Ajal Sang Penyebar Maut Bab 11 : Si Calon Pembunuh (Tamat)

Bab 11 : Si Calon Pembunuh (Tamat)

Nyi Ageng gemetar sekali lantaran begitu terkejut melihat petinya kosong. Berarti ada seseorang yang telah membukanya. Ia tidak habis mengerti, siapakah yang dapat membuka peti rahasianya dan mencuri wadi buaya putih milik Wong Pamungkas? Untuk tuju,an apa? Mungkinkah suaminya? Ah, mustahil! Ia sekuku pun tidak gemetar menghadapi Wong Pamungkas, betapapun marah dan Bakal hilang akalnya bajingan tengik itu. Ia bahkan merasa lega, sebab tidak harus melihat Wong Pamungkas menerima kembali wadi maut yang telah memisahkannya dari Ki Ageng sekian lamanya. Ia sudah siap menantang akibat ter-buruk sekalipun yang boleh jadi akan ditimpa-kan oleh Wong Pamungkas.

"Ayo, segera berikan kepadaku. Mengapa engkau terbengong lama di situ?" damprat Wong Pamungkas tidak sabar.

"Nasibmu jelek, Wong Pamungkas. Barangkali hari naasmu telah tiba," sahut Nyi Ageng tenang sembari bangkit berdiri.

"Apa maksudmu? Katakan terus terang!" desak Wong Pamungkas naik darah.

"Rupanya sudah ada yang mendahului mencuri benda itu."

"Ha?" pekik Wong Pamungkas sambil matanya terbalik ke belakang.

"Jangan banyak ulah. Serahkan segera kepadaku!" "Aku tidak berdusta. Wadimu telah dicuri orang lain."

"Kurang ajar! Pengkhianat! Penipu!" meledak dada Wong Pamungkas oleh berbagai perasaan. Terutama ketakutan terhadap nasib dirinya apabila benda itu belum kembali kepadanya.

"Mampus kamu nanti!" Dalam sedetik bergerak, Wong Pamungkas telah mencengkeram tengkuk Nyi Ageng tanpa Nyi Ageng mampu mengelak atau bertahan sedikit pun. Dengan gampangnya Wong Pamungkas menenteng Nyi Ageng keluar dari rumah seraya berulang-ulang mendengus.

"Kubunuh engkau dengan mematah-matahkan tulangmu, dari jari tangan sampai tulang Ieher, hingga engkau lebih suka digilas batu gunung daripada menderita kesakitan akibat siksaan. Iblis buduk!"

Melalui pintu belakang, Wong Pamungkas menyeret Nyi Ageng yang sudah tua itu tanpa rasa iba sama sekali. Biar pun Nyi Ageng tidak mengeluh, namun melihat air matanya mengucur di samping bibirnya yang tergigit rapat, tampak betul bagaimana beratnya penderitaan yang dialami olehnya.

"Akan kita susul dulu si Lisoh dan anaknya. Setelah mereka kubereskan dengan cara yang tidak dapat kaubayangkan, baru engkau sendiri akan menerima giliran berikutnya: mati dalam waktu lama, dengan rasa sakit yang menanjak dari menit ke menit. Engkau bakal menyesal mengapa sampai dilahirkan oleh Biung-mu."

Dan ketika bayangan perempuan separo baya beserta anaknya mulai tertangkap oleh mats Wong Pamungkas, Nyi Ageng menutup kedua pelupuknya guna menghindarkan pemandangan ngeri yang akan disaksikannya sebentar lagi.

Wong Pamungkas tertawa terbahak-bahak. Dengan ujung jari telunjuknya ia menotok dua urat di belakang leher dan dekat iga kiri si nenek, membuat Nyi Ageng menegang kaku tidak dapat menggerakkan organ-organ badan-nya. Lalu seperti sebuah karung kempes, nenek keriput itu dijerembabkan ke tanah.

Dengan kecepatan luar biasa, kemudian Wong Pamungkas melayang ke arah Mbok Lisoh beserta anak-nya. Dalam sekali gebrak is berhasil mencengkeram mereka dan menyeret si Thole di tangan kanannya sementara Mbok Lisoh telah ditotoknya sebagaimana dilakukan atas diri Nyi Ageng. Sepasang mats Lisoh menatap tanpa daya ke arah Nyi Ageng, seolah-olah ingin minta tolong, namun is tahu bahwa dari bekas majikannya itu is tidak bakal mendapatkan yang diharapkan. Nyi Ageng pun memandangi bekas pelayannya dengan mata terharu. Ia menangis, karena itulah satu-satunya hal yang bisa diperbuatnya saat ini.

Si Thole, anak tanpa dosa yang kelahirannya tidak pernah dinantikan, walaupun sesudah muncul di dunia amat dicintai ibunya betapapun orang-orang lain menggebahnya sebagai anak jadah, mengawasi laki-laki yang menyeretnya dengan sikap lugu.

Tidak ada dendam dan sakit hati. Bahkan ia merasa ter- lindung dalam kempitan tangan laki-laki ganas itu, sebab ia tahu sedang berada dalam geng-gaman ayah kandungnya sendiri. Padahal bukan ringan kesakitan yang dialaminya. Ia sampai meringis-ringis hampir menjerit.

Namun kedamaian yang dinikmatinya karena dapat berdekat- dekat dengan ayahnya, sesuatu yang didambakannya semenjak ia tahu apa art seorang bapak buat anak sebaya umurnya, membikin Si Thole tidak merasakan kesakitan jasmaniah. Ia hanyut dalam kesadaran makna seorang ayah sehingga kepedihan badaniah terbenam di bawah ketidaksadarannya.

Hatinya terpusat pada kebahagiaan tuntas itu, sampan otaknya menolak bekerja untuk terpengaruh oleh sik-saan tangan-tangan keras ayahnya. Maka ia masih sempat tersenyum dan berkata gembira:

"Romo, oh Kanjeng Romo." Si Thole masih belum insaf betapa kejam ayahnya meskipun waktu itu Wong Pamungkas membentak:

"Diam! Jangan buka bacotmu!"

Lantas, mimpi buruk yang belum pernah terjadi, hari itu pun terjadilah. Di hadapan ibunya dan Nyi Ageng, anak kecil itu dijungkirbalikkan dengan kepalanya menungging ke bawah. Wong Pamungkas memegangi kedua kakinya sambil tertawa ngakak. Ia berteriak sebal:

"Perhatikan apa yang bakal dilakukan oleh bajingan tengik ini. Lihat!"

Selepas itu Wong Pamungkas, tanpa memejamkan mata seinci pun, segera mengambil ibu jari anak kecil itu dengan sebelah tangan. Tiba-tiba terdengar bunyi "keletak!'' dibarengi tangis memilukan:

"Romo, sakit Romo!"

Tapi tangis itu tidak dapat menghalangi patahnya ibu jari kaki si Thole, tampak dari lenturnya ujung ibu jari tersebut menggelantung di telapaknya.

Mbok Lisoh menjerit walaupun suaranya tidak keluar. Nyi Ageng mengutuk meskipun cuma kelihatan dari matanya yang terbakar. Dan si Thole meratap biarpun ia belum tahu bahwa hal itu dilakukan ayahnya karena kebencian yang meluap kepadanya. Ia cuma merasakan sakit tak terperikan.

Sebabnya apa, ia tidak paham. Tapi ia yakin ayahnya bakal mengobatinya biar tidak sakit lagi.

"Yang salah bukan aku, jika anak kecil ini makin menderita nanti. Yang berdosa adalah engkau. Nyi Ageng. Yang berdosa adalah suamimu, Ki Ageng Panataran. Yang berdosa adalah kalian yang mengaku sebagai golongan putih. Yang berdosa adalah semua yang mendukung Kerajaan Demak dan para wali."

Itulah umpat Wong Pamungkas yang terdengar oleh si Thole. Anak itu dengan jelas menangkap ucapan bapaknya, walaupun pada saat itu tidak mengerti benar apa maksudnya. Pokoknya ia teringat, bahwa yang berdosa adalah Nyi Ageng, Ki Ageng Panataran, golongan putih, dan semua yang mendukung Kerajaan Demak serta para wali.

Kalau begitu merekalah yang harus dilenyapkan. Hati anak kecil itu makin bergolak dan panas, manakala ia merasakan ibu jari kirinya bagaikan dijepit batu penggilas jalan, lebih dari- pada yang dirasakannya tadi. Iamenangis kian kesakitan. Dan ia mengutuk kian ganas. Jiwa anak kecil itu menjerit:

"Yang berdosa adalah Nyi Ageng, Ki Ageng Panataran, golongan putih dan orang-orang yang menunjang Kerajaan Demak serta pembantu-pembantu para wali."

Sama sekali si Thole tidak sadar bahwa yang melakukannya adalah ayahnya. Si terlaknat Wong Pamungkaslah yang menyebabkan timbulnya kesakitan itu ketika dengan tangannya sendiri, seorang ayah telah mematahkan tulang ibu jari kaki anaknya. Seandainya tidak dalam keadaan tertotok kaku, pasti Nyi Ageng akan menghalang-halangi kekejian itu. Kalau perlu dengan adu nyawa.

Demikian pula Mbok Lisoh. Ia menyesali dirinya mengapa memberi kesempatan kepada Wong Pamungkas untuk melakukan kesewenang-wenangan itu dengan mencarinya ke mana-mana. Andaikata ia tetap tinggal di kediaman Ndoro Dewi Sekar Dadu, si Thole tidak bakal mengalami musibah ini.

Semuanya telah terjadi dan akan terjadi sepanjang berada pada garis suratan takdir. Dan alangkah malangnya anak-anak manusia ketika mereka menyangka bahwa suratan takdir adalah cetak biru yang turun begitu saja dari Lauh mahfudz. Mereka tidak sadar bahwa suratan takdir berkaitan erat dengan ulah manusia tidak mau berusaha mengubahnya. Serta akan tiba mendadak dan membuat manusia menyesali kehadirannya di muka bumi jika tidak mau meneliti diri sendiri. Betapa kebinasaan pasti datang sebagai balasan terhadap perbuatan buruk masing-masing. Lisoh menangis. Ia mengutuk kedurhakaan-nya kepada orang tua semasa ia masih seorang perawan cantik di desanya. Ia sudah menjalin hubungan dengan seorang pemuda tampan.

Karena itu ia berontak melawan keputusan orang tuanya yang berniat menjodohkannya dengan seorang santri yang berhati mulia namun tidak memiliki apa-apa kecuali kemelaratan dan kerja kasar, sementara pilihannya adalah seorang perjaka parlente, putra keluarga hartawan. Maka ia memilih lari dari rumah sampai akhirnya dipunggut Mbah Buyut untuk menjadi pelayannya.

Pemuda pilihannya itu ternyata hanya pemimpin penyamun, dan butir kepalanya sedang dikejar oleh para pembunuh bayaran. Sedangkan santri pilihan orang tuanya kini membuka pesantren dengan murid tersebar dari segala penjuru.

Barangkali hartanya tidak banyak, namun hidupnya tenteram dan terhormat. Akan tetapi tangis Lisoh tidak ada gunanya lagi. Sebab Wong Pamungkas sudah mulai sesumbar:

"Sekarang tiba saatnya untuk menyaksikan pemandangan yang lebih mengerikan. Aku mau mematahkan tulang kering anak ini, lalu tubuhnya akan kubelah jadi dua."

Dan Mbok Lisoh pun segera mengatupkan matanya untuk tidak bisa melihat apa-apa. Nyi Ageng pun berbuat yang sama. Sebab tidak ada yang mampu menghalang-halangi Wong Pamungkas jika ia sudah berniat melakukannya.

Namun tiba-tiba Wong Pamungkas bahkan membelalakkan kedua matanya pada waktu sekonyong-konyong merasakan ada sambaran angin menyerbu dirinya.

Sebutir batu sekepalan tangan terbang bagaikan meteor mengarah kepalanya sehingga ia harus mengambil keputusan yang paling selamat. Melemparkan tubuh kecil si Thole untuk mengelak sambil berguling ke samping. Anak kecil itu terjatuh di lamping karang dekat sungai. Kepalanya bocor dan berdarah. Ia tidak pingsan karena hanya menderita luka kecil. Tapi ia menjerit kesakitan akibat luka dalam di tulang kedua ibu jari kakinya yang dipatahkan oleh Wong Pamungkas. Ia tidak peduli terhadap semua itu, sebab ia tidak mengerti. Yang diketahuinya sekarang adalah bahwa ia telah dilemparkan oleh ayahnya lantaran ada seorang musuh yang mengancam nyawanya. Siapakah bajingan itu?

"Keparat kamu, Jaka Pratama!" itulah yang didengar oleh si Thole.

Jaka Pratama, Jaka Pratama, Jaka Pratama, itulah nama bajingan yang mengancam ayahnya dan hampir mencelakakan dirinya. Itulah nama terkutuk yang dilaknat oleh ayahnya. Terkutuk! Terkutuk, kau, Jaka Pratama!

Memang demikian yang terjadi. Jaka Pratamalah yang kini berdiri di depan Wong Pamungkas.

"Hem Engkau?" dengus Wong Pamungkas heran. Ia yakin Jaka Pratama tengah terjebak dalam perangkapnya di Desa Cuplak. Ia nyaris tidak percaya bagaimana mungkin santri tengik itu dapat melacak jejaknya.

"Ya, saya," sahut Jaka Pratama tenang. Ia tahu Wong Pamungkas pasti terkejut. Sebab bajingan itu tidak tahu bahwa Mbah Bungkuk telah membisikinya untuk menyusul kemari, berasal dari berita dan rencana yang dirancang secara cermat oleh Ki Ageng Panataran. Bahkan Jaka pun yakin, Wong Pamungkas atau Nyi Ageng sekalipun tidak tahu bahwa Ki Ageng Paranataran telah menyuruh seorang tangan kanannya   untuk mengambil wadi maut senapati murtad itu dari tempat penyimpanannya, supaya wadi itu tidak terjatuh kepadanya sebelum Jaka Pratama tiba. Untuk itu Ki Ageng akan minta maaf kepada istrinya atas segala kesulitan dan kesakitan yang telah dialaminya dari Wong Pamungkas, akibat tidak ditemukannya lagi wadi tersebut.

"Hahaha ...," Wong Pamungkas masih sempat tertawa. Dan inilah kelebihannya. Ia mampu menyembunyikan gejolak perasaannya dari pengawasan orang lain. "Jadi engkau ingin cepat menyusul arwah bapakmu, si Wirayuda?"

"Pasti. Tapi tidak sekarang," jawab Jaka Pratama menahan kegetirannya. Ia tiba-tiba merasakan hawa panas oleh kemarahannya yang tersundut mendadak. Untung dia ingat diri, bahwa hal itu disengaja oleh Wong Pamungkas agar ketenangannya terganggu. "Saya malah ingin minta tolong kepada Tuan."

"Hahaha.... Minta tolong? Untuk apa? Untuk membebaskan nenek tua itu dari totokanku? Atau untuk mengampunimu?"

"Bukan. Kalau soal membebaskan nenek dan lainnya, saya dapat mengerjakannya sendiri. Lihat!" ujar Jaka Pratama lebih tenang seraya menjungkit empat butir kerikil kecil dengan kakinya.

Dalam sekejap, Mbah Buyut dan Mbok Lisoh telah dapat bergerak kembali seperti semula sesudah keempat butir kerikil tadi dengan tepat mengenai saraf-saraf utama yang membuat mereka jadi kaku. Dan belum habis keheranan Wong Pamungkas serta kedua perempuan yang ditolongnya, Jaka Pratama dengan gerakan kilat dan hampir tidak tertangkap indera manusia, menyusuli jungkitan kakinya barusan untuk melemparkan selembar daun sirih ungu yang kebetulan tumbuh di dekatnya berdiri, atau memang barangkali ia sengaja memilih tempat itu. Daun obat itu langsung terbang dan persis menempel di jidat si Thole yang terluka. Anehnya ketika menimpa bagian luka tersebut, daun sirih itu sudah teremas-remas, sehingga lantaran lukanya ringan maka dapat menghentikan kucuran darahnya beberapa saat kemudian.

"Hahaha engkau memang hebat, Kulup," ucap Wong Pamungkas berusaha menutupi kekagumannya.

"Jadi kau mau minta tolong apa kepadaku?" ia bertanya dengan harapan ada peluang untuk menghindari bentrokan melawan santri kudisan ini.

"Saya mohon Tuan menengok ayah saya sekarang juga," jawab Jaka Pratama sambil melancarkan serangannya yang pertama. Jangan disebut si Tangan Besi kalau serangan itu tidak dahsyat akibatnya. Sampai beberapa dahan yang menghijau mendadak jadi kering, padahal tidak tersentuh sedikit pun. Namun jangan disebut Wong Pamungkas apabila ia tidak dapat memungkasi serangan lawan dengan cara yang lebih dahsyat. Hanya dengan berdiri kaku seolah tanpa bergerak, serangan Jaka bagaikan berbenturan dengan benteng baja yang lentur.

Wong Pamungkas memutarkan tubuhnya, presis mainan gasing yang berpusing menimbulkan bunyi dengung. Jaka Pratama terpaksa menarik kembali tenaga dalamnya, sekaligus menyedot kekuatan yang terpancar dari daya bertahan musuh yang aneh itu.

Wong Pamungkas terkesima. Ilmu apa ini yang dipergunakan oleh si santri buduk terkutuk itu? Sungguh mati ia tidak menyangka bakal menemui perlawanan semacam itu. Tetapi ia tidak mati kutu. Secara ajaib ia menyorongkan badannya ke depan, lantas, seperti balok kayu ditebang, ia merobohkan badannya. Dan lebih ajaib lagi tatkala ia memutar tubuhnya presis jarum jam diputar seribu kali lebih cepat. Kedua tangannya menjulur runcing hendak menebang kaki- kaki Jaka Pratama. Oh, benar-benar pertarungan kelas tinggi yang tidak mungkin dapat diikuti oleh pesilat-pesilat biasa. Karena yang tampak, apalagi di tengah malam yang cukup kelam, cuma bayangan-bayangan kabur yang berkelebatan ke sana kemari, ke atas ke bawah, dan sesekali melompat- lompat.

Tanpa terasa pertempuran telah berkecamuk lebih dari tiga puluh jurus. Walaupun arena tempat bertarung itu masih berada di kawasan bandar Jepara, namun karena letaknya di tengah sawah dekat sungai besar yang membelah bandar itu menjadi dua bagian, kota dan kampung, sementara di tengah- tengah antara rumah Mbah Buyut dengan lokasi persawahan itu terdapat gerombolan pohon-pohon besar membentuk hutan kecil, maka suasana kota yang sepi tetap sepi, tidak terusik oleh ketegangan yang me-rayap naik dari detik ke detik.

Nyi Ageng Panataran begitu terpukau, hingga tidak sempat, atau boleh jadi tidak teringat, untuk memberi peringatan kepada Jaka tentang letak kelemahan Wong Pamungkas di pusarnya. Demikian juga Lisoh. Ia bahkan tidak paham apa sebenarnya yang sedang berlangsung di muka hidungnya. Hanya si Thole yang memper-hatikan dengan saksama. Dan sembari kadang-kadang mengusap ingusnya apabila bagian luka-nya berdenyut-denyut nyeri, ia mengumpat Jaka Pratama sambil mendoakan agar bapaknya yang berjaya. Kelihatannya memang akan terkabul doa si Thole. Melalui pendalamannya selama bertahun-tahun, Jaka Pratama belum mampu menebak sudut-sudut kelemahan musuhnya. Dengan ilmu Pamupus Aji, juga dengan ilmu Manunggaling Kawulo Gusti, serta Aji Pangrungu dan Panyirep-nya, Jaka belum menemukan inti kesaktian Wong Pamungkas. Walaupun keadaan yang sama dialami pula oleh lawan, namun Jaka merasa bajingan itu telah mulai bisa mendesak dan menekannya. Wong Pamungkas mulai tersenyum. Ia tahu tak kan ada gunanya kalau menghadapi jago yang satu ini dengan Aji Awu Geni. Sebab Jaka Pratama telah merasakannya, dan pasti dapat menebak di mana letak kekurangannya.

Maka ia sekarang menggunakan ilmu simpanan yang belum pernah dilancarkan kepada musuh lain. Ilmu tersebut diperoleh dari pamannya, Loka-wana, dan disebut ilmu Branjangan Wanapati. Kekuatannya bertumpu pada gerak- gerak tipu yang membingungkan, didasarkan atas kebalikan dari hukum alam. Misalnya, jika api seharusnya membakar, dalam ilmu Branjangan Wanapati justru membuat korbannya menggigil kedinginan.

Itulah yang sedang dialami oleh Jaka Pratama saat ini. Ia mendadak merasa ketakutan yang sangat hebat, padahal ia yakin dapat menunduk-kan serangan Wong Pamungkas pada jurus keempat puluh. Nyatanya memang begitu.

Pukulan miring dengan telapak tangannya tepat mengenai lam-bung Wong Pamungkas ketika lawan yang licik itu tengah lengah. Namun, karena rasa cemas menguasai jiwanya, akibatnya kekuatan pukulan tersebut seolah-olah cuma embun yang menguap di gurun pasir. Jaka menggeram keheranan. Ia bahkan sekarang diliputi kegembiraan berlebihan pada saat Wong Pamungkas menampak kelemahan pertahanannya. Justru ia tertawa tatkala tendangan Wong Pamungkas mengenai betis kirinya. "Krak!" kedengaran tulang kering Jaka berkeretak tertimpa serangan bawah lawan. Tanpa ampun Jaka terjerembab ke samping laksana meja patah kakinya.

Wong Pamungkas melompat dan berniat menginjak remuk batok kepala Jaka Pratama. Untung ketika itu Wong Pamungkas lupa terhadap inti dasar ilmu tersebut, yakni melawan hukum yang wajar. Ia sangat gembira pada waktu yakin bahwa sergapan dari atas itu pasti berhasil. Sebetulnya ia mesti merasa sedih. Karena itu buyarlah keajaiban ilmu aneh Branjangan Wanapati.

Jaka sekonyong-konyong sadar akan bahaya yang sebentar lagi bakal menimpa. Sambil bergerak mengelak ia masih sempat menelan obat penyembuh luka tulang sebelum berguling-guling ke kanan pada saat kaki Wong Pamungkas menjejak di sebelah kiri-nya.

Dengan tangkas Jaka bangkit secepat kilat, dan segera memperbaiki letak kuda-kudanya. Dengan menyebut nama Allah ia berusaha memusatkan kembali daya manunggalnya kepada pusat segala kekuatan, yaitu Yang Mahatunggal. Ia berusaha menjuruskan semua karsa dan niat-nya karena Allah semata-mata.

Ia tidak ingin mengalahkan Wong Pamungkas untuk membela nama baik mendiang ayahnya. Ia hanya ingin membebaskan masyarakat dari aniaya yang sudah dan akan banyak timbul apabila Wong Pamungkas dibiarkan melanjutkan kesimaharaja-lelaannya. Dan semua itu tidak buat mencari nama, melainkan lantaran mengejar rindla Allah belaka. Sungguh di luar dugaannya manakala setapak demi setapak batinnya menggumpal mengisi bagian-bagian yang lowong dari celah-celah badannya.

Jaka sudah menemukan lagi kepribadian sejati, ikhlas dan pasrah. Dan pada ke-pribadian sejati itulah terletak inti kekuatan manusia. Maka ketika Wong Pamungkas menginsafi kekeliruannya, Jaka Pratama telah siap melancarkan pembalasan. Sehingga betapapun Wong Pamungkas segera bertahan dengan jurus pokok ilmu Branjangan Wanapatinya, namun tak ayal gempuran Jaka sempat merobohkan kuda- kudanya dan membuat Wong Pamungkas terpen-tal dua langkah ke belakang. Darah hitam menggelegak keluar dari mulut dan hidung Wong Pamungkas, tak ubahnya bagaikan suara tukang cangkul menenggak air putih dari kendi di tengah sawah, pada saat is sedang dahaga lantaran bekerja dari pagi sampai siang hari. Sayang sekali sesudah itu Jaka Pratama membatalkan serangan berikutnya, sebab hatinya dihinggapi rasa kasihan melihat lawan sedang menderita kesakitan. Apalagi setelah mengetahui dari ucapan-ucapan si Thole bahwa si kecil tidak berdosa itu adalah anak Wong Pamungkas. Ia membayangkan terlalu jauh. Andaikata Wong Pamungkas tewas, bagaimana pula nasib anak kecil itu, padahal sebagai anak pasti dia juga membutuhkan kasih sayang seorang ayah? Jaka tidak punya waktu untuk berpikir, betapa akan hitamnya masa depan anak kecil itu apabila berada dalam asuhan seorang manusia jahat macam Wong Pamungkas.

Tempo beberapa detik sepanjang Jaka diliputi pertimbangan- pertimbangan perikemanusiaan itu telah digunakan sebaik- baiknya oleh Wong Pamungkas untuk mengumpulkan kembali inti kekuatannya, lantas dengan sisa tenaga yang masih lebih besar dibandingkan yang telah dikeluarkan, ia menerjang ke muka dan melancarkan pukulan ke arah selangkangan dengan gerak-an bawah pada jurus Branjangan Ngurek Siti.

Untung Jaka masih keburu ingat diri akibat rasa sakit di tulang keringnya belum hilang sama sekali. Maka serangan lawan yang mematikan itu dapat ditumpulkannya dengan lompatan menyilang sembari melakukan tendangan salto ke arah pundak dan kepala Wong Pamungkas.

Si Thole memekik: "Romo! Bunuh orang jahat itu!" Jaka tercekat. Anak sekecil itu telah terpengaruh oleh keadaan menjadi calon pembunuh? Jika ucapan tadi keluar dari hatinya, bukankah berarti situasi di belakang hari masih akan dipenuhi pula dengan kebuasan, kekejaman, dan pertumpahan darah? Oh, Tuhan, bilakah dunia ini hanya berisi cinta murni dan perdamaian? Yang jelas, menghadapi Wong Pamungkas tidak layak untuk terlalu memberi hati. Sebab senapati yang sakti ini tidak pernah memberi hati kepada siapa pun selarna memberi hati bermakna mempersulit tercapainya angan-angan yang melambung untuk menjadi paling besar di negeri ini. Karena itu, sesudah tendangan salto-nya dengan susah payah baru dapat dielakkan oleh Wong Pamungkas, Jaka menyusulinya dengan pukulan ganda mempergunakan tangan kiri dan kanannya enam kali berturut- turut.  Wong Pamungkas terperangah. Ilmu edan dari mana ini? Jaka memang saat itu sedang mencoba ilmu barunya hasil ciptaan sendiri, dan terdiri atas hanya tujuh jurus dengan kembangan tujuh cabang. Ia sudah siap mengajarkannya kelak bagi anak- anaknya dan akan dinamakan ilmu Tanpo Asmo, atau ilmu tanpa nama.

Jurus pertama diawali dengan munculnya bulan tatkala langit sedang diliputi mendung tebal. Tentu saja hal ini sangat aneh dan mengagetkan. Faktor tiba-tiba dan mengagetkan inilah yang dijadikan landasan buat merekam gerak cabang, yaitu sirnanya mendung akibat angin kencang yang mendadak terhembus. Bisa juga dilakukan terbalik. Dari cabang dahulu, baru jurus utamanya. Pukulan ganda enam kali beruntun itulah angin kencang yang bertiup mengusir mendung di serata langit, yakni sang musuh Wong Pamungkas. Dan ketika mendung terperanjat dengan datangnya topan mendadak, Jaka menjadikan dirinya sebagai bulan, yang merayap lambat- lambat menyelusupi awan gemawan.

Wong Pamungkas kebingungan menerima rambatan tenaga yang seolah-olah menutup semua jalan keluarnya. Ia tidak mampu berkelit, padahal Jaka baru melancarkan jurus pertama.

Beberapa kali gempuran tenaga serangan memperbesar kesakitan di jantungnya, dan membikin darah yang barusan sudah hampir mengering terasa mendesak-desak hendak muncrat laksana seorang perempuan hamil muda ingin muntah dalam masa ngidamnya.

Wong Pamungkas penasaran. Ia sudah bertarung puluhan tahun. Ia sudah mempelajari puluhan ilmu dan ratusan jurus dari lawan-lawannya. Seluruhnya telah diketahui sudut-sudut kelemahannya. Tetapi ilmu bajingan yang satu ini su sah ditelusuri ke mana arahnya. Ia masih mampu menghindar beberapa kali, tetapi lebih banyak terjebak dalam pusaran tanpa ujung.

Sampai pada suatu saat, ketika Jaka melancarkan jurus ketiga, Wong Pamungkas sudah kehabisan daya bertahan tanpa sisa. Yaitu pada waktu sebutir biji yang terlempar ke tanah mulai tumbuh menjadi tunas. Akarnya menghunjam makin dalam, menembus lapisan batu karang yang keras. Daun-daunnya bermekaran, menantang sinar matahari yang panas, menampung hujan dan embun yang dingin, menahan tiupan angin yang deras. Wong Pamungkas kehilangan akal. Pukulan hawa panasnya tidak membuat lawan menarik balik serangannya. Demikian pula pukulan hawa dingin.

Dan yang paling membuatnya cemas adalah tatkala ia melancarkan gempuran tenaga kasar, justru digempur Jaka dengan kelenturan yang lembut, menyebabkan tenaga yang tuntas dikerahkannya berbalik menggempur dirinya sendiri.

Terpaksa ia pasrah. Sebab tidak ada jalan lain kecuali mengandalkan belas kasihan Jaka Pratama. Dua gelas darah hitam telah tersembur dari mulut, hidung, dan kupingnya. Ia tidak akan mati selama titik kelemahannya di pusar tidak terkena pukulan. Dan inilah siasat untuk menyelamatkan diri, pura-pura mati dengan luka parahnya untuk balas dendam lain kali.

Jaka sudah berniat mengampuni sang penyebar maut. Melihat musuh terhempas tanpa daya, dengan tangan-tangan dan kedua kaki terkulai, dengan kepala tertekuk ke belakang seperti tidak berleher, jiwa santrinya tersentuh.

Ia tidak tega membiarkan seorang anak Adam teraniaya, betapapun kejamnya manusia berhati iblis itu. Ia telah mengurungkan, bahkan menarik kembali pemusatan kekuatan di buku-buku jari jemarinya, yang sebentar tadi mengubah jari jemari itu bagaikan taji-taji baja yang tegang dan tajam. Ia begitu iba melihat musuh tergolek di tanah lembab dalam udara malam yang lembab. Sebab hati Jaka telah basah oleh siraman kasih sayang dan ampunan, suatu sifat yang selayak- nya dimiliki oleh anak manusia. Dan Jaka hampir beranjak meninggalkan tempat itu. Tentu saja setelah nanti menolong Mbah Buyut, Mbok Lisoh, dan si kecil sekiranya mereka mem- butuhkan bantuannya. Ia hendak mengeluarkan obat penyembuh luka, dan sudah menggerakkan tangan, tatkala tiba-tiba serombongan laki-laki dan perempuan muncul dari kegelapan. Se-rangkai suara halus tetapi sangat nyaring bagi telinganya berteriak menggema:

"Jangan diperpanjang umurnya. Bunuh jahanam itu."

Jaka terperanjat. Ini adalah suara Wulan Suminar, tidak salah lagi. Gadis yang pernah dan senantiasa menarik simpatinya. Namun Jaka tidak bergeming dari tempatnya berdiri. Ia tegak terpaku, tersungkur dalam kebimbangan antara iba dengan kehanisan mem-bunuh. Sementara di tanah becek di sana, Wong Pamungkas tersengal-sengal putus asa.

Matanya jelas mata tikus ketakutan, sebab di depannya menganga moncong ular sanca, dan di belakang terancam taring-taring kucing hutan. Ia sudah siap menghimpun Aji Patiraga, untuk membuat jasadnya kaku dan dingin laksana mayat bane lepas nyawa. Jaka menganggap tidak perlu menghabisi pembunuh ganas itu. Kalaupun ia tidak mati setelah diobatinya, yang pasti ia tak kan mampu lagi menjadi pembantai berdarah dingin yang patut ditakuti. Lantaran yang terlukai adalah urat-urat penting. Dan dengan luka-luka atersebut ia tak kan bisa memanfaatkan kesaktiannya sedikit pun. Tidak sepotong pun bagian dari organ-organ yang mengendalikan gerak tubuhnya dapat berfungsi kembali, selain sekadar memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-harinya belaka. Namun ketika Jaka berbalik dari Wong Pamungkas dan melangkah mendekati Mbah Buyut, Wulan Suminar telah dipanggil lebih dulu oleh perempuan tua itu. Dengan napas yang masih satu-satu, ia menyuruh Wulan Suminar mendekatkan telinganya, sebab ia ingin membisikkan sesuatu. Serta-merta Wulan Suminar memenuhi permintaan Nyi Ageng.

Dan begitu kupingnya berada di muka bibir Nyi Ageng, gadis tersebut tampak mengangguk-angguk dengan wajah sangat gembira, sementara dalam suasana yang berbeda dan nada amat kecewa, si Thole bertanya kepada ibunya: "Romo kena apa, Ibu? Romo tidak kalah, bukan?"

Mbok Lisoh memandangi anaknya dengan terharu. Ia menyadari nasib yang pantas diterima bapak anaknya itu. Ia rela keadaan yang lebih buruk menimpa Wong Pamungkas sesuai dengan kejahatan-kejahatan yang sudah dikerjakannya. Tapi ia tetap sedih mengingat bagaimanapun buruk laki-laki itu, ia adalah bapak dari anaknya. Dan kalau ia tewas, berarti si Thole akan men-jalani masa kanak-kanaknya tanpa seorang ayah, betapapun rendahnya seorang ayah tidak sah dalam pandangan masyarakat.

Si Thole masih juga bertanya tentang keadaan bapaknya, menang atau kalah dalam pertarungan barusan, ketika Jaka Pratama mendatangi Wong Pamungkas kembali untuk memberikan obat pe-nangkal luka kepadanya. Tanpa curiga ia melangkah, dan menganggap belum perlu menyapa walaupun ia sudah tahu di tempat itu telah berkumpul sejumlah saudara seperjuangannya.

Dalam perkiraannya, dengan menghitung jejak-jejak kaki mereka tadi, barangkali seluruhnya sudah berada di situ. Termasuk Kanjeng Dewi Sekar Dadu. Ia masih belum menaruh curiga tatkala Wulan Suminar setengah melompat mendekatinya pada waktu ia mengangkat tubuh Wong Pamungkas. Jaka melirik ke arah gadis itu sambil membuka bibirnya sedikit dengan wajah penuh kegembiraan:

"Terima kasih." Maka alangkah kagetnya Jaka Pratama ketika tiba-tiba Wulan Suminar menyarangkan sebilah pisau kecil, presis menusuk pusar Wong Pamungkas, senapati terlaknat yang pernah menculik dan memaksanya menjadi ronggeng di istana Prabu Girindrawardhana. Dengan mata terbeliak Jaka hampir tidak mempercayai kejadian itu, terutama pada detik-detik Wong Pamungkas meregang nyawa di pangkuannya dengan darah memancar deras melalui lubang di pusarnya. Wulan Suminar kelihatan sangat puas, dendam lamanya telah terbayar.

Jaka Pratama menatap bingung dan menyesal. Si Thole menjerit: "Romo!" seraya menghambur lari dari dekapan ibunya, lalu menubruk ayahnya yang sedang bersimbah darah.

Wong Pamungkas masih sempat memandangi anak kecil itu, anaknya sendiri yang saat ini bagaikan tengah mandi dengan darah Bapaknya. Laki-laki penyebar maut itu tertawa mengikik sambil menggumam berat: "Engkau..., anakku..?"

Si Thole mengangguk. "Romo, jangan mati, Romo," ucapnya sesenggukan. "Tidak aku takkan mati Aku mau... menghancurkan neraka Hahaha… Karena itu kalau engkau betul-betul anakku..., engkau harus... menghancurkan dunia....

Aku yang merajai neraka..., engkau yang merajai dunia putra Wong Pamungkas.... Hahaha "

Pendekar mahasakti itu tertawa panjang menyudahi wasiatnya kepada si Thole dengan suara makin pelan dan tersengal- sengal. Dibarengi jeritan terakhirnya mengutuk nama Jaka Pratama, pundaknya tiba-tiba tersentak ke atas, lalu melengkung ke bawah dan terkulai lemas.

Jiwa Wong Pamungkas baru saja melayang meninggalkan wadah kasarnya. Jaka Pratama menundukkan kepalanya sangat dalam. la mendengar Kiai Dolah Pekih berkata: "Yang seharusnya sudah lama terjadi, hari ini telah terjadi. Itulah ketentuan takdir yang tak dapat dihindari."

Di tempat yang terpisah, Mbok Lisoh terisak-isak. Bukan menangisi kematian Wong Pamungkas, jahanam yang telah merampas kegadisannya secara hina, melainkan menangisi hari depan si Thole, sendirian tanpa ayah untuk masa-masa yang amat panjang di hadapannya. Walaupun barangkali dengan ayahnya masih hidup nasib si Thole malah akan lebih buruk, atau dalam kata lain, walaupun kematian Wong Pamungkas barangkali justru lebih baik buat dirinya, namun selaku seorang ibu ia sangat prihatin mengenang-kan masa depan anaknya yang bakal sarat dengan tanda tanya dan gelap.

Si Thole masih memeluk tubuh Wong Pa-mungkas, dan membiarkan dirinya berkubang dalam darahnya.

Wulan Suminar tiba-tiba tersentuh hatinya melihat keadaan anak tersebut. Ia menghampiri pelan-pelan dari belakang, dan menggamit pundaknya seraya menegur lembut:

"Kulup, sudahlah jangan menangis lagi. Ia memang bapak kandungmu, tapi ialah yang menghancurkan hidup ibumu. Ia telah memperkosa ibumu."

Mungkin ucapan ini masih dapat dimengerti apabila diungkapkan dalam kesempatan yang tidak seperti sekarang ini. Tetapi sungguh tidak bijaksana, menurut Mbok Lisoh, karma di-sampaikan pada saat duka cita begini. Terutama buat si Thole. Itu pula yang terpikir dalam benak Jaka Pratama sehingga ia mengangkat muka dan menatap kurang senang ke arah Wulan Suminar. Lantas, untuk menghilangkan kekecewaannya, is menjauh buru-buru menuju ke tempat para kawula Demak berkumpul. Pakaiannya masih berlumur darah segar. Jaka sedang mengatakan: "Maaf, Kiai dan Kanjeng Mbakyu Sekar Dadu. Juga para kadang lainnya. Saya permisi, ke belakang dulu, ke tempat kuda saya untuk berganti pakaian," manakala seorang anak keil yang badannya juga berlumuran darah mengejatnya seraya memekik:

"Jaka Pratama, kubunuh engkau, Jaka Pratama, kubunuh engkau!"

Jaka terperanjat. Ia menyesal, dan ia sedih melihat apa yang terjadi saat ini, dan bagaimana akibatnya terhadap anak kecil yang belum menanggung dosa itu. Jiwanya begitu terguncang sehingga ia kurang sadar atau tidak peduli ketika sesosok bayangan yang gerakannya sangat ringan dan cepat bukan main melayang ke arahnya. Daya refleks Jaka membuatnya segera menyiapkan kuda-kuda tanpa berpikir lagi. Namun pada waktu ia yakin musuh tidak akan menyerangnya, sikapnya berubah menjadi penuh teka teki. Siapakah dia? Dan apa yang hendak diperbuatnya di tengah malam yang dlan mendekati fajar ini?

Dan ketika yang lain juga saling bertanya-tanya melihat sosok asing yang hanya berciri serba hitam saja tanpa tanda-tanda yang menun-jukkan identitas dirinya, kedengaran Mbok, Lisoh menjerit kecil:

"Saya mau dibawa ke mana?" Lantaran semua orang sedang mencurahkan perhatian ke arah sosok hitam yang mula-mula muncul tadi, maka mereka tidak melihat atau kurang mengacuhkan terhadap datangnya bayangan kedua, yang dengan tangkas hinggap di tanah dan dengan sigap memondong Mbok Lisoh tanpa kesulitan sadikit pun.

Orang-orang hendak mengejar penculik tersebut. Tetapi baru saja mereka bersiap diri, sosok yang pertama pun berbuat serupa. Dengan cepat lakksana seekor zebra, sosok itu membopong Thole, membawanya pergi menyusul penculik ibunya.

Jaka Pratama yang belum beranjak dari situ segera hedak memburu, terutama oleh rasa tanggung jawabnya yang besar sehingga sebetulnya ia berniat mengambil si Thole menjadi anak angkatnya. Tetapi ia dicegah oleh Kiai Dolah Pekih sebagaimana dilakukan atas yang lain-lainnya. Sebab pada waktu itu penculik yang membawa Thole berkata:

"Kalian tidak perlu mengejar kami. Thole dan ibunya akan kami pelihara baik-baik. Sebab kami adalah keluarga mereka."

Oleh ucapan yang agak melegakan ini, akhirnya tidak seorang pun berniat melakukan pengejaran. Karena masih banyak yang harus dikerjakan sebelum mereka dapat dengan tenang beristirahat sambil melambaikan selamat jalan kepada armada Angkatan Laut Demak di bawah pimpinan Laksamana Pangeran Sabrang Lor yang akan bertolak meninggalkan pangkalan Jepara untuk memerangi tentara Peringgi.

Adapun bagaimana nasib si Thole, Wong Pamungkas, beserta ibunya, dan bakal jadi apa dia di kemudian hari nanti, sejarahlah yang akan membeberkannya. Dan sejarah pula yang berhak menceritakan persoalan-persoalan rumit yang membelenggu para pendekar remaja dalam belitan asmara sampai melahirkan keresahan dan saling bertentangan.

Mudah-mudahan segala kemelut itu dapat diatasi dengan baik sehingga tidak menjadi malapetaka yang mengancam keutuhan bangsa.

Untuk itu Putih Wewangi yang centil tiba-tiba berubah mesra kan seluruh hidupnya kepada Jaka Pratama, walaupun ia tahu laki-laki itu telah beristeri tiga, orang dan pantas menjadi pamannya, sementara tiga orang pemuda remaja, dengan hawa panas berusaha menghalang-halangi niat itu. Akibatnya mereka hampir bentrok melawan Jaka Pratama. Untung, sesudah melalui untaian peristiwa yang berbelit-belit, semua kesalah-pahaman tersebut dapat diselesaikan secara bijaksana meskipun dihadang oleh ‘si Calon Pembunuh’, yang karena ganasnya anak itu, hingga dijadikan sebagai judul cerita seri ''Anak-anak Pendekar" buku kedua.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar