Gema Di Ufuk Timur Bab 03 : Arus Baru

 
Bab 03 : Arus Baru

Bintang-gemintang tak pernah berhenti bersinar. Setiap malam ia muncul di ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat. Ia berkelip di atas gunung dan lembah, sungai dan samudra. Ia menerangi binatang buas di hutan, binatang melata di rawa, ternak dan unggas serta burung-burung malam di udara. Karena itu kehidupan di Blambangan juga tidak pernah berhenti. Walau tanpa Wong Agung Wilis, tanpa Mangkuningrat. Dan kekuasaan beralih ke tangan VOC (Vereenigde Oostindiscbe Companie: maskapai dagang Belanda di Hindia) Memang pada mulanya Gubernur Jenderal Van der Para tidak tertarik terhadap tanah semenanjung timur itu. Tapi setelah saingan dagang VOC, mulai menjamah dengan perdagangan candu dan senjatanya, maka berubahlah pikirannya. Sekalipun ia seorang gubernur jenderal, tetap saja ia juga manusia yang hidup di atas gaji. Gaji sebagai imbalan jasanya. Itu sebabnya ia menyerbu Blambangan. Untuk membuktikan bahwa ia berjasa pada VOC. Pada modal raksasa.

Gaji? Yah... uang! Karena ada uang ada VOC. Karena uang ada manusia yang menipu dan ? ditipu. Ada yang diperintah dan memerintah. Karena uang ada orang yang menyediakan diri jadi sundal ataupun pembunuh. Dan demi uang VOC harus mengatur jalannya kehidupan di Blambangan. Memang VOC mengeluarkan banyak biaya untuk menggaji pasukan dan pegawai. Tapi semua itu dilakukan untuk memperoleh uang yang lebih banyak lagi.

Demi sempurnanya pengelolaan modal itu maka VOC perlu membentuk pemerintahan di Blambangan. Karena itu gubernur Surabaya, Johanis Vos memerintahkan Mayor Colmond menjabat sebagai penguasa sementara di Blambangan. Sebagai orang yang paling berkuasa di Blambangan, dan paling dipercaya oleh gubernur, maka Colmond menentukan Lo Pangpang sebagai tempat kedudukannya. Tentu dalam angannya sudah tercanang rencana untuk dapat mengemban tugas yang dibebankan di atas pundaknya itu.

Colmond mengirimkan temannya Mayor Van Coopa Groen ke Surabaya terlebih dahulu. Karena Van Coop sakit keras.

Apakah yang menyebabkan ia sakit? Tidak ada yang tahu. Yang jelas ia sering mengalami panas tinggi. Dingin sebentar, panas lagi. Kadang menggigil. Dan jika panas meradang, Van Coop berteriak-teriak seperti orang ketakutan. Ia panggil nama istrinya, papanya, dan mamanya. Anak buahnya ikut takut. Sebelum diberangkatkan ke Surabaya Coop hampir setiap hari menangis.

"Ia didatangi arwah orang-orang Blambangan yang dibunuhnya," ujar Kopral Meneerlijk pada Sersan Van Bozgen.

"Apa kamu bilang, Kopral? Didatangi arwah orang Blambangan? Mana bisa bangkai-bangkai itu bangun lagi?" Sersan Bozgen tidak percaya. Ia berulang kali memandang rumah Van Coop. Kebetulan mereka berdua yang ditugaskan menjaga komandan yang sedang sakit itu. 

Meneerlijk duduk membelakangi rumah itu sambil membersihkan laras bedilnya.

"Tidak percaya, Sersan? Buktinya dia sakit ngomel terus.

Dan selama perang di sini prajurit kita lebih banyak yang mati bukan karena perang. Ingat zaman Komandan Blanke? Tiga ribu orang cuma tersisa tiga puluh. Bukan karena peluru musuh, Sersan."

"Aa... Kopral jangan bicara yang tidak-tidak. Kita harus waspada dan selalu berdoa. Jangan karena kita menang, kita lalu bertindak semau-mau. Lihat itu mayor kita, lupa daratan. Ia tidak kenal lagi dengan dosa. Tidak pernah sembahyang. Di mana pun kita tidak boleh lupa Tuhan." Sersan itu mondar- mandir dengan senjata di tangan. "Apa hubungannya perang dengan doa, Sersan? Kita kotor dan najis. Tapi Sersan masih juga bicara soal Tuhan. Sersan seperti malaikat. Saya hanya bisa berdoa di gereja. Lain tidak, Sersan."

Sersan Bozgen terdiam. Apalagi saat itu Mayor Colmond mendatangi mereka. Segera mereka berdiri tegak seperti patung, kemudian memberi penghormatan. Dan senjata mereka diangkat dengan laras ke atas dan ditempatkan tepat di depan mereka. Setelah membalas penghormatan mereka Mayor Colmond memberi tahu bahwa Van Coop segera diberangkatkan ke Surabaya melalui laut.

Setelah memberangkatkan Van Coop ke Surabaya, tugas Colmond adalah membenahi pemerintahan. Maka di kediamannya, ia berunding dengan beberapa anak buahnya untuk menentukan siasat yang terbaik dalam menjalankan pemerintahan,

Rumahnya terletak di pinggir jalan raya yang menghubungkan Lateng dengan Panarukan. Halamannya selebar dua ratus depa, sedang panjangnya kurang-lebih tiga ratus depa. Cukup luas memang. Pagar batu bata mengelilingi luas halaman. Dan pos penjagaan ditempatkan di gerbang masuk halaman itu. Jarak antara jalan raya dengan pendapa rumahnya kurang-lebih seratus depa. Di kiri-kanan jalan masuk ke gedungnya ditanami pohon kenari. Belum rimbun memang. Karena masih tiga-empat bulan saja umur pepohonan itu. Juga umur gedung yang ditempati Colmond itu. Gedung itu dikerjakan oleh ratusan tangan orang-orang Madura dan Blambangan. Tentunya dengan pengawasan.

Bentuknya meniru kediaman Gubernur Jenderal di Jakarta. Dindingnya dari batu bata dan dilapis begitu halus serta dicat kapur putih. Orang Blambangan tak pernah mimpi bahwa di Pangpang akan berdiri gedung semacam itu...

Meskipun penyelesaian bangunan belum usai, namun siang itu Colmond bersama beberapa pembantunya sedang berada di bangsal yang memang disediakan sebagai bagian dari bangunan itu. Bangsal yang menghadap halaman luas yang rencananya akan dijadikan taman. Jika Van Der Para di Batavia boleh berjalan-jalan di taman dengan ditemani oleh para selirnya kenapa para gubernur dan residen tidak boleh melakukan hal yang sama? Bukankah mereka juga membutuhkan keenakan dalam hidup?

Sebuah kursi berukir didatangkan dari Pasuruan sebagai tempat duduk Colmond. Di depannya ada meja yang berukuran satu setengah depa kali tiga depa. Di kiri-kanan meja ada beberapa kursi yang diduduki oleh para pembantunya. Deretan sebelah kiri duduk Letnan Van Beglendeen dan Sersan Ge Dank. Sedang sebelah kanan meja tampak Sersan Bozgen, Kopral Badeloens, dan Kopral Meneerlijk. Dua orang pribumi berdiri di kiri-kanan Colmond sambil mengipasi orang tinggi besar berambut dan berkumis pirang itu. Yang mengipasi Van Der Para di Batavia pastilah dua wanita pribumi pilihan. Mungkin saja anak-anak bupati atau putri raja Jawa yang takluk pada VOC. Di Blambangan belum. Nanti juga akan begitu jika pemerintahan sudah mapan, pikir Colmond. Udara Blambangan terlalu panas buat Colmond.

"Kita akan memulai lembaran baru bagi kehidupan kita.

Dengan jatuhnya Blambangan ke tangan kita berarti habislah sudah wilayah Mataram. Dan VOC akan lebih kaya dari Mataram sendiri. Ha... ha... ha...," Colmond memulai. Setelah itu tangan kanannya memungut sebuah kipas yang terbuat dari kulit rusa. Walau dikipasi dari kiri dan kanan ia masih merasa gerah. Sampai-sampai keringat mengalir di jidat dan turun ke dahinya yang berwarna merah jambu itu.

"Ya. Lalu apa yang harus kita kerjakan, Mayor?" tanya Letnan Beglendeen sambil menggaruk tangan kanannya yang berbulu kuning dengan jari-jari tangan kiri. Mayor Colmond menatap muka anak buahnya itu. Kedua belah alisnya yang tebal dan pirang itu menyatu. Sedang kedua ekor alis itu tertarik ke atas. Kemerut di dahi ditambah bibir lebar mengatup rapat di bawah hidung yang berbentuk seperti jambu mente. Tampaknya seperti orang yang selalu mengejan.

"Kenapa Letnan bertanya begitu? Tentu kita membenahi pemerintahan. Agar kita bisa mengangkut hasil bumi dengan mudah maka kita harus membangun sarananya. Dan kita membangun benteng-benteng baru untuk memperkuat kedudukan kita."

"Kita tidak bisa hanya menggunakan orang-orang Madura," Kopral Badeloens memberikan pendapat, "sebab tenaga mereka juga kita gunakan untuk berperang jika sewaktu- waktu pribumi melakukan perlawanan."

"Betul!" Colmond menoleh pada Badeloens. Masih muda.

Tapi perutnya agak buncit. Untuk ukuran Eropa tentunya Badeloens termasuk kerdil. "Karena itu kita akan menggunakan tenaga pribumi. Mereka harus kasih makan dan membangun benteng buat kita."

Kini Colmond menoleh pada dua orang yang sedang mengipas-ngipas di belakangnya. Mereka tak mengerti bahasa Belanda. Juga tak mengerti makna tolehan itu. Dalam ketidaktahuan mereka mengipas makin kuat. Sebentar kemudian suara Letnan Beglendeen menarik perhatian Colmond.

"Jika demikian kita harus menggunakan tenaga pribumi untuk memerintah pribumi sendiri."

"Satu pemikiran yang bagus, Letnan Beglendeen. Tapi kita tidak boleh membiarkan penguasa pribumi itu membangun tentara. Pokoknya kita harus berusaha agar mereka tidak bisa melawan.' "Jika demikian maka ada baiknya kita angkat seorang bupati agar bisa membantu kita. Seperti Surabaya," Beglendeen menyarankan lagi. Sementara itu yang lain hanya diam.

"Tidak boleh cuma satu. Blambangan ini wilayahnya cukup luas. Jika di bawah perintah satu orang dan kemudian orang itu memberontak maka seluruh Blambangan akan ikut memberontak. Karenanya kita akan angkat dua orang tumenggung. Blambangan kita bagi dua. Sebelah utara akan beribukota di La Pangpang ini, dan selatan beribukota di Lateng. Gubernur Yohanis Vos pasti akan menyetujui pendapat kita. Juga angkat dua pembantu tumenggung yang di Mataram biasa diberi pangkat patih. Aha... mereka akan menerima gaji dari VOC. Jadi mereka adalah pegawai kita.

Yang kita angkat dan berhentikan."

"Apakah Mayor sudah menemukan orang yang mungkin bisa kita percaya? Kita tidak boleh sembarang tunjuk."

"Akh... benar juga, Letnan. Tapi... kita masih ingat pada Bapa Anti yang dulu datang ke Surabaya itu?"

"Jika kita angkat dia maka orang-orang Blambangan tak akan mau percaya padanya. Mereka tentu tidak suka pada Bapa Anti itu. Sebab tentu dia yang dianggap penunjuk jalan sehingga kita dapat mematahkan Wong Agung Wilis. Nah... jangan lupa Wong Agung Wilis sangat berpengaruh di sini.

Semua orang Blambangan dengar setiap kata-katanya," Beglendeen memperingatkan lagi. Sersan Badeloens dan lainnya menganggguk-angguk. Membenarkan. Mayor Colmond pun mengerutkan dahinya. Sebentar kemudian ikut mengangguk-angguk lemah. Tapi cuma beberapa anggukan dia berhenti dan mengelus jidatnya.

Colmond tak habis mengerti, bagaimana caranya Wong Agung Wilis mempengaruhi kawula Blambangan. Bahkan menurut laporan mata-mata, Wong Agung Wilis mampu menggerakkan laskarnya walau dengan tanpa gaji. Gila! Tanpa uang dan paksaan. Ucapan Wong Agung dianggap ucapan dewa! Orang merasa dirinya mulia andaikata bisa melaksanakan perintah Wong Agung. Ah... tapi mereka tetap dungu. Wong Agung Wilis tertangkap dan sekarang dalam pelayaran ke Pulau Edam di Kepulauan Seribu. Mengapa orang semacam itu diperdewakan? Colmond melecehkan dalam hati. Wong Agung Wilis sudah tak mampu membela diri sendiri.

Apalagi Blambangan.

Angin bertiup lagi dari pelataran. Tapi tetap belum menyejukkan yang sedang berunding. «Sedang mentari semakin meninggi. Tiba-tiba Colmond menemukan akal. Bukan Bapa "Anti calon pemimpin Blambangan. Tapi setidaknya orang itu bisa dimintai pendapat siapa yang bisa. ^ Dan ia memandangi anak buahnya. Mereka sudah membuka kancing baju sehingga tampak bulu lebat memenuhi tiap dada anak buahnya. Yang agak tidak menyenangkannya ialah bau ketiak mereka mulai tercium di permukaan hidungnya. Tapi ia sendiri j:idak dapat mengusir mereka. Karena ketiaknya juga sudah berkeringat. Jangan jangan ketiaknya sendiri yang berbau.

"Siapa di antara kalian yang bisa bicara Blambangan?" Colmond tiba-tiba bertanya.

Bozgen dan Ge Dank mengangkat tangan bersama. Colmond senang. Ia perlu juga belajar sedikit-sedikit. Kemudian ia juga menganjurkan pada seluruh anak buahnya agar belajar bahasa Blambangan walau tidak sempurna.

Sedang pada Ge Dank ia perintahkan agar memanggil Bapa Anti. Ia akan melibatkan banyak orang Blambangan sendiri untuk kepentingan VOC.

Cukup lama mereka harus menunggu kedatangan Bapa Anti. Walau Ge Dank berkuda. Dan memang yang namanya menunggu selalu tidak menyenangkan. Apalagi ditambah dengan kegerahan. Melengkapi kejengkelan. Colmond berulang berdiri untuk menengok jalan raya. Sementara yang lain tidak berani bergerak. Mematung di kursinya. Dua orang pengipas Colmond tidak tahu makna umpatan yang keluar dari mulut Colmond. Mengumpat pada kelambanan Ge Dank, pada gerahnya udara, pada tumbuhan di sekitar rumah yang tidak cepat besar dan rimbun. Mengumpat pada semua dan segala sebagai pelampiasan kejengkelan.

Akhirnya umpatan yang membuat anak buahnya terpatri di kursinya masing-masing itu berhenti juga. Ge Dank masuk ke ruangan itu dengan seorang yang telanjang dada dan berdestar. Agak kurus dan tinggi. Bermata kuyu dengan kumis tidak teratur. Di beberapa bagian kumis itu sudah mulai tercampur warna putih. Gelang akar hitam menghias pergelangan tangan kanan orang itu. Bapa Anti.

"Silakan duduk. Bapa Anti?" Colmond bertanya dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan oleh Bozgen.

"Benar, Tuan," Orang itu memberi penghormatan. Setelah itu mencari-cari tempat duduk dengan matanya. Tapi tak ada, karena kursi yang tersedia sudah diduduki oleh Ge Dank. Mau tak mau ia harus duduk di lantai tanah. Pembangunan gedung belum selesai. Ia ngelesot di hadapan Colmond. Harga sebuah kerja sama atau kekalahan? Namun Bapa Anti tidak mempersoalkannya. Apalagi Colmond segera menyambung pembicaraannya.

"Kami datang karena Bapa Anti pergi ke Surabaya. Dan VOC ingin bekerja sama dengan orang-orang Blambangan. Tidak seperti orang-orang Bali. Mengerti?” Colmond memandang dengan matanya yang biru. Bahkan kini tersenyum. Bozgen terus menerjemahkan.

"Ya. Mengerti, Tuan." Bapa Anti tidak mengerti apa kelanjutan kata-kata Colmond. Dia mendengar dan terus mendengar.

"Tapi sayang Wong Agung Wilis datang menyerbu kami. Ia malah membagi-bagikan uang Bali. Sedikitnya dua ribu sembilan ratus tujuh puluh orang Kompeni mati di sini. Belum biaya yang kami keluarkan. Begitu banyak. Tapi kami masih mau bersabar dan membantu kamu serta orang-orang Blambangan."

"Ya, Tuan. Kami minta maaf." Bapa Anti tidak berani memandang wajah Colmond.

"Mas Anom yang kau usulkan menjadi tumenggung tak juga berani menghadapi Wilis. Katanya akan setia pada Belanda, tapi setelah Wong Agung Wilis datang ia pergi meninggalkan tugasnya."

"Semua orang takut pada Wong Agung Wilis, Tuan." "Takut? Ha... ha... ha... Ada apa dengan orang itu? Bukan

setan dan bukan Tuhan. Kenapa takut?"

Untuk pertama kali Bapa Anti mendengar istilah Tuhan.

Bukan dewa. Hatinya berdesir. Tapi ia tak mampu membantah.

"Wong Agung Wilis adalah ksatria yang mewakili dewa.

Semua orang harus tunduk padanya."

"Itu penipuan, Bapa Anti. Toh dia kalah... Nah, sekarang aku tuntut janjimu di hadapan gubernur Surabaya bahwa kau akan membantu r Kompeni sepenuhnya. Aa... ya, kami akan angkat kau menjadi pegawai yang dibayar oleh Kompeni."

"Apa yang harus kami kerjakan?"

"Dengar. Kami hanya ingin menjaga agar Blambangan tidak diserbu lagi oleh Bali. Kami tidak ingin memerintah. Karena itu kami ingin menyerahkan pemerintahan ini pada orang Blambangan sendiri." Colmond berhenti sebentar. Mengipasi mukanya. Kemudian memandang anak buahnya. Sekilas mereka tampak tersenyum. Beg-lendeen yang tidak pernah senyum itu pun turut senyum. Ia juga kagum pada akal Colmond. "Adakah orang yang layak memerintah Blambangan?

Jangan kau sendiri, Bapa Anti. Kau tetap sahabat Kompeni. Kau juga akan tetap dibayar."

Bapa Anti mengerutkan keningnya. Matanya memandang jauh. Mengingat-ingat.

"Bukan hanya bayaran. Kau pernah ke Surabaya, kan? Sudah pernah lihat noni-noni? Ahai, kau juga akan dapat hadiah noni yang cantik bila kau ingin."

Masih juga belum menjawab Bapa Anti. Tapi matanya menjadi berbinar demi mendengar kata noni-noni. Ah... ia ingat di Surabaya dulu. Dari kejauhan ia lihat seorang noni naik kuda dengan gaun putih, pinggang ramping, dan rambut kuning seperti emas... Orang Blambangan akan kagum jika ia beristri noni kelak. Maka ia berjanji akan menghubungi orang yang akan ia usulkan itu.

"Bukan cuma satu orang, Bapa Anti. Tapi empat orang. Satu orang menjabat tumenggung di Pangpang. Dan satu orang menjadi patihnya. Satu orang menjadi tumenggung di Lateng. Satu orang lagi menjadi patihnya. Kau... jadi penasihat kami."

"Blambangan dipecah?"

"Untuk memudahkan pekerjaan saja, Bapa Anti." Bapa Anti mengangguk-angguk. Tapi tetap tunduk. "Apakah kau punya gambaran siapa-siapa orangnya?" Untuk beberapa jenak Bapa Anti berdiam lagi.

Pikirannya berputar dari satu wajah ke wajah yang lain.

Dari satu nama ke nama yang lain. Tiba-tiba dia ingat beberapa satria tak ternama di kalangan pemerintahan Blambangan zaman Wong Agung Wilis. Karena memang mereka dari turunan para selir. Bukan selir raja tentunya. Selir Bagus Tuwi sebagai pangeran. Berdarah satria namun tak pernah memiliki hak seluas satria lainnya. Hanya karena mereka anak selir. Atau karena memang mereka tak memiliki karya dan darma yang menonjol demi Blambangan maka mereka tak pernah dihormati. Atau mungkin saja karena mereka tak mendapat kesempatan untuk menunjukkan karya dan darma mereka.

Maka setelah agak lama Colmond menunggu, Bapa Anti menjawab juga.

"Ada. Kami telah memperoleh gambaran mengenai orang- orangnya. Walaupun demikian kami akan berunding dulu.

Apakah mereka sanggup." "Siapa mereka itu?"

"Semua adalah keluarga bangsawan. Mereka adalah Sutanegara, Suratruna, Wangsengsari, dan Jaksanegara. Dan kebetulan dua orang yang terakhir ini tinggalnya memang di Pangpang."

"Ahai, bagus. Besok suruh mereka bertemu aku. Sekarang kau boleh pulang. Tapi jangan lupa besok ajak mereka datang kemari. Katakan biaya hidup mereka beserta anak-istri akan ditanggung Kompeni. Tidak usah ikut-ikutan miskin seperti pengikut Wong Agung Wilis. Tahu?"

"Baik, Tuan."

"Letnan Beglendeen, berangkat ke Surabaya! Lapor pada Gubernur Vos tentang yang kaudengar ini!"

"Siap, Mayor." Semua memberi hormat.

0oo0

Esok harinya kediaman Colmond lebih ramai dari hari sebelumnya. Ada empat orang tamu, bangsawan pribumi. Colmond tak menduga sama sekali bahwa mereka akan membawa pengawal bersenjata. Padahal pada saat Blambangan dikalahkan, persenjataan mereka dilucuti. Jika demikian, masih banyak orang Blambangan yang menyimpan senjata api? Dari mana mereka mendapatkannya? tanya Colmond pada diri sendiri. Melihat kenyataan itu Colmond buru-buru memerintahkan Badeloens menyiapkan tujuh puluh empat anak buahnya serta laskar Madura yang tersisa. Dan memerintahkan Ge Dank dan Meneerlijk untuk melarang para pengawal ikut masuk tempat perundingan.

Sutanegara datang paling awal. Menurut ukuran Blambangan orang ini bertubuh tinggi besar. Hampir seperti orang Eropa. Kulitnya kuning dan hidungnya seperti jambu monyet. Sabuknya terbuat dari emas dihubungkan dengan selempang kain hitam bersulam benang emas, yang dipasang mulai dari perut sebelah kanan naik bersilang lewat dada kiri, bahu, turun lagi ke perut belakang sebelah kanan lewat punggungnya. Keris terselip di punggung dan condong ke kanan. Telanjang dada. Sedang bagian bawah tubuhnya tertutup celana dan kain batik. Mengenakan gelang emas di pergelangan tangan kanannya. Sepasang hinggai pada kedua pergelangan kakinya. Kepalanya tertutup destar berwarna merah soga.

Keraguan menyertainya meninggalkan para pengawal dan melewati barisan Kompeni. Namun Bapa Anti segera menyongsong dan melenyapkan keraguan hatinya. Sesaat kemudian Su-ratruna disertai tujuh pengawal. Orang ini sebenarnya masih keponakan Tumenggung Singamaya dari Sumberwangi. Tak seberapa tinggi. Pakaiannya sama dengan Sutanegara. Cuma badannya lebih gempal dan rambutnya lebih hitam. Waktu pengawalnya dilarang masuk ia membangkang.

"Kami diundang. Bukan datang menghadap. Hak kami membawa pengawal," katanya geram.

"Benar, Tuan." Ge Dank berusaha menyabarkan. "Kami mengundang Tuan untuk berunding. Bapa Anti sudah di dalam. Juga Tuan Sutanegara. Lihat, itu pengawal mereka. Jika kami izinkan Tuan masuk membawa pengawal, maka mereka akan membuat kegaduhan." Dank berkali-kali menunjuk rombongan pengawal Sutanegara yang sedang duduk-duduk di pinggir jalan. "Apa kata mereka nanti jika kami pilih kasih. Bukan kami tak menghargai Tuan. Tapi kami menghendaki agar perundingan berjalan tenang."

Suratruna pun mengalah. Apalagi ketika saat itu Jaksanegara juga datang dengan cuma tiga pengawal dan menyerahkan pengawalnya pada Ge Dank. Ia bersama Jaksanegara masuk ke tempat perundingan. Bapa Anti berdiri menyambutnya. Colmond cuma berdiri dari tempat duduknya dan menyilakan duduk. Terakhir yang masuk adalah Wangsengsari. Dia lebih tua dari keempat bangsawan yang hadir di situ. Dan ia membawa pengawal terbanyak. Lima belas orang. Kemerut terlukis di pipinya. Otot-otot nampak jelas menonjol di kedua tangannya. Di sudut matanya yang memerah itu tampak gambar cakar burung jika tertawa.

Usianya telah lima puluhan.

Setelah Bapa Anti menjelaskan bahwa semua sudah hadir Colmond segera memulai.

"Terima kasih, Tuan-tuan sudi menghadiri undangan kami.

Mudah-mudahan perundingan ini akan berjalan baik. Yah... sebelumnya kami minta maaf. Undangan kami begitu mendadak. Tidak heran jika Tuan-Tuan curiga dan membawa pengawal." Colmond tersenyum. Gigi yang putih berbaris rapi di sela bibirnya. Kumisnya juga terurus rapi kendati berwarna pirang. Jauh berbeda dengan Bapa Anti atau orang Blambangan lainnya yang berkinang. Gigi mereka dihiasi tiga warna. Kuning gading bercampur hitam dan merah.

"Tidak apa, Tuan. Kami juga berterima kasih Tuan sudi mengundang kami." Wasengsari mencoba menembus batas kekakuan. Ketiga temannya memandang dengan tersenyum.

"Ada di antara Tuan-tuan yang bisa Belanda?" tanya Colmond yang diterjemahkan oleh Bozgen. "Kami sedang belajar. Baru bisa sedikit," Jaksanegara yang menjawab.

"Bagus. Jika Tuan-tuan mau belajar, artinya Tuan-tuan punya niat untuk bekerja sama, to? Kami sendiri akan belajar bahasa Blambangan demi lancarnya kerja sama kita."

"Terima kasih, Tuan," mereka menjawab bersama. "Tentunya Bapa Anti sudah bercerita tentang tujuan kami

mengundang Tuan-tuan, bukan? Jadi kami tak perlu mengulangi maksud kami to?"

"Ya, Tuan, kami sudah mengerti." "Ha... ha... ha... bagus, bagus "

Keempat tamu itu berikut Bapa Anti ikut tertawa. Walau mereka sama sekali tak mengerti I makna tawa itu. Namun tiba-tiba mata Colmond terbeliak. Ia mencium bau yang kurang sedap berbareng dengan suara tawa mereka. Maka ia buru-buru mengambil kipas yang tergeletak di meja. Sambil mengumpat dalam hati ia menggoyang-goyangkan kipas tepat di muka hidungnya. Ia tidak bermaksud mengusir kegerahan. Tapi bau tidak sedap mendatangkan aniaya tersendiri. Maka ia bermaksud mempercepat jalan- j nya perundingan itu.

"Nah begini, Tuan-tuan. Kami bermaksud mengangkat

Tuan-tuan menjadi pegawai VOC. Tuan-tuan akan menerima gaji sehingga Tuan-tuan tidak perlu susah-susah. Kami tidak akan mengusik kekayaan Tuan-tuan. Bukankah Belanda datang untuk melindungi kekayaan Tuan-tuan dari keganasan orang Bali?'

"Benar!" Wangsengsari yang memiliki kebun kelapa dan sawah yang luas itu berkata cepat. Disusul oleh Jaksanegara dan kemudian baru yang lain ikut mengiakan.

Itulah yang ditunggu oleh Colmond sebagai hamba VOC. Semua hamba VOC sudah terlatih secara baik menggunakan siasat. Siasat kekuasaan! Yang ada dalam kepala Colmond ialah bagaimana cara menjadikan Blambangan tumpuan kaki VOC, sehingga setiap orang Belanda boleh menginjak

bahu bahkan kepala orang Blambangan. Sebaliknya para satria Blambangan, yang tak pernah mengenal peta dan siasat kekuasaan yang tanpa batasan itu, dengan tanpa sesadarnya menyediakan diri sebagai landasan berpijak sepatu Kompeni Belanda. Tanpa sesadar mereka, secara sendiri ataupun bersama, mereka terlibat dalam usaha menjadikan Blambangan dengan seluruh isinya milik orang lain, bangsa lain. Juga diri mereka sendiri menjadi milik VOC.

"Jadi Tuan-tuan sanggup?" Colmond menegaskan. "Sanggup," Jaksanegara bicara lebih dulu sementara yang

lain masih bertimbang. Dan kesanggupan Jaksanegara

mengejutkan lainnya. Terutama Suratruna. Namun ia ragu menyatakan pendapatnya.

"Bagus," Colmond tidak menunggu jawaban lainnya. "Jika demikian kita akan menulis surat perjanjian bahwa Tuan-tuan setuju bekerja sama dengan Kompeni dan membantu Kompeni."

"Surat macam apa itu, Tuan?" Untuk pertama kali Sutanegara mengajukan pertanyaan. "Orang Blambangan tidak biasa menulis surat perjanjian segala. Jika kami berjanji, maka janji itu akan kami bawa mati."

"Ha... ha... ha... Maafkan, Tuan Sutanegara, bukan kami tidak percaya. Tapi untuk laporan ke atasan kami. Karena surat perjanjian itu pula dasar VOC mengangkat Tuan-tuan sebagai pegawai dan Tuan akan mendapat gaji. Jangan tersinggung dulu." Colmond tertawa lagi. Dan mau tak mau mereka harus menyetujui tekanan Colmond agar mereka menulis surat perjanjian. Walau yang menulis Bozgen. Ditulis dalam bahasa Belanda kemudian diterjemahkan ke bahasa Blambangan. "Nah... sekarang kita adakan pembagian tugas.

Blambangan ini akan dibagi menjadi dua. Jadi dibutuhkan dua tumenggung dan dua orang patih. Blambangan Utara dengan ibukota Lo Pangpang. Maksud kami, Tuan Wangsengsari yang lebih tua dan tinggal di Pangpang menjadi tumenggung, sedang Tuan Jaksanegara menjadi patih. Sedangkan Blambangan Selatan beribukota di Lateng. Kami pikir Tuan Sutanegara lebih tua maka sebaiknya Tuan menjabat tumenggung di Lateng, sedang Tuan Suratruna menjabat patih Lateng."

"Jika itu dianggap bijaksana oleh Kompeni maka kami setuju." Lagi, Jaksanegara mendahului lainnya.

"Setuju? Ha... ha... ha... Bagus." Colmond berdiri dan memberikan salam pada mereka. "Dalam waktu dekat Tuan- tuan akan menerima surat pengangkatan dari Batavia.

Selamat."

"Terima kasih," ujar tiap orang yang disalami. Setelah selesai semua mereka duduk lagi.

"Kita akan merayakan persahabatan kita ini. Setuju? Kita mengundang seluruh kawula untuk ikut pesta. Kami juga perlu hiburan setelah tegang berperang melawan Wong Agung Wilis. Bapa Anti siapkan pesta ini. Tuan-tuan, semua setuju?"

"Kawula masih tegang dan takut," Sutanegara keberatan. "Justru itu," Colmond bertahan, "kita berusaha memberi

kedamaian di hati mereka. Dengan pesta itu kita membuktikan pada kawula Blambangan bahwa keamanan sudah mantap.

Mereka tidak perlu takut bekerja di sawah dan membuka kedai-kedai. Pokoknya kami ingin menunjukkan pada mereka bahwa Kompeni mampu menjadi penjaga keamanan bagi Blambangan. Pesta itu juga perlu untuk saling mendekatkan diri antara pasukan kami dengan orang-orang Tuan.

Mengerti?"

"Masuk akal," Jaksanegara menyetujui. "Tapi kami minta waktu sedikitnya tujuh hari untuk menyiapkan semuanya," Bapa Anti meminta.

Colmond menyetujui. Sedang Jaksanegara dan Wangsengsari berjanji akan membantu dengan sepenuh tenaganya.

"Tugas kami adalah menjaga keamanan di Blambangan. Tugas kami menenteramkan Blambangan. Tapi sebaliknya Blambangan menyiapkan perumahan bagi kami, benteng- benteng bagi pasukan Kompeni. Dan... menjamin makan pasukan kami. Ini tugas Tuan-tuan. Nah... pertemuan kita selesai dan kita akan bertemu lagi nanti tujuh hari kemudian."

Tiada sempat empat orang itu mengajukan pendapat, walau mungkin saja keberatan terhadap tugas yang dibebankan pada mereka. Tapi mereka adalah pegawai. Setinggi apa pun pangkatnya, mereka tetap pegawai yang tidak berhak membantah atasan. Apa pun keberatan hati, mereka harus t mengiakan. Uang telah membeli hak mereka untuk mengutarakan pendapat. Lebih dari itu keberadaan mereka.

0oo0

Bapa Anti menjadi sibuk. Dia pikir mencari kepercayaan seperti yang telah diterimanya dari Mayor Colmond tidak mudah. Memang kepercayaan tidak datang begitu saja. Untuk bisa mendapatkan kepercayaan seseorang haruslah menanam budi terlebih dahulu. Kepercayaan hampir seperti anugerah. Di mana ada karya di sana ada anugerah. Karena memang salah satu hukum kehidupan adalah timbal-balik. Tapi benarkah ada timbal-balik?

Timbal-balik tentunya berdasarkan sesuatu yang seimbang.

Alam memang membutuhkan keseimbangan. Bahkan alam selalu berusaha menjaga keseimbangannya sendiri. Gunung meletus, banjir, dan banyak lagi hal-hal serupa, sebenarnya adalah salah satu cara alam untuk mempertahankan keseimbangannya. Alam suka akan keseimbangan itu. Tapi manusia? Manusia lebih suka pada keenakan. Dan barang siapa suka akan keenakan pribadi dia akan meninggalkan keseimbangan. Bapa Anti tidak pernah menyadari hal ini. Ia memburu keenakan. Lepas dari laskar Bali. Tapi bagaimanapun ia merasa bahwa ia membawa arus baru bagi kehidupan semua kawula Blambangan. Maka ia menghubungi para bekel (lurah) agar membantu mengirimkan orang- orangnya untuk mendirikan tarup (semacam tenda terbuka beratap ilalang. Bangunan ini sifatnya sementara dan digunakan hanya untuk upacara-upacara) di halaman kediaman Colmond yang luas itu. Sebagian lagi ditugaskan mencari penari dan penabuh angklung yang terbaik. Dan berita pesta itu disebarkan ke seluruh penjuru Blambangan. Bapa Anti membagikan mata uang Belanda pada para bekel dan- menyatakan uang Blambangan dan uang Bali tidak berlaku. Orang menilai betapa murah hatinya Bapa Anti.

Betapa baiknya Kompeni. Itu mendorong keinginan mereka untuk datang pada pesta nanti. Laki-perempuan, tua dan muda. Apalagi diumumkan oleh Bapa Anti akan ada pertunjukan menari dari penari-penari kenamaan yang didatangkan dari seluruh penjuru Blambangan.

Berita yang menjalar tentang pembagian Blambangan menjadi dua wilayah dengan cepat sampai di telinga Mas Ayu Prabu. Dan tentu saja merupakan tugasnya untuk mengetahui lebih banyak. Ia segera memerintahkan Sayu Wiwit untuk mengerahkan anak buahnya.

"Tugas kita cuma mencari berita. Belum ada perintah apa pun kecuali itu. Karena itu, Wiwit, jangan kau sendiri berangkat. Masih banyak orang lain yang bisa mengerjakannya."

"Hamba, Yang Mulia."

Yistyani sudah mulai bisa berjalan. Setiap hari ia melatih diri agar dapat pulih seperti sediakala. Hatinya tetap ingin bergabung dengan anaknya di Raung. Ia merasa kurang berarti tinggal bersama kedua gadis yang ternyata memiliki tugas khusus, yaitu menguping semua peristiwa di Blambangan untuk kepentingan Raung. Jika aku di sini terus, maka aku akan menjadi beban mereka. 

Sekilas ia teringat pada kedua pengawalnya yang ia tinggal mandi dulu. Matikah mereka? Sayu Wiwit tidak menemukan mayat mereka. Tidak mungkin mayat mereka dibawa oleh musuh. Biasanya mayat selalu ditinggal begitu saja. Atau mungkin saja dilahap oleh serigala-serigala? Atau dimakan burung-burung pemakan bangkai?

Ah... betapa malangnya nasib mereka. Kasihan. Apakah secara kodrati manusia sama dengari anjing maka mereka juga harus mati seperti anjing kurap?

Bukan cuma di Sempu berita yang dibawa Bapa Anti itu berkumandang. Tapi juga di Pakis. Sebuah daerah perdikan pada zaman Sri Danureja, ayah Mangkuningrat, berkuasa. Daerah itu dikuasai Wiraguna, masih keluarga dekat Mangkuningrat. Wiraguna sebenarnya adalah sepupu Danureja. Namun sekarang daerah perdikan Pakis dikuasai oleh Mas Bagus Puri, putra pertama Pangeran Wiraguna.

Karena usianya sudah lanjut, maka ia dibantu oleh adiknya, Mas Rempek. Seorang yang berkulit kuning dan berhidung mancung. Kumis terawat rapi. Tahi lalat sebesar biji kedelai menghias pangkal hidung sebelah kanan, serasi dengan alis hitam yang tebal. Membuat wajahnya makin ganteng.

Dadanya berbulu melengkapi keperkasaannya sebagai lelaki. Menjadi tumpuan iri hati pria lainnya. Mengundang pesona bagi banyak perempuan.

Keluarga Pakis merupakan keluarga yang bersatu. Tiap kebijakan Rempek dalam memerintah daerah perdikan itu tak pernah meninggalkan permufakatan dengan semua saudaranya. Sebab di samping Mas Rempek masih ada saudara lain ibu, Mas Suratman yang sudah meninggal. Dia dulu termasuk narapraja Blambangan zaman Mangkuningrat. Tapi karena menerima suap dari Martana, pedagang yang ditangkap Wong Agung Wilis, dan kemudian mengawini gadis pemberian Martana yang bernama Lam Thai Ning yang kemudian dijuluki Dewi Lam, tentu saja ia didepak oleh Wilis. Dengan menyembunyikan sakit hati yang mendalam ia kembali ke Pakis. Tidak satu pun saudaranya yang berani membela dan melawan keputusan Wong Agung Wilis.

Ketiga saudara lainnya yang juga berlainan ibu dengan Bagus Puri, Mas Ayu Nawangsurya, Mas Ayu Rahminten, dan Mas Ayu Patih, adalah orang-orang yang tak pernah memberikan pendapat dalam persidangan keluarga. Berbeda dengan kebanyakan saudara lelakinya, Mas Rempak adalah pengagum Wong Agung Wilis. Pernah ia berbincang dengan orang itu walau tidak sering. Tapi itu cukup. Dan ia pikir pandangannya tidak keliru. Karena banyak kawula Blambangan yang berpendapat sama dengannya.

Ketika siang itu Rempek sedang berbincang dengan Mas Bagus Puri, terdengarlah derap kuda mendekati rumah mereka. Pengawal melaporkan bahwa Jaksanegara dan Bapa Anti ingin menghadap. Bagus Puri menyuruh pengawal memperkenankan mereka naik ke pendapa.

Jaksanegara iri ketika sampai di pintu gerbang rumah besar milik kepala tanah perdikan itu. Seperti tak terusik oleh perang. Tidak satu batu pun yang gempil. Dinding daerah perdikan itu masih utuh. Demikian pula pagar batu halaman yang hampir sebesar istana Mangkuningrat di Lateng. Apalagi ketika ia melangkah ke dalam. Jalan antara gapura ke pendapa nampak terawat rapi. Kiri-kanan ditanami kembang pacar yang beraneka warna. Merah, putih, kuning, dan ungu. Di pinggir pendapa juga dikelilingi bunga sedap malam. Belum lagi deretan mawar dan melati bahkan juga kembang lain yang mengundang kedamaian bagi tiap hati. Menurut Bapa Anti, Pakis memang tidak terusik perang. Sebab ketika laskar gabungan Kompeni, Madura, Pasuruan, dan Sidayu yang menopang laskar Mas Anom masuk ke Blambangan, Mas Ngalit dan Bagus Puri menyongsong mereka dengan mengibarkan bendera putih. Kini barangkali istana Pakis merupakan bangunan terutuh di seluruh wilayah Blambangan.

Apalagi setelah ia naik ke pendapa. Dalam hati ia tidak mengerti bagaimana bisa laskar Bali tidak menjarah-rayah kekayaan keluarga ini, padahal hampir semua tempat dijarah. Untuk ini Bapa Anti juga yang lebih tahu dari Jaksanegara.

Keluarga Mas Bagus Puri adalah keturunan dekat Sri Tawang Alun. Yang masih berhubungan darah dengan raja-raja Bali. Tentu saja Pakis tidak akan diusik. Perabotan di pendapa itu masih lengkap dengan hiasan dan ukiran emas serta perak.

Cuma Mas Rempek yang berdiri menyambut dan mempersilakan mereka duduk. Mas Bagus Puri tetap saja duduk di sebuah kursi kayu hitam berukir. Dan untuk mereka berdua disediakan dua kursi tanpa sandaran. Kursi yang terbuat dari kayu hitam.

"Selamat datang, Yang Mulia," Rempek menghormat Jaksanegara. Ia sudah dengar pengangkatannya menjadi patih Pangpang. Sedangkan Pakis masuk wilayah Pangpang.

"Terima kasih. Dirgahayu, Yang Mulia," balas Jaksanegara. "Sangat mengejutkan," Bagus Puri juga menghormat. "Maafkan kami, menghadap tanpa memberi tahu lebih

dulu," Jaksanegara mencoba merendahkan diri.

"Kami sangat senang menerima Yang Mulia. Ah... suatu kehormatan besar," Rempek tertawa ramah. Semua ikut tertawa. "Apalagi kunjungan Yang Mulia Patih... tentu ada yang sangat penting." "Ya... ya... memang sangat penting," Bapa Anti mendahului Jaksanegara. "Kami tahu bahwa Yang Mulia Mas Bagus Puri adalah sesepuh keturunan Tawang Alun yang tersisa, maka kami perlu mohon doa restu agar kami diberi kesempatan membangun Blambangan. Demi Sri Prabu Tawang Alun Sorga (Sorga di belakang nama seseorang mengartikan bahwa orang tersebut telah mangkat karena tua atau sakit)”

"Terima kasih. Siapa pun berhak membangun tanah kelahirannya. Siapa pun berhak mempersembahkan karya dan darmanya. Asal itu tulus. Tidak semata-mata kepentingan pribadi saja."

"Keadaan memaksa kita untuk mengadakan perubahan dan pembaharuan. Karena itu hamba datang kemari untuk membicarakan pembaharuan di Blambangan ini. Kita sekarang bekerja sama dengan Kompeni Belanda seperti halnya Madura, Surabaya, dan daerah lain di bumi Nusantara ini”

Rempek memandang Mas Bagus Puri yang kelihatannya terkejut mendengar itu. Kedua orang itu belum memberikan jawaban.

"Kerja sama ini berlaku untuk seluruh wilayah Blambangan.

Termasuk Pakis," Jaksanegara menegaskan. "Termasuk Pakis?" Rempek terkejut.

"Ya. Termasuk Pakis. Tak ada lagi daerah perdikan. Karena Blambangan tidak berhak menentukan apakah suatu daerah dijadikan perdikan atau tidak. VOC yang berhak."

Muka Rempek seketika menjadi gelap. Alisnya tertarik ke atas. Membuat matanya melebar. Dadanya kembang-kempis menahan gejolak. Sedang Bagus Puri mendadak pucat.

Dikuatkan oleh warna alis, kumis, dan rambut yang putih. Bibirnya yang berwarna ungu itu bergetar. Tapi cuma sesaat. Pengalaman serta usia cepat menurunkan darah yang naik ke ubun-ubun. "Rempek," katanya kemudian, "panggil seluruh saudara!

Mereka harus tahu perubahan ini."

Dengan mata berkilat tajam Rempek yang masih muda itu berdiri. Darahnya mendidih. Kehormatannya tersinggung.

Darah Tawang Alun dipermalukan oleh datangnya kaum kulit putih. Semua pewaris tahta Blambangan tak seorang pun berani melakukannya. Bahkan mereka melindungi kebebasan tanah perdikan ini. Tidak pernah dipungut upeti ataupun pajak.

"Panggil semua saudaraku!" perintah Rempek pada kepala pengawal dengan suara berat. "Cepat! Berkudalah! Katakan pada mereka bahwa ada perkara yang amat penting."

Tidak biasa Rempek bicara pada pengawal seperti itu.

Kelihatan beringas. Namun kepala pengawal itu tidak berani bertanya. Ia segera membagi lima orang anak buahnya berkuda menuju lima arah.

Sambil menunggu saudara-saudaranya tiba di pendapa, Rempek tidak kembali ke pendapa. Ia harus melampiaskan rasa marahnya di luar. Ia tidak ingin kakaknya yang sudah tua itu melihat kemarahannya. Juga demi kesopanan, tidak boleh tamu-tamu itu melihatnya sedang marah. Maka ia memutuskan berjalan-jalan di taman. Dan secara kebetulan ia bersua dengan seekor kucing yang sedang mengintai kucing lainnya. Mengendap-endap. Rupanya mereka adalah sepasang kekasih yang hendak bercengkerama. Memadu kasih dengan meminjam tempat milik penguasa Pakis. Melihat itu kemarahan Rempek seperti disulut saja. Apalagi setelah sepasang kekasih itu bergelut disertai suara meraung-raung, menyakitkan telinga Rempek. Secepat kilat Rempek mencabut kerisnya dan melompat, membabat dua ekor kucing yang sedang mabuk asmara itu. Sesaat mereka mengeong-ngeong keras, sambil melotot pada Rempek. Namun keduanya segera mampus tanpa ampun. Rempek tertawa lirih. Kerisnya mengandung racun. Tidak satu pun makhluk yang mampu bertahan dari racun kerisnya.

Andaikata bukan di Pakis, ingin ia membungkam mulut kedua orang itu. Seperti membungkam mulut kucing tadi. Tapi ini di Pakis yang selama ini menjadi daerah damai. Bali yang ganas itu pun tak pernah mengusik. Kini Belanda! Belanda!

Keparat! Setelah menyarungkan kembali kerisnya ia berbalik. Mengumpat dan mengumpat sambil melangkah pelan-pelan ke pendapa. Bersamaan dengan itu Mas Talip dan Mas Ngalit memasuki gapura. Mereka tidak turun di gardu penjagaan.

Setelah menerima penghormatan, mereka terus berkuda sampai di depan pendapa.

Masih sangat muda tampaknya kedua orang itu. Tapi kegagahan sudah membayang di perawakan mereka. Kumis juga masih samar-samar. Rambut mereka ikal. Sedang pakaian mereka tidak berbeda dengan Rempek atau satria Blambangan lainnya. Keduanya naik ke pendapa dan segera memberi penghormatan pada Bagus Puri sebagai kakak tertua mereka. Kemudian pada kedua tamu di hadapan kakak mereka. Jaksanegara kagum. Itu menunjukkan bahwa Pakis sudah dengar pengangkatannya menjadi patih di Pangpang.

Sesaat lagi menyusul tiga orang gadis turun dari kuda masing- masing dan memasuki pendapa itu juga. Sekali lagi, mata Jaksanegara memancarkan kekaguman. Mas Ayu Nawangsurya, yang tertua dari ketiga gadis itu. Berkulit kuning, rambutnya terurai sampai ke bawah pinggul. Dan

rata-rata ketiga gadis itu berkulit kuning. Kaki mereka nampak mulus dihiasi oleh binggal emas yang bergiring-giring.

Menunjukkan bahwa mereka tak pernah turun ke sawah. Suara giring-giring dan kain batik % yang membungkus ketat tubuh bahagian bawah mengiringi tiap langkah mereka. Buah dada mereka biarkan terbuka tanpa penutup apa pun. Kutang yang berupa rantai emas bukan untuk menutupi putik susu.

Tapi sekadar penjaga agar susu yang montok itu tidak terlalu goyang saat mereka berjalan. Buah dada lambang keindahan dan kesuburan wanita Ciwa.

Setelah semuanya duduk, Bagus Puri segera memberi penjelasan. Maksudnya agar mereka semua siap menghadapi perubahan yang sedang terjadi di Blambangan. Dan Pakis tentunya.

"Pemerintahan Wong Agung Wilis sudah berakhir...," Bagus Puri mengakhiri penjelasannya. "Kalian harus menerima apa adanya. Ingat! Kita tak berhadapan dengan sesama darah Tawang Alun lagi. Kita berhadapan dengan Belanda.". Suara Bagus Puri bergetar. Entah menahan getaran-getaran jiwanya atau barangkali karena ketuaan, semua tidak mengerti.

"Kita tidak pernah kalah," Rempek tidak terima.

"Ya... tapi kita tak ikut berperang. Kita jauh-jauh sudah mengibarkan bendera putih begitu mereka masuk," lagi Bagus Puri menerangkan.

"Leluhur kita yang membangun negeri ini. Untuk kita! Untuk anak-cucu kita! Bukan untuk orang lain," tiba-tiba Nawangsurya ikut bicara. Jaksanegara memandangnya. Jantungnya berdegup. Pikirannya berlarian ke mana-mana.

"Benar, Nawangsurya. Tapi marilah kita berpikir...," Bagus Puri memperingatkan. "Sebenarnya siapakah yang lebih berhak di sini? Mangkuningrat sendiri mengundang Belanda. Beliau pergi ke Batavia. Mangkuningrat Anumerta (istilah bagi yang sudah tewas dalam peperangan, atau dibunuh). Ingat? Siapa lagi sesudah itu? Wong Agung Wilis? Yah... orang paling disegani di seluruh Blambangan. Ditakuti di seluruh bumi Semenanjung. Orang yang berlidah dewa itu? Memiliki laskar puluhan, sekali lagi... puluhan ribu, dengan bedil dan meriam, tak kuasa membendung tentara Belanda. Apalagi kita. Apa kekuatan yang bisa kita andalkan?"

"Jadi kita sudah kalah dengan tanpa melawan?" Rempek masih sengit. "Kita harus menyadari hal ini, Rempek," Bagus Puri berkata. "Kita harus belajar melihat dan menerima kenyataan."

"Ada hal yang tidak pernah kita sadari. Alam dengan kodratnya selalu mengadakan pemilihan atas isi alam itu," kini Mas Ngalit yang berkata. "Jika kita tidak mampu bertahan terhadap jalannya pemilihan yang dilakukan oleh kodrat itu, maka kita akan tergilas. Kodrat berjalan seperti roda sebuah rata (kereta perang) Rempek, jika kita tak mau menghindari roda itu maka kita akan tergilas. Wong Agung Wilis tergilas. Ia menentang kodrat. Dan jika roda itu berjalan maka setiap kali kita tidak terpatok oleh satu cara dan keadaan. Kita harus mengikuti perkembangan yang menuju pada kemajuan zaman."

"Benar, Yang Mulia," Bapa Anti ikut memberikan wawasan.

Jaksanegara masih menjadi pendengar saja. Karena perhatiannya sedang tertuju pada ketiga wanita itu. Saling memiliki kelebihain.

Sementara itu semua orang lain memperhatikan Bapa Anti. "Kami tahu perubahan suatu tatanan tidak akan semulus

seperti yang kami impikan. Sebab ini menyangkut kehidupan

banyak orang. Tatanan kehidupan ini berarti menyangkut juga perniagaan. Menyangkut perut banyak orang." Bapa Anti diam sebentar. Ia pandangi tiap orang. Mas Ngalit dan Mas Talip tampaknya memberikan dukungan. Tapi ia tak mampu menjajagi yang lain.

"Belanda lebih maju dari kita. Bahkan menang segalanya. Apa sebab? Sebab mereka tidak terpatok seperti kita. VOC adalah perkumpulan perniagaan. Bukan negara. Tapi mampu memberi kebahagiaan, kekayaan bagi negerinya. Kumpulan niaga. Apa yang dihasilkan semasa Yang Mulia

Wong Agung Wilis? Penggantungan para punggawa dan pedagang-pedagang besar yang ingin memberi kemakmuran pada kawula Blambangan. Nah, Kompeni lain, Yang Mulia. Mereka akan menjamin keamanan negeri kita. Mereka akan mengajari kita bagaimana menjadi bangsa yang maju," Bapa Anti makin bersemangat. Tangannya berkali-kali bergerak- gerak di mukanya tiap kali ia memberi penegasan terhadap kata-katanya.

"Nah... apa kataku?" Bagus Puri mendorong. "Kompeni, yah, Kompeni datang untuk membawa kebaikan. Untuk kebaikan tentu saja kita akan membayar harganya."

"Tidak ada harga yang akan kita bayarkan!" Jaksanegara memperoleh bahan. "Kompeni malah membagikan uang untuk kita." Jaksanegara tersenyum sambil menoleh Bapa Anti. Yang ditoleh mengerti. Dan buru-buru permisi untuk mengambil bungkusan yang tertinggal di sanggurdi. Sementara Bapa Anti pergi Jaksanegara melanjutkan. "Hamba malah digaji. Digaji dengan uang Belanda. Dan sebentar lagi uang Bali dan uang Blambangan tidak laku di sini."

"Uang Blambangan tidak laku di Blambangan sendiri?" Mas Ayu Rahminten bertanya.

"Ya! Itu ketentuan Gubernur Vos dari Surabaya. Untuk menyerasikan Blambangan dengan negeri-negeri lain." Jaksanegara tersenyum. Ia tatap gadis itu dengan pandangan binal. Berbunga hatinya mendengar suara Rahminten yang merdu.

Tapi gadis itu tak berkata lagi. Bahkan melempar pandangnya ke tempat lain.

"Dengan kata lain, siapa yang menolak VOC akan kelaparan dan teraniaya?" Rempek berkata lirih, seperti pada diri sendiri.

"Tepat!" Kini Jaksanegara tertawa ramah. Sementara itu Bapa Anti sudah tiba kembali. Burung-burung tidak terdengar bercanda di luar pendapa. Juga ayam dan bebek tidak muncul untuk bermain-main di pelataran. Bapa Anti kemudian menyerahkan sebongkah bungkusan pada Mas Bagus Puri.

Semua orang memandangnya. "Hadiah dari Tuan Colmond. Mayor Colmond," ujarnya. "Uh... berat sekali " Bagus Puri gemetaran. Rempek

menolong dan menaruh bungkusan itu di depan kaki Bagus

Puri.

"Itu untuk seluruh keluarga di Pakis," Jaksanegara menerangkan.

"Terima kasih. Sampaikan pada Mayor "

"Kami akan sampaikan. Tapi kami juga minta ketegasan tentang kerja sama dengan Kompeni ini. Maksud kami Pakis menjadi salah satu wilayah Blambangan Utara. Semua di bawah VOC."

Kembali mereka terdiam. Mereka semua tahu, Jaksanegara datang cuma berdua. Tapi jika ditolak, akan datang kembali dengan ribuan serdadu Kompeni. Inikah perubahan tatanan itu? Juga pemilihan alam. Dan semua yang telah dicanangkan oleh Bapa Anti bukan untuk ditolak. Perubahan untuk membawa kemakmuran bagi seluruh kawula. Mengapa harus ditampik? Pembangunan jalan-jalan raya dan loji-loji untuk mempercantik kota-kota besar Blambangan harus ditolak?

Juga benteng-benteng bagi pelindung kawula Blambangan dari perampokan Bali atau Bugis apa harus dimusuhi? Semua baik. Demi kemajuan Blambangan. Tidak seperti Wong Agung Wilis yang tertutup dan terbelakang.

"Agar lebih mempererat persahabatan kita, maka hamba bersedia mengangkat salah seorang keluarga Pakis ini untuk menjadi wakil hamba di Pangpang," Jaksanegara berjanji.

"Baiklah," Bagus Puri menghela napas panjang, "kami menurut. Rempek, kau aku tunjuk mewakili kami!"

"Hamba?" Rempek terkejut. Wajahnya sedikit memerah.

Tanpa sadar meraba kumisnya.

"Tidak ada jeleknya kita ikut menegakkan kembali Blambangan. Semua cara boleh ditempuh." Rempek tertunduk. Mengalah.

"Jika demikian, Mayor Colmond memohon kehadiran para Yang Mulia pada pesta yang akan diadakan tiga hari tiga malam. Kita semua bisa saling memperkenalkan diri. Dan kita akan tahu sahabat-sahabat kita dari luar Blambangan. Kita akan punya banyak teman dari luar negeri. Tidak seperti masa lalu."

"Kami akan hadir," tegas Rempek.

"Satu lagi, permintaan hamba, mohon Yang Mulia semua tak akan terkejut jika ada perubahan tatacara pengambilan sumpah jabatan di Pangpang nanti. Mungkin saja tidak seperti masa lalu. Karena tak ada brahmana Ciwa yang bersedia melantik pejabat VOC, maka mungkin kami akan dilantik dengan cara igama Islam. Nah, jika kami menolak itu, maka tidak akan ada pribumi yang memerintah di Blambangan. Kami tidak perlu persoalkan," Jaksanegara menerangkan lagi sebelum berdiri.

Rempek sudah tahu hal itu. Demikian pun yang lain.

Karenanya mereka tak perlu terkejut. Ini juga termasuk salah satu arus baru yang harus diterima. Juga oleh seluruh kawula Blambangan. Wangsengsari, Jaksanegara, Sutanegara, ataupun Suratruna harus dilantik dengan cara igama Islam.

Benarkah tidak ada pandita yang bersedia? Atau memang tatanan baru itu tidak memberlakukan peranan pandita? Ah, arus yang dibawa bangsa asing ternyata harus dikunyah oleh setiap orang  

Bendera tiga warna, merah-putih-biru menghias jalan-jalan kota Pangpang. Juga umbul-umbul berwarna-warni. Yang tak boleh dikibarkan adalah umbul-umbul Jingga dengan gambar kepala anjing hitam atau lambang Sonangkara. Blambangan tak boleh mengibarkan benderanya sendiri. Colmond tidak pernah tahu arti bendera orang Blambangan. Yang tahu adalah Bapa Anti atau orang-orang Blambangan sendiri. Dan memang. Colmond belum pernah melarang. Tapi orang Blambangan sendiri yang melarang. Karena mereka takut. Orang Blambangan takut melihat benderanya berkibar di angkasa Blambangan.

Janur-jemanur dirangkai mendampingi bendera dan umbul- umbul. Gardu penjagaan didirikan di tiap penghujung jalan raya dan tikungan-tikungan. Gardu-gardu itu dijaga oleh tiga orang. Satu orang Blambangan sisa laskar Mas Anom, dua orang laskar Madura, atau laskar Sidayu atau laskar Pasuruan, bahkan laskar Surabaya. Sementara itu kawula Blambangan yang tinggal di Lo Pangpang dan sekitarnya berbondong membanjiri alun-alun di depan halaman kediaman Mayor Colmond. Untuk pertama kali di Blambangan, pelantikan penguasa dilakukan di bawah langit dengan disaksikan oleh kawula dan mentari. Wajah para pemimpin yang disebut namanya itu tak asing bagi mereka. Yang asing adalah tatacara-nya. Tatacara yang berlaku di Blambangan asing bagi Blambangan sendiri. Tapi toh mereka berbondong, tua-muda, besar-kecil, laki-perempuan, ingin menyaksikan yang asing.

Setiap yang baru selalu mendapat perhatian baru pula.

Di alun-alun kawula melihat beberapa tarup besar dihias janur dan kain warna-warni. Tangan orang JJlambangan yang menghiasnya. Deretan angklung, gendang, dan gong serta kenong juga berderet siap untuk ditabuh seusai upacara dan memasuki acara pesta. Sedang di belakang rumah Colrrjond tampak asap putih tiada putus-putusnya mengepul ke angkasa. Bau daging bakar yang gurih menusuk hidung.

Daging kambing, babi, dan sapi dimasak untuk kepentingan pesta. Ribuan kati beras yang harus dipersembahkan oleh para bekel demi kepentingan pesta ini. Juga kambing, babi, dan sapi. Semua diambil dari kawula melalui para bekel untuk menjamu tamu asing dan pasukan yang menjaga ketenteraman kawula Blambangan. Sedang kawula yang mencium bau gurih itu cuma menelan ludah dan mendengar nyanyian perut mereka. Atau harus memenangkan amukan cacing penguasa perut. Perang membuat mereka harus menghemat persediaan makanan. Makanan harus diulur agar cukup sampai pada masa panen mendatang.

Cuma puluhan orang bule yang ikut berjaga-jaga di seputar tempat pesta itu. Sebagian besar pasukan Madura. Meskipun begitu Belanda tidak pernah meninggalkan kewaspadaan.

Mereka sudah kenyang dengan pengalaman merampas dan menduduki milik orang. Dan mereka juga berpengalaman mempertahankan hasil rampasannya itu. Dan kebiasaan itu berubah menjadi naluri. Mereka berusaha agar tidak alpa. Kealpaan yang membawa kekalahan semua raja-raja Jawa dan Nusantara lainnya. Dan VOC senang dengan kealpaan orang lain. Karena mereka memang hidup dari kealpaan orang lain.

Kian naik mentari kian penuh orang berdiri di tepi alun- alun. Ada yang gelisah dan ada pula yang tenang. Tenang karena kebetulan mereka mendapat tempat teduh di bawah pohon yang tak ikut dibabat kala membangun alun-alun itu. Namun yang kebetulan tidak berada di bawah pohon harus merelakan kulit mereka dibakar mentari. Untuk para satria disediakan tempat duduk dalam tarup. Ada yang membawa serta istri mereka, namun ada pula yang datang sendiri.

Berbeda dengan ksatria Blambangan, maka para adipati atau perwakilan wilayah VOC lainnya di Jawa Timur yang diundang untuk menyaksikan upacara itu mengenakan baju hitam dan di bagian dada dihias dengan benang-benang emas.

Cuma utusan Madura saja yang mengenakan destar dengan ujungnya naik ke atas. Pada umumnya ujung destar turun ke bawah. Warna-warni destar mereka. Ada yang hitam dengan kembang-kembang putih. Ada yang coklat dengan kembang-kembang hitam, ada yang merah dengan kembang- kembang coklat tua. Cara memasang keris pun berbeda-beda. Ada yang di belakang. Ada yang di depan. Namun kawula tidak melihat satu pun perwakilan dari Bali. Ini juga merupakan hal baru. Juga mereka tak melihat satu pun brahmana duduk di bangku kehormatan. Sebagai gantinya mereka melihat seorang berjubah putih dengan serban putih di kepalanya. Orang Blambangan tidak pernah mengenalnya, karena memang dia bukan orang Blambangan. Tapi orang Batu Ampar Madura.

Para undangan sudah siap. Bahkan tidak sedikit yang selalu mengayunkan kipasnya karena gerah.

Mas Bagus Puri dengan seluruh kerabatnya sudah duduk di antara para undangan. Mas Ngalit tidak henti-hentinya mengagumi pakaian serta tatacara baru yang dibawa oleh Kompeni melalui Bapa Anti. Pada ketikanya orang Blambangan akan berpakaian sama dengan mereka. Sebaliknya para tamu juga kagum terhadap mereka. Terutama terhadap putri-putri Blambangan. Semua dengan dada telanjang. Mata para serdadu VOC melotot menelan ludah.

Beberapa bentar kemudian terdengar suara peluit dan sangkakala ditiup. Letnan Beglendeen yang baru saja tiba dari Surabaya berdiri menghadap para tamu. Pakaiannya hitam dengan tanda bintang emas di lehernya. Di pundaknya ada tanda pangkat, celananya berwarna putih. Topinya seperti periuk, terbuat dari kain beludru berwarna merah dengan pinggiran kuning emas. Tepat di atas dahinya ada simbol yang juga berwarna kuning emas bergambar pedang bersilang dengan bedil. Sebentar kemudian Beglendeen bertindak sebagai komandan upacara meminta kepada Sutanegara, Wangsengsari, Suratruna serta Jaksanegara berdiri di depan mimbar yang sudah disediakan. Keempat orang itu masih berbusana seperti biasanya satria Blambangan.

Setelah itu Beglendeen nampak mencabut pedang di pinggangnya dan menempelkan punggung pedang ke bahunya. Berlari ke pendapa kediaman Colmond untuk melapor bahwa upacara siap dimulai.

"Kerjakan!" perintah Gubernur J. Vos yang berkenan menghadiri upacara dan menjadi inspektur upacara itu. Beglendeen balik kanan dan dengan gerakan yang kaku seperti wayang kulit, ia kembali berlari ke tengah-tengah lapangan. Setelah tepat di tengah lapangan ia menghadap pada beberapa regu pasukan Belanda dan pasukan tentara gabungan Madura, Sidayu, Pasuruan, serta Surabaya, yang sudah disiapkan di tengah lapangan untuk mengikuti upacara pelantikan Tumenggung Blambangan. Mereka disiapkan.

Setelahnya Vos diiringi Mayor Colmond, dengan pakaian kebesaran yang sangat aneh menurut orang Blambangan, berjalan ke panggung yang disediakan. Orang ini pun mengenakan topi merah darah yang terbuat dari bahan semacam laken. Sedang bajunya hitam juga terbuat dari bahan beludru. Dari pangkal leher sampai pangkal perutnya berbaris menurun melalui dadanya kancing emas sebanyak delapan buah. Entah berapa gram beratnya. Tentu orang tidak sempat menimbangnya. Berapa lagi yang tertera di pundak?

Juga bintang-bintang yang berbaris di leher bajunya? Tak ada yang tahu kecuali perancang modenya. Atau barangkali penjahitnya. Celana putih dan bersabuk, serta pedang panjang tergantung di pinggang kirinya, berkilau ditimpa sinar mentari. Muka Vos merah jambu, dihiasi kumis pirang. Hidungnya sungguh-sungguh macung seolah paruh burung betet.

Perutnya agak buncit. Sedang baju bagian belakang memanjang menutupi pantat. Terkesan seperti baju Dewa Narada di wayang kulit.

Beglendeen mengeluarkan aba-aba agar semua orang berdiri. Kemudian aba-aba sekali lagi mengguntur, memerintahkan semua memberi hormat pada J. Vos. Sedang pasukan penghormatan memberi penghormatan dengan cara mengangkat senjata mereka di depan tubuh yang berbaris kaku. Vos membalas dengan mengangkat tangan di pelipisnya sambil memutar badan ke segala penjuru. Beberapa bentar kemudian Vos diiringi Beglendeen berjalan memeriksa barisan. Semua orang masih harus dalam keadaan menghormat padanya. Sangkakala berbunyi mengiringi langkahnya yang diatur sedemikian rupa supaya nampak anggun dan berwibawa. Kembali ke tempat semula, aba-aba penghormatan selesai. Benar-benar tatacara baru bagi Blambangan.

Kini keempat orang yang hendak dilantik itu diperintahkan maju ke depan J. Vos dengan sikap sempurna. Pengambilan sumpah pun dimulai. Kawula Blambangan berdesakan maju. Sedikitnya melongokkan kepala. Bersamaan dengan itu, orang yang berjubah putih dengan serban putih di kepalanya, turun dari tarup kehormatan. Kemudian berdiri di depan keempat orang yang terlantik itu. Sambil mengangkat tangannya ke atas kepala keempatnya ia mulai berdoa. Dan keempat orang itu harus menirukan. Walau mereka belum mengerti maknanya. Ya, mereka belum mengerti makna doa yang mereka ucapkan sendiri. Karena mereka memang belum pernah belajar untuk mengerti bahasa Arab.

"Auuzhu billahi minasy syaithaanirrojim..." keempat orang itu menirukan secara bersama pembukaan doa oleh imam.

Dan kemudian di sambung oleh rentetan doa Al Fatihah yang belum juga dipahami maknanya oleh semua orang yang terlantik itu. Disambung lagi dengan Kalimat Syahadat serta doa Shalawat Nabi.

Kemudian diam beberapa bentar. Imam itu memperhatikan wajah keempat orang di depannya yang menjadi tegang. Ia tidak tahu penyebab ketegangan mereka. Barangkali saja terlalu lama di bawah terik mentari. Jangankan para satria, para kawula juga memperhatikan. Rasanya mereka sedang terombang-ambing oleh gelombang. Bahkan bagi Sutanegara, merasa seperti berdiri di atas sebuah mata pusaran. Dilihatnya di kejauhan Mas Rempek bersama saudara-saudaranya duduk berderet. Seolah merupakan arus tersendiri. Di lain pihak, mata para pembesar VOC dan sekutunya, yang merupakan arus baru. Semua tertumpu padanya. Bertemu dalam dirinya dan menjadi sebuah mata pusaran. Apalagi setelah sampai pada kalimat berikutnya. Serentet janji setia pada pemerintahan VOC. Pada Kompeni! Aku telah jadi salah satu punggawa Kompeni! Apa artinya ini? Aku mulai kehilangan kebebasanku. Jika aku menentang maka nasibku akan buruk. Setiap orang yang menyertakan kekuatan senjata dalam pemerintahannya, pasti dapat berbuat banyak untuk memaksakan kehendaknya. Demikian pula tentunya Mayor Colmond. Ketegangannya menjadi lengkap kala pengambilan sumpah selesai. Dan kepada keempat tersumpah itu diberi baju seperti para adipati Jawa lainnya. Inikah ganjaran sebagai pembaharu? Dengan pakaian baru yang masih asing itu maka Sutanegara merasa diri akan menjadi orang asing di negerinya sendiri. Atau memang setiap pembaharu harus menjadi orang asing di tanah kelahirannya sendiri?

Baju berwarna hitam dengan untaian benang-benang emas di leher dan dadanya itu kini menjadi milik mereka berempat. Kancingnya tidak berjumlah delapan seperti milik Johanis Vos atau Colmond. Tapi cukup empat. Di belakangnya tidak panjang. Tapi justru sedikit di atas pinggang. Sengaja dirancang seperti itu untuk mempermudah pemiliknya menyelipkan keris di punggungnya. Demikian pula kepada para istri mereka,-dilarang telanjang dada di depan umum.

Tapi harus mengenakan kemben. Ini juga tatanan baru di Blambangan.

Setelah itu mereka harus mendengar pesan Vos yang disampaikan dengan bahasa Jawa. Sudah pintar orang itu berbahasa Jawa? Setiap pejabat ? VOC memang harus mengerti Jawa. Karena mereka harus berhadapan dengan raja-raja Jawa selama ditempatkan di Jawa. Tidak kurang- kurang dari mereka yang lebih pintar dibanding orang Jawa sendiri. Karena memang mereka punya banyak waktu untuk belajar dan mengamati. Sebaliknya orang Jawa sendiri terlalu sibuk mencari makan dan membayar upeti. Usailah upacara, ketika kata-kata Johanis'Vos habis. Kedua tumenggung dan patihnya yang baru dilantik itu diperkenankan bersalaman dengan semua tamu. Semuanya senyum-senyum. Memberikan ucapan selamat. Selamat bekerja dan selamat Capek juga tangan mereka membalas

jabatan tangan itu. Dan setelah itu semua dipersilakan duduk. Para pembesar Kompeni dipersilakan mengambil makanan terlebih dulu. Setelahnya baru para satria pribumi.

Suratruna pun mengalami seperti Sutanegara. Aniaya itu menjadi amat terasa justru saat perjamuan makan. Sebelum mengambil makanan ia sempatkan melirik tamu Surabaya. Ternyata mereka cuma mengambil telur rebus sebagai lauk. Atau sate kambing. Padahal banyak makanan yang lebih lezat. Demikian pula yang dari Madura, Pasuruan, dan Probolinggo. Liurnya menitik demi melirik Rempek dan rombongannya menyantap babi bakar yang menjadi makanan kesukaannya. Ingin juga ia mengambil. Ah mata banyak orang tertuju

padaku. Kini ia harus menyesuaikan diri....

Kawula masih belum bubar. Mereka ingin bersemuka dengan penguasa baru yang akan memimpin mereka. Setidaknya dalam hati mereka merekah sebuah harapan, dengan penyerahan kekuasaan kepada para satria Blambangan sendiri, maka laskar asing akan segera pergi. Mereka sudah kenyang memberi makan laskar asing dari sebelum zaman Wong Agung Wilis. Hidup di bawah pengawasan asing, tidak pernah membawa ketenteraman bagi mereka. Mana harus menyembunyikan ternak, mana harus menyembunyikan -harta lainnya. Bahkan yang lebih sulit lagi adalah menyembunyikan para wanita muda dan perawan.

Apakah harapan mereka akan terpenuhi? Setiap gerak keempat penguasa baru itu tak pernah lepas dari mata kawulanya. Mereka melihat betapa penguasa mereka sibuk membungkuk-bungkuk tiap kali berpapasan dengan pejabat lain. Menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru. Di mata kawula, ah... betapa satria gagah seperti Suratruna telah berubah menjadi siput. Betapa jauh bedanya t dengan Tumenggung Singamaya, kakeknya dulu. Karena sibuk membungkuk-bungkuk itu barangkali mereka tak sempat bersemuka dengan kawulanya. Jangankan bersemuka, melambai saja tak sempat. Bahkan bersenyum saja tidak! bisik seorang pada lainnya. Tak seperti ketika Wong Agung Wilis dilantik menjadi patih Blambangan dulu. Sehabis pelantikan ia keluar istana dan membalas lambaian tangan seluruh kawula yang berbaris di seputar alun-alun Lateng. Inikah pembaharuan?

"Sstt... jangan bicara begitu! Itu namanya masih ingat- ingat masa lampau. Yang dulu kan tidak pernah kembali. Lihat!! Zaman dulu kita kan tidak pernah terima tamu dari negara-negara sahabat sebanyak ini? Dengan Surabaya pun yang tetangga, kita tidak bersahabat. Alasannya, mereka tunduk pada Belanda. Dengan Madura juga tidak. Nah... sekarang kita bersahabat dengan semua negara. Tidak akan ada perang lagi," yang seorang berkata lirih sambil mendekatkan tubuhnya pada yang lain.

Dan temannya menjadi diam karena suai a gamelan mulai berkumandang. Mentari sudah condong ke barat. Sepuluh penari muncul dan mempertontonkan kebolehannya. Para tamu yang sudah lelah dan mengantuk pada hari menjelang sore begitu jadi tergagap. Untuk yang pertama mereka memperoleh kesempatan menonton kese-nian tari orang Blambangan. Tari pembukaan dan penyambutan bagi para tamu. Semua penari telanjang dada. Membawa bokor di tangan kiri yang ditekuk ke atas dan telapak tangannya sebagai landasan penyangga bokor itu; Mereka berlenggak- lenggok mengitari arena yang disediakan untuk mereka.

Semua mata melotot melihat langkah dan gerak para penari. Pada umumnya mereka berambut panjang. Diikat sutera putih pada pangkalnya sehingga menyatu seperti ekor kuda. Di samping sutera putih, pangkal rambut itu masih dihias dengan kembang-kembang emas. Kuping mereka dihiasi subang emas yang berben-tuk daun. Sedang leher mereka digantungi berbagai untaian kalung. Susu mereka terbuka kecuali putiknya yang ditutup hiasan seperti kembang mawar yang juga terbuat dari emas. Pusar mereka tidak tertutup. Namun di bawah pusar terdapat sabuk yang membuat srembong (pengganti kain panjang bagi penari, namun cuma sebatas lutut. Biasanya berwarna hitam dan dihiasi gambar-gambar bulan sumbing dari sulaman benang emas. Muka dan belakang tidak sambung. Jadi bila penarinya berjalan, bagian bawah pahanya akan tersingkap) para penari itu terikat pada pinggul mereka.

Johanis Vos geleng kepala sambil berulang kali mengeluarkan suara berdecak dari mulutnya di sela tarikan napas panjang, memperhatikan sajian di hadapannya. Jika gamelan berirama cepat maka gerakan penarinya juga cepat. Lincah. Pinggang meliuk-liuk disertai gerakan pinggul yang bergoyang ke kiri atau ke kanan. Yang lebih membuat banyak orang menahan napas adalah langkah mereka yang selalu disertai tersingkapnya paha kiri atau kanan dari celah kain srembong. Tidak jarang mereka yang kejatuhan bunga-bunga itu langsung menggenggamnya erat-erat. Seolah mereka menggenggam penarinya sendiri sekalipun bunga-bunga itu jatuh cuma secara kebetulan saja.

Johanis Vos dan Colmond memperbandingkan para penari itu dengan penari Eropa yang umumnya mengenakan gaun berempel-rempel dan berlapis-lapis. Di sini sebaliknya. Malah memamerkan keindahan tubuh mereka. Mereka juga pernah menyaksikan tari yang gerakannya mirip dengan tarian ini di India. Mereka juga leluasa memandang pusar penari India. Tapi mereka tidak memamerkan buah dada seperti di sini.

Juga gerak yang gemulai di saat gamelan berirama perlahan. Apakah semua orang berpikiran seperti Colmond dan Johanis Vos? Tentu tiap orang akan mempunyai penilaian sendiri- sendiri dalam melihat tari-tarian itu. Sebagai bukti, imam yang berjubah dan ber-serban putih itu diam-diam meninggalkan tempat duduknya sambil mengucapkan serentetan serapah yang tidak diketahui maknanya. Dan tidak ada yang bertanya, karena ia memang bicara seperti pada diri sendiri. Meskipun semua orang tidak mengacuhkannya, ia segera menuju kamar yang disediakan untuknya.

Tari pembukaan itu selesai. Setiap orang masih melongo seperti baru tersadar dari mimpi indah. Bapa Anti yang ditunjuk sebagai pembawa acara memberi tahu tamu-tamu agar sabar menunggu acara lanjutannya.

"Masih banyak pementasan tari setelah senja nanti. Namun pertunjukan ini akan menjadi lebih menarik jika senja telah tiba. Karena itu Tuan-tuan dipersilakan istirahat di pesanggrahan yang telah tersedia bagi Tuan-tuan. Untuk para Yang Mulia dari Blambangan dipersilakan pulang ke rurnah masing-masing. Ada kesempatan bagi kita untuk membersihkan diri dan menyegarkan tubuh. Sedang bagi kami ada kesempatan memasang lampu-lampu."

Dengan sangat kecewa orang-orang pun bubar.

Para kawula pun meninggalkan tempat mereka satu-satu.

Pulang. Dan kesempatan itu dipergunakan oleh Bapa Anti untuk mengerahkan orang memasang lampu. Berbagai macam lampu digantung di dalam tarup. Obor-obor juga diletakkan di seputar tarup-tarup. Tidak hanya itu. Mereka masih dibantu bulan bundar memancar terang. Lampu alam.

Kalau para tamu kembali, mentari sudah benar-benar telah tenggelam di punggung bukit sebelah barat. Kini tempat duduk diatur mengitari arena tari. Colmond duduk di sebelah timur arena. Vos juga di sebelah timur arena. Namun agak terpisah. Ia duduk bersama Wangsengsari. Di hadapan mereka tersedia botol-botol minuman buatan Eropa. Vos tidak suka dengan arak orang Blambangan. Di sebelah kirinya duduk Sutanegara dan beberapa tamu dari Madura dan Pasuruan. Mereka suka arak Blambangan.

"Tuan Wangsengsari belum pernah minum ini minuman?" tanya Vos dalam Jawa yang lancar. Dan Wangsengsari juga bisa Jawa. "Juga Tuan?" Vos menoleh pada Sutanegara.

"Belum, Tuan. Melihat juga baru sekarang," jawab mereka. "Ha... ha... ha..." Kumis Vos ikut bergerak-gerak.

Pakaiannya yang selalu rapi itu pun ikut bergetar. "Sekarang Tuan boleh merasakan sebagai hadiah," kata Vos, kemudian menyodorkan satu sloki. Wangsengsari menerimanya. Begitu juga Sutanegara. Setelah Vos juga siap satu sloki lagi di tangannya, mereka minum bersama. "Ini awal dari persahabatan Blambangan-VOC Saling bantu-membantu.

Seperti satu saudara Mari kita sambut hari ini dengan

minuman ini."

Namun betapa terkejutnya kedua satria Blambangan itu. Begitu minum tenggorokan mereka segera menjadi panas. Hidung mereka seperti mengeluarkan asap. Minuman itu seperti membawa api ke dalam perut mereka. Membuat apa yang ada di dalamnya mendidih dan mendesak udara dalam perut itu keluar melalui mulut. Vos memperhatikan keduanya. Di bawah sinar lampu ia melihat mata mereka segera berubah jadi merah. Begitu juga muka mereka. Dalam usia lima puluh tiga tahun Vos sangat berpengalaman merayu seorang yang baru minum untuk melanjutkan minum bersamanya. Ia senang melihat orang lain mabuk. Karena dia sering mengambil keberuntungan dari kemabukan seseorang.

Kala itu satu tarian yang ditarikan oleh lima orang pria dan lima orang wanita telah selesai disajikan. Tepuk tangan riuh mengiringi langkah mereka masuk ke kamar depan rumah Colmond yang disediakan untuk ruang ganti dan berhias bagi para penari. Sebagai gantinya adalah penari tunggal. Mata Vos melotot. Seperti lainnya, penari ini juga telanjang dada. Tapi mata gadis itu seperti mengeluarkan sinar. Melirik kanan, melirik kiri. Semua orang merasa gadis itu melirik padanya. Dan jika gadis itu mencabut kembali lirikannya rasa hati mereka ikut tercabut.

"Siapa dia?" tanya Vos pada Wangsengsari.

"Anak hamba," jawab Wangsengsari yang sudah mulai mabuk. Puluhan sloki masuk ke kerongkongannya. "Ni Ayu Repi, namanya."

"Cantik sekali," Vos memuji. "Gerakannya pun paling bagus.

Anak sendiri?" Vos masih menyelidik. Satu sloki lagi disodorkan pada kedua «satria itu. Mereka tak berani menolak kendati kepala mereka kian pening. Namun setelah sloki itu mereka teguk Sutanegara tak tahan lagi. Tanoa sadar ia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Melihat itu Vos segera memanggil seorang pengawal untuk membawa Sutanegara ke Benteng Pangpang. Kemudian ia berpesan agar Bapa Anti menyediakan "teman tidur" bagi Sutanegara di dalam kamar yang paling bagus di benteng.

"Nama gadis penari itu siapa?" tanya Vos mengulangi supaya jelas.

"Ni Ayu Repi, anak istri saya yang ketiga." Kepala Wangsengsari pun kian berdenyut.

"Rupanya Tuan mengantuk?" tanya Vos sambil melambaikan tangannya pada Bapa Anti. Orang itu mendekat sambil membungkuk-bung-kuk.

"Antar Tuan Tumenggung ke benteng. Carikan kamar yang bagus. Juga teman tidur agar besok bangun pagi segar kembali!"

"Ya, Tuanku."

"Tuan bisa istirahat sekarang. Dalam benteng.-Nanti kita berbincang lagi. Silakan, Tuan, selamat istirahat. Selamat malam," kata Vos sambil berdiri ia menjabat tangan sang Tumenggung. Sebenarnyalah ia ingin pulang ke rumah. Tapi kepalanya terasa amat berat. Tanpa sadar ia sudah berada dalam kamar Benteng Pangpang milik VOC.

Sementara itu pesta jalan terus. Malam kian merayap larut. Satu-satu. tamu meninggalkan tempat. Melihat Nawangsurya meninggalkan tempat, Jaksanegara yang sejak tadi berusaha mendekatinya, menawarkan jasa untuk mengantarnya pulang.

"Maafkan. Kami akan pulang berdua dengan Rahminten," jawab gadis itu. Agak terkejut Jaksanegara mendengar penolakan itu. Tak seorang pun pernah berani menolak dia. Namun ia sadar bahwa sedang berhadapan dengan darah Tawang Alun. Maka ia harus menahan hati.

"Tidak takut dengan laskar pendudukan? Hari sudah malam. Agak jauh jarak Pangpang dengan Pakis "

"Kami membawa pengawal," tukas Nawangsurya cepat dan berbalik bersama adiknya Rah-minten. Jaksanegara amat tersinggung. Ada ketikanya aku akan membawamu ke tempat tidurku! gumamnya dalam hati. Hampir separuh tamu sudah mabuk. Suratruna melihat semua itu dengan hati heran. Ia segera pamit untuk istirahat. Dan kala sampai ke pesanggrahan, seorang wanita muda sedang menunggunya.

"Ada apa?" tanyanya.

"Hamba diperintahkan oleh Bapa Anti untuk menemani Yang Mulia."

"Menemani? Aku? Apa tidak salah? Aku bukan penakut!"

Wanita itu tersenyum sambil menyembah. Kemudian maju untuk melepas bajunya. Suratruna terkejut. Ia mundur selangkah.

"Kau tentu salah. Kau dibayar bukan untuk aku."

"Ampun, Yang Mulia Semua tamu sudah ada temannya.

Kami diperintahkan untuk itu "

"Pergilah! Aku punya anak-istri!" Suratruna marah. "Kami akan dibunuh jika menolak."

"Bukan kamu yang menolak, tapi aku! Katakan pada Bapa Anti bahwa kau sudah selesai melayani aku."

"Yang Mulia... kasihanilah hamba " Wanita itu meratap.

"Suami hamba dan anak hamba menjadi tanggungan. Jika hamba menolak atau maka mereka akan dibunuh."

"Dewa Bathara!... Eh... astaghfir Bapa Anti ? Berbuat itu?

Biar aku bunuh dia!" geram Suratruna.

"Yang Mulia !" Perempuan muda itu tersentak. Suratruna

menghentikan langkahnya. Perempuan itu memeluk kakinya. Air mata membasahi betisnya. "Jika hamba mati, hamba rela. Tapi anak hamba... masih kecil, Yang Mulia. Ampuni hamba....

Di mana-mana ada telik Bapa Anti. Di depan itu pun. Maka jika Yang Mulia tidak berkenan hamba layani, biarkan hamba ada di kamar Yang Mulia hingga esok. Hamba tidak akan mengganggu. Hamba berjanji, Yang Mulia. Oh " wanita itu

terisak.

Hati Suratruna menjadi remuk. Peringatan wanita itu benar.

Blambangan tak berdaya. Ia pun tak berdaya. Pembaruan termasuk penjualan wanita Blambangan pada laskar asing! Inikah salah satu kemajuan yang ia sendiri juga setuju?

Kerongkongan Suratruna seperti tersumbat. Ia melangkah ke pembaringan. Ia lempar bajunya. Suratruna menelungkupkan diri. Mukanya dibenamkan ke pembaringan. Tanah kelahirannya diinjak-injak atas persetujuan satrianya sendiri. Ia malu. Ia tidak mampu. Ia menangis. Wanita muda itu menutup pintu. Kemudian bersimpuh di lantai dengan tanpa berani berbuat sesuatu.

Colmond juga sudah kembali ke kamarnya. Baginya pun sudah disediakan teman tidur oleh Bapa Anti. Kala purnama tepat di atas kepala, Vos bangkit berdiri. Pertunjukan memang belum usai. Pesta akan diadakan tiga hari tiga malam. Ia kembali melambaikan tangannya memanggil Bapa Anti. Sambil berjalan ke keretanya ia berkata, "Antar Repi ke pesanggrahanku!"

"Anak Tumenggung..."

"Ya!" Vos tidak mau dengar alasan lagi. Ia percepat langkahnya. Bapa Anti dalam keraguan. Ia pandangi J. Vos. Sebentar kemudian tertunduk. Namun... mau tak mau ia harus melangkah ke kamar ganti para penari wanita. Dengan ragu ia mengetuk pintu kamar ganti itu. Seorang membukakan pintu.

"Ingin bersua Ni Ayu Repi."

Repi segera keluar. Kemudian Bapa Anti berbisik padanya, "Tuan Gubernur ingin bicara padamu."

'Tuan Gubernur?" tanya gadis enam belas tahun itu dalam bisiknya.

"Ya. Ingin bicara tentang ayahmu. Mari ikut aku. Eh... ambil dulu pakaianmu. Jangan banyak tanya. Nasib ayahmu juga nasib ibumu. Juga nasibmu."

Gadis itu bingung. Namun tidak sempat pikir panjang. Bapa Anti mendorongnya pelan. Ni Repi segera mengemasi pakaiannya. Di bawah pandangan mata teman-temannya yang heran. Tidak seorang pun berani bertanya. Apalagi Bapa Anti yang menjemput. Repi sendiri tak sempat melepasi pakaian tarinya karena ia masih akan muncul lagi. Gamelan dan angklung masih ramai berkumandang. Bapa Anti membawanya berjalan menyimpang menjauhi arena untuk tidak mengundang tanya para tamu yang masih menikmati tari-tarian lainnya.

Melalui gerbang belakang ia menjangkau jalan raya.

Setelahnya mereka berkuda ke rumah yang dibangun untuk residen. Belum jadi bangunan rumah itu. Seperti halnya rumah Colmond. Tapi ' tampaknya lebih besar. Repi tidak sempat mengawasi keadaan pendapa, atau gapura, atau bunga- bunga. Seorang penjaga mengantar mereka ke ruangan di mana Vos sudah menunggu. Orang itu dudukdi teras kamar yang menghadap ke barat.

Rembulan memancar membuat meja yang penuh piring makanan terdiri dari sate kambing, gulai, dan daging babi panggang serta beberapa macam masakan lain. Di sebelah tempat duduk Vos tersedia sebuah kursi kosong. Repi melihat di belakang teras itu ada sebuah kamar besar. Pintunya terbuka dengan dua jendela yang juga lebar-lebar. Sinar rembulan dengan leluasa menjamah tempat tidur yang beralas sutera putih bersih.

"Tinggalkan dia di sini!" perintah J. Vos pada Bapa Anti dan pengawal. "Terima kasih!" sambungnya lagi ketika mereka balik kanan dan menghilang.

Hati Repi berdebar keras.

Mata Vos dengan lahapnya menyelusuri seluruh tubuh gadis remaja itu. Membuat Repi semakin bergetar. Bagi Vos Repi adalah wanita termuda yang pernah ia panggil atau dipersembahkan padanya selama ia bertugas di Jawa. Kala di Jepara pun ia pernah punya seorang selir anak seorang adipati. Namun rasanya tidak seperti Repi ini. Betapapun ia menjadi amat tertegun melihat tubuh telanjang dada dengan kulit yang terawat bersih. Di bawah sinar rembulan ia melihat putik susu Repi berwarna merah jambu. Masih belum pernah dijamah lelaki. Belum pernah menyusui.

"Duduklah," ia memecah kesunyian. "Aku ingin mengundangmu makan malam."

"Maaf, kami sudah menerima bagian tersendiri...," gugup. "Anak tumenggung tak patut bersama mereka," memotong

jawaban Repi dalam Jawa yang tidak sempurna.

"Sepatutnya hamba harus bersama Ayah dan..."

"Ayahmu sudah mendapat bahagiannya sendiri. Mari... atau sebaiknya kau mandi dulu. Kau lelah, kan? Baru menari?" Vos tidak menunggu jawaban. Ia langsung berdiri dan menghampiri serta kemudian membimbing Repi ke kamar mandi yang letaknya tepat di sebelah kamar tidurnya. Repi takut, tapi tak berani membantah. Tapi mandi di malam begitu menurut kebiasaannya harus menggunakan air kembang.

Kebiasaan penari Blambangan mandi air kembang di bulan purnama. Maka dia menjadi ragu kala di ambang pintu. Ia ingat bahwa dalam bungkusan yang dibawanya dan tertinggal di teras tadi ada bungkusan kembang.

"Kenapa tidak segera masuk? Atau ingin aku yang memandikanmu?" tegur Johanis Vos.

"Oh... jangan, Tuan. Hamba akan mandi sendiri. Tapi hamba akan ambil bungkusan di..."

"Aku akan ambilkan!" Vos melangkah cepat mengambil bungkusan milik Repi. Setelah memberikan ia kembali menunggu.

Selamanya pekerjaan menunggu tidak menyenangkan. Entah berapa kali ia melongokkan kepalanya menengok ke kamar mandi dari tempat duduknya. Bahkan kini ia bangkit berdiri, mondar-mandir dengan tangan dipersatukan di belakang tubuhnya. Lama sekali anak itu! ia menggerutu dalam hati. Duduk lagi. Menyabarkan diri sambil minum arak bikinan Tiongkok. Arak penghangat tubuh.

Tentu Repi tak mampu menahan diri selamanya dalam kamar mandi. Walau mungkin saja ia sengaja berlama-lama. Memang ia sedang bergumul dalam pertimbangannya sendiri. Ia tahu apa yang bakal terjadi. Ah, mengapa tidak ada yang dapat menolong diriku? Ia sempat berdoa. Siapa tahu pemuda idamannya, Pi'i, mendengar bahwa ia diculik dan menyusulnya? Siapa tahu Hyang Ciwa mengirim penolong?

Tapi tidak! Semua yang ia harapkan tak kunjung tiba. Sedang langkah-langkah sepatu Vos mendesaknya pada suatu sudut. Maka ia memutuskan harus memberanikan diri menghadapi kenyataan, daripada harus mati dalam kekonyolan. Seperti ayahnya yang berani mengambil keputusan bekerja sama dengan Belanda. Dan ia juga sadar bahwa sesaat lagi ia akan jadi korban keputusan ayahnya sendiri.

Repi mengintip dari pintu yang dibukanya sedikit. Vos masih di teras sambil memandang rembulan. Ia membuka pintu lebih lebar dengan perlahan. Menimbulkan suara berderit. Vos menoleh. Repi tak lagi mampu mengelak. Maka ia melangkah keluar dengan pelan-pelan. Vos kian terpesona. Bau harum tubuh yang telah disiram air kembang itu makin membuatnya gila.

"Mari duduk! Kau temani aku makan malam ini "

Sekali lagi Repi memberanikan dirinya. Duduk, Menembuskan pandang pada Vos. Mata yang seolah memantulkan sinar rembulan. Vos makin kagum. Tidak seperti gadis-gadis yang pernah dipersembahkan terdahulu.

Umumnya selalu menunduk. Meski agak canggung, Repi tidak menolak makanan apa pun yang dihidangkan padanya.

Bahkan minuman keras, walau tersedak-sedak kala menuangkan dalam bibirnya. Minuman dapat menjauhkan Repi dari kesadarannya. Sehingga ia lupa bahwa ia sedang berhadapan dengan kuda binal, yang sedang membimbingnya ke tempat tidur. Walaupun demikian ia masih sempat merintih lirih kala keperawanannya punah. Untuk kemudian ia tergolek lemah, tanpa daya, tanpa sadar. Sedang Vos meneruskan kebinalannya Kepuasan Vos memuncak kala sutera putih, alas tempat tidur itu, dihiasi bercak darah. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar