Alap-Alap Gunung Gajah Jilid 05

Jilid V

TADI Dadamanuk telah merasakan kelihayan pemuda jembel itu, maka kali ini menyerang lebih berhati-hati. Lain halnya dengan teman-temannya yang bertindak seenaknya karena terhadap seorang jembel sinting seperti itu, apa yang harus dijadikan pikiran.

Akibatnya sungguh hebat. Satu demi satu murid-murid Bantarkawung itu berpentalan kebelakang sambil dari mulutnya memperdengarkan teriak kesakitan.

Dadamanuk yang berlaku lebih hati-hati hampir dapat mengenai lawan. Ketika kakinya menyerampang, maka kedua tangannya meluruskan dua jarinya keatas untuk mencongkel mata orang. Menurut perhitungan, bila diserampang kakinya tentu si jembel akan melompat keatas yang berarti akan disambut oleh dua pasang jari Dadamanuk yang akan mencongkel mata. 

Kiranya Joko Bledug tidak demikian mudah dapat diakali. Dengan menggeser kaki kebelakang, maka serampangan orang lewat didepannya. Dan bersamaan dengan itu, Joko Bledug menggerakan tangannya sangat cepat kedepan. Tepat pada saat itu Dadamanuk sedang menaikan tangannya. Maka tak ampun lagi kedua tangan murid Bantarkawung itu terhantam kebelakang. Terdengar bunyi tulang yang patah dan Dadamanuk menjerit kesakitan tubuhnya terjengkang kebelakang dengan lengan terkulai.

“Lariii!” Dadamanuk berseru parau.

Sudah sejak tadi para anak buah Dadamanuk menunggu perintah yang demikian, memangnya mereka sadar bahwa mereka masih tinggal hidup adalah karena lawan tidak mau turun tangan kejam. Andaikata tidak demikian apalah susahnya bagi jembel sakti itu membunuh mereka??

Tidak usah menunggu perintah yang kedua kalinya seketika serabutanlah anak buah Dadamanuk para murid Bantarkawung itu melarikan diri. Terakhir Dadamanukpun berrnaksud ambil langkah seribu. Akan tetapi mendadak ia tampak terlonjak matanya mendelik dan seluruh mukanya melukiskan rasa nyeri yang amat sangat.

Kemudian laki-laki tinggi besar itu tersungkur jatuh, dengan wajah tetap melukiskan rasa nyeri dan dendam penasaran, napasnya telah putus!

Joko Bledug terperanjat. Dilihatnya dipunggungnya Dadamanuk tampak menyembul gagang sebuah pisau terbang yang hampir seluruhnya amblas kedalam punggung tepat menikam kejantung.

Sekilas pandang mata pemuda jembel ini terarah kepada si dara, Cunduk Puteri yang masih terpulas tidur. Di tempat itu tidak ada orang lain kecuali Joko Bledug dan Cunduk Puteri, kalau Joko Bledug tidak membunuh Dadamanuk, habis siapakah yang turun tangan? 

Nyata-nyata bahwa Cunduk Puteri sedang tidur berarti pasti ada orang lain yang telah turut campur.

Segera Joko Bledug berlompatan mencari dan memeriksa tempat sekitarnya barangkali ada orang yang bersembunyi. Tidak ditemukan olehnya walaupun ia telah memeriksa sekeliling tempat itu jadi jelas tentu si dara itulah yang telah melakukan pembunuhan itu!

“Nona yang dipanggil Cunduk Puteri untuk apakah membunuh orang tiada guna itu?” tanya Joko Bledug mengandung teguran. Menurut hemat pemuda itu walaupun Dadamanuk hakekatnya adalah seorang yang berwatak kasar dan kotor, akan tetapi belum sepatutnya untuk dihukum mati.

Baru saja Joko Bledug hendak mengulangi tegurannya kiranya Canduk Puteri telah meloncat bangun dari tidurnya, langsung menggerakkan tangannya menyambit.

Serrrr! Serrr! Serr! Tiga buah pisau terbang menyambar cepat kearah Joko Bledug mengarah pada jalan darah yang mematikan.

Joko Bledug terkejut. Serangan yang dilakukan oleh si dara secara sangat mendadak itu, tidak memberi kesempatan untuk berpikir lagi. Seketika sebelah kakinya tampak berjingkai, sedangkan kaki yang lain ditarik digerakkan kebeberapa arah yang berlainan secara aneh, sehingga tubuh pemuda ini tampak bergoyang dan terhuyung seperti orang mabuk. Akan tetapi ia tidak berpindah dari tempatnya, walaupun demikian ketiga pisau terbang yang dilontarkan oleh si dara, satupun tidak ada yang mengenai tubuhnya.

Seerrr! Seeerrr! Seeeerrrrr! Sekali lagi Cunduk Puteri menggerakkan tangannya dengan telapak tangan terbuka rnenyambarlah tujuh batang pisau terbang yang mengarah pada tujuh bagian mematikan ditubuh Joko Bledug.

“Hai nona, apa-apaan ini?” Seru Joko Bledug dengan terkejut. Akan tetapi tak lupa ia melakukan lagi gerakan-gerakan aneh seperti yang baru saja dilakukan itu. Sebelah kaki berjingkai, sedangkan kaki yang lain terayun, terlempar atau terangkat, sementara tubuhnya bergerak-gerak aneh, terkadang memutar atau menggeliat dan menggegol seperti doger menari, tahu-tahu semua senjata si dara lewat disisi tubuhnya belaka, sama sekali tidak melukai, walaupun jarak antara kulit  dan senjata tajam itu tidak akan lebih dari setebal kulit bawang.

Melihat pemuda jembel itu dapat menyelamatkan diri dengan baik dan aneh itu, Cunduk Puteri sejenak termangu-mangu. Selang sesaat ia tersenyum lalu berkata :

“Eh, pemuda kotor, sebenarnya kau ini siapakah? Ada hubungan apakah dengan perguruan Blimbingwuluh?”.

Mendengar nama Blimbingwuluh disebut oleh si dara, sejenak Joko Bledug terkejut. Akan tetapi ia dapat melihat bahwa dara itu tidak yakin dengan pertanyaannya, hanya sekedar menduga- duga belaka.

Sejak meninggalkan perguruan jurang raksasa, memang Joko Bledug bermaksud untuk merahasiakan dirinya. Ia malu untuk dikenal sebagai Joko Bledug ataupun anak murid perguruan Blimbingwuluh. Bagaimanapun juga ia akan tetap berahasia!

“Aku tahu kau mengujiku dengan serangan pisau-pisau terbangmu itu, nona! Dan ternyata aku bukan siapa-siapa bukan? Aku tidak mengenal apa itu perguruan Blimbingwuluh! Sebaliknya aku hendak bertanya, tadi Dadamanuk menyebutmu sebagai Cunduk Puteri, tentu kau seorang dara pendekar yang termashur bukan? Habis darimana dan perguruan mana asalmu? Kalau aku boleh mengetahui pula, mengapa mereka mengejar-ngejar dirimu?”.

Cunduk Puteri menyadari bahwa pemuda jembel yang ternyata berkepandaian tinggi itu sengaja berahasia! Semula, waktu pemuda itu bertarung dengan Dadamanuk anak buahnya, menunjukkan bahwa ia telah melakukan gerakan-gerakan yang mirip dengan ilmu silat Suci Hati dari Blimbingwuluh. Si dara telah mengujinya dengan sambitan-sambitan pisau terbangnya, ternyata pemuda jembel itu dapat melakukan gerakan yang sangat aneh, yang sekalipun masih ada mirip-miripnya dengan jurus ilmu “delapan penjuru dewa” dari perguruan Blimbingwuluh, tetapi bila diperhatikan sangat jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pemuda jembel tadi.

Dalam jurus “delapan penjuru dewa” pada dasarnya hanyalah mangutamakan kecepatan gerak dan ketajaman indera. Sedang gerakan si pemuda tadi jelas tidak berpindah tempat akan tetapi hanya menggerakkan bagian tubuh yang diincar serangan secara aneh doyong miring terhuyung atau mengegol secara tak teratur. Nyata disitu bahwa bukan hanya mengandalkan pada kecepatan gerak dan ketajaman indera belaka, akan tetapi benar-benar seakan memegang kunci dari pada inti setiap gerakan sakti yang tidak mengetahuinya.

Cunduk Puteri adalah seorang dara jelita sakti yang memiliki ilmu kepandaian tidak dibawah Kebo Sulung. Sebagai diketahui bahwa dia adalah puteri tunggal Mbah Pucung seorang guru sakti dari Dukuh Pucung. Kecuali namanya yang telah termashur sebagai seorang dara Pendekar yang perkasa sesungguhnya dia memiliki kekerasan hati yang patut dikagumi. Selama ini ia mengembara sejak dibawah usia lima belas tahun untuk melakukan segala perbuatan bajik yang terpuji membela si lemah menolong si miskin dan menentang semua bentuk kedzaliman. Rasa tanggung jawab berbakti pada hatinya telah benar-benar tertanam berkat gemblengan dan didikan dari ayahnya.

Akan tetapi, dibalik itu Cunduk Puteri adalah seorang manusia biasa, seorang dara berusia muda yang tentu saja memiliki sifat-sifat sebagai manusia biasa. Melihat pemuda jembel yarg berahasia itu yang walaupun tidak ternama ternyata memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi, maka si dara jadi penasaran dan ia bermaksud untuk mengorek keterangan, siapa sebenarnya lawan bicaranya itu! Terutama sekali dalam musim pergolakan yang sedang melanda seluruh pantai utara pulau Jawa ini, orang harus diketahui kepada pihak mana ia berada.

“Namamu Pepriman?” tanya si dara.

Sejenak Joko Bledug termangu. “O, iya!” sahutnya kemudian ia teringat bahwa ia pernah

mengatakan hal itu kepada Dadamanuk.

“Aku telah membunuh Dadamanuk. tanpaknya kau penasaran?” “O, bukan begitu. Maksudku, untuk apakah kita mengotori tangan dengan darah manusia tak berguna itu”. 

“Tampaknya kau bukan penduduk pantai utara pulau Jawa ini, kalau tidak, tentu kau telah mengenal siapa itu Dadamanuk dan siapa itu murid perguruan Bantarkawung! Atau barangkali karena kau sepihak dengan orang-orang itu!”

“Tidak, tentu saja tidak?” Joko Bledug menyanggah cepat-cepat. “Aku tidak mengenal siapa mereka, bagaimana aku bisa berpihak kepadanya? Yang terang, mereka telah bermaksud jahat terhadapmu, itulah sebabnya aku tak dapat membiarkan?”

“Kau toh belum mengenal diriku, tiada sangkut paut apapun antara aku dengan dirimu mengapa kau menolongku?” Tanya Cunduk Puteri dengan nada suara yang renyah.

Keseluruhan jagad yang ada pada diri Cunduk Puteri adalah merupakan suatu daya tarik yang sangat kuat, terutama terhadap hati pemuda sebagai Joko Bledug walaupun pemuda itu berada dalam keadaan yang mirip seorang jembel.

Raut tubuh si dara yang langsing tetapi padat segar yang menyembunyikan segala lekuk-liku tubuhnya yang sedang beranjak menuju kematangan, merupakan daya tarik yang sangat kuat bagi laki-laki.

Kulit tubuhnya coklat kekuningan, dengan pakaian kehitaman yang berkembang-kembang putih sangat serasi. Wajahnya lonjong telur dengan sepasang mata bundar yang bersinar-sinar, menggambarkan sifat yang penuh keberanian menghadapi segala rintangan hidup. Bulu-bulu matanya lentik menarik, hidungnya mancung, letaknya diatas sepasang bibirnya yang merekah mungil itu, sungguh sangat menawan hati. Andaikata keseluruhan bagian tubuh dara ini hendak dicandra, agaknya Joko Bledug akan kehabisan bahasa untuk melukiskan kecantikan dara ini. Belum kita ungkapkan mengenai buah dadanya yang mungal padat dibalik bajunya, maka keremajaan dara Pucung ini, tidak mengherankan apabila ternyata membuat namanya dikagumi setiap orang.

Sejak pertama kali melihat munculnya dara ini tiba-tiba telah tergerak sesuatu dalam hati Joko Bledug. Entah mengapa dara itu mendadak telah membangkitkan suatu perasaan aneh yang berdesir dalam pembuluh darah, setiap ia memandang. Dan Joko Bledug lupa, bahwa dirinya hanyalah seorang pemuda kotor yang berpakaian compang-camping. Rasa sir dalam hati bukan hanya milik orang-orang berada saja, termasuk Joko Bledug yang mengaku bernama si Pepriman (pengemis) juga memiliki rasa sir itu.

Akhirnya, Joko Bledug dapat melihat bahwa kedatangan Dadamanuk maupun para murid Bantarkawung ternyata mengandung maksud jahat. Walaupun andaikata si dara tidak cantik atau jelek sekalipun, Joko Bledug takkan tinggal diam.

Sekarang ditanya secara blak-blakan oleh Cunduk Puteri, sejenak Joko Bledug jadi gugup.

Segera teringat olehnya betapa keadaan dirinya saat ini, maka kemudian sahutnya :

“Bagaimana aku dapat tinggal diam, melihat orang-orang kasar dan buas itu hendak mencelakai dirimu yang sedang tidur pulas?” Tapi akhirnya si pemuda sadar, bahwa apa yang dikatakannya inipun tidak seluruhnya oleh dianggap benar.

Sebab sebelum ia memberikan pertolongan, bukankah si dara tampaknya tertidur akan tetapi dapat melindungi diri sendiri? Terbukti waktu Dadamanuk bermaksud membacok kuda si dara, ternyata si dara dalam keadaan masih seperti orang yang tertidur pulas dapat menggagalkan maksud jahat orang itu. Ini sudah menggambarkan bahwa kepandaian ilmu si dara sangat tinggi untuk menghadapi Dadamanuk dan para anak buahnya tak nantinya memerlukan bantuan orang.

Kalau begitu terima kasih atas budi pertolonganmu kata Cunduk Puteri selanjutnya. “Eh, Pepriman dengan kepandaianmu semacam itu mengapa kau tidak pergi menjumpai paguyuban Banjardawa disana kau akan memperoleh kedudukan tinggi dan kehidupanmu tentu lebih baik dari sekarang”. Joko Bledug mengerutkan kening. Ia baru mendengar nama paguyaban Banjardawa maka ia tidak tahu paguyaban macam apa yang dimaksudkan. Akan tetapi menilik dari pembicaraan si dara  tampaknya paguyuban itu cukup besar sebab dapat menjamin kehidupan orang.

“Paguyuban Banjardawa? Dimana letaknya? Siapa pemimpin mereka? Dan kedadukan yang

bagaimanakah yang dapat diperoleh harap nona jelaskan kepadaku“. Tanyanya.

Letak paguyuban Banjardawa ya ada dipakuwon Banjardawa pemimpin mereka adalah dua orang sakti Ki Genikantar dari Bantarkawung dan Dewi Cundrik dari perguruan Guha Gempol atau istana Telagasona. Saat sekarang ini mereka sedang mengumpulkan banyak orang-orang berilmu untuk memperkuat perkumpulan mereka.

Mereka punya wilayah yang luas, termasuk hutan Banjardawa. Wah, pokoknya, orang berilmu setinggi engkau ini, pasti akan mendapat kedudukan yang enak disana, setidak-tidaknya bisa jadi lurah!”

“Tunggu. Aku belum mengerti!” Tukas Joko Bledug cepat-cepat. “Apakah mereka ini tergolong penggawa praja, ataukah seorang adipati yang dapat mengangkat jadi lurah apa segala? Tadi kau bilang memperkuat perkumpulan, apakah mereka mempunyai barisan prajurit? Jadi... jadi tergolong apakah paguyuban itu sebenarnya?”

Cunduk Puteri tersenyum.

“Justeru mereka mengangkat dirinya lebih tinggi dari adipati. Bahkan mungkin mereka lebih kaya, karena mereka mendapat bantuan dari kompeni!”

Seketika pucatlah wajah Joko Bledug. Permusuhan terhadap Dewi Cundrik, kini diperbesar dengan adanya wanita sakti itu telah bekerja dipihak penjajah. Walaupun Joko Bledug belum pernah berbentrok dengan para kompeni itu, akan tetapi ia cukup mengenal siapa mereka orang kulit putih itu. Ki Ageng Tampar Angin, ayah angkat pemuda ini telah cukup mengajarnya tentang rasa cinta pada tanah air dan bangsanya dan permusuhannya terhadap orang asing telah tertanam sangat mendalam dihatinya. Apabila paguyuban itu ternyata hanyalah sekelompok manusia penjilat penjajah, bagaimana Joko Bledug akan berpihak kepadanya?

“Mengapa nona sendiri tidak masuk paguyuban itu, sedangkan kulihat kepandaianmu sangat tinggi?” Tanya Joko Bledug menyelidik.

“Aku tidak tergolong pada mereka. Jangankan masuk menjadi anggota paguyuban sedangkan

bertemu dengan mereka saja agaknya mereka takkan membiarkan aku berkeluyuran lebih lama!”.

“O, jadi maksud nona tadi menganjurkan aku untuk berpihak pada orang-orang menjilat bangsa asing? Aku lebih suka hidup sebagai jembel begini! Makan tak makan, hidup tenang ditempat ini jauh lebih baik dari pada perbuatan membunuhi bangsa sendiri untuk kepentingan penjajah asing!”.

Mendengar ucapan Joko Bledug yang bersemangat itu, Cunduk Puteri hanya tersenyum simpul belaka. Setelah itu ia menuntun kudanya beberapa langkah, kemudian melompat kepunggung kuda sambil berkata :

“Kata-katamu sangat enak didengar. Pepriman! Tapi ingat, bahwa manusia dihargai bukan

karena mulutnya akan tetapi perbuatannya!”.

Joko Bledug diam termangu, ketika dara itu membalapkan kudanya meninggalkan telaga. Sejenak kelihatan bayangan tubuh dara itu tertutup oleh debu yang mengepul dari atas jalanan, hingga selanjutnya lenyap sama sekali menghilang dibalik hutan belukar.

Ketika malam mulai menurunkan kabut hitam, maka seluruh padang berbatu sekeliling Gunung Gajah tampak sebagai bentuk-bentuk serba suram, dan batu-batu geranit yang bermandi cahaya bulan berpantulan, berpencaran mencoba menembusi gelapnya sang malam dengan sinarnya yang terlalu lembut. Dari puncak datar gunung kecil itu, tampak melayang-layang turun sesosok bayangan gagah yang berlompatan diantara batu-batu, seakan gerakan burung alap-alap yang tangkas dan gesit. 

Bayangan itu terus meluncur kearah timur, memasuki hutan belukar dan menghilang diantara dedaunan yang menghitam. Kemudian muncul kembali beberapa saat kemudian, bila ia telah keluar dari belukar itu yang berarti telah memasuki wilayah perbatasan antara kademangan Moga Slawi.

Beberapa saat bayangan itu berdiri termangu akhirnya bergerak kembali berkelebat kearah timur.

Tengah malam tibalah ia ditengah kademangan Moga dimana saat itu kesunyian kota seakan menghantui seluruh pemandangan. Dan kini sosok bayangan itu telah memasuki pekarangan kademangan. Akhirnya ia berhenti dibalik sebuah batuan bunga mawar yang saat itu sedang menghamburkan wanginya kesegala penjuru.

Taman bunga di kademangan Moga ini merupakan satu-satunya taman bunga yang terindah diseluruh wilayah kadipaten Pemalang karena kecuali luas dan subur ternyata disitu telah tumbuh berbagai jenis bunga yang beraneka ragam bentuknya indah dan berbagai semerbak wanginya. Orang menjuluki taman itu sebagai “taman biduri” atau taman bidadari bukan karena indah dan harumnya taman itu akan tetapi karena taman itu seluruhnya dirawat dan dipelihara oleh puteri demang Moga sendiri yaitu Dewi Yoni.

Dewi Yoni saat ini telah berusia sekitar sembilan belas tahun. Dasarnya memang seorang dara yang dianugerahi Tuhan dengan wajah dan tubuh yang molek dan jelita ditambah ia adalah puteri tunggal demang Moga yang namanya termasyur sebagai seorang demang terkaya diseluruh kadipaten Pemalang. Sehingga “bunga kademangan” yang sedang menanjak dewasa ini, agaknya mampu menggoncangkan segenap pelosok kadipaten dengan kecantikannya, dan tidak sedikit berdatangan para pelamar, pemuda-pemuda maupun para penggede praja yang mengimpikan dapat mempersuntingnya.

Ki Gede Ayom, demang Moga yang menyadari hal ini, kian hari bertambah gelisah apabila mendapatkan kenyataan bahwa Dewi Yoni tampaknya tidak tertarik pada soal berumah tangga, akan tetapi sehari-harian kerjanya tak ada lain kecuali merawat kembang, memetiki daun-daun yang kering atau menyirami kuntum yang sedang kuncup.

Akan tetapi benarkah puteri Demang itu tidak pernah tertarik pada soal kehidupan berumah tangga?

Rembulan sedang tersenyum simpul dipusat langit. Tersenyum dan beranjak dengan lamban akan tetapi pasti, sedang menuju kearah ufuk Barat.

Sinarnya yang ceria dan gemilang itu memandikan permukaan bumi dengan warna serba keemasan yang lembut dan ramah. Hutan gunung lautan sawah maupun kota semuanya dibagi dengan sinarnya sama rata tidak terkecuali terhadap taman bidadari dikademangan Moga.

Di tengah taman pada bibir sebuah kolam yang berair jernih tampak duduk seorang dara ayu sedang termangu sambil tangannya tergenggam sebuah kuntum melati yang sedang kuncup ya inilah ujudnya bunga kademangan yang mampu mengguncangkan kadipaten.

Dara ayu ini tampak sedang berduka hati. Wajahnya yang putih gemilang itu tampak pucat sedangkan sinar matanya redup seakan-akan seluruh inderanya sedang tercurah pada lamunan.

Diseberang kolam itu diatas sebuah batu hitam tampak duduk seorang pemuda gagah yang berwajah tampan. Juga termangu melamun seakan-akan ada suatu hal yang lebih indah untuk dilamunkan kecuali tubuh dara ayu yang berada dihadapannya itu.

Malam hening, sehening suasana dalam taman dan kolam itu. Kecuali suara semilirnya angin yang menggamati dedaunan bunga, atau desir jengkerik di bawah pokok-pokok bunga, tidak terdengar suara apapun.

Hingga beberapa saat kemudian, barulah terdengar pemuda gagah itu mendehem setelah berkali-kali menghela napas. “Dewi. Apakah kau...” beberapa saat pemuda itu tidak melanjutkan kalimatnya seakan ragu- ragu. “Apakah kau tak dapat melupakan dia? Dia sudah mati! Dia telah mendurhakai orang tuanya,  mendurhakai perguruan, dan menghianati kecintaan orang tua terhadap dirinya. Sudah sepatutnya apabila dia menerima kematian itu.”

Dewi Yoni menundukkan wajahnya, dan wajahnya yang kepucatan itu bertambah pucat. “Semua orang berkata demikian. Kukira telah lebih dari duapuluh satu kali kau mengutarakan hal itu, kakang Sogapati. Akan tetapi hatiku... Ah hati seorang wanita, tak mau rasanya aku menerima kenyataan itu.”

“Jadi menurut anggapanmu Joko Bledug belum mati!” Pemuda itu mendesak.

“Mungkin dia bisa mati, tidak untukku! Apabila kakang Sogapati telah mendengar pengakuanku ini, harap tidak mengatakannya kepada orang lain. Aku mengenal Joko Bledug sejak orang tua kita masih suka saling kunjung mengunjungi. Dan aku tahu pasti, bagaimana watak anak paman Kiai Teger. Kakang Sogapati, kuharap kau dapat memahani kata-kataku.”

Pemuda yang dipanggil sebagai Sogapati itu, tampak menghela napas. Dan kemuraman yang sejak tadi membayang dimukanya, kian menebal sebagai mendung.

“Aku tahu, sama sekali tak ada tempatku dihatimu, adi Yoni. Tetapi kuharapkan pengertianmu. Mungkinkah kau mencintai orang yang telah mati, orang yang durhaka terhadap ayahnya, murid murtad ataupun.  ”

“Cukup, kakang Sogapati?”

“Aku mengetahui dari keterangan Dewi Cundrik sendiri selaku tetunggul paguyuban Banjardawa, Joko Bledug telah membunuh dau saudara seperguruannya, Sawung dan Galing, bahkan telah secara tidak patut mengadakan hubungan dengan Dew ”

“Cukup! Cukupl Cukup!” Dewi Yoni berkata setengah menjerit sambil menutupi mukanya. “Kalau kakang Sogapati masih suka kulayani mengobrol janganlah membangkit-bangkit hal itu lagi.” Dan dara ayu itu kini mulai terisak-isak.

“Adi Yoni!”

“Cukup kakang Sogapati!”

“Ya aku mengerti adi!” Kata pemuda Sogapati itu sambil mengeluh. “Aku tahu bahwa antara kalian telah terjalin hubungan saling mencinta sejak kalian masih kanak-kanak. Apakah itu suatu hubungan cinta yang sehat adi? Aku adalah kakak seperguruanmu, dan dalam hal ini tentu saja aku ikut bertanggung jawab untuk menyelamatkan jiwamu dari kesesatan, walaupun soal cinta sekalipun!”.

“Betulkah semuanya itu karena rasa tanggung jawabmu terhadap aku, adik seperguruanmu, kakang Sogapati?”.

“Tentu adi. Tentu! Guru sangat mencintaimu! Seluruh saudara seperguruan juga mencintaimu! Semuanya menghendaki kebahagiaan untukmu Yoni. Tidak terkecuali aku. Aku, aku, mencintaimu... pula!” Dalam waktu mengucapkan kalimatnya yang terakhir itu, Sogapati tampak gugup.

Dewi Yoni mengangkat muka, menatap Sogapati dengan wajah antara senyum dan mencemooh.

“Apakah adi Yoni tidak percaya?”.

“Bukan aku tak percaya kakang. Kecintaan seluruh perguruan Loning terhadap diriku telah kurasakan sejak sekian lamanya. Akan tetapi cinta dan tanggung jawab yang kakang Sogapati katakan itu menimbulkan pemikiran lain dalam hati”.

“Mengapa begitu?”. “Kakang Sogapati adalah anggota Paguyuban Banjardawa bukan?”.

“Betul!”.

“Kakang Sogapati tentu merindukan kedudukan yang diiming-imingkan oleh ketuamu

bukan?”.

Sejenak Sogapati diam, akan tetapi akhirnya mengangguk. “Tapi semua itu untukmu adi,

demi kebahagiaan hidup kita diakhir tua!”.

“Tentang hal itu aku tidak memikirkannya. Akan tetapi jelas bahwa kecintaanmu kepadaku sebagai yang kakang sebutkan tadi memiliki banyak arah”.

“Maksudmu?”.

“Mudah saja! Aku berani bersumpah, tentu paguyuban Banjardawa menghendaki guru Ki Cucut Kawung ikut berdiri dipihaknya. Satu-satunya rnurid yang paling disayang oleh guru adalah aku. Tidakkah ini ada hubungannya antara kepentingan itu, dengan kecintaan kakang kepadaku?”.

Merah Sogapati. Pemuda itu tampak gugup dan gelisah, akan dapatlah ia segera menguasai diri berkat cahaya malam yang samar-samar yang dapat melindungi perubahan sikapnya itu dari pandangan Dewi Yoni.

“Tidak adi. Tidak sama sekali. Aku mencintaimu! Aku mencintaimu setulus hati lebih tulus

dari pada cinta Kebo Sulung terhadapmu!”

“Mengapa kakang menyebut-nyebut nama Kebo Sulung?” Sinar mata Dewi Yoni mendadak

berubah bersinar-sinar.

“O, iya maaf aku ketelanjuran. Tapi... apakah adi Yoni tidak dapat membenarkan tindakan

dan cita-citaku?”

Dewi Yoni diam.

“Adi Yoni. Perguruan Blimbingwuluh serta seluruh orang-orangnya perguruan Pucung dan Kenistan semua itu adalah musuh-musuh kita, musuhku, musuhmu juga musuh ayahmu! Sekali ini apabila kata hatimu itu sampai terdengar orang luar berarti kau telah melihatkan diri pada pihak musuh. Bukan hanya aku dan paguyuban Banjardawa akan memusuhimu akan tetapi ayahmu dan kompeni tentu akan menganggap kau berbahaya! Hal itu harus kau ingat, adi”.

“Ya telah kuminta kakang menutupi hal itu!”.

“Aku dapat menutupinya dari seluruh telinga manusia akan tetapi aku tak dapat menutup

telingaku sendiri”.

“Jadi?” Dewi Yoni terkejut.

“Aku dapat membantumu, akan tetapi kaupun harus membantuku!”. “Membujuk guru?”

Sogapati mengangguk.

Dewi Yoni beberapa saat terdiam. Wajahnya yang pucat itu sebentar berubah-ubah, kadang- kadang kemerahan, kadang-kadang suram atau pucat sekali.

“Aku akan mernikirkannya kakang” kata Dewi Yoni kemudian.

“Betulkah adi? Adi Yoni? Oh!” Sogapati melonjak gembira, kemudian serentak bangkit dari duduknya, menubruk kearah Dewi Yoni dengan mengembungkan kedua tangannya hendak memeluk.

Akan tetapi Dewi Yoni menggeser duduknya sehingga Sogapati hanya memeluk angin. Rupanya Sogapati penasaran. Dengan cepat ia telah memutar tumit kakinya, dan tubuhnya

tahu-tahu telah membungkuk untuk memondong dara itu. 

Dewi Yoni mendorongkan tangannya bermaksud mencegah perbuatan kakak seperguruannya itu akan tetapi karena gerakannya yang terlalu gugup dan keras, sedangkan Sogapati sendiri tidak menduga hal itu akibatnya pemuda itu terjengkang roboh.

Trang! Tepat pada saat Sogapati roboh terjengkang dari balik rumpun-rumpun bunga tampak sebuah benda hitam kecil menyambar. Untungnya Dewi Yoni cepat menggerakkan tangannya gelang dilengannya membentur benda itu, sehingga terdengar bunyi nyaring. Kiranya benda yang menyambar itu adalah sebutir paku terbang yang kepalanya berbentuk kepala anjing atau sona.

“Kebo Sulung!” Sogapati tersentak kaget. Kekagetan itu tampak nyata sekali pada diri Dewi

Yoni yang berdiri tertegak seakan terpaku.

Dan disaat itu pula telah muncul seorang pemuda berdandan sebagai seorang penggawa praja yang tidak lain adalah Kebo Sulung adanya.

“Tidak melakukan menjadi murid perguruan Loning masih sempat juga memperhatikan keadaan keliling” Kebo Sulung dengan senyum mengejek.

“Bukankah kau Kebo Sulung, penggawa kadipaten?” Dewi Yoni menyahut dengan hati kurang senang. “Kedatanganmu ini mengemban berita kadipaten ataukah membawa kepentingan pribadi!”

“Kedua-keduanya bukan! Yayi Dewi, kalau aku mengemban tugas kadipaten, tentu aku akan mengetuk pintu pendopo. Begitupun kalau aku membawa kepentingan pribadi, masakah aku datang dalam keadaan demikian. Sesungguhnya telah sejak sore tadi aku bermaksud menjumpai adi Sogapati. Kiranya aku mendapatkan keterangan kalau dia ada disini, maka aku kemari.”

“Tentu urusan paguyuban Banjardawa bukan?” Sogapati menyela bicara.

“Tidak salah!” Sahut Kebo Sulung cepat-cepat. “Ketua mengharapkan adi Sogapati menghadap malam ini juga!”

“Mengapa malam ini?” Sogapati tampak kurang senang.

“Ada kabar baru tentang puteri Pucung yang bernama Cunduk Puteri itu. Ia telah membunuh Dadamanuk, seorang murid Bantarkawung. Kabarnya dara itu dibantu oleh seorang pemuda yang menyamar.”

Pada saat menyebut kata “menyamar” ini Kebo Sulung melirik tajam dan penuh kebencian kearah Sogapati.

Merah seketika wajah Sogapati. Ia sadar bahwa ia dicurigai oleh Kebo Sulung, maka katanya

:

“Tidak usah dibantu orang, kalau Cunduk Puteri bermaksud membunuh orang tak becus itu

apa susahnya? Mengapa kakang Kebo Sulung mencari diriku, inilah aku tak mengerti”.

“Mudah saja. Diceritakan oleh para murid Bantarkawung yang tak becus itu bahwa pemuda yang membantu Cunduk Puteri menyamar sebagai seorang jembel, tetapi ia lihay memainkan jurus “delapan langkah menbunuh naga”.

Ilmu langkah ajaib yang disebut sebagai “delapan langkah membunuh naga”, adalah salah satu ilmu sakti dari perguruan Loning, yang tentu saja Sogapati sangat memahaminya. Namun, dibalik itu, ia telah dapat menduga dengan pasti bahwa Kebo Sulung benar-benar telah mencurigai.

“Kakang Kebo Sulung. Delapan langkah membunuh naga adalah ilmu langkah ajaib dari perguruan kami Loning !” Kata Sogapati dengan napas terengah.

“O, iya jelas. Dan aku mengerti mengapa ketua perkumpulan menyuruh aku memanggil

dirimu!”. “Kakang Kebo Sulung mencurigai diriku.”

Kebo Sulung tertawa sambil mengangkat pundak.

“Kebenaran itu akan terbukti nanti dihadapan para murid Bantarkawung yang tadi siang menjadi saksi, mereka yang mengalami pertempuran itu?” Kebo Sulung berkata dengan suara ditekan. “Sebab hal ini menyangkut nama baik perguruan Loning, mana berani aku sembarangan berkata. Baiknya adi Sogapati menghadap ketua sekarang. bersamaku!”

Kecurigaan semacam ini, bukanlah soal main-main. Cunduk Puteri dikenal rakyat sebagai seorang pendekar wanita budiman yang mencintai bangsanya, cinta keadilan dan benci pada kedzaliman.

Akan tetapi sebaliknya oleh paguyuban Banjardawa yang pro kompeni, dianggap sebagai seorang pemberontak? Membantu seorang pemberontak, pada masa kini, bukanlah masalah kecil lagi.

“Aku tidak tahu menahu, tentang kematian Dadamanuk!” Seru Sogapati dengan penuh

penasaran.

“Tak perlu dikatakan kepadaku. Aku saja mempercayai perkataanmu, akan tetapi bagaimana pendapat para ketua, aku tak tahu. Tetapi kita juga ingat, bagaimana hubunganmu dengan gadis pemberontak itu pada waktu dulu-dulu!”

“Kakang Kebo Sulung!” Sogapati mulai naik darah.

“Tak perlu mengelak adi. Aku diberi purbawasesa (kekuasaan) penuh oleh ketua paguyuban!

Dan kau mengerti bagaimana sumpah seorang utusan!”.

“Kalau begitu, katakan kepada ketua, bahwa besok aku pergi menghadap!” Kata Sogapati

dengan suara tergetar.

“Ketua menghendaki sekarang juga!”. “Tidak! Masih ada waktu! Besok!”.

“Mengapa besok?” Kebo Sulung tertawa mengejek.

“Akh...”, Sogapati mengeluh pendek. Ia tahu bahwa melawan Kebo Sulung berarti melawan paguyuban Banjardawa. Ia tidak takut akan menderita kekalahan melawan penggawa muda itu, akan tetapi resiko yang ditimbulkan oleh paguyuban terlampau berat. Paguyuban itu tidak segan- segan menjatuhkan hukuman mati untuk anggotanya yang membangkang, apalagi membantu pemberontak.

Namun jelas bahwa Sogapati merasa dirinya tak bersalah. Mengapa harus takut menghadapi ketua? Bukankah saksi hidup yang sekarang ada disana akan dapat membuktikan bahwa ia tak bersalah?

Terpikir hal yang demikian, maka Sogapati akhirnya mau juga untuk dibawa menghadap ketua paguyuban. Akan tetapi sebelum ia berangkat, ia berkata kepada Dewi Yoni :

“Adi Yoni, kuharap kau tetap memikirkan usulku.”

Demikianlah maka Sogapati berlalu keluar taman, diiringi Kebo Sulung yang sebelumnya mengerling dulu kearah Dewi Yoni sambil tersenyum penuh ejekan.

Begitu kedua pemuda itu telah meninggalkan pekarangan taman, maka pada jarak beberapa saat kemudian tampak sesosok bayangan pemuda pula yang membuntuti dengan gerakan sangat gesit.

Kalau Sogapati dan Kebo Sulung menunggang kuda, maka bayangan pemuda yang terakhir itu cukup hanya mempergunakan ilmu lari cepatnya, namun demikian ia dapat mengikuti dengan jarak yang tetap. Menjelang pagi, mereka hanpir tiba didaerah Banjardawa, dan hutan yang merupakan markas pertemuan paguyuban sudah mulai tampak, menghitam sebagai barisan raksasa yang menyeramkan. 

Suasana bertambah hening dengan adanya suara keteprak kaki kuda yang berirama letih, yang terkadang diselang-seling lengkingan burung hantu dari tengah hutan sayup-sayup akan tetapi menambah suasana menjadi lebih menyeramkan.

Begitu tiba pada batas hutan, maka Kebo Sulung melambatkan lari kudanya yang diikuti pula oleh Sogapati. Dan begitu mereka turun melompat dari kuda mereka telah disambut oleh munculnya beberapa orang laki-laki dari balik pepohonan. Dan ketika kedua pemuda itu berjalan memasuki hutan, maka para penyambut telah berbaris dibelakang mareka seakan-akan mereka sedang mengurung jalan lari buat kedua pemuda itu.

Di tanah lapang Banjardawa, tampak duduk Ki Genikantar dan Dewi Cundrik pada tempatnya yang biasa dipakai olehnya, yaitu sapasang batu bulat besar. Tapi kali ini tampak seorang lagi disisi mereka yang duduk pada sebuah batu pula. Orang, ini adalah seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun, raut tubuhnya gagah, wajahnya berpengaruh, terutama sepasang matanya yang memancar sangat tajam seperti mata burung hantu. Dia inilah, demang Moga Ki Gede Ayom adanya.

Dihadapan ketiga orang ini, lengkap hadir seperti biasa, duduk diatas batu yang telah tersedia membentuk setengah lingkaran, yaitu Ki Tambakeso dari kumpulan para nelayan kecil, Ki Tambarekso ketua perkumpulan sintren dari Limbangan.

Juga tidak ketinggalan Toh Kecubung dari Gunung Kelir, dan beberapa tokoh persilatan yarg lain, termasuk para murid mereka.

Melihat munculnya Kebo Sulung dan Sogapati, maka para hadirin tampak berubah tambah tegang, seakan-akan mereka benar-benar sedang menghadapi persoalan yang cukup menelan scluruh perhatian mereka.

Kebo Sulung telah melaporkan hasil perjalanannya dan Sogapati telah mengambil tempat duduk pada sebuah batu yang agaknya telah dipersiapkan lebih dahulu, terpencil dari kelompok yang lain.

“Sogapati!” Ki Genikantar selaku tetungguling paguyuban membuka pembicaraan. “Tentu kau telah tahu mengapa kau dipanggil kemari, bukan? Malam ini, bukanlah malam pertemuan, akan tetapi kita adakan juga permusyawaratan ini. Mengertikah?

“Aku mohon petunjuk sahut Sogapati dengan wajah pucat dan jantung berdebar. “Kakang Kebo Sulung telah menceritakan kepadaku semuanya”.

“Bagus!” Kata Genikantar pula. “Laki-laki sejati harus berani berkata jujur. Perguruan Loning telah banyak menghasilkan tidak terbilang banyaknya lelaki-lelaki tulen, sebagaimana juga engkau. Sekarang ini, paguyuban hendak bertanya kepadamu, terutama aku selaku ketua perguruan Bantarkawung, dengan cara bagaimana muridku Dadamanuk menemui ajalnya?”.

“Aku tidak mengetahui!” Jawab Sogapati tegas, tetapi suaranya bergetar.

“Tetapi kau telah mendengar bahwa Dadamanuk terbinasa oleh Cunduk Puteri bukan?”. “Sudah diceritakan oleh Kakang Kebo Sulung!”.

“Benar. Jadi siapakah yang menyamar sebagai pemuda jembel sombong yang mahir menggunakan ilmu delapan langkah membunuh naga?” Ki Genikantar sudah mulai dipengaruhi oleh kemarahan. Pertanyaannya sudah berubah mengarah pada tuduhan.

“Aku tidak mengetahui. Kukira adalah lebih baik ditanyakan kepada para saksi murid-murid Bantarkawung yang kebetulan sekarang masih hidup dan hadir disini?”

“Hai, kemari kalian!” Seru Ki Genikantar kearah para muridnya yang berada menggerombol

disudut pertemuan itu, Dan mereka bergerak maju mendekat dengan perlahan-lahan. “Siapakah jembel itu?” Seru Ki Genikantar dengam pertanyaan yang sangat lantang bersuara, sehingga tidak saja sekalian hadirin mendengarnya, akan tetapi hutan dan tebing gunung seakan ikut  terkejut oleh terjangan suara orang sakti itu.

“Diaaa?” Hampir serempak, para murid Bantarkawung itu menjawab sambil menunjuk kearah

Sogapati dan tergetarlah tubuh murid Loning itu, terkejut, marah dan penasaran.

”Bohong besar!” Serunya sambil melonjak marah.

Sogapati ingin menampar sekalian mulut para murid Bantarkawung itu, akan tetapi ia tak mungkin dapat melakukannya. Di situ hadir Ki Genikantar, Dewi Cundrik, Kebo Sulung dan tokoh- tokoh sakti yang lain. Belum terhitung Ki Gede Ayom ayah Dewi Yoni. Maka kemarahannya ditahannya walaupun dada rasa hampir meledak.

Untuk sejenak, suasana jadi sunyi, akan tetapi penuh ketegangan.

“Perguruan Bantarkawung bukanlah perguruan cecoro!” Kata Ki Genikantar dengan pandang mata berkilat. “Dadamanuk mudah saja dibunuh oleh siapa saja yang mau, asal memiliki sedikit ilmu membela diri, maka murid tak becus itu takkan berdaya. Tetapi Dadamanuk bukanlah murid kesatu, kedua, ataupun ketujuh dari perguruanku! Dan pemuda jembel yang sombong itu dapat saja menjual lagak didepannya. Akan tetapi aku ingin melihat dan membuktikan apakah benar murid Loning dapat menghina murid Bantarkawung semaunya? Atau aku ingin melihat bagaimana paguyuban ini akan menjatuhkan hukuman atas diri anggotanya yang berkhianat!”.

“Tidak! Bohong besar. Aku tidak bersalah! Aku tak tahu!” Sogapati membela dirinya dengan keras, ia melompat berdiri dengan sepasang tangan mengepal. Tatapan matanya yang berapi, menyapu kearah sekalian yang hadir. Akan tetapi begitu ketemu pandang dengan Ki Gede Ayom, ia melihat seakan-akan ada suatu perintah yang tak dapat disangkal untuk menundukkan muka. Dan pemuda itu menunduk muka.

“Kesalahan tak dapat disangkal lagi!” Ki Genikantar memandang kearah sekalian hadirin seakan memberikan keputusan yang harus diterima. “Pertama menghina, Bantarkawung kami, kedua menghianati paguyuban. Akan tetapi aku mempunyai kebijaksanaan. Apabila disetujui oleh paguyuban, biarlah penghinaan terhadap Bantarkawung kau bayar lunas, setelah itu kau bebas dari tuntutan lebih lanjut!”

Sogapati gentir, bukan takut, akan tetapi marah dan penasaran.

“Cukup kau buktikan bahwa kau berhak menghina murid Bantarkawung tingkat kedua!

Berani?” Kata Ki Genikantar pula.

Urusan sudah terlanjur demikian sulit, Sogapati tak perlu banyak mengelak. Untuk murid

perguruan Loning, tak ada kamus “takut” walaupun menghadapi kematian sekalipun. Maka katanya

:

“Musuh jangan dicari! Tapi bertemu jangan dielakkan!”

“Bagus Jalaputro!” Ki Genikantar berseru dan ia memanggil. Maka muncullah dua orang laki- laki setengah umur yang masing-masing membawa jala ditangan. Jalasutro dan Jalaputro ini adalah sepasang murid tingkat kedua, yang tentu saja ilmu kepandaiannya boleh dibilang cukup tinggi.

Kedua laki-laki ini bentuknya sangat ganjil dan lucu, kalau Jalasutro tinggi kurus, kurus kering seperti cecak kejemur, maka Jalaputro memiliki potongan tubuh yang mirip kuali, bulat pendek, terutama sekali perutnya buncit dan menggelikan karena pusarnya yang bodong kedepan.

Kerincing! Krinciiing! Kedua murid Bantarkawung menggerakkan jalanya.

Jangan dikira bahwa senjata mereka itu hanyalah sebuah jala biasa yang sering dipakai orang menangkap ikan. Jala mereka itu penuh diperlengkapi dengan senjata tajam. Kalau jala si Jalasutro pada pinggirannya terdapat bandul-bandul kecil dari kuningan, dan pada tiap simbulnya terdapat pisau-pisau kecil yang tajam berkilauan maka jala si Jalaputro juga dilengkapi dengan bandul- bandul kuningan, hanya bedanya senjata simpul tali jala itu berbentuk gaetan seperti mata pancing. Sogapati tergetar maju. Walaupun ilmu sepasang goloknya dari Loning sudah boleh diandalkan, akan tetapi menghadapi sepasang ahli jala yang tampangnya bengis menyeramkan itu,  hatinya gelisah juga. Apalagi terpikir olehnya bahwa disitu, ia hanya sendiri, sedangkan pihak lawan boleh dikata semuanya yang hadir!

Hadirin telah membentuk sebuah kalangan, lingkaran yang berukuran sepuluh langkah. Sogapati berhadapan dengan sepasang murid Bantarkawung itu, dalam keadaan untuk mempertaruhkan kebenaran. Betapapun ia merasa tak bersalah! Bukti dan saksi dapat dibuat dan diperkuat, akan tetapi mana bisa Sogapati menerima kesalahan yang tak pernah dilakukannya?

“Ilmu golok Loning sangat termashur, aku ingin merasakan kelihayannya, harap Sogapati jangan pelit-pelit!” Kata Jalasutro seraya tersenyum mengejek.

Sogapati telah menarik sepasang golok pendeknya. Dan menyahut :

“Mana boleh perguruan Loning dibandingkan dengan Bantarkawung! Akan tetapi aku tak

mau orang berlaku sewenang-wenang terhadap diriku!”.

“Banyak mulut!” Jalaputro yang suaranya melengking seperti suara gangsir, telah membentak sambil mengayunkan jalanya. Jala itu segera menebar menimbulkan suara bergemerincing dan cahaya tajam yang berkilatan mengerikan.

Sogapati tak perlu berlalai-lalai lagi. Melihat munculnya tepian jala yang berbandul-bandul genta-genta kecil itu, cepat-cepat ia melompat mundur sambil memutar goloknya. Wuutt! Crringcringcring! Sebelah tangan Sogapati menyabetkan goloknya, membabat kearah jala. Akan tetapi segera ia terkejut ketika jala lawan ternyata sangat ulet, sabetan golok itu tidak memutuskan selembarpun tali jala, bahkan terpental membalik.

Memang demikianlah kenyataannya. Benang jala kedua murid Bantarkawung itu terbuat dari bahan sejenis sutera yang sangat ulet, yang masing-masing dililiti oleh benang-benang perak yang sangat halus, hingga benda tajam macam golok itu sajapun dapatlah dibuat tak berdaya.

Sekali gebrak saja Sogapati sudah insyaf bahwa kedua lawannya kecuali memiliki ilmu kepandaian yang tidak boleh dipandang ringan, mereka memiliki senjata yang tak mempan kena senjata tajam.

Sogapati baru saja dapat berdiri tegak kembali ketika mana Jalasutro telah menyusuli serangan saudara seperguruannya, memutar jala itu tinggi-tinggi kemudian menebarkan sekeras- kerasnya.

Gemerincing suara nyaring berkumandang dan berkilatan cahaya putih tajam menyilaukan. Sogapati cepat-cepat melompat kesampirg sambil menyusupkan tangannya kebawah, menyabet dengan goloknya.

Akan tetapi agaknya Jalaputro telah menduga hal itu, dan ia telah memapak serangan Sogapati dengan sambaran jalanya yang terbuka.

Apabila Sogapati melanjutkan serangannya, berarti senjatanya akan kena dirampas lawan. Cepat-cepat ia menarik kembali senjatanya, dan sebelah kakinya menendang kearah sambungan lutut Jalasutro.

Jalasutro sedang menurunkan jalanya, dan siap untuk menebarkannya kembali, namun melihat serangan Sogapati ia merubah gerakan hanya menggoyangkan jala itu, maka bandul-bandul jala itu bertebaran kesamping menyambar kaki Sogapati dari segala arah!

Sogapati terpekik kaget. Hanya dengan cara menjatuhkan diri bergulingan saja, maka ia sempat menyelamatkan diri dari totokan bandul-bandul jala itu.

Akan tetapi itupun tidak berarti ia telah selamat, sebab kedua murid Bantarkawung itu telah melancarkan serangan susul menyusul secara bertubi-tubi.

Jala adalah sebuah benda yang dapat rnelebar dan menyusut. Lagi pula jala kedua orang itu justru sangat ulet Sogapati hanyalah bersenjatakan sepasang golok pendek, walaupun ia lihai memainkan ilmu golok Loning yang termashur itu, akan tetapi tak  beberapa lama kemudian ia sudah mulai keteter habis-habisan.

Sama sekali Sogapati tak berhasil memberikan perlawanan, sebaliknya main lompat-lompatan kian kemari menyelamatkan diri dari serangan lawan.

Tiba-tiba, ia melompat jauh kebelakang setelah itu ia menyarungkan kedua goloknya.

Tampak pemuda murid Lonirg itu mengheningkan cipta sejenak setelah mana ia memperdengarkan suara lengkingan nyaring, bersamaan dengan itu, kedua kakinya bergerak secara aneh dengan kedua tangan yang menggigil seperti orang kesurupan. Sogapati mendesak maju.

“Ha...ha...ha... cuma begitu macamnya delapan langkah membunuh naga dari Loning. Majulah Sogapati cepat! penghianat harus cepat dibikin beres! Jalasutro tertawa mengejek sambil mengembangkan jalanya”.

Wuuut! Wuuut! Krincing! Kedua jala itu menyambar dengan sangat cepat dan tepat kearah Sogapati. Sogapati tampaknya seakan-akan tidak menyadari adanya bahaya itu. Ia melangkah sebentar kekiri atau kekanan, kakinya menyosoh-nyosoh tanah seperti penari kuda lumping, akan tetapi ketika kedua jala lawan melayap turun, tahu-tahu Sogapati telah melakukan gerakan memutar secara aneh dan membingungkan.

Dan hebatnya ia dapat muncul kembali diluar kurungan jala, sedangkan jala-jala itu sendiri saling sambar sesamanya!

Begitulah berulang-ulang terjadi, walaupun kedua murid Bantarkawurg itu telah menguras seluruh keampuhannya. Sogapti tetap tak dapat mereka tangkap. Bahkan sebaliknya, kini murid Loning itu sempat melancarkan serangan balasan dengan baik.

Sebagai telah dipaparkan didepan. bahwa ilmu “delapan langkah membunuh naga” terutama

sekali membutuhkan ketinggian ilmu ringankan tubuh dan ketajaman indera.

Dengan adanya kerjasama dua unsur ini, ditambah petunjuk-petunjuk langkah ajaib yang diciptakan oleh Cucut Kawung si cikal bakal perguruan Loning itu, maka walaupun Jalasutro maupun Jalaputro menebarkan jalanya kesegala penjuru dunia ibaratnya, tak mungkin ia berhasil menangkap Sogapati.

Kemana saja jala menebar dan menyabet, maka pada tempat dan saat itu Sogapati telah memindahkan letak tubuhnya sendiri. Demikianlah, walaupun kelihatannya sempoyongan, miring- miring, mundur-mundur ataupun berjingkat-jingkat, akan tetapi sesungguhnya Sogapati mengikuti petunjuk ilmu delapan langkah membunuh naga, yang mana telah diciptakan oleh guru sakti dari Loning itu berdasarkan inti gerak dan perpaduan dari sari patinya gerak silat dalam mengelak dan menyerang.

Orang hanya melihat bahwa Sogapati menghilang, tahu-tahu muncul lagi, sempoyongan kemudian rnelancarkan pukulan. Apa yang dirasakan oleh kedua murid Bantarkawung itu, seakan- akan Sogapati telah berubah menjadi delapan bayangan orang, yang dapat bergerak-gerak tak menentu arah, dan tak mungkin disentuh dengan tangan.

Sebaliknya, dalam waktu pendek, kedua murid Bantarkawung itu telah beberapa kali menderita pukulan dan tendangan Sogapati, hingga keduanya sering berteriak mengaduh-aduh, akan tetapi mereka tak berani mundurkan diri, mengingat guru mereka ada disitu.

Ketika Jalasutro menyabetkun jalannya diatas sedangkan Jalaputro memutar-mutar jalannya yang terkembang lebar, maka Sogapati mundur-mundur seperti akan terjatuh. Krumpyang! jala si Jalasutro menyambar, agaknya Sogapati akan terperangkap binasa akan tetapi mendadak ia memutarkan tubuh, melintir setengah lingkaran, dan lolos dari tangkapan jala lawan.

Namun, baru saja ia terlolos, tahu-tahu jala si Jalaputro telah meniup seakan elang menyambar, sangat cepat menungkreb. Tampak Sogapati terhuyung hampir lolos dari bahaya, akan tetapi mendadak ia tampak terlonjak kaget, dan seketika tubuhnya ambruk ketanah, tepat tertutup

oleh jala si Jalaputro yang sedang melayang turun. 

Sogapati meronta, akan tetapi segera seluruh tubuhnya tergaet oleh mata pancing yang tajam dan runcing.

Pemuda itu menjerit untuk kemudian pingsan dengan darah mengucur dari setiap lukanya. Terdengar Dewi Cundrik tertawa kecil, seraya melirik penuh ejekan kearah Ki Genikantar.

Ki Gede Ayom yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan dengan penuh perhatian, tampak ia mendehem dan terbatuk-batuk.

“Hanya begitu saja ilmu delapan langkah membunuh naga dari Loning?” Ki Genikantar memperdengarkan suara mengejek. “Jalaputro, jangan bunuh dia! Bawa dia ke kadipaten, hidup- hidup.”

“Itu cara yang bagus!” Toh Kecubung memperdengarkan dengusan. “Biarkan kadipaten sendiri yang akan membasmi habis perguruan sombong itu?”

Dewi Cundrik tertawa, disambung tawa Kebo Sulung. Dan Ki Gede Ayom mendehem lagi.

“Dewi Cundrik, kenapa tertawa?” Ki Genikantar membelalakan matanya. tetapi wajahnya pucat.

“Kau lihay sekali? Lihay dan cerdik!” Sahut Dewi Cundrik masih dengan tertawa. “Tetapi tawamu menyakitkan telinga, Dewi Cundrik!” Genikantar tersinggung.

“Mengapa kau begitu perasa. Genikantar? Kau cerdik sekali memang. Dengan maksudmu membawa Sogapati kekadipaten, bukankah kau bermaksud melaporkan perbuatan bocah itu sebagai pemberontak? Dengan begitu bukankah kau bermaksud mengadu domba antara kadipaten dengan perguruan Loning?” Dewi Cundrik tertawa lagi.

“Oooo, begitu?” Ki Genikantar agak lega hati, “Bukankah itu cara yang terpuji?”

Memang inipun suatu cara. Cara untuk memukul membikin lawan-lawan menjadi lemah.

Perguruan Loning selama ini sudah lima tahunan di maksudkan oleh paguyuban Banjardawa agar dapat berpihak kepadanya, akan tetapi ternyata Sogapati tidak berhasil membujuk gurunya. Hingga sampai saat ini, perguruan itu merupakan pihak luar atau pihak terdiri baik dari kadipaten maupun paguyuban Bantarkawung.

Pagi itu jaga Sogapati dirangket. Paling menderita sekali waktu jala itu diangkat dari tubuhnya. Pemuda itu memekik kesakitan karena setiap mata kail yang telah tertanam kedagingnya disentak dengan keras, sehingga hampir sekujur tubuhnya bermandi darah, dari luka-lukanya yang dedel duwel.

Dalam keadaan setengah sadar dan tidak Sogapati di belenggu sekujur tubuhnya, kemudian dinaikkan keatas kuda. Untuk kemudian dengan pengawal yang ketat ia dibawa menuju ke kadipaten.

Ayam jantan dari pedusunan terdengar berkokok bersahutan. Kabut pagi makin merendah merapat dengan bumi rnerubah diri dalam bentuk embun yang dingin. Suasana masih temaram ketika iring-iringan itu melintasi batas hutan tiba pada sebaah jalanan yang didindingi oleh bukit karang yang memutih tinggi dan terjal.

Jalan sempit itu disebut orang sebagai “selat pencuci dosa”. Karena sempitnya jalan itu tidak mungkin para pengawal tahanan itu berjalan dengan berjajar, akan tetapi harus beriring urut-urutan kebelakang.

Di depan sekali berkuda Ki Genikantar, menyusul Ki Gede Ayom, Toh Kecubung maupun Ki Tambakeso dan Tambarekso. Baru kemudian para murid perguruan yang ikut rombongan. Ditengah-tengah, tawanan yang terikat dipunggung kuda, dijaga oleh beberapa orang murid dan Kebo Sulung. Yang berada pada  deretan paling akhir adalah Dewi Cundrik.

Wanita sakti itu tak pernah mau berpisah dari murid kepercayaannya dan tak henti-hentinya mengobrol atau berbisik, seakan ada hal-hal sangat genting yang sedang dirundingkannya. Kecuali itu memang orangpun mengetahui bahwa antara gurunya dan murid itu terjadi hubungan asmara yang tak patut!

Begitu memasuki selat, maka Ki Genikantar berseru lantang :

“Hati-hati memasuki selat jahanam ini! Lihat-lihat diatas kita, barangkali ada sesuatu!”.

Yang lain tinggal diam. Beberapa orang terdengar mendehem, sedangkan beberapa orang lain, batuk-batukpun ditahan-tahan juga, karena takut pada pengaruh jalanan yang sempit, panjarg dan termashur sangat berbahaya itu.

Bahkan Dewi Cundrik memberi isyarat kepada Kebo Sulung agar sedikit mengurangi kecepatan kudanya.

“Murid”, bisik Dewi Cundrik selanjutnya. “Coba kau dengarkan ceritaku, dan kau perhatikan benar-benar!”

“Guru. Tentang selat Pencuci Dosa ini?” Bisik Kebo Sulung sambil tersenyum akan tetapi

wajahnya pucat, melukiskan kekuatiran.

Dewi Cundrik mengangguk.

“Selat Pencuci Dosa ini sebenarnya mempunyai riwayat yang cukup rumit, tetapi ada manfaatnya bagi kita, sebab sesungguhnya ditempat inilah tersimpan pusaka yang paling ampuh, keris Kiai Tanjung dan pisau pusaka Nyai Tanjung!”.

Sengaja Kebo Sulung melambatkan kudanya sehingga agak terpisah dari rombongan, mereka kuatir orang lain akan mendengar penuturan Dewi Cundrik yang dianggapnya sangat wigati itu.

Dengan penuh perhatian, Kebo Sulung mendengarkan kisah dari gurunya, sedikitpun ia tak mau kehilangan cerita walaupun sepatah kata.

Demikianlah penuturan wanita itu.

Sekitar tahun /. Mataram Sultan Agung telah mengirimkan pasukan Mataram untuk kedua kalinya menyerbu Batavia.

Di antara para Senopati perang, Tumegung Bahurekso, Tumegung Suro Agul Agul dan Dipati Ukur, terdapat sepasang pemuda pemudi sakti yang ikut perang ialah Joko Tanjung Roro Tanjung.

Nama mereka yang sebenarnya jarang orang mengetahui. Hanya dikenal orang, bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang sangat karib dan mesra dalam hubungan sehari-hari.

Joko Tanjung memiliki sebuah keris pusaka, sedang Roro Tanjung merniliki sebilah pisau sakti pula. Ketika pertempuran berkobar diseluruh bumi Jayakarta, maka sepasang muda-mudi itu berhasil menunjukkan kegagahan dan kesaktiannya, mengamuk dengan hebat dengan senjata masing-masing sehingga korban dipihak kompeni tak terbilang jumlahnya.

Namun, sebagai sejarah telah mencatat, bahwa armada yang dikirim oleh Sultan Mataram itu menemui kegagalan, adalah akibat adanya mata-mata kompeni yang berhasil membakari seluruh bahan makanan, lumbung padi persediaan bagi para perajurit Mataram itu dan mata-mata itu justeru adalah anak buah sepasang muda-mudi.

Armada Mataram menderita kekurangan makanan, akhirnya terpukul mundur dan tercerai-

berai. Penderitaan hebat dialami oleh segenap perajurit bumi pertiwi ini, terutama sekali dirasakan oleh Joko Tanjung maupun Roro Tanjung yang merasa bertanggung jawab atas kegagalan  pertempuran itu.

Dalam keadaan terpisah, antara sepasang kekasih itu, maka kedua-duanya lantas mencari bekas anak buahnya yang menjadi mata-mata itu. Kedua pemuda-pemudi pendekar itu secara sendiri-sendiri, memasuki benteng kompeni dengan nekad dan gagah berani.

Seluruh mata-mata, penjual bangsa yang dicarinya kebetulan didapatkan sedang menghadapi hidangan dalam pesta pora bersama pembesar-pembesar kompeni.

Sepasang kekssih pendekar itu mengamuk hebat. Sepasang senjata keris dan pisau pusaka mereka dengan garang, ibarat cakar maut telah menghirup sekian darah para mata-mata itu, dan juga para kompeni. Tidak sedikit pihak Belanda menderita korban waktu itu, termasuk para cecunguk itu ditumpas habis, seorangptin tidak dibiarkan hidup! Bahkan dikisahkan pula bahwa seorang pembesar atau jenderal kompeni ikut terbinasa dalam pertarungan hebat itu.

Akan tetapi, tak urung kedua muda-mudi pendekar itupun tak dapat keluar dari benteng musuh itu. Keduanya tertawan. Dan dipenjarakan pada tempat yang terpisah, dalam penjara dibawah tanah dibenteng itu.

Ada sedikit untungnya bagi mereka, adalah si pemuda sangat tampan dan si gadisnya sangatlah jelita. Ketika pemerintah kompeni menyuruh bawahannya untuk menjatuhkan hukuman siksa dalam kamar tikus dan kamar anjing, maka seoraag opsir kompeni berlaku curang. Ia melarikan Roro Tanjung dan menyembunyikannya dikamar tidur. Nasib malang menimpa dara perkasa ini. Dalam keadaan tubuh tak berdaya akibat cambukan dan siksa, ia menderita di perkosa oleh opsir itu.

Demikian pula, ada seorang puteri opsir kompeni yang jatuh hati terhadap Joko Tanjung. Pemuda ini diselundupkan keluar dari kamar siksa, sedangkan ke kamar anjing tempat penyiksaan bagi Joko Tanjung telah dimasukkan bangkai seorang mata-mata sebagai gantinya. Waktu kompeni memeriksa kamar siksa itu, maka mereka mendapatkan anjing-anjing yang kekenyangan, dan tulang belulang manusia yang berserakan. Akhirnya, selamatlah Joko Tanjung dari pengejaran.

Namun. ada suatu resiko baginya, ia merasa memikul suatu hutang budi yang besar terhadap puteri opsir kompeni itu. Kian hari, memangnya puteri opsir itupun sangat jelita, Joko Tanjung jatuh hati kepadanya. Dan terjadilah hubungan asmara diantara mereka, sampai Joko Tanjung sendiri melupakan kekasihnya, Roro Tanjung.

Tetapi, sebagai peribahasa, sepandai-pandai membungkus bangkai akan tercium juga baunya.

Demikianlah, akhirnya kedua pendekar itu diketahui berada dalam perbentengan dan mereka dikejar. Namun keduanya berhasil pula menyelundup keluar melarikan diri bersama pasangan masing-masing.

Kedua pasang manusia lain bangsa itu melarikan diri kearah Timur. Walaupun mereka tak pernah berunding sebelumnya akan tetapi mereka melarikan diri menuju arah yang sama, yaitu Gunung Gajah tempat asal mereka.

Di selat inilah secara tak disengaja, mereka bertemu! Tak ampun lagi. pertikaian segera terjadi. Selisih paham, tuduh menuduh, dakwa mendakwa terjadi diantara mereka hingga terjadilah pertarungan sengit.

Dikabarkan bahwa pertarungan sengit itu berakhir dengan tewasnya Joko Tanjung dan Roro Tanjung juga opsir kompeni itu. Sedangkan puteri kompent isteri Joko Tanjung, dikabarkan selamat berkat pertolongan seorang kelana yang kebetulan lewat ditempat itu. Semula puteri opsir kompeni itu bermaksud membunuh diri, akan tetapi telah dicegah oleh karena itu karena sang puteri sesungguhnya sedang mengandung.

Kabar selanjutnya, tidak diketahui bagaimana nasib puteri kompeni itu, hanya dikisahkan orang bahwa keris pusaka dan pisau jimat yang membawa bencana itu, ditanamkan orang ditepi selat pencuci dosa ini!. “Guru”, bisik Kebo Sulung dengan mata bersinar-sinar penuh harapan. “Andaikata kita dapat menjumpai kelana itu, agaknya kita dapat menemukan dimana adanya keris Kiai Tanjung dan pisau  Nyai Tanjung itu!”

Dewi Cundrik menghela napas.

“Kau tahu, bahwa baik Genikantar maupun Ki Gede Ayom, walaupun dimuka tidak kelihatan tertarik pada kedua pusaka itu tetapi secara diam-diam mereka melakukan penyelidikan!” Dewi Cundrik termenung sejenak. “Kabarnya kelana penolong itupun bukan tergolong orang baik-baik. Dia adalah seorang penjahat sakti yang kabarnya masih ada hubungan perguruan dengan perguruan Pulau Maceti disabelah tenggara Nusakambangan! Beberapa tahun kemudian, masih terdengar kelana sakti itu melakukan petualangannya. Akan tetapi akhir-akhirnya, tak terdengar lagi ceritanya, mungkin ia telah mati, sebab bila dihitung sampai saat ini, sudah lebih dari seratus tahun lamanya...”.

Tiba-tiba pada pembicaraan demikian, mendadak mereka terkejut dan memasang telinga dengan penuh kecemasan. Terdengar suara burung hantu bersahut-sahutan menyusul kemudian terdengar suara gemuruh seakan gunung yang runtuh.

Dan sedang sekalian anggota rombongan itu belum habis kejutnya, dari arah tebing sebelah kiri, tampak tanah-tanah batu beruntuhan. Semula hanya kerikil-kerikil kecil akan tctapi akhirnya bergemuruhanlah batu-batu besar meluncur kebawah dengan sangat derasnya menghantam mereka.

Seketika kalut dan gcgerlah iring-iringan tawanan itu. Jerit kesakitan, pekik kematian, dan ringkikan kuda yang terkejut dan terluka memenuhi udara. Batu-batu sebesar kerbau, melayang- layang jatuh berdembum mengerikan. Gepeng dan hancurlah tubuh orang ataupun kuda yang tertimpa olehnya.

Demikianlah, iring-iringan itu terkacau balau, masing-masing berlomba untuk mencari hidup. Terdengar keluh, jerit maupun doa tak menentu memanggil-manggil kebesaran Sang Maha Kuasa, akan tetapi batu-batu besar kecil itu masih juga beruntuhan seakan-akan tak ada habis-habisnya.

Tidak seorangpun mengingat akan keselamatan orang lain. Genikantar dan Ki Gede Ayom berhasil menyelamatkan diri, berlari kedepan, karena kudanya tak tertolong lagi, hancur gepeng tertindih batu. Ki Tambakeso, Ki Tambarekso dan Toh Kecubung walaupun menderita luka-luka pula, akan tetapi masih dapat menyelamatkan diri dan berlari terpincang-pincang menyusul yang telah berlari didepan.

Yang celaka adalah para murid mereka, atau para pengawal yang kurang tinggi ilmu kepandaiannya, hampir separuhnya terbinasa, sedangkan yang separuh lagi menderita luka-luka hebat.

Yang selamat adalah rombongan kuda dari tawanan Sogapati kebelakang. Tampaknya batu- batu yang berjatuh itu telah diatur orang untuk memisahkan rombongan itu menjadi dua bagian yang terputus hubungan sama sekali. Ki Genikantar dan Ki Gede Ayom serombongan didepan, sedangkan tawanan Dewi Cundrik dan Kebo Sulung sepihak lagi. Batu-batu besar yang berjatuhan itu menumpuk sangat tinggi, memisahkan mereka sama sekali.

Namun tidak berarti rombongan kedua ini selamat benar-benar, sebab jalan bagi mereka mundurpun tak ada lagi, tertutup oleh runtuhan batu-batu karang itu.

Nyata dan jelas bahwa ada orang yang sengaja memisahkan rombongan tawanan, Dewi Cundrik dan Kebo Sulung dari rombongan yang lain, ketika menyusul kcmudian terdengar suara tawa yang riuh sambung menyambung, seakan-akan datang dari segala penjuru tebing.

Dan sebelum padam suara tawa itu, tampak serombongan laki-laki bermunculan diatas tebing sebelah kanan dan kiri selat yang melempar-lemparkan senjata menghujani Kebo Sulung dan Dewi Cundrik.

Sementata kedua orang ini sibuk menangkis dan mengelak dari hujan senjata itu, maka tampaklah muncul seorang dara berpakaian serba hitam yang mengenakan cunduk diubun-ubunnya. Begitu muncul, maka data berpakaian serba hitam itu telah melemparkan seutas tali panjang, dimana di ujungnya tampak diikat sebuah paku baja yang amat besar. 

Tali berdesing, meluncur secepat anak panah, dan paku baja itu menancap amblas kedalam batu karang.

Seketika itu, tampaklah si dara meluncur turun melalui tali. Seakan hanya sekejap mata, maka ia telah tiba didasar selat. Bagitu kakinya menginjak maka ia bergerak secepat bayangan menyambar tawanan, dan membawanya naik kembali melalui tali.

“Cunduk Puteri!” Seru Dewi Cundrik dengan geram. “Tunggu!” Dan wanita dari Guha Gempol ini bermaksud melancarkan serangan, akan tetapi ia terlalu sibuk. Hujan senjata yang dilontarkan olen laki-laki di atas tebing itu terlampau banyak sehingga membuat ia kerepotan. Tidak terkecuali Kebo Sulung. Walaupun mereka tidak dapat dilukai oleh hujan senjata itu akan tetapi mustahil baginya untuk mengejar dara berpakaian hitam yang membawa pergi tawanan itu.

“Tahan?” Seru Dewi Cundrik seraya menggerakkan tangannya. Terdengar suara mendesis- desis suara lemah, kiranya beberapa butir jarum berwarna hitam telah menyambar kearah dara baju hitam itu.

Tetapi rupanya semua itu telah dalam perhitungan si dara baju hitam ini. Seketika ia memperdengarkan suara melengking kaget, tahu-tahu dari arah seberang tebing menyambar turun selembar kain lebar, memapak kearah jarum-jarum itu. Dan senjata-senjata gelap itupun runtuh kembali ketanah.

“Kurang ajar! Kejar! Perintah Dewi Cundrik pula dengan kalap. Namun perintah itu mudah dikatakan, tidaklah mudah dilaksanakan. Beberapa murid Bantarkawung yang berada ditempat itu termasuk Jalasutro dan Jalaputro yang telah banyak menderita luka-luka dengan susah payah melakukan pengejaran, mencoba untuk mendaki tebing. Akan tetapi hal itu hanya ibarat mencari bahaya belaka. Hujan senjata dari atas tetap menahan mereka!”.

Tak selang berapa lama maka dara baju hitam itu telah tiba diatas tebing, membawa tawanan.

Begitu ia berada dipuncak sana, seketika menghilang bersama rombongannya, melarikan diri.

Dara berbaju hitam yang mengenakan cunduk diatas kepalanya itu memang tidak lain adatah Cunduk Puteri adanya, puteri Mbah Pucung. Sejak pertemuannya dengan Dadamanuk dikaki gunung Gajah yang berakhir dengan kematian murid Bantarkawung itu, Cunduk Puteri lantas melarikan kudanya untuk menjumpai teman-teman seperjuangannya, yaitu beberapa rnurid perguruan Pucung dan beberapa orang murid perguruan Kenistan.

Si dara yang cerdik itu menduga dengan kematian murid Bantarkawung itu, tentu akan mengakibatkan diadakannya pertemuan dipusat pertemuan paguyuban Banjardawa. Ia lantas melakukan pengintaian ketempat itu.

Dari waktu senja hingga malam melakukan pengintaian, akhirnya ia mendapat kenyataan bahwa pertemuan itu benar-benar diadakan.

Akan tetapi ada suatu hal yang mengejutkan baginya, bahwa Sogapati murid Loning, ada disebut-sebut sebagai si jembel yang telah membantu Cunduk Puteri.

Mendengar hal demikian, maka si dara jadi lebih tertarik lagi untuk mengikuti jalannya pertemuan di padang Banjardawa itu. Hingga akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa ada sesuatu dibalik rencana paguyuban itu.

Si dara buru-buru kembali menjumpai teman-temannya yang memang saat itu telah bersiap menunggu diatas tebing selat pencuci dosa. Sogapati harus diselamatkan dengan maksud menyelamatkan perang besar yang mungkin berlangsung antara perguruan Loning dengan kadipaten, sekaligus juga menarik perhatian perguruan Loning agar suka berpihak pada Cunduk Puteri yang menentang paguyuban Banjardawa itu.

Demikianlah maka si dara bersama-sama teman-temannya telah mempersiapkan jebakan meruntuhkan batu-batu itu. Kini si dara bersama rombongan teman-temannya melarikan diri kearah timur laut, menuju perguruan Loning. 

Perjalanan dari atas tebing selat pencuci dosa ke perguruan Loning setidak-tidaknya memakan waktu dua hari, itupun apabila ditempuh dengan perjalanan berkuda. Sedangkan rombongan Cunduk Puteri ini, hanya memiliki beberapa ekor kuda saja yang tak cukup untuk mereka, lagi pula mereka membawa Sogapati yang sedang menderita luka-luka. Maka perjalanan itu terpaksa tidak dapat dilakukan secepatnya. Kecuali perlu untuk memberi istirahat kepada anggota rombongan, juga perlu untuk mengobati luka-luka Sogapati.

Sore itu, mereka beristirahat didalam hutan. Beberapa orang melakukan penjagaan ditepi hutan, sebagian lagi mencari binatang buruan untuk ransum mereka.

Cunduk Puteri sedang mengobati luka-luka Sogapati dengan perasan daun-daun hutan.

Sementara itu Sogapati yang merasa gelisah karena telah ditolong oleh musuh lantas berkata :

“Cunduk Puteri aku adalah anggota paguyuban Banjardawa, dan musuhmu bukan? Mengapa

kau menolongku?”

Cunduk Puteri tersenyum. “Bukankah kau telah membantuku? Perkara hutang budi, sekarangpun sudah tak ada lagi diantara kita!”

“Hutang budi?” Sogapati terperanjat. “Kapan aku orang tak berguna ini sempat

menghutangkan budi kepadamu?”

“Bukankah kau si jembel yang mengaku bernama Pepriman itu?”

“Si Jembel? Si Pepriman?” Sogapati terheran-heran. “Aku tak mengerti maksud nona. Aku tak pernah menjadi seorang jembel atau pepriman? Sekalian anggota paguyuban juga menuduhku demikian, padahal demi Tuhan, aku tak pernah melakukan perbuatan itu!”

“Tapi saksi-saksi murid Bantarkawung itu?” Cunduk Puteri sendiri juga keheranan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar