Pendekar linglung Jilid 8

 
Jilid VIII

MEMANGLAH Kapten Tack tak mau mengambil keputusan dengan begitu saja. Semua keputusannya tentu telah diolah dahulu baik buruknya dan untung ruginya. Karena ketelitian dan ketekunannya ini maka bangsa Belanda tak ragu-ragu umuk menyematkan pangkat Kapten dipundaknya.

Kira-kira sepeminuman teh kemudian terdengarlah helaan napas panjang dari Kapten Tack. Dan tak lama kemudian terdengar pula jawabannya :

“Memang kedudukan kita ini serba sulit! Perkara Pangeran Purboyo belum selesai telah ditambah lagi dengan pemberontakan si Untung itu. Pusing aku kalau memikirkan hal-hal yang bertumpuk-tumpuk itu. Namun kita harus dapat menyelesaikan salah satu dahulu.”

“Benar....... benar....... akupun setuju dengan pendapat Kapten Tack, sebab tak mungkin dua buah pekerjaan dapat kita selesaikan dalam

336 sekaligus. Tapi manakah yang lebih mudah kita selesaikan itu??” Tanya Is de Sain Martin.

“Kalau menurut berita yang kudengar maka yang lebih mudah kita selesaikan terlebih dahulu adalah si Pangeran Purboyo. Apakah Kuffler telah jadi berangkat?” seru Joker menguraikan pendapatnya.

“Benar, Pangeran Purboyo lebih ringan daripada meringkus Untung dan siasat kita dahulu tetap kita pakai. Dan orang satu-satunya yang tepat untuk disuruh hanyalah Kuffler itu. Sayang sekali pemberangkatan Kuffler dulu itu tertunda oleh datangnya serangan pemberontak.” Jawab Edeler Moor.

“Nah, akupun setuju!” Jawab Kapten Tack.

“Hahhh....... heeeehhhh...... heeeehhh...... perkenankanlah aku berbicara sebentar, tuan-tuan.” Seru Baurekso sambil tertawa.

“Bicaralah Ki Baurekso!” Kata Joker sambil mengangguk-anggukkan kepalanya yang besar itu.

“Terima kasih...... terima kasih...... tuan-tuan sekalian, kalau menurut pendapatku kita lebih baik mengumpulkan orang-orang sakti lagi. Sebab dipihak pemberontak telah bercokol pula si Topeng Merah dan Pendekar Budiman. Bukankah dengan mengadakan himpunan orang-orang gagah maka kedudukan kita akan bertambah kuat??”

“Hiehaahh........ eeehhh....... heeehhh....... apakah kau sekarang telah

menjadi penakut, Baurekso?? Hehhh...... ehahhh....... hehhh...... kalau kau takut mampus minggir saja.” Ejek Klabang Songo.

“Kentut busuk! Kentut....... mana aku takut mampus?? Tapi aku ini hanya mengusulkan saja. Ketahuilah kalau mati dalam palagan itu lebih terhormat daripada mati diatas tempat tidur. Apalagi mati dipelukan wanita.”

“Bagus kalau demikian! Memang kita perlu banyak bantuan dari orang-orang gagah! Namun siapakah yang perlu kita hubungi?? Tanya Edeler Moor.

“Inilah yang susah! Dan lagi apakah memang telah perlu betul?? Seru Klabang Songo. Memang kakek tua ini tak begitu senang kalau tambah kawan. Sebab diam-diam kakek ini takut kalau dapat disaingi oleh orang lain. Kalau saja Belanda mempunyai pembantu yang baik maka banyak kemungkinan dirinya akan diremehkan oleh penjajah ini. Sedangkan ia tahu bahwa ditanah Jawa ini banyak sekali tokoh-tokoh sakti yang menyembunyikan diri dan tak mau memperlihatkan kesaktiannya.

Baurekso tahu akan perasaan yang disandang oleh sahabatnya ini. Memang semenjak mereka muda kedua orang tua ini telah bersahabat baik. Hingga satu sama lain telah memahami akan sifatnya masing-masing. Dengan demikian pertapa gunung Merapi itu hanya tersenyum saja.

Sewaktu mereka itu sedang bercakap-cakap maka masuklah seorang serdadu Belanda yang bertugas menjaga keamanan didepan benteng. Begitu masuk penjaga tersebut terus menghadap ke Edeler Moor.

337 “Hei...... bukankah kau ini penjaga depan benteng yang bertugas hari ini??” Tanya Edeler Moor kepada penjaga yang masuk itu.

“Benar, tuan!” Jawabnya dengan penuh hormat.

“Mengapa kau masuk tanpa kupanggil? Apakah ada berita penting yang akan kau sampaikan kepada kami??” Kembali Edeler Moor bertanya.

“Yah demikianlah! Memang kami membawa berita penting bagi tuan- tuan sekalian........

“Lekas katakan berita apa yang kau bawa itu!” Seru Kapten Tack dengan tak sabar.

“Baik...... didepan menunggu dua orang pendeta yang akan masuk dan menghadap kepada Edeler Moor. Kedua orang pendeta itu boleh masuk atau tidak!” Jawab penjaga itu dengan lantang.

Mendengar perkataan si penjaga itu maka mereka semua lalu saling berpandangan satu dengan lainnya. Rata-rata mereka sedang menebak siapa yang datang itu. Namun tiba-tiba saja terdengar perkataan Joker.

“Siapakah mereka itu? Dan apakah maksudnya??

“Kami tak mengetahui namanya dan tentang maksudnyapun kami tak tahu! Mereka hanya bilang kalau akan menghadap kepada Edeler Moor.” Jawab penjaga dengan tegas.

Mendengar jawaban dari petugas ini makin bingunglah mereka itu. Seketika itu juga dari wajah mereka tampak semburat merah tanda kalau hatinya sedang tegang. Namun tiba-tiba saja terdengarlah suara Klabang Songo yang memecah kesunyian :

“Huahahhhhh...... mengapa harus berdiam diri? Suruh mereka masuk! Takut apakah dengan kedua orang pendeta itu? Biar aku nanti yang membereskan andaikata mereka itu tak mempunyai aturan dan akan mengacau.”

Bersama dengan lenyapnya perkataan tokoh tua dari Alas Roban itu maka terdengarlah perkataan Edeler Moor yang lantang itu :

“Lekas suruh mereka masuk kedalam.” “Baik!” Jawab penjaga yang terus pergi keluar.

Sesaat mereka itu kembali tenang dan memikirkan siapakah yang berani masuk kedalam mulut harimau ini. Dengan secara tak sadar mereka semua telah meraba-raba gagang senjatanya. Urat-urat tangan telah menegang dan siap sedia mencabut senjata.

Namun betapa tercengangnya setelah melihat kedua orang pendeta yang datang itu. Ternyata yang datang itu adalah pendeta-pendeta yang belum mereka kenal. Bahkan baru melihat sekali ini.

“Betulkah kalian datang untuk menghadapku?” Tanya Edeler Moor kepada kedua orang yang baru datang itu.

“Siapakah kau? Kami datang kemari untuk menghadap Edeler Moor.” Jawab salah seorang dari mereka itu.

“Apakuh maksudmu mencari Edeler Moor??” Tanya Edeler Moor dengan pandangan penuh selidik dan kecurigaan.

338 “Kami tak mau mengatakan apa kehendakku ini selain kepada Edeler Moor. Lekas kami harap kalian suka menghadapkan kami kepada orang yang kami cari itu.”

“Bangsat kurang ajar! Apakah kau telah bosan hidup??” Tanya Baurekso dengan marah.

“Hehhhhhh..... Hehhhhhh...... Hehhhhh...... kiranya orang buntung ini berdarah panas juga.” Seru salah seorang dari mereka itu dengan menatap wajah kawannya.

Bukan main marahnya hati Baurekso setelah mendengar ejekan dari orang yang belum dikenalnya itu. Seketika itu juga darahnya terus naik dan tanpa mengeluarkan suara ataupun peringatan terus menghantam kepada si pembicara tadi.

Wuuussstt...... akan tetapi dengan tenang orang yang dipukul itu terus menerima pukulan dengan tangannya yang digerakkan hingga dengan demikian terdengarlah suara letusan dan akibatnya keduanya sama-sama tersurut mundur dua langkah.

Bukan main terkejutnya hati Baurekso melihat kejadian ini. Ia benar- benar menjadi penasaran setelah mengetahui kalau tenaga dalam lawannya itu tak kalah dengan tenaga dalamnya sendiri. Karena rasa penasarannya inilah membuat pertimbangannya menjadi limbung. Dengan tanpa banyak cakap lagi terus menerjang kearah lawan.

Akan tetapi bersama dengan itu terdengar pula teriakan Kapten Tack : “Berhenti! Ada urusan dapat diurus!”

Mendengar perkataan orang Belanda ini mau tak mau mereka itu lalu membatalkan niatnya untuk saling bergebrak. Untuk melepaskan rasa penasarannya itu Baurekso hanya bergumam pendek :

“Coba tak dilarang sudah remuk kepalamu.”

“Mungkin kepalamu dahulu yang menggelundung diatas tanah.” Balas lawannya.

“Hehhh pendeta ugal-ugalan, apakah kedatangan kalian ini hanya untuk mengacau saja??” Teriak Joker dengan keras.

“Siapakah kau ini??”

“Aku Joker! Kapten tentara Belanda.”

“Okh....... maaf kan Kapten, dan dapatkah aku bertemu dengan Edeler Moor? Jawabnya dengan tenang.

“Apakah matamu telah buta, hai pendeta gila! Ketahuilah orang yang berada dihadapanmu itulah yang berpangkat Edeler dan bernama Moor!” Seru Joker sambil menunjukkan jari telunjuknya kearah Edeler Moor.

Kagetlah kedua orang pendeta itu setelah mengetahui bahwa orang yang dicarinya itu ternyata telah berada hadapannya sendiri. Bahkan orang pertama yang menegurnya. Namun kedua orang pendeta itu adalah orang- orang yang mempunyai tenaga dalam dan ilmu kebatinan yang kuat, hingga goncangan hatinya itu tak berjalan dengan lama.

“Maafkanlah atas kekurangajaranku tadi Edeler!”

339 “Katakanlah apa yang menjadi kehendakmu menghadapku!” Jawab Edeler Moor dengan tanpa memperhatikan perkataan orang.

“Terus terang saja Edeler, kami datang untuk bergabung dengan para perajurit Belanda. Terangnya saja kamu ingin menjadi perajurit. Apakah Edeler dapat menerima kami berdua??”

Perkataan ini tak pernah di duga sebelumnya oleh orang-orang Belanda itu. Akan tetapi mereka itu belum mau percaya begitu saja kepada keterangan yang diberikan oleh kedua orang pendeta itu. Dan terdengarlah perkataan Joker :

“Apakah kau ingin betul-betul menjadi perajurit??” “Ya begitulah!” Jawab mereka dengan serentak.

“Apakah yang mendorongmu ingin menjadi perajurit Belanda? Atau kalian hanya ingin memata-matai gerakan kami, hehhh?!” Seru Is de Sain Martin dengan keras.

“Jangan asal bicara saja! Kami benar-benar ingin menjadi perajurit.

Kau kira apakah kami ini?” Jawab pendeta itu dengan lantang.

“Bangsat, kalau bicara yang sopan sedikit!” Teriak Aru Palaka dengan geram dan jengkel.

“Siapakah nama kalian berdua?” Tanya Edeler Moor dengan memandang tajam-tajam kearah mereka itu.

“Kumborono!” “Aku Kridopaksa.”

Memanglah kedua orang pendeta yang akan menggabungkan diri dengan Belanda itu adalah pendeta-pendeta cabul yang berhasil memperkosa Ariyani. Dan karena mereka itu tak mempunyai tempat tinggal dan ingin aman serta hidup mewah lalu memutuskan untuk menjadi perajurit Belanda dan hidup senang didalam benteng.

“Jadi nama kalian Kumborono dan Kridopaksa?” Seru Kapten Tack. “Ya, demikianlah.”

“Namun ketahuilah ki sanak kalau kau ingin jadi perajurit itu tak semudah kau membalikkan telapak tangan. Kau harus diuji terlebih dahulu nanti dapat ditempatkan digolongan mana kalau kau diterima. Apakah kalian sunggup?” Tanya Klabang Songo.

“Kami sanggup diuji! Siapakah pengujinya?” Jawab mereka dengan serentak dan terus memandang kearah Klabang Songo.

Mendengar perkataan mereka itu para bangsa Belanda terus saling berpandangan. Mereka itu benar-benar tak mengerti apa yang dimaksud dengan perkataan si Klabang Songo itu. Namun mereka itu yakin dan tahu akan kesetiaan orang tua itu kepada mereka. Hingga dengan demikian mereka itu tetap tenang dan membiarkan Klabang Songo menguji calon perajuritnya. Bukankah sudah umum kalau akan menjadi perajurit harus diuji terlebih dahulu??

“Ujian yang akan kalian tempuh adalah ujian ketangkasan, kepandaian dan lain-lain lagi. Apakah kalian sanggup??” Tanya Klabang Songo kepada mereka. 340 “Jangan banyak bicara lekas kalian uji kami.” Seru Pendeta Kumborono dengan tak sabar.

“Bagus, kalau demikian mari kita keluar.” Setelah berkata demikian maka berkelebatlah tubuh Klabang Songo dan terus mencari tempat yang luas diluar halaman benteng itu.

Mengetahui kalau pengujinya telah keluar maka cepatlah Pendeta Kumborono dan Pendeta Kridopaksa lalu mengikutinya. Sedangkan para tokoh yang berada didalampun ikut keluar untuk menyaksikan kepandaian calon kawannya itu.

Sesampainya diluar Klabang Songo lalu duduk dan melipat tangannya, serta memejamkan matanya. Tampaklah kalau kakek tua dari Alas Roban itu sedang bersemedi.

Melihat kalau pengujinya ini bersemedi maka kedua orang pendeta itu saling berpandangan dan mereka tersenyum sendiri. Akan tetapi mereka tak berani mengusiknya, sebab kedua orang pendeta cabul itu maklum bahwa kakek tua ini tentunya seorang tokoh yang sakti pula. Kalau ia tak sakti mana berani menguji kepandaian mereka.

Pendeta Kridopaksa yang lebih tua terus menirukan pekerjaan Klabang Songo. Sebentar saja iapun telah khusuk dalam persemediannya. Sedangkan Pendeta Kumborono malahan lebih tercengang dan heran melihat tingkah laku kedua orang tua-tua itu.

Sampai lama keduanya khusuk dalam persemediannya, dan keduanyapun tak bergerak-gerak. Sampai sepenanak nasi lebih mereka tetap dalam keadaan yang tak berubah. Hingga hal ini menjengkelkan mereka yang ingin cepat menyaksikan. Terutama sekali para muda-muda dan Pendeta Kumborono.

“Huahhhh.   katanya akan menguji tapi mengapa malahan tidur! Tidur

mendengkur bagaikan pemalas.”

“Apakah hasilnya kalau ujiannya demikian? Memang aneh sekali bapa guru ini. Akh, kalau hanya begini saja maka orang bunting saja dapat.” Gerutu Klabang Ungu.

“Memang guru kita kadang-kadang beradat aneh. Mungkin ini salah satu dari keanehan itu, adi!” Jawab Klabang Abang.

“Huahaaahaaa...... Huahaahaaaa...... Huahaahaaa....... perlombaan tidur yang menjemukan sekali. Hayo siapa yang menang akan mendapat hadiah bantal yang empuk dan guling besar. Huahaaahaaaa........ Huahaaahaaa.........

Huahaaahaaa........ lucu....... lucu..... kakek yang telah pikun maka lupa akan perkataannya sendiri.” Seru Undang Kalayaksa dengan tertawa lebar.

Mendengar perkataan Undung Kalayaksa ini mau tak mau mereka semua juga ikut tertawa geli. Memang menggelikan keadaan kedua orang kakek itu.

Kedua orang kakek yang terus-menerus diejek itu tak menghiraukan keadaan mereka. Keduanya tetap khusuk dalam persemediannya. Kalau sih mereka mendengar ejekan itu maka cepat-cepat membuangnya jauh-jauh.

341 Orang-orang Belanda itupun makin lama makin tak sabar, tiba-tiba saja terdengarlah suara...... daaarrrr, dan ternyata suara itu adalah suara letusan bedil Joker yang tak sabar lagi menantikan kekonyolan kedua orang kakek itu.

Lain halnya dengan Baurekso, ia sebagai tokoh tua maka tahu bahwa rekannya ini sedang menguji kesabaran dari Pendeta Kridopaksa. Akan tetapi ia tak mau mengatakan kepada Pendeta Kumborono.

Pertapa dari gunung Merapi itu terus mengikuti jalannya persemedian mereka itu dengan seksama. Sedikitpun Baurekso tak menghiraukan kekesalan mereka yang melihat. Bahkan ledakan bedil Joker itupun tak mengagetkan dirinya.

“Gila....... gila...... mengapa ujiannya hanya begini macam? Lalu bagaimanakah aku dapatnya memperlihatkan kepandaianku ini?” Seru Pendeta Kumborono dengan lantang.

“Huhh, bosan aka melihatnya!” Seru Undung Kalayaksa sambil mendorong tubuh Pendeta Kridopaksa dengan tenaga sepenuhnya. Akan tetapi tiba-tiba saja terdengarlah jeritan kaki tangan Belanda itu :

“Ayaaaaaa!!!” Bersama dengan terdengarnya teriakan itu tampaklah kalau tubuh Undung Kalayaksa terpental membalik. Seakan ada sebuah tenaga kuat yang melontarkan tubuhnya.

Setelah menenangkan pikiran dan mengatur pernapasannya berkatalah Undung Kalayaksa dengan mengeleng-gelengkan kepalanya :

“Sungguh hebat........ hebat sekali! Tak kusangka kalau pendeta ini mempunyai tenaga dalam yang sedemikian kuatnya.”

Mendengar perkataan Undung Kalayaksa ini mau tak mau lain-lainnya menjadi heran. Sebagian besar mereka itu telah maklum akan kesaktian Undung Kalayaksa. Akan tetapi kalau Undung Kalayaksa yang telah demikian gagahnya masih memuji kepandaian pendeta itu maka dapatlah dibayangkan betapa tingginya kepandaian Pendeta Kridopaksa itu.

Tiba-tiba saja mereka itu dikejutkan oleh terdengarnya suara ki Klabang Songo.

“Ternyata kau mempunyai kesabaran yang cukup baik, ki sanak! Lain dengan kawanmu itu. Biarpun mempunyai kepandaian tinggi tapi kalau kurang mempunyai kesabaran maka kepandaian itu akanlah kurang sempurna. Sebab kesabaran adalah pangkal kewaspadaan. Bukankah begitu, ki Kridopaksa?”

“Ya........ Ya........ memang demikianlah! Kesabaran adalah pangkal kewaspadaan. Sekali orang dapat dikuasai oleh nafsu maka lenyaplah kewaspadaannya, padahal kewaspadaan sangatlah penting untuk dipergunakan menghadapi lawan. Terlebih-lebih lawan yang tangguh.”

“Bagus! Nah kalau dapat menerima pukulanku maka kau patut menjadi kawan kami, akan tetapi kalau kau tewas janganlah menyalahkan aku si orang tua.” Sambung Klabang Songo sambil menatap wajah lawannya dengan tajam-tajam.

342 “Huahahaa....... huahahaa....... huahahaa.      andaikata aku gagal, aku tak

akan menyesal, ki sanak. Nah, aku telah siap!” Serunya sambil merentangkan kakinya dan membuat kuda-kuda.

Tanpa banyak cakap lagi maka Ki Klabang Songo lalu meloncat keatas dan berjumpalitan beberapa kali diudara. Setelah kepalanya berada dibawah maka tubuh yang sedang melayang turun itu bagaikan ada yang memeganginya. Hingga turun dengan pelan-pelan. Praaakk batu

gunung yang berada dibawah itu hancur lebur setelah kejatuhan kepala Ki Klabang Songo.

Pelan-pelan orang tua dari Alas Roban itu mulai mengerahkan ilmunya, ilmu Sungsang Maruto. Tangan dan kakinya telah mulai bergerak- gerak dengan cepat. Hingga angin dingin terus menyambar-njambar kesemua penjuru.

Melihat kalau orang tua ini telah mengetrapkan puncak ajinya maka semua yang melihat menahan napas, seakan-akan mereka itu melihat kuku-kuku Hyang Jamadipati yang siap sedia mencengkeram nyawa Pendeta Kridopaksa.

Tiba-tiba....... Ciiiaaattttt....... Deesssttttt...... kedua tangan dan kaki Klabang Songo memukul tubuh Pendeta Kridopaksa dengan kekuatan penuh dan menuju kearah yang mematikan.

Bersama dengan itu terpentallah tubuh Pendeta Kridopaksa, melayang-layang bagaikan layangan putus diudara. Akan tetapi begitu tubuhnya jatuh ditanah Pendeta Kridopaksa ini tetap berdiri diatas kuda- kudanya. Hanya disudut bibirnya terlihat tetesan darah merah.

“Bagus........ bagus...... ternyata kau mempunyai kegesitan yang mengagumkan sekali, ki Kridopaksa. Tak percuma aku mempunyai kawan segagah kau ini. Eehh........ Edeler kawan ini patut menjadi pembantu kita. Selain gagah iapun kelihatan mempunyai kecerdikan.” Seru Klabang Songo dengan girang.

Memanglah sewaktu Pendeta Kridopaksa tadi menerima pukulan dari ki Klabang Songo, ia lalu melemaskan otot dan memindah jalan darah serta mengosongi tubuhnya. Hingga begitu kena pukul sang pendeta lalu meminjam tenaga lawan untuk melontarkan tubuhnya keatas. Namun sayang ki Klabang Songo itu terlalu keras hingga dadanya ikut tergetar dan dari mulutnya mengeluarkan darah beberapa tetes.

Untung saja Pendeta Kridopaksa ini mempunyai kepandaian yang tinggi pula dan sebelumnya ia telah melambari semua tubuhnya dengan tenaga dalam sepenuhnya hingga ia mampu menahan serangan maut itu. Andaikata lain orang maka akan hancur leburlah tubuh yang kena pukul ilmu Sungsang Maruto itu.

Sedangkan orang-orang yang menyaksikan jalannya ujian itu terus melongo dan memandang kagum kepada Pendeta Kridopaksa. Para Belanda menjadi girang mendaapat pembantu yang sakti ini.

“Kau telah lulus dari ujian maka mulai saat ini juga kau akan kuangkat menjadi perajuritku pula.” Seru Edeler Moor dengan girang. 343 “Benar, kau harus memperkuat pertahanan benteng ini.” Sambung Is de Sain Martin.

“Tapi yang satu belum diuji kepandaiannya. Apakah kita tak perlu mengujinya? Teriak Klabang Abang sambil memandang kearah Pendeta Kumborono.

“Siapa bilang tak perlu? Semuanya harus diuji dahulu. Teraik Aru Palaka dengan melototkan pandangannya.

“Betul! Untuk adilnya semua diuji. Tapi aku tak mau menguji kepandaian ki sanak ini. Biarlah ujian selanjutnya akan kuserahkan kepada Baurekso sahabatku. Apakah kalian setuju?” Kata Klabang Songo dengan lantang.

“Siapa saja yang menguji bagi kami sama saja. Nah lekas kerjakan.” Seru Kapten Tack yang telah tak sabar lagi untuk mengetahui kesaktian calon pembantunya ini.

“Hiahaaaaa...... heeeeehhhh........ hehhhhh...... terima kasih.      terima

kasih...... Nah, beranikah kau menghadapi ujianku ini, ki Kumborono?” Tanya Baurekso yang terus memandang Pendeta Kumborono.

“Huhhh, mengapa harus takut menghadapimu, buntung?” Jawab Kumborono dengan sengaja menyebut buntung. Sebab ia merasa tersinggung setelah ditanya dengan perkataan berani.

“Huaaahhh...... belum-belum kau telah menghinaku. Heh Kumborono pertandingan kali ini akan kuadakan diatas ujung tombak. Siapa yang turun dari ujung tombak akan dianggap kalah. Entah kau berani atau tidak terserah. Pokoknya aku menguji demikian.” Setelah berkata demikian maka Baurekso lalu mengambil tombak sebanyak lima belas buah, dan terus menancapkan pangkal tombak itu kedalam tanah. Hingga yang kelihatan hanya ujung-ujung runcing dan tingginya kurang lebih seperempat tombak tadi. Setelah kelima belas tombak tadi menancap ditanah maka berkatalah orang buntung itu :

“Mari kita bertempur diatas tombak ini! Siapa yang kalah harus berani mengakui kekalahannya. Dengan syarat kita tak boleh merusak atau mematahkan tombak yang sedang dipijak oleh lawannya. Heh, apakah kau berani?.

“Kumborono tak mengenal perkataan takut! Mari kulayani segala kehendakmu.” Setelah berkata demikian maka berkelebatlah tubuh Pendeta Kumborono dan terus hinggap diatas dua buah mata tombak. Begitu turun ia telah memasang kuda-kudanya diatas dua mata tombak itu. Melihat lawannya telah berada  diatas maka cepatlah Baurekso menyusul, gerakannya gesit dan ringan sekali. Seakan-akan gerakan seekor

burung yang sedang terbang.

Setelah keduanya berada diatas ujung-ujung tombak maka bertanyalah Pendeta Kumborono :

“Buntung, bagaimanakah pertandingan ini?? Apakah kau mengajak bertanding hanya dengan tangan kosong atau dengan memakai senjata?”

344 “Bangsat sombong! Dengan tangan kosongpun kau belum tentu dapat mengalahkanku. Aku akan menghadapimu dengan tangan kosong, terserah kau sendiri kalau akan menghadapi dengan sanjata.”

“Huahaahaaa......... Huahaahaaaa......... Huahaahaaa........ Kumborono tak mengenal arti pengecut! Kalau lawan menghadapi dengan tangan kosong maka akupun akan menghadapimu dengan tangan kosong pula. Mari kita mulai!” Serunya sambil mengepal-ngepalkan tinjunya.

“Ciaaaaaatttttt!!! Tanpa banyak membuang waktu lagi maka Baurekso lalu melompat keudara dan dari atas lalu memukulkan tangannya itu dengan pukulan jarak jauh. Angin dingin dari pukulan Baurekso itu terus memukul kearah dada Pendeta Kumborono.

Akan tetapi Pendeta Kumborono itupun bukanlah orang sembarangan. Sebagai seorang pendeta iapun, telah lama menyelami ilmu silat, hingga dapat dikatakan bahwa ilmunya telah mencapai tingkat tinggi. Begitu melihat kalau dadanya terancam cepatlah ia bergerak dan melompat kearah mata tombak lainnya dengan membalas pukulan itu dengan pukulan pula. Pukulan yang dilancarkan oleh Pendeta Kumborono inipun telah dilandasi oleh tenaga dalam yang kuat.

Namun Baurekso itupun bukannya orang bodoh, ia telah tahu akan maksud licik lawannya. Kalau in mengadu tenaga dengan tenaga maka banyak kemungkinannya tubuhnya mencelat keluar dari kalangan yang ada ujung-ujung tombaknya. Dengan begitu maka tubuhnya jatuh ditanah dan harus mengakui kekalahannya. Karena itulah maka Baurekso tak mau menerima pukulan itu, dengan gerakan burung layang-layang menyambar udang maka Baurekso cepat-cepat melayang turun dan hinggap diatas ujung-ujung tombak.

“Bagus!” Desis Pendeta Kumborono sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Sesaat kedua orang itu saling berpandangan, satu sama lain sedang mengira-ngira seberapa kekuatan lawannya. Pendeta Kumborono terus berloncatan dari mata tombak satu ke yang lain. Seolah-olah pendeta itu sedang mengejek lawannya.

Akan tetapi Baurekso tak melepaskan pandangannya dari orang yang menjadi lawannya itu. Setiap saat lawannya menyerang iapun dapat membalas serangan itu dengan serangan pula.

Namun tak lama kemudian keduanya telah saling serang-menyerang lagi. Pukul-memukul elak-mengelak terus bergantian. Kedua-duanya memperlihatkan kegesitannya.

Para penonton yang berada didekatnya terus-menerus menahan napas dan mengagumi akan kelincahan dua orang yang sedang bertempur itu. Sedikit saja mereka itu salah gerak maka kakinya akan tertembus ujung tombak yang runcing itu.

Wessttt...... dengan cepat Pendeta Kumborono memukul dada Baurekso, akan tetapi bersama dengan itu tangan kanan Baurekso telah siap mencengkeram tangan lawan. Hingga....... desssss bertemulah 345   kedua tangan orang-orang sakti itu. Masing-masing berusaha mendorong lawannya ketepi dan menjatuhkan.

Keringat dingin terus membanjiri tubuh kedua orang yang sedang bertempur itu. Satu sama lain tetap tak ada yang mau mengalah, tenaga dalamnya terus disalurkan kearah tangan-tangannya. Tiba-tiba saja terdengarlah bunyi....... kreekkk......... ternyata tombak yang diinjak oleh Kumborono patah sedang mata tombak yang diinjak oleh Baurekso melengkung.

“Aku terima kalah!” Seru Kumborono dengan menghormat.

“Kau hebat!” Desis Baurekso sambil memandang kagum kepada lawannya.

Biarpun kau kalah akan tetapi kami menerimamu menjadi pembantu kami, Pendeta Kumborono.” Setu Edeler Moor.

“Terima kasih.” Jawabnya yang terus ikut masuk kedalam kemah.

*

* *

Makin lama kerajaan Banten makin aman, sebab semua serangan- serangan para pejuang hanya diarahkan kepada Kumpeni di Batavia. Hingga dengan demikian Pangeran Abdul Nazar dapat dengan tenang memerintah Banten. Selama memegang kemudi pemerintahan Sultan Haji terus membangun tentara yang kuat dan selalu menghubungi Kumpeni Belanda.

Disuatu malam terang bulan, tampaklah Pangeran Abdul Nazar sedang duduk didalam taman bunga. Raja Banten yang baru ini sedang memadu kasih dengan Rara Hoji salah seorang selirnya.

“Gusti, mengapa paduka selalu bermuram durja? Apakah yang paduka pikirkan lagi? Bukankah kehendak paduka telah terlaksana? Kurang puaskah menjadi raja di Banten ini?”

Seakan-akan Sultan Haji itu tak mendengar rayuan dari selirnya itu, beliau tetap duduk termenung sambil memandangi kolam yang berada dihadapannya.

Angin malam terus berembus, gemersik bunyi daun-daun perdu yang kena buaian sang bayu. Malam makin lamapun makin larut. Akan tetapi sang raja muda itu tetap duduk tepekur. Sedangkan Rara Hoji tetap setia menemani sambil merayu-rayu.

“Gusti, lupakanlah sejenak kesedihan paduka, pandanglah bulan itu bersinar penuh. Ahh...... sungguh indah benar malam ini.” Seru Rara Hoji sambil memijit-mijit tangan Sultan Haji.

Mendengar perkataan selirnya ini maka sedikit agak terhibur hatinya. Sekilas ia memandang keatas dan tampaklah bulan bundar itu seakan-akan tersenyum kepada sang raja. Melihat keindahan bulan itu maka berkatalah Sultan Haji :

346 “Hampir saja aku lupa bahwa malam ini adalah malam indah dan romantis sekali, Hoji! Mari-mari kau duduk dekatku sini.”

Tanpa mengulang perintah lagi, sebab begitu mendengar perkataan dari Sultan Haji maka Rara Hoji lalu mendekat dan duduk berdampingan dengan raja Banten. Tangan Sultan Haji yang kasar itu terus membelai- belai rambut Rara Hoji yang panjang hitam legam dan halus. Keadaan benar-benar romantis sekali. Dua orang insan berlainan jenis itu sedang asyik dan mabuk asmara.

“Hoji...... malam ini kau kelihatan bertambah cantik, bahkan bulanpun akan malu kalau harus bersanding disisimu.” Desis Sultan Haji sambil mempererat pegangannya.

“Gusti..... akupun merasa bahagia sekali dapat bersanding disisi paduka. Gadis manakah yang tak akan menjadi senang setelah dapat bersanding dengan raja agung binatara? Tapi apakah paduka tak kecewa dan malu mempunyai selir seperti hamba ini?” Serunya dengan tersenyum- senyum.

“Mengapa harus malu, Hoji? Kukira jarang sekali ada wanita yang secantik kau. Biarpun kau datang dari dusun akan tetapi kecantikanmu tak kalah dengan gadis-gadis kota. Percayalah sayang, aku tak malu mempunyai selir sepertimu.”

“Tapi...... tapi...... gusti, apakah paduka tak ditunggu oleh gusti permaisuri didalam? Bukankah gusti permaisuri akan marah dan merasa kedinginan tanpa paduka?” Seru Hoji sambil memandang kekasihnya dengan tajam-tajam. Seakan-akan dara itu ingin melihat reaksi dari pertanyaannya.

Namun dengan tersenyum-senyum Sultan Haji terus menjawab pertanyaan dara ayu itu :

“Mengapa kau ributkan dengan orang tua itu? Biar ia kedinginan aku tak urusan! Pokoknya kita kan tidak kedinginan biarpun berada diluar. Kalau ia tak senang dengan keadaanku silahkan pergi, akupun tak akan menghalang-halangi kepergian wanita tua itu.”

“Lhoo....... lhoo....... lalu apakah paduka juga akan berbuat demikian apabila hamba telah tua?? Paduka akan membiarkan hamba pergi dan paduka buang kalau kulit pipi hamba telah keriput dan kendor semua??”

“Tidak....... tidak sayang! Aku akan tetap berada disisimu, bahkan aku akan mencarikan kau ramuan-ramuan untuk memelihara kecantikanmu. Aku benar-benar cinta padamu, Hoji! Hanya kaulah yang kuanggap dapat menghiburku.”

“Benarkah itu, sinuwun? Apakah bukan hanya janji kosong saja??

Tanya Rara Hoji menegaskan.

“Janganlah kau ragu-ragu atau bimbang, Hoji, aku akan berusaha mencarikan ramuan-ramuan yang akan membuat kecantikanmu tetap kekal abadi. Selain itu akupun akan berada disisimu selalu, bukankah kau bersedia menjadi selir kinasihku ??” Seru Sultan Haji sambil mempererat pelukannya. 347 “Semoga perkataan paduka itu benar-benar keluar dari hati suci, aku Rara Hoji tetap akan setia kepada paduka gusti sinuwun.” Jawab wanita itu dengan memainkan senyumannya.

“Sudahlah jangan kau pikirkan yang tidak-tidak, lebih baik kau hibur aku supaya dapat melupakan keruwetan pikirku ini.”

“Baiklah gusti, hamba akan mendendangkan sebuah tembang yang mungkin akan dapat menghibur hati paduka yang sedang gundah.”

“Nah, begitulah, bulan purnama sudi bersinar penuh kalau tak diiringi oleh tembangmu maka akan kelihatan ampang. Lekaslah kau mulai bertembang. Tak sabar aku menantikan suaramu yang empuk merdu itu.”

Sesaat Rara Hoji menarik napas panjang dan mengerling kearah Sultan Haji dan tak lama kemudiaa terdengarlah suara tembangannya :

“Ing sawijining bengi sepi

ono priyo kang kasepen in asmoro

tansah lungguh nepi ngadepi rembulan gede tan kapikir liyo-liyone.

Tan eling-elingen iki

yen ono wanodyo ngandut roso dengki sang jejoko cerak ing beboyo

alelantaran bujuk manis arupo sulistyo.”

Sultan Haji sangat terpesona mendengarkan tembang yang dibawakan oleh Rara Hoji itu. Selain suaranya merdu, pun dapat mengimbangi keadaan yang sunyi tenteram itu.

Gesekan daun-daun nangka yang tertiup angin itu bagaikan suara gending yang sedang mengiringi tembangan Rara Hoji. Hingga dengan demikian menambah ngelangutnya malam.

“Tak pernah kusangka sama sekali kalau kau mempunyai suara yang semerdu itu, Hoji, rasa-rasanya aku mendengar tembang para bidadari dari Suralaya saja.”

“Akhh.   paduka terlalu memuji, gusti.”

Sejenak kedua insan berlainan jenis itu sedang tenggelam dalam cumbu rayu. Mereka tidaklah menghiraukan lagi udara yang makin lama makin bertambak dingin. Apa lagi kalau angin sedang bertiup.

“Gusti, kulihat penjaga tamansari ini kerjanya rajin benar. Apakah tidak sebaiknya kalau diangkat menjadi kepala taman ini? Bukankah lebih baik paduka mengangkat orang rajin dari pada orang malas seperti Ki Traju itu?” Seru Rara Hoji dengan memainkan tangan Sultan Haji.

“Hemm..... penjaga taman yang manakah?? Banyak penjaga taman, akan tetapi aku tak sempat memperhatikan mereka hingga aku tak tahu mana yang rajin dan mana yang malas.” Jawab Sultan Haji dengan pelan.

“Kalau menurut penglihatan hamba maka Praba lebih rajin dan patuh dari pada Ki Traju yang telah tua dan sering sakit-sakitan itu.”

“Okhh..... Praba?? Apakah dia rajin, Hoji?? Dan lagi ia masih terlalu muda kalau harus memegang jabatan setinggi itu.” Seru baginda dengan terkejut. 348 “Apakah usia itu mempengaruhi, sinuwun?? Kiranya Praba yang berumur duapuluhan tahun itu dapat memegang jabatan kepala taman dengan baik, bukankah paduka sendiri yang masih muda dapat memegang pusaran kerajaan Banten dengan bijaksana?? Kalau paduka dapat memegang mengapa Praba tak dapat memegang jabatan hanya kepala kebun ini saja??” Bantah Rara Hoji sambil makin mendesak sang raja.

“Hemm..... kalau demikian baiklah manis, besuk aku akan memperhentikan Traju dan mengangkat Praba yang rajin itu. Dan terima kasih atas bantuanmu dalam mengawasi punggawa-punggawaku.” Jawab Sultan Haji mengalah.

Memanglah cinta mengalahkan segala-galanya. Biarpun Sultan Haji tahu sendiri kalau Traju adalah seorang rajin dan dapat dipercaya akan tetapi setelah mendengar perkataan wanita yang benar-benar dicintainya itu maka beliau kehilangan keseimbangan. Malah berjanji akan mengangkat Praba yang terkenal malas. Hal ini dilakukan untuk menyenangkan hati sang selir yang manis dan tercinta itu.

Benarlah keesokan harinya Traju diberhentikan dari jabatannya dan Praba diangkat. Hal ini benar-benar mengherankan para punggawa yang bertugas menjaga taman. Kebanyakan mereka itu telah tahu akan kesetiaan dan kerajinan Traju, dan lagi mereka tahu akan kemalasan dan kesombongan Praba. Mengapa Praba yang malah di angkat menggantikan Traju dengan alasan Traju telah lanjut usianya. Akan tetapi mereka tak berani membantah keputusan rajanya.

Traju menjadi sedih sekali, ia benar-benar tak mengerti mengapa harus berhenti dari jabatannya itu? Sedangkan baru kemarin lusa saja ia menerima pujian dan janji dari Sultan Haji kalau ia akan dipakai sampai seumur hidupnya.

“Hemm...... ini tentu ada apa-apa, dibalik pemberhentian tugasku ini.” Desis Traju dengan penasaran. Andaikata saja yang menggantikannya itu bukan Praba maka hatinya tak akan sepanas itu. Akan tetapi mengapa justru Praba??

Dilain saat Praba sangat girang sekali, dengan terangkatnya ia menjadi kepala taman maka ia berhak keluar masuk taman setiap saat. Entah siang maupun malam. Dan dengan demikian ia mempunyai kesempatan lebih banyak lagi untuk menemui Rara Hoji yang telah menjatuhkan hatinya itu.

Memanglah Praba seorang anak muda yang gagah perkasa dan cakap, hingga mengingatkan kita pada tokoh pewayangan Raden Gatutkoco. Akan tetapi sayang sekali anak muda yang gagah dan tampan itu mempunyai sifat sombong dan pengecut. Karena sifat-sifat inilah maka ia tak disenangi oleh rekan-rekannya.

Pada suatu malam tampaklah Rara Hoji sedang duduk dipelataran taman, wanita selir Sultan Haji itu tampak gelisah dan tak dapat duduk dengan tenang. Sebentar jalan keutara akan tetapi sesaat kemudian keselatan dan duduk lagi. Padahal malam itu telah larut. Matanya terus- menerus memandang kearah pintu. 349 “Ahhh...... mengapa belum juga datang?? Apakah ia mendapat rintangan??” Desisnya dengan pelan. Sampai lama wanita itu menatap pintu, akan tetapi tetap saja yang ditatap tak bergerak sedikitpun juga.

Karena kesalnya maka pergilah ia kepinggir kolam, akan tetapi kolam yang penuh dengan ikan berwarna-warni inipun tak dapat menghibur hati sang selir yang sedang gundah ini. Sewaktu Rara Hoji akan berdiri tiba-tiba saja telinganya mendengar suara :

“Kreeeekkkk ”

Begitu mendengar suara itu ia lalu memalingkan mukanya kearah pintu, dan tersungginglah sebuan senyum manis diatas bibirnya. Betapa tidak? Telah lama ia menantikan kedatangan Praba, akan tetapi baru inilah sang perjaka yang dinantikan datang menemuinya. Dengan sikap genit dan manja ia lalu menegur Praba :

“Mengapa baru datang, Praba? Apakah sebelum ini kau main gila terlebih dahulu dengan emban Ponah??”

“Ehh...... jangan menuduh yang bukan-bukan puteri, mana aku kesudian main gila dengan wanita segede gunung Semeru itu.” Jawab Praba dengan tersenyum.

“Huhh menghina wanita kau, ya? Mentang-mentang telah diangkat menjadi kepala taman saja. Apakah kalau aku segemuk emban Ponah kaupun tak akan sudi denganku lagi??” Bisik Rara Hoji dengan cemberut.

“Ehh...... ahh.   ”

“Ehh....... ahh..... apa?? Lekas jawab!” Seru Rara Hoji dengan mencubit paha Praba.

“Aduhhh.     jangan keras-keras.” Desis Praba dengan pelan.

“Mengapa kalau keras?”

“Sakit dan aku dapat ketahuan dengan penjaga, bukankah kedatanganku ini secara sembunyi-sembunyi?

“Akh kau belum menjawab pertanyaanku, Praba, apakah kau tak akan lagi denganku kalau aku telah segede Ponah??”

“Lain halnya dengan puteri, biarpun dua kali Ponah aku tetap mencintaimu. Sebab aku yakin kalau hidungmu tak akan sepesek hidung Ponah.” Jawabnya dengan tersenyum.

“Idihhh......! Sudahlah kakang Praba, janganlah kau memanggilku dengan panggilan puteri. Panggil saja Hoji, bukankah itu lebih mesra?”

“Baiklah puteri!”

“Puteri lagi! Apakah kau tak mau memanggilku Hoji saja??” Desis Rara Hoji dengan jengkel.

“Baik...... baik     Hoji.”

“Nah begitulah, bukankah lebih mesra dan enak didengar??”

“Akupun senang memanggilmu Hoji, akan tetapi kalau diluar bagaimana?” Tanya Praba dengan memandang tajam-tajam wajah yang cantik itu.

“Bodoh, kalau diluar kau tetap memanggilku dengan sebutan putti, apakah kau ingin kalau hubungan kita ini diketahui oleh orang luar? 350 Kepalamu akan dipenggal dan mungkin digantung hidup-hidup kalau sampai hal ini terdengar oleh Sultan Haji.”

Mendengar kalau kepalanya akan dipenggal atau digantung hidup- hidup maka tergetarlah hati Praba. Dengan tanpa terasa mengalirlah keringat dingin ditengkuknya. Hingga tanpa sesadarnya ia mengulang perkataan Rara Hoji :

“Digantung?? Dipenggal??”

“Ya! itu semua kalau ketahuan, kalau tidak kita akan menemui kebahagiaan kita sendiri. Karena itulah usahakan jangan sampai ketahuan oleh orang luar. Bukankah kita sama-sama membutuhkan??” Jawab Rara Hoji dengan tersenyum.

“Ya, kita sama-sama membutuhkan. Cinta kita terhalang oleh suatu dinding tebal yang memisahkan kita. Dinding itu adalah Sultan Haji. Akan tetapi bagaimanakah kalau kita lari saja?? Bukankah kita dapat menikah dan mendirikan rumah tangga bahagia diluar daerah Banten?” Tanya Praba dengan penuh harap.

“Tidak mungkin...... tidak mungkin......” Jawab Rara Hoji dengan lemah.

Dan tampaklah wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mengapa tidak mungkin??” Tanya Praba dengan heran.

Kau belum kuat untuk memanjakan aku Praba, apakah kau kira gajimu itu cukup untuk memeliharaku? Tidak, janganlah kau mimpi disiang hari bolong, Praba. Memang benar kita saling cinta-mencintai, akan tetapi kalau harus kawin tak mungkin bisa. Aku tak mau hidup kekurangan atau melarat. Bukankah dengan demikian saja kita telah sama dengan kawin? Didalam hati aku mengakui bahwa kau adalah suamiku. Dan perbuatan- perbuatan kita itu telah sama saja dengan perbuatan suami istri. Selain itu ketahuilah kalau kau dapatnya menjabat pangkat kepala taman ini karena usulku. Nah, terimalah saja kehidupan yang demikian. Sebab kita berhasil menjadi suami isteri dan aku tetap kecukupan serta kau tak perlu memikirkan kebutuhanku. Selain kebutuhan batin.”

Dasar pemuda tuk mis, mendengar perkataan Rara Hoji ini Praba lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebab ia berpendapat kalau hal ini sama saja dengan telah menjadi suami isteri, sedang diluar ia dapat mencari wanita lain untuk dijadikan korbannya lagi atau kalau mau dapat dikawin sebagai isterinya.

Tentang Rara Hoji?? Terserah! Memang cinta mereka itu hanyalah cinta berkala, sewaktu-waktu akan timbul dengan hebat. Panas membara bagaikan bara api namun dilain saat akan membeku bagaikan gumpalan es. Karena itulah ia lalu menjawab dengan tegas :

“Bagus, kalau demikian aku hanya menurut saja, Hoji!” Setelah berkata demikian maka Praba lalu memeluk dan menciumi Rara Hoji dengan penuh nafsu. Makin lama mereka itu makin bergulingan kearah tempat yang gelap dan akhirnya hilang dibalik gerumbul tetanaman. Hanya daun-daun dan rumput saja yang menjadi saksi apa yang diperbuat oleh kedua insan berlainan jenis itu. 351 Pertemuan-pertemuan semacam ini bertambah sering terjadi setelah Praba diangkat menjadi kepala taman. Makin lama kabar tentang hubungan gelap antara Praba dan Rara Hoji itupun dapat tercium oleh rekan-rekan jaganya. Bahkan sampai pula ketelinga Sultan Haji.

Baginda menjadi marah bukan main terhadap kedua orang itu. Ingin rasa-rasanya ia mencekik leher Praba dan Rara Hoji bersama-sama. Akan tetapi ia harus dapat membuktikan sendiri kejadian itu, Sultan Haji tak mau kesalahan tangan karena fitnah. Dan lagi memang ia benar-benar mencintai Rara Hoji.

Pada suatu malam keluarlah Sultan Haji dengan memakai pakaian hitam-hitam persis apa yang dipakai oleh para peronda malam tamansari. Dan dimukanya terlihatlah sebuah topeng hitam pula. Hingga dengan demikian tak ada orang tahu bahwa orang yang berpakaian hitam dan bertopeng itu adalah Sultan Banten sendiri.

Dengan berindap-indap lalu Sultan Haji mendekati taman dan sekali enjot maka melayanglah tubuhnya keatas sebuah pohon yang tumbuh dipinggir taman. Dari atas pohon mahoni inilah beliau mengintai Rara Hoji. Seperti biasa Rara Hoji selalu menunggu kedatangan Praba, dan benarlah tak antara lama Praba lalu berkelebat masuk kedalam taman dan terus mendapatkan Rara Hoji. Begitu melihat Praba maka Rara Hoji lalu

mendapatkan dan langsung memeluknya sambil berkata :

“Mengapa kau terlambat datang, sayang? Apakah kau tak tahu bahwa aku telah lama menantimu? Tak kasihankah kau melihatku digerogoti oleh udara dingin ini?”

“Maafkan aku manis, sebab tadi aku harus menghilangkan jejak dahulu sewaktu penjaga luar taman ini mempergokiku. Akan tetapi bukankah aku sekarang datang memenuhi janji??” Jawabnya dengan tersenyum.

Melihat adegan ini panaslah hati Sultan Haji yang berada diatas pohon mahoni. Dengan sekuat tenaga ia lalu menahan gejonlak hatinya itu. Tangannya terus-menerus menggegam-gegam karena marahnya. Giginya gemerotok menahan luapan amarah itu. Matanya yang tajam terus memandang kearah dua insan yang sedang berkasih-kasihan. Tiba-tiba saja Sultan Haji memejamkan matanya setelah melihat kekurangajaran Praba.

Betapa tidak?? Baginda melihat dengan mata kepala sendiri kalau Praba berani menarik tubuh Rara Hoji kearah gerumbul tetanaman dan kemudian membuka baju Rara Hoji. Sedang Rara Hoji berusaha membuka pakaian yang melakat ditubuh Praba.

Melihat ini maka tak kuatlah Sultan Haji untuk menahan hatinya, dengan gerakan yang ringan ia kemudian melompat turun dan membentak dengan keras :

“Siapa yang berani mengacau dan membikin kotor tamansari??”

Kalau ada kilat menyambar maka tak akan sekaget itu bagi Rara Hoji dan Praba. Mereka segera melompat bangun dan membetulkan pakaiannya. Dengan garang Praba membentak :

“Siapa kau yang berani memasuki taman dengan tanpa ijin?” 352 “Aku Praba kepala taman ini! Siapa kau heh! Dan siapa pula wanita yang kau ajak masuk kedalam tamansari ini??” Jawab orang yang bertopeng.

Mendengar jawaban orang bertopeng ini makin marahlah hati Praba, dengan membentak keras maka ia lalu menerjang lawannya :

“Mampus kau Praba gadungan!”

Akan tetapi dengan enak saja Sultan Haji dapat mematahkan serangan Praba dengan jalan mengelak kesamping dan menarik mundur kakinya selangkah. Dan terus bertanya kembali :

“Kau belum menjawab pertanyaanku mengapa telah menyerang?

Siapa kau bangsat? Dan siapa pula wanita sundal itu??”

“Bangsat kurangajar, ketahuilah kalau yang berada dihadapanmu inilah yang bernama Praba dan menjadi kepala taman, sedang yang berada disisiku ini adalah kekasihku. Mengapa kau berani datang kemari? Dan sebutkan namamu.?” Jawab Praba dengan geram.

“Telah kukatakan kalau aku adalah Praba kepala taman ini, tapi mengapa kau memakai namaku? Hehh, apakah kau ingin mengotorkan namaku, dengan membawa sundal itu masuk kedalam taman??”

“Bangsat bermulut kotor!” Terjang Praba dengan hebat, akan tetapi tetap saja Sultan Haji dapat mengelakkan dengan tenang, memanglah Praba bukan lawan Sultan Haji yang telah mempunyai kepandaian tinggi. Hingga sebentar saja Praba telah terkurung rapat-rapat.

“Mampus... kau setan!” Teriak Praba sambil mengayunkan pedangnya kearah perut lawan, dan bersama dengan itu lalu menendanglah kakinya kearah lambung. Sayang sekali serangan berantai yang berbahaya ini tak berdaya menghadapi kelincahan serta ketenangan Sultan Haji, hingga dengan enak saja setiap serangan Praba dapat dipunahkan. Bahkan dengan sekali gerak saja Sultan Haji telah berhasil merebut pedang lawan.

Rara Hoji melihat pertarungan ini menjadi gemetar, peluh dingin terus membasahi sekujur tubuhnya. Apalagi setelah melihat Praba kewalahan. Tanpa pikir panjang lagi ia lalu berteriak :

“Tolooooonggggg..... toolooonnggg    tolooongggg.”

Mendengar teriakan Rara Hoji ini maka berdatanganlah para penjaga dari kedelapan penjuru. Dan betapa terkejut mereka itu setelah melihat Praba sedang menghadapi musuh tangguh dan bertopeng hitam. Tanpa banyak cakap lagi tahulah mereka apa yang dikhawatirkan oleh Rara Hoji, dengan cepat mereka lalu menerjang kearah Sultan Banten.

Melihat ini maka Sultan Haji lalu menggertakkan giginya dan terus memutar pedangnya dengan hebat, akan tetapi ia tak melukai lawan- lawannya hingga hal ini benar-benar membingungkan para pengeroyok.

“Siapa kau, pengacau??” Teriak para pengawal itu.

“Mundurlah semua sebelum kalian kecewa, mundur, lihatlah siapa aku! Setelah berkata demikian maka Sultan Haji lalu membuka topengnya, dan terdengarlah desahan mereka itu :

353 “Oohhh....!! Bersama dengan terdengarnya desahan itu maka tampaklah kalau mereka menjatuhkan diri dan berlutut dihadapan Sultan Haji.

Bukan main kagetnya Praba dan Rara Hoji, kedua orang ini lalu memencarkan diri dan mencari jalan untuk kabur. Namun dengan tangkas Sultan Haji berkelebat dan...... takk....... lemaslah mereka kena totokan Sultan Haji.

“Hemmm...... dengarlah kalian semua, mulai malam ini juga aku akan menghadiahkan selir kinasihku kepada Praba si kepala taman yang baru ini. Hendaknya kalian semua menjadi saksi.” Seru Sultan Haji dengan keras. “Ya...... yaaa..... kami mendengar dan menyaksikan.” Jawab mereka

dengan serempak.

“Bagus! Nah sekarang kalian keluarlah dan jalankan tugas kalian masing-masing. Biar aku bercakap-cakap dengan mereka.” Seru Sultan Banten sambil mengerling kearah Praba dan Rara Hoji.

“Baik sinuwun!” Setelah berkata demikian maka pergilah mereka itu keluar dari taman. Dan masing-masing membawa pendapat sendiri-sendiri tentang kejadian yang baru saja mereka lihat dan adegan didalam taman itu. Setelah mereka itu keluar semua maka Sultan Haji lalu membebaskan totokan kedua muda-mudi itu, dan Rara Hoji lalu menyembah dan duduk dengan tenang dihadapan Sultan Haji.

Namun sampai lama Sultan Haji tak dapat membuka mulutnya, seakan-akan tenggorokannya itu tersumbat. Lain bagi kedua orang laki perempuan itu, terasa tersiksa dengan keheningan ini. Berbagai pertanyaan timbul dibenaknya. Nyawa-nyawa mereka itu seakan-akan telah berada diubun-ubun dan tinggal melayang meninggalkan tubuhnya.

Setelah kira-kira sepeminuman teh kemudian barulah terdengar helaan napas baginda, dan tak lama kemudian disusul oleh perkataannya :

“Hoji, jawablah pertanyaanku sejujur-jujurnya. Apakah kalian telah saling cinta-mencintai??

Heninglah kembali keadaan malam itu setelah Sultan Haji menghentikan sabdanya. Sedangkan Rara Hoji sampai lama belum dapat mengeluarkan jawaban, hingga dengan demikian keheningan berjalan makin bertambah lama.

“Jawablah Hoji, jawablah sejujur-jujurmu. Aku tak akan menghalang- halangi kebahagiaanmu. Akan tetapi tempuhlah kebahagiaan itu dengan kesucian, janganlah kau nodai kebahagiaan masa datang dengan bintik- bintik hitam yang menakutkan.” Kembali malam itu dirobek-robek oleh suara teguran dari Sultan Haji.

Karena desakan baginda inilah maka mau tak mau Rara Hoji lalu menjawab, akan tetapi jawaban itu hanya merupakan anggukan saja. Melihat anggukan ini baginda Bantenpun mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat kemudian terdengarlah pertanyaannya yang pelan dan lemah : 354 “Kaupun tentunya mencintai Hoji, bukan?” “Ya! Gusti.” Jawab Praba dengan lemah.

“Bagus, mulai malam nanti bawalah Hoji kerumahmu, dan untuk ini kau kubebaskan tugas selama tiga malam. Akan tetapi setelah itu kembalilah kau bertugas sebagai biasa. Bukankah tiga hari tiga malam cukup untuk kalian berbulan madu?”

“Terima kasih gusti, waktu itu telah lebih dari pada cukup. Dan hamba yang hina ini menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas karunia paduka yang tak ternilai besarnya ini. Sekali lagi hamba mohon maaf, gusti.” Seru Praba dengan haru.

“Praba dan kau Rara Hoji, janganlah kau risaukan lagi kejadian tadi. Aku telah memaafkan kalian. Untuk ongkos perkawinan dan kelangsungan hidup kalian maka terimalah sumbangsihku kepadamu. Nah, terimalah ini, Praba.” Setelah berkata demikian maka Sultan Haji lalu melepaskan timang emasnya yang bertreteskan berlian itu dari pinggannya dan terus memberikan kepada Praba.

Dengan gugup maka Praba lalu menyembah dan berkata dengan terputus-putus :

Mana berani hamba menerima karunia demikian banyak? Hamba telah sangat senang mendapatkan Rara Hoji. Terima kasih baginda. Biarlah timang itu tetap menghiasi pinggang paduka yang gagah.”

“Jangan kau tolak Praba, ketahuilah dalam perkawinan dan kehidupan kalian nanti maka kau akan memerlukan banyak uang. Bukankah timang ini dapat kau jual? Nah ambillah Praba.”

“Teee........ terima kasih gusti, timang ini bukannya akan hamba jual akan tetapi akan hamba simpan untuk peringatan bahwa hamba telah mandapat karunia sebesar gunung dari baginda Sultan Haji. Dan timang ini akan hamba jadikan barang keramat yang turun-temurun dari anak cucu hamba dengan Rara Hoji ini.” Jawab Praba sambil menerima timang emas itu.

“Terserah kepadamu Praba, akan kau jual atau kau simpan. Nah sekarang kalian boleh pulang kerumahmu. Dan Rara Hoji kupersilahkan mengambil barang-barang serta pakaian-pakaiannya yang akan dibawa.”

Karena perasaan harunya maka Rara Hoji lalu menjatuhkan diri dan menangis dibawah telapak kaki Sultan Haji.

“Gusti maafkanlah hamba yang tak setia ini, dan semoga paduka mendapat ganti yang lebih cantik dan setia. Hanya doa restu paduka saja yang hamba minta. Hoji tak akan membawa barang-barang lain gusti. Ijinkanlah hambamu ini lengser.” Setelah berkata demikian maka pergilah mereka berdua meninggalkan Sultan Haji. Sedangkan Sultan Haji mengantarkan kepergian selir kinasihnya itu dengan helaan napas panjang. Disela-sela tarikan napas itu terdengar desisannya :

“Dasar wanita!”

* 355 * * Sepeninggal Rara Hoji dari dalam tamansari kerajaan Banten maka Sultan Haji makin memperhatikan nasib rakyat dan perkembangan Banten. Hingga makin lama Banten menjadi negara yang kuat, apa lagi hubungannya dengan Kumpeni makin dipererat.

Karena itulah setiap kali penyerbuan-penyerbuan yang dilakukan oleh Pangeran Purboyo selalu dapat dipatahkan. Bahkan banyak para penyerang itu yang mati ditengah palagan ketika melawan bala tentara Banten yang telan menjadi kuat itu.

Biarpun ia selalu dapat mengalahkan pasukan-pasukan yang menyerangnya, akan tetapi Sultan Hajipun makin lama makin rindu kepada adiknya, Pangeran Purboyo. Betapapun juga Pangeran Purboyo adalah adik kandung yang sangat dicintainya. Hingga dengan demikian beliau sangatlah prihatin sekali kalau memikirkan kenekatan adiknya ini.

Sewaktu Sultan Haji sedang bingung memikirkan kenekatan adiknya ini tiba-tiba datanglah seorang hulubalang yang terus menghadap kepadanya.

“Ampun gusti, hamba datang menghadap.”

“Keperluan apakah kau menghadap kemari??” Tegur Sultan Haji dengan memandang tajam sang hulubalang itu.

“Pasukan Pangeran Purboyo kembali menyerang Banten lagi.”

“Heee..... apa? Pasukan yayi Purboyo menyerang lagi?” Ulang Sultan Haji dengan terkejut.

“Daulat gusti!”

“Pertahankan Banten dari serangan yayi Purboyo, hancurkan sekali pasukan-pasukan pemberontak itu, akan tetapi jangan sampai kau menewaskan adikku. Kalian boleh melukai, akan tetapi jangan membunuh. Nah, kerjakan perintah ini, dan kau teruskan kepada para panglima lain- lainnya.”

“Baik gusti, hamba mengundurkan diri.” “Pergilah, doa restuku menyertai kalian semua.”

Setelah hulubalang yang melapor tadi pergi maka Sultan Banten lalu berjalan mondar-mandir dengan bingungnya. Beliau menjadi amat bingung sekali mendengar pekabaran ini. Rupa-rupanya Pangeran Purboyo telah begitu nekat untuk menyerang Banten diwaktu siang. Biasanya para penyerang itu datang diwaktu malam. Hingga waktu siang banyak perajurit yang melepaskan lelahnya untuk berjaga lagi nanti malam.

Akan tetapi kali ini mereka menyerang diwaktu siang hari bolong. Kebetulan sekali tentara kerajaan Banten sedang kosong, banyak yang tak bertugas. Hingga dengan demikian para pemberontak itu dapat berpesta- pora dengan kemenangan-kemenangannya.

“Serang...... serbuuuu...... duduki kembali Banten......!” Teriak anak buah Pangeran Purboyo itu dengan mengacung-acungkan senjatanya. Akan tetapi tentara Banten yang sedang bertugas tak membiarkan para 356   pemberontak itu bersuka-ria merusak dan membunuhi para penduduk. Sambil menanti datangnya bantuan maka mereka itu lalu melawan sekuat tenaga.

Trangg....... takk...... pranggg...... berkali-kali terdengar suara benturan senjata mereka. Jerit tangis terus terdengar disela-sela suara beradunya senjata.

Dewa Brata, Malangyuda terus memimpin pasukannya dengan gigih, seakan-akan pertarungan kali ini adalah pertarungan yang menentukan berhasil atau tidaknya untuk merebut kerajaan Banten dari tangan Sultan Haji.

Memanglah penyerangan kali ini adalah penyerangan yang terakhir kalinya bagi Pangeran Purboyo. Sebab semua pasukaanya telah dikerahkan untuk menyerang Banten. Jadi berhasil tidaknya hanya tergantung dengan penyerangan ini. Bahkan Pangeran Purboyo dan Raden Ayu Gusik sendiri telah ikut pula memimpin penyerangan ini.

Weerrrrr...... Weessss....... Weesssss...... pasukan pemanah terus melepaskan bidikannya dengan cepat dan teratur, hingga banyaklah para perajurit Banten yang tewas kena hujan anak panah ini. Akan tetapi sayang sekali bala bantuan Banten cepat datang. Hingga dapatlah dikatakan patah satu tumbuh seribu.

“Haaaayyyooooo hancurkan penjajah....... lenyapkan antek Belanda........

ganyang Sultan Hajiiiiiii.......” Teriak Dewa Brata dengan gagah perkasa. Bersama dengan itu Malangyuda terus mengamuk dengan dahsyat. Hingga banyak para perajurit lawannya yang tewas dibawah ujung pedangnya.

Trisula Dewa Brata benar-benar mengagumkan lawannya, setiap ia menggerakkan tangannya maka terdengar pula jeritan lawan. Tetes-tetes darah merah terus membasahi bumi persada.

“Hayo, majulah, siapa yang ingin mampus.” Teriak Dewa Brata dengan garang dan terus mengajunkan tangannya untuk memberi minum kepada trisulanya.

“Aduuuuuuhhh....... ammmpunnnnn...... aaaaahh......” Para perajurit Banten terus-menerus berteriak-teriak kena hajar amukan banteng- banteng dari para penyerang itu.

Dilain saat Raden Ayu Gusikpun menggerakkan kerisnya kyai Kolomisani dengan gagah perkasa. Tandangnya benar-benar bagaikan Srikandi yang sedang mengamuk dalam perang Baratayuda. Gerakannya yang gesit itu benar-benar menambah dahsyatnya setiap serangan yang di lancarkan. Ujung kyai Kolomisani terus-menerus berlumuran darah para lawannya.

Disampingnya terlihatlah Pangeran Purboyo yang mengamuk dengan dahsyat. Akan tetapi sayang sekali amukan-amukan para penyerangnya itu dapat ditahan oleh datangnya pasukan Banten dan Kumpeni.

“Daaarrr........ taarrr........ daaarrr....... aduh!!!” Tiba-tiba saja Dewa Brata memegangi dadanya yang telah berlumuran darah. Dada panglima muda ini telah tertembus pelor bedil penjajah yang membantu Banten. 357 Begitu jatuh ia terus ditarik oleh Malangyuda dan membawa keluar dari kancah peperangan, akan tetapi dengan tersenyum berkatalah Dewa Brata :

Biarkan aku mati dimedan laga, teruslah berjuang demi tegaknya kerajaan Banten kita. Ganyang terus para penjajah dan singkirkan Sultan Haji antek penjajah itu.” Setelah berkata demikian maka melayanglah nyawa Dewa Brata. Dewa Brata gugur sebagai bunga bangsa dan pahlawan negara yang tak dikenal orang.

“Bangsat! Aku harus membalaskan sakit hati angger Dewa Brata.” Geram Malangyuda yang terus mengamuk dengan hebat. Berpuluh-puluh perajurit Banten dan Kumpeni mati ditangan punglima tua yang gagah perkasa itu.

Wesstttt...... pedangnya terus-menerus meneguk darah para lawannya. Gerakannya demikian cepat, secepat kilat. Akan tetapi sungguh amat disayangkan kegagahan Malangyuda ini. Biarpun ia dapat mengamuk banteng ketaton akan tetapi lawannya makin lama semakin banyak hingga akhirnya iapun harus menyerah juga. Menyerah karena kehabisan tenaga. Disaat napasnya sedang memburu, tiba-tiba saja datanglah sebuah tusukan tombak yang mengarah kelambungnya.

Tanpa dapat dicegah lagi.......... creeesssss........ ujung tombak itu masuk kedalam lambung panglima tua yang gagah perkasa. Dan bersama dengan menetesnya darah merah itu melayanglah nyawa Malangyuda menyusul nyawa Dewa Brata sahabatnya itu.

Sedangkan pasukan penyerang yang dipimpin oleh Pangeran Purboyo terus terdesak dengan hebat oleh amukan pasukan Kumpeni dan Banten. Semakin lama semakin terdesaklah pasukan penyerang itu. Hingga akhirnya Pangeran Purboyo terpaksa mengeluarkan perintah :

“Mundurrrr......” Memanglah Pangeran Purboyo tak mau bunuh diri dengan mengadakan perlawanan terus.

Begitu mendengar aba-aba mundur maka sisa pasukan Pangeran Purboyo itu lalu mengundurkan diri dan kembali ketempat sarangnya semula. Namun hal ini benar-benar menghilangkan semangat Pangeran Purboyo untuk melanjutkan perjuangannya. Hingga dengan demikian seringlah Pangeran Purboyo bertengkar dengan isterinya yang memang patriot bangsa itu.

Sesampainya didalam gua maka kedua orang suami isteri itu kembali bertengkar lagi. Pangeran Purboyo yang telah berputus asa itu menjadi jengkel ketika mendengar permintaan isterinya untuk kembali menyerang Banten itu.

“Bagaimana mungkin kita harus menyerang Banten lagi?? Pengawal kita tinggal empat belas orang. Dan lagi kekuatan Banten sekarang telah berlipat ganda. Apakah kita harus mati konyol?” Seru Pangeran Purboyo dengan jengkel.

358 “Biarpun hanya empat belas orang kalau kita kompakkan dan berjuang dengan sungguh-sungguh maka kukira kita akan dapat mengobrak- abrikkan pertahanan merek.a.” Jawab Raden Ayu Gusik dengan hebat.

“Jangan lagi empat belas, dahulu sewaktu kita masih punya punggawa banyak saja tak mampu mengapa sekarang akan mencari mati? Lebih baik kita menyerah saja.”

“Menyerah???”

“Ya, memang dengan menyerah saja itulah kukira kita akan dapat memperbaiki kehidupan kita ini. Bukankah kita dapat memperbaiki hubungan dengan kakangmas Sultan Haji dan minta maaf atas kekurangajaran ini?”

“Tidak, kalau kau akan menyerah menyerahlah! Akan tetapi aku Raden Ayu Gusik akan tetap mengangkat senjata kepada Belanda. Leluhurku di Mataram masih sanggup menguasai diriku dan berjuang bersama-sama melawan Belanda.”  

Sesampainya didalam gua maka kedua orang suami isteri itu kembali bertengkar lagi. Pangeran Purboyo yang telah berputus asa itu menjadi jengkel ketika...

“Ingatlah bahwa kekuatan Belanda benar-benar nggegirisi. Jangan asal dapat membuka mulut saja. Lihatlah kenyataannya dan pikirlah apa yang akan kau katakan itu, Gusik.” Seru Pangeran Purboyo dengan marah. 359 “Tak peduli segalanya, pokoknya aku tak mau menyerah. Menyerah berarti mengalungkan besi kebatang leher kita sendiri. Lebih baik kita melawan terus, dan mati dipalagan lebih sempurna dan bahagia dari pada hidup senang karena ngawulo kepada Kumpeni Belanda.

“Diam! Hidup baru masih jauh lebih senang dari pada hidup menjadi buronan seperti ini. Kau perempuan harus tunduk dan taat kepada suami. Kalau kau ingin berontak lagi, berontaklah.”

“Kalau kau akan menyerah maka aku tak akan sudi ikut kau! Lebih baik kau ceraikan aku, aku akan kembali ke Kartosuro.”

“Cerai mudah, akan tetapi kau akan kembali ke Kartosuro itu amat berbahaya, sebab jalan telah dipagari senjata oleh Belanda.” Seru Pangeran Purboyo dengan gemas.

“Huhhh, peduli apakah dengan Belanda? Aku tak takut menerjang barisan Belanda. Biar aku pulang.” Teriak Raden Ayu Gusik dengan kasar.

“Jangan kau menuruti hawa nafsumu saja, Gusik, tunggulah sesaat aku akan mencari jalan untuk memulangkanmu ke Kartosuro, atau kalau mungkin kita menyusun kekuatan lagi aku akan menyerbu Banten. Akan tetapi tunggulah saatnya.”

“Nah, kalau kakang mau menyusun kekuatan dan mengangkat senjata kepada Belanda itulah baru ucapan suami Raden Ayu Gusik. Aku akan tetap setia kepadamu kalau kau tetap berjuang demi terusirnya Belanda dari tanah air kita. Aku siang dan malam akan selalu mendoakan supaya kakang dapat menyusun tentata dengan segera.”

“Berdoalah semoga kita cepat mempunyai tentara yang kuat.” Jawab Pangeran Purboyo dengan tanpa keyakinan. Memang mengambil jalan ini hanya untuk menghibur dan mengakhiri pertengkarannya dengan Raden Ayu Gusik. Sebab semakin ia membantah semakin keras isterinya yang berjiwa patriot itu.

Untuk menghilangkan kecurigaan isterinya ini maka setiap malam Pangeran Purboyo selalu membujuk orang-orang dusun setempat untuk mau membantu mereka. Akan tetapi sekalipun tak pernah menyerang Banten lagi. Memang semangat Pangeran Purboyo telah hilang lenyap terbang bersama nyawa Dewa Brata dan Malangyuda.

Sementara itu yang berada dihutan Paranggelung. Untung dan kawan- kawannya sedang asyik membicarakan sakitnya Barata, sedangkan Wulandari, Pendeta Kertopengalasan dan Pendeta Kalinggapati berusaha sekuat tenaga untuk mengobati Barata.

Ariyani yang baru saja pulang itu terus-menerus menunggui ayahnya, hatinya menjadi bingung. Siang malam selalu berdoa kehadirat Tuhan supaya ayahandanya ini diberi kekuatan dan lekas sembuh. Didalam hati Ariyani bergolak perasaan dendam, marah, cinta, kasihan dan penyesalan.

Dendam karena Pendekar Linglung tega memukul ayahandanya sampai menderita sakit yang sedemikian hebat. Mungkin kalau tak lekas- lekas tertolong akan membahayakan jiwanya.

360 Marah! Yah marah sekali kepada Belanda dan anjing-anjingnya yang telah membuat Pendekar Linglung menjadi benar-benar linglung dan memukul ayahnya.

Cinta, perasaan yang pertama kali menghinggapi hati Ariyani. Dan perasaan ini jatuh kepada Pendekar Linglung. Cinta pertamanya telah dijatuhkan kepada orang yang belum ia ketahui akan asal-usulnya itu.

Kasihan, kasihan kepada Pendekar Linglung yang benar-benar telah menjadi linglung dan tertawan oleh musuh. Juga kasihan kepada dirinya sendiri yang kalah cepat dengan Wardani.

Penyesalan, menyesal karena sebagai seorang anak ia tak dapat membalaskan sakit hati ayahandanya. Ia merasa tak tega untuk mengangkat senjata melawan Pendekar Linglung yang benar-benar telah menjatuhkan hatinya itu. Perasaan-perasaan inilah yang terus bergolak dihati Ariyani gadis perkasa itu.

Sewaktu mereka itu sedang berkumpul disarang, tiba-tiba datanglah Wirayuda dan terus melaporkan kejadian yang dilihatnya kepada Untung :

“Untung, Kumpeni datang kemari dengan membawa bendera putih? “Apa? Kumpeni datang kemari? Mengapa ia membawa bendera putih?”

Seru Untung dengan kaget.

Mendengar pelaporan Wirayuda ini maka Sancaka lalu berkata dengan pelan dan penuh dengan perbawa :

“Sambutlah mereka itu dengan wajar angger, sebab kita harus menghargai bendera putih. Bendera lambang kesucian itu harus kita pandang.

“Baik bapa, kalau demikian biarlah aku keluar menyambutnya.” Jawab Untung dengan tegas.

“Jangan kau yang keluar menyambut! Biar angger Wirayuda yang menyambut dan mempersilahkan masuk kedalam dan kita akan membicarakan apa kehendaknya datang kemari ini dengan bersama- sama.”

“Nah, kau telah mendengar sendiri perkataan guruku Wirayuda, lekaslah kau sambut kedatangan mereka itu.” Seru Untung memberi perintah kepada wakilnya.

“Baik!” Setelah berkata demikian maka keluarlah Wirayuda menantikan kedatangan mereka itu. Sedang di beberapa gerumbul pasukan Untung telah bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Sedikit saja Belanda itu membuat gerakan yang mencurigakan maka pasukan yang bersembunyi dibalik gerumbul akan berontak dan menyikat habis-habisan orang-orang Belanda serta anjing- anjingnya.

Benarlah sepenanak nasi kemudian tampak pasukan Belanda yang membawa umbul-umbul berwarna putih. Sedang didepan sendiri berjalan seorang kapten bangsa Belanda. Sebagai pengawal kapten itu berjalanlah Opsir Kuffler.

361 “Hemm...... aku kurang percaya dengan maksud mereka itu.” Desis salah seorang anak buah Untung.

“Tenanglah kawan, karena mereka membawa bendara putih maka kita harus menyambut kedatangannya dengan baik. Kalau ternyata nanti ia berbuat jahat barulah kita sikat.” Jawab Wirayuda yang berdiri tegak menantikan kedatangan mereka.

“Baiklah kalau demikian.” Jawab anak buah Untung tadi.

Makin lama pasukan Belanda itu makin dekat dengan Wirayuda berdiri. Akhirnya sampailah mereka dihadapan Wirayuda. Begitu bertemu dengan Wirayuda maka Kapten Belanda itu terus memberi hormat dan berkata dengan halus :

“Dapatkah kami bertemu dengan Untung??”

“Siapakah saudara? Dan apakah keperluannya mencari Untung??” Jawab Wirayuda dengan balas bertanya.

“Saya Kapten Ruys, dan kami akan berunding dengan Untung secara berkawan. Dapatkah kami menemuinya??” Jawab Kapten tersebut yang ternyata bernama Ruys.

“Kalau maksudnya berkawan maka silahkan masuk, Untung berada didalam dan kalian akan dapat bercakap-cakap dengan kami.” Jawab Wirayuda sambil berjalan masuk, maka Kapten Ruys dan Kuffler lalu ikut masuk kedalam sedangkan para pengawalnya tetap berdiri diluar sarang Untung.

“Selamat datang, tuan!” Seru Untung sambil mendapatkan Kapten Ruys.

“Terima kasih, dapatkah aku berbicara denganmu Untung??”

“Dengan senang hati, asal maksud tuan baik. Dan silahkan duduk, nah berita apakah yang akan tuan bicarakan dengan kami?” Jawab Untung dengan ramah.

“Begini Untung, maksud kami kemari ialah untuk menemui Pangeran Purboyo, sebab kami telah mendengar kabar bahwa Pangeran Purboyo akan menyerah. Dan kami perlu bantuanmu untuk merundingkan dengan Pangeran Purboyo. Dan kalau kau mau maka kau akan diangkat menjadi Letnan Kumpeni. Segala perundingan dengan Pangeran Purboyo kuserahkan kepadamu. Bagaimana, sanggup atau tidak?” Tanya Kapten Ruys sambil menatap Untung.

“Heeeee........ Belanda akan mengangkatku sebagai Letnan? Aku yang telah berkhianat kepada Belanda malah dipercaya untuk merundingkan hal sepenting itu??” Tanya Untung dengan heran.

“Ya, itu semua kalau kau mau!”

“Lalu, apakah upah yang diberikan Belanda kepada kami, kalau aku dapat menyelesaikan perundingan itu? Kami bekerja memerlukan upah.” Seru Untung dengan tersenyum.

“Kami akan mengampuni kepada siapa saja yang telah menunjukkan jasa kepada Kumpeni. Jelasnya kau dan kawan-kawanmu akan diampuni oleh Kumpeni, dan dapat hidup bebas tidak lagi sebagai buronan.” 362 “Betulkah aku dengan semua pasukanku akan dibebaskan??”

“Ya, asal saja kau dapat merundingkan dengan Pangeran Purboyo itu. Selain itu kami akan menambah hadiah berupa uang kepada kalian.” Seru Kapten Ruys dengan gembira.

“Mustahil itu, kami tak percaya!!” Seru anak buah Untung dengan serentak.

“Saya berjanji, ki sanak! Kami pasti akan menepati janji itu.” Seru Kapten Ruys dengan keras.

“Begini Kapten Ruys, karena soal ini menyangkut kepentingan kami semua, maka aku akan membicarakan hal ini dengan kawan-kawan. Tanpa kawan-kawan aku tak berani memutusi permintaan Belanda ini.” Seru Untung kepada Kapten Ruys.

“Baiklah kau bicarakan dengan kawan-kawanmu, Untung.”

Setelah berkata demikian maka pergilah Untung bersama kawan- kawannya menuju kebilik dalam dimana mereka akan membicarakan permintaan Belanda itu.

“Akhh....... Untung, mengapa kau terima permintaan Belanda tadi?? Bukankah Pangeran Purboyo itu kawan seperjuangan kita??” Tanya Wirayuda dengan tak senang.

“Benar, aku tak setuju dengan pendapatmu, Untung, lebih baik kita hancurkan saja bangsa Belanda yang menjajah kita ini.” Teriak Wardani dengan keras.

“Sabar...... sabar, kawan-kawan, janganlah kalian hanya melihat sebagian saja. Akan tetapi lihatlah keseluruhannya. Apakah kalian tak mendengar kabar kalau Pangeran Purboyo akan menyerah?? Bukankah lebih baik kalau kita yang melantarkan? Dengan demikian kita akan menjadi orang-orang bebas dan mudah bergerak dikota-kota. Ini bukannya berarti kita mengkhianati Pangeran Purboyo sebab tanpa kitapun Pangeran Purboyo akan menyerah. Nah, pikirkanlah yang baik.”

Mendengar penjelasan Untung ini mereka lalu mengangguk- anggukkan kepalanya. Barulah mereka itu menyadari betapa sempitnya pikiran mereka. Sedang Sancaka menjadi cerah dan tersenyum-senyum melihat jalan pikiran muridnya ini.

“Maafkanlah kami Untung, kami sekalian berkata demikian itu karena selama hidup belum pernah mendengar janji Belanda yang semanis itu. Sekali lagi kami minta maaf.” Seru Wirayuda mewakili kawan-kawannya.

“Tak mengapa, tak mengapa. Akupun tahu kalau Belanda ini sedang memasang jerat kepada kita. Akan tetapi ketahuilah kalau siasat ini hanya akan kupergunakan untuk batu loncatan saja. Bukankah kami semuanya nanti akan lebih mudah membobol Batavia kalau telah menjadi orang- orang bebas?”

“Bagus kalau demikian maka kerjakanlah tugas itu.” Seru kawan- kawannya dengan serempak.

“Terima kasih kawan-kawan, doa kalian saja akan kupinta untuk menemani kepergianku nanti.” Jawab Untung dengan tersenyum. 363 Setelah mereka itu mendapatkan kata-kata sepatat maka mulailah Untung membicarakan hal itu kepada Kapten Ruys.

“Kapten, kami bersedia menjadi perantara untuk penyerahan Pangeran Purboyo itu, akan tetapi asal janji Belanda ditepati.”

“Jangan khawatir, Untung. Dan sebelumnya kami atas nama Kumpeni mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas pertolonganmu ini.”

“Kamipun mengucapkan terima kasih atas kebaikan Belanda yang telah mau membebaskan kami dari buronan. Akan tetapi kalau Belanda ingkar, maka kami akan lebih mengganas. Ini harap tuan ingat! Kami akan lebih mengganas.” Seru Untung dengan menegas.

“Yah, kami akan mengingat ini, Untung, karena kita telah menjadi sahabat maka ijinkanlah aku pulang dahulu. Biar sebagaian anak buahku ini mengantarmu kepersembunyian Pangeran Purboyo beserta Kuffler.”

“Baik tuan, selamat jalan.” Jawab Untung sambil mengantarkan sampai kemuka sarang.

Setelah minta diri kepada kawan-kawannya maka berangkatlah Untung bersama Kuffler dan anak buahnya menuju kepersembunyian Pangeran Purboyo. Untung Kuffler mencium jejak dimana Pangeran Purboyo bersembunyi hingga dengan mudah saja mereka itu dapat menemui Pangeran Purboyo.

Sesampainya dimuka gua tempat Pangeran Purboyo bersembunyi maka Untung lalu bertanya kepada penjaga yang telah dikenalnya dahulu :

“Ki Suro, dapatkah aku bertemu dengan Pangeran Purboyo??” “Akhh....... kukira siapa, hampir saja aku lupa kepadamu angger.

Sungguh gagah kau memakai pakaian anjing itu!! Silahkan         silahkan

masuk, pangeran berada didalam.”

Setelah mendapat ijin maka masuklah Untung bersama dengan Kuffler. Dan didapatinya Pangeran Purboyo sedang bercakap-cakap dengan Raden Ayu Gusik.

“Selamat siang, pangeran.”

“Okhh...... selamat siang, Untung.” Jawab Pangeran Purboyo dengan heran, ia benar-benar menjadi heran mengapa Untung yang terkenal sebagai patriot bangsa itu memakai pakaian Letnan Kumpeni. Yang lebih heran lagi ialah Raden Ayu Gusik.

“Benarkah andika ini Untung yang memimpin pasukan di hutan Paranggelung dahulu itu??” Tanya Raden Ayu Gusik dengan kurang yakin.

“Begitulah gusti puteri, apakah paduka lupa kepada hamba??” Jawab Untung dengan tersenyum.

“Tak kusangka kalau orang yang kukagumi itu akan menjadi antek Belanda pula. Akhh...... sungguh kasihan sekali bumi nusantara ini. Penduduknya telah tak ada yang bertanggungjawab lagi.” Desisnya dengan tak senang.

Akan tetapi Untung tak mengambil pusing perkataan Raden Ayu Gusik itu tadi. Ia segera menghampiri Pangeran Purboyo dan mulai membuka percakapannya. 364 “Pangeran, benarkah berita yang kudengar ini, bahwa pangeran akan menyerah kepada Kumpeni??”

“Memang begitulah kehendakku Untung, akan tetapi apakah kakangmas Sultan Haji dapat memaafkanku??”

Tiba-tiba saja terdengarlah teriakan Raden Ayu Gusik dengan keras sekali, jelaslah teriakan ini didasari oleh perasaan marah yang meluap-luap : “Tidak....... tidak aku tak akan menyerah kepada Belanda, lebih baik

aku mati saja dari pada hidup menjilati pantat Belanda. Lekas antarkan aku pulang ke Kartosuro.

“Sabar...... sabar     Gusik, biarlah aku berbicara dahulu dengan Untung.

Setelah urusan ini selesai baru akan kupikirkan untuk memulangkanmu ke Kartosuro.” Seru Pangeran Purboyo dengan gemas.

“Aku tak ingin mendengar percakapan antara anjing-anjing ini. Huhh, muak aku mendengarnya.” Seru Raden Ayu Gusik dengan marah.

“Benar gusti puteri harus bersabar, biarlah nanti hamba yang akan mengantarkan paduka sampai ke Kartosuro.” Seru Untung dengan penuh hormat.

“Baiklah kalau nanti kau antarkan aku.” Serunya dengan cemberut. Setelah keadaan kembali menjadi tenang maka mulailah Pangeran

Purboyo menjelaskan maksudnya :

“Untung, kalau benar-benar kakangmas Sultan Haji memaafkan aku maka aku bersedia menyerah sekarang juga.”

“Aku menanggung ia pasti akan memaafkanmu, nah marilah kita berangkat ke Batavia sekarang juga.” Potong Kuffler dengan keras.

“Kuffler, kau tak berhak membentak-bentaknya. Akulah yang bertugas dalam hal ini. Kuminta supaya kau diam.” Bentak Untung dengan tak senang melihat kekasaran Belanda itu.

“Huaahhhh.     baiklah Untung.” Jawabnya dengan sinis.

“Nah, marilah pangeran kita berangkat.” Ajak Untung. Akan tetapi sesampainya diluar Untung menjadi terkejut sebab Kuffler kembali membentak Pangeran Purboyo.

“Sebagai seorang tawanan kalian  harus melepaskan semua senjata!

Hayo lekas kau tanggalkan senjata-senjata kalian.”

Mendengar perintah Belanda ini maka semua anak buah Pangeran Purboyo lalu meninggalkan senjatanya. Begitupun dengan Pangeran Purboyo. Akan tetapi pangeran itu tak mau menanggalkan sebuah keris kepunyaan isterinya, keris itu adalah kyai Kolomisani. Keris turun- temurun tinggalan moyang Raden Ayu Gusik yang dahulu dipakai oleh Trunojoyo.

“Heeee...... mengapa keris itu tak kau tangalkan pula??” Bentak Kuffler sambil menunjuk kearah kyai Kolomisani.

“Tidak dapat tuan, ini pusaka tinggalan.”

“Lepas! Atau kau ingin kusiksa???” Bentak Belanda itu makin garang.

Mendengar bentakan-bentakan ini maka marahlah Untung, sebagai orang sebangsa dengan Pangeran Purboyo maka ia merasa tersinggung. 365 Tanpa banyak cakap lagi ia lalu menghunus kerisnya dan terus menikamkan kearah perut Kuffler. Karena Kuffler tak menyangka akan datangnya serangan ini maka...... creeeesss...... sobeklah perut Belanda kejam itu, dan nyawanya melayang dengan seketika.

Melihat kejadian ini gemparlah mereka itu, akan tetapi dengan cepat Untung lalu menyambar tubuh Raden Ayu Gusik terus melompat kedalam gerumbul terus menghilang. Sedangkan Pangeran Purboyo dihadapkan ke Batavia, disana pangeran mendapat ampun. Sedangkan Untung tetap menjadi buronan.

Raden Ayu Gusik terus dibawa pulang kesarangnya, sesampainya disarang barulah Untung menceritakan sandiwaranya kepada Raden Ayu Gusik, dan Raden Ayu Gusik menjadi girang sekali. Ia lalu menggabungkan diri dengan pasukan Untung. Disitu kembalilah ia berkumpul dengan Wardani adiknya. *

* *

Dengan cepat Joko Seno terus melangkahkan kakinya menuju kegunung Dieng. Pendekar Budiman ini tak akan berhenti kalau tidak benar-benar lelah dan perutnya merasa lapar. Pikirannya penuh dikuasai oleh perasaan gundah, pendekar ini menjadi sedih sekali melihat keparahan luka yang diderita oleh sahabatnya.

“Aku harus mendapatkan katak ajaib itu.” Pikirnya didalam hati.

Makin lama makin dekatlah perjalanan Joko Seno itu hingga pada suatu hari Pendekar Budiman itu sampai dilereng gunung Dieng.

Gunung Dieng adalah sebuah gunung yang tinggi dan besar, hingga diatas puncak Dieng ini tinggal tiga orang perampok yang kesukaannya mengganggu rakyat setempat. Ketiga orang perampok itu terkenal dengan sebutannya Tiga Setan Dieng.

Orang pertama dari Tiga Setan Dieng itu adalah laki-laki berwajah menyeramkan dan penuh dengan luka dimukanya. Kumisnya tebal jenggotnya lebat tubuhnya besar kekar serta dipergelangan tangannya tampak sepasang gelang dari akar. Orang pertama ini bernama Kolo Pati.

Orang kedua bertubuh kurus kering, jangkung serta mempunyai kuku- kuku yang panjang-panjang serta beracun. Dilehernya melingkarlah sebuah ular weling yang selalu mendesis-desis. Orang kedua ini bernama Kolo Kresno.

Sedang orang ketiga, atau yang terkenal dengan sebutan Setan Cebol adalah laki-laki yang bertubuh pendek gemuk serta berpungung bungkuk. Sepasang tangannya kelihatan kuat dan ototnya kelihatan melingkar- lingkar. Dipunggungnya selalu tergantung sebagai golok yang besar dan berat. Setan Cebol ini bernama Kolo Yudo.

Nama dari ketiga orang Kolo ini benar-benar telah dapat menggetarkan daerah Dieng dan sekitarnya. Penduduk akan menjadi ngeri 366 dan menggigil ketakutan bila mendengar nama Tiga Setan Dieng ini. Telah banyak pendekar yang berusaha membasmi mereka akan tetapi malah orang yang akan membasmi itu sendiri yang dicabut nyawanya oleh ketiga Setan Dieng ini.

Untuk mendapatkan katak ajaib itu Joko Seno harus melewati tempat tinggal Setan Dieng, padahal ketiga Setan Dieng ini tak suka kalau daerahnya dilewati oleh orang. Terlebih-lebih kalau orang itu akan mengambil katak ajaib yang berada didaerannya.

Seekor katak ajaib akan dipertahankan betul-betul oleh ketiga orang setan itu. Setiap orang boleh mengambil asal dapat mengalahkan ketiga kakak beradik Kolo itu. Itupun kalau mujur, sebab katak ajaib itu jarang keluar.

Setelah menanyakan kepada penduduk dimana tempat katak ajaib itu maka berangkatlah Joko Seno mendaki gunung Dieng. Jurang demi jurang terus diloncati dengan lincahnya.

Sewaktu Joko Seno sedang enak-enak berlari naik keatas tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh runtuhnya sebuah batu gunung yang besarnya sama dengan anak lembu.

Wesss..... dengan cepat ia lalu melompat kesamping, dan..... darrr.....

batu-batuan yang berada disampingnya pecah berkeping-keping setelah tertimpa jatuhnya batu besar tadi.

“Untung aku dapat mengelak kalau tidak niscaya akan hancur lebur kepalaku ini.” Desisnya sambil menengok keatas. Akan tetapi diatas tak tampak apa-apa.

“Hemm..... apakah atas gunus ini mengalami kelongsoran?” Pikir Joko Seno sambil meneruskan perjalanannya. Namun tak antara lama kembalilah terdengar angin kencang menyambar tubuhnya, dan ternyata sebuah pohon raksasa telah melayang menyambar tubuh Joko Seno yang sedang bergerak dengan cepat.

Bummm..... begitu pohon tadi jatuh ketanah maka tahulah Joko Seno kalau ada orang yang sedang merintangi jalannya. Hal ini baru diketahui setelah melihat akar-akar pohon yang tumbang tadi.

“Kurang ajar, siapakah yang berani main gila ini?” Teriak Joko Seno dengan lantang. Akan tetapi setelah suara ini bergema sesaat kembalilah hilang lenyap bagaikan ditelan keangkeran gunung.

Tanpa mengenal takut maka kembalilah Pendekar Budiman itu melanjutkan perjalanan. Makin lama makin tinggilah gunung yang didaki dan sampailah ia dibukit Menoreh. Begitu kakinya menginjak daerah Menoreh kembalilah keanehan terjadi. Tanpa dapat terlihat dan terduga- duga dahulu tiba-tiba saja melayanglah sebuah batu besar menimpa kepalanya.

Kali ini Joko Seno tak mau mengelak, segera Pendekar Budiman merentangkan tangannya dan terus menyambut batu itu sambil berteriak keras :

367 “Ayaaaaa!!” Bersama dengan terdengarnya teriakan itu melayanglah batu tadi kembali keasalnya. Sayup-sayup terdengar bunyi gemelegar terjatuhnya batu tadi.

“Huahahaaa... huahahaaa... huahahaaa... pantas-pantas kau menjadi tamu kami, heh!! Haahahaaa.... huahahaaa... huahahaaa... Siapakah kau, ki sanak yang gagah?” Tiba-tiba saja terdengarlah suara tawa dan perkataan dari atas sebuah pohon dan setelah Joko Seno menengadahkan kepalanya maka tampaklah sebuah tubuh pendek gemuk dan kelihatan kuat.

Melihat ini jengkellah hati Pendekar Budiman, dengan tanpa sesadarnya ia lalu berteriak dengan keras :

“Monyet, siapakah kau ini?”

“Huahahaaa... huahahaaa... huahahaaa... kau berkeberanian hebat, ki sanak. Baru sekali ini aku mendengar ada orang berani memakiku didepan hidungku!” Seru orang pendek gemuk itu yang terus melayang turun. Gerakannya benar-benar ringan hingga bagai daun kering jatuh tertiup angin.

Mau tak mau Joko Seno haruslah mengagumi gerakan yang indah dan ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai tingkat tinggi ini. Diam-diam Pendekar Budiman telah menyiapkan ajinya Bledek Mangampar untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan menimpa dirinya.

“Siapakah kau?”

“Ketahuilah hai orang gagah, kau sedang berhadapan dengan Kolo Yudo orang ketiga dari Tiga Setan Dieng.” Jawab orang pendek gemuk itu.

Berdesirlah darah Pendekar Budiman setelah mendengar bahwa orang yang berada dihadapannya ini adalah Kolo Yudo, kalau seorang saja telah demikian hebatnya, apalagi kalau ketiga-tiganya maju bersama-sama. Akan tetapi Joko Seno benar-benar seorang yang berkeberanian singa, begitu mengetahui lawannya ia lalu tertawa dengan keras :

“Huahahaaa... huahahaaa... huahahaaa... kiranya aku sedang berhadapan dengan monyet Dieng, kebetulan... kebetulan. Jadi perjalananku kemari ini tak sia-sia saja, selain akan mendapatkan barang yang kuingini, akupun akan dapat memberantas ketiga monyet yang menjijikkan para penduduk setempat.”

“Bangsat siapakah kau ini?”

“Ketahuilah hai monyet, kau sedang berhadapan dengan Joko Seno Pendekar Budiman.” Jawab Pendekar Budiman sambil membusungkan dadanya. Memanglah Pendekar Budiman ini sengaja memancing kemarahan Kolo Yudo. Pendekar manakah yang tak ingin mencoba kepandaian orang yang telah disohorkan tinggi itu?

“Bangsat kau Joko Seno, memang aku telah mendengar kabar bahwa kepandaianmu itu tinggi hampir nyundul langit. Akan tetapi jangan kau kira kalau aku takut kepadamu. Hayo kau hadapilah aku!” Setelah berkata demikian maka Kolo Yudo mencabut sebuah pohon besar dan terus menggunakan pohon itu untuk senjata.

368 Menghadapi amukan Kolo Yudo yang bertenaga besar ini Joko Seno haruslah mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Dengan gesitnya Pendekar Budiman berloncatan kesana-kemari untuk menghindarkan sebuah pohon besar yang dipukul-pukulkan oleh Kolo Yudo itu.

Akan tetapi Kolo Yudo ini benar-benar mengagumkan sekali, selain mempunyai tenaga besar, iapun mempunyai ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai tingkat tinggi. Hingga gerakan Setan Cebol ini benar-benar gesit dan kuat.

Wessttt... krasaaakkk... Setiap kali ia menggerakkan pohon itu, maka berhembuslah angin kencang dan bersuara kemrasak karena dedaunan pohon itu menggeser tanah.

“Hemmm... kalau demikian terus-terusan maka akan berbahaya. Lebih baik aku cepat-cepat membereskan sebelum kedua setan lainnya datang.” Setelah mempunyai pikiran demikian maka cepatlah Joko Seno mengeluarkan pedang Besi Merah. Dengan pedang pusaka inilah maka Pendekar Budiman mulai membabati dahan dan ranting yang bergerak- gerak menyerang dirinya.

“Huahhh... ternyata kau mempunyai kepandaian tinggi, sungguh- sungguh Pendekar Budiman benar-benar nama julukan yang tak kosong.” Teriak Kolo Yudo dengan memperhebat serangannya.

Akan tetapi sayang sekali serangan yang ganas itu selalu dapat dihindarkan oleh Joko Seno atau kalau dahan pohon itu menyerang kearahnya maka banyaklah yang terpotong oleh ketajaman Pedang Besi Merah.

“Huahahaa.... huahahaa.... huahahaa.... keluarkanlah seluruh kepandaianmu Setan Cebol, aku Joko Seno tak akan mundur setapakpun juga.” Serunya sambil memperhebat gerakan pedangnya. Karena kedua- duanya mengandalkan ilmu meringankan tubuh maka lenyaplah tubuh mereka itu. Yang tampak hanyalah bayangan-bayangan dari sinar senjata mereka itu.

Sinar merah menyala yang dikeluarkan oleh Pedang Besi Merah itu terus-menerus menerjang kearah sinar hijau kecoklat-coklatan dari dahan yang diputar oleh Kolo Yudo. Untunglah bagi Joko Seno karena senjatanya tak seberat kepunyaan Kolo Yudo hingga dengan demikian ia masih menang tenaga dan napas.

Biarpun bagaimana kuatnya serangan-serangan yang dilancarkan oleh Kolo Yudo akan tetapi ia haruslah memperhitungkan tenaganya. Makin lama tenaga Setan Cebol ini makin berkurang, dan tentu saja serangan- serangannya makin bertambah kendor.

Sedangkan serangan-serangan yang dilancarkan oleh Joko Seno makin kuat dan meyakinkan. Setiap sambaran pedang Besi Merah itu merupakan maut yang mengintai bagi Kolo Yudo. Selain Joko Seno mengurung dengan pedangnya iapun harus menambah serangan-serangannya dengan ilmu pukulannya pula.

369 Kolo Yudo makin lama makin bingung menghadapi ilmu pedang yang dimainkan oleh Joko Seno. Maklumlah Pendekar Budiman telah mencampuri ilmu pedang Segoro Manangkep dengan ilmu pedang Pembasmi Kejahatan dan ilmu pedang Runtuhan Seribu Gunung. Ketiga ilmu pedang ini dimainkan dengan berganti-ganti. Hingga dengan demikian menambah bingungnya lawan.

Memanglah Joko Seno jarang sekali mengeluarkan ilmu pedang Naga Angkasa. Ilmu pedang yang diterima dari Pacar Biru ini jarang sekali dikeluarkan kalau tidak benar-benar dalam keadaan terpaksa.

Makin lama pertarungan antara Joko Seno melawan Kolo Yudo makin ramai sengit, dan berjalan dengan seru. Akan tetapi setelah perkelahian itu berjalan puluhan jurus, maka tampaklah kalau Pendekar Budiman telah dapat menguasai medan pertarungan. Dan ia berada diatas angin.

Sedangkan Kolo Yudo makin sibuk menangkis serangan-serangan Joko Seno tanpa diberi kesempatan untuk membalas. Makin lama makin gencarlah serangan-serangan Pendekar Budiman itu.

“Werrrrr.....” Tiba-tiba saja Kolo Yudo menggerakkan tangan kirinya dan berpuluh-puluh jarum beracun terus menyambar kearah Joko Seno. Untung Joko Seno memutar pedangnya dengan hebat. Hingga dengan demikian jarum-jarumnya banyak yang jatuh berantakan serta yang lain dapat dihindarkan dengan jalan mengenjotkan tubuhnya keudara.

Namun Kolo Yudo tidak hanya berhenti sampai disitu saja, dengan cepat ia lalu menghujani lawannya dengan jarum-jarum beracunnya, selagi Joko Seno sedang berada diudara.

“Mampus kau, bangsat!” Teriak Joko Seno yang tetap memutar pedangnya dan kemudian menendangkan kakinya kearah dada.

Melihat datangnya serangan ini mau tak mau Kolo Yudo lalu menjatuhkan dirinya dan bergulingan di tanah menjauhi lawan. Begitu mendapat kesempatan maka ia lalu melompat berdiri lagi. Sedangkan Joko Senopun telah berdiri diatas tanah lagi.

Tiba-tiba saja dari dalam gerumbul keluarlah dua orang yang terus tertawa dengan bekakakan :

“Huahaahaaa..... huahaahaaa..... huahaahaaa.   pantas-pantas kau dapat

menggetarkan dunia kependekaran Joko Seno, tak tahunya kepandaianmu memang benar-benar tinggi. Setelah dapat mempermainkan Kolo Yudo maka hadapilah aku Kolo Kresno.” Seru orang yang bertubuh jangkung kurus dan berkuku panjang.

Mendengar pengakuan orang kurus ini maka Joko Seno maklum kalau orang tinggi besar dan berwajah menyeramkan itu tentu Kolo Pati orang pertama dari Tiga Setan Dieng.

“Majulah kalian bertiga, supaya dapat dengan cepat aku membereskan kalian ini setan-setan keji.” Seru Joko Seno dengan gagah.

“Huahaaaa.... huahaaaa.... ahaaaa.... sumbarmu benar-benar hebat kawan, seakan-akan dapat mematahkan besi gligen. Huahaaa......

370 huahaaa....... huhahaaa...... akan tetapi jangan salahkan kalau kau mampus ditanganku, heh Pendekar Budiman.” Seru Kolo Pati dengan keras.

“Majulah jangan banyak cakap!”

“Awas serangan!” Setelah berkata demikian maka Kolo Kresno lalu menubruk Joko Seno dengan mengembangkang kuku-kukunya untuk mencengkeram lawan. Bersama dengan ini kakinya terus menendang kearah lambung.

Melihat kuku-kuku tajam yang berwarna merah maka tahulah Pendekar Budiman kalau kuku-kuku itu mengandung racun, hingga dengan demikian Joko Seno tak berani memandang rendah, dan dengan secepat kilat ia menggeserkan tubuhnya kesamping serta memiringkan tubuh.

Sedangkan Kolo Yudo yang masih penasaran itu terus menghantamkan sisa dahan pohon tadi kearah tengkuk Joko Seno dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya.

Weesss... akan tetapi tengkuk Joko Seno itu seperti punya mata saja. Begitu merasa kalau ada angin dingin menyambar maka ia lalu menundukkan kepalanya dan terus menyabatkan pedangnya keatas dan criaakkkk kembali sisa pohon itu terpotong oleh pedang Besi Merah.

Karena kesalnya Kolo Yudo lalu melemparkan sisa dahan pohon tadi kearah perut lawan. Akan tetapi dengan enak saja Joko Seno lalu mengibaskan tangan kirinya dan potongan dahan kayu tadi terus meluncur dengan cepatmya menuju kemuka Kolo Pati yang sedang enak-enak berdiri diluar pertempuran.

“Bangsat.... trakkk!!!” Bersama terdengar makian Kolo Pati itu terdengar pula pecahnya potongan dahan pohon setelah kena pukulan tangan orang pertama dari Tiga Setan Dieng.

Melihat kelakuan Kolo Pati ini Pendekar Budiman hanya tersenyum saja. Bahkan kini ia mulai memainkan ilmu pedang Naga Angkasa, selain itu tangan kirinya memukul-mukulkan ilmu pukulan Bledek Mangampar yang diterima dari eyangnya Panembahan Jatikusumo.

Namun kedua orang lawannya ini tidaklah dapat pandang rendah, gerakan mereka itu sangat teratur dan satu sama lain saling isi mengisi kekosongan kawannya.

Memanglah ketiga orang saudara Kolo itu telah saling mempelajari ilmu menyerang lawan dengan pertahanan bersama. Satu menyerang yang lain bertahan, yang lain menangkis dua orang lainnya menyerang. Kehebatan daya serang dan daya tahan mereka itu terlihat pada waktu menghadapi Joko Seno ini, ini saja baru dua orang yang menyerang.

Seperti telah diketahui bahwa Joko Seno adalah seorang tokoh sakti pada jaman itu, jarang sekali ada tokoh lain yang dapat menandingi Joko Seno. Akan tetapi kedua orang kakak beradik Setan Dieng ini dapat menghadapi Joko Seno selama puluhan jurus.

Wessstttt....... dengan cepat Pendekar Budiman menggerakkan pedangnya menusuk kearah lambung Kolo Kresno, dan bersama dengan itu maka kakinya bergerak menendang leher Kolo Yudo. 371 Melihat serangan yang hebat ini, maka tanpa sesadarnya Kolo Pati yang hanya berdiri menonton pertarungan itu memuji : “Bagus!”

Pedang Besi Merah itu dapat dihindarkan oleh Kolo Kresno dengan jalan menjatuhkan dirinya ketanah dan bergulingan, akan tetapi tendangan Joko Seno yang menuju keleher Kolo Yudo berhasil mengenai pundak hingga terdengarlah..... bukkk..... untung Kolo Yudo yang pendek gemuk itu mempunyai daya tahan yang kuat hingga dadanya tak rontok kena tendangan Joko Seno.

Sebelum Pendekar Budiman sempat memperbaiki kedudukannya, maka Kolo Kresno telah menerjang lagi dengan memukulkan tangan kanannya dengan ilmu pukulan jarak jauhnya. Karena belum bersedia maka punggungnya dapat termakan oleh pukulan lawan..... bukkk.....

akibatnya terhuyung-huyunglah tubuh Pendekar Budiman itu.

Melihat kalau lawannya terhuyung-huyung maka cepatlah kedua orang lawannya itu merangsek lagi. Namun Pendekar Budiman adalah seorang pendekar yang telah kenyang akan asam garamnya pertarungan. Begitu melihat lawannya merangsek maju maka ia lalu menghantamkan aji Bledek Mangampar kearah kedua orang lawannya. Pedang Besi Merah itu dapat dihindarkan oleh Kolo Kresno dengan jalan menjatuhkan dirinya...... “Ayaaaaa!!” Teriak mereka dengan serentak dan keduanya lalu mengenjot tubuhnya keangkasa untuk menghindarkan pukulan maut sang Pendekar Budiman.

Sebagai seorang tokoh persilatan yang mempunyai ilmu tinggi maka Kolo Pati merasa gatal-gatal dan ingin mencoba kesaktian lawannya. Tokoh manakah yang tak ingin mencoba musuh tangguh? Dengan keras ia lalu memekik kearah kedua orang adiknya :

“Mundur!!” Bersama dengan teriakan itu Kolo Pati telah menerjunkan dirinya kekancah peperangan. Namun mana mau kedua orang adiknya itu mundur dengan begitu saja. Dengan mengerahkan seluruh kepandaiannya maka ketiga orang Setan Dieng itu mengeroyok Pendekar Budiman.

“Bagus! Memang inilah yang kunanti-nantikan.” Seru Joko Seno dengan memperhebat serangan-serangannya. Biarpun Joko Seno telah menguras seluruh kepandaiannya tapi ia belum yakin kalau akan dapat mengalahkan ketiga Setan Dieng yang terkenal sakti mandraguna itu.

Jurus demi jurus ilmu pedang Naga Angkasa terus dimainkan dengan hebat. Sedang tangan kirinya dengan tiada henti-hentinya memukulkan ilmu pukulan Bledek Mangampar.

Daarrr...... daarrr...... krrraaaakkkk..... Berkali-kali terdengar bunyi ledakan batu hancur dan pohon tumbang setelah kena hajar pukulan Bledek Mangampar yang nyasar itu.

Melihat kehebatan ilmu pukulan Pendekar Budiman mereka bertiga bertambah hati-hati dalam menghadapinya. Memanglah setelah ketika setan dari Dieng ini maju bersama-sama bertambah hebatlah setiap serangan-serangan yang dilancarkan kepada lawan sedangkan pertahanannya bertambah ketat.

“Sayang sekali kepandaian setinggi ini dipakai untuk menakut-nakuti rakyat. Andaikata kepandaian ini dipergunakan untuk mengusir penjajah maka lebih berguna akan bertambah baik dan bagi masyarakat.” Pikir Joko Seno didalam hati.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar