun basah yang sempat ditimpa hujan sebelumnya. Ketika darah kering telah terkelupas, ia membasuh wajah Bongkap dengan menggunakan selendang kuning miliknya yang diambil dari pundaknya.

“Putriku. Coba ceritakan bagaimana kau bisa terle- pas dari cengkeraman orang-orang Perguruan Topeng Hitam?” tanya Bongkap ketika wajahnya telah diber- sihkan.

Bong Mini mengambil tempat duduk yang lebih nya- man di samping papanya. Kemudian ia menceritakan pengalamannya selama berpisah dengan Bongkap. Da- ri pertama ia dibawa oleh Ketua Pasukan Perguruan Topeng Hitam sampai berada di kediaman Kanjeng Rahmat Suci.

Bongkap termangu-mangu mendengar kisah putri- nya. Hatinya bersyukur bahwa Bong Mini selamat dari cengkeraman orang-orang Perguruan Topeng Hitam.

“Sekarang, aku ingin mendengar cerita Papa, kena- pa keadaan Papa menjadi demikian?” Bong Mini balik bertanya. Karena sejak tadi, hal tersebut yang meng- ganjal hati, hingga membuatnya sedih.

Bongkap menghela napas berat. Sorot matanya tampak kosong memandang ke arah api unggun yang bergoyang-goyang tertiup angin.

“Mereka adalah sekelompok bajak laut dari negeri Lanoa yang berkeliaran di pesisir Selat Malaka. Di selat itu, mereka melakukan pembajakan terhadap nelayan- nelayan, sehingga para nelayan segan melintasi Selat Malaka lagi karena kawasan itu telah dikuasai me- reka!” jabar Bongkap. Kemudian ia menceritakan se- pak-terjang para bajak laut yang selalu melakukan pe- rampokan terhadap para nelayan yang berlayar di Se- lat Malaka. Termasuk menjarah harta dan wanita- wanita muda yang tinggal di sekitar kawasan itu.

“Kemudian aku memerintahkan seluruh pengawal untuk memberantas gerakan mereka yang merugikan rakyat. Tapi tidak ada kabar berita dari mereka sampai sekelompok bajak laut itu menyerang dan membantai sebagian pengawal dan orang-orang yang sedang berla- tih silat di rumah!” tutur Bongkap, mengakhiri ceri- tanya.

“Siapa sebenarnya para pembajak itu, Papa?” tanya Bong Mini.

“Mereka menamakan dirinya Iblis Pulau Neraka, ka- rena mereka tinggal di Pulau Neraka, sebelah barat Se- lat Malaka!” sahut papanya.

“Papa tahu pemimpin mereka?” Bongkap menggelengkan kepala.

“Kita harus membuat perhitungan!” geram Bong Mini. Rahang gadis cantik itu mengeras bersama geme- letuk giginya.

“Tentu saja, Putriku. Tapi tidak sekarang. Aku me- merlukan waktu untuk memulihkan kesehatanku!” sa- hut Bongkap.

“Selama Papa beristirahat, biar aku yang akan me- numpas iblis-iblis keparat itu!” ujar Bong Mini. Sua- ranya masih terdengar geram, dihela kegusaran untuk secepatnya membabat habis para perampok dan mem- bantai orang-orangnya.

“Kau tak akan mampu, Putriku. Mereka terlalu ku- at!” sergah Bongkap, menyangsikan kemampuan Bong Mini. “Kalau dipikir, tidak ada manusia yang paling kuat atau paling hebat, Pa. Sebab di antara yang kuat ma- sih ada yang lebih kuat. Sehebat-hebatnya manusia, masih ada yang lebih hebat lagi. Di atas langit masih ada langit! Kita tidak punya daya dan kekuatan apa- apa bila Yang Menguasai diri kita tidak menggerak- kannya!” sahut Bong Mini dengan semangat berapi-api.

“Siapa Yang Menguasai diri kita itu, Putriku?” “Tuhan Yang Maha Kuasa!” tegas Bong Mini. Bongkap tercengang mendengar jawaban Bong Mini.

Dia tidak mengira kalau putrinya telah mengalami ke- majuan yang cukup pesat. Terutama cara berpikirnya.

Di saat mereka sedang asyik bercakap-cakap, tiba- tiba terdengar derap langkah kuda dari depan.

“Ada dua orang menuju kemari, Papa!” bisik Bong Mini.

“Ya. Kita harus siap-siap menghadapi jika mereka hendak berniat jahat!” timpal Bongkap seraya berusa- ha bangkit. Namun tubuhnya kembali roboh lalu ter- sandar di sebatang pohon. Pahanya masih terasa sakit karena dua peluru yang menembusnya belum sempat dikeluarkan.

“Papa tenang saja di sini. Aku yang akan mengha- dapi kedua orang itu!” sergah Bong Mini, menenang- kan Bongkap. Kemudian ia bangkit untuk bersiap-siap menyambut kedatangan dua penunggang kuda itu.

“Tuan Bongkap, benarkah Tuan di situ?!” tiba-tiba salah satu penunggang kuda berteriak ke arah mereka.

Bongkap dan Bong Mini tercekat kaget. Mereka kenal betul suara orang itu.

“Apakah kau Ashiong?!” balas Bong Mini untuk me- nguatkan dugaannya. Sedangkan matanya meman- dang lurus ke arah dua penunggang kuda yang mulai mendekat ke arah mereka. “Benar. Aku Ashiong dan Sang Piao!” sahut suara itu lagi. Setelah berkata begitu, keduanya telah berada di hadapan Bong Mini dan Bongkap. Kemudian mereka meloncat dari punggung kuda dan memberi hormat kepada Bongkap.

“Kami baru saja dari rumah Tuan, tapi betapa ter- kejutnya aku ketika melihat rumah Tuan hancur. Le- bih terkejut lagi ketika kulihat empat makam besar di halaman rumah. Sedangkan Tuan sendiri tidak ada di tempat itu. Apa sebenarnya yang terjadi, Tuan?” tanya Ashiong dengan nada suara prihatin dan tatapan sedih melihat keadaan raja yang dicintainya.

Bongkap tidak segera menjawab. Hanya kedua ma- tanya saja yang mencorong tajam memandang dua pe- ngawal setianya secara bergantian.

“Cerita kalian sendiri bagaimana hingga selamat se- perti ini?” Bongkap balik bertanya. Ia sungguh tidak percaya melihat dua pengawal setia yang diandalkan itu masih hidup dan kini dapat menyertainya.

“Kami berdua menyelamatkan diri setelah seluruh pasukan tewas!” sahut Sang Piao menjelaskan.

“Kenapa kalian begitu tega meninggalkan mayat- mayat teman sendiri?” tanya Bong Mini.

“Dua orang melawan pasukan tangguh yang demi- kian banyak, sama artinya melakukan bunuh diri!” sa- hut Sang Piao.

Bong Mini mengangguk-angguk.

“Apa rencana kita selanjutnya?” tanya Sang Piao la-

gi.

“Untuk sementara waktu, kalian harus menyela-

matkan papaku ke tempat yang lebih aman agar dapat beristirahat dengan baik. Sedangkan masalah Iblis Pu- lau Neraka, biar aku yang akan membereskan!” sahut Bong Mini mewakili papanya. “Bagaimana mungkin Putri menghadapi mereka sendirian?” sergah Sang Piao ragu.

Bong Mini tersenyum melihat sikap dua pengawal setia Bongkap yang meragukan kemampuannya. Ia sendiri sebenarnya bukan karena merasa memiliki ke- saktian sehingga berani menyatakan itu, tetapi karena dendamnya terhadap kejahatan orang-orang Iblis Pu- lau Neraka yang telah membantai para pengawal dan prajurit papanya.

“Sudahlah! Lihat bagaimana nanti saja. Saat ini yang harus kita pikirkan adalah mencari tempat per- istirahatan papa!” kata Bong Mini tanpa mau banyak cakap lagi.

“Apakah kita harus mencarinya malam ini juga?” ta- nya Sang Piao.

“Sebaiknya memang begitu. Udara malam ini ku- rang baik untuk kesehatan papaku!” sahut Bong Mini.

“Aku pikir juga begitu!” celetuk Ashiong.

“Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang!” usul Sang Piao.

Bong Mini dan Ashiong segera menghampiri papa- nya yang terlihat mulai letih. Kemudian mereka mem- bantu Bongkap berjalan menuju kuda. Di punggung kuda, Bongkap ditemani oleh Bong Mini. Sedangkan Sang Piao bersama Ashiong.

Tidak lama kemudian mereka pun segera mening- galkan api unggun yang sudah menjadi arang, lalu menembus kegelapan malam.

*** 3

Siang itu langit tampak cerah. Matahari bersinar gencar, seakan hendak menyingkap gerombolan awan yang berusaha menutupi cahayanya. Angin panas ber- hembus semilir, merontokkan daun-daun pepohonan yang sudah kering.

Di bawah terpaan sinar matahari yang menyengat, dua ekor kuda tampak berjalan lambat. Sedangkan di masing-masing punggung kuda itu duduk dua orang gagah. Tiga laki-laki dan seorang perempuan remaja. Usia remaja itu sekitar delapan belas tahun. Bermata sipit dan bertubuh mungil. Rambutnya yang panjang dikepang dua. Sedangkan rambut bagian atasnya di- kucir dengan bentuk seperti bunga mengembang dan bagian belakangnya dibiarkan tergerai bebas.

Keempat orang tersebut tidak lain Bong Mini, Bong- kap, Ashiong dan Sang Piao. Mereka baru saja sampai di Kampung Dukuh, setelah semalaman mencari ru- mah untuk beristirahat. Wajah mereka tampak kuyu karena belum sempat tidur.

Di saat mereka menghentikan langkah kuda di kampung yang jarang penduduknya itu, tiba-tiba me- reka mendengar jeritan perempuan meminta tolong. Dengan sigap mereka bergegas menuju asal suara yang ternyata berasal dari sebuah gubuk tua.

Tanpa menunggu komando lagi, Ashiong dan Sang Piao segera melompat dari punggung kuda lalu mendo- brak pintu yang tertutup itu.

Brakkk!

Pintu terkuak keras. Empat lelaki bertubuh tinggi kekar yang berada di dalam tampak terkejut. Mereka serentak menoleh ke arah pintu. “Lelaki pengecut yang hanya berani mengganggu wanita!” maki Ashiong dengan nada geram. Sorot ma- tanya menusuk tajam ke arah empat lelaki bertubuh kekar itu. Ashiong tahu betul, siapa mereka.

Keempat lelaki itu tidak lain para pengikut Perkum- pulan Iblis Pulau Neraka. Mereka bernama Inggang, Danu, Sadewo, dan Rebek. Mereka datang ke tempat itu hendak melakukan penjarahan barang-barang mi- lik rakyat serta mengganggu kaum wanita yang masih muda seperti saat itu mereka lakukan terhadap wanita yang berada di dalam gubuk.

“Monyet buduk! Berani benar kau mengganggu ke- senangan orang!” geram lelaki yang bernama Inggang. Dia berperawakan tinggi besar dan kasar. Kulitnya hi- tam mengkilat dengan rambut ikal panjang tak ter- urus, berikat kepala merah. Matanya besar kemerah- merahan dengan kumis tebal melintang. Membuat o- rang gentar melihat penampilannya. Sedangkan cela- nanya model pangsi dan berbaju koko merah yang kancingnya dibiarkan terbuka, seakan memamerkan bulu dadanya yang hitam lebat.

“Sebuah keasyikan yang menjijikkan dan harus di- musnahkan!” sahut Ashiong tak kalah geram.

“Setan kurap! Rasakan pukulanku ini!” tuntas ber- kata begitu, Inggang langsung menyerang Ashiong de- ngan penuh nafsu. Begitu pula ketiga temannya yang lain. Mereka segera mengeroyok Sang Piao.

Ashiong dan Sang Piao cepat melompat ke belakang agar perkelahian tidak merusakkan rumah tua itu. Se- dangkan gadis remaja yang sudah robek-robek baju- nya, dengan wajah ketakutan bergeser ke sudut kamar sambil menutupi bagian tubuhnya yang terbuka.

Sementara itu, Bong Mini yang masih menjaga tu- buh lemah papanya, tetap duduk di punggung kuda sambil menyaksikan pertempuran antara Ashiong dan Sang Piao melawan keempat lelaki itu. Sengaja dia ti- dak turun tangan karena yakin kalau dua pengawal kepercayaan papanya itu dapat menjatuhkan keempat lawan mereka.

Menyadari pukulan tangan kosongnya luput dari sasaran, Inggang segera mencabut golok yang terselip di pinggangnya. Dengan nafsu yang membukit, ia se- gera merangsek ke arah lawan sambil menyabet-nya- betkan pedangnya.

Wut wut wuttt!

Senjata lelaki bertubuh kasar dan berwajah bengis itu menyambar-nyambar tubuh Ashiong dengan cepat. Terkadang golok yang digunakan untuk menyerang itu memancarkan pantulan sinar matahari.

Trang!

Kali ini Ashiong menangkis serangan lawan dengan pedang. Bunga api memercik ketika dua senjata me- reka beradu dengan keras.

Pertempuran berlangsung sengit. Ashiong dan Sang Piao masing-masing menghadapi dua lawan bersenjata golok. Dalam pertempuran itu mereka sama-sama hen- dak mengungguli kehebatan lawannya. Itu sebabnya mereka tak sungkan-sungkan lagi mengerahkan tena- ga dalam pada tangan yang menggenggam senjata. Aki- batnya mereka selalu merasa kesemutan bila terjadi benturan senjata.

Sementara itu, di punggung kuda, Bong Mini dan Bongkap tetap menyaksikan pertempuran itu dengan tatapan takjub melihat serangan dan tangkisan yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Mereka menilai ka- lau empat orang dari Perkumpulan Iblis Pulau Neraka itu jelas telah menguasai ilmu permainan golok. Ter- bukti dari serangan-serangan mereka yang begitu gen- car dan cepat. Terkadang golok mereka berputar-putar seperti baling-baling kapal.

Ashiong dan Sang Piao pun tidak mau kalah. Me- reka yang menguasai ilmu pedang sejak di negeri Man- churia, melakukan gerakan yang sama hebatnya, me- ngimbangi kehebatan lawan. Bahkan lewat jurus ‘Pe- dang Samber Nyawa’, senjata di genggaman kedua le- laki itu berkelebat kian kemari dengan dahsyat. Dan saking cepatnya, pedang itu seolah-olah lenyap. Hanya suitan-suitan angin saja yang terdengar menyambar- nyambar ke arah lawan.

Breb!

Ujung pedang Ashiong yang mengarah ke tubuh pa- ra lawan dengan gerakan menusuk, menembus tubuh Rebek. Seketika itu juga darah terpercik bersamaan dengan limbungnya tubuh orang itu. Ketika ia menarik pedangnya dari tubuh Rebek, pengikut Perkumpulan Iblis Pulau Neraka itu langsung ambruk tanpa dapat bergerak lagi.

Melihat temannya mati bersimbah darah, wajah In- ggang tampak merah menegang. Sorot matanya berbi- nar-binar merah. Seiring dengan darahnya yang bergo- lak panas menerobos sekujur tubuhnya. Sehingga pa- da saat itu juga tubuhnya telah melompat menerjang ke arah Ashiong dengan permainan golok yang se- makin gila.

“Hiaaat!”

Wut wut wuttt!

Teriakan melengking yang disusul oleh deruan golok terdengar, mengagetkan Ashiong. Namun dengan ce- pat, Ashiong menghindari serangan lawan dengan ge- rakan melompat setinggi tiga meter. Tubuhnya berpu- tar di udara lalu hinggap di atas tanah yang jaraknya sepuluh meter dari tempat lawan berdiri. Di lain pihak, Sang Piao tampak tengah mengimba- ngi jurus-jurus dua lawannya dari Iblis Pulau Neraka. Bahkan gerakannya kini begitu cepat melebihi gerakan lawannya. Sampai suatu saat ujung pedangnya sempat menggores bahu Sadewo, salah seorang lawan.

Bret!

Sadewo terpekik kaget. Tangan kirinya langsung memegang bahu kanan yang terluka dan mengelua- rkan darah.

“Bangsat!” dengus orang itu. Kemudian tubuhnya bergerak menyerbu lawannya dengan mata berkilat- kilat serta napas yang memburu hingga ia hilang kon- trol. Akibatnya? Ujung pedang Sang Piao menancap ke perutnya. Ia terpekik kesakitan. Tubuh Sadewo am- bruk ke tanah. Menggeliat-geliat sebentar lalu diam tanpa nyawa lagi.

Melihat Sadewo ambruk bersimbah darah, Danu yang turut menyerang Sang Piao menjadi ciut hatinya. Kemudian tubuhnya segera melompat dan lari mening- galkan ajang pertempuran itu. Kini tinggal Inggang yang masih melayani ketangguhan Ashiong. Tapi ia pun mulai gentar menghadapi lawannya. Apalagi keti- ka melihat temannya tunggang-langgang melarikan di- ri. Konsentrasinya buyar dan serangannya pun menja- di kacau.

Keadaan seperti itu, tentu saja sangat menyenang- kan Ashiong. Tanpa membuang waktu lagi ia segera menghujamkan pedangnya ke arah lawan.

Wut wut wuttt!

Gagal. Namun segera disusul dengan sebuah ten- dangan lurus ke dada lawan dengan cara memutar tu- buhnya terlebih dahulu.

“Hegh!”

Inggang terpekik pendek saat tubuhnya membentur batu yang cukup besar akibat dorongan kaki lawan yang tepat mengenai dadanya. Sebelum ia membalik- kan tubuh, Ashiong telah berdiri di dekat kepalanya. Dan tanpa banyak cakap lagi, kakinya menjejak keras di dada lawan yang masih telentang itu.

“Aaakh...!”

Pekik kematian meluncur dari mulut Inggang. Da- rah kehitam-hitaman keluar dari mulutnya ketika kaki Ashiong menghantam dadanya. Kemudian ia mati de- ngan sepasang mata yang melotot serta lidah yang menjulur mengerikan!

Sepi.

Tak ada lagi teriakan atau denting senjata.

Ashiong dan Sang Piao menatap tiga tubuh lawan yang bermandi darah dengan tatapan mata puas ka- rena telah dapat mengakhiri sepak-terjang mereka yang selalu membuat teror bagi penduduk kampung. Walaupun masih banyak bajingan lain di samping me- reka. Termasuk Ketua Perkumpulan Iblis Pulau Nera- ka.

Saat mereka terpaku memandangi tiga mayat yang bergeletakan, tiba-tiba muncul gadis yang hendak di- perkosa oleh empat lelaki dari Perkumpulan Iblis Pulau Neraka tadi. Dia seorang gadis pribumi berumur kira- kira delapan belas tahun, seumur dengan Bong Mini. Wajahnya cantik, berhidung mancung dengan dua biji matanya yang bundar gemerlap. Kulitnya langsat de- ngan rambut bergelombang yang panjang terurai.

“Terima kasih atas pertolongan kalian!” hatur gadis itu dengan suara yang berdesah basah.

Ashiong dan Sang Piao hanya membalas ucapan itu dengan senyuman dan anggukan lembut. Sedangkan mata mereka tak henti-hentinya memandang kecanti- kan gadis itu. Kemudian mereka saling menoleh seraya mengerlingkan mata masing-masing dengan bibir ter- senyum. Lalu dengan serempak keduanya mendekati gadis cantik itu.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Ashiong dan Sang Piao bersamaan dengan sikap yang saling mendahului se- perti orang yang berebut perhatian.

Gadis cantik yang mempunyai sepasang mata ber- binar-binar itu tersenyum kemayu.

“Aku baik-baik saja. Tapi....!” sahut gadis itu tidak dilanjutkan.

“Tapi apa?” kembali pertanyaan mereka berbare- ngan. Sehingga sekali lagi mata keduanya saling mena- tap dengan hati kesal.

“Orang-tuaku!” sahut gadis itu pendek.

“Ada apa dengan orang-tuamu?” kali ini Sang Piao dapat mendahului.

“Mereka dibunuh oleh iblis-iblis jahanam itu,” lirih gadis itu dengan wajah murung. Air matanya mulai merembes membasahi kedua lekuk-lekuk pipinya yang lembut kekuning-kuningan.

Ashiong dan Sang Piao tertegun beberapa saat. Ke- duanya saling berpandangan. Lalu seperti ada yang memberi komando, keduanya melangkah masuk me- nuju tempat di mana kedua orang-tua gadis itu ber- ada. Diikuti oleh sang gadis.

Bong Mini yang sejak tadi menyaksikan tingkah ke- dua pengawal setia papanya tampak tersenyum-se- nyum.

“Kasihan mereka. Seharusnya dalam usia mencapai tiga puluh tahun mereka sudah kawin!” ucap Bongkap yang juga menyaksikan tingkah laku kedua pengawal- nya.

“Tapi mereka seperti tidak memikirkan itu!” kata Bong Mini. “Mana mungkin bisa terpikir oleh mereka. Setiap hari mereka selalu dihadapkan pada pedang, golok, dan bau amis darah!” sahut Bongkap.

Bong Mini tertegun. Diam-diam hatinya merasa ka- sihan juga kepada dua pengawal papanya yang selalu bergelut dengan perang, sehingga mengabaikan kepen- tingannya sendiri. Meski itu merupakan perbuatan yang terpuji dengan mendahulukan kepentingan orang banyak dan mengesampingkan kepentingan pribadi.

“Kita turun, Papa?” usul Bong Mini.

Bongkap menjawab dengan anggukan kepala.

Tubuh Bong Mini segera meloncat dari punggung kuda terlebih dahulu. Setelah itu, baru papanya diban- tu turun. Kemudian mereka melangkah beriringan ke dalam gubuk tua itu.

Beberapa saat keduanya terdiam ketika mendengar isak tangis gadis tadi. Sedangkan di hadapannya ter- bujur dua mayat yang sudah kaku membiru. Tentu mereka orang-tua sang gadis.

“Sekarang aku tidak punya siapa-siapa lagi. Dan aku tidak mungkin tinggal di gubuk ini sendirian!” ucap sang gadis di sela isak tangisnya.

Keempat orang di sekitarnya menoleh ke arahnya dengan penuh rasa iba.

Ashiong mengalihkan pandangannya ke arah Bong- kap. “Tuan! Bagaimana kalau kita beristirahat di sini saja sekalian menemani gadis ini agar tidak merasa kesepian?” usulnya.

Mata Bongkap dan Bong Mini saling berpandangan.

Kemudian mereka tersenyum penuh arti.

“Apa yang dikatakannya sungguh baik. Aku sangat menyetujui. Daripada aku sendirian lalu akan menjadi sasaran empuk manusia-manusia iblis tadi!” gadis itu menyahut menyetujui. “Kalau memang demikian, baiklah. Aku menyetujui usulmu, Ashiong!” sahut Bongkap sambil memandang pengawalnya itu.

Ashiong yang memang sudah bersimpati terhadap gadis itu menjadi senang hatinya. Ia pun tersenyum ketika rajanya menyetujui usul yang diajukan tadi.

***

Setelah menguburkan kedua orang-tua gadis itu, mereka mengambil tempat duduk di ruang depan de- kat pintu untuk melanjutkan percakapan.

“Siapa namamu, Nak?” tanya Bongkap dengan tata- pan iba.

“Ratih Purbasari!” sahut sang gadis.

Bongkap mengangguk-angguk sambil menatap haru pada gadis yang duduk di depannya.

“Paman siapa?” Ratih balik bertanya.

“Namaku Bongkap!” sahut Bongkap. “Dan ini Bong Mini, putriku!” lanjut Bongkap, memperkenalkan pu- trinya.

Ratih Purbasari tampak tersentak kaget mendengar nama itu. Ia merasa pernah mendengar tentang diri Bongkap. Bukan saja dari orang banyak, tetapi juga dari orang-tuanya di kala mereka masih hidup.

“Kalau begitu, Paman seorang raja!” cetus gadis itu seraya membenarkan letak duduknya untuk memberi hormat kepada Bongkap dan Bong Mini.

Bongkap tersenyum melihat perubahan sikap Ratih yang begitu mendadak.

“Kenapa tiba-tiba kau merubah sikap?”

“Karena Paman seorang raja!” sahut Ratih dengan sikap yang hormat.

“Bersikaplah seperti biasa sebagaimana kala perta- ma tadi kau belum mengenalku!” “Aku tidak berani, Tuan!” sahut Ratih, tetap bersi- kap hormat

“Kenapa?” tanya Bongkap. Keningnya berkerut “Seperti yang kukatakan tadi, Tuan adalah seorang

raja yang harus dihormati!”

“Aku menyukai kalau kau tetap memanggilku de- ngan sebutan paman, sekaligus bersikap kepadaku se- bagaimana seorang keponakan terhadap pamannya,” kata Bongkap.

Ratih Purbasari menatap wajah lelaki setengah baya itu dan berkata dengan sikap yang sungguh-sungguh, namun tetap ramah dan halus. “Tuan! Waktu kedua orang-tuaku masih hidup, mereka selalu memperingat- kan agar aku selalu menghormati orang-tua dan selalu ingat akan tatakrama serta berlaku sopan santun. Ka- rena sekarang aku telah mengetahui bahwa Tuan seo- rang raja, maka sudah semestinya kalau aku bersikap hormat dan memanggil dengan sebutan Tuan!”

Bongkap memandang gadis itu dengan terkagum- kagum. Namun demikian, dia mencoba memancing ucapan Ratih kembali.

“Engkau terlalu memegang peraturan, Ratih!”

Ratih Purbasari tersenyum. Sikapnya tetap tenang, halus, dan sopan. “Tuan, manusia di dunia ini tidak bisa lepas dari peraturan. Bila manusia hidup tanpa peraturan, tentu kehidupan ini akan menjadi liar, se- hingga tidak berbeda dengan kehidupan binatang. Maaf, Tuan, jika aku terlalu lancang berbicara!”

Beberapa saat ruangan itu diisi kesenyapan. Bongkap, Bong Mini, dan dua pengawal setianya sa-

ling berpandangan dengan wajah tercengang. Kemu- dian mereka mengalihkan pandangan kepada Ratih Purbasari dengan sinar mata terkagum-kagum. Mereka tidak menyangka kalau gadis lembut yang agak pema- lu itu mempunyai pandangan yang demikian arif. “Ratih Purbasari!” cetus Bong Mini tiba-tiba. “Apa

yang kau katakan tadi memang benar. Hidup, memang akan menjadi kacau bila tanpa peraturan. Namun, bila kita terlalu memegang peraturan pun hidup ini akan menjadi kaku. Menurutku, di dalam segala macam hal harus diperlukan kebijaksanaan. Dengan kebijaksa- naanlah manusia akan selalu dapat melakukan per- timbangan-pertimbangan, mana yang baik, mana yang buruk. Mana yang benar, atau tidak,” tutur Bong Mini mengemukakan pendapatnya mengambil jalan tengah.

Kalau tadi Bongkap, Ashiong, dan Sang Piao terke- jut mendengar ucapan Ratih Purbasari, kini mereka tercengang pula mendengar kata-kata Putri Bong Mini. Kata-katanya pun mengandung kebenaran pula.

“Lalu selanjutnya bagaimana?” tanya Ratih.

“Ratih Purbasari. Karena aku telah menganggapmu sebagai putriku, itu pun jika kau setuju, maka lebih baik jika kau memanggilku dengan sebutan paman, bagaimana?” kata Bongkap.

“Aku sangat gembira sekali mendengar ketulusan Tuan untuk mengangkatku sebagai anak. Dan jika Tuan memang menghendaki agar aku tetap memanggil dengan sebutan paman, aku pun akan menuruti. Se- bab aku telah menjadi anak angkat Tuan!” sahut Ratih Purbasari dengan sikap yang masih tetap halus dan lembut.

“Nah, begitu... Aku menjadi senang mendengarnya!” ucap Bongkap sambil tersenyum. “Sekarang, aku akan memperkenalkan kepadamu dua pengawalku ini. Yang sebelah kananmu itu bernama Ashiong sedangkan yang di sebelah kirimu bernama Sang Piao. Kedua- duanya masih lajang. Tinggal kamu pilih salah satu di antara mereka!” ujar Bongkap, setengah bergurau. “Ah, Paman ada-ada saja!” sergah Ratih dengan se- ulas senyum malu. Wajahnya mendadak merah me- rona. Sementara yang lainnya tersenyum cerah, seo- lah-olah tidak pernah terjadi apa-apa terhadap diri me- reka. Bahkan Bongkap yang tadi merasakan sakit di bagian pahanya, mendadak hilang karena terbawa oleh suasana gembira.

***

4

Pulau Neraka berada di sebelah barat Selat Malaka. Tempatnya sunyi. Penuh dengan pepohonan besar yang menjulang tinggi. Binatang buas banyak berkelia- ran di pulau itu. Apalagi bila malam telah merambah, lolongan srigala lapar, desisan ular serta raungan ha- rimau kerap terdengar di sana. Sehingga tak seorang pun berani datang ke pulau itu, apalagi untuk men- diaminya.

Setelah sekian lama Pulau Neraka tak berpenghuni, datanglah sekelompok bajak laut yang berasal dari ne- geri Lanoa. Mulanya mereka berlayar untuk melaku- kan pembajakan terhadap perahu-perahu nelayan dan kapal para saudagar yang melintasi Selat Malaka.

Suatu hari, ketika para pembajak itu beristirahat di Pulau Neraka, mereka terkesan terhadap keadaan pu- lau tersebut. Selain tak berpenghuni, juga karena ba- nyak ditumbuhi oleh pepohonan yang besar dan lebat. Benar-benar merupakan tempat yang sangat aman se- bagai persembunyian atau tempat tinggal tetap mere- ka. Akhirnya mereka menjadikan tempat itu sebagai markas para bajak laut. Di sana mereka membuat perkumpulan dengan na- ma Iblis Pulau Neraka. Sebuah perkumpulan yang ter- diri dari tokoh-tokoh sesat yang bukan saja datang da- ri negeri Lanoa, tetapi juga dari wilayah setempat. Me- reka bergabung dengan satu tekad, menguasai dan memeras rakyat.

Perkumpulan Iblis Pulau Neraka dipimpin oleh seo- rang penduduk asli negeri Lanoa yang hijrah ke pulau tersebut. Dia bernama Gonggo Gung. Tubuhnya besar berotot dengan tinggi sekitar seratus tujuh puluh lima senti meter. Tubuhnya hitam berkilat. Berbibir tebal dengan hidung besar dan agak pesek. Sedangkan sepa- sang matanya kelihatan merah menyala. Sehingga tak seorang pun mampu lama-lama bertatapan mata de- ngannya. Dia berjubah merah yang panjangnya seba- tas lutut. Umurnya sekitar empat puluh tahun.

Sebagaimana biasanya siang itu, para pengikut Iblis Pulau Neraka baru terbangun dari tidurnya, termasuk Gonggo Gung. Dan seperti biasa pula, setiap bangun tidur mereka berhadapan dengan arak. Bahkan minu- man ini bisa dikatakan sebagai minuman pokok bagi Perkumpulan Iblis Pulau Neraka. Sehari saja mereka tak bertemu dengan arak, maka seharian itu pula me- reka tidak bergairah. Oleh karena itu setiap hari Gong- go Gung selalu memerintahkan beberapa ketua pasu- kannya untuk mencari dan mengumpulkan arak.

“Untuk beberapa hari ini, kalian tidak perlu lagi me- lakukan pembajakan di laut. Selain pelayaran sepi, ju- ga harta yang kita peroleh dari rampasan tangan Bongkap cukup untuk kebutuhan kita dalam waktu beberapa lama!” kata Gonggo Gung saat berkumpul dengan anak buahnya sambil menikmati arak dan buah-buahan.

Wajah anak buahnya kelihatan berseri mendengar ucapan Gonggo Gung. Dengan begitu, mereka bisa ber- senang-senang lebih lama tanpa harus bekerja keras lagi.

“Tapi walaupun begitu, kita akan mendapatkan pe- kerjaan baru yang lebih penting lagi!” tambah Gonggo Gung membuat anak buahnya yang sebelumnya ber- seri-seri berubah tegang.

“Pekerjaan apa itu, Ketua?” celetuk seorang anak buahnya yang sudah setengah mabuk.

“Melakukan penyerangan terhadap Perguruan To- peng Hitam!”

“Perguruan Topeng Hitam?” gumam beberapa orang anak buahnya.

“Ya. Karena sekarang ini yang paling ditakuti dan tengah berkuasa di negeri ini adalah Perguruan Topeng Hitam. Sehingga kalau kita mampu membasmi me- reka, maka dalam waktu sekejap, negeri ini akan jatuh ke tangan kita!”

“Itu masalah mudah, Ketua. Bongkap dan pengikut- nya saja bisa kita habisi nyawanya, apalagi Perguruan Topeng Hitam!” sahut salah seorang anak buahnya.

“Tapi Perguruan Topeng Hitam mempunyai anak buah yang demikian banyak dan kepandaian yang tak bisa dianggap remeh!” ucap Gonggo Gung, menje- laskan kepada anak buahnya yang belum tahu benar tentang Perguruan Topeng Hitam yang sekarang ber- kuasa di negeri Selat Malaka.

“Jumlah kita pun sangat banyak. Ditambah lagi dengan persenjataan kita yang lengkap. Maka dalam waktu sekejap, perguruan itu akan hancur seperti nasib Bongkap dan pengikutnya!” sela seorang anak buahnya yang lain.

“Benar, Ketua. Serahkan saja semuanya pada kami, maka semuanya akan beres!” celetuk seorang anak buahnya lagi.

Belum sempat Gonggo Gung menyahuti ucapan a- nak buahnya, tiba-tiba muncul empat belas anak buah lain yang diperintahkan untuk menangkap seorang pe- muda yang memiliki baju berlukis naga emas di bagian kanan dadanya.

“Mana anak muda itu?” tanya Gonggo Gung datar. “Gagal!” lapor Jarot yang menjadi pemimpin pasu-

kan.

“Maksudmu?” tanya Gonggo Gung sambil berdiri angker.

“Pemuda itu melarikan diri setelah membunuh dua teman yang lain!” sahut Jarot menjelaskan.

“Goblok! Kenapa kalian tidak mengejarnya?!” geram Gonggo Gung dengan suara meninggi karena mulai di- bakar gejolak api amarahnya.

“Kami sudah berusaha, Ketua. Tapi dia memiliki il- mu peringan tubuh yang amat sempurna sehingga kami tertinggal jauh. Andai di antara kami ada pasu- kan bersenjata api, tentu pemuda itu pun dapat kami ringkus!” kata Jarot.

Gonggo Gung terdiam. Seolah-olah menyadari keke- liruannya. Begitu pula dengan anak buahnya. Mereka membisu sambil memandang wajah pemimpinnya ta- kut-takut.

Di saat mereka terdiam begitu, tiba-tiba mata me- reka dikejutkan oleh kedatangan Danu yang terengah- engah.

“Ada apa lagi denganmu, Danu? Mana tiga teman- mu yang lain?” tanya Gonggo Gung dingin. Namun ma- tanya begitu tegang memandang Danu. Ia sudah me- ngira pasti ada yang tidak beres dengan anak buahnya itu.

“Mereka tewas!” jawab Danu singkat. Brakkk!

Tangan Gonggo Gung yang kasar itu menggebrak meja di hadapannya. Sehingga meja pada bagian yang dipukulnya itu rusak. Termasuk sebagian gelas di atas meja yang karena tergetar oleh pukulan tangan Gonggo Gung jatuh ke lantai.

“Siapa yang melakukan itu?” geram Gonggo Gung dengan mata berkobar-kobar.

“Anak buah Bongkap!” sahut Danu.

Semua orang yang hadir di ruangan itu saling ber- pandangan dengan tatapan mata tegang mendengar pengakuan Danu. Karena mereka pikir, semua pengi- kut Bongkap telah musnah, termasuk Bongkap sen- diri.

“Bicara yang benar!” geram Gonggo Gung dengan suara tertahan di kerongkongan karena menahan ma- rah.

“Aku bicara apa adanya, Ketua,” ucap Danu sung- guh-sungguh.

“Bukankah kau tahu sendiri bahwa Bongkap ber- sama orang-orangnya telah tewas semua?!”

“Semula memang begitu, Ketua! Tapi kenyataannya, aku melihat sendiri kalau dua pengikut Bongkap ma- sih hidup. Bahkan Bongkap sendiri menyaksikan per- tempuran kami dengan dua pengikutnya!”

“Dusta!” sentak Gonggo Gung dengan kemarahan yang meledak-ledak. Sedangkan matanya yang merah berkilat-kilat memandang anak buahnya yang membe- rikan laporan itu.

“Aku bersedia dibunuh atau dihukum apa saja jika ucapanku tadi tidak benar!” cetus Danu tanpa rasa ta- kut.

Suasana sepi.

Gonggo Gung dan pengikutnya yang berada di tem- pat itu berdiri tegang setelah mendengar ucapan Danu. Mereka mulai percaya dengan ucapan Danu.

“Dia bersama berapa orang?” tanya Gonggo Gung dengan suaranya yang berubah lunak.

“Tiga orang, Ketua. Dua lelaki dan seorang lagi ga- dis cantik bertubuh mungil,” ujar Danu menjelaskan.

Jaim, seorang anak buah Gonggo Gung tersentak kaget mendengar keterangan tentang seorang gadis yang ikut serta dengan Bongkap.

“Apakah gadis itu mengenakan pakaian berwarna merah dan berselendang kuning?” tanya Jaim ingin tahu.

“Tepat!” sahut Danu cepat.

“Kau mengenal gadis itu, Jaim?” tanya Gonggo Gung.

“Maaf, Ketua! Gadis itulah sebenarnya yang mem- buat kami ribut dengan pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas itu. Tapi menurutku, gadis itu pun sudah tewas oleh serangan jarum beracun yang kule- pas ke arahnya. Karena saat pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas menghadangku, gadis itu te- lah roboh di depan pintu gerbang,” jawab Jaim menje- laskan.

Gonggo Gung tercenung beberapa saat mendengar keterangan Jaim. Keningnya yang berkerut menunjuk- kan bahwa ia sedang berpikir keras. Menganalisa ten- tang hubungan antara Bong Mini dengan pemuda itu.

“Kalau memang demikian cerita kalian, aku yakin gadis itu mempunyai hubungan erat dengannya!” ucap Gonggo Gung menyatakan pendapatnya. “Tapi aku sendiri bingung, ada hubungan apa gadis itu dengan Bongkap?” lanjut Gonggo Gung seperti bertanya pada diri sendiri.

*** Matahari menghujamkan panasnya ke wajah bumi. Gerombolan awan putih tampak berjalan menyingkir, menjadikan hamparan langit terang dan bersih.

Dalam pancaran sinar matahari yang demikian me- nyengat, Sang Piao tampak menunggang kuda di Bukit Girik. Begitu lambat ia menjalankan kudanya, seakan hendak menikmati pemandangan alam Bukit Girik yang memang demikian indah.

Sedang asyiknya ia menunggang kuda, tiba-tiba matanya tertumbuk pada sesosok tubuh yang tergele- tak di bawah sebuah pohon tak jauh dari tempatnya.

Siapa wanita yang tergeletak di tanah itu? Pikir Sang Piao sembari memutar kudanya menuju gadis itu. Kemudian ia segera melompat turun dan mendeka- tinya.

Hm..., tampaknya ia pingsan! Gumamnya dalam ha- ti setelah melihat tubuh wanita itu dari dekat.

Sang Piao berlutut di dekat gadis itu, dengan mak- sud hendak menyadarkannya. Akan tetapi, baru saja ia hendak menundukkan wajah, tiba-tiba wanita yang disangkanya pingsan itu meloncat dan langsung me- mukul Sang Piao.

Wuttt..., plak!

“Auhhh...!”

Wanita muda belia berwajah kotor dan berambut kumal itu menjerit ketika tangannya tertangkis oleh tangan Sang Piao. Lalu dia terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk.

Sejenak mata wanita muda belia itu mengamati wa- jah Sang Piao dengan tatapan mata tajam penuh seli- dik. Selanjutnya wanita itu malah menangis tersedu- sedu sambil mengguling-gulingkan tubuh di tanah. Ia meraung-raung seperti anak kecil yang tidak diberi uang jajan. Setelah menangis dan berguling-gulingan begitu, se- jenak tangisnya dihentikan lalu memandang tajam ke arah Sang Piao kembali. Dengan sikap takut-takut ia bangkit dan melangkah mundur perlahan-lahan. Se- dangkan tatapannya terus tertuju pada Sang Piao yang masih berlutut memperhatikan tingkah gadis belia itu.

“Jangan...! Jangan bunuh nenekku...! Jangan! Le- paskan...! Lepaskan diriku!”

Sang Piao tertegun memandangi tingkah laku wa- nita itu. Hatinya begitu terenyuh. Kasihan, semuda itu sudah tidak waras, bisik hati Sang Piao. Kemudian ia bangkit perlahan-lahan dengan mata yang terus tertu- ju ke arah wanita yang telah kehilangan pikirannya.

“Nona, tenang Nona...,” ucap Sang Piao hati-hati. Sedangkan kakinya terus melangkah mendekati wanita muda belia itu.

“Kau...! Kau mau memperkosa aku...? Hi hi hi...!” wanita itu tertawa renyah. Seolah-olah matanya meli- hat sesuatu yang lucu.

Saat dia tertawa lepas, Sang Piao diam-diam meng- amati wajahnya yang tampak begitu cantik.

Dia seorang gadis cantik. Tapi sayang, pikirannya tidak waras! Gumam Sang Piao dalam hati, memuji ke- cantikan gadis yang hilang ingatannya itu.

Gadis itu memang cantik sekali. Usianya masih muda, sekitar enam belas tahun. Matanya sipit seperti orang keturunan Tionghoa. Kulitnya putih mulus. Se- dangkan tubuhnya tampak padat berisi. Dapat di- bayangkan bagaimana keelokannya jika melangkah. Namun sayang, semua keindahan yang dimiliki gadis itu tertutup oleh debu yang melumurinya.

Setelah puas tertawa, tiba-tiba gadis itu kembali menangis tersendat-sendat.

“Awas kau Iblis Pulau Neraka! Akan kubakar dan kubunuh kalian semua!” teriaknya dengan sinar mata yang menaruh dendam.

Mendengar sebutan Iblis Pulau Neraka, Sang Piao mendadak kaget bukan main. Dia langsung mengira bahwa gadis itu korban kebiadaban iblis-iblis itu.

“Jahanam mereka! Teganya merusak kehormatan wanita sampai sedemikian rupa!” geram Sang Piao tak tertahan. Kemudian kakinya melangkah mendekati ga- dis itu untuk menenangkannya. Tapi sebelum tangan Sang Piao sempat mendekat, gadis itu memberikan tamparan ke arah mukanya. Dengan cepat Sang Piao menangkap tangan gadis itu dan menotoknya. Tuk! Tuk!

Tubuh gadis itu langsung terkulai lemas. Hanya ke- dua matanya saja yang sayu memandang Sang Piao. Tapi dari sepasang matanya yang sayu itu memancar- kan sinar liar.

Melihat tubuh gadis itu terkulai, Sang Piao lang- sung membungkuk dan menggendong tubuhnya. Dia heran mengapa wajah yang kotor, lusuh dengan ram- but kumal tak terurus itu mendatangkan rasa iba di hatinya? Mengapa dia tertarik untuk memberikan per- tolongan kepada gadis itu? Ah..., dia menghela napas. Tak dapat dijawabnya pertanyaan-pertanyaan yang da- tang saat itu. Namun ada satu hal yang ia tahu, bahwa ia menolong gadis gila itu karena khawatir akan di- ganggu lagi oleh orang-orang Iblis Pulau Neraka atau orang jahat yang lain jika dibiarkan di situ. Daripada gadis itu mengalami penderitaan yang lebih berat lagi, lebih baik ia membawa dan menyelamatkannya. Begitu pikirannya saat itu.

Setelah tubuh sang gadis berada dalam gendongan- nya, Sang Piao segera melompat ke punggung kuda dan memacunya dengan cepat. ***

Di cakrawala nan luas, matahari telah bergeser ke arah barat. Sinarnya yang semula kemilau, pudar per- lahan-lahan. Berganti dengan cahaya jingga yang re- dup. Angin berhembus sepoi-sepoi basah. Sementara kabut mulai turun lembut dalam gerakan yang ang- gun.

Sang Piao telah sampai di Kampung Dukuh, di ma- na Bongkap, Bong Mini, dan Ashiong menginap semen- tara di rumah Ratih Purbasari. Saat Sang Piao telah menjejakkan kaki di rumah tersebut, keempatnya ber- diri terkejut melihat kedatangan Sang Piao yang meng- gendong seorang gadis.

“Siapa yang kau bawa itu, Sang Piao?” tanya Bong- kap dengan wajah yang masih menunjukkan kehera- nan.

“Gadis malang,” sahut Sang Piao singkat. Lalu ia membaringkan gadis itu di atas dipan yang terbuat da- ri bambu.

“Maksudmu?” tanya Bongkap lagi tak mengerti. Sang Piao bergerak dua langkah menghampiri

Bongkap dan tiga orang lainnya yang masih terlungu- lungu keheranan. Kemudian ia menceritakan bagai- mana ia menemukan gadis itu dan membawanya pu- lang.

“Dia salah seorang gadis yang menjadi korban ke- buasan orang-orang Iblis Pulau Neraka!” kata Sang Piao mengakhiri ceritanya.

Semua orang yang hadir di ruang itu tampak berdiri geram. Sorot matanya berkobar-kobar, menyimpan sa- tu kemarahan yang tak tertahankan.

Bong Mini yang tadi begitu sungguh-sungguh men- dengar cerita Sang Piao merasakan darahnya bergolak hebat. Giginya bergemerutuk. Matanya berkilat tajam, menggetarkan siapa saja yang bertatapan dengannya. Itulah puncak kemarahan Bong Mini. Hatinya terasa disayat-sayat melihat nasib kaumnya yang selalu di- perlakukan seenaknya oleh lelaki.

“Papa! Izinkanlah aku untuk pergi menumpas Iblis Pulau Neraka itu!” ucap Bong Mini bergetar.

Bongkap diam beberapa saat untuk mempertim- bangkan keinginan putrinya. Selain khawatir akan ke- selamatan putrinya, ia juga masih dalam suasana rin- du pada Bong Mini.

“Jangan khawatir, Papa! Aku punya perhitungan sendiri dalam menghadapi Iblis Pulau Neraka!” kata Bong Mini lagi saat melihat Bongkap terdiam ragu. Se- telah itu, tubuhnya langsung melesat ke luar dengan kecepatan yang sulit dijangkau oleh pandangan manu- sia biasa.

Bongkap, Ashiong, dan Sang Piao tersentak kaget melihat kepergian Bong Mini yang tiba-tiba. Kemudian mereka ikut melesat ke luar berusaha untuk menge- jarnya. Tapi tidak berhasil. Karena sudah sejak tadi tubuh Bong Mini menghilang dari pandangan mereka. Akhirnya, dengan langkah gontai Bongkap kembali masuk ke dalam gubuk.

Sampai di dalam, Bongkap duduk termenung. Ia bukan mengkhawatirkan keselamatan putrinya, tetapi justru memikirkan ilmu Bong Mini yang sudah meng- alami kemajuan. Hal itu terlihat dari kepergian Bong Mini yang begitu cepat menghilang seperti kilat

“Bagaimana, Tuan? Apakah kami berdua harus me- nyusul dan menyertai tuan putri?” tanya Sang Piao.

Bongkap sadar dari ketercenungannya. Dia mene- gakkan kepala dan memandang dua pengawal setia- nya.

“Tidak usah!” sahut Bongkap datar. “Bukankah Tuan mengkhawatirkan keselamatan tuan putri?” tanya Sang Piao.

“Semula memang demikian. Tapi setelah melihat ke- pergiannya yang begitu cepat menghilang, aku mulai sadar dengan kemajuan yang diperoleh putriku selama ini!” kata Bongkap.

“Lalu, apa yang harus kita perbuat sekarang?” ta- nya Sang Piao lagi.

“Tunggulah beberapa hari sampai tenagaku pulih kembali!” jawab Bongkap.

Sebenarnya luka di tangan kiri Bongkap yang bun- tung serta paha kirinya sudah tidak begitu sakit. Ha- nya tinggal menunggu sampai tenaganya benar-benar kuat untuk terjun ke medan pertempuran. Bersabung nyawa kembali untuk membumihanguskan angkara murka yang mengotori dunia.

***

5

Malam itu sangat cerah. Bulan bersinar penuh, membuat alam terselubung sinar temaram. Sangat in- dah untuk dinikmati. Ditambah lagi dengan suara jangkrik yang tidak pernah berhenti bernyanyi, mem- bangun suasana malam yang ramah berbagi suka.

Bong Mini telah sampai di Desa Pamanukan. Se- buah desa penghubung untuk menuju Pulau Neraka. Dia tampak melangkah tenang dan tegap, memancar- kan jiwa satria dirinya.

Kini gadis itu memasuki sebuah warung nasi di de- sa itu. Di sana, ia mengambil tempat yang agak me- nyudut sebagaimana biasa. Hal itu dilakukan agar ia leluasa memandang orang-orang yang keluar masuk kedai itu.

Di seberang meja makannya, duduk empat lelaki yang sedang menikmati hidangan. Sesekali satu di an- tara empat orang lelaki itu melirik Bong Mini. Dan Bong Mini pun balas menatap sepasang mata liar lelaki itu dengan sorot matanya yang tajam penuh selidik.

Di saat ia bertumbukan mata dengan lelaki itu, se- nampan hidangan yang dipesan Bong Mini datang. Bong Mini cepat menyambut hidangan yang diantar oleh seorang perempuan setengah baya yang masih tampak cantik. Segera ia menyantapnya. Dalam waktu sekejap, hidangan yang baru diantar itu habis tanpa sisa, tanpa mempedulikan lelaki yang masih meman- dangnya.

“Bayarannya mana, Den?” wanita setengah baya yang menjadi pemilik warung itu terlihat meminta ba- yaran kepada keempat lelaki yang duduk di depan me- ja Bong Mini.

Mata keempat lelaki itu saling berpandangan. Di- susul kemudian dengan suara tawa yang terbahak- bahak.

“Kau mau minta bayaran? Nih!” kata seorang lelaki di antara mereka sambil menaruh uang di atas meja sebanyak tiga keping.

Wanita cantik setengah baya yang memiliki tubuh bahenol segera mendekati meja tersebut. Tapi ketika tangannya hendak mengambil tiga keping uang itu, le- laki yang mengeluarkan kepingan uang tadi meraih pinggulnya dengan ketat.

“Ini bayaran yang sebenarnya!” ujar lelaki yang me- rangkul pinggul wanita setengah baya itu seraya men- daratkan ciuman ke pipinya.

Mendapat perlakuan yang kurang ajar, pemilik wa- rung tadi meronta-ronta sambil memukul-mukulkan kedua tangannya ke tubuh lelaki itu. Namun yang di- pukul malah tertawa terbahak-bahak, bahkan mempe- rerat rangkulannya.

“Heh!” bentak Bong Mini yang tiba-tiba sudah berdi- ri di antara mereka dengan kedua tangan berkacak pinggang dan mata mendelik.

Keempat lelaki itu serentak menoleh ke arah Bong Mini dengan wajah menunjukkan keterkejutan. Namun ketika melihat kecantikan gadis mungil itu, mereka langsung cengengesan.

“Apa mata kalian sudah buta, memeluk seorang wanita yang sudah tidak segar lagi? Kenapa bukan aku saja yang kalian peluk? Kan lebih menggairahkan?” lanjut Bong Mini dengan nada suara yang berubah lembut agar dapat memancing reaksi keempat lelaki itu.

“Kau..., kau ingin dipeluk, Nona?” tanya seorang le- laki di antara mereka dengan sepasang mata jelalatan memandang dua bukit yang tersembul di dada Bong Mini.

Bong Mini mengangguk sambil tersenyum menggo- da.

Melihat sikap Bong Mini yang begitu menggairah- kan, seorang lelaki segera memburunya.

“Eit, nanti dulu!” cegah Bong Mini ketika tubuhnya hendak disentuh oleh tangan kasar lelaki itu. “Aku ku- rang bergairah bila yang memeluk tubuhku hanya seo- rang!”

“Maksudmu?” tanya lelaki yang hendak memeluk- nya tadi.

“Aku ingin kalian berempat memelukku semuanya tanpa harus bergantian!” jawab Bong Mini masih de- ngan sikap yang menggoda. Mendengar kata-kata Bong Mini yang begitu meng- gairahkan, keempat lelaki tadi langsung menghampiri- nya dan mencoba untuk memeluk tubuh Bong Mini dengan napas yang mulai turun naik. Namun, sebelum tangan-tangan kasar itu menyentuh tubuhnya, Bong Mini segera menyambut dengan seruntun hantaman kaki dan tangannya. Dilanjutkan dengan gerakan tu- buhnya yang langsung melesat ke luar kedai.

“Bangsat! Kita ditipu!” seru salah seorang dari ke- empat lelaki itu. Tubuhnya segera melesat ke luar un- tuk memburu Bong Mini.

Perempuan setengah baya yang sejak tadi berdiri ketakutan segera berlari kecil menuju pintu untuk me- nyaksikan pertempuran antara Bong Mini melawan keempat lelaki bertubuh kekar itu.

“Hait..., yeahhh!”

Tubuh Bong Mini melompat ketika keempat lelaki itu serentak menyerangnya. Kemudian ia memberikan serangan balasan lewat kedua tangan dan kakinya, se- hingga keempat lawan yang memang berkepandaian jauh di bawah Bong Mini, terpental jatuh disertai sem- buran darah segar yang keluar dari mulut mereka.

“Kalian harus banyak belajar lagi untuk menjadi seorang lelaki!” ejek Bong Mini. Kaki kanannya menje- jak dada salah seorang lawannya yang tak berdaya. Se- telah berkata begitu, ia berjalan mendekati pemilik wa- rung yang menyaksikan pertempuran itu dari balik pintu rumah makan.

“Ini untuk membayar hidangan yang telah aku ma- kan dan hidangan yang dimakan keempat orang itu,” kata Bong Mini seraya memberikan lima keping uang kepadanya. Dilanjutkan ucapannya, “Ibu kenal dengan orang-orang itu?”

“Tentu saja, Non. Kampung ini malah sudah berada dalam kekuasaan mereka!” sahut ibu pemilik warung. “Maksud Ibu?” Bong Mini mengerutkan keningnya. “Mereka orang-orang Perguruan Topeng Hitam!” ja-

wab pemilik warung itu menjelaskan.

Bong Mini terkejut mendengar nama perguruan itu. Perguruan itu yang membuat ia terpisah dari papanya selama dua tahun. Dan sekarang Perguruan Topeng Hitam ternyata telah menguasai seluruh perkampu- ngan di negeri Selat Malaka dan menyebarkan kesesa- tan serta menciptakan keonaran di kalangan pendu- duk seperti yang dilakukan oleh keempat lelaki yang dibuatnya tak berdaya tadi.

Bong Mini tercenung. Ia menimbang-nimbang kepu- tusan yang harus diambilnya. Apakah terus melan- jutkan perjalanannya menuju Pulau Neraka atau me- nundanya untuk berhadapan dengan orang-orang Per- guruan Topeng Hitam? Tapi akhirnya, setelah menda- pat pertimbangan yang baik, Bong Mini mengambil ke- putusan untuk menghadapi Perguruan Topeng Hitam terlebih dahulu. Mengingat perguruan ini telah menan- capkan kuku-kukunya di seluruh kampung negeri Se- lat Malaka. Menurutnya hal itu lebih berbahaya!

“Kalian orang-orang Perguruan Topeng Hitam?” ta- nya Bong Mini sambil mendekati seorang lelaki yang masih tersengal-sengal lemah.

“Beb..., beb..., benar, Nona!” jawabnya dengan suara tersendat-sendat.

“Kalau memang begitu, antarkan aku ke tempat pe- mimpinmu!”

Keempat lelaki tadi saling berpandangan tak per- caya.

“Kenapa kalian bengong begitu?” tanya Bong Mini heran.

“Tidak apa-apa, Nona. Aku hanya kaget mendengar permintaan Nona yang ingin berjumpa dengan ketua kami. Aku khawatir akan keselamatan Nona!” tukas seorang dari mereka memberanikan diri.

“Heh? Kenapa kau berbicara begitu? Bukankah ka- lian pengikutnya?” Bong Mini bertanya heran. Sedang- kan sepasang matanya menatap lelaki itu begitu tajam, seolah-olah hendak menembus pikirannya.

“Kami memang masuk Perguruan Topeng Hitam, tapi itu pun terpaksa!” sahut lelaki tadi mewakili ketiga temannya.

“Maksudmu?” tanya Bong Mini, masih tak mengerti. “Aku dan tiga temanku ini dipaksa mereka untuk masuk menjadi anggota Perguruan Topeng Hitam. An- dai tidak mau, nyawaku pada saat itu juga akan me- layang!” jawab lelaki itu menjelaskan mengapa ia dan ketiga temannya masuk ke Perguruan Topeng Hitam yang terkenal sesat. “Kalaupun kami tadi bersikap ku- rang ajar pada perempuan pemilik kedai tadi, itu pun sebenarnya hanya sikap pura-pura kami. Agar kami ti- dak dicurigai mata-mata Perguruan Topeng Hitam.

Kami cuma ingin selamat dari ketelengasan mereka yang tidak ingin melihat kesalahan sekecil apa pun.”

Tubuh Bong Mini diam tak bergerak. Sepasang ma- tanya masih tertuju pada lelaki itu. Namun sinar ma- tanya yang semula berkilat-kilat berubah redup. Seo- lah-olah telah dapat membaca isi pikiran lelaki itu. Se- belumnya dia memang telah menduga kalau keempat lelaki itu bukan tokoh utama Perguruan Topeng Hitam seperti orang-orang yang pernah dihadapi sebelumnya. Terbukti ketika ia baru saja membuka serangan, keempat lelaki itu tidak berkutik tanpa melakukan se- rangan kembali. Ditambah lagi dengan sikap mereka yang mengkhawatirkan keselamatannya ketika diminta mengantar ke Perguruan Topeng Hitam. Padahal, ka- lau benar-benar orang pilihan dari Perguruan Topeng Hitam, tentu mereka akan sangat gembira jika men- dengar ia hendak mendatangi perguruan mereka, ka- rena sudah pasti gadis bertubuh mungil dan berwajah cantik itu akan menjadi santapan mereka. Tapi keem- pat orang ini lain. Mereka justru mengkhawatirkannya. Ini menunjukkan kalau keempat lelaki itu sesungguh- nya berasal dari orang baik-baik.

“Kalian tak perlu mengkhawatirkan aku. Kalau me- mang kalian masuk Perguruan Topeng Hitam karena terpaksa dan sekarang ingin kembali menjadi orang baik-baik seperti sebelum masuk Perguruan Topeng Hitam, maka bantulah aku!” kata Bong Mini dengan suara lembut dan penuh persahabatan. Begitulah Bong Mini. Ia akan menjadi gadis yang liar dan tega membunuh jika orang yang dihadapinya sudah tidak mengenal arti kebenaran. Tapi sifat itu akan berubah lunak dan penuh rasa iba jika musuh yang dihadapi- nya mengakui kesalahannya dan berjanji untuk mem- perbaiki diri seperti empat lelaki yang dihadapinya ki- ni.

“Apakah Nona menerima jika kami hendak menjadi pengikutmu?” tanya seorang di antara mereka.

“Kenapa tidak? Karena untuk menumpas kejahatan seperti perbuatan orang-orang Perguruan Topeng Hi- tam memang memerlukan pejuang-pejuang sejati yang tidak mementingkan kebutuhan dan keselamatan pri- badinya sendiri!” sahut Bong Mini.

Mendengar ucapan Bong Mini, keempat lelaki tadi menjadi malu hati. Mereka mulai berpikir, kalau gadis muda yang cantik itu pasti mempunyai keberanian dan pengabdian yang demikian tinggi. Kenapa sebagai lela- ki mereka tidak demikian? Begitulah pikiran di benak mereka masing-masing. Akhirnya, berkobar juga se- mangat juang di dada mereka.

“Baiklah, Nona. Kami bersedia mengantarkan Nona ke markas Perguruan Topeng Hitam!” tegas lelaki itu dengan semangat yang mulai berbunga.

“Terima kasih! Kita berangkat sekarang!” ucap Bong Mini dengan wajah berseri karena dapat menyadarkan mereka.

***

Malam terus merangkak hingga larut. Bulan pur- nama seperti bergayut di atas dahan dengan sinar yang lembut, menerangi alam raya.

Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, Bong Mini dan keempat lelaki tadi sampai di halaman Perguruan Topeng Hitam yang letaknya masih berada dalam wilayah Kampung Pamanukan.

Sebenarnya, pusat Perguruan Topeng Hitam berada di Bukit Setan. Di sana pula Kidarga dan Nyi Genit tinggal. Sedangkan Perguruan Topeng Hitam yang ber- ada di Kampung Pamanukan hanya merupakan pergu- ruan kecil yang dipimpin oleh ketua pasukan bernama Yang Seng. Adapun maksud dari penempatan para ke- tua pasukan di seluruh wilayah perkampungan, tidak lain agar mereka bisa cepat melakukan aksi di wilayah kampung yang diduduki masing-masing. Dan untuk melakukan pertemuan dengan ketua perkumpulan, Kidarga dan Nyi Genit, hanya sebulan sekali dengan membawa hasil rampokan yang diperoleh masing- masing ketua pasukan.

Dengan dibuatnya perguruan-perguruan kecil di se- tiap perkampungan seperti Kampung Pamanukan dan Kampung Girik yang dipimpin oleh Giwang, maka me- reka akan lebih mudah menyebarkan kesesatan dan menangkap orang-orang yang dicurigai. Sehingga tidak ada kesempatan bagi penduduk kampung untuk mela- kukan pemberontakan. Mereka terjaga ketat oleh anak buah Perguruan Topeng Hitam.

Demikianlah gambaran singkat mengenai perkem- bangan Perguruan Topeng Hitam sejak kepergian Bong Mini selama dua tahun. Sehingga pantas jika Bong Mini terheran-heran melihat ada markas Perguruan Topeng Hitam di tengah kampung. Karena yang ia tahu markas itu berada di Bukit Setan.

“Wah, kalian membawa gadis cantik untuk kami ru- panya,” sambut seorang murid Perguruan Topeng Hi- tam yang sedang berkumpul di atas dipan yang terle- tak di halaman perguruan. Ditemani oleh empat pe- rempuan muda yang masih cantik-cantik serta bebe- rapa botol minuman keras.

Keempat orang yang menyertai Putri Bong Mini di- am saja mendengar teguran temannya itu. Begitu pula dengan Bong Mini. Hanya pandangan matanya saja yang tajam meneliti ke arah orang-orang itu.

“Kemarilah, Nona! Jangan sungkan-sungkan!” ujar lelaki tadi dengan keadaan yang sudah setengah ma- buk.

“Aku ingin bertemu dengan pemimpin!” tegas Bong Mini dengan sikap tenang.

“Wah, belum apa-apa sudah ingin bertemu dengan ketua. Duduk-duduk saja di sini bersama kami. Nona kan masih lelah!” sela lelaki lainnya sambil mengham- piri Bong Mini lalu menarik tangannya. Tapi gadis yang ditarik tangannya malah balik mencekal pergelangan tangan lelaki itu dan menghentakkannya. Disusul de- ngan hajaran lututnya yang bersarang di dada lelaki itu.

“Oekkk!”

Mulut lelaki yang terkena hantaman di dadanya langsung memuntahkan cairan merah.

Sebelas murid Perguruan Topeng Hitam yang sejak tadi duduk di atas dipan langsung terperanjat melihat temannya tersungkur di tanah. Dalam sekian detik mereka bergerak mengurung Bong Mini.

“Aku tidak punya urusan dengan kalian. Aku da- tang ke sini hanya ingin berjumpa dengan pemimpin kalian!” bentak Bong Mini dengan mendelikkan ma- tanya.

“Sombong benar kau, kelinci! Hadapilah aku sebe- lum kau bertemu dengan ketua kami!” kata seorang le- laki berwajah beringas yang dihiasi berewok lebat.

“Jangankan kau! Seluruh murid Perguruan Topeng Hitam yang menyerangku pun akan kuhadiahkan ke- matian!” geram Bong Mini.

“Sombong sekali ucapanmu itu, Nona!” geram lelaki berewok itu dengan tubuh yang sudah siap melakukan serangan.

“Percuma kau menyerangku sendirian. Hanya akan mengantarkan nyawa saja!” ejek Bong Mini.

“Kelinci liar! Akan kurobek mulutmu yang lancang itu!” setelah berkata begitu, lelaki berwajah berewok tadi segera mengadakan serangan. Namun dengan si- kap tenang, gadis bertubuh mungil yang mengenakan baju merah ketat itu menyambutnya dengan baik.

Dug!

Rahang lelaki berewok itu terkena pukulan tangan Bong Mini dengan telak. Akibatnya dia terhuyung se- saat lalu jatuh ke belakang.

“Sudah kubilang jangan sendiri, goblok!” ejek Bong Mini. Bibirnya tersenyum sinis.

“Kuntilanak! Serang dia!” teriak lelaki berewok itu seraya bangkit kembali dan siap melakukan serangan.

Sepuluh temannya yang sudah mengepung Bong Mini langsung menyerbu ke depan dan melakukan se- rangan dengan senjata golok yang tergenggam di ta- ngan masing-masing.

Menghadapi sebelas golok yang disabetkan tangan pengeroyoknya, Bong Mini pun segera mencabut Pe- dang Teratai Merah.

Pyar pyar pyar!

Cahaya merah berbentuk bunga teratai menyala te- rang. Sehingga suasana di sekitar itu tampak terang- benderang.

Orang-orang Perguruan Topeng Hitam yang tadi hendak melakukan serangan, serentak menghentikan gerakan. Mata mereka terbelalak dan mulut mereka menganga. Takjub terhadap sinar yang dipancarkan pedang di genggaman Bong Mini. Baru kali ini mereka melihat keajaiban sebuah pedang.

Dalam keadaan melongo takjub seperti itu, sebe- narnya Bong Mini dapat dengan mudah membabat me- reka. Tapi tentu saja ia tak ingin melakukan perbuatan itu, sebab akan memberikan kesan curang bagi di- rinya. Untuk itu ia cukup menyadarkan mereka de- ngan sebuah bentakan melengking.

“Heh! Ngapain kalian melongo seperti sapi ompong!” Mendengar teguran Bong Mini, dua belas orang Per- guruan Topeng Hitam segera sadar dari ketercenga- ngannya. Lalu mereka serentak bergerak menyerang

Bong Mini.

Wut wut wut! Trang trang trangngng!

Angin kebutan dan denting senjata mereka terde- ngar merambah udara.

Bong Mini yang sudah mendapat gemblengan dari gurunya, Kanjeng Rahmat Suci, dengan gesit dapat menangkis dan menghindari serangan golok-golok la- wan yang mengancam tubuhnya. Malah tanpa diduga oleh lawannya, Pedang Teratai Merah yang di tangan Bong Mini mendarat di beberapa tubuh lawan.

Bret bret! Creb!

Sabetan pedang itu mendarat pada leher dan perut lawan. Sehingga tiga orang di antara mereka berdiri limbung sesaat dan akhirnya jatuh tersungkur di ta- nah dengan mata membelalak kejang.

“Sudah kubilang, kalian tak akan mampu melaku- kan serangan dengan baik!” lantang Bong Mini sambil terus melakukan tangkisan dan serangan.

Sementara itu di sudut lain, empat orang pengikut Perguruan Topeng Hitam yang telah sadar dan jadi pengikut Bong Mini, asyik menyaksikan pertempuran yang tak seimbang itu. Mereka tidak turut terjun ke kancah pertempuran karena memang dilarang oleh Bong Mini karena khawatir mereka akan celaka.

“Kuperingatkan sekali lagi, hentikan serangan kali- an sebelum kesabaranku habis!” seru Bong Mini di te- ngah kesibukannya menghadapi serbuan lawan. Na- mun orang-orang itu tidak mengindahkan peringatan Bong Mini. Mereka masih yakin akan mampu mengha- dapi seorang gadis muda belia itu. Bahkan dengan gencar mereka terus mencecar tubuh Bong Mini.

“Baiklah jika kalian masih membandel!” usai berka- ta begitu, Bong Mini langsung mengarahkan pedang- nya pada tubuh para pengeroyoknya.

“Hiaaat!”

Bret bret bret! Crokkk!

Pedang Bong Mini langsung membabat habis para pengepungnya. Dalam waktu sekejap mereka terjung- kal dengan mulut mengerang-erang.

“Aaakh...!” Blekkk!

Tubuh para pengepungnya yang terkena sabetan pedang Bong Mini jatuh satu persatu bagai daun ke- ring.

Keempat lelaki yang sejak tadi menyaksikan perke- lahian itu dengan penuh takjub, segera menghampiri Bong Mini yang kini berdiri tegak memandangi mayat- mayat yang bergelimpangan di sekitarnya.

“Apa yang harus kuperbuat lagi sekarang?” tanya seorang dari keempat lelaki itu.

“Panggillah pemimpin mereka ke sini!” perintah Bong Mini dengan napas yang masih memburu.

“Baiklah! Kami akan segera memanggil!” kata keem- pat orang itu serempak. Tanpa banyak cakap lagi me- reka segera melangkah ke dalam. Tak lama kemudian mereka keluar kembali bersama seorang lelaki muda.

Lelaki itu berumur sekitar tiga puluh lima tahun. Tubuhnya sedang dan kekar. Kulitnya putih dan ber- mata sipit. Rambutnya panjang terikat dengan pakaian warna kuning membungkus kulitnya yang putih. Di- alah Yang Seng, Ketua Perguruan Topeng Hitam.

“Hm..., rupanya dia yang memimpin pasukan ini!” gumam Bong Mini ketika melihat sosok tubuh Yang Seng. Dia memang telah melihatnya saat Giwang dan pasukannya menyerang pasukan Partai Persatuan Ular Hitam (jelasnya, silakan baca serial Putri Bong Mini sebelumnya dalam episode: ‘Hilangnya Seorang Pen- dekar’).

Yang Seng melangkah dengan tenang. Namun keti- ka matanya melihat mayat-mayat yang berserakan, dia menjadi terkejut. Apalagi mayat-mayat itu adalah tu- buh para pengikutnya. Dari serakan mayat, panda- ngannya beralih pada Bong Mini yang tengah berdiri tegak sambil menggenggam sebilah pedang berlumur darah.

“Rupanya kau datang hendak membuat kerusuhan, Nona!” geram Yang Seng dengan sorot mata berkobar- kobar gusar.

“Ini semua kesalahan mereka. Mereka menyerangku tanpa memiliki ilmu silat yang baik!” kilah Bong Mini tenang.

Walaupun ucapan Bong Mini itu datar, tetapi justru membuat telinga Yang Seng sangat panas. Ucapan itu mengandung ejekan yang amat pedas.

“Apa keinginanmu yang sebenarnya, Bocah Som- bong?” tanya Yang Seng, masih mencoba menahan amarahnya.

“Hm...!” ketus Bong Mini. “Ketahuilah bahwa keda- tanganku ke sini tidak lain hendak menebas kepa- lamu!” geram Bong Mini seraya menudingkan pedang- nya yang berlumuran darah ke arah Yang Seng.

Mendengar ucapan Bong Mini yang demikian lan- tang, tentu saja sangat mengejutkan Yang Seng. Wa- jahnya yang memerah menahan marah bertambah ter- bakar.

“Dasar perempuan! Dikasih hati malah kurang a- jar!” geram Yang Seng sambil maju beberapa langkah ke arah Bong Mini.

“Kalau itu penilaianmu terhadap wanita, tunjuk- kanlah keberanianmu! Jangan hanya bisa memperkosa dan menculik saja!” kembali Bong Mini mengejek.

Yang Seng yang memang sejak tadi sudah naik pi- tam, kini tak dapat lagi menahan kemarahannya. Tan- pa banyak cakap lagi, ia langsung mengirim serangan pada Bong Mini. Tapi gadis yang berdiri di depannya itu bukan gadis sembarangan. Ia telah memiliki kepan- daian silat dan ilmu kesaktian yang cukup dibangga- kan. Dengan gesit gadis itu menghindari serangan la- wannya dengan cara meloncat berputar dan berdiri kembali di atas tanah, tepat di belakang musuhnya. Yang Seng yang sudah kalap karena merasa diper- mainkan oleh gadis kecil itu segera membalikkan tu- buh dan menyerang kembali lawannya.

Tapi Bong Mini yang sudah siap menghadapi sera- ngan musuh, segera berkelit dengan cara memiringkan tubuhnya sedikit ke samping. Sedangkan kakinya te- rangkat lurus, menendang ke perut lawan.

Bug!

Tendangan yang sudah dialiri tenaga dalam itu te- rasa menyesakkan, hingga lawannya terjungkal dua langkah ke belakang. Tapi segera ia berdiri kembali dengan sorot mata yang merah memandang Bong Mini. “Jahanam! Akan kuremukkan tubuhmu!” geram

Yang Seng sambil mengerahkan tenaga dalamnya. “Hiaaat..., hah...!”

Yang Seng menghentakkan kedua tangannya ke de- pan. Namun, lagi-lagi gadis yang dihadapinya dengan cepat dapat mengelak. Sehingga tenaga dalam yang di- hentakkan Yang Seng bukan mengenai tubuh Bong Mini, melainkan tembok perguruannya sendiri.

Brukkk!

Tembok dinding rumah yang terkena hantaman te- naga dalam Yang Seng langsung ambruk berkeping-ke- ping. Dan itu sangat membuat Yang Seng makin gusar. “Heh! Perempuan tengik! Sebutkan siapa namamu sebelum nyawamu kuantar ke neraka!” geram Yang Seng dengan napas memburu menahan gejolak darah-

nya yang mulai memanasi sekujur tubuhnya.

“Akulah Bong Mini. Putri Bongkap!” sahut Bong Mi- ni, lantang.

Yang Seng terperangah kaget ketika nama Bongkap disebutkan. Dia tahu betul siapa Bongkap. Karena Bongkap satu-satunya orang yang menjadi penghalang bagi Perguruan Topeng Hitam. Kini dia berhadapan dengan seorang gadis mungil yang mengaku putrinya Bongkap, maka bertambah besarlah kemarahannya.

“Kebetulan kalau kau putrinya Bongkap. Karena su- dah lama Perguruan Topeng Hitam akan membunuh dan menghancurkan seluruh keluarga Bongkap!” ujar- nya, setelah itu Yang Seng langsung mengirim pukulan ‘Angin Setan Mencekik Leher’ yang didapatnya dari Nyi Genit, istri Kidarga.

Bong Mini yang sudah siap menghadapi serangan lawan menjadi heran. Karena hentakan dari kedua te- lapak tangan lawan tidak memberikan reaksi apa-apa. Namun beberapa detik kemudian ia merasakan angin dingin yang mendekati lehernya. Kemudian angin yang menimbulkan dingin seperti es itu seperti membelit le- hernya. Belitan angin dingin itu semakin lama bertam- bah keras menekan lehernya bagai mencekik.

Gadis bertubuh mungil itu berusaha meronta, me- lepaskan angin dingin yang mencekik lehernya. Namun semakin ia bergerak, semakin kuat pula cekikan angin itu.

Melihat Bong Mini kewalahan menghadapi serangan ‘Angin Setan Mencekik Leher’, Yang Seng tertawa ter- bahak-bahak.

“Rasakanlah, tikus kecil. Sudah waktunya kau ku- kirim ke neraka!” ejek Yang Seng di sela tawanya.

Keempat lelaki dari Perguruan Topeng Hitam yang sudah menjadi pengikut Bong Mini merasa khawatir akan keselamatan gadis itu. Mereka ingin menolong, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Sebab mata me- reka sendiri tidak melihat sesuatu yang menyerang Bong Mini. Selain itu mereka juga tidak tahu, jurus apa yang dipergunakan Yang Seng dalam menyerang lawannya. Karena mereka baru enam bulan mengikuti gerakan Perguruan Topeng Hitam. Dalam keadaan kritis itu, Bong Mini tiba-tiba ter- ingat pada ilmu batin dan ‘Pukulan Tapak Hangus’ yang diberikan oleh Kanjeng Rahmat Suci. Maka de- ngan sisa kekuatan yang masih ada, kedua jurus itu digabungkan menjadi satu. Dipejamkannya kedua ma- tanya seraya menarik napas, menahannya sejenak, ke- mudian dihempaskannya kuat-kuat.

“Hah!”

Hasilnya, angin setan yang mencekik lehernya tadi berangsur-angsur mengendur dan hilang entah ke ma- na.

Yang Seng menghentikan tawanya. Dipandangnya lawan dengan wajah terkejut. Dia tidak menyangka sama sekali kalau gadis itu dapat mementahkan se- rangan angin setannya yang demikian dahsyat dan mematikan.

Setelah lepas dari bahaya yang mengancamnya, Bong Mini segera melancarkan serangan ke arah lawan dengan kedua telapak tangan dihentakkan ke depan.

Wesss! “Aaakh...!”

Yang Seng yang belum sempat mengelak langsung terpental dalam jarak sepuluh meter. Kemudian tu- buhnya menggelepar-gelepar di tanah hingga akhirnya mati dengan tubuh hangus bagai terbakar.

Bong Mini menghela napas lega melihat lawannya tewas. Kemudian ia melangkah ke arah empat wanita yang tadi bersama pasukan Yang Seng dan empat lela- ki yang sejak tadi menyaksikan pertempuran itu de- ngan takjub.

“Kembalilah kalian ke rumah masing-masing bila ti- dak ingin menjadi mangsa orang-orang liar seperti me- reka.” Beberapa tarikan napas, Bong Mini hanya me- mandang mereka. Lalu dia melanjutkan, “Dan kalian berempat, antarkan mereka ke rumah masing-masing. Setelah itu berangkatlah ke Kampung Dukuh, sebelah barat kampung ini. Karena di sana papaku tinggal. Bergabunglah dengan papaku jika ingin membantu perjuanganku!” kata Bong Mini kepada keempat lelaki yang telah sadar itu.

“Segala perintahmu akan kulaksanakan!” sahut se- orang dari mereka.

“Kalau begitu kami juga akan ke sana dan belajar pada orang-tuamu!” sela seorang wanita, mewakili keti- ga temannya.

Bong Mini diam beberapa saat seraya memandangi wajah keempat wanita itu.

“Kalian ingin membantuku?” tanya Bong Mini sung- guh-sungguh.

“Ya!” sahut keempat wanita itu serempak.

Hati Bong Mini gembira mendengar jawaban yang penuh semangat. Karena sesungguhnya ia bercita-cita hendak memajukan kaum wanita agar tidak menjadi bulan-bulanan kaum lelaki.

“Baiklah kalau begitu. Berangkatlah kalian sekarang juga. Pergunakanlah kuda-kuda milik Perguruan Topeng Hitam agar perjalanan lebih cepat,” ucap Bong Mini.

“Kau sendiri hendak ke mana?” tanya seorang lelaki di antara mereka.

“Aku ingin ke Pulau Neraka!”

Keempat lelaki itu tercengang mendengar Pulau Ne- raka yang menjadi tujuan Bong Mini. Sebab Pulau Ne- raka adalah tempat bersarangnya para iblis durjana yang sekarang ini mulai merajalela dan menjadi perhi- tungan orang-orang Perguruan Topeng Hitam.

Bong Mini dapat membaca keterkejutan orang-o- rang di sekelilingnya itu. Sehingga dia cepat berkata, “Berangkatlah kalian. Jangan buang-buang waktu!” Empat lelaki dan empat perempuan yang menyatakan diri menjadi pengikut Bong Mini segera mengikuti perin- tahnya. Mereka melangkah menuju kandang kuda yang tak jauh dari tempat itu. Tidak lama kemudian, mereka pun berangkat meninggalkan markas Perguruan Topeng Hitam yang berada di Kampung Pamanukan.

Setelah kedelapan orang itu pergi dengan menung- gang kuda, Bong Mini segera meninggalkan tempat itu menuju Pulau Neraka sebagaimana tujuannya semula.

***

6

Waktu mulai merayap ke pagi. Matahari perlahan- lahan keluar dari peraduannya. Sedetik pun dia tak pernah terlambat dalam menjalankan tugas rutin di garis edarnya. Ayam jantan melantunkan kokoknya, seakan hendak membanggakan kelantangan suaranya pada satwa lain.

Dalam suasana pagi seperti itu, tiba-tiba terdengar rombongan orang berkuda menuju Pulau Neraka. De- rap langkah kuda itu terdengar bergemuruh riuh. Per- tanda bahwa iring-iringan kuda itu berjumlah banyak.

Pasukan berkuda tersebut terdiri dari para pesilat tangguh dari Perguruan Topeng Hitam. Tujuan mereka tidak lain hendak melakukan penyerbuan terhadap Perkumpulan Iblis Pulau Neraka, di bawah pimpinan seorang ketua pasukan bernama Giwang. Mereka da- tang ke tempat itu setelah mendengar kalau Perkum- pulan Iblis Pulau Neraka akan melakukan penyera- ngan terhadap Perguruan Topeng Hitam dengan tujuan hendak menguasai negeri Selat Malaka. Karena selama ini yang menguasai negeri itu adalah Perguruan To- peng Hitam yang dipimpin oleh Kidarga dan Nyi Genit. Dan kekuasaan itu diraih oleh Perguruan Topeng Hi- tam setelah mereka berhasil membabat pasukan Bong- kap yang hingga sekarang tidak terdengar lagi sepak- terjangnya.

Mendengar ada satu perkumpulan di Pulau Neraka yang terdiri dari orang-orang tangguh dan akan mere- but kekuasaan di negeri Selat Malaka, maka Kidarga segera memerintahkan Giwang untuk menyiapkan pa- sukan untuk melakukan penyerangan ke pulau itu se- belum orang-orang Iblis Pulau Neraka mendahuluinya. Penampilan orang-orang Perguruan Topeng Hitam kali ini memang berbeda. Kalau biasanya mereka sela- lu menggunakan topeng hitam sebagai penutup wajah, maka sekarang mereka melepaskan atribut semacam itu. Bahkan pakaian yang biasanya selalu bermodel pangsi warna hitam, sekarang berubah menjadi ber- macam-ragam. Sehingga tak seorang pun dapat me- ngenali kalau mereka orang-orang Perguruan Topeng

Hitam.

Ketika tinggal beberapa kilo lagi iring-iringan ber- kuda itu akan sampai di tempat tujuan, dari kejauhan mereka melihat sekelompok orang berkuda pula yang memacu ke arah mereka. Jumlahnya pun hampir se- imbang dengan orang-orang Perguruan Topeng Hitam.

Karena dua pasukan berkuda yang bergerak dalam arah berlawanan ini saling memacu, maka dalam wak- tu singkat kedua pasukan ini sudah saling berhadapan dalam jarak sekitar sepuluh meter.

Kedua pasukan yang tidak saling mengenal ini tam- pak berhenti dengan mata beradu pandang. Begitu ta- jam pandangan mereka, seakan saling menyelidiki.

“Siapakah kalian? Kenapa menghalangi perjalanan kami?” tanya Giwang dengan sorot mata yang menco- rong tajam ke arah lelaki berjubah merah.

“Seharusnya kami yang bertanya, mengapa kalian menghalangi perjalanan kami?” sergah lelaki berjubah merah tidak mau kalah.

“Kami tidak menghalangi perjalanan kalian. Kalian- lah yang sengaja menghalangi perjalanan kami!” ujar Giwang, juga tidak mau kalah.

“Baik kalau itu tuduhanmu, aku terima!” kata lelaki berjubah merah, agak mengalah. “Tapi cobalah kau se- butkan hendak ke mana tujuanmu! Sebab dari tempat ini tidak ada lagi perkampungan kecuali Pulau Nera- ka!” lanjut lelaki berjubah merah lagi.

“Aku memang hendak ke Pulau Neraka!” sahut Gi- wang.

“Untuk apa ke sana?” tanya lelaki berjubah merah penuh selidik.

“Aku ingin bertemu dengan tokoh-tokoh Iblis Pulau Neraka!” sahut Giwang terus terang.

“Kebetulan kalau begitu. Aku adalah salah satu ke- tua pasukan dari Iblis Pulau Neraka!” ucap lelaki ber- jubah merah pula.

Giwang dan pasukannya terkejut mendengar penga- kuan lelaki berjubah merah. Mata mereka mencorong tajam pada pasukan berkuda di hadapan mereka.

Memang benar kalau pasukan yang sedang berha- dapan dengan Giwang adalah Pasukan Iblis Pulau Ne- raka. Sedangkan lelaki berjubah merah itu bernama Jarot. Dialah orang kepercayaan Iblis Pulau Neraka untuk menjadi pimpinan pasukan.

Jarot seorang lelaki berperawakan tinggi besar dan berotot. Matanya merah dan besar. Sedangkan di ba- gian wajahnya terhias kumis yang demikian lebat dan jenggot pendek. Dan pada pinggang bagian kirinya ter- selip sebuah pedang panjang serta sebuah golok di pinggang kanan.

Sebenarnya Jarot bersama pasukannya di pagi itu juga mempunyai tujuan yang sama dengan pasukan Giwang. Mereka diperintahkan oleh Gonggo Gung, Ke- tua Perkumpulan Iblis Pulau Neraka, untuk melaku- kan penyerangan terhadap orang-orang Perguruan To- peng Hitam.

“Suatu keberuntungan yang tak terduga rupanya, sehingga kita bisa bertemu di tempat yang menye- nangkan ini!” kata Giwang, segera menutupi keterkeju- tannya.

“Apa maksudmu sebenarnya ingin mendatangi Pu- lau Neraka?” tanya Jarot yang tidak menginginkan pembicaraan jadi bertele-tele.

Giwang tertawa sejenak. Kemudian memandang la- wannya lurus-lurus.

“Kalau aku menyebutkan nama Perguruan Topeng Hitam, tentu kau akan menebak maksud tujuanku!” ucap Giwang dengan sikap pongah.

Kini Jarot dan pasukannya yang berbalik kaget mendengar nama perguruan itu. Mereka memang hen- dak mencari orang-orang Perguruan Topeng Hitam dan melakukan penyerangan.

“Sekarang, apa yang kau inginkan?” tanya Jarot pu- ra-pura tidak tahu. Pikirnya, siapa tahu mereka hen- dak melakukan persekutuan dengan Perkumpulan Ib- lis Pulau Neraka.

Giwang kembali tertawa mendengar pertanyaan Ja- rot.

“Sungguh terlalu bodoh mengajukan pertanyaan itu!” kata Giwang dengan sikapnya yang tetap pongah. “Aku ingin menebas orang-orang yang akan merong- rong kekuasaan Perguruan Topeng Hitam di negeri ini!” Wajah Jarot merah padam mendengar ucapan yang mengandung ejekan itu. Kemudian dengan geram dan tak kalah angkuhnya ia berkata, “Cobalah kalau kau mampu melakukannya. Orang-orang Iblis Pulau Ne- raka tak pernah gentar dengan omongan kosong se- perti itu!”

“Bangsat! Kalian benar-benar ingin mati rupanya!” dengus Giwang. Darahnya panas.

“Sudah aku bilang, jangan omongan melulu yang dibesarkan. Buktikan!” tantang Jarot.

“Setan roban! Serbu...!” geram Giwang seraya mem- beri aba-aba kepada pasukannya.

Dua puluh orang berkuda yang dipimpin oleh Gi- wang bergerak menyerang pasukan Iblis Pulau Neraka yang berjumlah lima belas orang. Mereka menyerbu buas dengan mengacung-acungkan golok dan pedang ke arah lawan yang kemudian disambut pula dengan acungan pedang oleh pasukan Iblis Pulau Neraka.

“Hiaaat!”

Trang trang trangngng!

Tidak lama kemudian, tempat itu pecah menjadi sa- tu keriuhan yang amat dahsyat. Ringkik kuda, denting senjata, debu yang mengepul. Semuanya menciptakan sebuah suasana yang menggidikkan hati, penuh den- gan genangan dan bau amis darah.

Giwang terbelalak melihat ketangkasan pasukan yang dipimpinnya. Dua orang dari pasukan Iblis Pulau Neraka sudah tumbang bersimbah darah, terhantam sabetan pedang dan golok pasukannya, tetapi dari pi- haknya pun banyak yang terluka. Giwang tampak ge- ram melihat seorang dari pasukan Iblis Pulau Neraka yang begitu tangkas memainkan pedang. Orang itu ti- dak lain Jarot yang sudah mengamuk sejadi-jadinya. Dia memang orang yang paling bengis di antara selu- ruh pasukan Iblis Pulau Neraka. Karena itu ia menda- pat julukan si Raja Tega.

Pedang di tangan Jarot telah menebas lima penge- royoknya. Belum lagi yang terluka parah. Sehingga me- mancing Giwang untuk menggebah kudanya untuk melakukan penyerangan pada Ketua Pasukan Iblis Pu- lau Neraka itu.

***

Tidak jauh dari tempat pertempuran, seorang gadis bertubuh mungil dan berwajah cantik dengan pakaian merah ketat membungkus tubuhnya tengah berjalan dengan tenang. Wajahnya tampak berseri-seri ketika sepasang matanya yang jernih dan sipit itu menatap pemandangan alam di bukit tempatnya berpijak. Kare- na selain banyak ditumbuhi oleh pepohonan segar dengan udaranya yang sejuk, dari bukit itu ia juga da- pat melihat gunung-gunung di kejauhan yang menju- lang tinggi. Di matanya gunung-gunung yang menju- lang tinggi itu hanya terlihat seperti permadani hijau yang menghampar indah.

Wanita bertubuh mungil serta berwajah cantik de- ngan umur kurang lebih delapan belas tahun itu tidak lain Putri Bong Mini yang sudah sampai di Bukit Bir- nam, sebuah bukit yang letaknya berdekatan dengan Pulau Neraka.

Tidak jauh dari tempat Bong Mini berjalan, kira-kira sekitar lima belas meter, seorang pemuda berpakaian terpelajar dengan lukisan naga emas di bagian kanan dada bajunya yang berwarna kuning tampak sedang membayangi langkahnya. Sepasang matanya yang sipit tak lepas-lepasnya memandang Bong Mini. Dialah pe- muda yang lari ketika diserang oleh Pasukan Iblis Pu- lau Neraka ketika berada di dekat reruntuhan rumah Bong Mini.

Setelah agak jauh melangkah, telinga Bong Mini menangkap teriakan-teriakan lantang dari arah sela- tan. Ia tahu betul bahwa teriakan-teriakan itu meru- pakan pekik pertempuran yang amat ganas. Hatinya langsung terpancing untuk berjalan lebih cepat ke arah pertempuran itu.

Melihat gadis cantik bertubuh mungil berjalan de- ngan cepat, pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas segera mempercepat langkahnya pula, menyusul arah langkah Bong Mini.

Di sana, mata Bong Mini melihat dua pasukan yang sedang bertempur dengan ganas. Dari dua pasukan itu, Bong Mini melihat pasukan yang satu itu menga- lami kekalahan yang begitu berat. Terbukti dari ba- nyaknya korban yang berjatuhan, termasuk yang me- ngalami luka berat hingga tak dapat melakukan penye- rangan. Hanya tiga orang saja yang masih bertahan dalam gempuran lawan yang beringas bagai badai.

Pasukan yang menderita kekalahan itu adalah pa- sukan Perguruan Topeng Hitam. Sedangkan tiga orang yang mencoba bertahan menghadapi Pasukan Iblis Pu- lau Neraka tidak lain Giwang dan dua temannya.

Siut siut!

Tiba-tiba dua batang jarum hitam meluncur deras ke arah dua teman Giwang. Akibatnya? Dua orang yang tidak memiliki kekebalan tubuh langsung ter- sungkur di atas tanah dan tak dapat berkutik lagi.

Bong Mini yang menyaksikan pertempuran itu ter- kejut bukan main ketika melihat jarum hitam yang menusuk dua orang itu. Dia sadar sekarang kalau pa- sukan yang masih kuat dengan sisa pasukan sepuluh orang itu adalah orang-orang Iblis Pulau Neraka yang sedang dicari-carinya. Maka tanpa berpikir siapa pa- sukan yang mengalami kekalahan itu, Bong Mini lang- sung meloncat ke ajang pertempuran dan langsung menghadang pasukan Iblis Pulau Neraka.

“Hiaaat !” Bret bret!

Pedang Teratai Merah yang digenggam Bong Mini langsung menebas leher dua orang pasukan Iblis Pu- lau Neraka tanpa ampun. Sehingga kepala mereka ter- lepas dari tubuhnya.

Ketika mengetahui gadis mungil yang dibayanginya terjun ke medan pertempuran dan membantu pasukan yang mengalami kekalahan, pemuda yang memiliki lu- kisan naga emas di bajunya, alias Khian Liong, segera melompat ke tengah pertempuran dan membantu Bong Mini yang sudah mengamuk menyabet-nyabetkan pe- dangnya ke arah pasukan Iblis Pulau Neraka.

Jarot dan pasukan yang dipimpinnya benar-benar terkejut ketika melihat kedatangan dua anak muda yang melakukan penyerangan terhadap mereka. Apa- lagi ketika melihat Bong Mini telah dapat menewaskan dua temannya. Ketika mata Jarot mengamati pakaian yang dikenakan Bong Mini, pikirannya tiba-tiba ter- ingat pada cerita Danu dan Jaim tentang gadis yang ikut serta dengan Bongkap ketika Danu dan ketiga te- mannya diserang oleh dua pengawal setia Bongkap. Sedangkan ciri gadis yang disebutkan oleh Danu dan Jaim waktu itu mirip dengan gadis yang sedang diha- dapinya sekarang.

“Siapa kau, gadis kecil?! Beraninya mencampuri urusanku?!” dengus Jarot dengan sorot mata berkilat- kilat diburu amarahnya.

“Sebagai orang yang berpijak di negeri ini, apa yang terjadi di sini tentu merupakan kewajibanku untuk melibatkan diri. Apalagi terhadap kebiadaban orang- orang Iblis Pulau Neraka!” ketus Bong Mini sambil ber- usaha menangkis dan mengelak serangan Jarot dan ti- ga pembantunya.

Mendengar ucapan gadis bertubuh mungil itu, Jarot menjadi geram. Begitu pula dengan tiga temannya yang sejak tadi mengepung dan menyerang Bong Mini. Mereka semakin beringas.

“Terlalu sedikit bila aku menghadapi empat cecu- nguk!” seru Bong Mini, sengaja memancing kemarahan lawannya. Walaupun ia tahu kalau empat orang yang menyerangnya itu merupakan orang-orang yang ke- mampuannya tidak dapat dianggap remeh. Dengan berkata begitu, Bong Mini berharap agar lawannya ter- pancing dan menyerangnya dengan penuh nafsu. De- ngan begitu ia dengan mudah akan dapat menakluk- kan mereka. Karena biasanya, orang yang sudah kalap akan menyerang lawannya dengan membabi buta, tanpa perhitungan yang matang.

Pancingan Bong Mini itu ternyata mengena. Terbuk- ti dari serangan keempat lawannya yang semakin liar, seolah-olah hendak menerkamnya.

Sementara itu, Giwang yang mempunyai sifat licik, diam-diam pergi meninggalkan kancah pertempuran ketika mengetahui ada dua orang yang membantunya. Sehingga Bong Mini dan Khian Liong masing-masing harus menghadapi empat orang lawan. Untunglah ke- duanya mempunyai kepandaian yang sangat tangguh. Sehingga pertempuran yang tidak seimbang itu menja- di seru. Bahkan dengan tangkas mereka dapat meng- imbangi para pengeroyoknya.

Siut siut!

Tiba-tiba Jarot melancarkan jarum-jarum hitam be- racunnya ke arah Bong Mini. Tetapi Bong Mini yang matanya sudah diasah tajam lewat puasa mutih sela- ma empat puluh hari empat puluh malam dapat me- nangkap kelebatan jarum-jarum beracun yang keluar dari tangan pemimpin pasukan itu. Dengan cepat tu- buhnya bergerak, menghindari jarum-jarum hitam yang mengandung racun mematikan itu.

Melihat lawan dapat mengelak dari serangan jarum hitam beracunnya, Jarot jadi semakin bernafsu. De- ngan rasa penasaran membludak, ia kembali melan- carkan jarum-jarum hitam beracunnya ke arah Bong Mini dengan gencar.

Lagi-lagi Bong Mini dapat mengelakkan senjata ra- hasia itu. Bahkan sambil mengelak ia masih sempat melancarkan serangan ke arah tiga pengeroyoknya yang lain.

Brettt!

Pedang yang digenggam Bong Mini menyambar pe- rut lawan, membuat luka dalam yang menggidikkan.

“Aaakh...!”

Lawan yang terkena sabetan pedang itu mengerang dengan kedua tangan memegangi perutnya yang sudah robek dan mengeluarkan darah segar. Tubuhnya ber- putar limbung sebentar, kemudian mati.

Setelah seorang lawannya mati di ujung pedangnya, Bong Mini kembali melancarkan serangan lewat ten- dangan dan pukulan tangan yang sudah dialiri Ilmu ‘Tapak Hangus’ yang didapat ketika berguru pada Kan- jeng Rahmat Suci.

Dukkk...! Plak plak!

Tendangan kaki dan pukulan tangan yang dilaku- kan Bong Mini langsung mengenai sasaran.

“Aaakh!”

Dua orang yang terkena tendangan dan pukulan tangan Bong Mini langsung menjerit dan roboh. Kemu- dian tubuh kedua orang itu berubah hangus seperti terbakar. Itulah kedahsyatan ilmu ‘Tapak Hangus’.

Jarot yang menjadi Ketua Pasukan Iblis Pulau Ne- raka tersentak kaget melihat tiga orang teman yang membantunya itu terkapar kaku di atas tanah. Se- hingga dengan mata kalap dan nafsu yang tak terken- dalikan, ia menyerang Bong Mini tanpa perhitungan yang matang.

Bong Mini yang menyadari kelemahan serangan la- wannya itu segera menyambutnya dengan Pedang Te- ratai Merah yang terkenal sakti.

Bret! Cleb!

Sabetan dan tusukan ujung pedang Bong Mini mengakhiri nyawa Ketua Pasukan Iblis Pulau Neraka.

Di lain tempat, Khian Liong pun sudah dapat me- newaskan dua lawannya. Tinggal dua orang lagi yang masih bertahan dan melakukan serangan gencar ter- hadap pemuda itu. Namun serangan itu pun tidak ber- langsung lama. Karena setelah Bong Mini dapat meng- habisi nyawa Ketua Pasukan Iblis Pulau Neraka, Khian Liong dapat pula menewaskan seorang pengeroyoknya. Kini ia tinggal melawan seorang lawan lagi.

Seorang dari Pasukan Iblis Pulau Neraka yang ma- sih hidup itu tampak mulai digerayangi rasa takut menghadapi Khian Liong. Apalagi ketika menyadari ka- lau di sekelilingnya sudah tidak ada lagi teman-te- mannya yang hidup, termasuk pemimpinnya. Sampai akhirnya dia segera melompat tinggi dan mengambil langkah seribu, meninggalkan dua anak muda yang masih berdiri gagah di kancah pertempuran itu.

Pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas itu menoleh ke arah Bong Mini. Begitu pula dengan Bong Mini. Sehingga antara keduanya terjadi adu pandang yang cukup lama.

“Siapakah Koko? Dan mengapa berada di tempat ini serta turut bertempur dengan Pasukan Iblis Pulau Ne- raka?” tanya Bong Mini agar ia bisa terlepas dari pan- dangan lelaki muda yang mempunyai pesona luar bi- asa itu.

“Namaku Khian Liong. Aku ke sini hanya kebetulan saja. Dan ketika melihat kau bertempur dengan orang- orang itu, aku segera turut terjun membasmi orang- orang Iblis Pulau Neraka tadi!” jawab Khian Liong.

Apa yang dikatakan oleh pemuda itu memang be- nar. Dia adalah Khian Liong yang dua tahun lalu sem- pat bertemu dengan Bongkap dan pengawal setianya. Dia bertemu dengan Bongkap karena ingin meminta bantuan agar dapat menolong rakyat negeri Manchuria yang tertindas oleh kesewenangan rajanya (baca epi- sode sebelumnya: ‘Hilangnya Seorang Pendekar’).

Bong Mini mengangguk-angguk mendengar penjela- san pemuda yang bernama Khian Liong itu.

“Kalau begitu, kita sama-sama kebetulan di tempat ini dan bertempur dengan pasukan Iblis Pulau Nera- ka!” cetus Bong Mini seraya mengembangkan senyum- nya yang amat lembut.

“Siapa nama, Nona?” tanya Khian Liong bersama se- nyuman simpatik.

“Namaku Bong Mini,” sahut Bong Mini, memperke- nalkan namanya.

Khian Liong tercenung mendengar nama itu. Ke- ningnya berkerut seperti mengingat-ingat sesuatu.

“Koko seperti heran mendengar namaku?” tanya Bong Mini saat mengetahui perubahan wajah pemuda di hadapannya.

“Ah, tidak!” sahut Khian Liong cepat, sambil ter- senyum. “Aku cuma mengingat nama seseorang mirip dengan namamu!”

“Siapa dia?” tanya Bong Mini ingin tahu. “Bongkap.”

Bong Mini tersentak. Karena nama yang disebutkan pemuda itu tidak lain papanya sendiri.

“Heh, kenapa kau terkejut? Apa kau kenal nama itu?” tanya Khian Liong melihat keterkejutan pada wa- jah gadis mungil di hadapannya.

“Tentu saja aku mengenalnya. Karena orang yang kau sebutkan itu tidak lain papaku sendiri?”

“Hah?” kini Khian Liong yang balik terkejut “Jadi, kau putri Bongkap yang dikabarkan hilang dua tahun yang lalu itu?” tanya Khian Liong dengan wajah yang masih menunjukkan keterkejutan.

“Ya. Dan sekarang aku telah berkumpul kembali de- ngan papa!” sahut Bong Mini.

“Sekarang, di mana papamu?” tanya Khian Liong penuh semangat.

“Dia berada di Kampung Dukuh bersama dua pe- ngawal!” sahut Bong Mini memberitahu.

“Apakah aku bisa ke sana menemuinya?”

“Tentu saja. Tapi aku tak dapat mengantarkanmu!” “Tak mengapa. Aku sudah lama mencari-cari papa-

mu karena ada sesuatu yang ingin kubicarakan pa- danya!” ucap Khian Liong.

“Kalau begitu segeralah ke sana. Mumpung hari masih pagi!” saran Bong Mini cepat.

“Ya. Aku memang akan segera ke sana!” usai berka- ta begitu, pemuda itu pun segera meninggalkan Bong Mini yang memandanginya sampai tubuh Khian Liong menghilang dari pelupuk matanya. Setelah itu ia pun melanjutkan perjalanannya. Namun baru beberapa meter kakinya melangkah, tiba-tiba ia terhenti. Piki- rannya teringat pada kata-kata Khian Liong yang me- nyatakan ada hal penting yang akan dibicarakan den- gan papanya. Pembicaraan penting apa, ya? Pikir Bong Mini ter- cenung. Sedangkan hatinya ragu untuk melanjutkan langkahnya ke Pulau Neraka. Karena diliputi oleh rasa ingin tahu mengenai pembicaraan penting yang dikata- kan pemuda yang baru dikenalnya tadi, dia akhirnya memutar untuk kembali ke Kampung Dukuh menemui papanya.

***

7

Gonggo Gung benar-benar tak dapat menahan ma- rah saat Jurik, orang yang selamat dari tangan Khian Liong, melapor bahwa seluruh pasukan yang dipimpin oleh Jarot telah tewas.

“Kalau menghadapi orang-orang Perguruan Topeng Hitam kami telah menang, Ketua! Tapi saat itu muncul sepasang anak muda yang melakukan pembelaan ter- hadap Perguruan Topeng Hitam dan membabat habis pasukan kita!” lapor Jurik menjelaskan kekalahan yang dialami oleh pasukannya.

Gonggo Gung mengerutkan keningnya dengan sorot mata mencorong ke arah anak buahnya.

“Siapa sepasang anak muda itu?” tanya Gonggo Gung.

“Mereka tidak menyebutkan namanya, Ketua. Tapi kalau dilihat dari penampilannya, kedua orang itu mi- rip dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh Jaim dan Da- nu!” sahut Jurik.

“Hm..., mungkinkah mereka sepasang kekasih?” “Bisa jadi, Ketua. Apalagi kedua orang itu sama-

sama orang Tionghoa!” sambut Jurik, membenarkan dugaan pemimpinnya.

Gonggo Gung terdiam. Keningnya berkerut dalam. Pertanda kalau dia sedang memutar pikirannya. Bu- kan memikirkan Perguruan Topeng Hitam, melainkan memikirkan sepasang anak muda yang telah membuat seluruh pasukan yang diutus untuk melakukan pe- nyerangan terhadap Perguruan Topeng Hitam tewas semua.

Gadis itu tidak mempan oleh serangan jarum hitam beracun. Sekarang dia melakukan pembantaian terha- dap orang-orangku yang demikian banyak jumlahnya. Bahkan Jarot yang kupercaya untuk memimpin pasu- kannya telah tewas pula di tangan gadis itu. Ini me- nunjukkan bahwa gadis itu bukan orang sembara- ngan! Demikian pikiran yang ada di benak Gonggo Gung.

“Kita harus punya cara lain untuk menaklukkan se- pasang anak muda itu!” kata Gonggo Gung setelah be- berapa saat terdiam.

“Bagaimana caranya, Ketua?” tanya Jaim yang me- mang sejak tadi berada di ruangan itu bersama-sama pengikut Perkumpulan Iblis Pulau Neraka lain. Mereka terdiri dari para jago bermain senjata. Jumlahnya ku- rang lebih dua puluh orang.

“Bujuk kedua orang itu agar mau bersekutu dengan kita!” ujar Gonggo Gung mengemukakan hasil pikiran- nya.

“Bagaimana mungkin mereka mau, Ketua?” kata Ja- im.

“Kalau hanya sekadar membujuk begitu, jelas me- reka tidak mau. Oleh karena itu janjikan sesuatu yang memikat!” kata Gonggo Gung.

Beberapa orang anak buahnya yang berada di rua- ngan itu tampak mengangguk-angguk. “Berikan kedudukan sesuai dengan permintaan me- reka. Dengan perjanjian, mereka turut kita dalam me- lakukan penyerangan terhadap orang-orang Perguruan Topeng Hitam!” lanjut Gonggo Gung menjelaskan gaga- san yang dimaksud.

Beberapa orang anak buahnya kembali mengang- guk.

“Ketahuilah oleh kalian bahwa kita sangat membu- tuhkan orang-orang tangguh seperti mereka untuk da- pat memperkuat gerakan kita!” lanjut Gonggo Gung de- ngan wajah yang mulai cerah. Pikirnya, dengan cara seperti ini kedua anak muda itu pasti dapat ditakluk- kan dan dijadikan sebagai kaki tangannya. “Namun untuk membujuk mereka, kita memerlukan seorang yang berpenampilan menarik dengan tutur kata penuh simpatik!”

Kembali anak buahnya mengangguk-angguk. Kare- na hanya itu yang dapat mereka lakukan saat itu. Lagi pula setiap rencana selalu datang dari pemimpin me- reka sendiri, Gonggo Gung. Termasuk rencana penye- rangan ke Perguruan Topeng Hitam yang kandas di te- ngah jalan karena terhalang oleh sepasang anak muda, Bong Mini dan Khian Liong.

“Ong Lie, kau lebih tepat untuk melakukan tugas ini!” seru Gonggo Gung kepada salah seorang anak buahnya yang sejak tadi duduk tenang di sebelah kiri- nya.

Ong Lie adalah seorang pemuda keturunan Tiong- hoa berumur kurang lebih tiga puluh tahun. Sedang- kan tinggi badannya sekitar 1,75 senti meter. Sebuah ukuran yang paling tinggi di antara teman-temannya yang berada di Perkumpulan Iblis Pulau Neraka. Seu- kuran dengan tinggi Gonggo Gung. Berkulit langsat dengan ukuran tubuh sedang, namun berotot. Alisnya agak tipis dan pendek. Hidungnya berukuran sedang dengan bibir tipis. Di atas bibirnya tumbuh kumis yang tercukur rapi. Dagunya hijau, bertanda bahwa jenggotnya baru saja dicukur. Rambutnya panjang mengkilat dan terkucir rapi. Sedangkan pakaiannya bermodel baju koko warna biru muda, dengan hiasan sepasang burung dara yang tengah terbang berwarna kuning dengan lingkaran coklat pada lehernya. Indah sekali lukisan itu! Ditambah pula dengan model ce- lananya yang lebar di paha dan mengecil di bagian ujung kakinya. Membuat penampilannya semakin me- narik bagi siapa saja yang melihatnya.

Pemuda yang bernama Ong Lie itu mengangguk hormat ketika mendapat tugas dari Gonggo Gung.

“Aku akan menjalankan tugas itu sebaik mungkin!” kata Ong Lie.

“Bagus! Persiapkanlah rencana-rencana selanjut- nya!” perintah Gonggo Gung.

“Baik, Ketua!” sahut Ong Lie. Kemudian ia melang- kah ke luar untuk melaksanakan tugasnya mencari Putri Bong Mini.

“Lima belas orang di antara kalian tetap bergerak ke kampung-kampung untuk mencari orang-orang Pergu- ruan Topeng Hitam. Sedangkan kalian berempat tetap di sini bersamaku!” lanjut Gonggo Gung kepada anak buahnya yang masih berada di ruangan itu.

“Baik, Ketua!” sahut seluruh anak buahnya serem- pak. Kemudian lima belas orang di antara mereka me- langkah ke luar untuk menjalankan tugasnya ke kam- pung-kampung, sedangkan empat orang lagi tetap di ruangan itu bersamanya.

***

Sementara itu di Bukit Setan, Ketua Perguruan To- peng Hitam tampak marah-marah. Meja yang di hada- pannya digebrak keras, hingga patah berantakan. Se- pasang biji matanya yang besar kelihatan merah me- nyala seperti lidah api yang siap membakar.

Giwang yang baru saja tiba di tempat itu tampak menggigil ketakutan. Begitu pula dengan dua puluh lima murid-murid lain yang sejak tadi menemani Ki- darga di ruangan itu. Mereka mundur beberapa lang- kah dengan tubuh mengkeret.

Kemarahan Kidarga, Ketua Perguruan Topeng Hi- tam memang sangat beralasan. Anak buahnya yang se- lama ini dibanggakan karena ketelengasannya terha- dap rakyat, justru harus mati dengan tubuh koyak- moyak. Ditambah lagi dengan kabar kematian Yang Seng yang ditugaskan memimpin pasukan di Kampung Pamanukan serta Giwang yang mengambil langkah se- ribu.

“Kalian semuanya tidak becus! Goblok! Tak bisa kerja apa-apa!” murka Kidarga dengan sepasang ma- tanya yang menyala-nyala. Rambutnya yang panjang ikal tak terurus bergerak-gerak ke depan, menutupi wajahnya yang hitam gersang.

Giwang dan dua puluh lima murid Perguruan To- peng Hitam dalam ruangan itu tampak terdiam dengan kepala tertunduk. Malah tubuhnya semakin menciut ngeri.

“Kalian hanya mampu membantai dan merampok penduduk yang tidak mempunyai kepandaian dan ke- kuatan apa-apa. Kenapa hanya berhadapan dengan seorang gadis kecil, nyali kalian menciut? Malah si Yang Seng sendiri mati bersimbah darah. Di mana ke- mampuan kalian? Di mana kekuatan tenaga iblis kali- an!” geram Kidarga lagi dengan nafsu yang meluap- luap. Sehingga bentakannya terdengar menggema la- pat-lapat.

Dua puluh enam muridnya masih bungkam, tak be- rani bersuara. Kecuali menunduk sambil sesekali meli- rik ke arah pemimpinnya yang berdiri angker di hada- pan mereka.

Gadis itu pasti memiliki kepandaian yang sangat tinggi sehingga mampu menandingi Yang Seng dan pa- sukannya. Ini berarti, aku harus melakukan penggoj- lokan lebih keras lagi terhadap pengikutku, gumam Kidarga dalam hati.

Kidarga menghela napas berat. Kedua matanya yang merah dan tajam itu diarahkan kepada murid- muridnya satu persatu. Tegang dan penuh wibawa.

“Aku tidak mungkin berhadapan langsung dengan gadis itu!” sambung Kidarga dengan suara berat dan datar. Kemarahannya mulai menurun. Sehingga mu- rid-muridnya yang menunduk ketakutan tampak me- narik napas lega. Seolah-olah baru terlepas dari ba- haya yang mencekam.

“Walaupun begitu aku tidak tinggal diam. Aku akan ajari kalian ilmu silat yang lebih tangguh lagi agar da- pat meringkus gadis itu!” lanjut Kidarga lagi.

Semua murid-muridnya yang ada dalam ruangan itu tampak senang mendengar janji Kidarga. Itulah yang mereka harapkan. Karena selama ini mereka tak pernah mendapatkan ilmu dari Kidarga. Kalaupun ada, itu hanya terbatas pada beberapa muridnya saja, se- perti Giwang dan Yang Seng yang telah memiliki ilmu ‘Angin Setan Mencekik Leher’. Selebihnya cukup de- ngan kepandaiannya masing-masing.

“Ada yang mau bicara?” tanya Kidarga dengan sua- ra tenang.

Giwang yang sejak tadi hendak mengatakan sesu- atu segera mengangkat jarinya. “Katakan!” singkat Kidarga.

“Sejak tadi aku mendengar tentang gadis kecil yang membunuh Yang Seng. Kalau boleh tahu, bagaimana ciri-ciri gadis itu, Ketua?” tanya Giwang yang memang baru tahu mengenai pembunuhan terhadap Yang Seng.

Kidarga langsung menceritakan ciri-ciri gadis itu se- suai dengan laporan anak buahnya yang diutus meng- hubungi Yang Seng malam kemarin. Namun karena malam itu terjadi pertempuran antara Yang Seng de- ngan seorang gadis kecil, utusannya tidak jadi meng- hubungi Yang Seng, kecuali mengendap-endap sambil mengamati ciri-ciri gadis itu. Setelah didapatnya ciri- ciri orang yang diintai, utusan Kidarga pun kembali ke perguruan untuk melaporkan kejadian itu kepada Ki- darga.

Mendengar laporannya, Kidarga langsung memerin- tahkan sepuluh anak buahnya untuk membantu Yang Seng. Tapi ketika sampai di sana mereka melihat Yang Seng telah tewas. Sedangkan gadis yang melakukan pembunuhan telah lama lenyap dan tanpa diketahui ke mana jejaknya.

“Kalau memang gadis itu yang Ketua maksudkan, tidak salah lagi. Dialah orang yang telah membantu pasukanku dalam melawan orang-orang Iblis Pulau Neraka!” sergah Giwang.

“Maksudmu?” tanya Kidarga bingung.

Giwang langsung menceritakan mengenai kehadiran Bong Mini saat pasukan yang dipimpinnya itu mende- rita kekalahan.

“Begitulah, Ketua. Karena kehadiran gadis itu aku bisa meloloskan diri dan melaporkan hal ini kepada Ketua!” ucap Giwang mengakhiri ceritanya.

Kidarga diam. Pikirannya ruwet karena terganggu oleh masalah gadis yang membingungkan itu. Kalau kemarin malam gadis itu melakukan pembunuhan ter- hadap Yang Seng dan pasukannya, sekarang justru membantu pasukan Giwang dengan melakukan penye- rangan terhadap Perkumpulan Iblis Pulau Neraka.

“Ada yang lebih mengejutkan lagi, Ketua!” tambah Giwang.

“Apa itu?” tanya Kidarga cepat.

“Khian Liong. Dia hadir bersama-sama gadis itu dan turut membantu melawan orang-orang Iblis Pulau Ne- raka!” ujar Giwang menjelaskan.

“Khian Liong?” gumam Kidarga dengan kening ber- kernyit, mengingat-ingat nama orang yang disebutkan Giwang tadi. Dan ketika ia ingat, ia pun berkata seperti kepada dirinya sendiri. “Khian Liong. Sudah lama dia tak terdengar lagi kabar beritanya. Sekarang dia hadir dengan sebuah kejutan!” Kidarga menoleh pada Gi- wang. “Seharusnya kau menunggu dia dan mengajak- nya ke sini!”

“Itulah yang aku sesalkan, Ketua. Saat itu piki- ranku tidak sampai ke situ!” sahut Giwang.

“Karena kau memikirkan keselamatan nyawamu sendiri!” geram Kidarga dengan mata mencorong.

Giwang menunduk diam. Ia tidak berani memban- tah tuduhan pemimpinnya. Dalam hati ia membenar- kan tuduhan Kidarga itu.

Di saat suasana hening seperti itu, tiba-tiba datang seorang anak buahnya yang bertugas menjaga pintu mulut goa. Dia melangkah dengan tubuh yang ter- bungkuk-bungkuk.

“Maaf, Ketua!” sela muridnya itu.

“Ada apa?” sahut Kidarga tanpa reaksi.

“Di luar ada seorang pemuda yang ingin bertemu dengan Ketua!” kata muridnya itu memberitahukan. “Siapa dia?” tanya Kidarga dengan kening berker- nyit.

“Entahlah, Ketua. Tapi pemuda itu memiliki lukisan naga emas di baju bagian dadanya!”

“Tidak salah, Ketua. Dialah Khian Liong!” celetuk Giwang dengan wajah berseri.

Kidarga yang memang mengharapkan kedatangan Khian Liong segera memerintahkan muridnya itu un- tuk membawa Khian Liong ke ruangan.

Setelah mendapat perintah itu, murid yang melapor tadi segera keluar kembali untuk menyambut tamu- nya. Tidak berapa lama kemudian, muridnya tadi telah kembali bersama pemuda tampan yang tiada lain Khian Liong.

Kidarga yang melihat kehadiran pemuda itu lang- sung menjabat tangan Khian Liong dengan penuh ke- hangatan. Suasana yang tadi suram, mendadak ber- ubah gembira.

“Maafkan aku Ketua, jika baru kali ini sempat da- tang!” ucap Khian Liong dengan gaya seperti seorang terpelajar.

“Ah, tidak mengapa. Yang penting sekarang kau te- lah datang berhadapan denganku!” sahut Kidarga ra- mah. Wajahnya begitu berseri. Berbeda dengan sebe- lumnya.

“O, ya. Mana Rayi Nyi Genit?” tanya Khian Liong sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.

“Dia sudah dua hari ini pergi ke Desa Larangan!” sahut Kidarga.

“Ooo...!” hanya itu yang keluar dari mulut Khian Liong.

Seperti yang dikatakan Kidarga, memang sudah dua hari Nyi Genit pergi ke Desa Larangan, tempat asal me- reka. Kunjungannya ke desa itu tidak lain ingin mela- kukan tindakan balas dendam terhadap orang-orang yang telah menelanjanginya dan mengaraknya saat ia dan Kidarga berbuat mesum sekian puluh tahun yang lalu. Kunjungan itu sekaligus dia manfaatkan untuk mencari darah perawan dan darah perjaka untuk me- nambah kesaktian dirinya dan Kidarga.

Kidarga mengajak Khian Liong ke ruang khusus yang terletak di ruangan tengah disertai Giwang yang mengikuti dari belakang.

“Apa yang telah kau kerjakan selama ini, Khian Liong?” tanya Kidarga setelah mereka bertiga duduk di sebuah kursi batu yang telah diukir, hingga menyeru- pai kursi biasa.

“Sungguh banyak, Ketua. Dan kedatanganku ke sini pun untuk menceritakan hal itu kepada Ketua!” sahut Khian Liong.

“Kalau begitu segeralah ceritakan!” kata Kidarga ti- dak sabar.

“Begini, Ketua!” kata Khian Liong sambil membe- narkan letak duduknya. “Aku memang sengaja tidak datang ke sini selama dua tahun ini. Hal ini aku laku- kan tidak lain untuk menutupi mata Bongkap agar ti- dak tahu mengenai persekutuanku dengan Perguruan Topeng Hitam!” kata Khian Liong melanjutkan.

“Jadi kau sudah bertemu dengan Bongkap?” potong Kidarga dengan wajah sungguh-sungguh.

“Begitulah!” sahut Khian Liong. Kemudian dia men- ceritakan hasil penyelidikannya selama ini. Mulai dari pertemuannya dengan Bongkap sampai pertemuannya dengan Bong Mini.

“Bahkan aku telah mengetahui tempat Bongkap se- karang!” tutur Khian Liong mengakhiri ceritanya.

Hening. Khian Liong meneguk air di gelas yang tersedia. Se- dangkan Kidarga tampak tercenung.

“Apakah putri Bongkap tahu mengenai pasukan yang dibantunya ketika berhadapan dengan Iblis Pulau Neraka?” tanya Kidarga.

“Aku rasa dia tidak sempat berpikir begitu. Dia membantu karena tidak tega melihat Giwang yang ma- ti-matian melawan sepuluh orang pasukan Iblis Pulau Neraka!” sahut Khian Liong berpendapat.

“Siapa nama gadis itu?” sela Giwang ingin tahu. “Bong Mini!” pendek Khian Liong.

Kidarga dan Giwang tampak mengangguk-angguk kembali. Hati keduanya puas mendengar cerita yang dituturkan Khian Liong. Tinggal mengatur siasat ba- gaimana caranya agar mereka dapat menangkap Bongkap dan putrinya.

“Kalau kau sudah mengenal baik Bongkap dan pu- trinya, aturlah siasat agar kita berhasil meringkus me- reka!” kata Kidarga setelah beberapa saat hening.

“Itu masalah yang mudah, Ketua. Tapi Ketua sendiri harus ingat terhadap janji yang telah diberikan ke- padaku!” jawab Khian Liong.

“Maksudmu?” Kidarga mengerutkan keningnya. “Memberikan kedudukan tertinggi buatku jika ber-

hasil menangkap mereka berdua!” ujar Khian Liong mengingatkan.

“O, tentu. Setiap pekerjaan pasti ada upahnya. Begi- tu pula dengan perjuanganmu pasti ada balasannya!” kata Kidarga senang. Begitu pula dengan Khian Liong. Kehidupan indah dan menyenangkan terbayang di pe- lupuk matanya.

Itulah Khian Liong. Sikapnya yang begitu ramah dan penuh simpatik, ternyata hanya merupakan kedok belaka. Karena di balik semua itu ternyata ia salah seorang yang bersekutu dengan Perguruan Topeng Hi- tam. Ucapannya yang manis untuk mengajak Bongkap membebaskan rakyat negeri Manchuria hanya tipu daya saja. Untung saja ketika dia mengajak Bongkap pergi ke negeri Manchuria, Bongkap menolaknya kare- na masih mencari Putri Bong Mini yang hilang. Kalau tidak, tentu di tengah perjalanan menuju negeri Man- churia dia dikepung, ditangkap dan dipersembahkan kepada kaisar negeri Manchuria yang telah lama mem- burunya.

***

8

Siang itu udara terasa panas. Matahari yang berdiri tegak lurus di cakrawala gencar memancarkan sinar- nya yang membakar.

Saat itu, seorang gadis berpakaian merah ketat de- ngan selendang kuning tersampir di pundak kanannya tampak melangkah tenang. Seolah tidak mempeduli- kan terik matahari yang hendak memanggang tubuh- nya.

Gadis berpakaian merah ketat yang sedang berjalan tenang itu tidak lain Putri Bong Mini. Ia baru saja sam- pai di Kampung Dukuh setelah menempuh perjalanan seharian dari Bukit Birnam. Sebenarnya bisa saja ia berjalan cepat agar bisa sampai di Kampung Dukuh dalam waktu setengah hari, tapi sengaja hal itu tidak dilakukan. Sebab tidak ada sesuatu yang diburu. Dia kembali ke Kampung Dukuh hanya ingin mengetahui kabar yang diceritakan Khian Liong kepada Bongkap.

Setelah sampai di Kampung Dukuh, Bong Mini langsung masuk ke sebuah gubuk tempat tinggal Bongkap dan pengikutnya. Namun sampai di dalam hatinya kecewa. Di dalam rumah itu ia tidak menda- patkan orang-orang yang dimaksud. Kecuali Ratih Pur- basari yang ditemani Gagap dan Ontohod, dua dari empat orang pengikut pasukan Yang Seng yang telah tunduk dan mengikuti perjuangan Bong Mini. Sedang- kan yang seorang lagi adalah gadis yang mengalami gangguan jiwa.

Melihat kedatangan Bong Mini, Ratih Purbasari dan dua orang mantan Perguruan Topeng Hitam itu lang- sung berdiri dengan sikap hormat.

“Papa dan yang lainnya ke mana?” tanya Bong Mini. “Paman baru saja keluar bersama empat orang pe-

ngikutnya!” sahut Ratih Purbasari.

“Ke mana?” tanya Bong Mini dengan kening berker- nyit.

“Katanya ke Pulau Neraka. Menyusulmu!”

“Hah?!” Bong Mini terbelalak kaget. Ia terkejut kare- na Bongkap terlalu memaksakan diri untuk menindak orang-orang Iblis Pulau Neraka. Padahal kesehatannya belum pulih benar. Maka ketika mendengar Bongkap menyusulnya, tubuhnya segera melesat ke luar dengan mengerahkan ilmu peringan tubuh. Sehingga dalam waktu sekejap, Bong Mini sudah lenyap di balik rimbu- nan pohon.

***

Di lain tempat, di Pulau Neraka, lima orang berkuda sedang bergerak menuju sebuah bangunan yang cu- kup besar, rumah yang dikelilingi oleh dinding yang amat tinggi dan kokoh. Sepi. Sementara pepohonan yang lebat dan tinggi mengepung rumah itu.

Lima orang yang menunggang kuda di Pulau Neraka itu tidak lain, Bongkap, Ashiong, Sang Piao, bersama Geblek dan Gunala, dua dari empat orang mantan pengikut pasukan Yang Seng yang telah takluk dan tu- rut berjuang bersama pasukan Bong Mini. Kini, me- reka datang ke Pulau Neraka untuk melakukan penye- rangan bersama-sama Bongkap.

Setelah mencapai jarak kurang lebih sepuluh meter, Bongkap mengangkat tangannya. Pertanda bahwa pe- ngikutnya harus menghentikan langkah kuda.

Bongkap dan empat orang pengikutnya menghenti- kan langkah kuda masing-masing. Mereka duduk te- gak di punggung kuda. Sedangkan mata mereka terus tertuju ke arah pintu gerbang rumah yang dikelilingi benteng kokoh itu. Tak seorang pun yang terlihat di sekitar benteng atau di pintu gerbangnya.

Siut siut!

Tiba-tiba dua buah jarum hitam berkelebat ke arah mereka dan menembus tubuh dua ekor kuda yang di- tunggangi Geblek dan Gunala. Dua ekor kuda yang terkena jarum hitam beracun itu langsung roboh tak berkutik lagi.

Bongkap dan pengikutnya kaget melihat kematian kuda yang ditunggangi Geblek dan Gunala. Kemudian Bongkap mengangkat kepalanya, sehingga tampak o- lehnya empat orang tinggi gagah berdiri di atas ben- teng dengan pedang di tangan masing-masing.

Siut siut siut!

Empat orang gagah yang berdiri di atas tembok ben- teng itu tiba-tiba melepaskan jarum-jarum hitam bera- cunnya ke arah pasukan Bongkap lewat tangan-tangan mereka yang merentang lurus ke depan. Jarum-jarum hitam beracun itu terus meluncur seperti titik-titik hu- jan yang mengancam tubuh kelima penunggang kuda itu. Namun dengan lincah mereka menghindari serbu- an senjata rahasia itu. Dengan tangkas, mereka me- lompat dari atas punggung kuda lalu bergulingan di atas tanah sampai tubuh mereka lenyap di balik pepo- honan.

“Hiyaaat...!”

Tiba-tiba sesosok tubuh mungil dengan pakaian merah ketat melesat ke arah benteng yang tinggi dan kokoh itu. Begitu cepat, sehingga empat orang di atas tembok benteng itu tidak sempat berbuat apa-apa.

Bagai kilat, wanita mungil berbaju merah itu meng- hajar keempat lelaki tadi dengan pedang yang selalu memancarkan sinar merah berbentuk bunga teratai. Sehingga dalam sekejap terdengar pekikan melengking yang susul-menyusul, disertai ambruknya empat sosok tubuh dari atas benteng dengan tubuh bersimbah da- rah.

Setelah keempat orang itu ambruk, wanita berbaju merah yang tidak lain Bong Mini segera melompat dan hinggap di atas tanah di dekat dua ekor kuda yang ma- ti mengejang.

“Putriku!” tiba-tiba Bongkap keluar dari balik pepo- honan dan menghampiri Bong Mini. Begitu pula de- ngan empat orang lainnya. Kemudian mereka sama- sama berdiri tegak, memandang ke arah pintu gerbang rumah yang cukup besar itu.

“Hey, Iblis Penghuni Pulau Neraka! Keluar kau!” ter- dengar suara Bong Mini yang lantang. “Kalian jangan hanya bisa bersembunyi di balik tembok!”

Suara yang disertai pengerahan tenaga dalam itu bergema di sekitar tempat itu. Cukup lantang! Dan ka- lau di pulau itu ada rumah selain rumah yang dihada- pi gadis itu, tentu penghuninya akan mendengar teria- kan Bong Mini yang demikian nyaring.

Krekkk...! Bukkk! Pintu gerbang yang terbuat dari papan-papan kokoh itu terbuka berderit. Disusul kemudian dengan mun- culnya sepuluh orang bersenjata tombak dan pedang dari dalam rumah besar itu. Mereka serentak berlom- patan ke luar sambil memamerkan kepandaiannya da- lam memainkan pedang dan tombak panjang. Sehing- ga senjata mereka berkilat-kilat tertimpa cahaya mata- hari yang demikian terik. Dan dalam waktu yang cepat kesepuluh orang bersenjata itu telah mengepung ke- enam orang tersebut.

“Hm...,” terdengar suara seorang di antara mereka yang bernama Jaim bergumam ketika melihat gadis bertubuh mungil itu. “Rupanya kau belum mampus, Tikus Kecil!” lanjut Jaim geram. Dia masih mengenal gadis berbaju merah yang diserangnya lewat jarum hi- tam beracun ketika sampai di rumah Bongkap yang te- lah menjadi reruntuhan waktu itu.

Mendengar ucapan seorang lelaki yang mengelili- nginya, Bong Mini menjadi sadar, serangan gelap yang membuatnya pingsan waktu itu dilakukan oleh lelaki tadi lewat jarum-jarum hitam beracun.

“Dugaanmu memang meleset, Setan Buduk! Aku datang ke sini tidak lain ingin menghabiskan seluruh Perkumpulan Iblis Pulau Neraka, sebagaimana kalian telah menghabiskan para korban kebiadaban kalian!” geram Bong Mini. Matanya mulai berapi-api.

“Sombong sekali ucapanmu itu, Cecurut!” bentak Jaim ketika telinganya merasa panas oleh kata-kata gadis yang berdiri di hadapannya. Namun ia sendiri ti- dak berani bertindak gegabah. Karena dia tahu bahwa gadis itu pasti orang yang telah membantai teman- temannya ketika akan melakukan penyerangan ke Per- guruan Topeng Hitam.

“Wah, ada tamu cantik rupanya. Kenapa tidak se- gera masuk!” tiba-tiba terdengar suara dari pintu ger- bang. Ketika mereka menoleh, ternyata telah berdiri seorang lelaki bertubuh tinggi besar yang berjubah me- rah berjumbai-jumbai sebatas lutut. Lelaki itu berdiri tegak dengan wajah berhias senyuman cerah ke arah Bong Mini. Dialah Gonggo Gung. Dia keluar setelah mendengar suara ribut antara anak buahnya dengan seorang gadis.

Semula Gonggo Gung marah ketika keluar dari ka- marnya. Apalagi saat melihat anak buahnya yang ditu- gaskan menjaga pintu gerbang tewas dengan tubuh bermandi darah. Namun ketika melihat gadis cantik bertubuh mungil di antara kepungan sepuluh anak buahnya, sikapnya menjadi tenang. Malah dengan ke- ramah-tamahan yang dibuat-buat ia menyambut keda- tangan Bong Mini dengan mengulum senyum. Pikir- nya, biar bagaimanapun, gadis itu lebih berharga di- bandingkan dengan nyawa keempat anak buahnya yang sudah tewas. Ia merasa yakin bahwa gadis itu yang dimaksud oleh Jaim dan Danu. Gadis yang memi- liki kepandaian luar biasa. Terlihat dari ciri-cirinya yang mirip dengan penuturan kedua anak buahnya itu. Ditambah lagi dengan keberanian gadis itu, hingga makin kuatlah dugaannya.

Walaupun ia sudah bersikap tenang dalam me- nyambut Bong Mini, namun hatinya terkejut pula keti- ka matanya tertumbuk pada seorang lelaki bermata si- pit dengan jubah putih menutupi tangan kirinya yang buntung. Dia kenal betul dengan lelaki setengah baya itu. Sebab dialah yang langsung memimpin Pasukan Perkumpulan Iblis Pulau Neraka ketika melakukan pe- nyerangan dan perampokan ke rumah Bongkap.

“Punya nyali juga rupanya kau, sehingga mau ke- luar dari sarangmu!” dengus Bongkap ketika melihat Gonggo Gung berdiri di pintu gerbang. Dia pun sudah sejak tadi mengenali lelaki itu.

“Wah, umurmu masih panjang rupanya, Bongkap!” ucap Gonggo Gung setengah mengejek. Keramah-ta- mahan yang dibuat-buatnya tadi terhadap Bong Mini berubah seketika. Pikirnya, kalau gadis itu sudah ber- sekutu dengan Bongkap, pasti ia tidak akan dapat membujuknya agar mau bersekutu dengan Perkumpu- lan Iblis Pulau Neraka yang akan melancarkan sera- ngan ke Perguruan Topeng Hitam.

“Para iblis lebih menyukai nyawa dan tubuhmu se- bagai budaknya selama ini. Oleh karena itu aku da- tang ke sini untuk mengirimkan nyawamu kepada ib- lis-iblis yang selama ini kau sembah!” timpal Bongkap tidak kalah sengit. Matanya liar dan tajam memandang Gonggo Gung yang perawakannya lebih tinggi darinya.

Mendengar ucapan itu, Gonggo Gung tertawa terba- hak-bahak. Begitu keras, hingga menggema ke seki- tarnya.

“Terlalu sombong kau berbicara, Monyet Buntung!” ejek Gonggo Gung di sela tawanya yang meledak-ledak. “Aku memang pantas berlaku sombong pada orang yang lebih berani menyerang dari belakang seperti

kau!” timpal Bongkap lagi.

“Setan congek! Kau mau cari mati rupanya. Serang dan bunuh mereka!” Gonggo Gung yang merasa terhi- na dengan ucapan Bongkap itu segera memerintahkan kesepuluh anak buahnya yang sejak tadi sudah men- gepung Bongkap, Bong Mini, dan empat orang pengi- kutnya. Ketika mendapat perintah itu, kesepuluh anak buahnya segera bergerak menyerang Bongkap, Bong Mini, dan pengikutnya dengan pedang dan tombak yang tergenggam di tangan masing-masing.

Trang trang! Serangan pedang dan tombak yang dilancarkan orang-orang Iblis Pulau Neraka itu tertangkis oleh pe- dang-pedang lawannya. Malah setelah menangkis, me- reka dapat melakukan serangan balik ke arah para pe- nyerang. Sehingga orang-orang yang mengepung Bongkap dan pengikutnya menjadi berantakan

“Hiaaat!”

Bongkap melenting ke udara sambil kakinya me- nendang muka salah satu pengeroyoknya. Begitu cepat dan keras! Sehingga orang yang terkena tendangan kakinya itu terjungkal ke belakang dan membentur se- buah batu besar

Dug! “Aaakh!”

Jeritan pendek dari mulut orang itu terdengar. Di- susul dengan pecahnya kepala orang itu ketika mem- bentur batu besar. Dalam waktu singkat tubuhnya ter- geletak mengerikan!

Sementara itu, Bong Mini pun tampak lincah meng- hadapi tiga orang Iblis Pulau Neraka yang menge- royoknya dengan pedang dan tombak. Namun karena ia telah berpengalaman menghadapi keroyokan, bah- kan sering menghadapi keroyokan lebih dari lima o- rang, ia tampak masih tenang menghadapinya. Bah- kan dengan gerakan yang cepat dan tiba-tiba, dihu- jamkan ujung pedangnya ke salah seorang pengero- yoknya dengan gerakan menusuk.

Creb!

Seorang lawan yang terkena tusukan pedangnya itu langsung menggeliat dan roboh di tanah tanpa ampun lagi. Dia mati dengan mata mendelik mengerikan.

Bersamaan dengan tewasnya musuh yang terkena tusukan pedang Bong Mini, Sang Piao, Ashiong, Geblek dan Gunala telah pula menyelesaikan lawan dengan kematian yang mengerikan. Kini tinggal Bong Mini dan Bongkap yang masih bertarung melawan dua orang lawan masing-masing.

“Hiaaat!”

Tiba-tiba Bong Mini mengeluarkan teriakan pan- jang. Disusul dengan gerakan tubuh yang berputar ce- pat seperti baling-baling kapal. Itulah jurus ‘Tanpa Bayangan’ dan jurus ‘Pedang Samber Nyawa’ yang ter- kenal hebat dan sadis. Sehingga Pedang Teratai Merah berputar kencang tanpa memperlihatkan bentuknya. Tanpa diketahui oleh mata lawan, tiba-tiba pedang itu merobek perut kedua lawannya sekaligus.

Bret bret!

Dua lawan yang terkena sabetan pedangnya yang dahsyat itu langsung roboh tanpa mengeluarkan peki- kan sedikit pun.

Di pihak lain, Bongkap yang pernah terkenal seba- gai Singa Perang, telah pula menghabisi kedua lawan- nya. Sehingga lawan yang sekarang masih ada tinggal Gonggo Gung sendiri, karena memang sejak tadi dia hanya menyaksikan pertempuran itu dari arah pintu gerbang.

Takkk!

Tongkat yang sudah dikeluarkan dari balik jubah merahnya dihentakkan keras oleh Gonggo Gung. Mem- buat batu besar yang terkena hentakan ujung tongkat itu langsung berantakan. Bayangkan! Bagaimana ka- lau tongkat itu mengenai kepala manusia? Tentu tidak ada ampun lagi. Itulah jurus ‘Tongkat Hitam Penyebar Racun’.

“Kalian memang orang-orang yang perlu diberi pela- jaran!” geram Gonggo Gung dengan sorot mata yang merah menyala. Kemudian dilanjutkan dengan sebuah loncatan ke depan sambil melintangkan tongkat hi- tamnya di depan dada. Kemudian dengan gebrakan menusuk, Gonggo Gung mengarahkan tongkatnya pa- da tubuh Bongkap.

Tak!

Jurus ‘Tongkat Hitam Penyebar Racun’ terhalang oleh pedang Bong Mini yang dipakai untuk menangkis, memaksa Gonggo Gung cepat menarik kembali tongkat hitamnya. Karena pada saat beradu dengan pedang Bong Mini tangannya terasa begitu panas dan perih.

“Biarkan aku yang menghadapi iblis jelek ini, Papa!” seru Bong Mini dengan sikap gagah dan mata yang memandang tajam pada lawannya.

Bongkap yang sejak berkumpul dengan Bong Mini belum sempat melihat perkembangan kepandaian silat putrinya, langsung menyetujui kehendak Bong Mini, walaupun ia tetap waspada dan berjaga-jaga bila pu- trinya nanti kewalahan menghadapi Ketua Perkumpu- lan Iblis Pulau Neraka.

Gonggo Gung kembali menyerang, bukan pada Bongkap tetapi pada Bong Mini dengan memutar tong- katnya ke atas untuk menghantam kepala Bong Mini.

Wuttt!

Serangan tongkat Gonggo Gung itu kandas dan hanya menghantam udara kosong. Pada saat tongkat hitam itu mengarah pada kepala lawannya, Bong Mini segera menggabungkan ilmu peringan tubuh dengan ‘Halimun Sakti’. Dia mengelak dengan cara menunduk, lalu langsung dilanjutkan dengan gerakan melompat ke atas dengan kecepatan seperti kilat. Membuat tu- buhnya yang mungil itu raib dari pandangan orang- orang yang ada di sekitar tempat itu, akibat ilmu ‘Ha- limun Sakti’ yang digunakannya. Sebuah ilmu kesak- tian yang membuat tubuhnya menghilang dari pan- dangan, seolah-olah terhalang kabut hingga samar. Gonggo Gung terkejut bukan main ketika matanya tidak melihat tubuh lawan yang diserangnya. Dan be- lum sempat ia mencari-cari ke mana perginya orang yang diserang, tiba-tiba tubuh Bong Mini melayang tu- run kembali.

Melihat kehadiran musuhnya yang tiba-tiba itu, Gonggo Gung kembali melancarkan serangan tongkat hitamnya.

Trakkk!

Tongkat hitam yang tertangkis tangan Bong Mini itu menimbulkan suara yang amat keras. Disusul kemu- dian dengan tongkat hitam Gonggo Gung yang terpo- tong dua. Sedangkan tubuh pemiliknya sendiri terpe- lanting dengan wajah pucat melihat tangan kanan Bong Mini yang meluncur deras ke dahinya.

“Hiyyy!”

Gonggo Gung terpaksa bergulingan di tanah. Pada saat bergulingan itu tangannya mengambil sebuah tombak yang kebetulan tergeletak di dekatnya. Dan ke- tika bangkit, tangan kanannya sudah menggenggam tombak yang panjangnya dua meter itu. Sedangkan tangan kirinya yang sudah disalurkan ilmu ‘Tenaga Besi’ dikepalkan kuat-kuat untuk menangkis sera- ngan.

Kehebatan ilmu ‘Tenaga Besi’ yang dikerahkan oleh Gonggo Gung dapat menghalau serangan lawan dan bisa tahan terhadap benturan keras, sebagaimana yang dilakukan Bong Mini tadi ketika menangkis tong- kat hitam dengan tangan kirinya.

“Hiyaaat!”

Gonggo Gung melengking tinggi dengan tubuh ber- lari ke arah lawan yang berdiri di hadapannya. Se- dangkan tombak yang digenggamnya bergerak cepat, membuat ujung tombak di tangannya terlihat banyak. Ujung tombak yang tampak banyak itu bergerak amat dahsyat, menyambar-nyambar bagian-bagian tertentu tubuh lawannya.

Wut wut wuttt!

Angin yang diciptakan oleh tombak itu terasa seper- ti bergulung-gulung di sekitar tempat itu. Rambut Bong Mini dan orang-orang yang berada di tempat itu tampak menggelepar tertiup angin yang ditimbulkan oleh putaran tombak Gonggo Gung.

Menghadapi serangan seperti itu, Bong Mini pun melakukan gerakan serangan yang sama. Dia meng- ambil ranting kayu pohon dan mematahkannya seuku- ran tombak yang digunakan lawannya. Kemudian rant- ing pohon yang dijadikan tombak itu diputar demikian cepat sehingga seperti berjumlah dua puluh lebih, membentuk bayangan ujung tongkat yang amat meng- getarkan dada. Seketika itu juga terjadilah pertandi- ngan tombak yang sangat seru dan aneh! Karena jurus serangan tombak yang dilakukan oleh keduanya itu bergerak sama.

Bongkap, Ashiong, Sang Piao, Geblek dan Gunala kelihatan terkagum-kagum menyaksikan pertandingan itu. Terutama kepada Bong Mini. Selain karena ilmu peringan tubuh yang membuatnya dapat melesat de- ngan kecepatan luar biasa setiap kali menggenjot ke- dua kakinya, juga karena jurus tombak yang diguna- kan oleh Bong Mini sama dengan jurus tombak lawan tandingnya.

“Hm..., putriku benar-benar telah memiliki kepan- daian yang sangat tinggi!” gumam Bongkap dengan wa- jah terkagum-kagum dan mata tak berkedip menyaksi- kan kehebatan putrinya sendiri.

Gonggo Gung yang melihat gadis itu menggunakan jurus tombak ciptaannya menjadi marah bukan main. Selama ini, jurus tombak yang diciptakannya itu be- lum ia turunkan kepada siapa pun. Sekarang ia meli- hat seorang gadis cantik menggunakan jurus ilmu tombaknya dengan kecepatan yang lebih tinggi lagi, maka marahlah ia. Sehingga dengan cepat ia merubah serangan tombaknya dengan cara membuat lingkaran besar, menyambar-nyambar di atas kepala. Inilah yang disebut dengan jurus ‘Tombak Hulahup’. Dan keheba- tan jurus ‘Tombak Hulahup’ ini, bila ujung tongkatnya yang sedang berputar itu mengenai kepala lawan, ma- ka tidak ada ampun lagi! Tubuh lawan akan roboh dengan kepala yang hancur berkeping-keping seperti batu kerikil.

Dengan tangan kanan yang terus memutarkan tongkat hitamnya di atas kepala, Gonggo Gung mela- kukan pukulan maut ke arah lawan lewat tangan kiri- nya yang sudah dialiri ilmu ‘Tenaga Besi’.

Trakkk! Trak tak takkk!

Tombak hitam yang digunakan Gonggo Gung dan tongkat kayu yang dipegang Bong Mini beradu dengan keras. Dalam sekejap mata, kedua senjata yang digu- nakan mereka patah menjadi dua bagian. Disusul de- ngan bertemunya dua lengan mereka.

Dep!

Gonggo Gung yang menjadi Ketua Iblis Pulau Nera- ka ini mengaduh kesakitan dan melemparkan tombak- nya yang patah. Sedangkan tangan kanannya mengu- rut-urut lengan kirinya. Hatinya heran, tangan kirinya yang selama ini ampuh, dapat menahan senjata lawan bagaimanapun kerasnya, kini berubah seperti bambu yang bertemu besi. Tulang-belulangnya retak dan sakit bukan main. Tapi demi menjaga nama baiknya, Gong- go Gung kembali berhadapan dengan Bong Mini. Ke- dua matanya telah benar-benar merah membara. Per- tanda tubuhnya telah sepenuhnya dirasuki nafsu iblis yang selama ini dipujanya.

“Bersiaplah sekarang, Tikus Kecil! Aku benar-benar akan mengantar nyawamu ke neraka!” geram Gonggo Gung.

“Silakan kalau kau mampu!” tantang Bong Mini de- ngan bibir tersenyum tipis.

Gonggo Gung tidak menanggapi ucapan lawannya. Kecuali segera mencabut dua batang pedang yang se- jak tadi terselip di pinggangnya dan tertutup oleh ju- bah merahnya yang panjang berjumbai-jumbai.

Sreset!

Sepasang pedang berukuran panjang telah tergeng- gam di kedua tangannya. Kemudian tanpa memberi kesempatan yang lebih panjang, tubuhnya segera me- lesat menyerang Bong Mini lewat jurus ‘Pedang Mem- belah Langit’.

“Hiyaaat!” Trang! Trang!

Sepasang pedang yang berkelebat cepat ke arahnya segera disambut oleh Bong Mini dengan gerakan me- nangkis serta menyerang Gonggo Gung menggunakan Pedang Teratai Merah-nya.

Cuarrr! Cuarrr!

Cahaya merah berbentuk bunga terarai bergulung- gulung cepat ketika Bong Mini melakukan gerakan me- nangkis dan menyerang.

Bongkap dan pengikutnya yang lain kembali terka- gum-kagum. Kali ini kekaguman mereka bukan pada Bong Mini tetapi justru pada pedangnya yang dianggap ajaib dan sakti. Terbukti dari setiap gerakan pedang yang selalu menimbulkan cahaya merah menyala de- ngan bentuk bunga teratai.

Pertandingan pedang yang dilakukan Gonggo Gung dan Bong Mini berlangsung seru. Gonggo Gung lewat kedua pedangnya ternyata mampu membuat lawannya tersudut kewalahan.

Trang! “Aaakh!”

Benturan dua pedang Gonggo Gung dengan pedang- nya membuat tangan Bong Mini terasa pedas. Belum lagi rasa nyeri di tangannya memupus, sebuah sera- ngan berupa tendangan kaki ke dadanya menyusul, membuat ia terhuyung jatuh ke belakang. Sedangkan Pedang Teratai Merah terlepas dari genggamannya dan terpental ke udara.

Semula Gonggo Gung gembira melihat lawannya terjatuh, ia akan segera menghabisi lawannya. Namun ketika melihat pedang Bong Mini yang menukik deras ke arahnya, Gonggo Gung segera melakukan tangkisan dengan kedua pedangnya.

Trang! Trang!

Pedang Teratai Merah terjatuh ke atas tanah dengan keras. Namun pedang itu hanya tergeletak sebentar, lalu kembali bergerak ke arah Gonggo Gung dengan gerakan seperti hendak menyerang.

Melihat pedang yang bergerak secara ajaib itu, mata Gonggo Gung terbelalak bukan main. Tapi dia segera tersadar ketika pedang itu telah mendekat ke arahnya segera tangannya melakukan tangkisan-tangkisan se- kuatnya.

Trang! Trang!

Berulang-ulang benturan senjata yang berlainan arah itu terjadi, namun begitu, Pedang Teratai Merah milik Bong Mini terus melakukan serangan. Bahkan pedang itu bergerak demikian cepat, membuat Gonggo Gung kewalahan menghadapinya.

Sampai suatu saat.... Trang! Creb!

Pedang Teratai Merah milik Bong Mini itu menancap di dada Gonggo Gung. Kemudian pedang yang menan- cap dalam itu bergerak-gerak sendiri, seolah-olah hen- dak merobek-robek dan mengeluarkan isi dada lawan- nya.

Gonggo Gung yang sudah tersungkur di tanah, mengerang-erang dengan tubuh menggelepar-gelepar seperti ikan yang terdampar di pinggir sungai. Setelah itu, tubuh tinggi besar itu pun tidak bergerak-gerak la- gi. Gonggo Gung tewas dengan mata dan mulut terbu- ka lebar.

Melihat Gonggo Gung tewas, Pedang Teratai Merah mencabut diri dari perut lawan. Lalu bergerak melun- cur ke arah Bong Mini yang tampak memandang tak- jub ke arahnya.

Setelah dekat dengan Bong Mini, pedang itu mem- perlambat gerakannya. Lalu rebah dalam pelukan Bong Mini.

Bong Mini menyambut kedatangan Pedang Teratai Merah itu dengan wajah gembira. Dipeluk dan dicium- nya gagang pedang itu bertubi-tubi.

“Terima kasih, ‘sahabat’ku. Terima kasih! Engkau telah turut berjuang menegakkan kebenaran!” ucap Bong Mini, bersama dua butir air mata yang menitik di kedua pipinya. Dia menangis terharu. Pikirnya, pedang saja mau berbuat kebajikan dan tahu mana perbuatan salah dan yang benar, kenapa manusia yang sudah di- bekali akal pikiran dan perasaan justru berbuat seperti iblis yang selalu ingin berbuat kejahatan di muka bu- mi?

Bongkap, Ashiong, Sang Piao, Geblek dan Gunala yang sejak tadi terpaku melihat kesaktian pedang Bong Mini, segera melangkah mendekati gadis mungil itu. “Papa!” desah Bong Mini seolah-olah baru menya- dari kalau di dekatnya ada lelaki setengah baya yang selama ini membimbingnya. Kemudian dengan butiran air mata yang masih melekat di kedua pipinya, ia lang- sung memburu Bongkap dan merebahkan kepalanya di dada Bongkap.

“Kau benar-benar putriku yang hebat!” puji Bong- kap bergetar, terharu melihat perkembangan Bong Mi- ni yang demikian cepat.

“Bukan aku, Pa. Tapi ini!” sahut Bong Mini sembari mengangkat Pedang Teratai Merah yang masih digeng- gamnya.

Bongkap tersenyum sambil mengamati Pedang Te- ratai Merah yang sejak tadi membuatnya terkagum- kagum.

“Bagaimana kau bisa memiliki pedang sakti ini?” ta- nya Bongkap sambil mencoba memegang gagang pe- dang itu.

“Aku mendapatkannya dari Putri Teratai Merah!” sahut Bong Mini, cepat.

“Putri Teratai Merah?” Bongkap mengerutkan ke- ningnya.

“Benar, Pa. Apakah Papa mengenalnya?” Bong Mini balik bertanya.

“Tidak, Sayang. Mendengarnya pun Papa baru kali ini!” sahut Bongkap.

“Dia seorang pendekar wanita yang sulit dicari tan- dingannya saat ia masih hidup beberapa ratus tahun yang lalu!” jawab Bong Mini menjelaskan.

“Ratusan tahun yang lalu?” tanya Bongkap terbela- lak.

“Ya, Papa!”

“Lalu bagaimana kau bisa bertemu dengannya?” ta- nya Bongkap lagi, keheranan. “Aku sendiri tidak tahu. Sebab pertemuanku de- ngan Putri Teratai Merah tanpa kurencanakan sebe- lumnya. Saat itu, ketika aku melakukan tapa sampai hari yang keempat puluh, tiba-tiba tubuhku seperti melayang di udara. Sebelum sempat menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba aku sampai di Istana Putri, tem- pat kediaman Putri Teratai Merah. Di situlah aku men- dapatkan warisan pedang ini!” tutur Bong Mini mence- ritakan dengan singkat mengenai Pedang Teratai Me- rah yang didapatnya.

Bongkap mengangguk-angguk. Dan saat itu pula ia mulai yakin bahwa putrinya sekarang ini benar-benar telah memiliki kepandaian yang telah mengungguli ke- pandaiannya sendiri. Kalau dia hanya memiliki jurus- jurus ilmu kungfu, maka putrinya, selain pandai main kungfu juga telah memiliki ilmu kesaktian yang amat ampuh, termasuk Pedang Teratai Merah.

***

9

Matahari telah berdiri sepenggalan. Sinarnya yang kekuning-kuningan terasa menghangatkan tubuh. Membuat seluruh makhluk di permukaan bumi ini bersemangat di dalam menjalankan tugas rutinnya se- hari-hari.

Pagi itu, Bong Mini tampak duduk di Telaga Ungu yang letaknya sekitar empat puluh kilo dari pesisir Se- lat Malaka. Dia duduk di tempat yang terlindung oleh semak-semak dengan tangan memegang kail. Ketika tadi ia melewati danau itu, matanya melihat banyak ikan yang berkeliaran, terutama di tempat ia duduk. Sehingga timbul keinginannya untuk memancing ikan sebagai pengisi perutnya yang lapar. Pikirnya, mengisi perut dari hasil memancing akan lebih terasa nikmat walaupun harus menunggu terlebih dahulu sampai berjam-jam. Yang lebih menarik keinginannya justru karena memancing menyimpan keindahan tersendiri. Karena itu ketika pertama kali melihat banyak ikan di Telaga Ungu, cepat-cepat ia mencari warung untuk membeli kail. Sedangkan mata kailnya ia beli dari se- seorang yang turut memancing di Telaga Ungu.

Dengan tenang dan sabar, Bong Mini menunggu umpannya digigit ikan. Namun sampai dua jam lebih tak satu ikan pun yang menyambar umpannya. Pa- dahal di sekitar tempat itu tidak ada lagi orang yang memancing. Tidak seperti tempat lain yang agak jauh dari tempatnya duduk.

Karena sudah dua jam lebih belum ada ikan yang memakan umpannya, hati Bong Mini yang tadinya sa- bar berubah menjadi kesal.

Huh, ikan sialan! Apakah kalian tidak merasakan lapar? Atau kalian masih pada tidur? Kalau memang benar masih tidur berarti kalian pemalas. Tidak meng- indahkan peringatan matahari yang menyuruh kalian bangun dan bekerja. Atau kalian pergi rekreasi seke- luarga, sebagai hiburan akhir pekan? Bong Mini meng- umpat dalam hati panjang lebar dengan kesal. Tapi ti- dak lama kemudian, bibirnya yang merah merekah ter- senyum geli seperti menertawakan dirinya sendiri.

Heh, apa benar ada ikan yang tidur? Tanyanya bi- ngung sendiri. Lalu ia termenung dengan bertopang dagu di atas lututnya. Bukankah dia juga makhluk hi- dup yang membutuhkan makan, tidur, dan istirahat sebagaimana manusia? Dan, apakah benar ikan itu ju- ga suka rekreasi bersama istri, anak, dan cucu-cucu- nya? Membayangkan gambaran yang menggelitik ha- tinya itu Bong Mini menjadi tertawa terkikik. Apalagi di sekitarnya tidak ada orang lain, membuat ia semakin bebas tertawa.

Membayangkan keadaan hidup ikan itu, ternyata membuat Bong Mini lupa terhadap perutnya yang la- par. Malah ia semakin asyik duduk di sana sambil me- megangi kail. Tak peduli dengan terik matahari yang mulai menghujam di atas kepala.

Bersamaan dengan bergeraknya matahari di atas kepala, saat itu pula kailnya mulai terasa bergerak. Seperti ada seekor ikan yang menyentuh umpannya. Ia tersentak senang. Perhatiannya pun tercurah sepe- nuhnya ke ujung kail.

Namun kegembiraannya itu tiba-tiba berubah men- jadi rasa dongkol. Karena pada saat ia hendak menda- patkan ikan, perahu kecil melintas di tempat ia me- ngail. Kedatangan perahu itu tentu saja membuat air di sekitarnya bergoyang bagai ombak kecil, sehingga ikan yang tadi hendak menyantap umpannya menjadi kabur.

Bong Mini mengangkat wajahnya dan menatap ke arah orang yang mendayung perahu itu dengan marah. “Apakah kamu tidak tahu kalau di sini ada orang yang sedang memancing ikan?” ketus Bong Mini de-

ngan mata yang mendelik indah.

Penumpang perahu yang sudah berada beberapa meter di hadapan Bong Mini segera bangkit berdiri. Na- mun demikian, mata Bong Mini sedikit pun tak dapat melihat wajah menumpang perahu kecil itu, karena penumpang perahu itu mengenakan caping yang ter- buat dari tikar sebagai pelindung wajah dari terik sinar matahari. Hanya pakaiannya saja yang bisa dilihat oleh Bong Mini, berwarna putih lembut dengan tangan dan celana panjang yang agak melebar.

“Maaf, Nona. Aku tidak tahu kalau perahu ini meng- ganggu keasyikanmu!” hatur penumpang perahu itu dengan sikap sopan. Sedangkan dari bibirnya tampak sekilas senyum yang amat lembut.

“Hm...! Kau minta maaf setelah ikan-ikan itu pergi jauh?!” hardik Bong Mini lagi dengan kedongkolan yang menjadi-jadi. “Kau tahu, umpanku baru saja di- sentuh seekor ikan besar. Tapi begitu perahumu da- tang, ikan itu segera kabur. Padahal sejak tadi perutku sudah lapar, hendak menyantap ikan hasil pancingan- ku!” lanjut Bong Mini, tetap bernada sewot. Wajahnya bersemu merah karena sejak berjam-jam terkena ca- haya matahari.

“Sayang sekali!” gumam penumpang perahu kecil itu yang juga menunjukkan sikap menyesalnya. “Kalau begitu biar aku mengganti ikanmu yang hilang itu!”

Dalam keadaan masih berdiri di atas perahu kecil- nya, pemuda itu segera memegang dayungnya dengan tangan kanan. Kepalanya yang tertutup caping lebar tampak menunduk. Menunjukkan bahwa lelaki itu se- dang mengamati permukaan air telaga yang sudah ke- lihatan tenang.

Setelah beberapa saat pemuda itu terpaku menga- mati air telaga, tiba-tiba dayung yang dipegangnya di- angkat lalu secepat kilat digerakkan ke permukaan air. Kemudian ia berjongkok dengan tangan kiri me- nyentuh air telaga. Dan ketika tangan kirinya itu te- rangkat, terlihatlah seekor ikan sebesar paha. Ikan itu mati karena terpukul dayung pemuda tadi.

“Terimalah, Nona. Sebagai pengganti ikan tangka- panmu yang kabur itu!” kata lelaki itu sambil melem- par ikan ke samping Bong Mini.

Melihat itu Bong Mini terbelalak. Ia merasa yakin bahwa lelaki yang naik perahu kecil itu bukan lelaki sembarangan. Paling tidak ia memiliki ilmu kepandai- an yang tidak boleh dianggap remeh. Terbukti dari dayungnya yang begitu mudah membunuh seekor ikan besar. Secara tidak langsung, lelaki itu memamerkan kepandaian di hadapannya.

“Aku ingin mendapatkan ikan lewat seni mengail. Kalau hanya seperti yang kau lakukan, sudah sejak tadi aku mendapatkannya!” kilah Bong Mini. Dan de- ngan keadaan tubuh yang masih duduk tenang, Bong Mini memperhatikan permukaan air telaga. Lewat per- mukaan air yang tenang dan jernih itu, mata Bong Mini dapat melihat dengan jelas beberapa ekor ikan besar berenang-renang di dekatnya. Lalu dihujamkan- nya tangkai kail ikan yang terbuat dari bambu. Kemu- dian tangkai kail itu segera diangkat kembali. Di ujung kailnya, seekor ikan tengah menggelepar-gelepar.

Bong Mini meletakkan ikan buruannya itu di darat. Kemudian tangkai kail itu dihujamkan kembali ke da- lam air. Tidak lama kemudian ia mengangkat kembali tangkai kailnya. Kini dua ekor ikan yang cukup gemuk tertancap di ujungnya.

“Ckckck..., bukan main Nona ini. Rupanya Anda seorang gadis yang mempunyai kepandaian yang sa- ngat tinggi!” puji pemuda yang mengendarai perahu kecil, terkagum. “Maafkan aku kalau tadi mengganggu kail Anda yang sudah hendak mendapatkan ikan!” lan- jut lelaki itu dengan suara lembut dan sopan. Kemu- dian ia kembali duduk dan perlahan mendayung pera- hunya dengan tenang.

Bong Mini memperhatikan laju perahu itu sambil berdiri sampai hilang dari pandangan matanya karena terhalang oleh semak-semak yang rimbun. Kemudian ia menghela napas ringan. Matanya beralih meman- dang empat ekor ikan gemuk yang mati akibat tusukan ujung pancingnya dan pukulan dayung lelaki tadi.

“Maafkan aku, sobat. Sebenarnya aku hendak me- makan dagingmu dengan cara memancing. Tapi kare- na lelaki tadi telah memamerkan kepandaian ilmunya maka aku pun terpaksa melakukan ini!” ucap Bong Mini sambil menatap keempat ikan yang berada di ta- ngannya itu dengan wajah yang berbinar penuh canda. Bong Mini membawa empat ekor ikan itu ke tepi te- laga. Di sana ia membersihkan sisik ikan dengan ku- kunya yang agak panjang dan meruncing. Sungguh menakjubkan! Dalam sekejap sisik-sisik ikan itu telah bersih dari badannya. Setelah sisik ikan itu dibersih- kan, ia pun menggores perut ikan dengan kuku kecil- nya yang tumbuh di jari kelingking. Kemudian isi perut ikan itu dibuang dan dicucinya dengan air telaga. Sete- lah ikan itu benar-benar bersih, ia pun segera melu- muri empat ekor ikan itu dengan bumbu yang sudah disiapkan. Selanjutnya, keempat ikan itu pun dima- sukkan ke tusukan  bambu dan  memanggangnya di

atas api yang membara.

“Hm..., sedapnya!” gumam Bong Mini ketika hidung- nya yang mungil dan mancung mencium aroma yang disebarkan ikan panggang itu. Untuk beberapa saat, hidungnya yang mungil dan bangir itu berkembang kempis sangat lucu.

Tidak begitu lama ikan itu berada di atas bara api, Bong Mini segera mengangkatnya dan meletakkannya di atas daun beberapa saat, agar pada waktu dimakan ikan itu tidak terlalu panas.

Setelah ikan panggang itu mulai menghangat, baru- lah Bong Mini menyantapnya dengan penuh nikmat. Rasa gurih dan manis yang ditebaskan oleh bumbu ikan membuat ia semakin berselera menyantapnya. “Alangkah gembiranya jika aku diminta membantu untuk menghabiskan ikan panggang yang beraroma sedap itu!” tiba-tiba terdengar suara lembut dari balik semak-semak.

Bong Mini yang sedang asyik menyantap ikan men- jadi terkejut. Ia segera menghentikan makannya dan menoleh ke arah suara tadi. Di sana matanya melihat lelaki yang mengenakan caping tengah duduk berpeluk lutut, memperhatikan Bong Mini yang sedang meme- gang seekor ikan panggang.

“Kamu sengaja tidak pergi rupanya,” kata Bong Mini dengan pandangan mata setengah curiga kepada lelaki yang bercaping itu. Dan ia tahu kalau lelaki bercaping itu tidak lain orang yang di perahu kecil tadi.

“Maaf, Nona. Tadi aku memang sudah berniat hen- dak pergi. Tapi ketika baru beberapa meter dari sini, hidungku mencium aroma sedap dari ikan yang Nona bakar, membuat saya membatalkan niat dan berbalik haluan!” ucap lelaki itu mengemukakan alasan kenapa ia berada di tempat itu lagi.

“Hm...! Terus kamu mau apa setelah berada di si- ni?” tanya Bong Mini dengan pandangan tajam meneli- ti.

Bibir pemuda itu tersenyum kecil.

“Aku hanya ingin mencium bau ikan sedap itu lebih dekat lagi. Tapi kalau ditawari untuk turut menikma- tinya, aku akan menerimanya dengan senang hati!” sahut pemuda itu dengan suara yang tetap ramah.

Bong Mini diam sejenak. Sesungguhnya ia sendiri tidak mungkin dapat menghabiskan empat ekor ikan panggang besar itu sekaligus. Terbukti, baru dua ekor saja yang disantap, perutnya sudah terasa kenyang. Melihat gerak-gerik pemuda itu tidak mencurigakan, malah bersikap sopan kepadanya, maka Bong Mini pun mengajak pemuda itu untuk makan sama-sama.

Mendapat tawaran yang tak disangka-sangka itu, pemuda tadi melonjak girang. Malah berkali-kali tu- buhnya membungkuk di hadapan Bong Mini sambil mengucapkan terima kasih.

“Terima kasih, Nona. Terima kasih.... Nona benar- benar berhati baik!” puji pemuda itu dengan wajah berseri.

“Sudahlah. Langsung saja nikmati ikan panggang itu. Bukankah kau pun ikut menangkapnya?” kata Bong Mini seakan tidak peduli dengan ucapan terima kasih pemuda itu.

Pemuda itu menurut. Lalu ia duduk di hadapan Bong Mini. Sedangkan tangannya mengambil seekor ikan panggang yang tergeletak di atas daun lalu me- nyantapnya.

Diam-diam ekor mata Bong Mini melirik pada pe- muda yang sedang menyantap ikan bakar dengan la- hap. Walau ia berkali-kali mencuri pandangan ke arah lelaki itu, matanya tetap tak dapat menangkap wajah itu dengan jelas karena terhalang oleh capingnya yang lebar. Selain itu tampaknya dia sengaja hendak me- nyembunyikan wajah. Terlihat dari sikapnya yang sela- lu menunduk.

Ikan panggang di tangan Bong Mini hanya tinggal tulang saja. Kini matanya jelalatan mencari air minum. Padahal ia tahu kalau sejak tadi tidak membawa tem- pat air minum.

Tanpa disadari, tingkah Bong Mini tidak luput dari perhatian lelaki di depannya. Sambil terus mengunyah ikan di tangannya, pemuda itu menyodorkan botol mi- numan ke arah Bong Mini.

“Apa ini?” tanya Bong Mini dengan mata meneliti ke arah minuman. “Pengganti air minum!”

“Aku tidak bisa meneguk minuman keras,” kata Bong Mini setelah mencium mulut botol yang menye- barkan bau arak.

“Itu bukan arak. Hanya sebotol anggur yang manis dan segar. Juga tidak memabukkan!” lelaki itu menje- laskan tentang minuman yang dibawanya.

Bong Mini menatap lelaki itu sekilas. Kemudian tanpa menaruh rasa curiga sedikit pun, ia menung- gingkan mulut botol yang digenggamnya. Sehingga air anggur itu turun ke mulutnya tanpa menyentuh per- mukaan botol. Hal itu ia lakukan untuk menghindari bau amis mulutnya agar tidak menempel pada mulut botol.

Lelaki yang kini sudah menghabiskan dua ekor ikan panggang tampak tersenyum melihat cara Bong Mini minum. Dia tahu maksud Bong Mini meneguk botol minuman seperti itu. Sehingga timbul rasa kagum di hatinya.

“Anggur yang kau bawa ini memang enak!” ucap Bong Mini sembari memberikan botol minuman itu ke- pada lelaki tadi.

Lelaki yang mengenakan caping itu segera menyam- but botol yang diberikan Bong Mini. Kemudian ia pun segera menuangkan anggur itu langsung dari botolnya. “Ah..., hari ini aku benar-benar lega. Bisa bertemu wanita cantik sekaligus menikmati hasil masakannya!”

ucap lelaki itu sambil meletakkan botol anggurnya. “Cantik?” tanya Bong Mini dengan wajah ragu-ragu

memandang wajah lelaki yang tersembunyi di balik ca- pingnya.

“Ya. Bukan saja cantik tetapi juga lincah dan me- narik!” sambung lelaki itu menambahkan pujiannya pada perempuan berbaju merah yang baru dilihatnya itu.

“Hm..., baru kali ini aku mendapat pujian langsung dari seorang lelaki!” kata Bong Mini tanpa memperli- hatkan perubahan sikapnya.

“Aku mengatakan yang sebenarnya kalau kau me- mang seorang gadis yang menarik!”

“Apanya yang menarik?” pancing Bong Mini. Senga- ja pertanyaan itu ia ajukan. Ia ingin mengetahui jawa- ban lelaki itu. Karena dari jawaban itu ia akan dapat menilai pribadi lelaki di hadapannya.

“Entahlah, sukar untuk menentukan yang pasti. Tapi ada beberapa daya tarik yang kau miliki berda- sarkan penilaianku sendiri. Matamu, hidungmu, bibir- mu yang selalu basah dan memerah. Dan yang lebih penting adalah kesederhanaan serta kelembutan hati- mu!” tukas lelaki bercaping itu, memberikan penilaian. Sebagai gadis yang baru menginjak remaja, tentu saja Bong Mini senang mendapat pujian itu. Selama ini ia belum pernah mendapatkan pujian langsung dari

seorang lelaki kecuali papanya sendiri.

Memang lelaki yang ada di hadapannya kali ini ber- beda dengan lelaki lain yang seringkali mempunyai niat buruk. Yang selalu memandangnya dengan soro- tan mata penuh nafsu birahi, bercampur kata-kata rayuan yang mengandung kekurangajaran. Pemuda yang bercaping itu jelas berbeda dengan mereka. Ia mengatakan apa adanya, polos dan sama sekali tidak memberikan kesan kurang ajar. Sehingga ketika men- dengar pujian pemuda yang baru dilihatnya itu, Bong Mini langsung tersenyum senang.

Setelah memberikan pujian, lelaki itu mendadak berdiri.

“Tunggulah di sini sebentar. Aku hendak mengambil sesuatu!” katanya, dan tanpa menunggu sahutan dari Bong Mini lelaki itu segera melesat pergi.

Bong Mini memandang bayangannya dengan terhe- ran-heran. Ia masih bertanya-tanya dalam hati me- ngenai lelaki misterius yang tak pernah memperli- hatkan wajahnya sehingga menimbulkan rasa penasa- ran di hati Bong Mini.

Sebenarnya Bong Mini ingin sekali mengetahui na- manya dan melihat wajahnya. Tapi niatnya itu segera ia kubur. Menurutnya, kurang baik bila ia yang me- nanyakannya terlebih dahulu. Karena secara tidak langsung akan menurunkan harga dirinya sebagai wa- nita. Mungkin hal itu dianggap wajar bagi wanita lain, tapi bagi dirinya sendiri hal itu sangat tabu. Biarlah le- laki itu yang lebih dulu memperkenalkan diri, pikir Bong Mini.

Saat tercenung seperti itu, tiba-tiba muncul lelaki tadi membawa buah nangka yang sudah masak.

“Untuk cuci mulut kita yang bau amis!” ucap lelaki itu sebelum Bong Mini mengajukan pertanyaan. Tanpa menunggu lagi, lelaki tadi segera berlutut dan membe- lah buah nangka itu dengan kedua tangannya yang sudah disalurkan tenaga dalam. Dalam sekejap mata buah nangka yang kuning masak itu terbuka. Memper- lihatkan isinya yang kuning ranum, mengundang se- lera.

“Ayo!” ajak lelaki itu sambil memberikan sebelah nangka kepada Bong Mini. Sedangkan sebelah lagi un- tuk dirinya sendiri.

“Kau pandai pula membaca seleraku!” kata Bong Mini saat menggigit sebutir isi nangka dan mengu- nyahnya penuh nikmat. Nangka memang salah satu buah yang menjadi kegemarannya.

“Cuma kebetulan!” lelaki itu merendah sambil terus menyantap daging nangka. “Dari mana kau dapatkan ini?”

“Dari sini juga. Di sebelah timur telaga ini!”

Keduanya terdiam. Sama-sama asyik menikmati buah nangka. Sehingga dalam waktu sekejap buah nangka yang besar itu telah habis disantap mereka berdua. Kemudian keduanya memandang belahan buah nangka yang hanya tinggal kulit luarnya itu. Mendadak keduanya saling berpandangan dibarengi tawa renyah bersama-sama.

“Heh, kenapa kau tertawa?” tanya lelaki itu heran. “Kamu sendiri kenapa tertawa?” balik Bong Mini. “Aku cuma heran dengan perutku sendiri. Tadi wak-

tu menyantap dua ekor ikan, perutku sudah terasa kenyang. Tapi begitu dapat buah nangka ini dengan cepat kita menghabiskannya!” sahut lelaki itu.

“Wah, kalau begitu sama. Aku juga berpikir begitu!” celetuk Bong Mini seraya melepaskan senyum.

“Kalau begitu kita punya perasaan dan selera yang sama!” seloroh lelaki itu.

“Maksudmu?” tanya Bong Mini. Ditatapnya wajah lelaki itu sungguh-sungguh.

“Kita sudah menangkap ikan sama-sama. Menikma- tinya bersama pula, termasuk memakan buah nangka. Sehingga memberi kesan kalau kita sudah saling ber- kenalan cukup lama,” tutur lelaki itu. Membuat Bong Mini lagi-lagi terkejut. Sebab pikiran itu pun sedang bergeliat di benaknya. Jadi benar apa yang dikatakan oleh pemuda itu kalau mereka berdua punya selera dan perasaan yang sama.

Bong Mini tersenyum sambil memandang tubuh le- laki itu dengan mata berpijar.

“Namaku Bong Mini!” ucap Bong Mini menyebutkan namanya tanpa ragu lagi. “Kau sendiri siapa? Dan ke- napa selalu bersembunyi di balik capingmu yang lebar itu?” lanjutnya.

“Apakah kau ingin mengetahui rupaku?” “Sepantasnya memang begitu. Tak baik kan, kalau

kita bicara berhadapan tanpa saling menatap muka?” sahut Bong Mini dengan senyum tersembul.

Sekilas bibir lelaki itu tersenyum. Kemudian kedua tangannya bergerak menuju caping yang selama ini menutupi kepala dan wajahnya. Ketika caping itu telah turun dari kepala dan bersandar di punggungnya, Bong Mini menjadi tertegun. Mulutnya terkunci de- ngan kedua mata terbelalak!

Berhasilkah perjuangan Khian Liong, salah seorang sekutu Perguruan Topeng Hitam yang akan membujuk Bong Mini untuk bersekutu dengan Iblis Pulau Neraka, setelah mengetahui Gonggo Gung, pemimpinnya, tewas di tangan Bong Mini? Dan siapakah pemuda yang ada di hadapan Bong Mini? Bagaimana rupa pemuda itu sehingga Bong Mini terbelalak saat pemuda itu mem- perlihatkan wajahnya?

Untuk mengetahuinya, ikutilah serial Putri Bong Mini selanjutnya dalam episode: ‘Darah Para Tumbal’.

SELESAI
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar