Nagabumi Eps 181: Orang-orang Tersingkir

Eps 181: Orang-orang Tersingkir

Kabut turun kembali menyelimuti Kampung Jembatan Gantung. Dari rumah-rumah yang menempel di dinding seperti sarang burung walet ini segalanya hanya tampak sebagai kekelabuan yang rata. Negeri Atap Langit memiliki perbentengan alam yang sangat kuat untuk menghadapi serangan dari bangsa-bangsa lain, tetapi di dalam negerinya sendiri, perpecahan yang tidak kunjung usai, semakin lama semakin memperlemah wangsa yang telah membawa negeri itu ke puncak kejayaan dan peradaban, yakni Wangsa Tang. DALAM Pemberontakan An Lushan antara tahun 755 sampai 763, kekacauan bahkan dapat membuat Maharaja Xuanzong memerintahkan hukuman mati bagi selirnya yang terkasih, Yang Guife i. Peristiwa itu terjadi ketika rombongan istana mengungsi, dan pada 756 para pengawal berhasil membunuh Perdana Menteri Yang Ghuozong, serta memaksa agar Yang Guifei yang cerdas disingkirkan juga. Tercatat dalam sejarah, bahwa dalam peristiwa 41 tahun lalu itu, orang kebiri Gao Lishi melaksanakan perintah maharaja dengan cara mencekiknya di sebuah kuil. Dengan meyakinkan mayatnya diperlihatkan, dan karena itulah para pengawalnya tetap setia, sementara rombongan itu sendiri te lah menjadi tercerai berai.

"Saat itu," kata Angin Mendesau Berwajah Hijau, "sebetulnya Yang Guifei masih hidup!"

Bagaimanakah ucapan seseorang bisa dipegang? Setelah dibiasakan menggauli kitab-kitab, baik keropak lontar di Javadvipa maupun gulungan kain sejak dari Kuil Pengabdian Sejati, aku mengerti betapa sekali dituliskan aksara tidak akan pernah berubah lagi. Namun cerita lisan dari mulut ke mulut, akan selalu terceritakan dalam penafsiran pengujarnya, dan apabila sang juru cerita memiliki kepentingan tertentu dalam apa yang diceritakannya, maka disadari atau tidak tentu berpengaruh kepada nada, sudut pandang, maupun semangat penceritaannya.

Adapun cerita Angin Mendesau Berwajah Hijau ini sama sekali berbeda. Yang Guifei yang telah diketahui semua orang mati dicekik Gao Lishi dikatakannya masih hidup. Bahkan saat itu hamil besar dan me lahirkan pula. Konon itulah pula sebabnya maka Gao Lishi tidak tega membunuhnya.

"Yan Zi ini adalah anak Yang Guife i dari Maharaja Xuanzong," ujar Angin Mendesau Berwajah Hijau, "makanya ia disembunyikan di sini, bahkan di kampung ini hanya yang berada di ruangan inilah yang mengetahui siapa sebenarnya Yan Zi. Jika mata-mata kerajaan mengetahui keberadaan seorang anak Maharaja Xuanzong dari kandungan Yang Guifei, niscaya segala kekuatan yang ada dikerahkan untuk menjejaki dan menjejaki dan melenyapkannya, sebagai bibit manusia yang terlarang untuk hadir di muka bumi."

Aku pernah membaca bagaimana kemudian se luruh kerabat Yang Guifei di wilayah Szechuan diburu untuk dibantai, dan ini tentu mengingatkan diriku pula, bahwa dalam catatan yang kubaca di Kuil Pengabdian Sejati dituliskan betapa Yang Guife i diperintahkan mencekik dirinya sendiri dengan kain sutera. Mungkinkah? Berbagai cerita yang berbeda tidaklah muncul tanpa sengaja, melainkan demi jaringan penyebab yang sangat rumit pula.

Bahkan dalam bentuk tulisan, kepentingan bukan tidak mengendap dalam pengarahan, meskipun bagi pembaca segala sesuatunya lebih memberi kesempatan untuk mempertimbangkan. Adapun dalam cerita lisan, yang dalam hal cerita seorang Angin Mendesau Berwajah Hijau tidak dimaksudkan sebagai hiburan maupun tontonan, melainkan perbincangan yang sungguh-sungguh demi kehidupan seorang perempuan, bukan berarti aku tidak waspada terhadap pembelokan catatan, melainkan sungguh aku harus bersikap sopan. Artinya pengetahuan yang kudapat sebelumnya mengenai Yang Guife i yang tewas mengenaskan dalam usia 43 tahun itu tidaklah harus membuat aku mempertanyakan, karena apapun yang menjadi latar belakang, Angin Mendesau Berwajah Hijau pada dasarnya ingin menyerahkan Yan Zi sebagai titipan.

"Sejak dilahirkan 41 tahun yang lalu Yan Zi menjalani kehidupan sebagai pelarian, sampai akhirnya kami menemukan dan membangun persembunyian ini," Angin Mendesau Berwajah Hijau me lanjutkan, ikini sudah waktunya ia pergi mengambil haknya dan melihat dunia." Aku memandang Angin Mendesau Berwajah Hijau, maupun Serigala Hitam dan Serigala Merah, dengan wajah kurang mengerti.

Angin Mendesau Berwajah Hijau tersenyum sambil mengelus jenggotnya yang putih.

"Tentu saja Pendekar Tanpa Nama belum paham. Yan Zi bukannya ingin diakui sebagai keluarga istana, melainkan wajib mengambil kembali pedang mestika warisan leluhurnya, yakni Pedang Mata Cahaya, yang dirampas dalam penjarahan di Szechuan. Pedang itu merupakan pasangan, maksudnya seperti sepasang mata, yang jika keluar dari sarungnya saja, jika dipegang dengan tenaga dalam cahayanya sudah bisa menggoreskan luka mematikan.

"Ketika mengungsi dari Changian, Pedang Mata Cahaya yang untuk dipegang tangan kanan berada di dalam tumpukan busana Yang Guifei. Orang kebiri Gao Lishi yang menemukannya segera menyimpan pedang itu, yang diperlakukannya seperti milik sendiri supaya tidak mencurigakan. Adapun Pedang Mata Cahaya yang untuk dipegang tangan kiri berada di tempat tinggal ayahnya di Szechuan. Ketika berlangsung pembantaian seluruh kerabat Yang Guife i, yang dianggap merupakan sumber kekacauan pemerintahan Wangsa Tang, pedang itu menjadi barang jarahan, yang tentunya menjadi barang perbendaharaan istana.

'YAN Zi sejak bayi hidup bersama kami dan belum pernah keluar dari wilayah ini, kecuali ketika tinggal di Perguruan Shaolin untuk belajar ilmu silat. Itu pun tidak pernah pergi ke mana pun karena memang dilarang keluar dari balik tembok. Sebetulnya Perguruan Shaolin hanya mengajarkan ilmu silat kepada para bhiksu atau bhiksuni, tetapi mereka bersedia mengajar Yan Zi setelah kami temui bhiksu kepala, dan menceritakan segalanya, antara lain suatu ketika ia harus mengambil kembali Pedang Mata Cahaya yang untuk dipegang tangan kiri dari dalam istana.

''Pedang Mata Cahaya yang untuk tangan kanan sudah dikirimkan oleh Ghao Lizi secara rahasia, melalui segala jaringan yang memungkinkan, bersama bayi Yang Guifei, yang dise lundupkan bersama para pemberontak yang setelah dikalahkan segera melarikan diri ke perbatasan. Tidakkah aneh bahwa para pemberontak berhubungan dengan Gao Lishi? Dalam jaringan kerahasiaan lawan bisa menjadi kawan dan kawan bisa menjadi lawan, apalagi terdengar desas-desus bahwa bayi itu bukan anak Maharaja Xuanzong melainkan An Lushan! 

''Sementara Ghao Lizi mungkin saja menotok jalan darah Yang Guifei agar tampak seperti orang mati, memang masih belum jelas siapa yang menghuni kuburannya sekarang, dan bagaimana caranya menyembunyikan Yang Guifei sampai ia melahirkan. Namun hanya orang terpercayalah yang akan mendapat jalan sampai ke tempat ini mengantar s i bay i. Kami menerimanya bukan karena dia anak maharaja atau pemberontak, tetapi karena anak siapapun dia, sangat mungkin dibunuh jika diketahui s iapa ibunya.

''Bhiksu kepala Perguruan Shaolin itu menyanggupi, meskipun katanya melanggar peraturan, yang membuat Yan Zi tidak boleh terlihat orang luar tinggal bersama mereka. Tidak kurang dari dua puluh tahun Yan Zi belajar ilmu silat di sana. Namun bhiksu kepala itu sebelum meninggal dunia sempat berkata, meski ilmu silat Yan Zi sangat tinggi, jangan mimpi bisa menembus penjagaan istana jika jurusnya masih dapat terlihat oleh orang-orang sungai telaga. Ia berkata, Yan Zi hanya akan dapat mengambil pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri yang persembunyiannya pun belum jelas tersebut, jika ia sanggup memainkan jurus-jurusnya sehingga tidak dapat dilihat, atau masuk bersama seseorang yang sudah mampu melakukannya. ''Serigala Merah telah menyaksikan bahwa gerakan Pendekar Tanpa Nama tidak dapat dilihat, bahkan oleh orang- orang sungai telaga dan rimba hijau yang ilmu silatnya sudah sangat tinggi. Tidak usah dijelaskan lagi bahwa kami sangat mengerti, bahkan te lah lancang menguji kepandaian pendekar yang mengaku tidak bernama, dan kami merasakan sendiri betapa ilmunya memang tinggi. Mohon kiranya sudi menemani dan menjaga Yan Zi untuk mengambil Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri di istana Chang'an.''

Setelah menutup kalimatnya, baik Angin Mendesau Berwajah Hijau, maupun Serigala Hitam dan Serigala Merah, segera berlutut, membungkuk, dan mengetuk-ngetukkan kepalanya ke lantai berkali-kali.

Aku menghela napas. Dengan cara seperti itu, dibandingkan dengan Negeri Atap Langit, orang-orang Javabhumipala tampak sombong.

(Oo-dwkz-oO)

AKU memang harus berangkat, dan aku memang ingin segera berangkat, karena meskipun Kampung Jembatan Gantung yang rumah-rumahnya menempel seperti sarang burung walet ini bagaikan begitu menarik untuk dihuni, pikiranku tak bisa kulepaskan dari Harimau Perang. Aku tidak ingin kehilangan jejaknya lagi, apalagi ketika aku justru berpeluang mencegatnya. Namun siapakah kiranya akan mengira, bahwa akhirnya diriku bahkan mendapat beban tugas tambahan, yakni mengawal Yan Zi dalam usahanya mengambil Pedang Mata Cahaya? Serigala Hitam dan Serigala Merah tentu juga telah menyampaikan kepada Angin Mendesau Berwajah Hijau bahwa aku sedang melacak jejak seseorang yang kusebut Harimau Perang, tetapi baiklah kupercayakan saja betapa dengan segala pengertian tetap saja tugas itu dibebankan kepadaku karena tiada lain pilihan. Betapapun aku tidak boleh mengeluh dan memikirkan diriku sendiri. Kong Fuzi berkata: manusia unggul mengerti apa yang benar manusia rendah mengerti apa yang laku dijual

Setelah kami semua bersama-sama minum teh oolong yang sungguh mengembalikan kekuatan tubuh, Yan Zi meminta diri untuk mengambil barang bawaan dan menyiapkan kuda. Aku memang merasa kehilangan kudaku, dan sejak kemarin bertanya-tanya di manakah kiranya kuda bisa merumput di tempat setiap orang seolah-olah akan se lalu bisa terpeleset melayang ke jurang seperti ini.

NAMUN sebentar kemudian Yan Zi telah melayang kembali dengan wajah pucat. Angin Mendesau Berwajah Hijau serta Serigala Hitam dan Serigala Merah segera berkelebat mengikutinya. Hubungan batin keempat orang ini tampaknya begitu kuat, sehingga hanya perlu sekilas pandangan mata sahaja untuk menggantikan seribu kata berbusa. Aku pun tentunya ikut berkelebat menyusul mrereka dari belakang.

Mereka langsung melayang masuk ke balai pertemuan yang juga menempel di dinding seperti sarang burung walet, tempatku menginap semalam. Di dalam kulihat lelaki tua berjubah ungu itu sudah tertelungkup, dengan cawan yang sudah terguling dan air tehnya menggenang pada meja pendek.

Sebagian air teh itu juga sudah membasahi kertas yang sudah bertulisan. Rupanya lelaki tua berjubah itu menyeduh teh sebelum menulis, dan sempat meminumnya selagi menulis, tetapi kemudian tertelungkup karena ternyata kehilangan nyawanya. Pasti kejadiannya belum lama. Ia sudah menulis ketika aku keluar dari balai pertemuan ini tadi pagi, dan waktu itu di meja pendek tempat lelaki tua tersebut menulis belum kulihat teko maupun cawan berisi teh panas. Di balai pertemuan itu memang terdapat irisan daun teh pada suatu tempat dari anyaman bambu, agar siapapun menyeduhnya sen-diri dengan air panas. Di belakang balai, terdapat tempat untuk memasak air itu.

Berarti kejadiannya memang belum lama, berlangsung ketika Angin Mendesau Berwajah Hijau mengisahkan riwayat Yan Zi, yang berlanjut dengan acara minum teh. Setelah aku pergi ia berhenti menulis, menyeduh teh, dan kembali ke mejanya. Ketika mulai menulis kembali, ia minum teh dari dalam cawan yang sudah disiapkannya sendiri....

"Racun ," desis Angin Mendesau Berwajah Hijau.

Kuamati permukaan genangan air teh yang tumpah dari cawan di atas meja, meski samar terlihat kebiru-biruan. Meskipun ilmu pemunah racun yang bekerja dengan sendirinya sebagai warisan Raja Pembantai dari Selatan sudah menguap bersama dengan penguasaan atas filsafat Nagarjuna, pengenalan tersembunyi tentang racun itu tidak pernah hilang, meski aku sendiri tidak merasa pernah belajar cukup sungguh perihal racun.

Serigala Hitam segera memeriksa teko, dan Serigala Merah membuka tutup penyimpan irisan-irisan daun teh. Sementara Angin Mendesau Berwajah Hijau menyelamatkan kertas bertulisan yang dirayapi resapan air.

"Racun itu berasal dari sini," ujar Serigala Hitam.

"Ya, daun-daun teh ini bersih," ujar Serigala Merah.

Masalahnya, siapa yang telah memasukkan racun itu ke dalam teko? Yan Zi yang sejak tadi bagaikan tersihir berkelebat menghilang. Tentu ia mencari orang-orang yang mengurus balai pertemuan, termasuk merekas yang mempersiapkan irisan-irisan daun teh dan menyediakan segala peralatan yang ada di situ, antara lain ceret, teko, maupun cawan untuk minum teh.

Tubuh orang tua itu masih hangat. Barangkali nyawanya baru saja lepas dalam sekejap mata. Aku mengerti betapa persoalan bisa menjadi pelik, bukan sekadar karena seorang tua yang lidahnya dipotong mati diracuni ketika sedang menulis, melainkan karena seseorang telah diracuni di dalam Kampung Jembatan Gantung yang sangat ketat pertahanannya atas penyusupan dari luar. Satu kali sahaja suatu titik tembus, meski hanya oleh satu orang, sangat mudah segera berubah menjadi satu pasukan, yang niscaya akan membakar, menjarah, membunuh, dan memperkosa, memusnahkan segalanya yang dianggap sebagai bibit-bibit pemberontakan. Pikiran, itulah masalahnya, tidak harus pikiran untuk memberontak, bahkan berpikir untuk tidak menjadi sama, melainkan untuk menjadi berbeda, meskipun hanya sebagai pikiran, bagi kekuasaan yang menghendaki kemutlakan, sudah lebih dari cukup untuk sebuah pembasmian.

Keadaan harus dianggap genting bagi Kampung Jembatan Gantung jika telah berlangsung penyusupan yang mampu menembus tabir tanda-tanda rahas ia penuh jebakan menyesatkan, maupun lolos dari mata tajam para penjaga batas-batas perkampungan. Pembunuhan seorang tua berjubah ungu yang bekerja di istana, tetapi yang sudah lari jauh ke pelosok seperti ini, bahkan ke suatu tempat yang amat sangat tersembunyi, tentu dilakukan petugas rahasia yang dengan suatu cara telah membongkar kunci-kuncinya. Namun aku tahu, mengingat begitu mustahilnya Kampung Jembatan Gantung ini ditemukan dalam berpuluh-puluh tahun perburuan oleh para petugas rahasia, yang sangat ditakuti oleh Angin Mendesau Berwajah Hijau adalah terdapatnya mata-mata tidur, yakni mata-mata yang telah ditanam selama berpuluh- puluh tahun, hanya untuk melakukan tindakan pada saat yang sangat amat menentukan.

MUNGKINKAH terdapat mata-mata tidur di antara semua orang yang telah mereka kenal dengan akrab ini? Bahwa hampir setiap warga Kampung Jembatan Gantung memiliki kemampuan tempur yang diwariskan oleh para pemberontak gagah berani tentu sudah menjadi pengetahuan bersama. Namun jika dengan kemampuan yang tinggi sa lah seorang warga ternyata adalah mata-mata tidur, pada dasarnya riwayat Kampung Jembatan Gantung sebagai benteng persembunyian terakhir sudah tamat. Akupun takbisa membayangkan, seseorang menunggu dengan tabah dan sabar selama berpuluh-puluh tahun, untuk suatu ketika memutuskan bahwa orang tua berjubah ungu itu tergolong ancaman bahaya yang harus dimusnahkan. Sebelum ia menulis lebih banyak lagi.

Cara berpikir semua orang yang ada di ruangan ini ternyata sama.

''Mengapa kertas bertulisan ini tidak diambilnya?'' ujar Angin Mendesau Berwajah Hijau.

Serigala Hitam yang memeriksa teko, ceret, maupun cawan, juga seperti Serigala Merah, dengan mengendus- endusnya, rupanya sangat memahami ilmu racun.

''Racun ini tidak mungkin dibuat di sini, bahannya tidak terdapat di Negeri Atap Langit,'' katanya.

Sesuatu terasa bergerak di dadaku. Tidakkah hanya diriku satu-satunya unsur asing di sini? Apakah mereka akan menggeledahku? Betapapun jika mereka berm inat melakukannya, aku merasa hal itu masuk akal. Meski ternyata lanjutan kata-katanya membuat diriku tenang.

''Racun ini kepahitannya memang mirip teh,'' ujar Serigala Hitam yang bahkan berani mencecap dengan lidahnya, dari a ir teh yang ia tuangkan sedikit ke punggung tangannya, ''maka sama sekali tidak mencurigakan.''

Ia pun mengibas-ngibaskan tangannya, sambil berteriak. ''Hanya beberapa tetes saja sudah begini gatal rasanya!'' Angin Mendesau Berwajah Hijau yang masih memegang kertas kemudian ikut mencicipi, tetapi yang seperti juga Serigala Hitam segera meludahkannya keluar jendela.

''Racun ini tergolong dalam jenis-jenis racun Lendir Naga,'' katanya, ''berasal dari campuran bisa ular senduk di Jambhudvipa dengan jamur hitam beracun dari Persia. Campuran langka hanya bisa didapatkan para pengolah racun yang sudah sangat tinggi tingkatnya.''

''. dan dibayar mahal tentunya,'' sambung Serigala Merah.

''.... seorang pengolah racun yang mendapat banyak kemudahan untuk mendapatkan segala bahan yang diinginkannya,'' Serigala Hitam melanjutkan, ''bagaimana mungkin seseorang di tempat terpencil dan tersembunyi seperti Kampung Jembatan Gantung ini bisa mendapatkannya?''

''Istana!'' Sergah Angin Mendesau Berwajah Hijau yang tampak mengerut wajah tuanya.

''Tabib istana,'' lanjutnya hati-hati, ''para tabib istana selain bertugas mengolah obat, sebetulnya bertugas juga mengolah racun untuk pembunuhan-pembunuhan gelap yang dilakukan istana. Hanya istana melalui lintas perdagangan antarnegara, baik me lalui laut maupun Jalur Sutera, bisa mendapatkan bahan-bahan pembuat racun terlangka dari pelosok dunia manapun.''

Serigala Merah dengan hati-hati memeriksa busana orang tua yang belum digeser dari telungkupnya itu. Aku terhenyak dengan kecepatan berpikir orang-orang keturunan pemberontak di tempat terpencil ini.

Sementara itu tibalah Yan Zi kembali dan ia berkata bahwa tidak seorangpun dari mereka yang mengurus balai pertemuan ini patut dicurigai. Mereka tidak berada di tempat ini pada saat-saat yang terhubungkan dengan kematian orang tua berbaju ungu yang masih tertelungkup tersebut, dan banyak pula saksi-saksi mendukungnya.

Saat itulah Serigala Merah berteriak seperti menemukan intan berlian.

''Ini dia!''

Ia menunjukkan sebuah kantong kain, dan memperlihatkan kepada kami semua apa yang menjadi isinya. Ternyata seperti serbuk berwarna hitam, yang ketika sebagian ditaburkan ke dalam yang telah diisi teh lagi, memperlihatkan akibat yang sama, yakni permukaannya secara samar agak kebiruan, meski sepintas lalu tidak kelihatan sama sekali.

''Siapa mau coba?'' Serigala Merah bercanda mengangkat cawan itu.

''Jadi rupanya bapak tua ini sendirilah yang telah menuangkan racun Lendir Naga ini dan meminumnya. Racun ini memang mirip teh rasanya, dan bekerjanya begitu cepat sehingga korban tidak tersiksa. Orang tua ini sengaja memilih dan membawa Lendir Naga di antara banyak racun yang tersedia di tangan tabib istana, artinya sadar bahwa ada kemungkinan ia harus menggunakannya,'' ujar Angin Mendesau Berwajah Hijau.

''MENGAPA ia meminum racun ini justru ketika tidak seorang pun menekan dan mengejarnya, pada saat ia bebas untuk mengungkapkan atau tidak mengungkapkan kata hatinya?'' Serigala Hitam bertanya-tanya, seperti kepada dirinya sendiri.

Perhatian semua orang kini terpindahkan kepada kertas bertulisan yang ada di tangan Angin Mendesau Berwajah Hijau.

''Apakah yang akan dituliskannya?''

''Apakah ia minum racun setelah selesai menulis?'' ''Apakah tulisannya terpotong karena minum racun?''

Orang tua yang lidahnya terpotong, sehingga dari mulutnya terdengar suara gagu itu, tubuhnya masih menelungkup tanpa nyawa, dan kami semua susah mengeja aksara-aksara yang dituliskannya. Meskipun belum terlalu menguasai aksara maupun bahasanya waktu itu, kucoba untuk menuliskan dan menerjemahkannya seperti ini.

Kami hanya orang-orang tersingkir,

dibuang, dias ingkan, dibunuh, dan dilupakan...

Kalimat ini tidak mengejutkan, tetapi bagi kami yang sedang menyelidiki, sepotong kata berbicara banyak. Apakah kata kami misalnya, menyatakan banyak orang yang diburu untuk dibunuh, ataukah suatu golongan tertentu yang merupakan golongannya pula, ataukah kedua-duanya, golongan tertentu yang semuanya diburu untuk dibunuh?

Kata tersingkir menunjukkan ada yang menyingkirkan, dan begitu pula untuk diasingkan dan dibunuh. Namun kata dilupakan bukan sekadar menunjukkan bahwa ada yang melupakan, melainkan bahwa golongan yang sekarang diburu itu, sebelumnya adalah golongan yang dekat dengan kedudukan yang memungkinkan untuk menyingkirkan, mengasingkan, dan membunuh, seperti suatu kekuasaan.

Aku teringat peristiwa di luar celah, ketika seseorang menunjuk orang tua itu.

''Kamu! Ya, kamulah orangnya! Aku tidak bisa melupakan wajahmu yang seperti seekor unta itu!''

Dari peristiwa ini aku mendapat kesan, bahwa orang tua itu memiliki kekuasaan dan dalam penyelenggaraan kekuasaan itu melakukan kekejaman.

Mengingat orang tua ini dipotong lidahnya supaya tidak membocorkan rahasia, tetapi dibiarkan hidup, justru agar rahasianya suatu ketika terungkap juga; maka menjadi pertanyaan tentunya, apakah yang dituliskannya ini ada hubungannya dengan kerahasiaan yang menjadi bebannya selama ini, ataukah tidak ada hubungannya sama sekali?

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar