Pertarungan Terakhir Bab 14 : Burung Senja (Tamat)

Bab 14 : Burung Senja (Tamat)

Dalam kesadarannya yang seperti mimpi, Banyak Sumba merasa dirinya sedang terbaring di atas rumput tempatnya roboh setelah tukar-menukar tikaman dengan si Colat.

Pandangannya kabur dan rasa sakit berdenyut perlahan-lahan pada bagian-bagian badannya yang dikenai trisula si Colat. Ia membuka matanya perlahan-lahan, tapi segera menutupkannya kembali karena cahaya yang berwarna-warni menyilaukannya. Ia mendengar bisikan-bisikan, "Kakanda, Kakanda."

"Anakku, Anakku." "Adinda Banyak Sumba."

Ia mau menjawab, tapi bibirnya sangat berat. Ia beristirahat, lalu kesadarannya menghilang kembali. Semuanya gelap dan sepi. Pada suatu kali, kesadarannya kembali membawa Banyak Sumba ke atas lapangan rumput di tepi kampung tempat ia terbaring setelah melawan si Colat.

Ia merasa air hujan yang hangat berjatuhan di wajahnya.

Ia membuka matanya. Yang dilihatnya adalah bunga yang besar dan indah bentuknya. Keemasan, pualam, merah muda, hitam, cokelat tua. Ia memejamkan matanya kembali, "Kakanda, Kakanda," terdengar bisikan yang halus. Ia seperti kenal suara itu, tetapi ia telah lupa suara siapa itu. Suara itu didengarnya bertahun-tahun yang lalu. Ia membuka matanya dan melihat bunga yang besar dan indah itu menitikkan embun ke wajahnya. Embun itu hangat, menyenangkan.

Bunga yang besar itu menutup wajahnya. Ia mencium baunya yang lembut.

"Kakanda, Kakanda," terdengar lagi bisikan itu. Banyak Sumba teringat kembali kepada suara itu, ia membuka matanya. Ia melihat ke arah bunga indah yang ada di hadapannya. Ia memejamkan pandangannya. Ia melawan kesuraman dan kesilauan dengan kemauannya. Ia mengernyitkan keningnya yang dingin agar dapat memandang dengan jelas.

Bunga yang besar dan indah itu berubah bentuk perlahan- lahan. Mula-mula dilihatnya secara samar-samar dua pasang mata yang jernih, kemudian hidung yang kecil dan bibir yang merah muda. Rambut lebat yang mengilap dilihatnya belakangan. Ia lebih mengernyitkan keningnya, lalu berkata, "Adinda... Purbamanik."

"Kakanda Banyak Sumba," bibir yang merah muda itu menjatuhkan kata-kata, seperti bunga yang menjatuhkan daun-daun bunganya pagi hari. Banyak Sumba merasa tangan lembut meraba dadanya, lalu mendengar suara mengatakan, "Ia tersadar, ia tersadar." Suara langkah terdengar dan Banyak Sumba bertanya, "Ia akan membakar orang-orang kampung itu hidup-hidup, juga bayi-bayi?"

"Tenanglah, Anakku," kata seseorang. Banyak Sumba berpaling.

"Ibunda!" Ia melihat Ibunda tersenyum. Banyak Sumba mulai melihat bayangan wajah-wajah lain. Ia memandang berkeliling, sambil tetap mengernyitkan keningnya karena masih sukar baginya untuk melihat terang.

Satu per satu muncullah wajah-wajah dari dalam kere- mangan itu. Mula-mula wajah Ayahanda.

"Ayahanda," bisik Banyak Sumba. "Ya, Anakku." Ayahanda berkata.

"Ayunda Yuta Inten," katanya ketika di samping Ayahanda dilihatnya Ayunda Yuta Inten.

"Sumba, Adinda," kata Putri Yuta Inten sambil menyusut air matanya. Di samping Yuta Inten dilihatnya seorang kesatria berdiri. Banyak Sumba termenung untuk beberapa lama.

Kesatria itu tersenyum. Senyumannya begitu tulus, begitu wajar dan jujur, hingga Banyak Sumba pun tersenyum kepadanya, lalu berkata, "Kakanda Anggadipati."

"Adinda Banyak Sumba," kata Pangeran Anggadipati.

Banyak Sumba melayangkan matanya perlahan-lahan ke samping, seseorang berdiri di samping Pangeran Anggadipati. Ia kenal pada kesatria yang berwajah agung itu. Ia menghaturkan hormat dengan air mukanya, "Pangeran Putra, Putra Mahkota."

"Ya, Raden, rupanya kau telah kenal kepadaku," kata Putra Mahkota. Mata Banyak Sumba mengikuti tangan Putra Mahkota yang menjulur di pundak seseorang. Banyak Sumba mengikuti tangan itu ke arah wajahnya, "Sik!" "Raden, saya menunggu lama sekali dengan dua ekor kuda, tapi kata para siswa Padepokan Sirnadirasa, Raden masuk Hutan Larangan. Jadi saya tinggalkan saja. Saya pergi ke Kutabarang menemui Kang Arsim untuk mencari berita tentang Raden."

Banyak Sumba mendengar orang tertawa menyambut penjelasan Jasik itu. Banyak Sumba makin bertambah sadar akan keadaan sekelilingnya. Tiba-tiba, ia sadar pula bahwa ia memegang sesuatu. Ia menarik benda yang dipegangnya itu, lalu melihatnya. Ternyata, yang dipegang itu tangan yang sangat indah, yang berkulit halus bersih dan berjari tirus. Ia memandangi tangan itu untuk beberapa lama, lalu mengikuti bentuk lengan memandang leher yangjenjang. la melihat bibir yang menyunggingkan senyum dan mata yang jelita.

"Adinda. Adinda Purbamanik, di manakah kita ini? Saya mimpi. Saya akan memejamkan mata kembali dan kau akan menghilang, juga yang lain yang kucintai. Saya bermimpi," kata Banyak Sumba, ia memejamkan matanya.

"Kakanda! Kakanda!" Terdengar suara cemas. Banyak Sumba membuka mata kembali. Begitu nyata yang ada di hadapannya adalah putri yang dirindukannya, Nyai Emas Purbamanik.

'Jangan tutupkan mata Kakanda, kami cemas," kata Nyai Emas Purbamanik.

"Di manakah kita?" tanya Banyak Sumba.

"Di Istana Kutabarang," kata seseorang. Banyak Sumba melihat ke arah orang itu. Seorang bangsawan, setengah baya berdiri.

"Selamat datang di Kutabarang yang bangga menerima - kedatangan Raden."

"Pamanda Penguasa Kota," bisik Nyai Emas Purbamanik. Banyak Sumba tersenyum. "Bagaimana Kakanda ada di sini?"

"la sudah benar-benar sadar kembali. Kau telah membunuh si Colat, Anakku," suara Ayahanda terdengar dengan bangga.

Banyak Sumba membuka matanya lebar-lebar. Ia mencoba mengingat-ingat. Tapi, sukar sekali ia dapat mengerti keadaannya. Ia memandang berkeliling. Tampak wajah Paman Wasis. Wajah Paman Wasis yang tersenyum kepadanya inilah yang membantu Banyak Sumba untuk menyadari diri dan sekelilingnya.

Ia ingat bahwa setelah kematian Kakanda Jante Jaluwuyung, keluarganya mengungsi ke hutan. Di sana, ia belajar ilmu keprajuritan dari Paman Wasis. Ia mengembara mencari guru, kudanya dirampas Bungsu Wiratanu, kemudian ia tiba di Kutabarang. Ia beberapa kali berkelahi dalam keramaian hingga bertemu dengan si Colat. Ia ikut si Colat menyelamatkan Radenjimat dari penculikan. Kemudian berpisah kembali dengan si Colat. Ia tertarik oleh seorang gadis di atas benteng Puri Pubawisesa.

Ia mengangkat kembali tangan yang selama ini dipegangnya. Dipandangnya wajah Nyai Emas Purbamanik yang duduk di tepi balai-balainya.

"Saya ingat kembali semuanya," kata Banyak Sumba.

Terdengar napas lega dari hadirin.

Banyak Sumba mengingat kembali dengan keras. Ya, ia menyaksikan perkelahian antara dua perguruan di dalam hutan, kemudian ia mengikuti si Gojin. Ia belajar kepada si Gojin hingga si Gojin dikalahkan oleh Eyang Resi Sirnadirasa. Ia menggabungkan diri dengan siswa Padepokan Sirnadirasa. Ia bertemu dengan Pangeran Anggadipati, tetapi tidak jadi melemparnya dengan pisau beracun. Ia pergi ke Pakuan Pajaja-ran dan mengambil guci abu jenazah KakandaJante. Ia pulang ke Medang, lalu kembali lagi ke Padepokan Sirnadirasa. Di sana, ia berkelahi dengan Raden Madea, calon puragabaya yang akan memimpin sukarelawan dalam pengepungan si Colat.

Ia tersesat dalan hutan dan masuk ke daerah Padepokan Tajimalela. Ia belajar seorang diri di sana. Kemudian, ia diburu dan lolos masuk Hutan Larangan. Setelah itu, ia kembali masuk kampung dan menggabungkan diri dengan si Colat.

Raden Jimat tewas dan ia terpaksa melawan si Colat yang akan menjadikan penduduk kampung sebagai kayu pembakaran jenazah Raden Jimat. Kenangannya terhenti sampai di sana, ia bertanya, "Saya melawan si Colat. Setelah itu, apa yang terjadi?"

"Engkau menyelamatkan orang-orang kampung yang hendak dibakar itu, Adinda," kata Pangeran Anggadipati yang berdiri di samping Ayunda Yuta Inten.

"Si Colat telah berhasil kau bunuh, tetapi engkau terluka. Kami menyerang dan menemukan kau terbaring berangkulan dengan si Colat yang sudah meninggal. Kisahmu diceritakan oleh orang-orang kampung yang kami lepaskan dari ikatan- ikatan mereka di bawah tumpukan kayu samida. Kami tidak mengenalmu hanya Kakanda merasa seolah-olah kita pernah bertemu. Memang kita pernah bertemu dan berjalan-jalan di lapangan Kota Medang, ketika kau masih berumur delapan atau sembilan tahun. Walaupun begitu, karena nadimu masih berdenyut, kami mencoba menyelamatkan hidupmu. Paman Minda dan Paman Rakean berusaha sekuat tenaga menyambung kembali rusukmu yang patah dan urat-uratmu yang putus. Seluruh Pajajaran berdoa untuk hidupmu dan engkau selamat. Panakawanmu yang setia, Jasik, tutup mulut tentang siapa sebenarnya engkau. Kemudian, Adinda Purbamanik datang. Ternyata, kalian telah berkenalan dan ia segera mengenal dan menangisi sahabat lamanya. Jasik terpaksa membuka rahasia dan ia menjemput seluruh keluarga yang sekarang ada di sini." Baru ketika itulah Banyak Sumba melihat adik-adiknya yang kecil-kecil. Ia melambai kepada adik-adiknya itu, yang segera datang mengelilingi balai-balainya di samping Nyai Emas Purbamanik.

'Jadi, semuanya sudah selesai?" kata Banyak Sumba. "Semuanya sudah selesai, Adinda," kata Pangeran

Anggadipati yang berpaling kepada Putri Yuta Inten di sampingnya.

MUNGKIN sudah sebulan atau lebih, dan kesehatan Banyak Sumba pulih dengan cepat sekali. Senja itu ia berjalan-jalan dalam taman, di sebelah kanannya bergandeng gadis yang dicintainya, Nyai Emas Purbamanik. Untuk beberapa lama, mereka berjalan tanpa mengatakan apa-apa. Mereka hanya meresapkan apa-apa yang terasa dalam hati masing-masing.

Udara senja yang sejuk setelah panas sepanjang hari, membiru di atas benteng Kutabarang tempat Banyak Sumba dan keluarganya tinggal selama ini. Bunga-bunga di taman menabur wanginya kepada angin kecil yang lewat bermain- main di sana. Mereka berjalan berdiam diri, hanya alas kaki mereka berdesir di atas pasir putih yang ditebarkan di taman itu.

Jalan-jalan dalam taman itu banyak yang buntu dan berakhir pada semak-semak bunga-bungaan yang lebat yang di tengah-tengahnya dipasang bangku-bangku atau tanah- tanah berumput untuk duduk-duduk. Mereka pun berjalan menuju tempat seperti itu. Kemudian, Banyak Sumba duduk di atas rumput. Ia memandang ke arah Nyai Emas Purbamanik yang mula-mula ragu untuk duduk. Banyak Sumba memandang sambil tersenyum, kemudian gadis itu duduk pula di dekatnya, "Kakanda, tadi Kakanda mengatakan bahwa perundingan telah selesai, tapi mengapa para bangsawan masih juga menutup diri dalam ruangan persidangan." "Memang perundingan telah selesai, dan antara keluarga Banyak Citra dan keluarga Anggadipati tidak ada persoalan lagi, tidak ada salah mengerti lagi. Sang Prabu sendiri telah menjelaskan semuanya dan Ayahanda hanya mau percaya kepada sang Prabu," jawab Banyak Sumba sambil mempermainkan rambut di kening Nyai Emas Purbamanik.

"Wahai, alangkah besar pengorbanan yang harus diberikan untuk prasangka dan salah mengerti itu, Kakanda. Pangeran Anggadipati, Ayunda Yuta Inten, dan Kakanda sendiri hampir kehilangan nyawa."

"Tapi, karena salah mengerti itu, Kakanda bertemu dengan kau, Adinda. Jadi, janganlah hanya dihitung pengorbanannya," ujar Banyak Sumba berolok-olok.

Nyai Emas Purbamanik menekan tangan Banyak Sumba. Untuk beberapa lama, mereka hening kembali. Kemudian, gadis yang tidak lepas dari tatapan Banyak Sumba itu bertanya kembali, "Tapi, mengapa mereka belum juga keluar dari ruangan besar itu? Mengapa Adinda lihat tadi Pangeran Anggadipati yang tua masih juga berbincang-bincang dengan Ayahanda Banyak Citra dan Ayahanda Purbawisesa?"

Banyak Sumba tertawa. Gadis itu memandangnya tidak mengerti. Banyak Sumba berkata, "Setelah soal besar terselesaikan dengan mudah, Ayahanda Banyak Citra tidak puas. Ia sudah terbiasa menghadapi soal-soal yang sukar. Oleh karena itu, ketika persoalan salah mengerti dijelaskan dengan mudah oleh sang Prabu, tenaganya masih terlalu banyak. Maka, dicari-carinya persoalan untuk diperdebatkan," kata Banyak Sumba. Nyai Emas Purbamanik tampak cemas.

"Mungkinkah terjadi lagi salah mengerti? Soal apakah yang sekarang diperdebatkan?"

Banyak Sumba tertawa dan Nyai Emas Purbamanik yang tidak sabar menghentikannya dengan cubitan. "Cepat katakan! Kalau tidak, saya akan lari," kata Nyai Emas Purbamanik. Banyak Sumba memetik bunga, lalu diselipkannya di rambut gadis itu.

"Katakanlah, Kakanda, soal apa yang mereka perdebatkan?"

"Soal kita," ujar Banyak Sumba. Nyai Emas Purbamanik memandangnya dan menunggu dengan tidak sabar lanjutan penjelasan dari Banyak Sumba. Banyak Sumba tenang-tenang saja. Baru setelah beberapa lama, ia berkata, "Ayahanda mengusulkan dan berkeras kepala agar upacara dan pesta perkawinan kita dan Kakanda Anggadipati dilaksanakan di Kota Medang, bertepatan dengan penyerahan kekuasaan dari Pamanda Galih Wangi kepada Ayahanda. Beliau merasa berhak menuntut karena dari dua pasang calon pengantin, dua orang adalah putra-putri beliau. Sementara itu, Pangeran Anggadipati yang tua mengusulkan agar upacara dan pesta dilakukan di Puri Anggadipati, sedangkan Ayahanda Purbawisesa mengusulkan agar upacara dan pesta dilakukan di Kutabarang saja, karena bukankah beliau orang Kutabarang? Semuanya berkeras."

"Jadi bagaimana?" tanya Nyai Emas Purbamanik, "Di mana akan dilakukan upacara perkawanan itu?"

"Apakah itu jadi soal besar bagimu, Adinda?" tanya Banyak Sumba, mengganggu.

Dengan gemas, Nyai Emas Purbamanik mencubit Banyak Sumba, "Kakanda, jawablah dengan sungguh-sungguh jangan main-main saja!" katanya sambil tertawa.

"Kakanda menyerah saja, terserah kepadamu, di mana kau ingin dipelaminkan."

"Bukan begitu, Kakanda, di manakah kira-kiranya akan diputuskan hari penting itu?" "Mereka akan sama-sama berkeras hati. Kau tahu Adinda, ketiga pangeran itu termasyhur karena keras kepalanya. Maaf, maksud Kakanda, keras hati. Oleh karena itu, sang Prabu terpaksa memutuskan. Kedua pasangan calon pengantin akan dibawa ke Pakuan Pajajaran. Di sana, mereka akan dinikahkan dan dipestakan tujuh hari tujuh malam. Demikianlah beritanya," kata Banyak Sumba.

"Dari mana Kakanda mendapat berita begitu?" tanya Nyai Emas Purbamanik yang hampir-hampir tidak percaya karena Banyak Sumba selalu bermain-main.

'Jasik saya suruh berpura-pura menjaga, padahal ia ditugaskan untuk menajamkan telinganya di sekitar ruangan perundingan itu."

"Dasar nakal!" kata Nyai Emas Purbamanik sambil membaringkan kepalanya di pangkuan Banyak Sumba.

"Dulu juga, Kakanda biasa mengintip, memanjat benteng, mengapa sekarang tidak boleh?" tanya Banyak Sumba. Ketika itu, terdengar suara langkah kaki orang.

"Ada orang datang," bisik Nyai Emas Purbamanik seraya bangkit membetulkan sanggulnya.

Dari salah satu jalan di taman itu, tampaklah dua sejoli bergandengan tangan. Kepala mereka berlekatan satu sama lain, sementara mereka berjalan perlahan sekali di bawah cahaya senja itu.

"Kakanda Anggadipati dan Ayunda Yuta Inten," bisik Nyai Emas Purbamanik.

'Jangan menegur mereka, sebelum mereka berpisah," kata Banyak Sumba, lalu ia melirik kepada gadis yang dicintainya yang duduk di sampingnya. "Jangan mengintip," bisiknya sambil tersenyum. Gadis itu berpaling ke arah Min sambil tersenyum. Dua sejoli itu lama sekali berangkulan, kemudian mereka berpisah dan pandang-memandang untuk beberapa lama. Banyak Sumba berdeham, lalu berdiri sambil memegang tangan Nyai Emas Purbamanik. Mereka keluar dari semak- semak bunga menuju Pangeran Anggadipati dan Putri Yuta Inten yang berdiri agak berjauhan.

"Sampurasun, Kakanda," kata Banyak Sumba. Mereka berjalan dan kedua pasangan itu saling menggabungkan diri.

Matahari hampir terbenam dan kedua pasangan itu berjalan menuju kaputren. Yuta Inten berpegangan tangan dengan Nyai Emas Purbamanik yang bercakap perlahan-lahan tapi gembira kedengarannya, Pangeran Anggadipati berjalan di samping Banyak Sumba dengan tenang.

"Bagaimana lukamu, Adinda?" tanya Pangeran Anggadipati. "Sudah sembuh benar, Kakanda, hanya kadang-kadang

sambungan tulang rusuk hamba berdenyut, kalau hamba

terlalu banyak mengerakkan tangan kiri atau mengangkat benda-benda yang agak berat."

"Apakah kau masih sering merasa pening?" "Tidak lagi, Kakanda," jawab Banyak Sumba.

"Yang lebih mencemaskan Paman Minda dan Paman Rakean adalah luka di kepalamu itu. Syukurlah kalau sudah baik. Bagaimana rencanamu setelah kita ke ... Pakuan Pajajaran?" tanya Pangeran Anggadipati.

Banyak Sumba mengerti apa yang dimaksudkan oleh Pangeran Anggadipati. Ia sendiri tidak tahu rencana apa yang akan dilaksanakannya setelah perkawinan di Pakuan Pajajaran. Mungkin, Ayahanda menyerahkan kekuasaan kepadanya untuk memerintah di Medang, tetapi sebenarnya ia harus mempersiapkan diri untuk beberapa tahun.

"Hamba tidak tahu tugas apa yang akan hamba terima dari Ayahanda, Kakanda," ujar Banyak Sumba. Pangeran Anggadipati tidak berkata apa-apa lagi. Mereka berjalan dengan tenang mengikuti kedua putri itu. Banyak Sumba memandang ke arah Ayunda Yuta Inten dan gadis yang dicintainya. Gadis itu berceloteh perlahan-lahan dengan gembira kepada calon iparnya yang lebih tua. Tiba-tiba, Banyak Sumba menyadari sesuatu.

Bertahun-tahun, selama ia mengembara dan hidup di hutan, hiburan yang diterimanya adalah dari burung-burung pagi yang berceloteh membangunkannya dan membukakan langit biru kepadanya. Ia memandang ke arah Nyai Emas Purbamanik, tiba-tiba saja ia menyadari betapa beruntung hidupnya kini. Setelah mendengar burung-burung pagi, biasanya hidupnya kosong sepanjang hari. Betapa sunyi dan rindu ia akan kawan yang selalu berada di dekatnya. Dan sekarang, orang yang dibutuhkannya itu tak akan dilepaskannya lagi. Ia akan bangun pagi mendengar celoteh burung-burung pagi, tetapi ia tidak akan sepi sepanjang hari. Dan senja, seperti senja itu, Nyai Emas Purbamanik akan berceloteh dengan suara rendah kepadanya. Ia akan mendengarkan dengan tidak bosan-bosannya, ia akan memandangi dengan tak henti-hentinya.

Ia memandang kedua putri yang berjalan di depannya, halus dan megah, dua ekor burung merak putih dalam sepuhan cahaya senja yang keemasan. Ia mendengar desir langkah kaki di sampingnya, suara alas kaki Pangeran Anggadipati. Ia ingin sekali merangkul pangeran itu, tapi ia tidak berani. Kemudian, dirasakannya tangan pangeran itu melekat di pundaknya.

"Apa pun yang kau rencanakan, Adinda, gerbang masa depan terbuka bagimu."

Ketika itu, Putri Yuta Inten dan Nyai Emas Purbamanik berhenti berjalan dan menunggu mereka di gerbang kaputren.

TAMAT

Glossary:

Kuncen: juru kunci Ki Silah: sahabat

Kaliage: semacam kayu hutan yang berduri panjang- panjang

Lahang: tuak aren

Waregu: semacam palem yang batangnya kecil Ruyung: bagian luar batang enau atau kelapa bagian

kerasnya
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar