Pendekar Majapahit Jilid 1

Jilid 1

B A G I A N I

Dialun-alun Kepatihan di Kota Raja nampak banyak Tamtama hilir mudik menunjukkan kesibukan yang lain dari pada hari biasanya. Kereta-kereta para senopati Manggala Tamtama kelihatan berhenti berderet-deret didepan samping Istana. Para Tamtama pengawal penjaga keamanan Istana Kepatihan, semua siap siaga, berdiri tegak berjajar rapat merupakan barisan penghormatan didepan pura Pintu gerbang lstana Kepatihan. Pada hari itu Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada berkenan mengadakan pasewakan paripurna di Istana Kepatihan, yang dihadiri oleh Sang Senopati Manggala Yudha, lengkap beserta Catur Tunggal. Senopati Muda Manggala Tam tama Samudra, Senopati Muda Manggala Tamtam, Darat, Se-nopati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja dan tidak ketinggalan Senopati Muda Manggala Narapraja Gusti Pangeran Pekik.

Indra Sambada sebagai Manggala Muda Tamtama pengawal Raja hadir pula untuk mendampingi Sang Senopati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Gusti Adityawardhana. Gus ti Adityawardhana adalah berasal dari tanah Melayu, tetapi sejak usia belasan tahun beliau telah mengabdi dikerajaan Majapahit.

Beliau saudara sepupu dengan Pangeran Adityawarman, ialah konon dalam ceritera sejarah Pangeran Adityawarman, adalah sahabat karib daripada Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada. Pangeran Adityawarman juga memegang jabatan tinggi di Majapahit hingga berusia 46 tahun. Baginda Maharaja Majapahit berkenan mengangkat Pangeran Adityawarman sebagai wakil berkuasa penuh ditanah Melaju, dan kemudian beliau bergelar Raja. Semula beliau hanya menguasai Jambi, kemudian meluas dan pusat kekuasaannya berpindah dekat Pagaruyung di Minangkabau. Pada akhir abad ke XIV beliau bersama-sama dengan pasukan Majapahit berhasil menghancurkan keradjaan Sriwidjaja. Kemudian tanah Melayu menjadi Negeri sejajar dengan Negeri-negeri sahabat yang lazim disebut "Mitreka Satata", walaupun merupakan daerah Nuswantara yang di naungi atau discbut Kabaca.

Dalam Pasewakan paripurna itu Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada berkenan memberikan keterangan tentang adanya gerombolan besar bajak laut yang terdiri dari bangsa Cina dan kini mengganas melakukan pcmbajakan-pembajakan disepanjang selat Karimata hingga disepanjang laut Jawa. Bukan hanya perahu-perahu nelayan dan perahu perahu dagang yang dirampoknya, bahkan perahu-perahu dari kerajaan Kota Waringin yang memuat barang-barang antaran bulubhakti untuk Sri Baginda Maharaja dibajaknya pula. Dari hasil karya Tamtama Nara Sandi. yang dipimpin oleh Tumenggung Cakrawirya mendapat penjelasan, bahwa gerombolan bajak laut itu barsarang di Pontianak, sebuah kota dipantai Pulau Tanjung puri bagian Selatan, pantai sebelah utara selat Karimata.

Orang-orang pribumi daerah itu dirampok harta kekayayaannya, dan kemudian diusir dari daerah itu.

Kalimantan Barat kekuatan gerombolan bajak laut diperkirakan kurang lebih 1000 orang jumlahnya belum terbitung jumlah anggauta keluarganya. Mereka adalah terdiri daripada bekas Tamtama samudera Kerajaan Cina yang memberontak dan kemudian melarikan diri dari Kerajaan Cina. Karena tidak berani kembali kenegeri asalnya, mereka bergabung menjadi satu merupakan gerombolan besar dan membajak dilautan. Dengan mengarungi laut Cina Sclatan mereka menyusuri pantai Malaka menuju bandar Singgapura dari kerajaan Sembilan Negeri, dan kemudian menyeberangi laut Cina Selatan, melintasi selat Karimata untuk kemudian tiba dan menetap di Pontianak. Hingga kini mereka mempertahankan diri bersarang tetap dan menguasai daerah Pontianak dan sekitarnya.

Telah dua kali Kerajaan Kota Waringin mengadakan serangan langsung ke Pontianak tapi tak berhasil menun dukkan.

Oleh Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada dijelaskan pula, bahwa kegagalan serangan dari Kerajaan

7

Kota Waringin dikarenakan kurang telitinya memperhitungkan kekuatan lawan. Serta siasat-siasat penyerangan yang kurang sempurna.

Disamping memperhitungkan jumlah kekuatan lawan, seharusnya diperhitungkan pula daja kekuatan dalam krida yudha perseorangan dari fihak lawan, jang ternyata mereka adalah sebahagian besar terdiri dari bekas Tamtama pula. Pun tempat kedudukan dari fihak lawan harus mendapat perhatian, dalam waktu mengadakan serangan.

Selesai Sang Patih Mangkubumi Gadjah Mada memberikan keterangan yang panjang lebar, mengenai gerombolan bajak laut yang bersarang di Pontianak itu. Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra segera membeberkan peta bumi dari daerah yang menjadi tujuan sasaran akan penyerangan.

Beliau memberikan penjelasan-penjelasan mengenai tempa pertahanan lawan serta keadaan alam dari daerah sekitarnya. Untuk tidak mengalami kegagalan, maka oleh Sang Senopati Manggala Yuda Gusti Harja Banendra diputuskan, penyerangan dilakukan dari pantai dan daratan pedalaman.

Tamtama Samudra sebagai penyerang dari pantai di pimpin oleh Sang Senopati Muda Manggala Tamtama Samudra Gusti Baratarajasa, Scdangkan penyerang dari daratan pedalaman dilakukan oleh Tamtama darat terpilih sebanyak 1000 orang dipimpin oleh Manggala Muda Tamtama Pengawal Raja, Tumenggung Indra Sambada, dengan dibantu oleh Tumenggung Cakrawirya dari tamtama Nara Sandi, yang telah mengetahui dan menguasai keadaan daerah lawan.

Disamping itu diharapkan pula datangnya bala bantuan Tamtama beserta tambahan perbekalan dari Kerajaan Kota Waringin yang akan langsung menggabung pada saat dan tempat yang ditentukan. Hari penyerangan penumpasan geromlolan bajak laut telah pula ditentukan, ialah pada malam pertama, bulan purnama, duapuluh hari lagi. Setelah perintah-perintah dengan penjelasannya diterima oleh para Manggala dengan saksama, maka pasewakan paripurna segera dibubarkan.

Dalam berjalan berdampingan, Sang Senopati Mucla Manggala Tamtama pengawal Radja menepuk bahu Tumenggung Indra Sambada, seraya berkata : — Dimas Tumenggung Indra ! Tunjukkan sekali lagi akan kemampuanmu menjunjung titah Gusti Patih dalam menunaikan tugasmu, dan pertahankanlah nama gelarmu. "Banteng Majapahit". Aku percaya penuh akan berhasilnya dengan gemilang.---

---- Kesempatan untuk menunjukkan dharmabakti hamba ini, tak akan hamba sia-siakan. Hanya doa restu Gusti Senopati supaya menyertai hamba. — Indra Sambada menjawab dengan singkat.

Kini masing-masing diliputi oleh kesibukan kearah persiapan untuk melaksanakan tugas. Dalam kesibukan mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugasnya itu. Indra Sambada terkenang kembali akan riwayat dirinya. *

* *

B A G I A N : II

M A T A H A R I telah condong kearah Barat, mendekati Cakrawala. Cahaja kemerah-merahan dan cemerlang cerah menyinari buana, menandakan bahwa hari telah hampir senja, yang sebentar lagi akan berganti dengan sang malam.

Seorang pemuda berwajah tampan, berbadan tegap dan berpakaian sebagai seorang saudagar kaya, sedang menuntun kudanya, memasuki halaman sebuah rumah makan yang besar, didekat bandar pelabuhan Surabaja. Ia bercelana sutra biru de gan kain sarung sulaman beraneka warna yang dilipat setinggi lututnya, sedangkan sehelai sutra kuning melintasi pundak dan menutup dadanya yang bidang, sebagai bajunya. Rambutnya berombak, terurai sampai dipundaknya, dan didahinya melingkar pita berwarna merah tua, selebar tiga jari, sebagai ikat kepalanya.

Dipinggang kiri, tergantung sebuah keris berwarangka emas murni dengan bertakhtakan berlian, sedangkan dipinggang sebelah kanan tergantung sebuah kantong, yang terbuat dari kulit sampi yang halus, selebar kira-kira satu jengkal. Dipergelangan tangan kirinya yang kekar, terlihat memakai sebuah gelang akar bahar hitam mengkilat.

Setelah menambatkan kudanya yang kelihatan letih sekali, dan memperbaiki letak bajunya jang kusut, dengan tenang ia melangkahkan kakinya menuju langsung memasuki ruangan makan jang lebar itu. Ia menganggukkan kepalanya, sebagai tanda memberi hormat kepada para tamu lainnya yang sedang makan, dan mengambil tempat kosong disuatu ruang makan tersebut. Dengan tenang ia menarik kursi, dan segera duduk menghadap meja didepannya.

Pelayan rumah makan segera mengantarkan dengan hormat dan sopan, makanan dan minuman yang telah dipesannya. Tangp menghiraukan sekitarnya, ia mula makan hidangan yang disajikan didepannya dengan lahap sekali, seolah - olah telah lama ia menahan lapar.

Sedang ia asyik makan, tiba-tiba seorang tamu yang duduk jauh disudut depannya, berteriak mengaduh dan jatuh tersungkur dilantai dengan berlumuran darah.

Sebatang belati menancap dibahu kiri sebelah belakang orang itu.

-- Indra Sambada terpaksa berhenti makan, dan dengan matanya yang tajam ia mengikuti kejadian yang tiba tiba itu. Keributan segera terjadi diruang rumah makan tersebut. Seorang tamu berpakaian sebagai orang bangsawan, bertubuh tinggi kurus, berusia kurang lebih 40 tahun, menyerang dengan tinjunya, kearah scorang tamu lain, yang ternyata adalah orang yang melemparkan pisau belati tadi. Melihat pakaian dan roman mukanya orang yang diserang oleh bangsawan itu adalah orang asing.

Matanya sipit, warna kulitnya kuning ke-merah-merahan, kepalanya gundul.

Ia berkumis panjang, tetapi tipis dan jarang. Bentuk badannya gemuk pendek. Dari pakaiannya yang menyelubungi badannya, menunjukkan bahwa ia adalah seorang pelaut Cina. Ia adalah scorang Cina yang datang dengan kapal, dibandar Surabaya.

— Serangan tinju dari seorang bangsawan yang tiba-tiba dapat dielakkan oleh si orang Cina tadi, dengan tangkas dan mengagumkan. Ia mengelakkan pukulan tinju yang berbahaja, hanya dengan memiringkan badan dan menundukan kepalanya, dengan masih tetap dalam sikap duduk, tidak bergeser sedikitpun.

Pada saat tinju sibargsawan jatuh pada sasaran kosong, tangan kiri si Cina secepat kilat menjulur, untuk menangkap pergelangan tangan lawan.

Si bangsawan yang mempunyai kemahiran dan pengalaman luas dalam ilmu perkelahian, segera menarik tinjunya dengan cepat, dan membuka kepalan tangannya, untuk kemudian dirobah menjadi gaya tebangan, tertuju kearah tengkuknya si orang Cina tadi.

Perobahan serangan itu sangat cepat hingga tidak mungkin dapat dielakkan untuk kedua kalinya.

Karena lawan yang diha  

dapinya, berada dalam posisi duduk dikursi. Tetapi sebelum pukulan tebangan sampai pada sasarannya, bangsawan tadi tclah jatuh berguling dilantai, dengan tangan kanan erat menekan pada perutnya sendiri sebelah kiri, menahan rasa sakitnya karena terkena tendangan kaki yang dilancarkan oleh si-Cina.

Para tamu tain yang tidak mau terlibat dalam perkelahian, segera meninggalkan rumah makan itu, sedangkan pemilik rumah makan berteriak minta tolong pada orang-orang yang berada dijalan besar dengan maksud untuk menghentikan perkelahian tadi. Tetapi kiranya teriakan tadi sia-sia belaka, piring- pring, gelas dan lain-lain yang masih berisikan hidangan makanan, yang berada diatas meja dihadapan orang Cina, jatuh berantakan pecah dilantai. lndra Sambada masih tetap berada dikursinya, mengawasi jalannya perkelahian dengan seksarna. Tetapi ia belum berani untuk campur tangan. Dalam otaknya berkecamuk ber-tubi-tubi pertanyaan. Apakah sebenarnya latar belakarg dari perkelahian itu?. Semuanya tidak mampu ia menjawabnya. Sebab musabab dari perkelahian itupun ia tidak mengetahuinya.

Kini ia bernafsu besar ingin mengetahui peristiwa kejadian yang berada di hadapannya itu. Pada saat lndra Sambada masih terbenam dalam angan-angan yang penuh dengan pertanyaan, si orang bangsawan yang jatuh berguling dilantai, telah bangkit kembali, dengan menggenggam keris terhunus ditangannya. la bangkit berdiri dengan berteriak lantang:

- - Bangsat bajak laut Cina! serahkan dirimu, bila kau masih ingm hidup! — Siorang Cina menjawab dengan nada teriakan pula, tetapi dalam bahasanya sendiri, yang tidak dapat dimengerti oleh Indra Sembada. Tetapi jelas menunjukkan gerakan untuk melawan, karena ternyata tangan kanannya cepat menghunus pisau belati yang panjangnya kurang lebih dua jengkal dan berdiri tegak, siap menghadapi segala kemungkinan serangan-serangan yang datang dari lawannya.

Pada waktu yang bersamaan itu, orang yang jatuh tersungkur dengan berlumuran darah telah bangkit pula. Dengan tangan kanannya mendekap bahu kiri yang terluka tadi, ia lari menuju ke-pintu, yang merupakan satu-satunya jalan keluar dari rumah makan itu. Ia berdiri di-tengah-tengah pintu dengan maksud untuk hadang siorang Cina.

— Tuanku Tumenggung Cakrawirya ! Bangsat Cina itu jangan diberi kesempatan untuk meloloskan diri!, demikian ia berkata tertuju kepada si bangsawan tadi. — Kita tidak perlu mendengarkan kata- katanya yang kita tidak tahu artinya itu. Tetapi terang sudah, bangsat itu, adalah pengawal pribadi dari pemimpin bajak laut yang merampas barang-barang antaran dari Kota Waringin untuk Gusti Sri Baginda.—

— Durpada ! Jaga pintu keluar l—sahut bangsawan tadi dengan kata memerintah kepada orang yang terluka pada bahu kirinya. Belum sempat Durpada menjawab si Cina menerjang kearah Durpada dengan maksud hendak lari keluar. Tetapi dengan langkah yang tidak kurang cepatnya, Bupati Tamtama Cakrawirya menyerang kearah punggung si Cina dengan keris yang terhunus. Dengan tangkas orang Cina tadi membalikkan badannya, untuk menghadapi menyambut serangan yang datang dari belakang, dengan sabetan pisau belatinya yang tepat mengenai ibu jari tangan kanan Bupati Cakrawirya. Sabetan pisau belati yang tepat pada sasarannya, masih disusul pula dengan serangan tendangan kaki kearah perut Cakrawirya. Keris terpental lepas dari tangan Bupati Cakrawirya dan terlempar dua langkah lebih, jatuh dilantai. Bupati Cakrawirya terperanjat dan segera meloncat kebelakang dua langkah, untuk menghindari serangan tendangan yang dilancarkan oleh si Cina.

Tetapi apa daya. Si Cina menerjang maju dan melancarkan serangan dengan pisau belatinya ber-tubi- tubi. Ia merangsang maju terus kedepan menerjang lawannya. Gaya tusukan dalam sekejap mata berrobah-robah menjadi sabetan tebangan kearah pinggang kanan kiri dan kembali lagi merupakan gerak tusukan kearah ulu hati. Kini Cakrawirya kelihatan terdesak dan tidak berdaya. Hanya kelincahan geraknya yang dapat menolong jiwanya. la menghindari serangan dengan meloncat kesamping kanan dan kekiri, serta surut ke belakang. Tiba-tiba kaki si Cina melontarkan tendangan-tendangan berangkai kearah lambung Cakrawirya.

Kaki si Cina tadi se-olah-olah merupakan baling-baling, silih berganti melontarkan serangan tendangan yang berbahaja. Serangan tendangan yang tiba-tiba ini sama sekali tidak diduga oleh Cakrawirya. Sungguhpun Cakrawirya adalah seorang Tarntama yang berpangkat Bupati dengan sebutan Tumenggung Tamtama dari Pasakan Nara Sandi yang mempunyai pengalaman luas pula dalam pelbagai macam pertempuran, tetapi setelah keris pusakanya lepas terlempar dari genggamannya bahkan ibu jari tangan kanannya putus terbabat, ia kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Dengan demikian dalam menghadapi lawan yang tangguh itu, kini ia tidak berdaya sama sekali. Senjata lain ia tidak membawanya. Satu-satunya harapan, ialah bantuan dari Lurah Tamtama Durpada, tetapi ini tidak mungkin membawa perobahan yang menguntungkan baginya, karena disamping Durpada terluka pada bahunya, pun diketahui, bahwa ia tidak membawa senjata apapun. Dengan demikian harapan satu- satunya ini pun telah lenyap dari angan-angannya. Tidak heranlah, apabila ia terdesak dalam keadaan yang membahayakan jiwanya.

Kursi-kursi dan meja-meja telah terserak berak karena keterjang, baik oleh Cakrawirya maupun oleh siorang Cina tadi. Jarak antara tempat perkelahian dengan tempat duduknya Indra Sambada, kini tinggal lima langkah lagi. Indra Sambada melihat jelas, bahwa wajah Cakrawirya pucat pasi, menunjukkan rasa putus harapan. Setelah Indra Sambada mengetahui sepintas lalu persoalan perkelahian, walaupun belum jelas keseluruhannya, ia dapat menarik kesimpulan, bahwa Cakrawirya dan Durpada adalah hamba petugas kerajaan, sedangkan Cina itu adalah salah satu anggauta bajak laut yang sedang di intai oleh hamba petugas Tamtama nara sandi kerajaan.

Orang Cina yang sedang melancarkan serangan tendangan yang hampir mengenai tepat pada sasarannya, tiba-tiba berteriak kesakitan dan jatuh duduk, untuk tidak dapat berdiri lagi. Tepat dibawah kedua lututnya tertancap masing-masing sebuah pisau kecil yang lazimnya disebut taji. Tusukan kedua buah taji tadi tepat mengenai urat besar yang menggunakan telapak kakinya. Tidak heran, apabila siorang cina segera jatuh dan tidak dapat bangkit berdiri lagi. Melihat, bahwa orang cina jatuh duduk dilantai dan tidak dapat bangkit berdiri lagi. Durpada segera menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Dengan mudah si cina diringkus dan diikat kedua belah tangannya kebelakang.

Cakrawirya masih juga ternganga, melihat jatuhnya si orang cina tadi. la hampir tidak percaya pada apa yang dilihatnya sendiri. Pertolongan yang tiba-tiba dari seorang saudagar yang duduk disudut, dapat dikatakan, mengembalikan jiwanya -

yang hampir melayang menuju ke alam Baka. Lernparan tajinya beruntun yang sekaligus ke dua-dua2nya tepat pada sasarannya yang dituju, adalah merupakan kejadian yang ia tidak pernah menyaksikan sebelumnya, dengan mata kepalanya sendiri. Baru sekaranglah ia percaya, bahwa orang yang demikian mahirnya dalam ilmu pelemparan taji itu, sebenarnya ada. Bahkan menolong jiwanya pada saat ia hampir menyerahkannya. Dan kini orang itu berdiri dihadapannya.

— Saudara saudagar penolong! — tanyanya Cakrawirya kepada Indra Sambada. — Siapakah nama dan gelar saudara? Kami berdua sebagai hamba petugas kerajaan, menyampaikan terima kasih kita yang tidak terhingga. Demikianlah Cakrawirya mulai berkata.

Dengan tenang Indra Sambada mendekati Cakrawirya, serta menjawab dengan sopan dan sikap merendah. -- Perkenankanlah saya berkenalan dengan tuan — sambil membungkukkan badannya - dan tempat tinggal saya adalah dikota Kebanjaran Agung Bondowoso. Maafkan atas kelancangan saya, akan keberanian turut campur tangan dalarn urusan tuan. --- Ah, bukan pada tempatnya saudara minta maaf kepada saya. Bahkan pertolongan saudara ini akan saya laporkan kepada atasan saya, agar saudara mendapat hadiah yang setimpal — jawab Cakrawirya dengan mengulurkan tangan, yang disambutnya oleh Indra Sambada.

— Silahkan duduk untuk bercakap-cakap, agar kita saling lebih mengenal.

Mereka berdua segera mengambil tempat dan duduk berhadap-hadapan, sedangkan Durpada menyusul kemudian, dan mengambil tempat duduk disebelah Cakrawirya.

— Kenalkan dulu disebelah ini, adalah anak buahku, bernama Durpada lurah Tamtama — Cakrawirya berkata. Indra Sambada menganggukkan kepalanya tertuju kepada Durpada yang disambutnya dengan anggukan kepala pula, sambil bersenyum. — kemahiran saudara, melempar taji, sangat mengagumkan kami. Siapakah gelar saudara sebenarnya ? — tanya Cakrawirya.

--Pujian tuan berlebih-lebih. Sesungguhnya, ketepatan lemparan taji saya tadi, hanya suatu kebetulan saja.

Dan pula saya hanya seorang hamba biasa, yang tidak mempunyai gelar ataupun pangkat apa-apa.— Indra Sambada menjawab menjelaskan — Jika sekiranya tidak mau dipuji, baiklah, akan kita kenang nama saudara selamanya. — Tumenggung Cakrawirya melanjutkan bicara.

— Kami berdua, sesungguhnya telah ber-bulanbulan ditugaskan di Surabaya, untuk menangkap salah satu anggota bajak laut yang berkeliaran di bandar Surabaya. Mereka menurut hasil penyelidikan, bersarang di daerah Kerajaan Kota-waringin, dan orang Cina itu, adalah salah satu anggotanya yang kami pernah jumpai pada setengah tahun berselang di bandar Tuban — sambil menunjuk dengan jari telunjuknya kepada si orang Cina, yang telah diikat dan duduk dilantai.

— Maka dengan demikian, bantuan saudara bukan hanya menyelamatkan jiwa saya, tetapi besar artinya pula bagi Kerajaan. Hal ini akan kita haturkan langsung kehadapan Gusti Mangkubumi Sang Patih Gajah Mada di Majapahit, dan sebaiknya kita berangkat bersama-sama malam ini juga, deagan membawa tawanan Cina itu.

— Kata permintaan Cakrawirya tertuju kepada Indra Sambada itu, diucapkan dengan kesungguhan hati, bahkan dengan penuh pengharapan, bahwa permintaan pergi bersama menghadap Sang Mangkubumi Patih Gajah Mada, tentu akan disambutnya dengan girang. Percakapan terhenti sejenak, karena pemilik rumah makan dan pelajannya yang sedang sibuk menyiapkan air panas di pinggang dan kain pembalut luka, atas perintah Lurah Durpada, telah datang untuk mengantarkannya.

Luka-luka Durpada dan luka-luka ibu jari Cakrawirya segera di obati dan dibalutnya.

— Maafkan, tuanku Tumenggung Cakrawirya, — tiba2 Indra Sambada memecah kesunyian, — Bantuan saya yang tidak berarti ini, saya tidak berani mengharapkan hadiah sesuatu. Lagi pula, jika seandainya saya tidak berkepentingan lain, permintaan tuan untuk bersama sama menghadap Gusti Tuanku Mangkubumi Sang Patih Gajah Mada sangat mengembirakan. Dan kesempatan yang demikian ini, bagi saya merupakan hadiah yang besar sekali.

Akan tetapi sungguh menyesal sekali, bahwa saya terpaksa tidak dapat memenuhi permintaan tuan dalam waktu sekarang, karena saya masih harus menyelesaikan sesuatu. Jika diijinkan, perkenankanlah saya minta tempo selama sepekan lagi.— Demikian Indra Sambada menjawab dengan kerendahan hatinya. Jawaban Indra Sambada itu didasarkan atas dua pertimbangan.

Pertama, ia harus menyerahkan surat dari ayahnya terlebih dahulu yang tertuju kepada Manggala Yudha Senopati Perang Majapahit, Gusti Harya Banendra yang bergelar " Alap-Alap Ing Ayudha" di istananya di Mcjoagung. Scclangkan yang kedua, mematuhi pesan ayahnya dan guru pendetanya, supaya pada waktu menyerahkan surat itu, dapat menghadap seorang diri.

Maka ia perhitungkan sepekan lamanya, baru dapat memenuhi permintaan Cakrawirya untuk pergi ke Kota Raja. Sesungguhnya, waktu sepekan adalah amat luas bagi Indra Sambada, karena jarak antara Surabaja dengan Mejoagung dapat ditempuhnya daiam waktu satu hari berkuda. Sedangkan dari Mojoagung ke Kota Raja dapat ditempuhnya kurang dari setengah hari berkuda.

Setelah Cakrawirya mendengar jawaban Indra Sambada yang wajar, dari jawaban mana dapat ditarik kesimpulan, bahwa bantuan yang diberikan padanya tidak bermaksud mengharap sesuatu hadiah, cialatn hatinya ia sa-ngat memuji akan ketinggian budinya.

— Baiklah, jika demikian,— Cakrawirya menyahut — Tetapi, saya harus berangkat waktu tengah malam nanti, untuk menyelesaikan tugas kita ini. —

Sepekan lagi waktu tengah hari, saya akan menjemput kedatangan saudara didepan pintu gerbang pura Istana Kepatihan di Kota Raja. Hanya sayang terpaksa saya tidak dapat menemani saudara dalam menyelesaikan urusan saudara itu. Apabila saudara memerlukan sesuatu bantuan berupa ap,pun, saudara dapat langsung kegedung Kebanjaran Agung Surabaya.

Dengan tidak menunggu jawaban dari Indra Sambada, Cakrawirya memalingkan kepalanya kepada Lurah Durpada, dan berkata dengan nada memerintah seorang bawahan — Durpada! kau lekas pergi sekarang juga menuju kegedung Ke-banjaran Agung, dan sampaikan surat ini. Isinya ialah, minta bantuan pengawalan secukupnya untuk membawa tawanan ke Kota Raja malam ini juga. Dan yang kedua, supaya saudara Indra Sambada selama di Surabaya, diperlakukan sebagai tamu punggawa Narapaja.

Berkata demikian ia sambil menyerahkan sepucuk surat yang baru saja ditulisnya, kepada Durpada yang berada disampingnya. Setelah ia menerima surat dan memberikan tanda hormat dengan membungkukkan badannya, maka cepat Lurah Durpada melangkah keluar dari rumah makan itu.

Tidak lama kemudian, delapan punggawa praja berkuda dan bersenjatakan pedang serta panah telah datang bersama Lurah Durpada. Setelah menyiapkan segala sesuatunya dan ta-wanan Cina yang telah diikat tangannya dinaikkan kekuda, untuk kemudian diikat erat lagi dengan pelana kuda tadi, maka segera berangkatlah rombongan berserta tawanan dengan dipimpin oleh Bupati Tamtama Nara Sandi Cakrawirya dan di-dampingi Lurah Tamtama Durpada.

Dikala itu, telah menjelang tengah malam. Oleh pemilik rumah makan, Indra Sambada dipersilahkan bermalam dirumahnya, dan disambutnya dengan ramah sekali. Hal ini dikarenakan setelah pemilik rumah makan mengetahui, bahwa bangsawan yang membikin ribut tadi, adalah seorang Bupati Tamtama. Lagi pula semua kerugian yang dideritanya telah dibayar, bahkan lebih dari jumlah kerugian yang semestinya, oleh Bupati Tamtama Cakrawirya tadi. Setelah Indra Sambada berkemas dan masuk kekamar tidur, yang telah diatur sangat rapih, maka segera ia merebahkan badannya. Kini ia baru merasakan lelahnya. Tetapi meskipun badan merasa sangat lelah, tidak dapat ia segera tidur. Berulang-ulang ia mencoba memejamkan matanya, tapi kembali peristiwa yang baru saja terjadi, mengganggu ketenangan perasaannya. Waktu dini hari telah tiba, belum juga ia dapat memejamkan matanya.

Indra Sambada bangkit dan duduk bersemadi. Selesai bersemadi, kembali ia merebahkan badannya, dan segera dapat tidur dengan pulas. Waktu ia bangun dan membuka jendela, ia terperanjat karena waktu telah esok pagi-pagi. Sinar matahari memancar cerah menyilaukan pandangan matanya. Segera ia bangkit dan keluar menuju kekamar mandi.

Setelah berkemas dan bersemadi sembahyang sebentar, ia keluar untuk melihat kudanya yang kemarin malam telah di lupakan karena kesibukan yang dihadapi. Tetapi ternyata, kudanyapun telah mendapat perawatan yang baik oleh rumah makan itu.

Untuk menyingkat waktu, serta untuk menghindarkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dikehendaki, maka sengaja ia tidak singgah digedung Kebanjaran Agung Surabaya. Ia langsung berkuda, menyusuri tebing kearah hulu sungai Brantas menuju ke Mojoagung, setelah mana ia minta diri pada pemilik rumah makan.

*

* *

B A G I A N : III

MOJOAGUNG adalah kota yang indah, terkenaI akan kebersihannya dan kemegahan candi-candinya.

Jalan-jalan yang lebar dihiasi dengan pohon rindang dikanan kirinya, melintasi kota silang-menyilang. Kiranya tepat pula dinamakan Mojoagung, karena kota itu memang kota Tamtama yang indah.

Disepanjang jalan yang dilalui Indra Sambada, selalu ia berjumpa dengan para Tamtama yang sedang berjalan-jalan secara berkelompok, ataupun secara sendiri-sendiri. Mereka pada umumnya masih muda remaja.

Pakaian seragam yang serba merah dengan berseret pita putih dilengan dan dicelana sebelah kanan kirinya, membuat resab dipandangnya. Ada pula yang berpakaian seragam hijau dengan berseret putih, dan dipinggangnya tergantung sebuah pedang. Ikat kepalanya pita dari sutra putih selebar tiga jari.

Sungguh membanggakan bagi yang melihatnya. Dalam hatinya Indra Sambada memuiji akan kegagahan para Tamtama Kerajaan itu.

Andaikan kelak ia dapat memimpin Tamtama yang sedemikian perkasanya, alangkah bahagianya --- demikian suara bathinnya.

Setelah Indra Sambada tiba di alun-alun, ia langsung menuju ketempat penambatan kuda, untuk kemudian berjalan kaki kearah Istana Senopaten. Kini ia telah sampai didepan pura pintu gerbang yang sangat megah.

Didepan pura kanan kiri, berdiri tegak bagaikan patung. Dua Tamtama dengan pedang terhunus, digenggam erat-erat lurus kemuka, melekat pada badan dengan mata tajamnya kemuka. Dari jauh terlihat diatas pura pintu gerbang, patung burung „alap-alap" yang sedang mementangkan sayapnya, sebagai lambang keagungan gelar ,,Alap-alap ing ayudha".

Setelah Indra Sambada memberi hormat kepada Tamtama pengawal ia memasuki pintu gerbang tadi dan menuju balai pengawalan. Dua orang Tamtama pengawal bangkit berdiri, dan menyambut kedatangan seorang tamu yang masih asing baginya. Mereka mempersilahkan Indra Sambada masuk kedalam balai pengawalan, dan dengan wajah yang ber-sungguh-sungguh menanyakan maksud kedatangannya.

Keris pusaka Indra Sambada tidak ketinggalan dalam pengawasan pengawal pula. Untuk memenuhi peraturan yang berlaku bagai seorang tamu yang tidak dikenalnya, maka keris pusaka dimintanya pula untuk ditinggalkan dibalai pengawalan, pada waktu Indra Sambada akan menghadap Sang Senopati. Setelah diterangkan bahwa kedatangan Indra Sambada adalah sebagai utusan dari Bupati Karya Laga, Empu Istana merangkap punggawa Natapraja di Kebanjaran Agung Bondowoso, dan akan menghaturkan surat kehadapan pribadi Gusti Harja Banendra Manggala Yudha, dengan disertai bukti menunjukkan suratnya, maka seorang pengawal segera meninggalkan balai pengawalan untuk menghadap pada Sang Senopati.

Tidak lama kemudian, tamtama kembali, dan mempersilahkan Indra Sambada menghadap kehadapan Sang Senopati Perang, ,yang sedang duduk diruuang pendapa tempat penerimaan tamu. Beliau duduk diatas permadani yang sangat indah, dengan didampingi oleh pembantu pribadinya Bupati Anom Tumenggung tamtama Sunata. Dengan jalan berjongkok, Indra Sambada memasuki ruang pendapa yang lebar itu. Setelah mengambil tempat dan memberikan sembah, ia menghadap dan berkata pelan — Hamba Indra Sambada dari Kebanjaran Agung Bondowoso, menghadap Tuanku Gusti Manggala Yudha, untuk menghaturkan sepucuk surat dari ayah hamba yang rendah — Selesai kata-katanya, ia segera menyerahkan surat ayahnya yang diterima sendiri oleh beliau.

Dengan tidak berkata sepatahpun Sang Senopati memandang kearah Indra Sambada dengan sinar matanya yang tajam sambil menerima surat dengan tangan kanannya. Kembali Indra Sambada menundukkan kepalanya, sebagai seorang murid dari Guru Pendeta Badung dan dari Karya Laga ayahnya, ia cepat bersemadi untuk mengumpulkan cipta, rasa dan karsa kembali yang kemudian disalurkan melalui sinar wajahnya untuk menolak daya kekualan pandangan sang Senopati, yang segera pula dirasakan oleh beliau, bahwa daya kekuatan pandangannya memantul kembali.

Sebagai seorang yang telah memiliki ilmu kebathinan yang tinggi, beliau menyambut kembalinya tenaga bathinnya dengan bersenyum. Dalam hatinya beliau memuji akan daya kekuatan tenaga bathin yang dimiliki oleh Indra Sambada. Segera beliau memejamkan matanya sesaat, untuk dapat mengenang kembali, orang yang duduk dihadapanya, pada masa yang lampau.

Ternyata gelar beliau sebagai "Alap-alap ing ayudha", bukan gelar yang tidak ada artinya. Beliau bcrbadan tinggi besar. Sinar matanya tajam ditambah sepasang alisnya yang tebal menunjukkan wajah yang angker berwibawa. Diatas kepalanya, mclingkar sisir emas, sedangkan rambutnya yang hitam berombak, diikat kebelakang diatas tengkuknya dengan pita kuning sutra keemasan.

Bajunya hitam berseretkan kuning, tersulam dari benang emas, menutupi dadanya yang bidang Dipergelangan tangannya, melingkar gelang emas, selebar dua jari, diukir gambar alap-alap yang sedang membentangkan sayapnya dengan permata batu mi-rah sebesar kedelai. Beliau memakai cincin bermata batu jamrut dijari manis tangan kirinya, sedangkan dijari manis tangan kanannya memakai cincin tanda jabatan dan gelarnya, terbuat dari emas murni.

Celananya bludru hitam berseret kuning pula dengan memakai kain sarung dilipat berkampuh panjang disibakkan kesamping, bercorak aneka warna dengan sulaman-sulaman benang emas dan perak.

Senyuman yang sering menghiasi bibirnya menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang bermurah hati. Beliau ber-usia kurang lebih 50 tahun.

— Tidak kuduga, bahwa kau setelah dewasa menjadi pemuda demikian gagah dan perkasa demtiian beliau mulai berkata. — Adakah ayahmu Tumenggung Karya Laga sehat wal afiat tanya beliau kemudian.

— Restu Tuanku Gusti Senopati, ayahanda dalam keadaan sehat. Hamba sebagai utusan beliau menyampaikan sembah jawab Indra Satabada dengan hormatnya.

23

--- Indra Sambada ! Janganlah kau menghormatku berlebihan. Ketahuilah, bahwa kau sebenarnya masih darah dagingku sendiri. Mendiang ibumu adalah saudara sepupu. Cukuplah kiranya apabila kau menyebutku paman saja---, Sang Senopati meneruskan kata-katanya dengan diiringi senyuman mesra. Beliau diam sejenak, untuk membaca isi surat dari Karya Laga, sambil berulang kali menganggukkan kepalanya.

Kini tahulah sudah beliau akan isi surat dari Karya Laga, bahwa ia Karya Laga hendak mengabdikan anak tunggalnya Indra Sambada kehadapan Sri Baginda Maharaja, sebagai Tamtama dibawah asuhan Sang Senopati Gusti Harya Banendra.

Dahulu dikala Indra masih berusia 5 tahun, pernah pula Sang Senopati memintanya, agak kelak setelah Indra Sambada dewasa dapat diasuhnya, karena Sang Senopati tidak mempunyai keturunan.

Dengan tersenyum puas Sang Senopati berkata : -- Jika memang demikian kehendakmu, aku turut menyatakan syukur dan terima kasih kepada Dewata yang Maha Agung. Maka mulai hari ini kau telah menjadi tanggunganku, dan kuangkat sebagai Tamtama Kerajaan. Mudah-mudahan kau tidak akan mengecewakan ayahmu. Karena tercapainya cita-citamu yang tinggi itu, tergantung pada semangat dan tingkah lakumu sendiri.---

--- Tumenggung Sunata ! – perintah beliau kepada Bupati Anom Sunata.

--- Antarkan Indra Sambada kepondok Lurah Somad, untuk diberikan tempat sementara yang baik, serta segala sesuatu perlengkapan, pakaian dan lain-lain untuk calon Bupati Tamtama Indra Sambada ini. Dan terangkan, bahwa jabatan calon Tumenggung Indra Sambada adalah sementara sebagai pembantu pribadiku. Besok pagi, saya akan berkenan memeriksa sendiri. O, ya, kuharap kau berdua menjadi sepasang pembantuku yang baik! --. Demikian ucapan kata-kata Sang Senopati yang tegas dan jelas kepada Tumenggung Sunata.

--- Baik Tuanku Gusti Senopati. Segera akan hamba laksanakan sebaik-baiknya semua titah Gusti Senopati---, jawab Sunanta pendek.

Namun demikian, ia sebagai Bupati Anon Tamtama, merasa tidak puas akan keputusan pengangkatan Indra Sambada itu. 24 Ia tidak dapat mengerti, mengapa Indra Sambada yang baru saja datang menghadap lalu diangkatnya menjadi calon Bupati Tamtama, sedangkan ia sendiri untuk mencapai pangkat Bupati Anom Tamtama saja harus ditempuhnya bertahun-tahun dengan jerih payah dan pelbagai macam ujian. Sungguh kebijaksanaan demikian adalah tidak adil, pikir Sunata. Dan pula, tiga tahun ia telah menjadi pembantu pribadi Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra. Tetapi baru sekarang inilah ia menghadapi suatu peristiwa yang demikian janggal. Adakah Indra Sambada mempunyai kepandaian ilmu krida yudha yang tinggi ? Jika hanya didasarkan karena Indra Sambada adalah masih mempunyai darah bangsawan yang berhubungan erat sebagai keluarga dengan Sang Senopati saja, hal ini tidak dapat dibenarkan. Bukankah ia Sunata juga mempunjai darah bangsawan dari keturunan Singosari ?

Apabila didasarkan keakhlian dalam ilmu krida yudha, mengapa tidak diuji terlebih dahulu, untuk membuktikannya?

Tumenggung Raden Sunata, Bupati Anom Tamtama ini, mempunyai wajah yang tampan. Ia berusia kurang lebih 20 tahun. Dari sikapnya kelihatan bahwa ia adalah seorang yang tangkas. Perawakan tubuhnya tinggi, langsing berisi. Ia memakai pakaian seragam Tamtama, lengkap dengan tanda pangkatnya, sebagai Bupati Anom Tamtama. Pakaiannya berseret kuning emas, diatas dasar warna merah. Ikat kepalanyapun kuning sutra keemasan. Dalam berpakaian, ia sangat rapih sekali.

Setelah menghaturkan sembahnya, ia segera mengundurkan diri dengan mempersilahkan Indra Sambada untuk mengikutinja. Senyum mengejek menyertai ajakanya, Indra Sambada segera menghaturkan sembah sebagai tanda hormat, untuk mohon diri kepada Sang Senopati.

--- Indra Sambada! hari ini sebaiknya kau beristirahat dulu, dan besok pagi datanglah menghadap kepadaku bersama Tumenggung Sunata. Ketahuilah, bahwa seratus hari lagi saya akan mengadakan perlombaan kemahiran dalam krida yudha dikalangan seluruh Tamiama, atas perintah Tuanku Gusti Mangkubumi Sang Patih Gajahmada. Pada kesempatan ini, hendaknya jangan nanti kau sia-siakan— -- - Titah Gusti Pamanku akan kami junjung tinggi —

Berdua mereka berjalan menuju kepintu gerbang keluar, setelah mana Indra Sambada mengambil keris pusaka dahulu dibalai pengawalan.

Mereka masing-masing berkuda berdampingan menuju tempat Lurah Somad, yang tidak berapa jauh letaknya dari Istana Senopaten.

Somad adalah Lurah Tamtama yang diserahi tugas untuk mengurus segala sesuatu perlengkapan Tamtama, termasuk pakaian, makanan, perumahan, dan lain sebagainya. Ia dahulu adalah Lurah Demang desa biasa dari sebuah desa di Ponorogo. Pada waktu Sang Senopati bersama pasukannya yang berjumlah lebih dari 1000 orang pulang dari Sembilan Negeri Kerajaan Malaka kembali melalui bandar Pacitan, dan kehabisan perbekalan. Demang Lurah Somad menyerahkan semua milik padinya dan lain- lain hasil bumi, bahkan rumah-rumah miliknya diserahkan pula, guna keperluan para Tamtama untuk berkemah. Rakyat desanya dikerahkan untuk membantu memasak, agar dapat menghidangkan makanan lezat guna menyambut kembalinya para Tamtama Kerajaan yang dipimpin oleh Sang Senopati sendiri. Atas jasa-jasa itu, Pak Lurah Somad diangkat menjadi Lurah Tamtama, dengan tugas mengurus semua perlengkapan Tamtama, sebagai kepala rtunah tangga.

Ia dahulu kaya raya, bukan karena hanya menjadi Lurah Desa saja, tetapi sesungguhnya ia menjadi kepala rampok di daerah Ponorogo, yang disegani dan ditakuti oleh rakyat sekitarnya. Setelah ia merasa telah lanjut usianya, maka ia insyaf dan menyerahkan harta bendanya untuk kepentingan Tamtama Kerajaan, dengan pengharapan secara tidak langsung ia akan mendapatkan perlindungan untuk selanjutnya. Lurah Somad, sebenarnya buta huruf. Untuk mendampingi pekerjaannya, selain orang- orang pegawai bawahannya, adalah isterinya sendiri yang masih sangat muda belia dan cantik pula parasnya. Isterinya ki Lurah Somad pandai pula dalam surat menyurat.

Tumenggung Raden Sunata yang selalu diliputi perasaan-perasaan kecewa akan tindak kebijaksanaan Sang Senopati, kini timbul pikiran keangkuhannya, untuk menguji sendiri akan kesaktian Indra Sambrada.

— Hai, Tumenggung Indra, katanya dengan memalingkan kepala kearah Indra Sambada, disertai ketawa ejekannya.

---- Hadiah pangkat calon Bupati Tamtama yang baru kau terima kurasa tidak sesuai dengan corak wajahmu yang kelihatan seperti pemuda desa itu. Jika aku yang menjadi engkau, lebih baik kutolak dan kuserahkan kembali, agar nama kebesaran dari Gusti Senopati kita tidak suram karenanya. Kini kurasa belum terlambat untuk kau menolaknya. Dari pada kau akan mengalami kegagalan nanti yang memalukan

—Indra Sambada yang mendengarkan kata-kata Sunata dengan penuh penghinaan tadi, untuk sesaat tidak dapat menahan amarahnya, yang segera meluap. Akan tetapi ia selalu ingat kembali kepada petuah dan pesan pesan ayah serta Guru Pendetanya, bahwa harus selalu bersikap merendahkan diri. Dengan menahan kemarahan, ia menjawab sambil bersenyum yang dipaksakan. — Kukira, hal itu adalah urusan saya pribadi, dan bukan pada tempatnya saudara Tumenggung Sunata mempersoalkan pula akan kebijaksanaan keputusan Tuanku Gusti Senopati ?

Jawaban yang wajar itu diterima oleh Sunata sebagai tantangan, sungguhpun Indra Sambada tidak bermaksud sama sekali untuk menyakitkan hatinya.

Dengan nada penuh kemarahan yang disertai hinaan Sunata ber kata —Indra! tutup mulutmu, jika kau tidak mau mendengarkan nasehatku. Aku Sunata mempunyai pangkat Bupati Anom Tamtama dengan sebutan Tumenggung, bukan karena diberi belas kasihan, tetapi karena kesanggupanku untuk menaklukkan siapa saja yang kuanggap lawan. Orang berpangkat sejajarku, apa lagi bawahanku, belum pernah berani melawan kata-kataku. Kau masih seorang calon, yang dimataku belum mempunyai hak akan perintah atas diriku, kini ternyata sudah ber lagak congkak. Jika kau memang seorang laki-laki jantan, marilah kita menguji dahulu akan kekuatan kita. Jika kau takut dan jerih melihatku, sekalipun kelak pangkatmu sebagai Bupati, tidak aku dibawah perintah seorang desa pengecut

-- Kata-kata yang penuh penghinaan ini, tidak dapat ditekan demikian saja oleh Indra Sambada. Sebagai seorang yang masih muda usianya, rasa kemarahan yang ditahan-tahan saja akan meledak keluar pula. Tetapi Indra Sambada masih sempat pula memikirkan dengan sadar, perlu atau tidaknya tantangan ini dilayani. — Tumenggung Sunata ! terserahlah, bagaimana kehendakmu, aku akan melayani sekedar untuk memuaskan hatimu. — sahut Indra Sambada dengan tenang.

— Hai orang desa dungu ! ikutilah aku segera! — perintah Sunata kepadanya dengan disertai cambukan ketubuh kudanya untuk mempercepat larinya, yang kemudian disusul oleh Indra Sambada. Mereka berkuda menuju kelapangan luas dibelakang asrama Tamtama. Dikala itu, hari telah buta ajarn. Matahari baru saja lenyap dari Cakrawala. Jalan yang menuju kearah lapangan dibelakang tembok asrama sangat sunyi. Setelah sampai dilapangan tadi, Sunata segera meloncat turun dari kudanya, dan langsung berjalan menuju ketengah-tengah lapangan. Indra Sambada mengikuti apa yang diperbuatnya. Mereka kini sudah ber-hadap-hadapan, di-tengah-tengah lapangan yang luas itu.

— Indra ! — bentak Sunata. — Kau boleh memilih sekehendak hatimu, apakah kau ingin bersenjatakan pedangku ini, ataukah kau bersenjatakan kerismu itu. Bagi saya, senjata apapun tidak akan menjadi soal. Lekas, kau ambil keputusan! Aku ingin depat menghajar kesombonganmu itu. Baru nanti, kau ketahui siapa Sunata. — Bentakan katanya tajam sekali.

—Sabarlah dahulu, saudara. Tumenggung Sunata,! Hendaknya kita cari pula manfaat dari perkelahian ini, untuk kepenting in bersama. Saya mempunyai suatu syarat. Apabila kau menyetujui-nya. Seandainya nanti saya menang, maukah kau menjadi sahabat karibku dengan kemurnian hatimu ? — Indra Sambada menjawab tantangan tadi dengan tenang sekali, bahkan penuh penghargaan, supaya kata-katanya itu dapat menginsyafkan Sunata. Ia tetap pada pendiriannya bahwa tidak menghendaki akan terjadinya permusuhan, tetapi sebaliknya, ia menginginkan persahabatan dengan Sunata.

Tetapi karena Sunata telah sampai pada puncak kemarahannya, ia menyahut dengan suara yang lantang.

— Masih berani juga kau menunjukkan kesombonganmu heh ! Ketahuilah, bahwa aku tidak hanya menerima syarat yang kau ajukan, tapi aku akan berguru kepadamu, apabila aku kalah! --- demikian Sunata menjawab dengan penuh keyakinan, bahwa ia dalam waktu singkat tentu dapat mengalahkan Indra Sambada.

— Tapi jangan jika kau nanti tidak kuat menerima pukulanku, kau akan kukubur, supaya hilang jejakmu semua—. Kata-kata Sunata ini diucapkan dengan sungguh-sungguh, dan penuh rasa kebencian. Ia kini bukan hanya bermaksud untuk menundukkan Indra Sarnbada saja, tetapi bermaksud pula untuk membunuh benar-benar, karena rasa kebenciannya telah meluap.

Dengan tidak memberi tahukan lebih dahulu, ia telah melancarkan serangannya dengan tinju yang ber-tubi-tubi. Serangan yang tiba-tiba itu, telah diduga oleh Indra Sambada lebilt duhulu. Dengan diam diri ia telah pula memusatkan kekuatan bathinnya untuk disalurkan keseluruh tubuhnya. Ia tidak mau menyalurkan pemusatan kekuatan ketangan kanannya untuk menyambut serangan tinjunya Sunata, karena ia masih ingin mengukur kekuatan lawannya lebih dahulu. Ternyata Sunata hanya mengandalkan akan ketangkasannya dan gerakan kekuatan yang wajar belaka. Dengan tangkas Indra Sambada membalik kesamping untuk mengelakkan serangan tinju lawannya. Tinju pertama Sunata yang tidak mengenai sasarannya, disusul dengan tendangan kaki kiri kearah lambung Indra dengan ke uatan penuh, bermaksud untuk segera mengakhiri perkelahian, dengan keyakinan kemenangan difihaknya Tetapi perhitungan inipun ternyata dengan hasil yang sebaliknya. Kaki kiri Sunata yang sedang melancarkan tendangan dahsyatnya dielakkan dengan menggeserkan langkah kekanan, dan secepat kilat tangan kanan Indra menebang dengan telapak tangan kanannya, kebetis kaki kiri Sunata yang sedang menjulur kearahnya. Tidak ayal lagi Sunata segera jatuh terguling kesamping kanan, mencium tanah. Sebagai seorang perwira Tarntama yang mudah naik darah, Sunata secepat kilat bangkit kembali dengan menghunus pedang tamtamanya yang tergantung dipinggang.

— Hai, bangsat dusun! jika kau berjiwa jantan, cabutlah kerismu ! — bentak Sunata — Jika sekarang lehermu tidak putus karena pedangku ini, benar-benar aku akan berguru kepadamu! —

--- Jangan terlalu pagi kau berjanji akan mengangkatku sebagai gurumu, cukup bila kau mengakui aku sebagai sahabat karibmu. Aku akan tetap melayanimu dengan tidak bersenjata. Dan saksikanlah, apabila dalam sepengunyah sirih, pedangmu tidak dapat kurampas, aku menyerah kalah kepadamu. — kata- katanya Indra tetap menunjukkan ketenangan, dan gertakannya penuh berarti.

Kata-kata Indra Sambada yang disertai pemusatan tenaga terdengar jelas dan berwibawa. Tetapi Sunata sebagai seorang Bupati Anom Tamtama, yang banyak mempunyai pengalaman dalam pertempuran, tidak dapat mudah percaya demikian saja sebelum ia membuktikan sendiri. Sungguhpun dalam hatinya ia heran akan keberanian Indra Sambada untuk menyambut senjata pedang hanya dengan bertangan kosong.

Kini Sunata mulai menyerang dengan tusukan2 pedangnya yang sangat berbahaya. Tusukan-tusakan dan babatan pedang yang dilancarkan dengan ketangkasan sebagai Tamtama merupakan sinar putih yang berkilauan, ber-gulung-gulung menyelubungi badan lawannya. Sesaat merupakan baling-baling yang berputar menyilaukan mata, sesaat kemudian merupakan rangkaian tusukan bertubi-tubi, yang sulit diduga arah sasarannya, ditambah pula susulan bacokan tebangan kekanan dan kekiri kearah leher, pinggang, dan kaki Indra.

Ternyata dalam mempergunakan senjata pedang, Sunata mempunyai kemahiran yang cukup sempurna, sebagai seorang perwira Tamtama. Indra Sambada sibuk menghadapi serangan-serangan maut yang dilancarkan oleh Sunata. Akan tetapi Indra Sambada telah mempelajari tigabelas tahun lamanya ilmu mempergunakan pelbagai macam senjata, dan ditambah dengan ilmu kekuatan bathin yang segera ia dapat mengukur kemahiran ilmu pedang yang dimiliki olch Sunata serta cepat pula mengetahui segi-segi kelemahan dari permainan pedang lawan.

Dengan demikian, ia bertekat akan melayani Sunata hanya dengan kekuatan dan ketangkasannya yang wajar. Tiba-tiba ia meloncat tinggi berpusing, menghindari tebangan arah kakinya, dan jatuh berdiri tepat Sunata. Kesempatan itu tidak di-sia-siakan lagi. Tangan kiri Indra segera memegang lengan tangan Sunata dengan cengkeraman jari-jarinya, menekan pada jalinan syaraf, sedangkan tangan kanannya memukul pergelangan tangan Sunata yang memegang pedang, dengan disertai bentakan yang memekakkan telinga— Lepas pcdangmu! — teriaknya.

Gerakan serangan tadi hanya berjalan sekejap mata saja. Sebelum Sunata sempat untuk manghindari pegangan tangan Indra pada lengannya, pergelangan tangan kanannya telah terasa sakit karena pukulan lndra. Jari-jari tangannya terbuka se-olah-olah dirasakan kaku dan tidak dapat digerakkan lagi. Senjata pedang ditangan Sunata terlepas, dan jatuh ditanah yang secepat kilat pula dipungut oleh Indra dengan gerakan meloncat kesamping, sehingga mereka kembali ber-hadap-hadapan.

Sunata berdiri ternganga, dengan penuh rasa keheranan. Kini ia sadar bahwa kepandaian krida yudhanya masih jauh dibawah Indra Sambada. Segera ia mendekati Indra Sambada dan mengulurkan tangannya untuk minta berjabatan, sambil berkata! — Saya menyerah kalah, dan semua janjiku akan kutepati. Sungguhpun Dimas Tumenggung Indra lebih muda dalam usianya, tetapi saya masih harus banyak belajar darimu. Terimalah kesediaan saya ini atas kesudian dimas Indra Sambada menerima saya sebagai sababat baik dan murid, sungguh menunjukkan budi luhur yang dimiliki oleh dimas Tumenegung India.

— Kata-kata itu dikeuarkan dengan raut muka penuh rasa penyesalan, akan tindakan-tindakan yang telah diperbuatnya.

— Maka sudilah dimas memaafkan akan semua pertubatanku tadi. Saya tidak menduga, bahwa dirrias semuda itu telah mempunyai kesaktian yang tinggi dalam krida yudha. — Demikian Sunata meneruskan bicaranya.

— Janganlah kangmnas Tumenggung Sunata memuji berIebih-lebihan. Bahwa sekarang kangmas Sunata menerima tawaran saya untuk menjadi sahabat karibku, sudah cukup membanggakan diriku. Lagi pula ini memenuhi titah tuanku Gusti Sepopati, agar kita dapat merupakan sepasang pembantu beliau yang baik. Marilah kangmas kita cepat menuju kerumah ki Lurah Somad. Dan lupakanlah segala yang telah terjadi.—  

Dengan sungguh akrab, mereka berdua kembali berkuda berdampingan, dan langsung menuju kerumah ki Lurah Tamtama Somad yang tidak jauh letaknya.

Kedatangan mereka berdua pada hari hampir malam sungguh mengejutkan ki Lurah Somad berserta isterinya. Suami istri dengan tergopoh-gopoh menyambut kedua tamunya tadi dan mempersilahkan masuk keruang tempat tamu didalam rumahnya. Ki Somad orangnya kurus, tingginya sedang dan usianya telah lanjut mendekati enampuluhan.

Isterinya masih sangat muda dan genit serta pandai bersolek. Bagi orang yang tidak tahu akan mengira, bahwa Nyi Lurah Somad adalah anaknya Ki Lurah Somad.

Raut mukanya bulat telor dengan sepajang alisnya yang hitam tipis melengkung. Matanya redup dengan kerlingan yang kocak serta menggairahkan. Warna kulitnya kuning langsap. Daun telinganya dihiasi dengan subang bentuk tabuh gender dan bermatakan berlian, menambah kecantikan parasnya. Bicaranya lantang dan selalu diiringi dengan senyum dikulum. Perawakan tubuhnya ramping berisi, dengan dadanya yang padat. Tak mengherankan bahwa banyak para Tamtama yang masih muda tergila- gila kepadanya.

---- Kedatangan Gustiku Tumenggung yang sudah malam ini membuat kami terkejut,— Ki Lurah Somad mulai membuka pembicaraan, dan melanjutkan bertanya —Apakah Gusti Tumenggung membawa titah dari Gusti Senopati yang penting bagi diri saya ?

— Belum juga Tumenggung Sunata dan Indra Sambada rnenjawab, Ny Lurah Somad memotong mempersilahkan tamunya. — Silahkan, duduk dahulu Gusti, dan saya mohon diri sebentar untuk menyiapkan air minum. — Berkata demikian ia sambil mengerlingkan matanya kearah Indra Sambada yang tampan itu, dan segera pergi kebelakang.

— Memang datangku ini atas perintah Gustiku Senopati Harya Banendra, Ki Somad, — Tumenggung Sunata menjelaskan! — Yang datang bersamaku ini adalah tumenggung calon Bupati Indra Sambada. — berkata demikian Tumenggung Sunata sambil memalingkan muka kearah Indra Sambada.—

Dimas Tumenggung Indra Sambada ini, adalah putra kemenakan Gustiku Senopati, — Sunata melanjutkan bicaranya.

— Sembah hamba untuk Gustiku Tumenggung Indra, — Ki Lurah Somad memotong bicara Tumenggung Sunata, dan segera membetulkan duduk bersilanya sambil menyembah tertuju kepada Indra Sambada — Maafkan atas kekhilapan hamba, karena hamba memang baru kali ini mengenal Gustiku.—

— Tak usahlah Ki Somad memakai adat yang berlebih-lebihan terhadapku. Memang baru kali ini aku datang di Senopaten, dan mudah-mudahan pengabdianku dapat berlangsung — jawab Indra Sambada dengan kejujurannya.

— Begini Ki Lurah Somad! — Sunata melanjutkan bicaranya. Atas titah Gustiku Senopati, Ki Lurah supaya segera menyiapkan tempat perumahan dengan perlengkapannya serta pakaian-pakaian dan alat- alat keperluan lainnya!—

Belum juga Ki Lurah Somad menjawab pertanyaan itu, Nyi Somad telah datang dengan membawa minuman dan kuwe-kuwe, serta mempersilahkan tamu-tamunya untuk mulai mencicipi apa yang dihidangkan.

— Sebaiknya, biarlah Gusti Tumenggung Indra untuk sementara waktu tinggal dikamar gandok samping itu, sambil menunggu selesainya bangunan rumah untuknya.

—Kata Nyi Somad kepada Ki Lurah Somad. — Kiranya, pada waktu percakapan terakhir tadi, Nyi Lu-rah Somad mendengarkan dari balik pintu: — Nanti akan segera saya siapkan. Ini jika Gustiku Tumenggung sudi tinggal bersama kami dipondok yang jelek ini,--

-- Ah untukku rumah ini terlalu bagus. — Indra Sambada menyahut — Tetapi apakah kiranya tidak membuat repotmu sekalian? —

— Soal merepotkan, memang sudah tugas kami, Gusti. Buat kami adalah suatu kehormatan yang besar sekali, apabila Gustiku Tumenggung Indra sudi tinggal sementara disini—Ki Lurah Somad menyahut dengan hormatnya.

— Saya turut bergirang hati apabila Dimas Tumenggung Indra sudi tinggal disini, sebelum mendapatkan perumahan yang lajak.— berkata demikian Sunata mengerling kearah Nyi Lurah Somad sambil bersenyum kecil.

— Dan kurasa Dimas Indra akan tetap tinggal disini, karena Nyi Lurah memang pandai memasak dan mengatur isi rumah, hingga selalu sedap dipandang mata. Hawanyapun sejuk pula disini,— Sunata berkelakar menyindir.

— Ah, ada, ada saja, Gusti Tumenggung Sunata ini,— Nyi Lurah Somad memotong bicara sambil tersipu-sipu.

Ki Lurah Somad tidak mendapat kesempatan untuk turut berbicara. Setelah Nyi Somad turut dalam percakapan itu.

— Sudahlah. Diajeng, sebaiktnya kau lekas memanggil pembantu-pembantumu untuk segera membereskan kamar digandok samping, yang akan dipakai Gusti Tumenggung Indra ini.—

Ki Lurah Somad berkata kepada isterinya, dan isterinya segera meninggalkan ruang tamu lagi dan dengan dibantu oleh dua orang inangnya ia membereskan ruang gandok samping.

Tak lama kemudian Nyi Somad telah masuk kembali diruang tamu dan mcmpersilahkan Indra Sambada dan Sunata untuk memeriksanya terlebih dahulu. Ki Lurah Somad turut juga mempersilahkan, katanya;

— Silahkan, Gustiku sekalian supaya memeriksa kamar yang telah kami persiapkan itu. Jika sekiranya kurang memuaskan, biarlah Gustiku memakai rumah besar ini, dan kami yang berada digandok —

Berampat mereka segera pergi kegandok samping, dan memeriksa dengan telitinya. Ternyata rumah gandok itu cukup Iuas. Ruangan tengahnya luas pula dan teratur rapih dengan hiasan-hiasan dinding yang serba indah. Tikar permadani digelar di ruang tamu sebagai tempat duduk. Kamar tidurnyapun cukup luas, bahkan terlalu luas untuk hanya dipakai satu orang. Kasurnya digelari dengan tilam sutra, demikianpun dengan sarung bantalnya dari sutera pula, yang disulam dengan gambar bunga. Baunya harum semerbak menyegarkan. Kiranya tidak lupa pula diberi wewangian hingga memenuhi seluruh ruangan. Dibelakang kamar tidur terdapat kamar mandi tersendiri. Pintu kamar tidurnya ada dua, satu menghubungkan dlengan rumah besar, dan satu lagi menuju keruang tamu didepan, Setelah mereka puas dalam meneliti ruang gandok, segera mereka kembali menuju keruang tamu untuk melanjutkan percakapan sambil bersendau gurau. Nyi Lurah Somad kelihatan sangat girang, setelah Indra menerima tawarannya untuk tinggal digandoknya. Ki Lurah Sornad merasa girang, karena dengan demikian pengabdiannya akan lebih mendapat perhatian dari Gusti Senapati, lagi pula akan merasa tentram jika rumah ditinggalkan berkenaan dengan tugas-tugasnya.

— Kini kiranya telah larut malam kata Tumenggung Sunata ! — Besok saya pagi-pagi saya akan datang kemari menjemput Dimas Tumenggung Indra, untuk ber-sama-sama menghadap Gusti Senopati Sunata melanjutkan bicaranya ! — O, ya Ki Lurah, mungkin besok siang-siangan Gustiku Senopati akan berkenan berkunjung kemari untuk memeriksanya sendiri Sunata berkata kepada Ki Lurah Somad.

— Akan hamba junjung segala titah Gusti Tumenggung — jawab Ki Lurah Somad singkat.

Tumenggung Sunata setelah pamit, segera bangkit dan keluar menghampiri kudanya. Ki Lurah dan isterinya mengantarkan sampai didepan pintu, bersama Indra Sambada tak ketinggalan pula.

Tak lama kemudian Tumenggung Sunata memacukan kudanya, dan hilang dikegelapan malam. Derap langkah kudanyapun terdengar makin lirih, untuk kemudian lenyap sama sekali dari pandangan. —

.*

**

— Tumenggung Indra ! Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra bersabda kepada Indra Sambada.

— Menjunjung titah Gustiku Patih Mangkubumi Gajah Mada, kau diperintahkan menghadap kehadapannya pada hari ini di Istana Kepatihan. Tumenggung Sunata akan kuperintahkan menyertaimu Beliau diam sejenak dan mengambil sepucuk surat yang telah dimasukkan didalam sampul dengan tertutup rapat, untuk kcmudian diberikan Indra Sambada, sambil melanjutkan sabdanya ! — Terimalah surat ini dan haturkan kehadapan Gusti Patih Mangkubumi Gajah Mada ----.

Indra Sambada menyembah, untuk kemudian menerima surat yang diberikan oleh Gusti Harja Banendra. Setelah diterimanya segera dimasukkan kcdalam baju didadanya, dan berkata . — Menjunjung titah Tuanku Gusti Senopati, hamba akan segera rnelaksanakan titah Tuanku Gusti --- Kata- kata itu ditutup dengan menyembah.

— Tumenggung Sunata !— Sang Senopati Gusti Harya Banendra bersabda kepada Sunata — Antarkan Tumenggung Indra Sambada menghadap Gustiku Patih Mangkubumi GaJah Mada di Istana Kepatihan hari ini, dan jangan lupa sampaikan sembah sujudku kehadapannya —.

Mereka berdua segera mohon diri dengan menyembah terlebih dahulu, dan keluar menuju ketempat penambatan kuda. Kedua Perwira Tamtama tadi, masing-masing telah duduk diatas kuda untuk kemudian memacu kudanya dan berjalan berjajar menuju kekota Raja di Istana Kepatihan.

— Apakah dimas Tumenggung Indra pernah menghadap Gusti Patih Mangkubumi di Istana Kepatihan

? Sunata bertanya memecah kesunyian dalam perjalanan.

— Belum pernah Kangmas Tumenggung ---. Indra menjawab — Istana Kepatihan saja aku belum pernah melihatnya, apalagi menghadap ---

Tetapi mengapa tadi Gusti Senopati mengatakan bahwa Dimas diperintahkan menghadap atas titah Gusti Patih Mangkubumi ? Darimana beliau tahu bahwa Dimas Tumenggung Indra sekarang berada di Senopaten ? — Tumenggung Sunata melanjutkan percakapannya. — Saja juga tidak tahu, Kangmas jawab Indra Sambada dengan kejujurannya: — Mungkin Gusti Senopati telah berkenan menghaturkan periksa kehadapannya pada hari-hari kemarin. Bukankah demikian kiranya Kangmas Tumenggung ? , Kata Indra Sambada dengan menduga - duga.

— Ah, tidak mungkin ! — Sunata menyahut secara cepat ! — Biasanya, jika, beliau menghadap

ke Istana Kepatihan aku harus mengawainya, dan jika dengan surat aku pula yang menghaturkannya. Apa lagi ini soal penting mengenat Dimas Tumenggung Indra — bantah Sunata.

— Entahlah, Kangmas kita saksikan saja nanti, — Indra memotong dan melanjutkan kata-katanya — Mudah-mudah an saja saya tidak menerima kemurkaan dari Gustiku Patih

--- Itu juga tidak mungkin, karena Dimas belum pernah menghadap berarti belum pernah berbuat salah kehadapan beliau. Aku harapkan saja Dimas akan menerima hadiah karena jasa-jasa ayahmu. —

Mereka berdua kini kelihatan lebih akrab lagi dari pada waktu-waktu yang lalu. Mcreka berkuda berdampingan dengan asyik ber-cakap-cakap diselingi dengan ketawa riang. Kiranya Tumenggung Sunata senang pula bersenda gurau sambil menggoda Tumenggung Indra Sambada.

— Dimas Tumenggung Indra itu memang sedang memangku wahyu katanya berkelakar menggoda.

-– Bangun pagi saja dibangunkan oleh wanita cantik. Makan pun dilayaninya sendiri. Dan kini diperintah menghadap untuk menerima hadiah. Saya yang ber-tahun-tahun mengabdi di Senopaten dan sering berjumpa belum pernah duduk ber-cakap-cakap sendiri dengan sidia — Yang dimaksud sidia adalah. Nyi Lurah Somad. Berkata demikian Sunata sambil ketawa nyaring. Indra Sambada merasa malu, terlihat mukanya yang merah padam. Tetapi Sunata semakin senang menggodanya — Sudahlah, saya mau juga tukar tambah dengan tempatmu, Dimas Tumenggung Indra. — Sunata melanyutkan sindirannya.

—Ach, Kangmas memang senang menggodaku,— Indra agak bingung untuk membantahnya. —

Seperti benar-benar terjadi Kangmas. Pada hal saya kan tidak pernah diperlakukan sedemikian oleh Nyi Somad. —

Dengan tidak terasa mereka berdua kini telah sampai di alun-alun Kepatihan dan langsung menuju tempat tambatan kuda. Dua Tamtama segera menyambut kedatangan mereka dengan memberi hormat terlebih dahulu untuk kemudian menambatkan dua ekor kuda yang tclah diterimanya itu.

Kedua perwira Tamtama tadi berjalan menuju kepura pintu gerbang Kepatihan. Patung berbentuk gajah setinggi dua orang susun bcrdiri, terbuat dari batu yang di pahat halus, berdiri megah di-tengah- tengah sepasang pintu gerbang. Belalainya berada diatas kepala yang sedang memegang cis. Itulah lambang kebesaran Gusti Patih Mangku-bumi Gajah Mada yang terkenal akan keagungannya.

Pintu gerbang dikanan kirinya berbingkai ukir-ukiran pahatan berlukiskan sepasang raksasa dikanan kiri. Dan seluruhnya terbuat dari batu hitam alam. Pintu gerbang itu sangat lebar, sehingga kereta-kereta para Senopati dapat masuk tanpa kesulitan. Halaman Istana Kepatihan didalam pura pintu gerbang sangat luas, kira-kira seluas setengah alun alun. Dua orang Tamtama pengawal yang sedang berdiri tegak didepan pintu gerbang segera memberi hormat kepada kedua perwira Tamtama yang berjalan memasuki pura pintu gerbang itu. Baru saja mereka berdua meninggalkan Balai Pengawalan, tiba- tiba mendengar suara teguran. — Dimas Tumenggung Indra! — Indra segera menyahut dengan mendekati Perwira Tamtarna yang menegurnya. — Kangmas Tumenggung Cakrawirya! Aku telah menepati janjiku untuk menemui Kangmas di istana Kepatihan ini!—

Tumenggung Cakrawirya, segera datang mendekat dan menjabat tangannya dengan sangat akrab.

— Saya telah sedari pagi menunggu kedatangan Dimas Tumenggung Indra. Bukankah hari ini hari yang telah Dimas janjikan pada waktu kita berpisah di Surabaya? — Tumenggung Cakrawirya melanjutkan tegurannya.

Tumenggung Sunata berdiri dengan penuh keheranan. Tadi menurut keterangan yang diberikan oleh Indra Sambada, ia belum pernah menghadap di Istana Kepatihan, tetapi ternyata telah mengenal dengan akrab pula dengan Tumenggung Cakrawirya --- ia meraba-raba dalam hatinya.

— Ini semua sayalah yang telah mengaturnya, Dimas Tumenggung Indra! — Cakrawirya melanjutkan bicaranya — Maafkan Dimas Tumenggung Sunata, kiranya sampai lupa untuk menegur Dimas karena rasa rinduku dengan Dimas Indra. ---

Ah, …… — silahkan Kangmas Tumenggung Cakrawirya,— jawab Sunata.

— Saya malah tidak mengira bahwa, Kangmas Tumenggung Cakrawirya telah mengenal Dimas Turnenggung Indra sejak lama. ---

--- Memang benar katamu, Dimas, — Cakrawirya menjelaskan. Perkenalanku dulupun serba kebetulan. Jika waktu itu aku tidak berternu dengan Dimas Indra, tentunya aku tidakberada disini lagi. Dialah penyambung hidupku. Dan itu semua telah kuhaturkan kehadapan Gustiku Patih Mangkubumi. Lalu pada tiga hari berselang aku diutus menghadap Gusti Senopati Harya Banendra di Mojoagung, menyerahkan surat. Isi surat itu Gustiku Patih Mangkubumi berkenan memanggil Dimas Indra. Tetapi alangkah kebetulan ternyata Dimas Indra memang telah menghadap Gusti Senopati pada waktu sehari sebelum aku menghadap beliau. Kiranya oleh Gusti Senopati, Dimas Tumenggung Indrapun telah diterima pengabdiannya sebagai calon Tamtama seperti sekarang ini. Hal ini Gustiku Patih Mangkubumi sangat berkenan sekali.—

Kini Indra Sambada dan Sunata mengerti dengan jelas akan duduk perkaranya dan isi maksud panggilan menghadap itu.

— Terima kasih, atas jasa-jasa Kangmas Cakrawirya. --Indra memotong.

— Ah, saya tidak berjasa apa-apa dalam hal ini. Karena apa yang saya haturkan kepada Gustiku itu memang sewajarnya. — jawab Tumenggung Cakrawirya.

— Marilah kita bertiga bersama-sama segera menghadap. — Tumenggung Cakrawirya mempersilahkan Tumenggung Indra Sambada dan Tumenggung Sunata.

Bertiga mereka segera menghadap kehadapan Gusti Patih Mangkubumi Gajah Mada diruang tamu pendapa. Setelah mereka bertiga ber-sama-sama menyembah kehadapannya, Indra segera menyerahkan suratnya kehadapan beliau. Surat diterima dan setelah ditelaah sejenak semua isi maksudnya, beliau segera menulis surat sebagai balasan kepada Sang Senopati Manggala Yudha yang kemudian diserahkan kepada Indra Sambada. Dalam surat itu Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada menyatakan persetujuannya akan pengangkatan Indra Sambada menjadi Bupati Tamtama, mengingat akan jasanya dalam menangkap orang Cina di Surabaya dan pula mengingat akan jasa-jasa orang tuanya Indra Sambada Tumenggung Karya Laga.

Beliau berpesan pula kepada Indra, agar nanti dalam lomba krida yudha yang akan diadakan untuk menyambut hari ulang tahun ke X atas bertahtanya Sri Baginda Maharaja Rajasanegara, dapat tarnpil dengan hasil yang tidak mengngecewakan. Dalam sampul itu pula dimasukkan sebuah bintang anugerah "Lencana Satya Tamtama" yang mana Sang Menggala Yudha supaya menyematkan pada Indra Sambada.

Selesai menghadap, mereka bertiga segera menyembah lagi dengan khidmadnya untuk mohon diri dan meninggalkan pendapa agung Kepatihan. Kini mereka bertiga berkuda berdampingan pulang kembali menuju Mojoagung.

— Biarlah aku akan singgah semalam dipondoknya Dimas Tumenggung Indra. Tentunya tidak berkeberatan, bukan — Cakrawirya mulai bicara! — Saya masih belum puas akan perternuan kita yang sesingkat ini. ---

--- Tapi sebaiknya Kangmas Cakra bermalam dipondokku saja, — Sunata menyahut dan melanyutkan bicaranya — Karena Dimas Indra mungkin tidak mau terganggu, — berkata demikian dengan ketawa nyaring menggoda.

— Kangmas Sunata ini tak habis-habisnya menggoda aku, — Indra mengelak godaan dan kemudian berkata kepada Cakrawirya. — Saya akan lebih senang jika Kangmas Tumenggung Cakra sudi menemani tidur dipondokku. –

Apa sekiranya ada udang dibalik batu Dimas ? — Cakrawirya bertanya untuk mendapat penjelasan.—

— Saya tak dapat menangkap isi percakapan Dimas sekalian. —

— Apakah Kangmas Cakra sudah tahu, dimana Dimas Tumenggung Indra sekarang memilih tempat pondoknya ? — Sunata menyahut dengan pertanyaan sindiran. pertanyaan belum sampai ada yang menjawabnya, Sunata melanjutkan menjawab pertanyaan sendiri dengan senyum menggoda. — Dimas Tumenggung Indra sekarang tinggal serumah dengan Ki Lurah Somad! Cakrawirya segera menyambut kata-kata Sunata tadi dengan gelak tertawa yang nyaring disusul kemudian dengan suara ketawanya Sunata yang tak kalah nyaringnya.

Indra Sambada bersenyum ter sipu-sipu, dengan wajah merah padam. Kini ia tak dapat berkutik akan godaan yang dilancarkan oleh dua perwira tamtama tadi. Dengan ramainya mereka bertiga bersendau gurau sambil berkuda berdampingan. Sampai di Istana Senopaten, mereka bertiga langsung menghadap Sang Sencpati yang sedang berada diruang tamu dalam. Surat segera diserahkan kepada beliau dan ternyata beliau sangat pula berkenan dengan isi surat tadi. Oleh beliau sendiri bintang anugerah lencana satya tamtama segera disematkan dibaju dada disebelah kiri.

Sang Senopati Manggala Yudha kemudian berkenan pula menjamu tiga perwira tamtama itu di Istananya sampai jauh malam, dengan dihadiri oleh para perwira-perwira tamtama lainnya.—

*

**

B A G I A N IV. DIKALA ITU, hari Respati Manis. — Sepanjang jalan jalan di Kota Raja Majapahit dihias dengan janur kuning, kembang-kembang, dan diselang-seling dengan pita sutra panjang ber-aneka warna dengan sangat indahnya. Bendera Keagungan Dwi warna Gula Kelapa dan umbul umbul panji-anji ber-deret- deret disepanjang jalan berkibar dengan megahnya.

Rumah-rumah yang dipinggir jalan sampai di plosok-plosok tidak ketinggalan pula dihias dengan beraneka ragam dan warna, menambah semaraknya pandangan. Candi-candi penuh pula dengan sesajian yang warna-warni. Sejak hari kemarin orang-orang mudik disepanjang jalan dengan tak henti- hentinya. Dari segala penjuru kini orang-orang datang di Kota Raja dengan pakaian-pakaian yang serba baru dan indah. Anak-anak kecil turut pula bersuka ria dengan pakaiannya yang serba baru, bermain- main berkelompok, ataupun mengikuti kesibukan orang-orang tua. Sejak fajar menyingsing mereka turut orang-orang tua bersembahyang di-candi-candi dengan membawa sesajian.

Kini, jauh diufuk-timur Sang Surya mulai memancarkan sinar cahaya yang terang benderang memadangi seluruh alam buana, menunjukkan bahwa hari telah mulai pagi. Orang-orang ber-bondong- bondong menuju ke alun-alun lstana Kerajaan untuk menyaksikan dari dekat "lomba kridha yudha„ yang diselenggarakan pada hari itu, demi menyambut hari ulang tahun ke sepuluh, atas dinobatkannya Sri Baginda Maharaja Hayam-wuruk bergelar Rajasanegara, sebagai raja di Majapahit.

Hari itu adalah hari kesempatan pula bagi para tamtama untuk menunjukkan ketangkasannya dalam Kridha Yudha. Pura pintu masuk yang menuju ke alun-alun dari empat penjuru, dihas pula dengan sangat Ditiap-tiap penjuru disebelah pintu gerbang itu, dibangun sebuah balai untuk penempatan serakit gamelan, lengkap dengan para pemukulnya yang berpakaian seragam indah pula.

Pohon jambe atau disebutnya pohon pucang yang telah ditebang bagian atasnya, ber-deret-deret ditanam merupakan lingkaran yang luas di alun-alun. Jarak antara masing-masing pohon pucang tadi kira-kira dua langkah, sedangkan tingginya tak kurang dari dua galah panjang. Di tengah-tengah lingkaran yang sangat luas, hampir seluas duapertiga alun-alun, berdiri sebatang pohon pucang yang tingginya lebih dari tiga galah panjang, hingga kelihatan menonjol di ketinggian. Dan dipucuk atasnya berkibar Sang Saka Dwiwarna Gula Klapa dengan megahnya.

Didepan pintu gerbang yang menuju masuk ke Istana Raja, berdiri sebuah mimbar dengan tenda berwarna hijau berseretkan pita kuning ke-emas-emasan dari sutra, mengelilingi luasnya tenda selebar dua jengkal. Mimbar itu dihias dengan pita sutra berwarna merah dan putih diselang-seling, menambah indahnya pandangan. Tiang-tiang mimbar dibungkus dengan daun-daun beringin dan kemuning, serta kembang-kembang beraneka warna.

Mimbar itu tingginya kurang lebih segalah panjang. Ditengah tengah mimbar duduk Sri Baginda Maharaja Hajam Wuruk dengan didampingi Sri Baginda Permaisyuri diatas singgasana tiruan berukir dengan warna keemasan, menyerupai singgasana aslinya. Dibelakang dan samping kanan kirinya duduk para nyai inang yang membawa peralatan beraneka warna.

Didepan sebelah kirinya duduk Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada diatas permadani yang indah berserta Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra. Sedangkan didepan sebelah kanan duduk para pendeta Istana diatas permadani pula. Dibawah depan mimbar berdiri tegak berjajar rapat, para Tamtama Pengawal Raja dengan pakaian seragam warna merah berseretkan kuning mas, dengan pedang terhunus ditangan kanan, lurus keatas melekat dengan dadanya, dengan mata tajamnya kedepan. Disebelah kiri mimbar itu, masih ada sebuah mimbar lagi yang dihias indah pula, dengan digelari permadani, untuk para Raja ataupun para utusan yang Negerinya dinaungi oleh Majapahit, dan untuk para Raja , dan utusan-utusan dari Negeri-negeri sahabat.

Rakyat berjejal-jejal mengitari alun-alun dengan tak sabar menunggu dimulainya lomba krida yudha itu. Para tantama siap siaga berjajar. Gamelan-gamelan dari empat penjuru telah mulai dibunyikan pula oleh para pemukulnya. Suasana segera menjadi riuh ramai berkumandang diangkasa.

Kini sebuah gong besar yang berada di depan mimbar dipukul oleh seorang perwira tantama Pengawal Raja. Suaranya mengaung jauh terdengar dan mengumandang disemua penjuru . Segera suasana sunyi hening seketika……

— Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra turun dan berdiri tegak didepan mimbar dengan menghaturkan sembah pada Sri Baginda Rajasanegara. Sri Baginda Rajasanegara menyambutnya dengan berdiri pula diatas mimbar. Dan terdengarlah suara Sang Senopati Manggala Yudha.

— Hamba, Senopati Manggala Yudha menjunjung titah Gusti Sri Baginda Maharaja Majapahit, untuk melaksana kan lomba krida Yudha.—

Sri Baginda Maharaja Rajasanegara, melambaikan tangan kanannya, sebagai isyarat, bahwa lomba krida Yudha dapat dimulai. Seorang Perwira tamtama berpakaian hijau seragam berseret kuning dengan pita kuning emas pula sebagai ikat kepalanya, maju kedepan dan menyerahkan sebuah tombak panjang sedepa dengan tangkainya dibungkus sutra putih. Mata tombak itu tajam berkilau dan panjangnya kira-kira dua. jengkal. Diujung tangkainja disambung dengan sepuluh utas pita sutra merah.

Tombak diterimanya dengan tangan kanan, dan beliau segera membalikkan badannya memandang sesaat pada pohon pucang yang tinggi berdiri didepannja dengan jarak antara kurang lebih seratus langkah. Setelah beliau memusatkan tenaga bathinnja, segera beliau melangkah satu tindak dan melontarkan tombak yang berada ditangan kanannya ke arah pohon pucang tepat pada sasarannya. Pohon pucang bergetar dan Sang Saka Dwiwarna Gula Kelapa yang berada di puncaknya turut berkibar menggetar. Mata tombak menancap seluruhnya, dan tangkainya turut pula bergetar. Lemparan tombak oleh Sang Senopati Menggala Yudha tadi merupakan isyarat bagi semua yang menyaksikan, bahwa lomba kridayttdha sudah dibuka.

Beliau segera mengundurkan diri dan disambut oleh dua pembantu pribadi beliau ialah Tumenggung Indra Sambada dan Tumenggung Sunata, yang kedua-duanya berpakaian seragam sebagai perwira Tamtama, hijau dengan berseretkan kuning ke-emasan dengan seutas pita ke emasan pula selebar dua jari melingkar di kepalanya. Di-pinggang sebelah kiri masing-masing tergantung pedang tamtamanya.

— Beliau berjalan tegap dengan diapit-apit oleh kedua perwira tamtama, menuju kederetan kereta- kereta yang verada di alun alun sebelah timur. Kini beliau telah duduk didalam kereta kebesaran yang terbuka dengan di-apit-apit oleh kedua perwira tamtama tadi, kereta mana ditarik oleh dua pasang kuda yang tinggi-tinggi. Diatas kereta berkibar dengan megahnya duaja kebesaran berlukiskan burung alap- alap yang sedang membentangkan sayapnya berwarna merah, diatas dasar kuning emas. Itulah lambang keagungan "Alap-alaping Ayudha" Kereta bergerak dan berjalan laju mengitari alun-alun. Dibelakangnya berjalan berturut-Eurut mengikuti, kereta-kereta kebesaran dengan panji du-aja kebesaran berlukiskan senjata cakra warna kuning emas diatas gambar perisai berwarna, merah dengan warna dasar hijau.—

Didalam kereta itu, duduk Sang Senopati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Gusti AdityaWardhana, dengan malambai-lambaikan tangannya kearah rakyat yang ber-jejal-jejal, Beliau bertubuh tinggi besar, warna kulitnya merah kehitam-hitaman. Mukanya bercambang bauk deugan sepasang alisnya yang tebal. Matanya agak cekung dan bersinar tajam. Didaun telinganya sebelah kanan memakai anting - anting bentuk gelang. Rambutnya hitam di-ikat kebelakang diatas tengkuknya dengan pita merah. Dari dahi melintang sampai di ujung daun telinga aras sebelah kiri, terdapat tanda bekas luka, lengannya berbulu subur, beliau berusia 45 tahun. Pakaiannya seragam merah dengan berseretkan kuning mas. Sebilah keris pusaka dengan wrangka mas murni tergantung dipinggang kiri.

Dengan riuh ramai yang menggema, rakyat menyambut lambaian tangannya ….. Menyusul dibelakangnya adalah kerwta kebesaran dengan duaja berkibar, berlukiskan pedang silang sepasang, dengan bintang ditengah atasnya, diatas gambar perisai pula, berwarna hitam dan merah Sang Senopati Muda Manggala Tamtama Kerajaan (darat) Gusti Surwendar duduk didalam kereta dengan tenangnya. Beliau berusia limapuluh lima tahun dan bergelar — Surya Laga ---

Raut mukanya bulat telur dan bersih. Pandangan matanya tajam berwibawa. Beliau adalah seorang pendiam. Pakaian yang dikenakan, pakaian seragam hijau dengan berseretkan kuning mas. Ikat kepalanya lebar segi tiga, diikat kebelakang menutupi rambutnya, berlukiskan matahari warna putih diatas dasar kuning sutra.— Menyusul lagi kereta kebesaran terbuka yang megah pula. dengan duaja kebesarannya berlukiskan naga ber-mahkota warna merah, diatas dasar biru laut, Gusti Bharatarajasa Senopati Muda Manggala Tamtama Samodra duduk dalam kereta itu. dengan selalu mengangguk - anggukkan kepalanya kepada rakyat dengan diiringi senyuman. Sambutan rakyat riuh gegap gempita.

Beliau mengenakan pakaian seragam biru laut dengan berseretkan kuning mas pula. Bentuk tubuhnya, agak pendek kokoh perkasa. Wajahnya bersinar, menunjukkan kebangsawanannya.

Kini menyusul lagi kereta terakhir, ialah kereta kebesaran Nara Praja, dengan duajanya sebagai lambang kebesarannya, berlukiskan bintang dikelilingi dua untai padi warna kuning mas, diatas dasar putih sutra. Sebagai Senopati Muda Manggala Nara Praja, ialah Gusti Pangeran Pekik. Beliau berusia kira-kira 50 tahun. Berpakaian seragam putih dengan berseret kuningmas mengenakan pula kain panjang yang dilipat dan berkampuh panjang disebakkan kebelakang. Kebangsawanannya terlihat jelas dari pancaran wajahnya. —

Dibelakang kereta-kereta kebesaran para Senopati, kini menyusul barisan para Tamtama berkuda dengan pakaian seragamnya menurut angkatannya masing-masing sebanyak duaratus Tamtama tia-tiap angkatan. Dan terakhir para Tamtama yang berjalan dengan langkahnya yang tegap membawa genderang suling serta bende, yang dibunyikan selama berjalan dengan irama menurut gerak langkahnya. – Gamelan-gamelan dari empat penjuru menyusul berbunyi mengikuti iramanya. — Kembali sorak sorai menggema di angkasa. Pawai Agung yang berjalan berkeliling memutari alun-alun itu semuanya memberikan hormat, sewaktu melewati mimbar agung. Sri Baginda Maharaja Rajasa- negara berdiri menyambut dengan melambai-lambaikan tangannya. Kiranya beliau merasa bangga akan keagungan Tamtamanya.

Setelah pawai selesai, lomba krida yudha segera dimulai, dengan acara pertama, memamerkan ketangkasan menggunakan pedang, oleh para perwira Tamtama tidak termasuk para Senopati. —

Para perwira Tamtama sebanyak seratus orang, berkuda dengan pedang terhunus menuju pohon- pohon pucang yang ber-diri ber-deret-deret itu, dan membabatnya sambil memacu kudanya. Diantara para perwira ada pula yang dapat menebas sekali tumbang.

Tetapi banyak pula yang tak dapat menumbangkan dengan sekali tebasan. Gerakan cara menebasnya, ber-macam-macam gayanya. Ada yang sejak mulai bergerak telah mengayun-ayunkan pedangnya, dan ada pula yang lurus memacu kudanya dengan pedang terhunus diam ditangan kanan, dan baru membabatnya setelah sempat pada sasarannya. Lain lagi, ada yang memutarkan pedangnya sambil memacu kudanya laksana baling-baling, untuk kemudian dibabatkan kearah sasaran yang dituju. Namun dari sekian banyaknya perwira, tak ada yang dapat menyamai Indra Sambada yang sekali tebang dapat merobohkan tumbang dua pohon pucang. Sorak sorai para Tamtama dan rakyat yang menyaksikan gemuruh, setelah mereka melihat gaya Indra Sambada yang indah dan berhasil dengan memuaskan.

Selesai para perwira Tamtama, kini menyusul para Tamtama rendahan dengan berkuda ataupun dengan lari cepat menebas pohon-pohon pucang tadi dengan klewangnya masing-masing.

— Diantara para Tamtama rendahan ada pula yang ketangkasannya melebihi para perwira tadi, namun belum ada juga yang dapat mengimbangi Indra Sambada. Para Senopati kagum akan ketangkasan yang dimiliki oleh Indra Sambada. Hasil lomba krida yudha yang pertama segera diteliti dan dicatat oleh para petugas.

Selesai acara yang pertama, kini menyusul acara yang kedua. Ialah ketangkasan memanah. Para Senopati Muda turut pula dalam lomba ketangkasan memanah ini, karena banyak digemari oleh segenap Tamtama. Diantara pohon-pohon pucang yang berdiri, tergantung deretan boneka boneka dengan jarak antaranya dua jengkal, sebesar ibu jari kaki dan terbuat dari papah daun kelapa. Tinggi antara tanah dengan boneka-boneka yang terpancang itu kira-kira segalah. Kini Para Senopati Muda telah siap dengan busur dan tiga buah anak panah ditangan masing-masing. Jarak antaranya dengan sasaran boneka-boneka itu adalah kira-kira 100 langkah. Gusti Surwendar mulai dengan bidikannya. Busurnya telah dipentang dan sebatang anak panah lepas seperti kilat tepat mengenai sasaran. Anak panah kedua dan menyusul anak panah ketiga dilepaskan dari busurnya. Satu persatu semua tepat mengenai sasarannya. Semua kagum demi menyaksikan ketangkasan beliau.

Kini menyusul Gusti Senopati Muda Bharatarajasa mulai membidik. Anak panah satu persatu dilepaskan hingga tiga kali. Ternyata satu diantaranya tidak mengenai sasarannya. Demikian pula Gusti Pangeran Pekik. Beliau juga hanya berhasil dengan dua batang anak panah yang tepat dapat mengenai sasarannya.

Gusti Adityawardhana segera mulai mementang busurnya. Sebuah anak panah terlepas dan tepat mengenai sasaran yang dimaksud. Kini beliau memusatkan kekuatan bathinnya kembali. Dua batang anak panah dilepaskan sekali pentang. dan kedua-duanya tepat mengenai sebuah boneka yang tadi telah dipanahnya. Tiga batang anak panah kini berkumpul jadi satu tertancap di sebuah boneka papah kelapa tadi. Semua yang melihat kagum akan ketangkasan yang luar biasa itu.

Tidak sedikit prijagung-prijagung turut geleng-geleng kepala serta memuji akan ketangkasan Gusti Adityawardhana dalam hal memanah. Indra Sambada kini dapat gilirannya. Dengan tenang ia mulai mementang busurnya. Sebatang anak panah segera dilepaskan dan tepat mengenai sasarannya. Kiranya ia ingin pula memamerkan kepandaian panahan. Dua batang anak panah sisanya digenggam erat, untuk kemudian ditaruh ditali busurnya.

Busur dipentang dengan pelan-pelan, sambil memusatkan tenaga batinnya, untuk kemudian disalurkan dalam rasa pandangannya agar dapat mengemudikan lepasnya anak panah. Setelah bulat-bulat tenaga bathin terkumpul, dua batang anak panah tadi dilepas sekali pentang.

Dan dua batang anak panah bersama-sama terlepas untuk kemudian bersimpang arah. Dua buah boneka dikanan dan kiri boneka yang tadi terkena oleh panahnya yang pertama , tertancap masing- masing sebatang panah dalam saat yang bersamaan. Para Senopati berdiri ternganga dengan penuh rasa heran. Kiranya bukan hanya para Senopati saja yang kagum akan kemahiran memanah Indra Simbada.

Sri Baginda Maharaja dan Gusti Patih Mangkubumi bersama-sama para tamu Kerajaan berkenaan menaruh perhatian pula.

Telah dua kali Indra Sambada membuat kagumnya para pengunjung yang menyaksikan ketangkasannya dalam lomba krida yudha.

Setelah semua tamtama mendapat giliran, dan hasil lomba tadi telah dicatat semua, maka sekarang menyusul acara lomba krida yudha yang terakhir.

Lomba krida yudha yang ketiga atau terakhir ini diikuti oleh semua tamtama beserta para Senopati Muda, Acaranya ialah lomba "sodoran", atau disebutnya pula "watangan". Perlombaan ini adalah kegemaran para tamtama, baik yang turut berlomba maupun yang melihatnya. Gusti Adityawardhana dengan Gusti Bharatarajasa dibantu oleh Tumenggung Sunata memimpin pasukan berkuda sebanyak 500 tamtama. Semuanya bersenjatakan tongkat sepanjang tangkai tombak, yang tumpul diujung pangkalnya, dan mengambil tempat di-alun-alun sebelah barat. Gusti Surwendar dan Pangeran Pekik dibantu oleh Tumenggung Indra Sambada memimpin pula pasukan tamtama berkuda sebanyak 500 orang dan bersenjatakan tongkat sebagaimana senjata lawannya, mengambil tempat kedudukan disebelah timur. Demikian para perwira-perwiranyapun dibagi dua dan dimasukkan dalam klompok pasukan tadi.

Gong besar segera ditabuh oleh tamtama yang bertugas atas perintah Sang Senopati Manggala Yudha, sebagai isyarat bahwa lomba "sodoran" dimulai.

Dengan riuh ramai pasukan menyerbu ditengah alun-alun untuk saling menjatuhkan lawannya dengan tongkatnya. Para tamtama yang telah jatuh dari kudanya segera lari keluar dari tempat pertempuran itu dan tidak diperkenankan turut lagi.

Satu sama lain pukul memukul, sodok-menyodok, dan ada pula yang memutar-mutarkan tongkatnya untuk menjatuhkan lawan sebanyak-banyaknya dan dalam waktu se-singkat-singkatnya. Mereka yang lepas akan genggaman tongkatnya segera merangkul lawan untuk menjatuhkan dengan bergulat diatas pelana kuda.

Sebentar saja telah ratusan bergelimpangan ditanah. Mereka yang telah jatuh, segera bangkit dan meninggalkan tempat pertempuran, karena takut terinjak injak kuda ataupun terpukul oleh temannya yang sedang bertempur.

Para petugas mengawasi jalannya pertempuran dengan cermat, menjaga jika ada yang terluka daktm lomba "Sodoran" itu.

Sorak sorai dari penonton memekakkan telinga, setelah melihat Gusti Bhamtarajasa jatuh bergelimpangan ditanah terkena sodornya Gusti Surwendar. Pertempuran menjadi lebih seru lagi, karena Gusti Adityawardhana memperlihatkan ketangkasannya, membalas menebus kekalahan yang baru saja dideritanya. Gusti Surwendar digempurnya dengan sodokan sodor oleh Gusti Adityawardhana. Segera terjadi pertarungan sengit.

Masing-masing memperlihatkan ketangkasannya. Tumenggung Sunata cepat membantu menjatuhkan lawannya dari samping dengan pukulan sodornya. Tak ayal lagi , Gusti Surwendar segera jatuh terguling ditanah. Dua orang tamtama petugas segera menjemputnya dan meneliti akan luka yang diderita.

Namun ternyata sedikitpun tak terluka. Beliau mengumpat—umpat sambil ketawa lebar, Indra Sambada segera tampil menggantikan kedudukan Gusti Surwendar.

Dengan sodor ditangan kanannya Indra Sambada mengamuk menggempur siapa saja yang berada di sekelilingnya. Dalam waktu singkat lawannya telah banyak yang bergelimpangan jatuh ditanah.

Tumenggung Sunata tak mampu pula menghadapi Indra Sambada, dan jatuh terguling untuk kemudian meninggalkan gelanggang. Kini Senopati pasukan sodoran tinggal dua orang, ialah Indra Sambada melawan Gusti Adityawardhana. Pasukan para tamtama yang masih bertempur seluruhnya tinggal limapuluhan.

Indra Sambada langsung memacukan kudanya kearah Gusti Adityawardhana, namun lawannya tidak kalah tangkasnya. Secepat kilat beliau menarik lisnya, sehingga kudanya terperanjat berdiri diatas kedua kakinya dengan meringkik. Indra Sambada menubruk tempat kosong dengan tangkasnya ia segera membalikkan kudanya dan memacunya kearah lawan. Kini ia telah berhadapan kembali dengan Gusti Adityawardhana yang masih tegap duduk diatas pelana.

Beliau segera menyerang lebih dahulu dengan sabetan tongkatnya kearah lambung Indra Sambada, yang segera ditangkis dengan tangkasnya memakai tongkatnya pula. Tongkat sama tongkat beradu dengan dahsjatnya. Ternyata sewaktu memukul tadi Gusti Adityawardhana menggunakan kekuatan bathinnya untuk mengukur kekuatan Indra Sambada. Namun siang-siang Indra Sambada telah mengetahui, bahwa pukulan tongkat tadi berisikan pemusatan kekuatan bathin. Karena keinginan untuk mengukur kekuatan lawan, maka pukulan disambutnya dengan tangkisan yang tak kalah dahsyatnya.

Telapak tangannya bergetar dan terasa pedih namun tongkat masih dapat ia menggenggam erat dengan tangannya. Gusti Adityawardhana memandang dengan penuh rasa heran, karena ternyata tangannya terasa pedih pula, bahkan hampir-hampir tongkatnya jatuh terlepas dari genggaman.

— Tumenggung Indra! — seru beliau sambil bertempur. — lekas selesaikan pertempuran ini. Pukullah aku dengan ketangkasanmu. Aku akan memberi kesempatan, demi melihat dan menyaksikan sendiri kesaktianmu. Kau adalah pemuda harapan. Cepat! — beliau berseru lebih keras. Dan Indra, Sambada segera tahu akan maksudnya. Dengan ketangkasan yang mengagumkan ia memutar tongkatnya diatas kepala sebagai tangkisan terhadap semua pukulan yang dilancarkan oleh para lawan dan secepat kilat putaran tongkat berobah menjadi pukulan yang dahsyat mengenai lengan Gusti Adityawardhana.

Terkena serangan lengannya oleh Indra Sambada beliau segera menjatuhkan diri bergulingan ditanah.

Kiranya Indra Sambada tak mau pula menerima pujian yang tidak wajar itu. Segera ia menyusul, jatuh bergulingan ditanah pula. Namun para petugas telah memutuskan Indra Sambada sebagai pemenang. Kembali sorak sorai gemuruh menggelegar diangkasa memekakkan telinga.---

Gong besar segera dipukul lagi, sebagai tanda, bahwa lomba krida yudha telah selesai seluruhnya. Tiba-tiba empat Tamtama pengawal Raja berjalan cepat rnenuju kearah Indra, dan segera berhenti dihadapan Indra Sambada.

— Atas titah Tuan hamba Gusti Sri Baginda Maharaja, Gustiku Tumenggung, diperintah menghadap di depan mimbar. — berkata seorang diantara empat Tamtama pengawal Raja tadi.

Indra Sambada segera mengikuti mereka berjalan menuju ke depan mimbar dan berhenti berdiri tegak, serta rnenghaturkan sembah kehadapan Sri Baginda Maharaja.

— Tumenggung Indra! — Sribaginda Maharaja menyambut sembah Indra dengan berdiri serta bersabda,—aku ingin melihat ketangkasanmu sekali lagi. Jika kau bersedia, banteng piaraanku akan kuperintahkan untuk dilepas. Jika berhasil menundukkan dengan keris pusakamu itu, gelar “Banteng Majapahit" ku berikan kepadamu, dan sekaligus ku angkat kau sebagai Manggala Muda Tamtama Pengawal Raja. Bagaimana? sanggupkah engkau?—

— Hamba selalu akan menunjukkan dharma bakti hamba kehadapan Gusti hamba Sri Baginda Maharaja. Semua titah Gusti hamba Sri Baginda Maharaja kami junjung tinggi demi kejayaan Kerajaan.

— Indra menjawab dengan tidak ragu-ragu, dan menutup kata jawabannya dengan sembah.— Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra segera turun dari mimbar dan mendekati Indra Sambada, seraya menepuk nepuk bahunya

— Kau putraku, harus dapat membuktikan kesanggupanmu. Aku akan membantumu dengan doa pada Dewata Yang Maha Agung, — beliau berkata lirih kepadanya.—

— Doa restu Gusti Pamanku semoga selalu menyertai hamba. — Jawab Indra singkat.

Empat orang Tamtama segera diperintahkan untuk melepaskan seekor banteng piaraan yang kandangnya berada di alun-alun sebelah timur Semua Tamtama segera menghunus pedang masing- masing dan berdiri dengan pedang terhunus berjajar rapat menyerupai pagar kokoh laksana benteng, merupakan bentuk lingkaran yang luas didepan mimbar. Pagar yang dari para Tamtama itu berlapis ampat. Yang berada didepan sendiri semua duduk bersila, dilapis kedua duduk berjongkok, sedangkan lapis ketiga dan ke empat berdiri. Semua tak terkecuali, bersenjatakan pedang terhunus ditangannya. Duapuluh Tamtama Pengawal Raja duduk bersila dimimbar siap siaga dengan busur dan anak panah ditangannya, menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi.

Setelah Banteng dihalau dan masuk didalam gelanggang yang dipagari rapat oleh para Tamtama, Sang Banteng segera berusaha untuk keluar dari gelanggang. Namun tiap-tiap kali ia mendekati para Tamtama yang berjaga sabagai pagar tadi, berpuluh-puluh senjata segera diacungkan kearahnya. Sang Banteng mendengus dengus dan kembali menggagalkan niatnya. Sorak ramainya para Tamtama yang menghalau sang banteng untuk selalu berusaha agar banteng berada di-tengah-tengah lapangan, menggema jauh diudara. Rakyat banyak pula yang memanjat pohon, agar dapat melihat lebih jelas pertunjukkan yang mendebarkan penonton itu.

Banteng Istana itu adalah banteng jantan yang telah cukup usianya. Satu-satunya banteng yang terpilih diantara berpuluh-puluh banteng lain yang telah tertangkap pada waktu berburu sebulan yang lalu.

Dapat dibayangkan, bahwa banteng itu masih sangat liar dan lebih besar dibandingkan dengan banteng-banteng Istana yang lain. Indra Sambada setelah mohon doa restu para Senopati dan sekali lagi menyembah kehadapan Sri Baginda Maharaja segera melangkah maju menuju ke medan gelanggang.

Sambil berjalan ia mulai dengan semadhinya, mengumpulkan daja kekuatan bathin, untuk kemudian dipusatkan, dan disalurkan melalui pancaran sinar matanya.

Indra Sambada kini memasuki gelanggang dan dengan tenang menghadapi banteng yang sedang mendengus-dengus dcngan matanya yang telah merah. Dan air liur membuih keluar dari mulutnya. Kaki depannya berganti ganti men-cakur-cakur tanah, dengan kepala menunduk sampai mulutnya menjamah tanah. Indra Sambada dengan tak berkedip menatap mata banteng dengan sinar pancaran yang tajam mengandung daya kesaktian. Kiranya banteng tak tahan menatap sinar pandangan Indra Sa mbada.

Kepalanya menunduk dengan membuang pandangan kebawah sesaat. Dan kini sang banteng dengan tanduknya telah mulai menerjang kearah Indra Sambada.

Dengan tenang Indra mengelak terjangan banteng yang dahsyat itu, dengan hanya melangkah setindak surut kesamping. Sang banteng yang menerjang sasaran kosong, kini membalik kan badannya dan mengulangi kembali menerjang lawannya. Namun Indra dengan tangkas mengelak menghindari terjangan yang ketiga kalinya dengan gaya yang sama. Kembali tampik sorak menggema berkumandang memekakkan telinga. Tetapi sesaat kemudian segera sunyi kembali, karena semua menahan nafas dengan penuh kecemasan.

Setelah berulang-ulang dapat mempermainkan sang banteng Indra Sambada kini ingin segera mengalhiri pertarungan yang sengit itu. la berdiri mendekati dengan kuda - kudanya yang kokok kuat didepan banteng yang sedang mengamuk laksma banteng terluka, dengan matanya yang merah menyala. Kepalanya ditundukkan dengan tanduknya hampir mengenai tanah.

Liurnya tambah membuih-buih dan mendengus-dengus menakutkan. Semua penonton menahan nafas dengan hati yang ber-debar-debar karena tidak tahu akan kelanjutan cara Indra bertarung melawan banteng itu. Semua penonton terpaku seperti patung, penuh rasa keheranan.

— Mengapa hingga detik ini Indra tak mencabut kerisnya, dan masih tetap bertangan kosong. Sri Baginda Permaisuri dan para selir menutup matanya dengan kedua belah targannya. Sri Baginda Maharaja sendiri menanti berakhirnya pertarungan dengan penuh kecemasan hampir-hampir beliau menghentikan pertarungan itu, tetapi sang Senopati segera mencegah akan kehendak beliau.

Sebagai seorang Senopati Manggala Yudha yang memiliki ilmu tenaga bathin yang telah mendekati kearah sempurna, beliau segera tahu, bahwa lndra Sambada sedang metakaji kesaktiannya. Ingin pula beliau turut menyaksikan aji kesaktian yang dimiliki oleh Indra Sambada.

Kini Indra Sambada mengerahkan pemusatan tenaga dalam untuk menghadapi benturan dengan tenaga kekuatan lahir. Sebagian disalurkan kearah tangannya untuk menciptakan kekuatan genggaman, sedangkan keseluruhan kekuatan yang telah memusat itu dimasukan dalam berat badannya sendiri.

Banteng menerjang lagi, tapi kini Indra Sambada tidik mengelak, bahkan menerima benturan kepala banteng, dengan ketangkasan yang menakjubkan. Kedua belah tangannya memegang pada tanduk banteng. Kekuatan yang menciptakan daya sakti itu adalah perpaduan ilmu dari ayahnya dan ilmu guru Pendetanya dari Badung. Olehnya dan selanjutnya dinamakan aji sakti Badung Bandawasa. Banteng dengan sekuat tenaga mencoba akan mengangkat badan Indra Sambada, namun Indra Samhada yang sudah dilindungi oleh aji sakti Badung Bandawasa kini berat badannya menjadi sepuluh kali lipat.

Tak mampu banteng mengangkatnya. Banteng mendengus lagi degan mengeluarkan suara desisan yang cukup mengerikan. Tetapi kembali sang banteng tak mampu mengangkatnya. Para penonton seolah-olah berhenti detakan jantungnya demi menyaksikan suatu adegan pertempuran kedua kekuatan yang dahsyat itu.

Setelah kekuatan banteng berkurang, maka Indra Sambada dengan kedua belah tangannya yang berpegangan pada kedua tanduknya, segera mengkilirkan dengan pelan kepala sang banteng, hingga sesaat kemudian banteng roboh ditanah dengan sepasang tanduknya masih dalam genggaman tangan Indra Sambada. Kaki ke-empat-empatnya berkelejetan untuk berusaha berdiri, tetapi kini ia telah tak berdaya. Sri Baginda Maharaja segera memberi isyarat untuk membunuh banteng itu dengan keris pusakanya yang terselip dipinggangnya sebelah kiti. Tetapi Indra Sambada tak mau menodai keris pusakanya dengan darah banteng.

Kekuatan yang telah terpusat dan mengalir keseluruh badannya, cepat dikumpulkan kembali dan disalurkan ditelapak tangan kanannya. Kini pegangan pada sepasang tanduk banteng dilepaskan dan dengan cepat tangan kanan Indra yang telah diisi dengan aji sakti Badung Bandawasa dikepalkan menjadi tinju, untuk kemudian dipukulkan kearah kepala Banteng yang berada dihadapannya. Pukulan yang dahsyat kini bersarang dikepalanya. Dan tak ayal lagi kepala banteng pecah seketika dengan menyemburkan darah merah bercampur dengan otak yang pecah berantakan.

Tepuk tangan dan sorak sorai gemuruh memenuhi seluruh alun-alun dan berkumandang diangkasa laksana merobohkan benteng baja .

Gong besar dipukul tiga kali dan dari keempat penjuru semua gamelan berbunyi lagi dengan lagunya kebugiro. Semua penonton bersorak puas dan kagum akan kesaktian Indra Sambada yang masih semuda itu. Delapan Tamtama datang menyambut Indra Sambada dan dipanggulnya ganti berganti sampai didepan mimbar agung. Semua Senopati mengucapkan selamat serta menjabat tangannya.

Dan pada waktu itulah Sri Baginda Maharaja berkenan melantik Tumenggung Indra Sambada sebagai Manggala Muda Tamtama Pengawal Raja, mewakili Gusti Senopati Adityawardhana dengan anugerah gelar — Pendekar Majapahit—.

Waktu pelantikan Indra Sambada, memenuhi adat upacara, mengucapkan janji pasti Panca Setya Tamtama yang dipimpin oleh Pendeta Istana.

Demi Dewata Yang Malia Agung dan disaksikan oleh Alam Semesta, hamba berjanji:

1. Setia patuh dan taat akan semua titah Gusti hamba Sri Baginda Maharaja Rajasanegara dan semua perintah Pri-jagung yang menjabat lebih tinggi dari pada jabatan hamba.

2. Bersedia membela dan mempertahankan takhta Kerajaan Agung Majapahit hingga hembusan nafas yang penghabisan

3. Bersedia membela dan mempertahankan keagungan nama Gusti hamha Sri Baginda Maharaja Rajasenegara, dan bertanggung jawab akan keselamatan Gusti hamba Sri Baginda Maharaja beserta Sri Baginda Permaisuri dan keluarga Istana Kerajaan hingga hembusan nafas yang terakhir.

4. Bersedia membela dan menegakkan keadilan demi kesejahteraan Negara dan rakyatny.

5. Bersedia menjadi suri tauladan bagi seluruh Tamtama Kerajaan Majapahit dan segenap rakyat. Demikianlah hamba mengucapkan janji pasti hamba de ngan penuh kesadaran akan hukuman dan kutukan yang dilimpahkan oleh Gustiku Sri Baginda Maharaja Rajasanegara dan Dewata Yang Maha Agung. Apabila hamba tidak memenuhi janji pasti hamba.

Sampai disinilah Sambada sadar bahwa tugaslah sebagai rangkaian ucapan janjinya ….. dan ia sadar dari lamunannya.

*

**

B A G I A N V

IRINGAN - IRINGAN perahu Iayar yang merupakan suatu armada besar, bergerak kearah barat dengan susunan bentuk „Anggang-anggang Samudra” atau serangga laut.

Sebagai pimpinan armada, ialah Senopati Muda Manggala Tamtama Samudra Gusti Bharatarajasa sendiri. Beliau berada diinduk perahu armada yang berada di-tengah-tengah. Sedangkan tujuh belas perahu layar yang mengangkut tamtama darat berada dibelakang induk armada. Delapan perahu layar mendahuIui berlayar didepan samping Iimbung kanan dan kiri dari induk armada, sebagai kaki serangga depan, sedangkan delapan perahu lajar lainnya, berada dibelakang buritan samping kanan kiri, merupakan kaki serangga belakang. Iringan iringan armada perahu layar seluruhnya berjumlah 36 buah perahu layar. Pada tiang, menara masing-masing berkibar Sang Saka Gula Kelapa dengan megahnya. Sedangkan pada perahu induk armada disamping Sang Saka Dwi warna, berkibar megah bendera juaja kebesaran tamtama Samudra berlukiskan naga bermakhkota warna metah diatas biru laut.

Dikala itu, musim barat daya.

Angin meniup dengan kencangnya. Layar-layar mengembang penuh, mempercepat lajunya perahu- perahu yang sedang mengarungi samudra kearah barat.

Langit cerah. Sang Surya bersinar dengan teriknya.

Gelombang ringan ber-gulung-gulung dengan tiada hentinya. Terasalah goncangan-goncangan dalam perahu, yang dindingnya selalu digempurnya oleh ombak yang ber-gulung-gulung itu.

Sejak meninggalkan bandar Gresik armada perah-perahu lajar telah lima hari lima malam mengarungi samudra laut Jawa.

Kini iringan-iringan perahu-perahu layar merobah susunan bentuknya menjadi „Naga Sungsang", karena akan merobah haluan, memotong kearah utara untuk menuju ke Teluk Kumai.

Perahu-perahu melepaskan jangkarnya dan berlabuh tenang di Teluk itu, menunggu utusan dari Kerajaan Kota Waringin.

Selama berlaiar hingga di Teluk Kumai sedikitpun tidak mendapat gangguan dari para bajak laut. Ternyata perhitungan-perhitungan waktu, yang diberikan oleh Sang Senopati Manggala Yudha Gusti

Harya Banendra sedikitpun tidak menyimpang dari pada kenyataan kenyataan yang dialami. Menurut perhitungan Sang Senopati Manggala Yudha, dalam musim Barat Daya, para bajak laut tidak akan dapat leluasa mengganas disepanjang laut Jawa. Tetapi kemungkinan mereka merobah daerah pembajakannya disepanjang pantai utara Kalimantan, di laut Cina Selatan. Mereka kemungkinan akan berpangkal dipulau Serasan dengan menyeberangi Selat Api dari Muara Sambas. Didaerah itu, mereka dapat merampok perahu-perahu dagang yang berlayar hendak menuju kekota-kota disepanjang pantai Kalimantan, ataupun yang akan menuju Pilipina dari bandar Singgapura Sembilan Negeri.

Kiranya utusan dari Kerajaan Kota Waringin telah mendahului menunggu pula dipantai Teluk Kumai.

Dari para utusan mendapat berita bahwa pasukan Tamtama dari Kerajaan Kota Waringin telah mendahului berlajar menuju keteluk Sukadang dengan berkekuatan lima ratus Tamtama terpilih, dengan lima ratus ekor kuda, serta lengkap dengan membawa perbekalan-perbekalan Tamtama untuk cadangan.

Mereka selanjutnya akan menunggu didaratan sebelah Timur Utara Sukadana, antara sungai Semandang dan sungai Matan, ditengah-tengah hutan belantara yang tidak pernah dilalui manusia. Pasukan Tamtama Kerajaan Kota Waringin itu, telah meninggalkan Teluk Kumai pada dua hari yang lalu.

Tujuh belas perahu layar yang mengangkut pasukan Tamtama darat dibawah pimpinan Tumenggung Indra Sambada dan didampingi oleh Tumenggung Cakrawirya segera diperintahkan oleh Sang Senopati Muda Bharatarajasa, untuk mendahului berlajar menuju keteluk Sukadana, untuk kemudian menggabung menjadi satu dengan pasukan Tamtama dari Kerajaan Kota Waringin. Sedangkan armada perahu perahu layar yang dipimpinnya, akan berangkat kemudian, setelah berlabuh di teluk Kumai selama 3 hari, dengan tujuan langsung kebandar Pontianak dan pantai Singkawang. Dengan mengarungi Selat Karimata iringan perahu layar yang mengangkut Tamtama darat Kerajaan Majapahit menepi kemuara sungai Pawan, menyusuri pantai Ketapang untuk kemudian tiba diteluk Sukadana.

Indra, Sambada berserta seluruh pasukan segera mendarat dipantai Sukadana.

Lima orang tamtama penghubung dari pasukan Kerajaan Kota Waringin yang telah mendahului tiba ditempat itu, menyambut kedatangan Indra berserta pasukan, dan kemudian menjadi penunjuk jalan untuk menuju ketempat dimana pasukan dari Kerajaan Kota Waringin telah menunggu ber-kemah.

Kini pasukan dipimpin oleh Indra Sambada bergerak menuju kehulu sungai Semandang melalui hutan belantara, mengikuti para tamtama penunjuk jalan. Sungguhpun dalam perjalanan darat tidak mengalami rintangan-tintangan yang berarti, tetapi keadaan alam, membuat jalannya pasukan pasukan sangat lambat. Sebentar-sebentar pasukan terpaksa berjalan mengitari daerah rawa rawa yang kiranya tidak dapat diseberangi.

Satu hari semalam penuh dengan tidak berhenti sejenak pun, pasukan kini baru tiba dipersimpangan sungai Semandang dan sungai Matan.

Hari telah berganti dengan malam. Para penunjuk jalan berhenti sesaat dan memekikkan suara burung hantu tiga kali.

Suaranya terdengar melengking menggema dihutan belantara yang gelap gulita. Segera sunyi kembali

…… suara ditelan oleh sang gelap malam ……

Sesaat kemudian terdengarlah suara burung hantu yang sama, menyahut dari arah utara dalam rimba yang gelap itu. Pasukan bergerak lagi kearah utara, mengikuti para penunjuk jalan. Tak lama berselang, setelah menyusupi hutan belantara mereka tiba di daratan terbuka yang luas sekali. Dari jarak jauh, telah kelihatan samar-samar kubu-kubu darurat, sebagai tempat berteduh untuk para tamtama pasukan dari Kerajaan Kota Waringin, yang menunggu datangnya pasukan dari Kerajaan Majapahit itu.

Dengan penghormatan yang sederhana serta singkat, pimpnan tamtama pasukan dari Kerajaan Kota Waringin menyambut kedatangan Indra Sambada berserta pasukan-pasukannya.

Seluruh pasukan, terkecuali yang bertugas bergilir sebagai pengawal, diperkenankan untuk segera beristirahat dikubu-kubu darurat yang telah disiapkan itu.

Bertindak sebagai pimpinan pasukan tamtama Kerajaan Kota Waringin, adalah Senopati Manggala Yudha Pangeran Pati Andrian. Beliau adalah putra yang tertua, calon pengganti Raja Kota Waringin, apabila ayahnya kelak turun takhta. Beliau bertubuh kecil padat, dengan otot-otot yang kokoh kuat, serta tangkas. Sikapnya ramah tamah, dan gemar bergurau. Wajahnya memancarkan sinar kebangsawanannya.

Beliau berusia tidak lebih dari 35 tahun.

Pada esok paginya para pimpinan tamtama dibawah Indra Sambada merundingkan tentang siasat penyerangan yang akan dilakukan pada malam pertama bulan purnama yalah tiga hari lagi.

Malam hari telah telah tiba, kini seluruh pasukan telah siap untuk melanjutkan perjalanan dengan menunggu perintah dari para pimpinan. Sepertiga dari jumlah kekuatan seluruhnya, sebanyak 500 tamtama yang tangguh dalam ilmu yudha, dipimpin oleh Indra Sambada bergerak dengan berkuda kearah barat daya, dengan tujuan : diluar daerah kota Pontiauak sebelum menyeberang sungai Kapuas.

Dua pertiga dari jumlah kekuatan sisanya, bergerak kearah Timur jauh dengan tujuan desa Tayan, sebuah desa dipinggir hulu sungai Kapuas dibawah pimpinan Sang Senopati Pangeran Pati Andrian dengan didampingi oleh Tumenggung Cakrawirya.

Tempat dimana para pasukan tamtama barpisah itu, kini telah menjadi sebuah kota yang dinamakan kota ,,Simpang". Karena dari tempat itulah mereka bersimpang jalan.

Setelah pasukan yang dipimpin oleh Indra Sambada tiba ditempat yang dituju, segera mereka membuat kubu-kubu darurat ditengah-tengah disebuah desa, sambil menunggu saat yang ditentukan untuk melakukan serangan. Desa itu kini menjadi sebuah Kota pula, yang lazim disebut orang Kota Kubu.

Penduduk desa sekitarnya, berduyun-duyun datang untuk memberikan bantuan berupa makanan dan lain-lain hingga perbekalan pasukan menjadi ber-limpah-limpah. Para pemuda-pemuda tak ketinggalan datang berduyun-dujun, untuk menyerahkan jiwa raganya, agar dapat diterima sebagai pembantu pasukan atau merupakan pasukan cadangan. Mereka ingin menunjukkan dharma bhaktinya untuk tanah tumpah dara nya.

Pada umumnya, mereka adalah orang-orang pribumi asal dari daerah kota Pontianak, yang telah diusir oleh para bajak laut Cina yang sekarang berkuasa didaerah Pontianak itu.

Oleh Indra Sambala para pemuda desa itu dibagi dalam tiga kelompok, yang masing-masing kelompok dipimpin oleh tamtama kerajaan yang telah mahir.

Satu kelompok ditugaskan sebagai pengawal dan penunjuk jalan. Satu kelompok lagi diserahi tugas membawa perbekalan makanan dan senjata-senjata cadangan, sedangkan kelompok ketiga yang terdiri dari pemuda pemuda yang terpilih itu, dijadikan pasukan-pasukan cadangan dengan tugas turut menyerbu dan membumi hanguskan kubu-kubu bangunan-bangunan dari fihak lawan. Kelompok pemuda ketiga-tiganya diberi latihan singkat serta petunjuk-petunjuk yang jelas oleh para pimpinan masing-masing.

Hari yang clinanti-nantikan telah tiba. Pada senja malam pasukan menyeberangi sungai Kapuas dengan perahu - perahu sampan. Tak seorangpun berani mengeluarkan suara, sewaktu menyeberang. Mereka melakukan semua perintah dengan patuh taat dan seksama.

Setelah seluruh pasukan dengan perbekalannya berada di-seberang utara sungai Kapuas, mereka berjongkok tidak bergerak dalam susunan bentuk bulan sabit, disepanjang tebing sungai Kapuas. Indra Sambada berjongkok didepan pasukannya sebagai bintang di-tengah-tengah bulan sabit.

Didepan mereka kini terbentang dataran yang luas sejauh mata memandang

Diatas dataran yang luas itu, berdiri berserakan kelompok-- kelompok bangunan rumah-rumah sebagai tempat tinggal para bajak laut dengan keluarganya. Sinar lampu lampu minyak dalam perumahan serta halaman-halaman, dari jauh kelihatan gemerlapan menunjukkan suatu kota yang indah. Telah lama kebesaran sang surya hilang ditelan oleh kegelapan malam, dan kini …… terbitlah bulan purnama menerangi seluruh alam.

Pontianak adalah sebuah kota ditepi pantai laut selat Karimata dan merupakan bandar pelabuhan yang cukup besar. Dengan memasuki muara sungai Kapuas perahu-perahu layar dapat berlabuh menepi daratan dikotanya.

Sejak kota itu digunakan sebagai sarang bajak laut, tidak ada lagi perahu dagang yang berlabuh dibandar itu, terkecuali perahu-perahu layar milik para bajak laut sendiri. Kotanya adalah suatu dataran yang berada ditengah-tengah antara muara sungai Kapuas dan sungai Landak. Sebagian dataran dekat muara sungai Landak merupakan tanah rawa. Dataran itu membentang luas ketimur jauh sampai di desa Sasak. Setelah itu merupakan hutan be!ukar dan rawa-rawa yang tidak pernah dilalui manusia.

Dengan pelan sang bulan melintasi menembus awan putih yang mengurungnya, naik keketinggian, mengikuti perintah alam gaib.

Indra Sambada bersemadi untuk mengumpulkan kekuatan bathinnya.

Panah api dilepaskan dari busurnya, jauh diketinggian. Sesaat kemudian dari dua jurusan barat dan timur terlihat pula lintasannya panah api.

Segera Indra Sambada mernberikan isyarat merubah susunan bentuk pasukannya bergerak cepat, menjadi „burung gelatik neba", menyerbu kearah kubu-kubu para bajak laut. Limaratus Tamtama berkuda menyerbu dengan suara riuh ramai, sedangkan para pemuda-pemuda desa mengikuti dibelakangnya dengan berlari-larian.

Pada saat yang sama diatas pantai Pontianak mendadak kelihatan awan gelap bergulung-gulung membubung tinggi dan kemudian sinar merah membara menjulang keangkasa. Ternyata pasukan Tamtama samudra sedang membakar seluruh perahu-perahu layar milik para bajak laut yang sedang berlabuh serta bangunan-bangunan yang berada didekat pantai. Suasana yang tadinya sunyi tenang kini berubah menjadi kacau balau. Suara jeritan perempuan-perempuan dan tangis anak-anak kecil bercampur aduk dengan dampratan serta beradunya senjata senjata yang sedang bertempur dan derap larinya kuda yang tak tentu arahnya. Bangunan bangunan rumah yang berkelompok disana-sini, kini menyusul menjadi lautan api pula. Ini adalah karya para pemuda desa yang diserahi tugas untuk membumi hanguskan. Semakin lama semakin gaduh dan kacau balau.

Para bajak laut Cina dengan gigih mcngadakan perlawanannya. Ratusan manusia menjadi korban dalam pertempuran yang dahsyat itu. Indra Sambada dengan pedang terhunus ditangannya mengamuk laksana banteng. Setiap lawan yang dihadapi, tidak diberi ketika pula untuk hidup. Pedang ditangannya telah basah berleprotan darah. Dalam pertempuran yang dahsjat, masih pula ia ingat memberi perintah dengan suara lantang dan nyaring agar para pemuda menyelamatkan orang orang perempuan dan anak- anak.

Pasukan Tamtama samudra mengurung pula kedudukan lawan, sehingga para bajak laut yang akan melarikan diri kearah pantai menemukan ajalnya.

— Buang senjata, jika mau menyerah!— bentak Indra Sambada dengan suara lantang dan parau.

Suaranya jelas dan berwibawa. Karena mellat kenyataan, para bajak laut telah terkurung rapat dan jumlah pasukannya kini jauh tidak seimbang, maka separo bahagian dari sisa yang mnasih hidup segera membuang senjatanya dan menyerahkau diri, dengan kedua belah tangannya diangkat tinggi diatas kepalanya. Yang menyerah segera memisahkan diri, dan dijaga kuat oleh para Tamtama samudra. Sedangkan yang belum mau menyerah masih sibuk bertempur melawan maut.

Jumlah korban bajak laut kini stmakin bertambah. Dengan tiba-tiba kira-kira seratus orang bajak laut yang berkuda lari meninggalkan gelanggang pertempuran menuju kearah timur. Indra Sambada beserta para Tarntarna segera memacukan kudanya, mengejar lawan yang sedang melarikan diri itu. Tidak terduga-duga, para bajak laut telah masuk dalam perangkap.

Mereka terkurung rapat oleh pasukan Tamtama yang dipimpin oleh Sang Senopati Pangeran Andrian, yang bergerak dari Timur dengan bentuk susunan garuda melayang. Sayap kiri pasukan menutup sampai tebing sungai Kapuas, sedangkan sayap kanan yang dipimpin oleh Turnenggung Tjakrawirya menutup melintang sampai di tebing sungai Landak.

Karena tiada harapan untuk meloloskan diri melewati arah timur, maka mereka melarikan kudanya kearah utara namun disitu, pasukan dibawah Tumenggung Cakrawirya bergerak dengan tangkasnya. Para bajak laut segera kembali terkurung rapat, dan kini seluruh pasukan merobah susunan bentuknya menjadi „sapit udang" untuk mengunci semua jalan. Pertempuran kembali dahsyat.

Para bajak laut gigih tidak mau menyerah. Mereka menggunakan keakhliannya dalam melemparkan kampak sebagai senjata terakhir. Tiap kampak berkelebat berarti satu dua Tamtama direnggut jiwanya. Tumenggung Indra Sambada segera memacu kudanya masuk dalam kancah pertempuran.

Demikianpun Tumenggung Cakrawirya segera mengikuti masuk dalam gelanggang. Dengan tombak ditangan kanannya dan perisai ditangan kiri, Tumenggung Cakrawirya menerjang maju dalam pertempuran. Tiap-tiap lawan yang tidak mampu menghindari gerakan tombaknya segera jatuh terkulai menjadi mayat. Dengan tidak terduga-duga, sebuah kampak meluncur kearah kepalanya Tumenggung Cakrawirya dari belakang. Tetapi sebelum kampak jatuh pada sasarannya, pedang Indra Sambada berkelebat menyambutnya dengan teriakan nyaring

— Kargmas Tumenggung Cakra! Awas kampak dari belakang! —

— Trimakasih,— jawabnya singkat. Dan dengan demikian Tumenggung Cakrawirya terhindar dari bahaya maut. Desa di tempat pertempuran ditepi sungai Landak itu kemudian dinamakan desa Karangabang dan kini menjadi sebuah kota yaing disebut orang dengan singkatan Ngabang.

Setelah jumlah bajak laut Cina itu tinggal kira - kira tigapuluh orang lagi, dan mereka menyadari, bahwa tidak mungkin melarikan diri, karena terkurung rapat, maka salah satu orang diantaranya, yang berbadan tinggi besar dengan kumis dan jenggotnya yang tebal segera melemparkan senjatanya dan mengangkat kedua belah tangan, tanda menyerah. Tindakan orang cina itu segera diikuti oleh para bajak laut lainnya. Ternyata orang Cina yang tinggi besar itu adalah pemimpin dari gerombolan bajak laut, bernama Tjek Sin Tju.

Semua para bajak laut yang menyerah segera dikumpulkan dan dikawal menuju kekota kembali.

Pertempuran itu berlangsung sampai pagi hari. Jumlah korban pada kedua belah fihak tidak sedikit. Dari para bajak laut terhitung lebih dari tigaratus orang meninggal dan tidak kurang dari duaratus luka-luka, sedangkan dari para Tamtama penyerang terhitung kira-kira seratus tigapuluh orang meninggal dan lebih dari seratus limapuluh orang luka-luka parah dan ringan.

Pasukan dengan dibantu oleh para pemuda desa dengan cepat mendirikan bangunan - bangunan darurat, disamping membikin betul bangunan - bangunan yang belum musnah termakan api. Para tawanan bajak laut dikumpulkan jadi satu dalam bangunan darurat yang besar dan dijaga kuat oleh para Tamtama. Sedangkan yang luka-luka segera diberi pera watan pengobatan seperlunya.

Dihadapan Indra Sambada, Tjek Sin Tju pemimpin bajak laut tadi menyatakan penyesalannya atas perbuatan-perbuatan yang telah dan berjanji akan selalu patuh, taat dan setia kepaa Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Kota Waringin. Ia berjanji pula bahwa selanjutnya akan bertanggung jawab penuh atas para anggota beserta keluarganya yang dibawah pimpinannya untuk menempuh penghidupan baru secara bertani atau berdagang yang wajar.

Ia mohon diberi ampunan dan mohon pula diijinkan menetap didaerah Pontianak, karena bagi mereka tidak ada kemungkinan untuk kembali ke negeri asalnya.

Mengingat akan kejujuran hati dari orang - orang Cina itu maka Indra Sambada mengambil keputusan yang sangat bijaksana. Seratus orang Cina dengan keluarganya diperkenankan menetap di Pontianak dan menjadi orang pribumi ditempat itu, sedangkan lainnya diperintahkan menetap didaerah desa Singkawang karena disana tanah yang subur untuk bertani masih sangat luas.

Orang pribumi Pontianak asli yang mengungsi, segera diperintahkan kembali. Scdangkan rumah- rumah dan ladang-ladang serta harta bendanya yang masih ada, dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing.

Sebagai tanda terima kasih atas kemurahan hati yang diberikan oleh Indra Sambada, para cina itu segera membagi-bagikan harta kekayaannya yang masih ada kepada para orang-orang pribumi asli yang kembali.

Tiga malam berturut-turut diadakan pesta kemenangan. Rakyat dari desa sekitarnya turut serta merayakan pesta kemenangan itu. Kini para bekas bajak laut yang menyerah beserta keluarganya, tidak lagi diperlakukan sebagai tawanan. Mereka diperkenankan ikut pula meramaikan perayaan yang dilangsungkan itu.

Sang Senonati Muda Manggala Tamtama samudra Gusti Bharatarajasa, tidak henti-hentinya memberikan pujian atas ketangkasan dan kebijaksanaan lndra Sambada. Beliau selanjutnya menyerahkan kuasa penuh kepada lndra Sambada dalam memimpin seluruh pasukan, serta me-ngatur daerah yang bru saja dibebaskan dari cengkeraman bajak laut itu …..

Kira-kira ampat bulan lagi musim barat daya akan bertukar dengan pasat tintur laut. Sambil menunggu datangnya pasat timur laut, untuk memudahkan dalam perjalanan pulang ke Majapahit, para tamtama bersama para rakyat diperintahkan oleh Indra Sambada mendirikan bangunan rumah-rumah baru serta jalan-jalan ke desa-desa sekitarnya secara gotong-royong.

Dengan demikian Pontianak menjadi kota ,yang indah kembali, bahkan lebih indah dari sebelumnya. Sampan - sampan dan perahu - perahu layar yang telah dibakar ataupun dirusak segera diperbaki kembali secara gotong royong pula. Tambak-tambak sungai diperbaiki dan diperkokoh uutuk mencegah banjir dalam musim hujan yang akan datang. Rakyat sangat menghormati dan menghargai akan keluhuran budi para Tam-tama Kerajaan Majapahit itu.

Demikian pula Tjek Sin Tju berserta para Cina yang berada dibawah pimpinannya. Sebagai tanda bukti kesetiaannya penghargaan yang tinggi terhadap Indra Sambada, Tjek Sin Tju memberikan sebuah boneka emas murni sebesar ibu jari kaki buatan negeri asalnya, yang didalamnya berisi dua butir pil obat pemunah segala macam racun.

Menurut keterangan Tjek Sin Tju sebutir pil apabila diminum, maka selama waktu lima tahun akan kebal terhadap serangan racun, baik yang meliwati peredaran darah karena luka, maupun yang melalui pencernakan.

Kini hujan mulai jatuh, pasat timur laut talah tiba. Pohon-pohonpun mulai bertukar daun. Seluruh pasukan tamtama kerajaan meninggalkan bandar Pontianak. Armada bergerak mengarungi samudra menuju kebandar Gresik untuk kemudian kembali kekota Kerajaan.

Setelah tiba di Kota Kerajaan Majapahit, Sri Baginda Mahara ja berkenan mengadakan pasewakan agung untuk menyambut kedatangan para tamtama berserta pimpinannya. Dalam pasewakan agung itu Gusti Bharatarajasa dan Indra Sambada menghaturkan laporan mengenai titah yang telah dijunjung tinggi dan dilaksanakan dengan sempurna.

*

**

B A G I A N V I

MENJUNJUNG TITAH Gusti hamba Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra, hamba berdua diperin.tahkan rnenjemput Gusti Tumenggung Manggala Indra, untuk menghadap segera kehadapan Gusti Senopati di Istana Senopaten — Kata-kata tersebut diucapkan oleh seorang diantara yang dua Tamtama pengawal Senopaten, yang, baru saja tiba, setelah turun dari kudanya asing-masing dan dengan langkah tegap menemui Indra, Sambada dipendapa tempat kediamannya.

Kata demi kata diucapkan dengan jelas dan ditutup dengan sembah sebagai penghormatan. Dengan sikap _tegap kedua Tamtama menunggu jawaban dari Indra Sambada.

Sesaat Indra Sambada diam sebagai patung, penuh diliputi pertanyaan dalam kalbunya, akan isi maksud dari panggilan yang tidak diduga terlebih dahulu.

Tetapi ia sebagai seorang satrya yang terlatih sempurna segera dapat menguasai dirinya.

— Tunggulah diluar ! saya akan berkemas dan segera ber-samamu menghadap Gusti Senopati. — Jawaban itu diucapkan singkat dan tegas, setelah mana Indra masuk kedalam untuk ganti dengan pakaian kcbesaran sebagai Manggala Muda Tamtama.

Kereta berkuda empat dengan kusirnya telah siap pula dihalaman depan, menanti perintah selanjutnya. Tidak lama kcmudian Indra Sambada langsung naik dalam kereta. Kusir segera menggerakkan cambuknya,dan terdengarlah suara cambukan mengampar diudara sabagai tanda aba- aba kepada dua pasang kuda yang menarik Kereta

— Cepat ! -- perintah Indra kepada kusir. Kereta berjalan dengan laju, melalui jalan besar yang menuju ke Mojo-Agung, dengan didampingi oleh dua tamtama pengawal Senopaten, berkuda disamping kanan kiri.

Waktu itu menjelang tengah malam. Awan tebal menggantung diangkasa. Bintang satupun tidak nampak kelihatan, namun hujan tidak turun juga.

Sebentar-sebentar terdengar guntur menggelegar diangkasa dan mengumandang jauh. Suasana disekelilingnya sunyi dan gelap gulita. Tetapi sang kusir kiranya telah faham sekali akan liku-likunya jalan yang harus dilalui.

Tiada seorangpun yang berbicara diperjalanan. Indra Sambada diam dalam kereta dengan rasa penuh kecemasan. Gerangan apakah yang menjadi sebab, hingga ia dipanggil untuk menghadap Sang Senopati pada tengah malam ini? pertanyaan itu selalu mengiang dalam angan-angannya. Tetapi tetap merupakan pertanyaan yang tidak dapat diljawab olehnya sendiri.

Dalam pasewakan agung siang tadi, ia baru saja berjumpa pula dengan Gusti Harya Banendra. Bahkan ia berkenan menerima pujian dan tanda jasa atas hasil yang gemilang dalam menunaikan tugasnya ialah menundukkan geromblan besar bajak laut Cina di Pontianak itu.

Setelah mendapat ketenangan sejenak ia mengatur pernapaan dan segera bersemadi untuk mendapatkan kekuatan bathin serta sinar penerang dari Yang Maha Agung. Sesaat dalam semadinya ia melihat Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra sedang duduk bersila dengan wajah yang muram dalam lamunannya. Kini ia tahu bahwa ada persoalan yang sangat rumit didepannya, tetapi soal apa, tetap ia belum dapat menebaknya.

Ia berusaha selalu untuk menenangkan dirinya dengan berulang-ulang bersemadi. Entah berapa lama sudah perjalanan yang telah ditempuhnya. Dengan keadaan dibawah sadar karena lamuaan, kini kereta telah memasuki Istana Senopaten alap-alaping ayudha.

Suara aba-aba dari Tamtama Istana yang memberi penghormatan padanya membuat ia terbangun dari lamunannya dan menyadarkan dirinya kembali. Pintu kereta dibuka oleh Tamtama pengawal dengan penghormatan yang layak, dan Indra Sambada segera bangkit dari tempat duduk untuk kemudian turun dari keretanya. Ia menyambut penghormatan Tamtama pengawal, dengan anggukan acuh tak acuh. Dan dengan langkah yang lebar ia memasuki pendapa agung dan langsung menuju keruangan tamu dalam Istana.

Gusti Harya Banendra kiranya telah duduk bersila menantikan kedatangannya. Setelah Indra Samhada menghaturkan sembahnya dengan penuh hormat, segera ia mengambil tempat duduk dihadapan beliau, dengan muka tertunduk.

— Hamba Indra Sambada memenuhi titah Gusti Hamba, telah menghadap. — Itulah kata-kata yang dapat diucapkan oleh lndra Sambada, dan kembaIi ia menundukkan mukanya.

Suasana sunyi sesaat, Sang Senopati tidak segera menjawab. Beliau memandang kearah Indra Sambada dengan sinar mata yang tajam. Terasalah oleh Indra Sambada suatu kekuatan perbawa yang disalurkan melalui sinar pandangan, sebagai tajamnya pisau yang menyayat menembus keulu hatinya. Cepat Indra Sambada bersemadi untuk memantulkan kembali kekuatan sinar pandangan yang diterimanya, dan tidak lama kemudian Indra mendengar helaan nafas panjang dari Gusti Harya Banendra.

— Indra Sambada, — pelan tapi cukup jelas Gusti Harya Banendra mulai bicara dengan nada yang berat

— Panggilan ini, sama sekali tidak ada hubungannya dengan tugasmu, tetapi semata mata sebagai ajah yang ingin mengetahui isi hati dari seorang putranya. — Beliau diam lagi sejenak dan kembali menghela napas yang dalam.

Kini Indra Sambada semakin tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh beliau. Ia mencoba meraba- raba isi maksud kata-kata Sang Senopati, tapi tetap tidak dapat menjawabnya.

— Ketahuilah, wahai Indra, — demikian beliau melanjutkan kata-katanya, — sejak kau pada waktu pertama kali menghadap, aku telah menjelaskan padamu, bahwa dalam hatiku kau kuanggap sebagai puteraku sendiri, dan kiranya memang harus demikian karena mengingat hubungan kekeluargaan mcndiang almarhumah Ibumu. Maka adalah seharusnya

73

kau berterus terang padaku dengan tidak usah menyembunyikan sesuatu rahasia, rasa malu atau segan terhadapku. Scbagai ayah, aku selalu berusaha untuk membimbing kau agar kelak menjadi seorang ksatrya yang dapat menjadi suri tauladan bagi lain-lainnya. Tetapi kiranya harapanku ini, kau tidak memperdulikan. — Kembali beliau diam scjenak dan menghela napas.

Kata-kata terakhir dirasakan oleh Indra Sambada sebagai petir yang menyambar kepalanya. Hampir- hampir ia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Kini dirasakan semakin tambah gelap dan pekak, karena sama sekali tidak tahu apa yang dimaksudkan beliau.

— Ramanda, Gusti hamba.— Indra memotong kata beliau dengan menyembah. — Hamba belum juga dapat menangkap isi maksud titah Gusti. Apabila hamba ba.buat sesu .tu kesalah-an, yang kiranya tidak hamba sadari, dan dapat diampuni, hamba bersedia untuk menerima pidana dari Gusti Hamba dengan tulus iklas. Tetapi agar hamba tidak merasa penasaran, kiranya perkenankanlah hamba molion penjelasan tentang kesalahan yang hamba telah perbuat itu.— Ia kembali menundukkan mukanya, dengan hati yang berdedar-debar menunggu jawaban Sang Senopati.

Sungguh aneh, apabila kau tidak tahu kesalahanmu. - Sang Senopati melanjutkan bicaranya dengan nada penuh marahan. — Sungguhpun perbuatanmu itu tiada pidana yang menghukummu, namun perbuatanmu adalah suatu perbuatan yang terkutuk. Ketahuilah, bahwa siksaan bathin akan merupakan nestapa yang lebih berat dari pada pidana lahir yang di-terima hanya memenuhi hukum praja.—

—Secepat beliia melontarkan , kemarahannya, secepat itu pula beliau berubah tenang kembali dan melanjutkan kata-katanya dengan nada yang berat, penuh rasa penyesalan. - Yah, ……. mungkin juga kau tidak sadar akan perbuatanmu itu.-

Sang Senopati segera menceritakan riwayat mala petaka yang menimpa keluarga ki Lurah Somad.

Tiga bulan yang telah, ki Lurah Somad meninggal dunia karena bunuh diri. 74

dengan keris pusakanya, dan satu bulan kemudian Nyi Lurah Somad menyusul suaminya bunuh diri pula dengan djalan minum racun.

Anak yang baru lahir ditinggalkan dengan sepucuk surat tertuju pada Indra Sambada yang isinya menyerahkan anak itu kepada Indra Sambada sebagai ayahnya yang sesungguhnya- Suatu fitnah yang amat keji dan sangat kejam terhadap dirinya. Dan …. suatu fitnah yang amat sukar untuk disanggahnya.

Sama sekali ia tak menduga, bahwa Sawitri yang ia anggap dengan tulus ikhlas seperti ibunya sendiri dapat berbuat sekejam itu.

Ia lebih rela untuk menerima tikaman tajamnya ujung pedang yang bersarang di uluhatinya, ataupun tertancapnya seribu anak panah di sekujur badannya dalam medan Yudha dari pada terkena fitnah yang demikian. Akan tetapi, …… apa daya. Dengan kata-kata saja tak mungkin ia dapat membantah tuduhan yang amat keji terhadapnya …..

Bahwa ia mencintai Sawitri Nyi Lurah Somad, memang benar. Dan ini diakuinya, akan tetapi, cinta sebagai anak terhadap ibunya, untuk berbuat yang demikian jauh sebagaimana dituduhkan padanya, ia tak mungkin sampai hati.

Budi baik dari Ki Lurah Somad dan kasih sayang dari Sawitri, melebihi dari segala-galanya. Semua itu selalu terngiang-ngiang.

Hatinya bergolak, namun tenggorokannya terasa kering dan tersumbat. Pandangan matanya menjadi kabur berunang kunang. Hampir indra Sambada jatuh pingsan ….. tidak sadarkan diri setelah mendengar dengan jelas apa yang telah terjadi atas keluarga Ki Lurah Somad. Dirasakannya kepala sangat pening, badan melajang ringan. Ia tak mampu menahan terkulainya badan. Sebagai seorang Senopati Manggala Yudha yang berilmu tinggi, beliau segera dapat membaca isi hati Indra Sambada.

Dengan kekuatan bathin yang disalurkan melalui getaran suara beliau segera dapat menyadarkan Indra Sambada. Kini beliau berbicara dengan penuh rasa haru — Indra putraku segala sesuatu telah terjadi. Menyesal dikemudian tak ada artinya. Yang penting adalah pemikiran untuk selanjutnya, dan akibat kesalahan yang kau perbuat hendaknya menjadi cambuk untukmu dalam menunaikan tugasmu sebagai seorang ksatrya. Ketahuilah, bahwa rahasia ini sesungguhnya hanya aku dan Tumenggung Sunata yang tahu. Kepada Sunata telah kuperintahkan untuk menutup rapat akan rahasia ini, demi menjaga nama baikmu, karena noda yang kau miliki adalah nodaku pula.

---Gusti hamba yang pantas hamba junjung — Indra Sambada berkata dengan mata berlinang menahan keluarnya air mata, — Hamba menyerahkan diri, dan pidana apapun yang akan dilimpahkan akan hamba jalani dengan tulus iklas. Hamba tidak akan dapat tenang, sebelum menerima pidana dari Gusti hamba. — Ia tak dapat berkata lain daripada itu.

Sedikitpun ia tak akan membantah fitnah yang amat keji, sebelum ia dapat membuktikan kebersihannya dengan menemukan ayah anak Sawitri yang sebenarnya. Ia telah bertekad untuk menelan mentah- menta semua tuduhan keji, demi menguji ketabahan diri, serta untuk menebus noda-noda yang mengotori dirinya.

– Cukup, cukup ! — Sang Senopati memotong pembicaraan Indra Sambacla. — Kini aku tahu bahwa kau telah mengakui kesalahanmu dengan ketulusan hatimu dan penuh penyesalan. Sedikitpun aku tidak ada niat untuk menjatuhkan pidana kepadamu. Hanya permintaanku, ke3alahan yang telah kau lakukan tak terulang lagi.

Dengan menyembah dan mencium lututnya Sang Senopati, Indra Sambada berkata — Budi kebaikan Gusti hamba yang tak ternilai, hamba tidak akan mampu membalasnya. Kini perkenankan hamba mengundurkan diri serta sembah hamba mohon disampaikan Gusti Ayu. –

Indra Sambada segera bangkit dan meninggalkan Istana Senopaten.

Dikala itu telah menjelang fajar. Awan gelap yang menggantung diangkasa kini telah tak nampak lagi, kiranya angin menyapu bersih, hingga langit kelihatan biru cerah penuh dengan bintang-bintang yang bergemerlapan.

Sampai dirumah Indra scgera masuk dikamar tidurnya. la merebahkan diri, tetapi sedikitpun rasa kantuknya tidak ada. Ia duduk kembali untuk kemudian bersemadi, mobon ampun kepada Sang Maha Agung.

Tetapi wajah Nyi Lurah Somad masih selalu nampak mengganggunya dalam ia bersemadi. Terkenanglah ia kembali akan ketulusan budi Nyi Lurah Somad pada waktu yang lampau. Ber-ulang-ulang surat wasiat itu dibacanya ……..

Yaa akupun sesungguhnya menghormati kau. Akan tetapi, mengapa kau demikian kejam

terhadapku - bisik suara hatinya.

Akan tetapi, …. untuk menghilangkan rasa kebaikan budinya, ternyata tak mudah sebagaimana ia kehendaki.

— Andaikan aku tak menetap dirumah Ki Lurah Somad malapetaka ini tentu tak akan terjadi- pikirannya. Dan kemudian dengan pelan ia mengucapkan doa untuknya: — Semoga Dewata Yang Maha Agung Mengampuni dosa dan kesesatanmu! — Pada dirinya sendiri ia berjanji, bahwa ia akan menutup rapat rahasia ini, walaupun ia harus mengorbankan nama baiknya. Dan iapun harus pula dapat menemukan ayah anak Sawitri yang sebenarnya.

Akan tetapi bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk mengiasyafkan serta membimbingnya ke arah yang benar, demi kelangsungan hidup dan nasib anak malang yang kini dituduhkan sebagai anaknya sendiri itu.

Suara ayam jantan sajup-sajup terdengar saut menyaut dari jauh yang kemudian lebih jelas terdengar karena diikuti oleh suara Ayam-ayam jantan yang berada disekitar kediamannya, suatu tanda bahwa sebentar lagi fajar akan menyingsing.

Hari berganti siang, dan siang telah berganti malam. Indra Sambada masih saja tenggelam dalam lamunannya. Satu hari tadi hidangan makanan yang disediakan untuknya, sedikitpun tidak dijamah. Pesan ayah dan Guru Pendetanya kini mengumandang kembali dalam lamunannya-wahai lndra keluhuran manusia ditentukan oleh budi pekerti dan perbuatannya, bukan karena daerah keturunan ataupun pangkat yang dipangkunya.

Sungguhpun perbuatan manusia selalu ada_khilafnya kare na memang tidak ada manusia yang sempurna, tetapi tiap-kekilafan hendaknya cepat disadari dan segera diimbangi dengan perbuatan - perbuatan amal kebajikan, sebagai mana kau pelajari dalam kitab Niti.— 

Getaran suara dalam lamunan itu merupakan pelita dalam kegelapan. Segera Indra Sambada sadar kembali.

Dengan ketetapan hati ia berniat akan meninggalkan sementara, segala kemewahan dan kenikmatan hidupnya untuk mengembara menyebar amal kebajikan serta mencari tambahan ilmu. Serta untuk mencari jejak siapa pembunuh keluarga Ki Lurah Somad dan yang telah menfitnahnya.

Dengan tidak ragu-ragu lagi ia menulis sepucuk surat tertuju kepada sang Senopati Gusti Harya Banendra, yang isinya, ia mohon untuk diperkenankan menanggalkan pangkat Tamtamanya, dan akan mengembara selama 3 tahun sebagai penebus dosa yang telah diperbuatnya, pula untuk rnencari ilmu yang 1lebih mendalam.

Sebagai penutup kata ia mo'non doa restu dari beliau dan segenap priyagung Kerajaan, dengan berjanji akan tetap menjunjung tinggi janji pastinya — panca setia Tamtama — sebagai seorang Tamtama Kerajaaan. Kelak apabila diijinkan ia akan kembali dalam pangkat dan kedudukannya. Surat yang telah ditutup rapat segera diberikan pada Lurah Tamtama Sampar, seorang kepala penjaga Senopaten kediamannya, yang menjadi kepercayaannya, dengan pesan agar besok setelah fajar merekah disampaikan pada alamatnya—

Lurah Tamtama Sampar berbadan tegap serta berwajah tampan. Ia adalah seorang pendiam dan amat rajin dalam melakukan tugasnya.

Karena jasa-jasanya dan selalu menunjukkan kesetiaannya, ia diangkat sebagai Kepala pengawal Senopaten serta merangkap sebagai pembantu pribadi Indra Sambada, dengan pangkat Lurah Tamtama.

Untuk tidak mencurigakan ia meninggalkan tempat kediamannya pada malam itu dengan berkuda. Ia berpakaian ringkas sederhana dengan membawa uang mas dinar dan berlian milik seniiri sekantong penuh, untuk akan dibagikan kepada rakyat miskin yang dijumpainya dalam pengembaraan. Keris pusakanya tidak ketinggalan pula diselipkan dipinggang kiri.

Ditimur sejauh mata memandang, matahari mulai terbit mernancarkan sinar emasnya dengan warna ke merah-merahan. Tanda fajar pagi telah menyingsing. Suara burung-burung berkicau didahan pohon yang rindang terdengar sebagai irama alam. Angin basah meniup pelan, membuat hawa sejuk segar.

Pepatah mengatakan, seribu pujangga tak akan mampu melukiskan dengan sempurna keindahan alam diwaktu fajar. Pada hal ini hanya merupakan debu percikan dari pada Kebesaran Tuhan yang Maha Esa.

Indra Sambada turun dari kudanya dan menambatkan kudanya dipohon yang berada ditepi jalan. Ia duduk ditanah rumput dan bersandar pada pohun munggur yang rindang, untuk melepaskan lelahnya. Semalam suntuk ia berkuda mengikuti lereng-lereng pegunungan Kendeng, dan kini ia telah sampai dikaki Gunung Pandan, diujung desa Rengga. Tidak ingat lagi berapa desa ia telah melaluinya.

Belum juga ia sempat mengatur nafas untuk bersemadi, tiba-tiba dari jauh sayup-sayup terdengar suara orang bersenandung merdu sekali. Sungguhpun suara hanya terdengar samar-samar, namun kata demi kata dalam rangkaian tembang itu terdengar jelas sekali. Dapat diperkirakan bahwa orang bersenandung itu tentu mempunyai kesaktian ilmu yang tinggi dalam mengirimkan suara dari jarak jauh. Semakin lama suara itu terdengar semakin mendekat, dan lebih jelas lagi. Lelahnya lenyap seketika, karena pusat perhatian Indra kini diarahkan kesuara lagu tembang mijil, yalah lagu nyanyian rakyat jelata yang datang dari kejauhan tadi. Dengan jelas ia mendengar bahwa rangkaien kata-kata sederhana dalam tembang mijil itu, merupakan sindiran langsung baginya. Peristiwa yang sedang dialaminya, diuraikan lewat dendang yang merdu itu. Pada lagu bait ketiga, baru ia mengetahui bahwa asal suara adalah dari orang yang berada didalam gerobag pedati, yang kini sulang berjalan pelan menuju kearahnya.

Ditengah-tengah suara orang yang sedang bersenandung, terdengar pula suara anak kecil yang sedang mengemudikan sepasang sapi yang menarik pedati itu.

Ja ….. jak …… jak ……  her!

Ayoooooooooohh !t dan sebentar-sebentar diselingi suara cambuk yang diayunkan dengan

tangkasnya. —Tar,tar!—

Gerobag pedati berjalan terus menuju kearahnya, dan kini jarak dari padanya tinggal kurang lebilt limapuluh indak lagi. Suara orang yang bersenandung masih tetap mengalun dan kini tiba pada bait keempat.

Tergeraklah hatinya ia ingin tahu orang yang sedang ber-dendang dalam gerobag pedati itu, Indra Sambada segera bangkit berdiri untuk memperhentikan jalannya gerobag pedati.

— Bapak yang berada didalam gerobag! Sudilah kiranya memberhentikan gerobagmu sebentar! Saya ingin turut menumpang dalam gerobagmu!—

— Silahkan jika mau. Saya tidak berkeberatan, — demikian jawaban orang dari dalam pedati dengan singkatnya.

— Tolonglah tunggu sebentar pak! saya akan melepaskan tambatan kudaku lebih dahulu.—

Gerobag pedati berhenti, dan Indra segera melepaskan tambatan kudanya. Ia menuntun kudanya dan untuk kemudian mengikatnya dengan tali lis dibelakang gerobag itu. Dengan satu lompatan Indra Sambada telah berada didalam gerobag pedati, dan segera mengambil tempat duduk diatas jerami kering yang berserakan berada didalam gerobag itu.

--- Maafkan, siapakah nama Bapak jika saya diperkenankan bertanya?— Dengan penuh kesopanan Indra Sambada mulai bicara.

— 0 Raden, nama saya sebenarnya tidak ada artinya, tapi orang-orang yang mengenalku

rnenamakan diriku Kyai Tunggul Jawab Kyai Tunggul dengan tenangnya. — Bapak Kyai Tunggul! Indra mengulangi kata-kata itu: — Maafkan saja yang sangat bocloh itu, pak Kyai. Nama bapak Kyai telah teiah terkenal luas, dan saya telah pernah pula medengar nama kebesaran bapak Kyai dari kangmas Sunata , tetapi karena belum pernah berjumpa sendiri, maka maafkan lah atas kekilafan saya ini.— indra Sambada berkata sambil menundukkan mukanya sebagaimana lazimnya seorang muda menghormati orang tua.

— Ah, Raden tidak perlu menghormat saya secara demikian. Bahkan seharusnya sayalah yang harus menghormati Raden, karena berpangkat tinggi. Sebutlah saja untuk seterusnya Bapak saja, tak usah memakai sebutan-sebutan lain— Kiai Tunggul memotong.

— Jika demikian sebaiknya bapak memanggil saja cukup dengan nak Indra saja, agar sayapun tidak merasa canggung karenanya. Tadi jika saya tidak salah dengan bapak bersenandung tembang mijil, yang isinya adalah merupakan sindiran langsung bagi diri saya. Dari manakah bapak mengetahui akan kisah saya yang memilukan itu ?—.

— Oh, itu. Maafkan terlebih dahulu anakmas, apabila nakmas merasa tersinggung akan uran-uran saya tadi. Sebenarnya saya melihat nakmas dari jauh sebagai orang yang sedang sedih dirundung malang, lalu saya melagukan mijil dengan khajalan yang tidak menentu arah dan artinya....

— Akan tetapi itu semua bukan kajal pak! dari bait pertama sampai terakhir adalah sungguh-sungguh terjadi pada diriku—, Indra Sambada tak sabar menunggu pembicaraan Kjai Tung-gul yang belum selesai itu dan segera memotongnya.

— Ah janganlah soal itu dipersoalkan nakmas, orang hidup sebaiknya memikirkan

kelancljutannya, dan bukan hal-hal yang telah terjadi:.–

Kjai Tunggul usianya mendekati enampuluh tahun. Orangnya kurus dan tingginya sedang. Karena tidak memakai baju atas, maka kelihatan tulang-tulang iganya menonjol. Ia memakai celana hitam panjang sampai dibawah lututnya. Kain Sarung yang dilipatkan diperutnya telah kumal pula Ikat kepalanya hitam. Kumis dan jenggotnya putih beruban dan tumbuh jarang-jarang sekali, panjang tudak terumat sinar matanya bersih dan tajam. Kyai Tunggul terkenal sebagai dukun akhli mengobati ber macam - macam penyakit.

Namanya telah tersiar luas hingga dikota Kerajaan. Sering pula ia didatangkan oleh para bangsawan yang berpangkat tinggi di Kerajaan untuk mengobati dan pada umumnya ia selalu berhasil dalam menunaikan amalnya.

Tapi ia mempunyai sifat-sifat yang sukar dimengerti. Para bangsawan yang memberi upah padanya, banyak pula yang ditolak, tapi ada pula, yang diterima dengan riang hati.

BERSAMBUNG JILID II
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar