Putri Borong Mini Eps 01 : Sepasang Pendekar Dari Selatan

Eps 01 : Sepasang Pendekar Dari Selatan

1

Di pesisir utara Pulau Bangka, berdiri sebuah ru- mah kuno yang sudah tidak utuh lagi. Di beberapa ba- gian temboknya sudah banyak yang runtuh. Namun tembok yang mengelilinginya masih kelihatan kokoh, mirip sebuah benteng pertahanan.

Bangunan kuno itu dihuni oleh seorang pemimpin yang bernama Bong Kian Fu, seorang keturunan Tionghoa berkebangsaan Manchuria. Ia berbadan pen- dek, tetapi besar dan berotot. Rambutnya yang pan- jang selalu diikat ekor kuda. Begitu pula janggutnya yang tipis dibiarkan panjang sampai sebatas dada. Se- dangkan mata hitamnya yang sipit serta tajam itu memberikan suatu kesan keangkeran, sehingga ba- nyak orang tak mampu beradu pandang lebih lama.

Sebenarnya bukan hanya Bong  Kian  Fu  sendiri yang menghuni rumah itu, tetapi juga ditemani oleh puluhan anak buah yang masih kelihatan muda dan gagah. Juga oleh putri satu-satunya  yang  bernama Bong Mini, berumur kurang lebih enam belas tahun. Ia diberi nama Bong Mini karena perawakannya yang mungil.

Bong Mini mempunyai wajah yang sangat cantik. Berkulit putih mulus seperti kebanyakan wanita Tiong- hoa. Di atas matanya yang hitam dan sipit, terukir alis mata yang lebat dan panjang. Mirip dengan bentuk ujung pedang. Rambutnya yang hitam dan panjang, selalu dibiarkan lepas tergerai dengan bagian depan- nya disisir poni sebatas alis. Sedangkan bibirnya yang merah dan segar tampak selalu basah, sehingga siapa pun yang melihatnya pasti tertarik.

Sebagai gadis  yang  beranjak  remaja  sudah  tentu Bong Mini ingin tampil menarik. Khususnya dalam hal memilih pakaian. Menurutnya, walaupun cantiknya seseorang bila tak ditunjang dengan pakaian yang rapi dan cocok, maka kecantikan itu akan kehilangan daya tariknya. Sehingga dalam berpakaian Bong Mini selalu memilih warna-warna yang sesuai kulitnya. Biru serta merah merupakan warna yang sangat ia sukai.

Kehadiran Bong Kian Fu bersama pengikutnya di si- tu, sebenarnya hanya merupakan pelarian.  Waktu itu, di negerinya ia mengadakan pembangkangan terhadap kaisar dengan menolak pemungutan pajak pada ra- kyat. Dia menilai bahwa jumlah pajak yang diminta kaisar terlalu besar dan ia tidak sampai hati untuk memeras harta rakyat yang sudah demikian miskin.

“Ampun, Baginda! Hamba tak dapat melaksanakan perintah yang mulia!” ucap Bong Kian Fu ketika  itu, saat ia menghadap kaisar tanpa upeti.

“Kenapa?” tanya kaisar penuh amarah.

“Upeti yang Tuanku minta terlalu besar jumlahnya. Sedangkan mereka sendiri hidup serba kekurangan. Hamba tidak sampai hati melaksanakannya!” jawab Bong Kian Fu dengan sikap hormat.

Mendengar jawaban itu, kaisar bukan berpikir, tapi malah murka kepada Bong Kian Fu. Dengan mata me- rah menahan marah, sang Kaisar berkata dengan ke- ras, “Bong Kian, kamu tahu tugasmu di sini?!”

“Hamba mengerti, Yang Mulia!” sambut Bong  Kian Fu seraya membungkukkan badannya sebagai tanda hormat.

“Kalau kamu mengerti, laksanakan perintahku!” hardik kaisar sambil mengacungkan tangannya.

“Tapi...”

“Bong Kian Fu, masalah rakyat adalah urusanku. Aku adalah raja di negeri ini. Sedangkan urusanmu mengikuti segala perintahku!” potong kaisar dengan suara berapi-api.

“Baik, Tuanku! Hamba akan laksanakan!” setelah berkata begitu, Bong Kian Fu segera meninggalkan is- tana raja.

Sepulangnya Bong Kian Fu dari istana, ia segera mengumpulkan beberapa wakil rakyat di rumahnya.

Para wakil rakyat yang datang ke sana saling ber- pandangan dan saling bertanya mengenai undangan Bong Kian Fu itu. Sebab tidak biasanya orang keper- cayaan kaisar seperti Bong Kian Fu mengumpulkan banyak orang di rumahnya. Biasanya ia bertemu rak- yat kalau memungut upeti saja.

“Aku mengucapkan terima kasih kepada para wakil rakyat Manchuria yang telah memenuhi undangan ini,” ucap Bong Kian Fu, membuka pertemuan.

Para wakil rakyat yang berjumlah kurang lebih dua puluh orang itu duduk bersila dengan tegak sambil memandang sungguh-sungguh wajah Bong Kian Fu.

“Aku mengundang Saudara semua ke  sini  karena ada sesuatu yang  ingin  dimusyawarahkan,”  lanjut Bong Kian Fu lagi seraya menatap wajah orang-orang yang hadir satu persatu, ingin mengetahui reaksi me- reka.

“Sebagai rakyat Manchuria, kalian tak akan bisa ke- luar dari upeti yang telah ditentukan oleh kaisar kita. Sedangkan ketentuan upeti itu terasa benar mencekik leher kita. Susah-payah kita menanam padi dan me- nuainya, tapi hasilnya diserahkan kepada raja. Begitu seterusnya tanpa ada perubahan. Sedangkan aku sen- diri yang langsung memungut upeti kepada kalian me- rasa tidak tega melihat penderitaan rakyat. Oleh kare- na itu, hari ini kita harus mencari  jalan  keluarnya,” kata Bong Kian Fu mengajak. Orang-orang yang hadir di situ saling berpandangan satu dengan yang lain. Lalu kembali memandang Bong Kian Fu dengan wajah berseri.

“Untuk menghindari upeti yang demikian banyak, tidak ada jalan lain bagi kita kecuali pergi dari negeri ini. Bagaimana, apa kalian setuju?”

Orang-orang yang hadir kembali berpandangan, seolah-olah minta pendapat satu sama lain.

“Apakah mungkin kita bisa keluar dari negeri ini, Kapten Kang?” tanya salah seorang yang hadir di situ.

“Kenapa tidak? Apabila rakyat setuju dan bersatu, kita pasti bisa lolos dengan selamat. Walaupun harus berhadapan dulu dengan para prajurit raja,”  jawab Bong Kian Fu memberi semangat.

Orang-orang yang hadir di situ masih diam. Mereka saling menunggu komentar dari yang lain.

“Bagaimana, setuju?” tanya Bong Kian Fu menatap mereka satu persatu.

Mata mereka kembali saling berpandangan. Tidak ada yang berani menyahut Masing-masing menanti ja- waban dari temannya.

“Saya setuju, Kapten Kang,” cetus  salah  seorang yang hadir sambil mengacungkan telunjuknya ke atas. “Namun kami juga harus menghubungi yang lain.”

Bong Kian Fu mengangguk-angguk. “Yang lain?”

“Kami setuju!” sahut mereka serempak, akhirnya.

Bong Kian Fu tersenyum senang  dengan  jawaban itu. Berarti gagasannya diterima. Tinggal menunggu kesepakatan penduduk lain yang tidak hadir di situ.

“Baiklah. Sekarang kalian tinggal menghubungi penduduk lain. Kalau mereka setuju, kita segera pin- dah. Kita sudah tidak punya waktu lagi untuk  berta- han lebih lama di sini,” kata Bong Kian Fu, menutup pembicaraannya.

Setelah acara ditutup, orang-orang yang hadir da- lam musyawarah tadi segera keluar untuk mendatangi rumah penduduk satu persatu. Membujuk agar mere- ka mau meninggalkan Kerajaan Manchuria dan men- cari penghidupan yang baru.

Usul Bong Kian Fu untuk mengadakan pemberon- takan dan lari dari negeri itu ternyata mendapat du- kungan dari rakyat Mereka yang dulu membenci Bong Kian Fu karena menjadi utusan raja dalam pemungu- tan pajak, kini bergabung dengan Bong Kian Fu.

Untuk melaksanakan rencananya itu memang tidak begitu mudah. Bong Kian Fu bersama pengikutnya ha- rus menghadapi puluhan prajurit raja yang mengha- dang di sekitar pesisir laut, tempat Bong Kian Fu dan pengikutnya akan melarikan diri.

Melihat puluhan prajurit raja yang berjajar mem- buat pagar betis di sekitar tepi laut, Bong Kian Fu bu- kannya takut, malah menjadi berang. Kegagahannya sebagai panglima perang ketika masih mengabdi pada raja kembali mencuat. Matanya yang hitam dan tajam yang selama ini membuat lawan gemetar, kini terlihat berkobar.

“Mau apa kalian!” bentak Bong Kian Fu dengan su- ara menggelegar. Wajahnya terlihat tegang menahan marah.

Seorang utusan raja yang menggantikan Bong Kian Fu sebagai panglima perang tertawa terbahak-bahak.

“Kami hendak mengikuti perintah kaisar!” jawab panglima perang itu setelah menghentikan tawanya.

“Kalau kalian hendak menghalangi kepergian rakyat Manchuria, aku akan menentangnya!” ujar Bong  Kian Fu tanpa rasa gentar sedikit pun.

Panglima  perang   itu   kembali   tertawa   terbahak- bahak.

“Kau jangan mimpi, Bong Kian Fu. Dulu  kau  dis- ebut Kapten Kang karena kehebatanmu menumpas musuh sebagai panglima perang. Dan kemenangan itu pun karena bantuan para prajurit raja. Jadi,  sekarang ini kau tidak lagi mendapat sebutan Kapten Kang ka- rena sebentar lagi sebutan itu akan kurebut!” teriak panglima perang yang baru itu.

“Boleh saja kau menyandang gelar Kapten Kang ka- lau kau mampu melangkahi mayatku!” tantang Bong Kian Fu dengan sikap tenang. Namun kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu panas di telinga panglima perang.

“Bangsat! Serbu...!” panglima perang itu memberi- kan aba-aba kepada prajuritnya dengan suara yang menggelegar.

Puluhan prajurit kerajaan yang sejak tadi duduk di punggung kuda dengan tombak panjang di tangan, se- rentak menyerang Bong Kian Fu dan pengikutnya. Te- riakan riuh rendah mengiringi suara derap langkah kuda.

Bong Kian Fu bersama pengikutnya tidak tinggal di- am. Bersama pengawal kepercayaannya Ashiong, Achen, dan Sang Piao  segera  disambutnya  serangan itu dengan gesit.

Trangngng!

Puluhan senjata dari arah yang berlawanan saling beradu dengan keras. Mereka menangkis serangan masing-masing dengan lihainya. Pedang dengan tom- bak atau pedang dengan pedang saling memapaki, menjaga hantaman senjata yang siap menerkam jiwa lawan.

Bong Kian Fu yang ketika jadi panglima perang du- lu, memang tidak sia-sia mendapat sebutan Kapten Kang. Kelincahan dan keberaniannya di medan perang sudah tak diragukan lagi. Setiap ayunan pedang yang diarahkan ke tubuh lawan selalu berhasil mengenai sasaran. Itulah Bong Kian Fu. Di rumah ia menjadi seorang suami dan bapak yang baik dan lembut. Se- dangkan di tengah peperangan, ia akan berubah men- jadi singa lapar yang siap menerkam mangsanya.

Brettt! Blesss!

Pedang Bong Kian Fu yang telah banyak menelan korban kembali bersarang pada leher dan dada dua orang prajurit kerajaan. Sehingga dalam waktu sing- kat, tubuh kedua orang prajurit itu rebah di perut bu- mi dengan tubuh bersimbah darah.

“Hei, Panglima pengecut, majulah! Jangan diam se- perti kambing congek begitu!” teriak Bong Kian Fu, sengaja memanasi panglima kerajaan yang sejak tadi hanya duduk di punggung kuda sambil menyaksikan prajuritnya yang mati-matian membela diri.

Mendengar teriakan Bong Kian Fu yang mengan- dung ejekan itu, panglima perang segera menerjang ke arah Bong Kian Fu dengan wajah beringas penuh ma- rah.

“Hiaaat!”

Panglima perang mengarahkan pedangnya ke tubuh Bong Kian Fu. Tapi karena Bong Kian Fu telah berpe- ngalaman dalam peperangan, serangan panglima itu dapat digagalkan dengan meloncat dari punggung ku- da. Lalu segera berdiri tegak di atas tanah dengan ga- gah, siap menghadapi serangan lawan.

Menyadari dirinya dalam posisi yang menguntung- kan, panglima segera menerjang Bong Kian Fu bersa- ma kudanya.

“Hiaaat!”

Bong Kian  Fu  mengelak  dengan  bertiarap  sambil mengarahkan pedangnya mendatar, hingga menggores kaki kuda. Membuat kuda tunggangan panglima me- lompat-lompat sambil meringkik menahan sakit.

***

Bong Mini yang sejak tadi menyaksikan pertempu- ran itu menjadi terkagum-kagum melihat kepandaian papanya dalam memainkan pedang. Ingin ia turut ser- ta ke medan pertempuran itu, tapi ia ingat mamanya harus ditemani. Sehingga ia tetap duduk di kereta ku- da, di samping mamanya.

Brettt!

Tiba-tiba tirai penutup kereta kuda dirobek orang. Ternyata orang yang merobek tirai kereta kuda itu seo- rang prajurit raja. Dia  tampak  duduk  di  atas  kuda sambil menyeringai ke arah Bong Mini.

“Benar-benar cantik putrinya Kapten Kang,” ucap prajurit itu sembari menjilat bibirnya.

Bong Mini yang melihat kehadiran prajurit raja itu menjadi pucat Duduknya menggeser ke belakang. Bu- kan karena takut, melainkan untuk menjaga kesela- matan mamanya..

“Mari, kita bersembunyi di rumahku!” kata prajurit itu sambil terus menyeringai. “Tidak baik wanita cantik seperti kalian berada di medan pertempuran.”

Bong Mini melotot geram. Wajahnya  yang  cantik dan putih itu berubah merah menahan marah.

“Wah, gadis cantik sepertimu kalau marah pasti bertambah cantik,” rayu prajurit itu seraya mendekat.

“Menjauhlah kamu. Aku akan bersikap keras kalau kau mengganggu kami!” bentak Bong Mini dengan me- lototkan matanya.

Prajurit itu tertawa berderai. Dan pada kesempatan itu, Bong Mini melancarkan serangan dengan menen- dang dada sang Prajurit.

Bug!

Prajurit yang tertawa tadi terpental dari punggung kuda sambil menahan sakit di  dadanya.  Sedangkan dari mulutnya menetes darah segar, akibat tendangan Bong Mini yang begitu keras.

“Bocah perempuan sialan! Dibujuk halus malah ku- rang ajar!” kata prajurit itu sambil mengusap darah yang ada di mulutnya. Kemudian dengan wajah tegang menahan marah, kakinya melangkah mendekati Bong Mini.

“Mama, diamlah di sini. Saya akan membereskan prajurit yang genit ini,” kata Bong Mini kepada ma- manya. Tubuhnya langsung meloncat keluar dari kere- ta kuda, siap untuk bertempur.

“Sebaiknya Nona menyerah saja. Sia-sia perlawanan Nona,” tiba-tiba terdengar suara lelaki dari arah bela- kangnya. Dan ketika menoleh, wajahnya berubah me- merah. Sebab lelaki itu seorang prajurit kerajaan. Be- rarti ia menghadapi dua orang lawan sekaligus.

Tanpa diduga oleh prajurit tadi, Bong Mini melan- carkan serangan berupa tendangan, dan tepat bersa- rang pada daerah larangan. Sehingga prajurit itu men- gaduh sambil memegangi ‘burung’ kesayangannya.

Melihat temannya meringis-ringis di tanah, prajurit yang mengeluarkan darah dari mulutnya menjadi naik pitam. Ia menyerang Bong Mini dengan beringas.

Bong Mini yang memang sudah menguasai jurus- jurus ilmu papanya, dengan mudah dapat menghindari serangan lawan itu. Lalu tubuhnya bersalto sambil me- lancarkan serangan balik. Tapi kali ini serangannya sia-sia karena musuhnya dengan mudah dapat meng- hindar dengan berkelit ke samping. Dan ketika ia ber- diri tegak, di hadapannya telah berdiri tiga orang pra- jurit lain. Jadi, kini ia berhadapan dengan empat orang lawan.

Hm, aku harus sungguh-sungguh melawan mereka, gumam Bong Mini dalam hati. Lalu dengan gerak yang tangkas ia mencabut pedang yang tersandang di pung- gungnya.

“Sebaiknya batalkan saja niatmu itu, Nona!” saran seorang prajurit yang baru datang itu.

“Cih!” Bong Mini meludah geram. “Majulah kalau kalian memang laki-laki!”

“Saya tidak ingin melukai tubuh Nona yang mulus itu. Saya hanya ingin membawa Nona dan melindungi,” kata prajurit tadi. .

“Puih! Dasar banci. Maunya hanya berhadapan dengan perempuan,” kata Bong Mini sambil pura-pura meninggalkan arena pertempuran. Tapi ketika para prajurit itu hendak memburu dan merejangnya, satu tendangan yang begitu cepat mendarat pada tubuh seorang prajurit, disusul dengan sabetan pedangnya.

Brettt!

Ujung pedang Bong Mini menebas perut seorang la- wan. Sehingga pada detik itu juga, prajurit yang ter- kena sabetan pedangnya jatuh tersungkur dengan isi perut yang hampir keluar.

Melihat temannya mati mengenaskan, ketiga praju- rit lain menjadi naik pitam.

“Aku tidak menyangka, perempuan secantikmu ber- hati iblis!” geram salah seorang lawannya sambil terus menerjang ke arah Bong Mini. Kali ini serangan ketiga lawannya tidak main-main. Tapi sebagai orang yang sudah terlatih dengan jurus-jurus silat, Bong Mini da- pat mengelakkan serangan-serangan itu dengan baik. Walaupun ia merasa cukup kewalahan.

*** Bong Kian Fu terus menahan serangan-serangan lawan sambil sesekali melakukan serangan. Hal itu bu- kan karena ketangguhan panglima,  melainkan  karena ia diserang oleh lima orang lawan yang mengelili- nginya.

“Umurmu hanya sampai di sini, Bong Kian!” kata panglima itu, siap mengayunkan pedangnya ke arah Bong Kian Fu yang semakin terdesak. Tapi ketika ma- tanya melihat ada perempuan di dalam kereta kuda, niatnya segera diurungkan.

“Istrimu cantik juga, Bong Kian,” ucap panglima itu sambil terus melesat ke arah kereta kuda.

Wajah Bong Kian Fu menjadi merah mendengar ucapan panglima itu. Lalu ia berusaha keluar dari ke- pungan para lawan untuk menyelamatkan  istrinya. Tapi karena serangan empat lawannya begitu ketat membuat ia terhalang untuk mendekati kereta kuda yang dipakai istrinya.

“Tolong! Bong Mini! Papa, tolooong!”

Bong Mini yang tengah sibuk melawan tiga prajurit raja menoleh ke arah kereta kuda. Di sana ia melihat mamanya tengah dirangkul paksa oleh panglima.

“Bangsat. Panglima bejat!” geram Bong Mini sambil meluruk ke arah mamanya yang sudah berada di atas pundak panglima. Siap untuk dibawa lari.

Langkah Bong Mini terhalang oleh serangan ketiga lawannya. Sehingga ia terpaksa harus meladeni ketiga lawannya itu dengan ganas. Kilatan-kilatan pedangnya menari-nari di udara saat tertimpa cahaya matahari.

***

Sinyin meronta-ronta dalam dekapan panglima. Te- tapi semakin ia meronta, semakin kuat panglima me- meluknya sambil terus berusaha untuk menciumi wa- jah Sinyin yang memang cantik dan menggiurkan.

Ketika panglima kerajaan begitu bernafsu hendak mencumbui Sinyin, tiba-tiba mulutnya berteriak kesa- kitan sambil melepaskan pelukannya. Ternyata Sinyin berhasil menggigit bibir panglima dengan keras.

Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Sinyin se- gera melepaskan diri dari pelukan panglima. Ia berlari sekencang-kencangnya. Namun karena ia seorang pe- rempuan yang tidak mempunyai kepandaian silat, ak- hirnya ia tersusul oleh panglima.

“Kau tidak akan dapat meloloskan diri dari deka- panku, Perempuan Cantik,” kata panglima sambil ter- kekeh-kekeh.

“Jangan! Jangan sentuh aku!” Sinyin mundur keta- kutan ketika panglima itu melangkah mendekatinya.

Panglima kerajaan itu kembali terkekeh-kekeh. “Hanya lelaki bodoh yang melepaskan perempuan

cantik begitu saja!” desis panglima itu sambil mende- kap tubuh Sinyin dan merobek baju yang dikenakan- nya.

Brettt!

Baju bagian depan Sinyin terbuka. Sehingga da- danya yang membusung ke depan jelas terlihat oleh panglima.

Panglima itu semakin tergetar hatinya melihat ke- montokan dada Sinyin. Dengan jiwa yang sudah diku- asai nafsu iblis ia segera menjarah tubuh Sinyin. Ia be- rusaha untuk dapat menyentuh dua buah bukit yang putih dan montok itu.

Sinyin terus meronta-ronta sambil berusaha melin- dungi dua buah bukitnya. Tapi apa yang dilakukannya sia-sia. Karena setiap kali Sinyin berontak, saat itu pu- la birahi panglima terangsang.

Sinyin benar-benar tak berdaya. Tenaganya sudah habis terkuras. Panglima mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya untuk melucuti pakaian Sinyin dengan tenang. Namun ketika ia hendak menggagahi, tiba-tiba pedang yang ditaruhnya di sisi Sinyin berge- rak menembus perutnya.

“Akh!” teriak panglima menahan rasa sakit. “Perem- puan jahanam!” maki panglima itu sambil mengayun- kan pukulan ke arah Sinyin dan tepat mengenai ulu hatinya. Sehingga darah tersembur dari mulut Sinyin disertai teriakan yang mengenaskan. Dan pada saat itu pula tubuh Sinyin ambruk tak berdaya.

Bertepatan dengan ambruknya Sinyin, tiba-tiba se- buah pukulan yang cukup keras mendarat di  pung- gung panglima. Tubuhnya langsung terhuyung lalu ja- tuh. Tapi kemudian ia cepat bangkit dan memandang orang yang memukulnya. Ternyata seorang gadis can- tik sedang berdiri menantang dengan gagahnya.

“Lelaki biadab! Rasakanlah seranganku ini!” teriak Bong Mini sambil melancarkan serangan. Tapi tidak berhasil. Membuat ia semakin bernafsu, ia terus me- lancarkan serangan dengan membabi buta.

“Mundurlah anakku. Biar papa yang menghadapi tikus busuk ini!” tiba-tiba Bong Kian Fu berdiri di sam- ping Bong Mini dan langsung menerjang panglima.

Panglima prajurit yang sudah terkena tusukan pe- dang oleh Sinyin menjadi gusar. Tapi karena tubuhnya sudah agak sempoyongan akibat banyak mengelua- rkan darah, ia tidak dapat berbuat banyak.

Brettt!

Pedang Bong Kian Fu menebas leher panglima de- ngan cepat dan keras. Seketika itu juga kepala pang- lima terpisah dan badannya.

Bong Kian Fu berdiri tegak menyaksikan kepala musuhnya dengan hati puas. Setelah itu melangkah menghampiri Bong Mini yang tengah menutup mu- kanya. Gadis itu tidak kuasa melihat kematian pang- lima yang mengerikan.

“Di mana mamamu, Sayang?” Bong Kian Fu me- nyentuh kedua bahu putrinya.

Bong Mini tidak menjawab. Ia menyandarkan tu- buhnya ke dalam pelukan papanya sambil melangkah lesu ke tempat tubuh ibunya terkapar bersama ayah- nya tercinta.

Bong Kian Fu menitikkan air matanya ketika meli- hat istri yang dicintainya itu sudah tak bernyawa lagi. Begitu pula dengan Bong Mini. Dia menangis terisak- isak sambil memeluki tubuh Sinyin.

“Mama. Maafkan saya, Mama,” isak Bong Mini. Ia merasa menyesal karena terlambat menyelamatkan ji- wa mamanya yang dicintainya itu.

Beberapa saat suasana menjadi hening. Hanya isak tangis Bong Mini saja yang terdengar.

“Sudahlah, Sayang. Kematian mamamu merupakan kematian yang terhormat Mama mati karena memper- tahankan kehormatannya,” ucap papanya. Sesungguh- nya ia sendiri tak tahan melihat kematian istrinya itu.

“Mama tidak akan bersama-sama kita lagi, Papa,” ucap Bong Mini sendu. Air matanya begitu deras me- ngalir. Meliuk-liuk di pipinya bagai sungai yang men- cari lautan bebas.

“Tapi cinta dan kasih sayangnya akan tetap melekat di hati kita, Sayang,” sahut papanya dengan suara ter- sendat menahan tangis.

Bong Mini tak tahan mendengar kata-kata papanya. Ia mengangkat wajahnya dan menjatuhkan kepalanya dalam pelukan papanya sambil menangis  tersedu- sedu.

Setelah beberapa  lama  kedua  bapak  dan  anak  ini dicekam oleh keharuan, akhirnya mereka membawa mayat Sinyin menuju kapal kerajaan yang berhasil me- reka rampas untuk dibawa ke pesisir Pulau Bangka. Sedangkan di pinggir pantai, mayat-mayat tampak ber- gelimpangan bagai ikan laut yang terdampar.

***

2

“Di sini kita akan memulai hidup baru. Dan hari ini pula, gelar Kapten Kang akan kucabut dan kuganti dengan Bongkap. Karena di tempat ini, aku yang akan memimpin kalian!” seru Bong Kian Fu ketika mereka telah berada di pesisir Pulau Bangka. Ia menobatkan dirinya sebagai Bongkap yang berarti raja.

“Hidup Bongkap! Hidup Bongkap!” teriak para peng- ikutnya sambil mengacung-acungkan tangan. Sedang- kan wajah mereka tampak begitu gembira karena telah terbebas dari upeti raja yang begitu mencekik leher mereka.

Dengan resminya Bong Kian Fu menjadi raja, maka seluruh pengikutnya pun mulai membenahi diri. Se- mak belukar yang rimbun di  sekitar  bangunan  kuno itu dibersihkan dengan cara bergotong-royong. Rimbu- nan ilalang yang tumbuh tinggi tak beraturan dipo- tong. Sebagian pepohonan besar pun telah mereka pangkas, agar cahaya matahari bebas bersinar ke tem- pat yang sekian lama tenggelam dalam bayangan ke- lam dan lembab karena tak dihuni oleh seorang manu- sia pun. Terkecuali satu kilo meter dari tempat me- reka, banyak rumah penduduk berdiri dengan tanah halaman yang luas. Setelah tanah yang sebelumnya tak terurus itu di- bersihkan, kemudian mereka sama-sama mengumpul- kan batu bata, semen, pasir, balok-balok  kayu,  gen- teng atau atap rumbia. Lalu mereka bahu-membahu mendirikan rumah-rumah sebagai tempat tinggal me- reka nanti. Tua-muda, laki-perempuan, semua bekerja. Sehingga tak heran dalam waktu yang tak begitu lama, rumah-rumah itu telah berdiri rapi. Termasuk rumah kuno sebagai tempat tinggal Bongkap, Bong Mini, para dayang, dan beberapa orang pengawalnya. Malah re- runtuhan benteng rumah itu dipugar, sehingga tembok benteng itu kembali berdiri dengan kokoh.

Walaupun ia menjadi raja bagi para pengikutnya, Bong Kian Fu atau Bongkap hampir setiap hari mem- pelajari kehidupan penduduk pribumi secara sem- bunyi-sembunyi. Ia mencoba mempelajari dan me- ngenal kebiasaan atau adat-istiadat mereka, serta be- rusaha mengerti pikiran mereka.

Pada akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa penduduk negeri itu merupakan orang-orang yang se- derhana. Tidak seperti mereka yang tinggal di negeri asalnya, Tiongkok. Di sana rakyatnya cerdik dan  pe- nuh dengan sikap curiga. Hal ini disebabkan karena kelaparan yang terus melanda dan perjuangan yang tanpa ampun untuk hidup mereka.

Berbeda dengan di sini, di sekitar pesisir Pulau Bangka ini rakyatnya terlihat kuat dan perkasa, walau- pun agak polos. Hal yang mereka tahu hanyalah ten- tang perkebunan lada. Mereka hanya paham pada ke- perluan perutnya saja. Di luar itu mereka sama sekali tidak tahu. Apalagi tentang ilmu bela diri, mereka be- nar-benar buta. Ini disebabkan karena mereka hidup serba kecukupan.

Ketika pagi hari Bongkap berkeliling kampung dan melihat perkebunan lada mereka, ia nampak terlihat mengangguk-angguk dan tersenyum melihat kesung- guhan penduduk kampung dalam bekerja. Dengan te- rengah-engah dan tubuh bercururan keringat, mereka terus bekerja sampai waktu matahari tenggelam  di ufuk timur.

Pada suatu hari, ketika musim kemarau panjang te- lah tiba, para penduduk tampak begitu ketakutan. Ka- rena bibit lada yang mereka tanam tidak menghasilkan apa-apa. Bibit-bibit lada yang tumbuh mulai berubah warnanya. Lalu perlahan-lahan kering dan mati.

Dalam keadaan seperti itu, penduduk mulai dilanda kegelisahan. Hampir tiap hari di antara mereka terjadi perkelahian memperebutkan air untuk mengairi sa- wahnya dari sebuah sungai yang juga tengah dilanda kekeringan. Bahkan tidak sedikit para penduduk yang kehilangan ternak atau hasil ladangnya.

Kemiskinan dan kelaparan itu bukan saja melanda penduduk asli Pulau Bangka, tetapi juga melanda ra- kyat yang berasal dari negeri Manchuria. Hampir se- tiap hari mereka mengeluh dan menangis karena tidak mendapatkan makanan. Sedangkan harta  kerajaan yang berhasil dirampas Bongkap telah habis untuk ke- butuhan mereka sehari-hari.

Mendapat kenyataan itu, Bongkap tidak sampai ha- ti. Ia tidak ingin rakyatnya menderita. Ia juga tidak in- gin mereka saling baku hantam karena rasa lapar yang mencekam. Ia harus bertanggung jawab untuk menye- jahterakan rakyat yang dipimpinnya. Karena dialah yang telah mengajak mereka untuk berpindah tempat.

Maka pada suatu malam, ketika Bong Mini telah tertidur lelap, diam-diam ia bersama pengawal keper- cayaannya pergi mengarungi Selat Malaka. Di sana mereka melakukan aksi perampokan terhadap kapal- kapal saudagar yang membawa barang-barang berhar- ga.

“Serbuuu!” Bongkap memberikan aba-aba kepada para prajuritnya untuk menyerbu setelah berhasil me- rapatkan kapalnya ke kapal saudagar itu.

Dengan serta-merta, para prajurit kepercayaan Bongkap keluar dari kapalnya dan berloncatan ke kap- al saudagar bersama Bongkap sendiri.

Mendapat serbuan yang tidak diduga ini para pe- ngawal kapal barang milik saudagar menjadi terkejut. Mereka berdiri serentak sambil mencabut pedang dan golok masing-masing, siap mengadakan perlawanan.

“Siapa kalian?” tanya salah seorang pengawal kapal yang ternyata pemimpinnya.

Bongkap tersenyum sinis mendengar  pertanyaan itu.

“Namaku Bongkap. Penguasa Pantai Selat Malaka ini!” jawab Bongkap dengan suara berwibawa.

“Lalu apa maumu menyerbu kapal kami?!” bentak pemimpin pengawal kapal itu.

Bongkap tertawa terbahak. Lalu kembali terdiam mengamati wajah lawannya.

“Tidak ada penyerbuan bila tidak ada maksud!” ja- wab Bongkap dengan sikap tenang.

“Kalian ingin menghalangi perjalanan kami?” “Tidak!” jawab Bongkap cepat.

“Lalu?”

“Kami hanya menginginkan barang-barang yang ada dalam kapal ini. Setelah itu kalian boleh melanjutkan perjalanan kembali!” kata Bongkap dengan sikap yang tetap tenang dan penuh wibawa.

“Sudah aku duga bahwa kalian adalah para peram- pok!”

“Mungkin. Tapi  saudagar  kalian  juga  seorang  pe- rampok!” jawab Bongkap, masih dalam keadaan te- nang.

“Kamu lancang!” geram pemimpin pengawal kapal itu.

Bongkap tersenyum mengejek.

“Membeli hasil perkebunan rakyat dengan harga murah dan secara paksa, bukankah itu perampokan?” sindirnya.

Telinga lelaki di hadapannya terasa panas seperti dibakar ketika mendengar kata-kata Bongkap. Ma- tanya mendadak merah menahan marah.

“Bangsat! Kalian telah menghina saudagar kami. Serang mereka!” perintah pemimpin pengawal kapal itu.

“Berhenti!” sergah Bongkap pada para pengawal ba- rang yang hendak menyerangnya. “Kalau kalian me- nyerang kami, itu berarti telah lebih dahulu melaku- kan perampokan terhadap diri kami!”

“Jangan dengarkan  omongannya  yang  busuk  itu.

Cepat serang!” perintah pemimpin pengawal itu.

Para pengawal kapal barang saudagar yang berjum- lah dua puluh orang itu segera menyerbu para prajurit Bongkap yang berjumlah sepuluh orang. Mereka berte- riak-teriak sambil mengayun-ayunkan golok dan pe- dang ke arah lawan.

Prajurit Bongkap tidak tinggal diam. Mereka me- nyambut serangan-serangan itu dengan pedang yang tergenggam di tangan mereka masing-masing .

“Lawan mereka! Tapi jangan sampai mematikan!” teriak Bongkap kepada anak buahnya yang sedang si- buk memberikan perlawanan. Tapi karena para pe- ngawal kapal begitu bernafsu hendak menjatuhkan la- wannya, terpaksa anak buah Bongkap pun melakukan kekerasan untuk melindungi diri dari serangan lawan yang mematikan itu.

Brettt!

Pedang milik seorang anak buah Bongkap merobek pakaian lawan sampai tembus  ke tubuhnya. Seketika itu juga, pengawal kapal yang terkena sabetan ujung pedang anak buah Bongkap terhuyung jatuh sambil memegangi perutnya yang tersayat mengeluarkan da- rah. Lalu diam tak berkutik lagi.

Melihat kematian seorang lawannya, Bongkap men- jadi gusar. Sebab ia tidak menginginkan pertumpahan darah. Ia hanya  menginginkan  barang-barang  yang ada dalam kapal itu, bukan jiwa. Maka untuk mengu- rangi jatuhnya korban, Bongkap segera menerjang pe- mimpin pengawal itu dan mengajaknya bertanding.

Pemimpin pengawal kapal barang itu segera menca- but pedang ketika Bongkap berdiri di hadapannya. La- lu segera menerjang Bongkap dengan bengis.

Trangngng!

Pedang Bongkap dengan pedang lawannya saling beradu. Mereka saling menangkis dan melakukan se- rangan, sama-sama ingin menjatuhkan lawan.

“Kau punya keahlian bermain pedang rupanya,” ka- ta Bongkap sambil terus berkelit menghindari se- rangan-serangan yang dilancarkan lawan.

“Kamu kira hanya kau saja yang pandai!” sahut la- wannya sambil terus melakukan serangan dengan gen- car. Darahnya semakin menggelegak mendengar uca- pan Bongkap yang setengah mengejek itu.

“Tapi kau harus banyak latihan lagi agar tidak me- ngurus tenaga seperti itu!” kata Bongkap lagi, me- mancing emosi lawannya.

Mendengar ejekan Bongkap, wajah pemimpin pe- ngawal kapal barang itu menjadi merah. Baru kali ini ada orang yang berani mengejekku, pikirnya. Wettt!

Pedang pemimpin pengawal kapal barang itu me- nyerang ke arah kaki Bongkap. Tapi Bongkap dapat melihat serangan lawannya dengan cermat. Tubuhnya bersalto dan kembali berdiri tegak menghadap lawan.

“Kita cepat selesaikan saja pertandingan ini. Aku ti- dak sampai hati melihat anak buahmu terkapar ber- simbah darah,” ucap Bongkap.

“Bangsat!” hardik lawannya geram. Ia menyerang dengan gigihnya. Ia begitu bernafsu hendak memati- kan Bongkap. Tapi Bongkap sebagai orang yang ber- pengalaman di medan perang dan berjaya sebagai panglima kerajaan ketika di Manchuria, tentu saja ti- dak mudah untuk ditaklukkan. Apalagi oleh seorang lawan yang kepandaiannya sudah terbaca. Maka  un- tuk mempersingkat waktu dan tidak membuang-buang tenaga, Bongkap segera menyerang lawannya dengan sungguh-sungguh.

Brettt!

Dengan cepat pedang Bongkap menyambar bahu lawannya hingga putus.

Pemimpin pengawal kapal barang itu meringis ke- sakitan, seraya memegangi bahu kanannya yang ba- nyak mengeluarkan darah. Sedangkan pedangnya ter- lepas bersama tangannya.

“Sudah kukatakan, kau harus banyak berlatih agar permainan pedangmu lebih mahir lagi,” kata Bongkap sambil mendekati lawannya yang sedang terduduk di sudut kapal sambil menahan rasa nyeri.

“Cukup!” Bongkap segera rnemberi aba-aba kepada anak buahnya yang masih gigih bertarung.

Seketika itu juga, dentingan senjata tidak terdengar lagi. Baik anak buah Bongkap maupun lawannya ber- henti melakukan serangan. Mereka serentak meman- dang ke arah Bongkap.

“Aku tidak ingin menambah banyak korban. Kalian tinggal pilih; menyerahkan barang-barang yang ada dalam kapal ini atau nasib kalian seperti pemimpinmu ini!” kata Bongkap sambil mengangkat tangan kiri pe- mimpin pengawal kapal barang dan memperlihatkan luka lelaki itu kepada para anak buahnya.

Melihat pimpinan mereka sudah tidak berdaya de- ngan tangan yang terputus, para pengawal itu menja- tuhkan diri dan bersujud mengakui kekalahannya di hadapan Bongkap.

Bongkap tersenyum penuh kemenangan. Lalu ia se- gera mendudukkan kembali pemimpin pengawal kapal dan menyuruh para pengawal kapal saudagar untuk memindahkan barang-barang yang  ada  dalam  kapal itu ke kapalnya.

Dengan penuh rasa takut, para pengawal barang segera mengikuti perintah Bongkap untuk mengangkut barang-barang milik saudagarnya ke kapal Bongkap. Sedangkan Bongkap dan anak buah hanya memperha- tikan kerja mereka saja sambil sesekali meneliti ruan- gan kapal, khawatir masih ada barang-barang yang tersembunyi.

Setelah seluruh barang yang ada dalam kapal sau- dagar itu dipindahkan ke kapal Bongkap, hingga tidak tersisa lagi, anak buah Bongkap pun segera berlonca- tan ke kapalnya dengan gerakan yang gesit dan ringan. “Terima kasih atas bantuan kalian. Dan sampaikan salamku kepada saudagarmu!” seru Bongkap kepada para pengawal kapal barang itu. Setelah berkata begi- tu, lalu tubuhnya segera melesat menuju kapalnya.

Disaksikan oleh para pengawal kapal barang dengan pandangan mata yang takjub.

*** Sementara itu, Bong Mini masih tergolek di atas ranjang. Ia baru saja terbangun dari tidurnya. Ia ter- bangun karena mendapat mimpi bertemu dengan Si- nyin, mamanya. Dalam mimpi itu Bong Mini melihat mamanya tersenyum manis padanya. Lalu perlahan mamanya melangkah menghampirinya dan berkata, “Jaga dirimu dan papamu baik-baik, anakku! Tegurlah papa jika melakukan kesalahan. Engkaulah satu- satunya pengganti mama yang menyayangi papa!” usai berkata begitu, mamanya kembali melangkah menjau- hi Bong Mini kemudian lenyap. Bersamaan dengan le- nyapnya mamanya, Bong Mini terjaga dari tidur.

“Mama?” keluh Bong Mini sambil menyebarkan pandangannya ke seluruh ruangan kamar. Tetapi ia tidak mendapatkan wanita yang dicarinya. Kemudian ia mengeluh sambil membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Matanya menatap sayu langit-langit kamar.

“Mama. Kenapa mama pergi lagi?” desah Bong Mini. Matanya mulai mengeluarkan telaga bening. Lalu me- ngalir membasahi kedua pipinya, meliuk-liuk bagai anak sungai yang mengalir menuju muara.

Perlahan-lahan Bong Mini bangkit dari ranjangnya dan melangkah menuju jendela kamar. Dikuakkannya jendela kamar itu. Di sana hanya terlihat kegelapan malam yang menyelimuti bumi. Pepohonan yang tum- buh di sekitar tempat itu pun menjadi suram. Tak jelas bentuknya karena diselimuti kepekatan.

Bong Mini berdiri tercenung di muka jendela itu. Membiarkan anak rambutnya menghalangi pandangan karena terhela hembusan angin malam yang terasa dingin sampai ke tulang sum-sum.

Tatapan mata Bong Mini terus tertuju pada kegela- pan malam. Begitu sendu dan kosong. Karena piki- rannya masih mengawang pada pertemuan dengan mamanya di alam mimpi. Ingin rasanya ia bertemu lagi dengan mamanya lebih lama. Tapi tidak mungkin. Dan kehadiran mamanya di alam mimpi itu pun hanya se- cara kebetulan saja, tanpa ia sengaja.

Dalam lamunannya malam itu, tiba-tiba ia teringat pesan mamanya dalam mimpi tadi bahwa ia disuruh menjaga papanya dengan kasih sayang dan menegur- nya bila berbuat kesalahan.

Pantaskah itu? Beranikah ia menegur papanya jika berbuat salah? Sedangkan ia sendiri masih berada da- lam asuhan dan didikan papanya.

Bong Mini menghela napas dalam. Ditutupnya kem- bali daun jendela itu. Kemudian kakinya melangkah keluar kamar. Berjalan perlahan ke ruangan depan, khawatir membangunkan papanya.

Sampai di ruang depan, Bong Mini kembali terce- nung. Ia merasa ada satu  kejanggalan  dalam  rumah itu. Matanya tidak melihat orang-orang kepercayaan papanya.

Mungkin di luar, pikir Bong Mini sambil membuka pintu. Namun  ketika ia melongok keluar,  di  sana pun ia tidak mendapatkan pengawal papanya seorang pun juga. Ke mana perginya mereka?

Tiba-tiba Bong Mini mempunyai firasat yang tidak enak dengan tidak adanya pengawal rumah itu. Lalu ia menutup kembali pintu rumah dan melangkah menuju kamar papanya.

Pelan-pelan Bong Mini membuka pintu kamar pa- panya. Lalu ia tercenung di muka pintu kamar itu sambil menatap ke arah ranjang papanya. Dan di da- lam keremangan kamar itu, Bong Mini tidak menda- patkan papanya di sana. Ranjang itu kosong.  Hanya ada guling dan beberapa buah bantal yang berserakan. Ke mana perginya papa? Tanya batin Bong Mini. Wajahnya mulai menampakkan gelisah. Lalu ia buru- buru ke kamar belakang untuk menemui para dayang.

Sesampainya di kamar belakang, dilihatnya ketiga dayang sedang tertidur pulas.

“Bi    Bibi!” panggil Bong Mini, membangunkan seo-

rang dayangnya.

Dayang yang dibangunkan tadi segera  terbangun dan langsung duduk ketika melihat kehadiran Bong Mini.

“Ada apa, Nona?” tanya dayang itu tersentak. Tidak biasanya Bong Mini masuk ke kamarnya.

“Bibi tahu ke mana papa pergi?” tanya Bong Mini. “Tidak tahu, Nona. Bibi sudah tertidur,” jawab

dayang itu.

Bong Mini menghela napas. Pikirannya masih dili- puti oleh tanda tanya.

Ke mana papa pergi malam-malam begini? Bersama para pengawal lagi. Apa memang setiap malam papa keluar? Kalau memang  benar, apa yang dilakukan pa- pa bersama pengikutnya? Batin Bong Mini.

Melihat anak majikannya termangu dengan wajah sedih, dayang yang terbangun itu segera mendekati.

“Apakah Tuan sebelumnya memberitahukan kepada Nona ke mana dia pergi?”

Bong Mini menggeleng pelan.

“Kalau papa memberitahukan sebelumnya, mana mungkin saya mencari dan bertanya pada Bibi?”

Dayang itu menundukkan kepala. Ia malu sendiri terhadap pertanyaannya yang bodoh.

“Kalau saja mama masih ada, tentu keadaannya ti- dak begini,” gumam Bong Mini lirih. Sedangkan kedua matanya yang sendu sudah nampak berkaca-kaca se- perti ada telaga bening yang menggenanginya.

Dayang tadi mengangkat wajahnya dan memandang Bong Mini dengan tatapan mata kasihan.

“Sudahlah, Non. Jangan terlalu diingat. Biarkan nyonya besar tenang di tempatnya yang kekal!” hibur dayang itu lembut Dia tidak ingin melihat anak maji- kannya yang cantik, periang serta manja itu berubah sedih hanya karena mengingat kematian mamanya.

Bong Mini hanya diam mendengar ucapan wanita setengah baya yang mencoba menghiburnya. Ia masih sulit untuk dapat melupakan kematian mamanya. Apalagi kehadiran mamanya dalam mimpi tadi, mem- buat ia teringat pada semua kenangannya waktu kecil.

Sikap Bong Mini yang tidak bisa melupakan keper- gian mamanya memang bisa dimengerti. Sebab sebagai anak tunggal, ia selalu disayang oleh kedua orangtua- nya. Terlebih lagi oleh mamanya. Bila ia hendak tidur, beliau selalu menemani di sampingnya sambil meme- luk dan mengusap-usap punggungnya. Kalau sudah tertidur, barulah beliau pergi menuju kamarnya. Begi- tu pula jika bermain, beliau selalu menjaga dan me- nemani Bong Mini.

Pernah Bong Mini menjerit dan menangis ketika ia sedang bermain di halaman rumahnya saat masih tinggal di Tiongkok. Sebabnya, ketika ia sedang asyik bermain-main dengan boneka, tiba-tiba seekor cacing merayap di ujung kakinya. Melihat binatang yang men- jijikkan itu berjalan di kakinya, Bong Mini langsung menjerit dan menangis.

Melihat Bong Mini seperti itu, mamanya yang meng- awasinya agak jauh dari tempatnya bermain segera menghampiri dan menggendongnya. Kemudian ketika mengetahui penyebabnya, beliau langsung membuang cacing itu.

“Kenapa tidak dimatikan saja,  Ma?”  tanya  Bong Mini ketika itu, saat ia berumur delapan tahun. Mamanya menggeleng sambil tersenyum.

“Kita tidak boleh membunuhnya. Dia juga ciptaan Tuhan. Lagi pula dia tidak jahat, kan?”

“Tapi dia merayap di kaki Mini, Ma,” rajuknya.

“Tak menggigit, kan? Hanya kamu saja yang takut!” kata mamanya mencubit hidung Bong Mini.

Mengingat masa kanak-kanaknya itu, Bong Mini ja- di tersenyum sendiri.

“Ada apa, Non? Kok senyum sendirian?” usik da- yangnya. Sebab wajah Bong Mini yang sejak tadi me- nunjukkan kesedihan berubah berseri tanpa dia sada- ri.

“Tidak apa-apa, Bi,” desah Bong Mini dengan bibir tersenyum malu. Ia sadar kalau sikapnya mendapat perhatian dayangnya sejak tadi. Kemudian ia bangkit dari tepi ranjang dayangnya dan berkata, “Lanjutkan- lah tidur Bibi. Saya mau kembali ke kamar.”

“Perlu ditemani, Non?”

Bong Mini menggeleng. Kakinya melangkah mening- galkan dayangnya menuju kamarnya kembali. Di sana, ia langsung merebahkan tubuh di atas ranjang.

Malam semakin larut.

Keheningan mencekam dalam rayapan  waktu. Hanya suara-suara jangkrik yang terdengar mengerik, mengantarkan Bong Mini kembali dalam kelenaan ti- durnya.

***

3

Yang Seng adalah seorang keturunan Cina Tiongkok yang beberapa tahun lalu datang ke Pulau Bangka dan tinggal di kawasan Sungai Liat. Di sana ia mendirikan sebuah perguruan yang bernama Partai Persatuan Ular Hitam dengan anggota mencapai puluhan orang.

Sebagai orang keturunan Tiongkok, tentu saja Yang Seng mempunyai ilmu bela diri atau ilmu kesaktian yang amat tangguh. Semacam jurus-jurus kungfu. Dan ilmu itu sebagian ia turunkan kepada para anak buah- nya, termasuk ilmu kepandaian bermain pedang.

Kehadiran Yang Seng di sekitar Sungai Liat itu tidak lain ingin menguasai daerah tersebut. Dan untuk me- nguasai kawasan itu, tentu saja tidak begitu semudah yang dibayangkan. Di sana ia harus berhadapan de- ngan tokoh-tokoh silat yang sangat tangguh. Terutama sekali ia harus mengalahkan penguasa bernama Kho Sue Cheng.

Dengan modal ilmu kesaktian yang diperolehnya dari negeri Tiongkok, akhirnya Yang Seng berhasil juga menjatuhkan Kho Sue Cheng dengan jurus-jurus maut yang mematikan. Sehingga Kho Sue Cheng terbunuh dengan tubuh terkoyak bersimbah darah.

Keberhasilan Yang Seng dalam pertempuran mela- wan Kho Sue Cheng tentu saja sangat  mengejutkan anak buah Kho Sue Cheng. Mereka tidak menyangka kalau pemimpin mereka yang selama ini dianggap jago, dapat dijatuhkan oleh seorang anak muda kemarin.

Setelah Kho Sue Cheng terbunuh, maka yang meng- ambil alih kekuatan adalah Yang Seng. Segala harta kekayaan Kho Sue Cheng yang menjadi saudagar itu direbut oleh Yang Seng. Begitu pula dengan para anak buah yang harus tunduk dan patuh terhadap perin- tahnya. Bila ada seorang dari mereka yang membantah peraturan yang dibuatnya, maka Yang Seng tidak se- gan-segan memberikan hukuman mati. Membuat anak buah lainnya ketakutan. Anggota Partai Persatuan Ular Hitam selain berang- gotakan kaum lelaki, juga ada sekitar sepuluh orang kaum perempuan. Dan para perempuan itu ia peroleh dari para penduduk yang tidak bisa membayar hutang kepadanya. Karena selain pembelian hasil kebun pen- duduk dengan harga murah, ia memang suka membe- rikan pinjaman uang dengan bunga dua kali lipat

Kalau orang yang memimjam itu tidak bisa men- gembalikan hutangnya, maka Yang Seng akan menyita tanah atau sawah yang dimiliki. Tapi kalau kebetulan mempunyai seorang istri atau perempuan yang cantik, maka Yang Seng akan mengambil mereka dengan membebaskan-pembayaran hutang.

Perempuan yang dijadikan sebagai alat bayar hu- tang itu dibawa ke markas dan dijadikan sebagai te- man bercengkerama. Apabila perempuan itu sudah ti- dak lagi menarik perhatian Yang Seng, maka ia pun menyerahkannya kepada anak buahnya. Tak  peduli mau dijadikan apa perempuan itu, yang penting ia ha- rus mendapatkan perempuan baru sebagai penggan- tinya.

Semua perilaku dan kebejatan moral orang-orang Partai Persatuan Ular Hitam ini sudah bukan menjadi rahasia umum lagi. Semua orang telah mengetahuinya. Namun mereka sendiri tidak punya daya dan kebera- nian untuk menentang atau menghentikannya. Takut nyawa mereka sendiri yang akhirnya melayang.

Pernah ada beberapa orang penduduk yang mem- punyai kepandaian silat mencoba untuk mengakhiri sepak-terjang mereka. Tapi belum sempat bertemu dengan Yang Seng, mereka sudah kewalahan mengha- dapi anak buahnya. Sehingga dalam beberapa gebra- kan saja nyawa mereka langsung lenyap dengan tubuh yang koyak-moyak. Sejak itu, tiada lagi para penduduk yang mencoba menentang kehendak orang-orang Ular Hitam. Mereka pasrah terhadap kenyataan yang ada. Mereka hanya dapat menangis dan mengurut dada  jika  istri  atau anak perawan mereka dibawa oleh orang-orang Ular Hitam, tanpa melakukan perlawanan sedikit juga.

“Mudah-mudahan Yang Kuasa menurunkan  seo- rang juru selamat untuk menentang kelaliman mere- ka!” demikian doa para penduduk  jika  orang-orang Ular Hitam mulai turun ke perkampungan untuk men- cari mangsa.

Melihat penduduk kampung Sungai Liat yang tidak berdaya dan takut terhadap orang-orang Ular Hitam, maka mereka pun semakin senang. Malah tingkah- polah mereka semakin menjadi. Kalau dulu mereka mengambil keuntungan dengan cara meminjamkan uang, maka sekarang pinjaman itu dihilangkan. Hanya pada orang-orang tertentu saja mereka meminjamkan uang. Seperti warung-warung nasi atau beberapa pen- duduk lain yang mempunyai anak gadis. Selain itu me- reka langsung mengambil harta para penduduk. Baik berupa hasil tani maupun perkebunan. Bila mereka mempertahankan barang-barang yang dimintanya, maka secepat kilat orang-orang Ular Hitam menghabisi nyawa mereka dengan keji.

Siang itu, Yang Seng kelihatan sedang duduk di se- buah dipan di depan rumahnya. Sambil mengisap ro- kok cerutu, ia terus bermain-main dengan pikirannya. Sesekali menyungging senyuman puas dari wajahnya yang cerah.

Apa lagi yang harus aku lakukan? Kewibawaanku di sini telah terlihat dengan jelas. Semua penduduk akan pucat dan bergetar bila melihatku, bagai orang kehi- langan darah. Kalau aku keluar, semua orang akan berhenti berjalan. Lalu berdiri dan membungkuk hor- mat padaku. Apa saja yang aku minta mereka selalu memberi dengan cepat. Ikhlas atau  tidak  pemberian itu, aku tidak peduli. Yang penting bagiku, mereka tunduk dan taat kepadaku. Serta memberikan apa saja yang aku minta! Yang Seng berkata sendiri pada ha- tinya. Lalu ia pun tersenyum puas karena keinginan- nya selama ini untuk menguasai penduduk kampung Sungai Liat telah terlaksana.

Sedang asyiknya ia bercakap-cakap dengan  batin dan pikirannya, tiba-tiba muncul lima belas anak buahnya. Dengan gerakan reflek, ia meloncat dari du- duknya. Lalu berdiri tegang memandang anak  buah- nya yang melangkah takut-takut. Terutama pada dua orang yang sedang membimbing tubuh Aloy, pemimpin pasukan kapal barang miliknya.

“Kenapa dia?” tanya Yang Seng sambil melihat ta- ngan kanan Aloy yang putus terkena sabetan pedang Bongkap.

Beberapa anak buahnya menggigil ketakutan. Apa- lagi ketika melihat mata Yang Seng yang tajam dan be- ringas memandang mereka satu persatu.

Melihat anak buahnya diam saja, Yang Seng sema- kin marah. Lalu ia mendekati anak buahnya dengan wajah tegang.

“Kenapa kalian diam?!” bentak Yang Seng dengan mata melotot dan suara yang menggelegar.

“Ada bajak laut yang menghadang kami, Tuanku,” lapor seorang anak buahnya yang sedang memegangi tubuh Aloy yang tak berdaya.

“Hm...,” Yang Seng geram.

“Setelah kapal kami dirapatkan oleh kapal pemba- jak itu, mereka segera berloncatan ke dalam kapal dan meminta barang-barang Tuanku,” lanjut anak buah- nya itu.

“Terus?”

“Kami mempertahankannya, Tuanku. Lalu kami melakukan serangan terhadap mereka. Tapi serangan kami tiba-tiba terhenti melihat tangan Aloy yang putus dari badannya. Ia dibacok oleh pemimpin  bajak  laut itu. Sedangkan sepuluh orang dari kami mati bersim- bah darah tertebas oleh pedang para pembajak,” kata anak buahnya menjelaskan.

“Bodoh! Kalian bodoh semuanya!” bentak Yang Seng dengan mata merah menahan marah. Sedangkan urat- urat di keningnya tampak menonjol keluar karena be- rang. Ia benar-benar marah karena orang yang menja- di andalannya dibuat tak berdaya.

“Siapa nama pemimpin perampok itu?” tanya Yang Seng dengan suara menghardik.

“Kalau tidak salah namanya Bongkap,” jawab seo- rang anak buahnya.

“Bongkap?” tanya Yang Seng sambil mengingat- ingat. Sedangkan anak buahnya terdiam dengan hati cemas.

“Berapa orang jumlah mereka?” tanya Yang Seng. Suaranya agak rendah, namun tekanannya masih me- ngandung kemarahan.

“Sepuluh orang, Tuanku,” sahut seorang anak buahnya yang lain.

“Sepuluh orang?” tanya Yang Seng membelalakkan matanya lantaran kaget. “Kalian yang berjumlah dua puluh orang kalah dengan lawan yang hanya sepuluh orang?”

“Mereka tangguh-tangguh, Tuanku.”

“Itu bukan alasan!” bentak Yang Seng marah. Ma- tanya menatap pada anak buahnya dengan tajam se- perti meneliti. “Kalian tahu bahwa dengan kalahnya Aloy, berarti telah mencoreng arang di mukaku!” ben- tak Yang Seng lagi.

Kesembilan anak buahnya yang masih selamat tampak menunduk, tak berani menatap mata  Yang Seng.

“Baru kali ini ada orang yang berani melawan Partai Persatuan Ular Hitam. Bahkan sempat menjatuhkan orang kepercayaanku,” gerutu Yang Seng dengan wa- jah menegak angkuh.

“Besok kalian harus berangkat mencari para peram- pok itu. Tebus kekalahan kalian!” tegas Yang Seng. Kembali ditatapnya anak buahnya satu persatu.

Kesembilan anak buahnya terdongak kaget. Lalu saling menatap satu sama lain.

“Kenapa? Takut?” tanya Yang Seng dengan wajah serius.

“Bagaimana mungkin kami mampu, Tuanku. Ke- cuali jumlah pasukan ditambah lagi,” jawab seorang anak buahnya.

Mendengar ucapan anak buahnya, Yang Seng ter- tawa terbahak-bahak.

“Apa kalian pikir aku tega membiarkan kalian me- nyerang sendiri tanpa pengawalanku?”

“Jadi, Tuanku ikut serta?”

“Ya. Akan kuhadapi pemimpin perampok yang ber- nama Bongkap itu. Aku ingin melihat batang hidung- nya,” kata Yang Seng, membuat anak buahnya  agak lega.

***

Bongkap bersama para pengawalnya baru pulang berlayar. Mereka satu persatu sibuk menurunkan ba- rang-barang hasil rampokannya. Kemudian barang- barang rampokan yang masih terbungkus peti itu se- gera diangkut ke markas Bongkap.

“Letakkan barang-barang itu di sini!” perintah Bongkap setelah membuka gudang yang selama ini tak pernah disentuhnya. Karena selain banyak debu juga disebabkan letaknya agak menyudut di belakang. Se- hingga tidak begitu terlihat.

Anak buahnya memasukkan peti-peti barang itu dengan segera.

“Ayo, cepat. Jangan sampai nanti putriku tahu!”  se- ru Bongkap lagi. Sementara matanya mengawasi cara kerja anak buahnya. Setelah peti-peti barang itu tersu- sun rapi di dalam gudang, Bongkap segera me- nguncinya kembali dan mengajak anak buahnya ke- luar.

“Aku akan ingatkan sekali lagi pada kalian agar ja- ngan membocorkan perbuatan kita semalam. Apalagi sampai terdengar ke telinga putriku. Kalau ini terjadi, pedangku yang akan berbicara!” ancam Bongkap, memperingatkan anak buahnya.

“Segala kehendak Bongkap akan kami laksanakan!” sahut anak buahnya sambil menunduk hormat

“Sekarang, laksanakan tugas kalian seperti biasa!” perintah Bongkap lagi.

“Siap. Kami laksanakan!” sahut anak buahnya yang berdiri hormat. Lalu mereka berpencar menuju tempat kerja mereka masing-masing.

Setelah anak buahnya tidak terlihat dari panda- ngannya, Bongkap masuk ke dalam untuk menemui putrinya. Dibuka pintu kamar  putrinya  perlahan- lahan. Di pembaringan, Bongkap melihat putrinya se- dang menelungkupkan tubuh di kasur. Bahunya ber- guncang naik-turun menahan tangis.

Bongkap segera menghampiri. Ia terkejut ketika mendengar isak tangis putrinya. Kemudian, perlahan- lahan Bongkap menyentuhkan telapak tangannya pada kepala Bong Mini dengan lembut lalu mengusap- usapnya.

Bong Mini merasakan usapan tangan Bongkap yang lembut itu. Lalu kepalanya mendongak untuk meman- dang siapa yang mengusap-usap kepalanya dengan lembut itu.

“Papa?” keluh Bong Mini dengan air mata berderai. Ia menjatuhkan kepalanya dalam  pangkuan  papanya. Ia menangis tersedu-sedu.

“Ada apa, Sayang?” tanya Bongkap sambil memeluk kepala putrinya dan terus membelai-belainya dengan penuh kasih sayang.

Bong Mini tidak segera menjawab. Ia masih asyik dengan tangisnya.

“Apa yang terjadi, Sayang?” ulang Bongkap lagi dengan suara berbisik di telinga Bong Mini.

“Saya teringat mama,” sahut Bong Mini di sela isak tangisnya.

“Sudahlah. Jangan terus mengingatnya. Mamamu sudah tenang hidup di alam lain,” bujuk Bongkap de- ngan suara yang lembut.

“Saya belum bisa melupakannya, Papa,” desah Bong Mini mengangkat wajahnya serta memandang Bong- kap.

“Memang tidak mudah untuk  melupakan  orang yang kita cintai. Apalagi dia mamamu, istri papa juga. Tapi jangan sampai hal itu menghanyutkan perasaan kita. Sehingga kita terus terselubung dalam suasana duka dan tangis,” tutur Bongkap, menasihati putrinya. Bong Mini diam. Sedangkan punggung jari  telun- juknya mengusap sisa-sisa air mata yang masih sem-

pat mengalir di pipinya yang nampak merah merona.

Sesungguhnya Bongkap  sendiri  mengakui  bahwa dirinya pun masih mengingat-ingat Sinyin, istri yang dicintainya itu. Tetapi setiap kali bayangan istrinya muncul, Bongkap selalu berusaha menghilangkannya dengan cara menyibukkan diri dengan pekerjaan. Ia tidak ingin menitikkan air mata terlalu lama. Sebab menurutnya, air mata itu akan meluluhkan ketega- rannya sebagai seorang lelaki. Namun kala ia rindu sendiri terhadap istrinya, Bongkap selalu mengunjungi Bong Mini dan memandang wajah putrinya itu lama sekali. Wajah Bong Mini memang sangat mirip dengan wajah istrinya, Sinyin.

“Kematian mamamu memang sangat meluluhkan hati kita. Tapi kita harus berusaha tegar menghada- pinya. Apalagi kamu sebagai calon pendekar wanita yang akan menggegerkan seluruh penghuni jagat ini,” lanjut Bongkap mengangkat dagu putrinya.

Bong Mini memandang papanya dengan tatapan mata sendu. Tapi kemudian ia tersenyum manis.

Bongkap gembira melihat gadis cantik yang dis- ayanginya itu dapat tersenyum. Kemudian ia meme- luknya dengan penuh cinta dan kasih sayang.

“Papa,” desah Bong Mini dalam pelukan papanya. “Hm...? Ada apa?”

“Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan,” kata Bong Mini melepaskan pelukannya.

Bongkap mengerutkan kening. Baru kali ini ia men- dengar putrinya hendak bertanya. Padahal selama ini putrinya tak pernah menanyakan sesuatu. Bila sedang berlatih silat pun, Bong Mini tak pernah banyak ber- tanya. Ia hanya diam dan mendengarkan nama-nama jurus silat yang diajarkan papanya.

“Semalam saya terbangun,” lanjut Bong Mini. “Ke- mudian saya keluar untuk menemui Papa. Tapi ketika sampai di kamar, saya tidak mendapatkan Papa,” Bong Mini menghentikan ucapannya sejenak. Mengulum bi- birnya yang selalu basah itu dengan lembut

“Setelah mengetahui Papa tidak ada di kamar, saya mencarimu lagi di luar. Namun di luar pun saya tidak melihat Papa berikut para pengawal. Lalu saya tanya- kan kepada para dayang, tetapi mereka juga mengata- kan tidak tahu ke mana Papa pergi,” Bong Mini meng- hentikan ceritanya.

Bongkap yang mendengar ucapan Bong Mini agak tersentak juga. Ia khawatir apa yang dilakukan bersa- ma anak buahnya diketahui putrinya.

“Ke mana sih, Papa semalam?” tanya Bong Mini dengan tatapan mata meneliti.

Bongkap menghela napas sambil mencoba ter- senyum pada putrinya.

“Papa tidak ke mana-mana. Papa mengajak para pengawal untuk keliling kampung. Khawatir kalau ada penduduk kampung yang kurang aman,” jawab Bong- kap berdusta.

“Sampai pagi-pagi begini?” tanya Bong Mini sete- ngah tidak percaya.

“Ya. Karena sepulang dari keliling kampung, papa dan para pengawal pergi ke pantai. Di sana, selain pa- pa menikmati udara pantai, juga melihat-lihat kapal. Khawatir ada kerusakan-kerusakan yang harus digan- ti,” jawab Bongkap berusaha  meyakinkan  putrinya agar percaya. Walaupun hati kecilnya merasa bersalah karena telah membohongi putrinya sendiri.

Bong Mini mengangguk-angguk. Penjelasan papa- nya bisa dimengerti.

“Kamu sudah percaya dengan penjelasan papa?” tanya Bongkap sambil menatap wajah putrinya lekat- lekat. Khawatir kalau ceritanya itu tidak dipercayai Bong Mini. “Saya percaya, Papa,”  sahut  Bong  Mini cepat.  “Ta- pi ”

“Tapi apa, Sayang?” potong Bongkap cepat.

Bong Mini tersenyum manis sambil merebahkan kepalanya di pundak papanya dengan sikap manja.

“Tapi apa, hm  ?” tanya Bongkap seraya mengusap-

usap kepala putrinya.

“Ng..., Papa percaya tidak sama mimpi?” Bong Mini balik bertanya, sementara tangannya memainkan tali baju pangsi papanya.

“Kadang-kadang percaya, kadang tidak,” jawab Bongkap.

“Lho, kok begitu?” Bongkap tersenyum.

“Karena mimpi pun ada yang benar, ada juga yang tidak,” jawab papanya menjelaskan.

Bong Mini mengangguk-angguk mengerti.

“Kenapa tiba-tiba membicarakan soal mimpi?” tanya Bongkap. “Apa semalam kamu mimpi?”

“Benar, Papa!” jawab Bong Mini cepat. “Hm , mimpi apa?”

“Mimpi bertemu dengan mama,” kata Bong Mini sembari mengangkat kepalanya dari sandaran pundak Bongkap. Lalu kakinya melangkah perlahan menuju jendela kamar. Dikuakkannya pintu jendela kamar itu lebar-lebar, sehingga semilir angin pun berhembus ke dalam ruangan kamar.

“Hm , terus?” tanya Bongkap ingin tahu.

“Dalam mimpi itu, mama tersenyum kepada  saya dan menghampiri. Kemudian mama berpesan kepada saya agar bisa menjaga diri dan menjaga Papa.”

“Menjaga papa?” tanya Bongkap agak terkejut. Ia merasa aneh kenapa justru anaknya yang dipesan un- tuk menjaga dirinya, bukan sebaliknya. “Ya, Papa,” sahut Bong Mini sambil membalikkan badan lalu memandang wajah papanya yang nampak masih keheranan. “Saya disuruh menegur Papa jika berbuat salah.”

Bongkap benar-benar terkejut mendengar cerita Bong Mini. Mimpi putrinya semalam itu seperti petun- juk buat Bong Mini. Sebab bertepatan dengan mim- pinya itu, dia sedang melakukan perampokan terhadap sebuah kapal barang saudagar.

“Kenapa, Papa?” tanya Bong Mini ketika melihat wa- jah papanya berubah seperti keheranan.

“Ah, tidak. Tidak apa-apa,” sahut Bongkap cepat. Namun sikapnya agak gugup. Dan  itu  jelas  terlihat oleh Bong Mini.

Bong Mini menghampiri papanya. Lalu berjongkok dengan kedua tangan menyentuh lutut papanya.

“Papa kelihatan gugup?” hati-hati Bong Mini berka- ta. Khawatir kalau pertanyaannya itu mengundang kemarahan lelaki yang amat dicintainya. Tapi yang dikhawatirkan itu tidak terjadi. Malah dengan lunak papanya mengusap-usap kepala Bong Mini.

“Papa gugup karena merasa heran,” jawab Bongkap. “Kenapa justru kamu yang disuruh menjaga papa?”

Bong Mini tersenyum. Dan senyumnya kali ini begi- tu lembut dan manis. Mirip senyum mamanya ketika masih hidup.

“Ketika masih hidup mama pernah bilang pada saya bahwa lelaki itu setiap melakukan sesuatu selalu de- ngan pikirannya. Sedangkan perempuan bertindak dengan perasaannya,” kata Bong Mini, menceritakan kembali apa yang  pernah dikatakan  mamanya  ketika ia mulai beranjak remaja. Dan kata-kata mamanya itu selalu ia ingat sampai sekarang.

Bongkap mengangguk-angguk.  Ia  mulai  mengerti makna mimpi Bong Mini itu. Mungkin putrinya dis- uruh menjaga dirinya untuk mengimbangi tindakan- nya yang selama ini selalu mengandalkan pikirannya, tanpa disaring dengan perasaan yang ada.

“Tapi itu hanya mimpi kan, Pa?” desah Bong Mini. Bibirnya tersenyum, menghibur papanya. Ia tidak ingin kalau mimpi itu menjadi beban pikiran papanya berha- ri-hari.

Bongkap tersenyum cerah. Lalu kedua tangannya yang kekar itu kembali memeluk putrinya dengan pe- nuh kasih sayang.

***

4

Pagi yang cerah.

Matahari telah menampakkan dirinya di ufuk timur. Cahayanya yang kuning pucat memancar terang ke wajah bumi. Seakan memberi peringatan kepada selu- ruh penghuni dunia untuk kembali melakukan tugas- nya sehari-hari.

Di pagi yang cerah itu, Bong Mini telah rapi berpa- kaian. Baju dan stelan celana panjang yang berwarna biru cerah tampak melilit tubuhnya dengan ketat. Per- paduan antara kulitnya yang langsat dengan warna pakaiannya yang merah cerah menjadikannya bertam- bah cantik. Apalagi rambutnya yang sebatas bahu di- biarkan bebas lepas, membuatnya semakin  menarik dan terlihat dewasa.

Bong Mini tersenyum-senyum melihat penampilan- nya di muka cermin. Terkadang tubuhnya berputar ke kiri dan kanan untuk meneliti bagian-bagian pakai- annya yang kurang rapi. Setelah merasa  yakin  tidak ada kekurangan, ia pun  segera  mengambil  pedang yang terpampang di sudut kamar dan menyelipkannya di punggung. Lalu ia pun segera keluar kamar untuk menemui papanya.

Dengan wajah cerah berseri, putri Tiongkok yang berumur enam belas tahun itu melangkah menuju ka- mar papanya. Namun ketika pintu kamar itu dikua- kkan, tidak dilihatnya siapa pun di kamar itu. Dengan hati-hati ia kembali menutup kamar papanya dan me- langkah ke ruang depan. Siapa tahu papanya ada di sana, begitu pikirnya. Tetapi sampai di ruang depan ia pun tidak melihat papanya.

Ke mana, ya?  Pikirnya  berdiri tercenung. Mungkin di belakang! Lanjut Bong Mini sambil terus melangkah menuju belakang rumahnya.

Sesampainya di pekarangan belakang, Bong Mini melihat papa dan beberapa orang pengawalnya sedang meneliti beberapa ekor kuda.

“Papa!” seru Bong Mini sambil berlari kecil. Sedang- kan bibirnya tampak tersenyum manis.

Bongkap dan para pengawalnya segera menoleh ke arah Bong Mini. Mereka tercengang sambil berpanda- ngan. Terlebih lagi dengan Bongkap. Ia seolah-olah ti- dak percaya kalau gadis mungil yang berpakaian war- na merah cerah dengan pedang di punggungnya itu adalah putrinya. Ini dikarenakan penampilannya yang berbeda dengan hari biasanya. Segar, cantik, dan lin- cah.

“Lho, kok pada termangu?” tanya Bong Mini setelah berada di dekat papanya. Sepasang matanya yang hi- tam gemerlap, memandang papa dan para pengawal- nya secara bergantian.

Mendapat teguran putrinya itu, Bongkap tersentak sadar. Lalu ia merubah sikapnya dengan tersenyum lunak pada Bong Mini.

“Sungguh luar biasa anak papa ini!” Bongkap ber- decak kagum. Matanya terus memandang putrinya tanpa berkedip.

“Memangnya kenapa, Pa?” tanya Bong Mini dengan suara yang manja.

“Hari ini putri papa cantiknya bukan main. Mau ke mana, hm...?” puji Bongkap sambil bertanya.

Bong Mini senyum tersipu-sipu mendapat pujian papanya yang langsung itu. Dengan wajah menunduk ia menjawab, “Saya mau jalan-jalan, Papa!”

“Jalan-jalan ke mana?” tanya Bongkap.

“Hanya sekitar sini, Papa. Bukankah  selama tinggal di sini saya belum melihat keadaan di luar?” kata Bong Mini dengan sikap manja.

“Hm...,” gumam Bongkap setengah berpikir. “Boleh ya, Papa?” Bong Mini mendesak.

“Tapi jangan jauh-jauh, ya?” Bongkap akhirnya mengizinkan.

“Ya, Papa,” sahut Bong Mini dengan wajah gembira. Lalu mendekati papanya dan mencium kedua pipinya. “Terima kasih, Papa!” kata Bong Mini seraya melang- kah. Tapi ketika baru dua langkah, papanya menahan dengan pertanyaan.

“Tidak bawa pengawal?”

“Idih, Papa. Memangnya saya anak kecil lagi,” sahut Bong Mini sembari mendelikkan mata sehingga terlihat lebih indah dan cantik.

Bongkap tersenyum mendengar jawaban putrinya. “Bukan apa-apa. Gadis cantik sepertimu biasanya

suka banyak yang ganggu.”

“Jangan khawatir. Saya bisa melayaninya dengan jurus-jurus yang Papa ajarkan,” jawab Bong  Mini se- raya tersenyum.

Bongkap tertawa. Dia senang melihat sikap putrinya yang demikian berani.

“Sudah ya, Pa. Saya pergi dulu,” ucap Bong Mini. Tubuh mungilnya melompat ke punggung kuda dan menghelanya sehingga keluar meninggalkan halaman rumah. Diiringi oleh tatapan Bongkap yang masih ter- senyum-senyum kagum.

Beberapa menit setelah Bong Mini hilang dari pan- dangannya, Bongkap segera memanggil para penga- walnya yang ikut merampok kemarin malam.

Para pengawal yang dipanggilnya itu segera datang seraya memberi hormat.

“Ada apa, Tuanku?” tanya salah seorang pengawal, mewakili teman-temannya.

“Coba dua atau tiga orang di antara kalian pergi gu- dang yang semalam dan bawa dua peti ke sini!” perin- tah Bongkap.

“Baik, Tuanku!” sahut pengawal tadi, lalu memberi- kan isyarat kepada dua orang  temannya  untuk  pergi ke gudang penyimpanan barang-barang.

Mendapat isyarat itu, dua orang temannya segera melangkah ke dalam. Tidak lama kemudian mereka kembali lagi dengan membawa dua buah peti hasil rampokan semalam.

“Coba langsung dibuka!” perintah Bongkap ketika kedua peti itu diletakkan di hadapannya.

Kedua pengawal yang membawa peti tadi segera membukanya. Dan mereka sangat terkejut ketika peti itu telah terbuka.

“Apa isinya?” tanya Bongkap ketika melihat keterke- jutan anak buahnya.

“Isinya emas, Tuanku!” sahut seorang  pengawal yang membuka peti itu, memberitahukan. Para pengawal lainnya tersentak gembira ketika mendengar pemberitahuan temannya itu. Sedangkan Bongkap dengan langkah tenang menghampiri  peti yang terletak beberapa meter di hadapannya.

“Hm...,” gumam Bongkap kagum. Lalu ia membung- kukkan badan dan mengambil seraup emas. Diperha- tikannya emas yang tergenggam pada tangannya itu lebih dekat lagi.

“Ambilkan kantong kain!” perintah Bongkap lagi.

Dua orang pengawal tadi segera bergegas ke dalam untuk mengambil kantong kain yang dibutuhkan Bongkap. Kemudian mereka kembali lagi dan me- nyerahkan setumpuk kantong kain kepada Bongkap.

Bongkap mengambil kantong kain itu dan meng- isinya satu persatu dengan emas yang ada dalam peti tadi.

Setelah semua kantong kain itu terisi oleh emas, Bongkap melemparkannya satu persatu ke arah para pengawalnya.

“Ini jatah kalian pada setiap satu peti emas,” ujar Bongkap memberitahukan.

Para pengawal itu menerimanya dengan wajah gem- bira.

“Sedangkan sisa kantong-kantong ini akan kita ba- gikan kepada para rakyat yang menderita kemiskinan,” lanjut Bongkap memberitahukan. “Dan tentunya isi kantong-kantong ini setengah dari isi  kantong  yang ada di tangan kalian!”

Para pengawal itu memperhatikan isi kantongnya masing-masing. Kemudian membandingkan dengan kantong yang ada di tangan rajanya. Dan ternyata isi kantong yang ada di tangan para pengawal itu memang lebih banyak daripada isi kantong emas yang akan di- bagikan kepada rakyat. Hal ini dilakukan Bongkap dengan pertimbangan bahwa para pengawalnya telah berjasa membantunya dalam melakukan perampokan.

“Nah, selagi putriku sedang keluar, secepatnya kita bagikan hasil rampokan ini kepada rakyat,” kata Bongkap lagi. Lalu kakinya segera melangkah menuju kudanya, diikuti oleh para pengawalnya yang setia.

“Ashiong dan Achen saja  yang  ikut  bersamaku. Yang lainnya tetap berjaga-jaga di sini,” sergah Bong- kap dari atas punggung kudanya.

Para pengawal lain yang sudah hendak menung- gang kuda, mengurungkan niat dan kembali ke tempat tugas mereka. Hanya Ashiong dan Achen saja yang menyertai Bongkap.

***

Di bawah terik matahari yang menyengat, seorang gadis berumur enam belas tahun berpakaian merah yang membungkus tubuhnya serta bertudung topi di kepalanya, tampak tengah menunggang kuda dengan tenang. Pandangan matanya menyebar pada rumah- rumah penduduk yang sebagian berbentuk rumah panggung.

Gadis cantik itu tidak lain putri Bong Mini. Dia baru saja mengadakan perjalanan untuk melihat keadaan kampung-kampung yang berada di bawah kekuasaan papanya. Sesekali ia pun mengadakan percakapan dengan para penduduknya. Dalam  percakapan  itu Bong Mini mendapat kesan bahwa penduduk yang be- rada di bawah kekuasaan papanya tengah dilanda ke- miskinan. Malah sebagian penduduk yang ditemuinya banyak menderita kelaparan, karena sawah dan la- dangnya mengalami kekeringan akibat musim kema- rau.

Melihat kenyataan itu, sebagai gadis yang mempu- nyai perasaan halus, Bong Mini merasa iba hatinya. Sehingga perbekalan uang yang ia bawa, sebagian te- lah diberikan kepada para penduduk yang benar-benar sedang kelaparan.

Di lain pihak, hatinya pun turut terhibur manakala melihat para penduduk bersikap sopan kepadanya. Malah tidak sedikit di antara mereka yang bersikap berlebihan. Misalnya, kalau ia berjalan banyak para penduduk di sekitarnya menyingkir memberi jalan sambil membungkukkan badan padanya sebagai tanda hormat. Karena sebagian dari mereka tahu bahwa ga- dis asing bermata sipit dan berwajah cantik itu adalah seorang anak raja yang baru. Raja yang mempunyai banyak perhatian kepada rakyatnya.

Sebagai gadis yang rendah hati, Bong Mini merasa keberatan dengan sikap hormat penduduk yang berle- bihan itu. Ia tidak ingin penghormatan yang berlebihan itu hanya karena ia seorang putri raja. Justru hal itu yang ingin ia jauhi. Ia hanya ingin dihormati kalau penduduk itu kagum karena perilaku yang ditampil- kannya sendiri. Bukan karena pengaruh papanya se- bagai raja di negeri Selat Malaka ini. Oleh karena itu ia terkadang memberikan pengertian kepada penduduk untuk tidak menghormatinya secara berlebihan karena didatangi seorang putri raja.

“Hormatilah aku sebagai manusia biasa tanpa di- hubungkan dengan kebesaran nama papaku!”  kata Bong Mini, memberikan pengertian pada para pendu- duk pada suatu kali.

Sedang santainya Bong Mini menunggang kuda, ti- ba-tiba telinganya mendengar tangisan seorang anak kecil. Tangisan anak itu begitu menyayat hatinya. Dengan rasa ingin tahu, Bong Mini turun dari pung- gung kuda dan menghampiri rumah, di mana terde- ngar tangisan anak itu. Di dalam rumah itu, Bong Mini melihat seorang perempuan tua sedang memeluk dan membujuk anak perempuannya yang menangis.

Bong Mini terharu menyaksikan adegan kedua ibu beranak itu. Lalu dengan langkah perlahan ia men- dekat lalu duduk di sebelah perempuan tua itu.

“Kenapa dia, Bu?” tanya Bong  Mini pelan. Perempuan tua yang tengah memeluk anak perem-

puan itu menoleh pada Bong Mini sekilas. Ternyata pe- rempuan tua itu pun turut menangis. Terlihat dari ke- dua pipinya yang keriput dibanjiri air mata.

“Cucuku minta makan,” sahut perempuan tua itu dengan suara gemetar menahan tangis.

“Memangnya tidak ada makanan?” tanya Bong Mini. Perempuan tua itu menggeleng lemah.

“Sudah dua hari ini kami tidak makan nasi. Se- dangkan jagung pun telah habis kami makan  kema- rin,” perempuan tua itu menjelaskan.

Bong Mini benar-benar terharu mendengar penutu- rannya. Tanpa disadarinya, dua bulir air mata bergulir membasahi kedua belah pipinya. Cepat-cepat  Bong Mini mengambil perbekalan makanan yang sengaja ia bawa ketika berangkat dari rumahnya tadi. Kemudian diberikannya perbekalan itu kepada  perempuan  tua itu.

Betapa gembiranya wajah perempuan tua itu mene- rima pemberian Bong Mini. Walaupun makanan itu hanya cukup untuk dimakan cucunya.

“Tenang. Berhentilah menangis, Cucuku. Ini ada makanan untuk mengganjal perutmu yang sakit,” bu- juk perempuan tua itu sambil cepat-cepat membuka kain pembungkus makanan. Setelah itu diberikannya makanan pemberian Bong Mini itu kepada cucunya.

Anak perempuan yang menangis itu, yang berumur sekitar empat belas tahun, segera mengambil makanan yang diberikan neneknya dengan tangan gemetar kare- na sejak kemarin sore menahan lapar. Dinikmatinya makanan itu dengan lahap. Sehingga dalam waktu singkat, makanan yang ada dalam rantang itu habis tanpa sisa.

Bong Mini tersenyum haru karena makanan yang dibawanya itu tidak sia-sia.

“Terima kasih, Non   ”

“Mini. Nama saya Bong Mini,” potong Bong Mini memperkenalkan namanya.

“Ya, terima kasih, Non Mini,” ucap  perempuan  tua itu sambil meneliti keadaan pakaian Bong Mini yang terlihat begitu bagus. Matanya berbinar kagum. Apa- lagi ketika melihat sebilah pedang yang terselip di punggung Bong Mini.

“Nona Mini seorang pendekar?” tanyanya, langsung menebak.

Bong Mini tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Saya perempuan biasa, Nek,” sahut Bong Mini. “Tapi biasanya kalau perempuan menyandang sebi-

lah pedang di punggungnya, itu berarti ia seorang pen- dekar,” kata perempuan tua itu lagi.

“Mungkin. Tapi saya bukan pendekar,” elak Bong Mini merendah.

“Tapi pedang itu?” tanya perempuan tua itu sambil menunjuk ke arah pedang yang disandang Bong Mini.

Bong Mini lagi-lagi tersenyum padanya.

“Pedang ini hanya untuk membela  diri.  Khawatir ada orang jahat yang mengganggu,” jawab Bong Mini.

Perempuan tua itu mengangguk-angguk. Namun hatinya tetap mengatakan kalau wanita muda dan cantik di sisinya adalah seorang pendekar.

“Benar, Non  Mini.  Sekarang  ini  kalau  kita  keluar mesti hati-hati!” ujar perempuan tua itu setengah memperingatkan.

“Memangnya kenapa, Nek?” Bong Mini ingin tahu. “Kampung ini telah dimasuki oleh perampok-peram-

pok yang bertopeng dermawan,” jawab perempuan tua itu menjelaskan.

“Maksud Nenek?” tanya Bong Mini tidak mengerti. “Mereka berpura-pura menjadi dermawan yang

memberikan pinjaman uang. Tapi kalau kita tidak me- lunasi pinjaman bersama bunga yang telah ditentukan tepat pada waktunya, mereka akan menjarah harta benda yang kita miliki. Tapi kalau  kita  mempunyai anak gadis yang cantik, maka anak gadis kita akan di- bawa pulang oleh mereka sebagai pembayar hutang,” tutur perempuan itu menjelaskan.

Mendengar cerita perempuan tua itu, emosi Bong Mini menjadi bergejolak. Darahnya mendidih, mema- naskan sifat kependekarannya. Sedangkan matanya yang tadi lembut, berubah berkilat-kilat sebagai tanda kemarahannya.

Sejak kematian mamanya di tangan seorang pang- lima, Bong Mini menjadi sangat benci terhadap kaum lelaki. Jangankan bercakap-cakap, melihatnya pun ia sudah tidak sudi. Kematian mamanya yang begitu tra- gis telah membunuh nurani kasihnya terhadap kaum lelaki. Hanya papanya satu-satunya lelaki yang ia ka- sihi. Karena selain papa yang mendidik dan membe- sarkannya, ia juga sangat mengerti sifat papanya yang lembut dan penuh kasih sayang terhadap mamanya ketika masih hidup. Termasuk pada dirinya sendiri. Padahal di luar keluarganya, papanya akan berubah sikap menjadi garang dan sadis. Bahkan dijuluki seba- gai singa perang ketika masih mengabdi di Kerajaan Manchuria. “Jahanam!” umpat Bong Mini tanpa sadar, menang- gapi cerita perempuan tua itu.

“Ada apa, Non?” tanya perempuan  tua  itu  kaget. “Ah, tidak. Tidak apa-apa,” jawab Bong Mini cepat

sambil memperlihatkan sikap lembutnya. Kemudian ia bangkit dari duduknya dan berdiri tegak sebagaimana seorang pendekar.

“Ini untuk Nenek,” kata Bong Mini lagi seraya mem- berikan beberapa keping uang yang diambilnya dari balik baju.

Perempuan tua itu menerima pemberian uang dari Bong Mini dengan perasaan gembira. Sehingga sampai beberapa kali ia mengucapkan terima kasih kepada Bong Mini.

“Saya permisi dulu, Nek. Lain kali saya mampir la- gi,” ucap Bong Mini. “O, ya. Nama adik siapa?” tanya Bong Mini pada gadis kecil yang tadi menangis.

“Namaku Thong Mey,” ucap gadis kecil itu. Dia seo- rang anak yang dilahirkan dan dibesarkan  di tempat itu.

“Baiklah Thong Mey, saya pergi dulu. Lain kali kita bertemu lagi!” kata Bong Mini. Setelah itu ia pun me- langkah keluar, kemudian melesat cepat bersama ku- danya.

Tanpa terasa ia sudah jauh berlalu dari tempat tadi. Kini ia sampai di Kampung Dukuh yang cukup ramai penduduknya. Di sana dilihatnya dua kedai yang ja- raknya agak berjauhan. Kemudian  Bong  Mini  masuk ke salah satu kedai yang letaknya begitu menyudut tersendiri.

Kedai itu sepi. Tak seorang pun terlihat di situ. Ke- cuali sepasang suami istri pemilik kedai yang sedang duduk lesu di belakang meja makan. Ketika melihat Bong Mini masuk ke dalam kedainya, pasangan suami istri itu segera berdiri menyambutnya dengan wajah gembira. Seolah sejak pagi mereka belum menda- patkan langganan.

Dengan sikap ramah Bong Mini mendekati mereka untuk memesan makanan. Setelah itu ia pun duduk pada sebuah bangku yang terletak agak menyudut.

Tidak lama kemudian, makanan yang dipesannya telah diantar oleh seorang pemilik kedai itu dan mena- ruhnya, di atas meja.

“Terima kasih,” ucap Bong Mini. Lalu ditariknya pi- ring nasi pesanannya dan menyantapnya dengan pe- nuh kenikmatan.

Sedang asyiknya ia menyantap makanan, tiba-tiba masuk empat lelaki dengan golok terselip di pinggang- nya masing-masing. Mereka datang ke situ dengan si- kap kurang sopan. Tiga orang yang  berwajah  hitam dan berkumis langsung mendekati pemilik kedai. Se- dangkan seorang lagi hanya duduk mengangkat kaki di kursi. Sedangkan pedang yang  dibawanya  diletakkan di atas meja.

Yang satu itu nampaknya bukan asli orang sini, gumam Bong Mini dalam hati, mengamati lelaki yang membawa pedang. Ia begitu leluasa memperhatikan tingkah laku keempat orang yang tidak dikenalnya. Hal itu disebabkan karena tubuhnya yang mungil tertutup oleh meja makan sampai  sebatas  dada.  Sehingga hanya bagian kepalanya saja yang nampak. Itu pun terhalang oleh tudung yang dikenakannya.

Di balik meja makanan, pasangan suami istri tadi kelihatan merengket ketakutan. Wajah mereka yang tadi berseri-seri ketika menyambut kedatangan Bong Mini, berubah menjadi pucat.

“Kalian tentu sudah tahu maksud kedatangan kami ke sini,” kata seorang dari ketiga lelaki yang meng- hampiri pemilik warung.

“Ya. Ya. Kami..., kami mengerti maksud kedatangan Tuan semua,” sahut pemilik warung yang lelaki.

Ketiga lelaki itu tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban pemilik warung.

“Berarti kalian sudah mempersiapkannya,” ucap seorang dari ketiga lelaki itu setelah menghentikan ta- wanya. Sedangkan dua teman lainnya masih tetap ter- tawa sambil mengambil tempat duduk di dekat pe- mimpin kelompok mereka yang keturunan Tionghoa.

Sepasang suami istri pemilik warung itu saling ber- pandangan takut.

“Heh, kenapa diam?” tanya lelaki yang masih berdiri itu.

“Maaf, Tuan. Saya..., saya belum bisa melunasinya,” mohon lelaki pemilik warung dengan badan gemetar.

“Apa? Belum bisa melunasi?” ulang lelaki itu sambil menggebrak meja di depannya. Karuan saja, nasi, lauk-pauk, dan semua makanan yang ada di situ me- lompat karena getaran. Bahkan sebagian ada yang ter- jatuh ke tanah.

Mendengar gebrakan meja yang demikian kencang, pasangan suami istri itu mundur ketakutan.

“Kalau kalian tidak bisa melunasinya hari ini,  ka- lian harus menyerahkan rumah ini kepada kami,” an- cam lelaki berwajah bengis itu. Lalu ia melangkah dan duduk bersama-sama temannya yang lain.

“Jangan, Tuan. Kalau rumah ini diambil, di mana kami harus tinggal?” iba lelaki tua pemilik warung itu dengan wajah memelas.

“Itu urusan kalian. Yang penting hari ini kalian ha- rus bayar hutang kepada saudagarku. Mengerti?!” ben- tak lelaki beringas itu lagi.

“Tapi...,” kata lelaki tua pemilik warung seraya men- dekat untuk meminta belas kasihan.

“Ah..., sudah!” hardik lelaki tadi sambil mendorong tubuh lelaki tua pemilik warung hingga jatuh.

Melihat suaminya terjatuh, perempuan tua pemilik warung menjerit ketakutan. Sehingga anak gadisnya yang sejak tadi berada di dalam, keluar untuk menge- tahui apa yang terjadi.

Melihat kecantikan gadis yang  keluar  tergopoh-go- poh itu, mata lelaki berwajah bengis tadi  memperhati- kan dengan penuh birahi.

“Rupanya diam-diam kau mempunyai seorang anak gadis juga, Pak Tua,” kata lelaki tadi, masih meman- dangi sang gadis.

Mendengar kata-kata itu, istri pemilik warung sege- ra mendekap anaknya erat-erat. Ia sudah tahu  mak- sud ucapan lelaki itu.

“Pak Tua, hutangmu kubebaskan. Dengan syarat anak gadis itu harus ikut bersama kami,” ucap lelaki bengis itu kembali, disambut gelak tawa teman- temannya.

“Jangan, Tuan. Berilah tempo kepada kami tiga hari lagi. Kami akan melunasi!” pinta lelaki tua pemilik wa- rung sambil menyembah-nyembah.

“Puih! Aku muak dengan tempo yang kamu janjikan itu!” bentak lelaki tadi. Ia bangkit dari duduknya dan menghampiri anak gadis  pemilik  warung  itu.  Diikuti oleh kedua temannya.

“Cantik juga anakmu ini!” seloroh lelaki bengis itu, sementara tangannya menyentuh pipi anak gadis pe- milik warung.

Gadis itu mundur ketakutan sambil memegang erat pinggang ibunya.

“Jangan takut, manis. Kami akan membahagia- kanmu di sana,” kata lelaki tadi sambil memeluk bahu sang gadis, dibantu oleh kedua temannya  sehingga anak gadis itu terlepas dari pelukan ibunya.

“Lepaskan. Jangan ganggu aku!” gadis itu meronta- ronta. Namun usahanya untuk memberontak malah membuat ketiga lelaki itu semakin senang.

Lelaki bermata sipit yang sejak tadi hanya duduk sambil tersenyum melihat tingkah teman-temannya segera bangkit dan menghampiri.

“Bodong, bawa anak gadis itu ke dalam! Ini ba- gianku yang pertama,” ujar lelaki bermata sipit itu.

Lelaki berwajah bengis yang bernama Bodong me- noleh ke arah temannya yang bermata sipit.

“Bukankah ini untuk persembahan saudagar kita?” tanya si Bodong.

“Sekali-sekali saudagar kita mendapatkan ampas- nya tidak apa-apa, bukan?” jawab lelaki bermata sipit, diiringi gelak tawa teman-temannya. Lalu mereka me- narik paksa gadis itu untuk masuk ke dalam kamar.

“Lelaki pengecut! Beraninya hanya pada lelaki tua dan perempuan yang tak berdaya!” tiba-tiba terdengar bentakan seorang perempuan yang tak lain suara Bong Mini yang sejak tadi memperhatikan sepak-terjang keempat lelaki itu.

Laki-laki bermata sipit, Bodong dan kedua teman- nya serentak menoleh ke  sudut  ruangan,  di  mana Bong Mini duduk dengan tenang memperhatikan me- reka.

“He..., rupanya sejak tadi ada perempuan cantik di kedai ini,” kata lelaki sipit dengan mata memperhati- kan Bong Mini. Wajahnya terkagum-kagum karena ke- cantikan Bong Mini.

“Puih!” Bong Mini membuang ludah sebagai tanda kebenciannya. Lalu kakinya melangkah sampai ke de- kat pintu. “Lepaskan perempuan itu!” bentak Bong Mini tegas. Sorot matanya tajam menandakan kemara- hannya.

Mendapat bentakan dari seorang perempuan cantik yang mungil itu, keempat lelaki tadi tertawa terbahak- bahak.

“Tentu..., tentu. Asal Nona bersedia menggantikan- nya,” ledek lelaki bermata sipit, diiringi oleh gelak ta- wa.

“Boleh. Asal bisa melangkahi mayatku!” jawab Bong Mini menantang. Tanpa menunggu lama lagi,  tubuh- nya segera melesat ke luar kedai.

Beberapa saat keempat lelaki itu tercengang melihat lompatan Bong Mini yang demikian ringan  dan  cepat. Tapi tak lama kemudian mereka pun tertawa sambil menghampiri Bong Mini yang sudah berdiri tegak menghadap mereka.

“Rupanya nona cantik ini memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup lumayan,” tukas lelaki bermata sipit itu di sela-sela tawanya.

“Kalian jangan hanya bermulut besar. Majulah  ka- lau memang kalian mengaku sebagai lelaki!” tantang Bong Mini, memancing emosi lawan.

Mendapat tantangan itu, lelaki bermata sipit kem- bali tertawa keras. Begitu pula dengan ketiga teman- nya.

“Aku tidak sampai hati melukai tubuh Nona yang mulus itu. Apalagi tubuh Nona begitu kecil yang ting- ginya hanya setengah dari badan kami,” ucap lelaki bermata sipit itu setengah mengejek.

Betapa marahnya Bong Mini mendapat ejekan se- perti itu. Namun ia mencoba bersikap tenang.

“Jangan banyak bicara, Kecoa Kakus! Ayo,  maju- lah!” tantang Bong Mini.

“Japra, majulah kamu sendiri. Kau pasti bisa meng- gendong gadis mungil itu,” perintah lelaki bermata sipit diiringi gelak tawa kedua temannya.

Bong Mini benar-benar marah. Ia merasa dileceh- kan oleh lawannya. Maka ketika Japra dengan santai hendak memeluknya, Bong Mini segera menyambut dengan sebuah tendangan. Tepat mengenai lehernya. Sehingga Japra terjatuh ke samping.

Ketiga temannya tertawa tergelak-gelak ketika meli- hat Japra terjatuh.

“Ayo bangun, Japra! Masa’ kalah dengan anak ke- cil?!” teriak lelaki bermata sipit.

Japra bangun dengan muka merah. Ia merasa telah dibuat malu oleh gadis yang dianggapnya kecil itu. La- lu ia pun menghampiri dengan sikap hati-hati.

Bong Mini yang sudah dikuasai marahnya kembali menyambut lawannya dengan tendangan tipuan. Lalu disusul dengan tendangan melintir sehingga Japra ter- jatuh agak keras.

Bug!

“Bangsat! Kau tidak boleh dikasih hati rupanya!” ge- ram Japra. Langsung bangun  dan  menerjang  Bong Mini. Tapi Bong Mini memanfaatkan tubuhnya yang mungil. Ia menjatuhkan diri ke depan, lalu berbalik menyerang Japra dengan tendangan yang begitu keras. Tepat mengenai ‘burung’nya.

Tubuh Japra terhuyung ke depan sambil memegan- gi burungnya yang nyaris pecah.

Bug!

Tubuh Japra tersungkur ke tanah. Wajahnya mem- bentur batu dengan keras, sehingga mengeluarkan da- rah dari hidung dan mulutnya.

Melihat Japra tak bisa bangun lagi karena menahan sakit pada wajah dan burungnya, lelaki bermata sipit menjadi geram. Ia segera memerintah kedua temannya, Kedot dan Bodong untuk menangkap Bong Mini. Tapi sebelum mereka menyentuh tubuh Bong Mini, Bong Mini segera membuang satu lompatan ke atas lantas sepasang kakinya menendang kedua lawan sekaligus.

Bodong dan Kedot terjerembab ke belakang. Sebab walaupun tubuh Bong Mini lebih kecil dari lawannya, tapi setiap pukulan selalu diiringi dengan ilmu tenaga dalam. Dan ilmu tersebut yang pertama kali dite- rapkan Bongkap kepada putrinya. Mengingat tubuh Bong Mini yang kecil itu takkan mampu menjatuhkan lawan dengan pukulan sekeras apa pun, bila tidak di- imbangi dengan ilmu tenaga dalam.

Kedua lawannya bangkit kembali. Wajah mereka be- rubah bengis. Tidak menyangka kalau gadis bertubuh mungil itu mempunyai pukulan yang demikian keras.

“Gadis ini tidak boleh diajak main-main kalau kita tidak mau dibuat malu!” geram Bodong kepada Kedot. Lalu ia meluruk dengan cepat ke arah Bong Mini. Di- susul dengan serangan yang dilakukan oleh Kedot. Ta- pi dengan gesit, Bong Mini segera melompat dan hing- gap dengan ringan di sebuah batang pohon.

“Hi hi hi...!” Bong Mini tertawa melihat lawannya hanya menatap melongo ke arahnya. “Inilah kelebihan orang bertubuh kecil!” teriak Bong Mini.

“Hm..., dia benar-benar memiliki kepandaian ilmu bela diri yang tidak boleh dianggap remeh!” gumam le- laki bermata sipit sambil memandang Bong Mini yang dengan santai duduk di atas sebatang pohon.

“Hei, bocah perempuan tengik, turunlah! Aku ke- pingin menguji kehebatan ilmu yang kau miliki!” teriak lelaki bermata sipit.

“Nah, begitu dong. Saya baru serius melawan ka- lian!” teriak Bong Mini sambil meloncat dengan ringan ke bawah. “Ayo, majulah kalian biar urusan cepat selesai,” tantang Bong Mini dengan kuda-kuda siap mengada- kan perlawanan.

“Bangsat! Kau benar-benar bocah perempuan tengik yang tidak boleh dikasih hati!” maki lelaki bermata si- pit seraya menyerang Bong Mini, diikuti oleh kedua temannya.

Mendapat serangan serentak dari tiga lawannya, tubuh Bong Mini meloncat dan bersalto. Lalu kembali berdiri tegak.

Bahaya. Kalau aku tidak mempergunakan  pedang ini, perkelahian akan berlarut-larut, bisik hati Bong Mini. Lalu tangannya segera mencabut pedang.

Sreset!

Pedang Bong Mini berkilat-kilat karena ditimpa si- nar matahari yang memancar panas.

Melihat Bong Mini mengeluarkan pedang, ketiga la- wannya mulai berhati-hati. Mereka merasa  bahwa Bong Mini benar-benar akan membunuh mereka. Ma- ka dengan serentak ketiga lawannya itu menyerang Bong Mini dari berbagai penjuru. Tapi dengan kelebi- han yang dimiliki tubuhnya, Bong Mini kembali melen- ting sambil mengayunkan pedangnya ke salah seorang lawan.

Srettt!

Pedang Bong Mini membabat pundak Kedot dengan keras. Membuat lawannya itu meringis kesakitan sam- bil memegangi bahunya yang banyak mengeluarkan darah.

Lelaki bermata sipit bersama Bodong tidak tinggal diam. Mereka menyerang Bong Mini dengan gencar. Namun Bong Mini tak kalah gesit. Tubuhnya melompat kian kemari dan sesekali bersalto dengan lincah. Se- hingga lawannya bingung melihat tubuh Bong Mini berputar-putar bagai baling-baling kapal.

Bong Mini mempergunakan kesempatan itu dengan melancarkan serangan kilat.

Bug! Bug! Srettt!

Dua pukulan beruntun mengenai rahang lelaki bermata sipit dan punggung Kedot. Sedangkan pedang yang digenggamnya menyabet Bodong. Tepat pada pu- sarnya yang menyembul sehingga dalam sekejap tu- buhnya terjatuh tanpa berkutik lagi.

“Maaf, lain kali kita lanjutkan lagi!” seru Bong Mini. Lalu tubuhnya melesat duduk di atas punggung kuda lantas memacunya dengan cepat.

Japra, Kedot, dan lelaki bermata sipit itu meman- dang kepergian Bong Mini sambil meringis menahan sakit. Pukulan tenaga dalam yang dilancarkan Bong Mini tadi telah membuat keduanya muntah darah.

***

5

Malam itu, Bongkap dan para pengawalnya tampak begitu gelisah. Bong Mini, putri kesayangan satu- satunya belum juga pulang. Padahal sebelum putrinya keluar, ia sudah memperingatkan untuk tidak berja- lan-jalan jauh. Tapi nyatanya sampai malam begini, ia belum pulang juga.

Dua orang pengawal yang disuruh mencari Bong Mini sejak sore tadi sudah kembali. Tapi mereka tidak berhasil mendapatkan Bong Mini. Padahal, nanti ma- lam Bongkap bersama para pengawalnya akan mela- kukan aksi perampokan lagi yang kali ini akan dilaku- kan di daratan. Karena menurut informasi, nanti ma- lam akan lewat kereta barang yang dibawa dari kapal di Selat Malaka menuju Padangmoro, sebuah kota kecil di mana saudagar pemilik kereta barang itu berada.

Kalau sampai tengah malam nanti Bong Mini belum juga pulang, tentu rencana itu dibatalkan. Jika renca- na itu diteruskan, ia khawatir Bong Mini akan mencu- rigainya, lalu pada akhirnya memergoki sepak- terjangnya selama ini.

Bongkap mendesah kesal. Kalau saja bukan Bong Mini yang membuatnya gelisah, tentu ia akan marah. Tapi karena yang membuat ulah itu putrinya, maka kemarahannya ia simpan sebisanya.  Bagaimanapun juga ia tidak ingin memarahi  putri  yang  dikasihinya itu.

Pada saat seisi rumah itu gelisah, tiba-tiba terde- ngar suara dari luar. “Pa...!”

Bongkap yang sejak tadi gelisah di kursinya menda- dak berubah gembira. Ia berdiri menyambut kedatan- gan putrinya.

“Kau, Sayang. Dari mana saja, hm...?” tanya  Bong- kap seraya merangkul putrinya dan membelai-belai rambutnya dengan lembut dan penuh kasih sayang.

“Maafkan saya, Papa. Saya telah membuat Papa dan seisi rumah ini gelisah,” ucap Bong Mini sambil mena- tap Bongkap dengan wajah berseri.

“Ya. Ya. Papa maafkan. Tapi tolong  jelaskan  dulu dari mana kamu?” sahut Bongkap sambil bertanya.

“Saya telah melanggar janji, Papa.” “Hm...?” Bongkap tidak mengerti.

“Saya telah pergi jauh, Papa,” jawab Bong Mini, mengakui terus terang akan pelanggaran janjinya.

“Pergi jauh ke mana, hm...?” tanya papanya ingin tahu. Bong Mini melepaskan pelukannya, melangkah me- nuju kursi. Sedangkan pedangnya  diletakkan  di  atas meja. Kemudian ia menceritakan  peristiwa-peristiwa yang dilihat dan dialaminya. Bong Mini juga menceri- takan mengenai perjumpaannya dengan seorang pe- rempuan tua dan seorang  anak  perempuan  yang  te- ngah kelaparan.

“Rupanya masih ada penduduk sekitar sini yang menderita kelaparan,” tutur Bong Mini seraya meman- dang papanya sungguh-sungguh.

“Itu salah satu cermin  kehidupan  manusia.  Ada yang kaya, ada yang miskin,” sahut Bongkap. “Terus- kan!”

Bong Mini menghela napas.

“Dari perempuan tua itu saya banyak mendengar cerita yang sangat menarik. Dia mengatakan bahwa penduduk sekitar Desa Grojogan tengah diguncang prahara. Ada seorang perampok yang menyamar seba- gai dermawan!”

Bongkap kaget mendengar keterangan putrinya itu. Begitu pula dengan para pengawalnya. Mereka khawa- tir kalau perkataan Bong Mini tadi merupakan tudu- han buat dirinya. Bukankah hasil rampokannya ia ba- gikan kepada para penduduk? Kalau memang benar yang dimaksud, berarti ada orang yang mengetahui perbuatannya, tapi siapa?

Bongkap mencoba bersikap tenang. Ia tidak ingin putri yang disayanginya itu menaruh curiga padanya.

“Siapakah gerombolan perampok itu?” pancing Bongkap ingin tahu.

Bong Mini kemudian menceritakan sepak-terjang para perampok itu. Sesuai dengan keterangan dari pe- rempuan tua yang ia kunjungi. Ia juga menceritakan tentang kerakusan para perampok tersebut dalam menghadapi perempuan.

“Bila melihat perempuan, mereka langsung memak- sanya. Diri para perampok itu telah dikuasai oleh iblis- iblis liar,” cetus Bong Mini dengan nada suara  yang agak marah.

Bongkap menghela napas lega. Perampok yang di- katakan Bong Mini ternyata bukan dia.

“Setelah saya keluar dari rumah nenek itu, saya ba- ru sadar kalau perjalanan sudah demikian jauh. Ke- mudian saya berniat untuk kembali  pulang.  Sebelum itu saya mampir ke sebuah warung di Kampung  Du- kuh untuk makan. Tapi ketika saya sedang asyik me- nikmati makanan, tiba-tiba datang empat lelaki berwa- jah garang. Ternyata mereka perampok yang berpura- pura dermawan itu,” ungkap Bong Mini.

“Jadi kamu langsung bertemu dengan para peram- pok itu?” tanya Bongkap. Ia mengira pasti terjadi per- kelahian antara putrinya dengan keempat perampok itu.

“Ya, Papa. Malah saya sempat bertempur dengan keempat perampok itu ketika mereka hendak menodai seorang anak gadis pemilik warung itu,” sahut Bong Mini.

“Papa sudah menduga. Tapi bagaimana kelanjutan- nya?”

“Satu dari keempat orang itu tewas. Sedangkan ke- tiga lelaki lain saya buat  cidera untuk bukti kekalahan di hadapan pemimpin mereka nanti,” jawab Bong Mini. Kemudian bibirnya tersenyum bangga.

Bongkap mengusap-usap kepala putrinya dengan bangga pula. Ia senang kalau putrinya telah mampu menghadapi empat orang lawan, sekaligus menga- lahkannya.

“Papa kagum  atas  kemampuanmu.  Tapi  ingat,  ke- berhasilanmu itu jangan dijadikan sebagai satu ke- sombongan. Sebab walaupun ada manusia yang hebat, tak pernah tertandingi oleh siapa pun juga, tapi masih ada yang bisa mengalahkannya dengan seketika,” ucap Bongkap mengingatkan putrinya.

Bong Mini tercekat kaget. Ia heran, orang yang tak pernah terkalahkan seperti kata papanya tadi, kok ma- sih bisa dikalahkan?

“Siapa yang dapat mengalahkan orang jago itu, Pa- pa?” tanya Bong Mini ingin tahu.

“Yang Maha Kuasa,” jawab Bongkap tenang. Namun cukup membuat putrinya, para pengawal serta da- yang-dayangnya tercengang. Mereka tercengang karena baru kali ini mendengar Bongkap  menyebut  nama Yang Kuasa.

“Kau harus ingat kata-kata papa yang satu ini!” “Apa, Papa?”

“Jangan sombong!” kata papanya memperingatkan. Sebab walaupun ia sekarang menjadi seorang pemim- pin perampok, ia tidak ingin sifat-sifat jeleknya itu me- nurun pada anaknya. Dia berharap, biarlah sifat-sifat Bong Mini menyerupai ibunya, Sinyin. Sedangkan ke- beranian di medan perang, Bong Mini harus mengikuti jejaknya. Karena memang itu persyaratan orang yang terjun ke medan perang. Berani dan harus sadis. Ka- lau mau jadi singa, jadilah singa jantan, jangan betina. Itu prinsip Bongkap kala ia berada di medan laga.

“Kesombongan tidak akan abadi. Kita akan hancur ditelan kesombongan itu sendiri!” lanjut Bongkap me- nasihati putrinya.

Bong Mini menatap papanya dengan penuh keka- guman. Bibirnya tersenyum dan papanya dipeluk erat.

“Sekarang pergilah makan dan istirahat. Tentu kau lapar dan lelah,” bisik Bongkap ketika membalas deka- pan putrinya.

“Ya, Papa!”  Bong  Mini  melepaskan  rangkulannya.

Lalu dengan lincah ia masuk ke dalam.

“Bibi, temanilah putriku!” perintah Bongkap kepada tiga orang dayangnya.

Ketiga dayang itu membungkuk memberi hormat. Lalu mereka menggeser badan ke belakang. Setelah mundur dua langkah dari  Bongkap,  mereka  berdiri dan langsung melangkah ke dalam. Itu adalah  salah satu adat kerajaan, di mana bawahan harus tetap tun- duk dan hormat. Berdiri tidak sama tinggi. Duduk pun tidak sama rendah. Itulah pepatah yang lebih tepat un- tuk perbedaan raja dan bawahan.

Sepeninggalan putrinya, Bongkap jadi berpikir. Ka- lau tadi ia cemas karena putrinya belum pulang, kini ia cemas dengan cerita Bong Mini yang telah berhasil merobohkan empat orang lawannya. Sebab tidak mus- tahil tiga di antara empat orang yang dibiarkan hidup itu akan melapor kepada pemimpin mereka. Dan bila dugaan ini benar, maka putrinya akan terancam ba- haya yang lebih besar. Mereka akan berusaha mencari putrinya. Berusaha menangkap dan menyerangnya. Sehingga mau tidak mau akan melibatkan dirinya dan para pengawal kerajaan. Bila benar, kelanjutan peris- tiwa putrinya akan menjadi masalah yang besar.

Sebenarnya bukan masalah penyerangan yang ia khawatirkan. Baginya, masalah pertempuran atau pe- kik kematian di tengah bau amis darah merupakan hal yang sudah biasa. Itu sudah menjadi bagian hidup Bongkap bersama para pengikutnya. Tapi yang ia khawatirkan kalau pertempuran itu akan melibatkan para penduduk yang tidak berdosa. Padahal penduduk negeri Selat Malaka yang berada di bawah pimpinan- nya itu tengah mengalami bencana kemiskinan dan ke- laparan.

Tapi kalau memang harus terjadi, apa boleh buat. Sebagai raja baru di negeri Selat Malaka ini aku harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan kea- manan rakyat. Baik dalam masalah kebutuhan hidup mereka sehari-hari maupun terhadap rongrongan pi- hak luar! Pikir Bongkap akhirnya, mengambil keputu- san. Lalu ia pun menjatuhkan diri di kursi kerajaan untuk melepaskan ketegangan pikirannya. Tanpa tera- sa ia tertidur di singgasananya.

***

“Bibi. Tinggalkanlah saya sendirian di sini,” ucap Bong Mini kepada ketiga dayangnya ketika sampai di kamar.

“Tapi papa Nona menyuruh kami untuk menemani di sini!” ucap seorang dayang yang sangat patuh ter- hadap perintah rajanya.

“Tidak apa-apa, Bibi. Papa tidak akan marah. Kalau papa bertanya, bilang saja bahwa itu kemauanku!” ki- lah Bong Mini.

Ketiga dayang itu saling berpandangan. Mereka me- rasa serba salah. Kalau kemauan putri Bong Mini di- ikuti, berarti mereka telah menentang perintah ra- janya. Tapi kalau tetap berpegang pada perintah raja, Bong Mini sendiri meminta mereka untuk meninggal- kannya sendirian di kamar. Namun akhirnya ketiga dayang itu mengikuti kehendak Bong Mini. Pikir mere- ka, Bong Mini merupakan putri kesayangan raja satu- satunya. Tentu  raja  akan  mengabulkan  kehendak Bong Mini. Dan tentunya mereka tidak akan dimarahi.

Setelah membungkuk hormat kepada Bong Mini, ketiga dayang itu segera melangkah keluar. Meninggal- kan putri rajanya sendirian di dalam kamar. Bong Mini menghela napas lega. Lalu segera mere- bahkan badannya di atas kasur dengan mata  meman- dang langit-langit kamar. Sedangkan pikirannya terus tertuju pada peristiwa-peristiwa yang dilihat dan di- alaminya ketika ia keluar rumah seharian suntuk.

Kasihan para penduduk di sini, harus mendapat te- kanan-tekanan dari pihak luar. Padahal mereka orang- orang polos dan jujur. Yang selalu bersikap ramah- tamah terhadap siapa pun tanpa rasa curiga berlebi- han. Malah kehadiranku di negeri ini pun mereka sambut dengan baik dan penuh penghormatan. Begitu pikiran yang ada di benak Bong Mini setelah mengada- kan perjalanan keliling kampung. Karena perjala- nannya itu bukan sekadar melihat-lihat keadaan kam- pung, tetapi juga mencoba memahami segala adat dan kebiasaan para penduduknya. Sebab bagaimanapun juga adat dan kebiasaan negeri Selat Malaka akan ber- beda dengan adat kebiasaannya sebagai orang yang berasal dari negeri Tiongkok. Oleh karena itu ia ingin mencoba mempelajari dan mengikuti adat di negeri yang belum lama diinjaknya ini.

Setelah pikirannya terpusat pada nasib dan keada- an penduduk, kini pikiran Bong Mini beralih pada em- pat orang lelaki yang telah dikalahkannya. Dia berpikir bahwa kematian salah seorang dari mereka di ta- ngannya itu pasti akan menimbulkan dendam yang berkepanjangan. Mereka tentunya akan kembali men- carinya dengan jumlah yang lebih banyak.

“Apa pun yang terjadi nantinya, harus kuhadapi. Setiap perbuatan akan membawa akibat dan akibat itu sudah aku perhitungkan!” desah Bong  Mini.  Lalu  ia pun memejamkan kedua matanya yang sudah perih.

*** “Bagaimana dengan rencana kita, Tuanku?” tanya Ashiong, salah seorang pengawal setia Bongkap yang sejak tadi berada di dalam, menunggu rajanya yang tertidur di kursi kebesaran.

Bongkap yang baru saja terbangun dari tidurnya tersentak kaget. Teguran Ashiong telah mengingatkan- nya pada rencana semula. Lalu dengan sikap hati-hati, karena takut ketahuan putrinya, Bongkap mendekati Ashiong dan berkata setengah berbisik.

“Siapkan saja kuda-kuda kita di luar dan jaga. Aku akan ke kamar putriku dulu!”

“Baik, Tuan!” ucap Ashiong. Lalu dia dan pengawal lainnya keluar untuk mempersiapkan kuda.

Bongkap belum beranjak dari kursinya. Hatinya mulai bimbang pada rencana perampokan yang akan dilakukannya. Apakah ia akan melaksanakan rencana itu atau dibatalkan. Bila dilaksanakan, ia khawatir di- ketahui putrinya. Sehingga nanti putrinya akan perla- han-lahan membencinya. Tapi kalau dibatalkan, ia me- rasa sayang. Sebab kereta kuda yang akan mereka rampok nanti malam memuat emas dan berlian yang tentu harganya sangat mahal.

“Hhh...!” Bongkap mendesah sambil menjatuhkan kepalanya pada sandaran kursi belakang.

Sementara itu waktu terus berputar tanpa terasa. Malam pun terus merangkak menghampiri sunyi. Se- hingga suasana malam benar-benar senyap. Hanya suara jangkrik yang terdengar mengerik di balik pepo- honan dan rumputan.

Bongkap bangkit dari duduknya, lalu melangkah mendekati kamar putrinya. Di sana ia melihat putrinya sudah tergolek pulas. Mungkin karena rasa letih sete- lah sehari penuh berkeliling kampung dan bertempur hingga ia tertidur begitu lelap. Bongkap menarik napas lega melihat putrinya su- dah tertidur. Dengan langkah pelan ia meninggalkan kamar putrinya, langsung menuju halaman rumah di mana para pengawalnya menunggu.

“Kita segera berangkat!” ajak Bongkap kepada para pengawalnya yang sudah siap di punggung kuda mas- ing-masing.

“Hiaaat!” teriak Bongkap sambil menarik tali ku- danya. Kuda yang ditungganginya melesat cepat, me- nembus kegelapan. Diikuti oleh para pengawalnya.

***

“Mama! Mama!” teriak Bong Mini dalam tidurnya. Tangannya menggapai-gapai seakan memanggil. “Ma- ma jangan pergi, Ma!” teriak Bong Mini dalam igaunya. Disusul dengan suara tangis tersedu-sedu.

Setelah beberapa saat menangis, Bong Mini tersadar dari tidurnya. Ia membuka kedua matanya yang basah oleh air mata. Lalu pandangannya menyebar ke selu- ruh ruangan kamar.

Bong Mini menghela napas panjang.

“Hm..., ternyata aku bermimpi,” desah Bong Mini dengan lesu. Lalu kembali dibaringkan tubuhnya un- tuk tidur. Namun sebelum ia memejamkan kedua ma- tanya, tiba-tiba ia teringat pada ucapan mamanya da- lam mimpi tadi.

“Pergilah ke utara malam ini juga!” itulah kalimat yang diucapkan mamanya dalam mimpi tadi.

Pergi ke utara? Malam ini juga? Pikir Bong Mini. La- lu ia duduk kembali di atas ranjang. Ada apa, ya? Dan kenapa mama menyuruhku berangkat malam ini juga? Kenapa tidak besok pagi saja? Pikir Bong Mini.

Sebenarnya Bong Mini malas pergi malam itu. Se- lain badannya masih terasa letih, ia juga masih merasa ngantuk. Tapi untuk membuktikan ucapan mamanya dalam mimpi itu, Bong Mini akhirnya  beranjak  juga dari tempat tidur. Mengganti pakaian dengan pakaian silat dan menyelipkan pedangnya di punggung.

Bong Mini melangkah menghampiri jendela kamar. Dibukanya jendela kamar itu perlahan. Dengan mem- pergunakan ilmu peringan tubuh, ia meloncat keluar. Setelah itu ia berjalan mengendap-endap, khawatir di- ketahui oleh para pengawal papanya.

Bong Mini menyelinap lewat belakang menuju kan- dang kuda. Di sana matanya melihat penunggu kan- dang kuda sedang berjaga-jaga sambil sesekali meng- uap menahan kantuk. Ketika melihat kedatangan Bong Mini ke tempat itu, ia menjadi terkejut.

“Ada apa Nona Mini malam-malam begini datang ke sini?” tanya penjaga kuda itu keheranan.

“Ssst!” Bong Mini memberi isyarat dengan menem- pelkan jari telunjuknya ke bibir.  “Saya  mau  keluar. Tapi jangan bilang papa, ya?” bisik Bong Mini. Lalu ia memberikan tiga keping uang dari balik bajunya kepa- da penjaga itu. Ia mengira Bongkap dan para penga- walnya tidak keluar rumah.

Mendapat tiga keping uang dari Bong Mini, penjaga kuda tadi tersenyum-senyum senang. Lalu tanpa me- nunggu perintah Bong Mini, ia masuk ke kandang  ku- da dan mengambil kuda Bong Mini yang berwarna pu- tih.

“Ini, Non kudanya!”

Bong Mini tersenyum seraya mengambil tali kuda dari tangan penjaga itu. Kemudian ia melompat dan duduk di atas punggung kuda.

“Ingat pesan saya tadi, ya?” Bong Mini memper- ingatkan penjaga kuda itu sebelum memacu kudanya.

“Pokoknya beres,  Non!”  sahut  penjaga  kuda  itu nyengir-nyengir karena masih gembira mendapatkan uang dari Bong Mini.

Bong Mini tersenyum. Lalu ia menarik tali kudanya pelan-pelan agar langkah-langkahnya tidak menimbul- kan suara. Ketika sampai di luar halaman, barulah ia memacu kudanya lebih cepat lagi.

Setelah agak lama ia memacu kuda, Bong Mini tiba- tiba menarik tali kudanya agar berjalan perlahan. Di sana ia melihat persimpangan jalan. Yang satu menuju Dusun Buncit dan satu lagi ke Bukit Garang.

Bong Mini berpikir, jalan mana yang harus ia lalui. “Hm..., aku ambil jalan sini saja,” gumam Bong Mini

mengambil jalan ke arah utara yaitu menuju Bukit Ga- rang.

Setelah beberapa kilo jalan dilalui Bong Mini, tiba- tiba ia melihat serombongan orang berkuda sedang berjalan di balik bukit. Mereka begitu banyak, sekitar lima belas orang.

“Hm..., siapa mereka. Dan apa yang akan mereka kerjakan malam-malam begini?” gumam Bong Mini. Terus diikutinya rombongan orang berkuda itu. Dan betapa terkejutnya ia ketika melihat papanya ada di antara rombongan orang berkuda itu. Papanya me- nunggang kuda dengan gagah. Sedangkan rombongan itu pun sangat dikenalnya. Itulah para pengawal pa- panya. Walau di malam hari, wajah orang-orang ber- kuda itu terlihat jelas oleh Bong Mini karena sorotan sinar bulan yang tidak begitu terang.

“Orang yang duduk dengan gagah itu pasti papa!” desah Bong Mini, meyakinkan penglihatannya.  Lalu, ada apa malam-malam begini papa keluar rumah de- ngan membawa pasukan yang banyak dan bersenjata? Bong Mini bertanya-tanya dalam hati sambil terus mengikuti papanya dan para pengawalnya. Bong Mini memperlambat jalan kudanya. Mencoba mengatur jarak agar tidak terlalu dekat, sehingga tidak terlihat oleh rombongan papanya. Ia tampak begitu he- ran.  Para  pengawalnya  yang  biasanya  terlihat  sopan dan ramah kini berubah  beringas.  Sikap  mereka  tam- pak begitu garang, seperti hendak bertempur.

“Mereka berhenti,” gumam Bong Mini yang juga menghentikan langkah kudanya.

“Segera buat  penghalang!”  perintah  Bongkap  de- ngan suara keras berwibawa memecah kesunyian  ma- lam.

Heh? Aku baru mendengar suara papa yang demi- kian garang, pikir Bong Mini tersentak kaget. Tapi tu- buhnya tetap diam sambil terus memperhatikan ting- kah-laku para pengawal papanya yang tengah men- gangkat sebatang pohon tumbang dan meletakkannya di tengah jalan.

Para pengawal papa membuat penghadang  jalan agar kuda atau kereta tidak bisa melalui jalan itu. Ini jelas bahwa papa dan pasukannya hendak mengada- kan penyerangan. Tapi siapa musuh papa? Selama ini aku tidak mendengarnya. Kecuali ketika masih tinggal di Tiongkok. Itu pun telah berbaik kembali. Karena pa- ra musuh papa dahulu adalah orang-orang kecil yang sekarang menjadi pengikut papa. Tapi di sini,  siapa yang menjadi musuh papa? Bong Mini bertanya jawab dalam batinnya. Dan jawaban itu pun belum ia dapat secara pasti.

Setelah merasa yakin bahwa papanya dan para pengawal tidak akan ke mana-mana lagi, Bong Mini segera mengikat kudanya pada sebuah pohon yang ter- lindung dari penglihatan rombongan papanya. Se- dangkan ia sendiri memanjat sebuah pohon  rimbun dan duduk pada salah sebuah batang yang cukup be- sar dan cukup nyaman untuk diduduki. Di situ, ia dengan leluasa dapat melihat tingkah-laku papanya bersama para pengawal.

Malam semakin larut. Sinar rembulan yang tadi samar-samar memancar ke segenap penjuru bumi, perlahan-lahan sirna ditelan oleh awan yang berge- rombol, sehingga suasana menjadi pekat.

Setelah melaksanakan tugasnya dengan baik, para pengawal bersama Bongkap segera bersembunyi di ba- lik semak-semak.

Bong Mini semakin keheranan melihat tingkah papa bersama para pengawalnya. Ada apa sebenarnya? Apakah papa dan para pengawalnya benar-benar akan melakukan penyerangan? Kalau memang benar pasti mengasyikkan! Sebab ia akan menyaksikan pertempu- ran yang amat seru. Sekaligus melihat jurus-jurus  il- mu silat papa yang memikat itu. Dan ia merasa yakin pasti kemenangan berada pada pihak papanya. Tapi yang membuat Bong Mini heran adalah musuhnya. Sebab selama ini papanya tidak pernah bercerita me- ngenai musuh-musuhnya. Lagi pula mereka belum la- ma tinggal di negeri itu.

Malam terus merangkak. Kegelapan malam yang ta- di terlihat begitu pekat, perlahan-lahan lenyap. Pohon- pohon yang tumbuh di sekitar tempat itu mulai keliha- tan bentuknya. Walaupun masih samar-samar.

Dari ufuk timur, cahaya merah mulai tampak. Per- tanda bahwa waktu pagi telah menjelang. Dan  itu te- rus terjadi setiap pagi, sesuai dengan aturan  yang te- lah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.

Dalam keremangan cahaya surya pagi yang me- nembus kabut tebal, Bong Mini dengan jelas dapat me- lihat orang-orang yang menjadi pengawal papanya itu. Ada yang tertidur, ada pula dua orang yang tetap ber- jaga-jaga, khawatir orang yang ditunggu mereka telah melewati jalan itu.

Bong Mini menguap panjang. Matanya tampak kuyu. Begitu pula dengan wajahnya yang putih, keliha- tan makin pucat karena semalaman suntuk ia terus terjaga karena ingin mengetahui apa yang akan terjadi. Dari jarak beberapa meter, Bong Mini melihat  pa- panya terbangun. Dia berdiri sambil menggeliat pan- jang. Disusul kemudian dengan menghentak-hen- takkan kaki yang menyentuh para pengawal yang se-

dang tidur pulas.

Para pengawal yang tertidur itu bangun satu persa- tu ketika merasa tubuhnya ada yang menendang.

“Bersiap-siaplah kalian!” kata Bongkap, memper- ingatkan para pengawalnya. Sedangkan ia sendiri mengambil pedang yang tergeletak di tanah dan me- nyelipkan di punggungnya.

Cahaya terang dari ufuk timur semakin jelas. Warna merah jingga yang dipancarkan sinar matahari ber- ubah menjadi warna kuning keperakan. Kemudian ca- haya kuning keperakan itu bergeser dari balik pepoho- nan dan berdiri sepenggalah. Membuat alam menjadi terang-benderang. Mengusir kabut yang sejak sore kemarin menyelimuti pepohonan.

Bong Mini hampir saja terjatuh kalau saja tidak ce- pat-cepat berpegangan pada sebuah ranting pohon, ke- tika ia hampir terlena oleh semilir angin yang mem- buatnya tertidur beberapa saat. Ia benar-benar sudah mengantuk. Namun tetap dipaksakan juga, karena in- gin mengetahui apa yang akan dilakukan oleh papanya bersama para pengawal.

*** 6

Bong Mini hampir tertidur lagi, ketika sepasang ma- tanya yang merah dan perih itu terlena oleh semilir angin yang berhembus. Tapi ia mendadak tercekat ka- rena telinganya mendengar derit kereta kuda disertai kepulan debu yang diterbangkan oleh telapak kaki ku- da. Kereta kuda itu tampak dikawal delapan orang dan melaju ke arah rintangan batang pohon yang sengaja diletakkan di jalan itu oleh para pengawal Bongkap.

“Berhenti!”  salah  seorang  pengawal  kereta  kuda yang berada di depan memberi aba-aba.

Derit kereta kuda itu terhenti.

“Rupanya perjalanan kita ada yang menghalangi,” kata orang itu lagi yang rupanya pemimpin mereka. Pandangannya menyebar ke sekitar tempat tersebut, meneliti dengan tatapan mata yang tajam.

Inikah yang sejak semalam ditunggu papa bersama para pengawalnya? Tanya Bong Mini dalam hati. Sebe- lum ia menerka lebih jauh lagi, tiba-tiba ia melihat pa- panya memberi komando penyerangan kepada para pengawalnya.

Mendapat komando dari Bongkap, para  pengawal itu dengan sigap menarik tali kuda masing-masing dan memacu ke arah rombongan kereta kuda itu. Diimban- gi oleh suara ringkik kuda, para pengawal itu me- ngurung kereta barang bersama para pengawalnya. Se- telah mereka mengurung, barulah Bongkap keluar menunggang kudanya dengan gagah.

Pemimpin pengawal kereta barang segera mengeta- hui situasi yang kurang baik. Namun  dengan  sikap yang tetap tenang, ia memandang Bongkap. Namun tangannya telah siap mencabut pedang. “Mau apa kau!” bentak pemimpin pengawal kereta barang itu.

Bongkap tertawa tergelak-gelak mendapat perta- nyaan itu.

“Bila ada sekelompok orang yang tak dikenal me- ngelilingimu, menurut perkiraanmu apa?” Bongkap ba- lik bertanya.

“Kalau memang ingin berniat jahat, aku akan segera menentangnya!” bentak pemimpin rombongan kereta barang dengan lantang.

Bongkap kembali tertawa terbahak-bahak. “Apa kau sudah merasa hebat menantangku?”

“Aku cuma ingin mempertahankan hakku!” jawab pemimpin pengawal kereta barang dengan sikap gagah. “Hak apa? Hak dari hasil pemerasan terhadap rak-

yat?”

Pemimpin pengawal kereta barang mendengus. Ma- tanya merah menyala bagai bara api.

“Hati-hati kalau kau berbicara!” bentaknya kemu- dian.

“Hati-hati pula kalau kau berhadapan denganku!” balas Bongkap tak kalah nyaring.

“Aku tak pernah takut pada siapa pun!” tantang pe- mimpin pengawal kereta kuda dengan gagah.

Wajah Bongkap mendadak merah. Darahnya bergo- lak, menyembur ke seluruh tubuhnya.

Bong Mini yang sejak tadi memperhatikan dan men- dengar percakapan papanya jadi terkejut. Apa benar papaku mau berniat jahat kepada para pengawal kere- ta barang itu? Tanya Bong Mini dalam hati. Kedua ma- tanya tak berkedip memandang ke arah arena.

Belum sempat Bong Mini berpikir lebih lanjut, tiba- tiba ia memekik tertahan ketika melihat papanya men- cabut pedang dan mengarahkannya pada pemimpin pengawal kereta barang. Tetapi untunglah lelaki yang diserangnya cekatan sehingga dengan cepat dapat mengelak dari serangan Bongkap dan meminggirkan kudanya.

Trangngng!

Serentak para pengawal dari kedua belah pihak me- nyerbu, diiringi pekikan-pekikan keras. Delapan orang pengawal kereta barang mati-matian melawan lima be- las pengawal Bongkap. Denting yang tercipta akibat benturan antar senjata terdengar sangat nyaring. Di- timpali oleh jeritan orang-orang yang terluka karena sabetan pedang yang dilancarkan anak buah Bongkap mengenai sasaran.

“Aaakh...!”

Jeritan kematian itu terdengar begitu menyayat. Para pengawal Bongkap memang merupakan orang-

orang pilihan. Jurus-jurus kungfu sampai permainan pedang telah mereka kuasai dengan baik. Sedangkan permainan pedang pihak lawan sudah terbaca oleh Bongkap dan anak buahnya. Sehingga mereka dengan mudah dapat dijatuhkan.

Trangngng! Trangngng! Brettt!

Suara-suara itu bersatu kacau. Para pengawal ke- reta kuda tampak tidak berdaya. Mereka satu persatu jatuh dari kudanya dengan tubuh berlumur darah.

Bongkap sengaja tidak mengulur-ulur waktu dalam pertempuran kali ini. Ia ingin secepatnya membabat habis para pengawal kereta kuda itu. Hal ini disebab- kan rasa kekhawatirannya terhadap Bong Mini yang mungkin akan mengetahui perbuatannya. Karena pe- rampokan yang dilakukan kali ini terlalu banyak me- makan waktu untuk menunggu. Sehingga baru bisa diselesaikan ketika sinar matahari telah menjangkau permukaan bumi. Dengan terbunuhnya para pengawal kereta barang itu, dua orang pengawal Bongkap segera melompat ke dalam kereta kuda, lalu melemparkan barang-barang yang ada dalam kereta itu pada teman-temannya yang menunggu di luar. Barang-barang  itu  kini  berpindah ke tangan Bongkap dan anak buahnya.

“Ayo, cepat selesaikan! Hari sudah siang!” teriak Bongkap dengan mata tetap mengawasi kerja anak buahnya.

Di tempat persembunyian, Bong Mini jadi terce- ngang. Dia merasa yakin  sekarang,  bahwa  papanya dan para pengawal telah melakukan perampokan.

Jadi untuk pekerjaan inikah selama dua malam pa- pa dan para pengawalnya keluar? Untuk mengadakan perampokan? Pikir Bong Mini.

Bong Mini menghela napas panjang. Pantas kalau selama ini papanya selalu memberikan intan berlian serta barang-barang berharga lain. Dan semua barang yang diberikan papanya kepadanya merupakan hasil dari rampasan.

Sebenarnya, sejak pertama ia mendapatkan barang- barang berharga itu, ia ingin menanyakan kepada pa- panya. Tapi niatnya itu ia urungkan. Ia yakin bahwa barang-barang yang diberikan kepadanya itu merupa- kan hasil dari jerih payah papanya. Ia juga tidak ingin kalau pertanyaannya itu akan membuat papanya ke- cewa. Karena secara tidak langsung pertanyaan  itu pasti akan menyinggung perasaan papanya.

Sekarang, Bong Mini telah mengetahui dan melihat dengan mata kepala sendiri kalau papanya seorang pe- rampok. Merampas harta yang bukan miliknya dengan cara melakukan pembunuhan yang sangat keji.

Sembari menahan marah dan tangis, Bong Mini se- gera turun dari atas pohon, tempat persembunyian. Setelah itu ia melarikan kuda sekencang-kencangnya. Hatinya menjerit sakit melihat  perbuatan  papanya yang tidak ia duga sama sekali.

***

Sampai di rumah, Bong Mini segera menyerahkan kuda putihnya pada penjaganya. Sedangkan wajahnya tampak sudah dibanjiri oleh air mata.

Setelah menyerahkan kuda putihnya, Bong Mini se- gera menghambur menuju kamarnya. Menjatuhkan di- ri di ranjang sambil menangis sekeras-kerasnya de- ngan merapatkan wajah ke bantal.

Beberapa saat lamanya, Bong Mini dicekam oleh suasana duka dan sedih. Hatinya masih tersayat-sayat pilu mengingat sepak-terjang papanya. Punggungnya naik turun menahan isak tangis.

Tiba-tiba Bong Mini membalikkan tubuhnya dengan pandangan menatap langit-langit kamar. Kata-kata mamanya teringat kembali di benaknya.

Inikah makna mimpi semalam? Inikah  maksud mama kenapa aku disuruh pergi ke utara malam itu juga? Tanya batinnya sedih. Sementara air matanya masih terus menetes membanjiri kedua pipinya.

Dengan hati luluh dan perasaan hancur, Bong Mini turun dari ranjang. Diselipkan kembali pedangnya di punggung. Kemudian dengan berlinang air mata, Bong Mini melangkah keluar, menuju kandang kudanya.

“Mau ke mana, Non?” tanya penjaga kuda itu heran melihat wajah Bong Mini dialiri air mata.

Bong Mini tidak segera menjawab. Ia langsung ma- suk ke kandang kuda dan menarik kuda putihnya ke- luar dan segera naik ke punggung kuda.

Bong Mini menoleh pada penjaga kuda itu sebelum memacu kudanya. “Kalau papa menanyakan tentang aku, katakan ka- lau aku pergi dan tak usah dicari,” kata Bong Mini berpesan.

“Non Mini mau pergi ke mana?” tanya penjaga kuda itu khawatir.

“Saya mau mengembara!” setelah menjawab begitu, Bong Mini langsung memacu kudanya cepat sekali.

***

Setengah jam setelah kepergian Bong Mini, Bongkap dan para pengawalnya datang dengan membawa hasil rampokannya.

“Segera masukkan barang-barang itu lewat bela- kang!” perintah Bongkap sambil melemparkan kunci gudangnya kepada Ashiong. Kemudian ia melangkah tenang ke dalam, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Sampai di dalam, Bongkap duduk di kursi dengan santai. Sikapnya begitu tenang. Tidak menunjukkan bahwa ia baru saja melakukan perampokan.

Hanya beberapa saat ia duduk, lalu melangkah lagi ke ruang dalam. Kali ini ia hendak menengok putrinya. Tapi betapa kagetnya ia ketika pintu itu dibuka. Sebab ia tak melihat putrinya di sana.

“Hm...!” keluh Bongkap. “Ke mana lagi perginya pu- triku ini?”

Bongkap menutup kembali pintu kamar putrinya. Dan terus melangkah ke ruang belakang menemui tiga dayangnya.

“Bibi!” panggil Bongkap dengan suara yang dalam.

Ketiga dayang yang tengah mengerjakan sulaman serentak menghentikan gerakan tangannya. Lalu me- reka merubah sikap duduknya dan menghormat.

“Kalian melihat putriku?” tanya Bongkap dengan mata menatap tajam. “Nona Mini sejak pagi tadi tidak keluar, Tuan,” sa- hut seorang dayangnya.

“Apa Bibi tidak salah bicara?” tanya Bongkap. Tatap matanya lebih tajam.

“Tidak, Tuan. Sejak tadi pagi saya tidak melihat- nya!” sahut dayang yang tadi.

Bongkap menghela napas kesal.

“Coba kalian lihat di kamarnya!” perintah Bongkap. Ketiga dayang itu melangkah menuju kamar Bong

Mini. Diikuti oleh Bongkap. Mereka langsung ter- nganga karena tidak melihat Bong Mini di kamarnya.

“Inilah salah satu kelalaian kalian. Kalian tidak be- cus menjaga putriku!” bentak Bongkap. Kemarahannya mulai meledak.

Ketiga dayang diam tertunduk. Mereka mengakui kesalahannya.

“Sekarang, panggil penjaga kuda ke sini!” perintah Bongkap. Lalu ia melangkah ke ruang tamu dan duduk di kursinya.

Dengan wajah dan sikap penuh ketakutan, ketiga dayang itu segera ke belakang. Tidak lama kemudian mereka kembali bersama seorang penjaga kuda.

“Tuan memanggil saya?” ucap penjaga kuda itu sambil memberi hormat

“Hm...,” sahut Bongkap pendek. Wajahnya menun- jukkan kemarahan yang tersimpan.

“Kamu lihat putriku?”

“Maaf, Tuan. Tadi Non Mini keluar bersama ku- danya,” jawab penjaga kuda itu.

“Keluar? Keluar kemana?”

“Saya tidak tahu, Tuan. Karena ketika saya  tanya- kan dia bilang ingin mengembara dan berpesan agar Tuan tidak mencarinya,” jawab penjaga kuda itu men- jelaskan. Bongkap meloncat kaget dari duduknya. Ia tidak mengerti mengapa putrinya berubah sikap seperti itu. Kemudian dengan wajah cemas, ia keluar dan meng- ambil kudanya.

“Ashiong, Achen, ikut aku!” seru Bongkap  kepada dua orang pengawal kepercayaannya. Lalu ia segera memacu kudanya dengan cepat. Diikuti oleh Ashiong dan Achen.

***

Bong Mini memperlambat jalan  kudanya  ketika sampai di Bukit  Garang,  di mana  papanya  bersama pa- ra pengawal melakukan perampokan. Kemudian ia me- lompat dari punggung kuda  dan  mendekati  mayat- mayat yang tergeletak bersimbah darah itu.

“Maafkan atas kekasaran papaku!” desah Bong Mini pada pengawal kereta barang yang dibunuh oleh Bongkap dan para pengawalnya. Sementara kedua ma- tanya yang sebelumnya sudah kering, kini kembali di- genangi oleh telaga bening. Kemudian perlahan-lahan telaga bening itu merembes lewat celah-celah bulu ma- tanya. Lalu bergulir, meliuk-liuk di pipinya bagai anak sungai yang mencari lautan bebas.

Setelah beberapa saat ia terpaku di hadapan mayat- mayat yang bergelimpangan itu, Bong  Mini  pun  mena- rik tali kudanya dengan langkah gontai. Sedangkan air matanya dibiarkan tetap mengalir sampai menyentuh bibirnya.

Perlahan-lahan Bong Mini menarik kudanya. Tak dipedulikannya sinar matahari menyengat kulitnya. Ia terus menjalankan kudanya tanpa tujuan yang pasti.

Ketika ia sudah berjalan jauh dari tempat mayat- mayat yang bergelimpangan tadi, Bong Mini mengikat tali kudanya pada sebatang pohon. Sedangkan ia sen- diri duduk bersandar melepaskan rasa lelah.

Sambil melepaskan rasa lelah, Bong Mini terme- nung memikirkan sepak-terjang papanya yang demi- kian berubah. Apakah semua itu karena kematian mama? Pikir Bong Mini.

“Oh, Mama. Seandainya Mama masih menyertai kami, tak mungkin keadaan seperti ini terjadi!” keluh Bong Mini. Kembali ia teringat pada mamanya yang sudah tiada. Air matanya kembali mengalir membasahi pipinya yang kemerah-merahan karena tersengat sinar matahari.

Mama. Apakah Mama juga melihat keadaan Papa dan saya seperti ini? Keluh batin Bong Mini. Lalu ia menjatuhkan kepalanya pada kedua lututnya. Pung- gungnya berguncang-guncang, menangis tersedu-sedu. Pada saat ia menangis terisak-isak, tiba-tiba  ia  me- rasa ada sentuhan tangan lembut yang mengusap ke- palanya. Bong Mini terdongak kaget dengan wajah ber- linangan air mata. Ternyata orang yang mengusap-

usap kepalanya itu papanya sendiri.

“Ada apa, Sayang? Kenapa kamu pergi meninggal- kan papa?” tanya Bongkap lembut.

Bong Mini diam saja sambil memalingkan wajah. Dagunya bersandar pada kedua lututnya sambil me- mandangi rumput dengan tatapan mata yang kosong.

Entah kenapa, sejak ia melihat peristiwa perampo- kan yang dilakukan papanya itu, Bong Mini begitu membencinya. Cinta kasih yang diberikan papanya te- rasa begitu menyesakkan perasaan. Sentuhan tangan papanya yang lembut terasa bagai sengatan matahari yang memanasi seluruh tubuh. Kata-kata syahdu yang terungkap lewat mulut papanya kini berubah laksana lebah yang menyengat telinganya.

“Anakku sayang.  Kenapa  kamu  diam  saja,  hm...? Jika memang papa mempunyai kesalahan kepadamu, katakan terus terang,” bujuk Bongkap sambil menyen- tuhkan tangannya ke bahu Bong Mini.  Tapi  cepat- cepat Bong Mini menghentakkannya dan berdiri men- jauhi papanya.

Bongkap merasa, pasti ada persoalan besar yang dihadapi anaknya. Lalu ia berdiri dan mendekati dua orang pengawalnya yang sejak tadi memperhatikan tingkah-laku bapak dan anak itu.

“Kalian pulang duluan. Aku akan membujuk putri- ku!” kata Bongkap kepada kedua pengawalnya.

Ashiong dan Achen mengangguk hormat. Kemudian mereka segera berlalu meninggalkan Bongkap dan pu- trinya.

Setelah kepergian kedua pengawalnya, Bongkap kembali menghampiri putrinya.

“Sebenarnya persoalan apa yang sedang kamu ha- dapi, Sayang?” tanya Bongkap, berdiri  di  belakang Bong Mini sambil menyentuh kedua bahunya.

Bong Mini masih diam tanpa bergeming sedikit pun. Hal ini membuat Bongkap prihatin. Putrinya yang se- lama ini lincah, manja dan penuh senyum, berubah seperti dihujam penderitaan yang amat dalam.

“Papa...,” desah Bong Mini akhirnya. Tapi badannya tetap tak bergerak.

“Hm...? Ada apa, Sayang?” tanya Bongkap dengan wajah agak gembira karena putrinya yang sejak tadi terdiam, kini sudah mulai berbicara.

“Ke mana Papa pergi semalam?” tanya Bong  Mini lagi

Wajah Bongkap tersentak kaget. Namun dengan ce- pat ia merubah sikapnya.

“Papa jalan-jalan, cari udara malam,” dusta Bong- kap. Bong Mini membalikkan badannya. Matanya yang tajam menatap kedua mata papanya. Tepat mengenai manik-maniknya. Membuat perasaan Bongkap berge- tar. Baru kali ini ia melihat tatapan putrinya demikian menusuk hatinya.

“Kenapa Papa selalu berdusta setiap saya menanya- kan kepergian Papa pada waktu malam?” suara Bong Mini begitu tegas dan menyengat telinga Bongkap.

“Papa.... Papa tidak bohong, Sayang,” jawab Bong- kap gugup. Wajahnya tampak gusar.

Bong Mini menarik napas. Lalu  maju  dua  langkah ke depan dengan pandangan mata yang jauh dan ko- song.

“Saya tidak menduga sama sekali kalau selama ini Papa memberi saya makan dengan cara yang tidak halal!”

Bongkap benar-benar kaget mendengar perkataan putrinya itu. Wajahnya yang sejak tadi kelihatan  gu- sar, berubah menjadi pucat.

“Kamu jangan menuduh papa seperti itu, Sayang. Papa memberi kamu makan dari hasil jerih payah dan keringat papa sendiri,” kata Bongkap tetap bersuara lunak.

“Tapi perjuangan yang selama ini Papa lakukan te- lah menimbulkan banyak korban,” sergah Bong Mini. Lalu tubuhnya dibalikkan dan bersitatap dengan pa- panya. “Saya sedih, Papa. Orang yang selama ini saya kagumi dan saya hormati ternyata hanya seorang pe- rampok! Papa..., saya anak perampok! Saya anak pe- rampok!” Bong Mini menjatuhkan tubuhnya lesu sam- bil menangis tersedu-sedu di hamparan rumput.

Ucapan Bong Mini terdengar bagai  halilintar  di siang bolong di telinga papanya. Karena perbuatan ja- hat yang selama ini  ditutup-tutupi oleh Bongkap ak- hirnya terbongkar juga.

“Bagaimana kamu tahu kalau papa telah  melaku- kan perampokan?” tanya papanya penuh selidik.

Sambil terisak menangis, Bong Mini menceritakan mimpinya yang bertemu dengan mamanya.

“Ternyata apa yang disuruh Mama itu tidak lain un- tuk memperlihatkan perbuatan Papa di hadapanku,” kata Bong Mini mengakhiri ceritanya.

Bongkap tertunduk lesu mendengar cerita putrinya. Ia berkesimpulan bahwa walaupun istrinya telah mati, tapi tetap memperhatikan sepak-terjangnya sebagai tanda cinta dan kasih sayang. Dan  untuk menegurnya, ia menyuruh Bong Mini lewat mimpi.

“Maafkan saya, Papa. Saya tak bermaksud melukai hati Papa. Saya ingin menuruti apa yang Mama pesan- kan pada saya lewat mimpi,” lirih Bong Mini dengan tatapan mata sendu.

“Kamu tidak salah, Sayang,” kata Bongkap dengan suara yang bergetar menahan haru. “Tapi papa juga harus bercerita agar kamu tahu kenapa papa sampai menjadi perampok,” Bongkap menghela napas. Ma- tanya memandang pada kejauhan.

“Sebenarnya papa juga merasa berat untuk mela- kukan perampokan. Tapi melihat rakyat papa yang menderita kelaparan dan selalu terdengar berita ten- tang pencurian harta dan makanan di kalangan pen- duduk, akhirnya papa melakukan juga. Kemudian har- ta hasil dari rampokan itu papa bagikan kepada mere- ka. Sedangkan sebagiannya lagi papa simpan untuk kebutuhanmu,” Bongkap menceritakan apa yang membuatnya terseret pada kejahatan merampok.

Bong Mini mendengarkan cerita papanya itu dengan sungguh-sungguh.

“Papa menyimpan sebagian hasil rampokan itu ka- rena sadar bahwa kamu yang sudah beranjak menjadi gadis remaja tentu sangat membutuhkan harta itu,” sambung Bongkap menjelaskan.

Bong Mini yang sejak tadi mendengarkan cerita pa- panya menjadi terharu. Ia tidak mengira sama sekali kalau perampokan yang selama ini dilakukan papanya merupakan tanda bukti kecintaannya pada rakyat dan diri Bong Mini.

“Kalau memang kamu tidak puas dengan keterus- terangan papa, kamu boleh menghukum papa. Tapi jangan melibatkan para pengawal papa yang ikut me- rampok!” kata Bongkap lagi penuh ksatria.

“Papa?” desah Bong Mini seraya menatap papanya dengan tatapan sendu.

“Kau punya hak untuk melakukan itu, Sayang.” “Tidak, Papa. Siapa pun Papa dan apa pun yang te-

lah Papa lakukan selama ini,  Papa  tetap  orangtua saya,” kata Bong Mini lirih. Butir-butir air matanya mulai menggenang kembali di pelupuk matanya kare- na menahan haru. “Saya cuma  menuruti  perintah Mama dalam mimpi,” lanjut Bong Mini.

Bongkap terharu mendengar ucapan putrinya. Di- rengkuhnya tubuh putrinya itu dan dipeluknya erat. Pada saat itu, ia kembali teringat pada istrinya, Sinyin. “Mamamu memang  orang  yang  sangat  baik,  Sa- yang,” ucap Bongkap dengan suara tersendat dan ber- getar karena menahan haru. “Dia seorang perempuan yang patut menjadi panutanmu. Sewaktu hidupnya, mamamu sering memperhatikan papa dan menegur papa jika berbuat kesalahan, tanpa ada rasa takut. Se- luruh hari-hari yang dilaluinya dia curahkan untuk mengurusmu dan papa,” lanjut Bongkap, mengenang

kembali kasih sayang dan kesetiaan istrinya.

Bongkap, walaupun berjiwa beringas dan kasar, ia selalu lembut bila sudah berada di tengah  keluar- ganya. Kepandaiannya dalam bermain ilmu silat, kega- gahan dan keganasannya di tengah pertempuran tak akan tampak lagi bila sudah berada di rumah. Tak sa- tu pun orang yang dapat menaklukkan dia atau mere- dakan kekasarannya, hanya Sinyin, istrinya. Lewat ke- lembutan hatinya, Sinyin dapat meluluhkan keberin- gasan Bongkap. Lewat nalurinya  sebagai  perempuan, ia berhasil menggiring Bongkap untuk menjadi orang bijak. Membuat Bongkap semakin cinta dan sayang sa- ja kepada istrinya. Sehingga kematian istrinya yang tragis ketika melawan pasukan kerajaan yang mengha- langi kepergian mereka sangat meluluhkan hatinya.

“Papa,” desah Bong Mini dalam dekapan papanya. “Hm...? Ada apa, Sayang?” Bongkap mengusap-usap

kepala putrinya.

“Maukah Papa  mengabulkan  satu  permintaan saya?”

“Katakan. Katakan, Sayang. Papa akan mengabul- kannya,” kata Bongkap cepat.

Bong Mini melepaskan pelukannya. Dipandangnya wajah papanya dengan senyum lembut dan wajah ber- seri.

“Papa sungguh-sungguh?” “He-em!”

“Begini, Pa,” kata Bong Mini mulai mengemukakan keinginannya. “Kebutuhan saya sekarang sudah terpe- nuhi. Rakyat pun  sudah  kelihatan  hidup  membaik. Jadi saya mengajukan suatu permintaan kepada Papa untuk tidak lagi melakukan perampokan,” lanjut Bong Mini, mengajukan permohonannya.

Bongkap tercenung beberapa saat mendengar per- mintaan putrinya. Dia tidak mengira kalau hanya itu yang menjadi permintaan putrinya. “Papa mau mengabulkannya, kan?”

“Sebuah permintaan yang mulia, tentu saja akan papa kabulkan!” sahut Bongkap tersenyum.

“Benarkah itu, Papa?” tanya Bong Mini meyakinkan. Bongkap mengangguk.

“Oh, Papa!” keluh Bong Mini. Dipeluknya papanya sekali lagi. Baginya tidak ada hari yang lebih berharga dan penuh suka cita selain hari itu.

***

7

Yang Seng, pemimpin Partai Persatuan Ular Hitam bersama anak buahnya sedang mencari Bongkap. Me- reka menyusuri dari warung ke warung, lembah ke lembah sampai akhirnya mencari ke seluruh hutan be- lantara di kawasan itu. Tapi orang yang mereka cari tidak diketemukan, sampai akhirnya mereka beristira- hat karena lelah.

Di saat rombongan Partai Persatuan Ular Hitam tengah duduk beristirahat di Bukit Londa, tiba-tiba mereka tersentak mendengar derap langkah kuda yang datang dari kejauhan.

“Tuanku!” seru Aloy, salah seorang anak buah Yang Seng yang tangan kanannya sudah terputus karena sabetan pedang Bongkap. “Bukankah orang yang ber- kuda itu si Achiang?” lanjut Aloy dengan pandangan mata yang tak henti-hentinya memperhatikan dua pe- nunggang kuda yang berjalan ke arah mereka.

Yang Seng menyipitkan mata, mengawasi dua pe- nunggang kuda itu.

“Hm..., ada apa lagi dengan anak buahku itu,” gu- mam Yang Seng ketika melihat seorang anak buahnya tampak tertelungkup tak berdaya  di  punggung  kuda, di belakang Achiang.

“Halau mereka dan suruh ke sini!” perintah Yang Seng kepada anak buahnya.

“Siap, Tuan!” ucap Aloy. Dengan ilmu peringan tu- buhnya ia melesat cepat untuk menghadang temannya yang sedang memacu kuda.

Tidak lama kemudian, Aloy telah kembali lagi ber- sama-sama temannya yang berkuda tadi.

Yang Seng langsung mendekati anak buahnya yang tergeletak mati di atas punggung kuda. Kemudian wa- jahnya mendadak berubah tegang saat menatap tiga anak buahnya yang lain yang membawa mayat itu.

“Apa yang terjadi dengan kalian?” tanya Yang Seng geram.

“Kami..., kami mendapat rintangan dari seorang pe- rempuan asing ketika hendak membawa anak gadis pemilik warung itu, Tuanku!” jawab Achiang. Ternyata keempat orang itu adalah orang-orang yang telah dika- lahkan oleh Bong Mini ketika terjadi perkelahian di ha- laman warung nasi. Dan orang yang mati itu bernama Bodong.

“Goblok!” Plak! Plak!

Yang Seng menampar wajah Achiang dengan keras, sehingga lelaki itu meringis kesakitan.

“Kenapa? Kenapa kalian semua jadi goblok begini? Si Aloy yang kusuruh memimpin pengawalan barang untuk mengantar ke seberang Pantai Cina tidak becus. Barang habis dan tangannya buntung karena terbabat pedang perampok yang bernama Bongkap. Sekarang kau yang kusuruh menagih hutang dan bunganya ke- pada pemilik warung tua-renta itu pun tidak becus. Dan kali ini lebih memalukan. Karena si Bodong mati di tangan seorang perempuan.  Puih!”  geram  Yang Seng. Diludahinya wajah Achiang. Matanya berkilat- kilat merah bagai kobaran api yang siap menjilat dan membakar.

“Tapi, Tuanku...!”

“Sudah, jangan kasih alasan! Kekuasaanku di nege- ri ini telah kalian coreng dengan kebodohan kalian. Sekarang juga kalian harus menghapus coreng itu!” potong Yang Seng kepada seluruh anak buahnya.

“Bagaimana caranya, Tuanku?” tanya Achiang ta- kut-takut

“Puih!” Yang Seng kembali meludahi wajah Achiang yang semakin ketakutan. “Inilah akibatnya  kalau  di otak kalian hanya bersarang perempuan, perempuan, perempuan!”

Semua anak buahnya terdiam dengan wajah me- nunduk. Tak seorang pun berani melihat kemarahan Yang Seng, pemimpin mereka.

“Kalian semuanya harus mencari kedua orang itu sampai dapat. Kalau perlu, penggal leher mereka dan kepalanya bawa kepadaku!” perintah Yang Seng. Ke- mudian ia melompat ke punggung kuda dan mema- cunya cepat menuju markas.

“Ini semua gara-gara kamu!” kini Aloy yang ganti memarahi Achiang.

“Kau juga sama!” berang Achiang.

“Aku wajar. Karena yang mengalahkanku seorang pemimpin perampok. Tapi kau...! Oleh seorang perem- puan? Bagaimana pemimpin kita tidak mau marah?” sengit Aloy, membela diri.

“Sudahlah, jangan bertengkar! Yang penting seka- rang juga kita harus mencari mereka!” tukas salah seorang lain berusaha menengahi. Akhirnya gerombo- lan yang berada di bawah panji Partai Persatuan Ular Hitam berangkat untuk melanjutkan pencarian me- nangkap Bongkap dan Bong Mini.

***

Bongkap dan Bong Mini atau lebih tepat disebut Sepasang Pendekar dari Selatan, tengah menunggang kuda perlahan-lahan. Keduanya menikmati peman- dangan yang cukup indah. Apalagi saat itu waktu menjelang senja. Sehingga pemandangan di ufuk barat terlihat begitu mempesona, dihiasi dengan pancaran warna lembayung.

Waktu terus merayap perlahan-lahan. Matahari yang kini tergelincir di ufuk barat mulai menyembunyi- kan dirinya di balik perbukitan. Sedangkan pesta war- na di cakrawala pun mulai pudar perlahan-lahan. Ber- ganti dengan kabut yang mulai turun menyelimuti bumi. Malah pohon-pohon pegunungan yang mengelili- ngi mereka telah lenyap ditelan kabut yang amat tebal. “Sudah hampir malam. Kita percepat kudanya,

Sayang,” kata Bongkap, ketika melihat sekelilingnya mulai temaram.

Tanpa memberi sahutan, Bong Mini langsung me- macu kudanya dengan cepat, mengimbangi lari kuda Bongkap.

Baru saja beberapa ratus meter mereka memacu kuda, tiba-tiba Bongkap memberi isyarat kepada putri- nya untuk waspada. Sedangkan langkah kudanya mu- lai diperlambat

“Ada apa, Papa?” tanya Bong Mini yang tidak men- gerti maksud papanya.

“Papa merasakan ada banyak orang di sekitar kita,” jawab Bongkap sambil memasang pendengarannya yang cukup peka. Mendengar penjelasan papanya, Bong Mini segera menyebar pandangan ke sekelilingnya. Tapi matanya tidak melihat siapa pun. Kecuali pepohonan yang mu- lai tertutup kabut.

“Saya tidak melihatnya, Papa,” desah Bong Mini. “Mereka bersembunyi di balik pepohonan,” sahut

Bongkap sambil terus memasang kepekaan telinganya, mengikuti langkah-langkah orang yang belum diketa- hui batang hidungnya.

“Apakah mereka berniat tidak baik kepada kita?” tanya Bong Mini sambil bersiap siaga.

“Begitulah tampaknya.”

Bong Mini mendesah. Matanya kembali liar menga- wasi sekitarnya.

“Kamu tetap di sini bersama papa. Kalau memang harus bertempur layani mereka semampumu. Tapi ka- lau sudah terdesak kau harus langsung keluar per- tempuran dan hubungi para pengawal,” kata Bongkap setengah berbisik.

“Bagaimana kalau sekarang saja sebelum mereka menyergap kita?”

“Itu akan membahayakanmu. Sebagian dari mereka tentu akan mengejar dan menangkapmu. Itu berarti akan mengganggu perhatian papa saat melayani se- rangan mereka,” sergah papanya dengan pandangan yang terus waspada.

Bong Mini mengangguk mengerti. Lalu menyebar- kan pandangannya kembali  ke  arah  semak-semak yang berada di sekitar mereka.

Tak lama mereka menunggu, akhirnya Sepasang Pendekar dari Selatan itu mulai melihat beberapa ke- pala manusia muncul dari kegelapan kabut. Langkah- langkah mereka terdengar halus ketika menghampiri Sepasang Pendekar dari Selatan yang terdiri dari ba- pak dan anak tersebut.

“Jumlah mereka cukup banyak, Papa,” ujar  Bong Mini agak khawatir juga. Sebab selama ini ia belum pernah bertempur dengan lawan yang lebih dari lima orang. Tapi kini, para pengepung yang menghampiri mereka berjumlah sekitar dua puluh orang. Sungguh bukan suatu tandingan yang seimbang.

“Kau jangan gentar sebelum bertanding, Putriku!” Bongkap memperingatkan dengan pandangan yang te- rus waspada ke arah rombongan yang mulai mendeka- ti mereka.

“Papa!” pekik Bong Mini tiba-tiba. “Tiga orang dari mereka pernah saya kenal. Mereka orang-orang yang pernah saya kalahkan di warung tempo hari,” lanjut Bong Mini sambil terus memperhatikan ketiga orang yang pernah dikalahkannya itu. Mereka tidak lain Achiang, Japra, dan Kedot.

“Bagus. Kalau begitu mereka satu kelompok.” “Maksud Papa?”

“Tangan lelaki yang buntung itu merupakan ke- nang-kenangan dari papa ketika merampok mereka,” jawab Bongkap menjelaskan.

“Hm...,” gumam Bong Mini. “Jadi Papa merampok harta perampok?”

“Yah, ini suatu kebetulan,” sahut Bongkap. Kalau bukan dalam suasana seperti itu mungkin mereka su- dah tertawa. Karena merasa lucu ada perampok yang dirampok.

Tidak lama kemudian, gerombolan itu sudah me- ngelilingi Sepasang Pendekar dari Selatan.

“Hi hi hi..., rupanya kita bertemu lagi!” cetus Bong Mini. Ia tertawa melihat ketiga orang yang pernah dika- lahkannya itu.

“O, jadi  perempuan  ini  yang  mengalahkanmu  dan membunuh si Bodong?” tanya Aloy kepada Achiang, setengah mengejek.

Achiang mendengus. Ia merasa malu.

“Ya. Mereka telah dikalahkan oleh putriku. Dan kau sendiri telah kehilangan satu tanganmu oleh sabetan pedangku,” Bongkap menjawab dengan nada setengah mengejek.

Kini Aloy yang ganti mendengus. Wajahnya berubah geram saat memandang Bongkap.

“Kemarin lalu kau boleh menang.  Tapi  sekarang, kau tidak akan kubiarkan hidup!” bentak Aloy geram.

Bongkap tertawa terbahak-bahak begitu mendengar ucapan Aloy.

“Jangan bermulut besar! Nanti malah kepala bo- takmu yang terbelah dua!” ejek Bongkap,  membuat Aloy yang berkepala botak itu semakin geram.

“Bangsat! Jangan kau pikir karena tanganku bun- tung lalu tak bisa menghadapimu, heh!” dengus Aloy dengan muka merah menyala. Bersamaan itu pula tangan kirinya menarik pedang yang terselip di pung- gungnya.

Sreset!

Bongkap tertawa tergelak-gelak melihat musuhnya yang berkepala botak mencabut pedang.

“Sebaiknya kau urungkan niatmu itu untuk mem- balas dendam. Aku tidak sampai hati membelah kepa- lamu yang licin itu!”

Lagi-lagi Bongkap mengejek, membuat Aloy naik pi- tam.

“Seraaang!”

Aloy memberi komando kepada teman-temannya. Maka secepat itu pula orang-orang dari Partai Persa- tuan Ular Hitam segera menyerang Sepasang Pendekar dari Selatan dengan cepatnya. “Hiaaat!”

Orang-orang itu menyerang Bongkap dan Bong Mini dengan jurus-jurus kungfunya. Mereka melompat se- rempak sambil mengarahkan tendangannya ke arah pasangan bapak dan anak itu.

Sepasang Pendekar dari Selatan yang sejak tadi su- dah siap menunggu serangan mereka, dengan mudah mengelakkan serangan itu. Tubuh keduanya melompat dan berputar-putar di atas. Kemudian turun kembali dan berdiri tegak di atas tanah dengan ringannya.

“Hiaaat!”

Bong Mini menyerang lawan dengan jurus-jurus kungfunya yang hampir sempurna. Dia melompat sam- bil menendangkan kakinya ke arah lawan. Tapi dengan gesit pula lawannya mengelak sambil mengadakan se- rangan yang disertai pukulan-pukulan tenaga dalam.

“Hiaaat! Huh!”

Tubuh Bong Mini berguling-guling di atas tanah un- tuk menghindari pukulan-pukulan yang beruntun.

Celaka! Aku harus benar-benar waspada mengha- dapi mereka, bisik hatinya seraya memasang jurus- jurus kungfunya. Namun, belum sempat ia menarik napas, tiba-tiba serangan dari berbagai penjuru telah datang menghujaninya.

Bong Mini kembali melompat ringan. Lalu turun dengan membuat gerakan salto. Begitu berdiri, tangan kanannya telah menggenggam sebilah pedang. Ia me- rasa kewalahan menghadapi musuh yang begitu ba- nyak.

Sementara itu, Bongkap masih tegar menghadapi lawannya yang berjumlah sepuluh orang. Lewat jurus- jurus kungfu ‘Tanpa Bayangan’, ia berhasil menghada- pi lawannya dengan baik.

“Hiaaat!” Trak!

Bongkap melompat dengan gerakan berputar seperti gangsing. Lalu kedua kakinya diadukan dengan dua kepala lawannya dengan keras. Sehingga kedua kepala lawannya itu retak, diiringi darah segar yang mengalir serta jeritan kematian yang menggetarkan hati. Se- hingga kedua orang itu ambruk dengan kepala yang mengerikan.

Itulah salah satu jurus kungfu ‘Tanpa Bayangan’. Gerakannya yang begitu cepat tanpa terlihat lawan. Setiap gerakan pasti merenggut nyawa lawan.

Melihat kedua temannya mati mengenaskan, bebe- rapa orang di antara mereka menjadi gentar. Pikir me- reka, lebih baik mati di ujung pedang daripada mati menderita dengan kepala terbelah dua seperti itu.

Sedangkan di pihak lain, Bong Mini  pun  mati- matian membela diri dengan mengeluarkan  jurus- jurus kungfu dan pedangnya. Jurus ‘Pedang Samber Nyawa’ yang ia keluarkan pada pertempuran dahsyat itu sedikit membantunya untuk dapat bernapas dan bergerak bebas.

“Hiaaat!” Bret!

Bong Mini mengeluarkan jurus ‘Gangsing’. Badan- nya diputar di udara. Kemudian dengan gerakan me- nendang, kedua kakinya turun di atas kepala lawan seraya mengayunkan pedangnya dengan cepat. Aki- batnya, salah seorang lawannya terkena sasaran pe- dang pada bagian samping lehernya.

Sret! “Aaakh!”

Seketika itu juga lawan yang terkena sabetan pe- dang Bong Mini tergolek tanpa nyawa.

Pertempuran berlangsung semakin gesit. Tiga orang dari Partai Persatuan Ular Hitam telah terguling ber- simbah darah. Sehingga para pengeroyok berkurang menjadi enam belas orang. Namun demikian tetap membuat Bong Mini kewalahan. Karena serangan- serangan dari lawannya semakin gencar dan beringas.

“Hiaaat!”

Tiba-tiba tubuh Bong Mini melenting tinggi dan tu- run tepat di dekat Aloy.

Bret! Bret!

Sabetan pedang Bong Mini merobek perut Aloy dua kali. Membuat Aloy yang sejak tadi hanya tertawa ter- bahak-bahak menyaksikan Bongkap tersudut oleh te- man-temannya berdiri limbung. Hanya sebentar ia ber- tahan berdiri, lalu ambruk dengan perut menganga le- bar sehingga isi perutnya terlihat jelas.

Melihat terkaparnya Aloy di tangan Bong Mini, se- mua penyerangnya ternganga. Mereka tidak menyang- ka kalau lompatan Bong Mini yang tinggi itu justru un- tuk menyambar Aloy yang sedang lengah.

“Bangsat!”

Geram mereka dengan mata merah menyala mena- tap Bong Mini.

Sret! Sret!

Mereka mencabut pedang dan golok dari sarungnya. Lalu serentak menyerang Sepasang Pendekar dari Se- latan itu dengan sabetan-sabetan pedang dan golok- nya.

Waktu terus merayap.

Matahari di ufuk barat telah terlena di peradu- annya. Berganti dengan kabut pekat yang perlahan- lahan turun menyelimuti bumi.

Sementara itu, pertempuran terus berlangsung. Se- bagian pasukan Partai Persatuan Ular Hitam telah ba- nyak yang tergeletak bermandi darah. Ketinggian ilmu silat orang-orang Partai Persatuan Ular Hitam memang sudah terbaca oleh Bongkap. Mereka  masih  berada jauh di bawah kemampuannya. Malah satu tingkat di bawah kemampuan putrinya, Bong Mini. Namun de- mikian bukan berarti Sepasang Pendekar dari Selatan ini dapat dengan mudah menjatuhkan para lawan. Se- bab yang mereka hadapi bukan dua atau tiga orang.

Melihat keadaan suasana semakin gelap, hanya di- sinari oleh rembulan yang remang-remang, Bong Mini ingin mengakhiri pertempuran secepatnya. Namun la- wannya masih begitu banyak, menyerang dengan ga- nasnya. Sehingga tidak mungkin baginya untuk meng- akhiri pertempuran secepatnya yang diharapkan.

Bong Mini segera membuka jurus barunya yang bernama jurus ‘Loncat Kodok’. Jurus ini digunakan untuk membingungkan lawan dengan gerakan melom- pat-lompat sambil mencari kelengahan lawan.

Trangngng!

Benturan senjata mereka menimbulkan pijar-pijar api. Dan pijaran api itu terlihat terang karena berada dalam kegelapan.

Wettt!

Bong Mini menyabetkan pedangnya ke arah lawan. Tapi kali ini gagal, karena dengan cermat lawan yang berada di depannya melompat sambil melancarkan se- rangan balasan ke arah Bong Mini. Disusul dengan se- rangan lawan yang ada di sekitarnya.

Wet! Wet!

Dua bilah pedang lawan menyambar kakinya yang sedang melompat-lompat bagai kodok. Tapi untung Bong Mini melihat serangan itu dengan cermat. Lalu tubuhnya bersalto dan berdiri tepat di dekat papanya yang sibuk melancarkan serangan.

Kedua punggung kedua bapak dan anak itu saling bersentuhan. Mereka sama-sama menangkis dan me- lancarkan serangan.

Trangngng!

Bong Mini berhasil menangkis serangan. Untuk se- rangan yang kedua, mau tidak mau ia bersalto, begitu pula dengan Bongkap. Karena serangan itu sangat ce- pat dan penuh tenaga.

Trangngng! Trangngng! Trangngng!

Tubuh Bong Mini terguling ke tanah dengan keras sekali. Benturan golok lawan dengan pedangnya me- nyebabkan ia semakin terdesak ke belakang. Sedang- kan tenaganya sudah hampir terkuras habis.

Lima orang lawannya semakin gencar menyerang- nya. Mereka mengurung Bong Mini dari setiap sudut. Membuat gerakan Bong Mini semakin menyempit. Se- dang dari depan, sebilah pedang lawan siap menghu- jam ke arahnya.

Dalam keadaan tidak berdaya, tiba-tiba sebuah sa- betan pedang serta pukulan mendarat di tubuh para pengeroyok Bong Mini, sehingga dua di antara penge- royok itu terkapar dengan kepala terpisah dari badan- nya. Dan pada kesempatan yang baik itu, tubuh Bong Mini segera melesat ke atas lalu hinggap di atas  se- buah batang pohon. Di sana ia istirahat sejenak untuk mengembalikan tenaganya sambil menyaksikan pa- panya yang melawan delapan orang dari Partai Persa- tuan Ular Hitam.

Bongkap sudah kehilangan kesabaran. Ia ingin se- gera mengakhiri pertempuran itu dengan mengerahkan kepandaian ilmu kungfunya yang paling tinggi. Se- hingga dalam waktu singkat kedelapan lawannya jatuh tersungkur bermandi darah, lalu tergeletak tak sadar- kan diri.

Bongkap berdiri  tegak  melihat  tubuh  para  lawan yang sudah tergeletak dalam kegelapan. Ia menarik napas lega sambil memandang ke atas pohon. Bertepa- tan dengan itu, tubuh Bong Mini sudah melesat turun dengan ringan. Kemudian disambut oleh kedua tangan Bongkap yang kekar.

“Hep!”

Dengan tepat Bongkap menangkap tubuh putrinya yang mungil itu dan menggendongnya. Dan dalam ge- lap itu keduanya tersenyum dan berpelukan dengan gembira.

“Ayo, kita pulang!” ajak Bongkap seraya menurun- kan tubuh putrinya. Lalu keduanya naik ke punggung kuda. Dua bayangan mereka melesat cepat menembus kegelapan.

***

Malam bertambah larut. Kegelapan semakin pekat, tanpa cahaya bulan dan bintang sedikit pun. Sedang- kan kabut sudah sepenuhnya menutupi pepohonan hingga tak jelas bentuknya.

Di pertengahan jalan, ketika hampir sampai di ru- mah, tiba-tiba mereka berpapasan dengan empat orang pengawalnya. Ashiong, Achen, dan Sang  Piao  dan  A Ing. Bongkap heran melihat keempat pengawal keper- cayaannya seperti dikejar-kejar hantu.

“Ada apa dengan kalian?” tanya Bongkap dengan wajah cemas.

“Ada penyerangan mendadak!” jawab Ashiong de- ngan napas yang tak beraturan.

“Maksudmu?”

“Segerombolan orang bertopeng telah menyerang tempat tinggal Tuan!”

“Siapa lagi orang yang mencari masalah ini!” suara Bongkap terdengar begitu geram. Baru saja ia menye- lesaikan satu persoalan, kini  datang  lagi  persoalan lain, pikirnya.

“Hanya tujuh pengawal yang bisa menyelamatkan diri. Kami berempat dan tiga orang lagi pergi entah ke mana dengan menyelamatkan tiga dayang,” lanjut A- shiong memaparkan.

“Bangsat! Kenapa tidak kalian lawan saja?!”

“Kami sudah berusaha mengadakan perlawanan, Tuanku. Tapi jumlah mereka sangat banyak. Daripada kami dan para dayang mati konyol, lebih baik meng- hindar agar dapat mengabarkan hal ini kepada Tua- nku,” jawab Ashiong memberi alasan.

“Kita harus buat perhitungan!” kini Bong Mini yang terlihat geram. Karena saat itu malam, wajahnya yang berubah merah tidak terlihat.

Setelah Bongkap dan Bong Mini mendapat ketera- ngan itu, mereka pun segera memacu kuda menuju rumah mereka.

***

Bongkap dan Bong Mini atau Sepasang  Pendekar dari Selatan berdiri menatap para pengawalnya yang terkapar mati bersimbah darah. Wajah keduanya tam- pak gusar menahan marah.

“Mereka terbunuh saat menghalangi orang-orang bertopeng yang akan mencari harta Tuanku!” Ashiong menjelaskan.

“Ada yang berhasil mereka bawa?” tanya Bongkap dengan pandangan mata yang masih tertuju ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan.

“Tidak ada, Tuanku.” Hening.

Bongkap dan Bong Mini melihat-lihat bekas sera- ngan yang dilancarkan oleh kawanan orang bertopeng. Seluruh isi rumah habis diobrak-abrik oleh kawanan orang bertopeng itu. Membuat hati mereka semakin terbakar untuk melakukan balas dendam.

Setelah semua ruangan diteliti, Bongkap kembali keluar dan duduk di bangku kebesarannya.

“Kita benar-benar harus buat perhitungan,” geram Bongkap.

“Benar, Tuanku. Tapi dengan pasukan kita yang se- perti ini, apa kita  mampu  mengalahkan  mereka?” tanya Ashiong.

“Kamu gentar?” tanya Bongkap dengan mata mena- tap tajam.

“Sama sekali tidak. Selama darahku masih berwar- na merah, selama itu pula kesetiaanku terhadap Bongkap!” sahut Ashiong.

Bongkap mengangguk-angguk kagum. “Lalu kenapa kamu ragu?”

“Saya hanya tidak ingin kita mengorbankan orang- orang lemah yang tidak berdosa!”

“Jadi?”

“Tuanku harus benar-benar memilih orang-orang tangguh berkepandaian kungfu yang bisa diandalkan!”

Bongkap kembali mengangguk-angguk. Dia mem- benarkan cara berpikir Ashiong. Namun sebelum ia menimpali ucapan Ashiong, tiba-tiba salah seorang pengawal dari tiga orang yang menyelamatkan diri ber- sama tiga orang dayangnya datang, ia bersimpuh di hadapan Bongkap dengan napas terengah-engah.

Bongkap dan Bong Mini meloncat kaget dari kursi- nya seraya memandang kedatangan pengawal itu.

“Apa yang terjadi? Dan mana kedua temanmu yang membawa ketiga dayang itu?” tanya Bongkap dengan napas yang memburu saking marahnya.

“Maafkan saya, Tuanku. Sekelompok orang yang tak dikenal telah menyerang kami. Dua pengawal mati se- dangkan para dayang Tuanku telah dibawa kabur oleh mereka,” lapor pengawal itu.

Bongkap mendengus keras. Malam itu ia benar- benar menghadapi persoalan-persoalan berat. Belum selesai persoalannya dengan kawanan orang bertopeng itu, sudah datang lagi persoalan baru. Dia benar-benar pusing dan geram. Urat-urat di sekitar keningnya keli- hatan menonjol pertanda bahwa pikirannya tengah di- landa ketegangan yang memuncak.

“Ini pasti pekerjaan mereka!” dengus Bong Mini dengan berdiri garang sebagaimana seorang pendekar.

“Siapa mereka?” Bongkap terperanjat mendengar ucapan putrinya.

“Orang-orang yang baru saja kita kalahkan tadi,” jawab Bong Mini.

Bongkap lagi-lagi mendengus. Dia benar-benar ma- rah terhadap orang-orang liar yang selalu memburu perempuan itu.

“Kita harus cepat-cepat bertindak, Papa!” usul Bong Mini, gusar.

“Itu sudah menjadi pikiranku, Putriku!” sahut Bongkap, sementara matanya menatap kosong ke de- pan. “Tapi kita harus punya perhitungan yang ma- tang!”

“Maksud Papa?”

“Kita bukan hanya akan berhadapan dengan para penculik itu, tetapi juga akan berhadapan dengan ke- tua mereka yang tentunya tidak bisa diremehkan!” sa- hut papanya.

Bong Mini terdiam mengerti “Ashiong!”

“Saya, Tuanku!”

“Persiapkan dirimu.  Latih  kembali  jurus-jurusmu, aku akan melihatnya!” kata Bongkap kepada Ashiong dan keempat pengawal lainnya.

“Baik, Tuanku!”

“Kau juga, Putriku!” Bongkap menoleh pada pu- trinya.

“Apa yang Papa katakan akan saya turuti,” sahut Bong Mini, sigap.

Setelah mendapat perintah itu, Bong Mini dan para pengawal lainnya yang hanya tinggal lima orang segera menuju tempat mereka berlatih.

“Aku harus segera menyingkirkan segala macam ko- toran yang ada di tanah tempatku berpijak ini!” Bong- kap bergumam seperti berjanji pada dirinya sendiri. Lalu ia pun segera menuju tempat di mana  putrinya dan para pengawal berlatih jurus-jurus kungfu.

***

8

Dengan langkah-langkah gagah, Bong Mini bersama para pengawal kepercayaan papanya memasuki rua- ngan latihan silat. Disusul kemudian dengan  kehadi- ran Bongkap.

“Ashiong!” ujar Bongkap seraya mendekati mereka yang sudah berkumpul, siap melaksanakan latihan.

“Cobalah kamu uji kemampuan putriku!” perintah Bongkap. Hal itu karena Ashiong mempunyai ilmu ju- rus kungfu yang setingkat lebih tinggi dari pengawal lainnya. Apalagi jika dibandingkan dengan putrinya.

“Siap, Tuanku!” ucap Ashiong membungkuk  hor- mat.

“Dan kau  putriku.  Berlatihlah  sungguh-sungguh. Anggaplah latihan ini sebagai pertempuran dua orang lawan yang hendak saling menjatuhkan!” kata Bong- kap kepada putrinya.

“Ya, Papa!” sahut Bong Mini patuh.

“Nah, mulailah!” ucap papanya memberi aba-aba. Lalu ia bersama para pengawal lainnya mengambil tempat duduk di sudut ruang latihan untuk menonton. Sedangkan Ashiong dan Bong Mini meletakkan pe- dangnya masing-masing. Kemudian kembali ke tengah ruang latihan silat dengan kuda-kuda yang saling ber- hadapan seperti dua naga yang benar-benar hendak bertarung. Segala macam perasaan tidak enak karena saling kenal segera mereka hilangkan. Begitu pula dengan Ashiong yang tidak lagi memandang Bong Mini sebagai putri raja, melainkan dianggapnya sebagai musuh besar agar latihan keduanya benar-benar se- perti dalam pertempuran sungguhan.

Karena keduanya sudah saling menganggap musuh, maka keduanya pun lebih dulu mengamati lawannya dengan sinar mata yang tajam dan penuh penilaian. Ashiong melihat betapa Bong Mini tersenyum kecil ke arahnya. Sedangkan sikap Bong Mini sendiri seperti memandang rendah ke arahnya. Ditambah dengan wa- jahnya yang berseri, seakan-akan hatinya tengah ber- gembira. Di hati Ashiong timbul rasa suka. Ia membe- rikan penilaian bahwa gadis yang berusia enam belas tahun di hadapannya itu mempunyai watak periang. Sehingga pandangannya yang semula  menganggap Bong Mini sebagai lawan berubah menjadi kasihan. Akhirnya dia berpikir untuk menjaga tubuh putri ra- janya agar tidak sampai cidera.

“Bong Mini segeralah menyerangku!” tantang A- shiong. Dia ingin segera memulai latihan yang serius itu. Karena selama ini ia tidak punya kesempatan un- tuk berlatih. Terkecuali bertempur dan bertempur lagi. “Baiklah. Tapi alangkah baiknya engkau dulu yang

melakukan serangan. Bukankah engkau sebagai peng- ujiku?” kata Bong Mini dengan bibir tersenyum lebar.

“Baiklah kalau itu kehendakmu. Bersiaplah!” kata Ashiong sambil menerjang dengan memainkan jurus ‘Bangau Mematuk Mangsa’. Jari-jari kedua tangannya dipertemukan lurus seperti paruh burung bangau me- matuk pelan, namun mengandung tenaga dalam yang amat dahsyat

Wuttt!

Bong Mini agak kaget juga ketika merasakan sam- baran angin pukulan yang amat kuat itu. Tetapi dia sendiri maklum karena pemuda yang ada di hadapan- nya itu bukan orang yang sembarangan. Hampir se- mua jurus kungfu telah dimilikinya. Dan  jurus  ‘Ba- ngau Mematuk Mangsa’ baru kali ini ia lihat.  Terma- suk Bongkap dan para pengawal lainnya.

Memang benar kalau selama ini Ashiong belum per- nah mengeluarkan jurus ‘Bangau Mematuk Mangsa’. Selama ini jurus yang sering ia keluarkan hanya jurus- jurus yang diberikan Bongkap kepadanya. Termasuk saat menghadapi lawan.

Bong Mini cepat mengelak melihat Ashiong melan- carkan serangan dengan kedua tangannya yang me- lengkung seperti leher bangau. Tetapi dengan cepat pula tangan Ashiong meluncur ke pundak dan leher- nya. Kali ini serangannya menjadi lebih cepat dan ber- bahaya dari sebelumnya. Namun Bong Mini  sendiri yang mempunyai tubuh mungil dengan tangkas meng- imbangi kecepatan gerak jurus-jurus Ashiong. Dengan kecepatannya itu, kaki Bong Mini berhasil mengirim- kan tendangan ke perut Ashiong.

Des! Ashiong terpaksa menarik kembali tangannya keti- ka perutnya terhajar tendangan Bong Mini. Lalu ia mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan menya- bet ke kaki Bong Mini yang bergerak menendang kem- bali. Tetapi dengan cepat Bong Mini menyelamatkan kakinya dengan cara memutar tubuh sehingga luput dari sabetan tangan Ashiong. Namun belum sempat ia menarik napas, Ashiong sudah menerjang kembali. Se- rangannya kali ini merupakan satu jurus cengkeraman tangan ke arah ubun-ubun Bong Mini. Lalu disusul dengan pukulan tangan kiri ke arah dada Bong Mini.

“Ihhh...!” Bong Mini berseru keras dan segera me- narik tubuh ke belakang dengan posisi miring. Se- dangkan tangan kanannya diputar dari samping untuk menangkis tonjokan tangan lawan yang mengarah ke dadanya. Dibarengi dengan tusukan dua jari tangan kirinya yang balas menyerang ke arah mata lawan.

Diam-diam Ashiong mengagumi gerakan balasan Bong Mini yang indah dan berbahaya  itu.  Maka  dia pun segera menangkis dengan memutar lengannya.

Duk! Desss!

Dua kali sepasang tangan itu bertemu, mengaki- batkan tubuh keduanya terdorong ke belakang.

Plok! Plok! Plok!

Bongkap yang menyaksikan latihan seru itu segera memberi isyarat untuk berhenti dengan menepuk ta- ngan liga kali.

Bong Mini dan Ashiong segera bangun dengan nafas yang terengah-engah.

“Cukup. Sudah lebih dari cukup. Kalian telah mem- perlihatkan kepandaian yang mengagumkan!” puji Bongkap seraya menghampiri Ashiong dan putrinya. “Sudah lama aku tidak melihat kalian berlatih. Dan sekali melihat, kalian telah membuatku terkagum- kagum. Gerakan jurus-jurus kalian nampak begitu ce- pat dan hampir mencapai kesempurnaan.”

Bong Mini dan Ashiong saling berpandangan dan tersenyum senang karena mendapat pujian dari orang yang selama ini disegani.

“Mari kita kembali ke tempat!” lanjut Bongkap, mengajak para pengawal setianya. Mereka semua me- langkah meninggalkan ruang latihan.

Tidak lama kemudian mereka telah berada di ruang tengah yaitu sebuah tempat pertemuan khusus bila mereka mengadakan pembicaraan penting. Di sana mereka duduk melingkar dengan menghadapi meja hi- dangan yang cukup luas.

“Ashiong, Sang Piao dan kalian semua. Malam  ini kita akan membicarakan masalah khusus tentang la- wan-lawan yang akan kita hadapi!” kata Bongkap membuka percakapan.

Empat orang pengawal setianya tampak mengang- guk-angguk. Sedangkan mata mereka terus tertuju ke- pada Bongkap dengan penuh perhatian.

“Mulai besok kita harus sudah mencari orang-orang tangguh yang mau berkorban untuk kesejahteraan ra- kyat. Karena biar bagaimanapun keselamatan dan ke- tenteraman rakyat ada di tangan kita. Apalagi kehadi- ran kita ke sini sebagai orang asing yang telah diper- caya oleh mereka. Dan kepercayaan itu tentu saja ha- rus dipertanggungjawabkan sebagai balas budi!” lanjut Bongkap.

Keempat pengawal dan putrinya kembali mengang- guk-angguk. Segala hal yang  menjadi  pertimbangan dan pemikiran Bongkap sangat dihargai oleh empat orang pengawal dan putrinya. Oleh karena itu tidak terlalu banyak komentar. Melainkan tetap duduk sam- bil mendengarkan setiap ucapan Bongkap dengan baik.

Setelah beberapa lama Bongkap memberikan gaga- san dan pengarahan kepada empat orang pengawal- nya, mereka pun segera meninggalkan ruang perte- muan dengan membawa satu kesepakatan; berjuang demi rakyat! Walaupun darah dan nyawa yang menjadi taruhannya.

***

Dari hari ke hari, negeri Selat Malaka semakin dice- kam oleh kecemasan. Para penduduk yang tadinya hi- dup tenteram kini diburu oleh rasa takut terus- menerus. Apalagi jika waktu malam tiba, tak satu pun di antara mereka yang berani keluar rumah.

Senja itu ketika matahari rebah sepenggalah di ufuk barat, seorang gadis bertubuh mungil dengan pakaian silat ketat warna merah tampak berjalan dengan te- nang. Rambutnya yang dibiarkan bebas lepas tampak berayun-ayun, ditiup oleh semilir angin senja.

Gadis mungil dan cantik itu tidak lain adalah Putri Bong Mini. Sengaja hari itu ia tidak menggunakan ku- danya. Dia ingin lebih menyatu lagi dengan kehidupan alam negeri Selat Malaka, sebagaimana para penduduk aslinya.

Sesekali ia pun singgah pada tempat-tempat yang dicurigai. Siapa tahu dia bisa berpapasan dengan orang-orang Topeng Hitam. Atau ia mampir ke warung- warung dengan harapan bisa berjumpa dengan orang yang dicarinya, para pendekar yang mau diajak berga- bung untuk melawan para pengacau negeri.

Sedang asyiknya ia berjalan, tiba-tiba terdengar su- ara orang yang tertawa terkekeh.

“He he he..., sungguh luar biasa bila ada seorang gadis cantik berjalan sendirian di tempat sepi ini!” Bong Mini tersentak kaget sambil  memutar  badan- nya untuk memandang. Di sana,  dari  jarak  sepuluh meter, Bong Mini melihat tiga  lelaki  berdiri  menyeri- ngai ke arahnya. Umur ketiga lelaki itu sekitar empat puluh sampai lima  puluh  tahun.  Ketiganya  mengena- kan pakaian pangsi. Yang  seorang  bertubuh  tinggi  be- sar dengan otot-otot terlihat kokoh kuat dengan sepa- sang mata liar. Seorang lagi  berperawakan  sedang dengan jenggot panjang dan kusam di dagunya. Se- dangkan yang ketiganya bertubuh gendut pendek  se- perti bola. Dan semua wajah mereka kelihatan  hitam pekat seperti suku-suku primitif yang  hidup  terbela- kang.

“Siapa kalian? Dan mengapa membuntuti perja- lananku?” tanya Bong Mini tenang namun penuh te- naga. Sehingga kalimat yang dilontarkannya itu ter- dengar tegas berwibawa.

Ketiga lelaki tadi tertawa terkekeh mendengar per- tanyaan Bong Mini.

“Apakah Nona ingin berkenalan dengan kami? De- ngan senang hati kami menerimanya!” seloroh si muka hitam yang berjenggot kambing tak terurus.

“Puih! Siapa yang sudi berkenalan dengan kalian. Jangankan perempuan, lelaki pun akan berpikir  dua kali untuk berkenalan denganmu!” ketus Bong Mini dengan sepasang matanya mendelik indah.

Ketiga lelaki di depannya saling berpandangan. Wa- jah mereka terlihat geram.

“Kurang ajar sekali perempuan ini!” gumam seorang lelaki yang bertubuh tinggi dan berotot.

“Tenang. Gadis muda seperti dia memang lebih ba- nyak emosinya!” temannya yang berjenggot kambing menenangkan.

Setelah ketiganya  kembali  bersikap  tenang,  orang pendek yang berperut buncit melangkah maju men- dekati Bong Mini. Sesaat ia tidak mengeluarkan suara sepatah kata pun. Hanya sinar matanya saja yang mencorong mengamati wajah gadis itu.

“Nona, apakah tidak tahu dengan siapa Nona ber- hadapan?” kata lelaki berperut gendut itu. Suaranya begitu kecil seperti suara tikus yang tergencet beban. Sehingga kedengarannya begitu lucu di telinga Bong Mini.

“Siapa pun  kalian aku tidak mau peduli. Kalian te- lah berlaku lancang karena membuntuti dan mengha- langi perjalananku!” ketus Bong Mini.

Lelaki berperut buncit itu tersenyum kecil. Ia masih mencoba bersikap sabar.

“Nona berbicara sangat lancang!” ucap lelaki berpe- rut gendut itu.

“Hm.... Orang yang kuhadapi pun  bukan  orang- orang sopan. Jadi untuk apa berbaik-baik dengan ka- lian!” balas Bong Mini dengan bibir mencibir.

Si pendek gemuk itu menahan napas geram. Tata- pan matanya semakin tajam mencorong ke arah gadis yang juga tengah menatapnya tanpa berkedip.

“Kuperingatkan sekali lagi, Nona. Mintalah maaf ke- pada kami agar nyawa Nona bisa selamat!” geram lela- ki gendut itu. Tapi kegeraman itu membuat Bong Mini tertawa dalam hati. Sebab suaranya yang kecil itu di- paksakan untuk berteriak keras sehingga nafasnya tersengal-sengal.

“Heh, Babi Gendut. Jangan bicara seenaknya. Aku juga bisa membeset perutmu itu agar beranak!” ejek Bong Mini dengan sikap tubuh siap melakukan perla- wanan.

Wajah hitam pekat lawannya itu bertambah kelam saja ketika mendengar ucapan Bong Mini yang berna- da mengejek. Sepasang matanya yang merah itu sema- kin menyala seperti hendak mengeluarkan jilatan api.

“Bocah perempuan. Berani engkau menghinaku!” hardik lelaki berperut gendut itu dengan wajah panas seperti terbakar akibat kebencian yang berbau darah dan maut. Setelah ia berkata, tubuh lelaki gendut itu menerjang ke arah lawan dengan dahsyat. Kedua ta- ngannya membentuk cakar untuk menyerang, seperti hendak mencengkeram seekor kelinci. Sedangkan dari kerongkongannya terdengar suara menggeram seperti binatang buas yang bertemu mangsanya. Lalu dari ja- ri-jari tangan yang membentuk cakar itu, menyembur hawa yang amat kuat dibarengi oleh  uap  putih  dan bau amis darah.

Melihat serangan aneh yang baru dilihatnya  itu, Bong Mini segera menggerakkan kakinya dengan mu- dah.

Lelaki berperut gendut itu terbelalak kaget.  Baru kali ini ia bertemu dengan seorang gadis yang mempu- nyai kepandaian ilmu silat. Sehingga ia berpikir bahwa untuk menghadapi gadis yang satu ini tidak bisa den- gan main-main. Salah-salah nanti dia sendiri yang di- permainkan lawannya.

Setelah serangan pertamanya gagal, lelaki berperut gendut itu kembali menyerang lawannya dengan ceng- keraman. Akan tetapi cengkeraman itu bertemu de- ngan lengan Bong Mini. Dan ketika kedua lengan yang mengandung tenaga itu bertumbukan, tubuh si gendut langsung terjengkang ke belakang. Lalu menggelinding di tanah seperti bola yang ditendang. Tetapi sebentar kemudian tubuh bulat itu sudah kembali bergerak bangun dengan muka merah. Disusul kemudian de- ngan gerak tangannya yang mencabut sebilah pedang pendek berwarna kecoklat-coklatan. Sebagai tanda bahwa pedang itu sudah sering dilumuri racun.

Dua orang bermuka hitam lainnya segera mencabut goloknya masing-masing ketika melihat sahabatnya sudah terjengkal dalam beberapa gebrakan. Kemudian mereka melompat ke tengah pertempuran.

Walaupun ia sudah dikepung oleh tiga orang la- wannya, tetapi gadis berpakaian merah ini tetap berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Dia nampak tenang- tenang saja. Tak ada sedikit pun rasa gentar yang me- nyelimuti hati dan pikirannya. Malah bibirnya terse- nyum-senyum seperti seorang guru yang melihat mu- rid kecilnya yang nakal.

Sikap Bong Mini yang melecehkan itu memang sa- ngat beralasan. Sebab ia telah membaca kemampuan lawannya masing-masing. Ketiga lawannya itu mem- punyai kepandaian yang masih jauh di bawahnya. Maklumlah, ia sendiri telah mendapat gemblengan dari papanya sejak berumur empat tahun. Dan kehadiran- nya di tengah dunia  persilatan  pun  sudah  cukup punya pengalaman.

Ketika melihat Bong Mini masih berdiri bertolak pinggang, lelaki berperut gendut itu segera menyerang dengan pedang pendeknya. Begitu pula dengan dua orang teman lainnya yang menerjang dengan golok me- reka masing-masing. Tapi belum sempat senjata me- nyentuh sasaran, tubuh Bong Mini segera mencelat ke atas dengan cepat. Dan dengan gerakan yang sukar di- ikuti pandangan ketiga lawannya, Bong Mini telah ber- diri kembali di belakang mereka sambil tertawa kecil. Geli melihat ketiga lawannya yang celingukan seperti kambing congek.

Ketika melihat lawan telah berdiri di belakang me- reka sambil tersenyum, lelaki gendut itu kembali me- nyerang dengan bacokan pedang. Diikuti oleh dua orang temannya yang juga turut menyerang dengan go- lok masing-masing.

Menghadapi keroyokan tiga lawannya yang bersen- jata itu, Bong Mini kembali menyelamatkan diri de- ngan membuat gerakan-gerakan cepat yang dinama- kan jurus ‘Tanpa Bayangan’. Dia melompat sambil berputar bagai gangsing. Lalu dengan cepat pula jari telunjuknya menotok pundak si gendut yang  pendek itu. Begitu cepat gerakannya sehingga sangat sulit un- tuk dihindari lawannya. Maka dalam sekejap lelaki pendek dan gendut itu terjatuh lemas tanpa tenaga. Sedangkan pedangnya terlepas dari tangan.

Tanpa memberikan kesempatan kepada kedua la- wan yang masih berdiri dengan golok di tangan, Bong Mini kembali menyerang bertubi-tubi. Sehingga ter- dengarlah teriakan kesakitan ketika kedua tubuh la- wannya roboh. Sedangkan golok mereka terlepas dari genggaman tangan masing-masing. Mereka terjatuh tepat di dekat temannya yang bertubuh gendut.

“Belajarlah lebih baik lagi kalau kalian ingin menja- di lelaki sejati!” ucap Bong Mini seraya tersenyum me- lecehkan.

Kedua lelaki yang tadi terjatuh itu tidak segera me- nyahut. Mereka bergegas bangkit sambil menggotong tubuh lelaki gendut yang masih lemas. Lalu segera membawanya keluar dari tempat pertempuran. Diikuti oleh pandangan Bong Mini yang tersenyum lega.

Setelah punggung lawannya tak terjangkau oleh pandangan matanya lagi, Bong Mini kembali melan- jutkan perjalanan.

Di langit matahari sudah semakin condong ke  ba- rat. Sinarnya yang tadi terang-benderang, kini berubah redup. Cahayanya pun sudah tidak begitu menyengat. Membuat daun-daun yang semula menadahi hujaman sinar matahari, kini perlahan-lahan merunduk.

Dengan wajah tetap berseri, Bong Mini terus berja- lan sampai akhirnya ia tiba di sebuah kota kecil yang bernama Kota Girik. Kemudian ia masuk ke sebuah rumah makan untuk mengisi perutnya yang sudah melilit.

Ketika sampai di dalam, ternyata ruangan rumah makan itu sudah penuh sekali. Tapi untung masih ada sebuah meja kosong di sudut belakang.

“Silakan, Nona!” seorang pelayan keturunan Cina segera menghampiri Bong Mini dan mempersila- kannya.

Bong Mini mengangguk sambil tersenyum ramah. Lalu kakinya melangkah menuju sudut belakang. Dan sebelum ia sempat menarik kursi makan, pelayan tadi telah mendahuluinya. Kemudian dengan sikap sopan pula pelayan keturunan Cina itu mempersilakan Bong Mini duduk. Setelah Bong Mini duduk, ia segera memesan beberapa macam lauk dan nasi putih. Ter- masuk air teh tentunya.

Sambil menunggu pesanan datang, Bong Mini me- nyebar pandangannya pada sekeliling ruangan, terma- suk pada pengunjung yang memadati  rumah  makan itu.

Hm..., tampaknya kebanyakan dari mereka adalah orang berkebangsaan Cina sepertiku, gumam Bong Mini ketika melihat pengunjung yang rata-rata berma- ta sipit. Bahkan di antara mereka hampir semuanya menggunakan bahasa ibu yaitu bahasa asal negerinya. Ternyata banyak juga orang-orang sebangsa de- nganku yang merantau ke negeri timur ini, gumam Bong Mini lagi. Dan bersamaan dengan itu seorang pe- layan yang tadi menyapa Bong Mini telah datang de- ngan membawa pesanannya. Kemudian makanan itu pun diletakkan di atas meja.

Setelah pesanan tersedia semua, Bong Mini segera menyantap hidangannya dengan penuh kenikmatan.

Hm..., pantas saja banyak orang yang makan di si- ni, masakannya lezat, nilai hati Bong Mini sambil terus melahap makanannya.

Tanpa disadari oleh Bong Mini, semua tingkah- lakunya diperhatikan oleh sepasang mata dari sudut lain di ruangan rumah makan itu. Sepasang mata itu milik seorang lelaki muda yang umurnya kurang lebih sekitar tiga puluh tahun. Dia seorang laki-laki yang gagah perkasa. Tubuhnya sedang namun padat dan tegak. Sehingga kelihatan kuat. Pakaiannya rapi dan sederhana. Sedangkan wajahnya tampak begitu gagah. Berkulit segar dan kemerahan. Sepasang matanya ber- sinar tajam melukiskan kecerdikannya.

Bong Mini telah selesai makan. Ia langsung berdiri dan melangkah menuju pemilik warung untuk mem- bayar. Setelah itu kakinya melangkah keluar dengan sikap tenang dan lega karena perutnya yang tadi ko- song telah terisi.

Lelaki muda yang tadi memperhatikan Bong Mini di rumah makan itu segera meneguk habis araknya. Lalu ia segera meninggalkan rumah makan itu. Dan ketika jaraknya sudah hampir dekat dengan Bong Mini, lelaki itu mempercepat langkah seperti tergesa-gesa.

Bong Mini yang melangkah di depannya sempat menoleh ke  arah lelaki itu. Namun lelaki tadi  seperti tak menghiraukan pandangan Bong Mini. Ia terus me- langkah cepat mendahului Bong Mini.

Bong Mini menghela napas lega sambil melanjutkan langkahnya. Tanpa sedikit pun menaruh curiga terha- dap lelaki yang berjalan mendahuluinya itu. Ia berpikir bahwa lelaki tadi seorang penduduk biasa yang hanya mempunyai kesibukan bekerja dan mengisi perut.

Setelah agak jauh berjalan, tiba-tiba Bong Mini me- rasakan langkahnya tengah diikuti oleh  beberapa orang. Tapi ia tetap terus melangkah tanpa menengok ke belakang agar tidak mencurigakan para penguntit- nya. Namun demikian, sebagai wanita jantungnya ber- debar juga. Dia baru menyadari bahwa sekarang ini seorang gadis tidak bisa berjalan sendirian keluar ru- mah. Karena negerinya telah dimasuki oleh orang- orang jahat

Bong Mini sebenarnya ingin sekali mengetahui orang-orang yang membayanginya itu. Untuk mene- ngok, tentu saja tidak mungkin, sebab akan menim- bulkan kecurigaan dan perkelahian. Namun tiba-tiba Bong Mini mendapat akal. Ia dengan sengaja menja- tuhkan saputangan yang sejak tadi digenggamnya. Kemudian dengan gerakan seperti yang tidak disengaja ia membungkuk dan berjongkok mengambil saputa- ngan yang dijatuhkannya tadi. Pada kesempatan itulah ia pergunakan untuk melirik ke belakang. Walaupun hanya sekilas ia melirik, tapi matanya dapat menang- kap wajah-wajah yang membayanginya. Mereka ber- jumlah enam orang dengan pakaian pangsi hitam- hitam. Sedangkan satu di antara keenam orang itu memakai pakaian putih dengan baju berlengan pan- jang dan rapi. Dialah lelaki yang memperhatikannya sejak di dalam ruangan rumah makan.

Setelah dapat membaca dan menghitung orang- orang yang membayanginya itu, Bong Mini segera me- lanjutkan langkahnya kembali. Langkahnya begitu lembut seakan-akan tidak mengetahui keenam orang yang mengikutinya.

Bagaimanapun tenangnya ia berjalan, dadanya te- tap juga berdebar-debar. Apalagi ketika ia merasakan bahwa keenam lelaki itu kini sedang mengatur posisi dengan menyebar ke seluruh penjuru. Dan apa yang menjadi firasatnya itu benar. Karena dengan tiba-tiba dua lelaki berpakaian pangsi hitam-hitam  meloncat dari arah kiri dan kanannya.

Bong Mini tersentak kaget sambil mundur dua lang- kah dengan tubuh membalik. Sehingga empat orang yang ada di belakang terlihat jelas. Mereka melangkah mendekatinya dengan tenang. Wajah mereka tampak angker dengan pedang di punggung masing-masing.

Keempat lelaki itu menghentikan langkahnya dalam jarak tiga meter dari tempat gadis yang dihadangnya. Mata mereka mencorong ke arah Bong Mini dengan ta- jam. Sedangkan wajah mereka tak sedikit pun menam- pakkan kesan ramah. Bengis dan kusut. Hanya lelaki yang berpakaian putih saja yang kelihatan sedap di- pandang. Walaupun wajahnya kelihatan asam tanpa senyum sedikit pun.

“Siapa kalian?! Dan kenapa menghalangi perja- lananku?!” tanya Bong Mini dengan suara lantang. Se- dangkan sepasang matanya yang tajam menusuk mata lelaki yang berpakaian putih.

Lelaki yang mendapat tatapan tajam dari seorang gadis yang berpakaian merah itu tidak menjawab. Hanya tatapannya saja yang tajam, membalas tatapan mata Bong Mini. Kemudian dia memberi isyarat kepa- da teman-temannya dengan gerakan kepala.  Lima orang temannya yang berpakaian hitam-hitam segera bergerak mendekati gadis berpakaian merah. Cara ja- lan mereka tegang. Wajah kelimanya bengis seperti hendak menerkam mangsa.

Melihat gelagat yang tidak baik, Bong Mini mundur perlahan. Sedangkan matanya dengan gesit mengawasi gerak-gerik kelima lelaki yang mengepungnya. “Tangkap saja. Jangan pakai senjata!” cetus lelaki yang berpakaian putih dan rapi itu ketika lima orang temannya menarik golok masing-masing dari sarung- nya. Mendapat peringatan itu, kelima temannya segera memasukkan kembali golok mereka. Kemudian dua orang dari mereka segera menerjang ke arah  Bong Mini. Tetapi gadis mungil berwajah cantik itu bukan gadis sembarangan. Dia seorang gadis yang sejak kecil telah mendapat gemblengan ilmu bela diri dari pa- panya.

Ketika kedua orang itu menyerang Bong Mini dari dua arah, dipergunakan tubuhnya yang mungil untuk menunduk sedikit. Membuat serangan kedua orang itu luput. Malah tubuh mereka bertabrakan cukup keras. Sedangkan Bong Mini dengan cepat melompat ke bela- kang dan berdiri menatap kedua lawannya dengan ter- senyum tipis.

“Makanya hati-hati kalau hendak melompat!” ledek Bong Mini. Namun sikapnya tetap waspada, takut ka- lau yang lainnya menyerang tiba-tiba.

Mendapat ejekan Bong Mini, kedua lelaki itu men- jadi marah. Dengan geram mereka kembali menyerang. Namun dengan gesit pula Bong Mini dapat melompat menghindar. Sedangkan kedua kakinya digunakan un- tuk mendorong kedua pantat lawannya. Akibatnya me- reka jatuh tersungkur.

“Hi hi hi..., lagi nangkap kodok, Bang?” Bong Mini tertawa terkikik. Sedangkan panggilan bang kepada mereka karena ia merasa yakin kalau para penge- royoknya itu penduduk pribumi, penduduk Pulau Bangka.

Melihat kedua lelaki itu dipermainkan begitu rupa oleh gadis ingusan, ketiga temannya yang sejak tadi hanya menonton, kini bergerak mengepung Bong Mini dengan golok terhunus. “Hiaaat!”

Sing! Sing!

“Hi hi hi.... Bagus sekali tindakan kalian. Sehingga aku dapat berlatih silat lebih baik lagi!” ejek Bong Mini lagi sambil mengeluarkan pedang yang tersangkut di punggungnya. Kemudian dengan permainan pedang- nya yang cukup baik, Bong Mini segera menangkis go- lok-golok lawan yang mengarah kepadanya.

Trang trang trang...!

Bunga-bunga api berpijar ketika golok-golok mereka tertangkis oleh pedang gadis berbaju merah itu. Ke- mudian diputar-putarnya pedang itu dengan kecepa- tan sampai tak terlihat oleh mata. Membuat kelima penyerangnya merasa kesulitan. Lalu tubuh mereka berloncatan beberapa langkah ke belakang dan me- ngurung gadis mungil itu.

“Hi hi hi..., majulah  kalian! Aku ingin lihat sampai di mana kemampuan kalian dalam berhadapan dengan seorang gadis kecil sepertiku!” tantang Bong Mini.

“Kelinci sombong. Rasakan seranganku!” salah seo- rang dari pengeroyok itu mendengus marah. Kemudian dengan cepat goloknya menyambar dahsyat. Tetapi alangkah kagetnya lelaki itu, karena dengan cepat ga- dis berusia enam belas tahun yang ditabraknya me- nyambut dengan pedang. Kedua senjata itu langsung berbenturan keras dan golok lawan terbelah dua!

Belum sempat lelaki itu mengatur posisinya, pedang Bong Mini yang berujung runcing telah lebih dulu me- nembus lambungnya. Seketika lelaki itu rubuh tak be- da dengan seonggok kayu kering.

Empat orang lainnya menjadi terkejut dan marah. Mereka memutar golok lebih gencar lagi, bahkan ta- ngan kirinya pun turut menyerang dengan mengelua- rkan jurus menotok jalan darah dengan tiga jari tan- gan mereka masing-masing.

Namun, sebagai gadis kecil yang sudah punya pe- ngalaman dalam dunia persilatan, dengan tenang dan tersenyum Bong Mini menghadapi keroyokan mereka. Ia telah dapat membaca batas kemampuan semua la- wannya. Sehingga setiap babatan golok dapat dihalau dengan mudah oleh pedangnya yang selalu berkelebat cepat.

“Mampuslah kau!” teriak seorang lelaki pada saat goloknya tertangkis oleh pedang Bong Mini. Dengan cepat ia menggerakkan tiga jarinya untuk menotok da- da Bong Mini. Tetapi dengan gesit pula Bong Mini menghindari totokan itu dengan melengkungkan ba- dannya ke belakang. Lalu secepat kilat pedang  yang tadi digunakan untuk menangkis, diarahkan ke tubuh lelaki yang hendak menotoknya.

Brettt!

Pedang Bong Mini merobek tubuh lelaki itu dari ulu hati sampai ke pantatnya. Kemudian disusul dengan serangan-serangan ke arah tiga lawannya yang masih berdiri kaku melihat kematian temannya. Dalam waktu singkat, lima orang pengeroyoknya tersungkur jatuh tanpa dapat bergerak lagi.

Lelaki muda berpakaian putih dan rapi terbelalak kaget ketika melihat kelima temannya mati dalam se- kejap. Dia tidak mengira sama sekali kalau teman- temannya yang mahir memainkan golok dan gerakan menotok dapat dikalahkan seorang gadis mungil. Na- mun ia sendiri tidak gentar melihat kenyataan itu. Ma- lah dengan kemarahan yang memuncak dan kebencian yang meluap, ia mendekati putri Bong Mini yang sudah sejak tadi menunggu reaksinya.

“Kau  boleh   bangga   dapat   mengalahkan   kelima orang temanku. Tapi jangan mengira kau dapat me- ngalahkanku!” usai berkata, lelaki itu langsung me- nyerangnya dengan sebilah pedang di tangan.

“Bagus. Keberanianmu ini yang sebenarnya ku- tunggu-tunggu sejak tadi!” ujar Bong Mini seraya me- nangkis serangan pedang lawan dengan pedangnya, sehingga menimbulkan benturan yang amat keras. Disusul dengan patahnya pedang lelaki muda itu.

Lelaki muda berpakaian putih itu melemparkan pe- dangnya yang patah. Setelah itu menyerang kembali dengan tangan kosong.

Melihat lawannya tanpa senjata, Bong Mini pun me- lemparkan pedangnya ke tanah dan menyambut se- rangan lawannya dengan tangan kosong pula. Dengan tenang ia menghindari serangan lawan. Tubuh diputar sambil mengibaskan kedua tangannya untuk menang- kis serangan lawan yang menyerangnya dengan jurus menotok.

Menyadari betapa gadis itu mempunyai ilmu kungfu yang tidak bisa dianggap remeh, pemuda berbaju putih kembali melancarkan serangan bertubi-tubi dengan sepasang tangan dan kakinya yang dapat mengirim ha- jaran berbahaya. Serangannya susul-menyusul bagai gelombang samudera yang tiada henti.

Bong Mini sangat terkejut mendapat serangan yang tiada putus-putus itu. Dalam hati ia mengakui bahwa lawannya kali ini amat tangguh. Kalau ia hanya men- gelak dan menangkis, itu akan membuat dirinya teran- cam. Oleh karena itu, setelah lawannya mendesak sampai belasan jurus, Bong Mini membalas dengan ju- rus kungfu ‘Tanpa Bayangan’ disertai pengerahan te- naga dalam. Membuat lawan yang mencoba menangkis serangannya, merasa seperti dilanda badai. Tubuhnya terlempar ke belakang seperti daun kering yang tertiup angin. Lalu tubuhnya membentur sebuah batu besar dengan amat keras.

Dug!

Pemuda itu terkulai lemah ketika punggungnya ter- hantam batu besar. Sedangkan dari mulutnya me- nyembur, darah segar. Lalu tubuhnya menggelepar- gelepar seperti ayam dipotong. Sampai akhirnya diam tak berkutik lagi.

Bong Mini menghela napas dalam. Lalu kakinya me- langkah menghampiri lawannya yang sudah tidak ber- kutik itu. Di sana ia tercenung menyesali kematiannya. Sebab dengan matinya pemuda itu ia tidak akan bisa mengetahui asal-usulnya.

“Apa yang kau sesali, pendekar wanita?” tiba-tiba suara lembut terdengar berbisik di telinganya. Sedang- kan bahunya terasa seperti ada yang menyentuh. De- ngan cepat Bong Mini menoleh ke samping.

“Papa!” keluh Bong Mini ketika mengetahui kalau orang yang menyentuh pundaknya adalah papanya.

Bongkap tersenyum kagum menatap putrinya. “Papa, saya menyesal telah membunuh mereka,” li-

rih Bong Mini lagi.

Bongkap menggeleng sambil tersenyum bijak. “Kematiannya akibat perbuatannya sendiri,” ucap

Bongkap.

“Saya menyesal karena belum sempat mengetahui asal-usul mereka,” Bong Mini mengungkapkan penye- salan yang sesungguhnya.

“Papa yakin mereka adalah orang-orang yang kita cari selama ini!”

“Orang-orang bertopeng yang menyerang tempat ki- ta, maksud Papa?”

“Ya. Atau bisa juga orang-orang yang menculik keti- ga dayangmu!” sahut papanya. Bong Mini tercenung sambil mengangguk lamat. “Sudahlah. Mari kita pulang untuk istirahat. Sete-

lah itu kita lanjutkan pencarian kita untuk mengetahui dan mencari orang-orang bertopeng yang menyerang rumah kita!” ajak Bongkap serta menggandeng pu- trinya.

Bong Mini tidak menolak. Dan dengan sikap manja, tubuhnya dirapatkan dalam pelukan papanya. Mereka berjalan beriringan menuju utara untuk melanjutkan pencarian orang-orang bertopeng yang telah menye- rang rumah mereka.

Siapa sebenarnya orang-orang bertopeng  hitam yang melakukan serangan ke tempat Sepasang Pen- dekar dari Selatan? Dan siapa pula keenam orang yang menyerang Bong Mini? Untuk mengetahuinya ikutilah serial Putri Bong Mini selanjutnya dalam episode: ‘Hi- langnya Seorang Pendekar’.

SELESAI
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar