Dewi Penyebar Maut Eps 13

Dewi Penyebar Maut Eps 13

1. TARA

KI MAHENDRA melompat tiga langkah. Ni Sinom telah berada di sampingnya ketika ia menjejakkan kaki di ta- nah.

“Aku yang melihatnya lebih dahulu!” dengus Ni Si- nom.

“Apa?” tukas Ki Mahendra. “Ya benda itu!”

Ni Sinom menuding ke arah titik hitam besar yang meluncur menggores langit kemerahan di atas sana. Mereka jelas belum tahu bahwa titik hitam itu adalah tubuh Tara, yang sengaja melontarkan dirinya terjun ke Jurang Grawah itu. Atas bisikan suara yang tak dike- nalnya. Dan juga sebagai cara agar ia tak dipergunakan oleh musuh-musuhnya untuk mengkhianati pergu- ruannya.

“Ya. Tapi siapa pun yang mendapatkannya belum ke- tahuan, bukan? Eh, lihat itu. Ada satu jatuh lagi!” Tiba- tiba Ki Mahendra berpaling dan menuding ke bagian be- lakang mereka.

“Mana?” Ni Sinom ikut berpaling. Tetapi ia terkejut. Rupanya Ki Mahendra telah menipunya. Saat ia berpa- ling, didengarnya tubuh Ki Mahendra melesat lepas.

“Curang kau!” jerit Ni Sinom gemas. Cepat ia memu- tar kaki dan melompat sekaligus menendang dengan kekuatan dahsyat pada pohon besar di sampingnya.

Tubuhnya meluncur pesat sekali ke arah tubuh Tara yang masih merupakan titik hitam di ketinggian itu. Namun mendadak kakinya terasa panas, dan ia terpak- sa berjumpalitan menghindar.

“Kurang ajar!” desis Ni Sinom. Ternyata Ki Mahendra telah mencoba menghalanginya dengan melancarkan sebuah pukulan penghadang. Hampir Ni Sinom terjeru- mus ke dalam rimbunan ranting-ranting sebuah pohon raksasa. Dengan geram ia merenggut dua genggam daun dan melontarkannya ke arah di mana kira-kira Ki Mahendra berada. Dan ternyata ‘serangannya’ itu me- ngena. Terdengar di arah sana Ki Mahendra membentak marah. Tapi Ni Sinom tak melihatnya lagi. Ia telah mele- sat kembali menyongsong tubuh Tara.

“Ya ampun! Itu manusia!” seru Ni Sinom.

Memang. Kini Tara sudah tinggal beberapa depa di atasnya, hingga terlihat jelas itu tubuh manusia.

“Laki-laki, lagi! Jangan sentuh!” Terasa sambaran angin saat Ki Mahendra meluncur di sampingnya.

“Enak saja!” seru Ni Sinom, tak berpikir panjang lagi melontarkan pukulan Bindi-Saketi ke arah sosok tubuh Tara.

“Ooops!” Ki Mahendra yang sudah siap menyambar tubuh Tara terkejut. Hantaman Ni Sinom membuat Tara terpental naik lagi. Ki Mahendra tak kurang akal. Ia memutar tubuh dan dengan kepala di bawah ia menju- lurkan kaki untuk menggaet sasaran. Ia menjerit. Sam- bil lewat Ni Sinom telah ‘menusuk’ kaki Ki Mahendra dengan dua buah jari tangannya.

“Curang!” teriak Ki Mahendra geram. Tanpa sungkan lagi ia menghantam dengan pukulan dahsyatnya.

“He! Bisa hancur dia!” jerit Ni Sinom. Ia memutar tu- buh di udara. Kakinya menggaet tubuh Tara, sementara kedua tangannya menangkis hantaman Ki Mahendra.

“Arggghhh!” terdengar dua jeritan sekaligus. Baik Ni Sinom maupun Ki Mahendra terempas saat kekuatan mereka saling berbenturan.

Tapi sebelum mereka roboh ke tanah, mereka sem- pat bersamaan meluncurkan pukulan ke arah Tara hingga tubuh lemas pemuda itu kembali melambung.

“Gila! Kau sungguh-sungguh menghantamku!” pekik Ni Sinom.

“Gemas aku! Gemas aku! Kau yang menjegalku!” te- riak Ki Mahendra.

“Pokoknya kau minggir!” Tiba-tiba Ni Sinom meninju dada Ki Mahendra sambil melompat mundur. Ternyata pada saat yang sama Ki Mahendra juga menghantam dan melompat ke samping pula.

“He. Gerakan kita sungguh indah!” teriak Ki Mahen- dra. “Kakang Megatruh pasti iri melihat ini. Coba sekali lagi!”

“Nanti saja!” Tubuh Ni Sinom telah berada di atas dahan dan kini melesat menyambut Tara.

“Heeeee! Tunggu aku!” Ki Mahendra tak mau kalah.

Ikut meloncat tinggi.

“Biar aku yang menangkapnya!” teriak Ni Sinom. “Aku!” balas Ki Mahendra.

Gerak memutar Ki Mahendra seakan menjauh. Te- tapi saat Ni Sinom sedang akan menjulurkan tangan untuk menangkap Tara, tahu-tahu Ki Mahendra sudah ada di dekat situ, dan menjulurkan kakinya, serta ber- hasil menendang Tara mental ke atas.

“Kurang asem!” desis Ni Sinom dan kembali tubuh- nya berputar di udara untuk meluncur naik. Kali ini ia benar-benar kalah selangkah dari Ki Mahendra. Tangan si gundul berjenggot lebat itu berhasil mencekal kaki ki- ri Tara.

“Kena!” teriak Ki Mahendra.

“Belum!” jerit Ni Sinom. Dari tangannya mendadak meluncur selendang yang biasa dibelitkan di pinggang- nya. Dengan hentakan bertenaga, ujung selendang membelit pinggang Tara dan merenggutnya dari pega- ngan Ki Mahendra.

“Curang!” teriak Ki Mahendra.

Tapi terlambat. Ni Sinom menyusulkan sebuah ten- dangan dahsyat hingga mau tak mau Ki Mahendra menghindar dan tangan kiri Ni Sinom berhasil merang- kul Tara kini.

“Aku yang dapat!” teriak Ni Sinom, mendarat di seba- tang pohon besar dan siap-siap untuk mempertahankan miliknya itu.

“Aaaa, tapi kau curang! Kau pakai selendang! Gemas aku!” Di bawah pohon Ki Mahendra membanting kaki geram.

“Pokoknya aku yang dapat!” tukas Ni Sinom.

“Iyalah! Iyalah! Kali ini kau menang!” Ki Mahendra bersungut-sungut. “Ayo. Sekarang lepaskan lagi dia. Bi- ar kita berebut menangkapnya lagi. Kali ini tidak boleh memakai alat apa pun!”

“Lepaskan dia?” Ni Sinom memperhatikan orang yang dirangkulnya itu. Seorang pemuda. Kurus. Ping- san. Wajahnya tampak menderita.

“Iya. Coba lemparkan ke atas kan terbang lagi,” kata Ki Mahendra.

“Terbang? Kamu kira ini apa?” “Burung?” tanya Ki Mahendra lugu.

“Burung gundulmu!” Ni Sinom melemparkan Tara ke Ki Mahendra dan melompat turun.

“Eh... bukan burung, ya?” Ki Mahendra memeriksa tubuh Tara. “Ini kok seperti... seperti...”

“Kau kenal?” tanya Ni Sinom heran. “Seperti manusia!”

“Kurang asem! Jelas ini manusia!”

“Lha... tadi kok terbang? Apa adat orang daerah sini, ya?”

“Bukan terbang. Pasti ia jatuh dari atas sana.” “Aku yakin itu.”

“Apa?”

“Kalau jatuh pasti dari atas. Kalau dari bawah na- manya bukan jatuh!”

“Nggak nanya!” Ni Sinom membungkuk memeriksa Tara dengan teliti. “Aneh. Anak ini kuat sekali!”

“Kok tahu?”

“Raba denyut nadinya. Tetap tenang dan teratur. Seolah ia tahu akan menghadapi bahaya dan telah me- lindungi dirinya.”

“Ah. Itu hanya karena pengaruh dirimu, istriku.” “Kok?”

“Kamu memang biasa membuat tenang orang. Se- perti aku... kalau ketakutan kupegang tanganmu dan aku jadi tenang.” Ki Mahendra tertawa.

“Sudah. Coba kausadarkan dia. Aku akan mencari beberapa ramuan obat!”

“Caranya bagaimana?” teriak Ki Mahendra. Tetapi Ni Sinom telah pergi. Ki Mahendra mengangkat bahu. Dengan kasar dibalikkannya tubuh Tara. Kemudian ce- pat sekali tangannya memijit, mengurut, dan menusuk dengan ujung jari di berbagai tempat di punggung Tara.

Bagi Tara itu adalah pengalaman yang sangat tak terlupakan. Mula-mula mendadak sekali ia sadar. Ke- mudian terasa seluruh tubuhnya bagaikan dijalari se- rangga-serangga berkaki seribu. Belum sempat ia sepe- nuhnya sadar apa yang terjadi, ia menjerit keras. Di da- lam tubuhnya kini seolah dipenuhi jarum yang mengalir di seluruh pembuluh darahnya, memberinya rasa pe- das, perih, dan pedih. Kemudian disusul oleh rasa pa- nas. Tara menjerit keras. Sayup-sayup ia mendengar suara orang tertawa. Tetapi siksaan di tubuhnya terus berlangsung. Hawa panas itu kini bagaikan berkejaran di dalam rongga tubuhnya. Perutnya serasa melem- bung. Melembung. Dan meledak! Tak terasa Tara me- muntahkan segumpal cairan hitam. Kemudian ia me- rasa sesuatu dituangkan ke dalam mulutnya. Rasanya sangat pahit. Ia berontak akan memuntahkannya lagi. Tetapi sebuah tangan yang kuat membuat mulutnya terkatup. Dan cairan itu meluncur memasuki kerong- kongannya. Kembali perutnya bergolak panas. Kembali ia menjerit keras dan berontak. Tetapi setelah itu semua terasa sejuk. Sejuk sekali. Dan ia merasa mengantuk. Ia tertidur.

Ia terbangun oleh bau sedap sesuatu yang dipang- gang. Kebingungan Tara mengangkat kepala dan mem- buka mata.

Hari telah malam. Ia berada di antara pepohonan raksasa. Besar. Kelam. Hitam. Dan di depannya ada unggun api kecil.

Dua orang duduk di sana. Seorang lelaki tua, gun- dul, berjenggot lebat, sibuk makan sesuatu dari bara api unggun. Di depannya seorang wanita. Tampak mu- da dan segar. Cantik. Dengan rambut hitam tebal, tam- pak memandang jijik pada si tua.

Gerak mata si wanita membuat si gundul tua berpa- ling pada Tara, dan tertawa. “Hahaha... rupanya kau bangun, Le... nih, makan dulu ”

Dengan gerak yang tak terlihat tahu-tahu segumpal makanan sudah dijejalkan ke mulut Tara. Tara terlalu lemah untuk menolak, tetapi ternyata makanan itu, en- tah daging apa, terasa empuk dan manis, hingga tak te- rasa ia telah mengunyah dan menelannya.

“Enak, Le? Hayo. Bangkit, duduk sini. Kamu kan bukan anak kurang ajar, kan, yang maunya disuapi oleh orang yang lebih tua darimu?” tanya si gundul itu lagi, tanpa menoleh.

“Teri... terima kasih... Kiai   ” Tara mencoba bangkit.

Tulang-tulangnya terasa gemeretakan. Seluruh sendi- nya sakit menyengat. Tetapi dengan menahan diri ia berhasil duduk. Bersila. Dan menunduk untuk meng- haturkan sembah.

“Kiai berdua... agaknya telah... menyelamatkan nya- waku.... Hamba menghaturkan terima kasih...,” katanya terbata-bata.

“Tak usah berterima kasih, hihihihi.   Istriku ini su-

ka masak daging manusia segar... jadi ya terpaksa ka- mu kami tolong dulu... untuk nanti kami sembelih...

haha ha ”

Tara sangat kaget mendengar ini. Tetapi sekali lagi ia menghaturkan sembah.

“Nyawa hamba telah Paduka selamatkan    Sudah

selayaknya... jika hamba... kini... menjadi milik Tuan berdua,” kata Tara.

“Huh, anak muda tak punya semangat!” si wanita kini ikut berbicara. Nadanya ketus. Tetapi suara itu ter- dengar begitu merdu hingga mau tak mau Tara meng- angkat muka untuk melihatnya.

“Anak kurang ajar!” si gundul tua menukas, masih tanpa berpaling. “Berani kau memandang istriku, he?”

“Mohon ampun... bukan maksud hamba...” Cepat- cepat Tara menunduk kembali.

“Huh. Penakut! Siapa namamu?” tanya si wanita. “Hamba Uttara... dari... dari...” Tara tertegun. Ba-

gaimana kalau ini ternyata juga jebakan? Bagaimana kalau kedua orang ini sesungguhnya adalah kaki- tangan Dewi Candika yang ingin mengorek ilmunya?

“Hah. Berani kau curiga terhadap kami?” geram si gundul.

“Mohon ampun... hamba hamba baru saja lolos da-

ri musuh-musuh hamba... ampunilah kecurigaan ham- ba ”

“Huh. Jika kami musuhmu, kok enak sekali kau kami selamatkan, heh? Kalau tidak karena istriku ini suka makan manusia segar, sudah kulumat kau!” “Siapa musuh-musuhmu?” tanya si wanita tajam. “Mereka... mereka adalah para pemberontak negara.

Mereka ingin merebut kekuasaan Wilwatikta... dan... kalau Tuan berdua masih kelompok mereka... hamba mohon... lebih baik hamba Tuan bunuh sekarang juga!”

“Hahaha... kamu masih anak-anak... sudah sok setia kepada negara dan raja, he? Hehehe... dengar, soal ne- gara, sudah ada yang mengurus. Kami tak peduli siapa yang berkuasa di Wilwatikta. Jadi... kalau kamu masih ingin membela Wilwatikta, ya, naik sana, hehehe. ”

“Kulihat engkau bukan prajurit,” sela si wanita. “Memang bukan. Tetapi sedari kecil hamba dididik

untuk setia pada negara dan raja. Mohon Paduka ber- dua tidak menertawakan hamba!”

“Kami pun tak peduli kau berasal dari mana. bah-

kan sesungguhnya kami tak peduli kalau kau tadi han- cur hihihi.   Mau makan lagi?” Si gundul melemparkan

sepotong daging panggang lewat punggungnya. Tanpa melihat. Dan potongan daging itu tepat masuk ke dalam mulut Tara yang sedang terbuka untuk mengucapkan sesuatu. Si gundul tertawa geli mendengar Tara gelaga- pan karenanya.

“Ya kami tak peduli siapa musuhmu di atas sana,” si wanita berkata. “Tapi tubuhmu kuat sekali. Orang biasa paling tidak akan menderita patah tulang walaupun kami yang menyambutnya. Kau pernah berguru suatu ilmu kesaktian?”

Tara tertegun. Ia baru sadar. Mereka berdua ini me- mang pasti sangat luar biasa untuk bisa menyambut- nya tanpa cedera. Dan... sekali lagi ia ditanya tentang gurunya. Mungkin jebakan lagi?

“Hamba murid yang sangat tidak berguna.” Tiba-tiba Tara bersujud lagi. “Hamba tak ingin membuat guru hamba malu. Karenanya... mohon jangan tanyakan hal itu pada hamba lagi.”

“Gemas aku! Gemas aku!” Tiba-tiba si gundul bang- kit dan membanting-bantingkan kakinya. “Cuma tanya begitu saja kau tak mau jawab?”

“Mohon ampun, Kiai ”

“Huh. Ya sudah.” Si gundul secara mencengangkan kembali tenang dan duduk. “Cuma... kau mesti tahu...

daging yang baru kamu makan itu adalah daging kad- al!” Dan si gundul betul-betul memperlihatkan seekor kadal yang dikeluarkannya dari kantongnya dan mulai dipanggangnya di api.

Mual terasa perut Tara. Hampir saja ia muntah. Tapi segera ditahannya. Ia bersila. Mengatur pernapasan. Menenangkan perutnya yang sedang bergolak.

“Eh, caramu mengatur pernapasan sangat bagus,” tiba-tiba si wanita berseru.

“Iya... cuma... perutmu mestinya datar... hihihi ke-

kenyangan, ya?” si gundul tertawa.

Si wanita berdiri dan berjalan mendekati Tara. Tiba- tiba tangannya terjulur, mencengkeram bahu kanan Tara. Tara menjerit. Tapi terkejut. Seketika terasa selu- ruh dadanya lega. Dan hangat.

“Hmh. Gurumu cukup ahli,” kata si wanita.

“Mohon ampun bolehkah hamba tahu nama Padu-

ka berdua?” Tara jadi heran.

“Tidak boleh!” si gundul menyela.

“Agaknya perasaanmu sedang tertekan... ada pera- saan sangat sedih... ada perasaan sangat marah ada

perasaan sangat kesal...” Si wanita memandang Tara dengan pandangan sangat tajam. “Itu bukan urusan kami. Tapi jika kau mau... kau boleh menceritakannya pada kami. Tapi bukan berarti kami akan membantu- mu ”

“Jelas bukan!” si gundul menyela. “Kami paling-pa- ling akan menertawakanmu, hihi hi.... Kami sangat su- ka melihat orang menderita, lho!”

Tiba-tiba sesuatu seakan menyumbat tenggorokan Tara. Apa yang dikatakan si wanita memang sangat te- pat. Saat itu Tara terkenang akan gurunya. Betapa ia telah menerima budi begitu banyak dari Sang Guru. Si wanita seakan memancarkan kelembutan kasih sayang keibuan yang selama ini hanya diwakili oleh kasih sayang gurunya. Tapi pada saat yang sama ia juga me- rasa begitu sedih dan pedih, teringat olehnya bencana yang telah menimpa perguruannya. Dan perasaan ma- rah serta kesal saat ia ingat bahwa dirinya sangat ber- peran dalam kehancuran perguruannya itu!

Dadanya serasa akan meledak. Berbagai perasaan itu bergolak. Pandangnya nanar. Matanya mendadak gelap. Dan ia menjerit keras, “Guruuuuuu!”

Kemudian ia pingsan.

2. KAKI DAN NINI

KETIKA Tara sadarkan diri lagi, hari telah pagi. Jadi ia telah pingsan semalam suntuk.

Si gundul tua itu ada di hadapannya. Juga wanita dengan rambut hitam legam yang kini makin tak bisa diperkirakan umurnya.

“Ni, si kadal ini sudah siuman, lho! Kita hajar tidak?” tanya si gundul.

“Hus. Ya jangan! Kenapa?” tanya si wanita.

“Ugh! Bikin kesal semalaman. Semalaman dia kau- rawat terus. Padahal... suamimu kan aku, toh? Lha kok aku malah tidak kaurawat!”

“Lha kamu sakit apa?” “Lha dia sakit apa?” “Dia jelas pingsan!” “Aku... kalau aku mau sih... gampang saja pingsan!

Kau mau aku pingsan?”

“Belum. Nanti saja. Sekarang carikan air!”

“Gemas aku! Gemas aku! Aku, suamimu, kausuruh cari air? Si kadal jelek ini kaubiarkan berbaring enak- enakan? Dan dia bukan anakmu, bukan keponakanmu, bukan suamimu?”

Tara merasa tak enak mendengarkan pertengkaran itu. Susah payah ia bangkit. Dan kembali terasa kepa- lanya berat sekali. Matanya berkunang-kunang.

“Mohon ampun... hamba tak berani merepotkan Pa- duka berdua... biar hamba sendiri yang... ugh...”

Tara merasa tak kuat lagi dan roboh.

“Tuh lihat! Kau membuatnya pingsan lagi! Cepat am- bil air!” perintah si wanita.

“Iya, iya, iya!” Si gundul bergegas pergi.

“Dan tak usah main-main, ya!” Si wanita cepat me- mijit-mijit dan mengurut-urut beberapa bagian tubuh Tara. Tara segera siuman. Dan merasa segar.

“Duh, hamba akan berutang budi pada Tuan-tuan berdua... tapi... rasanya tak usah terlalu merepotkan,” katanya hampir mengeluh.

“Kau yang tak usah repot-repot berbasa-basi pada kami Aku suka kamu,” kata si wanita.

“Gemas aku! Gemas aku!” Ternyata si gundul tua itu sudah muncul, membawa belanga kecil dari tanah yang agaknya memang merupakan peralatannya. Belanga itu berisi air. “Aku tinggal sebentar dan kau sudah bilang begitu padanya. Aku buang air ini!”

“Hus, jangan. Tingkahmu seperti kakek-kakek saja.

Sok cemburu! Ayo, masak air itu!” perintah si wanita. “Hwarakadah! Buat dia?” Si gundul memiringkan ke-

palanya heran. “Kita jadi pelayannya?”

“Sudahlah. Selama dia sakit, ya. Hayo! Cepat. Se- mentara air masak, kau bantu aku memulihkan tenaga anak ini. Dia agaknya sudah punya dasar tenaga dalam yang... mirip aliran kita!”

Kata-kata si wanita yang terakhir itu diucapkannya dengan lirih. Tetapi ini didengar jelas oleh Tara. Dalam pikirannya segera berkelebat berbagai tingkah para pe- nawannya. Dewi Candika. Wara Huyeng. Nagabisikan. Juru Meya. Dan lain-lain. Mereka semua selalu berlagak bahwa mereka sealiran dengannya. Dengan tujuan un- tuk menjebaknya! Apakah kedua orang ini begitu juga?

Ia tak bisa berpikir panjang. Si wanita telah mem- buatnya terduduk, dan menempelkan kedua telapak tangan di punggungnya. Si gundul kini duduk di hada- pannya. Kedua tangannya terjulur. Mula-mula mengge- litik di bawah ketiaknya dan tertawa terbahak-bahak ketika Tara menggeliat kegelian. Tetapi setelah dibentak oleh si wanita ia pun jadi serius. Dan mereka menggu- mamkan beberapa mantra yang membuat Tara me- ngantuk.

Tara terkejut. Jangan-jangan ini cara lain untuk me- nyadap ilmunya. Cepat ia menutup diri. Tentu dengan susah payah karena dari tangan kedua orang itu me- luncur deras suatu hawa hangat yang langsung menye- lusup ke seluruh tubuhnya. Tara ingin menjerit dan ia memusatkan pikiran untuk melawannya. Melawannya! Melawannya!

“Jangan kaulawan!” terdengar suara lembut seolah di telinganya. Tetapi Tara tahu bahwa suara itu hanyalah bisikan batin si wanita yang entah bagaimana mampu menyusup ke dalam pikirannya. Suara itu begitu sejuk hingga sesaat ia mengendur. Namun mendadak arus tenaga yang dari depan, dari si gundul, membanjir menghantam. Dan seolah terdengar suara si gundul itu tertawa berlagu, “Hayo lawan, hayo lawan, jangan sam- pai tertawan! Hayo lawan, hayo lawan, jangan sampai tertawan!”

Kembali Tara ingin menjerit. Kedua tenaga itu kini tidak saling membantu lagi, tapi malah bertarung! Mau tak mau terpaksa Tara mengerahkan sisa-sisa tenaga- nya untuk melindungi diri hingga dalam tubuhnya seo- lah terjadi tiga pergolakan tenaga yang dahsyat!

Entah berapa lama Tara berada dalam siksaan itu. Sayup-sayup ia mendengar bentakan si wanita dan ta- wa si gundul. Kemudian sesuatu yang hangat masuk... melalui mulutnya.

Dan ia terkulai lemas.

“...Kamu yang bertanggung jawab!” itu suara perta- ma yang didengarnya. Suara si wanita. Perlahan Tara mengangkat kepala dan membuka mata. Remang-re- mang dilihatnya kedua orang itu berhadapan, seolah dalam kedudukan kuda-kuda untuk bertarung.

“Salahnya sendiri, kenapa ia lemah! Kalau aku, mi- salnya, tak mungkin tenaga apa pun mempengaruhiku!” kata si gundul.

“Jelas, karena tenagamu hanya untuk merusak! Ha- yo kalau kau berani, mari kita bertempur sampai seribu jurus. Aku ingin lihat apa tenagamu akan masih utuh!” bentak si wanita.

“Eh. Tunggu, tunggu, tunggu. Kalau kau membela kakakmu, aku mengerti. Dia kan kakakmu. Dan kakak iparku. Tapi kalau kau membela anak ini, apa tidak ke- terlaluan?”

“Yang jelas kau menghalangi usahaku untuk me- nyembuhkannya!”

“Gemas aku! Gemas aku!” Si gundul membanting- banting kakinya, mengorak tata kuda-kudanya. “Hanya karena anak ini kau hampir menangis. Dan itu belum pernah kaulakukan dalam seratus tahun ini!” “Ngawur! Umurku juga belum seratus tahun!” tukas si wanita.

“Belum, ya? Tapi kau hampir nangis, istriku... baik- lah, baiklah. Aku mengalah... kau boleh berbuat apa sa- ja dengan dia... asal kau jangan menangis! Dan asal kau ingat, suamimu aku. Bukan dia. Lho. Jelas kan be- danya. Rambutnya banyak, rambutku sedikit. Dia jelek, aku tampan. Dia muda... aku tak jauh berbeda, hihihi... Hayo, senyumlah, Nimas!”

“Huh!”

Si wanita hanya membuang muka dan mendekati Tara yang telah bangkit duduk.

“Namamu Tara, bukan?” tanya si wanita, duduk di depannya.

Suara itu seolah menggedor telinga Tara dan ia me- ringis kesakitan. Pikirannya serasa tumpul. Ia ingin menjawab sebaik-baiknya. Tetapi yang keluar hanyalah sepatah kata sumbang, “Ya...”

“Kau sudah sembuh. Tenagamu sudah pulih. Bebe- rapa jaringan hidup tenagamu tadinya rusak oleh ber- bagai kekuatan yang kami tidak mengerti. Tetapi itu semua sudah pulih,” kata si wanita, matanya yang hi- tam tajam terus memperhatikan mata Tara.

“Ya...,” kata Tara lemah. He. Mengapa ia tak bisa mengeluarkan semua pikirannya dalam kata-kata?

“Kau memiliki rasa ketakutan yang sangat besar, se- hingga kau mula-mula melawan tenaga kami,” kata si wanita.

“Betul, betul, betul! Dasar anak penakut. Itulah yang membuat kesembuhanmu tidak wajar! Bukan gara-gara aku, lho! Bukan!” sela si gundul yang kini jongkok di sebelahnya.

“Gara-gara kau juga!” bentak si wanita. “Hwarakadah! Masa begitu kaukatakan di depannya! Dia bisa besar kepala, lho! Lhah! Kepalaku besar tidak, ya?” Si gundul meraba-raba kepalanya sendiri.

“Dasar kau sudah kakek! Sudah pikun!” sembur si wanita.

“Dasar kau sudah nenek! Eh. Kau belum pikun ya, masih cantik lagi, hihihi ”

Mau tak mau si wanita tersenyum, namun segera berpaling lagi kepada Tara.

“Kau sembuh. Tetapi tidak sempurna. Begitulah. Ada satu hal yang ingin kami tanyakan. Kau memiliki tenaga dalam yang sealiran dengan kami. Dari mana kau bela- jar?”

“Dari dari guru,” jawab Tara berat.

“Siapa gurumu?”

“Si... siapa, ya? Guruku adalah... guruku ” Tiba-tiba

pikirannya membuntu. Si wanita menggeleng-gelengkan kepala.

“Kau begitu ketakutan hingga serta-merta kau selalu menutup diri untuk beberapa hal tertentu. Itu membuat kami tak bisa menyembuhkanmu dengan sempurna.”

“Dan itu yang terbaik, hihihi,” si gundul tertawa. “Terus terang, begitu melihat kau, aku sangat senang

padamu,” kata si wanita.

“Hwarakadah! Jangan percaya, kadal. Wanita di de- panmu ini sudah punya anak! Sudah punya suami. Aku,” kata si gundul.

“Kau mengingatkan aku pada anak kami,” kata si wanita

“Tidak mungkiiiin! Si Tantri kecil mungil, tampan, cerdas, nakal, dan kurang ajar. Tidak seperti dia!” kata si gundul.

“Jangan hiraukan dia,” kata si wanita.

“Hehehe... kalau ada Tantri di sini, siapa bisa tidak menghiraukan dia?” kata si gundul. “Kalau ada Tantri di sini, akan aku ajak dia minggat jauh darimu!” si wanita berkata kesal pada si gundul.

“Hwarakadah, jangan! Jangan! Jangan tinggalkan daku!” Si gundul sampai menyembah-nyembah di ha- dapan si wanita.

“Kalau begitu diam dulu, biar aku berbicara dengan anak ini!” Si wanita menggeserkan kaki dari sembahan si gundul.

“Baik, baik, baik. Aku diam. Aku diam!” Si gundul menutup mulutnya.

“Dengar, Tara. Karena kesembuhanmu kurang sem- purna, maka akan sangat berbahaya bila kau kami ting- galkan. Atau kau meninggalkan kami. Karenanya, ku- minta kau ikut kami. Mau?”

“Ya...” Padahal Tara akan menolak!

“Bagus. Mulai sekarang kau adalah Tole. Dan ini adalah Kaki. Aku Nini. Kau jelas?”

“Ya,” jawab Tara.

“Hwarakadah!” si gundul akan memberi komentar. Tetapi karena dilirik oleh si wanita ia kemudian berbica- ra dengan sebatang pohon di sampingnya, berbisik- bisik, “Namanya lucu-lucu, ya? Nama apaan itu? Kalau aku yang memberi nama... wuah, namaku pastilah... mmhhh... anu, Rama. Nah, kan cocok, kan? Dan istriku tentu, Sinta! Hihihi... dan anak itu? Wah. Bukan Hano- man. Terlalu bagus. Dia si kadal saja, hehehe. ”

“Kami sedang mengadakan perjalanan mencari anak kami. Ilmunya mirip kami. Jadi mirip kamu juga. Gu- rumu bukan seorang pemuda bertubuh kecil yang mirip anak kecil?”

“Ya... bukan... tidak ,” kata Tara kebingungan.

“Ah... sudahlah... hayo ikut kami, dan perlahan- lahan kami sembuhkan kau di perjalanan,” kata Nini. 3. KIAI SENDANG AMPAL

ROMBONGAN kecil itu sungguh aneh. Si Kaki yang gundul berjenggot putih sungguh usil. Jika mereka me- lewati pedesaan ada saja ulahnya hingga paling tidak mereka dikerumuni orang dan paling parah mereka di- kepung oleh pasukan keamanan—hanya karena si gun- dul ini seenaknya masuk ke dapur rumah buyut sebuah desa dan santai sekali memasukkan beberapa ekor kadal ke belanga tempat istri si buyut menyiapkan san- tap siang.

Si Nini juga menarik perhatian. Sering ia mencegah keusilan si Kaki, tetapi dengan cara yang makin mem- buat keusilan itu bertambah kacau. Saat si gundul di- kepung pasukan keamanan, misalnya, si Nini kemudian ikut membantu menangkap si Kaki. Tetapi gerakannya begitu ceroboh hingga pendapa utama desa itu satu per satu patah tiangnya dan akhirnya sama sekali roboh— tanpa si Kaki tertangkap.

Si Tole memang pendiam. Tapi justru karena terlalu pendiam ia juga menarik perhatian. Jika ia sudah dis- uruh tinggal di suatu tempat oleh si Nini, maka ia tak akan pindah tempat, apa pun yang terjadi. Saat dapur buyut yang diceritakan di atas akhirnya terbakar, maka Tole masih duduk tenang di salah satu sudutnya, dikeli- lingi oleh kobaran api. Nyaris ia hangus terbakar kalau si Nini tak ingat padanya dan kembali untuk menyela- matkannya—padahal berdua dengan si Kaki mereka te- lah lari jauh masuk ke hutan.

Sesungguhnya Tole banyak memperoleh keuntungan dari si Kaki dan si Nini. Si Nini dengan sabar mengurai- kan beberapa cara bersemadi dan menghimpun tenaga. Mula-mula untuk memancing dan memperkirakan dari mana Tole memperoleh ilmunya. Tetapi akhirnya adalah pengajaran kembali yang lebih mendalam daripada yang pernah diterima Tole alias Tara selama ini. Hanya, sua- tu hal membuat pelajaran yang diterima Tole menjadi kacau. Si Kaki tak pernah melewatkan kesempatan un- tuk mengacaukan apa saja yang diajarkan Nini pada Tole. Dari ilmu-ilmu yang dalam sampai sesuatu yang sederhana, misalnya cara menanak nasi. Anehnya Tole tak pernah merasa ditipu oleh Kaki. Apa saja yang dika- takan si Kaki, dilakukannya. Hingga jika di pagi hari pe- lajarannya bertambah, di sore hari ilmunya mundur tiga langkah karena ulah Kaki.

Hari itu.

Mereka bertiga berdiri di puncak tertinggi sebuah ja- lan. Jalan setapak di depan mereka curam menurun. Ke sebuah lembah yang membentang subur di bawah sa- na. Ada sumber air yang airnya tampak jernih dari atas sini. Dan beberapa pesanggrahan. Tampak juga bebera- pa belas orang mondar-mandir di sana. Bahkan sayup- sayup terdengar suara gamelan.

“Wah, gemas aku!” kata Kaki. “Kenapa lagi, Ki?” tanya Nini.

“Di tengah hutan seperti ini kok ada tempat yang ramai seperti itu. Ya nggak pantas, kan? Ya nggak, Tole? Tengah hutan, mestinya banyak macan, atau gandarwa peri Perayangan. Ya, toh? Paling tidak berba- gai makhluk yang menakutkan... seperti Lelepah yang suka makan daging mentah, dengan lidah terjulur sam- pai ke tanah. Atau Glundung-plengeh, tempurung kepala manusia yang menggelinding ke sana kemari sambil ter- senyum-senyum. Atau Nini Towok, wanita cantik de- ngan rambut jabrik yang suka menari turun-naik. Nah, begitu baru pantas disebut hutan rimba!”

“Kau dengar nama tempat ini dari orang desa tadi, Ki?” tanya Nini. “Ya jelas. Kupingku toh belum tuli. Berkat makan kadal sepuluh kali sehari! Hihihi!”

“Tempat ini namanya Sendang Ampal,” kata Nini. “Sudah tahu!”

“Tempat ini dijadikan pusat gerombolan perampok di bawah pimpinan Kiai Sendang.”

“Nah, begitu lebih baik. Hutan ada gerombolan pe- rampoknya, itu cukup pantas.”

“Kiai Sendang dulu sangat kejam. Siapa yang lewat, dibunuh, hartanya dirampas.”

“Bagus! Aku mau tahu apa dia mau merampas si Tole tolol ini, hihihi!”

“Tetapi akhirnya ia rugi. Walaupun ini jalan terpen- dek dan terbaik menuju Pantai Selatan, mendengar be- rita kekejamannya, orang mulai menyingkiri tempat ini.” “Aduh, kasihan! Gemas aku! Kok ada ya orang yang

tidak mau dibunuh!”

“Maka, Kiai Sendang membuat peraturan. Ia tak akan melukai siapa pun yang melewati tempat ini... asal seperempat bagian dari apa pun yang mereka bawa, di- serahkan padanya. Atau membayar sejumlah uang emas bagi orang kaya yang tak membawa barang!”

“Waduh! Lalu... dia tak suka membunuh orang lagi?

Hanya mengumpulkan barang dan uang? Kasihan!” “Tetapi peraturan itu ternyata menarik. Para sauda-

gar lebih suka membayar pajak tersebut daripada harus mengambil jalan memutar. Dan Kiai Sendang makin kaya. Pasukannya makin kuat. Tentara Wilwatikta pun tak mampu membasminya.”

“Hayo kita cepat ke sana, Nini. Gemas aku! Gemas aku! Ada orang kok sepintar itu. Aku ingin lihat! Aku ingin lihat!” Dan tiba-tiba si gundul berjenggot putih ini mengeluarkan selembar kain dari buntalan yang diba- wakan oleh Tole. Ia mengumpulkan beberapa buah ba- tu, membungkusnya dengan kain tadi dan memberi- kannya kembali pada Tole. “Nah, Tole, jika ada orang bertanya, maka kau jawab kau membawa bongkah- bongkah emas murni dari Swarnadwipa. Mengerti?”

“Ya,” jawab Tple singkat.

“Ayo, turun ke sana!” Si tua ini bergegas mendahu- lui.

Tanah lapang di dasar lembah itu sungguh menye- nangkan. Di sebuah pendapa kecil, sekelompok peda- gang sedang beristirahat dengan rombongan pengawal mereka. Beberapa orang sedang memasak makanan atau makan. Atau mandi di anak sungai Sendang Am- pal yang jernih. Berbaur dengan mereka adalah bebe- rapa lelaki berwajah seram dan berpakaian serba hitam. Tetapi mereka ini tidak bersikap seram. Beberapa malah sedang tawar-menawar dengan para pedagang.

Di pendapa utama seorang lelaki bertubuh tinggi be- sar, kekar, berkulit hitam, duduk di semacam dampar, tempat duduk dari lempengan batu hitam. Beberapa pengawal mengelilinginya. Di hadapannya duduk para pedagang besar sedang menyerahkan sekantong ba- rang-barang permata.

“Hahahaha... Ki Banda agaknya tahun ini beruntung besar, ya... tiap lewat sini, makin besar sumbangan yang diberikan pada kami.” Orang bertubuh tinggi besar itu tertawa puas melihat jumlah harta yang dipajang di depannya.

“Itu pun berkat kemurahan hati Kiai.” Saudagar yang bernama Banda itu tampak juga gembira. “Dengan memberi izin kami lewat daerah Kiai, maka keuntungan kami memang cukup lumayan. Jadi apa yang kuper- sembahkan ini, bersama kawan-kawan, hanya sekadar rasa syukur saja, Kiai.”

“Bagus, bagus, bagus! Aku gembira. Tidak banyak saudagar sejujur kau dan kawan-kawanmu, Ki Banda. Aku sungguh puas... Hah... siapa itu?”

Semua berpaling.

Dari arah jalan masuk tampil tiga orang yang dari penampilannya saja membuat orang segan untuk ber- paling. Seorang tua gundul. Seorang wanita berpakaian dekil. Seorang pemuda yang tampak tolol.

“Huh. Pengemis dari mana berani masuk daerah si- ni?” geram Kiai Sendang.

“Bagaimana kalau hamba usir saja mereka, Kiai?” seorang pengawal berbisik.

“Jangan diusir, Dira. Bunuh mereka! Biar orang tahu bahwa Kiai Sendang masih patut ditakuti!” geram Kiai Sendang.

“Baik, Kiai!” Yang disebut Dira tampak sangat gembi- ra. “Hayo, Adi Graba dan Adi Nando. Ini kesempatan yang langka, tahu!”

Ketiga pengawal itu menyembah sebagai layaknya para pengawal keluarga bangsawan. Dan mereka berge- gas keluar.

“Hei, kawan-kawan... hari ini kita boleh membunuh orang!” teriak Dira pada beberapa kawannya. Mereka tampak sangat tertarik. Tak lama Kaki, Nini, dan Tole telah dikerumuni oleh orang-orang seram berseragam hitam.

“Hei, mau apa kalian? Mau minta sumbangan?” tanya Kaki seolah ketakutan.

“Ya. Kami butuh kepala-kepala kalian!” sahut Dira yang disambut tawa oleh teman-temannya. “Hayo. Ulur- kan leher biar kami potong satu per satu.”

“Wuah! Kepalaku jelek. Kepala mereka berdua saja, ya?” Si gundul menunjuk pada si wanita dan si pemu- da. “Lagi pula... kan peraturan di sini hanya diminta menyerahkan seperempat bawaan kami. Nah... bawa- anku kedua orang itu. Kalian belah salah satulah, he- hehe... Di sini ada kambing panggang tidak?”

“Sekarang belum. Nanti ada kakek panggang, haha- ha,” Dira tertawa disambut oleh teman-temannya.

“Anak tampan, kamu belum kawin, ya?” tiba-tiba Ni- ni bertanya.

“Huh. Kenapa?” tanya Dira.

“Sayang. Lihat harta di punggung pelayanku itu. Cu- kup untuk membuat mati orang sekampung! Apa kamu nggak ngiler?”

Dari tadi Dira dan kawan-kawan memang telah memperhatikan kantong besar di punggung si pemuda. Mereka jadi tertarik.

“Apa yang kaubawa itu?” tanya Dira.

“Batu! Hehehehe,” sahut Kaki dan tertawa terkekeh- kekeh. “Kamu kira pengemis seperti kami ini bisa bawa barang-barang emas permata, hah? Tidak, Tuan. Se- karang zamannya pengemis mondar-mandir bawa batu! Hihihihi... alangkah tololnya mereka ya, Nini!”

“Pasti ada yang lebih tolol dari mereka, Kaki.” “Awas kalau kamu menyebut aku!”

“Bukan!”

“Bukan si Tole juga?” “Bukan.”

“Lalu?”

“Orang gila yang menamakan diri Kiai Sendang itu! Hihihi,” Nini tertawa begitu geli hingga harus mem- bungkuk-bungkuk. Kaki ikut tertawa dan kedua tawa itu terasa saling mengisi, merdu bagaikan lagu, dan ta- jam menyelusup ke segala arah.

Di pendapanya, Kiai Sendang terkejut.

Tadi ia berpikir anak buahnya akan dengan sangat mudah dapat membereskan ketiga gelandangan ini. Te- tapi suara tawa itu begitu menusuk telinga. Tak terasa ia meraba cambuk pusaka Kiai Nagapasa yang melilit pinggangnya. Kemudian ia sadar. Mungkinkah ketiga orang itu harus dibereskan dengan cambuk pusaka yang membuat dia disegani di delapan penjuru? Ia memberi isyarat agar semua orang di sekitarnya diam supaya ia dapat mengikuti lebih saksama apa yang ter- jadi di halaman sana itu.

“Bangsat! Rupanya kalian memang tak ingin hidup lebih lama, ya?” bentak Dira.

“Dia yang tak ingin hidup lebih lama!” Kaki menu- ding pada Nini.

“Dia!” Nini menuding pada Tole. “Ya,” kata Tole.

Jawaban ini membuat Kaki dan Nini tercengang se- saat dan mereka tertawa lagi bersama-sama.

“Begini saja. Bunuh dia, anak-anak... dan kalau ka- lian berhasil, semua batu yang dibawanya boleh untuk kalian!” kata Kaki kemudian.

Kini giliran Dira dan kawan-kawan tercengang. “Kakang Dira... kita mau omong-omong saja atau

mau bunuh orang, sih? Kalau cuma omong-omong e- nakan omong-omong di pendapa sana,” bisik Nando.

“Ya. Di pendapa dingin, ada minuman lagi,” sahut Graba.

“Sudahlah... bunuh yang ini dulu,” Kaki ikut berbi- sik. Ia memang berdiri agak jauh dari mereka tetapi ter- nyata bisa ikut mendengar dan saat ia berbisik, bisikan itu pas sampai di telinga ketiga orang tersebut sebagai bisikan. “Kita berdua lihat-lihat dulu, kok... kalau kira- kira caranya membunuh enak, kita berdua ikut. Ya, ya, ya?”

Dira dan kawan-kawannya kaget. Serentak mereka memandang Kaki.

“Jangan ikut omong!” bentak Dira. “Cuma berbisik juga tidak boleh?” tanya Kaki. “Diam!” Dira kewalahan. Berpaling pada Tole. “Ulur-

kan lehermu!” bentaknya.

“Ya.” Dan Tole benar-benar mengulurkan lehernya. Ini saja sudah membuat Kaki dan Nini tercengang. Apa- lagi Dira dan kawan-kawannya.

“Kau rela lehermu dipotong mereka?” tanya Kaki. “Ya,” jawab Tole.

“Idih. Pedangnya tumpul, lho. Kamu harus dibacok enam kali baru lehermu putus, lho!” kata Nini.

“Delapan kali! Pedang yang itu sepertinya agak beng- kok,” kata Kaki.

“Enam kali!” kata Nini. “Delapan!” kata Kaki.

“Begini saja. Kita bertaruh, ya. Kalau dalam enam sabetan pedang leher si Tole sudah putus... apa hayo hadiahku!” tanya Nini.

“Begini saja... kau boleh menggigiti hidung orang itu.... Hidungnya merah, ya, mungkin sudah matang tuh. Manis kali, hihihi,” kata Kaki.

“Jadi!” kata Nini. “Tapi kalau setelah enam sabetan belum juga putus?”

“Nah, akan aku cabuti rambut mereka ini hingga me- reka jadi setampan aku, hihihi Hayo, pencuri-pencuri

ayam. Tebaskan pedang kalian! Kami hitung, lho!” Kaki kemudian berjalan sambil tertawa-tawa sendiri ke ping- gir pendapa.

“Sampai lebih dari enam, kalian akan jadi gundul! Nah, apa enaknya? Jadi cepat, ya, kalau bisa empat kali saja!” Nini juga menyusul Kaki. Mereka berdua kemu- dian duduk di tepi pendapa, berdampingan. Beberapa orang ‘tamu’ di pendapa itu agak menjauh dan beberapa pengawal memandang bertanya pada Kiai Sendang. Namun Kiai Sendang memberi isyarat agar mereka me- nahan diri.

Orang-orang pun makin banyak berkumpul di la- pangan. Dira memberi isyarat pada kawan-kawannya. Lima orang perampok telah mengepung Tole dengan pe- dang terhunus. Sementara Tole terlihat kebingungan dengan membawa kedua kantong kainnya.

“Cincang!” tiba-tiba Dira membentak. Pedang-pedang berkelebat di udara. Dan dengan sangat teratur satu per satu membabat ke arah Tole. Tole tampaknya diam. Ia hanya sedikit menggerakkan kepala atau menggeserkan kaki. Dan sambaran pedang-pedang itu luput semua.

“Satu!” teriak Nini. “Hayo, bocah-bocah goblok!

Membunuh orang diam saja tidak becus!”

“Jangan-jangan Kiai Sendang sesungguhnya me- mang cuma maling ayam, kalau melihat anak buahnya seperti ini! Betul nggak, Nini?” Kaki tertawa-tawa gembi- ra. Dan dengan santai ia merampas tabung tuak seo- rang tamu, dan menggunakan isinya untuk mencuci kaki.

“Babat!” teriak Dira geram.

Kini pedang-pedang itu terayun ke arah pinggang Tole yang ramping. Seperti tadi, Tole hanya bergerak se- dikit sekali. Menurunkan bahu kiri atau kanan hingga kantong yang dibawanya tepat melindungi daerah yang jadi sasaran pedang. Terdengar suara gemertak berkali- kali saat kantong yang berisi batu terhantam oleh pe- dang-pedang tadi.

“Dua! Tiga! Goblok semua!” teriak Nini marah. “Ka- lian sengaja membuat aku kalah bertaruh, ya! Kamu ti- dak suka hidungmu yang ranum itu aku makan, ya?”

“Tawur!” Dira makin panas. Dan serentak kawan- kawannya menyerbu. Mereka sudah tanpa siasat lagi menerjang. Dan kini Tole terpaksa bergerak, dengan ge- rakan yang tampaknya lambat namun membuat ia se- kali-sekali seolah lenyap.

“Empat! Lima! Enam! Goblok! Gila! Kurang asem! Tu- juh! Delapan! Horeeee! Kamu juga kalah, Kaki!” Nini berteriak-teriak dan nyaris berlompat-lompatan.

“Lihat! Nyai! Lihat gerakan kakinya!” Tiba-tiba Kaki menahan bahu Nini. Dan berbisik bersungguh-sung- guh. “Itu gerakan Sura-caya yang terbagus yang pernah kulihat!”

Nini tertegun. Memang benar. Gerak lambat Tole me- rupakan tata gerak Sura-caya yang ampuh. Makin lam- bat, makin sulit ditangkap. Nini memiringkan kepala. Dari tata ilmu tenaga dalamnya ia memang curiga si Tole ini ada hubungannya dengan perguruannya. Tetapi ia sama sekali tak menduga tata gerak Sura-caya yang menjadi andalan perguruan Megatruh—Panembahan Megatruh paling suka tata gerak ini, yang sama sekali tak membuat celaka semua pihak—ternyata dikuasai oleh si tolol Tole ini... nyaris dengan sempurna. 

“Seperti melihat aku sendiri yang berada di sana, ya?” kata Kaki dengan harap-harap cemas.

“Bukan! Seperti Kakangmbok Rahula!” kata Nini, mengerutkan keningnya yang setua itu pun masih tetap halus. “Lihat, betapa anggun ia melangkah. Siapa pun yang mengajarinya, pasti seorang wanita.”

“Aha! Bukankah hanya seorang murid kita yang wa- nita?”

Kedua orang tua itu berpandangan.

“Aku kenal kakaknya. Rhagani!” kata Kaki dengan gembira.

“Ya. Rhagani dan adiknya! Gila! Ternyata dia cucu murid kita!”

“Kenapa? Kau menyesal? Hoho! Aku tahu mengapa kau menyesal!”

“Mengapa?” “Itu berarti kau tak bisa kawin dengan si tolol itu!

Hehehe! Kapok!”

“Untung. Kalau tidak aku kawin dengan dua orang tolol!”

“He. Kau sudah bersuami?” tanya Kaki dengan ber- sungguh-sungguh.

“Yah... entahlah... sesungguhnya aku suka padamu.

Sayang kau sudah beristri.”

“Eh. Memangnya... aku... sudah beristri?” si Kaki tampak sangat kebingungan.

“Sssh. Jangan berisik! Lihat. Orang-orang itu ikut mendengarkan kita!”

Kaki menoleh. Benar juga. Ternyata mereka telah di- kepung oleh sekitar lima belas orang berwajah seram, dengan berbagai senjata penuh siaga.

“Waduh! Kalian ikut mendengarkan kami, ya? Hayo duduk semuanya dekat-dekat sini, kok berdiri begitu ”

Tiba-tiba Kaki menggerakkan tangan kanannya. Dan seolah kena angin, barisan terdepan orang-orang yang mengelilingi mereka itu roboh dan terduduk. Mereka sangat terkejut karena tiba-tiba saja kaki mereka bagai- kan tertusuk jarum panas.

“Wah, mereka sopan-sopan ya, Nini?” kata Kaki ke- pada Nini.

“He-eh. Tuh lihat, si Tole saja mereka sembah!”

Di lapangan, ternyata dengan suatu gerakan aneh Tole telah membuat gerakan melingkar. Para penge- pungnya bergerak kagok mengikutinya. Dan mau tak mau kaki mereka tertekuk, serta perpindahan berat ba- dan membuat mereka semua roboh terduduk bagaikan menyembah Tole.

“Horeeee! Tarian yang bagus! Sayang tidak ada ga- melannya.” Kaki langsung beranjak dari tempat du- duknya, tepat saat salah seorang pengawal yang marah karena jatuh tadi hendak memukulnya dengan gada. Celakanya gada jadi terarah pada Nini. Nini hanya ter- tawa dan menjentikkan jari. Gada tadi terpental mem- balik, menghantam kepala pemiliknya yang langsung roboh tak berkutik lagi.

“Kita tak ada yang menang toh, Kaki?” Seolah tak ada apa-apa Nini berjalan di samping Kaki, menghampi- ri Tole yang seolah berdiri terbengong-bengong di antara orang-orang yang keheran-heranan terduduk di tanah itu.

“Iya, tapi aku ingin mencabuti rambut mereka. Boleh ya, Nini, boleh ya, Nini?” tanya Kaki.

“Siapa kalian?” terdengar suara berat di samping me- reka.

Ternyata Kiai Sendang sendiri sudah turun. Dan makin banyak orang-orang seram bersenjata mengeli- lingi mereka.

“Kau tanya aku, dia, atau dia?” Kaki ketolol-tololan menuding dirinya dan kedua rekannya.

“Sendang Ampal selamanya tak memendam permu- suhan dengan siapa pun. Bahkan pasukan Wilwatikta menghormati kehadiran kami. Kau dari pihak mana be- rani mengaduk di air keruh?” Kiai Sendang tak terpe- ngaruh oleh canda Kaki.

“Hehehe... mestinya tadi, sewaktu kita akan diusir tadi, kita juga bilang... ‘Kami bertiga tidak memendam permusuhan dengan...’ dan sebagainya, begitu ya, Ni- ni?” Kaki seolah tak menghiraukan kehadiran Kiai Sen- dang.

“Ini daerah kami, kami berhak mengusir siapa pun yang tidak kami kehendaki,” kata Kiai Sendang.

“Wuah, sejak kapan daerah ini jadi milikmu?” tanya Kaki.

“Sudah puluhan tahun tak ada yang menggugat ke- hadiranku di sini.” Kiai Sendang masih menahan sabar. “Baiklah. Puluhan tahun daerah ini milikmu. Mulai hari ini, daerah ini milikku. Jadi kamu yang menggang-

gu daerahku. Hayo bubar. Pergi sana!”

“Huh. Siapa kau hingga punya hak sedemikian be- sar?” Kiai Sendang mengangkat tangan agar anak buah- nya tidak bertindak. Ia tahu, semakin sinting seseorang, kemungkinan besar ia memang sakti. Atau memang sinting.

“Siapa kau maka kau merasa punya hak untuk me- nanyaiku?” Kaki balik bertanya.

“Ki Sanak, sabarku ada batasnya. Jangan main- main. Cepat mengaku siapa kau sebenarnya atau cepat angkat kaki!” Akhirnya Kiai Sendang geram juga.

“Angkat kaki!” Benar-benar si gundul ini angkat kaki. Kedua-duanya. Dan ia berdiri dengan dua tangannya. “Hehehe... Nini... lihat! Semua orang berdiri terbalik! Hei, orang besar. Aku sudah angkat kaki, nah, kau mau apa kini? Mau cepat pergi, pergi saja!”

“Rasanya kau tak mau diajak berbicara baik-baik, Kawan, jangan salahkan anak buahku yang akan meng- hajarmu!” Kiai Sendang bersuit. Sekejap puluhan senja- ta langsung teracung. Dan semua orang yang berada di lapangan itu menyingkir, tinggal mereka yang berpa- kaian gelap—anak buah Kiai Sendang. Para ‘tamu’ sege- ra menjauh.

“Wuah! Kalian mau menghajarku? Tidak adil!” Kaki terus berbicara dengan keadaan terbalik.

“Kenapa?”

“Hajar juga kedua kawanku. Kami datang bertiga, kok. Masa aku saja yang dihajar!”

“Bantai!” desis Kiai Sendang. Ia sendiri langsung me- lompat mundur sementara puluhan anak buahnya menjerit serentak menggetarkan dada. Dan mereka ma- ju bersamaan!

“Nini, aku sakit perut!” Kaki menjerit dan berlari me- nyeruduk di antara kerubutan pasukan Kiai Sendang itu, lari terbirit-birit ke arah anak sungai. Kepungan terhadap mereka sangat rapat hingga cukup menghe- rankan bagaimana si gundul ini, yang tampaknya lari tak menentu, bisa lolos dari benturan dengan para pen- gepungnya. Di sana-sini malah beberapa orang terbant- ing terpelanting karena saling bertubrukan akibat terge- sa-gesa ingin membacok si gundul ini.

“Kaki, kau curang!” teriak si Nini, yang terpaksa ber- lompatan ke sana kemari menghindari beberapa senja- ta. Rambutnya yang hitam panjang tergerai dan sekali- sekali seolah dilecutkan mengenai tepat mata siapa pun yang kebetulan dekat. Di sekitarnya pun terjadi ke- ributan. Orang yang sesaat matanya kesakitan oleh sa- betan rambut si Nini menghantam secara membabi buta dan mengenai rekannya sendiri. Darah pun mulai men- galir.

Si Tole sendiri seakan berjalan perlahan menyingkir. Dan seperti si Kaki, gerakan Tole juga aneh. Tampak perlahan, tetapi tak pernah terkena senjata atau tu- brukan lawan, hingga tahu-tahu ia sudah berada di luar kepungan dan perlahan duduk di lantai pendapa.

Dan tahu-tahu juga si Kaki sudah duduk di sam- pingnya.

“Kauperhatikan gerakan si Nini, Tole? Hihihi... bu- kankah gerak kakinya seperti ayam mengais tanah? Nah, gerakan itu justru memang akan meminjam tena- ga bumi. Dengan kaki berpijak pada bumi, maka kita berarti bersandar pada kekuatan yang sangat besar. Ke- cuali kalau kakimu sedang kudisan dan saat mengais- ngais tanah kudismu terbuka, waduh, jelas sakit!” si Kaki menerangkan gerakan Nini. Dan Tole, walaupun dengan pandang mata kosong, terus memperhatikan apa yang ditunjukkan Kaki. “Lihat, nah, itu dia lolos da- ri tubrukan si perut gendut. Itu tadi gerak Ombak Men- dampar Karang Terjal... kauikuti tenaga yang mena- hanmu hingga akhirnya kau dan tenaga itu bersatu... hihihi... aku pintar juga mengajar, ya? Inti gerakan itu sesungguhnya ada pada persendian siku... aku lihat kau tadi melakukan gerak yang sama, tetapi kekuatan- mu tertumpu pada pinggang, dan itu keliru besar. Si Nini tak pernah keliru. Paling tidak, tidak akan sebesar kekeliruanmu, hihihi ”

Aneh juga. Pada saat seperti itu, saat si Nini sesung- guhnya sangat terancam bahaya, si Kaki bisa bersung- guh-sungguh. Sesungguhnya semua petunjuk yang di- berikannya tidak melulu untuk si Tole. Tetapi juga un- tuk si Nini. Dalam ketidakacuhannya, sesungguhnya si Kaki sangat mengkhawatirkan si Nini dan karenanya dengan berpura-pura memberi petunjuk pada Tole ia sesungguhnya memberi peringatan pada si Nini.

Yang sangat keheranan adalah Kiai Sendang. Sekian puluh prajurit pilihannya ternyata hanya dibuat per- mainan oleh seorang wanita!

“Minggir semua!” Akhirnya ia benar-benar tak sabar. Ia membentak keras dan cambuknya dilecutkannya ke udara. Suara cambuk itu menggelegar mengalahkan pe- tir. Dan beberapa belas orang yang lemah jantung lang- sung roboh pingsan karena kaget.

Sekejap lapangan itu kosong. Para prajurit perampok mundur cepat dan rapi.

“Hei, kau Nini, siapa pun namamu, agaknya kau memang ingin mengukur lebarnya dada Kiai Sendang, huh?” geram Kiai Sendang.

“Waduh! Tidak tahu malu. Untuk apa aku mengukur dadamu?” si Nini tertawa. “Kaki! Kau saja yang maju! Malu aku. Ia main mata.”

“Hwarakadah! Tapi ya biarlah! Masih untung ada yang main mata denganmu, dan bukannya main kaki!” si Kaki menjawab geli.

“Agaknya kalian punya sedikit kepandaian! Coba tandingi Kiai Nagapasa, cambuk wasiatku ini....” Kiai Sendang memutar-mutarkan cambuknya di atas kepa- lanya. Cambuk itu terbuat dari untaian semacam serat dari tanah seberang. Begitu lemas, namun lebih kuat dari baja. Begitu bulat, namun lebih tajam dari mata pedang. Begitu lentur, namun lebih keras dari gada be- si. Dan gelegar suaranya memiliki perbawa sakti yang menciutkan hati siapa saja. Puluhan tahun Kiai Sen- dang malang-melintang di dunia dengan mengandalkan cambuk wasiatnya ini, di samping aji-aji kesaktian lain yang diterima dari gurunya. Dan semua ajian itu pun untuk mendukung keampuhan sang cambuk. Kini Kiai Sendang sangat jarang mengeluarkan cambuk itu. Ia merasa inilah saat yang tepat untuk menunjukkan ke- perkasaannya.

“Kurang ajar tidak itu, Kaki? Masa aku disuruh me- nandingi sebatang cambuk! Apa aku memang sudah sekurus itu?” Nini perlahan berjalan ke tempat Kaki dan Tole.

“Memang, memang kurang ajar. Tapi tidak apa-apa, bukan? Kita juga kurang ajar, kok,” kata Kaki tertawa- tawa.

“Kau kembali kemari atau kuhancurkan kau dari si- ni!” bentak Kiai Sendang sambil terus memutarkan cambuknya yang makin lama mendengung makin ke- ras.

“Whuarakadah! Hancurkan saja, Kiai! Aku juga pi- ngin lihat isi perutnya, hihihihi,” Kaki tertawa dan me- nyikut Tole di sebelahnya. “Pasti bagus ya isinya? Dulu pernah lho ia menelan telur puyuh utuh tiga butir. Mungkin masih ada di dalam perutnya.”

Aneh. Karena sodokan siku Kaki tadi tiba-tiba Tole berdiri tegak dan meloncat. Tinggi. Dan mendarat di ha- dapan Kiai Sendang. Masih lengkap dengan kedua kan- tong kain di punggungnya.

“Horeeee! Dia akan melawanmu, Kiai Sendang!” te- riak Kaki.

“Dan kau pasti jadi pecundang!” teriak Nini.

“Hayo! Gasak saja, Tole! Hantam! Hajar! Pukul! Injak! Tendang! Horeeee! Tole menang!” Kaki berteriak-teriak sambil berjingkrak-jingkrak berisik sekali.

“Jangan mundur! Jangan mundur! Hayo! Maju terus! Ya, ya, ya! Hap! Gigit telinganya! Awas! Cambuknya! Loncat ke kiri. Bagus!” Nini ikut menimpali. Mereka berdua berteriak-teriak dan menjerit-jerit seolah-olah te- lah terjadi pertempuran dahsyat, padahal di lapangan baik Kiai Sendang maupun Tole hanya berhadapan seo- lah bingung. Yang jelas keberisikan pasangan suami- isteri itu terasa sekali menindih dengung cambuk Kiai Sendang. Jika tadi dengung itu seolah mencekam dan menindih hati para pendengarnya, maka kini hal itu tak terasa lagi. Bahkan dengung tersebut seolah jadi kacau. Bukan hanya itu. Dengan kacaunya suaranya, Kiai Sen- dang juga terpengaruh. Gerakan cambuknya seakan tak berirama lagi. Makin lama makin lemah.

Kiai Sendang tiba-tiba sadar akan hal itu. Cepat ia memusatkan perhatian. Dan melecutkan cambuk pusa- kanya itu.

Gelegar lecutan Nagapasa memang cukup memban- tu. Sesaat bahkan suara Kaki dan Nini lenyap. Dan se- mua orang yang tadi mulai terpengaruh keberisikannya jadi sadar terkejut.

Kiai Sendang menggulung cambuk dan memasang kuda-kuda.

“Kalian sungguh menghina aku,” katanya. “Memang,” sahut Kaki.

“...Anak bayi kauhadapkan padaku, huh?” “Itu saja kau belum tentu menang!” sela Nini.

“Kalian bertiga saja maju bersama!” bentak Kiai Sen- dang.

“Enggak, ah,” kata Kaki genit. “Nanti kamu bingung mau memukul yang mana. Lagi pula, kalau dia mati, kami bisa lari, hihihi. ”

“Tapi kalau kamu yang mati, hihihi. kami yang jadi

raja di sini!” Nini ikut menggoda.

“Hayo, kita bertaruh saja Kiai Gendeng!” teriak Kaki. “Kiai Sendang!” Nini membetulkan.

“Iya. Kiai Rendang. Begini, Kiai Kendang, kalau si bangsat cilik itu kalah, kamu boleh mencincang Nini ini jadi empat belas potong kecil-kecil, kemudian disebar- kan ke delapan penjuru angin. Tapi kalau kamu kalah, Kiai Tendang, kamu dan seluruh anak buahmu, harus takluk kepada kami. Harus melakukan apa saja yang kami maui dan akan ditentukan di kelak kemudian ha- ri! Wah, bagus sekali kata-kataku, ya Nini?”

“Termasuk, misalnya, mencuci popok kami, baju kami, kaki kami, dan semua barang kotor kami, hihihi!” kata Nini.

“Dan tugas utama, cari kadal tujuh kali sehari! Hua- hahaha! Gemas aku!”

Merah padam muka Kiai Sendang. Bukan hanya se- luruh anak buahnya kini menonton, beberapa orang ‘tamu’ mulai berkerumun dan menonton serta membi- carakan apa yang sedang terjadi.

“Kalian memang tak betah hidup!” geramnya dan tanpa menghiraukan tata krama pertarungan yang se- sungguhnya menghendaki ia sebagai tuan rumah dan lebih tua dari lawannya menerima serangan pertama, ia langsung menghantam Tole dengan jurus terampuh cambuk wasiatnya.

Jurus-jurus Kiai Nagapasa itu pada dasarnya terdiri dari tiga garis besar. Pertama untuk meruntuhkan se- mangat lawan. Ini mempergunakan beberapa gerakan yang dilambari ketangkasan bermain cambuk serta di- dukung oleh ilmu ‘pencengkam semangat’ yang dipan- carkan oleh mata Kiai Sendang. Yang terjadi adalah le- dakan-ledakan lecutan yang dengan bantuan mantra ajian Kiai Sendang akan membuat lawan ciut hatinya. Biasanya Kiai Sendang hanya mengandalkan garis per- tama ini. Bahkan pernah satu pasukan dari Wilwatikta begitu terpengaruh oleh wibawa kesaktian Nagapasa ini hingga selama empat hari empat malam seratus dua puluh prajurit jongkok gemetar di tengah lapangan dan tak bisa disadarkan.

Garis besar kedua adalah jurus-jurus penghancur. Di ujung cambuk Kiai Nagapasa sesungguhnya terdapat sebilah keris kecil terbuat dari batu aji sakti. Dengan tenaga saktinya, Kiai Sendang pernah menghancurkan sebuah tembok benteng dari batu setebal satu depa hanya dengan sekali lecutan. Ini sesungguhnya dikare- nakan oleh tenaga sakti ajian Bhirawadomas yang dis- alurkan lewat badan cemeti. Dalam garis besar ini maka setiap gerakan Kiai Nagapasa memang khusus untuk menghancurkan musuh—bisa melecut, bisa membabat, bahkan bisa tegang hingga dapat digunakan sebagai tombak panjang.

Garis besar ketiga sangat jarang digunakan oleh Kiai Sendang. Garis besar ketiga ini adalah kelompok bela- san gerakan untuk melindungi diri saat pemegang Kiai Nagapasa terdesak musuh. Gerakan cambuk di sini pe- nuh berbagai tipuan, gertakan, dan perlindungan. Bah- kan dalam keadaan terdesak pun Kiai Sendang akan tampak bagaikan di pihak yang ada di atas angin, se- mentara Kiai Nagapasa mempersiapkan lowongan bagi- nya untuk mundur.

Gerak pertama yang dilancarkan pada Tole adalah gerak sederhana—ujung cambuk bagaikan petir lang- sung meluncur ke arah dada Tole.

Kecepatannya memang sangat mengagetkan. Bahkan Tole juga tampak sangat terperanjat. Tapi agaknya ia tak kekurangan akal. Tubuhnya tiba-tiba kaku dan ro- boh cepat ke belakang. Ujung Kiai Nagapasa nyaris membabat putus rambut di kepalanya!

“Hwarakadah! Hati-hati, Tole! Kiai Gendang ini biar tua namun nggak tahu aturan!” teriak Kaki sambil menggulingkan diri pergi menjauh.

“Dasar kurang asem!” Nini juga meloncat terbang. Nyaris kembalinya ujung Nagapasa menyerempetnya. “Jangan tanggung-tanggung, Tole! Hantam dia dengan Bantala Liwung!”

“Kamu gila! Gemas aku!” bisik Kaki yang hinggap di samping Nini di tepi pendapa.

“Kenapa?” tanya Nini.

“Kausuruh dia pakai Bantala Liwung. Kaukira dia bi- sa?”

“Menurut firasatku, dia memang cucu murid kita. Ini akan membuktikannya. Jika ia mengerti Bantala Li- wung, pasti ia mengerti yang lain. Jika ia mengerti yang lain, pasti ilmunya sudah cukup tinggi!”

“Gemas aku!” gerutu Kaki. “Kenapa?”

“Kalau ilmunya cukup tinggi, lalu kamu mau kawin dengan dia?”

“Ya jelas! Hihihihi!” Nini menggoda.

“Gemas aku! Kalau begitu aku akan membantu pe- rampok jelek itu!” geram Kaki. “Wuah! Silakan!”

“Baik!”

Nini terkejut juga, saat tiba-tiba Kaki meloncat me- ninggalkannya dan menyeberang lapangan, seenaknya melintasi kedua orang yang sedang bertempur hebat itu. Pertempuran satu lawan satu itu sungguh hebat.

Kiai Sendang tak sungkan-sungkan lagi. Cambuknya terus menghantam dengan jurus-jurus mematikan. Tole membuat kagum Nini. Pemuda yang tampak tolol bebe- rapa hari ini ternyata dengan sangat cermat berhasil menggabungkan Sura-caya yang penuh tipu muslihat dengan Bantala Liwung, ilmu tendangan dan pukulan yang bernada keras itu. Dentuman-dentuman cambuk Kiai Nagapasa seolah mengepung Tole. Tetapi Tole sela- lu berhasil lolos, dan tinjuan atau tendangannya meng- geledek menyerbu balik. Beberapa kali Kiai Sendang terpaksa melangkah mundur. Bahkan lama-kelamaan, setelah pertempuran berlangsung puluhan jurus, Kiai Nagapasa terlihat lebih sering membuat gerakan memu- tar di sekeliling tubuh Kiai Sendang, pertanda Kiai Sen- dang juga mulai menggunakan garis besar ketiga untuk melindungi diri.

“Salah, salah, salah!” tiba-tiba Kaki berteriak-teriak di pinggir. “Kalau diserang jangan langsung menghin- dar! Gemas aku! Gemas aku! Lihat baik-baik. Nah, nah, lompat kiri, hantam lambungnya. Hei, aku bicara pada- mu, Kiai Gendeng!”

Mula-mula Kiai Sendang memang tak menghiraukan si gundul ini. Tetapi ketika beberapa kali terdesak, ter- gerak hatinya untuk mengikuti nasihat musuh yang a- ngin-anginan. Dan ia heran bukan main! Tendangan Tole yang diperkirakannya akan menghancurkan dada- nya jika ia tidak menghindar disambutnya langsung dengan serangan cambuk sementara ia memperkokoh kuda-kuda. Dalam herannya dilihatnya ternyata ten- dangan Tole tadi hanya pancingan. Akibatnya, Tole ber- seru kaget! Hampir saja kakinya hancur oleh sergapan Kiai Nagapasa. Ia cepat memutar diri ke kiri. Tetapi Kiai Sendang telah merebut suatu kedudukan penting dan terus menyerang beruntun.

“Hihihihi... jagomu kalah, Nini! Hayo, rampok Pin- dang! Serang terus bagian kirinya, rendah-rendah dekat tanah! Hihihi... lihat, Nini! Jagomu keok!” Kaki melon- cat-loncat kegirangan.

“Kaki! Kau di pihak mana?” Nini berseru dari sebe- rang lawan.

“Nggak tahu! Pokoknya jagomu kalah!” teriak Kaki. “Kurang asem! Ardarudra!” teriak Nini, menyebutkan

suatu jurus dari Bantala Liwung. Tole mendengar ini. Pada saat dirinya terus diserang gencar, tiba-tiba ia seo- lah berhenti, tegak tegar mematung dengan kedua belah tangan tertangkup di atas kepalanya. Dan ternyata de- ngan sikap ini tiga jurus serangan Kiai Nagapasa yang sesungguhnya bisa merobek tubuhnya lolos begitu saja! Dan sebelum Kiai Sendang sadar, mendadak Tole bagai- kan meledak, tubuhnya melesat tinggi, berputar di uda- ra, dan balik menyerang dengan tendangan beruntun!

“Jangan mundur! Jangan mundur!” Kaki berteriak- teriak mangkel bagaikan kebakaran jenggot. “Gunakan jurus Orang Gila Cari Ubi, kemudian Monyet Kudisan Membuka Pagar!”

Tentu saja bukan begitu nama jurus-jurus Kiai Sen- dang. Kaki telah memperhatikan semua gerakan Kiai Sendang dan mengenal beberapa gerakan. Gerakan yang disebutkannya tadi diberinya nama sesuai dengan gerakan itu sendiri, yang juga diberinya contoh.

Kiai Sendang memang panas mendengar nama ju- rusnya diubah seperti itu. Tetapi rasanya tak ada jalan lain. Dia tahu jurus yang dimaksud oleh Kaki, dan dila- kukannya.

Tepat sekali. Dengan gerakan membungkuk dekat tanah, beberapa tendangan terbang Tole terlewat, ke- mudian ia melakukan gerakan mencakar ke samping. Tole kewalahan ketika garis maju dan mundurnya tertu- tup!

“Hantam dia di pusarnya!” teriak Kaki.

Kiai Sendang begitu patuh. Tak berpikir lagi, ia men- gerahkan tenaga Bhirawadomas dan masih sambil membungkuk menghantam perut Tole!

4. PENGUASA BARU

“TOLE!” Nini menjerit kaget, langsung melesat menda- patkan Tole.

“Horeee! Jagoku menang!” Sebaliknya Kaki melonjak gembira dan menari-nari menghampiri Kiai Sendang. “Anak pintar, anak cakap, anak tampan, kau sungguh hebat! Tapi kau harus mengakui kau menang atas pe- tunjukku, he? Hihihi ”

Kiai Sendang sangat bingung. Harus berbuat apa dia? Memang lawannya roboh, tetapi itu atas bantuan petunjuk si kakek gundul ini yang sesungguhnya ada-

lah lawannya!

“Kau jahat! Kau licik!” jerit Nini setelah memeriksa Tole. “Beraninya pada anak kecil!”

“Lho! Kamu bicara padaku, Nini?” tanya Kaki ter- tegun.

“Kamu di pihak mana?” bentak Nini.

“Jelas! Aku kan menjagoi orang jelek ini. Kau menja- goi anak muda ini. Jagoku menang. Selesai, kan?”

“Tidak! Aku tak mau perkara ini selesai begini saja! Hayo, kau berhadapan denganku!” Nini langsung pa- sang kuda-kuda.

“Lho! Lho! Lho! Jangan begitu, jangan begitu... jelas aku tak berani melawan kau. Hei, orang jelek! Kau be- rani tidak melawan perempuan ini?”

“Hmmh. Apa yang aku takutkan, huh?” Kiai Sendang mempersiapkan cambuknya. Ia memang cerdas. Di- ingat-ingatnya semua petunjuk Kaki tadi. Dan dengan merasa yakin, ia menggeram, “Hayo, Bibi tua. Maju kau!” Ia berpikir bahwa Tole adalah anak murid si wa- nita tua. Mungkin karenanya wanita tua yang tampak muda ini bisa diatasinya dengan mudah. Paling tidak ia bisa minta anak buahnya mengeroyoknya. Alangkah untungnya jika si kakek masih berpihak padanya. “Ba- pak tua, silakan minggir dulu. Aku akan membereskan wanita ini....” Kiai Sendang mencoba bermanis muka pada Kaki. Ia mengira sangat mungkin terjadi perselisi- han antara kedua orang tangguh ini hingga mereka ber- pisah.

“Gemas aku! Gemas aku! Kaukira aku tak bisa mem- bekuk wanita ini?” dengan kesal Kaki menuding-nuding Nini.

“Coba saja, gundul, kau memang kurang asem!” su- ngut Nini.

“Hwarakadah! Kau memanggilku gundul?” tukas Ka-

ki.

“Memang kau gundul!” tukas si Nini. “Siapa gundul?”

“Kau!”

“Kau?”

“Ya!” sahut Nini tak berpikir dan tiba-tiba ia terce-

ngang sementara Kaki tertawa terpingkal-pingkal. “Kurang asem!” Cepat Nini menggeser kaki kiri, ber-

putar, miring ke kiri, dan sambil menjerit keras melon- tarkan pukulan ke arah Kaki!

“Bahni Tamoli!” teriak Kaki kaget. Benar juga. Tak sungkan-sungkan Nini telah melontarkan pukulan de- ngan dilambari ajian dahsyat ini. “Tan Trasanana!” ia menjerit dan tubuhnya mendadak melesat lurus ke atas dengan kedua kaki terbuka lebar.

Bahni Tamoli atau ‘api yang tak tertandingi’ adalah ajian hasil ‘penemuan’ Mahendra dan Sinom. Dalam keisengan mereka berdua, Sinom yang mewarisi ilmu Bhirawadana dari kakaknya, Megatruh, telah mengga- bungkannya dengan ilmu Mahendra, suaminya, Sasra- dahana. Karena kedua makhluk ini memang suka I- seng, maka penggabungan ini sesungguhnya tak begitu mulus, dan memang belum padu sebagai sebuah ilmu. Namun betapa pun kedua ilmu dasar tersebut adalah ilmu-ilmu tangguh yang berhawa panas. Tak heran Bahni Tamoli memiliki hawa api luar biasa. Sementara itu Tan Trasanana atau ‘tak usah ditakuti’ adalah ilmu ciptaan kedua tokoh ini pula. Ilmu ini sesungguhnya berdasarkan ilmu gerak kaki Sura-caya. Kembali karena iseng, Mahendra dan Sinom hanya mengambil gerak- gerak yang lucu saja dan mengembangkannya. Hasilnya memang sangat ampuh, karena semua gerakan adalah gerakan kejutan yang tak pernah berujung dan ber- pangkal. Tak terduga.

Saat itu Kaki berdiri di hadapan Kiai Sendang. Ketika Nini melontarkan ajian dahsyatnya, tiba-tiba saja Kaki menghilang. Dan Kiai Sendang dengan telak tersambar hantaman bola api tak berwujud ini.

Jeritan Kiai Sendang hanya pendek. Ia melonjak. Dan jatuh sudah berbentuk sesosok mayat yang ha- ngus.

Semua tertegun terdiam.

“Dinda Sinom!” Kaki sampai lupa akan nama sama- ran mereka.

Nini alias Sinom menyusutkan tenaga dahsyat tadi dan termenung.

“Kakang Mahendra!” bisiknya.

Ini adalah untuk pertama kalinya ajian itu diguna- kannya. Dan melihat hasilnya yang begitu hebat dapat disimpulkan bahwa Kiai Sendang nyaris tak punya ke- saktian apa pun. Paling tidak jika dibandingkan dengan Sinom atau Mahendra. Kalau, misalnya pukulan tadi mengena telak pada Mahendra, kemungkinan yang ter- jadi takkan separah ini. Pingsan, mungkin. Tapi takkan sampai tewas.

“Watatiotah!” Mahendra alias Kaki membungkuk memeriksa mayat Kiai Sendang. “Hampir mirip kadal panggang, ya?”

“Kurang asem!” desis Nini. “Hayo, bersiaplah. Kau harus menghadapiku!”

“Ah. Tidak, ah! Takut!” kata Kaki, berdiri, tertawa. “Si Tole juga tidak apa-apa!”

Tole memang telah sadarkan diri, bangun, dan terke- jut melihat mayat Kiai Sendang. Kebingungan ia me- mandang pada Kaki. “Aku... yang memukulnya?”

“Ya,” jawab Kaki. “Ilmu Bhirawadana-mu hebat!”

Tole mengerutkan kening. Perlahan mendekati mayat Kiai Sendang. Memperhatikannya.

“Tidak!” desisnya perlahan. “Tidak apa?” Kaki bertanya.

“Orang ini... menderita sewaktu... melepas nyawa. Akibat Bhirawadana tidak seperti ini... Bhirawadana... membunuh dulu... baru membakar.”

Kaki akan memberi tanggapan, tapi Nini memberinya isyarat agar diam. Dan kali ini Kaki patuh.

“Matamu tajam. Kau tahu... pukulan ini mirip Bhira- wadana?” tanya Nini. “Ya. Mirip,” jawab Tole.

“Kau mau... aku mengajarimu?” tanya Nini. “Tidak,” jawab Tole tegas.

“Kenapa?”

“Pertama. Pukulan ini kejam. Kedua. Aku sudah pu- nya guru. Ketiga.”

“Apa ketiga?”

“Aku tak suka Nini.” “Lho!”

“Kenapa Nini membunuh orang ini?” “Dia ingin membunuhmu!”

“Banyak cara lain untuk mencegahnya.”

“Ya. Ada cara yang tepat agar Tole tidak dibunuh Kiai Gendang ini,” sela Kaki.

“Bagaimana?” tanya Nini.

“Kita bunuh saja si Tole. Toh dengan begitu Kiai Tendang tidak bisa membunuhnya!”

“Tolol!” dengus Nini. Tiba-tiba mereka baru sadar bahwa kini telah berkumpul ratusan orang bersenjata, semuanya dengan senjata terhunus dan bersiaga, me- ngepung mereka.

“Mengapa kalian melotot seperti itu?” bentak Nini.

Beberapa lama hening. Kemudian gerombolan orang banyak itu bagaikan terkuak. Seorang pemuda gagah dan sangat tampan, dengan berpakaian serba hitam mi- rip yang lain, muncul. Ia pun membawa sebatang cam- buk, walaupun tidak sebesar yang dimiliki Kiai Sen- dang.

“Kami akan minta ganti kematian junjungan kami, Kiai Sendang,” anak muda itu berkata tenang.

“Hwarakadah! Kamu ingin bergantian mati dengan Kiai Gendang ini?” tanya Kaki.

“Namaku Sura Ampal. Aku putra Kiai Sendang. Jika aku tak bisa membalas kematian ayahku, lebih baik aku mati!” Dan pemuda bernama Sura Ampal itu pun melecutkan cambuknya. Terdengar ledakan keras. Cu- kup untuk membuat orang kecut walaupun tidak meng- gelegar seperti Kiai Sendang tadi.

“Hwarakadah! Gemas aku! Gemas aku!” Kembali Ka- ki membanting-bantingkan kakinya. “Siapa tadi yang batuk, ya? Kamu, Nini?”

“Bukan batuk! Rasanya seperti ada orang menjentik- kan jari, hihihi!” Nini tertawa.

“Hei, Gigi Rompal! Kamu ingin hangus seperti Kiai Dendang ini?” tanya Kaki.

“Memang aku bukan tandingan kalian, tetapi jika aku gugur hari ini aku akan bahagia karena bisa mati bersama ayahku!” Sura Ampal bersuit. Bagaikan satu badan, ratusan orang itu bergerak. Puluhan ujung tom- bak kini langsung mengancam Kaki, Nini, dan Tole. “Kami sehidup semati. Kaubunuh satu, kaulukai seribu. Sesakti apa pun kalian, masakan bisa lolos dari sekian ratus senjata kami!”

“Hwarakadah anak kurang ajar ini! Kau berani ber- bahasa kasar pada kami yang mungkin setingkat lebih tinggi dalam umur dari ayahmu?”

“Kalian musuh, kalian pembunuh. Untuk apa di- hormati?”

“Hihihi... Tole!” Nini berpaling pada Tole. “Orang ini ingin membunuhmu. Nah, cegahlah itu, tanpa kau ha- rus membunuh.”

“Saudara Sura Ampal, kematian ayahmu sungguh suatu ketidaksengajaan,” Tole maju, berkata sabar. “La- gi pula, beliau yang memulai pertarungan.”

“Aku tak ingin kita berbicara, aku ingin kau mati!” Dengan gemas Sura Ampal melancarkan serangan kilat pada Tole.

Di luar dugaan semua orang, ternyata Tole diam sa- ja. Tentu saja membuat punggung dan dada Tole ter- gores sebuah luka yang dalam!

“Tole!” teriak Nini.

Dan Tole roboh. Tetapi segera bangkit kembali de- ngan menahan kesakitan dan menyisihkan tangan Nini yang ingin membantunya berdiri.

“Seperti itulah, Saudara Sura Ampal,” kata Tole sambil menahan sakit. “Cambukanmu pasti tak sengaja untukku. Untungnya... tidak terlalu kuat hingga... aku masih selamat. Tetapi lain dengan Kiai Sendang tadi....

Daya tolak dan kesaktian beliau begitu besar, hingga bentrok tenaga yang terjadi begitu besar... dan beliau tewas. Kuharap dengan cambukan ini... kau puas dan...

menyudahi saja perkara ini!”

“Tidak! Aku inginkan kepalamu!” Dengan sangat ge- ram Sura Ampal bersiap melecutkan kembali cambuk- nya.

“Tole! Jangan diam saja!” teriak Nini.

“Dia berhak membunuhku. Lakukan, Sura Ampal.” Tole mencoba tersenyum.

Sura Ampal tanpa ampun membuat gerakan jurus cambuk andalannya. Dan cambuk melesat di udara. Sesaat terlihat cambuk itu akan membelah kepala Tole. Sesaat terlihat pula bahwa Tole tak akan bergerak. Dan kemudian tahu-tahu di tempat Tole berdiri telah berdiri Nini, sementara Tole telah tergeser beberapa langkah ke belakangnya.

“Anak gila!” bentak Nini, tangannya mencengkeram ujung cambuk Sura Ampal. “Kau dan seluruh anak buahmu takkan sanggup mengalahkan kami, tahu?”

“Kami rela bela pati!” sahut Sura Ampal, mencoba menarik kembali cambuknya. Tetapi cambuk itu bagai- kan ditindih gunung batu.

“Mati sia-sia apa untungnya!” desis Nini. “Dengar! Aku akan memberimu kesempatan untuk bertarung de- nganku. Senjata andalanmu cambuk. Aku akan mema- kai cambuk pula. Dan aku berjanji tak akan menggu- nakan kesaktian apa pun. Jika sampai kau berhasil menyentuh kulitku sedikit saja, kami menyerah. Orang tua gundul itu boleh kaubunuh!”

“Hwarakadah! Enak sekali! Gemas aku!” sela Kaki. “Diam!” bentak Nini.

“Tidak adil. Bisa saja kau pura-pura mengalah hanya agar aku dibunuh!” bantah Kaki.

“Ini semua gara-garamu, tahu!” tukas Nini.

“Hehehe! Keliru! Gara-gara Tole. Biar Tole saja yang dibunuh, ya?”

“Boleh,” sahut Nini. “Bagaimana, Anak muda?”

“Kau benar-benar hanya akan memakai cambuk?” tanya Sura Ampal ragu-ragu. Ia juga sadar akan kesak- tian paling tidak kedua orang tua itu, yang sanggup me- morak-porandakan pasukannya. Memang tak ada gu- nanya bunuh diri.

“Tentu,” sahut Nini. Seenaknya ia mencabut tali ikat pinggang Tole. Sekali entak, memang tali itu tercabut, walau Tole terpaksa harus berputar bagai gasing dan roboh.

“Lihat!” Nini melecutkan tali itu ke udara. Dan me- mang tali itu bisa mengeluarkan suara bagaikan seba- tang cambuk! Tentu saja cambuk biasa.

“Wah, Nini! Ternyata kau pantas jadi gembala, lho!” kata Kaki bertepuk tangan.

“Hayo, maju, Anak muda!” Nini bersiap-siap dengan cambuknya.

“Baik. Jika aku berhasil menyentuh tubuhmu, kalian kalah!” Hati-hati Sura Ampal menggeser kaki mengubah kuda-kuda.

“Ya. Dan dia dibunuh!” Nini menuding Kaki. “Dia!” Kaki menuding Tole. “Ya,” kata Tole.

“Baiklah! Jaga serangan!” Mendadak tubuh Sura Ampal bergetar. Kuda-kudanya tampak aneh. Kaki ter- buka lebar, lutut menekuk, dan kedua tangan seakan beristirahat di atas lutut sementara cambuknya berdiri bersiaga, dan saat kakinya membuat tubuhnya berpu- tar, bahunya secara berirama diangkat dan digetarkan. Matanya tajam mengawasi gerak-gerik Nini.

Walaupun sangat tinggi ilmu kesaktiannya, Nini sa- ngat jarang turun dari padepokannya. Maka gerak-gerik Sura Ampal membuatnya terpesona beberapa saat. Kaki yang juga belum pernah melihat gerakan ini agaknya juga tertarik dan menirunya sambil mengiringinya de- ngan suara, “Tak tung, tung tak tung tung, tung tuk tung tuk, e, e, e, e, yaaaaa... Hihihi, gemas aku, e, e, e, e, yaaaaa! Tak tung tung tak tung tung tung tak tung tung, e, e, e, yaaaaaa!”

Tiba-tiba saja cambuk Sura Ampal melesat. Terkejut Nini melompat, dan langsung melompat kembali. Duga- annya benar. Serangan pertama itu memang dua sera- ngan beruntun. Dan begitu gagal Sura Ampal telah ber- putar agaknya dalam kuda-kuda bertahan.

“Eh, enak juga... ya!” Dan Nini juga mulai memasang kuda-kuda kini. Kaki kirinya perlahan terjulur ke de- pan. Tangan kanannya gemulai berputar dan ikut men- julur, sementara tangan kanan yang memegang tali ikat pinggang Tole mundur turun dan kepala ditelengkan. Ia pun bergerak bagaikan menari sesuai irama suara mu- lut Kaki.

Kedua tokoh yang berhadapan itu memang tampak aneh. Sura Ampal tampak begitu mantap dan gagah da- lam berbagai langkahnya sementara Nini lemah gemulai dan makin lama serasa makin tampak cantik dan mu- da. Tetapi terlihat dalam kelemahgemulaian itu ter- sembunyi kegesitan luar biasa. Serangan-serangan be- runtun dan bertenaga dari Sura Ampal sama sekali tak berhasil mendekati tubuhnya. Dan sementara Nini me- mang hanya terus menghindar. Namun kemudian ke- tika tangan kirinya mulai bergerak, tali di tangan itu bagaikan hidup, bagaikan ular terbang yang mengam- bang dan mengejar ke mana pun lari Sura Ampal—atau menghadang serbuan cambuknya.

Inilah sesungguhnya Rahula Arani, ilmu cambuk mi- lik Nyai Rahula. Nini sesungguhnya paling tidak suka pada ilmu ini karena pemiliknya menjadi istri kakaknya, dan menurut pikirannya, mencuri kasih sayang sang kakak. Tetapi ia sering melihat Nyai Rahula berlatih hingga sedikit-sedikit ia mengerti. Bagian yang tidak di- ketahuinya diisinya dengan gerakan Tan Trasanana yang penuh rahasia itu.

Tak lama kemudian segera tampak bahwa Sura Am- pal telah terdesak. Ledakan-ledakan cambuknya sudah hampir tidak terdengar lagi sementara tali di tangan Ni- ni makin lama makin menggetarkan sukma. Dengung tali itulah yang sungguh membingungkan Sura Ampal. Lebih dari itu Kaki juga ikut mengacaukan pikirannya dengan iringan suaranya, “Tak tung, tung tak tung tung, tung tak tung tung tung tung tung tung... e, e, e, e, yaaaaaaa! He ho he, he ho he, he ho he... e, e, e, yaaaaa!”

Tapi ada yang lebih membuatnya kacau pikiran. Agak jauh dari tempat pertempuran mereka, anak muda yang tampak linglung itu juga lama kelamaan ikut ‘me- nari’ dengan irama yang diteriakkan oleh Kaki. Tetapi gerakan Tole sama sekali tidak sama dengan gerakan Sura Ampal. Hei! Sura Ampal melihat sesuatu!

“Ugh!” Hampir saja kepala Sura Ampal tersambar oleh ujung tali Nini. Ia terpaksa berguling berputar, menggelinding, dan melompat mundur.

“Hihihihi... Kaki, lihat, agaknya ia ingin segundul kamu!” Nini tertawa tak mengejar Sura Ampal.

Tapi Sura Ampal tidak berhenti. Ia langsung menye- rang lagi. Namun kini ia lebih waspada. Ia tadi mem- perhatikan betapa Tole ternyata tak terpengaruh oleh I- ringan teriakan Kaki—sementara dia, yang memang bergerak seirama dengan gerakan tadi, ‘terpaksa’ meng- ikutinya. Dan dilihatnya juga betapa gerakan Tole selalu berlawanan dengan gerakan yang diiringi oleh lagu Ka- ki—pada tempat di mana Kaki berteriak ‘Tak’ biasanya ia memang menyerang, maju, menendang, atau meng- hantam dengan cambuknya. Sedang ‘Tung, tung, tung’ melambangkan langkah ke samping kiri atau ke kanan. ‘E, e, e!’ selalu mengiringi gerak langkah maju-mundur yang mendahului serangan. Dan biasanya, gerakan Tole yang sesungguhnya menirukan gerakan Nini, berlawa- nan dengan ini semua. Ia juga merasakan betapa sema- kin ia memusatkan pikiran pada Nini, maka semakin berat tekanan Nini. Namun begitu ia lebih santai, mi- salnya dengan sedikit melirik ke Tole, maka tekanan itu terasa berkurang. Ini memang sesungguhnya kelema- han Nini. Ia memakai ilmu cambuk Rahula Arani yang bukan miliknya. Karenanya sambil bergerak ia mengin- gat-ingat ilmu tersebut. Saat Sura Ampal bersungguh- sungguh, maka ia dengan bersungguh-sungguh pula mempelajari berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Dan dengan ketinggian ilmunya, maka perkiraannya se- lalu tepat. Begitu Sura Ampal berlaku acuh tak acuh, segala perkiraannya kacau dan serangan anak muda ini mulai tak terduga dan sangat mengganggu. Merasakan keberhasilan ini, Sura Ampal mulai bersemangat lagi. Gerakannya terlihat makin kacau, tetapi sesungguhnya malah lebih ampuh. Dua-tiga kali kaki Nini nyaris ter- sabet.

Kaki juga melihat perubahan ini. Beberapa saat ia tak mengerti apa yang terjadi. Tetapi matanya yang ta- jam segera tahu bahwa Sura Ampal sesungguhnya me- mantau gerakan Tole untuk mempersiapkan diri dari serangan Nini.

“Ha, Anak tolol, mengapa kau menari tidak sesuai iramaku?” katanya tiba-tiba, memutuskan ‘gamelan’ mulutnya. Dan mendadak saja ia menyerang Tole!

Tole terkejut, tetapi dengan wajar ia langsung meng- gunakan gerakan yang baru dipelajarinya dari Nini. Dan hebat juga, beberapa terjangan Kaki ternyata berhasil dihindarinya sementara kepalannya beberapa kali mengancam kepala gundul Kaki.

“Eh, kau berani, ya! Gemas aku!” Kaki makin beri- ngas. Tiba-tiba ia berguling dan mendadak terdengar Sura Ampal menjerit.

Rupanya Sura Ampal juga terkejut sewaktu Tole di- serang. Bukan saja gerakannya dikacau, tetapi ia bah- kan ikut meloncat-loncat seperti Tole tanpa memperha- tikan serangan Nini!

Akibatnya tali Nini berhasil melibat kakinya, dan ke- tika tali itu ditarik keras, Sura Ampal jatuh terbanting! Dan kemudian, dengan sekali lecutan tali, cambuk di tangan Sura Ampal tercabut keras dan lepas.

Semua terdiam. Tali Nini mendengung di udara dan mendadak melesat menghantam sebatang tiang penda- pa. Tiang itu hancur berkeping-keping.

“Hihihihi... Anak tolol, sekarang bagaimana? Aku bi- sa dengan mudah menghancurkan kepalamu!” kata Ni- ni, tertawa.

“Huhuhuhuhu!” Kaki juga tertawa, meninggalkan Tole yang terpukau oleh perkembangan ini. “Jadi aku tak jadi dibunuh, ya?”

“Kau boleh membunuhku!” kata Sura Ampal ketus tanpa bangkit dari tanah. “Hanya... ampuni anak buah- ku. Jika mereka ingin pergi, biarkan pergi.”

“Sura Ampal, aku suka padamu,” tiba-tiba Tole ber- kata. “Kau setia pada ayahmu. Setia pada kawanmu. Dan cukup cerdas untuk mengetahui kelemahan lawan- mu. Sayang terlambat.”

“Lalu kenapa?” tanya Sura Ampal.

“Kau bukan orang tolol. Apa gunanya mati selagi mu- da? Padahal kau begitu cerdas. Lebih baik kau minta untuk diberi hidup oleh Nini. Agar kau bisa belajar lagi. Dan kelak datang untuk menuntut balas.”

“Wuah! Siapa kaukira kau ini, seenaknya memberi nasihat begitu?” Nini geram melecutkan talinya ke arah Tole. Tole tak bergerak karena tahu tali itu tak akan me- ngenai dirinya.

“Aku tahu Nini akan mengabulkan permintaan se- perti itu,” kata Tole.

“Enak saja!” dengus Nini. “Siapa berani memaksa- ku?”

“Aku.”

“Kau? Hihihihi... sekali tiup saja kau roboh!” kata Nini.

“Memang. Tapi aku akan membela dia.”

“Kurang ajar!” Tiba-tiba Nini melecutkan talinya. Kali ini Tole cepat menggeser kaki, menghantam bawah le- ngan Nini, dan merenggut ujung tali di udara. Nini ter- kejut. Jika ia meneruskan cambukannya, maka bagian bawah lengannya terhantam telak. Ia terpaksa menu- runkan lengan, tetapi Tole telah mencengkeram ujung tali dan mengentakkannya.

“Eh, kau berani adu tenaga?” Nini tertawa. Sesaat Tole merasa seolah tangannya tak memegang apa-apa, tetapi kemudian sebuah entakan keras membuatnya terbanting!

Sesaat kemudian Tole telah berdiri. Dan tangannya tetap memegang ujung tali Nini!

“He, kadal ini cukup tangguh, Nini, tak kalah dari si Tantri, ya, hehehe,” kata Kaki mendekat. Agaknya ia melihat sinar amarah hebat di mata Nini.

Redup seketika amarah Nini yang merasa telah ‘di- tantang’ oleh seorang anak ingusan seperti Tole ini.

“Hihihi... benar... bandel sekali!” katanya.

“Ingat waktu kecil pernah kaulempar dia ke danau hanya karena ia rewel?” tanya Kaki.

“Ya. Ia tak mau makan karena nasinya terlalu putih. Dan ia berusaha keras berada di dalam air selama- lamanya karena ingin membuktikan ia bisa melawan kehendakku, yang menghendakinya timbul!” Nini mang- gut-manggut. Matanya terus mengawasi Tole. Tetapi tali di tangannya mengendur. “Baiklah. Aku ampuni kau. Aku ampuni dia.” Ia berpaling pada Sura Ampal. “De- ngan syarat.”

“Apakah syarat itu, Nini?” tanya Tole.

“Ya mana aku tahu,” kata Nini berpaling pada Kaki. “Kamu tahu nggak syaratnya apa?”

“Wah, pertanyaan sulit. Aku harus garuk-garuk ke- pala, nih ” Kaki benar-benar garuk-garuk kepala. “Aku

tahu. Mereka masih boleh terus merampok, merompak, membajak, maling, dan sebagainya! Hebat, bukan?”

“Bagus sekali!” Nini bertepuk tangan. “Aku tahu kau pasti tak akan mengecewakan mereka!”

“Jelas! Dengan syarat mereka tak boleh membunuh, tak boleh menyerang, tak boleh memaksa. Kecuali kalau mereka dibunuh lebih dulu. Nah, hebat toh? Jadi akhir- nya mereka tetap tak bisa membunuh, ya toh?” kata Kaki. “Setuju!” Nini meletuskan talinya di udara.

“Mereka harus jadi perampok baik hati!” kata Kaki dengan megah.

“Setuju!”

“Mereka harus menyediakan makanan di sini. Harus lengkap. Makanan apa saja ada. Termasuk makanan negeri seberang! Daging panggang Galijao! Sayur negeri Atas Angin. Pokoknya lengkap! Siapa pun datang, boleh langsung makan. Dan perampok-perampok ini semua, tak boleh menampakkan diri!”

“Bagus sekali! Ini tugas yang sangat sulit. Kalau me- reka gagal, mereka kita bantai!” teriak Nini.

“Tapi biar mereka senang, semua orang yang lewat sini, harus mampir. Harus makan. Dan waktu pergi ha- rus meninggalkan harta benda untuk pembayaran. Jika tidak, mereka boleh dibantai!” kata Kaki bersemangat.

“HOREEEEEE!” bahkan para perompak ikut berso- rak.

“Terima kasih, terima kasih, terima kasih!” Kaki gundul ini manggut-manggut gembira. “Pokoknya kalau tamunya kurang ajar, boleh digampar! Begitulah syarat- syaratnya.”

“SETUJUUUUUU!” teriak para perampok kecuali Su- ra Ampal yang telah berdiri dan tampak kebingungan.

“Tunggu. Bagaimana dengan kadal kecil ini?” tanya Nini, menunjuk pada Sura Ampal.

“Dia? Dia boleh hidup. Dia boleh jadi pimpinan baru di sini. Terserah. Barangkali dia mau jadi saudagar ya terserah. Lebih baik dia jadi pimpinan di sini. Bagaima- na, Saudara-saudara?” tanya Kaki pada para perampok. “SETUJUUUUUUUUU!” teriak para perampok gemu-

ruh.

“Terima kasih,” kata Sura Ampal sambil mengangkat tangan hingga semua sunyi senyap. “Aku gembira bisa diampuni oleh kedua tetua ini. Aku gembira bisa me- mimpin kawan-kawan semua. Aku senang atas semua persyaratan yang aneh itu. Tetapi aku merasa belum cukup kuat untuk menggantikan ayahku. Apalagi un- tuk membalas dendam kematian ayahku. Lebih baik aku pamit untuk mencari guru dan kelak kembali ke- mari!”

“O, tidak perlu, tidak perlu! Kau boleh berguru pada- ku. Aku jamin dalam tiga tahun kau paling tidak bisa mengalahkan si kadal itu. Habis itu, jika kau mau bela- jar sendiri, kau pasti bisa membunuh istriku, gampang sekali, kok!” kata Kaki.

“Kurang asem! Begini saja. Kauajar anak gila itu, aku ajar anak tampan ini, tiga tahun lagi kita adu. Jika mu- ridmu menang. Dia boleh bunuh aku,” tukas Nini.

“Itu juga bagus! Itu juga bagus! Dan kalau dia berani membunuh kau, dia akan aku bunuh! Hihihi! Bagaima- na, he, kadal! Kau berani?” tanya Kaki pada Sura Am- pal.

Beberapa saat Sura Ampal termenung. Tak pelak lagi kedua orang ini memang orang-orang sakti yang jarang ia temui. Bahkan mereka melebihi kakek gurunya, jika sang kakek guru itu masih ada. Ilmu si Nini ini, walau- pun tampak kacau, merupakan ilmu cambuk yang ba- kal bisa sangat diandalkan. Dan agaknya cara mengajar mereka juga luar biasa. Murid mereka yang tampak to- lol itu pun agaknya tak bisa dibuat main-main.

Akhirnya dia mengangguk. Dan tiba-tiba duduk ber- simpuh menyembah Kaki. Serentak para perampok anak buahnya juga bersimpuh, dan para saudagar ta- mu beberapa saat kebingungan, namun mereka pun kemudian duduk.

“Hamba, Sura Ampal, menghaturkan hormat kepada Guru... mohon diterima!” sembahnya. “Huahahahahaha!” Kaki berlompat-lompatan gembi- ra. “Aku punya murid, aku punya murid, huahahaha... Nini, kau tidak punya murid!”

“Tole muridku!” teriak Nini berang, ragu-ragu me- mandang Tole. Anak itu pernah menolak diambil murid olehnya.

Tetapi ternyata Tole pun duduk bersimpuh dan menghaturkan sembah.

“Hore, aku juga punya murid, heeeee!” Nini mengejek Kaki.

“Tapi muridku lebih hebat. Dia adalah pemimpin pe- rampok di Sendang Ampal ini. Dan untuk mengingat ayahmu, he, kadal, kau kuberi nama Kiai Sendang Am- pal! Hebat, bukan?”

5. DUA ORANG MURID

SEJAK saat itu, lembah Sendang Ampal tak seperti bi- asanya. Para ‘pengunjung’ tempat istirahat di tengah rimba lebat itu makin banyak. Nini dan Kaki membuat tempat itu jungkir balik. Mula-mula Nini mau tempat itu mirip pasar: semua perampok jadi pedagang ma- kanan, minuman, tukang pijat, tukang cuci, penari, dan bahkan ‘penunjuk jalan’ yang berkeliaran di hutan- hutan sekitar tempat itu untuk memaksa orang-orang mampir ke Sendang Ampal. Ternyata orang-orang yang terakhir itu terlalu bersemangat, bukannya hanya men- cari orang-orang yang bepergian, tetapi juga masuk ke desa-desa di sekeliling hutan untuk memaksa orang- orang desa bepergian dan mampir ke Sendang Ampal. Ini tentu mengganggu Tole yang memang tak suka pak- sa-memaksa. Mendengar pertentangan antara Tole dan Nini, Kaki sangat gembira. Untuk membuat Nini makin gemas, ia juga menyuruh ‘murid’-nya, Sura Ampal alias Kiai Sendang Ampal Muda, untuk ikut menggiring orang-orang desa. Tetapi ternyata Kiai Sendang yang masih muda ini sependapat dengan Tole, dan ia meno- lak. Hampir terjadi bentrokan antara Nini dan Kaki ten- tang ini. Akhirnya pasangan aneh ini bisa dibujuk un- tuk menyerahkan keputusan kepada Kiai Sendang se- bagai penguasa Sendang Ampal. Setelah lama be- runding berempat—di mana Tole dan Kyai Sendang be- rusaha keras untuk berunding dengan bersungguh- sungguh, sementara Kaki dan Nini berusaha untuk membuat berbagai peraturan yang lucu—akhirnya di- capai kesepakatan:

1. Pimpinan Sendang Ampal, sekali lagi dite- tapkan, adalah Kiai Sendang.

2. Nini dan Kaki berhak memberi usulan, karena mereka adalah guru, tetapi tidak boleh marah jika usulannya ditolak. (Jika ini dilanggar, mu- rid masing-masing berhak untuk meninggal- kan gurunya.)

3. Semua kegiatan Sendang Ampal dipusatkan di Sendang Ampal saja, tak usah mengirim orang ke mana-mana.

4. Agar tidak terjadi paksaan dalam jenis apa pun, para perampok Sendang Ampal tak boleh memperlihatkan dirinya, kecuali untuk meng- gantikan makanan atau minuman atau kemu- dahan lainnya. Bahkan para penabuh gamelan juga tak boleh tampak.

5. Para tamu harus menunjukkan sikap wajar, bersahabat, dan tidak curiga, di samping harus menyerahkan sumbangan. Jika ini dilanggar, maka para tamu boleh diserang.

Kesepakatan ini, walaupun tak terlalu memuaskan baik bagi Nini ataupun Kaki, terpaksa disetujui, meng- ingat sanksinya.

Dengan bergaul seperti itu, Tole melihat bahwa se- sungguhnya Kiai Sendang yang muda itu tidak terlalu buruk atau jahat. Anak muda itu agaknya memang pu- nya bakat memimpin yang baik. Dia juga seorang murid yang rajin. Dengan tekun ia mempelajari apa saja yang diajarkan oleh Kaki, walaupun sering tidak masuk akal. Dan jelas sekali ia sangat ingin menguasai ilmu cam- buk, ilmu yang merupakan andalan ayahnya dahulu. Ini sesungguhnya menyulitkan Kaki. Ilmu Rahula Arani bukanlah ilmunya. Tetapi karena tak mau kehilangan murid, maka ia terpaksa menciptakan berbagai jurus baru, disesuaikan pula dengan ilmu Sura Ampal dahu- lu. Hasilnya memang jadi sangat berbeda dari Rahula Arani. Di dalamnya juga diselipkan berbagai pukulan bertenaga dalam hingga segala gerak Kiai Sendang sungguh ampuh. Dan Kaki memberi ilmu ‘baru’ ini na- ma baru juga, Taksaka Kroda, atau Sang Ular Marah. Tetapi nama jurus-jurusnya sama sekali tidak memakai nama ular, melainkan dengan kata hewan kesukaan- nya, ‘kadal’. Memang gerak-gerak tersebut sangat meng- andalkan kegesitan, dan di situlah letak perbedaannya dengan ilmu cambuk Kiai Sendang Ampal yang terdahu- lu. Jika dulu yang diandalkan adalah keperkasaan, se- karang kelincahan menjadi andalan.

Tole sendiri mendapat kemajuan yang sangat berarti. Daya pikir Tole masih terganggu oleh kesalahan perawa- tan Kaki dan Nini dulu. Ia masih mencurigai Nini dan Kaki, tetapi sesuatu menyatakan padanya bahwa ajaran yang diberikan Nini sangat berguna baginya—Nini tidak hanya tidak menyadap ilmunya, tetapi malah memper- kuat dasar-dasar yang telah dimilikinya. Kadang-ka- dang ia merasa bahwa nenek berwajah muda ini mung- kin sekali adalah pengejawantahan gurunya yang entah di mana. Atau mungkin malah gurunya sendiri yang menyamar. Tole tak pernah berpikir lebih jauh dari itu. Kepalanya begitu pusing jika harus memikirkan hal-hal tentang masa lalunya.

Ia sering termenung dan memikirkan seorang gadis. Ia tahu namanya Tari. Sesama murid Rahtawu. Tetapi ia tak ingat, atau otaknya tak mau mengingat-ingat apa pun tentang gadis itu.

“Ehm!” terdengar suara berdeham. Tole berpaling.

Ia sedang duduk di atas sebuah batu di sungai kecil yang bersumber di sumber air Ampal. Udara sejuk, pe- pohonan rindang, yang terdengar adalah gemercik air dan sayup-sayup suara gamelan. Kelompok penabuh agaknya sedang berlatih. Mungkin tadi ia agak mengan- tuk. Di atas tebing sana, di antara semak-semak hijau segar, berdiri Kiai Sendang Ampal Muda, bertelanjang dada. Dan walaupun hawa dingin, tampak dada yang bidang itu berkeringat. Agaknya pemuda itu baru mela- kukan latihan paginya.

“Boleh aku turun?” tanya Kiai Sendang. “Ya,” jawab Tole.

Kiai Sendang melompat, berputar di udara, dan tu- run lembut di samping Tole.

“Kakang Tole tahu itu tadi gerakan apa?” Kiai Sen- dang yang muda itu bertanya.

“Tidak,” jawab Tole.

“Kadal Terpeleset,” kata Kiai Sendang, mengangkat bahu dan duduk di sebuah batu di hadapan Tole, men- celupkan kedua kakinya ke dalam air.

Tole kembali memperhatikan air di bawahnya. Apa yang sedang dipikirkannya tadi? Ya. Seorang murid per- guruannya. Perguruannya. Siapa gurunya. Bukan Nini yang tidak keruan ini. Gurunya sangat bersungguh- sungguh. Tak pernah bercanda. Bijaksana. Siapa na- manya? Ya. Dari Rahtawu. Ah.

“Engkau tak tertarik, Kakang?” suara Kiai Sendang kembali memecah pikiran Tole. Mereka memang berbi- cara dengan bahasa kasar.

“Tertarik apa?” tanya Tole.

“Gerakanku tadi. Kadal Terpeleset. Kata Kaki gerak- an itu akan sanggup menjegal gerakanmu. Yang mana pun.”

“Mungkin.” “Pasti!” “Mungkin.”

“Bagaimana kau tahu? Melihat pun tidak.”

“Aku dengar suaranya. Gerakan kaki kirimu terlalu lemah. Dengan mudah aku bisa menyapu kaki itu. Dan kau akan kesulitan.”

Kiai Sendang tertegun. Berpikir sebentar. Kemudian meloncat ke darat. Memasang kuda-kuda. Dan dengan gesit melakukan beberapa gerakan. Dan ia tertegun. Memang. Ia juga merasa kedudukan kaki kirinya begitu lemah.

Kyai Sendang menggelengkan kepala. Kembali duduk di batu. Mencelupkan kakinya ke air.

“Kau cerdas. Dan teliti. Dan mungkin akan jauh le- bih sakti dari aku,” kata Kiai Sendang kemudian. Mere- nung. “Tetapi, aku yakin kelak aku akan mengalah- kanmu. Jika kita harus bertarung.”

“Oh, ya?” sambut Tole.

“Ya. Karena kau seperti ini, Kakang.” “Seperti apa?”

“Seperti ini... tak punya perhatian sama sekali. Tak punya semangat. Persis seperti kedua guru kita.”

“Kenapa mereka?”

“Lihat mereka. Aku yakin, mereka adalah salah satu orang-orang tersakti di zaman ini. Aku melihat mereka bertarung dengan ayahku. Aku mengenal mereka sela- ma ini. Jika mereka mau, mereka bisa mengabdi di Wilwatikta dan mengukir nama besar. Mereka bahkan... mampu berontak dan mendirikan kerajaan sendiri. Lalu apa yang mereka lakukan? Huh.” Kiai Sendang memijit pecah batu yang didudukinya, dan melemparkan ke- pingannya sedemikian rupa sehingga dapat meluncur dan berkelak-kelok melewati tiga batang pohon jauh di atas mereka.

“Apa yang mereka lakukan?” tanya Tole heran. “Mereka cuma bersendau-gurau setiap hari. Mereka

tak tahu harus berbuat apa. Mereka tak punya tujuan. Mereka datang kemari... coba... dengan tujuan apa?”

“Aku... aku tidak tahu.”.

“Dan setelah mereka kemari, mereka lalu mau apa?” “Aku tak tahu.”

“Itulah. Apa gunanya semua kesaktian itu jadinya?

Mereka sama sekali tak punya tujuan!”

“Sedang kau?” tanya Tole setelah beberapa saat Kiai Sendang berdiam diri.

“Aku?” Kiai Sendang merenung lagi sejenak. “Keda- tangan Sang Guru mungkin memang dikirim dewata padaku. Aku yakin, dengan kesaktian yang nanti kupe- roleh, dengan harta yang nanti kuperoleh, aku akan mampu mendirikan daerah bebas di hutan ini. Kemu- dian aku akan memperluas pengaruhku ke selatan. Aku dengar para penguasa di sana sudah banyak yang mu- lai resah dan tak setia pada Wilwatikta. Mereka akan mudah tunduk pada seorang penguasa kuat yang ada di dekat mereka. Dan orang itu adalah aku.” Lama Kiai Sendang menatap Tole. “Dalam hal ini, kau bisa jadi pendukung yang sangat besar. Atau penghalang yang sangat kuat. Aku tak banyak berharap dari kedua guru kita. Mereka betul-betul angin-anginan. Tapi kau ka- dang-kadang punya pikiran yang aneh. Mungkin kau tak akan setuju tindakanku dan kau akan menghala- ngiku.”

Tole tak menjawab.

“Ada yang meramal bahwa dari Pantai Selatan ini ke- lak akan muncul kekuatan baru. Orang mengira bahwa kekuatan itu adalah keturunan Sang Bhre Wirabhumi. Orang mengira kekuatan itu adalah putra Kumbini, yang pernah hampir berhasil memberontak pada Wilwa- tikta. Tapi aku percaya, kekuatan itu bisa saja muncul dari lapisan bawah. Dari rimba Ampal ini. Aku.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar