Nagabumi Eps 124: Mayat Mengambang di Sungai Merah

Eps 124: Mayat Mengambang di Sungai Merah

Aku masih berada di persimpangan pikiran ketika kakiku terasa basah. Permukaan air sungai rupanya naik dengan cepat. Baru sekarang aku mengerti apa maksudnya dengan perahu-perahu sampan yang terikat di kaki rumah-rumah panggung itu. Perahu sampan itu segera mengambang, mereka bergoyang-goyang di tempat karena ditahan tali, tetapi benda-benda lain yang mengambang segera beredar. Batang pohon, ranting, ular, serta biawak terlihat berenang- renang.

Air segera mencapai lutut. Di jalanan orang-orang tidak kulihat menjadi panik. Para budak beringsut menaiki akar pohon, tetapi tidak banyak gunanya karena air tetap menyergap mereka di bawahnya. Kulihat anjing berenang- renang juga, hanya tampak kepalanya yang muncul di permukaan. Sebentar kemudian sebagian orang terlihat sudah menaiki perahu-perahu sampan. Mendayung dari rumah ke rumah dengan caping lebar sekali di atas kepalanya, yang tidak mendayung dan tidak bercaping memegangi daun pisang, sekadar mengurangi air hujan yang menimpa tubuh dan menimbulkan kedinginan yang amat sangat.

Hujan memang lebat sekali, seperti tidak pernah akan berhenti. Tirai kelabu semakin tebal sehingga setiap orang yang bergerak hanya tampak bagaikan sosok-sosok tersamar. Kapan pembelanjaan budak-budak di dalam itu selesa i? Jika hujan terus menerus tercurah seperti ini, apakah jaminannya air tidak bertambah tinggi dan naik sampai ke leher dan menelan kami. Kusaksikan langit mendung terbentang sampai ke gunung. Bukanlah hujan ini benar yang kukhawatirkan, melainkan air sungai melimpah yang datangnya dari gunung- gemunung itu, yang masih akan mengalir bahkan setelah hujan selesai, karena ketika hujan berakhir di hilir, mega- mega yang tertahan dinding pegunungan terus berdatangan dibawa angin dan berubah menjadi hujan yang membentuk anak-anak sungai di hulu.

Namun bahkan di sini, di hilir Sungai Merah tempat aliran segala anak sungai menuju, hujan belum juga berhenti. Segala sesuatu yang mengambang dan beredar masih terus menerus berlangsung. Batang pohon, pohon tumbang, gerumbul semak, rerantingan, terkadang juga sampan kosong yang ikatannya lepas dari tiang. Air sungai yang naik dan meluas ke mana-mana menghilangkan tepian sungai sampai seluruh bumi rasanya dise limuti air mengalir. Waktu kupandang rumah panggung itu, rasanya seperti sudah melihat kapal besar yang melaju. Kusadari air bertambah tinggi dan bertambah cepat. Perahu seperti tidak bisa didayung lagi dan terseret arus yang kuat berputar. Di dalam rumah masih terdengar teriakan pelelangan, seperti tidak menyadari di luar berlangsung banjir yang tidak seperti biasanya, yang hanya setinggi lutut, dan permukaan sungai tidak naik terus mengancam leher, sebagai banjir bandang seperti sekarang.

Perahu-perahu sudah terseret dan berputar-putar seperti tidak bisa dikendalikan, dayung sia-sia mengatur arah dan penumpangnya hanya bisa berpegangan pada dinding perahu dengan pasrah, meski mulut mereka terus menceracau seperti burung. Kadang-kadang perahu itu bertabrakan, salah satu atau dua-duanya terbalik, tetapi para penumpangnya tampak bisa berenang, meski arus yang deras ini tampak telah sangat menakutkan bagi mereka. Ketika ada batang pohon nyaris menghantam wajahku, dan tiba-tiba saja aku sudah berada di atasnya, baru kusadari budak-budak itu sudah lenyap semua. Sebagian mungkin bisa berenang, sebagian lagi mungkin tidak dan sebagian mungkin se lamat, sebagian lagi mungkin tidak selamat.

Di atas batang kayu yang meluncur itu kemudian kulihat rumah panggung tempat pelelangan ambruk, lantas hancur terseret. Arus yang tanpa terasa telah menjadi sangat deras itu juga menyeret dan menghancurkan rumah-rumah panggung lain. Meski kuketahui bahwa Sungai Merah sering membanjiri tepiannya, banjir dengan arus sederas ini bukanlah sesuatu yang biasa. Banjir bandang ini telah mengarah pada bencana.

SAAT itulah terdengar teriakan menceracau dari kejauhan, dan ketika aku menoleh terlihat tangan melambai ke arahku dalam keadaan terseret arus dan timbul tenggelam. Kulihat seorang perempuan muda dengan bayi pada gendongannya, justru pada saat gendongan yang terbuat dari papan itu kain bebatannya yang memang sudah terurai menjadi lepas sama sekali. Ibu dan anak itu dengan segera terpisah. Di atas batang pohon aku tertegun. Siapakah yang harus lebih dulu kutolong? Bahkan aku tidak mungkin menolong keduanya, aku harus memilih salah satu! Sepintas lalu bayi itu akan aman, karena gendongan seperti itu seharusnya mengambang, tetapi dalam waktu sangat amat rawan itu terbetik dalam kepalaku bahwa meski gendongannya akan mengambang, bayinya akan segera tenggelam. Perempuan muda itu jelas tidak bisa berenang, karena sejak tadi timbul tenggelam. Keduanya akan mati tenggelam jika tidak tertolong, sementara di atas perahu sampannya yang berputar-putar tidak terkendali semua orang yang juga menceracau itu bahkan masih harus menjaga agar perahunya tidak terbalik dan akhirnya juga tenggelam. Aku menoleh ke arah perempuan yang kini hanya terlihat tangannya itu, dia akan tenggelam, tetapi begitu pula bayinya. Siapa yang harus kutolong? Meskipun aku bisa melesat lebih cepat dari kilat, jika yang satu hanya tinggal terlihat tangannya dan yang lain kakinya, dengan jarak yang semakin berjauhan di bawa arus, tetaplah harus dimulai dengan sa lah satu lebih dulu.

Aku berkelebat tanpa membiarkan diriku berpikir panjang lagi, karena bukan saja jarak keduanya semakin berjauhan jaraknya, yang akan menyulitkanku menolong keduanya, tetapi juga jarakku sendiri dengan kedua-duanya telah semakin jauh karena perpusaran arus yang makin me luas. Tanpa kusadari dengan sendirinya aku terbang menggunakan Naga Berlari di Atas Langit yang hanya sedikit sentuhan telapak kaki pada permukaan air. Seperti yang sempat kupikirkan, gendongan bayi dengan hiasan tenunan bermanik- manik itu memang masih mengambang, tetapi bayinya terjungkir ke depan tanpa penahan dan langsung tenggelam. Saat kutiba masih terlihat telapak kakinya yang halus dan mungil, yang langsung kusambar. Dengan cepat bayi itu te lah kubopong dengan tangan kiri sementara aku terbang ke tempat ibunya, tetapi hanya air sahaja yang ada di sana. Permukaan air kecoklatan yang menelan segalanya...

Aku mencari-cari sementara berdiri di atas perahu yang terbalik. Namun permukaan air kecokelatan dengan titik-titik hujan yang rata di mana-mana tidak memberi jawaban atas apa yang kucari. Ranting, dedaunan, dan batang-batang pohon masih mengapung dalam kederasan arus. Kemudian serpihan papan-papan rumah yang hancur. Namun masih banyak juga rumah yang bertahan. Tampak seperti perahu- perahu di tengah lautan yang luas. Cepat sekali air pasang ini menjadi banjir bandang yang memakan wilayah nan amat luas, dan begitu luasnya sehingga seolah-olah seisi lautan telah dipindahkan kemari.

Bayi itu masih berada dalam bopongan tangan kiriku. Mendadak ia menangis keras-keras dan kakinya menyentak- nyentak, sembari tangannya menunjuk-nunjuk. Kuikuti arah telunjuknya itu, ternyata perempuan muda yang kucari-cari itu telah muncul dari dalam air, terlentang di permukaan sungai sebagai mayat.

Apa yang harus kulakukan? Hujan masih deras dan mendung gelap di langit. Bayi itu belum genap setahun umurnya. Apakah ia ternyata mengenali ibunya? Telunjuknya masih menunjuk-nunjuk sambil menangis keras sekali. Jika kuambil mayat itu, apa yang bisa kulakukan dengan mayat itu di muka bumi yang seolah-olah hanya terdiri dari air ini? Namun ketika aku membungkuk dan tanganku berusaha meraih tangannya, mendadak muncul dari dalam air yang deras mengalir itu sebuah tangan bersisik yang menarikku ke bawah dengan sangat cepatnya.

Bisakah dibayangkan jika hal ini dilakukan ketika di tangan kiriku terdapat bayi yang belum lagi setahun? Memang itu tangan Naga Kecil, yang menyeretku di tengah banjir, yang bagi siapapun jika ia bukan makhluk air tentulah akan membuatnya sangat kebingungan, jika bukan mengalami kepanikan. Aku juga panik, tetapi tidak untuk diriku sendiri, melainkan untuk bayi belum setahun di tangan kiriku yang pasti akan mati jika aku tidak muncul ke atas sekarang juga! Padahal tarikan tangan Naga Kecil ke dalam air itu adalah tarikan pembunuhan!

SUASANA di dalam air yang sedang membanjir seperti ini tidaklah sama dengan suasana dalam air di sebuah danau berlantai batu. Air banjir ini sangat kotor dan penuh lumpur sehingga sangat amat menyulitkan diriku untuk bertarung dengan perhitungan jernih. Apalagi dengan bayi yang segera akan mati jika aku tidak melepaskan diri! Naga Kecil mencekal tangan kananku dengan kuncian seekor ular melibat lawan. Tangannya bagai tak bertulang melibatku, t idak akan mungkin melepaskan diri dari libatan ular seperti ini dengan cara persilatan yang biasa. Bahkan untuk memperhatikan kedudukannya pun belum bisa kulakukan, karena Naga Kecil menyeretku di dalam air sungguh dengan kecepatan yang sangat tinggi!

Dalam pertarungan silat tingkat tinggi, segalanya memang berlangsung amat sangat cepat, setidaknya tentu lebih cepat dari kata-kata yang menceritakannya. Begitulah aku bersama bayi di tangan kiriku itu diseret jauh keluar dari wilayah daratan yang seluas mata memandang digenangi air, masuk dalam ke kedalaman Sungai Merah yang dalam keadaan pasang seperti ini lumpurnya bergumpal sulit ditembus. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, karena bayi yang kuselamatkan ini pasti paru-parunya akan segera terisi air! Maka kurapal sa lah satu mantra Raja Pembantai dari Selatan yang terbaca olehku, yang rupa-rupanya masih sebuah kutipan dari Nagarjuna:

Utpadotpada utpado mulotpadasya kevalam Utpadotpadam utpado maulo janayate panah

Tanganku langsung bercahaya terang dan meskipun berada di dalam air bagaikan kudengar jeritan Naga Kecil yang karenanya jadi tersedak. Tangannya yang melibat seperti ular terlepas masih dalam keadaan melingkar-lingkar. Tangan bersisik yang semula bagaikan telah menjadi ular itu sendiri meski berada di dalam air tetap menyala karena terbakar. Begitu pula air sungai di sekitarnya menyala merah api dan kuduga sebagian permukaan sungai di atas kami pun berselaput api yang menyala berkobar-kobar. Pemandangan seperti inilah yang kelak akan menjelma dongeng, tetapi sekarang tentu aku tidak sempat memikirkannya. Naga Kecil terpental entah ke mana, aku melesat bersama bayi itu ke atas menembus permukaan sungai berarus deras yang menyala-nyala.

Aku bersama bayi itu menembus permukaan sungai dan melesat ke angkasa. Hujan deras belum berhenti dan dari balik tirai hujan kekelabuan kulihat api di atas sungai yang menyala terseret arus begitu rupa sehingga membakar pula pohon-pohon dan rumah-rumah yang masih setengah terendam. Dari atas kutahan sejenak laju turun tubuhku untuk melihat keadaan dan mencari tempat terbaik untuk mendarat. Namun ke manakah bisa mendarat pada permukaan bumi yang dise laputi air mengalir deras seperti ini, yang sebagiannya telah menyala karena mantra Nagarjuna pula? Di bawah itu yang mengapung dan mengalir di atas permukaan adalah perahu-perahu berisi pengungsi, atap-atap rumah yang masih berdiri dan penuh manusia, batang-batang pohon mengapung yang selalu saja ada seseorang yang sedang memeluknya sembari telungkup, dan tidak jarang mayat manusia, telungkup atau telentang, yang sungguh bernasib malang tiada bisa menyelamatkan diri.

Memang benar wilayah sepanjang tepian Sungai Merah sudah biasa digenangi air ketika permukaan sungai naik dan meluap karena hujan deras yang tiada kunjung berhenti di pegunungan, tetapi jika rumah-rumah panggung pun ambruk dan terseret, sementara perahu-perahu yang dinaiki penduduk untuk mengungsi pun terbalik, kucurigai betapa peristiwa alam ini telah ditunggangi jika tidak didorong oleh suatu daya luar biasa dari suatu kehendak yang menuntut bencana. Tidaklah kutuduh Naga Kecil telah me lakukannya, tetapi manusia manakah kiranya betapapun saktinya memiliki daya dan alasan kuat untuk melakukannya selain Naga Kecil murid Naga Bawah Tanah yang sakti mandraguna?

Aku turun lebih lambat dari titik-titik air hujan. Bayi yang kubekap dengan kaki tergantung di tangan kiriku itu menangis keras sekali, yang membuatku lega karena itu berarti ia masih hidup. Namun kini nyawanya mungkin terancam kembali karena dari balik titik-titik hujan itulah meluncur sejumlah besar senjata rahasia yang belum kukenal. Aku tidak mau menerima akibat dari sesuatu yang belum kukenal, jadi kusapukan titik-titik hujan yang setiap titiknya mengeras dan langsung meluncur menyambut setiap dari senjata rahasia yang meluncur itu.

DALAM sekejap di antara deru hujan terdengar suara-suara tumbukan beruntun antara titik-titik hujan yang mengeras dengan senjata-senjata rahasia, yang suara tumbukannya seperti desis, yang memang mengeluarkan asap beracun, berasal dari sisik-sisik yang dikebaskan Naga Kecil dari tangannya.

Kuketahui betapa sisik-sisik itu berasal dari tangan Naga Kecil yang dikebaskan, ketika semakin ke bawah tubuhku meluncur jatuh ke sungai semakin terkuak pula tirai hujan yang menyamarkan segala sesuatu, saat kulihat memang sekali lagi Naga Kecil mengibaskan tangan untuk meluncurkan sisik-sisik dari tangannya itu. Sisik-sisik di tubuh Naga Kecil meluncur dan setiap kali sekeping sisik lepas dan meluncur segera tergantikan oleh sisik baru. Sisik-sisik di tubuh Naga Kecil menyala, tidak lagi menyala biru seperti tubuh ikan di kedalaman danau, tetapi kali ini merah, merah menyala-nyala dan berpijar bagai menunjukkan perasaannya yang meradang.

Kusapukan lagi titik-titik hujan menyambut sisik-sisik itu, tetapi Naga Kecil sendiri telah meluncur di belakang serbuan sisik-sisik beracun yang jika ditangkis me letupkan uap beracun itu. Siasat semacam ini sering kuhadapi jika bertarung melawan mereka yang mengandalkan pisau terbang. Dalam siasat ini, ketika perhatian kita terpusatkan untuk menangkis pisau-pisau meluncur yang banyak itu, pelempar tersebut telah menancapkan pisaunya yang lain ke bagian tubuh mana pun yang disukainya, apakah itu jantung ataupun leher kita. Menghadapi mereka, berdasarkan kecepatannya aku tinggal mengibaskan kembali pisau-pisau terbang itu kembali ke arah mereka. Jika mereka lebih cepat, bisa kuhindari saja pisau- pisau terbang itu dan menghadapi serangannya dan saat itulah kuselesa ikan riwayat hidupnya.

Namun sekarang ini siasat tersebut tidak dijalankan oleh sembarang penyoren pedang dari dunia persilatan, melainkan Naga Kecil perkasa yang mampu bergerak lebih cepat daripada kilat! Siapa pun ia yang mendapatkan gelar naga atas kemampuannya, bukanlah lawan yang dapat dipandang sebelah mata, karena tentulah ia set idaknya takpernah terkalahkan, bahkan oleh para pendekar yang paling ternama dan paling tinggi ilmu silatnya. Diriku dengan bayi yang harus selalu kujaga keselamatannya di tangan kiriku ini, tentulah berada dalam kesulitan yang luar biasa.

Dari bawah, dari balik tirai hujan dan cadar hamburan ribuan senjata rahasia beracun, Naga Kecil me lesat dengan cakar terkembang mengancam jantungku! Menyambut serangan seperti ini, dengan bayi menangis menjerit-jerit yang sejak tadi kujepit dengan tangan kiri, dan tak tahu tempat berpijak lain di atas dunia yang seolah terdiri dari air, niscaya diriku yang masih berada di udara ini sungguh berada dalam bahaya! Menghadapi serangan cakarnya berarti bayi ini akan mati terajam sisik-sisik ikan beracun, sedangkan melindungi bayi ini dari senjata-senjata rahasia yang melesat itu sama dengan membiarkan cakar Naga Kecil menjebol dada dan merenggut jantungku tanpa sisa! Sungguh keadaan yang luar biasa sulitnya!

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar