Nagabumi Eps 108: Jibvayuddha

Eps 108: Jibvayuddha

DALAM Kama Sutra terdapat istilah jibvayuddha yang artinya adalah Pertarungan Lidah, tetapi yang memiliki ketentuan bahwa pasangan lelaki dalam percintaan ini tidak berkumis. Maka ketika percintaan yang kesekian akan dimulai kembali, sebelumnya Amrita ingin mencukur seluruh bulu yang berada di wajahku.

''Datanglah kemari Pendekar Tanpa Nama, tidurlah terlentang di pangkuanku, biar kubersihkan wajahmu,'' katanya.

Di tangannya telah tergenggam sebilah pisau, yang biasanya digunakan sebagai satu dari sederetan pisau terbang pada ikat pinggang. Aku tahu pisau seperti itu ketajamannya luar biasa, bahkan besi pun jika tidak dilambari tenaga dalam akan ditembusnya. Dengan pisau itu, ketika aku terlentang di pangkuannya sementara ia mencukurku, tentunya ia bisa menggorok leherku sampai putus, tetapi ujian bagi seorang pecinta kukira justru datang pada saat-saat seperti ini: Apakah ia mencintai perempuan itu begitu rupa sehingga rela dibunuhnya, ataukah cintanya sebatas kehangatan bara yang menyala hanya ketika percintaan membakarnya? Masalahnya, sebagai pendekar, seberapa besarkah nyaliku menghadapi pisau setajam itu di bawah urat leherku?

Kini aku tahu apakah itu pertarungan dalam arti sebenarnya, yakni kemampuan untuk menaklukkan ketakutan dan keraguan dalam diri sendiri. Maka aku pun merebahkan diri kepangkuannya. Udara masih dingin. Amrita membungkus dirinya dengan selimut kulit kambung, dan aku dengan kain sekadar penahan dingin yang kini mesti menahan dingin udara yang sangat tidak sekadarnya.

''Masuklah kemari,'' Amrita berkata sambil membuka selimutnya, dan kulihat segalanya di dalam sana.

Aku bergulir satu kali dan masuk ke sana. Tinggal kepalaku di luar selimut itu, siap dibersihkan seluruh bulunya oleh Amrita yang ingin memberlangsungkan jibvauddha sesuai petunjuk Kama Sutra.

Ia mulai mencukur. Angin kencang dan dingin. Bunyinya sangat berisik, seperti bunyi ribuan orang yang bersiul tetapi tidak bersama-sama. Untuk mencukur wajahku, ia hanya membutuhkan sekali sapuan dan tak perlu mengulang supaya licin bagaikan batu pualam. Namun saat semuanya sudah bersih, ternyata pisau itu tidak beranjak pergi, melainkan tetap berada di leherku.

Aku tertegun, tetapi bersikap diam, seolah tidak sadar bahwa pisau itu sengaja berhenti di sana. Wajah Amrita muncul di atas kepalaku. Rambutnya begitu wangi dan jatuh pula pada wajahku.

''Dikau pikir akan daku potongkah kepala yang wajah seramnya telah daku ubah menjadi manis ini?''

Dilemparkannya pisau itu, lantas ia bergulir ke atas tubuhku. Wajah kami berhadapan. ''Dikau sudah tak berkumis, sekarang kita mulai dari depan. Ini tentang ciuman. Ciuman bisa dilakukan pada kening, pipi, leher, mata, dada lelaki, ...,'' ujarnya sambil melakukan semua itu.

Aku diam saja, karena ketika melakukannya ia memang terus berbicara seperti memberikan pelajaran.

''Vatsyayana berkata, tidaklah mungkin menghitung bagian tubuh tempat seseorang dapat menempatkan bibirnya.''

Begitulah lagi-lagi sambil mengatakannya ia pun melakukannya, dan lenyap ke balik selimut bulu kambing yang hangat itu. Kupandang langit yang biru di atasku, bagaikan tiada lagi yang lebih biru dari kebiruan langit yang paling biru.

Mega-mega lewat bagaikan terlalu cepat. Aku teringat cerita Harini tentang Kama Sutra bagian yang ini, bahwa menurut Vatsyayana, ketika ciuman memegang peran untuk menimbulkan rasa tertarik, lebih baik diiringi cakaran dan gigitan. Adalah keliru jika percaya bahwa selama saat-saat awal tidak ada aturan. Selama seseorang mempertahankan kepekaannya, ia akan peduli kepada yang dilakukan pasangannya. Baru kemudian segalanya akan lepas...

Itulah kata Vatsyavana, dan ketika memikirkannya aku lupa sejenak perilaku Amrita di dalam selimutnya.

di bawah kata raga

Vatsyavana mengkaji laku percintaan di seluruh dunia

ia menyebut raga sebagai tingkat kelima dari kehendak yang disebut rati

pada tahap awal sekali ketika kehendak meningkat namanya prema

seperti panas matahari melelehkan mentega begitulah cinta melelehkan chitta dan membentuk sneha

meningkatnya kemesraan mengundang mana pertimbangan menumbuhkan pranaya

pada saat kepercayaan diri mutlak berkembanglah raga

dan pada tingkat tertinggi tercapailah anuraga

Beratlah bagiku mengatasi Amrita. Kurasa kancutku pun sudah tidak jelas lagi berada di mana.

"Amrita, jangan...," kataku dalam bahasa Sansekerta, tetapi ia seperti tidak akan mengenal bahasa mana pun di dunia.

Sepanjang pagi sepanjang siang sampai sore hari, Amrita menyusuri urutan petunjuk-petunjuk Kama Sutra yang dikuasai di luar kepala. Aku tidak bisa diam saja, karena keberpasangan ini menuntutku untuk mencari pada tubuh Amrita apa yang dalam bahasa Sansekerta disebut sebagai nabhimula, urusandhi, dan pedu.

Harus kuakui betapa kunikmati percintaan dengan Amrita, tetapi harus kuakui dengan jujur pula betapa perasaan bersalahku karena pengkhianatan terhadap Harini nun di desa Balinawang di Jawadwipa sana terus memburu, sehingga barangkali saja Amrita merasakan keraguanku. Namun ia tampaknya tidak mau menyerah, dengan seluruh kemampuannya ia berusaha membuat aku lupa, entah siapa berada di Jawadwipa sana yang telah mengisi hati dan pikiranku, meski tetap tiada berdaya menyambut kehendak tubuh untuk melayani Amrita, di atas Puncak Tiga Rembulan yang menyediakan hawa dingin, yang diperdingin, begitu dingin, sehingga percintaan bagaikan suatu kewajiban, dibandingkan kematian yang tampaknya mungkin saja mencengkeram tiba-tiba, mengingat perubahan suhu yang memang bisa sangat amat mendadak datangnya. Dengan perasaan bersalah kulayani Amrita, dengan pikiran yang terus menerus melayang ke desa Balinawang. Apakah perasaan bersalahku akan berkurang, jika kubayangkan saja Harini? Sepuluh tahun lebih telah berlalu semenjak kami berpisah. Dulu usiaku 15 tahun dan Harini sepuluh tahun lebih tua daripadaku. Dari Harini untuk kali pertama kukenal segenap isi Kama Sutra dan dari perempuan yang saat itu bagiku sungguh sempurna tersebut kukenal apa artinya memiliki tubuh dengan segenap kemungkinan yang bisa diberikannya dalam permainan asmara.

Kusingkap selimut. Hari telah menjadi malam dan tanpa Amrita di atas Puncak T iga Rembulan yang menembus mega- mega ini tidak bisa kubayangkan nasib tubuhku dalam kedinginan dan kesepian. Kubayangkan Harini, tetapi jiwa dan badan seorang lelaki 25 tahun agaknya tidak terlalu sama dengan remaja ingusan 15 tahun. Jika dari Harini ibarat kuterima pelajaran dan percobaan, dari Amrita dapat kunikmati seninya percintaan.

BERBARING berdampingan, aku dan Amrita memandang rembulan yang terlalu terang, terlalu lebar, terlalu besar, dan bagaikan sungguh-sungguh terlalu dekat karena Puncak Tiga Rembulan ini memang bagaikan menyangga rembulan dan untunglah bagaikan saja, sebab jika tidak tiadalah dapat kubayangkan kekacauan semesta yang telah menyebabkannya. Namun memang rembulan tampak seolah- olah begitu dekat, bagaikan payung jamur di atas langit dunia kami.

"Dikau lihatkah rembulan yang tampak seolah-olah begitu dekat bagaikan payung jamur di atas langit dunia kita, wahai Pendekar Tanpa Nama yang gagah perkasa dari Jawadwipa?"

"Ya daku lihat rembulan yang tampak seolah-olah begitu dekat bagaikan payung jamur di atas langit dunia kita, wahai Putri Amrita Vigneshvara yang tiada duanya yang belumlah kuketahui asal usulnya." "Pada saatnya dikau akan mengetahui juga siapa diriku, karena di tanah Khmer semua orang terlalu tahu siapakah daku meski belum pernah bertemu. Katakanlah dahulu kepadaku, adakah tempat di Jawadwipa yang membuat kita dapat memandang rembulan seperti sekarang?"

Kucoba mengingat-ingat segala tempat yang pernah kulewati di Jawadwipa, kurasa memang tidak ada tempat yang keajaibannya seperti Puncak Tiga Rembulan sekarang ini, meski kutahu banyak keajaiban lainnya. Puncak Tiga Rembulan memang bagaikan tidak berada di dalam dunia. Namun kalau tidak berada di dalam dunia lantas sekarang ini aku berada di mana? Tentu saja aku tidak dapat menjawab pertanyaanku sendiri. Jika memang Puncak Tiga Rembulan ketinggiannya menembus mega-mega, kukira semenjak masih berada di tengah lautan di Teluk Siam, dari atas kapal pun semestinya sudah dapat kulihat ketiga puncak yang dapat membuat suatu gambaran menjadi tiga dalam wujud benda nyata ini. Namun bukankah Puncak Tiga Rembulan ini memang ada, begitu nyata seperti aku kini sedang tidur terlentang di atas salah satu puncaknya, memandang rembulan yang begitu luas, sangat luas, dan amat sangat luasnya sehingga tiada dapat kulihat tepi-tepinya karena agaknya memang sudah begitu dekatnya, sangat amat dekat, dan tentu saja terlalu dekat, meski aku merasa terlalu tenang dan memang tenang-tenang saja bagaikan tidak ada sesuatu yang memang perlu membuat aku merasa tidak tenang.

"Tidak ada rembulan seperti ini di Jawadwipa, wahai Amrita, meski rembulan yang berada di sana adalah rembulan yang ini juga."

"Tetapi jika memang rembulan yang ini juga, dan sekarang begitu dekat dengan kita, bagaimanakah mereka saat ini dapat melihatnya?"

Dalam cahaya bulan yang terang keperakan, kucari tanda adakah Putri Amrita, murid kesayangan Naga Bawah Tanah yang tidak pernah memperlihatkan dirinya, memang bersungguh-sungguh dengan kalimatnya.

Ketika tertatap olehku kedua matanya, kulihat cahaya cemerlang mengertap dan berkeredap penuh kebahagiaan. Kutahu ia tidak memerlukan jawaban, karena lantas memeluk dan menciumku kedua pipiku seperti seorang ibu menumpahkan perasaan kepada anaknya.

Putri itu lantas menggamit tanganku dan memperhatikannya.

"Tangan dikau begitu halus," katanya, "seperti bukan tangan pendekar."

"Seperti apakah kiranya tangan pendekar itu menurut pendapat dikau, wahai murid Naga Bawah Tanah yang sakti mandraguna? Bukankah tanganmu sendiri se lembut kapas, bagaikan tangan bayi yang belum pernah menyentuh apa pun selama hidupnya?"

Kami saling berpandangan, dan tersenyum penuh pengertian, karena memang hanya mereka yang belajar silat dengan tenaga kasar akan menjadi kasar telapak tangannya. Mereka melatih diri dengan memukul batu, memasukkan tangan ke pasir panas, atau memukul-mukul karung goni berisi entah apalah yang membuat tangan kapalan begitu rupa sehingga kulit seolah-olah bisa dikupas tanpa terasa.

Aku jadi teringat masa latihanku sendiri. Meski tidak memukul batu dan menohok pasir panas, juga tidak bisa dibilang ringan. Aku teringat ketika pasangan pendekar yang mengasuhku itu melatihku dengan cara seperti ini, yakni harus berdiri di atas gelondongan batang pohon yang licin di tengah sungai, dan aku harus terus menerus tetap bisa berdiri meskipun batang pohon itu bukan saja licin sekali tetapi juga terus menerus berputar. Bisakah dibayangkan bahwa dalam keadaan seperti ini mereka berdua masih menghamburiku dengan pisau-pisau terbang pula? AKU teringat betapa bisa lama sekali diriku mesti bertahan agar tetap dapat berada di atas batang kayu. Meski tidak lagi melempar pisau terbang, pasangan pendekar itu menetapkan aku tetap harus berada di atas batang kayu yang berputar- putar itu. Mereka bahkan akan pergi meninggalkan diriku dan tidak mau tahu, dalam keadaan apa pun aku harus tetap mampu berdiri di atas batang kayu di tepi sungai tersebut. Tentu saja pada mulanya, apalagi untuk kali pertama , jangankan untuk berdiri di atasnya dan meloncat-loncat menghindari siraman pisau-pisau terbang pula, sedangkan untuk mampu naik ke atasnya saja luar biasa susahnya. Sekali aku dapat menaiki pohon itu, aku sama sekali tidak bisa berdiri, melainkan hanya berbaring saja memeluknya, karena setiap kali mencoba berdiri langsung jatuh ke sungai dan harus merayap kembali.

Batang pohon itu sendiri memang sudah lama berada di sana, bahkan pasangan pendekar yang mengasuhku itu sendiri tidak juga tahu semenjak kapan batang pohon tersebut berada di situ. Mereka mengatakan kepadaku bahwa sejak mereka masih muda pun mereka berdua telah menggunakannya untuk berlatih, karena memang sudah ada di sana ketika mereka datang untuk pertama kalinya ke Celah Kledung. Batang itu memang besar, panjang, dan menghitam licin karena lumut yang menahun, terletak di bagian tepi sungai yang tidak mengalir, pada semacam ceruk tempat orang biasa memasang bubu, tetapi yang semenjak lama tak lagi digunakan untuk itu setelah seseorang yang tidak dikenal mati terbunuh di tempat.

Mayatnya itulah yang melintang di atas batang yang kelak pada hari kemudian menjadi tempatku berlatih itu. Di atas ceruk itu terdapat pohon besar yang tinggi dan rindang, sehingga memang nyamanlah jika aku berlatih di situ, apalagi setelah kukuasai ilmu meringkankan tubuh dengan sedikit sempurna, sehingga batang pohon itu tiada lagi menjadi siksaan bagiku. Dengan ringan aku mampu melenting-lenting di atas batang pohon itu tanpa jatuh sama sekali, sembari melemparkan kembali pisau-pisau terbang yang berhasil kutangkap kepada ayah ibuku. Kemudian, apabila karena jarang digunakan untuk latihan ada saja yang menggunakannya untuk berkasih-kasihan. Ingatan ini mengembalikan aku kepada keadaan diriku sekarangO

"Pendekar Tanpa Nama, dikau sedang melamunkan apa?"

Inilah aku, seorang perantau lata dari Jawadwipa, tidur berbaring di dalam selimut di samping seorang perempuan yang begitu indah cantik rupawan tiada terkira. Nun jauh di atas Puncak Tiga Rembulan, tempat aku belum tahu cara terbaik untuk turun kembali.

"Bagaimana caranya turun, wahai Puteri, itulah yang sedang berada di dalam pikiranku kini," jawabku. Kukira akan terlalu panjang untuk mengisahkan kembali apa yang tadi melintasi pikiranku. Masa lalu yang sebetulnyalah juga belum selesai untukku. Lagipula, bukankah masa depan yang semestinyalah menjadi jauh lebih penting bagiku? Meski dalam hal itu pun diriku hanyalah pengembara dalam waktu, yang tidak memiliki masa lain se lain masa kini yang betapapun memang menuju ke depan.

"Dikau berpikir tentang turun ke bum i, wahai Pendekar Tanpa Nama, mengapa tidak tinggal di langit saja, bersama mega-mega dan Amrita?"

Tidak kumungkiri daya pikat Amrita yang luar biasa dan betapa diriku ingin memilikinya, tetapi meskipun bayangan Harini makin lama makin jauh, keberadaanku di tanah asing ini sendiri menyadarkan kepada tujuan hidupku. Memang benar betapa kesempurnaan pencapaian manusia melalui ilmu persilatan menjadi tujuan dalam pembelajaran di jalan pedang, tetapi sebagai pengembara di bumi manusia, berjalan tanpa tujuan itulah bagiku yang menjadi satu-satunya tujuanku. "Kita tidak mungkin berada di sini se lama-lamanya bukan, wahai Puteri Tanah Khmer yang indah lagi rupawan, bekal daging keringmu sudah habis, dan besok kita belum tahu akan makan apa. Tidak ada tetumbuhan maupun hewan yang bisa mengisi perut kita sama sekali di Puncak Tiga Rembulan ini."

Amrita bercerita bahwa se lama ini Pangeran Kelelawar itulah memang yang telah merawatnya, tetapi tanpa menyadari sama sekali perkara kebocoran prana akibat sentuhanku, setelah titik lemahnya dibuka oleh Jurus Penjerat Naga. Karena tidak kunjung sembuh, Amrita tidak bisa ke mana-mana. Semula Pangeran Kelelawar membawanya ke sana dengan maksud hanya untuk sementara, tempatnya berlatih sampai tumbuh selaput kulit di antara pergelangan tangan sampai pinggangnya, sambil menghindari musuh- musuh Amrita yang tersebar di mana-mana. Namun karena Amrita tetap saja tiada berdaya, akhirnya Pangeran Kelelawar setiap kali terbang untuk berburu ketika bekal makanan menipis.

Kulihat sekeliling, tiada tulang belulang sama sekali, bersih seperti lantai istana di atas langit. Amrita seperti bisa membaca pikiranku.

eiPaman guruku mempunyai ilmu untuk menghancurkan tulang di daging, jadi ketika dipanggang dagingnya bisa dimakan berikut tulang di dalamnya. Terlalu rum it bagiku waktu itu, dan diriku masih terlalu lemah jika harus memegang sepotong daging dengan kedua tangan. Sebelum turun bertarung denganmu ia t inggalkan daging-daging kering ini. Agaknya ia pun tidak yakin dirimu akan dapat dikalahkannya."

"Kenapa?"

"Ia berlatih dan merenung berhari-hari sebelum hari pertarungan itu, dan ia sering menghela napas panjang," katanya, "Daku kira tidak akan bisa daku kalahkan pendekar dari Jawadwipa itu, sampai sekarang belum kutemukan kunci untuk membongkar ilmu s ilatnya, bentuknya sama sekali tidak dapat daku lacak."

Akulah yang kini menghela napas panjang. Pengorbanan seseorang demi kematian dalam puncak kesempurnaan selalu mengharukan diriku, apalagi jika dirikulah yang menjadi jalan kematiannya itu, yang menjadi sebab kenapa seorang pendekar sangat menghormati siapa pun lawannya dalam pertarungan seperti itu.

HMM. Jadi seseorang telah menjadikan Puncak Tiga Rembulan ini sebagai tempat berlatih silat. Kukira memang tempat yang sangat cocok untuk mengembangkan Ilmu Silat Kelelawar yang betapapun memang luar biasa itu, dan aku tahu tentu bukan sekadar karena telah mengalami diserang dan bertarung dengan Pangeran Kelelawar, melainkan karena telah menyerapnya dengan Jurus Bayangan Cermin. Begitu banyak ilmu silat yang telah kuserap, tetapi aku tidak selalu memikirkan kembali seperti I lmu Silat Kelelawar ini, karena kukira inilah cara termudah turun kembali ke bumi.

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar