Nagabumi Eps 55: Pembantaian Malam

Eps 55: Pembantaian Malam
 
PADA malam pertama setelah para pengawal rahasia istana itu pergi, belum terdapat kejadian yang berarti. Namun ketika semua pemahat dan tukang batu masih terlelap di bawah gubuk-gubuk di kaki bukit, aku memergoki sesosok bayangan yang berkelebat dari sudut ke sudut, seperti melakukan pengawasan. Sambil tetap tergolek di antara para pekerja, aku juga mengawasinya dengan kewaspadaan tinggi. Siapa tahu ia tidak sekadar mengawasi, melainkan langsung menculik, membunuh, dan barangkali langsung memotong-motongnya.

Apakah sebenarnya yang diawas i oleh sesosok bayangan yang berkelebat dari balik pohon yang satu ke balik pohon yang lain ini? Dengan satu dan lain cara ia telah mengetahui bahwa para pengawal rahasia istana sudah tidak berjaga lagi; memang itulah tujuanku mengusir mereka pergi, yakni memancing para pembunuh gelap itu agar datang lagi. Dari percakapan dengan para pengawal rahasia istana, aku telah menduga sesuatu, yang kini ingin kubuktikan, dan tiada jalan lain kecuali menghadapi para pembunuh ini sendiri, dengan cara memancingnya kemari.

Kubiarkan ia mengendap-endap dan berkelebat, sampai ia menjauh dan mengundurkan diri. Namun begitu ia menghilang, aku berkelebat membuntuti tanpa diketahuinya. Mula-mula ia melenting dari pohon ke pohon, melesat di se la cabang, lantas terbang ke pucuknya. Dari pucuk ke pucuk ia melenting di bawah cahaya rembulan. Keluar dari hutan, ia melayang turun dan hinggap dengan ringan di atas punggung seekor kuda yang sedang makan rumput. Seperti mengerti kuda itu langsung berlari tanpa diperintah lagi.

Sesosok bayangan di atas punggung seekor kuda menderap dan melaju di bawah cahaya rembulan. Aku mengikutinya dari kejauhan, berlari di atas pucuk-pucuk rerumputan. Begitu ringan tubuhku dan begitu sebentar kakiku berada di pucuk-pucuk itu, sampai tiada sebutir embun pun terjatuh karena sentuhan kakiku. Kuda itu menderap sepanjang jalan desa yang membelah persawahan. Seandainya aku takharus mengejarnya, tentu aku bisa menikmati pemandangan sawah yang telah menjadi permadani dengan sepuhan perak nan lembut, tempat orang- orangan seolah menjadi hidup, menjadi seseorang yang menikmati malam bermandi tebaran cahaya.

Kuda itu melaju cepat sekali karena penunggangnya terus menerus melecutnya, tetapi bagiku sungguh terlalu lambat, sehingga barangkali aku te lah berlari terlalu dekat di belakang kuda itu, yang kemudian memang menjadi gelisah. Setiap kali kuda itu mendengus, penunggangnya menengok ke belakang, tetapi saat itu aku sudah melompat setinggi pohon. Ketika kepalanya kembali melihat ke depan, aku sudah turun lagi tanpa suara dan terus berlari di belakangnya. Begitulah seterusnya, apabila dia menengok, aku selalu sudah takterlihat. Aku tidak dapat membayangkan jika ternyata ada yang menyaksikan kejadian ini. Kemudian, ketika dari jauh terlihat api unggun di depan sebuah pondok dan jelas kuda ini menuju ke sana, aku memperlambat lariku, mengambil jarak, lantas berkelebat menghilang. Lelaki itu juga berhenti sejenak, turun dari kudanya, dan berjalan kaki sambil menuntun kuda tersebut ke arah api unggun.

Di dekat api, ia berhenti dan mengucapkan sesuatu yang kudengar seperti suatu bahasa sandi. Ini berarti mereka tidak saling mengenal.

''Suralaya.'' ''Suralayapada.'' ''Suralayasabha.'' ''Suraloka.''

Sepintas lalu ini seperti kata sandi yang mudah, karena semuanya berarti sorga,1) tetapi siapa yang akan tahu urutannya? Karena bagi setiap kata yang diucapkan, urutannya tidaklah sama, sehingga bagi yang menyusup tanpa pengetahuan atas setiap padanan, tentu akan gagal menjawab uji sandi tersebut.

Setelah penunggang kuda itu duduk, barulah ia berkata- kata. Kuperhatikan, meskipun busana mereka semua seperti orang awam dalam kehidupan sehari-hari, gerak-gerik mereka menunjukkan pemahaman atas dunia persilatan. Setiap orang membawa pisau belati panjang berkilat yang semuanya melekat di tubuh mereka.

''Memang tidak ada lagi pengawal rahas ia istana di tempat itu. Jadi betul keterangan yang kita dapat, bahwa para pengawal yang ditugaskan menjaga sejak siang tadi makan dan minum di sebuah kedai, sebagian bahkan menginap di rumah pelacuran takjauh dari s ini.''

'Kenapa mereka tiba-tiba pergi? Itu yang penting bagi kami.'' ''Orang-orang kita di kedai dan rumah pelacuran itu berkata, mereka boleh libur karena keadaan sudah aman. Makanya tak seorang pun menjaga tempat itu.''

''Apakah itu tidak aneh? Setidaknya mereka bisa libur bergantian. Apakah kamu yakin ini bukan jebakan?''

''Aku mengawasi sejak sore, memang tidak seorang pun dari duapuluh pengawal rahasia istana ada di sana.''

''Apakah mereka tidak menyamar dan menghindari pengawasan?''

''Kita sudah mendapat daftar yang bertugas di s ini maupun di istana, kalau salah seorang di antara mereka berjaga sekarang, kita pasti mengetahuinya.''

''Hmm. Keadaan ini sangat baik untuk kita, tapi kita lanjutkan pekerjaan kita besok malam saja.''

Aku bersembunyi di balik gundukan batu kali yang besar, dan memang ada sungai kecil di sana, tempat kuda mereka bisa minum. Perbincangan mereka dapat kudengar dengan jelas.

''Apakah kita akan memotong-motongnya lagi?''

''Tidak, kita akan menggantungnya di pohon-pohon, atau pada tiang yang akan kita pasang di depan gubuk-gubuk itu.''

''Bagaimana kalau para pengawal itu sudah kembali besok? Mengapa tidak kita lakukan saja malam ini? Untuk apa menunggu lama-lama?''

''Kita harus hati-hati, ini baru malam pertama. Kalau mereka sudah kembali besok, berarti tugas kita pun sudah mencapai maksudnya.''

Orang-orang di sekitarnya mengangguk-angguk tanda setuju. Mereka terus bercakap, tetapi sudah tidak terlalu penting lagi bagiku. Di sekitar api unggun, mereka tampak menyantap daging bakar yang disiram arak. Kukira mereka tidak akan menyerang malam ini.

Kuingat apa yang kudengar tadi, mereka tidak akan memotong-motong korban pembantaian mereka itu, melainkan akan menggantungnya. Seperti bermaksud menyebarkan ketakutan.

Mengapa di dunia ini ada orang-orang yang seperti bermaksud menyebarkan ketakutan?

Tiba kembali di rumah-rumah gubuk di kaki bukit, kuperhatikan orang-orang yang lelap tertidur. T idak semuanya tidur. Beberapa terbangun dan mengunyah sirih sembari memandang rembulan.

''Mengapa tidak tidur, Bapak? Bukankah besok masih ada pekerjaan berat menanti?''

''Susah tidur, Anak, teringat keluarga di tempat asal...''

Aku menghela napas. Orang-orang desa jarang berpisah dari keluarganya. Mereka pergi ke sawah atau berburu di hutan, tetapi tidak akan lebih jauh dari itu. Mungkin saja berhari-hari pergi bertapa di gua-gua, tetapi jangkauan wilayah dan lama kepergiannya jelas. Satu atau dua orang memang pergi mengembara, dan satu atau dua orang mungkin mengembara dalam dunia persilatan, tetapi mereka ini adalah orang-orang yang sudah tidak diharapkan kembali.

Kurebahkan diriku pada balai-balai bambu di antara para pekerja yang tidur mendengkur. Dari tempatku menggeletak terlihat garis tepi sebagian dinding bangunan paling dasar itu menjadi garis putih karena cahaya bulan. Kubayangkan berapa lama akan mencapai kelengkapannya sampai ke puncak. Katanya pada setiap tingkat akan terdapat lorong-lorong berdinding luar dan juga berpintu, lengkap dengan stupa menjulang, arca-arca Buddha, dan segala cerita sepanjang dinding yang bukan sekadar berasal dari kehidupan sehari-hari seperti Karmawibhangga, melainkan juga sebagian riwayat hidup Sang Buddha dalam Lalitav istara, kisah-kisah Jatakamala dan Avadana, serta akhirnya kisah Gandavyuha.

Aku teringat seorang pengawas bangunan yang mewakili pejabat agama di istana, yang kuingat karena tampak begitu tua dan renta, berkata, ''Bangunan suci ini akan mengikuti petunjuk Sang Buddha sendiri, ketika ia menentukan bentuk dan tatanan stupa, dengan cara melipat jubahnya, lalu meletakkan pinggan yang biasa dipakainya mengemis, kemudian di atasnya ia lengkapi dengan tongkatnya sebagai mahkota,'' ujarnya di antara pemahatan Karmawibhangga di dinding tenggara kemarin.

Disebutnya, dengan penjelasan itu telah tertunjukkan ketiga ciri utama stupa, yakni sebuah dasar persegi, tutup setengah bundar, dan puncak berbentuk bulan panjang. Ketiganya mewujudkan perlambangan alam semesta yang dibagi menjadi tiga unsur, yakni Kamadhatu atau unsur Nafsu, Rupadhatu atau unsur Wujud, dan Arupadhatu atau unsur Takberwujud. Ketiganya lebur dalam suatu bangunan yang akan menjadi indah dan megah.

'Sebagai persembahan bangsa kita kepada dunia,'' katanya.

Dari balai-balai ini aku memandang bukit yang disiram cahaya bulan tersebut. Belum dapat kubayangkan bagaimana candi setinggi bukit itu akan berwujud.

(Oo-dwkz-oO)

MALAM kedua setelah para pengawal rahas ia istana tidak lagi berjaga, aku meronda di luar lingkungan gubuk-gubuk tempat para pekerja tidur, sementara para pekerja itu, ratusan pemahat dan ribuan tukang batu, telah kuminta untuk waspada. Barangkali mereka tidak percaya kepadaku, dan memang mereka tidak punya alasan untuk percaya, karena bukankah pertarunganku dengan duapuluh pengawal rahas ia istana saat itu tidak terlihat oleh mata orang awam? Demikian juga percakapanku dengan para pengawal di atas puncak bukit, bahwa mereka harus pergi selama tiga hari, hanyalah didengar angin yang berlalu. Lagipula aku hanya lah seseorang yang tidak dikenal dan tiba-tiba saja telah berada di antara mereka.

Namun, meski mereka tidak percaya, aku berusaha mempengaruhi mereka.

''Para pengawal sedang pergi dari tempat ini. Kudengar mereka berpesta pora dan mabuk-mabukan di rumah pelacuran. Mengapa kalian begitu yakin pembunuh yang te lah memotong-motong tubuh saudara-saudara kita tidak akan datang lagi ke mari? Kalian boleh tidak percaya kepadaku, tetapi semestinyalah kalian waspada malam ini. Bertanyalah kalian kepada diri kalian sendiri, jika gerombolan pembunuh itu datang lagi kemari, mampukah kalian membela diri?i

Maka ternyata ada juga yang tidak bisa tidur meski kelelahan memaksanya merebahkan diri. Cahaya rembulan dengan segera menyiram permukaan bumi. Kupandang sekilas ribuan tubuh yang bergeletakan, dengan latar belakang tumpukan batu-batu, yang sudah berbentuk empat persegi panjang maupun yang belum disentuh sama sekali. Memang perlu pengabdian luar biasa dari orang banyak untuk membangun sebuah candi raksasa, tetapi jika pun pengabdian takbisa terlalu luar biasa, suatu cara untuk membuat orang dengan suka atau taksuka terpaksa mengabdi, kiranya telah dilakukan pula. Itulah yang sedang kucari jawabannya malam ini.

Kemudian, siraman cahaya keperakan rembulan yang lembut itu bagaikan tersibak-sibak oleh sejumlah bayangan yang berkelebat. Disusul oleh sejumlah bayangan lain dan sejumlah bayangan lain lagi. Mereka bergerak menyebar dengan cepat. Betapa lincah mereka bergerak di balik bayang- bayang kehitaman, mereka tampak terlatih dalam penyusupan malam. Mereka hanya berkancut dan berikat kepala, tetapi wajah mereka tertutup kain yang melibat kepala mereka, sehingga hanya kelihatan matanya. Itulah mata harimau kumbang di tengah malam yang menembus kegelapan, siap menerkam mangsanya dalam sekejap tanpa peringatan.

Mereka mengendap-endap dengan pisau di tangan. Apakah mereka masih hanya berminat menggantung para korban seperti kudengar kemarin malam, ataukah tetap melakukan pemotongan? Mereka semua sudah memegang pisau di tangannya dan tidak terlihat membawa senjata yang lain. Semua ini sudah direncanakan! Maka harus bertindak, sebelum terjebak dalam perangkap, yang sama sekali belum dapat ditebak! Seseorang telah berhenti di depan salah satu pekerja yang tertidur nyenyak, dan mengangkat pisau panjangnya yang berkilat, untuk segera menikam!

Aku segera berteriak dengan tenaga dalam, terdengar keras untuk membangunkan setiap orang.

''Awas!     Pembunuhan!      Banguuuun!      Banguuuuun!

Pembunuhan!''

Sekitar lima ribu orang tergeletak di sana, masih ditambah hampir seribu pemahat, dan ratusan penyelenggara segala keperluan, mulai dari makanan, obat-obatan, dan banyak hal lagi kebutuhan hidup sehari-hari; mereka semua terbangun, dan meski sebetulnya belum terlalu sadar, telah membuat para pembunuh itu sangat terperanjat. Namun sebagian tetap mengayunkan pisaunya. Inilah saatnya aku bergerak!

Dalam sekejap aku telah berada pada lima belas tempat. Pisau mereka kutampel hingga terlepas dan tubuh mereka kudorong ke tengah orang banyak, seperti menjatuhkan seseorang ke jurang.

(Oo-dwkz-oO) 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar