Putri Borong Mini Eps 03 : Pedang Teratai Merah

Eps 03 : Pedang Teratai Merah

1

Pagi itu, matahari muda memancar dalam sapuan warna yang megah. Menyegarkan rumput-rumput sete- lah semalaman suntuk didera kabut dingin yang me- nyelimutinya. Kabut tebal yang sejak kemarin sore tu- run, perlahan-lahan pergi, meninggalkan butiran- butiran embun yang bergelayut di ujung dedaunan dan rerumputan.

Di ujung selatan negeri Selat Malaka, tampak se- buah gunung berdiri dengan angkuh. Orang menyebut bukit tersebut Gunung Muda. Gunung itu dikelilingi jurang-jurang yang amat curam serta pepohonan yang tinggi besar dan rimbun, sehingga memberikan kesan angker.

Gunung Muda tak pernah dijamah oleh penduduk setempat. Karena selain dikepung oleh pepohonan be- sar, juga disebabkan banyaknya jurang-jurang curam yang siap menelan siapa pun. Sehingga mereka tidak menyadari kalau di bukit yang berkesan angker itu berdiri sebuah gubuk yang dihuni lelaki tua.

Kanjeng Rahmat Suci, nama lelaki tua itu. Ia telah berumur sekitar enam puluh tahun. Namun begitu, ia masih memiliki tenaga yang cukup kuat. Hal ini bukan saja karena pengaruh dari ilmu kesaktian yang dimili- kinya, tetapi juga karena sikapnya yang selalu tenang dan tak pernah bermuram durja, walau bagaimanapun sulitnya kehidupan yang dia hadapi.

Sebenarnya, Kanjeng Rahmat Suci bukanlah pen- duduk asli Gunung Muda, melainkan berasal dari De- sa Larangan. Karena ada satu peristiwa yang me- nyakitkan hatinya, maka ia meninggalkan desa  asal- nya menuju Gunung Muda. Saat tinggal di Desa Larangan, beliau bernama Sunggih. Ia hidup bahagia bersama istri tercintanya yang bernama Kemuning. Perkawinan mereka dikaru- niai seorang anak laki-laki bernama Gumilang.  Nama itu diberikan karena pada saat anaknya lahir, kehidu- pan mereka sangat tenteram bahagia dan segala kebu- tuhan terpenuhi.

Di saat mereka mereguk kebahagiaan, tiba-tiba da- tang prahara yang menimpa Sunggih atau Kanjeng Rahmat Suci. Prahara ini terjadi karena laporan dari para tetangga yang mengatakan bahwa Kemuning se- ring berduaan di dalam kamar dengan seorang lelaki bernama Brata.

Brata adalah seorang tetangga yang rumahnya seki- tar lima ratus meter dari tempat tinggal Sunggih. Si- fatnya pun diam dan tak banyak bergaul. Namun di balik sifatnya itu, terselip sifat liar terhadap wanita.

Sebagai seorang suami yang sangat mencintai dan menyayangi istrinya, tentu saja Sunggih tidak mem- percayai laporan para tetangganya itu. Malah ia berba- lik prasangka kalau ucapan tetangganya itu terlalu mengada-ada karena ingin merusak kebahagiaannya. Namun ketika mendapat laporan dari anaknya yang mengatakan bahwa ibunya sering berangkulan dengan lelaki bernama Brata itu, hati Sunggih mulai panas. Seolah-olah ada bara api yang membakar hatinya. Apalagi saat membayangkan bagaimana lelahnya ia bekerja di ladang untuk menghidupi istri dan anaknya tercinta. Sedangkan istrinya yang selama ini dia baha- giakan justru bersenang-senang dengan lelaki lain saat ia menggarap sawah.

Berarti selama aku menggarap sawah di ladang, ‘la- dang’ku di rumah pun digarap pula oleh lelaki berna- ma Brata! Geram Sunggih, dilanda badai kegusaran dalam dirinya.

Walaupun hatinya sudah panas terbakar oleh cerita para tetangga dan anaknya Gumilang, Sunggih tetap mencoba bersikap sabar. Ia tidak langsung menegur is- trinya. Percuma saja menegur, pikirnya. Sebab kalau- pun benar laporan tetangga dan anaknya, pasti akan disangkal oleh Kemuning. Mana ada maling yang men- gaku perbuatannya? Atas pemikiran itu ia ingin mem- buktikan ucapan para tetangga dan anaknya lewat penglihatannya sendiri.

Suatu pagi, sebagaimana biasanya, Sunggih berang- kat ke sawah dengan membawa cangkul dan perleng- kapan lain. Namun dua  jam kemudian, ia kembali lagi ke rumahnya karena hendak membuktikan perbuatan istrinya. Ketika sampai di depan rumah, ia melihat pu- tranya, Gumilang tengah duduk di muka pintu.

“Kok, main sendirian? Ibumu mana?” tanya  Sung- gih.

“Saya disuruh Ibu menunggu di sini. Bila ada orang yang mencarinya, Ibu menyuruh saya untuk mengata- kan tidak ada,” kata Gumilang polos.

“Lalu, di mana ibumu berada?” tanya Sunggih mulai curiga.

“Ibu ada di kamar.” “Sendirian?” desak Sunggih.

“Berdua dengan lelaki yang sering ke sini!” sahut Gumilang menjelaskan.

Mendengar keterangan putranya itu, hati Sunggih mendadak panas, disertai jantung yang berdetak tak menentu. Sedangkan amarahnya naik ke ubun-ubun, siap untuk diledakkan.

Dengan langkah yang penuh nafsu, Sunggih menu- ju kamar di mana istrinya berada. Betapa terkesiap ia ketika membuka daun pintu kamar. Karena di sana, di atas pembaringan yang biasa ia tiduri bersama is- trinya, terlihat pemandangan yang amat menjijikkan dan menggetarkan seluruh tubuhnya. Apa yang dika- takan para tetangga dan putranya telah terbukti di de- pan matanya sendiri. Istrinya tengah asyik bercengke- rama dengan seorang lelaki bernama Brata, hingga me- reka tidak menyadari kehadiran Sunggih yang me- nyaksikan adegan itu.

“Dasar binatang!” maki Sunggih dengan kedua mata merah menyala. Membuat dua insan yang berlainan jenis itu tersentak. Lalu keduanya bergegas bangkit untuk mengenakan pakaian kembali.

“Sungguh tidak kuduga bila kalian melakukan pengkhianatan seperti ini!” pekik Sunggih lagi dengan nada yang makin geram. Sedangkan tangan kanannya memegang golok dan siap mengarahkannya kepada Brata. Ketika Sunggih menyerang,  dengan cepat lelaki di hadapannya itu mengelakkan serangannya. Sedang- kan tangan Brata dengan cepat menyambar golok yang ia letakkan di atas ranjang dan langsung  diarahkan pada Sunggih.

Bet! “Aaakh!”

Gumilang yang membuntuti langkah bapaknya dan berdiri di ambang pintu berteriak tertahan. Karena go- lok yang ada di tangan Brata bukan mengenai Sunggih tetapi melayang ke leher anaknya. Pada detik itu pula, Gumilang roboh dengan tubuh berlumur darah.

Melihat anaknya yang tewas dengan cara menge- naskan, Sunggih bertambah kalap. Untung  pada  saat itu para tetangga sudah berdatangan ke tempat keja- dian. Mereka datang setelah mendengar teriakan Gu- milang yang menyayat hati. Dan ketika melihat mayat Gumilang dengan leher hampir putus serta tahu siapa pembunuhnya, orang-orang yang datang cepat meng- amankan Sunggih agar tidak terjadi pembunuhan be- rikutnya. Sedangkan Brata dan Kemuning diarak kelil- ing kampung tanpa sehelai benang pun di tubuh me- reka.

Sejak peristiwa itu, Brata dan Kemuning tidak lagi tinggal di Desa Larangan. Keduanya pergi menuju Goa Bukit Setan dan melakukan tapa selama bertahun- tahun. Sedangkan Sunggih segera pergi ke Gunung Muda karena merasa malu dengan perbuatan istrinya serta untuk melupakan putranya yang mati oleh golok Brata. Di sana, ia mengasingkan diri agar tidak tergiur lagi oleh kenikmatan dunia yang semu. Selama di Gu- nung Muda, namanya diganti dengan sebutan Kanjeng Rahmat Suci.

***

Setelah mengalami pingsan satu hari satu malam (akibat pengaruh totokan Ketua Pasukan Perguruan Topeng Hitam), Bong Mini kembali tersadar. Dengan tubuh yang masih lemah, ia menyebarkan pandangan- nya ke sekeliling ruangan yang sempit di mana ia be- rada.

“Lepaskan aku!” teriak Bong Mini tiba-tiba, ketika menyadari kamar yang ia tempati sangat asing bagi di- rinya.

“Ada apa?” tiba-tiba terdengar  suara  lunak  dari arah pintu. Ketika Bong Mini menoleh, dilihatnya seo- rang lelaki tua yang berjubah putih. Wajahnya tampak lembut dan bersih dengan kening seolah memancarkan sinar. Sedangkan jemari tangannya yang agak panjang tampak bergerak memilah-milah biji tasbih yang bu- latnya sebesar kelereng berwarna hitam.

“Kau...? Kaukah  Ketua  Perguruan  Topeng  Hitam itu?” tanya Bong Mini dengan tercengang. Seolah-olah dia tidak percaya kalau lelaki berwajah lembut yang keningnya memancarkan sinar itu menjadi Ketua Per- guruan Topeng Hitam.

Lelaki tua yang tadi berdiri di ambang pintu terse- nyum lembut. Kakinya melangkah pelan ke arah Bong Mini dan duduk di tepi dipan.

“Apakah  aku yang tua renta ini cocok untuk menja- di Ketua Perguruan Topeng Hitam yang gagah dan be- ringas itu?” kata lelaki tua itu balik bertanya. Sedang- kan jemari tangannya terus memilah-milah biji tasbih hitam.

“Siapa namamu?” tanya lelaki tua itu lembut serta sinar mata yang memancarkan kasih sayang.

“Namaku Bong Mini!” sahut Bong Mini. “Bapak sen- diri siapa?”

“Namaku Kanjeng Rahmat Suci. Tapi kau boleh me- manggilku dengan sebutan kanjeng saja!” sahut Kan- jeng Rahmat Suci.

Bong Mini mengangguk-angguk. Kemudian ia meng- geser tubuhnya agar dapat duduk berhadapan dengan Kanjeng Rahmat Suci. Perasaan takut yang tadi me- nyelimuti hatinya langsung sirna setelah merasa diri- nya berada di tempat yang aman.

“Bagaimana Bapak bisa menyelamatkan diriku yang sudah berada dalam kekuasaan Ketua Perguruan To- peng Hitam?” tanya Bong Mini lagi dengan wajah me- nunjukkan rasa heran.

Lagi-lagi lelaki tua itu mengembangkan senyum lembutnya. Dia maklum akan keheranan gadis kecil yang tengah berbaring di atas dipan itu.

“Aku melihat ketua pasukan itu sedang repot men- jinakkan kudanya yang mendadak liar di Hutan Sa- ngiang. Nah, pada kesempatan itulah aku membawa dirimu yang terbaring di rerumputan dan membawa ke sini!” sahut lelaki tua itu menjelaskan.

Bong Mini tergugah mendengar  penjelasan  lelaki tua itu. Ia merasa yakin bahwa kuda Ketua Perguruan Topeng Hitam yang mendadak mengamuk itu  bukan hal yang wajar. Pasti lelaki tua di hadapannya yang membuat ulah, hingga bisa menyelamatkan dirinya da- ri cengkeraman Ketua Perguruan Topeng Hitam. Dan keyakinannya ini diperkuat deh penampilan lelaki tua itu yang mengenakan jubah putih. Sebab, setiap ia da- lam keadaan bahaya, selalu ditolong oleh lelaki berju- bah putih. Sekarang ini, lelaki berjubah putih itu tidak mengenakan topeng penutup wajahnya.

“Aku merasa yakin sekarang kalau Bapak adalah le- laki bertopeng putih yang selama ini selalu menyela- matkan diriku dari cengkeraman orang-orang berto- peng!” cetus Bong Mini menyatakan dugaannya.

“Aku tidak merasa menolong siapa-siapa. Memba- wamu ke sini saja karena kebetulan belaka!” sahut Kanjeng Rahmat Suci seolah-olah menyembunyikan budi baiknya.

Oh..., betapa mulianya orang ini. Dia selalu meren- dah dan menutupi kebaikannya, ucap hati Bong Mini terkagum-kagum.

“Apakah Kanjeng sudah lama tinggal di sini?” tanya Bong Mini lagi.

“Aku tinggal di sini kurang lebih sekitar dua puluh lima tahun. Sejak aku berumur tiga  puluh  lima  ta- hun,” sahut Kanjeng Rahmat Suci.

“Berarti sekarang Kanjeng berumur enam puluh ta- hun?” tanya Bong Mini mengira-ngira.

“Begitulah kurang lebih.”

Bong Mini mengangguk-angguk. Hatinya heran. Da- lam umur yang demikian tua, wajah Kanjeng Rahmat Suci masih terlihat segar, bersih, dan bercahaya.

“Bila menilik kulit serta matamu yang sipit, aku me- rasa yakin bahwa kau bukan penduduk asli sini,” te- bak Kanjeng Rahmat Suci saat memperhatikan Bong Mini.

“Benar, Kanjeng,” sahut Bong Mini cepat.

Kanjeng Rahmat Suci mengangguk-angguk seraya memandangi terus wajah Bong Mini yang semungil tu- buhnya.

“Memangnya kenapa, Kanjeng?”

“Tidak apa-apa. Hanya ingin membuktikan kebena- ran dugaanku saja!” sahut Kanjeng Rahmat Suci datar. Kemudian tangannya yang sejak tadi  memilah-milah biji tasbih beralih menyentuh pundak gadis kecil itu. “Sekarang, Nak Mini mandi  dulu  agar  segar.  Setelah itu kita makan dan kembali melanjutkan percakapan.”

“Baik, Kanjeng!” sahut Bong Mini seraya mengang- guk sopan. Setelah itu ia pun bangkit dari atas  dipan dan melangkah keluar.

Kanjeng Rahmat Suci mengiringi kepergian Putri Bong Mini dengan pandangan mata yang terkagum- kagum.

Calon pendekar! Gumam Kanjeng Rahmat Suci sambil terus melangkah menuju kamarnya yang terle- tak di seberang kamar Bong Mini.

***

Matahari yang tadi mengintip di ufuk timur, kini te- lah berdiri tegak lurus di cakrawala. Sinarnya yang semula hangat menyentuh kulit, kini berubah menjadi panas menyengat Bumi kini dikepung oleh gencarnya sorotan mentari, membuat hembusan angin pun men- jadi terasa panas.

Dalam suasana  terik  seperti  itu,  Kanjeng  Rahmat Suci dan Bong Mini tampak tengah duduk di  atas di- pan yang letaknya di halaman gubuk Kanjeng Rahmat Suci. Mereka baru saja selesai makan dan  duduk- duduk sejenak untuk  menurunkan  nasi  agar  sampai ke pencernaan. Setelah merasa cukup duduk beristi- rahat, Kanjeng Rahmat Suci segera  mengajak  Bong Mini untuk berjalan-jalan di sekitar Gunung Muda.

Di saat melakukan perjalanan di sekitar gunung itu, tiba-tiba Bong Mini tersadar kalau sesungguhnya seka- rang ini ia berada di tempat yang sangat  jauh dan as- ing bagi dirinya. Kesadaran itu berubah menjadi heran ketika mengetahui tempat tinggal Kanjeng Rahmat Su- ci dikelilingi sungai yang berarus deras. Sedangkan di antara sungai itu matanya tidak melihat sebuah jem- batan pun yang dapat dijadikan alat menyeberang.

“Kanjeng,” desah Bong Mini. “Hm...?”

“Apa di sekitar sungai ini tidak ada jembatan penye- berangan?”

Kanjeng Rahmat Suci menggelengkan kepalanya. “Mana ada orang yang mau membuat jembatan di

sekitar sungai ini? Sedangkan datang ke sini pun me- reka tidak pernah,” sahut Kanjeng Rahmat Suci menje- laskan.

“Lalu bagaimana cara melintasi sungai ini agar da- pat sampai ke perkampungan?” tanya Bong Mini lagi, agak heran.

“Melompat!” sahut Kanjeng Rahmat Suci singkat. “Melompati sungai ini?” tanya Bong Mini terce-

ngang.

“Ya, kenapa?”

“Bagaimana mungkin, Kanjeng?” Kanjeng Rahmat Suci tersenyum.

“Ketahuilah Nak Mini, bahwa di dunia ini tidak ada yang tak mungkin terjadi jika Tuhan  berkehendak!” kata Kanjeng Rahmat Suci.

“Tuhan?” ulang Bong Mini seperti bertanya pada diri sendiri.

“Ya, kenapa?”

Bong Mini mendesah berat.

“Ucapan Kanjeng tadi mengingatkanku pada papa. Papa selalu menyebut kata Tuhan setiap memberikan nasihat!” jawab Bong Mini yang tiba-tiba teringat pada papanya. Dia tidak tahu, bagaimana nasib papanya sekarang ini. Sebab, saat ia diculik ketua pasukan ber- topeng, papa dan para pengikutnya sedang berjuang menghadapi serangan orang-orang bertopeng.

Mengingat diri papanya itu, tiba-tiba air mata Bong Mini meleleh turun lewat celah-celah bulu  matanya, lalu meliuk-liuk di pipi seperti anak sungai yang men- cari lautan bebas.

Kanjeng Rahmat Suci melirik Bong Mini yang se- dang terdiam sedih. Kemudian ia memeluk bahu gadis kecil yang ada di sampingnya itu.

“Kau tidak perlu mengkhawatirkan keadaan papa- mu. Dia seorang lelaki sejati yang perkasa dan pantang menyerah,” hibur Kanjeng Rahmat Suci.

Bong Mini mengangkat mukanya dan menatap wa- jah lelaki tua itu dengan tatapan mata sendu.

“Tapi, Kanjeng,” lirih Bong Mini mengusap air ma- tanya. “Papa akan merasa kehilangan aku. Karena se- lama ini aku dengan papa begitu dekat dan tak pernah berpisah walau sekejap!”

“Kau benar, Anakku. Tapi untuk sementara waktu hilangkanlah kesedihanmu demi kesejahteraan orang banyak!” nasihat Kanjeng Rahmat Suci.

Bong Mini terdiam. Ia mengerti arah ucapan Kan- jeng Rahmat Suci. Oleh karena itu segera dihapus si- sa-sisa air matanya, mencoba memaksa diri untuk bersikap tegar kembali.

“Sejak tadi sebenarnya aku ingin mengetahui asal- usulmu datang ke negeri ini!” cetus Kanjeng Rahmat Suci setelah suasana hening beberapa saat.

“Aku dan papa datang ke sini karena melakukan pemberontakan terhadap Raja Manchuria!” sahut Bong Mini. Kemudian ia pun menceritakan bagaimana tin- dakan papanya sebagai panglima kerajaan yang me- nentang sikap raja yang sewenang-wenang dalam me- mungut upeti rakyat. Tidak lupa pula ia ceritakan na- sib mamanya yang mati ketika terjadi pertempuran melawan pasukan Kerajaan Manchuria.

“Mama mati karena mempertahankan kehormatan- nya, Kanjeng,” desah Bong Mini menghentikan cerita- nya. Sementara telaga bening yang sempat mengering telah banjir kembali membasahi pipinya karena ter- ingat nasib tragis yang menimpa mamanya.

Kanjeng Rahmat Suci terenyuh bercampur kagum mendengar cerita tentang Bongkap yang dipaparkan oleh Bong Mini. Jarang sekali ada orang yang me- ngorbankan jabatannya demi kepentingan rakyat kecil. Malah tidak sedikit orang yang melakukan  peninda- san, penipuan, agar tercapai ambisinya. Tapi Bongkap lain. Dia berani melepaskan jabatan demi kepentingan rakyat. Watak itu pun mengalir pula pada darah pu- trinya, Bong Mini. Sehingga dalam usianya yang masih belia, ia terjun ke dunia yang keras  demi kedamaian dan kesejahteraan rakyat. Walaupun untuk itu  ia ha- rus berkorban, berpisah dengan papanya.

“Kanjeng,” desah Bong Mini setelah beberapa saat keduanya terdiam.

Kanjeng Rahmat Suci menoleh sekilas pada gadis kecil di sampingnya. “Apakah Kanjeng juga punya pengalaman menarik yang boleh aku dengar?” tanya Bong Mini, ingin me- ngetahui.

Kanjeng Rahmat Suci terdiam beberapa saat. Ma- tanya yang teduh diarahkan pada air sungai yang mengalir meliuk-liuk dengan kecepatan yang sangat deras.

“Pengalamanku sangat pahit. Bahkan jika aku men- gingatnya, perasaan ini seperti kembali  tercabik- cabik,” kata Kanjeng Rahmat Suci tanpa perubahan di wajahnya.

“Maafkan atas pertanyaanku tadi, Kanjeng!” ucap Bong Mini merasa bersalah karena telah lancang hen- dak mengetahui perjalanan hidup orang yang berumur lebih tua darinya.

“Tidak apa-apa,” jawab Kanjeng Rahmat Suci seraya memandang Bong Mini. “Karena apa yang akan kuceri- takan ini masih ada hubungannya dengan Ketua Per- guruan Topeng Hitam!”

Bong Mini tersentak kaget, matanya menatap wajah Kanjeng Rahmat Suci penuh tanda tanya.

“Kalau begitu, Kanjeng telah mengenal dua tokoh Perguruan Topeng Hitam itu?”

“Begitulah. Malah aku mengenalnya sejak puluhan tahun yang silam, sebelum mereka melakukan huru- hara,” jelas Kanjeng Rahmat Suci.

Bong Mini mengangguk dalam ketertegunan. Se- dangkan matanya tak berkedip memandang wajah le- laki tua di hadapannya. Ia ingin sekali mendengar ki- sah yang akan diceritakan oleh Kanjeng Rahmat Suci.

“Dulu ketika berumur sekitar dua puluh lima  ta- hun, aku menikah dengan seorang gadis yang menjadi kembang di Desa Larangan. Dari hasil perkawinan itu, istriku mengandung dan melahirkan seorang bayi lela- ki tampan yang aku beri nama Gumilang,” jabar Kan- jeng Rahmat Suci memulai ceritanya.

“Siapa nama istri Kanjeng itu?” potong Bong Mini. “Kemuning.”

“Wah, indah sekali namanya!” puji Bong Mini.

“Ya. Sesuai dengan parasnya yang cantik dan kulit kuning langsat,” sambung Kanjeng Rahmat Suci, mem- benarkan pujian Bong Mini.

“Selanjutnya bagaimana, Kanjeng?” ceriwis Bong Mini tidak sabar.

Kanjeng Rahmat Suci tersenyum sejenak pada Bong Mini. Namun di balik senyumnya itu ia telah membaca watak dan sikap yang dimiliki Bong Mini. Sebuah wa- tak keras, berani, pandai dan lincah, demikian hati Kanjeng Rahmat Suci menebak pribadi gadis kecil di depannya.

“Setelah putra ku Gumilang berumur tujuh tahun, tiba-tiba cobaan datang menimpa rumah tangga ku. Istriku yang selama ini kuanggap setia dan jujur, ter- nyata melakukan penyelewengan dengan sahabatku sendiri saat aku pergi berladang. Sampai akhirnya aku memergoki langsung hubungan mereka. Melihat ke- nyataan itu, aku langsung menghujamkan  golok  ke arah temanku yang menggauli istriku itu. Namun dia mengelak dan membalas seranganku dengan goloknya sendiri. Tapi golok yang diarahkan itu meleset dan mengenai leher putra ku hingga tewas.”

“Astaga! Benar-benar setan!” geram Bong Mini sete- lah mendengar cerita Kanjeng Rahmat Suci yang me- ngerikan itu. Sedangkan Kanjeng Rahmat Suci tidak mempedulikan kegeraman Bong Mini. Dilanjutkan ceri- tanya.

“Melihat kenyataan tersebut darahku terasa panas dan hendak menuntut balas terhadap lelaki itu. Tapi para tetangga berdatangan dan mengamankan diriku yang tengah di rasuki nafsu amarah. Sedangkan istri- ku dan lelaki itu digiring keluar dan diarak keliling kampung tanpa busana,” Kanjeng Rahmat Suci meng- hentikan ceritanya.

“Siapa lelaki yang mengkhianati Kanjeng itu?” tanya Bong Mini.

“Dia bernama Brata. Tinggal tidak jauh dari rumah- ku.”

“Lalu apa hubungannya antara peristiwa itu dengan Ketua Perguruan Topeng Hitam?” tanya Bong Mini, makin penasaran.

“Tentu saja hubungannya erat, Anakku. Sebab dua tokoh Perguruan Topeng Hitam dipimpin oleh suami istri yang tidak lain Brata dan Kemuning. Mereka ber- dua meninggalkan Desa Larangan karena merasa di- permalukan oleh penduduk kampung,” tutur Kanjeng Rahmat Suci, menceritakan siapa sebenarnya kedua tokoh Perguruan Topeng Hitam.

Bong Mini mengangguk-angguk setengah kagum. Kanjeng Rahmat Suci tersenyum bijak.

“Di dunia ini pada hakikatnya  tidak  ada  seorang pun yang hebat, Anakku. Sebab bagaimanapun hebat- nya ilmu seseorang, dia akan hancur oleh Yang Me- nguasai dirinya sendiri!”

Bong Mini termangu mendengar ucapan Kanjeng Rahmat Suci. Karena kata-kata terakhir yang  melun- cur dari mulut lelaki tua itu sering didengarnya mana- kala mendapat pertolongan dari lelaki berjubah putih yang mengenakan topeng putih di wajahnya. Dari uca- pan itu, Bong Mini bertambah yakin kalau lelaki di ha- dapannya itu tidak lain lelaki bertopeng putih yang ru- panya bernama Kanjeng Rahmat Suci.

“Siapa sebenarnya  Yang  Menguasai  diri  kita,  Kan- jeng? Sebab kata-kata itu sering aku dengar dari lelaki bertopeng yang kerap menyelamatkan diriku!” kata Bong Mini.

Kanjeng Rahmat  Suci  kembali  tersenyum  agung.

Dia maklum dengan pertanyaan Bong Mini.

“Kelak kau akan mengetahuinya sendiri,” kata Kan- jeng Rahmat Suci sambil  menepuk  bahu  gadis  kecil itu. “Nah, sekarang, mari kita bersiap-siap untuk ber- latih silat. Sekaligus akan kuberikan ilmu-ilmu kesak- tian kepadamu!”

“Benarkah itu, Kanjeng?” Bong Mini melonjak gi- rang. Karena selama ini ia memang sangat mendamba- kan ilmu-ilmu baru sebagai tambahan untuk menum- pas kejahatan yang terjadi di depan matanya.

Kanjeng Rahmat Suci mengangguk seraya terse- nyum. Kemudian ia segera mengajak Putri Bong Mini untuk berlatih di suatu tempat

***

2

Kanjeng Rahmat Suci mengajak Bong Mini ke se- buah tempat yang cukup luas. Sebuah tempat yang banyak tonggak-tonggak kayu. Itulah tempat di mana Kanjeng Rahmat Suci melatih seorang muridnya yang sekarang tengah turun ke kampung untuk membeli kebutuhan makan sehari-hari mereka.

“Mulailah, Nak. Perlihatkan semua jurus yang  su- dah kau miliki,” ujar Kanjeng Rahmat Suci. Lalu ia me- langkah dan berdiri beberapa meter menghadap Putri Bong Mini.

Bong Mini  yang  sudah  berdiri  gagah  menghadap Kanjeng Rahmat Suci segera bersiap-siap membuka serangan dengan jurus-jurus yang sudah ia kuasai. Ketika melihat lelaki tua itu sudah berdiri tegak, siap menghadapi serangan, maka Bong Mini segera menju- ra ke depan. Setelah itu digempurnya pertahanan Kan- jeng Rahmat Suci.

“Hiaaat!”

Bong Mini menyerang Kanjeng Rahmat Suci dengan penuh semangat. Tangan dan kakinya bergerak-gerak menyerang tubuh Kanjeng  Rahmat  Suci.  Namun  de- ngan mudah lelaki tua itu mengelakkan serangannya dengan sedikit menundukkan  badan.  Serangan  Bong Mini yang demikian gencar hanya menerobos angin. Akibatnya, ia harus bersalto di belakang lelaki tua itu, karena tubuhnya terbawa oleh tenaga pukulan sendiri yang demikian kuat. Kemudian ia kembali berdiri tegak untuk membuka serangan berikutnya.

“Hiaaat!”

Tanpa memberi kesempatan lagi, Bong Mini segera menyerang dengan dahsyat. Ia menggunakan kedua kakinya dengan gerakan menendang yang susul-me- nyusul. Begitu gencar dan cepat tendangannya datang. Bahkan tendangan itu mengandung tenaga yang amat kuat dan bertubi-tubi. Sepasang kakinya seperti kincir angin yang berputar menyambar bergantian.

“Ilmu tendangan yang sangat hebat!” seru Kanjeng Rahmat Suci terkagum-kagum.

“Hiaaat!”

Wut wut wuttt!

Bong Mini kembali melompat seraya melakukan tendangan kaki kanan ke dada lawan dengan gerakan menjejak. Belum lagi kaki kanannya menjejak, dalam waktu sekejap Bong Mini melancarkan serangan lagi dengan kaki kiri. Namun sejauh itu belum juga berha- sil mengenai tubuh lawannya.

Menyadari jurus tendangannya tidak memberikan hasil apa-apa terhadap lawan berlatihnya, Bong Mini segera mengganti dengan jurus ‘Tendangan Berantai’.

Wut! Wut!

Bong Mini mencecar tubuh lawannya dengan kece- patan lebih tinggi dan dahsyat Disusul dengan kaki melipat yang membentuk gerakan mencekik.

“Hiyaaat!” “Huppp...! Hiyaaah!”

Kanjeng Rahmat Suci segera menyambar kedua ka- ki Bong Mini dengan kedua tangannya. Dilanjutkan dengan gerakan mendorong ke atas, sehingga tubuh gadis yang mungil itu melayang cukup tinggi di udara.

Bong Mini segera menggunakan ilmu peringan tu- buh agar dapat menjejakkan kaki di tanah tanpa kehi- langan keseimbangan. Ketika turun, Bong Mini segera melakukan serbuan kakinya lagi.

Singngng...!

Sepasang kaki Bong Mini yang lurus bagai tombak menghujam ke arah kepala orang tua itu. Tapi dengan tenang, Kanjeng Rahmat Suci menyambut serangan itu dengan mengarahkan kedua tangannya ke depan.

Jleggg!

Kedua kaki Bong Mini yang lurus ke arah kepala orang tua itu mendarat di ujung jemari tangan Kanjeng Rahmat Suci.

Bong Mini menyadari dirinya berdiri di atas jemari tangan orang tua itu. Kemudian dibungkukkan badan- nya untuk memukul wajah Kanjeng Rahmat Suci.

“Hi hi hi...!” Bong Mini mendadak tertawa geli dan membatalkan niat untuk memukul. Karena pada saat itu, kedua kakinya yang tanpa sepatu terasa digelitiki. Ternyata jari telunjuk orang tua itu menggelitik telapak kakinya hingga gadis mungil itu kegelian. “Hup...! Ah...!”

Kanjeng Rahmat Suci menurunkan  tubuh  Bong Mini dengan melepaskan sanggahan jemari tangannya. “Masih ada jurus lain?” tanya Kanjeng Rahmat Suci

di sela senyumnya.

“Aku akan menyerang Kanjeng sekali  lagi  dengan jurus ‘Pedang Samber Nyawa’!” sahut Bong Mini pena- saran.

“Silakan!” tantang Kanjeng Rahmat Suci. Kemudian Bong Mini pun mundur beberapa langkah untuk membagi jarak. Dalam serangan ini ia menggunakan dua jurus sekaligus yaitu jurus ‘Tanpa Bayangan’ dan Jurus ‘Pedang Samber Nyawa’.

“Hiaaat!”

Bong Mini berseru sambil melancarkan serangan dengan gencar. Tendangan kaki dan sabetan pedang di kedua tangannya begitu cepat menyambar ke arah Kanjeng Rahmat Suci.  Namun  bagaimanapun  hebat dan gencarnya serangan yang dilakukan Bong Mini, tetap tidak menggoyahkan kuda-kuda orang tua yang menjadi lawan tandingnya itu. Dia dengan tenang me- nangkis dan mengelak serangan Bong Mini dengan tangkas. Malah pada kesempatan lain, Kanjeng  Rah- mat Suci berhasil menyambar kedua ujung  pedang yang mengarah padanya tanpa mengalami luka sedikit pun. Melalui tenaga dalamnya, orang tua itu memukul tubuh Bong Mini hanya dengan menghentakkan pe- rutnya tanpa bernapas.

“Hekkk!”

Tubuh Bong Mini terpental jauh. Tapi untunglah ia memiliki ilmu peringan tubuh yang hampir sempurna, hingga pada saat tubuhnya jatuh di tanah ia dapat berguling-guling dan berdiri kembali dengan napas te- rengah-engah.

Semua jurus telah diperagakan dan dilancarkan ke arah Kanjeng Rahmat Suci, namun sampai jurus te- rakhir yang dimilikinya, Bong Mini tidak juga dapat menggoyahkan kuda-kuda  Kanjeng  Rahmat  Suci. Orang tua itu tetap berdiri kokoh di tempatnya seakan terpaku ke bumi.

“Aku menyerah, Kanjeng!” ucap Bong Mini dengan napas yang masih terengah-engah.

“Tidak ada lagi jurusmu yang lain?”

Bong Mini menggeleng dengan tubuh yang lemas kehabisan tenaga.

“Permainan pedang tadi merupakan jurus terakhir yang aku miliki!” kata Bong Mini.

Bibir Kanjeng Rahmat Suci tersenyum. Dihampiri- nya Bong Mini yang kini tengah duduk lemas di tanah.

“Ilmu silat yang kau miliki masih jauh di bawah ke- pandaian orang-orang Perguruan Topeng Hitam,” ujar Kanjeng Rahmat Suci setelah dekat.

“Lalu bagaimana cara menumpas orang-orang Per- guruan Topeng Hitam itu, Kanjeng?” tanya Bong Mini.

“Kau harus berlatih mempertajam panca inderamu. Mata kita dapat melihat. Tapi harus dipertajam  lagi agar dapat melihat sesuatu di balik dinding dan di ba- lik hati manusia itu sendiri. Telinga kita yang dapat mendengar pun harus dipertajam lagi agar mampu mendengar suara yang jaraknya jauh sekalipun. Nah, lewat ketajaman-ketajaman itu dan  lewat  bantuan Yang Menguasai diri, kita baru dapat menangkal segala macam kesesatan yang ditebarkan oleh manusia- manusia penyembah iblis seperti dua tokoh Perguruan Topeng Hitam.”

Bong Mini mengangguk-angguk. Wajahnya tampak sungguh-sungguh mendengarkan apa yang dikatakan orang tua yang memancarkan cahaya pada wajahnya itu.

“Tapi untuk mendapatkan ilmu itu tidak semudah kita membalikkan telapak tangan. Ada syarat-syarat tertentu untuk mencapai maksud itu. Di antaranya ha- rus suci lahir batin. Termasuk tidak suka mencela, sombong, dan mengumbar nafsu amarah yang sifatnya merusak dan merugikan orang lain. Juga memelihara mata dan telinga dari hal yang kurang bermanfaat ser- ta menjaga batin dari prasangka buruk terhadap orang lain!” urai Kanjeng Rahmat Suci, menjelaskan persya- ratan-persyaratan untuk memiliki ilmu kesaktian itu.

“Apakah aku bisa mempelajarinya, Kanjeng?” Kanjeng Rahmat Suci terdiam sambil menatap wa-

jah Bong Mini sungguh-sungguh. Membuat jantung Bong Mini berdetak. Khawatir pertanyaan tadi diang- gap lancang oleh orang tua itu.

“Kau sungguh-sungguh ingin mempelajari ilmu ke- saktian?” Kanjeng Rahmat Suci balik bertanya.

“Benar, Kanjeng!” sahut Bong Mini dengan wajah sungguh-sungguh. Hatinya lega karena Kanjeng Rah- mat Suci tidak marah.

“Untuk apa ilmu kesaktian yang akan kau peroleh nanti?” pancing Kanjeng Rahmat Suci.

“Maaf, Kanjeng. Tak sedikit pun terbersit dalam pi- kiranku untuk mempergunakan ilmu kesaktian itu da- lam tindakan kekerasan dan kesewenang-wenangan, kecuali bila berhadapan dengan orang-orang sesat se- perti Perguruan Topeng Hitam. Lagi pula, lewat ilmu yang ada pada diriku, aku bisa membantu rakyat yang tertindas seperti yang terjadi di Kerajaan Selat Malaka ini. Tidak seperti sekarang ini, aku hanya dapat geram dan mengeluh melihat perbuatan orang-orang berto- peng yang biadab. Karena kepandaian yang kumiliki sekarang ini jauh di bawah orang-orang Perguruan To- peng Hitam!” sahut Bong Mini menuturkan alasan ke- napa ia ingin mempelajari ilmu kesaktian.

“Kau siap menghadapi kesulitan?” pancing Kanjeng Rahmat Suci lagi.

“Siap, Kanjeng!” sahut Bong Mini cepat.

Kanjeng Rahmat Suci tersenyum. Sejak semula ia memang sudah tertarik pada gadis mungil ini. Ia sama sekali tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri. Belajar silat dan ilmu kesaktian tidak sekadar untuk menjaga diri sendiri, tetapi juga untuk menjaga keselamatan orang lain yang lemah dan perlu bantuan: Seperti ma- lapetaka yang kini menimpa rakyat negeri Selat Mala- ka. Selain itu, yang membuat Kanjeng Rahmat Suci tertarik dan kagum karena gadis mungil di hadapan- nya itu memiliki ketajaman otak dan pandangan yang luar biasa. Bakat yang dimilikinya mungkin malah le- bih tinggi dari dirinya sendiri.

***

Waktu terus berputar. Matahari telah berdiri tegak lurus di cakrawala. Sinarnya yang terik terasa menye- ngat sampai ke kulit kepala.

Seorang gadis mungil berwajah cantik tampak te- ngah melangkah menyusuri Gunung Muda, sambil menikmati pemandangan alam yang pertama kali dike- nalnya. Suatu pemandangan sejuk yang mengandung udara segar. Karena di sekitar bukit itu masih banyak dirimbuni oleh pepohonan besar dengan jarak yang berdekatan. Sehingga cahaya matahari yang menye- ngat dapat terendam oleh rimbunnya dedaunan.

Apa nama gunung ini, ya? Gumam gadis bertubuh mungil yang tidak lain Putri Bong Mini. Sedangkan pandangannya mengedar ke sekeliling. Tidak tampak satu rumah pun di sekitar tempat ini, kecuali gubuk Kanjeng, gumam Bong Mini lagi. Lalu ia melanjutkan perjalanannya kembali menuju utara. Di sana, ia me- nemukan sebuah sungai berikut air terjunnya.

“Hm..., dalam udara seperti ini akan terasa segar ji- ka merendam badan di sungai jernih!” usai berkata be- gitu, Bong Mini langsung melepaskan pakaiannya yang berwarna merah tanpa melihat lagi kanan kiri. Ia me- rasa yakin bahwa di sekitar sungai itu tidak ada orang lain kecuali dirinya. Sehingga dengan tenang ia meren- dam tubuhnya sampai sebatas bahu dengan tangan menggosok-gosok badannya.

Di saat asyik menggosok kulit tubuhnya yang halus dan putih itu, tanpa ia sadari, seorang pemuda me- langkah di sepanjang sungai dengan membawa bunta- lan kain di bahunya. Kemudian langkahnya  terhenti saat pandangannya tertuju pada seorang gadis cantik yang sedang mandi di sungai.

Wah..., jangan-jangan siluman sungai  yang  mandi itu, gumam hati pemuda itu ketika sepasang matanya memandang lama pada gadis mungil yang sedang be- rendam di air sungai. Dia heran, karena menurut se- pengetahuannya tidak ada orang lain di daerah itu ke- cuali dirinya. Apalagi wanita cantik.

“Heh, lelaki mata keranjang! Lancang benar kau mengintip orang yang sedang mandi!” bentak  Bong Mini dengan wajah memerah, setelah menyadari ada sepasang mata yang mengawasinya. Kemudian ia ce- pat-cepat menarik bajunya yang ditaruh di atas  se- buah batu lalu bergegas mengenakannya. Sedangkan pemuda yang mendapat bentakan tadi langsung geme- tar dan gugup. Cepat-cepat kakinya melangkah me- ninggalkan tempat itu.

“Heh, tunggu!  Kau  harus  bertanggung  jawab  atas kelancanganmu!” panggil Bong Mini dengan suara nyaring, disertai tubuhnya yang melompat cepat mem- buru pemuda itu. Dalam waktu sekejap ia dapat menghadang langkah pengintipnya.

“Dasar mata bandit! Tidak boleh melihat wanita mandi!” geram Bong Mini dengan wajah merah mena- han marah dan malu, karena tubuhnya yang polos ke- tika mandi tadi sempat dilihat oleh pemuda yang kini di depannya.

“Ma..., maaf Nona. Aku tidak sengaja!” sahut pemu- da itu gugup. Sesungguhnya ia sendiri malu telah di- tuduh mengintip. Padahal ia tak sengaja ada di sana.

“Tidak sengaja?!” bentak Bong Mini. Matanya men- delik sebesar-besarnya. “Dengan cara kau berdiri la- ma-lama sambil memelototkan mata menatap tubuh- ku, kau bilang tidak sengaja?” lanjut Bong Mini dengan berkacak pinggang.

“Sungguh, Nona! Aku tidak sengaja. Tadi aku hanya meyakinkan penglihatanku, apakah yang kulihat itu benar-benar manusia atau siluman sungai!” sangkal pemuda itu dengan sikap yang masih canggung.

“Setan! Jadi kau pikir aku ini dedemit?” Bong Mini marah ketika dicurigai sebagai wanita siluman.

“Jadi..., Nona benar-benar bukan wanita siluman? Ah..., maafkan aku yang telah salah duga ini, Nona!” hatur pemuda itu meminta maaf. Setelah itu ia hendak melanjutkan langkahnya kembali.

“Heh! Kau pikir semudah itu meminta maaf?” ben- tak Bong Mini.

“Habis bagaimana lagi, Nona?” tanya pemuda itu dengan kening berkerut, heran.

“Kau harus bertanggung jawab terhadap kelanca- ngan matamu itu!” ketus Bong Mini dengan sikap yang masih menahan langkah pemuda itu. “Apakah perbuatan yang tak kusengaja tadi merugi- kan Nona?” tanya pemuda itu seperti tak mengerti.

“Bedebah! Kau masih juga berpura-pura!” dengus Bong Mini. Kedua matanya semakin indah ketika men- delik ke arah pemuda itu.

“Aku tidak berpura-pura, Nona. Aku hanya ber- tanya, apakah tindakanku yang tidak disengaja itu me- rugikan?” ulangnya. Sedangkan hatinya mulai berdesir hebat ketika matanya menangkap kecantikan Bong Mini. Dan perasaan itu semakin membengkak ketika kedua biji matanya saling bertabrakan dengan mata gadis mungil yang berdiri di depannya.

“Hih! Beraninya kau bersilat lidah!” ketus Bong Mini sambil memperlihatkan pedang yang sejak tadi diba- wanya.

“Wah, Nona membawa pedang? Untuk apa?” tanya pemuda itu dengan sikap terkejut.

“Untuk membunuhmu, tahu!” hardik Bong Mini. Ia heran ada lelaki bermulut rewel seperti pemuda yang baru dihadapinya itu.

“Andai aku bersalah, silakan Nona bunuh! Tapi aku tidak bersalah. Kejadian tadi hanya kebetulan belaka!”

“Menurut hukum kau bersalah!” “Hukum yang mana, Nona?”

“Hukum yang kuberlakukan sendiri. Sebab kau mengintip tanpa seizinku!”

Pemuda itu tersenyum.

“Kalau minta izin terlebih dahulu namanya bukan ngintip, Nona!” kalem pemuda itu.

“Nah, betul kan, tadi kau memang sengaja mengin- tip?” kata Bong Mini merasa pancingannya mengena.

Merasa terjebak dengan ucapan Bong Mini tadi, pemuda itu segera menyahut “Benar, Nona. Aku tidak sengaja. Tadi aku hanya terpaku melihat kecantikan Nona.”

“Ah, aku tidak butuh sanjunganmu!” ujar Bong Mini tanpa peduli dengan sanjungan pemuda itu. Malah dengan sikap gagah ia mencabut pedang dari sarung- nya.

Sreset!

Pedang tanggung itu berkilauan saat terlepas dari sarungnya karena tertimpa sinar matahari.

“Sekarang, bersiaplah kau untuk mati!” kata Bong Mini lagi dengan sikap tubuh hendak menyerang pe- muda di hadapannya.

Pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Wah, gadis ini benar-benar ceriwis! Bisik hati pe- muda itu. Namun dengan sikap tenang dan sabar, ia berkata lembut pada gadis mungil yang tengah berdiri gagah itu.

“Sudahlah, Nona. Tidak ada gunanya kita berkelahi.

Lagi pula, aku kan tadi sudah minta maaf!”

“Baik kalau memang kau tidak ingin berkelahi. Tapi ada sesuatu yang harus kau lakukan!”

“Apa yang harus aku lakukan?” tanya pemuda itu. Dia merasa girang karena gadis itu membatalkan niat- nya untuk berkelahi.

“Bersujudlah di dekat telapak kakiku!” tegas gadis mungil berumur enam belas tahun itu sambil menu- dingkan ujung pedang ke arah kakinya.

Telinga pemuda itu langsung panas ketika mende- ngar ucapan Bong Mini. Secara tidak langsung, dirinya telah diremehkan sebagai seorang lelaki.

Wanita ini benar-benar minta pelajaran, ucap hati pemuda itu sambil menatap tajam wajah Bong Mini.

“Bila memang harus bersujud di telapak kakimu, lebih baik aku  menerima tawaranmu yang pertama,” kata pemuda itu, terpaksa menantang.

“Heh, punya nyali juga rupanya!” Bong Mini menci- bir.

Pemuda itu hanya tersenyum sambil terus meman- dang wajah Bong Mini.

“Nah sekarang, bersiaplah menerima seranganku!” selesai berkata begitu, Bong Mini langsung melakukan gebrakan pembuka.

“Hiaaat...! Huhhh!”

Bong Mini melompat ke arah pemuda itu dengan ge- rakan menendang. Tapi dengan cepat pula lawannya menggeser sedikit tubuhnya ke samping, hingga luput- lah serangan Bong Mini.

Melihat cara mengelak pemuda itu, Bong Mini mulai sadar kalau pemuda yang dihadapinya memiliki ke- pandaian yang tidak bisa dianggap remeh.

Gadis bertubuh mungil itu segera menghunus pe- dangnya. Kemudian dia langsung menyerang dengan gerakan menusuk.

Wuttt!

Ujung pedang yang ditusukkan  ke  tubuh  pemuda itu gagal mengenai sasaran. Dengan mudahnya pemu- da itu memiringkan badan ke samping tanpa mengge- rakkan kakinya.

Bong Mini semakin penasaran dan marah melihat pemuda itu meremehkannya. Dengan gerakan-gerakan cepat ia mengayunkan pedangnya kian kemari.

Wut wut wuttt!

Pemuda yang tadi hanya mengelak saja, kini menja- di kewalahan menghadapi serangan pedang Bong Mini yang demikian cepat dan gencar. Sehingga ia terpaksa bergulingan tanpa mendapat kesempatan untuk mela- kukan serangan balik. Tapi tidak adanya serangan ba- lasan lawan, justru dianggap Bong Mini telah mere- mehkan kepandaiannya.

“Heh! Kenapa kau hanya menghindar? Apakah cu- ma itu kepandaian yang kau miliki!” bentak Bong Mini di tengah serangannya yang deras.

“Di antara kita tidak ada permusuhan, Nona!” sahut pemuda itu tenang.

“Tapi kau telah berlaku kurang ajar padaku!” geram Bong Mini sambil menerjang pemuda itu.

Sret!

Ujung pedang Bong  Mini  menggores  bahu  pemuda itu, hingga bagian baju yang tergores itu robek dan mengalir darah dari lukanya.

“Gadis ini benar-benar hendak melukaiku!” gumam pemuda yang umurnya tidak berbeda dengan gadis yang dihadapinya. Sehingga pada saat Bong Mini me- lakukan serangan kembali, pemuda tadi segera menge- lak dan memukul tangan Bong Mini.

Plakkk!

Pedang yang digenggam Bong Mini terjatuh.

“Maaf, Nona! Aku benar-benar tak ingin berkelahi denganmu!” ucap pemuda itu sambil melesat, mening- galkan Bong Mini yang berdiri termangu-mangu.

Melihat pemuda yang pergi meninggalkannya itu, hati Bong Mini semakin panas dan geram. Pemuda itu benar-benar telah meremehkan kepandaian ilmu silat- nya. Maka ketika pedang yang terjatuh tadi diambil- nya, gadis itu langsung melesat menuju arah pemuda tadi. Tapi pemuda itu telah menghilang entah ke mana. Bong Mini benar-benar malu, kesal dan jengkel. Ba-

ru kali ini ia dipermainkan oleh seorang lawan.

“Awas kau! Suatu saat nanti akan  kulacak  jejak- mu!” geram gadis mungil itu dengan wajah memerah. Kemudian ia memasukkan kembali pedangnya dan melangkah pulang dengan membawa sejuta kekecewa- an terhadap pemuda yang baru dihadapinya tadi.

***

3

Senja mulai temaram. Kabut yang sejak siang tadi menyingkir, kini telah turun perlahan-lahan, menutupi sebagian pemandangan alam. Sehingga banyak pepo- honan yang tumbuh di sekitar pegunungan tak terlihat lagi bentuknya karena tertelan gumpalan kabut. Se- dangkan matahari yang sejak tadi memancarkan sinar dengan terang telah beringsut ke arah barat. Membuat alam bertambah suram.

Dalam suasana yang mulai gelap itu, Bong Mini  ba- ru sampai di pekarangan gubuk Kanjeng Rahmat Suci. Di sana, ia melihat orang tua itu sedang duduk di atas dipan sambil menikmati secangkir kopi dan sepiring singkong rebus.

“Dari mana saja senja begini baru pulang?” sapa Kanjeng Rahmat Suci ketika melihat kehadiran gadis mungil itu.

“Maafkan, Kanjeng. Aku terlalu asyik menikmati pemandangan, hingga tak sadar bila sudah berjalan jauh,” ucap Bong Mini.

“Hm, duduklah. Kopi yang sudah kusediakan sejak tadi sudah dingin.”

“Wah, Kanjeng terlalu merepotkan. Aku jadi tidak enak!” kata Bong Mini, malu hati terhadap kebaikan yang diberikan orang tua itu.

“Tidak apa-apa. Lagi pula kurang enak kalau aku ngopi sendirian sedangkan kau hanya minum air pu- tih,” kilahnya tenang sebagaimana kebanyakan orang yang sudah berumur lanjut.

Bong Mini tersenyum manis. Lalu ia duduk meng- hadap orang tua itu.  Sedangkan  dua  buah  pedang yang sejak tadi tersandang di punggungnya ia letakkan di atas dipan.

“Senang dengan suasana di sini?” tanya Kanjeng Rahmat Suci lagi setelah beberapa saat suasana he- ning.

“Wah, senang sekali, Kanjeng. Tempat ini sejuk dan bersih. Air sungainya pun jernih dan menyegarkan!” sahut Bong Mini cepat, memuji keindahan alam Gu- nung Muda.

“Apa yang kau katakan tadi memang benar. Karena itu aku betah tinggal di sini berlama-lama!” timpal Kanjeng Rahmat Suci atas pendapat Bong Mini.

Bong Mini mengangguk-angguk, sambil menggigit kecil sepotong singkong rebus yang tergenggam di ta- ngannya.

Pada saat itu, sebenarnya ia hendak menanyakan mengenai pemuda yang ditemuinya tadi di sungai. Namun sisi lain hati kecilnya yang merasa keberatan karena malu, hingga ia membatalkan niatnya itu. Biar- lah nanti ia sendiri yang mencari jejak pemuda itu, pi- kirnya.

“Sebenarnya sejak tadi aku ingin menanyakan se- suatu kepadamu,” ungkap Kanjeng Rahmat Suci.

“Tentang apa, Kanjeng?” tanya Bong Mini dengan memasang wajahnya sungguh-sungguh.

“Begini...,” kata Kanjeng Rahmat Suci sambil mem- benarkan letak duduknya dengan bersila. “Bila kulihat dari penampilan pakaian yang kau kenakan itu, aku merasa yakin bahwa kau hidup senang di negeri ini. Paling tidak, orangtuamu seorang saudagar.”

“Bukankah sudah dijelaskan, Kanjeng?” tanya Bong Mini. Ia merasa bahwa pertanyaan orang tua itu telah dijawab ketika menceritakan tentang liku-liku perjala- nan keluarganya hingga sampai ke negeri ini.

“Tadi pagi kau baru menceritakan tentang papamu yang menentang kehendak Raja Manchuria dan mela- rikan diri ke negeri ini bersama beberapa orang rakyat yang mengikutinya. Sedangkan tentang keberadaan papamu di sini belum  kau jelaskan,”  sahut orang tua itu.

Bong Mini mengangguk lamat. Hatinya kagum ter- hadap daya ingat orang tua itu. Sedang ia sendiri yang masih muda belia sudah tidak ingat lagi tentang cerita- nya kepada Kanjeng Rahmat Suci tadi pagi. Ketika mendengar keterangan orang tua itu, baru ia ingat.

“Maafkan aku, Kanjeng. Ternyata aku yang lupa menceritakan!” ucap Bong Mini tersenyum malu.

Kanjeng Rahmat Suci mengangguk kagum. Karena gadis kecil yang berada di hadapannya itu mau meng- akui kealpaannya.

“Tidak apa-apa. Nah, sekarang coba jelaskan ten- tang keadaan papamu di negeri ini!” pinta Kanjeng Rahmat Suci.

“Apa yang Kanjeng duga memang benar. Karena se- tibanya di sini, papa langsung mengangkat dirinya se- bagai raja bagi para pengikutnya. Dan hanya sebagian saja penduduk asli di sini yang mengetahuinya.”

“Kenapa begitu?” tanya orang tua itu ingin tahu. “Papa merasa belum mampu untuk menjadi raja

yang resmi di negeri ini. Oleh karena itu papa kurang dikenal sebagai raja, kecuali beberapa penduduk yang berdekatan dengan tempat tinggal papa!” urai Bong Mini, lalu menghentikan ceritanya sejenak.

Kanjeng Rahmat Suci mengangguk-angguk.

“Setelah beberapa bulan papa menobatkan dirinya sebagai raja, tiba-tiba datang prahara menimpa pen- duduk berupa kelaparan karena musim kemarau yang berkepanjangan. Sehingga sawah dan ladang mereka mati kekeringan dan tidak menghasilkan apa-apa. Me- lihat kenyataan penduduk seperti itu, papa jadi tidak sampai hati. Ingin membantu, ia tidak punya uang un- tuk diberikan kepada mereka. Akhirnya papa melaku- kan perampokan tanpa sepengetahuanku. Hasil dari rampokan itu papa bagikan kepada mereka yang men- derita kelaparan!” kata Bong Mini.

“Apakah papamu masih melakukan perampokan?” potong Kanjeng Rahmat Suci.

“Tidak, Kanjeng. Saat papa melakukan perampokan untuk kedua kalinya, aku sempat memergoki dan pergi meninggalkan papa. Aku merasa tertipu dengan sikap papa. Papa yang begitu baik dan sayang kepadaku ter- nyata hanya seorang perampok. Namun  belum  jauh aku meninggalkan rumah, papa datang menyusul dan menjelaskan kepadaku kenapa ia sampai melakukan perampokan. Tidak lain karena kasihan melihat rakyat yang menderita. Dan secara kebetulan  pemilik  harta itu pun seorang perampok pula. Dari situ aku meminta papa untuk menghentikan kegiatannya. Ternyata papa menuruti permintaanku untuk tidak merampok lagi sampai sekarang,” tutur Bong Mini menghentikan ceri- tanya.

Kanjeng Rahmat Suci tampak-tersenyum kagum mendengar cerita tentang perjuangan Bongkap.

“Sungguh aku kagum terhadap perjuangan papamu yang mengandung risiko itu!” puji Kanjeng  Rahmat Suci.

“Kenapa harus kagum, Kanjeng? Bukankah meram- pok merupakan perbuatan yang tercela?” tanya Bong Mini heran. “Itu betul. Tapi yang mendorong papamu untuk me- lakukan perampokan, itu yang aku kagumi. Dia rela namanya rusak demi kebahagiaan rakyat!” kata Kan- jeng Rahmat Suci memberikan alasan tentang kekagu- mannya.

Bong Mini mengangguk mengerti.

Di balik dinding bilik, seorang pemuda tampak ber- jalan mengendap-ngendap ke arah mereka dengan maksud hendak mencuri percakapan antara Bong Mini dan Kanjeng Rahmat Suci. Tapi untunglah saat  pemu- da itu mendekati tempat mereka, Bong Mini telah me- nyelesaikan ceritanya. Sehingga pemuda itu tidak sempat mendengar.

Pemuda itu melongokkan kepalanya sedikit untuk dapat melihat siapa wanita yang bercakap-cakap de- ngan Kanjeng Rahmat Suci. Dan, tersentaklah wajah- nya ketika melihat wanita yang bercakap-cakap de- ngan Kanjeng Rahmat Suci. Wanita itu pernah dite- muinya ketika berada di sungai siang tadi. Malah me- ngajaknya bertanding karena dituduh mengintip.

Memang benar kalau pemuda yang menguping pem- bicaraan antara Bong Mini dan Kanjeng Rahmat Suci adalah orang yang telah berhadapan dengan Bong Mini siang tadi. Dan dia merupakan murid tunggal Kanjeng Rahmat Suci yang bernama Baladewa, putra Prabu Ja- latunda dan Rayi Ningrum. Saat itu ia baru  saja  pu- lang dari kampung membawa kebutuhan makanan, sesuai dengan pesanan Kanjeng Rahmat Suci. Dalam perjalanan ia melihat Bong Mini yang tengah mandi di sungai.

Setelah berdiri beberapa saat di balik bilik gubuk Kanjeng Rahmat Suci, Baladewa membatalkan niat un- tuk mengantarkan bahan makanan yang dipesan gu- runya. Ia berbalik arah lalu melangkah menuju gubuk- nya yang hanya beberapa meter dari gubuk Kanjeng Rahmat Suci. Di sana, ia langsung merebahkan badan- nya di atas dipan. Sedangkan matanya menatap langit- langit kamar yang terbuat dari rumbia. Tatapan ma- tanya kosong. Karena pikirannya mengawang pada ga- dis yang dilihatnya tadi.

Siapa gadis itu dan mengapa berada di gubuk Kan- jeng Rahmat Suci? Tanya batin pemuda itu sambil membayangkan keceriwisan dan kecantikan gadis yang baru pertama kali dilihatnya itu. Apa mungkin  dia cu- cu atau murid kanjeng? Lanjut hati pemuda itu lagi. Ah..., tidak mungkin! Kanjeng tidak mempunyai seo- rang cucu atau keluarga. Untuk dikatakan  muridnya pun jelas mustahil. Karena menurut pengakuan Kan- jeng sendiri, dia tidak mempunyai murid lain kecuali diriku. Lalu siapa sebenarnya gadis itu? Batin pemuda itu terus bertanya jawab.

Wah...! Kok jadi memikirkan gadis itu? Gumam pe- muda itu lagi sambil tersenyum malu. Malu terhadap dirinya sendiri yang selalu membayangkan gadis yang dijumpainya tadi. Kemudian ia membalikkan tubuh- nya. Berusaha menghilangkan bayangan wajah  gadis itu. Namun usahanya sia-sia belaka. Semakin ia ber- usaha menghilangkan, semakin kuat wajah gadis itu membayanginya. Apa saja yang dilihatnya selalu ter- bayang wajah gadis  bertubuh mungil yang  dilihatnya di sungai tadi.

Wah, kacau nih! Bisa tidak tidur kalau begini! Bisik hati pemuda itu seraya bangkit hendak menemui gu- runya.

***

Bong Mini dan Kanjeng Rahmat Suci masih asyik bercakap-cakap. Namun demikian, pikiran Bong Mini terkadang terusik oleh pemuda yang siang tadi mem- buat dirinya malu.

“Kanjeng!” ujar Bong Mini.

Kanjeng Rahmat Suci menoleh sejenak dan ber- tanya, “Ada apa?”

“Apakah selama ini Kanjeng tinggal  sendirian?” tanya Bong Mini. Dan pertanyaan itu sebenarnya su- dah lama menggayuti hatinya. Sebab ia heran, dalam suasana bukit yang sunyi dan jauh dari  perkampu- ngan serta dikelilingi jurang dan sungai, Kanjeng Rahmat Suci tampak begitu betah.

“Hm..., ya. Aku lupa menceritakan tentang murid- ku!” ungkap Kanjeng Rahmat Suci, seolah baru sadar dari keasyikannya.

“Jadi, Kanjeng punya seorang murid?” tanya Bong Mini.

“Benar, Anakku!”

“Tapi aku sejak tadi tidak melihatnya, Kanjeng!” “Sejak kemarin sore muridku itu pergi ke kampung

untuk membeli persediaan makanan,” Kanjeng Rahmat Suci menjelaskan.

Bong Mini mengangguk-angguk paham.

“Sejak berumur sebelas tahun hingga sekarang ini dia belajar di sini,” kata Kanjeng Rahmat Suci lagi.

“Apakah dia tidak punya orangtua, Kanjeng?” tanya Bong Mini ingin tahu.

“Kedua orangtuanya masih ada. Malah ia hidup da- lam lingkungan keluarga yang berkecukupan. Tapi hanya beberapa kali mereka datang ke sini.”

“Kenapa begitu, Kanjeng? Apakah mereka tidak kangen? Atau memang karena anaknya nakal?” tanya Bong Mini beruntun.

Kanjeng Rahmat Suci tersenyum mendapat perta- nyaan gencar Putri Bong Mini. “Sebagai orangtua tentu saja mereka kangen, begitu pula dengan anaknya. Sebagaimana kau kangen pada papamu sekarang ini. Ia juga seorang anak yang baik dan penurut,” ucap Kanjeng Rahmat  Suci  menje- laskan.

Bong Mini kembali mengangguk-angguk.

“Mereka jarang datang ke sini karena aku mela- rangnya. “

“Kenapa begitu, Kanjeng?” tanya Bong Mini cepat “Aku ingin mendidik anak itu agar menjadi orang

yang tangguh. Agar ia dapat tabah dalam mengarungi kehidupan dunia yang penuh dengan berbagai pernik ini. Apalagi jika hendak mengejar cita-cita. Sebab un- tuk mengejar cita-cita, kita seperti berjalan di semak belukar yang penuh dengan tanaman berduri. Telapak kaki kita sewaktu-waktu berdarah terkena tanaman berduri!” kata Kanjeng Rahmat Suci dengan suara lu- nak. Namun apa yang dikatakannya itu sangat berarti bagi Bong Mini. Tampak tidak menasihati tapi me- ngandung makna yang amat dalam. Penuturan baha- sanya pun penuh dengan bahasa hati. Sehingga lang- sung menyentuh dinding hati lawan bicaranya.

“Tapi aku heran, sampai gelap seperti ini, dia belum juga pulang!” lanjut Kanjeng Rahmat Suci dengan wa- jah yang menunjukkan kecemasan.

“Mungkin main-main dulu, Kanjeng,” kata Bong Mini.

“Dia anak penurut. Tak pernah mengabaikan tu- gasnya sebelum selesai dilaksanakan,” ucap Kanjeng Rahmat Suci sambil menyebarkan pandangannya ke keremangan malam.

“Siapa nama murid Kanjeng itu?” tanya Bong Mini ingin tahu.

“Baladewa.” Mendengar nama itu, wajah Bong Mini langsung terkejut. Dia pernah mendengar nama itu ketika ber- cakap-cakap dengan istrinya Prabu Jalatunda, Bibi Ningrum. Pada saat itu malah ia hendak diperkenalkan dengan putranya. Namun karena terhalang oleh pasu- kan Perguruan Topeng Hitam, perjalanan itu segera di- batalkan.

“Kanjeng, apakah tempat ini bernama Gunung Mu- da?” tanya Bong Mini lagi.

“Benar. Memangnya ada apa?” orang tua itu balik bertanya.

“Tidak apa-apa, Kanjeng. Aku pernah mendengar nama itu!”

“Dan, sekarang kau sudah berada di sini menikma- tinya!”

Bong Mini membalas ucapan orang tua itu dengan tersenyum manis. Begitu pula dengan Kanjeng Rahmat Suci.

Di saat keduanya tersenyum gembira, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang tidak lain Baladewa. Dia berdiri tegak dengan buntalan kain di pundaknya.

Mata Kanjeng Rahmat Suci dan Bong Mini serentak menatap Baladewa yang berdiri di hadapan mereka. Sedangkan bibir Baladewa nampak tersenyum ke arah mereka berdua.

Bong Mini terkejut melihat kehadiran  pemuda  itu. Ia tidak mengira kalau pemuda yang diajaknya ber- tempur tadi siang justru murid Kanjeng Rahmat Suci dan putranya Prabu Jalatunda.

“Inilah muridku yang bernama Baladewa!” kata Kanjeng Rahmat Suci memperkenalkan.

Bong Mini mengangguk pelan sambil memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Namun ketika Kanjeng Rahmat Suci sudah tidak melihatnya, ia segera meng- ubah wajahnya dengan ketus. Disertai sorotan ma- tanya yang mengandung kebencian.

“Kanjeng, aku hendak menyalakan lampu kamar dulu!” ucap Bong Mini buru-buru turun.

“O, ya. Terlalu asyik kita bicara, hingga lupa jika suasana telah gelap,” Kanjeng Rahmat Suci  tersadar dari keasyikannya. Lalu ia pun masuk ke dalam gu- buknya untuk menyalakan lampu tempel. Diikuti oleh Baladewa.

“Siapa gadis itu, Kanjeng?” tanya Baladewa pura- pura.

“Dia murid baruku. Jadi saudara seperguruanmu!” sahut Kanjeng Rahmat Suci sambil menggantungkan lampu tempel yang sudah menyala di tiang rumah.

“Nampaknya dia gadis asing,” kata Baladewa, me- nebak.

“Ya. Dia berasal dari negeri Tiongkok. Tapi sudah menetap di sini,” sahut Kanjeng Rahmat Suci seraya memandang wajah muridnya. “Hari ini begitu lama kau berbelanja. Ada apa?”

“Tidak ada apa-apa, Kanjeng. Kebetulan sambil ber- belanja tadi, aku keliling kampung untuk melihat-lihat suasana,” jawab Baladewa menyembunyikan kejadian yang sesungguhnya.

Orang tua itu mengangguk-angguk.

“Ya, sudah. Kembalilah ke gubukmu. Nanti kita bin- cang-bincang lagi,” kata orang tua itu.

“Baik, Kanjeng!” sahut Baladewa. Dan setelah me- naruh buntalan di atas meja, ia segera kembali ke gu- buknya untuk menyalakan lampu tempel di kamarnya.

*** 4

Selama di Gunung Muda, Bong Mini telah mendapat kemajuan yang amat menakjubkan! Bahkan Kanjeng Rahmat Suci sendiri merasa heran dan kagum terha- dap kemajuan Putri Bong Mini. Semua ilmu yang di- ajarkan oleh orang tua itu selalu dapat dilakukan de- ngan hampir sempurna. Sehingga tidak heran, setelah dua tahun berada di Gunung Muda yaitu dalam usia kedelapan belas tahun, kepandaian ilmu  silat  Bong Mini telah jauh meninggalkan saudara seperguruan- nya, Baladewa.

Kemajuan yang diperoleh Bong Mini bukan saja da- lam hal ilmu silat, tetapi dalam ilmu peringan  tubuh dan tenaga dalam ia pun mengalami kemajuan yang sangat pesat. Karena secara diam-diam, tanpa diperin- tah Kanjeng Rahmat Suci, Bong Mini melakukan lati- han sendiri di tempat yang agak jauh dari tempat me- reka. Malah setiap pagi, sebelum matahari muncul memancarkan sinarnya, Bong Mini selalu pergi ke sungai tempat ia pertama kali mandi untuk merendam dirinya pada air sungai yang dingin itu sampai bebera- pa jam. Dari rasa dingin yang ditimbulkan  air  sungai itu ia dapat menampung pusat tenaga dalam yang sangat hebat.

Setelah mendapatkan semua pelajaran ilmu silat, Bong Mini mulai mempelajari ilmu kesaktian dari gu- runya.

Pertama-tama yang harus dilakukan Bong Mini da- lam mempelajari ilmu kesaktian adalah dengan cara menyekap diri dalam sebuah goa kecil selama tiga hari tiga malam dengan berpuasa. Sedangkan waktu ma- kannya pada saat matahari terbenam, ia hanya diper- bolehkan makan segenggam nasi tanpa lauk-pauk dan segelas air putih. Setelah itu, ia kembali lagi ke dalam goa untuk merenungkan seluruh ciptaan Tuhan. Mulai dari langit dan bumi, termasuk manusia, hewan, tum- buhan, bintang, bulan dan ciptaan Tuhan yang lain. Termasuk merenungkan apa yang ada dalam diri sen- diri. Inilah yang disebut dengan ilmu Pengenalan Diri.

Pada saat merenungkan diri sendiri, Bong Mini me- nangis tersedu-sedu sampai air matanya kering terku- ras dalam  ruang  goa yang gelap. Karena  pada saat itu ia merasa, betapa kerdil dirinya di hadapan Tuhan. Ia merasa tak mampu melakukan apa-apa bila tanpa ke- hendak Yang Maha Kuasa.

Dari pelajaran pengenalan diri ini, ia dapat menja- wab tentang ucapan gurunya yang mengatakan bahwa pertolongan itu datang dari Yang Menguasai dirimu. Di sini ia berpendapat bahwa Yang Menguasai diri manu- sia adalah Tuhan. Bukankah Yang  Maha Kuasa  mam- pu berkehendak apa saja terhadap makhluk ciptaan- Nya? Bukankah jika Tuhan berkehendak, dia mampu menenggelamkan ke dalam bumi dan mengubur hi- dup-hidup manusia yang penuh dengan lumpur dosa dan maksiat? Tapi Yang Maha Kuasa begitu pemurah. Dibiarkan manusia bersenang sesuai dengan kehendak nafsunya. Dibiarkan manusia berbuat sekehendak ha- ti. Namun di akhir hidupnya nanti Yang Maha Kuasa akan menanyakan segala perbuatan manusia itu sen- diri dan memberikan imbalannya. Sesuai dengan per- buatan baik dan perbuatan jahat yang dilakukan se- lama berada di dunia.

Setelah Bong Mini dapat mengenal diri sendiri lewat pencucian diri, barulah ia memasuki tahap kedua de- ngan cara memusatkan hati, pikiran, mata, telinga dan seluruh anggota tubuhnya pada kekuatan dan keper- kasaan Tuhan selama empat puluh hari empat puluh malam dengan tetap berada dalam goa.

Ketika baru seminggu ia melakukan pemusatan pi- kiran dan seluruh anggota tubuh pada kebesaran, ke- kuasaan, dan keperkasaan Tuhan, tiba-tiba Bong Mini melihat secercah cahaya terang berwarna putih. Ke- mudian cahaya putih yang berbentuk bulatan itu ma- kin lama makin besar. Menghampiri dan melingkari tubuhnya. Sehingga tubuhnya berlumur cahaya putih keperakan.

Pada hari-hari berikutnya, ia kembali melihat ber- bagai macam cahaya sebesar buah kelereng di depan- nya. Warnanya  ada yang kuning, biru, hijau dan me- rah. Kemudian keempat cahaya itu bergerak ke arah- nya secara perlahan dan masuk ke dalam dua bola matanya.

Sebenarnya Bong  Mini  sudah  khawatir  dengan  na- sib dirinya di dalam goa yang gelap gulita itu. Namun karena ia telah bertekad bulat, kekhawatiran itu pun berubah menjadi kepasrahan. Tanpa mempedulikan keadaan dirinya  lagi.  Dalam  kepasrahan  itu,  ia  sema- kin dapat melihat dan merasakan  peristiwa-peristiwa gaib yang selama dalam hidupnya tak pernah dialami.

Pada  malam  keempat  puluh,   peristiwa-peristiwa gaib kembali ia alami. Peristiwa gaib pada malam ter- akhir itu benar-benar peristiwa yang sangat menak- jubkan dibandingkan dengan peristiwa sebelumnya. Karena pada malam terakhir itu, ia merasakan dirinya melayang di udara, mengitari alam  jagat  raya.  Dan  di saat tubuhnya melayang itu ia banyak melihat peman- dangan alam gaib yang amat indah dan menakjubkan!

Setelah ia mengalami perjalanan yang cukup lama, tiba-tiba ia sampai pada sebuah istana yang tak kalah indah dari pemandangan yang ia saksikan sebelum- nya. Seluruh tembok dan isi ruangan istana itu dihiasi oleh emas dan intan berlian, sehingga tampak gemer- lapan. Lantainya dilapisi oleh permadani hijau. Mem- buat Bong Mini benar-benar senang dan lupa di  mana ia berada. Hanya satu yang ia tahu bahwa dirinya be- rada di alam yang serba menyenangkan.

Istana megah yang banyak ditaburi oleh emas dan intan berlian itu nampak sepi. Tak seorang pun yang berada di ruangan itu kecuali  dirinya.  Namun  begitu, ia tak merasa takut sedikit pun. Malah dengan wajah gembira kakinya melangkah memasuki ruangan demi ruangan.

Setelah semua ruangan dilihat dan dinikmati, sam- pailah ia  di ruangan perpustakaan istana. Di ruangan itu ia duduk berlama-lama sambil membaca-baca bu- ku.

Bong Mini terkesima beberapa saat, sebab  buku yang kebetulan ia baca merupakan sebuah kitab yang memuat tentang pelajaran-pelajaran silat. Dan isinya pun begitu komplit. Mulai pelajaran silat yang berasal dari negeri Cina sampai pada pelajaran silat yang be- rasal dari negeri timur.  Namun  sayangnya,  bahasa yang digunakan dalam buku itu bukan bahasa lugas yang biasa digunakan sehari-hari, melainkan bahasa hati yang mengandung sastra. Di mana dalam mema- haminya memerlukan perenungan-perenungan yang amat dalam serta memakan waktu yang cukup lama. Sebab setiap isi yang terkandung dalam setiap kalimat mempunyai makna yang sangat dalam. Walaupun be- gitu, Bong Mini tetap membacanya. Karena dari setiap halaman kitab itu ada beberapa kalimat yang bisa ia pahami dengan baik.

Di saat ia asyik membawa kitab yang bertuliskan kata-kata sastra, entah dari mana datangnya, tiba-tiba muncul seorang perempuan muda yang amat cantik. Kecantikannya sangat sulit disamakan dengan wanita lain yang ada di dunia. Apalagi dilukiskan dengan ka- ta-kata.

“Selamat datang ke istanaku, Gadis Manis!” sambut wanita berparas cantik itu seraya menyunggingkan se- nyum ke arah gadis mungil yang tengah asyik memba- ca kitab sastra itu.

Bong Mini tersentak mendengar sapaan lembut dan ramah itu. Lebih terkejut lagi  ketika melihat  wanita je- lita  itu  melangkah  menghampiri  dengan   senyuman yang tak lekang dari bibirnya yang merah basah. Se- dangkan gaun  putih  yang  dikenakan  wanita  itu  tam- pak bergeser menyapu lantai.

Oh...! Betapa cantiknya wanita itu. Pasti dia seorang putri yang menghuni istana ini, tebak hati Bong Mini dalam keterpanaannya. Dan dugaan itu semakin kuat lagi ketika Bong Mini menoleh pada mahkota yang di- kenakan wanita itu.

“Si..., siapakah kau?” tanya Bong Mini gugup. Bu- kan karena takut. Melainkan karena ia masih terpeso- na terhadap kecantikan yang dimiliki wanita itu.

Wanita cantik itu tersenyum ramah.

“Aku adalah penghuni istana ini,” kata wanita  can- tik itu dengan suara lembut berdesah.

Bong Mini tak memberikan reaksi apa-apa terhadap jawaban gadis cantik itu. Ia masih terbius oleh wajah cantik wanita yang berdiri di depannya.

“Sedang baca buku apa?” tanya  wanita  cantik  itu lagi ketika melihat Bong Mini masih diam terpaku.

“Aku..., aku membaca kitab sastra!” sahut Bong Mini masih gugup.

Lagi-lagi wanita itu tersenyum. Sedangkan kedua matanya yang indah menatap tajam pada Bong Mini. “Kau mengerti maksudnya?” tanya wanita cantik itu dengan sinar mata yang gemerlap.

“Hanya beberapa kalimat saja yang bisa aku paha- mi,” sahut Bong Mini dengan wajah menengadah me- natap wanita cantik di hadapannya. Tubuh wanita itu memang lebih tinggi dibanding dengan ukuran tubuh- nya sendiri.

“Bagus?” tanya wanita cantik itu seperti meman- cing.

“Sungguh bagus! Hampir semua pelajaran silat di jagat ini terangkum dalam kitab silat sastra  ini.  Dan aku sangat tertarik untuk  mempelajarinya!”  sahut Bong Mini.

“Buku yang kau pegang itu memang buku pelajaran silat yang paling bagus dan  lengkap.  Tidak  seorang pun yang memilikinya kecuali aku!”

Bong Mini mengangguk-angguk kecil. Sedangkan matanya tetap memandang lurus pada wanita cantik yang menghuni istana indah itu.

“Tapi kenapa kau sampai tertarik hendak mempela- jarinya?” pancing wanita cantik itu lagi.

“Aku ingin sekali memiliki ilmu-ilmu silat yang ada dalam kitab sastra ini. Kalau bisa menguasai seluruh- nya!” sahut Bong Mini.

“Kalau kau sudah memiliki semuanya?”

“Aku akan abdikan kepada kepentingan rakyat!” “Dengan berlagak seperti jagoan?” wanita cantik itu

terus memancing jawaban Bong Mini.

“Sekali-kali tidak. Aku hanya ingin membaktikan ilmu yang ada itu kepada orang lemah yang benar- benar membutuhkan pertolonganku!” sahut Bong Mini. Wanita cantik itu mengangguk-angguk. Wajahnya menunjukkan kepuasan terhadap jawaban Bong Mini. Kemudian buku sastra yang sejak tadi dipegang oleh Bong Mini diambilnya dengan hormat, sebagaimana ta- ta krama yang berlaku dalam istana kerajaan.

“Sebenarnya tanpa dipelajari pun kau sudah memi- liki ilmu-ilmu yang ada dalam kitab sastra ini,” tutur wanita cantik itu.

“Maksudmu?” tanya Bong Mini tidak mengerti.

“Kau sudah menguasai seluruh ilmu silat yang ada dalam kitab ini!” jelas wanita cantik itu.

“Bagaimana mungkin? Melihat buku itu pun  baru kali ini!” kilah Bong Mini keheranan.

“Kau benar. Tapi tanpa disadari kau telah mempela- jari dan menguasai ilmu itu sebelum membaca buku ini!”

Bong Mini tergugu tak mengerti.

“Tahukah kau, berapa lama perjalananmu ke negeri ini?” tanya wanita penghuni istana indah itu.

Bong Mini diam mengerutkan kening. Sejauh itu, ia tidak tahu berapa lama ia menempuh perjalanan me- nuju istana yang terbuat dari emas dan intan  berlian itu. Karena seingatnya, ia datang ke istana indah itu tanpa direncanakan. Apalagi sampai dapat menghitung hari perjalanannya.

“Aku tidak tahu, berapa lama aku menempuh perja- lanan ke sini. Karena tak terbersit sedikit pun aku punya rencana ke sini. Ini hanya  kebetulan,”  sahut Bong Mini jujur.

Wanita cantik penghuni istana indah itu tampak mengangguk-angguk. Disertai senyuman yang tak per- nah lekang dari bibirnya.

“Kau benar. Tapi kau tidak tahu bahwa puasa dan tapa yang kau jalani selama empat puluh hari empat puluh malam itu merupakan jalan  untuk bisa  sampai ke istanaku ini!” ucapnya.

Bong Mini mengangguk-angguk mengerti. Wajahnya sungguh-sungguh memperhatikan wanita di hadapan- nya.

“Sebenarnya banyak orang yang hendak berkunjung ke istana ini dan bertemu denganku. Tapi Yang Kuasa tidak mengizinkannya!” lanjut wanita cantik itu lagi.

“Kenapa begitu?” tanya Bong Mini ingin tahu.

Lagi-lagi wanita cantik itu tersenyum lembut. Sea- kan-akan hendak memamerkan giginya yang putih dan berbaris rapi.

“Ada beberapa hal yang menghalangi perjalanan mereka untuk bisa sampai ke tempat ini,” jelas wanita cantik itu. “Salah satunya memaksakan kehendak dan sombong!”

Bong Mini mengangguk mengerti.

“Mengapa bisa begitu?” tanya Bong Mini ingin tahu. “Kalau itu yang kau tanyakan, maka aku pun akan

bertanya kepadamu; Apakah kau suka terhadap orang yang sombong?” wanita cantik itu balik bertanya.

“Tidak!” sahut Bong Mini cepat

“Bila kau tidak menyukai orang yang sombong ba- gaimana pula dengan Tuhan yang telah menciptakan semua makhluk dan dunia. Oleh karena itu mereka ti- dak diizinkan Yang Maha Kuasa untuk bertemu de- nganku dan diganti dengan orang lain, sesuai dengan kadar kebersihan hati masing-masing!” kata wanita cantik itu menjelaskan.

Bong Mini kembali mengangguk-angguk. “Lalu bagaimana denganku?”

“Kau lain. Kau hanya punya satu niat hendak memberantas kejahatan dan melindungi manusia yang lemah. Tanpa punya rencana jahat, apalagi hendak bertemu dengan menguasai ilmuku. Dan  pertemuan kita pun seperti yang kau katakan tadi; tanpa sengaja!”

Bong Mini kembali mengangguk-angguk. “Apakah kitab Panca Sinar Sakti itu merupakan il- mu-ilmu yang kau miliki?” tanya Bong Mini.

“Ya. Semua ilmu silat dan kesaktian yang kumiliki berada dalam kitab sastra ini. Karena memang  aku yang menulisnya!” sahut wanita cantik itu menje- laskan.

“Kalau begitu, ilmu yang kudapatkan sekarang ini merupakan warisan darimu,” kata Bong Mini berpen- dapat. Sebab tadi wanita itu mengatakan bahwa pela- jaran silat yang ada dalam kitab sastra yang dibacanya telah dikuasai seluruhnya tanpa disadari.

“Benar. Kaulah yang hendak mewarisi ilmu-ilmu yang kumiliki!” jawab wanita cantik itu.

Bong Mini diam, memahami kata-kata wanita cantik yang baru dilihatnya.

“Tapi ingat! Pergunakanlah ilmu itu sebaik mung- kin. Janganlah kau berlaku angkuh apalagi bertindak semena-mena dengan ilmu kesaktian yang kau miliki itu. Sebab kesombongan dan kesewenang-wenangan akan menghancurkan dirimu sendiri!” pesan wanita cantik itu.

Bong Mini terdiam. Memahami kata-kata wanita cantik di hadapannya.

“Apa nama ilmu-ilmu yang  telah  kumiliki  itu?” tanya Bong Mini ingin tahu.

“Sungguh banyak. Tapi semua nama ilmu kesaktian yang kuwariskan kepadamu itu terangkum dalam satu nama yaitu Panca Sinar Sakti. Artinya lima anggota tubuh yang memancarkan sinar kesaktian!” jelas wani- ta cantik itu.

“Kalau boleh aku tahu, apa saja kesaktian lima anggota tubuh itu?” tanya Bong  Mini  sungguh- sungguh.

“Lima anggota  tubuh  yang  mengandung  kesaktian itu antara lain; mata, telinga, mulut, tangan dan kedua kakimu!” sahut wanita cantik itu tanpa segan-segan menjelaskan.

Bong Mini mengangguk-angguk. Kemudian sambil membenarkan letak duduknya ia berkata, “Sudah  se- jak tadi kita bercakap-cakap. Tapi  aku belum menge- nal namamu!”

Wanita itu tersenyum lembut penuh keramahan. “Namaku Putri Teratai Merah,” wanita cantik itu

menyebutkan namanya.

“Lalu, apa nama istana ini?” tanya Bong Mini lagi. Karena sejak tadi ia memang hendak menanyakan hal itu.

“Tempat ini disebut Istana Putri.  Karena  semua yang menghuni istana ini terdiri dari kaum putri!”

“Tapi aku tidak melihat penghuni lain selain diri- mu?” tanya Bong Mini agak heran.

“Mereka sedang bermain-main di taman bunga. Kau ingin melihatnya?” tanya wanita cantik itu.

Bong Mini menganggukkan kepala, diiringi senyum- nya yang lembut dan manis. Kemudian keduanya sege- ra berjalan beriringan menuju taman bunga yang le- taknya di belakang istana.

Tidak lama kemudian, keduanya sampai di taman belakang Istana Putri. Di sana para putri lain tengah bersenda-gurau di antara barisan bunga teratai merah. Bong Mini yang sejak tadi kagum melihat keadaan istana dan kecantikan wajah Putri Teratai Merah, kini semakin kagum ketika memandang para penghuni Is- tana Putri lain. Karena hampir semua putri yang ada dalam taman bunga itu mempunyai wajah cantik de- ngan umur rata-rata masih muda belia, sehingga sulit baginya untuk menilai siapa yang tercantik di antara mereka. Ditambah lagi dengan gaun yang sama-sama berwarna putih dan terjuntai panjang. Ia semakin bi- ngung. Dan gaun putih yang dikenakan para penghuni Istana Putri itu sangat pas bila dipadu dengan bunga teratai merah yang tumbuh di sekitar taman bunga itu. “Putri Teratai Merah, apakah semua putri  yang  se- dang bermain di taman bunga itu berada dalam keku-

asaanmu?” tanya Bong Mini ingin tahu.

“Aku tidak mampu menguasai mereka. Sebab selain aku ada lagi yang lebih berkuasa!” sahut Putri Teratai Merah.

“Siapa?”

“Yang Maha Kuasa!” sahut  Putri  Teratai  Merah. “Aku hanya memimpin mereka. Karena kebetulan tingkat kepandaianku lebih tinggi!”

Bong Mini mengangguk-angguk. Hatinya begitu ka- gum pada Putri Teratai Merah. Dia menjadi pemimpin tanpa menguasai bawahannya. Berbeda dengan manu- sia lain. Begitu diangkat jadi pemimpin langsung me- rasa berkuasa dan memerintah serta bertindak pada bawahannya seenaknya. Tanpa mau berpikir lagi bah- wa sesungguhnya yang berkuasa atas mereka itu ada- lah Yang Maha Kuasa.

Di saat Bong Mini tengah terkagum-kagum pada pa- ra putri penghuni istana, tiba-tiba seorang putri di an- tara mereka yang tengah bermain di taman bunga itu melihat ke arahnya dan memberikan senyum. Kemu- dian putri yang memberikan senyum itu melangkah menghampirinya dengan menggenggam tiga tangkai bunga teratai merah. Dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, putri itu memberikan setangkai bunga te- ratai merah kepada Bong Mini.

Bong Mini menatap putri yang membawa bunga te- ratai merah dengan wajah ragu-ragu. Kemudian pan- dangannya dialihkan kepada Putri Teratai Merah yang disambut dengan anggukan dan senyuman lembut. Se- telah mendapat anggukan itu, barulah Putri Bong Mini berani menerimanya. Tapi betapa tersentaknya hati Bong Mini. Karena ketika berada di kedua telapak tan- gannya, bunga teratai itu mendadak berubah menjadi sebilah pedang yang amat indah. Di tengah-tengah pe- dang itu keluar cahaya merah yang sangat terang den- gan bentuk menyerupai bunga teratai merah.

“Ambillah pusaka itu. Pedang Teratai Merah yang kau genggam telah kuwariskan padamu!” kata Putri Teratai Merah.

Bong Mini masih terpaku dalam keheranan yang bercampur bahagia.

Dalam keadaan yang masih terpana itu, putri pem- bawa bunga kembali memberikan setangkai bunga lagi kepada Bong Mini. Ketika bunga itu berada di tangan Bong Mini, keanehan pun kembali terjadi. Setangkai bunga yang baru diterimanya itu berubah menjadi sa- buk pedang yang dihiasi oleh lukisan bunga teratai merah.

“Masukkanlah pedang itu ke dalam sarungnya!” ka- ta Putri Teratai Merah.

Bong Mini mengikuti apa yang dikatakan oleh Putri Teratai Merah. Ia memasukkan pedang ke dalam  sa- buk teratai merah dengan amat  hati-hati.  Seolah-olah ia tengah menggenggam sebuah permata yang mudah pecah.

Cuat cuat cuat!

Sinar merah berbentuk bunga teratai kembali ter- pencar ketika ujung pedang dimasukkan ke dalam sa- rungnya.

“Nah, lengkaplah sudah apa yang kau miliki seka- rang ini. Dan sudah waktunya pula kau kembali ke duniamu!” ujar Putri Teratai Merah. Bong Mini tertegun. Dia heran dengan sebutan kata ‘duniamu’ yang dikatakan Putri Teratai Merah. Lalu alam apa yang sekarang tengah diinjaknya bersama Putri Teratai Merah?

“Semua ilmu dan pedang yang kumiliki telah kuwa- riskan kepadamu. Pergunakanlah semua warisan itu dengan baik. Jangan sombong dan takabur dengan semua ilmu yang kau miliki itu. Karena  seperti  apa yang telah kujelaskan sejak pertama tadi bahwa ke- sombongan dan ketakaburan itu akan hancur oleh perbuatannya sendiri!” lanjut Putri Teratai Merah memberikan petuah.

Bong Mini mengangguk-angguk, memahami kata- kata Putri Teratai Merah.

Putri Teratai Merah mengambil setangkai bunga te- ratai merah yang masih tertinggal di tangan si pemba- wa kembang tadi. Kemudian kembang  teratai  merah itu disematkan pada bagian baju sebelah kanan yang dipakai Bong Mini. Setelah itu ia memegang kedua pundak Bong Mini seraya tersenyum menatapnya.

“Segeralah kembali ke tempatmu. Dan ingat  apa yang kupesan tadi!” kata Putri Teratai Merah setengah mengingatkan.

“Aku akan selalu mengingatnya!” janji Putri Bong Mini.

“Bagus! Sekarang mari kuantar kau pulang!” kata Putri Teratai Merah sambil membimbing tangan Bong Mini. Keduanya melangkah beriringan menuju luar is- tana.

Ketika sampai di luar Istana Putri, tanpa diberikan kesempatan untuk mengucapkan terima kasih kepada Putri Teratai Merah, tubuh Bong Mini mendadak te- rangkat dengan ringan. Lalu perlahan-lahan melayang di udara seperti yang dialaminya pertama tadi. Se- dangkan di bawahnya, Putri Teratai Merah melambai- lambaikan tangan sambil tersenyum lembut, sebagai isyarat ucapan selamat jalan kepada Bong Mini. Bong Mini membalas pula dengan lambaian tangan  dari udara sampai mereka tak terlihat lagi.

***

5

Hari sudah pagi. Bias sinar matahari pagi yang ber- warna kuning pucat memancar dari ufuk timur. Se- hingga alam yang tadi gelap gulita oleh kabut, kini te- rang-benderang. Seolah-olah memberikan peringatan kepada semua makhluk di bumi untuk menjalankan tugas rutinnya sehari-hari.

Di Gunung Muda, suasana pagi tampak lebih terasa lagi. Udara dingin yang sejak petang kemarin menyeli- muti, perlahan-lahan pudar. Berganti dengan keha- ngatan sinar matahari yang menyegarkan. Daun dan rerumputan yang menderita kedinginan semalaman suntuk mulai segar sempurna.

Di dalam sebuah goa yang  amat  gelap,  Putri  Bong Mini tampak terbaring lesu.

Apa yang telah terjadi pada diriku? Bisik hatinya. Matanya bergerak lemah, mengedar ke sekeliling goa yang gelap. Kemudian ia mencoba mengangkat kepala, tapi hanya mampu terangkat beberapa inci dari tanah.

“Ahhh!” desah Putri Bong Mini sambil menjatuhkan kepalanya kembali. “Sudah berapa lama aku tak sa- darkan diri di ruang yang gelap ini?” lanjutnya ber- tanya-tanya.

Ketika  tubuhnya  melayang-layang  di  udara  saat berpisah dengan Putri Teratai Merah yang berada di alam gaib, Bong Mini merasakan badannya terjerem- bab dan membentur dinding begitu keras.  Setelah  itu ia tidak ingat apa-apa lagi. Baru pagi tadi ia membuka matanya kembali dan menyadari keadaannya.

Bong Mini membalikkan badannya ke posisi mene- lungkup. Kemudian dengan sisa tenaganya ia merang- kak perlahan menyusuri lorong goa menuju luar.

Walaupun dengan gerak merayap, akhirnya Bong Mini sampai di mulut goa. Di sana, ia merebahkan kembali tubuhnya untuk beristirahat. Sedangkan na- pasnya tampak terengah-engah karena letih.

Sementara itu, matahari pagi telah berdiri sepeng- galan di cakrawala. Sinarnya yang semula hangat- hangat kuku, berangsur-angsur panas. Seolah-olah hendak membakar alam bersama isinya.

Setelah agak lama beristirahat, tubuh Bong  Mini yang semula lemah tanpa daya, berangsur-angsur se- gar kembali. Malah kedua kakinya yang semula tidak bisa digerakkan, kini telah dapat diajak berdiri, walau agak tertatih-tatih. Kemudian dengan langkah terseret, Bong Mini berjalan menuju gubuk gurunya yang berja- rak sekitar lima ratus meter dari goa tempat ia berta- pa.

***

Dalam perjalanannya menuju gubuk Kanjeng Rah- mat Suci, kondisi tubuh Bong Mini banyak mengalami peningkatan. Bukan saja langkah kakinya yang mulai tegar, tetapi juga wajahnya yang tadinya lesu, kini tampak segar walaupun masih terlihat  pucat.  Semua itu disebabkan oleh kehangatan sinar matahari yang menerpa tubuhnya. Sehingga peredaran darah yang tadinya mengalir lambat telah  kembali  stabil. Ditam- bah lagi dengan keadaan lingkungan yang banyak di- tumbuhi oleh pepohonan, membuat udara murni yang terisap membuat tubuhnya segar.

Tidak lama menempuh perjalanan, ia sampai di de- kat gubuk gurunya. Di sana, matanya melihat Kanjeng Rahmat Suci tengah duduk di atas dipan yang terbuat dari belahan bambu sambil memilah-milah tasbih hi- tamnya. Ketika matanya melihat  kedatangan  Putri Bong Mini yang tak diduganya itu,  Kanjeng  Rahmat Suci langsung tercekat kaget. Jemari tangan kanannya yang sedang memilah-milah tasbih mendadak berhen- ti. Sedangkan dua bola matanya yang cekung tak ber- kedip melihat Bong Mini yang semakin dekat melang- kah ke arahnya. Seolah-olah ia tidak percaya akan penglihatannya.

“Kanjeng!” sapa Bong Mini lembut seraya menyung- gingkan senyum di bibirnya yang kering dan kebiru- biruan. Karena selama empat puluh hari tubuhnya hanya terisi oleh beberapa kepal nasi dan air putih.

“Kau?” tanya Kanjeng Rahmat Suci  dalam  kera- guan.

“Kenapa, Kanjeng? Apakah Kanjeng sudah lupa ter- hadap muridnya sendiri?” tanya Bong Mini merasa he- ran melihat sikap gurunya yang ragu-ragu dalam me- nyambut kedatangannya.

“Tidak!” sahut Kanjeng Rahmat Suci cepat.

“Tapi kenapa Kanjeng seperti ragu menyambut ke- datanganku?” tanya Bong Mini setengah mendesak.

“Aku cuma heran. Gadis seusiamu masih kelihatan tegar. Padahal puasa mutih dan bertapa selama empat puluh hari empat puluh malam hanya mampu dilaku- kan oleh orang-orang seusiaku. Itu pun masih banyak di antara mereka yang tidak kuat. Tapi kau nampak begitu segar dan mampu menempuh perjalanan sepan- jang lima ratus meter!” ujar Kanjeng Rahmat Suci me- ngemukakan rasa herannya.

Bong Mini tercenung. Ia turut heran terhadap diri- nya sendiri. Kenapa sejak tadi perutnya tidak merasa lapar. Padahal selama empat puluh hari empat puluh malam di pertapaan, ia tidak menemukan makanan yang mengenyangkan ataupun minuman yang dapat menghilangkan rasa hausnya. Tapi kenapa ia tidak merasa lapar?

Memang, pertama kali keluar dari dalam goa, ia me- rasakan tubuhnya sangat letih. Berjalan pun ia me- rangkak-rangkak. Tapi bukan karena kelaparan yang mendera tubuhnya. Melainkan karena peredaran da- rahnya yang tidak stabil. Sebab selama empat puluh hari itu tubuh tidak bergeming dari tempat duduknya. Ia tetap bersila dengan pikiran, hati, mata, dan seluruh tubuhnya terpusat pada Yang Maha Kuasa. Sehingga pada saat bergerak, anggota tubuhnya terasa kaku dan lemah.

“Aku sendiri tidak mengerti, Kanjeng. Kenapa tu- buhku mendadak segar,” desah Bong Mini setelah be- berapa saat terdiam.

Kanjeng Rahmat Suci tersenyum.

“Kau tahu siapa yang memberi kekuatan pada diri- mu itu?”

“Apakah Yang Menguasai diri kita?” Bong Mini balik bertanya.

“Ya!” sahut Kanjeng Rahmat Suci cepat. “Rupanya kau telah mengetahui pula siapa Yang Menguasai diri manusia!”

“Semua itu aku dapatkan dari bertapa, Kanjeng!” sahut Bong Mini.

Kanjeng Rahmat Suci mengangguk-angguk.

“Itulah kasih  sayang  Tuhan  kepada  manusia  yang benar-benar hendak berjumpa dengan-Nya. Tapi ke- hendak itu pun harus disertai oleh tekad yang mantap dan penuh kesabaran. Sebab Tuhan lebih sayang ter- hadap orang yang mempunyai tekad baja dan kesaba- ran tinggi. Sehingga Dia memberikan kelebihan di atas kekurangan manusia atau memberi kekuatan di balik kelemahannya!” tutur Kanjeng Rahmat Suci men- jelaskan.

Bong Mini mengangguk-angguk mendengar ucapan gurunya.

“Sekarang, pergilah makan dulu. Setelah itu kita kembali melanjutkan percakapan!” ujar Kanjeng Rah- mat Suci lagi.

Bong Mini menurut. Ia hendak segera masuk untuk mengambil makanan. Tapi baru saja membalikkan tu- buh, ia berpapasan dengan Baladewa yang baru saja keluar dari gubuknya.

Sesaat kedua insan berlainan jenis itu saling ber- pandangan. Namun Bong Mini cepat-cepat mengelak- kan pandangan mata Baladewa yang terasa menghu- jam hatinya itu.

“Kalau begitu biar saja Baladewa yang mengambil- kan makanan untukmu!” ujar Kanjeng Rahmat Suci ketika melihat kehadiran Baladewa.

“Tidak usah, Kanjeng. Aku bisa mengambilnya sen- diri, kok!” sergah Bong Mini cepat. Lalu buru-buru ka- kinya melangkah ke dalam gubuk gurunya tanpa mempedulikan Baladewa yang masih terpaku meman- danginya.

***

Suatu hari, Kanjeng Rahmat Suci menyuruh Bong Mini untuk memanggil Baladewa yang sedang mengga- rap ladang di kebun yang tak jauh dari gubuknya. Waktu makan siang memang telah tiba. Mereka akan makan bersama.

“Bong Mini, tolong panggilkan Baladewa ke sini!” perintah Kanjeng Rahmat Suci.

“Baik, Kanjeng!” sahut Bong Mini ramah. Lalu ia se- gera menuju ladang di mana Baladewa tengah bekerja.

“Heh! Kau dipanggil Kanjeng!” sentak Bong Mini, se- tibanya di ladang. Wajahnya yang lembut dan manis ketika berhadapan dengan gurunya, kini berubah ke- tus dan asam.

“Kau panggil siapa?” tanya Baladewa dengan nada suara sabar.

“Siapa lagi kalau bukan situ!” hardik Bong Mini. “Kenapa tidak panggil namaku saja?” nada suara

Baladewa tetap terdengar sabar.

“Bodo! Suka-sukaku!” ketus Bong Mini sambil terus berlalu.

Kanjeng Rahmat Suci yang diam-diam memperhati- kan tingkah kedua muridnya hanya tersenyum-se- nyum sambil menggelengkan kepalanya.

Selesai mengisi perutnya dengan beberapa suap na- si, Bong Mini kembali menemui Kanjeng Rahmat Suci yang lebih dahulu selesai makan. Kini beliau duduk di atas dipan bersama Baladewa.

“Sebentar sekali makannya?” tanya Kanjeng Rahmat Suci menyambut kehadiran Bong Mini yang sudah du- duk di hadapannya.

“Cukup mengganjal perut agar tidak terlalu kosong saja, Kanjeng!” kata Bong Mini.

Kanjeng Rahmat Suci tersenyum.

“Itu cara makan yang baik. Makan ketika perut la- par dan berhenti sebelum merasa kenyang!” kata Kan- jeng Rahmat Suci, bijak.

Baladewa yang  duduk  di  sebelahnya  tampak  me- nundukkan muka ketika mendengar ucapan gurunya tadi. Sebab selama ini ia sering makan banyak serta tidak berhenti sebelum perutnya kenyang.

“Sekarang, coba kau ceritakan tentang pengalaman batinmu selama berpuasa mutih dan bertapa!” pinta Kanjeng Rahmat Suci kepada Bong Mini.

Bong Mini diam sejenak. Ia mencoba mengumpul- kan seluruh daya ingatnya. Setelah ingatannya ter- kumpul semua, barulah ia menceritakan semua pe- ngalamannya selama bertapa. Mulai dari saat ia meli- hat berbagai macam cahaya yang masuk ke dalam ke- dua matanya sampai pada perjalanannya menuju Ista- na Putri dan bertemu dengan Putri Teratai Merah.

“Begitulah pengalamanku selama menjalani tapa, Kanjeng!” kata Bong Mini, mengakhiri ceritanya.

Kanjeng Rahmat Suci tampak takjub mendengar ce- rita Bong Mini. Baru kali ini ia dapat mendengar cerita gaib yang mengesankan. Dan cerita itu dialami lang- sung oleh murid angkatnya sendiri.

“Apakah Kanjeng dapat menjelaskan makna dari pengalaman-pengalaman gaibku itu?” Bong Mini balik bertanya.

Kanjeng Rahmat Suci mengangguk-angguk. Kemu- dian dia diam sejenak dengan kening berkerut, seolah- olah sedang berpikir. Sedangkan Bong Mini yang du- duk di hadapannya menunggu penjelasan Kanjeng Rahmat Suci dengan wajah sungguh-sungguh. Ia ingin benar mendengar.

Kanjeng Rahmat Suci tersenyum.

“Kau jangan khawatir! Putri Teratai Merah yang kau temui itu benar-benar asli!” kata Kanjeng Rahmat Suci ketika melihat kekhawatiran wajah muridnya.

“Bagaimana Kanjeng bisa yakin bahwa dia Putri Te- ratai Merah yang asli?” tanya Bong Mini ingin tahu. Lagi-lagi Kanjeng Rahmat Suci tersenyum. Kemu- dian ia menghirup kopinya yang tinggal setengah gelas. “Memang tidak mudah untuk  mengenali  Putri  Te- ratai Merah yang asli,” kata Kanjeng Rahmat Suci sembari meletakkan gelas kopinya. “Tapi ada tiga hal yang  dapat  meyakinkan  kita  bahwa  dia  benar-benar

Putri Teratai Merah!” lanjut  Kanjeng  Rahmat  Suci. “Apa ketiga ciri-ciri itu, Kanjeng?” tanya Bong Mini

ingin tahu.

Kanjeng Rahmat Suci menelan ludah. Kedua mata- nya yang cekung mencorong tajam ke arah Putri Bong Mini. Sedangkan hatinya kagum melihat sikap murid gadisnya yang begitu pandai bertanya dan selalu pena- saran. Hal itu menunjukkan akan kepintaran dan ke- cerdikan muridnya.

“Ciri-ciri dari Putri Teratai Merah yang asli; bila berbicara selalu mengandung nasihat-nasihat  yang baik. Bersikap ramah dan selalu tersenyum,” kata Kanjeng Rahmat Suci menjelaskan.

Bong Mini mengangguk-angguk. Ia membenarkan apa yang dikatakan oleh gurunya itu.

“Yang kedua,” lanjut Kanjeng Rahmat Suci.  “Wari- san pedang yang dia berikan berbeda dengan pedang lainnya. Seluruh pedang dan sabuknya selalu meman- carkan cahaya merah berbentuk bunga teratai. Se- dangkan yang ketiga; bila hendak berpisah dia selalu menyematkan bunga teratai merah. Entah itu pada rambut atau pada bagian baju yang kita pakai!” ujar Kanjeng Rahmat Suci menjelaskan ketiga ciri-ciri dari para Putri Teratai Merah yang asli.

Bong Mini termangu mendengar keterangan guru- nya. Karena apa yang dikatakan oleh Kanjeng Rahmat Suci sama persis dengan apa yang dialaminya ketika dirinya berada di Istana Putri. “Sinar yang pertama kali kau lihat itu disebut ilmu!” kata Kanjeng Rahmat Suci setelah beberapa saat ter- diam.

“Maksud Kanjeng, ilmu itu berbentuk sinar?” po- tong Bong Mini.

“Ya. Dan itu hanya bisa dilihat oleh  orang-orang yang berhati bersih!” sahut Kanjeng Rahmat Suci.

Bong Mini mengangguk-angguk.

“Sekarang, ada sesuatu yang ingin aku pesankan kepadamu!”

“Apa itu, Kanjeng?”

“Begini!” Kanjeng Rahmat Suci membenarkan letak duduknya. “Semua ilmu dan pedang milik Putri Teratai Merah telah diwariskan kepadamu.  Oleh  karena  itu aku berpesan agar kau dapat memelihara benda wari- san itu sebaik mungkin. Pergunakanlah ilmu yang te- lah kau kuasai itu untuk kebajikan dan hindari segala macam keangkuhan!” lanjut Kanjeng Rahmat Suci ber- pesan.

“Terima kasih atas nasihat Kanjeng. Mudah-mu- dahan aku dapat mengamalkan ilmu itu sesuai dengan harapan Putri Teratai Merah dan Kanjeng!” ucap Bong Mini tanpa berani berjanji.  Karena  menurutnya  janji itu sangat berat. Bila kenyataannya janji tersebut tidak bisa ditepati, selain dikejar-kejar oleh perasaan berdo- sa juga tidak akan dipercaya lagi oleh orang yang di- janjikan. Karena itu ia selalu mengucapkan kata mu- dah-mudahan bila mendapat tugas. Walaupun tugas yang diberikan kepadanya itu ringan.

“Nah, sekarang pergilah beristirahat. Pulihkan kem- bali seluruh kekuatan tubuhmu!” kata Kanjeng  Rah- mat Suci lagi.

“Baik, Kanjeng!” ucap Bong Mini cepat. Sesungguh- nya ia pun sudah sejak tadi hendak beristirahat. Tidur sepuas-puasnya agar kedua matanya tak terlihat ce- kung karena tidak pernah tidur selama empat puluh hari empat puluh malam sewaktu ia menjalani tapa.

Tanpa menoleh pada Baladewa yang sejak tadi du- duk mendengarkan percakapan mereka berdua, Bong Mini turun dari dipan dan langsung melangkah menu- ju gubuknya. Diikuti oleh pandangan mata Kanjeng Rahmat Suci dan Baladewa.

Ketika sampai di gubuknya, Bong Mini menggan- tungkan Pedang Teratai Merah di sudut kamar. Setelah itu ia merebahkan tubuhnya di atas dipan yang hanya beralaskan sehelai tikar usang. Dia tidur dengan cara telentang menatap langit-langit kamar yang  terbuat dari anyaman daun rumbia. Sedangkan pikirannya te- rus menerawang, mengingat-ingat kembali apa yang dipesankan oleh gurunya tadi.

Setelah pikirannya terasa letih mengingatkan segala nasihat yang didapatnya, baik dari Kanjeng  Rahmat Suci maupun dari Putri Teratai Merah, barulah Bong Mini dapat memejamkan mata. Ia tidur dengan pulas.

***

6

Hari sudah merembang menuju malam. Di cakra- wala yang tak terbatas, bulan tampak bersinar terang, dikelilingi berjuta bintang yang bertaburan. Membuat langit malam itu benar-benar semarak.

Gunung Muda yang biasanya selalu tenggelam oleh kegelapan malam, kini tampak agak remang terkena sorotan sinar rembulan.  Ditingkahi  suara  jangkrik yang bernyanyi. Seolah-olah tengah berpesta-pora da- lam menyambut bulan purnama yang muncul pada se- tiap tanggal lima belas.

Di sebuah gubuk tua, tempat tinggal Kanjeng Rah- mat Suci, tampak dua lelaki dan seorang wanita muda tengah duduk santai di atas dipan sambil menikmati singkong bakar dan segelas kopi masing-masing. Mere- ka tidak lain adalah Kanjeng Rahmat Suci, Baladewa, dan Putri Bong Mini.

“Malam ini ada sesuatu yang hendak kusampaikan kepada kalian!” ucap Kanjeng Rahmat Suci membuka percakapan.

“Apa itu, Kanjeng?” tanya Baladewa dan Bong Mini bersamaan. Lalu keduanya saling berpandangan. Tapi baru beberapa detik, Bong Mini segera mengalihkan pandangannya ke arah gurunya dengan wajah masam. Sedangkan Baladewa tampak tersenyum tenang sambil mengarahkan pandangannya ke arah Kanjeng Rahmat Suci kembali.

“Baladewa!” ucap Kanjeng Rahmat Suci memandang pada murid lelakinya.

“Ya, Kanjeng!” sahut Baladewa.

“Sejak umur sebelas tahun kau berada di sini dan sekarang sudah berumur delapan belas tahun, berarti sudah tujuh tahun kau berada di gunung ini bersama- ku.”

“Benar, Kanjeng!” jawab Baladewa membenarkan. “Nah, dalam masa yang cukup lama itu, aku merasa

kau sudah banyak menimba ilmu di sini. Karena itu sudah saatnya kau amalkan ilmu yang kau peroleh kepada orang banyak,” kata Kanjeng Rahmat Suci.

Baladewa termangu mendengarkan kata-kata gu- runya.

“Sebab itu kau boleh kembali pada kedua orang- tuamu,” lanjut Kanjeng Rahmat Suci. “Tapi, Kanjeng. Hatiku masih betah tinggal di sini!” potong Baladewa, keberatan untuk meninggalkan tem- pat itu. Karena kalau dia meninggalkan Gunung Muda berarti ia harus berpisah dengan gurunya yang selama delapan tahun membimbingnya dalam ilmu bela diri.

“Ahhh! Jangan jadi orang cengeng! Buat apa me- nuntut ilmu jauh-jauh kalau hanya mendekam di ka- mar melulu!” celetuk Bong Mini dengan suara dan si- kap yang ketus.

Telinga Baladewa mendadak panas mendengar uca- pan Bong Mini yang mengandung nada ejekan. Namun karena yang melontarkan kata-kata saudara sepergu- ruannya dan menarik hatinya pula, maka api amarah yang semula bergolak cepat-cepat ia tahan. Sehingga nada ejekan Bong Mini itu disambutnya dengan sung- gingan senyum.

“Apa yang dikatakan oleh saudara seperguruanmu itu benar,” kata Kanjeng Rahmat Suci membenarkan pendapat Bong Mini. “Sebab ilmu yang kita miliki bu- kan sekadar untuk membela dan melindungi diri kita. Tapi juga untuk menindak perbuatan manusia yang sewenang-wenang.”

“Aku mengerti, Kanjeng,” sahut Baladewa sambil melirik gadis cantik di depannya. Tapi orang yang dili- rik justru membalas dengan cibiran.

“Begitu pula dengan Bong Mini. Walaupun kau ting- gal di sini tidak selama Baladewa, tapi kau sudah lebih dari cukup dalam menguasai ilmu-ilmu kesaktian. Ka- rena itu, selepas dari tempat ini, jadilah ‘raja kecil’ se- suai dengan namamu!” kata Kanjeng Rahmat Suci se- raya menoleh pada Bong Mini.

“Mudah-mudahan, Kanjeng!” sahut Bong Mini.

“Apa ada seorang raja wanita yang kecil?” Baladewa menggoda. “Heh! Jadi lelaki jangan ceriwis!” bentak Bong Mini. Matanya mendelik membuat sepasang matanya yang hitam gemerlap itu semakin indah dipandang mata.

Kanjeng Rahmat Suci tersenyum melihat tingkah kedua muridnya yang berlainan jenis itu.

“Menjadi raja itu bukan dilihat dari besar kecilnya tubuh seseorang. Bila ia mampu membuat simpati ra- kyat, jujur, welas asih kepada sesama maka ia berhak menjadi raja atau ratu. Tapi sebaliknya, walaupun orang itu mempunyai tubuh tinggi besar, ditakuti se- mua rakyat, namun bila bermoral bejat, jelas harus disingkirkan. Sebab penyakit hatinya itu akan meru- sak manusia lain,” kata Kanjeng Rahmat Suci memba- las ucapan Baladewa dengan sungguh-sungguh.

Baladewa tersenyum malu. Ia tidak menyangka ka- lau godaannya terhadap Bong Mini mendapat tangga- pan serius dari gurunya.

Kanjeng Rahmat Suci mengerti perasaan muridnya, maka ia segera mengembalikan pembicaraannya ke masalah semula.

“Nah, karena kalian sudah waktunya mengamalkan ilmu kepada kepentingan rakyat, aku berpesan agar kalian berjalan seiring dalam menumpas segala macam kejahatan.”

Baladewa tersenyum senang ketika mendengar pe- san gurunya agar mereka berdua dapat seiring sejalan. Ini berarti akan membuka peluang baginya untuk me- lunakkan hati Bong Mini.

“Tapi sebelum kalian berdua melaksanakan niat bakti itu, sebaiknya temuilah dulu kedua orangtua ka- lian. Karena bagaimanapun juga, doa restu kedua orangtua sangat berpengaruh pada perjuangan yang kita lakukan. Khususnya doa seorang ibu.”

“Tapi bagaimana dengan mamaku yang sudah me- ninggal?” tanya Bong Mini.

“Orangtua yang sudah meninggal akan mendukung perjuangan anaknya yang mulia tanpa sepengetahuan kita, termasuk para pejuang di jalan kebenaran. Kare- na pada hakikatnya mereka itu tidak mati. Mereka te- tap hidup di sisi Tuhan!” tutur Kanjeng Rahmat Suci menjelaskan.

Bong Mini mengangguk-angguk mendengar penjela- san gurunya. Hatinya bersyukur berhasil  dibimbing oleh seorang guru yang benar-benar alim dan bijaksa- na. Sehingga banyak ilmu yang ia  dapatkan. Bukan sa- ja ilmu tentang seni bela diri, tetapi juga yang me- nyangkut ilmu pengetahuan.

“Itu saja pesanku. Selamat berjuang!” sambung Kanjeng Rahmat Suci memberikan semangat kepada kedua muridnya. Sebaliknya, Bong Mini merasa terha- ru mendengar ucapan itu. Sebab ucapan itu secara ti- dak langsung merupakan kata perpisahan antara diri- nya dengan Kanjeng Rahmat Suci. Padahal hatinya se- lalu ingin bersama-sama dengan orang tua yang bijak itu.

Di lain pihak, Kanjeng Rahmat Suci pun dapat membaca perasaan kedua muridnya. Karena itu de- ngan penuh bijak ia berkata: “Aku tahu! Perpisahan ini memang sangat memberatkan perasaan kita masing- masing. Tapi kita juga harus ingat, berpisah untuk berjuang merupakan hal yang lebih penting, sebab menyangkut kepentingan orang banyak!”

Bong Mini dan Baladewa tampak mengangguk- angguk. Perasaan berat untuk berpisah dengan gu- runya yang sejak tadi menggayuti hati mereka perla- han-lahan pudar. Berganti dengan semangat juang.

*** Esok paginya, di saat bulan masih menampakkan cahayanya yang pucat, Bong Mini dan Baladewa tam- pak berjalan menyusuri tanah Gunung Muda, menuju rumah mereka masing-masing.

“Kita harus jalan sama-sama, Bong Mini!” ucap Ba- ladewa ketika melihat langkah Bong Mini lebih cepat dari langkahnya.

“Peduli amat!” ketus Bong Mini sambil terus berja- lan, tanpa mempedulikan Baladewa yang berusaha mengejar langkahnya.

“Kau harus ingat pesan Kanjeng!”

“Justru karena aku ingat pesan Kanjeng, langkahku masih bisa kau lihat. Kalau tidak, tentu langkahku le- bih cepat dari ini!” kilah Bong Mini masih bernada ke- tus.

Baladewa mengeluh. Ia kesal terhadap dirinya sen- diri karena belum dapat meluluhkan hati gadis yang sejak pandangan pertama telah membuatnya kasma- ran.

Baladewa yang langsung jatuh cinta pada Bong Mini memang bisa dipahami. Sebab sejak berumur sebelas tahun ia tidak pernah berjumpa dengan seorang gadis sebayanya. Sehingga ketika pertama kali bertemu de- ngan Bong Mini yang mempunyai wajah cantik dan bertubuh mungil menggemaskan, ia langsung kasma- ran dan bertekad hendak memilikinya. Namun ketika melihat sikap Bong Mini yang acuh tak acuh terha- dapnya, Baladewa hilang harapan  dan  nyaris  putus asa.

“Adikku!” panggil Baladewa ketika dapat menyeja- jarkan langkahnya dengan Bong Mini.

“Enak saja kau panggil adik! Memangnya usiamu lebih tua dariku!” sergah Bong Mini.

“Lalu aku harus memanggil apa?” Bong Mini bungkam. Langkahnya semakin diperce- pat

“Bong Mini, kenapa kau tak pernah bersikap ramah padaku?” tanya Baladewa sambil terus mengimbangi langkahnya.

“Tanyakan saja pada dirimu sendiri!” singkat Bong Mini.

“Justru karena itu aku bertanya kepadamu. Aku ti- dak tahu, apa yang membuatmu bersikap seperti itu?!”

“Kalau tidak tahu, ya sudah!”

Baladewa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil mengeluh. Ia sudah kehabisan cara untuk dapat meluluhkan hati Bong Mini. Sebaliknya  Bong Mini malah tertawa geli dalam hati melihat tingkah Ba- ladewa yang serba salah.

“Kalau memang persoalan di sungai beberapa waktu yang silam masih mengganjal perasaanmu,  maafkan- lah aku! Bukankah Yang Maha Kuasa selalu memberi maaf kepada umatnya walau sebesar apa pun do- sanya?”

Bong Mini mendadak menghentikan langkahnya ke- tika mendengar kata-kata Baladewa. Dia berdiri tegak menghadap Baladewa. Sedangkan matanya yang hitam gemerlap memandang tajam ke arah pemuda itu.

Hati Baladewa menjadi girang ketika melihat sikap Bong Mini. Ucapanku tadi berhasil meluluhkan hati Bong Mini, pikirnya.

“Dengar Baladewa yang tampan!” kata Bong Mini tegas. Tapi mendadak hatinya tersentak sendiri. Kare- na tanpa disadari ia mengatakan tampan pada pemuda di hadapannya itu. Tapi keterkejutan itu segera ia tu- tup kembali dengan ucapan selanjutnya. “Dosa kepada Tuhan memang sangat mudah mendapat  ampunan ji- ka manusia itu benar-benar memohon dan tidak men- gulangi lagi perbuatannya. Tapi jika kesalahan itu di- lakukan terhadap sesama manusia tidak mudah untuk mendapatkan maaf. Karena dalam diri manusia  ada sifat yang baik dan buruk!” setelah  berkata  begitu, Bong Mini kembali melanjutkan langkahnya.

“Bong Mini, tunggu!” cegah Baladewa sambil beru- saha menyejajarkan langkahnya kembali.

Bong Mini kembali menghentikan  gerak  kakinya dan memandang tajam pada Baladewa.

“Ada apa lagi?”

“Apakah kita tidak bisa berdamai lagi?”

“Sekali aku bilang tidak, ya tidak. Ngerti?”  kedua bola mata Bong Mini mendelik semakin indah, mem- buat Baladewa menjadi gemas terhadapnya. Tapi ia sendiri tidak bisa gegabah. Sebab untuk mendekati wanita semacam Bong Mini memerlukan waktu yang berlarut-larut. Ibarat percampuran air dengan garam.

Beberapa saat suasana hening. Keduanya tidak berkata apa-apa lagi. Kecuali terus berjalan dalam ke- bisuan yang mereka pertahankan.

Waktu terus berjalan menurut aturannya. Tanpa te- rasa matahari telah tenggelam di sudut langit sebelah barat, pertanda bahwa waktu malam mulai tiba. Sua- sana alam yang tadinya terang-benderang, kini tampak meremang karena disinari oleh cahaya matahari yang sudah begitu redup.

Seiring dengan cepatnya perjalanan waktu, secepat itu pula Bong Mini dan Baladewa telah jauh mening- galkan Gunung Muda. Kini mereka tengah  menjejak- kan kaki di tanah Desa Anjungan. Sebuah desa kecil yang sarat dengan penduduk. Sehingga rumah-rumah yang menjadi tempat tinggal mereka tampak berdere- tan, tanpa sejengkal lahan kosong pun yang membata- sinya. “Sungguh padat penduduk desa ini!” gumam Bala- dewa sambil memandang rumah-rumah yang berjejer di kanan kirinya.

Bong Mini, yang berjalan di sebelahnya sependapat pula dengan pendapat Baladewa. Namun pendapatnya itu ia tahan saja dalam hati. Sedangkan kedua  ma- tanya terus memandang lurus ke depan, pada lampu- lampu alit yang dipasang di depan rumah-rumah pen- duduk.

“Ada baiknya kita mencari warung nasi dan pengi- napan untuk malam ini!” usul Bong Mini tanpa meno- leh.

“Itu lebih baik. Kebetulan perutku pun sudah terasa perih!” kata Baladewa dengan hati gembira. Karena ga- dis yang sejak tadi berdiam diri itu mulai mau mem- buka suara dan mengajaknya berbicara.

Sedang asyiknya mereka berjalan, tiba-tiba terde- ngar suara riuh orang-orang kampung yang disertai dengan teriakan-teriakan lantang.

Bong Mini dan Baladewa menghentikan langkah se- jenak. Keduanya memasang telinga baik-baik untuk menemukan arah suara itu. Dan ketika yakin dari ma- na asal suara itu, keduanya segera melesat meng- hampiri.

Tidak lama mereka berlari, mata keduanya tiba-tiba melihat sekelompok orang tengah berkerumun, menge- lilingi seorang lelaki tua.

“Hajar!”

“Habisi!”

“Bunuh!”

Beberapa orang di antara mereka berteriak-teriak sambil menuding ke arah lelaki tua yang dikerumuni. Kemudian mereka serentak  bergerak  memukuli  lelaki tua itu. Melihat orang-orang kampung memukuli seorang le- laki tua dengan penuh nafsu, Bong Mini segera mem- buru ke arah kerumunan itu.

“Berhenti!” teriak Bong Mini.

Mendengar bentakan itu, orang-orang yang memu- kuli lelaki tua segera menghentikan gerakan. Mereka bergerak mundur dua langkah sambil  memandang Bong Mini yang berdiri dengan gagah.

“Siapa kau? Kenapa mencampuri urusan kami?” tanya seorang di antara mereka disertai tatapan mata yang tajam, penuh selidik.

“Maaf! Aku bukan hendak mencampuri urusan ka- lian. Aku hanya kasihan melihat seorang lelaki tua di- keroyok oleh puluhan lelaki yang muda perkasa!” sa- hut Bong Mini tenang.

“Tapi kau tidak tahu, kenapa kami sampai memu- kuli orang tua keparat ini!” kata lelaki tadi seraya me- nudingkan jari telunjuknya ke arah orang tua yang berjongkok menahan sakit di hadapannya.

“Justru karena itu aku ingin mengetahui persoa- lannya, kenapa orang tua itu sampai kalian pukuli?” timpal Bong Mini dengan sikap yang masih tenang.

“Dia seorang pencuri!” sahut lelaki pertama itu menjelaskan.

“Betul. Dia seorang pencuri!” timpal beberapa orang lain, mendukung.

Bong Mini mengangguk-angguk.

“Baiklah kalau begitu. Tapi izinkan aku untuk membelanya!” kata Bong Mini.

“Heh! Sudah tahu orang tua ini seorang pencuri mengapa masih ingin membelanya? Apakah kau masih ada hubungan keluarga dengannya?!” tukas lelaki per- tama.

“Dia memang bukan kaum kerabatku. Tapi sebagai manusia aku berhak membela orang lain yang me- mang membutuhkan pembelaan!” lantang Bong Mini.

Pengeroyok yang berjumlah kurang lebih dua puluh orang tampak terpana mendengar ucapan Bong Mini. Mereka tidak mengira kalau gadis secantik itu mem- punyai jiwa pemberani. Sehingga mereka menjadi ya- kin kalau dia bukan penduduk desa itu. Sebab para gadis Desa Anjungan tidak mempunyai keberanian se- perti itu. Apalagi melakukan  pembelaan  terhadap orang yang jelas bersalah di hadapan orang banyak.

“Orang tua ini memang telah bersalah. Tapi bukan berarti kesalahan yang diperbuatnya itu dijadikan ala- san untuk tidak mengampuninya!” tegas Bong Mini dengan suara lantang.

Puluhan orang di hadapannya tampak terdiam mendengarkan. Bahkan di antara mereka ada yang terpesona mendengar ucapan Bong Mini yang menyen- tuh hati itu.

Di sudut lain, di tempat yang terlindung oleh seba- tang pohon besar, Baladewa memandang sikap dan ucapan Bong Mini dengan terkagum-kagum. Ia bangga mempunyai saudara seperguruan yang berjiwa pembe- rani. Apalagi sifat pemberani itu tumbuh dalam diri gadis yang selama ini membuatnya kasmaran.

“Aku ingin bertanya, siapa di antara kalian yang ti- dak pernah melakukan kesalahan?” terdengar suara lantang Bong Mini lagi.

Orang-orang di hadapannya masih berdiri tertegun tanpa ada yang berani menyahut. Bahkan di antara mereka ada yang terlihat menundukkan kepala, seo- lah-olah menyadari kesalahannya.

“Hampir semua orang tidak lepas dari dosa. Ini wa- jar! Karena dalam diri kita ada sifat tercela sekaligus sifat terpuji. Sehingga pada perbuatan kita pun ada yang baik dan ada pula yang buruk!” kata-kata yang diungkapkan Bong Mini terasa mengalir semanis ma- du. Merasuk kuat pada benak pendengarnya. Sehingga sebagian di antara mereka ada yang tertunduk, mere- nungi ucapan Bong Mini.

Baladewa yang sejak tadi memperhatikan dan men- dengarkan ucapan Bong Mini dari kejauhan makin terpesona mendengar untaian kalimat yang dilontar- kan mulut gadis yang disenanginya itu.

“Sebenarnya perbuatan yang dilakukan  orang  tua ini merupakan penyelewengan biasa yang kerap dila- kukan oleh manusia berbatin lemah. Sama  seperti orang yang menderita semacam penyakit. Bedanya, yang sakit bukan tubuh melainkan hatinya. Yang se- harusnya kalian lakukan jelas mengobati penyakit itu, bukan malah membunuhnya tanpa pertimbangan akal sehat!” lanjut Bong Mini.

Beberapa saat suasana hening. Mereka seolah-olah terkesima mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir mungil seorang gadis cantik yang berdiri di hada- pan mereka.

“Tapi hukuman ini sudah lama diberlakukan dan disetujui oleh kepala desa!” sahut orang pertama yang sejak tadi selalu menjadi juru bicara bagi yang lain.

“Baik! Tapi hukuman itu sendiri tidak akan menjadi pelajaran dan membuat jera orang  lain.  Buktinya, orang tua ini masih  melakukan  pencurian!”  sahut Bong Mini tegas dan tenang.

“Aku berpendapat, hukuman yang dijatuhkan pada orang tua ini lebih kotor dibandingkan dengan perbua- tannya. Dan dari kekotoran hukum ini pasti akan me- lahirkan manusia-manusia yang bermoral rendah!” Bong Mini menghentikan ucapannya sejenak untuk menelan ludah yang mulai kering karena terlalu ba- nyak berbicara.

“Menurutku, alangkah baiknya kita menuntun me- reka yang tersesat agar mau kembali ke jalan yang lu- rus!” lanjut Bong Mini.

Penduduk Desa Anjungan yang tadi turut memukuli lelaki tua itu tampak tercenung. Seolah-olah tengah mencerna pendapat yang dilontarkan oleh gadis asing yang baru dikenal. Sedangkan orang tua yang tadi di- keroyok oleh penduduk kampung merasa gembira ka- rena mendapat pertolongan dari seseorang yang tak dikenalnya. Dan dia berharap dalam hati agar dirinya terbebas dari tuduhan orang-orang kampung itu.

Sementara itu, lelaki pertama yang menjadi juru bi- cara melangkah mendekati Putri Bong Mini.  Diikuti oleh lima lelaki lain. Mereka berjalan tegang dengan sinar mata mencorong seperti menyimpan kebencian.

“Kau bocah perempuan yang hendak menghasut pi- kiran penduduk kampung ini rupanya!” kata lelaki per- tama itu dengan nada geram menyimpan marah.

Bong Mini membalas ucapan lelaki itu dengan bibir terkembang.

“Aku hanya mengemukakan pendapat tanpa mem- punyai maksud apa-apa!” sahut Bong Mini dengan si- kap yang masih tenang. Namun demikian, matanya te- tap waspada. Menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi.

“Apa urusanmu dengan hukum yang berlaku di kampung ini!” bentak lelaki pertama itu mulai naik pi- tam.

“Memang bukan urusanku. Tapi aku tidak tega ter- hadap masyarakat, terutama orang tua itu untuk me- nerima hukuman keji yang berlaku di kampung ini!” Bong Mini tetap mempertahankan pembelaannya ter- hadap lelaki tua yang nyaris mati dikeroyok itu. “Bangsat! Rupanya kau hendak berlagak menjadi pahlawan di kampung ini!” geram lelaki pertama sam- bil memasang kuda-kuda, siap menyerang Bong Mini. Namun yang akan diserang tampak tenang-tenang sa- ja. Sedikit pun tidak memberikan  reaksi  terhadap enam lelaki yang sudah mengepungnya.

“Heh, Bocah Tengik! Pergilah kau dari tempat ini sebelum habis kesabaranku!” geram lelaki kedua yang berdiri di dekat lelaki pertama.

“Aku tidak akan pergi sebelum orang tua itu kalian bebaskan!” balas Bong Mini.

“Bocah keparat! Apa kau mempunyai kepandaian sehingga berani mengganggu urusanku!” bentak lelaki pertama. Darahnya mulai mendidih karena merasa di- tantang oleh gadis kecil.

“Sebaiknya kau coba saja untuk mengetahuinya!” sahut Bong Mini sembari tersenyum ringan.

Telinga keenam lelaki itu panas mendengar ucapan Bong Mini. Karena secara  tidak  langsung  gadis  kecil itu telah menantang mereka. Sehingga mereka pun se- rentak mengepung Bong Mini.

Baladewa yang sejak tadi menunjukkan rasa kagum terhadap Bong Mini, kini berubah was-was melihat ga- dis idamannya dikeroyok oleh enam lelaki bertubuh kekar dan berwajah kasar. Namun ia sendiri belum in- gin melakukan pembelaan. Dia ingin melihat dulu sampai di mana kemampuan saudara seperguruannya itu dalam bermain silat.

Seorang lelaki bertubuh tinggi kekar yang menge- pung Bong Mini segera maju ke depan dan langsung berhadapan dengan Bong Mini.

Menghadapi seorang lelaki yang siap menyerangnya itu, Bong Mini tampak masih tenang-tenang saja. Bi- birnya mengulum senyum dengan kedua tangan meli- pat di depan dadanya. Mirip seorang guru yang tengah melihat muridnya berlatih silat.

“Hiyaaat!”

Lelaki yang berhadapan dengan Bong Mini langsung menyerang gadis itu dengan sebuah lompatan setinggi satu meter. Kaki kanannya lurus ke depan menyerang tubuh lawan.

“Uts!”

Bong Mini memiringkan badannya sedikit ke sam- ping, sambil melepas pukulan pada kaki lawan yang mengarah padanya.

Plakkk!

Lelaki yang terkena pukulan tangan Bong Mini pada betisnya langsung terjungkal ke belakang. Tapi kemu- dian ia segera bangkit kembali dan berdiri tegang menghadap Bong Mini. Dengan kecepatan yang dah- syat dia kembali menyerang Bong Mini.

“Hiy! Hiy!”

Jurus ‘Totok Ayam Makan Cacing’ yang dikeluarkan oleh lelaki itu begitu gencar menyerang Bong Mini. Ta- pi dengan cepat gadis bertubuh mungil itu mengi- baskan kedua tangannya untuk menangkis sambil me- langkah mundur dua tindak.

“Wut wut wuttt!”

Lelaki tadi cepat menarik tangannya kembali. Lalu melangkah maju kembali dan mendesak lebih gencar.

Wut wut wuttt!

Jurus ‘Monyet Mengamuk’ datang bertubi-tubi ke arah Bong Mini. Bukan saja tangannya yang memukul, tetapi kedua kaki lelaki itu pun turut pula menyerang dengan tendangan-tendangan istimewa. Gadis itu ter- kejut. Serangan yang dahsyat  itu  memancing  Bong Mini untuk mengerahkan jurus ‘Ombak Pemecah Ka- rang’ yang didapatnya dari papanya ketika berumur lima belas tahun.

Singngng...! Wut wut wuttt!

Jurus ‘Ombak Pemecah Karang’ yang dikerahkan lewat kedua tangan Bong Mini menimbulkan suara a- ngin yang mendesing dan menyambar-nyambar de- ngan dahsyat, susul-menyusul seperti ombak lautan.

“Aaakh...!”

Tubuh lelaki itu terlempar jauh ke belakang bagai daun kering yang tertiup angin. Lalu jatuh dengan ke- pala membentur batang pohon.

Melihat betapa temannya dapat dijatuhkan oleh ga- dis kecil itu, kelima lelaki lain yang sejak tadi me- nyaksikan pertempuran itu segera mencabut  golok yang terselip di pinggang masing-masing. Mereka se- rentak mengepung Bong Mini dengan sinar mata ga- nas.

“Tangkap dia hidup atau mati!” terdengar perintah lelaki pertama dengan suara lantang. Perintah itu memberikan pengertian bahwa teman-temannya boleh membunuh gadis kecil yang amat lihai dan gesit itu.

Mendapat perintah tersebut, empat orang temannya yang sudah bersiap-siap segera membuat lingkaran, membentuk barisan aneh dan berlari-lari mengelilingi tubuh Bong Mini.

Zigzag zigzag!

Melihat serangan ketat seperti itu, sedikit pun Bong Mini tidak merasa gentar. Malah dengan gusar ia sege- ra mencabut pedang warisan Putri Teratai Merah yang tersangkut di punggungnya.

Sreset! Crat crat crat!

Sinar merah berbentuk bunga teratai berkerjap- kerjap menyilaukan mata ketika pedang milik Bong Mini keluar dari sarungnya.

Kelima orang  pengeroyoknya  terpana  dengan  mulut menganga ketika melihat cahaya merah berbentuk te- ratai yang memancar dari pedang gadis.

Baladewa yang sejak tadi menyaksikan keindahan gerak tubuh Bong Mini, kini tercengang terkagum- kagum melihat sinar merah berbentuk bunga teratai yang terpancar dari pedang Bong Mini. Dia merasa ya- kin kalau Pedang Teratai Merah yang baru  dimiliki Bong Mini mempunyai kesaktian yang amat dahsyat!

“Perketat barisan dan serang bocah itu!” tiba-tiba le- laki pertama yang menjadi pemimpin keempat teman- nya menyadarkan. Sehingga mereka segera tersadar dari ketercengangan dan segera memperketat barisan anehnya.

Walaupun tingkat kepandaian mereka jauh di ba- wah Bong Mini bila melawan satu persatu, namun bila sudah membentak barisan semacam itu, kekuatan me- reka akan bertambah dahsyat. Karena tenaga mereka akan terpusat menjadi satu bentuk serangan.

Sambil berlari mengelilingi Bong Mini, kelima lelaki itu segera melakukan serangan bertubi-tubi serta sa- ling melindungi dengan mengarahkan golok susul- menyusul ke arah Bong Mini.

Zigzag, zigzag! Wut wut wut!

Suara langkah dan angin yang ditimbulkan oleh langkah kaki dan golok lawan terdengar dahsyat beri- rama.

Bong Mini yang sudah melaksanakan puasa mutih selama empat puluh hari di Gunung Muda dan men- dapat warisan pedang dari Putri Teratai Merah segera memutar pedangnya dengan ilmu Pedang Teratai Me- rah yang amat hebat.

Sing sing singngng!

Pedang Bong  Mini  yang  berkelebat  cepat  tampak membentuk gulungan sinar berwarna  merah  yang amat menyilaukan mata.

Lima orang yang membentuk barisan berlari itu se- gera menangkis dengan golok ketika gulungan sinar merah mencuat ke arahnya.

Trang trang trang!

Bong Mini menangkis golok-golok yang mengarah padanya dengan Pedang Teratai Merah.

Sret sret sret! “Aaakh...!”

“Aaakh...!”

Dua orang lawan terpekik ketika ujung pedang Bong Mini menebas leher dan perut mereka.

Melihat tiga orang telah  mati  di  tangan  gadis  kecil itu, ketiga orang  yang  lain  langsung  mengambil  lang- kah seribu. Mereka tidak ingin mengalami nasib yang sama.

Bong Mini menghela napas lega sambil memandang kepergian ketiga lawannya. Sedangkan pedang warisan Putri Teratai Merah dimasukkan kembali ke dalam sa- rungnya lalu disandang di punggungnya.

Setelah punggung ketiga lawan yang melarikan diri tidak  terlihat  lagi,  Bong  Mini  segera  menghampiri orang tua yang tadi dipukuli.

Empat belas orang yang turut  mengeroyok lelaki tua itu segera mundur beberapa  langkah  dengan  sikap takjub pada Bong Mini.

“Siapakah Bapak dan benarkah telah melakukan pencurian?” tanya Bong Mini dengan suara yang lem- but dan ramah.

“Namaku Karma!” kata lelaki tua itu menyebutkan namanya. “Aku memang telah melakukan pencurian selembar kain milik seorang anak buah Pak Bagol!” lanjut orang tua yang bernama Karma itu, mengakui perbuatannya.

“Siapakah Pak Bagol itu?” tanya Bong Mini ingin ta- hu,

“Dia seorang kepala desa di  kampung  ini!”  sahut Pak Karma.

“Lalu untuk apa Bapak mencuri selembar kain?” desak Bong Mini.

“Aku terpaksa, Non. Karena istriku akan melahir- kan!” sahut Pak Karma dengan suara sedih.

Pak Karma dan istrinya memang hidup serba keku- rangan. Malah terkadang mereka hanya makan sekali dalam sehari karena tidak ada bahan makanan yang lebih. Ladang singkong yang hanya sepetak masih la- ma memberikan hasil. Sedangkan barang-barang su- dah habis ditukar dengan bahan makanan untuk me- nyambung hidup mereka, hingga habis tanpa sisa. Ka- rena itu Pak Karma terpaksa mencuri ketika melihat istrinya akan melahirkan.

Bong Mini menghela napas. Hatinya terenyuh men- dengar pengakuan Pak Karma yang menyentuh pera- saannya.

“Nah, cobalah kalian pikir dan renungkan. Setim- palkah hukuman yang akan ia terima dengan barang yang dicurinya?” tanya Bong Mini pada kerumunan orang yang masih berdiri terpaku memandang Bong Mini.

“Membuat undang-undang hukum perlu pemikiran yang matang agar bisa berwibawa dan ditaati. Bukan untuk menakut-nakuti!” lanjut Bong Mini seraya me- nyebarkan pandangannya ke arah orang-orang yang berkerumun.

“Sebenarnya kami pun menyadari hal itu, Nona. Ta- pi kami hanya rakyat biasa yang harus menaati semua perintah pemimpin. Kalau tidak, kepala desa akan memerintahkan begundal-begundalnya untuk me- nangkap kami dan membunuhnya!” kata salah seorang di antara mereka, memberanikan diri.

Bong Mini tertegun beberapa saat mendengar uca- pan itu. Ia mulai berpendapat bahwa kepala desa itu mempunyai tujuan-tujuan tertentu dalam mengguna- kan jabatannya. Dan tujuan itu tentu saja bukan hal yang baik.

“Kalau memang demikian, biar aku yang akan me- nyelesaikan ini dengan kepala desa kalian yang ditaku- ti itu!” tegas Bong Mini, membuat para penduduk menghela napas lega dan gembira menyambut niat Bong Mini untuk menolong mereka. Salah satunya memperbaiki hukum yang kurang berwibawa di desa itu.

Baru beberapa menit Bong Mini berkata, tiba-tiba muncul kepala desa dengan dua belas orang pengikut- nya, termasuk tiga orang yang tadi melarikan diri. Ru- panya, mereka melarikan diri untuk melaporkan peris- tiwa itu kepada pemimpin desanya.

Melihat kedatangan kepala desa bersama pengikut- nya, para penduduk yang masih ada di tempat itu tampak menyingkir dengan wajah menunjukkan keta- kutan. Hanya Bong Mini saja yang masih berdiri di tempat menyambut kedatangan rombongan kepala de- sa itu.

Sementara itu, Baladewa yang sejak tadi memper- hatikan Bong Mini di tengah kerumunan  penduduk Desa Anjungan, tetap tak bergeming dari tempatnya. Ia ingin melihat sejauh mana Bong Mini menyelesaikan masalah penduduk di kampung itu.

*** 7

Bong Mini berdiri dengan sikap tenang. Namun ma- tanya tajam meneliti ketiga belas orang yang sudah mengelilinginya itu. Kemudian matanya tertuju  pada lelaki bertubuh tinggi besar. Wajahnya banyak  ditum- buhi oleh kumis dan jenggot. Sedangkan matanya yang hitam dan besar begitu tajam menatap  ke  arah  Bong Mini.

“Dialah orang yang membunuh tiga orang teman kami, Ketua!” lapor seorang dari mereka yang tadi me- larikan diri.

“Hm, rupanya kalian melarikan diri untuk memang- gil anjing-anjing hitam ini!” ujar Bong Mini sambil me- mandang ketiga orang yang melarikan diri tadi secara bergantian.

Tiga lelaki itu saling berpandangan, kemudian me- reka menoleh pada lelaki bertubuh tinggi besar yang dipanggil ketua.

“Nah, Ketua bisa dengar sendiri ucapan sombong bocah tengik itu!” ucap lelaki yang berkata tadi.

Lelaki bertubuh tinggi besar dan  berkulit  hitam yang disebut ketua itu maju selangkah ke arah Bong Mini. Sesaat dia terdiam. Hanya matanya saja menco- rong tajam mengamati wajah Bong Mini. Kemudian dia bicara dengan suara tenang berwibawa.

“Nona, rupanya Anda tidak mengetahui kalau mere- ka orang-orang utusanku. Rupanya Nona baru mema- suki dunia persilatan hingga seperti seekor  burung yang baru belajar terbang dan tidak mengenal daerah. Karena itu, jika Nona mau bersikap ramah dan minta maaf, kami pun akan menyudahi urusan ini karena Nona masih kuanggap kanak-kanak!” “Bagiku, siapa pun yang mengutus mereka aku tak peduli. Aku datang ke sini tanpa  sengaja.  Kemudian aku melihat seorang lelaki tua tengah dikeroyok dan mencoba menengahinya. Apakah itu  salah?”  tanya Bong Mini dengan sikap yang masih tenang.

“Bukankah orang-orangku telah menjelaskan bah- wa orang tua itu seorang pencuri?” lelaki bertubuh tinggi besar itu balik bertanya.

“Apakah karena dia pencuri lalu kita memukulinya sampai mati? Di manakah kewibawaan hukum? Apa- lagi barang yang dicurinya bernilai tidak seberapa. Hanya sehelai kain untuk persiapan istrinya yang akan melahirkan. Nah, apakah sepadan siksaan yang ia teri- ma dengan perbuatannya?” tanya Bong Mini dengan suara lantang.

“Tapi ini hukum yang telah kuberlakukan puluhan tahun. Jadi tak seorang pun yang dapat membantah- nya!” sahut lelaki bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam.

“Kalau yang menegakkan hukum itu dirimu, maka aku berkeyakinan kalau kau adalah seorang  kepala desa ini. Tapi ingatlah Bapak Kepala Desa, bahwa hu- kum itu harus berwibawa dan dihormati. Bukan malah menakut-nakuti masyarakat!” kata Bong Mini dengan sikap yang penuh keberanian. Sejak kecil ia memang telah dibekali oleh orangtuanya tentang tata cara pem- buatan hukum. Apalagi dia seorang anak raja, hingga sedikit banyak tahu masalah hukum.

Kepala desa yang tidak lain bernama Pak Bagol itu tersentak kaget melihat sikap gadis mungil yang demi- kian lantang berbicara kepadanya. Seolah-olah hendak mempermalukan dirinya di hadapan orang banyak.

Rasa terkejut itu bukan saja menghinggapi diri Pak Bagol, tetapi juga melanda orang-orang di sekitarnya, termasuk Baladewa. Hingga diam-diam ia melangkah dan menyelinap di antara kerumunan orang banyak untuk menyaksikan lebih dekat lagi.

“Bocah sombong. Berani benar kau berbicara pada- ku!” dengus Pak Bagol dengan wajah merah padam ka- rena menahan marah.

“Maafkan aku Kepala Desa Yang Terhormat, jika aku lancang berbicara dan berkesan menggurui. Se- sungguhnya, aku hanya berbicara sesuai dengan apa yang kuketahui!” ucap Bong Mini, mencoba meredakan amarah Pak Bagol. Ia sendiri memang tidak ingin membuat kericuhan di desa itu. Apalagi dengan kepala desanya. Dia hanya ingin mengusulkan agar hukum yang telah diberlakukan di desa itu hendaknya diper- baiki lagi. Namun karena Pak Bagol sudah telanjur merasa dipermalukan sebagai seorang tokoh masyara- kat, maka sikap permohonan maaf Bong Mini pun ti- dak didengarnya sama sekali. Malah ia semakin ma- rah. Darahnya bergolak mengalir ke seluruh tubuhnya. “Bocah  sombong!  Dengarkan  baik-baik.   Permoho- nan maafmu bisa aku terima jika kau bersujud di ha- dapanku dan mencium telapak kaki!” dengus Pak Ba-

gol dengan sorot mata berkilat-kilat.

Bong Mini yang sudah mencoba menyabarkan Pak Bagol, kini berubah panas mendengar ucapan kepala desa itu. Maka dengan wajah bersemu merah serta su- ara yang berapi-api ia pun menyambut ucapan kepala desa yang mengandung penghinaan itu.

“Aku bersedia berlutut mencium telapak kakimu ji- ka kau bersama cecunguk-cecungukmu mampu me- langkahi mayatku!”

Mendengar ucapan Bong Mini yang mengandung nada tantangan, telinga Pak Bagol menjadi panas. Ke- marahan yang sejak tadi ditahannya langsung mem- bludak tanpa bisa dibendung lagi. Dengan suara pecah menggelegar, Pak Bagol langsung memberikan perintah kepada para pengikutnya.

“Tangkap bocah tengik itu!”

Mendapat perintah itu kedua belas orang pengikut- nya langsung mengurung rapat Bong Mini. Mereka be- rusaha menangkap gadis cantik itu hidup-hidup.

Bong Mini yang menyadari dirinya berada di tempat yang tidak menguntungkan segera melompat ke atas ketika kedua belas pengurungnya bergerak serentak hendak menangkapnya.

Melihat Bong Mini yang dikurung oleh dua belas le- laki bertubuh kasar dan beringas, hati Baladewa men- jadi was-was. Namun ia sendiri berusaha menahan diri untuk tidak segera memberikan pertolongan. Ia masih yakin kalau saudara seperguruannya mampu mengha- dapi lawan sebanyak itu.

“Hiyaaat!”

Tiba-tiba Bong Mini mengeluarkan bentakan me- lengking. Tubuhnya berkelebat, meloncat tinggi me- lampaui kepala para pengepungnya. Dan, ketika kedua belas pengepungnya hendak menghalangi, ia berbalik mendorongkan tangan kanannya yang mengandung tenaga ‘Telapak Tangan Sakti’.

Wuttt!

Angin keras yang ditimbulkan ‘Telapak Tangan Sak- ti’, warisan dari Putri Teratai Merah menyambar la- wannya. Sehingga mereka yang berusaha menghalan- ginya terdorong ke belakang disertai teriakan kaget ka- rena terpaan hawa panas.

Barisan pengepung kacau-balau. Namun kedua be- las orang itu kembali berdiri tegak sambil terus men- desak gadis mungil yang menjadi musuh mereka.

Di lain pihak, Bong Mini yang sudah mendapat ke- sempatan untuk bernapas segera mencabut Pedang Teratai Merahnya. Seketika itu juga sinar merah ber- bentuk bunga teratai memancar terang saat pedang itu dikeluarkan dari sarungnya.

“Pedang Teratai Merah!” desis Pak Bagol dengan ke- dua mata terbelalak. Ia hampir tidak percaya gadis se- kecil itu memiliki Pedang Teratai Merah. Ia sendiri per- nah berusaha beberapa kali untuk mendapatkan pe- dang itu tapi tidak pernah berhasil. Karena setiap kali ia mencoba, selalu diganggu oleh pasukan iblis menye- rupai ular yang menyerangnya. Dan kini, ketika meli- hat gadis mungil yang diserang anak buahnya memiliki Pedang Teratai Merah, ia pun turut melakukan seran- gan.

“Kepung gadis itu! Jangan sampai lolos!” seru Pak Bagol mengingatkan para pengikutnya.

Dua belas orang anak buah kepala desa semakin bersemangat ketika melihat pemimpinnya sendiri ber- sama-sama mereka turut melakukan pengepungan terhadap gadis lincah itu.

Bong Mini yang sudah siap menghadapi serangan dari ketiga belas lawannya, segera melakukan perla- wanan lewat jurus ‘Telapak Tangan Sakti’ dan Pedang Teratai Merah.

“Hiaaat!”

Pak Bagol mengeluarkan lengkingan tinggi saat tu- buhnya melompat ke tengah pertempuran.

Wuttt! Desss!

Angin yang ditimbulkan jurus ‘Telapak Tangan Sak- ti’ mendorong enam lawannya hingga terhuyung. Dan ketika para pengeroyok itu semakin kacau dalam men- gatur posisinya, Bong Mini segera memainkan pedang- nya dengan kecepatan yang amat dahsyat.

Sing sing sing! Tubuh dan pedang Bong Mini bagaikan  bola  api yang menggelinding ke sana kemari, membuat perta- hanan lawannya semakin kacau-balau dan tak  dapat lagi mempertahankan keutuhan gerak mereka.

“Aaakh!”

Tiba-tiba terdengar jeritan kematian yang amat me- nyayat hati. Lalu disusul dengan robohnya enam lawan dengan tubuh yang amat mengerikan. Ternyata mere- ka mati terkena sabetan Pedang Teratai Merah milik Bong Mini yang terkenal sakti.

Setelah merobohkan enam orang lawannya, Bong Mini kembali membalikkan tubuhnya untuk menye- rang tujuh penyerang lain. Ia terus mengamuk mema- inkan pedang saktinya ke arah lawan.

Para pengepung yang memang sudah kacau-balau dalam melakukan serangan semakin bertambah kelim- pungan ketika melihat enam orang temannya mati. Di- tambah lagi dengan serangan dahsyat yang kini dilan- carkan oleh gadis mungil yang menjadi lawan mereka. Sehingga jalan satu-satunya bagi mereka adalah me- nyelamatkan diri agar terhindar dari serangan pedang Bong Mini yang amat dahsyat itu.

Bret bret bret! “Aaakh!”

Musuh yang berusaha menyelamatkan diri mati di ujung pedang Bong Mini yang sudah mengamuk seja- di-jadinya.

Kini mereka semua roboh dengan tubuh yang ma- lang melintang di antara darah yang membasahi  ta- nah. Tinggallah Pak Bagol yang masih bertahan hidup.

Sebenarnya Pak Bagol sudah gentar menghadapi gadis mungil yang menjadi lawannya itu. Tapi karena keinginannya untuk memiliki Pedang Teratai Merah begitu menggebu-gebu, ia pun memaksakan diri untuk terus menghadapi lawannya sampai titik darah peng- habisan. Percuma saja aku melarikan diri kalau tak berhasil merebut pedang di tangan lawan, pikirnya.

“Kau boleh bangga dapat merobohkan para pengi- kutku. Tapi kau tak akan mungkin berhasil meroboh- kanku bila bertanding dengan tangan kosong!” tantang Pak Bagol. Namun sesungguhnya tantangan itu hanya sebuah jebakan belaka. Sebab kalau Bong Mini me- layani tantangan itu, ia akan mudah merebut Pedang Teratai Merah.

Pancingan Pak Bagol berhasil. Bong Mini menggele- takkan pedangnya di atas tanah dan menunggu sera- ngan lawannya dengan tangan kosong.

“Hiaaat!”

Pak Bagol meluruk ke arah Bong Mini dengan me- ngerahkan ilmu Gerak Pukul yang terkenal ganas.

Wuttt!

Bong Mini menghindari serangan itu dengan cara melompat setinggi dua meter. Sehingga pukulan yang mengeluarkan angin dahsyat itu luput dari sasaran.

Menyadari pukulannya luput, Pak Bagol segera membalikkan tubuhnya untuk kembali menyerang.

“Hiy hiy hiy!”

Lewat jurus ‘Cakar Macan’, Pak Bagol berusaha mencengkeram tubuh lawan. Dari kedua tangannya yang berbentuk cakar, keluar hawa panas serta uap putih yang menyebarkan bau amis darah.

Bong Mini terkejut juga melihat serangan itu. Ia ta- hu bahwa cengkeraman itu mengandung racun yang mematikan. Itu merupakan serangan khas yang biasa dipergunakan oleh para tokoh golongan hitam. Dari ju- rus yang dilancarkan Pak Bagol, ia sudah dapat mene- bak bahwa kepala desa itu seorang tokoh silat dari go- longan hitam. Oleh karena itu Bong Mini akan segera membasminya agar ajarannya yang menyesatkan tidak turun pada masyarakat yang dipimpinnya.

Untuk menghindari serangan lawan, Bong Mini mencoba mempergunakan ilmu Halimun Sakti.  Se- buah ilmu yang membuat dirinya terlihat samar-samar oleh pandangan orang lain, bahkan tidak  kelihatan sama sekali. Dan ilmu ini mempunyai gerakan yang lambat dan tenang seperti halnya halimun yang perla- han-lahan turun menyelimuti bumi. Ini merupakan sa- lah satu ilmu dari jurus ‘Pancar Sinar Sakti’ yang di- wariskan oleh Putri Teratai Merah. Sehingga saat mu- suhnya menyerang, tubuh Bong Mini melayang ringan seperti bulu yang tertiup angin. Sehingga serangan la- wannya luput dari sasaran walau bagaimanapun he- batnya pukulan yang dikerahkan Pak Bagol.

Suit suit suit!

Sebuah angin keras bersuitan ketika Bong Mini membalas serangan dengan melakukan tamparan ke- dua tangannya. Ini menunjukkan kedua telapak ta- ngannya mengandung tenaga sakti yang amat ampuh.

Wesss!

Pak Bagol terhenyak kaget ketika menyadari tampa- ran tangan lawannya mengandung angin pukulan yang demikian cepat dan dahsyat. Sehingga dia mengelak cepat dan berusaha mencengkeram lengan Bong Mini.

“Heppp!” Bukkk!

Tubuh kepala desa itu langsung terjungkal dan menggelinding di tanah ketika tangannya menyentuh tangan Bong Mini. Tapi dengan gerakan reflek,  kepala desa segera bangkit berdiri menghadap Bong Mini de- ngan muka merah. Sedangkan di tangan kanannya ter- genggam sebilah golok yang sudah berwarna hitam. Pertanda kalau golok itu sudah sering dilumuri racun. Gadis berbaju merah dan bertubuh mungil tampak tersenyum-senyum melihat kecurangan lawannya.

“Hanya begitu saja kemampuanmu bertempur de- ngan tangan kosong!” ejek Bong Mini.

Lelaki bertubuh tinggi besar yang sudah terpancing amarahnya itu semakin kalap mendengar ejekan Bong Mini. Dan tanpa berkata lagi, tubuhnya langsung me- loncat dan melabrak lawan dengan goloknya.

Wut wut wut!

Bong Mini melompat menghindari serangan golok yang cepat dan menimbulkan angin kencang itu. Dan ketika kakinya menjejak tanah kembali, ia langsung balik menyerang Pak Bagol lewat totokan jari telunjuk- nya.

Cep cep cep!

Totokan jari telunjuknya bukan main cepat menga- rah pada leher lawan, hingga kepala desa yang belum sempat membalikkan tubuhnya tidak dapat menghin- dari serangan. Ketika leher Pak Bagol terkena totokan kedua jari telunjuk lawan, tubuhnya terasa lemas dan tenaganya pun terasa hilang seketika. Membuat golok yang tergenggam di tangannya terlepas jatuh. Namun ketika tubuhnya jatuh di tanah, ia langsung berguli- ngan menuju Pedang Teratai Merah milik Bong Mini yang tergeletak. Kemudian ia bangkit dengan Pedang Teratai Merah yang sudah tergenggam di tangannya.

Apa yang terjadi pada lawannya tentu sangat me- ngejutkan hati Bong Mini. Karena ilmu menotok jalan darah yang dimilikinya tak mampu mempecundangi lawannya. Padahal ilmu menotok yang dimilikinya sa- ngat dahsyat. Tak seorang pun yang selamat bila tu- buhnya sudah terkena totokan kedua jari telunjuknya.

Pak Bagol merupakan orang yang pernah bergabung dengan tokoh-tokoh sesat. Selama terjun dalam dunia sesat, telah banyak ilmu-ilmu hitam yang dimilikinya. Salah satunya ilmu Sentuh Tanah Bangkit Berdiri. Se- buah ilmu ciptaan seorang pemimpin golongan hitam yang tujuannya untuk menaklukkan totokan lawan dengan cara bergulingan di atas tanah. Bila tubuh ter- kena totokan dan langsung bergulingan di tanah maka ilmu menotok jalan darah tidak akan mempan. Hingga tidak heran jika totokan Bong Mini tadi tidak mempen- garuhi keadaan lawannya.

Kebangkitan Pak Bagol itu memang sangat menge- jutkan hati Bong Mini. Apalagi ketika melihat musuh- nya itu telah menggenggam sebilah pedang kepunya- annya. Kegugupan tiba-tiba menyergapnya. Ia merasa kalau dirinya sekarang ini tidak lagi mampu menandi- ngi kepala desa itu setelah berhasil merampas Pedang Teratai Merah.

“He he he..., akhirnya aku berhasil mendapatkan pedang pusaka ini!” ucap kepala desa itu tertawa se- nang. “Sudah lama aku berusaha memilikinya, tapi ba- ru kali ini kesampaian!” lanjut Pak Bagol sambil me- mandangi pedang yang selalu memancarkan sinar me- rah berbentuk bunga teratai. Kemudian pandangannya yang mengandung kegembiraan itu diarahkan pada gadis bertubuh mungil yang jadi lawan tangguhnya.

“Bocah tengik, kali ini tamatlah riwayatmu!  Aku akan membunuhmu dengan pedang milikmu sendiri!” ancamnya dengan bibir menyeringai. Kemudian ia ber- gerak untuk melakukan serangan. Namun sebelum ia melaksanakan niatnya untuk menyerang Bong Mini, tiba-tiba sesosok tubuh melintas di udara dan berdiri di hadapannya.

Pak Bagol terkejut melihat kehadiran seorang pe- muda berbaju rompi hitam yang tak lain Baladewa itu.

“Siapa dan apa urusanmu ikut campur dengan per- soalan ini?!” geram kepala desa itu dengan sepasang mata tajam mencorong ke pemuda di depannya.

“Sebaiknya kau tidak usah banyak tanya. Keha- diranku di tempat ini jelas akan menghancurkanmu!” tandas Baladewa tak kalah geram.

Mendengar ucapan itu, Pak Bagol tertawa terbahak- bahak. Apa yang dikatakan Baladewa itu dianggapnya hanya sebuah lelucon belaka.

“Kalau kau hendak mengantarkan nyawa bersama gadis yang kau lindungi itu, bersiaplah untuk mati!” geram Pak Bagol. Ia bersiap-siap mengacungkan pe- dangnya untuk menyerang Baladewa dan Bong Mini. Namun di saat pedang itu mengacung dan hendak di- hujamkan ke arah Bong Mini dan Baladewa, tiba-tiba Pedang Teratai Merah yang digenggamnya bergerak melepaskan diri dan melayang ke udara disertai sinar merah berbentuk bunga teratai.

Sing...! Cuat cuat!

Bong Mini dan Baladewa berseru kagum melihat ke- ajaiban itu. Begitu pula dengan sebagian  penduduk yang sejak tadi menyaksikan pertempuran. Mata me- reka tidak berkedip menatap Pedang Teratai Merah yang menari-nari di udara sambil memancarkan ca- haya merah. Hingga suasana malam di sekitar arena pertempuran itu menjadi terang-benderang.

Beberapa saat setelah pedang itu menari-nari di udara, tiba-tiba ia menukik cepat ke tubuh Pak Bagol.

Creb!

Ujung Pedang Teratai Merah langsung menancap di tenggorokan kepala desa itu hingga tewas.

Setelah tubuh Pak Bagol tidak berkutik lagi, pedang itu bergerak seperti ada seseorang yang menarik ujung pedang itu dari leher korban. Kemudian Pedang Teratai Merah bergerak perlahan menuju Bong Mini dan ber- sandar di dada gadis mungil itu.

Bong Mini yang sejak tadi terkagum-kagum pada pedang pusakanya, menjadi bertambah gembira meli- hat pedang itu kembali dalam pelukannya. Dan  de- ngan penuh kasih sayang ia mengambil pedang itu dengan kedua tangan serta menciumnya bertubi-tubi.

“Terima kasih sahabatku! Terima kasih!” ucap Bong Mini dengan wajah berseri-seri saking gembira me- nyambut Pedang Teratai Merahnya.

Beberapa saat suasana menjadi hening. Mereka sama-sama terpaku memandang Pedang Teratai Merah yang menyimpan keajaiban itu. Setelah puas, panda- ngan mereka beralih pada tubuh kepala desanya yang sudah tak bernyawa lagi.

“Kebiadaban kepala desa dan pengikutnya telah be- rakhir. Sekarang mulailah kalian hidup tenteram. Cari- lah orang yang benar-benar jujur dan bijak untuk menjabat kepala desa yang baru!” pesan Bong Mini ke- pada penduduk Desa Anjungan. Setelah itu tubuhnya melesat pergi dengan cepat. Diikuti oleh saudara se- perguruannya, Baladewa.

Para penduduk yang berkerumun di tempat itu me- natap kepergian Bong Mini dan Baladewa dengan pan- dangan kehilangan. Sedangkan hati mereka merasa menyesal karena belum sempat mengucapkan terima kasih kepada pendekar sakti itu. Terutama orang tua yang merasa ditolong dari amukan massa.

*** 8

Malam terus merayap perlahan, hingga tidak terasa kegelapan pun semakin menguasai hari. Sedangkan rembulan redup sudah sejak tadi bersembunyi di balik hamparan awan hitam. Ditambah dengan angin yang berhembus sepoi-sepoi basah, membuat malam itu be- nar-benar mencekam.

Sesosok tubuh tampak melesat menuju hutan. Langkahnya begitu cepat, seolah-olah ada yang dibu- runya. Hingga tidak mempedulikan hawa dingin me- nusuk tulang sum-sumnya.

Sosok bayangan yang tengah menembus kegelapan itu tidak lain Putri Bong Mini yang baru beberapa jam yang lalu meninggalkan Desa Anjungan. Dan kini ia tengah berlari di sebuah hutan yang penuh ditumbuhi pepohonan besar.

Di tengah perjalanan, Bong Mini menghentikan langkahnya. Ia mulai  merasakan  kesenduan  yang aneh.

Ah..., mengapa malam ini aku merasa kehilangan sesuatu? Desah hati Bong Mini seraya menyandarkan tubuhnya di sebuah batang pohon.

Masalah kesepian karena hidup sendiri memang merupakan hal yang biasa baginya. Selama ini ia  hi- dup dalam suasana yang serba lembut dan indah. Tapi biarpun demikian, kesepian yang melandanya malam ini merupakan kesepian yang aneh serta baru dialami.

Pada saat dirinya mencoba menebak perasaan apa yang merasuk hatinya itu, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan mendekatinya.

Bong Mini tersentak kaget. Ia siap menyambut se- suatu yang tidak diinginkan. Namun ketika mengeta- hui siapa yang berdiri di hadapannya, Bong Mini sege- ra mengubah sikapnya kembali. Hanya raut wajahnya saja yang menunjukkan kebencian.

“Ngapain kamu ke sini sembunyi-sembunyi?” tanya Bong Mini dengan suara ketus.

“Kau sendiri ngapain di sini?” pemuda yang  tidak lain Baladewa itu balik bertanya.

“Aku..., aku  ” Bong Mini menjawab gugup. Ia tidak

tahu apa yang harus dikatakan. Namun sebelum kegu- gupannya itu diketahui oleh Baladewa, Bong Mini se- gera menambahkan. “Aku sedang beristirahat!”

Baladewa tersenyum. Diawasinya wajah Bong Mini dalam kegelapan.

“Sebaiknya kita mencari penginapan!” Baladewa mengusulkan.

Bong Mini terdiam. Hatinya menyetujui usul Bala dewa.

“Udara malam ini terlalu dingin. Tidak baik buat kesehatan!” lanjut Baladewa lagi.

Bong Mini masih diam. Ia terenyuh mendengar uca- pan Baladewa yang penuh perhatian itu.

“Bagaimana? Kau setuju dengan usulku!” tanya Ba- ladewa lagi sambil memandangi wajah Bong Mini lekat- lekat

Tanpa menjawab, Bong Mini langsung melangkah menuju perkampungan. Diikuti oleh Baladewa.

Di dalam kegelapan malam itu, tanpa diketahui oleh Bong Mini maupun Baladewa, tujuh bayangan  manu- sia tengah membuntuti perjalanan mereka  dengan amat hati-hati. Sehingga jejak langkah mereka tak se- dikit pun menimbulkan suara.

“Bagaimana kalau kita sergap sekarang juga?” usul orang pertama dengan suara berbisik. Khawatir ter- dengar oleh dua pemuda yang tengah dikuntit. “Jangan gegabah!” sergah orang kedua yang berada di sampingnya dengan tetap mengawasi langkah Bong Mini dan Baladewa dari jarak yang agak jauh. “Bukan- nya aku takut menghadapi mereka berdua. Dengan kekuatan kita sekarang ini aku yakin dapat menga- lahkan mereka. Tetapi kita harus ingat kalau pertem- puran bukan tujuan kita. Kita hanya bermaksud me- rebut pedang pusaka di tangan gadis itu. Jadi, tunggu- lah kesempatan yang baik untuk dapat mengambil pu- saka itu tanpa harus melukai mereka berdua,  teruta- ma gadis itu!”

“Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Ke- tua?” tanya orang pertama kepada orang kedua yang ternyata ketua dari ketujuh penguntit itu.

“Mengikuti tempat tujuan mereka!” sahut lelaki ke- dua yang menjadi ketua dari ketujuh orang itu.

Suasana hening. Hanya suara jangkrik saja yang terdengar mengerik di sepanjang jalan yang mereka la- lui.

Setelah agak lama  menempuh  perjalanan,  Bong Mini dan Baladewa tiba di sebuah kampung yang ber- nama Desa Babakan. Kemudian mereka memasuki Penginapan Kejora yang masih buka satu-satunya. Di sana, mereka langsung memesan kamar. Satu untuk Bong Mini dan satu lagi untuk Baladewa. Lalu, kedua- nya melangkah masuk ke kamar masing-masing.

Di dalam kamar, Bong Mini tidak segera merebah- kan badan, melainkan duduk di tepi ranjang. Namun baru beberapa menit ia duduk, tubuhnya merasa pa- nas disertai keringat yang mulai mengucur membasahi wajahnya. Akhirnya ia tidak tahan dan langsung  ke- luar kamar untuk mengangin-anginkan tubuhnya.

*** Angin malam semilir lembut mengusapnya ketika Bong Mini telah berada di luar penginapan, mengusir kegelisahan serta keringat yang tadi membasahi wa- jahnya.

Di saat ia asyik menikmati angin malam yang mele- na rambutnya, tiba-tiba sepasang telinganya menang- kap suara tidak wajar yang datang dari arah depan. Kemudian kakinya melangkah hati-hati menuju suara itu. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba empat le- laki setengah baya melompat dari balik semak-semak dan langsung mengepung Bong Mini. Disusul kemu- dian oleh tiga lelaki lain yang muncul dari arah yang dicurigai Bong Mini.

Bong Mini berdiri tegang sambil memandang penge- pungnya satu persatu. Kemudian mata yang jeli dan tajam itu beralih memandang seorang lelaki setengah baya yang umurnya kurang lebih empat puluh tahun.

Pasti dia yang menjadi pemimpin orang-orang ini! Duga hati Bong Mini merasa yakin. Karena umur lelaki itu jauh lebih tua dibandingkan dengan keenam orang lainnya yang rata-rata berumur sekitar tiga puluh ta- hunan.

“Apa maksud kalian menghadangku?” tegur Bong Mini hati-hati. Disertai sikap dan pandangan matanya yang tetap waspada.

Lelaki setengah baya berpakaian pangsi hitam dan berwajah hitam kelam yang telah diduga pemimpin pengeroyok oleh Bong Mini segera melangkah dua ta- pak ke arah Bong Mini.

“Maafkan kami kalau kehadiran malam ini menge- jutkan, Nona!” ujarnya dengan suara berat dan pecah. Sehingga walaupun suaranya pelan, namun dapat ter- dengar dengan jelas oleh orang-orang sekelilingnya. “Tapi ketahuilah Nona kalau kami tidak bermaksud buruk kepadamu!”

Hm..., bagaimana mungkin kalian tidak mempunyai niat buruk terhadapku. Sedangkan kedatangan kalian saja mencurigakan! Gerutu Bong Mini dalam hati.

“Lalu apa maksud kalian yang sebenarnya?” tanya Bong Mini ingin tahu.

Lelaki setengah baya itu diam beberapa saat dengan sepasang mata tajam memandangi Pedang Teratai Me- rah yang tersandang di punggung gadis bertubuh mungil itu.

“Ketahuilah, Nona. Aku sudah lama mendambakan Pedang Teratai Merah yang Nona bawa itu. Tapi sam- pai sekarang aku tidak berhasil mendapatkannya. Dan beberapa jam yang lalu, aku melihat pedang yang ku- dambakan itu berada di tangan Nona saat bertempur dengan orang-orang Desa Anjungan. Oleh karena itu, sudilah kiranya Nona memberikan pedang pusaka itu kepadaku. Percayalah! Kami akan pergi segera setelah memiliki pedang itu tanpa melukai Nona sedikit pun!” kata lelaki setengah baya yang berpakaian pangsi itu. 

Mendengar ucapan itu, Bong Mini bukannya marah malah tersenyum manis. Kemudian tangannya menca- but Pedang Teratai Merah dan diarahkannya ke depan. “Ambillah pedang ini jika kau ingin memilikinya!”

ucap Bong Mini dengan sikap tenang.

Lelaki setengah baya yang menjadi Ketua Perkum- pulan Harimau Siluman bukan orang yang bodoh. Ia merupakan tokoh aliran sesat yang telah banyak ma- kan asam garam di dunia persilatan. Sehingga ketika Bong Mini menyuruhnya mengambil pedang yang ma- sih tergenggam di tangannya, ia segera memerintah seorang anak buahnya untuk mengambil. Anak buah yang diperintah segera melangkah untuk mengambil pedang di tangan Bong Mini. Namun belum sempat tangannya menyentuh Pedang Teratai Merah, sebuah tendangan Bong Mini mendarat telak di perutnya. Se- hingga tubuh orang itu terjungkal ke belakang.

Melihat sikap Bong Mini yang berbuat kasar terha- dap anak buahnya, Ketua Perkumpulan Harimau Si- luman itu marah bukan main.

“Telah kukatakan kepadamu tadi, Nona. Aku tidak akan mengganggumu. Tapi kenapa sekarang kau yang melakukan kekerasan kepada anak buahku?” ucapnya masih menahan marah.

“Hm...!” sinis Bong Mini. “Bagaimana mungkin ka- lian tidak akan menggangguku. Kedatangan kalian sa- ja sangat tidak sopan. Apalagi dengan seenaknya hen- dak mengambil pedang pusaka  yang  telah  kumiliki ini!” ketus Bong Mini. Diletakkannya Pedang Teratai Merah di punggungnya kembali.

Ketua Perkumpulan Harimau Siluman yang semula menganggap Bong Mini sebagai gadis kecil yang tidak mengetahui apa-apa mengenai pedang pusaka itu menjadi geram ketika menyadari kalau gadis kecil itu memiliki kepandaian dan kecerdikan yang luar biasa. Jadi, tanpa membuang waktu lagi, ia memerintah kee- nam anak buahnya untuk menyerang Bong Mini.

Mendapat perintah itu, keenam anak buahnya sege- ra bergerak mengepung Bong Mini dengan golok ter- hunus di tangan masing-masing.

Golok keenam orang dari Perkumpulan Harimau Si- luman yang diarahkan kepadanya  segera  disambut oleh Bong Mini dengan tangkas.

“Hiat hiat hiaaat!” Wes wes wesss!

Lengkingan dari setiap mulut lawan serta hembu- san angin yang ditimbulkan dari kebatan-kebatan go- lok memecahkan keheningan malam. Sementara itu, di sebuah kamar penginapan, Bala- dewa yang sejak tadi tergolek di atas ranjang dan be- lum memejamkan mata, tersentak kaget mendengar teriakan-teriakan keras yang mengerikan. Dengan ce- pat tubuhnya melompat dari atas ranjang dan melesat ke luar untuk mengetahui apa yang terjadi.

Sesampai di luar halaman penginapan itu, betapa kagetnya ia ketika mengetahui kalau orang yang ber- tempur ternyata Putri Bong Mini melawan enam penge- royoknya. Walaupun begitu ia tidak segera mengambil tindakan untuk melakukan pembelaan terhadap sau- dara seperguruannya itu. Ia menyelinap diam-diam di antara rimbunnya pepohonan bunga untuk menyaksi- kan pertempuran itu lebih dekat.

Ketua Perkumpulan Harimau Siluman tertawa ter- bahak-bahak melihat ketangkasan anak buahnya yang mendesak lawan. Sehingga gadis bertubuh mungil itu semakin tersudut dan hanya mampu melakukan gera- kan-gerakan mengelak, berguling atau bersalto.

Menyadari serangan keenam lawan yang demikian gencar, Bong Mini segera mengambil tindakan dengan meloncat agar mendapat kesempatan mencabut Pe- dang Teratai Merah.

“Hiaaa!”

Tubuh Bong Mini secepat itu pula melenting di uda- ra, melewati kepala-kepala musuhnya. Dalam gerakan melompat itu, tangannya secepat kilat menyambar pe- dang yang tersandang di punggungnya.

Crat crat crat!

Suasana di tempat pertempuran yang semula agak remang, kini menjadi terang-benderang ketika Pedang Teratai Merah tergenggam di tangan Bong Mini. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Putri Bong Mini segera me- mainkan pedangnya ke arah para pengeroyoknya. Bret bret bret!

Ujung pedang Bong Mini langsung menebas tiga leher lawan hingga tewas.

Melihat tiga anak buah yang diandalkannya itu tumbang dengan cepat di ujung pedang gadis bertubuh mungil, pemimpin pengeroyok menjadi murka. Tubuh- nya melesat ke tengah pertempuran untuk turut me- nyerang gadis cantik itu.

Bong Mini segera menyambut sabetan golok pemim- pin pengeroyok dengan pedangnya.

Trang trang trangngng!

Benturan senjata mereka menimbulkan pijar-pijar api yang amat terang. Maklumlah, golok pemimpin pengeroyok itu pun bukan senjata sembarangan. Golok itu mempunyai kesaktian yang luar biasa. Dapat ber- ubah-ubah bentuk sesuai dengan kebutuhan si pemi- liknya. Dan senjata itu ia dapatkan dari Iblis Mara- kayangan ketika bertapa di Gunung Sangiang untuk bertemu dengan Putri Teratai Merah. Namun karena ia mempunyai niat yang jelek maka keinginan untuk ber- temu dengan Putri Teratai Merah tidak kesampaian. Namun sebagai gantinya ia bertemu dengan Iblis Mara- kayangan yang menjelma sebagai gadis cantik yang menggiurkan. Kemudian gadis cantik jelmaan Iblis Ma- rakayangan itu memberikan sebilah golok padanya dengan satu syarat ia harus bercumbu dengannya.

Lelaki setengah baya itu tidak keberatan mendapat persyaratan yang dianggapnya ringan itu. Ia sendiri tertarik dengan gadis cantik alam gaib jelmaan Iblis Marakayangan itu. Akhirnya ia mendapatkan sebilah golok sakti yang sekarang dipergunakannya untuk me- lawan Bong Mini.

Trang trang trangngng!

Benturan dua senjata yang berkelebat dalam arah yang berlawanan telah membuat keduanya terpental hebat. Karena mereka menggunakan tenaga sakti ma- sing-masing. Ilmu Pembangkit Tenaga milik Bong Mini dan ilmu Badai Menghantam Karang milik lawannya. Kemudian keduanya segera bangkit dan saling berha- dapan kembali.

Di saat Bong Mini memasang kuda-kuda untuk me- lancarkan serangan kembali kepada Ketua Pasukan Harimau Siluman itu, tiba-tiba tiga orang anak buah- nya datang menyerang dengan gencar. Untung saat itu Bong Mini dalam keadaan waspada, sehingga serangan ketiga pengeroyoknya disambut dengan tangkasnya.

Bret bret clebbb!

Pedang Teratai Merah milik Bong Mini langsung menebas perut dan leher lawan dengan dahsyat. Da- lam sekejap mata ketiga tubuh lawannya berputar lim- bung. Lalu jatuh tanpa dapat berkutik lagi.

Melihat para pengikutnya tumbang di tangan Bong Mini, Ketua Pasukan Harimau Siluman itu bertambah murka. Golok di tangannya diputar-putar hingga men- capai kecepatan yang sulit dijangkau mata manusia biasa. Ketika putarannya terhenti, golok itu berubah menjadi sebilah golok yang panjangnya melebihi Pe- dang Teratai Merah.

“Kelinci busuk! Kau harus mati di tanganku!” geram Ketua Pasukan Harimau Siluman sembari menge- batkan goloknya dengan gerakan membacok.

Takkk!

Golok panjang yang digenggam lelaki bertubuh ke- kar tepat mengenai pundak lawannya dengan kecepa- tan yang cukup keras. Namun anehnya, pundak gadis yang terkena bacokan golok panjangnya tidak menga- lami cidera sedikit pun. Apalagi mengeluarkan darah. Sebaliknya, pertempuran antara golok dan pundak ga- dis itu membuat senjata lawannya terpental bahkan terlepas dari genggaman tangan Ketua Pasukan Hari- mau Siluman.

Kekuatan tubuh Bong Mini yang tidak mempan oleh bacokan senjata lawannya bukan sesuatu yang aneh. Sebab ketika berada di Gunung Muda, ia telah menda- patkan ilmu kekebalan senjata itu dari gurunya, Kan- jeng Rahmat Suci.

Melihat kekebalan tubuh lawannya, Ketua Pasukan Harimau Siluman menjadi terkejut bukan main. Na- mun sebelum ia sempat menyadari keterpanaannya, sebuah tendangan Bong Mini mengenai pahanya. Tu- buhnya terpelanting lima meter ke belakang.

Kerasnya tendangan kaki Bong Mini ternyata tidak membuat lawannya gentar. Karena dia sendiri bukan orang yang bisa dianggap ringan. Banyak ilmu-ilmu sesat pemberian Iblis Marakayangan yang dimilikinya. Sehingga ketika tubuhnya terpelanting, Ketua Pasukan Harimau Siluman langsung bangkit dan berdiri kemba- li dengan keadaan tubuh yang masih segar.

Perkelahian antara kedua orang ini memang meru- pakan perkelahian yang amat hebat dan menarik. Orang-orang yang menginap di  Penginapan  Kejora yang sejak tadi terbangun dan menyaksikan pertempu- ran itu menjadi terkagum-kagum melihat kehebatan gadis bertubuh mungil itu. Saking menariknya pertem- puran kedua orang itu, mereka malah maju beberapa langkah untuk menyaksikan lebih dekat.

“Hiaaat..!”

Ketua Pasukan Harimau Siluman mengirim hanta- man Sinar Mata Iblis lewat kedua telapak tangannya yang direntangkan lurus ke depan, disertai pengerahan tenaga dalam yang amat kuat. Sehingga Sinar Mata Ib- lis yang berwarna merah kekuning-kuningan itu me- nyambar-nyambar ke arah kepala Bong Mini.

Melihat lawannya menyerang dengan tangan ko- song, Bong Mini pun melayani dengan tangan kosong pula. Namun bukan berarti dia harus mengadu tenaga untuk melawan serangan Sinar Mata Iblis yang dilan- carkan lawannya itu. Walau ia sendiri percaya kalau mengadu tenaga secara langsung belum tentu ia kalah kuat. Namun karena ia tahu bahwa lawannya itu mempunyai tenaga yang amat kuat, maka kalah atau menang tetap akan merugikan dirinya. Karena itu ia tidak menangkis serangan Sinar Mata Iblis dari depan, melainkan dari samping sehingga mereka tidak saling mengadu tenaga secara langsung.

Menyadari lawannya menangkis serangan Sinar Ma- ta Iblis yang dikerahkannya dari samping, cepat-cepat lelaki itu memukul ke arah Bong Mini dengan telapak tangan kirinya yang terbuka.

Melihat serangan kedua itu, mau tidak mau Bong Mini meloncat ke depan lawan dan menyambutnya dengan telapak tangan kanannya. Dua telapak tangan berkekuatan dahsyat bertemu.

Dukkk! Ptakkk!

Pertemuan kedua telapak tangan itu membuat tu- buh keduanya terpental ke belakang. Kemudian mere- ka kembali berdiri berhadapan dalam jarak yang cu- kup jauh.

“Haiiit...! Yaaah!”

Tiba-tiba lelaki itu mengeluarkan pekikan  keras yang memekakkan telinga. Disusul kemudian dengan tubuhnya yang meloncat tinggi ke depan. Saat tubuh- nya masih berada di udara, ia menyerang gadis cantik bertubuh mungil itu dengan tangan kirinya. Inilah ju- rus pamungkas milik lelaki setengah baya itu, setelah berkali-kali gagal dalam serangan sebelumnya. Melihat lawannya menyerang seperti itu, Bong Mini menyambutnya dengan loncatan yang sama. Pendekar mungil itu tanpa ragu-ragu lagi mengeluarkan tiga il- mu gabungan yang terdiri dari ilmu peringan tubuh, ilmu tenaga dalam pemberian Bongkap dan ilmu keba- tinan warisan dari gurunya, Kanjeng Rahmat Suci. Il- mu gabungan ini dia namakan dengan jurus ‘Tiga Rak- sa’, sebuah ilmu yang amat dahsyat dan mengerikan. Sehingga begitu dia meloncat sambil menggerakkan kedua tangannya dengan jari-jari lurus terpentang ke depan, terdengar suara yang bersiutan.

Siut siut siut..!

Baladewa dan beberapa penginap yang menyaksi- kan pertandingan itu hanya sempat melihat tubuh ke- dua orang perkasa itu meloncat dan turun ke atas ta- nah dalam posisi saling membelakangi.

Bong Mini dengan cepat membalikkan tubuh ketika kedua kakinya menjejak tanah. Sementara lawannya diam tak bergerak membelakanginya. Rupanya dia ter- kejut melihat baju bagian depannya robek dan ada tanda menghitam pada dadanya. Itu tentu akibat pu- kulan ‘Tiga Raksa’ yang dilancarkan Bong Mini. Puku- lan itu mengenai tubuh lawan tanpa terasa sakit, tapi tahu-tahu tubuh yang terkena pukulan itu terluka se- perti apa yang dialami lelaki setengah baya yang men- jadi Ketua Pasukan Harimau Siluman.

Tubuh lelaki yang masih berdiri tegak itu, perlahan- lahan membalik kaku dan memandang Bong Mini.

Sekilas lelaki itu memang tidak mengalami luka se- dikit pun. Tapi dari hidung, telinga, mulut, dan kedua matanya sedikit demi sedikit menetes darah yang ber- warna kehitam-hitaman. Dan darah itu terus mengalir membasahi pakaian yang dikenakannya.

Setelah beberapa saat memandang Bong Mini, lelaki setengah baya itu melangkah ke arahnya dengan ter- huyung-huyung.

Bong Mini yang sejak tadi terpana menyaksikan lu- ka yang diderita lawannya segera sadar dan memasang kuda-kuda kembali ketika lelaki yang menjadi lawan- nya itu melangkah mendekati. Tapi saat itu pula la- wan-lawannya memberi aba-aba kepada Bong  Mini agar tidak menyerangnya. Hingga akhirnya Bong Mini membatalkan niat untuk menyerang. Namun sikapnya tetap waspada. Khawatir jika lawannya itu bersikap curang seperti yang pernah dialaminya ketika bertem- pur melawan Kepala Desa Lumajang.

“Nona..., hegh!” ucap lelaki setengah baya itu de- ngan wajah seperti menahan sakit di dalam tubuhnya.

“Kau telah beruntung mendapatkan Pedang Pusaka Teratai Merah. Padahal hampir semua tokoh persilatan mendambakan pedang tersebut walaupun harus mela- kukan puasa mutih dan tapa selama empat puluh hari empat puluh malam. Namun karena niat mereka bu- ruk, tidak seorang pun dari mereka yang berhasil ber- temu dengan pemiliknya, Putri Teratai Merah. Kini pe- dang yang menjadi rebutan itu sudah berada di ta- nganmu. Karena itu berhati-hatilah kau membawanya. Sebab selain aku, tentu masih ada lagi orang  yang in- gin merebut pedang pusaka itu!” selesai berkata begi- tu, tubuh lelaki itu ambruk seperti sebatang balok.

Bong Mini yang sejak tadi tertegun mendengar kata- kata yang diucapkan lelaki itu, kini setengah berlari mendekati tubuhnya. Ketika ia memeriksa, ternyata lelaki setengah baya itu sudah tewas akibat serangan ilmu batin ‘Tiga Raksa’ yang mengguncangkan seluruh isi tubuhnya.

*** 9

Selama dalam perjalanan menuju ke  rumahnya, Bong Mini kerap berhadapan dengan orang-orang sesat atau tokoh-tokoh hitam yang hendak merebut Pedang Pusaka Teratai Merah miliknya. Namun dengan ilmu kesaktian yang sekarang dimilikinya, ia mampu meng- gagalkan niat buruk para tokoh hitam. Tidak heran ji- ka sekarang ini sepak-terjangnya mulai dikenal oleh masyarakat banyak, terutama oleh orang-orang dunia persilatan. Bukan saja karena ilmu kesaktian yang di- milikinya, tetapi juga karena Pedang Teratai Merah yang selalu tersandang di punggungnya. Karena me- mang pedang itu yang menjadi pusat perhatian dan dambaan orang-orang dunia persilatan.

“Kita berpisah di sini!” ucap Bong Mini ketika kaki- nya menginjak tanah pesisir Selat Malaka.

“Bagaimana kalau aku langsung ikut serta ke ru- mahmu?” ucap Baladewa mengusulkan.  Sesungguh- nya hatinya berat untuk berpisah dengan gadis yang selama ini membuat hatinya terkekang asmara.

“Jangan!” sahut Bong Mini cepat. “Kenapa?”

“Papaku galak!”

“Kebetulan. Aku pernah menjadi pawang, jadi tahu bagaimana cara menjinakkannya!” canda Baladewa sambil mengembangkan senyumnya.

Hati Bong Mini mendadak berdetak tak menentu ke- tika melihat senyum pemuda itu. Senyum lembut yang selama ini selalu membuat hatinya bergetar tak me- nentu.

“Jangan bercanda, ah!” entah perasaan apa yang berkecamuk dalam diri Bong Mini saat itu. Karena se- cara tiba-tiba, wajah dan ucapannya yang selalu ketus mendadak berubah lembut. Selembut kulitnya yang putih mulus.

Mengetahui perubahan sikap Bong Mini yang dras- tis itu, Baladewa senang bukan main. Namun bukan berarti ia harus seenaknya berbicara dengan gadis itu. Karena pikirnya, gadis cantik bertubuh mungil itu mempunyai sifat musiman seperti alam yang kadang- kadang hujan, terkadang panas. Begitu pula  dengan sifat Bong Mini yang suka berubah-ubah. Hari ini ra- mah, besoknya masam atau  sebaliknya.  Oleh  karena itu Baladewa selalu menahan diri pada keinginan-kei- nginan yang diperkirakan akan menyinggung perasaan gadis yang membuatnya kasmaran itu.

“Aku serius!” kata Baladewa.

“Sudah, ah! Kita berpisah dulu sekarang. Nanti kita pun akan berjumpa lagi!” ucap Bong Mini.

“Baiklah kalau itu sudah kehendakmu. Aku pun sudah rindu pada kedua orangtuaku!” balas Baladewa. Padahal sesungguhnya hatinya ingin selalu berdekatan Bong Mini.

Setelah mencapai kata sepakat, akhirnya kedua pemuda yang sama-sama menyimpan bara asrama itu berpisah, mengambil jalan masing-masing. Bong Mini mengambil arah sebelah kiri sedangkan Baladewa ber- jalan ke arah kanan.

***

Matahari di cakrawala telah terdiri tegak lurus. Si- narnya memancar garang, menyengat sampai ke kulit kepala.

Di bawah pancaran sinar matahari yang demikian terik itu, Bong Mini terus melangkah menuju rumah- nya. Sepanjang perjalanan, hatinya selalu merasa di- kungkung kesepian yang teramat sangat.

Ada apa gerangan dengan hatiku? Tanya hati Bong Mini. Karena baru kali ini ia merasakan kesepian yang begitu mengusik hati dan pikirannya.

Dari jarak yang agak jauh di belakangnya, tanpa disadari deh Bong Mini seorang pemuda tampak meng- awasinya. Pemuda itu cukup tampan. Berbadan  se- dang dengan umur sekitar tiga puluh tahun. Pakaian- nya seperti seorang terpelajar namun di bagian dada bajunya yang berwarna kuning muda itu ada sebuah lukisan seekor naga emas. Rambutnya panjang dan di- ikat di tengah kepala. Sedangkan kumisnya yang tipis itu tampak terpelihara dengan baik. Pakaiannya pun bagus dan bersih, terbuat dari bahan sutera halus. Sepatu yang dikenakan kakinya tampak terpelihara. Ditambah lagi dengan sepasang  matanya  yang  sipit dan berbinar-binar, membuat penampilan pemuda itu semakin menarik.

Setelah sekian lama menempuh perjalanan, sampai- lah Bong Mini di halaman rumahnya. Tapi ia sangat terkejut melihat rumahnya yang porak-poranda. Dan sebelum ia berpikir lebih lanjut mengenai apa yang ter- jadi terhadap rumahnya itu, tiba-tiba tubuhnya terja- tuh lemas dan tak sadarkan diri. Seolah-olah ada se- suatu benda beracun yang menusuk tubuhnya.

Pemuda yang sejak tadi membuntuti Bong Mini tampak terkejut ketika melihat gadis yang dibayangi- nya itu roboh. Matanya liar memandangi sekeliling. Ia merasa ada orang lain di sekitar tempat itu.

Apa yang diduga pemuda itu ternyata benar. Karena setelah Bong Mini tergeletak di tanah, empat lelaki berpakaian rompi hitam keluar dari balik  semak- semak dan berlari meninggalkan tempat itu.

Melihat empat  lelaki  berbaju  rompi  meninggalkan tempat itu, pemuda tampan tadi segera mengejarnya. Dia yakin, pasti mereka yang telah  membuat  gadis yang dibuntutinya roboh.

Karena lari keempat orang itu tidak begitu cepat, akhirnya pemuda yang memiliki lukisan Naga Emas di bagian dada bajunya dapat menyusul mereka.

“Berhenti!” tahan pemuda itu saat mendahului langkah mereka lalu berdiri menghadang keempat orang berbaju rompi yang dicurigainya.

Keempat lelaki yang dihadang serentak menghenti- kan langkah. Mereka berdiri tegang, memandang peng- hadangnya dengan tatapan mata yang tajam dan liar.

“Siapa kau dan mengapa menghalangi perjalanan kami?!” tanya salah seorang di antara mereka dengan suara parau.

“Phuih! Seharusnya aku yang bertanya; mengapa kalian berbuat kejam terhadap gadis yang hendak memasuki pintu gerbang itu!” sentak pemuda itu, langsung menuduh.

“Itu urusanku!” sahut lelaki tadi.

“Kalau memang urusanmu,  baik. Tapi kau tidak bi- sa melepaskan tanggung jawab perbuatanmu begitu saja!” balas pemuda yang memiliki lukisan naga emas pada bagian dada bajunya.

“Hm..., lalu apa maumu, tikus  busuk?!”  maki lelaki itu mulai geram.

“Aku hanya ingin membalas perbuatanmu terhadap gadis itu!” sahut pemuda itu dengan sikap gagah.

“Apa kau punya kepandaian sehingga berani me- nantangku?” bentak lelaki itu dengan sorot mata yang mencorong.

Pemuda  tampan  yang  memiliki  lukisan  naga   emas di bajunya melangkah maju menghampiri mereka de- ngan langkah yang tegap, tanpa rasa takut sedikit pun. Malah wajahnya yang tampan itu kelihatan berseri-seri memandang orang yang berada di hadapannya seorang demi seorang. Kemudian, setelah dirinya terkurung keempat lelaki yang dihadangnya, pemuda itu berkata, “Bila kalian hendak mencoba, silakan berhadapan de- nganku!”

“Pemuda sombong!” bentak lelaki lain. Bersamaan dengan itu tubuhnya sudah menerjang ke depan de- ngan totokan jari-jari tangan yang dilakukan secara beruntun ke arah tujuh  jalan darah terpenting di tu- buh bagian depan pemuda yang diserangnya.

Wes wes wes!

Serangan lelaki itu dapat dielakkan dengan baik. Malah ketika tubuhnya mengelak dari lawan, pemuda tadi berseru keras disertai pukulan balasan yang me- nyambar-nyambar.

Mendapat satu serangan maut lelaki yang mengi- rimkan serangan menotok tadi segera mengelak lincah. Kemudian ia balas menendang dari kiri yang dapat di- elakkan juga oleh lawannya. Dibalas dengan tendan- gan oleh pemuda itu.

Des! Dukkk!

Tendangan si pemuda tepat mengenai selangkangan lawan, sehingga ia kelojotan dan jatuh bergulingan di tanah menahan sakit.

“Jahanam! Rupanya kau benar-benar hendak ber- tempur dengan kami!” geram seorang yang lain ketika melihat lelaki tadi masih berguling-gulingan tak beda dengan seekor ayam yang disembelih. Lalu ia meloncat ke depan dan berhadapan dengan pemuda itu.

“Segeralah menyerang jika kau memiliki ilmu yang lebih tinggi dari temanmu itu!” kata pemuda itu me- mancing amarah lawannya.

“Setan buduk!  Akan  kurobek  mulutmu  yang  som- bong itu!” geram lelaki itu seraya mencabut pedang. Kemudian tubuhnya segera melabrak ke depan dengan pedang berkelebat menyambar-nyambar tubuh pemu- da itu.

Mendapat serangan pedang yang demikian gencar dari lawannya, pemuda tadi segera mencabut pedang- nya pula untuk menahan serangan senjata lawan.

Trang trang trang!

Tubuh lelaki itu terguling dengan kecepatan deras. Sebab pedang lawan yang dipergunakan untuk me- nangkis ternyata disertai pengerahan tenaga dalam. Sehingga pada saat senjatanya beradu, tubuh lelaki itu langsung terpental disertai tangannya yang perih.

Dua orang temannya yang sejak tadi menyaksikan pertempuran itu segera melompat ke depan menge- pung pemuda itu ketika menyadari bahwa pemuda itu terlalu tangguh jika dihadapi satu lawan satu.

Sementara itu, lelaki pertama yang tadi bergelinjang menahan sakit pada selangkangannya segera bangkit kembali dan turut mengepung pemuda itu. Sehingga terjadilah pertempuran yang tak seimbang. Satu lawan empat.

“Aku ingin mengetahui sampai di mana keheba- tanmu itu!” selesai berkata begitu seorang lelaki yang menjadi ketua segera menerjang lawannya dengan a- yunan tongkat yang tergenggam di tangan kanan. Begi- tu pula dengan ketiga temannya yang lain. Mereka se- rentak bergerak untuk melakukan tindakan yang se- rupa.

Pemuda yang memiliki lukisan naga emas pada ba- junya segera mengelakkan ayunan tongkat itu dengan menerobos masuk ke depan sambil mengayunkan pe- dangnya dengan gerakan membacok ke arah salah seo- rang lawan yang bersenjatakan tongkat hitam itu. Mengetahui pemuda itu akan membacok dirinya, le- laki yang bersenjata tongkat segera memiringkan tu- buhnya. Sedangkan tongkat yang digenggamnya berge- rak menghajar kepala lawan. Namun pemuda itu cepat menghindar dengan cara bergulingan.

Beberapa saat kemudian, suasana di sekitar tempat itu telah ramai oleh benturan senjata mereka. Mencip- takan suara yang nyaring dan keras.

Dalam suasana pertempuran yang dahsyat itu, tiba- tiba lelaki bersenjata tongkat memutar tongkatnya de- mikian cepat, sehingga senjata itu berubah menjadi seperti baling-baling. Dari putaran tongkat itu timbul desingan angin yang amat keras dan dingin. Dengan tangan yang masih memutar tongkatnya, lelaki itu ber- gerak maju menyerang lawannya.

Untuk beberapa saat lawan yang diserang kebi- ngungan. Ia tidak tahu bagaimana cara membalasnya. Namun karena putaran tongkat itu telah menyerang- nya, pemuda itu akhirnya menghindar ke  belakang. Tapi tongkat hitam yang tadi berputar-putar, menda- dak bergerak menyodok ke arah tubuhnya, sehingga ia harus menangkis dengan pedang yang digenggamnya.

Trakkk!

Aneh! Tongkat yang berukuran kecil itu tidak patah ketika berbenturan dengan pedang miliknya. Malah dengan hebat tongkat itu menegak dan melakukan ge- rakan menotok ke arah tubuhnya yang masih bersalto menghindari serangan. Tapi dengan cepat pula pemu- da itu memperlihatkan kemahiran permainan pedang- nya lalu menangkis serangan tongkat itu.

Trakkk!

Karena posisi pemuda itu tidak menguntungkan, akhirnya ia terhuyung terkena sambaran angin tong- kat yang mendesing-desing di sekitar tubuhnya. Na- mun demikian, ia sempat mengirimkan beberapa kali serangan pedang ke arah lawan yang mengeroyoknya.

[]

“Aaakh...!”

Seorang penyerang terkena sabetan pedangnya, la- wannya terdengar mengaduh. Disusul kemudian de- ngan tubuhnya yang ambruk tanpa dapat  berkutik la- gi.

Melihat seorang temannya tewas oleh pedang lawan, tiga orang lain menjadi geram. Mereka segera melaku- kan serangan dengan membabi-buta. Seluruh kemam- puan tempur mereka kerahkan. Tujuan mereka cuma satu, tubuh lawan.

“Aaakh...!”

Seorang dari mereka kembali mengaduh kesakitan karena pergelangan tangannya terhantam sinar merah. Rupanya pemuda itu telah melancarkan pukulan sinar merahnya yang sangat hebat. Tapi walau demikian, ia pun tidak luput terkena hantaman tongkat lawannya.

Deg!

Ujung tongkat lawan menghantam  dadanya hingga ia terhuyung beberapa langkah ke belakang. Dalam keadaan itu, lawan yang memiliki senjata tongkat hi- tam kembali mencecar. Namun dengan cepat pemuda itu mengibaskan tangannya. Membuat serangan tong- kat lawan terhenti karena terkurung sinar merah yang keluar dari telapak tangannya.

Lelaki pemegang tongkat berkelit dan mengguling- kan tubuhnya. Sedangkan tangannya segera diki- baskan ke arah pemuda itu. Bersama dengan itu terli- hat jarum-jarum beracun meluncur cepat ke arah la- wan.

Namun pemuda itu tidak kalah tangkas. Ia kembali mengibaskan tangannya untuk menahan serangan ja- rum beracun milik lawannya. Sehingga senjata rahasia itu hangus terbakar oleh gulungan sinar merah yang dikeluarkan tangan pemuda itu.

Melihat serangannya gagal, lelaki itu melemparkan tongkat ke arah lawannya dengan keras. Kali ini pe- muda itu pun bergulingan menghindarinya.

Creb!

Tongkat hitam itu menancap dalam di tanah hingga sampai setengahnya. Disusul kemudian dengan sabe- tan sebuah pedang yang dilancarkan oleh seorang te- mannya yang lain. Membuat pemuda itu terus bergu- lingan menghindari serangan kedua orang lawannya yang terasa begitu tangguh. Namun pada saat bergu- lingan itu, dia mendapatkan peluang untuk melancar- kan serangan pedang kepada salah seorang penye- rangnya.

Bet! “Aaa...!”

Saking bernafsunya hendak membunuh pemuda yang masih bergulingan, lelaki yang menggunakan se- bilah pedang tidak menyadari kalau pada saat tubuh lawan bergulingan, pemuda itu melancarkan serangan pedangnya ke arah lawan dan tepat mengenai paha kanannya. Sehingga lelaki itu terjatuh dan tak bisa bangkit kembali karena paha kanannya hampir putus.

Dengan terjatuhnya lelaki itu, tentu saja telah memberikan kesempatan kepada pemuda itu untuk memperbaiki posisi tubuhnya. Cepat-cepat ia berdiri, sekian detik kemudian ia mulai membuka jurus yang disebut dengan ‘Seribu Tangan Bayangan’. Kalau di- amati benar-benar, jurus itu tampak berasal dari Tiongkok yang merupakan kombinasi dari jurus ‘Tanpa Bayangan’ dengan jurus ‘Angin Ribut’ hasil ciptaannya sendiri. Sehingga tercipta sebuah jurus yang amat ce- pat, memikat dan berbahaya bagi siapa saja yang men- jadi lawannya.

Kini kedua lelaki yang berbeda usia itu berdiri sal- ing berhadapan dengan mata yang sama-sama mena- tap tajam dan penuh waspada. Seakan mencari kele- mahan lawan.

Lelaki bertubuh tinggi besar dan berotot yang me- mang telah bernafsu hendak menghabisi nyawa pemu- da itu segera melancarkan serangan yang begitu cepat dan penuh tenaga. Namun serangan itu segera disam- but oleh lawannya dengan sebuah tangkisan yang pe- nuh dengan tenaga pula.

Desss...!

Dua pukulan itu berbenturan, disusul sebuah sodo- kan ke ulu hati lelaki itu. Tapi dengan cepat ia pun menarik tangannya dan memapak sodokan tangan pemuda tadi dengan gaya membacok. Dilanjutkan dengan memutarkan tubuhnya sambil menendang lu- rus ke wajah pemuda itu dengan kecepatan melebihi serangan pemuda yang menjadi lawannya.

Pemuda itu mengelak dengan cara menundukkan badannya agak ke samping. Kemudian dilanjutkan dengan tubuhnya yang bergulingan karena kaki la- wannya telah bergerak kembali ke arahnya. Benar- benar sebuah jurus kungfu yang sangat bagus dan menarik.

Di saat keduanya saling baku hantam, tiba-tiba ter- dengar suara menderu. Disusul kemudian dengan sua- ra ringkik kuda yang mendekati mereka, membuat dua orang tangguh yang tengah bertanding itu meng- hentikan serangan lalu menoleh pada  rombongan orang berkuda yang sudah mengelilingi mereka.

Siapakah pasukan berkuda yang baru tiba  terse- but? Siapa pula pemuda yang memiliki lukisan naga emas di baju bagian dadanya? Bagaimanakah nasib Bong Mini yang roboh begitu saja? Apa yang terjadi se- benarnya? Ikutilah serial Putri Bong Mini selanjutnya dalam episode: ‘Iblis Pulau Neraka’!

SELESAI
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar