Prabarini Bab 5 : Rumah Panggung

 
Bab 5 : Rumah Panggung

Sri jayabhaya dan seluruh pembesar negeri Penjalu menjadi amat terkejut, kala dua hari setelah wisudha yang menjadikan Sedah bergelar Mpu, mendadak keadaan ibukota menjadi ceria. Tanpa perintah dari siapa pun tiap perguruan tinggi dan rendah memasang umbul-umbul kuning dan hijau, ungu dan merah. Dan di gerbang mereka terdapat kain sutera putih lebar dan kuning ditulisi dengan tinta buatan China: Dirgahayu Mpu Sedah! Selamatlah Mpu Sedah!

Mendadak Sedah menjadi amat terkenal. Itu sebabnya Jayabhaya memerintahkan telik sandi untuk mengadakan pengamatan. Laporan yang masuk pada Jayabhaya ternyata mengatakan bahwa Sedah telah menjadi terkenal karena dia banyak menolong orang sudra menghadapi kesulitan- kesulitan. Bahkan Sri Jayabhaya kaget luar biasa kala telik juga melaporkan bahwa Sedah pernah membebaskan orang- orang dari pengaruh

Sigdha Gandarsigh. Tidak seorang pun berani mengusik brahmana sakti itu. Namun Sedah telah meluluh-lantakkan semua pengaruhnya. Bukan cuma itu, si Brahmana terusir dari Lembah Selong. Kini orang-orang yang merasa berutang budi merasa bersyukur atas anugerah yang diterima Sedah, karena mereka tidak bisa membalas apa-apa.

"Ya! Itu Sedah, brahmana muda yang menolong kita dulu!"

Demikian jawab beberapa orang yang ditanya oleh petugas sandi dari kerajaan. Bahkan ada beberapa ratus laki-laki dan perempuan yang berbaris mengelilingi berseru-seru,

"Dirgahayu Mpu Sedah! Dirgahayu!" Sepanjang perjalanan mereka menyanyikan pujian bagi Sedah. Semua anggota Dewan Cerdik Pandai tidak pernah menduga. Bahkan Sedah sendiri pun tak tahu apa sebabnya semua itu terjadi. Ia tak merasa punya hubungan dengan mereka selama tinggal di Daha ini. Ia tidak merasa kenal, begitu ia menjawab semua pertanyaan dari kerajaan.

"Benarkah Yang Suci pernah mengusir Pandita Gandarsigh?" Jayabhaya memeriksa sendiri setelah menerima laporan dari teliknya.

"Adalah tugas setiap pecinta kebenaran untuk menegakkan azas-azas kebenaran itu sendiri. Hyang Maha Dewa telah memilih hamba dari sekian banyak brahmana untuk pergi ke tempat orang-orang yang sedang tertindas karena ketidaktahuan mereka. Kebahagiaan hamba adalah mengubah rintihan menjadi semadi dan yoga, menyembah dan memohon yang disertai ucapan syukur kepada Hyang Maha Pencipta.

Azas kebenaran telah dilanggar oleh sementara orang dengan menggunakan pengetahuan untuk mem-perdungukan lainnya demi kepentingan diri sendiri."

"Jagad Dewa! Di Penjalu tidak ada penindasan semacam itu, karena semua orang melakukannya dengan sadar."

"Narapraja tak cukup banyak untuk dapat mengawasi berjalannya keadilan. Barangkali juga Yang Termulia tidak mendengar bahwa kadang keadilan berjalan iseng sendiri. Iseng!"

Jayabhaya tak melanjutkan, karena ia tiba-tiba teringat pada Mahabharata yang harus diterjemahkan oleh Sedah. Buru-buru ia mengajak Sedah ke tempat penyimpanan lontar Mahabharata.

"Hamba akan menyalin yang sembilan parwa itu dahulu, Yang Termulia. Supaya lebih cepat."

"Baiklah, Yang Suci. Jika demikian aku mohon Yang Suci juga menuliskan satu karya lagi tentang kerajaan kita, supaya kelak anak-cucu kita tahu tentang apa yang telah kita kerjakan dan apa yang telah kita capai."

Sedah tersenyum. Walau dengan hati berat Sedah mengiakan. Luar biasa Jayabhaya ini, ia _ tahu persis karya tulis berarti karya bagi masa depan.

Sedah kemudian sibuk dalam ruangan yang disediakan bagi Dewan Cerdik Pandai. Sedah menolak menerima tawaran untuk diangkat secara resmi menjadi anggota Dewan.

"Yang Suci telah menerima gaji seperti kami. Mungkin Yang Suci akan makin kembang jika tidak kembali mengembara ke mana-mana. Gaji yang cukup membuat kita tenang bekerja," Panuluh berusaha membujuk suatu ketika.

Mata Sedah menyapu isi ruangan besar. Banyak lontar dalam gulungan-gulungan yang dimasukkan dalam bumbung. Bahkan banyak lempengan tembaga yang berisi berbagai prasasti. Sangat besar ruangan itu memang.JDi bahagian lain masih ada bilik-bilik tempat anggota Dewan Cerdik yang lain bekerja. Atap sirap membuat ruangan itu nampak rapi dan bersih. Belum lagi halamannya yang luas. Namun penjagaan oleh telik sandi yang amat ketat juga dirasakan oleh Sedah. Maka tak mengherankan jika tak ada pencuri yang dapat masuk ke gedung ini.

"Ampunkan hamba, Yang Tersuci...," Sedah menjawab. "Sudah hamba katakan, bahwa hamba tidak sudi berhamba pada siapa pun. Lihatlah orang-orang dungu yang bekerja pada pemilik pertenunan! Betapa riangnya mereka. Tapi bukankah hamba tidak seperti mereka? Karena hamba tahu bahwa jiwa manusia tidak akan bisa berkembang karena gaji, tapi karena karya yang menjadikannya memiliki hak untuk menerima gaji."

"Suatu sikap yang tak ternilaikan. Yang Suci, hamba menghargainya. Tapi dalam zaman seperti sekarang ini, bukankah itu cuma merupakan khayalan indah dari seorang pujangga?"

"Barangsiapa bertekun dalam pendiriannya, ia akan memperoleh kekuatan untuk hidup. Dan kekuatan itu akan mengatasi semua dan segala. Percayalah, Yang Tersuci, bahwa semua itu bukan khayalan semata."

"Mengapa Yang Suci memenjarakan diri dalam cita-cita semacam itu? Kedamaian akan hidup subur di hati yang mengendap diam dalam kepasrahan."

Lama-lama Sedah makin sebal terhadap orang yang dianggap tersuci di seluruh bumi Penjalu ini. Ingin ia mengakhiri pembicaraan. Ia bangkit dari tempat duduk dan meninggalkan pekerjaan di atas meja bundar yang besar. Kemudian menghadap ke jendela seolah menghirup angin segar, setelah setengah hari menulis.

"Penjara? Mengapa cita-cita jadi penjara?" tiba-tiba ia berkata seperti pada diri sendiri. Kedua tangannya bersedakep. "Seorang yang tidak yakin akan diri sendiri menganggapnya penjara. Seorang akan berhasil jika ia telah menempatkan cita-cita itu dalam diri sendiri. Ah, yang Tersuci sudah terlalu lama tinggal di istana ini, sehingga Yang Tersuci tidak ingat lagi bahwa sebenarnya petani di Daha dan hampir di seluruh wilayah Penjalu ini miskin! Jika Yang Tersuci melihat padi menguning, Yang Suci beranggapan bahwa kehidupan kawula telah makmur sejahtera. Tidak!"

"Tidak?" Panuluh ikut berdiri di samping Sedah.

"Ya! Tidak!" Sedah mengambil napas, lalu, ' Sebab acap kali tuaian mereka habis dimakan oleh orang yang sama sekali tidak meneteskan keringat untuk itu. Orang yang cuma hidup dari upeti dan persembahan. Yang Tersuci tidak jeli melihat kebohongan di negeri kita sendiri."

"Yang Suci!" Panuluh berbisik. "Jangan diteruskan ini!

Menyinggung Sri Prabu akan melahirkan kematian!" "Hidup ini adalah lorong yang panjang. Mati adalah gerbang akhir lorong itu..." Lalu Sedah berkemas-kemas. Ia merasa perlu beristirahat.' Panuluh memandangnya dengan penuh kekhawatiran. Anak ini amat liar!

Dari sekian banyak orang yang menyambut -keberhasilan Sedah, satu di antaranya tentulah putri yang diam dalam puri taman di tengah kota Daha. Dia adalah Prabarini. Dalam kesendiriannya ia menimang-nimang dua keping uang emas. pemberian Sedah. Dan setelahnya berdoa lagi. Hanya itu yang dapat dilakukannya. Memang kadang ia dapat beriang lebih saat menerima lontar Sedah. Tapi ia tidak mungkin menyimpannya. Sebab jika ketahuan Jayabhaya, kendati' Sedah selalu menulisnya dalam Sansekerta dan Jayabhaya tidak bisa Sansekerta, akan membawanya ke malapetaka yang mungkin tak tertanggungkan. Jadi ia harus membakarnya setelah usai membaca. Namun ia akan selalu ingat baris demi baris kata-kata kekasihnya. Seperti tadi pagi Sedah menulis,

"Tambatan hatiku..."

Ah, tanpa sadar Prabarini menitikkan air mata. Dia masih mencintaiku. Dan seluruh tubuhnya serasa naik ke awan- awan.

"Hyang Maha Dewa telah menuntunku ke istana penculik kekasihku. Berbagai anugerah disediakannya untuk aku! Emas permata dan uang sebagai imbalan dari pengetahuan di kepalaku. Ya, pengetahuan lebih berharga dari permata! Tapi semua itu tidak menyiram rinduku padamu. Apalagi kau tak muncul untuk menyaksikan wisudhaku menjadi salah satu Mpu di Penjalu ini.

"Sebongkah tanya memenuhi dadaku. Ke mana kau? Dan mengapa kau? Seperti pertanyaan yang memenuhi kepalaku kala aku menjejakkan kakiku di ibukota ini, melihat permainya ibukota kerajaan ini. Apakah pertanyaan ini tak pernah timbul dari nuranimu. Manisku? Ya, mengapa di negeri yang hamparan padinya menguning bagai lautan emas ini, si tole dan si genduk menangis kelaparan? Ah, apa yang kaulakukan di dalam purimu itu, sayang? Barangkali jerit tangis bayi, karena susu ibunya yang tidak mengeluarkan cairan itu tidak sampai ke telingamu? Jika memang demikian alangkah indahnya duniamu sekarang. Dunia yang tanpa keluh dan tangis.

"Meski begitu, Kekasihku, aku ingin mengingatkanmu! Di luar tembok yang memagari tamanmu yang tinggi itu, kawula kebingungan. Setiap hari kepala mereka seperti ditempa palu godam dalam pertanyaan bagaimana menghilangkan rasa lapar dari perut anak-anak mereka. Apa sebabnya? Gaji para pekerja tenun tak dibayarkan sebagaimana mestinya. Apakah Sri Jayabhaya pemegang purbawasesa, yang terkenal arif dan bijak itu, pernah membicarakannya denganmu? Belum lagi pekerja di tambang emas. Aku berbahagia memang mendapat uang dari Sri Jayabhaya, karena dengan demikian aku dapat menyalurkannya kepada yang lebih berhak.

"Bulan bersinar memancar. Mengalahkan sinar bintang- bintang lainnya, yang juga ingin mempersembahkan sinarnya. Rasanya hampir seperti itulah gambaran yang ada bagi kehidupan di Penjalu saat ini. Sri Prabu semakin berkuasa, semakin kaya, di atas kemiskinan orang lain.

"Kekasihku, semakin lama semakin aku sadari, bahwa sebenarnyalah dalam ketidakpunyaan apa-apa, terdapat kesempatan besar yang diberikan oleh Hyang Maha Dewa untuk mengangkat diri bangkit dari semua ketidakpunyaan. Namun jika kita terseret dan tenggelam dalam ketidakberdayaan, maka kita akan melangkahkan kaki dalam kejahatan. Inilah hikmah yang kuambil dari perjalanan hidup mencari di mana kau berada.

"Akhirnya aku tidak tahu sampai kapan aku harus bersabar dan mengalahkan semua cita-citaku sendiri, menunggu kau menembusi kegelapan ini? Dan kita bersama mengangkat diri dengan cara mengatasi ketidakpunyaan apa-apa di tengah semua orang yang berseru kelaparan.33

Ini bukan lontar untuk bercinta! Prabarini makin tidak mengerti mengapa Sedah tak pernah menghiburnya dalam lontarnya. Namun ia masih boleh tersenyum karena dalam akhir katanya Sedah menyatakan,

"Semua yang telah kukerjakan di Daha ini, sebenarnya bukan untuk siapa-siapa, kecuali dikarenakan cintaku yang makin hari makin menggunung padamu. Karenanya, marilah kita sama-sama menundukkan kepala dalam doa, memohon ke haribaan Hyang Maha Dewa agar segera diberikan jalan keluar dari semua kesulitan ini... Harapanku siang malam tiada lain y alah cinta kita berpadu kembali."

Ini yang menyebabkan Prabarini sedikit punya pengharapan. Apakah makna hidup tanpa pengharapan? Tapi malam-malam berikutnya hatinya makin berbunga-bunga, sebab ia diperkenankan membaca salinan Mahabharata yang telah dipersembahkan oleh Sedah pada Jayabhaya sebelum diteruskan pada Dewan Cerdik Pandai untuk diperbanyak dan dipelajari.

"Istrinda, mungkin belum pernah ada manusia seperti Sedah itu. Dalam usia yang masih sangat muda telah memiliki kecerdasan yang luar biasa." Jayabhaya tak habis-habisnya memuji Sedah.

Hati Prabarini ikut berbunga. Serasa diri sendiri yang menerima pujian itu.

"Melihat caranya menulis dan susunan gaya bahasa penggubahan ini, tidak bisa tidak tentu ia mempunyai pengamatan tajam sekali."

"Ya!" Jayabhaya setuju.

"Wirataparwa adalah parwa keempat, Yang Maha Mulia..." "Kau?" "Ya. Hamba juga pernah membacanya." "Jika demikian bacakanlah untukku!"

Jayabhaya tergolek di peraduan. Sementara Prabarini membacakannya sloka demi sloka.

Isinya menceritakan keadaan Pandawa pada tahun ketiga belas dari masa pembuangan mereka. Dengan cara menyamar, kelima saudara itu memasuki wilayah negeri Wirata. Drupadi lebih dahulu diterima menjadi seorang inang di istana Raja Wirata, Sri Matswapati. Sementara itu Yudhistira menyamar sebagai seorang ahli main dadu. Bima, adik Yudhistira menyamar sebagai jagal dengan nama Bhilawa.

Arjuna menyamar sebagai seorang banci dan guru tari dengan nama Khandi Wrihat-nala, yang artinya seorang banci yang menarik hati. Sedang adiknya, Nakula, menyamar sebagai tukang kuda dengan nama Kangseng. Sahadewa menjadi seorang gembala dengan nama Preten.

Namun penyamaran mulai mengalami gangguan kala Drupadi yang menyamar jadi inang itu diangkat menjadi juru rias putri-putri serta selir Raja. Jadi ia sering mondar-mandir dari satu puri ke puri lainnya. Itu sebabnya suatu ketika ia berpapasan dengan patih Kerajaan Wirata yang terkenal amat sakti. Dan sang Patih jatuh hati. Setelah berulang dilamar oleh si Patih, Drupadi berunding dengan para Pandawa di tempat persembunyian mereka. Akhirnya diputuskan untuk menyiasati si Patih. Drupadi ketika ditemui oleh Patih itu mengatakan bahwa sebenarnya ia telah menikah. Ya, sudah punya suami. Tapi suaminya adalah jin. Atau sebangsa Drubiksa. Ia takut.

Jika Patih bisa membunuh drubiksa itu, maka ia bersedia menjadi istrinya.

Demikianlah, pada malam yang telah disepakati, sang Patih mengikuti Drupadi menjumpai suaminya di tepi hutan, di batas kota. Patih yang gagah perkasa itu akhirnya menemui ajalnya dicekik oleh Bhilawa. Kegemparan segera terjadi pagi harinya. Sri Matswapati amat terkejut dan terpukul karena kematian patihnya yang perkasa itu. Hampir tak bisa dipercaya. Maka Sri Prabu memerintahkan anaknya agar menyelidiki kematian Patih Wirata. Namun sebelum penyelidikan usai, Kurawa yang sejak lama mengintai negeri itu, menyiapkan pasukan untuk menyerbunya. Sebelumnya tak pernah terjadi apa-apa, karena Kurawa takut pada kesaktian sang Patih. Peperangan terjadi. Wirata melawan sekuat daya mereka. Setelah peperangan berjalan beberapa hari, Nakula yang menggantikan sais kereta Wratsangka, putra mahkota Wirata menawarkan bantuan.

Wratsangka menyamar jadi Khandi

Wrihatnala, sementara itu Wrihatnala yang sebenarnya adalah Harjuna menyamar sebagai Wrat-sangka. Demikian halnya dengan Sahadewa, menyamar sebagai Utara, juga putra Wirata. Bhilawa juga turun dalam peperangan esok harinya. Perimbangan kekuatan berubah. Wirata di atas angin. Kesaktian Pandawa di medan laga tak terbendung. Dan, akhirnya Kurawa undur.

Kala Prabarini hampir selesai membaca parwa keempat, ternyata Jayabhaya telah mendengkur. Prabarini tersenyum. Ia kemudian melanjutkan membaca parwa yang kelima. Ah, begitu menarik penyalinan Sedah dengan dibumbui kata- katanya sendiri untuk menyempurnakan penerjemahan yang kurang sempurna. Ayam jantan mulai berkokok, pertanda pagi mulai mengintip di balik ufuk, namun Prabarini masih tenggelam dalam bacaannya.

Parwa kelima menceritakan Krsna yang menjadi duta para Pandawa untuk memperundingkan tahun pembebasan bagi Negeri Indraprastha dan pengembalian Hastina ke pangkuan Pandawa. Namun kakak ipar Harjuna atau Raja Dwaraka itu gagal mencapai persetujuan dengan Kurawa. Karena itu, kedua belah pihak menyiapkan laskar masing-masing. Bala bantuan dari negeri-negeai bawahan kedua pihak pun ikut terlibat dalam peperangan ini. Dalam parwa inilah ada selingan sebuah kitab? yang berjudul Bbagavad Gita. Kitab yang mengandung ajaran bagi manusia. Ajaran tentang sikap hidup dan kehidupan. Prabarini terkantuk dan akhirnya tertidur di tempat duduknya dengan kepala tertelungkup di atas meja. Mentari telah naik kala Jayabhaya bangun dari tidurnya. Perasaan iba menelusuri hatinya. Prabarini begitu patuh membaca kendati ia sudah terlena. Sampai dia sendiri jatuh tertidur. Maka ia sendiri pergi ke kolam pemandian menikmati kicau burung di pagi hari dan kesegaran air yang sejuk.

Setelannya Jayabhaya harus memeriksa sendiri rumah panggung yang akan ia hadiahkan pada Sedah sebagai rumah sekaligus tempat kerja. Sudah hampir jadi, karena tenaga yang dikerahkan cukup banyak untuk mendirikan satu rumah saja. Rumah panggung dengan tangga selebar hampir satu depa. Dengan tiang lantai kurang lebih empat atau lima depa dari tanah. Tiang-tiangnya nampak sangat kokoh. Cukup besar ukuran rumah panggung itu. Lebarnya kurang lebih tujuh - depa sedang panjangnya tidak kurang dari dua belas depa.

Atapnya terbuat dari sirap, sedang lantainya dari kayu ulin yang kuat. Ada beranda di depan pintu masuk. Bisa dijadikan tempat duduk-duduk waktu istirahat atau di senja hari. Ada empat jendela di sebelah kiri dan empat di sebelah kanan.

Juga terdapat kebun dan taman di seputar rumah panggung itu. Sri Jayabhaya memerintahkan beberapa orang untuk merawatnya, karena ia tahu bahwa Sedah tidak mungkin mengerjakannya. Sri Prabu nampak puas, pembangunan tinggal memperhaus atau memperindah saja. 

Maka ia kembali ke istana dan memanggil Sedah. "Dirgahayu, Yang Suci. Kami sudah membaca keempat parwa yang telah Yang Suci salin. Kami puas."

"Ampunkan hamba, Yang Termulia. Hanya itulah kemampuan..." "Jangan terlalu merendah, Yang Suci." Jayabhaya tertawa melihat sikap Sedah agak berbeda, agaknya telah menyesuaikan diri dengan teman-temannya.

"Tidak. Bagaimanapun juga hamba adalah manusia biasa." Sedah menunduk untuk beberapa saat. Kemudian ia pandang wajah Sri Prabu yang diapit oleh dua wanita pengipas. Lalu, "Selalu saja ada kekurangan pada umat manusia, walau ia selalu akan berusaha mengatasi kekurangannya." Sedah seperti tidak rela dengan kekurangan yang ada pada dirinya.

"Mengetahui kekurangan diri kemudian ber-daya-upaya mengatasinya adalah hal yang amat baik. Hidup tanpa daya- upaya tak akan berarti apa-apa."

Mereka diam beberapa jenak. Suasana lengang. Tapi burung-burung kecil memperdengarkan suaranya di luar pendapa. Jauh di jalanan sana orang-orang hilir-mudik dalam perniagaan. Pasar pun sedang ramai-ramainya.

"Apa judul kakawin yang kami minta pada Mpu?"

Sedah merenung, mengerutkan dahinya. Dua jenak kemudian ia menjawab Bhramara Wila Sita."

"Bhramara Wila Sita?"

"Ya, sebab yang membangun Daha ini dahulu sebahagian besar adalah kaum brahmana. Juga moyang raja-raja Penjalu adalah brahmana. Mpu Sindok."

"Jagad Dewa! Apakah sudah mulai ditulis?" "Sudah beberapa bahagian."

"Bisa kami membacanya?"

"Bisa. Kapan Yang Termulia berkenan membaca bahagian awal dari karya tersebut?"

"Esoklah! Harini kami masih akan mengerjakan lainnya." Mereka diam lagi. "Yang Suci saat ini tidur di mana?" Tiba-tiba Jayabhaya memecah kebekuan.

Hati Sedah memang beku. Kini ia berhadap-hadapan dengan orang yang menculik calon istrinya. Bahkan dua tahun sudah ia menguasai, meniduri dan... Hati Sedah bergetar hebat. Mungkin demikian perasaan Sri Rama waktu berhadap- hadapan dengan Rahwana. Tapi ia bukan Sri Rama yang datang dengan dukungan laskar yang berjuta-juta jumlahnya. Ia tidak bisa merampas Prabarini begitu saja.

"Eh, sementara menginap di rumah Mpu Samirana Guna." "Oh... Begini, Yang Suci. Kami telah menyediakan satu

rumah bagi Yang Suci. Mulai esok Yang Suci harus pindah ke

rumah tersebut!" "Tetapi..."

"Tidak ada tetapi, Yang Suci. Kami rasa kita tak perlu berbantah lagi. Milikilah rumah itu. Jadikan tempat tinggal dan tempat untuk bekerja."

Jayabhaya kemudian memanggil seorang caraka untuk mengantar Sedah ke rumah panggungnya. Tanpa dapat membantah, kali ini Sedah mengikuti caraka keluar dari pendapa agung. Mereka berjalan kaki. Awan putih berarak- arak di langit biru, membiaskan sinar mentari pagi. Seolah mereka ikut beriang-riang menyambut anugerah yang diberikan pada Sedah.

Buat sesaat Sedah tercenung melihat bangunan rumah panggung itu. Belum pernah ia mimpi akan mendapatkannya. Dengan hati berdebar ia meniti tangga untuk memasuki rumah. Para pekerja menghormat.

"Dirgahayu, Yang Suci." Hormat mereka menyembah.

Sedah memerintahkan mereka berdiri dan kembali bekerja sebagaimana biasa. Semua perabot sudah lengkap. Tempat tidur kayu berukir dan alas tempat tidur yang terbuat dari sutera China. Lantai papan tebal dan perkasa dilapisi permadani berbulu buatan Mesir di setiap ruangan, kecuali tempat untuk memasak. Lampu-lampu gantung buatan Jambudwipa dari logam kuning, serta pelita tempel di dinding- dinding ruangan kerja buatan Jenggala. Ah, besok aku menempati tempat semewah ini...

Penjaga taman yang diperbantukan pada Sedah ternyata adalah dua orang yang pernah ditolongnya di Lembah Selong.

"Yang Suci masih mengenal hamba?" Jodeh bertanya sambil menyembah dengan muka sampai ke tanah. Demikian pula temannya Sontoh.

"Bangkitlah! Siapa kalian ini?" Suara Sedah menyejukkan hati.

"Hamba Jodeh," kata yang brewok dan dadanya penuh bulu. Badannya tinggi besar, dengan gigi yang menonjol keluar dan selalu berwarna merah karena sirih kinangan.

"Hamba Sontoh, Yang Suci," yang bertubuh pendek dan kurus memperkenalkan diri.

Lalu keduanya menceritakan pengalaman mereka saat bersua Sedah di Lembah Selong waktu berhadapan dengan Gandarsigh.

"Ha... ha... ha... ha..." Sedah terbahak-bahak. "Aku tidak pernah ingat lagi. Maafkan aku. Karena berhadapan dengan banyak orang dan banyak persoalan. Rupanya kalian yang berbaris keliling kota?"

"Betul, Yang Suci. Kami sangat bergembira Yang Suci ada di sini juga. Karena itu kami berusaha melamar pekerjaan jadi tukang kebun di sini."

"Ah, terima kasih, Paman Jodeh dan Paman Sontoh. Di mana kalian akan tinggal?" "Kami akan tinggal di sana!" Jodeh menunjuk ke sudut kanan halaman atau kebun yang cukup luas. Sedah menghela napas panjang. Sejenak dua jenak atau barangkali sepuluh jenak ia tercenung. Anugerah yang cukup besar sebenarnya. Tak ada alasan sebenarnya untuk menjelek-jelekkan atau memusuhi raja sebaik Sri Jayabhaya. Tapi benarkah kebaikan ini berlaku untuk semua orang? Atau aku saja? Karena dia sedang membutuhkan aku? Ya! Selama aku dibutuhkan, aku disanjung. Tapi ada ketikanya aku disingkirkan, jika dianggapnya sudah tidak diperlukan lagi.

Buktinya ada berapa ribu orang yang sekarang ini meringkuk di penjara-penjara? Ada berapa pula yang harus bekerja paksa dengan tangan terbelenggu rantai besar?

"Aku tidak bisa membayar kalian. Karena aku juga manusia bayaran," Sedah berkata pahit.

"Oh, kami sudah dibayar oleh kerajaan demi Yang Suci." "Jagad Dewa!"

Sedah berlalu. Esok harinya Jodeh dan Sontoh membantu memindahkan barang-barang dan lontar-lontar milik Sedah. Para anggota Dewan Cerdik Pandai sangat terheran-heran. Sungguh tak pernah mereka duga sebelumnya, bahwa seorang bengal akan menerima anugerah dari Sri Prabu.

"Sungguh anak dewata dia!" Panuluh berkata pada teman- temannya.

"Anak ajaib," yang lain berkata. Sementara itu paman Sedah tetap diam saja.

"Tapi jangan-jangan semua ini akan membuatnya besar kepala, dan menganggap kita semua siput," salah seorang memperingatkan. "Kita yang lebih lama di sini disisihkannya."

"Tak perlu iri," Panuluh menasihati. "Justru seharusnya kita belajar dari keberhasilannya. Iri hati akan membuat kita sakit sendiri. Kedengkian membawa malapetaka. Brahmana yang baik adalah pembawa kesejahteraan."

Rumah panggung segera menjadi buah bibir yang makin meluas. Bukan cuma para Cerdik Pandai yang membicarakannya, tapi juga para pembesar negeri lainnya. Para satria juga. Berita tentang rumah panggung pun segera*menyebar ke mana-mana. Seperti menjalarnya wabah. Suka dan tidak suka pun berkecamuk. Sedah segera mendapat peringatan dari pamannya, agar berhati-hati.

Peringatan pamannya bukanlah kosong. Sebab suatu saat ketika ia sedang mengerjakan kitab Bhramara Wila Sita yang dijanjikannya pada Raja, beberapa buah batu dilemparkan dari arah jauh dan jatuh di atap beranda rumah panggungnya.

"Siapa yang melempar ini?" tanya Sedah pada Jodeh yang ada di kebun.

"Segerombolan orang yang tidak hamba kenal, Yang Suci.

Apa kita laporkan kepada Kepala Keamanan Kota?"

"Aku tak ingin melakukannya. Jika kau merasa perlu, kerjakanlah pendapatmu itu!" Sedah kembali ke ruang kerjanya.

Jodeh pergi untuk mengerjakan perintah tuannya.

Pengalaman Sontoh lain lagi. Beberapa hari setelah peristiwa pelemparan rumah, ia terpaksa berkelahi dengan sejumlah orang yang berteriakteriak di luar pagar halaman. Menyakitkan hati, menurutnya, sehingga ia menangkap seorang lalu menghadapkannya kepada Sedah. "Ada apa ribut-ribut?"

Sontoh melaporkan kejadiannya. Ia dikeroyok empat orang. Untung ia menang dan dapat menangkap seorang. Yang lain lari. Orang yang ditangkap itu tak berani memandang Sedah yang menatapnya dengan tajam.

"Siapa namamu?" suara Sedah seperti palu godam. "Kin... ca... ka."

"Kincaka? Ah, nama yang bagus. Masih muda lagi. Mungkin usia kita sama. Lalu apa salahku padamu maka kau mengusikku?"

"Ampun, Yang Suci..." Kincaka menyembah sampai ke lantai.

"Atas nama Hyang Maha Dewa aku mengampunimu! Tapi, jawab dulu pertanyaanku. Jika tidak maka kau akan kuserahkan kepada Sri Prabu yang memberikan rumah ini kepadaku."

"Ampun... Hamba cuma disuruh. Dibayar..." "Cinta akan uang adalah akar kejahatan!" Sedah menghela napas panjang. Kemudian bersi-dekap dan membelakangi Kincaka. "Dengarlah baik-baik, Sontoh. Beri tahukan ini pada anak-anak atau istrimu!" Sedah kini menghadap kebun. Pohon-pohon beraneka ragam tampak terurus rapi. "Jika kita ingin... yah, ingin menjadi kaya, maka pencobaan yang membawa kita pada kejahatan telah siap di ambang pintu hati. Bisa saja membawa kita pada kejahatan yang paling busuk sekali pun."

"Hamba, Yang Suci."

"Siapa yang menyuruhmu, Kincaka?"

"Hamba tidak kenal, Yang Suci. Ampunkan hamba..." "Hemh... tidak kenal? Dosamu makin bertambah-tambah.

Mengapa tak takut menipu seorang brahmana?"

"Ampun, Yang Suci! Hamba diajak oleh kawan-kawan.

Kemudian... katanya akan ada yang membayar..."

"Baik! Kau butuh uang?" Sedah masuk ke biliknya dan keluar lagi dengan cepat. Lima keping perak di tangannya.

"Terimalah ini. Dan Sontoh, ambilkan sebakul beras persediaan! Berikan padanya agar dibawa pulang." "Tapi..."

"Tak ada tetapi, Sontoh."

Sontoh segera mengerjakan perintah Sedah. Sementara itu air mata Kincaka meleleh lamban di pipinya. Tak berani ia bergerak, seolah berhadapan dengan seorang dewa.

"Nah, bawalah ini pulang. Jangan lakukan lagi apa yang tadi kaukerjakan. Beritahukan pada kawan-kawanmu: tak seharusnya aku dimusuhi, karena aku memang bukan musuh kalian."

"Hamba, Yang Suci."

"Aku tidak mencari pujian dengan memberi ini padamu, tapi karena kau memang memerlukannya."

"Hamba, yang Suci. Terima kasih."

"Sontoh, ingat ini! Jangan kau tanya mengapa ini bisa diperbuat orang padaku. Aku sendiri tidak akan bertanya lagi. Aku seorang seniman: orang yang harus menyatu dengan pujian dan cacian."

"Hamba, Yang Suci."

"Setelah tahu akan hal ini, jika kau mau tinggal bersama aku tinggallah terus. Tapi jika mau pergi, pergilah! Dan katakan ini pada Jodeh juga."

"Ampun, Yang Suci... apa pun keadaan Yang Suci, kami berjanji akan tinggal."

"Baiklah!"

Sedah kembali ke ruang kerjanya. Kincaka dengan perasaan berat meninggalkan rumah itu. Namun tak urung apa yang terjadi atas Kincaka pun menjadi buah bibir. Di warung-warung, di pasar-pasar, penjaja dagangan pun mengambil kerja sambilan, yaitu membicarakan Sedah. "Betapa bahagia menjadi istri orang macam itu..," bisik para gadis di sungai waktu sama-sama mandi atau mencuci pakaian. Dan berita itu pun merambat ke mana-mana, sampai menembus dinding taman sari milik Prabarini.

Memang sejak Sedah pindah ke rumah panggung, Nyi Lembini sukar memperoleh hubungan. Ia takut pada Jodeh dan Sontoh. Ia cuma dapat memantau apa yang terjadi atas Sedah dari jauh. Karenanya Prabarini agak lama tidak lagi membaca suratnya. Dan itu membuat Prabarini sering tidak bisa tidur. Jiwanya makin terperosok dalam kesunyian yang dalam. Ingin ia menemani Sedah di saat mengalami masa sukar yang penuh dengan tantangan. Bukankah dalam keadaan demikian ia memerlukan penolong atau penghibur? Ingin ia melakukannya. Tapi ia bukan kupu-kupu yang bisa terbang bebas melintasi barisan pengawal wanita di seputar tamannya. Belum lagi pagar tembok batu bata yang tingginya kurang lebih dua depa itu.

Semua memang tidak memungkinkannya untuk berhubungan lagi dengan Sedah. Namun Prabarini merenungkan, apa dayanya sekarang? Bukankah ia sendiri bisa menulis? Dan bukankah tulisan juga merupakan anugerah yang ajaib? Ya Ajaib! Karena sebenarnyalah tak ada apa pun yang bisa membatasi tulisan itu sendiri. Tembok, penjaga, prajurit wanita, bahkan kekuasaan takkan mampu membatasi tulisan. Tapi bagaimana caranya mengeluarkan tulisan dari tempat ini? Harus ada upaya.

Itu sebabnya ia memanggil Nyi Rumbi, orang yang paling dipercayanya, untuk berhubungan dengan orang-orang di luar istana.

"Yang Mulia... itu pekerjaan berbahaya. Sungguh berbahaya."

"Ketakutan tak menghasilkan apa-apa, Bibi. Aku sudah jenuh tinggal di sini jika tidak bersabar menunggu Sedah." "Jadi?"

"Kau bisa pura-pura ke pasar, bukan? Nah, menurut laporan Nyi Lembini, dia punya tukang kebun. Namanya Jodeh. Dan, satu lagi adalah

Sontoh. Temui! Dan suap mereka! Atau.bagaima-na caranya aku tidak tahu, pokoknya lontarku sampai."

"Baiklah, Yang Mulia. Hamba akan lakukan semua titah Yang Mulia. Berdoalah."

"Cuma kau satu-satunya penolongku. Dan jika pulang dari pasar, jangan lupa membelikan hadiah untuk para pengawal itu."

"Hamba, Yang Mulia."

Dengan hati berdebar ia menatap kepergian Nyi Rumbi.

Lebih berdebar lagi ketika ia akan kembali ke biliknya, ternyata Sri Jayabhaya sudah duduk di beranda. Darah serasa berhenti.

"Dirgahayu, Yang Maha Mulia..." Ia berusaha menutupi kegugupannya dengan senyum.

Dan Jayabhaya memang paling kasmaran melihat senyumnya itu. Senyum memang selalu mengubah suasana. Jayabhaya merasa hatinya semakin dekat dengan Prabarini.

"Istrinda, kau tentu akan makin suka membaca tulisan pujangga muda itu. Lihat ini, Bbramara Wila Sita. Belum selesai memang, namun amat bagus." Jayabhaya menunjukkan beberapa gulung lontar.

"Bbramara Wila Sita?" "Ya."

"Kota kaum brahmana?" Prabarini mendekat, walau hatinya ragu. Bukan untuk menyambut Sri Prabu, tapi tulisan Sedah.

"Bacalah ini! Aku ingin mendengar suaramu!" Keraguan dan ketakutan musnah seketika, sebagai gantinya... kegembiraan yang tergambar pada mata yang berbinar-binar. Prabarini kemudian mengambil tempat duduk di samping kiri Sri Jayabhaya. Namun orang itu segera meraih pinggangnya dan meletakkan tubuh Prabarini ke pangkuannya. Prabarini mengutuk dalam hati ketika Jayabhaya mencium punggungnya.

"Ah, nanti tak terbaca..."

Wajah yang dihiasi mendung malah membuat Sri Prabu tertawa. Sebahagian giginya sudah rontok. Bau busuk yang disebabkan gigi berlobang ikut tersembur keluar bersama suara tawanya.

Buru-buru Prabarini bangkit sambil menyediakan sirih. Ia ingin menghindari bau itu.

Tingkah Prabarini seolah selalu melegakan hatinya. "Istrinda, baca saja. Aku akan mengambil sendiri sirih..." Ia

ikut berdiri.

"Tak apa, Yang Maha Mulia."

Prabarini kembali mengambil tempat duduk. Kini berhadap- hadapan dengan Sri Prabu. Dan ia mulai membaca.

Pada awal tulisannya Sedah menceritakan tentang asal-usul ibukota Daha, dan ibukota sebelumnya. Itulah sebabnya Sedah memberi judul kakawinnya Bhramara Wila Sita (mungkin dari sinilah Cho K'u-Fei mengambil baban dalam menulis kitab Ling-Wai-Tai-Ta (1178) juga Chau-ju-kua dalam bukunya Cho-fan-chi (1225)). Pada zaman Mpu Sindok, moyang Sri Jayabhaya, ibukota kerajaan ada di Watu Galuh (letaknya di sekitar Jombang). Namun setelah pemerintahan Sri Dharmawangsa, ibukota kerajaan berpindah ke Watan, yang letaknya di selatan kota Sidaarja, hampir di bawah kaki Gunung Penanggungan. Ia menceritakan kemakmuran Watan, yang meski sering dilanda banjir namun tidak pernah separah kota Sidaarja. Sri Dharmawangsalah yang memerintahkan pertama kali menerjemahkan Mahabharata, karangan Mpu Vyasa dari Jambudwi-pa. Namun tidak selesai. Cuma sembilan parwa saja yang diselesaikan. Mungkin dikarenakan negeri itu mendapat serangan mendadak dari Raja Wurawari dari Lwaram.

Sedah menyebutkan bahwa hal ini pernah ditulis oleh Erlangga sorga dalam prasasti Kalku-ta: "Ri prahara, Haji Wurawari maso mijil sangka Lwaram" Artinya kurang lebih: "Di tengah kekacauan atau pemberontakan itu, Raja Wurawari muncul dari Lwaram."

Setelah Erlangga memenangkan peperangan dan menaklukkan Wurawari, ia membangun ibukota baru yang dinamakan Watan Mas, yang tempatnya masih di seputar kaki Gunung Penanggungan. Namun Erlangga diserbu dan dikejar oleh musuh, Watan Mas ditinggalkan dan ia menuju ke desa Patakan (Prasasti Terep (Th 1032) dan Prasasti Kamalagyan (1037))"

Dan Erlangga tidak kembali lagi ke Watan Mas, tapi ia mendirikan satu kota lagi di sebelah timur gunung Penanggungan. Kota itu diberi nama Kahuripan. Tidak lama setelah itu Erlangga memerintahkan penyudetan Kali Brantas sehingga terpecahlah sungai itu menjadi dua. Erlangga melihat hanya itulah satu-satunya jalan untuk mengatasi banjir yang sering tidak berkeputusan. Ujung yang satu menuju ke utara yang kelak disebut Ujung Galuh, sementara ujung yang lain melewati Kemal Pandak. Itulah sebabnya Erlangga mengubah nama negeri Medang menjadi Kahuripan, setelah penyudetan berhasil. Dan ibukotanya bernama Daha.( Prasasti Pamwatan (1042))

Sampai di sini Prabarini berhenti. Pembacaan sudah selesai. Para dayang telah menyiapkan santap siang untuk keduanya. Jayabhaya makin kagum pada Sedah. Begitu teliti anak muda itu.

"Aku belum pernah mendengar kisah yang demikian itu, Istrinda. Kendati aku adalah pewaris Wangsa Icana. Kita pantas memberinya anugerah."

"Hamba, Yang Maha Mulia. Lalu, anugerah apakah yang pantas untuk pujangga itu?"

"Aku belum tahu. Aku bingung. Ia menulis bagus. Tapi sikapnya, sepak terjangnya, merusak wibawaku. Terkadang aku pusing dibuatnya."

"Berkali hamba telah bersembah, Yang Maha Mulia.

Barangkali saja ia ingin meletakkan yama dan gama pada tempat yang semestinya."

"Yang kutangkap dalam semua tulisannya, ternyata menyiratkan suatu tuntutan.! Istrinda, adakah kau menangkapnya?"

Kembali dada Prabarini naik-turun dengan mendadak. Debar jantungnya mengencang. Dan menghadapi satria seperti Jayabhaya, ia harus berhati-hati. Senyum di bibirnya bisa berarti lain. Ingatannya segera berlari pada Palagantara. Bisa saja manusia macam itu membunuh sambil menangis.

"Apakah yang telah Yang Maha Mulia dapati?" "Memang sangat halus, tapi ia menuntut kebebasan.

Persamaan derajat atau hak. Lalu, ia juga menyerukan

persaudaraan."

Prabarini tertunduk. Orang ini memang bernaluri amat tajam. Tapi sayang dia hanya mau mendengar diri sendiri. Atau...

"Apa itu tidak menyalahi kodrat dewata?"

"Semua orang telah menyalahi kodrat!" Prabarini kembali pada dirinya sendiri. "Juga aku?" "Ya." . "Kau...?"

"Tak ada manusia menjadi dewa! Tapi tiap penguasa memperdewakan diri. Harus didengar apa maunya!"

"Jagad Dewa!" Jayabhaya kini berdegup. Kepalanya mendadak pening. Ingin rasanya ia menempeleng Prabarini. Ternyata wanita ini benar-benar belum menerima dirinya sebagai seorang suami. Masih menganggapnya sebagai penguasa.

"Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia. Hamba adalah brahmana. Hamba diajar berpendapat. Dan diajar menyatakan pendapat. Tapi selama ini, hamba tak lebih dari boneka semata."

"Jadi kau juga menuntut kebebasan? Kurangkah yang kuberikan pada Istrinda selama ini?"

"Kebebasan adalah hak hakiki seluruh umat manusia di seluruh muka bumi ini. Ini adalah kodrati. Harus dilindungi dan dijaga, demi keseimbangan alam. Dan apabila keseimbangan ini rusak, akan menimbulkan bencana bagi umat manusia."

"Jagad Dewa!"

Namun Jayabhaya masih berusaha menahan hatinya.

0ooo0dw0oo0 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar