Geger Tarumanegara Bagian 1

Bagian 1

Penaklukan Yang Gagal

Suasana masih terang-terang tanah ketika Armada Sriwijaya dipimpin langsung Prabu Dapunta Hyang Sri Jayanasa dengan kekuatan sekitar dua puluh ribu pasukan bertolak dari pelabuhan Minang Tamwam kawasan pegunungan sungai Batanghari menuju Bumi Jawa. Setelah menaklukan Kerajaan Kedah, Minang Natamuan, Melayu, Bangka, Tulang Bawang, bahkan kepulauan Ligor di Siam, misi penaklukan selanjutnya adalah Kerajaan Tarumanagara di bumi Jawa. Sudah lama sekali niat Prabu Dapunta Hyang Sri Jayanasa itu ingin menaklukan Kerajaan termasyur tersebut karena selalu dihalang-halangi permaisurinya Nyimas Ayu Sabakancana yang tidak lain putri Prabu Linggawarman, Raja Tarumanagara.

“Kenapa kanda Prabu tega melakukan semua ini, bukankah ayahanda Linggawarman itu mertua kanda?” kata Nyimas Ayu Sabakancana seminggu sebelum pasukan Sriwijaya bertolak menuju Tarumanagara.

“Dinda Sabakancana, semua ini kanda lakukan demi kejayaan Sriwijaya, lagi pula kanda hanya ingin pengakuan ayahanda Prabu Linggawarman atas kebesaran Sriwijaya, tidak lebih dari itu.”

“Apakah tidak ada jalan lain kecuali perang?”

“Sudahlah dinda, keputusan kanda sudah bulat,” sela Prabu Dapunta Hyang Sri Jayanasa, setelah menyelipkan keris pusaka di pinggang diraihnya tombak pendek berukir emas dan dengan langkah pasti Raja Sriwijaya itu berjalan cepat meninggalkan sang permaisuri yang terpekur di kamar peraduan.

“Duhai sang penguasa jagat, selamatkan suami hamba, lindungi ayahanda Linggawarman…,” desah Nyimas Ayu Sabakancana. Semantara itu, armada pasukan Sriwijaya dikepalai seorang Senapati muda bernama Senapati Ampal telah memasuki sungai Ciaruteun, anak sungai Citarum, jung-jung dengan panji dan lambang kebesaran Sriwijaya berupa bunga Padma dalam lingkaran hitam berkibar-kibar ditiup angin, tak lama seluruh Armada Sriwijaya itu membuang sauh disebuah curuk bernama curuk kalapa masuk dalam wilayah pecantilan Ciaruteun.

“Senapati Ampal, kirim utusan untuk menyampaikan surat tuntutan pada ayahanda Prabu Linggawarman.”

“Sendika gusti prabu.”

Tidak menunggu lama, sekitar sepuluh orang prajurit Sriwijaya yang salah satunya membawa bendera putih terlihat memacu kuda menuju ibukota Tarumanagara. Semantara itu di dalam benteng keraton Tarumanagara, Sang Prabu Linggawarman diseba oleh beberapa pejabat Kerajaan, pertemuan hari itu membahas laporan telik sandi mengenai inpansi Kerajaan Sriwijaya, hadir dalam pertemuan itu para pemimpin pasukan Tarumanagara, para Senapati serta bangsawan Tarumanagara lainnya.

“Senapati Perkutut Kapimonda, bagaimana persiapan pasukan mu?”

“Hamba gusti prabu,” sembah lelaki tegap dengan baju zirah bergambar lebah di dada. seluruh pasukan telah hamba tempatkan diberbagai titik rawan, gusti prabu,” imbuhnya.

“Hemm, aku dengar anak-anak murid padepokan Ciampea kau ajak serta dalam peperangan ini.”

“Benar gusti Prabu, seluruh murid padepokan Ciampea yang hamba pimpin ikut andil dalam membela kebesaran Tarumanagara.”

“Bagus sekali.”

“Sendika, gusti Prabu.”

“Rakeyan Kanuruhan Rajendra, strategi gelar apa yang kau persiapkan?”

“Hemat hamba gelar wulan sabit sangat bagus dalam pertahanan sekaligus penyerangan, Paduka.” “Bagaimana menurut mu, Senapati Perkutut

Kapikonda?”

“Saran Rakeyan Kanuruhan sangat bagus Paduka, sebab sarangan utama berada di dua ujung sayap, pasukan musuh akan terkecoh menyangka kekuatan induk ada di tengah saat itulah serangan sebenarnya dari kanan dan kiri sayap memporak porandakan pertahanan musuh.”

Prabu Linggawarman manggut-manggut, sebelum sabda Raja Tarumanagara ini berlanjut seorang prajurit datang menghadap.

“Ampun Paduka, utusan Sriwijaya minta izin menghadap gusti Prabu.”

Prabu Linggawarman tertegun beberapa kejap, keudian penguasa Tarumanagara itu memerintahkan pengawal pintu gerbang mempersilahkan utusan Sriwijaya menghadapnya. Tidak menunggu lama tiga orang prajurit Sriwijaya sudah berada di balerung pertemuan kedaton Tarumanagara, ke tiga utusan tampak menyembah sebelum bicara.

“Ampun beribu ampun Paduka, kami utusan Sriwijaya bertugas menyampaikan surat buat Paduka,”

“Baik, kemarikan surat itu.”

Salah seorang prajurit Sriwijaya beringsut ke depan, memberi sembah kemudian mengulurkan sebuah ruas bambu pada Prabu Linggawarman.

Raja Tarumanagara itu dengan tenang mulai membaca isinya yang tertulis di atas daun rontal.

“Salam sejahtera ayahanda Prabu, hamba Dapunta Hyang Sri Jayanasa dengan sangat berat hati meminta ayahanda Prabu mengakui kebesaran dan tunduk pada Sriwijaya. Apabila tuntutan hamba ini ditolak, dua puluh ribu pasukan Sriwijaya yang berada di pecantilan Ciaruteun akan hamba gerakan. Hamba memberi waktu satu hari pasaran pada paduka untuk menyerah. Sembah hamba Paduka. Dapunta Hyang Sri Jayanasa.” Prabu Linggawarman lipat rontal yang berisi tuntutan penyerahan kekuasaaan tersebut dengan hati masgul, bagaimana tidak salah satu menantu yang dibanggakannya itu hendak merongrong kewibawaannya.

“Prajurit, surat dari Raja mu sudah aku terima, silahkan beristirahat dulu, aku akan berunding dengan para bangsawan Tarumanagara.”

Prajurit pembawa pesan itu tampak menghaturkan sembah, kemudian beringsut mundur meninggalkan balerung singasana kedaton Tarumanagara.

“Sriwijaya menghendaki negri Taruma ini tunduk, bagaimana menurut mu Tarusbawa?”

Sebelum menjawab pertanyaan, Tarusbawa menantu pertama Prabu Linggawaran itu terlebih dahulu memberikan sembah.

“Hamba ayahanda Prabu, tidak seorangpun berhak memaksakan kehendak pada orang lain, termasuk dinda Dapunta Hyang.”

“Jadi menurut mu, kita tolak tuntutan itu?” “Hamba, ayahanda prabu.”

“Maapkan hamba, gusti prabu…,”

“Silahkan Senapati Perkutut Kapimonda.”

“Hamba setuju dengan pendapat Rahardian Tarusbawa, kita pertahankan Tarumanagara sampai titik darah penghabisan”

Kembali sang Prabu Linggawarman tercenung beberapa kejap di singgasananya, mata Raja Tarumanagara itu tertuju pada sosok lelaki paruh baya berselempang kain putih yang sedari tadi mendengarkan semua pembicaraan.

“Senapati Benanda, aku perintahkan, besok pagi- pagi sekali kau bersama Senapati Perkutut Kapimonda memimpin pasukan Tarumanagara menghalau pasukan Sriwijaya.”

“Sendika gusti prabu.” “Ponggawa, panggil utusan Sriwijaya itu ke mari.” “Sendika gusti prabu…,”

Dan begitulah, setelah disepakati bersama akhirnya sang prabu Linggawarman memutuskan menolak tuntutan raja Sriwijaya, Prabu Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Seluruh ponggawa, Senapati, kepala pasukan, para prajurit Tarumanagara segera mempersiapkan diri, selama sepekan persiapan menghalau pasukan Sriwijaya itu disusun dengan matang. Kotaraja Tarumanagara mencekam menunggu detik-detik penyerangan pasukan Sriwijaya.

Tersebutlah Mentri Kanuruhan Rajendra, salah seorang pembesar Tarumanagara mengetahui seminggu lagi akan terjadi peperangan antara pasukan Tarumanagara melawan pasukan Sriwijaya, lelaki gagah pemilik  tatapan teduh itu segera menemui sang  adik yang bernama Udayan Arimbata di padepokannya sambil membawa anak lelaki yang masih berusia lima tahun bernama Undaka.

“Adik ku Udayana, jika terjadi sesuatu dengan kerajaan Tarumanagara saya mohon pergilah sejauh mungkin dari tanah Taruma, bawalah serta Udaka, keponakan mu.”

“Lalu bagaimana dengan kanda Dewi Supita, saya

mengkhawatirkan kehamilannya.”

“Biarlah kanda dewi mu tetap bersama saya di tanah Taruma ini, apapun yang terjadi.”

“Tapi Kanda.”

“Sudahlah adik Udayana, kau tidak usah banyak berfikir dan bertanya ikuti saja perintah ku.”

“Baiklah kanda Rajendra.”

Waktu terus berjalan tanpa seorangpun mampu mencegahnya, satu hari lagi genap seminggu batas waktu yang ditentukan Prabu Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk menyerang Tarumanagara, sebenarnya sejak hari pertama mendapat jawaban tegas dari Prabu Linggawarman, raja Sriwijaya itu bermaksud menggerakan pasukannya saat  itu  juga,  tapi  berkat saran Tumenggung Jari Kambang, seorang yang memiliki otak berlian, ahli siasat dan strategi perang, amarah Prabu Dapunta Hyang Sri Jayanasa dapat ditahan.

“Ampun Gusti Prabu, menurut hamba ada dua alasan mengapa prabu Linggawarman memberikan jawaban langsung pada hari itu juga.” kata Tumenggung Jari Kambang sembari membetulkan letak duduknya.

“Apa itu, Tumenggung?”

“Pertama, Raja Tarumanagara itu memang benar- benar siap menghadapi pasukan Sriwijaya, atau justru sebaliknya, gusti prabu.”

“Maksud mu, Prabu Linggawarman sebenarya

ragu dengan kekuatan Sriwijaya?”

“Tepatnya begini Gusti Prabu,” kembali Tumenggung Jari Kambang merobah posisi duduk sebelum melanjutkan kalimatnya. khabar Sriwijaya yang telah menaklukan berbagai kerajaan itu sudah cukup membuat Prabu Linggawarman berpikir dua kali, nah dengan cara penolakan langsung pada saat itu juga Raja Tarumanagara itu berharap kita kalah mental.”

“Ampun gusti prabu.”

“Ya, silahkan Senapati Ampal.”

“Benar apa yang diutarakan kakang Tumenggung Jari Kambang, intinya Prabu Linggawarman sebenarnya segan dengan pasukan kita.”

“Baiklah, besok sebelum matahari semburat di ufuk timur pasukan yang dipimpin Senapati Ampal sudah harus berada di depan pintu gerbang kedaton Tarumanagara, pastikan orang-orang yang kita susupkan mampu bekerja dengan baik.”

“Sendika Gusti Parabu,” kata Senapati Ampal

sambil menyembah.

Pertemuan pada malam hari di tepi sungai Ciaruteun selesai, mereka kembali ke tendanya masing- masing, malam merambat ke dini hari binatang malam mulai menunjukan aktifitasnya, pada saat itulah dari pintu gerbang Kedaton Tarumanagara satu sosok bayangan dengan menggendong sesuatu di punggung mengendap-endap diantara lorong-lorong Kedaton Tarumanagara, begitu mendekati istal dimana kuda- kuda ditempatkan sosok itu tertegun, diantara temaram obor sewu satu bayangan telah berdiri dihadapannya.

“Tidak usah takut kakang Udayana, ini saya Senapati Benanda,” ujar sosok bayangan tersebut sembari menyingkap tudung kain yang menutupi wajahnya.

“Adhi Benanda?”

“Benar kakang Udayana,”

“Ada apa malam-malam begini berada di istal?” “Sudahlah kakang, cepat pilih kuda terbaik dan

ada satu hal lagi yang ingin saya sampaikan” “Apa itu adhi Benanda?”

Sebelum menjawab pertanyaan orang, dari balik jubah hitam yang dipakainya Senapati Benanda mengeluarkan sesuatu dan langsung diberikannya pada Udayana.

“Sebelum wafat guru besar Tarumanagara eyang Jalatunda memberikan kitab pusakanya pada ku, kini kitab ini saya berikan pada kakang Udayana.”

“Maap Senapati, bukanya saya menolak kitab pusaka, tapi terus terang saya kurang suka atau tidak ada minat mempelajari ilmu kanuragan, saya lebih tertarik dengan ilmu pemerintahan.”

“Jangan salah tafsir dulu kakang Udayana.” “Maksud Senapati Benanda?”

“Saya memiliki firasat, tanah Taruma ini akan jatuh ke tangan Sriwijaya. Jadi, ajarkanlah semua isi kitab pusaka ini pada Udaka, kelak dialah yang akan membebaskan tanah Taruma dari cengkraman

Sriwijaya.”

“Baiklah, saya mengerti adhi.” “Nah, pergilah sejauh mungkin dari tanah Taruma, mudah-mudahan kelak kita akan bertemu kembali.”

“Terimakasih adhi Benanda.”

Senapati Benanda hanya tersenyum kemudian sosoknya melesat diantara gelapnya malam meninggalkan Udayana yang langsung menggebrak kuda sambil menggendong Udaka keponakannya entah kemana, meninggalkan bumi Taruma yang selama hidupnya baru kali ini Udayana pergi jauh tanpa tujuan, tekad lelaki muda itu hanya satu pergi sejauh yang dia bisa, menyelamatkan Udaka sesuai amanat kakaknya.

**

Matahari semburat malu-malu diantara rimbunnya pepohonan waringin kurung yang terdapat di kompleks Kedaton Tarumanagara, sejak dini hari pasukan yang dipimpin Senapati Benanda dan Senapati Perkutut Kapimonda telah disiagakan di alun-alun, umbul-umbul, rontek  dan panji-panji  kebesaran lambang Tarumanagara berupa bunga teratai di atas kepala gajah berkibar-kibar diterpa angin.

“Adhi Benanda, bagaimana persiapan pasukan

kita?”

“Semua sudah siaga di tempat masing-masing

kakang Perkutut Kapimonda.”

“Pastikan sekali lagi adhi.” “Sendika kakang.”

Dengan menunggang kuda jantan berbulu hitam legam, senapati Benanda tampil di depan ribuan pasukan Tarumanagara, dicabutnya pedang, sambil menjalankan kudanya ujung pedang senapati Benanda dibenturkan pada ujung tombak prajurit baris depan dari ujung ke ujung.

“Pasukan Tarumanagara, bersiap…!” Geeerrr…! Bunyi koor seluruh pasukan sembari mengangkat tombak dan pedang, angin timur berhembus bendera kebesaran Tarumanagara berkibar  semakin kencang, pada pasukan baris ke dua dimana pasukan yang mengendarai gajah hal yang sama dilakukan Senapati Benanda, menggugah semangat tempur disambut teriakan siaga dan raungan puluhan gajah sambil mengangkat belalainya secara serempak, di baris ke tiga, pasukan berkuda telah siaga penuh dengan umbul- umbul  kebesarnnya,  tidak  ketinggalan  pasukan pemanah yang telah  ditempatkan  secara  khusus  pun siap menyabung nyawa. Setelah memastikan seluruh pasukan siap, Senapati Benanda kembali ke induk pasukan.

“Semua pasukan menunggu aba-aba mu,

kakang.”

Senapati Perkutut Kapimonda mengangguk mantap.

“Pastikan pintu gerbang utama dijaga dengan baik, tempatkan pasukan panah tepat di atas nya.”

“Baik kakang Perkutut Kapimonda.”

Seorang prajurit teliksandi Tarumanagara menghadap.

“Pongawa bagaimana situasai di luar Kota Raja?” “Seluruh penduduk Tarumanagara sudah berada

di dalam benteng, tuan Senapati.”

“Bagus, pastikan keamanan mereka.” “Sendika, tuan Senapati.’

Setelah memberi penghormatan  prajurit teliksandi itu segera kembali ke kesatuannya. Semantara itu di tepian sungai Ciaruteun basis pertahanan pasukan Sriwijaya kesibukan mulai tampak, hiruk-pikuk para prajurit dan teriakan-teriakan kepala pasukan mewarnai suasana pagi nan cerah tersebut, di salah satu tenda, beberapa pembesar Sriwijaya telah berkumpul, Prabu Dapunta Hyang Sri Jayanasa tampak duduk gagah di hadapan para kesatria Sriwijaya. “Bagaimana kondisi pasukan kita, Senapati

Ampal?”

Sebelum menjawab lelaki berbadan kekar, kumis lebat,   sorot mata setajam  sembilu tampak menghaturkan sembah.

“Hamba Paduka, seluruh pasukan Sriwijaya telah

siap.”

“Bagus, lalu strategi apa yang akan kita gunakan,

Tumenggung Jari Kambang?”

Bangsawan Sriwijaya berbadan subur dengan cambang bawuk meranggas di wajahnya itu berikan sembah sebelum menjawab.

“Hamba Paduka, melihat kokohnya pintu gerbang utama Tarumanagara gelar strategi yang tepat adalah gelombang pasang surut.”

“Strategi gelombang pasang surut?”

“Benar paduka, pertama-tama kita dobrak pintu gerbang itu dengan kayu jati yang telah diisi bubuk mesiu, begitu pasukan panah Tarumanagara menyerang, pasukan tameng maju melindungi, dan ketika pintu gerbang sudah berhasil kita jebol pasukan tombak menyerbu dengan dilindungi pasukan pemanah.”

“Bagus, pastikan sebelum senja Tarumanagara dapat kita tundukan.”

“Sendika Paduka.”

“Ingat tangkap Prabu Linggawarman hidup- hidup.” “Hamba mengerti paduka.”

Setelah merencanakan segala sesuatunya, diawali tiupan terompet dari kerang dan tabuhan gendering memekakan telinga, duapuluh ribu pasukan Sriwijaya mulai bergerak, tampak didepan sekali Prabu Dapunta Hyang Sri Jayanasa menunggang kuda jantan berwarna coklat belang putih dengan gagah memegang tombak pendek berukir emas sedang keris pusaka terselip di pinggang kanannya. Sepanjang perjalanan dari pecantilan Ciaruteun yang sudah dikosongkan warganya mengungsi ke dalam benteng ibukota Tarumanagara, Prabu Dapunta Hyang Sri Jayanasa tak henti-hentinya berdecak kagum dengan kesuburan wilayah Tarumanagara, di kanan dan kiri jalan tampak sawah luas membentang serta bulak-bulak rimbun, hutan kecil yang  asri  juga  perkebunan penduduk yang tampak lengang ditinggal mengungsi pemiliknya. Peperangan dalam bentuk apapun tidak dibenarkan sebab yang jadi korban tetaplah rakyat kecil lemah yang tidak tahu apa-apa, namun begitulah ketika ambisi telah menguasai manusia, hati nurani akan tertutup yang ada adalah seni bagaimana menundukan dan menguasai. Di sebuah hutan kecil diantara tebing- tebing terjal mendadak pasukan Sriwijaya dikejutkan serangan puluhan batu-batu besar dari atas tebing membuat pasukan yang belum siap bertempur itu kocar- kacir.

“Pasukan tameng, lindungi Gusti Prabu…!” teriak Senapati Ampal langsung melompat dari kudanya dan dengan sebat salurkan tenaga  dalam  pada  ke dua telapak tangannya.

“Ajian Jaring Karang…!” Dhuaaarr…!

Puluhan batu yang menyerang pasukan Sriwijaya mental berserabutan begitu mengenai tameng hitam ajian Jaring karang yang digelar Senapati Apal.

Serangan puluhan batu terhenti, suasana kembali tenang, angina timur berhembus menggugurkan dedaunan kering di sepajang jalan.

“Apa sudah aman, Senapati?” “Hem…, siapa mereka?”

“Apakah ini ulah pasukan Tarumanagara?” “Bukan,” tandas Senapati Ampal sembari

mengarahkan pandangannya pada tebing-tebing tinggi di kiri dan kanannya. “Lalu, siapa mereka?” Tanya Tumenggung Jari

kambang .

“Puluhan pemuda-pemuda tanggung,” dengus Senapati Ampal.

“Lalu bagaimana sekarang Senapati?”

“Mohon maap Gusti Prabu, beberapa pasukan

kita terluka cukup parah.”

“Aku mengerti Senapati.”

“Pasukan Sriwijaya…, kembali ke markas…!”

Hari itu Baginda Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa terpaksa menarik pasukanya ke suatu tempat karena beberapa pasukan terluka cukup parah sebagian lagi tewas tertimpa bebatuan besar dari atas tebing, semantara puluhan pemuda tanggung yang barusan melakukan aksi mendorong bebatuan besar dari atas tebing kini telah sampai di tepian sungai Candrabaga bagian ilir.

“Luar biasa sekali kesaktian Senapati Sriwijaya itu,” dengus Kebo Sempani, pemuda berperawakan jangkung itu merupakan ketua perkumpulan kelompok pemuda Tarumanagara. Di pecantilan Tarumadesya kelompok Sempani itu sangat disegani kawan maupun lawan dari kelompok-kelompok pemuda se usianya.

“Lalu apa tindakan kita, Sempani?”

“Ahh,Bilawa kita harus merekrut lebih banyak anggota lagi, kekuatan kita belum cukup menandingi pasukan Sriwijaya itu.”

“Benar ketua,” sela salah seorang anggotanya.

“Seperti biasa, kita tundukan perguruan silat di

tanah Taruma ini.”

“Aku setuju.”

“Baik, kalian boleh istirahat dan tunggu komando dari ku selanjutnya.”

“Siap ketua…!”

Kelompok Kebo Sempani yang terdiri dari orang- orang taklukan beberapa perguruan silat itupun bubar menuju barak-barak yang berada di bagian hilir sungai Candrabaga.

**

Kokok ayam hutan bersahut-sahutan menyambut mentari pagi yang mengintip dari sela-sela dedaunan manakala pasukan Sriwijaya yang kembali dipimpin Senapati Ampal merapatkan barisan, lambang dari kesatuan masing-masing  tampak  berkibar  kencang ditiup angin timur. Menunggang kuda berwarna coklat Senapati andalan Sriwijaya itu  tampak  gagah dengan baju jirah gemerlapan, sebilah tombak panjang tergenggam di tangan kanannya,sedang di barisan belakang terlihat pasukan kecil terdiri dari beberapa orang saja, pasukan kecil itu dikepalai oleh jawara- jawara bayaran yang disewa Sriwijaya. Antara lain, nyai Tenung Ireng pendekar wanita bengis penguasa rawa onom selaksa bala di kaki pegunungan Dempo kemudian Datuk Jerangkong Hitam dedengkot golongan hitam dari lembah sungai Gomati, Warok Sampar Kombayoni dedengkot rampok hutan Roban, dan seorang pemuda berwajah pucat bergelar iblis bisu, agaknya Prabu Dapunta Hyang Sri Jayanasa tidak mau ambil risiko dengan merekrut pendekar-pendekar bayaran golongan hitam yang rata-rata memiliki kesaktian mumpuni untuk menundukan Kerajaan Tarumanagara.

“Tidak bisa ditawar-tawar lagi, hari ini Tarumanagara harus dapat kita tundukan,” gelegar suara Prabu Dapunta Hyang Sri Jayanasa sambil mengangkat tombak pendek berukir emas tinggi-tinggi ke udara disambut riuh pasukan Sriwijaya.

“Dan untuk kalian para jawara ku, laksanakan apa yang sudah jadi kesepakatan tapi ingat Prabu Linggawarman bagian ku.”

“Sendika gusti prabu…!”

“Nah, pasukan Sriwijaya mari kita tundukan Tarumanagara…!” “Sendika gusti prabu, pasukan…, maju…!” sentak Senapati Ampal lantas tarik kekang kuda tungganganya disusul ribuan pasukan Sriwijaya yang mulai bergerak perlahan menuju ibukota Tarumanagara.

Semantara itu kesibukan juga mulai tampak di dalam benteng ibukota Kerajaan Tarumanagara begitu seorang prajurit telik sandi memberi khabar pasukan Sriwijaya mulai bergerak, Senapati Benanda tidak kalah sibuknya memberi aba-aba pada tiap kepala pasukan yang berada di tiap lorong, sedang Senapati Perkutut Kapikonda didampingi beberapa prajurit khusus Tarumanagara terlihat berdiri tegap di atas benteng menemani Prabu Liggawarman yang akan memantau jalannya pertempuran.

“Pusatkan pasukan panah di balik pintu gerbang, saya yakin tujuan utama musuh adalah pintu gerbang utama.”

“Siap gusti prabu,” jawab Senapati Perkutut Kapimonda sembari melambaikan bendera kecil melingkar kemudian lurus pada pasukan panah yang bersiap di balik pintu gerbang utama.

“Rahardian Tarusbawa, perintahkan orang kepercayaan mu untuk melindungi tempat persembunyian para penduduk Tarumanagara.”

“Hamba, ayahanda…,” ujar Rahardian Tarusbawa

kemudian pamit undur diri.

Matahari sepenggalah ketika iring-iringan pasukan Sriwijaya muncul dari balik perbukitan, tiupan sangkakala dan gendering berhenti begitu ujung-ujung menara Kerajaan Tarumanagara mulai tampak, di depan pasukan Sriwijaya sebuah sungai berarus deras memisahkan pasukan Sriwijaya dengan benteng utama ibukota Tarumanagara, angin timur berhembus kencang memperdengarkan gemuruh panji-panji perang pasukan Sriwijaya yang terus berkibar-kibar. “Senapati Ampal persiapkan pasukan pendobrak pintu gerbang,” desis Prabu Dapunta Hyang Sri Jayanasa.

“Sendika, Gusti Prabu,” kata Senapati Ampal kemudian dengan menggunakan tombak panjang Senapati Sriwijaya itu memberi aba-aba khusus pada pasukannya.

Dari tengah kerumunan pasukan Sriwijaya menyeruak lima puluh prajurit sambil mendukung gelondongan kayu jati panjang yang pada bagian ujungnya dikobari nyala api, di belakangnya menyusul seratus prajurit dengan tameng besar dan tombak, begitu tiupan sangkakala kembali terdengar dengan gerakan cepat ke lima puluh prajurit itu bergerak maju ke pintu gerbang kokoh yang berada di hadapannya.

Ribuan anak panah berapi melesat dari balik menara-menara tinggi begitu pasukan  Sriwijaya  berada di tengah jembatan, suara desingannya begitu memekakan telinga, prajurit Sriwijaya yang membawa tameng segera membentuk pormasi perlindungan dengan cara menyatukan tameng masing-masing melindungi pasukan pendobrak yang membawa gelondongan kayu jati, meski demikian ada saja satu atau dua prajurit yang terjungkal ditembus panah dan terjungkal masuk ke dalam sungai berarus deras, tapi dengan semangat baja pasukan khusus Sriwijaya itu terus bergerak maju.

“Gusti Prabu,”

“Kerahkan pasukan puser banyu….” “Sendika Gusti Prabu.”

Senapati Perkutut Kapimonda kembali mengacungkan pedangnya ke udara, diputar sedemikian rupa kemudian ujung pedang itu menukik tajam ke bawah.

Langkah pasukan pembawa tameng dan gelondongan kayu terkejut bukan main manakala jembatan yang mereka pijak bergetar dan ambrol, tak ayal puluhan pasukan Sriwijaya terjebur ke sungai lolongan kesakitan terdengar merobek langit begitu prajurit Sriwijaya pembawa gelondongan kayu dan tameng amblas ditelan kuatnya arus sungai dan lebih terkejut lagi bilamana dari dalam sungai muncul puluhan pasukan Tarumanagara dengan tombak panjang menyerang sisa-sisa prajurit pendobrak Sriwijaya yang berusaha merangkak keluar dari dalam sungai, setelah menyelesaikan tugasnya pasukan puser banyu Tarumanagara itu kembali masuk ke dalam benteng.

“Kurang ajar, rupanya sekitar benteng telah di pasang jebakan.”

“Apa yang harus kita lakukan, Gusti Prabu?” “Senapati Ampal, mana orang mu yang kau

susupkan ke dalam benteng!”

“Ampun Gusti Prabu, sepertinya ada yang tidak beres.” “Maksud mu?”

“Orang yang kita susupkan tertangkap, maapkan hamba…, Gusti Prabu.”

“Kurang ajar…!”

“Ampun Gusti Prabu,” sembah Nyai Tenung Ireng.

“Ada apa Nyai Tenung Ireng?”

“Kami para pendekar akan mencoba menyelinap dari jalan lain.”

“Lakukanlah.”

Nyai Tenung Ireng tampak menyembah kemudian undur diri diiringi Datuk Jerangkong Hitam, Warok Sampar Kombayoni dan si pemuda berwajah pucat, Iblis Bisu, semantara itu di dalam benteng Tarumanagara Senapati Benanda tengah mengintrograsi seorang prajurit Tarumanagara yang ternyata prajurit telik sandi Sriwijaya yang disusupkan, kondisi prajurit telik sandi Sriwijaya itu tak karuan rupa, disiksa sedemikian rupa namun tetap bungkam tidak menanggapi pertayaan Senapati Benanda, saat itulah muncul Prabu Linggawarman, Rahardian Tarusbawa, Rakeyan kanuruhan Rajendra dan Senapati Perkutut Kapimonda.

“Cukup Senapati Benanda…,” “Hamba Paduka.”

Senapati Perkutut Kapimonda tersenyum sinis, ditatapnya prajurit telik sadi Sriwijaya itu dengan tajam, gagang pedang disorongkan pada dagu prajurit Sriwijaya hingga wajahnya mendongak.

“Tatap mata ku prajurit….”

Perlahan prajurit telik sandi Sriwijaya tatap mata Senapati Benada, kilatan cahaya warna biru semburat menyilaukan mata, selanjutnya prajurit Sriwijaya itu terkulai lemas.

“Katakan dengan jujur berapa orang yang

disusupkan Sriwijaya?”

“Banyak….”

“Sebutkan satu per satu dan apa saja tugasnya,” “Baik….”

Hampir lima belas menit prajurit telik sandi Sriwijaya itu menjawab semua pertanyaan yang diajukan Senapati Perkutut Kapimonda, semua orang yang berada di ruangan tersebut terkaget-kaget dibuatnya, setelah dirasa cukup Senapati Perkutut Kapimonda memerintahkan beberapa prajurit menggelandang telik sandi Sriwijaya itu ke belakang benteng.

**

Pada hari ke dua pun pasukan Sriwijaya gagal mendobrak pintu gerbang Kerajaan Tarumanagara, Prabu Dapunta Hyang Sri Jayanasa sangat gusar, rencana menaklukan Tarumanagara dalam satu hari gagal total, jangankan menaklukan mendekati pintu gerbangnya pun sangat sulit. Ibukota Kerajaan Tarumanagara dari masa Prabu Resi Singawarman pendiri Kerajaan Tarumanagara memang merancang Kerajaan Tarumanagara sedemikian rupa hingga tidak bisa ditembus oleh musuh, letaknya yang tinggi di atas bukit dapat memantau seluruh wilayah Kota Raja dengan baik, sungai Citarum yang memiliki arus deras mengalir melewati istana ditambah alam berupa hutan perawan juga dua sungai yaitu Candrabaga dan sungai Gomati yang telah dipugar dimasa pemerintahan Raja Purnawarman merupakan benteng perlindungan alami yang solid.

Malam itu di barak pasukan Sriwijaya, seluruh kepala pasukan, Senapati dan para bangsawan tengah berkumpul merundingkan sesuatu memecahkan masalah mencari cara agar benteng terutama pintu gerbang utama Kerajaan Tarumanagara itu dapat ditembus.

“Bagaimana hasil penyelidikan kalian?” kata Prabu Dapunta Hyang Sri Jayanasa pada empat orang yang duduk terpekur dihadapannya.

“Ampunkan kami, Gusti Prabu,” sembah Nyai Tenung Ireng diikuti ke tiga rekannya setelah membetulkan letak duduk wanita berjubah sutra hitam itu lanjutkan ucapannya.

“Benteng pertahanan Tarumanagara sangat solit, hampir tiap titik dipasang jebakan yang mematikan paduka.”

“Masalah itu aku sudah dengar, yang ingin aku tanyakan adakah cara untuk menembus benteng tersebut.”

“Bagaimana kalau kita bendung sungai Gomati dan Candrabaga, agar persediaan air mereka berkurang.” Saran Senapati Ampal.

“Sangat sulit, Tarumanagara masih memiliki sungai Citarum, apa kalian sanggup membendung arus sungai Citarum yang melintasi Tarumanagara.”

“Kalau begitu kita lewat jalur sungai Citarum,

memutar ke belakang ibukota Tarumanagara.”

“Kau ingat Warok Sampar, kemarin kita telah melakukannya tapi apa yang kita lihat disepanjang sungai Citarum yang melintasi ibukota dipasang puluhan rantai di tiap titik tersembunyi, kalau kita nekad perahu-perahu kita akan terbalik sebelum

mencapai pelabuhan Tarumanagara.”

“Sangat sulit sekali memang, tapi bukankah kita

masih memiliki beberapa orang yang disusupkan ke

jantung pertahanan Tarumanagara.”

“Kau benar Senapati Jari kambang, kita tunggu

perkembangan situasi dari mereka.” “Hamba paduka,”

“Kalau begitu untuk beberapa hari di muka, kita hentikan sejenak serangan ke Tarumanagara sembari menyusun siasat.”

“Baik, Gusti Prabu.”

Malam kian larut, obor sewu meliuk-liuk ditiup angin, suasana alam kembali sepi, sunyi dan lengang seakan tidak pernah ada kehidupan apapun sebelumnya di tempat itu.

**

Satu purnama berlalu begitu cepat, mentari pagi hangat menyinari bumi Tarumanagara, kehidupan berjalan seperti sediakala, petani mulai mengolah sawah, pedagang menjajakan daganganya di pasar dan nelayan melaut mencari ikan. Tarumanagara kembali berbenah setelah pasukan Sriwijaya meninggalkan markas mereka, semantara di dalam istana Tarumanagara, Prabu Linggawarman kedatangan tiga orang tamu, pertama seorang sinse bernama Li Sizen berasal dari Tiongkok yang  menawarkan cara pengobatan  menggunakan metode tusuk jarum, sebagai seorang Raja yang gemar mempelajari ilmu pengetahuan tentu saja metode pengobatan baru itu sangat menarik perhatiannya.

Tamu ke dua bernama Kim Myeong dari Negara Goryeo, dia merupakan juru masak terkenal dengan aneka cita rasa unik dan yang terakhir seorang tukang cukur dari Negara Hindustan bernama Razep Govinda.

“Jadi maksud kedatangan kalian ke negri Taruma untuk mengabdi pada ku?”

“Benar sekali Paduka,” kata ke tiganya serempak. “Bagaimana menurut mu paman Rajendra?”

Rakeyan Kanuruhan Rajendra tampak menghaturkan sembah sebelum menjawab.

“Hamba Paduka, baiknya kita adakan pembuktian dari keahlian mereka sebelum paduka mengambil keputusan.”

“Hem…, usulmu bagus paman Rajendra.” “Hamba paduka,”

“Bagaimana dengan yang lain?”

“Apa yang diusulkan kakang Rajendra sangat bagus, Gusti Prabu.” Sembah Senapati Perkutut Kapimonda diamini oleh seluruh bangsawan Tarumanagara.

“Baik, kalian ber tiga sebelum diterima menjadi bagian Tarumanagara aku titahkan menunjukan bakat kalian masing-masing.”

“Hamba paduka.”

“Rahardian Tarusbawa, persiapkan segala sesuatunya.”

“Baik, ayahanda Prabu.” Sembah Rahardian Tarusbawa kemudian memerintahkan prajurit Tarumanagara mempersiapkan sebuah panggung di sebelah timur alun-alun Kedaton Tarumanagara, panggung itu digunakan sebagai tempat dimana ke tiga orang dari kite nagari menunjukan ke ahliannya masing- masing. Di atas balkon istana Prabu Linggawarman didampingi permaisuri dan para pembesar Tarumanagara siap menyaksikan apa yang akan dibuktikan oleh ke tiga orang tersebut.

“Sinse Li Sizen apa yang akan kau buktikan?”

kata Rahardian Tarusbawa.

Sebelum menjawab sinse Li Sizen tampak menangkupkan ke dua telapak tangan di depan dada sebagai penghormatan.

“Tolong sediakan wo’ orang yang tidak bisa berjalan.”

“Baiklah.” Rahardian Tarusbawa layangkan pandangan pada semua penduduk kotaraja Tarumanagara yang pada kesempatan itu hadir di alun-alun.

“Para kawula Tarumanagara adakah diantara keluarga kalian yang tidak bisa berjalan karena sakit atau sebab lain?”

“Keluarga hamba Rahardian,” sela seorang lelaki

paruh baya.

“Tolong bawa ke sini,” “Baik Rahardian.”

Tidak menunggu lama, dari kerumunan menyeruak laki-laki paruh baya tadi dengan menggendong seorang pemuda usia belasan tahun, wajah pemuda itu pucat dengan pandangan kosong.

“Anak hamba ini sudah lima tahun tidak bisa berjalan setelah terjatuh dari pohon kelapa,”

“Bagaimana Sinse?”

“Wo’ akan mencobanya tuan.” “Silahkan.”

Sinse Li Sizen pandang sebentar pemuda yang ada di atas usungan dengan saksama, dari balik jubah lengan panjangnya sebuah kantung kulit dikeluarkan kemudian diletakan di atas meja bundar, jari jemari tabib dari Tiongkok itu tampak meraba beberapa benda yang terselip di dalam kantong kulit, sebuah jarum sepanjang satu jengkal kini tergenggam di tangan kanannya, kembali sinse Li Sizen pandang pemuda berwajah pucat tersebut dengan saksama, tubuhnya kini berada di belakang sang  pemuda  perlahan tusukan jarum panjang itu di pinggang bawah sang pemuda.

“Gerakkan kaki ni’ sekarang.”

Sungguh ajaib, bukan saja kaki pemuda itu dapat bergerak bahkan kini bisa berjalan dan berlari, wajah pucatnya tampak  berseri  ada  warna  kehidupan terpancar dari ke dua matanya, semua yang hadir di alun-alun tersebut berdecak kagum begitu pun sang Baginda Raja Linggawarman, Raja Tarumanagara itu sampai berdiri dari kursi sambil bertepuk tangan di ikuti semua orang yang berada di alun-alun.

“Luar biasa sekali sinse, aku terima manjadi tabib

istana Tarumanagara.”

“Xie’xie’ baginda raja.”

“Selanjutnya, kau Kim Myeong, apa yang akan

kau persembahkan?”

“Saya akan memasak sesuatu yang istimewa buat

baginda raja.”

“Silahkan,”

Setelah bahan-bahan yang di minta Kim Myeong tersedia, dengan cekatan pemuda asal  negeri  gingseng itu mulai meramu dan meracik makanan istimewa yang nantinya di cicipi oleh sang Baginda Raja Linggawarman, hampir sepengunyahan kinang akhirnya masakan yang dibuat Kim Myeong siap dihidangkan.

“Silahkan dicicipi Baginda.” “Tunggu.”

“Ada apa tuan Tarusbawa?”

“Kim Myong, silahkan kau cicipi terlebih dahulu,”

Kim Myong makpum, di negerinya sendiri hal itu lumrah, sebelum makanan dimakan seorang Raja ada seorang juru cicip yang terlebih dahulu mencoba masakan tersebut, maka dengan yakin menggunakan sebuah sumpit dijumputnya masakan tersebut kemudian dimasukan ke dalam mulutnya, tak berapa lama kepalanya mengangguk.

“Makanan ini layak, silahkan Baginda.”

Prabu Linggawarman tanpa ragu mencicipi masakan yang terhidang dihadapannya, wajah raja Tarumanagara itu tampak sumringgah.

“Apa nama masakan ini Kim Myong?” “Gulai bebek peking Baginda Raja,”

“Aku puas dengan hasil kerja mu.” “Terimakasih Baginda.” Prabu Linggawarman mengangguk kemudian memberi isarat pada Rahardian Tarusbawa untuk melanjutkan pendadaran pada peserta terakhir.

“Razep Govinda, sekarang giliran mu.”

Pemuda dengan daster khas negri Hindustan itu tampak merangkapkan ke dua telapak tangannya di depan dada, kepalanya tampak bergoyang ke kanan dan ke kiri.

“Aca-aca…, saya lihat rambut baginda sudah

waktunya dirapihkan.”

“Tunggu Razep Govinda, apa kau tahu resikonya jika sang Baginda Raja tidak berkenan dengan hasil karya mu?”

“Saya paham tuan Tarusbawa,”

“Baik, sebelumnya ada seseorang yang akan menemani mu,” sela Rahardian Tarusbawa kemudian menantu prabu Linggawarman itu bertepuk tiga kali dan dari sudut alun-alun menyeruak seorang tinggi besar bertopeng kayu membawa sebilah pedang pajang berdiri di samping Razep Govinda.

“Kau sudah siap, Razep Govinda?” “Aca-aca…, siap tuan Tarusbawa.” “Kerjakan….”

Razep Govinda mengangguk, seperti yang dilakukan sinse Li Sizen dari balik jubah lengan bajunya sebuah kantong kain berwarna hitam dikeluarkan kemudian pelalatan cukur itu dihamparkan di atas meja bulat.

“Maapkan saya, rambut Baginda saya pegang.” “Lanjutkan saja, Razep Govinda.”

Pemuda Hindustan itu mengangguk, kemudian mulai melaksanakan pekerjaannya. Hampir sepenanakan nasi Razep Govinda menyelesaikan karyanya.

“Sudah selesai Baginda,”

“Ambil tempayan, aku ingin memastikan hasil

kerja mu.” Seorang emban tergopoh membawakan sebuah tempayan berisi air, untuk melihat wajah sendiri di kala itu sebelum ditemukannya cermin masih menggunakan media air, sang Prabu Linggawarman melongokkan wajahnya ke dalam tempayan, sang algojo dengan pedang panjangnya tampak mengangkat senjatanya tinggi-tinggi, semua kawula Tarumanagara menarik napas dalam, semua orang dihinggapi rasa khawatir aroma kematian menggantung di udara begitu wajah Prabu Linggawarman berkernyit melihat bayangan wajahnya sendiri di air.

Mendadak Raja Tarumanagara itu mengangkat tinggi-tinggi tangan kanannya, sang algojo siap menjalankan perintah begitu jempol kanan Sang Raja mengarah ke bawah pedang panjang itu siap menuntaskan tugasnya, detik berikut jempol Sang Raja teracung ke atas, napas lega terdengar dari semua orang yang hadir di alun-alun.

“Kalian bertiga lolos, mulai hari ini menjadi bagian dari Tarumanagara.”

“Xie’-Xie’  baginda….”

“Terimakasih, baginda.”

Jawab ke tiga nya berbarengan, Baginda Raja Linggawarman mengangguk kemudian berlalu meninggalkan alun-alun kembali ke istananya. Sang Baginda tidak pernah tahu keputusannya merekrut ke tiga orang kite nagari itu satu ketika berbuah petaka[] Perjalanan Panjang Meniti Asa

Dini hari nan kelam, di langit rembulan pucat timbul tenggelam disaput mega-mega udara begitu dingin mencucuk persendian manakala kuda yang ditunggangi Udayana dan keponakannya Udaka sampai di pinggiran sungai Ciaruteun yang merupakan anak sungai Citarum juga tapal batas Kerajaan Tarumanagara di wilayah selatan.

“Udaka bagunlah,” gumam Udayana sembari mengguncang tubuh keponakannya, bocah berusia lima tahun itu sesaat menggeliat dan membuka ke dua matanya. “Paman kita ada dimana?” “Sungai Ciaruteun, Udaka.”

“Kita mau kemana paman?” “Menyeberangi sungai ini.”

“Saya belum bisa berenang paman,”

“Maka dari itu kita harus mencari sampan,”

“Naik sampan, tapi mana sampannya paman?”

Udayana menarik napas dalam, disapunya keadaan sekeliling dengan matanya hanya rimbun pepohonan dan gemuruh air sungai yang terdengar, mendadak sekelebatan bayangan telah berada di samping kananya, seorang bercadar hitam tampak berdiri tiga langkah di hadapannya.

“Tidak usah takut kakang Udayana, ini saya Benanda.”

“Adi Benanda,”

“Benar kakang, Niluh Arundaya anak saya merengek terus ingin bertemu dengan Udaka,” kata Senapati Benanda disusul munculnya seorang bocah perempuan berusia empat tahun dari belakang sebuah pohon, bocah perempuan itu langsung menghampiri Udaka yang dibantu pamannya turun dari atas punggung kuda.

“Udaka kenapa pergi tidak bilang-bilang?”

“Saya juga tidak tahu Arundaya, tiba-tiba paman

Udayana menggendong saya ketika masih tidur.”

“Udaka jangan pergi…,” rengek Niluh Arundaya, bocah perempuan itu erat memegang lengan baju Udaka, Senapati Benanda dan Udayana hanya mampu menarik napas panjang  sekadar  menawarkan  gejolak perasaannya masing-masing, semburat jingga mulai tampak di ufuk timur, kicau prenjak ramai di dahan pohon kapuk.

“Waktunya semakin sempit kakang Udayana, di gerumbul semak itu sebuah sampan sudah saya

siapkan.” “Terimakasih adhi Benanda, ayo kita berangkat Udaka.”

Niluh Arundaya hanya mampu memandang sedih ketika Udaka dan pamannya Udayana sudah berada di atas sampan, bocah perempuan itu tiba-tiba menghambur ke pinggir sungai dan langsung menggenggam tangan Udaka.

“Udaka jangan pergi…,” rengek bocah perempuan

ini pilu.

“Arundaya, ayo kita pulang kasihan ibundamu sendirian di rumah,” bujuk Senapati Benanda, bocah empat tahun itu akhirnya beringsut menjauh tepi sungai, namun sebelum pergi sebuah kotak hitam sempat diberikannya pada Udaka. Niluh Arundaya melepas kepergian Udaka dengan uraian air mata, pikiran polos bocah itu masih belum mengerti mengapa Udaka harus pergi meninggalkan dirinya.

“Ayahanda kenapa Udaka pergi?”

“Sudahlah Arundaya, mari kita pulang.”

Bocah itu hanya mengangguk lemah, sekali lagi pandanganya diarahkan ke tepi sungai kemudian dirasakannya dirinya dinaikan di punggung kuda lalu melesat menembus sisa kabut pagi menju kota raja Tarumanagara.

**

Setelah menyeberangi sungai Ciaruteun Udayana dan Udaka menyusuri aliran sungai ke arah selatan, sepanjang perjalanan terbentang bulak-bulak dan hutan kecil, ketika mata hari semburat diantara dedaunan perjalanan dirasakan mulai berat  sebab  harus  naik turun daerah perbukitan.

“Paman saya lelah.”

“Baiklah kita istirahat sebentar,” kata Udayana lalu mengajak Udaka duduk di bawah pohon di tepi bulak.

“Paman kita mau kemana?” aman.” “Kemana saja Udaka, mencari tempat yang

“Apakah rumah kita sudah tidak aman paman?” “Kerajaan kita akan perang, Udaka.”

“Perang?”

“Ya, makanya ayahanda mu meminta paman untuk menyelamatkan dirimu.”

“Kenapa ayahanda dan ibunda tidak ikut dengan kita, paman?”

“Ayahandamu itu seorang prajurit Tarumanagara, jadi sudah tugasnya membela tanah airnya.”

“Apakah saya bisa ketemu lagi dengan ayahanda dan ibunda?”

“Tentu Udaka, setelah keadaan Tarumanagara

aman.”

Udaka hanya mengangguk, bocah lima tahun itu

kemudian bangkit dari duduknya.

“Kau sudah siap melanjutkan perjalanan Udaka?” “Iya, paman.”

“Bagus,  mari kita tinggalkan tempat ini….”

Udaka kembali mengangguk, setelah membereskan perbekalan ke duanya kembali mengayunkan langkah menembus lebatnya hutan.

**

Padepokan Ciampea meremang dilamun kabut pagi hari, padepokan yang terletak di atas sebuah bukit itu senantiasa ramai dengan aktifitas para cantrik- cantriknya yang giat berlatih di bawah bimbingan seorang guru yang juga perwira Kerajaan Tarumanagara, pada kesempatan itu Senapati Perkutut Kapimonda sebagai guru besar padepokan Ciampea sedang memperagakan jurus-jurus baru yang langsung diikuti seluruh anak muridnya.

“Cukup sekarang dengarkan pelajaran

selanjutnya,” kata Senapati Perkutut Kapimonda, lelaki gagah berbadan tegap itu tampak duduk di atas sebuah batu pipih, tangan kanannya bertumpu pada sebuah tongkat akar sedang puluhan muridnya bersila membentuk lingkaran.

”Jurus silat sunda buhun yang kalian pelajari ini masih tahap dasar, namun sebagai calon prajurit Tarumanagara perkembangan kalian sudah sangat maju sebab syarat menjadi prajurit Tarumanagara setidaknya harus menguasai jurus sunda buhun tingkat tiga.”

“Guru boleh saya bertanya?” “Silahkan Caraka.”

“Ada berapa tingkatan dalam sunda buhun?” “Mendiang guru besar kita eyang Jalatunda

membagi sunda buhun menjadi sepuluh tingkatan, tapi sebelum meninggal eyang Jalatunda hanya mengizinkan tujuh tingkatan saja.”

“Mengapa demikian guru?”

“Begitu dahsyatnya aji sunda buhun tingkat sepuluh itu yang disebut aji paningalan dengan hanya menggunakan pandangan mata orang yang terkena aji ini akan lebur menjadi abu. Itulah mengapa, eyang Jalatunda hanya mengizinkan sampai tingkat ke tujuh yang disebut aji lumampah dimana orang yang kita hadapi akan terserap semua ilmunya.”

Guru besar padepokan Ciampea itu hentikan sejenak wejangannya ketika dari pintu regol muncul seorang pemuda tegap berpakian biru laut, seorang cantrik padepokan segera membawa kuda tunggangan pemuda yang baru datang tersebut ke istal di belakang padepokan.

“Matahari sudah meninggi, kalian istirahatlah.” gumam guru besar padepokan Ciampea ditunjukan pada murid-muridnya.

“Terimakasih guru,” kata semua murid padepokan Ciampea kemudian bubar melaksanakan kewajibannya masing-masing.

“Abilawa…,” panggil Senapati Perkutut Kapimonda sembari memberi isyarat pada pemuda yang baru datang itu mendekat pada dirinya, pemuda gagah baju biru laut dengan ikat kepala batik liris itu lantas mendekat, melakukan sembah lalu duduk bersila dihadapan guru besar padepokan Ciampea.

“Sembah sungkem hamba, pamanda senapati.” “Sebagai murid utama padepokan Ciampea,

harusnya kau memberi tauladan pada adik-adik

seperguruan mu, Bilawa.”

“Maapkan saya, paman guru.”

“Apa sebenarnya yang ingin kau buktikan, Bilawa?”

“Maap, maksud paman guru?”

“Menundukan perguruan-perguruan silat di

tanah Taruma, apakah itu tujuan mu?” “Bukan begitu, paman guru.”

“Lalu…,”

“Sempani.”

“Jadi itu ulahnya?”

“Saya berusaha menyadarkan nya, paman guru.”

Guru besar padepokan Ciampea, Senapati Perkutut Kapimonda tertegun beberapa kejap ditatapnya pemuda belia itu dengan saksama, lelaki paruh baya yang masih gagah itu alihkan pandangannya pada gugusan perbukitan menghijau di kejauhan, semilir angin timur sedikit mengembangkan ujung jubah putihnya.

“Bilawa, sewaktu-waktu armada Sriwijaya akan datang kembali, jika terjadi sesuatu aku titipkan padepokan Ciampea ini pada dirimu,” gumam Senapati Perkutut Kapimonda pelan membuat Abilawa tertegun dan tambah dalam menundukan kepalanya.

“Seharusnya aku mengirim mu ke Tarumanagara, sunda buhun tingkat tiga sudah kau kuasai dengan sempurna, tapi aku sudah mengambil keputusan.”

“Saya paham paman guru,”

“Bagus…,” gumam Senapati Perkutut Kapimonda kemudian berlalu meninggalkan Abilawa yang masih terpekur di tempatnya. Pemuda gagah itu masih terpekur ketika sebuah sambaran halus di pinggang menyadarkannya dari lamunan, keris miliknya raib, Abilawa terperanjat lantas lesatkan badan mengejar sosok bayangan yang berkelebat ke belakang bangunan padepokan, kejar- kejaran antara Abilawa dan sosok bayangan itu berjalan sangat seru, kadang ke duanya berloncatan diantara dahan-dahan pohon kadang menyelinap dibalik padang ilalang hingga ke duanya terhenti ketika berada di sebuah air terjun.

“Kinanti kembalikan keris ku,”

Wajah dara ayu itu tampak sumringgah tangan kananya menggenggam keris milik Abilawa, gigi gingsulnya langsung terlihat ketika tawa berderai meluncur dari bibirnya yang tipis.

“Kakang Bilawa kena marah ramanda lagi ya?” “Bukan urusan mu Kinanti, cepat kembalikan

keris ku.”

“Ambil sendiri kalau mampu, kakang…,” sela Kinanti kemudian secepat kilat kembali melesat mendaki puncak bukit.

“Anak nakal…,” geram Abilawa yang mau tidak mau kembali melesat mengejar Kinanti. Ke dua sejoli itu kembali kejar-kejaran seakan berlomba mendaki ke puncak bukit, di tanah lapang dimana padang bunga edelwis terhampar, dara ayu ini hentikan lari, bola mata Kinanti berbinar takjub menyapukan pandangannya ke seluruh bunga edelwis yang tengah mekar tersaput mentari pagi sedang Abilawa pun sudah sampai juga di tempat tersebut, secepat kilat pemuda gagah itu menyambar kerisnya yang masih digenggam Kinanti.

Dara ayu itu terpekik kaget tubuhnya limbung dan siap jatuh saat itulah satu sosok tegap merengkuh badannya, ke duanya bersitatap beberapa kejap geletar aneh merambati ke dua hati sampai ke ubun-ubun, wajah gadis itu merona saga namun segera bangkit lantas menundukan kepalanya. “Kau tidak apa-apa Kinanti?”

Dara ayu itu hanya mampu diam, wajahnya masih memerah saga sejurus kemudian berlari menuruni puncak bukit padang edelwis meninggalkan Abilawa yang terpaku kebingungan.

“Ah, marah lagi…,” gumam Abilawa yang juga hendak menuruni puncak bukit saat itulah satu sosok jangkung sudah berdiri di samping kanannya.

“Sempani, kau mengagetkan ku saja.”

Pemuda jangkung dengan gelang akar bahar di ke dua lengannya itu tampak menyeringai.

“Kian hari hubungan kalian semakin mesra saja,” gumam Sempani, setangkai bunga rumput terselip di sudut bibirnya.

“Kau jangan mengada-angada Sempani, aku dan

Kinanti hanya sebatas teman.” “Betul begitu?”

“Apa maksud mu Sempani? Jangan-jangan kau…,” “Ah, sudahlah Bilawa…, tidak usah dibahas.” “Ada apa kau menemui ku, Sempani?”

“Hari ini sasaran kita bukit Korodas,” “Kau yakin?”

“Sangat yakin, kita tundukkan perguruan bukit Korodas.”

“Baiklah,” pungkas Abilawa disambut seringai Sempani, ke dua sahabat karib itu saling membenturkan tinjunya, tawa ke duanya membahana memecah kabut pagi yang mulai tersibak matahari.

**

Bukit itu sangat terjal dengan tingkat kemiringan hampir Sembilan puluh derajat, dikelilingi tebing-tebing padas yang sangat keras juga tonjolan bebatuan berlapis lumut licin dipastikan tidak ada seorang pun yang mampu mendaki bukit itu sampai  ke  puncak,  namun apa yang kita kira mustahil ternyata tidak berlaku terhadap orang-orang ini, hanya menggunakan seutas tali dari rotan orang-orang itu begitu lincah meniti terjalnya bebatuan padas, tubuh mereka laksana seekor kera melesat dari batu yang satu ke batu yang lain hingga tidak memerlukan waktu lama pertengahan bukit karang terjal itu sudah mereka lampaui, di sebuah punggung bukit yang agak landai orang-orang ini hentikan gerakannya.

“Konying, kau selidiki situasi.” “Baik ketua,”

Konying merangkak perlahan meniti bagian tebing landai menggunakan seutas rotan badannya mengayun diantara tumbuhan perdu detik berikut Konying sudah berada di celah dinding tebing, di depan sana sekitar lima meter sebuah lapangan rumput terhampar luas dengan panorama tebing-tebing menjulang, di sisi sebelah timur tampak sebuah rumah panggung besar sedang di sebelah barat bangunan serupa namun lebih panjang dengan atap daun ilalang berdiri dengan kukuh, di halaman depan sekitar tiga puluh orang telanjang dada memakai ikat kepala merah sedang berlatih olah kanuragan dibimbing seorang lelaki kekar bernama Rangrang Geni, mendadak ketua perguruan bukit Korodas itu hentikan gerakannya, masih dalam sikap sempurna sebuah teriakan meluncur dari bibirnya.

“Keluar, tidak usah bersembunyi seperti kecoak…!”

Belum kering kalimat Rangrang Geni dari berbagai arah berkelebat puluhan orang membentuk pormasi lingkaran mengurung anggota perguruan bukit Korodas di tengah-tengah, dari dalam lingkaran menyeruak dua orang pemuda bertampang gagah, salah seorang pemuda berbadan jangkung hentikan langkah tiga tindak di hadapan Rangrang Geni.

“Sempani…,”

“Hahaha…, bagaimana keputusan mu Rangrang

Geni?” “Jawaban ku masih sama, Sempani.”

“Hemm, baiklah…,” gumam Sempani sambil

berputar mengelilingi Rangrang Geni.

“Serang…!”

Tanpa menunggu aba-aba dua kali puluhan anak buah sempani langsung menyerang anak murid perguruan bukit Korodas, pertempuran tidak bisa dihindari lagi dalam beberapa detik korban dari ke dua belah pihak berjatuhan, suasana sepi bukit Korodas sontak hingar-bingar jerit kesakitan dan bunyi dentingan senjata tajam terdengar silih berganti.

Golok di tangan Sempani berkelebat cepat mengincar titik lemah Rangrang Geni yang menggunakan senjata trisula, pemuda jangkung itu rupanya menginginkan pertarungan cepat sementara Abilawa dengan pedangnya berjibaku melawan anggota perguruan bukit Korodas. 

“Menyerahlah Rangrang Geni,”

“Kau bicara saja dengan trisula ku, Sempani!”

Pertarungan antara Sempani dan Rangrang Geni semakin seru, dua orang musuh bebuyutan itu saling serang, saling tusuk dan saling tendang, jual beli jurus berlangsung cukup alot,  sambaran  trisula  Rangrang Geni membentuk jurus swastika membeset atas bawah kiri dan kanan, golok Sempani bergetar hebat ketika ke dua senjata itu saling beradu. di langit gelegar halilintar memekakan telinga tak lama hujan mengguyur arena pertempuran dengan lebat,  lambat laun daya tahan tubuh Rangrang Geni mulai kendor, hal itu tidak disia- siakan oleh Sempani dalam sebuah kesempatan jatuhan tumit melanda kepala Rangrang Geni hingga ketua perguruan bukit Korodas itu terjatuh, belum sempat bangun sebuah tendangan melanda dada Rangrang Geni hingga tubuhnya terpental  dan  ambruk  di  tanah, sesuatu yang teramat dingin dirasa menempel di pangkal lehernya.

“Aku menyerah, Sempani.” “Hentikan pertempuran, guru kalian sudah menyerah…!” teriak Sempani.

Sontak pertempuran di tengah guyuran hujan itupun berhenti, sosok Rangrang Geni yang sudah menyerah digiring Sempani dan Abilawa memasuki teras bangunan utama sedang  beberapa anak  murid perguruan bukit Korodas menjelepok di tanah dibawah ancaman senjata anak buah Sempani.

“Mulai saat ini perguruan bukit Korodas menjadi milik ku, mengerti kau Rangrang Geni?”

“Aku mengerti, Sempani.”

“Bagus, jadi kapanpun aku butuhkan kau dan seluruh anggota mu harus siap.”

“Maksud mu?”

“Masih ada beberapa perguruan yang akan aku

tundukan, kau harus membantu ku.” “Baiklah, Sempani.”

“Bagus.”

Begitulah, kelompok Kebo Sempani menundukkan beberapa perguruan silat yang berada di bumi Tarumanagara, yang menyerah diampuni tapi yang membangkang langsung  dimusnahkan. Sayangnya, dalam melakukan aksinya tidak jarang kelompok Kebo Sempani itu meminta kebutuhan hidup berupa beras, ternak dan bahan pangan lainnya pada para warga perkampungan yang dilewatinya. Aksi Kelompok Kebo Sempani yang meresahkan itu akhirnya terdengar sampai ke pusat pemerintahan Tarumanagara.

**

dua bulan kemudian Udayana dan Undaka memasuki sebuah perkampungan di kaki pegunungan Salak, hawa di situ begitu sejuk menyegarkan, kampung subur itu bernama Gelino, Udayana memutuskan mendirikan gubuk di salah satu lerengnya.

“Nah Udaka, aku rasa tempat ini cocok dijadikan

tempat tinggal.”

“Betul paman Udayana, segar sekali udara di daerah ini,”

“Yahh, tentu saja Udaka, sebab tempat ini berada

di lereng pegunungan Salak.”

“Jadi Gunung ini bernama Salak paman

Udayana?”

“Betul Udaka,”

“Ayoh…, kita membersihkan badan di curuk itu.” “Baik, paman.”

Tanpa membuka baju, Udaka langsung menjeburkan diri ke dalam sungai jernih dibawah air terjun, orang sekitar perkampungan Gelino mengenalnya dengan nama curuk Cibeureum, bocah lima tahun itu begitu gembira berenang ke sana ke mari, sesekali menyelam kemudian timbul ke permukaan sembari menyemburkan air dari mulutnya, Udayana hanya terseyum melihat kegembiraan ponakannya itu.

“Kakang mbok Supita, kakang Rajendra bagaimana keadaan kalian, semoga saja kita bisa berkumpul kembali,” gumam Udayana.

Setelah membersihkan badan, Udayana dan Undaka bahu membahu membuat gubuk dimana untuk sementara waktu mereka akan menetap sampai keadaan kotaraja Tarumanagara kembali normal seperti sediakala, mereka tidak pernah tahu, bagaimana satu ketika tanah moyangnya akan jatuh ke tangan pasukan Sriwijaya dan menjadi Negara jajahan Kerajaan besar tersebut.[]

Api Sekam Mulai Berkobar Hari masih terang-terang tanah, kicau kenari di ranting pepohonan menyemarakan suasana pagi, sisa embun semalam menggantung di pucuk-pucuk daun kemudian luruh seiring semburat sinar mentari.

Beberapa orang berjubah putih tampak memetik beberapa tangkai bunga anggrek, jari-jemari tangan orang berjubah putih itu tampak menghitam, mungkin karena bunga anggrek yang mereka petik itu anggrek langka dan sangat beracun tapi dengan enaknya mereka memetik bunga tersebut dengan tenang, seorang pekerja terkapar, dari mulutnya menyembur busa, orang itu keracunan, beberapa prajurit Tarumanagara segera membawanya ke sebuah bangunan, seorang lelaki bermata sipit muncul dari balik pintu.

“Baringkan di atas balai,” gumam lelaki itu

tenang.

Empat orang prajurit Tarumanagara segera membaringkan orang tersebut di atas balai panjang dari kayu, lelaki mata sipit segera memegang urat nadinya, ada tiga titik berwarna hitam pada pergelangan orang yang keracunan itu, dari balik lengan jubahnya sebuah jarum panjang dikeluarjan dan dengan sangat hati-hati ujung jarum tersebut ditusukkan tepat dibagian pelipis, jarum panjang itu tembus masuk tak tersisa.

“Bawa dia ke ruang pemulihan,”

Kembali ke empat prajurit Tarumanagara mengangkat tubuh pekerja tersebut dan membawanya keluar dari dalam bangunan bersamaan dengan masuknya dua orang lelaki.

“Kim Myong, Razep Govinda, sudah wo katakana jika tidak dipanggil kalian jangan datang ke tempat ini.”

“Kau tenang saja sinse, kami datang membawa

khabar baik,” sela Kim Myong acuh.

“Khabar baik apa?”

“Kondisi Baginda Raja Linggawarman mulai menurun,” bisik Kim Myong. “Bagaimana dengan kerabat keraton yang lain?” “Begitu mereka meminta ku mencukur

rambutnya, saat itulah ramuan yang kau berikan itu masuk melalui kepala tanpa disadari,” ujar Razep Govinda.

“Bagus, pertahankan kondisi ini sampai ada

komando dari Sriwijaya.”

“Baik, kalau begitu kami pamit.”

“Lekaslah pergi, jangan sampai seorangpun tahu

kedatangan kalian.”

“Baik….”

Kim Myong dan Razep Govinda tampak mengamati sekeliling, begitu dirasa aman ke duanya berkelebat meninggalkan kediaman sinse Li Sizen, disaat bersamaan berkelabat satu sosok lain menebar bau wangi, seorang dara jelita baju merah kembang-kembang sudah berada di samping sinse Li Sizen.

“Chao-Xing ada apa kau kemari?”

“Bo’ bo Li siapa mereka?” balik bertanya Chao- Xing. “Mereka teman bo’bo.”

“Bo’bo kami memerlukan lebih banyak ekstrak la’n hua’.”

“Baik nanti seseorang akan menemui mu Chao- Xing.” “Baik bo’bo.”

Dara jelita baju merah kembang-kembang mengangguk tak  lama  sosoknya  berkelebat meninggalkan harum tubuhnya, sepeninggal keponakannya sinse Li Sizen masuk ke dalam bangunan yang berada di ujung gedung utama, di dalam bangunan itu beberapa orang sudah berkumpul menunggu kedatanganya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar