Nagabumi Eps 141: Memburu Harimau Perang

Eps 141: Memburu Harimau Perang

SETELAH mempelajari filsafat Nagarjuna selama enam bulan di dalam sebuah bilik di Kuil Pengabdian Sejati, sedikit demi sedikit aku mulai memahami cara pemikir ini menafsirkan ajaran Buddha, dan menerjemahkannya sebagai perbincangan filsafat yang sangat merangsang pemikiran itu sendiri. Setidaknya aku mengenali kembali betapa filsafat Nagarjuna ini mengacu terutama kepada penolakan Buddha atas dua kutub, yakni keberadaan atau atthita dan ketiadaan atau natthita. Artinya sangatlah keliru mengandaikannya sebagai penganut Mahayana. Acuan Nagarjuna terhadap murid langsung Buddha, yang lebih kepada Katyayana daripada Kasyapa adalah penting, karena ia menanggapi bukan hanya isi penafsiran seperti Ratnakuta, tetapi juga penafsiran yang terdapat dalam niskaya dan agama.

MAKA dengan mempelajari filsafat Nagarjuna seseorang akan mendapat pemahaman lebih baik tentang filsafat dalam ajaran Buddha, tanpa melebih-lebihkan perbedaan antara Hinayana dan Mahayana.

Aku tenggelam dalam pembelajaran Nagarjuna, selain karena menyembunyikan diri dari ancaman para mata-mata Kalakuta, juga karena berusaha mengatasi kehampaan perasaan luar biasa dalam diriku semenjak kematian Amrita. Tidak dapat kuingkari betapa sejak kali pertama menginjak negeri manca Tanah Kambuja di pelabuhan bekas Kemaharajaan Fu-nan waktu itu, tanpa terasa Amrita akhirnya menjadi bagian diriku. Tanpa Amrita pengembaraanku mungkin berlangsung ke tempat lain. Bukankah memang demi dan karena Amrita maka aku telah melacak jejaknya dari Tanah Kambuja, melewati segala bahaya dan peristiwa sehingga aku tiba dan terlibat pertempuran demi pertempuran di Daerah Perlindungan An Nam? Amrita Vighnesvara telah menjadi bagian diriku dan kematiannya mengakibatkan kehampaan besar dalam diriku yang menuntut untuk kuatasi. Maka cara terbaik untuk mengatasinya menurut diriku adalah menghadapinya. Bahkan persoalan itu bagiku bagaikan suatu utang piutang kehidupan yang wajib dibayar. Apa kata Amrita kiranya, jika kubiarkan diriku melenggang tanpa kejelasan tentang apa yang sebenarnya telah terjadi, yang bukan hanya membuat gabungan pasukan pemberontak terkurung api, tetapi telah merenggut nyawa Amrita sendiri? Aku memasuki kota karena mencari Harimau Perang, tetapi justru dirikulah yang terburu untuk dibunuh, sehingga bhiksu kepala menganjurkan aku untuk tetap tinggal dalam kuil untuk menghindarinya. Betapapun seseorang telah mengetahui keberadaanku di dalam kuil dan tidak ada jaminan telah melupakan aku.

Persoalannya sekarang, mungkinkah aku menemukan Harimau Perang? Dalam enam bulan, selain mempelajari filsafat Nagarjuna, aku telah mencoba mengumpulkan keterangan sedapatnya, dari para bhiksu yang penugasannya berada di luar kuil, tetapi tidak kudapat kemajuan yang berarti. Mengingat tugas Harimau Perang selama ini sebagai penghubung yang mengatur jaringan antarpasukan pemberontak, jika ia memang ternyata seorang mata-mata ganda, apalagi mengepalai jaringan mata-mata musuh pula, adalah mudah baginya menghilang, bagai membalikkan telapak tangan. Di lain pihak, dengan semakin menguasai filsafat Nagarjuna, ilmu racun dan ilmu sihir Raja Pembantai dari Selatan yang terwariskan tanpa kuminta telah hilang pula, sehingga tiada mungkin kugunakan tenaga gaib untuk memburunya.

''Harimau Perang....,'' kata Amrita waktu itu, ''merusak segalanya...''

Aku berpikir keras. Meskipun adalah darah mudanya yang bergejolak waktu itu, tetapi pada saat terakhir ketika memberi pesan untukku, pastilah ia mengerahkan kecerdasannya untuk memberikan arah agar diriku tidak mengulang kesalahannya. Jadi apakah kesalahannya? Tentang serbuannya ke sarang harimau sendirian itu, tentu bukan kesalahan yang perlu diungkapnya lagi. Namun apakah kiranya yang telah membuatnya menyangka dapat membalaskan dendamnya segera, itulah yang agaknya harus kuketahui, karena itu pula yang diketahui Amrita sebagai kesalahannya.

Ia menyebutkan Harimau Perang merusak segalanya. Tafsiran pertama, tentu bahwa seseorang bergelar Harimau Perang telah memorakporandakan siasat pasukan pemberontak gabungan dengan sangat berhasil. Namun tafsiran kedua bukan tak mungkin, bahwa dugaan yang hanya tertuju ke arah nama Harimau Perang itulah yang justru merusak segalanya.

Itulah yang membuat aku berpikir keras. Suatu jawaban harus ditemukan, tetapi betapa rumit mendekati suatu kebenaran jika memang memungkinkan. Bukankah kebenaran memang selalu merupakan sesuatu yang rumit, bahkan mustahil dinyatakan, seperti mustahilnya kenyataan itu sendiri?

Namun aku tidak bisa tinggal diam. Lagipula para bhiksu dan bhiksuni yang menyebar ke dalam kota, bahkan ke dalam istana, pusat pemerintahan Daerah Perlindungan An Nam, berusaha mencari keterangan sekuat bisa. Iblis Suci Peremuk Tulang bahkan menyamar dengan menumbuhkan rambut dan kumisnya, tetapi tidak cambangnya, sehingga wajahnya tidak kembali seperti semula. Dengan perantaraan jaringan rahib masuklah ia ke dalam istana dan bekerja sebagai tukang kuda.

''Akan kupasang telingaku,'' katanya, ''jika kita waspada tentu kita mendapatkan titik-titik terang.''

Ternyata memang dari Iblis Suci Peremuk Tulang itulah terdapat suatu jalan untuk mengetahui sesuatu. Ia tiba pada saat yang tepat, ketika aku sudah jenuh dengan filsafat, karena telah mempelajarinya terus-menerus tanpa putus dalam enam bulan terakhir ini, hanya dengan selingan upacara harian yang juga terus berlangsung seperti perputaran. Betapapun, meski kepalaku gundul, wajahku kelim is, mengenakan jubah pendeta, tak pernah makan daging, belajar filsafat, dan tenggelam dalam samadi, aku bukanlah seorang bhiksu, bahkan bukan seorang penganut Buddha dari aliran mana pun.

MESKI tak bersenjata, aku hanyalah seorang penyoren pedang dari sungai telaga dan rimba hijaunya dunia persilatan. Jiwaku adalah pedangku dan tubuhkulah sarungnya, pada saat jiwaku bertarung tubuhku bagaikan tangan yang memegang pedang. Tiada lagi pedang dan tiada lagi sarung, hanya peleburan menuju jalan pertarungan antara hidup dan mati. Ketika jarak antara hidup dan maut hanya berbatas seujung rambut, saat itulah manusia mendapat peluang mencapai kesempurnaan dalam puncak pendakian kehidupannya. Itulah yang membuat kehidupan seorang pendekar silat menggairahkan. Maka ketika pendalaman naskah filsafat menjadi ujian yang menantang kesabaran, otakku terserap daya tarik penalaran filsafat yang menuntut ketekunan, sementara tubuh dan jiwaku terpanggil untuk berangkat mengembara setiap kali angin bertiup dan cahaya matahari pagi mengabarkan janji kebahagiaan di luar sana.

Aku memang tidak punya alasan untuk pergi, sampai Iblis Suci Peremuk Tulang datang dengan berita ini.

''Sejumlah kuda yang segar dan sehat diminta untuk dipersiapkan diam-diam, katanya untuk suatu perjalanan rahasia.''

''Perjalanan rahasia?''

''Ya, persiapan ini sangat dirahasiakan dan kami semua disumpah dengan kutukan jika melanggarnya.''

Aku tahu, kutukan yang mana pun tidak akan membuat Iblis Suci Peremuk Tulang gentar. Apalah artinya kutukan bagi Iblis Suci yang bagaikan mewakili kutukan itu sendiri set iap kali berhadapan dengan lawan. Namun dalam penyamaran, tentulah ia berlagak menerima persumpahan itu dan mempercayainya, karena hanya dengan begitu akan mendapat keterangan yang sangat amat kami butuhkan.

''Disebutkan bahwa seorang tokoh dipanggil oleh penguasa Negeri Atap Langit karena jasa-jasanya, sehingga akan mendapatkan kedudukan di sana. Namun karena sifat pekerjaannya, maka kepergiannya pun tidak boleh diketahui orang. Bahkan disebutkan, tidak seorang pun tahu bahwa tokoh ini ada. Jadi adalah dosa besar yang harus dibayar dengan darah jika keberadaannya terbocorkan, sengaja maupun tidak sengaja,'' kisahnya.

Keterangan itu dikumpulkan sedikit demi sedikit. Mula-mula bahwa jum lah kuda yang dibutuhkan adalah dua puluh ekor. Artinya tokoh tersebut dijaga oleh lima belas pengawal rahasia istana, dan bersamanya terdapat empat pembantu yang tentu kedudukannya sangat penting.

Kemudian terdengar bahwa tokoh ini adalah seorang warga An Nam, seorang Viet yang berperan penting dalam penyelamatan Thang-long dari pendudukan para pemberontak. Sangatlah dirahas iakan, kapan rombongan dua puluh orang itu akan berangkat dan jalur mana saja yang akan dilalui.

Hanya diketahui betapa tujuannya adalah Chang An.

Lantas, hanya kemudian sekali, Iblis Suci Peremuk Tulang yang menyamar sebagai tukang kuda itu, mendengar bahwa tokoh tersebut adalah Harimau Perang....

''Waspadalah dengan berbagai macam tipu daya dalam penyebaran keterangan semacam ini,'' ujar bhiksu kepala.

Aku setuju dengan pendapatnya. Jika segenap mata-mata di bawah pengawasannya bertugas dengan baik, kenapa mereka dapat mengawasi diriku maupun Amrita, tetapi tidak memperhatikan Iblis Suci Peremuk Tulang? Betapapun dalam pasukan yang dipimpin Amrita, Iblis Suci Peremuk Tulang merupakan andalan yang tidak terkalahkan, dan korban di pihak pasukan pemerintah karena bandul besinya mencapai angka yang besar sekali. Sosok seperti ini pasti tidak akan luput dari pengawasan para mata-mata.

Namun bukan tentang keberadaan Iblis Suci Peremuk Tulang itu yang menjadi masalahku, melainkan yang dilihat, didengar, dan dibayangkannya. Apa pun yang dibayangkannya tentang Harimau Perang tentu sangat berpengaruh kepada pertimbangan dan simpulannya. Tidak ada yang lebih rum it daripada tindak pengelabuan dalam dunia mata-mata.

''Tentu kita harus tahu kapan yang disebut Harimau Perang itu berangkat, jalan mana saja yang akan dilaluinya, dan kenapa sebenarnya ia harus melakukan perjalanan ini,'' kataku.

''Daku usahakan sebaik-baiknya,'' ujar Iblis Suci yang segera menghilang lagi.

Setiap kali menghilang dari tempatnya bekerja, yakni ista l pemeliharaan kuda-kuda pasukan pengawal istana, Iblis Suci berkata pergi ke tempat pamannya yang sedang sakit keras.

TENTU akan memancing kecurigaan jika ia pergi terlalu sering dan apalagi terlalu lama. Bhiksu kepala akhirnya memasang mata rantai bhiksu dan bhiksuni yang mengemis dengan batok kelapa di dalam kota, untuk menyampaikan pesan Iblis Suci Peremuk Tulang itu dari lorong ke lorong dan dari sudut ke sudut di jalan utama sampai ke Kuil Pengabdian Sejati. Pesan itu cukup diucapkan kepada seorang bhiksu atau bhiksuni, yang muncul dengan batok kelapa kosong di depan asrama para tukang kuda di samping ista l, maka pesan itu akan tersampaikan dari mulut ke mulut, karena para bhiksu dan bhiksuni pengemis masing-masing berjalan dalam suatu bidang wilayah dengan cara melingkar, sehingga masing- masing membentuk suatu lingkaran yang selalu bersinggungan. Pesan itu akan berjalan dari titik singgung satu ke titik singgung lain, dan tidak sampai sepenanak nasi lamanya akan segera sampai ke telingaku. Begitu pula akan berlangsung dengan pesan balasan dariku maupun bhiksu kepala yang mengawasi langsung pekerjaan rahasia ini.

Tidak selalu ada pesan setiap hari, jadi aku berkesempatan mempelajari apa saja yang berlangsung di Negeri Atap Langit di bawah kekuasaan Wangsa Tang secara ringkas, melalui catatan-catatan para rahib yang pernah me lakukan perjalanan ke sana, yang tersimpan di perpustakaan Kuil Pengabdian Sejati. Tentu juga harus kuketahui apa yang sedang berlangsung akhir-akhir ini, yang barangkali menjelaskan kenapa Negeri Atap Langit membutuhkan seorang Harimau Perang.

(Oo-dwkz-oO)

AKU berada di Thang-long pada pertengahan 797. Saat itu Wangsa Tang sudah menguasai Negeri Atap Langit se lama 179 tahun semenjak mengambil alih kekuasaan dari Wangsa Sui pada 618.

Pendiri resmi Wangsa Tang adalah Li Yuan, tetapi adalah putra keduanya, Li Shih M in, yang disebut-sebut sebagai gagah berani dan berjaya dalam ilmu perang, yang telah membesarkan Negeri Atap Langit sampai dikenal dengan kemegahan seperti sekarang. Bahkan sebelum Li Shih Min berkuasa sepenuhnya, telah berlangsung peristiwa mengenaskan, karena ia terpaksa membunuh kedua saudaranya sendiri, sebelum dirinya sendiri dibinasakan keduanya yang ternyata bersekongkol itu. Li Yuan yang masih berkuasa tahu duduk perkara, jadi tidak menghukum Li Shih Min, tapi bagaimanakah kiranya perasaan orangtua dengan sengketa di antara anak-anaknya yang menghilangkan nyawa?

Li Yuan sebagai maharaja bergelar Tang Kao Tsu, Li Shih Min yang menggantikannya kemudian bergelar Tang T'ai Tsung, dan berkuasa antara 627 sampai 649. Di bawah pemerintahannya,   Negeri Atap   Langit   berkembang lebih megah dibandingkan masa pemerintahan Wangsa Han. Sampai-sampai penduduk Negeri Atap Langit menyebut diri mereka sendiri dengan bangga, seperti akan sering kudengar nanti, sebagai Orang Tang. Disebutkan, dalam catatan Teng Ssu-yu pencapaian Tang T'ai Tsung sangatlah ringkas:

T'ai Tsung merampungkan persatuan negeri memajukan kebudayaannya

menambah kemakmurannya dan menempatkan semua itu di atas menara baru kekuasaan

Dalam hampir semua catatan yang kubaca, masa pemerintahan Tang T'ai Tsung tak hanya merupakan masa keemasan negeri, melainkan juga masa keemasan bagi kesusastraan. Begitu rupa pentingnya kesusastraan sehingga ujian untuk bekerja dalam pemerintahan, antara lain adalah menulis puisi. Demikianlah Negeri Atap Langit menjadi negeri yang sangat beradab, tetapi peradaban setinggi ini pun belum dapat melepaskan dirinya dari peperangan.

Pada 627, bangsa Turk yang sebetulnya merupakan sekutu pendiri Wangsa Tang, menyerang Chang An. Namun Tang T'ai Tsung bukan hanya berhasil mencegatnya di atas jembatan yang menghubungkan ibu kota Chang An itu dengan wilayah pertahanan bangsa tersebut, tetapi cukup dengan memperlihatkan besarnya balatentara Tang di medan perang telah membuat penyerbu itu mundur tanpa pertempuran.

NAMUN dua tahun kemudian, pada 629, Tang T'ai Tsung mengirimkan pasukan berkekuatan 100.000 orang untuk menaklukkan bangsa ini di kaki Gunung Besi yang berada di wilayah mereka sendiri. Sebetulnya bangsa ini adalah bangsa pengembara yang hidupnya berpindah-pindah dan datang dari utara, sedangkan bangsa apa pun yang datang dari utara disebut orang-orang Tang sebagai bangsa Tartar. Padahal tak hanya satu bangsa berada di utara dan di antara bangsa- bangsa pengembara yang saling berperang itu kadang terjadi peleburan. Seperti yang sejak tiga ratus tahun lalu berlangsung antara bangsa Turk dan Mongol, yang kini disebut Tartar atau juga bangsa Hun.

Dua puluh tahun setelah Tang T'ai Tsung naik takhta, sekitar 647, ia menjadi dipertuan yang tidak dapat diingkari lagi dari seluruh bagian timur dan tengah di benua tempat terdapat Negeri Atap Langit. Sesudah berabad-abad lamanya bersikap sebagai orang beradab yang menghindari peperangan, bahkan bersedia membayar harga perdamaian terhadap suku-suku liar, setelah dirasuki jiwa Tartar berubah menjadi pemberani bernyali nan tak kenal gentar. Gunung gemunung maupun padang pasir tak mampu menghalangi laju penaklukan pasukan Negeri Atap Langit. Namun tidak seperti bangsa Turk dan Mongol, mereka tidak meninggalkan bekas pembunuhan, pembakaran, dan pemusnahan. Memang benar memenggal kepala tak terhindarkan, tetapi keberadaban dalam bentuk pemerintahan teratur, serta ikatan raja-raja yang memerintah kepada Negeri Atap Langit, telah meningkatkan perdamaian dan ketertiban.

Kemampuan mengelola pasukan tempur yang terbangun semasa T'ai Tsung itu, yang secara pribadi mampu memimpin balatentara menyerang suku-suku di sekitarnya, dilanjutkan semasa kepemimpinan Kao Tsung, dan Wu Chao yang lebih dikenal sebagai Maharani Wu. Balatentara Wangsa Tang merangsek bahkan sampai ke wilayah-wilayah utara seperti Dataran Mongolia, Gaogouli, dan Baiji. Pada abad lalu, bagian tengah benua sudah dikuasa inya, berkat dukungan kemakmuran perdagangan dan kecanggihan ilmu pengetahuan serta perekaaan peralatannya. Salah satu kunci kejayaan pasukan Wangsa Tang adalah kebijakan para maharaja untuk menerima para panglima tempur yang tangguh dari suku-suku pinggiran, seperti dari Gaogouli, Qidan, Mojie, dan Tujue. Dengan itulah kesejahteraan dan kebudayaan berkembang sebagai suatu masa keemasan yang tidak akan pernah terulang. Namun Negeri Atap Langit telah mengubah tatacara pembentukan dan pemeliharaan pasukan dari Tatacara Ketentaraan Fubing, ketika prajurit tidak memiliki kepala pasukan yang tetap dan mendukung diri sendiri dengan pertanian, menjadi Tata Cara Mubing, ketika prajurit dipilih sejumlah kepala pasukan dan mengikutinya. Tatacara yang terakhir itu membuat para panglima penjaga keamanan perbatasan, dapat dengan mudah membentuk pasukan yang kuat untuk melawan pemerintah. Dengan cara inilah Pemberontakan An Shi dapat terjadi, yang dengan tekanan suku-suku pinggiran maupun kelompok yang ingin memisahkan diri, memang melemahkan kekuatan balatentara Wangsa Tang.

Kisah kerajaan besar memang tidak sepi dari masalah. Maharaja Kao Tsung yang menggantikan ayahnya dan memerintah antara 650-683, meski berhasil menaklukkan Semenanjung Korea yang tidak dapat dilakukan T'ai Tsung, ia adalah seorang kepala negara yang disebut-sebut lemah. Kubaca betapa kelemahan hatinya terhadap cinta telah berakibat kepada kekacauan negara.

TERTULIS bahwa sebelum ia naik takhta menggantikan T'ai Tsung, ayahnya yang sakit-sakitan semenjak gagal menaklukkan bangsa Korea, ia ternyata mencintai sa lah seorang perempuan yang dipelihara ayahnya. Perempuan piaraan ini, demikian istilahnya, bukanlah selir yang resmi, apalagi perma isuri. Namun ketika ayahnya meninggal, Kao Tsung mengambil perempuan tersebut dari rumah berhala, tempat ayahnya menempatkan perempuan piaraan dan para selir, lantas menjadikannya sebagai selirnya sendiri.

Selir ini kemudian berhasil menjatuhkan permaisuri, bahkan membinasakannya dengan kejam. Bukannya dihukum, Kao Tsung mengangkatnya jadi permaisuri, menggantikan permaisuri sebelumnya yang dibunuh itu. Masih belum puas, permaisuri baru ini menyingkirkan semua menteri yang menentang pengangkatannya jadi perma isuri, karena mengawini bekas perempuan piaraan ayahnya dianggap perilaku tak patut sebagai maharaja. Semua menteri itu dibinasakannya tanpa sisa.

Permaisuri itulah yang bernama Wu Chao. Pada 656 ketika Kao Tsung pun sakit-sakitan, ia mengizinkan permaisurinya membaca surat-surat pemerintahan, yang lantas mengambil keputusan sendiri. Permaisuri itu memang anak seorang menteri negara di Shansi, jadi tak kurang pintar dan cerdiknya, menguasai sejarah maupun kesusastraan. Begitu Kao Tsung meninggal pada 683, anak permaisuri tersebut, Chung Tsung, naik takhta, tetapi tetap saja Wu Chao yang memegang dan mengatur kekuasaan. Lantas, menyadari Chung Tsung ingin melepaskan diri dari pengaruhnya, ia turunkan Chung Tsung dari singgasana, dan mengangkat Hui Tsung, adiknya, sebagai maharaja baru. Tentu saja kekuasaan tetap dipegang oleh sang ibu.

Pada 690 akhirnya Wu Chao mengangkat dirinya sendiri sebagai Maharani Wu, dengan gelar lengkap Wu Tze T'ien.

(Oo-dwkz-oO)

HARUS kukatakan betapa mataku tak bisa lepas dari catatan-catatan para rahib itu, terutama setelah menceritakan perilaku Wu Tze T'ien ini. Banyaklah perilaku buruk diceritakan perihal nafsu syahwatnya yang besar, pembunuhan demi lancarnya kekuasaan, dan akhirnya usaha menghapus Wangsa Tang itu sendiri, juga diiringi pembunuhan segenap keturunannya, diganti dengan peresmian Wangsa Chou.

Dalam sebuah catatan disebutkan, karena minum arak terlalu banyak pada musim dingin, Wu Tze T'ien yang mabuk memerintahkan agar bunga-bunga mekar meskipun bukan musimnya. Dikisahkan betapa bunga-bunga itu menuruti perintahnya, yakni mekar pada musim dingin, kecuali yang disebut bunga botan, sehingga bunga itu pun dihukum buang. Namun sebagai perempuan, Wu Tze T'ien memperjuangkan kepentingan kaumnya. Ia membela hak perempuan untuk turut dalam ujian negara dan lain sebagainya. Bahkan justru lulus ujian negara inilah yang menjadi syarat bagi banyak jabatan, sehingga yang berlangsung sebelumnya, bahwa keluarga raja atau keluarga sahabat raja yang berasal dari keluarga Li di wilayah Shensi dengan sendirinya mendapat jabatan penting, yang banyak akibat buruknya, dapat diperbaiki. Ia menitikberatkan pada ujian dan karena itu orang-orang biasa, dan juga orang-orang yang berasal dari bagian lain di Negeri Atap Langit, dapat memegang jabatan tinggi dan penting.

Riwayat Wu Tze T'ien berakhir tahun 705 karena diturunkan Chung Tsung, anaknya sendiri yang dulu diturunkannya. Namun sejarah segera berulang, karena permaisurinya bagaikan ingin menjadi Wu Tze T'ien kedua. Suami sendiri diracuninya, meski ternyata gagal membunuhnya. Pemberontakan pun marak karena dikobarkan Li Lung Chi, anak maharaja kedua, Hui Tsung, yang dulu juga diturunkan Wu Tze T'ien. Tanpa ampun, permaisuri yang meneladani Maharani Wu ini dibinasakan dan Hui Tsung pun naik tahta untuk kedua kalinya. Adalah Li Lung Chi, anaknya yang akan bertahta antara 713 dan 756, dan bergelar Tang Ming Huang atau Tang Hsuan Tsung, yang akan termasyhur karena mengembangkan kesenian dan ilmu pengetahuan.

Meskipun begitu lagi-lagi urusan negara terganggu masalah cinta, ketika sete lah 745 ia tergila-gila kepada perempuan yang termasyhur keelokannya, Yang Guifei. Semenjak perempuan ini bergabung ke rumah berhalanya, Tang Ming Huang menjadi seorang pemboros besar.

(Oo-dwkz-oO) 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar