Nagabumi Eps 166: Olah Gerak Lima Hewan

Eps 166: Olah Gerak Lima Hewan

Kabut membawaku pergi ke tengah jurang ketika berpendar menjelang fajar. Aku memang harus menjauh jika ingin tetap dapat mengamatinya tanpa diketahui sama sekali. Kabut berpendar karena angin dan terang langit yang meski sama sekali tanpa cahaya matahari secara samar-samar memperlihatkan pemandangan, dan karena itulah dari kejauhan dapat kusaksikan punggungnya, yang untuk sementara kuandaikan saja sebagai Harimau Perang itu, mengendarai kudanya menempuh jalan sepanjang tepi jurang yang berkelak-kelok mengikuti lingkar pinggang gunung, dengan lambat tapi pasti menuju Celah Dinding Berlian.

Seingatku tiada jalan setapak berbelok ke pemukiman di balik semak-semak dan kabut dari titik pohon siong tempatku semula bersembunyi sampai ke Celah Dinding Berlian, sehingga tentunya Harimau Perang itu tidak akan berbelok ke mana pun. Jalan setapak ke pemukiman penduduk asli yang belum pernah kulihat, menurut Iblis Suci Peremuk Tulang, akan sangat banyak setelah Celah Dinding Berlian terlewati. Selain terdapat lebih dari satu jalan menuju Chang'an, yakni melalui Kunming maupun Dali, meski kedua-duanya akan melalui Chengdu, dari jalan yang banyak menuju Kunming dan Dali itu banyak jalan setapak yang menuju ke pemukiman di balik semak dan kabut, dan antara pemukiman yang satu dengan pemukiman yang lain, secara terputus-putus maupun bersambung, terdapat jalan setapak yang selain saling menghubungkan masih juga bercabang-cabang. Kiranya itulah yang membuat Iblis Suci Peremuk Tulang memastikan, bahwa aku bisa menunggu saja rombongan Harimau Perang di Celah Dinding Berlian, tetapi dari Celah Dinding Berlian jangan sampai kehilangan jejak, karena sekali lenyap menemukannya kembali adalah mustahil.

Ini bagaikan terdapatnya sebuah dunia di balik dunia. Jalan sempit yang terletak antara dinding tebing dan jurang itu, meskipun merupakan jalan utama satu-satunya di sepanjang lautan kelabu gunung batu, tetaplah merupakan jalan sempit yang meskipun kadang-kadang membesar, dengan segala jenis titiannya yang serba mengkhawatirkan, sangatlah penuh bahaya. Bukan hanya jalan yang sempit kadang-kadang terputus karena batu besar yang longsor, melainkan juga karena berbagai jenis binatang buas mungkin saja menyergap tiba-tiba tanpa pernah bisa diduga. Maka tiadalah bisa kubayangkan jika ternyata melalui jalan setapak yang menghilang di balik semak dan kabut masih terdapat juga dunia manusia yang lain. Jika seluruh wilayah perbatasan ini bagaikan hanya terdiri dari dinding, tebing, jalan sempit, pohon siong di sana-sini, semak-semak, gundukan batu-batu besar, titian, dan jurang, maka bagaimanakah kiranya pemukiman yang katanya memang ada itu berbentuk, dan bagaimanakah manusia yang bertempat tinggal di sana menjalani kehidupannya?

Jika antara pemukiman yang satu dan pemukiman yang lain terdapat juga jalan setapak, yang mestinya juga dihubungkan oleh titian yang satu dengan titian lainnya, yang dalam kabut semua itu tidak tertampakkan, bukankah tidak terlalu keliru kukatakan sebagai keberadaan suatu dunia di balik dunia? Rombongan pemain wayang yang berpapasan itu, yang dalam kenyataannya mengembara dari pemukiman yang satu ke pemukiman lainnya, menunjukkan betapa dunia itu sebetulnya sungguh menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari juga. Betapapun, menurut Iblis Suci Peremuk Tulang, jika Harimau Perang masuk ke balik semak dan kabut, dan lolos dari pengamatanku, tidak akan mungkin menemukannya kembali ketika menyusul ke sana, karena serabut jalan-jalan sempit yang saling bersilang antara pemukiman satu dengan pemukiman lain sepanjang lautan kelabu gunung batu tidaklah terhitung banyaknya.

Namun hanya ada satu jalan ke Celah Dinding Berlian dan kabut telah semakin berpendar ketika hari semakin menjadi terang. Hanya kulihat Harimau Perang menunggang kudanya dari belakang. Ia berambut panjang yang terurai menutupi punggungnya, sedangkan kepalanya bercaping lebar.

TERLIHAT juga dua pedang ksatria yang disebut jian tersoren saling menyilang di punggungnya. Samar-samar terlihat juga kuda-kuda lainnya mengikuti dari belakang. Kuda yang baik lebih berguna daripada manusia yang jahat. Begitukah? Kedua belas kuda itu penunggangnya sudah mati terbunuh. Kini mereka menjadi kuda terlatih tanpa penunggang, mengikuti saja kuda terdepan ke mana pun berjalan.

Aku bergerak di tengah sisa kabut, yang dibawa angin langsung ke arah Celah Dinding Berlian, yang sedikit banyak telah kukenali lekuk liku celah-celahnya. Aku terbawa angin sampai menempel ke dinding raksasa menjulang yang dengan sedikit saja cahaya pantulannya akan memancar berkilau- kilauan. Kegelapan malam telah berubah menjadi kekelabuan pagi. Aku memasang ilmu cicak dan ilmu bunglon, sehingga aku bisa merayap cepat menuju kedudukan yang dapat melihat ke semua jurusan tanpa menarik perhatian. Mengingat tingginya ilmu silat Harimau Perang, kutunda keinginan berkelebat di udara dalam pengintaian.

Memang bagaimana aku akan mengintainya menjadi pikiran berkepanjangan, karena membuntuti dan mengintai rombongan duapuluh orang berkuda yang saling berbincang, tentu lebih sulit dipergoki daripada mengikuti hanya satu orang dengan kewaspadaan terpasang.

Namun aku masih punya waktu untuk berpikir. Kabut ini membawaku ke Celah Dinding dalam garis lurus, sementara ia dengan kudanya masih harus mengikuti lingkar pinggang beberapa puncak sebelum sampai, dan setelah sampai pun ia masih harus beristirahat sebelum melanjutkan yang masih akan berat. Betapapun tentu tahu betapa hanya di Celah Dinding Berlian, tempat siapa pun yang menempuh jalan ini bisa beristirahat dengan tenang, serta tak jarang memang menjadi tempat perhentian. Aku sendiri memang perlu beristirahat tentunya, tetapi aku merasa wajib membaca habis dulu kitab gulungan yang diberikan bapak kedai itu. Aku merasa, tanpa pengetahuan secukupnya tentang orang-orang kebiri, aku tidak memahamin sepenuhnya pula sedang terlibat dengan persoalan macam apa.

Aku merayap dengan cepat seperti cicak ke gua tempatku telah kehilangan jenazah bapak kedai itu, seperti bunglon seluruh tampak tubuhku berubah-ubah mengikuti warna dinding batu yang kurayapi. Tentu aku bisa melenting ke atas saja meski hanya menjejak udara saja, tetapi perasaan was- was bahwa aku mungkin saja terlihat dari kejauhan ternyata lebih besar daripada ketepatan pertimbanganku. Betapapun, Harimau Perang memang masih cukup jauh, tetapi pada dasarnya aku harus waspada terhadap segala macam kemungkinan. Kuingat juga ucapan bapak kedai itu, yang mengingatkan bahwa di wilayah setelah Celah Dinding Berlian terdapatlah Perguruan Kupu-kupu, yang meski tidak jelas bagiku bagaimana caranya mereka mendapat kabar, tidak akan mungkin membiarkan tewasnya Pendekar Kupu-kupu dengan cara seperti itu berlalu tanpa pembalasan.

Mengingat segala kemungkinan itu, begitu tiba di dalam gua, dan melihat cuaca semakin cerah, untuk mengganti tidurku, aku segera melakukan O lah Gerak Lima Hewan yang telah diajarkan kepadaku oleh para rahib Kuil Pengabdian Sejati, yang juga mempelajarinya selama berguru di kuil-kuil Kaum Dao di Negeri Atap Langit.

(Oo-dwkz-oO)

KAUM Dao mengambil lima hewan sebagai contoh lima olahgerak, dengan mengacu kepada gerakan-gerakannya demi kepentingan penyembuhan. Artinya, meski aku tidak sakit, kelelahan tubuh karena kurang tidur untuk sementara dapat dipulihkan. Kusebut sementara, karena betapapun tidur yang cukup adalah prasyarat kesehatan. Lima hewan yang gerakannya diacu berasal dari kehidupan nyata maupun dongeng. Itulah naga, harimau, beruang, rajawali, dan kera. Dengan menirukan gerakan masing-masing yang tiada duanya, seseorang dapat meringankan keadaan tidak seimbang dalam tubuhnya, terutama lima alat tubuh utama dan alat-alat tubuh lebih kecil yang terhubungkan kepadanya.

Kuingat kata-kata bhiksu pelatihku saat itu.

"Bagi siapa pun yang sehat, yang manapun dari O lahgerak Lima Hewan ini dapat digunakan untuk memelihara tubuh dan jiwa agar tetap berimbang. Jika terdapat masalah tertentu, dapat dipilih olahgerakmana yang paling mendekati kebutuhan, sesuai penerapan pemikiran Dao tentang Hukum Ibu dan Anak.

"Adapun Hukum Ibu dan Anak, seperti diterapkan terhadap tubuh manusia, dilakukan berdasarkan persentuhan kelima unsurnya. Setiap unsur adalah Ibu dari unsur yang menggantikannya, dan pada waktu yang sama adalah Anak dari unsur mendahuluinya dalam lingkaran perjalanan, menggambarkan terdapatnya aliran daya pada seluruh unsur.

"KETIKA daya beredar di seluruh tubuh, terlintasi setiap anggota tubuh dan isi perut dalam lingkaran perjalanan yang jelas. Setiap anggota tubuh atau isi perut adalah Ibu dari alat tubuh atau isi perut yang menggantikannya dalam perjalanan berkelilingnya itu. Gejala ini didasarkan kepada Praduga Lima Unsur, seperti paru-paru mendukung ginjal, maka paru-paru menjadi Ibu bagi ginjal, ketika terjadi kekurangan daya dalam ginjal pada kedudukan sebagai Anak, maka menurut Hukum Ibu dan Anak, merangsang daya paru-paru sebagai Ibu dengan Olahgerak Rajawali akan menghasilkan peningkatan daya dengan sendirinya dalam ginjal."

Sampai di sini aku berhenti karena tiba-tiba badanku menjadi lumpuh kesemutan dan dalam sekejap aku tidak sadarkan diri. Kemudian segalanya kembali. Aku dilontarkan angin, tetapi aku merasa terhisap oleh suatu daya yang luar biasa. Apakah yang harus kulakukan? Pantulan cahaya serba terang yang sangat menyilaukan membuat aku semakin tidak dapat berpikir. Celah Dinding Berlian yang cahayanya dari jauh tampak lembut karena cahaya yang dipantulkannya adalah cahaya keperakan rembulan, ketika mendadak begini dekat ternyata menjadi sangat cemerlang, begitu berkilauannya sehingga membutakan. Jika dalam kebutaan bermakna gelap dapat kukerahkan ilmu pendengaran Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang yang akan menampilkan garis-garis cahaya kehijauan dalam keterpejaman, maka dalam kebutaan bermakna terang seperti kesilauan garis-garis cahaya kehijauan dalam keterpejaman menjadi tidak kelihatan. Dalam keterpejamanku hanya terdapat cahaya berkilau-kilauan, yang justru membuatku tenggelam dalam kebutaan.

Demikianlah peristiwa ini berlangsung cepat sekali, begitu cepatnya, sehingga lebih cepat dari pikiran. Aku merasa diriku lenyap di telan cahaya dan hanya cahaya. Kilas-kilas cahaya berkelebat menelan dan menggulungku, mengunyah dan meremukkan diriku. Aku tak bertulang, aku tak berdaging, rasanya diriku t iada bertubuh. Aku menjadi cahaya dan hanya cahaya, tetapi tetap diriku, ditelan cahaya demi cahaya... Darah melepaskan diri dari tubuh, juga daging dan tulang saling berpisah, anggota badan terpencar-pencar, jangan dikatakan lagi mata, hidung, lidah, telinga, rambut, usus, ginjal, limpa, dan entah apa lagi...

Ke mana diriku. Ke mana diriku. Ke mana diriku.

Aku hanya cahaya tanpa mata sehingga tidak bisa melihat apa-apa.

(Oo-dwkz-oO)

AKU seperti hidup di dalam mimpi. Namun jika setiap mimpi datang dari dalam diri, apakah makna mimpiku kali ini?

Aku adalah bayi dalam buaian. Tenang dan tenteram dalam tatapan mata terindah yang memang begitu indahnya sehingga tiada dapat dirumuskan. Mata yang indah dan suara yang merdu...

Tak kutahu betapa itu terdapat dalam diriku. Semula hanya sosok baur yang selalu bergerak, merengkuhku dalam jaminan kehangatan yang menenteramkan, sosok baur kekelabuan yang set iap kali mengendap ketika diriku menangis dalam keterasingan memberikan keakraban dan keteduhan.

Mengapa begitu jauh segala kedamaian itu kini, ketika kutempuh jalan menuju kesempurnaan, yang ternyata begitu sepi dan sunyi, karena siapa pun yang bertujuan sama harus disingkirkan? Jika kesempurnaan hanya memberi tempat bagi satu manusia sempurna, berapa banyakkah manusia harus menjadi korban sepanjang jalan persilatan dalam perebutan tempat di puncak kesempurnaan itu?

Tangisan itu tidak pernah pergi dariku. Setiap kali aku merasa terasing, sendirian, dan ditinggalkan, aku menangis, dan setiap kali menangis sosok kelabu itu se lalu datang lagi dan datang lagi.

Tangisan itu selalu datang lagi kemudian, ketika sosok kelabu itu berganti tiba-tiba, menjadi sosok kelabu lain, yang juga mendekapku setiap kali perasaan terasing yang mengilukan itu tiba, yang juga mendekap dan menghangatiku, sangat amat menyayangiku, bagaikan masih terasa olehku belaiannya yang begitu lembut dan sungguh meneduhkan itu...

Namun aku kemudian diberi pelajaran agar membiasakan diri dengan keterasingan dan kesendirian itu.

"Dikau tidak harus menjadi seorang pendekar, Anakku, meski segenap ilmu silat yang kami miliki juga telah menjadi milikmu, tetapi sekali dikau menempuh jalan persilatan, Anakku, ketahuilah betapa itu merupakan jalan yang sangat sepi, karena dikau akan se lalu berjalan sendiri. Dikau hanya akan dicari oleh lawan yang akan menantangmu bertarung dan membunuhmu pada kesempatan pertama, dan karena itu dikau harus membunuhnya sehingga dikau akan selalu berjalan dalam sepi. Begitulah akan se lalu terjadi sampai suatu ketika seorang pendekar mengalahkanmu. Namun tak dapat kami bayangkan ilmu s ilat macam apa yang akan dapat mengalahkan dirimu, Anakku, apabila telah dikau pelajari segala kitab ilmu silat yang juga telah kami pelajari "

Demikian pula kini aku merasa sendiri, melayang-layang sendiri dalam dunia kelabu masa laluku yang tak pernah kuketahui meski kualami.

BAGAIMANAKAH kenangan bisa datang seketika dengan begitu nyata dan hilang lagi dengan begitu cepatnya? Sebenarnyalah harus ku-katakan betapa kenyataan dan bayangan itu begitu tipis batasnya, sehingga terlalu sering bertukar tempat tanpa terasa. Kucari lagi keseim-banganku dan kujalani saja olah gerak itu.

Dalam Olah Gerak Rajawali, terta-ngani dua anggota tubuh dalam satu olah gerakan. Selain menjaga daya tahan dan keseimbangan ang-gota tubuh, olah gerak ini juga secara mangkus mele-nyapkan ketegangan, perasaan tertekan, kemarahan, dan kegelisahan. Menurut pemikiran Dao, perasaan tertekan dan ketegangan adalah musuh-musuh kesehatan yang paling mengikis jaringan anggota tubuh. Mereka yang me-nyetujui pemikiran Dao yakin, segenap masalah kesehatan dapat di-telusuri ke arah perasaan tertekan dan ketegangan. Meskipun sudah me-nelan makanan dan obat yang terbaik, perasaan tertekan dan kete-gangan dapat membahayakan kerja alat-alat tubuh, yakni membuat zat gizi yang sangat diperlukan untuk perbaikan bagian-bagian terkecil pembentuk tubuh menjadi tidak terserap.

Tentu peranan daya pembayangan yang tepat sangat penting dalam olah gerak dari kelima binatang itu masing- masing. Jika pikiran begitu nyata, sama nyata dengan keberada-an suatu benda padat, maka keduanya adalah sama, yakni ujud suatu daya. Maka pembayangan menjadi penting untuk menyatukan jiwa dan raga, agar bekerja bersama sebagai sesuatu yang utuh. ''Bisakah kiranya dibayangkan bagaimana gambaran seekor bina-tang tertentu dileburkan dengan gambaran tubuh seseorang akan memperkuat tubuh dan jiwamu?''

Kuingat waktu itu bhiksu kepala mengujiku di ruang teratas pagoda tingkat tujuh, dan ketika aku belum menjawab, ia pun melanjutkan.

''Jika seseorang melakukan olah gerak, pikirannya harus dipusatkan kepada gambaran binatang-binatang itu, dan olah gerak itu harus dihentikan begitu pikiran mengembara ke mana-mana. Peniruan gerakan bi-natang juga harus mengalir bebas.

''Dalam olah gerak binatang jangan salah satu binatang ditirukan berlebihan dari yang lain, karena de-ngan mengarahkan perhatian hanya kepada Olah Gerak Rajawali saja misalnya, yakni logam, maka kerja hati yang terandaikan sebagai kayu akan terkurangi. Namun jika kegiat-an hati ini jadi berlebihan, akan dapat ditenangkan oleh Olah Gerak Ra- jawali.

''Kata kuncinya adalah keseim-bangan,'' demikian bhiksu kepala me-nutup pengantarnya.

Kulihat di luar gua cahaya matahari berjuang memudarkan kabut. Angin membawa kabut melewati gua, sehingga pemandangan di ke-jauhan kadang tampak dan kadang menghilang. Namun dari kedudukan gua yang sangat bagus untuk mela-kukan pengawasan ini, masih dapat kulihat Harimau Perang di atas ku-danya menyusuri jalan sempit di pinggang tebing raksasa menjulang diikuti dua belas kuda tanpa penunggang. Betapapun mahirnya ia berkuda, ia tidak akan tiba dengan segera di Celah Dinding Berlian.

Aku pun berdiri, menarik napas da-lam-dalam, mengembuskannya kembali perlahan-lahan, dan memulainya dengan Olah Gerak Naga. Sejak masa yang purba di Negeri Atap Langit, naga adalah makhluk do--ngeng yang menggambarkan yang dari daya cipta dengan cahaya ha-lilin-tar dan ledakan guntur.

Adalah Iblis Suci Peremuk Tulang yang menjelaskan kepadaku.

''Naga terbang selalu dilukiskan bersama dengan hujan, angin, mega-mega, dan kilat yang berkeredap. Gam-baran ini hanya demi pribadi Maharaja, Sang Putra Langit, karena naga mewa-kili gambaran atas kearifan, kekuasaan, dan kemangkusan berma-sya-rakat yang tinggi.

''Tujuan Olah Gerak Naga adalah untuk membangkitkan sifat naga ke dalam tubuh dan jiwa. O lah Gerak ini memberi pengaruh dalam menanggulangi rasa tertekan, kemarahan, ke-bencian, dan segenap kegelisahan yang disebabkan sulitnya menghadapi permusuhan.''

Lantas kuingat Iblis Suci Peremuk Tulang itu berpuisi.

naga terbang menembus langit bebas dari segala

persoalan dunia

DALAM naskah-naskah tua Kaum Dao, Olah Gerak Naga ini muncul dengan nama-nama lain. Ternyata itu dimaksudkan agar orang awam tidak bergolak setelah membacanya, karena kemungkinan untuk menganggap diri sebagai naga dikhawatirkan membuat mereka berontak, dan berpikir untuk menggulingkan kekuasaan. Tidak kurang dari Maharaja yang melarang penggambaran diri sebagai naga ini.

"Karena naga mewakili unsur api," ujar Iblis Suci Peremuk Tulang, "maka akibat ketubuhan dalam olah geraknya adalah keseimbangan jantung, pembuluh darah, dan penyerapan dalam usus kecil."

Seperti apakah naga yang tergambar itu? Dalam hal diriku, segera terbayang naga dengan mata menyala, mulut terbuka dengan taring-taringnya, sisik-sisik zamrud berkilauan, ekor melingkar, cakar terbuka memperlihatkan kuku-kuku panjang.

Dikatakan aku harus mengangkat kaki, mengambil sikap dan sifat naga. Tangan menjadi cakar, sebuah lengan dengan cakar ke atas, dan turunkan lengan lain dengan cakar ke atas. Ini bukan sikap yang dipaksakan, dalam derajat tertentu ungkapan dibebaskan selama memenuhi gambaran. Sikap ini harus dipertahankan sebisanya tanpa ketegangan, dan terus diulang selama merasa nyaman. Dalam olahgerak, kesatuan raga dan sukma adalah yang terpenting, karena itu saat gambaran memudar dan pikiran berjalan-jalan mesti segera berhenti untuk mulai kembali. Hanya raga dan sukma itu menyatu maka daya-daya olah gerak binatang ini akan bekerja.

Begitulah olah gerak ini sama sekali tidak bergerak, tetapi menggerakkan suatu daya. Aku terus memperagakannya, sampai berganti kepada Olah Gerak Harimau. Terngiang kembali kata-kata Iblis Suci Peremuk Tulang tentang O lah Gerak Harimau ini.

"Jika naga melambangkan maharaja, maka harimau mewakili panglima. Seorang pemimpin balatentara dengan cita-cita, pengetahuan, kekuasaan, dan kemangkusan raga yang melindungi tahta kemaharajaan, serta melaksanakan kehendak maharaja.

"Padanan harimau adalah unsur kayu, jadi O lah Gerak Harimau memengaruhi hati dan syaraf. Kaum Dao meyakini bahwa bangunan syaraf bagaikan tanaman dalam wadah tembikar yang bertunas dari hati. "Olah Gerak Harimau berguna untuk mengatasi keadaan jiwa yang merugikan karena kegelisahan atau permusuhan, keadaan tanpa guna, dan tanpa kehendak. Keadaan jiwa yang merugikan ini berasal dari tidak seimbangnya penyerapan makanan ke dalam darah, karena gangguan kerja hati.

"Olah Gerak ini dianjurkan untuk memunahkan akibat racun, menenangkan syaraf yang meradang, menyeimbangkan kerja kandung empedu, juga untuk memunahkan racun dari otak dan bagian-bagian terkecil tubuh.

"Harimau menggunakan tenaganya dalam kemampuan untuk menangkap sesuatu untuk melompati dan menerkamnya. Sikap harimau adalah tiruan dari gerak melompat ini."

Lantas kuingat bagaimana Iblis Suci Peremuk Tulang memperagakannya. Melompat tapi tidak melompat. Diam di tempat dalam kedudukan harimau siap menerkam. Bergerak tapi tidak bergerak. Maka gerak apakah kiranya yang diolah? Berbeda dengan jurus-jurus ilmu silat yang merujuk gerak- gerik pertarungan binatang, yang kemudian menjadi rangkaian gerak, maka olah gerak tidak berurusan dengan gerak melainkan daya-daya dalam tubuh, yang akan bergerak justru ketika tubuh sama sekali tidak bergerak.

Aku pun berdiri tegak. Bernapas beberapa kali dalam-dalam sambil membayangkan diri sebagai harimau. Maka dalam pembayanganku tubuhku sedikit demi sedikit berubah menjadi tubuh harimau. Mulai kaki, merayap ke betis, paha, sampai ke pinggang berubah bentuk, memunculkan cakar, keluar bulu, dari pinggang ke dada, merayapi kedua tangan, memunculkan cakar lagi, sampai mengubah kepalaku menjadi kepala harimau dengan mulut menyeringai.

Aku terkejut mendengar raunganku sendiri. Maka buyarlah pembayangan dan aku harus memulainya lagi. Setelah pembayangan memunculkan gambaran lengkap, bahkan memunculkan pula ekor harimau dari tulang ekorku, kutekuk lutut sedikit dan berdiri di atas tumit sambil menggapai- gapaikan tangan hingga lurus. Cakar tetap mengarah ke bawah, seperti berusaha menggapai sesuatu.

Aku bertahan selama mungkin dalam kedudukan ini, sampai gambaran harimau dalam pembayanganku mengabur dan memudar, untuk setiap kali mengulanginya lagi.

HARUS kuceritakan bahwa ada kalanya aku berhenti bukan karena gambaran harimau itu memudar, sebaliknya justru karena pembayangan itu merasuk semakin nyata, begitu rupa sehingga tidak bisa tinggal tenang seperti harimau yang tegak diam bertapa, melainkan sebagai harimau yang siap melompat untuk memangsa!

Itulah yang membuat aku mengerti, mengapa maharaja masa lalu mengkhawatirkan orang banyak merasa dirinya sebagai naga, dan ingin menguasai segalanya, karena dalam pikirannya tentu hanya maharaja yang boleh berkuasa.

Maka aku berhenti tidak se lalu karena gambaran yang memudar, melainkan justru pembayangan yang berpeluang merasuk jadi kenyataan dan tidak bisa dipisahkan batasnya lagi, yang tidak akan berhenti sebagai olah gerak demi keseimbangan sukma raga semata.

Agaknya inilah yang dimaksud bhiksu kepala betapa keseimbangan adalah kuncinya. Aku harus segera berpindah kepada Olah Gerak Beruang jika tidak ingin jiwa harimau itu meragasukma ke dalam diriku.

"Beruang adalah binatang yang kuat, tetapi sangat suka menikmati kesenangan dunia," ujar Iblis Suci Peremuk Tulang waktu itu, "enak makan, enak tidur, berkeluyuran perlahan- lahan, agak malas, dan kurang bergairah."

Terus terang aku belum pernah melihat beruang. Namun setidaknya aku tahu bagaimana para bhiksu penjaga keamanan di Kuil Pengabdian Sejati memperagakannya jika mereka melakukan Olah Gerak Beruang.

"Sebetulnya beruang dibiarkan dan tidak diganggu, karena memang dianggap memiliki kekuatan, keberanian, dan kegagahan untuk menghadapi lawan. Beruang mewakili mereka yang mencapai derajat kemudahan raga dan harta benda yang tinggi. Mereka melambangkan para pemimpin dalam perdagangan, dan mengatur perdagangannya dari suatu rumah besar yang menjadi pusat pengendalian segala urusan.

"Olah Gerak Beruang dianjurkan untuk menunjang kerja berpikir, membantu penyusunan rancang bangun gagasan, dan secara berangsur membangkitkan ketegasan ketika memutuskan. Beruang diandaikan sebagai unsur bum i, olahgerak ini mempengaruhi keberadaan zat (enzima) dari limpa kecil atau kelenjar ludah perut, dan bekerjanya otot perut. Olah gerak ini juga dianjurkan jika untuk percernaan yang buruk (hiper dan hipoglikemia), maupun sakit kencing manis.

"Tenaga dan kekuatan beruang menjadi jelas ketika ia berdiri, dan berjalan pada tungkai belakangnya. Dalam kedudukan ini, raga beruang yang paling menonjol, yakni perutnya, tampak jelas, karena menyodok ke depan dan menghalanginya berjalan tegak."

Maka meskipun belum pernah melihat beruang, aku dapat mengawali O lah Gerak Beruang ini dengan berdiri tegak, menarik napas dan melakukan pembayangan sebagai beruang melalui beruang madu kecil yang terdapat di Javadvipa saja. Dengan kedua tungkai yang kaku, perut menonjol keluar, lengan condong ke depan, aku berjalan maju perlahan-lahan. Segera kurasakan gerakan perut maupun rangsangan sekitar limpa kecil atau kelenjar ludah perut itu. Untuk beberapa saat, aku berjalan di dalam gua dengan cara ini, mungkin seperti beruang dalam guanya sendiri. Angin masih bertiup dingin, membawa burung-burung elang yang meluncur tanpa mengepak sama sekali. Maka pada akhir Olah Gerak Beruang, dalam pembayanganku aku langsung beralih rupa menjadi rajawali. Jadi kaki beruangku langsung berubah menjadi cakar rajawali, tetapi rajawali yang terbang diam tanpa mengepak dalam keheningan.

Menurut Kaum Dao, rajawali terbang me lambangkan jiwa bersifat dewasa, yakni keheningan, ketenangan, dan ketakterlihatan. Rajawali adalah pemburu ulung, membubung tinggi tanpa tenaga, matanya tajam dan waspada terhadap lekuk liku daratan terbentang di bawahnya. Kecerdasan, kewaspadaan, dan ketenangan adalah s ifat yang diperlihatkan ketika rajawali berburu.

Teringat kembali petunjuk Iblis Suci Peremuk Tulang. "Rajawali diandaikan sebagai unsur logam, maka Olah

Gerak Rajawali merangsang paru-paru, kulit, dan usus besar. Olah Gerak ini berguna untuk mengatasi kemurungan jiwa, putus harapan, dan perasaan tertekan, yang disebabkan maupun menyebabkan sakit paru-paru. O lah Gerak ini dianjurkan untuk mengobati busung angin pada penyakit paru-paru maupun masalah pada kulit."

Aku teringat, bhiksu kepala Kuil Pengabdian Sejati menyatakan kepadaku, "Bagi Kaum Dao kulit adalah paru-paru ketiga."

''KEDUA sayap terbentang tanpa tenaga yang membuatnya bertahan pada ketinggian adalah ciri rajawali,'' sambung Iblis Suci Peremuk Tulang lagi, ''ingatlah, ketika rajawali terbang, matanya terbuka dan melihat segalanya.''

Aku mulai dengan berdiri dan diam. Bernapas dalam-dalam dengan pembayangan seutuhnya sebagai rajawali melayang tenang. Setelah itu aku berjalan perlahan dengan kedua tangan terentang miring ke samping; atau dengan kedua tangan saling menggenggam kendur di belakang. Sambil berjalan terus berlangsung pembayangan diri sebagai rajawali, melayang tanpa tenaga pada kebiruan langit, tak tersentuh, agung seperti dewa. Tubuhku tenang tetapi pikiran dan mata tajam waspada, memperhatikan segala tanpa terpusat kepada suatu benda.

Selama pikiranku tidak terpecah, aku dapat terus melakukannya, tetapi begitu teralihkan harus memulainya lagi. Aku berada di tepi gua, di tempat udara terbuka sebagaimana dianjurkan dalam catatan tentang Olah Gerak Rajawali.

Begitulah berlangsung sampai dari balik kabut nun jauh di bawah terdengar suara-suara jeritan dan cerecek yang sangat kukenal, sehingga berhasil menarik perhatian dari sang rajawali dalam pembayanganku.

Itulah jeritan dan cerecek kera, karena di balik kabut agaknya terdapat hutan, yang juga berarti mengalihkanku kepada olah gerak terakhir dari O lah Gerak Lima Binatang, yakni Olah Gerak Kera.

Menurut Kaum Dao lama, kera melambangkan kegiatan, keingintahuan, dan kemauan bebas tanpa batas. Kera selalu bergerak, apakah ia di atas tanah, berayun di pepohonan, atau melompat ke sana kemari, tidak dibatasi peraturan apa pun.

Iblis Suci Peremuk Tulang menyatakan, ''Kera diandaikan sebagai air, karenanya Olah Gerak Kera merangsang kerja ginjal dan kandung kemih. Olah Gerak ini dianjurkan kepada mereka yang terbatasi oleh ketidakbebasan. Bagi Kaum Dao, kemauan yang keras berpusat pada ginjal. Maka Olah Gerak Kera dianjurkan juga untuk masalah pada ginjal, kandung kemih, dan saluran kemih.

''Sebagai ujud kemauan bebas, kera menjadi sumber gagasan olah gerak berbentuk bebas dalam arti sebebas- bebasnya. Sebaiknya dikau me lakukan olah gerak ini sendiri dan betul-betul sendiri, karena kehadiran siapa pun akan sangat amat mengganggu.''

Seperti diperagakan oleh seorang bhiksu waktu itu, aku mulai dengan berdiri meski dapat juga dimulai dengan duduk. Kutarik napas dalam-dalam dan mengembuskan kembali, demikian berkali-kali, sembari melakukan pembayangan diri sebagai kera. Ketika gambaran kera itu menjadi lengkap, kulepaskan segenap busana yang membungkus tubuhku, juga kulepaskan alas kakiku yang belum juga berganti semenjak kukenakan dari tanah orang-orang Khmer itu.

Aku duduk di lantai gua, meringkukkan badan di atas batu, melompat ke sana-sini, berlanting turun naik, bergantung terbalik pada sela-sela tonjolan di atas gua, bergantungan satu lengan. Pada dasarnya aku bisa dan boleh melakukan gerak apa pun, se lama melakukannya tanpa ketegangan dan tidak kehabisan tenaga. Kurasakan betapa Olah Gerak Kera ini memang paling memberi keriangan. Olah Gerak Kera ini memang sepenuhnya bebas, semua gerak dan tindakan menerjemahkan perasaan sesaat tepat pada saat timbulnya itu juga. Demikianlah O lah Gerak Kera ini bisa meledak-ledak seperti kera mengungkap perasaan dengan meloncat-loncat dan bergelantungan di atas dahan, bisa pula menggesekkan tubuh pada dinding atau menggaruk diri sendiri, terutama di sekitar ginjal.

Tanpa terasa aku terus bergerak seperti kera gila sampai keluar gua dan mengambang di udara sebelum kembali masuk dan keluar lagi dan seterusnya. Kemudian, dengan telanjang bulat tanpa busana seperti itu rupanya aku juga telah menjerit-jerit dan mencerecek seperti kera dengan riang gembira.

Telah kuceritakan bahwa gua ini merupakan sebuah ceruk yang dalam pada ketinggian di lapisan keras Celah Dinding Berlian. Namun aku bisa memperlakukan dinding tegak lurus menjulang ke atas, yang makin lama makin menyilaukan karena pantulan cahaya pagi yang menembus kabut itu, seolah sebagai lantai di bumi saja ketika aku duduk, tidur- tiduran, meringkuk, meloncat dan melompat-lompat, dan berlari-lari kian kemari dalam kemiringan tubuhku. Siapa pun yang melihatku tentu akan bertanya-tanya kenapa aku tidak jatuh, tetapi dengan napas yang terolah berdasarkan penggabungan segala gerak ini, aku dapat memanfaatkan daya dalam gaya tarik bumi yang mengikuti putaran matahari itu untuk membuatku juga ikut berputar dan tidak jatuh, meskipun aku tak hanya berputar tetapi juga menari-nari.

Pagi cerah dan cahaya matahari kekuningan menembus kabut. Aku sudah berlari nun jauh dari gua dan masih tanpa busana, berlari-lari dan meloncat-loncat dengan punggung dan kaki setengah menekuk seperti kera, pada dinding tegak lurus yang kalau dilihat dari bawah tentu saja miring, ketika titian-titian cahaya yang dibentuk matahari menembus sisa- sisa kabut itu ternyata membawa mereka yang datang membalas dendam dari Perguruan Kupu-kupu!

MEREKA datang bersama cahaya kekuningan matahari, mirip dengan kedatangan Pendekar Kupu-kupu, bedanya kini bukan kupu-kupu beracun yang berdatangan di atas lapangan, melainkan para murid Perguruan Kupu-kupu yang bukan alang kepalang banyaknya berselancar di atas titian-titian cahaya yang mendadak memenuhi langit dan langsung menyerbuku dengan serentak dan seketika. Mereka datang berturut-turut seperti manusia-manusia kembar yang berselancar di atas cahaya untuk segera menyebar, mengepung, dan menyerang dengan Jurus Impian Kupu-Kupu yang sungguh membingungkan itu.

Bukan hanya sepuluh, lima puluh, atau seratus. Kuhitung secepat kilat, tak kurang dari seribu manusia bersenjata, yang begitu lepas dan melenting dari titian cahaya tampak ringan seperti kapas yang turun pelahan, tapi hanya sejenak, bagaikan sekadar untuk dilihat, karena sebentar kemudian mereka sudah berkelebatan dengan hanya satu tujuan, yakni membunuhku!

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar