Nagabumi Eps 169: Lolos dari Pengintaian

Eps 169: Lolos dari Pengintaian

Dalam mimpiku kulihat Amrita. Berdiri mengambang di udara dengan busana tembus pandangnya, menatapku dengan tatapan sendu, tangan kanannya terulur seperti ingin meraihku. Ia melapisi busana tipisnya dengan jubah berwarna perak, seolah-olah dunia orang mati merupakan tempat yang dingin. Dunia orang mati tempat ia sedang berdiri mengambang itu tampaknya gelap dan di balik kegelapan itu bagaikan banyak orang-orang mati yang lain, mengambang dan menatap ke depan, tetapi hanya Amrita yang mendapatkan cahaya, sehingga ungkapan wajahnya tampak jelas mengungkapkan kerinduan.

Tidak lama kemudian ia berbalik, dan di udara itu berjalan menjauh bagaikan terdapat lantai takterlihat di langit kegelapan, tetapi sisa cahaya masih memperlihatkan lubang- lubang bekas tusukan senjata tajam di punggungnya yang masih berdarah.

AKU hanya bisa melihatnya dengan galau. Waktu terbangun rasanya ia masih begitu dekat. Menyadari ini semua hanyalah mimpi, aku mengalami kekosongan luar biasa yang terasa pahit.

Kusadari betapa semenjak kematiannya belum kuberi Amrita ruang dalam diriku, karena peristiwa yang menggelinding terus-menerus menarik perhatianku. Bahkan ketika enam bulan terbenam dalam ruang pustaka Kuil Pengabdian Sejati pun tiada ruang dalam diriku untuk ditempatinya, bukan karena aku tidak merasa kehilangan dirinya, melainkan usaha pengingkaranku terhadap kesedihan yang amat dalam. Kualihkan perhatian kepada banyak perkara yang berbeda, karena perasaan kehilangan itu sendiri bagaikan suatu jejak yang tapaknya tiada bisa dihapuskan. Perasaan kehilangan yang menancap sejak senandung lembut dan usapan menenangkan seketika digantikan guncangnya dunia sebagai bayi dalam kereta, yang disambar Sepasang Naga dari Celah Kledung sebelum kereta itu tercampak ke jurang.

Perasaan kehilangan itu bagai teralihkan, karena pasangan pendekar itu sungguh menjadi orangtuaku dengan pelimpahan kasih sayang luar biasa yang bagai tidak akan pernah mungkin dilampaui oleh orangtua mana pun. Namun dalam usia 15 tahun, perasaan kehilangan yang sama berulang, bahkan menjadi kekosongan menyakitkan, setiap kali teringat olehku adegan itu: punggung sepasang pendekar yang menyoren pedang di atas kudanya yang makin lama makin menghilang dari pandangan.

Mataku terasa basah. Kuingat meski di tengah suasana pertempuran, kebersamaanku dengan Amrita telah memberikan kehangatan dalam kehidupanku yang nyaris selalu berjalan sendiri, tiada berkawan maupun berteman.

Kematiannya yang mendadak memberikan ancaman kekosongan dan kepahitan, yang berusaha kuhindari dengan pengingkaran dan pelupaan melalui penenggelaman diri ke dalam segala kegiatan yang menyita perhatian, meski ternyata tetap saja menyeruak dan menjelma kenyataan bagaikan tanpa penyebab apa pun yang harus mengingatkan. Air mataku pun tumpah tak tertahankan. Mungkinkah hanya karena aku lelah untuk terus menerus berada dalam kewaspadaan, maka segala sikap yang harus kuhindarkan sebaliknya menjadi bagian diriku yang tidak terlepaskan?

Seorang pendekar tidak menangis. Itulah ajaran set iap perguruan silat. Apakah ini berarti harus kulupakan hubunganku dengan Amrita, untuk membuatku tidak perlu bersedu sedan, dan mengembalikannya kepada takdir, sehingga tidak usah membuatku selalu terpikir?

Kurelakan diriku menangis untuk Amrita, untuk diriku, untuk segala sesuatu yang tidak memungkinkan kami tetap bersama. Sampai habis tanpa sisa.

Pepatah tua Negeri Atap Langit memang berkata:

hubungan manusia bisa melukaimu tetapi takdir tidak begitu

Maka kuanggap kesedihanku tuntas, tinggal keset iaan yang membuatku menempuh jalur perjalanan ini, yang tentulah menuntut kewaspadaanku. Agaknya aku memang telah tertidur terlalu lama, karena waktu kutengok ke arah Harimau Perang tadinya berjalan, ternyata ia sudah tidak kelihatan lagi.

Aku terkesiap. Apakah dia telah melewati Celah Dinding Berlian ini? Kusadari kembali begitu beratnya peran menjadi pengintai ini, karena jika yang diintai sedang tidur maka pengintai harus tetap mengawasinya, sebaliknya jika pengintai tidur, siapa akan pernah tahu yang diintainya bangkit dan berkelebat pergi?

Aku memang sangat amat terlalu lama tidur, karena matahari sudah miring ke barat. Segera kutengok ke bawah, kuda Uighur itu sudah tidak ada lagi! Sebaliknya, justru keduabelas kuda yang semula mengiringinya, ditambah kudanya sendiri, semuanya berada di situ!

Kuda Uighur yang cerdas, yang kuharapkan memberi isyarat kepadaku akan segala sesuatu, ternyata lenyap bersama penunggang baru. Harimau Perang dengan cerdik berganti kuda, karena tahu menilai kuda dan terutama bahwa kuda yang ditemukan itu masih segar bugar. Jika ia pun diburu oleh waktu, maka keputusannya itu memang tepat sekali. Tidak ada kuda lain yang bisa mengungguli kelancaran perjalanan bersama kuda Uighur itu.

AKU pernah merasakan diburu oleh gerombolan Naga Hitam, kini aku yang sebetulnya kutahu masih juga dicari-cari bahkan sampai Kambuja, mesti memburu Harimau Perang yang sebetulnya bukan tidak mencariku, mengingat apa yang dilakukan perkumpulan rahasia Kalakuta di Kuil Pengabdian Sejati maupun Celah Dinding Berlian. Namun jika Naga Hitam maupun Harimau Perang memburuku dengan banyak kaki tangan, aku mesti memburu seseorang yang tahu betul apa artinya kerahasiaan hanya sendirian, di wilayah yang sama sekali tidak kukenal, sehingga menimbulkan rasa keterasingan.

Kutahu diriku berada dalam kegelapan, tetapi kubuang jauh-jauh perasaan putus asa. Aku harus memikirkan segala sesuatunya dengan tenang. Jika memang Harimau Perang melakukan perjalanan rahas ia atas panggilan istana di Chang'an, itu tidak berarti aku dapat begitu saja mencegatnya di istana maupun di kotanya. Bukan sekadar karena aku pun masih asing dengan se luk beluknya sebagai orang as ing, tetapi karena dalam tugas rahasia tentu terdapat pula jalur rahasia yang sulit diduga, sehingga tujuan Harimau Perang tidak dapat dipastikan akan langsung menuju ke istana.

Sejauh yang dapat kutebak dari cara-cara penugasan rahasia seperti diajarkan Amrita, seseorang akan menunggu atau menjemput Harimau Perang di suatu tempat, dan dari sana ia akan diantarkan untuk bertemu dengan siapa pun yang telah memanggilnya untuk menempuh perjalanan rahasia sejauh ini. Namun untuk sampai kepada yang mengundangnya pun masih harus melalui cara yang berliku- liku, karena justru siapa pun yang terlibat penugasan rahasia juga sangat mengetahui bahaya yang akan datang dari jaringan rahas ia lawannya. Dunia kerahasiaan dengan demikian memang merupakan tempat pertarungan yang sangat ketat dalam kebisuannya, karena tidak pernah tampak di permukaan, meskipun penuh dengan pembunuhan dalam kegelapan.

Dengan segala kerahasiaan pada set iap langkahnya, aku memang harus mengintainya seperti yang sudah direncanakan. Jika kini ternyata Harimau Perang menghilang, tentu aku harus melacaknya mulai dari tempat yang terdekat, sedapat-dapatnya sampai dapat, karena meskipun begitu sulitnya menduga jalan mana yang akan ditempuhnya, pencarian yang manapun kuyakin akan menghasilkan penemuan dan perburuan seharusnyalah menjadi sesuatu yang menarik untuk mengisi kehidupan.

Jadi untuk memburu Harimau Perang aku harus mampu membaca cara berpikir Harimau Perang. Misalnya ketika diputuskannya mengganti kuda dan mengambil kuda Uighur itu, apakah yang dipikirkannya? Jika ia membutuhkan kuda yang masih segar, dengan meninggalkan kudanya dan mengambil kudaku, jelas itu hanya berarti Harimau Perang ingin sampai secepat-cepatnya ke tempat tujuan.

Namun sementara itu, apakah yang dipikirkannya tentang kuda Uighur tersebut? Tidakkah ia mengetahui atau setidaknya menduga bahwa kuda itu mungkin saja apa pemiliknya? T idak ada kuda liar di gunung-gunung batu. Atau kiranya ia kenalikah kuda Uighur yang dicuri dari ista l kuda pengawal rahas ia di Thang Long itu? Jika kubandingkan dengan kuda Uighur lain yang tiba-tiba menjadi banyak sekali di sini, meskipun juga merupakan kuda perkasa pilihan, kuda Uighur yang kutunggangi memang jelas lebih menonjol karena pengertian dan kecerdasannya yang dapat diandalkan.

Sangat besar kemungkinan Harimau Perang mengetahui keberadaan kuda Uighur yang dapat berpikir sendiri itu. Bahkan sekarang, teringat bahwa aku tidur terlalu lama dan tidak mendengar ringkik kuda, tentulah karena kuda itu mungkin saja tidak meringkik sama sekali. Jika bukan karena Harimau Perang menguasai mantra kuda, mungkin sekali kuda itu juga mengenal Harimau Perang. Aku bahkan tidak akan terlalu heran jika ternyata itu adalah kuda tunggangan Harimau Perang. Artinya, mungkin setelah seorang anggota perkumpulan rahasia Kalakuta membunuh mata-mata Uighur suruhan khagan itu atas pesanan Harimau Perang, lantas kuda itu diambil pula untuk Harimau Perang sendiri.

Jaringan rahasia para rahib Kuil Pengabdian Sejati telah melakukan kesalahan dalam memilih kuda yang mereka curi!

Bagiku menjadi penting untuk menyadari, bahwa Harimau Perang kini tahu dirinya diikuti. Tidak akan tanpa alasan penting bahwa kuda yang sangat dikenalnya itu berada di kesunyian dan keterpencilan wilayah lautan kelabu gunung batu, dan bersama dengan itu mungkin terjawab semua pertanyaan yang mengganggu benak dalam perjalanannya.

Betapapun, dalam perjalanan rahasia siapapun akan terpaksa menjadi peka terhadap kemungkinan betapa rahasianya akan terbongkar. Maka mungkin ia akan waspada terhadap kemungkinan diikuti atau diintai dari mana-mana. Apabila te lah diperiksa oleh para pengawalnya sampai jauh ke belakang, ke samping kiri maupun kanan sampai ke balik puncak dan jurang, dan memang tiada penguntitan maupun pengintaian, maka tentunya ia menempuh perjalanan dengan tenang.

MUNGKIN tidak pernah dipikir kemungkinan yang kulakukan sesuai anjuran Iblis Sakti Peremuk Tulang. Bahwa seseorang mungkin menunggu dan baru akan mengikutinya setelah melewati Celah Dinding Berlian. Jadi segala sesuatu yang justru tidak berlangsung di hadapannya meskipun mumgkin menimbulkan pertanyaan tidak membangkitkan kecurigaan.

Bukankah rombongan dua puluh pengawal yang mengikutinya, gabungan pengawal rahasia istana dan anggota perkumpulan rahasia Kalakuta, bukan sekadar dimaksudkan untuk melindungi Harimau Perang dari kemungkinan serangan gelap para penyelusup, melainkan juga untuk menghadapi dan membersihkan rintangan serta ancaman bahaya dari depan? Menyeberang dari Daerah Perlindungan An Nam ke Negeri Atap Langit melewati lautan kelabu gunung batu seperti itu sudahlah jelas akan menghadapi kemungkinan diganggu oleh para penyamun, baik yang berasal dari para pelarian dan pemberontak yang dari tahun ke tahun semakin menumpuk di situ, maupun penjahat kambuhan yang terusir dari peradaban, tiada lagi yang mau menerima mereka selain sesama manusia sempalan dan terbuang.

Maka jika semula mungkin Harimau Perang sempat bertanya-tanya dalam benaknya di manakah kiranya para penyamun atau para pendekar yang suka berkelebatan mencari lawan ini, kini mungkin ia telah menyimpulkan dugaan, betapa seseorang yang menunggangi kudanya ini dan mendahuluinya telah dengan terpaksa membantai dan membersihkan segala rintangan di depan. Harimau Perang tentu mengerti bahwa penunggang kuda yang telah mendahului rombongannya di depan, memang harus menyapu bersih halangan apapun di depannya untuk menghilangkan segala jejak yang pasti akan memberitahukan keberadaannya itu. Harimau Perang tentu juga bisa membayangkan bagaimana pertarungan antara satu penunggang kuda itu telah berlangsung menghadapi kawanan penyamun sepanjang lautan kelabu gunung batu ini. Harimau Perang betapapun juga akan mengerti betapa dengan kemampuan seperti itu, bukan hanya gerombolan penyamun tetapi para pendekar yang mengembara ke mana- mana mencari lawan demi sebuah pertarungan akan segera berkelebat menyambar dengan jurus mematikan. Jika kemudian se lama perjalanannya sendiri ternyata memang tiada lagi yang mencegat dan mengganggunya, maka tentu jelas pula betapa mereka itu sudah terkalah-kan, dan bahwa tiada sesosok mayat pun tampak menggeletak sepanjang ja- lan, maka agaknya memang telah ber-langsung pembersihan besar-besaran.

Tentu Harimau Perang itu akan ber-pikir, siapakah kiranya penunggang kuda dari Thang-long yang mampu melakukan semua itu? Tentu ia pun kini mengerti bagaimana caranya ketujuh anggota perkumpulan rahasia Kalakuta yang mendahului me laju ke depan untuk memeriksa keadaan itu tidak kembali setelah terlibat pertarungan, meski memang tidak diketahuinya jika yang dua orang mati terbunuh olehku, maka kelima orang yang menyusul teman-teman sejawatnya itu tewas di tangan bapak kedai, yang dengan penuh rasa bersalah belum juga kuketahui namanya itu...

Banyaklah yang akan menjadi semakin jelas baginya, termasuk ketika setelah dilewatinya Celah Dinding Berlian akan didengar berita tentang runtuhnya Perguruan Kupu-kupu setelah seribu muridnya tewas menyusul Pendekar Kupu-kupu, meninggalkan guru mereka yang tua, yang hanya tinggal sendiri menghuni rumah perguruan mereka yang besar tetapi kosong.

Ia akan bertanya-tanya siapakah kiranya dan apakah kiranya tujuan sebenarnya mendahului rombongan selain dari memata-matainya, mengingat bahaya luar biasa yang akan dihadapi hanya demi sebuah kejelasan atas tujuan perjalanannya. Apakah ia seorang musuh besar dengan dendam kesumat tiada terkira? Jika ini alasannya, Harimau Perang merasa tidak ada seorang pun yang bisa disebut musuh dari urusannya sebagai petugas jaringan rahas ia mata- mata harus mempunyai dendam kesumat tiada terkira. Tentu saja ketiadaan jawaban akan membingungkannya, karena tidak ada orang betapapun saktinya akan sudi menempuh alam yang berat ditambah ancaman manusia di mana-mana, tanpa tujuan yang dianggapnya begitu penting. Namun melihat akibat sapu bersih sepanjang perjalanan, yang membuatnya bagaikan hanya sedang berjalan-jalan tamasya, akan menjadikan ia bertanya-tanya siapakah kiranya orang yang sanggup melakukannya dan sekali lagi apakah kiranya tujuannya.

Sampai di sini ia akan berpikir apakah kiranya yang selama ini dilupakannya, padahal jelas berada di depan mata? Mungkinkah akan segera diketahuinya bahwa setelah Amrita Vighnesvara, perempuan panglima puteri Raja Khmer Jayavarman II yang perlaya sebagai kepala pasukan gabungan pemberontak atas kekuasaan Negeri Atap Langit di Daerah Perlindungan An Nam, masih ada seseorang tak bernama yang belum pernah berhasil dilumpuhkan?

IA sudah mendengar betapa seseorang yang berasal dari Kerajaan Ma-taram yang diperintah Wangsa Syai-lendra di Yawabhumipala itu disebut para panglima pasukan pemerintah sebagai Pendekar Tanpa Nama, yang mendadak menghilang dan ditemukan kembali oleh para petugas rahasia di Kuil Pengabdian Sejati. Harimau Perang akan mengingat betapa usaha membunuhnya gagal, dan semenjak itu ia menghilang. Tentu Harimau Perang sangat maklum betapa manusia satu ini sebetulnya disembunyikan dalam perlindungan para rahib. Ia tahu benar betapa rahib kepala Kuil Pengabdian Sejati itu sebetulnya menentang penguasaan Negeri Atap Langit atas Daerah Per-lindungan An Nam.

Maka dengan sendirinya Harimau Perang akan segera menghubungkan jaringan rahas ia para rahib Kuil Pe-ngabdian Sejati yang bukan tak diketahuinya, dengan istal kuda pasukan pengawal rahasia istana tempat kuda itu berada. Seorang petugas mata-mata dari U ighur telah membawa kuda itu telah terbunuh, dan kuda yang diketahuinya memang hebat itu diambilnya. Ia telah mengucapkan mantra kuda ke teli-nganya untuk menjamin kepemilikan, meski ternyata kuda itu masih berhasil dicuri juga. Saat kuda itu hilang ia tidak terlalu curiga, karena suasana seusai perang memang selalu penuh dengan kekacauan, lagipula kemudian perhatiannya terpusat kepada persiapan perjalanan rahasia.

Maka, demikianlah aku mencoba memasuki pikiran Harimau Perang, mungkinkah orang dari huang-tse ini yang telah menunggangi kuda Uighur tersebut sampai ke Celah Dinding Berlian ini? Orang dari Javadvipa yang disebut sebagai Pendekar Tanpa Nama?

Apakah kiranya yang dipikirkan Harimau Perang sete lah mempertimbangkan kemungkinan seperti ini? Kukira kali pertama dirinya akan menghilang. Dalam kepalaku segera terbayang jalan setapak di tepi jurang yang menghilang di balik kabut dan semak-semak yang sebagian di antaranya menuju ke pemukiman penduduk asli, yang untuk sebagian sebetulnya pelarian juga, bekas pemberontak dari wangsa- wangsa lama, jauh sebelum berdirinya Wangsa Tang, sehingga keturunannya lahir di sana juga. Namun terbawa oleh sifatnya sebagai pelarian dalam kekalahan pemberontakan, maka segenap pe-mukiman di lautan kelabu gunung batu itu masih seperti tempat persembunyian, dalam kedudukan yang sangat bagus untuk bertahan jika diserang.

Telah disebutkan betapa pertemuan antarjalan setapak ini jika terpandang dari atas bagaikan serabut urat saraf yang tidak terpetakan, tetapi melihatnya dari atas tidaklah dimungkinkan sama sekali mengikuti jalan setapak itu berarti memasuki gumpalan kabut di dalam hutan. Jadi aku tahu Harimau Perang sudah mempunyai tujuan, tetapi membayangkan betapa diriku mungkin masih berkeliaran di sini, dan akan segera mengejarnya setelah kuda Uighur itu hilang, maka akan diutamakannya untuk segera melenyapkan diri dari pan-dangan. Bagaimana dari jalan setapak terdekat itu ia akan mencapai tempat tujuannya dapat dipikirkan kemudian. Sementara ini yang penting adalah menghilang.

Kuingat lagi tempat-tempat terdekat dengan garis perbatasan yang mungkin menjadi tempat tujuan. Di antara Maguan, Jinghong, Geiju, dan Wen-shan, adalah Maguan yang paling dekat dengan tempatku berdiri di Celah Din-ding Berlian ini. Namun jika kukatakan paling dekat itu sama sekali tidak berarti dekat, dan karena itu arahnya jelas, karena selain jalan sempit di tepi jurang ini yang menuju ke sana sembari masih berkelak-kelok dan memutari berbagai puncak pula, terdapat juga jalan-jalan setapak dalam serabut jaringan jalan setapak di dalam hutan dan kabut, yang takhanya menuju ke Maguan, melain-kan ke tujuan mana pun di wilayah perbatasan. Jalan setapak inilah yang akan tiba-tiba memunculkan pemukiman, di tepi jurang, di dalam hutan, di atas pohon, di mana pun tempat itu tidak mudah ditemukan.

Apabila aku melewati pemukiman yang dilewati pula oleh Harimau Perang, maka aku masih memiliki harapan menemukan jejaknya. Maka kulepaskan semua kuda itu, dan bersuit memanggil tujuh kuda yang sebelumnya ditunggangi anggota Kalakuta. Dua kuda pertama yang ditinggalkan para penyerangku agaknya sudah lama berkeliaran di sini, kemudian disusul kelima kuda anggota Kalakuta yang terbunuh oleh bapak kedai.

Kutunggangi salah satu saja, dan apa yang akan terjadi pada sembilan belas kuda lainnya kuserahkan kepada nasib mereka sendiri. Kata pepatah Negeri Atap Langit yang pernah kudengar:

segalanya dari masa lalu mati kemarin segalanya pada masa depan lahir hari ini (Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar